BULETIN
ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Keterlibatan Bank Indonesia Dalam Memprakarsai Rancangan Undang-Undang Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Mengenal Foreign Account Tax Compliance Act (Fatca) Dan Tinjauan Singkat Dari Aspek Hukum Perbankan Indonesia Hak Milik Atas Rumah Sebagai Jaminan Fidusia Politik Hukum Persaingan Usaha Menuju Sistem Persaingan Sehat Di Masa Yang Akan Datang Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, September - Desember 2013 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, September - Desember 2013
Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Siddha Karya, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe, Rosalia Suci Pemimpin Redaksi Libraliana Badilangoe Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Imam Subarkah, Agus Susanto Pratomo, Amsal C. Appy, Hari Sugeng Raharjo, Endang R. Budi Astuti, Pulih Widayaningrum Redaksi Pelaksana Ellia Syahrini, Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH., LLM Dr. Inosentius Samsul, SH., LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH., MH Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Departemen Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email:
[email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi”
DARI MEJA REDAKSI
Pembaca Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 3, September-Desember 2013 kembali hadir dan menyapa pembaca sekalian, dengan berbagai artikel. Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan amandemen UU Bank Indonesia pasca UU Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia telah melakukan berbagai penelitian dengan fakultas hukum. Dalam edisi ini secara khusus Buletin menampilkan hasil penelitian kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, yaitu mengenai Keterlibatan Bank Indonesia Dalam Memprakarsai Rancangan Undnag-Undang Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Artikel ini disarikan dari penelitian yang dilakukan oleh Dr. Drs. Paripurna, SH, LLM; Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, SH, LLM; Veri Antoni, SH, MH dan Dian Agung Wicaksono, SH, LLM. Selain itu, Buletin juga menurunkan artikel mengenai Foreign Account Tax Compliance (Fatca) Dan Tinjauan Singkat Dari Aspek Hukum Perbankan Indonesia, yang ditulis oleh Fransiska Ari Indrawati, SH, LLM; Hak Milik Atas Rumah Sebagai Jaminan Fidusia, yang ditulis oleh Dr. Urip Santoso, SH, MH; serta Politik Hukum Persaingan Usaha Menuju Sistem Persaingan Sehat Di Masa Yang Akan Datang, yang ditulis oleh Nadir, SH, MH. Harapannya, artikel yang dimuat dalam Buletin tersebut akan memperkaya wacana dan kajian dalam rangka pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perbankan dan kebanksentralan. Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan September sampai dengan Desember 2013, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca. Jakarta, Desember 2013
Redaksi
i
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN VOLUME 11, NOMOR 3, SEPTEMBER - DESEMBER 2013 Halaman Dari Meja Redaksi...................................................................................................................................
i
Daftar Isi.................................................................................................................................................
iii
Keterlibatan Bank Indonesia Dalam Memprakarsai Rancangan Undang-Undang Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.......................................................................................................................
1 - 40
Dr. Drs. Paripurna, S.H., M.Hum., LLM; Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, S.H., LLM; Veri Antoni, S.H., M.Hum.; Dian Agung Wicaksono, S.H., LLM. Mengenal Foreign Account Tax Compliance Act (Fatca) Dan Tinjauan Singkat Dari Aspek Hukum Perbankan Indonesia ..............................................................................................................................
41 - 53
Fransiska Ari Indrawati, S.H., LLM. Hak Milik Atas Rumah Sebagai Jaminan Fidusia ......................................................................................
55 - 66
Dr. Urip Santoso, S.H., MH. Politik Hukum Persaingan Usaha Menuju Sistem Persaingan Sehat Di Masa Yang Akan Datang................
67 - 82
Nadir, S.H., MH. Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, September - Desember 2013............
83 - 86
Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia) Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, September - Desember 2013......
87 - 124
Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)
iii
KETERLIBATAN BANK INDONESIA DALAM MEMPRAKARSAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Disusun oleh:1 Dr. Drs. Paripurna, S.H., M.Hum., LLM. Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, S.H., LLM. Veri Antoni, S.H., M.Hum. Dian Agung Wicaksono, S.H., LLM.
Abstrak Keterlibatan BI dalam memprakarsai RUU yang terkait dengan tugas dan kewenangan BI, yaitu melalui: Pertama, jalur legislasi. Pada jalur ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) alternatif pilihan, yaitu: Opsi Kesatu, BI menjadikan diri sebagai pemrakarsa, dengan catatan semua perubahan pengaturan di atas sudah dilakukan, maka BI dapat menjadi pemrakarsa RUU dari jalur pemerintah atau pengusul RUU dari jalur DPR. BI dapat juga memilih langkah untuk menyusun suatu RUU yang berkaitan dengan fungsi, tugas, kewajiban dan lembaganya, kemudian dari RUU yang dibuat tersebut BI memilih jalur di antara DPR, Presiden, atau DPD untuk selanjutnya dapat diajukan. Opsi Kedua, BI hanya menunggu permintaan dan undangan dari Pemerintah yang diwakili oleh Menteri untuk dilibatkan dalam proses pembahasan suatu RUU. Derajat ini berpegang pada definisi legalistik formal bahwa kewenangan pemrakarsa hanya dapat dilakukan menteri/pimpinan lembaga pemerintah non-departemen. Opsi Ketiga, BI membangun kerja sama dengan lembaga yang dapat mengusulkan atau memprakarsai RUU dalam hal pembangunan hukum di bidang kewenangan BI. Kedua, jalur ajudikasi atau negatif legislasi. BI mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD di Mahkamah Konstitusi atas kerugian konstitusional yang diderita oleh BI dengan keberlakuan pengaturan dalam UU BI yang telah sah berlaku. Selain itu, BI juga harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran atas Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 sebagai koridor untuk memperjelas fungsi, tugas, kewenangan dan independensi BI. Dengan demikian, dapat dinilai apakah selama ini norma dalam UU BI sudah sejalan dengan norma konstitusi atau belum. Tidak dilibatkannya BI dalam proses legislasi UU yang mengatur terkait kewenangan BI tentu membawa dampak yang signifikan terhadap pelaksanaan kewenangan konstitusional BI, yang tentu mengarah pada munculnya kerugian konstitusional yang diderita oleh BI. Hal tersebut setidaknya cukup untuk menjadi dasar mengapa BI harus dilibatkan dalam proses legislasi UU yang terkait dengan kewenangan BI.
1
Dosen FH UGM
1
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
A. Latar Belakang
Dewan Moneter, sehingga BI pada saat itu merupakan bagian integral dari pemerintah.4 Oleh karena itu,
Membahas mengenai Bank Indonesia (BI) sebagai
DPR bersama Presiden akhirnya bersepakat
bank sentral, tentu tidak dapat dilepaskan dari desain
memberikan kemandirian kepada Bank Indonesia
konstitusional yang menyatakan bahwa negara
sebagai bank sentral melalui UU Nomor 23 Tahun
memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,
1999 tentang Bank Indonesia.
kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU.2 Hal tersebut menunjukkan adanya
Pemberian kemandirian kepada BI bertujuan agar BI
pengakuan secara konstitusional terhadap eksistensi
tidak lagi menjadi bagian dari pemerintah. Namun,
bank sentral dalam sistem ketatanegaraan di
dalam perjalanannya kemandirian BI yang diberikan
Indonesia, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh BI.
oleh UU Nomor 23 Tahun 1999 direvisi melalui UU
Pengaturan lebih lanjut mengenai bank sentral
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU
“dengan undang-undang” (bij de wet geregeld)
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
meredefinisi kemandirian BI dengan memberikan
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
pembatasan dalam hal melaksanakan tugas dan
NRI Tahun 1945) inilah yang sejatinya menjadi
kewenangannya. Hal ini dipandang penting sebab
konstruksi utama dalam memberikan arah pengaturan
diperlukan koordinasi yang lebih erat antara BI sebagai
mengenai bank sentral di Indonesia. Pengaturan lebih
pemegang otoritas moneter dengan Pemerintah
lanjut inilah yang dapat mendudukkan dan
sebagai pemegang otoritas fiskal dan sektor riil dalam
memberikan desain spesifik mengenai kewenangan,
rangka mewujudkan kestabilan nilai rupiah.5 Redefinisi
kelembagaan, dan kedudukan bank sentral (Bank
atas terminologi independensi BI dapat diartikan
Indonesia) dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
sebagai bentuk degradasi level kemandirian BI sebagai lembaga negara yang independen atau pula dimaknai
Salah satu aspek utama dalam desain bank sentral
sebagai bentuk konkretisasi independensi.
adalah terkait kemandirian bank sentral dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Sebab
Revisi kemandirian dan luasan cakupan “interaksi”
secara historis ketidakmandirian bank sentral
BI setidak-tidaknya dapat mempengaruhi kemandirian
merupakan salah satu penyebab utama terjadinya
BI dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya
krisis ekonomi sebelum dilakukannya perubahan
dalam menjaga stabilitas nilai rupiah. Di luar
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945).3
Dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangan BI, salah satu
perjalanan selanjutnya, beriringan dengan proses
bentuk “interaksi” tersebut adalah peran DPR dalam
perubahan UUD 1945, Presiden dan Dewan Perwakilan
penentuan anggaran BI berdasarkan Pasal 60 UU
Rakyat (DPR) juga melakukan proses penggantian
Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah terakhir
Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1968 tentang
dengan UU Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), yang
Bank Sentral, yang memberi kedudukan kepada BI
menentukan bahwa anggaran operasional BI harus
sebagai pembantu pemerintah dalam melaksanakan
dimintakan persetujuan dari DPR. Bahkan dalam
kebijakan moneter yang disusun dan ditetapkan oleh
2
Pasal 23D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3
Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 10, No. 3, September - Desember 2012, hlm. 1.
2
4.
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
5.
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
perkembangan kekinian di tengah wacana adanya
dengan susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung
revisi UU BI, DPR juga menghendaki adanya
jawab dan independensi agar kemudian substansi
persetujuan DPR terlebih dahulu dalam penetapan
UU tersebut koheren dan dapat diimplementasikan
anggaran kebijakan yang sebelumnya hanya wajib
dengan tepat oleh BI.
dilaporkan secara khusus kepada DPR. Peluang BI untuk dapat turut membahas RUU Bukan hanya itu, desain UU BI saat ini juga sangat
sebenarnya terbuka melalui Pasal 68 ayat (6) UU
dominan aspek pengawasan dari DPR. Hal tersebut
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
dapat dilihat pada Pasal 38 ayat (4) UU BI yang
Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi,
mengatur bahwa kinerja Dewan Gubernur dan
“Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang
Anggota Dewan Gubernur dalam melaksanakan
pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika
tugas dan wewenangnya dinilai oleh DPR. DPR juga
materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan
kemudian berwenang memberikan persetujuan
lembaga negara atau lembaga lain.”7 Pasal a quo
menurut Pasal 62 ayat (3) UU BI bilamana Pemerintah
membuka peluang BI untuk turut serta dalam tahap
hendak memberikan injeksi modal karena modal BI
pembicaraan tingkat I dalam pembentukan suatu
kurang dari Rp2Trilyun. Tentu pengaturan mengenai
RUU yang substansi terkait dengan kewenangan
modal minimum BI merupakan hal yang tidak tepat
lembaga negara yang lain. Peluang tersebut menjadi
mengingat BI bukanlah commercial entity.
bernilai sangat politis karena frasa yang mengatur hanya berbunyi “dapat diundang” dan bukan “harus
Beranjak dari permasalahan tersebut di atas, maka
mengundang”. Padahal bila memang substansi yang
perlu kemudian dimaknai kembali substansi
diatur dalam RUU tersebut terkait erat dengan
kemandirian yang dilekatkan kepada BI, yang mana
kewenangan lembaga negara yang lain sudah
desain kemandirian tersebut sepenuhnya merupakan
sepatutnya bila lembaga negara tersebut wajib untuk
pilihan kebijakan (legal policy) yang dituangkan
diundang, sehingga apa yang diatur dalam UU
dengan UU khusus yang mengatur susunan,
tersebut sejalan dan dapat diimplementasikan oleh
kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan
lembaga yang terkait.
independensi bank sentral. Sebagai lembaga negara yang independen, yang bebas dari campur tangan
Sejatinya, keterlibatan bank sentral dalam proses
Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya.6
pengusulan RUU bukan lagi hal baru dalam konteks kebanksentralan di dunia. Bank Sentral Cyprus (Cyprus
Menjadi hal yang harus ditelaah lebih lanjut untuk
Central Bank/CCB) mengusulkan RUU terkait
melibatkan BI dalam proses pembentukan UU yang
restrukturisasi sektor perbankan yang terkena krisis,
mengatur lebih lanjut terkait kewenangan BI sebagai
yakni dengan merekomendasikan pengajuan
bank sentral di Indonesia. Pelibatan BI semata dalam
mendesak dan pemberlakuan segera menjadi UU
kerangka menjaga konsistensi independensi bank
Reorganisasi dan Pemulihan Sistem Perbankan Cyprus
sentral sebagai lembaga negara yang diamanatkan
oleh Parlemen Cyprus.8 RUU tersebut akhirnya
oleh konstitusi. Keterlibatan BI penting khususnya dalam mengawal pembentukan UU yang terkait
6
Bagian Konsiderans Menimbang huruf d dan Pasal 4 ayat (2) UndangUndang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
7
Pasal 68 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
8
Redaksi Suara Merdeka, “Harga Minyak Dunia Turun Imbas Krisis Siprus”, http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/03/22/1 49970/Harga-Minyak-Dunia-Turun-Imbas-Krisis-Siprus, diakses 12 April 2013.
3
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
disahkan oleh 26 suara, dengan 2 suara menolak dan 25
abstain.9
Fakta tersebut cukup memberikan
Berita Negara Republik Indonesia, termuat keterangan mengenai bank sentral.10
ilustrasi bahwa pelibatan bank sentral dalam proses
Penjelasan Pasal 23 UUD 1945
pembahasan RUU adalah sebuah hal yang dapat
menyebutkan bahwa, “Kedudukan Bank
dimungkinkan terjadi. Oleh karena itu, diperlukan
Indonesia yang akan mengeluarkan dan
pula kajian mendalam untuk menganalisis peluang
mengatur peredaran uang kertas,
keterlibatan BI dalam memprakarsai RUU dalam
ditetapkan dengan undang-undang”.11
sistem ketatanegaraan Indonesia. 2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat B. Bank Indonesia dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia
1949 (KRIS 1949). Bank sentral dalam KRIS 1949 diatur dalam Pasal 164 ayat (4) dan Pasal 165. Pasal 164 ayat (4)
1. Desain Kelembagaan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang Mandiri
menyatakan, “Pengeluaran alat-alat pembayaran yang sah dilakukan oleh atau atas nama Republik Indonesia Serikat
a. Pengaturan Bank Sentral dalam Konstitusi
ataupun Bank Sirkulasi”. Pasal 165 ayat
Sebelum masa reformasi terdapat tiga
(1) menyatakan, “Untuk Indonesia ada
konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia,
satu Bank Sirkulasi”, sedangkan ayat (2),
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
“Penunjukan sebagai Bank Sirkulasi dan
1945), Konstitusi RIS 1949 (KRIS 1949), dan
pengaturan tatanan dan kekuasaannya
UUD Sementara 1950 (UUDS 1950). Ketiganya
dilakukan dengan undang-undang
memberikan rumusan pengaturan yang
Federal”.
berbeda terkait bank sentral, yaitu: 3) Undang-Undang Dasar Sementara 1950 1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
(UUDS 1950). Pengaturan bank sentral
1945). Berdasarkan pembahasan
dalam UUDS 1950 terdiri atas tiga ayat
rancangan UUD 1945 dalam sidang BPUPKI
yang terdapat dalam Bab IV tentang
(Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Keuangan, yaitu Pasal 109 ayat (4), Pasal
Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia
110 ayat (1) dan (2). Pasal 109 ayat (4)
Persiapan Kemerdekaan Indonesia), tidak
menyebutkan, “Pengeluaran alat-alat
ditemukan adanya usulan ataupun pembahasan mengenai bank sentral. Pembahasan yang mengemuka saat itu lebih banyak terkait dengan hal keuangan dan anggaran negara serta perekonomian dan kesejahteraan sosial secara umum. Namun demikian, dalam penjelasan Pasal 23 UUD 1945 yang dibuat kemudian dan untuk pertama kalinya diumumkan dalam
9
Ella Syafputri, “Parlemen Siprus Setujui RUU Restrukturisasi Bank”, http://www.antaranews.com/berita/364887/parlemen-siprus-setujui-ruurestrukturisasi-bank, diakses 12 April 2013.
4
10 Penjelasan ini dibuat oleh Soepomo untuk kepentingan sosialisasi naskah UUD 1945 yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Karena itu, dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1946, judulnya ditulis dengan kata “tentang”, yaitu: “Pendjelasan tentang Oendang-Oendang Dasar Negara Repoeblik Indonesia”, bukan “Penjelasan OendangOendang Dasar Negara Repoeblik Indonesia” sebagai judul dokumen. 11 Dengan demikian berdasarkan penjelasan Pasal tersebut, eksistensi konstitusional Bank Indonesia sebagai nama dan sebagai institusi bank sentral sudah diungkapkan secara eksplisit. Sayangnya, ketentuan tersebut hanya terdapat dalam penjelasan, yang meskipun sudah diberlakukan sebagai bagian dari UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden, tetapi tidak bersifat imperatif. Oleh karena itu, sebelum Undang-Undang tentang Bank Indonesia disusun, atas kebutuhan ketika itu, maka Bank Negara Indonesia Tahun 1946 yang dibentuk lebih dahulu yang disamping merupakan Bank Komersial atau Bank yang melaksanakan tugas Bank Indonesia sebagai Bank Sentral.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
pembayaran yang sah dilakukan oleh atau
suatu Bank Sentral yang susunan, kedudukan,
atas nama Pemerintah Republik Indonesia
kewenangan, tanggung jawab, dan
ataupun oleh Bank Indonesia”. Sedangkan
independensinya diatur dengan undang-
Pasal 101 ayat (1), “Untuk Indonesia ada
undang”.
satu Bank Sirkulasi”, sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Penunjukan sebagai Bank
Pencantuman independensi ke dalam batang
Sirkulasi dan pengaturan tatanan dan
tubuh konstitusi juga terjadi perbedaan
kekuasaannya dilakukan dengan undang-
pendapat. Perbedaan pendapat ini tercatat
undang”.
dalam Risalah Rapat Pleno ke-14 Panitia AdHoc I Badan Pekerja MPR, tertanggal 14 Maret
Setelah masa reformasi, Majelis
2002. Pendapat yang setuju, misalnya, diwakili
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
oleh Lukman Hakim dari F-PPP, dengan
(selanjutnya disebut MPR RI) menggarisbawahi
pertimbangan karena pada masa lalu bank
salah satu kebijakan reformasi pembangunan
sentral selalu begitu mudah diintervensi oleh
yang harus dilakukan guna penyelamatan dan
pemerintah, maka larangan terhadap intervensi
normalisasi kehidupan nasional adalah
ini harus dilakukan dengan cara menegaskan
restrukturisasi dan penyehatan
perbankan.12
independensi bank sentral dalam UUD.15
Proses restrukturisasi dan penyehatan
Pendapat yang sama diungkapkan Gregorius
perbankan harus dimulai dengan mewujudkan
Seto Harianto dari F-PDKB bahwa telah ada
bank sentral yang tidak dapat diintervensi
kesepakatan dalam amandemen UU Nomor
oleh pemerintah. Sebab menurut MPR RI,
23 Tahun 1999 untuk mempertahankan
salah satu penyebab melemahnya
independensi Bank Indonesia dalam
perekonomian nasional pada saat itu adalah
melaksanakan tugasnya.
sistem perbankan yang tidak mandiri. Ketidakmandirian ini dikarenakan adanya
Pendapat yang tidak setuju pencantuman
kewenangan pemerintah untuk melakukan
independensi dalam batang tubuh konstitusi,
intervensi terhadap bank sentral.13 Berbeda
misalnya diwakili oleh Pataniari Siahaan dari
dengan tiga UUD sebelumnya, hanya UUD
F-PDIP, yang berpendapat bahwa independensi
1945 Hasil Amandemen IV yang secara tegas
itu cukup dicantumkan dalam undang-undang,
menyebutkan tentang independensi bank
karena bank sentral itu hanya independensi
sentral,14
dengan rumusan Pasal 23D UUD
dari kekuasaan pemerintah. Pendapat seperti
NRI Tahun 1945 bahwa, “Negara memiliki
ini juga disetujui oleh Mayjen TNI Affandi dari F-TNI/POLRI, dengan alasan menimbulkan implikasi politik, karena akan timbul multi interpretasi selain menimbulkan kekakuan.
12 Lihat Bab IV, huruf a, butir c Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Tidak perlunya independensi ini dicantumkan
13 Lihat Bab II, huruf a Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
dinilai cukup dinyatakan dalam undang-
14 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2002, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 185-186.
dalam konstitusi juga dinyatakan oleh Soedijarto dari F-UG, karena independensi undang. Pendapat ini juga menjadi pendapat A.M. Lutfi dari F-Reformasi.
15 Ibid., hlm. 185.
5
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Selain masalah independensi bank sentral,
dibuatnya pun sejajar dengan keputusan
masalah lain yang cukup pelik menjadi
Menteri.18
perdebatan adalah status Bank Indonesia sebagai lembaga negara. Hal ini terkait dengan
Penjelasan-penjelasan pemerintah di atas
tidak adanya penjelasan dalam undang-
secara jelas mendudukkan Bank Indonesia
undang tentang kedudukan Bank Indonesia
sebagai lembaga negara, bukan merupakan
sebagai lembaga negara yang independen,
lembaga tinggi negara. Adapun mengenai
yang dapat dikategorikan sama dengan
kesetaraan antara Bank Indonesia dengan
lembaga tinggi negara lainnya, seperti Presiden,
lembaga tinggi negara dalam menjalankan
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
fungsinya dapat dilihat dari hubungan kerja
Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, dan
antara Bank Indonesia dengan pemerintah
Mahkamah Agung, sebagaimana dimaksud
dalam kedudukannya sebagai lembaga negara
dalam Pasal 1 ayat (2) Ketetapan MPR RI
yang independen sebagaimana diatur dalam
Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan
Pasal 52 sampai dengan Pasal 56 UU Nomor
Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi
23 Tahun 1999 jo. UU Nomor 3 Tahun 2004.
Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.16
Dengan statusnya yang spesial ini, meminjam istilah Klaus Stern, maka Bank Indonesia harus
Dalam keterangan pemerintah yang
dilihat sebagai “the highest executive state
dikemukakan oleh Menteri Keuangan pada
bodies”19, dengan “its designation as an
Rapat Kerja Komisi VIII ke-6, tanggal 9 Maret
authority is applicable only to a very restricted
1999 dinyatakan bahwa:
extent”20. Hal tersebut yang kemudian
[…] Ingin disebut lembaga pemerintahan tidak
membuat Ellen Kennedy menyimpulkan bahwa
bisa, karena governance agency dia tidak bisa
bank sentral adalah “[…] is not a constitutional
karena di luar pemerintahan. Tapi dia bukan
branch like the judiciary, legislative or executive,
swasta, dia juga bukan lembaga tinggi negara,
the Bundesbank operate in constitutive manner
tapi dia bukan lembaga swasta, bukan private
and its norm of monetary stability is more like
agency, bukan governance agency, bukan
a constitutional principle.”21
sebagai lembaga tinggi negara. Ini suatu agency, suatu lembaga bukan pemerintahan tapi punya negara. […].17 Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Departemen Kehakiman memberikan penjelasan pada Rapat Panitia Kerja ke-2, tanggal 25 Maret 1999, bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen sejajar dengan menteri dan peraturan yang
18 Sekretariat Komisi VIII, 1999b, Proses Pembahasan Rancangan UndangUndang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku IV, Rapat ke15, 25 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hlm. 79. Lihat juga Maqdir Ismail, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Op.cit., hlm. 353. 19 Klaus Stern, “The Note-Issuing Bank within the State Structure”, dalam Deutsche Bundesbank (Ed.), 1999, Fifty Years of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Germany since 1948, Oxford University Press, UK, hlm. 111. Lihat juga Maqdir Ismail, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Op.cit., hlm. 356.
16 Ibid., hlm. 149.
20 Klaus Stern, “The Note-Issuing Bank within the State Structure”, Op.cit., hlm. 110. Lihat juga Maqdir Ismail, “Menselaraskan Undang-Undang Bank Sentral dan Undang-Undang Perbankan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Juni 2007, hlm. 80.
17 Sekretariat Komisi VIII, 1999a, Proses Pembahasan Rancangan UndangUndang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku II, Rapat ke6, 9 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hlm. 62. Lihat juga Maqdir Ismail, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 3, Juli 2010, hlm. 352.
21 Ellen Kennedy, 1991, The Bundesbank Germany’s Central Bank in the International Monetary System, The Royal Institute of International Affairs, Pinter Publishers, London, hlm. 11. Lihat juga Maqdir Ismail, “Menselaraskan Undang-Undang Bank Sentral dan Undang-Undang Perbankan”, Loc.cit.
6
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas,
dalam struktur kenegaraan Republik Indonesia
pasca reformasi desain kelembagaan Bank
tidak ditentukan secara eksplisit dalam UUD
Indonesia sebagai bank sentral merupakan
NRI Tahun 1945, tetapi hanya ditentukan
reaksi atas pengalaman ketika Bank Indonesia
dalam UU. Bank Indonesia adalah lembaga
dengan mudah diintervensi pemerintah, yang
negara yang ditentukan dalam UUD NRI Tahun
berakibat Bank Indonesia tidak dapat
1945, tetapi kewenangannya diberikan oleh
melaksanakan fungsinya secara baik, sehingga
UU. Oleh karenanya, sangatlah sulit untuk
melahirkan isu independensi Bank Indonesia.
mengatakan bahwa Bank Indonesia adalah
Desain kelembagaan Bank Indonesia atas
state agency (dalam perspektif state agency
dasar respon pengalaman masa lalu
adalah lembaga atau institusi yang dibentuk
dibandingkan pertimbangan akademis yang
oleh undang-undang)22, sebab Bank Indonesia
lebih bersifat teoritis membuat desain Bank
adalah Bank Sentral Republik Indonesia
Indonesia menjadi lembaga yang “unik” bila
sebagaimana ditentukan lewat UU Bank
dibandingkan dengan lembaga-lembaga
Indonesia. Akibatnya, susunan, kedudukan,
negara lainnya.
kewenangan, tanggung jawab, dan independensi bank Indonesia, sepenuhnya
b. Pengaturan Bank Sentral dalam Undang-
bergantung pada kesepakatan (konsensus)
Undang
antara DPR dan Presiden, selaku pemegang
Sebagaimana telah juga dikutip di atas, Pasal
kekuasaan membentuk UU.
23D UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa, “Negara memiliki suatu bank sentral
Dinamika pengaturan tersebut terlihat dari
yang susunan, kedudukan, kewenangan,
rumusan desain Bank Indonesia pada UU yang
tanggung jawab, dan indipendensinya diatur
mengatur tentang Bank Indonesia. Pasal 4
dengan undang-undang”. Berdasarkan
UU Nomor 23 Tahun 1999 menyebutkan
ketentuan Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945
bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara
tersebut, meskipun ketentuan konstitusional
yang independen, bebas dari campur tangan
tentang bank sentral hanya terdiri dari satu
Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya,
pasal, namun terkandung substansi yang
kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
mendasar. Pertama, negara ditegaskan
dalam UU Bank Indonesia. Kemudian, pada
memiliki “satu bank sentral”. Suatu bank
Pasal 4 UU Nomor 3 Tahun 2004 sebagai
sentral itu menunjukkan kepada satu lembaga
perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999,
yang berfungsi sebagai bank sentral dengan
rumusan desain Bank Indonesia mengalami
nama yang tidak ditentukan secara eksplisit.
perubahan, khususnya pada bagian luasan
Kedua, bank sentral yang dimaksudkan itu
independensi yang dilekatkan pada Bank
mempunyai susunan, kewenangan, tanggung
Indonesia.
jawab, dan kedudukan yang independen. Ketentuan mengenai susunan, kewenangan,
Dalam aturan perubahan disebutkan bahwa
tanggung jawab, dan independensinya akan
Bank Indonesia adalah lembaga negara yang
diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
Menariknya, bilamana dibandingkan dengan lembaga lain, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden, maka kedudukan Bank Indonesia
22 Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Op.cit., hlm. 10.
7
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya,
sistem ketatanegaraan Indonesia, sebab tidak
kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
ada lembaga negara lain dalam sistem
dalam UU Bank Indonesia. Penambahan frasa
ketatanegaraan Indonesia yang dapat secara
“dalam melaksanakan tugas dan
langsung mengajukan anggarannya kepada
kewenangannya” menunjukkan dinamika
DPR dan Presiden, melainkan harus melalui
desain independensi Bank Indonesia yang
proses penganggaran yang normal, yaitu
ditentukan oleh substansi pengaturan dalam
melalui proses anggaran pendapatan dan
UU Bank Indonesia.
belanja negara sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UUD 1945.25
Salah satu bentuk konsekuensi pemberian independensi kepada Bank Indonesia adalah
Kemandirian mengusulkan dan menetapkan
diberikannya kewenangan kepada Bank
penganggaran secara normatif mulai direduksi
Indonesia untuk mengatur atau
dengan dilakukannya perubahan terhadap UU
membuat/menerbitkan peraturan yang
Nomor 23 Tahun 1999 melalui UU Nomor 3
merupakan pelaksanaan
undang-undang.23
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Keleluasaan dalam mengatur ini merupakan
Undang Nomor 23 Tahun 1999. Perubahan
salah satu perwujudan kemandirian yang
tersebut secara spesifik difokuskan pada
dimiliki oleh Bank Indonesia. Selain diberi
penyesuaian mekanisme perumusan kebijakan
kewenangan untuk mengatur atau
moneter dan penataan kembali kelembagaan
membuat/menerbitkan peraturan, Bank
Bank Indonesia sebagai penanggung jawab
Indonesia juga diberi keleluasaan dalam
otoritas kebijakan moneter.26 Kedua hal ini
mengatur struktur, kepegawaian, keuangan,
menjadi fokus perubahan karena dengan
dan bahkan penggajian bagi Gubernur, Deputi
perubahan ini diharapkan dapat memperkuat
Senior Gubernur, dan para Deputi Bank
akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas
Indonesia. Dengan demikian, kemandirian
Bank Indonesia tanpa mengurangi makna
tidak hanya sebatas pembentukan peraturan
independensi lembaga negara.27
perundang-undangan saja, tetapi juga diberi kemandirian dalam menentukan dan
UU Nomor 3 Tahun 2004 dinilai melakukan
mengatur organisasinya.
pembatasan terhadap independensi yang dimiliki oleh Bank Indonesia berdasarkan UU
Lebih lanjut, UU Nomor 23 Tahun 1999 juga
Nomor 23 Tahun 1999 dengan memberi
memberikan kewenangan Bank Indonesia
batasan kata “independensi” dalam Pasal 4
untuk secara langsung mengusulkan dan
ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1999, yaitu
menetapkan anggaran tahunan dan
menambahkan frasa “dalam melaksanakan
memberitahukannya ke DPR dan Presiden.24 Konstruksi ini sangat mengukuhkan kemandirian Bank Indonesia dalam konstelasi
23 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). 24 Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
8
25 Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Op.cit., hlm. 9. 26 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 27 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
tugas dan wewenangnya”. Dengan
Ketentuan Pasal 4 tersebut menjadi penting
ditambahkannya frasa ini, makna independensi
ketika dinyatakan bahwa Bank Indonesia
dibatasi hanya dalam melaksanakan tugas
adalah lembaga negara independen, bebas
dan kewenangan saja dan tidak pada bidang
dari campur tangan pemerintah atau pihak
lain. Artinya, DPR dan Presiden dapat dimaknai
lain, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat.
sepakat untuk mereduksi derajat independensi
Rumusan tersebut kemudian disambung
yang telah mereka berikan melalui UU Nomor
dengan frasa “kecuali untuk hal-hal yang
23 Tahun 1999 atau mengkonkretkan makna
secara tegas diatur dalam undang-undang
independensi yang dimiliki Bank Indonesia.
ini”, maka dengan demikian rumusan Pasal tersebut bila dimaknai secara argumentum a
2. Hubungan Bank Indonesia dengan Lembaga Negara Lain
contrario berarti Pemerintah dan DPR hanya dapat mencampuri urusan Bank Indonesia untuk hal-hal yang memang diatur dalam UU
a. Hubungan Bank Indonesia dengan Dewan
Bank Indonesia. Dengan demikian, “campur
Perwakilan Rakyat
tangan” tersebut dijabarkan dalam relasi yang
Dalam rangka menelaah hubungan Bank
tercermin dalam Pasal 58, 58A, dan 59.
Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perlu ditelaah kembali ketentuan Pasal 4 UU
Pada umumnya hubungan antara bank sentral
Nomor 3 Tahun 2004, yang menyatakan
dengan parlemen diatur secara umum
bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara
terutama dalam bentuk pertanggungjawaban
yang independen dalam melaksanakan tugas
bank sentral kepada parlemen. Parlemen
dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
mempunyai hak untuk melakukan evaluasi
Pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk
terhadap rencana dan kegiatan bank sentral.
hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU
Hal ini terjadi karena dianggap parlemen telah
Bank Indonesia. Tugas dan wewenang yang
mendelegasikan wewenang dan kekuasaannya
dimaksud dalam Pasal 4 tersebut dijabarkan
dalam kebijakan moneter, sehingga parlemen
dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU Bank Indonesia,
berwenang untuk meminta pertanggung-
yang mana disebutkan bahwa fungsi atau
jawaban dari bank sentral. Parlemen pada
tujuan utama dari Bank Indonesia memelihara
umumnya mempunyai hak dan kesempatan
kestabilan nilai
rupiah.28
Untuk mencapai
untuk memberikan penilaian dan melakukan
tujuan tersebut, Bank Indonesia diberi
review performance dari bank sentral dalam
kewenangan untuk menetapkan dan
hubungannya dengan kebijakan moneter.
melaksanakan kebijaksanaan moneter, dan
Sementara bank sentral pun mempunyai hak
mengatur dan menjaga kelancaran sistem
dan kewajiban untuk memberikan penjelasan
pembayaran.29
dan pembenaran atas kebijakan tersebut. Pasal 58 ayat (1) menyebutkan bahwa Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan tahunan, yang memuat antara lain: (a)
28 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada
29 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
pelaksanaan tugas dan wewenang Bank
tahun sebelumnya; dan (b) rencana kebijakan, penetapan sasaran, dan langkah-langkah Indonesia untuk tahun yang akan datang
9
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
dengan memperhatikan perkembangan laju inflasi serta kondisi ekonomi dan
keuangan.30
menghendaki pemeriksaan secara khusus mengenai satu masalah atau kegiatan tertentu,
Selanjutnya dalam Pasal 58 ayat (4) disebutkan
maka DPR dapat meminta BPK melakukan
dalam hal DPR memerlukan penjelasan
pemeriksaan terhadap Bank Indonesia.
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya,
b. Hubungan Bank Indonesia dengan
termasuk dalam rangka penilaian terhadap
Pemerintah
kinerja Bank Indonesia, Bank Indonesia wajib
Sama halnya dengan Dewan Perwakilan
menyampaikan penjelasan secara
tertulis.31
Rakyat, ketentuan Pasal 4 UU Bank Indonesia
Selain laporan tahunan, berdasarkan Pasal 58
memberikan batasan relasi antara Bank
ayat (2), Bank Indonesia diwajibkan juga untuk
Indonesia dengan Pemerintah, bahwa
menyampaikan laporan triwulan secara tertulis
pemerintah dan DPR hanya dapat mencampuri
tentang pelaksanaan tugas dan wewenangnya
urusan Bank Indonesia untuk hal-hal yang
kepada DPR dan
Pemerintah.32
Laporan
memang diatur dalam UU Bank Indonesia.
triwulan tersebut kemudian dievaluasi oleh
Oleh UU Bank Indonesia hal tersebut dijabarkan
DPR dan digunakan sebagai bahan penilaian
dalam relasi yang tercermin dalam Pasal 52,
tahunan terhadap kinerja Dewan Gubernur
53, 54, 55, dan 56 UU Nomor 23 Tahun 2009
dan Bank
Indonesia.33
jo. UU Nomor 3 Tahun 2004.
Lebih jauh dalam Pasal 58A disebutkan, untuk
Ketentuan Pasal 52 menetapkan bahwa Bank
membantu DPR dalam melaksanakan fungsi
Indonesia bertindak sebagai pemegang kas
pengawasan di bidang tertentu terhadap Bank
pemerintah.35 Dalam kedudukannya sebagai
Indonesia dibentuk Badan Supervisi dalam
pemegang kas terdapat kewajiban Bank
upaya meningkatkan akuntabilitas,
Indonesia untuk memberikan bunga atas saldo
independensi, transparansi, dan kredibilitas
pemerintah sesuai dengan peraturan
Bank
Indonesia.34
Selanjutnya, dalam hal DPR
perundang-undangan. Pasal 53 mengatur tentang kewajiban Bank Indonesia sebagai penerima pinjaman luar negeri untuk menata usahakan, serta menyelesaikan tagihan dan
30 Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
kewajiban keuangan Pemerintah terhadap
31 Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
Pasal 54 ayat (1) mengatur kewajiban
32 Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
membahas masalah ekonomi, perbankan dan
pihak luar negeri.
pemerintah untuk pendapat dan mengundang Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang keuangan terutama yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Bank Indonesia untuk
33 Pasal 58 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 34 Pasal 58A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
10
35 Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
memberikan pendapat dan pertimbangan
undang-undang melarang Bank Indonesia
kepada pemerintah mengenai APBN serta
untuk mengambil keuntungan dari penerbitan
kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas
surat-surat hutang ini, namun sebagai agen,
dan wewenang Bank
Indonesia.36
Ketentuan
Bank Indonesia diperbolehkan untuk membeli
ini menegaskan posisi kesetaraan fungsi Bank
surat-surat hutang hanya untuk dalam keadaan
Indonesia dengan pemerintah sebagai badan
darurat atau hanya terhadap surat-surat utang
hukum, yang dapat disejajarkan dengan
berjangka pendek.
lembaga tinggi negara lainnya, yang dalam hal ini adalah pemerintah.
C. Keterlibatan Bank Indonesia dalam Memprakarsai Rancangan Undang-Undang
Selanjutnya, Pasal 55 memuat kewajiban pemerintah berkonsultasi dengan Bank Indonesia, jika pemerintah berkeinginan untuk menerbitkan surat-surat hutang
1. Proses dan Tahapan Pembentukan UndangUndang
negara.37
Konsultasi ini diperlukan agar penerbitan surat
Pembentukan undang-undang adalah bagian dari
hutang itu tidak berakibat negatif terhadap
aktivitas dalam mengatur masyarakat,38 yang
kebijakan moneter, sehingga pelaksanaan
terdiri atas gabungan individu-individu manusia
penjualan surat hutang itu dilakukan sesuai
dengan segala dimensinya39. Sebagai negara
kondisi pasar dan menguntungkan pemerintah.
hukum, sudah semestinya pembangunan hukum
Penerbitan surat hutang Bank Indonesia dapat
nasional dilakukan secara terencana, terpadu,
memberikan bantuan kepada pemerintah.
dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional
Akan tetapi Bank Indonesia dilarang untuk
yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban
membeli surat-surat hutang negara di pasar
rakyatnya. Oleh karena itu, dalam rangka
primer untuk diri sendiri, kecuali surat hutang
pembangunan hukum nasional, pembentukan
berjangka pendek yang diperlukan dalam
suatu peraturan perundang-undangan diatur
operasi pengendalian moneter. Bank Indonesia
dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang
diperkenankan untuk membeli surat hutang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
negara di pasar primer dalam rangka
yang mengatur cara dan metode yang pasti, baku,
pemberian fasilitas pembiayaan darurat, yaitu
dan standar yang mengikat semua lembaga yang
terhadap hutang negara berjangka paling lama
berwenang dalam membentuk peraturan
satu tahun.
perundang-undangan.
Ketentuan tersebut semakin menegaskan posisi
Sejatinya, UU Nomor 12 Tahun 2012 bukanlah
Bank Indonesia sebagai agen yang membantu
yang pertama dalam menjadi panduan, melainkan
pemerintah dalam menerbitkan surat-surat
merupakan pengganti dari UU Nomor 10 Tahun
hutang, sehingga pada saat yang sama
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
36 Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
38 Satjipto Rahardjo, “Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis”, Makalah, Seminar “Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis” dan Kongres Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 15-16 April 1998.
37 Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
39 Dimensi-dimensi manusia yang harus diperhatikan dalam pembentukan undang-undang adalah bahwa manusia itu sebagai makhluk monodualis jiwa-raga, mono-dualis individu-sosial, mono-dualis pribadi mandiri makhluk Tuhan. Lihat dalam Ibid.
11
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
undangan. Penggantian tersebut dilatarbelakangi
c. pengaturan mekanisme pembahasan
oleh kelemahan dan kekurangannya dalam
Rancangan Undang-Undang tentang
menampung perkembangan kebutuhan
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Kelemahan-kelemahan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004, antara
lain:40
Undang-Undang; d. pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multi tafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; e. pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan
b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
tenaga ahli dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan; dan
c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai
f. penambahan teknik penyusunan Naskah
dengan perkembangan atau kebutuhan hukum
Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang
dalam pembentukan peraturan perundang-
ini.
undangan; dan d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur
Pada Sub-bab ini diuraikan proses dan tahapan
dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.
pembentukan undang-undang. Tahapan kegiatan tersebut mencakup kegiatan perencanaan
Sebagai penyempurnaan terhadap UU Nomor 10
undang-undang, penyusunan undang-undang,
Tahun 2004 tersebut, terdapat materi muatan
pembahasan rancangan undang-undang, dan
baru yang ditambahkan, antara
lain:41
a. penambahan Ketetapan Majelis
pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang.
Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan
a. Perencanaan Undang-Undang
hierarkinya ditempatkan setelah Undang-
Pasal 16 UU Nomor 12 Tahun 2011
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
menyebutkan bahwa perencanaan penyusunan
Tahun 1945;
undang-undang dilakukan dalam Program
b. perluasan cakupan perencanaan Peraturan
Legislasi Nasional atau disingkat Prolegnas.
