Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Direktorat Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Ahmad Fuad,, Heru Pranoto, Agus Santoso Pemimpin Redaksi Agus Santoso Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Zulkarnain Sitompul, Wahyudi Santoso, Sudarmaji, Bambang Djauhari, Herminingsih, Rosalia Suci, Suprianto, Hari Sugeng Raharjo, Umi Widji. R.
Redaksi Pelaksana Arief. R. Permana, Gufron Baehaki, Hilman Tisnawan, Teddy Yusuf, Anton Purba, Kuwat Wijayanto Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH, LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH, LLM Dr. Inosentius Samsul, SH, LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH, MH
Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629 facsimile (021) 350 1931, email:
[email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt 9 Jl M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www. bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
Dari Meja Redaksi
Dengan semangat baru di awal tahun 2010, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8 Nomor 1, Edisi Januari 2010, hadir dan menyapa pembaca sekalian. Dua dekade lalu, penasehat hukum internal (in-house lawyer) merupakan sekelompok orang/pegawai dalam perusahaan atau organisasi melakukan fungsi hukum yang dibutuhkan oleh perusahaan atau organisasi tempat dia bekerja untuk menginformasikan kepada perusahaan atau organisasi tentang “isi” (content) dan “penerapan” (application) hukum di tempat perusahaan atau organisasi melakukan kegiatan. Pada masa itu biasanya perusahaan atau organisasi menyesuaikan kegiatannya dengan nasehat yang diterimanya dari in-house lawyer mereka. Saat ini penasehat hukum internal (in-house lawyer) yang berada di satuan kerja hukum (law department) masih melakukan “fungsi tradisional” ini, dan fungsi tersebut masih tetap tidak berubah. Tetapi sementara penasehat hukum internal tetap melaksanakan “peran tradisional” saat ini pula terdapat perubahan dramatis yang dihadapi perusahaan/lembaga tempat mereka bekerja. Menyoroti peran in house lawyer suatu institusi, edisi Buletin kali ini, secara khusus menghadirkan artikel utama mengenai “Perubahan Peran Penasehat Hukum Internal (In House Lawyer) Dalam Memberikan Kontribusi Bagi Organisasi”. Buletin juga menurunkan 3 artikel lainnya yaitu masing-masing mengenai “Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dan Lembaga Penjamin Simpanan (Tinjauan UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan)”; “Kredit Macet : Antara Kerugian Negara atau Kerugian Korporasi” serta “Akte Otentik Dalam Perjanjian Kredit” Dalam rubrik Cakrawala Hukum, redaksi menampilkan refleksi mengikuti sidang UNCITRAL terkait Insolvency Law dalam risalah mengenai “Perubahan UU Yang mengatur Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. Selanjutnya, sebagai referensi, redaksi juga telah menyediakan resensi buku “Hukum E-Commerce dan Internet, Dengan Focus Asia Pacific”. Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan September sampai dengan Desember 2009, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Selamat membaca. Jakarta, Januari 2010
Redaksi
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
ii
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
Halaman
Dari Meja Redaksi ................................................................................................................................................
i
Daftar Isi......... . ....................................................................................................................................................
iii
Perubahan Peran Penasehat Hukum Internal (In house Lawyer) Dalam Memberikan Kontribusi Bagi Organisasi ...
1 - 18
Bambang Djauhari, SH, LLM dan Dinia Fitrati, SH, LLM (Penasehat Hukum Eksekutif Bank Indonesia dan Penasehat Hukum Bank Indonesia) Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dan Lembaga Penjamin Simpanan (Tinjauan UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan)................................................................................................................. 19 - 24 Dyah Hapsari Prananingrum, SH, MH (Kandidat Doktor FH UGM, Dosen Pasca Sarjana FH UKSW) Kredit Macet : Antara Kerugian Negara atau Kerugian Korporasi ..............................................................................
25 - 30
Agus Santoso, SH, LLM (Deputi Direktur Hukum) Akte Otentik Dalam Perjanjian Kredit....................................................................................................................
31 - 36
Hilman Tisnawan, SH (Analis Hukum Bank Indonesia) Resensi Buku: Hukum E-Commerce dan Internet, dengan focus Asia Pacific ..............................................................................
37 -40
Mustika Bella Putri Pasaribu (Mahasiswa FH Univ. Trisakti, PKL di Direktorat Hukum Bank Indonesia) Cakrawala Hukum: Perubahan UU Yang mengatur Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Refleksi Mengikuti Sidang Uncitral Insolvency Law)................................................................ 41 - 46 (Redaksi) Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran (Ekstern) Bank Indonesia September – Desember 2009........... 47 - 50 Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia) Ringkasan Peraturan Bank Indonesia September – Desember 2009....................................................................... 51 - 53 Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia)
iii
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
iv
Perubahan Peran Penasehat Hukum Internal (In-house Lawyer) dalam Memberikan Kontribusi bagi Organisasi Oleh: Bambang Djauhari SH, LLM & Dinia Fitrati, SH, LLM*)
I. Pendahuluan Dua dekade lalu, penasehat hukum internal (in-house lawyer) yang merupakan sekolompok orang/pegawai
bagaimana pejabat perusahaan atau organisasi seharusnya bertindak (good governance) dalam peran baru yang penting tersebut.
dalam perusahaan atau organisasi apapun melakukan
In-house lawyer diharapkan menjaga agar perusahaan
fungsi hukum yang dibutuhkan oleh perusahaan atau
atau organisasi dan pimpinannya berada pada jalur
organisasi tempat dia bekerja untuk menginformasikan
yang benar, tidak saja dalam jalur hukum tetapi juga
kepada perusahaan atau organisasi tentang “isi”
etika. Oleh karena itu in-house lawyer menjadi bagian
(content) dan “penerapan” (application) hukum di
dari program risk management yg lebih luas agar in-
tempat perusahaan atau organisasi melakukan kegiatan.
house lawyer dapat bekerja dengan specialist lainnya
Pada masa itu biasanya perusahaan atau organisasi
(spt internal auditor) dan dapat memahami interaksi
menyesuaikan kegiatannya dengan nasehat yang
antara legal risk dan risiko lainnya (other forms of
diterimanya dari in-house lawyer mereka. Saat ini
risk), seperti credit risk dan market risk. Hal tersebut
penasehat hukum internal (in-house lawyer) yang
dilakukan oleh in-house lawyer dengan cara
berada di satuan kerja hukum (law department) masih
mengidentifikasi beserta dengan rincian impact &
melakukan “fungsi tradisional” ini, dan fungsi tersebut
consequences issues serta memberikan kontribusi
masih tetap tidak berubah. Tetapi sementara penasehat
pemikiran dan solusi yang dapat dilaksanakan
hukum internal tetap melaksanakan “peran tradisional”
(possible solution) tetapi tanpa harus mengambil alih
saat ini pula terdapat perubahan dramatis yang
tanggung jawab for making business decision
dihadapi perusahaan/lembaga tempat mereka bekerja.
Untuk menghadapi tantangan baru ini diperlukan
Perusahaan atau organisasi menghadapai “tantangan
empowerment bagi in-house lawyer. Thomas C.
baru” (new challenges). Perusahaan atau organisasi
Baxter, pemimpin satuan kerja hukum (Executive Vice
menggantungkan diri pada in-house lawyer mereka
President) sekaligus in-house lawyer paling senior
untuk menghadapi dan mengatasi tantangan baru
(general counsel) pada Federal Reserve of New York
tersebut. James R. Jenkins menyatakan bahwa inti dari
memberikan saran bagaimana penasehat hukum
tantangan baru ini adalah terkait dengan risiko
internal menjadi empowered. Pertama, peran in-house
reputasi (reputational risk) dan untuk itu dibutuhkan
lawyer bukan hanya memberikan nasehat hukum
“champion of the reputation”. Sebagai tanggapan
(legal advice). In-house lawyer harus memainkan
terhadap tantangan baru ini, beberapa perusahaan/
peran yang lebih luas, yaitu sebagai manajer “risiko
lembaga telah menempatkan pimpinan satuan kerja
hukum” dan “risiko reputasi” (legal and reputational
hukum (general counsel atau chief legal officer)
risk manager). In-house lawyer dituntut melihat diri
sebagai “champion of the reputation and ethical
sendiri sebagai champion of the ethics dari
culture”. Dengan demikian, tantangan baru yang
perusahaan/lembaga. Kedua, in-house lawyer perlu
dihadapi ini tidak hanya terkait dengan ketaatan
menjaga kemampuannya untuk independent dan
(compliance) terhadap peraturan tetapi terkait dengan
informed sehingga dapat memainkan peran yang kuat
isu yang lebih luas yaitu bagaimana perusahaan atau
dan unik. Tidak seperti independensi auditor yang
organisasi dapat mengatur dirinya lebih baik dan
sifatnya struktural (structural independence) kewajiban professional in-house lawyer bersifat judgement
*) Penasehat Hukum Eksekutif dan Penasehat Hukum Bank Indonesia
independence. In-house lawyer tidak dapat dipisahkan dari kliennya. Kombinasi judgement independence
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
dan perannya sebagai manajer senior membuat
Corporate Counsel, dll. Namun istilah Corporate
general counsel sebagai figur ideal sebagai champion
Lawyer sering digunakan untuk menunjuk pada
of the culture dan master of legal and reputational
(eksternal) lawyer yang bekerja di kantor hukum
risk dalam perusahaan atau organisasi tempat mereka berada. General counsel merupakan figur yang sesuai untuk mengatasi masalah yang menyangkut pejabat senior yang tindakan atau perilakunya bertentangan dengan budaya dan praktek yang baik. Perkembangan terakhir tentang penempatan peran in-house lawyer dalam bidang tatakelola (governance) telah menimbulkan perdebatan. Di beberapa Negara,
(law firm) yang mengkhususkan diri (specialist)
terutama di Amerika Serikat, terdapat kecenderungan
dalam penanganan di bidang hukum korporasi
arah bahwa pemimpin/direktur satuan kerja hukum
(corporate law), tax law, bankruptcy law, securities
atau departemen hukum (general counsel of law
law, anti-trust law dan lain-lain. Dengan demikian
department) diberi tanggungjawab lebih besar,
status In-house lawyer adalah sebagai karyawan
dituntut untuk lebih vigilant atau lebih proaktif dalam
pada lembaga/ perusahaan, tidak mengenakan
bidang tatakelola (governance). Kejadian akhir-akhir
atau meminta biaya atas jasa yang diberikan dan
ini baik di Amerika Serikat, Inggris maupun di tempat
tidak melakukan praktek hukum atau memberikan
lain telah mendorong diskusi yang bersifat global
jasa hukum di luar lembaga tempat dia bekerja
tentang peran para in-house lawyer di dalam
baik dengan atau tidak memungut biaya (not itself
perusahaan/lembaga mereka bekerja. Corporate
engaged in the practice of law or rendering of
general counsel dan law department menghadapi
legal services outside such organization whether
tanggungjawab yang baru, harapan yang lebih besar
for a fee or otherwise).
dan tantangan yang tidak pernah dialami sebelumnya dalam lingkungan bisnis yang baru. In-house lawyer merasakan bahwa peran mereka sedang mengalami perubahan dan mereka diharapkan untuk memikul tanggungjawab ekstra.
In-house lawyer dianggap dapat memberikan jasa hukum untuk mendukung kegiatan organisasi secara lebih cepat dan praktis, komprehensif dan memberikan advis yang sesuai dengan kebutuhan dibandingkan jika jasa hukum diberikan oleh
Dengan demikian, semua in-house lawyer harus peka
eksternal lawyer (outside counsel). Hal tersebut
terhadap kebutuhan untuk memberikan nilai tambah
disebabkan IHL memiliki pengetahuan tentang
(value added) pekerjaan mereka, mengkomunikasikan
pekerjaan atau kegiatan organisasi, mempunyai
hasil yang dapat dirasakan. Walaupun peran general
akses kepada bagian-bagian dari organisasi dan
counsel dan law department sangat bervariasi antara
mempunyai kemampuan secara langsung
organisasi yang satu dengan lainnya. Tetapi terdapat
mempengaruhi pengambilan keputusan yang
kecenderungan dengan arah yang pasti bahwa peran
diambil organisasi. Selain itu juga In-house lawyer
mereka berubah sedemikian rupa. Peran mereka
mempunyai kemampuan tentang kegiatan
dalam organisasi makin menjadi semakin penting bagi
organisasi disamping tentunya mempunyai
jalan hidup organisasi dengan tanggungjawab, pengaruh dan penghasilan yang meningkat. II. PERKEMBANGAN IN-HOUSE LAWYER A. In-house Lawyer
a senior, infuential and respected officer of the organisation” and “member of the organisation’s senior management,
In-house lawyer merupakan istilah lain dari
recognized as having strong qualities of
Corporate Lawyer, Corporate Legal Department,
independence, judgment and discretion”.
Inside Lawyer, Inside Counsel, In-House Counsel,
General Counsel/ Chief Legal Officer is
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
keahlian hukum yang tinggi (excellent legal
law violation dan potential damage to the
experties) dan memiliki kemampuan untuk
organization.
berinteraksi dengan staf atau manajemen dari organisasi.
Dalam survey yang dilakukan Friedman and Stuart (2000) dilaporkan bahwa walaupun peranan CLO
Jasa hukum yang diberikan oleh In-house lawyer
berbeda diantara berbagai perusahaan/organisasi,
mulai dari memberikan nasehat hukum (legal
peran utama CLO adalah memberikan nesehat
advice) dan pendapat hukum (legal opinion),
dan laporan kepada manajemen senior dan direksi
hingga memberikan bantuan hukum (advocate)
perusahaan/lembaga mengenai berbagai hal
dengan bertindak mewakili organisasi, perusahaan
seperti risiko litigasi, peraturan dan pengungkapan
atau lembaga tempat mereka bekerja baik dalam
informasi, keputusan penting, masalah etik dan
peradilan pidana, perdata dan administratif. Dalam
isu-isu lainnya seperti hubungan masyarakat moral
peranannya sebagai legal advisor mereka
dan keuangan. Sejalan dengan peran yang
memberikan nasehat hukum (legal advice) kepada
penting ini, CLO pada umumnya diberi status
klien mereka tentang hak dan kewajiban mereka.
sebagai seorang manager senior. Dalam survey
Disamping fungsi dan peran tersebut di atas, di
bersama yang dilakukan oleh Spherion Corp dan
beberapa organisasi atau lembaga in-house lawyer
ACCA (2001) dikemukakan bahwa CLO memberi-
juga melaksanakan fungsi dan peran lain seperti
kan nasehat/advis kepada Chief Executive Officer
legal drafting dan legal reviewing serta bertindak
(CEO) mengenai isu-isu hukum, masalah etika,
selaku negosiator. Oleh karena itu tidak terdapat
negosiasi kontrak bisnis, perencanaan strategis,
keseragaman peran in-house lawyer di masing-
sumberdaya manusia, penyelesaian sengketa dan
masing lembaga/perusahaan mengingat hal tersebut
manajemen risiko. Merefleksikan pentingnya
tergantung dari besarnya organisasi dan ruang
peran seorang CLO, CLO umumnya bertanggung-
lingkup aktivitas organisasi.
jawab dan melapor langsung ke CEO. Dari survey
Banyak perusahaan atau organisasi memiliki satuan kerja hukum (law department) atau suatu tim yang memberikan nasehat tentang ketentuan tata kelola yang dalam menjalankan kegiatannya biasanya dipimpin oleh seorang General Counsel (GC) atau Chief Legal Officer (CLO). Bagi banyak perusahaan/organisasi, ukuran law department dapat besar dan berkembang sejalan dengan
yang sama menunjukkan bahwa perusahaan cenderung lebih menyukai menggunakan in-house lawyer dibanding menggunakan counsel dari luar (external lawyer) karena in-house lawyer lebih memahami mereka dan lebih dipercaya. Survey tersebut juga menunjukkan bahwa 90% dari responden menempatkan CLO diantara 10 top executives di perusahaan/lembaga mereka.
peranannya yang makin menjadi penting. Ketika
Agar GC efektif melaksanakan fungsi dan peran
law department makin besar dan berkembang,
tersebut, GC harus dipandang dan ditempatkan
bagi banyak perusahaan/organisasi legal department
sebagai “a senior, infuential and respected officer
menjadi beban biaya. Walaupun adanya kenyataan
of the organisation” dan merupakan “member of
ini, perusahaan tetap mengharapkan CLO mereka
the organisation’s senior management, recognized
dan legal team dalam legal departemen memainkan
as having strong qualities of independence,
peranan penting dalam memberikan nasehat
judgment and discretion”. Hubungan/struktur
kepada menajemen puncak. Peran GC harus
pelaporan serta akses kpd manajemen dan Board
ditetapkan dan dirumuskan secara jelas oleh Board
serta “sistem kompensasi” semuanya harus
sehingga dapat memberikan peringatan (alerting
mencerminkan atau sejalan dengan peran dan
Board dan decision-maker yang lain) ttg significant
statusnya dalam organisasi. Selain itu juga GC harus mempunyai akses langsung yang cukup
Association of Corporate Counsel- Leading Pracitces Profiles Series, “ The Role of General Counsel and In-house Counsel in Europe: Leading Practices in Law Department Management”, 2009 http://www.acc. com/legalresources/leading practicesprolies/index.cfm
kepada senior management & Board sehingga semua masalah dapat diangkat dan diselesaikan pada tingkat yg tepat. GC harus melapor kepada
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
“the highest ranked executive”. GC harus
house lawyer sebagai “team player” dan tidak
menghadiri secara regular semua rapat Board,
seperti eksternal lawyer yang waktu dan
Committee, dan semua rapat yg berkaitan dengan
kesetiaannya dibagi dengan clients mereka. in-
legal compliance dan GC harus memiliki ultimate
house lawyer sering diharapkan untuk
authority berkaitan dgn pemilihan outside/external
memberikan “business decision” disamping “legal
lawyers yang dipergunakan organisasi.
decision”.
Harapan terhadap general counsel dan law
In-house lawyer melaksanakan fungsi hukum pada
department telah berubah sejak kurun waktu dua
perusahaan/organisasi termasuk organ-organ atau
dekade yang lalu. Perkembagan law department
pejabat perusahaan/organisasi tempat mereka
dalam periode akhir tahun 1970 -1980 pada
bekerja sebagai klien mereka. Independensi mereka
umumnya didorong oleh pengurangan biaya yang
berbeda dengan external lawyer yang berpraktek
disebabkan meningkatnya biaya jasa penasehat
swasta/pribadi. Penasehat hukum internal dianggap
hukum eksternal (outside legal services) dengan
berada pada sisi dan tempat yang sama dengan
mengembangkan atau meningkatkan kemampuan
pegawai di tempat mereka bekerja sehingga tidak
lawyer dari dalam sendiri yang biayanya jauh lebih
terdapat pembatas yang bersifat fisik sebagaimana
murah. Dalam kurun waktu ini, difokuskan pada
terdapat dalam hubungan antara klien external
membangun organisasi tim hukum dan kemampuan
lawyer. Pertanyaan tentang siapakah sebenarnya
memberikan jasa hukum internal yang efektif.
yang merupakan “Client” dari in-house lawyer
Dalam kurun waktu ini fungsi hukum jarang
merupakan pertanyaan yang sangat penting.
diikutsertakan dari program/inisiatif manajemen
Berdasarkan “entity theory of the corporate
perusahaan/organisasi. Pada masa itu, law
representation”, klien dari in-house lawyer adalah
department sering dijuluki sebagai “black box”
badan hukum itu sendiri (legal entity), bukan
yang terasing dari satuan kerja (department)
individu atau kelompok individu yang terkait dengan
lainnya dalam perusahaan atau organisasi mereka
badan/organisasi tersebut. Seorang in-house
berada.
lawyer yang mewakili suatu badan hukum tidak
B. Klien
melayani atau bertindak sebagai lawyer untuk kepentingan pejabat (officers), pegawai
“The client of an In-House Lawyer has always been
(employees), pengurus (directors) atau siapapun
the company and not the company managers.
yang merupakan “constituent” dari badan tersebut.
