No. III, 21,Tgl. Tahun II, Tgl. 15 - 14 Agustus No. 36 Tahun 15 Oktober - 14Juli Nopember 2010 2009
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi www.tabloiddiplomasi.org
Menlu RI : SH. AO Jenderal Polisi (Pur.) Prof. Drs. Da’I Bachtiar
Mengenang Seratus Tahun Mohammad Roem
Optimalisasi Hubungan Kontribusi Islam
Dan Demokrasi RI – Malaysia dan Stabilitas Kawasan Dalam Membangun Indonesia Da’i Bachtiar :
Menyelesaikan Persoalan TKI di Malaysia Dengan Kepala Dingin Kebudayaan, Fondasi Untuk Memperkuat Hubungan RI - Suriname
Nia Zulkarnaen : Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA.
RI - Malaysia
“KING”
Film Bertema Bulutangkis Persoalan Perbatasan Ibarat Dua Ekor Pertama Landak di Malam yang Dingindi Dunia Email:
[email protected] Email:
[email protected]
ISSN1978-9173 1978-9173 ISSN Email:
[email protected] www.tabloiddiplomasi.org
9
771978917386 917386 771978 9
Departemen Luar Negeri Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Republik Indonesia
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Daftar Isi
>4 >5
Fokus
Wapres RI Menyampaikan Paparan Perkembangan Terkini Perekonomian Indonesia
Fokus
Masa Depan Hubungan Indonesia -ASEAN
>6
Fokus
>7
Fokus
>8
Fokus
>9 > 12 > 13 > 14 > 16 > 18
> 19
Lensa
> 20
Kilas
> 22
Sorot
Menlu Menandatangani Konvensi Internasional
Perspektif Kerjasama Asia-Eropa Dalam Kemitraan yang Lebih Konkrit
8
Keterlibatan Pers Dalam Hubungan RI - Malaysia
RI - Malaysia Membangun Diplomasi Budaya Dari Sudut Pandang Kesejarahan Penyimpanan Naskah Perjanjian Internasional
FOKUS
ASEM Telah Menghasilkan Berbagai Langkah Konkrit
ASEM Telah Menghasilkan Berbagai Langkah Konkrit
Lensa
Soal Perbatasan Kemlu Selalu Menjadi Sasaran Tembak
Lensa
Isu-Isu Strategis Pengelolaan Kawasan Perbatasan
Kilas Interfaith Dialogue RI - Austria Penghormatan Terhadap Agama dan Keberagaman Budaya
Lensa
Menlu Sudah Tepat Dalam Mengelola Sengketa Perbatasan RI – Malaysia
Lensa
Perbatasan Fitur Sentral Hubungan Bilateral RI-Malaysia
Bilateral
Buruh Migran Membangun Hubungan RI – Malaysia Berbasis HAM
21
sorot Keterlibatan Pers Dalam Hubungan RI - Malaysia
Diplomasi
Pemimpin Umum / Pemimpin Redaksi Khariri Ma’mun
Teras Diplomasi Hubungan Indonesia-Malaysia dalam beberapa bulan terakhir ini berjalan cukup dinamis, hal ini terkait dengan munculnya isu-isu klasik seperti masalah perbatasan, tenaga kerja, dan sosial budaya. Hubungan Indonesia-Malaysia sepertinya memang tidak pernah bebas dari persoalan dan gangguan (irritants), dimana sumber gangguan itu bisa saja berasal dari Malaysia atau Indonesia sendiri. Banyak pihak di Indonesia yang berkesimpulan bahwa sumber gangguan itu lebih banyak berasal dari Malaysia, dan gangguan-gangguan inilah yang dianggap memicu terjadinya pasang-surut hubungan bilateral Indonesia-Malaysia. Namun demikian hal ini tidak cukup jika hanya dilihat dari perspektif pemerintah, karena bagaimanapun masyarakat juga memainkan peran penting dalam membentuk hubungan antara kedua negara. Artinya, ketika kedua pemerintah menghadapi berbagai persoalan bilateral, persoalan itu bisa saja bersumber dari masyarakat atau pemerintah sendiri. Dilihat dari perspektif sejarah masa lalu, sumber persoalan itu ternyata ditemukan di sektor pemerintah dan masyarakat. Sebagaimana digambarkan oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal, hubungan bilateral Indonesia-Malaysia itu ibarat dua ekor landak di malam hari yang dingin, dimana kalau jauh mereka merasa dingin dan ingin berdekatan, tetapi kalau terlalu dekat duri di tubuh mereka akan saling melukai. Jadi persoalannya adalah bagaimana Indonesia dan Malaysia mampu menjaga hubungan kedekatan yang terkendali. Dalam hal ini pemerintah dan masyarakat kedua negara dituntut untuk peduli dan memberikan perhatian yang besar terhadap kepentingan untuk membina hubungan bertetangga baik yang saling menghormati dan menjaga martabat bangsa, sekaligus memperoleh keuntungan bersama dalam mensejahterakan rakyat masing-masing. Pertukaran gagasan, pemikiran dan sudut pandang, tampaknya perlu sering dilakukan oleh kedua belah pihak untuk mengoptimalkan hubungan kedua negara, dan sekaligus juga membentuk rumusan baru yang konstruktif dan komprehensif dalam membina serta meningkatkan kualitas hubungan kedua negara dalam kondisi dinamika yang baru, kini dan masa yang akan datang. Dan tentunya juga dengan memperhatikan berbagai unsur riil yang tengah terjadi di dunia, seperti
globalisasi, krisis multidimensional serta hubungan antar negara sebagai faktor yang penting. Sebagai negara bertetangga, kerjasama merupakan keniscayaan. Indonesia dan Malaysia telah ditakdirkan untuk bertetangga, dengan demikian tidak ada pilihan lain kecuali menjalin kerjasama demi kemajuan bersama dalam suasana persahabatan yang saling menghormati dan menjunjung tinggi kedaulatan masing-masing negara. Jika hubungan kerjasama ini dapat diwujudkan dengan harmonis serta semakin meningkat di segala bidang, niscaya Indonesia-Malaysia akan memberikan kontribusi didalam menciptakan kawasan yang stabil, yang pada gilirannya akan memberikan manfaat yang lebih besar kepada kesejahteraan rakyat kedua negara, khususnya dalam kerangka ASEAN, dimana Indonesia akan menjadi Ketua ASEAN pada 2011 nanti. Dalam kaitan ini, keterlibatan seluruh komponen bangsa kedua negara, termasuk media massa, memegang peranan yang penting, karena tidak ada cita-cita yang mustahil jika kita benar-benar terus berupaya untuk mewujudkannya. Keketuaan Indonesia pada 2011 merupakan moment yang strategis didalam mengawal proses menuju ASEAN Community 2015, sebagaimana komitmen Indonesia untuk memberikan kontribusi yang bersifat substantif bagi pengembangan ASEAN. Indonesia akan terus mengintensifkan upaya mewujudkan ASEAN Community melalui implementasi berbagai rencana aksi yang telah disusun oleh negara-negara anggota ASEAN. Disamping itu, Indonesia juga akan terus menggulirkan proses pengembangan arsitektur kawasan yang inklusif dimana ASEAN merupakan motor penggerak utamanya, mendorong terciptanya arsitektur kawasan yang didasarkan atas keseimbangan yang dinamis (dynamic equilibrium), dan terus mendorong ASEAN utuk dapat lebih berkiprah dalam penanganan berbagai permasalahan global. ASEAN harus berorientasi ke luar (outward looking), karena kontribusi ASEAN dalam penanganan masalah-masalah global seperti perubahan iklim, krisis finansial, krisis energi, konflik, serta perlucutan senjata menjadi sangat penting, dan akan menentukan bobot ASEAN di kancah global.[]
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Redaktur Pelaksana Cahyono Staf Redaksi Saiful Amin Arif Hidayat Taufik Resamaili Dian harja Irana Tata Letak dan Artistik Tsabit Latief Distribusi Mardhiana S.D. Kontributor M. Dihar Alamat Redaksi Jl. Kalibata Timur I No. 19 Pancoran, Jakarta Selatan 12740 Telp. 021-68663162, Fax : 021-86860256, Surat Menyurat : Direktorat Diplomasi Publik, Lt. 12 Kementerian Luar Negeri RI Jl. Taman Pejambon No.6 Jakarta Pusat Tabloid Diplomasi dapat didownload di http://www.tabloiddiplomasi.org Email :
[email protected] Cover: sumber : primaironline google.co.id Diterbitkan oleh Direktorat Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri R.I bekerjasama dengan Pilar Indo Meditama
Bagi anda yang ingin mengirim tulisan atau menyampaikan tanggapan, informasi, kritik dan saran, silahkan kirim email:
[email protected] Wartawan Tabloid Diplomasi tidak diperkenankan menerima dana atau meminta imbalan dalam bentuk apapun dari narasumber, wartawan Tabloid Diplomasi dilengkapi kartu pengenal atau surat keterangan tugas. Apabila ada pihak mencurigakan sehubungan dengan aktivitas kewartawanan Tabloid Diplomasi, segera hubungi redaksi.
Diplomasi
4
F O K U S
Wapres RI Menyampaikan Paparan Perkembangan Terkini Perekonomian Indonesia
Dok. indonesia.irib.ir
Dalam kunjungan kerja ke New York, AS, Wakil Presiden RI, Boediono, menyelenggarakan pertemuan dengan sekitar 70 pengusaha AS di sektor infrastruktur (konstruksi), perminyakan, energi, dan konstruksi. Pertemuan dilakukan pada 24 September 2010 bertempat di Hotel Intercontinental Barclay. Saat pertemuan tersebut, Wapres RI didampingi oleh Kepala BKPM, Gita Wirjawan, dan Dubes RI Washington DC, Dr. Dino Patti Djalal. Dalam acara Business Luncheon tersebut, Wapres RI menyampaikan paparan mengenai perkembangan terkini perekonomian Indonesia, khususnya pasca krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara tahun 1997-1998, dan keberhasilan melewati masa krisis ekonomi global pada tahun 2008-2009. Wapres RI juga menyampaikan bahwa filosofi dasar Indonesia
No. 36 Tahun III
dalam mengembangkan bidang ekonomi adalah creating new growth centres dan connecting those new growth centres. Kedua kebijakan dasar ini pada dasarnya adalah untuk menciptakan peluangpeluang investasi baru yang pada gilirannya akan membuka lapangan pekerjaan baru di wilayah growth centres dimaksud. Isu konektivitas merupakan isu yang perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius untuk meningkatkan daya saing Indonesia vis-a-vis kompetitor lain di kawasan. Diproyeksikan bahwa Indonesia mampu mengatasi isu ini dalam kurun waktu 6-7 tahun ke depan. Wapres RI menggaris bawahi bahwa strategi yang akan ditempuh Indonesia adalah mengurangi ketergantungan pada komoditi mentah (raw material), dan mulai menggantikan dengan
produk-produk added-value serta mengembangkan product processing di dalam negeri. Selanjutnya, Wapres RI menyampaikan bahwa kebijakan pengelolaan fiskal dan moneter akan dilanjutkan secara berhati-hati (prudent). Indonesia akan terus menjaga disiplin dalam menjaga defisit agar tidak melebihi 2 (dua) persen. Pengelolaan seperti ini terbukti telah mampu menjamin stabilitas ekonomi jangka panjang. Oleh karena itu, yang menjadi isu saat ini adalah mencari sumber pembiayaan dari sumber-sumber di luar APBN bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Sementara itu, Kepala BKPM dalam sambutannya menyampaikan mengenai upaya Indonesia dalam memperbaiki situasi iklim investasi di Indonesia. Indonesia ingin memperbaiki citra dan posisinya sebagai negara tujuan investasi dan bisnis di dunia. Kepala BKPM juga menyampaikan mengenai kemajuan investasi AS di Indonesia, dimana pada semester pertama tahun 2010 menempati urutan terbesar ke-3 setelah Singapura dan Mauritius. Kepala BKPM juga menghighlight agenda kegiatan internasional yang akan diselenggarakan di Indonesia, diantaranya adalah sebagai tuan rumah ASEAN 2011 dan APEC 2013. Hal ini juga dimaksudkan untuk memperbaiki citra Indonesia sebagai negara demokratis baru yang aman, dinamis dan stabil, dengan memiliki masyarakat Muslim yang toleran, moderat dan modern. Dalam pertemuan tersebut, Dubes RI Washington DC memberikan keterangan singkat mengenai perkembangan hubungan bilateral RI-AS yang akan segera memasuki era Comprehensive Partnership. Dubes RI juga menggambarkan mengenai hubungan RI-AS yang didukung oleh kedekatan personal antara pemimpin kedua negara. Dan rencana kunjungan Presiden AS, Barack Obama, ke Indonesia pada
akhir tahun 2010 diharapkan dapat mendorong terbukanya peluang kerjasama yang lebih luas. Dubes RI juga menyampaikan optimismenya atas keberhasilan pertemuan pertama Komisi Bersama Tingkat Menlu RI-AS di Washington DC pada 17-18 September 2010, serta mengharapkan agar hubungan ekonomi, investasi dan perdagangan RI-AS dapat terus meningkat di masa mendatang. Dalam kesempatan tersebut para peserta Luncheon sangat antusias menyampaikan pandangan dan mengajukan berbagai pertanyaan terkait upaya pemberantasan korupsi dan peran Indonesia dalam pembangunan di kawasan (creating a new regional architecture), agenda Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011, strategi dan prioritas RI dalam mengembangkan sektor energi untuk mendukung pembangunan ekonomi Indonesia, serta sharing mengenai pengalaman dalam menjalankan usaha dan investasi di Indonesia. Secara bergantian Wapres RI, Dubes RI dan Kepala BKPM menyampaikan jawaban dengan menekankan optimisme Indonesia untuk melanjutkan pertumbuhan ekonomi yang positif, terbentuknya arsitektur baru di kawasan Asia Pasifik melalui tahapan pembentukan ASEAN Community 2015 beserta ketiga pilarnya, dan komitmen Indonesia pada perekonomian dunia yang terbuka dan tidak proteksionis. Wapres menekankan bahwa Pemerintah RI tidak ingin menentang keterbukaan pasar, namun demikian peran Pemerintah RI tetap diperlukan untuk mengatur kebijakan dan regulasi ekonomi. Sementara itu, Kepala BKPM menyampaikan bahwa demografi masyarakat Indonesia sebagian besar merupakan generasi muda yang memiliki jiwa entrepreneurship dan kemandirian yang tinggi. (Sumber: KJRI New York)
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
Diplomasi F
Menlu RI :
O
K
U
S
5
Masa Depan Hubungan
Indonesia -ASEAN Sebagai ketua ASEAN pada tahun 2011, Indonesia akan memimpin organisasi negaranegara Asia Tenggara ini untuk dapat berkiprah pada tingkat global. Indonesia tidak hanya menjalankan fungsi prosedural sebagai ketua rangkaian persidangan ASEAN sepanjang tahun 2011, Indonesia berkomitmen untuk memberikan kontribusi yang bersifat substantif bagi pengembangan organisasi kawasan ini. Sebagai ketua ASEAN pada tahun 2011, Indonesia akan memimpin organisasi negaranegara Asia Tenggara ini untuk dapat berkiprah pada tingkat global. Indonesia tidak hanya menjalankan fungsi prosedural sebagai ketua rangkaian persidangan ASEAN sepanjang tahun 2011, Indonesia berkomitmen untuk memberikan kontribusi yang bersifat substantif bagi pengembangan organisasi kawasan ini. Ada tiga hal yang akan menjadi agenda Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun 2011. Pertama, Indonesia akan terus mengintensifkan upaya mewujudkan Komunitas ASEAN yang akan dicapai pada tahun 2015 melalui implementasi berbagai rencana aksi yang telah disusun oleh negara-negara anggota ASEAN.
Kedua, Indonesia akan terus menggulirkan proses pengembangan arsitektur kawasan yang inklusif dengan ASEAN sebagai motor penggerak utamanya. Indonesia akan mendorong terciptanya arsitektur kawasan yang didasarkan atas keseimbangan yang dinamis (dynamic equilibrium) dimana tidak terdapat satu kekuatan yang terlalu dominan. Dalam konteks pengembangan arsitektur kawasan ini, Indonesia berpandangan bahwa keinginan AS dan Rusia untuk bergabung dalam KTT Asia Timur (EAS) merupakan hal positif yang dapat mendorong terbentuknya arsitektur kawasan yang inklusif dan harmonis. Ketiga, Indonesia akan terus mendorong organisasi yang telah berusia 43 tahun ini untuk dapat lebih berkiprah dalam penanganan berbagai permasalahan global. Meskipun upaya pengembangan kerjasama dan integrasi kawasan merupakan agenda yang sangat penting bagi ASEAN, organisasi ini juga harus berorientasi ke luar (outward looking). Karena itu, kontribusi ASEAN dalam penanganan masalah-masalah global seperti perubahan iklim, krisis finansial, krisis energi, konflik, serta
perlucutan senjata menjadi sangat penting dan akan menentukan bobot organisasi ini di kancah global. Demikian pokok paparan yang disampaikan oleh Menlu Marty Natalegawa dalam ceramah dan diskusi dengan para praktisi politik, kalangan bisnis, akademisi dan media yang diselenggarakan oleh Asia Society di New York, pada 22 September 2010. Dalam forum bertajuk “Asian Distinguished Leaders Series” ini Menlu Marty Natalegawa menyampaikan paparan dengan topik “The Future of Indonesia-ASEAN Relations”. Asia Society adalah sebuah lembaga yang memiliki sejarah panjang dalam pengembangan hubungan antara Amerika Serikat dan Asia. Kajian-kajian yang dilakukan oleh Asia Society ini telah menjadi rujukan berbagai kalangan, termasuk para pengambil kebijakan di Amerika Serikat. Forum-forum yang diselenggarakan oleh Asia Society selalu menghadirkan pemimpin dan tokoh-tokoh berpengaruh dari berbagai negara di Asia. [] (sumber : KJRI New York).