Perundang-undangan yang tidak hanya untuk
Prolegnas adalah instrumen perencanaan
Prolegnas dan Prolegda melainkan juga
program pembentukan undang-undang yang
perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan
disusun secara terencana, terpadu, dan
Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan
sistematis,42 yang merupakan skala prioritas
lainnya;
program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.43
40 Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
42 Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
41 Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
43 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
12
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Dalam penyusunannya, Prolegnas disusun
akhir tahun bersamaan dengan penyusunan
daftar rancangan undang-undang didasarkan
dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan,
atas: (a) perintah Undang-Undang Dasar
sedangkan penyusunan dan penetapan
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b)
Prolegnas prioritas tahunan sebagai
perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan
pelaksanaan Prolegnas jangka menengah
Rakyat; (c) perintah Undang-Undang lainnya;
dilakukan setiap tahun sebelum penetapan
(d) sistem perencanaan pembangunan nasional;
Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran
(e) rencana pembangunan jangka panjang
Pendapatan dan Belanja Negara.46
nasional; (f) rencana pembangunan jangka menengah; (g) rencana kerja pemerintah dan
Penyusunan Prolegnas antara DPR dan
rencana strategis DPR; dan (h) aspirasi dan
Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui
kebutuhan hukum
masyarakat.44
alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.47 Menurut UU Nomor 27
Muatan dalam Prolegnas adalah program
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
pembentukan undang-undang dengan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
berisikan judul rancangan undang-undang,
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan
Rakyat Daerah, alat kelengkapan DPR yang
peraturan perundang-undangan lainnya.
khusus menangani bidang legislasi disebut
Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan
dengan Badan Legislasi sebagaimana
peraturan perundang-undangan lainnya
diterangkan dalam Pasal 99 sampai dengan
merupakan keterangan mengenai konsepsi
Pasal 103.
rancangan undang-undang yang meliputi: (a) latar belakang dan tujuan penyusunan; (b)
Sebelum penyusunan Prolegnas secara bersama
sasaran yang ingin diwujudkan; dan (c)
antara DPR dengan Pemerintah, masing-masing
jangkauan dan arah
pengaturan.45
dari DPR dan Pemerintah menyusun rencana Prolegnas-nya masing-masing. Badan Legislasi
Prolegnas disusun oleh DPR dan Pemerintah,
(Baleg) DPR bertanggungjawab untuk
yang ditetapkan untuk jangka menengah dan
mengoordinasikan penyusunan Prolegnas di
tahunan berdasarkan skala prioritas
lingkungan DPR. Dalam penyusunan Prolegnas
pembentukan rancangan undang-undang.
di lingkungan DPR tersebut, dilakukan dengan
Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka
mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi,
menengah dilakukan pada awal masa
anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.
keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk
Sedangkan, penyusunan Prolegnas di
jangka waktu 5 (lima) tahun. Prolegnas jangka
lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh
menengah tersebut dapat dievaluasi setiap
menteri yang menyelenggarakan urusan
44 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
46 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
45 Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
47 Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
13
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
pemerintahan di bidang hukum atau dalam
pemerintahan di bidang hukum.50 Dari daftar
hal ini adalah Menteri Hukum dan HAM.
hasil penyusunan Prolegnas, rancangan
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
undang-undang yang telah melalui pengkajian
penyusunan Prolegnas dalam lingkungan DPR
dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah
diatur dengan Peraturan DPR. Sedangkan
Akademik.51
ketentuan lanjutan mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan
b. Penyusunan Undang-Undang
pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
Suatu rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden atau DPD52. Dalam
Untuk dapat menjadi Prolegnas yang sah, hasil
melakukan penyusunan rancangan peraturan
penyusunan Prolegnas antara DPR dan
perundang-undangan dilakukan sesuai dengan
Pemerintah harus disepakati menjadi Prolegnas
teknik penyusunan peraturan perundang-
dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.
undangan. Teknik penyusunan peraturan
Penetapan Prolegnas yang disetujui kemudian
perundang-undangan tersebut telah ditentukan
ditetapkan dengan Keputusan
DPR.48
Dalam
dalam Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011.53
Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka
Khusus rancangan undang-undang yang
yang terdiri atas: (a) pengesahan perjanjian
berasal dari DPD harus melalui DPR. Rancangan
internasional tertentu; (b) akibat putusan
undang-undang yang berasal dari DPD tersebut
Mahkamah Konstitusi; (c) Anggaran
hanya yang berkaitan dengan kewenangannya,
Pendapatan dan Belanja Negara; (d)
yaitu: (a) otonomi daerah; (b) hubungan pusat
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
dan daerah; (c) pembentukan dan pemekaran
daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan
serta penggabungan daerah; (d) pengelolaan
(e) penetapan/pencabutan Peraturan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.49
lainnya; dan (e) perimbangan keuangan pusat dan daerah.54
Namun demikian, dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Prolegnas dengan cakupan: (a) untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan (b) keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan
50 Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 51 Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 52 Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
48 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
53 Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
49 Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
54 Pasal 45 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
14
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Semua rancangan undang-undang yang
dikoordinasikan oleh menteri yang
berasal dari ketiga lembaga tersebut harus
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
disertai Naskah Akademik. Kewajiban adanya
bidang hukum.
naskah akademik tidak berlaku bagi rancangan undang-undang mengenai: (a) Anggaran
Mengenai usulan rancangan undang-undang
Pendapatan dan Belanja Negara; (b) penetapan
yang berasal dari DPD disampaikan secara
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan
Undang menjadi Undang-Undang; atau (c)
DPR dan tentu saja disertai dengan naskah
pencabutan Undang-Undang atau pencabutan
akademik. Oleh pimpinan DPR, usulan tersebut
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
disampaikan kepada alat kelengkapan DPR
Undang.55 Namun demikian, semua rancangan
yang khusus menangani bidang legislasi untuk
undang-undang di atas disertai dengan
dilakukan harmonisasi, pembulatan, dan
keterangan yang memuat pokok pikiran dan
pemantapan konsepsi rancangan undang-
materi muatan yang diatur.
undang. Dalam melakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan undang-undang yang berasal dari
rancangan undang-undang dapat
DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi,
mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD
gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR
yang mempunyai tugas di bidang perancangan
yang khusus menangani bidang legislasi atau
undang-undang untuk membahas usul
DPD. Sedangkan rancangan undang-undang
rancangan undang-undang. Selanjutnya Badan
yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh
Legislasi menyampaikan laporan tertulis
menteri atau pimpinan lembaga pemerintah
mengenai hasil harmonisasi kepada pimpinan
non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas
DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam
dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan
rapat paripurna.56
rancangan undang-undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-
Rancangan undang-undang dari DPR
kementerian terkait membentuk panitia antar
disampaikan dengan surat pimpinan DPR
kementerian dan/atau antar non-kementerian.
kepada Presiden. Selanjutnya Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk
Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan
membahas rancangan undang-undang
konsepsi rancangan undang-undang yang
bersama DPR dalam jangka waktu paling lama
berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat
60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat
kelengkapan DPR yang khusus menangani
pimpinan DPR diterima. Menteri yang ditunjuk
bidang legislasi, dalam hal ini adalah Badan
tersebut mengoordinasikan persiapan
Legislasi. Sedangkan harmonisasi, pembulatan,
pembahasan dengan menteri yang
dan pemantapan konsepsi rancangan undang-
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
undang yang berasal dari Presiden
bidang hukum. Sebaliknya, rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada
55 Pasal 44 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Penyusunan Naskah Akademik Rancangan UndangUndang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana telah diatur dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
56 Pasal 48 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
15
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
pimpinan DPR. Surat Presiden tersebut memuat
kepada DPR atas rancangan undang-undang
penunjukan menteri yang ditugasi mewakili
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Presiden dalam melakukan pembahasan
Negara dan rancangan undang-undang yang
rancangan undang-undang bersama DPR.
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
Selanjutnya DPR mulai membahas rancangan
agama.59
undang-undang usulan Presiden tersebut dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
Dalam pembahasan rancangan undang-
puluh) hari terhitung sejak surat Presiden
undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat
diterima. Apabila dalam satu masa sidang DPR
pembicaraan. Dua tingkat pembicaraan terdiri
dan Presiden menyampaikan rancangan
atas Pembicaraan Tingkat I dan Pembicaraan
undang-undang mengenai materi yang sama,
Tingkat II.
yang dibahas adalah rancangan undangundang yang disampaikan oleh DPR dan
1) Pembicaraan Tingkat I
rancangan undang-undang yang disampaikan
Pembicaraan tingkat I dilaksanakan dalam
Presiden digunakan sebagai bahan untuk
rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat
dipersandingkan.57
Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus. Dalam
c. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Setiap pembahasan rancangan undang-undang
Pembicaraan tingkat I tersebut dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Sedangkan pembahasan
a) Pengantar musyawarah;
rancangan undang-undang yang berkaitan
Dalam pengantar musyawarah sebagai
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
bagian dalam kegiatan pembicaraan
daerah, pembentukan, pemekaran, dan
tingkat I dilaksanakan dengan urutan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber
sebagai berikut: (a) Dalam hal
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
rancangan undang-undang berasal dari
dan perimbangan keuangan pusat dan daerah,
DPR, maka DPR memberikan
selain dilakukan oleh DPR bersama Presiden,
penjelasan dan Presiden menyampaikan
juga dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.
pandangan jika rancangan undang-
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan
undang berasal dari DPR. Apabila
rancangan undang-undang tertentu yang
rancangan undang-undang berkaitan
terkait diwakili oleh alat kelengkapan yang
dengan kewenangan DPD, maka DPD
membidangi materi muatan rancangan
menyampaikan pandangannya; (b)
undang-undang yang
dibahas.58
Selain terlibat
Dalam hal rancangan undang-undang
dalam pembicaraan I untuk bidang tertentu
berasal dari Presiden, maka Presiden
di atas, DPD juga memberikan pertimbangan
memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika rancangan undang- undang berasal dari Presiden.
57 Pasal 51 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 58 Pasal 65 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
16
Apabila rancangan undang-undang
59 Pasal 65 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
berkaitan dengan kewenangan DPD,
penyampaian laporan yang berisi proses,
maka DPD menyampaikan
pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD,
pandangannya.
dan hasil pembicaraan tingkat I; (2) pernyataan persetujuan atau penolakan
b) Pembahasan Daftar Inventarisasi
dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara
Masalah;
lisan yang diminta oleh pimpinan rapat
Daftar inventarisasi masalah diajukan
paripurna; dan (3) penyampaian pendapat
oleh Presiden jika rancangan undang-
akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri
undang berasal dari DPR. Dan
yang ditugasi. Apabila persetujuan dari
sebaliknya, bila rancangan undang-
tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan
undang berasal dari Presiden, maka
tidak dapat dicapai secara musyawarah
daftar inventarisasi masalah diajukan
untuk mufakat, pengambilan keputusan
oleh DPR. Selain itu, sepanjang
dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
berkaitan dengan kewenangan DPD,
Dan apabila rancangan undang-undang
maka DPR mempertimbangkan usul
tidak mendapat persetujuan bersama
dari DPD.
antara DPR dan Presiden, rancangan undang-undang tersebut tidak boleh
c) Penyampaian Pendapat Mini. Penyampaian pendapat mini
diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.60
disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh fraksi, dan Presiden. DPD
Suatu rancangan undang-undang dapat
juga menyampaikan pendapat mini jika
ditarik kembali sebelum dibahas bersama
rancangan undang-undang berkaitan
oleh DPR dan Presiden. Namun, rancangan
dengan kewenangan DPD. Namun
undang-undang yang sedang dibahas
demikian, dalam hal DPD tidak
hanya dapat ditarik kembali berdasarkan
menyampaikan pandangannya baik
persetujuan bersama DPR dan Presiden.
rancangan undang-undang yang
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
berasal dari Presiden maupun DPR yang
penarikan kembali rancangan undang-
terkait dengan kewenangannya dan
undang ini diatur dengan Peraturan DPR.61
tidak menyampaikan pendapat mini, maka pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan.
d. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Menjadi Undang-Undang Suatu rancangan undang-undang yang telah
Dalam pembicaraan tingkat I ini, juga dapat
disetujui bersama oleh DPR dan Presiden
diundang pimpinan lembaga negara atau
disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada
lembaga lain jika materi rancangan undang-
Presiden untuk disahkan menjadi undang-
undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain terkait. 2) Pembicaraan Tingkat II Pembicaraan tingkat II dilaksanakan dalam rapat paripurna yang merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: (1)
60 Pasal 69 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 61 Pasal 70 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
17
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
undang. Penyampaian rancangan undang-
pemerintah dan peraturan lainnya yang
undang tersebut dilakukan dalam jangka
diperlukan dalam penyelenggaraan
waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
pemerintahan namun tidak didasarkan atas
sejak tanggal persetujuan
bersama.62
Rancangan undang-undang yang telah
perintah suatu undang-undang dikecualikan atau tidak memerlukan batasan waktu.
disampaikan Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang
Dalam konteks mencari peluang Bank
disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan
Indonesia dalam memprakarsai Rancangan
tanda tangan dalam jangka waktu paling lama
Undang-Undang peluang keterlibatan tersebut
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan
terbuka melalui Pasal 68 ayat (6) UU Nomor
undang-undang tersebut disetujui bersama
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
oleh DPR dan Presiden. Namun, dalam hal
Peraturan Perundang-undangan. Pasal a quo
rancangan undang-undang tersebut tidak
membuka peluang Bank Indonesia untuk
ditandatangani oleh Presiden dalam waktu
terlibat dalam pembicaraan tingkat I karena
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
pimpinan lembaga negara atau lembaga lain
sejak rancangan undang-undang tersebut
dapat diundang jika materi Rancangan
disetujui bersama, maka rancangan undang-
Undang-Undang berkaitan dengan lembaga
undang tersebut sah menjadi undang-undang
negara atau lembaga lain tersebut.64 Peluang
dan wajib diundangkan. Namun, kalimat
tersebut sepenuhnya menjadi domain
pengesahannya menjadi berbeda dengan
kewenangan DPR selaku “tuan rumah” yang
pencantuman kalimat pengesahannya
memegang fungsi legislasi. DPR “dapat”
berbunyi: “Undang-Undang ini dinyatakan
mengundang dan tidak diberikan suatu
sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5)
keharusan untuk “mengundang” lembaga
Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara lain walaupun secara awam diketahui
Indonesia Tahun 1945”. Kalimat pengesahan
bahwa substansi RUU yang sedang dibahas
khusus tersebut harus dibubuhkan pada
adalah kewenangan lembaga negara yang
halaman terakhir undang-undang sebelum
lain. Padahal bila memang substansi yang
pengundangan naskah undang-undang ke
diatur dalam RUU tersebut terkait erat dengan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.63
kewenangan lembaga negara yang lain, sudah sepatutnya bila lembaga negara tersebut wajib
Berkaitan dengan pendelegasian peraturan
untuk diundang, sehingga apa yang diatur
perundang-undangan harus ada kejelasan
dalam UU tersebut sejalan dan dapat
waktu penetapan peraturan pelaksanaannya,
diimplementasikan oleh lembaga yang terkait.
baik berupa peraturan pemerintah maupun peraturan lainnya sebagai pelaksanaan undangundang tersebut. Penetapan peraturan
2. Pendekatan Komparatif Peran Bank Sentral dalam Memprakarsai Rancangan UndangUndang
62 Pasal 72 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 63 Pasal 73 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
18
Berbicara mengenai keterlibatan Bank Indonesia dalam memprakarsai rancangan undang-undang
64 Pasal 68 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
dapat dirujuk perkembangan peran bank sentral
will be much less of a panacea than its, more
di berbagai negara di dunia. Hal tersebut menjadi
credulous (academic) advocates would hope. A
penting untuk diperhatikan, mengingat dewasa
danger in this context is that 'independence' may
ini kecenderungan untuk menjadikan bank sentral
get over sold as the solution to the ills of the
bersifat independen semakin menguat, sejalan
monetary system, just as monetary targeting,
dengan berlangsungnya perkembangan
exchange rate floating, and so many prior economic
pemikiran-pemikiran baru yang mempengaruhi
nostrums were often given exaggerated credence
terjadinya perubahan peran bank sentral di seluruh
in some quarters, to their own subsequent
dunia. Hal tersebut ditegaskan oleh Forrest Capiey,
detriment.66
Charles Goodhart, dan Norbert Schnadt yang menyebutkan:
Merujuk pada penjelasan di atas, independensi
In the last few years discussion and debate has
yang diberikan pada bank sentral harus dapat
switched from operational techniques (e.g. interest
dikelola secara politik oleh bank sentral, sehingga
rate control versus monetary base control: rules
dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal
versus discretion) towards concern with structure,
tersebut menjadi problematik karena pengaturan
incentives and accountability, in short to most of
dan kadar independensi di berbagai negara
the issues that come together under the heading
lazimnya dituangkan dalam suatu produk hukum
of central bank
independence.65
yang setara dengan undang-undang, yang notabene dibentuk melalui proses politik di
Kecenderungan yang terjadi di dunia dipengaruhi
parlemen. Hal tersebut dikuatkan oleh Stanley
adanya mindstream bahwa pemberian
Fischer yang menegaskan bahwa independensi
independensi dapat menjadi solusi atas
yang diberikan kepada bank sentral sangat
permasalahan moneter yang menjadi ancaman
bergantung pada legislasi yang mengatur kadar
laten kondisi perekonomian suatu negara. Namun
independensi itu sendiri, yaitu:
demikian, pemberian independensi kepada bank
Control over the supply of money and credit gives
sentral juga memerlukan “keahlian politik”
the central bank potentially enormous power. In
mengelola kemandirian tersebut sehingga dapat
countries where the central bank has sufficient
mencapai tujuan untuk menciptakan inflasi yang
independence to determine interest rate, the
rendah. Hal tersebut menyiratkan bahwa
goals towards which that power should be
independensi yang diberikan melalui sebuah
deployed are often specific in legislation.67
pengaturan (dalam undang-undang atau yang sejenis) lebih bersifat sebagai advokasi akademik
Kondisi tersebut merupakan hal yang dilematis,
daripada sebuah solusi. Hal tersebut ditegaskan
karena pada satu sisi bank sentral, khususnya di
oleh Capiey, Goodhart, dan Schnadt, yaitu:
negara berkembang, diharapkan lebih merdeka
This latter view, that the establishment of an
dari tekanan politik,68 namun secara desain
independent central bank will largely succeed, or
independensinya dipengaruhi oleh proses politik
fail, depending on its 'political' skills in holding together a low inflation constituency, implies that the passage of Acts to grant such independence
66 Ibid., hlm. 240. 67 Stanley Fischer, "Modern Approach to Central Banking", NBER Working Paper Series, No. 5064, March 1995, hlm. 4.
65 Forrest Capiey, Charles Goodhart, Norbert Schnadt, “The Development of Central Banking”, dalam Forrest Capiey, et al. (Eds.), 1994, The Future of Central Banking: The Tercentenary Symposium of the Bank of England, Cambridge University Press, Cambridge, UK, hlm. 35.
68 Central Banks in developing countries tend to have more independence from political and commercial pressures than most other organisations, and also tend to be better financed. Lihat dalam C.A.E. Goodhart, “The Organisational Structure of Banking Supervision”, FSI Occasional Papers, No. 1 – November 2000-10-25, hlm. 36.
19
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
itu sendiri. Maka dari itu, peluang untuk melibatkan
terkait dengan fungsi pengawasan keuangan yang
bank sentral dalam pembahasan draf undang-
dilakukan oleh lembaga lain, yaitu:
undang yang berkaitan dengan kewenangan dan
In the jurisdictions where the NCBs do not perform
tanggung jawab bank sentral diperlukan, bukan
the supervisory function, the NCBs have
dalam konteks mencampurkan locus kewenangan
nevertheless remained involved in supervision in
bank sentral dengan parlemen atau pemerintah
many different ways, they have a substantial
sebagai pembentuk undang-undang, melainkan
involvement in the preparation of legislation
semata sebagai upaya untuk menjaga kadar
relating to supervision; [...].70
independensi bank sentral yang dituangkan dalam berbagai pengaturan yang terkait dengan
Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan bank
kewenangan dan tanggung jawab bank sentral.
sentral menjadi penting untuk diikutsertakan dalam proses pembentukan undang-undang,
Ikhtiar menjaga kadar independensi dalam
bahkan pada pembentukan Undang-Undang yang
substansi pengaturan yang mengatur kewenangan
notabene tidak mengatur mengenai bank sentral
dan tanggung jawab bank sentral menjadi hal
secara langsung, tetapi hanya pengaturan
yang penting untuk mewujudkan dua jenis
bersinggungan dengan kewenangan bank sentral
independensi yang diperkenalkan oleh Fischer
dalam bidang moneter.
sebagai goal Independence dan instrumen independence, yaitu:
Dalam konteks yang lebih relevan, hasil penelitian
These two approaches point to different forms of
Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika
CBI. Guy Debelle and Fischer (1995) and Fischer
Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi
(1995) introduce the distinction between goal
Kotkas, Marek Porzycki and Milan Vetrák telah
independence and instrument independence. A
memotret keterlibatan bank sentral dalam proses
central bank that is given control over the levers
legislasi di beberapa negara di Eropa Tengah dan
of monetary policy and allowed to use them has
Timur, yaitu Bulgaria, Republik Ceko, Estonia,
instrument independence; a central bank that sets
Hungaria, Latvia, Slovakia, dan Polandia. Negara
its own policy goals has goal independence.69
di kawasan Eropa Timur dan Tengah tersebut
Berdasarkan hal tersebut, maka independensi
memiliki konteks perkembangan demokrasi dan
bank sentral juga dapat dimaknai dalam konteks
pendewasaan politik yang hampir sama dengan
keterlibatannya dalam menentukan arah kebijakan
konteks Indonesia sebagai negara-negara pecahan
hukum, khususnya yang menyangkut pelaksanaan
Uni Soviet. Negara-negara tersebut, selain telah
kewenangannya.
melibatkan bank sentral dalam proses legislasi yang terkait dengan kewenangan dan tanggung
Dalam kondisi yang sedikit berbeda, Marcis Apinis
jawab bank sentral, tetapi juga memiliki desain
pun menegaskan bahwa bank sentral yang tidak
pengaturan yang hampir serupa dengan Indonesia
terlibat dalam penyelenggaraan fungsi pengawasan
dalam hal kebanksentralan, terlebih bila merujuk
keuangan (financial supervision function) sudah
desain bank sentral dalam konstitusi masing-
seharusnya diberikan kewenangan untuk terlibat
masing negara.
dalam proses pembentukan Undang-Undang yang
69 Stanley Fischer, “Central-Bank Independence Revisited”, The American Economic Review (Papers and Proceedings of the Hundredth and Seventh Annual Meeting of the American Economic Association Washington, DC, January 6-8, 1995), Vol. 85, No. 2, May 1995, hlm. 202.
20
70 Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi Kotkas, Marek Porzycki, Milan Vetrák, “The Role of National Central Banks in Banking Supervision in Selected Central and Eastern European Countries: A Case-Study on Bulgaria, The Czech Republic, Estonia, Hungary, Latvia, Poland and Slovakia”, European Central Bank Legal Working Paper Series, No. 11, March 2010, hlm. 5.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Dalam hal praktik keterlibatan bank sentral dalam
praktik Bulgarian National Bank terlibat secara
proses legislasi di Bulgaria, pelibatan bank sentral
aktif dan dapat mempengaruhi proses pembahasan
tidak secara tegas disebutkan dalam konstitusi
rancangan undang-undang. Hal tersebut secara
ataupun undang-undang, namun Bulgarian
tegas dicatat sebagai hasil penelitian Marcis Apinis,
National Bank dapat turut membahas proses
et al., yaitu:
penyusunan undang-undang melalui Standing
In Bulgaria, the Government establishes
Committee yang dibentuk oleh National Assembly
interinstitutional working groups where draft laws
of the Republic of Bulgaria, yang membuka proses
are discussed and benefit from the expertise of
pembahasan rancangan undang-undang diikuti
all the public bodies involved. Although legislation
oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.71
Peluang
does not expressly provide for the BG-NCB’s
yang dibuka oleh National Assembly of the Republic
involvement in the process of making primary law
of Bulgaria dapat dimaklumi sebab Bulgaria
governing supervision, in practice, the BG-NCB
menganut sistem pemerintahan Parlementer72
influences the drafting of the primary law through
yang dalam hal ini National Assembly of the
its participation in interinstitutional working groups
Republic of Bulgaria memiliki kewenangan dalam
on the preparation of legal acts to such extent
bidang legislatif sekaligus mengontrol jalanannya
that the BG-NCB may even draft the legislative
pemerintahan yang dilakukan oleh
parlemen.73
provisions.75
Bulgarian National Bank tidak dijelaskan secara
Bank sentral negara lain yang juga terlibat dalam
rinci dalam Constitution of the Republic of
proses legislasi adalah Czech National Bank. Seperti
Bulgaria, namun konstitusi hanya menggariskan
halnya Bulgaria, Republik Ceko juga menganut
kewenangan National Assembly of the Republic
sistem pemerintahan parlementer, namun demikian
of Bulgaria untuk memilih dan memberhentikan
dalam hal keterlibatan bank sentral dalam proses
Governor of the Bulgarian National Bank.74 Namun
sudah jauh lebih jelas dibandingkan dengan
demikian, walaupun secara normatif peluang
Bulgaria. Hal yang sangat membedakan adalah
pelibatan bank sentral hanya melalui norma
kewenangan terlibat dalam mempersiapkan
representatives of legal entities, namun dalam
rancangan undang-undang yang terkait dengan kewenangan dinyatakan secara eksplisit dalam Article 38 of Act of Czech National Bank, dengan
71 Article 28 of the Rules of Organisation and Procedure of the National Assembly (Promulgated in State Gazette No. 53/18.06.2013, Amended and Supplemented SG No. 62/12.07.2013): (3) Any member of a Standing Committee may invite individuals or representatives of legal entities, concerned with the issues considered by the Committee, to attend its meeting. (4) Representatives of trade unions, professional and industries’ associations, on their request, shall attend the meetings, submit written opinions and participate in the Standing Committees’ deliberations on draft legislation concerning their activities and issues of interest, in compliance with the rules established by the committees. The opinions shall be published on the relevant committee webpage of the National Assembly Internet site. 72 Article 1 paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Bulgaria, “Bulgaria shall be a republic with a parliamentary form of government.” 73 Article 62 of the Constitution of the Republic of Bulgaria, “The National Assembly shall be vested with the legislative authority and shall exercise parliamentary control.” 74 Article 8 of the Constitution of the Republic of Bulgaria, “The National Assembly shall: elect and remove the Governor of the Bulgarian National Bank and the heads of other institutions established by law;”
rumusan sebagai berikut:76 (1) The Czech National Bank, together with the Ministry of Finance, shall prepare and submit to the Government draft legislation on the currency and the circulation of money, and draft legislation concerning the status, competence, organisation and activities of the CNB, save for financial market supervision, the payment system and electronic money issuance.
75 Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi Kotkas, Marek Porzycki, Milan Vetrák, Op.cit., hlm. 14. 76 Article 38 of the Act No. 6/1993 Coll., on the Czech National Bank, as amended, indicating the changes made by the Act No. 227/2013 Coll.
21
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
(2) The Czech National Bank shall cooperate with
Dalam Bank of Estonia Act tidak diberikan
the Ministry of Finance in preparing draft
pengaturan yang eksplisit menyatakan Bank of
legislation in the areas of the financial market,
Estonia dapat terlibat dapat proses legislasi. Namun
the payment system, regulation of electronic
berdasarkan hasil penelitian Marcis Apinis, et al.,
money issuance, foreign exchange
Bank of Estonia dapat menginisiasi penyusunan
management and the adoption of the single
undang-undang maupun menyiapkan draf
currency, the euro, in the Czech Republic.
keseluruhan dari undang-undang dengan kerja sama antara Ministry of Finance, Bank of Estonia,
Sebenarnya Constitution of the Czech Republic
dan Financial Supervision Authority, yang mana
pun hanya secara ringkas mengatur fungsi dan
Ministry of Finance yang bertugas memasukkan
kelembagaan bank sentral, yaitu:77
draf tersebut kepada Parliament of Estonia.79
(1) The Czech National Bank is the central bank of the State. Its activities are primarily oriented
Peluang keterlibatan Bank of Estonia dalam proses
towards currency stability; it is possible to
legislasi sejatinya sangat sumir, karena hanya
interfere with its activities exclusively on the
disandar pada norma “The Bank of Estonia advises
basis of law.
the Government of the Republic in matters of
(2) The status, jurisdiction, and other details are set down by law.
economic policy”.80 Sejatinya bila hendak dirunut, keterlibatan Bank of Estonia tidak dapat dilepaskan
Bila hal tersebut dibandingkan dengan pengaturan
dari format kerja sama antara Ministry of Finance,
dalam UUD NRI Tahun 1945, setidaknya
Bank of Estonia, dan Financial Supervision
Constitution of the Czech Republic memang lebih
Authority yang dituangkan dalam sebuah
jelas dalam pengaturannya, karena disebutkan
Cooperation Agreement. Secara eksplisit memang
tugas dan fungsi dasar dari bank sentral. Adapun
Bank of Estonia tidak memiliki kewenangan untuk
untuk penjabaran lebih lanjut dari tugas dan fungsi
terlibat dalam proses legislasi, namun Ministry of
tersebut Constitution of the Czech Republic juga
Finance sebagai wakil dari pemerintah tentu
menyerahkan pada legal policy pembentuk undang-
memiliki kewenangan tersebut, sedangkan untuk
undang sebagaimana pula diamanatkan dalam
Financial Supervision Authority memang secara
desain konstitusional bank sentral di Indonesia.
eksplisit disebutkan memiliki kewenangan mengajukan proposal untuk mengajukan
Hampir sama dengan Bulgaria, Eesti Pank (Central
pembentukan atau revisi undang-undang yang
Bank of the Republic of Estonia) pun terlibat
terkait dengan sektor finansial,81 yang justru
dalam proses legislasi, namun melalui norma
kewenangan seperti ini tidak diberikan kepada
pengaturan yang bersifat implisit. Dalam
Bank of Estonia.
Constitution of the Republic of Estonia hanya menyebutkan kewenangan dasar Bank of Estonia berupa hak eksklusif untuk menerbitkan mata uang Estonia, mengelola sirkulasi dan menjaga stabilitas mata uang, serta tugas lain yang sesuai dengan hukum dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Riigikogu (The Parliament of
80 Article 4 paragraph (2) of the Bank of Estonia Act.
Estonia).78
81 Article 6 paragraph (1) number 5 of the Financial Supervision Authority Act, “The functions of the Supervision Authority in fulfilling the objectives of financial supervision are to: make proposals for the establishment and amendment of Acts and other legislation concerning the financial sector and related supervision, and participate in the drafting of such Acts and legislation;”
77 Article 98 of the Constitution of the Czech Republic. 78 Article 111-112 of the Constitution of the Republic of Estonia.
22
79 Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi Kotkas, Marek Porzycki, Milan Vetrák, Op.cit., hlm.15.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Dalam Cooperation Agreement antara Ministry
member of the Government, the member of
of Finance, Bank of Estonia, dan Financial
the Government shall inform the MNB within
Supervision Authority ditegaskan bahwa kerja
15 working days of receipt or publication of
sama untuk merancang bersama peraturan dan
the proposal – through public channels if the
panduan di bidang keuangan.82 Hal ini seolah
proposal has been announced in the public –
menggabungkan kewenangan ketiga organ yang
of the launch of a procedure directed at
bekerja sama dalam sebuah forum bersama.
adopting a legal act or at initiating a legislative
Namun demikian, secara tidak disadari sejatinya
proposal; – in the event of legislative proposal–
forum kerja sama tersebut telah mereduksi
of the deadline for presenting a draft law to
independensi Bank of Estonia, walaupun secara
the Parliament, or in the event of regulation
normatif independensi tersebut dijamin oleh
in a decree, the deadline for its publication in
Article 3 verse (1) of Constitution of the Republic
the official journal; or in the absence of the
of Estonia.83
above, of the reasons for such a decision. (3) If the deadline defined in paragraph (2) expired
Pada praktik di Hungaria, Magyar Nemzeti Bank
without any actions taken, the addressee of
(Hungarian National Bank) secara eksplisit diberikan
the proposal shall immediately inform the
kewenangan untuk mengajukan usulan legislasi
MNB – through public channels if the proposal
yang ditujukan kepada pemerintah. Hal tersebut
has been announced in the public – of the
secara tegas dituangkan dalam Article 58 of Act
reasons for delay, and – if the addressee is in
CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank
agreement with the proposal – of the new
berikut:84
deadline for presenting a draft law to the
(1) In order to maintain the stability of the financial
Parliament, or of its publication in the official
intermediary system, the MNB may submit a
journal.
proposal to the Government to adopt legal regulations or to make legislative proposals,
Berbekal pengaturan tersebut sudah sangat kuat
or to any member of the Government for
dasar Hungarian National Bank untuk mengajukan
adopting legal regulations. The MNB may
usulan legislasi yang terkait dengan lingkup
decide to make this proposal in a public
kewenangannya, yang pada sisi yang lain tetap
announcement.
terdapat jaminan atas independensinya85 dalam
(2) In response to any proposal of the MNB submitted to the Government as defined in
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam bidang moneter86.
paragraph (1), on behalf of the Government the Minister responsible for the regulation of the money, capital and insurance markets; and in the event of a proposal submitted to a
82 Article 4 of the Cooperation Agreement between Ministry of Finance, Bank of Estonia, and Financial Supervision Authority, December 2007. 83 Article 3 paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Estonia, “The Bank of Estonia operates independently of other government agencies. The Bank of Estonia reports on its activities to the Riigikogu and is not subordinate to the Government of the Republic or any other executive agency of the government or to any third party.” 84 Article 58 of the Act CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank.
85 Article 1 paragraph (2) of the Act CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank, “The MNB, and the members of its bodies shall be independent in carrying out their task and meeting their obligations conferred upon them by this Act, and shall neither seek nor take instructions from the Government, or the institutions, bodies or offices of the European Union, with the exception of the European Central Bank (hereinafter the ‘ECB’), or from the governments of Member States or any other organisation or political party. The Government as well as all other institutions shall adhere to this principle and shall not attempt to influence the MNB and its bodies in the course of the performance of their tasks.” 86 Article 41 paragraph (1) of the Constitution of Hungary, “The Hungarian National Bank shall be the central bank of Hungary. The Hungarian National Bank shall be responsible for the monetary politics in a manner provided by separate law.”
23
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Kondisi yang terjadi Latvia serupa dengan praktik
secara spesifik oleh Act on the National Bank of
yang terjadi Estonia, yaitu kewenangan menyusun
Slovakia untuk mengajukan usulan legislasi, yaitu:90
draf terdapat Financial and Capital Market
(1) The National Bank of Slovakia shall submit
Commission,87
yang mana sebenarnya tidak ada
keharusan bagi Financial and Capital Market
draft legislation to the Government in the areas of money circulation.
Commission untuk berkonsultasi dengan Latvijas
(2) The National Bank of Slovakia shall, together
Banka (Bank of Latvia). Namun, konsultasi tersebut
with the Ministry of Finance of the Slovak
dimungkinkan dilakukan dengan adanya
Republic (hereinafter referred to as the
kesepakatan kerja sama antara kedua lembaga
“Ministry”), submit to the Government draft
ini, sebagaimana yang terjadi di Estonia. Hanya
legislation in the area of foreign exchange
saja dalam kerja sama ini hanya dilakukan antara
relations, the payment systems and the
Financial and Capital Market Commission dan
provision of payment services and the financial
Bank of Latvia.88
market including banking and the position and competence of the National Bank of
Pada praktik di Slovakia terdapat keunikan
Slovakia.
tersendiri. Pengaturan tentang Národná banka
(3) The provisions of paragraphs (1) and (2) shall
Slovenska (National Bank of Slovakia) mirip dengan
be without prejudice to the functions and
pengaturan dalam UUD NRI Tahun 1945,
yaitu:89
powers of institutions and bodies of the
(1) The National Bank of Slovakia is an independent
European Union in the field of legislation,
central bank of the Slovak Republic. The
under separate legal provisions, nor to the
National Bank of Slovakia may, within its scope
duty to consult draft legislation with the
of power, issue generally binding legal
European Central Bank to the extent laid down
regulations if it is so empowered by a law.
in a separate legal provision.
(2) The highest administration body of The National Bank of Slovakia is the Bank Council
Pengaturan di atas menunjukkan 2 (dua)
of the National Bank of Slovakia.
mekanisme pengajuan usulan legislasi yang dapat
(3) Details according to paragraphs 1 and 2 shall be laid down by a law.
dilakukan oleh National Bank of Slovakia, yaitu: (1) mengajukan usul secara mandiri spesifik dalam bidang peredaran uang; dan (2) mengajukan usul
Walaupun sama dalam desain konstitusi, namun
melalui kerja sama dengan Ministry of Finance
National Bank of Slovakia memiliki desain legal
dalam bidang hubungan valuta asing, sistem
policy yang berbeda dengan Bank Indonesia.
pembayaran, penyediaan layanan pembayaran,
National Bank of Slovakia diberikan kewenangan
dan pasar keuangan, termasuk pula terkait perbankan dan posisi dan kompetensi bank sentral. Terlepas dari kedua mekanisme tersebut, tetapi norma pengaturan tersebut dapat memberikan
87 Article 6 paragraph (8) of the Law on the Financial and Capital Market Commission (Passed on June 1, 2000, in effect as of July 1, 2001, with amendments passed by the Saeima (Parliament) on 8 November 2012, which took effect on 1 December 2012), “The Commission shall have the following functions: to analyse regulatory requirements pertaining to financial and capital market and draft proposals for their improvement and harmonisation with the regulatory requirements Community;” 88 Article 2.1.6 of the Cooperation Agreement between Financial and Capital Market Commission and Bank of Latvia, 8 September 2009. 89 Article 56 of the Constitution of the Slovak Republic.
24
dasar hukum yang kuat bagi bank sentral untuk terlibat dalam proses legislasi yang terkait dengan kewenangan bank sentral.
90 Article 30 of the Act of the National Council of the Slovak Republic No. 566/1992 Coll. on the National Bank of Slovakia, as last amended by Act No. 403/2010 Coll.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Pada praktik di Polandia, Narodowy Bank Polski
dan (4) bank sentral independen dalam
(National Bank of Poland) tidak memiliki
melaksanakan fungsi dan kewenangannya.95
kewenangan mengajukan usulan legislasi
Dengan demikian, maka menjadi relevan untuk
sebagaimana pengaturan di Slovakia, namun
memperbandingkan bank sentral Indonesia
National Bank of Poland diberikan keharusan untuk
dengan bank sentral di Venezuela dan Peru,
menyajikan pendapat pada pembahasan rancangan
khususnya tentang keterlibatan bank sentral
undang-undang mengenai aktivitas bank dan
dalam proses legislasi.
rancangan undang-undang yang penting untuk sistem perbankan.91 Keharusan tersebut dinilai
Dalam Law on The Central Reserve Bank of Peru
cukup untuk menangkap kepentingan bank sentral
tidak terdapat pasal yang mengatur secara eksplisit
dalam proses pembentukan undang-undang yang
mengenai kewenangan The Central Reserve Bank
berkaitan dengan kewenangan bank sentral.
of Peru untuk terlibat dalam proses legislasi. Namun, peluang keterlibatan The Central Reserve
Selain negara-negara di Eropa Timur dan Tengah,
Bank of Peru dalam proses legislasi khususnya
praktik di negara Amerika Latin juga memiliki sisi
dalam mengajukan inisiatif rancangan undang-
kompabilitas yang relatif sama dengan konteks
undang justru dijamin dalam Constitution of Peru,
Indonesia, yaitu sebagai negara berkembang yang
yakni dalam Article 107 yang mengatur bahwa:
sedang mengalami masa demokratisasi seperti
Both the President of the Republic and the
halnya Indonesia. Selain itu, negara-negara di
congressmen have the right to initiative in law-
Amerika Selatan, seperti Venezuela dan Peru,
making. The same right, in matters within their
relatif memiliki sistem ketatanegaraan yang sejenis
competence, is also enjoyed by the other State
dengan Indonesia, yaitu menganut sistem
branches, autonomous public agencies, regional
pemerintahan presidensial yang dipadukan dengan
and local governments, and professional
kompleksitas sistem kepartaian multipartai, yang
associations. Likewise, citizens possess the right
mengindikasikan pluralitas masyarakat yang relatif
to initiative in accordance with the law”.96
sejenis dengan konteks Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut maka, The Central Reserve Bank of Peru sebagai a legal entity governed by
Kedua negara tersebut dipandang relevan untuk
public law97 mempunyai hak yang sama untuk
diperbandingkan dengan Indonesia dengan 4
mengajukan inisiatif pembentukan rancangan
(empat) alasan, yakni: (1) merupakan negara
undang-undang.
berbentuk
republik;92
(2) menganut sistem
pemerintahan presidensial;93 (3) ketentuan
Bila dibandingkan dengan Indonesia, setidaknya
mengenai bank sentral disebutkan dalam konstitusi
terdapat 2 (dua) perbedaan mendasarkan perihal
undang-undang;94
akses The Central Reserve Bank of Peru dan Bank
dan diatur lebih lanjut dengan
Indonesia dalam proses legislasi, yakni: Pertama, hak The Central Reserve Bank of Peru untuk 91 Article 21 paragraph (4) of the Act on the National Bank of Poland (Narodowy Bank Polski).
menginisiasi pembentukan rancangan undang-
92 Lihat Article 1 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela. Lihat Article 43 and 48 of the Constitution of Peru. 93 Lihat Article 162, 226, 228, and 233 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela. Lihat Article 90, 111, 112, and 113 of the Constitution of Peru.
95 Lihat Article 2 of the Law on the Central Bank of Venezuela. Lihat Article 1 of the Law on the Central Reserve Bank of Peru. Lihat juga Article 86 of the Constitution of Peru. 96 Lihat Article 107 of the Constitution of Peru.
94 Lihat Article 318 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela. Lihat Article 83 of the Constitution of Peru.
97 Lihat Article 1 of the Law on The Central Reserve Bank of Peru.
25
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
undang dijamin dalam konstitusi negaranya,
politik negara yang memunculkan kompromi
sedangkan hal tersebut sama sekali tidak diatur
antara peneguhan independensi dan kebutuhan
dalam UUD NRI Tahun 1945. Kedua, hak untuk
legislasi bank sentral. Dengan melihat berbagai
menginisiasi pembentukan rancangan undang-
praktik bank sentral dalam konteks legislasi, maka
undang The Central Reserve Bank of Peru seperti
dapat disimpulkan bahwa keterlibatan bank
halnya yang disebutkan dalam Article 107 sama
sentral dalam proses legislasi merupakan hal yang
halnya dengan hak inisiatif Presiden dan anggota
lazim dan penting dalam rangka mewujudkan
kongres dalam menginisiasi rancangan undang-
stabilitas perekonomian nasional menjaga kadar
undang. Hal tersebut berarti The Central Reserve
independensi bank sentral itu sendiri. Hal ini
Bank of Peru mempunyai kedudukan yang sama
menjadi wajar sebagai bentuk dinamika99
dalam mengajukan inisiatif pembentukan
kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia untuk
rancangan undang-undang. Dengan demikian,
menjaga stabilitas moneter dalam perekonomian
akses The Central Reserve Bank of Peru dalam
negara. Oleh karena itu, menjadi sebuah hal yang
mengajukan inisiasi pembentukan rancangan
wajar jika Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
undang-undang jelas lebih terjamin dibandingkan
Republik Indonesia diberikan peluang untuk dapat
dengan akses Bank Indonesia dalam menginisiasi
memprakarsai atau setidak-tidaknya terlibat dalam
pembentukan rancangan undang-undang.
proses pembahasan penyusunan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangannya.
