BULETIN
ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Nota Kesepahaman Bank Indonesia, Kepolisian, Dan Kejaksaan Sebagai Bentuk Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perbankan Aspek Hukum Transaksi Bisnis Pada Internet Banking Telaah Atas Eksistensi Lembaga Pengawas Dan Pengatur Menurut UU Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Bank Indonesia Dan UU Otoritas Jasa Keuangan Efektivitas Pemblokiran Dan Upaya Penyitaan Oleh Juru Sita Pajak Terhadap Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Telah Dilakukan Sita Agunan Oleh Bank Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU OJK Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari – April 2012 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari – April 2012
Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Ahmad Fuad, Christina Sani, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe Pemimpin Redaksi Libraliana Badilangoe Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Imam Subarkah, Sukarelawati Permana, Amsal C. Appy, Rosalia Suci, Arief R. Permana, Hari Sugeng Raharjo, Endang R. Budi Astuti Redaksi Pelaksana Agus Susanto Pratomo, Ellia Syahrini, Kesumawati, Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH., LLM Dr. Inosentius Samsul, SH., LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH., MH Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Departemen Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email:
[email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. “Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi”
Halaman ini sengaja dikosongkan
DARI MEJA REDAKSI
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10 Nomor 1, Edisi Januari s.d April 2012 kembali hadir ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya dalam format dan nuansa baru. Penerbitan kali ini merupakan edisi khusus dalam rangka memperingati Kartini. Sebagai bentuk ekspresinya, seluruh penulis dalam edisi kali ini adalah perempuan dengan segala keindahan dan keahlian di bidangnya masing-masing. Topik utama Buletin menyoroti mengenai Nota Kesepahaman Bank Indonesia, Kepolisian, Dan Kejaksaan Sebagai Bentuk Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perbankan, yang ditulis oleh Dr. Tini Kustini, SH. Dalam rangka penanganan Tipibank, Bank Indonesia melakukan koordinasi dengan beberapa instansi terkait, antara lain dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia yang dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman. Tujuan dari koordinasi tersebut adalah untuk penegakan hukum di lingkungan perbankan mengingat bank dapat digunakan sebagai sarana dan/atau sasaran Tipibank, dan agar industri perbankan menjadi bersih dari praktik penyimpangan yang dilakukan oleh bank ataupun Tipibank, serta untuk memperlancar, mempercepat dan mengoptimalkan penanganan Tipibank. Selain itu, dalam edisi kali ini Buletin juga menurunkan 4 artikel lainnya, yaitu : 1. Aspek Hukum Transaksi Bisnis Pada Internet Banking, Prof. Dr. Etty S.Suhardo, SH, MS. 2. Telaah Atas Eksistensi Lembaga Pengawas Dan Pengatur Menurut UU Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Bank Indonesia Dan UU Otoritas Jasa Keuangan, Dr. Go Lisanawati SH, MH. 3. Efektivitas Pemblokiran Dan Upaya Penyitaan Oleh Juru Sita Pajak Terhadap Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Telah Dilakukan Sita Agunan Oleh Bank, Dyah Pratiwi, SH, MH (Analis Hukum Senior) dan Ayu Deviana, SH (Penasehat Hukum Yunior). 4. Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU OJK, Fransiska Ari Indrawati, SH, (Analis Bank Muda), Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Januari sampai dengan April 2012, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca. Jakarta, April 2012 Redaksi
i
Halaman ini sengaja dikosongkan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN VOLUME 10, NOMOR 1, JANUARI – APRIL 2012 Halaman Dari Meja Redaksi...................................................................................................................................
i
Daftar Isi.................................................................................................................................................
iii
Nota Kesepahaman Bank Indonesia, Kepolisian, Dan Kejaksaan Sebagai Bentuk Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perbankan........................................................................................................................
1 - 12
Dr. Tini Kustini, SH, (Analis Bank Madya Senior), Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia Aspek Hukum Transaksi Bisnis Pada Internet Banking..............................................................................
13 - 28
Prof. Dr. Etty S. Suhardo, SH, MS, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Telaah Atas Eksistensi Lembaga Pengawas Dan Pengatur Menurut UU Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Bank Indonesia Dan UU Otoritas Jasa Keuangan ..............................
29 - 40
Dr. Go Lisanawati SH, MH, Fakultas Hukum Universitas Surabaya Efektivitas Pemblokiran Dan Upaya Penyitaan Oleh Juru Sita PajakTerhadap Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Telah Dilakukan Sita Agunan Oleh Bank.............................................................
41 - 46
Dyah Pratiwi, SH, MH (Analis Hukum Senior) dan Ayu Deviana, SH (Penasehat Hukum Yunior), Departemen Hukum, Bank Indonesia Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU OJK...............................................................................
47 - 54
Fransiska Ari Indrawati, SH, (Analis Bank Muda), Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - April 2012..............
55 - 58
Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum, Bank Indonesia) Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - April 2012........
59 - 85
Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)
iii
Halaman ini sengaja dikosongkan
NOTA KESEPAHAMAN BANK INDONESIA, KEPOLISIAN, DAN KEJAKSAAN SEBAGAI BENTUK KOORDINASI PENANGANAN TINDAK PIDANA PERBANKAN Oleh : Dr. Tini Kustini, SH, Analis Bank Madya Senior, Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia Abstrak MoU-Tipibank-Koordinasi. Nota Kesepahaman Penanganan Tipibank merupakan suatu MoU dengan bentuk gentlemen’s agreement yang pelaksanaannya didasarkan pada itikad baik (good faith), sehingga mempunyai kekuatan mengikat secara moral (moral obligation).
A. PENDAHULUAN
maupun negatif yaitu tidak melakukan suatu perbuatan yang wajib dilakukan.
Perkembangan dalam industri perbankan dan teknologi informasi, disamping berdampak positif
Tindak pidana perbankan melibatkan dana
dapat pula menimbulkan dampak negatif berupa
masyarakat yang disimpan di bank, oleh karenanya
semakin beragamnya tindak pidana perbankan
Tipibank merugikan kepentingan berbagai pihak,
(Tipibank).
baik bank itu sendiri selaku badan usaha maupun nasabah penyimpan dana, sistem perbankan, otoritas
Bank sering dijadikan sebagai sarana dan/atau sasaran
perbankan, pemerintah dan masyarakat luas, sehingga
untuk memperkaya diri sendiri, keluarga atau
memerlukan penanganan yang tuntas.
kelompok tertentu secara melawan hukum yang dapat dilakukan oleh anggota dewan komisaris,
Bank Indonesia ikut serta dalam penegakan hukum
direksi, pegawai bank, pihak terafiliasi, dan/atau
(law enforcement) dalam bentuk investigasi dan/atau
pemegang saham baik dilakukan secara sendiri-
pemeriksaan forensik terhadap Tipibank yang terjadi
sendiri maupun bersama-sama dengan pihak di luar
pada suatu bank. Hasil investigasi dilaporkan kepada
bank.
penegak hukum sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku, dan pada akhirnya menghasilkan suatu
Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai pengawas bank,
putusan pengadilan.
Bank Indonesia dapat menemukan adanya dugaan Tipibank yang selanjutnya penanganannya akan
Peranan perbankan yang strategis dan karakteristik
ditindaklanjuti melalui proses hukum.
bank sebagai lembaga kepercayaan, maka setiap hal yang mengganggu kegiatan perbankan seperti
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang
Tipibank memerlukan penanganan yang baik.
pelakunya diancam hukuman pidana berdasarkan
Mengingat, Bank Indonesia tidak memiliki kewenangan
Undang-Undang. Unsur dari tindak pidana adalah
untuk melakukan penyidikan, maka penanganan
subyek (pelaku) dan wujud perbuatan baik yang
dugaan Tipibank memerlukan koordinasi dengan
bersifat positif yaitu melakukan suatu perbuatan,
lembaga lain, salah satunya adalah koordinasi antara
1
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Bank Indonesia dengan penegak hukum. Selanjutnya,
2) Tindak pidana yang dilakukan dalam
untuk memperlancar, mempercepat, dan
menjalankan fungsi dan usahanya sebagai
mengoptimalkan penanganan Tipibank dilakukan
bank berdasarkan Undang-Undang
koordinasi antara Bank Indonesia, Kepolisian Negara
Perbankan.4
Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia yang ditetapkan dalam suatu Nota Kesepahaman.
b. Tindak pidana di bidang perbankan adalah: 1) Segala jenis perbuatan melanggar hukum yang
B. TINDAK PIDANA PERBANKAN
berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank, baik bank sebagai
Pemakaian istilah Tipibank dan tindak pidana di bidang
sasaran maupun sebagai sarana.5
perbankan belum ada kesamaan pendapat. Apabila
2) Tindak pidana yang tidak hanya mencakup
ditinjau dari segi yuridis tidak satupun peraturan
pelanggaran terhadap Undang-Undang
perundang-undangan yang memberikan pengertian
Perbankan saja, melainkan mencakup pula
tentang Tipibank dengan tindak pidana di bidang
tindak pidana penipuan, penggelapan,
perbankan.1
pemalsuan dan tindak pidana lain sepanjang berkaitan dengan lembaga perbankan.6
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman memberikan pengertian
Apabila ditinjau dari kedua pengertian istilah tersebut
yang berbeda untuk kedua Tipibank dan tindak
di atas, maka terlihat perbedaan yang cukup mendasar.
pidana di bidang perbankan,
yaitu2
Secara terminologis, istilah Tipibank berbeda dengan
a. Tindak pidana perbankan adalah:
tindak pidana di bidang perbankan. Tindak pidana
1) Setiap perbuatan yang melanggar peraturan
di bidang perbankan mempunyai pengertian yang
perundang-undangan sebagaimana diatur
lebih luas, yaitu segala jenis perbuatan melanggar
dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dalam menjalankan usaha bank, sehingga terhadap
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
perbuatan tersebut dapat diperlakukan peraturan-
(Undang-Undang
Perbankan).3
peraturan yang mengatur kegiatan-kegiatan perbankan yang memuat ketentuan pidana maupun peraturan-peraturan Hukum Pidana umum/khusus,
1
selama belum ada peraturan-peraturan Hukum Pidana
BPHN, Departemen Kehakiman, Laporan Akhir Penelitian MasalahMasalah Hukum Kejahatan Perbankan, BPHN, Jakarta, 1992, hlm. 68. Istilah tindak pidana di bidang perbankan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, namun dalam UndangUndang tersebut tidak terdapat definisi atau pengertian tentang tindak pidana di bidang perbankan.
2
Ibid., bandingkan dengan Marulak Pardede, Hukum Pidana Bank, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 14, yang mengemukakan bahwa perbedaan yang cukup mendasar atas pengertian tindak pidana di bidang perbankan dan Tipibank adalah: a. Tipibank merupakan setiap perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 10 Tahun 1998 (Undang-Undang Perbankan). b. Tindak pidana di bidang perbankan merupakan setiap perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam UndangUndang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, KUHP, dan Peraturan Hukum Pidana Khusus, seperti Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 11 PNPS Tahun 1963 tentang Subversi, dan Undang-Undang No. 7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
3
BPHN, Departemen Kehakiman, Laporan Akhir ..... op.cit., hlm. 18.
2
yang secara khusus dibuat untuk mengancam dan
4
Ibid, hlm. 8. H.A.K. Moch. Anwar, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Cet. 2, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 44, menyebut tindak pidana di bidang perbankan sebagai kejahatan perbankan untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Istilah kejahatan perbankan digunakan mengingat belum ada peraturan-peraturan Hukum Pidana yang khusus dibuat untuk mengancam dan menghukum perbuatan-perbuatan tersebut di atas. Selain itu kejahatan perbankan mempunyai arti luas, karena dapat berarti bank sebagai korban maupun bank sebagai pelaku.
5
BPHN, Departemen Kehakiman, Laporan Akhir ..... op.cit., hlm. 18.
6
Ibid, hlm.12-13.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
menghukum perbuatan-perbuatan tersebut.7 Artinya
Dalam pengertian sempit, Tipibank hanya terbatas
tindak pidana di bidang perbankan menyangkut
kepada perbuatan yang dikategorikan sebagai
perbuatan yang berkaitan dengan perbankan dan
perbuatan pidana menurut Undang-Undang
diancam dengan pidana, meskipun diatur dalam
Perbankan. Sementara dalam pengertian luas,
peraturan lain,8 atau disamping merupakan perbuatan
Tipibank tidak terbatas hanya kepada yang diatur
yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang
oleh Undang-Undang Perbankan, namun mencakup
Perbankan dan Undang-Undang Perbankan Syariah,
pula perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam
juga merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan
perbuatan pidana yang mengganggu sektor ekonomi
di luar Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang
secara luas, yang juga meliputi kejahatan pasar modal
Perbankan Syariah yang dikenakan sanksi berdasarkan antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, perbuatan mana berhubungan dengan kegiatan menjalankan usaha bank seperti money laundering dan korupsi yang melibatkan bank. Sementara itu, Tipibank lebih tertuju kepada perbuatan yang dilarang, diancam pidana yang termuat khusus hanya dalam Undang-Undang yang mengatur perbankan.9
(capital market crime), kejahatan komputer (computer crime), baik dengan itu timbul akibat kerugian pada perusahaan swasta, maupun Pemerintah dan BUMN, fiskal dan bea cukai (custom crime).11 Dalam rangka kesamaan persepsi atas pengertian Tipibank, Bank Indonesia dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.12/35/INTERN tanggal 23 Juli 2010 tentang Pedoman Mekanisme Koordinasi Penanganan Dugaan Tindak Pidana Perbankan, memberikan
Sementara itu, Moch. Anwar membedakan pengertian Tipibank dengan tindak pidana di bidang perbankan berdasarkan perlakuan peraturan terhadap perbuatan-perbuatan yang telah melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank.10 Khusus untuk Tipibank, Indriyanto Seno Adji melihat dalam dua sisi pengertian, yakni sempit dan luas.
pengertian Tipibank sebagai tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A Undang-Undang Perbankan atau Pasal 59 sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Undang-Undang Perbankan Syariah). Unsur-unsur tindak pidana meliputi subyek (pelaku) dan wujud perbuatannya baik yang bersifat positif yaitu melakukan suatu perbuatan, maupun yang bersifat negatif yaitu tidak melakukan suatu perbuatan yang wajib dilakukan.
7
H.A.K. Moch. Anwar, Tindak Pidana ... Op. Cit., hlm. 44. Bandingkan dengan M. Solehuddin, Tindak Pidana Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 11, yang menyatakan bahwa istilah tindak pidana perbankan sebenarnya terkandung tidak hanya mencakup setiap perbuatan yang melanggar ketentuan Undang-Undang Perbankan, melainkan juga Undang-Undang Bank Indonesia, KUHP, dan peraturan tindak pidana khusus seperti Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak PidanaPencucian Uang, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Lalu Lintas Devisa, dan Undang-Undang Anti Subversi.
8
Muhammad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 274.
9
Ibid, hlm. 274.
10 Istilah Tindak Pidana di Bidang Perbankan dipergunakan oleh Brigjen Pol Drs. HAK Moch Anwar, SH dan Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Lihat, H.A.K. Moch Anwar, Tindak Pidana ..... op.cit. Lihat pula Marjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan, Buku Kesatu, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hlm. 74.
Dimensi bentuk tindak pidana di bidang perbankan dapat berupa tindak pidana seseorang terhadap bank, tindak pidana bank terhadap bank lain, ataupun tindak pidana bank terhadap perorangan, sehingga bank dapat menjadi korban ataupun pelaku. Sedangkan dimensi ruang tindak pidana di bidang perbankan tidak terbatas pada suatu tempat tertentu, namun dapat melewati batas-batas teritorial suatu
11 N.H.T. Siahaan, Money Laundering & Kejahatan Perbankan, Edisi Ketiga, Cetakan Ketiga, Jala Permata, Jakarta, 2008, hlm. 212.
3
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
negara. Demikian pula dengan dimensi waktu, tindak
miliar,13 dengan beberapa sanksi yang diatur dalam
pidana di bidang perbankan dapat terjadi seketika,
peraturan perundang-undangan lain seperti Undang-
namun dapat pula berlangsung beberapa lama.
Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak
Sementara itu, ruang lingkup terjadinya tindak pidana
Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) yang hanya
di bidang perbankan dapat terjadi pada keseluruhan
mengenakan sanksi pidana penjara tertinggi selama
lingkup kehidupan dunia perbankan atau yang sangat
20 tahun ditambah denda tertinggi sebesar Rp.10
berkaitan dengan kegiatan perbankan dan mencakup
miliar,14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang
dengan lembaga keuangan lainnya.
mengenakan sanksi pidana dengan empat variasi, yaitu kumulatif dengan pengenaan pidana penjara
Undang-Undang Perbankan membedakan sanksi
terendah 1 tahun dan tertinggi seumur hidup
pidana kedalam dua bentuk, yaitu kejahatan dan
ditambah denda terendah sebesar Rp.50 juta dan
pelanggaran. Tindak pidana perbankan dengan
tertinggi Rp.1 miliar, kumulatif dengan sanksi tertinggi
kategori kejahatan terdiri dari tujuh, yaitu Pasal 46,
pidana penjara paling lama 3 tahun ditambah denda
47, 47A, 48 ayat (1), 49, 50, dan Pasal 50A. Sementara
paling banyak Rp.50 juta, kumulatif dan alternatif
itu, Tipibank dengan kategori pelanggaran dengan
dengan sanksi tertinggi pidana penjara paling lama
sanksi pidana yang lebih ringan daripada tindak pidana
3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.150
yang digolongkan sebagai kejahatan, terdiri dari satu
juta, kumulatif dan alternatif pidana penjara terendah
pasal, yaitu Pasal 48 ayat (2). Penggolongan Tipibank
1 tahun dan tertinggi 20 tahun dan/atau pidana
ke dalam kejahatan didasarkan pada pengenaan
denda terendah sebesar Rp.50 juta dan tertinggi
ancaman hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran. Hal ini mengingat bahwa bank adalah lembaga yang menyimpan dana yang dipercayakan masyarakat kepadanya, sehingga perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada dasarnya juga akan merugikan bank maupun masyarakat, perlu selalu dihindarkan. Harapan penggolongan Tipibank sebagai kejahatan, agar dapat lebih terbentuk ketaatan yang tinggi terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan.12 Sementara Undang-Undang Perbankan Syariah tidak membedakan sanksi Tipibank dan mencantumkannya ke dalam delapan pasal, yaitu Pasal 59 sampai dengan Pasal 66. Perbandingan antara Undang-Undang Perbankan yang mengenakan sanksi kumulatif pidana penjara dengan pengenaan terendah 2 tahun sampai dengan tertinggi selama 15 tahun ditambah denda terendah sebesar Rp.4 miliar dan tertinggi sebesar Rp.200
12 Pasal 51 berikut penjelasannya Undang-Undang Perbankan.
4
13 Undang-Undang Perbankan mengatur sanksi pidana untuk perbuatan yang dikategorikan kejahatan secara kumulatif, sementara perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran secara alternatif dan kumulatif, yaitu: 1. Kumulatif: a. Pidana penjara: 5 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.10 s.d Rp.200 miliar (Pasal 46); b. Pidana penjara: 2 s.d 4 tahun ditambah pidana denda: Rp.10 s.d Rp.200 miliar (Pasal 47 ayat (1)); c. Pidana penjara: 2 s.d 4 tahun ditambah pidana denda: Rp.4 s.d Rp.8 miliar (Pasal 47 ayat (2)); d. Pidana penjara: 2 s.d 7 tahun ditambah pidana denda: Rp.4 s.d Rp.15 miliar (Pasal 47A); e. Pidana penjara: 2 s.d 10 tahun ditambah pidana denda: Rp.5 s.d Rp.100 miliar (Pasal 48 ayat (1)); f. Pidana penjara: 5 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.10 s.d Rp.200 miliar (Pasal 49 ayat (1)); g. Pidana penjara: 3 s.d 8 tahun ditambah pidana denda: Rp.5 s.d Rp.100 miliar (Pasal 49 ayat (2)); h. Pidana penjara: 3 s.d 8 tahun ditambah pidana denda: Rp.5 s.d Rp.100 miliar (Pasal 50); i. Pidana penjara: 7 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.10 s.d Rp.200 miliar (Pasal 50A); 2. Kumulatif dan Alternatif: Pidana kurungan: 1 s.d 2 tahun dan/atau pidana denda: Rp.1 s.d Rp.2 miliar (Pasal 48 ayat (2)). 14 Undang-Undang PPTPPU mengatur sanksi pidana secara kumulatif, namun hanya mengatur sanksi tertinggi, sehingga sanksi terendah diserahkan kepada pengadilan, yaitu: 1. Pidana penjara: paling lama 20 tahun ditambah pidana denda: paling banyak Rp.10 miliar (Pasal 3); 2. Pidana penjara: paling lama 20 tahun ditambah pidana denda: paling banyak Rp.5 miliar (Pasal 4); 3. Pidana penjara: paling lama 5 tahun ditambah pidana denda: paling banyak Rp.1 miliar (Pasal 5).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Rp.1 miliar,15 dan KUHP, seperti penggelapan yang
Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia yang
mengenakan sanksi pidana penjara maksimal selama
dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman. Tujuan
4 tahun dan denda maksimal sebesar Rp.900,-, maka
dari koordinasi tersebut adalah untuk penegakan
sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang
hukum di lingkungan perbankan mengingat bank
Perbankan untuk pidana penjara sudah seimbang
dapat digunakan sebagai sarana dan/atau sasaran
dengan pengaturan dalam Undang-Undang PPTPPU,
Tipibank, dan agar industri perbankan menjadi bersih
Undang-Undang Tipikor, dan KUHP, sementara untuk
dari praktik penyimpangan yang dilakukan oleh bank
sanksi pidana denda, Undang-Undang Perbankan
ataupun Tipibank, serta untuk memperlancar,
mengenakan sangat tinggi bahkan tertinggi bisa
mempercepat dan mengoptimalkan penanganan
mencapai Rp.200 miliar.
Tipibank.
C. KOORDINASI PENANGANAN TINDAK PIDANA PERBANKAN
Koordinasi antara Bank Indonesia dan penegak hukum telah dilaksanakan sejak tahun 1997 dengan penetapan Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung
Dalam rangka penanganan Tipibank, Bank Indonesia
Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik
melakukan koordinasi dengan beberapa instansi
Indonesia, dan Gubernur Bank Indonesia No.KEP-
terkait, antara lain dengan Kepolisian Negara Republik
126/JA/11/1997, KEP/10/XI/1997, No.30/6/KEP/GBI tanggal 6 November 1997 tentang Kerjasama Penanganan Kasus Tindak Pidana di Bidang Perbankan,
15 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengatur sanksi pidana secara kumulatif dan gabungan antara kumultatif dan alternatif, yaitu: 1. Kumulatif: a. Pidana penjara: 4 s.d 20 tahun ditambah pidana denda: Rp.200 juta s.d Rp.1 miliar (Pasal 2); b. Pidana penjara: 3 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.150 juta s.d Rp.750 juta (Pasal 6); c. Pidana penjara: 2 s.d 7 tahun ditambah pidana denda: Rp.100 juta s.d Rp.350 juta (Pasal 7); d. Pidana penjara: 3 s.d 15 tahun ditambah pidana denda: Rp.150 juta s.d Rp.750 juta (Pasal 8); e. Pidana penjara: 1 s.d 5 tahun ditambah pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.250 juta (Pasal 9); f. Pidana penjara: 2 s.d 7 tahun ditambah pidana denda: Rp.100 juta s.d Rp.350 juta (Pasal 10); g. Pidana penjara: 1 s.d 5 tahun ditambah pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.250 juta (Pasal 11); h. Pidana penjara: seumur hidup atau pidana penjara 4 s.d 20 tahun ditambah pidana denda: Rp.200 juta s.d Rp.1 miliar (Pasal 12); i. Pidana penjara: 4 s.d 20 tahun ditambah pidana denda: Rp.200 juta s.d Rp.1 miliar (Pasal 12B). 2. Kumulatif dengan sanksi tertinggi: Pidana penjara: paling lama 3 tahun ditambah pidana denda: paling banyak Rp.50 juta(Pasal 12A). 3. Kumulatif dan Alternatif dengan sanksi tertinggi: a. Pidana penjara: paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda: paling banyak Rp.150 juta(Pasal 13); b. Pidana penjara: paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda: paling banyak Rp.150 juta(Pasal 24). 4. Kumulatif dan Alternatif: a. Pidana penjara: 1 s.d 20 tahun dan/atau pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.1 miliar (Pasal 3); b. Pidana penjara: 1 s.d 5 tahun dan/atau pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.250 juta (Pasal 5); c. Pidana penjara: 3 s.d 12 tahun dan/atau pidana denda: Rp.150 juta s.d Rp.600 juta (Pasal 21); d. Pidana penjara: 3 s.d 12 tahun dan/atau pidana denda: Rp.150 juta s.d Rp.600 juta (Pasal 22); e. Pidana penjara: 1 s.d 6 tahun dan/atau pidana denda: Rp.50 juta s.d Rp.300 juta (Pasal 23).
yang kemudian pada tanggal 20 Desember 2004 diganti dengan Surat Keputusan Bersama No.KEP902/A/J.A/12/2004; No.POL:Skep/924/XII/ 2004; dan No.6/91/KEP.GBI/2004 tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perbankan (SKB Tipibank),16 dan akhirnya pada tanggal 19 Desember 2011 diganti dengan Nota Kesepahaman antara Bank Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia No.13/104/KEP.GBI/2011, No.B/31/XII/2011, No.Kep-261/A/JA/ 12/2011 tentang Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perbankan (NK Penanganan Tipibank).17
16 SKB Tipibank merupakan ketentuan baku dalam penanganan Tipibank, hal ini diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan menyampaikan Surat No.S-241/M.EKON/10/2005 tanggal 20 Oktober 2005 kepada Presiden Republik Indonesia yang menginformasikan bahwa Bank Indonesia, Kejaksaan RI dan Kepolisian Negara RI sepakat penyelesaian dugaan Tipibank mengacu pada SKB Tipibank. 17 Jangka waktu berlakunya Nota Kesepahaman ini selama tiga tahun terhitung sejak penandatanganan tanggal 19 Desember 2011, dan dapat diperpanjang sesuai dengan kesepakatan para pihak. Lihat Praemisi NK Penanganan Tipibank yang menyatakan bahwa para pihak adalah: “a. Darmin Nasution selaku Gubernur Bank Indonesia, selaku Gubernur Bank Indonesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama BANK INDONESIA, berkedudukan di Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta Pusat, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.
5
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
SKB Tipibank merupakan ketentuan baku dalam
Bank Indonesia melakukan investigasi atas dugaan
penanganan Tipibank, hal ini diakui oleh Menteri
Tipibank pada bank, selanjutnya hasil investigasi
Koordinator Bidang Perekonomian melalui Surat No.
dibahas pada rapat Tim Kerja dan apabila diperlukan
S-241/M.EKON/10/2005 tanggal 20 Oktober 2005
dibahas pula pada rapat Tim Pleno. Apabila hasil
kepada Presiden Republik Indonesia yang
pembahasan terdapat indikasi kuat adanya dugaan
menginformasikan bahwa Bank Indonesia, Kejaksaan
Tipibank, maka selanjutnya Bank Indonesia melaporkan
RI, dan Kepolisian Negara RI sepakat penyelesaian
kepada penyidik disertai informasi antara lain jenis
dugaan Tipibank dengan mengacu pada SKB
pelanggaran, kasus posisi, ketentuan yang dilanggar,
Tipibank, yang berlaku pula untuk NK Penanganan
barang bukti, dan pelaku.