Pertemuan Informal Empat Negara
Mencari Solusi Konflik Empat Negara Di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB, pada tanggal 22 September 2010, PTRI New York menyelenggarakan pertemuan informal antara Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, Brasil, India, dan Afrika Selatan dengan Palestina. Pertemuan antara Menlu dari 4 (empat) negara berkembang yang profilnya semakin meningkat di kancah internasional ini dengan Menlu Palestina Riyad Al-Malki, adalah untuk membahas isu Palestina. Pertemuan ini terlaksana atas inisiatif Indonesia dan merupakan pertemuan tingkat Menlu yang pertama kalinya bagi 4 (empat) negara tersebut. Pertemuan informal tersebut merupakan hasil tindak lanjut kunjungan Presiden Palestina Mahmoud Abbas ke Indonesia
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
pada bulan Juni 2010. Dalam kunjungan tersebut, Presiden Mahmoud Abbas meminta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengawali pertemuan dengan tiga negara berkembang lainnya yang paling berpengaruh di kawasannya guna membantu mencari solusi bagi konflik Palestina-Israel. Selama ini masing-masing negara tersebut dipandang telah memberikan sumbangsih terhadap isu Palestina secara terpisah pada tingkat bilateral dan regional. Seusai pertemuan, Menlu Palestina menyatakan adanya kemungkinan timbulnya konflik baru apabila Israel tidak memperpanjang moratorium pembangunan pemukiman di Jalur Gaza pada 26 September 2010. Menurut Menlu Riyad Al-Malki, situasi untuk empat hari ke depan sangat genting,
dan karena itu Ia meminta pihak Israel untuk bersikap bijaksana terkait dengan moratorium agar perundingan perdamaian dapat terus berjalan. Para Menlu tersebut sepakat untuk menjadikan forum pertemuan empat negara ini berjalan berkelanjutan. Para Menlu juga akan melaporkan kepada kepala negaranya masing-masing untuk menyelenggarakan pertemuan serupa pada tingkat KTT dan tingkat teknis, yaitu pada level duta besar, agar manfaatnya dapat lebih konkrit. Sementara itu Perwakilan Perutusan Tetap RI di New York dan di Jenewa merupakan focal point Indonesia dalam forum ini. Menlu RI menegaskan bahwa meskipun sifat forum ini hanya melengkapi proses yang sedang digulirkan oleh Kuartet AS, Uni Eropa, Rusia dan PBB, namun
pengaruh forum ini tidak dapat diremehkan. Dari bobot politik, gaung keempat negara tersebut menandakan bahwa masalah Palestina ini tidak lagi hanya dibahas oleh Kuartet AS, Uni Eropa, Rusia dan PBB semata. Beberapa opsi yang dipaparkan oleh Menlu Al –Malki dalam pertemuan tersebut adalah membawa isu tersebut ke hadapan Majelis Umum PBB dengan pendekatan uniting for peace resolution sehingga ada kemungkinan Palestina diakui sebagai negara yang merdeka. Opsi lainnya adalah mengajukan resolusi serupa ke Dewan Keamanan PBB. Sementara itu beberapa kalangan di Palestina ada yang menghendaki agar moratorium dihentikan, sehingga dengan demikian Israel menjadi negara penjajah dan harus bertanggungjawab atas nasib rakyat Palestina.[]
No. 36 Tahun III
Diplomasi
6
F O K U S
KTT ASEAN - AS
Penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-Amerika Serikat II di New York, Amerika Serikat pada tanggal 24 September 2010 telah berhasil menyepakati sejumlah bidang yang menjadi prioritas kerjasama ASEAN dan AS kedepan. Bidang-bidang tersebut meliputi pendidikan, perdagangan dan kehutanan. Khusus dalam bidang kehutanan, Indonesia merupakan negara yang berinisiatif mengajukan bidang ini untuk di prioritaskan, karena menurut Indonesia isu-isu
ASEAN Mitra Strategis Bagi Amerika Serikat kehutanan itu berkaitan langsung dengan perubahan iklim. Kerjasama ASEAN-AS ini menganut prinsip kesetaraan, dimana masing-masing pihak akan memberikan sumbangsih, baik dalam bentuk dana maupun dukungan moril. Keterangan tersebut disampaikan oleh Wakil Presiden RI, Boediono, saat jumpa pers dengan media nasional seusai mewakili Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, menghadiri KTT ASEAN-Amerika Serikat II.
Dalam jumpa pers terebut, Wapres didampingi oleh Menlu, Marty Natalegawa; Kepala UKP4, Kuntoro Mangkusubroto; dan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, Dino Patti Djalal. Pertemuan ASEAN-AS II diselenggarakan dalam bentuk working lunch dan dipimpin oleh Presiden Viet Nam, Nguyen Minh Triet, dan Presiden AS, Barack Obama. KTT ASEAN-AS sebelumnya dilaksanakan di Singapura pada tahun 2009. Selaku wakil Indonesia,
Menlu Menandatangani Konvensi Internasional Menteri Luar Negeri RI, Dr. RM. Marty M. Natalegawa, pada tanggal 27 September 2010 di New York, Amerika Serikat, mewakili Pemerintah Indonesia menandatangani Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Konvensi ini melarang negara menghilangkan orang secara paksa dalam situasi apapun. Konvensi yang disahkan Majelis Umum PBB pada 20 Desember 2006 ini, sekarang telah ditandatangani oleh 84 negara. Konvensi ini menyatakan larangan penghilangan orang secara paksa baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik atau pun keadaan darurat lainnya di suatu negara. Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearances ditandatangani oleh Menlu Marty Natalegawa di Markas Besar PBB, New York, di sela pelaksanaan Debat Umum Sidang ke-65 Majelis Umum PBB. Konvensi yang tidak akan berlaku surut itu saat ini belum resmi diberlakukan karena menunggu
No. 36 Tahun III
Dok. wakoranews.co.cc
ratifikasi dari 20 negara. Hingga September 2010, baru 19 dari 84 negara yang telah meratifikasi konvensi ini. Penandatanganan konvensi yang dilakukan Pemerintah Indonesia ini sesuai dengan Rancangan HAM 2010-2014 serta advokasi dari berbagai kalangan masyarakat sipil di Indonesia yang secara aktif mengkampanyekan agar pemerintah menandatangani konvensi tersebut sejak 1988. Konvensi itu sudah ditandatangani,
dan sekarang tinggal digulirkan proses ratifikasinya oleh DPR. Menurut Menlu, penandatanganan konvensi oleh Indonesia akan memperkokoh peranan dan posisi Indonesia sebagai negara demokrasi. ”Penghilangan secara paksa jelas sangat bertentangan dengan prinsi-prinsip demokrasi kita. Jadi hari ini kita menunjukkan kepada masyarakat internasional komitmen kita,” kata Menlu.[]
Wapres Boediono, secara khusus menyampaikan apresiasi mengenai kontribusi dan kepedulian AS terhadap ASEAN dan kawasan. Keterlibatan AS dalam dinamika kawasan Asia Pasifik dan perkembangan arsitektur kawasan, antara lain diwujudkan melalui partisipasi AS pada East Asia Summit yang didasarkan pada prinsip sentralitas ASEAN. Indonesia menghargai sikap Presiden Obama dalam menyikapi pluralisme dengan mengedepankan toleransi beragama. Meskipun Islamphobia tidak disebut secara spesifik, namun hal tersebut tercermin dari beberapa kasus yang merebak akhir-akhir ini seperti rencana pembakaran Al-Quran di AS. Untuk bidang pendidikan, Menlu Marty Natalegawa menjelaskan bahwa hal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya kecenderungan menurunnya jumlah pelajar ASEAN, khususnya dari Indonesia, yang menimba ilmu di AS. Jika dibandingkan dengan 20 tahun lalu, jumlahnya merosot cukup tajam, karena banyak pelajar ASEAN yang lebih memilih melanjutkan pendidikannya ke China. Di bidang kehutanan, AS dan peserta KTT lainnya sepakat menerima usulan Indonesia. Pihak AS telah mengkaji secara seksama mengenai Letter of Intent IndonesiaNorwegia di bidang rebosiasi hutan dan konservasi lingkungan. Kerjasama ASEAN-AS ini merupakan win-win solution mengingat cukup banyak potensi yang masih dapat dikembangkan. KTT ASEAN-AS selanjutnya akan diselenggarakan di Indonesia yang merupakan Ketua ASEAN tahun 2011-2012. Bagi AS, ASEAN merupakan mitra ekonomi dan strategis yang penting. Menurut Ernest Bower, penasihat senior di Center for Strategic and International Studies, Washington, ASEAN akan menjadi titik tumpu perdagangan baru dan arsitektur keamanan di wilayah AsiaPasifik untuk abad ini. Mengingat pentingnya ASEAN bagi AS, sejumlah analis menyatakan bahwa Obama seharusnya mengundang para pemimpin ASEAN ke Gedung Putih, dan bukan mengadakan pertemuan di sela-sela sidang Majelis Umum PBB di New York.[]
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
Diplomasi F
O
K
U
S
7
Sidang Parlemen ASIA - Eropa
Perspektif Kerjasama AsiaEropa dalam Kemitraan yang Lebih Konkrit Herman Van Rompuy, Presiden Uni Eropa, bersama-sama dengan Steven Vanackere, Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Belgia, pada tanggal 27 September 2010 membuka secara resmi pertemuan AsiaEurope Parliamentary Partnership (ASEP) ke-6 di gedung Parlemen Federal Belgia yang terletak di kota Brussel dalam rangka kerjasama ASEM. Saat menyampaikan pidato peresmian Sidang Anggota Parlemen Asia dan Eropa tersebut, Steven Vanackere menyambut seluruh delegasi yang berjumlah sekitar 60 wakil-wakil dari 15 negara Asia dan 27 negara Eropa, dengan ucapan “Selamat Datang” dalam bahasa Indonesia, sebagai kalimat pembuka. Dalam sidang tersebut, delegasi Indonesia terdiri dari Tantowi Yahya (Komisi I DPR/Partai Golkar), Arisatrya Suryo Susilo (Komisi VI DPR/PDIP), Ma’mur Hasanuddin Adma (Komisi IV DPR/ PKS), Tatang Sutharsa (Sekretaris Delegasi BKSAP), Dian Wirengjurit (Direktur Kerjasama Intra Kawasan
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
Kemlu) serta Staf KBRI Brussel. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Hidayat Nur Wahid, sebagai Ketua BKSAP/Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR RI. Presiden Uni Eropa (President of European Council), Herman Van Rompuy, dalam pidato sambutannya menandaskan mengenai perlunya mengubah perspektif kerjasama Asia-Eropa dalam kemitraan yang lebih konkrit. Menurut Herman Van Rompuy, kepercayaan antara satu sama lain adalah modal dasar untuk bekerjasama dan saling membantu dalam mengatasi krisis global serta dampak perubahan iklim, yang merupakan sumbangan berharga bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat di kedua kawasan. Sementara itu, Steven Vanackere menegaskan bahwa kerjasama ASEM lebih dari sekadar menghadirkan para kepala negara/ pemerintahan negara Asia-Eropa, tapi juga merupakan forum bagi masyarakat sipil, people to people contact yang merapatkan para pengusaha, lembaga swadaya masyarakat/LSM, dan pemangku kepentingan yang ada ke arah terciptanya kualitas kehidupan yang lebih baik di kedua kawasan. Sidang Kemitraan Parlemen Asia-Eropa yang diselenggarakan pada tanggal 26-27 September di Brussel tersebut bertemakan “Tantangan Ekonomi sebagai Peluang Global Meningkatkan Kualitas Hidup”. Sidang tersebut berupaya mempersiapkan sebuah deklarasi, yaitu Declaration of the 6th Asia-Europe Parliamentary Meeting, yang berisi posisi bersama anggota parlemen Asia-Eropa dalam upaya meningkatkan kemajuan kualitas hidup masyarakat melalui pembangunan yang berkelanjutan, perlindungan lingkungan hidup,
pertumbuhan ekonomi yang baik serta perubahan struktur keuangan dan ekonomi global (financial and economic World Governance Structure), people to people contact, pengelolaan perompakan di laut (piracy at sea) serta langkah penguatan dan perluasan kemitraan AsiaEropa. Dalam sub panel diskusi mengenai pembangunan yang berkelanjutan, anggota delegasi Indonesia,Tantowi Yahya, menegaskan bahwa parlemen merupakan mitra strategis pemerintah didalam mengatasi persoalan yang terjadi di masyarakat, khususnya menyangkut pengentasan kemiskinan, pemerataan pendidikan dan kesejahteraan. Untuk itu maka sejak 7 September 2010, melalui pokja khusus, DPR RI secara tegas mendeklarasikan dukungan terhadap tujuan pembangunan millennium. Dalam hal ini, DPR RI mungkin satusatunya lembaga parlemen di dunia yang mendeklarasikan dukungan tersebut. Keterlibatan masyarakat AsiaEropa, sekalipun berupa pandangan kritis dalam menatap makna peningkatan kualitas hidup, yang diwakili melalui forum parlemen ASEM ini, pantas untuk disambut. Upaya melibatkan para pemangku kepentingan secara luas, dalam proses pemaknaan dan langkah yang harus ditempuh, adalah semangat kemitraan yang diperlukan. ASEM merupakan forum dialog yang memiliki outreach strategis, karena tidak hanya menyangkut komitmen, tetapi juga langkah bersama secara nyata guna meningkatkan kualitas hidup di masa mendatang. (Sumber : KBRI Brussels)
No. 36 Tahun III
Diplomasi
8
F O K U S Dian Wirengjurit Direktur Kerjasama Intra Kawasan Amerop
ASEM Telah Menghasilkan Berbagai Langkah Konkrit Pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Europe Meeting ke-8 (ASEM8) diselenggarakan pada tanggal 4-5 Oktober 2010, di Brussel, Belgia. Pertemuan kali ini ditandai dengan penerimaan secara resmi Australia, Rusia dan Selandia Baru sebagai mitra ASEM. Dengan demikian jumlah mitra ASEM menjadi 46 negara dan dua mitra tambahan, yaitu Sekretariat ASEAN dan Komisi Eropa. ASEM8 merupakan ajang bagi ke-48 Kepala Negara/ Kepala Pemerintahan Mitra ASEM untuk membahas perkembangan isu global dan regional yang menjadi perhatian bersama serta memformulasikan upaya untuk memperluas pengaruh kerjasama ASEM pada perkancahan politik internasional. Hubungan Asia-Eropa telah mengalami kemajuan yang pesat pada dekade terakhir ini. Hal ini ditandai dengan semakin kuatnya hubungan ekonomi antara kedua kawasan. Perdagangan antara Asia dan Eropa mencakup lebih dari 50% dari jumlah perdagangan global.
Dok. aseminfoboard.org
No. 36 Tahun III
Negara Mitra ASEM sendiri mewakili lebih dari 58% populasi dunia, serta 60% GDP Dunia. Di bidang politik, ruang lingkup kerjasama yang dilakukan semakin luas dan telah mencakup isu-isu antara lain hak asasi manusia dan penegakan hukum. Disamping itu kedua kawasan juga telah menjalin kerjasama dalam menghadapi tantangan global serta isu-isu keamanan seperti halnya kontra terrorisme. Dalam dekade terakhir, ASEM telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan pemahaman serta kerjasama antar kedua kawasan secara berkelanjutan. Hal ini telah diupayakan melalui berbagai pertemuan ASEM baik pada tingkat pejabat senior (Senior Officials Meeting), Menteri (Ministerial Meetings) maupun tingkat kepala Negara (KTT) yang diselenggarakan setiap dua tahun secara bergantian di Asia dan Eropa. ASEM telah memainkan peran besar dalam mempromosikan kontak dan dialog antara negara mitra, serta membangun identitas
bersama dari keragaman kedua kawasan. Sejumlah inisiatif kerjasama seperti dialog antar agama dan budaya juga secara signifikan mendorong sikap saling percaya dan kesepahaman antara Asia dan Eropa. ASEM telah menjadi penghubung antar berbagai stakeholder di luar pemerintahan, seperti komunitas bisnis, parlemen, LSM serta masyarakat madani. Asia Europe Foundation, organisasi ASEM pada pilar sosial budaya, telah membantu memajukan people-to people contact dalam kerangka kerjasama ASEM. Cukup jelas bahwa ASEM sebagai forum dialog telah berkembang dengan baik dan telah menghasilkan berbagai capaian konkrit di ketiga pilar ASEM, politik, ekonomi dan sosial budaya. Namun dalam dekade kedua ini, ASEM perlu untuk terus mengedepankan proses dialog dengan menekankan kejasama yang lebih konkrit (action oriented) dengan berasaskan kesetaraan dan saling menguntungkan. Penyelenggarakan ASEM8 di Brussels, Belgia, mengangkat tema “Quality of Life” yang mencakup segala aspek bagi peningkatan kesejahteraan serta martabat masyarakat di Asia dan Eropa. Sebagai forum dialog multidimensional, pada ASEM8 para pemimpin ASEM akan membahas beberapa topik, antara lain: Economic and Financial Global Governance; Sustainable Development ; Global and Regional Issues ; People-to-People Contact, Visibility dan Future of ASEM. Pada akhir KTT, para Kepala Negara/Pemerintahan akan mengesahkan “Chair Statement of the Eight ASEM Summit” serta “Declaration on economic Global
Governance”. Bagi Indonesia, ASEM merupakan “jembatan” yang dibangun untuk mengurangi celah (gap) antara kedua kawasan. ASEM juga merupakan salah satu media bagi Indonesia untuk memperkuat posisi diantara negara-negara Asia dalam bekerjasama dengan Eropa (UE). Dalam 12 tahun terakhir Indonesia telah menjadi sponsor maupun tuan rumah bagi berbagi pertemuan-pertemuan dalam kerangka kerjasama ASEM. Selain itu, Indonesia juga aktif berpatisipasi dalam berbagai program budaya dan people-to-people contacts yang diselenggarakan oleh Asia-Europe Foundation (ASEF). Pada tahun 2010, Indonesia telah menjadi tuan rumah bagi pertemuan 2nd ASEM Prepatory Senior Officials Meeting for the 4th ASEM Culture Minister Meeting (Solo, 16-17 Mei 2010), 2nd ASEM Development Conference (Yogyakarta, 25-26 Juni 2010), ASEM Forum on Research and Development of ICT (Bandung, 2021 Juli 2010) dan pada akhir tahun ini akan menyelenggarakan the 1st ASEM Mayors and Governors di Jakarta, 27-29 Oktober 2010. Selama ini Indonesia telah berperan sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan ASEM dan Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah hadir dalam KTT ASEM7 di Beijing tahun 2008. Namun mengingat komitmen yang sudah dibuat sebelumnya, untuk KTT kali ini Presiden RI dengan sangat menyesal tidak dapat menghadirinya. Namun demikian, mengingat pentingnya ASEM bagi Indonesia, maka pemerintah RI mengirimkan delegasi tingkat tinggi pada konferensi ASEM8.[]
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
Diplomasi
Dok. kids leki
k.com
l
Begi Hersutanto
Staff Ahli Komisi I DPR RI Dalam pemetaan paradigma politik internasional saya lebih percaya pada realisme ortodoks dimana kita tidak bisa meminta negara lain untuk tidak mengganggu kita, termasuk juga bahwa kita tidak bisa meminta negara lain untuk tidak mengganggu perbatasan kita. Yang bisa kita lakukan adalah melihat secara internal bagaimana kita membenahi diri, dan dalam hal ini saya percaya betul bahwa border can make good neighbor, bahwa garis batas yang jelas dapat menjadikan hubungan bertetangga yang baik. Terkait dengan hal tersebut, ternyata ada disparitas pendekatan dan pemahaman, baik di Indonesia maupun di Malaysia, tentang wilayah perbatasan. Bagi Malaysia, nilai perbatasan itu jelas sekali, secara kongkrit dapat kita lihat bahwa bagi mereka perbatasan adalah wilayah yang strategis. Tapi bagi Indonesia, disadari atau tidak, kita selalu menganggap bahwa wilayah perbatasan adalah wilayah yang terpencil. Untuk menjembatani permasalahan tersebut, Komisi I DPR RI 2004-2009 pernah berupaya untuk melakukan suatu terobosan, walaupun pada akhirnya hal itu menimbulkan masalah terminologi kebahasaan. Waktu itu Komisi I DPR RI berupaya untuk memperkenalkan istilah ’wilayah terluar’ dengan ’wilayah atau pulaupulau terdepan’, tapi ternyata istilah itu tidak dikenal dalam UNCLOS 1982, istilah itu tidak terakomodasi didalam terminologi hukum laut. Pada akhirnya hal itu menjadi sesuatu yang sambil lalu saja, dimana sampai sekarang sebetulnya Komisi I DPR RI berupaya untuk mempertahankan istilah tersebut walaupun pada akhirnya tidak konsisten juga.
