ANALISIS NILAI EKONOMI KONSERVASI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELUANG ADOPSI KONSERVASI USAHATANI KENTANG DATARAN TINGGI DI KECAMATAN PASIRWANGI KABUPATEN GARUT
DINDA ASYIFA DEVI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Nilai Ekonomi Konservasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Adopsi Konservasi Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2013
Penulis
RINGKASAN DINDA ASYIFA DEVI. Analisis Nilai Ekonomi Konservasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Adopsi Konservasi Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut. Dibimbing oleh SUTARA HENDRAKUSUMAATMAJA. Sektor pertanian memegang peranan yang cukup penting dalam pembangunan karena merupakan penyedia kebutuhan pangan bagi rakyat Indonesia yang terus bertambah, penyedia bahan baku industri, penyumbang devisa, penyerap tenaga kerja atau penciptaan kesempatan kerja dan sebagai jaminan pendapatan bagi sebagian besar penduduk, serta penunjang utama kelestarian lingkungan hidup. Besarnya manfaat sektor pertanian membuat kegiatan pertanian dilakukan di lahan sawah serta lahan kering. Tanaman semusim yang dominan ditanam di lahan kering adalah jagung, kentang, kubis, tomat, wortel, tembakau dan berbagai jenis bunga. Beberapa jenis tanaman seperti kentang, tomat, buncis, wortel, dan lainnya hanya dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik pada ketinggian tempat tertentu, sehinga terdapat sentra-sentra produksi untuk tanaman-tanaman tersebut (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Berdasarkan luas tanam per tahun, Kabupaten Bandung dan Garut merupakan sentra penghasil kentang terbesar di Provinsi Jawa Barat (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2010). Pada tahun 2010 Kabupaten Garut memiliki produktivitas yang lebih tinggi yaitu 21,74 ton/ha dibandingkan dengan Kabupaten Bandung yang hanya memiliki produktivitas sebesar 20,48 ton/ha. Berdasarkan data luas panen, produksi dan produktivitas, di Garut mengalami perkembangan yang negatif, bahkan pada tahun 2009 dan 2010 persentase penurunan produksi lebih besar dibandingkan dengan persentase penurunan luas lahan. Penyebab penurunan produktivitas kentang ini diduga oleh terjadinya erosi. Erosi menyebabkan banyak unsur hara dan bahan organik tanah hilang melalui sedimen yang terangkut aliran permukaan, pencemaran tanah, air, dan lingkungan. Oleh karena itu, untuk melestarikan sumberdaya lahan di daerah-daerah sentra produksi ini perlu dilakukan pengelolaan lahan yang tepat dengan menerapkan tindakan konservasi tanah (Katharina, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kentang dataran tinggi untuk mengadopsi konservasi, dan (2) menghitung nilai ekonomi dari usahatani kentang yang melakukan konservasi. Penelitian dilakukan di Desa Padaawas dan Desa Barusari Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut. Lokasi ini dipilih secara tertuju (purposive) karena merupakan salah satu sentra penghasil kentang terbesar di Kabupaten Garut dengan kemiringan lahan yang beragam. Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah simple random sampling. Jenis data yang digunakan adalah data cross section. Pengambilan data primer dilakukan selama bulan Juni 2011 – Juli 2011. Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung kepada petani kentang dataran tinggi, dengan menggunakan kuesioner. Metode analisis yang digunakan yaitu model logit untuk melihat faktor yang mempengaruhi adopsi konservasi dan analisis nilai ekonomi konservasi usahatani kentang. Pengolahan data menggunakan SPSS 16.0.
Pada penelitian ini petani yang melakukan konservasi adalah petani yang melakukan sistem penanaman dengan membentuk jalur-jalur tumpukan tanah yang memanjang menurut kontur atau melintang lereng (guludan searah kontur). Sebaliknya apabila jalur tersebut dibuat kearah bawah lereng atau searah lereng maka petani dikatakan tidak melakukan konservasi, karena pada alur-alur diantara tumpukan tanah akan terkumpul air yang akan mengalir dengan cepat ke bawah (Arsyad, 2000) sehingga mempercepat degradasi lahan yang menyebabkan lahan kritis dan usahatani tidak berkelanjutan (Henny, 2012). Berdasarkan hasil wawancara, petani yang melakukan pola konservasi sebanyak 36 petani (72 persen), dan yang tidak melakukan pola konservasi sebanyak 14 petani (28 persen). Dari 14 petani yang tidak melakukan pola konservasi, diperoleh informasi bahwa salah satu alasan mereka melakukan sistem penanaman guludan searah lereng adalah lebih mudah dibuat, jalur-jalur yang dibuat mempermudah pemeliharaan tanaman, dan dapat menghemat tenaga kerja. Dilihat dari kriteria ekonomi, hasil analisis regresi logit menunjukkan umur, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan status kepemilikan lahan yang merupakan variabel dummy, mempunyai tanda positif terhadap keputusan petani dalam mengadopsi konservasi. Artinya, jika umur petani, pendapatan, dan tingkat kecuraman lereng meningkat, maka peluang petani untuk mengadopsi konservasi meningkat. Dummy status kepemilikan lahan menunjukkan bahwa petani pemilik memiliki peluang untuk melakukan adopsi konservasi lebih tinggi dibandingkan petani penyewa. Pendidikan, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga, dan pengalaman memiliki tanda negatif. Artinya, peningkatan pendidikan, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga, dan pengalaman, akan menurunkan peluang petani melakukan adopsi konservasi. Variabel yang sesuai dengan hipotesis yaitu status kepemilikan lahan, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan jumlah tanggungan keluarga. Selanjutnya berdasarkan kriteria statistik, variabel yang berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata α = 20 persen yaitu status kepemilikan lahan, luas lahan, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan pengalaman bertani. Usahatani dengan konservasi memberikan pendapatan atas biaya tunai dan atas biaya total yang lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani tanpa konservasi. Dilihat dari aspek lingkungan pendapatan total dapat menunjukkan nilai ekonomi konservasi. Nilai ini didapat dengan menghitung selisih pendapatan atas biaya total antara petani yang melakukan konservasi dan tidak melakukan konservasi. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai ekonomi konservasi usahatani kentang sebesar Rp 10.163.428,60. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dirumuskan saran (1) Perlu dilakukan penyuluhan yang membahas mengenai konservasi secara lebih mendalam tidak hanya fokus pada budidaya tanaman. Hal ini perlu dilakukan agar petani lebih paham mengenai manfaat yang dapat diterima dan biaya yang harus ditanggung secara lebih jelas sehingga tingkat adopsi konservasi dapat meningkat, (2) Penyuluhan lebih baik diarahkan pada petani yang menggarap lahan di kecuraman lahan tinggi karena memiliki peluang adopsi konservasi yang lebih tinggi, dan (3) Pemerintah perlu memperkecil laju konversi tanah agar mengurangi perambahan lahan kehutanan sehingga satus penguasalahan menjadi jelas dan adopsi konservasi dapat dilakukan dengan lebih baik. Kata kunci: erosi, konservasi, usahatani kentang dataran tinggi iv
ANALISIS NILAI EKONOMI KONSERVASI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELUANG ADOPSI KONSERVASI USAHATANI KENTANG DATARAN TINGGI DI KECAMATAN PASIRWANGI KABUPATEN GARUT
DINDA ASYIFA DEVI H44070006
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 v
Judul Penelitian
: Analisis Nilai Ekonomi Konservasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Adopsi Konservasi Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut
Nama
: Dinda Asyifa Devi
NRP
: H44070006
Disetujui,
Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, M. Sc Pembimbing
Diketahui,
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
UCAPAN TERIMA KASIH Skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1.
Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, M.Sc., selaku Pembimbing yang
telah
memberikan banyak ilmu, bimbingan, arahan sistematika berfikir, perhatian, motivasi dan dukungan semangat untuk terus menyelesaikan skripsi ini. 2.
Ir. Ujang Sehabudin selaku Dosen Penguji Utama dan Novindra, S.P, M. Si selaku Dosen Penguji Wakil Departemen pada ujian akhir atas masukan dan sarannya untuk penyempurnaan skripsi ini.
3.
Pimpinan, seluruh Staf Pengajar, dan Staf Administrasi di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB atas dorongan, motivasi dan perhatian yang diberikan.
4.
Sahabat terbaik, Lingga Divika Anggiruling, S.Si, Nuzulia Farhani, SE, dan Rina Gustiyana serta teman seperjuangan Raisa, SE, Norita Vibrianto, SE, dan Rizki Amelia atas kerjasama, dukungan dan doa selama penyusunan skripsi.
5.
Teman-teman ESL 44 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan banyak bantuan dan kenangan terindah.
6.
Vera Verisa, Hermud Farhan, Septian Riski Sitompul yang telah banyak membantu penulis dalam pengumpulan data di lapang.
7.
Para petugas penyuluh lapang; Bpk Burhanudin, Ibu Tati Kartini, Ibu Eneng; terima kasih atas waktu yang diberikan dan atas bantuannya dalam pencarian informasi di lapangan.
8.
Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada para ketua kelompok tani para petani yang menjadi responden, atas waktu yang disediakan untuk wawancara dan memberikan informasi serta data lapangan yang sangat berharga untuk penulisan skripsi ini
9.
Kedua orang tua tercinta Drs. Entang Sutarsa, MPd dan Dr. Ir. Wini Nahraeni, M.Si yang selalu mengalirkan doa dalam setiap detik waktu yang tiada henti untuk keberhasilan anaknya, dorongan semangat, dan perhatian yang tulus selama penulis menyelesaikan studi, serta adikku Luthfiansyah Dwiantara atas dorongan semangat serta perhatiannya.
Bogor, Januari 2013
Penulis
viii
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi yang berjudul ‘Analisis Nilai Ekonomi Konservasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Adopsi Konservasi Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut’ diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Depatemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang sangat baik diusahakan di dataran tinggi. Namun hal ini banyak mendapat sorotan karena diduga dapat menyebabkan erosi, terutama untuk tanaman semusim, khususnya kentang. Data menunjukkan bahwa produktivitas sayuran kentang di Jawa Barat mengalami penurunan. Salah satu penyebab penurunan produktivitas ini yaitu karena terjadi erosi yang tinggi. Hal ini dapat diatasi dengan dilakukannya tindakan konservasi. Adopsi konservasi merupakan sebuah faktor kunci kearah keuntungan jangka panjang, sehingga diperlukan sebuah kajian adopsi konservasi terhadap usahatani kentang dataran tinggi di Kabupaten Garut. Skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga karya ini dapat berguna bagi mereka yang memerlukan. Bogor, Januari 2013
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...……………………..….……..…..…...…...….....
xii
DAFTAR GAMBAR ..………………………...…...…..……………...
xiii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………...……………….......
xiii
PENDAHULUAN ……………..….….…..………...…........…...
1
Latar Belakang ……...……..……......….....…...………....... Rumusan Masalah ..…….…….…..…...…..……..……...…. Tujuan …….……...….…………..….….....……...………... Manfaat Penelitian ……...……...….....…….....…...………. Ruang Lingkup Penelitian ……………………......…...........
1 5 8 8 8
TINJAUAN PUSTAKA …………………..………..…..……....
9
2.1 Lahan Kering …….…..…….....………...………………..... 2.1.1 Jenis Lahan Kering ……………….....………............. 2.2 Erosi ………………………...….……..……………............. 2.3 Biaya Erosi Tanah …….…….…..……………....……...…. 2.4 Konservasi …………………………………...……….......... 2.5 Konsep Usahatani ....………………………......……….…... 2.5.1 Konsep Pendapatan Usahatani ……..……………….. 2.5.2 Usahatani Kentang Kabupaten Garut ……………...... 2.6 Adopsi Inovasi …....…..………………….……………...… 2.7 Pengambilan Keputusan Adopsi Teknologi Baru ................. 2.8 Penelitian Terdahulu …………………….………………....
9 9 10 12 13 14 14 17 18 19 24
III. KERANGKA PEMIKIRAN ……...…...….....………………....
30
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ……......………..…………… 3.1.1 Model regresi Logit ...……...…………………………. 3.1.2 Pengambilan Keputusan adopsi ……………………... 3.1.3 Nilai Ekonomi Konservasi …….……………...…....… 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional …….………..…..…........ 3.3 Hipotesis Penelitian ..…….………….….……………...…...
30 30 31 36 37 40
IV. METODE PENELITIAN ……......…………….……………….
41
Lokasi dan Waktu Penelitian …………..……...….............. Jenis dan Sumber Data .…………………......…………….. Kerangka Sampling dan Penentuan Responden ……………. Metode Pengumpulan Data …………………...…….…….. Metode Analisis Data ...………………...….…………….... 4.5.1 Model Regresi Logistik ……………..…………..…… 4.5.2 Analisis Nilai Ekonomi …………………………...…. 4.5.3 Pengujian Hipotesis ………….…………………...…... 4.5.4 Definisi Operasional …………..………………............
41 42 42 43 43 44 45 46 49
I.
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 II.
4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
GAMBARAN UMUM PENELITIAN ……….…….…………...
52
5.1 Gambaran Lokasi Penelitian .……...…..…..………….......... 5.2 Karakteristik Sosial Ekonomi …...……….……......…...…… 5.2.1 Petani …………...……..………………………............ 5.2.2 Tanaman Kentang ………………...…………............. 5.3 Karakteristik Responden ………………….…...…………… 5.3.1 Jenis Kelamin dan Usia …………………..……...…… 5.3.2 Lama Bertani ……………..………………………...… 5.3.3 Pendidikan Formal …………….……………………... 5.3.4 Luas dan Status Kepemilikan Lahan ………..…...…… 5.3.5 Penyuluhan …………………..……………………......
52 53 53 54 54 55 56 57 58 61
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………….……….………...
63
V.
6.1 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Konservasi ……………………………………………….…. 6.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani dalam Adopsi Konservasi …………...………........................ 6.2 Nilai Ekonomi Konservasi Usahatani Kentang ...….…...…...
65 70 75
VII. SIMPULAN DAN SARAN ……………..…….…………..…......
82
7.1 Simpulan ………………………..……………………...…… 7.2 Saran ……………………………..……………………...…..
82 82
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………..……..
84
LAMPIRAN ............................................................................................
89
RIWAYAT HIDUP …………………………….…….……...…………
99
xi
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman
Perkembangan Produktivitas Kentang di Kabupaten Bandung dan Garut Tahun 2006-2010 …………..……………………........
4
Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang di Kabupaten Garut Tahun 2006-2010 …………..……...
4
Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang di Jawa Barat Tahun 2006-2011 .…………..…………..………….…………......
17
Kemiringan Lahan, Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang Beberapa Sentra Produksi di Kabupaten Garut, 2009 …..
41
5.
Karakteristik Desa Terpilih di Kecamatan Pasirwangi, 2011 …….
43
6.
Keterkaitan Tujuan, Sumber Data dan Metode Analisis Data …....
43
7.
Perhitungan Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Kentang …………………………………………………………...
45
8.
Perhitungan Nilai Ekonomi Adopsi Konservasi .............................
46
9.
Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Usia di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 …......……………...…...……
56
Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Lama Bertani di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 ….……..……..…..
57
Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Pendidikan Formal di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 …........
58
Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Luas Lahan di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 …...…...…………...
59
Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Status Kepemilikan Lahan di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 ….......
60
Kemiringan Lahan Petani Sayuran Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi, 2011 …..…………………...…………….
63
Hasil Analisis Regresi Logit untuk Mengadopsi Konservasi pada Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi, 2011 ……………….……………..……………..…………………
68
Rata-rata Luas Garapan Petani Kentang Dataran Tinggi pada Berbagai Tingkan Kecuraman Lereng di Kecamatan Pasirwangi, 2011 ……………..………………………………………………...
72
Struktur Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan Usahatani Kentang per Hektar Per Musim Tanam di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 ……………………..…………………………………….......
77
Perhitungan Nilai Ekonomi Konservasi Usahatani Kentang di Kecamatan Pasirwangi, 2011 ……………………………………..
81
2. 3. 4.
10. 11. 12. 13. 14. 15.
16.
17.
18.
xii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional ……………..……….......
39
2. Karakteristik Petani Berdasarkan Usia …………….……….……
55
3. Karakteristik Petani Berdasarkan Lama Bertani …..……………..
56
4. Karakteristik Petani Berdasarkan Pendidikan Formal …………...
58
5. Karakteristik Petani Berdasarkan Luas Lahan …………...........…
59
6. Lahan dengan Penanaman Searah Kontur (Konservasi) di Kecamatan Pasirwangi, 2011 ……..……………………………...
64
7. Lahan dengan Penanaman Searah Lereng (Non-Konservasi) di Kecamatan Pasirwangi, 2011 …………………………………....
64
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1.
Halaman
Luas lahan Menurut Penggunaannya di Indonesia Tahun 20032007 ………………………………..…………..……….……......
90
Analisis Usahatani Kentang Konservasi dan Non-Konservasi per Hektar per Musim Tanam di Dua Desa Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut, Tahun 2011 …………...……….
91
Karakteristik Petani Contoh di Dua Desa Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut, Tahun 2011 …………...……………………..
92
4.
Hasil Output Regresi Logit dengan SPSS 16.0 ………...…….….
96
5.
Peta Lokasi Penelitian …………………………………………...
98
2.
3.
xiii
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan yang cukup penting dalam
pembangunan. Sektor pertanian merupakan penyedia kebutuhan pangan, penyedia bahan baku industri, penyumbang devisa, penyerap tenaga kerja, serta penunjang utama kelestarian lingkungan hidup. Upaya peningkatan sektor pertanian merupakan langkah strategis dalam pembangunan nasional mengingat peranannya yang besar dalam mendukung pertumbuhan sektor pertanian khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2011, perekonomian nasional tumbuh sebesar 6,5 persen yang didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian sebesar 3,6 persen (Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan RI, 2011). Dilihat dari sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), pada tahun 2011 sektor pertanian menyumbang 14,7 persen terhadap PDB nasional (Badan Pusat Statistik (BPS), 2012). Sektor pertanian berkaitan erat dengan wilayah pedesaan. Berdasarkan data BPS (2012) sekitar 46 persen masyarakat Indonesia terlibat dalam berbagai bentuk kegiatan pertanian seperti pertanian tanaman pangan, non-pangan, peternakan, dan perikanan air tawar sebagai pekerjaan utama. Selain sebagai penghasil produk pertanian, sektor pertanian juga memberikan produk sampingan (multifungsi) antara lain: perlindungan terhadap lingkungan (penanggulangan erosi, pengendalian banjir, pendaurulangan air, penambatan karbon, penyangga kenaikan suhu udara, pembersih udara), penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, penyangga gejolak ekonomi (economic buffer), serta pelestarian nilai budaya pedesaan. Berbagai fungsi (multifungsi) dari 1
pertanian memberikan manfaat tidak saja untuk petani sebagai penyedia jasa, tetapi juga masyarakat luas yang berada di sekitarnya (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Lahan pertanian Indonesia terdiri atas lahan sawah dan lahan kering. Lahan Kering mendominasi luas lahan di Indonesia. Pada tahun 2007, hampir 82 persen dari luas lahan keseluruhan merupakan lahan kering dan hampir semua pulau didominasi oleh lahan kering (Lampiran 1). Dengan demikian lahan kering merupakan salah satu sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk mendukung pembangunan pertanian di Indonesia, baik ditinjau dari luas areal maupun peluang produksi komoditas yang diusahakan. Peluang produksi tersebut tidak hanya untuk tanaman pangan tetapi juga untuk tanaman hortikultura, tanaman industri, dan tanaman perkebunan.Pada usahatani berbasis lahan kering, usahatani yang paling berkembang adalah pada usahatani tanaman perkebunan, usahatani komoditas sayuran bernilai ekonomi tinggi dan peternakan khususnya unggas. Berbagai usahatani yang dilakukan pada lahan kering dataran tinggi adalah tanaman semusim dan tahunan seperti teh, kina, kopi, kayu manis dan lainnya. Tanaman semusim yang dominan ditanam adalah jagung, kentang, ubi jalar, kubis, tomat, buncis, wortel, tembakau dan berbagai jenis bunga. Beberapa jenis tanaman seperti kentang, kubis, tomat, cabe, buncis, wortel, dan lainnya hanya dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik pada ketinggian tempat tertentu, sehinga terdapat sentra-sentra produksi untuk tanaman-tanaman tersebut. Selain itu, kemajuan cenderung spesifik lokal dalam arti perkembangan yang cukup nyata adalah di sentra-sentra produksi sedangkan di wilayah non sentra produksi 2
kurang berkembang (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penghasil komoditas sayuran terbesar di Indonesia (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010). Jenis sayuran unggulan di Jawa Barat meliputi bawang merah, cabe merah, kentang, kubis, dan tomat. Diantara komoditas hortikultura lainnya, kentang merupakan tanaman yang banyak diusahakan petani. Kentang dipilih karena nilai ekonomis kentang yang tinggi dan harga yang cenderung stabil. Selain itu, kentang merupakan komoditas yang memiliki daya tahan simpan cukup lama, yaitu sampai 5 tahun (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2003) Berdasarkan luas tanam per tahun, Kabupaten Bandung dan Garut merupakan sentra penghasil kentang terbesar di Provinsi Jawa Barat (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2010). Kontribusi kentang di Kabupaten Bandung dan Garut masing-masing adalah sebanyak 56,52 persen dan 36,53 persen dari total produksi Jawa Barat. Dari kedua sentra produksi kentang tersebut, pada tahun 2010 Kabupaten Garut memiliki produktivitas yang lebih tinggi yaitu 21,74 ton/ha dibandingkan dengan Kabupaten Bandung yang hanya memiliki produktivitas sebesar 20,48 ton/ha. Namun berdasarkan data luas panen, produksi dan produktivitas, Kabupaten Garut mengalami perkembangan yang negatif, bahkan pada tahun 2009 dan 2010, persentase penurunan produksi kentang lebih besar dibandingkan dengan persentase penurunan luas lahan (Tabel 1).