Tipibank sebagai pengganti dari SKB Tipibank. Dalam rangka mencapai maksud dan tujuan NK Nota Kesepahaman Penanganan Tipibank terdiri dari
Penanganan Tipibank, pelaksanaan koordinasi NK
7 Bab dan 28 Pasal, dengan ruang lingkup koordinasi
Penanganan Tipibank dilakukan oleh Tim Koordinasi
antara Bank Indonesia, Kepolisian Negara Republik
dengan dibantu oleh Sekretariat yang dilaksanakan
Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia dalam
oleh Bank Indonesia.19 Tim Koordinasi terdiri atas
penanganan Tipibank sebagaimana diatur dalam
Tim Pengarah, Tim Koordinasi Tingkat Pusat dan Tim
Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A Undang-Undang
Koordinasi Tingkat Daerah, yang masing-masing
Perbankan, atau Pasal 59 sampai dengan Pasal 66
terdiri dari Tim Pleno dan Tim Kerja.20 Tim Pleno dan
Undang-Undang Perbankan Syariah, dengan bentuk
Tim Kerja terdiri dari perwakilan dari Bank Indonesia,
koordinasi meliputi pembahasan dan pelaporan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan
dugaan Tipibank, penyediaan saksi dan ahli,
Republik Indonesia.
pemblokiran rekening, penyitaan uang dan dokumen, tukar menukar informasi, evaluasi, dan kegiatan
Tim Pengarah terdiri dari atas tiga anggota, yaitu
lainnya.18
Gubernur Bank Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Jaksa Agung Republik
Maksud NK Penanganan Tipibank adalah sebagai
Indonesia. Tim Pengarah mempunyai tugas
landasan bagi Bank Indonesia, Kepolisian Negara
memberikan arahan dan/atau keputusan yang bersifat
Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia
strategis.21
untuk melakukan koordinasi memperkuat penerapan tata kelola kepemerintahan yang baik dan bersih di
Tim Pleno dibagi menjadi Tim Pleno Tingkat Pusat
lingkungan Bank Indonesia, Kepolisian Negara
dan Tim Pleno Tingkat Daerah, yang menyelenggarakan
Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia.
rapat sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun.
Adapun tujuan Nota Kesepahaman ini adalah tercapainya koordinasi dalam rangka memperlancar,
Tim Pleno Tingkat Pusat terdiri atas anggota tetap
mempercepat, dan mengoptimalkan penanganan
dan anggota tidak tetap.22 Anggota tetap Tim Pleno
Tindak Pidana Perbankan.
Tingkat Pusat mempunyai hak suara dan wewenang
b.
c.
JENDERAL POLISI Drs. TIMUR PRADOPO selaku Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, berkedudukan di Jalan Trunojoyo Nomor 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA. BASRIEF ARIEF selaku Jaksa Agung Republik Indonesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, berkedudukan di Jalan Sultan Hasanudin 1, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut PIHAK KETIGA.”
18 Pasal 2 NK Penanganan Tipibank.
6
19 Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), dan Pasal 10 s.d Pasal 12 NK Penanganan Tipibank. 20 Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) NK Penanganan Tipibank. 21 Pasal 5 NK Penanganan Tipibank. 22 Pasal 6 ayat (1) NK Penanganan Tipibank.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
memutus,23 sedangkan anggota tidak tetap Tim
memutus,27 sedangkan anggota tidak tetap Tim Kerja
Pleno Tingkat Pusat memberikan masukan kepada
Tingkat Pusat dapat hadir pada rapat Tim Kerja
anggota tetap Tim Pleno Tingkat Pusat.24
Tingkat Pusat dan memberikan masukan kepada anggota tetap Tim Kerja Tingkat Pusat sepanjang
Tim Pleno Tingkat Daerah terdiri atas Pemimpin Bank
ditunjuk oleh Ketua Tim Kerja Tingkat Pusat.28
Indonesia, Kepala Kepolisian Daerah, dan Kepala
Sementara Tim Kerja Tingkat Daerah terdiri atas
Kejaksaan
Tinggi.25
perwakilan masing-masing lembaga.29
Tim Pengarah atau Tim Pleno dapat melakukan siaran
Tim Kerja menyelenggarakan rapat sekurang-
pers terkait penanganan Tipibank sesuai dengan tugas
kurangnya dua kali dalam satu tahun untuk
dan wewenang masing-masing lembaga, dengan
mengevaluasi tindak lanjut atau perkembangan
mempertimbangkan dampak bagi kelangsungan
penanganan dugaan Tipibank yang sedang diproses
usaha bank dan industri perbankan pada umumnya.
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Kejaksaan Republik Indonesia.
Tim Kerja dibagi menjadi Tim Kerja Tingkat Pusat yang menyelenggarakan rapat sekurang-kurangnya
Dalam rangka pelaksanaan dari NK Penanganan
empat kali dalam setahun dan Tim Kerja Tingkat
Tipibank, maka diterbitkan ketentuan pelaksana
Daerah yang menyelenggarakan rapat sekurang-
yang mengatur pelaksanaan koordinasi, yaitu
kurangnya dua kali dalam setahun.
Petunjuk Pelaksanaan No.13/10/KEP. DpG/2011; No.B/4768/XII/2011/Bareskrim; No.Kep-04/E/EJP/12/
Tim Kerja Tingkat Pusat terdiri atas anggota tetap dan anggota tidak
tetap.26
2011; No.Juk 12/F/Fsp/12/ 2011 tanggal 19 Desember
Anggota tetap Tim Kerja
2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi
Tingkat Pusat mempunyai hak suara dan wewenang
Penanganan Tindak Pidana Perbankan. Petunjuk Pelaksanaan yang mengatur antara lain persiapan dan pelaksanaan Rapat Tim Koordinasi, tata cara
23 Pasal 6 ayat (2) NK Penanganan Tipibank yang berbunyi: “Anggota tetap Tim Pleno Tingkat Pusat mempunyai hak suara dan wewenang memutus, terdiri atas empat anggota, yaitu: a. Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia yang membawahkan Bidang Investigasi; b. Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia; c. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia; d. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Republik Indonesia.” 24 Pasal 6 ayat (3) NK Penanganan Tipibank yang berbunyi: “Anggota tidak tetap Tim Pleno Tingkat Pusat memberikan masukan kepada anggota tetap Tim Pleno Tingkat Pusat, terdiri atas delapan anggota, yaitu: a. Direktur Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia; b. Direktur Hukum Bank Indonesia; c. Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya dan sekitarnya; d. Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta; e. Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus pada Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia; f. Direktur Tindak Pidana Korupsi pada Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia; g. Direktur Tindak Pidana Umum Lainnya pada Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia; dan h. Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia.” 25 Pasal 7 ayat (1) NK Penanganan Tipibank. 26 Pasal 8 ayat (1) NK Penanganan Tipibank.
pelaksanaan koordinasi meliputi antara lain pembahasan dugaan Tipibank, pelaporan dugaan
27 Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) NK Penanganan Tipibank yang menyatakan bahwa Tim Kerja Tingkat Pusat terdiri atas 17 anggota, yaitu Kepala Biro Investigasi Perbankan Bank Indonesia, sebagai Ketua, dan beranggotakan perwakilan dari masing-masing lembaga Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan RI. 28 Pasal 8 ayat (6) NK Penanganan Tipibank yang menyatakan bahwa terdiri atas 9 (sembilan) anggota dari perwakilan masing-masing lembaga. 29 Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) NK Penanganan Tipibank yang berbunyi: “(1) Tim Kerja Tingkat Daeraj terdiri atas sebanyak-banyaknya tujuh anggota, yaitu: a. Deputi Pemimpin Bank Indonesia yang membawahkan Bidang Perbankan; b. Pejabat Kantor Bank Indonesia yang membawahkan Bidang Perbankan dan/atau Pejabat Kantor Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi Sekretariat Tingkat Daerah; c. Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah; d. Kepala Sub Direktorat yang menangani Perbankan pada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah; e. Asisten Tindak Pidana Umum pada Kejaksaan Tinggi; dan f. Asisten Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi. (2) Tim Kerja Tingkat Daerah diketuai oleh Deputi Pemimpin Bank Indonesia yang membawahkan Bidang Perbankan.”
7
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Tipibank, penyediaan saksi dan ahli, pemblokiran
agreement. An implied agreement resulting from
rekening, penyitaan uang dan dokumen, tukar
the express terms of another agreement, whether
menukar informasi, evaluasi, kegiatan lainnya, dan
written or oral.31
siaran pers. Wikipedia menyatakan bahwa: A Memorandum of D. KEKUATAN MENGIKAT NOTA KESEPAHAMAN
Understanding is a document describing a bilateral or multilateral agreement between parties. It expresses
Jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana
a convergence of will between the parties, indicating
diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1)
an intended common line of action. It most often is
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang
used in cases where parties do not intend to imply a
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdiri
legal commitment. It is a more formal alternative to
dari UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/
a gentlemen's agreement. In some cases, depending
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
on the exact wording, MoUs can have the binding
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
power of a contract; as a matter of law, contracts do
Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/
not need to be labeled as such to be legally binding.
Kota, dan Peraturan yang dikeluarkan oleh MPR/DPR/
Whether or not a document constitutes a binding
DPD/MA/MK/BPK/KY/BI/Menteri/badan/lembaga atau
contract depends only on the presence or absence
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-
of well-defined legal elements in the text proper of
Undang/Pemerintah atas perintah Undang-Undang/
the document (the so-called "four corners"). This can
DPRD Provinsi/Gubernur/DPRD Kabupaten/Kota/
include express disclaimers of legal effect, or failure
Bupati/Walikota/Kepala Desa atau yang setingkat.
of the MoU to fulfill the elements required for a valid
Kekuatan hukum mengikat peraturan perundang-
contract (such as lack of consideration in common
undangan adalah sesuai dengan hierarkinya. Artinya,
law jurisdictions). For example, a binding contract
Nota Kesepahaman bukan merupakan salah satu
typically must contain mutual consideration - a legally
jenis peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya
enforceable obligations of the parties, and its formation
timbul suatu pertanyaan, jenis apakah Nota
must take place free of the so-called real defenses to
Kesepahaman? dan bagaimana kekuatan mengikat
contract formation (fraud, duress, lack of age or
dari suatu Nota Kesepahaman?
mental capacity, etc.).32
Nota Kesepahaman adalah sama dengan
MoU merupakan suatu dokumen hukum yang
Memorandum of Understanding (MoU) yang sering
menjelaskan persetujuan para pihak, namun MoU
menjadi dasar bagi suatu kerjasama diantara beberapa
tidaklah seformal sebuah perjanjian.
lembaga. Memorandum of Understanding dibuat antara subyek Memorandum of Understanding berasal dari kata
hukum yang satu dengan subyek hukum lainnya,
Memorandum dan Understanding. Pengertian
baik dalam suatu negara maupun antar negara untuk
Memorandum dalam Black’s Law Dictionary adalah
melakukan kerjasama dalam berbagai aspek kegiatan
a brief note, in writing, of some transaction or an
dengan jangka waktu tertentu. Dasar penyusunannya
outline of some intended instrument drawn up in
adalah sama dengan perjanjian atas dasar hasil
brief and compendious form.30 Sementara, pengertian Understanding adalah in the law of contracts, an 31 Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co, St Paul Minn, 1997, hlm.1526.
30 Black’s Law Dictionary, Third Edition, New York, 1991, hlm.295.
8
32 Dikutip pada http://en.wikipedia.org/wiki/Memorandum_of_understanding (14 Februari 2012).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
permufakatan para pihak. Namun demikian, MoU
MoU, atau LoI sering dirujuk sebagai MoU dan
bukanlah merupakan suatu perjanjian secara utuh,
demikian sebaliknya MoU sering dirujuk sebagai LoI.
namun merupakan suatu perjanjian pendahuluan,
MoU vice versa LoI sebagai perjanjian pendahuluan
dalam arti akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian
dan bukan sebagai suatu perjanjian yang formal
lain yang mengatur secara lebih terinci. Oleh
tercermin dalam pengertian dan karakteristik suatu
karenanya, MoU berisikan hal-hal yang pokok saja.
LoI, yaitu ”LoI is a document outlining an agreement
Dengan perkataan lain, MoU merupakan suatu
between two or more parties before the agreement
dokumen yang memuat saling pengertian di antara
is finalized. The concept is similar to a heads of
para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari MoU
agreement. Such agreements may be Asset Purchase
harus dimasukkan ke dalam perjanjian, sehingga MoU
Agreements, Share Purchase Agreements, Joint-
mempunyai kekuatan mengikat. Hal ini sesuai dengan
Venture Agreements and overall all Agreements which
pendapat beberapa pakar, yaitu Munir Fuady yang
aim at closing a financially large deal. LoI is resemble
menyatakan bahwa MoU merupakan perjanjian
written contracts, but are usually not binding on the
pendahuluan, yang nanti akan dijabarkan dan
parties in their entirety. Many LoI, however, contain
diuraikan dengan perjanjian lainnya yang memuat
provisions that are binding, such as non disclosure
aturan dan persyaratan secara lebih detail. Sebab itu
agreements, a covenant to negotiate in good faith,
materi MoU berisi hal-hal yang pokok saja. Selanjutnya,
or a “stand stil”l or “no-shop” provision promising
Erman Radjagukguk menyatakan bahwa MoU
exclusive rights to negotiate. A LoI may sometimes
merupakan dokumen yang memuat saling pengertian
be interpreted by a court of law as binding the parties
dan pemahaman para pihak sebelum dituangkan
to it, if it too closely resembles a formal contract.”35
dalam perjanjian yang formal yang mengikat kedua belah pihak. Oleh sebab itu muatan MoU harus
Namun demikian, terdapat perbedaan yang sepesifik
dituangkan kembali dalam perjanjian sehingga menjadi
antara MoU dan LoI, yaitu LoI menguraikan maksud
kekuatan yang mengikat.
dari salah satu pihak kepada pihak lainnya sehubungan dengan suatu perjanjian, dan dapat ditandatangani
Di Inggris, MoU sering dinamakan dengan concordat
hanya oleh pihak yang mempunyai maksud tersebut,
yang merupakan perjanjian sukarela (voluntary
sementara MoU harus ditandatangani oleh semua
agreement).33
pihak agar menjadi sah sebagaimana halnya suatu
Sementara dalam Hukum Perdata
Amerika, MoU biasanya dipersamakan dengan letter of intent
(LoI).34
perjanjian.
Tujuan lembaga menggunakan MoU
adalah untuk menetapkan koordinasi. LoI vice versa
Beberapa unsur yang terdapat dalam MoU adalah: (1) MoU merupakan perjanjian pendahuluan; (2) Materi muatan MoU merupakan hal-hal yang pokok;
33 Dikutip pada http://en.wikipedia.org/wiki/Memorandum_of_understanding (14 Februari 2012), An example is the 2004 The Concordat between bodies inspecting, regulating and auditing health or social care is a "voluntary agreement between organisations that regulate, audit, inspect or review elements of health and healthcare in England". It is made up of 10 objectives designed to promote closer working between the signatories. Each objective is underpinned by a number of practices that focus developments on areas that will help to secure effective implementation. The term is often used in the context of devolution, for example the 1999 concordat between the central Department for Environment, Food and Rural Affairs and the Scottish Environment Directorate. 34 Dikutip pada http://en.wikipedia.org/wiki/Memorandum_of_understanding (14 Februari 2012), In private U.S. law, MoU is a common synonym for a letter of intent. One example is the MoU between Bush and Kerry for the 2004 debates iii.
(3) Materi muatan MoU akan dituangkan lebih lanjut dalam perjanjian. Mengingat perjanjian (meskipun MoU dikategorikan sebagai perjanjian pendahuluan) berada dalam ranah Hukum Perdata, maka MoU tunduk pada ketentuan perikatan sebagaimana diatur dalam Buku Ke Tiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Artinya, syarat sahnya MoU
35 Dikutip http://en.wikipedia.org/wiki/Memorandum_of_understanding (14 Februari 2012),
9
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
sama dengan syarat sahnya suatu perjanjian
pengaturan MoU tunduk pada ketentuan perikatan
sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata,
dalam KUHPerdata. Dengan perkataan lain, MoU
yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
merupakan gentlemen’s agreement berisi pernyataan
(2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3)
kesepakatan dari para pihak yang pelaksanaannya
suatu hal yang tertentu; (4) suatu sebab yang halal.
didasarkan pada suatu itikad baik (good faith),
Perjanjian yang bertujuan untuk mengatur hubungan
sebagaimana halnya suatu gentlemen’s agreement
hukum dan melahirkan seperangkat hak dan
is generally an unsigned and unforceable agreement
kewajiban diantara para pihak, sehingga hanya
made between parties who expect its performance
mengikat para pihak yang mengadakan
kesepakatan,36
because of good faith.38 Mengingat MoU merupakan
mengakibatkan semua perjanjian yang dibuat secara
perjanjian pendahuluan dimana kesepakatan para
sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak
pihak hanya bersifat ikatan moral (moral obligation),
yang
membuatnya.37
maka harus ditindaklanjuti dengan perjanjian agar mengikat para pihak secara hukum. Apabila terjadi
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kekuatan
pelanggaran atau kelalaian atas MoU dari salah satu
mengikat dan memaksa suatu MoU dapat ditinjau
pihak, maka para pihak tidak dapat melakukan upaya
dari dua hal, yaitu perjanjian dan perjanjian
hukum.
pendahuluan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka NK Penanganan Dalam hal MoU disamakan dengan perjanjian, maka
Tipibank merupakan MoU yang disamakan dengan
MoU mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa
perjanjian pendahuluan atau merupakan gentlemen’s
yang sama dengan perjanjian, yaitu MoU yang dibuat
agreement yang hanya bersifat ikatan moral (moral
secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
obligation), dengan dasar penyusunan perjanjian atas
para pihak yang membuatnya, sebagaimana diatur
dasar hasil permufakatan Bank Indonesia, Kepolisian
dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Artinya, MoU yang
Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik
telah dibuat secara sah memenuhi persyaratan sesuai
Indonesia yang pelaksanaannya didasarkan pada
dengan Pasal 1320 KUHPerdata, maka MoU tersebut
itikad baik (good faith). Hal ini sesuai dengan praemisi
mempunyai kekuatan mengikat dapat disamakan
NK Penanganan Tipibank bahwa NK dilaksanakan
dengan sebuah Undang-Undang yang memiliki
sesuai dengan tugas dan wewenang para pihak
kekuatan mengikat dan memaksa atas muatan materi
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
dalam MoU. Apabila terjadi pelanggaran atau
undangan. Artinya pelaksanaan tugas dan wewenang
kelalaian atas MoU dari salah satu pihak, maka upaya
para pihak tetap berlandaskan pada peraturan
hukum yang dapat dilakukan adalah pihak yang lain
perundang-undangan bukan pada NK Penanganan
dapat melakukan upaya Hukum Perdata atas dasar
Tipibank. Dengan perkataan lain, NK Penanganan
wanprestasi.
Tipibank tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam pelaksanaan tugas dan wewenang para pihak.
Dalam hal MoU disamakan dengan perjanjian
Disamping itu untuk memperkuat bahwa NK
pendahuluan, sebagai bukti awal suatu kesepakatan
Penanganan Tipibank berbeda dengan perjanjian,
dengan muatan materi hal-hal pokok, serta harus
maka dapat ditinjau pula dari Pasal 31 ayat (1) Undang-
diikuti oleh perjanjian lain, maka MoU mempunyai
Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
kekuatan mengikat hanya sebatas moral, meskipun
dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang
36 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IX, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm. 9. 37 Lihat Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
10
38 Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co, St Paul Minn, 1997, hlm.686.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
menyatakan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan
4. Nota Kesepahaman Penanganan Tipibank
dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang
merupakan suatu MoU dengan bentuk
melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah
gentlemen’s agreement yang pelaksanaannya
Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau
didasarkan pada itikad baik (good faith), sehingga
perseorangan warga Negara Indonesia.39 Artinya,
mempunyai kekuatan mengikat secara moral
pengertian antara nota kesepahaman dibedakan
(moral obligation).
dengan perjanjian, karena disebutkannya keduanya
5. Apabila terjadi pelanggaran atau kelalaian atas
dalam satu klausul, sehingga bukan merupakan suatu
NK Penanganan Tipibank, maka para pihak tidak
kesetaraan.
dapat melakukan upaya hukum.
E. PENUTUP Berdasarkan uraian tersebut di atas, sebagai penutup dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Bank Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, oleh karenanya penanganan dugaan Tipibank memerlukan koordinasi dengan lembaga lain antara lain penegak hukum. 2. Koordinasi penanganan Tipibank ditetapkan dalam suatu Nota Kesepahaman antara Bank Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia. 3. Tujuan Nota Kesepahaman Penanganan Tipibank adalah untuk memperlancar, mempercepat, dan mengoptimalkan penanganan tipibank.
39 Pasal 31 Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan berbunyi: “(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam notakesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaganegara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembagaswasta Indonesia atau perseorangan warga negaraIndonesia. (2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimanadimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asingditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebutdan/atau bahasa Inggris.” Penjelasan Pasal 31 Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan berbunyi: “Ayat (1) Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat olehpemerintah dan negara, organisasi internasional, atau subjekhukum internasional lain. Perjanjian internasional ditulis dalambahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris.Khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional. Ayat (2) Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalambahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/ataubahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya.”
11
DAFTAR PUSTAKA
1. BPHN, Departemen Kehakiman, Laporan Akhir Penelitian Masalah-Masalah Hukum Kejahatan Perbankan, BPHN, Jakarta, 1992. 2. Marulak Pardede, Hukum Pidana Bank, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995 4. H.A.K. Moch. Anwar, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Cet.2, Alumni, Bandung, 1986 3. Muhammad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 5. N.H.T. Siahaan, Money Laundering & Kejahatan Perbankan, Edisi Ketiga, Cetakan Ketiga, Jala Permata, Jakarta, 2008 6. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Prof. Dr. Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IX, Mandar Maju, Bandung, 2011, 7. Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co, St Paul Minn, 1997, 8. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. 9. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009. 10. Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan 11. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
12
ASPEK HUKUM TRANSAKSI BISNIS PADA INTERNET BANKING Oleh : Prof. Dr Etty S.Suhardo, SH, MS *) Abstrak Pemanfaatan teknologi informasi dalam beberapa waktu terakhir sangat berkembang, khususnya pada pengelolaan informasi dan transaksi elektronik yang diakses melalui internet, kondisi ini mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perdagangan dan perekonomian nasional, khususnya dalam rangka menghadapi perdagangan bebas. Dalam perkembangnya industri perbankan sebagian besar telah menggunakan teknologi informasi dan media elektronik sebagai basis layanannya. Sesuai dengan tuntutan dari sebagian besar nasabah bank, pelayanan internet banking memberikan pelayanan berupa Anjungan Tunai Mandiri ( ATM) dan Short Message Service (SMS) Banking. Dalam kaitan hal ini perlu diperhatikan aspek hukum dari transaksi transaksi pada internet banking, SMS maupun ATM. Aspek hukum transaksi elektronik diawali dengan perjanjian yang dilakukan pada internet banking. Perjanjian tersebut dituangkan ke dalam kontrak elektronik yang mengikat para pihak (UU ITE Ps.18 (1) ), dengan demikian seperti yang diatur pada Ps 1338 KUH Pdt bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Keabsahan pada transaksi Internet Banking terletak pada Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 ayat (1) UU ITE)
A. PENDAHULUAN
semuanya sudah serba transparan yang mempengaruhi dunia perdagangan pada umumnya dan perbankan
Dunia pebankan saat ini telah berkembang
pada khususnya. Dalam upaya meningkatkan
sedemikian pesat, seiring dengan berkembangnya
pelayanan global, bank dituntut untuk mengakomodasi
bidang teknologi dan informasi. Perkembangan
kebutuhan nasabah, baik berupa sarana maupun
teknologi informasi yang sangat pesat tersebut telah
prasarana yang memadai, dengan berbasiskan
mempengaruhi sebagian besar bangsa di dunia,
perangkat teknologi.
termasuk masyarakat Indonesia yaitu adanya perubahan pola kehidupan yang terjadi hampir di
Sejalan dengan berkembangnya industri perbankan
semua bidang, baik sosial, budaya, maupun bidang
sebagian besar telah menggunakan teknologi
politik dan ekonomi.
informasi dan media elektronik1 sebagai basis layanannya. Teknologi informasi telah digunakan
Pemanfaatan teknologi informasi yang berkembang khususnya pada pengelolaan informasi dan transaksi elektronik yang diakses melalui internet mempunyai
*) Prof.Dr.Etty S.Suhardo, SH.MS, Staf Pengajar Fakultas Hukum UNDIP
peranan penting dalam meningkatkan perdagangan
1
dan perekonomian nasional, khususnya dalam rangka menghadapi perdagangan bebas. Saat ini dunia sudah mengglobal, tidak ada lagi batas-batas negara dan
Perkembangan teknologi informasi yang pesat telah merubah total sistem perbankan konvensional, pada sistem ini selalu diikuti dengan dokumen pada kertas tertentu disertai tanda tangan, dalam perkembangannya pada transaksi elektronik, dokumen tanpa kertas dan pesan-pesan elektronik dianggap sebagai dasar untuk keabsahan suatu transaksi perbankan, hal ini telah berlaku sebagai suatu kebiasaan.
13
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
sebagai salah satu pelayanan dari Bank, yang
Tujuan lain diantaranya untuk mempermudah para
menyediakan fasilitas bagi nasabah pengguna, berupa
pebisnis dalam melakukan transaksi-transaksi bisnis
tabungan, simpanan, dan fasilitas lain yang disediakan
sehingga lebih efektif dan efisien, karena dapat diakses
sebagai sarana yang saling menguntungkan bagi
secara mudah dan cepat.
pengguna fasilitas perbankan maupun bagi bank itu sendiri.
Perkembangan teknologi perbankan pada internet banking membuat pihak bank harus memperhatikan
Sesuai dengan tuntutan dari sebagian besar nasabah
aspek perlindungan nasabah khususnya keamanan
bank, pelayanan internet banking memberikan
yang berhubungan dengan privasi nasabah. Keamanan
pelayanan berupa Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
layanan online ada empat, yaitu: - keamanan koneksi
dan Short Message Service (SMS) Banking. Interaksi
nasabah, - keamanan data transaksi, keamanan
melalui teknologi tidak lagi secara fisikal sebagaimana
koneksi server, dan - keamanan jaringan sistem
yang telah dilakukan selama ini, namun interaksi
informasi dari server. Selain itu aspek penyampaian
tersebut dilakukan secara virtual yaitu bertransaksi
informasi produk perbankan sebaiknya disampaikan
pada dunia maya (cyberspace) yang berkolaborasi
secara proporsional, artinya bank tidak hanya
pada media komputer untuk mengakses data melalui
menginformasikan keunggulan atau kekhasan
internet2.
produknya saja, tapi juga sistem keamanan penggunaan produk yang ditawarkan.
Electronic Banking (e-banking) memberikan layanan melalui Internet, sehingga istilah yang digunakan
Saat ini msih banyak nasabah yang kurang yakin
adalah Internet Banking yaitu sebagai media alternatif
untuk menggunakan i-banking dengan berbagai
yang memberikan kemudahan-kemudahan bagi
alasan, karena masyarakat belum memahami apa dan
nasabah suatu bank hal ini menjadi solusi yang cukup
bagaimana i-banking. Tidak percaya pada kapasitas
efektif, yang tidak terlepas dari kelebihan-kelebihan
jaringan internetnya, jika banyak pihak yang mengakses
yang dimiliki oleh internet itu sendiri, dimana
pada bank yang sama dalam waktu yang bersamaan,
seseorang ketika ingin melakukan transaksi melalui
maka dimungkinkan akan bermasalah.
layanan i-banking, dapat melakukannya dimana dan kapan saja.
Keadaan tersebut sangat mempengaruhi nasabah bank yang tidak yakin untuk melakukan transaksi
Tujuan dari suatu bank dalam memperluas layanan jasanya melalui internet banking, antara
lain3:
1. Produk-produk yang lebih kompleks dari bank dapat ditawarkan dalam kualitas yang sama
elektronik, khususnya yang berhubungan dengan simpanan uangnya di kas bank, kekhawatirannya adalah salah tekan tombol, sehingga uangnya menghilang dari rekening Bank.
dengan biaya yang murah dan potensi nasabah yang lebih besar;
Nasabah bank sebagai pengguna i-banking, walaupun
2. Dapat melakukan hubungan di setiap tempat dan
belum semua nasabah memahami tentang rangkaian
dimana saja, baik pada waktu siang dan malam.
kegiatan yang dilakukan, akan tetapi untuk nasabah tertentu karena kebutuhan akan praktis dan efisiennya penggunaan i-banking, maka para nasabah pengguna i-banking tetap menggunakan i-banking dalam
2
Etty Susilowati Suhardo, Kemampuan Ilmu Hukum mengantisipasi Hak Kekayaan Intelektual pada Realitas Dunia Maya, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP, 6 Desember 2008, hal. 2.
