ISSN : 1693 - 3265
Volume 13, Nomor 2, Juli – Desember 2016
BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Rosalia Suci H., Sukarelawati Permana, Imam Subarkah Pemimpin Redaksi Sukarelawati Permana Sekretaris Redaksi Amy Rachmi Budiati Dewan Redaksi Amy Rachmi Budiati, Hari Sugeng Raharjo, Bambang Sukardi Putra, Pulih Widayaningrum, Rika S. Dewi, Agus Susanto P., Amsal Chandra Appy, Panji Achmad, Doharman Sidabalok Redaksi Pelaksana Amy Rachmi Budiati, Doharman Sidabalok, Ellia Syahrini, Chandra Herwibowo, Andi Savanto, Yuli Anitasari Mitra Bestari Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., Prof. Dr. Marsudi Triatmojo, S.H., LL.M., Sri Hariningsih, S.H., M.H., Dr. Lastuti Abubakar, S.H., M.H., Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M., Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M., Chandra Murniadi, S.H., LL.M., Agus Santoso S.H., LL. M, Dr. Dian Ediana Rae, S.H. LL.M, Wahyudi Santoso, S.H. M.Kn, Iwan Setiawan, S.H., LL.M, Dr. Safari Kasiyanto S.H., LL.M Penanggung Jawab Pelaksana Divisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia Penanggung Jawab Distribusi Divisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia
Buletin Hukum Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi/materi tulisan dan hasil penelitian dalam Buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin Hukum Kebanksentralan terbit secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali. Peminat Buletin ini dapat menghubungi Divisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia, Gedung D Lt. 7, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, e-mail:
[email protected]. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah, serta resensi buku berkenaan dengan hukum kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Divisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum, Gedung D Lt. 7, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, e-mail:
[email protected]. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, redaksi memberikan uang jasa penulisan.
Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih menu publikasi, pilih sub menu Buletin Hukum Kebanksentralan.
Pembaca Buletin Hukum Kebanksentralan yang berbahagia, dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa di semester kedua tahun 2016 ini redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan Volume 13 Nomor 2 Tahun 2016. Pesatnya perkembangan ekonomi di era globalisasi memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk melebarkan usaha hingga melampaui batas teritorial negara. Tak dapat dipungkiri upaya untuk melebarkan peluang usaha hingga luar negeri memberikan konsekuensi dan risiko yang lebih beragam bagi pelaku usaha. Perbedaan kebijakan usaha yang diterapkan pemerintah negara lain, persaingan bisnis dengan pelaku usaha yang lebih majemuk, pemilihan hukum dalam suatu kontrak internasional, serta penerapan peraturan perundang-undangan di negara lain menjadi beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dan dipelajari oleh pelaku usaha. Terkait hal tersebut, beberapa artikel dalam Buletin kali ini akan mengulas beberapa topik atas beberapa masalah yang kemungkinan muncul dalam lingkup pengembangan usaha hingga ke luar negeri. Terkait kontrak internasional, artikel dengan judul Standarisasi Perjanjian Transaksi Derivatif OTC Domestik Berdasarkan Prinsip dalam ISDA Master Agreement Dihubungkan Dengan Ketentuan Kepailitan di Indonesia, akan mengulas mengenai penerapan klausula early termination dan close out netting dalam ISDA Master Agreement dihubungkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam lingkup hukum korporasi, artikel dengan judul Ketentuan Hukum Perdata Belanda terkait Perusahaan Tertutup (Besloten Vennootschap/BV) yang Tidak Aktif (Dormant) akan mengulas mengenai ketentuan hukum di Belanda terhadap suatu perusahaan tertutup yang sudah tidak aktif serta hal-hal apa yang mesti diambil oleh pelaku usaha untuk mempertahankan atau menutup perusahaan dimaksud. Dunia bisnis syariah yang berhasil membuktikan diri sebagai alternatif model ekonomi yang bertahan dalam perekonomian dunia saat ini juga patut menjadi hal yang perlu dipahami dalam era globalisasi saat ini. Salah satu topik syariah yang akan diulas dalam Buletin kali mengenai Syirkah dan Problematikanya sebagai Instrumen Pembiayaan. Selanjutnya, artikel mengenai Penormaan Asas Kekhususan Sistematis yang Berbasis Efisiensi Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perbankan, diharapkan dapat memberikan tambahan pemahaman bagi pembaca terkait ranah hukum pidana. Sebagaimana terbitan Buletin sebelumnya, Buletin kali ini juga akan menyajikan pengkinian informasi mengenai produk Peraturan Perundang-undangan Bank Indonesia yang terbit dari bulan Juli sampai dengan Desember 2016, terdiri atas Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia Ekstern, beserta ringkasannya. Selamat membaca. Jakarta, Desember 2016 Redaksi
i
ISSN : 1693 - 3265
Halaman Dari Meja Redaksi......................................................................................................................................
i
Daftar Isi....................................................................................................................................................
iii
Ketentuan Hukum Perdata Belanda terkait Perusahaan Tertutup (Besloten Vennootschap/BV) yang Tidak Aktif (Dormant)........................................................................................................................
1-9
Amy Rachmi Budiati, Doharman Sidabalok, Yuli Anitasari Standarisasi Perjanjian Transaksi Derivatif OTC Domestik Berdasarkan Prinsip Dalam ISDA Master Agreement Dihubungkan dengan Ketentuan Kepailitan di Indonesia..............................................
11 - 36
Amy Rachmi Budiati, Doharman Sidabalok, Chandra Herwibowo Penormaan Asas Kekhususan Sistematis yang Berbasis Efisiensi Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perbankan..................................................................................................................................
37 - 66
Paul Soetopo Tjokronegoro Syirkah dan Problematikanya Sebagai Instrumen Pembiayaan Modern.......................................................
67 - 78
Iskandar Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Juli - Desember 2016 (berikut ringkasan)..................................................................................................................................... 79 - 197 Departemen Hukum, Bank Indonesia
iii
Disusun oleh: Amy Rachmi Budiati, Doharman Sidabalok, Yuli Anitasari1
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstract: Globalization era allows more natural persons or legal entities for doing business in other countries. In the Netherlands, one of the business entities that most widely used in doing business is Besloten Vennootschap/BV. However, tight competition or strict regulation issued by the government of that country has become one of the factors that causes a BV becomes inactive (dormant). Some of the foreign investors who own business activities in such a dormant BV experience difficulties to know more about the consequences the said ownership in a dormant BV. This research will discuss about definition of BV including some matters related to BV's legal entity, starting from the establishment, management, and dissolution of a BV. In addition, this research will also analysis the status, position, and consequence arising out of a dormant BV, and what kind of efforts can be done in order to maintain the existence of a dormant BV before it is dissolved by its owner. In analyzing things relevant to this research, the research methods used is library method by using secondary data such as some of the prevailing legislation in the Netherlands, some related legal articles and papers presented or discussed in a scientific forum. Although a BV is no longer active in trading or has no significant accounting transactions within 1 (one) year, as long as it still meets its requirement and/or its obligation commensurate with prevailing law to a BV, it may still exist or can not be dissolved. Key words: Besloten Vennootschap, Inactive, Dormant
Abstrak: Era globalisasi semakin memungkinkan seseorang atau satu badan hukum melakukan kegiatan usaha di negara lain. Di Belanda, salah satu bentuk badan usaha yang banyak dipakai dalam menjalankan kegiatan usaha adalah Besloten Vennootschap/BV. Namun, persaingan dan ketentuan yang ketat yang dikeluarkan pemerintah negara tersebut menjadi salah satu faktor suatu BV dapat menjadi tidak aktif (dormant). Beberapa pemilik kegiatan usaha yang masuk dalam kategori BV yang tidak aktif, pada umumnya mengalami kendala untuk mengetahui kewajiban dan konsekuensi apa saja yang dihadapi atas kepemilikan BV yang demikian. Dalam penelitian ini akan dibahas pengertian BV termasuk beberapa hal yang terkait dengan penyelenggaraan BV dari mulai pendirian, pengelolaan, dan pembubaran BV. Selain itu, dalam tulisan ini juga akan dibahas status, kedudukan, dan konsekuensi yang timbul dari suatu BV tidak aktif, serta upaya apa yang dapat dilakukan untuk mempertahankan suatu BV yang tidak aktif tetap dapat eksis sebelum pemiliknya
1
Peneliti di Departemen Hukum Bank Indonesia
1
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
melakukan tindakan pembubaran. Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis hal-hal yang relevan dengan topik adalah metode kepustakaan, dengan menggunakan data sekunder antara lain beberapa perundang-undangan yang berlaku di Belanda, beberapa artikel hukum, dan makalah yang dipresentasikan atau dibahas dalam forum ilmiah. Sepanjang BV memenuhi persyaratan dan kewajiban yang berlaku untuk BV, maka meskipun BV tidak lagi aktif melakukan kegiatan perdagangan atau tidak mempunyai transaksi akunting yang berarti dalam 1 (satu) tahun, BV tersebut dapat tetap eksis atau tidak dapat dibubarkan.
A. PENDAHULUAN
Perdata Belanda (Burgelijk Wetboek/BW); (ii) beberapa Panduan/Pedoman melakukan bisnis di Belanda yang
Era globalisasi telah memungkinkan seseorang atau
dikeluarkan Kantor Akuntan Publik internasional; dan
satu badan hukum melakukan kegiatan usaha di
(iii) beberapa artikel terkait kegiatan menjalankan
negara lain. Hal tersebut dapat dialami oleh investor
bisnis di Belanda yang dipublikasi melalui internet.3
dari Indonesia ke negara lain seperti Belanda, yang menurut survei GCI Global Competitiveness Index
Dalam melakukan pengkajian, beberapa ketentuan
merupakan negara dengan iklim investasi paling baik
dalam Buku 2 dari BW menjadi fokus penelitian karena
kelima di
dunia.2
sejak tahun 1971 suatu rejim tersendiri untuk BV diperkenalkan ke dalam hukum Belanda dan sejak
Era globalisasi selain memungkinkan kemudahan
tahun 1976 ketentuan mengenai perusahaan tertutup
berbisnis di negara lain, juga dapat mengakibatkan
(limited company) dipisahkan dari Kitab Hukum
kegiatan usaha yang telah berlangsung berhenti
Dagang dan dibuat menjadi bagian dari Buku 2 BW4.
akibat berbagai faktor seperti persaingan yang semakin
Fokus penelitian dilakukan terhadap: (i) Pengertian
ketat atau akibat berbagai ketentuan yang
BV; (ii) Beberapa ketentuan terkait BV; (iii) Pengertian
mengharuskan perusahaan harus menghentikan
Inactive/Dormant BV; (iv) Ketentuan terkait
kegiatan usaha. Penghentian kegiatan usaha dimaksud
Inactive/Dormant BV; dan (v) Persyaratan agar
kadang-kadang tidak dapat ditentukan jangka
Inactive/Dormant BV tidak dibubarkan.
waktunya, mengingat berbagai kepentingan atau keperluan, terutama dalam kaitan penyelesaian hak
B. PENGERTIAN PERUSAHAAN TERTUTUP
dan kewajiban perusahaan yang bersangkutan
(BESLOTEN VENNOOTSCHAP/BV)
maupun akibat pertimbangan kemungkinan beroperasi kembali dengan atau tanpa injeksi modal
Pengertian Perusahaan Tertutup (Besloten Vennotschat
dari pemegang saham yang ada (existing shareholders).
beperkte aansprakelijheid/BV) menurut BW adalah perusahaan dengan kewajiban terbatas yaitu suatu
Dalam kaitan kelangsungan satu perusahaan tertutup
badan hukum dengan modal berupa satu atau
di Belanda yang dikenal dengan Besloten
beberapa saham yang dapat dialihkan (vide Pasal
Vennootschap/BV yang tidak aktif (dormant), di
2:175 Kitab BW). Saham tersebut adalah saham
bawah ini diuraikan beberapa hal terkait upaya mempertahankan kelangsungannya. Uraian tersebut didasarkan pada pengkajian terhadap: (i) terjemahan beberapa bagian/bab dalam Buku 2 Kitab Hukum
2
Sumber: http://reports.weforum.org/global-competitiveness-report-20152016/competitiveness-rankings/.
2
3
Dalam artikel ini penulis tidak membandingkan/membahas mengenai kesamaan atau perbedaan antara BV dengan Naamloze Vennootschap (NV) yang secara kepemilikan saham dapat dimiliki oleh beberapa pemegang saham (vide Pasal 2:175 dan Pasal 2:64 Kitab BW).
4
Lars van Vliet, The Netherlands-New Developments in Dutch Company Law: The “Flexible” Close Corporation, Journal of Civel Law Studies, Vlume 7, Issu 1 - Article 8, 29 Oktober 2014.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
terdaftar. Seorang pemegang saham BV tidak dapat
BV ditandatangani oleh para pendiri dan oleh
diminta pertanggungjawaban pribadi atas hal yang
setiap orang yang menurut akta pendirian
dilakukan atas nama perusahaan dan yang
mengambil 1 (satu) atau lebih saham.
bersangkutan tidak wajib berkontribusi terhadap
b. Ketentuan Pasal 2:177.1 BW : akta notaris
kerugian perusahaan lebih dari modal yang disetorkan
pendirian perusahaan wajib memuat anggaran
kepada perseroan atau masih harus dia bayar atas
dasar BV. Anggaran dasar BV memuat nama,
sahamnya5.
Di beberapa negara, perusahaan model
BV juga dikenal. Misalnya, di Jerman disebut dengan
kedudukan, dan tujuan dari BV. c. Dalam praktik, seorang atau satu pihak dapat
Gesellschaft mit beschränkter Haftung (GmbH)6, di
bertindak untuk atas nama suatu perusahaan
Amerika Serikat dikenal dengan nama Limited Liability
berbentuk BV yang masih dalam proses
Company (LLC)7, sedangkan di Inggris dikenal dengan
“pembentukan” (in oprichting).10
nama Limited Company (Ltd)8. BV adalah bentuk usaha yang paling banyak dipakai dalam kegiatan berusaha di
Belanda9.
2. Anggaran dasar BV merupakan peraturan internal BV antara lain tentang prosedur dalam Rapat Umum dan penunjukan personil dari organ
C. BEBERAPA KETENTUAN TERKAIT BV
perusahaan, seperti dewan pengelola dan (jika berlaku) dewan pengawas. Cakupan anggaran
1. Pendirian a. Ketentuan Pasal 2:175.1.2 BW mengatur
dasar BV didasarkan pada UU dan tidak dapat bertentangan dengan ketentuan dalam UU. Bagian
sebagai berikut: perusahaan berbadan hukum
terpenting dari anggaran dasar adalah
BV dibentuk oleh 1 (satu) orang atau lebih
pencantuman tentang: (i) Nama BV dan tempat
dengan akta notaris. Akta notaris pendirian
kedudukan; (ii) Tujuan perusahaan; (iii) Modal disetor.11 Hal tersebut diatur dalam Pasal 2:177 BW.12
5
Dutch Civil Code, Article 2:175 (Sumber: http://www.dutchcivillaw.com/ civilcodebook022.htm).
6
A private limited company (Gesellschaft mit beschränkter Haftung, GmbH) is a private company that is limited by shares. The company has its own legal personality. This means it can sue and be sued, purchase and sell property and generally conduct business in its own name. The company is represented by its directors. (Sumber: https://www.wbslaw.de/eng/doing-business-germany/types-company/types-germancompany/).
7
A limited liability company (LLC) is a business entity that combines the limited liability protection of a business corporation with the flexible tax and organizational structure of a partnership. (Sumber: http://www.usacorporate.com/starting-a-new-business-in-the-us/types-of-businessentities-comparison/learn-about-limited-liability-companies-llc/)
8
A limited company (LC) is a form of incorporation that limits the amount of liability undertaken by the company's shareholders. The naming convention for this type of corporate structure is commonly used in the United Kingdom. In a limited company, the debts of the company are separate from those of the shareholders. As a result, should the company experience financial distress because of normal business activity, the personal assets of shareholders will not be at risk of being seized by creditors. Ownership in the limited company can be easily transferred, and many of these companies have been passed down through generations.(sumber: http://www.investopedia.com/terms/l/limited_ company.asp).
9
Tax Consultant International - How to Incorporate a BV in the Netherland (Sumber: http//tax-consultants-international.com/read/How_to_ incorporate_a_BV.).
10 Dalam suatu publikasi KPMJ yang berjudul Setting Up A Business tertanggal 1 Maret 2016 ditulis bahwa terkait dengan company 'in formation', “It is possible for someone to act on behalf of a company that has not yet been formed. If one wishes to act in such a way, it is necessary to expressly state so and to add the abbreviation 'i.o.' (in oprichting) after the name of the company”. Transactions entered into on behalf of the company in formation, may be ratified by the management board of the company after incorporation (and after the registration with the Chamber of Commerce has been completed) and will then bind the company. Beware that, should the management board of the company, after the formation, not ratify the transaction or contract, the person having acted is personally liable for that transaction or contract. Hal seperti ini tampak dalam Heads of Agreement antara BI, Indover, IBA, Stichting Indo Plus, dan IPBV tanggal 17 Juli 2003 relating to the split-off by nv De Indonesische Overzeese Bank of its non-performing loan portfolio by means of a legal split-off and other ations described herein. 11 PWC, Setting up a business, publikasi 1 Maret 2016 (Sumber https: //inform.pwc.com/inform2/s/Setting_up_a_business/informContent/ 1625234303). 12 Dutch Civil Code Article 2:177 Content of the deed of incorporation. 1. The Notarrial deed of incorporation must contain the articles of incorporation of the Closed Corporation ('besloten vennotschap'). The articles of incorporation contain the name, the seat and the purpose (objective) of the Closed Corporation ('beslooten vennootschap').
3
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
3. Pembubaran BV a. Persyaratan pembubaran BV
pemegang daftar umum dimana badan hukum didaftar bahwa badan hukum dimaksud telah
Di dalam Pasal 2:19 BW diatur persyaratan
bubar (vide Pasal 2.19.6b BW). Data dan
(exchaustive list) suatu badan hukum BV untuk
informasi yang dimasukkan ke dalam daftar
dapat dibubarkan.13 Suatu badan hukum BV
umum terkait badan hukum pada saat
dapat bubar apabila:
pengakhiran, disimpan paling lama 10 tahun
1) Terdapat keputusan/kesepakatan Rapat
sejak pengakhiran (vide Pasal 2.19.7 BW).
Umum BV yang menyetujui pembubaran, kecuali anggaran dasar menentukan sebaliknya; 2) Terjadi suatu peristiwa, yang menurut
b. Berdasarkan permintaan dari Kantor Penuntut Umum, Pengadilan Negeri dapat membubarkan BV apabila BV tersebut tidak dapat lagi
anggaran dasar BV, mengarah kepada
menjalankan tujuannya akibat kekurangan
pembubaran, dan yang bukan merupakan
aset, dan Pengadilan Negeri bisa saja
persetujuan pembubaran, dan tidak
membubarkan BV apabila BV tersebut telah
merupakan tindakan yang dimaksudkan
menghentikan kegiatan untuk mencapai
sebagai pembubaran;
tujuannya. Kantor Penuntut Umum
3) Perusahaan dinyatakan pailit sesuai Pasal
memberitahu Kamar Dagang yang mewilayahi
16(1) UU Kepailitan Belanda atau
BV mengenai maksud dari permintaan
perusahaan dinyatakan dalam keadaan
pembubaran BV (vide Pasal 2:185.1 BW).
insolvensi sebagaimana dimaksud dalam
Sebelum memutuskan pembubaran, Pengadilan
Pasal 173(1) UU Kepailitan Belanda;
Negeri dapat memberi kesempatan kepada
4) Terdapat keputusan Kamar Dagang yang
BV untuk mengalihkan/mengatasi masalah
membubarkan BV (vide Pasal 2:19a BW);
hukum yang dihadapi dalam periode yang
5) Pengadilan telah membubarkan
ditetapkan Pengadilan (vide Pasal 2:185.2 BW).
perusahaan dalam keadaan yang diatur dalam UU; (vide Pasal 2:19.1 BW).
c. Suatu BV yang terdaftar di Daftar Perdagangan dapat dibubarkan oleh Kamar Dagang, jika
Apabila badan hukum BV tidak lagi memiliki
institusi tersebut memiliki bukti bahwa paling
aset pada saat pembubaran, BV bubar pada
tidak 2 (dua) dari keadaan berikut terpenuhi:
saat itu juga (vide Pasal 2.19.4 BW). Setelah
1) Tidak ada direktur dari BV yang didaftarkan
pembubaran, badan hukum BV masih ada
dalam Daftar Perdagangan14 selama
(berlanjut) sepanjang diperlukan untuk likuidasi
periode paling tidak 1 (satu) tahun.
(pembubaran) dari harta-hartanya. Dalam
Sementara mengenai hal tersebut tidak
dokumen dan pengumuman yang dikeluarkan
dilaporkan kepada Kamar Dagang, atau,
oleh badan hukum, kata “dalam likuidasi”
jika direktur didaftarkan, salah satu dari
wajib ditambahkan kepada nama dari badan
keadaan berikut terjadi:
hukum (vide Pasal 2.19.5 BW). Dalam hal
a) Para direktur meninggal;
dilakukan pembubaran (likuidasi), badan hukum menjadi tidak ada (berakhir) pada saat pembubaran (likuidasi) berakhir. Likuidator atau kurator kepailitan melapor kepada
13 KPMG, Investment in the Netherland/Exit matters, hal. 216.
4
14 Di Belanda, pendaftaran dalam Business Registration yang dikelola Kamar Dagang merupakan suatu kewajiban yang harus dipatuhi oleh seluruh perusahaan dan oleh hampir seluruh badan hukum di Belanda. Hal ini diperlukan agar Business Registration dapat menjadi sumber informasi antara lain mengenai aktif atau tidaknya suatu perusahaan, legal atau tidaknya suatu perusahaan, dan jenis usaha dari badan hukum (Sumber: https://www.kvk.nl/english/business-register/).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
b) Para direktur tidak dapat dihubungi
Pasal 2:23, ayat (1) BW, Kamar Dagang akan
selama 1 (satu) tahun di alamat yang
bertindak sebagai likuidator dari harta dari
disebutkan dalam Daftar Perdagangan
badan hukum yang dibubarkan, berdasarkan
dan di alamat yang disebutkan dalam
ketentuan Pasal 2:19 ayat (4) BW. Berdasarkan
Personal Records Data Base15 atau nama
permintaan dari Kamar Dagang, Pengadilan
orang yang terlibat tidak terdaftar dalam
Negeri akan menunjuk satu atau lebih likuidator
Personal Records Data Base.
lain (vide Pasal 2:19a.7 BW).
2) BV tidak dapat memenuhi kewajiban untuk mengungkap catatan akuntansi tahunan
D. PENGERTIAN INACTIVE/DORMANT BV
atau neraca dan catatan sesuai ketentuan Pasal 2:394, Pasal 2:396, atau Pasal 2:397
Untuk memahami istilah inactive/dormant BV, berikut
BW;
dikemukakan pengertian “dormant company” dalam
3) Selama 1 (satu) tahun BV tidak menanggapi
artikel yang dipublikasi Formacompany Worldwide
surat dari pihak yang berwenang untuk
Incorporations dan Bytestart.co.uk. Suatu perusahaan
menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak
yang tidak aktif (dormant company) adalah perusahaan
(tax return) badan sebagaimana dimaksud
yang tidak melakukan kegiatan usaha dan tidak
dalam Pasal 9 ayat (3) UU Perpajakan
mempunyai transaksi pembukuan keuangan.16 Terkait
Negara.
dengan istilah “dormant” dikemukakan bahwa istilah “dormant” berlaku terhadap perusahaan yang dalam
(vide Pasal 2:19a.1 BW)
istilah hukum ”tidak mempunyai transaksi pembukuan yang cukup berarti (signifikan) selama 1 (satu)
Apabila Kamar Dagang mengetahui fakta yang
tahun”.17 Alasan yang paling mengemuka untuk
membuktikan bahwa BV memenuhi syarat
memiliki suatu perusahaan tertutup yang tidak aktif
untuk dibubarkan, Kamar Dagang akan
atau “dormant” adalah untuk melindungi bisnis jika
memberitahu BV dan direkturnya tentang
pemilik bisnis tersebut tunggal (sering juga disebut
maksud membubarkan badan hukum.
sebagai being self-employed).18 Tidak ada pembatasan
Pemberitahuan ini dibuat dengan surat tercatat,
waktu bagi suatu perusahaan untuk tetap bertahan
dikirim ke alamat terakhir dari badan hukum
dalam status dormant. Namun demikian, direksi dari
dan direkturnya, menyatakan tidak hanya
perusahaan tersebut wajib menjalankan kewajiban-
tujuan pembubaran badan hukum, tetapi juga
kewajiban administrasi setiap tahun.19
dasar tujuan dimaksud. Kamar Dagang mendaftarkan pemberitahuan ini dalam Daftar Perdagangan (vide Pasal 2:19a.3 BW). Keputusan dari Kamar Dagang diumumkan kepada BV dan direktur yang terdaftar (vide Pasal 2:19a.5 BW). Jika tidak mungkin untuk menunjuk satu atau lebih likuidator atas dasar
15 Personal Records Data Base dikenal dengan: The Municipal Personal Records Database, yaitu database yang berisi data pribadi dari setiap orang yang tinggal di Belanda. Pemerintah Belanda menggunakan informasi ini untuk membantu pelaksanaan tugas otoritas publik seperti Kantor Pajak dan Bea Cukai yang menggunakan database tersebut untuk membantu mereka mengumpulkan pajak dan mengalokasikan keuntungan (Sumber: https://www.government.nl/topics/identificationdocuments/contents/the-municipal-personal-records-database).
16 Dalam artikel yang berjudul “What is a dormant limited company, and when might one be useful for a small business?” disebutkan bahwa: A dormant company is one that doesn't trade and has no accounting transactions (Sumber: http://www.bytestart.co.uk/dormant-limitedcompany.html hal. 1). 17 Dalam artikel yang berjudul Dormant Accounts - Dormant Companies ditulis bahwa “The term 'dormant' applies to a company that, in legal terms, has 'no significant accounting transactions' during a financial year.” (Sumber: http://www.formacompany.com/en/corporate-administration/ dormant-company.php). 18 A dormant company is one that doesn't trade and has no accounting transactions (Sumber: http://www.bytestart.co.uk/dormant-limitedcompany.html hal. 1). 19 A dormant company is one that doesn't trade and has no accounting transactions (Sumber: http://www.bytestart.co.uk/dormant-limitedcompany.html hal. 2).
5
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
E. PENGECUALIAN KEWAJIBAN BERDASARKAN
F. KONSEKUENSI DARI INACTIVE/DORMANT BV
UKURAN BESAR KEGIATAN USAHA DARI BADAN HUKUM
Memperhatikan ketentuan mengenai persyaratan pembubaran BV sebagaimana diuraikan pada butir
1. Ketentuan persyaratan laporan tahunan (annual
C.3. di atas dapat dikemukakan bahwa:
account) diatur dalam Buku 2 Titel 9 BW. Di dalam
1. sepanjang: (i) pemegang saham atau pihak yang
Bagian (Section) 2.9.11 diatur mengenai kategori
paling berkepentingan dengan suatu perusahaan
perusahaan Micro, Small, dan Medium Size yang
tertutup (BV) yang dormant tidak menyepakati
dapat menggunakan ketentuan pengecualian
pembubaran, (ii) peristiwa yang menurut anggaran
dari kewajiban mengumumkan laporan tahunan
dasar BV tidak pernah terjadi, atau (iii) tidak pernah
(annual account). Tentang standar akuntasi
putusan pailit terhadap BV, BV akan tetap eksis.
termasuk kategori perusahaan yang dapat
2. walaupun suatu BV dalam kenyataannya sudah
memanfaatkan pengecualian dimaksud dijelaskan
tidak melakukan kegiatan perdagangan dan tidak
dalam Authoritative and Interpretative Accounting
mempunyai transaksi keuangan (accounting
Standards yang dikeluarkan Dutch Accounting
transaction) yang signifikan namun jika terkait BV
Standard Board (DASB).
yang bersangkutan tidak ada tindakan/peristiwa yang dapat mengakibatkan pembubaran BV
2. Satu kantor konsultan di Belanda yang bernama
sebagaimana dimaksud pada angka 1 maka BV
Y. Economides & Co LLC Advocates & Legal
dimaksud tetap dapat eksis sebagai BV sepanjang
Consultant dalam publikasinya menyatakan bahwa
BV tersebut memenuhi kewajiban pelaporan
suatu perusahaan yang melakukan kegiatan
keuangan tahunan dan administrasi seperti
perdagangan maupun yang tidak melakukan
perpajakan dan kepengurusan kepada otoritas
kegiatan perdagangan wajib menyampaikan
yang berwenang.
laporan keuangan kepada Kantor Perdagangan. Suatu perusahaan tertutup dapat meminta pengecualian dari audit karena merupakan
G. KONDISI YANG HARUS DIPENUHI AGAR SUATU DORMANT BV TIDAK DIBUBARKAN
“dormant company” jika perusahaan tersebut tidak menjalankan kegiatan selama 1 (satu) tahun
1. Mengacu pada ketentuan syarat pembubaran BV
dan sepanjang memenuhi kriteria tertentu.20
dalam Pasal 2:19a BW yang diuraikan di atas,
Kelalaian menyampaikan laporan keuangan secara
secara a contrario dapat diartikan bahwa suatu
tepat waktu merupakan pelanggaran pidana.
BV tidak dapat dibubarkan sekalipun dalam
Di samping itu, terdapat ketentuan sanksi denda
kenyataannya BV tidak lagi melakukan kegiatan
akibat kelalaian menyampaikan laporan keuangan.
usaha (dormant) apabila: a. dalam jangka waktu minimal 1 (satu) tahun
3. Apabila perusahaan tidak menyampaikan laporan
nama direktur BV tercantum dalam Daftar
tahunan, Kantor Pendaftaran Perdagangan dapat
Perdagangan di Kamar Dagang, termasuk
beranggapan bahwa perusahaan tersebut tidak
adanya laporan pendaftaran direktur BV di
lagi menjalankan kegiatan atau berjalan dan
Kamar Dagang; atau jika direktur terdaftar,
selanjutnya melakukan langkah untuk
direktur masih hidup atau direktur diketahui
mengeluarkannya dari daftar Perusahaan.21
keberadaannya selama 1 (satu) tahun di alamat yang tercantum saat pendaftaran Kamar
20 Y. Economides & Co LLC Advocates & Legal Consultant (Sumber: http://www.ecolaw.com.cy/corporative-service/netherland/ hal. 2). 21 Y. Economides & Co LLC Advocates & Legal Consultant hal. 1.
6
Dagang atau di alamat di Personal Records Data Base;
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
b. selama 1 (satu) tahun BV melaksanakan
H. HAL YANG PERLU DILAKUKAN/DIPERHATIKAN
kewajiban mengumumkan laporan keuangan
DALAM RANGKA PENERAPAN KETENTUAN BW
tahunan atau neraca keuangan sebagaimana
TERKAIT KELANGSUNGAN PERUSAHAAN
dimaksud dalam Pasal 2:394, Pasal 2:396 atau
INACTIVE/DORMANT DI BELANDA
Pasal 2:397 BW. Pasal 2:394 antara lain mengatur kewajiban mengumumkan laporan
Memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana
keuangan tahunan dalam bahasa Belanda jika
disebutkan di atas, apabila suatu perusahaan tertutup
Laporan keuangan dimaksud belum disusun
(BV) yang masih aktif hendak dipertahankan walaupun
dalam bahasa Perancis, Jerman, atau Inggris.
tidak lagi melakukan kegiatan usaha atau transaksi
Pengumuman dimaksud dilakukan dengan
keuangan yang signifikan maka perlu diperhatikan
memasukkan laporan keuangan tahunan
hal-hal sebagai berikut:
dimaksud dalam Daftar Perdagangan yang
1. Perlu dipastikan bahwa tujuan (tugas) BV yang
dikelola Kamar Dagang. Sedangkan Pasal 2:396
bersangkutan masih ada yang perlu dilaksanakan
dan Pasal 2:397 BW mengatur penyusunan
(vide Pasal 2:177 BW jo. anggaran dasar BV).
laporan keuangan bagi bidang usaha dalam
2. Perlu dipastikan bahwa aset BV yang bersangkutan
ketegori industri kecil dan menengah; dan c. dalam 1 (satu) tahun BV menanggapi surat pemberitahuan resmi dari otoritas pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3)
masih ada dan cukup dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan tercapai (vide Pasal 2:185 BW). 3. Pengumuman laporan tahunan atau kegiatan
UU Umum Perpajakan Negara, dalam hal ini
administrasi lain masih dilakukan pengurus BV.
untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan
4. Apabila BV masih memiliki tujuan (tugas) yang
Tahunan (SPT) atas pajak badan.22
masih harus dilakukan dan memiliki aset yang cukup dalam rangka melaksanakan tujuan (tugas)
2. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 2:185 BW
dimaksud maka walaupun BV tidak melakukan
sebagaimana dijelaskan di atas, dapat diartikan
kegiatan perdagangan dan tidak mempunyai
secara a contrario bahwa Kantor Kejaksaan tidak
transaksi akunting (dormant), Kantor Jaksa
dapat mengajukan pembubaran BV kepada
Penuntut Umum tidak mempunyai dasar hukum
Pengadilan Negeri, apabila BV memenuhi hal-hal
untuk meminta pembubaran BV berdasarkan
sebagai berikut:
ketentuan pembubaran dalam Pasal 2:184 BW.
a. BV mempunyai aset yang cukup untuk dapat mencapai targetnya;
5. Dalam hal BV masih dijalankan oleh pengurus yang jelas dan pengurus yang bersangkutan tetap
b. Untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, BV
menjalankan kewajiban pelaporan sebagaimana
masih menjalankan kegiatan sesuai ketentuan.
dimaksud dalam Pasal 2:19 BW, Kamar Dagang tidak mempunyai dasar/alasan (bukti) untuk membubarkan.
22 Pasal 9 General Act pertaining to national taxes [Version in force since April 1st, 2002] 1. For those taxes which under the Tax Legislation are levied by means of a tax assessment the tax return shall be submitted to the Inspector within a term, to be set down by him, of at least one month from the invitation to submit tax returns. 2. The Inspector is authorised to extend the term for submission set down by him. He is authorised to set conditions to the extension which may include that data for the imposition of a provisional tax assessment should be submitted after the expiry of a certain date to be set down by him in a fashion prescribed by ministerial decree. 3. The Inspector is not authorised to exhort the taxpayer to submit a tax return any sooner than before the term referred to in Paragraph 1, Paragraph 2 respectively of this Section. Sumber: http://download.belastingdienst.nl/itd/beleid/awr0503.pdf.
I. PENUTUP 1. BV merupakan salah satu badan hukum yang dapat digunakan oleh pihak yang ingin menjalankan bisnis di Belanda. Kegiatan operasional suatu BV, selain mengacu pada ketentuan dalam BW dan ketentuan lainnya, juga mengacu kepada ketentuan yang telah diatur dalam anggaran dasar.
7
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
2. Sepanjang BV memenuhi ketentuan yang berlaku untuk BV, antara lain: masih melaksanakan tujuan (tugas); masih memiliki aset yang cukup; masih mengumumkan laporan tahunan maka BV dapat tetap eksis..
8
1. Peraturan Dutch Civil Code. General Act pertaining to national taxes [Version in force since April 1st, 2002] 2. Artikel Lars van Vliet, The Netherlands-New Developments in Dutch Company Law: The “Flexible” Close Corporation, Journal of Civel Law Studies, Volume 7, Issu 1 - Article 8, 29 Oktober 2014. Tax Consultant International - How to Incorporate a BV in the Netherland. KPMJ, Setting Up A Busines, 2016. PWC, Setting up a business, 2016. KPMG, Investment in the Netherland/Exit matters. 3. Internet http://reports.weforum.org/global-competitiveness-report-2015-2016/competitiveness-rankings/. https://www.wbs-law.de/eng/doing-business-germany/types-company/types-german-company/. http://www.usa-corporate.com/starting-a-new-business-in-the-us/types-of-business-entities-comparison/learn-aboutlimited-liability-companies-llc/. http://www.investopedia.com/terms/l/limited_company.asp. https://www.kvk.nl/english/business-register/. https://www.government.nl/topics/identification-documents/contents/the-municipal-personal-records-database. http://www.bytestart.co.uk/dormant-limited-company.html. http://www.formacompany.com/en/corporate-administration/dormant-company.php. http://www.bytestart.co.uk/dormant-limited-company.html. http://www.ecolaw.com.cy/corporative-service/netherland/. http://download.belastingdienst.nl/itd/beleid/awr0503.pdf.
9
10
Disusun oleh: Amy Rachmi Budiati, Doharman Sidabalok, dan Chandra Herwibowo1
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstract: The use of ISDA Master Agreement in doing Over The Counter (OTC) derivative transaction is increasing with the growth of the world economy. On the other hand, the use of ISDA Master Agreement's principle particularly early termination principle that can be accompanied by close-out netting in OTC derivatives transactions in Indonesia raises questions whether it could be in accordance with the prevailing law on bankruptcy in Indonesia viz the Indonesian Civil Code and Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy & Suspension of Debt Payment Obligation. Related to OTC derivative transactions in Indonesia, there were several civil cases involving bank and its customers. Result of study on early termination and close-out netting caused by bankruptcy shows that they don't contravene with provisions of the debt compensation according to the Indonesian Civil Code. However, when it is linked with the Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy & Suspension of Debt Payment Obligation, the impelementation of the principle of early termination and close-out netting based on ISDA Master Agreement's may be applied prior to bankruptcy decision. However, should it is realized after bankruptcy verdict from the court, it will contradict with Law No.37 of 2004 on Bankruptcy & Suspension of Debt Payment Obligation. Keywords: ISDA Master Agreement, Close-out netting, Kepailitan, Transaksi Derivatif. Abstrak: Seiring perkembangan transaksi derivatif yang semakin meningkat sebagai dampak perekonomian dunia yang berkembang, penggunaaan ISDA Master Agreement dalam perjanjian derivatif tidak dapat dihindari. Pada sisi lain, penggunaan ISDA Master Agreement yang memuat prinsip early termination yang dapat disertai dengan close-out netting dalam transaksi bisnis derivatif OTC di Indonesia menimbulkan pertanyaan bila dihubungkan dengan ketentuan kepailitan di Indonesia (KUHPerdata dan UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang). Dalam praktek transaksi derivatif OTC di Indonesia, telah terjadi beberapa kasus yang melibatkan pihak bank dengan nasabahnya. Berdasarkan hasil kajian early termination dan close-out netting akibat kepailitan tidak bertentangan dengan ketentuan perjumpaan utang/kompensasi menurut KUHPerdata. Namun demikian, bila dihubungkan dengan UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, prinsip close-out netting dapat diterapkan sebelum adanya putusan pailit namun prinsip ini tidak dapat diterapkan apabila dilakukan setelah adanya putusan pailit.
1
Peneliti di Departemen Hukum Bank Indonesia
11
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
tentang Transaksi Derivatif.3 Ketentuan ini kemudian
A. PENDAHULUAN
dicabut dengan PBI No.7/31/PBI/2005 tanggal 13 Pada beberapa dekade belakangan ini, kemajuan
September 2005 tentang Transaksi Derivatif. Sampai
yang sangat cepat dalam pasar keuangan global
kajian ini disampaikan, pengaturan terakhir terkait
berdampak sangat besar pada aktivitas lembaga
transaksi derivatif dari Bank Indonesia adalah:
perbankan dan keuangan. Kemajuan tersebut antara
(i) PBI No.18/18/PBI/2016 tanggal 5 September 2016
lain ditandai dengan adanya beberapa inovasi aktivitas
tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
atau produk perbankan dewasa ini. Di antara adalah
Antara Bank Dengan Pihak Domestik; dan
produk
derivatif.2
(ii) PBI No.18/19/PBI/2016 tanggal 5 September 2016 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah
Walaupun transaksi keuangan khususnya transaksi
antara Bank dengan Pihak Asing.
derivatif OTC berkembang dan mengikuti inovasi khususnya di bidang teknologi, tetapi perkembangan
Ketentuan ini mengatur bagaimana bank melakukan
tersebut tidak otomatis diikuti pengaturan yang sesuai
transaksi devisa, termasuk jenis transaksi maupun
perkembangan yang terjadi. Akibatnya, transaksi
hubungan dengan nasabah bank.
derivatif OTC yang dilakukan sangat rentan dengan risiko.
Sebagaimana praktek transaksi derivatif yang bersifat internasional, transaksi derivatif di Indonesia sebagian
Seiring dengan berkembangnya transaksi derivatif,
besar telah menggunakan klausul perjanjian sesuai
para pelaku transaksi derivatif (pialang/dealer) yang
ISDA Master Agreement. Walaupun dalam praktek di
terlibat dalam bisnis tersebut mulai melakukan upaya
Indonesia, transaksi derivatif OTC telah menggunakan
standarisasi istilah yang semakin banyak digunakan
standar ISDA, dalam dua dekade terakhir beberapa
termasuk untuk menyederhanakan dokumen transaksi
sengketa perdata mengenai transaksi derivatif timbul
derivatif. Pada tahun 1985 para pelaku transaksi
dan diajukan ke pengadilan. Sengketa transaksi
derivatif swap mendirikan suatu perkumpulan yang
derivatif yang melibatkan bank di Indonesia antara
disebut International Swap Dealers Association, Inc
lain: (i) perkara Panin Bank vs. PT Matahari Pusakatama;
(ISDA) di New York. Tujuannya terutama untuk
(ii) perkara PT Permata Hijau Sawit vs. Citibank NA;
mendorong bisnis transaksi derivatif OTC yang sedang
(iii) perkara PT Nubika Jaya vs. Standard Chartered
berkembang masa itu dilaksanakan secara hati-hati
Bank; (iv) Perkara PT Toba Surimi Industries vs. HSBC;
dan efisien. Oleh karena bagi banyak pihak transaksi
(v) perkara PT Surya Mas Duta Makmur vs. Bank
derivatif cukup rumit, pelakunya banyak menggunakan
Niaga; dan (vi) perkara PT Kalbe Parma vs. JP Morgan.4
format acuan yang dibuat ISDA untuk membuat
Pada dasarnya perkara tersebut terjadi karena pihak
kontrak transaksi derivatif.
perusahaan sebagai nasabah bank tidak dapat memenuhi perjanjian penyediaan valuta asing yang
Terkait kewenangan pengaturan transaksi derivatif
telah diperjanjikan dengan bank. Berbagai perkara
di Indonesia, Bank Indonesia pada tahun 1995
transaksi derivatif di atas merupakan indikasi bahwa
mengeluarkan ketentuan transaksi derivatif yakni Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.28/119/KEP/DIR tanggal 29 Desember 1995
2
Dian Ediana Rae, Transaksi Derivatif dan Masalah Regulasi Ekonomi di Indonesia, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia Jakarta, hal. 2.
12
3
Sebelum Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.28/119/KEP/DIR tanggal 29 Desember 1995 dikeluarkan, Bank Indonesia pernah mengeluarkan ketentuan terkait transaksi jual beli valuta asing yaitu dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.23/74/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Margin Trading.
4
O. C. Kaligis, Aspek Hukum Transaksi Derivatif di Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 15 - 30.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
kebebasan para pihak melakukan perjanjian transaksi
there is no agreement as to which financial, commercial
derivatif OTC tidak dapat dibiarkan begitu saja, namun
or hybrid financial/commercial contracts constitute
memerlukan pengaturan yang lebih baik ke depan.
derivatives”. Seorang senior counsel di ISDA bernama
Yang tidak kalah penting bahwa pengaturan tentang
Jacqualine M. L. Low mengartikan derivatif sebagai
perjanjian transaksi derivatif OTC di Indonesia wajib
perjanjian untuk mengalihkan risiko. Nilainya
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
diturunkan dari aset yang mendasarinya. Aset yang
khususnya di bidang hukum kepailitan. Hal ini perlu
mendasari dapat berupa nilai tukar, tingkat suku
mendapat perhatian karena beberapa hal yang lazim
bunga, surat berharga dari perusahaan, saham atau
disepakati dalam perjanjian transaksi derivatif OTC,
indeks, komoditi, atau aset lainya yang mempunyai
seperti perjumpaan hutang (close-out netting)
nilai pasar atau tingkat yang ditetapkan secara
berkaitan dengan mekanisme penyelesaian utang
independen dan kombinasi dari satu atau lebih dari
jika terjadi kepailitan sesuai UU No.24 Tahun 2004
aset tersebut.6
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan & PKPU) yang
Menurut Dictionary of Banking Terms “derivative”
antara lain dilakukan dengan perjumpaan utang.
adalah “financial contract whose value is determined from publicly traded securities, interest rates, currency
Untuk memudahkan para pelaku transaksi derivatif
exchange rates, or market indexes”.7 Sedangkan
melakukan perjanjian dan untuk keseragaman
menurut Black's Law Dictionary, “derivative” berarti
peristilahan yang digunakan, perlu disediakan suatu
“a volatile financial instrument whose value depends
standar perjanjian yang mengacu pada ISDA Master
on or derived from the performance of a secondary
Agreement. Namun, jika prinsip ISDA Master
source such as an underlying bond, currency, or
Agreement dituangkan dalam standar kontrak
commodity”.8 Menurut PBI No.7/31/PBI/2005 tentang
transaksi derivatif OTC di Indonesia, timbul pertanyaan:
Transaksi Derivatif sebagaimana diubah terakhir
a. Apakah hal tersebut sesuai ketentuan KUHPerdata
dengan PBI No.10/38/PBI/2008, transaksi derivatif
mengenai perjumpaan utang/kompensasi?
adalah transaksi yang didasari kontrak atau perjanjian
b. Apakah hal tersebut dapat diterapkan jika ditinjau
pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari
dari ketentuan dalam UU Kepailitan & PKPU?
nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang
B. PENGERTIAN TRANSAKSI DERIVATIF
diikuti pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen, namun tidak termasuk derivatif kredit.
Derivatif berasal dari kata “derivative”. Derivatif biasa digunakan sebagai upaya lindung nilai. Mengenai
Dari berbagai pengertian dalam literatur, menurut
pengertian derivatif, tidak ada satu definisi yang
pakar, dan dalam ketentuan tersebut di atas dapat
diterima seluruh pelaku transaksi derivatif maupun
dikemukakan bahwa transaksi derivatif mengandung
para pakar di bidang tersebut. Seorang penulis
unsur: (i) instrumen keuangan; (ii) instrumen untuk
bernama Saul S.
Cohen5
dalam artikel berjudul “The
memperdagangkan risiko; (iii) turunan dari nilai
Challenge of Derivatives” menulis bahwa “It is commonly remarked that there is no generally accepted meaning to the term derivative. To repeat:
5
Anggota New York Bar, Adjunct Professor, Broker-Dealer Regulation and Investment Banking, Fordham University School of Law. A.B. 1957, Columbia University; LL.B. 1960, Yale University School of Law.
6
Jacqueline M.L., Seniour Counsel Asia, International Swaps and Derivatives Association, Inc, (ISDA), Manfaat, Resiko dan Jenis-Jenis Transaksi Derivatif, Moderator: M. Arie Armand, Partner DNC Law Firm - Notulensi Seminar Hukum Online - Peradi, Hitam-Putih Transaksi Derivatif: Anatomi Kontrak dan Peta Sengketa, Hotel Nikko, 12 Agustus 2009.
7
Thomas Fitch, Dictionary of Banking Terms, Third Edition, hal. 143.
8
Bryan A. Garner, Black's Law Dictionary, Pocket Edition, hal. 185.
13
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
instrumen yang mendasari; (iv) instrumen keuangan
belah pihak merupakan satu perjanjian (form a
yang dapat diikuti dengan atau tanpa pergerakan
single agreement). Yang dimaksud dengan
dana; dan (v) suatu kontrak. Dari definisi transaksi
Schedule adalah bagian dari perjanjian (ISDA
dan unsur tersebut, transaksi derivatif merupakan
Master Agreement) yang merupakan lampiran
suatu perjanjian antara dua pihak yang disebut
yang tidak terpisahkan dari Master Agreement
sebagai counterparties (pihak yang saling
yang dapat diisi dan dilengkapi pelaku transaksi.
berhubungan) mengenai transaksi keuangan untuk
Schedule atau lampiran berisi ketentuan atau
memperdagangkan risiko yang mungkin timbul akibat
syarat tambahan dan atau ketentuan yang
dari transaksi yang mendasari yang penyelesaiannya
mengenyampingkan atau mengkhususkan diri
dapat diikuti dengan atau tanpa pergerakan dana.
dari Master Agreement. Sedangkan Confirmation adalah bagian dari perjanjian (ISDA Master
C. BEBERAPA HAL PENTING DALAM ISDA MASTER AGREEMENT
Agreement) yang mengatur ketentuan yang dimaksudkan untuk mengakomodasi keperluan tertentu yang bersifat komersial dalam suatu
1. Pengertian dan Cakupan ISDA Master
transaksi derivatif yang dilakukan oleh para pelaku
Agreement
transaksi dimaksud.
Dalam praktek, suatu perjanjian induk atau model
Tiga pilar yang termuat dalam ISDA Master
perjanjian disediakan oleh pihak yang mampu
Agreement adalah:
memahami keseluruhan hal yang terkait dengan
-
Master Agreement dan Confirmation dianggap
substansi yang akan diperjanjikan. Hal tersebut
sebagai satu kesatuan perjanjian dan ini
sejalan dengan penjelasan tentang ISDA Master
berlaku untuk setiap transaksi derivatif OTC
Agreement dari Deutsche Borse Group dalam White Paper berjudul The Global Derivatives
(Single Agreement); -
Master Agreement dan Confirmation memuat
Market - An Introduction yang menyatakan
prasyarat pelaksanaan pembayaran atau
bahwa: ”Model agreement for OTC derivatives
kewajiban dari salah satu pihak seperti events
transactions developed by market participants led
of default atau potensial events of default
by International Swaps and Derivatives Associations (ISDA)” yang jika diartikan secara bebas: “ISDA
(Flawed Asset/Conditionality); -
Penyelesaian kewajiban atas transaksi derivatif
Master Agreement adalah perjanjian model untuk
(pembayaran) apabila salah satu pihak
transaksi derivatif OTC yang dibangun oleh para
wanprestasi dan/atau terjadi peristiwa
pelaku pasar di bawah panduan ISDA”.9
pengakhiran perjanjian lainnya (Close-out netting).
ISDA Master Agreement terdiri dari: (i) Master Agreement; (ii) Schedule; (iii) Credit Support
Dengan 3 (tiga) pilar ISDA Master Agreement
Annexes dan Annexes lainnya (jika ada) serta
tersebut, ISDA berupaya untuk: (i) memberikan
Confirmation atau Suplemental Confirmation.
kepastian bahwa pihak yang tidak wanprestasi
ISDA Master Agreement (termasuk Schedule,
dalam suatu transaksi derivatif dapat mengakhiri
Credit Support Annexes, dan Annexes, jika ada)
transaksi derivatif yang disepakatinya walaupun
bersama dengan setiap Confirmation atau
perjanjiannya belum berakhir; (ii) menentukan
Supplemental Confirmation; yang disepakati dua
nilai dari transaksi yang akan diakhiri; dan (iii) melakukan perjumpaan utang guna menghasilkan net value baik berupa piutang maupun utang.
9
Deuthsche Borse Group, hal. 37.
14
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Close-out netting penting karena hal tersebut
(netting) dalam ISDA Master Agreement terdiri
memungkinkan pengakhiran transaksi dagang
dari 2 (dua) bentuk. Pertama, payment netting
dilakukan secara sepihak dalam hal suatu
yaitu perjumpaan pembayaran dari beberapa
kebangkrutan atau pailit terjadi. Close-out netting
perusahaan yang solvent yang terjadi selama bisnis
merupakan penggantian kedudukan dari seseorang
berjalan normal, dan mencakup penggabungan
dengan suatu jumlah baru, yang biasanya disebut
dari kewajiban melakukan set-off arus kas antara
sebagai jumlah akhir (termination value) yang
dua pihak pada suatu saat dan mata uang tertentu
ditetapkan dengan mempertimbangkan harga
ke dalam satu nilai yang akan dibayarkan atau
pasar. Harga pasar yang dimaksudkan di sini
diterima. Payment netting pada dasarnya sama
kemudian dikonversi ke dalam satu mata uang
dengan set-off. Kedua adalah close-out netting
dan terjadilah nilai terakhir. Suatu pembayaran
yang dapat diterapkan pada transaksi yang
bersih (net payment) kemudian dibuat dalam
dilakukan perusahaan yang wanprestasi dan yang
tahap ini. Berdasarkan master agreement, pihak
tidak wanprestasi. Close-out netting adalah suatu
yang tidak lagi mempunyai uang (pailit) dapat
mekanisme perjanjian yang memungkinkan
diwajibkan membayar nilai bersih kepada pihak
transaksi dagang dapat diakhiri secara sepihak
dalam uang tersebut.10 Close-out netting biasanya
dalam hal suatu kebangkrutan atau pailit terjadi.
diterapkan dalam hal terjadi default atau pengakhiran dari transaksi lain di luar keadaan bisnis normal. Jika satu pihak pailit atau wanprestasi terhadap kewajibannya, ketentuan close-out
Gambar 1 Skema Close-out netting Berdasarkan Pasal 6 ISDA Master Agreement 200212
netting memperbolehkan pihak yang berpiutang untuk mempercepat dan mengakhiri seluruh
Jika close-out netting dapat diterapkan
transaksi yang masih belum dilaksanakan dan
Transaction 1=$ 1,000
menetapkan satu nilai marked-to-market agar jumlah yang akan diterima dari, atau yang akan
Non Defaulting party
Defaulting party
dibayarkan oleh, pihak yang tidak pailit menjadi satu.
Transaction 2 = $800 Net payment = $200
2. Netting dan Close-out netting dalam ISDA Master Agreement Netting (perjumpaan) pembayaran dapat diartikan
Jika close-out netting tidak dapat diterapkan Pay $ 1,000 Non Defaulting party
Defaulting party
sebagai penghentian atau pengakhiran kewajiban yang bersifat timbal balik, yang dilanjutkan dengan
Recovery ≤ $800
penilaian kewajiban yang diakhiri dan penggantian dengan kewajiban pembayaran.11 Perjumpaan Gambar di atas mengilustrasikan bagaimana netting dilaksanakan. Pihak yang pailit dan yang tidak pailit terlibat dalam 2 (dua) transaksi yang 10 ISDA, Netting and Offsetting: Reporting Derivatives under U.S. GAAP and Under IFRS, hal. 11. 11 ISDA, Netting and Offsetting: Reporting Derivatives under U.S. GAAP and Under IFRS, hal. 10. Di dalam artikel ini ditulis bahwa: “Netting is, therefore, the termination or cancellation of reciprocal obligations, the valuation of terminated obligations and its replacement by a single payment obligation.”.
dapat dipertukarkan (swap transactions). Bagi pihak yang tidak pailit, transaksi ke-1 mempunyai
12 ISDA Research Notes, Number 1, 2010, hal. 3.
15
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
biaya penggantian negatif $1,000, sementara
Inggris dan Amerika Serikat. Akibatnya, pihak
dalam transaksi ke-2 yang bersangkutan memiliki
yang melakukan transaksi keuangan pada masa
biaya penggantian positif yaitu $800. Jika close-
itu cenderung memilih hukum Inggris dan Amerika
out netting diterapkan, pihak yang tidak pailit
Serikat sebagai governing law dalam perjanjian
wajib membayar selisih bersih sebesar $200 kepada
dalam kegiatan ekonomi. Hal demikian
pihak yang pailit. Jika nilai akhir lebih besar
berkembang dan berlaku sampai saat ini.
