32 Tahun JuniAgustus - 14 Juli2009 2010 No. 21,No. Tahun II, Tgl.III,15Tgl. Juli15- 14
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi www.tabloiddiplomasi.com
Interfaith Dialogue Menlu RI :
Mengenang Seratus Tahun Mohammad Roem
Kontribusi Islam Dalam Konteks Hubungan Dan Demokrasi Internasional Dalam Membangun KH. Hasyim Muzadi :
Indonesia ICIS, Islam Moderat dan Da’i Interfaith Dialogue Bachtiar : Menyelesaikan Persoalan TKI di Malaysia Dengan Kepala Dingin Kebudayaan, Fondasi Untuk Memperkuat Hubungan RI - Suriname
Nia Zulkarnaen :
“KING”
Film Bertema Bulutangkis Pertama di Dunia Email:
[email protected]
Email:
[email protected]
ISSN 1978-9173 ISSN 1978-9173
Email:
[email protected]
www.tabloiddiplomasi.com
771978 917386 771978 917386 9
9
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Daftar Isi
>6
Fokus
>7
Fokus
>8
Fokus
Interfaith Dialogue Mengembalikan Citra Indonesia Gagasan Interfaith Dialogue Tidak Terlepas Dari Peran Indonesia
> 12
Fokus
> 13
Fokus
> 17 > 18
Lensa
Interfaith Dialogue Dalam Konteks Hubungan Internasional
Bilateral Interfaith Dialogue (BIFD) antara RI dan Hungaria
Dialog Lintas Agama, Upaya Penting Bagi Pertumbuhan Demokrasi Di Dunia
> 23
Lensa
Arti Penting Interfaith Dialogue Tidak Perlu Diperdebatkan
Fokus
Fokus
> 15
> 20
Interfaith Dialogue Bukan Menawarkan Kata-kata, Tapi Teladan Nyata
> 11
> 14
Sorot
Special Non-Aligned Movement Ministerial Meeting
Budaya Dialog Menciptakan Toleransi, Penghargaan Dan Kerjasama
> 10
> 19
4
Interfaith Dialogue Bagian dari Budaya Kita
F
O
K
U
S
Menlu RI : Indonesia Berkomitmen dalam Meningkatkan Dialog Lintas Agama dan Kerjasama Pembangunan Diantara Negara-negara Non Blok
ICIS, Islam Moderat dan Interfaith Dialogue
Interfaith Dialogue Jendela Untuk Menampakkan Keberhasilan Indonesia Dalam Membangun Kerukunan Dan Toleransi
Fokus
Interfaith Dialogue Merupakan Instrumen Diplomasi
Fokus
Interfaith Dialogue Perlu Merancang Kegiatan Terkait Isu AntarIman
Sorot
Diplomasi Publik, Strategis Memperkenalkan Interfaith Dialogue
Sorot
Bilateral Interfaith Dialogue RI - Bulgaria Pentingnya Dialog Lintas Agama sebagai Upaya Membangun Perdamaian dan Harmoni
16
l
e
n
s
a
Negara Mitra ASEM Berkomitmen Meningkatkan Dialog Antar Agama dan Budaya Untuk Menjembatani Perbedaan
Diplomasi
Pemimpin Umum / Pemimpin Redaksi Khariri Ma’mun Redaktur Pelaksana Cahyono
Teras Diplomasi Budaya dialog adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, dan sejarah membuktikan bahwa budaya dialog ini telah ada sejak berabad-abad yang lalu dan telah menciptakan kehidupan yang aman dan damai di kawasan Nusantara ini. Dalam berbagai kesempatan, Presiden SBY juga telah menyampaikan mengenai pentingnya Indonesia mendorong dialog antar peradaban untuk mencapai harmony among civilization. Dan karenanya dialog lintas agama sekarang ini menjadi salah satu fitur tetap diplomasi Indonesia yang juga menempatkan Indonesia sebagai one of the leading actors didalam membangun fondasi yang kuat bagi tercapainya perdamaian dan keamanan dunia. Indonesia dinilai tepat untuk mempromosikan dialog lintas agama di tataran bilateral, regional, hingga multilateral. Para pendiri negeri ini telah berupaya untuk mencari jalan yang terbaik dalam mencari identitas negara yang penduduknya memiliki keanekaragaman budaya, etnik, bahasa dan agama agar dapat hidup berdampingan dengan tenteram dan damai. Dengan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Sila Pertama dasar negara Indonesia, para pendiri negeri ini telah menunjukkan sikap yang toleran, saling menghargai dan menghormati kepada sesama umat beragama yang memiliki perbedaan. Di sisi lain peristiwa 11/09 telah memberikan implikasi yang luas ke seluruh dunia dan menghentak negara-negara di dunia untuk bersikap waspada dan curiga. Sejak saat itulah terorisme kemudian dinilai sebagai ancaman perdamaian dan keamanan internasional. Namun sayangnya ini juga sekaligus memunculkan tuduhan dari negaranegara Barat terhadap kelompok agama tertentu sebagai pelaku terorisme. Mispersepsi dan misinterpretasi ini tentunya merugikan negara-negara Islam di dunia termasuk Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, di sisi lain nilai-nilai
moderasi yang ada dan tumbuh berkembang di Indonesia belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat internasional, khususnya Barat. Dan adanya aksi pengeboman dan konflik komunal di Indonesia juga telah disalah-artikan sebagai konflik antar umat beragama. Hal ini memunculkan adanya kebutuhan dan kepentingan bagi Indonesia untuk memproyeksikan citranya sebagai negara demokrasi dengan mayoritas Muslim yang moderat melalui upaya pengembangan budaya dialog lintas agama yang mengedepankan sikap toleransi dan saling memahami antar sesama umat beragama dan antar peradaban. Upaya ini penting untuk menghilangkan kecurigaan dan kesalahpahaman antar agama dan budaya disamping juga efektif untuk mempromosikan harmoni dan kerjasama antar agama dan budaya, apalagi memang Indonesia dianggap sebagai negara yang tepat dan memiliki kapabilitas untuk mengembangkan budaya dialog lintas agama dan budaya karena memiliki latar belakang yang multikultur disamping juga sejarah yang panjang dalam hal toleransi. Budaya dialog lintas agama dan budaya ini perlu juga dibangun dan diperkuat pada tataran internasional, karena dipercaya sebagai upaya yang dapat membantu terciptanya dunia yang lebih aman dan damai, sehingga dengan demikian Indonesia secara tidak langsung telah mendekatkan jurang pemisah antara faktor internasional dengan faktor domestik. Dialog lintas agama dan budaya ini merupakan wahana bagi Pemerintah Indonesia untuk tetap konsisten menjalankan pendekatan Diplomasi Total yang melibatkan seluruh komponen dalam civil society. Dan sebagai salah satu aset soft power Indonesia, dialog lintas agama dan budaya ini diharapkan dapat menempatkan Indonesia sebagai bridge builder untuk mengatasi kesenjangan antara Islam dan Barat.[]
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Staf Redaksi Saiful Amin Arif Hidayat Taufik Resamaili Dian harja Irana Tata Letak dan Artistik Tsabit Latief Distribusi Mardhiana S.D. Kontributor M. Dihar Alamat Redaksi Jl. Kalibata Timur I No. 19 Pancoran, Jakarta Selatan 12740 Telp. 021-68663162, Fax : 021-86860256, Surat Menyurat : Direktorat Diplomasi Publik, Lt. 12 Departemen Luar Negeri RI Jl. Taman Pejambon No.6 Jakarta Pusat Tabloid Diplomasi dapat didownload di http://www.tabloiddiplomasi.com Email :
[email protected] cover: wordpress.com daveferguson.typepad.com panoramio.com Diterbitkan oleh Direktorat Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri R.I bekerjasama dengan Pilar Indo Meditama
Bagi anda yang ingin mengirim tulisan atau menyampaikan tanggapan, informasi, kritik dan saran, silahkan kirim email:
[email protected] Wartawan Tabloid Diplomasi tidak diperkenankan menerima dana atau meminta imbalan dalam bentuk apapun dari narasumber, wartawan Tabloid Diplomasi dilengkapi kartu pengenal atau surat keterangan tugas. Apabila ada pihak mencurigakan sehubungan dengan aktivitas kewartawanan Tabloid Diplomasi, segera hubungi redaksi.
F
oku
s
4 Menlu RI :
Indonesia Berkomitmen dalam Meningkatkan Dialog Lintas Agama dan Kerjasama Pembangunan Diantara Negara-negara Non Blok Pertemuan Special NAM Ministerial Meeting on Interfaith Dialogue and Cooperation For Peace and Development ini penting bagi Indonesia, karena kami telah mendedikasikan diri secara khusus didalam Dialog dan Kerjasama Antar Agama untuk Perdamaian dan Pembangunan. Indonesia adalah masyarakat yang pluralistik dan kami bangga dengan keanekaragaman tersebut. Kami telah berpengalaman secara langsung mengenai bagaimana dialog lintas budaya dan agama dapat membantu membangun masyarakat yang kuat, demokratis, dan inklusif. Gerakan Non-Blok sendiri merupakan sebuah komunitas bangsa-bangsa yang beragam. Sejak awal, keanggotaannya selalu inklusif, dimana di dalamnya diwakili oleh berbagai peradaban. Ini seharusnya menjadi aset. Dalam Gerakan kami ini, kami memiliki banyak pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang memungkinkan kami untuk mengembangkan dialog semacam ini. Kami bisa saling belajar satu sama lain dan juga saling meningkatkan kemampuan dan kecakapan didalam berdialog. Karena itu, tidak diragukan lagi, bahwa Gerakan kami ini dapat memberikan kontribusi yang besar didalam mempromosikan dialog global antar umat beragama, budaya dan peradaban. Dengan menjalin dialog semacam ini, kami menjadi bagian dari solusi bagi setiap masalah besar yang dihadapi umat manusia. Indonesia akan terus mempertahankan dukungan dan upaya yang kuat bagi GNB untuk mempromosikan penghormatan terhadap keragaman, kebebasan, keadilan, toleransi dan kerjasama. Itu semua adalah bagian penting dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional, dan kami harus mengkonsolidasikan hal ini dalam menghadapi perubahan dunia. Memang benar, bahwa masyarakat internasional sekarang ini sedang berada di tengah-tengah sebuah fase transformasi. Sebuah fase yang memberikan kita sebuah tantangan global dalam bentuk yang beragam, dalam waktu yang bersamaan, serta lintas-batas. Sebuah fase yang mungkin menonjolkan keragaman kami lebih jauh. Namun, di tengah-tengah keragaman itu dan dengan kemauan yang kuat, masih ada ruang bagi kami untuk mengumpulkan nilai-nilai yang kami miliki bersama – guna mengeluarkan sisi kemanusiaan kita yang terbaik, untuk menegakkan upaya kita bersama didalam mewujudkan perdamaian dan kemakmuran. Hal ini memerlukan proses dialog yang serius — dialog
Dok. Ryas
No. 32 Tahun III
Menlu RI, Dr. Marty M. Natalegawa, menyampaikan sambutan pada Special NAM Ministerial Meeting on Interfaith Dialogue and Cooperation For Peace and Development di Manila (16/03/10).
15 juni - 14 juli 2010
F
oku
s
5 yang mengarah kepada sebuah kerjasama — yang merupakan tema pertemuan kami pagi ini. Kemitraan internasional sangatlah penting, dan dialog adalah kunci utama untuk mewujudkannya. Kegiatan ini, pada gilirannya, akan mempromosikan budaya perdamaian global. Suatu budaya yang menghargai keragaman, mendorong sikap sederhana, memelihara toleransi, dan mencegah timbulnya fitnah termasuk fitnah tentang agama. Suatu budaya yang memberikan dasar yang kuat dalam menanggapi prasangka dan konfilik yang berhubungan dengan keyakinan. Budaya dimana sikap sederhana menghilangkan ekstrimis, dan dialog menghilangkan kebodohan. Oleh karena itu, Gerakan ini harus terus berinvestasi, melalui upaya-upaya dan inisiatif konkret, didalam mempromosikan dialog dan kerjasama antar agama untuk perdamaian dan pembangunan. Indonesia merupakan pembela dan praktisi dialog serta pengelola keragaman agama dan budaya etnis, menjadi peserta yang tajam, dan bahkan mengambil kursi terdepan, dalam upaya ini. Oleh karena itu Indonesia telah mempelopori dialog lintas agama dan budaya di semua lini - bilateral, regional dan global. Kami telah mengorganisir semua itu bersama-sama dengan pemerintah lain, organisasi internasional, masyarakat sipil dan media massa. Bersama-sama dengan Australia, Selandia Baru dan Filipina misalnya, kami memprakarsai Dialog Kerjasama Antar Agama Regional Asia-Pasifik pada tahun 2004 di Yogyakarta, Indonesia. Sejak saat itu, forum itu menjadi pertemuan tahunan yang kokoh, dimana yang terakhir kami adakan di Perth, Australia bulan Oktober lalu. Kami juga ambil bagian dalam peluncuran Dialog Antar Agama Asia-Eropa tahun 2005, yang juga menjadi acara tahunan yang besar. Sadar akan peran media massa dalam melawan kebodohan dan prasangka religius, kami mengawali serangkaian Dialog Global Inter-
15 juni - 14 juli 2010
“Kemitraan internasional sangatlah penting, dan dialog adalah kunci utama untuk mewujudkannya. Kegiatan ini, pada gilirannya, akan mempromosikan budaya perdamaian global. Suatu budaya yang menghargai keragaman, mendorong sikap sederhana, memelihara toleransi, dan mencegah timbulnya fitnah - termasuk fitnah tentang agama. Suatu budaya yang memberikan dasar yang kuat dalam menanggapi prasangka dan konfilik yang berhubungan dengan keyakinan.”
media dengan Norwegia untuk melibatkan media massa didalam mempromosikan sikap saling pengertian tanpa mengganggu kemerdekaan editorial mereka. Secara bilateral, kita telah melakukan berbagai macam inisiatif dengan sejumlah negara mitra, termasuk Austria, Kanada, Vatikan, Libanon, Federasi Rusia, Britania Raya dan Amerika Serikat. Kami juga terus mendorong inisiatif yang relevan dari berbagai kelompok masyarakat sipil, termasuk Konferensi Internasional Ulama Islam (ICIS) dan Forum Perdamaian Dunia, yang masingmasing diprakarsai oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kami yakin, bahwa semua upaya ini akan melengkapi dan memperkuat kegiatan serupa di seluruh dunia, termasuk yang sudah ada dalam kerangka Gerakan Nonblok. Faktanya adalah bahwa semua inisiatif yang ada di dialog antaragama, antar budaya dan antar peradaban telah menjadi bagian dari jaringan global yang bertujuan untuk mempromosikan perdamaian berbasis agama dan harmoni. Tetapi semua itu tidak akan cukup jika mereka hanya tetap berada dalam ruang konferensi. Kita harus mengakui bahwa “dialog ruang konferensi” bukanlah tujuan itu sendiri. Semua dialog yang terjadi di seluruh dunia saat ini akan menjadi
sia-sia jika mereka tidak mengarah ke tindakan kerjasama dalam level akar rumput . Mereka harus mengarah pada pengembangan masyarakat yang tahu dan menghargai agama, sebuah budaya dan peradaban yang kemudian terbentuk dalam lingkup internal dan eksternal mereka. Masyarakat yang bekerja untuk kesejahteraan sesama manusia, dan mengajarkan satu sama lain tentang perlunya saling pengertian dan saling menghargai. Masyarakat yang berperan positif dalam kehidupan bangsa dengan mendorong dan memberi inspirasi kepada pemerintah untuk mematuhi prinsip-prinsip demokratis dan juga untuk mempromosikan serta melindungi hak asasi manusia dan kebebasan individu, tanpa memandang etnis atau agama. Masyarakat yang dapat menjangkau negara-negara lain dalam persahabatan dan dapat mengapresiasi kualitas unik pribadi dan perspektif orang lain. Dan jika semua bangsa dapat memelihara komunitas semacam itu, yang dapat menjangkau satu sama lain dalam semangat dialog dan kerjasama, maka berarti perjalanan kami untuk mengembangkan budaya perdamaian global berjalan dengan baik. Kami masyarakat Indonesia mempunyai keyakinan kuat terhadap dialog — bentukbentuk dialog yang mencakup semua pandangan anggota.