Companies, however, are run by people. If the best interest of the company conflicts with the position
Menurut James R. Jenkins, Senior Vice President
taken by its managers, the In-House Lawyer has a
and General Counsel, Deere & Company, badan
unique responsibility to step in, due to his or her
hukum tidak dapat berkomunikasi secara langsung
professional responsibilities.”
dengan atau memberi perintah kepada seorang (in-house lawyer). Komunikasi dan instruksi
Dari pernyataan diatas in-house lawyer merupakan
perintah datang hanya dari orang-orang (natural
karyawan dari organisasi. Hal ini membawa
persons) yang bekerja (sebagai pengurus, pejabat
implikasi. In-house lawyer menerima seluruh
atau pegawai) untuk dan atas nama badan hukum
kompensasi dari satu klien dan secara organisasi
tersebut. Karena dalam praktek sulit menentukan
mereka (in-house lawyer) dimonitor oleh non-
perbedaan antara badan hukum dengan para
lawyer. Officers dan managers dari organisasi
constituent-nya, merupakan kewajiban dari in-
memandang in-house lawyer berbeda dengan
house lawyer untuk senantiasa memberikan
eksternal lawyer. Mereka sering menganggap in
Bettina Plevan, NYC Bar Association, ”The Lawyer’s Role in Corporate Governance”
Timothy W. Floyd (Texas Tech University School of Law) & Mitchel L. Winick (Texas Center for Legal Ethic and Profesionalism): A Guide of The Basics of Law Practice; Your Role as In-House Counsel.
pemahaman kepada mereka yang mewakili badan
Texas Disciplinary Rules of Professional Conduct RULE 1.12 ORGANIZATION AS A CLIENT
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
hukum ttg perbedaan tersebut. Pada saat yang
Ketiga, dokumentasi yang dihasilkan harus dapat
diperlukan, in-house lawyer harus menjelaskan
mencerminkan keadaan yang sesuai dan
mengenai identitas posisi dari client (pengurus
memberikan perlindungan atas kepentingan klien.
atau pejabat yg mewakili badan hukum) apabila in-house lawyer dalam berhubungan dengan atau memberikan jasa kepada client tersebut mengetahui dan menyadari bahwa kepentingan lembaga bertentangan dengan kepentingan mereka (klien). In-house lawyer hanya memiliki satu klien, yaitu organisasi/entitas. Oleh karena itu, kelangsungan pekerjaan dan hidup-nya tergantung pada mereka yang mewakili klien (individuals who control & manage the entity). Sedangkan eksternal lawyer memiliki banyak klien dan berusaha melakukan diversifikasi.
penting untuk diperhatikan adalah apakah klien dapat mempercayai bahwa lawyer yang ia gunakan dapat membantu klien dalam mengembangkan kepentingan bisnis dari klien tersebut. Hal yang penting diperhatikan berkaitan dengan kualitas jasa hukum yang diberikan adalah tentang faktor teknis dan tingkat responsifitas atas kebutuhan klien. Oleh karena itu, bagi lawyer, penting untuk memperhatikan tentang faktor kepercayaan atas advis yang diberikan, advis tersebut diberikan secara komprehensif dan meliputi keseluruhan
Hubungan antara lawyer dengan klien tergantung
kebutuhan klien, mencerminkan kompetensi teknis
pada jenis kegiatan dan kebutuhan klien. Selain
yang tinggi dari lawyer dan faktor kesesuaian
itu, hubungan tersebut juga tergantung pada
antara advis dengan kebutuhan klien.
alasan yang mendasari sehingga klien mempertahankan hubungannya dengan lawyer. Pertama-tama hubungan tersebut terjalin karena adanya kebutuhan klien agar keseluruhan kegiatannya mendapat bantuan jasa hukum dari lawyer. Disamping itu, beberapa klien juga menginginkan keberadaan lawyer dalam rangka pelaksanaan suatu kegiatan yang bersifat khusus. Kemampuan untuk memberikan advis bisnis baik secara umum maupun secara khusus akan membuat lawyer menjadi lebih efektif sebagai advisor kepada klien atau dalam mewakili kepentngan klien.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka klien akan merasakan adanya peran positif dari lawyer memenuhi kepentingan klien dan lawyer secara melekat dapat melindungi dan mengembangkan kepentingan klien. Dengan demikian, faktor kepercayaan klien yang tercermin dari integritas lawyer terhadap klien adalah faktor mendasar untuk mengembangkan dan memelihara hubungan natara lawyer dengan klien. Apabila kepercayaan tersebut berkurang maka akan menimbulkan konsekuensi yang negatif dalam hubungan antara lawyer dengan klien. Oleh karena itu, yang penting dilakukan dalam rangka
Seorang lawyer yang dapat memberikan advis
hubungan antara lawyer dengan klien adalah
dalam kaitan dengan masalah efisiensi biaya juga
adanya hubungan keterbukaan yang luas agar
dapat menjadi kunci keberhasilan yang luar biasa
lawyer dapat menangani permasalahan atau
dalam hubungan antar lawyer dengan klien.
persoalahan secara benar karena hal tersebut tidak
Pelayanan prima oleh lawyer kepada kliennya,
akan mungkin dilakukan apabila informasi yang
pertama-tama dimulai dari kecepatan dalam
diperoleh oleh lawyer tidak relevan dengan
merespon kebutuhan klien. Kedua, lawyer harus
permasalahan yang ditangani.
dapat segera mengidentifikasi dan mengatasi risiko serta permasalahan yang dihadapi oleh klien sesuai dengan harapan klien dan dalam keadaan yang memungkinkan untuk dilakukan oleh klien.
Dalam hubungan antar lawyer dan klien, sangat
James R. Jenkins, Senior Vice President and General Counsel, Deere & Company, The Metropolitan Corporate Counsel (2005), “ Value Added Collaboration – Benefiting In-House Counsel And Their Corporation”
Dalam melaksanakan kewajiban, in-house lawyer harus independen (….duties require his absolute independence, free from all other influence, especially such as may arise from his personal interests or external pressure). Kewajiban utama in-house lawyer adalah dalam batasan personal and professional ethics, memberikan very “best”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
advice yang dia dapat berikan (capable) kepada
Jauh sebelum perubahan yang akhir-akhir ini
client-nya. Kata “best” dalam konteks ini berarti
terjadi dalam lingkungan bisnis, law department
advice tersebut sudah merefleksikan the best
berusaha mencari keseimbangan yang tepat
judgment-nya tentang akibat hukum yang timbul
(proper) antara bekerja untuk mendukung tujuan
dari fakta-fakta yang dikemukakan (oleh client)
bisnis dan bertindak sebagai fungsi “conscience”
kepadanya.
(menetapkan sesuatu sebagai benar dan salah)
C. Peran In-house Lawyer
house lawyer umumnya memiliki pengetahuan
Traditional Role
yang luas tentang strategi bisnis, isu dan kebijakan
Konsepsi in-house lawyer yang diterapkan secara
perusahaan/lembaga dan sering memiliki masa
umum dewasa ini adalah memberikan fungsi
jabatan yang lebih lama dibanding rekan manajer
pelayanan jasa hukum yang dikelompokkan kedalam
lainnya.
2 (dua) kegiatan utama yaitu fungsi legal advising
Oleh karena itu, disamping memberikan kontribusi
dan fungsi advocating. Fungsi yang disebut pertama
keahlian tentang kebijakan bisnis dan hukum, in-
(legal advising) merupakan fungsi yang dominan
house lawyer dapat bertindak sebagai sumber
dari lawyer atau sekelompok lawyer pada suatu
ingatan yang dapat dipercaya dalam perusahaan
lembaga. Kegiatan yang menjadi bagian dari
atau lembaga. Lebih dari itu, karena law department
fungsi ini adalah melakukan legal researching,
memiliki kepekaan dan tanggungjawab yang
legal drafting, legal reviewing, dan legal advising
tinggi terhadap perusahaan secara keseluruhan
itu sendiri. Adapun kegiatan yang menjadi bagian
dibanding hanya unit bisnis yang mementingkan
dari fungsi advocating meliputi litigating (beracara
diri sendiri, in-house lawyer lebih peduli melindungi
didepan pengadilan) dan advocating itu sendiri
kepentingan “ownership interest” dalam
yaitu (sebagai pembela hukum). Disamping itu,
perusahaan/lembaga tersebut.
untuk menunjang pelaksanaan kedua fungsi tersebut, perlu didukung oleh adanya suatu sistem informasi hukum yang berbasis teknologi dan kepustakaan, serta fungsi administrasi yang bersifat dedicated pada pencapaian dan kelancaran pelaksanaan fungsi jasa hukum tersebut. Gambaran tradisional dari satuan kerja hukum adalah penekanan pada pemberian jasa hukum yang berkualitas dengan biaya yang efektif (costeffective, quality legal services).
dan “control” bagi perusahaan/organisasi. In-
Menyeimbangkan kedua tanggungjawab ini dapat mengakibatkan perselisihan (tension) antara inhouse lawyer dan client eksekutif mereka. Untuk meminimalkan tekanan ini, penting sekali untuk memperjelas dan mengelola peranan in-house lawyer untuk menghindari penyeberangan batas (crossing the boundary) dari penasehat (adviser) ke pengambil keputusan (decision-maker). Tetapi control sering berarti mengidentifikasi dan mengangkat isu, tidak berarti menghentikan
Dual Role Corporate Lawyer
perusahaan/lembaga dari suatu aktifitasnya, kecuali
Peran ganda (dual role) in-house lawyer, di satu sisi
jika aktifitas tersebut mengandung pelanggaran
sebagai legal adviser dan di sisi lain sekaligus sebagai
hukum (violation of law) atau melanggar kewenangan
business adviser telah menyebabkan perdebatan di
yang diberikan (delegated authority).
pengadilan dalam kasus the Three Rivers. Dalam
Tanggungjawab law department untuk melindungi
isu hukum mengenai “legal advice privilege” ini
perusahaan/lembaga dari risiko yang tidak semestinya
terdapat pertanyaan fundamental mengenai peran
tidak berarti bahwa in-house lawyer harus membuat
ganda dari penasehat internal: kacamata (spectacles)
keputusan mengenai risiko hukum (legal risk) yang
apa atau topi (hat) mana yang dipakai/dipergunakan
tidak merupakan pelanggaran hukum (violation of
oleh penasehat hukum internal ketika memberikan
the law) atau pelanggaran kewenangan yang
nasehat kepada pimpinan perusahaan/organisasi
diberikan (a breach of delegated authority).
tempat dia bekerja?
Pandangan yang telah menjadi kesepakatan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
adalah bahwa in-house lawyer diharapkan
menjadi bagian dari tim bisnis, mereka
mengidentifikasi lingkup risiko, dengan rincian
memberikan nasehat bisnis dengan suatu “legal
tentang dampak (impact) dan akibat (consequences)
twist” yang tidak hanya dengan “legalese”,
dari risiko yang ada dan saran (suggestions) untuk
dengan demikian menjadi sulit (namun bukannya
pilihan alternatif, tetapi menyerahkan sepenuhnya
tidak bisa) membedakan antara nasihat bisnis
kepada client untuk memutuskan. Diakui bahwa
(business advice) dan nasehat hukum (legal advice)
client yang mengelola suatu multitude dari risiko
serta pengambilan keputusan (decision making).
bisnis seharusnya diberi kepercayaan untuk
Jika risiko bisnis besar (dikaitkan dengan jumlah
mengelola risiko hukum (legal risk) sepanjang in-
nilai uang tertentu, pertimbangan kebijakan dan/
house lawyer mereka telah menyampaikan advise
atau “legal propriety”), maka in-house lawyer
dan counsel secara efektif.
diharapkan mengidentifikasi isu dan mengemukakan
Seorang general counsel pernah menyatakan
isu tersebut kepada client yang lebih senior dan/
bahwa yang masih menjadi kesulitan (the great
atau in-house lawyer yang lebih senior untuk
riddle) adalah bagaimana menjadikan para lawyer
meyakinkan bahwa isu tersebut memperoleh
bagian dari the client team tanpa menjadikan
perhatian yang semestinya. Tetapi, sepanjang
lawyer tersebut bagian dari client sehingga ikut
terdapat alasan yang dapat diterima agar client
membuat keputusan. General counsel tersebut
mengambil tindakan yang diinginkan, bahkan
mengarahkan para in-house lawyer nya untuk
walaupun in-house lawyer tidak setuju dengan
memberikan advice dan assesment yang jelas
tindakan tersebut, kebanyakan general counsel
terhadap masalah yang dihadapi, tetapi tidak
berpendapat bahwa keputusan seharusnya
dimaksudkan memberikan keputusan. Sebaliknya,
diserahkan kepada client pada tingkat yang tepat.
law department yang lain menghindari pembedaan
Pada akhirnya in-house lawyer diharapkan untuk
antara peranan in-house lawyer sebagai penasehat
memenuhi tanggungjawabnya untuk
hukum (legal advisory role of lawyer) dan penasehat
mengidentifikasi isu, dan dihargai untuk memberikan
bisnis (business advisory role of lawyer). Sebagai
kontribusi pemikiran dan solusi untuk menangani
contoh, seorang general counsel menyatakan
isu tersebut dan mendukung kemajuan lembaga/
bahwa “teaming orientation of the law department”
perusahaan. Disamping itu mereka diharapkan
menjadikan in-house lawyer dan client
melakukan ini tanpa mengambil alih
menanggung risiko bersama. In-house lawyer
tanggungjawab membuat keputusan.
berpartisipasi dalam menentukan risiko, memberikan
Namun terdapat beberapa hal yang perlu menjadi
nasehat kepada client mereka untuk membuat
perhatian atas peran ganda tersebut karena akan
keputusan yang benar/tepat yang telah didasarkan
membuat situasi dimana in-house lawyer :
pada perencanaan dan strategi risiko hukum dari
• Tidak membedakan antara legal dan business
in-house lawyer, dan mendukung (bukan
advisory role of lawyer
meninggalkan) client mereka ketika diputuskan
• Tidak dapat dibedakan lagi antara business &
untuk menanggung risiko, tanpa mempedulikan
legal advice dan decision making
apakah lawyer itu sendiri akan membuat
• Hilangnya garis batas yg tegas (bright line
keputusan yang sama.
separation) antara kedua peran tersebut.
General counsel tersebut selanjutnya mengatakan
• In-house lawyer menjadi bagian dari suatu
bahwa in-house lawyer yang hanya memberikan
business team dan menimbulkan tension
fakta-fakta saja dan penerapan yang kaku dari
antara in-house lawyer dan business executive
hukum yang bersifat teknis, kurang bernilai
clients
dibandingkan dengan in-house lawyer yang ikut
•
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan
In-house lawyer ikut dalam decision making
menanggung risiko bersama client. General counsel lain setuju bahwa jika in-house lawyer
Antoine Henry de Frahan, Legal Management (2007) : Kissing “Legal Risk” Goodbye
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
dan share the risk with the client oleh karena
pernah dialami sebelumnya. Sangat mungkin
itu perlu a balancing act walau sulit krn in-
bahwa pengertian best practice dan faktor-faktor
house lawyer lebih suka clarity (menghindari
keberhasilan akan terus berkembang di masa
crossing the boundary from adviser to decision
datang sesuai dengan perkembangan lingkungan
maker).
bisnis.
• Dalam hal in-house lawyer membuat business judgment untuk client, maka siapa yang akan mengawasi atau memberikan advis atas keputusan yang dibuat oleh in-house lawyer ? • Mengaburkan kewajiban profesionalnya (profesional obligation) sebagai in-house lawyer (lawyer shall proceed as is reasonably necessary in best interest of the organization). •
Mengkompromikan independensi, pengkajian yang bebas & jujur dan legal judgmentnya sebagai legal adviser yang mempunyai profesional obligation
•
Melakukan sesuatu diluar legal capacity-nya karena the activity involves “a violation of law or breach of delegated authority”.
Value-Added Contribution Menurunnya pertumbuhan ekonomi pada 1990 dan disertai dengan biaya jasa hukum yang makin meningkat menyebabkan terjadinya perubahan dalam harapan dalam fungsi hukum perusahaan/
Secara perlahan terdapat perubahan. Perusahaan atau lembaga tempat mereka berada menyadari adanya kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pegawai mereka yang melaksanakan fungsi hukum (legal staff). Perusahaan atau lembaga ingin merekrut lawyer yang mempunyai bakat hukum yang berkualitas tinggi. Untuk mencapai tujuan ini, mereka menawarkan kompensasi yang sebanding, bersaing dengan perusahaan jasa hukum/kantor hukum (law firms) besar. Sejalan dengan perkembangan tersebut, law department meningkat dalam biaya anggarannya dan jumlah pegawainya. Bersamaan dengan itu, kebutuhan jasa penasehat hukum eksternal juga tetap meningkat untuk menangani litigasi dan kebutuhan kegiatan/transaksi yang terus meningkat. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam rangka in-house lawyer memberikan tambahan nilai (value added) adalah sebagai berikut: (i) Penetapan Misi Fungsi Hukum (Legal Function
lembaga tersebut. Secara perlahan law department
Mission)
diikutsertakan dalam seluruh program/inisiatif
Banyak law department telah menyusun den-
manajemen perusahaan/lembaga. Satuan kerja
gan sangat berhati-hati penuangan kata yang
hukum (law department) makin terlibat dalam
merupakan pernyataan “misi” dari satuan
“mainstream of management thinking, techniques
kerja hukum yang menetapkan maksud dan
and, indeed, fads” yang merupakan karakteristik
tujuan dari satuan kerja hukum dan menetap-
pada dekade tersebut. Seperti fungsi lainnya
kan budaya, perspektif dan pendekatan yang
dalam perusahaan/lembaga, fungsi hukum juga
diambil dalam memberikan dukungan hukum
dievaluasi. General counsel bertanggungjawab
bagi perusahaan/lembaga.
atas biaya/anggaran dan pengelolaan yang efektif,
Pernyataan tentang misi dari in-house lawyer
disamping juga memberikan jasa ukum yang
ini dipublikasikan secara luas dan ditegaskan
berkualitas. Setiap in-house lawyer diharapkan
kembali secara berkala dalam berbagai
memberikan nilai tambah bagi perusahaan/
kesempatan baik kepada pegawai satuan kerja
lembaga.
hukum maupun kepada client mereka. Banyak
Peranan general counsel dan law department dan
pemimpin satuan kerja hukum (general counsel)
pengertian “value-added contribution” (sumbangan
mengatakan bahwa kejelasan tentang peranan
peranan lawyer yang memberikan nilai tambah
tim hukum (legal team) sangat penting, tidak
bagi lembaga) telah mengalami perubahan terus
hanya dalam memfokuskan dan
menurus. Namun pada saat ini, in-house lawyer
memprioritaskan kegiatan-kegiatan staf dari
memiliki peranan sangat penting yang belum
in-house lawyer, tetapi juga untuk membantu
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
menyampaikan dan menegaskan kembali
dari tim bisnis/lembaga, tidak saja dalam
kontribusi fungsi hukum kepada client.
persepsi tetapi juga realitasnya. Jika para client
Pernyataan misi yang progresif umumnya memfokuskan pada client. Misi tersebut menekankan pentingnya memfasilitasi tercapainya tujuan client, dengan sikap lawyer yang proaktif, berperan dalam tim client. Dalam banyak contoh, misi satuan kerja hukum (law department) berkembang pada nilai-nilai perusahaan/lembaga yang sifatnya
menganggap lawyer mereka dapat memberikan “solusi hukum yang kreatif dengan suatu perspektif kegiatan client”, lawyer akan ditarik lebih dalam kedalam tim bisnis client sebagai penasehat yang dapat dipercaya dan pemberi kontribusi dengan nilai tambah yang tinggi. (iii) Penggunaan Kombinasi Inside-Outside Lawyer
umum, sebagian besar menitikberatkan pada
yang Tepat
kepuasan client.
Hampir semua perusahaan/lembaga besar
Sejalan dengan penekanan akhir-akhir ini pada corporate governance, ethical behaviour dan program kepatuhan (compliance), kecenderungannya adalah bahwa satuan kerja hukum (law department) terus akan menyempurnakan dan memperluas misi dan
menggunakan gabungan inside dan outside lawyer untuk memenuhi kebutuhan hukum mereka. Dengan demikian, pendekatan holistic terhadap pengelolaan sumberdaya hukum memerlukan pertimbangan terhadap kedua komponen pemberian jasa hukum.
rencana strategis mereka untuk merefleksikan
Banyak law department pada perusahaan/
pada penekanan ini. Pentingnya peran hukum
lembaga yang besar mencoba sebanyak dan
yang preventif oleh in house lawyer telah
sedapat mungkin menangani sendiri (in-house)
dimengerti sejak dekade yang lampau. Tetapi
pekerjaan hukum yang penting. Umumnya in-
perubahan lingkungan yg baru menuntut
house lawyer menangani sebagian besar
pemimpin satuan kerja hukum (general
pekerjaan hukum perusahaan/lembaga,
counsel) mengalokasikan perhatian lebih besar
dengan perkecualian yang paling sering adalah
dan sumber daya kepada program dan
litigasi, investigasi, pekerjaan transaksi atau
kegiatan pengelolaan risiko hukum (legal risk
pekerjaan internasional dimana law
management) yang lebih efektif.
department tidak/kurang memiliki
(ii) Integrasi dengan Client Konsep bahwa lawyer harus terintegrasi dengan client mereka telah lama menjadi prinsip/ajaran inti dari organisasi law department. Client adalah “raison d’etre” dari lawyers. Merefleksikan fakta ini, banyak law department yang dianggap secara luas sebagai di antara the best in class dalam kinerjanya secara berkala mengkaji ulang dan menyempurnakan bagaimana mereka mengelola fungsi hukum untuk melayani client. Walaupun adanya perbedaan client dalam bidang kegiatan, budaya dan tujuan bisnis/ lembaga, umumnya para general counsel menekankan pentingnya mengembangkan lingkungan kerja dimana para lawyer terintegrasi dengan client mereka dan anggota
pengetahuan. Terdapat keadaan dimana pengetahuan hukum yang canggih dan perspektif pasar yang lebih luas membuat outside counsel merupakan pilihan yang lebih tepat. Tetapi inside lawyer lebih dipilih, khususnya karena mereka dianggap lebih menguasai tentang kegiatan perusahaan/ lembaga, strategi dan kesempatan dibandingkan outside counsel. (iv) Umpan balik (feedback) dari Client Survey client adalah sarana utama bagi law department untuk mengkalibrasi pengertian mereka tentang harapan client dan memantau kinerja mereka terhadap ekspektasi client tersebut. Survey dapat berupa survey singkat atau panjang, dan didistribusikan kepada kelompok eksekutif inti/tertentu atau kepada
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
Faktor Sukses bagi In-house Lawyer
klien/responden yang lebih luas di setiap tingkat/golongan jabatan.
In-house lawyer secara individual dapat menggunakan
Terdapat mekanisme lain yang dapat diterapkan
guidance dibawah ini dalam menetapkan value-
dalam survey umpan balik ini, yaitu
added role mereka. Dua faktor pertama, yaitu
menitikberatkan pada individu penasehat hukum
Kualitas (Quality) dan Orientasi Bisnis (Bussiness
tertentu (individual attorney) disamping survey
Orientation) merupakan persyaratan pokok
umum terhadap satuan kerja hukum itu sendiri.