(menguntungkan) bagi pihak yang tidak pailit, pihak yang tidak pailit tersebut kemudian akan
Mengenai kemungkinan penggunaan governing
menjadi kreditor umum kepada pihak yang pailit
law di luar hukum Inggris dan hukum New York
sebesar kewajiban bersih tersebut. Jika close-out
dalam perjanjian transaksi derivatif sesuai dengan
netting tidak dapat diterapkan, pihak yang tidak
prinsip dalam Hukum Perdata Internasional yaitu
pailit wajib segera membayar $1,000 kepada pihak
bahwa pilihan hukum adalah kebebasan para
yang pailit tetapi selanjutnya pihak yang tidak
pihak untuk memilih hukum yang akan mengatur
pailit tersebut wajib menunggu dan kemungkinan
hubungan hukum yang disepakati. Pilihan hukum
memerlukan waktu lama untuk memperoleh
ini perlu dalam hal pihak yang berjanji merupakan
sejumlah tertentu dari nilai $800 dari nilai kotor
warga dari negara yang berbeda. Dalam hal
yang diperolehnya dalam proses kepailitan.
demikian, para pihak mempunyai hak untuk menentukan sendiri hukum yang akan mengatur
3. Governing Law dan Jurisdiction dalam ISDA
hubungan hukum yang dilakukan dengan
Master Agreement
memperhatikan pembatasan yang berlaku.
ISDA Master Agreement didesain untuk
Secara teori, pilihan hukum dianggap telah
dilaksanakan berdasarkan hukum Negara Bagian
dilaksanakan dengan cara: (i) para pihak
New York Amerika Serikat atau hukum Inggris.13
melakukan pilihan hukum dengan tegas; (ii) para
Jurisdiksi hukum ini menjadi pilihan karena
pihak melakukan pilihan hukum diam-diam; (iii)
keduanya dianggap sistem hukum dagang paling
anggapan telah terjadi pilihan hukum; (iv) secara
matang dan mempunyai banyak ahli dalam
hipotesis. Pilihan hukum dengan tegas dilakukan
penanganan sengketa dagang
internasional.14
dengan membuat klausul perjanjian yang
Secara historis, hukum Inggris dan hukum New
menyatakan bahwa hubungan hukum yang
York juga dianggap memiliki kelebihan karena
disepakati diatur berdasarkan hukum negara
banyak kontrak finansial memilih kedua hukum
tertentu, misalnya dengan klausul: “this contract
tersebut sebagai governing law. Hal ini dapat
will be governed by the laws of the Republic of
dipahami karena pada abad 19 perdagangan
Indonesia”. Pilihan hukum diam-diam disimpulkan
dunia umumnya didominasi kekuatan ekonomi
dari tujuan atau maksud yang disepakati para pihak dan sikap para pihak dalam perjanjian. Pilihan hukum berdasarkan anggapan didasarkan pada tindakan para pihak dalam suatu perjanjian
13 Field Fisher Waterhouse, Commentary on the ISDA Master AgreementFebruary 2008, hal. 14. 14 Bernadette Muscat, OTC Derivatives: Salient Practices And Developments Relating to Standard Market Documentation, halaman 37. Di dalam artikel ini Bernadette menulis: “The governing law of the ISDA master agreement is either English law or New York law, which is probably the case because, in the words of Professor Hudson, “(these jurisdiction) are considered to have the most mature systems of coomercial law (and) .... there is unparalleled judicial expertise in dealing with international commercial disputes.”
16
yang menimbulkan anggapan telah terjadi penundukan sukarela terhadap suatu sistem hukum. Sedangkan, pilihan hukum hipostesis adalah pilihan hukum yang diambil hakim dengan mempertimbangkan situasi seandainya para pihak memikirkan tentang pilihan hukum.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Untuk mengantisipasi timbulnya permasalahan
Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio18, pailit
hukum antara pihak yang melakukan perjanjian
adalah keadaaan dimana seorang debitor telah
transaksi derivatif OTC, ISDA juga telah
berhenti membayar utangnya. Setelah orang yang
merumuskan klausul terkait jurisdiksi penyelesaian
demikian, atas permintaan kreditor atau atas
perkara yang mungkin akan dipilih. Dalam ISDA
permintaan sendiri, dinyatakan pailit oleh
Master Agreement 2002, penundukan kepada
pengadilan maka harta kekayaannya dikuasai
jurisdiksi di pengadilan di Inggris tidak eksklusif
oleh Balai Harta Peninggalan selaku curatrice
jika proses beracara tidak menyebutkan suatu
(pengampu) dalam urusan kepailitan untuk
Convention Court dan menjadi eksklusif di
dimanfaatkan bagi semua kreditor.
pengadilan di Inggris apabila proses beracara menyebutkan satu Convention Court. Tentang
Terminologi kepailitan sering dipahami tidak tepat
kemungkinan para pihak pengguna ISDA Master
oleh kalangan umum. Sebagian menganggap
Agreement melakukan pilihan hukum sistem
kepailitan sebagai vonis berbau tindakan kriminal
hukum lain untuk mengatur transaksi derivatif
serta merupakan cacat hukum, karena itu
yang dilakukan, hal tersebut dimungkinkan.
kepailitan harus dihindari sebisa mungkin.
Namun demikian, hal tersebut disarankan
Kepailitan kadang-kadang secara apriori dianggap
sebaiknya tidak diterima tanpa pertimbangan
sebagai kegagalan akibat kesalahan debitor dalam
yang hati-hati dan saran yang
detail.15
menjalankan usaha sehingga utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering
D. UU KEPAILITAN & PKPU SERTA KAITANNYA DENGAN PILAR ISDA MASTER AGREEMENT
diidentikkan sebagai pengemplangan utang atau penggelapan hak kreditor. Kepailitan mempengaruhi “credietwaardigheid”19-nya dalam
1. Kepailitan
arti merugikannya, karena akan tidak mudah
Secara etimologi kepailitan berasal dari kata pailit.
mendapatkan kredit.20
Kata kunci dalam kepailitan adalah utang. Utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih wajib
Dalam KUHPerdata terdapat 2 (dua) ketentuan
dibayar. Kepailitan dan utang seperti dua sisi mata
yang menjadi konsep dasar dari hukum kepailitan
uang yang tidak dapat
dipisah.16
Istilah pailit berasal
dari bahasa Belanda “faiyit” yang mempunyai arti
di Indonesia yaitu: (i) Pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi:
ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat.
“Segala kebendaan si berutang, baik yang
Istilah faiyit sendiri berasal dari bahasa Perancis
bergerak maupun yang tak bergerak, baik
“faillite” yang berarti pemogokan atau kemacetan
yang sudah ada maupun yang baru akan ada
pembayaran, sedangkan orang mogok dan
di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk
berhenti membayar dalam bahasa Perancis disebut
segala perikatan perseorangan.”;
Le Faili.17
15 Di dalam Comentary on the ISDA Master Agreement yang dipublikasi Field Fischer Waterhouse, hal. 14 ditegaskan bahwa: “In some instances counterparties may wish to apply other systems of law. This should not be accepted without very careful thought and detailed advise”. 16 Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, Tatanusa, Jakarta, hal. 3. 17 Ibid, hal. 4.
18 Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta Pradya Pramita, hal. 89. 19 Credietwaardigheid dalam pengertian “kelayakan kredit”. 20 Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982.
17
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
(ii) Pasal 1132 KUHPerdata yang berbunyi:
2) Dalam keadaan insolven atau tidak mampu
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan
membayar utang-utangnya atau gagal atau
bersama-sama bagi semua orang yang
mengakui secara tertulis ketidak-sanggupan
mengutangkan kepadanya; pendapatan
membayar utang-utangnya pada saat jatuh
penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
tempo;
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar
3) Melakukan pengalihan, pengaturan atau
kecilnya piutang masing-masing, kecuali
perdamaian umum dengan atau untuk
apabila di antara para berpiutang itu ada
keuntungan bagi kreditor-kreditor;
alasan-alasan sah untuk didahulukan”.
4) (a) Mengajukan atau telah dimohonkan terhadapnya oleh regulator, pengawas atau
Makna dari 2 (dua) ketentuan tersebut adalah
petugas sejenis lainnya yang memiliki
bahwa seluruh harta orang yang mempunyai
kewenangan untuk menangani keadaan
utang (debitor), baik yang ada maupun yang akan
insolvensi, merehabilitasi atau secara hukum
ada menjadi jaminan pelunasan utangnya. Harta
terhadap pihak tersebut di yurisdiksi tempat
debitor itu menjadi jaminan bersama bagi semua
pendiriannya atau organisasinya atau yurisdiksi
kreditor. Apabila debitor tidak dapat membayar
dari kantor pusat atau kantor induknya, suatu
utangnya maka debitor dapat dinyatakan pailit.
persidangan untuk mendapatkan putusan
Setelah debitor dinyatakan pailit, ditunjuk kurator
insolven atau pailit atau keringanan lain
yang bertugas menjual harta tersebut. Hasil
berdasarkan hukum kepailitan atau insolvensi
penjualan dibagikan oleh kurator kepada seluruh
atau hukum lain sejenis yang mempengaruhi
kreditor secara proporsional menurut jumlah
hak-hak dari kreditor, atau terdapat suatu
piutang masing-masing, kecuali bila di antara
permohonan untuk pembubaran atau likuidasi
para kreditor ada yang mempunyai hak
dari pihak tersebut atau dari regulator,
didahulukan yang bersumber dari hak istimewa.
pengawas atau petugas sejenis lainnya; atau
Kreditor ini mempunyai hak untuk didahulukan pembayarannya dari hasil penjualan aset.
(b) Telah diajukan terhadapnya suatu
Kemudian sisanya (bila ada) dibagikan secara
persidangan untuk mendapatkan putusan
proporsional kepada kreditor konkuren.
insolven atau pailit atau keringanan lainnya berdasarkan hukum kepailitan atau insolvensi
Dalam ISDA Master Agreement, kepailitan
atau hukum lain sejenis yang mempengaruhi
(bankruptcy) merupakan salah satu dari beberapa
hak-hak dari kreditor, atau diajukannya suatu
peristiwa pengakhiran perjanjian transaksi derivatif
permohonan untuk pembubaran atau likuidasi
OTC21.
dari pihak tersebut, dan persidangan atau
Dalam ISDA Master Agreement 2002 Pasal
5a(vii), kepailitan (bankruptcy) dijabarkan sebagai
permohonan tersebut dimulai atau diajukan
peristiwa yang mengakibatkan berakhirnya (events
oleh pihak atau badan yang tidak disebutkan
of default and termination) perjanjian derivatif
dalam ayat (A) di atas dan putusan (i)
OTC yaitu apabila suatu pihak, setiap pemberi
menghasilkan putusan insolvensi atau pailit
dukungan kredit atau subyek tertentu dari pihak
atau dikabulkannya permohonan keringanan
tersebut:
atau timbulnya perintah untuk pembubaran
1) Dibubarkan (selain karena alasan konsolidasi,
atau likuidasi atau (ii) tidak ditolak, dihentikan,
amalgamasi atau merger);
ditunda atau ditahan dalam setiap kasus dalam kurun waktu 15 hari dari dimulainya atau pengajuan tersebut;
21 ISDA Master Angreement 2002.
18
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
5) Memiliki putusan sah yang menyetujui pembubaran, perubahan manajemen atau
a. dilakukan dengan itikad baik; dan b. dilakukan terhadap transaksi yang sudah
likuidasi (selain oleh karena konsolidasi,
ada sebelum pernyataan pailit terhadap
amalgamasi atau merger); 6) Berusaha menunjuk atau menjadi subyek dari
debitor. Pengertian itikad baik dalam hal ini antara lain
penunjukan administrator, likuidator,
bahwa pada saat dilakukan transaksi yang
konservator/pengampu, kurator, trustee,
menimbulkan utang, kreditor tidak mengetahui
kustodian atau pejabat sejenis lainnya untuknya
bahwa dalam waktu dekat debitor akan
atau untuk seluruh atau sebagian besar dari
dinyatakan pailit. Namun, jika dalam kontrak
kekayaannya;
disebutkan dengan tegas bahwa kompensasi
7) Memiliki pihak dengan hak jaminan untuk
tidak boleh dilakukan, tentunya kompensasi
menguasai seluruh atau sebagian besar
tidak dapat dilakukan. Pengertian tersebut
kekayaan atau memiliki hak eksekusi, sita,
antara lain dilandasi pemikiran bahwa salah
pengasingan, atau proses hukum lainnya
satu prinsip dalam hukum pailit adalah bahwa
dibebankan, dilaksanakan atau dituntutkan
kepailitan tidak mengubah kontrak. Namun
kepada atau terhadap seluruh atau sebagian
demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU
besar dari kekayaannya dan pihak dengan
Kepailitan & PKPU yang berbunyi: “Setiap
hak jaminan tersebut mempertahankan
orang yang mempunyai utang atau piutang
penguasaannya, atau proses tersebut tidak
terhadap Debitor Pailit dapat memohon
ditolak, dihentikan, ditunda atau ditahan,
diadakan perjumpaan utang, apabila utang
untuk setiap kasus dalam kurun waktu 15
atau piutang tersebut diterbitkan sebelum
(enam belas) hari setelah terjadinya;
putusan pernyataan pailit diucapkan, atau
8) Menyebabkan atau tunduk pada keadaan
akibat perbuatan yang dilakukannya dengan
sehubungan dengannya yang, berdasarkan
Debitor Pailit sebelum putusan pernyataan
hukum yang berlaku dalam setiap yurisdiksi,
pailit diucapkan”, realisasi perjumpaan utang
memiliki akibat yang dapat dipersamakan
dimaksud tergantung pada
terhadap keadaan yang telah disebutkan dalam
keputusan/persetujuan kurator.
angka 1) sampai dengan angka 7) di atas; atau 9) Melakukan tindakan untuk melanjutkan, atau
b) Kontrak Timbal Balik Tidak Boleh
menunjukkan persetujuan terhadap atau
dilanjutkan23 Tanpa Persetujuan Kurator
kepada, atau penerimaan dalam, setiap
Terhadap kontrak timbal balik antara debitor
tindakan disebutkan di atas.
pailit dengan kreditor yang dibuat sebelum debitor pailit, dimana prestasi sebagian atau
2. Akibat Hukum dari Kepailitan
seluruhnya belum dipenuhi kedua belah pihak,
Adapun akibat-akibat yuridis dari putusan pailit
kreditor dapat meminta kepastian dari kurator
terhadap harta kekayaan debitor maupun terhadap
tentang kelanjutan pelaksanaan kontrak dan
debitor antara lain adalah sebagai berikut:
pelaksanaannya. Apabila kontrak dilanjutkan, kreditor dapat meminta kurator agar memberi
a) Boleh dilakukan
Kompensasi22
jaminan kesanggupan pelaksanaan kontrak
Kompensasi piutang (set off) sebagaimana
tersebut (vide Pasal 36 UU Kepailitan & PKPU).
disebut dalam Pasal 51 UU Kepailitan & PKPU
Jaminan bisa berbentuk bank garansi, personal
dapat saja dilakukan oleh kreditor asalkan:
garansi atau jaminan kebendaan.
22 Munir Fuadi S, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, hal. 61.
23 Ibid, hal. 63.
19 29
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
c) Berlaku Actio Pauliana
dilakukan setelah pernyataan pailit maka
Yang dimaksud dengan actio pauliana adalah
transaksi tersebut batal demi hukum dan pihak
suatu upaya hukum untuk membatalkan
kreditor dalam transaksi tersebut dapat
transaksi yang dilakukan debitor untuk
meminta ganti kerugian apabila ada alasan
kepentingan debitor tersebut yang dapat
untuk itu sebagai kreditor konkuren, demikian
merugikan kepentingan para kreditornya,
juga jika timbul kerugian bagi harta pailit.
misalnya menjual barang-barangnya, sehingga
Pihak dengan siapa debitor melakukan kontrak
barang tersebut tidak dapat lagi disita -
juga berkewajiban untuk mengganti kerugian
dijaminkan oleh pihak
kreditor.24
Dalam UU
harta pailit (vide Pasal 37 UU Kepailitan &
Kepailitan & PKPU, actio pauliana diatur dalam
PKPU).26 Pendapat tersebut didukung oleh
Pasal 41-47 UU Kepailitan & PKPU. Berbeda
Edward Manik.27 Substansi Pasal 37 tersebut
dengan actio pauliana dalam KUHPerdata25
mengatur aktivitas terkait transkasi derivatif.
yang diajukan oleh kreditor, actio pauliana
Pada beberapa literatur umumnya dikatakan
dalam kepailitan diajukan oleh kurator (vide
bahwa transaksi derivatif merupakan transaksi
Pasal 47 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU) dan
yang struktur dan nilainya didasarkan atau
kurator hanya dapat mengajukan actio pauliana
bergantung pada aset lain atau nilai aset lain
atas persetujuan hakim pengawas. Untuk
tersebut.
dapat mengajukan actio pauliana dalam kepailitan disyaratkan bahwa debitor dan pihak
e) Berlaku Ketentuan Pidana
dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan
Beberapa tindakan debitor atau direksi dan
dianggap mengetahui atau sepatutnya
komisaris dari perusahaan pailit atau
mengetahui bahwa perbuatan dimaksud
perusahaan yang akan pailit dapat dikenakan
mengakibatkan kerugian bagi kreditor.
pidana yang tergolong perbuatan pidana merugikan kreditor atau merugikan orang
d) Transaksi Forward Wajib Berhenti
yang mempunyai hak (vide Bab XXVI dari
Jika sebelum pernyataan pailit telah dilakukan
Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum
transaksi penyerahan barang ditangguhkan
Pidana/KUHP) sebagai tindakan tertentu yang
(forward transaction), dimana penyerahan
dapat merugikan kreditor, seperti peminjaman
barang oleh debitor sebelumnya akan
uang, pengalihan aset, membuat pengeluaran yang sebenarnya tidak ada, tidak membuat catatan yang diwajibkan, atau pada masa verifikasi piutang mengaku adanya piutang
24 Ibid, hal. 85. 25 Prinsip Actio Pauliana menurut KUHPerdata diatur dalam Pasal 1341 yang berbunyi: ”Meskipun demikian, tiap orang berpiutang boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh si berutang dengan nama apapun juga, yang merugikan orang-orang berpiutang, asal dibuktikan bahwa ketika perbuatan dilakukan, baik si berutang maupun orang dengan atau untuk siapa si berutang itu berbuat, mengetahui bahwa perbatan itu membawa akibat yang merugikan orang-orang berpiutang. Hak-hak yang diperolehnya dengan itikad baik oleh orangorang pihak ke tiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu dilindungi. Untuk mengajukan hal batalnya perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan Cuma-Cuma oleh si berutang, cukuplah si berpiutang membuktikan bahwa si berutang pada waktu melakukan perbuatan itu tahu, bahwa ia dengan berbuat demikian merugikan orang-orang yang mengutangkan padanya tak peduli apakah orang yang menerima keuntungan juga mengetahui atau tidak.”
20
yang sebenarnya tidak ada atau memperbesar jumlah piutang. Ancaman penjara terhadap tindak pidana tersebut tergantung pasal mana yang dilanggar, yaitu mulai dari ancaman pidana 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan penjara sampai dengan ancaman 7 (tujuh) tahun (vide Pasal 396 sampai dengan Pasal 405 KUHP).28
26 Op. cit, hal. 70. 27 Edward Manik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, CV Mandar Maju, Bandung. 28 Ibid, hal. 79.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
3. Penjumpaan Hutang (Kompensasi) dalam UU Kepailitan & PKPU
“memperjanjikannya” dan bahkan dipertegas lagi dengan kata-kata “bahkan tanpa sepengetahuan” orang-orang yang berhutang.31
Perjumpaan utang (kompensasi) atau set-off diatur
Yang menimbulkan pertanyaan adalah perkataan
dalam Pasal 1425 sampai dengan Pasal 1435
“demi hukum” karena menimbulkan dugaan
KUHPerdata. Pasal 1425 KUHPerdata menjelaskan:
seolah-olah perjumpaan atau kompensasi itu
“Jika dua orang saling berutang satu pada yang
terjadi secara otomatis, tanpa usaha dari pihak
lain, maka terjadilah antara mereka suatu
yang berkepentingan. Dalam hal ini pertanyaannya
perjumpaan, dengan mana utang-utang antara
adalah bagaimana hakim akan mengetahui
kedua orang tersebut dihapuskan, dengan cara
adanya utang piutang itu kalau tidak, paling
dan dalam hal-hal yang akan disebutkan sesudah
sedikit, diberitahu tentang itu oleh pihak yang
ini”.
bersangkutan? Lain dari itu, terkait perjumpaan utang terdapat suatu frasa yang dapat dimaknai
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, rumusan
“mengandung suatu tindakan/aktivitas dari pihak
Pasal tersebut dapat diartikan sebagai “kompensasi
yang berkepentingan” yaitu dari frasa yang
terjadi apabila dua orang saling berhutang pada
berbunyi “tak lagi diperbolehkan menggunakan
yang lain dengan mana hutang-hutang antara
suatu perjanjian yang sedianya dapat diajukannya
kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-
kepada si berpiutang” (vide Pasal 1431
undang ditentukan bahwa di antara mereka telah
KUHPerdata). Semua itu mendorong ke arah suatu
terjadi suatu perhitungan menghapuskan
pengertian bahwa perjumpaan atau kompensasi
perikatannya”29. Menurut J. Satrio30, inti dari Pasal
itu tidak terjadi secara otomatis tetapi harus
1425 KUHPerdata adalah “dua orang saling
diajukan atau diminta oleh pihak yang
berhutang dan mereka menyelesaikan pembayaran
berkepentingan.32
hutang mereka - yang satu terhadap yang lain dengan cara memperhitungkan hutang mereka
Pendapat terbaru terkait pengaturan perjumpaan
secara timbal balik. Dengan adanya kompensasi
utang (kompensasi) dalam Pasal 1426 KUHPerdata
maka perikatan yang dikompensir menjadi hapus
dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman
(vide Pasal 1381 KUHPerdata mengenai hapusnya
yaitu bahwa:
perikatan). Terkait dengan hal tersebut, Pasal 1426
“Mengenai terjadinya kompensasi utang demi
KUHPerdata mengatur bahwa “Perjumpaan terjadi
hukum terdapat doktrin sebagai berikut:
demi hukum, bahkan dengan tidak setahunya
1) Kompensasi terjadi otomatis karena hukum
orang-orang yang berutang dan kedua utang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya,
(van rechtwege); 2) Kompensasi tidak terjadi otomatis, tetapi
pada saat utang-utang itu bersama-sama ada,
diperlukan pernyataan kehendak dari para
bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama.”
pihak yang bersangkutan.
Menurut J. Satrio, yang dimaksud terjadi “demi
Doktrin yang kuat dan pada umumnya dianut
hukum” adalah “secara otomatis”, tanpa perlu
adalah bahwa kompensasi terjadi demi hukum
para pihak harus “menuntut” atau
secara otomatis. Perjumpaan terjadi demi hukum, bahkan dengan tidak setahunya orang yang
29 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung. 31 Ibid. hal. 89. 30 J. Satrio, Hukum Perikatan Tentang Hapusnya Perikatan Bagian 2, PT Citra Aditya Bakti Bandung, hal. 86.
32 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 72-73.
21
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
berutang, dan kedua utang itu yang satu
c. Netting of payments dan close-out netting
menghapuskan yang lain. Elemennya adalah: (i)
mungkin dilakukan berdasarkan hukum
utang-utang itu bersama-sama ada; (2) bertimbal
Indonesia. Namun demikian, mengingat belum
balik; (iii) untuk suatu jumlah yang
sama.33
ada ketentuan yang mengatur mengenai keberlakuan atas kegiatan dimaksud,
Pendapat dari Mariam Darus Badrulzaman tersebut
khususnya dalam transaksi derivatif, hal
didukung oleh Ricardo Simanjuntak yang pada
tersebut perlu dipertegas secara eksplisit dalam
pokoknya menyatakan:
Peraturan Bank Indonesia.
“Apabila terjadi dua pihak saling berhutang maka hak yang lahir untuk men-set off kewajiban adalah
UU Kepailitan & PKPU tidak mengatur mengenai
hak demi hukum bukan demi kontrak. Dasar
definisi dari perjumpaan utang. Namun dalam
hukumnya adalah Pasal 1426 KUHPerdata.
beberapa ketentuan dalam UU tersebut
Sehingga, meskipun kedua pihak yang saling
menyinggung beberapa kali tentang kemungkinan
berhutang tersebut tidak menyepakati untuk
perjumpaan utang dilakukan (vide Pasal 51, Pasal
melakukan set off namun hak untuk
52, dan Pasal 53). Apabila ketiga Pasal tersebut
memperjumpakan hutang dimaksud adalah hak
dicermati maka dapat dipahami bahwa dalam
demi hukum. Oleh karena itu kurator tidak dapat
proses kepailitan kompensasi piutang (set off)
menolak pengajuan perjumpaan hutang diajukan
dapat saja dilakukan oleh kreditor asalkan:
oleh para pihak apabila kesepakatan tersebut
a. dilakukan dengan itikad baik;
terbukti secara sah dilakukan dan tidak disengaja
b. dilakukan terhadap transaksi (utang-piutang)
dilakukan untuk merugikan kreditor lainnya”.34
yang sudah ada sebelum pernyataan pailit terhadap debitor.
Terkait pengaturan kompensasi/perjumpaan utang dalam KUHPerdata dalam diskusi antara
4. Kendala Penerapan Close-out netting
Departemen Hukum Bank Indonesia dengan
Berdasarkan UU Kepailitan & PKPU
pakar/praktisi hukum perdata yaitu Fred B. G.
Memperhatikan uraian mengenai netting dan
Tumbuan, Darmian Hartono, serta Paripurna P.
close-out netting (perjumpaan utang) yang telah
Sugarda, yang dilaksanakan pada tahun 2016
dikemukakan di atas, di bawah ini diuraikan
dikemukakan pokok-pokok sebagai berikut:
kendala dan kritik terhadap penerapan close-out
a. Pada dasarnya netting of payments dan close-
netting yang dapat mempengaruhi minat
out netting dapat dilaksanakan di Indonesia,
melakukan perjumpaan utang (close-out netting)
dan tidak bertentangan dengan pengaturan
dari segi hukum positif yang berlaku di Indonesia
Pasal 1427 KUHPerdata terkait perjumpaan
yaitu sebagai berikut.
utang; b. Ketentuan Pasal 1425 sampai dengan Pasal
a) Pasal 1426 KUHPerdata
1435 KUHPerdata tidak dapat dikesampingkan
Pasal 1426 KUHPerdata berbunyi: “Perjumpaan
karena substansinya yang bersifat memaksa
terjadi demi hukum, bahkan tanpa setahu
dan merupakan rules of the game;
debitor, dan kedua utang itu saling menghapuskan pada saat utang itu bersamasama ada, bertimbal balik untuk jumlah yang
33 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUHPerdata Buku Ketiga - Yurisprudensi, Doktrin, serta Penjelasan, PT Citra Adytia Bakti, 2015, Bandung hal. 182. 34 Ricardo Simanjuntak, Diskusi internal di Departemen Hukum pada tanggal 8 Juni 2016.
22
sama”. Tentang penerapan Pasal 1426 KUHPerdata, pakar hukum berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa perjumpaan dapat dilakukan langsung atau perjumpaan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
terjadi demi hukum. Di antara pakar yang
apakah akan melaksanakan atau tidak
masuk kelompok berpendapat seperti ini
melaksanakan perjanjian tersebut. Apabila
adalah Mariam Darus Badrulzaman dan Ricardo
suatu perjanjian perjumpaan utang sebelum
Simanjuntak. Tetapi ada juga pakar yang
pailit dinyatakan tidak dilaksanakan, posisi
berpendapat bahwa perjumpaan utang tidak
kreditor akan menjadi kreditor konkuren
dapat dilakukan langsung, melainkan harus
(kreditor biasa). Dalam proses kepailitan,
diajukan atau diminta lebih dahulu oleh pihak
kedudukan kurator sangat kuat karena dia
yang berkepentingan. Dalam kelompok ini
dapat memilih jenis perjanjian yang akan lebih
antara lain Subekti dan J. Satrio.
menguntungkan bagi pihaknya (cherry picking) (vide Pasal 16 UU Kepailitan & PKPU).
Sejalan dengan pendapat Mariam Darus Badrulzaman dan Ricardo Simanjuntak dalam
c) Pasal 37 UU Kepailitan & PKPU
kaitan antara kompensasi (perjumpaan utang)
Pasal 37 ayat 1 UU Kepailitan & PKPU berbunyi
dengan UU Kepailitan, Syamsudin M. Sinaga
bahwa:
berpendapat bahwa perjumpaan utang atau
“Apabila dalam perjanjian sebagaimana
kompensasi (set off) adalah suatu peristiwa
dimaksud dalam Pasal 36 telah diperjanjikan
hukum yang terjadi demi hukum di antara
penyerahan benda dagangan yang biasa
orang yang mempunyai utang maupun
diperdagangkan dengan suatu jangka waktu
piutang dengan debitor pailit sebelum putusan
dan pihak yang harus menyerahkan benda
pailit diucapkan. Perjumpaan utang terjadi
tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan
demi hukum sesuai dengan asas Ipso Iure
dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi
Compesatur.
hapus dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit, dan dalam hal pihak lawan
b) Pasal 36 UU Kepailitan & PKPU
dirugikan karena penghapusan maka yang
Pasal 36 ayat (1) berbunyi:
bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai
“Dalam hal pada saat putusan pernyataan
kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti
pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbal
rugi.”
balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan
Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa
Debitor dapat meminta kepada Kurator untuk
Pasal 37 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU terkait
memberikan kepastian tentang kelanjutan
dengan transaksi derivatif (lihat kajian
pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka
sebelumnya). Sesuai rumusan ketentuan Pasal
waktu yang disepakati oleh Kurator dan pihak
37 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU, apabila
tersebut”.
salah satu pihak dalam transaksi derivatif mengalami kepailitan (dinyatakan pailit) maka
Pasal 36 UU Kepailitan & PKPU dapat
perjanjian untuk menyerahkan obyek perjanjian
memberikan suatu ketidakpastian bagi kreditor
pada suatu saat tertentu di masa yang akan
yang telah melakukan perjanjian dengan
datang menjadi hapus. Jika akibat perjanjian
debitor (misal perjanjian perjumpaan utang),
tersebut terdapat pihak yang dirugikan, maka
apakah perjanjian dimaksud masih tetap
dalam hal pihak yang berutang dinyatakan
berjalan atau tidak. Apabila ketentuan Pasal
pailit, pihak yang berpiutang akan menjadi
36 dicermati, tampak bahwa realisasi dari
kreditor konkuren.
perjanjian perjumpaan utang akan tergantung pada pertimbangan/keputusan dari kurator
23
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Menurut Elijana Tansah35, pada waktu
perjumpaan utang sebelum terdapat gugatan
pembahasan RUU Kepailitan & PKPU tidak
pailit atau sebelum putusan pailit terhadap
ada pihak (baik dari Pemerintah maupun DPR)
debitor yang bersangkutan.
yang mengemukakan isu transaksi derivatif. Oleh karena itu, substansi pengaturan dalam
d) Pasal 45 UU Kepailitan & PKPU
Pasal 37 UU Kepailitan & PKPU pada dasarnya
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 UU Kepailitan
tidak dapat dianggap sebagai pengaturan
& PKPU, jika debitor melakukan pembayaran
mengenai transaksi derivatif.
utang kepada kreditor tertentu sebelum putusan pailit dijatuhkan kepadanya,
Dengan ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) UU
pembayaran utang tersebut dapat dibatalkan
Kepailitan & PKPU, kewenangan pengurus
jika:
perusahaan pailit melakukan tindakan untuk
a) dapat dibuktikan bahwa si penerima
dan atas nama perusahaan pailit berhenti.
pembayaran mengetahui bahwa pada saat
Kreditor tidak dapat lagi melakukan tindakan
dibayarnya utang oleh debitor, terhadap
hukum bersama pengurus perusahaan pailit.
debitor telah dimintakan pernyataan pailit
Untuk mempertahankan kepentingan dari
atau pelaporan untuk itu sudah dimintakan;
pihak yang berpiutang (kreditor), kreditor yang
b) pembayaran utang akibat kolusi antara
bersangkutan harus menunggu pembagian
kreditor dan debitor yang dapat
harta debitor oleh kurator. Sementara, dalam
memberikan keuntungan kepada debitor
close-out netting yang merupakan salah satu
tersebut melebihi dari kreditor lainnya.
dari pilar ISDA Master Agreement, pihak perusahaan yang wanprestasi bahkan yang
Salah satu events of default dalam ISDA Master
pailit dapat melakukan pengakhiran perjanjian
Agreement 2002 adalah adanya permohonan
lebih awal dan sekaligus memperhitungkan
kepailitan oleh pihak lain (vide Pasal 5a(vii)IVB).
hak dan kewajiban dari para pihaknya (close-
Apabila klausul yang mengatur mengenai
out netting).
events of default seperti ini diimplementasikan dalam perjanjian antara para pihak di Indonesia
Agar penyerahan benda yang biasa
(misal dalam transaksi derivatif OTC antara
diperdagangkan dengan suatu jangka waktu
bank dengan nasabahnya) maka dalam hal
tertentu (vide Pasal 37 ayat (1) UU Kepailitan
terdapat pengajuan gugatan pailit terhadap
& PKPU) dapat diperjumpakan dan sekaligus
nasabah/debitor berdasarkan ISDA Master
diakhiri (close-out netting) dan tidak terbentur
Agreement an sich, pihak bank dapat
dengan ketentuan mengenai
mengeksekusi perjumpaan utang yang
ketidakberwenangan debitor setelah
diperjanjikan.
dinyatakan pailit, realisasinya harus dilakukan sebelum terjadinya putusan pailit. Dalam kaitan
Namun, memperhatikan ketentuan Pasal 45
ini, perjumpaan utang dan sekaligus
UU Kepailitan & PKPU, realisasi perjanjian untuk
pengakhiran perjanjian, dapat dilakukan antara
melakukan perjumpaan utang dengan
bank dengan nasabah yang memberikan
pembayaran utang jika diketahui ada gugatan
kewenangan bagi bank untuk melakukan
kepailitan dari pihak lain kepada pihak yang berutang dapat dianggap melanggar ketentuan jika unsur dalam Pasal tersebut terpenuhi yaitu apabila si penerima pembayaran mengetahui
35 Ketua Tim Perumus RUU Kepailitan & Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
24
bahwa pada saat dibayarnya utang tersebut
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
oleh debitor, kepada debitor telah dimintakan
Di antara events of default dalam ISDA Master
pernyataan pailit atau pelaporan untuk itu
Agreement 2002 adalah peristiwa kepailitan
sudah dimintakan.
(bankruptcy) (vide Pasal 5a(vii)(5)).36 Jika events of default seperti ini tercantum dalam perjanjian
e) Kewenangan Kurator Terhadap Harta Pailit
antara para pihak di Indonesia (seperti transaksi
Kurator merupakan pihak yang berwenang
derivatif OTC antara bank dengan nasabahnya),
melakukan pemberesan harta pailit berdasarkan
maka dalam hal terdapat gugatan pailit atau
undang-undang. Hal tersebut diatur dalam
putusan pailit terhadap nasabah/debitor,
Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU yang
berdasarkan ISDA Master Agreement pihak
berbuyi: “Kurator berwenang melaksanakan
bank dapat melakukan pengakhiran perjanjian
tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas
lebih awal (early termination) dengan
harta pailit sejak tanggal putusan pailit
perjumpaan utang (close-out netting).
diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali”.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat
Kewenangan kurator untuk melakukan
(1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 26, Pasal 33, Pasal
pengurusan dan pemberesan harta pailit
51 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU, dalam hal
ditegaskan dalam ketentuan UU Kepailitan &
suatu perusahaan telah dinyatakan pailit maka
PKPU sebagai berikut:
early termination dan close-out netting harus
a. Pasal 24 ayat (1) yang mengatur bahwa
mendapatkan persetujuan kurator dari debitor
dalam hal debitor adalah perseroan
pailit. Kuratorlah yang akan menentukan
terbatas, organ perseroan tetap berfungsi
permohonan perjumpaan utang/kompenasi
namun bila terkait dengan pengeluaran
dikabulkan atau ditolak. Selain itu, kurator
uang yang merupakan bagaian dari harta
juga akan menilai apakah kompensasi (close-
pailit maka hal itu merupakan wewenang
out netting) memenuhi syarat dalam Pasal 51-
kurator;
Pasal 53 UU Kepailitan & PKPU. Mengenai
b. Pasal 26 yang mengatur bahwa tuntutan
kata “dapat” dalam Pasal 51 ayat (1), Elijana
terkait hak atau kewajiban menyangkut
Tansah menjelaskan bahwa makna dari kata
harta pailit diajukan oleh atau terhadap
“dapat” dalam ketentuan tersebut adalah
kurator;
bahwa pemilik piutang atau piutang pada
c. Pasal 33 yang mengatur bahwa kurator meneruskan penjualan barang milik debitor; d. Pasal 51 ayat (1) yang mengatur bahwa
debitor pailit mempunyai kebebasan untuk minta perjumpaan pada kurator atau tidak. Bila kreditor atau debitor tersebut memilih
setiap orang yang mempunyai utang atau
untuk tidak minta perjumpaan pada kurator
piutang terhadap debitor pailit dapat
maka tidak akan terjadi perjumpaan.
memohon diadakan perjumpaan utang. Dari ketentuan tersebut di atas jelas bahwa pengurusan harta pailit debitor setelah putusan pailit sepenuhnya merupakan kewenangan mutlak kurator. Dalam kaitan perjumpaan hutang/kompensasi milik debitor pailit, kreditor harus memohon perjumpaan hutang kepada kurator. Namun, kurator tidak berkewajiban untuk menyetujuinya.
36 Karena dalam Pasal 5a(vii)(5) events of default termasuk memiliki putusan sah yang menyetujui pembubaran, perubahan manajemen atau likuidasi (selain oleh karena konsolidasi, amalgamsi atau merger), sulit membedakan makna dari Pasal 5a(vii) butir (4)B dengan Pasal 5a(vii) butir (5).
25
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
E. KESESUAIAN NETTING DAN CLOSE-OUT NETTING
dalam ISDA Master Agreement.37
DENGAN KONSEP PERJUMPAAN UTANG DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA
Salah satu peristiwa yang menyebabkan “events of default” adalah adanya kegagalan pembayaran
Memperhatikan kajian dalam butir D.4 yaitu mengenai
terhadap debitor. Apabila peristiwa tersebut terjadi,
kendala penerapan close-out netting khususnya
para pihak dapat melakukan perjumpaan hutang.
berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia maka
Alas hukum melakukan perjumpaan hutang dalam
uraian mengenai kesesuaian netting dan close-out
konteks tersebut adalah Pasal 1426 KUHPerdata
netting dengan hukum kepailitan di Indonesia dibagi
dimana perjumpaan hutang terjadi demi hukum
dalam dua kondisi yaitu sebelum adanya putusan
(lihat kajian sebelumnya). Namun demikian, dengan
pailit terhadap debitor dan setelah adanya putusan
adanya ketentuan dalam UU Kepailitan & PKPU
pailit terhadap debitor.
yaitu: 1. Pasal 41 ayat (1) yang berbunyi:
1. Sebelum adanya Putusan Pailit
“Untuk kepentingan harta pailit, kepada
Pengakhiran suatu perjanjian transaksi derivatif
Pengadilan dapat dimintakan pembatalan
OTC lebih awal dari yang diperjanjikan (early
segala perbuatan hukum Debitor yang telah
termination) yang dilanjutkan dengan perhitungan
dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan
nilai hak dan kewajiban para pihaknya (close-out
Kreditor yang dilakukan sebelum putusan
netting) akibat kepailitan (bankruptcy) sebagaimana
pernyataan pailit diucapkan”.
tercantum dalam ISDA Master Agreement, pada
2. Pasal 42 yang berbunyi:
dasarnya dapat dilakukan. Namun, berdasarkan
“Apabila perbuatan hukum yang merugikan
UU Kepailitan & PKPU hal tersebut dapat dilakukan
Kreditor dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu)
setelah adanya putusan pailit dan realisasinya
tahun sebelum putusan pernyataan pailit
tergantung pada kurator pemegang kuasa dari
diucapkan, sedangkan perbuatan tersebut tidak
debitor pailit (vide Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan
wajib dilakukan Debitor, kecuali dapat
& PKPU).
dibuktikan sebaliknya, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap
Apabila (early termination) atas suatu perjanjian
mengetahui atau sepatutnya mengetahui
transaksi derivatif OTC yang dilanjutkan dengan
bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan
perhitungan hak dan kewajiban para pihaknya
kerugian bagi Kreditor sebagaimana dimaksud
(close-out netting) akibat peristiwa sebagaimana
dalam Pasal 41 ayat (2), dalam hal
diatur dalam ISDA Master Agreement (vide Pasal
a. merupakan perjanjian dimana kewajiban
5a(vii)(5)) dilakukan sebelum putusan pailit terhadap salah satu pihak dalam perjanjian dikeluarkan, pelaksanaannya tergantung kepada
Debitor jauh melebihi kewajiban pihak dengansiapa perjanjian tersebut dibuat; b. merupakan pembayaran atas, atau
kesepakatan dari para pihak dalam perjanjian.
pemberian jaminan untuk utang yang
Sesuai asas konsesualisme dan prinsip pacta sunt
belum jatuh tempo dan/atau belum atau
servanda dalam hukum perjanjian, para pihak
tidak dapat ditagih;
dalam suatu perjanjian pada dasarnya dapat
c. ... dst.”,
menyepakati percepatan jatuh tempo suatu hak dan/atau kewajiban dari yang disepakati sebelumnya (early termination). Pengakhiran perjanjian dimaksud dapat didasarkan pada peristiwa (events of default) yang tercantum
26
37 Dalam Pasal 5 ISDA Master Agreement 2002 antara lain dimuat klausul Events of Default dan Termination Events yang mencakup antara lain peristiwa cedera janji, peristiwa-peristiwa pengakhiran, urutan peristiwa, penundaan pembayaran, kantor pusat atau induk tidak mampu melakukan kewajiban cabang.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
perjumpaan utang sebelum putusan kepailitan, dapat terganggu dalam pelaksanaannya.
2. Setelah adanya Putusan Pailit Memperhatikan kendala penerapan prinsip early termination dan close-out netting dalam hubungan
Ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan Pasal 42 UU
transaksi derivatif OTC berdasarkan prinsip dalam
Kepailitan & PKPU pada dasarnya memuat prinsip
ISDA Master Agreement jika dikaitkan dengan
actio pauliana yaitu hak yang diberikan oleh
ketentuan dalam UU Kepailitan & PKPU, dapat
undang-undang kepada setiap kreditor untuk
dikemukakan bahwa dalam hal early termination
menuntut pembatalan segala tindakan debitor
dan close-out netting diakibatkan events of default
yang tidak diwajibkan, asal dapat dibuktikan
berupa kepailitan (vide Pasal 5a(vii)(5) ISDA Master
bahwa pada saat tindakan itu dilakukan, debitor
Agreement) maka pelaksanaannya akan
dan orang dengan siapa debitor mengikat diri
bertentangan dengan dalam UU Kepailitan & PKPU.
mengetahui bahwa mereka dengan tindakan itu
Beberapa hal yang dapat mendasari pendapat
merugikan kreditor lain. Namun, adanya ketentuan
tersebut adalah:
yang memuat prinsip actio pauliana tidak berarti bahwa para pihak dalam perjanjian transaksi
a. Kewenangan yang diberikan UU Kepailitan &
derivatif OTC sama sekali tidak bisa melakukan
PKPU kepada kurator terkait harta kekayaan
early termination dan/atau close-out netting.
debitor pailit sangatlah besar yaitu mencakup
Kedua hal tersebut tetap dapat dilakukan sebelum
pengurusan dan/atau pemberesan atas harta
pernyataan pailit dikeluarkan oleh Pengadilan.
pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan.
Dalam keadaan demikian, para pihak yang
Hal tersebut dengan tegas diatur dalam Pasal
melakukan early termination dan/atau close-out
16 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU yang berbunyi:
netting perlu membuktikan bahwa tindakan
“Kurator berwenang melaksanakan tugas
tersebut dilakukan dengan itikad baik dan tidak
pengurusan dan/atau pemberesan atas harta
bermaksud untuk merugikan kreditor lain yang
pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan
dianggap berkepentingan terhadap harta debitor
meskipun terhadap putusan tersebut diajukan
dan tindakan yang dilakukan tersebut sudah
kasasi atau peninjauan kembali”.
diperjanjikan sebelumnya. b. Dalam hal terjadi kepailitan, perjumpaan Melakukan early termination dan/atau close-out
utang/kompensasi yang akan dilakukan harus
netting pada saat adanya gugatan kepada debitor
mendapatkan persetujuan dari kurator debitor
berpotensi menjadi bahan gugatan pihak (kreditor)
pailit (vide Pasal 51 ayat (1) UU Kepailitan &
lainnya atau pihak berwenang lainnya yakni
PKPU). Yang menentukan apakah perjumpaan
apabila debitor tersebut kemudian dinyatakan
utang/kompensasi yang akan dilakukan dapat
pailit oleh pengadilan. Berdasarkan ketentuan
dikabulkan atau ditolak adalah kurator. Selain
Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 42 UU Kepailitan &
itu, kurator juga berwenang menilai apakah
PKPU, kreditor lain atau kurator dapat mengajukan
kompensasi tersebut telah memenuhi syarat-
gugatan kepada pengadilan agar pengadilan
syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 51
membatalkan early termination dan/atau close-
ayat (1) UU Kepailitan & PKPU yang berbunyi:
out netting yang telah
disepakati.38
“Setiap orang yang mempunyai utang atau piutang terhadap Debitor Pailit dapat memohon diadakan perjumpaan utang, apabila utang
38 Elijana Tansah berpendapat bahwa apabila setelah putusan pailit terhadap debitor pailit dilakukan perjumpaan hutang, akan mudah bagi pengugat (pihak yang merasa dirugikan) untuk membatalkan perjanjian tersebut karena apabila suatu perjanjian mengandung klausul “melakukan perjumpaan hutang apabila terjadi peristiwa pailit” dapat dianggap bad faith.
atau piutang tersebut diterbitkan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, atau akibat perbuatan yang dilakukannya dengan
27
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Debitor Pailit sebelum putusan pernyataan
ayat (1) tidak berlaku terhadap tagihan Kreditor
pailit diucapkan.”
yang dijamin dengan uang tunai dan hak Kreditor untuk memperjumpakan utang”.
c. Dalam hal terjadi kepailitan dan terdapat
Namun, dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1)
perjanjian timbal balik yang belum atau baru
UU Kepailitan & PKPU yang mengatur bahwa
sebagian dipenuhi maka untuk kelanjutannya
kewenangan melakukan pengurusan dan/atau
debitor dapat memohon kepada kurator (vide
pemberesan atas harta pailit sejak tanggal
Pasal 36 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU).
putusan pailit berada pada kurator dan
Kedudukan kurator sangat kuat karena dia
ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Kepailitan &
dapat memilih jenis perjanjian yang akan lebih
PKPU yang mengatur bahwa setiap orang
menguntungkan bagi pihaknya (cherry picking).
yang mempunyai utang atau piutang terhadap debitor pailit dapat (oleh beberapa pakar
d. Beberapa pihak berpendapat bahwa
disebut bahwa hal tersebut berarti wajib)
pengaturan dalam Pasal 37 ayat (1) UU
memohon diadakan perjumpaan piutang,
Kepailitan & PKPU yang berbunyi:
berarti bahwa pengecualian terhadap
“Apabila dalam perjanjian sebagaimana
penangguhan dalam Pasal 55 ayat (2) menjadi
dimaksud dalam Pasal 36 telah diperjanjikan
tidak berlaku otomatis, tetapi wajib melalui
penyerahan benda dagangan yang biasa
atau memperoleh persetujuan dari kurator.
diperdagangkan dengan suatu jangka waktu dan pihak yang harus menyerahkan benda
Memperhatikan ketentuan dalam beberapa Pasal
tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan
UU Kepailitan & PKPU tersebut di atas maka
dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi hapus
penerapan klausul penjumpaan hutang/kompensasi
dengan diucapkannya putusan pernyataan
(close-out netting) berdasarkan prinsip penyelesaian
pailit, dan dalam hal pihak lawan dirugikan
hak dan kewajiban yang diatur dalam ISDA Master
karena penghapusan maka yang bersangkutan
Agreement setelah adanya putusan pailit
dapat mengajukan diri sebagai kreditor
tergantung pada keputusan kurator. Apabila hal
konkuren untuk mendapatkan ganti rugi terkait
seperti dihadapi oleh para pelaku transaksi derivatif
dengan transaksi derivatif.
OTC di kemudian hari, maka taruhannya adalah ketidakpastian hukum.
Sesuai rumusan Pasal tersebut, apabila salah satu pihak dalam transaksi derivatif mengalami kepailitan (dinyatakan pailit) maka perjanjian
F. ASPEK KONSENSUALISME DALAM TRANSAKSI DERIVATIF OTC
untuk menyerahkan obyek perjanjian pada suatu saat tertentu di masa yang akan datang
Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata,
menjadi hapus. Jika akibat perjanjian tersebut
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
terdapat pihak yang dirugikan, maka dalam
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu
hal pihak yang berutang dinyatakan pailit,
orang lain atau lebih. Di dalam transaksi derivatif,
pihak yang berpiutang akan menjadi kreditor
pihak yang satu dengan pihak yang lain berjanji atau
konkuren.
mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu hal atau prestasi masing-masing.
e. Pengecualian terhadap keadaan sita umum
28
(automatic stay) diatur dalam Pasal 55 ayat
Di dalam: (i) PBI No.16/16/PBI/2014 tentang Transaksi
(2) UU Kepailitan & PKPU yang berbunyi:
Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank Dengan
“Penangguhan sebagaimana dimaksud pada
Pihak Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
PBI No.17/15/PBI/2015; dan (ii) PBI No.16/17/PBI/2014
perbankan di Indonesia, otoritas moneter (Bank
tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara
Indonesia) telah mengatur pelaksanaan transaksi
Bank Dengan Pihak Asing sebagaimana telah diubah
derivatif, sehingga diharapkan dalam menjalankan
dengan PBI No.17/16/PBI/2015, transaksi derivatif
kegiatan tersebut para pelakunya khusunya perbankan
didefinisikan sebagai transaksi yang didasari oleh
melakukan kegiatan dengan adil, tertib, dan
suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang
memperhatikan ketentuan hukum lainnya.42
nilainya merupakan turunan dari nilai tukar dalam bentuk transaksi forward, swap, option valuta asing
Dalam kaitan transaksi derivatif OTC di Indonesia,
terhadap Rupiah, dan transaksi lainnya yang dapat
konsekuensi yuridis dari transaksi derivatif yang didasari
dipersamakan dengan
itu.39
kontrak atau perjanjian adalah bahwa transaksi tersebut tunduk kepada hukum perjanjian. Dengan
Dalam kaitan transaksi yang tidak diikuti pergerakan
demikian, syarat sah perjanjian (vide Pasal 1320
dana (tidak memenuhi unsur penyerahan dalam suatu
KUHPerdata) dan asas hukum perjanjian sesuai
jual beli - vide Pasal 1459 KUHPerdata), transaksi
ketentuan dalam Buku III KUHPerdata berlaku bagi
derivatif dapat digolongkan sebagai perjanjian yang
transaksi derivatif OTC yang disepakati.
belum ditindaklanjuti dengan penyerahan objeknya.40 Hal tersebut tidak berarti bahwa transaksi derivatif merupakan transaksi untung-untungan atau judi
G. KONSEKUENSI HUBUNGAN PERDATA DARI TRANSAKSI DERIVATIF OTC
menurut Pasal 1774 KUHPerdata.41 Alasannya adalah: (i) objek transaksi derivatif tidak didasarkan pada hal-
Transaksi derivatif OTC terjadi melalui negosiasi secara
hal yang bersifat spekulasi tetapi sesuatu yang dapat
perdata dan bebas antara para pihak. Transaksinya
diperkirakan secara logis bahkan secara matematis,
dilaksanakan di luar bursa yang diorganisir oleh
kendati dalam hal tertentu prediksi dimaksud tidak
otoritas yang berwenang. Secara yuridis, kebebasan
selalu sama dengan kenyataan; (ii) transaksi derivatif
melakukan transaksi derivatif OTC di Indonesia
sudah lazim dilakukan dalam bisnis perbankan dan
dimungkinkan karena sesuai ketentuan dalam Pasal
lembaga keuangan lainnya; (iii) transaksi derivatif
1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, hukum perjanjian
biasa digunakan untuk kepentingan menghindari
di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak.
risiko kerugian akibat fluktuasi nilai tukar mata uang
Sepanjang obyek yang diperjanjikan tidak bertentangan
atau fluktuasi suku bunga (hedging); dan (iv) untuk
dengan undang-undang, kepatutan atau kesusilaan (vide Pasal 1337 KUHPerdata), hubungan hukum yang dilakukan sah dan mempunyai kekuatan hukum.
39 Dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia lainnya yang mengatur mengenai transaksi derivatif yaitu PBI No.7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif sebagaimana telah diubah terakhir dengan PBI No.10/38/PBI/2008, transaksi derivatif didefinisikan sebagai transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen, namun tidak termasuk derivatif kredit. 40 Dalam diskusi terbatas dengan DHk pada tanggal 15 Juni 2016, Ricardo Simanjuntak menganalogikan perjanjian derivatif OTC dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang secara hukum jual beli belum terjadi karena belum terjadinya penyerahan objek perjanjian. 41 Pasal 1774 KUHPerdata berbunyi: “Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.”.