Bentuk dialog yang membangun konsensus dimana semua anggota berkomitmen didalamnya - karena konsensus itu memperhitungkan aspirasi dan kebutuhan semua yang terlibat di dalamnya. Kami sangat senang bahwa gerakan kami ini bertujuan untuk mengembangkan proyek yang berkelanjutan, praktis dan berorientasi pada aksi dan kebijakan yang akan mempromosikan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental secara keseluruhan, pembangunan, budaya perdamaian, dialog, toleransi, pengertian, rasa hormat terhadap keanekaragaman dan hidup berdampingan secara damai. Kami berbesar hati karena semua ini tercermin didalam draft Deklarasi dan Program Aksi Manila, yang kami harap akan diadopsi pada akhir pertemuan ini. Indonesia mendukung dan akan ikut berpartisipasi aktif dalam usaha pragmatis ini. Karena mereka mempromosikan nilai-nilai, citacita, prinsip dan aspirasi yang sama yang kami perjuangkan selama masa transisi untuk menjadi Indonesia yang baru, dan sesuatu yang kita perjuangkan untuk dipertahankan sampai hari ini. Dunia kita adalah dunia yang penuh keragaman, dan keragaman Itu bukan kutukan. Ini sebenarnya merupakan aset yang tak ternilai. Hal ini sebenarnya merupakan berkat Illahi. Yang perlu kita lakukan hanyalah membawa cahaya, melalui dialog dan melalui pembelajaran satu sama lain, kesatuan tujuan dan kesatuan kita sebagai manusia. Itulah yang kita lakukan dalam Gerakan Non Blok ini. Dan mengenai hal ini saya yakin: tidak ada prestasi positif yang berada di luar jangkauan manusia ketika kita bersatu dalam keragaman kita. # Disarikan dari Pidato dari Dr. R.M. Marty M. Natalegawa Menteri Luar Negeri Republik Indonesia di Pertemuan Khusus Menteri Gerakan Non-Blok tentang Dialog dan Kerjasama Antar Umat Beragama Untuk Perdamaian dan Pembangunan, Manila, 17 Maret 2010.[]
No. 32 Tahun III
F
oku
s
6 Bertempat di Manila, Filipina, pada tanggal 17-18 Maret 2010, negaranegara GNB menyelenggarakan Special Non-Aligned Movement Ministerial Meeting (SNAMMM) on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace and Development yang dilatarbelakangi oleh semangat multilateralisme dan adanya upaya untuk meningkatkan budaya dialog dan perdamaian sebagai proses transformasi sosial yang dapat menciptakan nilai-nilai toleransi, penghargaan dan kerjasama. Pertemuan ini dihadiri oleh Presiden Filipina, Gloria Macapagal Arroyo ; Presiden Sidang Majelis Umum PBB, Dr. Ali Abdussalam Treki ; dan Ketua Biro Koordinasi GNB, Dr. Mahmoud Hamdy Zakzouk, serta delegasi dari 105 negara anggota GNB (Afghanistan, Algeria, Angola, Bahrain, Bangladesh, Belarus, Bolivia, Brunei Darussalam, Cambodia, Cameroon, Chad, Chile, Comoros, Congo, Republic of Cote d’Ivoire, Cuba, Democratic People’s Republic of Korea, Democratic Republic of the Congo, Djibouti, Dominican Republic, Ecuador, Egypt, Equatorial Guinea, Eritrea, Ethiopia, Gabon, Gambia, Ghana, Guinea, India, Indonesia, Iran, Iraq, Jordan, Kenya, Kuwait, Laos, Lebanon, Lesotho, Libya, Madagascar, Malaysia, Maldives, Mongolia, Morocco, Mozambique, Myanmar, Namibia, Nepal, Nigeria, Oman, Pakistan, Palestine, Panama, Peru, Philippines, Qatar, Rwanda, Sao Tome and Principe, Saudi Arabia, Senegal, Seychelles, Sierra Leone, Singapore, Somalia, South Africa, Sri Lanka, Sudan, Suariname, Swaziland, Syria, Tanzania, Thailand, Timor Leste, Togo, Tunisia, Uganda, United Arab Emirates, Uzbekistan, Venezuela, Vietnam, Yemen, and Zimbwawe). Selain itu hadir pula delegasi dari 13 negara dan 3 organisasi internasional sebagai peninjau, yaitu Argentina, Azerbaijan, Bosnia dan Herzegovina, Brazil, China, Kroasia, El Salvador, Kazakhstan, Mexico, Paraguay, Serbia, dan Tajikistan, serta Afro-Asian People’s Solidarity, Liga Arab, dan OKI. Sementara delegasi dari Australia, Austria, Belgia, Bulgaria, Kanada, Republik Czech, Finlandia, Perancis, Jerman, Swedia, Holy See, Hungaria, Italia, Jepang, Korea, Belanda, New Zealand, Rumania, Federasi Rusia, Slovenia, Spanyol, Switzerland, Turki, Inggris, dan Irlandia Utara, serta Komisi Eropa dan UNESCO, hadir sebagai tamu. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menlu RI , Dr. Marty M. Natalegawa,
No. 32 Tahun III
Special Non-Aligned Movement Ministerial Meeting Budaya Dialog Menciptakan Toleransi, Penghargaan dan Kerjasama Dok. Skiescrapercity
dan terdiri dari Dirjen IDP, Dubes RI untuk Manila, Direktur Sosbud OINB, serta beberapa unsur dari KBRI Manila, Direktorat Diplomasi Publik, dan Direktorat Sosbud OINB. Dalam sambutan pembukaannya, Prof. Dr. Mahmoud Hamdy Zakzouk, menyatakan bahwa kegiatan SNAMMM merupakan momentum yang tepat sebagai bentuk tindak lanjut dari peringatan International Year of the Rapprochement of Cultures di bawah naungan UNESCO, dimana salah satunya menekankan mengenai pentingnya dialog lintas agama. Dengan jumlah anggota sebanyak 118 negara, atau 2/3 jumlah negara anggota PBB, GNB bisa menjadi kekuatan tersendiri didalam mendorong kerjasama internasional dalam diskursus dialog lintas agama. Sementara itu, Dr. Ali Abd, Sekjen the World Conference for Religions of Peace (WCRP), Dr. William Vendley, sebagai pembicara yang mewakili masyarakat madani, menyampaikan bahwa ada tiga langkah penting yang perlu dilakukan dalam melawan ekstrimisme dan radikalisme yang dipicu dari adanya berbagai isu sosial maupun global, seperti misalnya peningkatan pengangguran, kemiskinan, perubahan iklim, dan isu-isu lainnya. Pertama, komunitas agama harus bersatu dan menjadi sebuah kekuatan multi religious cooperation baik di tingkat lokal, nasional, kawasan, maupun dunia yang siap dan mampu menjawab
berbagai tantangan. Kedua, pemerintah harus mulai membuka diri dan melakukan kerjasama dengan organisasi keagamaan/masyarakat madani. Ketiga, adanya tanggung jawab moral yang sama antara pemerintah dan masyarakat madani dalam menterjemahkan paradigma baru dan tantangan bersama dalam upaya menciptakan perdamaian dan keamanan. Dalam pesannya yang disampaikan melalui video, Sekjen PBB, Ban Ki-Moon, mendesak negara-negara anggota GNB untuk menggunakan pengalamannya guna mempromosikan dialog serta terus mendukung kegiatan Alliance of Civilization (AoC), disamping juga perlu melakukan hal lainnya yang lebih dari sekedar dialog sehingga pemahaman dan saling menghargai dapat menjadi landasan bagi masa depan dunia yang lebih baik. Menlu RI, Dr. Marty Natalegawa, dalam kesempatan tersebut menyampaikan berbagai pandangan Indonesia dalam kegiatan dialog lintas agama berdasarkan nilainilai yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa Indonesia serta capaian-capaian yang dilakukan oleh Pemri dalam diskursus tersebut. Menlu juga menegaskan bahwa kegiatan ini seyogyanya tidak berhenti dalam ruang sidang saja, namun perlu terus diupayakan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, baik tokoh agama, masyarakat madani,
maupun media. Saat ini dunia tengah menghadapi berbagai tantangan global, untuk itu dengan tekad yang kuat serta didasarkan atas kesamaan nilai yang dianut, diharapkan negara anggota GNB dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat internasional dalam membangun ‘global resilience’ untuk menghadapi berbagai tantangan di dunia. GNB seyogyanya terus melakukan berbagai upaya dan inisiatif kongkrit dalam mempromosikan dialog dan kerjasama untuk perdamaian dan pembangunan. Dari pengalaman Indonesia memprakarsai berbagai kegiatan dialog lintas agama di berbagai tingkatan, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi upaya global dalam mempromosikan keharmonisan dan perdamaian dunia. Secara umum, sebagian besar delegasi melihat bahwa konflik di dunia saat ini banyak diakibatkan oleh kurangnya rasa toleransi, berbagai aspek ketidak adilan politik, ekonomi, dan sosial yang dapat memicu timbulnya ekstrimisme dan radikalisme. Untuk itu dialog antar peradaban dan lintas agama dinilai penting guna meningkatkan people to people contact, menjembatani berbagai perbedaan melalui dialog dan menciptakan situasi yang kondusif bagi perdamaian, keamanan dan harmonisasi atas dasar saling pengertian, saling percaya, dan saling menghormati.[]
15 juni - 14 juli 2010
F
oku
s
7 Interfaith Dialogue
Dok. katedralbandung
Bukan Menawarkan Kata-kata, Tapi Teladan Nyata
Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Bandung
Interfaith Dialogue telah cukup lama diselenggarakan oleh Kemlu RI sebagai bagian dari “total diplomasi” yang bertujuan untuk memperkenalkan Indonesia sebagai model masyarakat majemuk yang menempatkan pluralitas agama sebagai peluang untuk memberdayakan ‘civil society’. Dalam dunia yang kuat bermentalitas sekularis dewasa ini, Interfaith Dialogue menjadi sebuah kesempatan untuk membuka mata pemerintah bangsa-bangsa, bahwa pengalaman akan Ketuhanan merupakan pengalaman pribadi yang dilembagakan dalam agamaagama. Tentunya ini memang berada dalam ruang private, ruang religiositas, namun sekaligus juga harus berdampak pada pembangunan ruang publik di atas dasar nilai-nilai moral dan etika global, yaitu hormat pada martabat pribadi manusia. Relasi antara ruang religiusitas dan ruang publik ini harus dijaga sedemikian rupa agar jangan sampai campur-aduk dan tumpangtindih karena kekuasaan dari masing-masing ruang tersebut. Namun demikian, memisahkan
15 juni - 14 juli 2010
ruang religiusitas dari ruang publik bisa membuat agama-agama menjadi tidak bermakna dalam kehidupan masyarakat. Indonesia telah memilih bukan sebagai negara agama (theocratic state), dan bukan pula sebagai negara sekularistik (secularistic state), tetapi sebagai negara berdasarkan Pancasila. Kalau pemahaman negara berdasarkan Pancasila dimengerti secara benar, maka Indonesia dapat ditawarkan sebagai suatu model bermasyarkat, berbangsa dan bernegara. Sebutan Interfaith Dialogue itu sendiri mengandaikan para peserta dialog telah mengalami pengalaman iman yang sungguh, pengalaman akan Tuhan sejati. Buah-buah dari pengalaman akan Tuhan itu adalah kerendahan hati, kedamaian, solidaritas, persaudaraan sejati, pengampunan dan rekonsiliasi, serta keutamaan-keutamaan pokok: iman, harapan dan kasih. Dengan demikian pada kesempatan Interfaith Dialogue ini kita tidak hanya memperkenalkan wajah Indonesia tetapi juga hati Indonesia yang tampak pada wajah Indonesia. Kata-kata yang kita sampaikan pada kesempatan dialog ini mengungkapkan pengalaman iman kita, dan selanjutnya katakata itu menjadi imperatif bagi kita untuk mengamalkan apa yang kita katakan itu di bumi Indonesia. Isi hati itulah yang menjadi bahan dalam Interfaith Dialogue tersebut. Dalam kesempatan dialog di Hungaria, saya memaparkan tentang “Indonesia – Hungary Interfaith Dialogue: Promoting
Cooperation among People of Different Faiths”, dan di Republik Czech tentang “Religious Freedom in Pluralistic Society: Indonesia Experience. Hungaria dan Republik Czech adalah bagian dari Eropa Timur yang dalam sejarahnya telah pernah mengalami kehidupan di bawah rezim totaliter komunis. Tahun-tahun setelah tumbangnya rezim tersebut, munculah musim semi kesadaran akan kebebasan beragama, namun di negara-negara tersebut sekaligus juga didapati sejumlah penduduk yang tidak mempunyai latar belakang keagamaan. Saya berharap hubungan bilateral Indonesia-Hungaria dan Indonesia-Czech bisa berlanjut untuk membangun persahabatan antar bangsa melalui berbagai program yang telah ada, ataupun dengan menciptakan programprogram baru. Program pertukaran mahasiswa merupakan salah satu rintisan yang sangat bagus untuk membangun persahabatan itu. Kehadiran Gong Perdamaian Dunia “World Peace Gong” di kota Godollo, Hungaria, juga sangat mengesankan, dan Gong itu berasal dari Indonesia. Dari Indonesia diwartakan perdamaian untuk seluruh dunia. Luar biasa bukan? Sementara itu dampak yang diharapkan dari pelaksanaan Interfaith Dialogue terhadap masyarakat Indonesia sendiri, sebenarnya cukup berat, karena yang kita tawarkan itu bukan kata-kata kita, tetapi teladan yang nyata. Orang mengatakan bahwa satu teladan nyata lebih berdaya seribu kata. Apa artinya kalau kita mengatakan bahwa Pancasila
satu teladan nyata lebih berdaya seribu kata. Apa artinya kalau kita mengatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara kita bagi kerukunan hidup beragama? Apa artinya kalau kita mengatakan ada kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945 di negeri kita?
adalah dasar negara kita bagi kerukunan hidup beragama? Apa artinya kalau kita mengatakan ada kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945 di negeri kita? Orang luar tidak akan dengan mudah mempercayai kata-kata kita, kalau kemudian ada berita tentang terjadinya konflik antar warga, entah dengan alasan perbedaan agama, suku, ras ataupun golongan. Orang tidak akan percaya dengan kata-kata indah yang kita ucapkan di forum-forum internasional, bila masih terdengar berita terjadinya terorisme di Indonesia, terjadinya kekerasan dari yang kuat terhadap yang lemah, dan peristiwa-peristiwa kejahatan lainnya yang melawan kemanusiaan, demi sebuah agama. Oleh karena itu untuk mendukung pelaksanaan Interfaith Dialogue ini, di dalam negeri sendiri kita perlu terus mengembangkan kegiatan silaturahmi antar pemeluk berbagai agama, tidak hanya pada saat-saat hari raya, tetapi juga pada hari-hari biasa; dan tidak hanya pada tingkat pemuka-pemuka agama, tetapi juga pada tingkat masyarakat akar rumput. Kita harus sungguh-sungguh melaksanakan Interfaith Dialogue ini, yang saya fahami sebagai pembicaraan mendalam untuk berbagai pengalaman rohani, pengalaman iman, pengalaman akan Allah, sumber kasih sejati, yang mempersatukan bangsa-bangsa yang berbeda-beda ini. Upaya lain yang perlu kita lakukan untuk mengembangkan Interfaith Dialogue, sebagaimana diketahui bahwa berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi dalam komunikasi, dunia ini menjadi seperti apa yang disebut dengan “global village”. Saya sangat diteguhkan oleh paparan dari seorang pembicara Czech, Prof. Dr. Tomas Halik, yang mengupayakan untuk mengubah globalisasi menjadi komunikasi, “to turn globalization into communication”. Komunikasi horisontal pada tingkat nasional, regional, maupun international, serta komunikasi vertikal di antara tingkat-tingkat tersebut dapat diibaratkan sebagai jejaring komunikasi yang membangun persaudaraan sejati antar bangsabangsa.[]
No. 32 Tahun III
F
oku
s
8 Interfaith Dialogue Dok. Diplomasi
Mengembalikan Citra Indonesia
Abdul Fatah
Direktut Pusat Kerukunan Antar Umat Beragama (PKUB)
Dari sisi trend internasional tentang keagamaan, ada dua wacana yang harus kita waspadai, yaitu gerakan radikalisasi agama dan liberalisasi agama. Walaupun hanya sebatas wacana, tetapi kalau kita tidak mewaspadainya dengan baik, maka hubungan antar umat beragama kedepan juga akan terpengaruh. Hal ini menjadi sangat riskan ketika bersinggungan dengan HAM, karena konsep HAM yang dipaksakan untuk masuk kedalam sebuah pemahaman nilai-nilai agama itu terkadang ada selisihnya. Selisih inilah yang harus kita fahami bersama, karena bagaimanapun juga pemahaman keagamaan itu adalah hak individu yang dijamin oleh pasal 28 jo pasal 29 ayat 2 UUD 1945, sepanjang itu memang merupakan hak privacy dan tidak masuk ke wilayah publik. Jadi kalau misalnya ingin radikal atau liberal, itu sah-sah saja asal jangan masuk ruang publik. Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara ruang publik dari masuknya pemahamanpemahaman yang bisa mengganggu ketertiban umum. Konsep-konsep itulah yang sekarang dikembangkan bersamasama oleh Kementerian Agama dan Kementerian Luar Negeri, terutama Direktorat Jenderal IDP, untuk kita
No. 32 Tahun III
tawarkan ke berbagai negara atau paling tidak disosialisasikan kepada negara-negara lain bahwa inilah konsep dasar kehidupan beragama di Indonesia. Jadi radikalisasi dan liberalisasi dipersilahkan, karena merupakan hak privacy masing-masing orang, tetapi ketika sudah memasuki ruang publik dan bisa mengganggu ketertiban umum, maka Pemerintah memiliki tanggungjawab untuk mengatasi hal ini, sehingga dengan demikian demokrasi kita dimungkinkan untuk tetap tumbuh. Karena itu yudicial review Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama yang menuduh Pemerintah mencampuri urusan keagamaan seseorang, itu tidak terbukti. Kami bisa menjelaskan bahwa keagamaan masing-masing umat beragama itu adalah hak individu yang dihormati sesuai dengan konstitusi pasal 28 dan 29 ayat 2. Tetapi ketika ada upaya-upaya pelecehan terhadap suatu agama tertentu yang bisa mengganggu ketertiban umum, yang disebabkan oleh ketersinggungan umat beragama yang dinodai itu, maka Pemerintah harus turuntangan, karena kebebasan dalam memahami sebuah agama bukan berarti kebebasan untuk mencela agama yang lain. Sekarang ini banyak negara, termasuk Amerika dan negara-negara Eropa Barat, mempertanyakan tentang UU Nomor: 1 Tahun 1965 tersebut. Tetapi setelah kita jelaskan, mereka bisa mengerti. Terkadang memang hal-hal seperti ini ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan lain, maka dalam hal ini kita harus pandai-pandai menjelaskan dengan catatan kita sendiri dan tidak terjebak dalam sebuah tendensi tertentu. Jadi konsep kehidupan beragama di Indonesia yang sekarang sudah kita sosialisasikan ke beberapa negara itu, landasannya adalah; pertama,
landasan kultural, dimana Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai ; kedua, landasan konstitusional ; dan ketiga, landasan substansial antar agama itu sendiri. Di tingkat multilateral, kita sudah tiga kali mengikuti Sidang Dewan HAM PBB mengenai nilainilai universal HAM. Kita sudah bisa menjelaskan, sehingga persoalanpersoalan ‘pelanggaran HAM’ yang berlatar belakang agama itu sudah
bisa kita selesaikan, termasuk kasus Ahmadiyah. Di tingkat kerjasama bilateral, yang paling nampak justeru di negara-negara Teluk dan Afrika Utara. Kalau di Indonesia, perbedaan mazhab itu tidak menjadi masalah, tetapi disana, antara Syiah dan Suni itu bermasalah. Dalam hal ini kita menawarkan bagaimana mencari jalan tengah bukan dalam konteks pemahaman keagamaannya, tetapi
Dirjen IDP, Andri Hadi, (enam dari kiri) didampingi Ketua PP. Muhammadiyah, Dr. Din Syamsuddin
15 juni - 14 juli 2010
F
oku
s
9 supaya keduanya sama-sama bisa berjalan. Seperti halnya ketika kita mencarikan jalan tengah dengan tidak mengutak-atik hal-hal yang berbeda, tetapi mengeksplorasi nilai-nilai universal yang sama. Kalau di Indonesia, konteksnya adalah antar agama, tetapi kalau di negara-negara Teluk dan Afrika Utara adalah internal Islam, yaitu antara Syiah dan Suni. Hal ini terjadi misalnya di Lebanon, Iran, Irak dan negara lainnya, Dalam hal ini kita memiliki tokoh yang bisa menjadi mediator seperti KH. Hasyim Muzadi yang sangat popular, baik untuk kalangan Syiah maupun Suni. Dengan negara-negara Eropa, yaitu dalam konteks ASEM,
kita sedang menyusun sebuah landasan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan formal. Jadi walaupun mereka negara sekuler, tetapi sekarang ini ternyata mereka juga menginginkan dan tertarik untuk bagaimana caranya memberikan pelajaran dan pendidikan agama di sekolah formal. Kesulitan mereka adalah tidak adanya landasan konstitusional, sebab memisahkan antara negara dengan agama. Kemungkinan formatnya juga berbeda dengan yang kita miliki, karena anak-anak usia sekolah di Indonesia sudah memiliki agama sebagaimana yang dipeluk oleh orang tuanya, walaupun sebetulnya Dok. Diplik
n, berpose dengan tokoh-tokoh lintas agama peserta Pnom Penh (1-4/4/08)
15 juni - 14 juli 2010
dia belum bisa menentukan pilihannya karena belum dewasa. Tetapi secara kultural anak-anak ini sudah dibentuk di keluarganya, sehingga agama mereka pastinya mengikuti agama orang tuanya, karena itu mudah bagi kita untuk memberikan pelajaran agama kepada mereka. Negara-negara di Eropa kesulitan untuk melakukan itu, karena banyak keluarga yang tidak beragama disana. Jadi sulit untuk menentukan pelajaran agama apa yang akan diberikan, walaupun bisa saja mereka ditawarkan berbagai macam agama yang ada dan kemudian dipersilahkan untuk memilih. Tetapi ini juga baru bisa dilakukan setelah anak-anak tersebut dewasa. Selanjutnya kita juga melakukan kerjasama di bidang keagamaan, yang ternyata cukup banyak Pastur-Pastur Paroki di Eropa Timur yang berasal dari Flores. Ketika berkunjung kesana, kita ajak mereka bertemu dan berembug bagaimana menyusun strategi interfaith dialogue yang tepat. Sebagai Pastur mereka memiliki misi keagamaan, dan sebagai warga negara Indonesia mereka juga memiliki misi budaya untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat sekitar bahwa bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan cinta damai. Manfaat paling besar yang diperoleh dari penyelenggaraan interfaith dialogue adalah mengembalikan citra Indonesia. Ketika situasi konflik di awalawal 1998 hingga 2000, citra Indonesia ketika itu seolah-olah sebagai bangsa barbar, sebab media internasional yang merilis peristiwa-peristiwa tersebut, sangat memojokkan citra Indonesia. Dalam hal ini ada keberpihakan informasi, dimana secara emosional mereka pastinya tidak berpihak kepada Islam, sehingga citra Islam menjadi agama barbar, teroris, dan radikal. Pelan-pelan kita juga akan memisahkan antara terorisme dan agama, karena agama adalah sebuah wilayah keyakinan dan kebenaran mutlak seseorang sebagai individu, sementara terorisme adalah persoalan kriminal, dan ini harus kita pilah.