(fundamental) dan diperlukan selamanya bagi penasehat hukum internal. Sedangkan karakteristik
(iv) Komunikasi Nilai (Value)
lainnya merupakan manajemen dan harapan client
Diakui bahwa melakukan komunikasi yang
yang timbul selama beberapa tahun yang lalu.
efektif tentang jasa yang diberikan dan
(i ) Kualitas
kontribusi fungsi hukum sama pentingnya dengan memberikan jasa yang berkualitas
Konsep kualitas mencakup skill dan attribute,
tinggi itu sendiri. Bentuk yang paling formal
yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :
dan tingkat paling tinggi, beberapa pemimpin
legal training, technical skill, profesionalisme,
direktorat hukum menyiapkan laporan
pengalaman, judgment, client service,
tahunan tentang keseluruhan kinerja fungsi
komunikasi, dan negosiasi.
hukum dan menyampaikan laporan tersebut
(ii) Orientasi pada Bisnis
kepada komite eksekutif atau dewan direktur/
Faktor sukses yang penting ini sejalan dengan
pimpinan perusahaan/lembaga.
prinsip lawyer-client integration. Integrasi
Salah satu management tools yang dapat
demikian dapat dicapai melalui berbagai cara,
diterapkan, sebagian atau seluruhnya, untuk
diluar cara penempatan di lokasi yang sama
membantu mencapai tujuan ini adalah dengan
secara fisik. Pendekatan alternatif termasuk
mengadopsi “balanced scorecard” performance
kunjungan terjadwal dan periodik di satuan
indicator dan system/pola pelaporan. Metode
kerja client, secara berkala ikut dalam rapat tim
ini mencakup berbagai pengukuran untuk
manajemen client, dan berkomunikasi dengan
menetapkan, memantau dan memperbaiki
e-mail atau sarana lainnya untuk menjaga
kinerja perusahaan/lembaga. Banyak
tetap dekat dengan client.
perusahaan/lembaga yang meminta bantuan
(iii) Sadar Biaya
kepada perusahaan jasa konsultan manajemen
General counsel dan in-house lawyer diharapkan
untuk mengembangkan pendekatan balanced
mengelola inside and outside cost, dan
scorecard khusus untuk fungsi hukum. Disadari
menghindari duplikasi dengan sumberdaya
bahwa mengembangkan dan
dari luar.
mengimplementasikan pendekatan ini
(iv) Efisiensi dan Produktifitas
menuntut pengertian dan pemahaman yang memadai. Pendekatan manajemen ini menuntut
• Mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan
tambahan pekerjaan, mengandung kesulitan
lawyer untuk pekerjaan administratif dan
dan menimbulkan frustasi, dan jika ditangani
pengawasan.
secara tidak benar dapat mengakibatkan
• Menyerahkan pekerjaan keluar dari law
kemunduran bagi usaha-usaha penyempurnaan
department kepada department lain
yang dilakukan oleh law department. Tujuan
dalam perusahaan/lembaga jika pekerjaan
utama dari semua ini adalah memfokuskan
tersebut tidak mensyaratkan legal skill.
pada bidang dimana fungsi hukum dapat
• Menyerahkan pekerjaan yang kurang
menambah nilai (value) terbesar bagi
bernilai hukum kepada tingkat/golongan
perusahaan/lembaga.
10
Jonathan P. Bellis, “The Evolving Role of In-House Counsel: Adding Value to the Business” ,Hildebrant International, Winter 2003
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
yang lebih rendah (seperti paralegal dan
mengidentifikasi seluruh proses/tahapan yang
staf non-lawyer).
bersinggungan dengan semua ketentuan yang
• Merekrut/menempatkan staf pendukung
ada baik local maupun internasional, dan
yang professional bagi fungsi hukum
memberikan penilaian bagian mana dalam
untuk menangani sumberdaya manusia,
proses tersebut yang memerlukan pemantauan
keuangan/anggaran dan manajemen
(to be controlled)
teknologi dari fungsi hukum.
(iii) mengadopsi standar etika global, ketika
(iv) Nasehat yang Strategis dan Proaktif
menghadapi situasi yang sulit, dengan
Client mengharapkan in-house lawyer lawyer
mengajukan pertanyaan pertama adalah
mereka memainkan peran lebih strategis dan
“is it legal?” dan selanjutnya mengajukan
proaktif dan memberikan nilai tambah kepada
pertanyaan terakhir adalah “is it right?”.
bisnis/kegiatan client. Berikut ini adalah contoh
Jika sebuah perusahaan mengadopsi standar
kontribusi yang dapat disumbangkan in-house
etika yang tinggi, maka hal tersebut dapat
lawyer :
mengurangi risiko kehilangan integritas, serta meningkatkan fungsi internal perusahaan
• Mengintegrasikan ethics, compliance dan
dalam membina reputasi dan keuntungan di
preventive law efforts
pasar, dan menciptakan kredibilitas. Standar
• Mengintegrasikan legal dan public relation
ini dapat dikembangkan melalui disiplin proses
• Mempengaruhi/memberikan masukan bagi
sistematis dengan mengidentifikasi masalah
kebijakan pengaturan.
dan memilih orang yang menonjol.
• Menjadi internal warning system dalam
(iv) Mengurangi pertentangan antara peran in-
mengidentifikasi risiko potensial terhadap
house lawyer sebagai mitra dan “guardian”.
perusahaan/lembaga
GC terutama melayani CEO dan karena
Ben W Heineman JR, General Counsel (GC) dari the General Electric (the GE), telah mendapat
Single Role
apresiasi dari the Amerian Lawyer karena berhasil membuat revolusi kedudukan GC dari peran
Legal
tradisional lawyer sebagai “legal advisor” menuju
Adviser
“inside partnership” dalam proyek the GE “in-
Legal
house revolution”. Fokus kinerja yang dilakukan
Represen-
oleh Heineman adalah “high performance with
tation
Dual Role Legal
Value Added Role Legal Risk
Adviser Business Adviser
Management Compliance Reputational Risk
high integrity” melalui budaya kerja yang terdiri atas 5 prinsip yaitu:
itu, harus menjadi mitra yang membantu
(i) membangun kepemimpinan yang
mencapai kinerja tinggi. Namun GC tidak
berkomitmen dan konsisten,
bertanggung jawab kepada CEO, tapi kepada perusahaan. Hal ini menciptakan konflik
(ii) perfomance integritas sebagai bagian dari kegiatan rutin dalam bisnis proses, dengan
untuk GC, terutama pada masalah yang
mengikuti seluruh proses sesuai dengan
tidak jelas aturannya dan merupakan daerah
aturan dengan melakukan penilaian risiko
abu-abu. Dalam konteks ini, peran GC adalah
dan manajemen risiko. Tahapan membangun
memahami fakta penting, alternatif, bagaimana
infrastruktur integritas ini dalam bisnis
memberikan solusi yang paling aman dalam
proses berarti risiko menilai setiap proses dan
rangka mengurangi risiko. Oleh karena itu GC juga perlu melakukan due diligence mengenai perusahaan mereka bekerja.
The economist: Sixth General Counsel Roundatble – the global GC: Managing complexity in uncertain times, Economist Conferences, Desembar 4th 2008
Ben W. Heineman, Jr (2007), “Caught in the Middle”, Corporate Counsel, April
11
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
(v) Prinsip terakhir adalah suara karyawan. Skandal
dapat melakukan sendiri role ini. Terdapat beberapa
tumbuh dalam budaya diam, di mana karyawan
legal risks yang tidak dapat diidentifikasi atau
mengetahui perilaku ilegal atau tidak etis tetapi
dikontrol seorang diri tanpa bantuan orang lain,
takut untuk maju. Jika karyawan percaya bahwa
sehingga diperlukan metodologi seperti legal risk
mereka tidak diabaikan, maka mereka akan
management.
membantu memberikan informasi tersebut. Salah satu caranya adalah mendirikan sistem
Manajemen Risiko Hukum
ombudsman, meskipun mungkin hal tersebut
Dalam manajemen risiko, berkembang pemikiran
akan berbenturan dengan budaya setempat.
tentang perlunya suatu manajemen risiko hukum
Dengan demikan, “high performance with high
(legal risk management) yang efektif dalam suatu
integrity” merupakan upaya untuk membentuk
organisasi/institusi. Manajemen risiko hukum merupakan
kembali sebagian besar perdebatan kontemporer
salah satu sarana dalam pelaksanaan proses penilaian
tentang korporasi, termasuk tata kelola perusahaan,
mandiri suatu organisasi dan kegiatan yang
kewarganegaraan global dan bagaimana untuk
berkesinambungan menuju manajemen organisasi
membayar kinerja dengan integritas. Menurut
yang efektif dan efisien. Pelaksanaan manajemen
Thomas C. Baxter, Jr.
10
value added role tersebut
risiko hukum juga dimaksudkan untuk
bertujuan untuk mencegah senior officials
mengembangkan suatu pendekatan yang
melakukan tindakan yang merusak/menghancurkan
berkelanjutan dalam pelaksanaan manajemen dengan
reputasi institusi, sehingga dapat mengelola secara
tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan
efektif compliance risk & reputational risk.
institusi yang pada akhirnya akan meminimalisir
Diharapkan institusi dapat mengatur dirinya sendiri
tingginya biaya dalam pelaksanaan kegiatan institusi.
secara lebih baik & bagaimana pejabat-pejabatnya
Satuan kerja yang melaksanakan fungsi hukum sangat
harus bertindak, walau tindakan full compliance
berperan dalam manajemen risiko hukum dan
with legal & rule tapi jika tidak sesuai dengan good
bertanggung jawab terhadap urusan dan masalah
governance tindakan tersebut seharusnya tidak
hukum dalam suatu organisasi dengan menggunakan
dilakukan. Tanggung jawab in-house lawyer untuk
in-house lawyer sebagai sumber daya manusia
melindungi institusi thd inappropriate risk tidak
memberikan kontribusi yang penting dan
berarti bahwa in-house lawyer seharusnya yang
menentukan.
membuat keputusan mengenai hal-hal yang
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, untuk dapat
mengandung legal risk .
membantu perusahaan/institusi dalam meminimalkan
Namun dalam prakteknya di bebarapa
risiko hukum dan agar in-house lawyer dapat
perusahaan/lembaga in-house lawyer tidak terlibat
memberikan opini dan advis hukum yang efektif
dalam risk management dan good governance
diperlukan mekanisme identifikasi dan asesmen
(Legal, Compliance & Reputational Risk Management).
terhadap risiko hukum.
Oleh karena itu, in-house lawyer tidak hanya
In-house lawyer harus mengembangkan prosedur
memfokuskan pada risiko yg timbul dari suatu isu, kasus atau transaksi (walaupun ini tetap penting) dan melakukan a comprehensive across-the- board overview of an organisation’s legal risk profile dengan tujuan agar dapat mengidentifikasi key legal threats or trends across an organization11. Namun disadari pula bahwa in-house lawyer tidak
untuk mengurangi (reducing), mengalihkan (transferring), menghindari (avoiding) dan/atau memikul (assuming) enforceability risk yang menjadi tanggungjawab inhouse lawyer dan menjamin bahwa prosedur tersebut masuk atau telah menjadi bagian dari organisasi. “Prosedur” dasar tersebut meliputi : - Membatasi individu dalam organisasi yang berhak
10 Thomas C. Baxter, Jr. Executive Vice President and General Counsel Federal Reserve of New York (2004), “The New Governance and Compliance Challenges – Empowering Lawyers to Meet Them
mengikat organisasi secara finansial dan hukum,
11 Antoine Henry de Frahan, Legal Management (2007) : Kissing “Legal Risk” Goodbye
berhak menandatangani;
12
dengan cara membuat daftar orang-orang yang
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
- Memberikan pelatihan (training) dan pendidikan (education), bahan-bahan (material) dan perangkat alat (tools) untuk memberikan informasi kepada semua staf yang terkait tentang enforcebility risks dan issues. - Memberikan pedoman (guidance) tentang membangun struktur, menganalisis dan mengelola hubungan saat ini dan di masa depan, dan tentang proses negosiasi yang mengarah kepada membuat komitmen, dan melembagakan proses yang menjamin agar kontrak selalu updated, ditandatangani kemudian dan merefleksikan perubahan-perubahan dalam hubungan yang
enforceability risk tidak dapat diprediksi dengan melihat pada kesalahan masa lalu.Apabila terdapat enforceability risk yang spesifik yang bukan merupakan tanggungjawab in-house lawyer (sebagai contoh, kontrak kepegawaian (employment contract) dan sengketa kepegawaian (employment disputes) yang ditangani oleh fungsi sumber daya manusia, in-house lawyer harus menjamin bahwa risiko di fungsi tersebut secara formal direkam/ dicatat yang dapat mengakibatkan in-house lawyer tidak diminta pertanggungjawaban terhadap kesalahan yang terjadi dalam bidang tersebut.
terkait dengan kontrak. - Mensyaratkan staf untuk berkonsultasi dengan satuan kerja yang melaksanakan fungsi hukum dan/atau proses yang telah ditetapkan dan/atau menggunakan dokumen dan pedoman standar sebelum membuat komitmen yang mengikat organisasi atau menandatangani kontrak. Secara berkala in-house lawyer memberikan nasehat/ advis tentang validity dan enforceability dari kontrakkontrak dan property right, dan tidak jarang bertanggungjawab untuk menjamin agar hak-hak tersebut dikelola secara strategis supaya dapat mencapai tujuan-tujuan organisasi. In-house lawyer juga membela kontrak-kontrak dan property rights apabila kontrak-kontrak dan property right tersebut
In-house lawyer harus memperoleh arah kebijakan
pelaksanaannya dipermasalahkan oleh pihak ketiga.
dari manajemen senior terhadap proses
GC atau Head of Legal Function dalam organisasi/
enforceabilty risk yang dihadapi organisasi, karena
badan/perusahaan pada umumnya memiliki peranan penting (key role) dalam mengidentifikasi (identifying) dan mengelola (managing) enforceability risk yang dihadapi organisasi, dan dapat/mungkin secara formal diangkat sebagai pemilik dari enforceability risk. GC harus mengidentifikasi enforceability risks yang spesifik yang dihadapi organisasi, dan kemudian melakukan asesmen (assesment) terhadap “significance” dan “probability” dari risiko tersebut. In-house lawyer melakukan hal ini dengan mengacu kepada
mengidentifikasi, mengasesmen, dan mengelola keputusan komersial/bisnis harus diambil, sebagai contoh risiko-risiko yang mana saja yang boleh diterima (assumed) dan risiko mana yang harus dihindari (avoided), dan sumberdaya apa saja yang boleh dialokasikan dalam proses tersebut. In-house lawyer sering berada dalam tekanan dan tim-tim mereka overstretched. Jika ini masalah dalam organisasi, in-house lawyer harus mengungkapkan hal tersebut kepada manajemen senior sebelum terjadi kesalahan.
pengalaman/sejarah dari peristiwa sebelumnya dalam
Manajemen Risiko Peraturan/Kepatuhan
organisasi atau pesaingnya, dan harus berkonsultasi
(Regulatory/Compliance Risks Management)
dengan pimpinan dan manajemen di tiap-tiap fungsi organisasi dan bagian yang melaksanakan kegiatan organisasi, Akan tetapi, in-house lawyer harus selalu berpikir “luas” (think “big”), karena beberapa
Regulatory risk relevan untuk seluruh organisasi, tidak hanya institusi keuangan, dan banyak dari skandal corporate governance terjadi karena ketidaktaatan
13
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
terhadap peraturan. Tanggungjawab utama Board
compliance diminta untuk mengawasi area dari
adalah membangun “budaya patuh/taat” (compliance
regulatory risk.
culture) yang menekankan standard kejujuran (honesty) dan integritas (integrity). Board dan senior management harus memimpin dan memberikan contoh dalam
Menyusun prosedur untuk Mengelola Regulatory (Compliance) Risk
perbuatan dan tingkah laku keseharian dan mendukung
Setelah mengidentifikasi dan mengases regulatory risk,
in-house lawyer (atau spesialis head of compliance jika
in-house lawyer mengembangkan prosedur untuk
orangnya berbeda dengan head of in-house lawyer)
mengelola regulatory risk yang telah diidentifikasi dan
dalam mengelola regulatory risk pada tingkat bawah.
diases. Mengelola risiko (managing risk) pada pokoknya
Konsep dasar regulatory risk tidak memerlukan
merupakan proses training/pelatihan staf dari organisasi
pengetahuan spesialis, pelatihan atau pengalaman
mengenai aturan terkait, dan bagaimana mereka
dalam bidang peraturan.
mentaati aturan tersebut, memonitor bahwa mereka
Jika suatu organisasi termasuk dalam highly regulated, atau jika menjaga reputasi merupakan kunci terhadap model bisnis, organisasi dapat mengangkat seorang kepala spesialis kepatuhan (compliance) dimana perannya adalah melakukan langkah proactive untuk mengidentifikasi dan mengelola regulatory risk yang dihadapi organisasi sehingga risiko tersebut tidak mengakibatkan loss atau damage yang besar bagi organisasi. Di organisasi lain, peran ini merupakan bagian dari peran kepala atau pemimpin satuan kerja yang melaksanakan fungsi hukum. Tetapi dalam kasus/ praktek apapun, peran ini akan jauh lebih mudah dilaksanakan jika board dan senior management melaksanakan tanggungjawab masing-masing secara tepat. Seseorang tidak dapat diharapkan untuk memikul
berbuat demikian (mentaati), menginvestigasi dugaan pelanggaran, dan apabila ditemukan adanya pelanggaran in-house lawyer melaporkan kepada manajemen senior. Ada kalanya in-house lawyer mengintervensi suatu kegiatan untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Ketegasan dan tingkat perhatian (caution) yang dilakukan oleh in-house lawyer dalam peran ini (managing enforceability risk) tergantung pada nature dari organisasi, sejauh mana organisasi tersebut diatur, atau karena alasan lain organisasi tersebut sangat peduli dengan reputasinya, dan apakah organisasi telah memiliki budaya ketaatan yang baik (good compliance culture). Senyatanya untuk melaksanakan peran tersebut in-house lawyer harus memiliki atau diberi independensi, kewenangan, sumberdaya dan akses informasi dan personnel yang memadai.
tanggungjawab utama untuk mengidentifikasi dan mengelola semua area regulatory risk yang dihadapi
III. Hubungan In-House Lawyer dan Eksternal Lawyer
oleh organisasi. Oleh karena itu, dalam praktek
Hubungan yang bersifat interpersonal akan
tanggungjawab aturan kepegawaian (employment
mempengaruhi bagaimana seorang profesional
rules) sering diserahkan kepada kepala HR function,
berhubungan dan memperlakukan Client-nya. Karena
tanggungjawab mengenai tax dan acounting rules
in-house lawyer bekerja di kantor yang sama dan
kepada Head of Finance, dan seterusnya, dan Head of
setiap hari bertemu dengan “the constituents of
Compliance (actual atau de facto) bertanggungjawab
organization” dan berkembang menjadi hubungan
atas sisanya. Tetapi, organisasi mungkin menginginkan
pertemanan dan sosial dengan para manajer dari
seseorang untuk mengawasi keseluruhan regulatory
entitas tersebut, maka faktor tersebut jelas dan
risk yang ada pada organisasi (misal, termasuk aturan
pasti akan mempengaruhi legal representation.
yang menjadi tanggungjawab utama orang lain)
Situasi ini berbeda dengan yang dihadapi eksternal
sehingga tidak ada yang terlewatkan/terabaikan.
lawyer.