Kebebasan melakukan transaksi derivatif OTC membawa konsekuensi bahwa para pihak yang berniat melakukan transaksi tersebut dapat melakukan perjanjian secara bebas termasuk menentukan klausul yang mengaturnya. Kebebasan menentukan klausul perjanjian mengakibatkan terbuka kemungkinan ketidakseragamanan klausul dalam transaksi derivatif
42 Mahkamah Agung dalam Putusan Perkara No.2/PK/N/1999 tanggal 6 April 1999 dan Putusan Perkara No.2461K/Pdt/1999 menyatakan bahwa transaksi derivatif merupakan transaksi yang sah dan tepat.
29
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
OTC. Dalam keadaan demikian, pihak yang dominan akan sangat berpengaruh dalam penentuan klausul
H. KEWENANGAN PENGATURAN TRANSAKSI DERIVATIF OLEH BANK INDONESIA
perjanjian yang akan ditandatangai. Sebaliknya, pihak yang lemah biasanya bersikap menerima keinginan
Pengaturan transaksi derivatif merupakan pelaksanaan
dari pihak yang dominan tersebut.
dari UU No.24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1)
Transaksi derivatif OTC biasanya mengandung unsur
UU tersebut yang berbunyi: “Dalam rangka penerapan
asing. Adanya unsur asing dalam transaksi derivatif
prinsip kehati-hatian, Bank Indonesia menetapkan
OTC membuat transaksi tersebut termasuk lingkup
ketentuan atas berbagai jenis transaksi devisa yang
hubungan hukum perdata internasional. Hukum
dilakukan oleh Bank” dan Pasal 4 ayat (2) yang
perdata internasional tidak berarti bahwa hukumnya
berbunyi “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
milik antar bangsa atau internasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
ketentuan yang dikeluarkan organisasi internasional,
Bank Indonesia”, pengaturan tentang transaksi
tetapi tetap hukum nasional namun kejadian,
derivatif telah dimandatkan kepada Bank Indonesia.
substansi, dan fakta yang diatur bersifat internasional.
Sesuai mandat tersebut, Bank Indonesia berwenang
Dengan demikian, hubungan perdata antar warga
melakukan pengaturan mengenai penyediaan model
atau hubungan perdata yang mengandung unsur
perjanjian transaksi derivatif OTC domestik.45
asing (internasional) diatur oleh hukum nasional,
Kewenangan pengaturan transaksi derivatif juga
bukan diatur oleh hukum antar negara.
didasarkan pada UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Salah satu faktor yang menjadi bahan pertimbangan
UU No.6 Tahun 2009. Berdasarkan Pasal 7 UU tersebut
melakukan pilihan hukum adalah faktor tradisi,
telah ditentukan tujuan dari Bank Indonesia adalah
kebiasaan, dan kenyamanan dalam bertransaksi
mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah
derivatif OTC.43 Dalam melakukan pilihan hukum,
baik terhadap barang dan jasa maupun terhadap
faktor tersebut dikaitkan dengan manfaat yang akan
mata uang negara lain.
dicapai. Tradisi, kebiasaan, dan kenyamanan dalam melakukan hubungan hukum transaksi derivatif dapat
Apabila kewenangan yang dimandatkan dalam UU
menjadi sia-sia atau tidak sesuai dengan manfaat
tersebut ditindaklanjuti, pengaturan perjanjian
pilihan hukum yang diharapkan44 apabila para pihak
transaski derivatif OTC di Indonesia yang dapat
dalam transaksi derivatif OTC tidak mengantisipasi
dikeluarkan adalah sebagai berikut:
akibat dari pilihan hukum yang dilakukan. Hal seperti ini terjadi dalam perkara JP Morgan Chase vs. PT Kalbe Farma, Tbk.
43 Wuri Prastiti Rahajeng, Aspek Hukum Internasional Dalam kasus Antara JP Morgan Chase Bank National Association Melawan PT Kalbe Farma, Tbk, hal. 78.
45 Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PerundangUndangan mengatur dasar hukum suatu peraturan perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, yaitu: a. peraturan perundang-undangan dibentuk sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari perintah yang telah ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang lebih tinggi; dan b. peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk berdasarkan kewenangan yang dimiliki.
44 Wuri Prastiti Rahajeng, dalam skripsi berjudul: Aspek Hukum Internasional Dalam kasus Antara JP Morgan Chase Bank National Association Melawan PT Kalbe Farma, Tbk, hal. 78 menulis “Manfaat pilihan hukum antara lain: (i) memuaskan para pihak karena menggunakan hak dasarnya; (ii) bersifat kepastian karena memungkinkan para pihak dengan mudah menentukan hukumnya; serta (iii) memberikan efisiensi dan manfaat.”.
Di dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU tersebut lebih lanjut ditegaskan bahwa: “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.
30
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
1. Alternatif Pertama: Bank Indonesia mewajibkan
2. Alternatif kedua: Bank Indonesia memberikan
pelaku transaksi derivatif OTC domestik
kesempatan kepada pelaku transaksi derivatif
menggunakan Master Agreement berikut Schedule
menggunakan master agreement (kontrak standar)
yang mengacu kepada ISDA Master Agreement
transaksi derivatif OTC non-ISDA yang disesuaikan
yang disesuaikan dengan hukum Indonesia.
dengan hukum Indonesia. Adapun beberapa
Adapun beberapa kelebihan dan kekurangan dari
kelebihan dan kekurangan dari bentuk alternatif
bentuk alternatif pertama sebagai berikut:
pertama sebagai berikut:
Kelebihan
Kelebihan
a. Standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia hanya akan menjadi pegangan bagi pelaku transaksi derivatif OTC domestik dalam melakukan transaksi dan menandatangani perjanjian; b. Dapat mengurangi waktu untuk melakukan negosiasi; c. Tersedia ruang bagi para pelaku transaksi derivatif OTC untuk memodifikai perjanjian sesuai kebutuhan; d. Model perjanjian yang tersedia dipercaya para stakeholder; e. Penggunaan kontrak berdasarkan hukum Indonesia secara tidak langsung berpotensi mendorong para penegak hukum untuk belajar memahami transaksi derivatif OTC.
a. Terdapat fleksibilitas bagi Bank Indonesia dalam melakukan pengaturan perjanjian transaksi derivatif OTC domestik; b. Model perjanjian yang tersedia sesuai kesepakatan para pelaku transaksi
Kekurangan dalam hal rumusan klausul dalam standar perjanjian yang disediakan tidak mengakomodasi kepentingan pihak tertentu, maka standar yang disediakan kemungkinan akan diabaikan oleh pelaku transaksi derivatif OTC domestik
Kekurangan a. Perjanjian transaksi derivatif OTC domestik di Indonesia menjadi seolah-olah berbeda dengan perjanjian transaksi derivatif OTC umumnya; b. Pihak yang berkepentingan terutama pihak asing yang ingin bertransaksi dengan pihak domestik kurang mempercayai dengan model perjanjian transaksi derivatif OTC yang berbeda dengan ISDA Master Agreement; c. Dalam hal transaksi derivatif OTC domestik dilakukan sebagai turunan dari transaksi derivatif yang melibatkan pihak asing dan perjanjiannya menggunakan ISDA Master Agreement, transaksi derivatif OTC domestik dimaksud menjadi seolaholah terputus dari perjanjian transaksi OTC yang melibatkan pihak asing tersebut (tidak mirroring). Hal negatif lainnya apabila Bank Indonesia hanya mengatur persyaratan minimum yang dicakup dalam perjanjian dan memberikan ruang kepada pelaku transaksi derivatif mengatur hal-hal lain di luar yang diwajibkan Bank Indonesia adalah: a. Dapat menimbulkan multitafsir terhadap perjanjian transaksi derivatif yang akan disepakati; b. Penegak hukum tidak mempunyai pedoman (ketentuan) yang lengkap dalam menghadapi perkara transaksi derivatif OTC domestik; c. Ketidakyakinan dari para pelaku transaksi derivatif OTC terhadap ketentuan dan perangkat hukum, sehingga dapat mengurungkan niat melakukan kegiatan tersebut di Indonesia
31
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
I. PENUTUP
ii. Ketiadaan pengaturan mekanisme close-out netting yang didasarkan pada
1. Simpulan
events of default kepailitan (bankruptcy) selain yang tercantum dalam ISDA
a) Prinsip close-out netting dalam ISDA Master
Master Agreement Pasal 5(a)(vii)(5),
Agreement bila dihubungkan dengan
tidak berarti bahwa close-out netting
ketentuan KUHPerdata mendekati konsep
tidak dapat dilakukan sebelum putusan
perjumpaan hutang/kompensasi yang diatur
pailit terhadap salah satu pihak dalam
dalam Pasal 1425-1435 KUHPerdata, sehingga
perjanjian dikeluarkan.
prinsip close-out netting tidak bertentangan
iii. Sesuai asas konsesualisme dan prinsip
dengan ketentuan perjumpaan utang menurut
pacta sunt servanda dalam hukum
KUHPerdata.
perjanjian, para pihak dalam suatu
b) Kepailitan merupakan bagian dari events of
perjanjian pada dasarnya dapat
defaults dalam perjanjian transaksi derivatif
memperjanjikan percepatan jatuh
OTC yang dapat menjadi pemicu dilakukannya
tempo suatu hak dan/atau kewajiban
early termination dan close-out netting
dan pengakhiran perjanjian dari yang
perjanjian dimaksud. Namun, dalam hal satu
disepakati sebelumnya (early
pihak yang berjanji telah dinyatakan pailit
termination) yang dilanjutkan dengan
berdasarkan ketentuan UU Kepailitan dan
close-out netting.
PKPU, pelaksanaannya tidak dapat dilakukan
iv. Walaupun berdasarkan hukum
langsung oleh para pihak yang melakukan
perjanjian, close-out netting dapat
perjanjian transaksi derivatif OTC.
dilakukan sebelum adanya kepailitan,
c) Tindak lanjut dari prinsip close-out netting
apabila akhirnya salah satu pihak
dalam perjanjian transaksi derivatif OTC
menjadi pailit pelaksanaannya dapat
domestik yang mengacu pada pilar ISDA
terganggu di kemudian hari karena
Master Agreement:
berdasarkan Pasal 41 sampai dengan Pasal 45 UU Kepailitan & PKPU
1) Sebelum adanya putusan pailit i. Apabila sebelum putusan pailit terhadap salah satu pihak dalam perjanjian
(menyangkut actio pauliana), kurator dapat mempermasalahkan close-out netting yang dilakukan.
dinyatakan, suatu perjanjian transaksi derivatif OTC domestik diakhiri lebih
2) Setelah adanya Putusan Pailit
awal (early termination) dan dilanjutkan
Memperhatikan kendala penerapan prinsip
dengan perhitungan hak dan kewajiban
early termination dan close-out netting
para pihaknya (close-out netting) atas
dalam hubungan hukum transaksi derivatif
dasar events of default berupa kepailitan
khususnya bila dikaitkan dengan ketentuan
(bankruptcy) sebagaimana tercantum
dalam UU Kepailitan & PKPU maka dalam
dalam ISDA Master Agreement Pasal
hal early termination dan close-out netting
5a(vii)(5) ISDA Master Agreement, UU
tersebut diakibatkan oleh events of default
Kepailitan & PKPU tidak memuat
berupa kepailitan (vide Pasal 5a(vii)(5) ISDA
ketentuan yang melarang penerapan
Master Agreement), pelaksanaan early
close-out netting atas perjanjian
termination dan close-out netting akan
transaksi derivatif OTC domestik.
bertentangan atau tidak sejalan dengan ketentuan dalam UU Kepailitan & PKPU.
32
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
d) Asas konsensualisme dan pacta sunt servanda dalam hukum perjanjian memberikan kesempatan bagi para pihak yang ingin melakukan transaksi derivatif OTC sesuai kesepakatan. Namun demikian, hal tersebut juga dapat mengakibatkan timbulnya perkara perdata yang membutuhkan waktu dan biaya yang besar. e) Berdasarkan UU No.24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar serta UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.6 Tahun 2009, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan model atau standar perjanjian transaksi derivatif OTC domestik. 2. Saran a. Bank Indonesia perlu mengeluarkan ketentuan yang mengatur standar atau model perjanjian transaksi derivatif OTC di Indonesia. b. Dalam rangka memberikan kepastian hukum serta memperlancar kegiatan perekonomian di Indonesia terutama terkait kegiatan transaksi derivatif, ke depan perlu diatur bahwa prinsip close-out netting merupakan suatu kegiatan yang didahulukan atau dikecualikan dari proses kepailitan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan beberapa negara berkembang dan negara maju lain. c. Pengaturan mengenai pengecualian ketentuan atau prinsip early termination yang ditindaklanjuti dengan close-out netting dari ketentuan UU Kepailitan & PKPU dapat dimuat dalam Amandemen UU Kepailitan & PKPU atau Amandemen UU Perbankan ataupun dibuatkan suatu undang-undang khusus yang terkait.
33
1. Buku dan Artikel Sutedi, Adrian, Produk-Produk Derivatif dan Aspek Hukumnya, Alfabeta. Litvinova, Anna - Pace University, A Regulatory Approach to Derivative Markets: The Benefits of Private Sector Oversight. Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2015. Badan Pembinaan Hukum Nasional - Kementerian Hukum dan HAM, Naskah Akademis Tentang Hukum Perdata Intenasional. Muscat, Bernadette, OTC Derivatifs: Salient Practices and Developments Relating to Standard Market Documentation Garner, Bryan A., Black's Law Dictionary, Pocket Edition. Bank for International Settlements, Statistical Release - OTC Derivatives Statistics at end-December 2015, May 2016. Christian M. McNamara & Andrew Metrick, The Lehman Brother Bankruptcy F: Introduction to The ISDA Master Agreement, Yale School of Management, November 15, 2014. Celent Securities & Investments Team, The Asian OTC Derivatives Market, A Study Prepared For ISDA. Mengle, David, ISDA Head of Research, The Importance of Close-Out Netting, ISDA Research Notes Number 1, 2010. Rae, Dian Ediana, Transaksi Derivatif dan Masalah Regulasi Ekonomi di Indonesia, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia - Jakarta. Deuthsche Borse Group, The Global Derivatives Market - An Introduction, White Paper. Manik, Edward, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, CV Mandar Maju, Bandung. Field Fisher Waterhouse, Commentary on the ISDA Master Agreement, February 2008. Tumbuan, Fred B. G., Tanggung Jawab Direksi Sehubungan Dengan Kepailitan Perseroan Terbatas. GuyLanie Charles, OTC Derivative Contracts in Bankruptcy: The Lehman Experience, NYSBA NY Business Law Journal, Spring 2009, Vol. 13 No. 1 GuyLanie Charles, The ISDA Master Agreement-Part I: Architecture, Risks and Compliance, Practical Compliance & Risk Management For The Securities Industry, January-February 2012. Campbell, Henry Black, M. A., Black's Law Dictionary (Fifth Edition), St. Paul Minn, West Publishing Co., 1979. ISDA, Netting and Offsetting: Reporting Derivatives under U.S. GAAP and Under IFRS, May 2012.
34
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
ISDA, The Legal Enforceability of The Close-out Netting Provision of the ISDA Master Agreement and Their Consequences for Netting on Financial Statements. Jacqueline M. L., Seniour Counsel Asia, International Swaps and Derivatives Association, Inc, (ISDA), Manfaat, Resiko dan Jenis-Jenis Transaksi Derivatif, Moderator: M. Arie Armand, Partner DNC Law Firm - Notulensi Seminar Hukum Online - Peradi, Hitam-Putih Transaksi Derivatif: Anatomi Kontrak dan Peta Sengketa, Hotel Nikko, 12 Agustus 2009. Park, Joon and Suhn-Kyoung Hong, Special Treatment of Derivatives in Korean Insolvensy Proceedings: Comparison with the United States and Japan, Journal of Korean Law Vol. 7. Mulyadi, Kartini, Kreditor Preferen dan Kreditor Separatis dalam Kepailitan, Dalam Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Pusat Pengkajian Hukum Jakarta. 2005. Kartini Muljadi, Actio Pauliana dan Pokok-pokok tentang Pengadilan Niaga. Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982. Mutiara Putri Artha, Pembatalan Perjanjian Transaksi Derivatif Serta Perananan Notaris Dalam Meminimalisasi Risiko Pembatalan Perjanjian Transaksi Derivatif, Fakultas Hukum Program Studi Magister Kekhususan Notariat, Depok, Juli 2010. Fuadi, Munir, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, PT Citra Adytia Bakti, Bandung. Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan, Kencana Prenada Media Group. Badrulzaman, Mariam Darus, Hukum Perikatan dalam KUHPerdata Buku Ketiga, Yurisprudensi, Doktrin, serta Penjelasan, PT Citra Adytia Bakti, 2015, Bandung O. C. Kaligis, Aspek Hukum Transaksi Derivatif di Indonesia, Alumni, Bandung. Ricardo Simanjuntak, Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan, Dalam Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Pusat Pengkajian Hukum Jakarta, 2005. Sinaga, Syamsudin M, Hukum Kepailitan Indonesia, Tatanusa, Jakarta. Saul S. Cohen, The Challenge of Derivatives. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, Cetakan 3,1986 Subekti dan R Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta Pradya Pramita. R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, Sutrisno, Lindung Nilai Sarana Hukum Menjaga Stabilitas Perekonomian (Studi Tentang Pengaturan Kewajiban Lindung Nilai), Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2015. Thomas Fitch, Dictionary of Banking Terms, Third Edition. Vincent R. Johnson, International Financial Law: The Case Against Close-Out Netting.
35
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Wuri Prastiti Rahajeng, Aspek Hukum Internasional Dalam Kasus Antara JP Morgan Chase Bank National Association Melawan PT Kalbe Farma, Tbk, Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Internasional-Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Juli 2012.
2. Putusan Pengadilan Mahkamah Agung, Putusan No.38PK/Pdt/2012 tanggal 15 Agustus 2012. Mahkamah Agung, Putusan No.2/PK/N/1999 tanggal 6 April 1999 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan No.24/Pdt.G/2009/PN.JKT.SEL tanggal 9 September 2009. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan, No.81/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST tanggal 30 Juli 2010. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan No.638/Pdt.G/2011/PN.JKT.SEL yang menyitir Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.269/Pdt.G/2009/PN.JKT.SEL tanggal 15 Juli 2009.
3. Ketentuan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Laws Of Malaysia Act 766, Netting Of Financial Agreements Act 2005. Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998. Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009. Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
36
Disusun oleh: Paul Soetopo Tjokronegoro1
[email protected]
Abstrac The principle of systematische specialiteit or systematic specialty stipulates that the act of a particular crime is treated under an existing special rule. This principle determines which law should be considered during investigation, adjudication, and judgment of an offence. This is currently stipulated under Article 14 of Law Number 31 Year 1999 which was amended by Law Number 20 Year 2001 concerning the Eradication of Corruption Crime. Implementation of this principle has resulted controversies due to overlap and multi-interpretation of anti corruption law and administrative penal law in the banking sector. An illustrated controversy is the policy taken by the Government of Indonesia and Bank Indonesia during the global crisis in 2008. Although Government Regulation in lieu of Law Number 2 Year 2008 concerning Bank Indonesia and Government Regulation in lieu of Law Number 4 Year 2008 concerning Financial Safety Nets are special rules based on the Anti-Corruption Law, controversies lingered. This research formulates that the explicit insertion of systematic specialty principle into administrative penal law, alleviates the controversy by the utilization of Regulatory Impact Assessment (RIA) found in the Economic Analysis of Law (EAL) methodology. The findings of RIA present social welfare maximization as stipulated under Article 33 of The Constitution 1945. Explicit insertion of the systematic specialty principle into administrative penal law in the banking sector would bring about criminal law to be repositioned as ultimum remedium. Keywords: Systematic specialty principle, Regulatory Impact Assessment, Social welfare maximization.
Abstrak Asas Kekhususan Sistematis atau systematische specialiteit mengatur bahwa ketentuan pidana yang bersifat khusus akan diberlakukan sebagai 'ketentuan khusus dari yang khusus' yang telah ada. Asas ini digunakan untuk menentukan undang-undang mana yang akan diterapkan sebagai landasan hukum untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu tindak pidana oleh Pengadilan. Asas kekhususan sistematis diatur dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah ke dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pelaksanaan asas tersebut telah mengakibatkan perdebatan hukum karena adanya multiinterpretasi dan tumpang tindih kewenangan antara hukum pidana korupsi dan hukum pidana administrasi khususnya
1
Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Penasihat Senior Universitas Pelita Harapan-Institute for Economic Analysis of Law and Policy (UPHIEALP)
37
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
di bidang perbankan. Perdebatan tersebut antara lain tercermin pada kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam menangani dampak krisis global 2008. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 tahun 2008 dan Nomor 4 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan adalah ketentuan khusus berdasarkan asas kekhususan Sistematis, akan tetapi perdebatan terus berlanjut. Penelitian ini merumuskan bahwa penormaan secara eksplisit asas kekhususan sistematis ke dalam hukum pidana administrasi terutama di bidang perbankan dapat mengakhiri perdebatan dengan menggunakan Regulatory Impact Assessment (RIA) sebagai salah satu alat metode Economic Analysis of Law (EAL). Berdasarkan temuan dari penelitian, bahwa penormaan asas kekhususan sistematis menghasilkan optimalisasi kesejahteraan sosial seperti yang disebutkan dalam Bab XIV pasal 33 dari UUD 1945. Dengan demikian, penormaan secara eksplisit asas kekhususan sistematis ke dalam hukum pidana administrasi terutama di bidang perbankan dapat mengakhiri masalah multi-interpretasi dalam penegakan hukum sehingga hukum pidana di-reposisi menjadi ultimum remedium.
A. PENDAHULUAN
Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah berupaya meningkatkan pembangunan ekonomi dengan
Prinsip Indonesia sebagai negara hukum dinyatakan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menurunkan
secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
kesenjangan sosial, dan menaikkan daya saing global
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
melalui seperangkat regulasi dan kebijakan-kebijakan.
berbunyi bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Sebagai konsekuensi dari negara hukum,
Dalam melaksanakan upaya tersebut, Pemerintah
maka hukum mengikat setiap tindakan yang
terkendala oleh maraknya tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh warga negara Indonesia,2 termasuk
mengancam perekonomian nasional. Korupsi disebut
didalamnya Pemerintahan dalam arti luas yang terdiri
sebagai salah satu masalah krusial yang berdampak
atas kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif
destruktif terhadap performa perekonomian negara-
yang wajib tunduk pada hukum. Prinsip negara
negara di dunia. International Monetary Fund (IMF)
hukum yang diterapkan dalam Undang-Undang Dasar
memprediksi untuk tindak pidana penyuapan saja
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
telah menimbulkan biaya sebesar $1.5 Triliun sampai
pengejawantahan nilai-nilai Pancasila yang digali dari
$2 Triliun (kurang lebih 2% dari total nilai GDP dunia).
bumi Indonesia dan yang secara konsepsional dikenal
Mengingat tindak pidana penyuapan hanyalah
dengan Volksgeist.3 Sebagai suatu negara hukum,
merupakan salah satu bentuk kejahatan korupsi,
maka Negara Indonesia merupakan negara yang
biaya-biaya ekonomi dan sosial dari seluruh bentuk
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), dan tidak
kejahatan korupsi diestimasikan jauh lebih besar.5
berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat).4
Korupsi juga menimbulkan dampak yang korosif dalam masyarakat dan telah memperlemah
Selanjutnya Bab XIV Pasal 33 UUD 1945
kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah dan
mengamanatkan bahwa tujuan bernegara Indonesia
mengikis standar etik dari warga negara suatu
adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.
negara.6
2
Penjelasan atas Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
3
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2015) hal. 184.
4
Jimly Asshidiqi, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, Makalah, diakses pada tanggal 20 Okt. 2015, http://www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum _Indonesia.pdf, hal. 2.
38
5
International Monetary Fund, “IMF Staff Discussion Note. Corruption: Costs and Mitigating Strategies”. (Staff Team from the Fiscal Affairs Department and the Legal Department, SDN/16/05, May 2016), hal. 5.
6
International Monetary Fund, “Fighting Corruption Critical for Growth and Macroeconomic Stability”. (IMF Survey Magazine: IMF Research), hal. 1.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi prioritas
dan tidak mengada-ada; (v) larangan untuk tidak
utama Pemerintah untuk menunjang pertumbuhan
menyebarluaskan tuduhan yang belum terbukti dan
ekonomi secara berkelanjutan. Upaya penegakan
belum masuk proses hukum.8
hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi tentu saja dapat menghilangkan perilaku-perilaku koruptif
Kebijakan dikatakan tepat atau tidak tepat hanya
pejabat negara, sehingga upaya memaksimalkan
dapat diketahui setelah kebijakan tersebut ditetapkan
kesejahteraan masyarakat dapat tercapai sesuai
dan dilaksanakan (post pactum). Kebijakan yang
dengan amanah konstitusi.
kurang tepat tidak sepatutnya dijatuhi sanksi pidana.9 Pengundangan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Kuatnya nuansa hukum pidana dalam pemberantasan
Administrasi Pemerintahan bertujuan untuk
korupsi di tanah air telah menyeret ratusan
meluruskan kecenderungan penegakan hukum yang
penyelenggara negara setingkat menteri, mantan
mengkriminalisasi kebijakan pejabat negara. Semangat
menteri, serta kepala daerah ke penjara. Dalam
yang terkandung di dalam undang-undang ini pada
pemberantasan korupsi ini berbagai kasus kebijakan
dasarnya merupakan bagian integral dari upaya
lembaga negara tidak luput dari proses hukum pidana.
pencegahan tindak pidana korupsi untuk menciptakan
Kondisi ini secara tidak langsung menghambat inovasi
Pemerintahan yang zero corruption. Namun demikian,
dan kreativitas serta keberanian dan kenyamanan
implementasi undang-undang ini masih belum bisa
para pejabat Pemerintah dalam mengambil keputusan.
menyelesaikan perdebatan narasi terkait sampai
Dalam praktik ditemukan suatu keputusan dan
dimana batasan hukum pidana untuk tidak menjadikan
tindakan dalam ranah administrasi dimasukkan dalam
kebijakan pejabat negara sebagai objek dari hukum
ranah tindak pidana korupsi. Idealnya kesalahan
materilnya maupun hukum formilnya.
administrasi dapat dipisahkan dengan kesalahan pidana mengingat kesalahan administrasi merupakan
Dominannya posisi sanksi hukum pidana dalam
peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP)
penegakan hukum seolah-olah telah menjadikan
dalam mendeteksi penyalahgunaan wewenang yang
sanksi hukum pidana sebagai senjata utama dan
dilakukan para pemimpin
Kementerian/Lembaga.7
pertama (primum remidium). Konsep norma ancaman
Salah satu akibat dari kriminalisasi kebijakan adalah
sanksi pidana sebagai politik hukum pidana terbuka
rendahnya penyerapan anggaran karena banyak
(open legal policy) dapat merampas hak-hak
pejabat negara yang mencari 'aman', takut membuat
konstitusional warga negara Indonesia.10 Kondisi ini
kebijakan dan tidak bergairah memutuskan proyek-
perlu diselesaikan melalui upaya reposisi sanksi hukum
proyek besar yang berisiko hukum. Berkaca dari
pidana kembali menjadi 'senjata pamungkas' dalam
pengalaman ini, Presiden Jokowi kemudian
upaya penegakan hukum (ultimum remidium).
menerbitkan lima instruksi terkait dengan adanya kriminaliasi kebijakan, yang terdiri atas: (i) Larangan memperkarakan kebijakan diskresi secara pidana; (ii) Tindakan administrasi Pemerintah tidak dapat
8
Lima Instruksi Jokowi Terkait Larangan Kriminalisasi Pejabat (disampaikan oleh Presiden RI kepada jajaran pimpinan penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan tanggal 19 Juli 2016 di Istana Negara), http://katadata.co.id/berita/2016/07/19/lima-instruksi-jokowi-terkaitlarangan-kriminalisasi.
9
Hikmahanto Juwana, “Patutkah Pengambil Kebijakan Dipidana?”, Artikel, Surat Kabar Harian Media Indonesia, Rabu 26 Maret 2014.
dipidanakan; (iii) Lembaga Pemerintah harus diberikan hak jawab atas temuan BPK dalam jangka waktu 60 hari; (iv) data kerugian negara harus bersifat konkret
7
Eko Prasodjo, “Dua RUU untuk Cegah Pemidanaan Kesalahan Administrasi”, Artikel, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara RI, www.menpan.go.id, diakses pada tanggal 19 Maret 2015.
10 Titis Anindyajati, Irfan Nur Rachman, Anak Agung Dian Onita, “Konstitusionalitas Norma Sanksi Pidana sebagai Ultimum Remedium dalam Pembentukan Perundang-Undangan”. (Jurnal Mahkamah Konstitusi, Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. 24 November 2015), hal. 889.
39
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Kenyataan ini menunjukkan belum diterapkannya
terbesar dalam sejarah. Bear Stearns di bailout sebesar
asas kekhususan sistematis atau systematische
$29 Miliar dan Northern Rock sebesar £95 Miliar,
specialiteit, dimana asas tersebut mengatur
sedangkan Lehman Brothers ditutup. Pemerintah AS
pemberlakuan ketentuan perundang-undangan yang
mengumumkan paket penyelamatan sistem keuangan
bersifat khusus atau “bersifat khusus dari aturan
sebesar $700 Miliar, Inggris sebesar £50 Miliar, dan
khusus lainnya” yang ada sebagaimana telah diatur
Jerman sebesar ¤50 Miliar.
secara eksplisit di dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah ke
Dampak krisis dunia terasa di Indonesia mulai Oktober
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
2008 seperti terjadinya penurunan Indeks Harga
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut
Saham Gabungan (IHSG) lebih dari 50% dan
menyebutkan bahwa:
dihentikannya (suspend) Bursa Efek Jakarta (BEJ)
Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-
pada tanggal 8 Oktober 2008 selama 2 hari karena
undang yang secara tegas menyatakan bahwa
koreksi pasar 10.4%, nilai tukar Rupiah yang sebelum
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang
Lehman Brothers sebesar Rp. 9000,- per USD menjadi
tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku
Rp. 12.600,- (depresiasi 40%) credit default melemah
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
1200 bp, cadangan devisa turun yang disebabkan oleh intervensi pasar valas dan berlanjutnya capital
Dalam penelitian ini diangkat kasus tentang kebijakan
out flow. Sebagai respon, Pemerintah mengeluarkan
Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menjaga
tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
stabilitas sistem keuangan sebagai akibat dampak
(PERPPU) yaitu tentang Bank Indonesia, Lembaga
dari krisis global tahun 2008 yang menimbulkan
Penjamin Simpanan, dan Jaring Pengaman Sistem
dampak
destruktif.11
IMF menilai krisis global tersebut
Keuangan.
merupakan krisis terbesar sejak The Great Depression tahun 1930. Kerugian besar dialami oleh lembaga-
Bank yang langsung memanfaatkan Fasilitas
lembaga keuangan besar, antar lain Union Bank of
Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dari Bank Indonesia
Switzerland, Citibank, dan Merrill Lynch. Bank sentral
adalah Bank Century yang memperoleh FPJP sebesar
Amerika Serikat dan Eropa harus memompa likuiditas
Rp 689 Miliar; penetapan sebagai bank gagal yang
dari masing-masing negara sebesar $ 24 Miliar, dan
ditengarai berdampak sistemik; dan kemudian diambil
¤ 95 Miliar.12 Bank-bank dan lembaga keuangan non-
alih oleh LPS dengan biaya sebesar Rp 6,7 trilyun.
bank berskala besar berguguran dan mengancam
Proses penyelamatan Bank Century dan pemidanaan
pasar keuangan seluruh dunia. Sebagai respon,
Budi Mulya, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia,
pemerintah dan bank-bank sentral terpaksa melakukan
menimbulkan kontroversi hukum yang kompleks di
bailout besar-besaran, melakukan nasionalisasi, atau
ranah Legislatif, Eksekutif, Yudikatif dan di kalangan
menutup sejumlah lembaga keuangan, baik bank
akademisi.
maupun non-bank. Untuk mengakhiri perdebatan narasi antara hukum Pemerintah Amerika Serikat menyelamatkan Fannie
pidana korupsi dengan hukum pidana administrasi
Mae dan Freddie Mac yang menjadi program bailout
seperti di atas, peneliti mengkaji tentang penormaan asas kekhususan sistematis terhadap undang-undang pidana administrasi khususnya di bidang perbankan
11 Made Sukada, Iskandar Simorangkir, Sugeng, Difi A. Johansyah (ed), “Krisis Finansial Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia” (Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, 2009), hal. 41. 12 Ibid, hal. 45-46.
40
dengan menggunakan metode Economic Analysis of Law (EAL) terutama perangkat (tool) Regulatory Impact Assessment (RIA) yang kuantitatif dan kualitatif. Dalam pengkajian ini peneliti memilih alternatif opsi regulasi
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
terbaik yang memberikan dampak kesejahteraan
Analisis data dalam penelitian ini adalah tentang asas
sosial yang optimal (social welfare maximization) yang
kekhususan sistematis mempergunakan metode EAL
berarti efisien dan dengan demikian dinilai adil.13
dengan perangkat-perangkatnya, seperti Regulatory Impact Assessment (RIA) dan Cost Benefit Analysis
Metode pendekatan yang dipergunakan adalah
(CBA). Metodologi EAL dapat didasarkan dari Jeremy
metode hukum normatif didukung dengan analisis
Bentham, John Rawls, dan Richard Posner.
data yang terdiri dari analisis kuantitatif dan kualitatif. Penelitian hukum normatif dimaksudkan sebagai
Jeremy Bentham mengungkapkan bahwa:16
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
“Felicific calculus, which is simply a rather obscure
pustaka atau data sekunder
belaka.14
Penggunaan
label for the process by which he believes it is possible
metode yuridis normatif bersifat kualitatif dalam
to quantify (or calculate) the amount of pleasure or
penelitian ini didasarkan pada alasan sebagai berikut:
pain which will ensue from any specific action. The
(1) analisis kualitatif didasarkan pada paradigma
basis of the felicific calculus is that there are various
hubungan yang dinamis antara teori, konsep-konsep,
qualities (namely, intensity, duration, certainty,
dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi
propinquity, fecundity, purity and extent) each of
yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan
which has to be assessed in order to assess the utility
pada apa yang dikumpulkan; (2) data yang akan
of an act.”
dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu dengan yang lainnya; dan (3)
Penelitian komprehensif atas fondasi-fondasi
sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian
pendekatan EAL dapat dilihat pada pertanyaan-
adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu
pertanyaan di bawah ini:17
kesatuan yang integral
(holistic).15 1. What is economic efficiency; that is, what does
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian
it mean to say that resources are allocated in an
ini adalah metode yuridis kualitatif, yaitu dengan
economically efficient manner or that a body of
menganalisis data-data sekunder secara kuantitatif
law is efficient?. (Apa yang dimaksud dengan
dari sudut pandang ilmu hukum sehingga dapat ditarik
pernyataan alokasi sumber daya yang efisien secara
suatu kesimpulan. Data yang diperoleh kemudian
ekonomis atau isi dari hukum adalah efisien?);
disusun secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas tanpa dipergunakannya rumus
2. Does the principle of efficiency have explanatory
ataupun angka. Data sekunder dan data primer
merit, that is, can the rules and principles of any
sebagaimana dalam penelitian yang sifatnya deskriptif
or all of the law be rationalized or subsumed
analitis dengan pendekatan yuridis normatif, dan
under an economic theory of legislation or
menggunakan metode Economic Analysis of Law
adjudication? (Apakah prinsip efisiensi memiliki
(EAL).
penjelasan mengenai kepantasan, yakni dapatkah aturan-aturan hukum dan prinsip-prinsip hukum dirasionalisasikan atau diklasifikasikan ke dalam teori legislasi ekonomi atau adjudikasi?)
13 Richard A. Posner, The Economics of Justice, (Cambridge: Harvard University Press, 1981), hal. vii. 14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 13-14.
16 Ian McLeod, Legal Theory, (New York: Palgrave Macmillan, 2003), hal. 163.
15 Jhoni Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cet. 2, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hal. 302.
17 Avery Wiener Katz, Foundations of The Economic Approach to Law, (LexisNexis Matthew Bender, 2006), hal. 10.
41
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
3. How should law be formulated to promote
Proses peradilan pidana yang dimulai dari tahapan
efficiency; that is, in what ways must legal rights
pra-ajudikasi sampai dengan tahap pasca-ajudikasi
and duties be assigned and enforced so that the
memiliki dampak yang besar terhadap hak-hak
rules that assign and enforce them are efficient?
pelaku tindak pidana sebagai warga negara dan
(Bagaimana seharusnya hukum diformulasikan
termasuk efek melekatnya stigma terhadap pelaku
untuk menciptakan efisiensi; dengan cara apa
tindak pidana tersebut. Hukum pidana harus selalu
hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum
menjadi alat terakhir dari proses penegakan hukum
seharusnya ditetapkan dan ditegakan?)
(measure of last resort).19
4. Ought the law pursue economic efficiency; that
Kebijakan hukum pidana merupakan hal yang
is, to what extent is efficiency a desirable legal
penting karena dapat membentuk pola pemikiran
value in particular, and a normatively attractive
para pembentuk undang-undang untuk
principle in general? (Anggap hukum ditujukan
menyesuaikan aturan-aturan hukum agar sesuai
untuk mencapai efisiensi ekonomi; dalam batasan
dengan perkembangan dan dinamika masyarakat
apa efisiensi dijadikan nilai hukum secara khusus
yang semakin kompleks.20 Van Bemmelen
dan tercakup dalam prinsip secara umum?).
berpendapat yang membedakan hukum pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi hukum
Pelaksanaan RIA mempertimbangkan perbedaan
pidana yang merupakan pemberian ancaman
elemen-elemen yang membentuk suatu peraturan
penderitaan dengan sengaja dan sering juga
perundang-undangan, prinsip-prinsip umum dan
disebut pengenaan nestapa. Perbedaan demikian
“think-real-approach”. Dalam analisis ini, perhitungan
menjadi alasan untuk menganggap bahwa hukum
biaya dan manfaat menghadirkan aspek-aspek yang
pidana itu sebagai ultimum remedium, yaitu usaha
paling relevan dalam penilaian atas data dan asumsi-
terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia,
asumsi yang digunakan.
terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan
B. TINJAUAN PUSTAKA
kejahatan tersebut. Oleh karena sanksinya yang bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan
1. Kebijakan Hukum Pidana
hukum pidana sedapat mungkin dibatasi, dengan
Hukum pidana merupakan mekanisme paling keras
kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-
yang dimiliki oleh negara dalam mengupayakan
sanksi hukum lain tidak memadai lagi.21
kontrol sosial. Sanksi pidana - sebagai sarana untuk menghukum pelaku kejahatan demi
Prinsip legalitas di dalam hukum pidana merupakan
melindungi kepentingan masyarakat - memberikan
nilai inti dari hak asasi manusia serta pembelaan
timbal balik berupa perampasan kemerdekaan
yang fundamental dalam proses penuntutan
(pidana penjara) dan perampasan harta benda bagi siapa yang dituntut pidana karena melanggar aturan-aturan yang ditetapkan sebagai perbuatan pidana (constitute counter-breaches of interalia the liberty and property of those convicted).18
18 Maria Kaifa-Gbandi, “The Importance Of Core Principles Of Substantive Criminal Law For European Criminal Policy Respecting Fundamental Rights And The Rule Of Law”, (European Criminal Law Review, No. 1, Vol. 1, 2011), hal. 7.
42
19 European Commission, “Towards An EU Criminal Policy: Ensuring The Effective Implementation Of EU Policies Through Criminal Law”, (Communication From The Commission To The European Parliament, The Council, The European Economic And Social Committee And The Committee Of The Regions, Brussels, September 2011), hal. 7. 20 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 19. 21 Andi Zainal Abidin, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1987), hal.16.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
dimana mensyaratkan tidak ada perbuatan yang
dalam memeriksa perkara pidana di pengadilan
dapat dipidana bila tidak diatur sebagai tindak
dilarang untuk menganalogikan undang-undang
pidana dalam undang-undang. Nullum Crimen,
dan dianggap tahu akan hukumnya (in dubio pro
nulla poena sine lege merupakan fakta yang
reo). Bahkan pada faktanya, hakim yang secara
menjamin kebebasan individu; melindungi setiap
sengaja salah menginterpretasikan undang-undang
individu dari intervensi negara yang tidak adil dan
akan menjadi subyek terhadap pembebanan
melanggar hukum. Prinsip ini menjamin keadilan
pertanggungjawaban pidana. Dalam hukum
dan transparansi dari pelaksanaan kekuasan
pidana, prinsip ini merupakan pembatas bagi
yudisial.22
judicial discretion.25
Albert Venn Dicey dalam bukunya yang berjudul
Prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana
Introduction of the Law of the Constitution (1988)
ini berperan sebagai landasan fundamental dalam
menyatakan bahwa kepastian hukum yang berasal
mempertimbangkan penggunaan sanksi lain
dari implementasi asas legalitas membentuk prinsip
sebelum sanksi pidana yang keras dan tajam
utama dari rule of law yang dikemukannya sebagai
dijatuhkan, apabila fungsi hukum lainnya kurang
berikut:23
maka baru dipergunakan hukum pidana.26 Hukum
“No man is punishable or can be lawfully made
pidana adalah last resort dalam penegakan hukum
to suffer in body or goods except for a distinct
bilamana hukum perdata dan hukum administrasi
breach of law established in the ordinary legal
tidak berhasil, kecuali tindakan yang benar-benar
manner before the ordinary Courts of the land”.
melanggar hukum pidana.
Istilah ultimum remedium digunakan oleh Menteri
Douglas Housak dalam bukunya mengutip
Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan
pendapat dari Richard Posner terkait doktrin
seorang anggota parlemen bernama Meckay
substantif dari hukum pidana. Disebutkan bahwa:27
dalam rangka pembahasan rancangan KUHP, yang
“the substantive doctrines of the criminal law ...
antara lain menyatakan bahwa “Asas pokok pidana
can be given an economic meaning and can indeed
ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka
be shown to promote efficiency”. The major
yang menciptakan onrecht (perbuatan melawan
function of criminal law in a capitalist society is
hukum) merupakan syarat mutlak dan perbuatan
to prevent people from bypassing the system of
itu melanggar hukum ancaman
pidana.24
voluntary, compensated exchange-the 'market,' explicit or implicit-in situations where ... the market
Praktik prinsip legalitas di negara-negara Civil
is a more efficient method of allocating resources
Law sangatlah ketat. Sebagai contoh, hakim
than forced exchange. Efficiency-the ultimate objective of law is a technical term of art, equivalent in economic analysis to wealth maximization. The
22 Iulia Crisan, “The Principles of Legality “Nullum Crimen, Nulla Poena Sine Lege” and Their Role”, (Effectius Newsletter, Issue 5, 2010), hal.3. 23 Michael Faure, Morag Goodwin, and Franziska Weber, “The Regulator's Dilemma: Caught between the Need for Flexibility and the Demands of Foreseeability. Reassessing the Lex Certa Principle. (Weber Rotterdam Institute of Law and Economics (RILE) Working Paper Series No. 2013/03), hal. 26. 24 Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 600.
25 Markus Dubber, “Comparative Criminal Law,” The Oxford Handbook of Comparative Law, Ed. Mathias Reimann and Beinhard Zimmermann (New York: Oxford University Press, 2006), hal. 1314. 26 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2006), hal. 56. 27 Douglas Housak, Overcriminalization: The Limits of the Criminal Law, (New York: Oxford University Press, 2008), hal. 181.
43
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
particular distribution of resources that maximizes
Sebagai suatu organisasi yang memegang
wealth places all goods in the hands of persons
kekuasaan, maka diperlukan batasan dan
who value them most. One individual values a
pengawasan atas pihak-pihak yang memegang
resource more than another if he is willing to pay
kekuasaan, karena pelaksanaan suatu kekuasaan
more for it in money (or its equivalent). Market
memiliki pengaruh dan akibat terhadap
is, virtually by definition, the most efficient method
masyarakat. Menurut F.R. Bohtlingk, dalam suatu
of allocating resources.What is and ought to be
negara hukum, penyelenggaraan kekuasaan
forbidden, “is a class of inefficient acts”-acts that
negara dan pemerintahnnya harus dibatasi oleh
fail to maximize wealth”.
hukum. Hukum Administrasi Negara merupakan instrumen untuk mengawasi penyelenggaraan atau pelaksanaan kekuasaan tersebut.31
Pandangan Posner mengenai doktrin substantif dari hukum pidana telah membawa perubahan paradigma dalam menilai bagaimana hukum
Kewenangan yang terdiri dari beberapa wewenang
pidana (baik materil maupun formil) berfungsi di
merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang
tengah masyarakat modern saat
ini.28
tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan yang berlandaskan peraturan
Pidana bertujuan untuk memenuhi fungsi
perundang-undangan. Kewenangan adalah
supremasi sosial dengan cara menggambarkan
kekuasaan yang mempunyai landasan hukum, agar
garis pemisah antara bagian mana yang berharga
tidak timbul kesewenang-wenangan. Wewenang
secara sosial kemasyarakatan dan bagian mana
adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu
yang tidak. Garis inilah yang menetapkan batasan
tindakan hukum publik. Hak adalah kekuasaan
bagi masyarakat untuk tetap berada dalam tatanan
untuk melakukan suatu tindakan hukum privat.32
ketertiban umum.29 Hukum pidana merupakan cabang ilmu hukum yang didalamnya melekat
Setiap pejabat aparatur negara juga memiliki
kewenangan untuk menjatuhkan sanksi berupa
kewenangan diskresi yang melekat pada
pidana kepada setiap pelanggar ketentuan pidana
jabatannya. Dalam lapangan hukum administrasi
yang ditujukan untuk mengembalikan ketertiban
negara, freies emerssen, pouvoir descretionnaire
dan kesejahteraan masyarakat.
atau discretionary power memungkinkan pemerintah melaksanakan fungsinya dalam
2. Kebijakan Hukum Administrasi Negara
keadaan darurat atau luar biasa, mengeluarkan
Pada prinsipnya, suatu negara merupakan suatu
kebijakan yang menyimpang dari peraturan
machtsorganisatie (organisasi kekuasan). Bila
perundang-undangan yang berlaku, demi
dalam suatu organisasi terdapat unsur
kepentingan umum dan dalam keadaan darurat.
Penguasa/Pemerintah, maka dalam organisasi tersebut dapat dilaksanakan suatu kekuasaan
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
(gezag). Keputusan-keputusan dapat dikeluarkan
tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi
sepihak yang mengikat terhadap orang lain.30
didefinisikan sebagai:33
28 Ibid. 29 William Wilson, Central Issues in Criminal Theory, (Oxford-Portaland Oregon: Hart Publishing, 2002), hal. 48. 30 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hal. 68.
44
31 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 25, mengutip Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, PT. Alumni, Bandung, 1975, hal. 21. 32 Ibid. 33 Vide Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5601).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan
menimbulkan kerugian negara. Menurut Eko
dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
Prasodjo, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi
lebih menitikberatkan pada pencegahan tindak
dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
pidana korupsi.36 Misi dari undang-undang ini
peraturan perundang-undangan yang memberikan
adalah zero corruption dengan memperkuat
pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak
Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP)
jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
dan tata cara proses pengambilan keputusan dalam pemerintahan.37
Brian Thompson mendefinisikan diskresi
sebagai:34
“definition of discretion states that a public officer
Keberadaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
has discretion whenever the effective limits of his
2014 tentang Administrasi Pemerintahan
power leave him free to achieve among possible
melengkapi Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
course of action and in action”.
jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang ini
Dalam praktiknya diskresi muncul dalam dua
akan menjadi hukum materiil yang menjadi
bentuk, yaitu apakah sebagai konsekuensi atas
panduan untuk para Hakim TUN dan Kepolisian
adanya kewenangan yang melekat pada jabatan
dalam memeriksa dan memutuskan penyelesaian
(conferment of power) atau sebagai hasil akibat
gugatan masyarakat kepada pemerintah atas
ketiadaaan atau adanya ketidakpastian hukum
keputusan dan tindakan asas pemerintahan.
materil (absence or indeterminacy of legal
Hal tersebut diberlakukan karena Hakim TUN dan
materials).35
Kepolisian selama ini memeriksa dan memutuskan gugatan masyarakat hanya berdasar pada dua
Pelaksanaan diskresi oleh pejabat aparatur negara
hukum, yaitu yurisprudensi dan asas-asas umum
merupakan salah satu upaya untuk mencapai
penyelenggaraan pemerintah yang baik sebagai
tujuan bernegara. Pelaksanaan diskresi yang sesuai
meta-norma dalam proses pembuatan keputusan.38
dengan substansi, prosedur dan tujuannya pada dasarnya adalah pengejawantahan dari upaya
Eksistensi Undang-Undang Administrasi
mengoptimalkan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintahan pada hakikatnya merupakan bagian dari reposisi hukum pidana sebagai ultimum
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
remidium. Dalam hubungannya dengan Undang-
Administrasi Pemerintahan merupakan instrumen
Undang pidana administrasi di bidang perbankan,
hukum administratif yang dijadikan tolak ukur
terutama dalam tataran pengambilan kebijakan
oleh pejabat negara dalam mengambil kebijakan.
pencegahan dan penanganan krisis sistem
Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
keuangan, Undang-Undang Administrasi
2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Pemerintahan merupakan instrumen hukum
merupakan mekanisme administratif terkait
administrasi yang berfungsi sebagai penilai
penyalahgunaan kewenangan, baik yang
kebijakan yang diambil oleh pejabat-pejabat negara
menimbulkan kerugian negara ataupun tidak
34 Brian Thompson, Constitutional and Administrative Law, 3th Ed., (London: Black Stone Press Limited, 1997), hal. 355.
36 http://www.menpan.go.id/berita-terkini/4906-harus-ada-kesamaanpersepsi-apip-dan-penegak-hukum-terjemahkan-uu-adpem diakses pada 12 Agustus 2016 37 http://www.itjen.kemenkeu.go.id/baca/244 diakses pada 12 Agustus 2016.
35 John Bell, “Discretionary Decision-Making: A Jurisprudential View” dalam Kevin Hawkins (ed), The Uses of Discretion, (Oxford: Clarendon Press, 1992), hal. 97.
38 http://ekoprasojo.com/2015/01/12/sosialisasikan-undang-undang administrasi pemerintahan/Diakses pada tanggal 12 Agustus 2016.
45
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
di sektor sistem keuangan (financial safety net
berpendapat dengan semakin banyaknya
players). Kesalahan administrasi dalam pengambilan
undang-undang administrasi yang bersanksi
kebijakan pencegahan dan penanganan krisis
pidana telah menjadikan hukum pidana
sistem keuangan tidaklah serta merta menjadi
bergeser sifatnya dari ultimum remedium
kesalahan dalam koridor pidana korupsi.
menjadi primum remedium.
Implementasi instrumen penilaian atas kebijakan
Berkembangnya undang-undang administrasi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
yang bersanksi pidana tidak lepas dari bagian
2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang
kebijakan hukum pidana. Menurut La-Patra
didukung dengan penormaan asas kekhususan
sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda
sistematis ke dalam kelompok Undang-Undang
Nawawi Arief, “Crime Policy” dikatakan efektif
Pidana Administrasi Pemerintahan pada hakikatnya
apabila mampu mengurangi kejahatan
ditujukan untuk memberikan batasan yang tegas
(reducing crime), baik dalam arti mampu
atas wewenang hukum pidana korupsi dan hukum
melakukan pencegahan kejahatan (prevention
pidana administrasi.
of crime) maupun dalam arti mampu melakukan perbaikan terhadap pelaku
2.1. Kedudukan Asas Kekhususan Sistematis
kejahatan itu sendiri (rehabilitation of
(Systematische Specialiteit)
criminals).40 Apabila ternyata kejahatan tidak
Kebijakan hukum pidana melalui implementasi
berkurang tetapi justru semakin meningkat,
asas kekhususan sistematis (systematische
maka hal ini dapat dilihat sebagai suatu
specialiteit) merupakan upaya penting dalam
petunjuk atau indikator tidak tepatnya lagi
harmonisasi dan sinkronisasi antar undang-
kebijakan perundang-undangan yang ada.41
undang yang terkandung sanksi pidana didalamnya, baik itu yang bersifat pure criminal
2.2. Kewenangan Bank Sentral Dalam
act ataupun hukum pidana administrasi
Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan
(administrative penal law). Asas kekhususan
Bank sentral memiliki peran yang sangat
sistematis terdapat pada pasal 14 UU Tipikor.
sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Menjaga tingkat kestabilan sistem
Interpretasi terhadap pasal ini tidak seragam
keuangan merupakan hal yang mutlak dalam
sehingga seringkali mengakibatkan terjadinya
menghindari krisis dimana peran ini dijalankan
kriminalisasi kebijakan pejabat. Munculnya
oleh bank sentral. Stabilisasi sistem keuangan
banyak undang-undang administrasi yang
merupakan cara utama untuk mencegah
bersanksi pidana (administrative penal law)
terjadinya krisis. Krisis keuangan juga sering
merupakan fenomena yang menarik untuk
disebut sebagai banking panics, bank runs
ditinjau secara akademis. Beberapa sanksi
dan banking collapse. Penggunaan terminologi
pidana dalam undang-undang administrasi
krisis “keuangan” karena sistem keuangan
diantaranya dapat diklasifiksaikan sebagai
yang ada hari ini jauh lebih canggih, sumber
sanksi pidana berat, mulai dari sepuluh sampai
dari krisis dapat berasal dari pasar modal atau
dengan lima belas tahun, pidana penjara
lembaga keuangan non bank daripada bank
seumur hidup, bahkan ada pula dengan ancaman pidana mati.39 Sebagian ahli 40 Muladi dan Barda Nawawi A, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 199. 39 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 3.