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
e
n
s
a
9
Soal Perbatasan Kemlu Selalu Menjadi Sasaran Tembak Terkait dengan hal tersebut, dan kalau kita bandingkan antara wilayah perbatasan Indonesia dengan wilayah perbatasan Malaysia, terdapat jeda kondisi infrastruktur yang luar biasa. Kalau misalnya kita berangkat dari Pontianak menuju ke perbatasan di Entikong, setidaknya diperlukan watu perjalanan darat sekitar 7-8 jam, dan di sepanjang perjalanan itu, pemandangan yang dapat kita saksikan di kiri-kanan jalan itu bukanlah pemandangan yang menarik untuk dilihat, karena lebih banyak menampilkan kemiskinan dan belum terbangunnya infrastruktur secara baik dan sebagainya. Sementara selepas dari Entikong, yaitu dari Tebedu menuju Kuching, waktu yang ditempuh dalam perjalanan darat tersebut hanya sekitar 2 jam saja, karena jalannya sudah highway dan infrastruktur seperti hotel, toko, dan sebagainya tersedia lengkap disana. Ini jelas merupakan disparitas yang luar biasa. Ironisnya, dalam segi pertahanan, para personil TNI kita yang bertugas di wilayah perbatasan terkendala oleh masalah infrastruktur ini. Dalam kondisi tertentu, terkadang untuk menghubungkan dua titik wilayah di perbatasan Indonesia, yang mereka tempuh melalui wilayah Indonesia, itu memerlukan waktu 12-18 jam atau seharian. Tetapi kalau mereka menempuhnya dengan memasuki wilayah Malaysia, itu hanya memerlukan waktu 3-4 jam. Hal-hal tersebut masih kita alami dalam upaya pelaksanaan pengawasan dan pengamanan perbatasan. Karena itu pembangunan infrastruktur di wilayah perbatasan itu menjadi sangat krusial sifatnya. Belum lama ini sebetulnya sempat muncul wacana pembangunan jalan perbatasan paralel di wilayah sebagian perbatasan di Kalimantan Timur, tapi kemudian muncul sinisme terhadap wacana tersebut, diantaranya mereka beralasan untuk apa membangun jalan besar-besar disana karena siapa yang akan melalui jalan tersebut. Bagi saya ini merupakan pandangan yang sangat ironis, sementara keberadaan jalan paralel itu sifatnya krusial. Kalau dilihat dari sisi anggaran, pembangunan jalan paralel tersebut hanya membutuhkan dana sekitar Rp 5,6 trilyun, sedangkan jembatan Suramadu itu membutuhkan dana sekitar Rp 10,2 trilyun. Padahal kalau kita dapat merealisasikan pembangunan jalan paralel tersebut, kita akan memperoleh dampak yang sangat luar biasa terhadap kawasan perbatasan. Terkait dengan hal ini, saya menyatakan salut kepada Bupati Malinau di Kalimantan Timur, karena saat melakukan kunjungan kerja kesana,
dalam perjalanan di kabupaten yang terpencil tersebut, tiba-tiba kami melalui sebuah jalan raya yang cukup besar dan pembatas jalannya berupa pot-pot tanaman. Ketika kami menanyakan hal tersebut, Bupati Malinau menjelaskan bahwa itu merupakan bagian dari upaya emergency, karena hanya dengan memindahkan pot-pot tanaman tersebut, pesawat-pesawat TNI bisa landing disitu. Itu merupakan visi yang luar biasa dari seorang bupati yang berada di pedalaman. Masalah wilayah perbatasan ini sesungguhnya bersifat lintas sektoral, namun dalam beberapa kasus yang saya amati, Kemlu selalu dijadikan sebagai sasaran tembak yang empuk untuk dipersalahkan atau dipertanyakan kinerja diplomasinya. Padahal sebetulnya problem riil dari masalah perbatasan itu tidak semata-mata hanya ada ditangan Kemlu, setidaknya ada 37 instansi, baik kementerian, pemda dan instansi lainnya yang ikut menangani wilayah perbatasan. Tentunya mereka juga memiliki anggaran masing-masing, namun masalahnya tidak ada sinergi di situ. Terkait dengan permasalahan perbatasan, disamping diperlukan adanya pendekatanpendekatan diplomasi dengan negara tetangga, tidak dipungkiri kita juga memerlukan upayaupaya pengawasan dan pengamanan. Faktor pengamanan ini secara psikologis setidaknya bisa memberi dampak kepada pihak lain untuk berfikir seribu kali jika ingin melakukan tindakan yang macam-macam terhadap perbatasan kita. Selanjutnya kalau ingin menyelesaikan masalah perbatasan, maka kita harus melihatnya sebagai dua sisi mata uang, dimana satu sisi kita memerlukan adanya pengawasan/ pengamanan dan disisi lain harus dibarengi dengan adanya upaya pengelolaan wilayah perbatasan. Adanya jeda sosial-ekonomi di wilayah perbatasan, itu juga merupakan salah satu hal yang berkontribusi, sehingga munculnya halhal seperti Askar Wathaniah di tahun 2008, dikarenakan kondisi kesejahteraan masyarakat di wilayah kita lebih jelek dibandingkan wilayah negara tetangga. Dan tentu saja yang terjadi adalah hukum alam, yaitu ’ada gula ada semut’, dan warga kita yang berada di wilayah perbatasan melihat bahwa ’gula’ tersebut berada di wilayah negara tetangga. Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa kita harus merubah paradigma kita tentang wilayah perbatasan, bahwa wilayah perbatasan itu merupakan wilayah yang strategis. Disamping itu, dalam hal penanganan masalah perbatasan, diperlukan adanya keseimbangan antara pengawasan/pengamanan dan pengelolaan wilayah perbatasan. []
No. 36 Tahun III
Diplomasi
10
l e n s a
Dok. innercitypress
RI - Malaysia Persoalan Perbatasan Ibarat Dua Ekor Landak di Malam yang Dingin
Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA. Pakar Hukum Laut
Didalam mengelola dan membahas perbatasan, pelajaran Dok. presidensby.info yang saya peroleh sewaktu sekolah beberapa puluh tahun yang lalu, ada beberapa prinsip pokok yang harus kita perhatikan. Pertama, bahwa masalah perbatasan sama halnya seperti dua ekor landak di malam hari yang dingin, dimana kalau jauh mereka merasa dingin dan ingin berdekatan, tetapi kalau terlalu dekat mereka akan saling melukai. Jadi masalah yang utama adalah bagaimana kita menjaga hubungan kedekatan yang terkendali. Karena kalau tidak, nanti akan seperti hubungan Indonesia dan Malaysia, dimana seringkali mereka merasa kedinginan kalau terlalu jauh, tetapi kalau terlalu dekat mereka saling cakar-cakaran. Kedua, bahwa dalam hubungan internasional juga sering dikatakan; ’batas yang jelas antara dua negara akan menjadikan tetangga yang baik’. Kalau garis perbatasan antara dua negara itu tidak jelas, maka mereka akan berkelahi. Kebijakan Indonesia selama 40 tahun ini, yaitu sejak tahun 69-70, adalah mencoba
No. 36 Tahun III
untuk meyakinkan tetangga kita untuk membuat penetapan garis batas yang jelas agar bisa mengembangkan hubungan yang baik diantara dua negara. Tetapi tetangga kita terkadang tidak yakin tentang perlunya penetapan garis batas yang baik, sehingga cukup lama kita berbicara dengan Singapura dan Malaysia mengenai bagaimana membuat garis batas yang jelas. Jadi prinsip pokok ini harus bisa kita pegang. Ketiga, bahwa masalah perbatasan itu adalah highly emotional, dimana orang akan cepat tergoda untuk melakukan pembakaran, ganyang dan tindakantindakan lainnya yang sangat drastis. Bahkan ada ungkapan bahwa setiap jengkal wilayah kedaulatan negara itu harus dipertahankan hingga tetes darah terakhir, dan berbagai macam ungkapan lainnya. Apalagi kalau masalah perbatasan ini sudah sampai di media massa, dimana tendensinya tidak menenangkan masyarakat dan seringkali justru memanasmanasi masyarakat. Di belahan dunia manapun, isu perbatasan itu memang selalu begitu. Keempat, seringkali terjadi bahwa penyelesaian masalah perbatasan itu memerlukan ketekunan, keseriusan, kesabaran dan pemahaman tentang isu-isu yang terkait dan sebagaiya. Kelima, walaupun batasnya sudah jelas dan ditetapkan dengan agreement kita tetap harus menjaga perbatasan itu secara benar. Dalam hal ini kita harus memahami benar apa sebenarnya perbatasan itu. Karena itu saya agak kaget dengan isu Tanjung Perak dimana kedapatan peralatan radar yang digunakan pengawas perbatasan laut kita ternyata baterainya habis. Hal semacam itu seharusnya tidak perlu terjadi seandainya ada perhatian yang cukup besar terhadap permasalahan perbatasan.
Jadi dalam hal ini peralatan dengan teknologi yang memadai sangat diperlukan untuk menjaga perbatasan. Rumah kita yang sudah jelas batasnya dan dipagar, tetap saja maling bisa masuk, apalagi dengan perbatasan yang sifatnya terbuka, kalau itu tidak dijaga maka orang akan masuk. Itu merupakan prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam masalah perbatasan dan harus dipahami secara benar apa perbatasan itu ?. Antara Indonesia dan Malaysia, paling tidak ada 4 perbatasan, yaitu batas darat, laut, dasar laut dan udara. Itu adalah perbatasan yang terkait dengan Malaysia, kalau dengan Singapura kita tidak ada batas darat, yang ada adalah batas laut, dasar laut dan udara. Dalam hal perbatasan laut, paling tidak ada 4 komponen, yaitu ; Batas Teritorial, dimana kita punya kedaulatan; Batas Yurisdiksional, artinya kita tidak punya perbatasan wilayah tetapi kita punya kewenangan-kewenangan tertentu, Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Batas Landas Kontinen, kalau hal ini tidak dipahami maka kita akan berkelahi terus. Yang dimaksud dengan teritorial Indonesia di laut, ada dua hal yaitu batas perairan Nusantara dan batas perairan laut teritorial sepanjang 12 mil. Dalam hal batas perairan Nusantara, ini sudah tidak ada permasalahan lagi, karena sejak 1981 sudah ada agreement yang sudah diratifikasi oleh Indonesia dan Malaysia. Agreement tersebut menetapkan batas perairan Nusantara, mulai dari Natuna, Serawak sampai ke Tanah Ampat dan Aceh semuanya sudah ada garis batas yang mengelilingi Nusantara, dan sudah disetujui. Selanjutnya mengenai batas teritorial sepanjang 12 mil, itu juga sudah ada agreement antara Indonesia-Malaysia. Khusus di tempat-tempat yang jaraknya
kurang dari 24 mil, misalnya di selat Malaka, kita sudah memiliki agreement sejak tahun 70-an. Yang masih ada permasalahan adalah perbatasan di selat Singapura. Sementara ditengah-tengah antara Indonesia dengan Singapura, itu juga sudah ada garis batasnya sejak tahun 70-an, akan tetapi garis itu memang belum tersambung ke barat dan ke timur. Sengketa Tiga Batu Karang Sengketa Tiga Batu Karang, bukan persoalan Indonesia. Ini adalah persoalan antara Singapura dan Malaysia yang berselisih mengenai kepemilikan atas Tiga Batu Karang yang letaknya persis ditengah-tengah antara Johor dan Bintan yang besarnya masingmasing hanya sekitar 2 meter persegi, bahkan satu diantaranya hanya muncul kalau laut sedang surut. Namun kepemilikan batu karang ini dipersoalkan selama bertahun-tahun antara Malaysia dan Singapura. Jadi kesulitan kita adalah tidak tahu harus bicara dengan siapa, dan celakanya pada 1979, Malaysia menggunakan Tiga Batu Karang itu untuk mengukur batas teritorialnya sepanjang 12 mil. Singapura memprotes hal tersebut, sementara Indonesia tidak mengakuinya. Kita mempersoalkan apakah Batu Karang yang hanya sebesar meja itu mempunyai hak atas teritorial 12 mil laut, dan masih banyak lagi sanggahan yang kita sampaikan. Poinnya disini adalah bahwa isu itu merupakan highly technical matter dan tidak mudah untuk menyelesaikannya. Pada 2008, Mahkamah Internasional (MI) telah menetapkan keputusan kepemilikan atas batu karang tersebut, namun keputusan ini justru membuat persoalannya menjadi tambah kacau dan tidak jelas. Dalam putusannya MI mengatakan bahwa batu karang yang paling utara adalah milik Singapura, yang ditengah milik Malaysia, dan yang di selatan adalah milik negara dimana batu
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
Diplomasi LENSA karang itu terletak, yaitu di laut negara mana dia terletak. Yang menjadi masalah adalah itu laut siapa. Jadi itu yang membingungkan bagi kita, apakah berbicara dengan Singapura atau Malaysia. Tapi semua ini adalah masalah teknis dan tidak gampang untuk menyelesaikannya. Jadi perjuangan yang berat bagi kita, diantaranya adalah faktor tersebut, yaitu ketidakjelasan mengenai batas-batas laut, sebab terdapat pemahaman yang berbeda. Selain itu ada batas dasar laut, dimana masalah ini telah lama diselesaikan oleh Indonesia dan Malaysia. Misalnya di selat Malaka bagian utara hingga ke Thailand, itu sudah ada garis batas dasar lautnya sejak tahun 70-an. Di perairan Natuna, Anambat di Kalimantan Barat itu juga sudah ada garis batas dasar lautnya untuk keperluan eksplorasi migas dan segala macamnya, jadi yang belum ada adalah di sebelah timur. Ketiga, batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang diukur 200 mil dari garis pantai, itu ditetapkan sebagai milik Indonesia. Untuk perairan yang jaraknya kurang dari 400 mil, itu berarti harus ditetapkan batasnya. Indonesia sudah berkalikali mendesak Malaysia untuk berunding mengenai garis batas ZEE ini, karena hingga hari ini kita belum memiliki kesepakatan. Kemudian Batas Landas Kontinen, dimana garis batas landas kontinen di Kalimantan Timur itu tergantung dari kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan waktu itu. Dalam hal ini, berita yang muncul di media selalu mengatakan bahwa Indonesia kehilangan dua pulau tersebut, padahal Indonesia tidak pernah kehilangan wilayahnya. Yang terjadi adalah bahwa pada awalnya Indonesia dan Malaysia sama-sama tidak tahu dua pulau itu milik siapa. Ketika saya bersamasama dengan pak Mochtar Kusumaatmadja dan Benny Murdani datang ke Kuala Lumpur pada 1969 untuk membahas mengenai perbatasan laut, saat itu ada dua peta. Peta Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960, tidak memasukkan Sipadan dan Ligitan kedalam wilayah Indonesia. Demikian juga dengan peta Malaysia yang ditunjukkan
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
waktu itu, dia tidak memasukkan Sipadan dan Ligitan kedalam wilayah Malaysia. Oleh karena itu kita bingung siapa sebenarnya pemilik dua pulau ini, maka kemudian kita melakukan perundingan selama bertahuntahun, yang pada akhirnya muncul keputusan politik untuk membawa permasalahan ini ke MI. Ketika permasalahan ini diserahkan ke MI, maka isunya kemudian terlepas dari tangan diplomat. Ketika masuk ke pengadilan, isu Sipadan dan Ligitan itu sudah bukan lagi isu politik, melainkan isu hukum yang ditangani oleh para lawyer. Masing-masing menyewa para ahli hukum dari Eropa, merekalah yang berdebat di pengadilan, dan pada akhirnya MI memutuskan bahwa Indonesia tidak mempunyai cukup bukti sebagai pemilik dari dua pulau tersebut. Ternyata Belanda dinilai tidak banyak melakukan kegiatan di pulau tersebut dibandingkan dengan Inggris, sehingga pada akhirnya oleh MI ditetapkan bahwa Sipadan dan Ligitan adalah milik Inggris, karena itu kemudian diserahkan kepada Malaysia. Jadi sejak kita mulai membahas kelautan pada 1950, Indonesia justru memperoleh penambahwan wilayah dan tidak ada sejengkalpun wilayahnya yang hilang. Selanjutnya dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan dengan Malaysia, kita berpegang pada bahwa Malaysia mengakui Wawasan Nusantara dan Indonesia sebagai negara kepulauan. Sebelum Konvensi Hukum Laut, Indonesia dan Malaysia telah memiliki agreement tahun 1981, dimana dalam agreement tersebut antara lain dikatakan bahwa Malaysia mengakui Wawasan Nusantara dan Indonesia mengakui hak-hak Malaysia. Ada dua hak Malaysia yang perlu diketahui disini, yaitu hak Malaysia untuk bisa berhubungan antara Malaysia Barat dengan Malaysia Timur. Di dalam agreement itu disebutkan koridor dan segala sesuatunya serta petanya. Kedua, Malaysia mempunyai hak traditional fishing di bagian-bagian tertentu kepulauan Anambat, jadi bukan di kepulauan Natuna. Didalam agreement itu juga ditetapkan