Head of compliance (actual atau de facto) memerlukan
In-house lawyer secara fundamental sangat berbeda
kesepakatan dengan senior management tentang area
dengan outside lawyer. Memberikan “nasehat bisnis”
mana dari regulatory risk menjadi tanggungjawab
merupakan alasan utama keberadaan mereka (raison
utama dari head of compliance, dan apakah head of
d’etre) dan secara axiomatic (diakui sebagai suatu
14
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
asas), walaupun tidak selalu demikian, bahwa “the
Salah satu tujuan menyewa eksternal lawyer adalah
more senior the in-house lawyer, the less law he or
untuk menghindari konflik kepentingan. Tren ini tidak
she practises” Penasehat hukum yang berpraktek
berarti penasihat hukum di luar perusahaan dapat
swasta/pribadi memberikan nasehat komersial/bisnis
mengambil alih peran in-house lawyer. Sebaliknya
tetapi dalam hal tidak ada permintaan/perintah secara
eksternal lawyer sebagai lawyer independen dapat
jelas, mereka tidak wajib untuk memberikan nasehat
memberikan masukan kepada eksekutif perusahaan
terhadap urusan bisnis dari clientnya.
apa yang seharusnya dilakukan dari sudut yang
Disatu sisi in-house lawyer memiliki lebih banyak informasi dibanding dengan eksternal lawyer. Mereka memiliki business dan legal information, disamping informasi dari sumber informal tentang orang-orang yang menjalankan organisasi. Informasi ini memberikan
berbeda untuk isu tertentu. Hal ini diperlukan, di mana GC perlu untuk menghindari munculnya konflik yang sebaiknya tidak dilakukan sebagai rutinitas, mengingat hal tersebut akan menjadikan perpanjangan birokrasi.
kesempatan unik bagi in-house lawyer untuk
GC mungkin menunjuk pengacara luar untuk
mempengaruhi decision maker agar menghindari
memberikan saran kepada dewan mengenai isu-isu
In-house lawyer • The business of corporation /organization is its
External lawyer • The business of a law firm is law
business • While IHL must still provide the highest quality work, they do not live and work in a community of
• The sole focus of a law firm is producing legal work with highest quality
lawyers focused on the legal work product • IHLs function within an organization whose focus is to further its principal line of business
• The lawyers are the pre-eminent part of the organization, and the effort and focus are directed to work supporting them and delivering legal product
• IHLs are there as adjunct to the business people and must work to advance the same goals within a
• The success of a lawyer is evaluated on the quality of work product
legal framework
risiko yang dapat merugikan klien, yaitu entitas itu
spesifik dalam parameter yang terbatas. Ini adalah
sendiri.
peran GC dalam membantu dewan dan mengatakan
Selain untuk menangani perkara litigasi, external/ outside Lawyer dapat digunakan oleh General Counsel (Law Department) untuk memberikan second legal opinion, apabila terdapat keragu-raguan tentang suatu pending decision, potential issue, atau course of action. Karena eksternal lawyerl tidak memiliki incentive untuk membantu/mendukung atau terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum (unlawful conduct) yang dilakukan klien. Oleh karena itu, pemanfaatan private law firm dapat melindungi in-house lawyer secara efektif dari kemungkinan criminal or civil liability dan employment risk.
bahwa tugas pertama adalah untuk membangun hubungan kepercayaan. Meskipun GC tidak perlu menghadiri semua rapat dewan ia harus secara rutin terlibat dalam urusan dewan. Oleh karena itu seorang GC harus memiliki 5 kualitas yang esensial yaitu integritas, baik secara pribadi dan profesional; penilaian, - kemampuan untuk menilai fakta yang penuh dengan konflik yang rumit dan situasi dan menyajikan alternatif; stature - sebuah gaya kepribadian dan intelek yang menyebabkan orang untuk mendengarkan; padat pengalaman hukum, termasuk keahlian dalam bidang-bidang penting
15
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
untuk korporasi, akhirnya pengetahuan yang kuat dari
masalah dapat diangkat dan diselesaikan pada tingkat
bisnis .
yang tepat. Hal tersebut dikarenakan bahwa klien dari
12
Hubungan dengan external lawyer dapat berupa semilongterm basis. External lawyer dapat diminta untuk berlitigasi dalam hal in-house lawyer tidak dapat mewakili perusahaan di depan pengadilan atau dalam kasus yang memerlukan mereka (misal, untuk memperoleh masukan yang bersifat spesifik pada
in-house lawyer adalah badan hukum itu sendiri (legal entity), bukan individu atau kelompok individu yang terkait dengan badan/lembaga tersebut. Seorang inhouse lawyer yang mewakili suatu badan hukum tidak melayani atau bertindak sebagai lawyer untuk kepentingan pejabat (officers).
bidang hukum yang sangat khusus). Dalam praktek
Atas perubahan peran tersebut in-house lawyer
keputusan untuk menggunakan external counsel
dituntut memberikan nilai tambah (value-added
merupakan kewenangan Board atau pemimpin satuan
contribution antara lain dengan melakukan reorganisasi
kerja fungsi/jasa hukum. Dari survey Friedman and
law department dengan menetapkan misi fungsi
Stuart (2000) yang sama menunjukkan bahwa
hukum; melakukan integrasi dengan client, melakukan
perusahaan cenderung lebih menyukai menggunakan
umpan balik dari client, memberdayakan eksternal
in-house lawyer dibanding menggunakan counsel dari
lawyer dan mengkomunikasikan nilai (value).
luar (external lawyer) karena in-house counsel lebih
Sementara itu, secara individual in-house lawyer
memahami mereka dan lebih dipercaya. Survey
menggunakan guidance dalam memberikan nilai
tersebut juga menunjukkan bahwa 90% dari
tambah pada perusahaan/lembaga dengan meningkatkan
responden menempatkan CLO diantara 10 top
kualitas (skill dan attribute), orientasi pada bisnis,
executives di perusahaan/lembaga mereka.
sadar biaya dan melakukan efisiensi dan produktifitas.
Dalam praktek di negara-negara yang professional conduct sudah berjalan dengan baik confidentiality agreement tidak selalu diperlukan jika mempekerjakan external counsel karena demi hukum mereka disumpah untuk menjaga kerahasian. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap hal tersebut dituntut berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana dan atau berdasarkan aturan professional conduct V. PENUTUP
Dengan demikian, legal advis yang diberikan merupakan advis yang strategis dan proaktif yang diberikan dengan memperhatikan flexibility dan versality serta speed dan agility. Selain itu juga Inhouse lawyer mengidentifikasi risk dan dengan rincian impact & consequences issues serta memberikan kontribusi idea dan possible solution tetapi tanpa harus mengambil alih tanggung jawab for making business decision. Perkembangan lain di beberapa perusahaan/organisasi
Telah terjadi perubahan yang significant dari peran in-
in-house lawyer terlibat dalam risk management dan
house lawyer di satu sisi sebagai legal adviser dan
good governance (Legal, Compliance & Reputational
disisi lain sekaligus sebagai business adviser. Selain itu
Risk Management). Oleh karena itu, in-house lawyer
juga in-house lawyer dipercaya untuk mengelola risiko
tidak hanya memfokuskan pada risiko yg timbul dari
hukum dan memperhatikan compliance, standar etika
suatu isu, tapi juga dapat mengidentifikasi risiko
dan juga good governance. Untuk dapat
hokum dengan melakukan legal risk management.
menyeimbangkan tanggungjawab tersebut in-house lawyer juga dituntut untuk menjadi bagian dari manajemen (corporate management) dengan menempatkan general counsel sebagai senior manager dan mempunyai akses langsung yang cukup kepada senior management & Board serta melapor kepada “the highest ranked executive, sehingga semua 12 Economist Conference Executive Summary, Sixth General Counsel Roundtable “The global GC: Managing complexity in uncertain times”, Desember 4th 2008
16
Daftar Pustaka
1. Andrew M Whittaker, et.all (2003): “ Lawyers as Risk Managers”, Butterworths Journal of International Banking and Financial Law. 2. Antoine Henry de Frahan, Legal Management (2007) : Kissing “Legal Risk” Goodbye 3. Association of Corporate Counsel- Leading Pracitces Profiles Series, “ The Role of General Counsel and In-house Counsel in Europe: Leading Practices in Law Department Management”, 2009 http://www.acc.com/legalresources/leading practicesprolies/index.cfm 4. Association of Corporate Counsel- InfoPAK, “ The Role of General Counsel”, September 2009 http://www.acc.com/infopaks 5. Association of Corporate Counsel (2008): “How to Identify legal Risks in Business Process”, ACC Value Challenge Tool Kit Resource http://www.acc.com. 6. Association of Corporate Counsel (2008): “How to Focus Internal Communications About Legal Risk”, ACC Value Challenge Tool Kit Resource http://www.acc.com. 7. Association of Corporate Counsel (2008): “How to Identify Business Process to Review for Legal Risks”, ACC Value Challenge Tool Kit Resource http://www.acc.com. 9. Association of Corporate Counsel (2008): “How to Assess Legal Risks Management Practices”, ACC Value Challenge Tool Kit Resource http://www.acc.com. 10. Association of Corporate Counsel (2008): “The Role of General Counsel in Canada: Leading Practices in Law Department Management”, Leading Practices Profiles http://www.acc.com/lpp 11. Bettina Plevan, NYC Bar Association, ”The Lawyer’s Role in Corporate Governance” 12. Bruce Macmillan,et.all (2006): “A fine line”, Corporate Governance Committee, July http://www.ciggroup.org.uk 13. Bank for International Settlement (2008): “Legal risk policy”. 14. Bank for International Settlement (2007): “Risk Management in Central Banks: Organisation of risk management, and methods for managing non-financial risk”, September. 15. Bank for International Settlement -Central Bank Experts’ Meeting- Bank for International Settlement (2008) : “Country Paper Federal Reserve Bank New York”. 16. Bank for International Settlement-Central Bank Experts’ Meeting- Bank for International Settlement (2008) : “Meeting Record Hongkong 28-29 February 2008”. 17. Basel Committee on Banking Supervision (2003): “Risk Management in Central Bank- Organization of Risk Management, and Methods for Managing NonFinancial Risk, Report from a Study Group on Risk Management”. 18. Ben W. Heineman, Jr (2006), “In the Beginning”, Corporate Counsel, April 19. Ben W. Heineman, Jr (2007), “Caught in the Middle”, Corporate Counsel, April 20. Christine A. Edwards (2002) :”The CLO’s Perspective on Managing Legal Risk”, Peer Review, Spring 2002. 21. Counsel to Counsel, “In-House lawyers: Rising to the Challenge”, volume 2- Issue 2- Spring 2002. 22. Economist Conference Executive Summary, Sixth General Counsel Roundtable “The global GC: Managing complexity in uncertain times”, Desember 4th 2008. 23. European Central Bank Task Force on Legal Risks of Central Bank (2006), “Legal Risk of Central Banks” SEC/GovC/X/06/196-SEC/GenC/X/06/34. 24. GlaxoSmithKline (2001), “Risk Management and Legal Compliance”, Corporate Policy Pol-GSK-500 v01. 25. Hugh S. Pigott (2003): “Legal Risk”, Butterworths Journal of International Banking and Financial Law. 26. John Dzienkowski, “Evolving Issues For Corporate Lawyers and In-House Counsel”, University of Texas Continuing Legal Education, 2003 27. James R. Jenkins, Senior Vice President and General Counsel, Deere & Company, The Metropolitan Corporate Counsel (2005), “ Value Added Collaboration
17
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
– Benefiting In-House Counsel And Their Corporation” 28. Jan Trzaskowski (2005), “Legal Risk Management – Some Reflection”. 29. Jan Trzaskowski (2005), “Legal Risk Management in Cross-Border E-Commerce”. http://www.legalriskmanagement.com. 30. Marina Paul (2006): “Risk and the in-house lawyer” available at http://www.journalonline.co.uk/Magazine/51-12/1003695.aspx. 31. New York Law (2006) “The Evolving Role of General Counsel Managing the Crisis, Internal and External Investigations, Dealing with Regulators, and the New World of Discovery”, A Roundtable Discussion present by Price Waterhouse Coopers, April. 32. Patricia Brown Holmes: “Sleeping Through The Night: Tips to In-House Counsel to Avoid Personal Liability”. 33. Roger McCormick (2004) : “The Management of Legal Risk by Financial Institutions”. 34. Spencer Stuart, “ Lawyer at the Top Table -The evolution of the role of general counsel in UK listed companies”, 2005 http://content.spencerstuart.com/sswebsite/pdf/lib/ lawyersATTT.pdf 35. The National Law Journal (2006), A roundtable Discussion “The evolving role of General Counsel Leadership in Challenging Times” Keynote Speaker: James B. ComeyGeneral Counsel of Lockheed Martin Corporation, August. 36. The National Law Journal (2006), A roundtable Discussion “The evolving role of General Counsel” Keynote Speaker: Hans Peter Frick- Senior General Counsel of Nestle S.A, February. 37. Timothy W. Floyd (Texas Tech University School of Law) & Mitchel L. Winick (Texas Center for Legal Ethic and Profesionalism): A Guide of The Basics of Law Practice; Your Role as In-House Counsel 38. Ricardo Noreno,et.all (2007): “Legal Risk Management Policies & Procedures -Association of Corporate Counsel”. 2010
18
Kekayaan Negara yang Dipisahkan dan Lembaga Penjamin Simpanan (Tinjauan UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan). Oleh: Dyah Hapsari Prananingrum, SH, MH*)
Pendahuluan
dilakukan dan berhasil mewujudkan kepercayaan
Harian Kompas, 2 Pebruari 2010 menyoroti masalah
masyarakat terhadap industri perbankan pada masa krisis
keuangan negara, dengan menilik pada kasus “dana bail out Bank Century”. Apakah dana bail out tersebut adalah keuangan negara atau bukan keuangan negara, yang tentu saja akan mengandung implikasi yang berbeda. Bila dana bail out Bank century bukan keuangan negara, maka bail out itu bukanlah urusan publik, tapi privat, bukan ranah hukum pidana melainkan perdata. Lebih lanjut disebutkan bahwa apabila kasus dana bail out Bank Century ini menjadi urusan perdata, bukan pidana, maka
moneter dan perbankan. Namun penjaminan secara penuh tersebut, dari waktu kewaktu ternyata membebani anggaran negara dan menimbulkan moral hazard pada pihak pengelola bank dan nasabah bank. Dengan penjaminan kewajiban bank secara penuh dapat berakibat pada kurangnya kehati-hatian pengelola bank dalam menjalankan bisnis perbankan di satu sisi, sementara di sisi yang lain nasabah dalam menggunakan jasa perbankan perbankan tidak mencermati kondisi
kasus cessie Bank Bali di Bank Dagang Nasional Indonesia
kesehatan bank.
(BDNI) dan kasus dana Yayasan Pengembangan
Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 24 tahun
Perbankan Indonesia (YPPI) masuk dalam ranah hukum
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan diharapkan
privat juga. Berbagai pendapat yang berbeda
mampu meminimalisir kekurangan dari pengaturan
dikemukakan baik dari kalangan ahli hukum dan Pejabat
dimasa lalu serta semakin meningkatkan kepercayaan
Negara mengenai modal Lembaga Penjamin Simpanan
nasabah serta meminimalisir risiko yang membebani
(selanjutnya disingkat dengan LPS) dan uang premi yang
anggaran negara ataupun risiko yang menimbulkan moral
dibayarkan kepada LPS, apakah masuk dalam kategori
hazard. Penjaminan simpanan nasabah bank tersebut
keuangan negara atau kekayaan negara yang telah
diselenggarakan oleh LPS. LPS sebagai lembaga
dipisahkan (seperti halnya kekayaan yayasan dalam kasus
independen memiliki dua fungsi yaitu menjamin simpanan
YPPI, modal PT dalam kasus cessie Bank Bali). Apabila
nasabah bank dan melakukan penyelesaian atau
masuk dalam kategori keuangan negara, akan
penanganan Bank-Gagal. Mengingat fungsinya yang
berimplikasi pada rezim hukum yang akan digunakan
sangat penting, LPS harus independen, transparan, dan
sebagai dasar penyelesaian permasalahan hukum yang
akuntabel dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
muncul. Bagaimana Kedudukan Hukum LPS? Lembaga Penjamin Simpanan
UU No. 24/2004 jelas-jelas menyebutkan LPS berbentuk
Bercermin dari kegagalan perbankan Indonesia tahun
badan hukum (Pasal 2 Ayat(2). LPS bertanggung jawab
1998 yang berdampak pada krisis ekonomi yang
pada Presiden dan sifatnya independen, transparan, serta
berkepanjangan, dibubarkan dan dibekukannya banyak
akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bank diwaktu itu serta menurunnya tingkat kepercayaan
(Pasal 3 UU No.24/2004). Dengan demikian, sebagai
terhadap perbankan nasional secara keseluruhan, maka
badan hukum LPS haruslah memenuhi unsur-unsur yang
pemerintah berkepentingan untuk menjaga kepercayaan
terdapat di dalam badan hukum, yang menurut Soenawar
nasabah yang saat ini telah terbentuk. Pemberian
Soekowati (dalam buku, Ali, Chaidir, 2005) yaitu:
penjaminan secara penuh pada kewajiban bank (blanket guarantee) berdasarkan Keputusan Presiden di masa lalu,
*) Dosen FH UKSW Salatiga, Kandidat Doktor FH UGM
1. Ada harta kekayaan yang terpisah, lepas dari kekayaan anggota-anggotanya (penulis: pendiri); 2. Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh
19
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
hukum, serta bukan kepentingan satu atau beberapa
dari dari pemerintah yaitu dari Departemen Keuangan
orang saja;
dan Bank Indonesia di dalam organ LPS ( Pasal 65 Ayat
3. Kepentingan tersebut haruslah panjang (stabil); 4. Harus dapat ditunjukkan suatu harta kekayaan yang tersendiri, yang tidak saja untuk obyek tuntutan tetapi juga sebagai upaya pemeliharaan kepentingankepentingan badan hukum yang terpisah dari kepentingan angggota-anggotanya (penulis: pendiri) Dengan mengesampingkan penetapan badan hukum LPS berdasarkan UU, maka melihat pengaturan lebih lanjut dalam UU No. 24/ 2004 dapat dibandingkan unsur-unsur badan hukum di atas, sebagai berikut. 1. Tentang harta kekayaan yang terpisah, lepas dari kekayaan pendirinya.
(1). Sementara itu, pengertian badan hukum bisa bersifat perdata dan bisa pula bersifat publik. Apakah LPS termasuk sebagai badan hukum publik atau perdata dengan melihat kriteria-kriteria yang dikemukakan oleh Chidir Ali ( 2005): 1. Dilihat dari cara pendiriannya, LPS diadakan dengan konstruksi hukum publik yaitu didirikan oleh pemerintah dengan undang-undang; 2. Lingkungan kerjanya, LPS dalam melaksanakan tugasnya bertindak yang sama kedudukannya dengan publik walaupun dalam beberapa hal LPS juga melakukan perbuatanperbuatan perdata; 3. Wewenang
Kekayaan LPS merupakan kekayaan negara negara
LPS memiliki wewenang membuat dapat mengambil
yang dipisahkan dan pertanggungjawaban atas
keputusan-keputusan dan membuat peraturan-
pengelolaan dan penatausahaan semua kekayaannya
peraturan yang mengikat orang lain yang tidak
dilakukan oleh LPS (Pasal 81 Ayat (2) dan (3).
tergabung dalam badan hukum.
2. Adanya kepentingan
Dengan dipenuhinya kriteria-kriteria tersebut diatas maka
Unsur ini ada dalam LPS yang kepentingan tidak
dapat disimpulkan bahwa LPS adalah badan hukum
untuk pendiri namun untuk kepentingan nasabah
publik (publiek rechts person).
penyimpan dan masyarakat agar terciptanya . turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya (Pasal 4). 3. Kepentingan dalam jangka waktu yang panjang
Pengaturan Yang Saling Bersaing Sembilan temuan BPK dalam laporan audit investigasinya akhir tahun 2009, tidak tegas menyimpulkan, terkait
Kepentingan di dalam LPS tidak untuk jangka waktu
dengan proses merger, penyehatan melalui fasilitas
yang pendek namun untuk jangka waktu yang
pendanaan jangka pendek (FPJP) oleh Bank Indonesia
panjang.
atau penyertaan modal sementara (PMS) oleh Negara
4. Kekayaan yang dapat digunakan untuk memelihara badan.
melalui LPS sebagai keuangan negara atau bukan (Kompas, 2 Pebruari 2010). Pengertian keuangan negara yang terdapat dalam UU No. 17 / 2003 tentang Keuangan
Unsur ini juga dapat ditemukan dalam LPS diatur dalam
Negara, adalah semua hak dan kewajiban negara yang
Pasal 81 dan 83 Ayat (1).
dapat dinilai dengan uang. Serta segala sesuatu, baik
Sebagai subyek hukum, dalam mejalankan tugas dan
berupa uang maupun berupa barang yang dapat
kewenangan dilakukan oleh organ LPS yaitu Dewan
dijadikan milik negara yang berkaitan dengan
Komisioner dan Kepala Eksekutif. Dewan Komisioner
pelaksanaan hak dan kewajiban. Ruang lingkup dari
adalah pimpinan LPS yang Dewan Komisioner merumuskan
keuangan negara berdasarkan Pasal 2 UU 17/2003
dan menetapkan kebijakan serta melakukan pengawasan
adalah:
dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang LPS
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan
(Pasal 63). Salah satu anggota Dewan Komisioner ditetapkan sebagai kepala eksekutif yang bertugas melaksanakan kegiatan operasional LPS sesuai Keputusan Dewan Komisioner. LPS sebagai badan hukum yang didirikan oleh pemerintah maka dalam LPS terdapat unsur perwakilan
20
dan mengedarkan uang dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
c. penerimaan negara; d. pengeluaran negara;
pengaturan keuangan negara yang diperluas, menunjukkan adanya imperpektivitas hukum keuangan negara karena mengesampingkan esensi kemandirian
e. penerimaan daerah;
badan hukum (BUMN, BUMD dan badan hukum lainnya)
f. pengeluaran daerah;
sehingga mengurangi konsepsi berpikir atas manfaat dan
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 17/ 2003, negara menguasai sekaligus memiliki keuangan publik, bahkan keuangan privat sekalipun.
kegunaan keuangan negara. Secara sistem, ketentuan perundang-undangan, pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan badan hukum berbeda dengan APBN sebagai keuangan negara. Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi, menggunakan rumusan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan yang langsung dalam penguasaan pemerintah maupun yang dipisahkan dalam badan hukum. Menilik sepak terjang KPK selama ini, maka dapat diketahui bahwa menjalankan fungsi penegakan hukum antikorupsi KPK tidak pernah membedakan keuangan negara dan keuangan Negara. Pengertian keuangan Negara yang demikian luas, membawa konsekwensi
Ada empat pendekatan yang dipergunakan UU No. 17/
hukum tersendiri yang patut dicermati terkait dengan
2003 dalam melihat apakah sesuatu masuk dalam
kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah baik dalam
keuangan negara atau tidak yaitu:
hal pendirian badan-badan hukum privat maupun badan
Obyek, meliputi semua hak dan kewajiban negara yang
hukum publik.
dapat dinilai dengan uang, termasuk kegiatan dan kebijakan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Subyek, adalah Pemerintah Pusat, Pemda, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Dalam keterkaitannya dengan LPS, apakah uang LPS merupakan keuangan negara ataukah bukan keuangan negara? Guna menjawab pertanyaan dana yang terdapat dalam LPS adalah keuangan negara ataukah keuangan negara, petama-tama dapat dilihat dari modal pendirian LPS. Mengenai Modal pendirian LPS diatur dalam Pasal 81 Ayat (1) UU No. 24/2004 mengatur bahwa modal awal
Proses, adalah seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan
LPS ditetapkan sekurang-kurangnya
dengan pengelolaan obyek tersebut mulai dari perumusan
Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah) dan
kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
sebesar-besarnya Rp8.000.000.000.000,00 (delapan
pertanggungjawaban.
triliun rupiah). Dalam penjelasannya disebutkan, modal
Tujuan, Meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan
awal pendirian LPS bersumber dari kekayaan negara yang
hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
dipisahkan. Dalam Pasal 81 ayat (3) diatur bahwa LPS
penguasaan obyek tersebut dalam rangka penyelenggaraan
bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan
pemerintahan negara.
semua asetnya.