46
41 Ibid.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
sendiri, meskipun bank juga memiliki pengaruh
Stabilitas sistem keuangan tidak hanya
besar.42
mengindikasikan bahwa sistem keuangan menjalankan perannya dalam mengalokasikan
Sistem keuangan memerankan fungsi esensial
sumber dana dan risiko, tetapi juga mobilisasi
untuk menyalurkan dana pihak ketiga kepada
dan memfasilitasi akumulasi, perkembangan
individu atau badan usaha yang memiliki
dan pertumbuhan kekayaan. Selain itu, sistem
kesempatan investasi yang produktif. Untuk
keuangan yang stabil mengindikasikan
menjalankan perannya dengan baik, para pihak
terjaganya sistem pembayaran secara lancar
di dalam sistem keuangan harus mampu untuk
dan mampu mendukung kelancaran kegiatan
membuat penilaian akurat tentang tujuan dari
ekonomi.44
investasi mereka. Stabilitas sistem keuangan adalah sebuah kondisi dimana hubungan
Tujuan utama dalam menjaga stabilitas sistem
intermediaries lembaga keuangan terjalin
keuangan adalah untuk mencegah terjadinya
secara efisien dan optimal diantara para pelaku
krisis dalam sistemnya. Krisis pada sistem
pasar (ultimate borrowers and ultimate lenders).
keuangan akan berpengaruh negatif bagi
Untuk mendefinisikan stabilitasasi sistem
keseluruhan perekonomian suatu negara.
keuangan, Martin Cihak menggambarkannya
Oleh karena itu, perlu diterapkannya suatu
dalam tabel sebagai
berikut:43
mekanisme untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Model kerangka berpikir dalam
Gambar 1 Definition of Financial Stability. Martin Cihak (2006)
MONITORING AND ANALYSIS Macroeconomic Conditions
Financial Markets
Financial Institutions
Financial Infrastructure
menjaga stabilitas sistem keuangan dapat ditunjukan pada gambar di bawah ini. Gambar 2 Framework For Maintaining Financial System Stability. Aerdt Houben, Jan Kakes, dan Garry Schinasi (2004) SIGNIFICANT EXPOSURE NOT APPARENT
Inside financial stability corridor
Near boundary stability corridor
Outside financial stability corridor
PREVENTION REMEDIAL ACTION RESOLUTION
SIGNIFICANT SHOCKS
ASSESSMENT
APPARENT
NO
Financial Stability
Financial Stability
NOT NOW BUT PLAUSIBLE
Financial Stability
Financial Stability
Volatility (turbulance, bubbles)
Financial Crisis
YES
FIANANCIAL STABILITY
Peran bank sentral sangatlah penting di dalam sistem keuangan. Kebijakan moneter tidak dioperasikan dalam keadaan statis, namun dilaksanakan melalui bank dan pasar. Banyak 42 Ian Macfarlane, “The Stability of The Financial System”, (Reserve Bank of Australia Bulletin, August 1999), hal. 34. 43 Martin Cihak, “How Do Central Banks Write on Financial Stability?, (IMF Working Paper WP/06/13, International Monetary Fund, June 2006), hal. 8.
permasalahan yang berat muncul dalam
44 Iskandar Simorangkir (ed), Op.Cit., hal. 415.
47
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
menjaga sistem keuangan ditengah era praktik
terjadi. Dalam beberapa tahun setelah krisis
perbankan modern berasal dari moral hazard
global terakhir telah terjadi banyak krisis dunia,
(keadaan dimana bank-bank bertindak secara
yang bahkan sampai saat ini belum jelas
ceroboh dan kurang bertanggungjawab karena
solusinya. Sedikitnya terdapat 3 jenis krisis
berekspektasi bahwa ketika terjadi default
yaitu krisis perbankan (banking crisis),
pada bank tersebut, bank sentral atau
pembekuan kredit dan pasar uang (credit and
pemerintah pasti akan memberikan bantuan
market freeze), dan krisis nilai tukar (currency
pendanaan). Dengan kata lain, para pejabat
crisis).48 Krisis perbankan yang biasanya diikuti
di bank sentral wajib menjaga kestabilan sistem
oleh kepanikan bank (bank panic) dan
keuangan secara
berkelanjutan.45
penarikan dana besar-besaran (bank run) secara kasat mata terlihat menakutkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa stabilitas moneter dan stabilitas keuangan dapat diibaratkan
Bank dikenal dengan pembiayaannya yang
sebagai satu koin mata uang yang memiliki
berjangka panjang dengan dana jangka
dua sisi yang dapat dibedakan tapi tidak dapat
pendek. Mismatch antara penerimaan dan
dipisahkan. Dalam hal ini stabilitas moneter
penarikan dana terjadi hampir setiap hari.
dapat tercapai hanya apabila stabilitas keuangan
Masalahnya adalah bila terjadi kekurangan
dapat dijaga, dan demikian pula sebaliknya.
likuiditas di pasar sedangkan tidak ada sumber
Keterkaitan antara kedua stabilitas tersebut
lain untuk menutup mismatch sehingga
menunjukkan bahwa kedua pilar stabilitas
mengganggu kelancaran sistem pembayaran
tersebut harus dijaga secara bersamaan
yang mengakibatkan terganggunya investasi.
(simultaneously).46
Ketidakstabilan sistem
keuangan menganggu fungsi sistem keuangan
Dalam situasi seperti ini, bank sentral
dalam intermediasi dan transmisi moneter
menghadapi 2 pilihan yaitu menolak memberi
sehingga pertumbuhan ekonomi menimbulkan
bantuan atau menyetujui bantuan likuiditas.
ketidakstabilan
moneter,47
dan hal inilah yang
memicu terjadinya krisis sistem keuangan.
Dalam situasi normal, mungkin penutupan bank tidak banyak menimbulkan masalah. Berbeda dengan keadaan krisis, dimana terjadi
Krisis keuangan mengakibatkan gangguan
penurunan kepercayaan, pilihan bank sentral
hebat terhadap berfungsinya sistem keuangan
sangat terbatas bahkan mungkin hanya tersedia
dan moneter yang berjalan mulus dalam
satu pilihan yaitu memberi bantuan likuiditas.49
mempertahankan efisiensi disaat normal. Sangat disayangkan krisis keuangan telah
Pada saat krisis negara dihadapkan pada 3
terjadi terlalu sering sepanjang sejarah
pilihan yaitu: mempertahankan kebebasan
meskipun sudah banyak upaya dilakukan untuk
capital flow, mempertahankan otonomi
mencegahnya. Sangat sulit memperkirakan
kebijakan moneter, atau menstabilkan nilai
bahwa tidak akan terjadi krisis lagi di waktu
tukar. Pilihan-pilihan tersebut tidak dapat dipilih
depan hanya tidak dapat diketahui kapan akan
semua bersamaan karena ada 'conflicting' impacts. Dalam situasi global yang sudah sangat dalam saat ini pilihan capital control
45 Marjorie Deane & Robert Pringle, The Central Banks, (USA: Penguin Group, USA, 1995), hal 342. 46 Iskandar Simorangkir (ed), Op.Cit., hal. 420-421.
48 Ibid, hal. 2-3.
47 Ibid.
49 Ibid, hal. 7.
48
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
dan kembali ke fixed rate system hampir
yang efektif dan efisien yang berlaku di dalam
mustahil. Oleh karena itu kebanyakan bank
masyarakat.53 RIA berupaya untuk memeriksa
sentral memilih mempertahankan otonomi
dan mengukur manfaat, biaya, dan dampak
dalam menentukan kebijakan moneter dengan
dari perubahan dan/atau rancangan dari
melakukan 'intervensi' terbatas di pasar valuta
peraturan perundang-undangan, dan
untuk menstabilkan nilai tukar.
mempunyai ciri: (i) sebuah perangkat utama bagi pemerintah untuk mengambil keputusan;
Walter Bagehot50 menyediakan teorinya yaitu
(ii) mendukung pelaksanaan reformasi regulasi;
untuk memberi bantuan guna menutup
(iii) telah digunakan oleh seluruh negara-
mismatch kepada bank yang 'sehat', berapapun
negara anggota Organization for Economic
jumlahnya dengan 2 syarat utama yaitu: (i)
Co-operation Development (OECD); dan (iv)
suku bunga penalty; dan (ii) dengan jaminan
penerapannya bersifat kasuistis.54
yang cukup. Dalam situasi krisis yang hebat, bantuan ini bahkan tidak lagi melihat tingkat
Regulasi merupakan instrumen hukum yang
kesehatan bank - sehat atau tidak - karena
esensial bagi pemerintah untuk mencapai
dikhawatirkan adanya dampak sistemik.
tujuannya, namun regulasi tentu saja akan
Dari argumen inilah muncul fungsi bank sentral
memiliki dampak yang sangat luas pada
sebagai lender of last resort (LOLR) yaitu untuk
berbagai kelompok masyarakat yang berbeda-
menjaga kelancaran sistem keuangan dan
beda dengan dampak yang berbeda-beda
moneter dengan mempertahankan sistem
pula. RIA dapat membantu dalam memberikan
pembayaran. Bila tidak dilakukan akan
pemahaman mendalam dan komprehensif
menimbulkan gangguan terhadap sistem
terkait siapa yang akan terkena dampak dari
keuangan yang selanjutnya akan berdampak
regulasi dan bagaimana caranya.55
besar kepada kelangsungan ekonomi nasional.51 RIA adalah perangkat yang digunakan oleh 2.3. Regulatory Impact Assessment (RIA)
regulator untuk membimbing mereka dalam
Analisa Dampak Regulasi (Regulatory Impact
proses pengambilan keputusan ketika
Assessment atau RIA) merupakan salah satu
merancang regulasi, dan RIA digunakan untuk
perangkat atau teknik yang terkandung di
menggambarkan berbagai jenis alternatif yang
dalam EAL. RIA sering digambarkan sebagai
ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan,
perangkat penilai dalam mengevaluasi dampak
serta membandingkan manfaat dan biaya dari
dari regulasi-regulasi yang telah ada atau yang
masing-masing alternatif.56
akan
dibuat.52
Penerapan RIA telah menjadi
fenomena global dalam rangka memberikan respon terhadap tekanan akan adanya regulasi
53 The Precidency: Republic of South Africa, “Guidelines For The Implementation of The Regulatory Impact Analysis/Assessment (RIA) Process In South Africa”, (The Precidency of Republic of South Africa: 2012), hal. 2.
50 Walter Bagehot, Lombard Street:A Description of the Money Market, (London: Henry S. King & Co, 1873), hal. 77.
54 David Shortall, “Regulatory Impact Assessment: Methodology and Best Practices”, Lecture, INMETRO International Workshop on Conformity Assessment, (Rio de Janeiro, Brazil: Dec 11-12, 2006).
51 Jean-Charles Rochet, Why Are There So Many Banking Crises? The Politics and Policy of Bank Regulation, (New Jersey: Princeton University Press, 2008), hal 24-25.
55 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), “Indroductory Handbook for Undertaking Regulatory Impact Analysis, (OECD, Version 1.0 October 2008), hal 3.
52 Stefan Staschen, Ahmed Dermish, & Lara Gidvani, “Regulatory Impact Assessment Methodology: Towards Evidence Based Policy Making in Financial Inclusion”, (Bankable Frontier Associates, September 2012), hal. 1.
56 Richard Williams and Jerry Ellig, “Regulatory Oversight: The Basics of Regulatory Impact Analysis” (Mercatus Center at George Mason University, Arlington, VA, September 12, 2011), http://mercatus.org/publication/ regulatory-oversight, diakses pada tanggal 26 April 2016.
49
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Di AS, pembentukan regulasi di ranah kekuasaan
undang-undang dan penegakan hukum yang
Eksekutif mensyaratkan untuk menerapkan RIA
semakin terbuka, transparan, dan akuntabel.
dalam setiap lembaga pemerintahan sejak tahun
Untuk itu perlu dilibatkan lebih dekat public
1981. Hasil implementasi RIA ditinjau oleh Office
stakeholders bukan hanya eksklusif terbatas
of Information and Regulatory Affairs (OIRA),
pada pembuat undang-undang saja.
sebuah lembaga khusus yang bertugas langsung
d. Keempat, memperbaiki akuntabilitas
di bawah Office of Management and Budget (OMB)
pemerintahan. RIA dapat memperbaiki
di kantor Kepresidenan AS. RIA mengidentifikasi
keterlibatan dan akuntabilitas pengambil
permasalahan dan mempertimbangkan berbagai
keputusan pada tingkat Pemerintah, Menteri,
pilihan alternatif opsi penyelesaiannya yang diatur
Lembaga-lembaga negara, dan politisi pembuat
secara eksplisit di dalam Executive Order (EO)
undang-undang melalui sistem informasi yang
12866 yang diterbitkan oleh Presiden Bill Clinton
menggambarkan manfaat dan biaya bagi
pada tahun 1993.57
masyarakat.
Pada intinya, Executive Order tersebut mensyaratkan
Unsur-unsur penting dalam penyusunan RIA
semua lembaga pemerintah wajib menilai biaya
adalah:59
(costs) dan manfaat (benefits) dari pilihan-pilihan
a. Adanya ahli yang terpercaya, baik dari kalangan
regulasi, termasuk alternatif regulasi yang belum
regulator atau di luar pembuat undang-undang;
diundangkan.
b. Konsensus dari semua pihak yang terkait dengan keputusan terutama yang akan
Tujuan-tujuan dari RIA adalah:58
menikmati benefit dan terbebani cost;
a. Pertama, memperbaiki keyakinan tentang
c. Politik, yang akhirnya keputusan diambil oleh
dampak regulasi pemerintah, baik manfaatnya
politisi di DPR dan Pemerintah;
maupun biayanya. Regulasi seharusnya dibuat
d. Benchmarking, sebagai ukuran pembanding
berdasarkan data empiris untuk memperoleh
berdasarkan kajian ilmiah;
efisiensi yang maksimal dalam pengambilan
e. Empiris, yaitu berdasarkan data lapangan yang
keputusan maupun dampaknya kepada
dianalisa sesuai kriteria.
ekonomi, administrasi publik, lingkungan, dan sosial.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
b. Kedua, mengintegrasikan multiple policy objectives. Dengan dunia yang semakin
1. Kebijakan Krisis
komplek dan rumit, pembuat undang-undang
Sepuluh tahun setelah krisis Asia berakhir, krisis
dipaksa untuk tidak hanya melihat tujuan yang
subprime mortgage meledak 2008 dan
sempit dan berjangka pendek tetapi juga
mengakibatkan seluruh dunia masuk ke dalam
tujuan lainnya seperti efisiensi, pertumbuhan
resesi ekonomi yang parah. Sejarawan
ekonomi, kesenjangan, lingkungan, dan sosial.
membandingkannya dengan krisis saat The Great
c. Ketiga, memperbaiki transparansi dan
Depression 1930. Dalam rentang waktu satu bulan
konsultansi. Pengalaman bertahun-tahun
dari bangkrutnya Lehman Brothers, pada tanggal
menunjukkan adanya kebutuhan penyusunan
15 September 2008, pasar keuangan global runtuh karena efek domino. Dunia sekali lagi menyaksikan bahwa dalam pasar keuangan yang bebas dan
57 Executive Order Number 12866, “Regulatory Planning and Review”, 58 FR 51735, (October 4, 1993). 58 Ibid.
50
59 Ibid.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
global ini, kepercayaan pasar (market confidence)
Pada tahap pertama, sekuritisasi dilaksanakan
memegang posisi menentukan. Bilamana
terhadap sejumlah subprime mortgage sehingga
kepercayaan pasar hilang, kepanikan bank (bank
menjadi instrumen yang disebut mortgage-backed
panic) akan terjadi sehingga mengakibatkan
securities (MBS). Dalam sistem keuangan modern,
penarikan dana secara besar-besaran (bank run)
praktik sekuritisasi MBS ini merupakan suatu hal
dan pada akhirnya menghancurkan pasar itu
yang telah lazim, dan bahkan pada tahun 2006
sendiri. Pemerintah dan bank sentral dituntut
jumlah kredit perumahan di AS (mortgage) yang
untuk menyelamatkan pasar keuangan dan
disekuritisasi menjadi MBS telah mencapai hampir
menghindarkan bencana ekonomi nasional dengan
60% dari seluruh jaminan kredit perumahan.62
menggunakan perannya sebagai the Lender of Last Resort (LOLR).60
Kerugian besar yang terjadi sebenarnya bersumber dari praktik pengemasan subprime mortgage
Krisis subprime mortgage mencapai puncaknya
tersebut ke dalam berbagai bentuk instrumen
tahun 2008 dan telah menimbulkan bencana
lain (derivative products), yang kemudian
keuangan dunia. Sejak tahun 2002 pembiayaan
diperdagangkan di pasar finansial global. Tahap
rumah besar-besaran dari bank dan lembaga
inilah yang mengakibatkan penggelembungan
keuangan, capital inflow, dan inovasi sekuritisasi
(bubbles) dalam sistem keuangan AS. Proses
kredit rumah dapat diakses dengan sangat mudah
sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga baik institusi
dan murah. Pembiayaan dilakukan melalui
pemerintah (antara lain lembaga Fannie Mae dan
pemecahan-pemecahan instrumen pasar uang
Freddie Mac) maupun swasta. Dalam proses
dan menjadi berbagai produk-produk derivatif
sekuritisasi ini, pihak ketiga seringkali melakukan
yang dijual ke investor yang selanjutnya dijual
pengemasan dengan melakukan penggabungan
menjadi Collateralized Debt Obligation (CDO) dan
(pooling) sejumlah mortgages, yang selanjutnya
Structured Investment Vehicle (SIV).61
dijual kepada investor yang berminat. Untuk menanggulangi risiko gagal bayar (default), maka
Gambar 3 Mortgage's Securitization Proceedings. US Financial Crisis Comission (2011)
pihak ketiga ini sekaligus bertindak sebagai penjamin.
Originate
1 Lenders extended mortgages, including subprime and At-5 loans
RMBS TRANCHES Low Risk, Low Yield
Pool of Morgages
Pool
2 Securities firms purchase these loans and pool
AAA
them Tranche
First claim to cash flow from principal and interest payments...
SENIOR TRANCHES
3 Residential mortgage-backed securities are sold toinvestors, giving them the right to the principal and interest from the mortgages. These securities are sold in tranches, or slices. The flow of cash determines the rating of the securities, with AAA tranches getting the first cut of principal and interest payment, then AA, then A, and so on.
next claim...
AA next etc...
A BBB BB EQUITY TRANCHES High Risk, High Yield
60 Andrew Sheng, From Asian To Global Financial Crisis. An Asian Regulator's View of Unfettered Finance in the 1990s dan 2000s. (New York:Cambridge University Press, 2009), hal. 375. 61 Made Sukada, Iskandar Simorangkir, Sugeng, Difi A. Johansyah (ed), Op.Cit., hal. 42.
MEZZANINE TRANCHES These tranches were often Purchased by CDCs
Collateralized Debt Obligation
62 US Financial Crisis Comission, Op.Cit., hal. 70.
51
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Banyak lembaga keuangan yang turut
(contagion) ke dalam negeri. Sebelum Lehman
memperdagangkan sekuritisasi ini dengan
Brothers mengumumkan kebangkrutan, nilai tukar
memberikan pinjaman, gadai, tanpa kontrol dan
Rupiah masih berada di level Rp. 9000 per US
tanpa manajemen yang mumpuni diluar keahliannya
Dollar, tetapi pada tanggal 24 November 2008
hanya untuk memperoleh keuntungan. Mereka
Rupiah menembus angka Rp. 12.650 per US Dollar.
dikenal dengan shadow banks sebagai perantara
Pada bulan Juli 2008 cadangan Devisa Indonesia
keuangan yang terlibat dalam menciptakan kredit
berkurang dari US$ 60,6 Miliar menjadi sebesar
dalam sistem keuangan global. Lembaga-lembaga
US$ 51,6 Miliar bulan Desember. Risiko kredit
tersebut yang melipat gandakan leverage atas
(credit default) Indonesia juga ikut melemah
kredit pemilikan rumah sehingga bisa mencapai
hingga 1200 basis poin (bps). Indeks harga saham
empat puluh kali dari harga rumah. Ciri property
gabungan (IHSG) pada tanggal 8 Oktober
bubble semacam ini yang mengakibatkan subprime
2008 anjlok sebesar 10,38% dan menyentuh
crisis.
1.451,7 yang mengakibatkan otoritas bursa memberhentikan sementara perdagangan efek
Intensitas krisis global 2008 terlihat ketika:
dan derivatif selama 2 hari kerja hingga tanggal
(i) BNP Paribas menyatakan ketidaksanggupannya
10 Oktober 2008. Jumlah dana asing yang terdapat
mencairkan instrumen finansial yang terkait
di Surat Utang Negara (SUN) turun dari Rp. 108,37
dengan subprime mortgage di Amerika Serikat
triliun pada tanggal 5 September 2008 menjadi
pada Agustus 2007; (ii) bank sentral AS (The
Rp. 105,6 triliun pada tanggal 19 September 2008.
Federal Reserve) dan bank sentral Inggris (Bank of England) kemudian harus memompa likuiditas ke pasar masing-masing senilai $25 Miliar dan ¤95 Miliar; (iii) Union Bank of Switzerland, Citibank,
Gambar 4 Indikator Krisis Global Terhadap Perekonomian Indonesia. Bank Indonesia (2009) Flows Dana Asing Di SBI,SUN dan Saham
dan Merryl Lynch mengalami kerugian besar; (iv) Bear Stearns dipaksa harus diakuisisi oleh JP Morgan Chase pada awal 2008; (v) Pemerintah AS memutuskan untuk menyelamatkan Fannie Mae dan Freddie Mac pada September 2008 yang menjadi program bail out terbesar dalam sejarah AS; (vi) Dalam rentang waktu Oktober sampai dengan Desember 2008 intensitas krisis semakin meningkat, sehingga mengakibatkan
USD Juta 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000 -2,000 -3,000 -4,000
IDR/USD 9,000 9,500 10,000 10,500 11,000 11,500 12,000 Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar May Jul Sep 2008
Ukraina, Pakistan, dan Islandia harus meminta
Saham
bantuan kepada IMF disusul oleh Hungaria. Pada periode ini, Economic Research National Bureau of Economic Research (NBER) menyatakan perekonomian AS masuk ke dalam masa resesi.63
2009 SUN
SBI
IDR/USD
Volatilitas IHSG Indeks 3.00 2.50
Mengingat keterbukaan ekonomi dan pasar di
2.00
Indonesia, krisis global memberi dampak langsung
1.50 1.00 0.50
63 Made Sukada, Iskandar Simorangkir, Sugeng, Difi A. Johansyah (ed), “Krisis Finansial Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia” (Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, 2009), hal. 45-46.
52
0.00 Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar May Jul Sep Nov 2008
2009
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Pemerintah merespon cepat situasi krisis dengan
Pergerakan IHSG
mengeluarkan tiga Peraturan Pemerintah Pengganti
Indeks 3000
Undang-Undang (PERPPU) tentang Bank Indonesia,
2750 2500 2250 2000 1750 1500 1250 1000
Lembaga Penjamin Simpanan, dan Jaring Pengaman Sistem Keuangan sebagai bentuk pencegahan dan penanganan terhadap dampak krisis global ke Indonesia. 1111.39 Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar May Jul Sep 2008
Selanjutnya Bank Indonesia menyempurnakan kembali sejumlah aturan. Misalnya, Peraturan Bank
2009
Sumber: Bloomberg
Indonesia (PBI) No.10/26/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) bagi Bank Umum
Demand Supply Valas (Spot)
yang lalu direvisi menjadi PBI No.10/30/2008 dan
US$ 5000 5000
Excess Supply
-1000
-5000
PBI No.10/31/2008 tentang Fasilitas Pinjaman
9600
Darurat (FPD).
9400
1000
-3000
9800
Excess Demand
Capital outflow
9200
Ringkasan dari peran pemerintah dalam menangani
9000
gejolak krisis global di Indonesia adalah sebagai
8800
berikut:
8600
Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar May Jul Sep 2008
2009
Nets (+)/D (-) Domestic Player
Nets (+)/D (-) Total
Nets (+)/D (-) Foreign Player
Exchange Rate
Gambar 5 Krisis Keuangan Global 2008 dan Dampaknya Kepada Indonesia
HOUSING BUBBLE
BUBBLE BURSTING
CONTAGION EFFECTS
CRISIS ANTICIPATION
US Goverment Encouraged Banks to Lend with Cheap Money
Housing Prices Dropped; CDO, Banks, Hedge Funds, Investors Suffered Losses Stop; Buying MBS
Panic; Bank Runs; Stock Price Crusched Banks; Mortgage Lenders; Hedge Funds, Investors Significant Losses; Large Unemployment
PERPU 2/2008 PERPU 3/2008 PERPU 4/2008 PBI 26/2008 PBI 30/2008
US HOUSING BUBBLE 2002 - 2006
US CRISIS 2007 - 2008
GLOBAL CRISIS 2007 - 2008
BORROWER/HOME OWNER
BAILOUT
BAILOUT
Large Borrowers, Low Income, Easy Credit Low Repayment Capacity Flush W/Liquidity Mbs/Cdo/Cds housing Prices Increased Stock Market Booming
• • • • • • • •
Bear Stearn ($ 30 B) Washington Mutual (1.9 B) AIG (85 B) Fannie May And Freddie Mac Under Cosevatorship Tarp (700 B) Lehman Brothers Closed Merill Lynch Acquired By BoA (50B) Goldman Sachs, Morgan Stanley Converted To Commercial Banks
• Northern Rock (Feb 2008) £ 25 B • Hbos Bought By Lloyds (12 B Pound Or 22.3 B) • Bardford & Bingley Nationalized (50 B Pound) • Fortis Nationalized (16.8 B Euro) • Hypo Real Estate Rescued • Australia Raied Au$8 B • Japan Bought Lehman Assets
INDONESIA 2008
BAILOUT BANK INDONESIA FPJP • CENTURY (RP 689 M) DG BUDI MULIA (10-12) KSSK BAILOUT • CENTURY - LPS (RP 6.7 T)
53
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Upaya pencegahan dan penanganan krisis global
Selanjutnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Pemerintah
memperberat hukuman Budi Mulya menjadi 12
Indonesia menimbulkan kontroversi hukum dengan
tahun penjara. Alasan memperberat antara lain
dipidananya salah satu Deputi Gubernur Bank
di samping menimbulkan kerugian keuangan
Indonesia atas nama Budi Mulya.
negara yang besar, juga telah menimbulkan gangguan laju pertumbuhan perekonomian
Majelis Hakim menilai penetapan Bank Century
negara.66 Sanksi pidana penjara tersebut kemudian
sebagai bank gagal berdampak sistemik yang
diperberat oleh Mahkamah Agung menjadi 15
selanjutnya diserahkan kepada LPS pada 21
tahun penjara setelah dalam Putusan Kasasi.67
November 2008, dan disetujui terdakwa dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI mengakibatkan
Pada hakikatnya, penanganan krisis sistem
kerugian negar Rp. 8.012.221.000.000,- telah
keuangan di berbagai negara dilaksanakan
menciderai kepercayaan masyarakat terhadap
berdasarkan landasan hukum yang jelas dan tidak
kesungguhan negara dalam membangun
multi-tafsir. Secara teoritis, bank sentral memiliki
demokrasi
ekonomi.64
peranan dalam melaksanakan fungsinya sebagai LOLR, baik dalam situasi normal maupun masa
Pada tanggal 16 Juli 2014, Pengadilan Tipikor
krisis. Begitupun dengan koordinasi bank sentral
Jakarta memutuskan bahwa Budi Mulya terbukti
dengan lembaga negara terkait ketika
melakukan tindak pidana korupsi. Terdakwa
melaksanakan krisis protokol (protocol crisis).
dihukum 10 tahun penjara dan denda 500 Juta Rupiah subsider 5 bulan kurungan. Dalam amar
Dengam mengambil contoh komparatif pada
putusan, hakim tipikor menilai Budi Mulya terbukti
pengambilan tindakan dalam rangka pencegahan
melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu
dan penanganan krisis sistem keuangan di
pemberian persetujuan FPJP dengan iktikad tidak
Indonesia, Amerika Serikat dan Inggris, pada
baik karena untuk mencari keuntungan bagi diri
prinsipnya para financial safety net players pada
sendiri dan menyelamatkan dana Yayasan
masing-masing negara telah mengambil tindakan
Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia (YKKBI)
yang didasarkan pada landasan hukum yang jelas
yang ada di Bank Century, serta tindakan-tindakan
maupun penggunaan diskresi dengan reasoning
lain yang bermotif korupsi, kolusi, dan nepotisme.
yang tepat. Meskipun demikian, proses dan output
Di samping itu, hakim menilai pemberian FPJP
dari pelaksanaan masing-masing kewenangan
tidak dilakukan dengan analisis mendalam dan
seringkali menimbulkan pro dan kontra. Tabel di
berdampak positif sehingga menyebabkan kerugian
bawah ini menggambarkan jenis permasalahan
negara mencapai Rp. 8,5 Triliun, yaitu FPJP sebesar
serta tindakan penyelamatan yang dilakukan bank
Rp. 689,39 Miliar, kerugian saat pemberian
sentral ketika berupaya menyelamatkan sistem
penyertaan modal sementara dari Lembaga
keuangan negaranya masing-masing.
Penjamin Simpanan (LPS) Rp. 6,7 Triliun hingga Juli 2009, dan Rp. 1,2 Triliun pada Desember 2013.65
64 Vide Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 67/PID/TPK/2014/ PT.DKI Tahun 2014 a.n Terdakwa Budi Mulya. 66 Ibid. 65 Vonis Budi Mulya Bertambah Jadi 12 Tahun, http://www.kpk.go.id/id/ berita/berita-sub/2385-vonis-budi-mulya-bertambah-jadi-12-tahun, diakses pada tanggal 8 Desember 2015.
54
67 http://www.beritasatu.com/hukum/340949-salinan-putusan-budi-mulyaditerima-kpk-kembangkan-kasus-century.html
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Tabel 1. Crisis Resolution and Its Legal Basis During The Financial Crisis of 2008
INDONESIA
UNITED STATE OF AMERICA
UNITED KINGDOM
1
Central Bank Institution
Bank Indonesia
Federal Reserve
Bank of England
2
Subject of Comparison Study (Financial Institution)
Bank Century
Bear Stearns
Northern Rock
3
Legal Basis: a) Central Bank Regulation b) Banking Regulation
UU tentang BI (UU No. 23/199) UU tentang Perbankan (UU No. 10/1998)
Federal Reserve Act 1913
Bank of England Act 1998
The Gramm-Leach-Bliley Act (Financial Services Modernization Act of 1999)
Banking (Special Provisions) Act 2008
4
Financial Safety Net Regulation
Perpu No. 4/2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan
Emergency Economic Stabilization Act of 2008
BoE Act (Fully Discretion Exercise of BoE
5
Main Issue
Contagion effect from global crisis that leads to systemic crisis
“Sub-prime mortgage”
“Failure to perform shortterm funding”
6
Crisis Resolution Mechanism
FPJP: Rp 689,39 M Deposit guarantee: Rp 6,7 T (Jul 2009)
Fed Bailed-out J.P. Morgan to take over Bear Sterns & Created Maiden Lane LLC as special vehicle purpose to remove the toxic assets. The bail out is worth for US$29 billion
BoE bailed-out to support Northern Rock’s liquidity level. The bail out is worth for £2530 billion
Meskipun tidak diatur secara eksplisit, Amerika
dalam pemberian bantuan likuiditas bagi lembaga-
Serikat dan Inggris telah menerapkan asas
lembaga keuangan, termasuk bailout Northern
kekhususan sistematis yang memisahkan secara
Rock.
tegas aturan-aturan khusus antara hukum pidana administrasi dan undang-undang anti-korupsi.
Peran penting bank sentral sebagai LOLR dengan
Amerika Serikat memiliki Foreign Corruption
menyediakan bantuan likuiditas kepada bank dan
Practices Act (FPCA) dalam pencegahan dan
lembaga keuangan non bank dimaksudkan untuk
pemberantasan tindak pidana korupsi. Menghadapi
menjaga kelancaran sistem pembayaran dan
krisis 2008 The Fed menjalankan perannya sebagai
menghindari hambatan atas penyaluran kredit
LOLR dan Pemerintah melaksanakan penyelamatan
kepada sektor riil agar perekonomian nasional
berdasarkan Emergency Economic Stabilization
tetap terjaga.
Act yang kemudian menjadi undang-undang. 2. Implementasi Asas Kekhususan Sistematis di Demikian pula di Inggris, BOE mempunyai diskresi
Indonesia
penuh dalam merestabilisasi sistem keuangan
Eksistensi asas kekhususan sistematis di Indonesia
dinegaranya dari krisis keuangan global tahun
baru dapat ditemukan dalam Pasal 14 Undang-
2008. Anti Bribery Act tidak diberlakukan bagi
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
kebijakan BOE karena menjalankan kewenangannya
diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun
55
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Di AS, penerapan asas kekhususan sistematis telah
Korupsi.
diterapkan ke dalam kasus yang konkret. Dalam perkara Rogers v. United States, Judge David Josiah
Keberadaan asas kekhususan sistematis di dalam
Brewer, Associate Justice of the Supreme Court
Pasal ini menimbulkan perdebatan narasi atas
of the United States menyatakan bahwa:70
limitasi wewenang dari hukum pidana korupsi dan hukum pidana administrasi. Hal ini juga terjadi
“The rule is generalia specialibus non derogant.
karena luasnya cakupan Pasal 2 dan Pasal 3
The general principle to be applied ... to the
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sehingga
construction of acts of Parliament is that a general
pelaksanaan diskresi oleh pejabat penyelenggara
act is not to be construed to repeal a previous
negara ditafsirkan sebagai perbuatan koruptif
particular act, unless there is some express
apabila perbuatan tersebut dianggap menimbulkan
reference to the previous legislation on the subject,
kerugian negara. Kesalahan administrasi tidak
or unless there is a necessary inconsistency in the
serta merta merupakan kesalahan
pidana.68
two acts standing together. And the reason is ...
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Pasal 3 dan
that the legislature having had its attention directed
Pasal 21 serta Undang-Undang No. 5 Tahun 2014
to a special subject, and having observed all the
memberikan wewenang kepada Hakim PTUN
circumstances of the case and provided for them,
untuk mengadilinya.
does not intend by a general enactment afterwards to derogate from its own act when it makes no
Penormaan secara eksplisit asas kekhususan
special mention of its intention so to do.... As a
sistematis ke dalam hukum pidana administrasi
corollary from the doctrine that implied repeals
merupakan satu solusi untuk mengakhiri
are not favored, it has come to be an established
perdebatan terkait batasan wewenang antara
rule in the construction of statutes that a
hukum pidana korupsi dan hukum pidana
subsequent act, treating a subject in general terms
administrasi. Untuk keperluan ini dilakukan
and not expressly contradicting the provisions of
penelitian asas kekhususan sistematis berbasis
a prior special statute, is not to be considered as
efisiensi dengan menggunakan Metode EAL
intended to affect the more particular and specific
khususnya Regulatory Impact Assessment (RIA)
provisions of the earlier act, unless it is absolutely
yang bersifat kuantitatif dan kualitatif.
necessary so to construe it in order to give its words any meaning at all”.
Secara yuridis, pemisahan tegas aturan-aturan khusus di AS dan di Inggris dikenal sebagai special
Perkara Rogers v. United States merupakan salah
rule. Dalam Black's Law Dictionary, special rule
satu perkara yang menimbulkan perbedaan-
diartikan sebagai “a rule applicable to a particular
perbedaan penafsiran terhadap pilihan norma
case or circumstance only”.69 Dalam posisi
hukum di dalam beberapa aturan yang sama-
penanganan krisis sistem keuangan global di AS,
sama bersifat khusus.
Emergency Economic Stabilization Act of 2008 diterapkan sebagai special rule dan
Pada dasarnya, dalam rangka melaksanakan
mengesampingkan FCPA.
interpretasi, apabila ditemukan adanya konflik antar dua undang-undang, maka salah satu aturan
68 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, (Jakarta: CV Diadit Media, 2007), hal. 374. 69 Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary. Seventh Edition. (St. Paul, Minnesota: West Group, 1999), hal. 1330.
56
70 Duhaime's Law Dictionary, http://www.duhaime.org/LegalDictionary/G/ GeneraliaSpecialibusNonDerogant.aspx.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
yang lebih umum harus dikesampingkan (Justice
Di sisi lain, Tim penasehat hukum Budi Mulya
Griffiths of the Ontrario Court of Appeal in R v.
menilai bahwa pemberian FPJP merupakan
Greenwood). Prinsip ini juga dikenal sebagai prinsip
kewenangan secara kelembagaan dan diputuskan
implied exception. Ruth Sullivan, guru besar bidang
secara kolektif kolegial. Apabila terdapat kesalahan
hukum di University of Ottawa menyatakan
dalam pemberian FPJP, kesalahan tersebut bukan
bahwa:71
menjadi ranah hukum pidana (korupsi), melainkan ranah adminsitrasi negara.
“when two provisions are in conflict and one of them deals specifically with the matter in question
Adapun beberapa tokoh hukum nasional yang
while the other is of more general application,
tergabung dalam amicus curiae (friends of court)
the conflict may be avoided by applying the specific
memberikan pandangannya kepada Majelis Hakim
provision to the exclusion of the more general
pada Pengadilan Tingkat Pertama pada kasus Budi
one. The specific prevails over the general”.
Mulya. Mereka berpendapat bahwa kebijakan aparatur negara bukanlah tindak pidana. Lebih
Eksistensi penerapan prinsip ini pada dasarnya
lanjut, para amicus curiae berpendapat penilaian
identik dengan asas kekhususan sistematis,
kebijakan pemberian FPJP kepada Bank Century
mengingat peraturan perundang-undangan di
tidak dapat dipidana karena kebijakan tersebut
negara-negara common law seperti AS dan Inggris
diambil secara secara kolektif kolegial, bukan secara
sifatnya berdiri masing-masing dan bersifat khusus
orang perseorangan.72
(tidak memiliki kodifikasi hukum seperti Indonesia). Perkara tindak pidana korupsi atas nama terpidana, Berbeda dengan Indonesia, kebijakan yang diambil
Budi Mulya, terjadi karena adanya multitafsir dan
dalam upaya pencegahan krisis keuangan yang
tumpang tindihnya hukum materil dan penegakan
secara global melanda seluruh dunia justru
hukumnya. Perkara tersebut menimbulkan
ditengarahi sebagai kejahatan korupsi. Hal ini
perdebatan narasi diantara hukum pidana korupsi
terjadi karena luasnya cakupan Pasal 2 dan Pasal
dan hukum pidana administrasi, dimana menurut
3 UU Tindak Pidana Korupsi, sehingga pelaksanaan
Prof. Indriyanto Seno Adji, jarak antara keduanya
diskresi oleh pejabat penyelenggara negara
merupakan grey area dan perlu untuk dicari
ditafsirkan sebagai perbuatan koruptif apabila
solusinya.
perbuatan tersebut dianggap menimbulkan kerugian negara.
Dalam hubungan ini, menarik untuk disimak Instruksi Presiden Jokowi kepada penegak hukum
Pertimbangan Majelis Hakim pada Pengadilan
yaitu:73
Tingkat Pertama menyatakan bahwa penyelamatan
a. Larangan bagi penegak hukum untuk
Bank Century adalah kebijakan yang salah. Dalam
memperkarakan diskresi aparatur pejabat
membuktikan niat (mens rea) Terdakwa (a.n Budi
negara.
Mulya), Majelis Hakim melihatnya dari upaya Terdakwa untuk memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek kepada Bank Century. 72 34 Tokoh Tolak Kriminalisasi Kebijakan, http://katadata.co.id/berita/2014/ 07/10/sejumlah-tokoh-sampaikan-pendapat-kasus-century-ke-pengadilan, diakses pada tanggal 4 Agustus 2016.
71 Ruth Sullivan, Sullivan and Driedger on the Construction of Statute, (Canada: LexisNexis, Canada Inc, 2008), hal. 277.
73 Lima Instruksi Jokowi Terkait Larangan Kriminalisasi Pejabat, http://katadata.co.id/berita/2016/07/19/lima-instruksi-jokowi-terkaitlarangan-kriminalisasi, diakses pada tanggal 4 Agustus 2016.
57
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
b. Tindakan administrasi pemerintah tidak boleh dipidanakan. c. Kementerian/Lembaga Pemerintahan diberikan
3. Analisis Dampak Regulasi (Regulatory Impact Analysis) Hasil kajian atas penormaan asas kekhususan
waktu 60 hari untuk menjawab hasil temuan
sistematis dengan menggunakan RIA dari
audit investigatif yang dikeluarkan oleh Badan
metodologi EAL di atas dituangkan ke dalam
Pemeriksa Keuangan terhadap
Regulatory Impact Assessment Statement
Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
(RIAS) sesuai dengan pedoman (guidelines) dari
d. Setiap data mengenai kerugian negara harus konkrit dan tidak boleh mengada-ada. e. Larangan terhadap tindakan yang menyebar-
praktik terbaik (best practices) yang telah diterapkan di beberapa negara maju maupun negara berkembang dalam sistematika sebagai berikut:
luaskan tuduhan yang belum terbukti dan belum masuk proses hukum.
a. Identifikasi Masalah Adanya “grey area” sehingga terjadi tumpang
Instruksi Presiden di atas merupakan instruksi
tindih kewenangan antara hukum pidana
positif bagi upaya penegakan hukum di Indonesia
korupsi dan hukum pidana administrasi yang
dan secara khusus merupakan bagian untuk
disebabkan akibat adanya multitafsir tentang
mengakhiri perdebatan narasi antara hukum
penerapan asas kekhususan sistematis yang
pidana korupsi dan hukum pidana administrasi.
diatur dalam Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU
Salah satu solusi untuk mengakhiri perdebatan
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
narasi sebagaimana tersebut di atas adalah melalui
Tindak Pidana Korupsi. Permasalahan ini
penormaan asas kekhususan sistematis yang
mengakibatkan timbulnya perdebatan narasi
berbasis efisiensi ke dalam peraturan perundang-
terkait batasan antara hukum pidana dan
undangan pidana administrasi, yang dalam
hukum pidana administrasi di bidang perbankan
penelitian ini difokuskan pada administrative penal
dan berdampak menggeser fungsionalisasi
law di bidang perbankan. Asas inilah yang pada
hukum pidana dari “ultimum remidium”
hakikatnya dapat dijadikan garis pemisah yang
menjadi “primum remidium”
tegas antara hukum pidana korupsi dan hukum pidana administrasi sehingga perdebatan narasi dapat diakhiri.
b. Tujuan Kebijakan Tujuan kebijakan diarahkan untuk menyelesaikan dua permasalahan yang
Namun demikian, penerapan asas kekhususan
diangkat dalam penelitian ini melalui:
sistematis perlu dianalisis menggunakan tolak
(i) Penormaan asas kekhususan sistematis
ukur dan parameter yang metodis dan sistematis.
dalam hukum pidana administrasi khususnya
Oleh karena itu, upaya penormaan asas
dalam bidang perbankan; (ii) Reposisi prosedur
kekhususan sistematis ke dalam undang-undang
penilaian kebijakan dan diskresi aparatur negara
pidana administrasi di bidang perbankan dikaji
berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 dan reposisi
dengan metodologi Economic Analysis of Law
hukum pidana menjadi ultimum remidium.
(EAL) melalui perangkatnya Regulatory Impact Assessment (RIA) sebagaimana terurai pada bagian di bawah ini.
c. Alternatif dan Opsi Dari Kebijakan Dengan melihat tujuan dan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini, dipilih dua masalah dengan masing-masing alternatif opsinya sebagai berikut:
58
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Tabel 2. Issue 1 & Issue 2 serta Opsi A, B, C
ISSUE 1
ISSUE 2
TIDAK ADANYA PENORMAAN ASAS KEKHUSUSAN SISTEMATIS DI DALAM ADMINISTRATIVE PENAL LAW DI BIDANG PERBANKAN
PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRATIVE PENAL LAW DI BIDANG PERBANKAN YANG TIDAK MEMBERLAKUKAN NORMA ASAS KEKHUSUSAN SISTEMATIS SEHINGGA MENGAKIBATKAN PERGESERAN POSISI HUKUM PIDANA MENJADI PRIMUM REMEDIUM
OPSI:
OPSI:
A. Status Quo B. Penormaan Asas Kekhususan Sistematis pada UU BI, UU OJK, UU LPS dan UU JPSK C. Harmonisasi dan Sinkronisasi Asas Kekhususan Sistematis pada seluruh Administrative Penal Law di Bidang Perbankan
A. Status Quo (Primium Remedium) B. Reposisi prosedur penilaian kebijakan dan diskresi aparatur negara berdasarkan UU No.30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan C. Harmonisasi dan Sinkronisasi Asas Kekhususan Sistematis pada seluruh Administrative Penal Law di BIdang Perbankan
d. Dampak
2) Teori (Rationale)
Perangkat RIA mengidentifikasikan 4 dampak
Teori yang digunakan adalah pendapat
yaitu terhadap bidang ekonomi, administrasi
J.M. Keynes bahwa “anggaran negara
publik, lingkungan dan sosial. Rincian detail
(APBN) menentukan tingkat pertumbuhan
dari bidang tersebut diambil dari praktek terbaik
ekonomi”. Meskipun pendapat tersebut
(best practices) dari Organisation for Economic
masih kontroversial yaitu tergantung kondisi
Co-operation and Development (OECD). Untuk
negara masing-masing namun dalam
maksud tersebut digunakan data, teori
konteks Indonesia masih dianggap valid
(rasional), dan asumsi yang dipakai dalam
dimana peran Pemerintah sangat besar
penghitungan dampak.
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi tersebut yang selanjutnya akan menentukan
1) Data
tingkat kesejahteraan sosial.
Data yang dipergunakan dalam penghitungan ini adalah data kuantitatif dan kualitatif tentang indikator ekonomi dan sosial Indonesia tahun 2008-2013 yang bersumberkan pada data resmi dari Bank Indonesia, Biro Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan, dan International Monetery Fund (IMF).
59
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Gambar 6. Regulatory Impact Assessment: The Rationale And The Assumption RATIONALE “Keynisian”
STATUS QUO INPUT
OUTPUT 2
Government Budget (100%)
1
Low absorption
OUTCOME 3
• Inefficiency • Allocative and technical
• Ineffectiveness
Economic Welfare Maximization
Low benefit
4 Leakage among other corruption
Benefit 45%
Efficiency level
Total damage Cost 55%
The basic rationale for RIA is to ensure that all regulatory proposals serve the policy objectives of government, ie. welfare maximization as effectively and efficiently as possible. The application of RIS improves accountablity and transparency in policy making. It makes transparent the expected costs and benefits of options for different stakeholders. The RIA process helps to determine whether a) the benefits justify the costs; b) the proposed measure will address the onjection of government; and c) ensure that consultation with people before the regulation issued is meaningful and reaches the widest possible range of stakeholders.
e. Analisa Biaya dan Manfaat
Dari penelitian di atas terlihat alternatif opsi 1C
Berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif
Harmonisasi dan Sinkronisasi Asas Kekhususan
tentang indikator ekonomi dan sosial Indonesia
Sistematis pada seluruh Administrative Penal
tahun 2008-2013, dengan menggunakan
Law di Bidang Perbankan dari Issue 1
formula Net Present Value (NPV) atas setiap
menghasilkan Net Benefit Rp. 479 Trilyun dan
manfaat dan biaya dari setiap opsi dihitung
BCR 1.8; alternatif opsi 2C Reposisi Ultimum
Net Benefit dan Benefit Cost Ratio (BCR) dengan
Remedium dari Issue 2 menghasilkan nilai
hasil sebagai berikut:
tertinggi Net Benefit Rp. 748 Trilyun dan BCR 2.9. Gambar 7. Opsi A, B, C
3.5
2,500 BCR
2,000
3.0 2.5
1,500
2.0
1,000
1.5 1.0
500
0.5
Cost Net Benefit BCR
0.0
0 Opsi 1A & 2A
Opsi 1B
Status Quo Asas Kekhususan (Tidak ada perubahan) Sistematis pada UU BI, UU OJK, UU LPS, UU LPSK
60
Benefit
Opsi 1C
Opsi 2B
Opsi 2C
Harmonisasi dan Tidak adanya Reposisi Asas Ultimum Sinkronisasi Asas penormaan Asas Remedium Kekhususan Kekhususan di dalam Sistematis pada Administrative Penal seluruh Administrative Law di bidang Penal Law di Bidang Perbakan Perbankan
Maximization Benefit Highest BCR = Efficient = Justice
(Richard A. Poster)
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
f. Konsultasi Publik
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Sebelum usulan dan keputusan regulasi diambil
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
hasil penilaian berdasarkan Regulatory Impact
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Assessment (RIA) dikomunikasikan kepada
yang bunyinya sebagai berikut:
publik terutama stakeholders dari regulasi yang
“Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-
akan diusulkan yaitu pengambil kebijakan
undang yang secara tegas menyatakan bahwa
(decision maker), pihak-pihak yang terkait yang
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang
akan memperoleh dampak manfaat atau
tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku
terbebani biaya dan para ahli (experts) yang
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini”.
terkait dengan kebijakan. Dengan komunikasi publik tersebut diharapkan regulasi yang akan
Asas tersebut merupakan pengembangan dari asas
dikeluarkan mepresentasikan kehendak
lex specialis derogat legi generali yang terdapat pada
masyarakat dan memperbaiki tata kelola
Pasal 63 ayat (2) KUHP dimana diberlakukan
pemerintahan yang baik yang bercirikan
penerapan Undang-Undang yang 'lebih khusus dari
transparan, akuntable, dan good governance.
yang khusus” dalam proses penegakan hukum. Tidak adanya batasan yang jelas atas asas kekhususan
g. Implementasi Atas Opsi Yang Dipilih
sistematis telah menimbulkan grey area yang
Berdasarkan Analisa Biaya dan Manfaat,
mengakibatkan perdebatan narasi antara hukum
diimplementasikan opsi terbaik sebagai berikut:
pidana korupsi dan hukum pidana administrasi karena
1) Diperlukannya pelaksanaan harmonisasi
adanya multi-interpretasi. Ketiadaan asas kekhususan
dan sinkroniasasi administrative penal law
sistematis di dalam produk administrative penal law
di bidang perbankan yang telah
di bidang perbankan mengakibatkan praktik tindak
menormakan asas kekhususan sistematis.
pidana di dalam perbankan diidentikan sebagai tindak
2) Perlu adanya perubahan paradigma aparat
pidana korupsi.
penegak hukum terkait reposisi prosedur penilaian kebijakan dan diskresi aparatur
Penormaan asas kekhususan sistematis melalui teori
negara yang merupakan kompetensi
efisiensi dalam metodologi economic analysis of law
absolut dari Pengadilan Tata Usaha Negara.
(EAL) melalui sarana Regulatory Impact Assessment
Mekanisme ini tunduk pada aturan
(RIA) merupakan upaya pembaharuan hukum
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014
khususnya di bidang perbankan agar tercipta limitasi
tentang Administrasi Pemerintahan.
yang jelas antara tindak pidana korupsi dan tindak
3) Diperlukannya pemberian pelatihan kepada
pidana perbankan. Penerapan EAL pada penormaan
aparat penegak hukum agar dapat memiliki
asas kekhususan sistematis dalam produk hukum
pengetahuan yang lebih mumpuni terkait
administrative penal law di bidang perbankan
mekanisme dan prosedur pencegahan dan
merupakan upaya untuk menjustifikasi, baik secara
penanganan krisis sistem keuangan. Opsi
kualititatif dan kuantitatif atas efektivitas dan efisiensi
ini ditujukan sebagai tujuan utama dalam
yang diharapkan dapat tercapai. Dampak yang dinilai
rangka mereposisi hukum pidana sebagai
melalui penerapan metodologi EAL tidak hanya
ultimum remidium.
terbatas dalam lingkup sempit peraturan perundangundangan (hukum materil) dan proses penegakan
D. PENUTUP
hukumnya (hukum acara), melainkan lingkup yang komprehensif yang terdiri atas dampaknya terhadap
Kedudukan asas kekhususan sistematis (systematische
kesejahteraan sosial yang dirinci dalam bidang
specialiteit) saat ini hanya terdapat di dalam Pasal 14
ekonomi, publik administrasi, lingkungan dan sosial.
61
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Penilaian dampak dalam lingkup yang komprehensif dilakukan melalui (i) Regulatory Impact Assessment (RIA) dan (ii) Cost Benefit Analysis (CBA) dapat memberikan alternative aplikatif untuk permasalahan over- kriminalisasi di bidang perbankan yang mengakibatkan tidak tercapainya optimalisasi kesejahteraan masyarakat sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dengan menggunakan pendekatan metodologi EAL bertujuan untuk menciptakan limitasi yang jelas antara administrative penal law di bidang perbankan dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sama-sama bersifat khusus. Penciptaan limitasi melalui metodologi EAL perlu didukung melalui upaya mereposisi hukum pidana sebagai ultimum remedium. Konklusi dari penerapan RIA pada penelitian ini adalah opsi 2C yaitu harmonisasi dan sinkronisasi penormaan asas kekhususan sistematis dalam hukum pidana administrasi di bidang perbankan, reposisi prosedur dan penilaian kebijakan dan diskresi aparatur negara berdasarkan Undang-Undang No.30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, serta reposisi hukum pidana sebagai ultimum remedium merupakan opsi terbaik.
62
1. Buku Prasetyo, Teguh. 2005. Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum. Bandung: Penerbit Nusa Media. Posner, Richard A. Posner. 1981. The Economics of Justice,. Cambridge: Harvard University Press. Arief, Barda Nawawi. 2008. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana, 2008. Abidin, Andi Zainal. 1987. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta: Universitas Indonesia. Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Dubber, Markus Dubber. 2006. Comparative Criminal Law. The Oxford Handbook of Comparative Law, Ed. Mathias Reimann and Beinhard Zimmermann. New York: Oxford University Press, 2006. Chazawi, Adami. 2006. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: PT Rajagrafindo, 2006. Housak, Douglas. Overcriminalization: The Limits of the Criminal Law. New York: Oxford University Press, 2008. Wilson, William. 2002. Central Issues in Criminal Theory. Oxford-Portaland Oregon: Hart Publishing, 2002. Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I. Jakarta: Sinar Harapan, 1993. HR, Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers. Thompson, Brian. 1997. Constitutional and Administrative Law, 3th Ed. London: Black Stone Press Limited. Bell, John. 1992. Discretionary Decision-Making: A Jurisprudential View The Uses of Discretion. Oxford: Clarendon Press. Hamzah, Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni. Deane, Marjorie Deane dan Robert Pringle. 1995. The Central Banks. USA: Penguin Group, USA, 1995. Bagehot, Walter. 1873. Lombard Street:A Description of the Money Market. London: Henry S. King & Co. Rochet, Jean-Charles Rochet. 2008. Why Are There So Many Banking Crises? The Politics and Policy of Bank Regulation. New Jersey: Princeton University Press.
63
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Sheng, Andrew. 2009. From Asian To Global Financial Crisis. An Asian Regulator's View of Unfettered Finance in the 1990s dan 2000s. New York: Cambridge University Press. Seno Adji, Indriyanto. 2007. Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana. Jakarta: CV Diadit Media. Black, Henry Campbell. 1999. Black's Law Dictionary. Seventh Edition. St. Paul, Minnesota: West Group, 1999. Sullivan, Ruth. 2008. Sullivan and Driedger on the Construction of Statute. Canada: LexisNexis, Canada Inc. Soekanto, Soerjono., dan Sri Mamuji. 2006. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Ibarhim, Jhoni. 2006. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cet. 2. Malang: Bayumedia Publishing. McLeod, Ian. 2003. Legal Theory. New York: Palgrave Macmillan. Wiener Katz, Avery. 2006. Foundations of The Economic Approach to Law. LexisNexis: Matthew Bender.
