BULETIN
ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Kemandirian Anggaran Bank Indonesia Penerapan Customer Due Diligence Atas Resolusi Dk PBB Nomor 1267 Guna Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Implementasi Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan Di Indonesia Prinsip Parate Executie Dalam Hak Tanggungan Dalam Hal Debitur Wanprestasi Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2012 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2012
Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Siddha Karya, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe Pemimpin Redaksi Libraliana Badilangoe Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Imam Subarkah, Sukarelawati Permana, Amsal C. Appy, Rosalia Suci, Hari Sugeng Raharjo, Endang R. Budi Astuti Redaksi Pelaksana Agus Susanto Pratomo, Ellia Syahrini, Kesumawati, Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH., LLM Dr. Inosentius Samsul, SH., LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH., MH Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Departemen Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email:
[email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. “Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi”
Halaman ini sengaja dikosongkan
DARI MEJA REDAKSI
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10 Nomor 3, Edisi September s.d Desember 2012 kembali hadir ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya. Topik utama Buletin menyoroti mengenai Kemandirian Anggaran Bank Indonesia yang merupakan hasil kerjasama penelitian FH-UGM dengan DHk BI. Kemandirian anggaran bagi Bank Indonesia merupakan hal yang penting dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai Bank Sentral, mengingat kemandirian anggaran merupakan bagian dari independensi bank sentral secara keseluruhan. Selain topik utama diatas dalam edisi kali ini Buletin juga menurunkan 3 artikel lainnya, yaitu: 1. Penerapan Customer Due Diligence Atas Resolusi Dk PBB Nomor 1267 Guna Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme oleh Dr. Go Lisanawati SH. M Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya. 2. Implementasi Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan Di Indonesia oleh Dr. Zulfi Diane Zaini, S.H., M.H, Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Bandar Lampung. 3. Prinsip Parate Executie Dalam Hak Tanggungan Dalam Hal Debitur Wanprestasi oleh Rumawi, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember. Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan September sampai dengan Desember 2012, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca. Jakarta, Desember 2012 Redaksi
i
Halaman ini sengaja dikosongkan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN VOLUME 10, NOMOR 3, SEPTEMBER – DESEMBER 2012 Halaman Dari Meja Redaksi...................................................................................................................................
i
Daftar Isi.................................................................................................................................................
iii
Kemandirian Anggaran Bank Indonesia...................................................................................................
1 - 28
Kerjasama Penelitian antara Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia Penerapan Customer Due Diligence Atas Resolusi Dk PBB Nomor 1267 Guna Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme...........................................................................
29 - 41
Dr. Go Lisanawati SH. M Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya Implementasi Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan Di Indonesia.............................................
43 - 57
Dr. Zulfi Diane Zaini, S.H., M.H, Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Bandar Lampung Prinsip Parate Executie Dalam Hak Tanggungan Dalam Hal Debitur Wanprestasi.......................................
59 - 71
Rumawi, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember. Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2012...................................................................................................................
73 - 76
Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum, Bank Indonesia) Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2012................................................................................................................... 77 - 140 Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)
iii
Halaman ini sengaja dikosongkan
KEMANDIRIAN ANGGARAN BANK INDONESIA Oleh : Kerjasama Penelitian antara Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia1
Abstrak Terdapat peluang normatif untuk memberikan kemandirian penganggaran pada Bank Indonesia. Hal tersebut karena adanya norma terbuka yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 23D, mengingat Pasal ini tidak menentukan sampai derajat mana kemandirian dan indipendensi yang dapat diberikan kepada Bank Sentral. Pembentukan Supervisory Board merupakan salah opsi yang dapat mendukung implementasi kemandirian Bank Indonesia, termasuk dalam bidang penganggaran. Interpretasi ketentuan Pasal 23D UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersifat terbuka, maka Bank Indonesia sebaiknya berperan lebih aktif dan progressif untuk menyakinkan DPR bahwa kemandirian anggaran bagi Bank Indonesia merupakan hal yang sangat penting dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai Bank Sentral. Keyword: kemandirian, anggaran,
A. PENDAHULUAN
Bersamaan dengan proses dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan Dewan Perwakilan
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23D Undang-
Rakyat juga melakukan proses Undang-UndangNomor
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Penggantian
(selanjutnya disebut UUD Negara RI Tahun 1945),
UU ini dilakukan karena Bank Indonesia, berdasarkan
bahwa Negara memiliki suatu bank sentral yang
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968, diberi
susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab,
kedudukan sebagai pembantu pemerintah dalam
dan independensinya diatur dengan undang-undang;
melaksanakan kebijakan moneter yang disusun dan
menunjukan adanya pengakuan secara konstitusional
ditetapkan oleh Dewan Moneter2. Konsekuensinya,
terhadap kemandirian bank sentral dalam melaksanakan
Bank Indonesia, pada saat itu, merupakan bagian
tugas dan kewenangannya. Kemandirian bank sentral
integral dari pemerintah. Oleh karenanya Dewan
dipandang sangat urgent oleh para pembentuk UUD
Perwakilan Rakyat bersama Presiden bersepakat
Negara RI Tahun 1945 sebab, secara historis, ketidak-
memberikan kemandirian kepada Bank Indonesia,
mandirian dari bank sentral merupakan salah satu
sebagai bank sentral Republik Indonesia3 melalui
penyebab utama terjadinya krisis ekonomi pada tahun-
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
tahun sebelum dilakukannya perubahan Undang-
Indonesia. Pemberian kemandirian kepada Bank
Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).
1
Tim Peneliti UGM (Prof. Dr. Nindya Pramono, SH., MS, Ertambang Nahartyo, M.Sc. Ph.D, Andi Sandi ATT, SH., LLM, Drs. Paripurna PS, SH, M.Hum, LLM) dan Departemen Hukum Bank Indonesia.
2
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
3
Lihat Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
1
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
Indonesia tidak lagi seabsolut pada saat sebelumnya,
bertujuan agar Bank Indonesia tidak lagi menjadi
tetapi kemandirian itu telah dibarengi dengan
bagian yang integral dari pemerintah.
mekanisme checks and balances system dengan lembaga negara lainnya melalui kerja sama. Salah
Namun dalam perjalanannya, kemandirian Bank
satu kerja sama dengan lembaga negara lainnya yaitu
Indonesia yang diberikan oleh UU Nomor 23 Tahun
dalam penentuan anggaran Bank Indonesia. Mengenai
1999, direvisi melalui Undang-Undang Nomor 3
hal tersebut Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Tahun 1999 sebagaimana diubah terakhir dengan
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Revisi
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 menentukan
yang dilakukan meliputi redefinisi terhadap kemandirian
bahwa anggaran Bank Indonesia ditetapkan oleh
Bank Indonesia dengan memberikan batasan terhadap
Dewan Gubernur Bank Indonesia. Anggaran tersebut
kemandirian yang dimiliki oleh Bank Indonesia melalui
harus dimintakan persetujuan dari komisi Dewan
perubahan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
Perwakilan Rakyat yang membidangi urusan Bank
1999. Kemandirian Bank Indonesia, menurut Pasal
Indonesia.
4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Kondisi normatif ini terlihat kontradiktif sebab
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dibatasi dalam
Pasal 23D UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah
hal melaksanakan tugas dan kewenangannya. Hal
mengariskan bahwa bank sentral milik negara
ini dipandang penting oleh Dewan Perwakilan Rakyat
haruslah independen, namun kenyataannya masih
dan Presiden sebab diperlukan koordinasi yang lebih
ada di bawah "bayang-bayang" DPR dalam proses
erat antara Bank Indonesia, sebagai pemegang
penyusunan penganggarannya. Idealnya, sebuah
otoritas moneter, dengan Pemerintah, sebagai
lembaga yang independen,seharusnya juga
pemegang otoritas fiskal dan sektor riil, dalam rangka
mempunyai kemandirian dalam menentukan
mewujudkan kestabilan nilai rupiah4. Redefinisi atas
penganggarannya, sebab tanpa itu, sulit untuk
kemandirian Bank Indonesia, setidaknya menunjukan
mengkategorikan institusi ini sebagai institusi yang
bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden telah
independen.Dengan kondisi normatif dan empiris di
membuka kembali kemungkinan adanya kerja sama
atas, perlu dilakukan sebuah kajian akademis terkait
antara Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam
kemungkinan diberikannya kemandirian pada Bank
menjaga stabilitas perekonomian nasional. Hal mana
Indonesia dalam proses penyusunan anggaran
sama sekali tidak diberi kemungkinan normatif
agarnorma yang ditentukan dalam UUD Negara RI
berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
Tahun 1945 dapat diimplementasikan.
tentang Bank Indonesia sebab dalam UU ini ada kemandirian Bank Indonesia yang bersifat absolut.
B. PERUMUSAN MASALAH
Revisi kemandirian dan luasan cakupan kerja sama
Dalam kajian akademik ini akan dibahas dan diberi
antara Bank Indonesia dan Pemerintah berdasarkan
jawaban secara akademis dan yuridis normatif atas
kondisi normatif di atas setidaknya dapat
permasalahan:
mempengaruhi kemandirian Bank Indonesia dalam
1. Adakah peluang normatif untuk memberikan
melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam menjaga stabilitas nilai rupiah. Kemandirian Bank
kemandirian penganggaran pada Bank Indonesia? 2. Bagaimana prosedur penganggaran Bank Indonesia yang dapat mendukung implementasi kemandirian Bank Indonesia?
4
Lihat Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
2
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
C. BANK SENTRAL DAN KEMANDIRIAN BANK
the government”, yang kurang lebih berarti bebas
SENTRAL
terpimpin6.
1. Bank Sentral di Berbagai Negara
Umumnya diberbagai negara peranan bank sentral
Salah satu lembaga keuangan yang terpenting
di dalam sistem keuangan dan perekonomian
dalam perekonomian modern adalah bank sentral.
meliputi7:
Dewasa ini hampir tiap negara mempunyai bank
a. mengontrol peredaran uang.
sentral. Peter S. Rose, memberi defenisi bahwa
b. menjaga stabilisasi pasar uang dan pasar modal
bank sentral adalah agen pemerintah yang
c. memberikan jasa peminjaman terakhir (lender
mempunyai fungsi kebijakan publik terpenting
of last resort). Atau, bertindak sebagai bankir
dalam pengawasan kegiatan sistem keuangan
bank umum dalam negeri (banker’s bank).
dan pengendalian jumlah peredaran
uang5.
d. mejaga mekanisme pembayaran.
Di banyak negara status bank sentral adalah
e. mengawasi sistem perbankan.
badan hukum milik negara. Jika pun ada mempunyai status hukum yang lain, bukan berarti
Berikut dipaparan pengaturan bank sentral di berbagai
terlepas sama sekali dari pemerintah. Dalam istilah
negara, antara lain, Indonesia, Singapura, Jepang dan
perbankan disebut dengan “independent within
Amerika Serikat dalam suatu bentuk tabel.
Perbandingan Bank Indonesia dengan Bank Sentral Negara Lain8 No.
5
Item
Indonesia
Singapura
Jepang
Amerika Serikat
1.
Nama Bank Sentral
Bank Indonesia (BI)
Monetory Authority of Singapore (MAS)
Bank of Japan
Federal Reserve System (The Fed)
2.
Berdiri
1953
1970
1882
1913
3.
Status
Lembaga negara di luar pemerintah
Badan pemerintah yang bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan
Badan khusus non pemerintah yang bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan
Badan pemerintah yang bertanggungjawab kepada kongres
4.
Tugas Pokok
a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter b. mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran c. mengatur dan mengawasi bank
a. melaksanakan kebijakan moneter, kecuali mengedarkan uang-dikelola oleh Board of Commission of Currency. b. Menetapakan perizinan, pengawasan bank, lembaga pembiayaan, asuransi, dan dana pensiun.
a. melaksanakan fungsi otoritas moneter. b. Mengawasi dan membina perbankan c. Menjaga kestabilan system keuangan d. Menyediakan jasa keuangan tertentu
a. melaksanakan kebijakan moneter b. mengawasi dan menjaga perbankan c. menjaga kestabilan system keuangan d. menyediakan jasa keuangan tertentu.
Peter S Rose, 2000, Money and Capital Markets: Financial Institution and Instrumen in Global Market-Seventh Edition, The McCrow-Hill Inc, North America, hal. 493
6
Siswanto Sutojo, 1997, Manajemen Terapan Bank, PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, hal 13
7
Peter. S Rose, Money and Capital Market, op.ct, hal. 494.
8
Didik J. Rachbini, 2000, “BI Menuju Indipensi Bank Sentral ”, Madyo Mulyo, hal. 184
3
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No.
Item
Indonesia
Singapura
Jepang
Amerika Serikat
5.
Lembaga pimpinan
1 Gubenur, 1 Deputi Gubenur Senior, 4-7 Deputi Gubenur yang diangkat Presiden dengan persetujuan DPR
-
1 Gubenur, 2 Wakil Gubenur yang diangkat Kabinet
1 Chairman 2 Vice Chairman 5 Board of Governor 12 Presiden Federal System Regional
6.
Masa Jabatan
7 tahun
4 tahun
7 tahun
7 tahun
7.
Otoritas Pengaturan dan sanksi terhadap bank
BI, khusus untuk pengawasan akhir 2002 diserahkan lansung ke lembaga indipenden
MAS
Menteri Keuangan
a. The Fed khusus Bank Holding Companies State Member, State and Federally Licensed Branches, dan Foreign Owned Bank Operation. b. Office of the compotraller of the currency, khusus untuk National Bank, Federally Licensed Branches and agencies of Foreignowned bonds c. Federal Deposit Insurance Coorporation, khusus untuk bankbank yang bergerak dalam Deposit Insurance Fund, yaitu kelompok state nonmember bank d. Office of Thrift Supervission, khusus untuk federation state saving association dan Thrift Holding Companies e. National Credit Union Administration, khusus untuk credit union (state and federal)
2. DPR sebagai Pemegang Kekuasaan Legaslatif
untuk menghakimi atau yudikatif. Dari klasifikasi
Dalam konteks constitutionalism, banyak sekali
Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan
teori-teori yang digunakan untuk melakukan
negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legaslatif
pembatasan kekuasaan. Salah satunya adalah
(the legaslative function), eksekutif (the executive
Trias Politica. Menurut Montesquieu dalam bukunya
or administrative function) dan yudisial (the judicial
“L”Esprit des Lois” (1748), yang mengikuti jalan
function).9
pikiran John Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu: kekuasaan eksekutif sebagai pembuat undang-undang; (ii) kekuasan eksekutif yang melaksanakan; dan (iii) kekuasaan
4
9
Jimly Asshiddiqie, 2011, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 283
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Prinsip checks and balances coba diterapkan pada
kontrol atau pengawasan oleh parlemen sebagai
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia pasca
lembaga perwakilan rakyat dapat pula dibedakan,
dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945.
yaitu:11
Khususnya, yang terkait dengan perubahan yang
1. Pengawasan terhadap penentuan kebijakan
dilakukan pada Pasal 1 ayat (2) UUD Negara RI 1945, yang menentukan bahwa “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan menurut UndangUndang Dasar”. Kesimpulan ini dapat diambil karena berdasarkan distribusi kewenangan yang dilakukan oleh UUD Negara RI Tahun 1945, telah membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga) kekuasaan (legaslatif, eksekutif, dan yudikatif) dan ditambahkan dengan kewenangan di bidang lain, seperti ekonomi, kebudayaan, agama, lambang negara, dan pelaksanaan pemilihan
(control of policy making); 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing); 3. Pengawasan terhadap penggaran dan belanja negara (control of budgeting); 4. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control of budget implementation); 5. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of giverment performances); 6. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat
umum. Salah satunya adalah kekuasaan legaslatif
publik (control of political appoinment of public
yang dilekatkan kepada DPR.
officials) dalam bentuk persetujuan atau penolakan, ataupun dalam bentuk pemberian
Jimly Asshiddiqie membagi kekuasan legislatif
pertimbangan oleh DPR.
atas tiga fungsi, yaitu: pertama, fungsi pengaturan (legislasi); kedua fungsi pengawasan (control);
Khusus kontrol terhadap penganggaran dan
dan ketiga fungsi perwakilan (representasi). Fungsi
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja,
legislasi menyangkut empat bentuk kegiatan,
yang terkait erat dengan kinerja pemerintahan,
pertama, prakarsa pembuatan undang-undang
harus dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh
(legislative initiation); kedua, pembahasan
lembaga perwakilan rakyat. Daya serap anggaran
rancangan undang-undang (law making process);
dan pelaksanaan anggaran menurut peraturan
ketiga, persetujuan atas pengesahan undang-
perundang-undangan yang berlaku berhubungan
undang (law enactment approval); empat,
erat dengan kinerja pemerintahan (goverment
pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi
performances). Oleh karena itu, kontrol terhadap
atas perjanjian atau persetujuan internasional
kedua hal ini, sama-sama penting dalam rangka
dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat
fungsi kontrol oleh lembaga perwakilan rakyat.
lainnya (binding dicision making on international law agreement and treaties or other legal biding
Pasal 69 UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis
documents).10
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Terkait dengan fungsi kontrol, lembaga perwakilan
Perwakilan Rakyat Daerah (“UU No. 27 Tahun
rakyat diberikan kewenangan untuk melakukan
2009”), menyebutkan bahwa DPR mempunyai
kontrol dalam tiga hal, yaitu (i) kontrol atas
fungsi: (a) legislasi; (b) anggaran; dan (c)
pemerintahan (control of executive), (ii) kontrol
pengawasan.12 Ketiga fungsi tersebut dijalankan
atas pengeluaran (control of expenditure); dan
dalam kerangka representasi rakyat.13 Fungsi
(iii) kontrol atas pemungutan pajak (control of taxation). Lebih jauh, secara teoritis, fungsi-fungsi 11 Ibid, hal. 302 12 Lihat Pasal 69 Ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009 10 Jimly Asshiddiqie, op.ct, hal. 300
13 Lihat Pasal 69 Ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009
5
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPR
3. Beberapa Kajian Kemandirian Bank Sentral
selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-
dan Pengaruhnya
undang.14 Fungsi anggaran dilaksanakan untuk
Dalam berbagai macam kajian kebanksentralan,
membahas dan memberikan persetujuan atau
indipendensi dan good governance menjadi dua
tidak memberikan persetujuan persetujuan
topik yang tidak terpisahkan. Tiga prinsip yang
terhadap rancangan undang-undang tentang
membangun Central Bank Governance (CBG)
APBN yang diajukan oleh
Presiden.15
Fungsi
adalah independensi, akuntabilitas, dan
pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan
transparansi. Beberapa penelitian mengenai
APBN.16
pengaruh independensi bank sentral dan transparansi bank sentral terhadap berbagai
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
macam indikator ekonomi telah dilakukan,
DPR berhak meminta pejabat negara, pejabat
diantaranya adalah, pengaruh independensi
pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat
terhadap tingkat inflasi. Hasil penelitian
untuk memberikan keterangan tentang suatu hal
menunjukkan bahwa bahwa tingkat inflasi akan
yang perluditangani demi kepentingan bangsa
dapat dikendalikan dengan lebih baik apabila
dan negara.17 Sehubungan dengan permintaan
bank sentral dalam menetapkan dan
DPR tersebut, setiap pejabat negara, pejabat
melaksanakan kebijakan moneter tidak mendapat
pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat
campur tangan dari pemerintah. Berikut ini adalah
wajib memenuhi.18 Penolakan terhadap permintaan
beberapa penelitian tersebut:
DPR dikenakan panggilan paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.19
Tabel 1. Hubungan antara Central Bank Indipendence (CBI) dengan Tingkat Inflansi Peneliti
Topik Penelitian
Sampel dan Perioda
Pengujian
Grili, Masciandaro dan Tabellini (1991)
Mengestimasikan pengaruh indikator-indikator ekonomi dan independensi politik terhadap inflasi
18 negara-negara OECD 1950-1989
Regresi
CBI selalu mempunyai pengaruh negatif terhadap inflasi
Cukierman, webb, dan Neyapti (1992)
Meneliti hubungan antara inflasi; turn over pergantian gubernur dan tingkat independensi
72 negara berkembang dan industri 1950-1989
Regresi
Semakin tidak independen menyebabkan inflasi semakin tinggi. Pergantian gubernur mempunyai pengaruh signifikan dalam menjelaskan inflasi
Den Haan dan Van’T Hag (1994)
Meneliti hubungan antara CBI dan inlasi, tingkat pengangguran, kebijkan moneter, dan inflasi di lingkungan non-regulatory
Negara-negara OECD 1980-1989
Regresi
CBI mempunyai korelasi positif dengan sejarah pengalaman inflasi
14 Lihat Pasal 70 Ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009 15 Lihat Pasal 70 Ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009 16 Lihat Pasal 70 Ayat (3) UU No. 27 Tahun 2009 17 Lihat Pasal 72 Ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009 18 Lihat Pasal 72 Ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009 19 Lihat Pasal 72 Ayat (3) UU No. 27 Tahun 2009
6
Hasil
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Peneliti
Topik Penelitian
Sampel dan Perioda
Pengujian
Hasil
Cukierman dan Webb (1995)
Mengukur hubungan antara inflasi dan CBI
67 negara berkembang dan industri 1950-1989
Regresi
Negara berkembang secara umum mempunyai inflasi lebih tinggi dibandingkan dengan negara industri
Brumm dan Krashevski (2003)
Meneliti hubungan antara sacrifice ratio dan inflasi
Analisa permasalahan terhadap penelitianpenelitian sebelumnya
Regresi
Terdapat hubungan negatif yang sangat kuat antara sacrifice ratio dan CBI
Ismihan dan Ozkan (2004)
Hubungan antara CBI, investasi publik dan inflasi
Model teoritis dua perioda
Model untuk pembuat kebijakan
Mengemukakan bahwa pengaruh pertumbuhan membuat CBI sulit untuk menurunkan inflasi dalam jangka panjang
Selain pengaruh indipendensi terhadap
kebijakan dan perkiraan tindakan-tindakan yang
perekenomian, pernah juga diteliti pengaruh
akan dilaksanakan di masa yang akan datang
transparansi bank sentral terhadap kebijakan
secara tepat waktu; kelima, transparansi
moneter, antara lain oleh Eijffinger dkk (2006) dan
operasional (operational transparency), yaitu
Crowde dkk (2007), serta Claessens dkk (2007).
diskusi dan pembahasan hal-hal yang dapat menganggu perekonomian maupun hal-hal yang
Eijffinger
dkk20
(2006) dan Crowe
dkk21
(2007)
mengukur tingkat transparansi bank sentral
menyebabkan salah kebijakan yang kemungkinan mempengaruhi penerapan kebijakan saat ini.
dengan lima kategori. Pertama, transparansi politik (political transparency), yaitu kejelasan mandat
Penelitian tentang corporate governance yang
legal yang dimiliki oleh bank sentral; kedua,
dilakukan oleh Claessens dkk (2002)22
transparansi ekonomi (economic transparency),
menunjukkan bahwa transparansi yang rendah
mengacu pada publikasi data ekonomi, model,
merupakan cerminan dari rendahnya tingkat
dan peramalan yang digunakan oleh bank sentral
corporate governance. Survey yang dilakukan
untuk menghasilkan kebijakan; ketiga,
oleh Fry dkk. (1996)23 terhadap 94 bank sentral
transparansi prosedural, yaitu pengkomunikasian
juga menunjukan bahwa 74% dari responden
strategi kebijakan dan informas-informasi dalam
menganggap bahwa transparansi merupakan
proses pengambilan keputusan; keempat,
komponen kerangka kebijakan moneter yang
transparansi kebijakan (policy transparency), yaitu
vital dan sangat penting. Berikut ini adalah
pengumuman dan penjelasan pelaksanaan
penelitian terkait transparansi di bank sentral:
20 Eijffinger, Sylvester, and Petra Geraats.2006. How Transparent Are Central Banks? EuropeanJournal of Political Economy, 22(1), 1–21.
22 Claessens, S. & J. P. H Fan. 2002. Corporate governance in Asia: A survey. International Review of Finance, 3( 2), 71-103.
21 Crowe, Christoper dan Meade, Ellen E. 2007.The Evolution of Central Bank Governance around the World.Journal of Economic Perspectives, 21 (4), 69-90.
23 Fry, M. J, Goodhart, C. A. E. & Almeida, A. 1996. Central Banking in Developing Countries: Objectives, Activities and Independence. Routledge, London.
7
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Tabel 2. Penelitian Terkait Prinsip Transparansi Nama Peneliti
Topik Penelitian
Eijffinger dan Hoebrichts (2002)24
Model Teoritis dari transparansi, termasuk juga transparansi dan otoritas dari penanggung jawab akhir untuk kebijakan moneter
De Haan dan Amtenbrink (2003)25
Sebuah Indikator dari bank sentral untuk mengukur pengungkapan dengan memasukan tujuan, strategi, dan
Sampel dan Perioda
Pengujian
Hasil
5 bank sentral utama
Pembuatan model
Semakin banyak transparansi yang dilakukan maka tingkat inflasi akan semakin rendah dan juga diperlukan lebih sedikit stabilisasi atas supply shock
European Central Bank (ECB) dan 5 negara lainnya.
Konstruksi indeks pengungkapan
Bank sentral di ECB mendapat peringkat tinggi dari indikator pengungakapan. Namun bukti menunjukkan bahwa pasar keuangan tidak menganggap ECB tranparan
D. KEMANDIRIAN ANGGARAN BANK INDONESIA
sebagai lembaga negara yang independen di luar pemerintahan. Dengan kedudukannya yang
1. Tinjauan Normatif Indipendensi Bank
independen tersebut, DPR dan Presiden, sebagai
Indonesia dari Undang-Undang Nomor 23
pemegang kekuasaan pembentukan undang-
Tahun 2009 sampai dengan Undang-Undang
undang, memberikan kewenangan kepada Bank
Nomor 6 Tahun 2009
Indonesia untuk mengatur atau membuat/
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
menerbitkan peraturan yang merupakan
dapat dilihat norma-norma yang memberikan
pelaksanaan undang-undang dan menjangkau
kemandirian kepada bank sentral sebagai salah
seluruh Bangsa dan Negara Indonesia26. Dengan
satu upaya normative demi mewujudkan reformasi
independensi ini, secara tidak langsung DPR dan
pembangunan. Konsideran huruf d Undang-
Presiden memberikan sebagian dari kewenangan
Undang Nomor 23 Tahun 1999 sangat jelas
konstitusionalnya, untuk membentuk peraturan
mendeskripsikan bahwa salah satu tujuan
perundang-undangan, kepada Bank Indonesia.
pembentukan undang-undang ini adalah
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak
memberikan kemandirian kepada bank sentral
sekali ditemukan delegasi pengaturan dalam
demi memelihara stabilitas nilai rupiah. Lebih
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999. Meskipun,
lanjut, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
jika ditinjau dari sudut pandang teori trias politica,
Nomor 23 Tahun 1999 juga disebutkan bahwa
harusnya merupakan kewenangan dari kekuasaan
Bank Indonesia sebagai bank sentral harus mandiri,
legislatif atau rule making function. Kekuasaan
bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak
legislatif dalam konteks UUD 1945 diberikan
lain. Konsekuensinya, kedudukan Bank Indonesia
kepada Presiden dengan persetujuan DPR27. Berdasarkan kenyataan ini, sangat dimungkinkan secara konstitusional melakukan atribusi
24 Eijffinger, Sylvester, and Petra Geraats. 2006. How Transparent Are Central Banks? European Journal of Political Economy, 22(1), 1–21. 25 Amtenbrink, Fabian. 2004. The Three Pillars of Central bank GovernanceTowards a Model Central Bank Law or a Code of Good Governance. Working Paper, International Monetary Fund (IMF). Tersedia di: http:// www.imf.org/external/np/leg/sem/2004/cdmfl/eng/amtenb.pdf
8
kewenangan kepada sebuah lembaga negara;
26 Lihat Penjelasan Umum UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. 27 Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
bahkan atribusi ini juga melingkupi kewenangan
secara normatif mulai direduksi dengan
konstitusional. Akan tetapi, atribusi dimungkinkan
dilakukannya perubahan terhadap Undang-
sepanjang diperbolehkan oleh konstitusi dan
Undang Nomor 23 Tahun 1999 melalui Undang-
atribusi tersebut harus disertai dengan metode
Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan
atau prosedur pengawasannya. Model atribusi
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999.
inilah yang disebut dengan delegation doctrine dalam studi hukum administrasi negara di Amerika
Perubahan yang dilakukan melalui Undang-Undang
Serikat.
Nomor 3 Tahun 2004 secara spesifik difokuskan pada penyesuaian mekanisme perumusan
Selain diberi kewenangan untuk mengatur atau
kebijakan moneter dan penataan kembali
membuat/menerbitkan peraturan, Bank Indonesia
kelembagaan Bank Indonesia sebagai penanggung
juga diberi keleluasaan dalam mengatur struktur,
jawab otoritas kebijakan moneter30. Kedua hal
kepegawaian, keuangan, dan bahkan gaji bagi
ini menjadi fokus perubahan karena dengan
gubernur, deputi senior gubernur, dan para deputi
perubahan ini diharapkan dapat memperkuat
Bank Indonesia. Dengan demikian kemandirian
akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas Bank
tidak hanya sebatas pembentukan peraturan
Indonesia tanpa mengurangi makna independensi
perundang-undangan saja, tetapi juga diberi
lembaga negara31. Namun, harapan tinggal
kemandirian dalam menentukan dan mengatur
menjadi harapan saja, sebab dalam Undang-
organisasinya. Lebih lagi, dengan Undang-Undang
Undang Nomor 3 Tahun 2004 sudah mulai
Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia juga diberi
dilakukan pembatasan terhadap independensi
kewenangan untuk secara langsung mengusulkan
yang dimiliki oleh Bank Indonesia berdasarkan
dan menetapkan anggaran tahunan dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999.
memberitahukannya ke DPR dan
Presiden28.
Pembatasan ini mulai dilakukan dengan membatasi
Konstruksi ini setidaknya sangat mengukuhkan
makna kata “independensi” dalam Pasal 4 ayat
kemandirian Bank Indonesia dalam konstelasi
(2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, yaitu
sistem ketatanegaraan Indonesia sebab tidak ada
dengan menambahkan frase “...dalam
lembaga negara lain dalam sistem ketatanegaraan
melaksanakan tugas dan wewenangnya,..”.
Indonesia yang dapat secara langsung mengajukan
Dengan ditambahkannya frase ini, makna
anggarannya kepada DPR dan Presiden; melainkan
independesi dibatasi hanya dalam melaksanakan
harus melalui proses pengganggaran yang normal,
tugas dan kewenangan saja; tidak pada bidang
yaitu melalui proses anggaran pendapatan dan
lain. Maknanya, DPR dan Presiden sepakat untuk
belanja negara sebagaimana diatur dalam Pasal
melakukan reduksi derajat independensi yang
23 UUD
194529.
Meskipun demikian, kemandirian
telah mereka berikan melalui Undang-Undang
mengusulkan dan menetapkan penganggaran
Nomor 23 Tahun 1999. Kedudukan Bank Indonesia sebagai legal entity sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23D UUD
28 Lihat Pasal 60 UU No.23 Tahun 1999.
Negara RI 1945 mendapatkan legitimasi melalui
29 Note: Dalam UUD 1945 sebutkan secara jelas bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh pemerintah. Artinya, semua penganggaran bagi lembaga negara harus dilakukan melalui pemerintah. Namun berdasarkan Pasal 23 UUD Negara RI Tahun 1945, kewenangan pengusulan anggaran pendapatan dan belanja negara harus diajukan melalui Presiden sebab dalam ketentuan tersebut jelas disebutkan bahwa rancangan undang-undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden. Ketentuan ini menutup kemungkinan adanya pengajuan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara dari pihak DPR.
Pasal 4 Ayat (1) UU Bank Indonesia. Kedudukan Bank Indonesia sebagai sebuah lembaga negara
30 Lihat Penjelasan Umum UU No.3 Tahun 2004. 31 Ibid.
9
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
lebih diperjelas dalam rumusan Pasal 4 Ayat (2)
yaitu DPR dan Presiden sebab berdasarkan Pasal
UU Bank Indonesia yang menentukan bahwa Bank
23 sampai dengan Pasal 23D UUD Negara RI
Indonesia adalah lembaga negara yang independen
Tahun 1945, seluruh hal yang terkait dengan
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
keuangan negara akan diatur dengan undang-
bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau
undang. Konsekuensinya, kemudian, semua
pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas
lembaga atau state agencies yang dibentuk
diatur dalam Undang-undang ini .
maupun diberi kewenangannya oleh undangundang ada di bawah DPR dan Presiden.
Dengan kedudukannya dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bank Indonesia
Berkaitan dengan independensi setiap lembaga
dibentuk dengan tujuan utama untuk mencapai
atau state agencies yang diberi kewenangan atau
dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk
dibentuk, tidak berarti mereka sama sekali bebas
mewujudkan tujuan tersebut, Bank Indonesia
dari kekuasaan lembaga negara yang lain sehingga
diberi tugas:
akan tercipta checks and balances. Oleh karena
1. untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan
itu, setiap lembaga negara yang dibentuk dan
moneter, 2. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan 3. mengatur dan mengawasi bank sebagaimana
diberi kewenangannya oleh undang-undang hanya berwenang untuk melaksanakan tugas dan kewenangan yang diatribusikan oleh undangundang.
ditentukan32. Berkaitan dengan kedudukan Bank Indonesia Dalam UUD Negara RI Tahun 1945, tidak ditentukan
dalam Struktur Kenegaraan Republik Indonesia,
secara jelas kewenangan lembaga negara apa
memang tidak ditentukan secara jelas dalam UUD
yang mengatur keuangan negara (dalam perspektif
Negara RI Tahun 1945 tetapi hanya ditentukan
trias politika: eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
dalam undang-undang Bank Indonesia. Dengan
Bahkan kewenangan di bidang keuangan negara
undang-undang Bank Indonesia inilah Bank
didistribusikan kepada beberapa lembaga negara,
Indonesia secara eksplisit ditentukan sebagai bank
seperti DPR (dalam kewenangannya di bidang
sentral Negara Republik Indonesia. Jadi Bank
budgeter dan perpajakan), DPD (dalam hal
Indonesia adalah lembaga negara yang ditentukan
memberikan pertimbangan terhadap RAPBN yang
dalam UUD Negara RI Tahun 1945 tetapi
diusulkan Presiden), Presiden (dalam bidang
kewenangannya diberikan oleh undang-undang,
mengajukan RAPBN), BPK (dalam hal pengawasan
sehingga sangatlah sulit untuk mengatakan bahwa
penggunaan keuangan Negara), dan Bank Sentral.
Bank Indonesia adalah state agency (dalam perspektif state agency adalah lembaga atau
Dalam tataran akademis, ketika kewenangan itu
institusi yang dibentuk oleh undang-undang),
diberikan atau diatur lebih lanjut melalui suatu
sebab Bank Indonesia adalah bank sentral RI
undang-undang secara tidak langsung kewenangan
sebagaimana diklaim lewat undang-undang Bank
lembaga/institusi tersebut berada di bawah
Indonesia dan keberadaan bank sentral diatur
pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang,
dalam Pasal 23D UUD Negara RI Tahun 1945. Akan tetapi, kewenangan dan tugasnya ditentukan dalam undang-undang Bank Indonesia; bukan dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Pasal 4 Ayat
32 Note: Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan pengawasan dan pengaturan perbankan yang dimiliki oleh Bank Indonesia harus dialihkan kepada otoritas jasa keuangan paling lambat 31 Desember 2013.
10
(1) undang-undang Bank Indonesia ditentukan bahwa Bank Indonesia adalah bank sentral yang
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
dimaksudkan dalam UUD 1945. Selain itu, pada
direduksi oleh DPR dan Presiden. Dengan
ayat (2) pasal yang sama juga ditentukan bahwa
tereduksinya kemandirian penganggaran Bank
Bank Indonesia adalah lembaga yang independen,
Indonesia, mau-tidak-mau, Bank Indonesia
bebas dari pengaruh pemerintah dan pihak-pihak
diwajibkan untuk dapat bekerja sama dengan
lain.
pihak lain, yang dalam hal ini DPR, dalam menentukan anggarannya.
Tidak hanya berhenti dengan melakukan pembatasan makna kata “independesi” saja;
Elaborasi di atas setidaknya menunjukan bahwa
melainkan, DPR dan Presiden juga coba menciptakan
DPR dan Presiden melakukan redefinisi makna
sebuah lembaga supervisi sebagai kepanjangan
independesi yang mereka berikan kepada Bank
tangan DPR dalam melakukan fungsi pengawasan
Indonesia. Hal ini sangat dimungkinkan karena
kepada Bank
Indonesia33.
Lembaga ini hanya
adanya norma terbuka yang diberikan oleh Undang
dimaksudkan untuk melakukan supervisi dan tidak
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
masuk dalam struktur Bank Indonesia dan
1945, khususnya Pasal 23D UUD Negara RI Tahun
berkewajiban untuk melaporkan hasil supervisinya
1945. Pasal ini tidak menentukan sampai derajat
kepada DPR. Latar belakang dibentuknya badan
mana kemandirian dan independensi yang dapat
ini setidaknya menunjukan bahwa adanya
diberikan kepada bank sentral. Derajat tersebut
peningkatan derajat akuntabilitas Bank Indonesia
akan ditentukan melalui kesepakatan antara DPR
kepada masyarakat yang dilakukan melalui para
dan Presiden dalam produk hukum undang-
wakilnya yang duduk di DPR. Peningkatan derajat
undang. Oleh karenanya, tidak mengherankan
akuntabilitas ini juga dibarengi dengan pembatasan
jika bank sentral, yang dalam hal ini adalah Bank
anggaran yang dapat ditetapkan oleh Dewan
Indonesia, dikategorikan sebagai lembaga negara
Gubernur Bank Indonesia.Dahulu, seluruh
yang disebutkan dalam UUD Negara RI Tahun
anggaran tahunan Bank Indonesia ditetapkan oleh
1945, tetapi kewenangannya diatur dengan
Dewan Gubernur dengan kewajiban untuk
undang-undang. Hal ini sangat berdampak kepada
dilaporkan saja kepada DPR dan Pemerintah.
bentuk perlindungan yang dapat digunakan Bank
Namun, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun
Indonesia, ketika terjadi konflik kewenangan
2004, anggaran tahunan yang dapat ditetapkan
dengan lembaga negara lain atau terjadinya
oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia hanya
pelanggaran atau pengurangan kewenangan Bank
terbatas pada anggaran kegiatan operasional dan
Indonesia yang dilakukan oleh lembaga negara
anggaran untuk kebijakan moneter, sistem
lain terhadap Bank Indonesia. Jika derajat
pembayaran, serta pengaturan dan pengawasan
kemandirian dan independensinya ditentukan
perbankan34.
dalam konstitusi maka terdapat alat ukur yang
Bahkan terkait dengan anggaran
kegiatan operasional diwajibkan untuk mendapat
jelas untuk mengetahui telah dilakukan atau
persetujuan DPR; sedangkan anggaran lainnya
tidaknya reduksi derajat kemandirian dan
cukup dilaporkan saja secara khusus kepada DPR.
independensi yang dimiliki oleh Bank Indonesia.
Konsekuensinya, Kemandirian Bank Indonesia
Selain itu, sengketa kewenangannya pun dapat
dalam penetapan anggaran tahunannya pun juga
diajukan dan diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi. Ketidakjelasan ukuran inilah yang menyebabkan lemahnya perlindungan terhadap derajat kemandirian dan independensi Bank
33 Lihat Pasal 58 A UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.3 Tahun 2004.
Indonesia sehingga seberapa tinggi atau rendahnya
34 Lihat Pasal 60 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.3 Tahun 2004.
Indonesia, sangatlah tergantung dari kesepakatan
derajat kemandirian dan independensi Bank
11
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
antara DPR dan Presiden. Jadi interprestasinya diserahkan sepenuhnya kepada DPR dan Presiden.
2. Central Bank Governance (CBG) pada Bank Indonesia (Indipendensi, Akuntabilitas, dan Transparansi)
Jika hal ini dikaitkan dengan kemandirian Bank
Fungsi bank sentral sebagai pemegang otoritas
Indonesia dalam bidang penganggaran, setidaknya
moneter menuntut bank sentral untuk menjadi
romantisme masa lalu yang diberikan oleh
institusi yang independen sekaligus penegak good
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 hanya
governance dalam setiap aktivitas operasionalnya.
akan menjadi idealisme saja; tanpa kejelasan
Dalam berbagai macam kajian kebanksentralan,
penerapannya kembali. Semuanya, sangat
independensi dan good governance menjadi dua
bergantung pada DPR dan Presiden. Kondisi ini,
topik yang tak terpisahkan.Tiga prinsip yang
setidaknya menunjukan bahwa kemandirian dan
membangun Central Bank Governance (CBG)
independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral
adalah independensi, akuntabilitas, dan
akan selalu mendapat “pengaruh” dari interprestasi
transparansi.37 Dengan demikian, CBG merupakan
yang disepakati oleh DPR dan Presiden. Padahal,
fungsi dari independensi dan keduanya berjalan
seharusnya Bank Indonesia bebas dari pengaruh
beriringan.38
pemerintah dan pihak lain. Yang mana definisi pihak lain ini pun sangat terbuka, yaitu semua
a. Independensi
pihak diluar Bank Indonesia termasuk pemerintah
Independensi mengacu pada kemampuan
dan/atau lembaga lainnya35. Seharusnya hal ini
bank sentral untuk menggunakan berbagai
dihindari sebab menurut Charles A.E. Goodhart:
macam instrumen pengendalian moneter tanpa instruksi, panduan, atau campur tangan dari
The second strand of argument relates to the
pemerintah (Henning, 2004).39 Di beberapa
danger that anexecutive, and the legislature,
literatur, International Monetary Fund (IMF)
having together established theunderlying laws
lebih memilih untuk menggunakan istilah
and regulations by which a country should be
otonomi dibandingkan dengan independensi.
run, might then be tempted to bend or to subvert
Otonomi dianggap lebih mengandung makna
the subsequent legal and operational rulings in
sebagai kebebasan secara operasional
their own short-run political interest. This danger
(operational freedom) sedangkan independensi
is all the greater because the executive, especially
hanya dianggap mengindikasikan tidak adanya
when it dominates the legislature, as it is designed
batasan secara institusional.40 Meskipun
to do here in the UK, has great power36.
demikian, makalah ini tetap menggunakan istilah independensi karena di Indonesia istilah
Namun kenyataan yang terjadi di Indonesia
ini sudah lebih umum digunakan.
sangatlah berbeda sebab derajat kemandirian dan independensinya sangat dipengaruhi oleh
Sebagai pemegang otoritas moneter, bank
interpretasi DPR dan Presiden yang dilakukan
sentral seharusnya berdiri sendiri sebagai
melalui undang-undang.
institusi independen yang terlepas dari
37 Amtenbrink, Fabian, lot.cit. 35 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004. 36 Milton Freidman dan Charles E. A. Goodhart, 2003, Money, Inflation, and the Constitutional Position of the Central Bank, the Institute of Economic Affairs, London, Hal. 92-93.