Dengan demikian UU No.17/2003 mengalami perluasan
Dalam Pasal 81 tersebut di atas disebutkan bahwa modal
rumusan yang menggeser pemahaman yuridis bahwa
awal LPS berasal dari Kekayaan negara yang dipisahkan.
keuangan negara hanya dibatasi pada anggaran negara
Dipisahkannya modal awal dari kekayaan negara berarti
(APBN). Menurut Arifin P. Soeria Admaja (2010)
keuangan Negara tersebut telah dipisahkan dari APBN, diletakkan sebagai modal pendirian LPS yang tidak terbagi
21
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
atas saham. Selanjutnya dalam Pasal 81 ayat (2) UU
Hukum mengenai personenrecht memuat peraturan
24/2004 disebutkan bahwa kekayaan LPS merupakan aset
kewenangan hukum atau rechtsbevoegdheid dan
negara yang dipisahkan. Dengan dipisahkannya kekayaan
kewenangan bertindak atau handelingsbevoegdheid dari
LPS dari kekayaan negara berarti kekayaan tersebut telah
purusa (van Apeldoorn, 1983). Subyek hukum yang
dilepaskan dan menjadi kekayaan LPS sebagai badan
berupa badan hukum ini mempunyai wewenang untuk
hukum. Dana penyertaan pemerintah sebagai modal
memiliki hak-hak subyektif dan dapat melakukan perbuatan
pendirian LPS merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan
hukum yang dilakukan oleh organ badan hukum.
dan dalam perjalanan LPS telah tercampur dengan premi yang dibayarkan secara wajib (Pasal 12 UU 24/2004). Mengenai kekayaan yang terpisah tersebut dikuatkan dengan pengaturan bahwa LPS bertanggung jawab terhadap pengelolaan dan penatausahaan semua asetnya.
Ada banyak teori badan hukum yang mendasari perkembangan badan hukum yang antara lain Teori Fiksi (Frederich Carl von Savigny), Teori Organ (Otto von Gierke), Leer van het ambtelijk vermogen (Holder dan Binder), Teori Kekayaan Bersama (Rudolf von Jhering), Teori Kekayaan
Splitsing (pemisahan) adalah pembagian atau pembelahan
Bertujuan ( A. Blinz dan diikuti oleh Van der Heijden), Teori
yang berarti terlepas satu dengan yang lain, sehingga
Kenyataan Yuridis (Meijers dan Paul Scholten), dan teori
tidak tepat jika dikatakan bahwa bagian yang satu masih
badan hukum lainnya. Teori-teori badan hukum tersebut
merupakan bagian dari yang lain (Nindyo Pramono, 2007).
di atas, pada dasarnya berpusat pada dua pandangan
Kekayaan yang terpisah artinya terlepas dari yang
yaitu:
memegangnya (onpersoonlijk atau subjecttloos). Kekayaan Negara yang telah dipisahkan berarti bahwa kekayaan tersebut telah dipisahkan dan diberikan atau diletakkan di dalam LPS sebagai suatu entitas hukum yang mandiri. Erman Rajaguguk, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyatakan uang di badan hukum adalah
1. Badan hukum sebagai wujud yang nyata, disamakan dengan manusia. Badan hukum dianggap identik dengan organ-organ pengurus yang oleh hukum dianggap sebagai persoon; 2. Badan hukum tidak sebagai wujud yang nyata, tetapi
milik badan hukum itu, meski berasal dari APBN (http://
hanya manusia yang berada di belakang badan hukum
www.bisnis.com). Dengan demikian dana Rp. 4 triliun
tersebut yang merupakan subyek hukum. Akibatnya
yang bersumber dari kekayaan negara yang telah
bila badan hukum melakukan kesalahan, merupakan
dipisahkan, sudah menjadi modal LPS sehingga bukan
kesalahan manusia-manusia (oragan pengurus) yang
lagi keuangan negara. Hal ini selaras dengan apa yang
berada di belakang badan hukum tersebut secara
telah dikemukakan dalam penjelasan UU no. 24/ 2004
bersama-sama (Chidir Ali,2005).
bahwa dengan didirikannya LPS oleh pemerintah
Teori-teori badan hukum yang telah dikemukakan, bertumpu
diharapkan mampu meminimalisir meminimalisir risiko
pada filosofi pendirian badan hukum, bahwa dengan
yang membebani anggaran negara. Karena dengan
kematian pendirinya maka harta kekayaan badan hukum
kekayaan yang dipisahkan maka pembebanan terhadap
tersebut diharapkan masih bermanfaat bagi orang lain.
anggaran negara terhadap resiko yang mungkin muncul
Kekayaan yang dipisahkan (splitsing), yang merupakan ciri
dalam penyelenggaraan LPS dapat dibatasi.
utama badan hukum, diartikan harta kekayaan badan
Logika berpikir di atas relevan dengan perwujudan LPS
hukum terlepas/terpisah dari orang/pihak/pendiri badan
sebagai badan hukum. Badan hukum atau legal person
hukum tersebut (Nindyo Pramono, 2007). Dengan demikian
dalam Black’s Law Dictionary (2000:726) didefinisikan
kekayaan yang dipisahkan tersebut digunakan dalam
sebagai :
badan hukum berinteraksi dengan pihak lain, menjalankan
“a body, other than a natural person, that can function legally, sue or be sued, and make decisions through agents”. Badan hukum atau rechts persoone merupakan subyek hukum bersama dengan manusia atau natuurlijke personen yang dapat memikul hak dan kewajiban.
22
hak dan kewajibannya sebagai subyek hukum yang mandiri guna mencapai tujuan dari pendirian badan hukum tersebut. Berdasarkan paparan di atas, maka kekayaan LPS bukanlah keuangan negara namun merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Walaupun negara memperoleh pendapatan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
dari surplus yang diperoleh LPS, sebagai pendapatan non pajak. Pendapatan dari surplus inilah yang masuk dalam kategori keuangan negara. Surplus LPS yang dapat menjadi pendapatan negara bukan pajak harus memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan Pasal 83 UU No. 24/2004, sebagai berikut. (1) Surplus yang diperoleh LPS dari kegiatan operasional selama 1 (satu) tahun dialokasikan sebagai berikut: a. 20% (dua puluh perseratus) untuk cadangan tujuan; b. 80% (delapan puluh perseratus) diakumulasikan sebagai cadangan penjaminan. (2) Dalam hal akumulasi cadangan penjaminan mencapai
Penutup Berdasarkan paparan di atas maka dapat diketahui bahwa kekayaan Negara yang dipisahkan dari APBN haruslah diartikan sebagai kekayaan LPS, bukan lagi bagian dari keuangan negara. LPS sebagai badan hukum memiliki kemandirian dengan segala konsekuensi yuridis yang dapat dipikulnya. Dengan demikian tidak tepat bila dalam ketentuan LPS yang berlaku sebagai lex specialis terhadap konstruksi badan hukum LPS diperhadapkan dengan pengaturan tentang keuangan negara dengan segala implikasi yuridisnya. Namun demikian haruslah dipahami bahwa yang masuk sebagai keuangan negara adalah segala keuntungan LPS yang disetorkan sebagai
tingkat sasaran sebesar 2,5% (dua puluh lima perseribu)
penerimaan negara bukan pajak, sebagaimana yang
dari total simpanan pada seluruh bank, bagian surplus
diatur dalam Pasal 83 UU LPS.
sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf b merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surplus dan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Konsekuensi yuridis LPS sebagai badan hukum independen yang kekayaannya dipisahkan dari kekayaan negara atau memiliki kekayaan sendiri, maka dalam LPS melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban, pelaporan dan akuntabilitas serta hubungannya dengan organisasi lain, mendasarkan pada good corporate governance (penjelasan UU No. 24/2004). Dengan demikian organ LPS dalam menjalankan pengelolaannya haruslah mendasarkan pada prinsip-prinsip yang terdapat dalam doktrin good corporate governance. Good Corporate Governance (Ruru, 2002) pada dasarnya merupakan suatu mekanisme yang mengatur tentang tata cara pengelolaan berdasarkan rules yang menaungi, seperti anggaran dasar (articles of association) serta peraturan perundang-undangan. Dengan demikian sebenarnya GCG bukan saja berkaitan dengan hubungan antara perusahaan (badan hukum) dengan para pemiliknya tapi juga (dan terutama) dengan para pihak yang mempunyai kepentingan dengan badan hukum. Paling tidak terdapat empat prinsip yang harus diterapkan dalam kepengurusan berdasarkan GCG yaitu: responsibilitas, akuntabilitas, keadilan dan kewajaran, serta transparansi.
23
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
Daftar Pustaka
Ali, Chaidir, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung. Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Djafar Saidi, Muhammad, 2008, Hukum Keuangan Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Pieris, John, 2007, Etika Bisnis dan Good Corporate Governance, Pelangi Cindekia, Jakarta. Pramono, Nindyo, 2007, Permasalahan Seputar Hukum Bisnis, Witherell, Bill, May 2004. “Corporate Governance: Stronger principles for better market integrity”. The OECD Observer. Paris. Makalah Atmadja, Arifin P. Soeria, Hukum Keuangan Negara Pasca 60 Indonesia Merdeka, dalam http://www.pemantauperadilan. com. Ruru, Bacelius. Good Corporate Governance dalam Masyarakat Bisnis Indonesia, Sekarang dan Masa Mendatang. Dalam: http:// www.nccg.indonesia. Orglokakarya. Rajaguguk, Erman, Kekayaan BUMN Persero bukan Kekayaan Negara, http://www.bisnis.com. Peraturan Perundangan UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi PP No. 39 tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan negara/Daerah Koran Kompas, 2 Pebruari 2010
24
Kredit Macet: Antara Kerugian Negara atau Kerugian Korporasi Oleh: Agus Santoso, SH,LLM*)
Pendahuluan Sejatinya penyaluran kredit atau pembiayaan oleh bank merefleksikan dua hal penting. Pertama, sebagai wujud dari eksistensi bank itu sendiri, yaitu lembaga intermediari yang salah satu esensi utamanya adalah menyalurkan kembali dana masyarakat yang berhasil dihimpunnya, dalam bentuk kredit atau pembiayaan untuk pemenuhan kebutuhan perekonomian. Kedua, penyaluran kredit/ pembiayaan tersebut merupakan piranti utama bagi bank untuk memperoleh pendapatannya sekaligus untuk menjaga keberlangsungan hidupnyanya (going concern).
Untuk mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian, bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip prudential, antara lain menjaga kualitas aktiva produktifnya dan wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif. Sebagai acuan untuk menilai kualitas aktiva produktif, Bank Indonesia menetapkan aturan penggolong kredit ke dalam 5 kategori, yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. Dalam kaitan ini, kredit digolongkan sebagai kredit bermasalah adalah kredit yang kondisinya dinilai sudah tidak lancar, yang menggambarkan terganggunya usaha debitur. Indikasinya antara lain terlihat dari kelancaran pembayaran
Salah satu indikator keberhasilan bank dalam penyaluran
kembali kredit/pembiayaan tersebut (angsuran pokok
kreditnya dapat dilihat dari rasio pemberian kredit terhadap
maupun bunga) dan atau prospek usaha dan kinerja
dana yang berhasil dihimpunnya (loan to deposit ratio-
(performance) debitur yang dinilai buruk. Bila terjadi yang
LDR). Pencapaian LDR yang tinggi sekaligus menunjukkan
demikian itu, bank selaku kreditur, akan mengupayakan
pula efektifitas kinerja bank sebagai lembaga intermediari.
berbagai tindakan penyelamatan kredit.
Disadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus
Penyaluran Kredit & Kredit Bermasalah
memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Bank
Kredit merupakan salah satu bentuk dari Aktiva Produktif
harus memperoleh keyakinan bahwa kredit yang
bank4. Kondisi dan karakteristik Aktiva Produktif bank
disalurkannya tersebut dapat dikembalikan kembali oleh
dipengaruhi oleh risiko kredit, yang apabila tidak dikelola
debitur tepat pada waktunya. Untuk memperoleh keyakinan
secara efektif akan berpotensi mengganggu keberlangsungan
tersebut, maka dalam proses pemberian kredit, bank akan
usaha bank. Oleh karena itu, bank perlu meminimalkan
mengikuti prosedur pemberian kredit (SOP)3 yang berlaku
potensi kerugian atas penyediaan dananya, misalnya
di internal bank untuk melakukan penilaian yang seksama
memelihara eksposur risiko kredit pada tingkat yang
atas kemampuan debitur yang lazim menggunakan
terukur resikonya.
ukuran 5’Cs yaitu Watak (Character), Kemampuan (Capacity), Modal (Capital), Agunan (Collateral) dan prospek usaha (Condition of economy), sehingga bank dapat mengetahui bahwa usaha proyek yang dibiayainya layak (feasible) dan bankable. *) Deputi Direktur Hukum Bank Indonesia Meskipun secara umum penyaluran kredit tersebut masih mendominasi struktur aktiva produktif bank saat ini, terlihat adanya kecenderungan shifting penyaluran dana bank dari Kredit ke jenis aktiva produktif lainnya yang dinilai lebih aman namun memberikan return yang tinggi, misalnya Surat Berharga.
Rasio 90% s.d 110% dianggap sebagai rasio yang ideal.
3
SK DIR BI No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum
4
Menurut PBI No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005, tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Aktiva Produktif Bank adalah Penyediaan dana Bank untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan, transaski rekening administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Sedangkan pengertian Kredit adalah Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. Cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; c. Pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
25
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
Sebagaimana kita maklumi, fondasi bisnis perbankan
perbankan, terlebih lagi apabila kaedah “asing” tersebut
adalah kepercayaan. Masyarakat penyimpan dana percaya
sifatnya berbeda secara fundamental, dalam hal ini
bahwa bank memiliki kemampuan untuk mengelola
misalnya terjadi kecurigaan indikasi koruptif suatu kredit
dananya secara aman. Begitu juga halnya dengan pemberian
menjadi kredit bermasalah. Cukup menarik untuk dibahas
kredit, walaupun diberikan melalui proses penilaian yang
lebih jauh apakah keengganan para bankir untuk
seksama, tetap saja, pemberian kredit mengandung risiko,
”berurusan dengan aparat penegak hukum”, telah
sehingga bank harus dapat meyakini bahwa kredit yang
mengakibatkan rendahnya kinerja perkreditan Perbankan
disalurkannya tersebut akan dipergunakan sesuai dengan
Nasional.
tujuannya oleh debitur dan dapat dikembalikan lagi tepat pada waktunya, sehingga kepentingan dan kepercayaan
Hantu Korupsi
masyarakat dilindungi dan dipelihara oleh bank.
Fenomena “ketakutan” para bankir menyalurkan kredit
Apabila dilihat dari penyebabnya, kredit bermasalah dapat
dengan alasan ”enggan berurusan dengan aparat
terjadi karena faktor eksternal atau internal. Faktor eksternal antara lain karena kondisi perekonomian/dunia usaha yang mengalami krisis, terjadi huru-hara atau bencana alam, adanya perubahan kebijakan Pemerintah, sedangkan faktor internal antara lain salah urus usaha debitur, perselisihan manajemen perusahaan debitur, penyalahgunaan
penegak hukum” harus kita waspadai, karena konsekuensinya terlalu mahal terhadap perekonomian. Ketakutan atau keengganan tersebut tidak boleh dibaca sebagai “ke-hati-hatian”, sehingga menghambat pembiayaan bank terhadap proyek-proyek ekonomi vital dan berskala besar yang sangat dibutuhkan untuk
kredit (mis fasilitas Kredit Investasi digunakan untuk
menunjang pertumbuhan perekonomian masyarakat.
KMK), praktek KKN atau memang terjadi pemberian
Prof. Dr. Soedrajad Djiwandono, mantan Gubernur Bank
kredit yang tidak proper (lack of analisys),.
Indonesia, dalam salah satu tulisannya5, menengarai
Kredit macet akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan
bahwa sebagai akibat dari tindakan yang keliru atau
usaha bank. Akibat yang kritikal adalah terhentinya pendapatan bank, dan akan mempengaruhi kemampuan bank dalam mengelola likuiditasnya, yaitu terganggunya bank untuk melakukan pemenuhan kewajiban terhadap pihak ketiga, terutama terhadap dana-dana simpanan masyarakat dan komitmennya kepada bank lain. Hubungan yang bersifat “saling ketergantungan” antara bank dan nasabah, serta diantara sesama bank, merupakan titik rentan yang setiap saat mengancam integritas sistem perbankan itu sendiri. Kejatuhan suatu bank dapat berimbas pada jatuhnya bank lainnya (domino effect). Dalam skala yang lebih luas dan makro, apabila hal tersebut terjadi secara masive, maka dapat terjadi risiko sistemik yang dampaknya dipastikan akan merusak perekonomian negara. Hal yang penting disini adalah bahwa kredit macet (baca: aktiva produktif bermasalah) harus diupayakan solusinya. Berdasarkan kaedah-kaedah yang selama ini telah berlaku bagi perbankan, bank akan melakukan pembinaan kredit dan bila diperlukan akan melakukan upaya penyelamatan kredit seperti suplesi (tambah kredit), atau restructuring (perubahan kredit). Masuknya kaedah-kaedah “asing” dalam penyelesaian kredit macet dikhawatirkan dapat
absennya tindakan benar, baik karena kekurang mampuan aparat (sins of omission) atau karena kesengajaan dalam rangka praktek-praktek KKN (sins of comission), mengakibatkan hasil pembangunan di masa lalu tidak berlanjut, hilang atau rusak. Lebih lanjut Soedrajad mengemukakan bahwa peranan kelembagaan penunjang sebagai pendukung bekerjanya perbankan yang sehat, dalam hal ini hukum dan peradilan masih jauh dari harapan. Kelambatan dan proses berbelit serta adanya berbagai kepentingan (interest group), mengakibatkan banyak masalah menjadi terbengkalai atau tidak kunjung ada penyelesaiannya, sehingga terjadi gejala kemandegan dalam berbagai aspek pembangunan. Sayangnya banyak pihak kerapkali ikut menjadi bagian dari masalah, bukannya menyumbang pada penyelesaian masalah6. Harapan akan peran kredit untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi dengan demikian masih jauh dari harapan. Pengucuran kredit oleh perbankan yang lambat padahal suku bunga acuan BI (BI Rate) telah diturunkan pada level yang relatif rendah (saat ini 6.50), menunjukkan adanya masalah fundamental pada proses ini. 5
Soedrajad Djiwandono, “ Menuju Sistem Perbankan Untuk mendukung Pembangunan Nasional”, http:/Kolom.pacific.net.id.
6
Soedrajad Djiwandono, ibid
mengganggu sistem penyelesaian yang berlaku di
26
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
Dari data tersebut, terlihat bahwa perkembangan LDR
Terkait hal ini, tindakan hukum terhadap para bankir,
dalam 2 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan
sejatinya harus ditujukan untuk mendorong pertumbuhan
stagnan pada angka 73%, padahal dalam periode tersebut
kredit, sehingga dalam pelaksanaannya para penegak
suku bunga acuan BI (BI rate) telah mengalami penurunan
hukum harus mampu memahami dunia bisnis perbankan.
yang siginifikan dari kisaran 11 % pada awal tahun 2008
Tindakan hukum yang bersifat parsial yang hanya
menjadi 6,5% pada akhir tahun 2009.
cenderung memandang dari kacamata “pelanggaran SOP
Terkait hal ini, patut dipertanyakan juga apakah “ketakutan” para bankir berurusan dengan masalah hukum juga ikut andil dengan lambatnya pengucuran kredit ini? Pertanyaan seperti itu akan menjadi valid jika pandangan institusi penegak hukum, berbeda secara fundamental dari para
= terpenuhinya urusan melawan hukum” akan berdampak kontra produktif terhadap penyaluran kredit oleh perbankan domestik kepada dunia usaha. Restrukturisasi Kredit vs Kriminalisasi Kredit
bankir dalam melihat persoalan kredit bermasalah. Kredit
Dalam perjalanannya, meskipun bank telah berusaha
bermasalah yang dipandang sebagai risiko bisnis oleh bank,
melakukan langkah-langkah pemberian kredit dengan
tetapi dipandang sebagai “kerugian negara”dari kacamata
mengikuti prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat,
penegak hukum akan menyulitkan posisi bankir. Tentu
namun bank tetap menghadapi risiko, antara lain debitur
saja kita juga tetap sepakat bahwa kesemuanya itu bukan
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya
merupakan “excuse” untuk melepaskan jerat hukum
kepada bank. Terkait hal ini, sesuai kelaziman, bank
terhadap oknum-oknum yang memanfaatkan pemberian
biasanya melakukan beberapa tindakan antara lain dalam
kredit bank sebagai sarana untuk melakukan kejahatannya.
bentuk restrukturisasi kredit berupa:
Namun yang paling penting disini adalah menemukan
1. penurunan suku bunga;
pemahaman yang sama agar esensi atau tujuan keduanya yakni pembangunan ekonomi dan pemberantasan kejahatan perbankan dapat efektif dan tepat sasaran.