2. Artikel/Jurnal Ilmiah Anindyajati, Titis., Irfan Nur Rachman, Anak Agung Dian Onita. 2015. Konstitusionalitas Norma Sanksi Pidana sebagai Ultimum Remedium dalam Pembentukan Perundang-Undangan. Jurnal Mahkamah Konstitusi, Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. International Monetary Fund. Fighting Corruption Critical for Growth and Macroeconomic Stability. IMF Survey Magazine: IMF Research. Made Sukada, Iskandar Simorangkir, Sugeng, Difi A. Johansyah (ed), 2009. Krisis Finansial Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia”. Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia. Crisan, Iulia. 2010. The Principles of Legality “Nullum Crimen, Nulla Poena Sine Lege” and Their Role. Effectius Newsletter, Issue 5. Faure, Michael., Morag Goodwin, and Franziska Weber. 2013. The Regulator's Dilemma: Caught between the Need for Flexibility and the Demands of Foreseeability. Reassessing the Lex Certa Principle. (Weber Rotterdam Institute of Law and Economics (RILE) Working Paper Series No. 2013/03). Macfarlane, Ian. 1999. The Stability of The Financial System. Reserve Bank of Australia Bulletin. Cihak, Martin. 2006. How Do Central Banks Write on Financial Stability?. IMF Working Paper WP/06/13, International Monetary Fund. The Precidency: Republic of South Africa. Guidelines For The Implementation of The Regulatory Impact Analysis/Assessment (RIA) Process In South Africa. 2012. The Precidency of Republic of South Africa. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 2008. Introductory Handbook for Undaertaking Regulatory Impact Analysis, (OECD, Version 1.0.
64
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Staschen, Stefan., Ahmed Dermish, & Lara Gidvani. 2012. Regulatory Impact Assessment Methodology: Towards Evidence Based Policy Making in Financial Inclusion. Bankable Frontier Associates.
3. Makalah Seminar/Prosiding International Monetary Fund, “IMF Staff Discussion Note. Corruption: Costs and Mitigating Strategies”. (Staff Team from the Fiscal Affairs Department and the Legal Department, SDN/16/05, May 2016), hal. 5. Kaifa-Gbandi, Maria. 2011. The Importance Of Core Principles Of Substantive Criminal Law For European Criminal Policy Respecting Fundamental Rights And The Rule Of Law. European Criminal Law Review, No. 1, Vol. 1. European Commission. 2011. Towards An EU Criminal Policy: Ensuring The Effective Implementation Of EU Policies Through Criminal Law. Communication From The Commission To The European Parliament, The Council, The European Economic And Social Committee And The Committee Of The Regions, Brussels. Shortall, David. 2006. Regulatory Impact Assessment: Methodology and Best Practices, Lecture, INMETRO International Workshop on Conformity Assessment. Rio de Janeiro, Brazil.
4. Peraturan Hukum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5601. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahu 1999 Nomor 140) sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Majalah/Surat Kabar Hikmahanto Juwana, “Patutkah Pengambil Kebijakan Dipidana?”, Artikel, Surat Kabar Harian Media Indonesia, Rabu 26 Maret 2014.
6. Internet Lima Instruksi Jokowi Terkait Larangan Kriminalisasi Pejabat (disampaikan oleh Presiden RI kepada jajaran pimpinan penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan tanggal 19 Juli 2016 di Istana Negara), http://katadata.co.id/berita/2016/07/19/lima-instruksi-jokowi-terkait-larangan-kriminalisasi. Jimly Asshidiqi, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, Makalah, diakses pada tanggal 20 Okt. 2015, http://www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, hal. 2. Eko Prasodjo, “Dua RUU untuk Cegah Pemidanaan Kesalahan Administrasi”, Artikel, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara RI, www.menpan.go.id, diakses pada tanggal 19 Maret 2015.
65
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
http://www.menpan.go.id/berita-terkini/4906-harus-ada-kesamaan-persepsi-apip-dan-penegak-hukum-terjemahkanuu-adpem diakses pada 12 Agustus 2016 http://www.itjen.kemenkeu.go.id/baca/244 diakses pada 12 Agustus 2016. http://ekoprasojo.com/2015/01/12/sosialisasikan-undang-undangadministrasi pemerintahan/Diakses pada tanggal 12 Agustus 2016. Vonis Budi Mulya Bertambah Jadi 12 Tahun, http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/2385-vonis-budi-mulya-bertambahjadi-12-tahun, diakses pada tanggal 8 Desember 2015. http://www.beritasatu.com/hukum/340949-salinan-putusan-budi-mulya-diterima-kpk-kembangkan-kasus-century.html Duhaime's Law Dictionary, http://www.duhaime.org/LegalDictionary/G/GeneraliaSpecialibusNonDerogant.aspx. 34 Tokoh Tolak Kriminalisasi Kebijakan, http://katadata.co.id/berita/2014/07/10/sejumlah-tokoh-sampaikan-pendapatkasus-century-ke-pengadilan, diakses pada tanggal 4 Agustus 2016. Lima Instruksi Jokowi Terkait Larangan Kriminalisasi Pejabat, http://katadata.co.id/berita/2016/07/19/lima-instruksijokowi-terkait-larangan-kriminalisasi, diakses pada tanggal 4 Agustus 2016. Richard Williams and Jerry Ellig, “Regulatory Oversight: The Basics of Regulatory Impact Analysis” (Mercatus Center at George Mason University, Arlington, VA, September 12, 2011), http://mercatus.org/publication/regulatoryoversight, diakses pada tanggal 26 April 2016. Executive Order Number 12866, “Regulatory Planning and Review”, 58 FR 51735, (October 4, 1993).
66
Disusun oleh: Iskandar1
[email protected]
Abstract There are three options in order to develop property. The first deposit of such property in the bank. Second, establish a contract with another party, to manage the property in a particular business field by profit sharing arrangements. Third, direct investment in the real sector in which we act as business actors. This paper would like to explain about the problems that will be encountered on profit-sharing contract as a modern financing instrument. Some of the problems to be faced in this partnership relationship: agency problems that occur between mudharib with sahibul mall. In addition, the problem of efficiency, it happened because it can not compel employers (mudharib) to perform an action in order to maximize revenue, and this condition will trigger moral hazard. The issue of agency, incentives and efficiency can also occur in the absence of adequate regulation to accommodate the profit and loss sharing financing system in Islamic banks. Therefore, the problem of agency, incentives and financing agreement for the results, can not be handed over to the Islamic banks. Islamic Banks need regulation that is sensitive to the profit-sharing financing, as the contract is unique in the Islamic banking system. Keywords: Shirkah, profit sharing, Financing Instruments Abstrak Terdapat tiga pilihan dalam rangka mengembangkan harta yaitu Pertama, mendepositokan harta tersebut di bank. Kedua, menjalin suatu kontrak kerjasama dengan pihak lain, yang dapat mengelola harta pada suatu bidang usaha tertentu dengan kesepakatan bagi hasil. Ketiga, investasi langsung di sektor riil dimana kita bertindak sebagai pelaku usahanya. Tulisan ini ingin menjelaskan tentang problematika yang akan dihadapi dalam aqad berbasis bagi hasil sebagai instrumen pembiayaan modern pada pengembangan harta model Kedua. Beberapa problematika akan dihadapi dalam hubungan kemitraan ini yaitu; persoalan keagenan yang terjadi akibat pengusaha (mudharib) memiliki hak pengelolaan usaha secara penuh sehingga menimbulkan konflik antara mudharib dengan pemilik dana (sahibul mal). Selain itu, adanya persoalan insentif yang terjadi karena tidak dapat memaksa pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu tindakan guna memaksimalkan pendapatan, dan kondisi ini akan memicu adanya moral hazard. Adanya persoalan agensi, insentif dan efesiensi juga dapat terjadi karena ketiadaan regulasi yang memadai untuk mengakomodir sistem pembiayaan bagi hasil pada bank syariah. Problematika agensi, insentif dan akad pembiayaan bagi hasil tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada bank syariah. Bank memerlukan regulasi yang “peka” terhadap akad bagi hasil sebagai salah satu akad yang unik dalam sistem perbankan.
1
Staf pengajar pada Jurusan Ekonomi Syariah, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Malikussaleh, Aceh
67
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
A. PENDAHULUAN
sekelompok orang yang kelebihan dana yang ingin mengembangkan/menginvestasikan dananya agar
Islam sangat memahami bahwa kehidupan manusia
dapat berkembang. Oleh karena itu, agar dana
akan selalu dinamis dan berubah dari waktu ke waktu,
tersebut tidak menganggur nasabah dana dapat
maka dari itu, Islam tidak pernah membuat aturan
melakukan investasi melalui perbankan syariah dengan
atau batasan secara ketat yang mengatur masalah
dua cara. Pertama “mendepositokan” dana tersebut
mu'amalah. Terhadap hal-hal yang bersifat teknis dan
di bank, sehingga selain dana tersebut akan aman,
praktis, Islam menyerahkan seluruhnya kepada
juga dapat menghasilkan nilai tambah meskipun tidak
kreatifitas manusia untuk merumuskan cara, metode
terlalu signifikan. Kedua, bisa saja orang tersebut
yang menurut mereka dapat mempermudah dan
menjalin suatu kontrak kerjasama dengan pihak lain,
membawa kemaslahatan bagi semua. Islam hanya
yang dapat mengelola dananya tersebut pada suatu
meletakkan batasan aturan yang bersifat fundamental
bidang usaha tertentu, sehingga dari hasil usaha
dan global, yang bisa dijadikan acuan bagi umat
tersebut mereka dapat memperoleh manfaat dari
manusia dalam melakukan praktek mu'amalah antara
hasil pengelolaan dana tersebut.
satu dengan yang lainnya. Cara yang kedua tersebut dalam Islam dikenal dengan Adapun batasan syariah dalam hubungan
sebutan syirkah. Dalam fiqh al-Islam, syirkah dibagi
bermu'amalah adalah manusia harus berperilaku adil;
menjadi dua macam yaitu syirkah amlak dan syirkah
tidak dibenarkan menumpuk harta; tidak
'uqud4. Syirkah amlak terjadi karena perwalian
memperdagangkan barang atau jasa yang mengancam
seumpama harta warisan yang diwarisi ahli waris dari
maqashid al-syari'ah; tidak terancam agama, jiwa,
si mayit. Sementara syirkah 'uqud terjadi karena dua
akal, harta dan
keturunan2;
tidak menzalimi dan
pihak atau lebih bersepakat untuk melakukan suatu
dizalimi “latuzdlamu wala tudzlimu”; keuntungan
usaha bersama-sama. Dalam syirkah 'uqud termasuk
diperoleh berdasarkan usaha dan penanggungan
musyarakah dan mudharabah.
risiko “al-ghunmu bi
al-ghurm”.3
Sejauh batasan itu
dipatuhi maka manusia dapat mengekspresikan akad
B. KONSEP SYIRKAH SEBAGAI INSTRUMEN
dalam berbagai bentuk dan mengikuti perkembangan
PEMBIAYAAN BAGI HASIL
zaman. Demikian juga dalam dunia perbankan sebagai institusi keuangan modern.
Syirkah berasal dari kata "syarika" (fi'il madhi), "yasyuku" (fi'il mudharik), "syarikan, syarikatan"
Setidak-tidaknya dalam siklus perbankan syariah
(masdar). Dalam hukum Islam, syirkah dikenal sebagai
terdapat tiga pihak. Pertama, nasabah dana sebagai
kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
shahibul mal (pemilik dana). Kedua, bank sebagai
menjalankan aktifitas bisnis. Dalam perbankan syariah
mudharib bagi nasabah dana dan sekaligus sebagai
diistilahkan dengan pola bagi hasil atau PLS (Profit
shahibul mal bagi debitur. Ketiga, debitur sebagai
and Loss Sharing). Kerja sama syirkah ini tersedia dua
mudharib bagi bank. Hubungan ini terjadi karena ada
pola. Pola pertama yaitu salah satu pihak menyediakan
2
Abi Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqah fi ushul al-Syar'iyah, jilid 2, Libanon: Dar al-Kita Alamiah, 2005, hal. 7.
3
Sebab profit dalam prinsip ekonomi Islam harus mengandung tiga hal. Pertama, penagunngan risiko (al-ghurm). Kedua, adanya usaha (kasab) yang menghasilkan nilai tambah (value added). Ketiga, kewajiban menangung kerusakan yang berkonsekwensi pada kewajiban khiyar (khiyar 'aib) dalam kasusu jual-beli.Lihat, Ali Ahmad al-Nadwi, Jamrah al-Qawa'id al-Fiqhiyah fi al-Mua'amalah al-Maliyah. Cet ke-3, Bairut: Dar al-Qalam, 1994, hal. 411.
68
4
Rafik Yunus al-Misri, dalam Fiqh Mu'amalah al-Maliyah, menjelasakan bahwa syirkah itu ada 3 kondisi, Pertama syirka Ibahah, yaitu syirkah yang dibolehkan seperti beryarikat pada air, api dan rumput. Kedua, syirkah amlak atau syuyu' yaitu syirkah yang terjadi secara otomatis dengan sebab kepemilikan seperti harta yang diwarisi, wasiat dan hibbah. Ketiga, syirkah 'uqud yaitu perkongsian yang terjadi karena kesepakatan para pihak. Penjabaran lanjutan dan komplek dari syirkah syuyu' adalah syirkah al-jabir. Demikian juga dengan syirkah ikhtiar sebagai perluasan dari syirkah 'uqud. Lihat Rafik Yunus al-Misri, Fiqh Mu'amalah al-Maliyah, Damsyik: Dar Kalam, 2005, hal. 225.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
modal (rab-al-mal) sementara pihak yang lain
dua orang atau lebih dalam mengalokasikan modal
mengelola modal. Sementara pola kedua, para pihak
dan kerja untuk suatu usaha bisnis secara bersama-
sama-sama menyediakan modal dan sekaligus ikut
sama.
serta dalam pengelolaan usaha. Pola pertama dinamakan mudharabah, sementara pola kedua
a. Syirkah dalam Terminologi Fiqh
diistilahkan musyarakah.
Istilah musyarakah dapat ditemukan dalam alqur'an QS. 4: 12 dengan kata-kata sy-ra-ka.
Akhir-akhir ini, kedua akad ini diaplikasikan dalam
Sementara dalam QS. 38: 24 terdapat padanan
perbankan baik sebagai akad pendanaan bank maupun
syirkah yang distilahkan al-Qur'an dengan
sebagai akad dalam pembiayaan. Untuk pembiayaan,
“khulatha'”. Namun sama halnya dengan
bank syariah sangat selektif dalam menggunakan
mudharabah, musyarakah juga tidak ditemukan
literatur5
penyebutanya secara spesifik yang dapat dikaitkan
pembiayaan berbasis bagi hasil termasuk pembiayaan
dengan kemitraan bisnis seperti yang sedang kita
minoritas pada bank syariah. Meskipun pembiayaan
bahas. Pemakaian istilah musyarakah dalam al-
berbasis bagi hasil sebetulnya memiliki prospek yang
qur'an lebih bersifat umum. Namun berdasarkan
bagus dalam jangka panjang bagi bank syariah apabila
riwayat yang dinisbatkan kepada rasul dan sahabat
dikelola dengan baik dibandingkan dengan pembiayaan
praktik musyarakah ini dibenarkan keabsahannya
akad ini. Menurut laporan riset dari berbagai
murabaha yang berbasis jual
beli.6
dalam kongsi bisnis.9 Dalam Hadith Kudsi dijelaskan
Namun pembiayaan
berbasis bagi hasil memiliki problematika dalam
bahwa “Saya orang ketiga dari dua orang yang
perbankan. Berikut ini akan dijelaskan konsep syirkah
bersyarikat10”. Dalam literatur fiqh penjelasan
dan problematika pembiayaan bagi hasil (mudharabah
musyarakah ini masih sangat luas. Tidak ada
dan musyarakah) pada bank syariah sebagai instrumen
penjelasan kongkrit yang siap pakai sesuai dengan
pembiayaan.
bisnis yang ada dalam perbankan Islam.
Dalam fiqih Islam, musyarakah adalah bentuk
Dalam literatur fiqh, syirkah secara umum dibagi
umumnya untuk mengambarkan hubungan kerjasama
kepada 2 (dua) macam11. Syirkah karena
bisnis. Musyarakah didefinisikan sebagai percampuran
kepemilikan dan syirkah karena kontrak (akad).
(al-ikhtilath) antara dua harta (al-malaini) karena
Syirkah karena kepemilikan dinamakan dengan
apabila belum terjadi percampuran kedua harta itu
syirkah al-Milk yaitu syirkah yang terjadi karena
belum dapat dikatakan
musyarakah7.
Malikiyah
kongsi kepemilikan oleh dua pihak atau lebih atas
mendefinisikan musyarakah sebagai kerjasama dalam
suatu kekayaan. Syirkah ini juga diistilahkan dengan
harta dan pengaturannya. Sementara Hanabilah
syirkah amlak.Sementara itu syirkah karena kontrak
mendefinisikan musyarakah sebagai penggabungan
dinamakan dengan syirkah 'aqd atau disebut juga
hak atas harta dan
pengelolaanya.8
Atau kerjasama
9
5
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah; Prinsip dan prospek, Jakarta, Serambi, 2007, hal. 74.
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah; Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis. Terj. Arif Maftuhi (Jakarta: Paramadina), 2004, hal. 88.
6
Trisiladi Suprianto, Konsep rate of Profit Perspektif Ekonomi Islam; Aplikasi di bank Syariah, Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah, 2015, hal. 245.
7
Imam Abi Zakaria Mahyuddin Ibn Syarf Al-Nawawi, Majmu' Syarah Muhazzab, juz. Xiv, Bairut: Dar al-Fikr, 1996, hal. 317.
10 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nailul Autar, Kairo: Maktabah al-Dakwah Islamiyah, tt, hal. 624. Hadith ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan dirawi oleh Abu Baud, Hakim. Sanad-sanadnya bererajad shahih. Ibnu Qudamah menyebutkan dalam al-Mugni bahwa rasulullah bersabda “Tangan Allah atas persyarikatan selama persyarikatan itu belum usai” Lihat juga Wahbah Zuhaili, al-Fiqhwa-Adillatuh, jilid V, hal. 3876.
8
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Dasyik-Suriah: ad-Dar alFkr, 1997, hal. 3875.
11 Muhammad Taqi Usmani, An-Introduction to Islamic Finance, New Delhi: Idara Isha'at-e-Diniyat (P) Ltd, 1999, hal. 31.
69
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
dengan syirkah mudharabah yang terjadi karena
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
sebab kemitraan (berkontrak). Syirkah 'aqd terbagi
dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi
menjadi 4 (empat) macam menurut model kontrak
berdasarkan nisbah yang disepakati dalam akad
yang disepakati oleh para
pihak12:
sebelumnya. Sedangkan kerugian ditanggung
1) Syirkah inan yaitu kotrak kerjasama penyertaan modal dan kerja sementara porsi tidak harus
oleh para pihak sebesar partisipasi modal yang disertakan dalan usaha.14
sama. 2) Syirkah mufauwadhah yaitu syirkah atas kesamaan modal, kerja, dan keuntungan. 3) Syirkah 'amal atau Abdan, yaitu perkongsian jasa (kerja) oleh dua pihak atau lebih. 4) Syirkah Wujuh yaitu syirkah antara dua orang atau lebih dengan modal kepercayaan.
Sementara mudharabah, mua'malah, atau qiradh termasuk bentuk akad syirkah (perkongsian). Sementara istilah mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan istilah qiradh digunakan oleh orang Hijaz. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang sama15. Mudharabah berasal dari kata dharb,
Namun kemudian dalam perbankan syariah
artinya memukul atau lebih tepatnya “proses
musyarakah dipakai sebagai salah satu akad yang
seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan
digunakan tidak hanya untuk pendanaan akan
usaha”. Secara teknis, mudharabah adalah akad
tetapi juga sebagai landasan akad pembiayaan.
kerjasama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan
(100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
atau piutang yang dapat dipersamakan dengan
pengelola.
itu seperti transaksi investasi dalam akad mudharabah dan/atau musyarakah. Transaksi
Mudharabah sebagai sebuah kegiatan kerjasama
sewa dalam akad ijarah atau sewa dengan opsi
ekonomi antara dua pihak mempunyai beberapa
perpindahan hak milik dalam akad ijarah muntahia
ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka
bit tamlik dan juga qard untuk transaksi pinjam
mengikat jalinan kerjasama tersebut dalam
meminjam dan transaksi multi jasa dengan
kerangka hukum. Menurut madzhab Hanafi, dalam
menggunakan akad ijarah atau kafalah,
kaitannya dengan kontrak tersebut unsur atau
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara
rukun yang paling mendasar adalah ijab dan qabul.
bank dengan nasabah pembiayaan yang
Artinya, bersesuaiannya keinginan dan maksud
mewajibkan nasabah pembiayaan untuk melunasi
dari dua pihak tersebut untuk menjalin ikatan
hutang kewajibannya dan/atau menyelesaikan
kerjasama.16 Sementara jumhur ulama berpendapat
investasi mudharabah dan/atau musyarakah dan
bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua
hasil pengelolaannya sesuai dengan
akad13.
orang yang melakukan akad, ma'qud alaih (modal, usaha, laba), dan shigat. Sementara ulama pengikut
Sesuai ketentuan Bank Indonesia akad musyarakah
Imam Syafei lebih merinci lagi menjadi lima rukun,
didefinisikan sebagai kerjasama antara dua pihak
yaitu: modal, pekerjaan, laba, shigat, dan dua
atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana
orang yang berakad.17
14 BI, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, hal. 22. 12 Hanya Imam Hambali yang membagi Syirkah 'aqd kepada enam macam yaitu syirkah inan, mufauwadhah, abdan, wujuh dan mudharabah. Lihat Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, juz V, Damaskus: Dar al-Fikri, 1997, hal. 3878. 13 BI, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Agustus 2007, hal. 22.
70
15 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh Islam wa Adillatuhu, juz V, Damaskus: Dar alFikri, 1997, hal. 3923. 16 Muhammad. 2005. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari'ah. BPFE: Yogyakarta, hal. 54
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Selain itu, terdapat dua jenis mudharabah, yaitu
Para ulama sepakat dengan ketentuan di atas,
mudharabah muthlaqah (tidak terikat) dan
sehingga tidak terjadi perbedaan yang signifikan
mudharabah muqayyadah (terikat). Mudharabah
dalam masalah ini. Hanya saja ada beberapa ulama
muthlaqah adalah penyerahan modal seseorang
yang menambahkan bahwa jika salah satu pihak
kepada pengusaha tanpa memberi batasan
keluar dari Islam, maka kontrak juga dianggap
apapun bagi pengusaha dalam mengelola
batal dan berakhir. Namun beberapa ulama lain
modalnya tersebut. Sementara itu mudharabah
tidak sependapat dengan pendapat terakhir ini.
muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik modal menentukan atau memberikan batasan
b. Syirkah sebagai Instrumen Pembiayaan Syariah
pada pengusaha dalam mengelola modalnya,
Dalam hal ini landasan legalitas pembiayaan
seperti jenis usaha, tempat usaha, dan lain-lain.
musyarakah dalam perbankan syariah berdasarkan
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan
pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
memberikan batasan dengan waktu dan orang,
tentang Perbankan Syariah dan Peraturan Otoritas
tetapi ulama Syafeiyah dan Malikiyah melarangnya.
Jasa Keuangan Nomor 24/POJK.03/2015 tentang
Selain itu, Hanafiyah dan Hanabilah pun
Produk dan Aktivitas Bank Syariah dan Unit Usaha
membolehkan akad apabila dikaitkan dengan
Syariah. Dalam operasionalnya, pembiayaan
masa yang akan datang, seperti “usahakan modal
musyarakah dilandaskan dan berdasarkan pada
ini mulai bulan depan”, sedangkan Syafeiyah dan
Fatwa Dewan Syariah Nasional No.8/DSN-MUI/IV/
Malikiyah melarangnya.18
2000. Implementasi pembiayaan Musyarakah harus memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:
Dalam hal pembagian keuntungan, keuntungan
1) Bahwa pernyataan ijab dan qabul harus
usaha secara mudharabah dibagi menurut
dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak
sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik
(akad)20. Terpenuhinya kehendak para pihak
modal, selama bukan akibat kelalaian si pengelola.
dilihat dari adanya:
Tetapi seandainya kerugian diakibatkan karena
a) Penawaran dan penerimaan dan harus
kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian.19
secara ekplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad). b) Penerimaan dan penawaran dilakukan pada
Kontrak mudharabah berakhir apabila terjadi beberapa hal diantaranya: 1) Salah satu pihak menyatakan keluar dari perikatan. 2) Salah satu pihak meninggal ketika kontrak tersebut berjalan. 3) Salah seorang kehilangan kemampuan dalam bertransaksi secara ekonomi.
saat kontrak. c) Akad yang dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi atau dengan menggunakan cara modern. 2) Pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) Para pihak kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. b) Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
17 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh Islam...hal. 3928. 18 Ibid. hal. 928. 19 Syafei Antonio. 1999. Bank Syariah, Wacana Ulama & Cendekiawan. Tazkia Institute : Jakarta. hal. 171.
20 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah; Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalat, (Jakarta: Rajagrafindo Pesada, 2007), hal. 69.
71
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
c) Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
(4) Sistem pembagian keuntungan harus jelas tertuang dalam akad. e) Kerugian
d) Setiap mitra memberi wewenang kepada
Kerugian harus dibagi diantara para mitra
mitra yang lain untuk mengelola aset dan
secara proporsional menurut modal (saham)
masing-masing dianggap telah diberi
masing-masing.
wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja. e) Seorang mitra tidak diizinkan untuk
4) Biaya Operasional dan Persengketaan a) Biaya operasional dibebankan pada modal bersama. b) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
mencairkan atau untuk menginvestasikan
di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dana untuk kepentingannya sendiri.
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
3) Objek akad (modal, kerja, keuntungan, dan kerugian)
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
a) Modal (1) Modal yang diberikan harus uang tunai,
Uraian di atas merupakan penjabaran dari kitab fiqh
emas, perak atau yang sebanding
sebagai sumber pendapat hukum. Karena itu tidak ada
dengan itu.
perbedaan antara penjabaran Dewan Syariah Nasional
(2) Para pihak tidak boleh meminjam,
tentang syarat dan rukun yang harus terkandung
meminjamkan, menyumbang, atau
dalam akad musyarakah seperti yang telah duraikan
menghadiahkan modal musyarakah
di atas. Hanya saja ketentuan yang telah dijelaskan
kepada pihak lain kecuali berdasarkan
oleh Dewan Syariah Nasional, penjabarannya lebih
kesepakatan.
bersifat operasional, spesifik, dan sistematis. Dalam
(3) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan. b) Kerja
literatur fiqh dijelaskan bahwa rukun yang harus dikandung dalam akad musyarakah menurut jumhur ulama ada tiga: Pertama, adanya pelaku akad yaitu
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan
mitra usaha; Kedua, adanya objek akad yang terdiri
merupakan dasar pelaksanaan musyarakah
dari modal (mal), kerja (dharaba), dan keuntungan
akan tetapi kesamaan porsi kerja bukanlah
(ribh); Ketiga, adanya Sighat akad antara mitra21.
merupakan syarat. c) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam
Dalam pembiayaan musyarakah tidak diperbolehkan
musyarakah atas nama pribadi dan wakil
ada jaminan selain modal dan proyek yang sedang
dari mitranya.
dijalankan. Tidak dibenarkan meminta jaminan pada
d) Keuntungan (1) Rasio keuntungan dan nisbah harus jelas. (2) Setiap keuntungan harus dibagikan
mitra karena itu adalah ikatan kepercayaan. Empat mazhab fiqih tidak berbeda pendapat tentang ketidakbolehan meminta jaminan pada mitra sebab mitra adalah orang yang dipercaya. Berdasarkan pada
secara proporsional kepada mitra atas
konsep percaya ini, mitra yang satu tidak dapat
dasar total keuntungan.
meminta jaminan pada mitra lain22. Dalam perspektif
(3) Mitra boleh mengusulkan bonus jika keuntungan melebihi target, kelebihan itu baik secara ratio atau jumlah diberikan kepadanya.
72
21 Wahbah Zuhaili, al-Fiqhwa-Adillatuh. hal. 3879. 22 Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah, hal. 91
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
perbankan, pembiayaan ini memiliki tingkat risiko
1) Pembiayaan Modal Kerja. Hal ini dimaksudkan
yang tinggi, sehingga membutuhkan jaminan yang
agar bank dapat memberikan modal kepada
kongkrit. Risiko bawaan yang melekat tersebut menjadi
nasabahnya yang menghendaki usaha. Dalam hal
peluang yang besar untuk terjadinya kecurangan yang
ini, bank memberi kebebasan kepada pengusaha
menyebabkan kerugian bagi salah satu mitra. Dalam
untuk melakukan berbagai jenis usaha yang
praktiknya, kerugian tersebut sering terjadi karena
diinginkan. Seperti perdagangan atau bisnis jasa.
moral hazard, karena itu kemudian Dewan Syariah
2) Investasi Khusus. Adalah pemberian modal dari
Nasional membenarkan jaminan dalam pembiayaan
bank yang berasal dari sumber dana khusus dengan
ini untuk menghindari terjadinya ketimpangan dalam
penyaluran pada jenis usaha tertentu dan dengan
menjalankan usaha bisnis seperti telah diuraikan di
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh pihak
atas.
bank. Dalam hal ini bank tidak menerima sebuah usaha yang mempunyai nilai spekulatif tinggi24.
Untuk mengakhiri kontrak kerjasama, dalam akad musyarakah dapat dilakukan dengan kesepakatan
Pada pembiayaan modal kerja, aplikasi mudharabah
antara para pihak. Namun selain itu ada beberapa
seperti ini dalam fiqh Islam dinamakan dengan
sebab sehingga musyarakah akan berakhir:
mudharabah al-muthlaqah. Sedangkan untuk investasi
1) Keinginan salah satu pihak untuk mengakhiri
khusus, disebut dengan mudharabah al-muqayyadah.
setelah disampaikan kepada pihak lain. 2) Salah seorang meninggal dunia pada saat musyarakah masih berlangsung, dengan demikian
Pada jenis pertama, pemilik dana memberikan otoritas dan hak sepenuhnya kepada mudharib untuk menginvestasikan atau memutar uangnya.
kontrak dengan almarhum berakhir. 3) Salah satu mitra gugur syarat akad seperti hilang ingatan yang mengakibatkan tidak mampu
C. PROBLEMATIKA SYIRKAH DALAM PEMBIAYAAN MODERN
melakukan transaksi komersial atau gila, maka kontrak musyarakah berakhir.
Sebagian besar transaksi keuangan, dilakukan di lembaga keuangan yang bernama bank. Bank adalah
Sementara mudharabah sebagai sebuah produk,
lembaga perantara keuangan atau biasa disebut
dalam perbankan diterapkan dalam jenis pelayanan
financial intermediary. Seperti yang diutarakan di
yang disediakan oleh bank untuk para nasabahnya.
atas bahwa model pembiayaan musyarakah dan
Dalam kerangka ini mudharabah dibedakan menjadi
mudharabah memiliki risiko secara genetis dalam
dua, yaitu mudharabah yang bersifat tabungan atau
akadnya yaitu terjadinya asimetrik informasi terhadap
akumulasi dana, dan mudharabah yang bersifat
para pihak.
pembiayaan.23 Munculnya asimetrik informasi ini dapat mempengaruhi Bagi mudharabah yang bersifat pembiayaan,
besar kecilnya pendapatan investasi yang dijalankan.
pengerahan dana diterapkan secara khusus bagi para
Bentuk asimetrik informasi biasanya berbentuk moral
nasabah yang membutuhkan modal untuk sebuah
hazard dan adverse selection. Adverse selection terjadi
usaha. Aplikasinya dalam perbankan syari'ah
pada kontrak hutang ketika kualitas peminjam hanya
digolongkan menjadi dua, yaitu:
mampu menyediakan atau mengembalikan tingkat pengembalian di luar batas ketentuan yang ditetapkan
23 Muhammad, Konstruksi Mudhrabah dalam Bisnis Syari'ah. BPFE: Yogyakarta. 2005, hal. 91-92.
24 Syafei Antonio, Bank Syari'ah, dari Teori ke Praktek. Gema Insani Press: Jakarta, 2002, hal. 97.
73
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
(biasanya lebih kecil dari yang diminta oleh pemilik
1) Konflik antara shohibul mal dengan shohibul
modal). Sementara moral hazard terjadi jika peminjam
mal lainnya.
melakukan reaksi menyimpang atas kontrak yang
Dalam konsep syirkah, baik itu mudharabah
telah
disepakati.25
ataupun musyarakah, terdapat satu atau beberapa orang yang terlibat dalam kerjasama
Itulah setidaknya beberapa kendala dan kelemahan
investasi modal. Khusus dalam musyarakah,
yang terdapat dalam konsep bagi hasil dengan skema
di mana pusat dari kerjasama dalam konsep
mudharabah dan musyarakah26. Meskipun tidak
ini adalah terdapat pada adanya penyertaan
dapat dipungkiri bahwa konsep bagi hasil ini adalah
modal antara dua pihak atau lebih pada suatu
konsep yang benar-benar dapat secara konsisten bisa
usaha, akan sangat rentan timbul konflik
menjamin untuk menghindarkan para pihak yang
diantara sesamanya, apalagi jika penyertaan
bertransaksi dari kemungkinan adanya unsur riba
modal antara satu orang dengan yang lainnya
dalam pendapatan hasil usahanya tersebut.
berbeda.27
Dibawah ini, akan dipaparkan beberapa problematika
2) Konflik pada Pembagian Kerja (Job Description).
yang terdapat dalam konsep transaksi mudharabah
Konflik ini sangat riskan terjadi dan berefek
dan musyarakah, ditinjau dari sudut pandang investor
pada ketidakadilan kerja yang berimplikasi
(baik bank maupun individu), sebagai pihak yang
pada pembagian hasil. Dalam hal pembagian
paling berkepentingan terhadap suatu konsep transaksi
job description, masing-masing pihak yang
yang akan diimplementasikan dalam sebuah usaha
akan bersyarikat benar-benar harus selektif
yang akan dibiayainya.
dalam memilih partner dalam syarikatnya tersebut. Maksudnya adalah, sebelum
1. Problematika Keagenan
mengadakan perjanjian kerjasama, para pihak
Hampir senada dengan statement Lewis dan
sudah harus benar-benar paham, dan
Algaoud, Muhammad, juga mencatat beberapa
mengetahui kelebihan dan kekurangan
kelemahan dan kendala yang terdapat dalam
masing-masing. Dengan demikian dalam
konsep mudharabah ini. Menurutnya, kontrak
pembagian job description-nya nanti, tidak
mudharabah yang dijalankan oleh bank syari'ah,
akan menimbulkan kecemburuan dari salah
merupakan suatu kontrak peluang investasi yang
satu pihak. Sebagai contoh, dua pengusaha
mengandung risiko tinggi. Sebab model kontrak
bersepakat untuk melakukan suatu investasi
tersebut sarat dengan asimetrik informasi. Asimetrik
usaha bersama. Katakanlah si A dan si B.
informasi adalah kondisi yang menunjukkan
Investor A menginvestasikan dana Rp.1 miliar
sebagian investor mempunyai informasi dan yang
dan investor B menginvestsikan dana Rp. 500
lainnya tidak memiliki.
juta. Karena investor B memiliki dana investasi yang lebih sedikit pada proyek tersebut, maka
Apabila kita terapkan dalam konsep syirkah, maka
disepakati bahwa B akan memiliki peran atau
konflik yang akan timbul dalam problematika
kerja lebih dari pada A, dan mungkin saja A
keagenan yaitu:
hanya tinggal duduk menunggu pembagian keuntungan. Hal ini dilakukan agar prosentase modal keduanya seimbang 50:50.
25 Muhammad. 2005. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari'ah. BPFE: Yogyakarta. Hal. 107-108. 26 Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah; Kritik atas Interprestasi Bungan Bank Kaum Neo-Revivalis. Terj, Arif Maftuhi, Jakarta: Paramadina, 2003, hal. 93.
74
27 Mamduh Mahmadah Hanafi. Manajemen Keuangan. BPFE: Yogyakarta, 2003, hal. 10.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Pembagian job description di atas akan
yang bersyarikat. Oleh sebab itu dimungkinkan,
menimbulkan persoalan manakala si B pada
jika ada seorang syarik yang menginvestasikan
kenyataannya mendapatkan lebih banyak
sebanyak 40% mendapatkan 60-70%
manfaat dan keuntungan dari posisinya sebagai
keuntungan dan begitu pula sebaliknya.
orang yang mengelola usaha. Karena selain mendapatkan keuntungan dari hasil usaha, B
Pendapat ketiga datang dari Imam Abu
juga ternyata memperoleh keuntungan lain
Hanifah, yang mengambil jalan tengah diantara
yang bisa lebih besar kuantitas dan kualitasnya
dua pendapat di atas. Beliau berpendapat
daripada A. Selain itu B juga terkesan lebih
bahwa pembagian keuntungan mungkin saja
menguasai dan memiliki usaha tersebut. Dapat
bisa berbeda dengan besarnya rasio investasi
saja B memperoleh fasilitas yang mewah
dalam keadaan normal. Hal ini bisa terjadi
sebagai pengelola perusahaan.
bila salah satu pihak hanya menunggu dan tidak ikut melaksanakan proyek, sehingga
Hal ini akan semakin menjadi rumit apabila
keuntungan yang dia peroleh bisa kurang dari
seandainya yang melakukan syarikat tidak
rasio investasi yang dia berikan, seandainyapun
hanya dua orang, melainkan tiga atau lebih
ingin diberikan secara maksimal, maka tidak
banyak lagi. Secara perhitungan ekonomis,
boleh lebih dari prosentase rasio investasi yang
maka B lebih banyak mendapatkan keuntungan
dia tanamkan.28
dari proyek tersebut dari pada A, tentu saja hal ini akan menimbulkan persoalan yang
Rumitnya pembagian rasio keuntungan,
cukup pelik yang tidak mudah untuk mencari
sebenarnya tidak lepas dari rumitnya pembagian
jalan keluarnya, yang terkadang malah
job description sebagaimana yang telah
berujung pada bubarnya kerjasama tersebut
dijelaskan di atas. Dalam Islam, definisi
ditengah jalan.
keuntungan lebih cenderung bersifat hasil bersih dari usaha atau proyek yang telah
3) Konflik Rasio Pembagian Keuntungan dan
dilakukan. Padahal keuntungan tidak hanya
Kerugian
bersifat seperti itu, namun masih banyak
Dalam hal pembagian rasio keuntungan dan
keuntungan lain, yang dalam hal ini kedua
kerugian, tidak ada kesepakatan para ulama
syarik berposisi sebagai pemilik proyek yang
yang menyatakan dengan jelas berapa rasio
tidak berbentuk hasil usaha, namun juga
yang wajib dibagikan diantara para pihak yang
keuntungan non-profit lainnya yang dalam
bersyarikat.
hukum transaksi Islam tidak pernah disinggung keberadaannya. Hal ini bisa menjadi celah bagi
Imam Malik dan Imam Syafei berpendapat
salah satu pihak yang dapat merugikan pihak
bahwa, setiap orang yang terlibat dalam
lainnya.
musyarakah otomatis mendapatkan rasio pembagian sesuai dengan besarnya investasi
2. Problematika Insentif
yang dikeluarkan, jika tidak demikian, maka
Pendanaan secara bagi hasil setidaknya
musyarakah dinyatakan batal secara hukum.
menimbulkan tiga persoalan insentif. Pertama,
Sementara itu, Imam Ahmad berpendapat
ketiadaan jaminan dalam pembiayaan bagi hasil.
sebaliknya, dia menyatakan bahwa rasio pembagian keuntungan dalam musyarakah, mungkin saja dapat berbeda dengan rasio investasi, jika hal itu disepakati oleh para pihak
28 Muhammad Taqi Utsmani, An Introduction to Islamic Finance. KarachiPakistan: Idaratul Ma'arif, 2000, hal. 36-37.
75 29
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Ketiadaan jaminan dalam pembiayaan ini dapat
yang diharapkan. Begitu pula dalam mudharabah,
memperburuk hubungan salah satu pihak dan
shahibul maal harus melakukan seleksi yang ketat
lolosnya problem adverse selection pada
sebelum mengambil keputusan untuk melakukan
pembiayaan. Menurut teori, pembiayaan
perjanjian kerjasama dengan seorang mudharib.
berdasarkan sistem bagi hasil harus diberikan tanpa agunan apapun. Tentu saja, pengusaha
3. Problematika Efisiensi
dengan kekayaan yang terbatas akan sangat
Problematika efisiensi terkait dengan pihak bank
tergiur dengan pembiayaan seperti itu. Pola bagi
sebagai penyedia dana, nasabah, dan perhitungan
hasil atau sistem Profit and Loss Sharing akan
keuntungan bagi hasil. Bank sebetulnya tidak
menarik para pengusaha baru, yang tidak punya
mengetahui secara riil keuntungan sebenarnya.
aset apapun selain usaha dan keahlian. Kontrak
Untuk itu dibutuhkan profesionalisme pegawai
investasi tanpa agunan seperti ini tentu saja
dalam menjalankan mekanisme bagi hasil. Bank
termasuk usaha berisiko tinggi.
membutuhkan pengetahuan yang luas mengenai bisnis dan perilaku calon debitur. Pengusaha
Kedua, bank tidak dapat memaksa pengusaha
(mudharib) dapat mengabaikan kepastian bagian
(mudharib) melakukan suatu tindakan dan upaya
hasil usaha yang diberikan kepada pemberi
untuk memaksimalkan pendapatan. Kondisi ini
pinjaman. Pemberi pinjaman tidak mengetahui
akan memicu problem moral hazard. Bilapun
secara pasti pendapatan hasil usaha di lapangan
mudharib akan mendapatkan kompensasi berupa
dan biaya-biaya operasionalnya. Karena itu
bagian (saham) yang telah ditetapkan sebelumnya,
pengetahuan tentang bisnis dan perilaku penting
namun model ini tentu saja bukan insentif yang
bagi bank untuk memprediksi keuntungan yang
tepat bagi pengusaha agar dia melakukan upaya
akan diperoleh dari kegiatan usaha atau proyek
untuk memaksimalkan hasil.
yang dibiayai.30
Ketiga, dalam kontrak bagi hasil, peminjam
Meskipun demikian, tingkat return investasi bagi
(mudharib) selalu terdorong untuk melaporkan
hasil sebetulnya lebih tinggi dibandingkan dengan
jumlah laba yang kurang dari sebenarnya. Mereka
sistem lainnya, karena dalam sistem bagi hasil
menurunkan laba dengan cara mengambil
para pihak lebih leluasa dalam bernegosiasi besaran
penghasilan tambahan, memperbesar biaya
nisbah. Pada kegiatan usaha tertentu dapat saja
operasional, memanfaatkan waktu luang untuk
bank meminta porsi bagi hasil yang lebih besar
kegiatan usaha lain dan juga memakai dalih
mana kala usaha yang dibiayai tergolong mudah.
akuntansi untuk mengelabui pendapatan.29 Kerumitan-kerumitan ini terjadi, disebabkan karena Konsep transaksi syirkah, menuntut agar para
model akad itu sendiri yang memiliki potensi risiko
shahibul maal lebih selektif dalam memilih mitra
agen, sistem perbankan dan regulasi yang belum
usaha dan dalam menentukan pilihan usaha.
mengakomodir ciri-ciri akad bagi hasil serta karakter
Dalam kasus musyarakah misalnya, pemilik modal
akadnya yang unik. Kemitraan sebagai ciri spesifik
mesti mencari partner investor lain yang tepat,
dari aqad bagi hasil belum teradopsi dalam sistem
agar investasi yang ia tanamkan dalam suatu usaha
perbankan. Ketiadaan regulasi yang dikonstruksikan
benar-benar dapat menghasilkan keuntungan
dari nilai filosofis pembiayaan Islam menyebabkan
29 Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah; Prinsip dan prospek, Jakarta: Serambi, 2007, hal. 219.
76
30 Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari'ah.Yogyakarta: BPFE, 2005, hal. 116.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
bank syariah kadang-kadang keluar jalur. Bank yang sejatinya sebagai bank bagi hasil berubah menjadi bank jual beli. Keadaan ini tentunya menyulitkan bank syariah untuk berkembang sesuai syariah. Karenanya perbankan dengan sistem syariah merupakan suatu pemberdayaan ekonomi berkeadilan. Perlu penguatan dan penyempurnaan pada sistem finansial yang meliputi; perbankan, pasar keuangan, pasar modal, dan sistem legal31. Semua sub sistem ini haruslah efesien, berfungsi dan berperan dengan serta mengakomodir aqad pembiayaan bagi hasil yang unik. Bila penyempurnaan dan perbaikan sistem dan regulasi tidak dilakukan akan berdampak pada tidak efesiennya sistem keuangan Islam. D. PENUTUP Islam sangat memahami bahwa kehidupan manusia akan selalu dinamis dan berubah dari waktu ke waktu, maka dari itu, Islam tidak pernah membuat aturan atau batasan secara ketat yang mengatur masalah mu'amalah. Syirkah merupakan salah satu akad bermua'malah yang dapat dikembangkan dalam perbankan. Namun akad bagi hasil ini menyimpan berbagai problematikanya yang meliputi problematika keagenan, insentif, dan efesiensi. Problematika itu menjadi sumber utama sulitnya mengimplementasikan akad mudharabah dan musyarakah sebagai instrumen pembiayaan modern. Problematika selanjutnya terletak pada ketiadaan regulasi yang dirancang khusus berdasarkan nilai-nilai filosofis akad musyarakah. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko assymetric information (moral hazard), maka bank syari'ah menerapkan sejumlah batasan-batasan tertentu dalam bentuk klausul-klausul ketika menyalurkan pembiayaan bagi hasil pada mudharib.
31 Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam; Teori dan Praktek, Jakarta: Kencana, 2008, hal. 160.
77
AbiIshaq al-Syatibi, al-Muwafaqah fi ushul al-Syar'iyah, jiid 2, Libanon: Dar al-Kita Alamiah, 2005. Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah; Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis. Terj. Arif Maftuhi (Jakarta: Paramadina), 2004. Abi Zakaria Mahyuddin Ibn Syarf Al-Nawawi, Majmu' Syarah Muhazzab, juz. Xiv, Bairut: Dar al-Fikr, 1996, hal. 317. Ali Ahmad al-Nadwi, Jamrah al-Qawa'id al-Fiqhiyah fi al-Mua'amalah al-Maliyah. Cet ke-3, Bairut: Dar al-Qalam, 1994. BI, Kondifikasi Produk Perbankan Syariah, Agustus 2007. Mamduh Mahmadah Hanafi, Manajemen Keuangan. BPFE: Yogyakarta, 2003. Muhammad, Konstruksi Mudhrabah dalam Bisnis Syari'ah. BPFE: Yogyakarta, 2005. Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah; Prinsip dan prospek, Jakarta, Serambi, 2007. Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nailul Autar, Kairo: Maktabah al-Dakwah Islamiyah, tt. Muhammad Taqi Usmani, An-Introdaction to Islamic Finance, New Delhi: Idara Isha'at-e-Diniyat (P) Ltd, 1999. Rafik Yunus al-Misri, Fiqh Mu'amalah al-Maliyah, Damsyik: Dar Kalam, 2005. Syafei Antonio, Bank Syariah, Wacana Ulama & Cendekiawan. Tazkia Institute: Jakarta, 1999. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah; Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalat, Jakarta: Rajagrafindo Pesada, 2007. Syafei Antonio, Bank Syari'ah, dari Teori ke Praktek. GemaInsani Press: Jakarta, 2002. Trisiladi Suprianto, Konsep rate of Profit Perspektif Ekonomi Islam; Aplikasi di Bank Syariah, Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah, 2015. Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Dasyik-Suriah: ad-Dar al-Fkr, 1997. Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam; Teori dan Praktek, Jakarta: Kencana, 2008.
78
No.
Peraturan
1.
18/11/PBI/2016
Perihal Pasar Uang
Ringkasan I. Latar Belakang 1. Pengaturan pasar uang merupakan penjabaran lebih lanjut dari kewenangan Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang Bank Indonesia pasal 7 dan pasal 10 terkait upaya mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, serta pengendalian moneter dengan cara termasuk namun tidak terbatas pada OPT di pasar uang baik rupiah maupun valas. 2. Pengaturan pasar uang ini juga mengacu pada pasal 71 UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur penggunaan SUN sebagai instrumen moneter. Implementasi dari pasal tersebut adalah dilakukannya transaksi operasi moneter BI dengan underlying SBN. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan dan pengembangan pasar uang untuk mendukung efektivitas transmisi kebijakan moneter. 3. Pasar uang yang berfungsi dengan baik (well-functioning) memiliki peranan penting untuk pengelolaan likuiditas bagi pelaku pasar keuangan, mendukung efektivitas kebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran sistem pembayaran. 4. Dalam rangka meningkatkan governance dan mitigasi risiko sistemik di pasar uang diperlukan pengaturan di pasar uang, yang mencakup antara lain karakteristik instrumen pasar uang, penerapan manajemen risiko, prinsip kehati-hatian dan peningkatan integritas pelaku pasar dalam bertransaksi di pasar uang. 5. Diperlukan pengaturan di pasar uang domestik yang memberikan pedoman (guideline) bagi pelaku pasar untuk menerbitkan instrumen dan bertransaksi di pasar uang sebagai salah satu sumber pembiayaan kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan dan pengawasan pasar uang oleh Bank Indonesia. II. Pokok-Pokok Pengaturan 1. Ruang Lingkup Kewenangan Bank Indonesia di Pasar Uang
79
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
2.
3.
4.
5.
80
Bank Indonesia melakukan pengaturan, perizinan, pengembangan, dan pengawasan Pasar Uang dalam rangka: a. meningkatkan efektivitas kebijakan moneter; b. mencegah dan mengurangi risiko sistemik; c. meningkatkan efisiensi Pasar Uang; d. meningkatkan fungsi intermediasi yang berdaya tahan; dan e. mengembangkan pasar keuangan. Definisi Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam-meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang Rupiah dan valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran sistem pembayaran Definisi Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang ditransaksikan di Pasar Uang, yang meliputi instrumen yang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yang berdasarkan prinsip syariah. Pelaku Pasar yang diatur dalam ketentuan ini adalah: a. Bank; b. Perusahaan Efek; dan c. Nasabah, berupa: 1) Bank; 2) Perusahaan Efek; 3) korporasi; 4) orang perseorangan; dan 5) bukan penduduk. Kegiatan di Pasar Uang meliputi: a. penerbitan Instrumen Pasar Uang; dan/atau b. transaksi di Pasar Uang, meliputi: 1) transaksi jual-beli Instrumen Pasar Uang; 2) transaksi pinjam-meminjam atau pendanaan selain kredit dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, yang meliputi: a) transaksi pinjam-meminjam atau pendanaan dengan menggunakan agunan (secured); atau b) transaksi pinjam-meminjam atau pendanaan tanpa menggunakan agunan (unsecured); dan 3) transaksi derivatif suku bunga Rupiah untuk semua jangka waktu.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 6. Instrumen Pasar Uang Instrumen Pasar Uang wajib memenuhi persyaratan paling kurang: a. scripless; dan b. terdapat keterbukaan informasi rating. Persyaratan di atas dikecualikan untuk instrumen moneter Bank Indonesia dan Instrumen Pasar Uang yang diatur dalam Undang-Undang. 7. Perijinan bagi pelaku pasar yang akan menerbitkan instrumen pasar uang a. Pelaku Pasar yang akan menerbitkan Instrumen Pasar Uang wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. b. Pelaku Pasar berupa Nasabah hanya dapat melakukan penerbitan Instrumen Pasar Uang melalui Lembaga Pendukung Pasar Uang berupa Bank dan Perusahaan Efek. c. Lembaga Pendukung Pasar Uang berupa Bank dan Perusahaan Efek wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. d. Lembaga Pendukung Pasar Uang berupa Perusahaan Pialang yang menjadi perantara transaksi Nasabah di Pasar Uang wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. e. Pelaku Pasar wajib menyampaikan salinan izin penerbitan instrumen pasar uang kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat otoritas lain yang mewajibkan Pelaku Pasar untuk memperoleh izin penerbitan Instrumen Pasar Uang. 8. Prinsip Kehati-hatian a. Pelaku Pasar yang menerbitkan Instrumen Pasar Uang dan/atau melakukan transaksi di Pasar Uang wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. b. Pelaku Pasar yang menerbitkan Instrumen Pasar Uang, selain menerapkan prinsip kehati-hatian juga mempertimbangkan risiko sistemik Pelaku Pasar yang menerbitkan Instrumen Pasar Uang terhadap industri Pelaku Pasar. 9. Bank Indonesia menetapkan infrastruktur Pasar Uang. Infrastruktur Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. sarana pelaksanaan transaksi; b. sarana penyelesaian dana; c. sarana penyelesaian Instrumen Pasar Uang; d. sarana penatausahaan Instrumen Pasar Uang; dan e. sarana pengelolaan data dan informasi Pasar Uang.
81
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 10. Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk melaksanakan fungsi: a. penyelesaian transaksi; b. penatausahaan Instrumen Pasar Uang; dan/atau c. pelaksanaan kliring transaksi di Pasar Uang. Pihak lain sebagaimana dimaksud diatas antara lain terdiri atas: a. lembaga penyimpanan dan penyelesaian; dan b. lembaga kliring dan penjaminan. 11. Pengawasan di Pasar Uang a. Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap kegiatan di Pasar Uang. b. Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang. c. Pengawasan terhadap kegiatan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 1) pengawasan tidak langsung; dan/atau 2) pemeriksaan. 12. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 21/55/KEP/DIR tanggal 27 Oktober 1988 tentang Pasar Uang dan Penempatan Dana Antar Bank; dan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/32/UPG tanggal 27 Oktober 1988 perihal Pasar Uang dan Penempatan Dana Antar Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Agustus 2016
2.
82
18/12/PBI/2016
Operasi Moneter
I. Latar Belakang dan Tujuan Dalam rangka mencapai tujuan Bank Indonesia yaitu menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah dan menghadapi tantangan kondisi makroekonomi, Bank Indonesia melaksanakan pengendalian moneter dengan berdasarkan pada kebijakan moneter. Untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan penguatan operasi moneter melalui reformulasi suku bunga kebijakan dari BI-Rate menjadi BI 7-day (Reverse) Repo Rate.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan Operasi moneter dengan mekanisme absorpsi dan/atau injeksi likuiditas di pasar uang dilakukan melalui transaksi operasi pasar terbuka baik di pasar uang maupun pasar valuta asing secara terintegrasi. Untuk mendukung pelaksanaan operasi moneter, Bank Indonesia melakukan pemantauan pasar keuangan antara lain melalui monitoring transaksi di pasar uang, pasar valuta asing, dan pasar SBN. II. Materi Pengaturan 1. Operasi moneter bertujuan untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter dengan mengendalikan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N) dan menjaga stabilitas nilai tukar. 2. Operasi moneter dilakukan dalam bentuk Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facilities. 3. OPT dapat diikuti oleh Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, sementara Standing Facilities hanya dapat diikuti oleh Bank. 4. Bank Indonesia dapat menunjuk peserta OPT yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk mendukung pelaksanaan transaksi Operasi Moneter. 5. Kegiatan OPT meliputi: a. Penerbitan SBI dan SDBI 1) SBI memiliki karakteristik sebagai berikut: a) berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; b) diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto; c) diterbitkan tanpa warkat (scripless); dan d) dapat dipindahtangankan (negotiable). 2) SDBI memiliki karakteristik sebagai berikut: a) berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; b) diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto; c) diterbitkan tanpa warkat (scripless); d) hanya dapat dimiliki oleh Bank; dan e) dapat dipindahtangankan (negotiable) hanya antar-Bank.