3
Tabel 1. Perkembangan Produktivitas Kentang di Kabupaten Bandung dan Garut Tahun 2006-2010 No 1 2
Kabupaten /Kota Bandung Garut
Keterangan Sumber
2006 19,55 22,67
2007 19,60 22,95
Produktivitas (Ton/Ha) (%)* 2008 (%)* 2009 (%)* 0,03 20,21 0,03 20,34 0,01 0,01 23,30 0,02 23,25 -0,00
2010 20,48 21,74
(%)* 0.01 -0.07
: * perkembangan : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2006-2010)
Luas area panen di Kabupaten Garut cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun kecuali pada tahun 2009 yang mengalami penurunan sebanyak 12,86 persen. Selain itu, produksi kentang dari tahun ke tahun pun mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2009 yang mengalami penurunan sebanyak 13,05 persen. Penurunan produksi kentang yang lebih tinggi daripada penurunan luas area tanam berimbas pada menurunnya produktivitas kentang sejak tahun 2009 hingga tahun 2010 (Tabel 2). Tabel 2. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang di Kabupaten Garut Tahun 2006-2010 Luas panen Produksi Produktivitas (%)* (%)* (%)* Tahun (Ha) (Ton) (Ton/Ha) 2006 4.427 100.378 22,67 16,08 17,50 1,22 2007 5.139 117.942 22,95 13,50 15,23 1,52 2008 5.833 135.910 23,30 -12,86 -13,05 -0,22 2009 5.083 118.175 23,25 26,74 18,49 -6,50 2010 6.442 140.029 21,74 Keterangan : * perkembangan Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2006-2010) Penyebab penurunan produktivitas kentang ini diduga adanya dipengaruhi beberapa faktor seperti cuaca, perubahan iklim, dan tingkat efisiensi faktor produksi yang masih kurang efisien, serta degradasi lingkungan. Selain itu, faktor lain yang diduga sangat berpengaruh adalah karena terjadinya erosi. Erosi menyebabkan banyak unsur hara dan bahan organik tanah hilang melalui sedimen yang terangkut aliran permukaan, pencemaran tanah, air, dan lingkungan. 4
Sehingga untuk mengatasinya petani memberikan pupuk dan pestisida dalam dosis tinggi (Haryati dan Erfandi, 2011). Oleh karena itu, untuk melestarikan sumber daya lahan didaerah-daerah sentra produksi ini perlu dilakukan pengelolaan lahan yang tepat dengan menerapkan tindakan konservasi tanah (Katharina, 2007a). 1.2
Perumusan Masalah Kabupaten Garut merupakan salah satu tempat yang memanfaatkan lahan
pegunungan untuk pertanian. Jenis tanah andisol yang mendominasi bagian utara Kabupaten Garut memberikan peluang terhadap potensi usaha sayur mayur.1 Sifat-sifat tanah tersebut cukup baik, namun karena terletak pada lereng yang curam, disertai curah hujan yang tinggi (>2000 mm th-1) dan pengusahaan yang intensif, maka kepekaan tanahnya terhadap erosi sangat tinggi (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Sehingga walaupun menguntungkan, namun usahatani tanaman semusim pada lahan pegunungan, memiliki dampak negatif. Menurut Abdurrachman dan Sutono dalam Katharina (2007a), di areal pertanian, proses erosi banyak terjadi pada lahan berlereng yang dikelola untuk budidaya tanaman semusim yang tidak dilengkapi dengan tindakan-tindakan konservasi tanah. Hal ini terjadi karena pengelolaan tanah dilakukan pada waktu sebelum tanam, dan setelah panen, sehingga tanah menjadi terbuka terhadap pukulan air hujan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Akibat langsung dari besarnya erosi adalah produktivitas lahan yang cenderung turun (Arsyad, 2000), hal ini ditunjukkan oleh produksi yang
1
http://www.garutkab.go.id/pub/static_menu/details/sekilas_geografi_kondisi_tanah
5
cenderung terus menurun dari tahun ke tahun, seperti ditunjukkan pada pertanaman kentang di Kabupaten Garut. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya konservasi yang dapat menahan laju erosi dan memperbaiki produktivitas tanaman kentang. Menurut Dewi dan Hendayana (2002) keberhasilan penerapan konservasi di lahan kering mampu menciptakan kondisi lahan yang kondusif untuk menghasilkan produksi secara lestari dan terpeliharanya produktivitas lahan sehingga pada akhirnya berpengaruh positif pada peningkatan pendapatan petani. Sehingga pada tahun 2006 menteri pertanian
mengeluarkan
Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor:
47/Permentan/Ot.140/10/2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan (Departemen Pertanian, 2006). Namun pada praktiknya, di Kabupaten Garut, sebagian besar petani belum menerapkan praktek konservasi tanah. Tidak diterapkannya kaidah-kaidah konservasi oleh petani sangat dipengaruhi oleh kondisi finansial petani (Sabarman, 2006) dan faktor sosio-kultural, meliputi kurangnya sumberdaya yang layak, tenaga kerja, kematangan perencanaan, dan peralatan (Joseph et al, 2012). Selain itu, rendahnya penerapan teknik konservasi tanah pada usahatani sayuran dataran tinggi disebabkan berbagai alasan seperti tingginya biaya pembuatan dan pemeliharaan (Lapar et al, 1999), kekhawatiran akan menurunnya produksi tanaman sayuran akibat terjadinya peningkatan kelembaban tanah dan berkurangnya populasi tanaman (Haryati dan Erfandi, 2011). Petani mengggap bahwa penerapan teknik konservasi hanya memberikan tambahan kerja, tetapi tidak memberikan tambahan pendapatan (Ladamay, 2010).
6
Selain erosi, saat ini pertanian sayuran di lahan pegunungan dihadapkan kepada masalah besarnya pemberian pupuk dan pestisida yang berlebihan sehingga menyebabkan usahatani relatif tidak efisien. Praktek pemupukan di tingkat petani sangat bervariasi, mulai dari input rendah, sampai sangat tinggi. Sering kali suatu jenis unsur diberikan secara berlebihan sedangkan unsur lain diberikan kurang dari yang semestinya sehingga efisiensi penggunaan pupuk menjadi rendah. Pemberian satu atau dua unsur yang berlebihan sering disebabkan oleh pemberian pupuk yang hanya berdasarkan kebiasaan atau berdasarkan rekomendasi dari produsen pupuk (Haryati dan Erfandi, 2011). Pemberian pupuk dan pestisida yang berlebihan ini akan menyebabkan produktivitas lahan menurun dan menambah biaya yang harus dikeluarkan. Hal lainnya adalah kecilnya kepemilikan lahan usahatani, status kepemilikan, sehingga sayuran yang dihasilkan menjadi tidak optimal dan efisien. Selain lahan, faktor sumber daya manusia khususnya dikaitkan dengan kapabilitas manajerial petani juga menyebabkan inefisiensi produksi. Kapabilitas manajerial petani ini akan menentukan rasionalitas petani dalam mengambil keputusan dalam pengelolaan usahataninya (Nahraeni, 2012). Dari penjabaran di atas, rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu: 1.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keputusan petani kentang dataran tinggi untuk mengadopsi konservasi?
2.
Bagaimana nilai ekonomi konservasi dari usahatani kentang dataran tinggi?
7
1.3
Tujuan Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk :
1.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kentang dataran tinggi untuk mengadopsi konservasi
2.
Menghitung nilai ekonomi konservasi dari usahatani kentang dataran tinggi.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaaat akademik yang
memperkaya penelitian ekonomi pertanian. Selain itu, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi para pengambil kebijakan dan pemerhati pertanian dalam pengembangan pertanian di lahan kering, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan petani kentang. 1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
petani untuk mengadopsi pola konservasi dengan komoditas kentang sebagai obyek penelitian. Analisis hanya dilakukan untuk satu musim tanam kentang dalam rentang waktu antara Juli 2010 – Juni 2011. Penelitian dilakukan di Kecamatan Pasirwangi sebagai salah satu sentra produksi kentang terbesar di Kabupaten Garut.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Lahan kering Lahan kering dapat didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak
pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang tahun (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Berdasarkan penggunaan lahan untuk pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan luas lahan kering menjadi lahan tegal atau kebun, ladang atau huma, lahan sementara tidak diusahakan, dan rawa yang tidak ditanami. Kadekoh (2007) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan dimana pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang sepanjang tahun. Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air. 2.1.1 Jenis Lahan Kering Berdasarkan ketinggian tempat (elevasi) dan topografi, lahan kering dibedakan menjadi dataran rendah (elevasi < 700 m dpl.) dan dataran tinggi (elevasi > 700 m dpl.), dengan luasan masing-masing sebesar 87,3 juta Ha dan 56,7 juta Ha. Lahan kering dataran rendah pada umumnya datar berombak, berombak bergelombang, dan berbukit, sedangkan lahan kering dataran tinggi umumnya bergelombang, berbukit, sampai bergunung (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Berdasarkan relief atau bentuk wilayah, lahan kering dibedakan menjadi lahan datar berombak dengan lereng 3-8 9
persen, berombak bergelombang dengan lereng 8-15 persen, berbukit dengan lereng 15-30 persen, dan bergunung dengan lereng 30 persen. Berdasarkan kondisi iklim, lahan kering dibedakan menjadi lahan iklim basah dan iklim kering. Lahan kering dataran rendah berada pada kondisi iklim basah pada ketinggian 700 m dpl dengan curah hujan tinggi (> 1500 mm/th) dengan masa hujan relatif panjang. Sedangkan iklim kering mempunyai curah hujan relatif rendah (< 1500 mm/th) dengan masa curah yang pendek (3,5 bulan) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). 2.2.
Erosi Pertanian lahan kering umumnya terdapat di daerah hulu (up land) hingga
daerah-daerah pertengahan dengan keadaan lahan yang berlereng (Harijaya 1995 dalam Ladamay 2010). Keadaan lahan seperti ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya erosi dan aliran permukaan yang berlebihan. Erosi adalah peristiwa pindah atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (air atau angin). Erosi dapat menyebabkan terdegradasinya lahan melalui hilang atau terkikisnya lapisan tanah atas, sehingga dapat berdampak buruk terhadap tanah. Dampak buruk dari erosi ada dua, yaitu dampak di tempat kejadian erosi (on-site) dan dampak di luar tempat kejadian erosi (off-site). Dampak langsung erosi on-site antara lain kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman, kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah, rusaknya bangunan konservasi atau bangunan lainnya, dan turunnya pendapatan petani. Dampak tidak langsung erosi on-site adalah berkurangnya alternatif penggunaan tanah, timbulnya dorongan membuka lahan baru, serta munculnya biaya lain untuk perbaikan lahan dan bangunan yang rusak. 10
Dampak langsung diluar tempat kejadian erosi (off-site) adalah pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya, tertimbunnya lahan pertanian, jalan, dan bangunan lainnya, rusaknya mata air dan kualitas air, rusaknya ekosistem perairan serta meningkatnya frekuensi masa kekeringan. Dampak tidak langsung erosi off-site yaitu kerugian akibat memendeknya umur waduk, meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir (Arsyad, 2000). Erosi yang terbanyak terjadi adalah erosi yang disebabkan oleh air. Erosi oleh air terjadi dimana tanahnya terbuka terhadap terpaan butir air hujan (erosi percikan), terhadap aliran air yang meluas sehingga terkikisnya permukaan tanah secara merata (erosi kulit), atau terhadap aliran air yang terkumpul dalam suatu alur (erosi alur dan erosi parit). Menurut Rahim (2003) terdapat tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi erosi, yaitu: (1) energi, meliputi hujan, air limpasan, angin, kemiringan, dan panjang lereng, (2) ketahanan, meliputi erodibilitas tanah (ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah),dan (3) proteksi yaitu penutupan tanah baik oleh vegetasi atau lainnya serta ada atau tidaknya tindakan konservasi. Selain itu, Arsyad (2000) mengemukakan bahwa pada dasarnya faktorfaktor penyebab erosi dibedakan atas; (1) faktor-faktor yang dapat diubah oleh manusia seperti tumbuhan yang tumbuh diatas tanah, sebagai sifat-sifat tanah seperti kesuburan, ketahanan agregat, kapasitas infiltrasi dan panjang lereng, serta (2) faktor-faktor yang tidak dapat diubah seperti iklim, tipe tanah dan kecuraman lereng. Pengendalian erosi sangat bergantung pada pengelolaan yang baik melalui upaya penutupan lahan atau penanaman tanaman penutup tanah yang baik disertai dengan penyeleksian tindakan pembajakan atau pengelolaan tanah yang tepat.
11
2.3.
Biaya Erosi Tanah Dampak erosi tanah di lokasi yang terpenting adalah berkurangnya
kesuburan tanah akibat hilangnya bahan organik dan unsur hara tanah, berkurangnya kedalaman lapisan tanah atas (topsoil), dan menurunnnya kapasitas tanah untuk menahan air yang selanjutnya juga akan menyebabkan penurunan produktivitas lahan yang terkena erosi. Sedangkan dampak erosi tanah di luar lokasi adalah merupakan nilai sekarang dari manfaat ekonomi yang hilang akibat erosi lahan (Katharina, 2007a). Menurut Barbier (1996), dari persfektif petani, ada dua komponen utama yang menjadi biaya dari erosi tanah, yaitu biaya langsung dan output yang hilang. Biaya langsung adalah biaya bagi petani untuk upaya (contohnya tenaga kerja), material, peralatan, struktur fisik, dan sebagainya yang dibutuhkan untuk melakukan konservasi tanah. Output yang hilang adalah kehilangan dari output saat ini karena menggunakan lebih sedikit tanah atau lahan saat ini. Pendekatan yang umum digunakan untuk menghitung biaya erosi tanah di lokasi (on site), menurut Barbier (1996) antara lain adalah pendekatan perubahan produktivitas (productivity change approach) dan pendekatan biaya pengganti (replacement cost approach). Menurut pendekatan perubahan produktivitas, biaya erosi tanah di lahan usahatani setara dengan nilai produktivitas yang hilang yang dinilai sesuai dengan harga pasar. Dengan kata lain, perubahan produktivitas merupakan perbedaan hasil panen antara lahan yang mempunyai tingkat erosi tinggi dan erosi rendah. Metode pendugaan biaya erosi tanah dengan pendekatan biaya pengganti (replacement cost approach) adalah mengukur unsur hara tanah yang hilang melalui erosi dan menghitung nilai unsur hara tanah yang hilang yang 12
ditunjukkan dengan penggunaan pupuk. Pendekatan biaya pengganti didasarkan pada asumsi bahwa erosi tanah dan aliran permukaan menyebabkan terjadinya pencucian hara dan efektivitas pupuk bagi tanaman lebih rendah yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan produksi. Pemberian pupuk buatan atau pupuk organik, pergiliran tanaman dengan tanaman leguminosa dan menghindari dari pembakaran vegetasi atau sisa-sisa tanaman terus-menerus adalah cara-cara untuk mencegah kerusakan dan memulihkan kesuburan tanah (Arsyad, 2000). 2.4.
Konservasi Salah satu cara pengendalian erosi yang tepat untuk digunakan yaitu
dengan melakukan konservasi tanah. Konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Selain untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi, usaha konservasi tanah ditujukan untuk memperbaiki tanah yang rusak, dan memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat dipergunakan secara lestari. Selanjutnya, menurut Arsyad (2000), konservasi tanah tidak berarti penundaan penggunaan tanah atau pelarangan penggunaan tanah, tetapi menyesuaikan macam penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan, agar tanah dapat berfungsi secara lestari. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2005), teknik pengendalian erosi dapat dibagi dua, yaitu mekanis dan biologis atau vegetatif. Namun keduanya sering digabung sehingga lebih efektif. Pengendalian erosi secara mekanis dapat dilakukan dengan menerapkan teras 13
baku dan teras gulud. Secara teknis, teras baku merupaka pengendalian erosi yang efektif. Teras baku memotong panjang lereng dan menghambat laju permukaan aliran permukaan, sehingga pengangkutan partikel-partikel tanah pun terhambat. Teknik konservasi menggunakan teras gulud dianggap lebih mudah dan lebih sederhana dalam pembuatannya dibanding teras baku. Teras gulud merupakan modifikasi dari guludan untuk bertanam ubi jalar pada lahan-lahan datar yang diterapkan pada lahan miring. Secara vegetatif, teknik pengendalian erosi yang dapat digunakan adalah strip rumput, mulsa, tanaman penutup tanah, olah tanah konservasi, dan pertanaman lorong, 2.5.
Konsep Usahatani Menurut Prof. Tb. Banchtiar Rifai (1960) dalam Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan (1983), usahatani adalah setiap kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Soekartawi et al. (1985) menyatakan bahwa usahatani merupakan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, kerja, modal, waktu, dan pengelolaan) yang terbatas untuk mencapai tujuannya. Pada awalnya manusia mengenal usaha bertani dengan cara-cara yang sederhana dengan tujuan utamanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga sendiri (subsisten). Disini, bertani dipandang sebagai suatu cara hidup (way of life) daripada suatu bisnis (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983). 2.5.1 Konsep Pendapatan Usahatani Berusahatani akan dinilai pada biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh oleh petani. Selisih antara keduanya merupakan pendapatan yang akan diperoleh untuk usahanya. Pendapatan yang diharapkan tentu saja memiliki 14
nilai positif dan semakin besar nilainya maka semakin baik, meskipun besar pendapatan tidak selalu mencerminkan efisiensi yang tinggi karena pendapatan yang besar mungkin saja diperoleh dari investasi yang jumlahnya besar pula. Suatu usahatani dikatakan berhasil apabila dapat memenuhi kewajiban membayar bunga modal, alat-alat yang digunakan, upah tenaga luar serta sarana produksi lain termasuk kewajiban terhadap pihak ketiga dan dapat menjaga kelestarian usahanya (Suratiyah, 2011). Beberapa istilah yang biasanya dipergunakan dalam menganalisis pendapatan usahatani menurut Soekartawi et al. (1985), yaitu: 1.
Penerimaan tunai usahatani merupakan nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani.
2.
Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani.
3.
Pendapatan tunai usahatani adalah selisih antara penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai usahatani
4.
Penerimaan kotor usahatani adalah produk usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.
5.
Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang diperhitungkan.
6.
Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani. Menurut Soekartawi (2002) Biaya usahatani dapat di bedakan atas:
1.
Biaya tunai, merupakan pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani, meliputi biaya tetap misalnya pajak, dan biaya variabel misalnya pengeluaran untuk bibit, obat-obatan dan biaya untuk pembayaran tenaga kerja luar keluarga. 15
2.