2. perpanjangan jangka waktu kredit; 3. pengurangan tunggakan bunga kredit;
27
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
4. pengurangan tunggakan pokok kredit; 5. penambahan fasilitas kredit; dan atau
dimaksud juga akan menurunkan keberanian memutus para bankir bank BUMN untuk memberikan kredit karena adanya potensi ancaman pidana. Hal seperti ini tentu saja
6. konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal sementara.
kontraproduktif terhadap upaya pemerintah untuk
Disadari bahwa upaya restrukturisasi kredit ini dapat
mendorong perbankan dalam menyalurkan kredit/dana
dimanfaatkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu,
kepada sektor riil. Namun apabila pengertian korupsi
maka Bank Indonesia telah membatasi secara ketat
diperluas dengan mencakup pula pemberian kredit yang
kriteria dan persyaratan pelaksanaannya, yaitu antara lain
dilakukan oleh bank swasta, karena alasan bank swasta
upaya restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan
juga mengelola dana masyarakat, maka hal ini akan
terhadap debitur-debitur yang dinilai masih memiliki
semakin mengaburkan batasan ranah perdata dan ranah
prospek untuk memenuhi kewajibannya. Selain itu bank
pidana.
dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan hanya untuk menghindari penurunan penggolongan
Agunan vs Jaminan Kredit
kualitas kredit; peningkatan pembentukan Penyisihan
Terkait dengan krimininalisasi pemberian kredit ini, di
Pembentukan Aktiva (PPA) atau bertujuan untuk
masyarakat dan juga bahkan di kalangan penegak hukum,
menghentikan pengakuan pendapatan bunga secara
pengertian jaminan dan agunan seringkali dipahami
akrual.
secara keliru. Dalam UU Perbankan, yang dimaksud
Sedangkan bagi debitur-debitur macet yang sudah tidak mempunyai prospek, maka dalam rangka membersihkan aset bank (cleaning asset) dari aset bermasalah (bad asset), bank dapat melakukan upaya hapus buku dan hapus tagih. Hapus buku dan atau hapus tagih tersebut hanya dapat dilakukan setelah bank melakukan berbagai upaya penyelamatan.
dengan jaminan pemberian kredit adalah “keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur” untuk melunasi utangnya. Sedangkan agunan (collateral) adalah merupakan salah satu unsur dari jaminan, sehingga apabila berdasarkan unsur-unsur lain (watak, kemampuan, modal dan prospek usaha) telah dapat diperoleh keyakinan, maka agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih dari proyek yang dibiayainya tersebut. Dengan demikian
Dengan demikian maka upaya restrukturisasi kredit dan
agunan tambahan (di luar proyek/barang yang dibiayai)
hapus buku/hapus tagih tersebut adalah hal yang wajar
tidak mutlak harus disediakan oleh debitur, dan karenanya
dan normal bagi sebuah bank, dan marupakan bagian
kredit yang diberikan tanpa disertai dengan agunan
dari pengelolaan aktiva produktifnya.
tambahan bukan merupakan perbuatan kriminal.
Terkait hal ini, hal yang patut dibahas adalah adanya
Berkaitan dengan aspek agunan ini, dalam rangka
kecenderungan upaya kriminalisasi terhadap langkah
pengamanan terhadap kredit yang diberikan tersebut,
penyelamatan tersebut, dalam hal ini adalah masuknya
selain di back up dengan jaminan yang memadai, untuk
unsur hukum pidana dalam hukum privat (perjanjian
proyek-proyek tertentu atau untuk jenis-jenis penyediaan
kredit). Apakah kita ingin menggeser sebagian pengaturan
dana tertentu, bank juga meminta debitur untuk
perjanjian kredit dari hukum perdata ke hukum pidana?.
mengasuransikan barang jaminannya dan jika diperlukan,
Hal ini tentu perlu mendapat perhatian yang serius dari
bank meminta debitur untuk dicover dengan asuransi
para ahli hukum, agar kriminalisasi tersebut tidak merusak
jiwa. Selain itu dalam rangka meminimalkan risko kredit,
sistem hukum yang ada, karena hal tersebut dapat
maka untuk kredit-kredit tertentu bank juga melakukan
menjadi preseden di masa yang akan datang.
penutupan asuransi kredit melalui Askrindo dan Askrida di
Pertanyaan lain adalah bagaimana bila kriminalisasi tersebut
daerah.
dikaitkan dengan tindakan preventif untuk memberantas korupsi dalam proses pemberian kredit oleh bank BUMN? Hal ini tentu akan mendistorsi level playing field industri
Paradigma baru Bank BUMN dalam pengelolaan kredit bermasalah.
perbankan nasional. Daya saing bank BUMN mengalami
Dalam PP No. 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
penurunan dibandingkan bank swasta yang tidak dapat
Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tatacara
dikenakan kriminalisasi tersebut. Selain itu, kriminalisasi
Penghapusan Piutang Negara/Daerah, pada bagian
28
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
penjelasan PP ini, ditegaskan bahwa ”Selanjutnya dalam
dirinya sebagai entitas yang mampu berorientasi bisnis.
Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003
Dengan demikian tidak ada lagi previlege atau “excuse”
tersebut juga ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan
yang dapat diberikan kepada para bankir BUMN dalam
“dipisahkan” adalah pemisahan kekayaan negara dari
menjalankan usahanya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk
Penutup
selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan
didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan
bahwa:
pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Dengan pemisahan kekayaan negara tersebut, seharusnya piutang yang terdapat pada BUMN sebagai akibat perjanjian dilaksanakan oleh BUMN selaku entitas perusahaan tidak lagi dipandang sebagai piutang negara. Sejalan dengan itu pengelolaan termasuk pengurusan atas piutang BUMN tersebut tidak dilakukan dalam koridor pengurusan piutang negara melainkan diserahkan
1. Penyaluran kredit atau pembiayaan oleh bank merefleksikan dua hal, yaitu untuk mewujudkan esensi utamanya sebagai penyedia dana untuk pembangunan perekonomian, dan sebagai piranti utama dalam menjaga keberlangsungan hidupnya (going concern). 2. Harus ada pemahaman yang sama antara perbankan
kepada mekanisme pengelolaan berdasarkan prinsip-
dan lembaga penunjang bekerjanya perbankan yang
prinsip perusahaan yang sehat berdasarkan peraturan
sehat, terutama lembaga auditor dan Penegak Hukum
perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pemikiran
dalam memandang suatu perbuatan yang dapat
tersebut, maka BUMN memiliki kewenangan/keleluasaan
digolongkan sebagai perbuatan kriminal (korupsi).
dalam mengoptimalkan pengelolaan/pengurusan/ penyelesaian piutang yang ada pada BUMN yang bersangkutan...”. Dengan berlakunya PP tersebut, ada beberapa hal yang patut diperhatikan yaitu sbb: Pertama, PP tsb bertujuan untuk menciptakan level playing field yang sama bagi seluruh perbankan di Indonesia, dimana sebelumnya Bank-bank BUMN selalu tersandera oleh permasalahan ketidakbebasannya dalam penyelesaian kredit bermasalahnya, karena piutang macetnya dianggap sebagai kekayaan negara yang proses penyelesaiannya harus melalui PUPN/BUPLN. Sementara itu para kompetitornya, yaitu bank-bank swasta dapat dengan leluasa menyelesaikan permasalahan kredit macetnya dengan mengacu kepada praktik-praktik yang lebih luwes dengan sasaran return rate yang optimum. Kedua, PP ini menegaskan bahwa dengan pemisahan kekayaan negara tersebut, piutang bank BUMN sebagai akibat perjanjian yang dilaksanakan oleh bank BUMN selaku entitas perusahaan tidak lagi dipandang sebagai piutang negara. Penegasan ini bermakna bahwa urusan piutang bank BUMN tidak lagi menjadi ranah keuangan negara. Ketiga, Bank BUMN tidak dapat lagi dijadikan “sapi perah”, atau berfungsi “sosial” namun harus mengelola
29
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
30
Akta Otentik dalam Pembuatan Perjanjian Kredit Oleh : Hilman Tisnawan*)
1. Pendahuluan Para bankir sejatinya sangat menyadari bahwa Akta Otentik merupakan suatu dokumen hukum yang sangat penting bagi bank untuk mengamankan transaksinya. Akta otentik mempunyai daya pembuktian keluar, yang tidak dipunyai oleh akta di bawah tangan.
nominal relatif kecil. Kedua, dalam beberapa hal, bagi bank-bank yang ada di daerah, terutama BPRBPR yang lokasinya berada di pelosok pedesaan, sulit/ mahal untuk membuat akta otentik karena ketiadaan notaris di lokasi tersebut, sehingga seluruh perjanjian kredit terpaksa dibuat di bawah tangan.
Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai
Pada sisi lain penggunaan standard contract
kelemahan yang sangat nyata yaitu orang yang tanda
memberikan kemudahan bagi bank dalam memasukkan
tangannya tertera dalam akta di bawah tangan, dapat
seluruh klausula penting yang terkait dengan kepentingan
mengingkari keaslian tanda tangan itu, dan bank
bank dalam melindungi kredit/pembiayaan yang telah
sebagai pihak yang akan mempergunakan akta tersebut
diberikan kepada debitur. Hanya hal-hal yang masih
harus membuktikan bahwa memang tanda tangan
memerlukan pembicaraan atau konfirmasi dengan
debitur adalah asli.
debitur saja yang masih dikosongkan, dan baru diisi
Namun demikian, meskipun sangat memahami pentingnya akta otentik, dalam prakteknya, penggunaan akta di bawah tangan tetap saja masih marak di perbankan. Hal tersebut terlihat dari masih banyaknya penggunaan standard contract dalam perjanjian
setelah dibicarakan dan disetujui debitur. Dalam praktek, penggunaan akta otentik oleh perbankan lebih banyak dimanfaatkan terutama untuk kredit/ pembiayaan yang mempunyai nilai nominal yang relatif besar dan sangat besar.
kredit antara bank dengan debitur. Terkait
Menyadari bahwa aspek hukum merupakan hal yang
penggunaan akta otentik dan akta di bawah tangan
sangat penting dalam melindungi bisnis bank (risk
ini terdapat suatu ungkapan lama yang sangat
mitigation), Bank Indonesia telah memasukkan risiko
terkenal yaitu “siapa yang hendak membuat akta di
hukum (termasuk legal document) sebagai bagian
bawah tangan, mengambil pena, siapa yang hendak
dari penilaian manajemen risiko bank
memperoleh akta otentik, mengambil notaris”.
Dalam makalah berikut akan diuraikan beberapa hal
Banyak alasan yang dikemukakan oleh para bankir
yang terkait dengan kebijakan Bank Indonesia yang
terkait penggunaan akta di bawah tangan ini.
terkait dengan manajemen risiko d.h.i legal risk dan
Pertama, penggunaan akta di bawah tangan dalam
tinjauan terhadap praktek dan kendala-kendala
perjanjian kredit atau yang dikenal dengan standard
hukum dalam dokumentasi hukum pemberian kredit.
contract dirasakan sangat efisien dan murah, terutama untuk fasilitas kredit/pembiayaan yang memiliki nilai
2. Kebijakan Bank Indonesia Kebijakan Bank Indonesia terkait dengan pemberian
*) Analis Hukum Senior Bank Indonesia
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Menurut Mr. A. Pitlo, akta otentik adalah akta yang dibuat menurut bentuk undang-undang oleh dan dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang di tempat itu (Pembuktian dan Kadaluwarsa; alih bahasa oleh M. Isa Arief SH). Menurut Black’s Law Dictionary, standard-form contract is A usual preprinted contract containing set clauses, used repeatedly by a business or within a particular industry with only slight additions or modifications to meet the specific situatiom.
kredit oleh bank dan pengawasan Bank Indonesia terhadap bank, khususnya dalam penilaian manajemen risiko (legal risk) dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Regulasi Bank Indonesia terkait dengan pemberian kredit bank
31
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank
kebijakan perkreditan tersebut diperlukan dalam
yang mengandung risiko yang sangat berpengaruh
rangka mendukung keyakinan bank dalam
terhadap kesehatan dan kelangsungan usaha bank.
memastikan keamanan penyaluran kreditnya.
Di sisi lain, sebagian besar dana yang dimiliki oleh
Sejalan dengan hal tersebut, sesuai Pasal 8 UU
bank adalah merupakan dana yang berasal dari
Perbankan, diatur bahwa dalam memberikan
penghimpunan dana masyarakat. Oleh karena itu
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
maka pemberian kredit oleh perbankan harus
syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan
diatur secara hati-hati (prudent) oleh ketentuan
berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad
undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia.
dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah
UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dengan
Debitur untuk melunasi utangnya atau
tegas mengatur agar bank senantiasa berpegang
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai
pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan
dengan yang diperjanjikan. Dalam penjelasan Pasal
kegiatan usahanya, termasuk dalam memberikan
8 UU Perbankan tersebut ditegaskan bahwa
kredit. Dalam implementasinya, Bank Indonesia
“.........Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan
sebagai otoritas perbankan menetapkan berbagai
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan
regulasi dan batasan-batasan kepada bank dalam
prinsip syariah dalam arti keyakinan atas
pemberian kreditnya. Beberapa regulasi dimaksud
kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur
antara lain adalah mengenai Kewajiban Penyusunan
untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan
dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan, Batas
yang diperjanjikan merupakan faktor penting
Maksimum Pemberian Kredit, Penilaian Kualitas
yang harus diperhatikan bank. Untuk memperoleh
Aktiva Produktif, Sistem Informasi Debitur, dan
keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit,
pembatasan lainnya dalam pemberian kredit
bank harus melakukan penilaian yang seksama
kepada sektor-sektor tertentu, termasuk pembatasan
terhadap watak, kemampuan, modal agunan dan
kredit kepada pihak asing dan untuk tujuan
prospek usaha dari nasabah debitur.”
transaksi derivatif.
Terkait jaminan pemberian kredit ini, jaminan yang
Dalam ketentuan tentang kewajiban bank untuk
dikehendaki oleh pemberi kredit atau bank, adalah
memiliki kebijakan perkreditan bank, diatur
jaminan yang berdaya guna dan berhasil guna,
beberapa hal yaitu antara lain bahwa selain harus
artinya jaminan tersebut harus mendapatkan
tertulis dan mendapat persetujuan dewan komisaris,
kepastian kepada pemberi kredit dan mudah
kebijakan perkreditan bank sekurang-kurangnya
untuk dijual atau diuangkan, guna menutup
harus memuat dan mengatur hal-hal pokok
pinjaman yang tidak dapat dilunasi oleh debitur.
sebagai berikut :
Jadi fungsi pemberian jaminan adalah memberi hak dan kekuasaan kepada bank, untuk mendapatkan
1. prinsip kehati-hatian dalam perkreditan;
pelunasan dari hasil lelang benda yang dijaminkan
2. organisasi dan manajemen perkreditan;
itu, apabila debitur tidak membayar kembali
3. kebijakan persetujuan kredit;
hutangnya tepat pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Dengan kata lain, fungsi jaminan
4. dokumentasi dan administrasi kredit;
adalah dalam rangka memperkecil risiko kerugian yang mungkin akan timbul apabila debitur inkar
5. pengawasan kredit;
janji. Dalam praktek perbankan, perjanjian
6. penyelesaian kredit bermasalah.
jaminan selalu dituangkan dalam bentuk tertulis,
Dalam ketentuan kebijakan perkreditan bank,
yaitu dituangkan dalam Akta Notaris atau akta di
pendokumentasian dan administrasi kredit,
bawah tangan.
termasuk di dalamnya legal documentation, merupakan salah satu hal penting yang harus mendapatkan pengaturan oleh bank. Pedoman
32
Retnowulan Sutantio, SH, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Hukum Perbankan, Seri Varia Yustitia 1, 1996.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
b. Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia
garansi bank cukup tinggi, maka pendokumentasian
terhadap bank, khususnya dalam manajemen
yang aman dari sisi hukum merupakan salah satu
risiko.
hal penting yang wajib diperhatikan oleh bank.
Untuk memelihara kelangsungan usahanya, bank harus meminimalkan potensi kerugian atas penyediaan dana, antara lain dengan memelihara eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai dan didukung dengan dokumentasi kredit yang aman secara hukum. Dalam hal ini, pengurus bank wajib menerapkan manajemen risiko kredit secara efektif pada setiap jenis penyediaan dana serta
Otentifikasi dokumen perjanjian dalam penyediaan dana yang besar akan dapat memitigasi risiko, khususnya apabila penyediaan dana tersebut mengalami masalah di kemudian hari, sehingga harus dilakukan eksekusi jaminan dalam penyelesaiannya. 3. Kendala-kendala Dalam Praktek
melaksanakan prinsip kehati-hatian yang terkait
Sebagaimana telah diuraikan dalam pendahuluan,
dengan transaksi-transaksi dimaksud.
meskipun para bankir sangat menyadari pentingnya
Penyediaan dana dalam bentuk pemberian kredit merupakan salah satu jenis aktiva produktif yang paling penting bagi bank untuk memperoleh penghasilan, disamping jenis penyediaan dana lainnya seperti surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan, pemberian garansi (bank garansi), transaksi rekening administratif lainnya serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Begitu juga halnya pemberian Bank
otentifikasi dalam pendokumentasian pemberian kredit, dalam praktek tetap saja hal tersebut belum dapat dilakukan sepenuhnya, karena adanya permasalahan yang terkait dengan biaya dibandingkan dengan jumlah kredit yang akan diberikan. Di sisi lain, dalam beberapa kasus yang dialami oleh perbankan, ternyata meskipun pendokumentasian tersebut sudah dilakukan “secara aman” dengan akta otentik notaris sekalipun, namun hal tersebut ternyata tidak menghilangkan terjadinya manipulasi (fraud) oleh debitur dan/atau pengurus bank. a. Beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam
Garansi yang merupakan salah satu bentuk
praktek adalah sbb:
pemberian kredit non tunai (non cash loan) juga
i. Untuk kredit yang nilai nominalnya relatif kecil,
merupakan sumber pendapatan berbasis fee (fee based income) yang cukup penting bagi bank.
pembebanan biaya otentifikasi dokumentasi
kredit (biaya notaris dan pengurusan
Mengingat eksposur risiko terhadap penyediaan
dokumentasi hukum di instansi terkait) dirasakan
dana baik dalam bentuk-kredit maupun pemberian
memberatkan beban debitur kecil. Sebagai solusinya bank biasanya akan melakukan
Namun mengingat besarnya risiko dalam pemberian garansi tersebut, maka bank perlu memperhatikan beberapa hal sbb: • Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima garansi apabila pihak yang dijamin wanprestasi. Dalam hal ini pemberian garansi dapat berupa Garansi Bank atau Standby Letter of Credit. • Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat-surat berharga seperti aval dan endosemen dengan hak regres yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila pihak yang dijamin wanprestasi, sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang. • Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat menimbulkan kewajiban finansial bagi bank. Pemberian garansi tersebut adalah berupa surat yang dapat menimbulkan kewajiban membayar suatu jumlah tertentu apabila pihak yang dijamin wanprestasi dan Letter of Credit. Sebagaimana halnya pemberian kredit, karena pemberian garansi dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank, yang mempengaruhi likuiditas dan solvabilitasnya, maka pemberian garansi dikenakan ketentuan tentang BMPK dan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum.
pendokumentasian di bawah tangan, dan pengikatan agunan tidak dilakukan secara sempurna. ii. Pada daerah tertentu (di pelosok pedesaan), lokasi bank dan kantor notaris berjauhan, sehingga dirasakan tidak praktis untuk membuat akta notaris karena harus meluangkan waktu yang cukup dan biaya bagi bank dan debitur. iii. Jangka waktu kredit relatif pendek (biasanya untuk fasilitas kredit yang bersifat talangan/ bridging), sehingga otentifikasi dokumentasi kredit dengan biaya yang relatif besar dirasakan tidak efisien.
33
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
iv. Dalam beberapa kasus, bank mengalami kendala
hanya karena KTP ybs pernah dipinjam dan ternyata
pada saat melakukan ekseskusi berdasarkan
namanya dicantumkan sebagai pengurus perusahaan.
grosse akte , terutama karena adanya sanggahan
Dalam kasus perusahaan fiktif seperti ini, akta
dari debitur mengenai jumlah hutang yang
notariil yang seharusnya merupakan dokumen
sebenarnya. Dalam beberapa kasus sanggahan
hukum penting yang bisa diyakini oleh bank dan
debitur ini hanyalah merupakan akal-akalan
dapat dijadikan dasar dalam mencari kebenaran
untuk menghalangi eksekusi.
(originalitas) suatu dokumen, ternyata menjadi
malapetaka bagi bank dan orang yang KTP-nya
b. Akta Notaris yang “Otentik tetapi tidak
dipinjam tersebut. Terkait hal ini, kiranya perlu
otentik”
didorong terciptanya tanggungjawab moril dari
Dalam banyak kasus di perbankan, akta otentik
notaris pada saat membuat “akta otentik” ini.
yang dibuat notaris, tidak selalu menjamin
Notaris seyogiyanya hanya akan menerbitkan
kebenaran para pihak yang melakukan transaksi.
sebuah akta yang benar-benar telah diyakini
Hal ini misalnya terlihat dari kasus kredit fiktif
kebenarannya, baik tentang peristiwanya maupun
(kredit topengan) dengan memanfaatkan “peranan
substansinya.
notaris” untuk membuat “akta otentik yang tidak
Kepastian isi akta notaris mencerminkan apa yang
otentik”. Kasus yang banyak terjadi adalah dengan
dikehendaki oleh para pihak, dan juga isi akta itu
cara memalsukan identitas atau menggunakan
telah disaring oleh notaris bahwa tidak melanggar
orang-orang tertentu (misalnya, sopir pribadi,
hukum sebab notaris sesuai dengan sumpahnya,
pegawai, sekretaris) yang bertindak seolah-olah
akan menepati dengan seteliti-setelitinya semua
sebagai pengurus dan atau pemilik dalam pendirian
atau segala peraturan bagi jabatan notaris yang
sebuah Perusahan Terbatas. Padahal dalam
sedang berlaku ataupun yang akan diadakan.
kenyataannya para “pemilik dan atau pengurus”
Apabila yang tertulis dalam akta itu melanggar
yang tercantum dalam Akta Pendirian Perusahaan
ketentuan hukum, maka notaris itu harus
tersebut adalah hanya merupakan topeng (boneka)
menolaknya. Selanjutnya terkait dengan kepastian
yang tidak mengetahui apa-apa dan sepenuhnya
orang berarti bahwa yang menghadap kepada
dikendalikan oleh “pemilik asli” dari belakang
notaris memang orang yang disebutkan dalam
layar. Berbekal perusahaan “fiktif” tersebut
akta notaris, bukan orang lain dan ditandatangani
selanjutnya “pemilik asli” mengeruk kredit dari
oleh orang lain. Sebab setiap orang yang membuat
bank dalam jumlah yang sangat besar. Dalam
akta harus harus terlebih dahulu dikenal oleh
kasus demikian biasanya bank merupakan korban
notaris. Apabila notaris tidak mengenal orang
yang paling dirugikan. Terlepas bahwa kasus tersebut
tersebut, maka orang itu tidak dapat membuat
dapat terjadi karena adanya kerjasama dengan
akta notaris. Tidak dikenal oleh notaris, orang
orang dalam bank, peranan notaris dalam kasus
tersebut bisa membuat akta tetapi harus
ini menjadi demikian penting. Salah satu kasus
diperkenalkan oleh dua orang saksi yang dikenal
yang ditemukan dalam pemeriksaan oleh Bank
oleh notaris.