12
38 Ahsan, A., Skully, M., Wickramanayake, J. 2006. Determinants od Central Bank Independence and Governance: Problems and Policy Implications. JOAAG, 1 (1), 47-67 39 Henning, C. R. 1994. Currencies and politics in the United States, Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for International Economics. 40 Lybek, Lot.cit
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
pengaruh legislatif maupun eksekutif.
1) Pelajaran dari Sejarah
Pengukuran terhadap tingkat independensi
Bank Indonesia telah mengalami perubahan
bank sentral dapat dilihat dari karakteristik
secara institusional maupun struktural dari
dan status hukum institusi. Beberapa
masa ke masa sejak Indonesia merdeka.
karakteristik yang mencerminkan independensi
Perubahan-perubahan ini membawa imbas
bank sentral terhadap pemerintah, yaitu: (1)
pada independensi Bank Indonesia. Ada
apabila pihak manajemen bank sentral
kalanya Bank Indonesia berdiri sebagai institusi
terlindungi dari tekanan politik; (2) pemerintah
independen mutlak; namun ada masanya Bank
tidak dapat ikut campur dalam berbagai macam
Indonesia menjadi bagian dari pemerintah.
pengambilan dan penerapan kebijakan; (3)
Berikut ini adalah sejarah perubahan status
mandat yang diterima oleh bank sentral secara
independensi Bank Indonesia dari masa ke
resmi memerinci tujuan dari kebijakan moneter;
masa yang hingga kini pun masih menjadi
dan (4) adanya batasan yang membatasi
bahan perdebatan.
pinjaman dari pemerintah (limit lending to government).41
Semestinya pemerintah dapat belajar dari sejarah dan praktik-praktik terbaik yang ada,
Sebagaimana telah disebutkan pada Bab
yaitu bahwa bank sentral yang independen
sebelumnya, beberapa penelitian mengenai
akan mempunyai kemampuan yang lebih baik
pengaruh independensi bank sentral terhadap
dalam membuat berbagai macam kebijakan
berbagai macam indikator ekonomi juga telah
moneter untuk menjaga stabilitas perekonomian
dilakukan, antara lain, adalah pengaruh
nasional. Hal ini telah dibuktikan melalui
independensi terhadap tingkat inflasi. Hasil
berbagai macam penelitian terkait Independensi
dari berbagai penelitian tersebut menunjukkan
bank sentral yang telah dijabarkan sebelumnya.
bahwa tingkat inflasi akan dapat dikendalikan
Bank sentral yang proses pembuatan kebijakan
dengan lebih baik apabila bank sentral dalam
moneternya mendapat campur tangan
menetapkan dan melaksanakan kebijakan
pemerintah akan mendapatkan tekanan politik
moneter tidak mendapat campur tangan dari
dari pemerintah untuk membantu
pemerintah.
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat pengangguran melalui
Dalam konteks Bank Indonesia, hingga saat
kebijakan-kebijakan moneternya. Namun,
ini, Independensi Bank Indonesia selaku bank
apabila kondisi perekonomian tidak bisa
sentral di Indonesia masih menjadi objek
melampaui GDP potensial ataupun tingkat
perdebatan. Banyak pihak yang menganggap
pengangguran alaminya maka dalam jangka
Bank Indonesia masih belum independen
panjang kebijakan moneter yang diambil justru
karena masih adanya campur tangan DPR
akan menciptakan inflasi yang tinggi.42 Oleh
selaku legislatif dan pemerintah selaku
karena itu, solusinya adalah dengan
eksekutif. Otoritas atau mandat yang diberikan
mendelegasikan kebijakan moneter kepada
kepada Bank Indonesia masih dalam taraf awal
bank sentral dan individu-individu yang
dan bersifat relatif rentan.
independen dari pemerintah.
41 Crowe, Christoper dan Meade, Ellen E. 2007. The Evolution of Central Bank Governance around the World. Journal of Economic Perspectives, 21 (4), 69-90.
42 Kydland, Finn, and Edward Prescott.1977. Rules Rather than Discretion: The Inconsistencyof Optimal Plans. Journal of Political Economy 85 (3), 473–90.
13
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
2) Hubungan Bank Indonesia dengan
yang menjadi kewenangan masing-masing
Pemerintah
dapat saling bersinergi dalam rangka mencapai
Bank Indonesia menjalin hubungan dengan
sasaran ekonomi makro.Namun hal ini justru
Pemerintah, baik dalam rangka koordinasi
berlawanan dengan prinsip independensi yang
kebijakan maupun hubungan kerja operasional.
harus dimiliki oleh bank sentral untuk dapat
Hubungan antara Bank Indonesia dengan
menciptakan CBG.Hal ini juga bertentangan
berbagai macam lembaga pemerintah
dengan Pasal 23D UUD Negara RI tahun 1945
diperlihatkan pada Peraga 1. Tujuannya Bank
yang telah menggariskan bahwa bank sentral
Indonesia berkoordinasi dengan pemerintah
haruslah independen.
adalah agar kebijakan dan kerja operasional
Peraga 1. Hubungan Bank Indonesia dengan Pemerintah Presiden President
Pemerintah The Government
Mengusulkan dan Mengangkat anggota Dewan Gubernur BI dengan persetujuan DPR Nominates and appoints members of BI’s board of Governors with approval from House of Representatives
Lembaga Tinggi Negara The State High Institution
Badan Pemeriksa Keuangan Supreme Audit Board
Mahkamah Agung Supreme Court
Memeriksa Laporan Keuangan BI
Mengambil sumpah/janji anggota Dewan Gubernur BI
Audit’s BI’s Financial Reports
Takes the oath/pledge of the BI’s Board of Governors n ora Lap ort Rep
ran po t La por Re
Dewan Perwakilan Rakyat House of Representatives Menilai kinerja BI dan Dewan Gubernur BI Evaluates the performance of BI dan BI’s Board of Gubernur
Badan Supervisi Supervisory Body
Masyarakat Public
* Bukan Lembaga Tinggi Negara Not a State High Institution
14
Masyarakat* Public*
Sumber: www.bi.go.id
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
pemilihan Dewan Gubernur diminimalkan.
Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur
Lalu, suara dari pemangku kepentingan Bank
yang terdiri dari seorang gubernur sebagai
Indonesia lainnya juga dimasukkan ke dalam
pemimpin dibantu oleh seorang deputi
proses pemilihan dan pengangkatan Dewan
gubernur senior sebagai wakil, dan sekurang-
Gubernur Bank Indonesia, tidak hanya melalui
kurangnya empat atau sebanyak-banyaknya
proses pencalonan pejabat dari Presiden dan
tujuh deputi gubernur. Dewan gubernur secara
Gubernur Bank Indonesia saja. Untuk
keseluruhan bertindak sebagai policy-making
penempatan posisi Gubernur dan Deputi
body, sedangkan Deputi Gubernur dan
Gubernur Senior tetap dapat menggunakan
Direktur-Direktur bertindak sebagai executing
sistem saat ini, sedangkan untuk pemilihan
body. Gubernur dan Deputi Gubernur Senior
Deputi Gubernur dapat mengacu pada sistem
diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan
yang digunakan oleh Federal Reserved Bank
persetujuan DPR.Sementara Deputi Gubernur
of America, yaitu pemilihan Deputi Gubernur
diusulkan oleh Gubernur dan diangkat oleh
secara langsung oleh bank umum agar Deputi
Presiden dengan persetujuan DPR. Kinerja
Gubernur mempunyai latar belakang dan
Dewan Gubernur dan Bank Indonesia dinilai
sudut pandang yang berbeda-beda yang pada
oleh DPR sedangkan laporan keuangannya
akhirnya mendatangkan manfaat dalam proses
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan
pembuatan kebijakan moneter dan kebijakan-
(BPK).
kebijakan lainnya. Peraga 2. Struktur Dewan Gubernur BI Gubernur
Deputi Gubernur Senior
Deputi Gubernur
Deputi Gubernur
Deputi Gubernur
Deputi Gubernur
Deputi Gubernur
Deputi Gubernur
Deputi Gubernur
Sumber: www.bi.go.id
3) Personnel Indipendence
Untuk mengurangi keeratan hubungan antara
Dilihat dari sistem pengangkatan Dewan
DPR dengan Bank Indonesia maka pemerintah
Gubernur maka Bank Indonesia dapat dikatakan
perlu menambahkan semacam Supervisory
masih belum memiliki personnel independence,
Board (Dewan Pengawas) yang independen
yaitu kewenangan bank sentral untuk menolak
dengan beranggotakan orang-orang yang
campur tangan pemerintah dan pihak-pihak
mempunyai kompetensi tinggi di bidang
lain dalam pelaksanaan kebijakan moneternya,
moneter ke dalam struktur Dewan Gubernur
termasuk juga dalam penentuan masa jabatan,
Bank Indonesia.
jumlah anggota, dan masa jabatan berjenjang dari anggota pembuat kebijakan moneter yang dalam hal ini adalah Dewan Gubernur.
4) Financial Indipendence Selain belum mempunyai personnel independence Bank Indonesiajuga belum
Agar Bank Indonesia mempunyai personnel
independen dalam menentukan anggarannya.
independence maka semestinya intervensi
Hal ini dikarenakan anggaran operasional
pemerintah dan lembaga negara dalam
Bank Indonesia harus diajukan dan disetujui
15
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
terlebih dahulu oleh DPR. Sedangkan untuk
meminta. Penarikan ini tidak bisa ditunda seperti
anggaran kebijakan wajib dilaporkan secara
halnya perusahaan manufaktur yang menunda
khusus kepada DPR.Penggunaannya pun
pembayaran terhadap pemasoknya saat
mendapat pengawasan dari DPR. Hal ini
mengalami kekurangan kas (cash shortages).
tentunya mendistorsi independensi fungsi dan
Hal inilah yang mendorong pembuat kebijakan,
kewenangan Bank Indonesia. Dengan demikian,
yaitu Bank Indonesia untuk menetapkan
saat ini Bank Indonesia dapat dikatakan belum
cadangan wajib minimum di bank umum.
independen secara menyeluruh. Sementara itu, bank sentral tidak membutuhkan Apabila Bank Indonesiaingin menjadi bank
cadangan berupa modal dalam jumlah yang
sentral yang independen dan menerapkan CBG
banyak dan bahkan bank sentral dapat tetap
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
beroperasi dengan normal meski dengan
maka sebaiknya sistem ini diubah. Bank
cadangan modal nol. Cadangan modal yang
Indonesia dapat merancang sistem
dimaksud dalam konteks ini adalah modal
penganggaran baru yang lebih independen
yang berasal dari pemerintah dan laba ditahan.
dengan menggunakan dasar pelbagai macam
Hal ini dikarenakan bank sentral mempunyai
best practices yang disesuaikan dengan tatanan
kemampuan untuk menciptakan likuiditas
politik dan undang-undang yang melandasinya.
domestik sehingga bank sentral dianggap
Alternatif lainnya, Bank Indonesia dapat juga
sebagai obligor handal dan oleh karenanya
mengadopsi mekanisma penganggaran bank
tidak membutuhkan modal sebagai jaminan
sentral di negara lain yang dianggap lebih baik
dalam melakukan pinjaman. Bank of Canada
dan lebih independen yang tentunya
dan Bundesbank bahkan telah membuktikan
disesuaikan dengan sistem ekonomi yang
bahwa mereka dapat beroperasi dengan modal
dianut di Indonesia, misalnya saja sistem
nol tanpa menimbulkan dampak material pada
anggaran dari Reserved Bank of Australia (RBA)
kebijakan maupun profitabilitasnya.43
yang hanya membutuhkan persetujuan dari Gubernur RBA atau sistem Anggaran dari
b. Akuntabilatas
Central Bank of Bahrain yang sudah sepenuhnya
Prinsipini menuntut bank sentral untuk
independen dengan pertanggungjawaban
mempertanggungjelaskan kinerjanya secara
pada saat diaudit.
transparan dan wajar. Akuntabilitas bank sentral diperlukan untuk memastikan kalau
Selain itu, Bank Indonesia juga dapat menjadi
pelaksanaan kebijakan dan fungsi-fungsi yang
lebih independen lagi apabila beroperasi tanpa
ada sudah berjalan dengan efektif dan efisien
menggunakan modal dari pemerintah.Hal ini
yang berarti bahwa bank sentral telah mengelola
memungkinkan untuk dilakukan mengingat
sumber dayanya juga dengan cara yang efektif
Bank Indonesia mempunyai karakteristik yang
dan efisien dalam upaya pencapaian tujuannya,
berbeda dengan bank umum maupun dengan
yaitu stabilitas harga.
perusahaan lainnya. Untuk memudahkan pemantauan kinerja, Karakteristik bank umum menuntut bank
undang-undang bank sentral harus mewajibkan
umum untuk mempunyai likuiditas jangka pendek yang tinggi. Bank umum harus mampu memenuhi permintaan penarikan dana dari nasabah seketika itu juga saat nasabah
16
43 Stella, Peter.1997. Do Central Banks Need Capital?. Working paper, International Monetary Fund (IMF) Nomor WP/97/83
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
bank sentral untuk menerbitkan laporan kinerja
wewenang harus dievaluasi dan disetujui oleh
minimal setahun sekali beserta laporan tahunan
DPR.
tentang kebijakan moneter dan kegiatan operasional kebanksentralan lainnya. Baru-
2) Supervisory Board
baru ini semakin banyak aturan hukum yang
Salah satu isu terkait independensi bank sentral
mewajibkan bank sentral untuk menerbitkan
adalah bagaimana bank sentral dapat menjaga
laporan kebijakan moneter dan analisisnya
keseimbangan antara independensi dengan
secara semesteran.
akuntabilitas.Seperti yang disebutkan dalam undang-undang tentang bank sentral, tugas
Seringnya pengungkapan informasi mengenai
bank sentral adalah menjaga kestabilan harga.
kebijakan moneter yang diambil oleh bank
Hal ini otomatis membuat bank sentral
sentral juga dapat membuat pemerintah sulit
mempunyai wewenang untuk mengambil
melakukan intervensi terhadap bank sentral
keputusan-keputusan yang dibutuhkan untuk
tanpa diketahui oleh publik.Untuk itu pelaporan
merumuskan dan melaksanakan kebijakan
juga harus secara jelas memaparkan faktor-
moneter. Wewenang ini harus diimbangi
faktor internal maupun eksternal di luar kendali
dengan akuntabilitas agar tidak muncul
bank sentral yang mempengaruhi hasil
“negara di dalam negara.”
kebijakan. Saat ini, undang-undang tentang bank sentral 1) Akuntabilitas Bank Indonesia
tengah ditinjau ulang di berbagai negara
Sebagai lembaga publik, Bank Indonesia wajib
terutama terkait dengan topik bagaimana
akuntabel atau mempertanggungjelaskan
cara menyeimbangkan independensi dan
tugas dan tujuan yang dilaksanakan, otoritas
akuntabilitas bank sentral. Konsep supervisory
yang diberikan, kondisi keuangan, dan efisiensi
board yang telah digunakan di beberapa
sumber daya yang digunakan. Terkait kondisi
negara dianggap sebagai salah satu opsi yang
keuangan, Bank Indonesia mempertanggung
tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
jelaskan kinerjanya kepada masyarakat, Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan Perwakilan
Supervisory Board dibentuk untuk meningkatkan
Rakyat, serta Pemerintah.
akuntabilitas dan transparansi bank sentral, serta memberikan counterbalance
Saat ini, Bank Indonesia menyampaikan laporan
(penyeimbang) terhadap independensi yang
tahunan kepada DPR dan Pemerintah pada
dimiliki bank sentral. Konsep supervisory board
setiap awal tahun beserta anggaran yang
di tiap negara juga berbeda-beda, tergantung
memuat pelaksanaan tugas dan wewenang
pada hukum dan lingkungan politiknya.
pada tahun sebelumnya serta rencana kebijakan, penetapan sasaran, dan langkah-langkah
Supervisory board harus memahami tugas
pelaksanaan tugas dan wewenang tahun yang
dan fungsinya dengan baik, seperti (1) tidak
akan datang. Bank Indonesia juga wajib
boleh ikut campur dan mempengaruhi
menyampaikan laporan triwulanan pelaksanaan
kebijakan moneter yang diambil oleh bank
tugas dan wewenangnya kepada DPR dan
sentral, dan (2) dapat menjaga kerahasiaan
Pemerintah. Lagi-lagi, akuntabilitas yang dimiliki
bank sentral. Keharusan untuk menjaga
oleh Bank Indonesia belum didukung oleh
kerahasiaan ini dapat bertentangan dengan
CBG yang baik dikarenakan persetujuan
tujuan awal pembentukan supervisory board,
terhadap laporan pelaksanaan tugas dan
yaitu meningkatkan transparansi dan
17
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
akuntabilitas bank sentral. Oleh karena itu,
komunikasi yang terbuka antara Bank Indonesia
lingkup kerahasian bank sentral harus selalu
dengan masyarakat sangat dibutuhkan.
dinilai dan dievaluasi ulang.
Transparansi juga dibutuhkan karena pasar dan pelaku ekonomi membutuhkan informasi
c. Transparansi
untuk mengelola ekspektasi terhadap arah
Tranparansi bank sentral mengacu pada
kebijakan bank sentral. Hal inilah yang
kegiatan yang dilakukan oleh bank sentral
mendorong Bank Indonesia untuk senantiasa
sebagai pemegang otoritas moneter untuk
transparan mengkomunikasikan berbagai
menyediakan informasi bagi publik sehingga
macam kebijakan yang diambilnya kepada
publik dapat menerima keputusan tersebut
masyarakat. Transparansi dilakukan kepada
beserta alasan yang mendasarinya. Transparansi
berbagai pihak seperti parlemen, pemerintah,
merupakan prekondisi untuk menciptakan
pasar, para pemerhati bank sentral, dan media
akuntabilitas.44
massa. Komunikasi yang Bank Indonesia lakukan dapat berupa pengumuman maupun
Sebagaimana telah juga disebutkan sebelumnya
penjelasan-penjelasan mengenai sasaran inflasi
terdapat juga beberapa penelitian terkait
ke depan, analisis Bank Indonesia terhadap
dengan transparansi bank sentral ini.
perekonomian, kerangka kerja, dan langkah-
Diantaranya oleh Eijffinger dan Hoebrichts
langkah kebijakan moneter yang telah akan
yang menunjukkan bahwa semakin banyak
ditempuh, kerangka kerja, dan langkah-
transparansi yang dilakukan maka tingkat
langkah kebijakan moneter yang telah dan
inflasi akan semakin rendah dan juga
akan ditempuh, jadwal Rapat Dewan Gubernur
diperlukan lebih sedikit stabilisasi atas supply
(RDG), serta hal-hal lainnya yang ditetapkan
shock. Claessens dkk.menunjukan bahwa
oleh Dewan Gubernur.
transparansi yang rendah merupakan cerminan dari rendahnya tingkat corporate governance.
Komunikasi kebijakan dapat dilakukan dalam
Survey yang dilakukan oleh Fry dkk terhadap
bentuk siaran pers, konferensi pers, publikasi
94 bank sentral juga menunjukan bahwa
Tinjauan/Laporan Kebijakan Moneter yang
74% dari responden menganggap bahwa
memuat latar belakang pengambilan keputusan,
transparansi merupakan komponen kerangka
maupun penjelasan langsung dan diskusi
kebijakan moneter yang vital dan sangat
kepada masyarakat luas, media massa, pelaku
penting. Namun yang menarik adalah hasil
ekonomi, analis pasar dan akademisi. Media
temuan penelitian oleh De Haan dan
komunikasinya dapat berupa publikasi Tinjauan
Amtenbrink yang menyatakan bahwa Bank
Kebijakan Moneter, Laporan perekonomian
sentral di European Central Bank (ECB)
Indonesia, Laporan Triwulan DPR RI, dan Siaran
mendapat peringkat tinggi dari indikator
Pers Kebijakan Moneter.
pengungakapan, namun bukti menunjukkan bahwa pasar keuangan tidak menganggap
Kewenangan bank sentral untuk mengambil
ECB tranparan.
keputusan kebijakanmoneter diberikan oleh legislatif sehingga wewenang ini juga dapat
Dalam konteks Bank Indonesia, agar kebijakan
diambil setiap saat dengan undang-undang.
moneter dapat berjalan dengan baik maka
Legislatif hanya akan memberikan kepercayaannya apabila bank sentral dapat membuat kebijakan moneter yang beralasan
44 Amtenbrink, Lot.cit
18
dan dapat diterima serta dapat menjalankan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
fungsi lainnya dengan baik. Oleh karena itu
sentral dalam mendanai pengeluarannya sendiri.48
penting bagi bank sentral untuk memaparkan
Jika politisi dapat mempengaruhi bank sentral
aktivitas-aktifivasnya agar mendapat dukungan
dalam penyusunan dan penggunaan anggarannya,
politik dan publik dalam menjalankan tugasnya
maka dikatakan bahwa bank sentral tidak
untuk menjaga stabilitas harga. Komunikasi
mempunyai kemandirian keuangan.
yang terbuka dan langsung dengan legislatif sangatlah penting dalam pengelolaan bank
Policy independence menyangkut seberapa besar
sentral
ruang gerak dari bank sentral dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter. Kemandirian
3. Pentingnya Kemandirian Bank Indonesia
kebijakan ini dapat dibagi dua, yakni, goal
dalam Pencapaian Tujuan Bank Indonesia
independence dan instrument independence.49
Bank sentral dikatakan tidak memiliki personal
Goal independence menyangkut seberapa besar
independence jika ada otoritas lain (pemerintah
kemandirian bank dalam menentukan tujuan bank
dan/atau parlemen), yang menunjuk atau memilih
sentral, sedangkan instrument independence
anggota-anggota dalam kepemimpinan bank
menyangkut mengenai ada tidaknya atau seberapa
sentral, dapat melakukan tekanan politik secara
besar keharusan bank sentral untuk mendapatkan
tersebut.45
persetujuan pemerintah dan/atau parlemen dalam
tidak langsung kepada anggota-anggota
Hal seperti ini dapat dilakukan, misalnya, dengan
memilih sarana yang dipilih untuk mencapai
memberhentikan atau tidak memperpanjang
tujuannya.
jabatan dari salah satu atau beberapa anggota pimpinan bank sentral. Dalam bentuk lain, tidak
Sepanjang mengenai keputusan tentang tujuan
adanya personal independence adalah, misalnya,
akhir dan pertanggungjawaban final tentang
adanya perwakilan dalam kepemimpinan bank
kebijakan moneter, kemandirian bank sentral
sentral dan prosedur penunjukan pimpinan bank
berlawanan dengan akuntabilitas demokratis.50
sentral.47
Dalam masyarakat yang demokratis, De Haan dan Eijffinger menyatakan bahwa bank sentral
Financial Independence atau sering dikenal dengan
seharusnya tidak memiliki goal independence baik
budgetary independence adalah kemandirian bank
eksplisit maupun implisit.51 Meskipun mekanisme pengenyampingan mengurangi independensi bank sentral, tetapi dapat meningkatkan akuntabilitas demokratis, sebagaimana tanggung jawab final
45 Apel Emmanuel Apel, Emmanuel, 2003, Central Banking Systems Compared, The ECB, the pre-euro Bundesbank, and the Federal Rerserve System, Routledge Taylor & Francis Group, London and New York, Hal., 33-35
dari kebijakan moneter berada pada tangan politisi
46 Misalnya, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 menentukan bahwa Presiden dapat memberhentikan Gubernur dan Direktur-Direktur meskipun masa jabatan yang bersangkutan belum berakhir; (a) karena meninggal dunia; (b) karena melakukan sesuatu atau bersikap yang merugikan Bank Indonesia atau yang bertentangan dengan kepentingan Negara; (c) karena sesuatu hal yang menyebabkan ia tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan wajar; (c) atas permintaan sendiri.
Ada tiga bentuk akuntabilitas bank sentral yakni:52
47 Lihat misalnya Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 yang menentukan bahwa Bank Indonesia dalam menjalankan tugas pokoknya adalah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Ayat (2) dari pasal tersebut kemudian menentukan bahwa Pemerintah dibantu oleh Dewan Moneter.Pasal 10 dari undang-undang tersebut menentukan bahwa Dewan moneter terdiri dari tiga orang anggota, yaitu Menteri-menteri yang membidangi Keuangan dan Perekonomian serta Gubernur Bank Indonesia.
48 Lihat Tshiani, Noël K., 2008, Building Credible Central Banks, Policy Lessons for Emerging Economies, Palgrave Macmillan Studies in Banking and Financial Institutions, Series Editor; Philip Molyneux, Paris, Hal., 15
yang dipilih secara demokratis.
1. Keputusan tetang definisi eksplisit dan pemeringkatan dari tujuan-tujuan moneter
49 De Haan, Jakob, dan Eijffinger, Sylverster C.W, loc.cit. 50 Loc.cit. 51 Loc.cit. 52 Loc.cit.
19
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
2. Transparansi dalam kebijakan monoter yang 29ormat 3. Siapa yang harus memberikan pertanggungjawaban final kebijakan moneter
Dalam kaitannya dengan hal ini, De Haan dan Eijffinger mengatakan bahwa: “Indeed, the mere threat of a change of the law may induce even independent central banks to ensure that monetary policy will in general be in accordance
Dalam akuntabilitas demokratis, politisi terpilih
with the wishes of elected politicians.” Dengan
harus menentukan defnisi eksplisit dan peringkat
demikian, jika parlemen telah menetapkan
tujuan-tujuan dari kebijakan moneter. Transparansi
kebijakan moneter, maka bank sentral harus
dalam kebijakan moneter dicapai apabila badan
mempunyai akuntabilitas demokratis yang tinggi.
pengambil keputusan dalam bank sentral diminta
Sebaliknya jika goal independence yang dimiliki
untuk mengumumkan berita acara rapat dan atau
oleh bank sentral adalah tinggi, maka akuntabilitas
mengapa suatu keputusan telah diambil. Dalam
demokratisnya lebih rendah. Tinggi rendahnya
pertanggungjawaban akhir dari kebijakan monoter,
akuntabilitas secara umum dapat diukur dari
terdapat tiga hal yang krusial, yakni: hubungan
materi yang harus di-“jelaskan” maupun dari
bank sentral dengan parlemen, mekanisme
seberapa besar kewenangan pihak yang meminta
pengenyampingan, dan prosedur pemecatan
penjelasan untuk menggunakan haknya sewaktu-
gubernur bank sentral.
waktu. Akuntabilitas berupa kewajiban untuk menyampaikan laporan tahunan dan laporan
Mengenai hubungan bank sentral dengan
triwulan tentang pelaksanaan tugas dan
parlemen, menurut kehendak akuntabilitas
wewenangnya sebagai evaluasi kinerja tentu
demokratis seharusnya terdapat keharusan yuridis
dipandang lebih rendah tingkatannya dibandingkan
bank sentral untuk melaporkan dan atau
dengan kewajiban (juga) untuk menyampaikan
menjelaskan policy action-nya dan sebaliknya bank
penjelasan secara lisan maupun tertulis selama
sentral mempunyai kesempatan untuk menjelaskan
diminta oleh pihak evaluator.
kebijakannya. Parlemen juga harus mendapatkan kesempatan untuk menilai kinerja bank sentral.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas, dengan memperhatikan isi Pasal 7 Ayat (1)
20
Logika dari hubungan tersebut adalah karena
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 jo. Pasal
kebijakan moneter ditetapkan oleh politisi. Dalam
8, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999,
konstruksi ini, politisi diberi kewenangan untuk
jo. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004,
merubah peraturan yang menyangkut independensi
maka dapat dikatakan bahwa secara yuridis Bank
bank sentral agar bank sentral memenuhi kebijakan
Indonesia mempunyai goal independence yang
moneter yang ditetapkan oleh parlemen.
memadai. Pasal 7 Ayat (1) undang-undang Bank
Sehubungan dengan hal ini, De Haan dan Eijffinger
Indonesia tersebut menyatakan bahwa tujuan
menyatakan bahwa: “It has been argued in the
Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara
context of national central banks in general that
kestabilan nilai rupiah. Dalam mencapai tujuan
Parliament always holds the ultimate responsibility
tersebut, Pasal 8 Ayat (1) undang-undang Bank
for monetary policy since it can change the legal
Indonesia mempunyai tugas menetapkan dan
basis of the Central Bank.” Dengan demikian,
melaksanakan kebijakan moneter. Goal
lembaga yang menetapkan kebijakan moneter
independence tersebut diperkuat dengan Pasal 9
(dalam hal ini parlemen) harus mempunyai
undang-undang Bank Indonesia, yang melarang
29ormative29 untuk memastikan bahwa kebijakan
campur tangan pihak lain dan sekaligus
tersebut dijalankan (oleh bank sentral) sesuai
mewajibkan Bank Indonesia untuk menolak dan
dengan yang diharapkan.
atau mengabaikan campur tangan tersebut.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Goal independence Bank Indonesia dibatasi oleh
dan/atau tertulis. Mempertimbangkan perlunya
dua hal, yakni keharusan Bank Indonesia untuk
Bank Indonesia mendapatkan pengawasan dari
mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah
DPR dalam menjalankan tugasnya tampaknya isi
di bidang perekonomian (Pasal 7 Ayat (2) undang-
pasal ini merupakan pasal yang memadai bagi
undang Bank Indonesia) dan memperhatikan
DPR untuk “setiap waktu” dapat meminta
sasaran laju inflasi dalam menetapkan sasaran-
penjelasan dari Bank Indonesia terkait dengan
sasaran moneter (Pasal 10 Ayat (1) huruf a undang-
tugas dan wewenang Bank Indonesia. Akan tetapi
undang Bank Indonesia).
perlu diingat bahwa adalah Bank Indonesia yang mempunyai kemandirian dalam bidang penentuan
Pasal 58 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
kebijakan moneter (goal independence). Dalam
2004 mewajibkan Bank Indonesia untuk
hal ini jika dihubungkan dengan pendapat De
menyampaikan laporan tahunan secara tertulis
Haan dan Eijffinger tersebut di atas bahwa
kepada DPR mengenai pelaksanaan tugas dan
sepanjang mengenai keputusan tentang tujuan
wewenangnya yang dilakukan pada tahun yang
akhir dan pertanggungjawaban final tentang
lalu maupun rencana kebijakan, penetapan sasaran
kebijakan moneter, kemandirian bank sentral
dan langkah-langkah pelaksanaan tugas dan
berlawanan dengan akuntabilitas demokratis maka
wewenangnya untuk tahun yang akan datang.
keberadaan Ayat (3) tersebut dapat dipandang
Diantara laporan tahunan yang harus diserahkan
berlebihan. Esensi dari akuntabilitas demokratis
kepada DPR, Bank Indonesia wajib melaporkan
adalah parlemen perlu sarana yuridis yang dapat
pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada
memastikan bahwa kebijakan moneter “yang
DPR (dan Pemerintah) setiap tiga bulan (triwulanan)
ditetapkannya” dapat “dilaksanakan” oleh bank
(Pasal 58 Ayat (2) undang-undang Bank Indonesia).
sentral. Manakala bank sentral itu sendiri yang
Kewajiban pelaporan perencanaan dan pelaksanaan
menentukan kebijakan monerter maka dapat
tugas dan wewenang Bank Indonesia kepada DPR
dipandang kurang seimbang apabila pengawasan
tersebut merupakan input bagi DPR dalam rangka
parlemen sampai pada tingkat sebagaimana
penilaian kinerja Bank Indonesia (Pasal 58 Ayat (3)
dimuat dalam Ayat (3) Pasal 58 undang-undang
undang-undang Bank Indonesia). Memperhatikan
Bank Indonesia tersebut di atas.
isi Pasal 58 Ayat (1), (2) dan (3) tersebut, secara teoritis akses DPR terhadap pencapaian tujuan
Dampak dari muatan Pasal 58 Ayat (3) undang-
Bank Indonesia dengan kebijakan moneternya
undang Bank Indonesia tersebut adalah bahwa
tampak telah cukup memadai. Artinya, check and
DPR dapat melakukan intervensi terhadap
balances antara pembuat kebijakan moneter (Bank
kebijakan jangka pendek yang dibuat oleh Bank
Indonesia) dan pihak yang memberikan penilaian
Indonesia. Disamping hal ini menjadi tidak terlalu
kinerja (DPR) dicerminkan dengan baik.
efisien, hal ini juga dapat mengarah kepada pengutamaan kepentingan di luar kepentingan
Isi dari Pasal 58 Ayat (3) Undang-Undang Nomor
tujuan moneter Bank Indonesia.53 Dampak lebih
3 Tahun 2004 menunjukkan tingginya tingkat
buruk dapat terjadi jika makna dari Ayat (3) pasal
akuntabilitas demokratis Bank Indonesia. Ayat (3)
tersebut menyangkut mengenai penganggaran
dari pasal ini menyatakan bahwa dalam hal DPR memerlukan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, termasuk dalam rangka penilaian terhadap kinerja Bank Indonesia, Bank Indonesia wajib menyampaikan penjelasan secara lisan
53 Bandingkan dengan pendapat Barth, Caprio, dan Levine tentang “Private Interest View of Regulation” sebagai “one in which banking policies are primarily shaped by the private interest of regulator or regulates (Kroszner and Strahan, 2001), rather than by the public interest. Barth Caprio, dan Leivne, Rethinking Bank Regulation Till Angels Govern, 2008, Cambridge University Press, New York., pp. 34-46
21
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Bank Indonesia.Jika hal ini terjadi maka bukan
1) Australia
tidak mungkin DPR berdasarkan Ayat (3) pasal
The Reserve Bank of Australia adalah bank sentral
tersebut ikut campur tangan terhadap pelaksanaan
Australia berdasarkan Act No.4 of 1959 tentang
anggaran kebijakan Bank Indonesia yang seharusnya
Reserve Bank Act sebagaimana diubah terakhir
hanya wajib dilaporkan (tanpa harus dimintakan
Act No.82 of 2010. Bank ini dipimpin seorang
persetujuan) DPR. Padahal sebagaimana dengan
gubernur dan seorang wakil gubernur. Gubernur
jelas dirumuskan dalam Pasal 60 undang-undang
adalah pejabat yang bertanggung jawab atas
Bank Indonesia bahwa anggaran operasional wajib
manajemen dari the Reserve Bank of Australia.
mendapatkan persetujuan DPR (Ayat (3)), tetapi
Gubernur ditunjuk oleh Menteri Keuangan dalam
anggaran kebijakan hanya wajib “dilaporkan”
masa jabatan 7 (tujuh tahun) dan dapat dipilih
kepada DPR.
kembali sepanjang in good behavior54.
4. Perbandingan Kemandirian Penganggaran
Secara normative di dalam pengelolaan the Reserve
Bank Sentral di Berbagai Negara
Bank of Australia terdapat Board of Bank yang
Untuk menentukan kemandirian penganggaran
terbagi atas 2 (dua) kamar, yaitu Reserve Bank
yang mungkin dapat diterapkan oleh Bank
Board dan Payment System Board. Reserve Bank
Indonesia di masa yang akandatang, penelitian
Board bertanggung jawab atas kebijakan moneter
ini coba melihat proses penganggaran yang
dan perbankan, serta tanggung jawab lainnya
diterapkan di beberapa negara.Sebagaimana
selain tanggung jawab yang didelegasikan kepada
telah disebutkan sebelumnya, pilihan dijatuhkan
the Payment System Board; sedangkan the Paymet
pada negara-negara di bawah ini, didasarkan
System Board mempunyai tanggung jawab
pada keberagamanan sistem pemerintahan yang
mengenai sistem pembayaran dari the Reserve
dianut oleh negara-negara ini Australia adalah
Bank of Australia. Lebih lanjut, kedua board ini
negara yang menganut sistem pemerintahan
harus secara bersama-sama melakukan
parlementer; sedangkan Filipina menggunakan
kewenangan55:
sistem pemerintahan presidensil. Korea Selatan
a. the stability of the currency of Australia;
berbeda dengan kedua kelompok negara
b. the maintenance of full employment in
sebelumnya, karena Korea Selatan adalah salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan hybrid.
Australia; and c. the economic prosperity and welfare of the people of Australia.
Keberanekaragaman sistem pemerintahan dipilih
Namun, kedua board ini sebenarnya hanyalah
karena Indonesia tidak sepenuhnya menganut
pengelompokan dalam proses pengambilan
sistem presidensil dalam sistem pemerintahannya,
kebijakan, sebab keduanya secara bersama-sama
namun juga terdapat feature parlementer dalam
beranggotakan gubernur the Reserve Bank of
sistemnya. Oleh karena itu, pilihan perbandingan
Australia.
dengan negara-negara di atas digunakan agar
The Reserve Bank Board terdiri atas56:
dapat melihat pola-pola yang dilakukan dalam
a. the Governor;
proses penganggaran dalam berbagai sistem
b. the Deputy Governor;
pemerintahan yang ada saat ini. Berikut adalah uraian dari setiap negara sebagaimana disebutkan di atas. 54 Lihat Article 24 the Reserve Bank Act 1959. 55 Lihat Article 10 section (2) the Reserve Bank Act 1959. 56 Lihat Article 14 section (1) the Reserve Bank Act 1959.
22
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
c. the Secretary to the Department of the Treasury; and
pemerintahannya, Korea Selatan, selain memiliki presiden sebagai kepala negara dan kepala
d. 6 other members, who shall be appointed in
pemerintahan58, juga terdapat perdana menteri59
writing by the Treasurer in accordance with
yang mempunyai tugas untuk melaksanakan
this section.
pemerintahan sehari-hari. Selain kedua jabatan eksekutif tersebut, dalam sistem Korea Selatan
The Payment System Board
beranggotakan57:
juga ada parlemen (National Assembly), yang
a. the Governor;
memegang kekuasaan legaslatif dan merupakan
b. 1 (one) representative of the Reserve Bank of
representasi dari rakyat60.
Australia; c. 1 (one) representative of Australian Prudential
Berkaitan dengan bank sentral, Bank of Korea di
Regulation Authority (APRA);
pimpin oleh seorang gubernur yang melaksanakan
d. up to 5 (five) other members.
manajemen dan kebijakan yang ditetapkan oleh the Monetary Policy Committee. The Monetary
Lima anggota lain di atas akan ditunjuk secara
Policy Committee tersebut adalah organ yang
tertulis oleh menteri keuangan.
mempunyai kewenangan tertinggi dalam struktur Bank of Korea, khususnya dalam menetapkan
Dengan keanggotaan dan pola penunjukannya,
kebijakan61. Committee ini beranggotakan
terlihat sangat jelas bahwa the reserve bank of
Gubernur Bank of Korea, Senior Deputy Gubernur
Australia mempunyai keterkaitan yang erat dengan
Bank of Korea, seorang anggota yang
pemerintah, khususnya menteri keuangan. Hal ini
direkomendasikan oleh Minister of Strategy and
wajib dilaksanakan karena adanya kewajiban untuk
Finance, seorang anggota yang direkomendasikan
selalu dilakukan kerjasama antara pemerintah dan
oleh Gubernur Bank of Korea, seorang anggota
the reserve bank of Australia.
yang direkomendasikan oleh Ketua Komisi Keuangan National Assembly, seorang anggota
Berkaitan dengan penganggaran, dalam the reserve
yang direkomendasikan oleh Ketua Kamar Dagang
bank act 1959, sama sekali tidak disinggung
dan Industri, dan seorang anggota yang
mengenai proses penganggaran the Reserve Bank
direkomendasikan oleh Ketua Perhimpunan
of Australia. Meskipun demikian dan berkaitan
Bank62. Seluruh anggota the Monetary Policy
dengan sistem pemerintahan yang diterapkan di
Committee, termasuk gubernur yang juga
Australia, penganggaran harus tetap melalui
menjabat sebagai ketua committe; kecuali senior
persetujuan parlemen. Hal ini disebabkan karena
deputy gubernur, diangkat oleh presiden setelah
parlemen adalah pemegang purse power terhadap
mendapatkan persetujuan dari the National
seluruh belanja yang akan dilakukan oleh lembaga-
Assembly63.
lembaga federal, termasuk bank sentral. Selain the Monetary Policy Committee, manajemen 2) Korea Selatan
sehari-hari the Bank of Korea dilaksanakan oleh
Sedikit berbeda dengan Jepang, Korea Selatan adalah salah satu negara yang menerapkan sistem pemerintahan hybrid. Dikategorikan sebagai sistem
58 Lihat Chapter IV Section 1 Article 66 of the South Korea Constitution.
pemerintahan hybrid, karena dalam sistem
59 Lihat Chapter IV Section 2 Article 86 of the South Korea Constitution. 60 Lihat Chapter IIIArticle 40 of the South Korea Constitution. 61 Lihat Chapter II Section 1 Article 12 of the Bank of Korea Act. 62 Lihat Chapter II Section 1 Article 13 of the Bank of Korea Act.
57 Lihat Article 25A the Reserve Bank Act 1959.
63 Lihat Chapter II Section 1 Article 13 (3) of the Bank of Korea Act.
23
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
seorang Gubernur, Seorang Deputy Senior Gubernur dan paling banyak 5 (lima) deputy
gubernur64.