Kebetulan dalam hal ini Islam disalahgunakan, dibelokkan ajaranajarannya untuk mengindoktrinasi seseorang, dan bukan sebagai ajaran Islam secara utuh. Jadi ini sama halnya dengan kasus-kasus kriminal lain yang dilakukan oleh seseorang dengan membelokkan ajaran agama, dan itu tidak hanya terjadi di Islam, melainkan juga agama-agama lainnya. Misalnya kasus Anand Khrisna yang membelokkan ajaran-ajaran Hindu dan Budha sehingga terjadi kasus pelecehan seksual, jadi itu sifatnya kasuistik. Karena itu suatu saat nanti, kita dan terutama para pemuka agama Islam, harus bisa menyusun sebuah konsep Islam yang moderat yang bisa menjadikan kedamaian menjadi ‘rahmatan lil alamin’. Itu tidak bisa kita harapkan dari konsepsi Islam yang radikal dan juga yang liberal. Inilah yang sedang kita garap untuk membangun sebuah komunitas ke-Islam-an yang bisa mengimplementasikan dan mewujudkan ‘rahmatan lil alamin’, pada tahap berikutnya. Tahap sekarang adalah bagaimana kita memberdayakan umat beragama dan lembagalembaga keagamaan didalam negeri lalu mendorong implementasi nilai-nilai universal yang diajarkan oleh agama. Di luar negeri, kita menjelaskan bahwa Indonesia yang sebenarnya itu seperti apa, Indonesia itu bukan hanya Poso masa lalu tetapi juga masa sekarang yang sudah bagus. Kami baru saja membuat lembaga pendidikan plural di Poso yang ternyata mendapat dukungan luar biasa. Itulah kira-kira yang harus kita kerjakan sekarang ini, sementara dalam konteks hubungan multilateral maupun bilateral, yang memiliki kewenangan adalah Kementerian Luar Negeri, kami hanya faham substansinya. Karena itu kami selalu bekerjasama didalam mengatur hal ini. Demikian juga antara Kementerian Agama dengan Kementerian Dalam Negeri, dimana wilayah agama adalah milik kami, tetapi ketika berupa pembinaan politik dalam negeri, maka itu adalah kewenangannya Kementarian Dalam Negeri.[]
No. 32 Tahun III
F
oku
s
10
No. 32 Tahun III
Gagasan Interfaith Dialogue Tidak Terlepas dari Peran Indonesia
Dok. Diplomasi
Interfaith yang dikembangkan oleh Dr. N. Hasan Wirajuda ketika beliau masih menjadi Menlu, sebetulnya boleh dibilang masih baru, dan memiliki kaitan erat dengan sentimen global yang dipicu oleh peristiwa 11/09 pada tahun 2001, dimana peta politik global memang menjadi berubah dan seakan-akan membenarkan tesis Hutington mengenai benturan peradaban antara Barat dengan Islam. Peristiwa 11/09 itu menjadi momentum baru bagi orang untuk mengembangkan atau membenarkan pandangan-pandangan Hutington, terlepas dari setuju atau tidak setuju. Interfaith Dialogue yang dirancang dan dikembangkan oleh Dr. N. Hasan Wirajuda dan kemudian diteruskan oleh Menlu Marty Natalegawa sekarang ini, merupakan pilihan yang tepat karena memang hanya dengan cara itu kita bisa terhindar dari apa yang sudah dipikirkan oleh Hutington bahwa clash of civilization itu bisa saja tetap terjadi. Dialog antar umat bergama dimaksudkan untuk memberikan pandangan kepada masyarakat luas, bahwa hubungan antar umat beragama itu tidak harus buruk, saling curiga. Apa yang dirancang oleh Kemlu segera mendapat dukungan dari banyak negara, seperti Australia, New Zealand, dan negara-negara Eropa, bahkan ASEM juga melihat interfaith dialogue ini sebagai sebuah agenda penting. Dalam beberapa kali pertemuan, ASEM juga membahas soal interfaith dialogue itu dan Indonesia dianggap sebagai salah satu pionirnya. Sekarang ini sudah banyak negaranegara yang mengakui bahwa gagasan mengenai interfaith dialogue itu tidak dapat dilepaskan dari peran Indonesia, dan ini penting. Interfaith dialogue itu sekaligus merupakan jawaban terhadap peristiwa 11/09 dan juga upaya untuk menangkal radikalisme agama di satu pihak dan juga mengembangkan pikiran-pikiran moderat di kalangan golongan-golongan agama. Jadi banyak sekali rangkaian tingkatantingkatan kepentingan yang ada didalam program interfaith dialogue, bisa sebagai respon terhadap peristiwa 11/09, tapi untuk hal yang lebih luas, juga sekaligus menangkal radikalisme dan membangun kalangan-kalangan umat beragama dan pimpinan-pimpinan umat beragama untuk mengembangkap
Prof. Bachtiar Effendi
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan yang moderat. Maksud moderat disini adalah yang tidak merujuk kepada kekerasan, jadi dalam konteks itu maka makna strategis interfaith dialogue itu menjadi sangat signifikan. Bahwa radikalisme yang muncul dan dalam konteks Indonesia berkembang kembali sejalan dengan masa-masa transisi proses reformasi dan demokratisasi, dimana orang memahaminya sebagai kebebasan untuk melakukan apa saja, jadi radikalisme itu muncul dari situ. Jadi harus diakui bahwa pada masa-masa transisi , Pemerintah juga tidak cukup kuat. Sehingga kalau kita lihat dalam perspektif hubungan antara negara dengan masyarakat, pada saat itu negara berada pada posisi bawah dan masyarakat pada posisi atas, sehingga kadang-kadang Pemerintah atau negara tidak mampu memanage hal-hal yang berkembang di masyarakat. Dinamika yang berkembang di masyarakat adalah termasuk radikalisme itu sendiri, dimana negara tidak mampu berperan sebagai bufferzone untuk menjembatani antar kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat, dimana antara yang satu dengan yang lainnya itu bukan hanya berbeda, tetapi juga berlawanan.
Kita lihat seperti kasus-kasus di Poso, Ambon dan juga di Jawa sendiri pada masa-masa transisi dulu, itu membuktikan naiknya peran masyarakat vis a vis negara. Jadi interfaith itu sebetulnya merupakan salah satu alternatif dan solusi terhadap mengentalnya radikalisme itu. Walaupun kalau kita lihat sampai sekarang ini, radikalisme itu tidak sama sekali hilang, tetapi sekarang ini trendnya sudah bukan radikalisme lagi. Sedikit demi sedikit radikalisme yang melibatkan tindakan kekerasan itu mulai berkurang, dan negara mulai menjadi semakin asertif karena ternyata dengan hiruk-pikuk politik seperti itu, negara tetap bisa survive dan kurang lebih bisa memposisikan dirinya sebagaimana mestinya, sehingga radikalisme berkurang dan meskipun mungkin tidak hilang sama sekali, tetapi yang jelas bahwa radikalisme itu tidak bertambah. Indikasinya adalah bahwa sekarang kita lihat suasananya sangat berbeda dengan ketika tahun 1998 hingga awal-awal 2000. Stabilitas politik, ketertiban dan keamanan lebih tertata dibanding masa-masa itu, dan itu pertanda bahwa we are to a create radikalisme bisa dibendung. Terorisme tentu masih ada tetapi pengeboman dan tindakan violence itu tidak sesemarak pada awal tahun-tahun 2000-an dulu. Jadi interfaith dialogue yang lebih menekankan kepada perdamaian, moderasi dan sebagainya itu sepertinya adalah upaya untuk membendung radikalisme itu. Mungkin akan ada saja orang yang berpandangan bahwa negaranegara di kawasan Timur Tengah itu bersifat radikal seperti itu, tetapi kita tidak bisa kemudian melakukan generalisasi bahwa negara-negara di kawasan Timur Tengah itu bersifat radikal. Radikalisme itu memang ada didalam wilayah-wilayah tertentu, dan sampai tingkat tertentu radikalisme di Timur Tengah itu justeru justified, misalnya Intifadah, gerakangerakan atau upaya-upaya rakyat Palestina untuk memperjuangkan
kemerdekaannya. Oleh karena berbagai macam dialog yang terus-menerus dilakukan tetapi ternyata tidak juga menghasilkan hal-hal yang sifatnya signifikan, maka justeru itulah yang kemudian memicu munculnya Hamas yang radikal dan lain-lainnya. Sampai tingkat tertentu, orang tidak bisa mengatakan kepada Hamas Palestina untuk jangan radikal, sementara mereka sendiri menghadapi Israel yang brutal seperti yang masih bisa kita saksikan hari-hari ini dengan peristiwa penyerangan dan penyergapan terhadap misi kemanusiaan Freedom Flotilla. Terhadap orang yang tidak bersenjatapun, Israel bersedia dan tega menggunakan kekerasan senjata, apalagi terhadap mereka yang menggunakan senjata. Jadi sampai tingkat tertentu memang ada radikalisme yang justified di Timur Tengah, mungkin di Mesir dan beberapa tempat lainnya juga masih ada, akan tetapi tidak semuanya seperti itu. Ada beberapa kawasan di Timur Tengah dimana radikalisme tidak menonjol dan semangat untuk mengembangkan Islam yang moderat dan sebagainya itu juga ada disana. Jadi interfaith dialogue tidak bisa kemudian kita tafsirkan sebagai upaya untuk mengeliminasi dan meminggirkan peran-peran Timur Tengah. Kalau kita ingin ikut menyelesaikan persoalan radikalisme dan violence yang ada di Timur Tengah itu, tidak bisa tidak, Timur Tengah juga harus di ikutsertakan dalam interfaith dialogue itu. Beberapa waktu yang lalu, saya juga sudah mengusulkan kepada Dirjen IDP Kemlu RI untuk juga melibatkan sejumlah negara di Timur Tengah. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Kemlu memang selalu berada di depan dalam konteks interfaith dialogue di Indonesia, tetapi mereka tidak bekerja sendiri karena selalu melibatkan kelompok-kelompok agama yang ada seperti NU, Muhammadiyah, PGI, Walubi, PHBI dan sebagainya. Jadi semakin banyak pelaku-pelaku yang mempunyai perhatian yang sebanding mengenai interfaith dialogue, hal itu akan semakin baik.
15 juni - 14 juli 2010
F
oku
s
11 Interfaith Dialogue Kemlu RI telah melakukan langkah-langkah sangat progresif menyangkut interfaith itu, artinya banyak prakarsa-prakarsa menyangkut interfaith dialogue yang menurut saya sudah dilakukan oleh Kemlu melalui tiga track. Track pertama, adalah melalui peran serta aktif Kemlu dalam dialog-dialog interfaith yang diselenggarakan pada level negara, misalnya ASEM interfaith dialogue, dialog di tingkat regional Asia Pasifik dan juga beberapa pertemuan lain dimana Kemlu cukup aktif dalam konteks itu. Track kedua, yaitu upayaupaya yang dilakukan oleh Kemlu yang sifatnya memfasilitasi para tokoh agama untuk bisa ikut serta dalam forum-forum internasional. Meskipun ini merupakan track pertama, tetapi kebanyakan yang dikirim itu adalah aktor-aktor yang memang terlibat langsung dalam kegiatan interfaith. Kemudian track yang ketiga, adalah memberikan dukungan terhadap kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga interfaith di Indonesia, misalnya dalam bentuk memberikan dukungan ketika harus mengundang pembicara dari luar negeri atau peserta dari luar negeri. Hal ini merupakan salah satu bentuk yang sangat positif dalam mendukung kegiatan interfaith di Indonesia maupun pada level internasional. Menurut penglihatan kami selama ini, dalam hal interfaith itu Indonesia memang sudah sangat leading. Sementara bagi negaranegara lain interfaith dialogue itu masih menjadi persoalan yang serius, kita sudah beyond interfaith dialogue yaitu sudah pada level interfaith cooperation dan menurut saya ini bisa menjadi salah satu nilai positif yang bisa dipromosikan oleh Kemlu kepada masyarakat internasional. Sebenarnya selain kegiatan yang dilakukan oleh Kemlu, ada juga lembaga-lembaga yang
15 juni - 14 juli 2010
Dok. Diplomasi
Bagian dari Budaya Kita
memang secara formal berhimpun, misalnya FKUB. Kemudian ada juga yang bersifat non-government misalnya Interreligious Council of Indonesia yang baru saja dibentuk dan juga melibatkan berbagai kelompok agama. Disamping itu ada juga kelompok-kelompok yang bersifat non-permanen tetapi secara periodik mereka melakukan pertemuan-pertemuan dan kegiatan-kegiatan bersama lintas iman. Misalnya kelompok-kelompok yang terhimpun dalam Humanitarian Forum Indonesia, yang sebagian besar merupakan kelompok organisasi kemanusiaan berbasis agama dan non-agama yang melakukan kerjasama-kerjasama kemanusiaan di lapis bawah. Upaya-upaya seperti ini, memiliki dampak yang cukup positif untuk menjadi salah satu mediator didalam membangun kerukunan antar umat beragama didalam negeri. Untuk intern umat beragama, upaya-upaya dialog itu juga sudah dilakukan selama ini, terutama dengan mereka yang disebut sebagai kelompok radikal. Mereka itu sebenarnya kecil tetapi outspoken, dan oleh karena itu maka mendapatkan coverage media yang cukup besar. Selama ini kami memang mencoba untuk memberikan ruang dialog yang seluas-luasnya
Abdul Mu’ti
Direktur Center for Dialogue and Cooperation among Civilization
kepada seluruh kelompok, tidak hanya kelompok agama tetapi juga kelompok-kelompok politik, kelompok yang memiliki minat terhadap kajian-kajian relasi atau dialog antar peradaban dan agama. Dalam hal ini CDCC mengembangkan upaya-upaya yang bersifat kemitraan dengan berbagai pihak yang didasari oleh semangat untuk saling memahami, dan toleransi. Dalam beberapa hal kami juga sudah mengembangkan tidak hanya hal-hal yang bersifat dialog, tetapi juga yang bersifat kerjasama. Barubaru ini misalnya, kami baru saja melaunching program kerjasama antar iman untuk keadilan dan pengentasan kemiskinan. Saya kira ini adalah langkah maju yang kami lakukan untuk tidak semata-mata dialog, dan program yang kami lakukan ini tidak hanya dilakukan di tingkat elit, tetapi juga mencoba menggali dan mempublikasikan best practices yang sudah diselenggarakan oleh masyarakat akar rumput pada bidang-bidang yang terkait. Karena setelah kami mencoba melakukan observasi dan penggalian informasi lebih luas kepada masyarakat, ternyata
bentuk-bentuk kerjasama antar iman didalam masyarakat itu sudah berkembang luar biasa, namun belum mendapatkan perhatian publik secara luas karena minimnya sosialisasi dan publikasi. Selanjutnya kami juga berupaya untuk mempromote lesson learn yang sudah dikembangkan itu untuk juga dikembangkan oleh kelompokkelompok lain, dan utamanya adalah kelompok-kelompok di level grass root. Mengenai anggota delegasi Indonesia dalam interfaith dialogue, menurut saya itu terkait dengan tiga hal. Pertama, adalah representasi yang bersangkutan dari sisi kegiatan dan lembaga yang mereka wakili, jadi kalau seandainya lembaganya sangat kecil dan tidak representatif maka tidak harus menjadi anggota delegasi. Kedua, adalah kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang bersangkutan. Menurut saya Kemlu sudah melakukan langkah-langkah yang sangat bijak dengan misalnya mengajak person tertentu yang bukan dari organisasi besar, tetapi memiliki program kegiatan yang menarik untuk dipromosikan dan dijadikan sebagai salah satu selling point bagi Indonesia. Ketiga, adalah persoalan menyangkut kemampuan komunikasi, karena hampir sebagian besar forum internasional itu tidak ada interpreter. Ini juga menjadi persoalan, karena kami menyadari bahwa kemampuan berkomunikasi, khususnya dalam bahasa Inggris, ini sangat terbatas diantara para tokoh agama itu, sehingga kemudian ada kesan bahwa yang menjadi delegasi Indonesia itu hanya orang-orang itu saja. Tetapi menurut saya sebenarnya selama ini Kemlu sudah berupaya dan bahkan sangat berani, misalnya dengan menampilkan anak-anak muda untuk tampil dalam RI-AS interfaith cooperation, dimana pihak AS menampilkan delegasi yang sudah senior, sementara Indonesia menampilkan delegasi yang masih muda-muda, yaitu para pemimpin pada level kepemudaan. Menurut saya ini sebuah langkah berani, yaitu bagaimana Kemlu berusaha untuk melibatkan kelompokkelompok muda guna mencitrakan keaneka-ragaman secara riel.