Biaya yang diperhitungkan, merupakan pengeluaran yang secara tidak tunai dikeluarkan petani. Biaya yang diperhitungkan dapat berupa faktor produksi yang digunakan petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti biaya untuk sewa lahan yang diperhitungkan atas lahan milik sendiri, penggunaan tenaga kerja keluarga yang dinilai berdasarkan upah yang berlaku, penggunaan benih dari hasil produksi sebelumnya dan penyusutan dari sarana produksi. Analisis terhadap pendapatan usahatani juga dapat digunakan untuk
mengukur efisisensi usahatani terhadap penerimaan yang diperoleh untuk setiap rupiah yang dikeluarkan (Revenue Cost Rasio atau R-C Rasio). Analisis R-C rasio digunakan
untuk
mengetahui
keuntungan
relatif
usahatani
berdasarkan
keuntungan finansial, yang menunjukan besarnya penerimaan yang diperoleh dengan pengeluaran tertentu dalam satu satuan biaya. Semakin besar nilai R-C rasio maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan usahatani tersebut menguntungkan untuk dilaksanakan. Kelayakan usahatani berdasarkan besarnya nilai R-C rasio dapat dikatakan layak apabila nilai R-C rasio lebih besar dari satu, nilai ini berarti setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biayanya. Secara sederhana kegiatan usahatani tersebut dapat dikatakan menguntungkan untuk dilaksanakan. Sebaliknya, apabila nilai rasio R-C rasio lebih kecil dari satu, artinya tambahan biaya menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil sehingga kegiatan usahatani dikatakan tidak menguntungkan. Sedangkan jika nilai rasio R-C sama dengan satu, maka kegiatan usahatani tidak mendapatkan keuntungan atau kerugian 16
2.5.2 Usahatani Kentang Kabupaten Garut Kentang merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan di Jawa Barat yang banyak ditanam di daerah dataran tinggi karena kentang cocok ditanam pada ketinggian 500-3000 mdpl. Selain itu, tanaman kentang cocok ditanam pada jenis tanah Andosol dan Grumosol dengan tekstur sedang dan struktur gembur, dengan pH tanah 5,0 – 6,5. kondisi iklim yang cocok untuk tanaman kentang adalah tempat dengan curah hujan 1000 mm/th dan temperatur 15-25°C (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat, 2003) . Jawa Barat mengalami penurunan luas panen tanaman kentang sejak tahun 2007 hingga tahun 2011. Hal ini diikuti dengan penurunan produksi pada tahun yang sama. Namun, pada tahun 2009 luas panen dan produksi kentang mengalami peningkatan, masing-masing 10,60 persen dan 9,84 persen dari jumlah tahun 2008. Berbeda dengan luas panen dan produksi, produktivitas tanaman kentang di Jawa Barat mengalami peningkatan sejak tahun 2007 hingga tahun 2008, namun terus mengalami penurunan sejak tahun 2009 hingga tahun 2011. Hal ini terjadi karena pada tahun 2007 dan 2008, laju penurunan luas panen lebih besar dari laju penurunan produksi. Sedangkan pada tahun 2009 hingga 2011, laju penurunan luas panen lebih kecil daripada laju penurunan produksi (Tabel 3). Tabel 3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang di Jawa Barat Tahun 2006-2011 Luas Panen Perubahan Produksi Perubahan Produktivitas Perubahan Tahun (Ha) (persen) (Ton) (persen) (Ton/Ha) (persen) 2006 17.242 349.157 20,25 2007 16.479 - 4,43 337.369 -3,38 20,47 1,10 2008 13.873 -15,81 294.564 -12,69 21,23 3,71 2009 15.344 10,60 323.543 9,84 21,09 -0,69 2010 13.553 -11,67 275.100 -14,97 20,30 -3,74 2011 11.327 -16,42 220.154 -19,97 19,44 -4,25 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2010-2011) 17
Jawa Barat memiliki beberapa sentra produksi kentang, yaitu di Bandung dan Garut, dengan kecamatan utama yaitu Lembang, Kertasari dan Cimenyan untuk Kawasan Bandung, dan Pasirwangi, Cikajang, Cisurupan, Samarang, dan Bayongbong untuk Kawasan Garut. Selain itu, pada tahun 2010 Jawa Barat sedang mengembangkan Majalengka, Bandung Barat, Kuningan, Cianjur, dan Sumedang untuk menjadi sentra produksi kentang (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2010). Kabupaten Garut merupakan penghasil kentang terbesar kedua di Jawa Barat setelah Kabupaten Bandung. Namun, dibandingkan dengan Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut memiliki produktivitas yang lebih tinggi sejak tahun 2006 hingga 2010 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2010). Pada tahun 2010, dengan luas panen 6.442 hektar, produksi kentang yang dihasilkan di Kabupaten Garut adalah 140,029 ton. Dengan kata lain pada tahun 2010 produktivitas kentang adalah 21,74 Ton/Hektar. Produksi ini masih dapat dikembangkan, karena Kabupaten Garut masih memiliki 3400 hektar area yang masih berpotensi untuk ditanami kentang (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut, 2009). 2.6.
Adopsi Inovasi Inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh
seseorang. Pengambilan keputusan inovasi adalah proses mental sejak seorang mulai mengenal suatu inovasi sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan proses itu memerlukan waktu (Rogers dan Schoemaker, 1986 dalam Nahraeni, 2000). Dalam hal mengambil keputusan, seseorang dapat menerima atau menolak inovasi. Bila ia menerima inovasi (mengadopsi) artinya ia 18
menggunakan ide baru, barang baru, dan praktek baru dan menghentikan ide-ide yang digantikan oleh inovasi itu. Namun, sebelum mengambil keputusan inovasi, biasanya petani memperoleh keyakinan akan keberhasilan metode itu. Terdapat lima tahap proses adopsi yaitu (Rogers dan Schoemaker, 1986 dalam Nahraeni, 2000) : 1.
Tahap kesadaran; seseorang mengetahui adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informasi mengenai hal itu.
2.
Tahap menaruh minat; seseorang mulai menaruh minat terhadap inovasi dan mencari informasi lebih banyak mengenai inovasi tersebut.
3.
Tahap penilaian; seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru tersebut dihubungkan dengan situasi dirinya sendiri saat ini dan masa datang mencobanya atau tidak.
4.
Tahap percobaan; seseorang menerapkan ide-ide baru itu dalam skala kecil untuk menentukan kegunaan apakah sesuai dengan situasi dirinya.
5.
Tahap penerimaan (adopsi); seseorang menggunakan ide baru itu secara tetap dalam skala yang luas.
2.7.
Pengambilan Keputusan Adopsi Penerapan teknik pengendalian erosi pada lahan-lahan pertanian pada
umumnya belum memadai baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga sistem pertanian yang lestari dan berwawasan lingkungan belum tercapai. Aspek-aspek sosial dan ekonomi, termasuk peningkatan kesejahteraan petani dan peningkatan kelembagaan penyuluhan, khususnya penyuluh konservasi tanah, perlu mendapat perhatian yang lebih besar (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
19
Agroklimat, 2005). Namun, peran yang paling penting tetap dipegang oleh para petani sebagai pelaku utama di sektor pertanian. Reijntjes et al. (1992) menyatakan bahwa cara yang ditempuh suatu rumah tangga petani dalam pengambilan keputusan pengelolaan usaha tani tergantung pada ciri-ciri rumah tangga yang bersangkutan, misalnya jumlah anggota keluarga, usia, kondisi kesehatan, kemampuan, keinginan, kebutuhan, pengalaman bertani, pengetahuan, dan keterampilan serta hubungan antaranggota rumah tangga. Selain itu, pengambilan keputusan dalam rumah tangga petani meliputi faktor-faktor yang kompleks, termasuk ciri biofisik usahatani, ketersediaan dan kualitas input luar dan jasa serta proses sosioekonomi dan budaya di dalam masyarakat. Tujuan suatu rumah tangga berkenaan dengan proses dan hasil usahatani merupakan pusat sekaligus obyek pengambilan keputusan. Rumah tangga petani secara bersama memiliki berbagai macam tujuan yang bisa digolongkan sebagai produktivitas, keamanan, kesinambungan, dan identitas. Menurut Pattanayak et al. (2003) terdapat lima faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pertanian dan kehutanan, yaitu: 1.
Preferensi petani, secara eksplisit efek dari preferensi petani sulit untuk diukur, maka digunakan pendekatan berdasarkan faktor sosial demografi seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan status sosial. Masih terdapat berbagai pertentangan akan pendekatan mana yang terbaik, sebagai contoh adalah faktor pendidikan digunakan untuk mengukur opportunity cost terhadap pekerja pada investasi teknologi agroforestri
2.
Resources endowment, digunakan untuk mengukur ketersediaan sumberdaya pada adopsi teknologi untuk diimplementasikan pada teknologi baru. Contoh: 20
kepemilikan aset, seperti lahan, tenaga kerja, ternak, dan tabungan. Umumnya resources endowment memiliki korelasi positif dengan adopsi teknologi 3.
Insentif pasar, merupakan faktor yang berhubungan dengan rendahnya biaya atau tingginya penerimaan dari adopsi teknologi. Insentif pasar fokus pada faktor-faktor ekonomi seperti harga, ketersediaan pasar, transportasi dan pendapatan potensial. Faktor ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan sehingga akan memberikan pengaruh positif terhadap adopsi teknologi
4.
Faktor biofisik, faktor ini diharapkan dapat mempengaruhi proses produksi yang berhubungan dengan pertanian dan kehutanan. Contohnya kualitas lahan, kemiringan lahan dan ukuran lahan. Umumnya jika kondisi biofisik rendah (seperti tingginya tingkat erosi) akan berkorelasi positif dengan kesediaan untuk menerima adopsi teknologi.
5.
Resiko dan ketidakpastian, faktor ini memperlihatkan ketidaktahuan pasar dan pemerintah terhadap kebijakan yang dibuat. Dalam jangka pendek contoh dari resiko dan ketidakpastian adalah fluktuasi harga komoditi, output dan curah hujan. Pada jangka panjang contohnya adalah hak sewa menyewa yang tidak aman. Adopsi teknologi akan menurunkan resiko dan ketidakpastian pada investasi pertanian dan kehutanan selama periode pertumbuhan. Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010) mengidentifikasikan faktor-
faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang dalam mengadopsi inovasi yakni: 1.
Umur: petani yang lebih tua kurang menerima perubahan dibandingkan petani yang lebih muda.
2.
Pendidikan: melalui pendidikan meningkatkan pengetahuan tentang teknologi pertanian yang baru, diasumsikan lembaga pendidikan memfasilitasi 21
pembelajaran, sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung semakin mudah menerima praktek-praktek baru. 3.
Karakteristik psikologis: rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatism, orientasi pada usahatani dan kemudahan inovasi. Ketika rasionalitas didefinisikan sebagai keuntungan maksimum dalam usahatani, ini mungkin dilakukan sebagai peubah antara (intervening variable) antara kontak dengan penyuluh dan adopsi praktek-praktek baru pertanian. Dengan kata lain, sumber informasi pertanian yang dapat dipercaya, dapat mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi praktek-praktek baru.
4.
Pendapatan usahatani: semakin tinggi pendapatan usahatani, maka petani cenderung lebih cepat mengadopsi inovasi.
5.
Luas usahatani: semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi inovasi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik.
6.
Prestise dalam masyarakat: semakin tinggi prestise seseorang cenderung semakin cepat mengadopsi praktek-praktek pertanian yang baru (demi mendapatkan simbol status).
7.
Sumber informasi yang digunakan, golongan inovatif cenderung banyak memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti instansi pemerintah (dinasdinas terkait), perguruan tinggi dan lembaga penelitian pertanian. Sebaliknya masyarakat yang kurang inovatif bergantung pada informasi sesama petani.
8.
Sifat-sifat dasar praktek: semakin rumit suatu inovesai maka akan semakin lambat tingkat adopsinya. Berikut contoh yang paling cepat diterima, hingga yang paling rumit:
22
a.
Perubahan hanya dibahan dan alat, tanpa perubahan di teknik atau pelaksanaan (misalkan : varietas baru suatu benih)
b.
Perubahan dalam pelaksanaan, dengan atau tanpa perubahan dalam alat atau bahan (misal: perubahan dalam rotasi tanaman)
c.
Perubahan dalam teknik-teknik atau pelaksanaan baru (misal: contour cropping)
d.
Perubahan total kegiatan usaha (misal dari usaha tanaman ke peternakan) Secara umum kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh penerapan praktek
pertanian, seperti: a.
Praktek baru yang memerlukan modal besar cenderung lebih lambat diadopsi dibading modal kecil.
b.
Lebih sesuai dengan kegiatan yang telah dipraktekan, maka akan lebih cepat diadopsi.
c.
Ciri-ciri atau praktek yang siap dikomunikasikan dengan metode konvensional yang digunakan oleh petani akan lebih cepat diadopsi
d.
Lebih sulit untuk mengambil keputusan dan konsekuensi berikutnya, lebih lambat diadopsi
e.
Praktek yang rumit dan mahal yang dapat dilakukan dalam waktu singkat akan memungkinkan diadopsi lebih cepat daripada yang tidak mungkin dilakukan.
9.
Interaksi faktor-faktor yang berhubungan: beberapa faktor tersebut diatas dapat dikombinasikan untuk menjelaskan tingkat kecepatan adopsi suatu inovasi.
23
2.8.
Penelitian Terdahulu Berbagai penelitian yang berhubungan dengan adopsi teknologi konservasi
telah banyak dilakukan di beberapa lokasi seperti Pangalengan, Garut, dan Gunung Kidul. Selain itu, topik mengenai adopsi teknologi konservasi pun telah dilakukan di berbagai Negara seperti Zimbabwe dan Sri Lanka. Pertanian
komunal
dihadapkan
pada
tantangan
mengupayakan
peningkatan produksi sebaik seperti melestarikan sumberdaya alam. Produktivitas yang rendah, degradasi lahan, sumberdaya pertanian yang tidak memenuhi syarat, dan ketidaklayakan teknik pertanian menandai pertanian komunal di Zimbabwe. Joseph et al. (2012) melakukan penelitian untuk memastikan faktor apa yang mempengaruhi adopsi praktik konservasi pertanian di area pertanian komunal Madziva, Zimbabwe, dan menilai efisiensi ekonomi dan efisiensi teknis dari praktik konservasi tersebut. Fungsi produksi transidental digunakan untuk mengestimasi efisiensi ekonomis dan efisiensi teknis, sedangkan untuk menetukan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan adopsi konservasi digunakan model regresi logit. Berdasarkan data dari 75 petani terpilih, didapat nilai Marginal Physical Product (MPP) dan Value of Marginal Product (VMP) yang masing-masing mengindikasi efisiensi teknis dan ekonomis. Teknik konservasi pertanian efisien secara teknis karena MPP > 0, dan nilai VMP menunjukkan terjadinya efisiensi ekonomi. Petani dapat menutupi investasi awal mereka dalam satu atau dua tahun, sehingga investasi dalam konservasi pertanian dikatakan berhasil. Namun, hanya 27 persen petani yang mengadopsi konservasi pertanian. Usia, luas lahan, dan
24
lama pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan adopsi teknologi konservasi. Menurut Lapar dan Pandey (1999) degradasi lahan di dataran tinggi Asia adalah sebuah masalah yang serius yang menjadi kendala dalam keberlanjutan dalam pertanian. Meskipun beberapa teknologi konservasi lahan sudah dibangun dan dipromosikan, namun adopsinya belum tersebar. Sebuah analisis ekonomi mikro dari adopsi konservasi kontur oleh petani dataran tinggi di Philipina dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang menentukan adopsi. Hasil empiris dengan menggunakan model probit menunjukkan bahwa adopsi dipengaruhi oleh beberapa karakteristik usahatani dan petani dan kepentingan relatif dari faktor tersebut berbeda untuk setiap daerah. Biaya tinggi saat pembuatan, perawatan dan kehilangan lahan untuk konservasi dianggap sebagai kendala utama untuk melakukan adopsi oleh non-adopter. Komoditas kentang merupakan tanaman yang menarik secara ekonomi, tetapi menyebabkan erosi tanah di daerah perbukitan di Nuwara Eliya, Sri Lanka. Untuk mengatasi terjadinya erosi yang serius dibutuhkan program konservasi tanah. Namun, belum ada penelitian tentang konservasi tanah dan tingkat adopsi konservasi tanah. Oleh karena itu, Bandara dan Thiruchelvam (2008) menganalisis faktor yang mempengaruhi pemilihan adopsi praktik konservasi tanah oleh petani kentang di Nuwara Eliya, Sri Lanka. Tujuan dari penelitian ini mencari perbedaan tentang konservasi tanah, tingkat adopsi, dan faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi keputusan petani di Nuwara Eliya. Analisis data menggunakan multinomial logit. Hasil menyatakan bahwa 30 persen, 52 persen, dan 18 persen dari petani kentang mengkonservasi tanahnya pada tingkat baik, 25
rata-rata dan buruk. Tingkat adopsi konservasi lahan yang baik dapat meningkatkan produksi kentang dan pendapatan petani kentang. Biaya usahatani dipengaruhi oleh adopsi program konservasi petani. Peluang adopsi dipengaruhi positif dan signifikan oleh pendidikan, dan luas lahan. Sekitar 60 persen dari petani kentang mempunyai pendirian yang baik kearah pentingnya meningkatkan konservasi tanah. Kepemilikan lahan merupakan faktor penting untuk konservasi lahan. Pendekatan training (pelatihan), penyuluhan, dan subsidi konservasi direkomendasikan untuk meningkatkan konservasi lahan guna keberlanjutan pengusahaan kentang. Katharina (2007a) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kentang untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi di Pangalengan Jawa Barat. Hasil analisis menggunakan model logit menunjukkan kecuraman lereng, status lahan dan jumlah anggota keluarga dewasa berpengaruh secara nyata terhadap keputusan petani sayuran untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi. Kecuraman lereng berpengaruh positif terhadap peluang adopsi konservasi. Semakin curam lereng lahan yang diusahakan, semakin tinggi peluang petani mengadopsi teknik konservasi tanah. Status lahan sewa berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi dan mengurangi peluang petani untuk melakukan adopsi konservasi tanah. Jumlah anggota keluarga di Pangalengan berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi. Semakin besar jumlah angkatan kerja tersedia dalam keluarga, semakin rendah peluang untuk mengadopsi teknik konservasi tanah. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2006) bertujuan untuk menganalisis
faktor-faktor
yang mempengaruhi
keputusan petani
untuk 26
mengkonservasi atau tidak mengkonservasi lahan dan untuk mengevaluasi secara simultan pengaruh keputusan mereka terhadap output. Penelitian menggunakan data petani sawah sekitar Taman Nasional Lore Lindu. Hasil penelitian menunjukkan hanya 13,5 persen petani yang mengkonservasi lahannya. Hasil dari spesifikasi logit, faktor yang berpengaruh nyata terhadap keputusan petani mengkonservasi (atau tidak mengkonservasi) adalah jumlah output yang dihasilkan, persepsi kualitas lahan, jumlah anggota keluarga petani, dan usia petani. Dengan menggunakan pendekatan instrument variabel ditemukan bahwa keputusan untuk mengkonservasi atau tidak, mempengaruhi secara nyata terhadap jumlah output yang dihasilkan. Output juga dipengaruhi oleh luas areal dan jumlah kredit. Salah satu saran yang diajukan agar usahatani berkelanjutan adalah pemerintah memperbaiki akses petani terhadap kredit mikro. Keuntungan finansial dari konservasi pertanian belum dapat diprediksi. Walaupun biaya yang dikeluarkan untuk konservasi pertanian lebih kecil dibandingkan dengan pertanian konvensional, tetapi hasil yang didapatkan sangat berfluktusi pada wilayah yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Hardjanto (2010), pendapatan usahatani konservasi di Kecamatan Pangalengan, Jawa Barat lebih kecil daripada pendapatan usahatani non-konservasi. Hal ini terjadi karena belum diperhitungkannya nilai jasa lingkungan. Sabarman (2006) meneliti aspek ekonomi (fungsi produksi) usahatani akar wangi, yaitu pola petani, introduksi, dan konservasi. Hasil analisis finansial dari ketiga pola menunjukkan bahwa pola usahtani petani, introduksi, dan konservasi layak untuk dikembangkan karena B-C rasio > 1, NPV positif dan IRR di atas bunga bank (15 persen/tahun). Berdasarkan penelitian, dari ketiga pola tersebut, 27
pola konservasi memeberikan pendapatan tertinggi yaitu sebesar Rp 17.220.000 pertahun diikuti oleh pola usahatani petani dengan pendapatan Rp 13.740.000 pertahun. Sedangkan pola usahatani introduksi menghasilkan pendapatan sebesar Rp 10.185.000 pertahun dengan luasan satu hektar. Selain dapat mempengaruhi pendapatan petani, kegiatan konservasi lahan pun dapat menurunkan tingkat erosi lahan. Dewi dan Handayana (2002) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui usaha konservasi tanah dan air sebagai alternatif upaya peningkatan pendapatan petani di agroekosistem lahan kering. Penelitian dilakukan di Desa Rejosari Kecamatan Semin kabupaten Gunung Kidul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teknis, tingkat erosi menurun antara 3,75 persen sampai 86,68 persen dengan rata-rata 75,20 persen. Dalam kaitannya dengan tingkat pendapatan masyarakat, analisis dilakukan berdasarkan dampak potensial, yaitu perhitungan dilakukan menggunakan proksi-proksi keberhasilan tanaman yang diusahakan dalam rangka melakukan konservasi tanah dan air dalam hutan rakyat. Jika tidak dilakukan konservasi, tanah kering marjinal di lokasi desa ini tidak produktif sama sekali, sehingga dengan dilakukannya penanaman tanaman tahunan produkstif yang komersial seperti jambu mete, kayu akasia, jati, sonokeling, dan mahoni, petani mendapatkan nilai tambah dari lahan tersebut. Topik penelitian mengenai perhitungan nilai ekonomi pengendalian erosi telah dilakukan oleh Yana (2010) di IUPHHK-HA PT. Austral Byna, kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah. Tujuan dari penelitian tersebut adalah menentukan nilai ekonomi pengendalian hutan terhadap erosi. Analisis dilakukan 28
dengan menggunakan metode penilaian berdasarkan harga barang pengganti, yaitu melalui harga pupuk yang dibutuhkan untuk mengembalikan kandungan unsur hara yang hilang. Nilai ekonomi pengendalian erosi melalui pendekatan biaya pengganti di lima lokasi penelitian seluas 8.060,6 ha sebesar Rp 3.596.806.591 per tahun. Beberapa penelitian mengenai adopsi sistem konservasi telah banyak diteliti di berbagai tempat. Namun, di Kecamatan Pasirwangi penelitian mengenai adopsi konservasi pada usahatani kentang belum pernah dilakukan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk mengadopsi konservasi merupakan aplikasi dari teori dan beberapa penelitian terdahulu. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah ada karena menghitung nilai ekonomi dari sistem konservasi usahatani kentang yang dilakukan petani.
29
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran dalam sebuah penelitian merupakan struktur
pelaksanaan penelitian yang mengaitkan setiap tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan tujuan penelitian yang ingin dicapai. 3.1.1. Model Regresi Logit Di sebagian besar survey mengenai perilaku manusia, tanggapan yang banyak diberikan berbentuk kualitatif, dapat berupa jawaban ya atau tidak sebagai pilihan. Peubah kualitatif yang hanya mempunyai dua kemungkinan nilai ini disebut peubah biner. Ketika satu atau lebih explanatory variabel dalam model regresi adalah binary, hal ini dapat digambarkan sebagai dummy variable. Namun ketika dependent variable berupa peubah biner, maka penyelesaiannya akan menjadi lebih kompleks ketika kita membangun model karena binary choice model mengasumiskan bahwa individu dihadapkan pada pilihan diantara dua alternatif
pilihan
yang
tergantung
pada
karakteristik
mereka.