koordinatnya, jadi itu jelas clear. Kemudian agreement itu juga sudah diratifikasi oleh DPR melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1983. Itu merupakan faktor-faktor yang harus kita perhatikan dalam permasalahan perbatasan dengan Malaysia. Mengenai cara penyelesaian dispute area, didalam mekanisme internasional dikenal ada tiga cara. Dalam Piagam PBB dan Hukum Laut Internasional juga demikian. Pertama, melakukan perundingan hingga tercapai kesepakatan, dimana dalam hal ini siapa yang tahan tentu akan memenangkan perundingan, maka tema pokok dalam perundingan adalah sabar, persisten, dan konsisten dengan semangat yang baik untuk mencari penyelesaian. Kedua, mekanisme tripartiet, apakah itu melalui Mahkamah Internasional, arbitrase atau mediator. Karena sudah memiliki pengalaman ke Mahkamah Internasional, maka Indonesia tidak terlalu suka melalui jalur ini. Ketiga, melalui border joint cooperation, baik dalam bidang sumberdaya alam, keamanan, dan bidang-bidang lainnya. Faktor-faktor yang harus kita perhatikan dalam hal ini; pertama, bahwa Indonesia dan Malaysia itu banyak memiliki common interest, karenanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Selama Konferensi Hukum Laut, yang dimulai sejak tahun 1969, Indonesia dan Malaysia sudah melakukan kerjasama pengelolaan Selat Malaka hingga hari ini, dimana dalam hal ini kita tidak selalu sependapat dengan Singapura, tapi dengan Malaysia kita banyak sependapat. Bahkan sudah ada mekanisme-mekanisme yang kita atur dalam pengelolaan Selat Malaka tersebut. Didalam berbagai permasalahan hukum laut, umumnya Indonesia banyak sependapat dengan Malaysia dibanding dengan Singapura. Hal itu dikarenakan common interest itu tadi, baik itu menyangkut kepentingan ekonomi, keamanan, empowerement dan sebagainya. Kedua, adalah soal hubungan historis; dan ketiga, adalah pentingnya pengembangan HAM ASEAN. Mengingat semua permasalahan
11
tersebut, saya rasa ada dua poin yang barangkali perlu kita pertimbangkan, pertama adalah lebih banyak melakukan border cooperation dalam mengatur lintas batas, baik di perbatasan darat maupun laut, walaupun sebetulnya kita sudah ada border joint cooperation dengan Malaysia. Kita juga sudah mempunyai General Border Committe (GBC) yang membawahi isu-isu perbatasan, jadi kerjasama itu mungkin bisa lebih di intensifkan melalui GBC. Kedua, mungkin kita perlu melakukan pendekatan yang sifatnya non-diplomatik, sebagaimana pernah kita lakukan dengan Singapura. Ketika hubungan Indonesia dan Singapura memburuk akibat isu hukuman mati terhadap 2 anggota KKO kita, saya ditugaskan oleh pak Soemitro untuk melakukan upaya guna memperbaiki hubungan kedua negara, karena pada waktu itu ASEAN baru berdiri, yaitu sekitar tahun 1971-1972. Dalam hal ini saya tidak menggunakan tata cara diplomasi sebagaimana biasanya, melainkan melalui pendekatan non-diplomatik. Dalam kesempatan tersebut kita minta Singapura untuk mengajukan hal-hal yang tidak disukai mereka terhadap Indonesia dan demikian juga sebaliknya. Ternyata Singapura mengajukan enam hal, termasuk diantaranya isu bahwa Indonesia akan menelan Singapura mentahmentah pada suatu saat. Setelah kita rundingkan, ternyata sebagian besar permasalahan yang diajukan itu hanyalah berupa persepsi. Permasalahan atau isu yang riil itu hanya 2-3 poin saja, seperti misalnya isu ekstradisi, garis batas laut, serta kerjasama perdagangan dan ekonomi, sehingga satupersatu permasalahan itu dapat kita selesaikan. Pertanyaan saya adalah, mungkinkah model ini kita lakukan kepada Malaysia dengan sangat informal. Bisakah kita melakukan informal meeting melaui kelompok-kelompok kecil untuk mengidentifikasi isu-isu apa yang mungkin menyakitkan bagi kedua negara, yang menurut kita seperti landak dimalam yang dingin itu tadi. Melalui cara ini mudah-mudahan satu persatu permasalahan hubungan Indonesia-Malaysia dapat kita atasi.[]
No. 36 Tahun III
Diplomasi
12
k
i
l
a
s
Interfaith Dialo
Penghormatan Terhadap Agam
No. 36 Tahun III
Sistem Hukum, Isu-isu Terkini, serta Pengelolaan Kemajemukan Budaya dan Agama. Dalam hal Demokrasi dan Agama, antara lain dibahas mengenai bagaimana demokrasi telah menciptakan kebebasan
berekspresi, sementara pada saat yang bersamaan muncul dilema baru terkait dengan kebebasan dan harmoni, serta keberagaman dan kesetaraan dalam hal hak bekewarganegaraan. Mengenai HAM dan Sistem Dok. diplik
Hukum, diskusi yang mengemuka adalah mengenai bagaimana upaya negara dalam melindungi warganya dari berbagai ancaman yang datang dari komunitas agama lain, serta upaya yang perlu dilakukan untuk menghindari adanya pertentangan
” Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, yang berkenan menyampaikan keynote speech saat opening ceremony, memaparkan berbagai success story dan kendala yang dihadapi dalam penanganan kerukunan hidup beragama di Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, GKR Hemas menekankan pentingnya peran serta kerjasama pemerintah dengan pemuka agama dan masyarakat.”
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas menyampaikan sambutan pada acara pembukaan simposium. Dok. diplik
Kegiatan Dialog Lintas Agama antara Austria dan Indonesia tahun ini mengambil tema: “Enhancing Cooperation between Indonesia and Austria through the Promotion of Respect on Religious and Cultural Diversity”. Dialog ini berlangsung pada tanggal 22-24 September 2010 di Yogyakarta dan diselenggarakan secara berturutturut di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka). Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, yang berkenan menyampaikan keynote speech saat opening ceremony, memaparkan berbagai success story dan kendala yang dihadapi dalam penanganan kerukunan hidup beragama di Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, GKR Hemas menekankan pentingnya peran serta kerjasama pemerintah dengan pemuka agama dan masyarakat. Melihat berbagai perkembangan yang memprihatinkan di dunia saat ini, GKR Hemas berpendapat bahwa dialog antara negara mengenai kerukunan hidup beragama, saat ini menjadi sangat penting. Pada kesempatan tersebut, Acting Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kemlu RI, Kusuma Habir, membacakan sambutan Wakil Menteri Luar Negeri RI dan menyampaikan bahwa Indonesia dan Austria memiliki potensi untuk bekerjasama dalam menciptakan kehidupan yang harmonis diantara umat beragama. Kusuma Habir mencontohkan komitmen yang dapat dijadikan landasan bagi terjalinnya kerjasama yang erat, yaitu pengembangan kerjasama pendidikan untuk meningkatkan pemahaman antar pemeluk agama. Selama dua hari, para tokoh lintas agama, akademisi dan media dari kedua negara telah membahas secara mendalam isu-isu mengenai Demokrasi dan Agama, HAM dan
Dr. Wenning Udasmoro dan Prof. Irmgard Marboe (Asutria) menyampaikan papran dan presentasi pada forum interfaith dialogue RIAustria.
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
Diplomasi k
i
l
a
s
13
ialogue RI - Austria
ma dan Keberagaman Budaya kurukunan umat beragama serta implementasi dan kendala di lapangan, khususnya tantangan dimana saat ini Uni Eropa telah menjadi komunitas yang majemuk, sementara masyarakatnya masih banyak yang memiliki mispersepsi
dan misinterpretasi yang keliru mengenai Islam dan terorisme. Di sela-sela dialog, delegasi Austria juga memperoleh kesempatan mengunjungi Gereja Ganjuran, Pesantren Pandanaran, Candi Borobudur, Mendut dan
Dok. diplik
antara hukum dengan kebebasan beragama. Terkait dengan Isu-isu Terkini dan Pengelolaan Kemajemukan Budaya dan Agama, dialog juga membahas mengenai upaya kedua negara dalam membina
Dok. diplik
Kunjungan peserta Dialog lintas Agama RI - Austria di Gereja Ganjuran.
Bikku Djothidammo (Seminari Budha, Mendut) Dr. Michael Weninger (Head of Austrian Delegation, from the Federal Ministry of European and International Affairs), dan Prof. Dr. Machasin, MA (Direktur Pendidikan Islam, Kementerian Agama pada acara penutupan.
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
Prambanan untuk melihat keanekaragaman budaya di Indonesia, serta melakukan public lecture di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM. Dalam acara penutupan Dialog Lintas Agama Indonesia-Austria ke-2 tanggal 24 September 2010, Candi Mendut menjadi saksi disepakatinya rekomendasi antara masyarakat madani IndonesiaAustria. Masyarakat kedua negara sepakat untuk meningkatkan pemahaman dan toleransi antar umat beragama melalui kerjasama pendidikan dan menilai pentingnya peningkatan upaya pembelajaran “lesson learned” dari masyarakat madani kedua negara agar dapat lebih meningkatkan toleransi dan menghargai keberagaman kedua negara. Kegiatan di Yogyakarta ini merupaan kelanjutan dari berbagai inisiatif yang telah dilaksanakan oleh kedua negara, antara lain Indonesia-Austria Exchange of Diplomats, dengan menempatkan diplomat dari masing-masing negara untuk bekerja di unit masingmasing Kemlu yang menangani interfaith dan intercultural dialogue pada tahun 2008. Serta diselenggarakannya dialog lintas agama pertama di Wina pada tanggal 27–29 Mei 2009 dengan tema “State, Law and Religion in Pluralistic Societies – Indonesian and Austrian Perspectives”. Sementara itu, pada tahun 2010 ini merupakan pertama kalinya, seorang pengajar dan 4 (empat) mahasiswa CRCS UGM mengikuti program singkat Vienna International Christian Islamic Summer University (VICISU). Kegiatan ini dapat diselenggarakan dengan baik atas kerjasama Kemlu RI dengan Kementerian Agama RI, Kemlu Austria, KBRI/PTRI Wina, Kedubes Austria di Jakarta serta UGM dan UIN Sunan Kalijaga. []
No. 36 Tahun III
Diplomasi
14
LENSA
Menlu Sudah Tepat Dalam Mengelola Sengketa Perbatasan RI – Malaysia KH. Hasyim Muzadi Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS) Dok. matanews
Terkait insiden perbatasan dengan Malaysia, adalah tidak adil jika sebagian kalangan menyudutkan Menteri Luar Negeri RI, karena kekuatan diplomasi sebuah negara ditentukan oleh kondisi di dalam negerinya. Diplomasi ke luar negeri itu ibarat etalase sebuah toko, dimana etalase itu tidak mungkin akan menarik jika isinya juga tidak indah. Dalam kondisi Indonesia yang demikian lemah dalam berhadapan dengan Malaysia ataupun negara lainnya, tidak mungkin ada diplomat yang seulung apapun yang bisa menjadi diplomat yang sukses. Jadi kalau kita menginginkan Menlu itu signifikan, maka faktor politik, keamanan, ekonomi dan integritas bangsa ini harus dibenahi lebih dahulu, setelah itu baru kemudian kita bangun kebijakan luar negeri kita. Sekarang ini yang bisa dipromosikan oleh Indonesia ke luar negeri sebenarnya hanya tinggal toleransi beragama dan konteks founding father didalam menentukan negara yang mayoritas Muslim tapi tidak dalam bentuk negara Islam. Dan di dalam prakteknya, itupun belum pernah dicapai oleh Indonesia secara utuh selama 65 tahun. Hanya tinggal itu saja yang dimiliki oleh Indonesia, dan ketika hal ini dirusak, maka tidak ada lagi yang bisa kita bicarakan di luar negeri. Jadi saya kira tidak adil jika kemudian kelemahan-kelemahan tersebut ditimpakan kepada Kementerian Luar Negeri, apalagi permasalahan Indonesia dengan Malaysia itu adalah gabungan antara ekonomi, politik, militer dan integritas. Kalau faktor-faktor tersebut kemudian mandek semuanya, lalu apa yang bisa kita diplomasikan. Artinya bahwa dalam kondisi seperti ini, yang bisa kita cari itu adalah maneuver-maneuver sementara yang bisa menyelamatkan muka. Kalau dalam hal ini, diplomasi kita sudah jitu. Sama seperti ketika kita pertama kali merdeka, dimana Indonesia dalam keadaan carut-marut, tetapi Menlu KH. Agus Salim bisa menutupi, bahwa Indonesia tidak seperti itu. Tetapi walau bagaimanapun, hal itu tidak bersifat permanen. Saya kira Menlu Dr. Marty M. Natalegawa sudah bekerja dengan baik, begitupun dengan Menlu sebelumnya. Dr. N. Hasan Wirajuda sudah berprestasi didalam membagi diplomasi sehingga sekarang menjadi utuh karena adanya first track dan second track diplomacy. Artinya bahwa di luar negeri, dua dasar diplomasi ini sudah bertemu dalam satu kebijakan. Namun hal ini masih terbatas pada masalah-masalah tertentu dan belum signifikan dalam masalah politik, ekonomi, militer dan integritas. Sehubungan dengan posisi Indonesia di ASEAN, maka unsur-unsur
No. 36 Tahun III
penegakan di dalam negeri harus dilakukan agar bisa kita promosikan melalui ASEAN. Kalau dengan Malaysia, menurut saya yang bagus itu melalui diplomasi persaudaraan dan keagamaan, karena hal itu melandasi diplomasi formal. Sebab kalau dihitung dari segi formal, posisi Indonesia itu berada satu strip dibawah Malaysia. Kita berada dalam posisi memerlukan Malaysia, terkecuali kalau Indonesia memiliki wibawa untuk menarik semua orang Indonesia dari Malaysia. Kalau hal itu bisa dilakukan, maka itu merupakan kartu truf bagi Indonesia, karena Malaysia tidak mungkin bisa melakukan pembangunan tanpa adanya 2 juta orang Indonesia. Tetapi masalahnya adalah, apakah kalau mereka dikomando untuk pulang kembali ke Indonesia, kemudian mereka bersedia kembali ? Apakah kita bisa seperti Yaman, ketika terjadi perang Irak, Yaman membela Irak, sementara Saudi bergabung dengan AS. Saat itu, sekitar satu juta orang Yaman berada di Saudi, dan ketika mereka dikomando untuk pulang kembali ke Yaman, dengan serta-merta mereka semua pulang kembali ke Yaman. Hanya dalam tempo dua hari, tidak ada satupun orang Yaman yang berada di Saudi. Dan tampaknya Indonesia tidak bisa melakukan hal itu. Sebenarnya cukup banyak sektor yang kita miliki untuk menghadapi Malaysia, namun sektor-sektor tersebut masih memerlukan pembenahan. Pertama, kita memiliki sumberdaya alam yang melimpah, akan tetapi masalahnya adalah dalam hal pengelolaannya. Potensi sumberdaya alam yang kita miliki tidak tergali dengan maksimal. Kedua, sistem komunikasi dan perdagangan. Sekarang ini kita sudah membuka pintu kebebasan untuk berinvestasi di Indonesia, tetapi para investor itu masih enggan menanamkan modalnya di sini karena faktor cost yang tidak
bisa dipastikan dan faktor daya beli yang rendah. Mereka lebih memilih investasi di Malaysia, karena cost yang harus mereka keluarkan bisa dihitung dan dipastikan berapa besarnya. Kalau saya ingin membangun sebuah pabrik, maka saya harus bisa menghitung berapa biaya produksi dan administrasi yang harus saya keluarkan, sementara di Indonesia hal itu sangat sulit dilakukan. Dari hari ke hari cost yang harus saya keluarkan berkembang terus karena banyaknya biaya yang tidak terduga. Hal ini sangat mengerikan bagi pengusaha. Dalam hal daya beli, oleh karena pabriknya ada di sini maka yang paling cepat adalah di jual disini. Tetapi dalam kondisi ekonomi seperti ini, dimana daya beli masyarakat sangat rendah, maka tidak mungkin bagi mereka untuk membeli produk yang harganya mahal karena masih berkutat pada kebutuhan dasar. Kalau ingin membeli sesuatu, mereka akan memilih yang praktis dan murah seperti produk-produk dari China. Faktor ini sangat rawan, karena itu menurut saya yang penting sekarang adalah bagaimana Menlu bisa berprestasi, itu saja dulu. Dalam kondisi apapun, Indonesia tetap masih bisa survive, karena didalam posisi global, Indonesia memiliki posisi yang sulit untuk diambil oleh negara lain, yaitu posisi moderasi yang bisa berbicara ke Barat dan Timur sekaligus, dan dalam hal ini Indonesia leading. Kalau seandainya kita bisa mempertahankan seni budaya Indonesia, tentu sangat bagus. Tetapi sekarang ini seni budaya kita sudah tergerus. Media elektronik kita sangat jarang sekali menampilkan kebudayaan yang kita miliki. Selama ini yang saya lihat hanya TVRI yang selalu menampilkan seni budaya Indonesia, sehingga pada akhirnya Truly Asia itu diambil oleh Malaysia. Sementara kita justeru menggunakan budaya Barat untuk menarik turis mancanegara.[]
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
Diplomasi L
e
n
s
a
15
Dok. diplomasi
Jenderal Polisi (Pur.) Prof. Drs. Da’I Bachtiar SH. AO. Duta Besar RI untuk Kerajaan Malaysia.
