BULETIN
ISSN : 1693 - 3265 Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Kaitan Dengan Kegiatan Pengawasan dan Pengaturan Pedagang Valuta Asing Bukan Bank Penguatan Landasan Hukum Pengaturan dan Pengawasan Pedagang Valas Bukan Bank Pengaturan Perdagangan Valuta Asing Bukan Bank Era Baru Transfer Dana Di Indonesia: Shifting Ke Special Statute Jurisdiction? Resensi Buku: Judicial Review Di Mahkamah Agung RI (Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan) Cakrawala Hukum: Perjalanan Pembahasan RUU Transfer Dana Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2010 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, September - Desember 2010
Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Direktorat Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Ahmad Fuad, Christina Sani, Heru Pranoto, Agus Santoso Pemimpin Redaksi Agus Santoso Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Zulkarnain Sitompul, Wahyudi Santoso, Sudarmaji, Bambang Djauhari, Herminingsih, Rosalia Suci, Suprianto, Hari Sugeng Raharjo, Umi Widji. R Redaksi Pelaksana Arief. R. Permana, Gufron Baehaki, Hilman Tisnawan, Teddy Yusuf, Kesumawati Syafei, Rizal Wisnajaya, Kuwat Wijayanto Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH, LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH, LLM Dr. Inosentius Samsul, SH, LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH, MH Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email:
[email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. “Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi”
Halaman ini sengaja dikosongkan
Dari Meja Redaksi
Di awal tahun 2011 dengan semangat baru, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9 Nomor 1, Edisi JanuariApril 2011 kembali hadir dan menyapa pembaca sekalian. Buletin hadir secara khusus menyoroti mengenai pengaturan pedagang valuta asing. Sekalipun tidak sama fantastis dengan posisi money changer dalam sejarah moneter dunia, dalam korelasi dengan politik, ideologi, dan konspirasi kekuasaan, namun pengaturan perdagangan valas di Indonesia memerlukan perhatian khusus dan sungguh-sungguh. Pertama, karena potensi, pertumbuhan, manfaat langsungnya bagi pedagang, pengguna jasa, dan masyarakat, serta manfaat tidak langsungnya bagi negara; dan kedua, karena potensi gelapnya dari sisi kejahatan (sekurang-kurangnya penipuan dan potensinya sebagai media pencucian uang) dan pengaruhnya terhadap citra pasar valas bukan-bank di Indonesia. Dalam edisi kali ini Buletin juga menurunkan 3 artikel tentang pedanag valuta asing, yaitu : 1.
Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Kaitan Dengan Kegiatan Pengawasan Dan Pengaturan Pedagang Valuta Asing Bukan Bank, oleh Yunus Husein, SH. LLM, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
2.
Penguatan Landasan Hukum Pengaturan Dan Pengawasan Pedagang Valas Bukan Bank, Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM, Magister Hukum Bisnis, UGM.
3.
Penelitian Hukum Pengaturan Perdagangan Valuta Asing Bukan Bank, kerjasama Direktorat Hukum Bank Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Udayana;
Disamping itu, Buletin juga menampilkan artikel berkenaan dengan transfer dana yang saat ini pengaturannya telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR RI, yaitu tulisan Safari Kasiyanto, SH, LLM, Penasehat Hukum Bank Indonesia “Era Baru Transfer Dana di Indonesia” serta dalam cakrawala hukum “ Perjalanan RUU Transer Dana” Selanjutnya, sebagai referensi, redaksi juga telah menyajikan resensi buku “Judicial Review Di Mahkamah Agung RI (Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan), oleh Rizal Wisnajaya, SE, MH, Analis Hukum. Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan September sampai dengan Desember 2010, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Selamat membaca. Jakarta, Januari 2011
Redaksi
i
Halaman ini sengaja dikosongkan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Halaman Dari Meja Redaksi............................................................................................................................................
i
Daftar Isi..........................................................................................................................................................
iii
Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Kaitan Dengan Kegiatan Pengawasan dan Pengaturan Pedagang Valuta Asing Bukan Bank....................
1-9
Dr. Yunus Husein, SH, LLM Penguatan Landasan Hukum Pengaturan dan Pengawasan Pedagang Valas Bukan Bank..................................
11 - 15
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM Pengaturan Perdagangan Valuta Asing Bukan Bank..........................................................................................
17 - 47
Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH, MHum; Ida Bagus Putra Atmaja, SH, MH; Dewa Gede Rudy, SH, MH; Desak Putu Dewi Kasih, SH, MH. Era Baru Transfer Dana Di Indonesia: Shifting Ke Special Statute Jurisdiction?...................................................
49 - 57
Safari Kasiyanto, SH, LLM Resensi Buku: Judicial Review Di Mahkamah Agung RI (Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan)...................
59 - 60
Rizal Wisnajaya, SE, MH, Cakrawala Hukum: Perjalanan Pembahasan RUU Transfer Dana......................................................................................................
61 - 63
Redaksi Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2010.........
65 - 67
Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia) Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, September - Desember 2010..................................................................
69 - 78
Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia)
iii
Halaman ini sengaja dikosongkan
Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Kaitan Dengan Kegiatan Pengawasan dan Pengaturan Pedagang Valuta Asing Bukan Bank Oleh: Dr. Yunus Husein, SH, LLM1
I.
PENDAHULUAN
money), dengan alasan. Pertama, bila mengejar pelakuknya relatif lebih sulit dan beresiko. Kedua,
Sebagaimana dimaklumi bahwa UU No. 8 Tahun 2010
bila dibandingkan dengan mengejar pelaku akan
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
lebih mudah dengan mengejar hasil dari kejahatan,
Pencucian Uang (selanjutnya di sebut UU PPTPPU) telah
Ketiga, hasil kejahatan merupakan darah yang
disahkan dan mulai berlaku sejak tanggal 22 Oktober
menghidupi tindak pidana itu sendiri (live bloods of
2010. UU PPTPPU ini antara lain disusun berdasarkan
the crime). Bila hasil kejahatan ini dikejar dan disita
realitas (yuridis), bahwa pencegahan dan pemberantasan
untuk negara dengan sendirinya akan mengurangi
TPPU memerlukan landasan hukum yang kuat untuk
tindak kejahatan itu sendiri.
menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum, serta penelusuran dan pengembalian harta
Secara sederhana pencucian uang merupakan suatu
kekayaan hasil tindak pidana. Dengan landasan hukum
perbuatan memindahkan, menggunakan atau
yang kuat, maka harta kekayaan hasil tindak pidana
melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu
yang dikuasai oleh para pelaku atau organisasi kejahatan
tindak pidana yang kerap dilakukan oleh criminal
dapat disita dan dirampas sehingga dengan sendirinya
organization, maupun individu yang melakukan
dapat menurunkan tingkat kriminalitas.
tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak
Selain itu, UU PPTPPU juga dibentuk dengan memperhatikan
pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan,
kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar
menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang
internasional yang telah berkembang dan berubah
yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut,
(sosiologis). Revisi atas UU TPPU dilakukan untuk
sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang
memastikan, bahwa regulasi yang ada dapat efektif
yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut
dalam membantu mewujudkan stabilitas perekonomian
berasal dari kegiatan yang ilegal. Adapun yang
dan menjaga integritas lembaga keuangan serta mampu
melatarbelakangi para pelaku pencucian uang
mendukung upaya penegakan hukum.
melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu
Dalam makalah ini akan diulas mengenai pelaksanaan
dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime,
UU PPTPPU dalam kaitan dengan kegiatan pengaturan
memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang
dan pengawasan PVA Bukan Bank.
dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelakunya, serta melakukan
II. PEMBAHASAN
reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah.
A. Rezim Anti Pencucian Uang Proses pencucian uang dapat dikelompokkan pada Secara konsep, pendekatan rezim anti pencucian
tiga kegiatan, yakni placement, layering dan
uang adalah mengejar uang atau harta kekayaan
integration.
yang diperoleh dari hasil kejahatan (follow the
a. Placement merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan misalnya dengan pemecahan sejumlah besar
1
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
1
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak
B. Ruang Lingkup Perubahan UU PPTPPU
mencolok untuk ditempatkan dalam sistem keuangan baik dengan menggunakan rekening
UU PP TPPU mengatur hal-hal baru dengan lingkup
simpanan bank atau dipergunakan untuk
atau materi muatan yang diatur antara lain:
membeli sejumlah instrumen keuangan misalnya
a. Penyempurnaan kriminalisasi perbuatan
traveller cheques yang selanjutnya didepositokan di rekening bank yang berada di lokasi lain.
pencucian uang. b. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif, dimana sanksi pidana
b. Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil
dijatuhkan berupa pidana penjara kumulatif
tindak pidana dari sumbernya yaitu aktivitas
dengan pidana denda. Khusus bagi korporasi,
kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan
selain pidana pokok berupa denda, dapat
transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses
dijatuhkan pidana tambahan. Apabila Pihak
pemindahan dana dari beberapa rekening atau
Pelapor tidak menyampaikan laporan ke PPATK
lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat
akan dikenakan sanksi administratif oleh
lainnya melalui serangkaian transaksi yang
Lembaga Pengawas dan Pengatur. PPATK dapat
kompleks yang didesain untuk menyamarkan/
memberikan sanksi administratif dalam hal
menyembunyikan sumber uang “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui
Lembaga Pengawas dan Pengatur belum dibentuk. c. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali
pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-
Pengguna Jasa atau Customer Due
rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan
Delligence (CDD). Dalam UU ditentukan, bahwa
memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
ketentuan mengenai penerapan prinsip mengenali pengguna jasa dilakukan oleh
c. Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu
Lembaga Pengawas dan Pengatur, namun dalam
landasan sebagai suatu ’legitimate explanation'
hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan
bagi hasil kejahatan. Disini uang yang ‘dicuci’
Pengatur, maka ketentuan mengenai prinsip
melalui placement maupun layering dialihkan ke
mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya
dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak
diatur dan dilakukan oleh PPATK;
tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas
d. Perluasan Pihak Pelapor, dimana pihak pelapor
kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari
meliputi Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan
uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang
Penyedia Barang dan/atau Jasa lainnya (PBJ);
telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi
e. Perluasan pelaporan oleh PJK, dimana selain
keuangan dengan bentuk yang sejalan dengan
pelaporan LTKM dan LTKT, PJK juga wajib
aturan hukum.
melaporkan Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri;
Kesuksesan pembangunan rezim anti pencucian
dimana pengawasan kepatuhan atas kewajiban
PPATK namun akan berjalan secara efektif bila aparat
pelaporan bagi Pihak Pelapor dilakukan oleh
penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan,
Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau
Pengadilan, Bea dan Cukai, para regulator seperti
PPATK. Namun dalam hal pengawasan
Bank Indonesia, Bapepam-LK serta Penyedia Jasa
kepatuhan atas kewajiban pelaporan tidak
Keuangan (PJK) seperti industri perbankan, PVA,
dilakukan atau belum terdapat Lembaga
asuransi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun,
Pengawas dan Pengatur, pengawasan kepatuhan
perusahaan efek, pengelola reksadana, media massa dan masyarakat bekerjasama dan memberikan
2
f. Penataan mengenai pengawasan kepatuhan,
uang di Indonesia, tidak tergantung semata kepada
atas kewajiban pelaporan dilakukan oleh PPATK; g. Pemberian kewenangan kepada PJK untuk
kontribusi yang positif bagi tegaknya rezim anti
menunda transaksi, paling lama 5 (lima) hari
pencucian uang di Indonesia.
kerja karena Pengguna Jasa melakukan Transaksi
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
yang patut diduga menggunakan Harta Kekayaan
dan LTKT kepada PPATK terus menunjukkan
yang berasal dari hasil tindak pidana, memiliki
peningkatan dari tahun ke tahun. Meningkatnya
rekening untuk menampung Harta Kekayaan
komitmen dan kemampuan PJK dalam mendeteksi
yang berasal dari hasil tindak pidana, atau
setiap transaksi keuangan yang mencurigakan dan
diketahui dan/atau patut diduga menggunakan
melaporkannya kepada PPATK tentu saja patut untuk
dokumen palsu;
diapresiasi. Namun dari hasil audit yang telah
h. Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi
dilakukan oleh PPATK, masih ditemukan adanya PJK PVA yang masih belum memiliki tingkat kepatuhan yang baik. Hal ini terlihat dari hasil audit kepatuhan yang telah dilakukan PPATK periode tahun 2007
C. Tugas dan Wewenang PPATK
sampai dengan November 2010 dengan rincian:
Dalam ketentuan Pasal 39 UU PPTPPU dijelaskan Tahun
Jumlah PVA Yang Di Audit
melakukan pengawasan terhadap kepatuhan
2007
1
Rendah
pihak Pelapor dengan kewenangan seperti:
2008
12
10 PVA-Rendah 1 PVA-Sedang 1 PVA-Tinggi
2009
17
15 PVA-Rendah 2 PVA-Sedang
Nov’ 2010
13
10 PVA-Rendah 1 PVA-Sedang
bahwa PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas TPPU. Dalam melaksanakan tugas
Hasil Audit (Tingkat Kepatuhan)
Keterangan
tersebut, PPATK mempunyai fungsi antara lain
menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi pihak pelapor, menetapkan kategori Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana Pencucian Uang, melakukan audit kepatuhan atau audit khusus, menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang
2 PVA dalam proses
melakukan pengawasan kepada Pihak Pelapor, memberikan peringatan kepada Pihak Pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan, merekomendasikan
Terkait dengan pelaporan oleh PJK PVA, jumlah LTKM
kepada lembaga yang berwenang mencabut ijin
yang disampaikan PJK PVA kepada PPATK telah
usaha pihak pelapor, dan menetapkan ketentuan
meningkat pesat selama beberapa tahun terakhir.
pelaksanaan prinsip mengenali pengguna jasa bagi
Rincian jumlah PVA pelapor dan LTKM yang telah
pihak pelapor yang tidak memiliki Lembaga Pengawas
diterima oleh PPATK dari PVA sebagaimana tercantum
dan Pengatur.
dalam table di bawah ini :
D. Pelaporan PVA dan Statistik Tahun
Jumlah PVA Pelapor
Jumlah LTKM
mempunyai kewajiban untuk menyampaikan
2006
15
Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM)
2007
20
134
dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) senilai
2008
35
2.588
2009
49
14.813
Nov’ 2010
58
21.348
Dalam melaksanakan tugasnya selama ini, PPATK banyak dibantu oleh PJK, yang sesuai UU PPTPPU
Rp. 500.000.000,- atau lebih serta Laporan Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri
33
dalam hal dan menurut cara yang telah diatur dalam undang-undang serta peraturan yang berlaku.
Sedangkan jumlah statistik Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) yang diterima oleh PPATK
Berdasarkan data statistik pelaporan yang ada di
dari PVA sampai dengan November 2010 adalah
PPATK, Kepatuhan PJK dalam menyampaikan LTKM
total sebesar 9.587 laporan dari 95 PVA.
3
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Meskipun jumlah angka pelaporan LTKM dari PVA
•
terus meningkat namun hal ini belum diikuti dengan
Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa.
peningkatan dari sisi kualitas pelaporan. Berdasarkan fakta tersebut maka perlu adanya edukasi,
Sesuai Pasal 18 ayat (5) UU PPTPPU, prinsip mengenali
pembinaan, dan pengawasan secara lebih intensif
Pengguna Jasa sekurang-kurangnya memuat:
terhadap PVA.
a. identifikasi Pengguna Jasa; b. verifikasi Pengguna Jasa; dan
E. Lembaga Pengawas dan Pengatur dan Prinsip
c. pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.
Mengenali Pengguna Jasa Prinsip Mengenal Nasabah/KYC/CDD adalah prinsip UU PPTPPU mendefinisikan Lembaga Pengawas dan
yang diterapkan oleh PJK untuk mengenal dan
Pengatur (LPP) sebagai lembaga yang memiliki
mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan
kewenangan pengawasan, pengaturan, dan/atau
transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap
pengenaan sanksi terhadap Pihak Pelapor (Vide Pasal
transaksi yang mencurigakan kepada PPATK. Prinsip
1 angka 17).
KYC/penerapan CDD pada dasarnya bertujuan untuk: 1. Membantu PJK agar dapat mendeteksi sesegera
Ketentuan terkait dengan prinsip mengenali
mungkin setiap aktivitas yang mencurigakan
Pengguna Jasa di atur secara khusus dalam Pasal 18
yang dilakukan nasabah.
s/d 22 UU PPTPPU. Dalam Pasal 18 UU PPTPPU di
2. Menegakkan prinsip kehati-hatian.
atur mengenai LPP dalam kaitan dengan prinsip
3. Mengurangi risiko dimanfaatkannya bank sebagai
mengenali Pengguna Jasa yaitu:
sarana untuk melakukan aktivitas kejahatan
a. LPP menetapkan ketentuan prinsip mengenali
4. Melindungi reputasi PJK.
pengguna jasa b. Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip
Dengan kata lain, Penerapan KYC/CDD di PJK
mengenali Pengguna Jasa yang ditetapkan oleh
merupakan salah satu pondasi dasar dalam
setiap LPP minimal dengan mengacu pada
mendukung efektifitas penerapan Rezim Anti
indiaktor yang telah ditetapkan UU PP TPPU.
Pencucian Uang di Indonesia khususnya dalam
c. LPP wajib melaksanakan pengawasan atas
mendeteksi adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan2 di PJK.
kepatuhan Pihak Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa d. Dalam hal belum terdapat LPP, ketentuan
Bank Indonesia (BI) selaku regulator dan pengawas
mengenai prinsip mengenali Pengguna Jasa dan
dari industri PVA telah mengeluarkan peraturan
pengawasanya diatur dengan Peraturan Kepala
terkait dengan pelaksanaan prinsip mengenali
PPATK.
pengguna jasa khusus untuk PVA Bukan Bank yaitu Peraturan Bank Indonesia No 12/3/PBI/2010 tentang
Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna
Penerapan Program Anti Pencucian dan
Jasa dilakukan pada saat (vide Pasal 18 ayat (3) ):
Pencegahan Pendanaan Terorisme Pada PVA
•
Bukan Bank/PBI APU dan PPT. Selanjutnya telah
melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa;
•
terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
•
terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau
4
2
Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan; transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor; transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari ahsil tindak pidana (lihat ketentuan Pasal 1 angka 5 UU PP TPPU). )
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
diterbitkan pula Surat Edaran (SE) terkait dengan
Dengan demikian maka BI selaku LPP dari PVA
PBI APU dan PPT dimaksud yaitu SE No.12/10/DPM
memiliki tugas baru yaitu melakukan pengawasan
Tahun 2010. Ruang lingkup dalam PBI ini telah
kepatuhan secara menyeluruh terhadap PJK PVA
menyesuaikan dengan ketentuan standard
untuk memastikan kepatuhan PVA atas kewajiban
internasional yang berlaku. Dalam PBI ini
pelaporan menurut UU PPTPPU dengan mengeluarkan
dipergunakan istilah baru yaitu Customer Due
ketentuan atau pedoman pelaporan, melakukan
Dilligence (CDD) dalam KYC untuk identifikasi,
audit Kepatuhan, memantau kewajiban pelaporan
verifikasi dan pemantauan nasabah.
dan mengenakan sanksi (vide Pasal 1 angka 18).
F. Penundaan Transaksi oleh PVA
UU PPTPPU mengatur pula bahwa terdapat hal-hal yang wajib dilakukan BI terkait dengan pelaksanaan
Sesuai dengan Pasal 26 UU PPTPPU, PJK dapat
pengawasan kepatuhan yaitu:
melakukan penundaan Transaksi paling lama 5 (lima)
a. menyusun tata cara pelaksanaan pengawasan
hari kerja terhitung sejak penundaan transaksi dilakukan. Penundaan Transaksi dilakukan dalam hal Pengguna Jasa: a. melakukan Transaksi yang patut diduga menggunakan Harta Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana; b. memiliki rekening untuk menampung Harta Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana; atau c. diketahui dan/atau patut diduga menggunakan Dokumen palsu.
kepatuhan sesuai dengan kewenangannya (vide Pasal 31 ayat (4)); b. menyampaikan hasil pelaksanaan pengawasan kepatuhan kepada PPATK (vide Pasal 31 ayat (3)); c. menyampaikan temuan Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) yang tidak dilaporkan oleh PVA lepada PPATK (vide Pasal 32); d. memberitahukan kepada PPATK setiap kegiatan atau transaksi pihak pelapor yang diketahuinya atau patut diduganya dilakukan baik langsung maupun tidak langsung dengan tujuan
Dengan adanya pengaturan ini, maka peran PJK
melakukan TPPU (Pasal 33).
khususnya PVA dapat lebih efektif dalam membantu mencegah terjadinya proses pencucian uang
H. Permasalahan Terkait PVA Bukan Bank
khususnya dalam mengantisipasi adanya transaksi jual beli valas yang menggunakan Harta Kekayan
1. Penggunaan PVA oleh sebagai salah satu tempat
yang berasal dari hasil tindak pidana dan/atau
untuk memfasilitasi proses TPPU antara lain
menggunakan Dokumen palsu. Namun demikian,
terlihat dari hasil riset PPATK periode tahun
PVA perlu menyiapkan prosedur dan indikator-
2009 dimana teridentifikasi kasus terkait
indikator transaksi yang memungkinkan PVA
dengan beberapa kasus yang melibatkan
melakukan penundaan transaksi sesuai dengan
PVA sebagai berikut:
ketentuan yang berlaku. a. PVA yang memberikan fasilitas transfer dari G. Pengawasan Kepatuhan
dan atau ke luar negeri (kegiatan usaha pengiriman uang/KUPU) kepada nasabah
Berdasarkan Pasal 31 UU PPTPPU, Pengawasan
tanpa memiliki ijin untuk melakukan kegiatan
Kepatuhan atas kewajiban pelaporan bagi Pihak
KUPU dari Bank Indonesia .
Pelapor dilakukan oleh LPP dan/atau PPATK. Saat ini yang menjalankan fungsi LPP terhadap PVA dilakukan
Kasus : Penggunaan rekening TKI di Luar
oleh BI. Hal ini memberikan dampak terhadap
Negeri untuk transaksi narkotika melalui
beralihnya pengawasan kepatuhan yang semula
Pedagang Valuta Asing (PVA) dan Kegiatan
dilakukan oleh PPATK menjadi dilakukan oleh BI.
Usaha Pengiriman Uang (KUPU)
5
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Para pelaku menggunakan PVA dan jasa
tidak terdeteksi adanya aliran dana keluar/
pengiriman uang baik yang ada di luar negeri
masuk ke/dari luar negeri. Dana dari hasil
maupun dalam negeri yang diduga dimiliki
tindak pidana telah berhasil ”dicuci” dan
oleh sindikasi. Proses diawali dengan adanya
seolah-olah telah bersih karena dikirimkan
setoran dana oleh TKI-TKI di luar negeri
ke rekening pihak penerima dana di negara
untuk keluarga di dalam negeri. KUPU/PVA
setempat. Pihak penerima dana tersebut
di luar negeri mengirimkan Email/surat ke
tidak menyadari bahwa sebenarnya uang
KUPU/PVA dalam negeri yang berisi daftar
yang dikirimkan dari penyelenggara KUPU
nama dan nominal penerimaan kiriman dana
adalah uang dari setoran para pelaku tindak
dari luar negeri, sedangkan uang tidak
pidana.
dikirim. Disamping itu, sindikat di luar negeri diduga juga menginstruksikan ke sindikat
Dari hasil analisis rekening C teridentifikasi
dalam negeri untuk menyetorkan sejumlah
bahwa rekening tersebut pernah menerima
uang (hasil psikotropika) ke PVA/KUPU dalam
aliran dana dalam jumlah total besar (sekitar
negeri (PVA/KUPU B). Dana tersebut oleh
Rp 40 M) dari 3 (tiga) bandar psikotropika
KUPU B dikirimkan ke keluarga TKI di
(D,E dan F) yang selanjutnya dana tersebut
Indonesia. Dana dari TKI di Hong Kong tetap
selalu dikirimkan kembali ke banyak rekening
berada di Hong Kong dan diserahkan kepada
pihak lain di duga sebagai rekening sanak
sindikat dari para pelaku tindak pidana yang
keluarga para TKI di Hong Kong.
berdomisili di Hong Kong. Dengan demikian Skema Kasus
TKI
Hongkong
TKI
KUPU
TKI
A
TKI
Sindikat
Indonesia
Keluarga TKI C
B
Keluarga TKI
D
E
F Keluarga TKI
Bandar Psikotropika
6
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Faktor yang mempengaruhi terjadinya
ke rekening salah satu pengurus PVA
modus tindak pidana di atas:
XYZ. Selanjutnya pada hari yang sama
1. Melakukan kegiatan usaha pengiriman
dana tersebut di ambil secara tunai dalam
uang relatif mudah.
bentuk valuta asing (USD 2.000.000) di
2. Belum adanya mekanisme pengawasan
kantor PVA XYZ. Status Y terakhir adalah
yang efektif atas perijinan PVA yang
DPO.
melakukan KUPU. 3. Meminimalisir pendeteksian hasil tindak
Faktor yang mempengaruhi terjadinya
pidana dengan menyalahgunakan
modus tindak pidana di atas:
transaksi legal yang dilakukan oleh
1. kurangnya ketelitian ataupun kehati-
nasabah.
hatian PJK Bank dalam internal kontrol
4. Pelaksanaan prinsip mengenali Pengguna
2. Pelaksanaan prinsip mengenali Pengguna
Jasa belum secara efektif diterapkan oleh
Jasa belum secara efektif diterapkan oleh
seluruh PVA
seluruh PVA sehingga PVA tidak mengklarifikasi lebih lanjut mengenai
b. Penggunaan PVA untuk memfasilitasi TPPU
sumber dana dan underlying transaksi.
dengan TP Asal Penggelapan dan Korupsi. Dana hasil penggelapan dan korupsi
2. Terdapat beberapa laporan yang disampaikan
ditransfer ke rekening PVA dalam rangka
oleh PJK Bank yang mengindikasikan beberapa
mempermudah pembawaan dana dan
nasabah perorangan diduga melakukan kegiatan
mempersulit pelacakan pihak yang terlibat
PVA tanpa memperoleh izin dari Bank Indonesia.
langsung dengan TP dimaksud mengingat belum efektifnya pelaksanaan prinsip
III. PENUTUP
mengenal pengguna jasa, digunakannya identitas palsu serta penggunaan pihak
Dengan diberlakukannya UU PPTPU maka BI yang saat
ketiga dalam penarikan dana.
ini menjalankan fungsi pengawasan dan pengaturan terhadap PJK berbentuk PVA memiliki peran yang sangat
•
Tindak Pidana Korupsi/Penyuapan
penting khususnya dalam konteks penerapan prinsip
X seorang anggota DPR beberapa kali
mengenali Pengguna Jasa dan pengawasan kepatuhan
melakukan penarikan dana dalam valuta
terkait pelaporan PVA kepada PPATK. Keberhasilan BI
asing pada PVA ABC dimana sumber
dalam melakukan fungsi pengawasan dan pengaturan
dana berasal dari transfer yang dilakukan
terhadap PVA tentunya dapat memberikan dampak yang
oleh pengusaha. Penarikan dana
positif terhadap penerapan rezim anti pencucian uang
beberapa kali dilakukan oleh pihak ketiga
di Indonesia.
yang merupakan kuasa dari X. Mekanisme
•
ini dilakukan untuk mempersulit
Sehubungan dengan implementasi UU PPTPPU dan guna
penelusuran asal dana yang mengkaitkan
mendukung tugas BI selaku LPP terhadap PVA agar dapat
X dengan tindak pidana. Pengusaha
berjalan dengan efektif, berikut disampaikan beberapa
tersebut diduga melakukan penyuapan.
rekomendasi :
Tindak Pidana Penggelapan
1. Meningkatkan koordinasi termasuk tukar menukar
Y seorang pegawai pada Bank ABC
informasi antara BI sebagai LPP dari PVA Non Bank
melakukan tindak pidana penggelapan
dan PPATK dalam rangka pengawasan kepatuhan
dengan cara mengambil dana beberapa
pelaksanaan UU PP TPPU. Hal ini sangat diperlukan
nasabah pada hari yang sama dengan
mengingat adanya pemindahan kewenangan
total jumlah Rp 20 Milyar melalui transfer
pelaksanaan pengawasan kepatuhan PVA yang
7
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
semula dilakukan oleh PPATK kepada LPP dalam hal ini BI antara lain terkait dengan: •
Dari sisi BI : hasil pengawasan terhadap PVA antara lain hasil audit Kepatuhan yang dilakukan oleh BI termasuk uji petik transaksi yang wajib dilaporkan oleh PVA;
•
Dari sisi PPATK sebagai pihak yang menerima dan menganalisis laporan: penilaian kepatuhan PVA dalam pelaporan antara lain statistik, kualitas pelaporan, dan pemenuhan permintaan PPATK.
2. BI lebih meningkatkan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan PVA secara komprehensif antara lain terkait dengan perijinan bagi PVA yang melakukan kegiatan usaha pengiriman uang. 3. BI diharapkan dapat meningkatkan koordinasi antara pengawas PVA, pengawas KUPU dan pihak yang melakukan pengawasan terhadap perbankan khususnya terkait dengan hasil pengawasan nasabah bank yang terindikasi melakukan usaha PVA dan kegiatan usaha pengiriman uang tanpa memiliki ijin resmi. 4. BI diharapkan dapat mengintensifkan edukasi (pelatihan/training) dan pembinaan terhadap petugas PVA terkait dengan penerapan UU PP TPPU antara lain penerapan prinsip pengguna jasa dan pelaporan LTKM/LTKT/Transfer Dana. 5. Mengharmonisasikan ketentuan yang terdapat dalam UU PPTPPU dengan peraturan yang dikeluarkan oleh BI khususnya terkait dengan PVA.