Untuk
menyelesaikan masalah yang memiliki pilihan biner, terdapat beberapa model yang dapat digunakan, yaitu: liner probability model, model logit, dan model tobit (Pindyck and Rubinfeld, 1998). Untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani dalam menerapkan pola konservasi digunakan model fungsi logit. Model logit digunakan karena dari sisi matematika merupakan fungsi yang sangat fleksibel dan mudah digunakan serta parameter koefisiennnya mudah diinterpretasikan (Juanda, 2009). Alat analisis ini telah banyak digunakan Siregar (2006), Katharina (2007a), Bandara dan Thiruchelvam (2008), dan Joseph et al. (2012). Secara teoritis, 30
model Logit didasarkan pada cumulative logistic probability function dan dispesifikasikan menjadi (Pindyck and Rubinfeld, 1998):
Dari persamaan 7, diperoleh
Selanjutnya, dengan membaginya dengan Pi, diperoleh
Dengan mendefinisikan
, maka diperoleh:
Dengan menggunakan logaritma natural dari kedua sisi, diperoleh:
Atau dari persamaan (1) diperoleh
Pi
= Peluang melakukan pilihan-1
1-Pi
= Peluang tidak melakukan pilihan-1
α,β
= Parameter dugaan
Xi
= Peubah bebas
3.1.2. Pengambilan Keputusan Adopsi Rogers dan Schoemaker (1986) dalam Nahraeni (2000) menyatakan bahwa terdapat empat paradigma proses keputusan inovasi yaitu tahap pengenalan, persuasi, keputusan, dan konfirmasi. Pada tahap keputusan seseorang
31
terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima dan menolak inovasi. Rogers (1983) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi adopsi, yaitu karakteristik sosialekonomi, karakteristik diri petani, dan tingkah laku dalam komunikasi. Karakteristik sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, tingkat melek huruf, tingkat status sosial, mobilitas sosial, luas lahan, orientasi ekonomi, akses terhadap kredit, dan spesialisasi. Variabel yang termasuk kedalam karakteristik diri petani adalah empati, dogmatis, kemampuan berfikir abstrak, rasionalitas, intelegensi, perilaku kearah perubahan, kemampuan mengatasi ketidakpastian, sikap yang lebih terhadap pendidikan, sikap yang lebih terhadap ilmu pengetahuan, fatalism, aspirasi yang lebih tinggi terhadap pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Tingkah laku dalam komunikasi terdiri dari beberapa variabel, yaitu partisipasi sosial, keterkaitan dengan sistem sosial, wawasan yang luas, hubungan dengan agen pengubah, pemasaran media massa, komunikasi interpersonal, pencarian informasi secara aktif, pengetahuan mengenai inovasi, kepemimpinan, kesesuaian dengan sistem yang saling terkait. Lebih lanjut, Rogers (1983) menyatakan bahwa seluruh variabel diatas berpengaruh positif terhadap adopsi kecuali umur, dogmatis, dan fatalism. Berdasarkan penelitian mengenai adopsi, ada hasil penelitian yang mendukung dan tidak mendukung karakteristik dari kategori adopter tersebut. Adopsi suatu teknologi petani berkaitan erat dengan perilaku petani sebagai pengelola usahatani yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Karakteristik pengambilan keputusan itu meliputi umur, pendidikan, pengalaman, jumlah anggota keluarga, status sosial, status penguasaan lahan, informasi teknologi yang meliputi frekuensi penyuluhan dan kontak lembaga. Faktor lain yang mempengaruhi pengambilan 32
keputusan petani adalah luas lahan, jumlah tenaga kerja, pendapatan, status lahan, keanggotaan dalam kelompok tani, resiko, tersedianya kredit, serta kelembagaan. Menurut Rogers (1983), terjadi ketidakkonsistenan dalam hubungan antara umur dan inovasi. Pengaruh dari umur petani dalam adopsi konservasi dapat diangggap merangkum pengaruh dari pengalaman petani dan rencana jangka panjang. Petani yang lebih tua dianggap memiliki pengalaman bertani yang lebih baik sehingga mudah menerima adopsi (Lapar dan Pandey, 1999). Hal ini tampak pada penelitian Siregar (2006), serta Lapar dan Pandey (1999) di Cebu, Filipina. Namun, dilain pihak petani muda dianggap memiliki pemikiran jangka panjang yang lebih baik, sehingga adopsi lebih mudah diterima (Lapar dan Pandey, 1999). Ini sesuai dengan pendapat Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010), petani yang lebih tua kurang menerima perubahan dibandingkan petani yang lebih muda, dan terlihat pada hasil peneltian Lapar dan Pandey (1999) di Claveria, Filipina dan D’Souza, et al. (1993) di Virginia Barat. Jumlah Tangggungan Keluarga berpengaruh negatif terhadap keputusan konservasi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka eksploitasi terhadap sumberdaya tanah semakin besar dengan harapan meperoleh keuntungan yang lebih banyak lagi. Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan tentang teknologi pertanian yang baru, sehingga diasumsikan lembaga pendidikan memfasilitasi pembelajaran, sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung semakin mudah menerima praktek-praktek baru. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bandara dan Thiruchelvam (2008). Pengalaman bertani berpengaruh positif terhadap
keputusan
petani untuk
mengadopsi
konservasi.
Petani
yang
33
berpengalaman mempunyai kapabilitas manajerial yang lebih baik karena mereka belajar dari pengelolaan usahataninya tahun-tahun sebelumnya (Nahraeni, 2012) Status lahan milik bagi petani, akan mempercepat adopsi konservasi, artinya status lahan milik berpengaruh positif terhadap adopsi konservasi. Menurut Lapar dan Pandey (1999) rendahnya status property right di dataran tinggi Filipina diangggap sebagai faktor utama yang menyebabkan erosi tanah di dataran tinggi. Hwang et al. (1994) dalam Katharina (2007b) menyatakan bahwa status lahan sewa akan mempercepat terjadinya erosi karena pengelolaannya bersifat jangka pendek. Keputusan bentuk penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh status kepemilikan lahan. Bila lahan berstatus milik maka lahan akan lebih memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan fisik lahan (Feder dan Onchan, 1987 dalam Katharina, 2007b) dibandingkan dengan status sewa. Selain itu, bila petani tidak yakin dengan hak-hak mereka untuk memanfaatkan lahan yang dibudidayakan, perangsang-perangsang untuk menginvestasikan dalam praktekpraktek konservasi sumberdaya seperti pengendalian erosi, akan menjadi lemah (Reijntjes, et al. 1992). Luas lahan berpengaruh secara positif terhadap keputusan adopsi konservasi. Semakin luas lahan yang digarap, maka adopsi lebih cepat dilakukan karena petani memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik (Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010). Hal ini sesuai dengan pernyataan Rogers (1983) bahwa luas lahan memberikan pengaruh positif terhaadap adopsi teknologi, serta hasil penelitian Bandara dan Thiruchelvam (2008). Petani dengan pendapatan yang lebih tinggi akan lebih mudah mengadopsi konservasi, karena memiliki modal yang cukup untuk mengadopsi suatu teknik 34
konservasi. Selain itu, petani dengan pendapatan rendah cenderung akan menghindari resiko dalam mencoba suatu inovasi karena jika ternyata keputusan inovasi tidak memberikan keuntungan yang lebih baik, maka modal untuk usatani berikutnya akan berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Lionberger (1968), yang menyatakan semakin tinggi pendapatan usahatani, maka petani cenderung lebih cepat mengadopsi inovasi. Adopsi terhadap konservasi bertujuan untuk mengurangi terjadinya erosi. Menurut Arsyad (2000) erosi bergantung pada iklim, topografi, tumbuhtumbuhan, tanah, dan manusia. Di daerah beriklim basah faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi adalah panjang lereng dan kemiringan lereng. Semakin tinggi kecuraman lerang, maka semakin meningkatkan potensi terjadinya erosi. Sehingga kecuraman lereng diharapkan dapat berpengaruh positif terhadap keputusan adopsi konservasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lapar dan Pandey (1999) serta Katharina (2007a) yang menyatakan bahwa kebutuhan untuk mengadopsi konservasi tanah, dalam bentuk teras baku maupun membuat guludan searah kontur, semakin meningkat apabila kemiringan lahan semakin besar. Pengaruh tumbuh-tumbuhan (vegetasi) terhadap aliran permukaan dan erosi yaitu intersepsi hujan oleh tanjuk tanaman, mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air, stabilitasi struktur dan proporsi tanah, dan transpirasi yang mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan berbeda terhadap erosi. Faktor manusia menentukan perlakuan dalam penguasaan tanah, faktor tersebut antara lain, luas lahan 35
pertanian yang diusahakan, sistem pengusahaan tanah, status pengusahaan tanah, tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi, harga hasil pertanian, akses kredit, dan akses pasar Arsyad (2000). Keputusan petani untuk menerapkan teknologi baru dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor sosial yang berasal dari dalam diri petani dan faktor ekonomi yang berasal dari luar usahataninya (Rogers dan Schoemaker, 1986 dalam Nahraeni, 2000). 3.1.3. Nilai Ekonomi Konservasi Pendapatan usahatani dibedakan menjadi pendapatan tunai usahatani dan pendapatan total usahatani. Pendapatan tunai usahatani adalah nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani dikurangi jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Sedangkan pendapatan total usahatani adalah penerimaan dari produk usahatani baik yang dijual maupun yang tidak dijual dikurangi nilai semua yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang diperhitungkan (Soekartawi et al.,1985). Biaya atau cost juga dibagi menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya total. Biaya tunai di dalam usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi kebutuhan usahatani. Biaya total adalah seluruh nilai yang dikeluarkan bagi usahatani, baik tunai maupun yang diperhitungkan. Rumus penerimaan, biaya dan pendapatan adalah : ……………………………………………...……………... (7) ………...…………………………………………………... (8) ....................................................................................... (9) ............................................................................ (10) ............................................................................ (11) 36
............................................................................. (12) Dimana : TRtunai = Total penerimaan tunai usahatani (Rupiah) TRtotal = Total penerimaan semua produksi usahatani (Rupiah) TCtunai = Total biaya tunai usahatani (Rupiah) TCtotal = Total biaya usahatani (Rupiah) π
= Pendapatan (Rupiah)
Bd
= Biaya yang diperhitungkan (Rupiah)
Py
= Harga output (Rupiah)
Y
= Jumlah produksi (Kg)
TVC = Total biaya variabel (Rupiah) TFC
= Total biaya tetap (Rupiah) Nilai ekonomi konservasi merupakan tambahan pendapatan (incremental
net benefit) yang diperoleh oleh petani jika melakukan konservasi. Sehingga nilai ekonomi konservasi merupakan perbedaan total pendapatan usahatani kentang konservasi dan non-konservasi. 3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Kabupaten Garut merupakan salah satu daerah yang memiliki luas lahan
kering terbesar di Provinsi Jawa Barat, namun belum digunakan secara optimal. Kentang merupakan salah satu komoditas andalan yang dapat ditanam di dataran tinggi. Namun, usahatani kentang dilakukan di dataran tinggi dengan tingkat kemiringan lereng lebih dari 15 persen sehingga pengusahaannya masih dianggap menimbulkan masalah karena dapat menyebabkan erosi tanah. Masalah yang diakibatkan erosi, dapat dilihat dari penurunan produktivitas kentang di 37
Kabupaten Garut dari tahun ke tahun dan akhirnya menurunkan pendapatan petani. Untuk itu, perlu diadakan suatu upaya konservasi untuk dapat meminimalisir terjadinya erosi yang lebih besar. Pola konservasi untuk mencegah laju erosi pada usahatani kentang sudah banyak disosialisasikan oleh para pakar dan sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Namun, kenyataannya tidak semua petani melakukan pola konservasi yang dianjurkan. Sehingga, perlu diteliti faktorfaktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi pola konservasi atau tidak mengadopsi. Pendekatan dilakukan melalui wawancara kepada petani secara langung dan dianalisis dengan model logit. Faktor ekonomi sangat mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan usahatani. Jika sistem usahatani tertentu dianggap lebih menguntukan dari sisi pendapatan, maka petani lebih mudah untuk mengadopsi sistem usahatani tersebut. Salah satu cara melihat manfaat dari sistem usahatani konservasi adalah adanya nilai ekonomi yang dihasilkan. Penghitungan nilai ekonomi konservasi dianggap perlu dilakukan agar dapat terlihat secara riil manfaat dari sistem konservasi. Data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari wawancara langsung terhadap petani. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk membantu merumuskan upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatan adopsi konservasi. Kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini merupakan keterkaiatan antara tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang berasal dari petani 38
sebagai unit sampel dan data sekunder yang berasal dari instansi terkait. Alur proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Usahatani Kentang
Peluang : Permintaan Kentang lebih besar dari Penawaran Kentang merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi Garut merupakan salah satu sentra penghasil kentang terbesar di Jawa Barat
Permasalahan: Penggunaan lahan dengan kemiringan lebih dari 15 persen menyebabkan erosi Produktivitas kentang menurun sehingga pendapatan petani menurun
PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 47/Permentan/OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan
Faktor-faktor adopsi pola konservasi
Usahatani konservasi
Usahatani nonkonservasi
Pendapatan usahatani
Pendapatan usahatani
Nilai Ekonomi Konservasi Rekomendasi Kebijakan untuk Meningkatkan Adopsi Pola Konservasi dan Pendapatan Usahatani
Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional
39
3.3.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kerangka
pemikiran yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hipotesis. 1.
Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap keputusan petani dalam mengadopsi pola konservasi adalah pendidikan, luas lahan yang digarap, pendapatan tunai petani, status kepemilikan lahan, tingkat kecuraman lahan usahatani, dan pengalaman bertani. Selain itu, jumlah tanggungan keluarga dan umur petani berpengaruh negatif terhadap keputusan adopsi konservasi.
2.
Sistem konservasi usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi memiliki nilai ekonomi.
40
IV. METODE PENELITIAN 4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan data primer penelitian dilakukan di Kabupaten Garut
Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan Kabupaten Garut merupakan sentra produksi kentang terbesar kedua di Jawa Barat. Kecamatan terpilih yang dijadikan lokasi penelitian adalah Kecamatan Pasirwangi, karena merupakan salah satu kecamatan yang memiliki luas panen kentang terbesar di Kabupaten Garut namun memiliki produktivitas yang lebih rendah dibanding sentra produksi lainnya. Selain itu Kecamatan Pasirwangi memiliki karakteristik kemiringan lahan yang bervariasi (Tabel 4). Tabel 4. Kemiringan Lahan, Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang Beberapa Sentra Produksi di Kabupaten Garut, 2009 Kemiringan Lahan (%)
Kentang Luas Kecamatan Produksi Produktivitas 0-2 2-5 15-40 > 40 Panen (Ton) (Ton/Ha) (Ha) Cikajang 437 985 6.458 4.615 1.407 30.710 21,83 Pasirwangi 702 1.502 1.526 940 1.042 20.976 20,13 Cisurupan 1.596 2.001 1.843 2.648 551 11.768 21,36 Samarang 1.029 812 2.842 1.288 338 9.403 27,82 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut, 2012 Selanjutnya dari 12 desa yang ada, dipilih dua desa sebagai lokasi penelitian yang dapat mewakili karakteristik yang diinginkan, yaitu desa Barusari dan desa Padaawas. Kedua desa tersebut dipilih karena hampir di setiap dusun para petani mengembangkan komoditas kentang (Badan Ketahan Pangan Kabupaten Garut, 2010). Pengambilan data primer dilakukan selama bulan Juni 2011 – Juli 2011.
41
4.2
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data cross section.
Sumber data berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung kepada petani melalui kuesioner dan pengamatan lapang. Data primer yang diambil adalah data yang diperlukan dalam analisis pendapatan dan biaya erosi dalam usahatani kentang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi pola konservasi. Data tersebut meliputi data mengenai karakteristik petani (umur, pendidikan, pengalaman, jumlah tanggungan keluarga), luas lahan, kecuraman lereng, tingkat produksi, penerimaan, penggunaan input, dan lainnya. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, dan literatur-literatur yang relevan dalam penelitian, seperti jumlah produksi kentang dari tahun ke tahun, luas panen usahatani kentang, produktivitas kentang, penggunaan pupuk ideal untuk pertanaman kentang, dan sebagainya. 4.3
Kerangka Sampling dan Penentuan Responden Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah simple random
sampling. Pada penelitian ini, responden adalah petani kentang dataran tinggi yang menanam kentang pada periode antara September 2010 sampai Juni 2011. Data dikumpulkan dari PPL (Petugas Penyuluh Lapang) Desa Barusari dan Padaawas. Berdasarkan data dari PPL didapatkan 120 nama petani kentang yang dijadikan kerangka sampling. Nama-nama tersebut diberi nomor urut 1-120 dan kemudian dilakukan pengundian agar nama-nama tersebut memiliki peluang yang sama untuk menjadi responden. Sehingga terpilih 50 petani kentang yang dijadikan responden. Jumlah ini dianggap sudah memenuhi batas minimum 42
sampel (30 sampel) yang dapat digunakan untuk menduga karakteristik dari populasi. Karakteristik Desa Padaawas dan Desa Barusari tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik Desa Terpilih di Kecamatan Pasirwangi, 2011 Kriteria Desa Padaawas Barusari
Jarak ke Jumlah Kemiringan Ketinggian Infrastruktur Pusat Tanaman Responden (%) (dpl) kecamatan Utama*) (orang) (Km) Kentang0 - >40 500 - >1000 baik 2 27 kubis-tomat Kentang2 - >40 500 - >1000 Kurang baik 3,5 23 kubis-tomat
Sumber Keterangan 4.4
: Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut (2012) : * urutan pertama menunjukkan tanaman utama
Metode Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui survey dan wawancara langsung kepada petani
kentang dataran tinggi, dengan menggunakan kuesioner yang telah disediakan. 4.5
Metode Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ditabulasi menggunakan Excell.
Analisis yang dilakukan yaitu analisis nilai ekonomi konservasi dan untuk melihat faktor yang mempengaruhi adopsi digunakan model Logit. Pengolahan data menggunakan SPSS 16.0. Berikut ini tabel keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data, dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian. Tabel 6. Keterkaitan Tujuan, Sumber Data dan Metode Analisis Data No 1
2
Tujuan Penelitian Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi konservasi Menghitung nilai ekonomi konservasi usahatani kentang
Sumber Data Data sekunder dan data primer melalui wawancara dan peninjauan lapang Data sekunder dan data primer melalui wawancara dan peninjauan lapang
Metode Analisis Data Analisis menggunakan model regresi logistik dengan menggunakan maximum likelihood estimator (MLE) Analisis nilai ekonomi konservasi usahatani kentang (perbedaan pendapatan usahatani konservasi dan non-konservasi) 43
4.5.1 Model Regresi Logistik Untuk melihat peluang petani dalam mengadopsi pola konservasi, dilakukan model regresi logit. Berdasarkan teori ekonomi dan analisis empiris, faktor-faktor yang diduga berpengaruh adalah umur, pendidikan formal petani, status kepemilikan lahan, pendapatan petani, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, tingkat kecuraman lahan, dan pengalaman bertani. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka model logit dapat dijabarkan sebagai berikut:
Keterangan: Pi
= peluang kesediaan petani mengadopsi pola konservasi (Pi = 1 jika petani mengadopsi konservasi, dan Pi = 0 jika petani tidak mengadopsi konservasi
1 – Pi
= peluang ketidaksediaan petani mengadopsi pola konservasi
Zi
= keputusan petani
β0
= intersep
βi
= parameter peubah (i = 1, 2, 3, …, 10)
UMR
= umur (tahun)
PDKN
= lamanya petani menempuh pendidikan formal (tahun)
LLHN
= luas lahan garapan (Ha)
SLHN
= status kepemilikan lahan D = 1, lahan milik sendiri; D = 0, lainnya
PDPT
= pendapatan tunai petani (Rp/Ha) 44
JTK
= jumlah tanggungan keluarga (jiwa)
CURM
= tingkat kecuraman lahan usahatani (persen)
PLMN
= pengalaman bertani (tahun) Pendugaan parameter koefisien model logit menggunakan metode
pendugaan kemungkinan maksimum atau maximum likelihood estimator (MLE). Pendugaan MLE memfokuskan fakta bahwa populasi-populasi (yang dicirikan dengan parameternya) berbeda membangkitkan contoh-contoh berbeda; suatu conoth apapun yang sedang dikaji kemungkinan (peluang)nya lebih besar berasal dari beberapa populasi daripada populasi lainnya (Juanda, 2009). 4.5.2 Analisis Nilai Ekonomi Persamaan berdasarkan teori ekonomi dan hasil analisis empiris yang telah dilakukan sebelumnya, diperoleh rumusan yang ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7. Perhitungan Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Kentang
A. B. C. D. E. F.
G.