Dalam melaksanakan kewenangannya, di dalam struktur the Bangko Sentral ng Pilipinas dibentuk
Gubernur Bank of Korea diangkat oleh presiden
the Bangko Sentral Monetary Board, yang
atas persetujuan the National Assembly, sedangkan
beranggotakan 7 (tujuh) orang anggota, yaitu
deputy senior gubernur direkomendasikan oleh
gubernur bank sentral, yang juga berkedudukan
gubernur dan diangkat oleh presiden. Berbeda
sebagai ketua dari board tersebut, 1 (satu) wakil
halnya dengan para deputy, sebab mereka diangkat
dari pemerintah, dan 5 (lima) orang dari pihak
dan diberhentikan oleh gubernur.
swasta yang ditunjuk oleh presiden69.
Dalam melaksanakan tugasnya, para pimpinan
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya the
the Bank of Korea menggunakan anggaran yang
board dibantu oleh manajemen the Bangko Sentral
Committee65.
ng Pilipinas, yang dipimpin oleh seorang gubernur
Namun khusus yang berkaitan dengan gaji, yang
dan paling banyak 3 orang deputy gubernur. Lebih
ditetapkan oleh presiden, tetap harus dimintakan
lanjut, Sama dengan mekanisme penunjukan
persetujuan kepada Minister of Strategy and
deputy senior gubernur the Bank of Korea, para
Finance. Konsep penganggaran ini sangat
deputy gubernur the Bangko Sentral ng Pilipinas
dimungkinkan karena dalam the monetary policy
diangkat oleh gubernur atas persetujuan the
committee telah berbaur para anggota eksekutif
board70.
ditetapkan oleh the Monetary Policy
dan 35ormative35. Konsekuensinya, penganggaran tidak lagi harus diajukan secara mandiri kepada
Dalam melaksanakan fungsinya, the Bangko
the national assembly sebab assembly telah
Sentral ng Pilipinas menggunakan anggaran yang
memiliki wakil dalam committee; sama halnya
ditetapkan oleh the board berdasarkan usulan
dengan pihak eksekutif. Oleh karenanya, sangat
yang disampaikan oleh gubernur71. Konstruksi ini
wajar jika proses penganggaran the Bank of Korea
dimungkin secara ormative, karena tingkat
terlihat cukup sederhana jika dibandingkan dengan
independensi yang dimiliki oleh the Bangko Sentral
proses penganggaran yang diterapkan pada proses
ng Pilipinas cukup besar. Namun tetap saja berada
penganggaran Bank Indonesia.
di bawah pengawasan dari the congress, sebab gubernur diwajibkan untuk bertanggung jawab
3) Filipina
dalam penggunaan anggaran yang diperuntukan
Filipina memberikan kewenangan bank sentralnya kepada the Bangko Sentral ng
Pilipinas66.
bagi the Bangko Sentral ng Pilipinas.
Dalam
melaksanakan fungsinya sebagai bank sentral,
5. Proses Penganggaran yang Tepat bagi Bank
the Bangko Sentral ng Pilipinas diberi kewenangan
Indonesia
policy directions in the areas of money, banking,
Berdasarkan uraian dari negara-negara di atas,
and credit67. Yang mana kewenangan tersebut
cukup jelas terlihat bahwa kemandirian
mempunyai tujuan akhir untuk maintain price
penganggaran dapat dilakukan sebab telah terjadi
stability conducive to a balanced and sustainable
mixed atau pembauran antara pihak-pihak
growth of the
economy68.
eksekutif dan legislaif dalam sebuah board atau komisi di bank sentral. Dengan pembauran ini,
64 Lihat Chapter III Section 1 Article 32 of the Bank of Korea Act. 65 Lihat Chapter VII Section 1 Article 98 (2) of the Bank of Korea Act. 66 Lihat Chapter I Article I Section 2 of the Republic Act No.7563.
69 Lihat Chapter I Article II Section 1 of the Republic Act No.7563.
67 Lihat Chapter I Article I Section 3 of the Republic Act No.7563.
70 Lihat Chapter I Article III Section 21 of the Republic Act No.7563.
68 Ibid.
71 Chapter I Article II Section 15(d) of the Republic Act No.7563
24
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
maka proses penganggaran tidak lagi dimintakan
yang terbaik untuk tetap menjaga independensi
secara langsung kepada parlemen atau legislatif
Bank Indonesia dan juga untuk menekan
sebagai pemegang kekuasaan keuangan negara;
kemungkinan politisasi dalam proses pelaksanaan
tetapi persetujuan telah diberikan melalui wakil
kewenangan bank Indonesia.
yang mereka tunjuk atau yang mereka tugasi untuk duduk dalam board di bank sentral. Oleh
E. PENUTUP
karena itulah, tidak mengherankan jika proses penganggaran yang dilakukan terlihat sederhana
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam bab-bab
dan nirpolitik, sebab telah ada pembauran dalam
terdahulu untuk memberikan jawaban atas
board yang merupakan lembaga tertinggi dalam
permasalahan yang telah ditentukan, berikut ini adalah
bank sentral.
kesimpulan dan rekomendasi terkait permasalahanpermasalahan yang telah ditentukan:
Kembali kepada kemungkinan kemandirian penganggaran bagi Bank Indonesia, sebenarnya
1. Kesimpulan
hal tersebut di atas sangatlah terbuka untuk diterapkan di Indonesia. Bahkan melalui Undang-
a. Bahwa terdapat peluang normatif untuk
Undang Nomor 23 Tahun 1999, kewenangan
memberikan kemandirian penganggaran pada
kemandirian penganggaran yang dimiliki oleh
Bank Indonesia. Hal tersebut karena adanya
Bank Indonesia jauh lebih besar jika dibandingkan
norma terbuka yang diberikan oleh UUD
dengan negara-negara di atas.
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 23D, mengingat Pasal ini tidak
Kemungkinan ini secara konstitusional sangat
menentukan sampai derajat mana kemandirian
terbuka dan sangat bergantung pada will dari
dan indipendensi yang dapat diberikan kepada
pembentuk undang-undang untuk dapat
Bank Sentral. Oleh karenanya, kemungkinan
diterapkan di Indonesia. Namun jika menginginkan
ini secara konstitusional sangat terbuka dan
pola sebagaimana diterapkan oleh negara-negara
sangat bergantung pada will dari pembentuk
pada sistem parlementer di atas, dapat saja Badan
undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat
Supervisi Bank Indonesia dilebur menjadi bagian
dan Presiden), untuk menginterpretasikan
dari sebuah dewan tertinggi dalam struktur Bank
sejauh mana ketentuan Pasal 23D tersebut.
Indonesia. Dengan begitu, secara tidak langsung DPR sudah mempunyai wakil dalam struktur
b. Pembentukan Supervisory Board merupakan
Bank Indonesia, sehingga dalam menentukan
salah opsi yang dapat mendukung implementasi
anggarannya, cukup dimintakan persetujuan pada
kemandirian Bank Indonesia, termasuk dalam
dewan tersebut. Akan tetapi, kemungkinan ini
bidang penganggaran. Melalui opsi ini, maka
juga memiliki kelemahan. Kelemahan utamanya
proses penggaran tidak lagi dimintakan secara
adalah politisasi dalam pelaksanaan fungsi bank
langsung ke DPR sebagai pemegang kekuasaan
sentral karena tidak dapat dihindari bahwa dengan
keuangan negara, mengingat persetujuan
memasukannya DPR dalam struktur Bank Indonesia,
telah diberikan oleh DPR melalui wakilnya yang
pengaruh politik akan sangat terasa dalam
ditugasi untuk duduk di Board bank sentral-
langkah-langkah yang dapat diambil oleh Bank
dalam ini Bank Indonesia. Supervisory Board
Indonesia dalam melaksanakan kewenangannya.
dibentuk untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi bank sentral serta memberikan
Pada sisi lainnya, mekanisme penganggaran yang
counterbalance (penyeimbang) terhadap
saat ini diterapkan mungkin adalah mekanisme
indipendensi yang dimiliki oleh bank sentral.
25
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
2. Rekomendasi a. Mengingat bahwa interpretasi ketentuan Pasal 23D UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersifat terbuka, maka Bank Indonesia sebaiknya berperan lebih aktif dan progressif untuk menyakinkan DPR bahwa kemandirian anggaran bagi Bank Indonesia merupakan hal yang sangat penting dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai Bank Sentral. b. Selain point pertama tersebut di atas, ada baiknya Bank Indonesia menginisiasi pihakpihak terkait, antara lain, pakar hukum perbankan, hukum tata negara, pakar hukum administrasi negara, ekonom, pelaku usaha perbankan, dan pemangku kepentingan lainnya, untuk dapat memberikan sejauh bana batasan interpretasi ketentuan Pasal 23D UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang bersifat terbuka tersebut. Tujuannya adalah untuk memberikan atau memperoleh pemahaman dari para pakar dari berbagai kalangan terkait batasan interpretasi Pasal 23D UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Bank Indonesia mempunyai gambaran pendapat dari berbagai pakar terkait.
26
DAFTAR PUSTAKA
Ahsan, A., Skully, M., Wickramanayake, J. 2006, “Determinants od Central Bank Independence and Governance: Problems and Policy Implications”. JOAAG, 1 (1), 47-67 Amtenbrink, Fabian, 2004, “The Three Pillars of Central bank Governance-Towards a Model Central Bank Law or a Code of Good Governance. Working Paper, International Monetary Fund (IMF)”, tersedia di: http://www.imf.org/external/np/leg/sem/2004/cdmfl/eng/amtenb.pdf Aziz, Harry Azhar, 2011, “Governance dan Akuntabilitas Bank Indonesia”, Available at : http://pekikdaerah.wordpress.com/2011/02/08/governance-dan-akuntablitas-bank-indonesia/ Apel Emmanuel Apel, Emmanuel, 2003, Central Banking Systems Compared, The ECB, the pre-euro Bundesbank, and the Federal Rerserve System, Routledge Taylor & Francis Group, London and New York. Barro, Robert, and David Gordon, 1983, “Rules, Discretion, and Reputation in a Model of Monetary Policy”. Journal of Monetary Economics, 12(1), 101–21. Barth, Caprio, dan Levine tentang “Private Interest View of Regulation” sebagai “one in which banking policies are primarily shaped by the private interest of regulator or regulates (Kroszner and Strahan, 2001), rather than by the public interest. Barth Caprio, dan Leivne, Rethinking Bank Regulation Till Angels Govern, 2008, Cambridge University Press, New York. Claessens, S. & J. P. H Fan. 2002, “Corporate governance in Asia: A survey. International Review of Finance”, 3( 2), 71-103. Crowe, Christoper dan Meade, Ellen E, 2007, “The Evolution of Central Bank Governance around the World”. Journal of Economic Perspectives, 21 (4), 69-90. De Haan, Jakob, dan Eijffinger, Sylverster C.W, The Democartic Accountability of the European Central Bank: A Comment on Two Fairy-tales, dalam Journal of Common Market Studies, Vol. 38. No. 3. Eijffinger, Sylvester, and Petra Geraats, 2006, “How Transparent Are Central Banks?”, European Journal of Political Economy, 22(1), 1–21. Fry, M. J, Goodhart, C. A. E. & Almeida, A, 1996, Central Banking in Developing Countries: Objectives, Activities and Independence, Routledge, London. Freidman, Milton dan Charles E.A. Goodhart, 2003, Money, Inflation, and the Constitutional Position of the Central Bank, the Institute of Economic Affairs, London. Henning, C. R. 1994. Currencies and politics in the United States, Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for International Economics. Http://www.bi.go.id
27
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Kydland, Finn, and Edward Prescott. 1977. Rules Rather than Discretion: The Inconsistencyof Optimal Plans. Journal of Political Economy 85(3), 473–90. Lybek, Tonny. 2004. Central Bank Autonomy, Accountability, and Governance: Conceptual Framework. Working Paper, International Monetary Fund (IMF). Tersedia di: http://www.imf.org/external/np/leg/sem/2004/cdmfl/eng/lybek.pdf Lybek, T. dan Morris, J. 2004. Central Bank Governance: A Survey of Board and Management. Working paper, Internatioanl Monetary Fund (IMF) Nomor 04/226. Tersedia di :http://www.ksri.org/bbs/files/research02/wp04226.pdf Ribeiro, Fausto de Andrade. 2002. Central Bank: Independence, Governance and Accountability. Working paper, Minerva Program, The George Washington University. Tersedia di: http://www.gwu.edu/~ibi/minerva/Fall2002/Fausto.Ribeiro.pdf Oritani, Yoshiharu. 2010. Public Governance of Central Banks: an Approach from New Institutional Economics. Working Paper, Bank For Internatioanl Settlements. Tersedia di: http://www.kisc.meiji.ac.jp/~oritani/Homepage2005/BISFINAL.pdf Stella, Peter.1997. Do Central Banks Need Capital?. Working paper, International Monetary Fund (IMF) Nomor WP/97/83 Tshiani, Noël K., 2008, Building Credible Central Banks, Policy Lessons for Emerging Economies, Palgrave Macmillan Studies in Banking and Financial Institutions, Series Editor; Philip Molyneux, Paris. Peraturan: Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undangundang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901) Bank of Japan Act (Act No.89 of June 18, 1997) Constitution of the People’s Republic of Bangladesh. The Bangladesh Bank Order 1972 (President’s Order No.127 of 1972) sebagaimana diubah terakhir 10 Maret 2003. The South Korea Constitution. The Bank of Korea Act.
28
PENERAPAN CUSTOMER DUE DILIGENCE ATAS RESOLUSI DK PBB NOMOR 1267 GUNA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME Oleh : Dr. Go Lisanawati SH, M.Hum Fakultas Hukum Universitas Surabaya Abstrak Penerapan prinsip ketaatan dan kepatuhan bank pada aturan yang berlaku bagi bank merupakan salah satu hal yang penting di dalam upaya perwujudan rezim pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme. Berdasarkan sifat dan karakteristik perpindahan uang untuk kegiatan pendanaan terorisme yang cepat membutuhkan kecermatan dan ketepatan dari Bank untuk mampu mengenali dan dengan kemudian melakukan pembekuan atas dana tersebut. Hal tersebut sejalan dengan diimplementasikannya Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1267 oleh semua negara sebagai suatu bentuk perwujudan rezim pemberantasan pendanaan terorisme. Penerapan prinsip ketaatan tersebut dapat dilaksanakan melalui penerapan Customer Due Diligence. Kata Kunci: Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Resolusi 1267, Customer Due Diligence
PENDAHULUAN
value itu adalah untuk perwujudan masyarakat yang adil dan makmur, dan tercapainya kesejahteraan seluruh
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
rakyat Indonesia. Kerangka kebijakan kriminal yang harus
pendanaan terorisme sama pentingnya dengan
dituju adalah dikriminalisasikannya pendanaan terorisme
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana lainnya
sebagai suatu tindak pidana, mengingat sifat dan hakikat
yang mengingat sifat dan hakikatnya muncul menjadi
yang sama berbahayanya dengan terorisme itu sendiri.
tindak pidana yang membahayakan negara dengan
Mengenai social policy ini, Kongres PBB ke-7 di Milan
sifatnya yang trans boundaries. Sama halnya dengan
mengenai “National Development and the prevention
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme,
of crime” menegaskan sebagai berikut:
pendanaan terorisme juga harus dicegah dan diberantas dengan sekuat tenaga. Saat ini sedang dilakukan
Crime prevention as a part of social policy
dilakukan usul untuk segera mengundangkan rancangan
21. The criminal justice system, besides being an
Undang Undang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
instrument to effect control and deterrence, should also contribute to the objective of maintaining peace and
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ini tidak
order for equitable social and economic development,
terlepas dari berbagai aspek yang melandasi, yaitu aspek
redressing inequalities and protecting human rights. In
filosofis, aspek yuridis, dan aspek sosiologis. Ditinjau
order to relate crime prevention and criminal justice to
dari sudut filosofis, maka perlu dipahami bahwa dalam
national development targets, effort should be made to
rangka mewujudkan ultimate value, yang merupakan
secure the necessary human and material resources,
tujuan dari social policy, maka perlu diadakan suatu
including the allocation of adequate funding, and to
kebijakan kriminal atas pendanaan terorisme. Ultimate
utilize as much as possible all relevant institutions and
29
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
resources of society, thus ensuring the appropriate
regulasi lainnya. Tulisan ini akan membahas bagaimana
involvement of the community
penerapan prinsip Customer Due Diligence oleh Perbankan dapat berperan aktif di dalam pencegahan
Aspek yuridis yang dijadikan landasan berpijak untuk
dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.
dilakukannya kriminalisasi adalah adanya Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1
Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1267 dan
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Resolusi No. 1373
Terorisme (selanjutnya disebut sebagai UU Terorisme), Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Rezim pencegahan dan pemberantasan pendanaan
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
terorisme menghendaki diadakannya suatu akselerasi di
Uang (selanjutnya disebut sebagai UU TPPU), serta
berbagai bidang dan semua komponen manusia
Undang Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Ratifikasi
pelaksananya. Tindak pidana pendanaan terorisme sejauh
International Convention for the Suppression of the
ini dianggap kurang penting dibandingkan dengan tindak
Financing of Terrorism, 1999.
pidana itu sendiri. Namun demikian pandangan tersebut ternyata harus bergulir, dan akhirnya tiba pada suatu
Aspek sosiologis yang melandasi adalah adanya Resolusi
pemahaman yang komprehensif bahwasanya pendanaan
Dewan Keamanan PBB Nomor 1267 tanggal 15 Oktober
terorisme itu sama berbahayanya dengan tindak pidana
1999, yang secara khusus menghendaki dilakukannya
terorisme.
pembekuan seketika atas asset-asset yang berasal dari individual terrorist ataupun organisations terrorist baik
Hal tersebut dapat dipahami dari ketentuan Resolusi
yang merupakan afiliasi dengan Taliban, Al-Qaeda,
Dewan Keamanan PBB Nomor 1267, dalam
maupun dengan Usama Bin Laden. Dengan demikian
pertimbangannya menjelaskan:
harus dilakukan pencegahan sedini mungkin mengenai kemungkinan penggunaan dana-dana hasil kegiatan
Deploring the fact that the Taliban continues to provide
terorisme untuk dipakai kembali membiayai kegiatan
safe haven to Usama bin Laden and to allow him and
terorisme. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373
others associated with him to operate a network of
(2001) juga menghendaki dilakukannya prevent and
terrorist training camps from Taliban-controlled territory
suppress the financing of terrorist act. Selain itu juga
and to use Afghanistan as a base from which to sponsor
diterapkannya international best practices melalui
international terrorist operations,...
rekomendasi-rekomendasi dari The Financial Action Task Force.
Insists that the Afghan faction known as the Taliban, which also calls itself the Islamic Emirate of Afghanistan,
Terkait dengan keberadaan kedua resolusi tersebut,
comply promptly with its previous resolutions and in
maka perbankan memiliki peranan dan tanggung jawab
particular cease the provision of sanctuary and training
yang tidak kalah besar di dalam upaya pencegahan dan
for international terrorist and their organizations, take
pendanaan terorisme. Perbankan harus tanggap di dalam
appropriate effective measures to ensure that the territory
upaya pembekuan aset-aset terorisme sebagaimana
under its control is not used for terrorist installations
dikehendaki oleh resolusi tersebut, sekaligus harus aktif
and camps, or for the preparation of organizations of
di dalam mengupayakan pencegahan dipergunakannya
terrorist acts against other States or their citizen, and
aset-aset tersebut untuk mendanai kegiatan terorisme.
cooperate with efforts to bring indicted terrorist to
Namun demikian untuk menjembatani pencegahan dan
justice..
pemberantasan pendanaan terorisme dapat dilakukan dari berbagai sudut, dengan menggunakan aturan-
Berdasarkan penjelasan tersebut dipahami bahwa ada
aturan hukum yang sudah ada, maupun bentuk regulasi-
kepentingan yang sama besarnya untuk melakukan
30
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
pemberantasan tindak pidana terorisme sekaligus
Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 merupakan
pendanaan atasnya. Mengenai Resolusi tersebut,
resolusi yang terkait dengan upaya pemberantasan tindak
dijelaskan oleh wikipedia sebagai berikut:
pidana terorisme. Resolusi 1373 dalam penjelasannya menegaskan bahwasanya tindak pidana terorisme itu
United Nations Security Council Resolution 1267, adopted
harus diberantas dengan berbagai cara karena telah
unanimously on 15 October 1999, after recalling
mengancam keamanan dan perdamaian internasional,
resolutions 1189 (1998), 1193 (1998) and 1214 (1998)
yang dapat dilakukan melalui upaya-upaya
on the situation in Afghanistan, the council established
pengorganisasian, penghasutan, pembantuan maupun
a sanctions regime to cover individuals and entities
turut serta di dalam tindak pidana terorisme. Secara
associated with Al-Qaida, Osama bin Laden and/or the
lengkap penegasan tersebut adalah:
Taliban wherever located... Reaffirming the need to combat by all means, in The regime has since been reaffirmed and modified by
accordance with the Charter of the United Nations,
a dozen further UN Security Council Resolutions. It caused
threats to international peace and security caused by
dire hardship to the people of Afghanistan under the
terrorist acts...
Taliban regime at a time when they were heavily reliant on international food aid, while failing to satisfy any of
Reaffirming the principle established by the General
its demands. Since the US of Afghanistan in 2001, the
assembly in its declaration of October 1970 (resolution
sanctions have been applied to individuals and
2625 (XXV)) and reiterated by the Security Council in its
organizations in all parts of the
world1.
resolution 1189 (1998) of 13 August 1998, namely that every State has the duty to refrain from organizing,
Penekanan dari Resolusi 1267 adalah upaya pembekuan
instigating, assisting or participating on terrorist acts in
seketika atas setiap dana dan aset keuangan lainnya
another State or acquiescing in organized activities within
atau sumber-sumber ekonomis dari individu dan entitas
its territory directed towards the commission of such
yang berkaitan dengan Al-Qaeda, Usama bin Laden,
acts...
dan/atau
Taliban.2
Point 4 huruf b dari Resolusi 1267
tersebut mengatur:
Tujuan dari resolusi tersebut adalah untuk mencegah dan memberantas kelompok teroris dengan berbagai
Freeze funds and other financial resources, including
cara, mengingat bahwa tindak pidana terorisme muncul
funds derived or generated from property owned or
dan menjelma menjadi tindak pidana serius menurut
controlled directly or indirectly by the Taliban, or by any
hukum dan peraturan domestik, sekaligus mengancam
undertaking owned or controlled by the Taliban, as
dunia internasional. Mengingat keseriusan tersebut perlu
designated by the committee established by paragraph
diimbangi dengan ancaman pidana sebagaimana
6 below, and to ensure that neither they nor any other
mestinya. Melalui resolusi ini, dipahami bahwa ada 4
funds or financial resources so designated are made
(empat) kewajiban dari negara-negara peserta yaitu
available, by their nationals or by any undertaking owned
meliputi:
or controlled, directly or indirectly by the Taliban, except
a. Prevent and suppress the financing of terrorist acts;
as may be authorized by the Committee on a case-by-
b. Criminalize the willful provisions or collection, by any
case basis on the grounds of humanitarian need.
means, directly or indirectly, of funds by their nationals or in their territories with the intention that the funds should be used, or in the knowledge that they are to
1
Diakses dari http://en.wikipedia.org, pada tanggal 24 Mei 2012
2
Yunus Husein. Sosialisasi RUU Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Jakarta, 9 Februari 2011, h.10
be used, in order to carry out terrorist acts; c. Freeze without delay funds and other financial assets or economic resources of persons who commit, or
31
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
attempt to commit, terrorist acts or participate in or
bin Laden, the Taliban and other individuals, groups,
facilitate the commission of terrorist acts; of entities
undertakings and entities, associated with them, for
owned or controlled directly or indirectly of such
ongoing and multiple criminal terrorist acts). Perihal yang
persons and entities, including funds derived or
dimaksud dengan Persons atau Entities, dijelaskan oleh
generated from property owned or controlled directly
Peter Scott, sebagai berikut:
or indirectly by such persons and associated persons and entities; d. Prohibit their nationals or any persons and entities
Persons or entities identified by the resolutions as being subject to financial sanctions are:
within their territories from making any funds, financial assets or economic resources or financial or other
RES 1267/1333 (now RES 1988)
related services available, directly or indirectly, for the
• Al-Qaida;
benefit of persons who commit or attempt to commit
• Individuals, groups, undertakings and entities
or facilitate or participate in the commission of terrorist
associated with them, as referred to in the list created
acts, of entities owned or controlled, directly or
pursuant to RES 1267.
indirectly, by such persons and of persons and entities acting on behalf of or at the direction of such persons.
RES 1267/1333 (now RES 1989) • The Taliban;
Selain itu negara-negara harus melaksanakan kewajiban
• Individuals, groups, undertakings and entities
lainnya, yang meliputi:
associated with them, as referred to in the list created
a. Deny safe haven to those who finance, plan, support,
pursuant to RES 1989, i.e UNSC itself designates who
or commit terrorist acts, or provide safe havens;
is subject to the measure
b. Prevent those who finance, plan, facilitate or commit terrorist acts from using their respective territories for
RES 1373
those purposes against other States or their citizens;
Persons or entities identified by the resolution as being
c. Ensure that any person who participates in the financing, planning, preparation or perpetration of
subject to financial sanctions are: -
terrorist acts or in supporting terrorist acts is brought
acts or participate in or facilities the commission of
to justice and ensure that, in addition to any other measures against them, such terrorist acts, including
terrorist acts; -
assistance in obtaining evidence in their possession necessary for the proceedings;
Persons who commit, or attempt to commit, terrorist
entities owned or controlled directly or indirectly by such persons;
-
persons and entities acting on behalf of, or at the direction of, such persons and entities3.
Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh para teroris (baik individual maupun kelompok) membutuhkan
Memahami hal tersebut, maka sesungguhnya dapat
perpindahan yang sifatnya cepat, aman, dan dalam
disimpulkan adanya beberapa kategori yang dimaksud
jumlah yang cukup besar. Salah satu caranya adalah
sebagai orang atau perusahaan yang termasuk sebagai
melibatkan lembaga perbankan untuk dapat melakukan
pelaku tindak pidana terorisme, yaitu:
pendanaan terorisme.
-
Setiap orang, siapapun, baik yang berupa orang perseorangan, kelompok, maupun organisasi, yang
Resolusi No. 1904 DK PBB menghukum Al-Qaida, Usama
melakukan atau mencoba melakukan, atau
bin Laden, dan Taliban, maupun teroris perseorangan, organisasi teroris, maupun pihak-pihak yang berhubungan dengan teroris tersebut, untuk dilaksanakannya berbagai tindak pidana terorisme (condemned Al-Qaida, Usama
32
3
Peter Scott. 2011. “Terrorist Asset freezing Best Practices”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26– 28 September 2011
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
-
berpartisipasi di dalam kegiatan terorisme. Secara
hasil kejahatan maka dapat diyakini bahwa pelaku tindak
khusus dimaksudkan adalah Al-Qaida, Usama bin
pidana asal akan jera, dan lama kelamaan akan dapat
Laden, dan Taliban, meliputi pula orang-orang yang
menghentikan tindak pidana asal. Oleh karenanya sangat
termasuk di dalamnya;
dibutuhkan instrumen-instrumen terkait dengan upaya
Perusahaan yang dimiliki atau dikendalikan oleh
pembekuan sampai dengan perampasan aset hasil
orang-orang yang dimaksudkan sebelumnya.
kejahatan. Pendekatan follow the money ini dipergunakan
Orang atau perusahaan lain yang bertindak mewakili
dalam keadaan sebagai berikut:
kepentingan orang atau perusahaan lain yang
-
dimaksudkan sebelumnya.
Follow the money dapat menghubungkan kejahatan dengan pelaku intelektual;
-
Follow the money merupakan alat untuk asset recovery5
Pendekatan Follow the Money dalam Pendanaan Terorisme
Melalui penjelasan tersebut dapat dimaknakan bahwa melalui pendekatan follow the money diharapkan dapat
Standar internasional sebagaimana dimaksud di dalam
memberantas aset-aset maupun sumber-sumber
the Financial Action Tasks Force Recommendation (The
ekonomis yang dihasilkan dari hasil illegal maupun legal,
FATF Recommedations) tentang International Standards
tetapi dipergunakan untuk mendanai kegiatan terorisme.
on Combating Money laundering and the Financing of Terrorism and Proliferation, menghendaki agar
Pendanaan Teroris (Terrorist Financing) itu sendiri dapat
dilakukannya kriminalisasi atas pendanaan terorisme.
meliputi 2 hal, yaitu:
Kriminalisasi tersebut tidak saja meliputi pendanaan atas
-
Funding specific terrorist operations
tindak pidana terorisme, tetapi juga pendanaan oleg
-
Broader organisational costs to develop and maintain
organisasi teroris maupun teroris individu (terrorist
an infrastructure of organisational support and to
organisation and individual terrorist) yang tidak harus
promote the ideology of a terrorist organisation6
dihubungkan dengan suatu kegiatan tertentu dari teroris. Merujuk pada pendapat tersebut di atas dapat dipahami Interpretative note atas rekomendasi mengenai tindak
bahwa area pendanaan terorisme itu sangat luas, yang
pidana pendanaan terorisme tersebut sebenarnya
dapat dipergunakan oleh siapapun yang akan
mengingatkan kepada negara-negara agar menjadikan
mempergunakan dana tersebut untuk mengembangkan
pendanaan terorisme sebagai salah satu tindak pidana
maupun mendukung terlaksananya ideologi dari
asal dari pencucian uang. Untuk itu pendekatan yang
organisasi teroris tersebut.
dapat dipergunakan adalah sama dengan pendekatan yang dipakai di dalam tindak pidana pencucian uang. Terkait dengan hal tersebut, David
Shannon4
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dalam Perspektif Tindak Pidana Pencucian Uang
memaksudkan bahwa: Following the money is at the heart of combating the financing of terrorism.
Secara hakikat, yang dimaksud dengan tindak pidana pendanaan terorisme merupakan tindak pidana sebagai
Pendekatan follow the money pada hakikatnya
suatu bagian dalam pelaksanaan kegiatan terorisme.
meletakkan prinsip bahwasanya yang harus dirampas adalah harta kekayaan hasil kejahatan, tidak sematamata pada pelakunya. Dengan dikuasainya harta kekayaan
5
Muhammad Yusuf. “Pendekatan Rezim Anti Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 dalam Rangka Perampasan Aset Hasil Kejahatan”, Makalah, disampaikan pada Diskusi Terbatas, di Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 19 Februari 2011, h. 3
4
6
Tim Goodrick. “Counter-Terrorist Financing Legislative Framework”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011, h.2
David Shannon. 2011. “Terrorism Financing (TF) International Standards and Regional TF Risks”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011
33
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Hal tersebut sebenarnya dapat dilihat dari derivatif
menentukan: “Harta Kekayaan yang diketahui atau patut
ketentuan pasal-pasal yang ada di dalam UU Terorisme.
diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara
Ketentuan Pasal 11 UU Terorisme menentukan: “...,
langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme,
setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau
organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan
mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan
dengan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau
ayat (1) huruf n” (tindak pidana terorisme, red). Ketentuan
seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme...”.
Pasal 2 ayat (2) UU TPPU menunjukkan bahwasanya
Berdasarkan hal tersebut, nyatalah bahwa penyediaan
tindak pidana pendanaan terorisme menjadi sama
dana ataupun pengumpulan dana tersebut dilakukan
berbahayanya dengan tindak pidana terorisme itu sendiri,
secara sengaja atau patut diduganya akan dipergunakan
sehingga patut diperhatikan dan dipertimbangkan
sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana
sebagai tindak pidana asal, yang dapat saja menghasilkan
terorisme.
suatu tindak pidana lanjutan.
Ketentuan Pasal 12 UU Terorisme mengatur: “..., setiap
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sesungguhnya
orang yang dengan sengaja menyediakan atau
dapat dipahami bahwasanya tindak pidana pendanaan
mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan
terorisme merupakan sumber munculnya proceeds of
digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan
crime, yang pastinya adalah merupakan sumber yang
sebagian atau seluruhnya untuk melakukan...”.
tidak sah. Tindak pidana pendanaan terorisme sendiri
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 UU Terorisme ini dipahami
dapat dihasilkan dari sumber pendanaan yang legal
pula bahwasanya kegiatan pendanaan terorisme dilakukan
maupun yang illegal. Berdasarkan uang atau harta
sebagai upaya untuk melaksanakan kegiatan terorisme.
kekayaan atau barang yang diperolehnya tersebut,
Bentuk kesalahan yang nampak dari rumusan mengenai
diupayakan untuk disembunyikan asal usul sumbernya,
pendanaan terorisme tersebut diwujudkan dalam suatu
demi membiayai atau mendukung atau melaksanakan
bentuk kesengajaan, ataupun kealpaan yang diperberat
kegiatan terorisme. Diupayakan serapi mungkin untuk
(culpa lata).
menghindari terkuaknya asal usul dana terorisme tersebut.
Ketentuan selanjutnya adalah Pasal 13 huruf a UU
Ketentuan Special Recommendation II of FATF
Terorisme, yang menentukan: “Setiap orang yang dengan
menegaskan:
sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap
Terrorist financing offences should extend to:
pelaku tindak pidana terorisme, dengan: a. Memberikan
-
Funds from legitimate or illegitimate sources.
atau meminjamkan uang atau barang atau harta
-
Funds that were not actually used to commit/attempt
kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme”.
a terrorist act, and are not linked to a specific terrorist
Tindak pidana yang dimaksudkan di sini adalah tindak
act.
pidana perbantuan, yang dapat diberikan dengan
-
The financing of terrorist acts, terrorist organisations
memberikan kemudahan kepada pelaku tindak pidana,
and individual terrorist that are located in the same
yaitu yang dapat berupa memberikan atau meminjamkan
or a different country from the terrorist financier
uang atau barang atau harta kekayaan lainnya. Melalui ketentuan Special Recommendation II of FATF Merujuk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum di
tersebut, maka pendanaan terorisme itu haruslah
dalam UU Terorisme tersebut dipahami sesungguhnya
diperluas, meliputi:
pendanaan terorisme merupakan bagian penting dari
-
Dana-dana (termasuk di dalamnya semua properti)
kegiatan terorisme itu sendiri. Di samping UU Terorisme,
yang digunakan untuk pendanaan terorisme yang
pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah dengan
diperoleh dari sumber-sumber yang sah dan yang
menggunakan UU TPPU. Pasal 2 ayat (2) UU TPPU
tidak sah.
34
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
-
Dana-dana tersebut yang walaupun pada
-
All terrorism activities require funding.
kenyataannya tidak jadi digunakan untuk melakukan
-
Amounts involved can be small or large.
terorisme, dan tidak harus dihubungkan dengan
-
All fundraising activities opportunities for investigations
kegiatan terorisme tertentu. -
Kegiatan untuk pendanaan terorisme baik yang
and disruption. -
Raising funds through local criminal activity brings
dilakukan oleh organisasi teroris maupun teroris
terrorist into contact with petty criminals motivated
perseorangan, yang dilakukan di tempat yang sama
by greed not ideology7.
maupun di tempat uang berbeda dari penanggungjawab di bidang keuangan dari kegiatan terorisme
Dengan demikian dapat dipahami bahwasanya
itu sendiri.
pencegahan pendanaan terorisme menjadi suatu hal yang sangat signifikan dilaksanakan.
Dengan diperluasnya pemahaman mengenai dana, maka haruslah didekati dengan pendekatan Follow the money
Customer Due Diligence sebagai Instrumen
yang juga diberlakukan kepada tindak pidana pencucian
Pencegahan Pendanaan Terorisme
uang. FATF pada bulan Februari 2012 telah mengeluarkan suatu standar baru terkait dengan tindak pidana pencucian
Salah satu instrumen yang dapat dipergunakan untuk
uang dan pendanaan terorisme, yang sebelumnya diatur
mencegah adanya pendanaan terorisme adalah melalui
di dalam Special Recommendation of FATF, yaitu dalam
instrumen-instrumen mengenali nasabah. Prinsip Know
International Standards on Combating Money Laundering
Your Customer yang kemudian dikukuhkan dengan
and the Financing of Terrorism & Proliferation. Berdasarkan
prinsip Customer Due Diligence sekaligus pelaksanaan
standar tersebut, dinyatakan bahwa:
Enhance Due Diligence bagi pihak-pihak yang dikategorikan sebagai high risk customer, dengan high
Combating terrorist financing is a very significant challenge.
economic profile ataupun tergolong sebagai Politically
An effective AML/CFT (Anti Money Laundering/Counter
Exposed Persons (PEPs).
Financing of Terrorism, red) system, in general, is important for addressing terrorist financing, and most measures
International Standards on Combating Money Laundering
previously focused on terrorist financing are now
and the Financing of Terrorism & Proliferation, yang
integrated throughout Recommendations, therefore
merupakan instrumen baru dari ketentuan 9 Special
obviating the need for special recommendations. However,
Recommendation of the FATF, pada hakikatnya dipakai
there are Recommendations that are unique to terrorist
sebagai suatu standar baru bagi standar pengawasan
financing, which are set out in Section C of the FATF
kepatuhan atas tindak pidana-tindak pidana yang terkait
Recommendation
dengan pencucian uang, pendanaan terorisme, maupun proliferation. Instrumen pengenalan nasabah dan
Dengan mengingat sifat dan hakikat pendanaan terorisme
pengguna jasa menjadi instrumen utama yang harus
itu sendiri, maka menjadi sangat relevan apabila kegiatan
dapat dijadikan sebagai sarana terdepan (the first resort)
tersebut harus dicegah bahkan diberantas. Cara berpikir
untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak
yang harus dimiliki guna mengkriminalisasikan pendanaan
pidana pencucian uang maupun pendanaan terorisme.
terorisme ini adalah dengan merujuk kembali pada adanya
Secara teori antara Customer Due Diligence dan Enhance
Ultimate Value dari Social Policy, yaitu demi kesejahteraan
Due Diligence terdapat perbedaan. Yang dimaksud
seluruh rakyat Indonesia, dan demi mewujudkan
dengan Customer Due Diligence merupakan identifikasi
masyarakat yang adil dan makmur, tertib dan aman. Scott Burkard menambahkan bahwasanya Terrorist Financing itu dijelaskan dalam konteks:
7
Scott Bruckard. 2011. “Terrorist Financing in Australia”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26– 28 September 2011.
35
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
dan verifikasi atas informasi dan dokumen pelapor,
Financial institutions should be required to apply each of
sementara Enhance Due Diligence pada dasarnya
the CDD measures under (a) to (d) above, but should
merupakan verifikasi yang lebih ketat terhadap calon
determine the extent of such measures using a risk-based
pengguna jasa yang berisiko tinggi. Customer Due
approach (RBA)
Diligence dijelaskan sebagai: Financial institutions should be prohibited from keeping
Berdasarkan penjelasan dari FATF new recommendation
anonymous accounts or accounts in obviously fictitious
tersebut dapat dipahami bahwasanya mekanisme Due
names.
Diligence merupakan suatu keharusan bagi penyedia jasa keuangan. Mekanisme ini dianggap sebagai suatu
Financial institutions should be required to undertake
mekanisme penghati-hati, mengingat bahwa kesulitan
customer due diligence (CDD) measures when:
yang mungkin timbul berikut dengan ancamannya akan
(i). establishing business relations;
membuat penyedia jasa keuangan berhadapan dengan
(ii). carrying out occasional transactions: (i). above the
ketentuan hukum. Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman
applicable designated threshold (USD/EUR 15,000);
paling tidak menggaris bawahi dalam sebuah konteks:
or (ii) that are wire transfers in the circumstances
“The Law is rather a coercive method of social control:
covered by the interpretative Note to
It demands both the attention and compliance of those
Recommendation 16;
to whom its regulations are directed”.8 Persinggungan
(iii). there is a suspicion of money laundering or terrorist financing; (iv). the financial institution has doubts about the veracity
antara hukum dengan etik sangat tipis, yang kemudian menuntut kepatuhan pihak-pihak yang terikat dan terkait dengan kegiatan-kegiatan di bidang keuangan, dan
or adequacy of previously obtained customer
secara keseluruhan bagi seluruh masyarakat. Untuk
identification data
memenuhi persyaratan memaksa, sebetulnya dapat teratasi dengan adanya kepatuhan. Dengan demikian
The CDD measures to be taken are as follows:
tidak perlu diberikan suatu sanksi apabila dari subjek
(a). Identifying the customer and verifying that customer’s
hukum memiliki etika dan kesadaran untuk patuh.
identity using reliable, independent source documents,
Namun demikian hukum adalah hukum, di mana hukum
data or information.
harus mengandung suatu sanksi yang bersifat untuk
(b). Identifying the beneficial owner, and taking reasonable
memaksa kepatuhan subjek hukum tersebut. KYC dan
measures to verify the identity of the beneficial owner,
CDD, berikut juga EDD pada akhirnya menjadi suatu
such that the financial institution is satisfied that it
keharusan yang harus ditaati di tengah pergulatan dan
knows who the beneficial owner is. For legal persons
pergolakan munculnya berbagai jenis tindak pidana
and arrangements this should include financial
serius, bersifat transnasional, dan extra ordinary yang
institutions understanding the ownership and control
memang harus dicegah dan ditanggulangi. Instrumen
structure of the customer;
ini sama pentingnya dengan upaya penegakan hukumnya.
(c). Understanding and, as appropriate, obtaining information on the purpose and intended nature of
FATF Recommendation lebih lanjut menyatakan:
the business
Financial Institutions should be required to verify the
(d). Conducting ongoing due diligence on the business
identity of the customer and beneficial owner before and
relationship and scrutiny of transactions undertaken
during the course of establishing a business relationship
throughout the course of that relationship to ensure
or conducting transactions for occasional customers.
that the transactions being conducted are consistent with the institution’s knowledge of the customer, their business and risk profile, including where necessary, the sources of funds.