8
Referensi
Bank Indonesia, 2002, Mengurai Benang Kusut BLBI, Bank Indonesia. Lash, Nicholas, A.,1987, Banking Law and Regulations: An Economis Perspentive, Prentice-Hall Inc, USA. Mintorahardjo, Sukowaluyo, 2001., BLBI Simalakama, Resi, Jakarta. Macey, Jonathan, R and Miller, Geoffrey, P., 1992, Banking Law and Regulation, Litle Brown Company, Boston, Toronto, London. Rahbini, Didik J; Suwidi Tono, 1987, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, PT. Mardi Mulyo, Jakarta. UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. UU NO. 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia.
9
Halaman ini sengaja dikosongkan
Penguatan Landasan Hukum Pengaturan dan Pengawasan Pedagang Valas Bukan Bank Oleh: Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM
A. Latar Belakang
rupiah dan Pasal 7 UUBI dikaitkan dengan kewenangan BI dalam bidang moneter, maka dapat disimpulkan
Peraturan Bank Indonesia No.9/11/PBI/2007 Tentang
bahwa kewenangan demikian itu ada pada BI.
Pedagang Valas, selanjutnya disingkat PBI No.9/11/PBI/2007, mengantur bahwa Bank Indonesia,
Cara rujukan demikian, ternyata telah merupakan
selanjutnya disingkat BI memiliki kewenangan : Izin
masalah hukum yang pertama berkaitan dengan
usaha, pengaturan, pengawasan dan pemberian sanksi
kewenangan BI dalam mengatur PVA. Benarkah BI
serta pencabutan izin usaha Pedagang Valuta Asing,
memiliki kewenangan demikian ?. Jika benar,
selanjutnya disingkat PVA atau biasa disebut Money
bagaimanakah luasan cakupan kewenangan itu ?.
Changer. Pertumbuhan PVA terjadi sangat pesat, namun
Masalah ini merupakan pendifinisian lingkup dan
dari aspek organisasi dan keuangan, masih memiliki
cakupan materi kewenangan BI dalam pengaturan PVA.
berbagai kendala terkait dengan aspek hukum atau
Sementara itu, pengaturan Valas jang telah dilakukan
peraturan per-undang-undangan, penerapan Good
melalui beberapa Undang-undang atau Rancangan
Corporate Governance, disingkat GCG dan implementasi
Undang-undang seperti : Undang-undang Mata Uang,
kebijakan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Unddang-undang Transfer Dana, Undang-undang Tindak
Pendanaan Teroris, disingkat APU & PPT .
Pidana Pencucian Uang UUTPPU) , Undang-undang Lalu Lintas Devisa dan UUBI.
Amanat yang jelas dan tegas kepada BI sebagai otoritas PVA pernah ada di Undang - Undang No.32 Tahun 1964
Luasan jalur kewenangan pengaturan itu melahirkan
Tentang Lalu Lintas Devisa, disingkat UU No.32 tahun
masalah hukum yang kedua dalam pengaturan PVA
1964 jo Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1965.
yaitu : masalah keakurasian pelingkupan materi
Selanjutnya dengan keluarnya Undang- Undang No.24
kewenangan BI?. Berdasarkan UUBI kewenangan BI
Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai
untuk menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
Tukar, selanjutnya disingkat UU No.24 Tahun 1999 , UU
didasarkan pada atribusi Pasal ataupun penafsiran dari
ini tidak lagi mencantumkan kewenangan BI untuk
atribusi kewenangan di bidang moneter, perbankan
melakukan pengaturan dan pengawasan PVA, sehingga
dan sistem pembayaran. Pertanyaan yang muncul di
terjadi missing link antara aspek legal dan kewenangan
sini adalah apakah materi muatan pengaturan PVA
BI untuk mengatur dan mengawasi PVA.
merupakan materi muatan pada tingkat Undang-undang (UU) atau PBI ?. Memperhatikan kandungan materi
Saat ini, pengaturan yang dijadikan rujukan BI adalah
pengaturan PVA yang meliputi kelembagaan perizinan
Pasal 2 dan Pasal 7 Undang- Undang No.23 Tahun 1999
dan pengawasan , maka dapat saja ditafsirkan bahwa
jo Undang-Undang No.6 Tahun 2009 Tentang Bank
pengaturan PVA merupakan pengaturan pada tingkat
Indonesia, selanjutnya disingkat UUBI. Ketentuan tersebut
UU sehingga perlu secara eksplisit diatur dalam UU.
tidak secara eksplisit menentukan posisi dan fungsi kewenangan BI dalam pengaturan dan pengawasan
Namun demikian penafsiran demikian harus sesuai
PVA. Secara a contrario, oleh karena rupiah merupakan
dengan kaedah-kaedah perancangan peraturan per-
legal tender dalam seluruh transaksi yang dilakukan di
undang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-
wilayah Republik Indonesia, maka BI memiliki kewajiban
undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
untuk menyediakan prasarana bagi penukaran uang
Peraturan Perundang-undangan. Sementara itu, di sisi
11
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
lain fakta menunjukkan semakin meningkatnya tindak
Politik hukum pembaruan hukum ekonomi seharusnya
pidana yang dilakukan oleh dan/atau melalui PVA terkait
mengarahkan terciptanya suatu keseimbangan antara
kejahatan pencucian uang, sehingga diperlukan
kepentingan internasional dan nasional, kepentingan
pengaturan dan pengawasan terhadap PVA tersebut.
pemodal dengan kepentingan buruh dan kepentingan
Di satu sisi, UUTPPU mengatur bahwa pengawasan
masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Pembaruan
kepatuhan atas kewajiban pelaporan bagi Pihak Pelapor
hokum ekonomi yang dituju harus mampu menciptakan
-- termasuk PVA -- dilakukan oleh Lembaga Pengawas
tetap terjaganya persatuan dan mendorong pertumbuhan
dan Pengatur dan/atau PPATK , berdasarkan ketentuan
ekonomi dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Pasal 31 (1) UUTPPU.
Untuk itu hukum yang diciptakan harus memenuhi unsur-unsur stability, predictability dan fairness. Trend
B. Rumusan Permasalahan
demikian tentunya erat kaiatannya dengan pengaturan tentang PVA. Tukar menukar nilai mata uang sangat
Bertitik tolak dari uraian latar belakang masalah
erat kaitannya dengan kegiatan ekonomi, perdagangan
sebagaimana dikemukakan di atas, beberapa rumusan
global dan investasi. Oleh sebab itu pengaturan PVA
permasahan yang akan dibahas dalam tulisan berikut
layak untuk mempertimbangkan unsur stability,
adalah sebagai berikut :
predictability dan fairness.
1. Bagaimanakah perkembangan politik hukum Indonesia dalam pengaturan PVA dan bagaimana
Terkait apakah BI secara eksplisit mempunyai kewenangan
konstrtuksi politik hukum Indonesia dalam
mengatur PVA, dikaitkan dengan Pasal 2 dan Pasal 7
pengaturan PVA dalam menyeimbangkan
UUBI yaitu tentang pengaturan rupiah sebagai alat tukar
kepentingan nasional dengan tuntutan liberlisasi
di Indonesia dan kewenangan kebijakan monter, menurut
transaksi valas ?.
hemat penulis jawabannya adalah bahwa memang tidak
2. Apakah dasar kewenangan BI dalam mengatur PVA?. Bagaimanakah substansi dan luasan cakupannya ?. 3. Apakah kewenangan BI dalam mengatur dan
secara eksplisit kewenangan itu ada pada BI. Jika digunakan penafsiran secara luas bahwa wewenang pengaturan kebijakan moneter dan nilai tukar rupiah
mengawasi PVA juga dapat dilakukan karena amanat
yang ada pada BI berdasarkan UUBI tersirat adanya
UU lain seperti UUTPPU ?.
wewenang mengatur tentang PVA, hemat penulis masih
4. Bagaimanakah konstrtuksi norma pengaturan PVA?.
dapat menimbulkan perdebatan.
5. Mengapa PVA perlu diatur dalam Undang-undang?. 6. Apakah instrumen Hukum Pidana saat ini telah
Pasal 2 UUBI adalah pasal tentang penegasan bahwa
dapat mengakomodir tindak pidana yang dilakukan
uang rupiah adalah alat pembayaran sah di NKRI. Pasal
oleh dan melalui PVA, serta upaya penegakan
7 UUBI adalah pasal tentang tujuan BI yang satu
hukumnya ?.
diantaranya adalah melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan dan harus
C. Pembahasan
mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Kedua Pasal tersebut menurut
Ridwan Khairandy (2007 : 79) mengatakan bahwa
hemat penulis sangat riskan penolakan jika dijadikan
globalisasi sistem keuangan dunia yang kemudian diikuti
dasar hukum rujukan kewenangan BI mengatur PVA.
globalisasi ekonomi, telah mengakibatkan globalisasi
Mengapa demikian, karena kaedah tersebut adalah
hukum (ekonomi) . Bagi Indonesia globalisasi menuntut
kaedah yang sudah jelas yang tidak perlu ditafsirkan
adanya perubahan dan pembaruan hukum ekonomi.
lain.
Politik hukum memegang peranan penting dalam memberi arah dan membawa arah pembaruan hukum
Penjelasannya demikian, Pasal 2 tegas mengatur tentang
ekonomi. Pembaruan hukum ekonomi tidak semata-
mata uang rupiah adalah mata uang sah untuk Indonesia.
mata mengikuti arus global yang lebih banyak
Pasal 7 juga demikian bahwa Pasal tersebut jelas
mengakomodasi kepentingan negara maju dan investor.
mengatur tentang tujuan BI. Berbicara tentang kebijakan
12
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
moneter, qua difinisi sudah jelas ada di dalam UUBI yang
itu merupakan satu kesatuan sistem, maka menurut
tidak menjelaskan tentang adanya wewenang mengatur
penulis BI tidak perlu membuat aturan sendiri untuk itu.
PVA tersebut. Secara yuridis teoritis, kaedah yang sudah
Untuk menghindari tumpang tindih pengaturan
jelas tidak boleh dilakukan penafsiran lagi (Bandingkan:
kewenangan seperti yang terjadi selama ini di era
Jimly Asshiddiqie, 2010 : 176). Oleh sebab itu sangat
reformasi. Jika akan diatur lagi dalam UUBI dikawatirkan
riskan jika Pasal 2 dan Pasal 7 UUBI dijadikan rujukan
dampaknya justru akan membingungkan masyarakat
dasar hukum kewenangan BI dalam mengatur PVA,
dengan adanya beberapa Lembaga yang sama-sama
dengan menggunakan metode penafsiran. Pasal 1 Ayat
punya kewenangan mengatur tentang PVA. Jika
(10) UUBI menegaskan bahwa Kebijakan Moneter adalah
dipandang dari sudut filosofi maupun teori hukumnya
kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan BI untuk
memang yang paling tepat wewenang itu diberikan
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang
kepada BI Oleh sebab itu, penulis justru cenderung
dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang
mengusulkan agar BI berjuang untuk menghilangkan
yang beredar dan/atau suku bunga. Apakah pemeliharaan
tumpang tindih pengaturan tersebut dan menyerahkan
kestabilan nilai rupiah, dapat ditafsirkan termasuk
pengaturan tentang PVA kepada BI . Di mana perjuangan
wewenang mengatur PVA?. Hemat penulis, dengan
dilakukan, tentunya pada level pembentuk UU yaitu di
menggunakan metode penafsiran gramatikal akan terlalu
DPR dan Pemerintah. Menurut hemat penulis , BI tidak
jauh penafsiran demikian.
dalam kapasitasnya untuk mengatur PVA dengan merujuk pada amanat UU lain, kecuali UU lain itu secara tegas
Orang memang bisa berargumentasi justru dengan
memang memberikan amanat kepada BI bahwa BIlah
keluarnya UU No. 24 Tahun 1999 yang mencabut UU
yang mempunyai kewenangan mengatur tentang PVA.
No.32 tahun 1964, jelas menafikkan kewenangan BI
Norma atau kaedah seperti apa yang kiranya tepat untuk
untuk mengatur PVA, karena UU tersebut dipandang
dijadikan rujukan, hemat penulis adalah kaidah tentang
sudah tidak memadai dengan perkembangan global.
syarat kelembagaan PVA, syarat perizinan, ketentuan
Memang di dalam Pasal 9 PP No.7 Tahun 1965, diatur
perdagangan dan ketentuan sanksi.
bahwa BI wenang mengatur lebih lanjut tata tertib dalam penjualan dan pembelian valas dan menetapkan
Argumentasi penulis , menurut hemat penulis masalah
syarat yang haras dipenuhi oleh PVA untuk dapat
perijinan PVA itu berada pada ranah hak dan kewajiban
diijinkan memperdagangkan valas. Dari latar belakang
warga negara, maka seyogyanya pengaturan PVA
sejarah pengaturan tentang Valas, secara teoritis dapat
memang berada pada level UU, bukan PBI jika mengacu
diterima pandangan atau kesimpulan yang mengatakan
pada UU No.10 Tahun 2004. Mengapa pada level UU,
bahwa wewenang mengatur perizinan PVA memang
pertimbangan penulis karena soal siapa yang berhak
berada di lingkup kewenangan BI. Memang secara
menyelenggarakan usaha PVA dan siapa yang wajib
teoritis perdagangan valas di banyak negara pasti diawasi
mentaati ketentuan hukumnya secara timbal balik, adalah
oleh Pemerintah yang dijalankan dalam berbagai bentuk
subyek hukum yang berhak menyandang atau membawa
kebijakan moneter, fiscal dan perdagangan luar negeri.
atau memikul hak dan kewajiban yang menurut UU
Lembaga yang mengatur kebijakan moneter tidak lain
No.10 Tahun 2004 pengaturannya harus berada pada
adalah Bank Sentral. Faktor pengawasan pemerintah
level UU (Bandingkan : Maria Farida Indrati S, 2007 :
yang biasanya dijalankan dalam berbagai bentuk kebijakan
248)
moneter, fiskal dan perdagangan luar negeri untuk tujuan tertentu mempunyai pengaruh terhadap kurs valas atau
Lahirnya UU No. 24 tahun 1999, UU No.23 Tahun 1999
forex rate. Kebijakan pemerintah tersebut pada umumnya
adalah satu paket UU amanat “reformasi” peraturan
akan berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran
perundang-undangan di bidang kebijakan moneter
valas (Bandingkan : Hamdy Hady, 2001 : 52).
yang merupakan arahan International Monetary Fund waktu itu, yang harus diakui syarat dengan muatan-
Jika ternyata UU lain selain BI telah ada yang mengatur
muatan kepentingan asing dalam membantu pemulihan
tentang PVA, berdasarkan teori hukum bahwa hukum
krisis ekonomi waktu itu. Dengan demikian harus diakui
13
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
bahwa aspek ketergesa-gesaan, aspek pragmatis, aspek kepentingan global lebih dominan menjadi pertimbangan, tinimbang aspek kepastian hukum, stability, predictability dan fairness. Untuk itu layak untuk diperttimbangkan bahwa pengaturan PVA ke depan, aspek-aspek yang merujuk pada kepentingan nasional, kepentingan masyarakat pada umumnya, harus lebih dominan mempengaruhi kebijakan pembuatan peraturan perundang-undangan khususnya dibidang pengaturan PVA tinimbang hanya menerima arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan seperti yang terjadi saat ini. D. Kesimpulan Dengan demikian perlu doicermati sungguh-sungguh, jika disepakati bahwa idealnya pengaturan PVA itu berada di ranah wewenang BI sebagai pengatur kebijakan moneter, maka wajib diperjuangkan bahwa pengaturan PVA ke depan dalam UUBI yang akan datang diserahkan kepada BI melalui amandemen UUBI, bukan kepada UU yang lain.
14
Referensi Rujukan
Hj. Ni,matul Huda, Sri Hastuti Puspitasari, 2007, Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof. DR. Moh. Mahfud MD,SH, Retrospeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan, Program Pasca Sarjana FH UII dengan FH UII Press, Yogyakarta. Hamdy Hady, 2001, Valas Untuk Manajer (Forex For Managers), Ghalia Indonesia, Jakarta. Jimly Asshidiqie, 2010, Perihal Undang-undang, Rajawali Pers, Jakarta. Maria Farida Indrati s, 2007., Ilmu Perundang-undangan I, Kanisius, Yogyakarta. ---------------------------,2007., Ilmu Perundang-undangan 2, Kanisius, Yogyakarta. Undang-Undang Nomor Undang - Undang No.32 Tahun 1964 Tentang Lalu Lintas Devisa Undang-Undang No.24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang No.23 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia No.9/11/PBI/2007 Tentang Pedagang Valas.
15
Halaman ini sengaja dikosongkan
16
Pengaturan Perdagangan Valuta Asing Bukan Bank Oleh: Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH, MHum; Ida Bagus Putra Atmaja, SH, MH; Dewa Gede Rudy, SH, MH; Desak Putu Dewi Kasih, SH, MH.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
politik, kekuasaan, ideologi, dan kejahatan. Hitshcock selanjutnya menguraikan secara detail dalam karya
Perdagangan valuta asing (valas) diselenggarakan oleh
tulisnya tentang perkembangan money changer dalam
pedagang valas bank dan bukan bank (money changer).
sejarah moneter dunia. Pada tahun 1024 money changer
Perdagangan valas bukan bank hanyalah transaksi
mengontrol pasokan uang di Inggris dan pada tahun
penukaran uang asing dengan uang domestik suatu
1642 telah menjadi pemicu serangkaian konflik
negara, bersifat langsung, jumlah terbatas, dan umumnya
bersenjata di Inggris3. Pada tahun 1688, sejumlah money
untuk memenuhi kebutuhan sesaat si penukar atau
changer di Inggris setelah serangkaian pertengkaran
penukaran dalam fungsi non-komersial1. Sifat
dengan Raja-raja Stuart, yaitu Charles II (1660-1685)
perdagangan valas bukan-bank semata-mata timbul dari
dan James II (1685-1688), dengan bekerjasama dengan
karakter transaksi yaitu selisih kurs diantara dua mata
sejumlah rekanannya sesama money changer di Belanda,
uang berbeda yang dipertukarkan (menyerupai harga),
yang dengan sukses mendirikan, Bank Sentral di Belanda,
pemasok jasanya menyerupai penjual (seller) dan pihak
membiayai invasi William Orange dari Belanda, yang
yang menukarkan uang menyerupai pembeli (buyer).
menjanjikan kepada mereka suasana bisnis yang lebih
Pertemuan diantara keduanya membentuk pasar2.
baik, dan invasi itu secara gemilang berhasil melakukan
Perdagangan valas bukan bank, sekalipun di Indonesia
penundukan dan karena itu Wiliam Orange bertahta di
baru berkembang seiring dengan perkembangan
Inggris dengan nama King William III pada tahun 1689.4
perdagangan jasa pariwisata, namun dalam sejarah moneter merupakan sub-bagian terpenting dari sejarah
Sekalipun tidak sama fantastis dengan posisi money
moneter dunia. Andrew Hitchcock mendeskripsikan:
changer dalam sejarah moneter dunia, dalam korelasi dengan politik, ideologi, dan konspirasi kekuasaan5,
Julius Caesar took back from the money changers the
namun pengaturan perdagangan valas di Indonesia
power to coin money and then minted coins for the
memerlukan perhatian khusus dan sungguh-sungguh.
benefit of all. With this new, plentiful supply of money,
Pertama, karena potensi, pertumbuhan, manfaat
he established many massive construction projects and
langsungnya bagi pedagang, pengguna jasa, dan
built great public works. By making money plentiful,
masyarakat, serta manfaat tidak langsungnya bagi
Caesar won love of the common people. But, the money
negara; dan kedua, karena potensi gelapnya dari sisi
changers hated him for it and this is why Caesar was
kejahatan (sekurang-kurangnya penipuan dan potensinya
assassinated. Immediately after his assassination came
sebagai media pencucian uang) dan pengaruhnya
the demise of plentiful money in Rome, taxes increased,
terhadap citra pasar valas bukan-bank di Indonesia.
as did corruption. Perdagangan valas bukan bank berkembang sangat Momentum sejarah money changer dimulai sejak zaman
pesat. Jumlah pedagang valas bukan bank rata-rata
Romawi (48 SM), merupakan sub penting sejarah moneter dunia dan mempunyai kaitan lekat dengan
1
2
Perdagangan valas dalam fungsi komersial adalah perdagangan valas akan halnya perdagangan valas dalam pasar uang. Lihat Kasmir, ibid. Bandingkan: Nopirin, Ekonomi Internasional, Edisi 3, BPFE, Yogyakarta, 1996, h. 137.
3
Andrew Hitchcock, History of Money Changer, illustrated timeline, http://iamthewitness.com, akses 23.00 wita, 17 Oktober 2010, h. 3.
4
Ibid, h, 4.
5
Bandingkan: E.C. Riegel, The Politics of Money: Breaking The English Tradition, akses: 11 Oktober 2010, 17.00 wita.
17
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
tumbuh 3,9% per/tahun, dengan alokasi terbesar di
berbagai manfaat terhadap pembangunan perekonomian
Jakarta, Bali, dan Batam, menyusul Medan, Surabaya,
negara, baik sebagai instrumen pendukung (supporting
dan kota lainnya. Per Juli 2010, pedagang valas bukan
instrument) yang memperlancar transaksi barang dan
bank berjumlah 871 unit usaha dari 749 unit usaha
jasa, maupun sebagai sumber pendapatan langsung
pada tahun 2005, dengan sebaran Jakarta 355 unit
masyarakat dan negara, disamping sifat lebih murah,
usaha (40,8%), Bali 126 unit usaha (14,5%), Batam
cepat, dan praktisnya yang merupakan alasan utama
123 (14,1%), Medan 48 unit usaha (5,5%), Surabaya
pengguna jasa memilih money changer sebagai tempat
35 unit usaha (4,0%), dan kota lainnya 184 (21,2%).6
penukaran uang.
Aset perdagangan valas bukan-bank, selama periode
Disamping potensi demikian itu, perdagangan valas
2005-2009 meningkat rata-rata sebesar 32,3% per
bukan bank juga diwarnai berbagai permasalahan yang
tahun dengan sebaran komposisi: 427 unit usaha (49%)
dapat menyurutkan potensi tersebut. Masalah itu
menguasai aset di bawah 500 juta, 344 unit usaha
mencakup, antara lain: masalah citra, perizinan,
(39%) menguasai aset 500 juta sampai dengan 1 milyar,
persaingan tidak sehat, sampai pada masalah peluang
dan 100 unit (11%) menguasai aset lebih besar dari 1
perdagangan valas bukan bank digunakan sebagai
milyar.7 Sebaran per wilayah aset tersebut adalah: Jakarta
media kejahatan keuangan. Lonley Planet, sebuah situs
35%, Bali 25%, Batam 9%, Makasar 5%, Bandung
di internet mempublikasikan kesan dari pengalaman
4%, Medan 3%, dan wilayah lainnya 20%.8
beberapa orang konsumen yang pernah menggunakan jasa penukaran uang di Seminyak, Legian, Kuta. Zfactor
Volume transaksi perdagangan valas bukan bank selama
menulis demikian:
periode 2005-2009 meningkat 19,3% per tahun. Volume transaksi pada bulan Desember 2009 merupakan 3,5%
This may be obvious to many and maybe I'm just an
dari transaksi valas antar bank, dengan lokasi terbesar
idiot, but I twice had problems when changing money
di Jakarta dan Bali. Volume transaksi itu berkembang
recently. It seems that some unofficial money changers
dari 4,64 milyar USD pada tahun 2005, 5,17 milyar USD
offer excellent exchange deals on advertising boards to
pada tahun 2006, 7,26 milyar USD pada tahun 2007),
convert any foreign currency into Rupiah, the rates often
8,04 milyar USD pada tahun 2008, dan 9,24 milyar USD
7-10% higher than rates on offer elsewhere. Avoid like
pada tahun 2009.9 Volume dan peningkatan transaksi
the plague.
tersebut menunjukkan signifikasi potensi perdagangan
Typically,the vendor presents you with wads of 20,000
valas bukan bank dalam transaksi valas dan transaksi
Rp notes, claiming 'the bank ran out of larger notes'.
finansial Indonesia pada umumnya.
A long drawn out process of counting out piles of 20,000rp notes to change 100/200 usd then follows.
Signifikasi potensi perdagangan valas bukan bank juga
The vendor counts it all out, but then things get a little
dapat dilihat dari kemampuan perdagangan valas bukan
funny. After the count, the vendor will try to up all the
bank menyediakan kurs jual dan kurs beli valas
piles of cash and put them together. During this phase,
dibandingkan dengan perdagangan valas pada bank.
money goes missing. Some vendors are extremely skilled
Perdagangan valas bukan bank mampu menyediakan
at this, as I was watching like a hawk and could not
kurs jual dan kurs beli valas lebih baik bagi nasabah
spot at which point they removed some of the pile.
dibandingkan dengan kurs jual dan kurs beli valas pada
There appear to be two tricks: firstly, the vendor will
bank.10 Perkembangan demikian itu memberikan
attempt to distract you while he has the cash back in his hands by pointing out something for sale etc etc while you are distracted, money is dropped below the
6
Direktorat Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Presentasi PVA Berizin, 2010. 7 Ibid. 8 Ibid. 9 Ibid. 10 Ibid, h. 10 dan 11.
18
counter at his side.Secondly, the vendor puts all the money into one pile but holds it just below counter level on his side, dropping a certain amount of the pile onto his side, not visible to you.Obviously the vendor
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
has different fingers holding up different layers of the
Untuk Diserahkan Kepada Dana Devisa (Devisa
pile to allow him to do this quickly.
Pelengkap). Ketentuan-ketentuan tersebut hanya
All very clever, but terribly dishonest.
menyediakan ketentuan tentang valas dalam korelasi
The second time it happened I had said to the guy I
dengan penyelenggaraan transaksi ekspor-impor, dan
wasn't going to count the money as he gave it to me
sama sekali tidak menyediakan norma tentang
and specifically told him this was because I trusted him,
perdagangan valas oleh pedagang valas bukan bank.
with which he seemed happy. I counted in my hotel 15 minutes later and found myself 30 usd down on a 200
Pada tahun 1968, Indonesia menerbitkan Undang-
usd transaction. I was very unhappy and returned to
Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.
the vendor's shop. I asked for the boss and explained
Undang-undang ini telah menyediakan fasilitas norma
that I believed they had made a mistake in the count.
berkenaan dengan: a. Tugas pokok BI, termasuk
I made it clear that if they could not assist me in rectifying
kewenangan untuk mengatur, menjaga, dan memelihara
the situation, I would have to visit the tourist police to
kestabilan nilai Rupiah; dan b. Satuan hitung mata uang
file a complaint. I also made it clear I was most unhappy
(rupiah) dengan singkatan Rp. Undang-undang tersebut
about this experience as I had specifically told them I
belum secara eksplisit memberikan alokasi kewenangan
trusted them on the count. They then handed me over
bagi BI untuk mengatur perdagangan valuta asing bukan
the equivalent of 30 usd, which I took to be an admission
bank.
of guilt. The attitude was very much a jokey, 'we've been found out' one, which was very sad to see.
Pada tahun 1999, Indonesia menerbitkan Undang-
I'm not suggesting for a moment all vendors offering
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
better exchange rates engage in these practices but I
sebagaimana kemudian diubah dengan Peraturan
was caught twice out of 4 changes, so beware.11
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Pengaturan perdagangan valas di Indonesia sudah
Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia,
dimulai sejak masa pemerintahan Belanda, namun
sebagaimana kemudian ditetapkan menjadi undang-
Pengaturan perdagangan valas bukan bank di Indonesia
undang dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
baru dimulai pada masa rezim reformasi. Pemerintah
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Indonesia telah mengadakan pengaturan valas sejak
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
1951, Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
tentang Penghentian Berlakunya Indische Munwet 1912
1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang.
dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata
Uang.12
Pada tahun yang sama juga terbit Undang-Undang
Pengaturan ini dilanjutkan dengan pengaturan lalu lintas
Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan
devisa pada tahun 1964, Undang-Undang Nomor 32
Sistem Nilai Tukar. Kedua ketentuan tersebut, Undang-
Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa.
Undang Bank Indonesia dan Undang-Undang Lalu Lintas
Undang-Undang ini dilengkapi dengan pengaturan nilai
Devisa, juga belum menyediakan alokasi norma yang
tukar Rupiah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
secara eksplisit mengatur tentang dasar kewenangan BI
1965 tentang Nilai Lawan Valuta Asing Dalam Nilai
untuk mengatur perdagangan valas oleh pedagang valas
Rupiah dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1965
bukan bank. Undang-Undang Lalu Lintas Devisa hanya
tentang Tata Tjara Penggunaan, Pembebanan dan
mengatur valas dalam konteks transaksi ekspor-impor.
Pemindahan Hak Atas Devisa Jang Tidak Diharuskan Pemerintah Indonesia baru pada tahun 2004 menerbitkan ketentuan yang secara khusus mengatur tentang 11 Lonley planet, Disreputable Money Changer in Kuta, Legian, Seminyak Area, http://www.lonleyplanet.com, akses 16 Oktober 2010, 23.00 wita.
perdagangan valas bukan-bank. BI menerbitkan Peraturan
12 Lebih jauh baca: Museum Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia: Moneter Periode 1953-1959, akses 5 Oktober 2010, 23.30 wita.
terbatas hanya mengatur satu sisi dari perdagangan
Bank Indonesia tentang Pedagang Valuta Asing, namun valas bukan bank, yaitu pedagang valas bukan bank,
19
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
dengan Peraturan Bank Indonesia No.6/1/PBI/2004
undang diberi beberapa alokasi kewenangan, yaitu:
tentang Pedagang Valuta Asing (disingkat: PVA). Tujuan
penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter,
penerbitan peraturan tersebut adalah untuk melindungi
mengatur dan menjaga sistem pembayaran, serta
kepentingan publik dari dan mencegah distorsi pasar
mengatur dan mengawasi bank. Pengaturan tersebut
(market failure) dalam kegiatan perekonomian nasional
diselenggarakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang
khususnya transaksi jual beli uang kertas asing.