H. I. J.
Deskripsi Jumlah Produksi Kentang (Kg) Jumlah Kentang yang Dijual (Kg) Harga Kentang (Rp) Penerimaan Total Penerimaan Tunai Biaya Tunai : Benih (Rp) Pupuk Organik (Rp) Pupuk An-organik (Rp) Pestisida (Rp) Tenaga Kerja Luar Keluarga (Rp) Ajir dan Mulsa (Rp) Bahan Bakar (Rp) Pajak (Rp) Biaya Diperhitungkan : Sewa Lahan (RP) Penyusutan Alat (Rp) Tenaga Kerja Dalam Keluarga (Rp) Biaya Total Pendapatan Tunai Pendapatan Total
Perhitungan
A * C B * C
F + G E – F D – H 45
Selanjutnya, diperoleh rumusan untuk menghitung nilai ekonomi konservasi (Incremental Net Benefit) yang ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8. Perhitungan Nilai Ekonomi Adopsi Konservasi Sistem Penanaman Konservasi Non Konservasi Penerimaan 1 3 Biaya 2 4 Net Benefit dengan Konservasi (Rp) 1-2 Net Benefit Tanpa Konservasi (Rp) 3-4 Incremental Net Benefit (Nilai Ekonomi) (Rp) C-D Deskripsi
A B C D E
4.5.3. Pengujian Hipotesis 1.
Uji Multikolinearitas Uji asumsi klasik yang sering dipergunakan dalam regresi linear
berganda adalah uji normalitas, uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi dan uji multikolinearitas. Dari keempat uji tersebut, uji normalitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi berkaitan dengan nilai residualnya, sedangkan uji multikolinearitas berkaitan dengan variabel bebasnya. Uji multikolinearitas digunakan untuk menguji bahwa tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas dalam model tersebut (Juanda, 2009). Regresi logistik adalah regresi di mana variabel terikatnya adalah dummy, yaitu 1 dan 0. Dengan demikian, residualnya yang merupakan selisih antara nilai prediksi dengan nilai sebenarnya tidak perlu diuji. Sehingga pada regresi logistik, uji asumsi klasik yang perlu dilakukan adalah uji multikolinearitas. Pada pengujian multikolinearitas, indikasi adanya korelasi yang kuat antara variabel independen, ditunjukkan dengan angka korelasi yang melebihi 0,8 (Gujarati, 2004).
46
2.
Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test Uji ini digunakan untuk menguji kelayakan model regresi. Jika nilai
signifikasi Hosmer and Lemeshow’s Test lebih besar dari 0,05 maka hipotesis nol maka terima hipotesis nol, artinya model regresi layak digunakan untuk analisis selanjutnya dan model yang dihasilkan dapat dikatakan model yang baik, karena tidak ada perbedaan nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan yang diamati. 3.
Uji Likelihood Ratio Untuk menguji apakah model logit secara keseluruhan dapat
menjelaskan keputusan kualitatif (Y), statistik uji yang digunakan adalah dengan likelihood ratio. Uji Likelihood ratio adalah uji secara keseluruhan model logit dimana rasio fungsi kemungkinan modelUR (lengkap) terhadap fungsi kemungkinan modelR (H0 benar) (Juanda, 2009). Hipotesis yang digunakan adalah: H0 : β2 = β3 = … = βn H1 : minimal ada βj ≠ 0, untuk j= 2,3, … n Statistik uji-G dibawah ini menyebar menurut sebaran khi-kuadrat dengan derajat bebas (k-1)
Jika menggunakan taraf nyata α, hipotesis Ho ditolak (model signifikan) jika statistik G > X2α,k-1
47
4.
Omnibus Test of Model Coefficient Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah variabel-variabel
yang diuji secara simultan berpengaruh terhadap variabel independent. Hipotesis nol yang menyatakan bahwa semua slope pada model sama dengan nol harus ditolak jika nilai signifikasi pada nilai Chi-square lebih kecil dari 0,05. 5.
Uji Wald Untuk menguji faktor mana (βj ≠ 0) yang berpengaruh nyata
terhadap pilihannya, dapat menggunakan statistik uji Wald yang serupa dengan statistik uji-t atau uji-Z dalam regresi linear biasa (Juanda, 2009). Hipotesis yang diuji adalah: H0 : βj = 0, untuk j= 2,3, …, n H1 : βj ≠ 0 Statistik uji yang digunakan adalah: Dimana
βj
= koefisien regresi
Se (βj) = standard error of β (galat kesalahan dari β) 6.
Odds Ratio Kajian hubungan antara variabel kategorik dikenal adanya ukuran
asosiasi atau ukuran keeratan hubungan antar variabel kategorik. Salah satu ukuran asosiasi yang dapat diperoleh melalui analisis regresi logistik adalah odds ratio. Odds ratio sering diistilahkan dengan resiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadinya pilihan-1 terhadap peluang terjadinya pilihan-0 alternatifnya (Juanda, 2009). Secara matematis dapat ditulis: 48
Dimana :
P
= peluang kejadian yang terjadi
P – 1 = peluang kejadian yang tidak terjadi 4.5.4. Definisi Operasional 1.
Konservasi adalah sistem penanaman yang dilakukan oleh petani yaitu dengan membuat guludan melintang searah kontur. Sedangkan apabila petani membuat guludan searang lereng, petani dikatakan tidak melakukan konservasi.
2.
Jumlah produksi kentang adalah jumlah produk kentang yang dihasilkan dalam produksi, baik yang dijual, dikonsumsi, diberikan, dan dijadikan bibit diukur dalam kilogram (Kg).
3.
Jumlah produksi kentang yang dijual adalah jumlah produk kentang yang dijual, diukur dalam kilogram (Kg)
4.
Harga kentang adalah harga kentang di tingkat petani, diukur dalam Rupiah/Kg.
5.
Penerimaan total adalah jumlah produksi yang diukur dalam kilogram dikalikan dengan harga kentang di tingkat petani yang diukur dalam rupiah
6.
Biaya total adalah jumlah biaya tunai usahatani dan biaya-biaya yang diperhitungkan dan diukur dalam rupiah
7.
Pendapatan total adalah selisih antara total penerimaan usahatani dengan biaya total dan diukur dalam rupiah
8.
Penerimaan tunai adalah jumlah kentang yang dijual dikalikan dengan harga kentang, dan diukur dalam rupiah 49
9.
Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan selama usahatani dan diukur dalam rupiah
10. Pendapatan tunai adalah selisih antara penerimaan tunai dan biaya tunai yang dikeluarkan petanidan diukur dalam rupiah. 11. Benih adalah jumlah benih yang digunakan petani dalam proses produksi dikalikan dengan harga benih diukur dalam rupiah (Rp). 12. Pupuk Organik adalah jumlah pupuk kandang (kotoran ayam) dikalikan harga pupuk kandang. Harga pupuk kandang adalah harga yang diterima petani ditambah dengan biaya transport dan biaya angkut, diukur dalam rupiah. 13. Pupuk An-Organik adalah jumlah pupuk Urea, ZA, TSP/SP36, KCL, dan NPK, dikalikan harga masing-masing jenis pupuk. Harga pupuk an-organik adalah harga yang diterima petani ditambah dengan biaya transport dan biaya angkut, diukur dalam rupiah. 14. Pestisida adalah jumlah penggunaan pestisida, baik cair maupun padat dikalikan dengan harga pestisida. Dalam penelitian ini jumlah pestisida dihitung dengan penggunaan pestisida terbanyak oleh petani, yaitu Daconil. Harga pestisida adalah harga Daconil yang berlaku di daerah penelitian diatambah dengan transport, diukur dalam rupiah. 15. Tenaga Kerja adalah jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam pengelolaan kentang, meliputi tenaga kerja dalam keluarga dan luar keluarga diukur dalam hari kerja setara pria (HKP). Harga tenaga kerja adalah upah yang berlaku di daerah penelitian diukur dalam rupiah. 16. Pajak adalah jumlah pajak yang dibayarkan petani per hektar, diukur dalam rupiah. 50
17. Sewa Lahan adalah besarnya uang sewa yang berlaku di daerah penelitian, diukur dalam rupiah. 18. Umur, merupakan umur petani sampai wawancara dilakukan, diukur dalam tahun 19. Pendidikan Formal Petani, merupakan lamanya pendidikan formal yang diselesaikan oleh petani, diukur dalam tahun 20. Luas Lahan, Luas lahan merupakan input tetap adalah luas lahan garapan yang digunakan untuk menanam kentang, diukur dalam hektar. 21. Status Kepemilikan Lahan yang dimaksud adalah status kepemilikan lahan yang digarap petani untuk menanam kentang.
Dibedakan antara petani
pemilik dan petani penyewa. Petani pemilik dalah petani yang akses untuk dapat menggarap lahan tersebut tanpa hambatan dari orang lain, meskipun tidak ada status hukum atas lahan tersebut. Petani penyewa adalah petani yang mengusahakan lahan orang lain dengan memberi imbalan berupa hasil panen sesuai dengan perjanjian sewa. 22. Pendapatan Petani, pendapatan yang dihitung adalah pendapatan tunai yang dihasilkan dari usahatani kentang pada musim tanam tahun terakhir. 23. Jumlah Tanggungan Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang secara ekonomi masih dalam tanggungan petani. 24. Tingkat Kecuraman Lahan Usahatani, Kecuraman lahan yang digunakan untuk usahatani kentang petani yang diukur dalam persentase. 25. Pengalaman adalah waktu yang dihabiskan petani sejak memulai usahatani, diukur dalam tahun.
51
V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1.
Gambaran Lokasi Penelitian Kecamatan Pasirwangi merupakan pemekaran dari Kecamatan Samarang
yang diresmikan pada 20 Januari 2001, terletak 27 km sebelah barat dari Ibu Kota Kabupaten Garut dan 80 km sebelah selatan dari Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, kecamatan ini terletak pada 7010’-7015’ Lintang Selatan dan 107041’ – 107050’ Bujur Timur. Luas wilayah Kecamatan Pasirwangi adalah 5.002,888 Ha yang terdiri dari perumahan dan pekarangan seluas 347,359 Ha (6,94 persen), sawah 1.211,42 Ha (24,21 persen), tanah ladang 1.720,651 Ha (34,39 persen), empang/kolam 38 Ha (0,76 persen), sarana pemerintahan dan sosial 16,920 Ha (0,34 persen), Hutan 1.167 Ha (33,32 persen), sarana perdagangan dan jasa 1,25 (0,03 persen), dan lainnya 0,288 Ha (0,01 persen). Kecamatan Pasirwangi berada pada ketinggian antara 900 – 1400 m diatas permukaan laut dengan bentuk wilayah, 23 persen datar sampai berombak, 57 persen berombak sampai berbukit, dan 20 persen berbukit sampai bergunung). Jenis tanah didominasi oleh jenis asosiasi andosol (60 persen), dan podsolik (40 persen) dengan derajat keasaman (PH) tanah umumnya berkisar 4,5 – 6,5. Suhu udara berkisar antara 200C- 340C dengan Curah hujan rata-rata adalah 1.592,7 mm per tahun (132,7 mm per bulan). Bulan basah terjadi selama 6,3 bulan, yaitu periode Oktober sampai dengan April, bulan kering 4,3 bulan, yaitu periode Mei sampai dengan September. Kondisi ini membuat Kecamatan Pasirwangi merupakan salah satu wilayah potensial penghasil sayur-mayur. Secara administratif Kecamatan Pasirwangi terdiri dari 12 desa, yaitu Desa Pasirwangi, Karyamekar, Padaasih, Padamulya, Padaawas, Padasuka, Pasirkiamis, 52
Sarimukti, Talaga, Barusari, Padamukti, dan Sirnajaya.
Batas wilayah
administratif sebagi berikut: -
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Samarang
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sukaresmi
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung
-
Sebelah Timur berbatasn dengan Kecamatan Samarang dan Kecamatan Bayongbong
5.2.
Karakteristik Sosial Ekonomi Jumlah penduduk di Kecamatan Pasirwangi pada tahun 2011 adalah
66.561 jiwa terdiri dari 33.640 jiwa penduduk laki-laki (50,54 persen) dan 32.921 jiwa penduduk perempuan (49,46 persen). Jumlah kepala keluarga yang berada di Kecamatan Pasirwangi sebanyak 16.161 jiwa. Mata pencarian yang dominan terdapat di kawasan ini adalah agribisnis dan perdagangan. Jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani sebanyak 10.027 jiwa (15,06 persen), sebagai buruh tani sebanyak 1.152 jiwa (1,37 persen), dan pedagang sebanyak 914 jiwa (1,373 persen) dari total penduduk. 5.2.1. Petani Petani di Kecamatan Pasirwangi dapat digolongkan berdasarkan status kepemilikan lahan, luas lahan garapan, dan bentang lahan. Berdasarkan status kepemilikan lahan, petani di Kecamatan Pasirwangi digolongan menjadi pemilik penggarap sebanyak 1.100 orang, pemilik penggarap sebanyak 4.161 orang, penggarap sebanyak 2.194 orang, dan penyewa sebanyak 1.001 orang. Petani memiliki luas lahan garapan yang berbeda-beda. Berdasarkan luas lahan garapan, jumlah petani dengan luas lahan garapan 0,5 ha sebanyak 1.913 orang, 0,5 – 0,7
53
ha sebanyak 6.378 orang, 0,8 – 1,0 ha sebanyak 3.189 orang, 1,0 – 1,5 ha sebanyak 1.430 orang, dan lebih dari 1,5 ha sebanyak 1.427 orang. Berdasarkan karakteristik tanah dan iklim yang dimiliki, Kecamatan Pasirwangi sangat cocok untuk pengembangan hampir semua komoditi pertanian, terutama kembang kol, labu siam, kubis, dan kentang. Selain itu, berdasarkan bentang lahan, lahan yang berada pada kemiringan 0 – 10 persen sebanyak 287,62 ha, 11 –20 persen sebanyak 579,645 ha, 21 – 30 persen sebanyak 928,405 ha, 31 – 45 persen sebanyak 1.216,125 ha, dan lebih dari 45 persen sebanyak 1.437,015 ha. 5.2.2. Tanaman Kentang Luas penanaman kentang di Kecamatan Pasirwangi tahun 2009 adalah 2.250 ha dengan luas panen 2.200 ha. Produktivitas yang dicapai oleh petani 175 kw/ha. Masalah teknis yang terjadi pada usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi adalah penggunaan bibit unggul sesuai anjuran yang dilaksanakan rata-rata 73 persen akibat harga benih unggul yang relative mahal, dan hanya 34 persen petani yang melaksanakan OPT sesuai anjuran. Sebagian petani mengendalikan hama dan penyakit dengan menggunakan pestisida dengan dosis yang berlebihan dengan frekuensi aplikasi yang terlalu sering, bahkan sebelum hama/penyakit menyerang. Hal ini berpengaruh pada pemborosan biaya produksi yang ditanggung petani (Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Garut, 2010). 5.3.
Karakteristik Responden Karakteristik responden diperoleh berdasarkan survey yang dilakukan
terhadap 50 petani kentang di Desa Barusari dan Desa Padaawas Kecamatan Pasirwangi. Karakteristik dibedakan atas petani yang mengadopsi pola konservasi yaitu sebanyak 36 petani dan yang tidak mengadopsi pola konservasi sebanyak 14 54
petani. Karakteristik umum responden dilihat dari beberapa variabel meliputi jenis kelamin dan usia, pendidikan formal, luas lahan, status kepemilikan lahan, serta lama bertani. Selain itu, digambarkan bagaimana kondisi penyuluhan di daerah penelitian. 5.3.1. Jenis Kelamin dan Usia Petani yang menjadi sample sebanyak 50 orang yang keseluruhannya adalah pria dengan tingkat usia yang bervariasi, mulai dari 25 tahun hingga 67 tahun. Petani yang memiliki usia pada kisaran 30-50 tahun sebanyak 64 persen, diatas 50 tahun sebanyak 28 persen, dan berusia dibawah 30 tahun sebanyak 8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi kurang diminati oleh pria berusia muda. Persentase petani berdasarkan usia dapat dilihat pada Gambar 2. < 30 th 8%
>51 th 28% 31 - 50 th 64%
Sumber: Data Primer (2012)
Gambar 2. Karakteristik Petani berdasarkan Usia Selanjutnya,
berdasarkan
keputusan
untuk
melakukan
konservasi,
mayoritas petani yang melakukan konservasi dan tidak melakukan konservasi berusia 30-50 tahun yaitu sebanyak 63,89 persen dan 64,29 persen. Selain itu, yang menarik dari umur petani adalah tidak adanya petani berusia kurang dari 30 yang tidak melakukan konservasi. Hal ini menunjukkan bahwa petani muda
55
cenderung lebih mudah menerima penggunaan konservasi untuk usahatani mereka (Tabel 9). Tabel 9. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Usia di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 Konservasi Non-konservasi Interval (Tahun) Jumlah Petani Jumlah Petani (%) (%) (orang) (orang) < 30 4,00 11,11 30-50 23,00 63,89 9,00 64,29 >50 9,00 25,00 5,00 35,71 Total 36,00 100,00 14,00 100,00 Usia Rata-rata (Tahun) 42,94 47,14 Usia Maksimum (Tahun) 67,00 60,00 Usia Minimum (Tahun) 25,00 32,00 Sumber: Data Primer (2012)
5.3.2. Lama Bertani Pengalaman petani yang ditunjukkan dengan lamanya bertani cukup variatif, yaitu antara 2 tahun hingga 49 tahun. Responden yang telah bertani dalam waktu kurang dari 10 tahun sebanyak 26 persen, antara 10 tahun – 20 tahun sebanyak 36 persen, antara 20 tahun – 30 tahun sebanyak 20 persen, dan yang lebih dari 30 tahun sebanyak 18 persen. Persentase lama bertani petani dapat dilihat pada Gambar 3. Selanjutnya, karakteristik petani berdasarkan lama bertani disajikan padaTabel 10. > 30 th 18%
< 10 th 26%
21 - 30 th 20% 11 - 20 th 36%
Sumber: Data Primer (2012)
Gambar 3. Karakteristik Petani berdasarkan Lama Bertani
56
Petani yang berpengalaman lebih dari 20 tahun lebih banyak tidak melakukan konservasi, yaitu sebanyak 57,14 persen dibandingkan petani yang melakukan konservasi yang hanya sebanyak 30,55 persen (Tabel 10). Artinya, di Kecamatan Pasirwangi adopsi pola konservasi kurang diterima oleh petani yang lebih berpengalaman. Hal ini terjadi karena petani merasa usahatani yang mereka telah jalankan selama bertahun-tahun lebih mudah untuk dilakukan, dan hasil yang didapat pun tidak jauh berbeda dengan usahatani yang dilakukan dengan pola konservasi. Tabel 10. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Lama Bertani di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 Konservasi Non-konservasi Interval Jumlah Petani Jumlah Petani (%) (%) (orang) (orang) < 10 12,00 33,33 1,00 7,14 11-20 13,00 36,11 5,00 35,71 21-30 7,00 19,44 3,00 21,43 >30 4,00 11,11 5,00 35,71 Total 36,00 100,00 14,00 100,00 Lama Bertani Rata-rata (Tahun) 16,81 25,29 Lama Bertani Maksimum (Tahun) 36,00 49,00 Lama Bertani Minimum (Tahun) 2,00 3,00 Sumber: Data Primer (2012)
5.3.3. Pendidikan Formal Tingkat pendidikan responden cukup variatif. Namun mayoritas responden berpendidikan SD yaitu sebanyak 64 persen. Responden yang berpendidikan tamat SMP dan tamat SMA masing-masing sebanyak 30 persen dan 4 persen. Selain itu, sebanyak 4 persen responden tidak tamatan SD. Persentase tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 4.