No. 32 Tahun III
F
oku
s
12
No. 32 Tahun III
ICIS, Islam Moderat dan Interfaith Dialogue KH. Hasyim Muzadi
Sekjen International Conference of Islamic Scholars
Ini
menurut orang-orang barat dianggap organisasi aneh. Sebab yang mereka kenal dalam Islam hanya antara sekuler dengan ekstrim. Karena itu PBNU di undang ke berbagai negara. Kita sampaikan pandangan NU mengenai konsep Islam moderat kepada dunia. Kemudian saya sampaikan kepada Menlu waktu itu pak Hasan Wirajuda agar moderasi pemikiran Islam dan aspek kebangsaan Indonesia harus dipromosikan keluar negeri, sehingga kita bisa meng-Indonesia-kan luar negeri bukan me-luar negeri-kan Indonesia. Dok. Diplomasi
Perang Melawan Terorisme sebenarnya adalah perang antara Amerika dengan negara-negara diberbagai kawasan utamanya timur tengah. Tetapi akibat dari selanjutnya adalah menyebarnya terorisme keseluruh dunia termasuk ke Indonesia. Bersamaan dengan itu indonesia sedang membuka diri seluas-luasnya dengan reformasi, sehingga seluruh pengaruh masuk ke Indonesia tanpa bisa di bendung. Termasuk pengaruh kekerasan, konflik dan pengaruh terorisme. Akhirnya terjadilah berbagai macam peristiwa tragis misalnya, di Bali, Poso, Maluku dan diberbagai daerah di tanah Air. Dengan peristiwa tersebut, maka NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dan didunia mengambil peran bersama-sama dengan komponen lain dalam pemerintah, hal ini kepolisian dan seluruh aparat terkait untuk meredamkan konflik-konflik didalam negeri. Sementara dalam konteks luar negeri NU bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri mengemban tugas untuk menjelaskan kepada dunia luar tentang terorisme di Indonesia. Modal yang dimiliki NU untuk meredam terorisme adalah prinsip ajaran moderat (Tawashut) dimana terorisme tidak dianggap bagian dari agama. Tapi bagian yang merusak agama. Upaya lain yang dilakukan NU untuk meredam konflik berdimensi agama adalah koordinasi pembentukan kelompokkelompok lintas agama. Kelompokkelompok lintas agama ini begitu kuatnya sehingga dapat menekan kekacauan-kekacauan dan konflik yang berkarakter agama. Mengingat terorisme melalui sel dan jaringannya menyebarkan doktrin teror yang dapat meracuni masyarakat maka NU melakukan pembentukan opini anti teror dengan berkeliling ke seluruh masyarakat dan warga NU. Langkah-langkah ini ternyata menghasilkan sesuatu yang berarti di Indonesia dan diperhatikan oleh dunia luar. Ketika langkahlangkah ini diperhatikan oleh dunia luar, mereka bertanya bahwa ada organisasi Islam, besar dan moderat bahkan mampu menekan terorisme.
Penyelengaraan ICIS Pada tahun 2003 mulai terpikir bagaimana kalau NU mengundang ulama dan pemikir-pemikir dari luar negeri untuk datang ke Indonesia. pertama untuk menyamakan persepsi, kedua, untuk bersama-sama menekan konflik global. Forum yang dibentuk untuk mengundang ulama dan tokoh-tokoh Islam dari berbagai negara ini namanya International Conference of Islamic Scholars yang disingkat ICIS. 24 Pebruari 2004 diadakan konferensi ICIS yang pertama. Saya mengambil inisiatif didukung oleh Menlu dan dilegalisir oleh Presiden mengundang ulama dan pemikir berpengaruh di dunia Islam untuk menghadiri konferensi ICIS. Pada pertemuan pertama sidang dipimpin oleh Syeikh Wahbah Zuhaili (dari Syria) dan Syeikh Ali Taskiri dari Iran mengambil keputusan yang sangat pokok, yaitu menyetujui Jakarta Declaration (Deklarasi Jakarta) yang intinya adalah perlunya sikap moderat dan toleransi dalam Islam. Selain itu juga diambil keputusan mengenai hubungan antara Islam dengan lintas agama, hubungan antara agama dengan negara melalui pola hubungan yang tidak sekuler dan tidak terjebak dalam negara agama. Indonesia termasuk negara bukan sekuler dan bukan negara agama. Persepsi ini disahkan dalam sidang pleno yang dihadiri oleh 17 negara dengan 67 personil Ulama. Prinsip pemikiran ICIS adalah penggiatan pemikiran Moderat dan kebangsaan.Setelah ICIS meluncur ke dunia luar ICIS dapat bersaing dalam tanda petik dengan kelompok-kelompok yang menghimpit moderasi yakni kelompok liberal dan kelompok ekstrim. Moderasi yang dimaksud adalah keseimbangan antara keimanan dan toleransi, sementara liberal, toleransi mereduksikan iman, sementara yang ekstrim tidak memberi ruang toleransi. Kita berada di garis moderat dan diterima oleh Barat maupun Timur. Di timur bisa diterima karena sesungguhnya mereka memahami bahwa moderasi itu benar. Tetapi karena kondisi negara ketika itu, maka moderasi dilakukan dengan cara yang berbeda dengan yang ada di Indonesia. Sementara di barat ICIS dengan moderasinya diterima karena di eropa atau Amerika sudah terbiasa dengan liberal sehingga moderesi punya daya tarik. Di dunia internasional posisi ICIS sejajar dengan WCRP, OKI, Liga Arab dan lainnya. Para ulama sudah sepakat untuk memperkuat ICIS sebagai saluran jenjang pengkaderan pemikiran-pemikiran generasi muda untuk berpikir global. Disamping itu para ulama menginginkan agar pemikiran ahlusunnah waljamaah yang merumuskan moderasi dapat dipertegas
dalam forum ICIS melalui dua aspek. Pertama merumuskan moderasi dan pencerahan. Kedua merumuskan bagaimana cara membawanya dalam gerakan komperehenship yang tetap berada dalam kultur ke-Indonesiaan tetapi juga bisa diterima oleh orang lain. Kedepan ICIS akan mengembangkan kajian atau studi, sehingga ICIS dapat mempelajari kasus-kasus global dengan berbbagai perspektifnya. Hal ini sejalan dan sekaligus mendukung program interfaith Dialogue yang dilaksanakan Kemlu RI sebagai bagian dari total diplomasi Indonesia. Interfaith Dialogue Membagi Pengalaman Indonesia Berkaitan dengan Interfaith Dialogue baik langsung maupun tidak langsung sepanjang lima tahun terakhir Diplomasi Indonesia mendorong dilakukannya dialog antar agama . Kementerian Luar Negeri menggandeng dua organisasi terbesar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah untuk meyuarakan Islam Moderat yang menjunjung toleransi dan harmoni. Pada desember 2004 untuk yang pertama kali dilakukan Asia Pacific Conference : Interfaith Dialogue and Cooperation. Kemudian pada tahun 2005 juga dilakukan Interfaith Dialogue antara negara-negara Asia dan Eropa. Dalam pelakasanaan Interfaith Dialogue Indonesia telah diakui sebagai penggagas dialog lintas agama baik pada tataran bilateral maupun multilateral. Melalui Interfaith terbangun pemahaman yang baik tentang Islam dan Indonesia. Sehingga saat ini telah banyak pengakuan tentang Islam Indonesia yang moderat dan peran Indonesia yang aktif dalam memajukan dialog. Pada bulan April 2009, saya dan tokoh agama dari Indonesia di undang oleh SANT EGIDIO organisasi dibawah naungan Fatikan untuk memberikan paparan dalam seminar sehari yang judulnya sangat menarik : “ Indonesia Sebagai Model Hubungan Antar Agama Yang Harmonis”. Puja-puji tentang Indonesia dilakukan oleh Menlu Itali dan tokoh agama dari kalangan Vatikan.[]
15 juni - 14 juli 2010
F
oku
s
13 13 Interfaith Dialogue
Jendela Untuk Menampakkan Keberhasilan Indonesia dalam Membangun Kerukunan untuk melihat kenyataan Bagaimanapun masalah itu dan Toleransi Indonesia disini dan kita juga tidak perlu masih akan terus ada, tetapi itu
Dok. Diplomasi
Franz Magnis Suseno
Dosen Pascasarjana STF Driyarkara
Interfaith dialogue yang dilakukan oleh Kemlu RI itu tidak terlepas dari suatu kerangka internasional, jadi tidak hanya dilakukan di dalam Indonesia sendiri, dimana dialog itu sudah berjalan dan sangat penting. Terdapat dua arti dalam dialog itu; pertama, tentu saja bahwa dialog antar umat beragama masih sangat perlu, baik di tingkat nasional maupun internasional, karena meskipun tidak secara resmi, tetapi didalam kenyataan dan juga dalam pemberitaan media, perbedaan agama itu masih menjadi salah satu unsur yang menimbulkan kecurigaan, prasangka, dan hambatan komunikasi. Sangat perlu bagi agama-agama untuk bicara satu sama lain dan juga memiliki wawasan internasional, jadi bukan hanya semacam opini dalam satu negara. Kalau misalnya Kristen dan Muslim bicara, maka itu bukan hanya masalah Indonesia, karena Kristen dan Muslim itu ada di seluruh dunia, oleh karena itu sangat baik sekali kalau Kementerian Luar Negeri RI mensponsori interfaith dialogue ini. Kedua, kita ingin memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia yang sangat majemuk secara agama, yang kadang-kadang juga mengalami ketegangan, konflik, dan masalah, ternyata sudah berhasil membangun hubungan yang damai dan saling percaya melalui dialog antar umat beragama. Oleh karena itu bolehboleh saja kita mengajak negaranegara lain untuk melihat bagaimana Indonesia melakukannya, barangkali mereka bisa memperoleh inspirasi
15 juni - 14 juli 2010
dari Indonesia dan sebaliknya bisa saja Indonesia belajar sesuatu dari mereka. Menurut saya sangat penting, terutama bagi pihak non-Indonesia, untuk melibatkan orang-orang agama di dalam interfaith dialogue ini. Jadi tidak hanya orang-orang ahli, apalagi hanya orang-orang ahli Indonesia, karena memang sangat bagus kalau beberapa tokoh agama dari negara dimana dialog itu dilakukan di ikutsertakan. Waktu tahun lalu saya mengikuti dialog di Rusia, saat itu Uskup dan Imam juga ikut serta, dan saya kira itu sangat baik meskipun bukan Uskup Vilarion yang hadir, melainkan wakilnya, tetapi setiap kelompok agama ada wakilnya, dan kami sempat juga berkunjung menemui Uskup Vilarion. Sebetulnya waktu pelaksanaan interfaith dialogue di Rusia itu masih agak kurang, karenanya tidak ada waktu bagi kami untuk melihat gereja ortodoks, dimana sebetulnya akan sangat baik sekali kalau kami dapat melihat tempat ibadah agama mayoritas disana. Pada prinsipnya, dialog-dialog itu sudah berjalan dengan baik, dimana kalau di Indonesia selalu diikutsertakan tokoh-tokoh agama. Dan mengenai komposisi delegasi Indonesia selama ini, cukup representatif, karena setiap pribadipribadi yang diundang dilihat dari masing-masing kelompok yang hendak di ikutsertakan dan jelas tidak bisa terlalu banyak, apalagi dalam hal ini kita juga perlu memilih orang-orang yang lancar berbahasa Inggris sebagai anggota delegasi, agar mereka mampu mengungkapkan diri dan pandangannya, karena tidak akan ada gunanya orang yang baik dan penting di Indonesia kalau dia tidak mampu menyampaikan hal itu. Interfaith Dalogue akan menjadi lebih baik lagi jika dialog-dialog internasional itu ditindaklanjuti oleh Kemlu RI, dengan mengundang tokoh-tokoh luar negeri ke
menyembunyikan bahwa kita pernah punya konflik, misalnya saja konflik yang sangat gawat di Maluku dan Poso. Itu sebenarnya juga mempunyai segi positif, bukan hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga orang lain, karena mereka bisa belajar bagaimana hal itu diatasi. Saya sendiri sangat terkesan, betapa situasi antara Islam dan Kristen di Ambon misalnya, sekarang ini menjadi baik. Ini bisa jadi adalah sesuatu masalah yang dihadapi oleh negara lain juga, misalnya saja di Nigeria, dimana masalah komunal seperti itu masih belum bisa diatasi sama sekali. Jadi segala keburukan konflik-konflik yang terjadi di Indonesia itu juga harus dilihat sebagai segi positif masyarakat Indonesia. Memang masih ada keluhan dari pihak Kristiani bahwa sulit untuk membangun gereja di beberapa daerah dan sebagainya. Tetapi di lain pihak tentunya juga bisa diperlihatkan bahwa secara garis besar, kebebasan beragama di Indonesia sangat besar. Dan itu juga baik untuk dilihat orang luar, bahwa semuanya itu harus dilihat sebagaimana mestinya. Segala kekurangan dan masalah yang masih ada itu harus dilihat secara proporsional, dan saya sendiri misalnya, akan memberikan nilai 9 (pada skala 10) kepada Indonesia dalam hal situasi negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, disamping ada Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan kepercayaan lainnya yang juga kuat. Yang penting bagi Indonesia adalah memperlihatkan diri sebagai negara yang sebetulnya cukup mantap dan normal. Indonesia itu bukan sebuah negara yang sangat istimewa, melainkan sebagai negara yang normal-normal saja, kita adalah negara yang stabil dan memiliki berbagai permasalahan, tetapi permasalahan-permasalahan itu kurang lebih sudah berada dalam bingkai tertentu dan kita memiliki mekanisme-mekanisme untuk mengatasinya.