Bank Indonesia. Posisi politis dan hukum pengaturan tersebut dapat digambarkan dalam peta sebagai berikut:
Dalam perkembangan pasar keuangan domestik, sebagai lembaga penunjang sektor keuangan, pedagang valuta
(1) Pengaturan perdagangan valas bukan bank masih
asing yang terdiri dari bank (yang melaksanakan kegiatan
didasarkan peraturan kebijakan (Peraturan Bank
usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip
Indonesia-PBI), belum undang-undang, sehingga
syariah) serta bukan bank, memiliki peranan yang sangat
menyulitkan BI untuk melakukan tindakan-tindakan
strategis dalam mempengaruhi perkembangan kegiatan
hukum yang diperlukan untuk mengatur, mengawasi,
transaksi jual-beli uang kertas asing dan pembelian
mengendalikan, dan menindak pelaku perdagangan
traveller’s cheque. Sehubungan dengan itu, dalam rangka
valas yang melakukan perdagangan valas secara
memberikan rasa aman dan kepastian hukum kepada
bertentangan dengan ketertiban umum dan rasa
masyarakat dalam melakukan transaksi, maka diletakkan
keadilan masyarakat, terutama yang berasal dari
persyaratan pokok, yaitu bahwa pedagang valuta asing
perilaku buruk pelaku perdagangan valas bukan
haruslah berizin dan berbadan hukum Perseroan Terbatas
bank oleh pedagang yang tidak berizin. Peraturan
(Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
kebijakan menyulitkan Bank Indonesia melakukan
Terbatas). PT memiliki sifat/karakteristik lebih tegas dan
penertiban dan penegakan hukum.
jelas dari sisi pengaturan, akuntabilitas, dan transparansi kepada publik dibandingkan bentuk badan hukum lain.
(2) PBI diterbitkan berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Dalam upaya mencegah industri pedagang valuta asing
Bank Indonesia, sebagaimana diubah dengan
digunakan sebagai sarana atau sasaran kejahatan, baik
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009. Kedua
yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung
ketentuan tersebut tidak secara eksplisit menentukan
oleh pelaku kejahatan, serta dengan memperhatikan
kewenangan BI berkenaan dengan pengaturan
rekomendasi The Financial Action Task Force on Money
perdagangan valas bukan bank. Bank Indonesia
Laundering (FATF), maka pedagang valuta asing
berpendapat bahwa penerbitan PBI didasarkan pada
diharuskan menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah
penafsiran (accontrario) terhadap ketentuan itu,
(Know Your Customer Principles).
oleh karena Rupiah merupakan legal tender dalam seluruh transaksi yang dilakukan dalam wilayah RI,
Saat ini Bank Indonesia memberikan ijin, melakukan
maka Bank Indonesia memiliki kewajiban untuk
pengawasan dan pembinaan terhadap PVA bukan bank.
menyediakan prasarana bagi penukaran uang rupiah,
Dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan
dan Pasal 7 UU Bank Indonesia dikaitkan dengan
terhadap PVA bukan bank, Bank Indonesia bekerja
kewenangan BI dalam bidang moneter, maka dapat
sama dengan Asosiasi PVA dan atau pihak lain yang
disimpulkan bahwa kewenangan demikian itu ada
ditunjuk Bank Indonesia. Dalam hal PVA bukan bank
pada BI.
melakukan pelanggaran, Bank Indonesia mengenakan sanksi berupa: a. peringatan pertama; b. peringatan
(3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/1/PBI/2004
kedua; c. pemanggilan pengurus dan atau pemegang
tentang Pedagang Valuta Asing menentukan bahwa
saham; d. pencabutan izin usaha.
setiap pemasok mata uang asing harus berizin. Dalam praktek, tidak seluruh pemasok mata uang
Pengaturan tersebut berpijak pada kewenangan Bank
asing merupakan pedagang valas berizin. Banyak
Indonesia sebagai Bank Sentral yang oleh undang-
pemasok mata uang asing tidak berizin berpraktek
20
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
memasok jasa penukaran mata uang asing. Keadaan
B. KARAKTERISTIK VALUTA ASING
ini melahirkan berbagai keluhan, baik pada kalangan konsumen maupun pelaku usaha pemasok uang
Valuta Asing (valas) adalah mata uang yang dikeluarkan
asing berizin, seperti: penjualan mata uang asing
dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di
ekstrim dibawah nilai tukar resmi, persaingan tidak
negara lain. Atau, seluruh kewajiban terhadap mata
sehat (unfair competition), penipuan konsumen,
uang asing yang dapat dibayar di luar negeri, baik berupa
kerusakan citra pasar valas Indonesia di mata
pembayaran, pelunasan utang-piutang, maupun
konsumen, dan berbagai keluhan lainnya. Dari sisi
simpanan pada bank di luar negeri.
hukum, masalah demikian itu menyimpan masalah legalitas, perlindungan hukum, dan keadilan.
Hakekat valuta asing adalah uang asing. Uang asing
Keadaan demikian sangat sulit dikendalikan secara
adalah uang yang diterbitkan sebagai alat bayar yang
hukum, karena kewenangan BI terbatas pada
sah oleh suatu negara, di dalam maupun di luar wilayah
kewenangan administratif (pengawasan izin dan
negaranya, dengan bahan fisik dan penanda tertentu.
penegakan ketentuan perizinan bagi pedagang valas
Menurut Byrns dan Stone uang adalah:
berizin), bukan kewenangan penertiban dan
... the device used to buy goods or resources and by
penegakan hukum terhadap pedagang valas tidak
which we measure our income, wealth, and the price
berizin yang justru merupakan sumber utama
we pay.13
gangguan ketertiban dalam penyelenggaraan perdagangan valas, yang seterusnya akan
Berdasarkan definisi tersebut, anatomi valas mencakup
berimplikasi terhadap citra perdagangan valas
fisik uang, nilai dalam suatu fisik uang; dan kewajiban
Indonesia;
yang berkenaan dengan mata uang (asing).
(4) Pengawasan perdagangan valas sangat lemah karena
1. “Karakteristik Politik” Valuta Asing
masalah sentralitas dan struktural, yaitu kekosongan lembaga pengawas yang secara otoritatif oleh
Mata uang dapat dikelompokkan atas dua jenis,
undang-undang diberi kewenangan untuk itu. Untuk
yaitu: (a) HARD CURRENCIES, yaitu mata uang yang
lebih meningkatkan efesiensi dan efektifitas kegiatan
bebas dipertukarkan (freely exchangable), karena
pengawasan, sejalan dengan semakin pesatnya
diterima di banyak atau bahkan di seluruh negara
perkembangan kelembagaan dan kegiatan transaksi,
di dunia; dan (b) SOFT CURRECIES, yaitu mata uang
perlu dilakukan desentralisasi kewenangan dalam
agak sulit dipertukarkan (which are not freely
perizinan, pengawasan dan pembinaan terhadap
exchangable), karena tidak diterima atau ditolak
pedagang valuta asing yang berkedudukan di luar
kapasitasnya sebagai alat tukar di banyak negara.
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia ke Kantor
Kandungan sifat politik dari uang asing dan lembaga
Bank Indonesia setempat.
penukaran uang asing layak dijadikan pertimbangan utama dalam pengaturan lembaga penukaran uang
(5) Pasar valuta asing mengubah posisi dan fungsi uang
bukan bank mengingat fungsi preventif hukum,
dari alat bayar menjadi komoditas. Akan halnya
yaitu fungsi hukum sebagai pencegah masalah sosial,
pasar pada umumnya, komoditas dapat digunakan
politik, dan ekonomi, dan fungsi hukum sebagai
sebagai alat spekulasi (media penimbunan kekayaan),
pengendali potensi buruk dari sifat politik dari uang.
yang potensial merugikan pihak-pihak pelaku
Kedua fungsi ini berhubungan erat dengan posisi
transaksi dan bahkan sistem perekonomian nasional.
dan fungsi uang sebagai media penimbun kekayaan
Lebih dari itu, pasar valas belakangan juga terindikasi
dan alat spekulasi untuk mengakumulasikan modal
sebagai media pencucian uang (money laundring)
dan kekayaan.
yang berpeluang menempatkan pedagang valuta asing sebagai korban maupun pelaku; 13 Ralph T. Byrns and Gerald W. Stones, Economics, Second Edition, Scott, Foresman and Company, Glenview, Illinois, 1984, h. 319.
21
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
2. “Karakter Hukum” Valuta Asing
Persyaratan badan usaha dan penyelenggaraan usaha perdagangan valas oleh pedagang valas bukan bank
Valuta asing merupakan uang asing yang berfungsi
(seller) diatur di dalam PBI Nomor 6/1/PBI/2004
sebagai alat tukar sah yang diterbitkan secara resmi
(Pedagang Valuta Asing-PVA). Persyaratan tersebut
oleh suatu negara. Untuk dapat dikategorikan sebagai
mencakup:
alat tukar yang sah, suatu mata uang asing harus
(a) Persyaratan bidang usaha (Pasal 2);
memenuhi sekurang-kurangnya 3 (tiga) persyaratan:
(b) Perizinan (Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7); dan
(a) diterbitkan oleh suatu negara;
(c) Persyaratan penyelenggaraan (Pasal 24, Pasal 29).
(b) Memenuhi persyaratan fisik dan nilai tertentu; dan (c) Berfungsi sebagai alat tukar resmi di negara
C. KARAKTERISTIK PERDAGANGAN VALAS BUKAN BANK
bersangkutan. Sebagai obyek perdagangan, valas tunduk pada
Perdagangan valuta asing bukan-bank adalah pasokan
berbagai peraturan perundang-undangan yang
jasa penukaran uang (money changer) asing ke domestik,
mengatur tentang:
asing ke asing, atau domestik ke asing yang disediakan
(a) Persyaratan valas sebagai alat tukar resmi yang
oleh orang atau badan (penjual), bukan bank, untuk
diterbitkan oleh negara tertentu; (b) Persyaratan badan usaha dan penyelenggaraan
pihak pengguna jasa (pembeli). Berdasarkan definisi tersebut, anatomi perdagangan valuta asing mencakup
usaha perdagangan valas oleh pedagang valas
pedagang/penjual; pembeli; Mata uang (obyek transaksi);
bukan bank (seller);
Lokasi transaksi (pasar); dan Proses transaksi.
(c) Persyaratan dan prosedur transaksi; (d) Hak-hak pengguna jasa penukaran uang (buyer),
1. Konstruksi Sistem Perdagangan Valuta Asing15
termasuk perlindungan hak dan penegakan hak mereka.
Sebagai suatu sistem, perdagangan valuta asing mencakup sistem internal dan sistem eksternal. Sistem
Persyaratan valas sebagai alat tukar resmi yang
internal adalah sistem jual-beli valas an sich, yaitu
diterbitkan oleh negara tertentu, atau setidak-
dengan komponen mencakup penjual, pembeli, obyek
tidaknya oleh suatu lembaga yang diberi otoritas
transaksi, lokasi transaksi, dan proses transaksi. Sistem
oleh negara untuk itu harus dipenuhi oleh setiap
ini dapat digambarkan dalam konstruksi berikut:
valas. Di Inggris, urusan ini diurus oleh Bank of England (1964), di Amerika oleh Bank of North
Konstruksi Sistem Internal Perdagangan Valas
America (1781), keduanya merupakan bank swasta, yang untuk Amerika digantikan oleh First Bank of
Penjual
Transaksi
the United States (1791) dan akhirnya Federal Reserve Bank (1913).14
Pembeli Perseorangan
Bank
Offer Badan Usaha
Di Indonesia, kewenangan ini oleh negara diberikan kepada Bank Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 (tentang Bank Indonesia) menentukan bahwa Bank Indonesia merupakan satu-satunya
Bukan Bank
Acceptance
Bank
Agreement
DLL
lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik
Pasar
dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran (Pasal 20).
14 Andrew Hitchcock, op.cit., h. 25.
22
15 Ditransformasikan dari model sistem perdagangan jasa pariwisata. Ida Bagus Wyasa Putra, Fungsi Hukum Dalam Pengaturan Pariwisata Sebagai Bentuk Perdagangan Jasa, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2010, h. 453.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Sistem eksternal adalah keseluruhan komponen
Perlakuan hukum terhadap pembeli dapat mencakup:
sistem pada lingkungan perdagangan valuta asing
a. Jaminan keamanan transaksi;
(business environment) yang berpengaruh terhadap
b. Perlindungan hak-hak konsumen atas transaksi yang
proses transaksi dalam sistem internal perdagangan
sehat; dan
valas bukan bank, seperti:
c. Hak klaim konsumen.
(a) Pemerintah sebagai pemegang dan
Perlakuan hukum terhadap obyek transaksi dapat
penyelenggara kekuasaan negara, termasuk
mencakup:
kekuasaan negara dalam bidang moneter;
a. Jaminan keaslian obyek transaksi;
(b) Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang oleh negara diberi kewenangan untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; (c) Keamanan publik yang menentukan keamanan penyelenggaraan transaksi valas bukan bank; (d) Masyarakat, termasuk berbagai komunitas yang mempunyai kepentingan langsung terhadap penyelenggaraan perdagangan valas bukan bank.
b. Persyaratan penyediaan alat uji keaslian obyek transaksi; c. Perlakuan hukum terhadap obyek transaksi palsu atau yang bertentangan dengan kepentingan umum. Perlakuan hukum terhadap lokasi transaksi dapat mencakup: a. Persyaratan jumlah pemasok valas pada suatu ruas ruang tertentu untuk mencegah over supply valas dan unfair competition; b. Persyaratan dan jaminan kenyamanan dan keamanan
2. Konstruksi Hukum dan Perlakuan Hukum Pengaturan Valas Bukan Bank
transaksi: persyaratan gedung dan lingkungan, dll.; c. Persyaratan citra pasar; d. Mekanisme pemeliharaan citra dan keberlanjutan
Konstruksi sistem hukum perdagangan valas bukan
citra pasar;
bank juga dapat diklasifikasikan atas dua sub-sistem
e. Sanksi bagi perusak citra pasar.
besar, yaitu: (a) sistem hukum internal; dan (b) sistem
Perlakuan hukum terhadap proses transaksi dapat
hukum eksternal. Sistem hukum internal adalah
mencakup:
sistem hukum transaksi perdagangan valas bukan
a. Persyaratan transaksi;
bank dan sistem hukum eksternal adalah sistem
b. Prosedur transaksi;
hukum koordinasi. Sistem hukum internal, mencakup
c. Persyaratan pelaksanaan (penutupan) transaksi.
perlakuan hukum terhadap penjual valas, pembelian valas, obyek transaksi, lokasi transaksi dan proses
Perlakuan hukum tersebut menunjukkan bahwa
transaksi.
perdagangan valas bukan bank tidak hanya mencakup satu bidang hukum yaitu perizinan, melainkan juga
Perlakuan hukum terhadap penjual dapat mencakup:
hukum transaksi, dan beberapa bidang hukum yang
a. Persyaratan penjual: badan usaha/badan hukum
berkenaan dengan perlakuan hukum terhadap pelaku
perusahaan, perizinan untuk beroperasi,
perdagangan, konsumen, dan keamanan transaksi.
persyaratan penyelenggaraan kegiatan
Namun demikian, terlebih dahulu perlu ditegaskan
perusahaan;
bahwa sistem hukum internal perdagangan valas bukan
b. Komunitas penjual: kode etik, posisi dan fungsi
bank hanya mencakup bidang hukum transaksi
komunitas penjual dalam menjaga citra penjual,
perdagangan valas bukan bank. Karena itu, bidang
pasar, dan keberlanjutan pasar; dan
hukum yang relevan dengan sistem internal perdagangan
c. Perlindungan keamanan penjual dari risiko
valas bukan bank adalah bidang hukum transaksi
perilaku buruk konsumen, termasuk transaksi
sebagaimana diatur di dalam KUH Perdata. Berdasarkan
dengan obyek transaksi palsu atau motif transaksi
konsep itu, maka konstruksi sistem hukum internal
yang bertentangan dengan hukum/kepentingan
perdagangan valas bukan bank dapat digambarkan
negara.
sebagaimana konstruksi berikut ini:
23
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Konstruksi Hukum Pengaturan Sistem Internal Perdagangan Valas Bukan Bank
Transaksi Valas Bukan Bank
UU BI UU PT
UU Konsumen
UU PM
Offer Penjual
UU Pendaftaran
Pembeli Acceptance
Perizinan, PBI Objek Transaksi UU Pajak Agreement
UU Konsumen
Hukum Pelaku dan Persyaratan Transaksi Valas Bukan Bank: UU BI dan PBI
3. Konstruksi dan Perlakuan Hukum Terhadap Sistem Eksternal Perdagangan Valas Bukan Bank
(d) Dalam hal keberadaan masyarakat daerah setempat berlakulah UU HAM, UU Pemda dan Perda daerah setempat;
Sistem hukum eksternal adalah sistem hukum yang
(e) Dalam hal peran serta masyarakat, berlakulah
mengatur posisi serta fungsi komponen-komponen
berbagai peraturan perundang-undangan yang
sistem eksternal dalam kaitan dengan fungsi sistem
menyediakan fasilitas norma bagi keberadaan
internal. Oleh karena otoritas BI terbatas pada
dan pengembanan fungsi-fungsi Lembaga
kewenangan untuk mengatur sistem internal, maka
Swadaya Masyarakat (LSM). Dalam bidang
pengaturan sistem eksternal oleh BI dibatasi pada
pariwisata, berlakulah Undang-undang Nomor
kewenangan koordinasi dengan otoritas yang secara langsung diberi kewenangan oleh negara untuk
10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan; (f) Dan lain-lain peraturan perundang-undangan
mengatur masing-masing komponen sistem eksternal
dalam berbagai bidang hukum yang secara
itu. Berdasarkan konsep tersebut, maka bidang
langsung mengatur pengembangan fungsi-fungsi
hukum yang tercakup kedalam pengembangan
berbagai komponen yang berpengaruh terhadap
sistem eksternal meliputi, antara lain:
penyelenggaraan fungsi sistem internal
(a) Dalam hal sumber kewenangan BI, berlakulah
perdagangan valas bukan bank.
UUD 1945 dan UU BI; (b) Dalam hal otoritas daerah, termasuk kedalamnya
itu, konstruksi sistem hukum eksternal perdagangan
UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
valas bukan bank dapat disusun sebagai berikut:
Daerah, dan Perda RTRW daerah setempat; (c) Dalam hal keamanan publik, berlakulah UU Kepolisian Negara;
24
Berdasarkan konstruksi perlakuan hukum demikian
kewenangan mengatur tata ruang, berlakulah
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Konstruksi Sistem Hukum Eksternal Perdagangan Valas Bukan Bank
NGO UU Kepariwisataan, Bali Tourism Board, dll.
PEMERINTAH UUD 1945
DLL
PERDAGANGAN VALAS BUKAN BANK KEAMANAN PUBLIK UU KEPOLISIAN SISTEM HUKUM INTERNAL
DLL
PEMDA UU 32/2004 PERDA RTWR
4. Konstruksi dan Perlakuan Hukum yang Utuh terhadap Perdagangan Valas Bukan Bank
MASYARAKAT Masyarakat adat, Majelis Desa, Keamanan Desa
INSTANSI PEMERINTAH: Kejaksaan, pengadilan
(b) Visi politik pemerintah terhadap pengaturan perdagangan valas bukan bank: urgen/tidaknya, sudah/belumnya dirumuskan kebijakan pengaturan;
Pengaturan perdagangan valas bukan bank
(c) Visi politik pemerintah terhadap kelembagaan dan
seharusnya diselenggarakan berdasarkan karakter
kewenangan yang diberikan terhadap kelembagaan
alamiah (the nature) dari perdagangan valas bukan
dimaksud dalam mengatur perdagangan valas bukan
bank, yaitu:
bank: cakupan kewenangan dan susbtansi
(a) Memperhitungkan seluruh aspek karakter perdagangan valas bukan bank (historis, politik, ekonomi, dan hukum); (b) Mencakup sistem internal dan sistem eksternal
kewenangan; (d) Bentuk pengaturan perdagangan valas bukan bank sebagai bentuk perwujudan visi-visi politik pengaturan dimaksud.
perdagangan valas bukan bank; (c) Memperhitungkan konstruksi dan perlakuan
Berdasarkan model periodesasi kebijakan, perkembangan
hukum yang berlaku terhadap sistem internal
politik hukum pengaturan perdagangan valas bukan
dan sistem eksternal.
bank diklasifikasikan atas empat periode, yaitu: (a) Masa Pemerintahan Hindia Belanda (- 1945);
D. POLITIK HUKUM PENGATURAN PERDAGANGAN VALAS BUKAN BANK
(b) Masa Soekarno (1945 - 1966); (c) Masa Soeharto (1966 - 1999); dan (d) Masa Reformasi (1999 - sekarang).
Politik hukum merupakan rasio pengaturan dalam bentuk rumusan-rumusan kebijakan yang melatarbelakangi
1. Masa Pemerintahan Hindia Belanda (-1945)
tindak pengaturan suatu obyek pengaturan. Politik hukum memuat visi dan misi pengaturan, keputusan
Politik hukum dalam pengaturan perdagangan valas
substantif terhadap berbagai pilihan (choices) yang
pada masa Hindia Belanda dapat ditelusuri melalui
kemudian ditetapkan sebagai materi norma. Ada 4
beberapa instrumen hukum, antara lain:
(empat) aspek visi kebijakan yang ditelusuri melalui
a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1964 tentang
eksplorasi ini, yaitu: (a) Visi politik pemerintah terhadap hakekat/karakteristik dasar perdagangan valas bukan bank: definisi dan
Peraturan Lalu-Lintas Devisa; b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; dan c. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
konsep pengaturan perdagangan valas bukan bank;
25
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun
Di samping kedua ketentuan itu, posisi politik hukum
1964 tentang Peraturan Lalu-Lintas Devisa memberi
Pemerintah Hindia Belanda dalam pengaturan valas
gambaran umum tentang rezim moneter pada masa
bukan bank dapat ditelusuri melalui Pasal 224 Kitab
pemerintahan Kolonial Belanda. Rezim moneter yang
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal
dibangun ketika itu terbatas pada pengaturan valas
60 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
sebagai instrumen pembayaran dalam transaksi dagang dalam dan luar negeri.
Ketentuan ini mengekspresikan suatu kebutuhan dan bentuk respon Pemerintah Hindia Belanda
Rezim devisa ketika itu diarahkan pada penguasaan
terhadap ancaman pemalsuan uang yang ada pada
penuh dan kontrol penuh Pemerintah terhadap
masa Masa Pemerintahan Hindia-Belanda. Kendatipun
devisa. Rezim tersebut dibangun berdasarkan
dalam konstruksi sporadik, namun Pemerintah Hindia
Deviezen-Ordonantie 1940 (Staatsblad 1940 No.
Belanda telah memberikan respon politik hukum
205, sebagaimana telah diubah dan ditambah) serta
dalam konstruksi perlindungan hukum terhadap
Deviezen-Verordening 1940 (Staatsblad 1940 No.
keaslian mata uang rupiah, hak-hak para pelaku
291, sebagaimana telah diubah dan ditambah) yang
transaksi atas penyelenggaraan transaksi, serta citra
dibentuk pada pertengahan tahun 1940. Deviezen-
pasar uang sehat dan aman.
Ordonantie dan Deviezen-Verordening membagi masyarakat Indonesia ke dalam dua golongan, yaitu:
Ketentuan ini mencerminkan visi politik hukum yang
golongan "penduduk-devisa" dan golongan "bukan
cukup konstruktif dalam memberi respon terhadap
penduduk-devisa". Penggolongan tersebut tidak
kebutuhan hukum yang ada pada saat itu, dalam
memandang kewarganegaraan, sehingga seluruh
bentuk penyediaan fasilitas norma perlindungan
warganegara, baik Indonesia maupun asing, dapat
hukum bagi setiap orang yang melakukan transaksi,
digolongkan kedalam klas "penduduk devisa" dan
menguasai, memiliki, dan menggunakan uang kertas
"bukan penduduk devisa".
sebagai instrumen transaksi. Ketentuan tersebut mengandung politik hukum dalam bentuk
Deviezen-ordonnnatie mengatur seluruh hubungan
pengayoman dan jaminan rasa aman terhadap semua
keuangan antara "penduduk devisa" dan "bukan
pihak yang menggunakan mata uang kertas yang
penduduk devisa", sehingga transaksi-transaksi yang
dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai alat
semata-mata bergerak di dalam negeri dan tidak
transaksi. Ketentuan ini juga dapat dibaca dengan
menyangkut soal-soal devisa, sekalipun dilakukan
perspektif lain, sebagai politik hukum yang tidak
antar warga negara Indonesia terlebih dahulu harus
dibatasi pada fungsi uang kertas sebagai alat tukar
dimintakan izin dari pejabat devisa, jika salah satu
dengan barang, tetapi juga fungsi uang kertas sebagai
dari pelaku hubungan adalah klas penduduk "bukan
alat tukar terhadap uang kertas lainnya (asing).
penduduk devisa". Berdasarkan analisis tersebut, maka politik hukum Pengelompokan itu merupakan cara Pemerintah
pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dalam
Hindia-Belanda menguasai seluruh penghasilan devisa
konteks pengaturan perdagangan valas bukan bank
serta seluruh kekayaan devisa penduduk, disamping
dapat disusun dalam konstruksi berikut:
pengusaaan terhadap segala usaha dan hubungan di segala bidang yang berpotensi menimbulkan konsekwensi-konsekwensi finansiil terhadap luar negeri, dalam segala bentuknya. Kedua ketentuan itu hanya mengatur valas dalam konteks transaksi dagang dan lalu lintas pembayaran luar negeri.
26
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
POLITIK HUKUM PENGATURAN PERDAGANGAN VALAS BUKAN BANK PADA MASA PEMERINTAH HINDIA BELANDA (-1945)
No.
Peraturan
Pasal
Politik Hukum Pengaturan Perdagangan Valas
1.
Deviezen-Ordonantie dan Deviezen-Verordening
-
Belum mengatur perdagangan valas bukan bank. Hanya mengatur penguasaan dan pengendalian devisa dan valas dalam konteks transaksi dagang dan lalu lintas pembayaran luar negeri.
2.
KUHP
Pasal 244
Sudah ada, implisit. Politik hukum diarahkan pada jaminan keaslian mata uang dan transaksi perdagangan yang sehat dan aman.
3.
KUHD (Wetboek Van Kophandel) (Stb.1847 No. 23)
Pasal 60
Sudah ada, implisit. Pasar sebagai penentu nilai tukar.
2. Masa Pemerintahan Soekarno (1945 -1966)
(d) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu-Lintas Devisa; dan
Politik hukum pengaturan valas bukan bank pada masa pemerintahan Soekarno dapat ditelusuri melalui
(e) PP No.6 Tahun 1965 Nilai Lawan Valuta Asing Dalam Rupiah.
beberapa instrumen hukum, antara lain: (a) Undang-Undang Dasar 1945;
Politik hukum pengaturan perdagangan valas bukan
(b) Undang-undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951
bank dalam periode masa Soekarno dapat disusun
tentang Penghentian Berlakunya “Indische
dalam konstruksi berikut:
Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang; (c) Ketetapan MPR Sementara No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola pembangunan Nasional Semesta Berentjana Tahapan Pertama 1961-1969; POLITIK HUKUM PENGATURAN PERDAGANGAN VALAS BUKAN BANK PADA MASA PEMERINTAHAN SOEKARNO (1945 – 1966)
No.
Peraturan
Pasal
1.
Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 23 ayat 3 Penjelasan Pasal 23
2.
UU Drt No. 20 Tahun 1961
Pasal 3 sampai Pasal 12
Politik Hukum Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undangundang Kedudukan uang sebagai alat penukar dan pengukur harga sangat berpengaruh atas masyarakat. Sebagai alat penukar, untuk memudahkan pertukaran jual beli dalam masyarakat. Penetapan mata uang rupiah sebagai alat bayar yang sah dalam setiap transaksi dan pembayaran di dalam wilayah negara RI. Penetapan lembaga yang berwenang membuat uang dan Menteri Keuangan sebagai penentu desain mata uang. Penetapan bahan uang.
27
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
No.
Peraturan
Pasal
3.
Tap MPR Sementara No. II/MPRS/1960
Pasal 7 ayat 3
4.
UU No.32 Tahun 1964 tentang Bagian Menimbang Peraturan Lalu Lintas Devisa Huruf b Pasal 11
5.
PP No.6 Tahun 1965 Nilai Lawan Valuta Asing Dalam Rupiah
Politik Hukum Dalam perekonomian nasional diperlukan adanya sistem moneter yang sehat dan stabil guna melancarkan produksi, distribusi, dan perdagangan serta peredaran uang yang berencana. Mengatur valas dalam sebagai bagian dari transaksi perdagangan (ekspor/impor) dan sistem pembayaran dalam transaksi tersebut. Politik nilai tukar rupiah.