Indonesia, debitur tersebut adalah paper company, dimana alamat perusahaan adalah fiktif
Sebagaimana diketahui bahwa akta otentik
dan nama-nama pengurus perusahaan tidak tahu
mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan, yakni:
menahu tentang keberadaan perusahaan tersebut
Grosse Akte adalah Akta Otentik yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Berbeda dengan Akta Otentik dimana apabila akan dilakukan eksekusi maka kreditur harus terlebih dahulu mengajukan gugatan ke Pengadilan, maka dengan Grosse Akte pihak kreditur tidak perlu mengajukan gugatan namun cukup mengajukan permohonan untuk melaksanakan isi dari grosse akte tersebut. Secara lengkap lihat dalam Pasal 224 HIR Lihat kumpulan kasus dalam “Modus Operandi Kejahatan Perbankan di Indonesia”, Unit Khusus Inventigasi Perbankan Bank Indonesia, 2003
34
a) kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah
Victor M. Situmorang, SH dan Dra. Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Penerbit Rineka Cipta 1993.
ibid
Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartawinata, SH, “ Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek” Penerbit CV. Mandar Maju, 2002
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
menerangkan apa yang tertulis dalam akta
dan terhormat tersebut tidak dimanfaatkan secara
tersebut;
negatif oleh para “pelaku kejahatan”.
b) kekuatan pembuktian materiil, membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi. c) Kekuatan mengikat, membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga bahwa pada tanggal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. Berkenaan dengan akta otentik tersebut, kiranya tidak berlebihan apabila notaris yang ditunjuk oleh Undang-Undang sebagai pejabat negara dalam penerbitan sebuah akta otentik tersebut, dapat berperan lebih luas dalam melakukan penelitian tentang kebenaran dari akta yang dibuatnya. Dengan adanya kewajiban hadir bagi para pihak di depan notaris, dan adanya pernyataan dalam akta notaris bahwa notaris mengenal para pihak yang menghadap kepadanya tersebut, maka kebenaran isi akta tersebut seharusnya tidak lagi diragukan. Dengan demikian maka “penggunaan lembaga notaris” oleh para pihak yang bermaksud melakukan kejahatan dengan memalsukan kebenaran akta, dapat dihindari. 5. Penutup a. Peranan akta otentik dalam pemberian kredit di bank sangat penting, karena mempunyai daya pembuktian keluar, yang tidak dipunyai oleh akta di bawah tangan. Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai kelemahan yang sangat nyata yaitu orang yang tanda tangannya tertera dalam akta di bawah tangan tsb, dapat mengingkari keaslian tanda tangan itu. b. Dalam praktek diperbankan, penggunaan akta di bawah tangan lazim digunakan terutama untuk pemberian kredit yang nilai nominalnya relatif kecil. c. Meskipun peranan notaris dalam pembuatan suatu akta otentik ini hanya untuk menerangkan tentang kebenaran suatu peristiwa, namun seyogianya peranan notaris yang sangat penting
35
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
36
Resensi Buku
Judul
: Hukum E-commerce dan Internet : dengan fokus Asia-Pasifik
Penulis
: Assafa Endeshaw
Penerbit
: Pustaka Pelajar, tahun 2007
Halaman : 498 Oleh : Mustika Bella Putri Pasaribu*)
Penulis berpendapat bahwasanya tidak ada seorang pun
negara Asia-Pasifik) telah memulai beberapa jenis
yang dapat meramalkan pengaruh potensial di lingkungan
reformasi hukum untuk menghadapi tantangan baru
sosial-ekonomi umum dan bisnis secara pasti dan akurat
meskipun ketidakpastian masih terus melingkupi sifat
terkait dengan kemajuan pesat internet dan perdagangan
reaksi balik yang muncul dan respon yang mungkin
elektronik (e-commerce) dalam beberapa tahun terakhir
ditujukan kepadanya.
ini. Namun, ada sebuah konsensus bersama yang menyatakan bahwa perkembangan Internet dan e-commerce yang terus-menerus memiliki konsekuensi yang erat dengan hukum yang ada, kebanyakan negara industri (termasuk negara-negara Asia-Pasifik) telah memulai beberapa jenis reformasi hukum untuk menghadapi tantangan baru meskipun ketidakpastian masih terus melingkupi sifat reaksi balik yang muncul dan respon yang mungkin ditujukan kepadanya.
Berangkat dari hal tersebut, buku berjudul “Hukum Ecommerce dan Internet dengan fokus di Asia Pasific” ini berupaya mengeksplorasi persoalan umum dan khusus menurut hukum di negara-negara Asia-Pasifik yang ingin mengubah diri menjadi masyarakat informasi dunia. Buku ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama menyajikan gambaran umum yang diakhiri dengan diskusi ke dalam dua bab, apabila Penulis berpendapat bahwasanya tidak ada seorang pun yang dapat meramalkan pengaruh
Berangkat dari hal tersebut, buku berjudul “Hukum E-
potensial di lingkungan sosial-ekonomi umum dan bisnis
commerce dan Internet dengan fokus di Asia Pasific” ini
secara pasti dan akurat terkait dengan kemajuan pesat
berupaya mengeksplorasi persoalan umum dan khusus
internet dan perdagangan elektronik (e-commerce) dalam
menurut hukum di negara-negara Asia-Pasifik yang ingin
beberapa tahun terakhir ini. Namun, ada sebuah konsensus
mengubah diri menjadi
bersama yang menyatakan bahwa perkembangan Internet
Penulis berpendapat bahwasanya tidak ada seorang pun
dan e-commerce yang terus-menerus memiliki konsekuensi
yang dapat meramalkan pengaruh potensial di lingkungan
yang erat dengan hukum yang ada, kebanyakan negara
sosial-ekonomi umum dan bisnis secara pasti dan akurat
industri (termasuk negara-negara Asia-Pasifik) telah memulai
terkait dengan kemajuan pesat internet dan perdagangan
beberapa jenis reformasi hukum untuk menghadapi
elektronik (e-commerce) dalam beberapa tahun terakhir
tantangan baru meskipun ketidakpastian masih terus
ini. Namun, ada sebuah konsensus bersama yang menyatakan
melingkupi sifat reaksi balik yang muncul dan respon
bahwa perkembangan Internet dan e-commerce yang terus-
yang mungkin ditujukan kepadanya.
menerus memiliki konsekuensi yang erat dengan hukum yang ada, kebanyakan negara industri (termasuk negara*) Mahasiwa FH Trisakti, Jakarta
Berangkat dari hal tersebut, buku berjudul “Hukum Ecommerce dan Internet dengan fokus di Asia Pasific” ini berupaya mengeksplorasi persoalan umum dan khusus
37
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
menurut hukum di negara-negara Asia-Pasifik yang ingin
pengaturan media tersebut, serta Bab Ketiga dan Bab
mengubah diri menjadi masyarakat informasi dunia. Buku
Keempat, yang berturut-turut menggambarkan
ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama menyajikan
bagaimana Penulis mempelajari pengalaman Singapura
gambaran umum yang diakhiri dengan diskusi ke dalam
dalam mengatur Internet dan penyalahgunaan komputer.
dua bab, apabila diuraikan secara singkat, pembahasan
Bagian ini diakhiri dengan penyajian survey komprehensif
Bab Pertama dari buku ini diawali Penulis dengan
atas kondisi pengaturan Internet di wilayah Asia-Pasifik.
memperkenalkan permasalahan konseptual umum yang berasal dari pengaruh kemajuan teknologi informasi (IT) terhadap hukum yang semakin meningkat. Namun, penulis membatasi pembahasannya dengan tidak memberikan perincian pokok-pokok teknologi apa saja yang terlibat dalam perubahan sosial-ekonomi tersebut atau bagaimana hal tersebut akan berubah di tahuntahun mendatang, Penulis hanya memfokuskan pada reaksi hukum serta reaksi dari para pengacara terhadap kemajuan teknologi dan informasi. Bab Kedua buku ini berisikan rangkuman Penulis dalam menggambarkan situasi pada saat pembuatan cyberlaw di Singapura, yang merupakan salah satu “the leading country” di bidang teknologi dan informasi wilayah Asia-Pasifik, bab inipun menggarisbawahi sampai dimana tingkatan pembuatan hukum dan implementasinya di Singapura sejauh ini, serta rencana-rencana apa yang akan dijalankan di masa yang akan datang. Bab ini juga menjelaskan secara singkat komponen-komponen yang berhubungan dengan cyberlaw di Singapura, antara lain status serta praktikpraktik yang menyertainya, tanpa menyelidiki latar belakang, motivasi ataupun penjelasan masing-masing ini secara luas. Untuk mempermudah penyampaian, Penulis membagi bab ini menjadi lima bagian bersamaan dengan jenis-jenis hukum baru, yaitu regulasi Internet, hukum penyalahgunaan komputer, hukum transaksi elektronik, hak milik intelektual, dan perlindungan konsumen. Terakhir, Penulis ikut menyoroti banyaknya campur tangan yang tidak terelakan dari lembaga legislatif terhadap perkembangan cyberlaw di Singapura. Bagian kedua dari buku ini berisikan tentang pengaturan Internet yang terdiri atas empat bab, antara lain membahas mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kerangka aturan yang diperlukan Internet sebagai suatu media komunikasi dan transmisi atau pertukaran informasi. Secara singkat, pembahasan-pembahasan terpenting pada bagian ini terdapat pada Bab Pertama yang berisikan uraian yang bersifat meluas tentang bagaimana Internet telah dibicarakan diseluruh bumi dan persoalan yang dianggap berhubungan erat dengan
38
Bagian ketiga buku ini terdiri dari empat bab, dimana Penulis terfokus pada pembahasan mengenai e-commerce, yaitu implikasi ekonomi atau perdagangan dari internet. Pada Bab Pertama, Penulis memberikan suatu kerangka respon terhadap e-commerce menurut hukum, terutama dalam pembuatan kontrak serta mengusulkan dibentuknya suatu perjanjian internasional yang bertujuan untuk memadukan undang-undang perdagangan di era informasi ini. Sedangkan pada Bab Kedua dan Bab Ketiganya, Penulis mencermati peraturan-peraturan di Singapura yang menyangkut e-commerce dan percobaan untuk mendapatkan kepercayaan konsumen dengan proses pengenalan trustmarks guna membuat jaringan yang lebih luas dan tepat untuk sifat internasional teknologi internet dan e-commerce. Bab terakhir bagian ketiga buku ini, tersusun menjadi dua sub bab, dimana pada sub bab pertama, Penulis mengkaji mengenai perkembangan umum undang-undang e-commerce di wilayah Asia Pasifik, namun pembahasannya hanya terfokus pada status penyusunan undang-undang atau implementasi yang terkait dengan transaksi elektronis secara keseluruhan, pembuktian kedua belah pihak dan integritas komunikasi dalam sepuluh negara. Penulis juga membahas secara ringkas rezim sistem baru di bidang perlindungan konsumen, hak kekayaan intelektual dan penyelesaian sengketa. Sedangkan pada sub bab keduanya, Penulis menunjukan prestasi yang telah dicapai oleh negara-negara Asia Pasifik yang menjadi “kelompok utama” dan menunjukan adanya peningkatan titik temu dalam undang-undang yang membahas status transaksi perdagangan, peran CA (akuntan berlisensi) dan aturan pelaksanaan. Pada bagian keempat buku ini, Penulis membahas mengenai topik-topik khusus yang berkaitan dengan pengaturan Internet dan undang-undang e-commerce dalam tiga bab. Pada Bab Pertama dan Bab Kedua Penulis membahas konflik antara nama domain dan merk dagang serta solusi yang diusulkan oleh pengadilan, badan legislatif, dan World Intelectual Property Organization (WIPO) di dalam penyelesaian perselisihan tersebut. Penulis menguraikan kerancuan di dalam sistem merk dagang
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
yang telah ditetapkan sebagai akibat kemunculan nama
Buku ini perlu untuk dibaca dan dapat dijadikan acuan
domain dan berpendapat bahwa satu-satunya langkah
bagi para akademisi, praktisi atau para ahli dibidangnya
logis sebagai solusi atas permasalahan ini ialah dengan
dan bahkan masyarakat umum guna memperdalam serta
membentuk suatu perjanjian internasional yang komprehensif
melengkapi pemahaman mengenai aspek hukum kemajuan
yang menempatkan nama-nama domain setingkat merk
Teknologi Informasi, antara lain permasalahan hukum
dan mempersingkat aturan administratif untuk keduanya
pemanfaatan internet, e-commerce termasuk perlindungan
sedemikian rupa agar sama sekali tidak akan ada konflik
konsumen dalam cyberspace. Penulis menyajikan
yang dapat timbul baik di satu negara maupun pada skala
pembahasan dalam buku ini dengan baik, komprehensif
global. Selanjutnya, pada Bab Ketiga Penulis membahas
dan mendalam.terutama pada pembahasan mengenai
mengenai perlindungan konsumen yang timbul di cyberspace.
pengaturan e-commerce di Singapura yang dianggap
Bagian Kelima, dalam satu bab, Penulis mencoba memberikan pencerahan ke depan untuk cyberclaw dan mengusulkan
sebagai “the leading country” di bidang teknologi dan informasi wilayah Asia-Pasifik.
arah yang mungkin di masa mendatang. Menurutnya, bentuk cyberclaw akan terus diterapkan oleh tiga kekuatan aktif. antara lain perkembangan terakhir Internet dan hukum e-commerce di Amerika Serikat dan Uni Eropa; kebijakan dan proposal legislatif yang berasal dari organisasi internasional; dan soft laws yang dihasilkan oleh entitas bisnis di seluruh dunia. Demi kepentingan semua bangsa, dalam bab ini Penulis mengusulkan berbagai cara yang lebih disukai guna meniadakan jurang pemisah yang ada, tumpang tindih, dan inkonsistensi dalam cyberclaw yang muncul serta memecahkan persoalan yang belum diselesaikan untuk mengadopsi perjanjian. Seiring dengan perkembangan dan dampak teknologi informasi yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan hukum, perlu diperlengkapi dengan instrumen hukum yang mengimbangi laju perkembangan teknologi yang dinamis tersebut sehingga tercapai kepastian hukum. Dalam kenyataannya, meskipun terdapat perbedaan sosioekonomi, penguasaan teknologi, serta tingkat perhatian (awareness), saat ini telah terdapat pengaturan mengenai Internet dan e-commerce. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam pembahasan mengenai berbagai aspek regulasi internet dan e-commerce, Penulis menyinggung perlunya kesepakatan internasional agar seluruh negara, terutama negara yang telah maju di bidang industri, menaruh perhatian pada upaya mewujudkan e-commerce yang aman. Dalam rangka menghadapi era globalisasi informasi, Indonesia telah melakukan pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik melalui UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada tanggal 21 April 2008, agar pembangunan TI dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
39
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
40
Cakrawala Hukum: Perubahan Undang-Undang Yang Mengatur Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Refleksi mengikuti Sidang UNCITRAL Insolvency Law Tahun 2009
1. Pendahuluan Pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia telah
Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan.
dimulai sejak lebih dari 100 tahun yang lalu yakni sejak
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut tidak
tahun 1906, yaitu berlakunya “verordening op het
sepenuhnya mengganti peraturan kepailitan yang
faillissement en surceance van betaling voor de european
berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad
in Indonesia” sebagaimana Staatblads No. 217 jo.
tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906
Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening.
No. 308, melainkan sekedar mengubah dan menambah.
Dalam kurun waktu yang cukup lama (dengan awal
Dengan diundangkannya Perpu No. 1 Tahun 1998,
tahun 1990-an) tidak banyak kasus kepailitan yang
seolah-olah menghidupkan kembali Peraturan Kepailitan
diajukan ke pengadilan. Namun demikian, krisis
(Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo S.
moneter pada tahun 1997, telah menimbulkan kesulitan
1906 No. 348) yang lama sudah tidak digunakan lagi.
besar terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat
Sejak itu, banyak pengajuan permohonan pernyataan
terkait perekonomian khususnya dunia usaha, terutama
pailit ke Pengadilan Niaga dan muncul berbagai
dalam memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada
putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.
kreditur, sehingga banyak utang tidak dapat dibayar
Dalam perkembangannya, UU No. 4 Tahun 1998
lunas meskipun telah dilakukan penagihan. Kondisi ini
tersebut diubah dengan Undang-undang No. 37
dapat melahirkan akibat berantai, dan menimbulkan
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
dampak yang lebih luas, antara lain hilangnya
Kewajiban Pembayaran Utang.
kesempatan kerja dan timbulnya kerawanan sosial lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka mendukung dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang tersebut secara adil, cepat, terbuka dan efektif, sangat diperlukan sarana hukum yang
2. Hukum Kepailitan yang diatur dalam UNCITRAL Legislative Guide on Secured Transaction The legislative guide on insolvency law dipersiapkan oleh UNCITRAL. Proyek tersebut berawal dari sebuah
mendukung.
proposal yang dibuat untuk UNCITRAL pada tahun
Pengaturan mengenai kepailitan yaitu Undang-
lebih lanjut mengenai hukum kepailitan (insolvency),
undang tentang Kepailitan (FaillissementsVerordening, Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348), tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan penyelesaian masalah kepailitan termasuk masalah penundaan kewajiban pembayaran utang. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah berdasarkan ketentuan Pasal
1999 yaitu UNCITRAL harus melaksanakan pekerjaan khususnya insolvency perusahaan, untuk mendorong pengadopsian rejim insolvensi perusahaan nasional yang efektif. Pertemuan yang bersifat menjelaskan untuk mempertimbangkan kelayakan proyek tersebut diadakan pada bulan Desember tahun 1999. Berdasarkan pertemuan tersebut, UNCITRAL memberikan mandat kepada Working Group V (Insolvency Law) untuk
22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah
mempersiapkan comprehensive statement of key
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
objectives dan karakteristik utama untuk sebuah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang
insolvensi, rejim kreditur-debitur, termasuk restrukturisasi
Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan
diluar pengadilan dan sebuah legislative guide yang
(Perpu No. 1 Tahun 1998) yang kemudian disetujui
mengandung pendekatan yang fleksibel tentang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi UU No. 4
pengimplementasian tujuan dan karakteristik tersebut
Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan
termasuk sebuah diskusi mengenai alternatif
41
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
pendekatan yang memungkinkan, keuntungan serta
The guide memfokuskan pada proses insolvensi yang
kerugian-kerugian dari pendekatan-pendekatan
dimulai berdasarkan hukum insolvensi dengan penekanan
tersebut. Untuk mencari masukan, sebuah colloqium
pada reorganisasi, melawan debitur berupa legal
internasional yang diorganisir bekerjasama dengan
person atau natural person yang menjalankan kegiatan
INSOL Internasional dan Internasional Bar Association
ekonomi. Permasalahan insolvensi terhadap perorangan
diadakan pada bulan Desember 2000.
yang tidak menjalankan kegiatan ekonomi tidak
Selanjutnya Working Group V pada bulan Juli 2001
dibahas.
telah mengembangkan draft pertama dari Legislative
The legislative Guide juga mendiskusikan penggunaan
Guide on insolvency law dan melalui seven one week
dan pentingnya merumuskan sarana lain dalam
session, pertemuan akhir berlangsung pada akhir
insovensi, khususnya mengenai negosiasi restrukturisasi
Maret 2004. Disamping itu, perwakilan dari 36 negara
terhadap bisnis debitur secara sukarela antara debitur
anggota UNCITRAL, observer, dan sejumlah organisasi
dan kreditur-kreditur utama yang tidak diatur oleh
internasional baik lembaga pemerintah maupun non
hukum insolvensi. Selain itu dalam merumuskan
pemerintah berpartisipasi secara aktif dalam pekerjaan
tentang persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam
persiapan. Perkerjaan tersebut juga dilaksanakan
hukum insolvensi nasional, the Guide memasukkan
bekerjasama dengan Working Gorup VI (Security
text dan pedoman untuk pengudangan UNICITRAL
Interest) untuk meyakinkan koordinasi perlakuan
Model Law on Cross Border Insovensi (the UNCITRAL
security interest dalm insolvensi dengan legislative
Model Law) untuk mengakomodasi isu-isu yang
guide atas secured transaction yang sedang
terkait dengan cross border insolvensi. Harus dicatat,
dikembangkan oleh UNCITRAL.
bagaimanapun juga, bahwa sebuah model law umumnya
Negosiasi-negosiasi terakhir atas draft legislative guide on insolvency law dilaksanakan selama sesi ke 37 UNCITRAL di New York dari tanggal 14 sampai dengan 21 Juni 2004 dan text yang diadopsi oleh konsensus pada tanggal 25 juni 2004. Setelah itu, Majelis Umum mengadopsi resolusi 59/40 pada tanggal 2 Desember 2004. General Assembly mengungkapkan apresiasinya kepada UNCITRAL karena telah menyelesaikan dan mengadopsi Legislative guide.