57
Tamat SMA 4%
Tidak Tamat SD 4%
Tamat SMP 30% Tamat SD 62%
Sumber : Data Primer (2012)
Gambar 4. Karakteristik Petani berdasarkan Pendidikan Formal Berdasarkan adopsi konservasi, petani yang melakukan konservasi maupun tidak melakukan konservasi mayoritas menempuh pendidikan sampai dengan tamat SD yaitu 61,11 persen petani melakukan konservasi dan 64,29 persen petani tidak melakukan konservasi. Namun, yang menarik adalah tidak ada petani non-konservasi yang menyelesaikan pendidikan sampai dengan SMA (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kesadaran pentingnya konservasi semakin mudah diterima. Tabel 11. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Pendidikan Formal di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 Konservasi Non-konservasi Interval Jumlah Petani Jumlah Petani (%) (%) (orang) (orang) Tidak Tamat SD 1,00 2,78 1,00 7,14 Tamat SD 22,00 61,11 9,00 64,29 Tamat SMP 11,00 30,56 4,00 28,57 Tamat SMA 2,00 5,56 Total 36,00 100,00 14,00 100,00 Sumber: Data Primer (2012)
5.3.4. Luas dan Status Kepemilikan Lahan Persentase terbesar penguasaan lahan dari responden yaitu sebesar 46 persen menggarap lahan kurang dari 0,25 ha. Petani dengan lahan garapan antara 58
0,26 -0,50 ha dan antara 0,51-0,75 ha masing-masing sebanyak 38 persen dan 6 persen. Sebanyak 10 persen responden mengarap lahan lebih dari 0,75 ha. Persentase lusas lahan garapan dapat dilihat pada Gambar 5. ≥ 0.76 Ha 10% 0.51 0.75 Ha 6%
0.26 - 0.50 Ha 38%
≤ 0.25 Ha 46%
Sumber: Data Primer (2012)
Gambar 5. Karakteristik Petani berdasarkan Luas Lahan Selanjutnya, luas lahan petani yang melakukan konservasi maupun tidak melakukan konservasi pun bervariasi. Mayoritas petani menggarap lahan kurang dari 0,5 ha, yaitu 88,88 persen untuk petani yang melakukan konservasi, dan 71,43 persen untuk petani yang tidak melakukan konservasi (Tabel 12). Hal ini menunjukkan bahwa petani menggarap lahan sempit. Tabel 12. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Luas Lahan di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 Konservasi Non-konservasi Interval Jumlah Petani Jumlah Petani (%) (%) (orang) (orang) ≤ 0.25 ha 16,00 44,44 7,00 50,00 0.26 - 0.50 ha 16,00 44,44 3,00 21,43 0.51 - 0.75 ha 1,00 2,78 2,00 14,29 ≥ 0.76 ha 3,00 8,33 2,00 14,29 Total 36,00 100,00 14,00 100,00 Luas Lahan Rata-rata (ha) 0,32 0,34 Luas Lahan Maksimum (ha) 1,00 0,80 Luas Lahan Minimum (ha) 0,04 0,04 Sumber: Data Primer (2012)
Berdasarkan status kepemilikan lahan, di lokasi penelitian lebih banyak petani berstatus pemilik, yaitu sebanyak 29 petani (58 persen), sedangkan 21 59
petani (42 persen) sisanya berstatus penyewa. Namun, dari 29 petani yang mengakui lahan tersebut adalah lahan milik mereka, hanya 18 petani yang benarbenar milik sendiri, sedangkan 11 petani sisanya sebenarnya adalah penggarap lahan kehutanan. Hal ini terjadi karena tidak ditentukannya biaya sewa lahan oleh kehutanan karena lahan tersebut sebenarnya memang tidak diperuntukan untuk lahan pertanian, terutama untuk tanaman semusim. Selain itu, petani merasa telah mengeluarkan biaya yang tinggi untuk membuka lahan, sehingga mereka menggap bahwa lahan tersebut secara otomatis telah menjadi lahan milik mereka. Namun, jumlah petani pemilik yang digunakan dalam analisis adalah sebanyak 58 persen petani. Hal ini dikarenakan pembagian status lahan didasarkan pada upaya pengelolaan, bukan status hukum. Selain itu, petani yang merasa sebagai pemilik lebih mudah dalam melakukan adopsi konservasi, hal ini ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Status Kepemilikan Lahan di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 Konservasi Non-konservasi Interval Jumlah Petani Jumlah Petani persentase persentase (orang) (orang) Sewa 13,00 36,11 8,00 57,14 Milik 23,00 63,89 6,00 42,86 Total 36,00 100,00 14,00 100,00 Sumber: Data Primer (2012)
Berdasarkan Tabel 13 petani yang melakukan konservasi yang menggarap lahan milik lebih banyak daripada yang menggarap lahan sewa, masing-masing yaitu 63,89 persen dan 36,11 persen. Sedangkan untuk petani yang tidak melakukan konservasi, petani penggarap lahan sewa lebih banyak daripada petani penggarap lahan milik, masing-masing sebanyak 57,14 persen dan 42,86 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani pemilik lebih banyak melakukan adopsi 60
konservasi, karena mereka telah sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lahan garapan mereka untuk menunjang keberanjuran usahatani mereka. 5.3.5. Penyuluhan Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator Petugas Penyuluh Lapang (PPL), diakui bahwa bahwa dalam melaksanakan tugasnya hampir 75 persen waktunya habis untuk rapat, membuat laporan dan kegiatan administrasi lainnya sehingga waktu untuk memberikan penyuluhan berkurang. Pada umumnya kelembagaan penyuluhan yang ada di daerah penelitian sudah terbentuk dengan baik. Namun kelemahan yang ada, selain pada materi penyuluhan, juga jumlah penyuluh di lapangan yang relatif kurang. Para penyuluh
yang ada
sekarang sebagian besar mendekati umur pensiun, dan para penyuluh Tenaga Harian Lepas (THL) yang pada umumnya relatif masih muda. Digabungkannya para penyuluh dalam satu badan yaitu Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan ( BP3K) membuat para penyuluh menghadapi kendala dalam memberikan penyuluhan, karena tidak jarang penyuluh kehutanan atau perikanan harus memberikan penyuluhan tentang komoditas hortikultura. Akibatnya ada rasa kurang percaya diri dari penyuluh. Namun, tidak sebaliknya, penyuluh pertanian ataupun perikanan jarang memberikan materi mengenai kehutanan karena materi penyuluhan lebih mengarah pada budidaya pertanian, yaitu tindakan pemupukan, pengendalian hama, pemanenan, dan lain-lain. Padahal sekitar 1.393,433 ha luas areal hutan di Kecamatan Pasirwangi tahun 2009 merupakan hutan lindung yang dikelola pleh Perum Perhutani, namun sebagian besar lahannya dirambah oleh masyarakat tani untuk dijadikan lahan pertanian, hal ini menunjukkan bahwa saat ini petani perlu 61
pembinaan sebagai penyadaran untuk mengurangi bahkan menghentikan perambahan hutan yang dalam jangka panjang akan berdampak negatif. Sehingga seharusnya lebih sering diberikan materi mengenai konservasi jika memang sulit untuk menghentikan perambahan hutan lindung. Selain itu, mayoritas petani menyatakan tidak pernah bertemu penyuluh dalam satu tahun terakhir ini.
62
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Kentang merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak ditanam oleh petani di Kecamatan Pasirwangi. Namun, pengelolaan usahatani kentang di daerah ini banyak memanfaatkan lahan dengan tingkat kecuraman lereng tinggi yang kurang cocok untuk usahatani tanaman semusim. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan, pada lereng dengan kemiringan 15 – 25 persen, maksimal proporsi tanaman semusim yang dianjurkan adalah 50 persen, dan sisanya ditanami tanaman tahunan. Sedangkan pada kemiringan 25 – 40 persen, hanya 25 persen lahan yang direkomendasikan tanaman semusim. Bahkan pada kemiringan >40 persen, tanaman semusim tidak direkomendasikan untuk ditanam. Berdasarkan wawancara, dari 50 petani contoh, sebagian besar petani (56 persen) menggarap lahan untuk usahatani kentang pada kemiringan 15 - 45 persen (Tabel 14). Hal ini menunjukkan bahwa peraturan Menteri Pertanian belum sepenuhnya dilaksanakan di tingkat lapangan. Tabel 14. Kemiringan Lahan Petani Sayuran Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi, 2011 Kecuraman Lereng (%) < 14 15 – 24 25 – 40 > 41 Total Kecuraman Lereng Rata-rata (%) Kecuraman Lereng Maksimum (%) Kecuraman Lereng Minimum (%)
Jumlah Petani (orang) 22,00 14,00 11,00 3,00 50,00 16,66 45,00 0,00
Persentase 44,00 28,00 22,00 6,00 100,00
Sumber : Data Primer (2012)
63
Kondisi ini menggambarkan bahwa sebagian besar petani mengusahakan lahan yang kurang sesuai untuk usahatani tanaman kentang. Oleh karena itu, tindakan konservasi sangat dibutuhkan untuk meminimalisasi dampak negatif akibat pengusahaan lahan-lahan di kelerengan tinggi. Salah satu teknik konservasi yang cocok diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10 – 40 persen adalah teras gulud, yaitu membuat barisan guludan yang dilengkapi dengan saluran air di bagian belakang gulud (Permentan, 2006). Fungsi dari teras gulud untuk menahan laju aliran permukaan dan meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah. Petani yang melakukan konservasi adalah petani yang melakukan sistem penanaman dengan membentuk jalur-jalur tumpukan tanah yang memanjang menurut kontur atau melintang lereng (guludan searah kontur) (Gambar 6). Sebaliknya apabila jalur tersebut dibuat kearah bawah lereng atau searah lereng (Gambar 7) maka petani dikatakan tidak melakukan konservasi, karena pada aluralur diantara tumpukan tanah akan terkumpul air yang akan mengalir dengan cepat ke bawah (Arsyad, 2000) sehingga mempercepat degradasi lahan yang menyebabkan lahan kritis dan usahatani tidak berkelanjutan (Henny, 2012).
Gambar 6. Lahan dengan Penanaman Searah Kontur (Konservasi) di Kecamatan Pasirwangi, 2011
Gambar 7. Lahan dengan Penanaman Searah Lereng (NonKonservasi) di Kecamatan PasirWangi, 2011 64
Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara, petani yang melakukan pola konservasi sebanyak 36 petani (72 persen), dan yang tidak melakukan pola konservasi sebanyak 14 petani (28 persen). Dari 14 petani yang tidak melakukan pola konservasi, diperoleh informasi bahwa salah satu alasan mereka melakukan sistem penanaman guludan searah lereng adalah lebih mudah dibuat, jalur-jalur yang dibuat mempermudah pemeliharaan tanaman, dan dapat menghemat tenaga kerja. 6.1.
Analisis Faktor-faktor Konservasi
yang
Mempengaruhi
Peluang
Adopsi
Analisis regresi logit digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi konservasi pada usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi. Beberapa literatur (Solis et all, 2009; Katharina, 2007a). menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi adopsi konservasi yaitu umur petani, pendidikan petani, pengalaman, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan, status penguasaan lahan, pendapatan, informasi teknologi yang didapat dari penyuluhan dan keanggotaan dalam kelompok, dan akses terhadap kredit. Selain itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi adopsi konservasi meliputi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi erosi yaitu jenis tanah, tingkat kecuraman lereng, iklim (curah hujan), dan panjang lereng. Berdasarkan literatur yang diperoleh, sumber informasi mengenai konservasi dapat diperoleh melalui kegiatan penyuluhan dan keikutsertaan dalam kegiatan kelompok tani. Namun, di daerah penelitian, meskipun penyuluhan cukup sering dilaksanakan, materi penyuluhan yang disampaikan lebih sering mengarah pada praktik budidaya, yaitu pembibitan, pemupukan, serta perawatan tanaman, penyemprotan tanaman, tanpa membahas mengenai praktik konservasi. 65
Selain itu, kelompok tani yang ada jarang melakukan kegiatan, bahkan jika ada kegiatan, petani enggan ikut serta meskipun terdaftar sebagai anggota. Hal ini disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan lebih banyak berbentuk penyuluhan atau bahkan promosi pupuk dan obat yang banyak dilakukan oleh dealer pupuk/obat. Petani lebih banyak mendapat informasi mengenai tindakan konservasi dari petani lain. Oleh karena itu, penyuluhan dan keanggotaan dalam kelompok tani tidak dimasukkan ke dalam model. Faktor lain yang dapat mempengaruhi adopsi konservasi adalah akses terhadap kredit. Akses terhadap kredit penting karena berhubungan dengan modal yang dimiliki petani. Tindakan konservasi yang harus dilakukan petani membutuhkan lebih banyak tenaga kerja sehingga modal yang diperlukan lebih banyak. Namun pada praktiknya petani di Kecamatan Pasriwangi sulit mengakses lembaga-lembaga keuangan formal karena keterbatasan syarat-syarat yang harus dipenuhi, seperti agunan serta pola angsuran yang wajib dibayar per bulan, padahal petani melakukan panen minimal tiga bulan untuk satu musim. Oleh karena itu petani lebih memilih mengakses kredit informal, yaitu dengan meminjam dalam bentuk saprodi, seperti pupuk dan pestisida. Sistem ini telah menjadi kebiasaan bagi petani, karena untuk menanam kentang, modal yang diperlukan cukup besar. Karena seluruh petani yang menjadi sampel dalam penelitian ini mengakses kredit dengan cara yang sama, maka variabel ini tidak dimasukkan kedalam model karena dianggap tidak ada variasi data,. Faktor penyebab erosi dapat mempengaruhi petani dalam keputusan adopsi konservasi karena tujuan dari konservasi adalah mencegah atau mengurangi erosi yang terjadi (Kataharina, 2007). Pada penelitian ini jenis tanah 66
dan iklim (curah hujan) dianggap sama untuk setiap petani karena berada pada lokasi yang sama. Sehingga variabel ini tidak dimasukan kedalam model. Selain itu, informasi mengenai panjang lereng cukup sulit didapat karena mayoritas petani tidak yakin akan panjang lereng dari lahan mereka. Pada saat dilakukan wawancara para petani hanya dapat mennjawab panjang lereng hanya dengan perkiraan saja. Selain itu, kurangnya informasi mengenai panjang lereng karena adanya keterbatasan peneliti dalam mengakses lahan garapan petani. Oleh karena itu panjang lereng tidak dimasukkan kedalam model. Satu-satunya variabel lingkungan yang masuk kedalam model adalah tingkat kecuraman lereng, faktor ini didapat secara sederhana dengan bertanya langsung kepada petani dengan menggunakan ilustrasi gambar. Dengan demikian dalam penelitian ini variabel-variabel penjelas yang digunakan dalam model logit yaitu umur (UMR), pendidikan petani (PDKN), luas lahan (LLHN), pendapatan (PDPT), jumlah tanggungan keluarga (JTK), tingkat kecuraman lereng (CURM), pengalaman bertani (PLMN), dan satu variabel dummy, yaitu status kepemilikan lahan (SLHN). Untuk variabel pendapatan, pendapatan yang dihitung adalah pendapatan tunai yang diperoleh petani, yaitu selisih produksi kentang yang dijual dan biaya tunai yang dikeluarkan. Pemilihan penggunaan perhitungan pendapatan tunai karena pada tingkat petani, keputusan petani untuk melanjutkan atau melakukan alternatif lain dari usahatani mereka dipengaruhi oleh pendapatan tunai yang secara riil diterima. Variabel respon yang digunakan dalam analisis ini adalah peluang petani melakukan pola konservasi. Jika petani melakukan pola konservasi, maka diberi nilai satu dan jika petani tidak dilakukan pola konservasi, maka diberi nilai nol. 67
Berdasarkan hasil pengolahan regresi logit diperoleh bahwa 57,1 persen pengamatan aktual (Y = 0) diprediksi dengan benar dan 91,7 persen pengamatan aktual (Y = 1) diprediksi dengan benar. Secara keseluruhan, 82,0 persen pengamatan aktual (Y = 0 atau Y = 1) diprediksi dengan benar (Lampiran 4). Tabel 15 menyajikan data hasil analisis regresi logit. Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Logit untuk Mengadopsi Konservasi pada Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi, 2011 Variabel Constant UMR PNDKN LLHN c SLHN a PDPT c JTK CURM a PNGLMN b -2 Log likelihood Chi-Square Hosmer and Lemeshow test (signifikansi)
Koefisien 0,981 0,026 -0,178 -4,727 2,583 0,000 -0,375 0,125 -0,079 41,293 18,002
Sig. 0,766 0,669 0,509 0,184 0,046 0,171 0,259 0,021 0,138
Odds Ratio 2,666 1,027 0,837 0,009 13,233 1,000 0,687 1,133 0,924
0,541
Sumber : Data primer,dioleh (2012)
Keterangan
: a = Signifikan pada α = 5 persen b = Signifikan pada α = 15 persen c = Signifikan pada α = 20 persen
Berdasarkan Tabel 15, hasil pengujian Hosmer and Lemeshow test, menunjukkan nilai signifikasi 0,541, lebih besar dari α = 5 persen maka terima H0. Artinya model regresi layak dipakai untuk analisis selanjutnya dan model yang dihasilkan dapat dikatakan model yang baik, karena tidak ada perbedaan nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan yang diamati. Selanjutnya, didapatkan nilai -2 Log likelihood sebesar 41,293 dan nilai Chi-square sebesar 18,002 dengan 68
signifikasi 0,021. Angka ini menunjukkan bahwa hipotesis nol yang menyatakan bahwa semua slope dalam model sama dengan nol harus ditolak pada taraf nyata α = 5 persen. Artinya, terdapat minimal satu slope model yang tidak sama dengan nol atau variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap peluang mengadopsi atau tidak mengadopsi konservasi. Berdasarkan hubungan antar variabel (korelasi) masalah multikolinearitas tidak ditemukan pada model regresi logit, karena hubungan antar variabel independen tidak ada yang bernilai lebih dari 0,8 (Lampiran 4). Hasil analisis regresi logit digunakan untuk membangun model yang menjelsakan pengaruh masing-masing variabel penjelas terhadap variabel respon. Nilai koefisien (β) menunjukkan pengaruh variabel penjelas terhadap peluang melakukan adopsi konservasi, yaitu dapat meningkatkan peluang adopsi atau mengurangi peluang adopsi. Nilai Odds ratio adalah perbandingan antara besarnya peluang melakukan adopsi konservasi dengan peluang tidak melakukan adopsi konservasi. Jika nilai Odds ratio sama dengan satu, maka peluang untuk mengadopsi dan tidak mengadopsi konservasi adalah sama. Nilai Odds ratio lebih dari satu, maka peluang untuk mengadopsi konservasi lebih besar dari peluang tidak mengadopsi konservasi. Sebaliknya, jika nilai Odds ratio kurang dari satu, maka peluang melakukan adopsi konservasi lebih kecil daripada peluang tidak melakukan adopsi konservasi. Berdasarkan hasil analisis model regresi pada Tabel 15, persamaan model yang dihasilkan adalah:
69
6.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani dalam Adopsi Konservasi Dilihat dari kriteria ekonomi, berdasarkan hasil regresi logit pada Tabel 15 dari delapan variabel yang dimasukan ke dalam model, empat variabel bertanda positif (umur, status kepemilikan lahan, pendapatan, dan tingkat kecuraman lereng), dan empat variabel bertanda negatif (pendidikan petani, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga, dan pengalam bertani). Dilihat dari kriteria statistik, luas lahan, status kepemilikan lahan, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan pengalaman bertani secara signifikan mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi pola konservasi. Selain itu, faktor lain yang tidak berpengaruh secara signifikan pada keputusan petani adalah umur, pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga. Variabel tingkat kecuraman lereng memiliki P-value 0,021 berpengaruh nyata secara signifikan pada taraf nyata α = 0,05. Koefisien tingkat kecuraman lereng memiliki tanda positif, artinya semakin tinggi kecuraman lereng, peluang untuk melakukan konservasi semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yaitu semakin tinggi tingkat kecuraman lereng, maka diharapkan semakin tinggi kesediaan petani untuk melakukan konservasi, karena semakin tinggi kecuraman lereng, maka potensi erosi pun semakin besar yang akhirnya akan menurunkan produktivitas. Nilai odds ratio pada variabel tingkat kecuraman lereng sebesar 1,133, artinya semakin tinggi tingkat kecuraman lereng, peluang untuk mengadopsi konservasi lebih tinggi daripada peluang tidak melakukan adopsi konservasi. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Katharina (2007a) yang menyatakan peluang petani Pangalengan untuk melakukan konservasi meningkat seiring dengan meningkatnya kecuraman lereng. 70
Variabel pendapatan berpengaruh secara signifikan karena memiliki nilai P-value yang lebih kecil dari α = 0,20, yaitu 0,171. Nilai odds ratio pada variabel pendapatan adalah 1,00, artinya pengaruh pendapatan terhadap peluang petani untuk melakukan konservasi sama dengan peluang petani tidak melakukan konservasi. Hal ini disebabkan oleh pendapatan yang dihitung adalah pendapatan tunai yang tidak merangkum penerimaan petani dari keseluruhan hasil produksi. Variabel status kepemilikan lahan memiliki P-value 0,046 berpengaruh nyata secara signifikan pada taraf nyata α = 0,05. Variabel ini mempunyai tanda positif, artinya status lahan milik dapat meningkatkan peluang petani untuk mengadopsi pola konservasi. Selain itu, hasil analisis menunjukkan nilai odds ratio untuk status kepemilikan lahan sebesar 13,233. artinya, peluang petani pemilik untuk melakukan konservasi lebih besar dibandingkan dengan petani penyewa. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Katharina (2007a) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi sistem pertanian konservasi di Pangalengan. Status sewa lahan yang berdurasi pendek menyebabkan kurangnya insentif untk melakukan konservasi di lahan yang diusahakannya. Manfaat dari menerapkan konservasi tanah biasanya akan nyata dalam jangka menengah atau panjang. Sebaliknya, kerugian dari tidak menerapkan konservasi pun tidak akan terasa dalam jangka pendek. Selain itu, menurut Reijntjes (1992) bila petani tidak yakin dengan hak-hak mereka untuk memanfaatkan lahan yang dibudidayakan, perangsang-perangsang
untuk
menginvestasikan
dalam
praktek-praktek
konservasi sumberdaya seperti pengendalian erosi, akan menjadi lemah.