Pasal 1
Valuta asing yang dibeli oleh Dana Devisa dan valuta asing yang dijual oleh Dana Devisa diperhitungkan dalam rupiah berdasarkan nilai transaksi rupiah US $ 1 = Rp. 250, dengan pengertian bahwa Dana Devisa dapat mengadakan perbedaan antara nilai beli dan nilai jual yang tidak boleh lebih dari 2 % dari nilai transaksi tersebut.
Masa Soekarno (1945-1966) belum secara eksplisit
cakupan kewenangan dan susbtansi kewenangan;
penetapkan visi politik terhadap hakekat/karakteristik
bentuk pengaturan perdagangan valas bukan bank
dasar perdagangan valas bukan bank (definisi dan
sebagai bentuk perwujudan visi-visi politik pengaturan
konsep pengaturan perdagangan valas bukan bank).
dimaksud.
Visi politik masa ini terhadap hakekat perdagangan
Visi politik masa ini lebih menempatkan valas sebagai
valas bukan bank belum terbangun secara konstruktif.
instrumen transaksi dan sistem pembayaran dalam
Hal yang sama juga berlaku terhadap visi politik
transaksi perdagangan ekspor/impor dan sistem
pemerintah terhadap pengaturan perdagangan valas
pembayaran internasional dalam konteks
bukan bank: urgen/tidaknya, sudah/belumnya
perdagangan tersebut.
dirumuskan kebijakan pengaturan. Masa ini sudah mengatur, namun masih dalam sifat implisit dan
3. Masa Pemerintahan Soeharto (1966 – 1999)
tidak langsung. Demikian juga berkenaan dengan visi politik terhadap kelembagaan dan kewenangan
Visi politik moneter Masa Soeharto dalam kaitan
yang diberikan terhadap kelembagaan dimaksud
dengan politk hukum pengaturan valas bukan bank
dalam mengatur perdagangan valas bukan bank:
dapat dirumuskan dalam konstruksi berikut:
POLITIK HUKUM PENGATURAN PERDAGANGAN VALAS BUKAN BANK PADA MASA PEMERINTAHAN SOEHARTO (1966 – 1999) No. 1.
28
Peraturan GBHN 1973
Politik Hukum Belum mencanangkan politik hukum dalam pengaturan perdagangan valas bukan bank. Bidang Arah dan Kebijakan Pembangunan, sub Bidang Ekonomi, angka 16 hanya menyinggung secara umum penyelenggaraan politik moneter. Politik moneter dipandang sebagai bagian dari kebijakan integral pembangunan dan pada masa itu diarahkan pada perbaikan kelembagaan. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN bahkan sepenuhnya mengabaikan kebijakan moneter. Pembangunan ekonomi diarahkan pada pembangkitan potensi ekonomi dari kekuatan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
No.
Peraturan
Politik Hukum
2.
GBHN 1978
Kegiatan perdagangan diarahkan; Untuk penyaluran sarana-sarana produksi dan peningkatan hasil-hasil produksi Pembinaan perdagangan dan tata niaga dalam maupun luar negeri. Untuk meningkatkan pendapatan produsen, menguntungkan konsumen, meningkatkan ekspor, dan memperbesar penerimaan devisa negara.
3.
GBHN 1983
Pembangunan ekonomi diarahkan pada pembangkitan potensi ekonomi dari kekuatan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil.
4.
GBHN 1988
Pembangunan perdagangan diarahkan untuk meningkatkan produksi sesuai perkembangan kebutuhan pembangunan serta perkembangan ekonomi dunia. Pembangunan perdagangan ditujukan untuk meningkatkan pendapatan produsen, menjamin kepentingan konsumen, memperluas lapangan pekerjaan dan meningkatkan penerimaan devisa.
5.
UU No.7 Tahun, 1992 Sebagaimana diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, Bank Umum dapat pula melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Berdasarkan hasil dan pembahasan terhadap hasil
4. Masa Reformasi (1999 – sekarang)
penelitian tersebut, visi politik Masa Soeharto dalam pengaturan perdagangan valas bukan bank dapat
Visi politik hukum pengaturan perdagangan valas
disimpulan bahwa Masa ini belum memiliki visi
bukan bank dalam visi politik moneter Masa Reformasi
politik terhadap hakekat/karakteristik dasar
dapat ditelusuri melalui beberapa produk peraturan
perdagangan valas bukan bank: definisi dan konsep
perundang-undangan, antara lain:
pengaturan perdagangan valas bukan bank. Masa
(a) UU No.25 Tahun 2000 tentang Propernas 2000-
ini juga belum memiliki visi politik terhadap
2004.
pengaturan perdagangan valas bukan bank:
(b) UU No.17 Tahun 2007 Tentang RPJPN 2005-2025.
urgen/tidaknya, sudah/belumnya dirumuskan
(c) P.P. No.7 Tahun 2005 tentang RPJPM Tahun 2004-
kebijakan pengaturan, demikian juga berkenaan dengan visi politik terhadap kelembagaan dan kewenangan yang diberikan terhadap kelembagaan
2009. (d) UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Nilai Tukar.
dimaksud dalam mengatur perdagangan valas
(e) UU No. 23 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia.
bukan bank: cakupan kewenangan dan susbtansi
(f) UU No.15 tahun 2002 Sebagaimana diubah.
kewenangan; serta bentuk pengaturan perdagangan valas bukan bank sebagai bentuk perwujudan visi-visi politik pengaturan dimaksud.
dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. (g) Peraturan Bank Indonesia No.6/I/PBI/2004. Berdasarkan ketentuan tersebut, politik pengaturan perdagangan valas bukan bank pada masa reformasi dapat dirumuskan dalam konstruksi berikut:
29
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
POLITIK PENGATURAN PERDAGANGAN VALAS BUKAN BANK PERIODE REFORMASI (1999 – SEKARANG)
No.
Peraturan
Politik Hukum
1.
UU No.25 Tahun 2000 tentang Propernas 2000 – 2004
Kerangka politik di dalam Undang-Undang ini belum menyentuh aspek karakter perdagangan valas bukan bank, demikian juga dari segi kelembagaan, kewenangan, dan bentuk pengaturannya. Namun demikian, kerangka politik itu secara jelas memberikan indikasi bahwa masalah nilai tukar merupakan aspek dari politik moneter.
2.
UU No.17 Tahun 2007 Tentang RPJPN 2005 – 2025
Visi Undang-Undang ini mengandung politik pengembangan lembaga keuangan non-bank. Lembaga keuangan non-bank masih didefinisi sama dengan definisi Propernas, dan karena itu tidak mencakup lembaga jasa penukaran uang (money changer). Visi politik hukum Undang-undang ini, dalam bidang moneter dan perdagangan valas bukan bank, sama dengan visi politik Undang-Undang propernas.
3.
P.P. No.7 Tahun 2005 tentang RPJPM Tahun 2004 – 2009
PP ini meletakkan visi politik tentang industri jasa keuangan non-bank, merupakan pintu utama penempatan perdagangan valas bukan bank sebagai aspek kebijakan moneter.
4.
UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Nilai Tukar
Visi politik Undang-undang ini terbatas pada sistem pembayaran internasional dan devisa sebagai asset dan kewajiban finansial yang digunakan dalam transaksi internasional. Lalu lintas Devisa merupakan perpindahan asset dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan asset dan kewajiban financial luar negeri antar penduduk.
5.
UU No. 23 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia
Perdagangan valas bukan bank, sesuai dengan karakteristik kegiatannya, berada dalam alokasi kewenangan satu (moneter). Pengaturan valas bukan bank tidak dapat dimasukkan kedalam alokasi kewenangan kedua dan ketiga, karena kewenangan kedua berkenaan dengan jasa pembayaran dalam transaksi ekspor/impor dan kewenangan ketiga berkenaan dengan pengaturan bank.
6.
UU No.15 tahun 2002 Sebagaimana diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Mengkualifikasikan pedagang valas bukan bank sebagai penyedia jasa keuangan. Mendefinisikan pedagang valas bukan bank sebagai lembaga penunjang sektor keuangan.
7.
Peraturan Bank Indonesia No.6/1/PBI/2004
Mendefinisikan posisi dan fungsi pedagang valas bukan bank sebagai komponen pasar valas domestik, yang memiliki potensi strategis dalam memelihara dan mendukung pencapaian stabilitas nilai rupiah, khususnya perkembangan pasar valuta asing domestik.
30
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
5. Konstruksi Politik Hukum pengaturan Perdagangan Valas Bukan Bank
berkembang sangat pesat dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat, memerankan fungsifungsi ekonomi dan moneter yang penting dan
Berdasarkan analisis di atas, maka konstruksi politik
strategis, terutama dari segi fungsi uang sebagai
hukum pengaturan perdagangan valas bukan bank
alat tukar, alat pemenuhan kewajiban, dan alat
dapat dirumuskan sebagai berikut:
penimbunan kekayaan;
(a) Politik moneter mencakup keseluruhan aspek
(e) Sebagai suatu bentuk kegiatan perdagangan
pengurusan uang dalam kehidupan suatu negara,
uang/pasar uang, perdagangan valas bukan bank
baik berkenaan dengan: penerbitan, pengelolaan,
merupakan aspek politik moneter. Visi politik
pengendalian, dan penarikannya kembali;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
penentuan bahan dan desain; penentuan nilai
RPJPN 2005-2025 dan PP Nomor 7 Tahun 2005
tukar; fungsi uang sebagai alat tukar, alat bayar,
tentang RPJM Tahun 2004-2009 sekalipun tidak
alat pemenuhan kewajiban, dan alat pembiayaan;
secara tegas mengkualifikasi perdagangan valas
pasar uang; kelembagaan, sistem, pengendalian,
bukan bank sebagai salah satu bentuk lembaga
dan pengawasannya; sebagai alat penimbun
keuangan non-bank, namun substansi politik
kekayaan; dan lain sebagainya;
moneter dari kedua ketentuan ini (stabilitas ekonomi dan keuangan, pemeliharaan nilai tukar,
(b) Perdagangan valas bukan bank merupakan suatu
keragaman lembaga keuangan, pemantapan
bentuk kegiatan kekuangan dalam bentuk
stabilitas ekonomi makro, pengaturan dan
penukaran uang (jual-beli) antara si peyedia jasa
pengawasan industri jasa keuangan non-bank)
penukaran (penjual) dengan si pemakai jasa
secara tegas telah membuka peluang bagi
penukaran (pembeli) yang bersifat khas, khusus
perdagangan valas bukan bank sebagai aspek
(particular) yang berlangsung di dalam pasar
kebijakan moneter yang penting.
valas bukan bank. Sifat khas perdagangan valas bukan bank membuat perdagangan valas bukan
(f) Visi politik moneter Undang-undang BI yang
bank tidak dapat dimasuk kedalam jenis kegiatan
menempatkan rupiah sebagai alat tukar dan
pasar uang lainnya, seperti: perdagangan valas
alat bayar resmi di dalam wilayah negara RI
pada umumnya, perdagangan valas oleh bank,
(bersifat mandatory) dengan sendirinya
atapun sistem pembayaran;
menempatkan perdagangan valas bukan bank sebagai komponen penting dalam mendukung
(c) Perdagangan valas bukan bank merupakan
lalu lintas pembayaran dan transaksi dalam
kegiatan perdagangan uang yang nyata ada,
negeri. Visi politik itu terbukti ditindaklanjuti
tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan
oleh BI dengan menerbitkan PBI Nomor
masyarakat; merupakan lembaga perdagangan
6/1/PBI/2004 yang secara tegas mengakui realita
uang yang sangat vital dalam penyelenggaraan
sosial-ekonomi posisi dan fungsi perdagangan
perdagangan jasa pariwisata yang praktis, cepat,
valas bukan bank sebagai komponen strategis
nyaman, dan efisien; berposisi sebagai media
pasar valas asing domestik dan penyelenggaraan
penukaran uang yang sangat dibutuhkan oleh
politik moneter negara, termasuk memelihara
wisatawan dan masyarakat; secara nyata
dan mendukung keterwujudan stabilitas nilai
memberi jawaban konkret terhadap kebutuhan
rupiah, meningkatkan penerimaan devisa
masyarakat terhadap tempat penukaran uang
negara secara tidak langsung melalui
yang cepat, praktis, nyaman, dan efisien;
perdagangan jasa pariwisata, serta pelayanan kebutuhan akan jasa penukaran uang yang
(d) Perdagangan valas bukan bank merupakan salah
cepat dan praktis.
satu bentuk lembaga perdagangan uang yang
31
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
(g) Politik moneter yang terkandung di dalam UU
(1) Undang-Undang Dasar 1945;
BI dan PBI merupakan jawaban atas kebutuhan
(2) Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951
terhadap layanan jasa penukaran uang asing
tentang penghentian berlakunya “Indische Muntwet
domestik, terutama dalam konteks perdagangan
1912” dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata
jasa pariwisata, dan kebutuhan masyarakat
Uang;
terhadap layanan jasa penukaran uang yang
(3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1964 Tentang
cepat, praktis, dan aman. Berdasarkan kebutuhan
Peraturan Lalu-Lintas Devisa;
ini, perdagangan valas bukan bank sudah saatnya
(4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang
diberikan perlakuan politik moneter dan politik
Bank Sentral;
hukum pengaturan yang pas, tepat, dan sesuai
(5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
dengan karakter suigeneris-nya.
Bank Indonesia; (6) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang
E. KONSTRUKSI KEWENANGAN BI DALAM
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar;
PENGATURAN PERDAGANGAN VALAS BUKAN BANK
(7) Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/1/PBI/2004 tentang Pedagang Valuta Asing.
Konstruksi kewenangan BI dalam perdagangan valas bukan bank dapat dieksplorasi melalui keberadaan
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka peta kewenangan
beberapa instrumen hukum yang mengatur langsung
BI dalam pengaturan perdagangan valas bukan bank
maupun tidak langsung kewenangan BI dalam soal itu.
dapat dirumuskan dalam konstruksi berikut:
Instrumen tersebut, antara lain: KONSTRUKSI KEWENANGAN BI DALAM PENGATURAN PERDAGANGAN VALAS BUKAN BANK
No.
32
Undang-Undang
Konstruksi Kewenangan
1.
Undang-Undang Dasar 1945
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.
2.
Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951 tentang PENGHENTIAN BERLAKUNYA “Indische Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang
-
3.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1964 Tentang Peraturan Lalu-Lintas Devisa
Kewenangan-kewenangan BI yang diatur di dalam ketentuan ini sepenuhnya berkenaan dengan lalu-lintas devisa.
4.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral
BI sudah mengemban kewenangan moneter, yaitu: kewenangan untuk menerbitkan dan menarik kembali uang, memelihara stabilitas nilai tukar uang sebagai alat bayar, dan mengawasi serta membina lembaga-lembaga keuangan yang memiliki posisi yang berpengaruh terhadap keberadaan rupiah.
5.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
Kewenangan-kewenangan BI yang diatur di dalam ketentuan ini sepenuhnya berkenaan dengan lalu-lintas devisa.
6.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
BI mengemban kewenangan untuk menentapkan ketentuan tentang kegiatan valas, tetapi terbatas pada perdagangan valas oleh bank.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
No.
Undang-Undang
Konstruksi Kewenangan
7.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
Pengaturan perdagangan valas bukan bank masuk kedalam lingkup kewenangan BI dan merupakan bagian dari kewenangan penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Dalam hal BI mengatur perdagangan valas bukan bank maka BI harus menggunakan bentuk hukum PBI
F. DASAR, RUANG LINGKUP, SUBSTANSI, DAN
Bank adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat.17
PENYELENGGARAAN KEWENANGAN BI
Dari pengertian obyek kewenangan dari kedua aspek kewenangan ini, perdagangan valas bukan bank jelas
Sejak permulaan pengaturan posisi dan fungsi BI (1968),
bukan merupakan cakupan dari kedua obyek dari aspek
BI telah diposisikan sebagai lembaga yang bertugas
kewenangan itu.
mengemban fungsi moneter. Pada masa-masa berikutnya, posisi BI itu semakin ditata dan dimatangkan dalam
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
rangka pengembanan fungsi-fungsinya yang diharapkan
menentukan bahwa dalam rangka menetapkan dan
semakin efektif dan efisien.
melaksanakan kebijakan moneter Bank Indonesia berwenang melakukan pengendalian moneter
Dasar kewenangan BI dalam menetapkan dan
dengan menggunakan cara-cara yang tidak terbatas
menyelenggarakan kebijakan moneter adalah Pasal 23
pada (ayat (1) b): (a) operasi pasar terbuka di pasar
D UUD NRI 1945. Pasal 23 D mengatur susunan,
uang baik rupiah maupun valuta asing; (b) penetapan
kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan
tingkat diskonto; dan (c) penetapan cadangan wajib
independensi BI sebagai bank sentral. Ketentuan
minimum; (d) pengaturan kredit atau pembiayaan.
tersebut juga menentukan bahwa susunan, kedudukan,
Ketentuan Pasal 10 ayat (1) b menunjukkan bahwa
tanggungjawab, dan indepensi demikian itu akan diatur
kewenangan pengendalian moneter yang dilaksanakan
dengan undang-undang. Pasal 8 Undang-Undang
oleh BI tidak dapat dibatasi pada obyek sebagaimana
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
secara eksplisit disebutkan di dalam Pasal 8 (valas dalam
menentukan 3 aspek kewenangan BI, yaitu: (a)
sistem devisa/pembayaran dan bank) melainkan harus
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; (b)
diperluas mencakup seluruh unsur yang berpengaruh
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
langsung terhadap stabilitas moneter. Demikian juga
dan (c) mengatur dan mengawasi Bank.
mengenai cara-caranya, tidak dapat dibatasi hanya pada cara-cara yang secara eksplisit disebutkan di dalam
Penjelasan Pasal 8 menentukan bahwa tugas-tugas
Pasal 10 ayat (1) b.
tersebut berkaitan dengan pencapaian kestabilan nilai rupiah. Tugas menetapan dan melaksanakan kebijakan
Kewenangan tersebut dilaksanakan oleh BI dalam rangka
moneter dilakukan antara lain melalui pengendalian
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal
jumlah uang beredar. Kewenangan kedua dan ketiga,
7). Pasal 2 menentukan bahwa Rupiah (Rp) merupakan
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
satuan mata uang dan alat pembayaran yang sah di
dan mengatur dan mengawasi bank, secara jelas
wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 2). Pasal 2 ayat
mengarahkan obyek kewenangan itu pada sistem
(3) menentukan bahwa Setiap perbuatan yang
pembayaran dan bank. Sistem pembayaran adalah
menggunakan uang atau mempunyai tujuan pembayaran
sistem pemindahan dana guna memenuhi suatu
atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang jika
kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.16
dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia wajib
16 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
17 Pasal 1 angka 5, ibid.
33
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
menggunakan uang rupiah. Setiap orang atau badan
dengan kewenangan PERIZINAN.21 Kewenangan ini
yang berada di wilayah negara Republik Indonesia
umumnya mencakup kewenangan: (a) penerbitan izin;
dilarang menolak untuk menerima uang rupiah yang
(b) pengawasan izin; dan (c) penegakan izin.22
penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang
Ketentuan Pasal 5 PBI 6/2004 menentukan bahwa pelaku
(ayat (4)). Setiap orang asing yang akan memenuhi
perdagangan valas bukan bank dapat melakukan
kewajibannya dalam bentuk uang di wilayah negara RI
kegiatan secara sah setelah mendapatkan IZIN dari Bank
wajib terlebih dahulu mengkonversi mata uang mereka
Indonesia. Ketentuan ini mengandung makna bahwa
dengan mata uang Indonesia. Penukaran itu dapat
setiap calon pelaku perdagangan valas bukan bank untuk
dilakukan di bank ataupun tempat penukaran uang
dapat melakukan perdagangan valas terlebih dahulu
bukan bank (money changer).
harus memperoleh izin dari BI. Setiap perdagangan valas bukan bank yang melakukan jual beli valas sebelum
Menurut Pasal 12, BI melaksanakan kebijakan nilai tukar
mendapatkan izin dari BI merupakan pelanggaran
berdasarkan sistem nilai tukar yang telah ditetapkan.
terhadap ketentuan ini. Ketentuan ini sekaligus
Berdasarkan ketentuan ini, BI juga memegang
merupakan dasar kewenangan BI untuk melakukan
kewenangan penetapan nilai tukar.
penertiban terhadap pedagangan valas bukan bank yang TIDAK BERIZIN. Ketentuan ini memberikan kewenangan
Ketentuan Pasal 7 dan Pasal 12 semakin menegaskan
penuh kepada BI untuk melindungi pasar valas bukan
posisi perdagangan valas bukan bank. Ketentuan-
bank berizin dan menertibkan pelaku perdagangan valas
ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pengaturan
bukan bank yang tidak berizin.
perdagangan valas bukan bank masuk kedalam lingkup kewenangan BI dan merupakan bagian dari
Bank Indonesia seringkali mengalami kesulitan dan
kewenangan penetapan dan pelaksanaan kebijakan
hambatan hukum dalam melakukan penertiban,23
moneter: pertama, karena obyek perdagangan valas
terutama dalam soal penegakan PBI 6/2004 terhadap
bukan bank adalah UANG; kedua, perdagangan itu
pelaku perdagangan valas bukan bank tidak berizin.
berlangsung karena ada kebutuhan terhadap KONVERSI
Bank Indonesia memiliki keterbatasan kewenangan dan
MATA UANG; ketiga, penentu kesepakatan pertukaran/
dasar hukum dalam melakukan penertiban dan menindak
konvensi antara penjual dan pembeli adalah NILAI TUKAR;
pelaku perdagangan valas bukan bank tidak berizin:
dan keempat, sebagai suatu bentuk kegiatan pasar,
pertama, karena PBI merupakan bentuk pengaturan
perdagangan valas bukan bank tunduk pada hukum
administratif, yang hanya memuat ketentuan PERIZINAN
pasar dan uang tunduk pada hukum komoditas, yang
dan SANKSI ADMINISTRATIF, yang hanya dapat diterapkan
berpeluang sangat terbuka dijadikan obyek spekulasi.18
terbatas terhadap pelaku perdagangan valas bukan bank
Ketiga aspek ini merupakan bentuk kegiatan
moneter.19
berizin; kedua, sanksi pidana yang tersedia di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 (BI), dalam
Dalam hal BI mengatur perdagangan valas bukan bank
kaitan dengan kegiatan transaksi, terbatas pada
maka BI harus menggunakan bentuk hukum PERATURAN
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (3)24 dan
(PBI) sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (3). Ketentuan ini menentukan bahwa kewenangan pengaturan yang diselenggarakan BI merupakan KEWENANGAN ADMINSITRATIF,20 yaitu kewenangan yang berkenaan
18 Bandingkan: Jose Rizal Joesoef, Pasar Uang & Pasar Valuta Asing, Salemba, Jakarta, 2008, h. 8. 19 Nopirin, Ekonomi Moneter, Buku I, Edisi Ke-4, BPFE, Yogyakarta, 2009, h. 1-3. 20 Bandingkan, Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2008, h. 29.
34
21 Bandingkan: Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 179. 22 Ibid. 23 Penjelasan Pimpinan BI Denpasar dan Peserta Focus Group Discusion (FGD) dari Direktorat Pengelolaan Moneter BI, FH Unud, 14 Oktober 2010. 24 Setiap perbuatan yang menggunakan uang atau mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang jika dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia wajib menggunakan uang rupiah, kecuali apabila ditetapkan lain dengan Peraturan Bank Indonesia.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Pasal 2 ayat (4)25, dan tidak menjangkau perbuatan
bukan bank yang sehat, aman, dan terjamin. Diluar itu,
perdagangan valas oleh pelaku perdagangan valas bukan
perlindungan terhadap hak-hak pelaku perdagangan
bank tidak berizin; dan ketiga, tidak terdapat perangkat
dan pembeli valas bukan bank atas transaksi yang sehat
hukum lain yang dapat digunakan sebagai supporting
dapat dilakukan dengan mengaktifkan skema hukum
legal instrument untuk menegakkan PBI 6/2004, yaitu
pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
sanksi hukum yang tersedia di dalam instrumen hukum
Pidana (KUHP). Perlindungan untuk pelaku perdagangan
lain yang dapat ditimpakan terhadap pelaku perdagangan
valas bukan bank dari persaingan tidak sehat seharusnya
valas bukan bank tidak berizin yang melakukan
dapat dilakukan melalui skema hukum persaingan usaha,
perdagangan diluar ketentuan PBI 6/2004.
namun sayang materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Kondisi existing itu melahirkan kebutuhan hukum dalam
Persaingan Usaha Tidak Sehat mencakup persaingan
bentuk penguatan kapasitas hukum bagi BI untuk
tidak sehat yang diakibatkan oleh pelaku perdagangan
mengatasi kelemahan kapasitas hukum BI dalam
tidak berizin terhadap pelaku perdagangan berizin.26
menegakkan PBI 6/2004 terhadap pelaku perdagangan valas bukan bank tidak berizin. BI memerlukan penguatan hukum dalam bentuk penyediaan kelengkapan SANKSI
G. ANALISIS KONSTRUKSI NORMA PENGATURAN PERDAGANGAN VALAS BUKAN BANK
dan DASAR PENEGAKAN HUKUM yang oleh BI dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengemban misi
Konstruksi norma pengaturan perdagangan valas bukan
pemeliharaan citra dan pengaturan penyelenggaraan
bank disusun berdasarkan periodesasi pengaturan
perdagangan valas bukan bank yang sehat, lebih jauh
perdagangan valas bukan bank oleh penguasa yang
untuk menjamin keberlanjutan posisi dan fungsi
melakukan pengaturan pada masing-masing periode
perdagangan valas bukan bank dalam menopang
tersebut. Berdasarkan konsep ini, eksplorasi pengaturan
penyelenggaraan ekonomi nasional. Penguatan itu dapat
perdagangan valas bank dieskplorasi melalui empat
ditempuh dengan cara: pertama, memasukan materi
periode, yaitu:
perdagangan valas bukan bank secara eksplisit ke dalam
1. Masa Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda ( -1945);
UU BI lengkap dengan sanksi administratif dan sanksi
2. Masa Pemerintahan Soekarno (1945 - 1966);
pidana. Untuk keperluan ini diperlukan tindakan legislasi
3. Masa Pemerintahan Soeharto (1966 - 1999); dan
dalam bentuk perubahan UU BI. Urgensi tindakan
4. Masa Reformasi (1999 - sekarang).
legislasi ini ditentukan oleh range KESERIUSAN
Aspek-aspek norma pengaturan yang dieksplorasi,
ANCAMAN dan DAMPAK BURUK perilaku pelaku
mencakup:
perdagangan valas bukan bank tidak berizin terhadap
a. Pola Pengaturan;
citra pasar, kesehatan penyelenggaraan perdagangan
b. Struktur Norma Pengaturan;
valas bukan bank, dan keberlanjutan posisi dan fungsi
c. Cakupan Substansi pengaturan, mencakup:
perdagangan valas bukan bank dalam penyelenggaraan
c.1 Definisi valas dan Perdagangan valas bukan bank;
tata ekonomi nasional; kedua, dalam hal range
c.2 Cakupan Substansi norma;
keseriusan ancaman dan dampak buruk demikian itu
c.3 Cakupan substansi norma terhadap KOMPONEN
belum mencapai tingkat rasional untuk melakukan
SISTEM INTERNAL DAN EKSTERNAL
tindakan legislasi terhadap UUBI, maka pencegahan
PERDAGANGAN VALAS BUKAN BANK;
terhadap dampak demikian itu dapat dilakukan dengan
d. Konstruksi Norma Pengaturan;
berbagai tindakan preventif, seperti kerjsama dan koordinasi dengan berbagai pihak, pengusaha maupun LSM pariwisata atau LSM lainnya, untuk melakukan kegiatan kampanye tentang cara bertransaksi valas 25 Setiap orang atau badan yang berada di wilayah negara Republik Indonesia dilarang menolak untuk menerima uang rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang.
26 Sekalipun Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mendefinisikan persaingan usaha tidak sehat sebagai persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha, namun di dalam materi pengaturannya Undang-Undang tersebut hanya mengatur persaingan tidak sehat yang diakibatkan oleh praktek oligopoli, penetapan harga, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, penguasaan pasar, persekongkolan, dan lain-lain.
35
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Berdasarkan analisis tersebut, maka hasil penelitian
berikut:
dimaksud dapat dirumuskan dalam konstruksi sebagai
MATRIK KONSTRUKSI NORMA PENGATURAN PERDAGANGAN VALAS OLEH PEDAGANG VALAS BUKAN BANK Aspek Pengaturan Yang Diteliti Cakupan Substansi Norma No.
Masa Pengaturan
1.
MASA HINDIA BELANDA
2.
MASA SOEKARNO UU Drt 1951
Definisi: Valas; Pedagang valas; Perdagangan valas
Cakupan Komponen Sistem Internal/ Eksternal
x
x
x
x
x
Satuan mata uang Indonesia;
Belum ada
Uang rupiah sebagai instrumen pembayaran di Indonesia
Uang, mata uang rupiah, perbuatan pembayaran
3 d (1)
Pola
x
Instrumen Hukum Tunggal
Perbuatan pembayaran 3b UU BI 13/1968
Instrumen Hukum Tunggal
Kewenangan BI; Satuan mata uang; Perbuatan mengenai uang; Hubungan bank sentral dengan Pemerintah
Belum ada
Penguasaan devisa oleh negara; Dana devisa; Kewenangan BI menatausahakan devisa 3c
Kewenangan BI menatausahakan /mengurus devisa; Satuan mata uang; Perbuatan mengenai uang
3 d (3)
UU PLD 1964
Instrumen Hukum Bertingkat
Kewenangan BI dalam penatausahaan devisa/ekspor/ impor
Belum ada
Tidak ada
Tidak ada
3 d (2)
PP Nilai Lawan Valas 1965
Instrumen hukum sekunder
Nilai tukar rupiah
x
Nilai tukar
Nilai tukar/kurs
3 d (4)
idem 2
idem 2
idem 2
idem 2
idem 2
idem 2
3.