36
8
Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman. 1990. Philosophy of Law: An Introduction to Jurisprudence. Westview Press, London, p. 20
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Countries may permit financial institutions to complete
dengan penyalahgunaan kekuasaan yang dimilikinya
the verification as soon as reasonably practicable following
secara sah. Pihak-pihak dalam posisi ini disebut sebagai
the establishment of the relationship, where the money
suatu Politically Exposed Persons (PEPs), yang dalam posisi
laundering and terrorist financing risks are effectively
ini dapat berposisi sebagai nasabah, ataupun pemilik.
managed and where this is essential not to interrupt the
Guna mengatasi kemungkinan disalahgunakannya
normal conduct of business.
penyedia jasa keuangan berikut berbagai fasilitas yang diberikan oleh sektor keuangan, maka FATF
Where the financial institution is unable to comply with
Recommendation, sebagaimana diejahwantahkan dalam
the applicable requirements under paragraph (a) to (d)
UU TPPU, menegaskan perlunya dilaksanakan mekanisme
above (subject to appropriate modification of the extent
Enhance Due Diligence (EDD) sebagai suatu mekanisme
of the measure on a risk-based approach), it should be
tambahan untuk nasabah-nasabah khusus dan berbagai
required not to open the account, commence business
aktifitasnya.
relations or perform the transaction; or should consider making a suspicious transactions report in relation to the
Financial institutions should be required, in relation to
customer.
foreign politically exposed persons (PEPs) (whether as customer or beneficial owner), in addition to performing
These requirements should apply to all new customers,
normal customer due diligence measures, to:
although financial institutions should also apply this
(a). Have appropriate risk management systems to
Recommendation to existing customers on the basis of materiality and risks abd should conduct due diligence on such existing relationships at appropriate times.
determine whether the customer or the beneficial owner is a politically exposed person; (b). Obtain senior managemnet approval for establishing (or continuing, for existing customers) such business
Penjelasan dari FATF Recommendation di atas menegaskan kembali bagaimana kebutuhan dan keharusan pelaksanaan mekanisme CDD menjadi suatu mekanisme untuk mencegah kemungkinan terancamnya sistem keuangan dari resiko besar yang meliputinya, termasuk
relationships; (c). Take reasonable measures to establish the source of wealth and source of funds; and (d). Conduct enhanced ongoing monitoring of the business relationship.
pada munculnya tindak pidana. Resiko itu adalah berupa munculnya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
Financial institutions should be required to take reasonable
terorisme. Tindak pidana-tindak pidana tersebut semakin
measures to determine whether a customer or beneficial
lama semakin menguat seiring dengan perkembangan
owner is a domestic PEP or a person who is or has been
masyarakat itu sendiri. Hal inilah yang harus dicegah
entrusted with a prominent function by an international
sedini mungkin. CDD dipandang sebagai suatu mekanisme
organisation. In cases of a higher risk business relationship
yang harus diperkuat dan dilaksanakan secara patuh dan
with such persons, financial institutions should be to
ketat, dengan sebuah dimensi pemahaman kritis akan
apply the measures referred to in paragraphs (b), (c),
fungsi dan peruntukannya yang memang dewasa ini
and (d).
berkembang menjadi alat hal yang sangat penting terkait
The requirements for all types of PEP should also apply
dengan pencegahan berkembangnya tindak pidana yang
to family or close associates of such PEPs.
menggunakan jasa dari penyedia jasa keuangan. Memperhatikan ketentuan di atas sesungguhnya Tindak pidana tersebut pada hakikatnya rentan atas
memahami tindak pidana-tindak pidana yang berhubungan
disalahgunakannya oleh orang-orang yang memiliki
dengan pendanaan terorisme dan money laundering,
kedudukan secara politis menjadi salah satu pihak yang
merupakan tindak pidana yang sangat complicated dan
dianggap patut diwaspadai karena posisinya yang rentan
rumit. Pendanaan terorisme selalu dipandang sama jahat
37
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
dan berbahayanya dengan tindak pidana terorisme itu
ini, negara dapat melakukan suatu upaya-upaya
sendiri, bahkan dengan posisi yang lebih sulit dilacak
pencegahan yang khusus dan unik untuk menghentikan
karena berhubungan dengan kemudahan dalam sistem
perputaran dana maupun aset lainnya dari para kelompok
keuangan yang dipergunakan sebagai sarana untuk
teroris, dan penggunaan dana-dana dan aset-aset
mencapai tujuan melakukan suatu tindak pidana yang
tersebut oleh kelompok teroris.
semakin hari semakin canggih. Penyedia Jasa Keuangan diharapkan dapat memiliki Sebagaimana dimaksudkan dalam Interpretative Note to
kemampuan untuk mengidentifikasikan dan menentukan
recommendation about Terrorist Financing Offence,
mengenai orang perorangan maupun lembaga keuangan
karakteristik tindak pidana pendanaan terorisme yang
ataupun badan-badan yang mendukung pelaksanaan
harus diperhatikan adalah:
kegiatan terorisme, misalnya sebagaimana yang dimaksud
-
Terrorist financing offences should extend to any
sebelumnya, seperti Al-Qaida, The Taliban, Usama bin
person who willfully provides or collects funds by any
Laden. Menindaklanjuti hal tersebut perlu diimbangi
means, directly or indirectly, with the unlawful intention
dengan proses listing dan delisting. Hal ini yang harus
that they should be used, or in the knowledge that
selalu diperhatikan oleh pihak Penyedia jasa keuangan
they are to be used, in full or in a part: (a). To carry
dengan memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian.
out a terrorist act(s); (b). By a terrorist organization; -
or (c). By an individual terrorist.... .
Salah satu hal yang harus dikerjakan dan diperhatikan
Terrorist financing offences should apply, regardless
oleh Penyedia Jasa Keuangan adalah terkait dengan
of whether the person alleged to have committed
upaya bagaimana menyelamatkan negara dari
the offence(s) is in the same country or a different
kemungkinan untuk dipergunakannya dana-dana yang
country from the one in which the terrorist(s)/ terrorist
dihasilkan dari tindak pidana ataupun kegiatan legal yang
organization(s) is located or the terrorist act(s)
dipakai untuk mendukung kegiatan terorisme. Hal tersebut
occurred/will occur.
adalah terkait dengan upaya undue delay atas harta kekayaan yang didapatkan dari tindak pidana pendanaan
Melalui karakteristik tersebut sesungguhnya dapat
terorisme tersebut. Upaya undue delay sangat diperlukan
dipahami bahwa permasalahan financing of terrorism
terkait perpindahan dana terorisme yang sangat cepat
sangat membutuhkan perhatian dan keseriusan yang
dan tidak terlihat secara fisik. Selain itu pemanfaatan
lebih, khususnya terkait dengan terancamnya kehidupan
dana tersebut dapat dicegah pemanfaatannya secara
dan integritas semua rakyat. Dengan krakteristiknya
lebih dini.
yang tumbuh sebagai extra ordinary crime dan transnational organized crime, financing of terrorism
Berdasarkan Ketentuan UNSCR 1373 ditegaskan
telah menjadi sesuatu yang hars dicegah dan diberantas.
bahwasanya setiap negara haruslah mempunyai peraturan maupun prosedur untuk beberapa hal yang dirasakan
Kewajiban Freezing Without Delay and Without
diperlukan untuk melakukan pembekuan atas aset-aset
Prior to Notice Oleh Penyedia Jasa Keuangan
kekayaan teroris yang didapatkan melalui pendanaan terorisme. Secara lengkap dijelaskan sebagai berikut:
The New FATF Recomendation mewajibkan setiap negara untuk memberlakukan penjatuhan sanksi keuangan
Countries are required to have laws and procedures to:
(targeted financial sanctions) atas kelompok-kelompok
1. Freeze the funds and their assets of terrorist and
teroris maupun teroris perorangan, sebagaimana
associated persons and entities without delay and
dimaksudkan dalam Resolusi DK PBB No. 1267 (1999)
without prior notice to targets (e.g through domestic
berikut resolusi-resolusi lainnya yang terkait, dan Resolusi
listing mechanism or through criminal justice
DK PBB No. 1373 (2001). Lebih lanjut melalui rekomendasi
procedures); this involves both a domestic decision-
38
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
making process on designations and a process to then
2. Must involve a direct obligation on financial
freeze the funds of those designated.
institutions and those who hold assets to freeze without undue delay9
2. Receive from other countries requests to take UNSCR 1373 freezing action; 3. Examine such requests (i.e promptly determine
Rezim extraordinary ini tentunya dibangun berdasarkan
whether reasonable grounds or a reasonable basis
suatu pemahaman akan hakikat dan eksistensi tindak
exists to initiate a freezing action); and
pidana pendanaan terorisme yang telah bersifat
4. Take action to freeze assets in response to the request,
transnational organized dan sama berbahaya serta
if appropriate, without delay and without prior notice
jahatnya dengan tindak pidana terorisme itu sendiri.
to targets.
Berdasarksn rezim inilah harus dibangun suatu mekanisme pencegahan dan pengawasan secara ketat dalam
Mendasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksudkan
kegiatan transaksi dari nasabah yang ditengarai dipakai
di atas harus diikuti dengan kemampuan Penyedia Jasa
dalam kegiatan terorisme. Untuk itu perlu diperkuatnya
Keuangan untuk tidak salah di dalam menelaah dana-
pengoperasionalisasian standar-standar pengenalan
dana apa saja yang masuk dan keluar dari rekening
nasabah, Customer Due Diligence, dan Enhance Due
seseorang yang tentunya harus memiliki kemampuan
Diligence.
untuk memahami apakah rekening tersebut terindikasi dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan pendanaan
Kesimpulan
terorisme ataukah tidak. Ketentuan dalam UNSCR 1373 jelas menghendaki adanya sensitivitas dari penyedia jasa
Rezim extraordinary yang dipahami dalam keterkaitannya
keuangan untuk mampu mengenali dengan baik siapa
dengan tindak pidana pendanaan terorisme menempatkan
customer yang melakukan transaksi menggunaan jasa
kemampuan dan kemauan dari penyedia jasa keuangan
pada bank tersebut.
untuk dapat mengoperasionalisasikan dengan tepat dan bijak setiap standar-standar pengenalan akan nasabah
Hasil analisis terhadap perputaran masuk dan keluarnya
beserta dengan transaksi yang dilakukan dari, dalam,
dana dari nasabahnya tersebut, yang apabila terindikasi
dan melalui institusi bank. Kecermatan bank di dalam
dipergunakan untuk pendanaan terorisme, maka
mengenali nasabah dan transaksi yang dilakukannya
Penyedia Jasa Keuangan, dalam hal ini bank, wajib
akan membawa pada adanya upaya untuk mengantisipasi
melakukan pembekuaan dana tanpa menunda dan tanpa
semakin meluasnya dan cepatnya pendanaan terorisme.
pemberitahuan. Hal tersebut merupakan kewajiban dari
Upaya lain yang dituntutkan kepada Penyedia Jasa
bank. Penciptaan mekanisme Freezing without delay
Keuangan untuk dilakukan adalah upaya melakukan
dan without prior to notice membawa kepada suatu
pembekuan atas aset atau kekayaan orang-orang ang
dimensi berpikir munculnya rezim baru yang disebut
diduga, dindikasi, dan diidenifikasikan terlibat dalam
sebagai Extraordinary Regime, yang oleh David Shanon
kegiatan pendanaan terorisme tanpa ada kewajiban
dijelaskan sebagai berikut:
untuk menunda-nunda maupun memberikan peringatan terlebih dahulu. Hal tersebut sesungguhnya didasarkan
An extraordinary regime:
dari pemahaman akan sifat dan hakikat dari tindak pidana
1. Requires an indefinite freeze to be possible, even in
pendanaan terorisme, dantindak pidana terorisme itu
the absence of a prosecution 2. May include administrative and/ or judicial process
sendiri. Dengan demikian Indonesia akan daat menjadi negara yang mendukung upaya-upaya pencegahan tindak pidana pendanaan terorisme, sebagaimana ditegaskan
1. Must not be reliant on having to prove or investigate a TF (Terrorist Financing, red) offence to keep funds frozen
9
David Shannon, Op.Cit, p. 20
39
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
dan dikehendaki dalam dunia internasional. Terlebih khusus adalah adanya kewajiban untuk membekukan aset teroris perseorangan maupun organisasi teroris yang telah dimaksudkan di dalam UNSCR 1267 dan UNSCR 1373.
40
DAFTAR PUSTAKA
Bruckard, Scott. 2011. “Terrorist Financing in Australia”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011 Goodrick, Tim. “Counter-Terrorist Financing Legislative Framework”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011 http://en.wikipedia.org, pada tanggal 24 Mei 2012 Muhammad Yusuf. “Pendekatan Rezim Anti Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 dalam Rangka Perampasan Aset Hasil Kejahatan”, Makalah, disampaikan pada Diskusi Terbatas, di Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 19 Februari 2011 Murphy, Jeffrie G., and Jules L. Coleman. 1990. Philosophy of Law: An Introduction to Jurisprudence. Westview Press, London Scott, Peter. 2011. “Terrorist Asset freezing Best Practices”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011 Shannon, David. 2011. “Terrorism Financing (TF) International Standards and Regional TF Risks”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011 Yunus Husein. Sosialisasi RUU Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Jakarta, 9 Februari 2011
41
Halaman ini sengaja dikosongkan
IMPLEMENTASI HUKUM PEMBANGUNAN DALAM SISTEM PERBANKAN DI INDONESIA Oleh : Dr. Zulfi Diane Zaini, S.H., M.H.1
Abstrak Di Indonesia dengan pembaharuan masyarakat melalui jalur hukum, berarti dilakukan pembaharuan hukum terutama melalui perundang-undangan. Hal tersebut berarti proses pembentukan Undang-Undang harus dapat menampung semua hal yang erat hubungannya (relevan) dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dengan Undang-Undang tersebut, apabila perundang-undangan tersebut diharapkan merupakan suatu pengaturan hukum yang efektif. Lebih lanjut menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum tersebut dalam kenyataan. Pemikiran hukum sebagai sarana pembaharuan adalah adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembaharuan atau pembangunan merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang mutlak perlu, dan hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan, dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Untuk itu salah satu upaya penting dalam sistem perbankan nasional di Indonesia diperlukan konsep pengembangan dan pembaharuan Hukum Perbankan Nasional melalui perbaikan dan perubahan Undang-Undang Perbankan dengan memperhatikan perangkat hukum yang berlandaskan pada perumusan aturan hukum yang tidak saja melihat hukum sebagai suatu perangkat aturan akan tetapi juga didasarkan pada hukum sebagai sarana yang dapat mengikuti perubahan dan perkembangan kondisi masyarakat baik dalam kegiatan sosial politik, maupun ekonomi dan kegaiatan perbankan.
1. Pendahuluan
yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi
Hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan
dilain pihak sehingga konflik antara sesama warga
bermasyarakat di dalam semua aspek kehidupan,
dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi
baik dalam aspek kehidupan social, kehidupan politik,
tersebut akan sering terjadi. Namun demikian
budaya, pendidikan dan yang cukup penting adalah
berdasarkan pengalaman umat manusia sendiri,
fungsi dan peranannya dalam mengatur kegiatan
peranan hukum tersebut haruslah terukur sehingga
ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi inilah justru hukum
tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia
sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi
yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi.
1
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Bandar Lampung dan saat ini juga sebagai Ketua Pusat Studi Hukum Perbankan Universitas Bandar Lampung (PSHP-UBL).
Semua perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak mungkin terjadi apabila manusia tidak
43
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
mempunyai kesempatan dan keluasan untuk berpikir
hukum (rechtstaat). Dari sini tersirat pula bahwa
dan berkreasi. Karenanya diperlukan berbagai bentuk
Indonesia menghendaki dua hal; Pertama, hukum
aturan yang mengatur bagaimana manusia agar bisa
diharapkan dapat berfungsi; dan Kedua, dengan
melaksanakan kegiatannya dengan aman, tidak saling
hukum dapat berfungsi, maka pembangunan ekonomi
mengganggu atau bahkan saling menghancurkan
pun akan mudah untuk direalisasikan.
sehingga kesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan menjadi terhambat. Dengan demikian
Sejalan dengan pemikiran tersebut, jika dikaji dari sisi
diperlukan peranan hukum yang bertujuan untuk
politik hokum, seringkali pembentukan hukum,
melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan
khususnya hukum ekonomi tak selalu sinkron dengan
ekonomi sehingga dinamika kegiatan ekonomi dapat
harapan-harapan tersebut. Sebagai faktor yang
diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi
menjadi pemicu tidak adanya kesinkronan ini karena
seluruh masyarakat. Hukum bukan hanya dapat
banyak kepentingan yang berkembang di seputar
membatasi dan menekan saja, akan tetapi juga
pembentukan hukum. Politik hukum yang berkembang
memberi kesempatan bahkan mendorong masyarakat
berupa adanya tarik menarik antara kepentingan
untuk menemukan berbagai penemuan yang dapat
nasional dan asing, sehingga hukum yang dapat
menggerakkan kegiatan perekonomian suatu negara.
dijadikan sarana bagi pembangunan ekonomi akan menjadi sia-sia karena yang dikedepankan justru
Sebagaimana diketahui bahwa Ilmu hukum adalah
kepentingan asing yang dominan.
ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu praktis dengan menempati kedudukan istimewa dalam
Perkembangan globalisasi ekonomi dan kerjasama
klasifikasi ilmu dengan alasan karena sifatnya sebagai
ekonomi di dunia internasional sedikit banyak telah
ilmu normatif yang mengandung sifat khas tersendiri.
menggambarkan adanya polarisasi dalam artian
Obyek telaahannya juga berkenaan dengan tuntutan
substansi permasalahan di bidang hubungan ekonomi
berprilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya
sebagai dampak dari upaya pengaturan yang dilakukan
tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas
oleh Negara-negara ataupun pelaku ekonomi Negara-
yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh
negara maju. Upaya pengaturan baik secara global
kekuatan publik.2
melalui World Trade Organization (selanjutnya disingkat dengan WTO), regional melalui berbagai kerjasama
Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi suatu
sekawasan serta bilateral melalui berbagai kerjasama
bangsa merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan
bilateral ternyata tidak mengurangi munculnya berbagai
keberadaannya. Sehingga sangat jelas, jika kondisi
penyimpangan dari norma-norma yang telah disepakati.
hukum suatu bangsa itu efektif, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk dilaksanakan.
Merupakan suatu keharusan bagi suatu negara tatkala
Namun, sebaliknya jika hukum tidak mampu berperan
merumuskan suatu peraturan perundang-undangannya
secara efektif, maka dapat dipastikan akan berdampak
senantiasa memperhatikan pada aspek kepentingan
buruk terhadap pembangunan ekonomi.
nasional (national interests). Untuk dapat mencapai hal demikian, maka faktor politik hukum akan sangat
Kondisi ini tentu berlaku pula bagi Indonesia sebagai
menentukan. Bagi beberapa negara pola pemikiran
sebuah negara yang sedang giat-giatnya melakukan
ini menjadi sarana yang cukup efektif.
pembangunan ekonomi. Apalagi, tatkala Indonesia menyatakan diri dalam konstitusinya sebagai negara
Berangkat dari persoalan tersebut di atas, peranan politik hukum dalam konteks hukum sangat memegang peranan yang sangat strategis. Melalui
2
Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm.16.
44
pendekatan politik hukum, hukum yang dibentuk
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
pun setidaknya akan banyak memperhatikan kepada
b. Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern;
kepentingan nasional. Pengertian kepentingan nasional
c. Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum
bukan berarti dimaknai dalam arti yang sempit, namun
ada, atau
kepentingan nasional merupakan titik tolak dalam
d. Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem
upaya memasuki dunia global.
lama, karena tidak diperlukan dan tidak cocok dengan sistem baru.
Dari prinsip kepentingan nasional pemerintah selanjutnya mengambil langkah strategis dalam upaya
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mochtar
meraup manfaat ekonomi dan manfaat ekonomi
Kusumaatmadja, bahwa di Indonesia dengan
tersebut dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia sendiri
pembaharuan masyarakat melalui jalur hukum, berarti
bukan oleh bangsa lain yang menikmati hasil dari
dilakukan pembaharuan hukum terutama melalui
pembentukan hukum tersebut. Dengan kenyataan
perundang-undangan. Hal tersebut berarti proses
tersebut, sudah sewajarnya apabila pemerintah dalam
pembentukan Undang-Undang harus dapat
menjalankan orientasi politik hukum lebih
menampung semua hal yang erat hubungannya
mengedepankan pembentukan instrumen-instrumen
(relevan) dengan bidang atau masalah yang hendak
hukum yang terkait dengan permasalahan tersebut.
diatur dengan Undang-Undang tersebut, apabila perundang-undangan tersebut diharapkan merupakan suatu pengaturan hukum yang efektif.4 Selanjutnya
2. Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan Nasional.
dijelaskan bahwa pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum sebagai suatu
Pembangunan yang dilaksanakan Indonesia
perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur
merupakan pembangunan yang menyeluruh dalam
kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus
semua sektor. Untuk itu diharapkan semua lapisan
pula mencakup lembaga (institutions) dan proses
masyarakat ikut berperan serta dalam pembangunan.
(process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum
Demikian pula pembangunan dalam bidang ekonomi
tersebut dalam kenyataan.5
diharapkan dapat menunjang pembangunan pada sektor-sektor lain dan untuk tertibnya pelaksanaan
Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara
pembangunan yang tertib dan berkeadilan, maka
ketertiban dalam masyarakat.6 Hukum bersifat
penunjang utamanya adalah pembangunan dalam
memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai.
bidang hukum yang mengabdi kepada kepentingan
Fungsi ini diperlukan dalam masyarakat, karena
hukum nasional.
terdapat hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi, dan diamankan. Dalam masyarakat yang sedang
Menurut Sunaryati Hartono, pembangunan hukum
membangun, fungsi hukum harus dapat juga
dilakukan dengan terus menerus dan merupakan
membantu proses perubahan masyarakat, sehingga
proses yang tidak pernah selesai (never ending
hukum mempunyai peranan dalam proses pembaruan
process), karena setiap kemajuan akan menuntut
masyarakat.
perubahan-perubahan yang lebih maju dalam masyarakat yang terus berubah-ubah. Makna dari pembangunan hukum tersebut, meliputi:3 a. Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih
4
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Binacipta, Bandung, tanpa tahun, hlm.14. Lihat pula Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni Bandung, 2006, hlm.3.
5
Ibid, hlm. 15.
6
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep ….. Op.cit., hlm.13.
baik);
3
CFG. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1988, hlm.
45
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Latar belakang konsepsi hukum sebagai alat atau
kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh
sarana pembaharuan disebabkan oleh beberapa hal.
pembangunan atau pembaharuan.
Pertama, adanya tanggapan bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat perubahan
Disesuaikan pada situasi dan kondisi di Indonesia,
dalam masyarakat. Kedua, telah terjadi perubahan
konsepsi law as a tool of social engineering oleh
pemikiran tentang hukum dalam beberapa dasawarsa
Mochtar Kusumaatmadja dikembangkan menjadi
terakhir. Hukum bukan hanya kaidah tetapi juga
konsepsi hukum sebagai ”sarana” pembaharuan
merupakan gejala.
masyarakat Indonesia yang lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat
Peranan hukum dalam pembangunan untuk menjamin
kelahirannya. Hal tersebut dikarenakan beberapa
bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur
hal, yaitu:8
atau hukum sebagai alat pembaruan masyarakat.7 Perubahan yang teratur dapat dibantu oleh perundang-
a. Lebih menonjolnya perundang-undangan dalam
undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi
proses pembaharuan hukum di Indonesia,
dari keduanya. Perubahan yang teratur melalui
walaupun yurisprudensi juga memegang peranan,
prosedur hukum lebih baik daripada perubahan yang
berlainan dengan keadaan di Amerika Serikat
tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-
dimana teori Pound ditujukan terutama pada
mata, karena baik perubahan maupun ketertiban
peranan pembaruan daripada keputusan-
merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang
keputusan pengadilan, khususnya keputusan
sedang membangun, hukum menjadi suatu alat yang
Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi.
tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. b. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap Teori Hukum Pembangunan yang digagas oleh
kenyataan masyarakat menolak aplikasi mechanistis
Mochtar Kusumaatmadja, pada dasarnya
dari konsepsi law as a tool of social engineering.
memperkenalkan konsep hukum baru dengan
Aplikasi mekanistis demikian yang digambarkan
menyatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai
dengan kata tool akan mengakibatkan hasil yang
sarana pembaruan masyarakat. Pengertian hukum
tidak banyak berbeda dari penerapan legisme
menurut teori ini tidak hanya memandang hukum
yang dalam sejarah Hukum Indonesia (Hindia
sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang
Belanda) telah ditentang dengan keras. Dalam
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi
pengembangannya di Indonesia, konsepsi (teoretis)
harus pula mencakup lembaga dan proses yang
hukum sebagai alat atau sarana pembangunan
diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam
ini dipengaruhi pula oleh pendekatan-pendekatan
kenyataan.
filsafat budaya dari Northrop dan pendekatan policy oriented dari Laswell dan Mc. Dougal.9 Sifat
Pemikiran hukum sebagai sarana pembaharuan adalah
mekanistis nampak dengan digunakannya istilah
adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha
”tool” oleh Roscoe Pound. Itulah sebabnya
pembaruan atau pembangunan itu merupakan suatu
mengapa Mochtar Kusumaatmadja cenderung
yang diinginkan atau bahkan dipandang mutlak perlu,
menggunakan istilah ”sarana” daripada alat.10
dan hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan, dalam arti penyalur arah
7
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep ….. Op.cit., hlm.19 - 20.
46
8
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep ….. Op.cit., hlm.83-84.
9
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat ….. Op.cit., hlm.9.
10 Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002,.hlm.73.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
c. Apabila dalam pengertian hukum termasuk pula
Lebih lanjut, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan
hukum internasional kita di Indonesia sebenarnya
bahwa penggunaan hukum sebagai sarana
sudah menjalankan asas hukum sebagai alat
pembaharuan, akan lebih terasa daya kerjanya dalam
pembaruan jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan
bidang-bidang hukum yang sifatnya netral.12 Bidang
secara resmi sebagai landasan kebijaksanaan
hukum yang sifatnya netral akan dengan mudah
hukum. Dengan demikian, perumusan resmi itu
untuk mengadaptasi hukum asing dan mengikuti
sesungguhnya merupakan perumusan pengalaman
perkembangan yang terjadi di Negara lain, asalkan
masyarakat dan bangsa Indonesia menurut sejarah.
tidak bertentangan dengan Undang-Undang,
Perombakan hukum di bidang pertambangan
ketertiban dan kepatutan.
(termasuk minyak dan gas bumi); tindakan-tindakan di bidang hukum laut, nasionalisasi perusahaan-
Salah satu bidang hukum yang bersifat netral adalah
perusahaan milik Belanda dan tindakan lain di
Hukum Perbankan yang merupakan bagian dari
bidang hukum sejak Tahun 1958 yang bertujuan
Hukum Ekonomi, sehingga hukum sebagai sarana
mengadakan perubahan-perubahan mendasar
pembaharuan akan berperan besar dalam Hukum
merupakan perwujudan dari aspirasi bangsa
Perbankan. Pelaksanaan pembangunan hukum
Indonesia yang dituangkan dalam bentuk hukum
nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap
dan perundang-undangan.
tujuan yang ingin dicapai, sehingga pembangunan hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat
Berdasarkan hal tersebut di atas, walaupun secara
bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara
teoritis konsepsi hukum yang melandasi kebijaksanaan
nasional.13
hukum dan perundang-undangan dapat diterangkan menurut peristilahan teori masa kini yang berkembang
Beberapa masalah dalam penerapan Teori Hukum
di Eropa dan Amerika Serikat, namun hakikatnya
Pembangunan, dalam pembaharuan hukum melalui
konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan lahir
perundang-undangan, adalah kesulitan untuk secara
dari masyarakat Indonesia sendiri berdasarkan
rasional dan pasti menetapkan prioritas yang sesuai
kebutuhan yang mendesak dan dipengaruhi faktor-
dengan kebutuhan masyarakat, dan untuk menyusun
faktor yang berakar dalam sejarah masyarakat dan
hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran
bangsa Indonesia.
hukum masyarakat.
Pembangunan bidang hukum harus dapat dan mampu
Fungsi hukum dalam pembangunan nasional, untuk
mengikuti perkembangan masyarakat yang sedang
menjamin adanya kepastian dan ketertiban
berkembang ke arah modernisasi. Pembangunan
digambarkan dengan ungkapan sebagai ”sarana
hukum juga harus mampu menampung semua
pembaharuan masyarakat” atau ”sarana
kebutuhan pengaturan kehidupan masyarakat
pembangunan” mempunyai pokok-pokok pikiran:
berdasarkan tingkat kemajuan masyarakat dalam
(1) adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha
semua bidang. Bagi Indonesia sendiri, hukum berperan
pembangunan atau pembaruan itu merupakan suatu
sebagai sarana pembangunan, yaitu hukum harus
yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak)
mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan serta tahapan pembangunan disegala bidang, sehingga dapat diciptakan ketertiban dan kepastian hukum untuk menjamin serta memperlancar
12 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat ….. Op.cit., hlm.16. Lihat pula Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep …..Op.cit., hlm.38-39.
pelaksanaan pembangunan.11 11 Komar Kantaatmadja, Peran Dan Fungsi Profesi Hukum Dalam UndangUndang Perpajakan, Makalah, Juli 1985.
13 Ady Kusnadi, Penelitian Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional), FH-UNPAD, Bandung, 2008, hlm.189.
47
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
perlu; (2) hukum dalam arti kaidah atau peraturan
norma tersebut tidak sejalan dengan orientasi dan
hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur)
mimpi mereka. Itu sebabnya sebagian ahli hukum16
atau sarana
pembangunan14
dalam arti penyalur arah
mengatakan bahwa kehidupan hukum lebih
kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh
merupakan sebuah mitos, bahkan kepastian dan
pembangunan atau pembaruan.
kemanfaatan hukum hanyalah mitos yang indah.
Pembangunan hukum tidak identik dan tidak boleh
Pemahaman mengenai fungsi hukum dalam
diidentikkan dengan pembangunan Undang-Undang
masyarakat sangat diperlukan, karena sebagian
atau peraturan perundang-undangan menurut istilah
masyarakat menganggap hukum dan penggunaannya
yang lazim digunakan di Indonesia. Membentuk
tidak dapat dipercaya, sementara sebagian masyarakat
Undang-Undang sebanyak-banyaknya, tidaklah berarti
lain masih mendengungkan “the rule of law” dengan
sama dengan membentuk hukum. Pembentukan
harapan segala sesuatu akan beres kembali dan
Undang-Undang hanya bermakna pembentukan
tercapai masyarakat yang damai. Fungsi hukum dalam
norma hukum. Padahal tatanan sosial, ekonomi
masyarakat dapat dijawab melalui tujuan hukum.
budaya, dan politik bukanlah tatanan normatif semata, karena itu diperlukan ruh tertentu agar tatanan
Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban.
tersebut memiliki kapasitas. Norma hukum hanya
Kebutuhan akan ketertiban merupakan syarat pokok
merupakan salah satu bagian dari kehidupan hukum.
bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Ketertiban merupakan suatu fakta obyektif yang
Meminjam konsep Lawrence
Friedman,15
norma
berlaku bagi seluruh masyarakat manusia dalam
hukum adalah aspek substansial hukum. Di samping
segala bentuk. Hal tersebut, mengingat manusia
substansi hukum terdapat struktur dan kultur hukum.
selalu hidup di masyarakat dan hukum merupakan
Struktur merujuk pada lembaga pembentukan dan
pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga
pelaksana hukum (penegak hukum) dan kultur hukum
pemeo Romawi “ubi societas ibi ius” sangat tepat
merujuk pada nilai, orientasi, dan harapan atau mimpi-
untuk menggambarkan hal ini.
mimpi orang tentang hukum. Aparatur dan model hukumlah yang harus dijadikan fokus pembangunan
Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan,
hukum. Artinya pembentukan, tata kelola, tata nilai,
sehingga harus diusahakan terwujudnya kepastian
orientasi, dan mimpi-mimpi orang tentang hukum
dalam masyarakat, yang pada akhirnya akan tercapai
harus menjadi prioritas utama.
suatu masyarakat yang berkehidupan teratur. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang
Walaupun norma-norma hukum yang terdapat dalam
dijelmakan oleh hukum, manusia tak mungkin
setiap Undang-Undang secara positif dianggap
mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang
merupakan panduan nilai dan orientasi dari setiap
diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di dalam
orang, namun secara empiris selalu saja terlihat cacat
masyarakat tempat masyarakat tersebut hidup.17
celahnya. Perilaku orang tidak selalu sejalan dengan norma-norma yang ada dalam Undang-Undang.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
Penyebabnya sangat beragam, diantaranya adalah
hukum yang hidup dalam masyarakat.18 Dalam suatu
14 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat ….. Op.cit., hlm. 13.
16 Ibid., hlm. 5.
15 Margarito Kamis, “Arah Pemikiran Pembangunan Hukum Pasca Perubahan UUD 1945”, 28 Maret 2007, hlm.5, melalui http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view &id=234&Itemid=76 (12/12/2009)
17 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan.….Op.cit., hlm. 2 - 3.
48
18 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan….Op.cit., hlm. 8
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
masyarakat dalam masa transisi, perubahan terjadi pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
3. Kepastian Hukum Dalam Sistem Perbankan Nasional.
Pembangunan nasional yang terpenting bukanlah pembangunan secara fisik, tetapi perubahan yang
Negara Indonesia adalah Negara berdasarkan atas
sedang terjadi pada anggota masyarakat dan nilai-
hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan, demikian
nilai yang mereka anut. Sehingga, hakikat dari
sebagaimana di tegaskan Undang-Undang Dasar
pembangunan nasional adalah masalah pembaruan
1945, yang berarti bahwa Negara Kesatuan Republik
cara berpikir dan sikap hidup. Selanjutnya harus dipilih
Indonesia adalah nagara hukum (Recht staat) yang
nilai-nilai yang akan diadopsi oleh hukum di Indonesia.
mana tindakan-tindakan pemerintah maupun
Perkembangan dan pembaharuan suatu negara
lembaga-lembaga lain termasuk warga masyarakat
dipelopori oleh Pemerintah, maka hukum memegang
harus berdasarkan hukum. Secara umum hukum
peranan dalam proses pembaharuan ini, karena segala
merupakan ketentuan tata tertib yang berlaku dalam
tindakan Pemerintah akan berwujud pembentukan
masyarakat, dimana hukum tersebut dalam
peraturan perundang-undangan.
pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.
Hukum merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Sifat hukum pada dasarnya adalah
Keadilan dapat dijelaskan sebagai suatu keadaan jiwa
konservatif, artinya hukum bersifat memelihara dan
atau sikap. Keadilan bukanlah sesuatu yang bisa di
mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian
ubah-ubah melalui logika atau penalaran, melainkan
diperlukan dalam setiap masyarakat, karena ada hasil
melibatkan seluruh pribadi seseorang.19 Roscoe Pound
yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan.
menyatakan bahwa keadilan dikonsepkan sebagai
Disamping itu, dalam masyarakat transisi, hukum
hasil konkrit yang bisa di berikan kepada masyarakat.
berfungsi juga untuk membantu proses perubahan
Dimana menurut Roscoe Pound, bahwa hasil yang
masyarakat.
diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak- banyaknya dengan pengorbanan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, yang
sekecil-kecilnya, atau dengan kata lain semakin meluas/
kemudian sebagian pasal-pasalnya diubah dan
banyak pemuasan kebutuhan manusia tersebut, maka
ditambah dengan keluarnya Undang-Undang Nomor
akan semakin efektif menghindari pembenturan
3 Tahun 2004 dan terakhir dikeluarkan kembali
antara manusia.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia, sebagaimana Teori Hukum Pembangunan,
Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” mengatakan
bahwa hukum sebagai sarana pembaharuan
bahwa tujuan dari hukum adalah menghendaki
masyarakat, untuk itu dalam penyusunan Undang-
keadilan semata- mata dan isi dari pada hukum
Undang tentang Bank Indonesia tersebut merupakan
ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang
sebagai produk hukum yang disepakati Pemerintah
dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil.
bersama DPR, dilakukan karena adanya kondisi yang
Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan
mengharuskan adanya pembaharuan hukum dalam
luhur ialah keadilan dengan memberikan kepada tiap-
instrumen Hukum Perbankan yang memberikan
tiap orang apa yang berhak ia terima serta memerlukan
kedudukan independen kepada Bank Indonesia,
peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Untuk
dengan pertimbangan penerbitan Undang-Undang
terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini
tersebut adalah untuk memelihara kesinambungan
hukum harus membuat apa yang dinamakan
pelaksanaan pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
19 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 1993, hlm. 16.
49
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
“Algemeene Regels” (Peraturan/Ketentuan umum),
iklim berusaha yang baik agar kegiatan ekonomi
dimana peraturan/ketentuan umum tersebut
dapat berjalan dengan pasti, aman dan efisisen,
diperlukan masyarakat demi kepastian hukum.20
dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat. Sasaran reformasi penegakan hukum adalah tercapainya
Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin
suasana dan kepastian keadilan melalui penegakan
ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat karena
hukum (rule of law) dan terjaganya ketertiban umum.
kepastian hukum ( peraturan/ketentuan umum) mempunyai sifat yaitu adanya paksaan dari luar
Tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan
(sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan
ketertiban (order). Tujuan tersebut sejalan dengan
dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara
fungsi utama hukum, yaitu mengatur. Ketertiban
alat- alatnya, serta Sifat Undang- Undang yang berlaku
merupakan syarat dasar bagi adanya suatu masyarakat.
bagi siapa
saja.21
Kebutuhan akan ketertiban merupakan fakta dan kebutuhan objektif bagi setiap masyarakat manusia.22
Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, yang tidak mempersoalkan apakah sikap batin
Sebagian besar para ahli hukum menyatakan bahwa
seseorang itu baik atau buruk, dan yang diperhatikan
“kepastian hukum” sebagai tujuan hukum, dimana
adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian
ketertiban atau keteraturan, tidak mungkin terwujud
hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang
tanpa adanya garis-garis perilaku kehidupan yang
mempunyai sikap bathin yang buruk, akan tetapi
pasti. Keteraturan hanya akan ada jika ada kepastian
yang di beri sanksi adalah perwujudan dari sikap
dan untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat
bathin yang buruk tersebut atau menjadikannya
dalam bentuk yang pasti pula (tertulis).23 Kepastian
perbuatan yang nyata atau konkrit.
hukum yang dimaksud adalah kepastian yang fleksibel, bukan dalam arti dapat ditafsir secara luas,
Pada praktiknya apabila kepastian hukum di kaitkan
melainkan bersifat lengkap, konkrit, prediktif dan
dengan keadilan, maka akan kerap kali tidak sejalan
antisipatif.24 Masyarakat mengharapkan adanya
satu sama lain. Hal tersebut di karenakan di suatu
kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian
sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan
hukum, masyarakat akan lebih tertib. Oleh karenanya,
prinsip-prinsip keadilan dan sebaliknya tidak jarang
maka hukum bertugas menciptakan kepastian hukum
pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian
yang tujuan akhirnya adalah ketertiban masyarakat.25
hukum. Kemudian apabila dalam praktiknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan,
Adanya aturan-aturan yang dibuat oleh negara
maka keadilanlah yang harus diutamakan. Alasannya
menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani
adalah bahwa keadilan pada umumnya lahir dari hati
atau melakukan tindakan terhadap individu serta
nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum
pelaksanaan dari aturan tersebut menimbulkan
lahir dari sesuatu yang konkrit.
kepastian hukum.26 Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu:27
Penegakkan Hukum merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dan sangat penting dalam menjaga sistem demokrasi yang berkualitas dan juga mendukung
22 Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 127. 23 Ibid. 24 Ibid.
20 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 28. 21 R. Soeroso, Op.cit, hlm. 29.
50
25 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm. 141. 26 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 158. 27 Ibid.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
a. Adanya aturan yang bersifat umum membuat
Perundang-undangan adalah salah satu metoda dan
individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan
atau tidak boleh dilakukan;
mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-
b. Adanya keamanan hukum bagi individu dari
cita yang diharapkan. Dalam praktik memang demikian
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
yang dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang,
aturan yang bersifat umum tersebut individu dapat
karena saat ini kekuasaan pembentuk Undang-Undang
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
adalah terutama memberikan arah dan menunjukkan
dilakukan oleh negara terhadap individu.
jalan bagi terwujudnya cita-cita kehidupan bangsa melalui hukum yang dibentuknya.29
Masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-
Dunia perbankan memiliki hubungan yang sangat
kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan
erat dengan maju mundurnya perekonomian suatu
masyarakat juga menginginkan agar terdapat
negara. Jika sistem perbankan suatu negara sehat,
peraturan-peraturan yang memberikan jaminan
maka akan dapat menunjang pembangunan ekonomi.
kepastian dalam hubungan individu satu sama lain.
Sebaliknya, apabila sistem perbankan suatu negara
Dengan demikian, hukum dituntut untuk memenuhi
tidak sehat akan berdampak tidak baik bagi
berbagai karya dan oleh Gustav Radbruch di dalam
pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, terwujudnya
hukum tersebut harus mengandung Nilai-nilai dasar.
suatu sistem perbankan yang sehat perlu terus
Adapun nilai-nilai dasar tersebut disamping berupa,
dilakukan secara berkesinambungan yang berdampak
keadilan dan kegunaan juga terdapat kepastian
pada terwujudnya kepastian hukum dalam
hukum. Selanjutnya, yang utama bagi kepastian
pelaksanaan kegiatan perbankan di Indonesia melalui
hukum adalah adanya peraturan itu
sendiri.28
prinsip kehati-hatian.