71
Variabel luas lahan berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan petani dalam mengadopsi pola konservasi. Hal ini ditunjukkan dengan P-value 0,184 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata α = 0,20. Variabel ini memiliki koefisien yang bertanda negatif, artinya peningkatan luas lahan dapat mengurangi peluang petani untuk mengadopsi pola konservasi. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal, yaitu luas lahan diharapkan berpengaruh secara positif terhadap adopsi pola konservasi. Nilai odds ratio pada variabel luas lahan adalah sebesar 0,009, artinya apabila luas lahan semakin meningkat, maka peluang petani untuk tidak mengadopsi konservasi lebih besar dari peluang untuk mengadopsi konservasi. Berdasarkan pengamatan lapang seperti ditunjukkan pada bab gambaran umum, rata-rata luas lahan garapan petani konservasi lebih luas dibandingkan petani non-konservasi (Tabel 12). Selain itu, luas lahan yang ada di Kecamatan Pasirwangi untuk lahan pertanian terbatas, sehingga jika petani ingin memperluas lahan garapan ushatani kentang, petani banyak memanfaatkan lahan di lereng pegunungan dengan tingkat kecuraman lereng tinggi yang sebenarnya tidak cocok untuk usahatani kentang. Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa rata-rata luas lahan garapan petani yang terbesar berada pada tingkat kecuraman lereng lebih dari 30 persen. Tabel 16. Rata-rata Luas Garapan Petani Kentang Dataran Tinggi pada Berbagai Tingkan Kecuraman Lereng di Kecamatan Pasirwangi, 2011 Tingkat Kecuraman Lereng (%) < 14 15-30 >31
Jumlah Petani (persen) 44 42 14
Rata-rata Luas Lahan Garapan (ha) 0,292 0,294 0,551
Sumber : Data primer,diolah (2012) 72
Salah satu alasan mengapa luas lahan bertanda negatif atau tidak sesuai dengan harapan karena di daerah penelitian dengan semakin meningkatnya luas lahan garapan, maka petani kentang membutuhkan modal yang lebih banyak terutama untuk biaya tenaga kerja. Peningkatan biaya ini disebabkan oleh semakin tinggi kecuraman lereng pengelolaan usahatani semakin sulit sehingga lebih banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Disamping itu pada lahan berlereng untuk mempertahankan produktivitas yang sama petani harus menambahkan pupuk yang tidak sedikit sehingga memerlukan tambahan biaya yang besar. Variabel pengalaman berpengaruh secara signifikan karena memiliki nilai p-value yang lebih kecil dari α = 0,15, yaitu 0,138. Koefisien ini bertanda negatif, yang berbeda dengan hipotesis awal bahwa pengalaman akan berpengaruh positif terhadap adopsi konservasi. Pengalaman memiliki nilai odds ratio sebesar 0,924. ini artinya bahwa peluang petani untuk mengadopsi konservasi lebih kecil dari peluang petani tidak mengadopsi. Pengalaman berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi karena pengalaman yang dimasukkan dalam model adalah lama bertani petani melakukan usahatani kentang, bukan melakukan usahatani dengan konservasi. Rata-rata lama bertani petani yang melakukan konservasi lebih tinggi daripada petani yang tidak melakukan konservasi, yaitu 25,29 tahun dan 16,81 tahun (Tabel 9). Terhambatnya penerimaan praktik adopsi konservasi karena banyak petani yang enggan mencoba inovasi baru akibat kurangnya informasi yang mereka dapat sehingga masih berfikir bahwa apa yang mereka lakukan selama bertahuntahun adalah usaha terbaik untuk melakukan usahatani kentang. Semakin banyak pengalaman, petani semakin mengetahui risiko produksi dan biaya yang harus 73
ditanggung. Berdasarkan pengalaman petani, untuk melakukan konservasi, yaitu membuat guludan searah kontur sulit dalam pengerjaan sehingga membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak. Selain itu dalam pengelolaan tanaman, seperti penyiraman, pemupukan, penyiangan, dan juga saat panen pun memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak, dan menurut petani penanaman searah kontur akan menimbulkann penyakit, karena adanya genangan air yang terhambat oleh guludan. Variabel umur, pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga yang termasuk faktor internal dalam mempengaruhi keputusan petani tidak berpengaruh nyata terhadap kesediaan petani mengadopsi konservasi. Variabel-variabel tersebut tidak berpengaruh nyata karena memiliki nilai p value yang lebih besar dari α = 0,20, yaitu masing-masing sebesar 0,669, 0,509, dan 0,259. Jumlah Tanggungan Keluarga memiliki nilai odds ratio sebesar 0,687 dengan koefisien yang beratnda negatif. Artinya peluang petani untuk melakukan adopsi lebih kecil daripada peluang tidak melakukan adopsi, atau semakin banyak jumlah tanggungan petani, maka peluang adopsi semakin kecil. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal, bahwa jumlah tanggungan keluarga dapat menurunkan peluang adopsi konservasi. Tidak berpengaruh nyatanya jumlah tanggungan keluarga terhadap keputusan adopsi konservasi karena rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani di Kecamatan Pasirwangi hampir sama antar petani yaitu sebanyak 3 orang (Lampiran 3), sehingga jumlah tanggungan keluarga bukan penentu keputusan adopsi. Variabel umur memiliki nilai odds rasio sebesar 1,027. Artinya dengan meningkatnya umur petani, peluang untuk mengadopsi konservasi lebih tinggi 74
daripada tidak mengadopsi konservasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siregar (2006) dan Lapar dan Pandey (1999). Namun, secara statistik umur tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan adopsi konservasi. Pendidikan memiliki nilai odds rasio sebesar 0,837. Artinya semakin tinggi pendidikan petani peluang mengadopsi konservasi cenderung lebih kecil daripada tidak mengadopsi konservasi. Variabel umur, pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga tidak berpengaruh karena mayoritas petani di Kecamatan Pasirwangi adalah petani pengikut (Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Garut, 2010). Status ini mengakibatkan petani hanya mengikuti usaha-usaha yang telah secara nyata memberikan hasil yang lebih baik bagi petani lain yang telah menjalankan inovasi baru, karena menghindari risiko yang mungkin didapat. Selain itu, tidak signifikannya variabel-variabel tersebut kemungkinan terkait dengan sifat dan karakteristik teknik konservasi tersebut yang merupakan program pemerintah, sehingga kesadaran pentingnya konservasi sangat kurang. 6.2.
Nilai Ekonomi Konservasi Usahatani Kentang Analisis nilai ekonomi konservasi usahatani kentang didasarkan pada
perbedaan pendapatan total (net benefit) antara usahatani kentang yang menggunakan sistem konservasi dan tanpa konservasi. Analisis pendapatan total merangkum seluruh biaya yang secara riil dikeluarkan oleh petani dan biaya-biaya yang diperhitungkan, serta penerimaan dari seluruh hasil produksi usahatani, baik yang dijual, maupun yang tidak dijual. Analisis pendapatan untuk usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi didasarkan pada harga dan upah tenaga kerja yang berlaku di lokasi penelitian 75
pada tahun 2010-2011, dan dilakukan untuk usahatani kentang per satu musim tanam. Jumlah pestisida dihitung dengan penggunaan pestisida setara Daconil. Perhitungan biaya pestisida setara Daconil didasarkan pada jumlah petani yang paling banyak menggunakan jenis pestisida tertentu. Di daerah penelitian sebanyak 62 persen petani menggunakan merek pestisida Daconil. Jumlah pestisida yang digunakan dihitung berdasarkan biaya total pestisida per sampel dibagi dengan harga pestisida Daconil. Tabel 17 menyajikan data struktur biaya, penerimaan, dan pendapatan usahatani kentang per Hektar per musim tanam di Kecamatan Pasirwangi tahun 2011. Berdasarkan hasil analisis, usahatani dengan konservasi memiliki produktivitas yang lebih tinggi daripada usahatani tanpa konservasi, yaitu masingmasing sebesar 18,74 ton/ha dan 16,23 ton/ha. Hasil ini dapat membuktikan bahwa dengan melakukan konservasi, petani dapat mempertahankan unsur hara tanah yang baik untuk tanaman, sehingga dapat mempertahankan produktivitas lahan.
Namun,
untuk
melakukan
usahatani
dengan
konservasi,
petani
membutuhkan modal yang lebih banyak dibandingkan usahatani konservasi. Penggunaan modal yang tinggi dapat terlihat dari biaya yang dikeluarkan untuk usahatani dengan konservasi lebih tinggi daripada usahatani tanpa konservasi. Hal ini disebabkan oleh adanya biaya lebih yang dikeluarkan untuk konservasi, yaitu biaya tenaga kerja, terutama tenaga kerja saat membuat guludan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pengerjaan guludan yang dibuat searah kontur lebih sulit dibandingkan dengan pengerjaan guludan searah lereng, sehingga dibutuhkan waktu pengerjaannya yang lebih lama. Pengeluaran petani yang melakukan konservasi untuk tenaga kerja luar keluarga lebih tinggi daripada 76
petani yang tidak melakukan konservasi dengan perbedaan Rp 2.209.040,01. Petani yang tidak melakukan konservasi mengeluarkan biaya tenaga kerja dalam keluarga yang lebih tinggi daripada petani yang melakukan konservasi dengan perbedaan Rp 1.655.334,81. Secara total, petani yang melakukan konservasi mengeluarkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi dengan total perbedaan sebesar Rp 553.705,2. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani konservasi menyerap tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan usahatani non-konservasi (Tabel 17). Tabel 17. Struktur Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan Usahatani Kentang per Hektar Per Musim Tanam di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 Sistem Penanaman Konservasi Non Konservasi Deskripsi Perbedaan (Searah Kontur) (Searah Lereng) Total Produksi (Kg) Total Jual (Kg) Harga (Rp) Biaya Tunai (Rp) a. Benih b. Pupuk Organik c. Pupuk An-Organik d. Pestisida e. TK f.Ajir,Mulsa g.Bahan Bakar pompa h.Pajak Biaya Diperhitungkan (Rp) a. Sewa Lahan b. Penyusutan c.TK TR tunai (Rp) TR total (Rp) TC tunai (Rp) TC total (Rp) Pendapatan Tunai (Rp) Pendapatan Total (Rp) R-C rasio tunai R-C rasio total Sumber: Data Primer (diolah)
18.740,87 16.147,21 4.896,60
16.230,04 14.632,31 4.896,60
2.510,83 1.514,90 0,00
16.232.891,38 7.744.785,71 1.359.037,17 5.495.524,42 8.088.993,54 2.065.402,52 338.704,01 64.946,11
16.311.738,97 6.501.938,73 1.642.814,33 5.218.810,30 5.879.953,53 1.584.723,53 421.715,65 69.363,91
-78.847,60 1.242.846,97 -283.777,16 276.714,13 2.209.040,01 480.678,99 -83.011,64 -4.417,80
1.000.000,00 205.078,78 1.618.405,77 79.066.424,34 91.766.536,09 41.390.284,86 44.213.769,41 37.676.139,48 47.552.766,68 1,91 2,08
1.000.000,00 177.871,03 3.273.740,58 71.648.556,18 79.472.008,65 37.631.058,96 42.082.670,58 34.017.497,22 37.389.338,07 1,90 1,89
0,00 27.207,75 -1.655.334,81 7.417.868,16 12.294.527,44 3.759.225,90 2.131.098,84 3.658.642,26 10.163.428,60 0,01 0,19 77
Berdasarkan Tabel 17, pendapatan tunai yang diterima dalam usahatani kentang menunjukkan pendapatan per hektar usahatani yang melakukan sistem konservasi lebih tinggi daripada usahatani tanpa konservasi, sengan perbedaan sebesar Rp 3.658.642,26/ha. Pendapatan tunai rata-rata usahatani dengan konservasi sebesar Rp 37.676.139,48/ha, sedangkan pendapatan tunai rata-rata usahatani
tanpa
konservasi
sebesar
Rp
34.017.497,22/ha.
Selanjutnya,
berdasarkan pendapatan total yang diperoleh, usahatani kentang dengan konservasi memberikan pendapatan total yang lebih tinggi daripada usahatani tanpa konservasi, dengan perbedaan sebesar Rp 10.163.428,60/ha. Usahatani kentang
dengan
konservasi
memberikan
pendapatan
total
sebesar
Rp 47.552.766,68/ha, lebih besar daripada usahatani tanpa konservasi yang memberikan pendapatan total sebesar Rp 37.389.338,07/ha. Hasil analisis pendapatan tunai dapat dapat melihat hasil usahatani secara riil sehingga dapat mempengaruhi keputusan petani untuk melanjutkan usahatani yang telah dilakukan atau tidak. Sedangkan analisis pendapatan total dapat digunakan untuk melihat penampilan usahatani secara keseluruhan, sehingga dapat dijadikan acuan dalam bisnis (ekonomi), karena telah memperhitungkan produksi yang dikonsumsi, digunakan dalam usahatani untuk benih, dan untuk diberikan kepada orang lain (Soekartawi, 1985), serta dapat melihat keberlanjutan pendapatan dari usahatani tersebut. Pada usahatani kentang di Pasirwangi, kedua sistem penanaman dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani kubis di dataran tinggi Provinsi Jawa Barat yang memberikan pendapatan sebesar Rp 7.039.940/ha (Nahraeni, 2012).
78
Nilai R-C rasio atas biaya tunai usahatani dengan konservasi adalah 1,91, artinya setiap satu satuan biaya tunai yang dikeluarkan, memberikan penerimaan sebanyak 1,91 kali. Sedangkan nilai R-C rasio atas biaya tunai usahatani tanpa konservasi sebesar 1,90, artinya setiap satu satuan biaya tunai yang dikeluarkan memberikan penerimaan sebersar 1,90 kali. Sehingga dapat disimpulkan nilai R-C rasio atas biaya tunai menunjukkan bahwa setiap satuan biaya tunai yang dikeluarkan dalam usahatani kentang dengan konservasi memberikan penerimaan yang lebih besar daripada usahatani kentang tanpa konservasi. Berdasarkan perhitungan R-C rasio atas biaya total, usahatani kentang dengan konservasi memberikan nilai R-C rasio yang lebih tinggi dari R-C rasio usahatani kentang tanpa konsevasi. Nilai R-C rasio atas biaya total untuk usahatani kentang dengan konservasi adalah 2,08 yang artinya setiap satu satuan biaya total yang dikeluarkan untuk usahatani, akan memberikan penerimaan sebanyak 2,08 kali. Sedangkan usahatani tanpa konservasi memberikan nilai R-C rasio atas biaya total sebesar 1,89, artinya setiap satu satuan biaya total yang dikeluarkan memberikan penerimaan sebanyak 1,89 kali. Sistem penanaman yang sama memperlihatkan adanya perbedaan R-C rasio antara R-C rasio tunai dan R-C rasio total. Pada usahatani kentang dengan konservasi, terlihat R-C rasio atas biaya total yang lebih besar daripada R-C rasio atas biaya tunai dengan perbedaan sebesar sebesar 0,17. Artinya dari sisi bisnis, usahatani kentang dengan konservasi memberikan penerimaan yang lebih baik dibandingkan perhitungan dari sisi akuntansi. Atau penerimaan yang diperoleh pada usahatani kentang dengan konservasi dapat didapat secara berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Katharina (2007b) yang menyatakan manfaat 79
dari menerapkan konservasi akan terlihat dalam beberapa musim dan sifatnya jangka panjang, selain itu tindakan konservasi tanah merupakan investasi untuk meningkatkan produktivitas lahan dimasa mendatang (Lapar dan Pandey, 1999). Sebaliknya, pada sistem usahatani kentang tanpa konservasi, terlihat bahwa R-C rasio atas biaya tunai lebih besar daripada R-C rasio atas biaya total. Hal ini menunjukkan bahwa secara riil petani mendapatkan penerimaan yang lebih besar, namun penerimaan yang didapatkan tidak akan berkelanjutan karena secara keseluruhan masih banyak biaya yang cukup besar yang dapat mengurangi penerimaan, terutama jika petani menghitung opportunity cost dari tenaga kerja dalam keluarga. Berdasarkan analisis ekonomi, nilai R-C rasio untuk usahatani kentang dengan konservasi lebih besar daripada usahatani kentang tanpa konservasi, Artinya setiap satuan biaya yang dikeluarkan pada usahatani dengan konservasi memberikan penerimaan yang lebih besar dibandingan dengan usahatani tanpa konservasi. Nilai R-C rasio untuk kedua sistem tanam tersebut lebih besar daripada nilai R-C rasio hasil analisis Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut (2009), yaitu 1,73. Perbedaan antara usahatani konservasi dan non-konservasi dapat dilihat dari aspek lingkungan, yang ditunjukkan dengan nilai ekonomi konservasi. Nilai ekonomi konservasi merupakan keuntungan yang diperoleh petani jika melakukan konservasi atau kerugian yang diderita petani jika tidak melakukan konservasi. Oleh karena itu, nilai ekonomi konservasi usahatani kentang adalah selisih pendapatan total antara petani yang melakukan konservasi dan tidak melakukan konservasi. Dengan tidak dilakukannya konservasi, maka lahan petani akan 80
mengalami erosi yang lebih tinggi sehingga menghasilkan produksi kentang yang lebih sedikit dibandingkan dengan petani yang melakukan konservasi, karena hilangnya unsur hara tanah akibat terbawa erosi. Selain itu petani pun harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk melakukan konservasi. Analisis pendapatan total merangkum seluruh biaya yang secara riil dikeluarkan oleh petani dan biaya-biaya yang diperhitungkan, serta penerimaan dari seluruh hasil produksi usahatani, baik yang dijual, maupun yang tidak dijual. Oleh karena itu, pebedaan pendapatan total dapat merangkum kerugian petani yang tidak melakukan konservasi akibat produktivitas yang lebih rendah, serta tambahan biaya yang dikeluarkan petani untuk konservasi. Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa perbedaan pendapatan total antara petani yang melakukan konservasi dan tidak melakukan konservasi sebesar Rp 10.163.428,60 atau nilai ekonomi dari konservasi usahatani kentang sebesar Rp 10.163.428,60 (Tabel 18). Tabel 18. Perhitungan Nilai Ekonomi Konservasi Usahatani Kentang di Kecamatan Pasirwangi, 2011 Sistem Penanaman Konservasi Non Konservasi Deskripsi Perbedaan (Searah Kontur) (Searah Lereng) A Penerimaan Nilai Produksi (Rp) B Biaya Biaya Tunai (Rp) Biaya Diperhitungkan (Rp) Biaya Total (Rp) C Net Benefit dengan Konservasi (Rp) D Net Benefit Tanpa Konservasi (Rp) E Incremental Net Benefit (Nilai Ekonomi) (Rp)
91.766.536,09
79.472.008,65
12.294.527,44
41.390.284,86 2.823.484,55 44.213.769,41
37.631.058,96 4.451.611,61 42.082.670,58
3.759.225,90 -1.628.127,06 2.131.098,84
47.552.766,68 37.389.338,07 10.163.428,60
Sumber: Data Primer (diolah) 81
VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1
SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut: 1.
Dengan menggunakan analisis regresi logit, umur, status kepemilikan lahan, pendapatanan dan tingkat kecuraman lereng berpengaruh positif terhadap keputusan petani dalam mengadopsi konservasi. Sedangkan pendidikan, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga, dan pengalaman berpengaruh secara negatif. Selanjutnya variabel yang berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata α = 20 persen, yaitu luas lahan, status kepemilikan lahan, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan pengalaman bertani.
2.
Usahatani kentang memberikan keuntungan baik bagi responden yang mengadopsi konservasi maupun yang tidak mengadopsi konservasi. Namun, berdasarkan hasil analisis adopsi sistem konservasi yang dilakukan petani memberikan nilai ekonomi sebesar Rp. 10.163.428,60/Ha.
7.2
SARAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat dirumusakan saran sebagai berikut:
1.
Perlu dilakukan penyuluhan yang membahas mengenai konservasi secara lebih mendalam tidak hanya fokus pada budidaya tanaman, terutama sasaran penyuluhan pada petani penyewa-penggarap. Hal ini perlu dilakukan agar petani lebih paham mengenai manfaat dan biaya yang harus ditanggung secara lebih jelas sehingga dapat meningkatkan adopsi konservasi,
82
2.
Penyuluhan lebih baik diarahkan pada petani yang menggarap lahan di kecuraman lahan tinggi karena memiliki peluang adopsi konservasi yang lebih tinggi.
3.
Dengan semakin langkanya lahan, petani beralih menggarap lahan kehutanan pada tingkat kecuraman lahan lebih dari 30 persen
yang tidak
direkomendasikan untuk tanaman semusim karena akan memperbesar tingkat erosi. Dengan demikian pemerintah perlu mempertegas aturan batas kecuraman lahan yang diperbolehkan ditanam tanaman semusim, khususnya kentang.