MASA SOEHARTO
4.
MASA REFORMASI UU 23/1999 BI
Pola Satuan mata pengaturan uang, tugas BI, bertingkat: kewenangan BI UU + PBI 5b
Tidak ada
Satuan mata uang, kewenangan BI, dll. c.2
Satuan mata uang, pembayaran c.3
5 d (1)
UU 24/1999 PLD
Pola Sistem nilai pengaturan tukar, bertingkat kewenangan BI mengajukan nilai tukar
Belum ada
Sistem nilai tukar; kewenangan BI c.2
Sistem nilai tukar
5 d (2)
UKA, pedagang valas
definisi, ruang lingkup, larangan, perizinan, dll. c.2
Komponen sistem internal dan eksternal c.3
5 d (3)
PBI 6/1/PBI/2004
36
Konstruksi Norma
Cakupan Substansi Berdasarkan Karakteristik Valas
Struktur Norma
UU + PBI Instrumen hukum sekunder
Definisi UKA, Ruang lingkup kegiatan pedagang valas, kurs, perizinan, lokasi, dll. 5b
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
(1) Pola Pengaturan
Pasal 8 huruf b Undang-undang dimaksud memuat azas bahwa suatu ketentuan pelaksanaan dibuat
Masa Pemerintahan Hindia Belanda (-1945)
dalam kondisi dua hal: pertama, diperintahkan oleh
menggunakan pola instrumen hukum ganda.
suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-
Disamping Deviezen-Ordonantie 1940 berlaku juga
undang; dan kedua, diperintahkan oleh suatu
Deviezen-Verordening 1940 dan Kitab Undang-
undang-undang untuk diatur dengan bentuk
Undang Hukum Dagang (KUHD- Wetboek van
peraturan perundang-undang tertentu. Materi
Koophandel).
muatan Peraturan Pemerintah berisi materi muatan untuk menjalankan Undang-Undang (Pasal 10) dan
Pola pengaturan pada Masa Pemerintahan Presiden
materi muatan Peraturan Presiden berisi materi
Soekarno bersifat variatif. Beberapa ketentuan yang
muatan yang diperintahkan oleh Undang-Undang
menggunakan POLA INSTRUMEN HUKUM TUNGGAL
atau materi untuk melaksanakan Peraturan
dan ada juga yang menggunakan instrumen hukum
Pemerintah (Pasal 11).
bertingkat. Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951 (Penghentian berlakunya Indische Muntwet
Bertolak dari penelusuran historis, azas pembentukan
1912 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968
peraturan perundang-undangan sebagaimana
(Bank Sentral) menggunakan POLA INSTRUMEN
ditentukan di dalam Pasal 5 huruf b, Pasal 10 dan
HUKUM TUNGGAL, sedangkan Undang-Undang
Pasal 11, dan berkenaan dengan pengaturan
Lalu Lintas Devisa 1963 menggunakan POLA
perdagangan valas yang kini berlaku adalah Undang-
INSTRUMEN HUKUM BERTINGKAT, yaitu undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 (Bank Indonesia)
undang dan peraturan pemerintah. Pola ini kembali
yang secara limitatif menentukan bahwa untuk
digunakan pada masa Pemerintahan Soeharto.
melaksanakan kewenangannya Bank Indonesia diberi kewenangan untuk membentuk PERATURAN BANK
Masa Pemerintahan Reformasi kembali menggunakan
INDONESIA, maka POLA PENGATURAN yang harus
POLA INSTRUMEN HUKUM BERTINGKAT. Namun,
digunakan dalam pengaturan perdagangan valas
pola instrumen yang digunakan pada Masa Reformasi.
bukan bank adalah pola yang secara limitatif telah
Bentuk pengaturan pelaksanaan dari Undang-undang
ditentukan oleh Undang-Undang, yaitu POLA
Nomor 23 Tahun 1999 (Bank Indonesia) tidak
PENGATURAN BERTINGKAT, Undang-Undang Bank
menggunakan peraturan pemerintah, melainkan
Indonesia sebagai ketentuan induknya dan
PERATURAN BANK INDONESIA sebagai konsekwensi
PERATURAN BANK INDONESIA sebagai ketentuan
dari pemusatan kewenangan moneter pada Bank
pelaksanaannya.
Indonesia. (2) Struktur Norma Pengaturan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal
Struktur norma Undang-Undang Darurat Nomor 20
5 huruf b menentukan “kelembagaan dan organ
Tahun 1951 tentang PENGHENTIAN BERLAKUNYA
yang tepat” sebagai salah satu azas pembentukan
“Indische Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan
peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal
Baru Tentang Mata Uang diatur dalam struktur norma
5 huruf b menjelaskan bahwa yang dimaksud
mencakup:
dengan azas “kelembagaan atau organ pembentuk
(a) Ketidakberlakuan uang logam yang diterbitkan
yang tepat” adalah bahwa setiap jenis peraturan
berdasarkan Indische Muntwet 1912 (Pasal 2);
perundang-undangan harus dibuat oleh
(b) satuan mata uang Indonesia (Pasal 4);
lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-
(c) posisi pemerintah dalam pembuatan uang (Pasal
undangan yang BERWENANG. Peraturan yang tidak mentaati azas ini dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
5 ayat 4); dan (d) perbuatan pembayaran dan kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang (Pasal 10).
37
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Struktur norma Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, mencakup: (a) kewenangan BI sebagai bank sentral (Pasal 7); (b) satuan hitung uang, termasuk perbuatan mengenai uang (Pasal 25); (c) hubungan bank sentral dengan pemerintah (Pasal 8).
(g) Pembukaan kantor cabang (Pasal 9 dan Pasal 10); (h) Pelaksanaan izin pembukaan kantor cabang (Pasal 11); (i) Pindah alamat kantor (Pasal 12 dan Pasal 13); (j) Perubahan pengurus atau pemegang saham (Pasal 14 dan Pasal 15); (k) Penghentian kegiatan kantor (Pasal 16);
Struktur ini dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1965 tentang Nilai Lawan Valuta Asing Dalam Nilai Rupiah diatur dalam struktur norma hanya mencakup nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Struktur norma Undang-Undang Nomor 23 Tahun
(l) Penerapan prinsip mengenal nasabah (Pasal 24, 25, 26); (m) Kewenangan BI dalam melakukan pengawasan dan pembinaan (Pasal 27). (3) Cakupan Substansi Norma Pengaturan
1999 tentang Bank Indonesia, mencakup: (a) Satuan mata uang Indonesia dan rupiah sebagai
Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951
alat pembayaran yang sah di wilayah negara
tentang PENGHENTIAN BERLAKUNYA “Indische
Indonesia (Pasal 2);
Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru
(b) Tugas BI (Pasal 7 dan 8);
Tentang Mata Uang mengatur tentang:
(c) Kewenangan BI (Pasal 10, Pasal 15);
(a) uang;
(d) Kewenangan BI dalam menetapkan kebijakan
(b) mata uang;
nilai tukar (Pasal 12); (e) Kewenangan BI dalam mengelola cadangan devisa (Pasal 13);
(c) kewenangan pemerintah dalam pembentukan uang; dan (d) serta perbuatan yang berkaitan dengan kegiatan pembayaran di Indonesia.
Struktur norma Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1964 tentang
Tukar, mencakup:
Peraturan Lalu-Lintas Devisa secara umum mengatur
(a) Sistem nilai tukar (Pasal 1 angka 4);
tentang lalu-lintas devisa. Undang-undang ini belum
(b) Kewenangan BI dalam mengajukan sistem kepada
mengatur tentang definisi valas maupun perdagangan
pemerintah (Pasal 5).
valas. Cakupan substansi Undang-undang ini meliputi: (a) penguasaan devisa oleh negara;
Struktur Pengaturan perdagangan valas dalam
(b) dana devisa;
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/1/PBI/2004
(c) kelembagaan lalu-lintas devisa (Dewan dan Biro
tentang Pedagang Valuta Asing, mencakup: (a) Definisi valuta asing (uang kertas asing) (Pasal 1 angka 1), pedagang valuta asing (Pasal 1 angka 5), pedagang valas bukan bank (Pasal 1 angka 6); (b) Ruang lingkup kegiatan pedagang valas (Pasal 2 dan Pasal 3);
(e) impor barang dan penerimaan jasa dari luar negeri atas beban dana devisa; (f) penguasaan devisa yang tidak diharuskan untuk langsung diserahkan kepada dana devisa;
(c) Kurs valas (Pasal 4);
(g) kewajiban mendaftar dan menyimpan effek;
(d) Perizinan (Pasal 5 dan Pasal 6);
(h) larangan; dan
(e) Pemeriksaan lokasi/kelayakan tempat usaha oleh
(i) ketentuan hukum pidana devisa dan hukum
BI (Pasal 7); (f) Pelaksanaan izin pembukaan kantor kegiatan (Pasal 8);
38
Lalu-Lintas Devisa); (d) ekspor barang dan pemberian jasa;
acara pidana devisa. (j) Kewenangan BI untuk menatausahakan dan mengurus devisa.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
UUPLD 1964 tidak mengatur tentang penjual dan
(d) Tugas BI, memelihara kestabilan nilai rupaih (Pasal
pembeli valas dalam pengertian perdagangan valas
7), menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan
oleh pedagang valas bukan bank. UUPLD hanya
moneter, mengatur dan menjaga kelancaran
mengatur satu komponen sistem eksternal dalam
sistem pembayaran, dan mengatur dan
konteks pengaturan perdagangan valas oleh
mengawasi Bank (Pasal 8);
pedagang valas bukan bank, yaitu posisi BI sebagai
(e) Kewenangan BI, menetapkan sasaran-sasaran
bank sentral dengan kewenangan untuk mengurus
moneter dengan memperhatikan sasaran laju
devisa. Namun demikian, kewenangan itu sama
inflasi yang ditetapkannya, melakukan
sekali tidak berkaitan dengan pengaturan
pengendalian moneter (Pasal 10), mengatur dan
perdagangan valas oleh pedagang valas bukan
menjaga kelancaran sistem pembayaran (Pasal
bank.
15); (f) Melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 belum
sistem nilai tukar yang telah ditetapkan (Pasal 12).
mengatur tentang definisi valas dan perdagangan valas. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999
Cakupan substansi norma dalam Undang-Undang
tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa
juga belum mengatur tentang definisi valas dan
dan Sistem Nilai Tukar dalam konteks pengaturan
perdagangan valas. Undang-undang ini telah
perdagangan valas oleh pedagang valas bukan bank,
mengatur tentang definisi sistem nilai tukar.
mencakup: (a) Sistem nilai tukar (Pasal 1); dan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/1/PBI/2004 tentang Pedagang Valuta Asing belum mengatur
(b) Kewenangan BI dalam menentukan sistem nilai tukar (Pasal 5).
definisikan tentang valuta asing dan perdagangan valuta asing. Namun, peraturan ini medefinisikan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/1/PBI/2004
Uang Kerta Asing (UKA) dan pedagang valuta asing.
tentang Pedagang Valuta Asing mencakup susbtansi norma yang cukup lengkap dalam pengaturan
Peraturan ini juga telah mengatur tentang definisi
perdagangan valuta asing oleh pedagang valas bukan
pedagang valuta asing bukan bank yang didefinisikan
bank. Peraturan ini mencakup substansi:
sebagai perusahaan berbadan hukum perseroan
(a) Definisi UKA, pedagang valas, dan pedagang
terbatas yang maksud dan tujuan perseroan adalah
valas bukan bank (Pasal 1);
melakukan kegiatan usaha jual beli UKA dan
(b) Ruang lingkup kegiatan pedagang valas (Pasal 2);
pembelian TC.
(c) Kegiatan pedagang valas yang dilarang (Pasal 3); (d) Penetapan kurs jual beli valas melalui mekanisme
Cakupan substansi norma pengaturan perdagangan
pasar (Pasal 4);
valas dalam konteks pengaturan perdagangan valas
(e) Perizinan (Pasal 5);
oleh pedagang valas bukan bank yang telah diatur
(f) Persyaratan izin (Pasal 6);
di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
(g) Lokasi tempat usaha (Pasal 7);
tentang Bank Indonesia, mencakup:
(h) Kewajiban melaksanakan pembukaan kegiatan
(a) Satuan mata uang negara Republik Indonesia (Pasal 2); (b) Uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di dalam wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 2). (c) Kewajiban menggunakan uang rupiah dalam pemenuhan kewajiban pembayaran di dalam wilayah negara RI (Pasal 2);
(Pasal 8); (i) Pembukaan kantor cabang (Pasal 9); (j) Persyaratan pembukan kantor cabang (Pasal 10); (k) Pelaksanaan pembukaan kantor cabang (Pasal 11); (l) Pemindahan alamat kantor (Pasal 12); (m) Pelaksanaan pemindahan alamt kantor (Pasal 13);
39
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
(n) Perubahan pengurus perusahaan (Pasal 14);
(h) Penghentian kegiatan kantor (Pasal 16);
(o) Penghentian kegiatan kantor (Pasal 16);
(i) Persyaratan penyelenggaraan kegiatan: prinsip
(p) Kewajiban penerapan prinsip mengenal nasabah (Pasal 24); (q) Kewenangan BI mengawasi pedagang valas bukan bank (Pasal 27).
mengenal nasabah (Pasal 24), tanggung jawab direksi dalam penerapan prinsip (Pasal 25, Pasal 26). (j) Kewenangan BI dalam melakukan pengawasan (Pasal 27).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah mengatur komponen internal
Sekalipun peraturan perundang-undangan tersebut
dan komponen eksternal sistem perdagangan valas.
telah mengatur definisi tentang UKA dan pedagang
Komponen internal, mencakup: satuan mata uang
valas bukan bank, namun untuk mengatur
dan posisi serta fungsi mata uang rupiah dalam lalu
PERDAGANGAN VALUTA ASING OLEH PEDAGANG
lintas pembayaran di Indonesia (Pasal 2).
VALUTA ASING BUKAN BANK ketentuan tersebut masih harus dilengkapi dengan:
Komponen eksternal, mencakup:
(a) definisi valuta asing;
(a) Tugas dan Kewenangan BI memelihara stabilitas
(b) definisi perdagangan valuta asing; dan
nilai rupiah (Pasal 7), tugas BI melaksanakan kebijakan nilai tukar (Pasal 12);
(c) definisi perdagangan valuta asing sebagai suatu sistem.
(b) Tugas BI dan kewenangan BI dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dan
Penempatan definisi demikian itu dimaksudkan untuk
mengatur dan menjaga kelancaran sistem
memenuhi persyaratan teoritik dan persyaratan teknis
pembayaran (Pasal 8), melaksanakan dan
pengaturan suatu obyek pengaturan.
memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran,
Secara teoritik, definisi merupakan bentuk
mewajibkan penyelenggara jasa sistem
penggambaran obyek pengaturan dengan seluruh
pembayaran untuk menyampaikan laporan
atribut alamiahnya, dalam sifat yang paling nyata,
tentang kegiatannya, menetapkan penggunaan
mencakup kandungan intrisik dan ekstrinsik aspek-
alat pembayaran, menetapkan Peraturan BI untuk
aspek identitasnya. Definisi dalam konteks
melaksanakan kewenangan tersebut (Pasal 15).
perancangan hukum dan kebijakan merupakan the tools of policy. Dalam konteks filsafat hukum,
Komponen sistem internal yang telah diatur di dalam
merupakan kegiatan pengidentifikasian identitas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang
suatu obyek pengaturan (naming a thing) yang
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar adalah
bertolak dari ajaran esensialisme Plato. Tujuan
sistem nilai tukar (Pasal 1 angka 4 dan Pasal 5).
utamanya adalah untuk mengidentifikasi identitas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/1/PBI/2004
suatu obyek pengaturan berdasarkan sebutan (nama)
tentang Pedagang Valuta Asing telah mengatur,
dan realitas alamiahnya dari segi sifat/ciri dasarnya,
komponen sistem internal:
bahan, sebab, pengelompokan, pengkualifikasian,
(a) Valuta asing;
tujuan, dan penanda identitas lainnya.
(b) Kegiatan usaha pedagang valas bukan bank
Pengidentifikasian ini dilakukan dengan cara
(Pasal 2);
menganalisis suatu kata atau fakta yang akan
(c) Larangan kegiatan (Pasal 3);
didefininisikan.27 Definisi merupakan dasar
(d) Kurs jual/beli valas (Pasal 4);
penyusunan konsep pengaturan, dan konsep
(e) Perizinan kegiatan (Pasal 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12,
pengaturan merupakan dasar penyusunan struktur
13, 14, );
norma, pelingkupan substansi norma, dan
(f) Persyaratan lokasi (Lasal 7); (g) Penggantian pengurus perusahaan (Pasal 15);
40
27 Ida Bagus Wyasa Putra, op.cit., h. 441.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
perumusan konstruksi redaksi norma. Pendefinisian
Kedua aspek tersebut berkaitan erat dengan
obyek pengaturan merupakan instrumen dasar
pencegahan persaingan tidak sehat, penyelenggaraan
dalam perancangan yang menentukan konsistensi
transaksi yang nyaman, citra pasar, dan keberlanjutan
dan koherensi norma.28 Pendefinisian akhirnya
posisi dan fungsi pasar valas bukan bank dalam
merupakan faktor penentu absolut ketepatan
sistem moneter Indonesia.
perlakuan hukum dan kebijakan terhadap suatu obyek pengaturan/obyek ekbijakan. Secara normatif, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10
H. KESIMPULAN 1. Perdagangan valas bukan bank merupakan obyek
Tahun 2004 (Pembentukan Peraturan Perundang-
pengaturan yang bersifat sui generis, memiliki sifat
undangan) mencanangkan azas: kejelasan tujuan,
yang sangat khas, khusus, dan hanya satu-satunya
kesesuaian jenis dan materi muatan, kejelasan
diantara rumpunnya (perdagangan valas). Sebagai
rumusan sebagai azas pembentukan peraturan
suatu obyek pengaturan yang bersifat sui generis,
perundang-undangan. Dalam Pasal 6 ditentukan
perdagangan valas bukan bank memiliki identitas
bahwa salah satu azas materi muatan peraturan
tersendiri. Pedagang valas bukan bank merupakan
perundang-undangan adalah azas kepastian hukum,
sub-sistem perdagangan valas. Perdagangan valas
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
bukan bank merupakan sistem (sistem perdagangan
Pendefinisian obyek pengaturan secara tepat
valas bukan bank). Sebagai suatu sistem, sistem
merupakan dasar pemenuhan terhadap azas
perdagangan valas bukan bank mencakup sistem
pembentukan dan azas materi muatan peraturan
internal dan sistem eksternal. Sistem internal
perundang-undangan tersebut.
perdagangan valas bukan bank mencakup komponen: (a) penjual; (b) pembeli; (c) mata uang
Dengan menggunakan pendekatan sistem,
yang ditransaksikan (obyek transaksi); (d) lokasi
perdagangan valuta asing bukan bank dapat
transaksi (pasar); dan (e) proses serta prosedur
didefinisikan sebagai sistem, yaitu sistem perdagangan
transaksi. Sistem eksternal perdagangan valas bukan
valas bukan bank. Sebagai sistem, sistem pedagang
bank mencakup komponen: (a) pemerintah; (b) Bank
valas bukan bank mencakup sistem internal dan
Indonesia; (c) masyarakat; (d) keamanan publik; (e)
sistem eksternal, sistem internal mencakup komponen
lembaga-lembaga hukum; (f) lembaga-lembaga
penjual, pembeli, obyek jual-beli (valuta), prosedur
ekonomi dan keuangan; (g) Dll.
transaksi, dll. Sedangkan komponen sistem eksternal mencakup, antara lain: BI, lembaga keamanan publik,
Berdasarkan karakter tersebut, perdagangan valas
lembaga-lembaga hukum, masyarakat, dll.
bukan bank membutuhkan PENGATURAN
Secara substantif Peraturan Bank Indonesia Nomor
TERSENDIRI yang tidak dapat dipercampurkan dengan
6/1/PBI/2004 telah mengatur sebagian besar
pengaturan valas lainnya (perdagangan valas bank).
substansi yang diperlukan dalam pengendalian dan pengembangan penyelenggaraan perdagangan
Berdasarkan identitas perdagangan valas bukan bank
valas bukan bank. Namun demikian, dari segi sifat
itu, perlakuan hukum terhadap perdagangan valas
obyek yang diatur (perdagangan valas bukan bank
bukan bank sekurang-kurangnya mencakup
sebagai sistem) ada dua komponen yang perlu
perlakuan hukum terhadap: (a) penjual; (b) pembeli;
dipertimbangkan untuk diatur, yaitu:
(c) obyek transaksi; (d) tempat transaksi; (e)
(a) manajemen dan kode etik komunitas; dan
mekanisme dan prosedur transaksi; dan (f) fasilitas
(b) sebaran penjual pada kawasan ruang tertentu,
norma yang dapat memelihara dan meningkatkan
sesuai dengan daya dukung ruang dan sebaran
posisi, fungsi, serta keberlanjutan posisi dan fungsi
konsumen.
perdagangan valas bukan bank di dalam sistem moneter nasional.
28 Ibid., h. 440.
41
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
2. Politik moneter mencakup keseluruhan aspek
merupakan aspek politik moneter. Visi politik
pengurusan uang dalam kehidupan suatu negara,
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
baik berkenaan dengan: penerbitan, pengelolaan,
RPJPN 2005-2025 dan PP Nomor 7 Tahun 2005
pengendalian, dan penarikannya kembali; penentuan
tentang RPJM Tahun 2004-2009 sekalipun tidak
bahan dan desain; penentuan nilai tukarnya; fungsi
secara tegas mengkualifikasi perdagangan valas
uang sebagai alat tukar, alat bayar, alat pemenuhan
bukan bank sebagai salah satu bentuk lembaga
kewajiban, dan alat pembiayaan; pasar uang;
keuangan non-bank, namun substansi politik
kelembagaan, sistem, pengendalian, dan
moneter dari kedua ketentuan ini (stabilitas
pengawasannya; sebagai alat penimbun kekayaan;
ekonomi dan keuangan, pemeliharaan nilai tukar,
dan lain sebagainya;
keragaman lembaga keuangan, pemantapan stabilitas ekonomi makro, pengaturan dan
Perdagangan valas bukan bank merupakan suatu
pengawasan industri jasa keuangan non-bank)
bentuk kegiatan keuangan dalam bentuk penukaran
secara tegas telah membuka peluang bagi
uang (jual-beli) antara si peyedia jasa penukaran
perdagangan valas bukan bank sebagai aspek
(penjual) dengan si pemakai jasa penukaran (pembeli)
kebijakan moneter yang penting.
yang bersifat khas, khusus (particular) yang berlangsung di dalam pasar valas bukan bank. Sifat
Visi politik moneter Undang-undang BI yang
khas perdagangan valas bukan bank membuat
menempatkan rupiah sebagai alat tukar dan alat
perdagangan valas bukan bank tidak dapat dimasukan
bayar resmi di dalam wilayah negara RI (bersifat
kedalam jenis kegiatan pasar uang lainnya, seperti:
mandatory) dengan sendirinya menempatkan
perdagangan valas pada umumnya, perdagangan
perdagangan valas bukan bank sebagai komponen
valas oleh bank, atapun sistem pembayaran;
penting dalam mendukung lalu lintas pembayaran dan transaksi dalam negeri. Visi politik itu terbukti
Perdagangan valas bukan bank merupakan kegiatan
ditindaklanjuti oleh BI dengan menerbitkan PBI
perdagangan uang yang nyata ada, tumbuh, dan
Nomor 6/PBI/2004 yang secara tegas mengakui
berkembang dalam kehidupan masyarakat;
realita sosial-ekonomi posisi dan fungsi
merupakan lembaga perdagangan uang yang sangat
perdagangan valas bukan bank sebagai komponen
vital dalam penyelenggaraan perdagangan jasa
strategis pasar valas asing domestik dan
pariwisata yang praktis, cepat, nyaman, dan efisien;
penyelenggaraan politik moneter negara, termasuk
berposisi sebagai media penukaran uang yang sangat
memelihara dan mendukung keterwujudan
dibutuhkan oleh wisatawan dan masyarakat; secara
stabilitas nilai rupiah, meningkatkan penerimaan
nyata memberi jawaban konkret terhadap kebutuhan
devisa negara secara tidak langsung melalui
masyarakat terhadap tempat penukaran uang yang
perdagangan jasa pariwisata, serta pelayanan
cepat, praktis, nyaman, dan efisien.
kebutuhan akan jasa penukaran uang yang cepat dan praktis.
Perdagangan valas bukan bank merupakan salah satu bentuk lembaga perdagangan uang yang
Politik moneter yang terkandung di dalam UU BI dan
berkembang sangat pesat dalam kehidupan sosial
PBI merupakan jawaban atas kebutuhan terhadap
ekonomi masyarakat, memerankan fungsi-fungsi
layanan jasa penukaran uang asing domestik,
ekonomi dan moneter yang penting dan strategis,
terutama dalam konteks perdagangan jasa pariwisata,
terutama dari segi fungsi-fungsi uang sebagai alat
dan kebutuhan masyarakat terhadap layanan jasa
tukar, alat pemenuhan kewajiban, dan alat
penukaran uang yang cepat, praktis, dan aman.
penimbunan kekayaan.
Berdasarkan kebutuhan ini, perdagangan valas bukan bank sudah saatnya diberikan perlakuan politik
42
Sebagai suatu bentuk kegiatan perdagangan
moneter dan politik hukum pengaturan yang pas,
uang/pasar uang, perdagangan valas bukan bank
tepat, dan sesuai dengan karakter suigeneris-nya.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
3. Dasar kewenangan BI dalam menetapkan dan
Indonesia (Pasal 2). Pasal 2 ayat (3) menentukan
menyelenggarakan kebijakan moneter adalah Pasal
bahwa Setiap perbuatan yang menggunakan uang
23 D UUD NRI 1945. Pasal 23 D mengatur susunan,
atau mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban
kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan
yang harus dipenuhi dengan uang jika dilakukan
independensi BI sebagai bank sentral. Ketentuan
di wilayah negara Republik Indonesia wajib
tersebut juga menentukan bahwa susunan,
menggunakan uang rupiah. Setiap orang atau
kedudukan, tanggungjawab, dan independensi
badan yang berada di wilayah negara Republik
demikian itu akan diatur dengan undang-undang.
Indonesia dilarang menolak untuk menerima uang
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai
tentang Bank Indonesia menentukan 3 aspek
pembayaran atau memenuhi kewajiban yang harus
kewenangan BI, yaitu: (a) menetapkan dan
dipenuhi dengan uang (ayat (4)). Setiap orang asing
melaksanakan kebijakan moneter; (b) mengatur dan
yang akan memenuhi kewajibannya dalam bentuk
menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan (c)
uang di wilayah negara RI wajib terlebih dahulu
mengatur dan mengawasi Bank.
mengkonversi mata uang mereka dengan mata uang Indonesia. Penukaran itu dapat dilakukan di
Penjelasan Pasal 8 menentukan bahwa tugas-tugas
bank ataupun tempat penukaran uang bukan bank
tersebut berkaitan dengan pencapaian kestabilan
(money changer).
nilai rupiah. Tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dilakukan antara lain melalui
Menurut Pasal 12, BI melaksanakan kebijakan nilai
pengendalian jumlah uang beredar.
tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang telah ditetapkan. Berdasarkan ketentuan ini, BI juga
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
memegang kewenangan penetapan nilai tukar.
menentukan bahwa dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter Bank Indonesia
Ketentuan Pasal 7 dan Pasal 12 semakin menegaskan
berwenang melakukan pengendalian moneter
posisi perdagangan valas bukan bank. Ketentuan-
dengan menggunakan cara-cara yang tidak
ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pengaturan
terbatas pada: (a) operasi pasar terbuka di pasar
perdagangan valas bukan bank masuk kedalam
uang baik rupiah maupun valuta asing; (b) penetapan
lingkup kewenangan BI dan merupakan bagian dari
tingkat diskonto; dan (c) penetapan cadangan wajib
kewenangan penetapan dan pelaksanaan
minimum; (d) pengaturan kredit atau pembiayaan.
kebijakan moneter.
Ketentuan Pasal 10 ayat (1) b menunjukkan bahwa kewenangan pengendalian moneter yang
Pasal 10 ayat (3) UUBI menentukan bahwa
dilaksanakan oleh BI tidak terbatas pada obyek
kewenangan BI merupakan KEWENANGAN
sebagaimana secara eksplisit disebutkan di dalam
ADMINSITRATIF, yaitu kewenangan PERIZINAN.
Pasal 8 (valas dalam sistem devisa/pembayaran dan
Kewenangan tersebut mencakup kewenangan: (a)
bank), melainkan mencakup seluruh unsur yang
penerbitan izin; (b) pengawasan izin; dan (c)
berpengaruh langsung terhadap stabilitas moneter.
penegakan izin. Kewenangan demikian itu
Demikian juga mengenai cara-caranya, tidak dapat
mengakibatkan kewenangan BI terbatas pada pelaku
dibatasi hanya pada cara-cara yang secara eksplisit
perdagangan valas bukan bank berizin dan tidak
disebutkan di dalam Pasal 10 ayat (1) b.
mencakup pelaku perdagangan valas bukan bank yang tidak berizin.