3
Juergen Seitz dan Eberhard Stickel “Internet Banking: An Overview” http://www.arraydev.com/commerce
14
bertransaksi. Pada transaksi perbankan pada umumnya secara riil selalu ada dokumen-dokumen disertai tanda tangan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
petugas Bank dan nasabah yang bersangkutan serta
Pengertian transaksi electronik adalah:
cap dari Bank, sedangkan pada i-banking hanya ada
A transaction formed by electronic messages in which
dokumen-dokumen tanpa kertas (paperless) serta
of one or both parties will not be ret be reviewed by
pesan-pesan elektronik saja, tanpa ada tanda tangan,
an individual as an expected step in forming a
tanpa cap lembaga bank, untuk itu kita akan melihat
contract6.
bagaimana aspek hukum transaksi elektronik pada Internet Banking, khususnya meninjau dari segi hukum
Pada Undang-Undang Informasi dan Teknologi No.
keabsahan transaksi elektronik tersebut.
11 Tahun 2008, Pasal 1 point 1 pengertian informasi elektronik sebagai berikut:
B. Transaksi Electronic Commerce dan Internet
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan
Banking
data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
Transaksi bisnis senantiasa membutuhkan media bank
electronic data interchange (EDI), surat elektronic
yang berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur
(electronic mail), telegram, teleks, atau sejenisnya,
dana masyarakat, serta jasa-jasa Bank lainnya.
huruf, tanda, angka, kode, akses, simbol, atau perforasi
Pada perkembangannya bidang perbankan telah
yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat
menerapkan dan memanfaatkan media elektronik,
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
khususnya di dalam memberikan layanan kepada masyarakat luas, yaitu transaksi elektronik berupa
Pengertian yang dikemukakan oleh ECEG Australia,
layanan internet banking. Para pelaku bisnis
e-commerce adalah transaksi perdagangan melalui
bertransaksi untuk melakukan penawaran dan
media internet, juga meliputi media elektronik lainnya
permintaannya melalui perangkat lunak yang tersedia
seperti facsimile, EDI dan telepon. Pengertian ini
sehingga dapat bertransaksi di dunia maya.
mempunyai makna bahwa e-commerce pada suatu transaksi perdagangan dapat dilakukan melalui
Transaksi bisnis melalui e-commerce merupakan
internet, hal ini seperti yang dikemukakan oleh UU
kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen
Informasi dan Teknologi No. 11 Tahun 2008, tentang
(consumers), manufaktur (manufactures), services
Informasi Elektronik meliputi semua data elektronik,
providers dan pedagang perantara (intermediateries)
yang dikemukakan secara luas, sedang menurut ECEG
dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer
lebih singkat, akan tetapi mempunyai makna yang
yaitu
internet4.
Pengertian e-commerce adalah
sama.
pembelian dan penjualan barang dan jasa konsumen melalui online di internet. Model transaksi seperti ini
Pemahaman informasi elektronik menurut penulis
dikenal dengan istilah transaksi e-commerce.
lebih tepat seperti yang dikemukakan oleh UU ITE Pasal 1 point 1, hanya perlu ditambahkan bahwa
Istilah e-commerce menurut ECEG (Electronic
untuk mengakomodasi perkembangan teknologi
Commerce Expert Group)
secara luas hendaknya disebutkan uraian jenis
Electronic Commerce is a broad concept that covers
teknologi yang digunakan, sehingga mempunyai
any commercial transaction that is effected via
makna yang cukup luas, utamanya supaya hukum
electronic means and would include such means as
dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi,
faxcimile, telex, EDI, internet and the telephone5.
walaupun demikian jenis informasinya tetap harus disebutkan untuk mendapatkan kepastian hukum.
4
Abdulhalim Barkatulah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2005 hal. 10.
5
http: //www. Law.gov.au/aghome/advisory/eceg/single.htm diakses 10 Oktober 2011.
6
Ibid, 1999, page 530.
15
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat
umum sebagai berikut:
disimpulkan bahwa rangkaian kegiatan bisnis dapat
-
dilakukan melalui transaksi elektronik, walaupun
Trading partners berkomunikasi tentang bisnis dilakukan atas dasar kebutuhan dan kepercayaan.
sama sekali tidak menyebutkan tentang “program
-
Pertukaran yang dilakukan berulang-ulang dan
komputer”, sehingga dapat menimbulkan pertanyaan
berkala, dengan format data yang telah disepakati,
apakah rangkaian kegiatan tersebut termasuk dalam
menggunakan system dan standar yang sama,
pengertian informasi elektronik.
-
Para pelaku bisnis tidak harus menunggu partners untuk mengirimkan data,
Menurut Undang-Undang Hak Cipta No.19 Tahun
-
Model yang digunakan adalah peer to peer dimana
2002, program komputer termasuk pada Hak cipta
processing intelegence dapat didistribusikan pada
atas ciptaan (Pasal 30), secara harfiah yang dimaksud
kedua pelaku bisnis7.
dengan hak cipta atas komputer adalah : “suatu program yang dibuat untuk tujuan tertentu sesuai
Karakteristik dari para pelaku bisnis kepada konsumen
dengan program yang dikehendaki, sehingga
dengan sistem e-banking diantaranya mempunyai
memungkinkan komputer melakukan fungsi tertentu”.
ciri-ciri sebagai berikut:
Pada UU ITE rumusan tentang Informasi Elektronik
-
Informasi terbuka untuk umum
-
service yang diberikan bersifat umum, sehingga
yang diakses melalui komputer termasuk program
mekanisme dapat digunakan oleh umum,
komputer merupakan sekumpulan data elektronik,
-
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
service diberikan atas dasar permintaan konsumen, yang telah disediakan oleh jasa-jasa Bank
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
-
pendekatan dilakukan client-server, pihak
interchange (EDI), surat elektronic (electronic mail),
konsumen sebagai klien menggunakan sistem
telegram, teleks, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
yang minimal (berbasis web) dan penyedia barang
kode, akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah,
atau jasa (bussines procedure) berada pada pihak
hal ini akan mempunyai makna yang multitafsir,
server,
apakah juga termasuk program komputer. Menurut penulis program komputer termasuk juga disini,
Peran strategis dalam upaya meningkatkan pelayanan
walaupun diciptakan khusus untuk program tertentu,
i-banking sebagai sarana yang memadai dalam
hal ini mempunyai makna yang cukup luas sehingga
transaksi bisnis untuk mengakomodasi kebutuhan
memungkinkan komputer melakukan fungsi tertentu.
para nasabah bank, sebagian besar bank saat ini mengandalkan teknologi informasi dan media
Ruang lingkup e-commerce meliputi tiga aspek, yaitu:
elektronik sebagai basis layanannya. Masyarakat pada
1. bussines to bussines (sistem komunikasi bisnis
umumnya dan pebisnis pada khususnya merasa lebih
antara para pelaku bisnis).
aman setelah terbitnya Undang-Undang No. 11 Tahun
2. bussines to consumer (sistem komunikasi antara
2008, tentang Informasi dan transaksi elektronik,
pebisnis dengan konsumen)
walaupun masih minim yang mengatur tentang
3. consumer to consumer (sistem komunikasi antar
bisnis, akan tetapi ketentuan ini setidaknya dapat
konsumen).
melengkapi Undang-Undang Perbankan, sehingga dapat melindungi masyarakat yang menggunakan
Dari ke tiga ruang lingkup e-commerce tersebut,
e-commerce dalam rangka kepastian hukum yang
e-banking termasuk pada lingkup sistem komunikasi
sangat dibutuhkan pada transaksi bisnis.
antara pelaku bisnis dan sistem komunikasi antara pebisnis dan konsumen. Karakteristik antara para pelaku bisnis pada e-banking mempunyai ciri-ciri
16
7
Dianalisis dari Onno W Purbo, Aang Arif Wahyudi Mengenal E-Commerce, 2001 PT. Elax Media Komputerindo, Jakarta. 2001 hal. 5 - 7.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Pihak perbankan saat ini telah berlomba-lomba untuk
Ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut
memberikan pelayanan yang terbaik bagi nasabahnya
merupakan aturan yang dapat digunakan sebagai
dan bahkan tidak menutup kemungkinan dengan
dasar kesepakatan para pihak, sedangkan
internet banking, keuntungan (profits) dan pembagian
perjanjian itu sendiri menjadi tolok ukur untuk
pasar (marketshares) akan semakin besar dan luas,
menentukan sejauh mana kewenangan dan
disamping keuntungan tersebut internet banking
tanggung jawab para pihak. yaitu hak dan
memiliki beberapa kelemahan yang ditandai dengan
kewajiban masing-masing pihak.
banyaknya modus kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dalam
Pada layanan Internet Banking, perjanjian antara
hal ini pihak perbankan seringkali tidak dapat
pihak bank dengan nasabah tidak berbeda dengan
mengatasi secara cepat, walaupun sudah merugikan
perjanjian pada umumnya. Pihak bank telah
pihak nasabah Bank.
membuat syarat dan ketentuan yang dibakukan pada suatu formulir perjanjian (dalam hal ini
C. Aspek Hukum Transaksi Bisnis pada Internet Banking,
termasuk syarat dan ketentuan yang terdapat dalam screen ATM dari bank yang bersangkutan dan situs internet bank yang bersangkutan) untuk
1. Perjanjian Dasar pada Internet Banking
disetujui oleh nasabah, hampir tidak memberikan kebebasan kepada pihak nasabah untuk
Perjanjian antara bank dengan nasabah, dapat
melakukan negosiasi atas syarat dan ketentuan
dilihat dari formulir yang dibuat oleh pihak Bank
tersebut, dalam hal ini take it or leave it bagi
dan diisi oleh nasabah pengguna, selanjutnya
pengguna i-banking, karena Bank lain yang
ditanda tangani sebagai tanda setuju atas syarat-
menawarkan hal yang sama masih banyak, tinggal
syarat yang dikemukakan oleh pihak bank.
pilih yang sesuai dengan keinginannya.
Kesepakatan yang tercantum pada isi formulir pendaftaran ditentukan bahwa bank menerima
Bagi nasabah yang sudah setuju dengan syarat
dan menjalankan setiap instruksi dari nasabah
dan ketentuan tersebut secara sukarela telah
sebagai instruksi yang sah berdasarkan
mengikatkan diri, maka dianggap bahwa nasabah
penggunaan user ID dan PIN.
telah melakukan kesepakatan dengan pihak bank. Konfirmasi dari nasabah dalam melakukan
Perjanjian dasar pada Internet Banking senantiasa
transaksi pada i-Banking adalah ketika nasabah
mengacu pada Pasal 1338 KUH Pdt, Pasal 1313
menekan tombol "kirim". Untuk itu nasabah tidak
KUH Pdt dan 1320 KUH Pdt. Bank tidak
dapat membatalkan semua transaksi yang telah
mempunyai kewajiban untuk meneliti atau
diinstruksikan kepada bank, kecuali instruksi
menyelidiki keaslian maupun keabsahan atau
tersebut dibatalkan oleh nasabah dengan menekan
kewenangan pengguna user ID dan PIN atau
tombol "batal" sebelum nasabah menekan tombol
menilai maupun membuktikan sebaliknya. Untuk
"kirim".
melakukan instruksi transaksi finansial nasabah harus memasukkan PIN sebagai tanda persetujuan.
Pasal 1320 KUH Perdata tentang sah nya perjanjian
Instruksi tersebut bersifat sah dan mengikat
sebenarnya tidak mempermasalahkan media yang
nasabah pada saat transmisi diterima oleh pihak
digunakan dalam transaksi, dengan kata lain Pasal
bank, walaupun pelaksanaannya baru terjadi
1320 KUH Perdata tidak mensyaratkan bentuk
pada saat bank telah mendapat konfirmasi dari
dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi,
nasabah mengenai instruksi transaksi yang ingin
dengan demikian dapat saja dilakukan secara
dilakukan.
langsung oleh para pihak maupun secara elektronik.
17
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Pada asas kebebasan berkontrak yang dianut KUH
berhak untuk menikmati fasilitas Internet
Perdt, para pihak dapat dengan bebas menentukan
Banking.
dan membuat suatu perjanjian yang dilakukan
b. Untuk dapat menggunakan fasilitas Internet
dengan itikad baik, sebagaimana disebutkan dalam
Banking tersebut, nasabah harus memiliki
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
identitas pengguna Internet Banking (user ID) dan Personal Identification Number (PIN) yang
Ditinjau dari Undang-Undang tentang Dokumen
diperoleh pada saat nasabah melakukan
Perusahaan dalam, melaksanakan kegiatan
registrasi di mesin ATM tersebut.
transaksi bisnis dapat dilakukan dengan corak
c. User ID yang diberikan pihak bank bersifat
apapun seperti yang tersirat pada Pasal 1 angka
permanen dan tidak dapat diubah kecuali
2 Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang
nasabah mengganti kartu yang dapat digunakan
Dokumen Perusahaan yang menyebutkan bahwa:
untuk melakukan transaksi perbankan di ATM
“Data, catatan, dan/atau keterangan yang dibuat
karena rusak atau hilang. Sehingga pihak yang
atau diterima oleh perusahaan dalam rangka
dapat menggunakan fasilitas Internet Banking
pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis di atas
yang ditawarkan pihak bank penyedia layanan
kertas atau sarana lain maupun terekam dalam
Internet Banking tersebut hanya nasabah bank
bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca
yang bersangkutan saja. Untuk itu nasabah
atau didengar”.
tersebut harus tunduk pada ketentuanketentuan yang telah disepakati bersama dengan pihak bank8.
Pada Pasal 12 ayat (1) dan (2) Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa: a) Dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam
Ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut
mikrofilm atau media lainnya.
merupakan aturan yang dapat digunakan sebagai
b) Pengalihan dokumen perusahaan ke dalam
landasan atau dasar, sedangkan perjanjian itu
mikrofilm atau media lainnya sebagaimana
sendiri menjadi tolok ukur untuk menentukan
dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan sejak
sejauh mana kewenangan dan tanggung jawab
dokumen tersebut dibuat atau diterima oleh
masing-masing pihak.
perusahaan yang bersangkutan. Pada layanan Internet Banking, nasabah dan bank Berdasarkan ketentuan tersebut dan dikaitkan
yang setuju dan sepakat menggunakan layanannya
dengan Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUH
harus mematuhi syarat dan ketentuan yang telah
Pdt maka transaksi melalui media elektronik
ditetapkan dalam perjanjian, karena syarat dan
adalah sah menurut hukum, demikian juga pada
ketentuan tersebut bersifat mengikat dan sah
Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan
demi hukum. Dalam hal salah satu pihak di dalam
yang menyebutkan dapat dialihkan pada dokumen
perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak
lainnya.
lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur
Pada perjanjian internet banking, disebutkan
hukum yang berlaku.
mengenai persyaratan nasabah untuk menggunakan fasilitas internet banking yang ditawarkan oleh
Perjanjian Internet Banking dibuat dalam bentuk
bank tersebut. Adapun persyaratan tersebut berupa:
formulir-formulir yang telah dibakukan secara
a. Setiap nasabah yang menyimpan dana di bank dan mempunyai kartu yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi perbankan di ATM,
18
8
http://www.internetbanking.html/virtual_banks/, hoc. Cit. Diakses Tanggal 21 Oktober 2011,
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
cermat dan rinci. Dalam perjanjian Internet
Kedudukan nasabah disini sangat lemah sehingga
Banking, isinya direncanakan terlebih dahulu oleh
ia menerima saja aturan dan syarat-syarat yang
pihak bank. Nasabah tinggal menyetujuinya saja
disodorkan oleh pihak bank, karena jika tidak
apabila nasabah bersedia menerima aturan atau
demikian tidak akan mendapatkan pelayanan jasa
ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
Internet Banking. Hal ini menunjukkan ketidak
serta yang ditetapkan terlebih dahulu secara
seimbangan antara pihak bank dengan pihak
sepihak oleh bank.
nasabah di dalam membuat perjanjian dahulu dengan pihak yang lain, tetapi para pihak dianggap
Setelah formulir diisi oleh nasabah tersebut,
telah menyetujuinya.
selanjutnya hanya tinggal memilih untuk menerima atau menolak menggunakan jasa
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 8
internet banking di bank tersebut. Nasabah tidak
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mempunyai kewenangan untuk mengajukan
maka perjanjian dengan klausula baku telah
syarat-syarat yang diinginkannya, perjanjian baku
dilarang. Larangan membuat atau mencantumkan
yang sifatnya “take it or leave
it”9.
tanpa ada
klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
negosiasi sebelumnya. Perjanjian yang demikian
perjanjian diatur dalam Pasal 18 ayat (1), berupa:
itu dinamakan perjanjian standar atau perjanjian
a) Menyatakan pengalihan tanggung jawab
baku10.
pelaku usaha. b) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya telah
menolak penyerahan kembali barang yang
dibakukan dan dituangkan dalam suatu bentuk
dibeli konsumen.
formulir. Dapat juga dikatakan bahwa perjanjian
c) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
baku adalah suatu perjanjian yang berlaku dan
menolak penyerahan kembali uang yang
akan mengikat antara pihak yang saling
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
berkepentingan dan yang isinya dituangkan dalam
dibeli konsumen.
suatu bentuk tertentu yang dijadikan tolak ukur
d) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen
oleh pihak yang satu tanpa membicarakan isinya
kepada pelaku usaha baik secara langsung
terlebih dahulu.
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
Pengertian klausula baku terdapat dalam Pasal 1 point 10 Undang -Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. e) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen. f) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk
suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Yang
harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek
dibakukan dalam perjanjian tersebut adalah
jual beli jasa.
klausul-klausulnya bukan perjanjiannya”.
g) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
9
Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal. 53.
10 Ibid 2001
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
19
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
h) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa
pada dunia usaha, walaupun demikian diperlukan
kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
batasan-batasan tertentu sehingga adanya
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
keseimbangan bagi para pihak yang terkait.
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Pada perjanjian Internet Banking antara bank dengan nasabah banyak ditemukan syarat-syarat
Pasal 18 ayat (2)
baku yang sangat merugikan kepentingan nasabah
“pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula
tersebut. Perjanjian dengan syarat-syarat baku
baku yang letaknya atau bentuknya sulit terlihat,
yang telah memuat syarat-syarat yang membatasi
atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
kewajiban kreditur. Syarat ini dinamakan eksonerasi
pengungkapannya sulit dimengerti”.
klausul, hal ini berarti tanggung jawab salah satu pihak yang dibatasi.
Pasal 18 ayat (3) dinyatakan bahwa: “setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh
Beban tanggung jawab yang mungkin diberikan
pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
oleh peraturan perundang-undangan dihapus
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
terhadap penyusun perjanjian dengan syarat-
pada ayat (1) dan (2) dinyatakan batal demi
syarat eksonerasi11. Hal ini dapat ditemui dalam
hukum”.
perjanjian Internet Banking berupa: (1) Bank tidak bertanggung jawab terhadap
Diberlakukannya Undang-undang No. 8 Tahun
segala akibat apapun yang timbul karena
1999 tentang Perlindungan Konsumen,
ketidaklengkapan, ketidakjelasan data atau
memberikan pemahaman bahwa perjanjian
ketidaktepatan instruksi dari nasabah.
dengan klausula baku telah dilarang khususnya
Sehingga ini menjadi tanggung jawab nasabah
tentang segala sesuatu yang pengungkapannya
yang melakukan transaksi Internet Banking
sulit dimengerti dan apabila dilakukan maka
itu sendiri.
perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum
(2) Bank tidak bertanggung jawab atas segaia
(Pasal 18 ayat (3). Hal Ini merupakan penegasan
kegagalan pengiriman informasi ke alamat
kembali akan sifat kebebasan berkontrak yang
e-mail nasabah yang terjadi bukan karena
diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yo Pasal
kesalahan atau kelalaian Bank.
1337 KUH Perdata. Artinya perjanjian yang
(3) Bank tidak berkewajiban untuk menyimpan
memuat klausula baku dilarang oleh Pasal 18
dan/atau mengirimkan ulang informasi yang
ayat (1) atau yang memiliki format seperti ayat
gagal dikirim ke alamat e-mail nasabah.
(2), UUPK No. 8 Tahun 1999 dianggap tidak pernah ada dan mengikat para pihak.
Bank dapat mengelak atas semua tanggung jawab, sekiranya Bank dapat membuktikan bahwa
Pada kenyataannya perjanjian ini masih
kesalahan bukan pada pihak Bank, sehingga
dipergunakan oleh dunia usaha, bahkan telah
nasabah harus menanggung semua transaksi atas
menjadi kebiasaan bisnis termasuk dalam perjanjian
kasalahannya.
Internet Banking, walaupun larangan yang sulit dipahami oleh konsumen sebagai klausula baku
Hubungan kontraktual antara bank dengan
tidak ditaati oleh pihak pembuat perjanjian yang
nasabah merupakan suatu bentuk kontrak
tentunya ada pada pihak yang lebih kuat. Untuk itu eksistensi perjanjian baku masih tetap eksis karena cukup praktis dan masih tetap dibutuhkan
20
11 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Cet. I, Jakarta : Daya Widya,1999 ,hal. 104
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
campuran, yaitu disatu pihak terjadi kontrak pada sisi lain memperlihatkan ciri-ciri perjanjian
2. Keabsahan Perjanjian pada Transaksi Internet Banking
pemberian kuasa (lastgeving), sebagaimana diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata. Hal ini tercantum
Transaksi bisnis secara on line yang menggunakan
dalam perjanjian Internet Banking, bahwa nasabah
internet banking secara yuridis maupun ekonomis
memberikan kuasa kepada bank untuk mendebet
sebenarnya sangat riskan, terlalu banyak risiko
rekening nasabah sesuai dengan transaksi yang
yang timbul, baik bagi lembaga perbankan
diinstruksikan nasabah dan untuk pembayaran
maupun bagi nasabah bank, utamanya hal ini
biaya atas transaksi. Pemberian kuasa oleh
ketika belum diberlakukannya UU ITE No. 11
nasabah ini tidak akan berakhir selama nasabah
Tahun 2008 yaitu tentang validitas keabsahan
masih memiliki kewajiban terhadap bank.12
dari pesan elektronik sebagai alat bukti seperti yang dimaksud oleh Buku ke IV BW dan HIR/Rbg.
Pemberian kuasa yang diberikan oleh nasabah
Alat bukti mempunyai peran yang sangat sentral
kepada Bank sesuai dengan kuasa yang diberikan
dalam memberikan keamanan dan sarana
kepada Bank, sehingga diberlakukan Pasal-Pasal
perlindungan pada transaksi elektronik.
1792 sampai dengan Pasal 1819 KuH Pdt, tentang pemberian kuasa.
Pesan elektronik digunakan pada transaksi elektronik berupa “massage” yang dikirim dan
Perjanjian antara Bank dan nasabah pengguna
langsung ada yang menerima, maka validitasnya
internet Banking akan berakhir sesuai dengan
dianggap sah menurut hukum apabila electronic
perjanjian yang dilakukan, seperti juga yang diatur
massage yang dimaksud masih utuh artinya tidak
pada Pasal 1381 KUH Perdata, Perikatan hapus
ada yang mengubah substansinya, sehingga
karena adanya: 1. pembayaran, 2. penawaran
penerima akan percaya penuh atas massage yang
pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan
dikirim oleh pengirim. Informasi elektronik dapat
atau penitipan, 3. pembaharuan utang, 4.
berupa data elektronik, pesan electronik (electronic
perjumpaan utang atau kompensasi, 5.
massage) dan rekam elektronic (electronic record).
pencampuran utang; 6. pembebasan utang; 7. musnahnya barang yang terutang, 8. kebatalan
Electronic Massage yang dikirim dan diterima oleh
atau pembatalan, 9. berlakunya suatu syarat
pihak lain maksudnya adalah merupakan data
pembatalan dan 10. karena kadaluwarsa.
yang diakses, dan digunakan dalam ruang lingkup komersial perdagangan, sepanjang sudah ada
Berakhirnya perjanjian antara bank dan nasabah
kata penerimaan oleh pihak penerima massage
pengguna internet banking menunjukkan bahwa
(yang diajukan oleh pihak pengirim), maka sudah
tidak ada lagi hubungan hukum diantara
terjadi kata sepakat, sehingga informasi elektronik
keduanya. Nasabah akan mengakhiri penggunaan
sudah dianggap sah. Pada UU ITE terdapat pada
kartu ATM dan menutup semua rekening yang
Pasal 6, diantaranya dikatakan bahwa:
terhubung pada kartu ATM yang disediakan oleh
“........informasi elektronik dan/atau Dokumen
layanan internet Banking, maka e-mail yang
elektronik dianggap sah, sepanjang informasi yang
diterima oleh nasabah berakhir satu bulan setelah
tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan,
layanan internet banking berakhir.
dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan”. Pelayanan jasa internet bagi nasabah Bank
12 Ibid hal. 126
memberikan layanan perbankan yang dapat
21
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
diakses secara langsung sesuai kebutuhan,
Ditinjau dari segi perbankan pemanfaatan layanan
sehingga memudahkan dalam melakukan transaksi
internet banking menjadikan lembaga perbankan
di segala bidang. Aktivitas pelayanan jasa internet
tidak lagi memerlukan pengembangan kantor
diatur melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor
baru atau wilayah layanan baru, dimana biaya
6/18/DPNP/2004 tentang Penerapan Manajemen
yang diperlukan sangat besar. Persepsi ini
Risiko, yang dimaksud dengan Internet banking
didukung semata-mata karena adanya inovasi
adalah:
pada perusahaan yang memungkinkan
“Salah satu pelayanan jasa bank yang akan
berinteraksinya secara lebih baik dan sekaligus
memungkinkan nasabah untuk memperoleh
dapat mempromosikan layanannya sendiri14.
informasi, melakukan komunikasi dan melakukan transaksi perbankan melalui jaringan internet dan
Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
bukan merupakan bank yang menyelenggarakan
dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum
layanan perbankan melalui internet, sehingga
yang sah (Pasal 5 ayat (1) UU ITE), apabila ditinjau
pendirian dan kegiatan Internet Online Bank tidak
dari Hukum Pembuktian Perdata berarti bahwa
diperkenankan.”
essensi perdagangan pada e-commerce terletak pada informasi elektronik dan electronic signature
Layanan yang diberikan internet banking kepada
sebagai kunci pengamanannya. Keabsahan
nasabah berupa transaksi pembayaran tagihan,
electronic signature (termasuk digital signature)
informasi rekening, pemindah bukuan antar
sama dengan tanda tangan biasa karena belum
rekening, informasi terbaru mengenai suku bunga
ada acuan baku untuk menandatangani sesuatu
dan nilai tukar valuta asing, administrasi mengenai
dengan menggunakan tinta berbasis kertas,
perubahan Personal Identification Number (PIN),
Keabsahan suatu tanda tangan pada dasarnya
alamat rekening atau kartu, data pribadi dan lain-
adalah berhubungan dengan otentisitas, keaslian
lain, terkecuali pengambilan uang atau penyetoran
suatu akta, dokumen atau surat.
uang, karena pengambilan yang masih memerlukan layanan ATM dan penyetoran uang masih
Pada perjanjian yang dilakukan pada e-commerce
memerlukan bantuan bank cabang lainnya13.
dikatakan bahwa transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/18/DPNP/2004
para pihak (UU ITE Pasal 18 (1)), dengan demikian
tentang Penerapan Manajemen Risiko Pasal 1,
seperti yang diatur pada Pasal 1313 KUH Pdt
menyebutkan bahwa:
bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
“Internet banking merupakan suatu pemanfaatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
media internet oleh bank untuk mempromosikan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
dan sekaligus melakukan transaksi secara online, baik produk yang sifatnya komersial maupun yang
Perjanjian tersebut “Sah” apabila memenuhi syarat
baru. Internet banking merupakan salah satu
seperti yang tercantum pada Pasal 1320 KUH Pdt,
pelayanan perbankan tanpa cabang, yaitu berupa
yaitu:
fasilitas yang akan memudahkan nasabah untuk
1. Syarat subyektif yang meliputi kata sepakat
melakukan transaksi perbankan tanpa perlu datang ke kantor cabang”.
dan cakap bertindak, 2. Syarat obyektif berisi hal tertentu dan kausa yang halal,
13 Ono W Purbo dan Aang Arif Wahyudi, Mengenai E-Commerce, Jakarta, Elex Media Komputindo, 2001, hal. 85.
22
14 Budi Agus Riswandi, Hukum Dan Internet Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta. hal. 15.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Pada sahnya suatu perjanjian apabila diterapkan
elektronik, bukan bagian dari substansi/transaksi
pada transaksi e-commerce,
dari suatu kontrak, hanya sebagai bagian dari bentuk
1. Kesepakatan dapat terjadi bilamana masing-
transaksi. Untuk e-commerce hal ini berlaku juga
masing pihak (pengirim dan penerima data)
yaitu berupa digital signature sebagai sandi dari
melakukan pernyataan kehendaknya atas
informasi elektronik (kriptografi). Pesan/tanda
penawaran dan penerimaan yang akan
elektronik dalam transaski elektronik diamankan
menimbulkan hubungan hukum, walaupun
dengan proses enkripsi, sehingga data/pesan tersebut
kedua orang yang bertransaksi tersebut tidak
disamarkan dan tidak terbaca oleh pihak lain, hanya
saling bertemu muka.
akan terbaca melalui proses deskripsie.