bisa dihindari dan katakanlah tidak lagi mengancam demokrasi kita . Pancasila juga bisa dikatakan cukup kuat dan relevan sebagai orientasi kita, dan memperlihatkan hal tersebut kepada dunia, menurut saya itu adalah suatu tugas yang penting. Saya membayangkan kalau bisa interfaith dialogue itu juga diadakan di negara-negara mayoritas Islam lainnya, yang tentunya akan sangat bermanfaat, dan tentunya juga di Eropa, dimana kita harus selalu melihat pandangan populer apa yang harus dihadapi, karena di Eropa itu banyak orang yang belum tahu tentang Indonesia. Sekarang ini sudah tidak banyak berita tentang Indonesia, tetapi dulu banyak sekali berita yang negatif sehingga orang mempunyai pandangan yang sama sekali tidak tepat tentang Indonesia, misalnya sebagai negara teroris. Di Indonesia memang ada terorisme, tetapi kemungkinan orang mati karena terorisme itu jauh lebih kecil dari kemungkinan mati di jalan akibat kecelakaan lalu lintas. Jadi memperlihatkan hal itu di Eropa juga penting disamping juga memperlihatkan bahwa para pemeluk agama Islam di Indonesia adalah orang-orang yang biasa bertanggung jawab, cinta damai, dan demokratis. Dan justeru dengan interfaith dialogue itulah kita bisa memperlihatkan keakraban antara orang-orang Muslim dan non-Muslim dalam delegasi kita, dan karenanya itu menjadi sebuah tugas yang penting bagi kita. Di negara-negara lain, barangkali kita masih perlu untuk memperlihatkan bahwa interfaith dialogue itu bisa dilaksanakan dan mempunyai manfaat bagi negaranegara yang belum melaksanakan itu, padahal mungkin mereka perlu. Jadi tidak perlu takut kalau mayoritas dan minoritas saling berbicara, karena biasanya itu akan membantu keduanya agar tidak merasa terancam. Maka dengan demikian saya kira saya mengharapkan agar dialog-dialog itu diteruskan oleh Kemlu RI. []
No. 32 Tahun III
F
oku
s
14
Interfaith Dialogue Kegiatan interfaith dialogue sebagai second track diplomacy, dilaksanakan sebagai akibat bermacam-macam peristiwa kerusuhan yang bernuansa agama selama sekian lama, terutama puncaknya itu pada tahun 19962004, citra Indonesia di luar negeri itu katakanlah menjadi buruk, yaitu sebagai negara yang sering berkonflik dan yang berkonflik itu antar umat beragama. Di negeri ini juga banyak terorisme yang seringkali juga dikaitkan dengan agama tertentu, dimana sebenarnya tidak sesederhana itu masalahnya. Kita tidak bisa menkonotasikan atau mengafiliasikan terorisme dengan satu kelompok agama atau keyakinan tertentu, karena semua agama juga bisa saja memunculkan terorisme. Begitulah yang saya katakan di salah satu pertemuan di Hungaria, saya sanggah anggapan bahwa teroris di Indonesia dikenal sering datang dari satu agama tertentu. Pada pokoknya, kegiatan interfaith dialogue ini mencoba untuk memulihkan citra Indonesia. Sejauh yang saya pahami kegiatankegiatan yang diprakarsai oleh Kemlu ini bermacam-macam, dan sudah berlangsung sejak 2004. Semua kegiatan ini diprakarsai oleh Kemlu dengan melibatkan tokohtokoh agama yang ada di Indonesia untuk membuktikan bahwa Indonesia tidak seburuk itu, itu dari segi negatifnya. Dari segi positifnya, Indonesia ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara yang masih ditandai dan sangat menjunjung tinggi kerukunan, keharmonisan, dan kerjasama yang baik. Itulah yang kami coba sampaikan dan itulah permintaan dari Kemlu. Kalau Kemlu mengundang tokoh-tokoh agama untuk terlibat dalam interfaith dialogue ini, biasanya yang paling banyak itu dari Islam. Kalau ada 10 anggota delegasi, biasanya 8 dari Islam, 1 dari Kristen non Katolik, dan 1 dari Katolik. Mungkin ada lagi 1 dari Hindu, 1
No. 32 Tahun III
dari Budha dan kadang-kadang juga dari Konghucu, kira-kira begitu selalu komposisinya. Ini mungkin menggambarkan proporsi dari komposisi penduduk Indonesia, dan kami tentunya berusaha untuk menggambarkan bahwa delegasi itu sendiri sudah memperlihatkan adanya kerjasama dan hubungan yang baik. Diantara anggota delegasi itu sendiri sudah interfaith yaitu dari iman atau agama yang berbeda-beda. Judul besar kegiatan ini tentunya adalah interfaith dialogue dan kemudian ada sub-sub tema dan juga topik-topik bahasan yang dibuat lebih spesifik, dimana dalam hal ini kami antara sesama anggota delegasi saling mengisi, untuk menentukan bidang apa saja yang dibahas dalam dialog dan apa yang akan kita kembangkan kedalam bentuk cooperation. Misalnya dalam dialog di Hungaria dan Bulgaria, yang kami bicarakan adalah bidang pendidikan, yaitu mengenai bagaimana kerjasama antar umat beragama di Indonesia maupun secara internasional dibangun dalam rangka mengembangkan pendidikan. Topik yang lainnya adalah masalah demokrasi, itu bisa mengenai civil society dan beberapa aspek yang ada didalam umat beragama yang berbeda-beda, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Saya tentu memahami dan menilai interfaith dialogue ini sebagai program yang sangat positif, artinya saya melihat bahwa Pemerintah secure dan menyadari bahwa dalam rangka diplomasi itu, tidak cukup hanya diplomasi formal melalui pakem-pakem diplomasi yang sudah baku, tetapi kegiatankegiatan seperti ini tentu bisa juga diikutsertakan dan dimasukkan sebagai bagian dari diplomasi itu sendiri. Dalam hal ini tentunya tidak hanya interfaith, mungkin saja ada diplomasi melalui kebudayaan atau pariwisata dan sebagainya, yang pada intinya bisa menjadi komponen dari apa yang disebut sebagai total diplomasi. Tapi sejauh yang saya lihat, respon negara-negara yang kita
Dok. Diplomasi
Merupakan Instrumen Diplomasi
Pdt. Jan Sihar Aritonang
Rektor STT TEOLOGI JAKARTA
kunjungi itu sangat baik, apakah itu dalam kerangka bilateral, regional maupun multilateral. Saya melihat sambutan dari banyak negara itu cukup positif, dalam arti bahwa negara-negara di dunia semakin menyadari bahwa agama ternyata sangat berperan untuk menentukan perdamaian dunia, sebagaimana yang dikatakan oleh Hans Kung; “tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian diantara umat beragama, tidak ada perdamaian diantara umat beragama tanpa dialog antar umat beragama”. Hans Kung adalah seorang theolog dari gereja Katolik Roma yang sangat terlibat dalam kegiatan interfaith dialogue. Baru-baru ini beliau baru saja berkunjung ke Indonesia dan juga hadir di Melbourne, Australia pada bulan Desember lalu dalam Parliament of World Religion bersama-sama dengan tokoh-tokoh agama dunia lainnya seperti Dalai Lama dan lainlainnya. Jadi negara-negara di dunia, termasuk AS, sekarang ini semakin sadar, oleh karena itu AS juga memprakarsai sebuah pertemuan yang sifatnya bilateral dengan Indonesia dalam konteks interfaith cooperation. Ada kesadaran
bersama negara-negara untuk membangun dunia yang lebih peacefull dimana salah satu kuncinya adalah membuat umat beragama ini lebih berdamai, rukun, saling bisa memahami, dan itu hanya bisa terbangun kalau terjadi dialog. Saya yakin Pemerintah Indonesia melalui Kemlu telah berusaha untuk menampilkan performance Indonesia dengan sebaik-baiknya dengan menghadirkan team yang baik dan membuat persiapan secara matang, tetapi yang harus menilai itu bukan diri kita sendiri, biarlah kawan-kawan dari negara-negara lain yang melakukan itu. Yang bisa saya katakan adalah bahwa kita sudah berusaha sebaik mungkin untuk itu. Mengenai dampak dari interfaith dialogue ini saya tidak bisa mengukurnya, tetapi itu bisa bermacam-macam bentuknya, bisa berupa kerjasama atau hubungan antara Indonesia dengan negaranegara lain menjadi lebih baik di berbagai aspek, baik itu dalam kerangka bilateral, regional, maupun multilateral. Yang bisa saya katakan adalah bahwa Indonesia telah berusaha semaksimal mungkin ketika menjadi tuan rumah ataupun ketika mengirim delegasi, dimana dalam hal ini termasuk Presiden atau Wakil Presiden dan minimal adalah Menteri. Ini tentunya merupakan kegiatan yang sifatnya kontinu dan sustainable dan menjadi tanggungjawab semua pihak. Harapan saya Kemlu dapat melanjutkan kegiatan ini, jadi tidak hanya karena pernah ada situasi konflik atau dilakukan secara insidentil dan nanti kalau apinya sudah mulai redup, diplomasinya menjadi biasa-biasa saja, tentu bukan itu maksudnya. Sekali ini diprakarsai, tentunya Kemlu harus jalan terus dan jangan berhenti. Jadi ini tidak hanya semata-mata sebagai second track diplomacy, misalnya hubungan RI-AS di bidang interfaith dialogue yang terus berkembang, termasuk semakin banyaknya orang AS yang datang kesini untuk studi tentang interfaith, atau orang-orang Indonesia yang studi tentang ilmu agama-agama yang ada di AS. Apa yang sudah dikerjakan oleh Kemlu sebelum diselenggarakannya interfaith dialogue itu juga perlu di intensifkan. []
15 juni - 14 juli 2010
F
oku
s
15
Interfaith Dialogue
Performance Indonesia di mata dunia internasional berkaitan dengan pelaksanaan dialog antariman, secara umum terlihat sudah banyak perkembangan ke arah positif, khususnya dalam hubungan Indonesia-Amerika, karena sudah banyak kegiatan-kegiatan interfaith di berbagai level yang berkaitan dengan berbagai isu, yang telah dan sedang dilaksanakan oleh NGO, Pemerintah, Pusat-Pusat Pendidikan, dan Lembaga-Lembaga Keagamaan secara kongkrit. Dari pengalaman selama hampir 20 tahun saya bekerja di Institut Dialog Antariman (Institut DIAN/ Interfidei), yaitu sebuah lembaga antariman berbasis NGO pertama di Indonesia, ternyata bahwa persoalan yang paling menonjol dalam “wilayah” antariman, adalah persoalan “hubungan antara Agama dan Negara”. Yaitu bagaimana Negara (institusi pemerintahan dan para pejabat terkait dengan segala kebijakan yang ada) benar-benar bisa berfungsi untuk melindungi dan memberikan kebebasan yang obyektif kepada setiap warga negaranya untuk mendapatkan hak-haknya dan menjalankan kewajibannya sebagai bagian dari pluralitas masyarakat. Hal ini perlu mendapat perhatian serius, jika Negara menginginkan agar warga masyarakat Indonesia yang plural benar-benar memiliki kekuatan bersama dalam membangun bangsa, menjadi bangsa Indonesia yang beradab, dewasa, sejahtera dan sungguhsungguh saling menghargai. Karena itu, pemerintah harus memiliki keseriusan untuk berinisiatif mensosialisasikan dan mengimplementasikan berbagai aturan yang menghargai hak-hak warga negara dalam beragama dan menjalankan hidup keagamaannya dalam frame kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebaiknya, kebijakan politik pemerintah dibuat dan dilaksanakan tanpa harus membesar-besarkan ketakutan dan kecurigaan, hanya karena demi kepentingan politik
15 juni - 14 juli 2010
dan kepentingan sekelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu. Ini telah merusak seluruh tata nilai hidup berbangsa dan bernegara yang berdasarkan pada Pancasila, dan secara khusus juga telah merusak makna nilai-nilai keagamaan. Karena kekerasan yang dilakukan itu sama sekali tidak beradab dan tidak punya dasar agamis yang manusiawi. Bagaimanapun perubahan dan perbaikan itu haruslah atas dasar inisiatif dari Pemerintah, karena dalam banyak hal persoalan tersebut memerlukan legitimasi formal dari Negara serta implementasi secara kongkrit di tataran pemerintahan. Ketika Institut Dialog Antariman di Indonesia (Institut DIAN/Interfidei) didirikan pada tahun 1991, saat itu belum ada konflik yang bernuansa agama sesemarak yang terjadi di Ambon, Poso, dan lain-lain, walaupun sudah banyak isu agama yang muncul dalam ketegangan di masyarakat. Interfidei didirikan bukan karena konflik, tetapi karena keprihatinan bersama terhadap situasi dan konteks masyarakat saat itu, yaitu ketidakadilan, pendidikan, kesalahpahaman antar-umat beragama, kemiskinan, dan lain sebagainya. Sementara itu disadari, bahwa Indonesia antara lain memiliki dua kekuatan mendasar, yaitu pluralitas masyarakat dan faktor agama. Pertanyaan mendasar saat itu, adalah bagaimana supaya agama-agama dan keyakinan yang ada dan hidup di Indonesia, bisa
menjadi suatu kekuatan bersama masyarakat didalam menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan bangsa. Bagaimana agama-agama bisa menjadi kekuatan transformatif warga masyarakat. Karena, agama-agama dan keyakinan, semuanya mempunyai “ misi profetis”, misi yang transcendental bagi kepentingan kemanusiaan, kepentingan bersama semua orang. Oleh karena itu, hendaknya persoalan-persoalan tersebut tidak dihadapi hanya oleh satu agama secara sendiri-sendiri tetapi secara bersama. Artinya, agama-agama dan keyakinan yang hidup di Indonesia, penting sekali untuk membangun dialog-dialog dan aksi-aksi kongkrit secara bersama-sama. Dari pengalaman Interfidei, banyak perubahan yang terjadi di masyarakat melalui kegiatankegiatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok seperti ini, baik pada tataran perubahan paradigma, sensitifitas sosial, dan sikap terhadap perbedaan, tanpa mengubah keyakinan atau keimanan masing-masing. Selain itu, banyak aksi-aksi kongkrit bersama yang diprakarsai oleh warga masyarakat berbasis antariman dalam beberapa sektor, bahkan sudah sampai kepada perubahan kurikulum pendidikan agama (untuk situasi tertentu), perubahan kebijakan lokal, dan lain sebagainya. Kegiatan antariman sudah sangat banyak dilakukan di manamana di Indonesia, dan Interfidei sendiri mempunyai Jaringan Antariman se-Indonesia, yang setiap dua tahun mengadakan pertemuan dan sudah dimulai sejak 2002 di Malino. Jaringan ini tersebar mulai dari Papua hingga Aceh, dimana masing-masing mempunyai rancangan kegiatan sendiri-sendiri, sesuai dengan Visi, Misi serta konteks sosial-kemasyarakatan setempat. Jadi menurut saya, pemerintah harus mempunyai inisiatif yang lebih logis dalam hal merancang kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan isu antariman. Logis yang
Dok. Diplomasi
Perlu Merancang Kegiatan Terkait Isu Antar-Iman
Pdt. Elga J. Sarapung Direktur Interfidei
saya maksudkan disini adalah realistis, sesuai dengan kenyataan pluralitas dan kebutuhan-kebutuhan kongkrit warga masyarakat, dan bukan semata-mata kebutuhan atau kepentingan sepihak pemerintah yang lebih mempertimbangkan segi politik. Pemerintah harus benarbenar mengutamakan kepentingan masyarakat dalam konteks di mana masyarakat itu berada, baik di tingkat lokal, nasional, maupun regional. Selama ini Interfidei sudah memiliki beberapa kegiatan, seperti penerbitan, diskusi, penelitian, pendidikan, perpustakaan, dan dokumentasi. Khusus di bidang penerbitan, diskusi, dan pendidikan, kami sedang menjalankan berbagai kegiatan sebagaimana yang digaris-bawahi dalam pertemuan US-Indonesia Interfaith Forum, yaitu mengangkat isu mengenai global change, pendidikan, good governance, dan poverty, dimana saat ini kegiatan Interfidei lebih banyak terfokus pada sektor pendidikan, terutama pendidikan alternatif bagi warga. Kalau dilihat secara detail, apa yang dihasilkan dari forum US-Indonesia terkait dengan isu-isu tersebut, itu adalah lebih kepada penguatan terhadap apa yang sudah dan sedang dilakukan oleh Interfidei.[]
No. 32 Tahun III
Diplomasi
16
S O R O T Dok. Diplik
Negara Mitra ASEM Berkomitmen Meningkatkan Dialog Antar Agama dan Budaya untuk Menjembatani Perbedaan
sambutannya termasuk Indonesia. Direktur Jenderal IDP, Andri Hadi, menjelaskan berbagai upaya harmonisasi Direktur Jenderal Asia Pasifik, Kementerian Luar Negeri Spanyol, Jose Eugenio Salarich, membacakan Madrid Statement dalam acara kehidupan Penutupan 6th Interfaith Dialogue di Toledo, Spanyol, 9 April 2010 beragama di Indonesia yang dilakukan melalui berbagai Interfaith Dialogue pada level jalur yaitu pemerintah melalui negara-negara ASEM untuk yang Kementerian Agama dan Pusat keenam kalinya kembali digelar Kerukunan Umat Beragama, dan pada 7-9 April di Madrid. Spanyol forum kerukunan beragama di dan Pakistan selaku co-host, daerah serta seluruh lapisan menyelenggarakan the 6th ASEM masyarakat. Strategi tersebut Interfaith Dialogue, bersama 15 dilakukan dengan upaya memperkuat negara mitra ASEM lainnya (Austria, suara moderasi, peningkatan Belanda, China, Denmark, Finlandia, pemahaman melalui pendidikan, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, pengembangan keragaman budaya Malaysia, Republik Korea, Filipina, toleransi, dan pengintensifan proses Polandia, Singapura dan Thailand) dialog. Indonesia memandang bertindak sebagai co-sponsor. bahwa dialog antar budaya, Dialog tersebut mengambil tema peradaban dan agama harus The Consolidation of Religious menjadi proses panjang dan bukan Freedom and Mutual Knowledge of merupakan pilihan melainkan suatu Societies through Interreligious and keharusan. Selain itu Indonesia Intercultural Dialogue. Pertemuan dihadiri oleh sekitar 150 peserta dari terus mengembangkan dialog secara bilateral dan telah berjalan 30 negara mitra ASEM, wakil dari dengan sejumlah negara Barat. ASEF dan jurnalis. Untuk pertama Dalam kerangka ASEM Indonesia kalinya pertemuan dihadiri oleh selalu menghimbau semua mitra Australia dan Rusia sebagai guest of ASEM untuk menerapkan komitmen the chair. bersama yang perlu ditindaklanjuti Delri dipimpin oleh Dirjen agar dirasakan manfaatnya. Informasi dan Diplomasi Publik Ketujuh pembicara lainnya dengan 8 anggota yaitu Kepala sepakat terhadap pentingnya Badan Litbang dan Pusdiklat dialog lintas agama dilanjutkan Kementerian Agama, Direktur dan lebih dikembangkan guna Kerjasama Intra Kawasan Amerop, tercapainya kerukunan antar agama Kepala PKUB Kementerian Agama, yang harmonis dan perdamaian Prof. Dr. Bahtiar Effendy (Guru Besar dunia. Para pembicara antara lain UIN Syarif Hidayatullah), Pdt. Dr. menyampaikan upayanya masingKadarmanto Hardjowasito (Sekolah masing dalam mengembangkan Tinggi Teologi Jakarta), staf Kemlu dialog antara agama dan budaya dan KBRI Madrid. melalui kegiatan pemahaman Pertemuan dibagi dalam 3 Pokja, kepada komponen masyarakat yaitu; Pokja 1: Religious Freedom dan partisipasi aktif pemerintah and Human Rights; Pokja 2: Respect dalam berbagai kerjasama and Mutual Knowledge; Pokja 3: bilateral, regional dan internasional. Interfaith and Intercultural Dialogues Ditekankan bahwa dialog antar as a Bridge between Societies. agama harus juga melibatkan Pada sesi pleno terdapat 8 kelompok agama dan masyarakat. pembicara yang menyampaikan
No. 32 Tahun III
Dialog juga merupakan suatu proses yang panjang dan karenanya harus tetap berlangsung sejalan dengan dinamika masyarakat. Beberapa isu mengemuka yang disampaikan pada sesi pleno adalah mengenai pentingnya kebebasan beragama bagi umat beragama sebagai faktor penting bagi keharmonisan kehidupan serta pentingnya memelihara hubungan dengan kelompok minoritas. Religious Freedom and Human Rights Dalam Pokja yang membahas Religious Freedom and Human Rights peserta sepakat bahwa kebebasan beragama dan kepercayaan merupakan prinsip dasar HAM dan karenanya perlu dilindungi oleh pemerintah. Pemerintah juga diharapkan berperan dalam mengembangkan kehidupan beragama yang harmonis namun tanpa harus ikut campur tangan dalam kebebasan beragama. Pertemuan juga menggarisbawahi pentingnya pemahaman yang mendalam terhadap pihak lain yang dianggap mempunyai nilai lebih penting daripada sekedar toleransi. Pertemuan juga menggarisbawahi mengenai pentingnya untuk melindungi hak-hak kelompok minoritas, perlunya untuk mencegah ‘hate speech’ serta bercermin pada diri sendiri sebelum melontarkan kecaman pada pihak lain. Masalah kebebasan beragama merupakan salah satu pokok pembahasan yang sangat sensitif. Pertemuan mencatat bahwa kebebasan beragama mencakup pemahaman yang luas termasuk kebebasan untuk beragama dan tidak beragama, kebebasan untuk memilih agama, dan kebebasan untuk berpindah agama. Mengingat adanya perbedaan yang tajam serta sensitifnya masalah tersebut maka pertemuan tidak mengambil kesimpulan dari diskusi namun mencatat bahwa terdapat sejumlah prinsip dan pandangan yang berbeda yang perlu dipahami setiap negara. Prof. Dr. Bahtiar Effendi sebagai
nara sumber, menyampaikan antara lain bahwa walaupun tidak ada keberatan yang mendalam terhadap kebebasan beragama dan HAM namun masih belum dapat dijelaskan mengenai makna apa yang terkandung di dalamnya dan batasan mengenai kebebasan tersebut. Dijelaskan bahwa pemerintah Indonesia telah terlibat dalam dinamika kehidupan beragama namun tidak dimaksudkan sebagai intervensi dalam substansi dan praktek pengajaran agama. Dalam hal mencegah dan meminimalkan konflik, pemerintah menjalankan tiga langkah utama yaitu dengan memberikan pengakuan agama yang ada, menciptakan forum antar agama, dan mengembangkan dialog. Dalam hal menjaga kerukunan beragama dan kehidupan damai saling berdampingan peran pemerintah adalah suatu keharusan. Hal tersebut dijamin dalam UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pemerintah menjamin setiap warganegara kebebasan untuk menjalankan ibadah berdasarkan agama atau kepercayaannya. Hadirnya 150 peserta dari 30 negara ASEM menunjukkan bahwa isu Interfaith Dialogue masih tetap merupakan isu global yang sangat penting dan menjadi prioritas bersama. Hadirnya begitu banyak peserta baru tentunya sangat menggembirakan namun, di lain pihak, menyebabkan terjadinya pengulangan atas pembahasan isu-isu yang pernah dibahas dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, meskipun topik yang dipilih sebenarnya berbeda. Namun demikian hal ini tidak mengurangi manfaat yang dirasakan oleh peserta, sekaligus dalam rangka pengembangan networking. Dialog Madrid telah menghasilkan “Madrid Statement on ASEM Interfaith Dialogue” yang berisikan komitmen negara mitra ASEM untuk lebih meningkatkan upaya-upaya dialog antar agama dan budaya untuk menjembatani perbedaan-perbedaan. []
15 juni - 14 juli 2010
Diplomasi S
15 juni - 14 juli 2010
R
O
T
17
Diplomasi Publik, Strategis Memperkenalkan Interfaith Dialogue Di dunia pendidikan, saya juga mengingatkan para mahasiswa untuk melihat dimensi-dimensi tersebut, jadi bukan hanya dimensi akademik, akidah, dan dogma, tetapi juga dari aspek kultural. Ketika menghadapi bencana kebakaran di kampung kita, maka tidak bisa lagi kita hanya menyiram rumahnya orang-orang yang beragama tertentu. Jadi bagaimana kita menolong melalui kegiatankegiatan agar semuanya menerima realitas ini secara positif dan membangun kebersamaan antar agama. Direktorat Diplomasi Publik, menurut saya memiliki fungsi seperti itu, karena itu ketika saya diundang untuk berpartisipasi dalam kegiatan interfaith dialogue, saya fikir ini sangat baik karena hal ini penting, apalagi kebetulan waktu itu fokusnya adalah yang menjadi bidang disiplin saya sebagai pengajar, terutama dari aspek pendidikannya dan bukan aspek akidahnya atau lainnya. Yaitu bagaimana kita menolong masyarakat, khususnya tentu saja komunitas Kristiani supaya mereka siap didalam menghadapi realitas kemajemukan dan proaktif membantu terciptanya hubungan kehidupan antar agama yang positif. Mengenai peran aktif kita menyelenggarakan interfaith dialogue ini, saya selalu mengatakan kepada para mahasiswa dan orang-orang yang bertanya kepada saya, mana yang harus kita dahulukan, membenahi rumah tangga lebih dahulu baru kemudian keluar, atau keluar lebih dahulu baru kemudian membenahi rumah tangga. Saya katakan bahwa ini bukan pilihan, karena justeru ketika kita keluar, kita bisa mengingat rumah tangga kita dan terkadang juga belajar dari luar, atau sebaliknya ketika kita melakukan suatu pembenahan didalam rumah tangga, kita juga bisa menemukan hal-hal yang bisa kita bawa keluar. Jadi menurut saya, ini bukan pilihan harus ini atau itu dahulu, tetapi memang itulah realitas,
Dok. Pribadi
Kegiatan diplomasi publik dapat menjadi pintu atau sebagai jendela untuk menunjukkan bahwa inilah pergumulan kami di Indonesia dalam hal interfaith atau hubungan antar iman. Kami sebagai umat beragama, berusaha dengan sunguh-sungguh untuk dapat hidup berdampingan, bukan hanya saya duduk disini dan anda disana lalu saling diam dan tidak melakukan apa-apa, tetapi duduk berdampingan dan proaktif memperjuangkan tujuan-tujuan bersama sebagai masyarakat dan bangsa Indonesia. Diplomasi publik merupakan pintu atau jendela yang sangat strategis untuk menunjukkan, bukan hanya soal success story, tetapi juga betapa hal itu memang harus diupayakan dengan sungguhsungguh. Dan secara kultural kita memang mewarisi budaya yang majemuk, dimana ada banyak cerita-cerita lokal yang sering dikatakan orang sebagai local wisdom atau kearifan lokal. Sewaktu saya dulu masuk SR di Yogya, pertama-tama kami diajari mengenai aksara Jawa ‘Honocoroko Podo Joyonyo Doto Sowolo Mogobotongo’. Guru kami memperkenalkan aksara Jawa dan sekaligus juga menceritakan bahwa urutan itu menjadi sebuah cerita, dimana disitu ada caraka-caraka, ada utusan-utusan yang samasama jaya, sama-sama hebat dan bagus, tetapi mereka bertengkar dan berkonflik, sehingga akhirnya semuanya menjadi mati. Jadi dapat dibayangkan, bahwa secara kearifan lokal dan budaya ada banyak cerita-cerita seperti itu yang mempersiapkan manusia-manusia sejak masuk sekolah untuk melihat bahwa ada beragam utusan, yang kalau kita angkat dalam konteks religius itu berarti ada banyak Nabi, yang mereka semuanya membawa pesan yang baik, tetapi ketika terjadi pertengkaran dan konflik, semuanya menjadi tidak ada gunanya. Jadi yang ingin saya katakan adalah, bahwa usaha keras itu bukan hanya secara intelektual melalui pendidikan modern, tetapi kultur kita sebenarnya juga sudah mempersiapkan manusia-manusia Indonesia untuk menerima realitas kemajemukan ini dengan positif.