Indonesia sebagai Negara hukum (Rechtsstaat/the
Lembaga yang bertanggungjawab dalam mewujudkan
rule of law), sebagaimana yang telah ditegaskan
sistem perbankan nasional yang sehat adalah Bank
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen ke 4)
Sentral.30 Kewenangan Bank Sentral dalam melakukan
bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Ide dasar
pembinaan dan pengawasan bank adalah sebagai
negara hukum Indonesia tidak terlepas dari ide dasar
alat atau sarana untuk mewujudkan sistem perbankan
tentang ‘rechtsstaat” atau Negara Hukum yang dianut
yang sehat, yang menjamin dan memastikan
oleh Belanda yang meletakkan dasar perlindungan
dilaksanakannya segala bentuk Peraturan perundang-
hukum bagi rakyat pada asas legalitas, yaitu semua
undangan yang terkait dalam penyelenggaraan usaha
harus bersifat positif, hal tersebut berarti hukum harus
bank oleh lembaga perbankan yang bersangkutan.
dibentuk secara sadar. Dalam upaya meningkatkan pemberdayaan perbankan Dalam suatu rechtsstat yang modern, fungsi peraturan
nasional khususnya di dalam pelaksanaan
Perundang-undangan bukanlah hanya memberikan
perekonomian Indonesia, Bank Indonesia dapat
bentuk kepada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersikap lebih tegas untuk melakukan pembinaan
berlaku dan hidup dalam masyarakat, dan Undang-
dan pengawasan terhadap semua lembaga perbankan
Undang bukanlah hanya sekedar produk fungsi negara
di Indonesia tanpa adanya campur tangan dari pihak
di bidang pengaturan. Selanjutnya, Peraturan
29 Endang Sutrisno, Bunga Rampai : Hukum Dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 104-105. 28 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 19.
30 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Op.cit, hlm. 164
51
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
lain (per 1 Januari 2014 beralih ke OJK). Di samping
mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan
itu, Bank Indonesia dapat lebih independen dan tegas
peraturan, memberikan dan mencabut izin atas
untuk melaksanakan penegakan hukum (law
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank,
enforcement) yang juga diikuti dengan penerapan
melaksanakan pengawasan Bank dan mengenakan
sanksi-sanksi berkaitan dengan pembinaan perbankan
sanksi terhadap Bank yang tidak mematuhi peraturan
di Indonesia.
perbankan yang berlaku.
Bank Indonesia sebagai lembaga yang independen
Demikian pula di bidang Hukum Perdata dalam
mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan
membangun sistem hukum perbankan nasional yang
melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya
bertujuan untuk mengatur agar kegiatan usaha bank
sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-Undang
selaku lembaga intermediasi dapat dilakukan secara
tentang Bank Indonesia. Fungsi pembinaan dan
berhati-hati (prudent), aman, dan sehat, dipengaruhi
pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia
oleh filosofi usaha bank sebagai intermediary institution
terhadap lembaga perbankan nasional di Indonesia
(lembaga intermediasi) dan dianutnya doktrin dalam
dimaksudkan untuk menciptakan sistem perbankan
penyelenggaraan usaha perbankan yang sehat seperti
yang sehat dengan memelihara kepentingan
prudent banking dan good corporate governance.
masyarakat dan menjaga agar perbankan dapat tumbuh secara wajar dan dapat bermanfaat bagi
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha bank
perekonomian nasional.
secara prudent atau hati-hati, serta untuk memberikan kepatian hukum, maka otoritas perbankan harus
Pengawasan dan penegakkan hukum (Law
menerbitkan peraturan terkait dengan kehati-hatian
Enforcement) merupakan dua komponen yang tak
dalam pengelolaan bank dan mewajibkan bank untuk
terpisahkan dalam suatu sistem rule of law. Tidak
memenuhi peraturan prudential banking, terkait
akan ada law enforcement kalau tidak ada sistem
dengan ratio-ratio pengukuran tingkat likuiditas
pengawasan dan tidak akan ada rule of law kalau
bank, seperti Capital Adequacy Ratio (CAR), Batas
tidak ada law enforcement yang memadai. Jika hal
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), Kualitas Aktiva
ini di analogkan dengan sistem perbankan, maka
Produktif (KAP), dan Posisi Devisa Netto (PDN).31
pengawasan dan law enforcement dapat berperan dalam mengoptimalkan fungsi perbankan agar tercipta sistem perbankan yang sehat, baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional. Kebijakan perbankan yang komprehensif, transparan dan mengandung kepastian hukum antara lain berkaitan dengan pengaturan kepemilikan, kepengurusan, pembukaan kantor bank dan perluasan jaringan, perubahan kegiatan usaha Bank dan Badan Hukum bank, serta pencabutan izin usaha atas permintaan sendiri (pada saat ini masih merupakan kewenangan Bank Indonesia). Sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia
52
31 CAR adalah Modal dibagi dengan ATMR, atau rasio kecukupan modal bank yang merupakan pembagian jumlah modal dengan aktiva tertimbang menurut risiko. ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko) terdiri dari: Aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar risiko kredit yang melekat, dan beberapa pos dalam off balance sheet yang diberikan bobot sesuai dengan kadar risiko kredit yang melekat. BMPK adalah: Prosentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank (lihat Pasal 1 angka (2) Peraturan Bank Indonesia No.7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum). Aktiva Produktif adalah: Penanaman dana bank baik dalam Rupiah maupun valuta asing dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, penyertaan, termasuk komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif. PDN adalah: Angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing dengan selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen maupun kontijensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta asing dinyatakan dalam Rupiah. (Dikutip dari Bank Indonesia, Booklet Perbankan Indonesia, hlm. 30, Jakarta, 2010).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Krisis moneter Tahun 1997 - 1998 dijadikan
merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan
pembelajaran mengenai arti pentingnya suatu
ekonomi dan akan memberikan dampak yang luas
perangkat hukum yang mampu berfungsi sebagai
bagi “reformasi” sistem ekonomi di seluruh dunia,
landasan hukum untuk mengupayakan penyelamatan
yang berdasarkan pada teori apa yang dibutuhkan
bank bermasalah dan sebagai perangkat hukum yang
untuk pembangunan dan bagaimana peranan hukum
mampu memberikan kepastian kepada para nasabah
dalam perubahan ekonomi.32 Hal tersebut juga dapat
serta meminimalkan kemungkinan terjadinya rush
diimplementasikan dalam sistem perbankan nasional,
(serbuan) terhadap individual bank serta sekaligus
dimana hukum pembangunan dalam kegiatan
berfungsi sebagai jaring pengaman bagi nasabah
perbankan menjadi suatu hal yang strategis dalam
penyimpan dana apabila suatu bank dinyatakan
menyikapi perkembangan perekonomian dunia
bermasalah dan pada akhirnya tidap dapat
khususnya dalam lingkup regional dan internasional.
diselamatkan lagi sehingga dinyatakan sebagai Bank gagal dan dicabut izin usahanya.
Pentingnya dikaji kembali teori hukum sebagai dasar dalam pembangunan dan peranan hukum dalam
Gejolak dalam lembaga keuangan khususnya bank,
pembangunan ekonomi tidak lain karena secara
merupakan salah satu sumber instabilitas. Oleh karena
umum pelaku ekonomi dalam memandang kegiatan
itu, krisis perbankan harus dicegah atau ditangani
perekonomian hanya pada pendekatan satu sisi saja,
untuk menghindarkan gangguan terhadap sistem
hal tersebut dapat dilihat pada kebijakan yang
pembayaran dan arus kelancaran penyaluran kredit
diterapkan oleh International Monetary Fund (IMF)
dalam kegiatan perekonomian. Terkait dengan hal
dan Bank Dunia (World Bank), dirasakan telah
tersebut di atas, maka upaya membangun sistem
mengakibatkan kebijakan ekonomi menjadi tidak
keuangan yang stabil memerlukan perangkat aturan
terkontrol yang kemudian terjadinya market shock.33
hukum (legal framework) yang mampu menjadi
Liberalisasi pasar keuangan tanpa disertai peraturan
landasan bagi penyelenggaraan fungsi bank sentral
hukum yang efektif dan memadai akan menyebabkan
secara utuh khususnya di Indonesia.
terjadinya instabilitas ekonomi dan dapat memicu suku bunga tinggi yang pada gilirannya akan
Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, dapat
menyulitkan sektor riil dan pelaku ekonomi menengah
dijelaskan bahwa dalam upaya melakukan
ke bawah.
perkembangan pembangunan hukum ekonomi nasional, khususnya yang berkaitan dengan
Selanjutnya Trubek juga menyatakan bahwa pada
pembangunan hukum perbankan, maka pembenahan
saat ini setiap negara membutuhkan suatu upaya
perangkat hukum dalam sektor perbankan di Indonesia
yang sistematis untuk memahami keterkaitan antara
sangat diperlukan untuk memberikan landasan bagi
hukum, sosial, ekonomi dan politik, jika tidak bisa
terselenggaranya pembangunan hukum secara
dilakukan secara komprehensif, konsistensi dan
keseluruhan. Perangkat hukum sistem perbankan
koherensi, akan berdampak pada terjadinya krisis
yang ada akan sangat berperan sebagai landasan
hukum (crisis of law).34
dalam pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan hukum perbankan dan hukum ekonomi secara keseluruhan serta memberikan kepastian hukum bagi para pengguna jasa perbankan di Indonesia.
32 David M. Trubek, “2002-2003, ELRC Annual Report: Law and Economic Development: Critiques and Beyond” disampaikan pada Spring Conference Harvard Law School, April 13-14 2003, hlm. 1. 33 Ibid.
David M. Trubek (Guru Besar dari University of Wisconsin) menyatakan bahwa “rule of law”
34 David M. Trubek, “Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of Law and Development”, The Yale Law Journal, (Vol. 82, 1 November 2000), hlm. 2.
53
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam upaya
4. Penutup
melakukan perkembangan dalam pembangunan nasional terutama yang berkaitan dengan
Konsep Hukum Pembangunan yang digagas oleh
pembangunan ekonomi, secara umum dapat
Mochtar Kusumaatmadja, pada dasarnya
dijelaskan bahwa keterkaitan antara regulasi/
memperkenalkan konsep hukum baru dengan
pengaturan sistem pengamanan keuangan untuk
menyatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai
menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia akan
sarana pembaruan masyarakat. Pemikiran hukum
berkorelasi pula dengan peranan Hukum perbankan
sebagai sarana pembaharuan adalah adanya
dalam Pembangunan Ekonomi secara keseluruhan.
keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembaharuan atau pembangunan itu merupakan
Membangun indsutri perbankan yang kuat dan sehat
suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang mutlak
adalah suatu prasyarat mutlak dalam perekonomian
perlu, dan hukum dalam arti kaidah atau peraturan
nasional, karena melalui peran intermediasi perbankan,
hukum memang dapat berfungsi sebagai alat
roda perekonomian dapat digerakkan lebih cepat,
pengatur atau sarana pembangunan, dalam arti
sistem kuangan dapat berjalan dengan maksimal,
penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang
sehingga stabilitas ekonomi juga dapat terpelihara.
dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.
Dengan demikian lembaga perbankan nasional harus
Pembangunan bidang hukum harus dapat dan mampu
dapat menjalankan kegiatan usahanya dengan
mengikuti perkembangan masyarakat yang sedang
mengedepankan prinsip prudensialitas serta
berkembang ke arah modernisasi. Pembangunan
diperlukan pula arah yang jelas dalam upaya
hukum juga harus mampu menampung semua
menciptakan indsutri perbankan yang sehat, kuat
kebutuhan pengaturan kehidupan masyarakat
dan efisen. Oleh karenanya dalam implementasi
berdasarkan tingkat kemajuan masyarakat dalam
kegiatan perbankan yang efektif sangat diperlukan
semua bidang. Bagi Indonesia sendiri, hukum berperan
regulasi yang efektif sebagai legal framework
sebagai sarana pembangunan, yaitu hukum harus
khususnya yang berkaitan dengan Kebijakan Bank
mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat
Indonesia dalam menjalankan fungsinya sebagai
kemajuan serta tahapan pembangunan disegala
lender of the last resort, dalam pemberian kebijakan
bidang, sehingga dapat diciptakan ketertiban dan
bantuan likuiditas terhadap penyelamatan perbankan
kepastian hukum untuk menjamin serta memperlancar
nasional sebagai upaya penyelematan perekonomian
pelaksanaan pembangunan. Penggunaan hukum
nasional sehingga tercipta kepastian hukum yang
sebagai sarana pembaharuan, akan lebih terasa daya
efektif sesuai dengan aturan dan norma-norma yang
kerjanya dalam bidang-bidang hukum yang sifatnya
ada.
netral. Bidang hukum yang sifatnya netral akan dengan mudah untuk mengadaptasi hukum asing dan
Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional
mengikuti perkembangan yang terjadi di Negara lain,
yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang
asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang,
hukum dan politik, mandiri di bidang ekonomi, dan
ketertiban dan kepatutan.
berkepribadian di bidang budaya. Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat
Salah satu bidang hukum yang bersifat netral adalah
merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi
Hukum Perbankan yang merupakan bagian dari
yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua
Hukum Ekonomi, sehingga hukum sebagai sarana
dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-
pembaharuan akan berperan besar dalam Hukum
anggota masyarakat.
Perbankan. Pelaksanaan pembangunan hukum nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap
54
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
tujuan yang ingin dicapai, sehingga pembangunan hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara nasional. Penggunaan hukum sebagai sarana pembaharuan, akan lebih terasa daya kerjanya dalam bidang-bidang hukum yang sifatnya netral. Bidang hukum yang sifatnya netral akan dengan mudah untuk mengadaptasi hukum asing dan mengikuti perkembangan yang terjadi di Negara lain, asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban dan kepatutan. Salah satu bidang hukum yang bersifat netral adalah Hukum Perbankan yang merupakan bagian dari Hukum Ekonomi, sehingga hukum sebagai sarana pembaharuan akan berperan besar dalam Hukum Perbankan. Pelaksanaan pembangunan hukum nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap tujuan yang ingin dicapai, sehingga pembangunan hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara nasional. Pengawasan dan penegakkan hukum (Law Enforcement) merupakan dua komponen yang tak terpisahkan dalam suatu sistem rule of law. Tidak akan ada law enforcement kalau tidak ada sistem pengawasan dan tidak akan ada rule of law kalau tidak ada law enforcement yang memadai. Jika hal ini di analogkan dengan sistem perbankan, maka pengawasan dan law enforcement dapat berperan dalam mengoptimalkan fungsi perbankan agar tercipta sistem perbankan yang sehat, baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.
55
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku: Adam Smith, An Inqury into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, Penguin Book, London, 1979, hlm. 397. Ady Kusnadi, Penelitian Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional), FH-UNPAD, 2008. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Pengetahuan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007. Anthony T. Kronman, The Lost Lawyer Failing Ideals of the Legal Profession, Harvard University Press, Cambridge, 1993. CFG. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1988. Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1991. Djuhaendah Hasan, Fungsi Hukum Dalam Perkembangan Ekonomi Global, Bandung, 2008. Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007. Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. John Rawls, Teori Keadilan, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2005. ---------------------------, Ilmu Dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia & LEKNAS-LIPI, Jakarta, 1984, hlm. 4 Kartharina Pistor dan Philip A. Wellon, et al, Asian Development Bank, The Rule of Law and Legal Institutions in Asian Economic Development 1960-2000, Oxford University Press, New York, 2001. Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993. ---------------, dan Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002. Meuwissen, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum (terjemahan B. Arief Sdharta), Refika Aditama, Bandung, 2007. Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2007.
56
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
------------------------, Politik Hukum Di Indonesia, LP3IS, Jakarta, 2001. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1996. ------------------------, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni Bandung, 2006. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, 1982. Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Little Brown Co, Boston, 1983. Richard B. Mc. Kenzie dan Gordon Tullock, Modern Political Economy, An Introduction to Economics, Mc Graw-Hill, Inc, New York, 1988. R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lectures on Jurisprudence, Liberty Fund, Indianapolis, 1982. Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 1998. Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung, 2006. Soerjanto Poespowardojo, Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Budaya Sebuah Pendekatan Filsafat, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1998.
B. Makalah, Jurnal dan Artikel Ilmiah: Anwar Nasution, Makalah tentang Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum dan Agenda Ke Depan, dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII – BPHN, 2004. Chairijah, Peran Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada Pelatihan Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2008. David M. Trubek, “2002-2003, ELRC Annual Report: Law and Economic Development: Critiques and Beyond” disampaikan pada Spring Conference Harvard Law School, April 13-14 Tahun 2003. ------------------------, “Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of Law and Development”, The Yale Law Journal, (Vol. 82, 1 November 2000). Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Makalah, Jakarta, 2004 Komar Kantaatmadja, Peran Dan Fungsi Profesi Hukum Dalam Undang-Undang Perpajakan, Makalah, Juli 1985.
57
Halaman ini sengaja dikosongkan
PRINSIP PARATE EXECUTIE DALAM HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI Oleh : Rumawi*
1. Latar Belakang Masalah
Dasar Pokok-pokok Agraria (sering disebut dengan UUPA), yang semua tidak dikenal dalam hukum adat
Sebelum lahir UUHT, ada dua hak jaminan yaitu hak
maupun KUH Perdata. Hak tanggungan dapat
jaminan hipotik dan hak jaminan Credietverband.
dibebankan terhadap hak milik, hak guna usaha, dan
Hal ini disebabkan tanah masih dibedakan dari hak-
hak guna bangunan,3 sebagaimana tercantum dalam
hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak
Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1960. Atas dasar amanat
barat yang tunduk pada ketentuan-ketentuan hipotik
tersebut, terbitlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun
yang diatur dalam KUH Perdata, dan hak-hak atas
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
tanah yang berasal dari konversi hak-hak Indonesia
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang
asli (adat), yang tunduk pada ketentuan-ketentuan
terkenal dengan sebutan UUHT.
Credietverband yang diatur dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-190.1
UUHT ditetapkan dengan pertimbangan yang mendasar,
Ketentuan-ketentuan tentang Hipotik diatur dalam
seperti yang termaktub dalam konsideransnya.
Buku II KUH Perdata dan Credietverband dalam S.
Pertimbangan tersebut meliputi pertimbangan filosofis
1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-
yuridis dan filosofis sosiologi. Pertimbangan filosofi
190, sepanjang mengenai pembebanan hak
yuridis, yaitu UUHT sebagai pelaksanaan amanat Pasal
tanggungan atas hak-hak atas tanah dan benda-
51 UUPA, dan pertimbangan filosofi sosiologis4 yaitu
benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak
pertama, bahwa ketentuan-ketentuan tentang Hipotik
berlaku lagi dan diganti dengan UUHT.2
dalam KUH Perdata dan Credietverband dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S.1937-
Hak Tanggungan merupakan suatu istiah baru dalam
190, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
hukum jaminan yang dipopulerkan dalam Undang-
kebutuhan perkembangan perkreditan dalam tata
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
ekonomi Indonesia. Kedua, untuk penyesuaian perkembangan pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah sehingga selain hak milik, hak guna usaha,
*
dan hak guna bangunan, juga hak pakai atas tanah
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember, dan bekerja pada Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kabupaten Lumajang, Jawa Timur; Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
1
Herowati Poesoko, Kepastian Hukum Parate executie Dalam UndangUndang Hak Tanggungan, Jurnal Yustika, Volume 10 Nomor 2 Desember 2007, hlm. 172.
2
Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.
tertentu, yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahkan, dapat dibebani hak tanggungan.
3
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
4
Rachmadi Usman, 1998, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Jakarta: Djambatan, hlm. 42.
59
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Dengan kata lain, UUHT yang disahkan dan
2. Rumusan Masalah
diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 April 1996 sebagai realisasi dari Rancangan Undang-undang
2.1 Apa Yang Dimaksud Pemegang Hak Tanggungan
(RUU) Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
Pertama Dapat Menjual Atas Kekuasaan Sendiri
benda yang berkaitan dengan tanah. Pemerintah
Terhadap Objek Hak Tanggungan Secara Lelang?
dalam penjelasan mengenai RUU tersebut yang
2.2 Apakah Pemegang Hak Tanggungan Pertama
disampaikan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala
Dapat Menjual Atas Kekuasaan Sendiri Terhadap
Badan Pertahanan Nasional tanggal 15 September
Objek Hak Tanggungan Tanpa Melalui Lelang?
1996 disebutkan untuk memenuhi tuntutan
2.3 Mengapa Dalam Praktik Parate Executie Yang
pembangunan dan melaksanakan amanat UUPA.
Diberikan Kepada Pemegang Hak Tanggungan
Dua alasan itu yang menjadi latar belakang RUU
Sulit Dilaksanakan?
tersebut.5 3. Pembahasan Masalah Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan
3.1 Pemegang Hak Tanggungan Pertama Dapat
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek
Menjual Atas Kekuasaan Sendiri Terhadap Objek
Hak Tanggungan yang bersangkutan, dan Pemegang
Hak Tanggungan Secara Lelang
Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang
berpiutang.6
Pemegang hak tanggungan pertama dapat menjual
Kreditur pemegang hak tanggungan
atas kekuasaan sendiri terhadap objek hak
yang pemenuhan piutang didahulukan dari piutang-
tanggungan artinya pemegang hak tanggungan
piutang yang lain disebut kreditur preferen. Dan
baik orang perseorangan atau badan hukum yang
sebaliknya, kreditur konkuren yaitu kreditur yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang
kedudukannya sama berhak dan tak ada yang harus
sebagai pemegang hak tanggungan pertama
didahulukan dalam pemenuhan
piutangnya.7
Apabila
mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan
debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan
sendiri terhadap objek hak tanggungan melalui
pertama mempunyai hak untuk menjual atas
pelelangan umum serta mengambil pelunasan
kekuasaan sendiri terhadap objek Hak Tanggungan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dengan
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
kata lain ”suatu penjualan yang berada di luar
piutangnya.8
wilayah hukum acara dan tidak perlu ada penyitaan, tidak melibatkan juru sita, kesemuanya dilaksanakan seperti orang yang menjual barang sendiri di depan umum.”9 Kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri dalam hal debitur wanprestasi oleh kreditur pemegang hak tanggungan pertama
5
6
Zulkarnain Situmpul, Jaminan Kredit Kendala dan Masalah, Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk, diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.
bisa dilaksanakan eksekusi terhadap objek hak
Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.
dalam hukum acara perdata, tidak perlu ada sita
7
Netty Endrawati, Eksekusi Hak Tanggungan Oleh Kreditur Preferen Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, tt., tp.
8
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.
tanggungan tanpa harus minta fiat dari ketua pengadilan, tanpa harus mengikuti aturan main terlebih dahulu, dan karenanya tidak perlu
9
60
Menurut Pitlo dikutip dari Herowati Poesoko, 2008, Parate Executie Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Yogyakarta: Laksbang Pressindo, hlm. 242.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
melibatkan juru sita.10 Dengan kata lain, Pemberi
Selalu mengikuti objek yang dijaminkan, dalam
hak tanggungan adalah orang perorangan atau
tangan siapapun objek berada;16 3. Memenuhi
badan hukum yang mempunyai kewenangan
azas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
pihak ketiga serta memberikan kepastian hukum
objek hak tanggungan yang bersangkutan,
bagi para pihak yang berkepentingan;17 dan 4.
kewenangan yang sudah dimiliki ketika dilakukan
eksekusi mudah dan pasti dalam pelaksanaannya.18
pendaftaran hak tanggungan,11 sedang pemegang hak tanggungan adalah perorangan atau badan hukum sebagai pihak yang
berpiutang.12
Ada tiga ciri lagi dari hak tanggungan yang menyebabkannya mempunyai sifat sebagai hak kebendaan, sebagai lawan dari hak perorangan,
Hak tanggungan dinyatakan dalam UUHT, tertulis
yaitu:19 1. Mempunyai hubungan langsung
bahwa: hak tanggungan atas tanah beserta benda-
dengan/atas benda atau hak atas benda tertentu,
benda yang berkaitan dengan tanah, yang
yang benda atau hak atas benda itu merupakan
selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak
milik pemberi hak tanggungan; 2. Yang lebih tua
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, yaitu
sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang
menyangkut soal peringkat masing-masing hak
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
tanggungan dalam objek hak tanggungan dibebani
Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
dengan lebih dari satu hak tanggungan;20 dan 3.
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
Dapat dipindahkan/dialihkan kepada pihak lain.21
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
Pemegang hak tanggungan pertama sebagai
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor
kreditur yang diutamakan atau diistimewakan
lain.13
(preferen) merupakan kedudukan yang diberikan Hak Tanggungan. Dalam KUH Perdata, kreditur
Definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
dibedakan menjadi kreditur konkuren dan kreditur
pengertian hak tanggungan mempunyai tiga
preferen. Pasal 1131 KUH Perdata disebutkan
unsur, yaitu: 1. Merupakan hak jaminan untuk
bahwa segala kebendaan dari si berutang (debitur),
pelunasan utang; 2. Dapat dibebankan pada hak
baik yang bergerak maupun yang tak bergerak,
atas tanah, dengan atau tanpa benda di atasnya;
baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada
dan 3. Menimbulkan kedudukan didahulukan
di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk
daripada kreditor-kreditor
lain.14
segala perikatan yang dibuatnya. Hal ini berarti bahwa segala harta kekayaan orang perseorangan
Hak tanggungan sebagai bentuk jaminan yang
atau badan hukum menjadi jaminan untuk seluruh
kuat bagi kreditur karena beberapa hal: 1. Memberi
utang-utangnya, dalam hal pada saat jatuh tempo
kedudukan yang diutamakan bagi kreditor;15 2.
16 Pasal 7 UUHT. 10 J. Satrio,1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku II, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Hlm. 60; lihat juga J. Satrio,1997, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 212.
17 Pasal 11 jo. Pasal 13 UUHT. 18 Pasal 14 s/d 20 UUHT.
13 Pasal 1 butir 1 UUHT.
19 J. Satrio, 1997, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 237; juga Zulkarnain Situmpul, Jaminan Kredit Kendala dan Masalah, Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk, diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.
14 Subekti, 1985, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermasan, hlm. 40.
20 Pasal 5 UUHT.
15 Pasal 1 butir 1 UUHT.
21 Pasal 16 UUHT.
11 Pasal 8 ayat (1) dan (2) UUHT. 12 Pasal 9 UUHT.
61
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
utangnya dan lalai dalam memenuhi kewajiban
barangnya belum dibayar mendapat hak istimewa
terhadap krediturnya, maka kekayaan tersebut
terhadap hasil penjualan barang. Namun, menurut
dapat disita dan dilelang, yang hasil penjualannya
pasal tersebut pemegang gadai dan Hipotik
digunakan untuk pemenuhan kewajiban atau
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari
membayar hutang kepada krediturnya.
kreditur yang mempunyai hak istimewa tadi.
Namun, jaminan pelunasan utang dalam Pasal
Keistimewaan atau keutamaan yang dimiliki oleh
1131 KUH Perdata tidak diberi jaminan bahwa
pemegang gadai, Fidusia, Hipotik, dan hak
seorang kreditur akan mendapat pembayaran
tanggungan, dalam hal pihak debitur lalai dalam
penuh dari hasil lelang barang-barang debitur.
membayar utangnya atau wanprestasi/cidera janji.
Hal ini disebabkan ada kemungkinan hasil
Untuk memperoleh pelunasan atas piutangnya
penjualan lelang tidak cukup untuk membayar
kreditur tidak perlu menggugat melalui pengadilan,
para kreditur secara penuh sehingga terpaksa
bahkan bagi pemegang hak tanggungan pertama
harus menerima pembayaran menurut
mempunyai hak menjual atas kekuasaan sendiri
keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya
terhadap objek hak tanggungan melalui pelelangan
piutang masing-masing kreditur. Kreditur yang
di muka umum, yang dinamakan parate executie.
dikecualikan dari pembagian menurut prinsip keseimbangan tersebut adalah kreditur yang
Dalam praktik berlaku untuk pemberian Hipotik
mempunyai kedudukan diistimewakan. Oleh
dengan menggunakan Surat Kuasa Memasang
karenanya, ada dua jenis kreditur, yaitu kreditur
Hipotik, pemberian hak tanggungan dapat
yang piutangnya tidak diistimewakan yang disebut
dilakukan berdasarkan Surat Kuasa Membebankan
kreditur konkuren, dan kreditur yang piutangnya
hak tanggungan. Dalam praktiknya, Surat Kuasa
diistimewakan yang disebut kreditur preferen.
Memasang Hipotik fungsinya hanya untuk
Kreditur preferen akan mendapat pembayaran
mengamankan posisi kreditur kalau debitur lalai
lebih dahulu dari hasil penjualan barang-barang
dalam membayar utangnya sehingga jarang kreditur
debitur yang telah diikat sebagai jaminan, dan
yang benar-benar menggunakan surat kuasa
apabila terdapat sisa lebih nanti sisanya yang
tersebut untuk memasang hipotik. Hal yang sama
dibayarkan kepada kreditur konkuren menurut
sulitnya, jangka waktu berlakunya Surat Kuasa
prinsip keseimbangan secara proporsional sesuai
Membebankan Hak Tanggungan hanya satu bulan
dengan besar kecilnya
utang.22
untuk tanah yang sudah terdafdar atau tiga bulan untuk tanah yang belum terdaftar. Suatu hal yang
Di dalam Pasal 1133 KUH Perdata disebutkan
sangat beresiko bagi kreditur apabila Surat Kuasa
pihak-pihak yang berkedudukan sebagai kreditur
Membebankan Hak Tanggungan tidak segera
preferen, yaitu: 1. orang yang berpiutang yang
digunakan untuk memasang Hak Tanggungan.
mempunyai hak istimewa; 2. orang-orang pemegang gadai; dan 3. orang-orang pemegang
Hak tanggungan merupakan hak jaminan yang
Hipotik. Kreditur yang mempunyai hak istimewa
bersifat accessoir sehingga untuk pemberian hak
adalah kreditur yang piutangnya oleh undang-
tanggungan harus diperjanjikan dalam perjanjian
undang diberi kedudukan yang lebih tinggi
pokok, yaitu perjanjian utang-piutang yang dibuat
terhadap kreditur-kreditur lain karena sifatnya
antara kreditor dan debitur.23 Pemberian hak
piutang itu. Contoh penjual barang yang harga
tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta
22 Pasal 1132 KUH Perdata.
62
23 Pasal 10 ayat (1) UUHT.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat
yang baru.25 Peralihan piutang tersebut harus
Pembuat Akta Tanah (PPAT).24 Namun, kelahiran
didaftarkan pada Kantor Pertanahan yang akan
hak tanggungan bukan pada tanggal pembuatan
dicatat pada buku tanah hak atas tanah yang
APHT melainkan tanggal pendaftaran pada buku
menjadi objek hak tanggungan, yang selanjutnya
tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak
disalin ke dalam SHT, dan tanggal pendaftaran
tanggungan di kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
tersebut berlaku sebagai tanggal peralihan hak
Tanggal pendaftaran pada buku tanah sebagai
tanggungan bagi pihak ketiga.26
tanggal kelahiran hak tanggungan, juga penentu peringkat hak tanggungan apabila suatu objek
Hak tanggungan bersifat yang accessoir terhadap
dibebani lebih dari satu hak tanggungan. Hak
perjanjian pokok, apabila piutang yang dijamin
tanggungan yang didaftarkan lebih awal
dengan hak tanggungan hapus maka hak
mempunyai peringkatlebih tinggi dari hak
tanggungan juga menjadi hapus. Sebagai salah
tanggungan yang didaftarkan belakangan. Dalam
satu jenis perikatan, perjanjian kredit hapus karena
hal pendaftaran tersebut dilakukan pada hari
terjadi salah satu hal, dalam Pasal 1381 KUH
yang sama, maka peringkat masing-masing hak
Perdata, yaitu pembayaran secara sukarela atau
tanggungan ditentukan oleh tanggal pembuatan
proses eksekusi, penawaran pembayaran yang
APHT-nya. Penentuan peringkat hak tanggungan
diikuti dengan penitipan (konsinyasi), pembaharuan
sangat penting bagi kreditur karena semakin
utang (novasi), perjumpaan utang (konpensasi),
tinggi peringkatnya semakin tinggi pula
pencampuran utang, pembebasan utang,
kemungkinan untuk memperoleh pembayaran
musnahnya barang yang terutang, kebatalan atau
piutang secara penuh. Bagi pemegang hak
pembatalan perikatan. Di samping itu, hak
tanggungan mempunyai kedudukan sebagai
tanggungan hapus karena dilepaskan secara
peringkat pertama dapat memperoleh pelunasan
sukarela oleh pemegang hak tanggungan yang
piutang melalui parate executie.
dilakukan pernyataan tertulis dari pemegang hak tanggungan kepada pemberi hak tanggungan.
Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) yang diterbitkan
Hak tanggungan hapus karena pembersihan hak
Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota
tanggungan berdasarkan penetapan peringkat
sebagai bukti keberadaan hak tanggungan. SHT
oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pembersihan
yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN
tersebut dapat dilakukan atas permintaan pembeli
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”,
dari objek hak tanggungan kepada pemegang
yang memberi titel eksekutorial sehingga
hak tanggungan agar objek yang dibeli, dibebaskan
mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan
dari beban hak tanggungan yang melebihi harga
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
pembelian. Pembersihan dilakukan dengan
dan berlaku sebagai pengganti Grosse Akta Hipotik
pernyataan tertulis dari pemegang hak tanggungan
yang dapat dimintakan eksekusi ke pengadilan
yang menyatakan penghapusan beban hak
berdasarkan Pasal 258 RBg (Pasal 224 HIR).
tanggungan yang melebihi harga pembelian. Apabila objek hak tanggungan dibebani beberapa
Hak tanggungan bersifat accessoir terhadap
hak tanggungan, dan tidak terdapat kesepakatan
perjanjian pokok, apabila terjadi pengalihan
di antara para pemegang hak tanggungan untuk
piutang, misal cessie, subrogasi, atau pewarisan
membersihkan hak tanggungan yang melebihi
maka hak tanggungan juga beralih kepada kreditor
harga pembelian, maka pembeli objek hak
25 Pasal 16 ayat (1) UUHT. 24 Pasal 10 ayat (2) UUHT.
26 Pasal 16 ayat (2), (3) dan (5) UUHT.
63
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
tanggungan dapat mengajukan permohonan
menyatakan bahwa debitur dipandang cidera
kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah objek
janji apabila tidak mengembalikan pinjaman sesuai
hak tanggungan untuk ditetapkan pembersihan
dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang
dan sekaligus ditetapkan ketentuan pembagian
ditentukan. Ketentuan pasal tersebut, dapat
hasil penjualan lelang di antara kreditur, dan
disimpulkan bahwa seorang debitur dipandang
peringkatnya sesuai peraturan perundang-
cidera janji dalam hal: 1. Tidak mengembalikan
undangan yang berlaku. Pembersihan tersebut
pinjaman sama sekali, baik pinjaman pokok
tidak dapat dilakukan apabila pembelian dilakukan
maupun bunganya; 2. Mengembalikan pinjaman
dalam jual beli sukarela (diluar lelang eksekusi)
tetapi tidak sesuai dengan jumlah yang
atau ada janji untuk tidak dilakukan pembersihan
diperjanjikan; dan 3. Mengembalikan pinjaman
beban hak tanggungan yang melebihi harga
tetapi melewati waktu yang diperjanjikan.
penjualan, yang diperjanjikan dengan pemegang hak tanggungan pertama dalam APHT.
Ketentuan tentang cidera janji perlu diperhatikan, terutama dalam kasus kredit macet perbankan,
3.2 Pemegang Hak Tanggungan Pertama Menjual
karena biasanya di dalam perjanjian kredit
Atas Kekuasaan Sendiri Terhadap Objek Hak
perbankan pengembalian pinjaman tidak dilakukan
Tanggungan Tanpa Melalui Lelang
sekaligus melainkan dalam beberapa termin angsuran, yang setiap angsuran sudah ditentukan,
Eksekusi hak tanggungan diatur dalam Pasal 20
baik jumlah pinjaman yang harus dikembalikan
dan 21 UUHT. Pasal 20 ayat (1) dinyatakan sebagai
maupun waktu pengembalian. Seorang debitur
berikut:
pada waktu yang ditentukan tidak membayar
Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan:
angsuran atau membayar tetapi besarnya tidak
a. hak pemegang hak tanggungan pertama untuk
sesuai dengan perjanjian, atau membayar angsuran
menjual objek hak tanggungan sebagaimana
tetapi terlambat dari waktu yang ditentukan dalam
dimaksud dalam Pasal 6, atau b. titel eksekutorial
perjanjian, maka debitur telah melakukan cidera
sebagaimana terdapat dalam sertifikat hak
janji. Dalam keadaan seperti itu, apabila kreditur
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
menghendaki sudah dapat dilakukan proses
14 ayat 2, objek hak tanggungan dijual melalui
eksekusi sekalipun perjanjian kredit belum jatuh
pelelangan umum menurut tatacara yang
tempo. Sebelum dinyatakan cidera janji, debitur
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
harus diberi ingebrekestelling (peneguran) terlebih
untuk pelunasan piutang pemegang hak
dahulu oleh kreditur secara tertulis. Peneguran
tanggungan dengan hak mendahului kreditor-
harus diberitahukan dengan jelas apa yang dituntut
kreditor lainnya.
dan atas dasar apa, serta kapan diharapkan pemenuhannya.27 Namun, peneguran tidak
Ketentuan ayat ini, suatu hal pertama yang harus
diperlukan apabila ditentukan untuk tidak
dijelaskan kapan atau dalam hal apa seorang
diperlukan peneguran yang diatur dalam perjanjian
debitur disebut cidera janji. Hal itu harus dilihat
pokok.
pada perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit atau utang piutang (pinjam meminjam uang),
Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang
apabila diatur dalam perjanjian pokok, sesuai
yang diberikan pemegang hak tanggungan kepada
dengan Pasal 1338 KUH Perdata, ketentuan dalam perjanjian harus diperlakukan. Kalau dalam perjanjian pokok tidak diatur, maka berlaku ketentuan Pasal 1763 KUH Perdata, yang
64
27 R. Setiawan, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Binacipta, hlm. 17.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
debitur. Apabila debitur cidera janji, maka hak
4 Tahun 1996, dan hak gadai atau hak agunan
atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan
atas kebendaan lainnya. Pemegang hak
berhak dijual oleh pemegang hak tanggungan
tanggungan, ataupun pemegang hak gadai
tanpa persetujuan dari pemberi hak tanggungan,
ataupun pemegang hak agunan mempunyai hak
dan pemberi hak tanggungan tidak dapat
retensi.30 Oleh karenanya, pelaksanaan eksekusi
menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.
atas harta pailit di antaranya perlu memperhatikan
Untuk menjamin pelaksanaan penjualan dilakukan
hak-hak yang dimiliki oleh kreditur pemegang
secara jujur, diharuskan penjualan dilaksanakan
hak jaminan preferen atas kebendaan milik debitur
melalui pelelangan umum sesuai peraturan
pailit. Pemegang hak preferen memperoleh hak
perundang-undangan yang berlaku.
mendahului atas kreditur lain untuk perolehan pelunasan utang-utang debitur, dengan cara
Selain itu, Pasal 6 UUHT memberikan kewenangan
menjual secara lelang kebendaan yang dijaminkan
kepada pemegang hak tanggungan pertama untuk
kepada kreditur tersebut secara preferen. Kreditur
menjual atas kekuasaan sendiri terhadap objek
yang memegang hak jaminan atas kebendaan,
hak tanggungan melalui pelelangan umum serta
mempunyai hak separatis. Hak Separatis merupakan
mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan
hak yang diberikan oleh undang-undang kepada
apabila debitur cidera janji, dan tidak perlu meminta
kreditur pemegang hak jaminan bahwa barang
persetujuan terlebih dahulu dari pemberi hak
jaminan yang dibebani dengan hak jaminan tidak
tanggungan serta tidak perlu meminta penetapan
termasuk harta pailit.
dari Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk dilakukan eksekusi.28 Pemegang hak tanggungan
Kreditur pemegang hak tanggungan pertama
pertama cukup mengajukan permohonan kepada
berhak untuk melakukan menjual atas kekuasaan
kepala kantor lelang negara setempat untuk
sendiri yang diberikan oleh undang-undang
pelaksanaan pelelangan umum dalam rangka
sebagai manifestasi dari hak kreditur pemegang
eksekusi objek hak tanggungan. Kewenangan
hak jaminan untuk didahulukan dari para kreditur
pemegang hak tanggungan pertama merupakan
yang lainnya. Kreditur Separatis merupakan
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang,
kreditur yang tidak terkena akibat kepailitan,
artinya kewenangan tersebut dimiliki demi
artinya kreditur separatis tetap dapat melaksanakan
hukum.29 Oleh karenanya, Kantor Lelang Negara
hak-hak eksekusi meskipun debitur telah
harus menghormati dan mematuhi kewenangan
dinyatakan pailit. Pemegang hak jaminan atau
tersebut. Lembaga jaminan kebendaan memiliki
hak agunan merupakan kreditur yang mempunyai
ciri-ciri yang antara lain bersifat asesoir (pelengkap),
jaminan khusus atas kekayaan debitur berdasarkan
memberikan hak didahulukan (privilege), dan droit
perjanjian, misal hak tanggungan, hipotik, gadai
de suite yaitu selalu mengikuti bendanya dimana
dan fidusia.31
saat itu berada. Jaminan tersebut diantaranya hak tanggungan sebagaimana diatur dalam UU Nomor
Pemegang hak tanggungan pertama dapat menjual atas kekuasaan sendiri terhadap hak tanggungan tanpa melalui proses yang diatur Pasal 20 UUHT adalah batal demi hukum. Dalam
28 Arie Hutagalung, Praktek Pembebanan Dan Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Di Indonesia, Jurnal Hukum Dan Pembangunan, Tahun ke38 Nomor 2 April-Juni 2008, hlm. 163. 29 Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak tanggungan Asas-Asas KetentuanKetentuan Pokok dan masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung, hlm. 165.
Pasal 20 UUHT dinyatakan bahwa:
30 Pasal 1812 KUHPerdata. 31 Pasal 1133 BW.
65
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
(1) Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan:
Atas dasar pasal 20 UU Nomor 6 Tahun 1996,
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama
menjual objek hak tanggungan tanpa melalui
untuk menjual obyek Hak Tanggungan
proses sebagaimana diatur dalam Pasal 20 adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
batal demi hukum, meski pemegang hak
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana
tanggungan pertama pemegang hak tanggungan mempunyai kuasa menjual atas kuasa sendiri.