Kewenangan tersebut dilaksanakan oleh BI dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai
4. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004,
rupiah (Pasal 7). Pasal 2 menentukan bahwa Rupiah
konstruksi substansi norma pengaturan perdagangan
(Rp) merupakan satuan mata uang dan alat
valas bukan bank harus bertolak dari karakteristik
pembayaran yang sah di wilayah negara Republik
perdagangan valas bukan bank, yaitu perdagangan
43
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
valas bukan bank sebagai sistem perdagangan,
Pengkonstruksian norma hukum dalam mengatur
mencakup sistem internal dan sistem eksternal.
sistem internal perdagangan valas bukan bank perlu
Berdasarkan ketentuan dan realita tersebut, serta
memperhatikan karakter sistem hukum internal
berbagai RASIO NORMA lainnya (politik, konstruksi
perdagangan valas bukan bank, sekurang-kurangnya
kewenangan, dan konstruksi norma), maka penelitian
mencakup: Undang-Undang BI dan PBI Perdagangan
ini menghasilkan 4 (empat) tesis:
Valas Bukan Bank, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang PT, Undang-Undang Nomor 25 Tahun
TESIS 1
2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1982 Tentang Tanda Daftar
Dalam rangka memberikan perlakuan hukum secara
Perusahaan, Perda Tata Ruang daerah setempat,
tepat, sesuai dengan hakekat perdagangan valas
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-
bukan bank sebagai sistem perdagangan, maka
Undang Nomor 18 Tahun 2007 tentang Tata Cara
perlakuan hukum terhadap perdagangan valas bukan
Perpajakan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
bank harus mencakup perlakuan hukum terhadap
(KUHP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
sistem internal dan sistem eksternal. Konstruksi
tentang Hukum Acara Pidana dan ketentuan-
perlakuan hukum terhadap sistem internal
ketentuan Hukum Acara Perdata.
perdagangan valas bukan bank sekurang-kurangnya, mencakup: (a) Perlakuan hukum terhadap penjual
Tesis ini tidak meningkatkan kapasitas BI secara
valas; (b) Perlakuan hukum terhadap pembeli valas;
hukum untuk menjangkau perilaku pelaku
(c) Perlakuan hukum terhadap obyek transaksi (nilai
perdagangan valas bukan bank yang tidak berizin,
tukar); (d) Perlakuan hukum terhadap lokasi
namun memperbesar peluang bagi BI untuk
transaksi/pasar; dan (e) Perlakuan hukum terhadap
memanfaatkan skema-skema non-hukum dan
proses transaksi.
pengefektifan skema-skema hukum di luar PBI dalam mengatasi masalah tersebut.
Tesis ini melahirkan proposal perubahan PBI 6/2004: pertama, perubahan PBI untuk memasukkan aspek-
TESIS 2
aspek obyek pengaturan yang belum diserap oleh PBI ke dalam PBI; dan kedua, harmonisasi ketentuan-
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang
ketentuan PBI yang belum harmonis dengan
Bank Indonesia, sebagaimana diubah dengan
ketentuan-ketentuan hukum lain di luar UUBI dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang
PBI. PBI perlu diubah, disesuaikan dengan karakter
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
perdagangan valas bukan bank, dengan cara
1999 Tentang Bank Indonesia, sebagaimana diubah
menambahkan aspek-aspek obyek pengaturan yang
lagi dengan Undang-Undang Republik Indonesia
belum tercakup di dalam PBI, termasuk antara lain:
Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan
perubahan judul (PERDAGANGAN VALAS BUKAN
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
BANK), perubahan substansi, dan analisis norma
Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
hukum vertikal dan horisontal antara PBI dengan
undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank
undang-undang yang langsung mengatur
Indonesia Menjadi Undang-Undang, perlu diubah
perdagangan valas bukan bank sebagai suatu bentuk
dalam bentuk insersi substansi norma baru berkenaan
kegiatan perdagangan. Perancangan normanya perlu
dengan pengaturan perdagangan valas bukan bank
dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan
dalam konstruksi norma:
khusus dan teknis terhadap substansi norma
(a) Pengertian valuta asing;
ketentuan lain di luar UUBI dan PBI yang langsung
(b) Pengertian perdagangan valuta asing (valas)
menentukan penyelenggaraan perdagangan valas bukan bank.
bukan bank; (c) Setiap penyelenggaraan perdagangan valas bukan bank wajib mendapat IZIN dari Bank Indonesia;
44
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
(d) Pengaturan perdagangan valas bukan bank
Tesis ini melahirkan proposal untuk mengubah UUBI
dilakukan oleh Bank Indonesia;
untuk memasukan materi tersebut dan proposal
(e) Pengaturan perdagangan valas bukan bank oleh
untuk meningkat status PBI menjadi undang-undang.
Bank Indonesia dilakukan dengan Peraturan Bank Indonesia;
I.
REKOMENDASI
(f) Sanksi pidana bagi setiap orang yang melanggar ketentuan wajib berizin bagi setiap penyelenggaraan perdagangan valas bukan bank.
1. Pengaturan perdagangan valas bukan bank disarankan untuk diatur secara lebih komprehensif, mencakup seluruh aspek perdagangan valas bukan
Tesis ini menghendaki perubahan UUBI dalam rangka
bank sebagai sistem perdagangan.
pengembangan fungsi pengaturan perdagangan valas bukan bank oleh BI secara lebih baik, dalam
2. Untuk sementara, dengan mempertimbangkan rasio
arti secara lebih kuat dari segi kapasitas hukum.
obyek pengaturan, rasio politik, rasio kewenangan,
Dengan perubahan UUBI ini, kapasitas hukum BI
dan rasio struktur norma, BI disarankan mengatur
dalam mengatur perdagangan valas bukan bank
perdagangan valas bukan bank berdasarkan TESIS 1.
dilengkapi dengan kapasitas untuk menertibkan secara hukum dan kapasitas untuk menegakkan
3. Dalam hal tingkat kebutuhan pada setiap rasio
pengaturan itu terhadap setiap orang yang melakukan
meningkat, maka BI dapat melakukan pengaturan
perdagangan valas bukan bank, berizin maupun
berdasarkan TESIS 2 atau bahkan TESIS 3. Namun,
tidak berizin. Tesis ini tidak mengakibatkan BI
untuk dapat menentukan TESIS pengaturan secara
mendapatkan dasar keilmuan hukum untuk membuat
tepat, BI disarankan melakukan penelitian lebih
usulan peningkatan status PBI menjadi UNDANG-
mendalam berkenaan dengan rasio politik (mencakup
UNDANG. Tesis ini melahirkan proposal hukum dalam
rasio sosial dan ekonomi) pengaturan.
bentuk PRUBAHAN UNDANG-UNDANG BI, dengan memajukan usul untuk memasukkan materi pengaturan perdagangan valas bukan bank menjadi materi pengaturan moneter di dalam UUBI. POLA PENGATURAN tetap menggunakan POLA PENGATURAN BERTINGKAT, dimana UUBI berkedudukan sebagai pengaturan hukum (dasar/induk), sedangkan PBI sebagai ketentuan regulatif (hukum organik), pelaksanaan lebih teknis pengaturan yang telah ada di dalam UUBI. TESIS 3 Dalam hal fenomena sosial, politik, ekonomi, dan hukum melahirkan kebutuhan untuk meningkatkan status PBI menjadi UNDANG-UNDANG maka menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) di dalam UUBI harus dimasukkan KETENTUAN YANG MEMERINTAHKAN pengaturan perdagangan valas bukan bank dengan undang-undang.
45
Daftar Bacaan
BUKU/ARTIKEL Atiyah, The Law of Contract, Clarendon Press, Oxford, Great Britain, 1981. Sutedi, Adrian, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia: Moneter Periode 1953-1959, Unit Khusus Museum Bank Indonesia. Cambridge International English Dictionary of English, Cambridge University Press, London, 1995. Chen, Lung-chu, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented Perspective, Yale University Press, New York, 1989. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. Direktorat Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Presentasi PVA Berizin, 2010. Folsom, Ralph H., Michael Wallace Gordon, John A Spanogle, International Business Transaction, West Publishing Co, St. Paul, Minn, USA, 1992. Hitchcock, Andrew, History of Money Changer, Illustrated Timeline, http://iamthewitness.com, akses 23.00 wita, 17 Oktober 2010. Joesoef, Jose Rizal, Pasar Uang & Pasar Uang Valuta Asing, Salemba Empat, Jakarta, 2008. Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Rajawali Pres, Jakarta, 1998. Nopirin, Ekonomi Internasional, Edisi 3, BPFE, Yogyakarta, 1996. Nopirin, Ekonomi Moneter, Buku I, Edisi ke-4, BPFE, Yogyakarta, 2009. Lonley Planet, Disreputable Money Changer in Kuta, Legian, Seminyak Area, http://www.lonleyplanet.com, akses: 23.00 wita, 16 Oktober 2010. McCan, Robert L., An Outline of American Economic, United States Information Agency, USA, (?). McDougal, Myres S. and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St Johnston and J. Macdonald Douglas, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague, 1983. Museum Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia: Moneter Priode 1953-1959, akses: 23.30 wita, 5 Oktober 2010. Paton, George Whitecross, A Text-Book of Jurisprudence, Clarendon Press, Oxford, 1951. Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2008. Riegel, E.C., The Politics of Money: Breaking The English Tradition, akses: 17.00 wita, 11 Oktober, 2010. Wyasa Putra, Ida Bagus, Fungsi Hukum Dalam Pengaturan Pariwisata Sebagai Bentuk Perdagangan, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, 2010.
46
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951 Tentang Penghentian Berlakunya Indische Muntwet 1912 dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu-Lintas Devisa. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1998 Tentang Peradilan Umum. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1965 tentang Nilai Lawan Valuta Asing Dalam Nilai Rupiah. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1968 tentang Bank Asing. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/1/PBI/2004 tentang Pedagang Valuta Asing. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
47
Halaman ini sengaja dikosongkan
Era Baru Transfer Dana Di Indonesia: Shifting Ke Special Statute Jurisdiction? Oleh: Safari Kasiyanto, SH, LLM
1. Pendahuluan
yang menganut “general law jurisdictions”, aturan tentang transfer dana diatur dalam seperangkat aturan
Setelah disetujui oleh seluruh fraksi mini dalam rapat
hukum yang bersifat umum, sedangkan pada negara-
Pansus DPR RI tentang Transfer Dana pada tanggal 17
negara dengan “special law jurisdictions”, aturan tentang
Februari 2011, Rapat Paripurna DPR RI pada tangal 22
transfer dana diatur dalam aturan yang bersifat khusus.3
Februari 2011 akhirnya mengesahkan naskah Rancangan
Negara dengan “general law jurisdictions” antara lain
Undang-Undang tentang Transfer Dana (RUU Transfer
Perancis, Jerman, Swiss, Jepang, Inggris, Kanada dan
Dana) yang diajukan oleh Pemerintah RI menjadi Undang-
Australia,4 sementara negara dengan “special law
Undang.1 Pengesahan RUU Transfer Dana menjadi
jurisdictions” adalah Amerika5 dengan Article 4A of the
Undang-Undang ini menandai dimulainya era baru
Uniform Commercial Code-(UCC)-nya dan negara yang
dalam penyelenggaraan transfer dana di Indonesia. Apa
mengadopsi Model Law on International Credit Transfer
dan bagaimana konsekuensi dari diundangkannya
yang dikeluarkan oleh United Nation Commission on
Undang-Undang tentang Transfer Dana di Indonesia
International Trade Law (UNCITRAL).6 Pada negara
dari sisi hukum? Tulisan ini akan mengupas konsekuensi
dengan “general law jurisdictions” seperti Jerman
dari diundangkannya Undang-Undang tentang Transfer
misalnya, aturan mengenai transfer dana dituangkan
Dana murni dari sisi hukum, dengan membandingkannya
dalam aturan-aturan umum yang merupakan bagian
dengan rezim pengaturan transfer dana di negara/ yurisdiksi lain di dunia. Tentu saja, disahkannya UndangUndang tentang Transfer Dana akan membawa
3
Meskipun saat ini muncul kecenderungan rezim baru, yakni negara yang mengatur transfer dana dalam undang-undang tentang sistem pembayaran (tidak terdapat aturan hukum yang secara khusus/spesifik mengatur tentang transfer dana, namun aturan tentang transfer dana juga tidak diatur dalam prinsip-prinsip hukum umum), tetapi untuk kepentingan penulisan ini tetap digunakan dua rezim pengaturan transfer dana sebagaimana diuraikan oleh Geva, ibid. Untuk negara yang memiliki undang-undang tentang sistem pembayaran dan paparan lebih lanjut, lihat Buku Biru mengenai Rancangan Undang-Undang Transfer Dana: Urgensi dan Manfaat yang dipublikasikan bersama oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Bank Indonesia dalam rangka pembahasan RUU tentang Transfer Dana, hal. 48-51.
4
Perancis, Jerman, Swiss dan Jepang adalah negara-negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental, sedangkan Inggris, Kanada dan Australia adalah negara-negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon.
5
Negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon.
6
Model Law on International Credit Transfers ini dikeluarkan oleh UNCITRAL pada tanggal 15 Mei 1992. Tersedia pada http://www.uncitral.org/pdf/english/texts/payments/transfers/mlcredittrans.pdf. Menurut Geva, sampai dengan 2001, belum ada satupun negara yang mengadopsi model law ini. Lihat Op cit. Apabila pendapat Geva masih relevan sampai saat ini, maka Indonesia menjadi negara pertama dan satu-satunya yang mengadopsi Model Law dari Uncitral, meskipun UU tentang Transfer Dana jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan model law itu sendiri, antara lain cakupang dalam UU tentang Transfer Dana tidak hanya meliputi transfer kredit tetapi juga transfer debit, sedangkan model law hanya mengatur mengenai transfer kredit yang dilakukan secara internasional (international credit transfers).
konsekuensi baru lainnya di luar hukum, seperti konsekuensi bagi industri penyelenggara transfer dana, bagi masyarakat selaku konsumen serta bagi otoritas, tetapi hal tersebut bukanlah merupakan cakupan dari tuliasn ini. 2. Dua Rezim Pengaturan Transfer Dana Secara teori, rezim pengaturan tentang transfer dana di dunia pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yakni apa yang disebut dengan “general law jurisdictions” dan “special law jurisdictions”.2 Pada negara-negara
1
Sebagian besar laman media masa di Indonesia yang fokus pada berita hukum dan politik menulis berita ini pada tanggal 22 Februari 2011. Lihat misalnya DPR Sahkan RUU Transfer Dana, tersedia pada http://metrotvnews.com/metromain/news/2011/02/22/43285/DPRSahkan-RUU-Transfer-Dana atau http://www.mediaindonesia.com/read/2011/02/02/205176/18/1/DPR _Sahkan_UU_Transfer_Dana.
2
Geva, Benjamin, The Law of Electronic Funds Transfers, LexisNexis, San Fransisco, USA, 2001, §4.06(1)- §4.06(2), hal. 4-156 s/d 4-157.
49
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
dari kodifikasi hukum perdata (civil code), khususnya
Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa general law
mengenai kewajiban keperdataan seseorang (the law
jurisdictions akan memandang hanya terdapat satu
of obligations) dan hukum mandat (the law of mandate).
hubungan hukum dalam proses transfer dana, yakni antara pengirim asal (originator) dengan penyelenggara
Selain bentuk pengaturan, terdapat beberapa perbedaan
pengirim asal (originating operator). Pelaksanaan transfer
mendasar lainnya antara negara dengan “general law
dana oleh intermediary operator dan seterusnya sampai
jurisdictions” dan negara dengan “special statute
dengan penerimaan dana oleh penerima (beneficiary)
jurisdictions”, antara lain terkait dengan substansi
bukan merupakan hubungan hukum baru melainkan
pengaturan. Yang pertama dan paling fundamental
hanya merupakan pelaksanaan mandat dari
adalah menyangkut bagaimana hukum memandang
penyelenggara pengirim asal (originating operator).
proses transfer dana. General law jurisdictions
Oleh karena itu, hukum keagenan atau hukum mandat
memandang transfer dana7 sebagai satu kesatuan
merupakan aturan yang mendasari pelaksanaan transfer
kegiatan mulai dari perintah transfer oleh pengirim asal
dana dalam general law jurisdictions. Prinsip hukum ini
sampai dengan dana diterima oleh penerima
akan sangat sulit menjelaskan transfer-transfer yang
(beneficiary), sedangkan special statute jurisdictions
bersifat internasional atau lintas batas negara (cross-
menganut prinsip bahwa transfer dana merupakan
border transfers). Bagaimana bisa JP Morgan yang ada
rangkaian kegiatan yang melibatkan beberapa
di London merupakan sub agen dari Bank Mandiri di
hubungan hukum yang berbeda, yang diikat oleh
Jakarta sedangkan sistem hukum dan aturan yang
perjanjian yang berbeda pula. Sebagai konsekuensinya,
mengatur keduanya adalah berbeda, jika saya akan
mayoritas general law jurisdictions memberlakukan
melakukan transfer dari rekening saya di Bank Mandiri
prinsip-prinsip hukum keagenan atau mandat (the law
Jakarta untuk untung rekening kolega saya di JP Morgan
of agency or the law of mandate) dalam transfer dana,
London? Untuk itulah, special statute jurisdictions
khususnya untuk penyelesaian transfer dana dan apabila
menolak prinsip ini. Menurut rezim ini, hubungan hukum
terjadi sengketa karena adanya keterlambatan maupun
dan aturan yang mengatur setiap tahapan dalam proses
kegagalan dalam pembayaran, sementara special statute
transfer dana adalah berbeda. Pada gambar di atas,
jurisdictions meletakkan perjanjian antara masing-
setidaknya terdapat empat hubungan hukum menurut
masing pihak dalam setiap tahapan pada rangkaian
special statute jurisdictions yang direpresentasikan
proses kegiatan transfer dana sebagai hukum yang
dengan kotak-kotak kecil warna hijau, sedangkan
mengatur antara masing-masing pihak tersebut. Untuk
general law jurisdictions hanya akan melihat satu
lebih jelasnya, dapat dilihat pada ilustrasi mengenai
hubungan hukum (tentunya di luar hubungan keagenan),
para pihak dalam transfer kredit sebagaimana pada
yang direpresentasikan dengan kotak besar warna
gambar di bawah.
merah.
Gambar 1. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Transfer Dana (Transfer Kredit) menurut General Law Jurisdictions dan Special Statute Jurisdictions8
Pengirim Asal (Originator)
7
Bank Pengirim Asal (Originating Operator)
Dalam hal ini transfer kredit. Untuk uraian yang singkat namun jelas mengenai perbedaan transfer kredit dan transfer debit, lihat Buku Biru mengenai Rancangan Undang-Undang Transfer Dana: Urgensi dan Manfaat, Op cit, hal. 11-15. Untuk uraian lebih komprehensif, lihat Uncitral Legal Guide on Electronic Funds Transfers, 1987, hal. 12-14, tersedia pada http://www.uncitral.org/pdf/english/texts/payments/ transfers/LG_E-fundstransfer-e.pdf.
50
Bank Penerus (Intermediary Operator)
8
Bank Penerima Akhir (Beneficiary Operator)
Penerima Akhir (Beneficiary)
Dibuat berdasarkan model para pihak dalam transfer dana (transfer kredit) yang dipublikasikan antara lain dalam Buku Biru, Ibid.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Perbedaan pandangan sebagaimana tersebut di atas
3. Undang-Undang tentang Transfer Dana: Era Baru?
membawa dampak adanya perbedaan lebih lanjut misalnya terkait dengan titik kapan selesainya transfer
Apakah konsekuensi dari disahkannya RUU tentang
dana, sampai titik mana pengirim asal (originator) dapat
Transfer Dana menjadi Undang-Undang? Menilik dua
melakukan pembatalan atau perubahan, serta apabila
rezim sebagaimana telah diuraikan di atas, pengesahan
terjadi gagal bayar oleh penyelenggara penerima
UU tentang Transfer Dana membawa arti beralihnya
(beneficiary’s operator/bank) siapa yang harus
rezim pengaturan tentang transfer dana di Indonesia,
menanggung risiko adanya kerugian. Meskipun
yang semula dapat dikatakan masuk kategori general
demikian, terdapat beberapa critical points yang antara
law jurisdictions menjadi special statute jurisdictions.
rezim general law jurisdictions maupun special statute
Sebelumnya, pengaturan tentang transfer dana di
jurisdictions memiliki persamaan. Detil mengenai
Indonesia pada level undang-undang tidak diatur secara
perbedaan lebih lanjut dan persamaan tersebut, dapat
spesifik dan komprehensif dalam sebuah undang-
dilihat pada tabel di bawah.
undang, melainkan diatur secara umum dan tersebar
Tabel 1. Perbandingan Beberapa Critical Points terkait Transfer Dana antara General Law Jurisdictions dan Special Statute Jurisdictions13
Jurisdictions General Law Jurisdiction
Completion of Transfer
Irrevocability of transfer
Default by Beneficiary’s Bank
Default by Other than Beneficiary’s Bank
Credit to the beneficiary’s account9
- Debit posted to the originator’s account by originator’s bank (for in-house transfer)
- Risk borne by the beneficiary on the ground that beneficiary’s bank is universally regarded as employed by the beneficiary
In general, risk borne by the originator except for Germany11
- Funds become available to the beneficiary’s bank (for complex transfer)10
Special Statue Jurisdictions12
9
Payment to the beneficiary’s bank
Issuance of payment order by originator’s bank
- Risk borne by the originator on the ground that beneficiary’s bank is acting for the originator or the originating bank. Risk borne by the beneficiary
Risk borne by the originator, but it may shift the risk to the originating banks under “money back guarantee rule”.
Perancis. Lihat Geva, Op cit, hal. 4-158 s/d 4-168.
10 Perancis, Ibid. 11 Untuk Jerman, risiko kerugian jika penyelenggara penerima (beneficiary’s operator) gagal ada pada penerima akhir (beneficiary), Ibid, hal. 4-161. 12 Berlaku untuk Amerika dan UNCITRAL Model Law. Untuk detil aturan, lihat UCC Article 4A dan UNCITRAL Model Law on International Credit Transfer, Op Cit.
13 Disarikan dari buku Geva, Op Cit, UCC Article 4A, dan UNCITRAL Model Law on International Credit Transfers.
51
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
di beberapa undang-undang, antara lain: -
Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan
Pada draft RUU tentang Transfer Dana yang telah
Undang-Undang No. 6 Tahun 2009 dalam konteks
disahkan, berakhirnya proses transfer dana diatur
sistem pembayaran (persetujuan dan izin serta
dalam Bagian Keempat Bab II mengenai Pelaksanaan
penyelenggaraan sistem pembayaran), kliring antar
Transfer Dana, Pasal 40, yang berbunyi:
bank dan penyelesaian -
-
a. Completion of Transfer
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
akhir,14
“Proses Transfer Dana berakhir pada saat Dana hasil
Undang-Undang No. 38 Tahun 2009 tentang Pos
transfer diterima oleh Penerima atau Penyelenggara
dalam konteks layanan transaksi keuangan dalam
Penerima Akhir telah melakukan hal-hal sebagaimana
kegiatan perposan,15 dan
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2).”
KUH Perdata dalam konteks dasar untuk penuntutan ganti rugi.16
Pasal 36 ayat (2) mengatur mengenai pada tahap apa saja penyelenggara penerima akhir dianggap
Pada level teknis, ketentuan tentang transfer dana
telah melakukan pengaksepan,20 antara lain apabila
tersebut dijabarkan dalam peraturan yang diterbitkan
penyelenggara penerima akhur telah menyampaikan
oleh instansi terkait, seperti Bank Indonesia terkait sistem
pemberitahuan pengaksepan, telah melakukan
transfer dana dan instrumen yang digunakan, seperti
pendebitan rekening penyelenggara pengirim, atau
Real Time Gross Settlement, kliring antar bank, money
telah mengalokasikan dana untuk kepentingan
remittances, dan card-based
payments,17 serta
penerima.
Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk pengiriman uang yang dilakukan oleh perusahaan
Secara umum, pengaturan ini masih condong pada
perposan sebagai bagian dari layanan transaksi
prinsip yang dianut oleh general law jurisdictions
keuangan.18
Dengan diundangkannya Undang-Undang
dibandingkan special statute jurisdictions. Meskipun
tentang Transfer Dana, maka Indonesia akan memiliki
demikian, perbedaan ini lebih relevan untuk kajian
aturan yang terkodifikasi secara komprehensif pada
akademik dibandingkan praktiknya21 karena pada
level undang-undang sebagaimana Amerika memiliki
kenyataannya, hal tersebut tidak membuat
Aricle 4A of UCC. Meskipun demikian, apakah doktrin
perbedaan yang berarti di lapangan. Bahkan, UCC-
special statute jurisdictions dalam proses transfer dana
Article 4A dan UNCITRAL Model Law juga mengatur
sebagaimana diuraikan dalam tabel
sebelumnya19
mengenai kewajiban bank penerima akhir22 untuk
diadopsi secara menyeluruh dalam Undang-Undang
melakukan pembayaran atau pengkreditan rekening
tentang Transfer Dana? Mari kita lihat satu persatu.
penerima (beneficiary) setelah selesainya proses transfer dana (post completion duties of beneficiary’s
14 Lihat Pasal 15 s/d Pasal 18 UU tentang Bank Indonesia.
bank).23
15 Lihat Pasal 5 jo. Pasal 6 UU tentang Pos. 16 Lihat Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata. Meski tidak seluruhnya tepat untuk diaplikasikan, pasal-pasal dalam KUH Perdata ini dapat dijadikan dasar bagi pengguna transfer dana untuk melakukan tuntutan ganti rugi apabila terjadi keterlambatan karena adanya kesalahan dari penyelenggara, atau apabila terjadi gagal bayar. Dalam konteks aturan umum yang dapat diaplikasikan untuk transfer dana, ketentuan dalam KUH Perdata ini mirip dengan ketentuan umum dalam civil code Jerman mengenai law of obligations dan law of mandate. 17 Lihat Buku Biru, Op cit, hal. 6. 18 Untuk ketentuan BI terkait dengan transfer dana, dapat diakses melalui laman http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Sistem+Pembayaran/, sedangkan peraturan terkait kegiatan perposan dapat diakses melalui laman http://pih.depkominfo.go.id/. 19 Lihat Tabel 1 Perbandingan Beberapa Critical Points terkait Transfer Dana antara General Law Jurisdictions dan Special Statute Jurisdictions.
52
20 Sesuai Pasal 1 Angka 15 draft RUU tentang Transfer Dana versi setelah disahkan, pengaksepan (acceptance) adalah kegiatan Penyelenggara Penerima yang menunjukkan persetujuan untuk melaksanakan atau memenuhi isi Perintah Transfer Dana yang diterima. 21 Geva, Op cit, hal. 4-158. 22 Dalam konteks UU tentang Transfer Dana, penyelenggara penerima akhir karena undang-undang ini nantinya tidak hanya berlaku bagi bank. 23 Lihat misalnya Article 19 of UNCITRAL Model Law mengenai Completion of credit transfer. Article 19 ini menyebutkan bahwa “…when the credit transfer is completed, the beneficiary’s bank becomes indebted to the beneficiary to the extent of the payment order accepted by it. Completion does not otherwise affect the relationship between the beneficiary and the beneficiary’s bank.”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
b. Irrevocability of Transfer
penerima akhir belum melakukan pengaksepan. Di sisi lain, ditambahkan pula dua persyaratan yang
Pada Bab III draft RUU tentang Transfer Dana yang
harus dipenuhi (bersifat alternatif dari keduanya)
telah disahkan, khususnya pada Bagian Kesatu
yakni pengirim asal (originator) hanya dapat
mengenai Pembatalan Perintah Transfer Dana oleh
melakukan pembatalan apabila terdapat perjanjian
Pengirim (Pasal 42 s/d Pasal 44), pada prinsipnya
di antara yang bersangkutan dengan penyelenggara
diatur hal-hal terkait pembatalan transfer dana,
pengirim asal, atau penyelenggara penerima tidak
sebagai berikut:
melaksanakan perintah transfer. Terkait dengan
-
Pembatalan oleh pengirim hanya dapat dilakukan
waktu yang cukup bagi penyelenggara penerima
sepanjang penyelenggara penerima memiliki
untuk melakukan pembatalan, dalam penjelasan
waktu yang cukup untuk melaksanakan
pasal 42 ayat (1) diuraikan bahwa waktu yang cukup
pembatalan dan/atau penyelenggara penerima
bersifat kasuistik dan situasional, antara lain
akhir (beneficiary’s bank) belum melakukan
tergantung dari sistem transfer dana yang digunakan.
pengaksepan atas perintah transfer dana tersebut. -
-
Harus terdapat perjanjian antara pengirim asal
Jika dibandingkan dengan general law jurisdictions
dan penyelenggara pengirim asal untuk
maupun special statute jurisdictions, syarat untuk
melakukan pembatalan atau penyelenggara
membatalkan transfer dana di Indonesia, khususnya
penerima tidak melaksanakan perintah transfer
pembatalan oleh pengirim asal lebih berat. Tanpa
dana.
adanya perjanjian sebelumnya antara pengirim asal
Segala biaya yang timbul menjadi beban pengirim
dengan penyelenggara pengirim asal terkait
yang meminta pembatalan.
pembatalan tersebut, atau tanpa terjadinya kondisi bahwa penyelenggara penerima tidak melaksanakan
Negara dengan general law jurisdictions seperti
perintah transfer, maka pengirim asal tidak dapat
Perancis mengatur bahwa pembatalan tidak lagi
melakukan pembatalan. Selain itu, terdapat syarat
dapat dilakukan jika: (1) untuk
pemindahbukuan24
umum agar sebuah transfer dapat dilakukan
yakni jika bank pengirim asal telah mendebit rekening
pembatalan oleh pengirim (bukan hanya oleh
pengirim asal, atau (2) untuk transfer yang
pengirim asal), yakni masih adanya waktu yang
melibatkan bank penerus (intermediary bank) yakni
cukup bagi penyelenggara penerima untuk
jika dana telah tersedia untuk bank penerima akhir
melakukan pembatalan dan/atau penyelenggara
(beneficiary’s bank). Sedangkan Amerika dan
penerima akhir (beneficiary’s operator) belum
UNCITRAL Model Law sebagai special statute
melakukan pengaksepan. Selain lebih berat, rumusan
jurisdictions mengatur bahwa transfer tidak dapat
ini perlu diperjelas dalam peraturan pelaksanaan
dibatalkan (irrevocable) apabila bank pengirim asal
Undang-Undang tentang Transfer Dana sehingga
telah menerbitkan perintah transfer dana baru untuk
memudahkan penyelenggara dan pengguna dalam
menjalankan perintah transfer dari pengirim asal.
pelaksanaan pembatalan sebuah transfer, antara
Tampaknya, UU Transfer Dana memiliki rezim
lain terkait dengan:
tersendiri terkait pada titik mana sebuah transfer
-
dana tidak dapat dibatalkan. Pada satu sisi, diatur
cakupan dan batasan “waktu yang cukup bagi penyelenggara penerima untuk melakukan
bahwa transfer dapat dibatalkan “sepanjang terdapat
pembatalan”, disertai dengan contoh kongkrit;
waktu yang cukup bagi penyelenggara penerima
-
pada kondisi apa saja waktu yang cukup tersebut
untuk melaksanakan pembatalan”, namun
bersifat subtitutif/dapat digantikan atau bersifat
ditambahkan kondisi “dan/atau”25 penyelenggara
akumulatif/dapat digabungkan dengan kondisi penyelenggara penerima akhir belum melakukan pengaksepan, karena rumusannya menggunakan
24 Transfer antar nasabah dalam satu penyelenggara/bank. 25 Sesuai UU No. 10 Tahun 2004 tentang Penyusunan Peraturan Perundangundangan, penggunaan kata “dan/atau” dapat diartikan sebagai kumulatif atau alternatif.
kata “dan/atau”26; 26 Ibid.