Lebih lanjut perihal keterlibatan The Central Bank of Venezuela dalam proses legislasi. Keterlibatan bank sentral Venezuela dalam proses legislasi
3. Peluang Bank Indonesia Memprakarsai Rancangan Undang-Undang
tidak diatur secara khusus baik dalam Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela maupun dalam
Amandemen konstitusi telah mengubah wajah
Law on The Central Bank of Venezuela. Namun,
ketatanegaraan Indonesia secara mendasar.
peluang keterlibatan The Central Bank of
Penataan kelembagaan negara yang mengarah
Venezuela untuk terlibat dalam proses legislasi
pada kehidupan yang lebih demokratis merupakan
tersirat pada Article 112 of the Constitution of
ciri keberhasilan dari perubahan konstitusi. Salah
Bolivarian Republic of Venezuela, yang mengatur
satu penataan tersebut adalah dengan penguatan
bahwa, “During the process of debating and
kelembagaan Bank Indonesia sebagai bank sentral.
approval of bills, the National Assembly or Standing
Penguatan BI sebagai salah satu lembaga negara
Committees shall consult the other organs of the
yang diakui konstitusi tidak lepas dari konteks
State, the citizenry and organized society to hear
reformasi yang menghendaki adanya pemerintahan
their opinion about the same
[....]”.98
Berdasarkan
hal tersebut, maka dalam proses pembahasan
dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good
dari rancangan undang-undang National Assembly
governance) dimulai dari pembentukan peraturan
maupun Standing Committees dapat meminta
perundang-undangan dan pembentukan lembaga
pendapat dari organ negara lainnya, antara lain
seterusnya mengakomodasi kepentingan publik
The Central Bank of Venezuela.
secara melembaga.100
Belajar dari negara-negara tersebut sedikit banyak menggambarkan kedudukan bank sentral dalam
98 Lihat Article 112 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela.
26
yang kuat dan bersih (strong and clean government)
99 Praktik dinamika kewenangan juga terjadi dalam konteks kewenangan yudisial, yang bergeser dari menguji peraturan perundang-undangan berkembang menjadi membatalkan peraturan perundang-undangan. 100 Muladi, “Penataan Lembaga Non-Struktural (LNS) dalam Kerangka Reformasi Birokrasi Serta Upaya Formulasi Kebijakan Strategis Kelembagaan Negara”, Jurnal Negarawan, No. 18, November 2010, hlm. 24.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Dalam upaya penguatan kelembagaan BI dilakukan
can be made particularly strong if its independence
secara bertahap dimulai dengan lahirnya UU Nomor
is enshrined not just in a central bank charter but
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dengan
in the constitution”.102 Hal tersebut senada dengan
lebih mempertegas kewenangan Bank Indonesia,
yang disampaikan Boediono sebagai Menteri
yaitu pelaksana otoritas moneter.101 Konsekuensi
Keuangan pada saat pembahasan amandemen
dari pelaksanaan kewenangan tersebut berdasar
UUD 1945 yang menyatakan:
evaluasi atas praktik ketatanegaraan masa lalu,
[…] Kebanyakan dari bukti-bukti atau data-data
yang kemudian menjadikan BI sebagai lembaga
internasional menunjukkan memang ada korelasi
negara yang independen terpisah dari cabang
positif negara yang mempunyai bank sentral yang
kekuasaan eksekutif. Pemerintah ataupun
diberi independensi […] biasanya mempunyai
kekuasaan apapun tidak boleh mencampuri
prestasi pengendalian inflasi yang lebih baik. […]
pelaksanaan kewenangan BI.
Oleh sebab itu, maka sejak satu dasawarsa atau sedikit lebih akhir-akhir ini memang kecenderungan
Desain kelembagaan yang sudah ditentukan dalam
umum dari pendapat para pakar di dunia adalah
UU tersebut kemudian diajukan pada pembahasan
memang sebaiknya bank sentral itu diberi satu
amandemen UUD untuk dimasukkan dalam
kewenangan untuk independen. Independen
ketentuan konstitusi. Persoalan eksistensi bank
dalam menentukan kebijakan moneternya.103
sentral, penamaan dengan menggunakan Bank Indonesia, dan permasalahan menyangkut
Dalam UU yang mengatur independensi BI,
independensi adalah pembahasan yang menguras
dicantumkan bahwa, “Bank Indonesia adalah
energi Panitia Ad-Hoc Perubahan UUD 1945.
lembaga negara yang independen, bebas dari
Dari amandemen pertama sampai terakhir,
campur tangan Pemerintah, dan atau pihak-pihak
perdebatan atas eksistensi BI seakan tidak
lainnya, kecuali untuk yang secara tegas diatur
mendapatkan penyelesaian, sehingga diputuskan
dalam undang-undang ini.”104 Lebih lanjut, dalam
untuk menciptakan ketentuan yang bersifat
penjelasan Pasal 4 ayat (2) tersebut dinyatakan:
kompromistis, yaitu Pasal 23D yang berbunyi,
Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang
“Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,
independen di bidang tugasnya berada di luar
kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan
pemerintahan dan lembaga lain sebagaimana
independensinya diatur dengan undang-undang.”
ditetapkan dalam undang-undang ini. Dalam
Dalam ketentuan Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945
pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia
hanya menyebutkan bahwa bank sentral
menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan
merupakan bank yang independen, namun tidak
Rakyat. Selain itu, laporan keuangan Bank
dijelaskan sejauh mana batas independensinya
Indonesia diperiksa oleh Badan Pemeriksa
dan hanya diserahkan kepada pembentuk undang-
Keuangan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa
undang untuk mengatur luasan lingkup makna independensinya. Bank Indonesia sebagai bank sentral penting untuk diberikan Independensi sebagaimana dikatakan
102 Arend Lijphart, 1999, Patterns of Democracy, Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, Yale University Press, New Haven and London, hlm. 302.
Arend Lijphart yang menyatakan, “A central bank
103 Tim Penyusun, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VII, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 266.
101 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
104 Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
27
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Keuangan disampaikan kepada Dewan Perwakilan
(2) isi norma yang lebih rendah.108 Teori yang
Rakyat.105
dikemukakan Kelsen ini membatasi organ mana
Independensi BI semata untuk mencapai tujuan
yang memiliki kewenangan dalam membentuk
BI untuk mencapai dan memelihara kestabilan
peraturan perundang-undangan.
nilai rupiah.106 UUD sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia Kemandirian BI tersebut nyatanya telah direduksi
telah menentukan kelembagaan apa yang memiliki
oleh pembentuk undang-undang, sebagaimana
wewenang legislasi di Indonesia. UUD memberikan
telah dijelaskan pada bagian Pendahuluan, bahkan
atribusi kewenangan membentuk UU kepada DPR
dalam revisi UU BI yang baru sangat dominan
dan Presiden, dan pada beberapa masalah spesifik
dalam aspek pengawasan daripada memperjelas
dengan melibatkan DPD. Pasal 5 ayat (1) UUD NRI
tugas, fungsi dan wewenang BI. Hal tersebut
Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden berhak
tentunya secara ketatanegaraan menjadi suatu
mengajukan rancangan undang-undang kepada
masalah sebab tanpa kejelasan dan kepastian
Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan, Pasal 20
hukum mengenai tugas, fungsi dan wewenang
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa
BI akan menghambat peran BI dalam perekonomian
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
nasional. Oleh karena itu, menjadi penting untuk
membentuk undang-undang. Membandingkan
melibatkan BI dalam proses legislasi yang berkaitan
kedua pasal tersebut terlihat jelas bahwa lembaga
dengan kelembagaan BI, baik menyangkut fungsi,
negara yang diberikan kekuasaan membentuk
tugas wewenang maupun kewajibannya.
undang-undang adalah DPR. Namun, dalam pembahasan undang-undang dan persetujuan
Dalam kaitan dengan keterlibatan BI dalam
perlu dilakukan bersama antara DPR dengan
membentuk undang-undang, maka harus
Presiden. Selain itu, dalam Pasal 22D UUD NRI
diperhatikan dasar kewenangan untuk melakukan
Tahun 1945 pada pokoknya menyatakan bila
hal tersebut. Hal ini penting, sebab sebagaimana
terkait dengan kewenangan DPD, maka DPD dapat
pendapat Hans Kelsen yang menyatakan bahwa
mengajukan RUU kepada DPR dan ikut membahas
pembentukan hukum adalah rangkaian awal dari
RUU tersebut bersama DPR dan Presiden.
penegakan hukum yang sangat penting untuk diperhatikan.107 Dari pandangan itu, Kelsen
Berdasarkan uraian di atas, dikaitkan dengan BI,
mengelaborasi lebih lanjut, bahwa menurutnya
yang harus dijawab adalah apakah BI memiliki
pembentukan hukum dapat ditentukan menurut
peluang untuk terlibat dalam proses pembentukan
dua cara yang berbeda, yaitu norma lebih tinggi
undang-undang dan apakah dimungkinkan secara
dapat menentukan: (1) organ dan prosedur
yuridis untuk terlibat. Jawaban atas pertanyaan
pembuatan norma yang lebih rendah; dan
tersebut jika mengacu pada pendapat Hans Kelsen tentang delegasi kewenangan dari norma tertinggi atas organ pembentuk undang-undang, maka BI tidak termasuk di dalamnya. Sebab konstitusi
105 Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
membatasi kekuasaan membuat undang-undang
106 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
Kelsen di atas, maka kewenangan membentuk
107 Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, BEE Media Indonesia, Jakarta, hlm. 163.
28
adalah DPR yang menyertakan Presiden dan DPD. Namun, jika menafsirkan lebih lanjut pendapat
108 Ibid., hlm. 167.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
peraturan harusnya tidak saja diberikan oleh norma
keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank
tertinggi kepada norma rendah, tetapi juga dapat
Indonesia atau masalah lain yang termasuk
lahir dari kewenangan yang muncul dari norma
kewenangan Bank Indonesia.
yang mengatur itu sendiri. Maknanya, kekuasaan
(2) Bank Indonesia wajib memberikan pendapat
membentuk undang-undang tetap berada pada
dan pertimbangan kepada Pemerintah
lembaga-lembaga yang ditentukan konstitusi,
mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan
namun juga dalam pengaturan lebih lanjut tentang
dan Belanja Negara serta kebijakan lain yang
pembentukan undang-undang yang
berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank
memungkinkan membuka peluang kepada
Indonesia.
lembaga atau entitas lain untuk terlibat. Dalam ayat (1) tidak dibatasi secara limitatif Mencermati dan menelaah UU BI yang telah direvisi
“pembahasan masalah” yang dimaksud. Frasa
dengan UU Nomor 3 Tahun 2004, sejatinya terbuka
“masalah ekonomi, perbankan dan keuangan
peluang BI untuk terlibat dalam penyusunan
yang berkaitan dengan tugas Bank Indonesia atau
RUU dan dalam proses pembentukan undang-
masalah lain yang termasuk kewenangan Bank
undang. Dalam Pasal 7 UU BI terdapat ayat yang
Indonesia”, membuka peluang keluasan cakupan
mempertegas bahwa BI dan pemerintah memiliki
keterlibatan BI bekerja sama dengan Pemerintah,
keterkaitan dalam kebijakan ekonomi. Dalam Pasal
termasuk di dalamnya untuk memprakarsai RUU.
7 UU BI dinyatakan bahwa, “Untuk mencapai
Argumentasi tersebut dikuatkan dalam pengaturan
tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank
pada ayat (2), pada frasa yang menyatakan, “Bank
Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara
Indonesia wajib memberikan pendapat dan
berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus
pertimbangan kepada Pemerintah mengenai
mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
di bidang perekonomian.”109 Dari ketentuan
Negara”. Frasa tersebut menegaskan bahwa BI
tersebut didapati bahwa dalam mencapai tujuannya
memang dapat turut serta dan bahkan wajib
BI harus mempertimbangkan kebijakan umum
memberikan pendapat dan pertimbangan dalam
yang diambil pemerintah di bidang ekonomi.
pembahasan tentang RAPBN, yang mana dari RAPBN ini kemudian menjadi bahan utama bagi
Pengaturan Pasal 54 UU Nomor 23 Tahun 1999
presiden untuk membuat RUU APBN.
jo. UU Nomor 3 Tahun 2004 dapat menjadi pintu masuk bagi BI sebagai pemrakarsa RUU yang
Dengan menggunakan penafsiran ekstensif, tidak
terkait dengan tugas dan kewenangannya, yaitu:110
dapat dipungkiri bahwa RUU APBN adalah masuk
(1) Pemerintah wajib meminta pendapat Bank
dalam nomenklatur RUU pula.111 Dengan demikian,
Indonesia dan/atau mengundang Bank
secara implisit sejatinya BI memiliki kewenangan
Indonesia dalam sidang kabinet yang
dalam mempersiapkan bahan dari RAPBN yang
membahas masalah ekonomi, perbankan dan
kemudian menjadi dasar utama Presiden dalam mengajukan RUU APBN. Peluang tersebut diperluas lagi melalui frasa “kebijakan lain yang berkaitan
109 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 110 Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia”. Peluang tersebut dapat menjadi pintu bagi BI untuk
111 Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
29
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
terlibat dalam mempersiapkan bahan dari RUU
Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
yang lain, selama dalam lingkup kewenangan BI.
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Selain dalam UU BI, peluang tersebut juga terbuka
Undang-Undang, Rancangan Peraturan
melalui Pasal 68 ayat (6) UU Nomor 12 Tahun
Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Perlu Hanya diperlukan perluasan makna dari
undangan, yang menyatakan, “Dalam pembicaraan
terminologi “pemrakarsa”, yang sejauh ini hanya
tingkat satu dapat diundang pimpinan lembaga
sempit terbatas pada “menteri/pimpinan lembaga
negara atau lembaga lain jika materi Rancangan
pemerintah non-departemen yang mengajukan
Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara
usul penyusunan Rancangan Undang-Undang
atau lembaga lain.” Terlebih dengan ketentuan
[...]”,113 perlu untuk lebih diperluas lagi dengan
Pasal 68 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
melingkupi lembaga negara/lembaga lain yang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
terkait dengan kewenangannya. Tentu saja
yang mengatur mengenai Pembicaraan Tingkat
konsekuensi dari jalur ini adalah akuisisi usulan
I yang terdiri dari: (a) pengantar musyawarah; (b)
RUU tersebut menjadi RUU usulan Pemerintah.
pembahasan daftar inventaris masalah; dan (c) penyampaian pendapat mini, semakin memberikan
Selain itu, harus dicermati pula bahwa Perpres a
jalan bagi BI untuk dapat turut mengawal bahan
quo sejatinya merupakan amanat dari UU Nomor
RUU yang telah diajukan oleh BI, baik itu RUU
10 Tahun 2004, yang notabene sudah digantikan
melalui jalur Presiden, DPR, ataupun DPD.
substansi dan keberlakuannya oleh UU Nomor 12 Tahun 2011. Sedangkan, UU Nomor 12 Tahun
Upaya untuk membuka keterlibatan lembaga
2011 juga memerintahkan untuk dibentuknya
negara/lembaga lain tersebut, yang dibutuhkan
Perpres yang mengatur lebih lanjut mengenai
adalah perubahan pada aturan pelaksana, yang
tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-
dalam hal ini adalah Tata Tertib DPR atau Peraturan
Undang.114 Dengan demikian, peluang untuk
Presiden yang mengatur mengenai tata cara
memperluas terminologi “pemrakarsa” sangat
persiapan RUU. Dalam Pasal 99 ayat (1) Peraturan
dimungkinkan sejalan dengan pembentukan
DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib,
Perpres tentang Tata Cara Mempersiapkan
dinyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang
Rancangan Undang-Undang sebagaimana
dapat berasal dari DPR, Presiden atau
DPD.112
Dalam Peraturan DPR a quo seharusnya membuka
diamanatkan oleh Pasal 47 ayat (4) UU Nomor 12 Tahun 2011.
kesempatan bagi lembaga negara/lembaga lain untuk mengajukan RUU, selama masih terkait
Melihat berbagai peluang pengaturan tersebut,
dalam lingkup kewenangannya. Tentu saja
setidaknya dapat dipetakan desain keterlibatan
kemudian usulan RUU dari lembaga
BI dalam memprakarsai RUU yang terkait dengan
negara/lembaga lain tersebut akan diakuisisi
tugas dan kewenangan BI, yaitu melalui: Pertama,
menjadi RUU usulan DPR. Pada jalur eksekutif, untuk membuka pintu inisiasi RUU perlu adanya perubahan pada Peraturan
112 Pasal 99 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.
30
113 Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. 114 Pasal 47 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
jalur legislasi. Pada jalur ini, setidaknya terdapat
Kelemahan dari pemilihan jalur ini adalah DPR
3 (tiga) alternatif pilihan, yaitu: Opsi Kesatu,
bukanlah mewakili satu kepentingan saja. Di
BI menjadikan diri sebagai pemrakarsa, dengan
dalam institusi DPR terdapat polarisasi suara yang
catatan semua perubahan pengaturan di atas sudah
membawa kepentingan politik masing-masing
dilakukan, maka BI dapat menjadi pemrakarsa
partai politik, bahkan kepentingan politik masing-
RUU dari jalur pemerintah atau pengusul RUU
masing anggota DPR, sehingga akan susah untuk
dari jalur DPR. Namun, opsi ini sangat tergantung
menemukan kebulatan suara di dalamnya.
pada perubahan peraturan yang saat ini masih berlaku sebagaimana telah diuraikan di atas.
Sedangkan bila melalui jalur Pemerintah,
Melalui posisi sebagai pemrakarsa, BI dapat
keuntungannya adalah adanya locus kewenangan
memilih langkah untuk mengusulkan revisi UU BI
yang berhimpitan antara Pemerintah dan BI, yaitu
atau revisi tahapan proses legislasi dalam UU
dalam bidang moneter dan fiskal, yang notabene
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
keduanya dulu adalah sama-sama ranah kekuasaan
sehingga dapat mengakomodasi peran BI dalam
eksekutif. Selain itu, melalui Pemerintah lebih
proses legislasi dan bahkan memungkinkan BI
mudah untuk dicapai kesepahaman kepentingan
untuk mengajukan sendiri RUU yang terkait
politik mengenai substansi RUU. Kelemahan atas
dengan tugas dan kewenangannya.
pilihan ini adalah himpitan kewenangan antara BI dan Pemerintah, mengakibatkan kecenderungan
BI dapat juga memilih langkah untuk menyusun
Pemerintah untuk mereduksi kewenangan BI.
suatu RUU yang berkaitan dengan fungsi, tugas, kewajiban dan lembaganya, kemudian dari RUU
Namun, implikasi tersebut menjadi berbeda bila
yang dibuat tersebut BI memilih jalur di antara
BI dapat menjadi pemrakarsa, sehingga BI dapat
DPR, Presiden, atau DPD untuk selanjutnya dapat
memilih langkah untuk mengusulkan revisi UU BI
diajukan. Pada langkah ini, BI mempercayakan
atau revisi tahapan proses legislasi dalam UU
sepenuhnya pembahasan kepada lembaga yang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dititipi dan tidak turut aktif dalam pembahasan,
sehingga dapat mengakomodasi peran BI dalam
kecuali atas undangan pihak yang dititipi. Dalam
proses legislasi dan bahkan memungkinkan BI
pilihan ini setiap jalur yang dipilih BI memiliki
untuk mengajukan sendiri RUU yang terkait dengan
implikasi masing-masing atas keberhasilan dalam
tugas dan kewenangannya. BI dapat mendorong
menjaga kepentingan BI.
adanya perubahan UU BI yang di dalamnya secara spesifik memberikan kewenangan mengusulkan
Apabila yang dipilih adalah jalur DPR, maka
RUU yang terkait dengan kewenangan BI, baik
keunggulannya adalah posisi DPR sebagai
ditentukan secara limitatif ataukah tidak. Gagasan
pemegang kekuasaan membentuk undang-
ini merujuk pada praktik yang terjadi di Hungaria,
undang. Apabila DPR telah mengajukan RUU dan
Slovakia, dan Republik Ceko yang kesemuanya
secara bersamaan Presiden atau DPD juga
menentukan secara eksplisit kewenangan untuk
melakukan hal yang sama, maka RUU dari DPR
mengusulkan RUU yang terkait dengan
yang akan dibahas, sedangkan yang lain hanya
kewenangan bank sentral. Dengan demikian, akan
digunakan sebagai pembanding
saja.115
lebih memberikan kepastian hukum kepada BI dalam mengajukan RUU.
115 Pasal 51 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Sedangkan langkah terakhir yang agak ekstrem adalah BI mempertimbangkan peluang untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945. Pemikiran ini
31
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
merujuk pada praktik yang telah dilaksanakan di
sector untuk mengundang dan melibatkan BI
Peru, yang mana peluang Peruvian Central Bank
dalam penyusunan RUU. Pilihan ini membuat BI
untuk ikut mengajukan RUU diatur secara implisit
menjadi sangat tergantung pada will pemerintah
dalam norma di level konstitusi. Dengan demikian,
untuk turut terlibat dalam penyusunan RUU. Pilihan
tentu peluang Bank Indonesia untuk mengajukan
ini menjadi kurang relevan, karena bila RUU yang
RUU terbuka lebar. Bahkan Bank Indonesia dapat
dibahas terkait dengan tugas dan kewenangan
secara independen mengawal draf RUU yang
BI, maka seyogyanya Bank Indonesia terlibat dalam
diusulkannya, dari pengajuan sampai dengan RUU
proses penyusunan RUU tersebut.
disahkan sebagai UU. BI dapat juga memilih langkah untuk mengajukan Opsi Kedua, BI hanya menunggu permintaan
diri sebagai bagian yang dilibatkan dalam
dan undangan dari Pemerintah yang diwakili oleh
pembahasan suatu RUU. Pada porsi ini, BI tidak
Menteri untuk dilibatkan dalam proses pembahasan
bertindak selaku pemrakarsa atau pihak yang
suatu
RUU.116
Derajat ini berpegang pada definisi
mengajukan, namun sebatas menjadi pihak yang
legalistik formal bahwa kewenangan pemrakarsa
turut dilibatkan dalam proses pembahasan RUU
hanya dapat dilakukan menteri/pimpinan lembaga
yang terkait dengan tugas dan kewenangan BI.
pemerintah
non-departemen.117
Selain itu, hanya
Permohonan pengajuan diri BI terlibat dalam
menteri yang dapat ditunjuk oleh Presiden menurut
proses pembahasan berpijak pada rumusan
UU untuk melakukan pembahasan RUU bersama
pengaturan pada UU BI yang memungkinkan BI
DPR melalui sebuah Surat
Presiden.118
Pada porsi
ini keterlibatan BI sangat bergantung pada
turut serta dalam pembahasan kebijakan lain terkait tugas dan kewenangannya.119
kemauan dan kesediaan leading sector untuk mengajak BI dalam melakukan penyusunan suatu
Derajat keterlibatan ini menggunakan penafsiran
RUU yang terkait dengan tugas dan kewenangan
norma bahwa dalam “Pembicaraan Tingkat I dapat
BI. Opsi ini telah seperti yang diterapkan di negara
diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga
Venezuela yang mana pelibatan Venezuela Central
lain jika materi Rancangan Undang-Undang
Bank tergantung pada kebutuhan Pemerintah,
berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga
dalam hal ini Menteri Keuangan untuk meminta
lain” dan norma bahwa “Pemerintah wajib
pertimbangan Venezuela Central Bank atas
meminta pendapat Bank Indonesia dan/atau
pembahasan rancangan undang-undang.
mengundang Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan
Pada porsi ini, posisi Bank Indonesia menjadi pihak
dan keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank
yang pasif menunggu kemurahan hati leading
Indonesia atau masalah lain yang termasuk kewenangan Bank Indonesia”.
116 Pasal 7 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Keaktifan BI untuk mengajukan diri sebagai pihak
117 Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Pemerintah memiliki kewajiban mengundang
118 Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
32
dalam pembahasan merupakan pilihan yang relatif besar kemungkinannya untuk berhasil sebab
119 Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
untuk BI, sedangkan pada di sisi yang lain BI
konstitusional yang diderita oleh BI dengan
merupakan entitas yang sah untuk ikut dalam
keberlakuan pengaturan dalam UU BI yang telah
Pembicaraan Tingkat I karena tergolong sebagai
sah berlaku. Selain itu, BI juga harus mengajukan
lembaga negara/lembaga lain bila RUU yang
permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
dibahas berkaitan dengan kewenangan lembaga
memberikan penafsiran atas Pasal 23D UUD NRI
negara/lembaga lain tersebut.
Tahun 1945 sebagai koridor untuk memperjelas fungsi, tugas, kewenangan dan independensi BI.
Opsi Ketiga, BI membangun kerja sama dengan
Dengan demikian, dapat dinilai apakah selama
lembaga yang dapat mengusulkan atau
ini norma dalam UU BI sudah sejalan dengan
memprakarsai RUU dalam hal pembangunan
norma konstitusi atau belum. Tidak dilibatkannya
hukum di bidang kewenangan BI. Hal seperti
BI dalam proses legislasi UU yang mengatur terkait
halnya yang diterapkan di Estonia dan Latvia. BI
kewenangan BI tentu membawa dampak yang
dapat membangun kerja sama dengan
signifikan terhadap pelaksanaan kewenangan
Kementerian Keuangan misalnya, spesifik dalam
konstitusional BI, yang tentu mengarah pada
hal perancangan usulan RUU yang terkait
munculnya kerugian konstitusional yang diderita
kewenangan BI, yang sedikit banyak juga terkait
oleh BI. Hal tersebut setidaknya cukup untuk
dengan kewenangan Kementerian Keuangan.
menjadi dasar mengapa BI harus dilibatkan dalam
Peluang keterlibatan Bank of Estonia dalam proses
proses legislasi UU yang terkait dengan
legislasi sejatinya sangat sumir, karena keterlibatan
kewenangan BI.
Bank of Estonia tidak dapat dilepaskan dari format kerja sama antara Ministry of Finance, Bank of
Pilihan ini lebih membawa kepastian hukum sebab
Estonia, dan Financial Supervision Authority yang
Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal
dituangkan dalam sebuah Cooperation Agreement.
10 ayat (1) dan (2) UU Nomor 12 Tahun 2011
Dalam Cooperation Agreement antara Ministry
merupakan materi muatan dalam undang-undang
of Finance, Bank of Estonia, dan Financial
dan akan ditindaklanjuti baik oleh Presiden
Supervision Authority ditegaskan bahwa kerja
maupun DPR untuk diajukan sebagai Rancangan
sama untuk merancang bersama peraturan dan
Undang-Undang. Implikasi atas jalur pengujian
panduan di bidang keuangan. Kondisi yang terjadi
konstitusional atas undang-undang memiliki dua
Latvia serupa dengan praktik yang terjadi Estonia,
kemungkinan, yaitu diterima atau ditolak. Jika
yaitu kewenangan menyusun draf terdapat
permohonan BI diterima, maka hal tersebut akan
Financial and Capital Market Commission, yang
membawa keuntungan bagi BI untuk kepastian
mana sebenarnya tidak ada keharusan bagi
hukum sesuai yang dimohonkan, sedangkan
Financial and Capital Market Commission untuk
apabila ditolak, maka akan mengukuhkan yang
berkonsultasi dengan Latvijas Banka (Bank of
sudah ada dan hal tersebut menjadi risiko yang
Latvia). Namun, konsultasi tersebut dimungkinkan
harus ditanggung oleh BI.
dilakukan dengan adanya kesepakatan kerja sama antara kedua lembaga ini, sebagaimana yang
Dalam setiap penerapan gagasan dan/atau
terjadi di Estonia. Hanya saja dalam kerja sama
peraturan baru dalam sistem hukum membawa
ini hanya dilakukan antara Financial and Capital
implikasi terhadap sistem lama yang sudah
Market Commission dan Bank of Latvia.
berjalan. Hal ini juga berlaku pada gagasan keterlibatan BI dalam memprakarsai RUU yang
Kedua, jalur ajudikasi atau negatif legislasi. BI
berkaitan dengan tugas dan kewenangannya.
mengajukan permohonan pengujian UU terhadap
Masing-masing gagasan memiliki kelebihan dan
UUD di Mahkamah Konstitusi atas kerugian
kekurangan, sehingga harus mempertimbangkan
33
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
segala kemungkinan yang terjadi sebelum
bagi BI untuk terlibat dalam mempersiapkan bahan
menentukan pilihan yang akan diterapkan.
dari RUU yang lain, selama dalam lingkup kewenangan BI.
D. Kesimpulan Ketiga, Pasal 68 ayat (6) UU Nomor 12 Tahun 2011 Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
terdapat peluang untuk melibatkan Bank Indonesia
menjadi peluang pula, “Dalam pembicaraan tingkat
dalam proses pembentukan Rancangan Undang-
satu dapat diundang pimpinan lembaga negara atau
Undang dalam sistem ketatanegaraan Republik
lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang
Indonesia. Peluang BI untuk dapat turut membahas
berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga
RUU sebenarnya terbuka secara normatif melalui
lain.” Keempat, jalur lain adalah perubahan pada
beberapa Pasal, yakni: Kesatu, Pasal 7 ayat (1) UU
aturan pelaksana, yang dalam hal ini adalah Tata
Nomor 23 Tahun 1999 jo. UU Nomor 3 Tahun 2004
Tertib DPR atau Peraturan Presiden yang mengatur
yang mempertegas bahwa BI dan pemerintah memiliki
mengenai tata cara persiapan RUU. Dalam Pasal 99
keterkaitan dalam kebijakan ekonomi. Kedua, Pasal
ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang
54 UU Nomor 23 Tahun 1999 jo. UU Nomor 3 Tahun
Tata Tertib, dinyatakan bahwa Rancangan Undang-
2004 menjadi pintu masuk bagi Bank Indonesia
Undang dapat berasal dari DPR, Presiden atau DPD.
sebagai pemrakarsa RUU yang terkait dengan tugas
Dalam Peraturan DPR a quo seharusnya membuka
dan kewenangannya. Frasa “masalah ekonomi,
kesempatan bagi lembaga negara/lembaga lain untuk
perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan
mengajukan RUU, selama masih terkait dalam lingkup
tugas Bank Indonesia atau masalah lain yang termasuk
kewenangannya. Usulan RUU dari lembaga
kewenangan Bank Indonesia”, membuka peluang
negara/lembaga lain tersebut akan diakuisisi menjadi
keluasan cakupan keterlibatan BI bekerja sama dengan
RUU usulan DPR.
Pemerintah, termasuk di dalamnya untuk memprakarsai RUU. Argumentasi tersebut dikuatkan
Perlu adanya perubahan pada Peraturan Presiden
dalam pengaturan pada ayat (2), pada frasa yang
Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
menyatakan, “Bank Indonesia wajib memberikan
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang,
pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah
Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan
Belanja Negara”. Frasa tersebut menegaskan bahwa
Rancangan Peraturan Presiden. Hanya diperlukan
BI memang dapat turut serta dan bahkan wajib
perluasan makna dari terminologi “pemrakarsa”,
memberikan pendapat dan pertimbangan dalam
yang sejauh ini hanya sempit terbatas pada “menteri/
pembahasan tentang RAPBN, yang mana dari RAPBN
pimpinan lembaga pemerintah non-departemen yang
ini kemudian menjadi bahan utama bagi presiden
mengajukan usul penyusunan Rancangan Undang-
untuk membuat RUU APBN. Dengan menggunakan
Undang [...]”, perlu untuk lebih diperluas lagi dengan
penafsiran ekstensif, tidak dapat dipungkiri bahwa
melingkupi lembaga negara/lembaga lain yang terkait
RUU APBN adalah masuk dalam nomenklatur RUU
dengan kewenangannya. Tentu saja konsekuensi dari
pula. Dengan demikian, secara implisit sejatinya BI
jalur ini adalah akuisisi usulan RUU tersebut menjadi
memiliki kewenangan dalam mempersiapkan bahan
RUU usulan Pemerintah.
dari RAPBN yang kemudian menjadi dasar utama Presiden dalam mengajukan RUU APBN. Peluang
Melihat berbagai peluang pengaturan tersebut,
tersebut diperluas lagi melalui frasa “kebijakan lain
setidaknya dapat dipetakan desain keterlibatan BI
yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank
dalam memprakarsai RUU yang terkait dengan tugas
Indonesia”. Peluang tersebut dapat menjadi pintu
dan kewenangan BI, yaitu melalui: Pertama, jalur
34
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
legislasi. Pada jalur ini, setidaknya terdapat 3 (tiga)
kemurahan hati leading sector untuk mengundang
alternatif pilihan, yaitu: Opsi Kesatu, BI menjadikan
dan melibatkan BI dalam penyusunan RUU. Pilihan
diri sebagai pemrakarsa, dengan catatan semua
ini membuat BI menjadi sangat tergantung pada will
perubahan pengaturan di atas sudah dilakukan, maka
pemerintah untuk turut terlibat dalam penyusunan
BI dapat menjadi pemrakarsa RUU dari jalur pemerintah
RUU.
atau pengusul RUU dari jalur DPR. BI dapat juga memilih langkah untuk menyusun suatu RUU yang
BI dapat juga memilih langkah untuk mengajukan
berkaitan dengan fungsi, tugas, kewajiban dan
diri sebagai bagian yang dilibatkan dalam pembahasan
lembaganya, kemudian dari RUU yang dibuat tersebut
suatu RUU. Pada porsi ini, BI tidak bertindak selaku
BI memilih jalur di antara DPR, Presiden, atau DPD
pemrakarsa atau pihak yang mengajukan, namun
untuk selanjutnya dapat diajukan.
sebatas menjadi pihak yang turut dilibatkan dalam proses pembahasan RUU yang terkait dengan tugas
Namun, implikasi tersebut menjadi berbeda bila BI
dan kewenangan BI. Permohonan pengajuan diri BI
dapat menjadi pemrakarsa, sehingga BI dapat memilih
terlibat dalam proses pembahasan berpijak pada
langkah untuk mengusulkan revisi UU BI atau revisi
rumusan pengaturan pada UU BI yang memungkinkan
tahapan proses legislasi dalam UU Pembentukan
BI turut serta dalam pembahasan kebijakan lain terkait
Peraturan Perundang-undangan, sehingga dapat
tugas dan kewenangannya. Keaktifan BI untuk
mengakomodasi peran BI dalam proses legislasi dan
mengajukan diri sebagai pihak dalam pembahasan
bahkan memungkinkan BI untuk mengajukan sendiri
merupakan pilihan yang relatif besar kemungkinannya
RUU yang terkait dengan tugas dan kewenangannya.
untuk berhasil sebab Pemerintah memiliki kewajiban
Sedangkan langkah terakhir yang agak ekstrem adalah
mengundang untuk BI, sedangkan pada di sisi yang
BI mempertimbangkan peluang untuk mengubah
lain BI merupakan entitas yang sah untuk ikut dalam
UUD NRI Tahun 1945. Pemikiran ini merujuk pada
Pembicaraan Tingkat I karena tergolong sebagai
praktik yang telah dilaksanakan di Peru, yang mana
lembaga negara/lembaga lain bila RUU yang dibahas
peluang Peruvian Central Bank untuk ikut mengajukan
berkaitan dengan kewenangan lembaga
RUU diatur secara implisit dalam norma di level
negara/lembaga lain tersebut.
konstitusi. Dengan demikian, tentu peluang Bank Indonesia untuk mengajukan RUU terbuka lebar.
Opsi Ketiga, BI membangun kerja sama dengan
Bahkan Bank Indonesia dapat secara independen
lembaga yang dapat mengusulkan atau memprakarsai
mengawal draf RUU yang diusulkannya, dari
RUU dalam hal pembangunan hukum di bidang
pengajuan sampai dengan RUU disahkan sebagai UU.
kewenangan BI. Hal seperti halnya yang diterapkan di Estonia dan Latvia. BI dapat membangun kerja sama
Opsi Kedua, BI hanya menunggu permintaan dan
dengan Kementerian Keuangan misalnya, spesifik
undangan dari Pemerintah yang diwakili oleh Menteri
dalam hal perancangan usulan RUU yang terkait
untuk dilibatkan dalam proses pembahasan suatu
kewenangan BI, yang sedikit banyak juga terkait
RUU. Derajat ini berpegang pada definisi legalistik
dengan kewenangan Kementerian Keuangan. Dalam
formal bahwa kewenangan pemrakarsa hanya dapat
Cooperation Agreement antara Ministry of Finance,
dilakukan menteri/pimpinan lembaga pemerintah
Bank of Estonia, dan Financial Supervision Authority
non-departemen. Pada porsi ini keterlibatan BI sangat
ditegaskan bahwa kerja sama untuk merancang
bergantung pada kemauan dan kesediaan leading
bersama peraturan dan panduan di bidang keuangan.
sector untuk mengajak BI dalam melakukan penyusunan suatu RUU yang terkait dengan tugas
Kedua, jalur ajudikasi atau negatif legislasi. BI
dan kewenangan BI. Pada porsi ini, posisi Bank
mengajukan permohonan pengujian UU terhadap
Indonesia menjadi pihak yang pasif menunggu
UUD di Mahkamah Konstitusi atas kerugian
35
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
konstitusional yang diderita oleh BI dengan keberlakuan pengaturan dalam UU BI yang telah sah berlaku. Selain itu, BI juga harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran atas Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 sebagai koridor untuk memperjelas fungsi, tugas, kewenangan dan independensi BI. Dengan demikian, dapat dinilai apakah selama ini norma dalam UU BI sudah sejalan dengan norma konstitusi atau belum. Tidak dilibatkannya BI dalam proses legislasi UU yang mengatur terkait kewenangan BI tentu membawa dampak yang signifikan terhadap pelaksanaan kewenangan konstitusional BI, yang tentu mengarah pada munculnya kerugian konstitusional yang diderita oleh BI. Hal tersebut setidaknya cukup untuk menjadi dasar mengapa BI harus dilibatkan dalam proses legislasi UU yang terkait dengan kewenangan BI.
36
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Kelsen, Hans, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, BEE Media Indonesia, Jakarta. Kennedy, Ellen, 1991, The Bundesbank Germany’s Central Bank in the International Monetary System, The Royal Institute of International Affairs, Pinter Publishers, London. Lijphart, Arend, 1999, Patterns of Democracy, Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, Yale University Press, New Haven and London. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2002, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta. Sekretariat Komisi VIII, 1999a, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku II, Rapat ke-6, 9 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta. ___________________, 1999b, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku IV, Rapat ke-15, 25 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta. Tim Penyusun, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VII, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
B. Antologi Capiey, Forrest, et al., “The Development of Central Banking”, dalam Forrest Capiey, et al. (Eds.), 1994, The Future of Central Banking: The Tercentenary Symposium of the Bank of England, Cambridge University Press, Cambridge, UK. Stern, Klaus, “The Note-Issuing Bank within the State Structure”, dalam Deutsche Bundesbank (Ed.), 1999, Fifty Years of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Germany since 1948, Oxford University Press, UK.
C. Artikel Jurnal Apinis, Marcis, et al., “The Role of National Central Banks in Banking Supervision in Selected Central and Eastern European Countries: A Case-Study on Bulgaria, The Czech Republic, Estonia, Hungary, Latvia, Poland and Slovakia”, European Central Bank Legal Working Paper Series, No. 11, March 2010.
37
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Fischer, Stanley, "Modern Approach to Central Banking", NBER Working Paper Series, No. 5064, March 1995. _____________, “Central-Bank Independence Revisited”, The American Economic Review (Papers and Proceedings of the Hundredth and Seventh Annual Meeting of the American Economic Association Washington, DC, January 6-8, 1995), Vol. 85, No. 2, May 1995. Goodhart, C.A.E., “The Organisational Structure of Banking Supervision”, FSI Occasional Papers, No. 1 – November 200010-25. Ismail, Maqdir, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 3, Juli 2010. ___________, “Menselaraskan Undang-Undang Bank Sentral dan Undang-Undang Perbankan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Juni 2007. Muladi, “Penataan Lembaga Non-Struktural (LNS) dalam Kerangka Reformasi Birokrasi Serta Upaya Formulasi Kebijakan Strategis Kelembagaan Negara”, Jurnal Negarawan, No. 18, November 2010. Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 10, No. 3, September - Desember 2012.
D. Makalah Rahardjo, Satjipto, “Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis”, Makalah, Seminar “Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis” dan Kongres Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 15-16 April 1998.
E. Sumber Internet Redaksi Suara Merdeka, “Harga Minyak Dunia Turun Imbas Krisis Siprus”, http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/03/22/149970/Harga-Minyak-Dunia-Turun-ImbasKrisis-Siprus, diakses 12 April 2013. Syafputri, Ella, “Parlemen Siprus Setujui RUU Restrukturisasi Bank”, http://www.antaranews.com/berita/364887/parlemen-siprus-setujui-ruu-restrukturisasi-bank, diakses 12 April 2013.
F. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
38
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.
G. Sumber Lain The Constitution of the Czech Republic. The Constitution of Hungary. The Constitution of the Republic of Bulgaria. The Constitution of the Republic of Estonia. The Constitution of the Slovak Republic. The Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela. The Constitution of Peru. The Act CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank. The Act No. 6/1993 Coll., on the Czech National Bank, as amended, indicating the changes made by the Act No. 227/2013 Coll.
39
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
The Act of the National Council of the Slovak Republic No. 566/1992 Coll. on the National Bank of Slovakia, as last amended by Act No. 403/2010 Coll. The Act on the National Bank of Poland (Narodowy Bank Polski). The Bank of Estonia Act. The Act on The Central Bank of Venezuela. The Act on The Central Reserve Bank of Peru. The Financial Supervision Authority Act. The Law on the Financial and Capital Market Commission (Passed on June 1, 2000, in effect as of July 1, 2001, with amendments passed by the Saeima (Parliament) on 8 November 2012, which took effect on 1 December 2012). The Rules of Organisation and Procedure of the National Assembly (Promulgated in State Gazette No. 53/18.06.2013, Amended and Supplemented SG No. 62/12.07.2013). The Cooperation Agreement between Ministry of Finance, Bank of Estonia, and Financial Supervision Authority, December 2007. The Cooperation Agreement between Financial and Capital Market Commission and Bank of Latvia, 8 September 2009.
Noted : Strongly recommended : review : NP.