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan
3.3 Mengapa Dalam Praktik Parate Executie Yang
umum menurut tata cara yang ditentukan
Diberikan Kepada Pemegang Hak Tanggungan
dalam peraturan perundang-undangan
Sulit Dilaksanakan?
untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari
Parate executir hak dalam hak tanggungan
pada kreditor-kreditor lainnya.
diberikan oleh Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa: Apabila debitur cidera
(2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak
janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan
mempunyai hak untuk menjual obyek Hak
dapat dilaksanakan di bawah tangan jika
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
dengan demikian itu akan dapat diperoleh
pelelangan umum serta mengambil pelunasan
harga tertinggi yang menguntungkan semua
piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
pihak. Parate executie dalam hak tanggungan tersebut (3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud
sulit untuk dilaksanakan permohonan eksesuki.
pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
Ada beberapa Kantor Lelang Negara yang tidak
lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan
bersedia untuk melakukan lelang atas objek hak
secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang
tanggungan. Hal ini disebab oleh dua hal, yaitu
Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang
pertama, kerancuan dalam Undang-Undang Nomor
berkepentingan dan diumumkan sedikit-
4 Tahun 1996 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung.
dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar
Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 1996 mempunyai
di daerah yang bersangkutan dan/atau media
kekuatan kekuatan eksekutorial dan sebagai
massa setempat, serta tidak ada pihak yang
pengganti grosse acte Hypotheek. Pasal 14 Ayat
menyatakan keberatan.
5 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa: Sertipikat Hak Tanggunan sebagaimana dimaksud
(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak
pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial
Tanggungan dengan cara yang bertentangan
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan
memperoleh kekeuatan hukum tetap dan berlaku
ayat (3) batal demi hukum.
sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
(5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud
Eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang
pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan
ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie
pelunasan utang yang dijamin dengan Hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen
Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi
Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene
yang telah dikeluarkan.
Indonesisch Reglement). Sertipikat Hak Tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti grosse
66
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
acte Hypotheek, yang untuk eksekusi Hypotheek
Akta hipotek dan akta ikatan kredit tidak digantikan
atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam
dengan akta hak tanggungan, namun dengan
melaksanakan ketentuan pasal 224 HIR.32 Pasal
sertifikat hak tanggungan. Hal ini dapat ditelusuri
224 HIR dinyatakan bahwa:
pada peraturan-peraturan tahun 1960-an. Pada
Surat asli dari pada surat hipotik dan surat utang,
tahun tersebut grosse akta hipotek/credietverband
yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan
dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah,
yang memakai perkataan: "atas nama keadilan"
dan disertakan di sertifikat terkait untuk berlaku
di kepalanya, kekuatannya sama dengan surat
sebagai grosse akta.35 Tahun 1996 ditegaskan
putusan hakim. Dalam hal menjalankan surat yang
bahwa sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor
demikian, jika tidak dipenuhi dengan jalan damai,
Pertanahan, yang memuat irah-irah “Demi
maka dapat diperlakukan peraturan pada bagian
Keadilan …..” berlaku sebagai grosse menurut
ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksa
Pasal 224 HIR.36 Hal ini merupakan peran pembuat
badan hanya boleh dilakukan sesudah diizinkan
dan pendaftar akta yang pada masa kolonial
oleh putusan Hakim. Jika hal menjalankan putusan
menjadi tanggung jawab satu pihak yang sama,
itu harus dijalankan sama sekali atau sebagian di
yaitu Ketua Raad van Justitie (lihat Peraturan Balik
luar daerah hukum pengadilan negeri, yang
Nama/Overschrijvingsordonnantie, S. 1834-27,
ketuanya memerintahkan menjalankan itu, maka
terakhir diubah S. 1933-48jo.S.1938-2).37
peraturan-peraturan pada pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya dituruti.
Dalam putusannya, Pelelangan dengan parate execute yang dikemukakan oleh pemohon kasasi,
Menurut Pasal 224 HIR jelas bahwa grosse akta
Mahkamah Agung mempertimbangkan Bahwa
dapat langsung dieksekusi oleh kreditur dengan
berdasarkan Pasal 224 HIR, pelaksanaan pelelangan
meminta fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri
sebagai akibat adanya grosse akte hipotek dengan
dalam hal debirut wanprestasi. Grosse akta dapat
memakai kepala “Demi Keadilan Berdasarkan
langsung dieksekusi sebagaimana putusan hakim,
Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai
serta mekanisme eksekusi mengikuti eksekusi
kekuatan yang sama dengan suatu putusan
putusan hakim sesuai dalam HIR, yang meliputi
pengadilan, seharusnya dilaksanakan atas perintah
dengan peringatan kepada debitur, penyitaan,
dan pimpinan ketua pengadilan negeri apabila
dan penjualan.33 Grosse Akte Hipotek yang disebut
tidak terdapat perdamaian pelaksanaan.38 Di
dalam Pasal 224 HIR adalah syarat pelaksanaan
putusan lainnya, Mahkamah Agung mempunyai
parate eksekusi. Jika debitur wanprestasi, bagi
pendapat bahwa berdasar atas rasa keadilan
kreditur pemegang hipotek dapat meminta kepada
dengan berpedoman pada kreditur (pembukuan
ketua pengadilan negeri untuk diadakan apa yang
bank) pada saat kreditur mengajukan permohonan
disebut parate eksekusi. Dalam praktik, untuk
lelang eksekusi grosse akta hipotek kepada Ketua
melaksanakan parate eksekusi, ketua pengadilan
Pengadilan Negeri.39
negeri menuntut penyerahan grosse akte hipotek.34
32 Poin A.9 Penjelasan Atas UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. 33 Imam Nasima, Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna, http://hukumonline.com/berita/baca/lt4bce9ab50b7e9/titeleksekutorial-grosse-akta-ketika-nama-tuhan-tidak-lagi-bermakna--, diakses terakhir 23 Desember 2011. 34 Sebastian Pompe, dkk. (ed.), 2011, Penjelasan Hukum tentang Grosse Akte, Jakarta: Nasional Legal Reform Program, hal 52.
35 Pasal 7 Permen Agraria No. 15/1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hypotheek serta Credietverband 36 Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan 37 Imam Nasima, Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna, ibid. 38 Putusan Mahkamah Agung No. 3210/K/Pdt/1984, tanggal 30 Januari 1986. 39 Putusan Mahkamah Agung No. 2702.K/Pdt/1995, tanggal 28 Oktober 1998.
67
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Pendapat pengadilan untuk memeriksa dan menguji
ditindaklanjuti dengan penerbitan Undang-Undang
grosse akta yang dimintakan eksekusi yang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan,
akhirnya hak penerima hak tanggungan/pemegang
yang mencampuradukan antara pengertian parate
hipotek untuk melakukan parate executie menjadi
executie dengan eksekusi grosse akta. Hal ini
terbatas. Hal ini bukan permasalahan dalam ranah
menimbulkan kebingungan para pemegang hak
praktik sehari-hari. Kesalahan piker makna eksekusi
tanggungan yang telah memperjanjikan hak untuk
telah muncul dari penjelasan atas Undang-Undang
menjual atas kekuasaannya sendiri terhadap objek
No. 4 Tahun 1996 yang dinyatakan bahwa parate
hak tanggungan. Pertimbangan Putusan MA-RI
executie dan eksekusi dengan menggunakan
Nomor: 3201 K/Pdt/1984 yang menyatakan bahwa
grosse
akta.40
Dalam praktik ketentuan parate
penjualan objek jaminan tanpa melalui pengadilan
executie yang terdapat dalam Pasal 6 UU Nomor
merupakan perbuatan melawan hukum. Putusan
4 tahun 1996 tetap sulit dilaksanakan karena ada
tersebut berdampak ketakutan bagi para pelaksana
persyaratan dari kantor lelang yang sulit dipenuhi,
lelang untuk menerima permohonan pelelalangan
antara lain:
berdasarkan titel parate eksekusi dari para pemegang jaminan pertama.42
(a) Permohanan lelang tetap diperlukan fiat dari Kepala Pengadilan Negeri. Hal ini didasarkan pada
4. Kesimpulan
petunjuk Mahkamah Agung dalam Buku II Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 1994,
4.1. Pemegang hak tanggungan pertama dapat
yang menyatakan bahwa eksekusi harus atas
menjual objek hak tanggungan secara lelang
perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan
ketika debitur wanprstasi. Penjualan objek hak
negeri, yang ketentuan ini diberlakukan juga
tanggungan ini tidak perlu fiat dari ketua
terhadap eksekusi Hak Tanggungan sebagaimana
pengadilan, dan tidak perlu ada sita terlebih
dimaksud pada Putusan Mahkamah Agung
dahulu. Penjualan objek hak tanggungan ini juga
tanggal 30 Januari 1986 No. 3201K/Pdt/1984),
tidak perlu melibatkan juru sita. Objek hak
dan (b) Apabila tidak ada fiat dari Kepala Pengadilan
tanggungan dapat dijual oleh pemegang hak
Negeri, kantor lelang meminta syarat agar ada
tanggungan pertama secara langsung melalui
persetujuan harga limit lelang dari Pemberi Hak
kantor lelang.
Tanggungan kecuali ia sudah tidak diketahui lagi keberadaannya, dan ada surat pernyataan dari
4.2. Pemegang hak tanggungan pertama tidak dapat
Pemegang Hak Tanggungan untuk bertanggung
menjual objek hak tanggungan tanpa lelang
jawab bila ada gugatan di kemudian hari.41
kecuali dipenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UU HT dimungkinkan
Hal tersebut terjadi dilatarbelakangi oleh kekeliruan
penjualan di bawah tangan sehingga menjual
pikir para pembentuk undang-undang dan lembaga
objek tanggungan tanpa lelang dan tidak
peradilan dalam memahami dua lembaga eksekusi
memenuhi persyaratan Pasal 20 ayat (2) dan ayat
yaitu antara parate eksekusi dengan eksekusi
(3) UUHT di atas bertentangan dengan undang-
grosse akta. Yurisprudensi Mahkamah Agung
undang, maka penjualan objek hak tanggungan secara demikian batal demi hukum.
40 Imam Nasima, Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna, ibid. 41 Sebastian Pompe, dkk. (ed.), 2011, Penjelasan Hukum tentang Grosse Akte, ibid.
68
42 D.Y. Witanto, parate Eksekusi Vs Eksekusi Grosse Akta Dalam Lembaga jaminan Hak Tanggungan, http://www.pn-blambanganumpu.go.id/?p= 731, diakses terakhir 23 Desember 2011.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
4.3. Parate Executie yang diberikan oleh Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 dimandulkan oleh poin A.9 penjelasan UU No. 4 Tahun 1996, dan yurisprudensi Mahkamah Agung. Di sinilah terjadi konflik norma yang mengatur tentang parate executie, yang menimbulkan kesulitan dalam menerapkan peraturan perundangan-undangan untuk pelaksanaan parate executie.
69
DAFTAR PUSTAKA
Arie Hutagalung, Praktek Pembebanan dan Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Di Indonesia, Jurnal Hukum Dan Pembangunan, Tahun ke-38 Nomor 2 April-Juni 2008. D.Y. Witanto, parate Eksekusi Vs Eksekusi Grosse Akta Dalam Lembaga jaminan Hak Tanggungan, http://www.pnblambanganumpu.go.id/?p=731, diakses terakhir 23 Desember 2011. Herowati Poesoko, 2008, Parate Executie Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Yogyakarta: Laksbang Pressindo. Herowati Poesoko, Kepastian Hukum Parate executie Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, Jurnal Yustika, Volume 10 Nomor 2 Desember 2007. Imam Nasima, Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna, http://hukumonline.com/ berita/ baca/lt4bce9ab50b7e9/titel-eksekutorial-grosse-akta-ketika-nama-tuhan-tidak-lagi-bermakna--, diakses terakhir 23 Desember 2011. J. Satrio,1997, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I, Bnadung: PT. Citra Aditya Bakti. J. Satrio,1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku II, Bnadung: PT. Citra Aditya Bakti. Netty Endrawati, Eksekusi Hak Tanggungan Oleh Kreditur Preferen Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, tt., tp. Penjelasan Atas UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah Permen Agraria No. 15/1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hypotheek serta Credietverband. Putusan Mahkamah Agung No. 2702.K/Pdt/1995, tanggal 28 Oktober 1998. Putusan Mahkamah Agung No. 3210/K/Pdt/1984, tanggal 30 Januari 1986. R.Setiawan, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Binacipta. Rachmadi Usman, 1998, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Jakarta: Djambatan. Sebastian Pompe, dkk. (ed.), 2011, Penjelasan Hukum tentang Grosse Akte, Jakarta: Nasional Legal Reform Program, hal 52.
70
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
Subekti, 1985, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermasan. Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Zulkarnain Situmpul, Jaminan Kredit Kendala dan Masalah, Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk, diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.
71
Halaman ini sengaja dikosongkan
72
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) SEPTEMBER - DESEMBER 2012 No. Peraturan
Tanggal
Satker
Perihal
14/12/PBI/2012
15 Oktober 2012
DPNP
Laporan Kantor Pusat Bank Umum
14/13/PBI/2012
16 Oktober 2012
DPU
Penitipan Sementara Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia
14/14/PBI/2012
22 Oktober 2012
DPNP
Transparansi dan Publikasi Laporan Bank (mengubah PBI No.3/22/PBI/2001 tentang Transparansi dan Kondisi Keuangan Bank)
14/15/PBI/2012
24 Oktober 2012
DPU
Penilaian Kualitas Aset Bank Umum
14/16/PBI/2012
23 November 2012
DPNP
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum
14/17/PBI/2012
23 November 2012
DPNP
Kegiatan Usaha Bank berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust)
14/ 18 /PBI/2012
28 November 2012
DPNP
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
14/19/PBI/2012
30 November 2012
DKBU
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/20/PBI/2003 Tentang Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia Dalam Rangka Kredit Program
14/20/PBI/2012
17 Desember 2012
DbPS
Perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah
14/21/PBI/2012
21 Desember 2012
DSM
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa
14/22/PBI/2012
21 Desember 2012
DKBU
Pemberian Kredit Atau Pembiayaan dan Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
14/23/PBI/2012
26 Desember 2012
DASP
Transfer Dana
14/24/PBI/2012
26 Desember 2012
DPNP
Kepemilikan tunggal Pada Perbankan Indonesia
73
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Satker
Perihal
14/25/PBI/2012
27 Desember 2012
DSM
Penerimaan Devisa Ekspor dan penarikan Devisa Utang Luar Negeri
14/26/PBI/2012
27 Desember 2012
DPNP
Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Bardasarkan Modal Inti Bank
14/27/PBI/2012
74
28 Desember 2012
DPNP
Penerapan program APU PPT Bagi Bank Umum
DAFTAR SURAT EDARAN EKSTERN (SE) BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2012 No. Peraturan
Tanggal
Satker
Perihal
14/25/DPbS
12 September 2012
DPbS
Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
14/26/DKBU
19 September 2012
DKBU
Pedoman Kebijakan Dan Prosedur Perkreditan Bagi Bank Perkreditan Rakyat
14/27/DASP
25 September 2012
DASP
Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit
14/28/DPM
27 September 2012
DPM
Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Standing Facilities Syariah
14/29/DPU
18 Oktober 2012
DPU
Tata Cara Penitipan Sementara Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia
14/30/DInt
22 Oktober 2012
DInt
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank
14/31/DPNP
31 Oktober 2012
DPNP
Laporan Kantor Pusat Bank Umum
14/32/DPM
7 November 2012
DPM
Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah
14/33/DPbS
27 November 2012
DPbS
Penerapan Kebijakan Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah dan Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
14/34/DASP
27 November 2012
14/35/DPNP
10 Desember 2012
DASP
Batas Maksimum Suku Bunga Kartu Kredit Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia
75
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Satker
Perihal
14/36/DKBU
21 Desember 2012
DKBU
Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat
14/37/DPNP
27 Desember 2012
DPNP
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai Profil Risiko dan Pemenuhan Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA)
14/38/DASP
28 Desember 2012
DASP
Pedoman Standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank
14/39/DPM
28 Desember 2012
DPM
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum
76
RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2012 No. Peraturan
Tanggal
14/12/PBI/2012
15 Oktober 2012
Ringkasan
1. Latar belakang dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/12/PBI/2012 ini adalah: a. Perlu penambahan informasi baru yang selama ini dilaporkan secara offline menjadi online dalam sistem LKPBU dalam rangka meningkatkan efektivitas pemantauan kebijakan dan efisiensi di perbankan. b. Perlu penambahan periode laporan yang semula bulanan dan triwulanan menjadi mingguan, bulanan, triwulanan, dan tahunan. c. Perlu percepatan waktu penyampaian beberapa laporan di LKPBU dalam rangka harmonisasi dengan percepatan waktu penyampaian laporan lainnya seperti LBU dan LBBU. 2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI tersebut meliputi antara lain: a. Menambah laporan baru secara online, sebagai berikut: 1) proyeksi arus kas; 2) aktivitas bank sebagai agen penjual produk non bank, yang meliputi: a) bancassurance; b) agen penjual efek reksa dana; c) aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri; 3) e-banking; 4) structured product; 5) pejabat eksekutif; 6) jaringan kantor; 7) laporan keuangan publikasi; 8) tenaga kerja perbankan; b. Menambah periode laporan dari 2 (dua) periode yaitu bulanan dan triwulanan menjadi 4 (empat) periode yaitu: (1) mingguan; (2) bulanan; (3) triwulanan; (4) tahunan. c. Mempercepat waktu penyampaian beberapa laporan di LKPBU sebagai berikut: 1) batas waktu penyampaian laporan dan koreksi laporan dipercepat dari tanggal 15 menjadi 5 hari kerja (HK) tiap awal bulan untuk laporan kegiatan kustodian, SKBDN, remittance TKI, mutasi rekening pemerintah, e-banking, structured products, pejabat eksekutif,
77
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
jaringan kantor, laporan keuangan publikasi bulanan, dan pengaduan nasabah. 2) batas waktu penyampaian laporan lainnya masih menggunakan batas waktu penyampaian laporan pada tanggal 15. 3. Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka ketentuan dibawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yaitu: a. PBI No.10/3/PBI/2008 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum; b. Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 ayat (2), Pasal 47 ayat (4), Pasal 49 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 57 ayat (3), Pasal 59 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) PBI No.11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah; c. Pasal 15 ayat (2), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (2), Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 30, Pasal 32 ayat (2), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 PBI No.11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah; d. Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 36 PBI No.11/26/PBI/2009 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product bagi Bank Umum; dan, e. Pasal 19 PBI No.12/9/PBI/2010 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri oleh Bank Umum.
14/13/PBI/2012
16 Oktober 2012
1. Peraturan Bank Indonesia mengenai penitipan sementara surat yang berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia diterbitkan dengan pertimbangan: a. Bank Indonesia melakukan kegiatan penitipan sementara surat yang berharga, sekuritas, dan barang berharga pada Bank Indonesia dalam rangka membantu pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan; b. Bank Indonesia memandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan mengenai jenis titipan, pihak yang dapat menitipkan, dan mekanisme penitipan sementara pada Bank Indonesia. 2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Penitipan Sementara Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia meliputi: a. Titipan yang dapat dititipkan di Bank Indonesia merupakan Titipan tertutup yang terdiri atas:
78
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
1) surat yang berharga; 2) sekuritas; dan/atau 3) barang berharga c. Bank Indonesia dapat menerima Titipan berupa uang Rupiah palsu dan uang Rupiah tiruan. d. Titipan harus memiliki kriteria sebagai berikut: 1) dalam rangka membantu pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan; dan/atau 2) dalam rangka penyitaan oleh penyidik dan/atau penetapan sita oleh pengadilan tingkat pertama dalam perkara pidana, perdata atau tata usaha negara dalam rangka penanganan kasus yang berdampak luas. e. Titipan bukan merupakan Titipan yang dianggap berbahaya atau dilarang oleh Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Penitip terdiri atas: 1) kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/ lembaga negara; 2) pengadilan tingkat pertama atau lembaga yang mempunyai kewenangan penyidikan berdasarkan Undang-Undang; 3) Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan/atau 4) pihak internal Bank Indonesia. g. Jangka waktu penitipan ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penitipan, dan dapat diperpanjang paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal jatuh waktu penitipan untuk setiap perpanjangan. h. Bank Indonesia tidak mengenakan biaya atas Titipan yang ditatausahakan pada Bank Indonesia. i. Titipan yang telah jatuh waktu harus diambil oleh Penitip. j. Bank Indonesia dibebaskan dari tanggung jawab apabila terjadi kehilangan, kerusakan, penyusutan, kadaluwarsa dan/atau hal-hal lain yang mungkin timbul atas Titipan yang mengakibatkan berkurangnya nilai, kualitas dan/atau fisik Titipan. 3. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/16/PBI/2005 tanggal 1 Juli 2005 tentang Penyimpanan Sekuritas, Surat Yang Berharga dan Barang Berharga Pada Bank Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
79
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
14/14/PBI/2012
18 Oktober 2012
1. Tujuan pengaturan Peraturan Bank Indonesia No.14/14/PBI/2012 ini adalah agar sejalan dengan implementasi Basel II sesuai perkembangan standar internasional dan standar akuntansi, memayungi beberapa kewajiban penyampaian Laporan, serta meningkatkan transparansi Bank secara umum. 2. Laporan Keuangan yang wajib disusun dan disampaikan Bank adalah sebagai berikut: a. Laporan Tahunan b. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan c. Laporan Keuangan Publikasi Bulanan d. Laporan Keuangan Konsolidasi e. Laporan Publikasi Lain 3. Cakupan Laporan Tahunan yang perlu disesuaikan antara lain: a. Pada Informasi umum mengenai perkembangan usaha bank dan kelompok bank, strategi dan kebijakan manajemen, dan laporan manajemen yang dulu hanya mencakup Bank Konvensional sekarang ditambahkan Unit Usaha Syariah (UUS). b. Menambahkan Laporan Pelaksanaan Fungsi Sosial dan Laporan Distribusi Bagi Hasil bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan UUS. c. Khusus untuk Bank Umum Konvensional (BUK) ditambahkan kewajiban penyajian informasi mengenai: 1) Penyajian informasi secara kualitatif maupun kuantitatif terhadap potensi kerugian (risk exposures) atas beberapa jenis risiko tertentu sesuai Pilar 3 Basel 2. 2) Informasi permodalan secara kualitatif dan kuantitatif (khusus BUK), yang terdiri dari kecukupan modal dan struktur permodalan. 4. Penyesuaian yang dilakukan terhadap Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan, antara lain sebagai berikut: a. Pengelompokkan informasi yang harus disampaikan dalam LKP Triwulanan dan Bulanan. b. Mekanisme penyampaian LKP melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU). c. Jangka waktu penyampaian LKP melalui LKPBU. 5. Apabila Bank merupakan bagian dari kelompok usaha atau Bank memiliki Perusahaan Anak, selain Laporan Tahunan Bank juga wajib menyampaikan:
80
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
a. Laporan Tahunan Perusahaan Induk atau Perusahaan Induk di bidang Keuangan; b. Laporan Tahunan pemegang saham langsung yang memiliki saham mayoritas atau perusahaan yang melakukan Pengendalian langsung kepada Bank; dan c. Laporan Tahunan Perusahaan Anak. 6. Bank wajib mengumumkan Laporan Publikasi Lain secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Yang dimaksud dengan Laporan Publikasi Lain antara lain adalah Laporan Suku Bunga Dasar Kredit dan Laporan Lainnya. 7. Dalam rangka meningkatkan transparansi kondisi keuangan Bank, perlu diatur kewajiban Bank untuk mengumumkan Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan melalui website. 8. Dalam hal Bank belum memiliki website, Bank wajib memiliki website paling lambat akhir Desember 2012. 9. PBI ini hanya mengatur mengenai Laporan yang wajib disampaikan dan disajikan oleh Bank. Pengaturan mengenai Kantor Akuntan Publik tetap mengacu pada PBI sebelumnya, yaitu PBI No.3/22/PBI/2001. 10. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Pasal 1 sampai dengan Pasal 15 dan Pasal 24 sampai dengan Pasal 38 serta Pasal 40 sampai dengan Pasal 41 PBI No.3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Namun, ketentuan pelaksanaan dari PBI No.3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
14/15/PBI/2012
24 Oktober 2012
I. Latar Belakang Sebagaimana diketahui bersama, perbankan sebagai lembaga keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi dituntut untuk menyajikan laporan keuangan yang akurat, komprehensif, dan mencerminkan kinerja Bank secara utuh. Salah satu syarat dalam rangka penyajian laporan keuangan yang akurat dan komprehensif, laporan keuangan dimaksud harus disajikan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
81
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
Dalam rangka memelihara kelangsungan usahanya, Bank perlu tetap mengelola eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai antara lain dengan menjaga kualitas aset dan tetap melakukan penghitungan penyisihan penghapusan aset. Selanjutnya tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi perekonomian global dapat mempengaruhi kondisi dan kinerja perbankan nasional. Sehubungan dengan itu diperlukan langkah-langkah antisipasi untuk menjaga dan melindungi kondisi perbankan. Selain itu, ketentuan yang mengatur mengenai kualitas aset telah mengalami beberapa kali penyesuaian dan juga berkaitan dengan ketentuan-ketentuan Bank Indonesia lainnya sehingga perlu dilakukan harmonisasi agar implementasi atas ketentuan-ketentuan dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik. II. Pokok-pokok Ketentuan Ketentuan ini merupakan penyempurnakan dari ketentuan kualitas aset sebelumya yaitu PBI No.7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum sebagimana diubah terakhir kali dengan PBI No.11/2/PBI/2009. Adapun penyempurnaan ketentuan dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Pembentukan cadangan berlaku untuk kelonggaran tarik kredit baik yang bersifat committed maupun uncommitted namun cadangan yang dibentuk hanya cadangan khusus yaitu untuk kelonggaran tarik kredit yang memiliki kualitas non lancar. 2. Bank dengan status dalam pengawasan khusus (special surveillance) tidak lagi menjadi kriteria penilaian kualitas penempatan antar bank yang digolongkan macet. 3. Penilaian kualitas kredit dan penyediaan dana lainnya untuk debitur UMKM posisi bulan Agustus s.d. Januari mengacu pada penilaian TKS posisi bulan Juni. Sedangkan penilaian kualitas kredit dan penyediaan dana lainnya untuk debitur UMKM posisi bulan Februari s.d. Juli mengacu pada penilaian TKS posisi bulan Desember tahun sebelumnya. Hasil penilaian pengawas yang diberitahukan BI kepada Bank disampaikan pada prudential meeting. 4. Deposito yang diakui sebagai agunan tunai hanya dapat disimpan pada Bank penyedia dana.
82
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
5. Kriteria Prime Bank adalah AA- berdasarkan penilaian S & P; Aa3 berdasarkan penilaian Moody’s; AA- berdasarkan penilaian Fitch. 6. Terkait Restrukturisasi Kredit terdapat beberapa perubahan yaitu: a. Kualitas Kredit yang direstrukturisasi hanya dapat meningkat paling tinggi 1 (satu) tingkat dari kualitas Kredit sebelum dilakukan Restrukturisasi, setelah debitur memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga secara berturut turut selama 3 (tiga) kali periode sesuai waktu yang diperjanjikan. b. Pengakuan pendapatan atas Kredit yang direstrukturisasi diakui dan dicatat sesuai dengan ketentuan PSAK yang berlaku. c. Pelaporan atas Kredit yang direstrukturisasi dilakukan secara on line bersamaan dengan pelaporan LBBU. 7. Terkait Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) terdapat beberapa perubahan yaitu: a. Terdapat pencadangan sesuai konsep impairment dalam bentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dan tetap mempertahankan konsep PPA sebagai prudential purposes. b. Atas aset produktif tetap menghitung PPA umum dan khusus, yang tidak dibebankan pada L/R namun hanya mempengaruhi perhitungan KPMM. Hasil perhitungan PPA Produktif akan mempengaruhi perhitungan KPMM setelah dikurangkan dari CKPN yang dibentuk. c. Atas aset non produktif tetap menghitung PPA khusus, yang tidak dibebankan pada L/R namun hanya mempengaruhi perhitungan KPMM. Pengaruh PPA Non Produktif pada perhitungan KPMM tidak melihat CKPN yang dibentuk, mengingat hal ini merupakan disinsentif karena bank memiliki aset non produktif. 8. PBI ini diberlakukan pada tanggal ditetapkan.
14/16/PBI/2012
23 November 2012
I. Latar Belakang Ketentuan ini merupakan penyempurnaan PBI tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang telah diterbitkan tahun 2008 dengan latar belakang sebagai berikut: 1. Kondisi makro ekonomi dan stabilitas sektor keuangan saat ini cukup terjaga. Namun demikian, globalisasi dapat memicu tekanan terhadap sistem perbankan yang tercermin pada keketatan likuiditas secara mendadak. Apabila tidak diatasi secara cepat, Bank dapat mengalami liquidity mismatch sehingga tidak mampu memenuhi kewajiban GWM.
83
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
2. Dalam rangka mengantisipasi potensi tekanan yang bersumber dari keketatan likuiditas tersebut, perlu diberikan akses bagi Bank untuk memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia sebagai lender of the last resort. Pengaturan kembali Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek merupakan upaya untuk dapat memelihara kepercayaan masyarakat serta menjaga integritas sistem perbankan secara khusus dan sistem keuangan secara menyeluruh. II. Pokok-Pokok Pengaturan Pokok-pokok penyempurnaan PBI ini meliputi antara lain: 1. Penyempurnaan ketentuan terutama terkait dengan: a. persyaratan Bank yang dapat mengajukan permohonan, b. persyaratan tentang agunan, c. suku bunga Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek. 2. Persyaratan Bank disempurnakan menjadi: memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling kurang 8% dan memenuhi modal sesuai dengan profil risiko bank. Suku bunga fasilitas pendanaan jangka pendek sebesar repurchase agreement (repo) rate ditambah 100 basis poin. 3. Bank yang dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh fasilitas tersebut adalah bank yang memenuhi persyaratan permodalan tertentu dan memiliki agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya mencukupi. Agunan aset kredit hanya dapat dijadikan agunan apabila Bank tidak mempunyai surat-surat berharga yang mencukupi atau Bank tidak memiliki surat-surat berharga yang dapat diagunkan. Aset kredit yang dapat diagunkan adalah yang memiliki kualitas Lancar dalam 12 bulan terakhir berturut-turut, dijamin oleh tanah dan atau bangunan senilai 140%, bukan kredit kepada pihak terkait bank, belum pernah direstrukturisasi, memiliki sisa jatuh tempo minimal 12 bulan dan baki debetnya tidak melampaui batas maksimum pemberian kredit. 4. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia, maka beberapa ketentuan dibawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yaitu: 1. PBI No.10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4912); dan
84
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
2. PBI No.10/30/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 175, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4923),
14/17/PBI/2012 23 November 2012
I. Latar Belakang Pengaturan 1. Dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional, Bank Indonesia mengemban tugas untuk mencapai dan memelihara stabilitas nilai tukar rupiah yang banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan antara permintaan dan penawaran valuta asing di pasar keuangan dalam negeri; 2. Sumber pasokan valuta asing di pasar keuangan dalam negeri selama ini sebagian besar berasal dari sektor keuangan terutama berupa investasi portofolio asing yang berisiko mengalami pembalikan mendadak (sudden capital reversal). Sementara itu pasokan devisa dari hasil kegiatan ekspor yang merupakan dana yang berkesinambungan (sustainable) belum dimanfaatkan secara optimal. 3. Sejalan dengan kebijakan pengelolaan pasokan devisa dan kebijakan untuk meningkatkan peran serta daya saing perbankan dalam negeri, maka diperlukan kebijakan yang dapat mendorong pelaku ekonomi dalam mengelola devisa yang dimilikinya dengan menggunakan jasa dan keahlian perbankan di dalam negeri. Kebijakan tersebut juga ditujukan untuk mendorong pendalaman pasar keuangan (financial deepening) di domestik. 4. Mempertimbangkan tujuan dan manfaat dari pengelolaan devisa melalui perbankan di dalam negeri, keterkaitannya dengan upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan sasaran kebijakan makroprudensial, serta untuk memberikan kepastian hukum atas kegiatan Trust dan untuk mengakomodir kegiatan pengelolaan devisa, maka Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Kegiatan Usaha Bank dalam Bentuk Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) yang tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
85
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
II. Materi Pengaturan : Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini adalah sebagai berikut: 1. Trust adalah kegiatan usaha Bank berupa penitipan dengan pengelolaan. 2. Dalam kegiatan penitipan dengan pengelolaan (Trust) ini, terdapat 3 pihak yang terlibat yaitu Settlor sebagai pihak penitip yang memiliki harta/dana dan memberikan kewenangan untuk mengelola dana kepada Trustee; Trustee (dalam hal ini Bank) sebagai pihak yang diberi kewenangan oleh Settlor/Penitip untuk mengelola harta/dana guna kepentingan penerima manfaat yaitu Beneficiary; dan Beneficiary sebagai pihak penerima manfaat dari harta/dana tersebut. 3. Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam kegiatan Trust adalah sebagai berikut: a. Kegiatan Trust dilakukan oleh unit kerja yang terpisah dari unit kegiatan Bank lainnya; b. Harta yang dititipkan Settlor untuk dikelola oleh Trustee terbatas pada aset finansial; c. Harta yang dititipkan Settlor untuk dikelola oleh Trustee dicatat dan dilaporkan terpisah dari harta Bank; d. Dalam hal Bank yang melakukan kegiatan Trust dilikuidasi, semua harta Trust tidak dimasukkan dalam harta pailit (boedel pailit) dan dikembalikan kepada Settlor atau dialihkan kepada Trustee pengganti yang ditunjuk Settlor; e. Kegiatan Trust dituangkan dalam perjanjian tertulis menggunakan Bahasa Indonesia antara Trustee dan Settlor; f. Trustee menjaga kerahasiaan data dan keterangan terkait kegiatan Trust sebagaimana diatur dalam perjanjian Trust, kecuali untuk kepentingan pelaporan kepada Bank Indonesia; g. Bank yang melakukan kegiatan Trust tunduk pada ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya ketentuan mengenai Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU - PPT). 4. Kegiatan Trust yang diatur dalam PBI ini mencakup kegiatan antara lain sebagai: agen pembayar (paying agent); agen investasi (investment agent) dana secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah; dan/atau agen peminjaman (borrowing agent) dan/atau agen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. 5. Trustee dapat dilakukan oleh Bank atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri (KCBA) dengan persyaratan sebagai berikut:
86
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
a. Bank: berbadan hukum Indonesia; memiliki modal inti paling sedikit Rp5 Triliun dan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling rendah 13% selama 18 bulan terakhir secara berturut-turut; memiliki Tingkat Kesehatan Bank (TKS) paling rendah Peringkat Komposit (PK) 2 selama 2 periode penilaian (12 bulan) terakhir dan paling rendah PK 3 selama 1 periode sebelumnya; mencantumkan rencana kegiatan Trust dalam Rencana Bisnis Bank; memiliki kapasitas untuk melakukan kegiatan Trust berdasarkan hasil penilaian Bank Indonesia. b. KCBA: berbadan hukum Indonesia paling lambat 3 tahun sejak berlakunya PBI ini; hasil asesmen Bank Indonesia memiliki kapasitas untuk melakukan kegiatan Trust; mencantumkan rencana kegiatan Trust dalam Rencana Bisnis Bank; memiliki Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA) minimum dengan perhitungan sesuai ketentuan yang berlaku dan paling sedikit sebesar Rp5 Triliun dan rasio KPMM paling rendah 13% selama 18 bulan terakhir secara berturut-turut; memiliki TKS paling rendah PK 2 selama 2 periode penilaian terakhir dan paling rendah PK 3 selama 1 periode sebelumnya. 6. Selama melakukan kegiatan Trust, Trustee wajib memenuhi persyaratan terkait dengan modal inti minimum (bagi Bank) atau CEMA (bagi KCBA), rasio KPMM dan TKS Bank, dengan rincian yaitu: a. Bank: memiliki modal inti paling sedikit Rp5 Triliun; memiliki rasio KPMM paling rendah 13%; memiliki Tingkat Kesehatan Bank (TKS) paling rendah Peringkat Komposit (PK) 2; b. KCBA: memiliki CEMA minimum dengan perhitungan sesuai ketentuan yang berlaku dan paling sedikit sebesar Rp5 Triliun; memiliki KPMM paling rendah 13%; memiliki TKS paling rendah PK 2. 7. Bank/KCBA yang melakukan merger atau konsolidasi wajib memenuhi persyaratan sebagai Trustee. 8. Trustee yang tidak dapat memenuhi persyaratan sebagai Trustee diberikan waktu 6 bulan untuk memenuhi persyaratan dan dalam masa tersebut tidak boleh membuat Perjanjian Trust yang baru. 9. Dalam hal sampai dengan batas waktu 6 bulan Trustee tidak dapat memenuhi persyaratan, maka harta/dana Trust wajib dikembalikan kepada Settlor atau kepada Trustee pengganti yang ditunjuk Settlor sesuai Perjanjian Trust.
87
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
10. Bank/KCBA wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia, berupa izin prinsip dan surat penegasan yang diberikan kepada satu kantor Bank, untuk dapat melakukan kegiatan Trust. 11. Dalam melaksanakan kegiatan Trust, Trustee memperoleh fee atau ujroh sesuai dengan perjanjian Trust. 12. Trustee wajib menggunakan rekening pada bank di dalam negeri untuk seluruh kegiatan Trust dan melakukan pencatatan mutasi rekening secara terpisah untuk masing-masing Settlor dan Beneficiary. 13. Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib memberikan laporan tertulis secara berkala kepada Bank Indonesia dan Settlor mengenai kinerja Trustee dalam pengelolaan harta Trust. Laporan kepada Bank Indonesia wajib disampaikan paling lambat tanggal 15 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. 14. Bank yang tidak memenuhi ketentuan akan dikenakan sanksi. 15. Dalam hal Bank dicabut izin usahanya atas permintaan Bank (self liquidation) atau dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia, maka Bank atau Tim Likuidasi wajib mengembalikan harta Trust kepada Settlor atau mengalihkan harta Trust kepada Trustee pengganti sesuai dengan perjanjian Trust.
14/18/PBI/2012 28 November 2012
1. Latar belakang dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini adalah: a. Sejalan dengan upaya untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat, mampu berkembang serta bersaing secara nasional maupun internasional, perhitungan kecukupan modal Bank disesuaikan dengan standar internasional yang berlaku. b. Selain itu, diperlukan alokasi sejumlah modal kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri untuk ditempatkan ke dalam instrumen keuangan tertentu untuk mengantisipasi dinamika perekonomian dan sistem keuangan global. 2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI tersebut meliputi antara lain: a. Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko, sehingga tidak hanya mampu menyerap potensi kerugian dari risiko kredit, risiko pasar, dan operasional, melainkan juga risiko-risiko lainnya seperti risiko likuiditas dan risiko lain yang material. Penyediaan modal minimum sesuai profil risiko ditetapkan paling rendah sebagai berikut: 1. 8% dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 1; 2. 9% s.d kurang dari 10% dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 2;
88
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
3. 10% s.d kurang dari 11% dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 3; 4. 11% s.d 14% dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 4 atau peringkat 5; Penetapan peringkat faktor profil risiko mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum. b. Untuk menghitung modal minimum sesuai profil risiko, Bank wajib memiliki Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP), yang mencakup (i) pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; (ii) Penilaian Kecukupan Permodalan; (iii) Pemantauan dan Pelaporan; (iv) Pengendalian Internal. c. Bank Indonesia akan melakukan kaji ulang terhadap ICAAP atau disebut Supervisory Review and Evaluation Process (SREP). d. Perhitungan modal minimum sesuai profil risiko untuk pertama kali dilakukan untuk posisi Maret 2013 dengan menggunakan peringkat profil risiko posisi Desember 2012. e. Kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri wajib memenuhi Capital Equivalency Maintained Asset (CEMA) Minimum sebesar 8% dari total kewajiban bank pada setiap bulan dan paling sedikit sebesar Rp1triliun. f. Perhitungan CEMA minimum dilakukan setiap bulan dan wajib dipenuhi paling lambat tanggal 6 bulan berikutnya. g. Aset keuangan yang dapat diperhitungan dalam CEMA adalah (i) Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; (ii) Surat berharga yang diterbitkan oleh Bank lain yang berbadan hukum Indonesia, dan (iii) Surat berharga yang diterbitkan oleh korporasi berbadan hukum Indonesia, yang memenuhi kriteria tertentu. h. Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib memenuhi CEMA minimum sebesar 8% dari total kewajiban bank paling lambat pada posisi bulan Juni 2013. i. Apabila CEMA minimum lebih kecil dari Rp1 triliun maka kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib memenuhi CEMA minimum sebesar Rp1 triliun paling lambat pada posisi bulan Desember 2017. j. Peraturan Bank Indonesia ini berlaku secara efektif sejak tanggal ditetapkan dan mencabut PBI No. 9/13/PBI/2007 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar dan mencabut PBI No. 10/15/PBI/2008 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
89
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
14/19/PBI/2012 30 November 2012
Ringkasan
1. Latar belakang dikeluarkannya perubahan Peraturan Bank Indonesia ini adalah: a. Perlunya lebih meningkatkan efektivitas pengawasan dan pemeriksaan terhadap pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan penyaluran KLBI oleh Bank Pelaksana. b. Perlunya menetapkan suku bunga acuan sebagai dasar perhitungan sanksi apabila terjadi pelanggaran dalam pengelolaan KLBI yang dilakukan BUMN atau penyaluran KLBI oleh Bank Pelaksana. 2. Pokok-pokok pengaturan dalam perubahan PBI dimaksud meliputi antara lain: a. Perubahan jumlah BUMN yang melakukan pengelolaan KLBI dari semula 3 BUMN menjadi 2 BUMN, yaitu PT. Bank Tabungan Negara (Persero) dan PT. Permodalan Nasional Madani (Persero). b. Memperjelas wewenang Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan pengelolaan KLBI oleh BUMN dan penyaluran KLBI oleh Bank Pelaksana. c. Memperjelas batas waktu penyampaian laporan penerimaan angsuran, penyesuaian baki debet, penyaluran kembali dan pelunasan. d. Penetapan suku bunga Jakarta Inter Bank Offered Rate (JIBOR) overnight ditambah 200 bps sebagai pengganti suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1 (satu) bulan untuk acuan perhitungan sanksi atas pelanggaran: 1. penyaluran kembali (relending) angsuran KLBI di luar tujuan kredit atau pembiayaan; 2. BUMN pengelola angsuran KLBI tidak dapat menyediakan dana pada rekening giro yang ada di Bank Indonesia pada saat KLBI jatuh tempo; dan 3. tidak dilaporkannya pelunasan dini KLBI oleh Bank Pelaksana sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan yaitu 14 (empat belas) hari kalender setelah terjadinya pelunasan dini. e. Pelanggaran atas ketentuan di atas yang terjadi sebelum berlakunya PBI ini akan dikenakan sanksi sebagai berikut: 1. Untuk pelanggaran yang terjadi sebelum dan pada tanggal 9 Juni 2010, sebagai acuan perhitungan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh BUMN atau Bank Pelaksana dipergunakan suku bunga SBI jangka waktu 1 (satu) bulan hasil lelang terakhir.
