1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penyuluhan ialah suatu istilah yang secara baku telah digunakan untuk menunjukkan suatu kegiatan pendidikan non-formal yang semula hanya ditujukan kepada petani ataupun peternak yang melibatkan diri dalam berbagai kegiatan di sektor produksi pertanian. Maunder (1972) mengartikan penyuluhan (dari istilah extension) sebagai suatu layanan atau sistem yang membantu petani, melalui prosedur-prosedur pendidikan praktis, mengembangkan metode-metode dan teknik-teknik baru pertanian untuk meningkatkan efisiensi produksi dan pendapatan serta memperoleh tingkat hidup yang lebih tinggi bagi diri dan keluarga mereka. Penyuluhan sebagai pendidikan non-formal, setelah revolusi hijau kurang menghasilkan kesejahteraan bagi petani kecil.
Struktur komunikasi yang
dikembangkan cenderung diganti dari model-model yang mengikuti struktur komunikasi “guru-murid”/top down , berkembang ke arah pola komunikasi dyadic dan menjadi struktur komunikasi “petani sebagai partner.” Artinya, kegiatan penyuluha n berkembang menjadi “saling belajar” dan karena itu fungsi penyuluh lebih difokuskan pada fasilitator. Dalam hal ini, penyuluh berfungsi sebagai fasilitator bagi masyarakat yang perlu mengalami proses belajar memperbaiki dirinya sendiri (Slamet, 1992). Dengan pendidikan non-formal atau penyuluhan diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Masyarakat di sini hendaknya
jangan dijadikan sebagai obyek pembangunan saja, melainkan harus dilibatkan sebagai subyek pembangunan yang perlu mengalami suatu proses belajar untuk mengetahui adanya kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya, memiliki kemampuan dan keterampilan untuk memanfaatkan kesempatan itu, serta mau bertindak memanfaatkan kesempatan memperbaiki
kehidupannya.
Asngari (2001) menyebutkan hal ini sebagai upaya empowerment, yakni memberdayakan
SDM-klien
sebagai
subyek
penyuluhan
yang
aktif
mendinamiskan diri dan sebagai aktor yang berupaya untuk lebih berdaya diri dan
2
mampu berprestasi prima. Untuk itu prakarsa da ri masyarakat petani harus dirangsang, demikian juga pembangunan kelembagaannya harus diarahkan dan diawasi cara mereka berkinerja dan melakukan fungsi-fungsinya dengan efektif dan efisien (Tjondronegoro, 1998). Malah, kini penyuluh di beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat petani (community development) dan penyuluhan capacity building (penguatan kapasitas kelembagaan) berubah fungsi sesuai dengan perkembangan SDM-klien. Peran penyuluh dalam hal ini menjadi konsultan, dengan sasaran meningkatkan kelem bagaan masyarakat petani maupun kapasitas SDM-klien, dimana petani diharapkan aktif mencari, mendapatkan atau meminta advis atau layanan akan informasi yang dibutuhkan dan aktif mendatangi penyuluh atau mengontak sumber informasi. Kegiatan pe nyuluhan sapi potong pun diduga mengalami perubahan struktur komunikasi. Pola komunikasi bukan lagi berupa penyuluhan “tetesan minyak”/ SSBM (swasembada bahan makanan) berpola “guru-murid”/top down atau mengandalkan penyuluhan sistem LAKU (latihan dan kunjungan) yang berpola dyadic memadukan kepentingan
top down dan bottom up dengan
pendekatan komunikasi interpersonal maupun kelompok. Penyuluhan di sini harus lebih menekankan pada capacity building kepada masyarakat. Untuk mempercepat kesiapan masyarakat (petani/pe ternak) memasuki era pasar bebas dan globalisasi di bidang ekonomi, maka pembangunan pertanian, termasuk usahaternak sapi potong secara bertahap telah melakukan transformasi rekayasa sistem agribisnis. Transformasi rekayasa sistem agribisnis di sini adalah upaya membuat perubahan (bentuk, rupa, sifat dan sebagainya) rancangan perlakuan sistem agribisnis ke arah ideal ditinjau secara ekonomis dan sosialbudaya.