Dalam menjalankan hubungan bilateral dua negara, Pemerintah Indonesia dan Malaysia telah memiliki suatu mekanisme komunikasi yang sifatnya langsung dan akrab serta kerjasama yang cukup solid dalam menangani berbagai isu yang berkembang, baik di tingkat bilateral, regional maupun global. Pada kesempatan pertemuan bilateral beberapa waktu yang lalu, Pemimpin kedua negara juga telah sepakat untuk terus menjaga kesinambungan hubungan RI-Malaysia tidak sekedar hanya meneruskan hubungan sebagaimana selama ini, namun dalam kadar yang lebih tinggi/meningkat. Hal ini telah dibuktikan oleh Pemimpin kedua negara di masa lampau hingga kini yang memiliki tradisi saling kunjung dan interaksi yang intensif. Sesuai tradisi selama ini, Indonesia merupakan negara tujuan pertama kunjungan kenegaraan Perdana Menteri (PM) Malaysia yang baru dilantik. Sebaliknya, Presiden RI terpilih juga melakukan kunjungan pertama ke Malaysia. Hal ini bukan sekedar karena kedekatan geografis, namun terlebih dari itu karena adanya keterikatan emosional yang tidak terpisahkan. Tradisi saling kunjung tersebut sangat berarti dan memberikan isyarat positif dalam hubungan kedua negara, termasuk hubungan antar masyarakatnya. Dan hubungan baik tersebut diharapkan dapat berlanjut dalam jangka panjang ke depan.
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
Optimalisasi Hubungan RI – Malaysia Dan Stabilitas Kawasan
Keadaan inilah yang sebenarnya membuat kedua masyarakat bangsa harus menjalin hubungan yang lebih erat dengan intensitas komunikasi yang lebih tinggi. Dalam suasana hubungan keakraban sebagai dua sahabat yang sangat dekat, seperti telah ditunjukkan oleh kedua Pemimpin negara tersebut, kadangkala muncul peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan reaksi sensitif bagi dua masyarakat dan bangsa ini. Berbagai isu yang muncul dan menghiasi hubungan kedua negara beberapa waktu terakhir ini, merupakan bagian dari dinamika hubungan yang semakin berkembang. Era demokrasi dan keterbukaan yang mewarnai kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini berjalan begitu cepat dan dinamis, menjangkau semua sektor, baik pemerintah, LSM, masyarakat termasuk juga media. Kondisi objektif hubungan dua negara yang mempunyai kedekatan geografis, historis, sosial budaya dan kekerabatan, pada dasarnya merupakan kekuatan yang lebih memperkuat persahabatan itu sendiri. Akan tetapi faktor kedekatan itulah yang justru menyimpan potensipotensi yang dapat menimbulkan gesekan (friction), seperti pernah diucapkan oleh Presiden SBY, bahwa Indonesia tidak akan pernah ribut dengan negara seperti Irlandia di Eropa atau juga negara Uruguay di Amerika Latin, tetapi problem itu muncul dengan negara tetangga disebelah kita. Oleh karena itu saya ingin menggambarkan fakta-fakta sebagai berikut, Pertama: bahwa dari 10 negara dimana Indonesia memiliki perbatasan darat dan laut, perbatasan darat Indonesia dengan Malaysia adalah yang terpanjang, lebih dari 2.200 Km. Dan di lautan, Indonesia dan Malaysia berbatasan langsung di laut China Selatan, Selat Malaka dan Selat Sulawesi. Sebagai negara tetangga yang sama-sama berdaulat, maka berkewajiban untuk menyelesaikan
batas-batas wilayah tersebut secara bilateral untuk kemudian disepakati dalam bentuk perjanjian (treaty). Proses ini sedang berlangsung dan sulit untuk menetapkan kapan batas waktunya akan selesai. Kondisi ini membawa implikasi persoalan perbatasan seperti dispute territory maupun hak berdaulat lainnya, dan juga problem yang muncul seharihari, seperti: masalah lintas batas warga kedua belah pihak, menjadi lintas transnational crime (teroris, narkotik), trafficking in person, pencurian kekayaan alam (illegal fishing, illegal logging), dan masalah border trade. Kedua: kehadiran lebih kurang 2 juta orang Indonesia di Malaysia, sebagian besar TKI, pelajar/ mahasiswa, expatriate, tourist, businessman, pemegang permanent residence, dan diantaranya ada yang illegal, merupakan potensi yang juga dapat menimbulkan friksi-friksi yang diakibatkan oleh interaksi dalam kehidupan mereka sehari-hari, terutama terkait masalahmasalah hukum maupun masalah sosial lainnya, misalnya kasus-kasus penganiayaan terhadap TKI/TKW. Ketiga: dilihat dari aspek kedekatan sosial budaya dan bahasa, dengan istilah ‘serumpun’, hal inipun menyimpan potensi gesekan, seperti persoalan claim atas warisan budaya dan karya-karya seni lainnya, lagulagu, tarian, batik, keris, gamelan dan lain-lainnya. Disamping hal-hal yang menyimpan potensi gesekan tadi, dalam hubungan dua negara ini, terdapat juga bidang-bidang yang memperkuat persahabatan, seperti: dalam tataran regional, khususnya dalam kerangka kerjasama ASEAN, Indonesia dan Malaysia memainkan peran sangat penting dan menentukan, baik di bidang politik, keamanan maupun ekonomi. Bahkan dalam tataran internasional, Indonesia dan Malaysia juga memberikan kontribusi yang signifikan, antara lain dengan keterlibatan kedua negara dalam memelihara perdamaian di
berbagai daerah konflik dunia melalui pengiriman pasukan perdamaian, seperti di Lebanon dan kawasankawasan lainnya. Dalam hubungan ekonomi, Indonesia dan Malaysia senantiasa berjalan dengan sangat baik, bahkan seakan tidak peduli dengan pasangsurutnya dinamika hubungan politik yang terjadi. Di sektor perdagangan, nilai perdagangan kedua negara dalam kurun 2004-2009 senantiasa mengalami pertumbuhan, rata-rata 12,69 %. Sementara dalam periode yang sama, nilai investasi Malaysia di Indonesia mencapai US$ 1,5 milyar. Kunjungan wisatawan Malaysia ke Indonesia menempati 3 besar dalam 3 tahun terakhir. Pada tahun 2009, wisatawan Malaysia yang berkunjung ke Indonesia berjumlah 1,18 juta orang, sementara pada tahun 2008 baru mencapai 800 ribu orang. Oleh sebab itu perlu disadari bersama dan dilakukan berbagai usaha bersama yang bijak agar dapat mengelola berbagai isu sensitif tersebut agar tidak menjadi ganjalan bagi kerjasama diantara kedua negara bertetangga ini. Dalam kaitan ini, media massa memegang peranan penting dalam pencitraan sebuah bangsa. Sebagai negara bertetangga, baik Indonesia maupun Malaysia perlu mengoptimalkan hubungan kerjasama. Indonesia dan Malaysia telah ditakdirkan untuk bertetangga, dengan demikian tidak ada pilihan lain kecuali kerjasama demi kemajuan bersama dalam suasana persahabatan yang saling menghormati dan menjunjung tinggi kedaulatan masing-masing negara. Jika hubungan kerjasama antara Indonesia dan Malaysia dapat terlaksana dan semakin meningkat di segala bidang, niscaya kita dapat turut menciptakan kestabilan kawasan, yang pada gilirannya akan memberikan manfaat yang lebih besar kepada kesejahteraan rakyat kedua negara. Dan tidak ada cita-cita yang mustahil jika kita benar-benar terus berupaya untuk mewujudkannya.[]
No. 36 Tahun III
Diplomasi
16
L e n s a
Perbatasan Dr. Bantarto Bandoro Dosen dan Peneliti President University Hubungan Indonesia-Malaysia sepertinya tidak pernah bebas dari persoalan dan gangguan (irritants). Sumber gangguan itu bisa saja berasal dari Malaysia atau Indonesia sendiri. Tetapi jika ada orang yang mencoba menjumlahkan sumber gangguan itu, maka ia akan berkesimpulan bahwa sumber gangguan yang berasal dari Malaysia itu jumlahnya sepertinya lebih banyak daripada sumber gangguan yang berasal dari Indonesia. Sumber gangguan yang berasal dari Malaysia ini oleh masyarakat Indonesia dinilai bertanggung jawab terhadap terjadinya pasang surut dalam hubungan-hubungan bilateral Indonesia-Malaysia. Tetapi adalah tidak adil melihat hubungan Indonesia-Malaysia semata-mata hanya dari segi jumlah sumber gangguan itu. Adalah kenyataan politik bahwa kedua pemerintahan, di masa lalu, bahkan sekarang ini, tidak mampu menghindari gangguan-gangguan dalam hubungan bilateral mereka. ‘Keributan’ antara kedua negara akhir-akhir ini membuktikan bahwa Indonesia dan Malaysia tidak saling memahami diri mereka secara baik. Apa yang dilakukan oleh Malaysia, meskipun tidak dengan sengaja, terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Indonesia, ditafsirkan oleh publik di Indonesia sebagai sikap tidak menghormati harga diri Indonesia. Akibatnya, protes terhadap Malaysia terjadi bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Sementara pemerintah Malaysia memperlihatkan sikapnya seakan-akan tidak terjadi masalah. Kontak langsung pemimpin Indonesia dan Malaysia sejauh ini tidak mampu mengurangi gangguan dalam hubungan antarnegara. Hubungan antara kedua negara tidak cukup dilihat hanya dari
No. 36 Tahun III
Dok. matanews
Fitur Sentral Hubungan Bilateral RI-Malaysia
perspektif pemerintah. Masyarakat juga memainkan peran penting dalam membentuk hubungan antara kedua negara. Artinya, ketika kedua pemerintah menghadapi berbagai persoalan bilateral, persoalan itu bisa saja bersumber dari masyarakat atau pemerintah sendiri. Dalam konteks hubungan Indonesia-Malaysia dan jika hubungan itu dilihat dari perspektif sejarah masa lalu, maka sumber persoalan itu ditemukan di sektor pemerintah dan masyarakat. Hubungan Indonesia-Malaysia mengalami penurunan yang sangat tajam beberapa bulan terakhir ini. Tetapi di saat yang sama pemerintah kedua negara mengklaim hubungan mereka dalam kondisi yang baik. Duta Besar Indonesia untuk Malaysia juga mengatakan hubungan IndonesiaMalaysia tetap baik. Isu klasik seperti masalah perbatasan dan isu tenaga kerja, kelihatannya telah dan akan terus menjadi isu yang akan mempengaruhi hubungan Indonesia-Malaysia di masa mendatang. Insiden terakhir dalam hubungan Indonesia-Malaysia telah menambah daftar panjang isu-isu yang dihadapi oleh kedua negara. Banyak yang mengakui bahwa salah satu sumber gangguan dalam hubungan antara kedua negara berasal dari masalahmasalah perbatasan. Dimanamana perbatasan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan negara. Logika yang melekat pada perbatasan adalah sifat inklusif dan eksklusif dari persoalan identitas, persamaan dan perbedaan. Perbatasan dapat dibentuk antara lain oleh faktor etnis, ras, agama, sejarah dan nasional. Perbatasan tidak statis dan tidak pula sesuatu yang given. Ia akan memperlihatkan karakternya ketika terjadi kontestasi antara kepentingan-kepentingan mengenai atau yang berhubungan dengan perbatasan itu sendiri. Dinamika kawasan sebagai sebuah konsep politik akan mengemuka ketika terjadi aktivitas di perbatasan atau aktivitas yang menggunakan kawasan sebagai media melaluimana kegiatan-kegiatan itu dilakukan. Sebagai wujud identitas dari negara berdaulat, perbatasan tidak akan bebas dari pengaruh dan nuansa politik (politically charge). Tidak ada masalah-masalah perbatasan yang tidak bisa diselesaikan, tetapi tidak pula ada masalah-masalah perbatasan yang tidak mengganggu hubungan antar negara. Persoalan perbatasan memberi kontribusi kepada hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Dalam konteks demikian, perbatasan antara Indonesia dan Malaysia menjadi terlalu penting untuk diabaikan ketika terjadi persinggungan kepentingan (nasional) yang mengarah kepada konflik terbuka antara mereka. Dalam pemahaman umum mengenai perbatasan, konsep perbatasan negara mengacu kepada perbatasan eksternal, antar negara maupun internasional yang membatasi dan menggambarkan negara sebagai entitas independen dalam sistem internasional. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh John Agnew, yaitu perbatasan sebagai ‘modern geopolitical imaginary’, perbatasan negara dipandang sebagai tanda-tanda teritorial (territorial markers) dan batasan-batasan yurisdiksi dan otoritas politik yang berdaulat.
Pemahaman Agnew mengenai perbatasan sebagai modern geopolitical imaginary ini bisa menjelaskan bagaimana Indonesia dan Malaysia, khususnya ketika mereka menghadapi situasi yang tegang, memunculkan imaginari geopolitik yang membatasi kedua negara untuk melakukan tindakantindakan atas nama kedaulatan. Seperti semua konsep yang ditemukan dalam praktek-praktek maupun teori politik global, konsep perbatasan negara tidak akan bebas dari pengaruh politik dan etik. Penggunaan konsep perbatasan dalam semua wacana harus dilihat sebagai bagian yang membentuk ‘geopolitical imaginary’ tersebut. Salah satu contoh nyata dari kontribusi perbatasan dalam konteks ini adalah munculnya kompartementalisasi politik global yang di dalamnya digambarkan oleh dua kegiatan yang sama sekali berbeda, yaitu dalam konteks domestik ditemukan sejarah dan kemajuan-kemajuan, dan dalam konteks luar negeri ditemukan anarkis tanpa batas. Dalam hubungannya dengan Indonesia-Malaysia yang dalam beberapa bulan terakhir ini diwarnai oleh ketegangan, konteks domestik Indonesia begitu dinamik karena ‘diramaikan’ oleh berbagai macam sikap dan aksi berbagai kalangan terhadap tindakantindakan Malaysia. Beberapa elemen masyarakat di dalam negeri Indonesia bahkan menyarankan pemerintah untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia, sebuah gagasan yang sebenarnya telah bergulir sejak lama, terutama sejak kasus Ambalat mencuat ke permukaan sekitar tigaempat tahun lalu. Sementara itu, di lini eksternal, ketegangan hubungan antara Indonesia dan Malaysia dapat saja memicu keduanya untuk melakukan aksi saling balas secara fisik. Aksi ini dimungkinkan karena lingkungan internasional, dimana Indonesia dan Malaysia saling berinteraksi yang sifatnya anarkis.