40
MENGENAL FOREIGN ACCOUNT TAX COMPLIANCE ACT (FATCA) DAN TINJAUAN SINGKAT DARI ASPEK HUKUM PERBANKAN INDONESIA Oleh : Fransiska Ari Indrawati, S.H, LLM1
Abstrak Pada tahun 2010 pemerintah Amerika Serikat (AS) mengeluarkan ketentuan perpajakan yang dinamakan Foreign Account Tax Compliance Act atau disingkat dengan FATCA. Pengaturan FATCA ini dilatarbelakangi antara lain terjadinya krisis keuangan di AS di tahun 2008 yang salah satu faktor penyebabnya adalah penghindaran pajak dalam jumlah besar oleh warga negara Amerika Serikat yang memiliki pendapatan luar negeri. FATCA diharapkan dapat mencegah penghindaran pajak sehingga dapat menambah pendapatan pemerintah AS. FATCA mewajibkan lembaga keuangan asing untuk melaporkan kepada Internal Revenue Service, badan pemerintah AS yang menangani perpajakan, atas rekening finansial yang dimiliki oleh Wajib Pajak AS atau yang dimiliki lembaga asing dimana Wajib Pajak AS tersebut memiliki kepemilikan yang substansial. FATCA akan diimplementasikan pada tanggal 1 Juli 2014. Pemerintah AS telah memberikan opsi kepada hampir seluruh negara dimana warga negara AS berada untuk menerapkan atau tidak menerapkan FATCA. Pemerintah AS akan mengenakan 30% withholding tax terhadap seluruh pendapatan Foreign Financial Institutions (FFI) yang berasal dari AS misalnya pendapatan dari dividen, bunga dan asuransi apabila FFI ataupun negara dimana FFI tersebut berada tidak menerapkan FATCA. Namun demikian, terdapat dua pilihan agar FFI tidak terkena penerapan withholding tax tersebut yaitu dengan: (i) menandatangani FFI Agreement, atau (ii) menandatangani Intergovernmental Agreement (IGA) yang terdiri atas Model 1 IGA dan Model 2 IGA. Penerapan FATCA telah mendapat dukungan dari forum G20. Indonesia sebagai salah satu anggota G20 diharapkan dapat mengimplementasikan ketentuan ini untuk mendukung terjadinya pencegahan penghindaran pajak yang sudah menjadi perhatian di forum internasional dan terutama untuk menghindari pengenaan withholding tax sebesar 30% yang akan dikenakan oleh pemerintah AS kepada FFI.
A. Pendahuluan
Institutions (FFI) atau lembaga keuangan asing untuk melaporkan kepada Internal Revenue Service (IRS)
Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA)
atas aset finansial yang disimpan oleh wajib pajak
merupakan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah
Amerika Serikat (AS). FFI yang telah menandatangani
Amerika Serikat yang mewajibkan Foreign Financial
perjanjian dengan IRS memiliki kewajiban untuk melaporkan kepemilikan rekening wajib pajak AS kepada IRS.
1
Penasehat Hukum Bank Indonesia
41
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
FATCA dikeluarkan oleh Pemerintah AS untuk
demikian, terdapat dua pilihan agar FFI tidak terkena
menghindari penyembunyian pajak yang berasal dari
penerapan withholding tax tersebut yaitu dengan:
pendapatan luar negeri (offshore tax evasion) dan
(i) menandatangani FFI Agreement, atau (ii)
kedepannya FATCA diharapkan dapat menjadi
menandatangani Intergovernmental Agreement (IGA).
standard ketentuan yang digunakan seluruh dunia untuk mencegah penghindaran pajak yang terjadi2.
Kajian singkat ini akan membahas lebih lanjut
Forum G20 juga mendukung penuh upaya untuk
mengenai ruang lingkup FATCA dan wacana
mencegah penghindaran pajak di dunia internasional
penerapan FATCA ditinjau dari sudut pandang hukum
sebagaimana dikemukakan Communiqué of Finance
perbankan di Indonesia.
Ministers and Central Bank Governors pada April
20133. B. Pengertian dan Ruang Lingkup Pelaporan FATCA
Dalam G20 Leaders Declaration, forum G20 juga mengungkapkan bahwa transparansi pajak dan
Berikut ini pengertian dan ruang lingkup FATCA
pertukaran data otomatis (automatic exchange of
berdasarkan Summary of FATCA Reporting for US
information) antar anggota diperlukan sebagai salah
Taxpayers yang disarikan dari situs resmi IRS5.
satu upaya penghindaran pajak4. Forum G20 juga telah berkomitmen untuk memulai pertukaran data
1. Foreign Financial Institution/FFI sebagai subyek
otomatis terkait pajak yang akan dilakukan pada akhir
FATCA
tahun 2015. Hal ini menunjukkan adanya komitmen
FFI yang merupakan subyek pelapor dalam FATCA
dari forum internasional dalam mendukung transparansi
adalah lembaga penyimpan (depository institutions),
pajak dan mencegah penghindaran pajak mengingat
lembaga penjaminan (custodial institutions),
penghindaran pajak saat ini menjadi isu yang telah
lembaga investasi (investment entities), dan
mendunia. Tentu Indonesia diharapkan dapat juga
perusahaan asuransi tertentu (certain insurance
mendukung komitmen yang telah disepakati dalam
companies). Sedangkan pihak yang dikecualikan
forum internasional tersebut khususnya mengenai
dari pelaporan FATCA ini adalah lembaga
upaya mencegah terjadinya penghindaran pajak.
pemerintah/badan yang dimiliki pemerintah, organisasi internasional, bank sentral yang tidak
Terkait dengan upaya pencegahan penghindaran
memiliki kegiatan perbankan komersial, dan dana
pajak oleh Pemerintah AS, terhitung sejak tanggal
pensiun.
1 Juli 2014 Pemerintah AS akan mengenakan 30% withholding tax terhadap seluruh pembayaran kepada
2. Pengertian Wajib Pajak AS dan aset finansial Yang
FFI yang berasal dari sumber pendapatan di AS seperti
Dilaporkan
dividen, bunga dan asuransi apabila FFI tersebut tidak
Dalam situs IRS6, IRS menginformasikan bahwa
memiliki komitmen untuk melaporkan pajak kepada
FATCA mewajibkan lembaga keuangan asing untuk
Pemerintah AS (cq. Internal Revenue Service). Namun
melaporkan kepada IRS atas rekening finansial yang dimiliki oleh Wajib Pajak AS atau yang dimiliki lembaga asing dimana Wajib Pajak AS memiliki kepemilikan yang substansial. Lembaga yang
2
Stack, Robert, Myth vs. FATCA: The Truth About Treasury’s Effort To Combat Offshore Tax Evasion, diakses melalui http://www.treasury.gov/connect/blog/Pages/Myth-vs-FATCA.aspx.
3
Communiqué Meeting of Finance Ministers and Central Bank Governors, Washington, 18-19 April 2013, diakses melalui http://www.g20.org/documents/
5
Lihat http://www.irs.gov/Businesses/Corporations/Summary-of-FATCAReporting-for-U.S.-Taxpayers.
G20 Leaders’ Declaration, Russia, September 2013, diakses melalui http://www.g20.org/news/20130906/782776427.html
6
Ibid.
4
42
memiliki kewajiban pelaporan tidak hanya terbatas
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
pada bank, namun lembaga keuangan lainnya
2) Menikah dan menyampaikan laporan pajak
seperti lembaga investasi, broker, dan perusahaan
penghasilan gabungan serta memiliki total
asuransi tertentu. Berikut ini merupakan ruang
aset finansial di negara lain lebih dari
lingkup Wajib Pajak AS dan batasan nilai aset
USD100,000 pada hari terakhir di tahun
finansial yang dikehendaki pelaporannya oleh
pajak atau lebih dari USD150,000 pada
FATCA.
setiap saat selama tahun pajak. 3) Menikah namun menyampaikan laporan
a. Wajib Pajak AS berdomisili di luar negeri
pajak penghasilan terpisah serta memiliki
Wajib Pajak AS dikategorikan sebagai Wajib
total aset finansial di negara lain lebih dari
Pajak yang berdomisili di luar negeri apabila
USD50,000 pada hari terakhir di tahun
pihak tersebut merupakan warga negara AS
pajak atau lebih dari USD75,000 pada
dimana memiliki kewajiban pajak pada negara
setiap saat selama tahun pajak.
asing tersebut dan telah tinggal di negara tersebut atau negara lain setidaknya selama
Yang dimaksud dengan aset finansial di negara
330 (tiga ratus tiga puluh) hari berturut-turut
lain yang wajib dilaporkan sesuai FATCA adalah
dari periode 12 (dua belas) bulan. Wajib Pajak
seluruh aset luar negeri baik berbentuk rekening
tersebut harus menggunakan formulir 8938
ataupun non rekening yang ditujukan untuk
untuk menyampaikan laporan pajak penghasilan
investasi dan bukan digunakan untuk kegiatan
dengan klasifikasi sebagai berikut:
perdagangan atau bisnis. Contoh investasi
1) menikah dan menyampaikan laporan pajak
tersebut antara lain saham dan surat berharga
penghasilan gabungan serta memiliki total
asing, instrumen finansial asing, kontrak dengan
aset finansial di negara lain lebih dari
pihak non US, dan interest di lembaga asing.
USD400,000 pada hari terakhir di tahun
Namun demikian, terdapat aset finansial yang
pajak atau lebih dari USD600,000 pada
dikecualikan dari pelaporan dalam FATCA yaitu
setiap saat selama tahun pajak. Ketentuan
aset berupa:
ini tetap berlaku meskipun hanya pihak
1) Rekening finansial yang di tatausahakan
suami/istri yang berdomisili di luar negeri. 2) Bukan pihak yang menikah dan tidak
oleh lembaga AS yang meliputi lembaga keuangan asing cabang AS, kantor cabang
menyampaikan laporan pajak penghasilan
luar negeri dari lembaga keuangan AS,
gabungan serta memiliki total aset finansial
dan kantor cabang luar negeri dari anak
di negara lain lebih dari USD200,000 pada hari terakhir di tahun pajak atau lebih dari USD300,000 pada setiap saat selama tahun pajak.
perusahaan dari perusahaan AS; 2) Beneficial interest atas trust dan properti di luar negeri; 3) Bunga/pendapatan dari jaminan sosial, asuransi sosial dan program serupa lainnya
b. Wajib Pajak AS berdomisili di AS
dari pemerintah asing.
Wajib Pajak berikut ini harus menggunakan formulir 8938 untuk menyampaikan laporan
c. Opsi Penerapan FATCA
pajak penghasilan dengan klasifikasi sebagai
Terkait dengan pelaporan sebagaimana diatur
berikut:
dalam FATCA, Pemerintah AS akan
1) Tidak menikah dan total aset finansial lebih
mengenakan 30% withholding tax, kepada
dari USD50,000 pada hari terakhir di tahun
FFI yang tidak memiliki kewajiban melaporkan
pajak atau lebih dari USD75,000 pada
Wajib Pajak AS, untuk setiap penerimaan yang
setiap saat selama tahun pajak.
berasal dari sumber pendapatan AS seperti
43
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
dividen, bunga dan asuransi terhadap institusi
a) Model 1 IGA (pendekatan Pemerintah
keuangan asing. Namun demikian, Pemerintah
ke Pemerintah)
AS menawarkan opsi agar FFI tidak terkena
Dalam Model 1 IGA ini, negara yang
penerapan withholding tax tersebut yaitu
merupakan partner FATCA menanda-
sebagai berikut:
tangani perjanjian dengan Pemerintah AS untuk mengumpulkan informasi
1. FFI Menandatangani perjanjian dengan IRS
terkait rekening warga AS dari seluruh
(FFI Agreement)
FFI yang masuk dalam wilayah jurisdiksi
FFI menandatangani perjanjian dengan IRS
dan untuk selanjutnya secara otomatis
yang dituangkan dalam FFI Agreement.
bertukar informasi melalui IRS. Dalam
Dalam perjanjian ini, FFI setuju untuk
hal ini, FFI tidak perlu menandatangani
berpartisipasi dalam FATCA dengan
perjanjian dengan IRS karena
menandatangani perjanjian langsung
pengumpulan informasi dari FFI akan
dengan IRS dimana FFI wajib melaksanakan
dikoordinir oleh Pemerintah di negara
kewajiban dalam FFI Agreement tersebut
yang bersangkutan.
tanpa turut campur dari pemerintah negara dimana FFI tersebut berdomisili.
Perjanjian Model 1 IGA ini dituangkan dalam bentuk Agreement between the
Konsep FFI Agreement tersebut tersedia
Government of the United States of
dalam situs resmi IRS yaitu http://www.irs.
America and the Government of [FATCA
gov/pub/irs-drop/n-13-69.pdf, dimana
Partner] to Improve International Tax
konsep tersebut mengatur pokok-pokok
Compliance and to Implement FATCA,
perjanjian antara lain sebagai berikut:
yang konsepnya tersedia dalam situs
kewajiban untuk melakukan due diligence
resmi Pemerintah AS yaitu http://www.
bagi FFI, persyaratan untuk memberikan
treasury.gov/resource-center/tax-policy/
deposit, kewajiban pelaporan informasi dan
treaties/Pages/FATCA.aspx.
pengembalian pajak, prosedur kepatuhan yang wajib dilaksanakan oleh FFI, dst.
b) Model 2 IGA Dalam Model 2 IGA, pemerintah negara
Berdasarkan draft FFI Agreement tersebut,
setempat menandatangani perjanjian
FFI dipersyaratkan antara lain untuk
dengan IRS dan selanjutnya pemerintah
melakukan due diligence dalam rangka
negara setempat tersebut mewajibkan
mengidentifikasi rekening yang dimiliki
FFI untuk melakukan pendaftaran ke
oleh warga negara AS dan secara tahunan
IRS untuk selanjutnya mengikuti
melaporkan informasi terkait rekening
ketentuan dalam FFI Agreement.
tersebut kepada IRS. Melalui model ini, FFI melaporkan 2. Penandatanganan Intergovernmental
langsung kepada IRS secara tahunan ,
Agreement (IGA)
tanpa melalui pemerintah negara
Pemerintah AS melalui US Treasury
setempat, atas seluruh informasi
Department mengembangkan dua model
rekening wajib pajak AS termasuk
IGA sebagai alternatif cara untuk penerapan
ringkasan informasi rekening wajib
FATCA yaitu:
pajak AS meskipun belum mendapatkan persetujuan dari pemilik rekening untuk
44
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
dilaporkan ke IRS (non-consenting
C. Pro dan Kontra Wacana Penerapan FATCA
account). Melalui kerjasama Model 2 ini, IRS dapat meminta pemerintah
Terkait dengan wacana penerapan FATCA, berikut ini
negara yang merupakan partner FATCA,
pro dan kontra secara umum terkait dengan opsi
informasi rekening individual yang
yang dimiliki dalam wacana penerapan FATCA dari
mendasari ringkasan informasi yang
sisi perbankan yaitu:
dilaporkan oleh FFI terkait non consenting account.
1. Tidak menerapkan FATCA Dalam hal Indonesia memutuskan untuk tidak
Perjanjian Model 2 IGA ini berupa
menerapkan FATCA maka Pemerintah AS akan
Agreement between the Government
mengenakan 30% withholding tax atas
of the United States of America and
penerimaan pendapatan FFI yang berasal dari
the Government of [FATCA Partner] for
sumber pendapatan di AS seperti dividen, bunga
Cooperation to Facilitate the
dan asuransi. Berikut ini adalah pro dan kontra
Implementation of FATCA, yang
bagi Indonesia bila tidak menerapkan FATCA
konsepnya tersedia dalam situs resmi
dimaksud.
Pemerintah AS yaitu http://www.treasury.gov/resourcecenter/tax-policy/treaties/Pages/FATCA. aspx.
Pro
Kontra
• Indonesia tidak memiliki ketentuan yang dapat memaksa Wajib Pajak AS sebagai Nasabah Penyimpan untuk memberikan permintaan, persetujuan atau kuasanya untuk menginformasikan rekening yang bersangkutan kepada pihak ketiga.
• Dengan tidak menerapkan FATCA maka Indonesia tidak mendukung program anti penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak AS sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan FATCA.
• Dengan tidak diterapkannya FATCA, Indonesia tidak mendukung komitmen forum Internasional untuk bersama-sama berupaya mencegah terjadinya penghindaran pajak. • 30% Withholding Tax akan mengurangi pendapatan bank di Indonesia yang memiliki pendapatan di AS dari dividen, bunga dan asuransi.
2. Menerapkan FATCA melalui FFI Agreement Dalam hal bank-bank di Indonesia memutuskan untuk berpartisipasi dalam FFI Agreement, berikut ini adalah pro dan kontra bagi Indonesia atas hal dimaksud.
45
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Pro
Kontra
• Dengan menerapkan FATCA maka Indonesia mendukung program anti penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak AS sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan FATCA dan turut mendukung komitmen forum internasional terkait penghindaran pajak.
• Bank Indonesia harus memahami FATCA dan mensosialisasikan wacana penerapan FATCA kepada bank-bank di Indonesia serta untuk selanjutnya menyerahkan keputusan kepada bank untuk ikut serta dalam FFI Agreement atau tidak.
• Dengan adanya bank-bank di Indonesia yang memiliki kerjasama terkait anti penghindaran pajak, diharapkan Indonesia memiliki track record positif jika suatu saat Indonesia meminta kerjasama kepada AS terkait anti penghindaran pajak.
• Pemerintah Indonesia tidak dapat memantau bankbank yang ikut/tidak ikut serta dalam FFI Agreement karena keinginan bank sendiri ikut serta dalam FFI Agreement.
• Jika bank tidak patuh dalam FFI Agreement yang telah disepakati maka IRS akan sulit untuk memberikan sanksi lain kepada bank kecuali sebagaimana tertera dalam FFI Agreement. Sebaliknya bila IRS merasa bank tidak patuh terhadap FFI Agreement dan akhirnya memutuskan untuk mengenakan 30% withholding tax maka pemerintah Indonesia sulit menjembatani permasalahan ini. • Kerahasiaan informasi dalam pelaporan sebagaimana dimaksud FFI Agreement menjadi tanggung jawab pihak bank dan IRS. Dalam hal ini, otoritas pengawas mencampuri penatausahaan kerahasiaan bank berikut mekanisme pelaporan yang diatur dalam FFI Agreement karena otoritas pengawas bukan merupakan pihak yang menandatangani perjanjian tersebut. • Bank harus dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS yang wajib dilaporkan sesuai FATCA, hal ini dapat menjadi kendala bagi bank mengingat bank harus melakukan penelusuran ulang atas seluruh pemilik rekening bank yang merupakan Wajib Pajak AS. • Setelah Bank dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS maka bank harus dapat meminta persetujuan/kuasa dari pemilik rekening untuk menginformasikan rekening tersebut kepada IRS, sebagaimana hal ini diatur dalam UU Perbankan.
46
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Pro
Kontra • FFI Agreement antara lain mewajibkan FFI untuk menutup rekening Wajib Pajak AS apabila yang bersangkutan tidak patuh memiliki dampak hukum bagi bank yaitu potensi gugatan dari pemilik rekening yang telah ditutup oleh bank.
3. Menerapkan FATCA melalui Intergovernmental Agreement Dalam hal pemerintah Indonesia memutuskan untuk berpartisipasi dalam Intergovernmental Agreement, berikut ini adalah pro dan kontra bagi Indonesia atas hal dimaksud. Model 1 IGA
Pro
Kontra
• Dengan menerapkan FATCA maka Indonesia mendukung program anti penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak AS sebagaimana menjadi tujuan FATCA dan turut mendukung komitmen forum internasional terkait penghindaran pajak.
• Bank harus dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS yang wajib dilaporkan sesuai FATCA, hal ini dapat menjadi kendala bagi bank mengingat bank harus melakukan penelusuran ulang atas seluruh pemilik rekening bank.
• Dengan adanya bank-bank di Indonesia yang memiliki kerjasama terkait anti penghindaran pajak, diharapkan Indonesia memiliki track record positif jika suatu saat Indonesia meminta kerjasama kepada AS terkait anti penghindaran pajak.
• Setelah Bank dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS maka bank harus dapat meminta persetujuan/kuasa dari pemilik rekening untuk menginformasikan rekening tersebut kepada IRS. Hal ini dapat menjadi kendala bagi bank dalam prakteknya.
• Pemerintah Indonesia dapat memantau keikutsertaan bank-bank yang menyampaikan laporan terkait penerapan FATCA.
• Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang memaksa Nasabah Penyimpan termasuk Wajib Pajak AS untuk memberikan persetujuan/kuasa kepada bank agar dapat menginformasikan rekening simpanannya tersebut kepada Pemerintah Indonesia untuk selanjutnya disampaikan kepada IRS.
47
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Pro
Kontra
• Jika bank tidak patuh dalam kewajiban pelaporan terkait FATCA yang telah disepakati maka otoritas pengawas bank dapat memberikan sanksi kepada bank dan sebaliknya bila IRS merasa bank tidak patuh terhadap IGA dan akhirnya memutuskan untuk mengenakan 30% withholding tax maka pemerintah Indonesia dapat menjembatani permasalahan ini. • Kerahasiaan informasi dalam pelaporan sebagaimana dimaksud IGA dapat dipantau oleh Pemerintah Indonesia/otoritas pengawas bank. Dalam hal ini, otoritas pengawas mengetahui pasti tentang penatausahaan kerahasiaan bank berikut mekanisme pelaporan yang diatur dalam IGA. • Pemerintah dapat menentukan sistem pelaporan kepada IRS yang akan digunakan namun Pemerintah harus tetap menentukan mekanisme pelaporan yang akan dilakukan dari bank kepada Pemerintah sebagai pihak yang mengkoordinir pelaporan tersebut.
Model 2 – IGA
Pro
Kontra
• Dengan menerapkan FATCA maka Indonesia mendukung program anti penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak AS sebagaimana menjadi tujuan FATCA dan turut mendukung komitmen forum internasional terkait penghindaran pajak.
• Bank harus dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS yang wajib dilaporkan sesuai FATCA, hal ini dapat menjadi kendala bagi bank mengingat bank harus melakukan penelusuran ulang atas seluruh pemilik rekening bank.
• Dengan adanya bank-bank di Indonesia yang memiliki kerjasama terkait anti penghindaran pajak, diharapkan Indonesia memiliki track record positif jika suatu saat Indonesia meminta kerjasama kepada AS terkait anti penghindaran pajak.
• Setelah Bank dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS maka bank harus dapat meminta persetujuan/kuasa dari pemilik rekening untuk menginformasikan rekening tersebut kepada IRS. Hal ini dapat menjadi kendala bagi bank dalam prakteknya.
48
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Pro
Kontra
• Pemerintah Indonesia yang memutuskan mengenai penerapan FATCA pada bank-bank sehingga bank wajib menaati keputusan tersebut dan untuk selanjutnya menaati ketentuan pelaporan sebagaimana diatur dalam FATCA.
• Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang memaksa Nasabah Penyimpan termasuk Wajib Pajak AS untuk memberikan persetujuan/kuasa kepada bank agar dapat menginformasikan rekening simpanannya tersebut kepada bank untuk selanjutnya disampaikan kepada IRS.
• Pemerintah Indonesia dapat memantau keikutsertaan bank-bank yang menyampaikan laporan terkait penerapan FATCA.
• Mekanisme pelaporan langsung dari bank kepada IRS dapat menjadi kendala bagi bank khususnya terkait standarisasi sistem pelaporan diantara bankbank.
• Jika bank tidak patuh dalam kewajiban pelaporan terkait FATCA yang telah disepakati maka otoritas pengawas bank dapat memberikan sanksi kepada bank dan sebaliknya bila IRS merasa bank tidak patuh terhadap IGA dan akhirnya memutuskan untuk mengenakan 30% withholding tax maka pemerintah Indonesia dapat menjembatani permasalahan ini. • Kerahasiaan informasi dalam pelaporan sebagaimana dimaksud IGA dapat dipantau oleh Pemerintah Indonesia/otoritas pengawas bank. Dalam hal ini, otoritas pengawas mengetahui pasti tentang penatausahaan kerahasiaan bank berikut mekanisme pelaporan yang diatur dalam IGA.
D. Tinjauan Singkat Penerapan FATCA dari Aspek Hukum Perbankan
Seluruh bank di Indonesia terikat dengan ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam UU Perbankan sehingga pemberian informasi terkait
1. Ketentuan Rahasia Bank
nasabah bank termasuk nasabah bank yang
Dari aspek hukum perbankan, penerapan FATCA
merupakan Wajib Pajak AS wajib tunduk pada
erat kaitannya dengan ketentuan mengenai rahasia
ketentuan rahasia bank tersebut.
bank yaitu ketentuan mengenai pemberian informasi oleh bank mengenai nasabah dan
Ketentuan rahasia bank diatur dalam Pasal 40 UU
rekening simpanannya sebagaimana diatur dalam
Perbankan yang menyatakan bahwa bank wajib
UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
merahasiakan keterangan mengenai nasabah
sebagaimana diubah dengan UU No. 10 tahun
penyimpan dan simpanannya kecuali untuk hal-
1998 (selanjutnya disebut “UU Perbankan”).
hal berikut ini:
49
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
a. kepentingan perpajakan (vide Pasal 41 UU Perbankan); b. penyelesaian piutang bank (vide Pasal 41A UU Perbankan); c. kepentingan peradilan dalam perkara pidana (vide Pasal 42 UU Perbankan); d. perkara perdata antara bank dengan nasabahnya (vide Pasal 43 UU Perbankan); e. dalam rangka tukar menukar informasi antar bank (vide Pasal 44 UU Perbankan); dan f. atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari
Berdasarkan hal tersebut diatas, UU Perbankan secara jelas melarang bank untuk menginformasikan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya kepada pihak lain kecuali kepada pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 41 s.d Pasal 44 UU Perbankan yaitu pejabat pajak untuk kepentingan perpajakan, Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Ketua Panitia Urusan Piutang Negara, polisi, jaksa atau hakim untuk kepentingan peradilan, serta pihak lain yang disetujui oleh nasabah penyimpan.
Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis (vide Pasal 44A UU Perbankan).
Pemberian informasi kepada pihak lain misalkan IRS dapat dilakukan sepanjang memenuhi Pasal
Ketentuan pelaksanaan dari UU Perbankan
44A UU Perbankan. Sebagaimana diatur dalam
mengenai rahasia bank diatur lebih lanjut dalam
Pasal 44A UU Perbankan, penyampaian informasi
PBI No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan
kepada pihak tertentu diperbolehkan sepanjang
Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis
telah terdapat permintaan, persetujuan atau kuasa
Membuka Rahasia Bank (selanjutnya disebut “PBI
dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis
Rahasia Bank”) yang mengatur bahwa Bank wajib
dan bank wajib memberikan keterangan mengenai
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan
simpanan Nasabah Penyimpan kepada pihak yang
dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan
ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan.
dan Simpanan Nasabah (vide Pasal 2 PBI Rahasia Bank) kecuali untuk:
Dengan demikian terkait dengan wacana
a. kepentingan perpajakan;
penerapan FATCA, bank dapat menginformasikan
b. penyelesaian piutang Bank yang sudah
kepada Pemerintah ataupun pihak ketiga atas
diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan
rekening yang dimiliki Wajib Pajak AS sepanjang
Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara;
terdapat permintaan, persetujuan atau kuasa dari
c. kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
pemilik rekening terlepas dari opsi yang dipilih
d. kepentingan peradilan dalam perkara perdata
Pemerintah Indonesia nantinya dalam menerapkan
antara Bank dengan Nasabahnya;
FATCA.
e. tukar menukar informasi antar Bank; f. permintaan, persetujuan atau kuasa dari
Namun demikian, telah disadari bahwa saat ini
Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis;
belum terdapat ketentuan yang memaksa nasabah
dan
penyimpan khususnya Wajib Pajak AS untuk
g. permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah
memberikan persetujuannya kepada bank untuk
Penyimpan yang telah meninggal dunia.
memberikan keterangan mengenai dirinya dan simpanannya sebagaimana dalam Pasal 44A UU
Terkait dengan wacana penerapan FATCA di
Perbankan. Hal ini dapat menjadi salah satu
Indonesia, tentu perlu dipertimbangkan
kendala dalam penerapan FATCA nantinya dari
pelaksanaan penerapan FATCA agar tidak
sisi hukum perbankan dan pemerintah perlu
melanggar UU Perbankan ataupun ketentuan
mencari solusi pengaturan atas hal tersebut.
perundang-undangan lainnya yang berlaku.
50
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Solusi pengaturan yang mungkin dapat ditelaah
Lebih lanjut, ketika melakukan pembukaan
lebih lanjut pro dan kontra-nya antara lain sebagai
rekening untuk pertama kali, Pasal 12 jo. Pasal
berikut:
14 PBI APU-PPT mewajibkan Bank untuk meminta
a. Melakukan perubahan/amandemen UU
informasi untuk mengetahui profil calon nasabah,
Perbankan terkait pengaturan mengenai
yang meliputi:
pemberian informasi nasabah penyimpan dan
a. Identitas, yang mencakup:
simpanannya agar dapat mengakomodir penerapan FATCA ataupun penerapan
1) nama lengkap termasuk nama alias apabila ada;
komitmen dalam forum internasional dalam
2) nomor dokumen identitas;
rangka mencegah penghindaran pajak;
3) alamat tempat tinggal sesuai dokumen
b. Menerbitkan ketentuan yang mewajibkan bank untuk mengidentifikasi pemilik rekening yang
identitas dan alamat tempat tinggal lain apabila ada;
merupakan Wajib Pajak AS dan meminta
4) tempat dan tanggal lahir;
pemilik rekening yang bersangkutan untuk
5) kewarganegaraan;
menandatangani persetujuan atau kuasa
6) pekerjaan;
kepada Bank untuk menginformasikan
7) jenis kelamin;
rekeningnya kepada Pemerintah Indonesia.
8) status perkawinan; dan
Bila pemilik rekening tidak bersedia untuk
b. Identitas Beneficial Owner (bila ada);
memberikan persetujuan tersebut, maka Bank
c. Sumber dana;
dapat melakukan tindakan yang diperlukan
d. Perkiraan nilai transaksi dalam 1 (satu) tahun;
terkait keberadaan rekening pemilik rekening
e. Maksud dan tujuan hubungan usaha atau
yang merupakan Wajib Pajak AS tersebut antara lain dengan menutup rekening tersebut.
transaksi yang akan dilakukan calon nasabah dengan Bank; f. NPWP; dan
2. Ketentuan APU-PPT
g. Informasi lain untuk mengetahui profil calon
Wacana penerapan FATCA di Indonesia juga dapat
nasabah lebih dalam, termasuk informasi yang
dikaitkan dengan ketentuan APU-PPT sebagaimana
diperintahkan oleh ketentuan dan peraturan
diatur dalam PBI No.14/27/PBI/2012 tentang
perundang-undangan lainnya yang terkait.
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank
Dalam ketentuan ini, khusus untuk calon nasabah
Umum (selanjutnya disebut “PBI APU-PPT”)
maka bank wajib mengidentifikasi nasabah yang
terutama ketentuan yang mengatur mengenai
memiliki kewarganegaraan AS dan dapat
kewajiban bank untuk mengenal nasabah melalui
memperkirakan apakah yang bersangkutan dapat
Customer Due Diligence.
dikategorikan sebagai wajib pajak AS yang tunduk dalam FATCA atau tidak, khususnya dengan
Pasal 10 PBI APU-PPT mengatur bahwa bank wajib
memperhatikan nilai transaksi dalam 1 (satu)
melakukan prosedur Customer Due Diligence
tahun yang akan dilakukan. Untuk kedepannya,
(CDD) yang merupakan kegiatan identifikasi,
sebagai syarat tambahan pembukaan rekening,
verifikasi dan pemantauan yang dilakukan bank
Bank dapat meminta dokumen tambahan berupa
untuk memastikan bahwa transaksi sesuai dengan
persetujuan/kuasa untuk menginformasikan
profil calon nasabah, Walk-in Customer atau
rekeningnya tersebut kepada IRS dalam rangka
nasabah. Dengan adanya CDD ini, Bank wajib
penerapan FATCA.
mengetahui calon nasabahnya termasuk tentang kewarganegaraan calon nasabahnya tersebut.
51
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Untuk existing customer, dengan adanya kewajiban
Selanjutnya mengenai model perjanjian untuk
Bank untuk menatausahakan dokumen/informasi
menerapkan FATCA, Indonesia sebaiknya menerapkan
mengenai nasabah, maka bank perlu melakukan
FATCA dengan menggunakan Model 1 IGA yang
pengkinian data terhadap informasi dan dokumen
nampaknya lebih sesuai untuk diterapkan di Indonesia
tersebut. Cara pengkinian data tersebut diatur
sebagaimana tercermin dalam pro dan kontra
dalam Pasal 29 PBI APU-PPT yaitu:
sebagaimana disebutkan diatas.
a. Melakukan pemantauan terhadap informasi dan dokumen Nasabah; b. Menyusun laporan rencana pengkinian data; dan c. Menyusun laporan realisasi pengkinian data.
Penerapan FATCA dengan Model 1 - IGA tersebut wajib tetap mengikuti ketentuan pembukaan rahasia bank sebagaimana diatur dalam UU Perbankan dan berdasarkan Pasal 44A UU Perbankan, bank di Indonesia dapat memberikan informasi mengenai
Dengan adanya pengkinian data tersebut,
rekening Wajib Pajak AS kepada Pemerintah AS sesuai
setidaknya Bank dapat mengetahui informasi
dengan permintaan, persetujuan atau kuasa Wajib
terkini mengenai nasabah termasuk dapat
Pajak AS sebagai pemilik rekening di bank tersebut.
menetapkan nasabah yang memiliki kewarganegaraan AS sebagai pihak yang diwajibkan untuk
Sehubungan dengan pengaturan Pasal 44A UU
dilaporkan rekeningnya berdasarkan FATCA
Perbankan tersebut dan terkait dengan penerapan
termasuk profil transaksi dari nasabah tersebut.
FATCA, maka bank di Indonesia perlu melakukan halhal sebagai berikut:
Dalam hal FATCA diterapkan di Indonesia, maka ketentuan APU-PPT dapat mendukung pelaksanaan penerapan FATCA tersebut khususnya pelaksanaan due diligence dan pengkinian data oleh Bank.
a) Melakukan identifikasi rekening-rekening yang dimiliki oleh Wajib Pajak AS; b) Meminta persetujuan atau kuasa dari pemilik rekening agar Bank dapat menginformasikan rekening tersebut kepada IRS (vide Pasal 44A UU
E. Kesimpulan
Perbankan).
FATCA merupakan regulasi Pemerintah AS yang tidak
Kendala yang dapat dihadapi dalam penerapan FATCA
dapat dihindarkan pemberlakuannya di Indonesia.
dari sisi UU Perbankan tersebut antara lain pemilik
Pilihan yang dihadapkan saat ini adalah ikut turut
rekening tidak mau memberikan persetujuan/kuasa
menerapkan FATCA atau pengenaan withholding
kepada bank untuk menginformasikan keterangan
tax sebesar 30% bagi seluruh bank ataupun FFI
nasabah penyimpan dan simpanannya untuk
lainnya yang memiliki pendapatan di AS. Pemerintah
selanjutnya disampaikan kepada IRS, sehingga
Indonesia harus segera menentukan sikap sebelum
kedepannya pemerintah Indonesia perlu mencarikan
diberlakukannya FATCA tersebut pada tanggal 1 Juli
solusi pengaturan yang tepat mengenai hal ini.
2014. Forum internasional, seperti G20 dan OECD, sangat mendukung adanya transparansi pajak dan mencegah upaya penghindaran pajak sehingga penerapan FATCA di Indonesia menjadi pilihan yang utama bagi Indonesia dalam rangka mendukung komitmen internasional tersebut.
52
DAFTAR PUSTAKA
Communiqué Meeting of Finance Ministers and Central Bank Governors, Washington, 18-19 April 2013. G20 Leaders’ Declaration, Russia, September 2013. Stack, Robert, Myth vs. FATCA: The Truth About Treasury’s Effort To Combat Offshore Tax Evasion, diakses melalui http://www.treasury.gov/connect/blog/Pages/Myth-vs-FATCA.aspx. Summary of FATCA Reporting for US Taxpayers, diakses melalui http://www.irs.gov/Businesses/Corporations/Summaryof-FATCA-Reporting-for-U.S.-Taxpayers. UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 PBI No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank PBI No. 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum
53
HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA Oleh : Dr. Urip Santoso, S.H, MH.1
Abstrak Rumah bagi pemiliknya di samping berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, juga berfungsi sebagai aset bagi pemiliknya. Rumah sebagai aset, maka rumah mempunyai nilai ekonomis sehingga dapat dinilai dengan uang. Oleh karena rumah mempunyai nilai ekonomis, maka rumah dapat dijadikan jaminan utang oleh pemiliknya. Rumah yang dapat dijadikan jaminan utang adalah rumah yang sifatnya dimiliki. Hak milik atas rumah tanpa tanah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia. Dokumen yang diserahkan sebagai jaminan Fidusia adalah surat tanda bukti pemilikan rumah. Jaminan Fidusia dibuktikan dengan Akta Pembebanan Fidusia yang dibuat oleh Notaris. Lahirnya Jaminan Fidusia adalah sejak Akta Pembebanan Fidusia didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Sebagai tanda bukti Jaminan Fidusia diterbitkan Sertipikat Fidusia oleh Kantor Pendaftaran Fidusia. Kata kunci : Hak milik, rumah, fidusia, akta, sertipikat
Pendahuluan
Pengertian rumah disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 1 Tahun 2011, yaitu bangunan
Pada mulanya, ketentuan tentang perumahan diatur
gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang
dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1964 tentang
layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.
6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan
Rumah yang ditempati atau dihuni diharapkan tidak
(Lembaran Negara Tahun 1962 No. 40, Tambahan
sekedar rumah, tetapi rumah yang layak huni dalam
lembaran Negara Republik Indonesia No. 2476) menjadi
lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1964 No. 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
Pasal 21 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 2011
2611). Undang-undang No. 41 Tahun 1964 dinyatakan
menetapkan jenis rumah dibedakan berdasarkan pelaku
tidak berlaku lagi oleh Undang-undang No. 4 Tahun
pembangunan dan penghunian yang meliputi:
1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran
a. Rumah komersial
Negara Tahun 1992 No. 23, Tambahan Lembaran Negara
Rumah komersial adalah rumah yang diselenggarakan
Republik Indonesia No. 3469). Undang-undang No. 4
dengan tujuan mendapatkan keuntungan sesuai
Tahun 1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi
kebutuhan masyarakat.
oleh Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang
b. Rumah umum
Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara
Rumah umum adalah rumah yang diselenggarakan
Tahun 2011 No. 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat
Indonesia No. 5188).
berpenghasilan rendah. Rumah umum dapat mendapatkan bantuan dan
1
Dosen Hukum Agraria dan Hukum Perumahan Pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga
kemudahan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
55
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
c. Rumah swadaya
fungsional, baik dalam arah horizontal atau vertikal,
Rumah swadaya adalah rumah yang dibangun atas
dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing
prakarsa dan upaya masyarakat.
dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama
Rumah swadaya diselenggarakan atas prakarsa dan
untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian
upaya masyarakat, baik secara sendiri maupun
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
berkelompok. Rumah swadaya dapat memperoleh bantuan dan
Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 2011
kemudahan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah
menetapkan bahwa pembangunan rumah tunggal, rumah
Daerah.
deret, dan/atau rumah susun dapat di atas tanah:
d. Rumah khusus
a. Hak Milik
Rumah khusus adalah rumah yang diselenggarakan
Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan
dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan khusus.
terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah
Yang dimaksud dengan “kebutuhan khusus”, antara
dengan mengingat ketentuan Pasal 6 Undang-undang
lain adalah kebutuhan untuk perumahan transmigrasi,
No. 5 Tahun 1960 atau Undang-undang Pokok Agraria
permukiman kembali korban bencana alam, dan rumah sosial untuk menampung orang lansia, masyarakat
(UUPA). b. Hak Guna Bangunan, baik di atas tanah negara
miskin, yatim piatu, dan anak terlantar, serta termasuk
maupun di atas tanah Hak Pengelolaan
juga untuk pembangunan rumah yang lokasinya
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan
terpencar dan rumah di wilayah perbatasan wilayah
dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan
negara. Rumah khusus disediakan oleh Pemerintah
miliknya, dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga
dan/atau Pemerintah Daerah.
puluh) tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu
e. Rumah negara
paling lama 20 (duapuluh) tahun, dan diperbaharui
Rumah negara adalah rumah yang dimiliki negara
haknya untuk jangka waktu paling lama 30 (tigapuluh)
dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian
tahun.
dan sarana pembinaan keluarga serta penunjang
c. Hak Pakai atas tanah negara
pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.
Hak Pakai adalah hak untuk mempergunakan dan/atau
Rumah negara disediakan oleh Pemerintah dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung
Pemerintah Daerah.
oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
Pasal 22 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 2011
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
menetapkan bentuk rumah, yaitu:
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
a. Rumah tunggal
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau
Rumah tunggal adalah rumah yang mempunyai
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-
tidak dibangun tepat pada batas kaveling.
undang No. 5 Tahun 1960.
b. Rumah deret Rumah deret adalah beberapa rumah yang satu atau
Rumah berfungsi sebagai aset (kekayaan) bagi pemiliknya,
lebih dari sisi bangunan menyatu dengan sisi satu
artinya rumah tersebut mempunyai nilai ekonomis bagi
atau lebih bangunan lain atau rumah lain, tetapi
pemiliknya. Hak yang dimiliki pemilik rumah terhadap
masing-masing mempunyai kaveling sendiri.
rumahnya, adalah:
c. Rumah susun Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
56
a. Menempati atau menggunakan rumah sesuai dengan fungsinya; b. Memberikan hak kepada orang lain untuk menghuni rumahnya dengan cara bukan sewa menyewa;
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
c. Menyewakan rumahnya kepada orang lain;
Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dan Jaminan
d. Menjual rumahnya kepada orang lain;
Fidusia apabila yang dijadikan jaminan utang adalah
e. Menghibahkan rumahnya kepada orang lain;
rumah tidak beserta tanahnya, yang diatur dalam Undang-
f. Menukarkan rumahnya dengan rumah milik orang
Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
lain; g. Melelang rumahnya dalam kaitannya dengan pelunasan utang;
Permasalahan yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah pengaturan hak milik atas rumah sebagai jaminan Fidusia
h. Menjaminkan rumahnya ke dalam utang piutang;
dan mekanisme pembebanan hak milik atas rumah
i. Mewariskan rumahnya kepada ahli warisnya.
sebagai jaminan Fidusia.
Rumah sebagai aset (kekayaan) bagi pemiliknya dan
Pembahasan
mempunyai nilai ekonomis dapat dijadikan jaminan utang oleh pemiliknya. Utang dengan jaminan rumah dapat
1. Pengaturan Jaminan Fidusia Atas Rumah
dijadikan bagi pemiliknya untuk mengembangkan usaha
Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
(bisnis) atau keperluan lainnya.
dan Kawasan Permukiman tidak mengatur hak milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia. Berdasarkan
Bentuk rumah yang dapat dijadikan jaminan utang
ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 1
adalah rumah tunggal, rumah deret, dan rumah susun.