Transformasi rekayasa sistem agribisnis tersebut bertujuan untuk
memicu percepatan kesiapan fisik maupun mental masyarakat petani-peternak dalam menghadapi pasar bebas dan era globalisasi di bidang ekonomi. Banyak ilmuwan sosial melihat istilah “rekayasa” terlalu mekanistik, sehingga lebih melihatnya sebagai proses yang lebih lambat atau bertahap dis ebut “akulturasi” atau “sosialisasi.”
3
Perubahan rancangan perlakuan pada sistem agribisnis, berarti proses perubahan berencana dalam pembangunan peternakan sapi potong berwawasan agribisnis. Di sini penyuluhan ikut memegang peranan penting. Untuk itu perlu dipikirkan strategi penyuluhan pembangunan peternakan sapi potong yang bagaimana, yang dapat dijadikan sebagai salah satu upaya menswadayakan petani-peternak, sehingga lebih berdaya diri dan mampu berprestasi prima. Dalam upaya ini, kegiatan aspek transformasi rekayasa tersebut lebih difokuskan sebagai suatu strategi penyuluhan agribisnis sapi potong. Transformasi rekayasa dalam pengertian tersebut meliputi upaya rekayasa sosial budaya, ekonomi, politik dan teknologi. Hal ini perlu dipertimbangkan, karena ia merupakan langkah awal pembenahan
upaya
pembangunan
menuju
masyarakat
(petani/peternak)
berkualitas dan partisipatif. Strategi sebagai desain operasional yang digunakan oleh pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan penyuluhan pertanian dan peternakan pada PJP I (Pembangunan Jangka Panjang tahap Pertama), lebih kepada alasan kepentingan percepatan pembangunan karena lebih banyak diorientasikan kepada strategi alih teknologi (technology delivery strategy) daripada strategi pembangunan perdesaan (rural development strategy), yang berorientasi penguatan kapasitas kelembagaan dan pemandirian individu khalayak sasaran penyuluhan.
Kenyataan, sampai
sekarang kebijakan penyuluhan masih bersifat “technology delivery system,” hanya teknologinya yang diubah. Sejak awal repelita VI, genderang pembangunan peternakan berorientasi agribisnis sebenarnya telah dikumandangkan dan kini setelah lebih dari lima tahun implementasi sistem agribisnis dalam pembangunan peternakan ini dilakukan, diharapkan reorientasi strategi penyuluhan pun sudah dilaksanakan. Yakni dari penyuluhan peternakan ke penyuluhan agribisnis yang paling tidak meliputi: (1) penyuluhan teknik budidaya sudah berubah ke total agribisnis, (2) penyuluhan teknologi ke arah bisnis, (3) penanganan sentralisasi ke desentralisasi dan (4) sasaran penyuluhan hanya petani-peternak (aspek on-farm/di tingkat infrastruktur) diperluas ke berbagai jenis sasaran strategis lainnya (aspek off-farm/di tingkat suprastruktur).
4
Melihat sasaran strategis penyuluhan yang semakin variatif, maka media penyuluhan seharusnya tidak hanya berorientasi pemanfaatan saluran komunikasi interpersonal, tetapi juga mulai intensif menggunakan saluran media massa dan memfungsikan forum-forum media (farm forum) yang ada di sistem petani (user). Hal ini terjadi, karena tidak terlepas dari globalisasi informasi yang merupakan tantangan dan peluang untuk lebih mengefektifkan dan memaksimalkan fungsi berbagai media penyuluhan (saluran komunikasi). Diharapkan masyarakat sudah berubah pola komunikasinya.
Dimana peternak sudah mampu menyerap dan
menerapkan informasi untuk meningkatkan usahaternaknya, sehingga mendapat keuntungan yang lebih besar. Kemampuan komunikasi peternak atau masyarakat perdesaan diharapkan sudah menjadi lebih baik, termasuk telah ada dialog antara sesama mereka atau antara peternak dengan pemimpin mereka, dan dengan para penyuluh/agen pembaruan atau dengan pihak-pihak terkait. Dalam hal ini telah terjadi peningkatan kebebasan atau terdedah informasi (selective exposure) dan transparansi informasi. Bukti empiris lain menunjukkan bahwa aksesibilitas sarana dan prasarana komunikasi relatif tersedia di petani, seperti hampir setiap petani di hampir seluruh wilayah perdesaan memiliki pesawat radio terutama transistor kecil (van den Ban dan Hawkins, 1999); dan stasiun pemancar radio, terutama swasta dan radio-radio lokal juga semakin banyak.