83
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 3) Dalam jangka waktu tertentu sejak memiliki SBI, pemilik SBI dilarang melakukan transaksi atas SBI yang dimilikinya dengan pihak lain. 4) Bank dilarang melakukan transaksi SDBI dengan pihak selain Bank . b. Transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat berharga. Transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat berharga dapat menggunakan surat berharga berupa SBI, SDBI, SBN dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. c. Transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright. Transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright dilakukan terhadap SBN dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. d. Penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam Rupiah. Penempatan berjangka (term deposit) dapat dicairkan oleh peserta Operasi Moneter sebelum jatuh waktu (early redemption) dengan memenuhi persyaratan tertentu. e. Penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing. 1) Penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing dapat dicairkan oleh peserta Operasi Moneter sebelum jatuh waktu (early redemption) dengan memenuhi persyaratan tertentu. 2) Penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing dapat dialihkan oleh peserta Operasi Moneter menjadi transaksi swap jual valuta asing terhadap Rupiah Bank Indonesia. 3) Penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing dapat menjadi pengurang posisi devisa neto secara keseluruhan yang wajib dipelihara peserta Operasi Moneter pada akhir hari kerja. f. jual beli valuta asing terhadap Rupiah dilakukan antara lain dalam bentuk spot, forward, dan swap. 6. Kegiatan Standing Facilities meliputi: a. penyediaan dana Rupiah (lending facility) yang dilakukan melalui mekanisme repo SBI, SDBI, SBN, dan/atau surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
84
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan b. penempatan dana Rupiah (deposit facility) yang dilakukan tanpa penerbitan surat berharga. 7. Untuk keperluan penyelesaian transaksi operasi moneter, peserta operasi moneter harus memiliki: a. rekening giro Rupiah di Bank Indonesia; b. rekening giro valuta asing di Bank Indonesia terkait penyelesaian transaksi OPT di pasar valuta asing; dan c. rekening surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga kustodian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 8. Dalam rangka mendukung pelaksanaan Operasi Moneter, Bank Indonesia melakukan pemantauan pasar keuangan melalui monitoring transaksi secara langsung atau secara tidak langsung yang mencakup antara lain pemantauan pasar uang, pasar valuta asing, dan pasar SBN. 9. Sanksi a. Sanksi atas batalnya transaksi operasi moneter adalah sebagai berikut: 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar sebesar 0,01% dari nilai transaksi operasi moneter yang batal, dengan nilai sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00. b. Sanksi atas batalnya transaksi penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing adalah sebagai berikut: 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: a) (suku bunga efektif Fed Fund + 200bps) x 1/360, untuk valuta Dolar Amerika Serikat; atau b) (official rate + 200bps) x 1/360, untuk valuta asing selain Dolar Amerika Serikat; c. Dalam hal terjadi batal transaksi yang ketiga kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar, peserta Operasi Moneter juga dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima) hari kerja berturutturut, kecuali untuk transaksi repo lending facility peserta Operasi Moneter yang berasal dari transaksi fasilitas likuiditas intrahari yang tidak lunas.
85
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan d. Sanksi atas tidak terpenuhinya kewajiban membayar untuk transaksi OPT di pasar valuta asing selain transaksi penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing adalah sebagai berikut: 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: a) (rata-rata suku bunga efektif Fed Fund + 200bps) x 1/360, untuk valuta Dolar Amerika Serikat; b) (rata-rata official rate + 200bps) x 1/360, untuk valuta asing selain Dolar Amerika Serikat; atau c) (rata-rata suku bunga kebijakan Bank Indonesia + 350bps) x 1/360, untuk valuta Rupiah. e. Bank Indonesia dapat mengubah besaran margin yang digunakan dalam perhitungan sanksi kewajiban membayar. f. Sanksi untuk pelanggaran persyaratan transaksi SBI dalam jangka waktu tertentu adalah sebagai berikut: 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar sebesar 0,01% dari nilai transaksi SBI yang tidak memenuhi persyaratan, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 per hari. g. Sanksi untuk pelanggaran persyaratan transaksi SDBI adalah sebagai berikut: 1) teguran tertulis; dan 2) kewajiban membayar sebesar 0,01% dari nilai transaksi SDBI yang tidak memenuhi persyaratan, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 per hari. h. Bank Indonesia dapat mengenakan pembatasan dan/atau larangan keikutsertaan dalam Operasi Moneter bagi peserta Operasi Moneter yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan moneter dan/atau ketentuan yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan makroprudensial.
86
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
3.
18/13/PBI/2016
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 Tentang Transaksi SWAP Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia
I. Latar Belakang dan Tujuan Bank Indonesia secara berkesinambungan melakukan pengembangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mendukung pendalaman pasar valuta asing domestik. Pengembangan terkini atas Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia dalam mereformulasi suku bunga kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter. Suku bunga kebijakan Bank Indonesia digunakan sebagai acuan dalam pengenaan sanksi atas Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam upaya untuk menjaga integritas dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. II. Materi Pengaturan Di dalam perubahan ketiga atas PBI No. 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan penyempurnaan ketentuan terkait sanksi antara lain sebagai berikut: 1. Sanksi atas tidak terpenuhinya persyaratan pengajuan transaksi, persyaratan perpanjangan Kontrak Lindung Nilai dan Transaksi Swap Lindung Nilai, dan larangan penggunaan underlying transaksi yang sama untuk lebih dari satu Kontrak Lindung Nilai dan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah sebagai berikut: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,1% dari nilai transaksi, dengan nilai sanksi paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00. 2. Sanksi atas tidak terpenuhinya kewajiban mencantumkan nomor referensi Kontrak Lindung Nilai di dalam deal ticket pada saat mengajukan perpanjangan transaksi dan tidak terpenuhinya kewajiban menatausahakan dokumen underlying transaksi adalah berupa teguran tertulis. 3. Sanksi atas tidak terpenuhinya kewajiban setelmen transaksi adalah sebagai berikut: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: 1) (rata-rata suku bunga efektif Fed Fund + 200bps) x nominal transaksi x hari keterlambatan/360, untuk kewajiban setelmen dalam valuta Dolar Amerika Serikat;
87
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 2) (rata-rata suku bunga kebijakan Bank Indonesia + 350bps) x nominal transaksi x hari keterlambatan/360, untuk kewajiban setelmen dalam Rupiah; 3) (rata-rata official rate + 200bps) x nominal transaksi x hari keterlambatan/360, untuk kewajiban setelmen dalam valuta asing selain Dolar Amerika Serikat. 4. Bank Indonesia dapat mengubah besaran margin yang digunakan dalam perhitungan sanksi kewajiban membayar.
4.
18/14/PBI/2016
Perubahan Keempat Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
I. Latar Belakang Pengaturan: Dalam rangka mengoptimalkan pelonggaran kebijakan moneter berupa penurunan suku bunga kebijakan dan penurunan Giro Wajib Minimum Primer, Bank Indonesia menetapkan kebijakan di bidang makroprudensial melalui penyesuaian kebijakan Giro Wajib Minimum yang terkait batas bawah Loan to Funding Ratio (LFR) untuk meningkatkan pertumbuhan kredit. II. Substansi Penyempurnaan: 1. Penetapan batas bawah LFR Target dari yang sebelumnya 78% menjadi 80%. 2. Penyesuaian terhadap contoh-contoh perhitungan GWM yang terkait dengan penyebutan batas bawah LFR Target dan pengkinian tanggal data laporan. 3. PBI ini berlaku sejak tanggal 24 Agustus 2016. 4. Dalam menghitung LFR pada tanggal 24 Agustus 2016, bank menggunakan sumber data dan nilai dalam Laporan Berkala Bank Umum periode data tanggal 815 Agustus 2016, dan data dalam Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan periode Juni 2016.
5.
88
18/15/PBI/2016
Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan PBI Nomor 18/15/PBI/2016 tentang Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah (PJPUR). 2. PBI ini merupakan ketentuan yang diterbitkan untuk mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan dan stabilitas moneter dan memastikan proses pelaksanaan dan kerja sama dalam pengolahan uang Rupiah tetap dilakukan sesuai dengan standar yang ditetapkan Bank Indonesia.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 3. Hal-hal yang diatur dalam PBI ini meliputi: a. Jenis kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah terdiri atas: 1) distribusi Uang Rupiah; 2) pemrosesan Uang Rupiah; 3) penyimpanan Uang Rupiah di khazanah; dan/atau 4) pengisian, pengambilan, dan/atau pemantauan kecukupan Uang Rupiah pada antara lain Automated Teller Machine (ATM), Cash Deposit Machine (CDM), dan/atau Cash Recycling Machine (CRM). b. Setiap Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) yang akan menjadi PJPUR untuk melakukan kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah harus memperoleh izin dari Bank Indonesia. Pengajuan izin dapat dilakukan secara sekaligus atau sebagian. c. PJPUR yang akan membuka Kantor Cabang wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Dalam memberikan izin Bank Indonesia melakukan analisis administratif, penilaian hasil pengawasan terhadap PJPUR dan pemeriksaan lokasi. d. Bank Indonesia berwenang menetapkan pemberian izin sebagai PJPUR dan persetujuan pembukaan Kantor Cabang. e. PJPUR wajib melaksanakan kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah paling lambat 90 hari sejak tanggal pemberikan izin. PJPUR wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia apabila PJPUR telah atau belum dapat melaksanakan kegiatannya. f. PJPUR dilarang mengalihkan pelaksanaan atas jenis kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah kepada pihak lain. g. Dalam rangka pengawasan, Bank Indonesia berwenang meminta PJPUR untuk melakukan dan/atau tidak melakukan suatu kegiatan tertentu dan menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan PJPUR. h. PJPUR wajib menggunakan sarana, prasarana, dan infrastruktur yang telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. i. Dalam rangka memenuhi kebutuhan Uang Rupiah di masyarakat dalam kondisi yang layak edar, PJPUR wajib memenuhi standar kualitas Uang Rupiah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. j. Pelanggar atas kegiatan pengolahan Uang Rupiah oleh PJPUR dikenakan sanksi administratif, meliputi 1) teguran tertulis; 2) penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha; 3) pencabutan izin; dan/atau 4) kewajiban membayar.
89
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan k. Selain mengenakan sanksi administratif, Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untuk melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya. l. Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 4. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 31 Oktober 2016.
6.
18/16/PBI/2016
Rasio Loan To Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing To Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor
I. Latar Belakang Pengaturan: 1. Dalam rangka meningkatkan permintaan domestik guna terus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi, diperlukan penyesuaian terhadap kebijakan makroprudensial untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen. 2. Penyempurnaan ketentuan mengenai Loan to Value (LTV) atau Financing to Value (FTV) yang telah dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2015 melalui Peraturan Bank Indonesia No.17/10/PBI/2015 tentang “Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor” telah mampu menahan penurunan kredit/pembiayaan pemilikan rumah yang diberikan bank namun belum cukup kuat untuk meningkatkan pertumbuhan kredit/pembiayaan, sehingga diperlukan pelonggaran lebih lanjut yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit atau pembiayaan di sektor properti, mengingat sektor tersebut memiliki efek multiplier yang besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. 3. Penyesuaian kebijakan makroprudensial melalui penyempurnaan ketentuan mengenai LTV/FTV kemudian dituangkan dalam PBI No.18/16/PBI/2016 tentang “Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor” (PBI LTV/FTV dan Uang Muka). II. Substansi Penyempurnaan: 1. Penyesuaian rasio dan tiering LTV untuk Kredit Properti (KP) serta rasio dan tiering FTV untuk Pembiayaan Properti (PP) untuk untuk fasilitas ke-1, fasilitas ke-2,
90
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan fasilitas ke-3 dan seterusnya sehingga rasio LTV untuk KP dan rasio FTV untuk PP paling besar menjadi sebagaimana tabel berikut:
Kredit Properti (KP) & Pembiayaan Properti (PP) Berdasarkan Akad Murabahah & Akad Istishna’ Tipe Properti (m2)
Fasilitas KP & PP I
II
III dst
Rumah Tapak Tipe > 70
85%
80%
75%
Tipe 22 - 70
-
85%
80%
Tipe ≤ 21
-
-
-
Tipe > 70
85%
80%
75%
Tipe 22 - 70
90%
85%
80%
Rumah Susun
Tipe ≤ 21
-
85%
80%
Ruko/Rukan
-
85%
80%
Pembiayaan Properti (PP) Berdasarkan Akad MMQ & Akad IMBT Tipe Properti (m2)
Fasilitas PP I
II
III dst
Rumah Tapak Tipe > 70
90%
85%
80%
Tipe 22 - 70
-
90%
85%
Tipe ≤ 21
-
-
-
Tipe > 70
90%
85%
80%
Tipe 22 - 70
90%
85%
80%
Rumah Susun
Tipe ≤ 21
-
85%
80%
Ruko/Rukan
-
85%
80%
2. Penyesuaian persyaratan untuk penggunaan rasio LTV untuk KP dan rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada angka 1 sehingga menjadi sebagai berikut: a. rasio Kredit bermasalah dari total Kredit atau rasio Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan secara bersih (net) kurang dari 5% (lima persen); dan
91
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan b. rasio KP bermasalah dari total KP atau rasio PP bermasalah dari total PP secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen). 3. Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 2, maka rasio LTV untuk KP dan rasio FTV untuk PP paling besar menjadi sebagai berikut:
Kredit Properti (KP) & Pembiayaan Properti (PP) Berdasarkan Akad Murabahah & Akad Istishna’ Tipe Properti (m2)
Fasilitas KP & PP I
II
III dst
Rumah Tapak Tipe > 70
80%
70%
60%
Tipe 22 - 70
-
80%
70%
Tipe ≤ 21
-
-
-
Tipe > 70
80%
70%
60%
Tipe 22 - 70
90%
80%
70%
Rumah Susun
Tipe ≤ 21
-
80%
70%
Ruko/Rukan
-
80%
70%
Pembiayaan Properti (PP) Berdasarkan Akad MMQ & Akad IMBT Tipe Properti (m2)
Fasilitas PP I
II
III dst
85%
75%
65%
Tipe 22 - 70
-
80%
70%
Tipe ≤ 21
-
-
-
Tipe > 70
85%
75%
65%
Tipe 22 - 70
Rumah Tapak Tipe > 70
Rumah Susun
92
90%
80%
70%
Tipe ≤ 21
-
80%
70%
Ruko/Rukan
-
80%
70%
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 4. Kredit tambahan (top up) oleh Bank Umum dan Pembiayaan baru oleh Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah yang merupakan tambahan dari pembiayaan sebelumnya menggunakan Rasio LTV KP atau rasio FTV PP yang sama sepanjang KP atau PP tersebut memiliki kualitas lancar. Hal yang sama juga berlaku untuk KP atau PP yang diambil alih (take over) dengan kredit tambahan (top up) atau disertai dengan Pembiayaan baru. 5. KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh diperbolehkan sampai dengan urutan fasilitas kedua dengan pencairan bertahap. Pengaturan lebih lanjut mengenai pencairan bertahap akan dimuat dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 6. Penyesuaian terhadap kalimat pengaturan dalam PBI untuk menghindari perbedaan persepsi, antara lain terhadap definisi Bank, definisi akad-akad syariah, tata cara penilaian agunan, pengertian debitur atau nasabah dalam larangan kredit uang muka, pengertian dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan, dan pengecualian Program Perumahan Pemerintah Pusat/Daerah dari PBI LTV/FTV dan Uang Muka dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku. 7. PBI ini berlaku sejak tanggal diundangkan.
7.
18/17/PBI/2016
Perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan perubahan kedua atas PBI No.11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money). 2. Perubahan dilakukan terhadap materi ketentuan terkait penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital (LKD) dengan maksud untuk memperluas pihak yang dapat menyelenggarakan LKD dalam rangka mendorong peningkatan transaksi non tunai melalui penggunaan Uang Elektronik. Secara garis besar, pokok-pokok materi perubahan yang dimuat dalam PBI ini mencakup: a. Perubahan terhadap Pasal 24D mengenai kriteria dan persyaratan pihak yang dapat menyelenggarakan LKD melalui Agen LKD individu; dan b. Penambahan 1 (satu) pasal baru, yaitu Pasal 24H mengenai penerapan Customer Due Diligence (CDD) yang lebih sederhana oleh penyelenggara LKD.
93
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 3. Pihak yang dapat menjadi Penyelenggara LKD melalui Agen LKD Individu adalah Bank dengan kriteria BUKU 3 dan 4 atau Bank Pembangunan Daerah dengan kategori BUKU 1 dan 2 yang memiliki sistem teknologi informasi memadai dan memiliki profil mandat penyaluran prgram bantuan sosial. Perubahan ini memperluas kriteria pihak yang dapat menyelenggarakan LKD, yang sebelumnya hanya terbatas pada Penerbit berupa Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4. 4. Untuk mendukung perluasan Layanan Keuangan Digital, dalam ketentuan ini diatur bahwa penyederhanaan prosedur Customer Due Diligence (CDD) dilakukan melalui pencatatan data identitas yang paling kurang mencakup informasi nama, tempat dan tanggal lahir, alamat, nomor dokumen identitas,dan nama ibu kandung. Informasi kewarganegaraan dan jenis kelamin yang diminta dalam prosedur CDD normal tidak wajib dicatat oleh Penyelenggara LKD. 5. Penyampaian rencana penyelenggaraan LKD yang diajukan sebelum berlakunya PBI ini tetap tunduk pada PBI No.11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) sebagaimana telah diubah dengan PBI No.16/8/PBI/2014 sampai dengan persetujuan penyelenggaraan LKD diberikan oleh Bank Indonesia. 6. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, penyampaian rencana penyelenggaraan LKD melalui Agen LKD individu, dan persetujuan Bank Indonesia diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
8.
94
18/18/PBI/2016
Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik
I. Latar Belakang dan Tujuan 1. Dalam rangka upaya mempercepat pengembangan dan pendalaman pasar keuangan, perlu dilakukan pengayaan variasi instrumen pasar valuta asing domestik untuk dapat menjadi alternatif bagi pelaku pasar dalam melakukan lindung nilai, sekaligus mendorong pengembangan infrastruktur, dan peningkatan kredibilitas pasar. 2. Sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi peningkatan kebutuhan transaksi lindung nilai pelaku ekonomi, khususnya korporasi non-bank yang memiliki utang luar negeri. Hal ini sejalan dengan berlakunya PBI No.16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehatihatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non-Bank, yang mengatur bahwa sejak awal tahun 2017 korporasi non-bank yang memiliki ULN wajib melakukan transaksi lindung nilai melalui bank domestik.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 3. Dalam rangka upaya peningkatan porsi transaksi derivatif di pasar valuta asing domestik yang saat ini kontribusinya terhadap total transaksi masih relatif kecil, namun dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. II. Pokok-Pokok Pengaturan 1. Transaksi Spot dan transaksi derivatif yang standar (plain vanilla), yang dilakukan Bank dengan Nasabah di atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki Underlying Transaksi. 2. Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dapat digunakan sebagai instrumen hedging namun wajib memiliki Underlying Transaksi. 3. Dalam hal Bank melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option selain, Bank wajib memenuhi prinsip kehati-hatian, termasuk mitigasi risiko. 4. Underlying Transaksi meliputi seluruh kegiatan: a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; b. investasi berupa direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri; dan/atau c. pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalam valuta asing dan/atau dalam Rupiah untuk kegiatan perdagangan dan investasi. 5. Yang dimaksud dengan “investasi lainnya” antara lain adalah investasi dan/atau transaksi yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait perpajakan. 6. Underlying Transaksi meliputi juga perkiraan pendapatan dan biaya (income dan expense estimation). 7. Underlying Transaksi tidak termasuk: a. kegiatan penempatan dana pada Bank antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit); b. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer dana; c. fasilitas pemberian kredit yang masih belum ditarik, antara lain berupa standby loan dan undisbursed loan; dan d. penggunaan Surat Berharga Bank Indonesia dalam valuta asing.
95
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 8. Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward oleh Nasabah kepada Bank, Underlying Transaksi juga meliputi kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit). 9. Jumlah tertentu (threshold) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot adalah USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah. 10. Jumlah tertentu (threshold) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) adalah USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah. 11. Jumlah tertentu (threshold) untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward adalah USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Nasabah. 12. Jumlah tertentu (threshold) untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi option adalah USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Nasabah. 13. Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal yang dilakukan melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran transaksi (unwind). 14. Bank dilarang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah, kecuali untuk transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option yang memenuhi persyaratan: a. didukungoleh Underlying Transaksi b. nominal transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi nominal Underlying Transaksi; dan
96
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
15.
16.
17.
18.
c. jangka waktu transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option wajib dilakukan secara dynamic hedging. Transaksi dynamic hedging wajib dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: a. kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal; b. kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal; c. menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan belum jatuh waktu; d. nominal tidak bersifat kumulatif; e. jangka waktu: f. paling kurang 6 (enam) bulan untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih; atau g. mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call Spread Option awal untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu kurang dari 6 (enam) bulan; dan h. dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option awal. Penyelesaian Transaksi diatur antara lain sebagai berikut: a. Penyelesaian Transaksi Spot antara Bank dengan Nasabah dan antar-Bank wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh b. Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Nasabah dan antar-Bank dapat dilakukan secara netting atau dengan pemindahan dana pokok secara penuh c. Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Nasabah dan antar-Bank yang dapat dilakukan secara netting hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind).
97
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 19. Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan dalam valuta asing dan/atau dalam Rupiah kepada Nasabah untuk kepentingan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah 20. Bank dilarang memberikan cerukan kepada Nasabah dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah 21. Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank di atas jumlah tertentu (threshold), dan melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option, Bank wajib memastikan Nasabah untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dapat dipertanggungjawabkan baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa: 1) fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan 2) pernyataan tertulis bermaterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan tertulis yang authenticated 22. Bank yang melanggar ketentuan dalam PBI ini dikenakan sanksi berupa: a. sanksi administratif berupa teguran tertulis, dan/atau b. sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
9.
98
18/19/PBI/2016
Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
I. Latar Belakang dan Tujuan 1. Dalam rangka upaya mempercepat pengembangan dan pendalaman pasar keuangan, perlu dilakukan pengayaan variasi instrumen pasar valuta asing domestik untuk dapat menjadi alternatif bagi pelaku pasar dalam melakukan lindung nilai, sekaligus mendorong pengembangan infrastruktur, dan peningkatan kredibilitas pasar. 2. Sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi peningkatan kebutuhan transaksi lindung nilai pelaku ekonomi, khususnya korporasi non-bank yang memiliki utang luar negeri. Hal ini sejalan dengan berlakunya PBI
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan No.16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehatihatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non-Bank, yang mengatur bahwa sejak awal tahun 2017 korporasi non-bank yang memiliki ULN wajib melakukan transaksi lindung nilai melalui bank domestik. 3. Dalam rangka upaya peningkatan porsi transaksi derivatif di pasar valuta asing domestik yang saat ini kontribusinya terhadap total transaksi masih relatif kecil, namun dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. II. Pokok-Pokok Pengaturan 1. Transaksi Spot dan transaksi derivatif yang standar (plain vanilla), yang dilakukan Bank dengan Nasabah di atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki Underlying Transaksi. 2. Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dapat digunakan sebagai instrumen hedging namun wajib memiliki Underlying Transaksi. 3. Dalam hal Bank melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option selain, Bank wajib memenuhi prinsip kehati-hatian termasuk mitigasi risiko. 4. Underlying Transaksi meliputi seluruh kegiatan: a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; b. investasi berupa foreign direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri; dan/atau c. pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalam valuta asing dan/atau dalam Rupiah untuk kegiatan perdagangan dan investasi. 5. Yang dimaksud dengan “investasi lainnya” antara lain adalah investasi dan/atau transaksi yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait perpajakan. 6. Underlying Transaksi meliputi juga perkiraan pendapatan dan biaya (income dan expense estimation). 7. Underlying Transaksi tidak termasuk: a. penggunaan Sertifikat Bank Indonesia, untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; b. penempatan dana pada Bank (vostro) antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit); c. fasilitas pemberian kredit yang masih belum ditarik, antara lain berupa standby loan dan undisbursed loan; dan
99
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
100
d. penggunaan Surat Berharga Bank Indonesia dalam valuta asing. Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward oleh Nasabah kepada Bank, Underlying Transaksi juga meliputi kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit). Jumlah tertentu (threshold) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui Transaksi Spot adalah USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Pihak Asing. Jumlah tertentu (threshold) untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) antara Bank dengan Pihak Asing dan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) antara Bank dengan Pihak Asing adalah masing-masing USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing maupun per posisi (outstanding) per Bank. Jumlah tertentu (threshold) untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward adalah USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dapat pula dilakukan oleh Bank dengan Pihak Asing dalam rangka cover hedging Bank. Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal yang dilakukan melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran transaksi (unwind). Bank dilarang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah, kecuali untuk transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option yang memenuhi persyaratan:
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
15.
16.
17.
18.
a. didukung oleh Underlying Transaksi b. nominal transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi nominal Underlying Transaksi; dan c. jangka waktu transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option wajib dilakukan secara dynamic hedging. Transaksi dynamic hedging wajib dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: a. kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal; b. kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal; c. menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan belum jatuh waktu; d. nominal tidak bersifat kumulatif; e. jangka waktu: f. paling kurang 6 (enam) bulan untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih; atau g. mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call Spread Option awal untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu kurang dari 6 (enam) bulan; dan h. dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option awal. Penyelesaian transaksi diatur antara lain sebagai berikut: a. Penyelesaian Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh b. Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing dapat dilakukan secara netting atau dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
101
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan c. Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing yang dapat dilakukan secara netting hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind). 19. Bank dilarang melakukan transaksi tertentu dengan Pihak Asing yang meliputi: a. pemberian Kredit atau Pembiayaan dalam Rupiah dan/atau valuta asing, kecuali: 1) Kredit atau pembiayaan non tunai atau garansi yang terkait dengan kegiatan investasi di Indonesia yang memperoleh counter guaranty dari Prime Bank atau adanya jaminan setoran sebesar 100% dari nilai garansi yang diberikan. 2) Kredit atau pembiayaan dalam bentuk sindikasi dengan persyaratan mengikutsertakan Prime Bank sebagai lead bank (peringkat investasi dan memiliki total aset yang termasuk dalam 200 bankers almanac), diberikan untuk pembiayaan proyek di sektor riil di Indonesia, kontribusi bank asing sebagai anggota sindikasi lebih besar dibandingkan dengan kontribusi Bank di dalam negeri 3) Kartu kredit. 4) Kredit atau pembiayaan konsumsi yang digunakan di dalam negeri. 5) Cerukan intrahari rupiah dan valuta asing yang didukung dokumen authenticated yang menunjukkan konfirmasi akan adanya dana masuk ke rekening bersangkutan pada hari yang sama. 6) Cerukan dalam Rupiah dan valuta asing karena biaya administrasi. 7) Pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola aset Bank dalam rangka restrukturisasi perbankan Indonesia oleh Pihak Asing yang pembayarannya dijamin oleh Prime Bank. b. penempatan dalam Rupiah; c. pembelian Surat Berharga dalam Rupiah yang diterbitkan oleh Pihak Asing, kecuali: 1) pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan kegiatan ekspor barang dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia serta perdagangan dalam negeri; dan
102
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 2) pembelian bank draft dalam Rupiah yang diterbitkan oleh bank di luar negeri untuk kepentingan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dan dana Rupiah tersebut diterima di dalam negeri oleh bukan Pihak Asing. d. tagihan antarkantor dalam Rupiah; e. tagihan antarkantor dalam valuta asing dalam rangka pemberian Kredit atau Pembiayaan di luar negeri; dan f. penyertaan modal dalam Rupiah. 20. Transfer Rupiah diatur sebagai berikut: a. Bank dilarang melakukan Transfer Rupiah ke luar negeri. b. Bank dapat melakukan Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing dan/atau yang dimiliki secara gabungan (joint account) antara Pihak Asing dengan bukan Pihak Asing pada Bank di dalam negeri apabila nilai nominal Transfer Rupiah sampai dengan ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per hari per Pihak Asing; atau dilakukan antar rekening Rupiah yang dimiliki oleh Pihak Asing yang sama. c. Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing yang berasal dari selain Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan nilai nominal di atas ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per hari per Pihak Asing wajib berdasarkan Underlying Transaksi, kecuali Transfer Rupiah yang dilakukan dalam rangka penyelesaian transaksi melalui perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind). d. Bank penerima Transfer Rupiah wajib memastikan bahwa Pihak Asing memiliki Underlying Transaksi e. Bank penerima dari suatu Transfer Rupiah yang ditujukan kepada Pihak Asing wajib melakukan verifikasi terhadap status pihak penerima dana 21. Dalam hal Bank melakukan transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) di atas jumlah tertentu (threshold) dan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah dengan Pihak Asing, Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun yang berupa perkiraan; dan
103
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated 22. Bank yang melanggar ketentuan dalam PBI ini dikenakan sanksi berupa: a. sanksi administratif berupa teguran tertulis, dan/atau b. sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
10.
18/20/PBI/2016
Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/20/PBI/DKSP tanggal 7 Oktober 2016 perihal Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank, selanjutnya disebut PBI KUPVA BB, diterbitkan dalam rangka penyempurnaan pengaturan PBI No.16/15/PBI/2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank dan harmonisasi dengan beberapa peraturan lain yang telah diterbitkan Bank Indonesia. Tujuan penerbitan PBI ini adalah untuk memberikan panduan yang lebih jelas dalam penyelenggaraan kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh lembaga bukan bank. Penyempurnaan ketentuan ini diharapkan dapat meningkatkan tata kelola yang baik serta mendorong perkembangan industri KUPVA BB menjadi lebih sehat dan efisien. Penyempurnaan yang dilakukan antara lain terhadap: 1) cakupan kegiatan usaha, 2) underlying transaksi, 3) prosedur dan persyaratan perizinan, 4) tata kelola dan perlindungan konsumen, dan 5) kegiatan jual beli UKA di wilayah perbatasan dan kerjasama dengan hotel. 2. Materi pengaturan pada PBI KUPVA BB meliputi: a. cakupan kegiatan usaha yang dapat dilakukan Penyelenggara KUPVA BB; b. persyaratan perizinan Penyelenggara KUPVA BB; c. kewenangan Bank Indonesia dalam melakukan pembatasan pemberian izin dan evaluasi perizinan; d. penetapan kurs jual dan beli UKA oleh Penyelenggara KUPVA BB; e. persyaratan calon pengurus dan pemegang saham Penyelenggara KUPVA BB; f. penerapan perlindungan konsumen; g. kerja sama dengan pihak lain dalam penyediaan layanan pembelian UKA;
104
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
3.
4.
5.
6.
h. pihak lain yang dapat melakukan jual dan beli UKA di kawasan perbatasan; dan i. kewajiban Penyelenggara KUPVA BB untuk memiliki rekening bank atas nama Penyelenggara KUPVA BB. Kegiatan usaha penukaran valuta asing terdiri dari kegiatan penukaran yang dilakukan dengan mekanisme jual beli UKA dan pembelian Cek Pelawat. Selain itu, Penyelenggara KUPVA BB dapat pula melakukan kegiatan usaha lain yang memiliki keterkaitan dengan penyelenggaraan KUPVA sepanjang telah diatur dalam ketentuan Bank Indonesia. Pengaturan mengenai Underlying Transaksi dalam penyelenggaraan KUPVA BB adalah sebagai berikut: a. Pembelian UKA oleh Nasabah dari Penyelenggara KUPVA BB di atas jumlah tertentu (threshold) per bulan per Nasabah wajib memiliki Underlying Transaksi. b. Jumlah tertentu (threshold) per bulan per Nasabah mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara bank dengan pihak domestik dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara bank dengan pihak asing. c. Dokumen yang harus disampaikan dalam transaksi yang dikenakan kewajiban Underlying Transaksi adalah dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggung jawabkan dan dokumen pendukung pembelian UKA. d. Penyelenggara KUPVA BB terkait wajib memastikan Nasabah telah menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, dokumen pendukung pembelian UKA, dan surat kuasa dalam hal Nasabah diwakili oleh pihak lain, serta menatausahakan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung pembelian UKA. Kewajiban Penyelenggara KUPVA BB dalam menetapkan kurs adalah sebagai berikut: a. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis penetapan kurs; b. menggunakan dasar penetapan kurs yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan secara konsisten; dan c. membuat catatan dan/atau kertas kerja dalam penetapan kurs. Penyelenggara KUPVA BB wajib memastikan penerapan prinsip perlindungan konsumen yang paling sedikit berupa: a. penyampaian informasi kurs kepada Nasabah secara transparan; b. perlindungan data dan/atau informasi Nasabah; dan c. penanganan dan penyelesaian pengaduan Nasabah yang efektif.
105
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 7. Perizinan sebagai Penyelenggara KUPVA BB diatur sebagai berikut: a. Badan usaha BB harus memenuhi persyaratan: 1) berbadan hukum Perseroan Terbatas yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan usaha yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia; 2) mencantumkan dalam anggaran dasar perseroan bahwa maksud dan tujuan perseroan adalah melakukan kegiatan jual beli UKA dan pembelian Cek Pelawat; dan 3) memenuhi jumlah modal disetor yang ditetapkan oleh Bank Indonesia modal disetor tidak berasal dari dan/atau untuk tujuan pencucian uang. b. Bank Indonesia memberikan izin sebagai Penyelenggara KUPVA BB dengan melalui tahapan: 1) penelitian pemenuhan persyaratan kelembagaan; 2) penelitian pemenuhan persyaratan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pemegang saham; 3) pemeriksaan lokasi tempat usaha calon Penyelenggara KUPVA BB; dan 4) penyuluhan ketentuan. 8. Izin sebagai Penyelenggara KUPVA BB yang diterbitkan oleh Bank Indonesia berlaku selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberian izin dan dapat diperpanjang berdasarkan permohonan kepada Bank Indonesia. Bank Indonesia melakukan evaluasi terhadap izin yang telah diterbitkan kepada Penyelenggara KUPVA BB. 9. Pengaturan mengenai rekening bank Penyelenggara KUPVA BBadalah sebagai berikut: a. Penyelenggara KUPVA BB wajib memiliki rekening pada bank atas nama Penyelenggara KUPVA BB. b. Rekening bank dimaksud hanya dapat digunakan untuk kegiatan usaha maupun kegiatan operasional sebagai Penyelenggara KUPVA BB. 10. Pembukaan kantor cabang Penyelenggara KUPVA BB wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Bank Indonesia dengan memenuhi persyaratan permodalan, kelayakan lokasi, dan kesiapan pembukaan kantor cabang. 11. Pengaturan mengenai pengawasan dan laporan penyelenggaraan KUPVA BB adalah sebagai berikut: a. Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung dan tidak langsung terhadap kegiatan yang dilakukan Penyelenggara KUPVA BB. b. Penyelenggara KUPVA BB wajib menyampaikan laporan berkala maupun insidental kepada Bank Indonesia.
106
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 12. Pada wilayah tertentu, Penyelenggara KUPVA BB dapat bekerja sama dengan hotel atau badan usaha yang menyelenggarakan kegiatan sejenis dengan hotel untuk melakukan kegiatan layanan pembelian UKA dengan persetujuan Bank Indonesia. 13. Pihak selain Penyelenggara KUPVA BB berupa badan usaha yang melakukan jual beli UKA di kawasan perbatasan Indonesia wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia. 14. Pihak-pihak yang selama ini telah melakukan kegiatan penukaran valuta asing namun belum memperoleh izin dari Bank Indonesia, wajib mengajukan izin sebagai Penyelenggara KUPVA BB dengan diberikan kemudahan berupa persyaratan perizinan yang mengacu pada ketentuan lama, yaitu PBI No. 16/15/PBI/2016 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing BB. Selain itu, terhadap pihakpihak tersebut belum akan dikenakan sanksi selama periode kemudahan pemrosesan izin. Pemberian kemudahan dimaksud untuk jangka waktu 6 (enam) bulan yang berlaku sejak tanggal diundangkannya PBI KUPVA BB. 15. Dalam hal setelah jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut Bank Indonesia mengetahui bahwa terdapat pihak yang melakukan kegiatan penukaran valuta asing tanpa izin dari Bank Indonesia, maka Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untuk mencabut izin usaha, dan/atau menghentikan kegiatan usaha atau mengambil langkah yang lebih tegas sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. 16. PBI KUPVA BB ini mencabut PBI Nomor 16/15/DKSPtanggal 11 September 2014 perihal Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing BB. 17. PBI KUPVA BB ini mulai berlaku sejak tanggal 7 Oktober 2016.
11.
18/21/PBI/2016
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 Tentang Sistem Informasi Debitur
I. Latar Belakang: Perubahan ketentuan SID diperlukan dalam rangka meningkatkan kelancaran proses penyediaan dana, penerapan manajemen risiko kredit yang efektif, dan ketersediaan informasi kualitas Debitur yang diandalkan, serta untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan Sistem Informasi Debitur yang menghasilkan informasi Debitur yang lengkap, akurat, terkini dan utuh. Selain itu, terdapat perubahan metode pengelolaan Credit Reporting System di Indonesia dari sebelumnya single credit reporting system menjadi dual credit reporting system yang melibatkan Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan.
107
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan II. Substansi Penyempurnaan: 1. Pelapor dapat menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara online melalui kantor Pelapor yang bersangkutan atau kantor pusat atau kantor cabang lainnya dari Pelapor dimaksud dengan tetap menggunakan sandi kantor Pelapor yang bersangkutan. 2. Pihak yang dapat meminta Informasi Debitur terdiri atas Pelapor, Debitur, Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan atau pihak lain. 3. Pelapor wajib menyampaikan informasi kepada Debitur terkait pelaporan Penyediaan Dana ke dalam Sistem Informasi Debitur. 4. Dalam hal Pelapor menerima pengaduan Debitur terkait Informasi Debitur dalam Sistem Informasi Debitur, Pelapor wajib menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal penerimaan pengaduan. Pelapor wajib melaporkan pengaduan Debitur dan tindak lanjut penyelesaian pengaduan Debitur kepada Bank Indonesia secara triwulanan. 5. Sanksi kewajiban membayar terhadap Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur, adalah: a. Bagi Bank Umum sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan, paling banyak sebesar Rp3.600.000,00 (tiga juta enam ratus ribu rupiah) untuk setiap kantor Pelapor; dan b. Bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, Lembaga Keuangan Non-Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan, paling banyak sebesar Rp900.000,00 (sembilan ratus ribu rupiah) untuk setiap kantor Pelapor. 6. Sanksi kewajiban membayar terhadap Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur secara offline melampaui batas waktu, adalah: a. Bagi Bank Umum, sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan, paling banyak sebesar Rp3.600.000,00 (tiga juta enam ratus ribu rupiah) untuk setiap kantor Pelapor; dan b. Bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank, Lembaga Keuangan Non-Bank, dan Koperasi Simpan Pinjam sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan, paling banyak sebesar Rp900.000,00 (sembilan ratus ribu rupiah) untuk setiap kantor Pelapor.
108
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 7. Pengenaan sanksi teguran tertulis bagi: a. Pelapor yang menolak permintaan Debitur yang ingin memperoleh Informasi Debitur atas nama Debitur yang bersangkutan. b. Pelapor yang tidak menyampaikan informasi kepada Debitur terkait pelaporan Penyediaan Dana ke dalam Sistem Informasi Debitur. c. Pelapor yang tidak menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan Debitur. 8. Pengenaan sanksi bagi Pelapor yang menggunakan Informasi Debitur tidak sesuai dengan ketentuan mulai berlaku sejak diberikannya akses Web Sistem Informasi Debitur. 9. Penambahan definisi mengenai Informasi Debitur dan Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan. 10. PBI ini berlaku sejak tanggal diundangkan.
12.
18/22/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar. c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya. 2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Macam uang Rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus. 4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal pada pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016 yaitu sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
109
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 7. Uang Rupiah kertas pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. 8. Uang Rupiah kertas pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. 9. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
13.
110
18/23/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar. c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya. 2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Macam uang Rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2016 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus. 4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal pada pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2016 yaitu sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah). 5. Uang Rupiah kertas pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 6. Uang Rupiah kertas pecahan 10.000 (sepuluh ribu) Tahun Emisi 2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. 7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
14.
18/24/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung. b. Pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan numismatika. c. Uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Macam uang Rupiah khusus merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki ciri tertentu. 4. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk kertas bersambung meliputi: a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet), yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan. 5. Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak: a. (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet).
111
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 6. Harga uang Rupiah kertas khusus pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung ditetapkan oleh Bank Indonesia. 7. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. 8. Pengedaran uang Rupiah kertas khusus dilakukan dengan cara menjual secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat. 9. Uang Rupiah kertas khusus dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Penukaran dimaksud diberikan penggantian untuk masingmasing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan uang Rupiah khusus, dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang Rupiah. 10. Uang Rupiah kertas khusus pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. 11. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
15.
112
18/25/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung. b. Pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan numismatika. c. Uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Macam uang Rupiah khusus merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki ciri tertentu. 4. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk kertas bersambung meliputi:
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet), 5. yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan. 6. Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak: a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet). 7. Harga uang Rupiah kertas khusus pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung ditetapkan oleh Bank Indonesia. 8. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. 9. Pengedaran uang Rupiah kertas khusus dilakukan dengan cara menjual secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat. 10. Uang Rupiah kertas khusus dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Penukaran dimaksud diberikan penggantian untuk masingmasing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan uang Rupiah khusus, dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang Rupiah. 11. Uang Rupiah kertas khusus pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. 12. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
16.
18/26/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Logam Pecahan 1.000 (Seribu) Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
113
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
17.
114
18/27/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Logam Pecahan 500 (Lima Ratus) Tahun Emisi 2016
b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar. c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Macam uang Rupiah pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal pada pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 yaitu sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah). Uang Rupiah kertas pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2000 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Uang Rupiah kertas pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
18.
18/28/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Logam Pecahan 200 (Dua Ratus) Tahun Emisi 2016
Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar. c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 500 (lima ratus) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Macam uang Rupiah pecahan 500 (lima ratus) tahun emisi 2016 merupakan uang Rupiah logam yang memiliki ciri tertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus. Harga uang Rupiah logam merupakan nilai nominal pada pecahan 500 (lima ratus) tahun emisi 2016 yaitu sebesar Rp500,00 (lima ratusrupiah). Uang Rupiah logam pecahan 500 (lima ratus) tahun emisi 1991, tahun emisi 1997, dan tahun emisi 2003 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Uang Rupiah logam pecahan 500 (lima ratus) tahun emisi 2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar.
115
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
19.
116
18/29/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2016
c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 200 (dua ratus) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Macam uang Rupiah pecahan 200 (dua ratus)tahun emisi 2016 merupakan uang Rupiah logam yang memiliki ciri tertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus. Harga uang Rupiah logam merupakan nilai nominal pada pecahan 200 (dua ratus) tahun emisi 2016 yaitu sebesar Rp200,00 (dua ratusrupiah). Uang Rupiah logam pecahan 200 (dua ratus) tahun emisi 2003 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Uang Rupiah logam pecahan 200 (dua ratus) tahun emisi 2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar. c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Macam uang Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2016 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus. 4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal pada pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2016 yaitu sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). 5. Uang Rupiah kertas pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 dan tahun emisi 2014 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. 6. Uang Rupiah kertas pecahan 100.000 (seratus ribu)Tahun Emisi 2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. 7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
20.
18/30/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar. c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya. 2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
117
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 3. Macam uang Rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2016 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus. 4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal pada pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2016 yaitu sebesar Rp20.000,00 (dua puluh ribu rupiah). 5. Uang Rupiah kertas pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. 6. Uang Rupiah kertas pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. 7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
21.
118
18/31/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 5.000 (Lima Ribu) Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar. c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya. 2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Macam uang Rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2016 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal pada pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2016 yaitu sebesar Rp5.000,00 (lima ribu rupiah). 5. Uang Rupiah kertas pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2001 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. 6. Uang Rupiah kertas pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. 7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
22.
18/32/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 2.000 (Dua Ribu) Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar. c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya. 2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Macam uang Rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2016 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus. 4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal pada pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2016 yaitu sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah).
119
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 5. Uang Rupiah kertas pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2009 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. 6. Uang Rupiah kertas pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. 7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
23.
120
18/33/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 1.000 (Seribu) Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar. c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya. 2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Macam uang Rupiah pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus. 4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal pada pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 yaitu sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah). 5. Uang Rupiah kertas pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2000 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 6. Uang Rupiah kertas pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. 7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
24.
18/34/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung. b. Pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan numismatika. c. Uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Macam uang Rupiah khusus merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki ciri tertentu. 4. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk kertas bersambung meliputi: a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet), yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan. 5. Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak: a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet). 6. Harga uang Rupiah kertas khusus pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung ditetapkan oleh Bank Indonesia.
121
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 7. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. 8. Pengedaran uang Rupiah kertas khusus dilakukan dengan cara menjual secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat. 9. Uang Rupiah kertas khusus dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Penukaran dimaksud diberikan penggantian untuk masingmasing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan uang Rupiah khusus, dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang Rupiah. 10. Uang Rupiah kertas khusus pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. 11. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
25.
122
18/35/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung. b. Pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan numismatika. c. Uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Macam uang Rupiah khusus merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki ciri tertentu. 4. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk kertas bersambung meliputi: a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan c. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet), yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan. 5. Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak: a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet). 6. Harga uang Rupiah kertas khusus pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung ditetapkan oleh Bank Indonesia. 7. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. 8. Pengedaran uang Rupiah kertas khusus dilakukan dengan cara menjual secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat. 9. Uang Rupiah kertas khusus dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Penukaran dimaksud diberikan penggantian untuk masingmasing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan uang Rupiah khusus, dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang Rupiah. 10. Uang Rupiah kertas khusus pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. 11. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
26.
18/36/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung 5.000 (Lima Ribu) Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung. b. Pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan numismatika.
123
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan c. Uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Macam uang Rupiah khusus merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki ciri tertentu. 4. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk kertas bersambung meliputi: a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 1 (satu) lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet), yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan. 5. Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak: a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet). 6. Harga uang Rupiah kertas khusus pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung ditetapkan oleh Bank Indonesia. 7. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. 8. Pengedaran uang Rupiah kertas khusus dilakukan dengan cara menjual secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat. 9. Uang Rupiah kertas khusus dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Penukaran dimaksud diberikan penggantian untuk masingmasing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan uang Rupiah khusus, dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang Rupiah. 10. Uang Rupiah kertas khusus pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. 11. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
124
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
27.
18/37/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung 2.000 (Dua Ribu) Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung. b. Pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan numismatika. c. Uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Macam uang Rupiah khusus merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki ciri tertentu. 4. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk kertas bersambung meliputi: a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 1 (satu) lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet), yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan. 5. Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak: a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet). 6. Harga uang Rupiah kertas khusus pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung ditetapkan oleh Bank Indonesia. 7. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. 8. Pengedaran uang Rupiah kertas khusus dilakukan dengan cara menjual secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat.
125
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 9. Uang Rupiah kertas khusus dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Penukaran dimaksud diberikan penggantian untuk masingmasing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan uang Rupiah khusus, dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang Rupiah. 10. Uang Rupiah kertas khusus pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. 11. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
28.
126
18/38/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung 1.000 (Seribu) Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung. b. Pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan numismatika. c. Uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Macam uang Rupiah khusus merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki ciri tertentu. 4. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk kertas bersambung meliputi: a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 1 (satu) lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet), yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan. 5. Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet). 6. Harga uang Rupiah kertas khusus pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung ditetapkan oleh Bank Indonesia. 7. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. 8. Pengedaran uang Rupiah kertas khusus dilakukan dengan cara menjual secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat. 9. Uang Rupiah kertas khusus dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Penukaran dimaksud diberikan penggantian untuk masingmasing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan uang Rupiah khusus, dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang Rupiah. 10. Uang Rupiah kertas khusus pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambung mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. 11. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
29.
18/39/PBI/2016
Pengeluaran Uang Rupiah Logam Pecahan 100 (Seratus Tahun Emisi 2016
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan: a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar.
127
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
30.
128
18/40/PBI/2016
Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran
c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 100 (seratus) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Macam uang Rupiah pecahan 100 (seratus) tahun emisi 2016 merupakan uang Rupiah logam yang memiliki ciri tertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus. Harga uang Rupiah logam merupakan nilai nominal pada pecahan 100 (seratus) tahun emisi 2016 yaitu sebesar Rp100,00 (seratus rupiah). Uang Rupiah kertas pecahan 100 (seratus) tahun emisi 1999 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Uang Rupiah kertas pecahan 100 (seratus) tahun emisi 2016mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
1. Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (PBI PTP) diterbitkan dengan mempertimbangkan: a. Perkembangan teknologi dan sistem informasi yangmelahirkan berbagai inovasi, khususnya yang berkaitan dengan financial technology (fintech) dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk di bidang jasa sistem pembayaran, baik dari sisi instrumen, penyelenggara, mekanisme, maupun infrastruktur penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. b. Inovasi dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran yang perlu tetap mendukung terciptanya sistem pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal. c. Pemenuhan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang memadai, perluasan akses, kepentingan nasional dan perlindungan konsumen, serta standar dan praktik internasional.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
2.
3.
4.
5.
d. Pengaturan sistem pembayaran saat ini yang perlu dilengkapi dan dirumuskan secara lebih komprehensif untuk memberikan arah dan pedoman yang semakin jelas kepada penyelenggara jasa sistem pembayaran dan penyelenggara penunjang transaksi pembayaran, serta kepada masyarakat. Cakupan PBI ini meliputi: a. penyelenggara dalam pemrosesan transaksi pembayaran; b. perizinan dan persetujuan dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran; c. kewajiban dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran; d. laporan; e. peralihan izin penyelenggara jasa sistem pembayaran; dan f. pengawasan, larangan, serta sanksi. Pemrosesan transaksi pembayaran meliputi kegiatan pra transaksi, otorisasi, kliring, penyelesaian akhir (setelmen), dan pascatransaksi. Kegiatan pemrosesan transaksi pembayaran dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) dan Penyelenggara Penunjang. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran terdiri atas: a. Prinsipal; b. Penyelenggara Switching; c. Penerbit; d. Acquirer; e. Penyelenggara Payment Gateway; f. Penyelenggara Kliring; g. Penyelenggara Penyelesaian Akhir; h. Penyelenggara Transfer Dana; i. Penyelenggara Dompet Elektronik; dan j. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Penyelenggara Penunjang merupakan pihak yang menunjang terlaksananya pemrosesan transaksi pembayaran di seluruh tahapan pemrosesan transaksi, yang antara lain terdiri dari perusahaan yang menyelenggarakan: a. pencetakan kartu; b. personalisasi pembayaran; c. penyediaan pusat data (data center) dan/atau pusat pemulihan bencana (disaster recovery center); d. penyediaan terminal antara lain Automated Teller Machine (ATM), Electronic Data Capture (EDC), dan/atau reader; e. penyediaan fitur keamanan instrumen pembayaran dan/atau transaksi pembayaran;
129
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan f. penyediaan teknologi pendukung transaksi nirkontak (contactless); dan/atau g. penyediaan penerusan (routing) data pendukung pemrosesan transaksi pembayaran. 6. Prinsip dasar izin atau persetujuan dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran adalah sebagai berikut: a. Pihak yang bertindak sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia. b. Pihak yang telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dan akan melakukan pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran, pengembangan produk dan aktivitas jasa sistem pembayaran, dan/atau kerja sama dengan pihak lain, wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. 7. Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan perizinan dan/atau persetujuan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, serta memberikan kemudahan kepada Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh izin atas proses persetujuan kerja sama dalam rangka penggunaan dan perluasan penggunaan instrumen pembayaran nontunai untuk program yang terkait dengan kebijakan nasional. 8. Pihak yang mengajukan izin untuk menjadi Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus berbentuk perseroan terbatas yang paling sedikit 80% (delapan puluh persen) sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. 9. Dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, setiap Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib: a. menerapkan manajemen risiko secara efektif dan konsisten; b. menerapkan standar keamanan sistem informasi; c. menyelenggarakan pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik; d. menerapan perlindungan konsumen; dan e. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. 10. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran kepada Bank Indonesia yang terdiri atas laporan berkala dan laporan insidental. 11. Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung terhadap Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia
130
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan melakukan pengawasan kepada Penyelenggara Penunjang yang bekerjasama dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. 12. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dilarang: a. melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan menggunakan virtual currency; b. menyalahgunakan data dan informasi nasabah maupun data dan informasi transaksi pembayaran; dan/atau c. memiliki dan/atau mengelola nilai yang dapat dipersamakan dengan nilai uang yang dapat digunakan di luar lingkup Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang bersangkutan. 13. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar ketentuan PBI ini dikenakan sanksi administratif berupa teguran, denda, penghentian sementara atau seluruh kegiatan jasa sistem pembayaran, dan/atau pencabutan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. 14. Ketentuan peralihan diatur sebagai berikut: a. Pihak yang telah menyelenggarakan kegiatan Switching, Payment Gateway, dan/atau Dompet Elektronik sebelum PBI ini berlaku dan belum memperoleh izin dari Bank Indonesia wajib mengajukan izin kepada Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan sejak PBI ini berlaku. b. Ketentuan persentase kepemilikan saham wajib dipenuhi oleh pihak yang sebelum PBI ini berlaku: 1) telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai Prinsipal, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; atau 2) sedang dalam proses perizinan dan kemudian memperoleh izin dari Bank Indonesia, c. apabila setelah berlakunya PBI ini, akan melakukan perubahan kepemilikan. d. Persyaratan dan tata cara permohonan bagi pihak yang mengajukan izin sebagai Prinsipal, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebelum PBI ini berlaku, tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. e. Bank yang telah menyelenggarakan Proprietary Channel pada saat PBI ini mulai berlaku wajib melaporkan penyelenggaraan kegiatan dimaksud kepada Bank Indonesia untuk ditatausahakan dengan disertai dokumen pendukung paling lambat 6 (enam) bulan sejak PBI ini berlaku.