53
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
-
-
contoh perjanjian antara pengirim asal dengan
didukung dengan kondisi bahwa kewajiban dari
penyelenggara pengirim asal untuk melakukan
pengirim asal kepada penerima yang mendasari
pembatalan, karena perjanjian jenis ini belum
dilakukannya transfer (underlying transaction) belum
lazim dibuat untuk transfer dana yang dilakukan
gugur karena belum terjadi pembayaran. Kekurangan
oleh masyarakat, kecuali transfer dana antar
dari aturan ini adalah kurang adanya kepastian
atau untuk kepentingan penyelenggara; dan
hukum. Menjadi tidak jelas dari kedua belah pihak
pada titik mana penyelenggara penerima
tersebut, hak siapa yang lebih prevail jika
dianggap tidak melaksanakan perintah transfer
penyelenggara penerima akhir mengalami default.
dan kaitannya dengan keterlambatan (delay vs unexecuted).
Naskah terakhir RUU tentang Transfer Dana pasca pengesahan oleh DPR mengatur tidak hanya apabila
c. Default by Beneficiary’s Bank
terjadi gagal bayar, namun juga termasuk apabila terjadi keterlambatan dan kekeliruan.27 Namun
Pada negara dengan special statute jurisdictions,
untuk analisis ini, agar dapat disandingkan dengan
risiko jika penyelenggara penerima akhir gagal bayar
pengaturan pada general law jurisdictions maupun
(default) ada pada penerima (beneficiary). Hal ini
special statute jurisdictions, yang akan digunakan
tak lepas dari doktrin fundamental yurisdiksi ini yang
hanyalah aturan jika terjadi gagal bayar. Dalam RUU
menyatakan bahwa transfer dana terdiri dari
yang telah disahkan ini, aturan terkait gagal bayar
tahapan-tahapan yang memiliki hubungan hukum
diatur dalam bab mengenai pengembalian dana,28
dan perjanjian yang terpisah, masing-masing berdiri
yang pada prinsipnya dibagi menjadi tiga bagian,
sendiri, serta prinsip completion of transfer yang
yakni:
menyatakan bahwa transfer telah selesai jika
-
penyelenggara penerima akhir telah melakukan pengaksepan (dana telah ada di beneficiary’s
majeure); -
(beneficiary’s operator), maka risiko jika
pengembalian dana oleh penyelenggara yang default;29 dan
operator). Dengan demikian, sepanjang dana telah sampai pada penyelenggara penerima akhir
pengembalian dana dalam keadaan kahar (force
-
pengembalian dana berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan.
penyelenggara penerima akhir gagal melakukan pembayaran (default) ditanggung oleh penerima
Khusus untuk pengembalian dana jika penyelenggara
(beneficiary).
penerima akhir default, UU ini mengatur bahwa hak atas dana transfer ada pada: (1) penerima (beneficiary)
Pada negara dengan general law jurisdictions, alokasi
jika tidak terdapat kekeliruan dalam pengiriman
risiko lebih fleksibel. Baik pengirim asal (originator)
perintah transfer; atau (2) hak pengirim yang pertama
maupun penerima (beneficiary) memiliki hak untuk
kali melakukan kekeliruan.30 Pada prinsipnya,
melakukan penuntutan atas pembayaran dana
ketentuan ini lebih condong pada ketentuan
transfer. Sebagaimana special statute jurisdictions,
sebagaimana diatur pada special statute jurisdictions,
penerima pada general law jurisdictions memiliki hak untuk menuntut pembayaran kepada penyelenggara penerima akhir dengan dasar
27 Keterlambatan dan kekeliruan diatur dalam bab tersendiri yakni Bab V Pasal 54 s/d Pasal 59.
penyelenggara penerima akhir tersebut
28 Bab IV Pasal 47 s/d Pasal 53.
“dipekerjakan” oleh penerima. Meskipun demikian, dengan berdasarkan pada doktrin bahwa penyelenggara penerima akhir merupakan “sub agen” dari penyelenggara pengirim asal, maka pengirim asal juga memiliki hak untuk melakukan penuntutan atas pembayaran. Apalagi jika hal ini
54
29 Dalam UU disebutkan sebagai “penyelenggara yang dibekukan kegiatan usaha atau dicabut izin usaha atau dinyatakan pailit” karena disesuaikan dengan istilah yang digunakan untuk bank maupun lembaga nonbank. Untuk kepraktisan, dalam tulisan ini digunakan istilah “default” tanpa dimaksudkan untuk mengubah makna. 30 Lihat Pasal 51 ayat (3) RUU tentang Transfer Dana versi setelah disahkan DPR RI.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
dengan kondisi apabila tidak terjadi kekeliruan dalam
Dalam RUU tentang Transfer Dana yang telah
perintah transfer yang disampaikan oleh
disahkan, jika terdapat penyelenggara selain
penyelenggara pengirim sebelumnya. Dalam hal
penyelenggara penerima akhir default, maka
penyelenggara pengirim sebelumnya melakukan
pengembalian dana dilakukan kepada:
kekeliruan, maka yang bersangkutan masih tetap
-
memiliki hak atas pengembalian dana yang keliru
penyelenggara pengirim asal dan perintah
ditransfer tersebut jika penyelenggara penerima akhir mengalami default. Aturan ini meletakkan alas
pengirim asal jika yang default adalah transfer belum dilaksanakan; atau
-
pengirim sebelumnya jika yang dibekukan adalah
hak bagi pengirim sebelumnya yang melakukan
bank penerus dan perintah transfer belum
kekeliruan untuk menuntut pengembalian dana
dilaksanakan.34
yang keliru ditransfer. Dengan demikian, tim kurator/likuidator berdasarkan UU ini, tentunya
Aturan tersebut, tidak mengurangi kewajiban
setelah melakukan verifikasi, wajib mengembalikan
penyelenggara pengirim untuk mengirimkan perintah
dana yang keliru ditransfer tersebut. Meskipun
transfer dana baru atas bebannya sendiri.35
demikian, berdasarkan pasal-pasal lain dalam UU tersebut, penyelenggara pengirim yang melakukan
Memperhatikan pengaturan tersebut di atas, tampak
kekeliruan tetap terikat kewajiban untuk segera
jelas bahwa aturan dalam UU tentang Transfer Dana
melakukan perbaikan atas kekeliruan tersebut, serta
mengadopsi prinsip “money back guarantee”
wajib membayar jasa, bunga atau
kompensasi.31
sebagaimana dianut oleh special statute jurisdictions, yakni penyelenggara pengirim tetap wajib
d. Default by Other than Beneficiary’s Bank
menerbitkan perintah transfer baru atas bebannya sendiri tanpa menunggu pengembalian dana dari
Baik pada negara general law jurisdictions maupun
penyelenggara penerima yang menerima perintah
negara special statute jurisdictions, hak untuk
transfer dana yang disampaikan oleh penyelenggara
mengklaim dana (atau disebut juga sebagai risiko
pengirim, apabila penyelenggara penerima tersebut
karena penyelenggara tidak mampu melakukan
(selain penyelenggara penerima akhir) mengalami
pembayaran dana transfer) jika penyelenggara lain
default. Sayangnya, tidak ada pasal khusus yang
selain penyelenggara penerima akhir32 mengalami
mengatur secara eksplisit bahwa pengirim asal juga
gagal bayar ada pada pengirim asal, kecuali untuk
berhak atas pembayaran bunga terkait adanya
Jerman di mana risiko ada pada penerima
kerugian atas kegagalan transfer tersebut,
(beneficiary). Sementara itu, pada special statute
sebagaimana diatur pada negara special statute
jurisdictions, pengirim asal dimungkinkan untuk
jurisdictions.
mengalihkan risiko atas kegagalan transfer tersebut kepada penyelenggara pengirim asal (originating
4. Penutup
banks) sesuai aturan terkait “money back guarantee”, yang bahkan dapat disertai dengan pembayaran bunga atas kerugian yang
dialaminya.33
Ketentuan
Dari uraian di atas, jelas bahwa dengan disahkannya RUU tentang Transfer Dana menjadi Undang-Undang,
mengenai perlindungan terhadap konsumen
rezim transfer dana Indonesia akan beralih dari kategori
semacam ini tidak terdapat pada negara general
general law jurisdictions menjadi special statute
law jurisdictions.
jurisdictions sebagaimana Amerika memiliki Article 4A UCC. Meskipun demikian, secara substansi, materi
31 Pasal 56 jo. Pasal 54 RUU tentang Transfer Dana versi setelah disahkan DPR RI. 32 Penyelenggara/bank pengirim asal (originating operator/bank) atau penyelenggara penerus (intermediary operator/bank).
34 Pasal 51 ayat (1) RUU tentang Transfer Dana versi setelah disahkan DPR RI.
33 Lihat Article 14 of the UNCITRAL Model Law, terkait dengan pengembalian dana (refund).
35 Pasal 51 ayat (2) RUU tentang Transfer Dana versi setelah disahkan DPR RI.
55
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
pengaturan dalam UU tentang Transfer Dana ternyata tidak sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip special statute jurisdictions sebagaimana Article 4A UCC dan UNCITRAL Model Law on International Credit Transfers. Beberapa substansi justru diambil dari doktrin yang dianut oleh general law jurisdictions dengan beberapa penyesuaian. Di satu sisi, kombinasi ini bagus karena disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia, namun di sisi lain harus dilandasi dengan argumentasi yang kuat khususnya dari aspek filosofi hukumnya serta didukung dengan peraturan pelaksanaan yang jelas agar tidak membingungkan di lapangan.
56
Daftar Pustaka
Peraturan/Naskah Akademik/Model Law 1.
Naskah RUU tentang Transfer Dana versi yang sudah disahkan oleh Rapat Paripurna DPR RI tanggal 22 Februari 2011.
2.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009.
3.
Undang-Undang No. 38 Tahun 2009 tentang Pos.
4.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
5.
Naskah Akademik RUU tentang Transfer Dana.
6.
UNCITRAL Model Law on International Credit Transfers, 1992.
7.
UNCITRAL Legal Guide on Electronic Funds Transfers, 1987.
Buku/Artikel 8.
European Central Bank, The Payment System, Jerman, 2010.
9.
Geva, Benjamin, The Law of Electronic Funds Transfers, LexisNexis, San Fransisco, USA, 2001.
10. Kasiyanto, Safari, Losses from Carding: the Flaws of the Laws, LAP, Jerman, 2010. 11. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Bank Indonesia, Rancangan Undang-Undang Transfer Dana: Urgensi dan Manfaat, Jakarta, 2010. 12. The World Bank, Payment Systems Worldwide: A Snapshot (Outcome of the Global Payment Systems Survey 2008), Washington, DC, USA, 2008. 13. DPR Sahkan RUU Transfer Dana, tersedia pada http://metrotvnews.com/metromain/news/2011/02/22/43285/DPR-SahkanRUU-Transfer-Dana atau http://www.mediaindonesia.com/read/2011/02/02/205176/18/1/DPR_Sahkan_UU_Transfer_Dana
Laman 14. http://www.bi.go.id. 15. http://www.depkominfo.go.id. 16. http://www.uncitral.org. 17. http://metrotvnews.com. 18. http://mediaindonesia.com.
57
Halaman ini sengaja dikosongkan
58
Resensi Buku
Judul
:
Penulis Penerbit Halaman Oleh
: : : :
Judicial Review Di Mahkamah Agung RI (Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan). Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H., M.H. Penerbit Buku Kompas, Januari 2010 (ISBN: 978-979-709-465-2) xviii + 340 halaman Rizal Wisnajaya, SE, MH,
Ketika membaca judul buku karya Dr. Zainal Arifin Hoesein,
Judicial review merupakan pengujian peraturan perundang-
S.H., M.H yang merupakan disertasi beliau untuk
undangan, dengan kewenangan hanya terbatas pada
mengambil gelar Doktor, terbetik di pikiran saya apakah
lembaga kekuasaan kehakiman dan tidak tercakup
judicial review itu, apa hubungannya dengan Mahkamah
didalamnya pengujian oleh lembaga legislatif dan eksekutif.
Agung dan apa kaitannya dengan tiga dekade pengujian
Penulis berupaya meluruskan penggunaan istilah yang masih
peraturan perundang-undangan. Buku ini sangat
rancu antara wewenang untuk menguji (toetsingsrecht)
menggoda keingintahuan pembaca untuk menggali lebih
dengan istilah judicial review, yang secara terminology
lanjut, apalagi ditengah maraknya rancangan undang-
memiliki pengertian berbeda. Pengertian toetsingsrecht
undang (RUU).
lebih luas dan lebih umum dibanding dengan pengertian Judicial review.
Didalam bukunya, penulis menjelaskan muasal munculnya istilah “Judicial Review”. Judicial Review pertama kali
Toetsingsrecht memiliki arti “hak” atau “kewenangan untuk
muncul dalam praktek hukum di Amerika Serikat yang
menguji” atau “hak uji” tergantung daripada sistem hukum
secara eksplisit tidak diatur dalam konstitusi negara
ditiap-tiap negara yang menerapkan, dan didalamnya
tersebut. Lahirnya judicial review kedalam tatanan hukum
termasuk juga untuk menentukan kepada lembaga
Amerika Serikat melalui putusan Mahkamah Agung
kekuasaan mana kewenangan dimaksud akan diberikan.
(Supreme Court) Amerika Serikat dalam perkara “Marbury
Dalam hal, hak atau kewenangan menguji tersebut diberikan
vs Madison” pada tahun 1803, saat itu John Marshall
kepada lembaga kekuasaan kehakiman atau hakim, maka
sebagai ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat. Secara
disebut “judicial review”. Tetapi apabila kewenangan tersebut
kronologis perkara “Marbury vs Madison” bermula pada
diberikan kepada lembaga legislative, maka istilahnya
permohonan William Marbury kepada Mahkamah Agung
menjadi legislative review dan demikian pula jika
agar menerbitkan ‘write of Mandamus’ yaitu perintah
kewenangan tersebut diberikan kepada lembaga eksekutive
pengadilan kepada Secretary of State yang saat itu dijabat
maka istilahnya menjadi “executive review”.
oleh James Madison agar menyerahkan surat penugasannya sebagai Hakim kepadanya secara pribadi sesuai dengan
Adapun bentuk kelembagaan di beberapa negara-negara
Pasal 13 Judiciary Act Tahun 1789. Permohonan tersebut
yang mempraktekan pengujian tersebut, terbagi dalam
ditolak oleh Mahkamah Agung, dengan alasan bahwa
enam kelompok. Keenam kelompok negara-negara yang
ketentuan yang memberikan kewenangan kepada Supreme
mengorganisasikan peran hak menguji atau judicial review
Court untuk menerbitkan ‘write of Mandamus’ merupakan
adalah sebagai berikut: 1). Model Jerman yang
‘penambahan kewenangan’ di luar kewenangan yang
mengorganisasikannya dalam Mahkamah Konstitusi di
telah dirumuskan dalam konstitusi Amerika Serikat yang
samping Mahkamah Agung; 2). Model Prancis dengan
disahkan tahun 1787. Penolakan tersebut berakibat bahwa
sebutan “Dewan Konstitusi” (Conseil Constitutionnel) di
Pasal 13 Judiciary Act tersebut dapat dikategorikan
samping Mahkamah Agung; 3). Model Belgia yang
bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat.
menyebut lembaga ini “Constitutional Arbitrage”, di samping
59
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Mahkamah Agung; 4). Model Venezuella, dilembagakan
UUD Negara RI Tahun 1945 dan UU No.24 Tahun 2003
dalam struktur Mahkamah Agung; 5). Model Amerika
tentang Mahkamah Konstitusi (MK). MK adalah lembaga
Serikat yang fungsi judicial review dilekatkan langsung pada
negara yang diberikan wewenang untuk melaksanakan
Mahkamah Agung; dan 6). Model negara-negara yang
pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar
menganut sistem supremasi parlemen yang sama sekali
dan dibentuk pada tanggal 13 Agustus 2003. Selain itu,
tidak mengakui adanya fungsi judicial review atas
pengujian peraturan perundang-undangan sebagai kontrol
konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD. Indonesia
normatif dilihat dari segi waktu dibagi 2 (dua) yakni sebelum
pada saat ini ecara kelembagan mengikuti prakek pengujian
peraturan tersebut mendapat bentuk formalnya atau
mirip model Negara Jerman.
sebelum disahkan, maka disebut ‘pengujian a priori’ atau ‘judicial preview’, sedangkan apabila telah mendapat
Dalam bukunya penulis mengupas mengenai pengertian
pengesahan dari lembaga yang berwenang, maka disebut
pengujian peraturan perundang-undangan, yang secara
‘pengujian posteriori’ atau ‘judicial review’.
terminology bahasa terdiri dari perkataan ‘pengujian’ dan ‘peraturan perundang-undangan’. Pengujian berasal dari
Buku ini berisi penelitian yang mendalam mengenai
akar kata uji yang memiliki arti percobaan untuk mengetahui
pengaturan dan pelaksanaan kontrol normatif oleh
mutu sesuatu, sehingga ‘pengujian’ diartikan sebagai proses,
Mahkamah Agung yang objeknya terbatas pada peraturan
cara perbuatan, menguji. Sedangkan peraturan perundang-
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undangan diartikan sebagai peraturan tertulis yang dibentuk
undang-undang yang berlangsung selama tiga dekade
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang atau
mulai dari tahun 1970 sampai dengan 2003. Ditentukannya
mengikat secara umum. Dengan demikian, pengujian
kurun waktu batasan sampai dengan tahun 2003, karena
peraturan perundang-undangan dapat dipahami sebagai
merupakan kurun waktu yang monumental dibidang
proses untuk menguji peraturan tertulis baik yang dibentuk
kekuasaan kehakiman yakni terbentuknya Mahkamah
oleh lembaga negara maupun pejabat yang berwenang
Konstitusi. Akhirnya, Peresensi merekomndasikan bahwa
yang memiliki kekuatan mengikat secara umum.
buku ini dapat memenuhi kebutuhan dan cocok untuk dibaca pejabat negara, praktisi/ahli hukum, anggota DPR,
Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan itu
civitas akademika dan masyarakat umum. Sedikit masukan
sendiri tidak terlepas dari konsep toetsingsrecht yang dalam
dari peresensi, khususnya mengenai gaya bahasanya yang
artian judicial review merupakan bagian dari prinsip kontrol
agak berat, tentunya akan lebih baik lagi kalau disajikan
secara judicial atas produk peraturan perundang-undangan
dalam gaya bahasa yang ringan sehingga lebih menarik
agar tidak bertentangan dengan norma hukum secara
untuk dibaca dan mudah untuk dicerna, terutama
hierarkis. Hal ini dapat dilakukan apabila prinsip kekuasaan
masyarakat umum.
negara menganut pemisahan kekuasaan atau ‘separation of power’ dan ‘checks and balance’. Kedua prinsip ini menciptakan adanya keseimbangan posisi dan kekuasaan cabang-cabang kekuasaan negara seperti lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif sehingga dapat berjalan secara horizontal, dan memungkinkan cabang-cabang masingmasing kekuasaan negara tersebut dapat melakukan peranannya sesuai yang diatur dan ditetapkan dalam undang-undang dasar dan/atau undang-undang. Dengan demikian Judicial review dapat dikatakan suatu proses untuk menguji tingkat konstitusionalitas suatu produk hukum badan legislatif atau badan eksekutif. Lebih lanjut didalam bukunya penulis mengemukakan bahwa pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar di Indonesia, saat ini diatur dalam Pasal 24C ayat (1)
60
Cakrawala Hukum: Perjalanan Pembahasan RUU Transfer Dana
Kepastian menjadi UU Transfer Dana itu sebentar lagi akan
Kebutuhan untuk mengatur Transfer Dana dalam suatu
terujud. Dalam Rapat Kerja Tingkat Kedua DPR RI (Rapat
undang-undang juga diperlukan karena kegiatan Transfer
Paripurna) pada hari Selasa, 22 Februari 2011, fraksi kompak
Dana bersifat sangat kompleks, karena melibatkan berbagai
menyuarakan kata setuju atas hadirnya UU Transfer Dana.
pihak mulai dari Pengirim Asal (originator), Pengirim (sender),
Usai sudah perjalanan RUU Transfer Dana, habis gelap,
sampai kepada Penerima (beneficiary) yang proses
terbitlah terang, kegiatan transfer dana memiliki pengaturan
kegiatannya dimulai dari adanya Perintah Transfer Dana,
dan landasan hukum yang kuat.
Pengaksepan, pelaksanaan Perintah Transfer Dana sampai dengan diterimanya dana tersebut oleh Penerima yang
RUU Transefr Dana telah disampaikan Presiden kepada Ketua
apabila ditelaah di dalamnya melingkupi berbagai aspek
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) melalui
hukum seperti hukum perdata, hukum administrasi, dan
Surat Nomor: R.11/Pres/2/2010 tanggal 15 Februari 2010.
hukum pidana.
Dalam surat tersebut, Presiden menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Komunikasi dan
Melihat kompleksitas permasalahan dan luasnya materi yang
Informasi, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama
diatur, mendorong Pemerintah untuk menyusun RUU tentang
untuk mewakili Presiden dalam pembahasan RUU tersebut
Transfer Dana. Ada pun sasaran yang ingin dicapai dalam
di DPR-RI.
penyusunan RUU ini di antaranya adalah: 1. mewujudkan sistem pembayaran nasional yang lancar,
Selama proses pembahasan RUU tentang Transfer Dana,
aman, efisien, dan andal sehingga dapat mendukung
yaitu hampir 1 (satu) tahun sejak RUU ini diserahkan
pengembangan perekonomian, mendorong kegiatan
Pemerintah kepada DPR RI, semua permasalahan dibahas
investasi, dan pembangunan nasional;
dengan cermat dan mendalam, dalam berbagai tingkatan
2. mewujudkan landasan hukum yang dapat memberikan
Rapat yaitu Pansus, Panja, TimSin, dan Paripurna. Berbagai
kesetaraan dan perlindungan bagi setiap pihak yang
argumentasi yang melatarbelakangi penentuan substansi
terlibat dalam kegiatan Transfer Dana, baik domestik
penormaan yang diatur dapat dipertanggungkan baik secara yuridis maupun secara ilmiah. Hal ini semata-mata demi
maupun lintas negara (cross border); dan 3. mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian
menghasilkan Undang-Undang yang berkualitas sesuai
uang dan pembiayaan kegiatan terorisme (financing of
dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat.
terorism).
Penyusunan RUU tentang Transfer Dana dilandasi pada suatu
Pokok Pengaturan RUU Transfer Dana
kenyataan bahwa saat ini di Indonesia belum memiliki ketentuan Transfer Dana yang berlaku menyeluruh.
Pengertian Transfer Dana pada dasarnya merupakan
Pengaturan aktivitas Transfer Dana yang ada sekarang ini
rangkaian kegiatan yang dimulai sejak adanya perintah dari
hanya dituangkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia
pengirim asal yang bertujuan untuk memindahkan sejumlah
mengenai Kliring dan Real Time Gross Sattlement (RTGS)
dana kepada penerima yang disebutkan dalam perintah
yang tidak secara khusus mengatur mengenai Transfer Dana,
Transfer Dana sampai dengan diterimanya dana oleh
sehingga pengaturan yang bersifat komprehensif untuk
penerima dana. Istilah Transfer Dana tersebut telah dikenal
menjamin kepastian dan perlindungan hukum serta
secara luas dan telah dipraktikkan oleh masyarakat dalam
keamanan dan kelancaran transaksi Transfer Dana sangat
kurun waktu yang lama, sebagai bagian dalam kegiatan
dibutuhkan.
perekonomian masyarakat. Hal ini terlihat dari praktik Transfer
61
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Dana yang telah sedemikian pesat berkembang dan dilakukan
atau keputusan pailit Lembaga Bukan Bank tersebut
masyarakat melalui berbagai lembaga, baik bank maupun
dianggap batal atau tidak berlaku. Dengan tidak
bukan bank, seperti kantor pos dan jasa titipan kilat, baik
berlakunya prinsip zero hour rules ini, seluruh Transfer
yang dilakukan secara elektronik maupun yang masih
Dana yang telah dilaksanakan setelah pukul 00.00
didasarkan atas warkat/berbasis kertas. Bahkan
pada hari itu sampai sebelum diucapkannya putusan
penyelenggaraan jasa Transfer Dana telah bersifat lintas
likuidasi Bank atau putusan pailit Lembaga Bukan
negara (cross border) dan melibatkan berbagai mata uang
Bank tidak menjadi batal dan wajib diteruskan kepada
dalam jumlah nominal dan volume yang besar.
penerima. Dengan demikian, dana yang telah ditransfer kepada Bank penerima tidak dapat ditarik
1. Lingkup Berlakunya
kembali. Hal ini di samping untuk memberikan kepastian dan kelancaran sistem pembayaran juga
a. Transfer Dana antar Bank atau intra Bank dalam rupiah atau valuta asing yang Bank Pengirim dan
dimaksudkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
Bank Penerima seluruhnya berada di wilayah Negara Republik Indonesia. b. Transfer Dana antar Bank atau intra Bank ke luar
b. Prinsip penyerahan terhadap pembayaran (delivery versus payment).
wilayah Negara Republik Indonesia atau dari luar
Yang dimaksud dengan “delivery versus payment”
wilayah Negara Republik Indonesia yang melibatkan
adalah suatu prinsip yang menentukan bahwa jika
Bank di Indonesia baik sebagai Bank Pengirim Asal,
Transfer Dana merupakan suatu kewajiban yang
Bank Penerus, atau Bank Penerima Akhir, sepanjang
timbul dari perjanjian lain antara Pengirim dan
Perintah Transfer Dana telah atau masih berada di
Penerima maka pada saat Bank Penerima Akhir telah
wilayah Negara Republik Indonesia.
melakukan pengaksepan perintah Transfer Dana,
c. Transfer Dana yang dilakukan oleh Lembaga Bukan
kewajiban Pengirim untuk melakukan pembayaran
Bank. Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
kepada Penerima telah selesai dan Pengirim berhak
“Lembaga Bukan Bank” antara lain perusahaan yang
atas obyek yang diperjanjikan.
berkaitan dengan jasa pos, badan usaha jasa titipan, dan badan usaha pengiriman dana lainnya.