83
DAFTAR PUSTAKA Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Aryadi H. 2006. Analisis Karakteristik Spasial Penggunaan Lahan dan Tingkat Kerusakan Akibat Gempa Melalui Penggunaan Sistem Informasi Geografi (SIG) (Studi Kasus Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut Sebelum dan Sesudah Gempa). [Skripsi]. Program Studi Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut PErtanian Bogor, Bogor. Abdurachman A. dan Sutono S. 2002. Teknologi pengendalian Erosi Lahan Berlereng. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor. dalam Katharina, R. 2007. Adopsi Konservasi Sebagai Bentuk Investasi Usaha Jangka Panjang (Studi Kasus Usahatani Kentang Lahan Kering Dataran Tinggi Pangalengan). Jurnal Manajemen dan Agribisnis. Vol. 4 No. 1 Maret 2007. Badan Kebijakan Fiskal. 2011. Pertumbuhan PDB Menurut Sektor Ekonomi 2005-2010. Kementrian Keuangan RI, Jakarta. Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kabupaten Garut. 2010. Programa Penyuluh Pertanian BPP Kecamatan Pasirwangi Tahun 2010. Garut Badan Pusat Statistik. 2003. Luas Lahan Menurut Penggunaanya. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 2004. Luas Lahan Menurut Penggunaanya. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 2005. Luas Lahan Menurut Penggunaanya. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 2006. Luas Lahan Menurut Penggunaanya. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 2007. Luas Lahan Menurut Penggunaanya. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 2008. Luas Lahan Menurut Penggunaanya. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2012. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Berita Resmi Statistik No. 13/02/Th. XV, 6 Februari 2012. Jakarta Indonesia. Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut. 2012. Profil Garut per Kecamatan 2012. Garut
84
Bandara DGVL, Thiruchelvam S. 2008. Factor Affecting the Choice of Soil Conservation Practices Adopted by Potato Farmers in Nuwara Eliya District, Sri Lanka. Tropical Agricultural Research & Extension 11, 2008. Barbier EB. 1996. The Economic of Soil Erosion: Theory, Methodology, and Examples. Spesial paper. Paper based on a Presentation to the Fifth Biannual Workshop on Economy and Environment in Southeast Asia. Singapore, November 28-30, 1995. D’Souza G, Cyphers D, and Phipps T. 1993. Factor Affecting the Adoption of Sustainable Agricultural Practices. Agricultural dan Resource Economics Review. October 1993. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1983. Usahatani. Departemen Pendidikan. Departemen Pertanian. 2006. Lampiran Peraturan Menteri Pertanian. Nomor : 47/Permentan/Ot.140/10/2006 Tanggal : 9 Oktober 2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan. Departemen Pertanian. http://perundangan.deptan.go.id/admin/p_mentan/ Permentan-47-06.pdf diakses pada 5 Januari 2012 Dewi YA, Hendayana R. 2002. Usaha Konservasi Tanah dan Air Sebagai Alternatif Peningkatan Pendapatan Petani di Lahan Kering (Kasus Konservasi Tanah dan Air di Desa Rejosari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi DIY). ntb.litbang.deptan.go.id/ind/2005/SP/ usahakonservasi.doc diakses pada tanggal 5 Februari 2011. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2003. Buku Informasi Sayuran. Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Bandung. . 2010. Laporan Tahunan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. . 2011. Laporan Tahunan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut. 2009. Profil Tanaman Kentang di Kabupaten Garut. http://www.garut.kab.go.id diakses pada 3 Maret 2012. Feder, G. and T. Ochan. 1987. Land Ownership Security and Farm Investment in Thailand. American Journal of Agriculture Economics. 69:311-320. dalam Katharina R. 2007. Adopsi Sitem Pertanian Konservasi Usahatani Kentang di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan, Bandung [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gujarati, D. 2004. Basic Econometrics, Fourth Edition. The McGrawHillCompanies. 85
Hardjanto, A. 2010. Analisis Pendapatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani dalam Adopsi Teknologi Konservasi Lahan (Studi Kasus di: Daerah Tangkapan Air (DTA) Saguling, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung) [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Harijaya, O. 1995. Konservasi Tanah dan Air Lanjutan Bahan Kuliah Program Pascasarjana IPB. (Tidak Diterbitkan). dalam Ladamay I. 2010. Pengelolaan Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Haryati U, dan Erfandi D. 2011. Laporan Akhir Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Lahan untuk Meningkatkan Produktivitas Hortikultura > 20% Mendukung Pengembangan Kawasan Hortikultura. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian. Henny H. 2012. Perencanaan Usahatani Sayuran Berkelanjutan Berbasis Kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hidayat A, Mulyani A. 2005. Lahan Kering untuk Pertanian dalam Buku Teknologi Pengelolaan Lahan Kering, Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Hwang S W, J Alwang, and GW Norton. 1994. Soil Coservation Practices and Farm Income in the Dominican Republic. Agricultural System 46: 59-77. Elseiver Science Limited. dalam Katharina R. 2007. Adopsi Sitem Pertanian Konservasi Usahatani Kentang di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan, Bandung [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Indraningsih K.S. 2010. Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Sekolah Pascasarjana IPB. Joseph PM, Chimvuramahwe J, Borerwe R. 2012. Adoption and Efficiency of Selected Conservation Farming Technologies in Madziva Communal Area, Zimbabwe: A Transcendental Production Function Approach. Bulletin of Environment, Pharmacology & Life Sciences. Volume 1, Issue 4, March 2012: 27 – 38. Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor. Kadekoh I. 2007. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Berkelanjutan dengan Sistem Polikultur Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Lahan Marginal. 86
Katharina R. 2007a. Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usahatani Kentang di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan, Bandung [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. . 2007b. Adopsi Konservasi Sebagai Bentuk Investasi Usaha Jangka Panjang (Studi Kasus Usahatani Kentang Lahan Kering Dataran Tinggi Pangalengan). Jurnal Manajemen dan Agribisnis. Vol. 4 No. 1 Maret 2007. Ladamay I. 2010. Pengelolaan Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lapar Ma. Lucila A, and Pandey S. 1999. Adoption of Soil Conservation: The Case of The Philippine Uplands. Agricultural Economics 21 (1999) 241256. Lionberger HF. 1968. Adoption of New Ideas and Practices. Iowa: The Iowa State University Pr. dalam Indraningsih K.S. 2010. Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Sekolah Pascasarjana IPB. Minardi S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan dalam Makalah Seminar Optilmalisasi Sumberdaya Pertanian pada Agroekosistem Lahan Kering. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementrian Pertanian. Nahraeni W. 2000. Keputusan Petani dalam Penerapan Teknologi Tanam Benih Langsung (Tabela) Program Pengkajian SUTPA [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. . 2012. Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi di Provinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pattanayak SK, Mercer DE, Sills E, and Yang JC. Taking Stock of Agroforestry Adoption Studies. Jurnal Agroforestry System. 57:173-186. Pindyck RS, Rubinfeld DL. 1998. Econometric Models and Economic Forecasts Fourth Edition. The McGraw-Hill Companies. New York. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2005. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering, Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Rahim SE. 2003. Pengendalian erosi tanah: dalam rangka pelestarian lingkungan hidup. Jakarta: Bumi Aksara 87
Reijntjes C, Haverkort B, Waterrs-Bayer A. 1992. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk PErtanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah (Farming For The Future, An introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture. Sukoco Y. Kanisius. Yogyakarta. Rogers EM. 1983. Diffusion of Innovation Third Edition. The Free Press. New York. , dan Schoemaker FF. 1986. Communication of Inovators A CrossCultural Approach. The Mc Milland. New York. dalam Nahraeni W. 2000. Keputusan Petani dalam Penerapan Teknologi Tanam Benih Langsung (Tabela) Program Pengkajian SUTPA [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sabarman D. 2006. Pengembangan Usaha Pertanian Konservasi Tanaman Akar Wangi (Studi Kasus Das Cimanuk Hulu, Kabupaten Garut) [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Selian ARK. 2008. Analisa kadar Unsur Hara Kalium (K) dari Tanah Perkebunan Kelapa Sawit Bengkalis Riau Secara Spektrofootometri Serapan Aton (SSA) [Tugas Akhir]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara, Medan. http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/13969/1/09E00416.pdf. diakses pada 4 Juni 2012. Siregar H. 2006. Social-Economic Reasons to Soil Conservation: An Econometric Analysis on Cross-Sectional Lore Lindu Data. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 24 No. 1, Mei 2006. Soeharjo dan Patong, 1973. Ilmu Usahatani, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta : UI Press. , Soeharjo A, Dillon J, Hardaker J. 1985. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Dillon JL, Hardaker JB, Penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari : Farm Management Research for Small Development. Solis D, Bravo-Ureta BE, dan Quiroga RE. 2009. Technical Efficiency among Peasant Farmers Participating in Natural Resource Management Programmes in Central America. Journal of Agricultural Economics, Vol. 60, No. 1, 2009, 202-219. Suratiyah K. 2011. Ilmu Usahatani. Jakarta : Penebar Swadaya. Yana B. 2010. Nilai Ekonomi Pengendalian Erosi Hutan Alam Produksi: Kasus di IUPHHK-HA PT. Autral Byna, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 88
LAMPIRAN
89
Lampiran 1. Luas lahan Menurut Penggunaannya di Indonesia Tahun 2003-2007 Tahun
Lahan Sawah Lahan Kering*) Luas (ha) Perkembangan Luas (ha) Perkembangan 3.257.048 3.178.554 4.824.433 33.504.166 8.081.481 36.682.720
2003
Jawa Luar Jawa Indonesia
2004
Jawa Luar Jawa Indonesia
3.211.605 4.687.611 7.899.216
-1,40 -2,84 -2,26
3.134.613 7.234.074 10.368.687
-1,38 11,13 10,05
2005
Jawa Luar Jawa Indonesia
3.232.998 4.580.318 7.813.316
0,67 -2,29 -1,09
3.162.780 6.290.392 9.453.172
0,90 -2,53 -2,27
2006
Jawa Luar Jawa Indonesia
3.235.455 4.627.763 7.863.218
0,08 1,04 0,64
3.160.182 3.639.763 6.799.945
-0,08 -7,30 -6,73
2007
Jawa Luar Jawa Indonesia
3.231.882 4.650.678 7.882.560
-0,11 0,50 0,25
3.224.888 3.500.539 6.725.427
2,05 -0,41 -0,20
Ratarata
Jawa Luar Jawa Indonesia
-6.292 -43.439 -49.730
-0,19 -0,90 -0,61
11.584 -907 10.677
0,37 0,22 0,21
Sumber : Luas Lahan Menurut Penggunaannya, BPS (2003 – 2007), diolah. Keterangan : Lahan kering meliputi lahan tegal/kebun, Ladang/huma, Lahan Sementara tidak Diusahakan, Rawa yang tidak ditanami
90
Lampiran 2. Analisis Usahatani Kentang Konservasi dan Non-Konservasi per Hektar per Musim Tanam di Dua Desa Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut, Tahun 2011
Uraian
91
Output Produksi (kg) 1 Jual 2 Konsumsi 3 Diberikan 4 Benih Penerimaan Tunai Penerimaan Total Input Biaya Tunai 1 Pajak Lahan 2 Benih (kg) 3 Pupuk (kg) ZA TSP KCL Kandang Cair 4 Pestisida (liter) 5 Ajir (buah)
Konservasi (Searah Kontur) Harga satuan Jumlah Nilai (Rp) (Rp)
16.147,21 92,77 130,48 2.370,41
4.896,60 4.896,60 4.896,60 4.896,60
79.066.424,34 454.258,39 638.900,06 11.606.953,31 79.066.424,34 91.766.536,09
1.418,02
11.447,57
64.946,11 16.232.891,38
323,02 183,19 36,86 19.638,04 18,83 38,29 5.080,21
1.458,84 2.190,55 3.293,09 394,38 19.393,00 143.507,83 221,45
471.238,80 401.289,95 121.384,94 7.744.785,71 365.123,48 5.495.524,42 1.125.019,22
Non-Konservasi (Searah Lereng) Harga satuan Jumlah Nilai (Rp) (Rp)
14.632,31 50,68 66,49 1.480,57
4.896,60 4.896,60 4.896,60 4.896,60
1.424,91
11.447,57
303,89 268,86 34,13 16.486,62 25,69 36,37 1.189,81
1.458,84 2.190,55 3.293,09 394,38 19.393,00 143.507,83 221,45
71.648.556,18 248.139,68 325.573,98 7.249.738,81 71.648.556,18 79.472.008,65
69.363,91 16.311.738,97 443.334,85 588.942,53 112.379,76 6.501.938,73 498.157,19 5.218.810,30 263.485,00 91
Lampiran 2. Lanjutan Uraian 6 Mulsa (buah) 7 Bahan Bakar Pompa (liter) 8 Tenaga Kerja Luar Keluarga (HKP) Biaya Diperhitungkan 1 Sewa Lahan 2 Penyusutan Alat 3 Tenaga Kerja Dalam Keluarga (HKP) Biaya Tunai Total Biaya Diperhitungkan Total Biaya Total Pendapatan atas Biaya Tunai Pendapatan atas Biaya Total
Konservasi (Searah Kontur) Harga satuan Jumlah Nilai (Rp) (Rp) 2,00 470.191,65 940.383,30 64,68 5.236,75 338.704,01 402,24 20.110,00 8.088.993,54
Non-Konservasi (Searah Lereng) Harga satuan Jumlah Nilai (Rp) (Rp) 2,81 470.191,65 1.321.238,53 80,53 5.236,75 421.715,65 292,39 20.110,00 5.879.953,53
1.000.000,00 205.078,78 1.618.405,77 41.390.284,86 2.823.484,55 44.213.769,41 37.676.139,48 47.552.766,68
1.000.000,00 177.871,03 3.273.740,58 37.631.058,96 4.451.611,61 42.082.670,58 34.017.497,22 37.389.338,07
80,48
20.110,00
162,79
20.110,00
92 92
Lampiran 3. Karakteristik Responden di Dua Desa Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut, Tahun 2011
93
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
NAMA RESPONDEN KONSERVASI 0 Juju 1 Asum Syaiful R. 1 Danu 1 Ucup Kurnia 1 Alit 1 Ruhiyat 1 Ade Juanda 1 Piyat Supriatna 0 Ayyub 1 Amin 1 Amang Ristandi 1 Dani Hamdani 1 Aat Sapaat 1 Ujang Husnul H. 0 Yaya 0 Ade Hidayat 1 Alit Lesmana 0 Barnas 1 Idan 0 Endang 1 Saepurohman 1 Dadan Hamdani 0 Acung Sucipto
UMR 55,00 36,00 37,00 42,00 47,00 65,00 56,00 31,00 60,00 52,00 40,00 53,00 34,00 32,00 41,00 48,00 35,00 36,00 37,00 60,00 37,00 31,00 47,00
PDKN 9,00 9,00 6,00 6,00 6,00 6,00 9,00 9,00 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00 9,00 6,00 6,00 9,00 6,00 12,00 6,00 12,00 9,00 6,00
LLHN 0,44 0,42 0,49 0,18 0,70 0,28 0,80 0,10 0,80 0,20 0,10 0,50 0,18 0,08 0,32 0,32 0,16 0,04 0,32 0,80 0,16 0,07 0,10
SLHN MILIK MILIK SEWA MILIK MILIK SEWA MILIK MILIK SEWA MILIK SEWA SEWA SEWA MILIK SEWA SEWA MILIK SEWA MILIK SEWA SEWA MILIK MILIK
PDPT 9.396.000,00 14.932.500,00 16.963.400,00 6.566.000,00 7.993.500,00 3.032.200,00 32.092.500,00 2.447.500,00 18.113.090,91 3.740.000,00 4.525.333,33 16.659.000,00 312.000,00 1.350.200,00 2.022.000,00 13.638.883,33 1.202.701,56 3.005.000,00 5.769.500,00 35.441.260,91 8.541.875,00 2.856.041,67 2.119.000,00
JTK 1,00 3,00 3,00 6,00 4,00 1,00 2,00 4,00 3,00 5,00 3,00 3,00 3,00 3,00 6,00 4,00 3,00 3,00 5,00 3,00 5,00 2,00 4,00
CURM 4,00 8,00 7,00 15,00 45,00 8,00 15,00 8,00 13,00 4,00 20,00 15,00 20,00 15,00 45,00 25,00 15,00 10,00 30,00 10,00 35,00 7,00 3,00
PLMN 36,00 2,00 10,00 34,00 21,00 15,00 20,00 5,00 49,00 36,00 20,00 20,00 5,00 8,00 3,00 28,00 10,00 17,00 17,00 49,00 17,00 7,00 31,00 93
Lampiran 3. Lanjutan
94
NO 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
NAMA RESPONDEN Tarna Sutarna Muchsin Sukon Holil Dirman H. Toad Mimin Asep Suharto Dadi Syamsudin Ucep Rohmat Udin Idho Adun Nandang Icang Suparman Caca Amir Eno Sodin Iman Setiawan Ujang Deni Uus Bunai Iwan Supriatna
KONSERVASI 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1
UMR 67,00 47,00 52,00 50,00 38,00 60,00 50,00 39,00 60,00 59,00 32,00 46,00 40,00 25,00 46,00 45,00 44,00 36,00 55,00 48,00 29,00 30,00 40,00
PDKN 6,00 9,00 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00 2,00 6,00 6,00 6,00 6,00 9,00 6,00 9,00 9,00 6,00 3,00 6,00 9,00 6,00
LLHN 0,12 0,14 0,40 0,35 0,28 1,00 0,35 0,16 1,00 0,20 0,56 0,12 0,42 0,14 0,56 0,04 0,40 0,40 0,44 0,28 0,32 0,16 0,20
SLHN MILIK MILIK MILIK SEWA MILIK MILIK SEWA SEWA MILIK MILIK MILIK MILIK MILIK MILIK MILIK MILIK SEWA SEWA MILIK MILIK SEWA MILIK SEWA
PDPT 9.924.137,50 2.500.750,00 23.477.750,00 2.942.000,00 16.293.950,00 13.863.729,50 19.190.750,00 4.539.000,00 34.569.567,00 1.353.000,00 8.616.250,00 5.794.044,50 3.491.850,00 5.163.000,00 15.594.600,00 1.036.140,00 21.005.700,00 15.300.400,00 37.820.500,00 23.442.344,18 2.983.500,00 11.373.000,00 4.292.333,33
JTK 1,00 4,00 2,00 3,00 3,00 1,00 3,00 3,00 1,00 6,00 3,00 5,00 3,00 2,00 6,00 4,00 5,00 1,00 1,00 4,00 2,00 4,00 4,00
CURM 15,00 5,00 6,00 15,00 30,00 35,00 15,00 20,00 35,00 0,00 0,00 6,00 25,00 30,00 0,00 5,00 15,00 30,00 15,00 15,00 35,00 9,00 25,00
PLMN 27,00 21,00 8,00 31,00 3,00 30,00 31,00 19,00 30,00 39,00 11,00 21,00 21,00 7,00 15,00 18,00 2,00 8,00 20,00 20,00 16,00 11,00 23,00 94
Lampiran 3. Lanjutan NO 47 48 49 50
NAMA RESPONDEN Eep Enjang Tatang Hidayat Ade Handa
Rata-rata
KONSERVASI 1 1 0 0
UMR 30,00 36,00 52,00 38,00 44,12
PDKN 9,00 9,00 9,00 6,00 7,00
LLHN 0,16 0,36 0,24 0,10 0,33
SLHN MILIK SEWA SEWA SEWA
PDPT 6.175.000,00 17.804.750,00 14.028.000,00 4.584.000,00 10797590,65
JTK 4,00 3,00 1,00 2,00 3,20
CURM 8,00 45,00 5,00 10,00 16,62
PLMN 11,00 20,00 21,00 15,00
KETERANGAN : UMR = Umur (Tahun) PDKN = Lama Pendidikan (Tahun) LLHN = Luas Lahan (Hektar) SLHN = Status Kepemilikan Lahan PDPT = Pendapatan (Rupiah) JTK = Jumlah Tanggungan Keluarga (Jiwa) CURM = Tingkat Kecuraman Lereng (Persen) PLMN = Pengalaman Bertani (Tahun)
95 95
Lampiran 4. Hasil Output Regresi Logit dengan SPSS 16.0 Classification Table
a,b
Predicted KONSERV Observed Step 0
0
KONSERV
Percentage Correct
1
0
0
14
.0
1
0
36
100.0
Overall Percentage
72.0
a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
18.002
8
.021
Block
18.002
8
.021
Model
18.002
8
.021
Model Summary Step 1
-2 Log likelihood 41.293
Cox & Snell R Square
a
Nagelkerke R Square
.302
.435
a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than .001. Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square
df
6.964
Sig. 8
.541
Classification Table
a
Predicted KONSERV Observed Step 1
KONSERV
0
Percentage Correct
1
0
8
6
57.1
1
3
33
91.7
Overall Percentage
82.0
a. The cut value is .500
96
Variables in the Equation B Step 1
a
UMR
S.E. .026
PNDKN
Wald
.062
Df
Sig.
Exp(B)
.182
1
.669
1.027
-.178
.270
.436
1
.509
.837
LLHN
-4.727
3.557
1.766
1
.184
.009
SLHN
2.583
1.296
3.972
1
.046
13.233
PDPT
.000
.000
1.875
1
.171
1.000
-.375
.332
1.276
1
.259
.687
.125
.054
5.322
1
.021
1.133
JTK CURM PNGLMN
-.079
.053
2.198
1
.138
.924
Constant
.981
3.296
.089
1
.766
2.666
a. Variable(s) entered on step 1: UMR, PNDKN, LLHN, SLHN, PDPT, JTK, CURM, PNGLMN.
Correlation Matrix Constant UMR Step 1
Constant
1.000
-.671
UMR
-.671
PNDKN
-.546
LLHN
PNDKN
LLHN
-.546
-.113
1.000
-.066
-.239
-.066
1.000
.339
-.113
-.239
.339
1.000
SLHN
.071
.228
-.509
PDPT
.188
.101
JTK
-.428
CURM PNGLMN
SLHN .071
PDPT
JTK
.188
-.428
.228
.101
-.509
-.471
-.491
-.491
-.471
.093
-.163 .096
CURM PNGLMN -.163
.096
.093
.320
-.622
.262
-.375
.382
-.799
.320
-.379
.223
1.000
.597
-.494
.654
-.352
-.799
.597
1.000
-.325
.407
-.292
.262
.320
-.494
-.325
1.000
-.309
-.015
.320
-.375
-.379
.654
.407
-.309
1.000
-.279
-.622
.382
.223
-.352
-.292
-.015
-.279
1.000
97
Lampiran 5. Peta Lokasi Penelitian
Sumber: Aryadi (2006)
98
RIWAYAT HIDUP Dinda Asyifa Devi dilahirkan di Garut pada tanggal 5 September 1990 putri dari pasangan Bapak Entang Sutarsa, S. Pd, M. Pd dan Ibu Dr. Ir. Wini Nahraeni, M. Si. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 1996 penulis memulai studinya di SDN Brawijaya Kota Sukabumi dan lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Kota Sukabumi dan lulus pada tahun 2004, melalui program akselerasi. Setelah itu penulis melanjutkan sekolah di SMAN 3 Kota Sukabumi, dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menyelesaikan studi dengan menjadi mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi dalam kampus, yaitu Shariah Economic Student Club (SES-C) FEM IPB sebagai bendahara divisi Riset pada periode 2008-2009, dan bendahara divisi Sharia Research and Education (Shar-e) pada periode 2009-2010. Selain itu, penulis aktif di Ikatan Keluarga Mahasiswa Sukabumi (IKAMASI).
99