O
Pdt. Kadarmanto Hardjowasito Ketua Pascasarjana STT TEOLOGI JAKARTA
dimana satu kaki kita berada didalam keluarga kita Indonesia dan satu kaki lainnya ada dalam keluarga masyarakat global, dan kita harus melakukannya secara dinamis dan timbal-balik. Beruntung sekali bahwa di kelompok kerja kami kemarin itu, moderatornya adalah Duta Besar Pakistan di Belanda yang memang sangat pandai dan cepat menangkap esensi setiap makalah yang disampaikan, dan kemudian menempatkannya di posisi yang tepat layaknya orang yang memasang puzzle. Dengan demikian kita bisa melihat proses kontribusi dari para pemakalah hingga menjadi suatu bangunan yang cantik, enak dilihat dan benar, dan bukan dipaksakan supaya menjadi seperti itu. Saya pikir kita perlu juga orang-orang seperti itu, dia bukan orang dari bidang agama mungkin diplomasi karena dia diplomat sebagai seorang dubes, tetapi dia mempunyai kepekaan terhadap kemajemukan agama-agama dan dia bisa menganyamnya dengan indah tanpa mengabaikan atau memaksakan atau merendahkan yang lain. Oleh karena itu ini juga poin yang kedua kita memang perlu orang-orang yang pintar juga bukan hanya orang yang saleh sehingga dia mampu mengkonstruksikan
bangunan bersama itu dari sumbangan masing-masing tanpa membuat ada pihak yang merasa dipaksa, itu menarik dan menurut saya di bidang diplomasi itu sangat penting. Menurut saya itu syarat hidup bersama jadi teman-teman yang belum terbuka untuk melakukannya ada kemungkinan dia hidup menyendiri atau justeru hidup menindas dan tidak mau tahu kalau ada orang lain, jadi kedua ekstrim itu bisa terjadi karena orang tidak mau berkomunikasi dengan yang lain yang berbeda dari dirinya. Jadi dari segi iman kristiani itu kami mengatakan Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala makhluk ini memang sejak awal beragam rupanya, bukan berarti bahwa Tuhan tidak bisa membuat yang seragam tetapi pasti ada maksudnya ada rencananya ada desain yang memang disengaja, kita syukuri dan kita bisa mensyukuri dengan juga belajar untuk hidup bersama dalam keberagaman, jadi dialog menurut saya adalah sebagian dari syarat hidup bersama. Saya baru pertamakali ini mengikuti kegiatan interfaith dialogue ini jadi saya tidak mempunyai gambaran proses perkembangannya dari mulai tahap pertama hingga seterusnya, pada pertemuan di Madrid saya melihat bahwa orang tidak hanya bicara mengenai soal-soal yang sifatnya akademis tetapi juga sudah implementasi. Malaysia bercerita tentang apa yang mereka coba lakukan, Singapura juga demikian, dan seterusnya dan menurut saya itu baik sebab justru dialog memang sesuatu yang pada akhirnya berimplementasi pada ranah tindakan bukan hanya ranah intelektual, diskusi, akademik atau pengetahuan yang dibicarakan dan diperdebatkan tetapi juga bagaimana lalu kita melakukannya dan menurut saya itu bagus sekali dan antara pemikiran-pemikiran dan diskusi-diskusi akademis diskusidiskusi yang sifatnya intelektual dan implementasi di lapangan harus semakin seimbang.[]
No. 32 Tahun III
Diplomasi
18
S O R O T
Bilateral Interfaith Dialogue RI - Bulgaria
Dok. KBRI Bulgaria
Pentingnya Dialog Lintas Agama Sebagai Upaya Membangun Perdamaian dan Harmoni
Dirjrn IDP, Andri Hadi beserta Duta Besar RI untuk Bulgaria, Immanuel R. Inkirwang dan dua pejabat Kemlu Bulgaria pada Pembukaan Bilateral Interfaith Dialogue RI-Bulgaria, 27 Mei 2010
Bertempat di Kementerian Luar Negeri Bulgaria, diselenggarakan Bilateral Interfaith Dialogue (BIFD) antara RI dan Bulgaria pada 27 Mei 2010 dengan mengusung tema: ”Managing Tolerance, Respect and Understanding in the Religious Communities: Indonesian and Bulgarian Experiences”. Delegasi RI dipimpin oleh Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik (IDP) dengan anggota Delri yaitu unsur Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Agama. Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut, Prof. Dr. Bahtiar Effendy (Guru Besar UIN Syarif Hidayatulah), Pendeta Dr. Jan Aritonang (Ketua Sekolah Tinggi Teologi Jakarta) dan Dr. Siti Syamsiyatun (staf pengajar UIN Sunan Kalijaga). Kegiatan BIFD ini dihadiri oleh para tokoh agama, akademisi, masyarakat madani, perwakilan asing di Sofia dan unsur Pemerintah Bulgaria. Kegiatan diawali dengan sambutan selamat datang dari Acting Direktur Diplomatic Institute, Mrs. Tanya Mihaylova. Dalam sambutannya, Mrs. Mihaylova menekankan pentingnya peran agama dalam menghindari konflikkonflik dan menegaskan pentingnya dialog lintas agama sebagai upaya
No. 32 Tahun III
membangun perdamaian dan harmoni. Ketua Delri, Andri Hadi menyampaikan bahwa agama dan budaya merupakan inti dari perdamaian dan harmoni. Oleh karena itu Indonesia berkomitmen penuh dalam mendukung dialog lintas agama. Ketua Delri menjelaskan berbagai kegiatan dialog lintas agama yang telah dilakukan Indonesia di berbagai tataran baik regional, bilateral dan multilateral sejak tahun 2004. Selanjutnya Ketua Delri juga menjelaskan beberapa kebijaksanaan Pemri yang terkait dengan promosi dialog lintas agama yang senantiasa disampaikan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono di berbagai kesempatan. Ketua Delri mengharapkan agar kegiatan ini dapat menjadi awal bagi kedua negara dalam mendukung upaya global untuk mencapai Harmony among Civilization. Pada sesi diskusi yang mengangkat tema The Role of Education in Promoting Tolerance, Respect, and Understanding”. Hadir sebagai pembicara dari Bulgaria adalah Prof. Alexander Fedotov, Sementara pembicara dari Indonesia adalah Dr. Siti Syamsiyatun. Prof. Fedotov menyampaikan
pentingnya peran institusi pendidikan dalam mengajarkan religious ethics kepada pada generasi muda dalam menyikapi perbedaan keyakinan. Persepsi tersebut dapat dibentuk melalui penekanan sikap sedini mungkin. Menurutnya, penekanan dini tersebut dapat menjadi kunci terbentuknya tradisi dan budaya toleransi. Prof, Fedotov juga menyampaikan bahwa Bulgaria dan Indonesia sebagai negara yang demokratis dan multireliji sudah seharusnya mengaplikasikan hal tersebut. Selanjutnya, Dr. Siti Syamsiyatun memberikan gambaran mengenai komitmen Indonesia terhadap kebebasan beragama yang diimplementasikan dalam kurikulum pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan falsafah Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Dr. Syamsiatun juga menyampaikan akan pentingnya pengajaran toleransi dan lintas agama diterapkan dalam tahap lanjutan, yaitu pada tingkat pendidikan tinggi dengan kurikulum yang lebih intens dan mendalam. Hal tersebut memberikan pandangan yang lebih komprehensif mengenai nilai-nilai toleransi dan pemahaman akan kesamaan nilai-nilai pada keyakinan-keyakinan yang berbeda.
Sementara itu sesi terakhir diisi dengan tema Striving for Democratic Platform in the Pluralistic Society. Sesi ini dimoderatori oleh Dr. Siti Syamsiatun dan narasumber dari Indonesia adalah Prof. Dr. Bahtiar Effendy. Adapun pihak Bulgaria menghadirkan Mr. Momchil Metodiev, Chief Editor Majalah “Christianity and Culture”. Prof. Bahtiar Effendy menegaskan bahwa anggapan bahwa Islam adalah Obstacle bagi demokrasi adalah tidak benar. Di Indonesia, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, Islam dan demokrasi dapat berjalan secara harmonis. Selanjutnya, Prof. Effendy menjelaskan adanya kesamaan mendasar antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai demokrasi seperti justice, equality dan lain sebagainya. Kompatibilitas tersebut sangat dapat dirasakan dalam kehidupan beragama di Indonesia.Mr. Metodiev menyatakan kesamaan pandangannya dengan Prof. Effendy bahwa agama dan demokrasi dapat berjalan beriringan, karena pada intinya, agama mengajarkan kesamaan hak dan nilai-nilai. Selanjutnya, Mr. memberikan Metodiev ilustrasi mengenai bagaimana gereja orthodox di Bulgaria dapat berjalan bersama dengan nilai-nilai demokrasi yang ada. Penyelenggaraan Bilateral Interfaith ini disambut baik oleh pihak Bulgaria yang menilainya sebagai pengalaman baru baik bagi pemerintah maupun masyarakat madani negara tersebut. Penjelasan dari narasumber Indonesia menjadi pelajaran yang berharga bagi pihak Bulgaria yang menyadari bahwa sudah saatnya untuk melibatkan agama dan masyarakat madani dalam diskursus lintas agama. Sebagian besar peserta dari Bulgaria mendapat pemahaman yang lebih mendalam mengenai Islam di Indonesia khususnya nilainilai moderasi yang tertanam dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Baik Bulgaria maupun Indonesia sepakat untuk menindaklanjuti kegiatan tersebut dalam bentuk program yang lebih konkrit khususnya di ranah pendidikan. Pemerintah Bulgaria juga menyampaikan keinginan agar kegiatan ini dapat ditindaklanjuti dengan kegiatan serupa tahun depan di Indonesia.[]
15 juni - 14 juli 2010
Diplomasi S O R O T
15 juni - 14 juli 2010
Bilateral Interfaith Dialogue (BIFD) antara RI dan Hungaria
Dialog Lintas Agama, Upaya Penting Bagi Pertumbuhan Demokrasi di Dunia dialog yang telah tumbuh dan berkembang di Indonesia serta peran Kementrian Agama dalam menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia. Dubes RI menilai bahwa kegiatan ini penting untuk dilihat dalam konteks peningkatan hubungan bilateral Indonesia dan Hungaria, khususnya dalam meletakan dasar-dasar bagi peningkatan people to people contact antara masyarakat kedua negara. Dalam sambutannya, Dr. Andras Scepregi, State Secretary (Wakil Mentri) dari Kementrian Kebudayaan dan Pendidikan Hungaria antara lain mengatakan bahwa dialog lintas agama adalah sebuah upaya yang penting dalam pertumbuhan sebuah demokrasi di dunia. Dr. Scepregi menegaskan bahwa negara sekuler seperti Hungaria saat ini mulai menilai penting peran pemerintah dalam mendorong kerukunan umat beragama. Untuk itu, Pemerintah Hungaria menyampaikan penghargaan atas undangan Pemri kepada Pemerintah Hungaria untuk memperkenalkan lebih jauh budaya dialog lintas agama. Ketua Delri/Dirjen IDP menyampaikan bahwa kegiatan BIFD dengan Hungaria sangat penting mengingat bahwa tujuan kegiatan dialog bagi Indonesia antara lain untuk melawan stereotip negatif Islam di dunia Barat, memberdayakan kaum moderat dan memperkenalkan moderasi Islam di Indonesia. Ketua Delri mengharapkan agar kegiatan ini dapat menjadi awal bagi kedua negara dalam mendukung upaya global untuk mencapai Harmony among Civilization. Sebagai penutup, Bishop Gereja Reformis Hungaria, Dr. Gusztav Bolcskei menyampaikan bahwa dialog lintas agama memiliki arti bahwa tidak ada perdamaian di dunia apabila tidak ada perdamaian antara masyarakat beragama. Untuk itu, kegiatan dialog lintas agama memiliki kaitan yang penting dan signifikan bagi upaya untuk menciptakan perdamaian dunia. Namun demikian Dr. Bolcskei menegaskan beberapa hal yang
Dok. KBRI Hungaria
RI – Hongaria menggelar Bilateral Interfaith Dialogue (BIFD) bertempat di Royal Palace Godolo, di kota Golodo, Hungaria (25/5). Kegiatan ini mengusung tema: ”IndonesiaHungary Interfaith Dialogue: Promoting Cooperation Among People of Different Faiths”. Pemilihan Godolo sebagai tempat penyelenggaraan acara antara lain untuk memberi makna pada kerjasama antara Godolo (Hungaria) dan Bogor (Indonesia) yang tertuang dalam MOU Sister City kedua kota tersebut pada tahun 2009 lalu. Selain itu, Godolo telah terpilih menjadi lokasi ditempatkannya Gong Perdamaian Dunia (World Peace Gong) yang disumbangkan oleh Indonesia pada tahun 2008. Gong tersebut juga menjadi salah satu icon budaya di Hungaria. Delegasi RI dipimpin oleh Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik (IDP) dengan anggota Delri yaitu Sekjen Kementrian Agama, Bahrul Hayat, PhD dan Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, Abdul Fatah Muchit; serta unsur Kemlu dan Kementrian Agama. Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut, K.H. Dr. Hasjim Muzadi (NU), Uskup Johannes Pujasumarta (Keuskupan Bandung), Prof. Dr. Atho Mudzhar (Guru Besar UIN Syarif Hidayatulah/mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga), Pendeta Prof. Dr. Jan Aritonang (Ketua STT Jakarta) dan Dr. Syamsiyatun (staf pengajar UIN Sunan Kalijaga). Kegiatan diawali dengan sambutan selamat datang dari Walikota Godolo, Dr. Gyorgy Gemesi. Dalam sambutannya, Dr. Gemesi menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pemerintah Indonesia, khususnya KBRI Budapest atas terpilihnya Godolo sebagai tempat penyelenggaraan acara tersebut. Dr. Gemesi juga menyampaikan penghargaan kepada Pemerintah Hungaria yang senantiasa mempromosikan kota Godolo melalui berbagai kegiatan dengan kalangan korps diplomatik. Sementara itu, Duta Besar RI untuk Hungaria, Mangasi Sihombing menjelaskan berbagai kegiatan dialog lintas agama yang telah dilakukan Indonesia di berbagai tataran baik regional, bilateral dan multilateral sejak tahun 2004. Disinggung pula budaya
19
Sekjen Kementerian Agama, DR. Badrul Hayat (ketiga dari kanan) dan Dirjen Informasi dan Diplomasi Kemlu, Andri Hadi (kedua dari kanan) nampak berada diantara para tokoh lintas agama RI dan Hungaria tengah menyimak pidato pembukaan dari walikota Godolo, Hungaria, 25 Mei 2010
menjadi kunci sukses kegiatan dialog lintas agama, antara lain bahwa dialog harus dilakukan atas dasar saling mempercayai dan menghargai serta tidak adanya sikap prejudise serta berbagai kritikan ilmiah dengan lebih bijaksana. Pada sesi diskusi yang mengangkat tema The Role of Religious Leaders in Promoting Tolerance, Understanding and Peace: Recognizing Common Concerns” , hadir sebagai pembicara dari Indonesia, K.H. Dr. Hasyim Muzadi (NU) dan Uskup Johaness Pujasumarta (Keuskupan Bandung). Sementara pembicara dari Hungaria adalah Prof. Dr. Istvan Karasszon dari Gaspar Karoly Reformed University; Rabbi Tamas Rona dari Federation of Jewish Congregations dan Prof. Pal Farkas, mantan rektor universitas Dharma Gate. Prof. Karasszon menyampaikan bahwa umat beragama sesungguhnya adalah umat yang toleran, namun nilai tersebut cenderung mengikis seiring dengan semakin pesatnya pengaruh globalisasi. Hal lain yang digaris bawahi dalam menciptakan pemahaman (understanding) diantara umat beragama adalah melalui sikap membuka diri dalam menerima kritikan (bagi umat Muslim) serta memulai budaya dialog dengan umat beragama