Pemanfaatan radio bagi komunikasi
pertanian di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1969 hingga kini oleh RRI (Radio Republik Indonesia) melalui “siaran pertanian/siaran perdesaan.” Setiap desa/kelurahan di era orde baru pada tahun 80an difasilitas pesawat tele visi dan dipancarkan siaran program perdesaan/pembangunan pertanian dua kali setiap minggunya melalui TVRI. Kini Indonesia telah memiliki cakupan tv yang lebih baik, sudah meningkat stasiun siaran dan jumlah stasiun penerima, termasuk bermunculannya puluhan televisi swasta (nasional dan lokal) yang turut menyemarakkan penyampaian pesan pembangunan dengan porsi beragam dan minim. Di Indonesia proporsi penduduk desa yang menonton televisi sekitar 64,77 persen (BPS, 1994). Proporsi ini terus meningkat, karena kesejahteraan masyarakat yang kian membaik telah merangsang mereka membeli pesawat tv, di
5
samping program penyebaran tv ke perdesaan yang dilancarkan pemerintah (Jahi, 1993). Dengan kemajuan teknologi informasi dan adanya teknologi satelit memungkinkan masyarakat menyaksikan siaran melintas antar stasiun tv negaranegara di dunia (Rusadi, 1991), bahkan masyarakat perdesaan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, malah terjadi intervensi (terdedah) siaran tele visi asing dengan mudah (Harmoko, 1992 dan Rusadi, 1991). Aksesibilitas radio dan tele visi tersebut, serta adanya kebijakan koran masuk desa (KMD) tentunya memberikan kemudahan bagi petani untuk memperoleh informasi sesuai kebutuhan yang didasarkan pengalaman petani dan/atau hasil temuan penelitian. Adanya globalisasi informasi, kebebasan dan transparansi informasi, serta berkembangnya komunikasi antar pe tani dalam mengadopsi teknologi dan informasi pembangunan sesuai dengan kebutuhan, maka perlu pembenahan pola komunikasi dalam penyuluhan agar partisipasi petani dapat semakin ditingkatkan. Dengan kemampuan peternak menggunakan pengetahuan dan keterampilan dalam mencari, mendapatkan atau menerima, mengolah dan memanfaatkan peluang membangun, menyerap serta menerapkan informasi peternakan yang tepat dan relevan, diharapkan akan berpengaruh positif terhadap tingkat produktivitas. Berdasarkan hal di atas, masalah utama penelitian ini untuk melihat (1) sejauhmana telah terjadi perubahan perilaku komunikasi peternak, baik dalam penggunaan media massa (media exposure) maupun dalam pemanfaatan saluran media interpersonal; (2) sebagai akibat dari keterbukaan informasi maka partisipasi peternak dalam gerakan pembangunan juga diharapkan meningkat; dan (3) aktivitas “self supporting” menggala ng kerja membangun dalam dirinya juga meningkat melalui jaringan komunikasi sapi potong; dan (4) komunikasi sebagai gejala sos ial dipengaruhi oleh dua faktor yang dominan, yakni faktor struktural dan kultural. Salah satu faktor struktural ialah pelapisan sosial yang terbentuk atas karakteristik personal turut mempengaruhi perilaku komunikasi, baik dalam hal selective exposure atau keterdedahan (terpaan atau pajanan) terhadap media massa maupun jaringan komunikasi yang terjadi. Kalaupun hambatan struktural dapat di atasi maka kultur (kebudayaan) dapat pula menjadi penghalang proses komunikasi
6
yang berakibat tidak mau menerima informasi yang terdedah terhadap dirinya. Dengan demikian upaya mendiseminasikan informasi di kalangan masyarakat tidak dapat dilakukan dengan mudah apabila kedua faktor tersebut tidak dapat di atasi. Oleh karena itu, faktor-faktor personal peternak yang dilibatkan dalam penelitian ini penting juga untuk dikaji. Fenomena sudah terjadi perubahan penggunaan saluran komunikasi yang variatif di kalangan peternak ini, perkuat pula oleh pendapat Slamet (1995) yang menyebutkan bahwa masyarakat petani telah berubah secara nyata, yakni lebih baik tingkat pendidikannya, lebih mengenal kemajuan, kebutuhan dan keterampilannya telah jauh lebih baik, telah mampu berkomunikasi secara impersonal. Di samping, telah terjadi perubahan