131
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan f. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah menyelenggarakan pengembangan kegiatan Payment Gateway dan/atau Dompet Elektronik pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku wajib melaporkan penyelenggaraan kegiatan dimaksud kepada Bank Indonesia untuk ditatausahakan dengan disertai dokumen pendukung paling lambat 6 (enam) bulan sejak PBI ini berlaku. 15. Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dan Penyelenggara Penunjang, pemenuhan persyaratan perizinan, kewajiban Penyelenggara Dompet Elektronik, format dan tata cara penyampaian laporan penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, dan tata cara pengenaan sanksi diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
31.
132
18/41/PBI/2016
Bilyet Giro
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini mencabut Surat Keputusan Direksi No. 28/32/SK/KEP/Dir tanggal tanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro. 2. Penerbitan PBI ini dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan bagi pengguna Bilyet Giro dan meningkatkan integritas penggunaan Bilyet Giro untuk memitigasi risiko penyalahgunaan, serta menjamin keamanan serta kepastian penggunaan Bilyet Giro. 3. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini meliputi: a. Penegasan Bilyet Giro bukan sebagai surat berharga namun sebagai alat pembayaran non tunai berbasis warkat melalui pemindahbukuan. b. Penyempurnaan pengaturan syarat formal antara lain dengan menambahkan tanggal efektif sebagai syarat formal dan kewajiban pengisian syarat formal secara lengkap oleh penarik pada saat penerbitan. c. Penyesuaian masa berlaku Bilyet Giro yang semula 70 (tujuh puluh) hari sejak tanggal penarikan ditambah 6 (enam) bulan menjadi hanya 70 (tujuh puluh) hari sejak tanggal penarikan. d. Memberikan kewenangan kepada Bank Tertarik (Bank penerbit Bilyet Giro) untuk melakukan penahanan warkat dan penundaan pembayaran paling lama 1 (satu) hari kerja berikutnya terhadap Bilyet Giro yang diduga palsu atau dimanipulasi. e. Pemenuhan standar keamanan dan spesifikasi Bilyet Giro yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. f. Penegasan kewajiban Bank Tertarik, Penarik, Pemegang, dan Bank Penerima dalam penggunaan Bilyet Giro.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan g. Pengaturan mengenai kewajiban bank untuk menolak Bilyet Giro yang diduga diisi oleh pihak selain Penarik. 4. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2017.
32.
18/42/PBI/2016
Pembentukan Peraturan di Bank Indonesia
I. Latar Belakang Pengaturan: Dalam rangka menyempurnakan ketentuan mengenai pembentukan peraturan di Bank Indonesia sebagai upaya pemenuhan dan ketaatan terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku dan mempertimbangkan kebutuhan intern Bank Indonesia, perlu mengatur kembali ketentuan yang mengatur mengenai pembentukan peraturan di Bank Indonesia. Pengaturan mengenai pembentukan peraturan di Bank Indonesia mengatur mengenai jenis peraturan, materi muatan, mekanisme, proses pembentukan peraturan sejak tahap perencanaan sampai dengan penerbitannya. Selain itu, diatur pula asas, prinsip dasar dan dilengkapi dengan tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan, dan pemberlakuannya. II. Materi Pengaturan: 1. Tujuan pengaturan pembentukan peraturan : a. menciptakan Peraturan yang baik melalui prosedur dan metode yang baku; dan b. memperjelas fungsi, tugas, dan wewenang dalam pembentukan Peraturan. 2. Pembentukan peraturan dilakukan berdasarkan prinsip: a. memperhatikan penerapan asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik; b. dilaksanakan sesuai fungsi, tugas, dan wewenang yang dimiliki; dan c. memenuhi akuntabilitas publik. 3. Peraturan di Bank Indonesia a. Jenis peraturan di BI yaitu PBI, PDG, PADG, dan PADG INTERN. b. Materi muatan PBI, materi muatan PDG, materi muatan PADG, dan materi muatan PADG INTERN. c. Pembentukan peraturan: PBI perencanaan penyusunan pembahasan penetapan pengundangan penyebarluasan
PDG, PADG, dan PADG Intern perencanaan penyusunan pembahasan penetapan pengumuman dan/atau penyebarluasan
133
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 4. Partisipasi Masyarakat a. Partisipasi Masyarakat dilakukan dengan mengundang instansi, lembaga, atau pihak lain yang terkait untuk memperoleh masukan dalam penyusunan konsep RPBI dan konsep RPADG. b. Masukan dilakukan sebelum konsep RPBI dimintakan persetujuan RDG dan konsep RPADG dimintakan persetujuan ADG yang membawahkan Satker pemrakarsa. c. Partisipasi masyarakat tidak berlaku terhadap kebijakan BI yang bersifat rahasia dan/atau yang berdampak negatif apabila diketahui oleh publik sebelum kebijakan tersebut dikeluarkan oleh BI. 5. Teknik Penyusunan dan Bentuk a. Teknik penyusunan Peraturan sebagaimana tercantum dalam lampiran. b. Bentuk Peraturan sebagaimana tercantum dalam lampiran. 6. Aturan Kebijakan (Beleidsregel) Dalam hal diperlukan, untuk melaksanakan PBI, PDG, PADG, atau PADG Intern, Satuan Kerja dapat membentuk aturan kebijakan (beleidsregel) yang bersifat sangat teknis dalam bentuk petunjuk teknis. 7. Ketentuan Penutup a. Semua Surat Edaran Bank Indonesia yang bersifat mengatur ekstern yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai PADG. b. Semua Surat Edaran Bank Indonesia yang bersifat mengatur intern yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai PADG Intern. c. Semua Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia yang bersifat mengatur ekstern, yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai PBI. d. Semua Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia yang bersifat mengatur intern, yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai PDG. e. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Peraturan Dewan Gubernur Nomor 1/1/PDG/1999 tanggal 18 Mei 1999 tentang Tata Tertib Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
134
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
33.
18/43/PBI/2016
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan penyempurnaan dari PBI Nomor 8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong (DHN) dan diterbitkan sebagai dampak dari penyempurnaan ketentuan Bank Indonesia tentang Bilyet Giro. 2. Substansi pengaturan PBI DHN sejalan dengan PBI No. 18/41/PBI/2016 tentang Bilyet Giro. Adapun penyesuaian pengaturan dalam PBI DHN meliputi: a. penambahan kewajiban Bank untuk menatausahakan Cek dan/atau Bilyet Giro yang didistribusikan kepada Nasabah; b. penyesuaian kewajiban penyediaan Dana bagi Penarik Bilyet Giro, yaitu: 1) penyediakan Dana yang cukup wajib telah disediakan pada Bank Tertarik sejak Tanggal Efektif sampai dengan berakhirnya Tenggang Waktu Pengunjukan; 2) kewajiban penyediaan Dana tidak berlaku untuk: a) Bilyet Giro yang diunjukkan sebelum Tanggal Efektif; dan/atau b) Bilyet Giro yang diunjukkan setelah berakhirnya Tenggang Waktu Pengunjukan. c. pembatalan Cek dan/atau Bilyet Giro, dimana untuk Bilyet Giro tidak dapat dibatalkan selama Tenggang Waktu Pengunjukan; d. penyesuaian pengaturan mengenai pengecualian kategori Cek dan/atau Bilyet Giro kosong, yaitu dalam hal Cek dan/atau Bilyet Giro ditolak dengan alasan: 1) unsur Cek atau syarat formal Bilyet Giro tidak terpenuhi; 2) Cek telah daluwarsa; 3) Cek dibatalkan setelah Tenggang Waktu Pengunjukan berakhir; 4) pencantuman Tanggal Efektif Bilyet Giro tidak dalam Tenggang Waktu Pengunjukan; 5) Bilyet Giro diunjukkan tidak dalam waktu Tenggang Waktu Efektif; atau 6) Cek dan/atau Bilyet Giro diduga palsu atau dimanipulasi. e. kewajiban Bank Tertarik melakukan penahanan dan penundaan pembayaran terhadap Cek dan/atau Bilyet Giro dan melakukan verifikasi paling lama sampai dengan 1 hari kerja berikutnya; f. kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
135
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 3. Terdapat perubahan sanksi dalam PBI DHN, yaitu sanksi kewajiban membayar bagi Bank apabila terlambat atau tidak menyampaikan laporan berkala. Selain itu Bank juga dikenakan sanksi teguran tertulis apabila tidak menyampaikan laporan insidental sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan sejak batas waktu penyampaian laporan dan paling banyak sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). 4. Dalam rangka pembinaan terhadap nasabahnya, Bank berwenang membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro termasuk melakukan penutupan Rekening Giro, meskipun identitas Pemilik Rekening tidak tercantum dalam DHN, dalam hal: a. Bank meragukan kredibilitas Pemilik Rekening; b. terdapat permintaan dari Pemilik Rekening; atau c. terdapat permintaan dari pihak yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2017.
136
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
1.
18/16/DSta
Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum
1. Ketentuan ini terkait dengan implementasi perubahan laporan sebagai tindak lanjut dari diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/3/PBI/2016, dan dalam rangka memperoleh tambahan informasi sehubungan dengan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/17/PBI/2015 tentang Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing serta dalam rangka menyelaraskan Laporan Bulanan Bank Umum dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. 2. Surat Edaran ini merupakan perubahan keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/21/DSta tanggal 12 Desember 2014. 3. Surat Edaran mulai berlaku sejak pelaporan data Juli 2016 yang disampaikan pada bulan Agustus 2016. 4. Rekapitulasiperubahan LBU sebagaimana tabel berikut:
No.
Form
Perubahan
Laporan Per Kantor Form 02 - Laporan Laba/Rugi Per Kantor
a. Menambahkan sandi 2220 dengan rincian “Fee atas layanan cash management” b. Merinci Sandi 3640 - Gaji dan Upah Tenaga Kerja, menjadi: 1. Sandi 3644 - Gaji Direksi 2. 2) Sandi 3645 - Gaji dan upah Non Direksi
137
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
No.
Form
Perubahan
Laporan Per Kantor Form 07 - Rincian Surat Berharga
Menambahkan sandi 048 - Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) dalam Valuta Asing
Form 11 - Rincian Kredit Yang Diberikan
a. Merinci sandi referensi "Jenis Kredit", yaitu dari "Kredit kepada pihak ketiga melalui lembaga lain secara executing", menjadi: a. Kredit kepada UMKM melalui lembaga lain secara executing b. Kredit kepada non UMKM melalui lembaga lain secara executing b. Merubah ketentuan pelaporan agunan khusus untuk kredit konsumsi dalam rangka kepemilikan/beragun rumah tinggal, rumah susun, ruko, atau kredit konsumsi dalam rangka kepemilikan kendaraan bermotor.
Form 23 - Giro
Menambah kolom “Nomor Rekening” dan diisi khusus untuk giro milik Pemerintah Pusat
Form 24 - Tabungan Menambah kolom “Nomor Rekening” dan diisi khusus untuk tabungan milik Pemerintah Pusat Form 25 - Simpanan Menambah kolom “Nomor Berjangka Rekening” dan diisi khusus untuk simpanan berjangka milik Pemerintah Pusat Form 31 - Surat Berharga Yang Diterbitkan
138
a. Menambah kolom: 1. Jenis Penawaran: Public Offering atau Private Placement
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
No.
Form
Perubahan 2. Peringkat Surat Berharga a) Lembaga Pemeringkat b) Peringkat Surat Berharga c) Tanggal Pemeringkatan 3. Status Registrasi : teregistrasi di KSEI atau tidak teregistrasi di KSEI b. Mengubah kriteria Golongan Pembeli Surat Berharga menjadi Pembeli Surat Berharga Saat ini
Form 40 Pendapatan Komprehensif Lainnya
Menambah sandi: 1. 30 - keuntungan atas pengukuran kembali atas program pensiun manfaat pasti 2. b. 80 - kerugian atas pengukuran kembali atas program pensiun manfaat pasti
Form 47 Merinci sandi untuk seluruh Persetujuan dan komponen persetujuan dan realisasi kredit baru realisasi kredit baru Rincian jenis agunan Menambahkan sandi: untuk seluruh 1. 047 - Sertifikat Deposito Bank formulir yang terkait Indonesia 2. 048 - Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing (SBBI Valas) Laporan Gabungan 1. Form 02 - Laporan Laba/Rugi
a. Menambahkan sandi 2220 dengan rincian “Fee atas layanan cash management” b. Merinci Sandi 3640 - Gaji dan Upah Tenaga Kerja, menjadi: 1. Sandi 3644 - Gaji Direksi 2. Sandi 3645 - Gaji dan upah Non Direksi
139
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
No.
Form
Perubahan
Laporan Gabungan (termasuk UUS) 1. Form 02 - Laporan Laba/Rugi
a. Menambahkan sandi 2220 dengan rincian “Fee atas layanan cash management” b. Merinci Sandi 3640 - Gaji dan Upah Tenaga Kerja, menjadi: 1. Sandi 3644 - Gaji Direksi 2. Sandi 3645 - Gaji dan upah Non Direksi
Laporan Perusahaan Anak 1. Form 02 - Laporan Laba/Rugi
a. Menambahkan sandi 2220 dengan rincian “Fee atas layanan cash management” b. Merinci Sandi 3640 - Gaji dan Upah Tenaga Kerja, menjadi: 1. Sandi 3644 - Gaji Direksi 2. Sandi 3645 - Gaji dan upah Non Direksi
2. Form 09 - Rincian Kredit Yang Diberikan
Merinci sandi referensi "Jenis Kredit", yaitu dari "Kredit kepada pihak ketiga melalui lembaga lain secara executing", menjadi: a. Kredit kepada UMKM melalui lembaga lain secara executing b. Kredit kepada non UMKM melalui lembaga lain secara executing
Laporan Konsolidasi 1. Form 02 - Laporan Laba/Rugi
140
a. Menambahkan sandi 2220 dengan rincian “Fee atas layanan cash management” b. Merinci Sandi 3640 - Gaji dan Upah Tenaga Kerja, menjadi: 1. Sandi 3644 - Gaji Direksi 2. Sandi 3645 - Gaji dan upah Non Direksi
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
2.
18/17/DSta
Perihal Perubahan Keenam atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum
Ringkasan 1. Ketentuan ini terkait dengan implementasi perubahan laporan sebagai tindak lanjut dari diterbitkannya: a. PBI No. 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Domestik sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan PBI No. 17/15/PBI/2015. b. PBI No. 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan PBI No. 17/16/PBI/2015. c. PBI No. 17/4/PBI/2015 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah. d. PBI No. 18/2/PBI/2016 tentang Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah. 2. Cakupan perubahan LHBU meliputi, antara lain:
No.
Form
Deskripsi Perubahan
1.
Form 101 - PUAB
Menambahkan sandi Deposit on Call di kolom "PUAB LN/DN". Deposit on Call hanya dilaporkan oleh Bank yang melakukan penempatan dana pada Bank lain dan waktu penyampaian data Deposit on Call adalah pkl. 07.00 s.d 18.00
2.
Form 201 - TOD, TOM, SPOT
1. Perubahan sandi Jenis Dokumen 2. Perubahan sandi Jenis Tujuan 3. Penambahan kolom terkait penyelesaian transaksi secara netting 4. Penegasan validasi di kolom Tujuan, Jenis, dan NPWP sesuai dengan threshold yang berlaku
3.
Form 202 Forward, Swap, Option
1. Perubahan sandi Jenis Dokumen 2. Perubahan sandi Jenis Tujuan 3. Penambahan kolom terkait penyelesaian transaksi secara netting
141
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
No.
Form
Deskripsi Perubahan 4. penambahan kolom jenis usaha pembeli dan penjual (konvensional/syariah) 5. Penegasan validasi di kolom Tujuan, Jenis, dan NPWP sesuai dengan threshold tertentu 6. Menambahkan kewajiban pelaporan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang berstatus devisa (bank dengan kegiatan usaha dalam valuta asing)
4.
Form 203 Derivatif Lainnya
1. Perubahan sandi Jenis Dokumen 2. Perubahan sandi Jenis Tujuan 3. Penegasan validasi di kolom Tujuan, Jenis, dan NPWP sesuai dengan threshold yang berlaku
5.
Form 207 - CCS/IRS
Form baru yaitu Transaksi Cross Currency Swap (CCS) dan Interest Rate Swap (IRS). Transaksi CCS dan IRS tidak lagi dilaporkan melalui Form 203
6.
142
Form 301 Perdagangan SB di Pasar Sekunder
1. Mengubah kolom "Diskonto" menjadi "Suku Bunga" 2. Menambah kolom"Harga Repo 1st Leg" dan "Harga Repo 2nd Leg" (khusus repo/repo syariah) 3. Menambah sandi referensi "Jenis Surat Berharga", yaitu SPN, Promes, MTN, FRN, CLN, Obligasi Korporasi, Obligasi Negara, SBIS, SBSN, Sukuk Korporasi, NCDS, dan SBS Lainnya
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
No.
Form
Deskripsi Perubahan 4. Menambah panjang karakter "Jenis Surat Berharga" menjadi 2 karakter 5. Menambah sandi referensi "Jenis Transaksi" yaitu Repo Syariah 6. Menambahkan kewajiban pelaporan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
7.
Form 403/404 Pos Tertentu Neraca
1. Merinci/menambahkan sandi pos tertentu neraca 2. Merinci kolom valuta asing menjadi Valuta USD dan Non USD
8.
Form 709 Proyeksi Likuiditas Harian
Form baru (informasi dari Bank Indonesia)
3. Ketentuan ini mulai berlaku pada 8 Agustus 2016.
3.
18/18/DKMP
Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP Tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
I. Latar Belakang Pengaturan: Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/14/PBI/2016 tentang Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP Tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, perlu melakukan perubahan ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional. II. Substansi Penyempurnaan: 1. Penetapan batas bawah LFR Target dari yang sebelumnya 78% menjadi 80%. 2. Penyesuaian terhadap contoh-contoh perhitungan GWM yang terkait dengan penyebutan batas bawah LFR Target dan pengkinian tanggal data laporan dalam Lampiran III perihal Contoh Perhitungan GWM dalam Rupiah dan Perhitungan Sanksi Kewajiban Membayar
143
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan dan Lampiran IV perihal Contoh Perhitungan GWM bagi Bank yang Melakukan Merger. 3. Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 24 Agustus 2016.
4.
18/19/DKMP
Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Finangcing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor
I. Latar Belakang Pengaturan: Dalam rangka memberikan pengaturan lebih lanjut atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016 tanggal 29 Agustus 2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No.18/19/DKMP tanggal 6 September 2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. II. Substansi Penyempurnaan: 1. Surat Edaran Bank Indonesia mengatur lebih lanjut substansi penyempurnaan pengaturan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016 tanggal 29 Agustus 2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, yang antara lain meliputi: a. Perubahan rasio dan tiering dari rasio Loan to Value (LTV) untuk Kredit Properti (KP) atau rasio Financing to Value (FTV) untuk Pembiayaan Properti (PP), untuk fasilitas ke-1, fasilitas ke-2, fasilitas ke-3, dan seterusnya, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian; b. Penyesuaian persyaratan Non Performing Loan (NPL) dari total Kredit atau Non Performing Financing (NPF) dari total Pembiayaan untuk penggunaan rasio LTV untuk KP dan rasio FTV untuk PP dari gross menjadi net; c. Kredit tambahan (top up) oleh Bank Umum dan Pembiayaan baru oleh Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah yang merupakan tambahan dari pembiayaan sebelumnya menggunakan Rasio LTV KP atau rasio FTV PP yang sama sepanjang KP atau PP tersebut memiliki kualitas lancar. Hal yang sama juga berlaku untuk KP atau PP yang diambil alih (take over) dengan kredit tambahan (top up) atau disertai dengan Pembiayaan baru.
144
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan d. KP atau PPuntukpemilikan properti yang belum tersedia secara utuh diperbolehkan hingga urutan fasilitas ke-2, dengan pencairan kredit atau pembiayaan secara bertahap dengan rincian sebagai berikut:
No.
Persenatase Pencairan
Tahapan
Rumah Tapak, Rumah Toko atau Rumah Kantor 1. 40% dari plafon
setelah penyelesaian fondasi
2. 80% dari plafon
setelah penyelesaian tutup atap
3. 90% dari plafon
setelah penandatanganan Berita Acara Serah Terima (BAST)
4. 100% dari plafon
setelah penandatanganan BAST yang telah dilengkapi dengan Akta Jual Beli (AJB) dan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) atau Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
Rumah Susun 1. 40% dari plafon
setelah penyelesaian fondasi
2. 70% dari plafon
setelah penyelesaian tutup atap
3. 90% dari plafon
setelah penandatanganan BAST
4. 100% dari plafon
setelah penandatanganan BAST yang telah dilengkapi dengan AJB dan APHT atau SKMHT
Keterangan: Untuk tahapan pencairan KP Rusun atau PP Rusun, Bank dapat melakukan pencairan tambahan di antara penyelesaian fondasi dan sebelum penyelesaian tutup berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan.
e. Penyesuaian sumber data dan nilai yang digunakan dalam perhitungan NPL dan NPF. f. Penyempurnaan terkait penyampaian Laporan Kredit Properti dan Kredit Kendaraan Bermotor (Laporan KP dan KKB) serta Laporan Pembiayaan Properti (Laporan PP) dengan menggunakan template yang akan disediakan di website Bank Indonesia.
145
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 2. Penyesuaian terhadap contoh-contoh perhitungan dan penetapan antara lain: a. Rasio LTV untuk KP dan FTV untuk PP dalam Lampiran IV; b. Rasio LTV untuk Kredit Tambahan (Top Up) atau Rasio FTV untuk Pembiayaan Baru Berdasarkan Properti yang Masih Menjadi Agunan dari KP atau PP Sebelumnya dan KP atau PP yang Diambil Alih (Take Over) dalam Lampiran V; c. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk Pemilikan Properti yang Belum Tersedia secara Utuh dalam Lampiran VI; dan d. Sanksi Kewajiban Membayar dalam Lampiran VIII. 3. Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 6 September 2016.
5.
146
18/20/DPSP
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/31/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Penatausahan Surat Berharga Melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
1. Latar belakang penerbitan perubahan Surat Edaran Bank Indonesia yang memuat ketentuan-ketentuan dalam penyelenggaraan BI-SSSS ini adalah untuk mengatur penggunaan Nomor Tunggal Identitas Investor untuk setiap investor Surat Berharga yang ditatausahakan di BI-SSSS, yang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) dan Surat Berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, yang selanjutnya dapat memfasilitasi kebijakan penyediaan informasi kepemilikan surat berharga yang terkonsolidasi di Indonesia. 2. Pokok-pokok perubahan dan penambahan ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini adalah sebagai berikut: a. Perubahan alamat korespondensi terkait kegiatan penyelenggaraan BI-SSSS dan pemantauan kepatuhan Peserta BI-SSSS. b. Perubahan prosedur pembuatan spesimen tanda tangan bagi pimpinan atau pejabat yang berwenang/pejabat yang diberi kuasa, dengan menyampaikan surat permohonan dari pimpinan peserta. c. Penghapusan persyaratan melengkapi surat kuasa pendebitan Rekening Setelmen Dana dari Bank Pembayar kepada Penyelenggara dalam prosedur menjadi Peserta bagi Peserta BI-SSSS yang bukan Peserta Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (hanya persyaratan surat penunjukan Bank Pembayar dari Sub-Registry dan juga surat konfirmasi dari Bank Pembayar). d. Perubahan prosedur terkait pengajuan perubahan data kepesertaan yang semula dalam menyampaikan surat pemberitahuan menjadi surat permohonan, yakni untuk
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan perubahan nama Peserta, perubahan kegiatan usaha Peserta, alamat kantor Peserta, lokasi BI-SSSS Participant Platform (SPP) dan Jaringan Komunikasi Data (JKD) Peserta, perubahan data Pimpinan, serta perubahan kuasa. e. Penyesuaian pengaturan setelmen terkait instruksi Setelmen dengan tanggal setelmen pada hari Penyelenggara tidak melakukan kegiatan operasional. f. Penambahan kewajiban Sub-Registry untuk melengkapi data nasabah dengan informasi nomor tunggal identitas investor dan menginformasikan kepada nasabah, serta melakukan penyelarasan data apabila terdapat perbedaan/perubahan data g. Penambahan jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Sub-Registry yaitu Laporan Data Nasabah, untuk pendaftaran atau perubahan data nasabah yang dilengkapi dengan informasi Nomor Tunggal Identitas Investor.
6.
18/21/DKSP
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/11/DKSP tanggal 22 Juli 2014 perihal Penyelenggaraan Uang Elektronik (Electronic Money)
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini merupakan perubahan atas SEBI Nomor 16/11/DKSP tanggal 22 Juli 2014 perihal Penyelenggaraan Uang Elektronik (Electronic Money). 2. Penerbitan SEBI ini bertujuan untuk memberikan aturan lebih lanjut atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/17/PBI/2016 tentang Perubahan Kedua atas PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) yang terutama bertujuan untuk meningkatkan penggunaan Uang Elektronik oleh masyarakat sebagai upaya mendorong peningkatan transaksi non tunai antara lain melalui penyesuaian batas paling banyak Nilai Uang Elektronik, dan menyempurnakan pengaturan mengenai kewajiban penyampaian permohonan persetujuan dalam rangka pengembangan produk baru dan kerjasama serta pengaturan mengenai Layanan Keuangan Digital (LKD). 3. Secara garis besar, pokok-pokok materi perubahan yang dimuat dalam SEBI ini mencakup: a. peningkatan batas paling banyak nilai Uang Elektronik registered dari yang semula sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) menjadi sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); b. penyesuaian pengaturan pelaksanaan uji coba penyelenggaraan Uang Elektronik dalam tahap pemrosesan izin dan uji coba penyelenggaraan LKD;
147
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan c. penyesuaian pengaturan terkait penyelenggaraan LKD baik melalui Agen LKD individu maupun Agen LKD Badan Hukum. Penyesuaian dilakukan dengan mencabut/menghapus ketentuan yang terkait dengan penyelenggaraan LKD melalui Agen LKD dan diatur kembali dalam SEBI No.18/22/DKSP tanggal 27 September 2016 perihal Penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital; d. perubahan pengaturan terkait pengembangan produk baru dan kerja sama penyelenggaraan Uang Elektronik yang sebelumnya dilakukan dengan penyampaian laporan menjadi wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Bank Indonesia; e. penambahan pengaturan pemberian kemudahan oleh Bank Indonesia kepada Penyelenggara Uang Elektronik yang telah memperoleh izin atas proses persetujuan kerja sama dalam rangka penggunaan atau perluasan penggunaan Uang Elektronik untuk mendukung kebijakan nasional; dan f. penambahan ketentuan terkait fasilitas Uang Elektronik dalam pengembangan sistem yang saling dikoneksikan dengan Penyelenggara Uang Elektronik lain dalam memproses transaksi. g. penyesuaian alamat korespondensi Bank Indonesia terkait penyampaian rencana penerbitan Uang Elektronik dengan jenis, nama yang berbeda, pengembangan dan/atau penambahan fasilitas baru, rencana kerja sama dan laporan penyelenggaraan Uang Elektronik. 4. Penerbit Uang Elektronik yang akan bekerjasama dengan Agen Layanan Keuangan Digital (LKD) harus memenuhi persyaratan dan mengikuti mekanisme sebagaimana diatur dalam SEBI No.18/22/DKSP tanggal 27 September 2016 perihal Penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital. 5. Kerja sama antar sesama Penyelenggara Uang Elektronik maupun antara Penyelenggara Uang Elektronik dengan pihak lain hanya dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Rencana kerja sama dimaksud harus disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kerja sebelum perjanjian kerja sama ditandatangani. 6. Penyelenggara Uang Elektronik harus membuka koneksi sistem Uang Elektronik sehingga dapat diterima oleh Penyelenggara Uang Elektronik lain, paling kurang untuk penyediaan fasilitas Uang Elektronik berupa transfer dana, pengisian ulang (top up), dan tarik tunai.
148
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
7.
18/22/DKSP
Penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor18/22/DKSP tanggal 27 September 2016 perihal Penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital (SEBI LKD) merupakan penyempurnaan ketentuan penyelenggaraan LKD yang sebelumnya diatur dalam SEBI Nomor 16/12/DPAU tanggal 22 Juli 2014 perihal Penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital dalam rangka Keuangan Inklusif Melalui Agen Layangan Keuangan Digital Individu. 2. Penerbitan SEBI ini bertujuan untuk memberikan aturan lebih lanjut atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/17/PBI/2016 tentang Perubahan Kedua atas PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) khususnya mengenai penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital (LKD) dalam rangka perluasan ekosistem LKD dan penyaluran bantuan sosial (program pemerintah) secara non tunai untuk mendukung keuangan inklusif sebagai upaya mendorong peningkatan transaksi non tunai. 3. Ruang lingkup pengaturan SEBI LKD ini mencakup penyelenggaraan LKD melalui: a. Agen LKD Individu; dan b. Agen LKD Badan Hukum. 4. Secara garis besar, pokok-pokok pengaturan yang diatur dalam SEBI LKD inimencakup: a. kriteria dan persyaratan pengajuan permohonan sebagai penyelenggara LKD; b. pemrosesan permohonan persetujuan sebagai penyelenggara LKD oleh Bank Indonesia; c. realisasi penyelenggaraan kegiatan LKD; d. penyelenggaraan LKD, yang mencakup produk dan layanan, penggunaan nomor telepon genggam sebagai nomor uang elektronik, registrasi LKD, tata cara registrasi LKD oleh calon pemegang, tata cara registrasi secara massal (bulk registration), kerahasiaan data, batas nilai uang elektronik dalam rangka LKD, biaya layanan, penerapan manajemen risiko, penggunaan sistem teknologi informasi, transparansi, edukasi, penanganan pengaduan, dan pelaksanaan uji coba; e. kerja sama penyelenggara LKD dengan Agen LKD, yang mencakup persyaratan pihak yang dapat menjadi Agen LKD, layanan Agen LKD, penunjukan Agen LKD, operasionalisasi Agen LKD, penghentian kerja sama, dan pemindahan lokasi; f. pengawasan oleh penyelenggara LKD terhadap Agen LKD; g. pengawasan oleh Bank Indonesia terhadap penyelenggaraan LKD;
149
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan h. laporan penyelenggaraan LKD; dan i. tata cara pengenaan sanksi administratif. 5. Beberapa materi perubahan/penyempurnaan terhadap ketentuan penyelenggaraan LKD yang tercakup dalam pokok-pokok pengaturan sebagaimana dimaksud dalam angka 3, antara lain: a. Penyesuaian kriteria Bank yang dapat menjadi penyelenggara LKD melalui Agen LKD Individu yaitu: 1) Bank Umum dengan kategori Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan 4; dan 2) Bank Pembangunan Daerah kategori Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 1 dan 2 yang memiliki sistem teknologi informasi yang memadai, serta profil mandat penyaluran program bantuan sosial. b. Penambahan pengaturan mengenai: 1) tata cara registrasi Uang Elektronik dalam rangka LKD, khususnya: 2) registrasi sendiri oleh pemegang (self registration); dan 3) registrasi massal (bulk registration) 4) penerapan prosedur Customer Due Diligence (CDD) yang lebih sederhana yang mencakup informasi mengenai nama, tempat dan tanggal lahir, alamat, nomor dokumen identitas, dan nama ibu kandung. c. Pengaturan mengenai batas nilai Uang Elektronik dalam rangka LKD yang diperoleh melalui self registration, sebagai berikut: 1) batas nilai Uang Elektronik paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) sepanjang belum dilakukan prosedur pertemuan langsung (face to face); dan 2) batas nilai transaksi penarikan tunai yang dapat dilakukan pertama kali pada Agen LKD paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). d. Penyesuaian pengaturan mengenai pelaksanaan uji coba penyelenggaraan LKD. e. Penambahan ketentuan mengenai pemberian kemudahan oleh Bank Indonesia kepada Penerbit yang telah memperoleh izin atas proses persetujuan penyelenggaraan LKD dalam rangka penggunaan dan perluasan penggunaan Uang Elektronik untuk program yang terkait kebijakan nasional.
150
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
f. Pencantuman ketentuan mengenai pengawasan Agen LKD dan format laporan penyelenggaraan LKD dalam SEBI LKD ini yang semula telah diatur di SEBI yang mengatur mengenai Uang Elektronik. Format laporan tidak mengalami perubahan dari format laporan sebelumnya. g. Penyesuaian alamat korespondensi Bank Indonesia terkait rencana penyelenggaraan LKD, laporan, informasi lainnya, dan/atau surat menyurat. 6. SEBI LKD ini mencabut SEBI Nomor 16/12/DPAUtanggal 22 Juli 2014 perihal Penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital dalam rangka Keuangan Inklusif Melalui Agen Layangan Keuangan Digital Individu.
8.
18/23/DSta
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 18/23/DSta perihal Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.18/10/PBI/2016 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah. Penyempurnaan ketentuan ini dilakukan dalam rangka mendorong transparansi dan meningkatkan ketersediaan informasi kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD), dimana perlu diatur kembali mengenai penyampaian keterangan dan data terkait LLD, termasuk ketentuan dimana transaksi outgoing transfer tertentu perlu dilengkapi dengan dokumen pendukung oleh nasabah. 2. Pokok-pokok Pengaturan a. Pelapor Pelapor adalah seluruh bank umum b. Laporan LLD Laporan LLD yang wajib disampaikan bank terdiri atas: 1) Laporan Transaksi, yaitu laporan mengenai transaksi bank dan/atau nasabah yang mempengaruhi AFLN bank dan/atau KFLN bank. 2) Laporan Posisi, yaitu laporan mengenai posisi dan penambahan atau pengurangan dari setiap jenis AFLN bank dan/atau KFLN bank. 3) Laporan pendukung, yaitu laporan Rincian Transaksi Ekspor (RTE) dan Daftar Penyampaian Dokumen Pendukung DHE (DPDP). c. Koreksi Laporan LLD Apabila bank tidak menyampaikan Laporan LLD secara benar dan/atau lengkap maka bank menyampaikan koreksi atas Laporan LLD yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia.
151
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
d. Penyampaian Laporan LLD dan Koreksi Laporan LLD 1) Penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD dilakukan secara online, masing-masing sesuai Masa Penyampaian Laporan (MPL) dan Masa Penyampaian Koreksi Laporan (MPKL). 2) MPL adalah periode penyampaian Laporan LLD dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setelah berakhirnya periode laporan. 3) MPKL adalah periode penyampaian koreksi Laporan LLD dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 20 setelah berakhirnya periode laporan. 4) Penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD yang melampaui MPKL dilakukan secara offline. 5) Laporan LLD atau koreksi Laporan LLD yang disampaikan oleh bank kepada Bank Indonesia harus melalui pentahapan uji pelaporan, yaitu memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas. 6) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan LLD disampaikan setelah berakhirnya MPL sampai dengan akhir bulan MPL dalam jam kerja 7) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan LLD tidak disampaikan sampai dengan akhir jam kerja pada akhir bulan MPL. e. Pengaksepan Perintah Transfer Dana Nasabah dan Penyampaian Dokumen Pendukung Outgoing Transfer 1) Outgoing transfer adalah transaksi LLD nasabah berupa transfer dana keluar dalam valuta asing dengan nilai setara di atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) 2) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan perintah transfer dana untuk outgoing transfer nasabah sepanjang dilengkapi dengan dokumen pendukung outgoing transfer. 3) Untuk outgoing transfer yang dokumen pendukung outgoing transfer-nya tidak terdapat dalam daftar yang disediakan, nasabah harus menggunakan surat pernyataan yang dilengkapi dengan dokumen pendukung yang sesuai. 4) Penyampaian dokumen pendukung outgoing transfer tidak berlaku bagi transaksi yang dilakukan oleh bank untuk kepentingan bank itu sendiri dan transaksi pemindahan simpanan oleh nasabah yang sama di dalam negeri.
152
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 5) Nilai outgoing transfer yang dilakukan nasabah paling banyak sebesar nilai nominal dari dokumen pendukung outgoing transfer dengan toleransi lebih sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai yang tercantum di dokumen pendukung outgoing transfer. 6) Bank dapat menggunakan bukti atau dokumen yang telah disampaikan nasabah dalam rangka pemenuhan ketentuan Bank Indonesia mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara bank dengan pihak domestik/pihak asing, sebagai dokumen pendukung outgoing transfer sepanjang bukti atau dokumen tersebut sama dengan dokumen pendukung outgoing transfer. 7) Dokumen pendukung outgoing transfer dan surat pernyataan harus diterima bank sebelum pelaksanaan penyelesaian transaksi. 8) Bank harus melakukan verifikasi terhadap kesesuaian antara perintah outgoing transfer dengan dokumen pendukung outgoing transfer-nya, yaitu terkait nama penerima dan nilai pembayaran. 9) Nasabah bertanggung jawab atas kebenaran dokumen pendukung outgoing transfer serta surat pernyataan. f. Penelitian Kebenaran Laporan 1) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan penelitian terhadap kebenaran keterangan dan data Laporan LLD dalam bentuk kegiatan evaluasi dan pemeriksaan langsung (onsite) kepada bank. 2) Apabila dalam kegiatan evaluasi atau pemeriksaan langsung kepada Bank terhadap laporan LLD ditemukan ketidakwajaran dalam dokumen pendukung outgoing transfer, Bank Indonesia berwenang melakukan penelitian kebenaran kepada nasabah. 3) Bank dan/atau nasabah harus memberikan penjelasan, bukti, catatan, dokumen pendukung, dan/atau dokumen lainnya yang terkait dalam rangka penelitian kebenaran dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. g. Sanksi Administratif 1) Sanksi Administratif kepada Bank 2) Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan.
153
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 3) Bank yang tidak menyampaikan Laporan LLD dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 4) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD dengan benar dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap rincian baris (field) yang tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 5) Bank yang melakukan pengaksepan perintah transfer dana untuk transaksi outgoing transfer tanpa dilengkapi dokumen pendukung outgoing transfer atau surat pernyataan dari nasabah dari nasabah dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap perintah transfer dana. 6) Sanksi Administratif kepada Nasabah 7) Nasabah yang dinyatakan tidak menyampaikan keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung dalam rangka transaksi outgoing transfer dengan benar kepada bank dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan/atau denda sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari nilai transaksi dengan nominal paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap perintah transfer dana. 8) Selain dikenakan sanksi administratif berupa denda, Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi mengenai sanksi administratif berupa denda yang dikenakan ke nasabah kepada instansi yang terkait. h. Pembebasan Sanksi Administratif Berupa Denda 1) Bank atau nasabah yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda dapat diberikan pembebasan sanksi denda dalam hal: 2) Bank atau nasabah menyampaikan surat permohonan pembebasan pengenaan sanksi denda, yang disertai dengan bukti pendukung; dan 3) Berdasarkan penelitian Bank Indonesia, bank atau nasabah tidak melakukan pelanggaran terhadap pemenuhan kewajiban pelaporan kegiatan LLD oleh bank dan penyampaian dokumen pendukung outgoing transfer oleh nasabah kepada bank. 4) Permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat penetapan sanksi denda.
154
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan i. Ketentuan Penutup 1) Pada saat SEBI ini mulai berlaku: a) SEBI No.13/33/DSM tanggal 30 Desember 2011 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Bank; b) SEBI No.14/12/DSM tanggal 21 Maret 2012 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/33/DSM tanggal 30 Desember 2011 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Bank; dan c) SEBI No.16/20/DSta tanggal 28 November 2014 perihal Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/33/DSM tanggal 30 Desember 2011 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 2) Ketentuan mengenai sanksi atas pengaksepan perintah transfer dana keluar untuk transaksi LLD tanpa dilengkapi dokumen pendukung outgoing transfer dari nasabah mulai berlaku untuk data periode laporan bulan Maret 2017 yang disampaikan pada bulan April 2017. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku untuk data periode laporan bulan November 2016 yang disampaikan pada bulan November 2016.
9.
18/24/DPM
Operasi Pasar Terbuka
1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh reformulasi suku bunga kebijakan moneter Bank Indonesia dan penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter. Bank Indonesia 7-Day Repo Rate (BI 7-Day Repo Rate merupakan suku bunga kebijakan Bank Indonesia yang mencerminkan stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. Sementara itu, penguatan infrastruktur transaksi dilakukan pada infrastruktur transaksi Operasi Moneter valuta asing. 2. Operasi Pasar Terbuka (OPT) dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia melalui: a. penerbitan SBI; b. penerbitan SDBI; c. transaksi Repo surat berharga; d. transaksi Reverse Repo SBN; e. transaksi pembelian dan penjualan SBN secara outright di pasar sekunder; f. transaksi valas terhadap SBN;
155
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan g. transaksi Term Deposit Rupiah; h. transaksi Term Deposit valas; i. transaksi Spot; j. transaksi Swap; dan k. transaksi Forward. 3. Peserta OPT adalah Bank dan/atau pihak lain yang memenuhi persyaratan sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga, peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter. 4. SBI diterbitkan secara lelang dalam rangka absorpsi likuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan. Lelang SBI dilakukan pada hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia. 5. SDBI diterbitkan secara lelang dalam rangka absorpsi likuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan. 6. Bank Indonesia melakukan monitoring, pengawasan tidak langsung, dan/atau pemeriksaan atas pelaksanaan ketentuan terkait Minimum Holding Period (MHP) SBI oleh Peserta OPT dan Sub-Registry serta terkait larangan memindahtangankan atau mentransaksikan SDBI yang dimiliki dengan pihak selain Bank. MHP SBI ditetapkan 1 (satu) minggu, yaitu 7 (tujuh) hari kalender sejak tanggal setelmen pembelian. 7. Transaksi Repo surat berharga dilakukan dalam rangka injeksi likuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan. Transaksi Repo dapat dilakukan dengan menggunakan underlying surat berharga dalam Rupiah atau surat berharga dalam valuta asing. 8. Transaksi Reverse Repo SBN dilakukan dalam rangka absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan. 9. Transaksi pembelian dan penjualan SBN dilakukan dalam rangka injeksi/absorpsi likuiditas Rupiah di pasar uang serta dalam rangka menjaga ketersediaan SBN yang diperlukan sebagai instrumen Operasi Moneter dalam pencapaian sasaran operasional kebijakan moneter Bank Indonesia. Bank Indonesia melakukan transaksi pembelian dan penjualan SBN secara outright dengan mekanisme lelang atau non lelang. 10. Transaksi valas terhadap SBN dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dengan cara transaksi pembelian SBN secara outright oleh Bank Indonesia dan transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Bank Indonesia, yang dilakukan pada saat bersamaan.
156
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 11. Transaksi Term Deposit Rupiah dilakukan dalam rangka absorpsi likuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan. 12. Transaksi Term Deposit valas dilakukan dalam rangka mengelola likuiditas valuta asing dan mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan. Lelang Term Deposit valas dilakukan pada hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia. 13. Transaksi Swap dilakukan dalam rangka mendukung pengelolaan likuiditas dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan. 14. Transaksi Forward dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dengan waktu penyerahan dana (tenor) dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja dan paling lama 12 (dua belas) bulan. 15. Transaksi OPT dilakukan melalui Sistem Bank IndonesiaElectronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) atau sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia. 16. Pelaksanaan transaksi OPT dalam keadaan tidak normal pada transaksi OPT Rupiah mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem BI-ETP, penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS, dan/atau penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS. 17. Pelaksanaan transaksi OPT dalam keadaan tidak normal pada transaksi OPT valuta asing (transaksi Term Deposit valuta asing secara lelang dan transaksi Swap secara lelang) dapat dilakukan dengan: a. menyesuaikan window time transaksi; b. membatalkan proses lelang transaksi yang dilakukan melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing; dan/atau c. melakukan transaksi secara manual. 18. Sanksi dikenakan terhadap: a. Peserta OPT yang tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi OPT dalam Rupiah. b. Peserta OPT yang tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi OPT dalam valuta asing. c. Bank dan/atau Sub-Registry yang tidak memenuhi ketentuan kewajiban MHP SBI. d. Bank dan/atau Sub-Registry yang melanggar ketentuan terkait larangan memindahtangankan atau mentransaksikan SDBI dengan pihak selain Bank.
157
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 19. Surat Edaran terdahulu, yaitu Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/37/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Operasi Pasar Terbuka, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
10.
158
18/25/DPU
Penyelenggara Jasa Pengelolahan Uang Rupiah
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/25/DPU perihal Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah (PJPUR). 2. SE BI ini diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi pedoman pelaksanaan ketentuan terhadap Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah. 3. Jenis kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah terdiri atas: a. distribusi Uang Rupiah; b. pemrosesan Uang Rupiah; c. penyimpanan Uang Rupiah di khazanah; dan/atau d. pengisian, pengambilan, dan/atau pemantauan kecukupan Uang Rupiah pada antara lain Automated Teller Machine (ATM), Cash Deposit Machine (CDM), dan/atau Cash Recycling Machine (CRM). 4. Untuk memperoleh izin dari Bank Indonesia, Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) yang akan menjadi PJPUR harus menyampaikan permohonan izin kepada Bank Indonesia. Permohonan izin tersebut dapat secara sekaligus atau sebagian dari jenis kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah. 5. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh izin sebagai PJPUR diatur sebagai berikut: a. berbadan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas; b. menggunakan sarana, prasarana, dan/atau infrastruktur yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan masing-masing jenis kegiatan Pengolahan Uang Rupiah; c. memiliki kondisi dan/atau kinerja keuangan yang sehat; d. memiliki pengurus perusahaan dengan integritas dan reputasi yang baik; dan e. memiliki izin operasional sebagai BUJP dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih berlaku. 6. Permohonan izin harus dilengkapi dengan dokumen dan/atau persyaratan antara lain: a. dokumen terkait kelembagaan dan kondisi keuangan, seperti izin operasional sebagai BUJP, akta pendirian perusahaan yang memuat anggaran dasar, dan laporan keuangan; dan b. dokumen terkait kesiapan operasional, seperti fotokopi standar operasional dan prosedur Pengolahan Uang Rupiah, bukti kesiapan operasional dalam bentuk profil
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan perusahaan, dan fotokopi bukti kelulusan pelatihan pemrosesan Uang Rupiah dari Bank Indonesia. 7. PJPUR yang telah memperoleh izin wajib menyelenggarakan kegiatannya paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal surat pemberian izin dari Bank Indonesia. 8. Paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal efektif penyelenggaran kegiatan sebagai PJPUR, PJPUR wajib menyampaikan laporan tertulis mengenai tanggal efektif dimulainya kegiatan sebagai PJPUR tersebut yang disertai dengan dokumen pendukung yang diperlukan, seperti perjanjian kerja sama dan polis asuransi. 9. PJPUR harus menyampaikan permohonan pembukaan Kantor Cabang apabila PJPUR akan melakukan pembukaan Kantor Cabang. 10. PJPUR wajib menggunakan sarana, prasarana, dan/atau infrastruktur yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 11. Dalam menyelenggarakan kegiatan pemrosesan Uang Rupiah, PJPUR wajib memenuhi standar pengemasan uang yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 12. Dalam rangka memenuhi kebutuhan Uang Rupiah di masyarakat dalam kondisi yang layak edar, PJPUR wajib memenuhi standar kualitas Uang Rupiah sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia yang disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Bank dan PJPUR melalui pemberitahuan tertulis dan/atau media informasi lainnya. 13. PJPUR yang telah memiliki izin untuk melakukan kegiatan jasa distribusi Uang Rupiah, dapat melakukan kegiatan pembawaan uang kertas asing ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia dengan mendaftarkan kegiatan tersebut kepada Bank Indonesia. 14. PJPUR harus memiliki dan menerapkan manajemen risiko secara efektif, paling sedikit melalui: a. Pengawasan aktif oleh komisaris dan direksi; b. Kecukupan kebijakan dan prosedur; c. Kecukupan proses identifikasi dan mitigasi risiko; dan d. pengendalian intern. 15. Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap PJPUR secara langsung dan tidak langsung dengan tujuan untuk menciptakan tata kelola penyelenggaraan jasa Pengolahan Uang Rupiah yang baik. 16. Pengawasan secara langsung dilakukan melalui pemeriksaan umum dan/atau pemeriksaan khusus. 17. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui analissi dan evaluasi yang didasarkan atas:
159
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan a. laporan berkala; b. laporan insidental; c. keterangan; d. penjelasan; e. rekaman; dan/atau f. dokumen, yang diperoleh Bank Indonesia dari PJPUR dan/atau pihak yang bekerja sama dengan PJPUR. 18. Bank Indonesia dapat melakukan pembinaan terhadap PJPUR antara lain melalui pertemuan konsultasi untuk mendorong perubahan atau perbaikan dalam penyelenggaraan jasa Pengolahan Uang Rupiah. 19. PJPUR harus memberitahukan kepada Bank Indonesia dalam hal terjadi: a. perubahan pemegang saham mayoritas. b. perubahan nama perseroan terbatas; c. perubahan dewan komisaris dan/atau direksi; dan d. perubahan alamat Kantor Pusat dan Kantor Cabang PJPUR. 20. PJPUR yang melanggar ketentuan mengenai penyelenggaraan kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah a. teguran tertulis; b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha; dan/atau c. pencabutan izin 21. Penyampaian permohonan, laporan, dan/atau surat menyurat ditujukan kepada: Departemen Pengelolaan Uang Kompleks Perkantoran Bank Indonesia Gedung C lantai 7 Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. 22. Bagi PJPUR yang ingin menyampaikan laporan ditujukan kepada: Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Kompleks Perkantoran Bank Indonesia Gedung D lantai 8 Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 23. BUJP yang telah memiliki kerja sama dengan pengguna jasa PJPUR untuk melakukan kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah harus segera mengajukan permohonan izin sebagai PJPUR kepada Bank Indonesia paling lama 9 (sembilan) bulan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah ini.
160
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 24. Dalam hal BUJP yang akan mengajukan permohonan izin telah memiliki kantor cabang, permohonan persetujuan pembukaan kantor cabang dapat diajukan bersamaan dengan permohonan perizinan pembukaan kantor pusat. 25. BUJP yang telah memiliki kerja sama dengan pengguna jasa PJPUR untuk melakukan kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah baik yang belum maupun yang telah mengajukan permohonan izin harus menyampaikan laporan dan memenuhi persyaratan terkait standar kualitas Uang Rupiah dalam Pengolahan Uang Rupiah, persyaratan keamanan, efisiensi, dan mitigasi risiko serta memperhatikan aspek perlindungan konsumen. 26. Selama proses permohonan izin, BUJP diperbolehkan mewakili Bank untuk melakukan kegiatan penyetoran dan/atau penarikan Uang Rupiah di Bank Indonesia. 27. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 November 2016.
11.
18/26/DSta
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia nomor 14/31/DPNP tanggal 31 Oktober 2012 Perihal Laporan Kantor Pusat Bank Umum
1. Ketentuan ini terkait dengan perubahan laporan sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK). 2. Secara umum, penyesuaian form di LKPBU adalah sbb: Penambahan 7 (tujuh) Form terkait Kartu Kredit, yaitu: a. Form 318 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Regional b. Form 319 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Sektor Usaha c. Form 320 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Kelompok Usia d. Form 321 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Kelompok Penghasilan Pemegang Kartu Kredit e. Form 322 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Limit Kartu Kredit f. Form 323 - Laporan Bulanan Kartu Kredit berdasarkan jenis transaksi g. Form 324 - Laporan Nominal Revolving Rate Form ini wajib disampaikan oleh Bank penerbit dan acquirer Kartu Kredit. Batas waktu penyampaian laporan adalah paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya.
161
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 3. Ketentuan ini mulai berlaku untuk pelaporan data bulan November 2016 yang disampaikan pada bulan Desember 2016
12.
18/27/DSta
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia nomor 15/13/DASP tanggal 12 April 2013 Perihal Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik (Electronic Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank
1. Ketentuan ini terkait dengan tindak lanjut dari diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/17/PBI/2016 serta dalam rangka pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/4/PBI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank . 2. Secara umum, penyesuaian form di LSBU adalah sebagai berikut: a. Penambahan 4 (empat) Form terkait Layanan Keuangan Digital (LKD), yaitu: 1) Form 314 - Laporan Bulanan Perkembangan Layanan Keuangan Digital 2) Form 315 - Laporan Bulanan Transaksi Layanan Keuangan Digital 3) Form 316 - Laporan Bulanan Agen Layanan Keuangan Digital 4) Form 317 - Laporan Bulanan Permasalahan Layanan Keuangan Digital Form ini wajib disampaikan oleh Bank yang telah memperoleh penegasan dari Bank Indonesia terhadap rencana penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital (LKD). Batas waktu penyampaian laporan adalah paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya. b. Penambahan 7 (tujuh) Form terkait Kartu Kredit, yaitu: 1) Form 318 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Regional 2) Form 319 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Sektor Usaha 3) Form 320 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Kelompok Usia 4) Form 321 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Kelompok Penghasilan Pemegang Kartu Kredit 5) Form 322 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Limit Kartu Kredit 6) Form 323 - Laporan Bulanan Kartu Kredit berdasarkan jenis transaksi 7) Form 324 - Laporan Nominal Revolving Rate
162
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan Form ini wajib disampaikan oleh Bank penerbit dan acquirer Kartu Kredit. Batas waktu penyampaian laporan adalah paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya. c. Penambahan Informasi Profil Penyelenggara Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan Profil Penyelenggara Uang Elektronik yang di-update oleh Pelapor setiap terjadi perubahan data d. Penambahan kewajiban pelaporan Form 304 - Laporan Bulanan Infrastruktur oleh Penerbit Uang Elektronik 3. Selain itu, dilakukan juga perubahan terhadap alamat penyampaian pemberitahuan tertulis terkait penyampaian laporan secara offline karena gangguan teknis, dari Departemen Pengelolaan Sistem Informasi menjadi Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan. 4. Ketentuan ini mulai berlaku untuk pelaporan data bulan November 2016 yang disampaikan pada bulan Desember 2016.
13.