lainnya (bagi umat kristiani). Sementara itu, K.H. Dr. Hasyim Muzadi menjelaskan bahwa mayoritas karakter masyarakat Indonesia dalam beragama adalah moderat, yaitu suatu karakter yang menyeimbangkan antara sikap toleransi yang pada umumnya dimiliki oleh masyarakat liberal tanpa meninggalkan nilai nilai keagamaan itu sendiri. Indonesia, menurutnya, selain memiliki hukum dan dasar negara, senantiasa dijadikan model dimana mayoritas melindungi kaum minoritas. Dalam paparannya, Dr. Muzadi juga menjelaskan pula mengenai arah kebijaksanaan polugri Indonesia yang diarahkan pada diplomasi total yang melibatkan para masyarakat madani termasuk tokoh agama dalam mempromosikan toleransi, pemahaman dan rasa saling menghargai diantara semua umat di dunia. Kegiatan ini sangat disambut baik oleh pihak Hungaria yang menilainya sebagai pengalaman baru baik bagi pemerintah maupun masyarakat madani negara tersebut. Penjelasan dari narasumber Indonesia menjadi pelajaran yang berharga bagi pihak Hungaria yang menyadari bahwa sudah saatnya untuk melibatkan agama dan masyarakat madani dalam diskursus lintas agama.[]
No. 32 Tahun III
20
Dok. Diplomasi
LENSA
Interfaith Dialogue Dalam Konteks Hubungan Internasional “No peace among the nations without a peace among religions, No peace among religions without dialogue between the religions, No dialogue between the religions without investigation the foundation of the religion“. Hans Kung
Andri Hadi
Dirjen Informasi & Diplomasi Publik
Dalam konteks hubungan internasional, memang harus diakui bahwa pada beberapa waktu yang lalu, agama tidak mendapatkan perhatian yang signifikan, karena dianggap sebagai hal yang sangat private dan tidak terkait dengan foreign policy dan kebijakankebijakan negara. Ini dikarenakan adanya “pandangan Westphalian” di masyarakat internasional yang kemudian menjadikan ‘Westphalia Treaty’(1648) sebagai dasar bagi sistem hubungan internasional modern. Dalam sistem ini agama benarbenar dipisahkan dari hubungan internasional dan menjadikan negara sebagai aktor yang paling utama. Gereja yang dulunya sangat berpengaruh menjadi menurun pengaruhnya, ini mungkin disebabkan karena faktor agama yang ditempatkan sebagai masalah private, bahwa agama adalah urusan pribadi, sehingga perhatian dalam konteks agama dalam foreign policypun menjadi tidak terlalu menonjol didalam hubungan antar negara. Tetapi situasi ini kemudian berubah, dan beberapa pandangan mengatakan bahwa perubahan itu dimulai ketika terjadinya revolusi Iran, dan kemudian tumbuhnya solidaritas dan revolusi di Polandia, dan terakhir tentunya adalah tragedi 11/09. Dalam hal ini banyak negara di dunia yang terhenyak, dan jelas sekali bahwa setelah terjadinya tiga peristiwa besar itu, agama
No. 32 Tahun III
kemudian mendapat perhatian dalam konteks politik internasional global. Jadi setelah revolusi Iran itu, agama sudah mulai mendapat perhatian dan puncaknya adalah setelah 11/09, dimana agama mendapatkan perhatian yang penuh dalam konteks global. Berbagai analisa mengenai terjadinya tragedi 11/09 kemudian bermunculan dan beberapa diantaranya ada yang mengkaitkannya dengan agama, tetapi part of the end semua scholar dan analisa yang ada mengatakan bahwa agama sama sekali tidak ada kaitannya dengan tragedi tersebut, karena pada intinya semua agama mengajarkan mengenai kebaikan. Tetapi ini tentunya menjadikan isu lama mengenai peran agama kemudian timbul kembali. Peristiwa-peristiwa tersebut telah memunculkan berbagai analisa mengenai hubungan antara agama, politik internasional, dan terorisme, tetapi pada intinya semua analisa tersebut sepakat bahwa agama tidak terkait dalam hal ini. Namun demikian peristiwa-peristiwa tersebut telah membuat agama semakin menjadi pusat perhatian didalam hubungan antar negara. Dan bagi kita, interfaith dialogue dalam konteks sebagai part of diplomacy itu baru dimulai pada tahun 2004, dimana dalam hal ini Indonesia dikatakan tidak hanya menjadi the force of dialogue tetapi merupakan one the leading actor dalam hal interfaith dialogue ini. Sebenarnya kalau kita melihat kondisi di Indonesia, interfaith dialogue itu adalah sesuatu yang lumrah, dimana Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) itu sudah ada sejak tahun 1974, dan
kemudian berkembang sedemikian rupa. Tetapi dengan terjadinya peristiwa-peristiwa itu, kemudian ada keperluan bagi kita untuk menjelaskan kepada dunia internasional mengenai bagaimana sebetulnya Islam di Indonesia, karena disini ada semacam pengaitan antara Islam dengan terorisme. Kemudian juga adanya anggapan orang-orang, terutama di dunia Barat, bahwa kalau kita bicara soal Islam, itu berarti bicara soal Timur Tengah, padahal bagian terbesar umat Islam di dunia itu berada di Asia Tenggara yang notabene itu adalah Indonesia. Dalam konteks ajaran agama, Islam di Timur Tengah dengan Islam di Indonesia itu memang sama, tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa Islam di Indonesia itu 90 % adalah Islam yang moderat. Dengan situasi seperti itu, ada keperluan bagi negara-negara dan juga Indonesia untuk menampilkan bahwa dialog adalah sesuatu yang sangat esensial. Hans Kung pernah mengatakan : “ No peace among the nations without a peace among religions, No peace among religions without dialogue between the religions, No dialogue between the religions without investigation the foundation of the religion “. Jadi intinya bahwa perdamaian itu dasarnya adalah dialog. Bahkan Peter L.Berger mengatakan; “ Those who neglect religion in their analyses of contemporary affairs do so at great peril “. Jadi siapa-siapa yang mengenyahkan agama dari isu-isu kontemporer itu berarti dia tidak mengerti mengenai konteks hubungan internasional. Madeleine Albright dalam satu
pidatonya bahkan mengatakan bahwa pada awal-awalnya dia selalu mengajarkan kepada para diplomat untuk jangan menyentuh isu-isu yang sangat sensitif, termasuk agama, dalam foreign policy. Tetapi pada akhirnya ternyata dia sampai pada suatu kesimpulan bahwa mau tidak mau agama itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Ketika memperkenalkan bukunya, the Mighty and the Almighty, Madeleine Albright mengatakan; “X problem is complicated enough. Let’s not bring God and religion into it “ But through my being in office, and as I explored the subject much further in writing “The Mighty and the Almighty” I really thought that the opposite is true. In order to effectively conduct foreign policy today, you have to understand the role of God and religion. Bahwa dia datang dari satu generasi dimana orang-orang selalu mengatakan jangan membawabawa Tuhan dan agama kedalam masalah-masalah foreign policy, tetapi selama menjabat sebagai Menlu dia menganalisa, termasuk dalam buku yang dia tulis berikutnya, bahwa ternyata itu tidak benar. Kalau kita ingin melakukan foreign policy yang efektif, kita harus betul-betul memahami mengenai the role of God dan agama. Madeleine mengatakan bahwa betapa pentingnya agama dalam foreign policy apalagi dalam situasi sekarang ini. Bahkan Chicago Council on Foreign Relation (CCFR) memberi masukan terhadap foreign policy AS, bahwa ada God gap dimana selama ini AS tidak memberikan perhatian terhadap masalah
15 juni - 14 juli 2010
21 LENSA
agama. Dalam laporannya CCFR meminta Pemerintah AS untuk melakukan hubungan yang lebih baik dengan religious community terkait foreign policy nya. CCFR mengatakan bahwa religion has been a major force in daily lives, jadi jangan berfikir bahwa agama jangan dilibatkan dalam foreign policy, karena di berbagai negara, agama itu merupakan kehidupan sehari-hari, seperti misalnya di Iran, Pakistan, Sudan dan Indonesia. Kalau agama itu merupakan force in daily lives mereka, maka foreign policy pun harus faham mengenai hal itu. Westphalia itulah yang memisahkan agama dari negara, karena pada waktu itu pengaruh gereja sangat kuat sekali dan dengan westphalian treaty peran negaralah yang dominan. Efek dari Westphalia itu kemudian membuat negara-negara tidak menyentuh agama, karena dianggap sebagai urusan pribadi dan tidak bisa dikaitkaitkan dengan urusan negara. Dengan melihat situasi seperti itu, tidak heran kalau kemudian dalam konteks total diplomasi, kita memperkenalkan kehidupan beragama di Indonesia. Tentunya kita tidak mengatakan bahwa kehidupan umat beragama di Indonesia ini sebagai yang sempurna, bagaimanapun masalah itu tentu ada, tetapi secara umum situasinya sangat kondusif, dan itu bisa kita kenalkan kepada dunia. Pertama, bahwa dialog adalah suatu hal yang baik, jadi jangan sampai ada mispersepsi. Kita melakukan interfaith secara bilateral dengan berbagai negara di Eropa dan juga dikalangan regional lainnya, dan itu menjadi bagian didalam kita membangun suatu kekuatan diplomasi, yang menurut saya sesuai dengan realita. Dalam konteks itu kita meng engaged konstituen domestik dan tokoh-tokoh agama, dan tentunya kita juga keluar, dimana dalam hal ini Indonesia sangat dikenal dan memperoleh tawaran yang sangat luar biasa untuk melakukan dialog, dan umumnya mereka ingin melakukannya di Indonesia. Jadi seperti Jerman, Austria, Lebanon dan lain-lainnya, semuanya ingin
15 juni - 14 juli 2010
mempelajari kehidupan toleransi beragama di Indonesia. Dalam hal ini kita tidak bisa mengharapkan suatu hasil yang langsung, ini adalah suatu proses yang sangat panjang, namun demikian kita bisa menyatukan berbagai kelompok, itu yang penting. Jadi dimana-mana saya kira, entah di Rusia, Bulgaria, Hungaria dan negara-negara lainnya, interfaith dialogue ini dianggap sebagai suatu inisiatif yang sangat baik sekali dalam konteks people to people contact. Presiden SBY pun mengatakan bahwa dialog mengenai harmony amongst civilization, kebudayaan dan peradaban, itu merupakan suatu kekuatan nilai penting yang kita miliki, dan itu harus kita perkenalkan kepada dunia agar jangan ada stigma pengkaitan agama dengan terorisme, itu merupakan salah satu bentuk yang saya kira baik sekali. Melalui interfaith dialogue itu kita berusaha untuk memoderatkan dan memperkuat empowering the moderat karena itu merupakan modal kita yang paling luar biasa. Moderasi itu adalah seperti yang dikatakan oleh KH. Hasyim Muzadi, terdiri dari dimensi iman dan toleransi. Kalau yang fundamentalis itu mereka iman tapi tidak toleran, tetapi kalau yang liberal itu adalah toleransi yang bisa mengurangi iman. Sedang kita ini yang moderat, adalah keseimbangan antara toleransi dan keimanan, keseimbangan yang ideal, yaitu tidak liberal tetapi juga tidak fundamentalis. Dalam hal ini yang moderat inilah yang kita perlukan guna terjwujudnya dialog. Dialog-dialog ini dilakukan dalam berbagai fora yaitu dalam konteks bilateral, regional dan multilateral, dan saya kira kita akan lebih memfokuskan pada followup langkah-langkah yang sudah kita sepakati dalam konteks misalnya masing-masing memiliki national plant of action nya sendiri untuk menghidupkan toleransi di masing-masing negara, disamping saling mengenal dengan berbagai bentuk interfaith dialogue ini, kita fokus pada apa yang terbaik untuk dilakukan supaya dialog itu lebih
efektif. Saya kira melalui forum bilateral, regional, dan multilateral seperti Asia-Pasifik, ASEM, ataupun global seperti di Brazil, yaitu dialogue of civilization yang juga memasukkan komponen interfaith dialogue itu sudah cukup banyak forumnya. Dan saya kira the most important adalah bagaimana kita memfollowup berbagai kesepakatan yang ada. Dan bisa dikatakan bahwa executing agency nya itu adalah Kementerian Agama yang selalu tandom dengan Kementerian Luar Negeri, disamping Kemlu sendiri juga tandom dengan berbagai organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan lain-lainnya, serta berbagai tokoh-tokoh agama ataupun scholar di bidang agama. Kesepakatan-kesepakatan yang kita lakukan itu kemudian dikomunikasikan kebawah melalui FKUB sebagai national executing agency nya dan berbagai forum yang dibentuk oleh masing-masing organisasi, misalnya CDCC, ICIS dan di berbagai forum lainnya yang bersifat interfaith dialogue. Memang ada berbagai cara atau program untuk melakukan interfaith dialogue ini, ada yang sifatnya seperti workshop selama satu minggu seperti Asia-Pacific Youth Interfaith Dialogue di Surabaya. Tetapi kadang-kadang kalau kita melibatkan tokoh-tokoh besar agama, memang waktunya tidak bisa terlalu panjang, karena waktu mereka juga sangat terbatas. Yang terpenting dari penyelenggaraan dialog itu adalah adanya satu pemahaman mengenai bagaimana kehidupan satu umat beragama di masing-masing negara, dan bagaimana perbedaannya. Katakanlah dengan Jerman dan Austria, fokus kita adalah antara agama dengan law of state. Austria ingin sekali mempelajari bagaimana peratuan-peratuan hukum negara yang mengatur mengenai agama, itu merupakan dimensi lain dari interfaith dialogue. Mereka ingin sekali mempelajari bagaimana Indonesia mengatur kehidupan beragama, apakah itu dalam konteks hukum fiqih ataupun yang lain-lainnya, seperti kehidupan
sosial, perkawinan, kebebasan beragama dan sebagainya, tetapi fokusnya adalah law and religious. Masalah-masalah keagamaan itu merupakan dimensi lain yang mereka ingin tahu, termasuk mengenai syariah dan lain-lainnya, itu merupakan sisi lain dari berkembangnya dialog. Dalam konteks itu, kita sudah sangat terbiasa, seperti misalnya Sunan Kudus yang tidak pernah menyembelih sapi, tetapi menggantinya dengan kerbau untuk menghormati umat Hindu. Jadi betapa toleransi itu merupakan salah satu bentuk kekuatan yang bisa disampaikan sebagai bagian dari sejarah kita. Katakanlah sejak beralihnya kekuasaan Sriwijaya ke Majapahit, dimana para pemimpin negara pada saat itu mengusung konsep yang kita kenal sebagai ’bhineka tunggal ika’ yang merupakan salah satu bentuk toleransi. Atau ketika berdirinya negara RI, yaitu perdebatan mengenai sila pertama Pancasila yang pada awalnya adalah menjalankan syariat Islam, prosesnya menjadi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan pada akhirnya bisa diterima oleh semua bangsa Indonesia, itu adalah bentuk toleransi yang sangat luar biasa. Nilai toleransi itu sudah ada sejak kerajaan Majapahit beralih ke kerajaan Demak, dimana raja Brawijaya menyerahkan seluruh kekayaannya kepada Raden Fatah untuk mendirikan kerajaan Demak yang menganut ajaran Islam. Jadi tradisi toleransi kita itu sebenarnya luar biasa, sehingga kalau sekarang kita tidak toleran, itu adalah hal yang aneh, karena tradisi itu sudah melembaga dan sudah lama. Moderasi dan toleransi inilah yang perlu kita pelihara, karena dengan begitu hidup itu akan menjadi ideal. Bentuk lainnya adalah dialog, sebagaimana yang disebutkan oleh Hans Kung, itu juga perlu dipelihara. Saya kira memperkuat pesantren-pesantren itu lebih ideal dibanding kita membentuk forum baru lainnya, karena konsep pesantren di Indonesia itu berbeda dengan pesantren-pesantren yang ada di negara-negara Asia lainnya.