2. Cakap bertindak untuk bertransaksi, pada Pasal 1329 KUH Pdt disebutkan bahwa setiap orang
Pada transaksi e-commerce digital signature tidak
cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika
berbasis kertas, digital elektronic tidak dapat
ia oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tak
dipalsukan, sehingga dapat menjamin keaslian serta
cakap. Pada transaksi e-commerce syarat ini
mencerminkan keutuhan data yang dikirim oleh
harus dipenuhi, walaupun masing-masing tidak
pengirim kepada penerima.
saling bertatap muka. 3. Hal tertentu diatur pada Pasal 1333 KUH Pdt,
Ditinjau dari Pasal 164 HIR (Ps. 283 Rbg) dan Pasal
Suatu perjanjian mempunyai sebagai pokok,
1866 KUH Pdt, alat bukti yang dapat dihadirkan
suatu barang yang paling sedikit ditentukan
sebagai alat bukti di Pengadilan, diantaranya pada:
jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa
1. alat bukti tertulis, 2. bukti dengan saksi, 3.
jumlah barang tidak tentu, asal jumlah itu
persangkaan-persangkaan, 4. pengakuan, dan 5.
terkemukakan dapat ditentukan atau dihitung.
sumpah. Pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dinyatakan
Pada transaksi e-commerce, obyek hukum yang
bahwa yang termasuk dalam katagori alat bukti
ditawarkan harus ada dalam arti jelas dan riil
adalah: 1. keterangan saksi, 2. keterangan ahli, 3.
apa yang menjadi obyek hukum perjanjian.
surat, 4.petunjuk, 5. keterangan terdakwa.
4. Sebab yang halal, tentu saja pada transaksi e-commerce tidak boleh bertentangan dengan
Pasal-Pasal yang menyangkut alat bukti diatas
Undang-Undang dan kepentingan umum.
memperlihatkan bahwa digital signature tidak ada pada katagori tersebut, hal ini akan sulit apabila ada
Esensi kontrak sebagai suatu perjanjian selalu
sengketa antara pengirim dan penerima pesan/data,
harus memenuhi empat syarat tersebut diatas,
sehingga keberadaan digital signature sebagai alat
selanjutnya mengikat para pihak. Demikian juga
bukti secara hukum masih ambivalensi untuk suatu
pada e-commerce, kontrak tersebut mengikat dan
kebenaran tanda tangan elektronik.
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, dalam pelaksanaannya harus tetap dibatasi oleh
Ditinjau dari UU ITE No. 11 Tahun 2008, diharapkan
itikad baik, sebelum, selama ataupun berakhirnya
mampu mengakomodir penggunaan tanda tangan
suatu kontrak. Apapun bentuk dan media dari
digital sebagai alat bukti di Pengadilan, khususnya
kesepakatan tersebut, tetap berlaku dan mengikat
seperti yang tercantum pada Pasal 11 dan 12 UU ITE
para pihak karena perikatan tersebut merupakan
dengan kriteria dan persyaratan serta pengecualian
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
tertentu. Pasal 11 ayat (2) UU ITE, dinyatakan bahwa:
(Pasal 1338 ayat (1)).
“Ketentuan lebih lanjut tentang tanda tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pada setiap kontrak senantiasa dibubuhi tanda tangan
diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
para pihak.Tanda tangan tersebut menunjukkan kesepakatan para pihak dan berfungsi sebagai
Hanya saja sampai pada saat ini belum ada Peraturan
pengakuan dan penerimaan atas isi informasi
yang secara spesifik mengatur tentang tanda tangan
23
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
digital sepertii yang dimaksud oleh Pasal 11 ayat
jawab yang harus dipenuhi oleh bank sebagai pemberi
(2)’ sehingga belum dapat meyakinkan para pihak
layanan Internet Banking antara lain:
pada penggunaan tanda tangan digital tersebut,
1. Pengamanan terhadap data-data nasabah
walaupun demikian sampai saat ini tetap digunakan
Pengamanan ini bertujuan untuk menghindari
dalam pelaksanaan transaksi bisnis secara on line,
penggunaan data nasabah oleh pihak yang tidak
bahkan saat ini semakin marak bisnis on line tersebut,
bertanggung jawab dengan melakukan kegiatan
selain cukup praktis juga saling menguntungkan.
yang diluar wewenang, terutama melakukan transaksi finansial tanpa sepengetahuan nasabah
Pada perjanjian internet banking telah ditentukan layanannya akan berakhir jika nasabah mengakhiri
pemilik data. 2. Bank bertanggung jawab terhadap setiap
penggunaan kartu ATM dan menutup semua rekening
pemberian perintah dari nasabah, wajib
yang terhubung di kartu ATM pada bank penyedia
melaksanakan setiap perintah yang diberikan
layanan Internet Banking tersebut. Selain itu, dengan
oleh nasabah dalam penggunaan fasilitas Internet
berakhirnya layanan Internet Banking, maka e-mail
Banking tanpa harus memeriksa kebenaran
yang diterima oleh nasabah akan berakhir satu bulan
identitas nasabah tersebut. Hal ini yang membuat
setelah layanan internet banking berakhir.
bank selalu menganjurkan kepada nasabah untuk selalu berhati-hati pada saat menggunakan
Hubungan hukum antara bank dan nasabah terdapat
fasilitas Internet Banking, karena apabila data
pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
nasabah bersangkutan digunakan oleh pihak lain
Perlindungan Konsumen, sejak tahun 2001 aspek
maka hal tersebut merupakan tanggung jawab
pengaturan perbankan diperluas dengan aspek
dari nasabah yang bersangkutan.
perlindungan dan pemberdayaan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa bank. Undang-Undang
Dalam penggunaan teknologi sistem informasi
perlindungan konsumen diberlakukan guna melakukan
terdapat risiko yang bersifat teknis dan khusus yang
perbaikan-perbaikan pada sistem perbankan, khususnya
berbeda dengan penggunaan sistem manual. Risiko
untuk kepentingan para pengguna jasa perbankan.
yang dimaksud antara lain resiko kekeliruan pada tahap pengoperasian, risiko akses oleh pihak yang
Fasilitas Internet Banking yang dihadirkan oleh suatu
tidak berwenang, risiko kehilangan dan risiko
bank mempunyai tanggung jawab yang harus
kerusakan data. Selain itu kemungkinan adanya
dipenuhi bank. Tanggung jawab maksudnya disini
pengacakan dari para “hacker”, yang membuat
adalah suatu keadaan yang membuat bank wajib
pengguna internet kebingungan dalam mengakses
memenuhi standar keamanan dan kenyamanan
transaksi-transaksi yang dilakukan.
dalam pemberian layanan kepada nasabah pengguna fasilitas Internet Banking.
Tanggung jawab penanggulangan risiko dalam transaksi Internet Banking dicantumkan dalam
Tanggung jawab di dalam jasa perbankan yang berupa
ketentuan Force Majeure, dinyatakan bahwa nasabah
Internet Banking dapat dilihat dari Undang-Undang
pengguna akan membebaskan bank dari segala
No. 8 tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen,
tuntutan apapun, dalam hal ini bank tidak dapat
dari segi standar keamanan dan kenyamanan dalam
melaksanakan perintah dari nasabah pengguna (baik
pemberian layanan kepada nasabah pengguna
sebagian maupun seluruhnya), karena kejadian
fasilitas Internet Banking. Bank mempunyai beberapa
kejadian atau sebab-sebab di luar kekuasaan atau
tanggung jawab yang harus dijalankannya.
kemampuan bank dan tidak terbatas pada segala gangguan virus computer atau system Trojan Horses
24
Kegagalan terhadap pelaksanaan tanggung jawab
atau komponen membahayakan yang dapat
dapat memberikan akibat dan berpengaruh terhadap
mengganggu layanan Internet Banking, web browser
kredibilitas bank sebagai pemberi layanan. Tanggung
atau computer sistem bank, nasabah atau Internet
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Services Provider, karena bencana alam, perang,
Bank wajib menyelenggarakan sistem yang lancar
keadaan peralatan, sistem atau transmisi yag tidak
untuk menjalankan perintah nasabah. Selain itu,
berfungsi, gangguan listrik, gangguan telekomunikasi,
bank juga sudah mendapat hak dari nasabah berupa
kebijakan pemerintah, serta kejadian-kejadian atau
kuasa untuk mendebet rekening nasabah untuk
sebab-sebab lain di luar kekuasaan atau kemampuan
pembayaran administrasi maupun biaya transaksi.
bank15.
Pemberian kuasa tersebut memberikan kebebasan kepada bank untuk mendebet dalam batas yang
Pada pelaksanaan tanggung jawab terhadap Internet
wajar sesuai dengan kebutuhan bank dalam
Banking, peristiwa Force Majeur dapat terjadi
menyelenggarakan transaksi secara lancar.
sewaktu-waktu, karena merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya, hal ini dapat digunakan
Hak bank telah dipenuhi oleh nasabah, maka nasabah
sebagai alasan terjadinya wanprestasi bagi para
berhak pula mendapatkan pemenuhan kewajiban
pihak yang terkait. Dalam hal ini, pihak bank tidak
bank secara lancar dan tepat waktu. Jika kewajiban
ingin dipersalahkan, karena menurutnya peristiwa
bank tidak dipenuhi, maka nasabah dapat menuntut
server down timbul di luar kemauan dan kemampuan
bank atas dasar wanprestasi yang bukan terjadi
pihak bank.
karena Force Majeur, melainkan kesalahan bank.
Server down dapat digolongkan ke dalam Force
D. Kesimpulan
Majeur yang bersifat subjektif/relative dan sementara. Bersifat subjektif karena penyediaan kualitas akses
1. -
Aspek hukum transaksi elektronik diawali dengan
server tergantung pada pihak bank. Bank masih
perjanjian yang dilakukan pada internet banking.
mungkin menyediakan kualitas akses server yang
Perjanjian tersebut dituangkan ke dalam kontrak
lebih baik dan lebih terjamin, agar bank dapat
elektronik yang mengikat para pihak (UU ITE
memenuhi perintah dari setiap nasabah dengan
Ps.18 (1)), dengan demikian seperti yang diatur
lancar. Hal ini bank mempunyai konsekuensi, harus
pada Ps 1338 KUH Pdt bahwa semua perjanjian
mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
operasionalnya. Bersifat sementara karena transaksi
undang bagi mereka yang membuatnya.
tidak menjadi batal tetapi akan diproses kembali setelah sistem normal.
-
Kesepakatan antara bank dan nasabah, dapat dilihat pada substansi formulir pendaftaran yaitu
Force Majeur yang terjadi karena server down
bahwa bank menerima dan menjalankan setiap
merupakan yang bersifat subjektif/relatif, maka
instruksi dari nasabah sebagai instruksi yang sah
seharusnya bank sebagai penyedia layanan internet
berdasarkan penggunaan user ID dan PIN.
banking dapat mengadakan sistem (Internet System Program) yang menjamin kelancaran proses transaksi.
-
Pesan elektronik digunakan pada transaksi
Hal ini berkaitan dengan kewajiban dan hak bank
elektronik berupa “massage” yang dikirim dan
yang tercantum dalam syarat dan ketentuan maupun
langsung ada yang menerima, maka validitasnya
perjanjian. Bank telah menyatakan kemampuannya
dianggap sah menurut hukum apabila electronic
untuk menerima dan menjalankan setiap perintah
massage yang dimaksud masih utuh artinya tidak
dari nasabah pengguna dan pelanggan16.
ada yang mengubah substansinya, sehingga penerima akan percaya penuh atas massage yang dikirim oleh pengirim. Informasi elektronik dapat
15 Syarat dan Ketentuan Internet Banking, bagian VI diakses tanggal 22 Oktober 2011. 16 Syarat dan Ketentuan Internet Banking., bagian III No. 6 Diakses tanggal 22 Oktober 2011.
berupa data elektronik, pesan electronik (electronic massage) dan rekam elektronic (electronic record).
25
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
2. -
Keabsahan pada transaksi Internet Banking terletak pada Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 ayat (1) UU ITE), apabila ditinjau dari Hukum Pembuktian Perdata berarti bahwa essensi perdagangan pada e-commerce terletak pada informasi elektronik dan electronic signature sebagai kunci pengamanannya. Keabsahan electronic signature (termasuk digital signature) sama dengan tanda tangan biasa karena belum ada acuan baku untuk menandatangani sesuatu dengan menggunakan tinta berbasis kertas, Keabsahan suatu tanda tangan pada dasarnya adalah berhubungan dengan otentisitas, keaslian suatu akta, dokumen atau surat.
-
Tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh bank pada fasilitas yang diberikan Internet Banking adalah suatu keadaan yang membuat bank wajib memberikan pelayanan maksimal pada standar keamanan dan kenyamanan kepada nasabah pengguna fasilitas Internet Banking.
26
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Ronald A. Business Law, South Western Pblishing Co. Ohio: Cincinnati, 1978. Abdulhalim Barkatulah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2005. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti Bandung, 1999 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Cet. I, Jakarta: Daya Widya,1999. Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Bandung, Alumni, 1994. Budi Agus Riswandi, Hukum Dan Internet Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta. Djoni S.Gazali, dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Etty Susilowati, Kemampuan Ilmu Hukum mengantisipasi Hak Kekayaan Intelektual pada Realitas Dunia Maya, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP, 6 Desember 2008. Fuady, Munir, Arbitrase Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. Harahap, M Yahya, ADR Merupakan Jawaban Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Masa Depan, Yogyakarta 2003. Kamelo, Tan, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung Karen, et.al, “Internet Banking: Developmentand Prospect,” Program on Information Resources Policy, Harvad University, 2002. Ono W Purbo dan Aang Arif Wahyudi, Mengenai E-Commerce, Jakarta, Elex Media Komputindo, 2001.
Interenet http://www.internetbanking.html/virtual_banks/, hoc. Cit. Juergen Seitz dan Eberhard Stickel “Internet Banking: An Overview” http://www.arraydev.com/commerce
27
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, edisi ke 27, PT.Pradnya Paramita, Jakarta. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan juncto Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/18/DPNP/2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko.
28
TELAAH ATAS EKSISTENSI LEMBAGA PENGAWAS DAN PENGATUR MENURUT UU PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG, UU BANK INDONESIA DAN UU OTORITAS JASA KEUANGAN Oleh : Dr. Go Lisanawati, SH, MH, Fakultas Hukum Universitas Surabaya
Abstrak Tindak pidana pencucian uang atau Money Laundering pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan yang tidak hanya mengancam suatu negara tertentu saja, tetapi sudah meluas menjadi ancaman serius bagi seluruh bangsa. Indonesia melalui berbagai peraturan perundang-undang menunjukkan komitmen untuk serius di dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang,. Hal ini dilakukan dengan melakukan perubahan atas Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, menjadi Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (yang selanjutnya disebut dengan UU PPTPPU). Pasal 1 angka 17 UU PPTPPU mengatur bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Pengawas dan Pengatur adalah lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan, pengaturan, dan/atau pengenaan sanksi kepada Pihak Pelapor. Bagi sektor Perbankan, berdasarkan UU Bank Indonesia, maka yang ditetapkan sebagai LPP adalah Bank Indonesia. Dalam perkembangannya berdasarkan UU Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan beralih ke Otoritas Jasa Keuangan. Eksistensi Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud di dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 sebenarnya memerlukan deskripsi kewenangan, batasan persinggungan tanggungjawab dan bentuk koordinasi lembaga terkait dengan PPATK.
A. Pendahuluan
oleh Pemerintah negara-negara dunia untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
Tindak Pidana Pencucian Uang bukanlah suatu tindak
uang menjadi suatu perhatian menarik dari
pidana yang biasa dan yang tidak memerlukan banyak
masyarakat. Goodwill dari Pemerintah dan seluruh
energi untuk memberantasnya. Perkembangan tindak
bangsa-bangsa di dunia untuk mencegah dan
pidana pencucian uang bukanlah semakin berkurang,
memberantas tindak pidana ini harus didukung oleh
melainkan semakin meningkat dan berkembang
seluruh komponen dan elemen masyarakat, berikut
pesat. Tidak sedikit upaya terpadu yang telah diambil
perangkat hukum dan peraturan-peraturannya.
oleh masyarakat Internasional, Regional, maupun Nasional untuk melakukan pencegahan dan
Tindak pidana pencucian uang atau Money Laundering
pemberantasannya. Setiap upaya yang diusahakan
pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan yang
29
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
tidak hanya mengancam suatu negara tertentu saja,
Melihat sifat meluasnya tindak pidana pencucian
tetapi sudah meluas menjadi ancaman serius bagi
uang, N.H.T Siahaan memberikan penjelasan:
seluruh bangsa. Chibuike U. Uche memandang Money
“Berhubung money laundering merupakan salah satu
Laundering dari suatu perspektif yang menarik untuk
aspek kriminalitas yang berhadapan dengan individu,
dipahami, sebagai berikut:
bangsa, dan negara maka pada gilirannya, sifat money laundering menjadi universal dan menembus batas-
This is because money laundering is truly an
batas yurisdiksi negara, sehingga masalahnya bukan
international phenomenon. Money launderers are
saja nasional, tetapi juga masalah regional dan
always looking for ways of disguishing the true source
internasional...2”. Alasan-alasan yang dikemukakan
of their wealth. Some developing countries have
dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak
characteristic that money launderes find attractive.
pidana pencucian uang yang saat ini giat dilakukan
Understanding the social, political and economic
oleh seluruh pemerintah negara-negara di dunia
environment of these developing countries is therefore
adalah terkait dengan sifat kriminalitas yang dimiliki
a vital ingridient in the war against money
dari tindak pidana pencucian uang. Setiap pencucian
laundering... It argues that the greatest danger to
uang pada hakikatnya hendak mencuci uang-uang
the success of international efforts to tackle money
yang diperoleh dari harta kekayaan.
laundering is the ever increasingly disparity in the structure of the financial systems of both developed
Salah satu hal yang membuat negara-negara peduli
and developing countries. The greatest threat to the
dengan upaya pencegahan dan pemberantasan
business of laundering is documentation. Even after
tindak pidana pencucian uang adalah bahwa negara-
the launderers have beaten the system, their success
negara akan menjadi self victim atas tindak pidana
well be
temporary.1
tersebut. Dengan atau tanpa persetujuan, negara akan tetap menjadi korban atas tindak pidana
Tindak pidana pencucian uang yang berdimensi
pencucian uang apabila tindak pidana tersebut tetap
internasional sesungguhnya juga terkait dengan
berlangsung, langsung ataupun tidak langsung.
karakteristik nasionalnya. Konsekuensi logis yang terjadi bahwa sesungguhnya upaya pencegahan dan
Sebagaimana dipahami dalam konstruksi pencucian
pemberantasan tindak pidana pencucian uang
uang adalah mengenai sulitnya mengurai tahapan di
membutuhkan perspektif nasional, sebagai negara
dalam tindak pencucian uang yang sangat kompleks
berkembang dengan kebutuhannya sendiri, di tengah-
pada setiap tahapannya. Hal tersebut mengakibatkan
tengah pergulatan dimensi internasionalnya, yang
memang tidak mudahnya mengungkapkan mengenai
banyak dipengaruhi oleh insight dari negara maju.
tindak pidana pencucian uang. Tahapan pencucian
Perspektif internasional di tengah keberagaman
uang pada hakikatnya terbagi menjadi 3 tahap, yaitu:
perspektif nasional akan mempengaruhi tingkat
a. Placement atau penempatan; b. Layering atau
keberhasilan pencegahan dan pemberantasan tindak
pelapisan; dan c. Integration atau integrasi. Yang
pidana pencucian uang.
dimaksud dengan Placement menurut Sutan Remy Sjahdeini dijelaskan sebagai: “tahapan untuk
1
Namun demikian di sisi lain tetap perlu dipahami
menempatkan uang haram ke dalam sistem keuangan
bahwasanya tindak pidana pencucian uang juga
(financial system)”3 Pada tahap Placement, uang yang
sudah berkembang dengan sangat meluas.
telah ditempatkan di dalam sistem keuangan akan
Chibuike U. Uche. “Money Laundering: A View From a Developing Country”, Papers, disseminate in The 9th International Anti-Corruption Conference, downloaed from http://9iacc.org/papers/days2/ws7/d2ws7_ cuuche.html
30
2
N.H.T Siahaan. 2008. Money Laundering dan Kejahatan Perbankan. Jala, Jakarta, h. 3
3
Sutan Remy Sjahdeini. 2007. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, h.33
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
dapat dipindahkan ke bank lain, baik bank yang ada
UU PPTPPU). Beberapa materi yang diatur di dalam
di dalam domestik, maupun bank di luar negeri.
UU PPTPPU ini menunjukkan beberapa perubahan
Tahap Layering, atau pelapisan, menurut Adrian
pentinguntuk memenuhi kepentingan nasional dan
Sutedi, dimaknakan sebagai “memisahkan hasil
standar Internasional. Pada penjelasan Umum UU
tindak pidana dari sumbernya, yaitu tindak pidananya
PPTPPU, materi perubahan tersebut antara lain
melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk
mengenai pengukuhan penerapan prinsip mengenali
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
Pengguna Jasa; perluasan Pihak Pelapor; dan penataan
dana.”4 Pada tahap layering terjadi suatu proses yang
mengenai Pengawasan Kepatuhan. Yunus Husein
ditujukan untuk melakukan pemindahan atas suatu
menjelaskan bahwa sasaran pembentukan Undang
dana yang berasal dari beberapa rekening atau
Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang baru,
tempat lainnya, yang dihasilkan dari tahap placement
salah satunya adalah “meningkatkan koordinasi
sebelumnya. Tahap terakhir adalah yang disebut
penegakan hukum dalam pencegahan dan
dengan tahap Integration. Menurut Adrian Sutedi,
pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”6,
Integration adalah “upaya menggunakan harta
dengan mengingat inti dari permasalahan yang ada
kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati
di dalam TPPU yaitu meluasnya jenis kejahatan lanjutan
langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk
ini, yang secara signifikan membawa dampak atas
kekayaan materiil atau keuangan, dipergunakan
stabilitas dan integritas sistem keuangan nasional.
untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, maupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana”.5
Berdasarkan penjelasan Umum UU PPTPPU, terdapat
Berdasarkan penjelasan tersebut, apapun yang
beberapa hal penting yang perlu dibahas lebih
dilakukan oleh para pelaku kejahatan untuk mencuci
mendalam, yaitu terkait dengan adanya upaya
uang hasil kejahatannya, hal terakhir yang harus
penataan mengenai pengawasan kepatuhan, dan
dilakukan adalah dapat mempergunakan harta-harta
pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna
yang sudah nampak sah tersebut untuk melakukan
jasa. Lembaga pengawas dan pengatur sebelumnya
kegiatannya. Selalu ada hasil yang diharapkan dengan
belum pernah dikenal eksistensinya, tetapi dengan
dilakukannya pencucian uang.
diberikannya kewenangan untuk mengawasi kepatuhan dari pihak Pelapor, Lembaga Pengawas
Indonesia melalui berbagai peraturan perundang-
dan Pengatur memperoleh fungsi penting. Salah satu
undang menunjukkan komitmen untuk serius di dalam
lembaga tersebut adalah Bank Indonesia. Dimana
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
kedudukan Bank Indonesia sebagai pengawas
uang, sekalipun tidak dipungkiri bahwa jenis tindak
penyedia jasa keuangan bank.
pidana ini juga semakin banyak terjadi di Indonesia. Salah satu kehendak baik yang dilakukan oleh
Yang menjadi isu hukum untuk dibahas di dalam
Pemerintah Indonesia adalah melakukan perubahan
tulisan ini adalah mengenai fungsi pengawasan dan
atas Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
pengaturan oleh Bank Indonesia dalam rangka
Perubahan atas Undang Undang Nomor 15 Tahun
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, menjadi
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencucian Uang untuk Penyedia Jasa Keuangan, dan
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
terkait pula dengan keberadaan Orotitas Jasa
Pencucian Uang (yang selanjutnya disebut dengan
Keuangan.
4
Adrian Sutedi. 2008. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung, Citra Aditya Bakti, h. 19 - 20
5
Ibid, h. 21
6
Yunus Husein. 2010. “Langkah Progresif Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010”. Makalah, disampaikan pada Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi Tahun 2010, Surabaya, Hotel Bumi, 2-3 Desember 2010, h. 5
31
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
B. Fungsionalisasi Lembaga Pengawas dan Pengatur dan Koordinasinya dengan PPATK
dengan Pihak Pengguna Jasa, yaitu pihak yang menggunakan Jasa Pihak Pelapor. (vide Pasal 1 angka 12 UU PPTPPU). Berdasarkan ketentuan-ketentuan
Pasal 1 angka 17 UU PPTPPU mengatur bahwa yang
tersebut memunculkan interpretasi ganda, yaitu: (i).
dimaksud dengan Lembaga Pengawas dan Pengatur
Apakah semua Pihak Pelapor wajib melaporkan
adalah lembaga yang memiliki kewenangan
kepada PPATK secara langsung?; dan (ii). Apakah
pengawasan, pengaturan, dan/atau pengenaan sanksi
Pihak Pelapor yang telah memiliki LPP juga harus
kepada Pihak Pelapor. Definisi tersebut memberikan
melaporkan kepada PPATK?. UU PPTPPU belum secara
penjabaran bahwasanya diberlakukannya UU PPTPPU
jelas membedakannya, sehingga seolah-oleh
telah memberikan suatu pengaturan mengenai
memunculkan tumpang tindih kewenangan antara
adanya lembaga baru dengan tugas, fungsi dan
LPP dengan PPATK. Apakah posisi PPATK berada di
kewenangan yang meliputi pengawasan, pengaturan,
atas dibandingkan dengan LPP, ataukah berada sejajar.
bahkan menjatuhkan sanksi bagi Pihak Pelapor yang
Beberapa ketentuan pasal di atas menunjukkan betapa
melanggar ketentuan. Fungsi yang dilakukan oleh
sulitnya menjalankan fungsi pengawasan, pengaturan,
Lembaga Pengawas dan Pengatur (selanjutnya disebut
audit kepatuhan, bahkan pengenaan sanksi tersebut.
dengan LPP) adalah untuk melakukan Pengawasan
Konstruksi koordinasi yang bagaimanakah yang dapat
Kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
dilakukan oleh instansi tersebut.
angka 18 UU PPTPPU. Untuk pelaksanaan fungsi ini, UU mengamanatkan dilakukan oleh LPP dan PPATK.