18/28/DPU
Tata Cara Klarifikasi atas Uang Rupiah yang Diragukan Keasliannya
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/28/DPU perihal Klarifikasi atas Uang Rupiah yang Diragukan Keasliannya. 2. SE BI ini diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi pedoman pelaksanaan ketentuan terhadap klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya. 3. Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank dan pihak selain Bank (perorangan, badan hukum, dan lembaga yang melakukan fungsi penyelidikan dan penyidikan) dapat meminta klarifikasi kepada Bank Indonesia tentang Uang Rupiah yang diragukan keasliannya. 4. Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank dan pihak selain Bank dalam memperlakukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya apabila menerima atau menemukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya harus melakukan hal sebagai berikut: a. Dalam hal Uang Rupiah yang diragukan keasliannya diperoleh dari kegiatan layanan kas (front office), Bank harus: 1) menahan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang diterima dari nasabah; 2) mencatat identitas lengkap nasabah yang menyerahkan, menyetorkan, atau menukarkan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya, dan memberikan tanda terima atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada nasabah;
163
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 3) menginformasikan kepada nasabah bahwa Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak dikembalikan untuk keperluan klarifikasi kepada Bank Indonesia; dan 4) menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dengan tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tersebut seperti merobek, memotong, dan mencoret-coret. b. Dalam hal Uang Rupiah yang diragukan keasliannya diperoleh dari kegiatan pengolahan Uang Rupiah atau berasal dari pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan kegiatan pengolahan Uang Rupiah (back office) maka Bank harus menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dengan tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tersebut seperti merobek, memotong, dan mencoretcoret. c. Bank juga harus menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak diedarkan kembali. 5. Pihak lain yang ditunjuk oleh Bank dalam memperlakukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya apabila menerima atau menemukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya harus melakukan hal sebagai berikut: a. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak disetorkan kepada Bank Indonesia; b. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dengan tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tersebut seperti merobek, memotong, dan mencoret-coret; c. melaporkan kepada Bank mengenai penemuan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya; dan d. menyerahkan fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada Bank atau meminta klarifikasi kepada Bank Indonesia atas persetujuan Bank. 6. Pihak selain Bank dalam memperlakukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya apabila menerima atau menemukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya harus melakukan hal sebagai berikut: a. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dengan tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tersebut seperti merobek, memotong, dan mencoret-coret; dan b. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak diedarkan kembali.
164
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 7. Permintaan klarifikasi Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada Bank Indonesia dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. menyampaikan surat permintaan klarifikasi yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang disertai dokumen ditigal (softcopy) yang berisi rincian Uang Rupiah yang dimintakan klarifikasi; b. menyampaikan fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya; dan c. menandatangani berita acara penyampaian surat permintaan klarifikasi dan serah terima fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya oleh petugas Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan pengolahan Uang Rupiah. 8. Dalam hal permintaan klarifikasi tidak disampaikan secara langsung, sehingga berita acara serah terima Uang Rupiah tidak dapat dibuat, Bank Indonesia mencatat surat permintaan klarifikasi beserta dengan fisik Uang Rupiah sesuai dengan yang diterima oleh Bank Indonesia. Bukti pencatatan disampaikan kepada pihak yang meminta klarifikasi bersamaan dengan hasil klarifikasi. 9. Permintaan klarifikasi terhadap Uang Rupiah yang diragukan keasliannya oleh masyarakat disampaikan kepada: a. Departemen Pengelolaan Uang Kompleks Perkantoran Bank Indonesia Gedung C lantai 7 Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi masyarakat yang berada di wilayah DKI Jakarta, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang, dan Kota Depok; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri setempat dengan alamat kantor dengan mengacu pada website Bank Indonesia. 10. Bank Indonesia melakukan penelitian terhadap Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang dimintakan klarifikasi oleh masyarakat dengan menyatakan: a. Uang Rupiah yang dimintakan klarifikasi dinyatakan sebagai Uang Rupiah asli; atau b. Uang Rupiah yang dimintakan klarifikasi dinyatakan sebagai Uang Rupiah tidak asli. 11. Bank Indonesia menyampaikan informasi hasil penelitian atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada masyarakat paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Bank Indonesia menerima permintaan klarifikasi.
165
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 12. Berdasarkan hasil penelitian atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya, Bank Indonesia memberikan penggantian atas Uang Rupiah yang dinyatakan asli sebesar nilai nominal. 13. Bank Indonesia tidak memberikan penggantian dan tidak mengembalikan fisik Uang Rupiah yang dinyatakan tidak asli 14. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 24 November 2016.
14.
166
18/29/DPM
Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter
1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/12/PBI/2016 tentang Operasi Moneter. 2. Kriteria Surat Berharga dalam mata uang Rupiah yang dapat dipergunakan dalam Operasi Moneter adalah diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara Republik Indonesia, tercatat di BI-SSSS dan tidak sedang diagunkan. 3. Kriteria Surat Berharga dalam valuta asing yang dapat dipergunakan dalam Operasi Moneter adalah diterbitkan oleh pemerintah negara lain yang bank sentralnya memiliki kerjasama dengan Bank Indonesia antara lain dalam bentuk cross border collateral arrangement, sesuai denominasi asal negara penerbit, tercatat pada aktiva peserta Operasi Moneter yang tercatat pada rekening surat berharga milik peserta Operasi Moneter di lembaga kustodian yang disepakati, memiliki peringkat investasi (investment grade) dan tidak sedang diagunkan. 4. JenisSurat Berharga yang memenuhi kriteria untuk dapat dipergunakan dalam Operasi Moneter adalah SBI, SDBI, SBN dan surat berharga jangka pendek atau jangka panjang yang diterbitkan oleh pemerintah negara lain (sovereign bond). Surat Berharga dalam valuta asing hanya digunakan dalam Transaksi Repo dalam rangka Operasi Pasar Terbuka. 5. Harga SBI dan SDBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seri SBI dan SDBI. 6. Harga SBN dan surat berharga dalam valuta asing ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain harga pasar masing-masing jenis dan seri SBN dan surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond). 7. Haircut SBI dan SDBI ditetapkan sebesar 0% (nol persen), haircut SUN ditetapkan sebesar 5% (lima persen), haircut SBSN ditetapkan sebesar 6,5% (enam koma lima persen), haircut surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond) sebagaimana diumumkan oleh Bank Indonesia pada tanggal pelaksanaan transaksi.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 8. Peserta Operasi Moneter dalam Rupiah adalah Bank yang berstatus aktif sebagai peserta di Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS, memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia, memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS, dan tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter. 9. Peserta Operasi Moneter dalam valuta asing adalah Bank devisa yang memiliki rekening giro valuta asing di Bank Indonesia, memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia, tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter, dan/atau memiliki rekening surat berharga di lembaga kustodian yang ditunjuk Bank Indonesia untuk transaksi Operasi Moneter dengan Surat Berharga dalam valuta asing yang tidak ditatausahakan di Bank Indonesia. 10. Peserta Operasi Moneter terdiri atas Peserta OPT dan Peserta Standing Facilities. 11. Bank Indonesia dapat menunjuk Peserta OPT yang memenuhi kriteria yang ditetapkan Bank Indonesia untuk mendukung pelaksanaan transaksi Operasi Moneter dengan mempertimbangkan kapasitas, kapabilitas dan reputasi Peserta OPT. 12. Lembaga perantara yang dapat melakukan transaksi OPT untuk kepentingan peserta Operasi Moneter adalah pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama. 13. Persyaratan lembaga perantara yang dapat mengikuti transaksi Operasi Moneter adalah berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-ETP dan tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas yang berwenang. 14. Surat Edaran Bank Indonesia ini mencabut Surat Edaran Bank Indonesia nomor 17/38/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter.
15.
18/30/DPM
Koridor Suku Bunga (Standing Facilities)
1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/12/PBI/2016 tentang Operasi Moneter. 2. Bank Indonesia 7-Day Repo Rate (BI 7-Day Repo Rate) merupakan suku bunga kebijakan Bank Indonesia yang mencerminkan stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik.
167
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 3. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana Rupiah (Lending Facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana Rupiah (Deposit Facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter. 4. Jangka waktu Standing Facilities adalah 1 hari kerja (overnight). 5. Bank Indonesia mengenakan bunga repo atas transaksi Lending Facility sebesar BI 7-Day Repo Rate ditambah marjin tertentu. Bunga repo dihitung berdasarkan metode bunga dibayar di belakang (simple interest). 6. Transaksi Deposit Facility dilakukan dengan sistem diskonto dengan tingkat diskonto sebesar BI 7-Day Repo Rate dikurangi marjin tertentu. 7. Standing Facilities disediakan Bank Indonesia pada setiap hari kerja Bank Indonesia, termasuk pada hari kerja terbatas Bank Indonesia. 8. Window time Standing Facilities diatur sebagai berikut: a. Lending Facility dari pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan b. Deposit Facility dari pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 17.30 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 9. Surat Berharga yang dapat di-repo-kan dalam Transaksi Lending Facility paling banyak sebesar nilai nominal Surat Berharga yang dimiliki Bank, yang tercatat di Rekening Surat Berharga. Surat Berharga yang dapat di-repo-kan adalah SBI, SDBI, dan SBN. 10. Transaksi Deposit Facility dilakukan tanpa disertai dengan penerbitan surat berharga. 11. Pengajuan transaksi Standing Facilities dilakukan melalui Sistem BI-ETP, dengan mekanisme sebagai berikut: a. Lending Facility dilakukan dengan cara repurchase agreement (repo) surat berharga sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati dengan mekanisme nonlelang. b. Deposit Facility dilakukan dengan cara penempatan dana Rupiah oleh Bank secara berjangka di Bank Indonesia dengan mekanisme nonlelang. 12. Bank wajib memiliki dana di Rekening Giro dan/atau Surat Berharga di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen Standing Facilities. 13. Setelmen Standing Facilities: a. Setelmen first leg Lending Facility dan setelmen transaksi Deposit Facility dilakukan pada tanggal transaksi (same day settlement) pada awal periode pre cut-off Sistem BI-RTGS.
168
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan b. Setelmen second leg Lending Facility dan setelmen jatuh waktu Deposit Facility dilakukan pada tanggal jatuh waktu, yaitu sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BIRTGS. 14. Dalam hal Bank tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat dilakukan setelmen sehingga menyebabkan batalnya transaksi Standing Facility, Bank dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis, dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi Bank yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dalam hal transaksi memiliki second leg, maka nilai transaksi yang dinyatakan batal yang dijadikan dasar perhitungan sanksi kewajiban membayar adalah nilai transaksi pada saat first leg; c. sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima) hari kerja berturutturut apabila transaksi Operasi Moneter, yang meliputi transaksi Operasi Pasar Terbuka dan transaksi Standing Facilities, batal untuk ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan. 15. Surat Edaran Bank Indonesia ini mencabut Surat Edaran Bank Indonesia nomor 17/39/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Koridor Suku Bunga (Standing Facilities).
16.
18/31/DPM
Tata Cara Penempatan Berjangka (Term Deposit) Syariah dalam Valuta Asing
1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh upaya meningkatkan governance dan mendukung kelancaran pelaksanaan transaksi penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing). 2. Transaksi penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing adalah transaksi penempatan dana valuta asing secara berjangka oleh Bank (Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang merupakan bank devisa) di Bank Indonesia. 3. Transaksi Term Deposit Valas Syariah dilakukan dengan menggunakan akad ju'alah oleh Bank kepada Bank Indonesia. 4. Transaksi Term Deposit Valas Syariah menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan.
169
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 5. Bank Indonesia memberikan imbalan atas transaksi Term Deposit Valas Syariah. Tingkat imbalan yang diberikan mengacu pada suku bunga hasil lelang transaksi Term Deposit valas konvensional 6. Bank yang dapat menjadi peserta transaksi Term Deposit Valas Syariah adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang merupakan bank devisa yang mememuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS; dan b. memiliki rekening giro dalam valuta asing di Bank Indonesia. 7. Dalam melakukan penawaran transaksi Term Deposit Valas Syariah, Bank dapat mengajukan penawaran secara langsung atau melalui Pialang. 8. Pokok pengaturan terkait transaksi Term Deposit Valas Syariah adalah sebagai berikut: a. Sebelum mengikuti pelaksanaan lelang transaksi Term Deposit Valas Syariah, Bank dan Pialang menyampaikan surat permohonan pendaftaran untuk mengikuti lelang Transaksi Term Deposit Valas Syariah ke Bank Indonesia yang dilengkapi dengan informasi sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini. b. Transaksi Term Deposit Valas Syariah dilakukan dengan mekanisme lelang melalui sarana transaksi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan pengajuan penawaran kuantitas. c. Tingkat imbalan yang diberikan mengacu pada tingkat bunga hasil lelang Term Deposit valas konvensional berjangka waktu sama yang dilakukan secara bersamaan dengan lelang Term Deposit Valas Syariah. Dalam hal pada saat yang bersamaan tidak terdapat lelang Term Deposit valas konvensional, tingkat imbalan yang diberikan mengacu pada data terkini antara tingkat imbalan Term Deposit valas syariah atau suku bunga Term Deposit valas konvensional, yang berjangka waktu sama. d. Lelang diselenggarakan pada hari kerja yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan window time antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB. e. Pengumuman rencana lelang transaksi Term Deposit Valas Syariah dilakukan Bank Indonesia melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter Syariah valas, Sistem LHBU dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
170
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan f. Pengajuan setiap penawaran nilai nominal paling kurang sebesar USD 5 juta dan selebihnya dengan kelipatan sebesar USD 1 juta. g. Dalam hal terjadi koreksi penawaran, Bank dan/atau Pialang dapat mengajukan koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time transaksi Term Deposit Valas Syariah. h. Bank dapat mengajukan koreksi terhadap informasi penawaran selain informasi nama lelang (auction name). i. Pialang yang mengajukan penawaran lelang untuk dan atas nama Bank dapat mengajukan koreksi terhadap informasi penawaran selain informasi Terminal Controller Identifier (TCID) Bank dan nama lelang (auction name). j. Bank Indonesia mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang secara keseluruhan melalui sistem otomasi OMS valas, dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan secara individual kepada masing-masing pemenang lelang melalui sistem otomasi lelang OMS valas dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. k. Bank Indonesia melakukan setelmen transaksi Term Deposit Valas Syariah paling lama 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. l. Pada tanggal setelmen, Bank wajib mentransfer dana atas kewajiban setelmen transaksi Term Deposit Valas Syariah untuk setiap penawaran atau sesuai dengan jumlah nominal yang dimenangkan ke rekening Bank Indonesia di bank koresponden. m. Dalam hal Bank tidak mentransfer dana atas kewajiban setelmen maka transaksi dianggap batal dan Bank dikenakan sanksi. 9. Bank dapat mengajukan early redemption atas Term Deposit Valas Syariah paling cepat 3 hari setelah setelmen transaksi Term Deposit Valas Syariah yang akan dilakukan early redemption. Pengajuan dimaksud dapat diajukan setiap hari kerja kecuali bila pada hari pengajuan early redemption terdapat pelaksanaan lelang Term Deposit Valas Syariah dengan jangka waktu melebihi overnight. 10. Pengajuan early redemption diajukan Bank melalui sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 11.00 WIB. 11. Dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada sistem otomasi lelang OMS valas yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan lelang transaksi Term Deposit Valas Syariah, Bank Indonesia dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
171
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan a. menyesuaikan window time transaksi Term Deposit Valas Syariah; b. membatalkan proses lelang transaksi Term Deposit Valas Syariah yang dilakukan melalui sistem otomasi lelang OMS valas; dan/atau c. melakukan transaksi Term Deposit Valas Syariah secara manual.
17.
172
18/32/DPSP
Bilyet Giro
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini mencabut SEBI Nomor 28/32/UPG tanggal 4 Juli 1995 perihal Bilyet Giro dan sebagai ketentuan pelaksana dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 18/41/PBI/2016 tentang Bilyet Giro. 2. Pokok-pokok materi pengaturan SEBI perihal Bilyet Giro adalah sebagai berikut: a. Pemenuhan syarat formal oleh Bank Tertarik dilakukan secara lengkap, yaitu: 1) dilakukan pada saat pencetakan warkat Bilyet Giro; 2) dilakukan dalam bahasa Indonesia dan dapat ditambahkan padanan katanya dalam Bahasa Inggris; dan 3) khusus nomor Bilyet Giro, pemenuhannya dapat dilakukan oleh perusahaan percetakan dokumen sekuriti atau oleh Bank Tertarik sebelum diserahkan kepada nasabah. b. Pemenuhan syarat formal oleh Penarik dilakukan secara lengkap pada saat penerbitan Bilyet Giro, sebelum Bilyet Giro diserahkan oleh Penarik kepada Penerima, yaitu: 1) Pemenuhan syarat formal dilakukan dalam bahasa Indonesia serta dapat ditambahkan padanan katanya dalam bahasa Inggris; 2) jumlah dana yang dipindahbukukan dicantumkan dalam mata uang Rupiah; 3) pencantuman Tanggal Efektif harus berada dalam Tenggang Waktu Pengunjukan, yaitu berada dalam tenggang waktu 70 (tujuh puluh) hari sejak Tanggal Penarikan; dan 4) pencantuman tandatangan berupa tandatangan basah sesuai dengan spesimen tanda tangan yang ditatausahakan oleh Bank Tertarik. c. Pengaturan lebih detail mengenai kewajiban yang harus dilakukan oleh Bank Tertarik, Penarik, Penerima, dan Bank Penerima dalam penggunaan Bilyet Giro. d. Koreksi kesalahan penulisan dalam Bilyet Giro dibatasi paling banyak 3 (tiga) kali koreksi dan Bank wajib menolak Bilyet Giro apabila terdapat koreksi lebih dari 3 (tiga) kali.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan e. Bank wajib melakukan penolakan Bilyet Giro yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dan khusus untuk alasan penolakan: 1) tidak memenuhi syarat formal Bilyet Giro; 2) pencantuman Tanggal Efektif tidak dalam Tenggang Waktu Pengunjukan; 3) diunjukkan tidak dalam Tenggang Waktu Efektif; 4) Bilyet Giro diblokir pembayarannya; dan 5) Bilyet Giro diduga palsu atau dimanipulasi, dilakukan tanpa memperhatikan ketersediaan dana dalam Rekening Giro Penarik. f. Bank wajib melakukan penatausahaan penggunaan Bilyet Giro dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro kosong. g. Bank Tertarik yang melakukan penolakan dengan alasan Bilyet Giro diduga palsu atau dimanipulasi wajib menahan dan menunda pembayaran Bilyet Giro dan menindaklanjutinya dengan melakukan verifikasi paling lama sampai dengan 1 (satu) hari kerja berikutnya, dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro kosong. h. Penarik tidak dapat membatalkan Bilyet Giro dan hanya dapat melakukan pemblokiran dengan alasan hilang, dicuri, dan/atau rusak. i. Bilyet Giro wajib memenuhi spesifikasi warkat Bilyet Giro berupa rancang bangun dan standar keamanan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia. 3. Ketentuan dalam SEBI Bilyet Giro ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2017.
18.
18/33/DKSP
Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini diterbitkan dengan didasari pertimbangan sebagai berikut: a. dalam rangka penyelarasan dengan kondisi ekonomi terkini dan untuk mendorong efisiensi serta akseptasi masyarakat terhadap penggunaan Kartu Kredit, Bank Indonesia memandang perlu untuk melakukan penyesuaian terhadap batas maksimum suku bunga Kartu Kredit; dan
173
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
174
b. dalam rangka meningkatkan penerapan prinsip perlindungan konsumen Pemegang Kartu Kredit khususnya dalam hal penyampaian informasi mengenai pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit, dipandang perlu mewajibkan Penyelenggara Kartu Kredit untuk menyampaikan pernyataan penutupan (closing statement) Kartu Kredit. Hal-hal yang diatur dalam SEBI ini meliputi: a. penyesuaian terhadap batas maksimum suku bunga Kartu Kredit; dan b. kewajiban Penerbit Kartu Kredit untuk penyampaian pernyataan penutupan (closing statement) Kartu Kredit. Paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal 2 Desember 2016, Penerbit Kartu Kredit wajib menerapkan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar 2,25% (dua koma dua puluh lima persen) per bulan atau 26,95% (dua puluh enam koma sembilan puluh lima persen) per tahun. Batas maksimum suku bunga Kartu Kredit wajib diterapkan oleh Penerbit Kartu Kredit untuk transaksi pembelanjaan maupun transaksi tarik tunai. Bank Indonesia dapat melakukan peninjauan kembali (review) atas besarnya batas maksimum suku bunga Kartu Kredit. Paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal 2 Desember 2016, Penerbit Kartu Kredit wajib memberikan pernyataan penutupan (closing statement) Kartu Kredit kepada Pemegang Kartu Kredit, yang paling sedikit memuat pernyataan bahwa: a. fasilitas Kartu Kredit yang diberikan kepada Pemegang Kartu Kredit telah diakhiri dan/atau ditutup; b. Pemegang Kartu Kredit telah menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada Penerbit Kartu Kredit sehubungan dengan fasilitas Kartu Kredit yang telah diakhiri dan/atau ditutup; dan c. Pemegang Kartu Kredit tidak akan dikenakan biaya dalam bentuk apapun di kemudian hari sehubungan dengan fasilitas Kartu Kredit yang telah diakhiri dan/atau ditutup. Penerbit Kartu Kredit dapat menutup Kartu Kredit apabila terdapat alasan yang cukup dengan tetap wajib menyampaikan pernyataan penutupan (closing statement) yang dilengkapi informasi paling sedikit mengenai alasan pengakhiran dan/atau penutupan Kartu Kredit, serta informasi terkait mekanisme pemenuhan kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Pemegang Kartu Kredit.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
8. Pernyataan penutupan (closing statement) disampaikan dalam bentuk surat dan/atau surat elektronik yang harus sudah sampai pada alamat Pemegang Kartu Kredit paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal dilakukannya pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit.
19.
18/34/DPPK
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik
I. Latar Belakang Ketentuan ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.18/18/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik. II. Pokok-Pokok Pengaturan 1. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa: a. konfirmasi tertulis berupa kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan/atau b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain berupa dealing conversation atau print out dari Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). 2. Kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dapat berupa perjanjian induk derivatif Indonesia. Penggunaan kontrak dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah merupakan tanggung jawab masing-masing pihak yang melakukan transaksi. 3. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi transaksi pembelian dan penjualan dalam denominasi seluruh valuta asing terhadap Rupiah. 4. Untuk pembelian dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah, selain US Dollar terhadap Rupiah (misalnya Yen terhadap Rupiah, Euro terhadap Rupiah), perhitungan jumlah tertentu (threshold) kewajiban Underlying Transaksi adalah sebagai berikut : x threshold dalam USD Keterangan: Kurs pada rumus adalah terhadap Rupiah Kurs sebagaimana dimaksud dalam angka 6 merupakan kurs penutupan Bank Indonesia pada 1 hari kerja sebelumnya (H-1), yang tersedia pada sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) form 704.
175
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
5. Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling banyak: a. sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah melalui Transaksi Spot; b. sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla). 6. Ketentuan pada angka 5 diatas berlaku pula untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukan dalam rangka transaksi swap jual (Spot beli pada near leg). 7. Dokumen Underlying Transaksi untuk transaksi swap jual dapat menggunakan Underlying Transaksi dari transaksi swap jual dimaksud, termasuk Underlying Transaksi berupa penjualan valuta asing terhadap Rupiah. 8. Ketentuan pada angka 5 di atas berlaku pula untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukan dalam rangka transaksi swap beli (forward beli pada far leg). 9. Underlying Transaksi berupa investasi dan/atau transaksi yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan Pemerintah terkait perpajakan antara lain diatur sebagai berikut: a. Underlying Transaksi berupa kebijakan tax amnesty yang dapat digunakan dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah yang mengakibatkan adanya pengalihan harta ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (repatriasi dana) dan didukung oleh dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. b. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty dapat digunakan sebagai Underlying Transaksi pada saat wajib pajak melakukan lindung nilai terhadap investasi dana repatriasi di pasar domestik, antara lain investasi saham, obligasi, dan penempatan dana pada Bank. c. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty digunakan sebagai Underlying Transaksi paling singkat 3 (tiga) tahun sebagaimana diatur dalam ketentuan Pemerintah yang mengatur mengenai pengampunan pajak (dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri).
176
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan d. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty hanya dapat digunakan 1 (satu) kali pada saat terjadinya konversi dana masuk (dari valuta asing ke Rupiah) dan 1 (satu) kali pada saat terjadinya konversi dana keluar (dari Rupiah ke valuta asing). e. Dalam hal wajib pajak menggunakan dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty sebagai Underlying Transaksi pada saat dilakukan konversi dana keluar sebelum periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri berakhir, maka hasil konversi tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang valuta asing hingga periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri berakhir. f. Wajib pajak dapat melakukan konversi dana keluar dilakukan secara bertahap, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty, dengan tidak melampaui nominal Underlying Transaksi dana repatriasi. g. Kewajiban memiliki Underlying Transaksi berupa repatriasi dana untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh wajib pajak tidak berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over) atau pengakhiran transaksi (unwind) dalam rangka penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam rangka lindung nilai. h. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 9 diatur sebagai berikut: 1) gateway awal (Bank), dokumen berupa Surat Keterangan Pengampunan Pajak (SKPP) dalam rangka pengalihan harta untuk menampung pengalihan dana wajib pajak dalam rangka Pengampunan Pajak; 2) gateway tujuan (Bank), antara lain berupa surat keterangan mengenai riwayat investasi; 3) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi pada huruf a dan b disertai dengan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh wajib pajak atau pernyataan tertulis yang authenticated dari wajib pajak yang memuat informasi mengenai:
177
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
10.
11.
12.
13.
14.
178
a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi; b) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam rangka tax amnesty dalam sistem perbankan di Indonesia; c) hanya digunakan paling banyak 1 (satu) kali di seluruh sistem perbankan di Indonesia untuk tujuan konversi dana keluar. Bank dilarang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) PBI, kecuali untuk structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option yang didukung oleh Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) PBI. Yang dimaksud dengan Call Spread Option adalah gabungan beli call option dan jual call option yang dilakukan secara simultan dalam satu kontrak transaksi dengan strike price yang berbeda dan nominal yang sama. Bank yang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dengan Nasabah diatur sebagai berikut: a) Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam bentuk structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option wajib memiliki Underlying Transaksi. b) Nominal transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi nominal Underlying Transaksi. c) Jangka waktu transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. d) Transaksi Call Spread Option valuta asing terhadap Rupiah merupakan satu kesatuan transaksi yang dilakukan secara simultan sehingga perhitungan nominal transaksi tidak dihitung 2 (dua) kali. Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option wajib dilakukan secara dynamic hedging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) PBI. Dynamic hedging wajib dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut:
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
15.
16.
17.
18.
19.
a) Kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal. b) Kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal. c) Menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan belum jatuh waktu. d) Nominal tidak bersifat kumulatif. e) Memiliki jangka waktu paling kurang 6 (enam) bulan untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih. f) Dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. g) Kurs pasar adalah kurs penutupan di pasar valuta asing domestik sebagaimana informasi yang tersedia di Reuters atau Bloomberg padapukul 16.00 WIB; atau acuan kurs lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. Bank wajib memastikan Nasabah memiliki Underlying Transaksi yang dibuktikan dengan penyampaian dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan dokumen pendukung untuk: a) transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas jumlah tertentu (threshold); atau b) transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option. Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, termasuk transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option, melalui sistem pelaporan Bank Indonesia, yaitu Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Mekanisme pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik;
179
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/15/DPM tanggal 12 Juni 2015 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik; c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/20/DPM tanggal 28 Agustus 2015 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank IndonesiaNomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik; d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/23/DPM tanggal 30 September 2015 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik; dan e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/49/DPM tanggal 21 Desember 2015 perihal Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 20. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 13 Desember 2016.
20.
18/35/DPPK
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
I. Latar Belakang Ketentuan ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.18/19/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing. II. Pokok-Pokok Pengaturan 1. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa: a. konfirmasi tertulis berupa kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan/atau b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain berupa dealing conversation atau print out dari Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT).
180
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 2. Kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dapat berupa perjanjian induk derivatif Indonesia. Penggunaan kontrak dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah merupakan tanggung jawab masing-masing pihak yang melakukan transaksi. 3. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi transaksi pembelian dan penjualan dalam denominasi seluruh valuta asing terhadap Rupiah. 4. Untuk pembelian dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah, selain US Dollar terhadap Rupiah (misalnya Yen terhadap Rupiah, Euro terhadap Rupiah), perhitungan jumlah tertentu (threshold) kewajiban Underlying Transaksi adalah sebagai berikut: x threshold dalam USD Keterangan: Kurs pada rumus adalah terhadap Rupiah Kurs sebagaimana dimaksud dalam angka 6 merupakan kurs penutupan Bank Indonesia pada 1 hari kerja sebelumnya (H-1), yang tersedia pada sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) form 704. 5. Underlying Transaksi berupa investasi dan/atau transaksi yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan Pemerintah terkait perpajakan antara lain diatur sebagai berikut: a. Underlying Transaksi berupa kebijakan tax amnesty yang dapat digunakan dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah yang mengakibatkan adanya pengalihan harta ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (repatriasi dana) dan didukung oleh dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty. b. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty dapat digunakan sebagai Underlying Transaksi pada saat wajib pajak melakukan lindung nilai terhadap investasi dana repatriasi di pasar domestik, antara lain investasi saham, obligasi, dan penempatan dana pada Bank. c. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty digunakan sebagai Underlying Transaksi paling singkat 3 (tiga) tahun sebagaimana diatur dalam ketentuan Pemerintah yang mengatur mengenai pengampunan pajak (dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri).
181
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan d. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty hanya dapat digunakan 1 (satu) kali pada saat terjadinya konversi dana masuk (dari valuta asing ke Rupiah) dan 1 (satu) kali pada saat terjadinya konversi dana keluar (dari Rupiah ke valuta asing). e. Dalam hal wajib pajak menggunakan dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty sebagai Underlying Transaksi pada saat dilakukan konversi dana keluar sebelum periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri berakhir, maka hasil konversi tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang valuta asing hingga periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri berakhir. f. Wajib pajak dapat melakukan konversi dana keluar dilakukan secara bertahap, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty, dengan tidak melampaui nominal Underlying Transaksi dana repatriasi. g. Kewajiban memiliki Underlying Transaksi berupa repatriasi dana untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh wajib pajak tidak berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over) atau pengakhiran transaksi (unwind) dalam rangka penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam rangka lindung nilai. h. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnesty sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 9 diatur sebagai berikut: i. gateway awal (Bank), dokumen berupa Surat Keterangan Pengampunan Pajak (SKPP) dalam rangka pengalihan harta untuk menampung pengalihan dana wajib pajak dalam rangka Pengampunan Pajak; j. gateway tujuan (Bank), antara lain berupa surat keterangan mengenai riwayat investasi; k. Penyampaian dokumen Underlying Transaksi pada huruf a dan b disertai dengan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh wajib pajak atau pernyataan tertulis yang authenticated dari wajib pajak yang memuat informasi mengenai: l. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi;
182
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan m. penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam rangka tax amnesty dalam sistem perbankan di Indonesia; n. hanya digunakan paling banyak 1 (satu) kali di seluruh sistem perbankan di Indonesia untuk tujuan konversi dana keluar. 6. Bank dilarang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) PBI, kecuali untuk structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option yang didukung oleh Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) PBI. 7. Yang dimaksud dengan Call Spread Option adalah gabungan beli call option dan jual call option yang dilakukan secara simultan dalam satu kontrak transaksi dengan strike price yang berbeda dan nominal yang sama. 8. Bank yang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dengan Pihak Asing diatur sebagai berikut: a. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam bentuk structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option wajib memiliki Underlying Transaksi. b. Nominal transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi nominal Underlying Transaksi. c. Jangka waktu transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. d. Transaksi Call Spread Option valuta asing terhadap Rupiah merupakan satu kesatuan transaksi yang dilakukan secara simultan sehingga perhitungan nominal transaksi tidak dihitung 2 (dua) kali. 9. Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option wajib dilakukan secara dynamic hedging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) PBI. 10. Dynamic hedging wajib dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: a. Kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal. b. Kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal.
183
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan c. Menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan belum jatuh waktu. d. Nominal tidak bersifat kumulatif. e. Memiliki jangka waktu paling kurang 6 (enam) bulan untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih. f. Dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. g. Kurs pasar adalah kurs penutupan di pasar valuta asing domestik sebagaimana informasi yang tersedia di Reuters atau Bloomberg pada pukul 16.00 WIB; atau acuan kurs lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 11. Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. 12. Bank wajib memastikan Pihak Asing memiliki Underlying Transaksi yang dibuktikan dengan penyampaian dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan dokumen pendukung untuk: a. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas jumlah tertentu (threshold); atau b. Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option. 13. Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, termasuk transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option, melalui sistem pelaporan Bank Indonesia, yaitu Laporan Harian Bank Umum (LHBU). 14. Mekanisme pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai Laporan Harian Bank Umum (LHBU). 15. Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing; b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/16/DPM tanggal 12 Juni 2015 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing;
184
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/21/DPM tanggal 28 Agustus 2015 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing; dan d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/50/DPM tanggal 21 Desember 2015 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank denganPihak Asing, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 16. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 13 Desember 2016.
21.
18/36/DPSP
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSDP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
1. Latar Belakang penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini adalah dalam rangka mendukung rencana Kementerian Keuangan - Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) untuk menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing dengan denominasi Euro. 2. Pokok-pokok perubahan dan penambahan ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini adalah sebagai berikut: a. penambahan instrumen Surat Utang Negara valuta asing dalam denominasi Euro (SUN Euro); b. penambahan peran Bank Indonesia sebagai Bank Pembayar untuk transaksi SUN Euro; c. penambahan rekening dana yang dapat digunakan untuk setelmen dana atas transaksi SBN, menjadi: rekening Giro Rupiah, rekening Giro valuta asing, transaksi SUN Euro; d. penambahan informasi rekening bank koresponden Bank Indonesia untuk transaksi SUN Euro, yaitu The Deutsche Bundesbank di Frankfurt; e. penambahan mekanisme penyediaan dan setelmen dana, serta pembayaran bunga/kupon dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal untuk SUN Euro; f. penambahan ketentuan bagi Peserta untuk mengirimkan konfirmasi penyediaan dana ke Bank Indonesia melalui sarana SWIFT (MT299); dan g. Penambahan kewajiban Bank Indonesia untuk meneruskan pembayaran bunga/kupon dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal sebagai bank pembayar atas transaksi SUN Euro.
185
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
22.
18/37/DPSP
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/30/DPSDP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
1. Latar Belakang penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini adalah dalam rangka mendukung rencana Kementerian Keuangan - Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) untuk menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing dengan denominasi Euro, maka perlu dilakukan penambahan rekening yang dapat digunakan Peserta untuk melakukan transaksi multicurrency dan penyesuaian kode transaksi (transaction type code) untuk transaksi Bank Indonesia ke Peserta dalam valuta asing. 2. Dengan diberlakukannya SEBI ini maka pelaksanaan transaksi multicurrency dapat menggunakan rekening selain Rekening Giro, sepanjang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
23.
18/38/DKMP
Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP Tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
I. Latar Belakang Pengaturan: Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional sebagaimana telah diubah terakhir dengan PBI Nomor 18/14/PBI/2016 dan dalam rangka penyesuaian organisasi satuan kerja di Bank Indonesia, perlu melakukan perubahan keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP Tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional. II. Substansi Penyempurnaan: 1. Penyesuaian materi terkait pelaporan, yaitu pengaturan mengenai: a. penyampaian pelaporan surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia melalui email; b. penyampaian nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk untuk menyusun dan menyampaikan laporan, serta alamat email pengirim laporan surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; dan c. penyampaian pelaporan surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia dalam bentuk hardcopy dan softcopy dalam hal penyampaian melalui email sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dapat dilakukan;
186
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan dari sebelumnya kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat menjadi kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1. 2. Penyesuaian materi terkait korespondensi GWM, yaitu pengaturan mengenai: a. penyampaian pemberitahuan tertulis bahwa bank tutup pada hari yang ditetapkan libur secara fakultatif; dan b. penyampaian informasi mengenai perhitungan KPMM bank hasil merger atau konsolidasi; dari sebelumnya kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat menjadi kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1. 3. Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 2017.
24.
18/39/DPSP
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/13/DASP tanggal 19 Juni 2007 perihal Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini diterbitkan sebagai ketentuan pelaksana dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 18/43/PBI/2016 tentang Perubahan atas PBI Nomor 8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong (DHN). 2. Pokok-pokok materi pengaturan dalam perubahan SEBI DHN adalah sebagai berikut: a. Penambahan kewajiban Bank untuk menatausahakan Cek dan/atau Bilyet Giro yang didistribusikan kepada Nasabah, yaitu: 1) jumlah lembar Cek dan/atau Bilyet Giro yang diproses oleh Bank, yang terdiri atas: Cek dan/atau Bilyet Giro yang dicetak, didistribusikan ke Nasabah, dan diproses melalui loket (over the counter) dan kliring; 2) jumlah lembar Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak melalui loket (over the counter) dan kliring beserta alasannya; dan 3) penyalahgunaan Cek dan/atau Bilyet Giro. b. Perubahan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan Dana bagi Penarik Bilyet Giro, yaitu: 1) penyediakan Dana yang cukup wajib telah disediakan pada Bank Tertarik sejak Tanggal Efektif sampai dengan berakhirnya Tenggang Waktu Pengunjukan; 2) dalam hal pada saat pengunjukan tidak tersedia dana yang cukup atau Rekening telah ditutup maka Penarikan tersebut dikategorikan sebagai Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong.
187
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan c. Pembatalan Cek dan/atau Bilyet Giro, dimana untuk Bilyet Giro tidak dapat dibatalkan selama Tenggang Waktu Pengunjukan. d. Perubahan ketentuan mengenai alasan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro, yaitu: 1) alasan 3, unsur Cek atau syarat formal Bilyet Giro tidak dipenuhi, yaitu: a) untuk Cek, tidak terdapat penyebutan tempat dan tanggal Penarikan; atau b) untuk Bilyet Giro, tidak terdapat penyebutan tanggal Penarikan dan/atau tanggal efektif; 2) alasan 7, syarat formal Bilyet Giro berupa jumlah Dana yang dipindahbukukan baik dalam angka maupun dalam huruf secara lengkap tidak dipenuhi atau terdapat perbedaan jumlah Dana yang dipindahbukukan dalam angka dan dalam huruf; 3) alasan 8, Bilyet Giro tidak dilengkapi dengan tanda tangan basah; dan 4) alasan 12, koreksi Bilyet Giro tidak ditandatangani oleh Penarik dan/atau dilakukan lebih dari 3 (tiga kali), sedangkan untuk koreksi Cek dilakukan apabila tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 228 KUHD. e. Adanya kewajiban Bank Tertarik melakukan penahanan dan penundaan pembayaran terhadap Cek dan/atau Bilyet Giro yang diduga palsu atau dimanipulasi, dengan ketentuan: 1) setelah dilakukan penahanan dan penundaan pembayaran, Bank wajib melakukan verifikasi paling lama sampai dengan 1 hari kerja berikutnya; 2) Bank harus menginformasikan mengenai penahanan dan penundaan pembayaran kepada Pemegang atau Bank Penagih; 3) jika berdasarkan verifikasi: a) indikasi pemalsuan tidak terbukti, Bank wajib: i. melakukan pembayaran atau pemindahbukuan melalui mekanisme transfer dana apabila Cek dan/atau Bilyet Giro memenuhi persyaratan; ii. menolak Cek dan/atau Bilyet Giro apabila Cek dan/atau Bilyet Giro tidak memenuhi persyaratan, dan menginformasikannya kepada Pemegang atau Bank Penagih.
188
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan b) indikasi pemalsuan terbukti, Bank wajib: i. menginformasikan indikasi pemalsuan Cek dan/atau Bilyet Giro kepada Penarik untuk dapat diproses secara hukum; ii. melaporkan indikasi pemalsuan Cek dan/atau Bilyet Giro sesuai ketentuan yang berlaku; iii. melaporkan kepada Bank Indonesia mengenai penyalahgunaan Cek dan/atau Bilyet Giro; dan iv. menginformasikan pemalsuan atau manipulasi Cek dan/atau Bilyet Giro kepada Bank Penerima. f. Pengenaan biaya administrasi permohonan pembatalan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai. g. Kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan berkala penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro selam periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember yang disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya. 3. Ketentuan dalam perubahan SEBI DHN ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2017.
25.
18/40/DPSP
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/7/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini merupakan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/7/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia. 2. Pokok-pokok materi pengaturan SEBI tersebut adalah sebagai berikut: a. Pengaturan bahwa penyerahan Warkat Debit berupa cek dan/atau bilyet giro kepada Peserta pengirim harus dilakukan oleh nasabah penerima atau pihak yang menerima kuasa dari nasabah penerima. b. Pembatasan nilai nominal Warkat Debit, yaitu: 1) untuk cek dan/atau bilyet giro, dibatasi paling tinggi sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan 2) untuk nota debit tidak dibatasi. c. Penyesuaian pengaturan mengenai penahanan Warkat Debit karena adanya dugaan tindak pidana, yaitu: 1) Penahanan Warkat Debit dilakukan dengan membuat surat keterangan penahanan bahwa Peserta penerima telah menerima serta menahan Warkat Debit karena: 2) hilang atau dicuri berdasarkan surat keterangan dari kepolisian; dan/atau
189
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 3) terdapat indikasi pemalsuan, sehingga wajib dilakukan verifikasi, 4) Surat keterangan penahanan tersebut disampaikan kepada Peserta pengirim untuk selanjutnya diinformasikan kepada nasabah penagih. 5) Apabila penahanan Warkat Debit dilakukan karena terdapat indikasi pemalsuan, Peserta penerima wajib menyampaikan hasil verifikasi kepada Peserta pengirim paling lambat 1 (satu) hari kerja berikutnya. d. Penyesuaian mengenai perhitungan dan pembebanan Warkat Debit oleh Koordinator PWD yang melakukan pertukaran Warkat Debit secara otomasi yaitu: 1) perhitungan jumlah lembar Warkat Debit reject yang diserahkan oleh Peserta pengirim dilakukan terhadap Warkat Debit reject pada field nominal dan dibebankan kepada Peserta pengirim; 2) perhitungan jumlah lembar Warkat Debit reject yang diterima dilakukan terhadap Warkat Debit reject pada field nomor seri, sandi kliring, nomor rekening, dan kode transaksi dan dibebankan kepada Peserta penerima. 3. Ketentuan dalam SEBI Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2017.
26.
190
18/41/DKSP
Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/41/DKSP perihal Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (SEBI PTP) diterbitkan sehubungan dengan telah diundangkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran pada tanggal 9 November 2016 (PBI PTP). SEBI ini berisi pengaturan teknis atas materi ketentuan yang diatur dalam PBI PTP dalam rangka memperjelas dan memberikan pedoman terhadap penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. 2. Pokok-pokok pengaturan SEBI PTP meliputi: a. persyaratan, tata cara, dan pemrosesan permohonan izin sebagai Penyelenggara Switching, Penyelenggara Payment Gateway, dan Penyelenggara Dompet Elektronik; b. persyaratan, tata cara, dan pemrosesan permohonan persetujuan pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran, pengembangan produk dan aktivitas jasa sistem pembayaran, dan kerja sama;
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
3.
4.
5.
6.
7.
c. persyaratan kepemilikan saham bagi Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir; d. pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik; e. penyelenggaraan Dompet Elektronik yang dapat menyimpan data instrumen dan menampung dana; f. pengawasan dan laporan penyelenggaraan kegiatan jasa sistem pembayaran; g. penggabungan, peleburan, pemisahan, atau pengambilalihan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran; h. tata cara pengenaan sanksi administratif; dan i. pencabutan izin Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran atas permintaan sendiri. Pihak yang akan mengajukan izin sebagai Penyelenggara Switching, Penyelenggara Payment Gateway, dan Penyelenggara Dompet Elektronik wajib memenuhi persyaratan umum dan persyaratan aspek kelayakan sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang meliputi legalitas dan profil perusahaan, hukum, kesiapan operasional, keamanan dan keandalan sistem, kelayakan bisnis, kecukupan manajemen risiko, dan perlindungan konsumen. Pemenuhan persyaratan umum dan persyaratan aspek kelayakan sebagaimana dimaksud pada angka 3 bagi Lembaga Selain Bank yang mengajukan izin sebagai Penyelenggara Dompet Elektronik juga mempertimbangkan kecukupan modal disetor paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah). Bagi pihak yang mengajukan izin sebagai Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus berbentuk perseroan terbatas yang paling sedikit 80% sahamnya dimiliki oleh: a. WNI; dan/atau b. badan hukum Indonesia. Dalam hal terdapat kepemilikan asing, maka perhitungan jumlah kepemilikan asing tersebut meliputi kepemilikan secara langsung dan kepemilikan secara tidak langsung. Perhitungan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada angka 5 untuk saham perseroan terbuka hanya dilakukan terhadap kepemilikan saham dengan persentase 5% (lima persen) atau lebih. Kepemilikan asing sebagaimana dimaksud pada angka 5 dihitung sebagai berikut: a. kepemilikan langsung dihitung berdasarkan 1 (satu) jenjang kepemilikan saham di atas calon Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir; dan
191
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan b. kepemilikan tidak langsung dihitung berdasarkan 2 (dua) jenjang kepemilikan saham di atas calon Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir. 8. Pemrosesan permohonan izin atau persetujuan Bank Indonesia melakukan: a. penelitian administratif berupa penelitian kelengkapan, kebenaran dan kesesuaian dokumen; b. analisis terhadap kelayakan bisnis calon atau Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran; dan c. pemeriksaan (on-site) terhadap calon atau Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. 9. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh izin atau persetujuan Bank Indonesia wajib menyelenggarakan kegiatannya paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal surat pemberian izin atau persetujuan dari Bank Indonesia. 10. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib menyelenggarakan pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik. Transaksi pembayaran yang wajib diproses secara domestik adalah transaksi pembayaran yang: a. menggunakan instrumen pembayaran yang diterbitkan oleh Penerbit di Indonesia atau menggunakan layanan pembayaran yang disediakan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran; dan b. dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 11. Dana yang ditampung dalam Dompet Elektronik hanya dapat digunakan untuk tujuan pembayaran yang mencakup: a. pembayaran transaksi belanja (purchasing); dan b. pembayaran tagihan. 12. Batas dana yang dapat ditampung dalam Dompet Elektronik paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 13. Penyelenggara Payment Gateway yang melakukan fungsi untuk menyelesaikan pembayaran kepada pedagang (merchant aggregator) wajib: a. memiliki dan menjalankan mekanisme dan prosedur mengenai: 1) asesmen kelayakan pedagang (merchant acquisition) yang difasilitasi dengan penyediaan Payment Gateway; dan 2) penyelesaian pembayaran kepada pedagang. b. melakukan evaluasi terhadap kelancaran dan keamanan transaksi pembayaran yang dilakukan melalui pedagang. 14. Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia bertujuan untuk:
192
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan a. menilai kepatuhan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang sistem pembayaran; dan b. memastikan penyelenggaraan sistem pembayaran dilakukan secara lancar, aman, efisien, dan andal serta dengan memperhatikan perluasan akses, perlindungan konsumen, dan kepentingan nasional serta mengacu pada peraturan perundang-undangan. 15. Jenis laporan yang wajib disampaikan oleh Penyelenggara Switching, Penyelenggara Payment Gateway, dan Penyelenggara Dompet Elektronik, serta Bank yang menyelenggarakan Proprietary Channel meliputi: a. Laporan berkala, terdiri atas: 1) laporan bulanan, yang paling sedikit memuat informasi mengenai nilai dan volume transaksi; 2) laporan triwulanan, yang paling sedikit memuat informasi mengenai pencatatan dan penaganan fraud yang terjadi; 3) laporan tahunan, yaitu laporan rencana bisnis penyelenggaraan jasa sistem pembayaran; dan 4) laporan hasil audit sistem informasi secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun. b. Laporan insidental, terdiri atas: 1) laporan gangguan dalam pemrosesan transaksi pembayaran; 2) laporan perubahan modal dan/atau perubahan susunan pemegang saham serta perubahan susunan pengurus; 3) laporan terjadinya force majeure; 4) laporan perubahan data dan informasi pada dokumen perizinan; dan 5) laporan lainnya. 16. Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada angka 15 berlaku juga bagi Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir. 17. Dalam hal terjadi pengambilalihan terhadap Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran berlaku ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal pengambilalihan akan dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran berupa Bank maka Bank tersebut wajib menyampaikan laporan secara tertulis mengenai rencana pengambilalihan tersebut kepada Bank Indonesia; dan b. dalam hal pengambilalihan akan dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran berupa Lembaga Selain Bank maka Lembaga Selain Bank tersebut wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada Bank Indonesia.
193
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan
27.
18/42/DKSP
Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini diterbitkan dengan pertimbangan bahwa perlu diatur ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/20/PBI/2016 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB). 2. Hal-hal yang diatur dalam SEBI ini meliputi; a. penyelesaian transaksi jual dan beli Uang Kertas Asing (UKA) terhadap Rupiah; b. kriteria pembelian UKA dengan dokumen underlying transaksi; c. larangan bagi Penyelenggara untuk mengenakan biaya dalam melakukan jual dan beli UKA kepada Nasabah; d. tata cara penanganan dan penyelesaian pengaduan Nasabah; e. persyaratan dokumen dan tata cara permohonan izin sebagai Penyelenggara; f. masa berlaku dan tata cara pengajuan perpanjangan izin; g. materi pelatihan atau sertifikasi bagi Direksi h. pencantuman logo, sertifikat dan nama dagang; i. proses pembukaan kantor cabang dan gerai, pemindahan alamat dan penutupan kantor cabang; j. penghentian kegiatan usaha; k. tata cara pelaksanaan kerja sama dengan pihak selain Penyelenggara; dan l. persyaratan jual dan beli UKA dikawasan perbatasan. 3. Kewajiban Penyelenggara dalam penerapan prinsip perlindungan konsumen, yaitu prinsip keadilan dan keandalan, prinsip transparansi, prinsip perlindungan data dan/atau informasi konsumen, serta prinsip penanganan dan penyelesaian pengaduan konsumen secara efektif. 4. Tahapan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam melakukan pemrosesan izin adalah: a. penelitian pemenuhan persyaratan kelembagaan dan kondisi keuangan; b. penelitian pemenuhan persyaratan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pemegang saham calon Penyelenggara; c. pemeriksaan lokasi tempat usaha calon Penyelenggara; dan d. penyuluhan ketentuan. 5. Dalam hal Penyelenggara telah memperoleh izin wajib melaksanakan kegiatan usahanya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat pemberitahuan.
194
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 6. Izin sebagai Penyelenggara KUPVA BB berlaku selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberian izin dan dapat diperpanjang berdasarkan permohonan Penyelenggara kepada Bank Indonesia 7. Pencabutan izin usaha KUPVA BB bisa dilakukan oleh Bank Indonesia apabila: a. Penyelenggara tidak lagi beroperasi atau melakukan kegiatan usaha; b. Penyelenggara tidak lagi memiliki pengurus aktif yang bertanggungjawab; dan/atau c. Penyelenggara melakukan pemindahan alamat lokasi usaha tanpa persetujuan Bank Indonesia. 8. Apabila terdapat perubahan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham, maka calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. 9. Anggota Direksi penyelenggara KUPVA BB harus mengikuti pelatihan/sertifikasi yang mendukung penyelenggaraan KUPVA BB, antara lain materi mengenai Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme, pengelolaan keuangan (bisnis), manajemen umum, manajemen risiko, atau materi lainnya yang berkaitan dengan kegiatan usaha penukaran valuta asing. 10. Penyelenggara KUPVA BB dalam menjalankan kegiatan usaha wajib mencantumkan: a. logo Penyelenggara KUPVA BB berizin; b. sertifikat izin usaha yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; dan c. papan nama yang bertuliskan "Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Berizin” atau ”Authorized Money Changer”, nama Perseroan Terbatas Penyelenggara dan nama dagang, dan nomor dan tanggal Surat Keputusan Pemberian Izin Usaha (KPmIU). 11. Penyelenggara KUPVA BB yang akan menyelenggarakan pembukaan kantor cabang harus menjalankan kegiatan usahanya paling sedikit 2 (dua) tahun sejak tanggal dikeluarkannya izin dan memenuhi persyaratan modal disetor. 12. Pembukaan gerai (counter) dapat dilakukan dengan persyaratan untuk mendukung kegiatan tertentu antara lain pameran atau kegiatan internasional, dilakukan di wilayah kantor pusat dan/atau di wilayah kantor cabang Penyelenggara dan dilakukan paling lama 1 (satu) bulan dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali.
195
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 13. Penyelenggara KUPVA BB wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia berupa: a. Laporan Berkala, yang terdiri atas: 1) Laporan Kegiatan Usaha (LKU) Laporan Kegiatan Usaha (LKU) yaitu laporan transaksi penjualan dan pembelian UKA, dan laporan transaksi pembelian Cek Pelawat; dan 2) Laporan Keuangan Laporan Keuangan yaitu Neraca (Laporan Posisi Keuangan), Laporan Laba Rugi, dan Laporan Perubahan Ekuitas akhir tahun. b. Laporan Insidental yang antara lain terdiri atas: 1) laporan pengangkatan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau perubahan pemegang saham; 2) laporan keikutsertaan anggota Direksi dalam pelatihan/sertifikasi; 3) laporan pelaksanaan pembukaan kantor cabang; 4) laporan rencana pembukaan gerai (counter); 5) laporan pelaksanaan pemindahan alamat kantor; 6) laporan perubahan nama Perseroan Terbatas; 7) laporan perubahan modal dasar dan/atau modal disetor; 8) laporan gangguan dalam kegiatan usaha penukaran valuta asing termasuk upaya yang telah dilakukan untuk menanggulanginya; 9) laporan terjadinya force majeure yaitu suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan Penyelenggara yang menyebabkan kegiatan usaha tidak dapat dilakukan yang diakibatkan oleh, tetapi tidak terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia; 10) laporan pelaksanaan kerjasama dengan hotel atau badan usaha sejenis hotel; dan 11) laporan lainnya yang sewaktu-waktu diminta Bank Indonesia seperti laporan kurs valuta asing tanggal tertentu, laporan transaksi keuangan tertentu, dan laporan rencana kerja sama. 14. Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara secara langsung dengan cara pemeriksaan atas kegiatan usaha Penyelenggara untuk meneliti dan mengevaluasi tingkat kepatuhan Penyelenggara terhadap ketentuan dan secara tidak langsung yang merupakan tindakan pemantauan yang dilakukan dalam bentuk analisis terhadap laporan yang disampaikan Penyelenggara atau informasi dari pihak lain.
196
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
No.
Peraturan
Perihal
Ringkasan 15. Penyelenggara KUPVA BB bisa melakukan kerja sama dengan pihak selain Penyelenggara KUPVA BB (hotel atau badan usaha di bidang penyediaan jasa akomodasi) untuk melakukan kegiatan pembelian UKA dengan persetujuan Bank Indonesia. 16. Pihak selain Penyelenggara KUPVA BB yang melakukan jual dan beli UKA di kawasan perbatasan Indonesia harus berupa badan usaha yang menjalankan kegiatan usaha di kawasan perbatasan Indonesia dan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. 17. Penyelenggara KUPVA BB yang melanggar ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. kewajiban membayar; c. penghentian kegiatan usaha; dan/atau d. pencabutan izin. 18. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 Desember 2016.
197