karakteristik personal peternak sebagai akibat pembangunan pertanian itu sendiri, dimana sudah terbentuk berbagai strata komersial pada diri petani (Jarmie, 1994; Slamet, 1999). Penelitian Sumardjo (1999) malah menyebutkan bahwa beberapa petani telah mengarah pada terbentuknya petani mandiri. Petani komersial dan mandiri ini membuat jejaring komunikasi sendiri, mencari dan memanfaatkan informasi penyuluhan sesuai kebutuhan. Masalah Penelitian Sejak awal dilaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian periode 19451959 yang berupa kegiatan mendidik masyarakat desa dengan sistem penyuluhan pertanian tetesan minyak. Kemudian, periode 1959-1963 menjadi gerakan massa SSBM (swasembada bahan makanan). Sekitar tahun 1964 tetesan minyak diganti dengan metode penyuluhan “tumpahan air,” yang ditandai dengan kampanye besar-besaran di bawah Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM). Dampak negatif penyuluhan sistem komando ini adalah para petani menjauhi penyuluh. Periode 1963-1993 dikenal dengan gerakan swasembada beras karena penyuluhan pertanian diintegrasikan dengan gerakan Bimas/Inmas untuk swasembada pangan melalui sistem LAKU (latihan dan kunjungan) dan sukses swasembada berasnya dicapai tahun 1984. Menyusul periode 1993-Sekarang, yang ditandai adanya perubahan orientasi pendekatan komoditas ke pendekatan agribisnis dan otonomi daerah. Dimana di tahun 1993 urusan penyuluhan pertanian diserahkan kepada
7
pemerintah daerah yang menyebabkan dinamika penyuluhan pertanian menurun drastis. Di tahun 1998 diluncurkan program Gema Palagung 2001, Gema Protekan 2003 dan Gema Proteina 2003, ini pun menuai masalah. Memang, peningkatan produksi berhasil tetapi meninggalkan masalah utang macet, dan prinsip penyuluhan dirusak dengan pemberian insentif kepada penyuluh. Terlihat bahwa penyuluhan
hingga saat ini, intinya hanya untuk alih
teknologi dan mengejar peningkatan produksi. Sedangkan kegiatan penyuluhan pertanian untuk meningkatkan kapasitas manusia (SDM)nya belum dilakukan. Padahal, di kalangan petani telah banyak terjadi perubahan seperti tingkat pengetahuan dan pendidikan yang semakin baik, tingkat pendapatan
yang
meningkat, semakin tersedianya aksesibilitas sarana dan prasarana komunikasi, sehingga petani mencari dari sumber lain akan kebutuhan yang mereka perlukan. Fenomena ini dikuatkan oleh hasil penelitian Puspadi (2002) yang menyebutkan bahwa telah terjadi perubahan pemenuhan kebutuhan informasi dan perilaku usahatani yang semakin komersial, dimana akibat relatif tingginya tingkat pendidikan para petani, perubahan cara belajar petani, makin tingginya kapasitas inovasi dan informasi para petani, bangkitnya kesadaran petani atas hak-haknya, perubahan referensi petani, munculnya gejala -gejala relativitas nilai di perdesaan, makin tingginya otoritas petani dalam pengambilan keputusan, menuntut perubahan peran, sistem dan paradigma penyuluhan pertanian. Kalau penelitian Puspadi (2002) melihat pada perubahan pemenuhan kebutuhan informasi, maka studi ini lebih melihat (pada) perubahan penggunaan saluran komunikasi dan menentukan pola komunikasi yang paling efektif dalam penyuluhan serta mengungkapkan distorsi informasi penyuluhan teknologi sapi potong di sistem user. Seperti telah disebutkan di atas, telaah komunikasi dalam penelitian ini adalah telaah yang berkaitan dengan pembangunan. Komunikasi pembangunan yang dilakukan di Indonesia, seperti halnya di banyak negara berkembang sebenarnya bukan komunikasi pembangunan yang diungkapkan Schramm dan Lerner (1976) dari studi penelitiannya di Desa Balgat, Turki, yakni komunikasi sebagai unsur penting dalam proses pembangunan yang dengan komunikasi
8