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
Diplomasi l
Sudut Pandang Perbatasan Jika hubungan IndonesiaMalaysia dipandang dari sudut konsep perbatasan seperti digambarkan oleh Agnew, maka hal itu bisa menjelaskan lebih jauh mengenai dinamika internal dan eksternal Indonesia dalam konteks perkembangan terakhir dalam hubungan mereka. Konsep perbatasan itu pula yang secara tidak disadari telah membentuk beragam pemikiran di Indonesia mengenai hubungan IndonesiaMalaysia. Konsep perbatasan dari sebuah negara menekankan pentingnya pengaturan dan kondisi di tingkat domestik dan internasional. Di level domestik, perbatasan mengacu kepada pemahaman konvensional mengenai batasan kedaulatan dan otoritas internal, seperti terefleksi dalam definisi paradigmatik Max Weber mengenai negara, yaitu ’a human community that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of force within a given territory’. Di level internasional, perbatasan mengacu kepada prinsip-prinsip integritas teritorial sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat 4 Piagam PBB, yang sejak berakhirnya Perang Dunia II telah berperan sebagai pilar bagi independensi teritorial. Dalam konteks hubungan Indonesia-Malaysia, penahanan petugas DKP oleh Malaysia memancing reaksi keras di dalam negeri Indonesia, antara lain aksi anarkis di depan kedutaan Malaysia di Jakarta. Hal ini sebenarnya membenarkan pemerintah Indonesia untuk menerapkan yurisdiksi eksklusifnya dengan mengambil tindakan hukum terhadap elemen masyarakat yang dianggap telah memperburuk kondisi hubungan IndonesiaMalaysia. Tetapi itu tidak dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sementara di level internasional Indonesia juga tidak bisa melakukan sesuatu yang bisa merongrong pasal 2 ayat 4 Piagam PBB. Sebagai fitur sentral dari arsitektur politik hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, disini perbatasan menjadi semacam ’kompas’ yang mengarahkan kemana dan bagaimana pemerintah
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
”Hubungan Indonesia-Malaysia mengalami penurunan yang sangat tajam beberapa bulan terakhir ini. Tetapi di saat yang sama pemerintah kedua negara mengklaim hubungan mereka dalam kondisi yang baik. ” harus bergerak dan bertindak. Apapun tindakan Indonesia dan kemanapun arah hubungan Indonesia-Malaysia, berbagai elemen politik dan etika dipastikan akan muncul. Disinilah pentingnya memahami peran perbatasan dalam membentuk hubungan antara negara. Konsep perbatasan negara juga telah membentuk bagaimana mengkonseptualisasikan hubungan keamanan pada level bilateral sekalipun. Meskipun terjadi kontestasi dalam bidang studi keamanan, imaginari geopolitik modern telah memberi pengaruh kepada perkembangan studi tersebut. Pengaruh demikian, khususnya, meskipun tidak secara eksklusif, disebabkan karena dominasi relatif dari pendekatan realis dan neo-realis dalam studi keamanan. Pendekatan-pendekatan demikian, yang menekankan pada kelangsungan hidup negara dalam situasi yang anarkis, sebenarnya sangat menggantungkan pada konsep perbatasan negara sehingga dapat dipahami elemen-elemen dari keamanan, yaitu (1) obyek dari ancaman, yaitu keamanan nasional; (2) sumber ancaman, yaitu negara lain dalam konteks anarki; dan (3) cara untuk mengatasi ancaman tersebut, dan dalam konteks demikian bisa saja perang antarnegara (interstate warfare). Dalam konteks IndonesiaMalaysia, pemahaman mereka mengenai arti penting perbatasan kedua negara dan tindakantindakan kedua negara dalam konteks perbatasan, kelihatannya telah mendikte Indonesia dan Malaysia untuk menjabarkan lebih rinci lagi berbagai elemen dari
keamanan mereka. Patroli yang dilakukan oleh kedua negara pasca kejadian penangkapan petugas DKP Indonesia adalah bukti empiris untuk mengidentifikasi elemenelemen dari keamanan, yaitu obyek ancaman, sumber ancaman dan cara mengatasi ancaman. Bukan hanya itu, kontrol perbatasan juga harus lebih sering dilakukan jika Indonesia tidak ingin dilihat lamban dalam mengantisipasi intrusi-intrusi, termasuk kriminalitas, baik itu penyelundupan manusia, peredaran senjata ringan dan kaliber kecil, serta bentuk-bentuk kejahatan transnasional lainnya. Meskipun mungkin kontrol perbatasan sebagai strategi penangkalan sulit untuk diukur, setidaknya hal itu bisa membentuk pencegahan awal (preemption) sebagai langkah penting. Karena itu, dilihat dari perspektif ini, kontrol perbatasan harus dijalankan dengan memperhatikan keseimbangan antara tindakantindakan untuk meningkatkan efektifitas di ranah yang tidak terlihat, misalnya pertukaran intelijen dan informasi untuk menentukan targeted activity dan tindakan-tindakan yang memperlihatkan kehadiran fisik di wilayah-wilayah kunci yang rawan. Sebagaimana telah dikatakan di atas bahwa hubungan IndonesiaMalaysia akan terus ’diganggu’ oleh persoalan-persoalan yang muncul di perbatasan kedua negara. Kedua negara sulit untuk menghindari kemungkinan terburuk, yaitu kontak fisik, jika saja mereka terpancing untuk melakukan itu sebagai implementasi dari salah satu elemen keamanan seperti dijelaskan di atas.
e
n
s
a
17
Perbatasan menjadi semakin penting, bukan hanya karena hakekat perbatasan akan menentukan apa yang akan dilakukan oleh kedua negara berkaitan dengan perbatasan itu sendiri, tetapi perbatasan juga akan menjadi sarana darimana dan melalui mana tindakan-tindakan akan diambil. Apa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia menyusul penangkapan petugas DKP Indonesia bisa dilihat melalui latar belakang demikian ini. Apa yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini memang telah mengganggu hubungan IndonesiaMalaysia. Orang percaya bahwa persoalan perbatasan memberi kontribusi kepada kondisi hubungan kedua negara yang seperti itu. Untuk menghindari ’guncangan’ dalam hubungan antara Indonesia dan Malaysia di waktu mendatang dan untuk menegaskan pentingnya perbatasan sebagai bukti identitas Indonesia sebagai negara berdaulat, mungkin sudah saatnya Indonesia meluncurkan ’doktrin perbatasan’ yang khas Indonesia yang didalamnya mencakup elemenelemen: (1) bertindak cepat; (2) kegiatan yang diarahkan pada sasaran; (3) mengatasi kebuntuan; (4) memaksimalkan pendalaman dan perluasan perlindungan; dan (5) penangkalan. Pre-emptive bordering ini mungkin dapat berperan sebagai ’the first ring of defense’. Stabilitas hubungan Indonesia-Malaysia ke depan, pada akhirnya bukan hanya akan ditentukan oleh signifikasi perbatasan dan bagaimana kedua negara memperlakukan perbatasan mereka, tetapi juga oleh kemampuan para pemimpin kedua negara untuk mendeteksi dan menyelesaikan isu-isu yang sederhana dan kecil sekalipun, yang mungkin bisa mengganggu hubungan mereka di masa depan. Jika mereka gagal dalam mendeteksi dan menyelesaikan persoalan-persoalan bilateral mereka di kemudian hari, pemimpin kedua negara sebaiknya menerima dan mengakui saja kenyataan politik bahwa Indonesia dan Malaysia untuk selamanya berbatasan dan harus hidup dalam suasana harmonis dan disharmonis. []
No. 36 Tahun III
Diplomasi
18
bilateral
Buruh Migran Dok. diplomasi
Membangun Hubungan RI – Malaysia Berbasis HAM
Anis Hidayah
Direktur Eksekutif Migrant Care
Bagi Indonesia dan Malaysia, buruh migran Indonesia memiliki kontribusi penting dalam kemakmuran dan pembangunan kedua negara. Dengan berbagai persoalannya selama ini, buruh migran Indonesia juga turut mempengaruhi dinamika hubungan bilateral Indonesia-Malaysia. Disamping itu, situasi buruh migran Indonesia di Malaysia juga sekaligus mempengaruhi dinamika politik di ASEAN. Namun demikian, selama ini HAM belum sepenuhnya dijadikan sebagai standar dalam hubungan diplomasi RIMalaysia. Kerjasama atau penyelesaian sengketa (hukum) semestinya juga terus mengarusutamakan (mainstreaming) HAM. Selama ini, terutama oleh Malaysia, TKI illegal hanya dilihat dalam perspektif pelanggaran keimigrasian. Padahal kebijakan deportasi itu sesungguhnya bukanlah solusi atas masalah illegal migrant workers. Dalam pasal 22 Konvensi PBB 1990, disebutkan bahwa: (1) Buruh migran dan anggota keluarganya tidak boleh menjadi sasaran upaya pengusiran atau pengeluaran kolektif. Setiap kasus pengusiran harus diperiksa dan diputuskan satu persatu; (2) Buruh migran dan anggota keluarganya hanya dapat dikeluarkan dari wilayah suatu negara didasarkan atas suatu keputusan yang diambil oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan hukum. Selama ini tampaknya perspektif ketenagakerjaan dan HAM tersebut luput dari perhatian, karena tidak satupun kasus yang menimpa buruh migran tidak berdokumen (illegal) yang dilihat dari
No. 36 Tahun III
perspektif ketenagakerjaan dan HAM. Aspek-aspek HAM buruh migran sebagai pekerja seringkali diabaikan, sementara pihak-pihak yang terlibat dalam proses migrasi dengan mudah lepas dari tanggung jawab. Sehingga pada akhirnya, masalah deportasi di Malaysia, bak rutinitas. Menurut data KBRI Kuala Lumpur, buruh migran Indonesia yang tidak berdokumen dan di deportasi oleh Malaysia pada tahun 2008 mencapai 30.816 orang, terdiri dari 30.438 orang dewasa dan 378 anak-anak. Sementara pada tahun 2009, tercatat sebanyak 28.539 orang, terdiri dari 27.868 orang dewasa dan 671 anak-anak. Terkait dengan bidang ketenagakerjaan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi 87 ILO: Freedom of Association and protection of the Rights to Organize 1948; Konvensi 98 ILO : Right to Organize and Collective Bargaining 1949; Konvensi 29 ILO : Forced Labour 1930; Konvensi 105 ILO : Abolition of Forced Labour 1957; Konvensi 100 ILO : Equal remuneration 1951; Konvensi 111 ILO : Discrimination (Employment and Occupation) 1958; Konvensi 138 ILO : Minimum Age Convention 1973; dan Konvensi 182 ILO : Elimination of the Worst Forms of Child Labour 1999. Malaysia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi ILO tersebut sebagaimana halnya Indonesia, akan tetapi Malaysia belum meratifikasi Konvensi 87 ILO : Freedom of Association and protection of the Rights to Organize 1948; dan Konvensi 111 ILO : Discrimination (Employment and Occupation) 1958. Selain itu Indonesia juga telah meratifikasi UN Human Rights Treaties yang terdiri dari: International Convention on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR); International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR); Convention on the Elimination af All Forms of Racial Discrimination (CERD); Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW); Convention against Torture and other Cruel (CAT); Convention on the Rights of the Child (CRC); serta menandatangani Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and their Families (CMW). Sementara dalam hal ini, Malaysia baru hanya meratifikasi dua konvensi, yaitu Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW); Convention against Torture and other Cruel (CAT); Convention
on the Rights of the Child (CRC). Moratorium yang dimulai sejak 26 Juni 2009 tampaknya juga harus menempuh jalan yang berliku, inisiatif yang menjadi kebijakan sepihak bagi RI ini belum diketahui pasti kapan akan berakhir. Selama ini, pelaksanaan moratorium juga tidak digunakan sebagai momentum untuk evaluasi terhadap berbagai kebijakan yang tidak melindungi buruh migran. Sementara itu tidak semua pihak yang terkait dengan penempatan buruh migran di Malaysia memiliki ’satu pemahaman’ dalam memaknai moratorium. Hal ini terbukti dengan masih adanya penempatan buruh migran di masa moratorium. Data KBRI Kuala Lumpur menunjukkan, bahwa sekitar 5.000 PRT migran Indonesia dikirim ke Malaysia di masa moratorium. Dalam satu tahun terakhir sepanjang moratorium, Malaysia ‘tidak menunjukkan’ usaha mereka untuk merespon moratorium ini secara serius. Ini terbukti dengan masih terjadinya pelanggaran dan kekerasan terhadap PRT migran, seperti penyiksaan terhadap Munti Binti Bani hingga meninggal dunia, penyiksaan terhadap Winfaidah, dan lain-lainnya. Bagi buruh migran Indonesia, hukum telah semakin menjauh dari rasa keadilan, ini terbukti dimana vonis bagi majikan Nirmala Bonat yang semula ditetapkan 18 tahun, tapi kemudian diringankan menjadi 12 tahun, serta vonis bebas bagi majikan Kunarsih. Tidak ada kemauan politik, atau bisa jadi memang sengaja melupakan, untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum yang belum selesai, seperti kasus Ceriyati, Parsiti, dan Kunarsih. Malaysia berupaya untuk memperlambat proses negosiasi dalam amandemen MoU RI-Malaysia tentang domestic workers dengan menolak adanya minimum wage dan menyerahkan hal tersebut pada pasar. Prospek perlindungan buruh migran pasca moratorium tampaknya masih suram, karena belum adanya grand design tentang upaya meminimalisasi pelanggaran HAM terhadap buruh migran. Setelah 10 tahun meratifikasi konvensi PBB 1990 mengenai perlindungan hak buruh migran dan anggota keluarganya, ternyata upaya yang dilakukan hanya sebatas rancangan. Inisiatif untuk mengamandemen UU No 39/2004 tentang PPTKILN yang terbukti tidak melindungi buruh migran berjalan sangat lamban. Selama 10 tahun ini,
institusionalisasi pemerasan dalam Terminal TKI masih tetap dilanggengkan. Sementara itu PRT migran yang menjadi sektor utama dalam penempatan buruh migran, hingga saat ini belum masuk ke dalam skema kebijakan ketenagakerjaan. Jadi hingga sekarang ini belum ada reformasi dalam hal penegakan hukum bagi pelaku pelanggaran hak buruh migran Persoalan krusial yang masih dihadapi hingga sekarang ini adalah; masalah kekerasan terhadap PRT migran di Malaysia, dimana dalam hal ini Indonesia tidak mampu memberikan daya dorong bagi perubahan kebijakan bilateral yang lebih protektif bagi PRT migrant. Kematian WNI (termasuk buruh migran Indonesia) mencapai angka yang tidak wajar. Pada tahun 2009, kematian WNI (termasuk buruh migran) mencapai 687 jiwa dengan beragam sebab, yaitu karena sakit (374), kekerasan (73), kecelakaan kerja (73), kecelakaan lalu lintas (87), jatuh dari ketinggian (23), tenggelam (14), kebakaran (3), bunuh diri (14), bencana alam (8), dan tidak diketahui (19). Selanjutnya adalah eskalasi angka ancaman hukuman mati yang terus meningkat dan tidak mampu dibendung, serta deportasi terhadap buruh migran Indonesia yang tidak berdokumen. Sementara itu ribuan anak-anak buruh migran tidak mendapat akses atas pendidikan, padahal Malaysia telah meratifikasi konvensi perlindungan Hak Anak sejak 17 February 1995. Sehubungan dengan berbagai permasalahan diatas, kami merekomendasikan agar Diplomasi RIMalaysia dibangun berdasarkan prinsip HAM, mengingat bahwa Indonesia memiliki kewajiban penghormatan HAM bagi setiap orang (WNI) sebagaimana yang sudah dijamin didalam Konstitusi Indonesia, seperti Jaminan Hak hidup. Kewajiban promosi HAM ini juga harus dijadikan standar hubungan diplomasi kedepan, agar semua bentuk hubungan, kerjasama atau penyelesaian sengketa (hukum) juga terus mengarusutamakan (mainstreaming) HAM. Menjadikan semangat ASEAN, yang sudah hampir setahun memiliki Komisi HAM dan sedang menyusun Deklarasi HAM ASEAN, sebagai semangat untuk menghormati HAM buruh migran, serta memberikan perhatian terhadap pentingnya kebijakan multilateral dengan negara tujuan, karena kebijakan bilateral yang telah dilakukan selama ini, terbukti kurang efektif .[]
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
Diplomasi l e n s a
Selama ini hubungan RI-Malaysia terbina baik, berkat peran strategis pers, baik di Indonesia maupun di Malaysia. Kini persoalan itu mencuat, karena ada yang menganggap liputan pers – baik cetak maupun elektronik – terutama di Indonesia sudah tidak proporsional, dan ’ngipas-ngipas’, mengakibatkan bergejolaknya hubungan kedua bangsa serumpun. Sebenarnya, apa yang terjadi adalah hal yang normal saja, terutama karena pers merupakan elemen bangsa dan mencerminkan sikap kritis masyarakat. Apa yang dilakukan pers Indonesia, tidak lepas dari eforia reformasi, sedangkan pers di Malaysia masih terkendali pemerintah. Semua itu harus ditanggapi secara proporsional oleh pemerintah, masyarakat dan terutama oleh kalangan pers itu sendiri. Untuk itu harus selalu terbangun ’hotline’ antar berbagai pihak, terutama untuk memelihara informasi yang benar dan bermanfaat. Pilihan tidak menyiarkan informasi apa adanya, tentu saja salah, karena tidak edukatif dan tidak menggambarkan hal yang sebenarnya dalam kehidupan masyarakat yang dinamis. Kalaupun ada kesalahan liputan pers terkait hubungan kedua negara dan bangsa serumpun, maka tidak semata-mata lantaran ulah pers, melainkan juga akibat kelalaian pemerintah yang tidak tanggap dan tidak mampu membuka akses informasi yang benar, tepat dan cepat agar berita pers benar dan berguna bagi masyarakat. Pada dasarnya, semua berita/ informasi bisa menggugah publik. Yang menjadi persoalan adalah seberapa mampu wartawan mengolah menjadi berita yang menggugah. Secara universal, penentu semua berita untuk dapat menggugah atau tidak, tergantung pada dua hal, yaitu penting dan menarik. Tapi yang dominan bagi lahirnya berita menggugah, sangat tergantung pada kemampuan profesionalisme jurnalis, yang mencari, mengolah, menulis dan melaporkannya kepada publik.