Mengenai Pihak Pelapor, Bab IV UU PPTPPU tentang Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan menjelaskan
Menilik ketentuan di atas memberikan suatu
mekanisme pelaporan dan pengawasan kepatuhan.
pemahaman bahwa eksistensi LPP tidaklah berdiri
Yang dimaksud dengan Pihak Pelapor pada hakikatnya
secara sendirian, tetapi berdampingan dengan PPATK,
meliputi 2 kelompok, yaitu kelompok Penyedia Jasa
yang berdasarkan ketentuan Pasal 40 huruf b, juga
Keuangan, dan Penyedia Barang dan/atau Jasa
melaksanakan fungsi pengawasan kepatuhan atas
lainnya. (Vide Pasal 17 UU PPTPPU).
pihak pelapor. Namun demikian UU PPTPPU tidak secara eksplisit metegaskan mengenai pemisahan
Tugas LPP sebagaimana telah ditentukan di dalam
ataupun pembagian kewenangannya. Ketentuan
Pasal 18 UU PPTPPU pada hakikatnya meliputi
Pasal 30 ayat (1) dan (2) hanya menegaskan bahwa
penetapan mengenai ketentuan prinsip mengenali
sejauh LPP itu belum terbentuk, maka PPATK yang
Pengguna Jasa. Lembaga ini pula yang berkewajiban
akan mengenakan sanksi administratif kepada pihak
untuk melaksanakan pengawasan kepatuhan Pihak
Pelapor. Ketentuan tersebut hanya memberikan
Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali
penekanan atas pengenaan sanksi administratif,
Penguna Jasa. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat
padahal LPP berfungsi pula melakukan pengawasan
(1) UU PPTPPU, tugas dari LPP selanjutnya adalah
dan pengaturan.
menjatuhkan sanksi administratif kepada Pihak Pelapor.
Yang dimaksud dengan Pihak Pelapor berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 UU PPTPPU adalah setiap
Ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU PPTPPU kembali
Orang yang menurut Undang-Undang ini wajib
menegaskan bahwasanya dalam hal belum
menyampaikan laporan kepada PPATK. Yang
terbentuknya LPP, maka yang berkewajiban
dimaksud dengan setiap Orang adalah orang
mengenakan sanksi administratif kepada Pihak
perseorangan atau Korporasi (vide Pasal 1 angka 9
Pelapor adalah PPATK. Penegasan dari Pasal 30 ayat
UU PPTPPU). Di sisi lain, UU PPTPPU juga
(3) UU PPTPPU, memberikan penjelasan mengenai
memperkenalkan pihak lain, yaitu yang disebut
sanksi administratif apa saja yang dapat dikenakan
32
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
oleh PPATK. Namun demikian tidak jelas bentuk
Dengan demikian dapat dijelaskan koordinasi antara
sanksi administratif apa saja yang dapat dikenakan
Lembaga Pengawas dan Pengatur terhadap PPATK
oleh LPP.
dapat bersifat koordinatif horizontal dan koordinatif vertikal.
Eksistensi LPP menurut UU PPTPPU juga ditunjukkan melalui fungsi Pengawasan Kepatuhan. Ketentuan
C. Penguatan Customer Due Diligence dan Enhance
Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU PPTPPU mengatur
Due Diligence Dalam Tindak Pidana Pencucian
mengenai fungsi pengawasan kepatuhan sebagaimana
Uang
dimaksudkan di dalam Pasal 17 ayat (1) tersebut dilakukan LPP. PPATK baru akan bertindak sebagai
Salah satu instrumen penting di dalam mencegah
lembaga yang melaksanakan fungsi pengawasan
dan memberantas tindak pidana pencucian uang
kepatuhan apabila belum terdapat atau terbentuk
adalah bagaimana setiap sektor bisnis, baik oleh
lembaga pengawas dan pengatur tersebut. Hasil
Penyedia Jasa Keuangan berupa bank ataupun non
pelaksanaan Pengawasan Kepatuhan yang telah
bank, dan juga Penyedia Barang dan/atau Jasa dapat
dilaksanakan oleh LPP harus disampaikan kepada
mengenali pengguna jasanya. Istilah Pengguna Jasa
PPATK.
ini lebih luas dibandingkan dengan istilah nasabah yang ada di dalam undang-undang tindak pidana
Berdasarkan ketentuan Pasal 32 UU PPTPPU dapat
pencucian uang yang sebelumnya. Makna pengguna
dipahami bahwa sebenarnya terdapat koordinasi
jasa ini akan meliputi secara keseluruhan atas orang
yang harus dilakukan oleh LPP dengan PPATK.
yang menjadi nasabah di dalam suatu kegiatan
Koordinasi tersebut berupa suatu kewajiban yang
perbankan, maupun pembeli pada kegiatan sektor
harus dilaksanakan oleh LPP dalam hal ditemukannya
lainnya.
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang tidak dilaporkan oleh Pihak Pelapor kepada PPATK, maka
Istilah yang sebenarnya sama yang dipergunakan
Lembaga Pengawas dan Pelapor itulah yang harus
sebagai instrumen untuk penerapan UU di bidang
menyampaikan laporannya kepada PPATK. Secara
pencucian uang adalah prinsip mengenali nasabah
umum, ketentuan Pasal 33 UU PPTPPU mengatur
(know your customer principle), atau dalam terjemahan
bahwasannya LPP sangat berkewajiban untuk
lain juga disebut dengan prinsip mengenali Pengguna
memberitahukan perihal kegiatan ataupun Transaksi
Jasa. Beberapa pengaturan mengenai KYC yang sudah
Pihak Pelapor yang diketahuinya atau patut diduganya
ada, antara lain Peraturan Bank Indonesia Nomor
dilakukan baik langsung ataupun tidak langsung
3/10/PBI/2001 tentang Prinsip Mengenal Nasabah
dengan maksud untuk melakukan Tindak Pidana
dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001
Pencucian Uang.
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Prinsip Mengenal Nasabah; Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan
Hasil Pengawasan Kepatuhan
Analisis Transaksi Keuangan Nomor 2/1/Kep.PPATK/2003 tentang Pedoman Umum Pencegahan dan
LPP
PPATK
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Bagi Penyedia Jasa Keuangan; Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor 2/4/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Identifikasi
Pihak Pelapor
Transaksi Keuangan Mencurigakan bagi Penyedia Jasa Keuangan; Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan
Skema 1: Hubungan antara Pihak Pelapor - LPP - PPATK
Analisis Transaksi Keuangan Nomor
33
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
2/6/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Tata Cara
Rekomendasi tersebut menyatakan:
Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan bagi
“The customer due diligence (CDD) measures to be
Penyedia Jasa Keuangan; Keputusan Kepala Pusat
taken are as follows:
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor
a) Identifying the customer and verifying that
3/I/KEP.PPATK/2004 tentang Pedoman Laporan
customer’s identity using reliable, independent
Transaksi Keuangan Tunai dan Tata Cara Pelaporannya
source documents, data or information
Bagi Penyedia Jasa Keuangan.
b) Identifying the beneficial owner, and taking reasonable measures to verify the identity of the
Pasal 18 UU PPTPPU yang mengatur mengenai
beneficial owner such that the financial institution
penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa
is satisfied that it knows who the beneficial owner
meletakkan kewajiban kepada LPP untuk menetapkan
is. For legal persons and arrangements this should
ketentuan mengenai Prinsip Mengenali Pengguna
include financial institutions taking reasonable
Jasa. Jacky Uly dan Bernard L. Tanya menambahkan
measures to understand the ownership and
bahwa: “setiap LPJK (Lembaga Penyedia Jasa
control structure of the customer.
Keuangan, cetak miring oleh penulis) dianjurkan untuk senantiasa melakukan identifikasi terhadap para nasabah/klien, dan menolah setiap tranaksi yang mencurigakan”.7
Untuk itu Pihak Pelapor wajib
c) Obtaining information on the purpose and intended nature of the business relationship. d) Conducting ongoing due diligence on the business relationship and scrutiny of transactions undertaken
menerapkan prinsip tersebut. Untuk itu pula LPP yang
throughout the course of that relationship to
wajib melaksanakan pengawasannya atas kepatuhan
ensure that the transactions being conducted are
Pihak Pelapor di dalam menerapkan prinsip Mengenali
consistent with the institutions knowledge of the
Pengguna Jasa. Hanya saja tidak secara tegas
customer, their business and risk profile, including,
dinyatakan dan digambarkan bagaimana mekanisme
where necessary, the sources of fund”.
pengawasan yang dimaksud, sedangkan di satu sisi bagi pengguna jasa yang belum ditetapkan LPP-nya,
Yang paling penting dilakukan di dalam kaitannya
maka fungsi pengawasannya dilakukan oleh PPATK.
dengan Customer Due Diligence ini adalah bahwa
Secara a contrario pernyataan tersebut dipahami dari
Pihak Pelapor dapat sewaktu-waktu melakukan
Pasal 18 ayat (6), dengan suatu pemahaman dasar
pemeriksaan atas hubungan usaha dan analisis
bahwa Pihak Pelapor yang diwajibkan untuk
transaksi-transaksi yang dilakukan. Usaha tersebut
menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa harus
harus dilakukan secara menyeluruh guna menjamin
bertanggungjawab kepada PPATK.
transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa konsisten dengan apa yang diketahui lembaga keuangan atas
Setidaknya ada 3 hal yang harus diutamakan di
nasabah, kegiatan usahanya dan profil resiko, termasuk
dalam Prinsip Mengenali Pengguna Jasa, yaitu a.
sumber dana jika diperlukan. Kemutakhiran data
Identifikasi Pengguna Jasa; b. Verifikasi Pengguna
Pengguna Jasa harus selalu dijamin oleh Pihak Pelapor.
Jasa; dan c. Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa. Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dalam konteks
Namun demikian apabila penerapan CDD berdasarkan
inilah yang disebut dengan Customer Due Diligence
poin a sampai dengan d di atas berhadapan dengan
(CDD) dan Enhance Due Diligence (EDD). Hal tersebut
suatu resiko yang lebih besar, maka penerapan yang
sejalan dengan Rekomendasi Nomor 5 Financial
harus dilakukan adalah dengan Enhance Due
Action Task Force on Money Laundering.
Diligence, yaitu sebagai berikut: “Financial institutions should apply each of the CDD
7
Jacky Uly dan Bernard L. Tanya. 2009. Money Laundering. Laros, Surabaya, hal. 49
34
measures under (a) to (d) above, but may determine
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
the extent of such measures on a risk sensitive basis
tempat yang cukup beresiko dan disukai oleh para
depending on the type of customer, business
pencuci uang. Namun demikian UU PPTPPU tidak
relationship or transaction. The measures that are
menempatkan Lembaga Keuangan Bank saja yang
taken should be consistent with any guidelines issued
harus berperan aktif, tetapi kepada semua pihak
by competent authorities. For higher risk categories,
Pelapor, yang meliputi Penyedia Jasa Keuangan Bank
financial institutions should perform enhanced due
dan Non Bank, serta Penyedia Barang dan/atau Jasa
diligence. In certain circumstances, where there are
lainnya.
low risks, countries may decide that financial institutions can apply reduced or simplified measures.”
Mengingat bahwa LPP diberikan tempat dan peran yang sangat penting di dalam UU PPTPPU, maka harus
Namun demikian apabila Lembaga Keuangan melihat
dipahami betul fungsi dan peranannya terkait dengan
terdapatnya kemungkinan resiko yang besar, berikut
peraturan perundang-undangan lainnya. Bagi sektor
juga dengan jenis nasabah dan hubungan
Perbankan, berdasarkan UU Bank Indonesia, maka
transaksinya, maka perlu ditingkatkan upaya kehati-
yang ditetapkan sebagai LPP adalah Bank Indonesia.
hatiannya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka
Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 24
tindakan yang diambil harus konsisten dengan setiap
Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana
petunjuk yang dikeluarkan oleh pihak berwenang.
diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004, dan diubah
Untuk kategori berisiko tinggi, lembaga keuangan
dengan UU 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia,
harus melakukan pemeriksaan lebih mendalam.
yang menekankan pada adanya Fungsi Mengatur
Dengan demikian apabila dalam situasi tertentu
dan Mengawasi Bank, sebagaimana ditentukan dalam
ditemukan suatu fakta bahwa apabila terdapat risiko
Pasal 8 huruf c UU Bank Indonesia tersebut. Ketentuan
rendah, negara-negara dapat memutuskan bahwa
Pasal 24 tersebut memberikan tugas kepada Bank
lembaga keuangan dapat menerapkan tindakan-
Indonesia untuk mengadakan peraturan-peraturan
tindakan yang disederhanakan. Hal tersebut yang
terkait dengan kewenangannya mengawasi Bank,
membedakan antara CDD dan EDD.
dan juga menjatuhkan sanksi kepada Bank. Pembedaan fungsi Bank Indonesia terjadi di dalam 2 hal, yaitu
Prinsipnya pada upaya mengenali pengguna jasanya,
Fungsi pengaturan dan Fungsi pengawasan.
ketentuan Pasal 19 mempertegas bahwasanya masalah penginformasian mengenai identitas, sumber
Pelaksanaan tugas mengatur Bank, Pasal 25 ayat (1)
dana, dan tujuan dilakukannya Transaksi menjadi
UU Bank Indonesia memberikan kewenangan kepada
sesuatu yang harus diberikan oleh setiap Orang yang
Bank Indonesia untuk menetapkan ketentuan-
melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor. Dengan
ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-
demikian Prinsip Mengenali Pengguna Jasa ini menjadi
hatian. Prinsip kehati-hatian yang dimaksud di sini
suatu prinsip yang selalu harus dikedepankan di dalam
adalah termasuk pula dengan apa yang dimaksudkan
upaya penanganan tindak pidana pencucian uang.
di dalam UU Perbankan. Selanjutnya pelaksanakan kewenangan tersebut ditetapkan dengan Peraturan
D. Lembaga Pengawas dan Pengatur atas Pihak
Bank Indonesia (vide Pasal 25 ayat (2) UU Bank
Pelapor Bank berdasarkan UU Bank Indonesia -
Indonesia). Pengawasan tersebut akan dilakukan
UU Transfer Dana - UU Otoritas Jasa Keuangan
secara langsung maupun tidak langsung (vide Pasal 27 UU Bank Indonesia), yang selanjutnya mewajibkan
Ketentuan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan
Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan
arti yang sangat penting kepada Sektor Perbankan,
penjelasan sesuatu dengan tata cara yang ditetapkan
mengingat dalam setiap tahapan pencucian uang
oleh Bank Indonesia (vide Pasal 28 ayat (1) UU Bank
masih menempatkan Lembaga Keuangan sebagai
Indonesia). Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1)
35
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
UU Bank Indonesia pula dapat dipahami bahwasanya
Bank Indonesia, akan dilaksanakan oleh lembaga
dalam hal terdapat suatu transaksi yang patut di
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen
duga merupakan tindak pidana di bidang perbankan,
yang dibentuk dengan undang-undang. Mutatis
maka Bank Indonesia dapat memerintahkan bank
mutandis dengan hal tersebut, Pasal 35 UU Bank
untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh
Indonesia menekankan sepanjang belum diadakannya
transaksi tertentu tersebut.
lembaga pengawasan yang dimaksud, tugas pengaturan dan pengawasan Bank dilaksanakan
Terkait dengan pemberian tugas sebagai LPP menurut
oleh Bank Indonesia.
UU PPTPPU, maka sesungguhnya fungsi pengawasan oleh BI terkait dengan upaya pencegahan dan
Permasalahan mengenai entitas Lembaga Pengawas
pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
dan Pengatur sebagaimana dimaksud di dalam UU
Penunjukkan Bank Indonesia sebagai LPP untuk
Bank Indonesia dan UU PPTPPU ini berkembang
Penyedia Jasa Keuangan sektor Perbankan seharusnya
terkait pula dengan eksistensi Otoritas Jasa Keuangan
sejalan dengan fungsi pengawasannya di dalam UU
(selanjutya disebut dengan OJK), sebagaimana
Bank Indonesia. Kewenangan yang diberikan UU
dimaksud di dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang
PPTPPU cukup terbatas dengan adanya keberadaan
Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut sebagai
PPATK yang juga melaksanakan fungsi pengawasan
UU OJK). Pasal 1 menentukan bahwasanya OJK
dan pengaturan manakala LPP tersebut belum
merupakan lembaga yang independen dan bebas
terbentuk. Permasalahannya justru UU PPTPPU belum
dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai
memberikan batasan kewenangan yang sama
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
besarnya dengan PPATK, atau paling tidak menunjukkan
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan (vide
distinct yang tegas bagaimana sifat koordinatif antara
Pasal 1 angka 1 UU OJK). Permasalahan selanjutnya
Bank Indonesia sebagai LPP dengan keberadaan
adalah bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Jasa
PPATK, salah satu contoh adalah terkait dengan
Keuangan di dalam undang-undang tersebut adalah
kewenangan menjatuhkan sanksi bagi Pihak Pelapor
meliputi pelaksanaan kegiatan di sektor Perbankan,
yang ternyata tidak tegas.
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiataan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
Ketentuan Pasal 33 UU Bank Indonesia menegaskan
(vide Pasal 1 angka 4 UU OJK). Pasal 1 angka 10 UU
apabila menurut penilaian Bank Indonesia terdapat
OJK selanjutnya juga memuat mengenai Lembaga
suatu keberlangsungan usaha Bank yang bersangkutan
Jasa Keuangan lainnya, yang ternyata akan meliputi
dan/atau membahayakan sistem perbankan atau
pula lembaga penggadaian, lembaga penjaminan,
terjadi sutau kesulitan bagi perbankan yang
lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan
membahayakan perekonomian nasional, maka Bank
pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang
Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana
melaksanakan pengelolaan dana masyarakat yang
diatur di dalam undang-undang tentang perbankan
bersifat wajib, meliputi penyelenggara program
yang berlaku. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut,
jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan.
yang menjadi rambu-rambu pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud baik oleh UU Bank Indonesia,
Fungsi OJK selanjutnya ditentukan di dalam Pasal 5
UU Perbankan, maupun UU PPTPPU, yaitu sistem
UU OJK, bahwasanya OJK berfungsi menyelenggarakan
perbankan dan perekonomian nasional.
sistem pengaturan dan pengawasan yang berintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
Pasal 34 UU Bank Indonesia selanjutnya menjelaskan
keuangan. Pasal 7 selanjutnya menjelaskan mengenai
bahwa tugas pengawasan atas Bank sebagaimana
pembagian fungsi pengaturan dan pengawasan, yang
dimaksud sebelumnya yang akan dilakukan oleh
meliputi:
36
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
a. Pengaturan dan pengawasan mengenai
interpretasi yang muncul dari ketentuan UU OJK ini
kelembagaan bank.
cukup menyulitkan untuk memahami dan menyelami
b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan
fungsi sebagai LPP itu berada di pihak siapa. Begitu
bank
luasnya perihal yang ingin diatur dan diawasi oleh
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek
OJK, semakin menunjukkan inkonsistensi kewenangan
kehati-hatian bank, meliputi:
mana yang harusnya dilimpahkan kepada OJK, dan
1. manajemen risiko;
manakah yang tetap pada Bank Indonesia. Mengingat
2. tata kelola bank;
kompleksitas macam aturan yang harus dipertegas
3. prinsip mengenai nasabah dan anti pencucian
dalam kerangka tindak pidana pencucian uang dan
uang, dan
berbagai rambu-rambu kehati-hatian yang harus
4. pencegahan pembiayaan terorisme dan
senantiasa diperlihatkan dan diperhatikan oleh sektor
kejahatan perbankan, dan
perbankan, maka perlu dipikirkan tugas OJK sebagai
d. Pemeriksaan bank
LPP.
Berdasarkan ketentuan di atas, OJK yang bertugas
Pada intinya masih terdapat tumpang tindih yang
untuk mengawal pelaksanaan prinsip mengenal
tetap terjadi, yaitu sebenarnya Bank Indonesia
nasabah dan anti pencucian uang. Ketidak konsistenan
sebetulnya akan mengawasi mengenai sektor
penggunaan peristilahan prinsip mengenali nasabah
perbankan dengan segala keluasan kewenangan yang
berbeda dengan peristilahan yang terdapat di dalam
diberikan oleh UU Perbankan dan UU Bank Indonesia,
UU PPTPPU, yaitu prinsip mengenali pengguna jasa.
tetapi terbatas saat ini dengan OJK. Nindyo Pramono
Dengan demikian jelas terlihat bahwa fungsi LPP
pernah menuliskan pada saat dibuatnya RUU OJK
sebagaimana dimaksud di dalam UU PPTPPU telah
sebagai berikut: “Saya kawatir kehadiran OJK yang
dialihkan dari Bank Indonesia kepada OJK.
mengambil fungsi pengawasan BI atas Bank-bank Umum, akan tetap tumbuh atau bertabrakan dengan
Ketentuan selanjutnya yang terkait adalah Pasal 39
fungsi pengaturan BI yang secara tidak langsung akan
UU OJK, yang menegaskan bahwa berhubungan
bersinggungan dengan fungsi pengawasan
dengan pelaksanaan tugas, maka OJK akan
(macroprudential)”8
berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan, tetapi
Namun OJK juga masih dapat meminta bantuan dari
tidak berkaitan dengan pengawasan atas pelaksanaan
Bank Indonesia untuk pelaksanaan fungsi pengawasan
prinsip mengenali Pengguna Jasa dan anti pencucian
dan pengaturannya, hanya tidak dapat meliputi
uang. Pasal 40 UU Otoritas Jasa Keuangan menegaskan
penilaian mengenai kesehatan bank. Secara asas, UU
untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya
OJK ini adalah UU khusus yang baru saja dibentuk,
memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank
tetapi tidak merupakan lex specialis terhadap UU
tertentu, Bank Indonesia dapat (cetak miring oleh
Bank Indonesia. Hal tersebut dikarenakan cakupan
penulis) melakukan pemeriksaan langsung terhadap
tugas pengawasan dan pengaturan oleh OJK terlalu
bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan
luas, dan tidak melulu menyangkut perbankan,
secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK. Namun
tetapi sektor keuangan. Cakupan tersebut akan
sayangnya Pasal 40 ayat (2) memberikan pembatasan atas apa yang tidak dapat dilakukan oleh Bank Indonesia, yaitu dalam melaksanakan kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 (1), maka Bank Indonesia tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. Berbagai
8
Nindyo Pramono. “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”. Artikel, dimuat dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8 Nomor 3, September 2010, h. 7
37
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
menempatkan OJK menjadi super supervisory body
Secara keseluruhan UU OJK ini lebih memberikan
atas suatu lembaga yang memang sudah terbentuk
perhatian pada sektor perbankan, dibandingkan
terlebih dahulu dengan undang-undang yang lainnya.
dengan sektor keuangan lainnya. Muncullah pula
Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Bank
sebuah pemikiran, dengan demikian apakah OJK
Indonesia juga cukup spesifik, dibandingkan dengan
juga akan mampu melaksanakan secara keseluruhan
apa yang diatur di dalam UU OJK.
tugasnya yang begitu luas untuk menjadi LPP sebagaimana dikehendaki oleh UU PPTPPU dan UU
Memperhatikan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU
OJK di bidang pencucian uang untuk sektor keuangan
Perbankan Syariah, terdapat kewajiban dari Bank
secara keseluruhan.
Syariah dan Unit Usaha Syariah untuk menyampaikan mengenai segala keterangan dan penjelasan yang
Kesulitan lainnya apabila terlalu luasnya ketentuan
berkenaan dengan usahanya kepada Bank Indonesia.
pengawasan dan pengaturan oleh Otoritas Jasa
Berdasarkan hal tersebut ketentuan Pasal 52 ayat (3)
Keuangan, adalah apa yang terkait dengan rambu-
selanjutnya memberikan kewenangan kepada Bank
rambu kehati-hatian sebagaimana dimaksud di dalam
Indonesia untuk melakukan beberapa hal yang
UU Perbankan, UU Bank Indonesia, dan UU OJK, yang
menyangkut dengan fungsi pengawasan. Nampaknya
nantinya berkorelasi pula dengan UU Transfer dana.
kewenangan pengawasan ini telah menjadi kewenangan penyidikan oleh OJK (lihat Pasal 49 UU
Ketentuan UU Transfer Dana sendiri pada hakikatnya
OJK). Dengan demikian dapat dipahami betul bahwa
sangat berhubungan erat dengan kegiatan TPPU.
pelaksanaan fungsinya sudah berbeda. Sekedar
Sebagaimana dipahami, kekurang hati-hatian dalam
mengingatkan bahwasanya kewenangan OJK meliputi
pengelolaan dan pelaksanaan transfer dana akan
3 hal, yaitu fungsi pengawasan, pengaturan, dan
mengakibatkan ditempatkannya Bank maupun
penyidikan.
lembaga transfer dana lain bukan bank sebagai sarana untuk melakukan pencucian uang. Untuk itu
Keberadaan Lembaga semacam OJK di Inggris
kegiatannya harus dipantau. Ketentuan 72 UU
dimaksudkan sebagai Financial Services Authority
Transfer Dana mengatur mengenai kegiatan
(FSA), yang sebenarnya tidak ditujukan untuk
pemantauan transfer dana, yang dilakukan oleh Bank
mengontrol pelaksanaan UU pencucian uang atas
Indonesia. Pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa
bidang perbankan, melainkan atas sektor keuangan
di dalam melaksanakan fungsi pemantauan tersebut,
seperti untuk mengendalikan leasing companies,
Bank Indonesia dapat bekerjasama dengan otoritas
commercial finance providers, safe custody services,
pengawas terkait. Namun demikian masih perlu
lending, offering guarantees and commitments,
ditelaah lagi apakah yang dimaksudkan adalah OJK
participation in securities issues, advising on capital
sebagaimana dimaksud di dalam UU OJK. Bismar
sturctures, money broking, portofolio management
Nasution menambahkan “Masalah utama yang
and advice, safekeeping and administration of
dihadapi industri keuangan khususnya perbankan
secutirities, trading for own
9
account.9
Berdasarkan
saat ini bukanlah telah semakin menyatunya dengan
hal tersebut sebaiknya perlu ditegaskan kembali LPP
industri keuangan lainnya, tetapi lemahnya penerapan
untuk Penyedia Jasa Keuangan Bank demi kepentingan
good corporate governance. Masalah good corporate
pelaksanaan UU PPTPPU itu seharusnya diberikan
governance tidak akan selesai dengan beralihnya
kepada siapa.
kewenangan pengawasan”10. Dengan demikian
Lihat dalam Financial Services Authority. 2007. The FSA’s New Role Under the Money Laundering Regulation 2007 : Our Approach, http://www.fsa.gov.uk, diakses tanggal 2 Februari 2012
38
10 Bismar Nasution. “Implementasi Pasal 34 Undang Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran, dan Stabilitas Keuangan”, Artikel, dimuat pada Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8 Nomor 3, September 2010, h. 13
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
kehadiran OJK dengan kewenangannya yang terlampau luas, menyisakan suatu perenungan mengenai diselesaikannya setiap tugas-tugas yang diembannya, dengan mendasarkan pada realitas semakin kompleks, rumit, dan tumpang tindihnya kewenangan yang diberikan oleh setiap undangundang yang berlaku. Kesimpulan Eksistensi Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud di dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 sebenarnya memerlukan deskripsi kewenangan, batasan persinggungan tanggungjawab dan bentuk koordinasi dengan PPATK. Terkait dengan hal tersebut adalah pada pelaksanaan prinsip mengenali pengguna jasa bagi Penyedia Jasa Keuangan Bank seharusnya membutuhkan ketelitian yang lebih lagi. Oleh karena itu tidak dapat serta merta dialihkan kepada OJK. Mengingat spesifiknya pengaturan mengenai perbankan, dan pentingnya peran perbankan di dalam suatu proses pencegahan pencucian uang, berikut juga meluasnya tanggungjawab OJK sebagaimana dimaksud di dalam UU OJK, maka perlu dipikirkan kembali apakah menempatkan Bank Indonesia tetap sebagai Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dikehendaki di dalam UU PPTPPU, ataukah menyerahkan tugas tersebut kepada OJK.