diharapkan mampu mengubah sikap, pikiran serta kepribadian tradisional menjadi modern. Selain itu, komunikasi bukan merupakan alat untuk diseminasi, tetapi menjadi alat bagi peternak sendiri untuk menentukan saluran komunikas i yang akan digunakannya dan informasi yang akan diambil. Sehingga, seperti halnya program pengembangan sapi potong di desa-desa yang umumnya dilaksanakan dalam situasi dan keadaan mikro berbentuk kampanye dan kaji tindak yang segera akan diakhiri bila proyek pembangunan telah selesai dilaksanakan (Jayaweera, 1989), tak akan terjadi. Inilah yang mendasari perlunya komunikasi penunjang pembangunan (KPP). Pendekatan ini bertentangan dengan kondisi pembangunan selama ini. Melaksanakan KPP pada dasarnya tidak mengubah paradigma pembangunan itu sendiri. Kegagalan komunikasi dalam pembangunan di Indonesia lebih merupakan kegagalan paradigma pembangunan itu sendiri, yaitu paradigma pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pembangunan fisik. Oleh karena itu, kegagalan komunikasi dalam pembangunan di Indonesia merupakan kegagalan komunikasi linear, maka studi-studi komunikasi hendaknya mengacu pada model komunikasi konvergensi yang memandang proses komunikasi bukan secara sepihak dari komunikator kepada penerima (user), melainkan suatu proses berbagi informasi tanpa menunjukkan superioritas salah satu unsur yang terlibat dalam proses komunikasi. Salah satu penelitian yang mengacu pada model komunikasi konvergensi tersebut adalah studi mengenai jaringan komunikasi interpersonal yang menggunakan metode analisis jaringan (Rogers, 1995). Keuntungan menggunakan metode ini yang menggunakan hubunganhubungan interpersonal sebagai unit analisis dibandingkan dengan metode yang menggunakan individu sebagai unit analisis (survei) ialah dapat dihimpitkannya struktur sosial yang diambil dari pengkategorian karakteristik personal pada arus komunikasi. Hal ini memungkinkan kita memahami hubungan antara struktur sosial dengan arus pesan. Pemahaman ini sangat berguna sebagai masukan untuk perumusan strategi komunikasi pembangunan, yang sering diabaikan oleh para ekonom yang merancang pembangunan. Telaah komunikasi yang berkaitan dengan pembangunan perlu dilakukan, terlebih pada usaha -usaha pemerataan kesempatan menikmati hasil-hasil pembangunan
yang menuju sasaran berupa
9
peningkatan pendapatan warga masyarakat, peternak yang hidup di perdesaan. Untuk itu fokus penelitian ini adalah usaha pemahaman hubungan antara karakteristik personal, terpaan atau keterdedahan arus informasi (selective exposure), keterlibatan peran komunikasi peternak sapi potong dalam jaringan komunikasi dan distorsi informasi. Konsep distorsi yang dimaksud di sini adalah ketimpangan tingkat informasi antar anggota jaringan komunikasi. Dari latar belakang dan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian utama, yakni “Apakah perilaku komunikasi peternak dalam penyuluhan interpersonal?”
sudah
tidak
sepenuhnya
mengandalkan
komunikasi
Dari pertanyaan utama tersebut dan melihat kondisi profil
peternak yang sudah lebih baik (terutama pendidikan dan strata komersial/ kelas ekonomi), menimbulkan kecenderungan berperilaku komunikasi yang tidak hanya interpersonal melainkan juga berkomunikasi impersonal sebagai alternatif polapola terdahulu (tetesan minyak/SSBM, LAKU, US.Extension seperti sekolah lapangan atau kursus maupun pelatihan). Untuk itu, empat pertanyaan penelitian yang lebih operasional berikut ini coba dirumuskan sebagai masalah penelitian, yaitu: 1. Bagaimana perilaku komunikasi peternak dalam mendapatkan informasi? 2. Apa saja peran-peran komunikasi yang dilakukan peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong? 3. Sejauhmana hubungan karakteristik personal (tingkat pendidikan, kelas ekonomi, kepemilikan media massa) dengan keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal; keeratan hubungan karakteristik personal, keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal dengan peran-peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong; dan keterkaitan hubungan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi informasi? 4. Bagaimana pola jaringan komunikasi antar anggota kelompok peternak sapi potong?