3. Pengaturan Kompensasi Berdasarkan Prinsip Syariah
2. Prinsip umum yang dianut dalam RUU Transfer Dana
Sesuai dengan perkembangannya, layanan kegiatan Transfer Dana juga telah banyak dilakukan oleh lembaga
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam dunia perbankan
syariah, baik oleh bank syariah ataupun lembaga bukan
dan pengelolaan keuangan, dikenal beberapa prinsip
bank syariah. Mengingat bank syariah atau lembaga
umum yang menjadi landasan dalam
bukan bank syariah mempunyai prinsip tersendiri dalam
penyelenggaraannya. Oleh karena itu, di dalam RUU ini
tata cara penghitungan kewajiban yang terkait dengan
juga mengatur dan menganut beberapa prinsip umum,
penyelenggaraan Transfer Dana maupun penggunaan
antara lain:
istilah tertentu dalam penyelenggaraan Transfer Dana yang dilakukan secara konvensional dalam UU Transfer
a. Tidak diberlakukannya prinsip berlaku surut sejak
Dana disesuaikan dengan prinsip-prinsip yang lazim
pukul 00.00 dini hari (zero hour rules).
dalam praktek kegiatan Transfer Dana berdasarkan
RUU Transfer Dana tidak menganut prinsip zero hour
syariah.
rules. Prinsip berlaku surut sejak pukul 00.00 dini hari yang disebut zero hour rules merupakan suatu
4. Pemantauan
prinsip dalam hukum kepailitan yang menetapkan
62
bahwa semua transaksi yang dilakukan oleh Bank
Untuk meningkatkan dan menjaga kinerja lembaga
atau Lembaga Bukan Bank setelah pukul 00.00 pada
penyelenggara jasa Transfer Dana agar berjalan dengan
tanggal diberlakukannya keputusan likuidasi Bank
baik, diperlukan pemantauan yang memadai terhadap
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
kinerja lembaga tersebut. Langkah pemantauan tersebut
2. Mengambil atau memindahkan seluruh atau sebagian
juga dimaksudkan untuk menjaga kepercayaan
dana milik orang lain secara sengaja dan melawan
masyarakat terhadap penyelenggara jasa Transfer Dana.
hukum, dengan menerbitkan atau menyerahkan
Pemantauan dapat dilakukan secara aktif melalui
Perintah Transfer Dana.
pemeriksaan atau melalui laporan secara berkala. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Bank Indonesia dapat
3. Dengan sengaja menerima atau menampung, baik
melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan Transfer
untuk diri sendiri ataupun orang lain suatu dana
Dana yang dilakukan oleh perbankan maupun pihak
yang patut diduga berasal dari Perintah Transfer
bukan bank.
Dana yang dibuat secara melawan hukum.
Terkait dengan kewajiban penyampaian laporan oleh
4. Secara melawan hukum mengubah, menghilangkan,
lembaga penyelenggara Transfer Dana, dalam hal
menghapus sebagian atau seluruh informasi yang
lembaga dimaksud tidak memenuhi kewajiban
tercantum dalam Perintah Transfer Dana. Dan dalam
penyampaian laporan kepada otoritas pengawas lembaga
hal tindak pidana ini mengakibatkan kerugian
penyelenggara Transfer Dana, maka pemegang otoritas
pengirim dan/atau penerima yang berhak dan/atau
tersebut berwenang untuk memberikan sanksi
pihak lain, maka pidananya diperberat.
administratif. Sanksi administratif dalam hal ini terdiri dari teguran tertulis dan/atau dapat dikenai kewajiban pembayaran denda uang.
5. Secara melawan hukum mengakses, mengambil, mengubah, menggunakan, menggandakan, merusak, mengintersepsi, atau menghilangkan data atau sistem
5. Alat Bukti dan Beban Pembuktian Berkaitan dengan alat bukti, mengingat pengaturan alat
informasi Transfer Dana. 6. Dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai
bukti dalam hukum acara belum mengakomodir alat
miliknya dana hasil transfer yang diketahui atau patut
bukti dalam transaksi elektronik, sementara saat ini
diketahui bukan haknya.
hampir seluruh kegiatan Transfer Dana melibatkan penggunaan media elektronik, maka dalam RUU ini
7. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
diatur secara tegas cakupan alat bukti yang meliputi
dalam Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 84 RUU dilakukan
pula informasi, dokumen elektronik, dan/atau hasil
oleh Pengurus, Pejabat, dan/atau pegawai Bank,
cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Pengaturan
pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga).
ini dimaksudkan untuk mengakomodir pengembangan alat bukti dalam transaksi elektronik sehingga dapat
Di samping itu, RUU ini mengatur juga tindak pidana
meningkatkan kepastian para pihak dalam melakukan
yang dilakukan oleh korporasi, yakni orang-orang yang
kegiatan Transfer Dana.
mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama
6. Ketentuan Pidana
korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam
Dalam RUU ini diatur mengenai jenis perbuatan yang
lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri
dikategorikan sebagai tindak pidana, antara lain:
atau bersama-sama.
1. Membuat, menerbitkan, menggunakan, menyimpan sarana, atau menyerahkan Perintah Transfer Dana palsu. Termasuk dalam Perintah Transfer Dana palsu antara lain adalah Perintah Transfer Dana yang dibuat dengan menggunakan sarana Transfer Dana yang diperoleh secara melawan hukum.
63
Halaman ini sengaja dikosongkan
Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) September - Desember 2010
Peraturan
Tanggal
Satker
Perihal
LN & TLN
12/19/PBI/2010
4-10-2010
DPNP/DKM
Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing
LN 115 TLN 5158
12/20/PBI/2010
4-10-2010
DKBU/DPbS
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
LN 116 TLN 5159
12/21/PBI/2010
19-10-2010
DPNP/DPbS
Rencana Bisnis Bank
LN 120 TLN 5161
12/22/PBI/2010
22-12-2010
DPM
Pedagang Valuta Asing
LN 146 TLN 5177
12/23/PBI/2010
29-12-2010
DPNP
Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)
LN 155 TLN 5180
12/24/PBI/2010
29-12-2010
DInt
Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri
LN 156 TLN 5181
12/25/PBI/2010
30-12-2010
DPU
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/21/PBI/2009 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 2.000 (Dua Ribu) Tahun Emisi 2009
LN 158
12/26/PBI/2010
30-12-2010
DPU
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/40/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005
LN 159
65
Halaman ini sengaja dikosongkan
Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank Indonesia September - Desember 2010
Peraturan
Tanggal
Satker
Perihal
12/27/DPNP
25-10-2010
DPNP
Rencana Bisnis Bank Umum
12/28/DASP
10-11-2010
DASP
Penyelenggaraan Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System
12/29/DASP
10-11-2010
DASP
Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari bagi Bank Umum
12/30/DASP
10-11-2010
DASP
Perubahan Atas SE No.11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara
12/31/DASP
10-11-2010
DASP
Tata Cara Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara
12/32//DPbS
18-11-2010
DPbS
Rencana Bisnis Bank Umum Syariah dan Unit USaha Syariah
12/33/DKBU
1-12-2010
DKBU
Perubahan atas SEBI No.8/31/DPBR tanggal 12 Desember 2006 perihal Bank Perkreditan Rakyat
12/34/DASP
22-12-2010
DASP
Perubahan atas SE BI No.12/8/DASP tanggal 24 Maret 2010 perihal Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
12/35/DPNP
23-12-2010
DPNP
Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas Kerjasama Pemasaran dengan Perusahaan Asuransi (Bancassurance)
12/36/DPNP
23-12-2010
DPNP
Perubahan Izin Usaha Bank Umum menjadi Izin Usaha Bank Perkreditan Rakyat secara Mandatory dalam rangka Konsolidasi
12/37/DInt
23-12-2010
DInt
Tata Cara Pelaporan Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank serta Format Indikator Keuangan
12/38/DPNP
31-12-2010
DPNP
Pedoman Penyusunan Standard Operating Procedure Administrasi Kredit Pemilikan Rumah dalam rangka Sekuritisasi
12/39/DPbS
31-12-2010
DPbS
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
67
Halaman ini sengaja dikosongkan
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI) September - Desember 2010
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 - Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing Latar Belakang Pengaturan : a. Tekanan inflasi serta kondisi ekses likuiditas perbankan yang tinggi dan persisten perlu dikendalikan agar tidak berdampak pada peningkatan ekspektasi inflasi yang dapat berpengaruh pada stabilitas moneter. Selain itu, stabilitas sektor keuangan perlu terus didukung oleh penguatan kondisi sektor perbankan dalam menghadapi berbagai risiko dan pengoptimalan fungsi intermediasi perbankan. b. Guna mendukung stabilitas moneter dan sektor keuangan perlu dilakukan pengelolaan ekses likuiditas perbankan secara optimal, antara lain melalui kebijakan giro wajib minimum dengan memperhatikan kondisi likuiditas perbankan serta peran bank dalam menjalankan fungsi intermediasi. Substansi Pengaturan : 1.
Bank wajib memenuhi GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing.
2.
GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi terdiri dari: a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah; b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah; dan c. GWM LDR sebesar perhitungan antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan selisih antara LDR Bank dan LDR Target dengan memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM Insentif.
3.
Ketentuan mengenai GWM Sekunder dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing tidak mengalami perubahan.
4.
GWM Primer dalam rupiah, GWM LDR dan GWM dalam valuta asing dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia, sedangkan GWM Sekunder dalam rupiah dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve.
5.
Perhitungan GWM LDR dilakukan sebagai berikut: a. Batas bawah LDR Target sebesar 78% dan batas atas LDR Target sebesar 100%. b. Bank yang memiliki LDR di dalam kisaran LDR target memiliki GWM LDR sebesar 0%. c. Bank yang memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR Target diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter Disinsentif Bawah (saat ini sebesar 0,1) dengan selisih LDR bank dari batas bawah LDR target. d. Bank yang LDR-nya lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM Insentif (saat ini 14%) akan diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter Disinsentif Atas (saat ini sebesar 0,2) dengan selisih LDR bank dari batas atas LDR target. e. Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM sama atau lebih besar dari KPMM insentif (saat ini sebesar 14%), maka kewajiban pemenuhan GWM LDR sebesar 0%.
69
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
f. Besaran dan parameter LDR Target, KPMM Insentif, Parameter Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif Atas akan dievaluasi sewaktu-waktu apabila diperlukan. 6.
Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per tahun terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam rupiah.
7.
Bagian tertentu sebagaimana dimaksud dalam angka 6 ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam rupiah.
8.
Jasa giro diberikan apabila Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah.
9.
Bank yang mendapatkan insentif dalam rangka konsolidasi perbankan memperoleh kelonggaran pemenuhan GWM dalam rupiah sebesar 1% bagi pemenuhan GWM Primer dalam rupiah.
10. Terhadap Bank yang sedang dikenakan Cease and Desist Order (CDO) terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana, dalam rangka supervisory action Bank Indonesia berwenang melakukan perhitungan yang berbeda dari ketentuan GWM LDR sebagaimana diatur dalam PBI ini. 11. PBI ini mencabut PBI No. 10/19/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan PBI No. 10/25/PBI/2008, namun peraturan pelaksanaan dari PBI dimaksud tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PBI ini. 12. Ketentuan mengenai GWM LDR beserta sanksi terhadap pelanggaran GWM LDR mulai berlaku pada 1 Maret 2011. 13. PBI ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2010. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/20/PBI/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang Dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Perkreditan Rakyat Dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Latar Belakang : 1.
Semakin berkembangnya industri BPR dan BPRS disertai dengan perkembangan produk serta pelayanan BPR/BPRS terutama yang berbasis teknologi informasi, maka risiko pemanfaatan BPR dan BPRS dalam pencucian uang dan pendanaan terorisme semakin tinggi.
2.
Ketentuan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles/KYC) bagi BPR dan BPRS yang berlaku selama ini perlu untuk disempurnakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara internasional dalam mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
MATERI PENGATURAN : 1.
BPR dan BPRS wajib menerapkan program Program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT).
2.
Penggunaan istilah baru terkait dengan penerapan program APU dan PPT sebagai berikut: a. Customer Due Diligence (CDD) adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan BPR dan BPRS untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan profil pengguna jasa bank.
70
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
b. Enhanced Due Diligence (EDD) adalah CDD dan kegiatan lain yang dilakukan oleh BPR/BPRS untuk mendalami profil calon Nasabah, Nasabah atau Beneficial Owner yang tergolong berisiko tinggi termasuk PEP terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme. c. Politically Exposed Person (PEP) adalah orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik. d. Beneficial Owner adalah setiap orang yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi nasabah atau WIC, yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian. e. Walk in Customer adalah pengguna jasa BPR/BPRS yang tidak memiliki rekening pada BPR/BPRS tersebut, tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau penugaasan dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah tersebut. 3.
Pengaturan dalam rangka pelaksanaan pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris
4.
BPR dan BPRS wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pegawai BPR dan BPRS yang bertanggung jawab atas penerapan program APU dan PPT dan bertanggung jawab terhadap Direktur.
5.
Pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) kepada calon Nasabah, Nasabah, dan WIC yang terdiri dari: a. Permintaan informasi dan dokumen kepada calon nasabah perorangan, perusahaan berbentuk bank dan non bank termasuk nasabah berupa yayasan, perkumpulan serta Lembaga Negara. Pengaturan termasuk untuk nasabah usaha mikro dan kecil yang lebih sederhana. b. Permintaan informasi dan dokumen kepada WIC baik yang melakukan transaksi di atas Rp100 juta maupun untuk WIC yang melakukan transaksi di bawah Rp100 juta. c. Pelaksanaan verifikasi dokumen dalam rangka meneliti dan meyakini kebenaran dokumen termasuk pelaksanaan wawancara. d. Pemantauan dan pengkinian data
6.
BPR dan BPRS wajib memelihara Daftar Teroris berdasarkan data yang diterima dari Bank Indonesia setiap 6 bulan berdasarkan data yang dipublikasikan oleh PBB.
7.
BPR dan BPRS wajib memiliki sistem pencatatan dan memelihara profil Nasabah
8.
BPR dan BRPS wajib menatausahakan data Nasabah dan WIC dengan jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan nasabah atau WIC atau sejak ditemukanannya ketidak sesuaian transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha serta wajib memelihara dokumen Nasabah dan WIC dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam UU yang mengatur mengenai Dokumen Perusahaan.
9.
Pengaturan mengenai pemindahan dana
10. Kewajiban BPR dan BPRs untuk menolak transaksi, membatalkan transaksi dan atau menutup hubungan usaha dengan Nasabah dalam hal : tidak memenuhi kelengkapan informasi dan dokumen, diketahui menggunakan identitas dan/atau memberikan informasi yang tidak benar, BPR dan BPRS ragu terhadap kebenaran informasi Nasabah atau penggunaan rekening tidak sesuai dengan profil Nasabah. 11. Pengaturan mengenai Beneficial Owner perorangan, perusahaan, yayasan atau perkumpulan.
71
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
12. Pelaksanaan EDD untuk calon Nasabah, Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau PEP. Direksi BPR/BPRS atau Pejabat Eksekutif bertanggung jawab atas pelaksanaan hubungan usaha dengan calon nasabah yang tergolong PEP tersebut. 13. Pengaturan mengenai CDD yang lebih sederhana dapat dilakukan terhadap calon Nasabah yang tingkat risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme tergolong rendah. 14. BPR dan BPRS dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap calon Nasabah yang telah menjadi nasabah pada pihak ketiga tersebut. Namun demikian BPR dan BPRS wajib memastikan kecukupan identifikasi & verifikasi atas hasil CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga dan bertanggung jawab untuk melaksanakan penatausahaan dokumen. 15. BPR dan BPRS wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif yang dibuktikan dengan adanya batasan wewenang dan tanggung jawab yang jelas untuk unit kerja atau pegawai yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT serta pemisahan fungsi antara pelaksana penerapan program APU dan PPT dengan pegawai yang ditunjuk untuk mengawasi efektivitas penerapan program tersebut. 16. BPR dan BPRS wajib melakukan penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan pegawai baru, serta melaksanakan pelatihan mengenai program APU dan PPT kepada SDM BPR dan BPRS. 17. BPR wajib menyampaikan Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT yang telah mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak diberlakukannya PBI ini dan wajib menyampaikan perubahan Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak perubahan tersebut kepada BI. 18. BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai dan laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam UU yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang. 19. Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib disampaikan 3 (tiga) hari kerja setelah BPR dan BPRS mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan yaitu sejak Direktur yang berwenang menyetujui transaksi tersebut sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan. 20. Sanksi keuangan diberikan kepada BPR yang terlambat menyampaikan atau tidak menyampaikan Pedoman Pelaksanaan APU dan PPT serta BPR dan BPRS yang terlambat menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. 21. Peraturan ini mencabut PBI No.5/23/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles/KYC) bagi BPR tanggal 23 Oktober 2003. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/21/PBI/2010 - Rencana Bisnis Bank Ringkasan : 1.
Tujuan pengaturan ini adalah : a. agar Bank memiliki Rencana bisnis yang disusun secara matang dan realistis berdasarkan prinsip kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko, dengan cakupan yang komprehensif. b. sebagai sarana bank dalam mengendalikan risiko strategik dengan memperhatikan faktor eksternal dan faktor internal untuk mengarahkan kegiatan operasional bank sesuai visi dan misinya.
72
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
c. Selain itu rencana bisnis bank yang realistis diperlukan juga bagi otoritas moneter sebagai pertimbangan dalam menetapkan kebijakan dan melakukan pengawasan macro prudential dan d. menjadi salah satu acuan bagi pengawas bank dalam menyusun rencana pengawasan berdasarkan risiko yang optimal dan efektif. 2.
Bank wajib menyusun Rencana Bisnis setiap tahun. Bagi Bank Umum yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS), Rencana Bisnis wajib pula memuat Rencana Bisnis khusus untuk UUS yang merupakan satu kesatuan dengan Rencana Bisnis Bank Umum.
3.
Cakupan Rencana Bisnis paling kurang meliputi: a. Ringkasan eksekutif; b. Kebijakan dan strategi manajemen; c. Penerapan manajemen risiko dan kinerja Bank saat ini; d. Proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan; e. Proyeksi rasio-rasio dan pos-pos tertentu lainnya; f. Rencana pendanaan; g. Rencana penanaman dana; h. Rencana permodalan; i.
Rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia (SDM);
j.
Rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru;
k. Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor; l. 4.
Informasi lainnya.
Rencana Bisnis wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan November sebelum tahun Rencana Bisnis dimulai. Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk melakukan penyesuaian dalam hal Rencana Bisnis yang disampaikan belum sepenuhnya memenuhi ketentuan ini.
5.
Bank hanya dapat melakukan perubahan terhadap Rencana Bisnis apabila: a. Terdapat faktor eksternal dan internal yang secara signifikan mempengaruhi operasional Bank. Perubahan ini hanya dapat dilakukan 1 kali, paling lambat pada akhir bulan Juni tahun berjalan; dan/atau b. Terdapat faktor yang secara signifikan mempengaruhi kinerja Bank, berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
6.
Bank wajib menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis secara triwulanan dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis secara semesteran kepada Bank Indonesia.
7.
Pemberian masa transisi sebagai berikut: a. Khusus untuk Rencana Bisnis tahun 2011, Bank wajib menyampaikan Rencana Bisnis kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan Desember 2010. b. Khusus untuk Bank yang menyampaikan Rencana Bisnis tahun 2011, namun melewati akhir Desember 2010: 1. Tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar, apabila disampaikan paling lambat akhir Januari 2011; atau 2. Dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50 juta, apabila disampaikan setelah akhir Januari 2011.
73
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No.12/22/PBI/2010 tentang Pedagang Valuta Asing Ringkasan : I.
Latar Belakang dan Tujuan Kegiatan jual-beli Uang Kertas Asing (UKA) yang dijalankan oleh Pedagang Valuta Asing (PVA) memiliki hubungan yang erat dengan kegiatan usaha Pengiriman Uang. Dalam rangka mendukung perkembangan kegiatan usaha Pengiriman Uang, maka PVA Bukan Bank dapat diberikan izin untuk melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang sesuai ketentuan yang berlaku.
II.
Materi Pengaturan Pokok-pokok pengaturan yang baru dari Peraturan Bank Indonesia ini adalah sebagai berikut: 1. Kegiatan usaha yang dilakukan oleh PVA adalah sebagai berikut: a. jual dan beli UKA; b. pembelian Traveller’s Cheque (TC); dan c. bagi PVA Bukan Bank, dapat melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang dengan memperoleh izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia. 2. PVA dilarang melakukan kegiatan sebagai berikut: a. bertindak sebagai agen penjual Traveller’s Cheque b. melakukan kegiatan margin trading, spot, forward, swap, dan transaksi derivatif lainnya untuk kepentingan nasabah; dan/atau c. melakukan kegiatan usaha lain selain jual dan beli Uang Kertas Asing dan pembelian TC serta kegiatan usaha Pengiriman Uang. 3. Modal disetor untuk mendirikan PVA Bukan Bank tidak berasal dari dan/atau untuk pencucian uang (money laundering). 4. Persyaratan bagi Direksi dan Dewan Komisaris PVA Bukan Bank adalah sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. tidak tercatat dalam daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro kosong; c. tidak tercantum dalam kredit macet yang ditatausahakan dalam sistem informasi kredit pada Bank Indonesia; d. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang perbankan dan keuangan dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; e. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; f. tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi atau Dewan Komisaris dari suatu perseroan terbatas dengan kegiatan usaha PVA yang dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia karena pelanggaran, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan; dan g. memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha berdasarkan ketentuan mengenai pedagang valuta asing dan perundang-undangan lain yang berlaku. 5.
Persyaratan bagi pemegang saham PVA Bukan Bank adalah sebagai berikut: a. perorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; b. tidak tercatat dalam daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro kosong;
74
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
c. tidak tercantum dalam kredit macet yang ditatausahakan dalam sistem informasi kredit pada Bank Indonesia; d. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang perbankan dan keuangan dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; e. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; dan f. memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan yang mengatur mengenai pedagang valuta asing dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. 6. PVA Bukan Bank yang memperoleh izin kegiatan usaha Pengiriman Uang wajib melakukan penyesuaian atas kebijakan dan prosedur penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT) dengan memuat kebijakan dan prosedur APU dan PPT untuk kegiatan usaha Pengiriman Uang. 7. PVA Bukan Bank wajib tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha Pengiriman Uang dalam melaksanakan kegiatan usaha Pengiriman Uang. 8. Jangka waktu pemberian izin atau penolakan secara tertulis permohonan kegiatan usaha Pengiriman Uang sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai kegiatan usaha Pengiriman Uang, tidak berlaku bagi permohonan kegiatan usaha Pengiriman Uang yang diajukan bersamaan dengan permohonan izin usaha PVA Bukan Bank. 9. PVA Bukan Bank wajib memasang: a. logo PVA berizin; b. tulisan "Pedagang Valuta Asing Berizin" ("Authorized Money Changer"); dan c. sertifikat izin usaha. 10. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka: a. Peraturan Bank Indonesia No.9/11/PBI/2007 tanggal 5 September 2007 tentang Pedagang Valuta Asing dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. b. Peraturan Pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.9/11/PBI/2007 tanggal 5 September 2007 tentang Pedagang Valuta dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/23/PBI/2010 tanggal 29 Desember 2010 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Ringkasan : 1.
Tujuan Pengaturan ini adalah: Dalam rangka meningkatkan kepercayaan dan perlindungan kepada masyarakat terhadap industri perbankan, sehingga perlu dipastikan agar pengelolaan bank dilakukan oleh pihak yang mampu dan patut (Fit and Proper) sehingga pengelolaan bank dilakukan sesuai dengan tatakelola yang baik (good governance).
2.
Penyempurnaan pengaturan ini antara lain: a. Penambahan obyek uji kemampuan dan kepatutan yaitu calon Pemegang Saham Pengendali (PSP), calon Pengurus, PSP, Pengurus, dan Pejabat Eksekutif (PE) yang sedang menjabat, juga diperluas dengan PSP, Pengurus, dan PE yang sudah tidak lagi menjabat. b. Penyederhanaan proses uji kemampuan dan kepatutan terhadap:
75
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
i. New Entry •
Bagi calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi bank, wawancara hanya dilakukan apabila diperlukan yaitu apabila ditemukan adanya informasi negatif atau apabila yang bersangkutan dinilai tidak memiliki kompetensi yang cukup dibidang perbankan.
•
Bagi calon PSP, wawancara tetap merupakan keharusan hanya pelaksanaannya tidak harus menunggu seluruh penelitian administratif selesai.
ii. Existing •
Pengumpulan bukti tidak harus melalui pemeriksaan khusus namun dapat dilakukan melalui pengawasan aktif (pemeriksaan), pengawasan pasif atau sumber lainnya.
•
Pengurangan penyampaian tanggapan dari pihak yang dinilai atas hasil sementara dari semula 2 kali menjadi hanya sekali.
•
Penyederhanaan langkah-langkah penilaian dari 10 tahap menjadi 4 tahap yaitu: (1) Klarifikasi temuan & bukti kepada Pihak yang Dinilai. (2) Penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan. (3) Tanggapan dari Pihak Yang Dinilai atas hasil penilaian sementara. (4) Penetapan & pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan.
c. Perubahan predikat hasil uji kemampuan dan kepatutan menjadi hanya dua predikat yaitu Lulus dan Tidak Lulus. d. Pengetatan sanksi dan konsekuensi Tidak Lulus. •
Jangka waktu sanksi tidak dikaitkan dengan dampak perbuatan pihak yang dinilai terhadap penurunan CAR namun dikaitkan dengan jenis dan frekuensi pelanggaran yang dilakukan.
•
Terdapat peningkatan jangka waktu sanksi bagi pihak yang Tidak Lulus yang tidak mematuhi konsekuensinya.
e. Penambahan pengaturan yang terkait dengan proses uji kemampuan dan kepatutan bagi bank yang diselamatkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan. 3.
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka PBI No.5/25/PBI/2003 tanggal 10 November 2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/24/PBI/2010 Tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri Ringkasan : 1.
Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan sehubungan dengan akan berakhirnya PBI No.11/17/PBI/2009 tentang Perubahan atas PBI No.2/22/PBI/2000 yaitu pada 31 Desember 2010 yang mengatur mengenai penundaan sanksi administratif berupa denda bagi pelapor yang melanggar ketentuan pelaporan Utang Luar Negeri (ULN). Selain itu, penerapan aplikasi baru yaitu enhancement SIUL versi 2.1 yang menggantikan aplikasi lama SIUL versi 2.0 juga menjadi dasar pertimbangan dalam perubahan Peraturan Bank Indonesia ini. Enhancement aplikasi SIUL dibuat dengan tujuan agar cakupan dan kualitas data ULN lebih meningkat dan sistem pelaporan yang lebih user friendly. Dengan demikian diharapkan memudahkan pelapor menyampaikan laporan ULN nya kepada Bank Indonesia. Adapun pokok-pokok perubahan dalam pengaturan Peraturan Bank Indonesia ini antara lain mencakup: a. Perubahan jangka waktu penyampaian laporan data pokok ULN kepada Bank Indonesia. b. Penyederhanaan perhitungan sanksi administratif berupa denda kepada pelapor yang melanggar ketentuan penyampaian laporan ULN. c. Perubahan waktu penyampaian laporan ULN dari hari kerja sebelumnya menjadi hari kerja sesudahnya apabila tanggal batas waktu penyampaian laporan ULN jatuh pada hari Sabtu atau hari libur.
76
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
d. Sanksi administratif berupa denda akan mulai diberlakukan untuk laporan ULN dan/atau koreksi laporan ULN bulan Juni 2011 yang disampaikan pada bulan Juli 2011. 2.
Perubahan-perubahan dalam PBI tersebut selain sebagai salah satu sarana penyempurnaan data ULN, juga dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan pelapor untuk menyampaikan laporan ULN nya kepada Bank Indonesia. Selama ini data ULN dipergunakan dalam rangka penyusunan Statistik Utang Luar negeri Indonesia dan Statistik Neraca Pembayaran. Oleh karena itu, dengan semakin lengkap dan akurat data ULN akan mendukung Bank Indonesia dalam perumusan kebijakan moneter.
3.
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka beberapa ketentuan berikut ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yaitu: a. Peraturan Bank Indonesia No.2/22/PBI/2000 tanggal 2 Oktober 2000 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri. b. Peraturan Bank Indonesia No.11/17/PBI/2009 tanggal 5 Mei 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No.2/22/PBI/2000 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/25/PBI/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/21/PBI/2009 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 2.000 (Dua Ribu) Tahun Emisi 2009 Ringkasan : 1.
Dengan mempertimbangkan Bank Indonesia telah memiliki Gubernur Bank Indonesia yang definitif, maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan penandatangan pada uang kertas rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2009.
2.
Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia ini meliputi: a. Uang kertas rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2009 terbuat dari bahan serat kapas; b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah); c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2009 untuk tahun pencetakan sampai dengan bulan November tahun 2010, antara lain sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas dengan ukuran panjang 141 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna dominan abu-abu; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari; 4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI2000” berulang-ulang; 5. ditandatangani oleh Miranda S. Goeltom sebagai “Deputi Gubernur Senior” dan S. Budi Rochadi sebagai “Deputi Gubernur”. d. Ciri uang kertas rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2009 untuk tahun pencetakan mulai bulan Desember tahun 2010, antara lain sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas dengan ukuran panjang 141 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna dominan abu-abu; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari; 4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI2000” berulang-ulang; 5. ditandatangani oleh Darmin Nasution sebagai “Gubernur” dan S. Budi Rochadi sebagai “Deputi Gubernur”. e
Uang kertas rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2009 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
77
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 1, Januari - April 2011
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/26/PBI/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/40/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005 Ringkasan : 1.
Dengan mempertimbangkan Bank Indonesia telah memiliki Gubernur Bank Indonesia yang definitif, maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan penandatangan pada uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005.
2.
Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia ini meliputi: a. Uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 terbuat dari bahan serat kapas; b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah); c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari 2010 sampai dengan bulan November tahun 2010, antara lain sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas dengan ukuran panjang 145 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna dominan ungu muda; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Palembang; 4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah di bawah sinar ultra violet; 5. ditandatangani oleh Darmin Nasution sebagai “Deputi Gubernur Senior” dan Muliaman D. Hadad sebagai “Deputi Gubernur” d. Ciri uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 untuk tahun pencetakan mulai bulan Desember tahun 2010, antara lain sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas dengan ukuran panjang 145 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna dominan ungu muda; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Palembang; 4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah di bawah sinar ultra violet; 5. ditandatangani oleh Darmin Nasution sebagai “Gubernur” dan Muliaman D. Hadad sebagai “Deputi Gubernur”. e. Uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
78