39
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi. 2008. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung, Citra Aditya Bakti Bismar Nasution. “Implementasi Pasal 34 Undang Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran, dan Stabilitas Keuangan”, Artikel, dimuat pada Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8 Nomor 3, September 2010 Chibuike U. Uche. “Money Laundering: A View From a Developing Country”, Papers, disseminate in The 9th International Anti-Corruption Conference, downloaed from http://9iacc.org/papers/days2/ws7/d2ws7_cuuche.html Financial Services Authority. 2007. The FSA’s New Role Under the Money Laundering Regulation 2007: Our Approach, downloaded from http://www.fsa.gov.uk, tanggal 2 Februari 2012 Jacky Uly, dan Bernard L. Tanya. 2009. Money Laundering. Laros, Surabaya Nindyo Pramono. “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”. Artikel, dimuat dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8 Nomor 3, September 2010 N.H.T Siahaan. 2008. Money Laundering dan Kejahatan Perbankan. Jala, Jakarta Sutan Remy Sjahdeini. 2007. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta, Pustaka Utama Grafiti Yunus Husein. 2010. “Langkah Progresif Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010”. Makalah, disampaikan pada Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi Tahun 2010, Surabaya, Hotel Bumi, 2-3 Desember 2010
40
EFEKTIVITAS PEMBLOKIRAN DAN UPAYA PENYITAAN OLEH JURU SITA PAJAK TERHADAP HARTA KEKAYAAN PENANGGUNG PAJAK YANG TELAH DILAKUKAN SITA AGUNAN OLEH BANK Oleh : Dyah Pratiwi, SH, MH (Analis Hukum Senior) dan Ayu Deviana, SH (Penasehat Hukum Yunior), Departemen Hukum, Bank Indonesia Abstrak Pemblokiran-Penyitaan-Pajak Sebagai bagian dari awal proses penyitaan harta kekayaan Penangung Pajak yang tersimpan di Bank, pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak menjadi proses yang sangat krusial. Untuk menjamin proses pemblokiran dapat berjalan efektif, diperlukan kerjasama yang baik antara dirjen pajak dan pihak perbankan.
A. Pendahuluan
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuaatan hukum tetap dan tidak dapat
Dalam perspektif Penagihan Pajak, investasi oleh
diajukan banding sehingga surat paksa langsung
Wajib Pajak dalam bentuk rekening, simpanan, giro,
dapat dilaksanakan dan ditindaklanjuti sampai
deposito berjangka dan bentuk investasi lainnya di
pelelangan barang Penanggung Pajak.
bank, telah memunculkan peluang pencairan tunggakan pajak melalui penyitaan harta kekayaan
B. Agunan Tunai (Cash Collateral)
Penanggung Pajak yang tersimpan di Bank Bank adalah lembaga mediasi yang menghimpun UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
Dengan Surat Paksa sebagaimana diubah dengan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
UU No. 19 Tahun 2000 (UU Penagihan Pajak),
kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka
diharapkan dapat mengatasi semua permasalahan
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Untuk menjaga
yang timbul berkenaan dengan tunggakan pajak
kepercayaan masyarakat berkaitan dengan simpanan
serta dapat memberikan motivasi peningkatan
tersebut, maka Bank dituntut untuk menerapkan
kesadaran dan kepatuhan masyarakat wajib pajak,
prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan
sehingga dapat memberikan penekanan yang lebih
usahanya. Untuk itu, Bank sangat memperhatikan
seimbang antara kepentingan masyarakat Wajib Pajak
adanya agunan sebagai faktor yang harus
dan kepentingan negara. UU Penagihan Pajak dengan
dipertimbangkan dalam memberikan kredit.
Surat Paksa telah mengatur ketentuan tentang tata cara tindakan penagihan pajak yang berupa
Dalam praktek perbankan, agunan tunai (cash
penagihan seketika dan sekaligus, pelaksanaan surat
collateral) seperti giro, deposito, tabungan, setoran
paksa, penyitaan, pencegahan, dan atau
jaminan dan atau emas, lazim digunakan dalam
penyanderaan, serta pelelangan. Bahkan surat paksa
pemberian kredit oleh Bank. Memperhatikan sifat
diberi kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum
agunan yang sangat “likuid” tersebut, Bank Indonesia
41
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
melalui Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005
bahwa obyek sita adalah barang penanggung pajak
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum telah
yang dapat dijadikan jaminan utang pajak, yaitu
mengatur mengenai persyaratan agunan dan
barang milik penanggung pajak, termasuk yang
pencairan agunan tunai dimaksud dalam
penguasaannya berada di tangan pihak atau
hal terjadi wanprestasi, yaitu 7 hari kerja setelah
dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu,
debitur dinyatakan wanprestasi (event of default).
yang antara lain dapat berupa deposito berjangka,
Dalam hal ini, agunan tunai yang dipergunakan
tabungan, saldo rekening koran, giro, atau
tersebut wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
1. agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat
UU Penagihan Pajak hanya mengecualikan obyek
kuasa pencairan dari pemilik agunan untuk
sita pajak berupa barang milik Penanggung Pajak
keuntungan Bank Penerima Agunan, termasuk
yang dipergunakan untuk hidup, dan bahkan dibatasi
pencairan sebagian untuk membayar tunggakan
dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp.
angsuran pokok atau bunga;
20.000.000,- (vide Pasal 15 UU Penagihan Pajak).
2. jangka waktu pemblokiran paling kurang sama dengan jangka waktu aktiva produktif . 3. memiliki pengikatan hukum yang kuat (legally
Pengaturan dalam UU Penagihan Pajak Sita Pajak tersebut bersifat memaksa. Meskipun demikian UU
enforceable) sebagai agunan, bebas dari segala
Penagihan Pajak memberikan perlindungan hukum
bentuk perikatan lain, bebas dari sengketa, tidak
baik kepada Penanggung Pajak maupun pihak ketiga
sedang dijaminkan kepada pihak lain, termasuk
berupa hak untuk mengajukan gugatan. Dalam hal
tujuan penjaminan yang jelas, dan
ini, bank sebagai pihak ketiga dapat mengajukan
4. disimpan pada Bank penyedia jasa atau pada prime bank.
gugatan kepada pengadilan negeri terhadap tindakan pelaksanaan penagihan pajak berupa pelaksanaan Surat Paksa, sita atau lelang diajukan berkaitan
Lebih lanjut, PBI mengatur bahwa agunan harus
kepemilikan barang yang disita.
bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan, harus dapat dicairkan selambat-lambatnya
Dalam hal ini pengadilan negeri merupakan tempat
7 hari kerja sejak diajukan klaim, termasuk pencairan
untuk menguji dan memberikan prioritas terhadap
sebagian untuk membayar tunggakan angsuran
kepentingan perlindungan bagi pemegang hak
pokok atau bunga serta tidak dijamin kembali (counter
agunan ataukah mengutamakan “sifat pajak” yang
quarantee) oleh Bank penyedia dana atau bank yang
berdasarkan UU harus selalu didahulukan.
bukan prime bank. C. Pemblokiran dan Pemindahbukuan Dalam hal deposito tersebut telah diserahkan kepada bank sebagai agunan tunai, maka sebenarnya telah
UU tentang Bank Indonesia dan UU tentang
terjadi penyerahan “kepemilikan”, yaitu bahwa
Perbankan tidak mengatur pemberian kewenangan
agunan tunai tersebut berada dalam “penguasaan
kepada Bank Indonesia untuk dapat memerintahkan
bank” dan sewaktu-waktu dapat dicairkan apabila
pemblokiran kepada Bank. Pemberian kewenangan
terjadi wanprestasi. Pengaturan mengenai agunan
kepada Bank Indonesia untuk dapat memerintahkan
tunai tersebut dilakukan dalam rangka memberikan
dilakukannya pemblokiran kepada Bank, baru
perlindungan dan menempatkan bagi bank sebagai
diberikan oleh Pasal 52 ayat (3) huruf c UU tentang
“kreditur preferent”.
Perbankan Syariah.
Sementara itu, Pasal 14 ayat (1) UU No. 19 Tahun
“Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan
2000 (UU Penagihan Pajak), mengatur secara definitif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
42
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank
4. Untuk kepentingan penagihan pajak dengan surat
melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik
paksa sebagaimana diatur dalam UU Nomor 19
rekening simpanan maupun rekening pembiayaan.”
Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan
Kewenangan untuk memerintahkan pemblokiran
UU Nomor 19 Tahun 2000.
oleh Bank Indonesia kepada Bank, dilakukan dalam konteks pelaksanaan tugas pengawasan bank oleh
Dalam proses pemblokiran selain harus memperhatikan
Bank Indonesia. Adapun cakupan dari rekening
peraturan perundang-undang yang berlaku, bank
simpanan maupun rekening pembiayaan yang dapat
juga harus mengedepankan prinsip kehati-hatian
diblokir adalah meliputi rekening-rekening, baik yang
(prudentiality). Dalam hal ini, pada saat bank
ada pada bank yang diawasi/diperiksa maupun pada
menerima perintah dari pejabat pajak, bank tetap
bank lain yang terkait dengan objek pengawasan/
harus melakukan verifikasi kembali terhadap
pemeriksaan Bank Indonesia.
kesesuaian data dan informasi yang tercantum dalam surat perintah dengan data dan informasi nasabah
Pada hakekatnya, pemblokiran rekening pada dasarnya
yang dimilikinya. Hal dimaksud perlu dimengerti
adalah tindakan pengamanan, yang dilakukan dengan
mengingat bank akan terpapar dengan risiko hukum
tujuan agar terhadap simpanan tersebut tidak terdapat
dalam hal bank melaksanakan pemblokiran ketika
perubahan/mutasi selain penambahan jumlah atau
terdapat ketidaksesuaian antara data dan informasi
nilai.
yang dimintakan dengan data dan informasi yang dimiliki bank. Risiko hukum tersebut antara lain
Dalam hal ini, terdapat beberapa pengaturan tentang
gugatan dari pemilik rekening dan/atau sanksi pidana
pemblokiran yang dapat dilakukan terhadap simpanan
bagi manajemen bank sebagaimana diatur dalam
nasabah pada bank, yang pengaturannya berada
Pasal 47 ayat (2) UU Perbankan.
pada level Undang-Undang, dan memberikan kewenangan kepada instansi atau lembaga aparat
Namun demikian, dalam hal data dan informasi yang
penegak hukum tertentu untuk dapat melakukan
disampaikan oleh pejabat pajak telah sesuai dengan
pemblokiran atas rekening simpanan, dan dilakukan
data dan informasi yang dimiliki bank maka pada
untuk kepentingan publik tertentu, misalnya :
prinsipnya tidak ada alasan bagi bank untuk tidak
1. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau
melaksanakan perintah pejabat pajak. Demikian pula
pemeriksaan dalam penanganan perkara tindak
terkait dengan perintah pemindahbukuan atas
pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam
deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran,
UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
giro atau bentuk simpanan lainnya di bank yang
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
sebelumnya telah dilakukan pemblokiran. Sesuai
2. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau
dengan Pasal 7 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal
pemeriksaan dalam perkara tindak pidana
Pajak Nomor: KEP-627/PJ./2001 tanggal 24 September
terorisme sebagaimana diatur dalam UU No. 15
2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan pemblokiran
Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 1
dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
yang Tersimpan pada Bank Dalam Rangka Penagihan
Terorisme, Menjadi Undang-undang;
Pajak dengan Surat Paksa, diatur bahwa apabila
3. Untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan dan
penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan
penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang
biaya penagihan pajak dalam jangka waktu 14 (empat
ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
belas) hari sejak penyitaan, pejabat pajak segera
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun
meminta kepada pimpinan bank untuk memindah-
2002;
bukukan harta kekayaan penanggung pajak yang
43
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
tesimpan pada bank ke kas negara sejumlah yang
dilakukan oleh Kementerian Keuangan dalam rangka
tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita.
memperlancar proses penagihan pajak yang diawali dengan pelaksanaan pemblokiran adalah menerbitkan
Terkait ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
surat yang ditujukan kepada bank di seluruh Indonesia,
pada prinsipnya bank tidak dapat menolak untuk
yaitu surat Deputi Gubernur Nomor 2/35/DpG tanggal
melakukan pemindahbukuan ke kas negara dalam
30 Mei 2000, yang intinya menghimbau perbankan
hal pejabat pajak dapat menyampaikan bukti bahwa
nasional untuk dapat melaksanakan aturan-aturan
penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan
sebagaimana terdapat dalam UU tentang Penagihan
biaya penagihan pajak dalam jangka waktu 14 (empat
Pajak dengan Surat Paksa dan peraturan
belas) hari sejak penyitaan. Penyampaian bukti
pelaksanaannya, sebagai respon dari permintaan
dimaksud sangat penting bagi bank guna meyakini
dukungan yang diajukan oleh Direktur Jenderal Pajak
bahwa pemindahbukuan secara hukum dapat
kepada Bank Indonesia. Perihal yang sama ditegaskan
dilaksanakan mengingat sebagaimana telah
kembali oleh Bank Indonesia kepada perbankan
dikemukakan sebelumnya bahwa apabila bank tidak
nasional melalui surat Deputi Gubernur Senior Bank
memiliki alas hak untuk melakukan pemindahbukuan
Indonesia Nomor 8/3/DGS/DPNP pada tahun 2006.
maka bank terpapar dengan risiko hukum. Selain itu, sebagai salah satu bentuk respon yang D. Dukungan Bank Indonesia
dilakukan oleh BI dalam memberikan solusi alternatif atas persoalan-persoalan yang terjadi di lapangan
Bank Indonesia selaku otoritas pengaturan dan
yang dihadapi oleh pejabat pajak maupun oleh Bank,
pengawasan perbankan pada prinsipnya senantiasa
khususnya terkait dengan adanya praktek yang berbeda
mendukung upaya yang dilakukan oleh Kementerian
antara pengaturan dalam Lampiran I Keputusan
Keuangan dalam rangka meningkatkan kepatuhan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP:627/PJ./2001
wajib pajak termasuk upaya paksa untuk pelunasan
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan
utang pajak.
Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Indonesia yang mewajibkan
Berkaitan dengan hal tersebut Bank Indonesia telah
pencantuman nomor rekening wajib pajak dalam
menerbitkan beberapa ketentuan yang mewajibkan
perintah pemblokiran, dengan praktek penerbitan
bank dalam menjalankan bisnisnya untuk senantiasa
perintah pemblokiran oleh pejabat Pajak kepada
patuh terhadap peraturan perundang-undangan
bank yang tidak menyebutkan nomor rekening,
lainnya di luar peraturan perundang-undangan di
melalui surat No.7/4/DGS/DHk tanggal 24 November
bidang perbankan. Pengaturan mengenai hal tersebut
2005, Bank Indonesia menyarankan perlunya
antara lain tercermin dalam Pasal 49 Peraturan Bank
amandemen atas Lampiran I Keputusan Direktur
Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan
Jenderal Pajak Nomor KEP:627/PJ./2001 tersebut,
Good Corporate Governance bagi Bank Umum
dengan menghapus kewajiban pencantuman nomor
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
rekening dalam surat perintah pemblokiran.
Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006, yang mewajibkan bank untuk tidak hanya patuh pada ketentuan yang
Selanjutnya dalam rangka memperoleh informasi
dikeluarkan oleh Bank Indonesia namun juga patuh
terkait dengan kepatuhan bank terhadap perintah
terhadap peraturan perundang-undangan lainnya
pemblokiran yang diajukan oleh pejabat pajak, yang
yang berlaku.
merupakan salah satu jenis risiko (risiko kepatuhan/ compliance risk) yang harus dikelola oleh bank, Bank
Selain dalam bentuk ketentuan, wujud konkrit
Indonesia telah menginformasikan kepada Direktur
dukungan Bank Indonesia terhadap upaya yang
Jenderal Pajak (dhi melalui Sekretaris Direktorat
44
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Jenderal Pajak) melalui surat No.12/470/DHk tanggal 19 November 2010 agar tembusan-tembusan perintah pemblokiran dapat ditembuskan kepada satuan kerja pengawasan bank di Bank Indonesia. E. Penutup Masih banyaknya pertanyaan tertulis yang diajukan oleh perbankan kepada Bank Indonesia terkait dengan tindak lanjut perintah pemblokiran dari pejabat pajak kepada bank, menunjukkan bahwa aturan-aturan terkait dengan pemblokiran dalam konteks penagihan pajak dengan surat paksa, belum tersosialisasi secara optimal. Permasalahan yang muncul di lapangan tersebut diantaranya meliputi: 1. Ketidakcocokan antara identitas data nasabah pada bank dengan identitas data penanggung pajak yang diminta untuk diblokir; 2. Jangka waktu pemblokiran; 3. Perlakuan atas saldo rekening koran yang merupakan rekening pinjaman nasabah pada bank; 4. Permintaan pemblokiran yang diikuti dengan permintaan kepada bank agar menyampaikan laporan pelaksanaan pemblokiran kepada pejabat pajak disertai dengan pemberian data dan keterangan mengenai simpanan yang diblokir; 5. Permintaan pemblokiran oleh KPP kepada Bank Indonesia atas rekening giro salah satu bank. Memperhatikan banyaknya permasalahan tersebut, maka diperlukan sosialisasi bagi Pejabat Pajak dan bank berkenaan implementasi berbagai pengaturan terkait Penagihan Pajak tersebut, dalam rangka mengefektifkan pelaksanaannya dilapangan.
45
DAFTAR PUSTAKA
1. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000. 2. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. 3. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009. 4. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 5. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang. 6. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 7. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 8. Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
46
MENCERMATI CELAH INDEPENDENSI OJK DALAM UU OJK Oleh : Fransiska Ari Indrawati, SH, Analis Bank Muda, Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia Abstrak UU No. 21 Tahun 2011 telah membentuk Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU tersebut. Lembaga tersebut melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Independen-OJK)
A. Pendahuluan
Tugas OJK sesuai dengan Pasal 6 UU OJK yaitu melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan
Setelah wacana pembentukan “mega” otoritas
terhadap:
untuk jasa keuangan yang sudah lama didengung-
a) Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;
dengungkan, akhirnya pada bulan November 2011
b) Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;
diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun
c) Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian,
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) yang
dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga
mengatur mengenai pembentukan Otoritas Jasa
jasa keuangan lainnya.
Keuangan (OJK). Mungkin tidak berlebihan bila disebut dengan istilah “mega” mengingat nantinya
OJK dibentuk dan dilandasari dengan prinsip-prinsip
lembaga OJK ini akan memiliki kewenangan terhadap
tata kelola yang baik, yang meliputi independensi,
sektor-sektor penting yang menunjang perekonomian
akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi dan
Indonesia yaitu perbankan, pasar modal, perasuransian,
kewajaran (fairness)2. Secara kelembagaan, OJK
dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga
berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa
keuangan lainnya.
OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah3. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya
keuangan1:
OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan
a) Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan
yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter4.
akuntabel; b) Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
Pasal 2 ayat (2) UU OJK menegaskan bahwa OJK
c) Mampu melindungi kepentingan Konsumen dan
merupakan lembaga yang independen dalam
masyarakat.
1
Pasal 4 UU OJK.
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari
2
PenjelasanUmum Paragraf 9 UU OJK.
3
Penjelasan Umum Paragraf 10 UU OJK.
4
Ibid.
47
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang
is explicitly and prominently part of the central bank
secara tegas diatur dalam UU OJK.
statute7.”
Asas independensi secara lebih tegas dituangkan
Independen secara politik oleh Bade and Perkin
dalam Penjelasan Umum UU OJK yang menyatakan
diartikan bahwa bank sentral memiliki kemampuan
bahwa OJK melaksanakan tugas dan wewenangnya
untuk menentukan kebijakan tanpa pengaruh dari
berlandaskan antara lain asas independensi yaitu
Pemerintah. Penilaian tersebut didasarkan pada faktor
independen dalam pengambilan keputusan dan
sebagai berikut : (i) apakah dewan gubernur dipilih
pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK,
oleh Pemerintah, (ii) bagaimana jangka waktu
dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan
penunjukkannya, (iii) apakah Pemerintah menjadi
yang berlaku5.
duduk dalam dewan pada bank sentral, (iv) apakah persetujuan Pemerintah diperlukan untuk kebijakan
Sebelum menelaah independensi OJK dari sisi
moneter dan (v) apakah stabilitas harga merupakan
pengaturan dalam UU OJK, perlu dipahami terlebih
tujuan utama bank sentral.
dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan independensi secara umum.
Seorang pakar, Fabian Amtenbrink, menguraikan bahwa pendekatan secara hukum mengenai
Independensi dalam Black’s Law Dictionary diartikan
independensi suatu otoritas keuangan, dalam hal ini
sebagai “Independent : not dependent, not subject
bank sentral, dilihat dari segi independensi institusi,
to control, restriction, modification or limitation from
fungsi, organisasi dan keuangan/finansial (institutional
a given outside source”6. Dalam kamus tersebut,
independence, functional independence,
independensi dipahami sebagai suatu kondisi yang
organisational independence, and financial
terbebas dari ketergantungan, terbebas dari kontrol,
independence)8. Kemandirian institusi yang dimaksud
modifikasi atau pembatasan dari pihak lain.
adalah terpisahnya suatu bank sentral dari kekuasaan eksekutif dan kewenangan legislatif. Sedangkan
Bade and Parkin (1982) mengartikan independensi
untuk kemandirian fungsi dinilai dari kebebasan
pada suatu lembaga negara, misalnya bank sentral,
institusi memilih instrumen yang diperlukan untuk
dikaitkan dengan terbebasnya dari pengaruh politik
mencapai tujuannya. Kemandirian organisasi dalam
dan hubungan dengan kepemerintahan.
hal ini dihubungkan dengan susunan personalia dari organ-organ yang ada di bank sentral dan sistem
“Political Independence is defined essentially as in
pengangkatan dan pemberhentian karyawannya.
Bade and Parkin (1982), as the ability of the central
Sementara itu kemandirian finansial dihubungkan
bank to select its policy objectives without influence
dengan anggaran yang disusun tersendiri dan terlepas
from the government. This measure is based on
dari persetujuan Pemerintah.
factors such as whether or not its governor and the board are appointed by the goverment, the length
Dari beberapa pengertian independensi tersebut,
of their appointments, whether government
dapat disimpulkan bahwa independensi merupakan
representatives sit on the board of the bank, whether
suatu keadaan yang terbebas dari pengaruh apapun
goverment aproval for monetary policy decisions is
baik dari kekuasaan pemerintah ataupun pihak lainnya
required and whether the “price stability” objective
termasuk dari sisi anggaran yang dimiliki atau dikelola.
5
Penjelasan Umum Paragraf 14 UU OJK.
6
Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm. 472.
48
7
Bade, Robert, and Michael Parkin, “Central Bank Laws and Monetary Policy.” Unpublished, 1982.
8
Fabian Amtenbrink, The Democratic Accountability of Central Banks, Hart Publishing Ltd Oxford UK, 1999, hal 18 -21
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Tulisan ini selanjutnya akan mencermati pokok-pokok
kebijakan di bidang fiskal, moneter dan sektor jasa
pengaturan dalam UU OJK yang dirasa dapat
keuangan. Namun demikian, dalam rangka menjaga
memberikan celah untuk timbulnya campur tangan
independensi OJK dalam melaksanakan tugas dan
dari pihak ketiga terhadap pelaksanaan tugas dan
kewenangannya tersebut, sebaiknya teknis pelaksanaan
kewenangan OJK, yaitu pengaturan mengenai (1)
hubungan antar instansi tersebut dituangkan secara
hubungan antar instansi/kelembagaan, (2) komposisi
tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan
Dewan Komisioner OJK dan (3) anggaran.
agar menjadi jelas batasan-batasannya.
B. HUBUNGAN ANTAR INSTANSI/KELEMBAGAAN
Dari hubungan antar instansi tersebut, terdapat dua titik rawan pada hubungan kelembagaan yang dapat
Sesuai dengan UU OJK, OJK akan melaksanakan
mempengaruhi OJK dalam melaksanakan tugas dan
tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan
kewenangannya secara mandiri, yang lebih lanjut
jasa keuangan di seluruh sektor jasa keuangan yaitu
diuraikan berikut ini.
di perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan
1. Tugas pengaturan dan pengawasan perbankan
lainnya. Apabila dicermati lebih mendalam, hubungan atau koordinasi OJK dengan lembaga negara lainnya
Pasal 39 UU OJK mengatur bahwa OJK
dapat dilihat dari segi pelaksanaan tugas sebagai
berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam
berikut:
menyusun pengaturan tertentu terkait pengawasan
1. Tugas pengaturan dan pengawasan
perbankan9,
di bidang perbankan. Selain itu, Pasal 40 UU OJK
yang akan terkait dengan lembaga:
lebih lanjut mengatur bahwa untuk melaksanakan
a. Bank Indonesia;
fungsi, tugas dan wewenangnya, misalnya dalam
b. LPS.
rangka penyusunan peraturan pengawasan, Bank
2. Tugas penyidikan10, yang akan terkait dengan
Indonesia tetap berwenang untuk melakukan
lembaga:
pemeriksaan terhadap bank dengan menyampaikan
a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari instansi lain;
secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
b. Kejaksaan; c. Kepolisian;
Penjelasan Pasal 69 Ayat (1) huruf (a) UU OJK
d. Pengadilan. 3. Menjaga Stabilitas Sistem
menegaskan bahwa tugas Bank Indonesia dalam Keuangan11,
yang akan
mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan
terkait dengan:
ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan
a. Menteri Keuangan;
yang berkaitan dengan microprudential.
b. Gubernur Bank Indonesia;
Sedangkan Bank Indonesia tetap memiliki tugas
c. Ketua Dewan Komisioner LPS.
pengaturan perbankan terkait macroprudential. Berkaitan dengan hal ini, jelas bahwa tugas
Hubungan dengan seluruh instansi tersebut tidak
pengaturan perbankan tidak sepenuhnya
langsung diartikan bahwa OJK sebagai lembaga
dilaksanakan secara independen oleh OJK karena
negara yang tidak independen. Hubungan dan
pengaturan microprudential dan macroprudential
koordinasi dengan lembaga lain tetap diperlukan
akan sangat berkaitan.
dalam rangka koordinasi, kerjasama dan harmonisasi Dalam pengaturan tersebut, kita juga dapat melihat bahwa OJK masih memiliki “hubungan 9
Lihat Pasal 39 s.d Pasal 43 UU OJK.
10 Lihat Pasal 51 UU OJK. 11 Lihat Pasal 44 Ayat 1 UU OJK.
khusus” dengan Bank Indonesia terutama dalam pengaturan dan pengawasan perbankan.
49
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Bagaimanapun Bank Indonesia sebagai bank
2. Tugas Penyidikan
sentral, dimana sebelum diterbitkannya UU OJK dan pengalihan pada akhir Desember 2013,
Tugas penyidikan yang dilakukan oleh OJK diatur
mengemban dan melaksanakan tugas pengaturan
dalam Pasal 49 s.d Pasal 51 UU OJK. Dalam
dan pengawasan bank dan memiliki pengalaman
pelaksanaan tugas penyidikan tersebut, Pegawai
lebih lama dalam mengatur dan mengawasi
Negeri yang telah diangkat menjadi Penyidik
perbankan sehingga masukan pengaturan yang
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat melakukan
disampaikan oleh Bank Indonesia akan memiliki
kewenangan penyidikan dalam UU OJK. Pasal 49
pengaruh yang besar dalam pengaturan yang
Ayat (3) huruf i UU OJK lebih lanjut mengatur
dilakukan oleh OJK.
bahwa PPNS di sektor jasa keuangan berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum lain
Selain itu, “hubungan khusus” antara OJK dengan
dalam hal ini Kejaksaan, Kepolisian dan Pengadilan.
Bank Indonesia lainnya dapat dilihat dari Pasal 41 Ayat 2 UU OJK, dimana OJK menginformasikan
Dalam hal ini, yang perlu mendapatkan perhatian
kepada Bank Indonesia untuk melakukan langkah-
adalah Pasal 51 UU OJK yang menyebutkan
langkah yang diperlukan terkait dengan kesulitan
bahwa PPNS yang dipekerjakan di OJK hanya
likuiditas atau memburuknya kesehatan pada
dapat ditarik dengan pemberitahuan paling
bank. Yang dimaksud dengan langkah-langkah
singkat 6 (enam) bulan sebelum penarikan dan
tersebut yaitu pemberian fasilitas pembiayaan
tidak sedang menangani perkara. Hal ini dapat
jangka pendek dalam menjalankan fungsi Bank
diartikan bahwa dimungkinkan adanya PPNS yang
Indonesia sebagai lender of last resort12.
merupakan penugasan dari instansi lain misalnya penyidik dari Kepolisian Negara RI13 atau Badan
Berdasarkan hal tersebut, maka bila bank
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
mengalami kesulitan likuiditas atau memburuknya
(disingkat Bapepam-LK)14 yang dipekerjakan di
kesehatan bank, maka Bank Indonesia dapat
OJK.
memberikan kredit kepada bank dengan jaminan agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan.