10
Tujuan Penelitian Penelitian ini bermaksud untuk menelusuri dan menganalisis perubahan proses komunikasi penyampaian informasi penyuluhan pembangunan kepada masyarakat, berupa program pengembangan sapi potong. Secara spesifik, tujuantujuan yang ingin dicapai dengan studi ini adalah untuk: 1. Melihat perilaku komunikasi peternak dalam mendapatkan informasi. 2. Mengidentifikasi tingkat partisipasi peternak dilihat dari peran-peran komunikasi dalam jaringan komunikasi sapi potong. 3. Menganalisis hubungan karakteristik personal dengan keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal; hubungan karakteristik personal, keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal dengan peran-peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong; dan hubungan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi pesan. 4. Mengetahui pola jaringan komunikasi antar anggota kelompok peternak sapi potong. 5. Mendesain strategi/model komunikasi penyuluhan. Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang dicapai, hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna: 1. Sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan komunikasi dan pembangunan perdesaan, bagi praktisi bidang komunikasi, penyuluhan, penerangan dan sebagainya, mengenai kemungkinan efektivitas jaringan komunikasi dapat digunakan sebagai saluran komunikasi untuk menyampaikan informasi pembangunan. Sehingga hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan dalam memperbaiki kebijakan komunikasi penyuluhan yang sekarang masih berlaku. 2. Bagi disiplin ilmu penyuluhan pembangunan, diharapkan hasil penelitian ini dapat membuka jalan bagi pengembangan ilmu di bidang pembangunan
11
masyarakat dan bidang komunikasi pembangunan pada umumnya dan ilmu penyuluhan pembangunan pertanian bagi masyarakat perdesaan pada khususnya, dengan memperhatikan beragam permasalahan yang terdapat di perdesaan.
Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
bahan masukan bagi penelitian-penelitian berikutnya terutama dalam menelaah pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan bagi masyarakat perdesaan. 3. Penelitian ini juga diharapkan untuk dapat menggugah kesadaran pihak-pihak yang berkecimpung dalam bidang kegiatan sosial, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), akan pentingnya penelitian-penelitian komunikasi manakala khalayak sasaran kegiatannya adalah warga masyarakat.
12
DEFINISI ISTILAH Karakteristik personal adalah suatu ciri atau sifat seseorang yang bersumber dari unsur keturunan dan kemudian berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan. 1. Karakteristik personal responden terpilih yang dikaji mencakup: a. Pendidikan formal adalah pendidikan tertinggi yang telah dicapai atau ditamatkan melalui jenjang sekolah oleh responden pada saat penelitian dila kukan, diukur berdasarkan skala nominal, yang dikategorikan menjadi Tidak Tamat/Tidak Lulus SD, Tamat SD dan Tamat Sekolah Lanjutan (SMP/SMA). b. Kelas ekonomi, adalah status/kedudukan seseorang di masyarakat dilihat dari kekayaan materi yang dimilikinya, diukur dengan skala rasio berdasarkan nilai rupiah kepemilikan barang atau hewan/ternak, seperti: rumah, tanah, lampu teplok, petromak, mobil (pick up), sepeda motor, sepeda, mesin jahit, kulkas, jam tangan, radio, tape recorder, tele visi, telepon/Hp, sapi/kerbau dan kambing/domba , modal usaha, tabungan atau deposito yang dimiliki saat penelitian dilakukan. Kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni rendah (< Rp. 55 juta), sedang (Rp. 55110 juta) dan kategori tinggi (di atas Rp. 110 juta). c. Kepemilikan media massa, adalah macam media massa (radio, tele visi, suratkabar, majalah, bulletin, telepon, Hp, poster/pamlet, booklet, leaflet, brosur, folders) yang dipunyai saat penelitian dilakukan, diukur dengan skala nominal dan dikelompokkan menjadi empat kategori, yakni sama sekali tidak memiliki media massa, punya satu, punya dua dan punya lebih dari dua media massa. 2. Perilaku komunikasi interpersonal informal , ialah aktivitas komunikasi interpersonal yang digunakan responden dalam berinteraksi dengan orangorang di dalam dan di luar sistem sosialnya,
diukur dengan skala rasio