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
Keterlibatan Pers Dalam Hubungan RI - Malaysia
Dok. sripoku
Ketua Dewan Kehormatan PWI
Dok. jemi
Drs. Tarman Azzam
19
Wartawan profesional selamanya akan mampu mengolah ’beritaberita biasa saja’ menjadi penting dan menarik. Tapi sebaliknya, wartawan yang kurang profesional sangat diyakini tidak akan mampu mengolah berita yang penting dan menarik menjadi berita bagus dan menggugah. Terkait hubungan RI-Malaysia, semua informasi sebenarnya penting dan menarik. Sebagai bangsa serumpun, Indonesia-Malaysia harus bersyukur mampu tampil menjadi bangsa merdeka, bersahabat dan maju. Bandingkan dengan nasib bangsa Arab, bangsa-bangsa Sub-India, dan bahkan Eropa. Tanpa berita hangat, hubungan RI-Malaysia pasti kurang gairah, namun tergugah oleh polemik mengenai pentingnya hubungan dan kerjasama kedua bangsa serumpun yang harus terpelihra dan terjaga. Ini merupakan bentuk dari banyak cara pers mengelola dan membina hubungan bertetangga baik antar kedua bangsa serumpun, yang harus disikapi pemerintah dengan terbangunnya diplomasi yang intens, suasana kondusif masyarakat yang lebih memahami makna penting
hidup bertetangga, sama berada dalam dunia yang tidak sendiri, dan betapa pentingnya interdepedensi antar negara bangsa. Sebenarnya semua informasi dapat diolah menjadi berita yang menggugah jika ditulis dengan baik, akurat dan proporsional oleh wartawan profesional. Namun hati-hatilah atas berita yang masih sumir, apalagi mengandung resiko tinggi, lantaran akibat yang ditimbulkan dapat menjadi sangat luas dan sulit diprediksi. Namun dalam melahirkan berita yang menggugah, ada beberapa hal yang secara khusus perlu diperhatikan, diantaranya: judul harus menarik, lead harus bagus, terstruktur dalam satu idea, kaya materi, komprehensif, kuat nilai-nilai beritanya, faktual, termuat dalam layout yang baik, serta bahasanya singkat dan lugas. Laporan pers kadang-kadang memang menyentak, terutama karena judul berita yang bombastis. Hal itu boleh saja, asal benar, proporsional dan edukatif. Daya tarik judul berita sangat menentukan dibaca atau tidaknya oleh pembaca, apalagi terkait
hubungan RI-Malaysia. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) mengharuskan judul sesuai isi berita, termasuk mencegah kerancuan informasi, berita bohong, dan sebagainya. Untuk dipahami, judul berita pada dasarnya adalah: merek produk, tema utama berita, intisari berita, kesimpulan berita, penjaja/penjual berita, cermin isi berita, dan pemanis berita. Wartawan profesional selamanya mampu mencium berita bernilai tinggi, termasuk menyangkut hubungan Indonesia-Malaysia. Tentu saja hal itu tidak akan disia-siakan. Nilai-nilai berita (news value) sangat tergantung pada seberapa kuat elemen yang terkandung dalam berita, antara lain: tempat, waktu, jarak, prominent, sex, konflik, human interest, tragedi, dramatis, keajaiban, kesenjangan (gap), ketidak adilan, suku/ras, agama, golongan dan heroisme. Kini ada sejumlah isu strategis menjadi ganjalan utama hubungan RI-Malaysia, yang tentu saja selalu menarik untuk diangkat oleh pers, yakni masalah: TKI, perbatasan, illegal fishing, illegal loging, keuatan militer, investasi dan sosial budaya.[]
No. 36 Tahun III
Diplomasi
20
s o r o t
RI - Malaysia
Membangun Diplomasi Budaya Dari Sudut Pandang Kesejarahan Dr. Prudentia MPSS Anggota EPG Indonesia/Dosen dan Peneliti UI Indonesia dan Malaysia (serta Singapura) pernah memiliki perjalanan sejarah dan pengalaman budaya yang sama pada masa lalu. Sampai dengan Traktat London tahun 1824, kedua negara berada dalam wilayah kerajaan yang bernama Melayu. Beberapa sumber penting seperti yang dikatakan oleh Petrus van der Worm, Valentijn dan W. Marsden pada abad ke-17 dan 18 menyebutkan bahwa asal Melayu adalah Sumatera pantai timur bagian tengah atau selatan yang kemudian menyebar ke Tanah Semenanjung. Berbeda dengan pendapat tersebut, James Collins yang mendasarkan pendapatnya dari sudut kebahasaan, mengatakan asal Melayu berasal dari Kalimantan Barat. Terlepas dari perbedaan tersebut, pada hakekatnya Indonesia dan Malaysia adalah satu: Sultan Abdul Jalil di Johor memiliki kekuasaan sampai ke wilayah Lingga; Sultan Mahmud yang berkuasa di Siak adalah juga Sultan yang menjadi raja di Johor. Wilayah kerajaan Melayu telah berjaya selama beberapa abad sampai kemudian dibuat perjanjian oleh Belanda dan Inggris untuk mengadakan pembagian hak kekuasaan wilayah dalam Traktat London tahun 1824 yang memisahkan wilayah kerajaan ini menjadi wilayah yang kemudian bernama Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Lingga di Indonesia menjadi sebuah kecamatan dan bukan lagi kerajaan; Temasik menjadi Singapura; Riau dan Kepulauan Riau menjadi provinsi bukan sebuah negara seperti halnya Malaysia. Perjalanan ‘kemelayuan’ di Indonesia dan Malaysia kemudian berubah. Melayu di Malaysia menjadi pernyataan politik, sedang di Indonesia adalah pernyataan budaya. Sebagai sebuah pernyataan politik, Melayu adalah berbudaya Melayu, berebahasa Melayu dan beragama Islam, Melayu merupakan penanda yang dikekalkan di Malaysia. Di Indonesia secara politis,
No. 36 Tahun III
Dok. blogspot
pernyataan tersebut meski diterima sebagai sebuah kenyataan, khususnya oleh sebagian besar masyarakat di wilayah Melayu di Sumatera Timur, Riau dan Kepulauan Riau, tetapi masih terdapat ruang bebas untuk memasukkan Melayu yang ‘lain’, seperti Melayu Betawi, Melayu Sambas, Melayu Banjar, Melayu Ambon, Melayu Flores (Lamatera) dan Melayu Papua (Raja Ampat). Kesimpulan yang didapatkan dari Seminar Revitalisasi Budaya Melayu (RBM) di Tanjung Pinang pada 2004, menyebutkan kemelayuan sebagai sebuah pluralitas yang religius dan bersifat terbuka memperkuat perumusan Melayu di Indonesia sebagai konsep budaya. Dalam perjalanannya menjadi Malaysia seperti sekarang, berbagai suku yang ada di Indonesia (Bugis, Jawa, Aceh, Minang) berperan dalam pembentukan masyarakat ‘Melayu’, bahkan beberapa sultan Malaysia berasal dari wilayah Indonesia. Begitupun perkembangan masyarakat budaya di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh diaspora Melayu ini yang melibatkan perjalanan sejarah genealogis dan psikologis kedua bangsa. Dalam hal lainnya, sampai sekitar tahun 1980-an, Malaysia banyak meminta bantuan pendidik dan tenaga ahli dari Indonesia untuk memperkuat bidang pendidikan di negeri ini. Di bidang hiburan, kita masih dapat mengingat kedekatan kedua bangsa,
misalnya melalui siaran bersama dalam bidang seni budaya yang dilakukan dengan mesra seperti yang terlihat dalam acara ‘Titian Muhibah’ di televisi kedua negara. Hal-hal yang mengeratkan pemahaman yang mendalam mengenai kedua negara secara khusus telah dilakukan oleh pihak Malaysia dengan memasukkan dalam kurikulum nasionalnya pemahaman mengenai karya-karya sastra dan sejarah Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaannya sampai sekitar tahun 80-an. Ikatan genealogis, sejarah dan budaya seperti tersebut di atas, meski juga diwarnai dengan peristiwa ‘konfrontasi’ dan ketegangan lain dalam hal politik dan pertahanan negara, tidak dapat dinafikan telah menjadi unsur perekat kedua bangsa. Perjalanan setelah era tahun 1980-an memang ternyata berbeda. Generasi muda Malaysia yang lahir dan tumbuh pada tahun setelah 70-an dan sesudahnya tidak mengenal Indonesia dengan pemahaman perjalanan sejarah, budaya dan genealogis seperti masa generasi sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Malaysia yang melebihi Indonesia menjadi pemicu perubahan sikap mereka. Bila pada masa terdahulu banyak ilmuwan Malaysia merasa Bangga mendapatkan gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari Indonesia (antara lain Prof. Tan Sri Ismail Hussein mendapatkan gelar dari Universitas Indonesia dan Mahathir Mohammad mendapatkannya dari Universitas Syiah Kuala, Aceh) dan banyak pelajar Malaysia yang belajar di Indonesia, sekarang kenyataannya menjadi terbalik. Memang masih cukup banyak pelajar Malaysia yang belajar di Indonesia saat ini, tetapi animonya tidak seperti dahulu dan lebih khususnya di bidang kedokteran. Di dalam kehidupan akademis, hubungan antarpakar di bidang sosial budaya cukup baik, khususnya pada era yang disebut di atas. Dalam banyak pertemuan ilmiah yang dilaksanakan oleh pihak profesional Indonesia, Malaysia termasuk negara yang banyak mengirimkan delegasinya sebagai pensyarah dan peserta
pertemuan. Kelompok kerjasama kebahasaan dan sastra yang telah dirintis pada tahun 70-an dan 80-an, seperti Majelis Bahasa Indonesia Malaysia (MABIM) dan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), persatuan para penulis Indonesia dan Malaysia dapat disebutkan sebagai sebagian contoh yang memperlihatkan hubungan baik antarnegara. Kamus istilah, kamus bahasa dan jurnal berkala sebagai hasil dari kerjasama selama ini memperlihatkan hubungan baik kedua negara. Dalam bidang penciptaan seni, banyak seniman Indonesia yang sampai hari ini masih diminta untuk berkarya dan mengajarkan ilmunya di Malaysia. Meskipun kenyataan tersebut di atas dapat dipandang sebagai hal positif yang telah dicapai dalam hubungan antarbangsa, masih ada masalah dalam meningkatkan hubungan kedua negara menjadi lebih mesra dan bahkan dapat menjadi sinergi penggerak kekuatan budaya di ASEAN dan Asia umumnya. Kendala pertama adalah sikap proaktif dan overprotective Malaysia yang amat luar biasa yang seringkali agak mengabaikan konvensi internasional dalam hal penjagaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber budaya warisan kedua negara. Ketika ‘Tari Pendet’ dipermasalahkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai ‘pencurian kekayaan budaya’, pihak Malaysia menganggapnya sebagai hal biasa. Tari Pendet yang sudah dikenal umum, dianggap sebagai milik bersama yang dapat diambil oleh siapa saja. Di satu pihak, anggapan ini bisa saja benar bila tidak berkaitan dengan keuntungan finansial. Kita pun sering memainkan repertoire musik klasik tanpa membayar pajak dan tanpa minta ijin dari pemegang lisensinya. Perbedaannya terletak pada penyebutan nama komponis atau penciptanya. Sikap proaktif Malaysia pada kasus-kasus tertentu sebenarnya dapat dilihat sebagai suatu ’penyelamatan’. Sama halnya dengan peristiwa pengalihan dan penyimpanan naskah-naskah kita di Belanda. Sampai sekarang kita masih dapat menemukan sumber warisan budaya kita dari beberapa abad lalu seperti yang tersimpan dalam naskah-naskah yang ada di negeri Belanda (KITLV dan UB, Leiden) dan di beberapa negara lain seperti di Inggris (SOAS, London) dan Jerman. Rekaman
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
Diplomasi s
suara tertua kedua Indonesia dari tahun 1887 yang dibuat oleh Snouck Hurgronye di Batavia ditemukan oleh Prof. Dr. Jan Just Witkam, pustakawan Belanda di Wina pada tahun 1998 dan sekarang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden dan kopinya ada di Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), Jakarta. Kendala kedua adalah sikap Indonesia yang di satu pihak tidak peduli akan warisan budayanya (bahkan sering tidak tahu menahu) dan di pihak lain justru bersikap ekstrim dan militan dalam mempertahankan miliknya. Permasalahan yang utama dalam hal ini adalah sejauhmana dan seberapa banyak sudah kita melakukan penjagaan dan pengelolaan pada apa saja yang dianggap sebagai kekayaan budaya kita. Apakah masyarakat tradisi yang dengan sukarela tanpa memperhitungkan keuntungan material dan telah sekian lama menjaga warisan budayanya dengan berbagai cara telah mendapatkan penghargaan yang pantas dan proporsional demi mereka sendiri dan bukan sekedar masuk dalam agenda ’program tertentu’ dari sebuah kementerian saja. Berbagai contoh dapat dikemukakan disini berkaitan dengan warisan budaya, khususnya di daerah perbatasan kita (Kepri dan Kalimantan Barat) dan daerah lain yang masih menyimpan warisan budaya yang dianggap sebagai warisan budaya bersama antarbangsa (Sulawesi Selatan dan Buton). Beberapa waktu yang lalu para pakar naskah sempat ’heboh’ karena naskah tertua Melayu yang ada di Jambi sudah ditawar Malaysia seharga 1 miliar lebih. Hal yang perlu dipikirkan untuk mengatasi sikap ”keras” sebagian masyarakat kita terhadap Malaysia dan juga untuk membina hubungan baik antarbangsa, perlu dilakukan tiga hal dengan mendasarkan diri pada diplomasi budaya berdasar hubungan kesejarahan dan genealogis yang telah ada. Pertama menyiapkan penulisan buku bersama yang juga mencakup materi kurikulum yang berisi sejarah budaya dan seni kedua bangsa untuk diberikan kembali sebagai materi pelajaran di sekolah. Kedua, membuka dialog berkesinambungan dan regular antarwartawan kedua negara. Ketiga, melakukan pengelolaan warisan budaya bersama dan mensosialisasikannya kepada masyarakat luas.[]
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
o
r
o
t
21
Kemlu Melakukan
Seleksi CPNS 2010 Dok. infomed
2010, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI kembali menyelenggarakan ujian seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun 2010 tahap kedua bertempat di Hall A Arena Pekan Raya Jakarta (PRJ). Sebanyak 4.678 peserta yang lolos seleksi tahap pertama (administrasi), dari sekitar 16 ribu pendaftar, berhak mengikuti seleksi tahap kedua ini. Sejak pukul 06.30 WIB para peserta ujian seleksi telah berdatangan dan memadati halaman luar Hall A PRJ, menunggu dibukanya layanan registrasi ulang dan pintu ruang ujian. Sesuai jadwal, tepat pukul 07.30 WIB ruangan tempat ujian dibuka. Para peserta ujian dengan tertib berbaris dan membentuk antrian untuk mendaftar ulang sesuai dengan formasi jabatan yang dilamar, yaitu Pejabat Diplomatik dan Konsuler (PDK), Bendaharawan dan Penata Kerumahtanggaan Perwakilan (BPKRT), Petugas Komunikasi (PK), Dokter Umum dan Dokter Gigi. Setelah mendaftar ulang dan memperoleh stiker nomor peserta, para peserta langsung memasuki ruangan Hall A. Setelah semua peserta menempati kursinya masing-masing, proses seleksi tahap kedua berupa tes akademik dimulai dengan pembukaan segel soal-soal yang diujikan secara simbolik oleh Wakil Menteri Luar Negeri Triyono Wibowo dan disaksikan 3 (tiga) orang wakil peserta ujian dari setiap sektor. Segera setelah soal-soal ujian dibuka dan dibagikan ke seluruh peserta, ujian seleksi tahap kedua dimulai tepat pukul 09.23 WIB. Pertanyaan yang diajukan dalam ujian seleksi tahap dua ini meliputi pengetahuan umum, penguasaan tertulis bahasa Inggris dan pengetahuan tambahan sesuai kompetensi formasi jabatan. Untuk PDK, pertanyaan tambahan yang diajukan adalah hal-hal yang terkait dengan politik dalam dan luar negeri. Untuk BPKRT, pertanyaan tambahan menyangkut manajemen dan keuangan. Adapun untuk PK, pengetahuan tambahan yang ditanyakan terkait dengan matematika dan teknologi informasi. Sementara bagi para dokter umum dan gigi diberikan
pertanyaan tambahan yang meliputi biologi dan kesehatan. Sekitar 200 pegawai Kemlu, baik diplomat maupun non-diplomat, diterjunkan secara sukarela sebagai pengawas ujian. Untuk menghindari terjadinya kecurangan dengan memanfaatkan saluran komunikasi selular, sinyal komunikasi di Hall A PRJ diacak selama proses ujian berlangsung. Akibatnya semua orang yang berada di ruangan ujian tersebut tidak dapat berkomunikasi lewat telepon selularnya, termasuk panitia. Sebagai penyempurnaan pelaksanaan seleksi, panitia seleksi tidak hanya berasal dari Kemlu, melainkan juga melibatkan pejabat dari kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Badan Kepegawaian Nasional yang bertindak sebagai saksi dan penilai proses seleksi yang dilakukan. Mereka akan menilai apakah proses seleksi CPNS di Kemlu berjalan sesuai ketentuan standar ISO atau tidak. Sebagaimana diketahui, bahwa sejak tahun 2008, Kemlu telah menerapkan standar ISO 9001:2008 dalam sistim penerimaan CPNS sehingga prosesnya berjalan bersih, transparan dan berdasarkan pada kompetensi. Pendaftaran peserta dilakukan secara on-line yang dipadu dengan pengiriman berkas lewat pos. Pada tahun 2009, proses rekrutmen ini ditingkatkan dengan sistem e-recruitment, sehingga para pelamar dapat memantau setiap tahapan proses seleksi dan mengetahui perkembangan terbaru melalui akun email masing-masing. Sistem e-recruitment ini dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi dan aksesibilitas. Ditengah pelaksanaan ujian, Menlu Marty Natalegawa menyempatkan diri untuk hadir dan meninjau langsung jalannya ujian. Menlu berkeliling dari satu sektor ke sektor lainnya dan menyalami para petugas dan pengawas sambil berbincang-bincang sejenak. Menlu menyampaikan rasa syukur dan kebahagiaannya melihat besarnya minat para pelamar untuk bergabung dengan Kemlu. Dari 4.678 peserta yang mengikuti ujian tahap kedua ini, akan direkrut sebanyak 60 orang sebagai PDK, 30 orang BPKRT, 25 orang PK dan masing-masing satu orang dokter umum dan dokter gigi.