Tahun 2011, rumah sebagai aset bagi pemiliknya yaitu
Tidak setiap jenis rumah dapat dijadikan jaminan utang.
rumah mempunyai nilai ekonomis bagi pemiliknya
Jenis rumah yang dapat dijadikan jaminan utang adalah
sehingga dapat dijadikan jaminan utang dengan
rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum,
dibebani Jaminan Fidusia.
sedangkan jenis rumah yang tidak dapat dijadikan jaminan utang adalah rumah khusus dan rumah negara.
Pertama kali diatur, bahwa rumah susun dan hak
Rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum
milik atas satuan rumah susun dapat dijadikan jaminan
dapat dijadikan jaminan utang sebab rumah tersebut
utang dengan dibebani Jaminan Fidusia adalah Pasal
dapat diperjualbelikan oleh pemilik rumah kepada orang
12 Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang
lain. Rumah khusus tidak dapat dijadikan jaminan utang
Rumah Susun, yaitu:
sebab rumah tersebut dibangun dalam rangka memenuhi
(1) Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu
kebutuhan untuk transmigrasi, permukiman kembali
berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu
korban bencana alam, dan rumah sosial untuk
kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan
menampung orang lansia, masyarakat miskin, yatim
jaminan utang dengan :
piatu, dan anak terlantar, serta termasuk juga untuk
a. dibebani hipotik, jika tanahnya tanah Hak Milik
pembangunan rumah yang lokasinya terpencar dan lokasinya dan rumah di wilayah perbatasan negara. Demikian pula, rumah negara juga tidak dapat dijadikan
atau Hak Guna Bangunan; b. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah Hak Pakai atas tanah negara.
jaminan utang sebab rumah negara sifatnya bukan untuk
(2) Hipotik atau fidusia dapat juga dibebankan atas
dimiliki, akan tetapi hanya dihuni oleh pegawai negeri
tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan/atau pejabat negara atau pejabat Pemerintah.
beserta rumah yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit yang dimaksudkan untuk
Lembaga jaminan yang mewadahi hak milik atas rumah
membiayai pelaksanaan pembangunan rumah
sebagai jaminan utang adalah Hak Tanggungan apabila
susun yang telah direncanakan di atas tanah yang
yang dijadikan jaminan utang adalah rumah beserta hak
bersangkutan dan yang pemberian kreditnya
atas tanahnya, yang diatur dalam Undang-Undang No.
dilakukan secara bertahap sesuai dengan
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut.
57
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Pembebanan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
b. pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah
diatur dalam Pasal 13 Undang-undang No. 16 Tahun
yang haknya dimiliki oleh pihak yang sama
1985, yaitu: “Dengan tidak mengurangi ketentuan
dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta
Pasal 12, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
Tanah sesuai dengan peraturan perundang-
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dapat
undangan yang berlaku.
dijadikan jaminan utang dengan: a. dibebani hipotik, jika tanahnya tanah Hak Milik
Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 4
atau Hak Guna Bangunan;
Tahun 1992 menyatakan bahwa pemilikan rumah
b. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah Hak Pakai
oleh bukan pemilik hak atas tanah, dengan persetujuan
atas tanah negara.
tertulis pemilik hak atas tanah, dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia. Pemilikan rumah oleh
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-
pemilik hak atas tanah, rumahnya dapat dijadikan
undang No. 16 Tahun 1985 dapat dijelaskan bahwa:
jaminan utang dengan dibebani fidusia. Pemilikan
a. rumah susun dan hak milik atas satuan rumah
rumah oleh pemilik hak atas tanah, rumah beserta
susun dapat dibebani hipotik jika tanahnya Hak
tanahnya dapat dijadikan jaminan utang dengan
Milik atau Hak Guna Bangunan;
dibebani hipotek.
b. rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun dapat dibebani fidusia jika tanahnya Hak
Undang-undang No. 16 Tahun 1985, Undang-undang
Pakai atas tanah negara.
No. 4 Tahun 1992, dan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 mengatur bahwa rumah susun, hak milik
Undang-undang No. 16 Tahun 1985 dilaksanakan
atas satuan rumah susun, dan rumah dapat dijadikan
oleh Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang
jaminan utang dengan dibebani fidusia, tetapi tidak
Rumah Susun. Pembebanan rumah susun atau hak
memberikan pengertian tentang fidusia dan tidak
milik atas satuan rumah susun dengan dibebani hipotik
mengatur tata cara (prosedur) pembebanan fidusia.
atau fidusia diatur dalam Pasal 43 nya, yaitu: “Dalam hal terjadi pembebanan atas rumah susun, pendaftaran
7 (tujuh) tahun setelah berlakunya Undang-undang
hipotik atau fidusia yang bersangkutan dilakukan
No. 4 Tahun 1992 diundangkan Undang-undang No.
dengan menyampaikan:
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, tanggal 30
a. sertipikat hak milik atas satuan rumah susun yang
September 1999. Fidusia merupakan istilah yang
bersangkutan;
sudah lama dikenal di Indonesia, namun Undang-
b. akta pembebanan hipotik atau fidusia;
undang yang mengatur tentang fidusia baru ada
c. surat-surat lainnya yang diperlukan untuk
tahun 1999 dengan Undang-undang No. 42 Tahun
pembebanan.
1999. Fidusia menurut Munir Fuady, juga disebut dengan istilah “Penyerahan Hak Milik Dengan
Pasal 15 Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang
Kepercayaan”. Dalam terminologi Belandanya disebut
Perumahan dan Permukiman mengatur hak milik atas
dengan istilah lengkapnya Fiduciare Eigendom
rumah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
Overdracht, sedangkan dalam Bahasa Inggrisnya
Fidusia, yaitu :
disebut dengan istilah lengkapnya Fiduciary Transfer
(1) Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.
of Ownership.2
(2) a. pembebanan fidusia atas rumah dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
58
2
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, h. 151.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 42
pemilik tanah. Objek Jaminan Fidusia adalah rumah
Tahun 1999, yang dimaksud fidusia adalah hak
saja tanpa hak atas tanah. Dari aspek hak atas tanah
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
yang di atasnya berdiri bangunan rumah dapat
dengan ketentuan bahwa benda yang hak
dijelaskan:
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
a. Rumah yang berdiri di atas tanah haknya
penguasaan pemilik benda. Selanjutnya, dalam Pasal
sendiri
1 angka 2 nya dinyatakan bahwa jaminan fidusia
Rumah yang berdiri di atas tanah haknya sendiri,
adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
yaitu rumah tersebut berdiri di atas tanah berstatus
berwujud maupun yang tidak berwujud dan tidak
Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai.
bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
b. Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Milik
dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
orang lain
dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Milik orang
Hak Tanggungan yang telah berada dalam penguasaan
lain, yaitu rumah tersebut berdiri di atas tanah
Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
berstatus Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Milik, atau Hak
diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor
Sewa Untuk Bangunan.
lainnya. Syarat rumah tidak beserta tanah, baik yang berdiri Dari ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.
di atas tanahnya sendiri atau berdiri di atas tanah Hak
42 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa objek Jaminan
Milik orang lain yang menjadi objek Jaminan Fidusia
Fidusia, adalah :
adalah rumah yang sifatnya dimiliki bukan rumah
a. Benda bergerak, meliputi :
sewa. Jenis rumah yang dapat dijadikan objek Jaminan
1. benda bergerak berwujud;
Fidusia adalah rumah komersial, rumah swadaya, dan
2. benda bergerak tidak berwujud.
rumah umum, sedangkan rumah khusus dan rumah
b. Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang
negara tidak dapat menjadi objek Jaminan Fidusia.
tidak dibebani dengan Hak Tanggungan. Pemilikan rumah yang berdiri di atas tanah Hak Milik Bangunan termasuk rumah yang menjadi objek
orang lain, yang pembangunan rumahnya atas
Jaminan Fidusia disebutkan dalam Penjelasan Pasal
persetujuan dari pemilik tanah merupakan penerapan
15 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1992, yaitu:
asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding
a. Pemilikan rumah oleh bukan pemilik hak atas
beginsel). Menurut Djuhaendah Hasan, dinyatakan
tanah, dengan persetujuan dengan tertulis pemilik
bahwa dalam asas pemisahan horizontal, pemilikan
hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang
atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berdiri
dengan dibebani Fidusia;
di atas tanah itu adalah berbeda. Asas pemisahan
b. Pemilikan rumah oleh pemilik hak atas tanah,
horizontal memisahkan tanah dengan benda lain yang
rumahnya dapat dijadikan jaminan utang dengan
melekat pada tanah itu.3 Ter Haar yang pendapatnya
dibebani Fidusia.
dikutip oleh Iman Sudiyat menyatakan bahwa, tanah adalah terpisah dari segala sesuatu yang melekat
Rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat
padanya atau pemilikan atas tanah terlepas dari benda
berdiri di atas tanah haknya sendiri, atau berdiri di atas tanah Hak Milik orang lain. Kalau rumah yang mau dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia berada di atas tanah milik orang lain, maka harus mendapatkan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
3
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 76.
59
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
yang berada di atas tanah itu. Sehingga pemilik atas
jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
tanah dan bangunan yang berada di atasnya dapat
maupun yang tidak berwujud dan tidak bergerak
berbeda.4 Dalam asas pemisahan horizontal, bangunan
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak
dan tanaman yang ada di atas tanah bukan merupakan
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
satu kesatuan, pemilikan atas tanah tidak selalu
undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
memiliki bangunan atau tanaman yang ada di atasnya,
Tanggungan yang telah berada dalam penguasaan
dan perbuatan hukum mengenai tanah tidak selalu
Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
meliputi bangunan atau tanaman yang ada di atasnya
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
kecuali diperjanjikan lain Di samping asas pemisahan
diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor
horizontal, terdapat asas perlekatan (accessie beginsel),
lainnya. Berdasarkan ketentuan ini, bangunan rumah
yaitu bangunan atau tanaman di atas tanah merupakan
yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan dapat
satu kesatuan, pemilikan atas tanah termasuk memiliki
dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia
bangunan atau tanaman yang ada di atasnya, dan
dengan syarat bangunan rumah tersebut merupakan
perbuatan hukum mengenai tanah meliputi pula
rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum,
bangunan atau tanaman yang ada di atas tanah
bukan rumah negara atau rumah khusus, baik yang
kecuali diperjanjikan lain.
berdiri di atas tanah haknya sendiri maupun di atas tanah Hak Milik orang lain yang sifat penguasan
Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun
rumahnya adalah dimiliki bukan sewa.
1996 diterapkan asas pemisahan horizontal, yaitu: a. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Ketentuan hak milik atas rumah sebagai Jaminan
Pengelolaan
Fidusia dapat disebutkan, yaitu:
Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus
a. Pemberi Fidusia adalah pemilik rumah yang juga
Hak Guna Bangunan yang berasal dari tanah Hak
pemegang hak atas tanah atau pemilik rumah
Pengelolaan.
yang bukan pemilik tanah sebagai debitor atau
b. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik
pihak yang berutang;
Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus
b. Penerima Fidusia adalah perseorangan atau badan
Hak Guna Bangunan yang berasal dari tanah Hak
hukum yang memberikan utang kepada Pemberi
Milik.
Fidusia sebagai kreditor atau pihak yang
c. Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Pengelolaan. d. Hak Pakai atas tanah Hak Milik Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Milik. e. Hak Sewa Untuk Bangunan Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus Hak Sewa yang berasal dari tanah Hak Milik.
berpiutang; c. Objek Jaminan Fidusia adalah bangunan rumah saja tidak beserta tanahnya yang sifat penguasaan rumahnya dimiliki bukan sewa; d. Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang berupa perjanjian utang piutang antara Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia; e. Secara riil, Penerima Fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang jaminan, bukan sebagai pemilik
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 dinyatakan bahwa jaminan fidusia adalah hak
yang sebenarnya; f. Hak milik atas rumah tidak beserta tanahnya sebagai objek Jaminan Fidusia diserahkan secara yuridis oleh Pemberi Fidusia kepada Penerima
4
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, h. 54.
60
Fidusia yang dibuktikan dengan Akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh dan dihadapan notaris;
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
g. Untuk memenuhi keterbukaan, Jaminan Fidusia
Utang Pemberi Fidusia atau debitor kepada
wajib didaftarkan oleh Penerima Fidusia ke Kantor
Penerima Fidusia atau kreditor dengan jaminan
Pendaftaran Fidusia, yaitu Kantor Wilayah
berupa hak milik atas rumah yang dimiliki oleh
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Pemberi Fidusia atau debitor.
Provinsi untuk dicatat dalam Daftar Buku Fidusia dan diterbitkan Sertipikat Jaminan Fidusia sebagai
Utang piutang antara Pemberi Fidusia atau debitor
tanda bukti Jaminan Fidusia;
dan Penerima Fidusia atau kreditor yang dituangkan
h. Setiap janji yang memberi kewenangan kepada
dalam bentuk perjanjian tertulis merupakan
Penerima Fidusia untuk memiliki rumah yang
perjanjian pokok dalam Jaminan Fidusia.
menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji adalah batal demi hukum;
b. Adanya Akta Jaminan Fidusia
i. Hak Penerima Fidusia untuk mengeksekusi hak
Untuk memberikan jaminan utang Pemberi Fidusia
milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia jika ada
atau debitor kepada Penerima Fidusia atau kreditor,
wanprestasi dari pihak Pemberi Fidusia sebagai
Pemberi Fidusia atau debitor menyerahkan secara
debitor;
yuridis hak milik atas rumah tidak beserta hak atas
j. Apabila hutang Pemberi Fidusia dilunasi, maka
tanahnya kepada Penerima Fidusia atau kreditor.
hak milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia
Penyerahan hak milik atas rumah tidak beserta
harus dikembalikan kepada Pemberi Fidusia;
hak atas tanahnya sebagai jaminan utang
k. Jika hasil penjualan hak milik atas rumah sebagai
merupakan perjanjian ikutan atau perjanjian
Jaminan Fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka
tambahan atau bersifat accessoir dari perjanjian
sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada
pokok berupa perjanjian utang piutang.
Pemberi Fidusia. Menurut Pasal 4 Undang-undang No. 42 Tahun 2. Mekanisme Pembebanan Hak Milik Atas Rumah
1999, jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan
Sebagai Jaminan Fidusia
dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan
Syarat sahnya Jaminan Fidusia atas pemilikan rumah
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu
harus memenuhi 3 (tiga) tahapan yang bersifat
prestasi. Yang dimaksud perjanjian ikutan
kumulatif, yaitu:
(perjanjian accessoir) adalah perjanjian yang
a. Adanya Perjanjian Utang Piutang
mengikuti perjanjian lain yang disebut perjanjian
Pemilik rumah membutuhkan uang untuk suatu
pokok, dan berakhir apabila perjanjian pokoknya
keperluan atau pengembangan usaha (bisnis).
berakhir.5
Untuk memenuhi kebutuhan itu, ia berhutang kepada pihak lain, misalnya bank. Utang piutang
Pada Jaminan Fidusia terdapat 2 (dua) perjanjian,
itu dituangkan dalam perjanjian utang piutang
yaitu perjanjian utang piutang sebagai perjanjian
antara pemilik rumah sebagai Pemberi Fidusia
pokok, dan penyerahan secara yuridis jaminan
atau debitor dan pihak bank sebagai Penerima
berupa objek Jaminan Fidusia oleh Pemberi Fidusia
Fidusia atau kreditor.
atau debitor kepada Penerima Fidusia atau kreditor sebagai perjanjian ikutan atau perjanjian tambahan
Perjanjian utang piutang ini sebagai perjanjian
yang bersifar accessoir.
pokok dalam Jaminan Fidusia. Perjanjian utang piutang ini dapat dibuat dengan akta autentik yaitu aktanya dibuat oleh notaris, atau dibuat dengan akta di bawah tangan, yaitu aktanya dibuat oleh Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia.
5
Sutan Remy Syahdeni, “Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia”, Majalah HUKUM BISNIS, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999, h. 42.
61
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Untuk menjamin pelunasan utang Pemberi Fidusia
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat bukti
atau debitor kepada Penerima Fidusia atau kreditor,
kepemilikan bangunan gedung diatur dengan
maka dilakukan penyerahan secara yuridis hak
Peraturan Presiden.
milik atas rumah tidak beserta hak atas tanahnya oleh Pemberi Fidusia atau debitor kepada Penerima
Hak milik atas rumah yang diserahkan secara yuridis
Fidusia atau kreditor.
sebagai Jaminan Fidusia oleh Pemberi Fidusia kepada Penerima Fidusia adalah surat tanda bukti
Penyerahan secara yuridis hak milik atas rumah
kepemilikan rumah. Hambatan dan permasalahan
sebagai Jaminan Fidusia oleh Pemberi Fidusia
penyerahan yuridis hak milik atas rumah sebagai
kepada Penerima Fidusia adalah surat bukti
Jaminan Fidusia adalah sampai sekarang belum
kepemilikan bangunan gedung rumah. Pengaturan
ada surat tanda bukti kepemilikan rumah.
surat tanda bukti kepemilikan bangunan gedung diatur dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2002
Penyerahan secara yuridis hak milik atas rumah
tentang Bangunan Gedung dan Peraturan
sebagai jaminan utang dibuktikan dengan Akta
Pemerintah No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Jaminan Fidusia yang dibuat oleh dan dihadapan
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun
notaris.
2002 tentang Bangunan Gedung. Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 28 Tahun 2002
Pengertian notaris disebutkan dalam Pasal 1 angka
ditetapkan bahwa setiap bangunan gedung harus
1 Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang
memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
a) status hak atas tanah, dan/atau izin
2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu pejabat umum
pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
yang berwenang untuk membuat akta otentik
b) status kepemilikan bangunan gedung; dan
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
c) izin mendirikan bangunan gedung, sesuai
dalam Undang-undang ini. Produk dari tugas
ketentuan peraturan perundang-undangan
notaris adalah akta notaris, pengertian akta notaris
yang berlaku.
disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 2 Tahun 2014, yaitu akta otentik yang dibuat
Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005
oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan
mengatur status kepemilikan bangunan gedung,
tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang
yaitu:
ini.
(1) Status kepemilikan bangunan gedung dibuktikan dengan surat bukti kepemilikan
Akta otentik menurut Pasal 1868 Burgerlijk
bangunan gedung yang dikeluarkan oleh
Wetboek (BW), adalah akta di dalam bentuk yang
Pemerintah Daerah, kecuali bangunan gedung
ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh dan
fungsi khusus oleh Pemerintah, berdasarkan
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
hasil kegiatan pendaftaran bangunan gedung.
untuk itu, di tempat dimana akta itu dibuatnya.6
(2) Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan
Unsur utama yang merupakan essensialia agar
kepada pihak lain.
terpenuhi syarat formal bahwa suatu akta
(3) Dalam hal pemilik bangunan gedung bukan
merupakan akta otentik, yaitu:
pemilik tanah, pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan pemilik tanah. 6
62
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia Burgerlijk Wetboek, Paradnja Paramita, Jakarta, 1985, h. 419.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
a. di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undangundang;
akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
b. dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum;
akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
c. akta itu dibuat oleh dan dihadapan pejabat
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang
umum yang berwenang untuk itu dan di
lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.
tempat dimana akta itu
dibuat.7 (2) Notaris berwenang pula:
Pendapat yang sama tentang unsur-unsur akta
a. mengesahkan tanda tangan dan
otentik dikemukakan oleh Wawan Setiawan, yaitu:
menetapkan kepastian tanggal surat di
a. bentuk akta harus ditentukan oleh Undang-
bawah tangan dengan mendaftar dalam
undang, artinya tidak boleh ditentukan oleh perangkat peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang; b. dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum; c. akta dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum dalam wilayah jabatannya.8
buku khusus; b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dan asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 BW, suatu akta dinyatakan sebagai akta otentik apabila memenuhi 3 (tiga) unsur yang bersifat kumulatif, yaitu:
d. melakukan pengesahan kecocokan foto kopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum
a. bentuk akta ditentukan oleh Undang-undang;
sehubungan dengan pembuatan akta;
b. akta dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum
f. membuat akta yang berkaitan dengan
yang diberi kewenangan untuk membuat akta; c. akta dibuat oleh pejabat umum dalam daerah
pertanahan; atau g. membuat akta risalah lelang;
(wilayah) kerjanya. (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud Kewenangan notaris untuk membuat akta
pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai
ditetapkan dalam Pasal 15 Undang-undang No.
kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
2 Tahun 2014, yaitu:
perundang-undangan.
(1) Notaris berwenang membuat akta otentik
Pasal 6 Undang-undang No. 42 Tahun 1999
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
menetapkan bahwa Akta Jaminan Fidusia yang
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
dibuat oleh notaris sekurang-kurangnya memuat:
perundang-undangan dan/atau yang
a) identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
b) data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin
c) uraian mengenai benda yang menjadi objek
kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan
Jaminan Fidusia; d) nilai penjaminan; dan e) nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
7
8
Irawan Soerodjo, Kepastian Hak Atas Tanah di Indonesia, Apollo, Surabaya, 2003, h. 250. Wawan Setiawan, “Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum Serta PPAT Dibandingkan Dengan Kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut Sistem Hukum Nasional”, Makalah, Surabaya, 1 Juni 1996, h. 12.
c. Adanya Pendaftaran Jaminan Fidusia Untuk terwujudnya tertib administrasi, asas publisitas, dan jaminan kepastian hukum bagi kreditor terhadap kreditor lainnya, maka hak milik
63
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
atas rumah yang dibebani dengan Jaminan Fidusia
Sebagai tanda bukti terjadinya Jaminan Fidusia,
wajib didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.
Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan Sertipikat Jaminan Fidusia dan menyerahkan kepada
Kantor Pendaftaran Fidusia berada dalam lingkup
Penerima Fidusia pada tanggal yang sama dengan
tugas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.
Kantor Pendaftaran Fidusia didirikan untuk pertama
Sertipikat Jaminan Fidusia merupakan salinan dari
kali di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup
Buku Daftar Fidusia. Jaminan Fidusia lahir pada
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan
tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya
secara bertahap didirikan di setiap wilayah ibukota
Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia.
provinsi. Dalam hal Kantor Pendaftaran Fidusia belum didirikan di tiap kabupaten/kota, maka
Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 42
wilayah kerja Kantor Pendaftaran Fidusia di ibukota
Tahun 1999 ditetapkan bahwa dalam Sertipikat
provinsi meliputi seluruh kabupaten/kota yang
Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI
berada di lingkungan wilayahnya. Saat ini, Kantor
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
Pendaftaran Fidusia baru didirikan di ibukota
MAHA ESA”. Berdasarkan kata-kata ini, Sertipikat
provinsi. Kantor Pendaftaran Fidusia adalah Kantor
Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
Manusia Provinsi.
memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang dimaksud dengan kekuatan eksekutorial adalah
Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan
langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui
oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan
pengadilan dan bersifat final serta mengikat para
melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan
pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.9
Fidusia. Pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia
Apabila Pemberi Fidusia wanprestasi, eksekusi
memuat:
terhadap hak milik atas rumah yang menjadi objek
a. identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;
Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
b. tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama,
a) pelaksanaan title eksekutorial oleh Penerima
dan tempat kedudukan notaris yang memuat
Fidusia;
akta Jaminan Fidusia;
b) penjualan rumah yang menjadi objek Jaminan
c. data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;
Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri
d. uraian mengenai benda yang menjadi objek
melalui pelelangan umum serta mengambil
Jaminan Fidusia;
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
e. nilai penjaminan; dan
c) penjualan di bawah tangan yang dilakukan
f. nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
berdasarkan kesepakatan Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian
Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan
dapat diperoleh harga tertinggi yang
Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal
menguntungkan para pihak.
yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.
Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia wajib mengembalikan kelebihan
Pendaftaran Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia
tersebut kepada Pemberi Fidusia. Apabila hasil
ke Kantor Pendaftaran Fidusia menjadi tanda
eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang
lahirnya Jaminan Fidusia. 9
64
Sutan Remy Syahdeni, Op.cit., h. 45.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang
Penutup
belum terbayar. Rumah mempunyai fungsi sebagai aset bagi pemiliknya, Hapusnya hak milik atas rumah sebagai Jaminan
maka rumah mempunyai nilai ekonomis yang dapat
Fidusia berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal
dinilai dengan uang, sehingga rumah dapat dijadikan
26 Undang-undang No. 42 Tahun 1999, yaitu:
jaminan utang. Apabila yang dijadikan jaminan utang
a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia
adalah rumah tidak beserta hak atas tanahnya, maka
berupa hak milik atas rumah; b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; dan
lembaga jaminannya adalah Fidusia. Rumah yang dijadikan jaminan utang dengan dibebani Jaminan Fidusia adalah rumah yang sifatnya dimiliki bukan bukan rumah sewa.
c. rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia musnah.
Mekanisme pembebanan jaminan Fidusia adalah rumah adalah adanya perjanjian utang piutang antara pemilik
Penerima Fidusia memberitahukan kepada Kantor
rumah sebagai debitur dengan pihak lain (bank) sebagai
Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya Jaminan
kreditur, adanya Akta Pembebanan Fidusia yang dibuat
Fidusia dengan melampirkan pernyataan mengenai
oleh notaris, dan pendaftaran Jaminan Fidusia kepada
hapusnya utang, pelepasan hak, atau musnahnya
Kantor Pendaftaran Fidusia. Sebagai tanda bukti Jaminan
rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia
Fidusia diterbitkan Sertipikat Jaminan Fidusia oleh Kantor
tersebut. Dengan hapusnya Jaminan Fidusia,
Pendaftaran Fidusia.
Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia dari Daftar Buku Fidusia. Kantor
Rekomendasi yang dapat disampaikan adalah agar hak
Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan
milik atas rumah dapat dijadikan jaminan utang dengan
yang menyatakan Sertipikat Jaminan Fidusia yang
dibebani Jaminan Fidusia, maka Pemerintah Daerah harus
bersangkutan tidak berlaku lagi.
melaksanakan perintah Undang-undang No. 28 Tahun 2002 juncto Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005
Hambatan dan permasalahan yuridis yang muncul
untuk menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur
berkaitan dengan hak milik atas rumah tidak
surat tanda bukti kepemilikan bangunan.
beserta tanahnya dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia adalah sampai sekarang belum ada surat tanda bukti kepemilikan bangunan rumah yang menjadi perintah Undang-undang No. 28 Tahun 2002 juncto Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005. Atas dasar hambatan dan permasalahan ini, dalam pelaksanaan hak milik atas rumah tidak beserta tanahnya yang menjadi objek Jaminan Fidusia akan menemui kesulitan penjaminannya, yaitu rumah yang diserahkan secara yuridis oleh Pemberi Fidusia kepada Penerima Fidusia sebagai Jaminan Fidusia tidak ada surat tanda bukti kepemilikannya.
65
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008. Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Setiawan, Wawan, “Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum Serta PPAT Dibandingkan Dengan Kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut Sistem Hukum Nasional”, Makalah, Surabaya, 1 Juni 1996. Soerodjo, Irawan, Kepastian Hak Atas Tanah di Indonesia, Apollo, Surabaya, 2003. Subekti dan R. Tjitrosudibio, R., Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia Burgerlijk Wetboek, Paradnja Paramita, Jakarta, 1985. Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981. Syahdeni, Sutan Remy, “Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia”, Majalah HUKUM BISNIS, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999. Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
66
POLITIK HUKUM PERSAINGAN USAHA MENUJU SISTEM PERSAINGAN SEHAT DI MASA YANG AKAN DATANG Oleh : Nadir, S.H., MH. 1 Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan Jl. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan Madura Jatim Email:
[email protected]
Abstrak Pertumbuhan dan perkembangan prekonomian negara Indonesia sedikit atau banyak akan dipengaruhi oleh persaingan usaha yang sehat antar sesama pelaku usaha baik sekarang maupun di masa yang akan datang, sedangkan persaingan yang sehat akan ditentukan oleh: kebijakan hukum dalam pembangunan ekonomi (the legal policy development of economics); kebijakan hukum dalam persaingan usaha (legal policy to fair competition); politik pembentukan hukum perspektif undang-undang (law making proses); dan proses pengambilan keputusan dalam pembentukan hukum persaingan usaha (decision making of proces). Kata Kunci: politik hukum, persaingan usaha, sistem persaingan sehat
A. Pendahuluan
dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.
Konsideran Undang Undang Nomor 5 tahun 1999
Selain itu, bahwa setiap orang yang berusaha di
tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan
Indonesia harus berada dalam situasi persaingan usaha
usaha tidak sehat menegaskan, pembangunan bidang
yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan
ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya
adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku
kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan
usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan
Undang-Undang Dasar 1945.
yang telah di laksanakan.
Mencermati isi konsideran tersebut, bahwa demokrasi
Pada dasarnya setiap pelaku usaha yang melakukan
dalam bidang ekonomi menghendaki adanya
aktivitas usahanya di dunia ini dalam bentuk apapun
kesempatan yang sama bagi warga Negara untuk
tiada lain yang menjadi tujuan utama adalah
berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran
keberuntungan dan keberhasilan yang banyak, namun
barang atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif
semua itu ada rule of law dalam melakukan kegiatan usahanya, apabila pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang ada, maka
1
Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Madura (UNIRA) Pamekasan Madura Jawa Timur .
akan di kenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat ini.
67
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Persaingan pada dasarnya merupakan hal yang
Berdasarkan fenomena persaingan usaha di atas,
manusiawi dan wajar di lakukan dalam kehidupan
persaingan tidak selalu mengarah pada hal yang
bersama, sebab dengan adanya culture competition
positif, maka masalah seperti ini sudah seharusnya
telah mendorong pelaku usaha untuk berkreasi dan
mendapat perhatian dengan memberikan
berinovasi yang pada gilirannya pelaku usaha
perlindungan hukum yang secukupnya bagi pelaku
memperoleh kemajuan dan peningkatan kualitas
usaha atau bisnis yang jujur. Perlindungan hukum
hidupnya. Kemajuan dan peningkatan kualitas hidup
yang dimaksud adalah dengan mengatur secara
yang diperoleh dari culture competition secara fair
tersendiri masalah ini dalam peraturan perundang-
and properly serta sehat berupa usaha peningkatan
undangan, tentang batas-batas pengertian dari
baik dalam bidang teknologi maupun dalam manajerial
perbuatan yang digolongkan sebagai persaingan
usaha dengan melalui proses maupun dilakukan
yang sehat dan perbuatan yang di golongkan sebagai
dengan usaha yang efektif dan efisien yang selalu
persaingan yang tidak sehat, sehingga lahirlah
membawa kebaikan dalam kehidupan bersama,
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
sangatlah wajar jika manusia dalam dunia ini semuanya
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
berlomba-lomba untuk memenangkan apa yang
Tidak sehat, namun demikian adanya Undang-undang
namanya keberuntungan dan keberhasilan yang luar
Nomor 5 Tahun 1999 ini tidak cukup memadai untuk
biasa, akan tetapi tidak menghalalkan segala cara
menangani peroblematika persaingan usaha di masa-
dengan sikut kanan sikut kiri untuk memenangkan
masa mendatang. Oleh karena itu, penulis memberikan
keberuntungan itu.2
gagasan politik hukum persaingan usaha menuju sistem persaingan usaha sehat di masa yang akan
Sebaliknya jika suatu persaingan dilandasi dengan
datang.
suatu iktikat buruk, persaingan tersebut selalu dilakukan dengan usaha yang tidak sehat, yang
B. Kebijakan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi
hasilnya adalah merugikan pihak lain yakni pihak
(The Legal Policy Development of Economics)
sesama pelaku usaha maupun konsumen. Keadaan semacam ini akan menimbulkan masalah hukum.
Penguasaan 80% (delapan puluh persen) permukaan
Usaha tidak sehat dan tidak wajar ini dapat dilakukan
bumi dan 75% (tujuh puluh lima persen) populasi
dengan variasi bentuk seperti dalam bentuk
dunia selama kurun waktu berabad-abad oleh bangsa
pembajakan, pembajakan tenaga ahli, Oligopoli,
Eropa, telah menciptakan krisis berkepanjangan di
Penetapan harga, Pembagian wilayah, Pemboikotan,
Negara-negara jajahannya. Krisis berkepanjangan itu
Kartel, Trust, Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian
kemudian harus pula diperberat oleh akibat PD ke I,
tertutup, Perjanjian dengan pihak luar Negeri, Posisi
PD ke II yang akhirnya tidak hanya menciptakan krisis
dominan maupun usaha lain misalnya dengan
baru di Negara-negara jajahannya, tetapi juga hampir
penyelundupan pajak, sehingga ia tidak harus
di seluruh kawasan dunia. PD II telah menciptakan
mengeluarkan biaya untuk itu yang tentunya ia dapat
penderitaan dan kemunduran ekonomi yang dahsyat,
menjual produknya dengan perolehan laba yang lebih
yang akhirnya membangkitkan kesadaran masyarakat
banyak.3
bangsa-bangsa untuk membenahi kehancuran global.4 Setelah PD ke II konsentrasi orientasi masyarakat internasional benar-benar terpusat pada pembangunan ekonomi global. Kerja sama regional dan bilateral
2
Djoko Imbawani, Reading Material Seri Kuliah Hukum Dagang. Fakultas Hukum Univ. Widyagama Malang, 2002, hlm. 56
3
Ibid.
4
68
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung, 2003), hlm. 169
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
menjadi semacam trend baru yang kebanyakan
dan informasi pada Negara-negara itu. Kelima,
terfokus pada kerja sama ekonomi. Kemajuan
mahalnya biaya yang harus dipertaruhkan oleh negara-
teknologi dan ilmu pengetahuan segera membawa
negara ketiga bagi setiap bentuk kerja sama
perubahan-perubahan besar diberbagai Negara.
pembangunan dan bantuan modal dari Negara-negara
Masyarakat Eropa merancang kerja sama ekonomi
maju. Keenam, besarnya tekanan Negara-negara
regional, seperti juga yang dilakukan oleh Negara-
maju terhadap negara-negara berkembang sebagai
negara Amerika Utara, Tengah dan Selatan. PBB juga
konsekuensi dari perbedaan dan kesenjangan potensi
telah mengambil peran yang sangat penting dalam
pada kedua kelompok Negara itu. Keseluruhan kondisi
perkembangan baru yang serba cepat itu, melalui
global ini mensyaratkan satu hal penting yang bersifat
badan-badan khususnya, International Bank for
absolut, yaitu pembangunan. Makna pembangunan
Recornstruction Development (IBRD), Economic and
bagi Negara-negara maju adalah perjuangan untuk
Social Council (ECOSOC), majelis umum (general
menguasai potensi ekonomi, kesejahteraan, dan
assembly), dewan keamanan (security council) dan
perjuangan untuk mempertahankan perkembangan
badan-badan
lainnya.5
serta kemajuan untuk kepentingan masa kini dan masa depan bangsanya. Sedangkan makna
Pada tahun 1970-an beberapa Negara anggota
pembangunan bagi Negara-negara yang berkembang
masyarakat internasional telah menunjukkan kemajuan
adalah perjuangan untuk meningkatkan pertumbuhan
yang sangat mengagumkan, tetapi bersamaan dengan
ekonomi dan kesejahteraan, perjuangan untuk
itu berkembang pula permasalahan baru yang sangat
menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, keahlian,
serius, yaitu kesenjangan yang semakin tajam antara
dan informasi, serta perjuangan untuk melakukan
kesejahteraan dan kemajuan yang dicapai oleh negara-
tekanan-tekanan ekonomi dari Negara-negara maju.7
negara maju dengan Negara-negara berkembang. Negara-negara maju yang terdiri dari 20% (dua puluh
Kedua karakter orientasi pembangunan ekonomi itu
persen) penduduk dunia menikmati sekitas 2/3 (dua
segera menunjukkan perbedaan yang sangat tajam.
pertiga) penghasilan dunia. Sementara Negara-negara
Jika pembangunan ekonomi di Negara-negara maju
berkembang yang berpopulasi 50% (lima puluh persen)
telah berorientasi pada pengejaran pertumbuhan
dari penduduk dunia, menikmati 1/8 (satu perdelapan)
ekonomi dan kesejahteraan, maka pembangunan
pendapatan dunia, dan negara-negara miskin yang
ekonomi di Negara-negara berkembang masih
berpenduduk sekitar 30% (tiga puluh persen) dari
berorientasi pada pembangunan sendi-sendi
penduduk dunia, hanya menikmati 3 (tiga) persen
pembanguan ekonomi itu, dan bersamaan dengan
dari pendapatan
dunia.6
itu, mereka harus pula berjuang melawan tekanantekanan ekonomi dari Negara-negara maju. Hal ini
Keadaan buruk ini diakibatkan oleh antara lain:
mengakibatkan perluasan makna pembangunan bagi
Pertama, keterpusatan modal dan teknologi, keahlian,
Negara-negara berkembang dan menjadikannya
dan informasi pada negara-negara maju. Kedua,
bentuk perjuangan yang bersifat ganda.8
kemelaratan dan kemiskinan Negara-negara ketiga sebagai akibat kolonialisme. Ketiga, jumlah penduduk
Untuk mencapai tujuan yang berat dan kompleks itu,
yang besar pada Negara-negara ketiga, yang
menurut Lili Rasjidi suatu proses pembangunan
cenderung lebih merupakan beban bagi mereka.
membutuhkan perencanaan yang cermat. Perencanan
Keempat, kemunduran ilmu pengetahuan, teknologi
ini antara lain juga mencakup jaminan dan
5
Ibid.
7
Ibid, hlm. 170-171
6
Ibid.170
8
Ibid, hlm. 171
69
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
perlindungan hukum terhadap keteraturan,
merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha
kelancaran, dan keseluruhan proses dan hasil-hasil
yang tidak sehat.
dari pembangunan itu, dan karenanya dibutuhkan suatu instrumen yang mampu memberikan jaminan,
Fenomena di atas telah berkembang dan didukung
perlindungan, kepastian, dan arah bagi pembangunan
oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambil
itu. Instrumen itu adalah hukum. Pada masyarakat
keputusan (decision making) dengan para pelaku
hukum Negara-negara berkembang, pembangunan
usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung,
hukum bermakna lebih kompleks lagi, tidak hanya
sehingga lebih memperburuk keadaan.
menyangkut pengadaan hukum-hukum baru,
Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu
melainkan juga termasuk reformasi konsep dan
kepada amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945,
hampir seluruh komponen sistem hukum. Bertolak
serta cenderung menunjukkan corak yang sangat
dari kenyataan ini, pembangunan hukum merupakan
monopolistik dan liberalistik.
suatu permasalahan yang lebih bersifat global daripada sekedar bersifat lokal.
Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang
Penjelasan umum Undang-undang Nomor 5 Tahun
berlebihan, sehingga berdampak kepada kesenjangan
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
sosial. Munculnya konglomeratisasi dan sekelompok
Persaingan Usaha Tidak Sehat menegaskan bahwa
kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh
pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka
semangat kewirausahaan sejati merupakan salah
Panjang Pertama telah menghasilkan banyak kemajuan,
satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi
antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan
menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.
rakyat. Kemajuan pembangunan yang telah dicapai di atas, didorong oleh kebijakan pembangunan di
Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas,
berbagai bidang, termasuk kebijakan pembangunan
menuntut masyarakat untuk mencermati dan menata
bidang ekonomi yang tertuang dalam Garis-Garis
kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha
Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan
dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan
Lima Tahunan, serta berbagai kebijakan ekonomi
wajar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang
lainnya. Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai
sehat, efektif dan efisien serta terhindarnya pemusatan
selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama, yang
kekuatan ekonomi pada pelaku usaha perorangan
ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk
tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan,
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
khususnya dalam pembangunan ekonomi yang belum
yang merugikan masyarakat yang bertentangan
terpecahkan, seiring dengan adanya kecenderungan
dengan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat
globalisasi perekonomian serta dinamika dan
Indonesia.
perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990an. Peluang-peluang usaha yang tercipta selama tiga
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dasawarsa yang lalu dalam kenyataannya belum
dan teknologi yang menyertai kehidupan manusia di
membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat
abad modern ini, maka perkembangan hukumpun
berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor
tidak dapat dikesampingkan di tengah kedidupan
ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode
intelektual manusia yang serba canggih lebih-lebih
tersebut, disatu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk
dalam melakukan transaksi perdagangan baik secara
kebijakan Pemerintah yang kurang tepat sehingga
nasional maupun transnasional. Hukum harus mampu
pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan
mengendalikan dan merekayasa kehidupan manusia
usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar
termasuk perkembangan politiknya dalam setiap
70
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
aktivitasnya karena esensinya tidak ada suatu aktivitas
dan yang tidak boleh dilakukan. Namun demikian,
di dunia ini yang lepas dari prakarsa hukum, sehingga
tidak memungkiri dan tidak mengesampingkan realita
setiap tatanan kehidupan manusia diatur oleh hukum
empirik bahwa seringkali hukum yang dirumuskan
di mana hukum sebagai instrumen untuk mengatur
di dalam peraturan perundang-undangan tidak
kehidupannya.
memenuhi bahkan kurang mampu mengatur dan mengikuti, serta menggali perkembangan masyarakat
Sudarsono menegaskan bahwa di dalam kehidupan
dengan segala sikap tindaknya.
sehari-hari terdapat sesuatu yang sangat penting untuk dapat mengatur kehidupan masyarakat, sesuatu
Sementara itu, hukum adalah suatu tata perbuatan
tersebut adalah hukum. Pada prinsipnya hukum adalah
manusia, “tata perbuatan” mengandung arti suatu
kenyataan dan pernyataan yang beraneka ragam
sistem aturan. Hukum bukan satu aturan semata,
untuk menjamin adanya penyesuaian kebebasan dan
seperti dikatakan demikian, melainkan. hukum adalah
kehendak seseorang dengan orang lain. Berdasarkan
seperangkat peraturan yang dipahami dalam satu
asumsi ini hukum pada dasarnya mengatur hubungan
kesatuan yang sistemik, tidak mungkin untuk
antara manusia di dalam masyarakat berdasarkan
memahami hakikat hukum hanya dengan
prinsip-prinsip yang beraneka ragam pula. Oleh karena
memperhatikan satu peraturan saja. Hubungan yang
itu, setiap orang di dalam masyarakat wajib taat dan
mempersatukan berbagai peraturan khusus dari satu
mematuhinya.9
tata hukum perlu dimaknai agar hakikat hukum dapat dipahami. Hanya atas dasar pemahaman yang
Para sosiolog yang berorientasi pada hukum antara
jelas tentang hubungan-hubungan yang membentuk
lain Emile Durkheim, Max Weber, Roscoe Pound.
tata hukum tersebut bahwa hakikat hukum dapat
Durkheim mengemukakan bahwa dalam setiap
dipahami dengan sempurna.10 mulai dari asal-muasal
masyarakat selalu ada solidaritas, ada solidaritas
serta perkembangannya.
organis, dan ada pula solidaritas mekanis. Solidaritas mekanis selalu terdapat dalam masyarakat sederhana,
Ketika hukum diperankan sebagai alat rekayasa sosial
hukumnya bersifat represif yang diasosiasikan seperti
(law as a tool of social engineering) tak pelak
dalam hukum pidana. Sementara dalam solidaritas
menempatkan peraturan perundang-undangan pada
organis yaitu terdapat dalam masyarakat modern,
posisi yang sangat penting dalam mengatur tata
hukumnya bersifat restitutif yang diasosiasikan seperti
kehidupan masyarakat. Konsep hukum sebagai alat
dalam hukum perdata.
rekayasa sosial pertamakali diperkenalkan oleh Roscoe Pound, di mana konsep tersebut dipopulerkan di
Dalam kaitan ini Max Weber yang terkenal dengan
Indonesia oleh Mochtar Kusumaatmadja yang
teori “Ideal type-nya” ia mengemukakan bahwa di
mengetengahkan konsep Roscoe Pound tentang
dalam hukum terdapat 4 (empat) tipe ideal yaitu,
perlunya memfungsikan “law as a tool of social
pertama, Irasional formal. Kedua, Irasional material.
engineering” di Indoensia.11 Mochtar berargumentasi
Ketiga, Rasional formal (dalam masyarakat modern
bahwa pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk
dengan mendasarkan konsep-konsep ilmu hukum),
merekayasa masyarakat menurut skenario kebijakan
dan keempat, Rasional material. Pada dasarnya hukum sudah mengatur sedemikan rupa tentang perbuatan manusia yang harus dilakukan
9
Sudarsono, Pengantar Tata Hukum Indonesia (Jakarta, 1991), hlm. 1
10 Hans kelsen, General Theory of Law and State: Alih Bahasa Indonesia oleh Somardi (Jakarta, 2007), hlm. 3 11 Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-politik Dalam Perkembangan Hukum Indonesia. (Jakarta, 1994), hlm. 231
71
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Pemerintah (eksekutif) sangatlah diperlukan oleh
Negara-negara maju telah berhasil melalui ke tiga
negara-negara yang sedang berkembang jauh melebihi
tahapan atau tingkatan pembangunan tersebut satu
kebutuhan negara-negara industri maju yang telah
demi satu dengan baik dan memerlukan waktu yang
mapan. Negara-negara maju telah memiliki mekanisme
cukup lama. Sedangkan negara-negara yang sedang
hukum yang telah berjalan untuk mengakomodasi
berkembang ingin mencapai ketiga tahapan atau
perubahan-perubahan dalam masyarakatnya.
tingkatan pembangunan tersebut secara sekaligus
Sedangkan negara-negara yang tengah berkembang
dan bersamaan. Di suatu negara pembangunan yang
tidaklah demikian. Padahal harapan-harapan dan
baik adalah pembangunan yang dilakukan secara
keinginan masyarakat-masyarakat di negara-negara
komprehensif. Artinya pembangunan selain mengejar
yang sedang berkembang akan terwujudnya
pertumbuhan ekonomi semata, juga harus
perubahan-perubahan yang membawa perbaikan
memperhatikan pelaksanaan jaminan perlindungan
taraf hidup amatlah besar melebihi harapan-harapan
hak-hak asasi manusia warga negaranya yang telah
yang diperlukan oleh masyarakat-masyarakat di
diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan,
negara-negara yang telah
maju.12
baik hak-hak sipil, maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, pembangunan yang telah,
Berbagai studi tentang hubungan hukum dan
sedang dan akan dilakukan oleh Pemerintah akan
pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa
mampu menarik lahirnya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa
pembangunan.14
pembaharuan hukum. Secara umum ada 3 (tiga) tahapan atau tingkatan pembangunan yang dialami
Sementara studi mengenai hukum dan pembangunan
oleh suatu negara mulai dari negara berkembang
dapat diketahui, setidaknnya ada 5 (lima) kualitas
sampai menjadi negara maju, yaitu Pertama, unifikasi
hukum yang kondusif bagi perencanaan dan
(unification) dengan titik berat bagaimana mencapai
pelaksanaan pembangunan, yaitu (1) stabilitas
integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan
(stability), (2) dapat diramalkan (predictability), (3)
kesatuan nasional. Kedua, industrialisasi
keadilan (fairness), (4) pendidikan (education), dan
(industrialization) dengan fokus perjuangan untuk
(5) pengembangan profesi hukum (the special
pembangunan ekonomi dan modernisasi politik, dan
development abilities of the lawyer). Stabilitas dan
tahap Ketiga, negara kesejahteraan (social welfare)
predictability adalah merupakan prasyarat untuk
di mana tugas negara terutama adalah melindungi
berfungsinya sistem ekonomi. Predictability sangat
rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan
berperan, terutama bagi negara-negara yang
kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan fokus
masyarakatnya baru memasuki hubungan-hubungan
utama kesejahteraan rakyat.13
ekonomi melintasi lingkungan sosial tradisional mereka. Sedangkan stabilitas berarti hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.15
12 Mengutip Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional (Bandung, 1986), hlm. 2-7 13 Daniel Suryana, ”Peranan Hukum dan Ahli Hukum” dalam Blogster www.google.com. Selanjutnya lihat pula Thomas M. Franck. “The New Development: Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries?”. Wisconsin Law Review No. 3 (1972) hlm. 778, dalam Erman Rajagukguk “Hukum Ekonomi Indonesia: Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, makalah Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar 14-18 Juli 2003.
72
Aspek keadilan akan tercermin dari proses hukum, persamaan di hadapan hukum, dan standar sikap/perlakuan Pemerintah, dan lain-lain akan
14 Daniel Suryana, Ibid. 15 Daniel Suryana, Ibid.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
mempengaruhi kelangsungan mekanisme pasar dan
antar negara dengan negara lainnya baik secara
mencegah campur tangan Pemerintah yang terlalu
nasional, regional maupun internasional. Program
dominan. Sedangkan pendidikan dan pengembangan
legislasi nasional di masa mendatang perlu memberikan
profesi hukum merupakan sesuatu keharusan yang
prioritas pada Undang-undang yang berkaitan dengan
harus diberdayakan dalam praktek hukum, agar dapat
masalah, persaingan usaha, ekonomi untuk
berperan sebagai ahli hukum dalam pembangunan
pembangunan dan demokratisasi ekonomi guna
hukum dan pembangunan ekonomi.
mencapai efektivitas dan efisiensi, serta memenuhi fungsi hukum sebagai sebagai instrumen usaha/bisnis
Partisapasi masyarakat dalam pembangunan sangat
dalam memberikan kepastian bagi sesama palaku
diperlukan, terutama dalam era globalisasi ekonomi
usaha, konsumen dan masyarakat umum.
melalui media pasar bebas, yang sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia, karena sudah sejak lama, masa perdagangan rempah-rempah, masa tanam
C. Kebijakan Hukum Dalam Persaingan Usaha (legal policy to fair competition)
paksa (culture stelsel) di mana modal swasta zaman kolonial dengan buruh paksa. Sedangkan globalisasi
Dalam mengkaji persaingan usaha teori hukum
ekonomi sekarang ini merupakan manifestasi baru
berfungsi untuk menganalisis pengaturan dan
dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem
implementasi doktrin dan asas-asas hukum universal
ekonomi internasional.
yang dimaksudkan untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat, serta implementasi makna demokrasi
Globalisasi ekonomi diikuti globalisasi hukum, maka
ekonomi yang bersumber dari Pasal 33 UUD Negara
materi muatan berbagai Undang-undang dan
Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena larangan
perjanjian-perjanjian sebagai sumber hukum positif
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
harus mengadopsi kaedah-kaedah dan
adalah mengatur permasalahan ekonomi dalam
diharmonisasikan dengan ketentuan-ketentuan
perdagangan, maka selain menggunakan teori dan
internasional yang bersifat lintas dan melewati batas-
konsep-konsep ilmu hukum, juga digunakan teori
batas negara, yang dilakukan melalui ratifikasi
dan konsep-konsep ilmu ekonomi sebagai alat bantu
perjanjian-perjanian dan konvensi-konvensi serta
guna melengkapi analisis sebagai jawaban terhadap
kovenan-kovenan internasional, maupun hubungan-
isu hukum yang diteliti. Kemudian filsafat hukum
hubungan dan perjanjian privat serta institusi-institusi
juga digunakan sebagai refleksi terhadap aturan-
ekonomi baru.
aturan hukum yang akan dibahas, dan sebagai refleksi tentang landasan dari kenyataan.
Pengaturan bidang-bidang hukum ekonomi harus selaras dengan arah dan kebijakan politik ekonomi
Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi praktek
pembangunan dan politik hukum pembangunan serta
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat telah
politik pembangunan masyarakat secara intern dan
diakomodasi ke dalam Undang-undang Nomor 5
transdisipliner secara holistik dan sistematik, sehingga
tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
dapat dikatakan bahwa ruang lingkup bidang hukum
Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai hukum posisitif
ekonomi (economic law) merupakan bidang hukum
(ius constitutum) dan peraturan lain yang berkaitan
yang luas dan berkaitan dengan kepentingan privat
dengan itu. Namun kebijakan itu tidak akan cukup
dan kepentingan umum (public interest).
atau memadai tanpa disertai dengan pendekatan penegakan hukum (law enforcement Approach) yang
Untuk itu, pendekatan ekonomi terhadap hukum,
benar-benar memiliki kapabilitas dan kridibilitas dari
akan menjadi salah satu cara agar tidak terjadi
lembaga yang memiliki wewenang melakukan
ketertinggalan hukum dalam lalu lintas ekonomi dan
penegakan terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun
73
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
4. Dalam tahap proses pemecahan permasalahan ini
Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam hal ini Komisi
pada akhirnya timbul perwujudan yang sebenarnya
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
dari undang-undang tersebut.
Sebagaimana penulis jelaskan di awal, bahwa hukum
Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum
yang diproyeksikan dalam bentuk kodifikasi undang-
sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut
undang tidak akan lengkap dan tidak mungkin
oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas
lengkap dalam mengatur suatu obyek tertentu. Namun
pembentukannya. Proses ini berbeda pada setiap
demikian, secara substansial Undang-undang Nomor
kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana,
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
pembentukannya dapat berlangsung sebagai proses
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah mengatur
penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum
dengan jelas dan terinci tentang perjanjian-perjanjian
atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan
yang dilarang, kegiatan-kegiatan yang dilarang, serta
kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-
posisi dominan, sehingga tidak ada alasan bagi pelaku
kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam
usaha dalam melakukan aktivitas usahanya untuk
masyarakat Negara yang menganut sistem Eropa
tidak mengindahkan apa yang diperbolehkan dan
Kontinental (civil law system) atau tradisi hukum sipil,
apa yang dilarang di dalam Undang-undang Nomor
pembentukannya dilakukan oleh legislatif. Sedangkan
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dalam masyarakat Negara yang menganut tradisi
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang barang kali
hukum kebiasaan (common law system)
ke depan perlu dilakukan review kembali mengingat
kewenangannya terpusat pada hakim (judges as a
perkembangan persaingan usaha yang sangat massif
central of legal action).17
san substantif dalam mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia di masa-masa mendatang.
Di samping kedua tradisi tersebut, terdapat juga kecenderungan untuk menggabungkan kedua tradisi
D. Politik Pembentukan Hukum Perspektif UndangUndang (Law Making Proses)
tersebut. Kecenderungan ini tidak hanya terlihat pada Negara-negara ketiga, tetapi juga pada Negara yang pada mulanya secara ketat memegang salah satu dari
Robert Meagher dan David N. Smith mengemukakan,
kedua tradisi besar itu, seperti Inggris, Negara-negara
bahwa suatu proses pembentukan hukum (undang-
Eropa, dan Amerika. Kecenderungan ini tampak
undang) adalah sebagai
berikut:16
1. Pertama sekali dimulai dengan dicarinya formulasi
manusia dalam bidang hukum untuk mendapatkan
policy yang dibentuk melalui sejumlah diskusi oleh
formulasi paling ideal bagi usaha perwujudan dan
sekompok orang;
tujuan-tujuannya sebagai suatu Negara hukum. Dalam
2. Tahap berikutnya barulah dibentuk lembaganya, yakni perundang-undangannya; 3. Selanjutnya dilanjutkan dengan tahap
formulasi kombinatif ini fungsi pembentukan hukum, dapat dilakukan baik oleh hakim, lembaga legislatif maupun badan-badan administratif yang melakukan
implementasi atau pelaksanaan dari undang-
fungsi semacam itu. Risikonya memang tidak kecil,
undang tersebut. Dalam tahap pelaksanaan ini
karena perluasan formulasi semacam itu dapat
akan menimbulkan beberapa masalah yang perlu
mengaburkan kompetensi dari setiap komponen
mendapat pemecahan;
pembentuk hukum. Di samping secara kuantitas
16 Lihat Loebby Loqman, Pra pradilan di Indonesia (Jakarta, 1990), hlm. 11
74
sebagai penjelajahan baru dari peradaban intelektual
17 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai.., Op.Cit, hlm.162-163
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
hukum menjadi sangat kompleks, perluasan itu juga
budaya, sosial, politik, dan ekonomi yang senantiasa
dapat mengakibatkan overlapping substansi atau
melingkari kehidupan kemasyarakatan. Dilihat dari
perselisihan pandangan tentang suatu gejala hukum,
arus energi, sub sistem ekonomi menempati
maka masalah serius yang segaris dengan lintasan
kedudukan paling kuat, diikuti sub sistem politik,
masalah ini adalah kekaburan hukum. Setiap prinsip,
baru kemudian sub sistem sosial (di mana hukum ada
pembicaraan tentang komponen pembentukan
di dalamnya), dan diakhiri oleh sub sistem budaya.
hukum, hakikatnya meliputi pembicaraan tentang
Di sisi lain, dilihat dari arus informasi (tata nilai), sub
personil pembentuknya, institusi pembentuknya,
sistem budaya justru yang paling kaya, diikuti oleh
proses pembentukannya dan bentuk hukum hasil
sub sistem sosial, subsistem politik, dan berakhir pada
bentukannya.18
subsistem ekonomi.
Adanya pandangan bahwa hukum sebagai sistem
Jika Parson menggunakan teori Cybernetics untuk
tertutup merupakan salah satu kelemahan dari
menjelaskan hukum sekedar sebagai bagian dan
Positivisme Hukum. Persoalannya adalah, jika sistem
sistem norma belaka dalam sistem sosial, maka hal
hukum bersifat terbuka, seberapa besar toleransi
tersebut bertolak belakang dengan prinsip-prinsip
hukum terbuka bagi sistem-sistem lain untuk masuk
Cybernetics yang dibangun oleh pencetusnya, yakni
ke dalam pergulatan internal sistem hukum.
Norbert Wiener, karena Wiener pemilik teori Cybernetics20 ini justru menempatkan hukum sebagai
Secara prosedural dalam optik pembentukan hukum
pusat kekuatan, pengendali, dan pengikat keseluruhan
di Indonesia, desain hukum persaingan usaha menjadi
unsur-unsur sistem sosial. Perbedaan esensial
kental bermuatan politik atau versi politik. Hal ini
penggunaan teori Cybernetics ini dalam hubungan
dapat dimengerti karena sistem hukum memang tidak
dengan analisis hukum telah menunjukkan bahwa
mungkin menutup diri dari sistem-sistem lain ketika
orang semacam Parson telah menggunakan teori-
hukum harus dibentuk oleh lembaga politik.
teori mekanis secara berlawanan atau mengingkari esensi teori-teori Cybernetics, sehingga mengakibatkan
Di sini jelas kelihatan bahwa hukum adalah produk
tidak objetifnya hasil penggunaan teori-teori itu.
politik. Hal ini sesungguhnya hanya dapat dibenarkan
Kekeliruan semacam itu adalah kekeliruan umum
apabila dilihat dari arus energi saja. Sementara jika
yang terjadi pada abad ke-20-an. Pertama, sebagai
dilihat dari aspek informasi (material), hukum adalah
akibat masih dominannya pendekatan mekanis-
produk budaya. Oleh karena itu, diskursus aliran-
analitis. Kedua, dilakukannya pemaksaan penerapan
aliran filsafat hukum seperti yang dikemukakan di
pendekatan-pendekatan itu dalam ilmu-ilmu bukan
depan, menjadi makin relevan apabila dikaji dari
mekanis. Ketiga, terlibatnya ahli-ahli ilmu tertentu
perspektif Parsonian.
dalam menganalisis objek ilmu yang bukan objeknya.21
Keterkaitan sistem hukum dengan sistem lain ditunjukkan secara sangat baik oleh Talcott Parson dengan Teori Sibernetika-nya19. Dalam teorinya, Parson
18 Ibid, hlm. 163
20 Norbert Wiener dalam bukunya “The Human of Human Being Cybernetics and Society, (1950 : 32) sebagaimana yang dikutip oleh Lili Rasjidi dan Wyasa Putra “Hukum Sebagai Suatu Sistem” (2003 : 66) mengemukakan bahwa Cybernetics merupakan salah satu teori sistem mekanis (mechanism systemmachine system) yang secara analogi diterapkan dalam kehidupan manusia (living organism-human life). Cybernetics diambil dari kata Yunani “Kubernetis” yang sama artinya dengan “steersman” tau “governor” yang dalam bahasa Indonesi dapat dipadankan dengan istilah “alat” atau “pengatur” (on an engine)
19 Periksa Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional (Bandung, 1985),
21 Periksa Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai..........., Loc.Cit, hlm. 67
menyebutkan tentang ada 4 (empat) sub sistem :
75
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Lebih lanjut Wiener mengekukakan, bahwa hukum
Pertama, Aturan-aturan dalam hukum modern itu
merupakan pusat pengendalian komunikasi antar
bersifat seragam. Maksudnya, ketika diterapkan,
individu, yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan
bentuk penerapannya tidak banyak bervariasi.
sebagai tujuannya. Hukum itu diciptakan oleh
Penerapannya tidak lagi mengenal diskriminasi
pemegang kekuasaan yang menurut premis yang
berdasarkan suku, agama, kelas, kasta, jenis kelamin,
mendahuluinya disebut sebagai central organ.
dan lain-lain. Paling-paling perbedaannya karena
Perwujudan tujuan atau pengendalian itu dilakukan
teritorial saja. Jadi, hukum lebih bersifat teritorial
dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu,
daripada personal.
penghindaran sengketa atau dengan penerapan sanksi hukum terhadap suatu sengketa. Dengan cara
Kedua, Hukum modern bersifat transaksional. Artinya,
demikian, setiap individu diharapkan berperilaku
hak dan kewajiban para pihak dalam suatu hubungan
sesuai dengan perintah dan keadilan dapat terwujud
hukum sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan tawar-
karenanya.
menawar antar mereka. Di sini tidak lagi dikenal bahwa laki-laki harus diberi hak lebih besar daripada
Jika melihat pandangan Winer bahwa hukum
wanita, atau yang lebih tua mendapat lebih daripada
merupakan pusat pengendalian komunikasi antar
yang muda.
individu, maka jika tesis Winer ini diproyeksikan dalam konteks persaingan usaha antar sesama pelaku usaha,
Ketiga, Hukum modern bersifat universalistik. Putusan
sangat jelas hukum merupakan sarana (instrumen)
atas perkara-perkara yang serupa, biasanya adalah
pengatur antar sesama pelaku usaha dalam
sama. Jadi, tidak ada yang unik. Putusannya berulang
menjalankan aktivitas usahanya agar senantiasa
dan dapat diramalkan.
mematuhi aturan yang ada sehingga akan terwujud persaingan yang sehat jika hukum sebagai
Keempat, Sistem hukum itu bersifat hirarkis. Di situ
pengendalinya, karenanya lahirnya Undang-undang
ada jenjang-jenjangnya. Tingkat yang lebih rendah
Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
akan diawasi oleh tingkat yang lebih tinggi. Misalnya,
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat.
putusan pengadilan negeri akan dikoreksi lagi pada pengadilan tinggi, dan seterusnya putusan pengadilan
Konsep hukum menurut pandangan Wiener di atas,
tinggi oleh Mahkamah Agung.
pada dasarnya sudah mengarah kepada penggunaan hukum tertulis. Hal itu bisa dilihat dari kalimat “hukum
Kelima, Sistemnya diorganisasikan secara birokratis.
diciptakan oleh pemegang kekuasaan yang menurut
Untuk mencapai adanya keseragaman dalam putusan
premis yang mendahuluinya disebut sebagai central
(universalistik) itu, tentu diperlukan catatan-catatan
organ”.
yang disusun dan diarsip secara baik. Sistem hukum dengan demikian menjadi makin impersonal (mekanis).
Nampaknya penggunaan hukum tertulis sebagai alat rekayasa sosial sudah menjadi trend dari ciri sistem
Keenam, Sistem hukum modern itu adalah rasional.
hukum modern, di mana ciri tersebut dikembangkan
Maksudnya, sistem tersebut dapat dipelajari dan
oleh Marc Galanter sebagai orang ahli sosiologi
dimengerti oleh semua orang. Pada hal, dulu hanya
hukum. Galanter menyebutkan sebelas ciri sistem
orang-orang tertentu yang diyakini dapat menafsirkan
hukum modern itu.22
maksud suatu norma hukum. Teknik-teknik teologikal dan formalistik dalam mengartikan norma hukum itu telah digantikan oleh teknik-teknik fungsional.
22 Pendapat Galanter tersebut dikutip dari Sirajuddin, et.al, Legislative Drafting : Pelembagaan Metode Pastisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. (Malang, 2006). In-Trans Publishing. hlm. 1-3
76
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Ketujuh, Sistem itu dijalankan oleh para profesional.
berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada
Sistem peradilan, misalnya, tidak lagi bersifat ad hoc.
akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut.
Semuanya dilakukan oleh mereka yang bekerja purna
Kecuali disebut landasan, asas hukum layak disebut
waktu (full-timer). Mereka juga adalah lulusan
sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau
pendidikan formal dengan kualifikasi tertentu.
merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas hukum tidak akan habis kekuatannya dengan
Kedelapan, Sistemnya menjadi lebih teknis dan
melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan
kompleks. Maksudnya adalah bahwa sistem hukum
tetap saja ada dan akan melahirkan peraturan-
modern itu tidak bisa begitu saja dimasuki oleh orang-
peraturan selanjutnya.24
orang kebanyakan. Perlu ada tenaga-tenaga ahli, yakni orang-orang yang tahu seluk beluk sistem ini.
Oleh kerena itu Paton menyebutnya sebagai suatu
Mereka adalah para ahli hukum. Merekalah yang
sarana membuat hukum itu hidup, tumbuh dan
menjembatani antara peradilan dengan pribadi-pribadi
berkembang dan ia menunjukkan, bahwa hukum
yang berperkara. Peran para “general agents” sudah
itu bukan sekedar kumpulan dari peraturan-peraturan
digantikan oleh “lawyers”.
belaka. Kalau dikatakan, bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan merupakan sekedar
Kesembilan, Sistem hukum modern itu dapat diubah
kumpulan peraturan-peraturan maka hal itu
atau diganti. Di sini tidak ada sesuatu yang sakral.
disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-
Perundang-undangan telah menggantikan peran
nilai dan tuntutan-tuntutan etis. apabila membaca
hukum adat yang lamban itu.
suatu peraturan hukum, mungkin tidak menemukan pertimbangan etis di situ. Tetapi asas hukum
Sementara itu, proses pembentukan hukum harus
menunjukkan adanya tuntutan etis yang demikian
mengacu kepada asas-asas hukum sebagai pijakan
itu, atau setidak-tidaknya bisa merasakan adanya
dari muatan nilai dan sekaligus sebagai cita hukum
petunjuk kearah itu.25
itu sendiri dalam keberlakuannya. Gagasan tentang asas hukum sebagai kaidah penilaian fundamental
Mendasarkan definisi yang diberikan oleh Scholten
dalam suatu sistem hukum ditemukan kembali dari
tersebut di atas, Bruggink menyatakan, peranan dari
banyak teoritisi hukum. Paul Scholten misalnya
asas hukum sebagai meta-kaidah berkenaan dengan
menguraikan asas hukum sebagai “pikiran-pikiran
kaidah hukum dalam bentuk kaidah perilaku. Namun
dasar, yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem
yang menjadi pertanyaan adalah apakah asas hukum
hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-
itu harus dipandang sebagai bentuk yang kuat atau
aturan perundang-undangan dan putusan-putusan
yang lemah dari meta-kaidah.26
hakim, yang berkenaan dengannya ketentuanketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat
Dalam hal pertama (bentuk yang kuat), asas hukum
dipandang sebagai penjabarannya”23
itu dapat dipandang sebagai suatu tipe kaidah berkenaan dengan kaidah perilaku, dan dengan
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa asas hukum
demikian secara prinsipil dapat dibedakan dari jenis
merupakan “jantungnya” peraturan hukum, karena
kaidah ini. Mereka yang menganut pandangan ini,
menurut Satjipto asas hukum adalah landasan yang
misalnya menunjuk asas hukum sebagai kaidah
paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini
24 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung, 1986), hlm. 85 23 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum. Alih Bahasa oleh B. Arief Sidharta (Bandung, 1999), hlm. 119-120
25 Ibid 26 J.J.H. Bruggink, Refleksi........., Op. Cit, hlm. 120
77
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
argumentasi berkenaan dengan penerapan kaidah
itu tidak cukup jelas mengharuskan, bagaimana orang
perilaku. Asas-asas hukum hanya akan memberikan
seharusnya berprilaku dalam situasi faktual itu. Dalam
argumen-argumen bagi pedoman perilaku yang harus
hal kaidah perilaku yang terjadi justru yang sebaliknya.
diterapkan dan asas-asas itu sendiri tidak memberikan
Kaidah hukum yang khusus ini, yang timbul dari aturan
pedoman (bagi pelaku).
hukum yang dirumuskan lebih konkrit, memberikan pedoman yang lebih jelas bagi perbuatan. Asas hukum
Dalam hal kedua (bentuk yang lemah), asas-asas
sebagai kaidah hukum yang umum hanya memberikan
hukum itu tampaknya dapat dianggap termasuk dalam
suatu ukuran nilai. Ukuran nilai itu baru di dalam
tipe kaidah yang berkenaan dengan kaidah perilaku.
kaidah perilaku sebagai kaidah hukum yang khusus
Namun memiliki juga fungsi sejenis seperti kaidah
memperoleh bentuk yang sedemikian rupa, sehingga
perilaku. Jadi hanya terdapat suatu perbedaan gradual
memunculkan pedoman yang jelas bagi perbuatan,
saja antara asas hukum dan kaidah perilaku. Dalam
misalnya dengan jalan memberikan suatu hak atau
pandangan ini maka asas hukum adalah kaidah yang
meletakkan (membebankan) suatu kewajiban.28
berpengaruh terhadap kaidah perilaku, karena asas hukum ini memainkan peranan pada interpretasi
Perbedaan kedua antara asas hukum dan kaidah
terhadap aturan hukum dan dengan itu menentukan
perilaku (aturan hukum) antara lain diajukan oleh
wilayah penerapan kaidah hukum. Berdasarkan itu
Paul Scholten dan berada dalam garis pikiran dari
maka asas dapat dinyatakan termasuk tipe meta
perbedaan pertama. Scholten berpendapat bahwa
kaidah. Asas hukum itu juga sekaligus merupakan
aturan hukum memiliki isi yang jauh lebih konkrit,
perpanjangan dari kaidah perilaku, karena asas hukum
yang menyebabkan aturan itu dalam penemuan
juga memberikan arah pada perilaku yang
hukum dapat diterapkan secara langsung. Berlawanan
dikehendaki.27
dengan itu asas hukum dalam penemuan hukum memiliki daya kerja secara tidak langsung, yakni
Para ahli juga memberikan uraian tentang beberapa
menjalankan pengaruh pada interpretasi terhadap
perbedaan antara asas hukum dengan kaidah perilaku
aturan hukum. Aturan hukum terbentuk karena
(aturan hukum). Pendapat yang banyak dianut oleh
pembentuk undang-undang dalam pembentukan
banyak teoritisi adalah bahwa asas hukum bersifat
aturannya atau hakim dalam pengambilan putusan
umum sedangkan kaidah perilaku (aturan hukum)
hukumnya menimbang-nimbang berbagai asas hukum
bersifat khusus. Dengan “umum” dimaksudkan
yang satu terhadap yang lain.29
bahwa asas hukum memiliki wilayah penerapan yang lebih luas ketimbang kaidah perilaku. Makin besar
Dalam perspektif pembentukan peraturan,
wilayahnya, makin lebih umum kaidan hukumnya,
Montesquieu dalam karyanya L’esperit des Lois
makin lebih abstrak aturan hukum yang dirumuskannya.
sebagaimana dikutip oleh Sumali dari Disertasi Hamid. S. Attamimi mengemukakan sejumlah persyaratan
Dalam suatu sistem hukum, maka asas hukum sebagai
yang harus dipenuhi dalam pembentukan peraturan
kaidah penilaian fundamental adalah kaidah hukum
perundang-undangan, yakni:30
yang paling umum. Bahwa suatu kaidah hukum adalah “umum”, berarti bahwa ia dalam penerapannya harus dikhususkan dengan mengarahkannya pada situasi faktual. Ini sesungguhnya berarti bahwa kaidah hukum 28 Ibid, hlm. 124 29 Ibid, hlm. 125
27 Ibid.
78
30 vide Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti UU (Perpu) (Malang, 2002), hlm. 124-125 pendapat tersebut dikutip dari Sirajuddin, et.al, Legislative Drafting.........., Op.Cit, hlm. 22
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Pertama, gaya penuturannya hendaknya padat dan
1. Cita Hukum Indonesia, yaitu Pancasila di samping
sederhana. Ini mengandung arti bahwa penguataraan
sebagai rechtsidee juga merupakan norma
dengan menggunakan ungkapan kebesaran dan
fundamental negara;
retorik hanya merupakan tambahan yang menyesatkan dan mubazir;
2. Asas bernegara berdasarkan atas hukum dan asas pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi. Berdasarkan prinsip ini Undang-undang sebagai
Kedua, istilah-istilah yang dipilih hendaknya bersifat
alat pengaturan yang khas ditempatkan dalam
mutlak dan relatif, sehingga dengan demikian
keutamaan hukum dan juga sebagai dasar dan
memperkecil kemungkinan munculnya perbedaan
batas penyelenggaraan pemerintahan
pendapat yang individual; Kedua, hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil dan aktual
3. Asas lainnya yang meliputi asas formal dan asas material.
dengan menghindari hal-hal yang bersifat metaforis dan hipotetis;
Dalam kaitannya dengan hukum yang berlaku, atau hukum yang akan berlaku di Indonesia, maka harus
Ketiga, hukum hendaknya tidak dirumuskan dalam
tahu tentang cita hukum yang akan dibangun. Oleh
bahasa yang tinggi, oleh karena ia ditujukan kepada
karena itu, apakah cita hukum itu,? Cita hukum adalah
rakyat yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata,
terjemahan dari kata Rechtsidee. Menurut A. Hamid
bahasa hukum tidak untuk latihan penggunaan logika
S. Attamimi32 mengemukakan bahwa cita hukum
melainkan hanya penalaran sederhana yang bisa
(Rechtsidee) perlu dibedakan dengan dari pemahaman
dipahami oleh orang rata-rata; Keempat, hukum
atau konsep tentang hukum (Rechtsbegriff). Cita
hendaknya tidak merancukan pokok masalah dengan
hukum ada di dalam cita kita. Sedangkan pemahaman
pengecualian, pembatasan atau pengubahan,
atau konsep tentang hukum merupakan kenyataan
gunakan semua itu jika benar-benar diperlukan;
dalam kehidupan yang berkaitan dengan nilai yang
Kelima, hukum hendaknya tidak bersifat debatable
di inginkan (wertbezogene), dengan tujuan mengabdi
(argumentatif) adalah bahaya merinci alasan-alasan
kepada nilai yang ingin dicapai (einewertezu dienen),
karena hal itu akan menimbulkan konflik; Keenam,
dan dalam pemahaman atau konsep tentang hukum
lebih dari itu semua, pembentukan hukum hendaknya
terhampar, bahwa hukum adalah kenyataan yang
mempertimbangkan masak-masak dan mempunyai
bertujuan mencapai nilai-nilai hukum, mencapai cita
manfat praktis dan hendaknya tidak menggoyahkan
hukum. Dengan perkataan lain, pemahaman atau
sendi-sendi pertimbangan dasar keadilan dan hakekat
konsep tentang hukum bertujuan merealisasi cita
permasalahan sebab hukum yang lemah tidak perlu
hukum yang ada pada gagasan, rasa, cipta, dan
dan tidak adil akan membawa seluruh sistem
pikiran kedalam kenyataan. Rudolf Stammler (1856-
perundang-undangan mendapat citra buruk dan
1939) seorang ahli filsafat hukum yang beraliran neo
menggoyahkan legitimasi negara.
kantian, berpendapat bahwa cita hukum ialah konstruksi pikir yang merupakan keharusan bagi
Berkenaan dengan asas-asas pembentukan hukum
mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan
dalam konsep undang-undang di Indonesia, Attamimi
masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai bintang
mengemukakan tiga macam asas yang secara
pemandu (leitstern) bagi tercapainya cita-cita
berurutan disusun sebagai
31 Ibid, hlm. 127
berikut:31
masyarakat. Meski merupakan titik akhir yang tidak
32 Oetojo Oesman dan Alfian (Ed), Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara (Jakarta, 1990), hlm. 67-68
79
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
mungkin dicapai. Namun cita hukum memberi manfaat
perorangan dan pada giliran kesusilaan masyarakat
karena mengandung dua sisi: dengan cita hukum
dalam menghasilkan cara dan kesusilaan umum dalam
dapat menguji hukum yang berlaku, dan kepada cita
membentuk kebiasaan, tata kelakuan, adat-istiadat,
hukum dapat mengarahkan hukum positif sebagai
dan hukum. Sedangkan pada yang kedua, cita hukum
usaha dengan sanksi pemaksa menuju sesuatu yang
mempengaruhi perorangan dan masyarakat secara
adil. Oleh karena itu, menurut Stammler keadilan
tidak langsung. Dengan perkataan lain dalam
adalah usaha atau tindakan mengarahkan hukum
pembentukan hukum tidak tertulis, tahapan-tahapan
positif kepada cita hukum. Dengan demikian, maka
dari cara kebiasaan, dari kebiasaan ketata keberlakuan,
hukum yang adil (rechtigesrecht) ialah hukum positif
dari tata keberlakuan ke tata adat-istiadat, dan dari
yang memiliki sifat yang diarahkan oleh cita hukum
adat- istiadat ke hukum, semuanya berlangsung
untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat.
melalui endapan-endapan nilai yang berjenjangjenjang, terjadi di bawah bimbingan cita moral dan
Sementara Gustav Radbruch (1878-1949) seorang
cita hukum yang ada dalam masyarakat. Sedangkan
ahli filsafat hukum yang beraliran neo kantian dari
dalam pembentukan hukum tertulis tahapan-tahapan
mazhab Baden atau mazhab Jerman barat Daya,
yang membentuk endapan-endapan nilai tersebut
menegaskan bahwa cita hukum tidak hanya berfungsi
tidak terjadi, dan karena itu tidak ditemui. Cita hukum
sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang
tidak langsung mengawasi pembentukan hukum,
menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak,
lebih-lebih cita moral. Dalam hal pembentukan hukum
melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar
tidak tertulis, hubungan antara cita hukum dan sistem
yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan
norma hukum tidak terjadi disintegrasi, karena sistem
bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan
norma hukum terbentuk dari endapan-endapan nilai
maknanya sebagai hukum, sebagaimana diketahui,
yang telah tersaring oleh peri laku masyarakat sendiri
Radbruch termasuk dalam mazhab yang berusaha
melalui penerimaan individu-individu dalam keluarga,
menjembatani dualisme das sein dan das sollen,
keluarga ke keluarga dalam suku, dan suku-suku
dengan mengkonstruksikan lingkup ketiga, yaitu
dalam marga, serta marga-marga dalam Negara. Lain
kebudayaan.33
halnya dengan pembentukan hukum tertulis. Hukum dan sistem norma hukum dibentuk oleh perorangan
Sedangkan di sisi lain Gustav Radbruch (1878-1949)
atau kelompok perorangan, baik sebagai pejabat-
dalam bukunya yang berjudul Outline of Legal
pejabat maupun sebagai wakil-wakil rakyat. Hubungan
Philosophy sebagaimana yang dikutip oleh Mukthie
antara cita hukum dengan sistem norma hukum
Fadjar mengemukakan bahwa hukum adalah ciptaan
bergantung kepapada kesadaran dan penghayatan
manusia, dan sebagai setiap ciptaan mahluk hanyalah
para pejabat dan para wakil rakyat tersebut terhadap
dimengerti dengan
citanya.34
cita hukum yang ada dalam masyarakat yang memang mempunyai fungsi konstitutif dan regulatif dalam
Dalam pembentukan hukum tidak tertulis dan
pembentukan hukum tersebut, dan karena
pembentukan hukum tertulis, cita hukum berperan
pembentukan hukum tertulis tidak berlangsung melalui
dengan cara yang berlain-lainan. Pada yang pertama
tahapan-tahapan endapan nilai, maka kemungkinan
cita hukum secara langsung mempengaruhi kesusilaan
terjadinya disintegrasi antara cita hukum dan sistem norma hukum besar sekali.35
33 Ibid, hlm. 68-69 34 Gustav Radbruch, Outline of Legal Philosophy, Terjemahan oleh YBP (Yogyakarta, 1957), hlm. 7, dalam Mukthie Fadjar, Tipe Negera Hukum (Malang, 2004), hlm. 9
80
35 Oetojo Oesman dan Alfian , Op.Cit, hlm. 80
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
E. Simpulan Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat telah diakomodasi ke dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai hukum posisitif (ius constitutum) dan peraturan lain yang berkaitan dengan itu. Namun kebijakan itu tidak akan cukup atau memadai tanpa disertai dengan pendekatan penegakan hukum (law enforcement Approach) yang benar-benar memiliki kapabilitas dan kridibilitas dari lembaga yang memiliki wewenang melakukan penegakan terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pertumbuhan dan perkembangan perekonomian negara Indonesia sedikit atau banyak akan dipengaruhi oleh persaingan usaha yang sehat antar sesama pelaku usaha baik sekarang maupun di masa yang akan datang, sedangkan persaingan yang sehat akan ditentukan oleh: kebijakan hukum dalam pembangunan ekonomi (The Legal Policy Development of Economics); kebijakan hukum dalam persaingan usaha (legal policy to fair competition); politik pembentukan hukum perspektif undang-undang (Law Making Proses); dan proses pengambilan keputusan dalam pembentukan hukum persaingan usaha (Decision Making of Proces).
81
DAFTAR PUSTAKA
Bruggink, J.J.H. 1999. Refleksi Tentang Hukum. Alih Bahasa oleh B. Arief Sidharta. Bandung. Citra Aditya Bakti. Imbawani, Djoko. 2002. Reading Material Seri Kuliah Hukum Dagang. Fakultas Hukum Univ.Widyagama Malang, 2002. Kusumaatmadja, Mochtar. 1986. Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional. Bandung. Binacipta. Kelsen, Hans. 2007. General Theory of Law and State: Alih Bahasa Indonesia oleh Somardi. Jakarta. Bee Media Indonesia. Loqman, Loebby. 1990. Pra pradilan di Indonesia. Jakarta. Oesman, Oetojo & Alfian (ed). 1990. Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta. BP7. Rasjidi, Lili & I.B. Wyasa Putra. 1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung. Mandar Maju. Rahardjo, Satjipto. 1985. Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung. Alumni. Sudarsono, 1991. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta. Sirajuddin, et.al. 2006. Legislative Drafting : Pelembagaan Metode Pastisipatif Dalam Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Malang. In-Trans Publishing. Suryana, Daniel. ”Peranan Hukum dan Ahli Hukum” dalam Blogster www.google.com. Selanjutnya lihat pula Thomas M. Franck. “The New Development: Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries?”. Wisconsin Law Review No.3 (1972), dalam Erman Rajagukguk “Hukum Ekonomi Indonesia: Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, makalah Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar 14-18 Juli 2003. Wignyosoebroto, Soetandyo.1994. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta. RajaGrafindo Persada.
82
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) SEPTEMBER - DESEMBER 2013 No. Peraturan
Tanggal
Satker
15/7/PBI/2013
26-09-2013
DKMP
Perihal Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing
15/8/PBI/2013
07-10-2013
DPM
Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank
15/9/PBI/2013
30-10-2013
DPSP
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
15/10/PB/12013
01-11-2013
DPU
Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah Yang dimusnahkan Tahun 2011 dan Tahun 2012
15/11/PBI/2013
22-11-2013
DPNP
Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal
15/12/PBI/2013
12-12-2013
DPNP
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
15/13/PBI/2013
24-12-2013
DPbS
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 Tentang Bank Umum Syariah
15/14/PBI/2013
24-12-2013
DPbS
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 Tentang Unit Usaha Syariah
15/15/PBI/2013
24-12-2013
DKMP
Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
15/16/PBI/2013
24-12-2013
DKMP
Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
15/17/PBI/2013
24-12-2013
DPM
Transaksi SWAP Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia
83
DAFTAR SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2013 Peraturan
Tanggal
Satker
Perihal
15/37/DSta
05-09-2013
DSta
Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
15/38/DPM
10-09-2013
DPM
Perubahan Ketujuh atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka
15/39/DPNP
17-09-2013
DPNP
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/20/DKBU tanggal 22 Mei 2013 perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat
15/40/DKMP
24-09-2013
DKMP
Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor
15/41/DKMP
01-10-2013
DKMP
Perhitungan Giro Wajib Minimum Sekunder dan Giro Wajib Minimum Berdasarkan Loan to Deposit Ratio dalam Rupiah
15/42/DPM
08-10-2013
DPM
Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank
15/43/DPNP
21-10-2013
DPNP
Perubahan atas SEBI No.15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 perihal Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi BPR
15/44/DPbS
24-10-2013
DPbS
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah
15/45/DPNP
18-11-2013
DPNP
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/36/DKBU tanggal 21 Desember 2012 perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat
15/46/DPSP
20-11-2013
DPSP
Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara
15/47/DSta
02-12-2013
DSta
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/37/DSta tanggal 5 September 2013 perihal Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
85
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Peraturan
Tanggal
Satker
Perihal
15/48/DSta
02-12-2013
DSta
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum.