berdasarkan intensitas/frekuensi kontak atau komunikasi tatap muka responden peternak dengan pembina, penyuluh, pejabat dinas peternakan dan
13
pejabat terkait lainnya, pedagang, pemodal dan pendamping, atau dengan sesama peternak, maupun dengan kontak tani di luar pertemuan kelompok atau kursus/pelatihan selama sebulan terakhir saat penelitian ini dilaksanakan. Perilaku komunikasi interpersonal informal ini dilihat berdasarkan perilaku responden peternak sapi potong dalam (a) menerima, (b) mencari,
(c)
mengklarifikasi atau mendiskusikan dan (d) menyebarkan informasi. 3. Keterdedahan media massa (mass media exposure ) yang dikaji mencakup : a. Keterdedahan pada siaran radio, adalah aktivitas peternak mendengarkan siaran radio dalam berbagai acara, yang diukur dengan skala rasio berdasar kan frekuensi mendengarkan siaran radio dalam seminggu terakhir saat penelitian dilakukan. b. Keterdedahan pada tayangan televisi, adalah aktivitas peternak menonton tayangan televisi dalam berbagai acara, yang diukur dengan skala rasio berdasarkan frekuensi menont on tayangan televisi dalam seminggu terakhir saat penelitian dilakukan. Juga diukur acara apa yang ditonton berdasarkan skala nominal. c. Keterdedahan pada suratkabar , ialah aktivitas peternak membaca berbagai media suratkabar (lokal) baik tentang sapi potong maupun masalah umum, yang diukur dengan skala rasio berdasarkan frekuensi membaca dalam satu minggu terakhir saat penelitian dilakukan. 4. Jaringan komunikasi responden yang dikaji dalam penelitian ini diukur dengan mengajukan pertanyaan sosiometris (kepada siapa peternak tersebut bertanya, dan dijadikan tempat bertanya oleh anggota kelompok atau peternak lain tentang informasi sapi potong).
Kemudian diukur peran komunikasi
anggota kelompok peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong tersebut, yang dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: a. neglectee, adalah pemeran komunikasi yang pernah membicarakan pesan penyuluhan sapi potong, tetapi tidak pernah diajak bicara atau dijadikan tempat bertanya oleh peternak anggota kelompok lain.
14
b. mutual pairs, adalah pemeran komunikasi yang bersifat pilihan timbal balik (dyadic ) dan hubungan mutual atau saling memilih sebagai tempat bertanya informasi sapi potong. c. star, adalah pemeran komunikasi yang menjadikan diri peternak tersebut sebagai tempat be rtanya dan merupakan pemusatan jalur komunikasi dari beberapa anggota jaringan dalam klik. 4. Distorsi pesan ialah tingkat informasi yang dimiliki responden, dikumpulkan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui salah benarnya informasi yang dimiliki yang berhubungan dengan berusaha ternak sapi potong, dengan menggunakan skala rasio. Data mengenai tingkat informasi ini dikumpulkan melalui butir-butir pertanyaan yang telah diujicobakan berdasarkan pemenuhan persyaratan koefisien reprodusibilitas dan koefisien skalabilitas Guttman (Kerlinger, 1986; Nawawi dan Hadari, 1995; Siegel, 1997; Singarimbun dan Effendi, 1995). Secara garis besar butir-butir pertanyaan yang diajukan meliputi pengertian dan cara berbisnis sapi potong seperti aspek (a) bibit dan permodalan, (b) pakan konsentra t dan hijauan makanan ternak, (c) perkandangan/peralatan peternakan, (d) pemeliharaan dan manajemen, (e) kesehatan ternak dan obat- obatan, (f) reproduksi dan perkembangbiakan: kawin alam atau IB, (g) pemasaran (h) pascausaha atau pascapanen dan pemanfaatan limbah serta (i) kemitraan. 5. Pemuka pendapat, adalah tokoh masyarakat tempat orang-orang bertanya yang diambil dari kategori peran unisolate anggota kelompok peternak, dalam hal ini berupa star atau memiliki struktur komunikasi integration dalam jaringan komunikasi tersebut. Diukur berdasarkan skala nominal, dengan dua kategori, yakni pemimpin polimorfik apabila pemuka pendapat tersebut merupakan sumber informasi lebih dari satu jenis informasi dan pemimpin monomorfik, bila sebagai tempat bertanya hanya satu jenis informasi. 6. Pergeseran tingkat pemanfaatan media massa ialah perubahan yang diindikasikan oleh perbedaan penggunaan media komunikasi massa (radio, televisi dan suratkabar) oleh peternak maju dibandingkan dengan yang kurang maju untuk mendapatkan informasi.