No. 36 Tahun III
Diplomasi
22
k
i
l
a
s Treaty Room
Penyimpanan Naskah Perjanjian Internasional Dok. infomed
Menlu RI periode 2004-2009, Dr. N. Hasan Wirajuda meresmikan Treaty Room di Gedung Garuda pejambon Jakarta Pusat (15/10/2010)
Sesuai dengan Undang-undang No.24 Tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional yang mengamanatkan kepada Menteri Luar Negeri untuk menyimpan dan memelihara naskah Perjanjian Internasional serta perjanjian lainnya dimana Indonesia ditunjuk sebagai lembaga penyimpan/ depository (contohnya; Agreement on Establishing ASEAN Secretariat dan Treaty of Amity and Cooperation). Seluruh naskah perjanjian dimaksud disimpan dalam ruang penyimpanan Perjanjian Internasional (treaty room) di Gedung Garuda, Jalan Pejambon No.6 Jakarta Pusat. Dan saat ini treaty room telah berfungsi satu tahun sejak diresmikan pada tanggal 15 Oktober 2009 oleh Menlu RI, Dr. N. Hasan Wirajuda. Treaty Room ini antar lain berfungsi sebagai : a. tempat penyimpanan dan pengelolaan naskah asli perjanjian internasional; b. tempat penyimpanan dan pemeliharaan piagam pengesahan suatu perjanjian internasional; c. tempat penyimpanan dan pemeliharaan peta-peta perbatasan; d. tempat penyimpanan dan pemeliharaan staatblad dari
No. 36 Tahun III
tahun 1830 sampai dengan tahun 1959; dan e. tempat dokumentasi diplomasi dan dokumentasi foto lainnya yang terkait dengan diplomasi Indonesia. Untuk menjalankan fungsi tersebut diatas, tentunya diperlukan suatu standarisasi, dan pengelolaan Treaty Room tersebut telah disesuaikan dengan standar ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia). Standar minimal fisik Treaty Room diantaranya adalah: a. ruangan penyimpanan harus berfungsi sebagai “strong room” ; b. harus tahan api (minimal 2 jam); c. konstruksi bangunan bersifat permanen, minimal 100 tahun tanpa kerusakan; d. bahan baku beton bertulang; e. bahan baku yang digunakan setidaknya tidak mudah terbakar, mampu mengantisipasi perubahan iklim, dan tidak mudah dimakan rayap; f. lantai mampu menahan beban minimal 10001200 kg/m2; g. pencahayaan matahari ke dalam ruangan minimal 30% dan tidak boleh langsung mengenai arsip yang disimpan; h. luas ruangan penyimpanan sekitar 200 m2 atau memuat 1000 meter linier. Sementara perlengkapan standar penunjang Treaty Room
antara lain adalah: a. dilengkapi dengan sprinkler system; b. heat/ smoke detector; c. pendingin udara (AC) agar suhu ‘strong room’ terkontrol pada 20 derajat Celcius plus minus 2 derajat Celcius; d. alarm system; e. CCTV; f. dehumidifier (pengatur kelembaban udara) agar kelembaban udara ‘strong room’ RH 50% plus-minus 5%; g. roll O’pack (lemari penyimpan naskah); h. pintu khusus tahan api; dan h. access control. Demi kepentingan menjaga kualitas dokumen-dokumen yang disimpan di dalam Treaty Room, akses bagi pihak-pihak yang dapat memasuki Treaty Room sangat terbatas. Sehingga untuk memfasilitasi kepentingan publik dalam memperoleh informasi mengenai dokumen-dokumen yang disimpan di dalam Treaty Room, Kementerian Luar Negeri telah membuat suatu database digital Perjanjian Internasional yang dapat di akses oleh publik pada alamat http://naskahperjanjian.deplu. go.id/. Hal ini sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan dalam rangka mengembangkan, mengelola dan mengoptimalkan fasilitas dan layanan Perpustakaan
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, serta sejalan dengan kebijakan pengembangan perpustakaan digital Kementerian Luar Negeri, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional dalam mengembangkan Perpustakaan Hukum Digital. Pengembangan Perpustakaan Hukum Digital ini dalam rangka memberikan pelayanan informasi kepustakaan, khususnya informasi dan data serta kajian pustaka terkait Hukum dan Perjanjian Internasional, secara mudah dan cepat melalui jaringan internet (online). Perpustakaan hukum digital ini mengelola berbagai koleksi digital dan format data, serta beragam kelompok pengguna. Keberadaan Perpustakaan Digital ini melengkapi fasilitas Perpustakaan dan Pusat Informasi yang telah ada di Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, yaitu berupa Database Treaty Room, I-Treaty dan Pusat Informasi Hukum (PIH). Sebagai wahana informasi yang terbuka, maka layanan ini dapat diakses dan dimanfaatkan oleh seluruh pegawai Kementerian Luar Negeri, mahasiswa dan peneliti, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan data dan informasi yang berkaitan dengan Hukum dan Perjanjian Internasional, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri. Sementara ini website perpustakaan digital tersebut masih dalam tahap pengembangan dan hingga saat ini baru mencakup list perjanjian internasional yang terdiri dari : 157 perjanjian bilateral, 2 perjanjian multilateral, 33 perjanjian regional, dan 267 perjanjian yang berkenaan dengan organisasi internasional. Selain menyediakan list perjanjian internasional, website tersebut juga memberikan penjelasan kepada publik terkait dengan proses pembuatan, pengesahan dan penyimpanan perjanjian internasional yang ada di Treaty Room.[] Sumber: Dirjen HPI
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
Diplomasi k
Kerjasama Riset dan Teknologi Indonesia-Jerman Kerjasama riset dan teknologi antara Indonesia dan Jerman sudah berlangsung selama 31 (tiga puluh satu) tahun, dan telah banyak memberikan keuntungan baik bagi Indonesia maupun Jerman. Karenanya berbagai upaya senantiasa dilakukan agar kerjasama tersebut dapat terus ditingkatkan guna mencapai hasil yang optimal, khususnya bagi kepentingan pembangunan di Indonesia, yaitu dengan memetik manfaat keunggulan Jerman di bidang riset dan teknologi. Dalam kaitan tersebut, Menteri Riset dan Teknologi RI, Suharna Surapranata, melakukan kunjungan kerja ke Jerman dan memimpin delegasi RI dalam pertemuan dengan Parliamentary State Secretary, Kementerian Pendidikan dan Riset Federal Jerman (BMBF), Mr. Thomas Rachel, pada tanggal 22 September 2010. Selain mengucapkan terima kasih atas berbagai proyek yang telah dikembangkan oleh Jerman di Indonesia, dalam pertemuan tersebut, Menristek juga menyampaikan berbagai langkah yang akan dilakukan oleh Kemenegristek dalam rangka menindaklanjuti kerjasama yang telah berlangsung selama ini. Salah satu hal yang juga menjadi fokus pembicaraan adalah rencana kerjasama pembangunan Sistem Inovasi Nasional (SIN) yang merupakan salah satu program nasional, khususnya pengembangan inovasi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara itu, Mr. Thomas Rachel menyampaikan komitmen Jerman untuk membantu Indonesia dalam kerjasama riset dan teknologi serta menjelaskan beberapa langkahlangkah lanjutan dalam hal proyekproyek kerjasama Tsunami Early Warning System (TEWS), Science for the Protection of Indonesian Coastal Ecosystems (SPICE), dan juga Geothermal Energy. Khusus untuk proyek Integrated Water Resource Management di gua Bribin, Gunung Kidul, Jawa Tengah, Mr. Rachel menyebutkan bahwa proyek tersebut merupakan suatu prestasi tersendiri dalam hal kerjasama Indonesia-Jerman, karena proyek tersebut merupakan satu-satunya di dunia dan telah memberikan bantuan pengadaan air kepada lebih 80.000 orang di daerah Gunung Kidul. Komitmen Jerman untuk
15 OKTOBER - 14 NOPEMBER 2010
meningkatkan kerjasama dengan Indonesia di bidang Ristek tidak pernah berhenti. Berbagai proyek yang telah dilakukan selama ini, seperti Tsunami Early Warning System (TEWS), pengembangan Business
Technology Centre (BTC), Integrated Water Resource Management (IWRM), Science for the Protection of Indonesian Coastal Ecosystems (SPICE), dan yang terakhir Sustainable Geothermal Energy Development; telah
i
l
a
s
23
dirasakan manfaatnya secara riel bagi pembangunan di Indonesia. Menristek juga memanfaatkan kunjungan ke Jerman tersebut untuk mengunjungi berbagai institusi riset di berbagai kota, seperti Berlin, Potsdam, Bremen dan Munich yang telah menjalin kerjasama dengan Indonesia, khususnya yang menyangkut capacity building, seperti program-program pelatihan lanjutan, sekolah lanjutan, dan mobility.[]
Pelatihan Microfinance Syariah Skema pembiayaan melalui sistem keuangan mikro (microfinance) telah terbukti mampu mengentaskan kemiskinan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat kurang mampu di negaranegara berkembang. Hal ini ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal Colombo Plan, Dato’ Patricia Yoon-Moi Chia dalam sambutannya di acara pembukaan Training on Operational Management of Microfinance, Focusing on NonInterest Based (Sharia) Microfinance di Bandung pada 26 September 2010. Microfinance merupakan salah satu alternatif perolehan kredit yang efektif dalam pelaksanaannya, karena mampu menjangkau masyarakat kecil di negara-negara berkembang. Skema microfinance ini pada umumnya ditawarkan kepada kelompok berpendapatan rendah yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan dan kredit keuangan, terutama di daerah-daerah terpencil. Skema microfinance ini telah dipraktekkan selama lebih dari 30 tahun dan salah satu contoh suksesnya adalah Grameen Bank di Bangladesh. Untuk itu Profesor Muhammad Yunus, sebagai pencetus skema microfinance ini, telah menerima Nobel Perdamaian pada tahun 2006 atas keberhasilannya di bidang ini. Dato’ Patricia juga menjelaskan bahwa pelatihan ini difokuskan pada skema syariah, sebagai salah satu alternatif pembiayaan selain skema konvensional, dan terbukti pula dapat menarik minat negara-negara lain yang mayoritas penduduknya non-Muslim, seperti Bhutan, Nepal, dan Sri Lanka. Pelatihan di bidang microfinance syariah ini dilaksanakan sebagai kerjasama dan kolaborasi pertama antara Non-Aligned Movement Centre for South-South Technical Cooperation (NAM CSSTC/Pusat Kerjasama Teknik Selatan-Selatan Gerakan Non-Blok) dan Colombo Plan Secretariat. Sebelas praktisi microfinance dari Bangladesh, Bhutan, Brunei Darussalam, Fiji, Indonesia, Maldives, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Thailand
dan Vietnam telah mengikuti pelatihan yang dilaksanakan selama 7 (tujuh) hari. Pelatihan ini terdiri dari sesi kelas dan kunjungan lapangan dan difasilitasi oleh tenaga ahli dari Bank Indonesia serta Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Barrah. Pelatihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian teknis di bidang microfinance, khususnya yang terkait dengan skema syariah. Disamping itu, pelatihan tersebut juga merupakan forum untuk bertukar pengalaman dan informasi, serta mengembangkan jaringan kerja di antara para peserta. Duta Besar RI untuk Sri Lanka, H.E. Djafar Husein, dan Direktur NAM CSSTC, H.E. Duta Besar Linggawaty Hakim, turut hadir dalam acara pembukaan pelatihan yang dilaksanakan di Hotel Golden Flower, Bandung, tersebut. NAM CSSTC didirikan pada tahun 1995 atas inisiatif Pemerintah Indonesia dan Brunei Darussalam pada KTT Gerakan Non-Blok Ke-11 di Cartagena, Colombia, sebagai sarana untuk meningkatkan dan mempercepat pembangunan di negara-negara berkembang. Tujuan pendirian NAM CSSTC didasari oleh keinginan untuk meningkatkan kemandirian negaranegara berkembang, khususnya di bidang ekonomi dan pembangunan sosial, serta menjadikan negara-negara berkembang sebagai mitra yang sejajar dengan negara-negara maju di dalam konteks hubungan internasional. NAM CSSTC berperan sebagai forum dialog di antara negara-negara berkembang, dan dalam melaksanakan misinya NAM CSSTC telah melakukan pooling resources atau mengumpulkan seluruh kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh negara berkembang untuk dapat saling membantu percepatan pembangunan nasional masing-masing. Program NAM CSSTC disusun untuk jangka pendek dan jangka panjang agar membawa hasil yang konkrit dan memberikan manfaat langsung guna menunjang peningkatan ekonomi negaranegara berkembang. Colombo Plan for Cooperative
Economic and Social Development in Asia and the Pacific merupakan organisasi inter-governmental yang didirikan untuk membantu pembangunan sosial ekonomi di negara-negara anggotanya. Colombo Plan Secretariat dibentuk pada Commonwealth Conference on Foreign Affairs di Colombo, Sri Lanka, Januari 1950 dan diresmikan pada 1 Juli 1951 dengan 7 (tujuh) negara Persemakmuran sebagai anggota, dan kemudian berkembang menjadi 26 anggota. Colombo Plan Secretariat telah melakukan restrukturisasi dan revitalisasi pada tahun 1995 dan sejak itu Colombo Plan memiliki 4 program tetap di bidang: Public Administration & Environment (PPA/ENV), Private Sector Development (PPSD), Drug Advisory Programme (DAP) and Longterm Postgraduate study. Colombo Plan Secretariat telah memberikan 16.241 beasiswa program jangka panjang dan jangka pendek bagi 19 negara anggotanya. Pada Februari 2009, Asian Centre for Certification and Education of Addition Professionals (ACCE) didirikan untuk lebih meningkatkan DAP. Colombo Plan Secretariat pada saat ini merupakan stakeholder terbesar di dalam upaya mengurangi narkoba di Afghanistan dan di wilayahnya. Program-program penanggulangan narkoba di Afghanistan yang dilakukan oleh Colombo Plan utamanya bergerak di bidang treatment para pengguna narkoba dan sosialisasi kepada masyarakat dan petani Afghanistan mengenai bahaya narkoba dan efek yang ditimbulkannya bagi anak-anak dan generasi muda di Afghanistan. Di Indonesia, Colombo Plan juga telah melaksanakan program kampanye anti narkoba di 12 pesantren di seluruh Indonesia melalui program kerjasama dengan Nahdhatul Ulama, dan rencananya akan berlangsung dalam kurun waktu 5 tahun.[]
No. 36 Tahun III
No. 21, Tahun
Diplomasi No. 36 Tahun III, Tgl. 15 Oktober - 14 Nopember 2010
http://www.tabloiddiplomasi.org
TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi www.tabloiddiplomasi.com
Indonesia Tampilkan Peragaan Busana Kelas Dunia di Italia Menlu RI : Dok. kbriroma
Mengenang Seratus Tahun Moham
hadir pada acara fashion show di Roma, diataranya dari kalangan diplomatik, pejabat pemerintah, anggota parlemen, komunitas mode, pengusaha dan media massa. Sebagai rangkaian acara, pada Kamis pagi (30/9), juga telah diadakan forum bisnis di Camera di Commercio di Roma yang dihadiri sekitar 50 pengusaha dan wakil asosiasi industri termasuk dari bidang pariwisata. Tahun depan, pengusaha Italia, termasuk dari dunia mode merencanakan akan berkunjung ke Indonesia untuk melakukan penjajakan ekspansi bisnis dan investasi. Hadir sebagai salah satu pembicara utama Dirjen Promosi dan Kerjasama Internasional Kementrian Pembangunan Ekonomi Italia, Pietro G. Celi. (Sumber: KBRI Roma)
Dok. kbriroma
Kontribusi Isla Dan Demokras Dalam Memban Indonesia
Nadine Chandrawinata berjalan anggun di atas catwalk peragakan busana etnis Bali
Berbagai kain eksotik warisan budaya Indonesia yang dirancang Ghea Panggabean sesuai trend mode terkini dunia dinilai unik dan berkualitas tinggi, pantas menjadi menu utama pada Milan Fashion Week, pekan peragaan busana tahunan paling bergengsi bagi perancang mode papan atas Italia. Hal ini ungkapkan Adriano Franchi, General Manager Alta Roma, Asosiasi Mode dan Perancang Busana Italia, di Roma usai menyaksikan peragaan busana karya Ghea Panggabean, perancang busana terkenal Indonesia, yang dikemas dengan penampilan tari tradisional-kontemporer, karya koreografer kondang Miroto di Hotel Sheraton, Roma, Kamis malam (30/9). Dubes RI untuk Italia, Mohamad Oemar, dalam wawancara dengan wartawan cetak dan elektronik seusai acara menegaskan, peragaan busana dan penampilan budaya bertema The Splendor of Indonesia, yang dilaksanakan atas kerjasama KBRI Roma dan Kementerian Budpar dengan menggandeng Ghea Fashion Studio menjadi pembuka mata masyarakat mode di Italia bahwa Indonesia bukan hanya batik dan bukan hanya Bali. Para hadirin pada acara itu terbelalak seolah terkena sihir
saat menyaksikan tampilan demi tampilan para model dan tarian. Busana rancangan Ghea Panggabean menggunakan kain eksotik dari 3 propinsi Indonesia, yaitu, Songket Palembang, kain antik Jawa, Prada Bali dan kain tenun etnis NTT diselingi dengan tari tradisional pembuka dari Bali, dilanjutkan dengan Tari Keraton Jawa dan Gending Sriwijaya Sumatera Selatan. Kombinasi apik kedua jenis tampilan “the Splendour of Indonesia” malam itu juga merupakan suguhan acara unik yang langka bagi publik Italia. Saat dilangsungkan cocktail, para tamu undangan pun telah dibuat kagum dengan alunan musik tradisional Sasando yang sangat indah oleh seniman Nicodemus Tenis. Sasando adalah alat musik tradisional dari Pulau Rote, NTT. Bagian utama Sasando terbuat dari potongan bambu dan anyaman daun lontar kering tetapi menghasilkan bunyi melodi, bas dan accord sekaligus. Sejumlah model Italia seperti Alessandra Banac, Pratico Marghy dan Maria Napoleone tampil bersama peragawati papan atas Indonesia seperti Agisca Diyose, Nadine Chandrawinata, Paula Verhoven, dan Prinka Cassy. Tidak kurang dari 500 orang
Peragawati Italia tampil memikat dengan pakaian batik antik Jawa
Menyelesaikan Pers TKI di Malaysia Den Kepala Dingin
Kebudayaan, Fondasi Memperkuat Hubunga RI - Suriname
Nia Zulkarna
“KIN
Film Bertema Bulutang Pertama di Du
Tabloid Diplomasi dapat diakses melalui:
http://www.tabloiddiplomasi.org
Bagi Anda yang berminat menyampaikan tulisan, opini, saran dan kritik silahkan kirim ke:
[email protected]
Da’i Bachtiar :
Direktorat Diplomasi Publik
Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta 10110 Telepon : 021-3813480 Faksimili : 021-3513094