Dengan adanya penugasan bersifat sementara
Dengan demikian, tidak dipungkiri bahwa
dari instansi lain tersebut, tugas penyidikan
keberadaan Bank Indonesia sebagai lender of last
menjadi tidak murni dilakukan oleh OJK karena
resort masih sangat diperlukan di sektor perbankan
adanya campur tangan dari instansi/lembaga lain
dan OJK nantinya masih akan bergantung kepada
mengingat pejabatnya dipekerjakan di OJK.
Bank Indonesia khususnya yang terkait dengan penyelamatan bank. Hal-hal semacam inilah yang dapat menimbulkan pertanyaan terhadap independensi OJK secara institusi/kelembagaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, khususnya dalam sektor perbankan karena masih terdapat hubungan yang erat antara OJK terhadap Bank Indonesia.
12 Penjelasan Pasal 41 Ayat (2) UU OJK.
50
13 Pasal 6 KUHAP berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Penyidik adalah: a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagai dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah 14 Pasal 101 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal berbunyi sebagai berikut: Pasal 101 (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Bapepam diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pasar Modal berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Jika dibandingkan pengaturan penyidikan pada
Pengertian independen terkait dengan komponen
instansi lain, misalnya Bapepam-LK, Bapepam-LK
Dewan Komisioner OJK tersebut menjadi dipertanyakan
yang bukan merupakan lembaga independen
mengingat terdapat unsur Bank Indonesia dan
negarapun,pelaksanaan tugas penyidikannya
Kementerian Keuangan dalam Dewan Komisioner
diatur secara independen, dalam artianterbebas
OJK. Seleksi yang dilakukan oleh panitia seleksi pun
dari campur tangan pihak lain.
berasal antara lain dari unsur Pemerintah sehingga dapat menimbulkan kekhawatiran bahwa anggota
Dalam penyidikan yang dilakukan oleh Bapepam-
Dewan Komisioner OJK yang terpilih nantinya
LK, penyidik hanya dibatasi dari lingkungan
merupakan hasil negosiasi politik yang akan membawa
Bapepam-LK. Lebih lanjut diatur bahwa dalam
kepentingan tertentu.
rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan tersebut Bapepam-LK dapat meminta bantuan
Namun demikian, Pasal 22 UU OJK telah mengantisipasi
dari aparat penegak hukum lainnya misalnya
agar anggota Dewan Komisioner terbebas dari
Kepolisian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
pengaruh politik ataupun pengaruh lainnya dalam
Imigrasi, Departemen Kehakiman, dan Kejaksaan
melaksanakan tugasnya. Dalam ketentuan tersebut,
Agung15. Dari pengaturan tersebut, dapat
tersebut diatur bahwa anggota Dewan Komisioner
diartikan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh
dilarang:
penyidik lain sifatnya berupa “bantuan”tanpa
a. Memiliki benturan kepentingan di lembaga jasa
harus dipekerjakan atau menjadi bagian dari Bapepam-LK.
keuangan yang diawasi oleh OJK; b. Menjadi penggurus dari organisasi pelaku atau profesi di Lembaga Jasa Keuangan;
C. KOMPOSISI DEWAN KOMISIONER
c. Menjadi pengurus partai politik; dan d. Menduduki jabatan pada lembaga lain, kecuali
Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya, OJK
dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas dan
dipimpin oleh Dewan Komisioner yang terdiri atas 9
wewenang OJK dan/atau penugasan berdasarkan
(sembilan) anggota Komisioner yang terdiri atas 7
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(tujuh) anggota yang dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden, dan 2
Sehubungan dengan hal tersebut dan melihat
(dua) anggota ex-officio dari Bank Indonesia yang
pengaturan komposisi Dewan Komisioner OJK saat
merupakan anggota dewan Gubernur Bank Indonesia
ini, diharapkan agar Dewan Komisioner OJK yang
dan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan16.
akan dipilih nantinya dapat bersikap independen
Keseluruhan anggota Dewan Komisioner lebih lanjut
dalam melaksanakan tugasnya dan dapat mengemban
memiliki hak suara yang sama.
amanat demi kepentingan OJK sebagai lembaga negara yang independen demi perkembangan sektor
Pemilihan dan penentuan calon anggota Dewan
jasa keuangan di Indonesia.
Komisioner dilaksanakan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk dengan Keputusan Presiden yang terdiri
D. ANGGARAN
atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia dan masyarakat.
Pengaturan tentang anggaran OJK diatur pada Pasal 34 s.d Pasal 37 UU OJK. Pasal 34 UU OJK mengatur bahwa anggaran OJK bersumber dari: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
15 Lihat Pasal 101 Ayat (6) UU Pasar Modal dan Penjelasannya.
dan/atau
16 Lihat Pasal 10 UU OJK.
51
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
2. Pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara
di sektor jasa keuangan,yaitu Lembaga Jasa
dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan
Keuangan dan/atau orang perseorangan atau
negara dengan berpedoman kepada rencana kerja
badan hukum yang melakukan kegiatan disektor
Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya
jasa keuangan.
tujuan bernegara19.
Selain itu, untuk mendukung kegiatan operasional
Apabila anggaran OJK berasal dari APBN, maka dapat
OJK, Pemerintah dapat melakukan penempatan dana
dikatakan pula bahwa OJK merupakan bagian
awal ke
OJK17.
dari pemerintahan karena pada hakekatnya APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
Anggaran OJK tersebut nantinya digunakan untuk membiayai kegiatan sebagai
berikut18:
1. Kegiatan operasional, mencakup kegiatan
pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.OJK dikhawatirkan juga akan rentan terhadap tekanan politik dari
penyelenggaraan fungsi, tugas dan wewenang
Pemerintah mengingat kegiatan OJK dibiayai oleh
OJK, antara lain pengaturan, pengawasan,
APBN tersebut. Dengan demikian, dikhawatirkan
penegakan hukum, edukasi dan perlindungan
OJK akan kehilangan kemandiriannya sebagai suatu
konsumen;
insitusi.
2. Kegiatan administratif, mencakup kegiatan perkantoran, remunerasi, pendidikan dan pelatihan,
Demikian halnya jika Pemerintah melakukan
pengembangan organisasi dan sumber daya
penempatan dana awal pada OJK, maka sudah
manusia;
sewajarnya jika Pemerintah merasa ikut andil dalam
3. Kegiatan pengadaan aset, mencakup aset lancar dan aset non lancar antara lain persediaan, gedung,
pembiayaan OJK sehingga dapat melakukan kontrol terhadap OJK.
peralatan dan mesin, kendaraan, perlengkapan kantor, serta infrastruktur teknologi informasi.
E. PENUTUP
4. Kegiatan pendukung lainnya. OJK diamanatkan dalam UU OJK sebagai lembaga Dengan adanya pengaturan anggaran OJK yang
memiliki fungsi, tugas dan wewenang pengaturan
demikian, maka dapat diartikan bahwa pelaksanaan
dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor
tugas dan wewenang OJK bergantung kepada APBN
jasa keuangan secara terpadu, independen dan
yang disetujui oleh DPR dan/atau Pihak yang diawasi
akuntabel.
oleh OJK, serta Pemerintah. Hal yang perlu dicermati lebih lanjut adalah apabila anggaran OJK sepenuhnya berasal dari APBN ataupun dari penempatan dana awal dari Pemerintah. Sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UUKN), APBN merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh DPR. APBN disusun sesuai dengan
17 Lihat Pasal 35 Ayat (3) UU OJK. 18 Lihat Pasal 35 jo Penjelasan Pasal 35 UU OJK
52
19 Pasal 12 UUKN berbunyi sebagai berikut: “Pasal 12 (1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. (2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. (3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. (4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat..”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Pengaturan dalam UU OJK tentang koordinasi dan kerjasama dengan instansi/lembaga lain sebenarnya tidak serta merta menjadikan OJK menjadi institusi yang tidak mandiri mengingat kewenangan sepenuhnya masih tetap berada pada OJK. Namun demikian, apabila OJK ingin menjadi lembaga yang independen sepenuhnya, maka pelaksanaan kewenangan OJK harus dilaksanakan seutuhnya oleh OJK dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dan kerjasama dengan pihak lainnya. OJK juga diharapkan dapat menjadi lembaga yang independen meskipun anggota Dewan Komisioner OJK nantinya akan berasal dari unsur Pemerintah, Bank Indonesia dan masyarakat. Dewan Komisioner diharapkan dapat mengedepankan kepentingan OJK dan meniadakan kepentingan instansi/lembaga yang diwakilinya ataupun kepentingan politik tertentu. Dari aspek anggaran, pengaturan dalam UU OJK telah mengatur bahwa anggaran OJK antara lain dapat bersumber dari APBN ataupun dapat berupa penempatan dana awal dari Pemerintah. Meskipun demikian, diharapkan OJK dapat ditempati oleh pejabat yang profesional sehingga dapat melakukan tugas dan wewenangnya tanpa intervensi dari Pemerintah maupun lembaga negara lainnya sehingga tujuan pembentukan OJK sebagai lembaga yang independen sebagaimana diamanahkan dalam UU OJK dapat terwujud.
53
DAFTAR PUSTAKA
1. UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa keuangan 2. Black’s Law Dictionary, 6th edition, henry Campbell Black, MA, St Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997 3. Bade, Robert, and Michael Parkin, “Central Bank Laws and Monetary Policy”, unpublished, 1982. 4. Fabian Atembrink, The Democratic Accountability of central Banks, Hart Publishing Ltd Oxford UK, 1999.
54
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JANUARI - APRIL 2012 Peraturan
Tanggal
Satker
Perihal
14/3/PBI/2012
29/03/2012
DASP
Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank
14/2/PBI/2012
6/01/2012
DASP
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
14/1/PBI/2012
4/01/2012
DPbS
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah
55
Halaman ini sengaja dikosongkan
56
DAFTAR SURAT EDARAN EKSTERN (SE) BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2012 Peraturan
Tanggal
Satker
14/14/DASP
18/04/2012
DASP
Perihal Tata Cara Penerbitan dan Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara.
14/13/DPNP
9/04/2012
DPNP
Pencabutan Surat Edaran Bank Indonesia No.23/15/BPPP tanggal 28 Februari 1991 Perihal Kegiatan Bank Di Pasar Modal
14/12/DSM
21/03/2012
DSM
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/33/DSM tanggal 30 Desember 2011 Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank
14/11/DPM
21/03/2012
DPM
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank.
14/10/DPNP
15/03/2012
DPNP
Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor
14/9/DPM
9/03/2012
DPM
Perubahan Ketiga atas Surat Edaran BI No.12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka
14/8/DPNP
6/03/2012
DPNP
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP tanggal 12 Juli 2006 perihal Laporan Berkala Bank Umum
14/7/DPbS
29/02/2012
DPbS
Produk Qardh Beragun Emas bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
14/6/DPM
13/02/2012
DPM
Tata Cara Pembelian dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Secara Outright Dari Bank Indonesia di Pasar Sekunder Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah
14/5/DSM
27/01/2009
DSM
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 Perihal Laporan Bulanan Bank Umum
14/4/DPNP
25/01/2012
DPNP
Bank Umum
57
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Satker
14/3/DPM
4/01/2012
DPM
Perihal Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank
58
14/2/DPM
4/01/2012
DPM
Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank
14/1/DPM
4/01/2012
DPM
Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS)
RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2012 Peraturan
Tanggal
Ringkasan
14/3/PBI/2012
29 Maret 2012
1. Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari amanat dalam UndangUndang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan mengatur mengenai penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT) yang harus diterapkan oleh penyelenggara jasa sistem pembayaran. Saat ini program APU dan PPT telah diterapkan pada penyelenggara jasa sistem pembayaran yaitu bank umum dan BPR. Oleh karenanya dipandang perlu untuk menerbitkan aturan bagi pihak selain Bank. 2. Yang dimaksud sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank (Penyelenggara) dalam PBI ini adalah badan usaha berbadan hukum Indonesia yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran. Kewajiban untuk menerapkan program APU dan PPT khususnya berlaku bagi Penyelenggara Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai: a. penerbit dan/atau acquirer kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK); b. penerbit dan/atau acquirer dalam kegiatan Uang Elektronik; dan c. penyelenggara Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU). 3. Terdapat 4 (empat) besaran dari program APU dan PPT yang harus diterapkan oleh Penyelenggara, yaitu: a. tanggung jawab direksi dan pengawasan aktif dewan komisaris; b. kebijakan dan prosedur tertulis; c. pengendalian internal; dan d. sumber daya manusia. 4. Tanggung jawab Direksi Penyelenggara antara lain mencakup: a. menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis penerapan program APU dan PPT; b. memastikan penerapan program APU dan PPT; c. memastikan penyampaian laporan kepada PPATK sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
59
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
Di sisi lain, tanggung jawab Dewan Komisaris antara lain: d. memberikan persetujuan atas kebijakan penerapan program APU dan PPT; dan e. mengawasi pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan program APU dan PPT. 5. Kebijakan dan prosedur yang harus diterapkan oleh penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank mencakup: a. Pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence (EDD); b. Penatausahaan dokumen; c. Penetapan profil pengguna jasa dan pengkinian informasi pengguna jasa; d. Penolakan dan penghentian hubungan usaha; e. Kebijakan dan prosedur transfer dana; dan f. Pelaporan kepada PPATK. 6. Yang dimaksud dengan CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan terhadap pengguna jasa yang dilakukan Penyelenggara untuk memastikan bahwa transaksi sesuai dengan profil pengguna jasa. Sedangkan EDD pada prinsipnya merupakan tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan Penyelenggara pada saat berhubungan dengan pengguna jasa yang tergolong berisiko tinggi terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Baik dalam pelaksanaan CDD maupun EDD, Penyelenggara diharuskan untuk meminta berbagai dokumen yang berguna dalam melakukan identifikasi dan penyusunan profil pengguna jasa, seperti dokumen identitas, dan melakukan pencatatan informasi terkait transaksi yang dilakukan pengguna jasa, seperti nilai dan tanggal transaksi. 7. Untuk memenuhi kewajiban terkait pengendalian internal, Penyelenggara harus menyusun kebijakan pembagian wewenang dan tanggung jawab masing-masing satuan kerja yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT, serta melaksanakan pemeriksaan internal terhadap pelaksanaan program APU dan PPT. 8. Terkait sumber daya manusia, Penyelenggara diwajibkan untuk: a. melakukan prosedur penyaringan (screening) penerimaan pegawai baru;
60
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
b. menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan mengenai penerapan program APU dan PPT; dan c. membentuk unit kerja atau menunjuk pejabat yang bertanggung jawab atas penerapan program APU dan PPT di Penyelenggara. 9. Penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban menerapkan program APU dan PPT dapat dikenakan sanksi administratif oleh Bank Indonesia berupa: a. teguran tertulis; b. penghentian sementara seluruh atau sebagian kegiatan usaha Penyelenggara; c. pembatalan izin; dan/atau d. pencabutan izin. 10. Penyelenggara yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebelum berlakunya PBI ini wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur tertulis mengenai program APU dan PPT yang dimilikinya menjadi sesuai dengan PBI ini paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya PBI ini.
14/2/PBI/2012
06 Januari 2012
1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan untuk meningkatkan penerapan aspek kehati-hatian, aspek perlindungan konsumen, dan manajemen risiko pemberian kredit dalam penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK). 2. Pokok-pokok materi perubahan yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia ini antara lain meliputi: a. penegasan definisi Acquirer dalam rangka memperjelas peran dan cakupan kegiatan Acquirer, serta pencantuman definisi Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain, yang dikenal dengan Alih Daya. b. pengaturan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit, yang besarnya ditetapkan Bank Indonesia dengan Surat Edaran Bank Indonesia. c. pengaturan persyaratan dalam pemberian fasilitas Kartu Kredit seperti batas minimum usia, batas minimum pendapatan, batas maksimum plafon kredit, dan jumlah maksimum Penerbit yang dapat memberikan fasiltas Kartu Kredit yang akan diatur secara rinci dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
61
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
d. penerapan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen seperti penyeragaman pola perhitungan bunga Kartu Kredit, pengenaan biaya dan denda, serta kewajiban penyampaian informasi kepada pemegang kartu. e. pengaturan kerjasama dengan pihak lain dengan mengacu pada PBI tentang Alih Daya (outsourcing) terutama yang terkait dengan penagihan utang Kartu Kredit. f. pengaturan peningkatan keamanan transaksi alat pembayaran berupa kewajiban implementasi transaction alert kepada Pemegang Kartu Kredit. g. kewajiban penyediaan sistem yang dapat saling dikoneksikan. h. penegasan kewenangan Bank Indonesia dalam perizinan dan pengenaan sanksi dalam penyelenggaraan APMK. 3. Pengaturan mengenai penetapan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit, pengaturan persyaratan dalam pemberian fasilitas Kartu Kredit berlaku secara efektif per 1 Januari 2013. 4. Dalam rangka pengaturan persyaratan pemberian fasilitas Kartu Kredit, Penerbit diwajibkan melakukan pembaruan data Pemegang Kartu seperti data pendapatan per bulan. Disamping itu Penerbit juga diwajibkan melakukan penyesuaian fasilitas Kartu Kredit yang telah diperoleh dengan diberikan tenggat waktu selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 2013. 5. Beberapa ketentuan lain secara rinci akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia, seperti tata cara penyampaian informasi, penentuan batas maksimum suku bunga Kartu Kredit dan pokok-pokok etika penagihan Kartu Kredit.
14/1/PBI/2012
04 Januari 2012
1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini dilakukan dalam rangka mendorong dan mengembangkan Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS), melalui penyempurnaan mekanisme transaksi PUAS. 2. Perubahan yang terjadi dalam PBI ini mencakup: a. Peserta Transaksi PUAS dan Perusahaan Pialang 1. Diperjelasnya keikutsertaan Bank Asing dalam transaksi PUAS. 2. Diperjelasnya peran Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing (Perusahaan Pialang) dalam transaksi PUAS.
62
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
b. Pengalihan Kepemilikan Instrumen PUAS Mengatur mekanisme terkait pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS sebelum jatuh waktu dengan cara jual beli. Penjual Instrumen PUAS dapat berjanji (al wa’d) untuk membeli kembali instrumen PUAS yang telah dialihkan pada harga yang disepakati di awal. c. Pengaturan mengenai sanksi 1. Sanksi terkait pelanggaran perizinan instrumen PUAS dan transaksi instrumen PUAS yang belum memperoleh izin dari BI akan dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah). 2. Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) dapat melakukan penempatan pada instrumen yang diterbitkan oleh Bank Asing, sepanjang sesuai dengan Prinsip Syariah. Pelanggaran terhadap hal tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Terminologi dalam PBI Dilakukan penyesuaian istilah dalam PBI dengan mengacu pada Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yaitu semua penyebutan “Bank Syariah” dalam PBI No. 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah beserta peraturan pelaksanaannya harus dimaknai sebagai “BUS”. 3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari 2012.
63
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN SURAT EDARAN BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2012 Peraturan
Tanggal
Ringkasan
14/14/DASP
18 April 2012
1. Penerbitan SE BI ini dilatarbelakangi dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan No.05/PMK.08/2012 tanggal 9 Januari 2012 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Perdana Dalam Negeri Dengan Cara Lelang. Dalam PMK tersebut, terdapat penambahan ketentuan yang memungkinkan penjualan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) melalui metode lelang SBSN tambahan atau green shoe option. Bank Indonesia sebagai Agen Lelang dalam hal ini harus menyesuaikan ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan Lelang SBSN, mengingat ketentuan sebelumnya, yaitu SE BI No.12/31/DASP tanggal 10 November 2010, belum memuat mengenai mekanisme lelang tambahan atau green shoe option tersebut. 2. Lelang SBSN Tambahan (green shoe option) adalah penjualan SBSN di pasar perdana dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang tambahan. Mekanisme lelang tambahan ini perlu ditambahkan dalam mekanisme lelang yang telah ada sebelumnya dalam rangka mempercepat pengembangan pasar SBSN dan mendorong pasar keuangan syariah pada umumnya. 3. Sebagaimana diatur dalam Butir II.A.14, Lelang SBSN Tambahan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Kepesertaan lelang SBSN Tambahan terbatas hanya dapat diikuti oleh Bank Indonesia, LPS, dan/atau peserta lelang, yang menyampaikan penawaran pembelian dalam lelang SBSN; b. Peserta lelang SBSN Tambahan mengajukan penawaran pembelian dalam lelang SBSN; c. Total penawaran masing-masing peserta lelang SBSN tambahan dibatasi paling tinggi sebesar total penawaran masing-masing peserta tersebut pada lelang SBSN sebelumnya, dan d. Penawaran pembelian dalam lelang SBSN Tambahan untuk SBSN Jangka Pendek hanya dapat diikuti oleh Bank Indonesia.
65
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
4. Sebagai agen lelang untuk melaksanakan lelang, Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang SBSN tambahan yang paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: a. Jenis dan seri; b. Peserta lelang; c. Waktu pelaksanaan lelang; d. Jangka waktu; e. Tanggal penerbitan; f. Tanggal setelmen; g. Tanggal jatuh waktu; h. Jenis mata uang; dan i. Waktu pengumuman hasil lelang. Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang tersebut setelah penetapan Lelang SBSN oleh Menteri Keuangan c.q DJPU. 5. Setelmen hasil lelang SBSN tambahan tidak mengalami perubahan dan tetap dilakukan pada hari yang sama dengan setelmen hasil lelang SBSN sebelumnya yaitu: a. Setelmen hasil lelang SBSN jangka pendek dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang (T+2). b. Setelmen hasil lelang SBSN jangka panjang dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal pelaksanan lelang (T+5). 6. Dalam hal Menteri Keuangan c.q. DJPU melakukan pembatalan Lelang SBSN atau menolak seluruh penawaran pembelian Lelang SBSN, Bank Indonesia akan mengumumkan pembatalan atau penolakan tersebut melalui BI-SSSS dan LHBU atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. 7. Dengan diterbitkannya SE BI ini, maka SE BI No.12/31/DASP tanggal 10 November 2010 perihal Tata Cara Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 8. Penerbitan SEBI ini dilatarbelakangi dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 05/PMK.08/2012 tanggal 9 Januari 2012 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Perdana Dalam Negeri Dengan Cara Lelang. Dalam PMK tersebut, terdapat penambahan ketentuan yang memungkinkan penjualan Surat Berharga Syariah Negara melalui metode lelang Surat Berharga Syariah Negara tambahan atau green shoe option. Bank Indonesia sebagai Agen
66
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
Lelang dalam hal ini harus menyesuaikan ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan Lelang SBSN, mengingat ketentuan sebelumnya, yaitu SEBI No. 12/31/DASP tanggal 10 November 2010, belum memuat mengenai mekanisme lelang tambahan atau green shoe option tersebut. 9. Lelang SBSN Tambahan (Green Shoe Option) adalah penjualan SBSN di pasar perdana dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang tambahan. Mekanisme lelang tambahan ini perlu ditambahkan dalam mekanisme lelang yang telah ada sebelumnya dalam rangka mempercepat pengembangan pasar Surat Berharga Syariah Negara dan mendorong pasar keuangan syariah pada umumnya. 10. Sebagaimana diatur dalam Butir II.A.14, Lelang SBSN Tambahan dilakukan dengan ketentuan sebagai beikut: a. Kepesertaan lelang SBSN Tambahan terbatas hanya dapat diikuti oleh Bank Indonesia, LPS dan/atau peserta lelang, yang menyampaikan penawaran pembelian dalam lelang SBSN; b. Peserta lelang SBSN Tambahan mengajukan penawaran pembelian dalam lelang SBSN; c. Total penawaran masing-masing peserta lelang SBSN tambahan dibatasi paling tinggi sebesar total penawaran masing-masing peserta tersebut pada lelang SBSN sebelumnya, dan d. Penawaran pembelian dalam lelang SBSN Tambahan untuk SBSN Jangka Pendek hanya dapat diikuti oleh Bank Indonesia. 11. Sebagai agen lelang untuk melaksanakan lelang, Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang SBSN tambahan yang paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: a. Jenis dan seri; b. Peserta lelang; c. Waktu pelaksanaan lelang; d. Jangka waktu; e. Tanggal penerbitan; f. Tanggal setelmen; g. Tanggal jatuh waktu; h. Jenis mata uang; dan i. Waktu pengumuman hasil lelang.
67
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
12. Setelmen hasil lelang SBSN tambahan tidak mengalami perubahan dan tetap dilakukan pada hari yang sama dengan setelmen hasil lelang SBSN sebelumnya yaitu: a. Setelmen hasil lelang SBSN jangka pendek dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang (T+2) b. Setelmen hasil lelang SBSN jangka panjang dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal pelaksanan lelang (T+5). 13. Dengan diterbitkannya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka SEBI No. 12/31/DASP tanggal 10 November 2010 perihal Tata Cara Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
14/13/DPNP
09 April 2012
1. Surat Edaran (SE) ini diterbitkan untuk mencabut SE BI No.23/15/BPPP tanggal 28 Februari 1991 perihal Kegiatan Bank di Pasar Modal. 2. SE No.23/15/BPPP merupakan surat penyampaian kepada bank umum, bank pembangunan, dan lembaga keuangan bukan bank di Indonesia terkait terbitnya Keputusan Menteri Keuangan No.1548/KMK.013/1990 tanggal 4 Desember 1990 tentang Pasar Modal. 3. Pencabutan SE No.23/15/BPPB dilakukan karena Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.1548/KMK.013/1990 yang menjadi dasar penerbitan SE tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan KMK No.645/KMK.010/1995 tanggal 30 Desember 1995. 4. Substansi pengaturan mengenai kegiatan di pasar modal selanjutnya mengacu kepada Undang-Undang No.8 Tahun 1998 tentang Pasar Modal. 5. Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 9 April 201
14/12/DSM
21 Maret 2012
1. Surat Edaran Bank Indonesia No.14/12/DSM tanggal 21 Maret 2012 tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/33/DSM Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank diterbitkan sebagai tindak lanjut atas Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/21/PBI/2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank.
68
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
2. Surat Edaran ini merupakan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor No.13/33/DSM tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank. 3. Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Maret 2012. 4. Perubahan dalam Surat Edaran ini meliputi: a. Batas waktu penggunaan sandi sementara untuk keterangan dan data yang belum diperoleh dari nasabah, yaitu sebelum berakhirnya MPL. b. Penggunaan sandi tertentu untuk informasi Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) terkait kegiatan ekspor dengan PEB yang dikeluarkan sebelum 2 Januari 2012. 5. Sanksi ketidakbenaran laporan sehubungan dengan penyampaian rincian transaksi terkait ekspor nasabah mulai berlaku untuk data periode laporan Januari 2012 yang disampaikan bulan Februari 2012.
14/11/DPM
21 Maret 2012
I.
Ketentuan ini merupakan penyempurnaan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank yang ditujukan untuk meningkatkan dukungan bagi kegiatan ekonomi di sektor riil yang membutuhkan valuta asing, khususnya terkait dengan kegiatan perdagangan internasional. Di samping itu, beberapa penyempurnaan pengaturan dalam ketentuan ini diharapkan juga dapat mendukung upaya pendalaman pasar valuta asing domestik dengan tetap memperhatikan stabilitas nilai tukar rupiah.
II.
Penyempurnaan pengaturan meliputi : 1. Pembelian valuta asing terhadap rupiah hanya dapat dilakukan untuk jenis valuta asing yang sama dengan yang tercantum dalam dokumen underlying, kecuali untuk valuta asing yang likuiditasnya tidak tersedia di pasar keuangan domestik. 2. Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah atau Pihak Asing kepada Bank di atas USD 100.000,00 (seratus ribu US Dollar) atau ekuivalen per bulan per Nasabah atau per Pihak Asing dengan jenis underlying “Penempatan pada simpanan dalam valas” dihapus. 3. Pengaturan mengenai pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah melalui Automated Teller Machine (ATM) dihapus.