No. 32 Tahun III
Diplomasi
22
K
I
LAS
Dok. Pribadi
Perlu Mengembangkan Program yang Lebih Kreatif untuk Meningkatkan Kerukunan Umat Beragama
Dr. Siti Syamsiyatun, MA
Associate Director Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS-Yogya)
Belajar dan mengamati apa yang terjadi pada dua interfaith event RI-Hungaria dan RI-Bulgaria, yang saya terlibat di dalamnya, saya berpendapat bahwa interfaith dialogue ini perlu dikembangkan dan akan besar manfaatnya. Pertama, meskipun kita berhubungan dengan negara-negara yang officially secular, tetapi negaranegara tersebut pada dasarnya dipimpin, dihuni dan ditopang oleh sekelompok orang dan masyarakat yang memilki agama atau keyakinan spiritual tertentu yang menjadi sumber referensi bagi nilai-nilai yang mereka anut. Nilai-nilai yang diyakini itu akan menjadi pamandu bagi mereka dalam menentukan kebijakan negara dan publik pada umumnya. Maka dengan interfaith dialogue ini sebenarnya kita sedang mendialogkan nilai asasi manusia, baik yang diakui secara eksplisit maupun tidak, mencari titik-titik temu dimana kita bisa saling bekerjasama dan mendukung, sekaligus pengakuan terhadap nilai-nilai asasi yang dipegang oleh semua yang terlibat dalam dialog, baik itu yang berbeda maupun yang sama. Pengakuan atas eksistensi yang lain ini adalah sikap yang sangat penting dan diharapkan oleh semua orang. Namun demikian saya belum dapat memberikan penilaian yang akurat tentang dampak
No. 32 Tahun III
pelaksanaan interfaith dialogue ini terhadap performance Indonesia di kancah dunia internasional, karena saya belum melakukan riset atau pengamatan yang mendalam. Tapi dari pengalaman di Hungaria dan Bulgaria tempo hari, saya melihat bahwa terjadi tanya jawab yang mendalam tentang peran agama di masyarakat dan bagaimana persoalan agama ini dikelola oleh Negara. Pengalaman Indonesia sebagai Negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang memberi ruang yang sama bagi pemeluk agama-agama lain, termasuk untuk mengekpresikan rasa keimanan mereka dalam bentuk pakaian maupun ornamen lain di ruang publik, di sekolah, kantor pemerintah, dan sebagainya, itu merupakan sebuah ‘eye opener’ bagi sebagian masyarakat di Eropa. Di Indonesia, penampilan pakaian dan ornamen fisik (termasuk yang menyimbolkan agama seperti salib, kerudung, bunga, dll) yang berbeda dari murid-murid sekolah, mahasiswa, pegawai kantor termasuk pejabat Negara, ternyata tidak mengganggu persatuan dan kesatuan sebagai warga Negara Indonesia. Sementara beberapa Negara lain sangat khawatir dengan diekspresikannya simbol-simbol agama maupun budaya, sehingga mencoba dengan berbagai cara untuk menekannya. Kegiatan interfaith dialogue ini memang cakupannya bisa sangat luas; mulai dari siapa yang terlibat di dalam dialog (baik dari segi agama dan denominasi, jenis kelamin, profesi atau keterikatannya dengan agama, dll), topik yang akan dibahas, sejauh mana, dimana dan sebagainya. Dari dua kali interfaith yang digagas Kemenlu RI di Hungaria dan Bulgaria saya merasa terhormat dan bangga, karena di dua event tersebut hanya Indonesia yang memilki representasi pembicara perempuan. Di dunia yang masih banyak prasangka negatif tentang perempuan Islam,
saya merasa bahwa ini sangat penting, tidak perlu banyak bicara, tapi aksi nyata kita saya kiralebih kuat. Walaupun sekarang ini sudah semakin banyak orang dan masyarakat/negara yang menyadari pentingnya kerukunan antar umat beragama, tapi tidak dapat kita pungkiri bahwa sampai saat ini masih banyak konflik-konflik berbau agama yang kita saksikan, baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Ini berarti bahwa kita masih memiliki pekerjaan rumah, dan perlu mencari dan mengembangkan model-model ataupun program yang lebih kreatif untuk meningkatkan kerukunan tersebut. Pendirian ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies) yang digagas oleh UIN Sunan Kalijaga, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Kristen Dutawacana di Yogyakarta, merupakan bentuk usaha kreatif dunia akademik untuk meningkatkan pengertian dan kerjasama antar umat beragama yang bersifat jangka panjang. ICRS-Yogya menawarkan program pendidikan S3 bidang Inter-religious studies bertaraf internasional berdasarkan integritas akademik dan religius (www.icrs.ugm.ac.id). Tentu ada usaha-usaha lain yang sudah dan dapat dilakukan oleh berbagai instansi atau organisasi dalam kapasitas masing-masing. Tapi menurut saya, bertemu dan berbincang-bincang langsung dengan berbagai umat beragama adalah pintu masuk yang sangat murah dan efektif. Karena umumnya persepsi kita tentang ‘yang lain’ itu terbentuk melalui informasi yang seringkali sudah terdistorsi. Setelah itu kita dapat memikirkan common action untuk mengatasi common problems. Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat plural baik dari segi suku, bahasa, budaya, agama, profesi, umur dan sebagainya; menurut saya itu sangat membanggakan dan menjadi
”Walaupun sekarang ini sudah semakin banyak orang dan masyarakat/ negara yang menyadari pentingnya kerukunan antar umat beragama, tapi tidak dapat kita pungkiri bahwa sampai saat ini masih banyak konflik-konflik berbau agama yang kita saksikan, baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Ini berarti bahwa kita masih memiliki pekerjaan rumah, dan perlu mencari dan mengembangkan modelmodel ataupun program yang lebih kreatif untuk meningkatkan kerukunan tersebut.” sumber inspirasi bagi kehidupan bernegara. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia sangat agamis dan menjalankan agama mereka secara bersungguhsungguh, maka interfaith dialogue ini harus kita kembangkan. Sejauh pengamatan saya, sebagian besar dialog itu lebih banyak melibatkan kaum laki-laki sebagai key actors atau key players, karena pada umumnya mereka yang menempati posisi kepemimpinan di dalam organisasi-organisasi yang terlibat dalam event tersebut. Di dalam praktik hidup sehari-hari sebenarnya banyak sekali kaum perempuan yang juga melakukan interfaith dialogue dalam berbagai level, dan mereka umumnya memiliki pengalaman dan mungkin juga pandangan yang berbeda dengan mereka yang berada di puncak kepemimpinan. Mungkin akan banyak manfaatnya kalau orang-orang yang dianggap ‘bukan expert’ ini dilibatkan secara formal dan diminta untuk menyampaikan pengalaman dan ide-ide mereka. Anak-anak muda saya kira juga sangat penting untuk dilibatkan karena merekalah nantinya yang akan menjadi pemimpin ataupun pengelola masyarakat dan negara.[]
15 juni - 14 juli 2010
Diplomasi l e n s a
23
Dok. Diplomasi
Arti Penting Interfaith Dialogue Tidak Perlu Diperdebatkan
M. Atho Mundzar
Kepala Badan Litbang Kemenag
ADA beberapa bentuk interfaith dialogue yang kita kenal sekarang ini, yaitu ada yang sifatnya multilateral seperti ASEM interfaith dialogue, ada yang bilateral seperti dengan Hungaria dan Cheko, dan ada juga interfaith dialogue internal di dalam negeri kita sendiri di daerah-daerah, dan bahkan ada satu jenis lagi yang tidak disebut sebagai interfaith dialogue tetapi pada kenyataannya menjadi interfaith dialogue juga, yaitu dialog-dialog bilateral tentang HAM. Ketika itu berbicara mengenai kebebasan beragama misalnya, dimana pada dasarnya itu adalah interfaith dialogue juga. Mengenai pentingnya kegiatan ini saya kira tidak perlu diperdebatkan lagi, karena dunia yang semakin mengecil akibat proses globalisasi, sehingga kemajemukan dunia, peningkatan teknologi informasi dan transportasi itu menjadikan dunia ini sebagai the largest market place, suatu toko serba ada agama dunia. Pada satu sisi orang boleh memilih dengan kesukaannya sendiri, tawaran-tawaran atas nilai yang diberikan, dan disisi lain itu menyebabkan terjadinya tukarmenukar pandangan dan pendapat, dan boleh jadi juga pergesekan
15 juni - 14 juli 2010
antara satu sama lainnya, ketika misalnya itu berhimpitan dengan kepentingan bangsa, suku, kelompok, ekonomi dan sebagainya, yang didalam istilah sosiologi agama itu ada religious afirmity, kedekatan aktifitas keagamaan dengan identitas sosial tertentu. Itu juga terjadi, yang saya kira kemudian ini menimbulkan suatu keperluan pentingnya interfaith dialogue ini. Istilah ini sudah kita perbaiki, bukan lagi sebagai intra religious dialogue melainkan interfaith dialogue karena sifatnya yang lebih luas, sebab mungkin ada juga keyakinan yang bukan dikategorikan sebagai agama, yang ikut serta berdialog meskipun sebagian besar masih diwakili oleh agama-agama besar itu. Sebagaimana kita ketahui, agama itu juga mempunyai fungsi sosial yang klasik, yaitu mengenalkan nilai, memberi dukungan psikologis, memberi arti kehidupan, mendorong perubahan-perubahan sosial, dan menjadi perekat solidaritas antar pemeluknya. Kemudian semua fungsi-fungsi ini mendapatkan tantangan ketika ilmu pengetahuan dan teknologi itu berkembang maju. Fungsi dukungan psikologis dari agama bisa digantikan oleh yang lain, fungsi agama sebagai perekat juga diganti dengan ideologi kebangsaan, dan lain-lain.
Jadi fungsi-fungsi klasik sosial agama itu tererosi oleh majunya iptek, dan pada waktu yang sama agama juga ditantang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai modernisme. Mereka harus bereaksi memberi respon, apakah akan kembali ke sudutnya sendiri dan asyik disitu tanpa mau mengetahui perkembangan agamaagama, ataukah harus keluar dari sudut amannya itu dan kemudian bergaul dengan masyarakat lain di dunia. Saya kira sekarang ini tidak ada suatu kelompok masyarakat yang mengeksklusifkan dirinya, bergaul merupakan suatu keharusan, dan ketika bergaul itulah maka supaya terjadi saling menghargai, koeksistensi, mutual respect, dan kalau bisa muncul cooperation, kita dorong interfaith dialogue ini. Kementerian Agama, dalam hal ini Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) itu sebetulnya hanya melayani, menampung dan mendorong masalah-masalah kerukunan umat beragama di Indonesia, terutama melalui pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk atas kesepakatan MajelisMajelis Agama di tingkat pusat, seperti MUI, PGI, KWI, PHBI, Walubi, dan sebagainya yang kemudian dituangkan dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006, yang merekomendasikan pendirian FKUB. Jadi FKUB itu dibuat oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah, dan sekarang ini sudah ada 33 FKUB Propinsi dan 309 FKUB Kabupaten/Kota dimana wakil-wakil pemuka agama itu duduk disana dan melakukan dialog-dialog, termasuk juga di tingkat pusat. Kemudian Kemlu juga mempunyai programprogram multilateral dan bilateral mengenai interfaith dialogue ini, dimana dalam hal substansi tentu saja leading sector nya adalah Kementerian Agama. Oleh karena itu Kemlu kemudian menawarkan kepada Kementerian Agama untuk melakukan kerjasama dalam bidang ini. Hasilnya, tentu saja atas
koordinasi Kemlu, kami mengikuti berbagai forum interfaith dialogue, baik itu dalam kerangka alliance of civilization PBB, ASEM, maupun Asia-Pasifik, dan tentunya juga dalam kerangka bilateral. Dalam hal ini, yang berperan menjadi penghubung di tingkat Pusat adalah PKUB. Lebih dari itu, kami juga bergembira bahwa Kemlu mengajak Kementerian Agama dan Kementerian lainnya untuk ikut dalam sidang-sidang di Jenewa yang diselenggarakan oleh PBB, seperti Durban Review Conference dan lain sebagainya yang didalamnya terdapat juga isu-isu keagamaan, kebebasan beragama, dan sebagainya. Kami merasa senang bisa ikut berpartisipasi dan menjelaskan hal-hal yang terkait dengan bidang tugas kami disana. Dan saya kira, belakangan ini Kemlu cukup intens melaksanakan perannya sebagai ujung tombak diplomasi Indonesia, termasuk di bidang-bidang yang ditangani oleh Kementerian Agama. Pada penyelenggaraan ASEM interfaith dialogue ke-6 di Madrid, Spanyol, saya juga turut hadir dan menceritakan mengenai pengalaman-pengalaman Indonesia dalam membentuk forum-forum kerukunan umat beragama yang jumlahnya sudah mencapai 342. Ketika itu Singapura juga menceritakan mengenai harmony center yang sifatnya lebih informatif mengenai data-data, sedangkan Indonesia bersifat forum dan lebih dinamis. Kedua hal tersebut kemudian diadopsi sebagai salah satu butir kesimpulan pertemuan di Madrid. Mengenai pentingnya mendorong lahirnya forum-forum antar agama dan keyakinan juga disebutkan dalam kesimpulan tersebut, bahkan diupayakan pada semua level, baik pada level internasional, nasional, maupun lokal. Seberapa jauh ini akan ditindaklanjuti oleh negaranegara peserta, itu adalah persoalan lain, tetapi saya kira dengan begitu kita mempunyai landasan yang semakin kuat untuk mendorong terjadinya dialog-dialog pada tatarantataran berikutnya didalam negeri.
No. 32 Tahun III
No. 21, Tahun
Diplomasi No. 32 Tahun III, Tgl. 15 Juni - 14 Juli 2010
http://www.tabloiddiplomasi.com
TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi www.tabloiddiplomasi.com
Untuk pertama kalinya RI dan Ceko menggelar Bilateral Interfaith Dialogue Dengan mengangkat tema:”Promoting Harmony Among Civilizations in the Pluralistic Society”. Kegiatan dialog lintas agama ini bertempat bertempat di Hilton Hotel, Praha, 27/5. Kegiatan ini dihadiri oleh sejumlah Duta Besar, korps diplomatik, tokoh agama, pejabat pemerintahan, perwakilan organisasi keagamaan, akademisi, masyarakat madani dan media dari Ceko. Hadir sebagai narasumber, K.H. Dr. Hasjim Muzadi (NU), Uskup Johannes Pujasumarta (Keuskupan Bandung), dan Prof. Dr. Atho Mudzhar (Guru Besar UIN Syarif Hidayatulah/mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga). Sementara itu, Pemerintah Ceko diwakili oleh Ms. Edita Hrda, Direktur Jenderal dari Kementrian Luar Negeri Ceko. Sedangkan pembicara dari pihak Ceko adalah Dr. Vladimir Sanka, Wakil Presiden dari Islamic Foundation; dan Mons. Prof. Dr. Tomas Halik, PhD, Presiden dari Czech Christian Academy. Kegiatan diawali dengan sambutan selamat datang dari KUAI KBRI Praha, Azis Nurwahyudi. KUAI menyampaikan penghargaan yang mendalam atas perhatian berbagai pihak di Ceko yang secara khusus datang dari berbagai wilayah/kota untuk menghadiri kegiatan tersebut. Bagi Indonesia, kegiatan dialog lintas agama telah menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralistik. Untuk itu, disampaikan berbagai inisiatif dialog lintas agama dengan negara-negara sahabat yang telah dilakukan oleh Pemri di berbagai tingkatan sejak tahun 2004. Dalam sambutannya, Ketua Delri, Bahrul Hayat, PhD menjelaskan kegiatan dialog lintas
Dialog Lintas Agama MenluRI RI -: Ceko
Sebagai sebuah negara yang mayoritas ateis, publik Ceko masih memandang dalam tataran tidak perlu atau perlunya menganut sebuah agama. Namun demikian, kesadaran beragama cenderung berkembang di Ceko untuk itu diperlukan asupan informasi tentang toleransi dan keharmonisan yang terjadi di Indonesia sehingga dapat ditularkan ke Ceko. Dengan demikian, pemahaman antar kedua negara dapat ditingkatkan yang selanjutnya dapat berkembang menjadi hubungan kerja sama yang konkrit.
Mengenang Seratus Tahun Moham
Dok. KBRI Ceko
Da’i Bachtiar :
Menyelesaikan Pers TKI di Malaysia Den Kepala Dingin K.H. Hasyim Muzadi (kedua dari kanan) dan uskup Pujasumarta (Kedua dari kiri) tengah menyimak presentasi Tomas Hilik, Presiden Akademi Kristen Ceko pada Bilateral Interfaith Dialogue RI - Ceko (27/05/10).
agama ditataran domestik yang telah dilakukan oleh Pemri melalui Kementerian Agama sejak berdirinya Republik Indonesia. Adapun kegiatan dialog itu senantiasa melibatkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk oleh Kemenag dan saat ini berjumlah lebih dari 400 di seluruh kota di Indonesia. Ketua Delri menambahkan bahwa saat ini, kegiatan dialog lintas agama telah menjadi fitur tetap diplomasi RI khususnya sejak Kemlu berupaya untuk memperluas jejaring kerjasama baik dalam forum bilateral, regional dan multilateral antara pemuka agama dan masyarakat madani Indonesia dengan berbagai negara di dunia.
tepat dilaksanakan saat ini dimana Kebudayaan, semua negara di duniaFondasi berupaya untuk menciptakan harmoni antar peradaban. Ms. Hrda juga Memperkuat Hubunga mengharapkan agar kegiatan ini dapat meningkatkan hubungan RI - Suriname bilateral kedua negara, sekaligus
Ketua Delri juga menjelaskan kebijakan Pemri terkait dengan dialog lintas agama yang senantiasa disampaikan oleh Presiden RI di berbagai kesempatan. Sementara itu, dalam sambutannya, Ms. Edita Hrda, Direktur Jenderal dari Kementrian Luar Negeri Ceko, menyampaikan bahwa sejarah menunjukkan adanya budaya dialog yang tumbuh dan berkembang di komunitas agama di Ceko. Namun demikian, sejarah juga yang sempat membatasi budaya tersebut untuk berkembang lebih pesat. Untuk itu, Ms. Hrda secara khusus menyampaikan penghargaan kepada Pemri atas penyelenggaraan acara tersebut. Kegiatan ini sangat
mendorong masyarakat kedua negara untuk saling memahami dan menghargai satu sama lain. Baik Pemerintah RI - maupun Ceko sepakat bahwa dialog lintas agama adalah suatu keharusan dan bukan hanya pilihan. Kegiatan interfaith dialogue ini ke depannya juga diharapkan dapat dikembangkan dalam berbagai kegiatan di kalangan masyarakat.
Nia Zulkarna
“KIN
Film Bertema Bulutang Pertama di Du
Tabloid Diplomasi dapat diakses melalui:
http://www.tabloiddiplomasi.com
Bagi Anda yang berminat menyampaikan tulisan, opini, saran dan kritik silahkan kirim ke:
[email protected]
Kontribusi Isla Dan Demokras Dalam Memban Indonesia
Direktorat Diplomasi Publik
Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta 10110 Telepon : 021-3813480 Faksimili : 021-3513094