15/49/DPKL
05-12-2013
DPKL
Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan
15/50/DPbS
30-12-2013
DPbS
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/9/DPbS tanggal 7 April 2009 perihal Bank Umum Syariah
15/51/DPbS
30-12-2013
DPbS
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/28/DPbS tanggal 5 Oktober 2009 perihal Unit Usaha Syariah
15/52/DSta
30-12-2013
DSta
Perubahan Ketiga Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum
86
RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) SEPTEMBER - DESEMBER 2013
Peraturan :
PBI No.15/7/PBI/2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing
Berlaku
:
Sejak tanggal 1 Oktober 2013
Ringkasan: Latar Belakang Pengaturan : 1. Untuk mendukung stabilitas sektor keuangan dan mengantisipasi berbagai potensi risiko yang muncul dari dinamika perekonomian perlu dilakukan penguatan likuiditas bank dengan tetap memperhatikan peran bank dalam menjalankan fungsi intermediasi. 2. Untuk mencapai kecukupan likuiditas yang memadai dan menjalankan fungsi intermediasi secara optimal penguatan likuiditas bank dilakukan melalui kebijakan giro wajib minimum. Substansi Pengaturan : 1. Ketentuan mengenai GWM Primer dalam Rupiah dan GWM dalam valuta asing tidak mengalami perubahan. 2. Perubahan ketentuan mengenai GWM Sekunder dilakukan sebagai berikut: a. GWM Sekunder dinaikkan secara bertahap mulai tanggal 1 Oktober 2013; b. Sertifikat Deposito Bank Indonesia diperhitungkan sebagai komponen GWM Sekunder mulai tanggal 1 Oktober 2013; dan c. Kisaran LDR Target diubah menjadi antara 78% - 92% dan mulai berlaku mulai tanggal 2 Desember 2013. 3. Tahapan kenaikan GWM Sekunder: a. Sebesar 3% sejak 1 Oktober 2013 s.d. 31 Oktober 2013; b. Sebesar 3,5 % sejak 1 November 2013 s.d. 1 Desember 2013; dan c. Sebesar 4% sejak 2 Desember 2013. 4. Pengenaan denda atas pelanggaran ketentuan GWM Sekunder serta perhitungan jasa giro tidak mengalami perubahan sebagaimana ketentuan yang berlaku saat ini. 5. Perhitungan KPMM Insentif, Parameter Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif untuk GWM LDR tidak mengalami perubahan sebagaimana ketentuan yang berlaku selama ini.
87
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Peraturan :
Peraturan Bank Indonesia No.15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai kepada Bank
Berlaku
mulai tanggal 7 Oktober 2013
:
Ringkasan : I. Latar belakang dan Tujuan Sesuai dengan tujuan yang diamanatkat UU untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya dipengaruhi oleh stabilitas nilai tukar rupiah, Bank Indonesia merumuskan berbagai kebijakan yang ditujukan bagi pencapaian tujuan tersebut. Stabilitas nilai tukar rupiah memerlukan dukungan pasar keuangan yang sehat khususnya pasar valuta asing domestik untuk menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional. Sementara itu, dinamika yang terjadi di pasar valuta asing domestik dapat menimbulkan risiko ketidakpastian pergerakan nilai tukar kepada pelaku ekonomi. Sebagai upaya untuk memitigasi risiko tersebut, pelaku ekonomi perlu melakukan Transaksi Lindung Nilai terhadap kegiatan ekonominya dengan menggunakan instrumen derivatif antara lain forward dan swap. Diharapkan pula bahwa Transaksi Lindung Nilai yang dilakukan oleh pelaku ekonomi dapat mendukung pendalaman pasar valuta asing domestik. II. Materi Pengaturan 1. Nasabah dapat melakukan Transaksi Lindung Nilai kepada Bank. 2. Ruang lingkup Nasabah: a. Perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; atau b. Badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia, berdomisili di Indonesia, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 3. Transaksi Lindung Nilai terdiri dari: a. Transaksi Lindung Nilai Beli; dan/atau b. Transaksi Lindung Nilai Jual. 4. Transaksi Lindung Nilai dilakukan dalam bentuk Transaksi Derivatif valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) antara lain dengan cara Transaksi Forward dan Transaksi Swap. 5. Pelaksanaan Transaksi Lindung Nilai mengacu pada beberapa ketentuan Bank Indonesia mengenai: a. Pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank. b. Transaksi valuta asing terhadap rupiah. c. Transaksi derivatif. d. Manajemen risiko bank umum, manajemen risiko bank umum syariah dan unit usaha syariah. e. Laporan harian bank umum.
88
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
6. Pengaturan underlying Transaksi Lindung Nilai Beli: a. wajib dilakukan berdasarkan underlying kegiatan ekonomi, antara lain berupa pembayaran utang dalam valuta asing, kegiatan ekspor impor, dan kegiatan investasi. b. wajib didukung dokumen underlying ekonomi yang dapat dipertanggungjawabkan. c. Nilai nominal Transaksi Lindung Nilai Beli paling banyak sebesar nilai nominal underlying kegiatan ekonomi yang tercantum di dalam dokumen kegiatan pendukung. d. Jangka waktu Transaksi Lindung Nilai Beli paling lama sama dengan jangka waktu underlying kegiatan ekonomi yang tercantum dalam dokumen kegiatan pendukung. 7. Penyelesaian Transaksi Lindung Nilai wajib diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. Terdapat pengecualian bahwa penyelesaian secara netting diperbolehkan untuk: a. transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai yang mengalami force majeure; atau b. perpanjangan Transaksi Lindung Nilai dari beberapa kegiatan ekonomi. Pengecualian penyelesaian Transaksi Lindung Nilai juga berlaku untuk Nasabah Bank yaitu pihak yang menggunakan jasa Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Transaksi valuta asing terhadap rupiah. 8. Pengaturan perlakuan akuntansi: a. Perlakuan akuntansi terhadap Transaksi Lindung Nilai tunduk pada Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku dan dapat menerapkan hedge accounting. b. Keuntungan atau kerugian yang timbul dari Transaksi Lindung Nilai yang memenuhi kriteria akuntansi Lindung Nilai (hedge accounting) sebagaimana diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, merupakan pendapatan atau biaya dalam rangka Lindung Nilai. 9. Pengaturan sanksi mengacu pada beberapa ketentuan Bank Indonesia mengenai: a. Pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank. b. Transaksi valuta asing terhadap rupiah. c. Transaksi derivatif. d. Manajemen risiko bank umum, manajemen risiko bank umum syariah dan unit usaha syariah. e. Laporan harian bank umum.
Peraturan :
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/9/PBI/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 Tentang Lelang Dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
Berlaku
:
Mulai tanggal 30 Oktober 2013
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan perubahan atas PBI Nomor 10/13/PBI/2008 Tentang Lelang Dan Penatausahaan Surat Berharga Negara. 2. PBI ini merupakan ketentuan yang diterbitkan sehubungan dengan rencana Pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing di pasar perdana domestik.
89
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
3. Perubahan-perubahan dalam PBI ini meliputi: a. pengaturan pelaksanaan lelang dan penatausahaan SUN, yang semula hanya untuk SUN dalam mata uang Rupiah, diubah menjadi lelang dan penatausahaan SUN dalam mata uang Rupiah dan valuta asing; dan b. penambahan sarana penatausahaan SBN yaitu selain melalui Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS), penatausahaan SBN dilakukan melalui sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 4. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 30 Oktober 2013.
Peraturan :
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/10/PBI/2013 tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2011 dan Tahun 2012
Berlaku
:
1 November 2013
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/10/PBI/2013 tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2011 dan Tahun 2012. 2. PBI ini merupakan ketentuan yang diterbitkan untuk menjalankan amanat Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang mengatur bahwa jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 3. Hal-hal yang diatur dalam PBI ini meliputi: a. Kriteria uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia; b. Tata cara pemusnahan uang Rupiah; c. Informasi jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang dimusnahkan ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) secara periodik, yakni 1 (satu) tahun sekali; d. Data uang Rupiah yang dimusnahkan menurut jenis pecahan, jumlah bilyet dan/atau keping dan nilai nominal, serta disajikan per triwulan; e. Periode data uang Rupiah yang dimusnahkan adalah sejak berlakunya UU Mata Uang yaitu periode tanggal 28 Juni 2011 sampai dengan tanggal 31 Desember 2011 dan periode tanggal 1 Januari 2012 sampai dengan tanggal 31 Desember 2012 (sebagai lampiran dari PBI). 4. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2013.
90
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Peraturan :
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/11/PBI/2013 tanggal November 2013 tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Kegiatan Penyertaan Modal
Berlaku
:
Tanggal 22 November 2013
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal mengatur kembali kegiatan penyertaan modal, yang merupakan salah satu bagian dari kegiatan penanaman dana Bank, antara lain persyaratan umum berupa persyaratan tingkat kesehatan sebelum Bank dapat melakukan penyertaan modal, dan jumlah maksimum penyertaan modal yang dapat dilakukan sesuai dengan kapasitas permodalan yang dimilikinya. Pengaturan dalam PBI ini juga memberikan peluang bagi bank untuk dapat melakukan divestasi penyertaan modal atas inisiatif sendiri dengan memenuhi beberapa persyaratan tertentu, disamping divestasi penyertaan modal yang diwajibkan karena ketentuan. 2. Pokok-pokok pengaturan PBI ini meliputi antara lain: a. Umum 1) Bank hanya dapat melakukan penyertaan modal pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, sedangkan unit usaha syariah dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri hanya dapat melakukan kegiatan penyertaan modal sementara. 2) Bank wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk setiap kali melakukan penyertaan modal, termasuk penyertaan modal lanjutan. 3) Penyertaan modal dapat dilakukan secara langsung ataupun melalui pasar modal dengan tujuan hanya untuk investasi jangka panjang (bukan untuk jual beli saham). b. Pengaturan Total Portofolio dan Alokasi Penyertaan Modal serta Penyertaan Modal di Luar Negeri 1) Jumlah seluruh portofolio penyertaan modal ditetapkan paling tinggi sebesar penyertaan modal sesuai pengelompokan bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU), sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank. 2) Bank dilarang melakukan penyertaan modal melebihi batas penyediaan dana sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit. 3) Kegiatan penyertaan modal di luar negeri hanya dapat dilakukan oleh bank sesuai pengelompokan bank berdasarkan BUKU. c. Pengaturan Persyaratan dan Tata Cara Penyertaan Modal 1) Persyaratan penyertaan modal adalah sebagai berikut: a) rencana penyertaan modal telah dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank (RBB); b) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sesuai profil risiko baik secara individual maupun konsolidasi; c) memiliki tingkat kesehatan dengan peringkat komposit 1 (satu) atau 2 (dua), selama: i. 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut; atau ii. 4 (empat) periode penilaian berturut-turut apabila calon Investee merupakan perusahaan baru dan/atau perusahaan di luar negeri.
91
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
d) tidak mengganggu kelangsungan usaha bank dan tidak meningkatkan profil risiko bank secara signifikan; e) memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang dibuat oleh Direksi bank dan disetujui oleh Dewan Komisaris bank; dan f) memiliki sistem pengendalian intern yang memadai. 2) Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai KPMM sesuai profil risiko bagi bank umum syariah maka rasio KPMM ditetapkan paling kurang sebesar 10% (sepuluh persen). 3) Bank wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan penyertaan modal kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum penyertaan modal dilakukan, dengan melampirkan dokumen dan informasi yang diwajibkan. 4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan penyertaan modal akan diberikan Bank Indonesia setelah mempertimbangkan kelengkapan dokumen dan analisis kemampuan bank serta kelayakan dan kesesuaian kegiatan penyertaan modal yang akan dilakukan oleh Bank. 5) harus merealisasikan rencana penyertaan modal paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan diberikan oleh Bank Indonesia. Apabila bank tidak merealisasikan penyertaan modal dalam kurun waktu tersebut, persetujuan Bank Indonesia menjadi tidak berlaku. d. Pelampauan Batasan Penyertaan Modal Sesuai BUKU dan Penyampaian Rencana Tindak 1) Dalam hal jumlah seluruh portofolio penyertaan modal melampaui batasan penyertaan modal sesuai BUKU selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, karena: a) penurunan modal inti; b) peningkatan penyertaan modal pada Investee; dan/atau c) penurunan modal bank maka bank wajib menyampaikan rencana tindak berupa rencana tindak pemenuhan persyaratan modal inti dan/atau modal bank atau penyesuaian jumlah penyertaan modal. 2) Rencana tindak disampaikan paling lambat pada akhir bulan keempat sejak terjadinya pelampauan batasan penyertaan modal, untuk mendapatkan persetujuan Bank Indonesia. 3) Penyelesaian rencana tindak dimaksud paling lama 1 (satu) tahun sejak persetujuan Bank Indonesia. e. Divestasi Penyertaan Modal 1) Bank wajib melakukan divestasi penyertaan modal apabila: a) Penyertaan modal yang dilakukan mengakibatkan atau diperkirakan mengakibatkan penurunan permodalan Bank dan/atau peningkatan profil risiko bank secara signifikan; atau b) atas rekomendasi dari otoritas Perusahaan Anak dan/atau perintah dari Bank Indonesia. 2) Bank dapat melakukan divestasi penyertaan modal atas inisiatif sendiri dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) Penyertaan modal telah dilakukan paling singkat selama 5 (lima) tahun; b) dicantumkan dalam RBB; c) divestasi ditujukan untuk menyesuaikan dengan strategi bisnis bank; d) divestasi dilakukan paling kurang sebesar 50% (lima puluh persen) dari saham yang dimiliki; e) divestasi dilakukan melalui suatu transaksi yang wajar; f) divestasi tidak semata-mata ditujukan untuk memperoleh keuntungan; dan g) telah mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia.
92
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan divestasi penyertaan modal atas inisiatif sendiri akan diberikan Bank Indonesia, setelah mempertimbangkan kelengkapan dokumen, analisis kewajaran dan kesesuaian rencana divestasi atas insiatif sendiri. 4) Divestasi penyertaan modal atas inisiatif sendiri harus direalisasikan paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan Bank Indonesia. f. Penyertaan Modal oleh Perusahaan Anak. 1) Dalam hal perusahaan anak Bank melakukan penyertaan modal, maka: a) penyertaan modal hanya dapat dilakukan pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dan/atau di perusahaan penunjang jasa keuangan dan dalam bentuk saham; dan b) penyertaan modal dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas perusahaan anak. 2) Perusahaan penunjang jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada butir 1)a) merupakan perusahaan yang didirikan atau kegiatan usahanya ditujukan untuk menunjang kegiatan usaha bank melalui sistem pembayaran. g. Lain-lain Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk melakukan divestasi penyertaan modal atau menolak permohonan penyertaan modal atau divestasi atas inisiatif sendiri, berdasarkan pertimbangan tertentu sebagai berikut: 1) penyertaan modal atau divestasi atas inisiatif sendiri dapat berdampak negatif terhadap kondisi perekonomian nasional atau tidak sejalan dengan kepentingan nasional; 2) penyertaan modal atau divestasi atas inisiatif sendiri tidak sejalan dengan arah kebijakan pengembangan perbankan di Indonesia; dan/atau 3) penyertaan modal atau rencana penyertaan modal bank pada perusahaan yang berlokasi di dalam maupun di luar negeri menyebabkan atau diindikasikan akan menyebabkan kesulitan pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia. h. Pengenaan Sanksi kepada Bank. Pengenaan sanksi kepada bank mengacu kepada Pasal 52 UU Perbankan atau Pasal 58 UU Perbankan Syariah.
Peraturan :
PBI No.15/12/PBI/2013 tanggal 12 Desember 2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
Berlaku
:
Tanggal 1 Januari 2014
I. Latar Belakang Pengaturan 1. Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing secara nasional maupun internasional, maka Bank perlu meningkatkan kemampuan untuk menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas permodalan Bank sesuai dengan standar internasional yang berlaku yaitu Basel III.
93
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
2. Peningkatan kualitas permodalan Bank dilakukan melalui penyesuaian komponen dan persyaratan instrumen modal serta penyesuaian rasio-rasio permodalan. Selanjutnya, Peningkatan kuantitas permodalan Bank dicapai melalui kewajiban pembentukan tambahan modal sebagai penyangga (buffer) berupa Capital Conservation Buffer, Countercyclical Buffer, dan Bank yang dianggap berpotensi sistemik wajib membentuk tambahan modal berupa Capital Surcharge. II. Substansi Pengaturan 1. Peningkatan kualitas permodalan melalui perubahan komponen dan persyaratan instrumen modal sesuai dengan kerangka Basel III antara lain: a. Komponen modal inti (Tier 1) yang terdiri atas: 1) modal inti utama (common equity Tier 1) yaitu instrumen modal berkualitas tinggi dalam bentuk saham biasa (common stock) dan tidak memiliki fitur preferensi dalam pembayaran dividen/imbal hasil. 2) modal inti tambahan (Additional Tier 1) yaitu penyempurnaan komponen modal inovatif yang berupa saham preferen atau instrumen utang yang bersifat subordinasi, tidak memiliki jangka waktu, pembayaran dividen atau imbal hasil bersifat non kumulatif, dan tidak memiliki fitur step up. b. Komponen modal pelengkap (Tier 2) yaitu instrumen utang yang bersifat subordinasi, memiliki jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun, dan tidak memiliki fitur step up 2. Bank wajib menyediakan modal inti (Tier 1) paling rendah sebesar 6% (enam persen) dari ATMR dan modal inti utama (Common Equity Tier 1) paling rendah sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari ATMR baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. 3. Bank yang memenuhi kriteria tertentu wajib membentuk tambahan modal sebagai penyangga (buffer) di atas kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko yang ditetapkan sebagai berikut: a. Capital Conservation Buffer sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR untuk Bank yang tergolong dalam Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 yang pemenuhannya secara bertahap; b. Countercyclical Buffer dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR bagi seluruh Bank; dan c. Capital Surcharge untuk D-SIB dalam kisaran sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR untuk Bank yang ditetapkan berdampak sistemik. 4. Jangka waktu penyesuaian rasio permodalan, pemberlakuan komponen modal, dan pembentukan tambahan modal sebagai penyangga (buffer) adalah sebagai berikut:
Tanggal
Ketentuan
Keterangan
1 Januari 2014
Rasio modal inti minimum sebesar 6% dari ATMR dan rasio modal inti utama minimum sebesar 4,5% dari ATMR wajib dipenuhi Bank.
Sampai dengan 31 Desember 2014 pemenuhan rasio modal inti minimum dan rasio modal inti utama minimum mengacu pada komponen modal sebagaimana diatur pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
94
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Tanggal
Ketentuan
Keterangan
1 Januari 2015
Persyaratan komponen modal dalam ketentuan ini mulai berlaku.
Pengaturan komponen modal dan pengaturan lainnya dalam PBI No. 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, sehingga PBI yang baru mulai berlaku secara penuh.
1 Januari 2016
Kewajiban Bank untuk membentuk Capital Conservation Buffer mulai berlaku secara bertahap.
1. 2. 3. 4.
Kewajiban Bank untuk membentuk Countercyclical Buffer mulai berlaku.
Berdasarkan penilaian atas kondisi makroekonomi Indonesia, Bank Indonesia dapat menetapkan pemberlakuan Countercyclical Buffer lebih cepat dari tahun 2016.
Kewajiban Bank untuk membentuk Capital Surcharge untuk D-SIB mulai berlaku bagi Bank yang ditetapkan berdampak sistemik.
Metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge untuk D-SIB akan diatur lebih lanjut oleh otoritas yang berwenang.
0,625% dari ATMR mulai 1 Januari 2016 1,25% dari ATMR mulai 1 Januari 2017 1,875% dari ATMR mulai 1 Januari 2018 2,5% dari ATMR mulai 1 Januari 2019
5. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 2014.
Peraturan :
Peraturan Bank Indonesia No.15/13/PBI/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah
Berlaku
:
24 Desember 2013
Ringkasan : 1. Latar belakang penerbitan PBI ini adalah dalam rangka untuk meningkatkan tata kelola yang baik (good corporate governance), meningkatkan akuntabilitas dan akurasi laporan Pejabat Eksekutif dan jaringan kantor Bank, meningkatkan efisiensi dan pengembangan industri perbankan syariah, serta dalam rangka penyelarasan ketentuan dengan PBI No.14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank dan PBI No.14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum. 2. Kantor Bank Umum Syariah (Bank) meliputi: a. kantor Bank di dalam negeri antara lain berupa kantor pusat, Kantor Wilayah, Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Fungsional, Kantor Kas, dan Kegiatan Pelayanan Kas; dan b. kantor Bank di luar negeri berupa Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya.
95
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
3. Bank dapat melakukan kerjasama dengan Bank Umum Konvensional (BUK) yang memiliki hubungan kepemilikan dengan Bank, dalam bentuk kegiatan LSB dan/atau Jasa Konsultasi. BUK yang memiliki hubungan kepemilikan dengan Bank adalah BUK yang merupakan PSP Bank (parent bank) atau PSP BUK juga merupakan PSP Bank (sister bank). 4. Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif; pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank; serta pelaksanaan pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB dilaporkan secara online kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya melalui sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum. 5. Bank wajib menatausahakan dokumen pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif; pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, atau penutupan kantor Bank; serta pelaksanaan pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB. Bank Indonesia berwenang sewaktu-waktu meminta dokumen tersebut. 6. Salah satu pertimbangan Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank serta pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB setahun ke depan dalam rencana bisnis Bank adalah kajian yang disampaikan Bank, yang memuat paling kurang: a. analisis kondisi keuangan, kesesuaian dengan strategi bisnis, dan dampak terhadap proyeksi keuangan; b. mekanisme pengawasan dan penilaian kinerja kantor Bank; c. analisis secara menyeluruh mencakup antara lain kondisi perekonomian nasional, analisis risiko, dan analisis keuangan; dan d. rencana persiapan operasional antara lain sumber daya manusia, teknologi informasi, dan sarana penunjang lainnya. 7. Kajian mengenai jaringan kantor Bank disampaikan pertama kali paling lambat tanggal 28 Maret 2014 dan untuk tahun berikutnya disampaikan bersamaan dengan penyampaian rencana bisnis Bank. 8. Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan/penegasan atau penolakan terkait jaringan kantor Bank mempertimbangkan aspek mikro (individual Bank) dan aspek makro ekonomi antara lain stabilitas sistem keuangan, dan keselarasan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang mencakup antara lain upaya pengembangan ekonomi daerah, perluasan lapangan kerja, kesesuaian dengan prioritas sektor pembangunan, perluasan akses keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial inclusion), dan keberpihakan kepada kepentingan nasional. 9. Bank yang akan membuka jaringan kantor selain wajib memenuhi ketentuan dalam PBI ini juga wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam PBI No.14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. 10. Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank khusus untuk Kantor Wilayah dan Kantor Fungsional selama belum dapat dilaporkan secara online melalui sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum wajib dilaporkan secara offline setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya .
96
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Peraturan :
Peraturan Bank Indonesia No.15/14/PBI/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah
Berlaku
:
24 Desember 2013
Ringkasan : 11. Latar belakang penerbitan PBI ini adalah dalam rangka untuk meningkatkan tata kelola yang baik (good corporate governance), meningkatkan akuntabilitas dan akurasi laporan Pejabat Eksekutif dan jaringan kantor Unit Usaha Syariah (UUS), memperkuat stuktur kelembagaan UUS, serta dalam rangka penyelarasan ketentuan dengan PBI No.14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank dan PBI No.14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum. 12. Kantor UUS meliputi: a. kantor UUS di dalam negeri antara lain berupa Kantor Cabang Syariah, Kantor Cabang Pembantu Syariah , Kantor Fungsional Syariah, Kantor Kas Syariah, Kegiatan Pelayanan Kas Syariah, dan kegiatan Layanan Syariah; dan b. kantor UUS di luar negeri berupa Kantor Cabang Syariah dan jenis-jenis kantor lainnya. 13. Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif dan pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor UUS dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya melalui sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum. 14. BUK yang memiliki UUS wajib menatausahakan dokumen pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif dan pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor UUS. Bank Indonesia berwenang sewaktu-waktu meminta dokumen tersebut. 15. Salah satu pertimbangan Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor UUS setahun ke depan dalam rencana bisnis UUS adalah kajian yang disampaikan BUK yang memiliki UUS, yang memuat paling kurang: a. analisis kondisi keuangan, kesesuaian dengan strategi bisnis, dan dampak terhadap proyeksi keuangan; b. mekanisme pengawasan dan penilaian kinerja kantor UUS; c. analisis secara menyeluruh mencakup antara lain kondisi perekonomian nasional, analisis risiko, dan analisis keuangan; dan d. rencana persiapan operasional antara lain sumber daya manusia, teknologi informasi, dan sarana penunjang lainnya. 16. Kajian mengenai jaringan kantor UUS disampaikan pertama kali paling lambat tanggal 28 Maret 2014 dan untuk tahun berikutnya disampaikan bersamaan dengan penyampaian rencana bisnis BUK yang memiliki UUS. Kajian jaringan kantor UUS dapat disatukan dengan kajian mengenai jaringan kantor lain dari BUK yang memiliki UUS. 17. Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan/penegasan atau penolakan terkait jaringan kantor UUS mempertimbangkan aspek mikro (individual BUK yang memiliki UUS) dan aspek makro ekonomi antara lain stabilitas sistem keuangan dan keselarasan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang mencakup antara lain upaya pengembangan ekonomi daerah, perluasan lapangan kerja, kesesuaian dengan prioritas sektor pembangunan,
97
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
perluasan akses keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial inclusion), dan keberpihakan kepada kepentingan nasional. 18. BUK yang memiliki UUS yang akan membuka jaringan kantor UUS selain wajib memenuhi ketentuan dalam PBI ini juga wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam PBI No.14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. 19. Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor UUS khusus untuk Kantor Fungsional selama belum dapat dilaporkan secara online melalui sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum wajib dilaporkan secara offline setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya.
Peraturan :
Peraturan Bank Indonesia No. 15/15/PBI/2013 tanggal 24 Desember 2013 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional
Berlaku
:
24 Desember 2013
1. Latar Belakang a. Dengan beralihnya fungsi pengawasan bank ke OJK, diperlukan penegasan wewenang dan fungsi Bank Indonesia di dalam ketentuan GWM. b. Selain itu, diperlukan penegasan koordinasi dengan OJK di dalam ketentuan GWM antara lain terkait dengan pemberian insentif bagi bank yang melakukan merger/konsolidasi berupa kelonggaran GWM primer, pemberian kelonggaran dalam pemenuhan ketentuan GWM LDR bagi bank yang terkena pembatasan kegiatan usaha tertentu oleh OJK terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana, serta pemeriksaan bank oleh BI terkait kepatuhan terhadap pemenuhan ketentuan GWM. 2. Rasio GWM Kewajiban GWM untuk bank umum konvensional ditetapkan sebagai berikut: a. GWM Rupiah: • GWM Primer sebesar 8% dari DPK Rupiah. • GWM Sekunder sebesar 4% dari DPK Rupiah. • GWM LDR sebesar hasil perhitungan antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan selisih antara LDR Bank dan LDR Target (78% - 92%) dengan memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM Insentif. • Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban GWM Rupiah sebesar 1% selama 1 tahun kepada bank yang melakukan merger/konsolidasi berdasarkan permintaan bank yang disetujui oleh OJK. • Kelonggaran tersebut tidak berlaku terhadap GWM Sekunder dan GWM LDR. b. GWM dalam valuta asing sebesar 8% dari DPK dalam valuta asing. 3. Rekening Giro Bank a. Setiap bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. b. Bank devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia.
98
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
4. Perhitungan GWM a. Kewajiban pemenuhan GWM dilakukan secara harian. b. Pemenuhan GWM Primer Rupiah, GWM LDR Rupiah dan GWM valas dilakukan dengan membandingkan saldo Rekening Giro Bank pada BI setiap akhir hari dalam 1 masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 masa laporan pada 2 masa laporan sebelumnya. c. Pemenuhan GWM Sekunder Rupiah dilakukan dengan membandingkan jumlah SBI, SDBI, SBN dan/atau excess reserve setiap akhir hari dalam 1 masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 masa laporan pada 2 masa laporan sebelumnya. d. Perhitungan GWM LDR dalam Rupiah ditetapkan dengan parameter kisaran LDR Target adalah 78% - 92%, KPMM Insentif sebesar 14%, Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 dan Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2, sebagai berikut: • Jika LDR Bank berada dalam kisaran LDR Target maka GWM LDR Bank sebesar 0% dari DPK dalam Rupiah. • Jika LDR Bank lebih kecil dari batas bawah LDR Target maka GWM LDR merupakan hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara batas bawah LDR Target dan LDR Bank, dan DPK Rupiah. • Jika LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank lebih kecil dari KPMM Insentif maka GWM LDR merupakan hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara LDR Bank dan batas atas LDR Target, dan DPK Rupiah. • Jika LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank sama atau lebih besar dari KPMM Insentif, maka GWM LDR Bank adalah sebesar 0% dari DPK Rupiah. e. Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas pemenuhan ketentuan GWM LDR terhadap Bank yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana atas dasar permintaan OJK. f. KPMM Bank dalam perhitungan GWM LDR adalah KPMM triwulanan hasil perhitungan OJK dengan rincian sebagai berikut: • KPMM posisi akhir bulan September untuk perhitungan GWM LDR bulan Desember, Januari dan Februari; • KPMM posisi akhir bulan Desember untuk perhitungan GWM LDR bulan Maret, April dan Mei; • KPMM posisi akhir bulan Maret untuk perhitungan GWM LDR bulan Juni, Juli dan Agustus; dan • KPMM posisi akhir bulan Juni untuk perhitungan GWM LDR bulan September, Oktober dan November; g. DPK Rupiah dan valas terdiri dari giro, tabungan, simpanan berjangka dan kewajiban lainnya. 5. Jasa Giro a. Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja terhadap bagian tertentu 3% dari DPK dalam Rupiah dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam Rupiah. b. Jasa giro diberikan dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per tahun dan diberikan apabila Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM Rupiah. c. Jasa giro tersebut dikreditkan paling lambat 2 hari kerja setelah periode perhitungan pemenuhan kewajiban GWM. 6. Pemeriksaan oleh BI Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan kepada untuk memastikan kepatuha bank terhadap ketentuan GWM yang dapat dilakukan dengan cara: • Melakukan pemeriksaan langsung; • Melakukan pemeriksaan bersama OJK; atau • Menggunakan data hasil pemeriksaan OJK.
99
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
7. Sanksi atas pelanggaran ketentuan GWM Bank yang melanggar ketentuan GWM dikenakan denda sebagai berikut: a. GWM Rupiah: -
Sanksi kewajiban membayar sebesar 125% dari rata-rata suku bunga jangka waktu 1 hari overnight dari JIBOR dalam Rupiah pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam Rupiah, untuk setiap hari kerja pelanggaran.
-
Apabila pada saat pendebetan saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi maka seluruh sanksi kewajiban membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia.
-
Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk pendebetan sanksi maka atas kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana sanksi pelanggaran GWM.
b. GWM Valas: Sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia. c. Pengenaan sanksi dikecualikan bagi bank yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM sepanjang kekurangan GWM tidak lebih dari 1% dari DPK Rupiah dan/atau bagi bank yang mendapatkan kelonggaran pemenuhan GWM LDR. 8. Mekanisme koreksi terhadap pemberian jasa giro atau pengenaan denda a. Dalam hal terjadi koreksi terhadap pemberian jasa giro: BI dapat langsung mengkredit atau mendebet Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement. b. Dalam hal terjadi koreksi terhadap sanksi pengenaan denda: BI dapat langsung mendebet atau mengkredit Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement untuk Rekening Giro Rupiah Bank dan sistem akunting Bank Indonesia untuk Rekening Giro Valas Bank.
Peraturan :
Peraturan Bank Indonesia No. 15/16/PBI/2013 Tanggal 24 Desember 2013 Tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Berlaku
:
24 Desember 2013
1. Latar Belakang a. Dengan beralihnya fungsi pengawasan bank ke OJK, diperlukan penegasan wewenang dan fungsi Bank Indonesia di dalam ketentuan GWM. b. Selain itu, diperlukan penegasan koordinasi dengan OJK di dalam ketentuan GWM antara lain terkait dengan pemberian insentif bagi bank yang melakukan merger/konsolidasi berupa kelonggaran GWM dan pemeriksaan bank oleh BI terkait kepatuhan terhadap pemenuhan ketentuan GWM. 2. Rasio GWM GWM untuk bank umum syariah dan unit usaha syariah ditetapkan sebagai berikut:
100
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
a. GWM Rupiah • GWM Rupiah sebesar 5% dari DPK Rupiah. • Bank dengan rasio Pembiayaan terhadap DPK Rupiah kurang dari 80% dan: -
memiliki DPK Rupiah lebih besar dari Rp1 triliun - Rp10 triliun wajib memelihara tambahan GWM Rupiah sebesar 1% dari DPK Rupiah;
-
memiliki DPK Rupiah lebih besar dari Rp10 triliun - Rp50 triliun wajib memelihara tambahan GWM Rupiah sebesar 2% dari DPK Rupiah;
-
memiliki DPK Rupiah lebih besar dari Rp50 triliun wajib memelihara tambahan GWM Rupiah sebesar 3% (tiga persen) dari DPK Rupiah.
-
Bank yang memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK Rupiah sebesar 80% atau lebih dan/atau yang memiliki DPK Rupiah sampai dengan Rp1 triliun tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM.
• BI dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban GWM Rupiah sebesar 1% selama 1 tahun kepada bank yang melakukan merger/konsolidasi berdasarkan permintaan bank yang disetujui oleh OJK. • Kelonggaran tersebut tidak berlaku terhadap kewajiban tambahan GWM. b. GWM dalam valuta asing sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam valuta asing. 3. Rekening Giro Bank a. Setiap bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. b. Bank devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia. 4. Perhitungan GWM a. Kewajiban pemenuhan GWM dilakukan secara harian. b. Pemenuhan GWM berdasarkan perbandingan jumlah saldo Rekening Giro Bank pada BI setiap akhir hari dalam 1 masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 masa laporan pada 2 masa laporan sebelumnya. c. DPK Rupiah terdiri dari giro, tabungan, simpanan berjangka dan kewajiban lainnya. DPK valas terdiri dari giro, simpanan berjangka dan kewajiban lainnya. 5. Rasio Pembiayaan Rasio pembiayaan dihitung dengan membandingkan jumlah pembiayaan Rupiah terhadap DPK Rupiah pada akhir masa laporan dari laporan 2 periode sebelumnya. 6. Pemeriksaan oleh BI BI berwenang melakukan pemeriksaan kepada untuk memastikan kepatuha bank terhadap ketentuan GWM yang dapat dilakukan dengan cara: • Melakukan pemeriksaan langsung; • Melakukan pemeriksaan bersama OJK; atau • Menggunakan data hasil pemeriksaan OJK. 7. Sanksi atas pelanggaran ketentuan GWM a. GWM Rupiah: -
Kewajiban membayar sebesar 125% dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam Rupiah, untuk setiap hari pelanggaran.
101
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
-
Jika data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA tidak tersedia, sanksi dihitung berdasarkan rata-rata tingkat imbalan deposito investasi mudharabah berjangka waktu 1 bulan sebelum didistribusikan, pada bulan sebelumya dari seluruh Bank.
-
Jika pada saat pendebetan saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi maka seluruh sanksi kewajiban membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia.
-
Jika saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk pendebetan sanksi maka atas kekurangan tersebut dikenakan tambahan kewajiban membayar sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA.
b. GWM valas: Kewajiban membayar sebesar 0,04% per hari kerja, dari selisih antara saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia. c. Pengenaan sanksi dikecualikan bagi bank yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM sepanjang kekurangan GWM tidak lebih dari 1% dari DPK Rupiah. 8. Mekanisme koreksi atas pengenaan denda Dalam hal terjadi koreksi terhadap sanksi pengenaan denda maka BI dapat langsung mendebet atau mengkredit Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement untuk Rekening Giro Rupiah Bank dan sistem akunting Bank Indonesia untuk Rekening Giro Valas Bank.
Peraturan :
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
Berlaku
:
Tanggal 24 Desember 2013
I. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan atas PBI No. 7/36/PBI/2005 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai yang dilakukan Bank Indonesia dalam rangka mendukung terciptanya pasar keuangan yang dalam dan sehat dengan tersedianya likuiditas di pasar keuangan domestik. Dukungan ini dilakukan antara lain melalui aktivitas lindung nilai Bank kepada Bank Indonesia untuk memitigasi risiko pergerakan nilai tukar rupiah. Hal ini sejalan dengan upaya Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara stabilitas nilai tukar Rupiah. II. Penyempurnaan pengaturan meliputi : 1. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Dilakukan berdasarkan Underlying Transaksi yang dimiliki oleh Bank atau nasabah; b. Jangka waktu Underlying Transaksi sama dengan atau lebih panjang dari jangka waktu Kontrak Lindung Nilai Bank kepada Bank Indonesia; dan c. Nilai nominal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai nominal Underlying Transaksi.
102
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
2. Bank yang melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia harus termasuk dalam klasifikasi Bank yang melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan Peringkat Komposit paling rendah 3 (tiga). 3. Bank dapat menyampaikan kontrak lindung nilai kepada Bank Indonesia dengan jangka waktu paling lama 3 tahun, melalui Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan jangka waktu 3 bulan, 6 bulan, atau 12 bulan. 4. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia ditetapkan paling sedikit sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta US Dollar) dan paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi, dengan kelipatan USD1,000,000.00 (satu juta US Dollar). 5. Perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia diatur sebagai berikut: a. Persyaratan perpanjangan: 1) menggunakan Kontrak Lindung Nilai yang masih berlaku; 2) menggunakan jenis Underlying Transaksi yang sama sesuai dengan nomor referensi yang tercantum dalam Kontrak Lindung Nilai; 3) dalam hal jenis Underlying Transaksi dimiliki oleh Bank, maka nilai nominal perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank; dan 4) jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling lama sebesar sisa jangka waktu Kontrak Lindung Nilai. b. Jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, atau 12 (dua belas) bulan. c. Setelmen perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dapat dilakukan secara netting. 6. Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari satu Kontrak Lindung Nilai dan satu Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 7. Bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan tingkat premi atau diskon dari Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 8. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan dalam valuta US Dollar terhadap Rupiah, dengan menggunakan kurs JISDOR sebagai kurs spot US Dollar terhadap rupiah. 9. Bank wajib bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen asli Underlying Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dan dokumen fotokopi Underlying Transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah. 10. Bank bertanggung jawab atas setelmen Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 11. Setelmen secara netting untuk perpanjangan transaksi meliputi: a. Netting untuk nilai nominal yang sama pada setiap perpanjangan; b. Netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada setiap perpanjangan; c. Netting untuk nilai nominal yang sesuai dengan nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank pada setiap periode perpanjangan.
103
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
12. Sanksi bagi Bank yang melakukan setiap pelanggaran pada setiap Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia: a. Teguran tertulis; dan/atau b. Kewajiban membayar sebesar 1‰ (satu perseribu) dari nilai Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam denominasi Rupiah dengan menggunakan kurs JISDOR pada tanggal transaksi dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) per Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 13. Sanksi bagi Bank yang tidak memenuhi kewajiban setelmen: a. Teguran tertulis; dan b. Kewajiban membayar yang dihitung atas dasar : 1) suku bunga Fed Fund ditambah 200 (dua ratus) basis point untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta US Dollar; 2) suku bunga BI rate yang berlaku ditambah 200 (dua ratus) basis point untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam Rupiah. 14. Dengan diberlakukannya PBI ini maka PBI Nomor 7/36/PBI/2005 tanggal 30 September 2005 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
104
RINGKASAN SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2013
Peraturan :
Surat Edaran No. 15/37/DSta Perihal Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Berlaku
:
5 September 2013
Ringkasan: 1. Ketentuan ini mengatur kewajiban penyusunan dan penyampaian Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam rangka mendukung pengambilan kebijakan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan perbankan. 2. Laporan yang disampaikan oleh Bank terdiri atas Laporan Per Kantor, Laporan Gabungan, Laporan Perusahaan Anak, Laporan Konsolidasi. 3. Bank Pelapor menyampaikan Laporan secara lengkap untuk setiap cakupan. Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki posisi, transaksi, atau mutasi, Bank Pelapor tetap harus menyampaikan form header. 4. Dalam menyusun Laporan, Bank Pelapor berpedoman kepada: a. Pedoman Penyusunan Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lampiran I), yang mengatur mengenai cara pengisian, jumlah form, dan bentuk form yang harus disampaikan kepada Bank Indonesia. b. Petunjuk Teknis Kamus Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bank Umum Syariah dan Unit Usah Syariah (Lampiran II), yang mengatur mengenai cara pembuatan instance document, struktur data, dan nama tag. c. Petunjuk Teknis Single Reporting Platform (SRP) (Lampiran III), yang mengatur mengenai cara penyampaian laporan dan melihat status Laporan yang telah disampaikan. 5. Dalam menyampaikan laporan: a. Bank Pelapor harus memiliki sandi kantor Bank Pelapor sebelum menyampaikan Laporan. b. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online kepada Bank Indonesia. c. Bank Pelapor dapat menyampaikan Laporan dan/atau Koreksi Laporan secara offline bila memenuhi persayaratan tertentu. 6. Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan pada tanggal diterimanya Laporan dan/atau koreksi Laporan oleh Bank Indonesia yang tercantum pada tanda terima penyampaian Laporan dimana tanda terima tersebut diberikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan dinyatakan lolos validasi oleh Bank Indonesia.