90
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
2. Untuk pelanggaran yang terjadi setelah tanggal 9 Juni 2010, sebagai acuan perhitungan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh BUMN atau Bank Pelaksana dipergunakan suku bunga SBI jangka waktu 1 (satu) bulan hasil lelang pada tanggal 9 Juni 2010. 3. PBI ini mulai berlaku sejak tanggal 30 November 2012.
14/20/PBI/2012
17 Desember 2012
I. Latar Belakang Ketentuan ini merupakan penyempurnaan PBI tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang telah diterbitkan tahun 2009 dengan latar belakang karena kondisi makro ekonomi dan stabilitas sektor keuangan serta kepercayaan masyarakat terhadap perbankan saat ini semakin membaik, sehingga dilakukan penyesuaian persyaratan bank penerima Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FJPJPS). II. Pokok-Pokok Pengaturan Pokok-pokok penyempurnaan PBI ini meliputi antara lain: 1. Penyempurnaan ketentuan terutama terkait dengan: a. persyaratan Bank yang dapat mengajukan permohonan, b. persyaratan tentang agunan, 2. Bank yang dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh FPJPS adalah bank yang mengalami kesulitan jangka pendek, memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling rendah 8% dan modal sesuai dengan profil risiko bank, serta memiliki agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya mencukupi. 3. Agunan aset Pembiayaan hanya dapat dijadikan agunan apabila Bank tidak mempunyai surat-surat berharga yang mencukupi atau Bank tidak memliki surat-surat berharga yang dapat diagunkan. Aset Pembiayaan yang dapat diagunkan adalah yang memiliki kualitas tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir berturut-turut, bukan merupakan Pembiayaan konsumsi kecuali pembiayaan pemilikan rumah, Pembiayaan dijamin dengan agunan tanah dan/atau bangunan dengan nilai paling rendah 140% (seratus empat puluh persen) dari plafon Pembiayaan, bukan merupakan Pembiayaan kepada pihak terkait, Pembiayaan belum pernah direstrukturisasi, sisa jangka waktu jatuh tempo Pembiayaan paling singkat 12 (dua belas) bulan dari saat persetujuan FPJPS, baki debet (outstanding) Pembiayaan tidak melebihi
91
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
batas maksimum penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak melebihi plafon Pembiayaan, dan memiliki perjanjian Pembiayaan dan pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum. 4. Haircut aset Pembiayaan yang dapat dijadikan agunan FPJPS paling kurang 200% (dua ratus persen) dari plafon FPJPS. 5. Bank Indonesia menghentikan pencairan FPJPS dan/atau mengakhiri perjanjian FPJPS sebelum jatuh waktu dalam hal terjadi pelanggaran persyaratan FPJPS oleh Bank. Penghentian pencairan FPJPS dan/atau pengakhiran perjanjian FPJPS yang disebabkan karena pelanggaran persyaratan agunan FPJPS dilakukan setelah Bank tidak dapat melakukan penggantian/penambahan agunan FPJPS atau Bank telah melakukan penggantian/penambahan agunan FPJPS namun tetap tidak dapat memenuhi persyaratan agunan FPJPS. 6. Bank wajib menyampaikan laporan daftar aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan untuk menjadi agunan FPJPS kepada Bank Indonesia setiap 6 (enam) bulan sekali yaitu untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember, paling lambat tanggal 15 (lima belas) setelah posisi akhir bulan bersangkutan. Untuk pertama kalinya laporan daftar aset Pembiayaan disampaikan untuk posisi bulan Juni 2013. Bank dapat menyampaikan laporan nihil apabila tidak memiliki aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan sebagai agunan FPJPS atau tidak mengalokasikan aset Pembiayaan sebagai agunan untuk mengantisipasi kebutuhan FPJPS. 7. Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Rupiah Bank penerima FPJPS di Bank Indonesia dalam hal FPJPS jatuh tempo (pendebetan sebesar nilai pokok dan imbalan FPJPS), FPJPS belum jatuh tempo namun saldo rekening giro Bank di Bank Indonesia melebihi kewajiban GWM (pendebetan paling tinggi sebesar nilai pokok FPJPS yang telah diterima Bank), dan/atau FPJPS diakhiri sebelum perjanjian jatuh tempo (pendebetan sebesar nilai pokok dan imbalan FPJPS). 8. Dalam rangka pengawasan terhadap penggunaan FPJPS, Bank wajib menyampaikan Bank kepada Bank Indonesia berupa laporan mengenai penggunaan FPJPS, kondisi likuiditas Bank, pemantauan pemenuhan persyaratan FPJPS dan persyaratan agunan FPJPS pada setiap akhir hari kerja dan rencana tindak perbaikan (action plan) untuk mengatasi kesulitan likuiditas paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pencairan FPJPS. 9. Bank yang melanggar PBI ini akan dikenakan sanksi.
92
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
14/21/PBI/2012
21 Desember 2012
Ringkasan
1. Tujuan : Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini diterbitkan dalam rangka menyempurnakan dan mengintegrasikan ketentuan pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) Lembaga Bukan Bank (LBB) dan Utang Luar Negeri (ULN). Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi duplikasi kedua pelaporan tersebut sehingga efektivitas dan efisiensi pemantauan kegiatan LLD dapat ditingkatkan. 2. Pokok-pokok dalam PBI ini mencakup: A. Ruang lingkup pelaporan: a. Laporan LLD yang meliputi keterangan dan data mengenai: (1) transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dengan bukan Penduduk; (2) posisi dan perubahan AFLN dan/atau KFLN; dan (3) rencana dan/atau realisasi ULN. b. Informasi Keuangan, khususnya bagi Pelapor yang memiliki posisi ULN. B. Ruang lingkup Pelapor: a. Berdasarkan jenis usaha 1. Lembaga keuangan a. Bank b. Lembaga keuangan bukan Bank 2. Bukan lembaga keuangan b. Berdasarkan kepemilikan usaha 1. BUMN 2. BUMD 3. BUMS 4. Badan lainnya 5. Perseorangan C. Penyampaian laporan: a. Untuk Laporan LLD disampaikan tanggal 1 s.d. 15, masa koreksi dari tanggal 16 s.d. 20 setelah periode laporan. Khusus untuk Laporan LLD berupa rencana ULN disampaikan setiap awal tahun, paling lambat tanggal 15 Maret, sedangkan perubahan rencana ULN disampaikan paling lambat tanggal 1 Juli. b. Khusus Informasi Keuangan (bagi perusahaan yang memiliki posisi ULN) disampaikan setiap 6 bulan paling lambat tanggal 15 Juni dengan masa koreksi dari tanggal 16 s.d. 20 Juni dan paling lambat tanggal 15 Desember dengan masa koreksi dari tanggal 16 s.d. 20 Desember.
93
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
D. Sanksi administratif berupa: 1. denda: a. ketidaklengkapan dan/atau ketidakbenaran sebesar Rp50.000,00 untuk setiap baris (record) yang tidak lengkap dan/atau tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00. b. keterlambatan sebesar Rp500.000,00 untuk setiap hari keterlambatan dengan denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00. c. tidak menyampaikan laporan sebesar Rp10.000.000,00. 2. surat peringatan dan/atau pemberitahuan kepada otoritas/instansi berwenang untuk pelapor yang terlambat atau tidak menyampaikan rencana ULN, perubahan rencana ULN, dan/atau Informasi Keuangan. E. Masa parallel run: Khusus untuk penyampaian Laporan LLD berupa rencana dan/atau realisasi ULN dan Informasi Keuangan, parallel run kewajiban pelaporan kegiatan LLD dan kewajiban pelaporan SIUL existing diberlakukan selama enam bulan, yaitu sejak data bulan Januari 2013 yang disampaikan bulan Februari 2013 s.d data bulan Juni 2013 yang disampaikan bulan Juli 2013. F. Pemberlakuan sanksi: 1. Untuk laporan LLD berupa realisasi ULN mulai diberlakukan sejak data bulan Januari 2014 yang disampaikan bulan Februari 2014. 2. Untuk laporan LLD berupa rencana ULN mulai berlaku sejak pelaporan rencana ULN tahun 2014 yang disampaikan paling lambat bulan Maret 2014. 3. Untuk Informasi Keuangan mulai berlaku sejak pelaporan data posisi bulan Desember 2013 yang disampaikan paling lambat bulan Juni 2014. G. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013, sehingga: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5222) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/4/PBI/2012 tanggal 7 Juni 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5320), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Februari 2013.
94
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/1/PBI/2010 tanggal 28 Januari 2010 tentang Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5102) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/24/PBI/2010 tanggal 29 Desember 2010 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5181), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2013.
14/22/PBI/2012 21 Desember 2012
1. Latar belakang dikeluarkannya PBI ini adalah: a. Sejalan dengan berlakunya UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta telah dicabutnya PBI No.3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil (KUK) maka diperlukan keberadaan ketentuan yang dapat mendorong peningkatan penyaluran kredit atau pembiayaan oleh bBank uUmum kepada UMKM yang sekaligus mampu mendorong peningkatan akses UMKM kepada lembaga keuangan melalui penguatan kapabilitasnya. b. Sebagai salah satu bentuk dukungan konkret Bank Indonesia dalam mendorong percepatan pengembangan keuangan inklusif, keberpihakan kepada sektor UMKM sebagai salah satu pilar ekonomi yang sangat penting dalam mendukung perekonomian nasional, serta dukungan terhadap program pemerintah yang berorientasi pada pro growth, pro poor dan pro job. 2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI meliputi: a. Kewajiban bank umum untuk menyalurkan dananya dalam bentuk kredit/pembiayaan kepada UMKM dengan pangsa sebesar minimal 20% secara bertahap yang diikuti dengan penerapan insentif/disinsentif. b. Pencapaian target kredit/pembiayaan kepada UMKM di atas dapat dipenuhi oleh bank umum baik dengan pemberian kredit/pembiayaan secara langsung dan/atau secara tidak langsung kepada UMKM melalui kerjasama pola executing, pola channeling dan pembiayaan bersama. c. Definisi kredit usaha mikro, kredit usaha kecil dan kredit usaha menengah diharmonisasikan dengan kriteria usaha sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
95
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
d. Perluasan bentuk dan penerima bantuan teknis. Kegiatan bantuan teknis dilaksanakan dalam bentuk penelitian, pelatihan, penyediaan informasi dan fasilitasi. Sementara penerima bantuan teknis adalah Bank Umum, BPR/BPRS, Lembaga pembiayaan UMKM, Lembaga Penyedia Jasa (LPJ) dan UMKM. Bantuan teknis yang disediakan oleh Bank Indonesia di atas antara lain untuk meningkatkan kompetensi bagi SDM perbankan dalam melakukan pembiayaan kepada UMKM dan dalam rangka meningkatkan capacity building UMKM agar mampu memenuhi persyaratan dari perbankan. e. Dalam memberikan Kredit atau Pembiayaan UMKM, bank umum wajib berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rencana bisnis bank; laporan bulanan bank umum; laporan keuangan publikasi triwulanan dan bulanan bank umum serta laporan tertentu; sistem informasi debitur; transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah. f. Lebih lanjut dalam pokok-pokok PBI di atas, juga diatur tentang perlunya penguatan koordinasi dan kerjasama dengan Pihak Lain dalam pengembangan UMKM agar tercipta keselarasan program pengembangan UMKM. g. Bank Umum yang melanggar hal-hal yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan dikenakan sanksi. h. Ketentuan Penutup: 1. PBI ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu 21 Desember 2012. Namun, khusus pengaturan untuk pencapaian rasio Pembiayaan UMKM mulai berlaku bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah pada tahun 2014. 2. Pada saat PBI ini berlaku, maka PBI No.7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4543), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Namun, peraturan pelaksanaan dari PBI No.7/39/PBI/2005, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam PBI ini.
14/23/PBI/2012 26 Desember 2012
1. Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari amanat dalam UU No.3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Adapun materi utama yang diatur dalam PBI ini adalah mengenai:
96
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
a. perizinan penyelenggaraan transfer dana; b. pelaksanaan transfer dana; c. transfer dana yang ditujukan untuk diterima secara tunai; d. jasa, bunga, atau kompensasi; e. biaya transfer dana; f. pemantauan; dan g. sanksi. 2. Badan usaha bukan Bank yang bermaksud untuk menyelenggarakan kegiatan Transfer Dana wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. Untuk memperoleh izin tersebut, badan usaha bukan Bank wajib berbentuk badan hukum Indonesia serta mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. 3. Persyaratan untuk memperoleh izin sebagai Penyelenggara akan dituangkan dalam bentuk Surat Edaran Bank Indonesia, dan antara lain akan mencakup persyaratan terkait keamanan sistem, permodalan, integritas pengurus, pengelolaan risiko, dan/atau kesiapan sarana dan prasarana. 4. Kerjasama antara Penyelenggara dengan pihak lain di luar negeri untuk menyelenggarakan kegiatan Transfer Dana hanya dapat dilaksanakan dengan pihak yang telah memperoleh izin dari otoritas di negara setempat. Kerja sama tersebut harus didasarkan pada perjanjian tertulis yang paling kurang memuat pengaturan mengenai penerapan asas resiprositas antar para pihak, hak dan kewajiban para pihak, mekanisme penetapan kurs, biaya, dan penyelesaian akhir, dan mekanisme penyelesaian permasalahan. 5. Terkait pelaksanaan Transfer Dana, dalam PBI ini dimuat ketentuan mengenai pelaksanaan Transfer Dana dalam keadaan memaksa, mekanisme perbaikan dalam hal terjadi kekeliruan pelaksanaan Transfer Dana, serta mekanisme pengembalian Dana kepada pihak yang berhak. 6. Terkait Transfer Dana yang ditujukan untuk diterima secara tunai, diatur mekanisme yang harus dilakukan oleh Penyelenggara dalam menyampaikan pemberitahuan kepada Penerima dan Pengirim Asal akan adanya Dana yang harus diambil, serta mekanisme penyampaian Dana kepada Balai Harta Peninggalan dalam hal Dana dimaksud tidak diambil oleh Penerima dan Pengirim Asal (unclaimed funds).
97
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
7. Terkait jasa, bunga, atau kompensasi, diatur mekanisme pembayarannya dari Penyelenggara kepada pihak yang berhak, sedangkan tata cara perhitungannya akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 8. Terkait biaya Transfer Dana, diatur mengenai mekanisme pengenaan dan penyampaian informasi biaya dari Penyelenggara kepada Pengirim Asal. 9. Terkait pemantauan, diatur mekanisme dan kegiatan yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dalam melakukan pemantauan, pelaksanaan pemantauan oleh pihak ketiga serta koordinasi antara Bank Indonesia dengan otoritas lain dalam melakukan pemantauan. 10. Bagi badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara Kegiatan Usaha Pengiriman Uang dari Bank Indonesia, maka badan usaha dimaksud diakui sebagai Penyelenggara menurut PBI ini setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan. 11. Pihak yang telah menyelenggarakan kegiatan sebagai Money Transfer Operator harus mengajukan dan memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai Penyelenggara paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. 12. Pengertian Penyelenggara dalam PBI Ini mencakup pula Bank dan badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang memperoleh persetujuan atau izin dari Bank Indonesia sebagai peserta Sistem BI-RTGS, peserta SKNBI, dan penyelenggara Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu yang menyediakan jasa Transfer Dana. 13. Pelanggaran atas Peraturan Bank Indonesia ini akan dikenakan sanksi. 14. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia No.8/28/PBI/2006 tentang Kegiatan Usaha Pengiriman Uang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
98
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
14/24/PBI/2012 26 Desember 2012
Ringkasan
Latar Belakang Untuk mengantisipasi dinamika perkembangan perekonomian regional dan global, industri perbankan perlu meningkatkan ketahanan dan daya saing sehingga memerlukan struktur perbankan yang kuat. Untuk mencapai struktur perbankan yang sehat tersebut diperlukan pengaturan kembali kebijakan Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Pokok-Pokok Pengaturan 1. Setiap pihak hanya dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) Bank. Dalam hal suatu pihak: a. telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu) Bank; atau b. melakukan pembelian saham Bank lain sehingga yang bersangkutan menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu) Bank, maka yang bersangkutan wajib memenuhi ketentuan Kepemilikan Tunggal. 2. Pemenuhan kewajiban ketentuan Kepemilikan Tunggal dilakukan dengan cara: a. merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya; b. membentuk Perusahaan Induk di bidang Perbankan; atau c. membentuk Fungsi Holding. 3. Ketentuan Kepemilikan Tunggal dikecualikan bagi: a. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) Bank yang masing-masing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip berbeda, yakni secara konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah; dan b. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) Bank yang salah satunya merupakan Bank Campuran (Joint Venture Bank). 4. Bagi PSP yang memilih opsi merger/konsolidasi untuk memenuhi struktur kepemilikan sesuai PBI ini maka akan memperoleh insentif berupa: a. pelonggaran sementara pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM); b. perpanjangan waktu penyelesaian pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK); c. kemudahan pembukaan kantor cabang; dan/atau d. pelonggaran sementara penerapan Good Corporate Govenance (GCG).
99
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
5. Bentuk badan hukum Perusahaan Induk di Bidang Perbankan adalah Perseroan Terbatas yang didirikan di Indonesia dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 6. Fungsi Holding hanya dapat dilakukan oleh Pemegang Saham Pengendali berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia atau instansi Pemerintah Republik Indonesia. 7. Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan Fungsi Holding wajib memberikan arah strategis dan mengkonsolidasikan laporan keuangan Bank-Bank yang menjadi anak perusahaannya. 8. Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan terhadap Fungsi Holding sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tugas pengaturan dan pengawasan Bank. 9. Pemegang Saham Pengendali yang tidak melakukan pemenuhan ketentuan Kepemilikan Tunggal dilarang melakukan pengendalian dan dilarang memiliki saham dengan hak suara pada masing-masing Bank lebih dari 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham Bank dan wajib mengalihkan kelebihan saham di atas 10% (sepuluh perseratus) tersebut kepada pihak lain paling lama 1 (satu) tahun setelah berakhirnya jangka waktu pemenuhan ketentuan. 10. Bank-Bank dengan Pemegang Saham Pengendali yang tidak melakukan pemenuhan ketentuan Kepemilikan Tunggal wajib mencatat kepemilikan saham dan hak suara yang bersangkutan dalam Rapat Umum Pemegang Saham paling tinggi sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham Bank. 11. Bank yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan dikenakan sanksi. 12. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia No.8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4642) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
100
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
b. Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf e, Pasal 3 dan Pasal 7 Peraturan Bank Indonesia No.8/17/PBI/2006 tentang Insentif dalam rangka Konsolidasi Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.9/12/PBI/2007 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. c. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4642) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
14/25/PBI/2012 27 Desember 2012
1. Tujuan: Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini diterbitkan dalam rangka menyempurnakan ketentuan Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri yang diatur melalui PBI No.13/20/PBI/2011 sebagaimana diubah melalui PBI No.14/11/PBI/2012. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pemantauan penerimaan devisa hasil ekspor dan penarikan devisa utang luar negeri melalui perbankan di Indonesia guna mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri. 2. Pokok-pokok Perubahan dalam PBI ini mencakup: A. Kewajiban Penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) melalui Bank Devisa. 1. Kewajiban penerimaan DHE melalui bank devisa tidak berlaku untuk DHE milik pemerintah yang diterima melalui Bank Indonesia atau DHE yang diterima secara tunai di dalam negeri sepanjang dibuktikan dengan penjelasan tertulis yang disertai dokumen pendukung yang memadai. 2. Penerimaan DHE wajib dilakukan paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). 3. Penerimaan DHE yang berasal dari cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 bulan setelah bulan pendaftaran PEB, wajib dilakukan paling lama 14 hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran yang bersangkutan. Dalam hal batas akhir jatuh pada hari libur, maka penerimaan DHE dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
101
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
14/14/PBI/2012
18 Oktober 2012
Ringkasan
4. Penyampaian informasi yang tercantum pada PEB kepada bank devisa serta penjelasan tertulis dan dokumen pendukung bagi penerimaan DHE berlaku untuk PEB dengan nilai lebih besar dari USD10,000.00 atau ekuivalennya. Penyampaian informasi yang tercantum pada PEB terkait DHE melalui bank devisa dilakukan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima. 5. Dalam hal eksportir menerima DHE secara tunai untuk PEB dengan nilai lebih besar dari USD10,000.00 atau ekuivalennya maka eksportir wajib menyampaikan penjelasan tertulis beserta dokumen pendukung paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran PEB. 6. Untuk penerimaan DHE yang berasal dari cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, collection yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 bulan setelah bulan pendaftaran PEB, eksportir harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung kepada bank devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran PEB. Dalam hal batas akhir merupakan hari libur maka penyampaiannya dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. 7. Dalam hal DHE lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 maka DHE yang diterima dianggap sesuai dengan nilai PEB dan eksportir tidak perlu menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung. 8. Untuk selisih kurang nilai DHE dengan Nilai PEB lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00, yang disebabkan oleh: a. selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya lainnya terkait perdagangan internasional, sehingga terdapat selisih kurang antara DHE dan Nilai PEB paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai PEB; dan/atau b. maklon, jasa perbaikan, operational leasing atau financial leasing, perbedaan penilaian harga barang pada saat perjanjian ekspor dengan harga pada saat barang diterima, perbedaan komposisi barang, perbedaan kualitas barang, dan/atau perbedaan kuantitas barang, penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung disampaikan kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima oleh eksportir melalui Bank Devisa.
102
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
9. Dalam hal terdapat perbedaan antara data PEB yang disampaikan eksportir dengan data PEB yang diterima dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) maka Bank Indonesia dapat memutuskan data PEB yang dijadikan sebagai acuan pemenuhan ketentuan DHE dan menginformasikan perbedaan antara data PEB dimaksud kepada DJBC. 10. Penerimaan DHE yang lebih kecil dari nilai PEB yang disebabkan netting antara tagihan ekspor dengan kewajiban eksportir hanya diperbolehkan untuk netting dengan pembayaran impor barang terkait kegiatan ekspor yang bersangkutan, sepanjang terdapat kesepakatan netting antara eksportir yang bersangkutan dengan importir terkait (counterparty). Penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting dianggap sesuai dengan nilai PEB apabila eksportir menyampaikan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung yang memadai. 11. Dalam hal importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force majeure) maka untuk: • eksportir yang menerima DHE lebih kecil dari Nilai PEB, dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 maka eksportir harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung yang memadai paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB kepada bank devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia; • eksportir yang tidak menerima DHE, atau menerima DHE secara tunai lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 maka eksportir harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB. Untuk ekspor yang dilakukan dengan dari cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, dan/atau collection yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 bulan setelah bulan pendaftaran PEB maka eksportir harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung terkait importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa paling lama 14 hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran. 12. Dalam hal ekspor dilakukan melalui Perusahaan Jasa Titipan (PJT), kewajiban penyampaian informasi dan penjelasan tertulis yang disertai dokumen pendukung menjadi tanggung jawab pemilik
103
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
barang. Dalam hal ini PJT harus menyampaikan informasi terkait PEB kepada pemilik barang. B. Pengenaan Sanksi 1. Eksportir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DHE dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,5% dari nilai nominal DHE yang belum diterima dengan nominal paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 untuk satu bulan pendaftaran PEB. 2. Dalam hal ekspor dilakukan melalui PJT, maka sanksi denda dan sanksi penangguhan atas pelayanan ekspor dikenakan kepada pemilik barang. 3. Pembayaran sanksi administratif berupa denda disetorkan ke Bank Indonesia yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. C. Ketentuan Peralihan Penerimaan DHE yang dilakukan tidak melalui Bank Devisa karena telah diperjanjikan pembayarannya melalui trustee yang berada di luar Indonesia, tidak wajib diterima melalui Bank Devisa sampai dengan tanggal 30 Juni 2013. Dalam hal ini, eksportir harus menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung. D. Ketentuan Penutup 1. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013. 2. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Ketentuan Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/22/PBI/ 2011 tentang Kewajiban Pelaporan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5243); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5241); dan c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/11/PBI/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5338), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
104
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
14/26/PBI/2012
27 Desember 2012
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank mengatur mengenai cakupan kegiatan usaha dan pembukaan jaringan kantor sesuai dengan modal inti Bank yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan dan daya saing perbankan nasional. 2. Pokok-pokok pengaturan PBI ini meliputi antara lain: a. Umum 1. Bank hanya dapat melakukan kegiatan usaha dan memiliki jaringan kantor sesuai dengan modal inti yang dimiliki. 2. Ketentuan ini berlaku untuk Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dari Bank Umum Konvensional dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri (Kantor Cabang Bank Asing – KCBA) b. Pengaturan Kegiatan Usaha Bank 1. Berdasarkan modal inti yang dimiliki Bank dikelompokkan dalam 4 kelompok usaha (Bank Umum Kelompok Usaha – BUKU) sebagai berikut: a. BUKU 1, Bank dengan modal inti kurang dari Rp1 Triliun; b. BUKU 2, Bank dengan modal inti Rp1 Triliun sampai dengan kurang dari Rp5 Triliun; c. BUKU 3, Bank dengan modal inti Rp5 Triliun sampai dengan kurang dari Rp30 Triliun; dan d. BUKU 4, Bank dengan modal inti di atas Rp30 Triliun. 2. Cakupan produk dan aktivitas yang dapat dilakukan BUKU sebagai berikut: i. Bank Umum Konvensional a. BUKU 1 hanya dapat melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar dalam Rupiah, kegiatan pembiayaan perdagangan, kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerjasama, kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas, kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit, dan jasa lainnya, dalam Rupiah. BUKU 1 hanya dapat melakukan kegiatan valuta asing terbatas sebagai pedagang valuta asing.
105
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
b. BUKU 2 dapat melakukan kegiatan produk atau aktivitas dalam rupiah dan valuta asing dengan cakupan yang lebih luas dari BUKU 1. BUKU 2 dapat melakukan kegiatan treasury terbatas mencakup spot dan derivatif plain vanilla serta melakukan penyertaan sebesar 15% pada lembaga keuangan didalam negeri; c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam Rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar 25% pada lembaga keuangan di dalam dan di luar negeri terbatas di kawasan Asia. d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar 35% pada lembaga keuangan di dalam dan di luar negeri dengan cakupan wilayah yang lebih luas dari BUKU 3 (international world wide). ii. Bank Umum Syariah a. BUKU 1 hanya dapat melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar dalam Rupiah, serta kegiatan pembiayaan perdagangan, kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerjasama, kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas, kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan, dan jasa lainnya, dalam Rupiah berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. BUKU 1 hanya dapat melakukan kegiatan dalam valuta asing terbatas sebagai pedagang valuta asing. b. BUKU 2 hanya dapat melakukan kegiatan produk atau aktivitas dalam Rupiah dan valuta asing dengan cakupan yang lebih luas dan berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. BUKU 2 dapat melakukan kegiatan treasury terbatas mencakup transaksi spot dan kegiatan treasury dasar lainnya berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, serta melakukan penyertaan sebesar 15% pada lembaga keuangan syariah di dalam negeri; c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam Rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar 25% pada lembaga keuangan syariah di dalam dan di luar negeri terbatas di kawasan Asia;
106
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam Rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar 35% pada lembaga keuangan dalam dan luar negeri dengan cakupan wilayah yang lebih luas dari BUKU 3 (international world wide). 3. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Unit Usaha Syariah mengacu pada kegiatan usaha Bank Umum Syariah sesuai dengan kelompok BUKU dari Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya; dan untuk kegiatankegiatan usaha tertentu yang tidak termasuk produk atau aktivitas dasar bank syariah (kegiatan usaha Bank Umum Syariah BUKU 1) hanya dapat dilakukan oleh Unit Usaha Syariah setelah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. 4. Bagi Bank Umum Konvensional yang melakukan penyertaan kepada Bank Umum Syariah sebesar 5% dari modal Bank atau lebih, diberikan tambahan batasan penyertaan sebesar 5% dari modal Bank sehingga batasan penyertaan modal pada BUKU 2 paling tinggi sebesar 20% dan BUKU 3 sebesar 30% dari modal Bank. 5. Bank dalam semua BUKU wajib menyalurkan kredit atau pembiayaan produktif termasuk kredit atau pembiayaan kepada UMKM dengan target tertentu, yaitu: a. BUKU 1 paling rendah 55% dari total kredit atau pembiayaan; b. BUKU 2 paling rendah 60% dari total kredit atau pembiayaan; c. BUKU 3 paling rendah 65% dari total kredit atau pembiayaan; d. BUKU 4 paling rendah 70% dari total kredit atau pembiayaan 6. Pengecualian kewajiban menyalurkan kredit atau pembiayaan produktif diberikan kepada Bank yang memfokuskan diri untuk membiayai kepemilikan rumah untuk kepentingan rakyat paling kurang 75% dari total kredit atau pembiayaan. 7. Bank wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk melakukan produk/aktivitas tertentu yang bukan merupakan cakupan produk atau aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi, antara lain penerbitan structure product, penerbitan surat utang ekuitas dan kegiatan jasa sistem pembayaran.
107
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
c. Pengaturan Jaringan Kantor 1. Persyaratan pembukaan jaringan kantor adalah Tingkat Kesehatan Bank dan alokasi modal inti (Theoretical Capital – TC) sesuai lokasi dan jenis kantor Bank. 2. BUKU 3 dapat membuka kantor cabang, kantor perwakilan dan jenis kantor lainnya didalam dan luar negeri terbatas di kawasan Asia. Sedangkan BUKU 4 dapat membuka kantor cabang, kantor perwakilan dan jenis kantor lainnya di wilayah yang lebih luas dari BUKU 3 (international world wide). 3. Dalam perhitungan ketersediaan modal inti untuk jaringan kantor, Bank Indonesia menetapkan: a. pembagian zona berdasarkan tingkat kejenuhan Bank dan pemerataan pembangunan; b. koefisien masing-masing zona; dan c. biaya investasi pembukaan jaringan kantor Bank untuk masingmasing BUKU. 4. Bank wajib menyediakan alokasi modal inti yang cukup bagi seluruh jaringan kantor yang dimiliki bank. Dalam hal Bank tidak memiliki ketersediaan alokasi modal inti yang cukup, Bank tidak dapat melakukan pembukaan jaringan kantor yang baru sampai terpenuhinya peningkatan modal untuk mencukupi alokasi modal inti yang dibutuhkan. Bank masih dapat dipertimbangkan untuk membuka jaringan kantor yang baru apabila bank menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada UMKM minimal 20% atau UMK minimal 10% dari total kredit atau pembiayaan bank serta terdapat upaya pemupukan modal yang dilakukan bank. 5. Dalam menentukan jumlah jaringan kantor yang dapat dibuka, selain pertimbangan TKS, alokasi modal inti, pangsa UMKM/UMK dan pemupukan modal, Bank Indonesia akan mempertimbangkan: a. Memberikan insentif tambahan jumlah jaringan kantor yang dapat dibuka bagi Bank yang memiliki ketersediaan alokasi modal inti yang cukup dan menyalurkan kredit UMKM paling rendah 20% atau UMK paling rendah 10%. b. pencapaian efisiensi bank. 6. Ketersedian alokasi modal inti tidak diberlakukan bagi: a. pembukaan Kantor Fungsional yang melakukan kegiatan operasional khusus penyaluran kredit atau pembiayaan kepada UMK;
108
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
b. pembukaan Jaringan Kantor bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusatnya. 7. Dalam rangka perimbangan penyebaran jaringan kantor, Bank dalam BUKU 3 dan BUKU 4 yang membuka jaringan kantor di Zona 1 atau Zona 2 dalam jumlah tertentu wajib diikuti dengan pembukaan jaringan kantor di Zona 5 atau Zona 6 dengan jumlah tertentu. Kewajiban ini dikecualikan bagi bank yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemda yang melakukan pembukaan kantor di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan provinsi tempat kedudukan kantor pusatnya. d. Rencana Tindak (Action Plan) 1. Bank wajib menyampaikan rencana tindak penyesuaian kegiatan usaha, kegiatan valuta asing, penyertaan, dan pemenuhan kewajiban penyaluran kredit atau pembiayaan produktif paling lambat akhir bulan Maret 2013. 2. Rencana tindak yang telah disetujui Bank Indonesia tersebut, akan dijadikan acuan bagi Bank dalam merevisi RBB yang disampaikan paling lambat akhir bulan Juni 2013. 3. Jangka waktu untuk melakukan penyesuaian produk, aktivitas, dan penyertaan paling lama akhir Juni 2016. Sedangkan bagi BPD jangka waktu penyesuaian paling lambat Juni 2018. e. Perlakuan pengawasan terhadap Bank yang mengalami penurunan Modal Inti. Bank yang mengalami penurunan Modal Inti sehingga mengalami penurunan BUKU selama 3 bulan berturut-turut wajib menyusun rencana tindak yang dapat berupa penghentian kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan BUKU atau menambah modal. Bank diberikan jangka waktu 1 tahun untuk menyelesaikan pelaksanaan action plan tersebut. f. Pengenaan sanksi kepada Bank. Pengenaan sanksi kepada Bank mengacu kepada Pasal 52 UU Perbankan atau Pasal 58 UU Perbankan Syariah yaitu teguran tertulis, penurunan peringkat Tingkat Kesehatan, larangan pembukaan jaringan kantor dan/atau pembekuan kegiatan usaha tertentu. g. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, beberapa peraturan dibawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku yaitu:
109
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No.5/10/PBI/2003 tanggal 11 Juni 2003 tentang Prinsip Kehatihatian dalam Penyertaan Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4296). 2. Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 huruf b Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.28/64/KEP/DIR tanggal 7 September 1995 tentang Persyaratan Bank Umum Bukan Bank Devisa Menjadi Bank Umum Devisa. 3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.28/64/KEP/DIR tanggal 7 September 1995 tentang Persyaratan Bank Umum Bukan Bank Devisa Menjadi Bank Umum Devisa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, pada saat berlakunya peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini yang mengatur mengenai kegiatan valuta asing bagi Bank.
14/27/PBI/2012 28 Desember 2012
I. Latar Belakang Dengan adanya dinamika nasional, regional maupun global yang diiringi dengan perkembangan produk, aktivitas dan teknologi informasi bank yang semakin kompleks, sehingga berpotensi akan meningkatkan peluang bagi para pelaku kejahatan untuk menyalahgunakan fasilitas dan produk perbankan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, dengan modus operandi yang lebih canggih. Selain itu, Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) juga mengalami penyesuaian sehingga menjadi lebih komprehensif dalam mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Sehubungan dengan hal tersebut, Ketentuan Bank Indonesia mengenai Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum yang selama ini diterapkan, dinilai perlu disesuaikan dalam rangka harmonisasi dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan standar internasional. Penyesuaian pengaturan tersebut antara lain meliputi: a. Pengaturan mengenai transfer dana. b. Pengaturan mengenai area berisiko tinggi.
110
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
c. Pengaturan Customer Due Dilligence (CDD) sederhana khususnya dalam rangka mendukung dengan strategi nasional dan global keuangan inklusif (financial inclusion). d. Pengaturan mengenai Cross Border Correspondent Banking. II. Pokok-pokok pengaturan 1. Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris Pengawasan aktif Direksi paling kurang mencakup: a. memastikan Bank memiliki kebijakan dan prosedur program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT); b. mengusulkan kebijakan tertulis program APU dan PPT kepada Dewan Komisaris; c. memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan; d. membentuk unit kerja khusus yang melaksanakan program APU dan PPT dan/atau menunjuk Pejabat yang bertanggungjawab terhadap Program APU dan PPT di Kantor Pusat; e. melakukan pengawasan atas kepatuhan satuan kerja dalam menerapkan program APU dan PPT; f. memastikan bahwa kantor cabang wajib memiliki unit kerja khusus dan memiliki: 1. pegawai yang menjalankan fungsi unit kerja khusus; atau 2. pejabat yang mengawasi penerapan program APU dan PPT. g. memastikan bahwa kantor cabang dengan kompleksitas usaha yang tinggi memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas dan terpisah dari satuan kerja yang melaksanakan kebijakan dan prosedur program APU dan PPT. h. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai program APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, dan teknologi Bank serta sesuai dengan perkembangan modus pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan i. memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai dari unit kerja terkait dan pegawai baru, telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan program APU dan PPT secara berkala. Sementara itu, Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang mencakup: a. persetujuan atas kebijakan penerapan program APU dan PPT; dan
111
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
b. pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan program APU dan PPT 2. Kebijakan dan prosedur Dalam menerapkan program APU dan PPT, Bank wajib memiliki pedoman pelaksanaan Program APU dan PPT yang memuat kebijakan dan prosedur tertulis paling kurang mencakup: a. Permintaan informasi dan dokumen; b. Beneficial Owner; c. Verifikasi dokumen; d. CDD yang lebih sederhana; e. Penutupan hubungan dan penolakan transaksi; f. Ketentuan mengenai area berisiko tinggi dan PEP; g. Pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga; h. Pengkinian dan pemantauan; i. Cross Border Correspondent Banking; j. Transfer dana; k. Penatausahaan dokumen; dan l. Pelaporan kepada PPATK 3. Pengendalian Intern Bank wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif. Dalam memastikan efektivitas penerapan program APU dan PPT oleh Bank, Bank mengoptimalkan satuan kerja Audit Intern yang telah ada antara lain untuk melakukan uji kepatuhan (termasuk penggunaan sample testing) terhadap kebijakan dan prosedur yang terkait dengan program APU dan PPT Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif antara lain dibuktikan dengan: a. dimilikinya kebijakan, prosedur, dan pemantauan internal yang memadai; b. adanya batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja terkait dengan penerapan program APU dan PPT; dan c. dilakukannya pemeriksaan untuk memastikan efektivitas pelaksanaan program APU dan PPT oleh satuan kerja audit intern. 4. Sistem informasi manajemen Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah Bank. Sistem informasi tersebut harus dapat memungkinkan Bank untuk menelusuri setiap transaksi (individual transaction) apabila diperlukan, baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia, maupun dalam kaitannya dengan kasus peradilan.
112
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
Selain itu, Bank wajib memiliki dan memelihara profil Nasabah secara terpadu (Single Customer Identification File), yang merupakan data profil Nasabah yang mencakup seluruh rekening yang dimiliki oleh satu Nasabah pada suatu Bank antara lain tabungan, deposito, giro dan kredit, serta memiliki dan memelihara profil WIC. 5. Sumber daya manusia dan pelatihan Untuk mencegah digunakannya Bank sebagai media atau tujuan pencucian uang atau pendanaan terorisme yang melibatkan pihak intern Bank, Bank wajib melakukan: a. prosedur penyaringan dalam rangka penerimaan karyawan baru (pre employee screening); dan b. pengenalan dan pemantauan terhadap profil karyawan. Pemanfaatan jasa perbankan sebagai media pencucian uang dan pendanaan terorisme dimungkinkan juga melibatkan karyawan Bank itu sendiri. Dengan demikian untuk mencegah ataupun mendeteksi terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui lembaga perbankan perlu diterapkan Know Your Employee (KYE) yang diantaranya adalah melalui prosedur pre employee screening, pengenalan dan pemantauan profil yang mencakup karakter, perilaku dan gaya hidup karyawan. Bank wajib menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan tentang: a. implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program APU dan PPT; b. teknik, metode, dan tipologi pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan c. Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta peran dan tanggungjawab pegawai dalam memberantas pencucian uang atau pendanaan terorisme. 6. Penerapan Program APU dan PPT bagi Kantor Cabang dari Bank yang Berbadan hukum Indonesia di luar negeri Dalam hal ini berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Bank yang berbadan hukum Indonesia wajib meneruskan kebijakan dan prosedur program APU dan PPT ke seluruh jaringan kantor dan anak perusahaan di luar negeri, dan memantau pelaksanaannya. b. Dalam hal di negara tempat kedudukan kantor Bank memiliki peraturan APU dan PPT yang lebih ketat, maka kantor Bank dimaksud wajib tunduk pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas negara dimaksud.
113
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
c. Dalam hal di negara tempat kedudukan kantor Bank belum mematuhi rekomendasi FATF atau sudah mematuhi namun standar Program APU dan PPT yang dimiliki lebih, kantor Bank dimaksud wajib menerapkan Program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. d. Dalam hal penerapan Program APU dan PPT mengakibatkan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat kedudukan kantor Bank berada maka pejabat kantor Bank di luar negeri tersebut wajib menginformasikan kepada kantor pusat Bank dan Bank Indonesia. 7. Pelaporan Dalam menerapkan program APU dan PPT, Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia: a. penyesuaian action plan pelaksanaan program APU dan PPT dalam laporan pelaksanaan tugas Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan pada bulan Juni 2013; b. penyesuaian Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling lambat 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia; c. laporan rencana kegiatan pengkinian data disampaikan setiap tahun dalam Laporan Direktur yang membawahkan fungsi Kepatuhan bulan Desember; dan d. laporan realisasi pengkinian data disampaikan setiap tahun dalam laporan pelaksanaan tugas Direktur yang membawahkan fungsi Kepatuhan bulan Desember. 8. Sanksi Terdapat pengenaan sanksi administratif terhadap kewajiban penyampaian pedoman dan laporan berupa: a. kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dan setinggi-tingginya Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). b. dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Selain itu, terhadap Bank yang: a. tidak melaksanakan komitmen penyelesaian hasil temuan pemeriksaan Bank Indonesia dalam kurun waktu 2 (dua) kali pemeriksaan; dan/ atau b. tidak melaksanakan komitmen yang telah dituangkan dalam action plan dan/atau rencana kegiatan pengkinian data,
114
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
c. tidak melaksanakan kebijakan dan prosedur yang tertuang dalam pedoman pelaksanaan program APU dan PPT yang berdampak signifikan terhadap pelaksanaan program APU dan PPT, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 9. Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank Indonesia No.11/28/PBI/2009 mengenai Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5032), dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Seluruh ketentuan Bank Indonesia yang mengacu kepada ketentuan mengenai Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum selanjutnya mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia ini, kecuali diatur tersendiri.