69
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
4. Dokumen yang dipersyaratkan dalam rangka transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan oleh Nasabah dengan nilai nominal di atas USD100.000,00 (seratus ribu US Dollar), dilampirkan pada setiap transaksi berdasarkan tanggal transaksi. Dalam hal dokumen yang dipersyaratkan tidak dapat dilampirkan pada tanggal transaksi maka dokumen dapat disampaikan paling lambat pada tanggal valuta transaksi yang bersangkutan dengan mencantumkan tanggal transaksi. 5. Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah yang memiliki kriteria berikut: a. pembelian valuta asing terhadap rupiah dilakukan secara reguler dengan jumlah pembelian yang relatif tetap dari waktu ke waktu; b. pembelian valuta asing terhadap rupiah dilakukan secara bertahap untuk tujuan pembayaran kewajiban valuta asing dengan total jumlah pembelian paling banyak sebesar jumlah kebutuhan valuta asing yang tercantum dalam dokumen underlying; dan c. Nasabah telah dikenal baik oleh Bank dan Bank memiliki track record Nasabah yang bersangkutan, dokumen yang dipersyaratkan untuk transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah dibuat 1 (satu) kali dalam satu tahun kalender atau sampai dengan jumlah pembelian valuta asing terhadap rupiah untuk pembayaran sebagaimana tercantum dalam dokumen underlying terpenuhi, tergantung mana yang lebih dahulu. 6. Dokumen transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah untuk kegiatan impor barang dan jasa antara lain berupa fotokopi Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, Letter of Credit (L/C), invoice dengan masa berlaku paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal penerbitan invoice atau sesuai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau list of invoices. 7. Dokumen underlying transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah untuk kegiatan impor barang dan jasa yang berupa list of invoices diatur sebagai berikut: a. list of invoices ditandatangani oleh pihak berwenang dari Nasabah; dan b. penyerahan list of invoices oleh Nasabah disertakan dengan invoices asli untuk kepentingan verifikasi oleh Bank dan untuk selanjutnya invoices asli tersebut dapat ditatausahakan oleh Nasabah;
70
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
8. Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyediakan invoices asli sewaktu-waktu untuk kepentingan pemeriksaan Bank (post audit).
14/10/DPNP
15 Maret 2012
A. Latar belakang Sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) maka Bank perlu meningkatkan kehati-hatian dalam penyaluran KPR dan KKB karena pertumbuhan KPR dan KKB yang terlalu tinggi berpotensi menimbulkan berbagai Risiko bagi Bank. Sementara dari sudut pandang makroprudensial, pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi juga dapat mendorong peningkatan harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble) sehingga dapat meningkatkan Risiko Kredit bagi bank-bank dengan eksposur kredit properti yang besar. Untuk itu, agar tetap dapat menjaga perekonomian yang produktif dan mampu menghadapi tantangan sektor keuangan dimasa yang akan datang, perlu adanya kebijakan yang dapat memperkuat ketahanan sektor keuangan untuk meminimalisir sumber-sumber kerawanan yang dapat timbul, termasuk pertumbuhan KPR dan KKB yang berlebihan. Kebijakan tersebut dilakukan melalui penetapan besaran Loan to Value (LTV) untuk KPR dan Down Payment (DP) untuk KKB. B. Pokok-pokok ketentuan 1. Pengaturan Loan to Value (LTV) pada KPR: LTV paling tinggi 70% untuk kredit kepemilikan rumah dengan kriteria tipe bangunan diatas 70 m2. Pengaturan mengenai LTV dikecualikan terhadap KPR dalam rangka pelaksanaan program perumahan pemerintah. 2. Pengaturan uang muka kredit atau Down Payment (DP) pada Kredit Kendaraan Bermotor:
Ketentuan
Keterangan
DP paling kurang 25%
untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua.
71
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
Ketentuan
Keterangan
DP paling kurang 30%
untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat untuk keperluan non produktif.
DP paling kurang 20%
untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat atau lebih untuk keperluan produktif, yaitu bila memenuhi salah satu syarat : • Merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang dikeluarkan oleh pihak berwenang untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, atau • Diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional usaha yang dimiliki.
3. Rasio LTV untuk KPR dan besaran DP untuk KKB sebagaimana terdapat dalam angka 1 dan angka 2 di atas dapat disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia. 4. Besaran LTV untuk KPR dan DP untuk KKB sesuai Surat Edaran ini mulai diberlakukan 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Surat Edaran (sejalan dengan pengaturan oleh Bapepam LK). 5. Besaran LTV untuk KPR dan DP untuk KKB tidak berlaku untuk kredit yang sudah mendapat persetujuan Bank sebelum berlakunya sesuai Surat Edaran ini. 6. Sanksi pelanggaran atas : a. Pemberian KPR dan KKB dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 PBI Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009, antara lain berupa:
72
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
1) Teguran tertulis; 2) Penurunan tingkat kesehatan Bank; 3) Pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau 4) Pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. b. Pelanggaran atas kewajiban penyampaian penyesuaian kebijakan dan prosedur dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 PBI Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009. 7. SE ini mulai berlaku pada tanggal 15 Maret 2012, sedangkan ketentuan mengenai besaran LTV untuk KPR dan DP untuk KKB mulai berlaku pada tanggal 15 Juni 2012.
14/9/DPM
09 Maret 2012
Pada prinsipnya, penyempurnaan ketentuan dilakukan sebagai upaya penyempurnaan mekanisme pengajuan transaksi early redemption Term Deposit. yaitu yang semula diajukan secara manual, diubah, untuk diajukan melalui BI-SSSS Terminal (ST). Pengajuan early redemption melalui sistem mulai dilakukan sejak terbitnya Surat Edaran ini.
14/8/NP
06 Maret 2012
1. Penyempurnaan SE BI ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No.13/19/PBI/2011 tanggal 22 September 2011 (Perubahan PBI LBBU) dan dalam rangka menyesuaikan dengan format laporan dan melengkapi informasi yang diatur dalam ketentuan lainnya. 2. Pokok-pokok pengaturan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini adalah: a. menyempurnakan formulir laporan profil maturitas sesuai ketentuan mengenai manajemen risiko likuiditas dan formulir pos-pos neraca mingguan dalam rangka penyelarasan dengan format LBU yang baru; b. melakukan penambahan formulir laporan perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit sesuai ketentuan mengenai perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dan laporan suku bunga dasar kredit (SBDK) sesuai ketentuan mengenai transparansi informasi SBDK;
73
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
3. Pada saat SE BI ini mulai berlaku, kewajiban penyampaian laporan SBDK secara offline kepada Bank Indonesia sesuai SE BI No. 13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya laporan perhitungan SBDK tersebut disampaikan secara online melalui LBBU. 4. SE BI ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Maret 2012.
14/7/DPbS
29 Februari 2012
1. Penerbitan SE ini dimaksudkan untuk memberikan acuan bagi perbankan syariah dalam menjalankan produk Qardh Beragun Emas, yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. 2. Ketentuan ini berlaku untuk Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). 3. Produk Qardh Beragun Emas memiliki karakteristik (fitur) sebagai berikut: a. Tujuan penggunaan adalah untuk membiayai keperluan dana jangka pendek atau tambahan modal kerja jangka pendek untuk golongan nasabah Usaha Mikro dan Kecil (UMK). b. Akad yang digunakan adalah akad qardh (untuk pengikatan pinjaman dana yang disediakan Bank Syariah atau UUS kepada nasabah), akad rahn (untuk pengikatan emas sebagai agunan atas pinjaman dana) dan akad ijarah (untuk pengikatan pemanfaatan jasa penyimpanan dan pemeliharaan emas sebagai agunan pinjaman dana). c. Biaya yang dapat dikenakan oleh Bank Syariah atau UUS kepada nasabah antara lain biaya administrasi, biaya asuransi, dan biaya penyimpanan dan pemeliharaan. d. Sumber dana dapat berasal dari bagian modal, keuntungan yang disisihkan, dan/atau dana pihak ketiga. e. Tujuan penggunaan dana oleh nasabah wajib dicantumkan secara jelas pada formulir aplikasi produk. f. Emas yang akan diserahkan sebagai agunan Qardh Beragun Emas harus sudah dimiliki oleh nasabah pada saat permohonan pembiayaan diajukan. 4. Bank Syariah dan UUS dalam menjalankan produk Qardh Beragun Emas wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
74
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
a. Mengajukan permohonan izin terlebih dahulu kepada Bank Indonesia. b. Memiliki kebijakan dan prosedur (Standard Operating Procedure/SOP) tertulis secara memadai, termasuk penerapan manajemen risiko. c. Jumlah portofolio Qardh Beragun Emas Bank Syariah pada setiap akhir bulan paling banyak adalah jumlah terkecil antara 20% dari jumlah seluruh pembiayaan yang diberikan atau 150% dari modal bank (Kewajiban Penyediaan Modal Minimum/KPMM); dan untuk UUS, sebesar 20% dari jumlah seluruh pembiayaan yang diberikan. d. Jumlah pembiayaan paling banyak sebesar Rp250.000.000,00 untuk setiap nasabah, dengan jangka waktu paling lama 4 bulan dan dapat diperpanjang paling banyak 2 kali. Khusus untuk nasabah UMK dapat diberikan pembiayaan paling banyak sebesar Rp50.000.000,00, dengan jangka waktu paling lama 1 tahun dengan angsuran setiap bulan dan tidak dapat diperpanjang. e. Jumlah pembiayaan dibandingkan dengan nilai agunan atau Financing to Value (FTV) paling banyak 80% dari rata-rata harga jual emas 100 gram dan harga beli kembali (buyback) emas PT. ANTAM (Persero) Tbk. f. Bank Syariah atau UUS wajib menjelaskan secara lisan atau tertulis (transparan) kepada nasabah antara lain karakteristik produk (antara lain fitur, risiko, manfaat, biaya, persyaratan, dan penyelesaian apabila terdapat sengketa) dan hak dan kewajiban nasabah termasuk apabila terjadi eksekusi agunan emas. 5. Bank Syariah dan UUS yang menjalankan produk Qardh Beragun Emas sebelum memperoleh izin dari BI dikenakan sanksi teguran tertulis dan denda uang, dan bagi Bank Syariah atau UUS yang menjalankan produk Qardh Beragun Emas yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam SE dapat dikenakan sanksi berupa penghentian produk tersebut. 6. Bagi Bank Syariah atau UUS yang telah menjalankan produk Qardh Beragun Emas sebelum berlakunya SE ini wajib menyesuaikan: a. kebijakan dan prosedur dengan mengacu pada karakteristik dan fitur produk Qardh Beragun Emas paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak berlakunya SE ini. b. jumlah portofolio Qardh Beragun Emas, jumlah dan jangka waktu pembiayaan setiap nasabah, dan FTV paling lama 1 tahun terhitung sejak berlakunya SE ini.
75
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Ringkasan
14/6/DPM
13 Februari 2012
1. Bank Indonesia melakukan transaksi pembelian dan penjualan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) secara outright di Pasar Sekunder dalam rangka kontraksi moneter dan/atau ekspansi moneter serta dalam rangka menjaga ketersediaan SBSN yang diperlukan sebagai instrumen Operasi Moneter Syariah (OMS) dalam mencapai sasaran operasional kebijakan moneter Bank Indonesia. 2. Bank yang dapat mengikuti transaksi, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS dan BI-RTGS; b. Tidak dalam masa penghentian sanksi sementara untuk mengikuti OMS; c. Memiliki Rekening Giro; dan d. Memiliki Rekening Surat Berharga. 3. Bank Indonesia dapat melakukan transaksi pada setiap hari kerja, melalui mekanisme lelang dan non lelang, serta mencakup SBSN Jangka Panjang dan/atau SBSN Jangka Pendek. a. Transaksi Lelang 1. Transaksi secara lelang dilakukan melalui BI-SSSS dengan metode harga tetap (fixed rate tender) atau harga beragam (variable rate tender) antara pukul 08.00-16.00 sesuai dengan pengumuman Bank Indonesia. 2. Pengajuan penawaran lelang dilakukan melalui BI-SSSS secara langsung atau melalui Lembaga Perantara. Penawaran yang diajukan Lembaga Perantara hanya untuk kepentingan Bank. Penawaran dimaksud mencakup kuantitas transaksi, untuk lelang dengan metode fixed rate tender atau kuantitas transaksi dan yield atau harga SBSN, untuk lelang dengan metode variable rate tender. 3. Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang penjualan dan pembelian SBSN setelah window time ditutup secara individual kepada pemenang lelang melalui BI-SSSS (mencakup nilai nominal dan yield atau harga yang dimenangkan) dan secara keseluruhan melalui BI-SSSS, Sistem LHBU, dan/atau sarana lainnya (berupa nominal seluruh penawaran yang masuk, kisaran bid rate dan ratarata tertimbang tingkat yield). b. Transaksi Non Lelang Transaksi dilakukan oleh Bank Indonesia dengan counterparty Bank atau Lembaga Perantara melalui Reuters Monitoring Dealing System (RMDS) atau Bloomberg atau sarana lainnya.
76
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
4. Bank wajib memiliki dana di Rekening Giro yang mencukupi untuk setelmen pembelian SBSN secara outright di pasar sekunder atau memiliki jenis dan seri SBSN di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk setelmen penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder. 5. Setelmen transaksi dilakukan paling lama 2 (dua) hari kerja melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS secara delivery versus payment (DVP) dengan mekanisme transaksi per transaksi (gross to gross). 6. Dalam hal Bank tidak memiliki jenis dan seri SBSN di Rekening Surat Berharga atau tidak memiliki dana di Rekening Giro yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen pembelian dan penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder yang dilakukan sampai dengan cutoff warning Sistem BI-RTGS, transaksi dinyatakan batal dan Bank dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); c. Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf b dalam hal Bank melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, Bank dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut. 7. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 13 Februari 2012.
14/5/DSM
27 Januari 2012
1. Surat Edaran ini diterbitkan sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan PBI No.12/2/PBI/2010. 2. Surat Edaran ini merupakan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/7/DSM tanggal 10 Maret 2010.
77
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
3. Surat Edaran mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Januari 2012 yang disampaikan pada bulan Februari 2012. 4. Perubahan dalam Surat Edaran ini adalah terkait dengan perubahan Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum (LBU). Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) yang lama dinyatakan tidak berlaku lagi. 5. Apabila terdapat pertanyaan yang terkait dengan teknis/sistem cara pelaporan, program data entry, dan sistem transmisi diajukan kepada Tim Statistik Moneter, Keuangan dan Fiskal, Kantor Pusat Bank Indonesia, Jakarta atau Kantor Bank Indonesia setempat. Sementara, apabila pertanyaannya terkait dengan materi pelaporan, PSAK, dan PAPI diajukan kepada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan atau Direktorat Pengawasan Bank yang membawahi bank pelapor atau Kantor Bank Indonesia setempat.
14/4/DPNP
25 Januari 2012
1. Surat Edaran (SE) ini merupakan petunjuk pelaksanaan atas Peraturan Bank Indonesia No. 13/27/PBI/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum (PBI). 2. Dalam rangka penerapan manajemen risiko terkait anggota Direksi, Dewan Komisaris, Pejabat Eksekutif serta pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank, Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur yang paling kurang mencakup: a. persyaratan dan tata cara pemilihan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif; dan b. perencanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank dengan memperhatikan: visi dan misi Bank, penilaian potensi ekonomi, penilaian kinerja kantor Bank, dan realisasi tahun sebelumnya atas rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank. 3. Bank wajib menyusun kajian sebagai dasar untuk menetapkan rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank dengan berpedoman pada aturan yang dimuat dalam lampiran SE ini. Kajian tersebut wajib dicantumkan dalam lampiran rencana bisnis bank terkait rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai rencana bisnis bank.
78
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
4. Pengajuan permohonan izin atau rencana dan/atau penyampaian laporan sebagaimana diatur dalam PBI tersebut wajib diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format dan tata cara sebagaimana ditetapkan dalam SE ini. Dalam hal format lampiran tidak diatur secara khusus dalam SE ini, maka format penyampaian pengajuan permohonan atau rencana dan/atau penyampaian laporan diserahkan kepada masingmasing Bank. 5. Penyampaian laporan pengangkatan, pemberhentian atau penggantian Pejabat Eksekutif serta laporan pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank melalui laporan kantor pusat bank umum efektif berlaku pada tanggal 2 Januari 2012. Selama laporan dimaksud belum dapat disampaikan kepada Bank Indonesia melalui laporan kantor pusat bank umum maka laporan dimaksud wajib disampaikan secara offline setiap bulan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya dengan berpedoman pada Lampiran 35, Lampiran 35.a, dan Lampiran 37 SE, kepada Bank Indonesia dengan alamat Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan (DPIP) ke Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350. 6. Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/5/DPNP tanggal 28 Januari 2009 perihal Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
14/3/DPM
04 Januari 2012
I.
UMUM 1. Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank (SiKA) adalah sertifikat yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah oleh BUS atau UUS dalam transaksi PUAS yang merupakan bukti jual beli dengan pembayaran tangguh atas perdagangan Komoditi di Bursa. 2. Komoditi di Bursa adalah komoditi yang dipastikan ketersediaannya untuk ditransaksikan di pasar komoditi syariah sebagaimana ditetapkan oleh Bursa atas Persetujuan Dewan Pengawas Syariah, kecuali indeks dan valuta asing. 3. Bursa adalah PT Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Futures Exchange) yang telah memperoleh persetujuan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) untuk mengadakan kegiatan pasar komoditi syariah.
79
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
4. Peserta Pedagang Komoditi adalah peserta yang menyediakan persediaan (stock) komoditi di pasar komoditi syariah. 5. Peserta Komersial adalah BUS, UUS, atau Bank Asing yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang membeli Komoditi di Bursa. 6. Konsumen Komoditi adalah BUS atau UUS yang membeli Komoditi di Bursa dari Peserta Komersial dengan cara menerbitkan SiKA. II.
KARAKTERISTIK DAN PERSYARATAN SiKA mempunyai karakteristik dan persyaratan sebagai berikut: 1. Diterbitkan atas dasar transaksi jual beli Komoditi di Bursa dengan menggunakan akad Murabahah; 2. Diterbitkan dalam rupiah; 3. Dapat diterbitkan dengan atau tanpa warkat (scripless); 4. Berjangka waktu satu hari (overnight) sampai 365 hari; 5. Tidak dapat dialihkan kepemilikannya sepanjang belum jatuh waktu.
III. MEKANISME TRANSAKSI BURSA Peserta Pedagang Komoditi
SPAKT
Peserta Pedagang Komoditi
Rp100 tunai
Peserta Pedagang Komoditi
Rp100 tunai
SPAKT
PIALANG Rp100 + marjin, tangguh Peserta Komersial
SPAKT
Konsumen Komoditi
1. BUS atau UUS dapat menerbitkan SiKA (Konsumen Komoditi). 2. BUS, UUS, atau Bank Asing yang melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah dapat membeli SiKA (Peserta Komersial). 3. Penerbit SiKA menginformasikan kepada Pembeli SiKA antara lain: informasi nilai nominal perdagangan Komoditi di Bursa sesuai Surat Penguasaan Atas Komoditi Tersetujui (SPAKT); marjin perdagangan Komoditi di Bursa; dan jangka waktu pembayaran tangguh oleh Konsumen Komoditi.
80
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
4. Peserta Komersial membeli Komoditi di Bursa dari Peserta Pedagang Komoditi dengan pembayaran tunai (al bai’) sebesar nilai nominal komoditi. 5. Peserta Komersial menerima dokumen kepemilikan yang berupa SPAKT. 6. Peserta Komersial menjual komoditi kepada Konsumen Komoditi dengan akad Murabahah. 7. Konsumen Komoditi membayar kepada Peserta Komersial secara tangguh atau angsuran sesuai kesepakatan dalam akad Murabahah dan menerbitkan SiKA. 8. Transaksi SiKA dapat dilakukan secara langsung dan/atau melalui Perusahaan Pialang dengan akad Ju’alah. IV. PENYELESAIAN TRANSAKSI 1. Pada saat pembelian Komoditi di Bursa, Peserta Komersial melakukan transfer dana kepada Peserta Pedagang Komoditi sebesar nilai nominal komoditi dan memperoleh SPAKT dari Peserta Pedagang Komoditi. 2. Pada saat SiKA diterbitkan, Peserta Komersial menyerahkan SPAKT kepada Konsumen Komoditi. 3. Pada saat penjualan Komoditi di Bursa oleh Konsumen Komoditi kepada Peserta Pedagang Komoditi, Peserta Pedagang Komoditi melakukan transfer dana kepada Konsumen Komoditi sebesar nilai nominal komoditi sebagaimana tercantum di dalam SPAKT. 4. Pada saat SiKA jatuh waktu, Konsumen Komoditi melakukan transfer dana kepada Peserta Komersial sebesar nilai nominal komoditi ditambah marjin perdagangan Komoditi di Bursa. V.
PELAPORAN BUS atau UUS yang melakukan transaksi SiKA wajib melaporkan transaksi SiKA kepada Bank Indonesia melalui Sistem LHBU sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem LHBU. Namun demikian, dalam hal SiKA belum dapat dilaporkan secara online melalui Sistem LHBU, softcopy laporan disampaikan melalui e-mail dan hardcopy laporan disampaikan melalui faksimili kepada Direktorat Perbankan Syariah dan Direktorat Pengelolaan Moneter dengan format sebagaimana Lampiran Surat Edaran.
VI. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari 2012.
81
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
14/2/DPM
04 Januari 2012
Ringkasan
I.
UMUM 1. Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (SIMA) adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) yang digunakan sebagai transaksi di PUAS. 2. Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shohibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang disepakati sebelumnya.
II.
KARAKTERISTIK DAN PERSYARATAN SIMA mempunyai karakteristik dan persyaratan sebagai berikut: 1. Diterbitkan dengan akad Mudharabah; 2. Dapat diterbitkan baik dalam rupiah maupun valuta asing; 3. Dapat diterbitkan dengan atau tanpa warkat (scripless); 4. Berjangka waktu satu hari (overnight) sampai 365 hari; 5. Dapat dialihkan kepemilikannya sepanjang belum jatuh waktu; 6. Dapat diterbitkan berdasarkan aset yang memiliki imbal hasil tetap dan/atau aset yang memiliki imbal hasil tidak tetap; 7. Dapat diterbitkan paling banyak sebesar nilai aset yang menjadi dasar penerbitannya.
III. MEKANISME TRANSAKSI 1. BUS atau UUS dapat menerbitkan SIMA. 2. BUS, UUS, Bank Konvensional, atau Bank Asing dapat membeli SIMA. 3. Penerbit SIMA menginformasikan kepada Pembeli SIMA antara lain: nilai nominal investasi; nisbah bagi hasil; jangka waktu investasi; tingkat imbalan SIMA atau indikasi tingkat imbalan SIMA tergantung pada jenis aset yang menjadi dasar penerbitannya, dan jenis aset yang menjadi dasar penerbitan SIMA yaitu aset yang memiliki imbal hasil tetap dan/atau aset yang memiliki imbal hasil tidak tetap. 4. Dalam hal terjadi pengalihan kepemilikan SIMA, pembeli SIMA terakhir harus memberitahukan kepada penerbit SIMA agar memudahkan penerbit SIMA dalam membayar nominal investasi pada saat jatuh waktu dan pembayaran imbalan. 5. Dalam melakukan transaksi SIMA, peserta PUAS dapat menggunakan jasa Perusahaan Pialang dengan menggunakan akad Ju’alah.
82
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
IV. PENYELESAIAN TRANSAKSI 1. Pada saat SIMA diterbitkan, pembeli SIMA melakukan transfer dana kepada penerbit SIMA sebesar nominal SIMA. 2. Pada saat SIMA jatuh waktu, penerbit SIMA melakukan transfer dana kepada pembeli SIMA sebesar: a. nilai nominal SIMA ditambah imbalan, untuk SIMA yang diterbitkan dengan dasar aset yang memiliki imbal hasil tetap. b. nilai nominal SIMA, untuk SIMA yang diterbitkan dengan dasar aset yang memiliki imbal hasil tidak tetap dan pembayaran imbalan dilakukan pada hari kerja pertama bulan berikutnya setelah SIMA jatuh waktu. 3. Pada saat SIMA dialihkan kepemilikannya sebelum jatuh waktu dengan akad jual beli (al bai’) dan penjual SIMA berjanji (al wa’d) untuk membeli kembali SIMA, dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Para pihak yang bertransaksi menyepakati harga pada saat penjualan SIMA dan harga pada saat jatuh waktu janji (al wa’d) untuk membeli kembali pada awal transaksi. b. Pada saat penjualan SIMA, pembeli SIMA melakukan transfer dana ke rekening penjual SIMA sebesar harga yang disepakati. c. Pada saat jatuh waktu janji (al wa’d) untuk membeli kembali, penjual SIMA melakukan transfer dana ke rekening pembeli SIMA sebesar harga yang disepakati di awal V.
PELAPORAN BUS, UUS, atau Bank Konvensional yang melakukan transaksi SIMA wajib melaporkan transaksi SIMA kepada Bank Indonesia melalui Sistem LHBU sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai LHBU.
VI. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari 2012. VII. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat Edaran Bank Indonesia No.9/8/DPM tanggal 30 Maret 2007 perihal Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
83
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
14/1/DPM
04 Januari 2012
Ringkasan
I.
UMUM 1. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS) adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. 2. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS yang digunakan sebagai sarana transaksi di PUAS
II.
TATA CARA PERMOHONAN PERSETUJUAN PENERBITAN INSTRUMEN PUAS 1. BUS atau UUS yang akan menerbitkan Instrumen PUAS selain yang telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia wajib mengajukan surat permohonan persetujuan penerbitan Instrumen PUAS kepada Bank Indonesia u.p. Direktorat Perbankan Syariah (DPbS) dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM). 2. Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus disertai dokumen sebagai berikut: a. fotokopi fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Instrumen PUAS yang akan diterbitkan; b. opini syariah Dewan Pengawas Syariah dari BUS atau UUS terhadap Instrumen PUAS yang akan diterbitkan; c. penjelasan tentang Instrumen PUAS yang akan diterbitkan, yang paling kurang menjelaskan karakteristik, skema transaksi, proses akuntansi, pihak yang berwenang, infrastruktur yang diperlukan dan analisis risiko Instrumen PUAS tersebut; d. draft atau pokok-pokok ketentuan dalam akad atau kontrak keuangan; dan e. informasi dan/atau dokumen lainnya yang dinilai relevan dan berguna untuk menilai manfaat serta risiko Instrumen PUAS tersebut
III. MEKANISME TRANSAKSI INSTRUMEN PUAS 1. BUS, UUS, Bank Konvensional atau Bank Asing dapat membeli Instrumen PUAS yang diterbitkan oleh BUS atau UUS 2. BUS, UUS, Bank Konvensional, atau Bank Asing dapat melakukan pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS sebelum jatuh waktu untuk Instrumen PUAS yang menurut ketentuan Bank Indonesia dapat dialihkan kepemilikannya sebelum jatuh waktu.
84
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012
Peraturan
Tanggal
Ringkasan
3. Dalam melakukan transaksi di PUAS, baik pada saat penerbitan maupun pada saat pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS sebelum jatuh waktu, BUS, UUS, Bank Konvensional, atau Bank Asing dapat menggunakan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing (Perusahaan Pialang). 4. BUS atau UUS yang melakukan penempatan dana pada instrumen lain yang diterbitkan oleh Bank Asing wajib memenuhi prinsip syariah. IV. TATA CARA PELAPORAN BUS, UUS, atau Bank Konvensional yang melakukan transaksi PUAS wajib melaporkan transaksi PUAS kepada Bank Indonesia melalui Sistem LHBU sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai LHBU. V.
TATA CARA PENGENAAN SANKSI 1. BUS atau UUS yang tidak menaati ketentuan tatacara penerbitan Instrumen PUAS dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah). 2. BUS atau UUS yang melakukan Penempatan dana pada instrumen yang diterbitkan oleh Bank Asing dalam transaksi PUAS yang tidak memenuhi prinsip syariah, dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
VI. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari 2012. VII. Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran No.9/7/DPM tanggal 30 Maret 2007 perihal Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
85
Halaman ini sengaja dikosongkan