105
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
7. Pertanyaan yang berkaitan dengan Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah disampaikan kepada: a. Help Desk Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350, Telp. 021-29818000, email:
[email protected] atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/38/DPM tanggal 10 September 2013 perihal Perubahan Ketujuh Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka
Berlaku
:
1. Penyempurnaan ketentuan dilakukan pada pokoknya untuk mengakomodir hal-hal sebagai berikut: a. Penyempurnaan aturan minimum holding period SBI. b. Penyempurnaan aturan Term Deposit yang meliputi persyaratan early redemption dan perhitungan biaya early redemption Term Deposit. 2. Sejak tanggal Surat Edaran ini berlaku, ketentuan minimum holding period SBI yang mengatur minimum kepemilikan SBI sebelum dapat ditransaksikan kepada pihak lain diubah, dari yang semula 6 bulan (182 hari kalender) menjadi 1 bulan (28 hari kalender). 3. Beberapa pengaturan terkait 1 month holding period SBI : a. Setiap pihak yang akan mentransaksikan SBI harus memegang SBI minimal 1 bulan (28 hari kalender). Transaksi dimaksud mencakup antara lain transaksi repo, penjualan secara outright, hibah dan pengagunan. b. Transaksi dengan Bank Indonesia dikecualikan dari pengaturan 1 month holding period. Dengan demikian SBI dapat ditransaksikan dengan BI sebelum dimiliki selama 1 bulan (28 hari kalender). c. Transaksi dengan second leg : 1) Terjadi perpindahan kepemilikan (antara lain repo sell and buyback ) a) Untuk memenuhi ketentuan 1 month holding period, transaksi dilakukan paling singkat 1 bulan (28 hari kalender). b) Ditransaksikan kembali : (1) Dalam hal second leg berhasil, SBI dapat ditransaksikan kembali setelah dimiliki paling singkat 1 bulan (28 hari kalender) sejak setelmen second leg transaksi dimaksud. (2) Dalam hal second leg gagal dan berlaku sebagai transaksi outright, SBI dimaksud dapat ditransaksikan 1 bulan (28 hari kalender) sejak kepemilikan berpindah yaitu sejak setelmen first leg transaksi dimaksud. 2) Tidak terjadi perpindahan kepemilikan (antara lain repo collateralized borrowing, pledge dan securities lending and borrowing) a) Dalam hal transaksi dimaksud sudah jatuh waktu dan berhasil dilakukan setelmen second leg, maka pemilik SBI dapat langsung mentransaksikan kembali SBI dimaksud. b) Namun dalam hal transaksi dimaksud merupakan bagian dari transaksi yang telah dilakukan sebelum aturan 1 month holding period berlaku maka SBI dimaksud baru dapat ditransaksikan 1 bulan (28 hari kalender) sejak SBI dimiliki.
106
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
4. Sub-Registry sebagai pihak yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI milik nasabahnya, wajib untuk menatausahakan SBI milik nasabahnya dengan memenuhi aturan 1 month holding period. 5. Transaksi yang merupakan bagian dari transaksi yang sudah dilakukan sebelum aturan 1 month holding period SBI, tunduk pada ketentuan butir II.9 SE Ekstern 13/13/DPM tanggal 9 Mei 2011 Perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka sampai dengan transaksi dimaksud jatuh waktu. 6. Atas pelanggaran ketentuan minimum holding period, pemilik SBI atau Sub-Registry dapat dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar 0,01% dari nilai nominal transaksi SBI yang tidak memenuhi persyaratan, paling sedikit sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari. 7. Bank Indonesia menghapus persyaratan jangka waktu Term Deposit yang dapat diajukan untuk dilakukan early redemption. 8. Atas early redemption Term Deposit, Peserta OPT dikenakan biaya dengan perhitungan sebagai berikut :
Biaya =
Nominal X Term Deposit yang di early redemption
(
)
Repo rate RRT Tingkat Diskonto — Lending facility Term Deposit Pada Saat Diterbitkan
X
Sisa Jangka Waktu 360
9. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai efektif berlaku pada tanggal 12 September 2013.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia No.15/39/DPNP tanggal 17 September 2013 Tentang Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/20/DKBU tanggal 22 MEI 2013 Perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat
Berlaku
:
Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan (17 September 2013) dan berlaku surut sejak tanggal 13 September 2013
1. Surat Edaran diterbitkan karena sebagai upaya mengatasi permasalahan dalam penyampaian Laporan Bulanan, serta guna menjaga kesinambungan dan kualitas data yang dikelola oleh Bank Indonesia. 2. Penyampaian Laporan Bulanan periode Agustus sampai Oktober 2013 masih menggunakan format lama melalui aplikasi web integrasi dengan berpedoman pada SE No. 8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 perihal Laporan Bulanan BPR sebagaimana diubah terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/15/DKBU tanggal 11 Juni 2010. 3. Apabila BPR Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan Bulanan secara on line maka dimungkinkan untuk menyampaikan secara off line dalam bentuk CD atau media perekam data elektronik lainnya disertai hasil validasi kepada BI yang membawahi Kantor Pusat BPR.
107
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
4. Khusus untuk Laporan Bulanan periode Agustus 2013, penyampaian Laporan Bulanan dan/atau Koreksi Laporan Bulanan dilakukan paling lambat akhir September 2013 secara on line melalui ekstranet BI. Jika BPR tidak menyampaikan sampai dengan akhir September 2013, BPR dikenakan sanksi keterlambatan. 5. BPR selain wajib menyampaikan Laporan Bulanan sesuai angka 2 di atas, juga menyampaikan Laporan Bulanan dengan format baru yang mengacu pada SE No. 15/20/DKBU tanggal 22 Mei 2013 dalam rangka uji coba. 6. Laporan Bulanan posisi November 2013 telah mengacu pada SE Ekstern No. 15/20/DKBU tanggal 22 Mei 2013.
Peraturan :
Surat Edaran Ekstern Nomor 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor
Berlaku
:
Sejak tanggal 30 September 2013
Ringkasan: SE ini menginduk pada PBI tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan PBI tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Pokok-pokok pengaturan dalam SE adalah sebagai berikut: 1. Loan to Value (LTV)/Financing to Value (FTV) berlaku untuk : a. Kredit/Pembiayaan Pemilikan Properti (KPP/KPP iB), meliputi KPR/KPR iB, KPRS/KPRS iB, KPRukan/KPRukan iB, dan KPRuko/KPRuko iB; dan b. Kredit/Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti (KKBP/KKBP iB). 2. LTV dan FTV ditetapkan paling tinggi sebagaimana tersaji dalam tabel berikut :
Kredit/Pembiayaan*) & Tipe Agunan
FK/FP 1 FK/FP 2 FK/FP 3
Pembiayaan & Tipe Agunan (MMQ & IMBT)
FP 1
FP 2
FP 3 dst
KPR Tipe > 70
70%
60%
50%
KPR Tipe > 70
80%
70%
60%
KPRS Tipe > 70
70%
60%
50%
KPRS Tipe > 70
80%
70%
60%
KPR Tipe 22 - 70
-
70%
60%
KPR Tipe 22 - 70
-
80%
70%
KPR Tipe 22 - 70
80%
70%
60%
KPR Tipe 22 - 70
90%
80%
70%
KPR Tipe s.d. 21
-
70%
60%
KPR Tipe s.d. 21
-
80%
70%
KPRuko/KPRukan
-
70%
60%
KPRuko/KPRukan
-
80%
70%
Keterangan: *) khusus pembiayaan, hanya untuk pembiayaan dengan akad murabahah dan istishna’ FK = Fasilitas Kredit; FP = Fasilitas Pembiayaan
3. Penentuan urutan fasilitas kredit/pembiayaan dalam perhitungan LTV/FTV harus memperhitungkan seluruh fasilitas KPP/KPP iB dan KKBP/KKBP iB yang telah diterima debitur/nasabah di bank yang sama maupun bank lainnya.
108
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
4. Dalam hal perjanjian KPP/KPP iB antara Bank dan debitur/nasabah mengikat lebih dari 1 (satu) unit Properti pada saat bersamaan dan/atau beberapa perjanjian KPP/KPP iB terhadap beberapa Properti yang dilakukan pada tanggal yang sama, Bank wajib menetapkan urutan fasilitas kredit/pembiayaan berdasarkan urutan nilai agunan dimulai dari nilai agunan yang paling rendah. 5. Pengaturan atas hal-hal yang harus dipenuhi Bank dalam rangka melaksanakan pengaturan LTV/FTV, antara lain persyaratan dokumen, perlakuan debitur suami dan istri, dan penerapan prinsip kehati-hatian berupa pengaturan top up kredit atau pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih menjadi agunan dari fasilitas KPP iB sebelumnya. 6. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian fasilitas KPP/KPP iB jika Properti yang dijadikan agunan belum tersedia secara utuh dimana fasilitas tersebut hanya dapat diberikan untuk fasilitas KPP/KPP iB pertama dan harus memenuhi persyaratan lainnya dalam rangka prinsip kehati-hatian. 7. Pengaturan minimum down payment (DP) untuk kredit/pembiayaan kendaraan bermotor yaitu 25% untuk kendaraan bermotor roda dua, 30% untuk kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan non produktif, dan 20% untuk kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan produktif. 8. Penerapan prinsip kehati-hatian berupa larangan pemberian kredit/pembiayaan untuk uang muka atau down payment.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/41/DKMP Tanggal 1 Oktober 2013 Perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Sekunder dan Giro Wajib Minimum Berdasarkan Loan to Deposit Ratio dalam Rupiah
Berlaku
:
Sejak tanggal 1 Oktober 2013
Ringkasan: Latar Belakang Pengaturan: Sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 PBI No. 15/7/PBI/2013 tentang Perubahan Kedua atas PBI No. 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing, tata cara pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) Sekunder dan Giro Wajib Minimum Berdasarkan Loan to Deposit Ratio (GWM LDR) dalam Rupiah akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI). Sehubungan dengan itu maka SE BI ini mengatur lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan GWM Sekunder dan GWM LDR dalam rupiah. Substansi Pengaturan: 1. GWM Sekunder dalam Rupiah a. Pemenuhan tahapan GWM Sekunder adalah sebagai berikut : 1) Sebesar 2,5% dari DPK dalam Rupiah sampai dengan tanggal 30 September 2013. 2) Sebesar 3% dari DPK dalam Rupiah sejak tanggal 1 Oktober 2013 sampai dengan tanggal 31 Oktober 2013. 3) Sebesar 3,5% dari DPK dalam Rupiah sejak tanggal 1 November 2013 sampai dengan tanggal 1 Desember 2013. 4) Sebesar 4% dari DPK dalam Rupiah sejak tanggal 2 Desember 2013.
109
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
b. Komponen yang diperhitungkan sebagai cadangan dalam pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), Surat Berharga Negara (SBN) dan/atau Excess Reserve. c. SBI, SDBI, dan SBN yang diperhitungkan dalam GWM Sekunder dalam rupiah mencakup untuk seluruh jenis dan jangka waktu surat berharga, namun tidak termasuk SBN yang tidak dapat diperdagangkan (untradeable). d. Penetapan nilai SBI, SDBI, dan SBN yang dimiliki Bank dilakukan berdasarkan data yang tercatat pada rekening surat berharga Bank di BI-SSSS pada posisi akhir hari yaitu pada saat cut off time BI-SSSS. e. Nilai SBI, SDBI, dan SBN yang digunakan dalam perhitungan GWM Sekunder dalam rupiah adalah nilai pasar (market value) yang tercantum di BI-SSSS. 2. GWM LDR dalam Rupiah. a. Perhitungan GWM LDR dilakukan sebagai berikut: 1) Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% 2) Batas atas LDR Target ditetapkan: -
sebesar 100% sampai dengan tanggal 1 Desember 2013;
-
sebesar 92% sejak tanggal 2 Desember 2013.
3) Bank yang memiliki LDR di dalam kisaran LDR target dikenakan GWM LDR sebesar 0%. 4) Bank yang memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR Target diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah (saat ini sebesar 0,1), selisih antara batas bawah LDR Target dan LDR Bank, dan Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam Rupiah. 5) Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM Insentif (saat ini ditetapkan 14%) akan dikenakan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter Disinsentif Atas (saat ini sebesar 0,2), selisih antara LDR Bank dan batas atas LDR Target, dan DPK dalam Rupiah. 6) Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target namun memiliki KPMM sama atau lebih besar dari KPMM Insentif (saat ini ditetapkan 14%), maka kewajiban pemenuhan GWM LDR sebesar 0%. b. Perhitungan LDR Bank diperoleh dari pos-pos neraca mingguan yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. 3. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% dari ratarata suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari (overninght) dari JIBOR dalam Rupiah pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam Rupiah, untuk setiap hari kerja pelanggaran. 4. Ketentuan dalam SE Ekstern ini mulai berlaku pada 1 Oktober 2013.
Peraturan :
Surat Edaran Nomor: 15/42 /DPM perihal Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank
Tanggal
8 Oktober 2013
:
I. Ketentuan ini merupakan aturan pelaksanaan dari PBI No. 15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai kepada Bank, terkait dokumen penyelesaian transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai. II. Meteri pengaturan meliputi :
110
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
1. Pengaturan dokumen yang digunakan sebagai bukti diperkenankannya penyelesaian Transaksi Lindung Nilai tanpa pemindahan dana pokok secara penuh (netting) sesuai Pasal 5 ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 PBI: a. Transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai oleh Bank dan/atau Nasabah yang mengalami kejadian luar biasa (force majeure), dokumen paling kurang meliputi: (1) kontrak Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam rangka lindung nilai yang masih outstanding; dan (2) dokumen tertulis yang dikeluarkan oleh pihak berwenang, yang menerangkan bahwa kejadian luar biasa tersebut dialami oleh Bank dan/atau Nasabah yang bertransaksi. b. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas kegiatan ekspor/impor, dokumen paling kurang meliputi: (1) kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai yang diperpanjang; dan (2) fotokopi letter of credit (L/C), invoice, Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Pemberitahuan Impor Barang (PIB), salinan dokumen bill of lading (B/L), atau dokumen sejenis. c. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas dana usaha, modal disetor, laba ditahan, dan pinjaman sub-ordinasi Bank yang diperhitungkan dalam kewajiban pemenuhan modal minimum Bank, dokumen paling kurang meliputi: (1) kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan dokumen bukti setoran modal dari kantor pusat. (2) kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan laporan keuangan Bank; atau (3) kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan perjanjian pinjaman sub-ordinasi Bank. d. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas penyertaan langsung di sektor riil, dokumen paling kurang meliputi: (1) kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang; dan (2) fotokopi bukti penyertaan langsung yang dilakukan oleh kantor pusat atau penanam modal (investor). e. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas pinjaman luar negeri dalam valuta asing, dokumen paling kurang meliputi: (1) kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang; dan (2) fotokopi surat perjanjian kredit (loan agreement) dan/atau dokumen utang terkait lainnya. f. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas Surat Utang Negara (SUN), saham dan obligasi korporasi, dokumen paling kurang meliputi: (1) kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan fotokopi dokumen kepemilikan SUN; (2) kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan fotokopi dokumen kepemilikan saham; atau (3) kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan fotokopi dokumen kepemilikan obligasi korporasi. 2. Nilai nominal perpanjangan (roll over) transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai paling banyak sebesar nilai nominal underlying dari transaksi dimaksud. 3. Frekuensi dan jangka waktu perpanjangan (roll over) transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi, sesuai dengan jangka waktu underlying yang tercantum dalam bukti dokumen.
111
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia NO.15/43/DPNP tanggal 21 Oktober 2013 Tentang Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 Perihal Laporan Tahunan Dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Prekreditan Rakyat
1. Surat Edaran ini diterbitkan karena adanya perpanjangan masa uji coba dan parallel run penyampaian Laporan Bulanan BPR yang semula sampai dengan Laporan Bulanan posisi bulan Juli 2013 diperpanjang hingga posisi bulan Oktober 2013. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka menjaga kesinambungan dan konsistensi data yang dikelola oleh Bank Indonesia yaitu antara Laporan Bulanan BPR dengan Laporan Publikasi BPR, maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia nomor 15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 perihal Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Prekreditan Rakyat. 2. Perubahan tersebut mengatur tentang tata cara dan format Laporan Keuangan Publikasi yang wajib diumumkan BPR dan disampaikan kepada Bank Indonesia untuk periode Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan September 2013, sebagai berikut: a. Khusus untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan September 2013 mengacu pada tata cara dan format lampiran I A Surat Edaran Bank Indonesia No.15/43/DPNP Tentang Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU Tanggal 31 Juli 2013 Perihal Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Prekreditan Rakyat. b. Rekaman data Laporan Keuangan Publikasi yang disampaikan kepada Bank Indonesia posisi bulan September 2013 secara on-line yang mengacu pada Lampiran 1A sebagaimana huruf a di atas, tidak mencakup rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP), rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), dan Cash Ratio pada Tabel 4 mengenai Kualitas Aktiva Produktif dan informasi lainnya. 3. Selanjutnya, terhitung untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember 2013 dan laporan-laporan Publikasi BPR berikutnya sepenuhnya mengacu pada format lampiran I Surat Edaran Bank Indonesia nomor 15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 tersebut di atas. 4. Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 21 Oktober 2013
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/44/DPbS tanggal 22 Oktober 2013 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah
Berlaku
:
Tanggal 22 Oktober 2013
Latar Belakang Pengaturan: •
Surat Edaran (SE) Bank Indonesia ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah (FPJPS) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/20/PBI/2012.
• SE ini mengatur FPJPS terkait dengan persyaratan pengajuan, tata cara pengajuan, perhitungan nilai agunan, persetujuan, tata cara pelaksanaan pemberian, pelunasan, eksekusi agunan, biaya pemberian dan pengawasan penggunaan FPJPS.
112
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Substansi Pengaturan: I. Persyaratan FPJPS 1. Umum a. Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJPS adalah Bank yang: 1) mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek. 2) memiliki agunan yang berkualitas tinggi dengan nilai agunan yang mencukupi. 3) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling rendah 8% dan memenuhi modal sesuai dengan profil risiko Bank, berdasarkan perhitungan Bank Indonesia. b. FPJPS diberikan sebesar plafon FPJPS yang dihitung berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM berdasarkan hasil analisis Bank Indonesia atas proyeksi arus kas yang disampaikan oleh Bank. c. Pencairan FPJPS sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kewajiban GWM, selama memenuhi plafon dan jangka waktu FPJPS. d. Jangka waktu FPJPS: 1) Jangka waktu setiap FPJPS paling lama 14 hari kalender. 2) Jangka waktu FPJPS dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJPS keseluruhan paling lama 90 hari kalender. e. Imbalan atas penggunaan FPJPS sebesar yang dihitung berdasarkan perkalian antara jumlah pokok FPJPS, tingkat realisasi imbalan sebelum distribusi pada Bank penerima FPJPS, nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia sebesar 90% (sembilan puluh persen), dan jumlah hari kalender penggunaan FPJPS. Tingkat realisasi imbalan sebelum distribusi pada Bank penerima FPJPS adalah tingkat realisasi imbalan sebelum didistribusikan pada bulan terakhir atas deposito mudharabah 3 (tiga) bulan atau deposito mudharabah 1 (satu) bulan dari Bank penerima FPJPS dalam hal deposito mudharabah 3 (tiga) bulan tidak tersedia. 2. Agunan FPJPS a. Bank menjamin FPJPS dengan agunan milik Bank berupa SBIS SBSN, Obligasi Syariah Korporasi (Sukuk Korporasi) dan/atau aset Pembiayaan. b. Sukuk Korporasi hanya dapat dijadikan agunan FPJPS dalam hal: 1) Bank memiliki SBIS dan/atau SBSN, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS; atau 2) Bank tidak memiliki SBIS dan/atau SBSN. c. Aset Pembiayaan hanya dapat dijadikan agunan FPJPS dalam hal: 1) Bank memiliki SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS; atau 2) Bank tidak memiliki SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi. d. Dalam hal setelah memperoleh FPJPS yang dijamin oleh sebagian atau seluruhnya dengan aset Pembiayaan, Bank memiliki surat berharga (SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi) yang memenuhi syarat untuk menjadi agunan FPJPS, Bank wajib mengganti aset Pembiayaan yang diagunkan dengan surat berharga tersebut. II. Pengajuan FPJPS 1. Permohonan FPJPS. Bank dapat mengajukan permohonan FPJPS paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum rencana kebutuhan FPJPS pada setiap hari kerja pukul 08.30 WIB sampai dengan 12.00 WIB. 2. Permohonan perpanjangan FPJPS.
113
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
a. Apabila pada saat FPJPS jatuh tempo Bank belum dapat melunasi pokok FPJPS, Bank dapat memperpanjang FPJPS dengan perubahan jangka waktu dan/atau plafon FPJPS sesuai kebutuhan. Permohonan perpanjangan FPJPS dapat berdiri sendiri atau dapat diikuti dengan penambahan plafon FPJPS. Dalam hal permohonan perpanjangan FPJPS diikuti dengan penambahan plafon FPJPS, besarnya jumlah plafon perpanjangan diperhitungkan dengan nilai pokok FPJPS jatuh tempo dengan tetap memenuhi persyaratan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini. b. Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan FPJPS pada setiap hari kerja mulai pukul 08.30 WIB sampai dengan 12.00 WIB. 3. Permohonan Penambahan Plafon FPJPS. a. Apabila diperlukan, selama masa periode FPJPS Bank dapat mengajukan penambahan plafon FPJPS sesuai kebutuhan, dengan ketentuan: 1) Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas selama periode FPJPS; 2) Bank memiliki agunan yang nilainya mencukupi dan memenuhi persyaratan; dan 3) Bank memenuhi persyaratan Rasio KPMM dan sesuai profil risiko. b. Bank dapat mengajukan permohonan penambahan plafon FPJPS pada setiap hari kerja mulai pukul 08.30 WIB sampai dengan 12.00 WIB selama periode FPJPS. III. Perhitungan Nilai Agunan FPJPS 1. Agunan berupa SBIS, nilai agunan ditetapkan sebesar 100% dari plafon FPJPS yang dijamin dengan SBIS. 2. Agunan berupa SBSN, nilai agunan ditetapkan paling rendah sebesar 105% dari plafon FPJPS yang dijamin dengan SBSN. 3. Agunan berupa Sukuk Korporasi, besarnya nilai agunan ditetapkan sebesar: a. 120% plafon FPJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau dijamin oleh pemerintah, dengan peringkat teratas. b. 135% plafon FPJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi, dengan peringkat teratas. c. 140% plafon FPJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi, dengan peringkat kedua teratas. d. 145% plafon FPJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi, dengan peringkat ketiga teratas. 4. Agunan berupa aset Pembiayaan a. Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai saldo pokok aset Pembiayaan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan FPJPS. b. Besarnya nilai agunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan 200% (dua ratus persen) dari plafon FPJPS yang dijamin dengan aset Pembiayaan. IV. Persetujuan FPJPS Bank Indonesia menyetujui permohonan FPJPS dalam hal: 1. Bank telah memenuhi persyaratan dan kelengkapan dokumen untuk permohonan awal, penambahan dan/atau perpanjangan FPJPS. 2. Berdasarkan analisis Bank Indonesia, diperkirakan bahwa Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas yang disampaikan oleh Bank. V. Pelaksanaan Pemberian FPJPS 1. Pencairan FPJPS. Dalam hal permohonan FPJPS disetujui, Bank Indonesia akan mencairkan pemberian FPJPS sebesar kekurangan GWM yang dihitung berdasarkan posisi harian saldo giro Bank dan diberikan sepanjang tidak melebihi plafon FPJPS yang disetujui.
114
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
2. Pemantauan FPJPS a. Bank harus menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai penggunaan FPJPS dan kondisi likuiditas Bank pada setiap akhir hari kerja. b. Bank melakukan perhitungan rasio KPMM secara harian selama periode pemberian FPJPS. c. Bank melakukan penilaian dan pemantauan pemenuhan persyaratan agunan terhadap seluruh agunan FPJPS secara harian. d. Penghentian pencairan FPJPS. Bank Indonesia akan menghentikan pencairan FPJPS dalam hal: 1) hasil perhitungan rasio KPMM bank di bawah 8% dan profil risiko Bank 2) terjadi penurunan nilai agunan FPJPS dengan kondisi sebagai berikut: a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJPS; dan b) Bank masih memiliki sisa plafon yang lebih besar daripada penurunan nilai agunan. e. Pengakhiran FPJPS, Bank Indonesia akan mengakhiri perjanjian FPJPS dalam hal: 1) terjadi penurunan nilai agunan pada saat periode penghentian pencairan FPJPS sehingga nilai sisa plafon lebih kecil dibandingkan dengan nilai penurunan agunan 2) terjadi penurunan nilai agunan FPJPS dengan kondisi sebagai berikut: a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJPS setelah jangka waktu berakhir; dan b) Bank masih memiliki sisa plafon yang belum digunakan lebih kecil daripada penurunan nilai agunannya atau Bank sudah menggunakan seluruh plafon FPJPS VI. Pelunasan FPJPS 1. Apabila selama jangka waktu pemberian FPJPS saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia melebihi kewajiban GWM, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Rupiah Bank sebesar kelebihan GWM tersebut sebagai pelunasan keseluruhan atau sebagian nilai pokok FPJPS. 2. Pada saat FPJPS jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dengan mendahulukan pembayaran imbalan FPJPS kemudian pelunasan pokok FPJPS. VII. Eksekusi Agunan FPJPS Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan FPJPS dalam hal: 1. FPJPS jatuh tempo dan tidak terdapat perpanjangan FPJPS, atau perjanjian FPJPS diakhiri; dan 2. saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melunasi imbalan dan/atau nilai pokok FPJPS. VIII.Biaya FPJPS Biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian FPJPS menjadi beban Bank penerima FPJPS, antara lain berupa: 1. imbalan FPJPS sampai dengan FPJPS dilunasi; 2. biaya pembuatan akta perjanjian FPJPS dan pengikatan agunan FPJPS; 3. biaya proses eksekusi agunan; 4. biaya transaksi, biaya kustodian dan biaya lainnya yang timbul atas pengagunan Sukuk Korporasi di otoritas penatausahaan surat berharga dimaksud; dan 5. biaya lainnya terkait pemberian FPJPS.
115
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
X. Lain-lain 1. Bank wajib memelihara dan menatausahakan daftar aset Pembiayaan beserta dokumen-dokumen pendukungnya yang sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai agunan FPJPS. 2. Bank wajib menyampaikan laporan daftar aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 setiap 6 (enam) bulan sekali yaitu untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember. 3. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan paling lambat tanggal 15 setelah posisi akhir bulan yang bersangkutan dalam bentuk hardcopy dan softcopy dengan menggunakan format excel. 4. Untuk pertama kali laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan untuk posisi Juni 2013 yang disampaikan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/45/DPNP/2013 tanggal 18 November 2013 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/36/DKBU tanggal 21 Desember 2012 perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat
Berlaku
:
Sejak tanggal ditetapkan
Ringkasan: 1. Penyempurnaan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilakukan dalam rangka: a. menindaklanjuti penyempurnaan organisasi satuan kerja Bank Indonesia, dan b. menindaklanjuti beberapa hal yang memerlukan penyesuaian pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 2. Penyempurnaan dilakukan untuk: a. Perubahan alamat penyampaian permohonan Uji Kemampuan dan Kepatutan New Entry. b. Penyempurnaan pengertian menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia. c. Penyempurnaan mekanisme pihak-pihak yang dikategorikan sebagai Pelaku Pembantu. d. Penyempurnaan Lampiran 1a, Lampiran 1b, Lampiran 2a, Lampiran 2b dan Lampiran 2c.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/46/DPSP Perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara
Berlaku
:
20 November 2013
Ringkasan : 10. Surat Edaran ini mencabut Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/12/DASP Tanggal 8 April 2013 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara.
116
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
11. Surat Edaran ini merupakan ketentuan yang diterbitkan sehubungan dengan penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing oleh Pemerintah sebagaimana Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.08/2013 Tentang Lelang Surat Utang Negara Dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing di Pasar Perdana Domestik. 12. Perubahan yang mendasar dalam Surat Edaran ini meliputi pengaturan pelaksanaan lelang dan penatausahaan SUN, yang semula hanya untuk SUN dalam mata uang Rupiah, diubah menjadi lelang dan penatausahaan SUN dalam mata uang Rupiah dan valuta asing; 13. Lelang SUN dalam valuta asing di pasar perdana domestik dapat diikuti oleh: a. Orang perseorangan Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi baik Indonesia ataupun asing, yang didirikan atau bertempat kedudukan di wilayah Republik Indonesia; b. Bank Indonesia; dan c. Lembaga Penjamin Simpanan. Pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memenuhi persyaratan administrasi; dan b. teregistrasi dalam daftar investor yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia; sebagaimana ketentuan Menteri Keuangan Republik Indonesia. 14. Pihak sebagaimana dimaksud pada butir 2.a mengikuti lelang melalui Dealer Utama yang ditunjuk oleh Menteri untuk mengikuti lelang dan sedang tidak dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti lelang. 15. Pelaksanaan Lelang SUN dalam valuta asing di Pasar Perdana domestik dilaksanakan melalui sarana Bloomberg dengan mekanisme sebagai berikut: a. Persiapan Peserta Transaksi menyampaikan paling banyak 2 (dua) nama pegawai yang ditunjuk untuk melakukan transaksi Lelang SUN dalam valuta asing di Pasar Perdana domestik dan menyampaikan updating data dimaksud kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat perubahan. b. Pengumuman lelang Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang (antara lain jenis dan seri SUN, tanggal lelang, target indikatif, tanggal setelmen, tanggal jatuh tempo, alokasi nonkompetitif, daftar peserta transaksi) melalui: 1) Bloomberg kepada pegawai yang telah ditunjuk;dan 2) Sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) dan/atau sarana komunikasi lain yang digunakan Bank Indonesia kepada Peserta Transaksi. c. Pengajuan penawaran 1) Peserta Transaksi mengajukan penawaran sebagai berikut: a) Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding); dan/atau b) Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non Competitive Bidding).
117
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/47/DSta Tanggal 2 Desember 2013 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/37/DSta tanggal 5 September 2013 perihal Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Berlaku
:
2 Desember 2013
Ringkasan : 1. Rincian Perubahan Pada Lampiran I – Pedoman Penyusunan LSMK Bulanan BUS dan UUS. tabel disini No
Form
Deskripsi Perubahan
Laporan Per Kantor 1.
Form 6 - Rincian Tagihan Spot dan Forward
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
2.
Form 7 - Rincian Surat Berharga yang Dimiliki
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
3.
Form 9 - Rincian Tagihan Akseptasi
Menghapus jenis agunan 300 (tidak adaa gunan)
4.
Form 10 - Rincian Piutang Murabaah
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
5.
Form 11 - Rincian Piutang Istishna'
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
6.
Form 12 - Rincian Piutang Qardh
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
7.
Form 13 - Rincian Pembiayaan Bagi Hasil
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
8.
Form 14 - Rincian Pembiayaan Sewa
• Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan) • Menambahkan kolom XXIX Uang Muka Ijarah yaitu sejumlah dana yang diterima oleh Bank dari nasabah penyewa dalam rangka pembiayaan ijarah
9.
Form 20 - Rincian Aset yang Diambil Alih (AYDA)
Menambahkan sandi kualitas AYDA, yaitu 2,3,4. Untuk AYDA yang waktu perolehannya sebelum tanggal 24 Maret 2011 dapat mengisi semua jenis kualitas (1 s.d 5). Sedangkan untuk AYDA yang waktu perolehannya mulai tanggal 24 maret 201 harus mengisi kualitas Lancar (sandi 1) atau Macet (sandi 5)
10.
Form 40 - Rincian Rupa-Rupa Liabilitas
Menambahkan sandi 59 - Uang Muka Ijarah dari Penyewa
118
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
No
Form
Deskripsi Perubahan
Laporan Perusahaan Anak 11.
Form 4 - Rincian Tagihan Spot dan Forward
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
12.
Form 5 - Rincian Surat Berharga Yang Dimiliki
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
13.
Form 6 - Rincian Tagihan Akseptasi
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
14.
Form 11 - Rincian Pembiayaan Sewa
Menambahkan kolom XXIX Uang Muka Ijarah
2. Rincian Perubahan Lampiran II – Petunjuk Teknis Kamus Data.
No
Bagian
Deskripsi Perubahan
1.
BAB VI
Menambahkan versi kamus data 1.1.0
2.
Lampiran 2
Menambahkan validasi antar form BSMS64 dan BSMS30
3.
Lampiran 3
Menambahkan base item di BSMS64, BSMA65, dan BSMK1
4.
Lampiran 4
BSMS5 Menambahkan filter pada validasi BS-IF_CekRKDVVls sehingga melakukan penjumlahan hanya pada jenis mata uang selain Rupiah (IDR) BSMS14 Menambahkan validasi : jika pada kolom Waktu perolehan (di176) terisi sebelum 24 Maret 2011, kolom Kualitas boleh diisi 1, 2, 3, 4, atau 5. Jika waktu perolehan tanggal 24 Maret 2011 dan setelahnya, maka hanya bisa diisi 1 atau 5. BSMS30 Menambahkan sandi 59 (Uang Muka Ijarah dari Penyewaan) pada tabel referensi untuk kolom Jenis Instrumen (si308). BSMS64, BSMS30 Jumlah nilai pada kolom 'Uang Muka Ijarah' pada BSMS64 harus sama dengan Jumlah nilai pada Kolom 'Jumlah Bulan Laporan' (mi313) BSMS30 dengan jenis instrumen 59 BSMS31 Menambahkan sandi 060 (Pinjaman Subordinasi Tanpa Jangka Waktu Kumulatif) pada tabel referensi Modal Pinjaman Syariah untuk Kolom 'Jenis Instrumen' (si314)
119
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
No
Bagian
Deskripsi Perubahan BSMS34 Menambahkan validasi: kolom status instrumen hanya boleh diisi jika jenis instrumen diisi Forward (sandi 90) pada BSMS34. BSMS48, BSMS50, BSMS52, BSMS54, BSMS56, BSMS58, BSMS62, BSMS64, BSMS35, BSMS36, BSMA49, BSMA51, BSMA53, BSMA57, BSMA59, BSMA63, BSMA61, BSMA65 Menghapus sandi 300 pada tabel referensi untuk kolom 'Jenis Agunan' (si27) BSMS37 Mengubah acuan kolom untuk validasi BS-IF_CekAHBPembiayaanHapusBuku dan BS-IF_CekAHBBlnHapusBuku dari kolom 10 Baki Debet Aset Produktif Dihapus Buku (mi387) ke kolom 8 Jumlah Aset Produktif dihapus buku (mi385) BSMG73 CekATMR : ATMR Resiko boleh diisi dengan nilai lebih besar atau sama dengan 0. (ATMR Resiko Kredit tetap harus > 0) Menambahkan validasi sehingga status kantor pelapor harus diisi "Kantor Pusat” (Sandi 1) untuk Form Info Pokok Gabungan BSMA51, BSMA53, BSMA55, BSMA63, BSMA65 Menghapus validasi TA_CekGolonganNasabah sehingga kolom Golongan Nasabah Tertagih (si421) dapat diisi sandi bank pelapor sendiri (Di dalam perusahaan anak) BSMS1, BSMS2, BSMS4, BSMS45, BSMA1, BSMA46, BSMG1, BSMG47, BSMK1, BSMK2 (Semua Closed Table) Menambahkan validasi untuk mengecek jumlah base harus sama jumlah base yang sudah ditetapkan. Semua Open Table Menambahkan validasi untuk mewajibkan RowID Seluruh Instance Menambahkan validasi untuk memastikan unit yang dilaporkan dalam rupiah (IDR) Menambahkan validasi untuk memastikan nama file instance dan nama scema yang digunakan sudah sesuai.
3. Pertanyaan yang berkaitan dengan pelaporan dapat disampaikan ke: a. Contact Center Bank Indonesia, Telp. 500131, email:
[email protected] b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri setempat
120
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/48/DSta Tanggal 2 Desember 2013 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum
Berlaku
:
16 Desember 2013
Ringkasan : 1. Menambahkan jenis surat berharga Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) dengan sandi 4 pada Form 301: Perdagangan Surat Berharga di Pasar Sekunder. 2. Khusus untuk jenis surat berharga SDBI, sandi bank pembeli (kolom 5) tidak boleh sama dengan sandi bank penjual (kolom 9) dan hanya boleh diisi dengan sandi bank di Indonesia.
Ringkasan Surat Edaran Nomor 15/49/DPKL tanggal 5 Desember 2013 Latar Belakang Pengaturan a. Surat Edaran (SE) Ekstern perihal LPIP diterbitkan sebagai ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.15/1/PBI/2013 tanggal 18 Februari 2013 tentang Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP); b. Dalam rangka mengukur kesiapan dan kesinambungan kegiatan pengelolaan LPIP, diperlukan adanya pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme perizinan LPIP, serta pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Bank Indonesia kepada LPIP untuk meyakini bahwa operasional LPIP dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan dan tujuan dari keberadaan LPIP. c. SE Ekstern perihal LPIP mencakup ketentuan pelaksanaan mengenai perizinan LPIP, operasional LPIP, pengawasan LPIP, penanganan keluhan, dan hak serta kewajiban LPIP. Substansi Pengaturan 1. LPIP hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin Bank Indonesia. Pemberian izin dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu: a. persetujuan prinsip; dan b. izin usaha. 2. Bentuk badan hukum LPIP adalah Perseroan Terbatas. 3. Pemegang saham LPIP wajib berbadan hukum Indonesia. Badan hukum Indonesia (BHI) pemegang saham LPIP dapat dimiliki oleh BHI atau BHI dengan badan hukum asing (BHA) secara kemitraan. 4. Perubahan modal disetor, pemegang saham, anggota direksi, dan/atau anggota dewan komisaris memerlukan persetujuan dari Bank Indonesia. 5. Setiap LPIP memiliki kewajiban untuk menjaga data, memiliki sistem yang andal, memiliki kebijakan dan prosedur operasional dalam pedoman tertulis, serta memiliki aturan main yang harus dipatuhi oleh setiap pihak yang menggunakan informasi perkreditan. 6. Pengaturan mengenai sumber dan alur data, biaya perolehan Data Kredit, perolehan data LPIP untuk kepentingan Bank Indonesia, dan pengelolaan data LPIP. 7. Pengaturan mengenai syarat, ketentuan, serta pihak yang diizinkan untuk dapat memperoleh informasi perkreditan dari LPIP.
121
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
8. Pengaturan mengenai pelaksanaan mekanisme penanganan dan penyelesaian pengaduan dari masyarakat dalam hal terdapat kesalahan atau ketidakbenaran data yang dikelola oleh LPIP. 9. Pengaturan mengenai pelaksanaan pengawasan oleh Bank Indonesia kepada LPIP untuk meyakini bahwa operasional LPIP sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, untuk menjaga kesinambungan operasional LPIP, serta menjaga kepentingan masyarakat terkait data yang dikelola oleh LPIP. 10.Pengaturan mengenai prosedur dan mekanisme penghentian kegiatan usaha LPIP.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/50/DPbS tanggal 30 Desember 2013 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/9/DPbS tanggal 7 April 2009 perihal Bank Umum Syariah
Berlaku
:
Tanggal 30 Desember 2013
Latar Belakang Pengaturan: Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/13/PBI/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah. Substansi Pengaturan: 1. Rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank (Kantor Wilayah, Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Kas, Kantor Fungsional dan Kantor Pelayanan Kas) serta rencana pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan Layanan Syariah Bank (LSB) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank disertai kajian. Cakupan kajian mengacu pada lampiran dari SE ini. 2. Kajian mengenai rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank serta rencana pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB untuk pertama kali disampaikan paling lambat tanggal 28 Maret 2014, dan untuk selanjutnya kajian dimaksud disampaikan bersamaan dengan penyampaian rencana bisnis Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai rencana bisnis Bank. 3. Permohonan izin atau laporan rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank serta rencana pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB dan/atau penyampaian laporan lainnya sebagaimana diatur dalam PBI diajukan atau disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung termasuk compliance chek list mengenai kesiapan operasional yang telah dinilai oleh satuan kerja kepatuhan Bank dengan menggunakan contoh format sebagaimana ditetapkan dalam SE ini. 4. Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank serta pelaksanaan pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB dilaporkan secara online oleh Bank kepada Bank Indonesia melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU).
122
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan Kantor Wilayah dan Kantor Fungsional Bank selama belum dapat dilaporkan secara online melalui LKPBU, wajib dilaporkan secara offline setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana ditetapkan dalam SE ini.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/51/DPbS tanggal 30 Desember 2013 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/28/DPbS tanggal 5 Oktober 2009 perihal Unit Usaha Syariah.
Berlaku
:
Tanggal 30 Desember 2013
Latar Belakang Pengaturan: Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/14/PBI/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah. Substansi Pengaturan: 5. Unit Usaha Syariah (UUS) dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan memenuhi persyaratan paling kurang: a. Bank Umum Konvensional (BUK) yang memiliki UUS telah mendapat persetujuan untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing; b. memiliki sistem informasi teknologi yang memadai; c. memiliki sumber daya manusia yang memahami aspek syariah terkait kegiatan usaha dalam valuta asing; dan d. memiliki daftar calon nasabah yang akan melakukan transaksi dalam valuta asing. 6. Rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS (Kantor Cabang Syariah, Kantor Cabang Pembantu Syariah, Kantor Kas Syariah, Kantor Fungsional Syariah, Kantor Pelayanan Kas Syariah) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis UUS disertai kajian. Cakupan kajian mengacu pada lampiran dari SE ini. 7. Kajian mengenai rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS untuk pertama kali disampaikan paling lambat tanggal 28 Maret 2014, dan untuk selanjutnya kajian dimaksud disampaikan bersamaan dengan penyampaian rencana bisnis BUK yang memiliki UUS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai rencana bisnis UUS. 8. Permohonan izin atau laporan rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS dan/atau penyampaian laporan lainnya sebagaimana diatur dalam PBI diajukan atau disampaikan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung termasuk compliance chek list mengenai kesiapan operasional yang telah dinilai oleh satuan kerja kepatuhan BUK yang memiliki UUS dengan menggunakan contoh format sebagaimana ditetapkan dalam SE ini.
123
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
9. Proses pencabutan izin usaha UUS atas permintaan BUK yang memiliki UUS dilakukan melalui 2 (dua) tahap yaitu persetujuan persiapan pencabutan izin usaha dan pencabutan izin usaha. Permohonan persetujuan persiapan pencabutan izin usaha dan permohonan pencabutan izin usaha UUS diajukan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen sebagaimana ditetapkan dalam SE ini. 10.Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS dilaporkan secara online oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU). 11.Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan Kantor Fungsional Syariah UUS selama belum dapat dilaporkan secara online, wajib dilaporkan secara offline setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya melalui LKPBU dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana ditetapkan dalam SE ini.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/52/DSta Tanggal 30 Desember 2013 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum
Berlaku : 3 Maret 2014
Ringkasan: 1. Menambahkan informasi yang harus disampaikan oleh bank kustodian mengenai rekening efek (securities account) Bukan Penduduk pada form 407: Posisi Saldo Harian Pinjaman Luar Negeri Jangka Pendek Bank. Informasi yang disampaikan meliputi 6 (enam) komponen yaitu: a. total RVP Bukan Penduduk untuk transaksi saham (sandi 80) b. total RVP Bukan Penduduk untuk transaksi obligasi korporasi Indonesia (sandi 81) c. total RVP Bukan Penduduk untuk transaksi Surat Berharga Negara (SBN) (sandi 82) d. total DVP Bukan Penduduk untuk transaksi saham (sandi 83) e. total DVP Bukan Penduduk untuk transaksi obligasi korporasi Indonesia (sandi 84) f. total DVP Bukan Penduduk untuk transaksi Surat Berharga Negara (SBN) (sandi 85) 2. Total transaksi sebagaimana dimaksud pada butir 1.a sampai dengan 1.f tersebut di atas tidak akan diperhitungkan sebagai komponen PLN Jangka Pendek Bank yang dikecualikan.
124