115
Halaman ini sengaja dikosongkan
116
RINGKASAN SURAT EDARAN BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2012 No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
14/24/DSM
7 September 2012
1. Surat Edaran Nomor 14/24/DSM Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.14/4/PBI/2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 Tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank. Surat Edaran ini mencabut Surat Edaran No. 13/21/DSM tanggal 15 Agustus 2011 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank. 2. Pokok-pokok aturan dalam Surat Edaran ini yang berubah dibandingkan aturan sebelumnya mencakup: a. Penyesuaian batas waktu penyampaian Laporan LLD dan koreksi laporan LLD, yaitu: 1. Penyampaian laporan LLD dari sebelumnya paling lama tanggal 10 menjadi tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan periode laporan. 2. Penyampaian koreksi laporan LLD dari sebelumnya paling lama tanggal 15 menjadi tanggal 20 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan periode laporan. b. Pengunduran waktu pemberlakuannya sanksi atas Laporan LLD dan koreksi Laporan LLD, yaitu dari sebelumnya mulai data periode laporan Januari 2012 yang disampaikan pada bulan Februari 2012 menjadi mulai data periode laporan Juli 2012 yang disampaikan pada bulan Agustus 2012. 3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 September 2012 dan berlaku surut sejak tanggal 2 Januari 2012.
14/25/DPbS
12 September 2012
1. Surat Edaran Bank Indonesia ini merupakan petunjuk pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia No. 14/6/PBI/2012 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah tanggal 18 Juni 2012. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan atas ketentuan sebelumnya
117
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/6/DPbS tanggal 8 Maret 2010 perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. 2. Surat Edaran Bank Indonesia ini menjelaskan secara lebih rinci uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai berikut: a. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT New Entry) terhadap calon Pemegang Saham Pengendali (PSP), calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), calon Direktur UUS yang telah ditetapkan sejak awal hanya akan menjabat sebagai Direktur UUS, dan calon pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing (KPwBA); b. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) terhadap: 1. PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS dan BPRS, Direktur UUS, dan Pejabat Eksekutif UUS, serta pemimpin KPwBA; dan 2. Pihak yang sudah tidak menjadi PSP BUS dan BPRS atau tidak menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS dan BPRS, Direktur UUS, dan Pejabat Eksekutif UUS, serta pemimpin KPwBA, namun yang bersangkutan ditengarai terlibat atau bertanggung jawab terhadap perbuatan atau tindakan yang sedang dalam proses uji kemampuan dan kepatutan pada BUS, BPRS, UUS, atau KPwBA. c. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT New Entry) tidak dilakukan terhadap perpanjangan jabatan bagi anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi BUS atau BPRS, Direktur UUS, dan pemimpin KPwBA kecuali perpanjangan jabatan untuk “Bank Syariah hasil penggabungan” yang berasal dari “Bank Syariah yang menerima penggabungan (surviving bank)”. 3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mengatur secara lebih jelas mengenai rincian dokumen administratif dalam uji kemampuan dan kepatutan (FPT New Entry) yang harus dipenuhi oleh calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi BUS dan BPRS, calon Direktur UUS yang telah ditetapkan sejak awal hanya akan menjabat sebagai Direktur UUS, dan calon pemimpin KPwBA, berikut contoh format dokumen administratif yang dipersyaratkan.
118
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
4. Surat Edaran Bank Indonesia ini mengatur lebih rinci mengenai tata cara (proses) uji kemampuan dan kepatutan (FPT New Entry) terhadap calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi BUS dan BPRS, calon Direktur UUS yang telah ditetapkan sejak awal hanya akan menjabat sebagai Direktur UUS, dan calon pemimpin KpwBA, yang meliputi: a. penelitian administratif; b. pelaksanaan wawancara; dan c. penetapan hasil penilaian. 5. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini dijelaskan secara lebih rinci pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) terhadap PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS dan BPRS, Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, dan pemimpin KPwBA yang terindikasi memiliki permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan dan/atau kompetensi, yang meliputi: a. Cakupan yang menjadi obyek uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) terkait dengan permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan dan/atau kompetensi untuk PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS dan BPRS, Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, dan pemimpin KPwBA; b. Tata cara atau prosedur yang dilakukan dalam uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) terhadap PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS dan BPRS, Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, dan pemimpin KPwBA; dan c. Penetapan hasil dan konsekuensi atas hasil uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) bagi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS dan BPRS, Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, dan pemimpin KPwBA. 6. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) dilakukan setiap saat berdasarkan bukti, data dan informasi yang diperoleh dari hasil pengawasan (off site supervision dan/atau on site supervision) maupun informasi lainnya yang diperoleh Bank Indonesia. 7. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) dilakukan dengan melalui 4 (empat) langkah yaitu:
119
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
a. klarifikasi bukti, data dan informasi kepada pihak yang diuji; b. penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak yang diuji; c. tanggapan dari pihak yang diuji terhadap hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan; dan d. penetapan dan pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak yang diuji. 8. Penetapan hasil uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) dilakukan berdasarkan tingkat keterlibatan atau peranan pihak yang diuji terhadap permasalahan atau tindakan pelanggaran yang dilakukan, yang dikategorikan menjadi Pelaku dan Pelaku Pembantu. 9. Apabila PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin KPwBA dinyatakan Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) karena memiliki permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan dan/atau kompetensi pada BUS, UUS, BPRS atau KPwBA maka yang bersangkutan dilarang: a. menjadi PSP pada seluruh BUS dan BPRS; b. menjadi pemegang saham lebih dari 10% (sepuluh persen) pada seluruh BUS dan BPRS; c. menjadi pemegang saham pada Bank Umum Konvensional atau Bank Perkreditan Rakyat; dan/atau d. bertindak sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin KPwBA pada industri perbankan, sejak tanggal surat penetapan Bank Indonesia. 10. Jangka waktu larangan terhadap PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin KPwBA dinyatakan Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) dibedakan menjadi 3 (tiga) tahun, 5 (lima) tahun dan 20 (dua puluh) tahun sesuai dengan perbuatan atau tindakan pelanggaran yang dilakukan.
14/26/DKBU
19 September 2012
1. Surat Edaran yang diterbitkan tanggal 19 September 2012 ini merupakan tindak lanjut amanat pasal 2A PBI Nomor 13/26/PBI/2011 tanggal 28 Desember 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat yang
120
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
telah diterbitkan dan mulai berlaku pada tanggal 28 Desember 2011. SE ini mewajibkan BPR untuk memiliki pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan secara tertulis. 2. SE Ekstern melampirkan Pedoman Standar Kebijakan Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat yang merupakan acuan standar minimal yang wajib dipenuhi oleh BPR dalam menyusun Pedoman Kebijakan Perkreditan BPR (PKPB). BPR harus menyusun dan mengembangkan Pedoman Kebijakan Perkreditan BPR sesuai dengan kebutuhan, struktur organisasi BPR dan kompleksitas operasional usahanya dengan tetap mengacu pada Pedoman Standar Kebijakan Perkreditan bagi BPR sebagaimana lampiran SE Ekstern. 3. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan penting dimiliki oleh setiap BPR dalam rangka: a. Meningkatkan governance BPR terutama dalam pelaksanaan operasional perkreditan. b. Memastikan penerapan prinsip kehati-hatian dan azas-azas perkreditan yang sehat dalam pelaksanaan perkreditan BPR. c. Pelaksanaan mitigasi risiko terhadap penambahan jenis dan bentuk pengikatan agunan yang dapat digunakan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan PPAP sebagaimana diatur dalam PBI No.13/26/2011 dalam rangka peningkatan akses kredit UMKM kepada BPR. 4. Pokok-pokok kebijakan perkreditan BPR yang mengacu pada Pedoman Standar KPB paling kurang mencakup: a. Kebijakan Pokok dalam Perkreditan, yang paling kurang meliputi: 1. Prinsip Kehati-hatian dalam Perkreditan; 2. Organisasi dan Manajemen Perkreditan; 3. Kebijakan Persetujuan Kredit; 4. Dokumentasi dan Administrasi Kredit; 5. Pengawasan Kredit; dan 6. Penanganan Kredit Bermasalah; b. Transparansi, yang merupakan kebijakan BPR untuk memberikan informasi dengan lengkap dan jelas mengenai kredit yang ditawarkan kepada debitur/calon debitur. Informasi tersebut paling kurang meliputi: 1. Informasi mengenai karakteristik kredit yang ditawarkan kepada debitur/calon debitur yang mencakup nama kredit yang ditawarkan, manfaat dan risiko yang melekat, persyaratan kredit, biaya-biaya yang melekat, perhitungan bunga dan jangka waktu kredit yang ditawarkan; dan
121
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
2. Kejelasan mengenai bentuk dan isi Perjanjian Kredit serta pengikatan agunan. 5. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan aktif terhadap pelaksanaan kebijakan perkreditan, yang paling kurang mencakup: a. Menelaah dan menyetujui kebijakan perkreditan BPR yang diusulkan oleh Direksi; b. Mengawasi pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan BPR; c. Melaporkan hasil pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan dan prosedur perkreditan BPR oleh Direksi kepada Bank Indonesia dalam laporan pelaksanaan rencana kerja. d. Laporan hasil pengawasan tersebut paling kurang memuat: 1. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit 2. Penilaian terhadap pelaksanaan penanganan kredit bermasalah 6. BPR melakukan evaluasi atas PKPB untuk memastikan PKPB telah sesuai dengan perkembangan organisasi dan kompleksitas operasional BPR. Perubahan/perbaikan terhadap PKPB yang dilakukan atas dasar hasil evaluasi tersebut harus tetap mengacu pada Pedoman Standar KPB ini. 7. BPR wajib menyampaikan PKPB kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 28 Desember 2012, sedangkan bagi BPR yang didirikan setelah tanggal 28 Desember 2012, wajib menyampaikan PKPB kepada Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak izin usaha BPR diberikan.
14/27/DASP
25 September 2012
1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan sebagai aturan pelaksana Pasal 58B Peraturan Bank Indonesia No.14/2/PBI/2012 yang pada intinya mewajibkan Penerbit Kartu Kredit melakukan penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit khususnya yang dimiliki Pemegang Kartu Kredit yang berpendapatan antara Rp3juta s.d. Rp10juta tiap bulan. Penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit ini untuk meningkatkan penerapan aspek kehati-hatian, dan aspek manajemen risiko pemberian kredit dalam penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK). 2. Pokok-pokok materi pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini antara lain: a. penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit, yang meliputi pengaturan mengenai:
122
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
1. kewajiban Penerbit Kartu Kredit menyampaikan seluruh data Pemegang Kartu Kredit kepada asosiasi Penerbit Kartu Kredit; 2. pelaksanaan kompilasi dan identifikasi data Pemegang Kartu Kredit oleh asosiasi Penerbit Kartu Kredit; 3. penyampaian hasil identifikasi data Pemegang Kartu Kredit oleh asosiasi Penerbit Kartu Kredit; 4. kewajiban Penerbit menutup/mengakhiri penggunaan Kartu Kredit, serta melakukan penyesuaian Kartu Kredit yang dimiliki oleh Pemegang Kartu Kredit yang memiliki pendapatan tiap bulan antara Rp3juta s.d. Rp10juta; 5. kewajiban Penerbit Kartu Kredit untuk meminta Pemegang Kartu Kredit memilih/menentukan sendiri Kartu Kredit yang akan ditutup dan/atau disesuaikan; dan 6. penyelesaian tagihan Kartu Kredit. b. konsultasi dengan Bank Indonesia, yang meliputi pengaturan mengenai: 1. persyaratan dan tata cara permohonan konsultasi; 2. pelaksanaan konsultasi: tahap konsultasi awal, tahap konsultasi lanjutan, dan tahap pelaksanaan hasil konsultasi; c. metode penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit, yaitu: 1. penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit berdasarkan kualitas kredit dan masa perolehan Kartu Kredit; dan 2. penyesuaian plafon Kartu Kredit. d. pengawasan dan laporan perkembangan penyesuaian Kartu Kredit, meliputi pelaporan hasil identifikasi data Pemegang Kartu Kredit, dan pelaporan pelaksanaan hasil konsultasi. 3. Dalam melakukan penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit, Penerbit diberikan jangka waktu selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 2013. Dengan demikian per 1 Januari 2015, seluruh Pemegang Kartu Kredit telah memenuhi persyaratan batas minimum usia, batas minimum pendapatan, batas maksimum plafon kredit, dan batas maksimum jumlah Penerbit Kartu Kredit yang memberikan fasilitas Kartu Kredit.
14/28/DPM
17 September 2012
1. Peraturan ini diterbitkan untuk melakukan penyempurnaan mekanisme Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dalam rangka Standing Facilities Syariah (Repo SBSN).
123
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
2. Repo SBSN merupakan transaksi penjualan SBSN oleh BUS/UUS kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh BUS/UUS sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati dalam rangka Standing Facilities Syariah. 3. Akad yang digunakan dalam Repo SBSN adalah menggunakan akad al bai’ (jual beli) yang disertai dengan al wa’d (janji) oleh BUS/UUS kepada Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN. 4. Repo SBSN dilakukan melalui mekanisme non lelang, dengan jangka waktu Repo SBSN adalah 1 hari kerja (overnight). 5. BUS/UUS dapat mengikuti Repo SBSN untuk kepentingan sendiri, dengan memenuhi syarat : a. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS; b. tidak dalam masa pengenaan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS; c. memiliki rekening giro di Sistem BI-RTGS; dan d. memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS. 6. SBSN yang dapat di-repo-kan memenuhi syarat sebagai berikut : a. SBSN Jangka Panjang dan SBSN Jangka Pendek; b. tercatat dalam Rekening Surat Berharga di BI-SSSS; c. tidak sedang diagunkan; dan d. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja pada saat second leg Repo SBSN. 7. Window time Repo SBSN adalah pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB pada setiap hari kerja. BUS/UUS dapat mengajukan Repo SBSN melalui BI-SSSS yang meliputi antara lain nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan. 8. Atas Repo SBSN, Bank Indonesia menetapkan Marjin Repo SBSN yaitu tingkat keuntungan (profit rate) dalam setahun (per annum) yang disepakati oleh para pihak yang melakukan transaksi Repo SBSN. Bank Indonesia menetapkan Marjin Repo SBSN sebesar BI-Rate yang berlaku pada tanggal transaksi ditambah marjin tertentu. 9. Setelmen dilakukan melalui BI-SSSS dengan ketentuan sebagai berikut:
124
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
a. first leg • setelmen first leg dilakukan pada tanggal setelmen setelah pre cut off Sistem BI-RTGS. • BUS/UUS wajib menyediakan jenis dan seri SBSN yang direpokan dalam jumlah yang cukup untuk setelmen first leg. b. second leg • setelmen second leg dilakukan pada tanggal setelmen second leg BI-SSSS secara otomatis sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan cut off warning Sistem BI-RTGS. • BUS/UUS wajib menyediakan saldo Rekening Giro dalam jumlah yang cukup untuk setelmen second leg. 10. Dalam hal BUS/UUS tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen second leg, Repo SBSN diperlakukan sebagai transaksi penjualan secara outright. 11. Atas pembatalan Repo SBSN karena tidak terpenuhinya kewajiban setelmen, BUS/UUS dikenakan sanksi : a. sanksi teguran tertulis; b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai transaksi Repo SBSN yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.00,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); c. dalam hal BUS/UUS melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, BUS/UUS dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut; dan d. sanksi tambahan dalam hal terjadi kegagalan setelmen second leg dan harga SBSN pada saat second leg lebih rendah dari harga SBSN pada transaksi first leg. 12. Surat Edaran Bank Indonesia ini mencabut: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/44/DPM tanggal 10 Desember 2008 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Dengan Bank Indonesia; b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/24/DPM tanggal 30 Agustus 2010 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/44/DPM tanggal 10 Desember 2008 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Dengan Bank Indonesia.
125
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
14/29/DPU
16 Oktober 2012
1. Surat Edaran Bank Indonesia mengenai tata cara penitipan sementara surat yang berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia diterbitkan dengan pertimbangan: a. sebagai ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.14/13/PBI/2012 tanggal 16 Oktober 2012 tentang Penitipan Sementara Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 191, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5350); b. memberikan informasi mengenai tata cara penitipan sementara surat yang berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia kepada masyarakat. 2. Materi pokok yang tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia mengenai tata cara penitipan sementara surat yang berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia meliputi: a. tata cara penerimaan barang yang akan dititipkan dari calon penitip kepada Bank Indonesia; b. tata cara pengambilan titipan baik pada tanggal jatuh waktu maupun sebelum tanggal jatuh waktu; c. tata cara penggantian Bukti Titipan Sementara yang hilang atau rusak; d. tata cara perpanjangan jangka waktu titipan; e. waktu pelaksanaan penerimaan titipan, penyerahan titipan, penggantian BTS yang hilang atau rusak, atau perpanjangan jangka waktu titipan; f. tata cara penyelesaian titipan kedaluwarsa; dan g. tata cara pemutusan hubungan penitipan oleh Bank Indonesia. 3. Pada saat Surat Edaran BI ini mulai berlaku, Surat Edaran BI No.7/21/DPM tanggal 1 Juli 2005 perihal Tata Cara Penyimpanan Sekuritas, Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran BI No.11/20/DPM tanggal 4 Agustus 2009, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
14/30/DInt
22 Oktober 2012
I. Latar Belakang Perubahan Pengaturan 1. Review atas pengaturan Pinjaman Luar Negeri (PLN) Bank perlu dilakukan secara kontinu dalam upaya untuk senantiasa meningkatkan kredibilitas, kualitas dan efektifitas pengaturan, serta konsistensi kebijakan dengan melihat antara lain perkembangan kondisi perbankan, pasar keuangan, dan perekonomian.
126
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
2. Perubahan terhadap SE Ekstern No.9/1/DInt perihal PLN Bank dilakukan karena dipandang perlu memperjelas pengaturan PLN Bank khususnya mengenai mekanisme perpanjangan (roll over) PLN Bank. Dalam hal ini, cakupan roll over adalah roll over PLN Jangka Panjang dan/atau roll over PLN Jangka Pendek menjadi PLN Jangka Panjang. II. Bentuk Perubahan Penambahan satu butir ketentuan, yaitu butir I.D.3.f1 (di antara butir I.D.3.f dan I.D.3.g) mengenai realisasi persetujuan roll over PLN Jangka Panjang dan/atau roll over PLN Jangka Pendek menjadi PLN Jangka Panjang yang dapat disesuaikan dengan jatuh tempo per tranche. III. Pokok-pokok Perubahan Realisasi untuk persetujuan roll over PLN Jangka Panjang dan/atau roll over PLN Jangka Pendek menjadi PLN Jangka Panjang dapat disesuaikan dengan jatuh tempo per tranche. Dengan demikian, apabila realisasi PLN Bank pada awalnya dilakukan secara bertahap (dalam beberapa tranches), maka realisasi perpanjangan PLN tersebut dapat melampaui 3 (tiga) bulan dari tanggal persetujuan roll over sesuai dengan jatuh tempo masingmasing tranche pinjaman tersebut.
14/31/DPNP
31 Oktober 2012
1. Penyempurnaan SE BI ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No. 14/12/PBI/2012 tanggal 15 Oktober 2012 dan dalam rangka menciptakan keseragaman dalam penyusunan dan penyampaian Laporan Kantor Pusat Bank Umum. 2. Pokok-pokok pengaturan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini adalah menyempurnakan pedoman penyusunan laporan dan petunjuk teknis aplikasi laporan khususnya terkait dengan laporan-laporan sebagai berikut: 1. proyeksi arus kas. 2. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank yang meliputi: a. bancassurance; b. reksadana; dan c. produk keuangan luar negeri. 3. transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking. 4. structured products. 5. pejabat eksekutif.
127
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
6. jaringan kantor 7. laporan keuangan publikasi Bank 8. tenaga kerja perbankan 3. SE BI ini mulai berlaku sejak tanggal 1 November 2012.
14/32/DPM
7 November 2012
1. Repo SBSN Operasi Pasar Terbuka (OPT) Syariah merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk penambahan likuiditas Bank dalam rangka Operasi Moneter Syariah (OMS) atau ekspansi moneter. 2. Akad yang digunakan dalam Repo SBSN adalah menggunakan akad al bai’ (jual beli) yang disertai dengan al wa’d (janji) oleh BUS/UUS kepada Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN. 3. Repo SBSN OPT Syariah dapat dilakukan pada setiap hari kerja Bank Indonesia dengan jangka waktu Repo SBSN OPT Syariah paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari. 4. Repo SBSN OPT Syariah dilakukan melalui mekanisme lelang, baik lelang fixed rate tender maupun variable rate tender. 5. BUS/UUS dapat mengikuti Repo SBSN OPT Syariah untuk kepentingan sendiri, dengan memenuhi syarat : a. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS; b. tidak dalam masa pengenaan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS; c. memiliki rekening giro di Sistem BI-RTGS; dan d. memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS. 6. BUS/UUS dapat mengajukan penawaran Repo SBSN OPT Syariah secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara. 7. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah dan valuta asing, dan pialang pasar modal yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama. Lembaga Perantara Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan penawaran untuk kepentingan BUS/UUS dan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
128
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
a. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS; dan b. tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh otoritas pengawas yang berwenang. 8. SBSN yang dapat di-repo-kan memenuhi syarat sebagai berikut : a. SBSN Jangka Panjang dan SBSN Jangka Pendek; b. tercatat dalam Rekening Surat Berharga di BI-SSSS; c. tidak sedang diagunkan; dan d. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja pada saat second leg Repo SBSN. 9. Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Repo SBSN OPT Syariah melalui BI-SSSS paling lambat sebelum window time, pelaksanaan lelang antara pukul 08.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB. 10. Pengajuan penawaran Repo SBSN OPT Syariah antara lain meliputi: a. nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan, untuk lelang dengan metode fixed rate tender; atau b. nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan dan Marjin Repo SBSN, untuk lelang dengan metode variable rate tender. 11. Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Repo SBSN OPT Syariah setelah window time ditutup secara individual kepada pemenang lelang maupun secara keseluruhan. 12. Setelmen dilakukan melalui BI-SSSS dengan ketentuan sebagai berikut: a. first leg BUS/UUS wajib menyediakan jenis dan seri SBSN yang direpokan dalam jumlah yang cukup untuk setelmen first leg. b. second leg • setelmen second leg dilakukan secara otomatis di BI-SSSS pada tanggal Repo SBSN OPT Syariah jatuh waktu (second leg), sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan cut off warning Sistem BIRTGS. • BUS/UUS wajib menyediakan saldo Rekening Giro dalam jumlah yang cukup untuk setelmen second leg. 13. Dalam hal BUS/UUS tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen second leg, Repo SBSN diperlakukan sebagai transaksi penjualan secara outright.
129
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
14. Atas pembatalan Repo SBSN karena tidak terpenuhinya kewajiban setelmen, BUS/UUS dikenakan sanksi : a. sanksi teguran tertulis; b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai transaksi Repo SBSN yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.00,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); c. dalam hal BUS/UUS melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, BUS/UUS dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut; dan d. sanksi tambahan dalam hal terjadi kegagalan setelmen second leg dan harga SBSN pada saat second leg lebih rendah dari harga SBSN pada transaksi first leg.
14/33/DPbS
27 November 2012
1. Latar belakang Sebagaimana pada perbankan konvensional, pertumbuhan pembiayaan kepemilikan rumah (KPR iB) yang terlalu tinggi pada perbankan syariah dapat mendorong peningkatan harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble) sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank yang memiliki eksposur pembiayaan properti yang besar. Demikian pula untuk pembiayaan kendaraan bermotor (KKB iB) bahwa pembiayaan KKB iB yang terlalu ekspansif dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan peningkatan peran perbankan syariah dalam mendukung pertumbuhan perekonomian nasional melalui pembiayaan yang produktif maka sebagaimana yang telah diberlakukan untuk perbankan konvensional, perbankan syariah perlu menetapkan kebijakan terkait denganpembiayaan KPR iB dan KKB iB. Kebijakan dalam pembiayaan KPR iB dan KKB iB pada perbankan syariah dilakukan dengan tetap memperhatikan karakteristik produk perbankan syariah termasuk fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah NasionalMajelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). 2. Pokok-pokok ketentuan a. Produk pembiayaan KPR iB
130
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
1) Pengaturan pembiayaan KPR iB hanya diberlakukan untuk pembiayaan KPR iB untuk rumah/bangunan tipe 70 ke atas dan tidak termasuk KPR iB dalam rangka pelaksanaan program perumahan yang ditetapkan pemerintah. 2) Pembiayaan KPR iB dengan akad Murabahah atau Istishna dikenakan ketentuan batasan Financing to Value (FTV) paling tinggi 70% artinya jumlah pembiayaan yang dapat diberikan oleh bank syariah paling banyak sebesar 70% dari nilai agunan yang diserahkan nasabah. Agunan dalam hal ini adalah rumah/bangunan yang dibiayai bank. 3) Pembiayaan KPR iB dengan skim Musyarakah Mutanaqisah (MMQ) dipersyaratkan adanya batasan penyertaan (sharing) kepemilikan rumah/bangunan pada saat awal oleh bank syariah ditetapkan paling tinggi 80% dari nilai rumah/bangunan, atau dengan kata lain nasabah diharuskan melakukan penyertaan (sharing) kepemilikan awal paling rendah 20% nilai rumah/bangunan. 4) Pembiayaan KPR iB dengan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) dipersyaratkan adanya uang jaminan (deposit) yang harus diserahkan oleh nasabah kepada bank syariah paling rendah 20% dari nilai rumah/bangunan. Uang jaminan tersebut nantinya akan diperhitungkan sebagai pembayaran atas pembelian rumah/ bangunan pada saat akad IMBT jatuh tempo dalam hal nasabah mengambil opsi untuk membeli rumah/bangunan yang menjadi obyek IMBT. Dalam hal nasabah tidak mengambil opsi untuk membeli rumah/ bangunan yang menjadi obyek IMBT, maka uang jaminan tersebut akan dikembalikan kepada nasabah. b. Produk pembiayaan KKB iB Pembiayaan KKB iB pada perbankan syariah dipersyaratkan adanya uang muka (down payment) dari nasabah yaitu:
Ketentuan
Keterangan
Uang muka paling rendah 25%
untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua atau roda 3.
Uang muka paling rendah 30%
untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat untuk keperluan non produktif.
131
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
Ketentuan
Keterangan
Uang muka paling rendah 20%
untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat atau lebih untuk keperluan produktif, yaitu bila memenuhi salah satu syarat : 1) merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang dikeluarkan oleh pihak berwenang untuk melakukan kegiatan usaha tertentu; atau 2) diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional usaha yang dimiliki.
3. Ketentuan FTV, penyertaan (sharing), dan uang jaminan (deposit) untuk KPR iB serta uang muka (down payment) untuk KKB iB sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka 3 tersebut di atas dapat disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia. 4. Sanksi pelanggaran: a. Bank Indonesia meminta BUS atau UUS untuk menghentikan kegiatan produk KPR iB dan/atau KKB iB apabila melanggar ketentuan butir IV.C, butir V.B, butir V.D, dan butir VI.B Surat Edaran ini. b. BUS atau UUS yang tidak menghentikan kegiatan produk KPR iB dan/atau KKB iB sesuai permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. 5. BUS atau UUS yang telah memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai penyaluran KPR iB dan/atau KKB iB sebelum Surat Edaran ini berlaku, wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur KPR iB dan/atau KKB iB serta menyampaikannya kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 31 Maret 2013.
132
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
6. Ketentuan FTV, penyertaan (sharing), dan uang jaminan (deposit) untuk KPR iB dan uang muka (down payment) untuk KKB iB tidak berlaku untuk KPR iB dan KKB iB yang sudah mendapat persetujuan Bank sebelum berlakunya Surat Edaran ini. 7. Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 27 November 2012, sedangkan ketentuan FTV, penyertaan (sharing), dan uang jaminan (deposit) untuk KPR iB serta uang muka (down payment) untuk KKB iB mulai berlaku pada tanggal 1 April 2013.
14/34/DASP
27 November 2012
1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan untuk meningkatkan aspek perlindungan konsumen pengguna Kartu Kredit di Indonesia serta mendukung praktek pemberian Kartu Kredit yang lebih memperhatikan manajemen risiko pemberian kredit. 2. Materi pengaturan Surat Edaran Bank Indonesia ini antara lain mencakup: a. penetapan batas maksimum suku bungan Kartu Kredit yang wajib diterapkan oleh Penerbit Kartu Kredit, yaitu sebesar 2,95% (dua koma sembilan puluh lima persen) per bulan atau 35,40% (tiga puluh lima koma empat puluh persen) per tahun; b. batas maksimum suku bunga Kartu Kredit tersebut berlaku baik untuk transaksi pembelanjaan maupun transaksi tarik tunai; dan c. penegasan bahwa Bank Indonesia dapat mengubah batas maksimum suku bunga Kartu Kredit tersebut dengan mempertimbangkan, antara lain: 1) indikator perekonomian seperti BI rate; 2) struktur biaya Kartu Kredit yang meliputi biaya dana (cost of fund), biaya operasional dan pengelolaan risiko kredit oleh Penerbit (risk premium); dan/atau 3) praktek suku bunga yang dikenakan oleh Penerbit. 3. Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku secara efektif pada 1 Januari 2013.
133
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
14/35/DPNP
10 Desember 2012
Ringkasan
Latar Belakang Pengaturan : Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No. 14/14/PBI/2012 tanggal 18 Oktober 2012 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank. SE ini mewajibkan bank untuk menyampaikan informasi berkala mengenai kondisi Bank secara menyeluruh, sehingga dapat meningkatkan transparansi kondisi keuangan Bank kepada publik dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan. Penyesuaian SE ini juga diselaraskan dengan implementasi Pilar 3 Basel II mengenai market discipline. Substansi Pengaturan : 1. Laporan Tahunan paling kurang mencakup: a. Informasi Umum b. Laporan Keuangan Tahunan c. Opini dari Akuntan Publik d. Pengungkapan Permodalan serta Pengungkapan Eksposur Risiko dan Penerapan Manajemen Risiko Bank e. Aspek Transparansi sesuai Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan f. Aspek Pengungkapan yang terkait dengan Kelompok Usaha g. Aspek Pengungkapan sesuai Standar Akuntansi Keuangan h. Informasi Lain 2. Penyesuaian utama dalam cakupan Laporan Tahunan adalah diwajibkannya pengungkapan secara lebih detail dan komprehensif mengenai eksposur risiko dan penerapan manajemen risiko bank, serta kecukupan permodalan yang dimiliki. Pengungkapan permodalan serta pengungkapan eksposur risiko dan penerapan manajemen risiko bank dilakukan untuk Bank secara individual dan Bank secara konsolidasi dengan perusahaan anak, serta paling kurang terdiri atas: a. Pengungkapan permodalan; dan b. Pengungkapan eksposur risiko dan penerapan manajemen risiko paling kurang untuk risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko stratejik, riisko kepatuhan dan risiko reputasi. 3. Selain menyampaikan Laporan Tahunan, Bank yang merupakan bagian dari kelompok usaha dan/atau Bank yang memiliki Perusahaan Anak, wajib menyampaikan laporan tahunan tertentu kepada Bank Indonesia yang paling kurang mencakup:
134
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
a. Laporan tahunan Perusahaan Induk dan laporan tahunan Perusahaan Induk di Bidang Keuangan; b. Laporan tahunan pemegang saham langsung yang memiliki saham mayoritas atau laporan tahunan perusahaan yang melakukan pengendalian langsung kepada Bank; dan c. Laporan tahunan Perusahaan Anak. 4. Ketentuan penyampaian Laporan Tahunan dan laporan tahunan tertentu mulai berlaku terhadap penyampaian Laporan Tahunan dan laporan tahunan tertentu Tahun Buku 2012.
14/36/DKBU
24 Desember 2012
1. Surat Edaran ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari PBI No.14/9/PBI/2012 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) BPR. 2. Dengan diberlakukannya ketentuan ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia No.6/35/DPBPR tanggal 16 Agustus 2004 perihal Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 3. Penyempurnaan pengaturan ini antara lain: a. Penyempurnaan cakupan pihak-pihak yang wajib menjalani uji kemampuan dan kepatutan. 1. Penambahan calon Pemegang Saham Pengendali (PSP), calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi BPR yang melakukan merger dan konsolidasi sebagai pihak-pihak yang wajib menjalani uji kemampuan dan kepatutan. 2. Penambahan PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif yang sudah tidak lagi menjadi PSP atau tidak lagi menjabat sebagai anggota Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif namun terindikasi mempunyai permasalahan integritas, kelayakan/reputasi keuangan dan/atau kompetensi pada bank, sebagai pihak yang wajib menjalani uji kemampuan dan kepatutan. 3. Terhadap pengangkatan kembali jabatan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi pada BPR yang sama tidak dilakukan uji kemampuan dan kepatutan. Pengangkatan kembali jabatan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi tersebut dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah RUPS dengan memperhatikan berakhirnya masa jabatan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi.
135
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
b. Penyempurnaan tatacara uji kemampuan dan kepatutan: 1. New Entry Memuat penjelasan mengenai: • tata cara uji kemampuan dan kepatutan melalui penelitian administratif dan wawancara. • tatacara penghentian uji kemampuan dan kepatutan bagi calon yang diajukan BPR. 2. Existing Memuat penjelasan mengenai: • tindakan/perbuatan yang termasuk dalam permasalahan integritas, kelayakan/reputasi keuangan dan/atau kompetensi bagi uji kemampuan dan kepatutan. • sumber bukti/data/informasi sebagai dasar dilakukan uji kemampuan dan kepatutan. • tahapan penilaian. • klasifikasi tingkat keterlibatan/peran dari pihak yang diuji. • konsekuensi tidak lulus khususnya apabila pihak yang ditetapkan tidak lulus tersebut telah menjadi pemegang saham atau pengurus pada bank lain. • surat kuasa menjual saham (bentuk, isi, dan pihak yang dapat menerima surat kuasa menjual). c. Penjelasan pengenaan jangka waktu sanksi, sebagaimana tercantum dalam Lampiran 3a dan 3b Surat Edaran ini. d. Penjelasan ketentuan peralihan.
14/37/DPNP
27 Desember 2012
1. Penyempurnaan SE BI ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No. 14/18/PBI/2012 tanggal 28 November 2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. 2. Pokok-pokok pengaturan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini meliputi antara lain: a. Komponen Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP) paling kurang mencakup: 1. Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi Tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi dalam ICAAP antara lain adalah (i) memahami sifat dan tingkat risiko yang dihadapi oleh Bank, menilai kecukupan kualitas manajemen risiko, dan mengaitkan tingkat risiko dengan kecukupan modal yang dimiliki Bank untuk mengantisipasi risiko-risiko yang dihadapi dan untuk
136
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
mendukung rencana bisnis serta rencana strategis Bank di masa mendatang dan (ii) memastikan terlaksananya ICAAP secara konsisten dan terintegrasi dalam aktivitas operasional Bank. 2. Penilaian Kecukupan Modal Dalam pelaksanaan penilaian kecukupan modal, bank antara lain wajib memiliki kebijakan dan prosedur yang memadai untuk memastikan bahwa seluruh risiko telah diidentifikasi, diukur, dan dilaporkan secara berkala kepada Dewan Komisaris dan Direksi. Selain itu Bank wajib memiliki metode dan proses dalam melakukan penilaian kecukupan permodalan dengan mengaitkan tingkat risiko dengan tingkat permodalan yang dibutuhkan untuk menyerap potensi kerugian dari risiko dimaksud. Hasil pengukuran risiko dan perhitungan tingkat permodalan yang dibutuhkan, termasuk metode dan asumsi yang digunakan wajib didokumentasikan. 3. Pemantauan dan Pelaporan Dalam proses pemantauan dan pelaporan, Bank wajib memiliki sistem informasi yang memadai untuk memantau dan melaporkan eksposur risiko serta mengukur dampak perubahan profil risiko terhadap kebutuhan modal Bank. Laporan disampaikan secara berkala kepada Dewan Komisaris dan Direksi. 4. Pengendalian Internal Dalam pelaksanaan pengendalian internal, Bank wajib memiliki sistem pengendalian intern yang memadai untuk memastikan keandalan dari ICAAP yang diimplementasikan serta melakukan kaji ulang ICAAP secara berkala paling kurang 1 (satu) tahun sekali dan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan Bank. b. Terhadap ICAAP bank, Bank Indonesia melakukan Supervisory Review and Evaluation Process (SREP), yang meliputi penilaian terhadap: 1. Kecukupan pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; 2. Kecukupan penilaian kecukupan modal; 3. Kecukupan pemantauan dan pelaporan; 4. Kecukupan pengendalian internal. c. Laporan penilaian kecukupan modal minimum sesuai profil risiko dan Laporan pemenuhan CEMA minimum disusun sesuai pedoman yang diatur dalam SE BI ini. d. Dalam rangka pemenuhan CEMA, aset keuangan yang digunakan sebagai CEMA harus bebas dari klaim pihak manapun yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Surat pernyataan tersebut mengacu pada format surat pernyataan dalam Lampiran SE BI ini.
137
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
e. Pemenuhan CEMA minimum dilakukan melalui tahapan implementasi sebagai berikut: 1. Seluruh kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib memenuhi CEMA minimum sebesar 8% (delapan persen) dari total kewajiban bank paling lambat posisi bulan Juni 2013. 2. Dalam hal CEMA minimum sebesar 8% terhadap rata-rata total kewajiban lebih kecil dari Rp1 Triliun sejak posisi bulan Juni 2013 sampai dengan posisi bulan November 2017, kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri tetap wajib memenuhi CEMA minimum sebesar 8% (delapan persen) dari total kewajiban bank. 3. Kewajiban pemenuhan CEMA minimum paling sedikit Rp1 Triliun bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada angka 2), berlaku sejak posisi bulan Desember 2017.
14/38/DASP
28 Desember 2012
1. Surat Edaran Bank Indonesia ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/3/PBI/2012 tentang Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5302), Surat Edaran ini memuat pedoman standar penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank. 2. Dalam menerapkan Program APU dan PPT, Penyelenggara wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang paling kurang mencakup: a. pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence (EDD), yang terdiri dari: 1. permintaan informasi dan dokumen; 2. verifikasi dokumen; dan 3. pemantauan transaksi. b. penatausahaan dokumen; c. penetapan profil pengguna jasa dan pengkinian informasi pengguna jasa; d. penolakan dan penghentian hubungan usaha; e. kebijakan dan prosedur transfer dana; dan f. pelaporan kepada PPATK.
138
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
3. Dalam hal Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank berhubungan dengan Pengguna Jasa yang tergolong berisiko tinggi terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme, Penyelenggara tersebut wajib melakukan prosedur CDD yang lebih mendalam yang disebut dengan Enhanced Due Diligence (EDD). 4. Penyelenggara wajib menatausahakan dokumen dengan baik sebagai upaya untuk membantu pihak yang berwenang dalam melakukan penelusuran terhadap dana-dana yang diindikasikan berasal dari hasil tindak pidana. 5. Penyelenggara wajib memiliki fungsi pengendalian internal yang efektif yang dilakukan dengan penetapan kebijakan Direksi, yang dapat memastikan bahwa pelaksanaan Program APU dan PPT telah sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan. 6. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 8 Juni 2013.
14/39/DPM
28 Desember 2012
I. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM perihal Laporan Harian Bank Umum sehubungan dengan adanya pengembangan sistem dan tata cara pelaporan Laporan Harian Bank Umum melalui perubahan beberapa form pelaporan. II. Penyempurnaan pengaturan meliputi : 1. Penyempurnaan pelaporan proyeksi arus kas terkait dengan penyempurnaan metode perhitungan proyeksi arus kas berdasarkan pendekatan remaining maturity dan berdasarkan pendekatan behavioral dan rencana pendanaan-penggunaan. 2. Penyempurnaan pelaporan transaksi valas meliputi penyempurnaan kode tujuan transaksi yang lebih rinci dan penambahan field jenis dokumen untuk transaksi tod/tom/spot, transaksi derivatif berupa forward, swap, option, dan transaksi derivatif lainnya. 3. Pengaturan waktu dan media penyampaian koreksi atas data jenis dokumen untuk transaksi tod/tom/spot, transaksi derivatif berupa forward, swap, option, dan transaksi derivatif lainnya, yaitu paling lama pukul 16.00 WIB pada tanggal valuta transaksi valas yang bersangkutan. Koreksi atas data jenis dokumen dimaksud disampaikan
139
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
kepada Bank Indonesia melalui daftar pesan pada sistem Laporan Harian Bank Umum. 4. Perubahan waktu penyampaian koreksi terhadap data suku bunga penawaran pada tanggal laporan, yang semula paling lama pukul 11.00 WIB pada hari kerja yang sama menjadi paling lama pukul 10.45 WIB pada hari kerja yang sama. 5. Penghapusan kewajiban pelaporan suku bunga dasar kredit rupiah dan valuta asing dalam ketentuan mengenai laporan harian bank umum. Pelaporan suku bunga dasar kredit tersebut akan diatur lebih lanjut dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum. 6. Penyempurnaan penyebutan nama satuan kerja di Bank Indonesia sehubungan dengan adanya perubahan struktur dan fungsi organisasi di Bank Indonesia.
140