akan digunakan secara berbeda pada sebuah legislative guide. Secara khusus, sebuah model law adalah sebuah text legislative yang direkomendasikan kepada negaranegara untuk diundangkan sebagai bagian dari hukum nasional dengan atau tanpa modifikasi. Model law pada umumnya mengusulkan satu set solusi legislatif yang menyeluruh untuk merumuskan sebuah istilah dan bahasa khusus yang ditujukan untuk memasukan langsung ketentuan-ketentuan dari model law ke dalam hukum nasional. Fokus dari legislative guide,
Tujuan the legislative guide on insolvency law adalah
disisi lain memberikan petunjuk bagi perumus
untuk membantu pembentukan sebuah kerangka
undang-undang dan pengguna-pengguna yang lain
hukum yang efektif dan efisien untuk memikirkan
termasuk untuk mendiskusikan komentar dan
tentang kesulitan keuangan dari debitur. The legislative
menganalisis isu-isu yang relevant. Rekomendasi dari
guide on insolvency law digunakan sebagai referensi
legislative guide tidak dimaksudkan untuk diundangkan
oleh otoritas nasional dan lembaga legislatif ketika mempersiapkan peraturan dan perundang-undangan yang baru atau mereview kecukupan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Advis dalam the guide bertujuan untuk mencapai keseimbangan diantara kebutuhan untuk memikirkan tentang kesulitan
sebagai bagian dari hukum nasional. Dengan demikian, model laws menggambarkan isu-isu penting yang perlu dirumuskan dengan beberapa rekomendasi yang memberikan pedoman yang spesifik tentang bagaimana merancang ketentuan legislatif.
keuangan secepat dan seefisien mungkin dan
Secara garis besar Guide ini terdiri dari 2 (dua) bagian,
kepentingan kreditur-debitur dan pihak lain. The guide
yaitu Bagian Pertama mengenai Merancang Tujuan-
mendiskusikan isu-isu utama untuk merancang sebuah
tujuan Penting dan Struktur dari Hukum Kepailitan
hukum kepailitan yang efisien dan efektif walupun
yang Efektif dan Efisien, dan Bagian Kedua mengenai
terdapat perbedaan mengenai kebijakan dan perlakuan
Pengaturan-pengaturan Utama bagi Hukum Kepailitan
legislatif dalam berbagai sistem hukum.
yang Efektif dan Efisien
42
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
a. Bagian pertama terdiri dari 3 (tiga) bab yaitu : - Bab I, mengatur mengenai tujuan dari hukum kepailitan yang efektif dan efisien. - Bab II, mengatur mengenai mekanisme mengatasi kesulitan keuangan debitur. - Bab III, mengatur mengenai Kerangka institusi. b. Bagian kedua terdiri dari 6 (enam) bab, yaitu : - Bab I, mengatur mengenai aplikasi dan permohonan. - Bab II, mengatur mengenai Perlakuan atas aset-aset dan permulaan dari proses kepailitan.
interest on a regular basis and that is therefore ascertainable by third parties. Hal yang menonjol dalam pembahasan COMI di atas adalah mengenai jurisdiction to commence insolvency proceedings terhadap suatu grup perusahaan yang memiliki perusahaan di negara lain. Masih terdapat berbagai perbedaan pandangan diantara negara anggota UNCITRAL mengenai issues tersebut, terutama terkait dengan centre of main interest suatu grup perusahaan yang memiliki perusahaan di negara lain, mengenai hukum negara
- Bab III, mengatur mengenai para pihak/Peserta.
yang dapat diberlakukan. Sidang masih belum
- Bab IV, mengatur mengenai reorganisasi.
sepakat mengenai penerapan kriteria atas proses
- Bab V, mengatur mengenai pengelolaan
pengajuan kasus insolvensi terhadap suatu
proses. - Bab VI, mengatur mengenai kesimpulan dari proses. 3. Beberapa konsep kepailitan dalam UNCITRAL
perusahaan yang memiliki perusahaan (satu grup) di negara lain, khususnya mengenai jurisdiksi seorang hakim terhadap kasus yang sedang dihadapinya dengan grup perusahaan yang berada dinegara lain. Mengingat belum ditemukannya
Pembahasan diawali dengan kesepakatan untuk
formula yang dapat disepakati mengenai hal ini,
memberikan tambahan (addendum) pada dokumen
disepakati untuk dilakukan studi/pembahasan
Draft UNCITRAL Notes on Cooperation, communication
khusus mengenai COMI.
and coordination in cross-border insolvency proceedings. Adapun inti dari addendum adalah menyoroti crossborder insolvency proceedings, dimana perjanjian lintas batas (cross-border agreements) antar negara akan memberikan manfaat untuk memberikan ilustrasi praktek yang sedang berjalan. Namun disadari bahwa cross-border agreements akan beragam dari satu jurisdiksi ke juriskdisi lainnya tergantung kepada kewenangan para hakim, representasi insolvensi (semacam kurator dalam kepailitan atau likuidator) dan aturan hukum insolvensi masing-masing negara. Oleh karena itu, cross-border agreements akan memberikan manfaat untuk memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dalam hal terdapat kasus-kasus insolvensi antar negara.
Dalam pembahasan mengenai pusat koordinasi/ coordination centre bagi suatu kelompok perusahaan, beberapa delegasi mengidentifikasi suatu pusat koordinasi dalam suatu kelompok perusahaan dengan pusat kepentingan utama (centre of main interest/COMI) dari seorang debitur (perusahaan). Selain itu Pokja menyepakati bahwa hukum kepailitan dimasing-masing negara dapat menspesifikasikan kantor pendaftaran perusahaan yang mengendalikan suatu kelompok perusahaan, sebagai pusat koordinasi proses kepailitan kelompok perusahaan tersebut yang berada di negara yang berbeda. Pokja juga mengusulkan agar dalam pembahasan mendatang mengenai pusat koordinasi juga dibahas antara lain mengenai pentingnya mempercepat proses
Setelah disepakati addendum pada dokumen Draft
penunjukan pusat koordinasi di kelompok perusahaan
UNCITRAL Notes on cooperation, communication and
guna menghindari kompleksitas masalah dan
coordination in cross-border insolvency proceedings,
meminimalisir adanya forum shopping. Disepakati
pembahasan dilanjutkan pada dokumen mengenai
bahwa suatu induk perusahaan (parent company)
Treatment of enterprise groups in insolvency yang
tidak serta merta dianggap sebagai suatu pusat
menjadi pokok perhatian dalam international and
koordinasi suatu kelompok perusahaan dalam hal
domestic issues.
terjadi kepailitan lintas batas.
a. Centre of main interest (COMI) yaitu place where the debtor conducts the administration of its
43
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
b. Post-commencement finance
d. Other issues
Dalam kaitan ini, hal-hal pokok yang menjadi
Terkait dengan other issues, terdapat kesepakan
sorotan adalah mengenai boleh tidaknya suatu
bahwa terdapat aspek internasional dalam procedural
perusahaan yang sudah dimohonkan pailit ke
coordination, substantive consolidation, appointment
pengadilan (perkara insolvensi) menggunakan
of single insolvency representatives dan a single
tambahan dana segar dari grup perusahaannya
reorganization plan sehingga dalam memberikan
yang masih tergolong sehat guna menyelesaikan
suatu rekomendasi, aspek internasional tersebut
kewajiban, misal menyelesaikan pesanan kliennya
harus mempertimbangkan domestic treatment.
sehingga masih ada dana masuk ke perusahannya. Agar pembahasan mengenai ini lebih komprehensif, delegasi negara-negara memandang perlu dipertimbangkan mengenai biaya post-aplication finance pada saat mambahas post-commencement finance. c. Coordination and cooperation
Pokja juga mengadopsi rekomendasi penyempurnaan Model Law on cross border insolvency, pasal 26 ayat (1) mengenai pentingnya hukum kepailitan di masing-masing negara untuk mengotorisasikan perwakilan kepailitan/insolvency representative yang ditunjuk untuk mengadministrasikan proses kepailitan bagi suatu perusahaan dalam kelompok
Dalam bahasan mengenai coordination and
perusahaan. Lebih jauh, disepakati agar perwakilan
cooperation terdapat pandangan untuk membuat
kepailitan juga memberikan otoritas bekerjasama
rekomendasi kepada legislator dan pengadilan
semaksimal mungkin dengan pengadilan asing
agar memperhatikan hasil kerja WG V agar
atau perwakilan pengadilan untuk memfasilitasi
mereka dapat mengacu pada model-model yang
koordinasi proses pengadilan kepailitan suatu
ditawarkan berkaitan dengan masalah insolvensi.
perusahaan di negara lain.
Mengenai rekomendasi penyempurnaan Model
Dalam rekomendasi Pasal 25 ayat 2 dan pasal 26
Law on cross border insolvency, khususnya Pasal
ayat 2 dari Model Law on Cross-border Insolvency,
25 ayat (1) mengenai fasilitas kerjasama dan
Pokja menyetujui bahwa hukum kepailitan di
komunikasi antara pengadilan dan pengadilan
masing-masing Negara wajib memberikan otorisasi
asing atau perwakilan asing dari pusat koordinasi,
pengadilan yang berkompeten menangani kasus
Pokja menyepakati bahwa hukum kepailitan di
kepailitan untuk mengkomunikasikan dan meminta
masing-masing negara wajib memberikan otorisasi
informasi atau bantuan dari pengadilan asing
pengadilan yang berwenang mengadili kasus
dalam hal proses peradilan dilakukan di negara
kepailitan untuk bekerjasama semaksimal mungkin
lain untuk kepailitan suatu perusahaan dalam
dengan pengadilan asing atau perwakilan asing
kelompok perusahaan. Perdebatan terjadi pada
dari pusat koordinasi.
saat pembahasan rekomendasi mengenai safeguard
Mengenai bentuk kerjasama dan komunikasi antar pengadilan, Pokja menyepakati cakupan kerjasama antar pengadilan selama diperbolehkan oleh hukum yang berlaku di masing-masing Negara, termasuk antara lain menyediakan dokumen terkait kepailitan termasuk putusan dan transkrip persidangan serta komunikasi melalui beberapa media. Pokja juga menyetujui usulan beberapa Negara untuk menghapus kata “two-way” sebelum komunikasi untuk merefleksikan dan memfasilitasi adanya kemungkinan komunikasi antar lebih dari dua pengadilan.
dalam Model Law on Insolvenscy. Beberapa Negara menyatakan bahwa prinsip kerahasiaan bagi dokumen pengadilan dalam rekomendasi tersebut akan bertabrakan dengan tujuan dan kerjasama kepailitan lintas batas yang mengutamakan transparansi. Beberapa negara mengusulkan agar prinsip kerahasiaan diberlakukan secara terbatas hanya pada hal-hal administrasi serta memungkinkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyampaikan keberatannya atas kerahasiaan dokumen pengadilan. Pokja menyepakati bahwa prinsip kerahasiaan dokumen pengadilan hanya akan diterapkan untuk beberapa hal tertentu seperti hal administrative. Guna melindungi
44
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
informasi rahasia di pengadilan. disepakati pula
g. The impact of insolvency on a security right in
point tambahan mengenai safeguard yang intinya
intellectual property
menghormati yurisdiksi masing-masing pengadilan
Dalam pembahasan mengenai the impact of
untuk melakukan komunikasi serta menghormati
insolvency on a security right in intellectual
hak-hak pihak yang berkepentingan dalam hal
property, sidang menyepakati berbagai rekomendasi
kerahasiaan informasi sesuai dengan hukum dan
yang tertuang dalam dokumen yang disiapkan
peraturan yang berlaku di masing-masing negara.
oleh pihak sekretariat. Dalam pembahasan
e. Joint application Dalam topik ini, dibahas mengenai pengajuan kasus insolvensi atas suatu grup perusahaan yang terletak di dua negara berbeda. Oleh karena itu, Pokja (WG) mendiskusikan mengenai pengajuan dan dimulainya kasus insolvensi dalam konteks domestik. f. Procedural coordination
mengenai pengaruh kepailitan dalam hak jaminan atas hak kekayaan intelektual, Pokja menyepakati masukan Pokja VI (Security Interest) UNCITRAL yang pada intinya mengakui suatu hak jaminan atas hak kekayaan intelektual dalam hal terjadi kepailitan. Secara spesifik, Pokja mengakui kepailitan terhadap pemberi maupun penerima lisensi HAKI dalam hal lisensi hak kekayaan intelektual tersebut dijaminkan kepada pihak lain.
Menyangkut permasalahan koordinasi sesama pihak yang akan mengajukan perkara insolvensi terhadap perusahaan yang memiliki tempat kegiatan di dua negara yang berbeda.
4. Manfaat bagi Indonesia Tujuan dari UNCITRAL Legislative Guide on Insolvency Law (Guide) adalah membantu negara-negara dalam
Mengenai hal prosedural pemerksaan dalam
pengembangan hukum kepailitan modern, mengingat
pengadilan, Pokja menyepakati bahwa hukum
tidak adanya keseragaman dalam proses kepailitan di
kepailitan di masing-masing Negara dapat
berbagai negara. Dalam pembahasanpun terdapat
mengotorisasi pengadilan untuk melakukan joint
perbedaan pandangan masing-masing delegasi negara.
hearing dengan pengadilan asing dalam memeriksa
Hal ini dapat dimaklumi karena pada dasarnya terdapat
kasus kepailitan. Terdapat usul agar rekomendasi
perbedaan mendasar pada hukum kepailitan di
tersebut diperinci dengan prosedur yang lebih detail
masing-masing negara, seperti Indonesia, belum
sebagaimana tercantum dalam catatan kaki
mengenal dan mengatur mengenai cross border
rekomendasi tersebut. Pokja menyepakati
insolvency dalam hukum kepailitan
penambahan detail prosedural pemeriksaan tersebut dalam text rekomendasi dengan menggunakan catatan kaki dimaksud.
Perbedaan paling mendasar mengenai perlu tidaknya mengatur hukum beracara bagi masing-masing pengadilan dalam hal terjadi cross border insovency
Khusus mengenai pembahasan cross-border
dan mengenai pengadilan manakah yang akan
agreements, terdapat usulan agar otoritas yang
memegang peranan dalam mengambil keputusan
berwenang memberikan persetujuan/endorsement
serta apakah keputusan pengadilan mengenai cross
atas cross-border agreements juga diperluas, tidak
border insolvency di negara tersebut dapat dilaksanakan
hanya pengadilan setempat, namun mencakup
di yurisdiksi pengadilan negara lain. Menangani hal
lembaga non pengadilan seperti Kementrian Luar
ini, beberapa negara masih ragu dan menutup adanya
Negeri, mengingat praktek di beberapa pengesahan
kemungkinan campur tangan pengadilan asing dalam
suatu perjanjian internasional melibatkan
yurisdiksi pengadilan dalam negeri. Namun beberapa
Kementerian Luar Negeri. Pokja menyepakati
negara yang mengusulkan adanya kerjasama dan
usulan tersebut dengan menggunakan formula
keterbukaan dalam hal kepailitan lintas batas, karena
kalimat yang lebih luas, tidak hanya Kementrian
tanpa adanya kerjasama dan keterbukaan di masing-
Luar Negeri namun juga Kementerian/instansi
masing pengadilan terhadap pengadilan asing,
terkait lain sesuai hukum dan peraturan di masing-
mustahil dapat menyelesaikan kepailitan lintas negara.
masing negara.
45
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
Mengenai kerjasama dan koordinasi antar pengadilan
mengatur mengenai ketentuan kepailitan lintas
kepailitan, mengingat hal tersebut tidak dikenal dan
batas negara, termasuk Indonesia. Dengan sistem
diatur dalam hukum kepilitan di Indonesia, maka hal
ekonomi pasar yang makin terbuka, sudah menjadi
tersebut perlu menjadi perhatian bagi Indonesia.
suatu keniscayaan bahwa pembangunan hukum
Mengingat hal tersebut terkait dengan aspek prosedural
nasional di bidang ekonomi, selain harus menyerap
dalam kepailitan lintas batas maka perlu koordinasi
nilai-nilai nasional, juga harus mengakomodasi
antar instansi di Indonesia, seperti Depkumham,
nilai-nilai yang bersifat universal dari praktek bisnis
Mahkamah Agung serta praktisi dan pakar kepailitan.
internasional.
Mencermati perkembangan rezim hukum kepailitan internasional sedemikian pesatnya, dipandang perlu untuk menyesuaikan atau setidaknya mempersiapkan perluasan cakupan kepailitan dalam UU No. 37 Tahun 2004 untuk mengantisipasi perkembangan tersebut.
b. Proses Penyusunan UNCITRAL Legislative Guide on Insolvency Law telah melalui proses pembahasan yang komprehensif, sehingga menjadi Guide yang komprehensif dan lengkap mengatur konsepsikonsepsi hukum kepailitan yang mengakomodir
Pada sisi lainnya, dikaitkan dengan ketentuan
kebutuhan-kebutuhan hukum yang diseusikan
kepalitan terhadap badan hukum bank dan sistem
dengan perkembangan.
hukum yang berlaku di Indonesia, perkembangan rezim kepailitan dalam model law tersebut perlu untuk dicermati. Dalam sistem hukum di Indonesia, undangundang kepailitan berlaku bagi perorangan dan badan usaha. Dalam hal ini badan usaha yang berupa bank, asuransi dan perusahaan efek, prosedur kepailitan hanya dapat diajukan oleh otoritas masing-masing badan usaha tersebut. Selain itu, bagi bank juga berlaku ketentuan mengenai likuidasi. Dalam situasi perekonomian saat ini, khususnya di Indonesia, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No 4 Tahun 2008 (yang tidak disetujui oleh DPR untuk disahkan sebagai UU) tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, suatu bank yang mengalami kesulitan likuiditas atau insolven, dan yang berdampak sistemik, apabila memenuhi persyaratan dalam ketentuan tersebut tidak dilikuidasi melainkan diselamatkan (bail-out) oleh Pemerintah. Tindakan yang sama dilakukan pula oleh Pemerintah Amerika dalam kasus Fannie Mae, Freddie Mac dan AIG, serta Pemerintah Inggris dalam kasus Northern Rock. Hal-hal tersebut di atas dapat menjadi masukan dalam pembahasan model law mengenai Insolvency Law yang saat ini belum selesai masih sedang dibahas. 5. Penutup a. Rezim hukum Kepailitan yang dikembangkan dalam UNCITRAL Legislative Guide on Insolvency Law (Guide) ini sangat bermanfaat bagi pembangunan hukum nasional di bidang ekonomi seluruh negara, khususnya negara yang belum
46
c. Rezim hukum kepailitan Indonesia belum mengatur mengenai kepailitan lintas batas negara, yang memungkinkan adanya keputusan pengadilan Indonesia dapat berlaku di negara lain atau sebaliknya. Hal tersebut perlu dicermati dan dikaji lebih lanjut oleh para akademisi, pakar hukum dan instansi terkait yang berwenang.
Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) September - Desember 2009
Nomor
11/32/PBI/2009
11/33/PBI/2009
Tanggal
30-9-2009
7-12-2009
Satker
Perihal
DASP
Perubahan Keempat Atas PBI No.2/24/ PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern
DPbS
Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
47
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
48
Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank Indonesia September - Desember 2009
Nomor
Tanggal
Satker
Perihal
11/24/DPbS
29-9-2009
DPbS
Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Syariah
11/25/DPbS
29-9-2009
DPbS
Perubahan Kegiatan Usaha BPR Menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
11/26/DKBU
5-10-2009
DKBU
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/17/UK Tanggal 15 Januari 1999 Perihal Kredit Usaha Tani
11/27/DKBU
5-10-2009
DKBU
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/20/UK Tanggal 12 Februari 1999 Perihal Kredit Kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro melalui Bank Umum.
11/28/DPbS
5-10-2009
DPbS
Unit Usaha Syariah
11/29/DPNP
16-10-2009
DPNP
Perhitungan Giro Wajib Minimum Sekunder dalam Rupiah
DPNP
Perubahan atas SE BI No.10/19/DPNP tentang Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia
11/30/DPNP
30-10-2009
11/31/DPNP
30-11-2009
DPNP
Pedoman standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum
11/32/DPM
7-12-2009
DPM
Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara
49
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
11/33/DPNP
8-12-2009
DPNP
Perubahan atas SE BI No.11/4/DPNP tanggal 27 Januari 2009 tentang Pelaksanaan Pedoman Akutansi Perbankan Indonesia
11/34/DPbS
23-12-2009
DPbS
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
11/35/DPNP
31-12-2009
DPNP
Pelaporan Produk atau Aktivitas Baru
11/36/DPNP
31-12-2009
DPNP
Perubahan atas SE BI No.7/19/DPNP tanggal 14 Juni 2005 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas Berkaitan dengan Reksa Dana
11/37/DKBU
31-12-2009
DKBU
Penetapan Penggunaan Standar Akuntansi Keuangan bagi Bank Perkreditan Rakyat
50
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI) September - Desember 2009
Peraturan
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember 2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Berlaku
: Tanggal 1 Januari 2010
Ringkasan
:
1. Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum Syariah (BUS) paling kurang diwujudkan dalam: a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi; b. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern BUS; c. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah (DPS) ; d. penerapan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstern; e. batas maksimum penyaluran dana; dan f. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan BUS. 2. Pelaksanaan GCG bagi Unit Usaha Syariah (UUS) paling kurang diwujudkan dalam: a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur UUS; b. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS; c. penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana oleh deposan inti; dan d. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan UUS. 3. Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris wajib membentuk paling kurang: a. Komite Pemantau Risiko; b. Komite Remunerasi dan Nominasi; dan c. Komite Audit. 4. Anggota Komite Pemantau Risiko paling kurang terdiri dari: a. seorang Komisaris Independen; b. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang keuangan syariah; dan c. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang manajemen risiko. 5. Anggota Komite Remunerasi dan Nominasi paling kurang terdiri dari : a.
2 (dua) orang Komisaris Independen; dan
b.
seorang pejabat eksekutif yang membawahi sumber daya manusia
6. Anggota Komite Audit paling kurang terdiri dari : a.
seorang Komisaris Independen;
b.
seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang akuntansi keuangan; dan
c.
seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang perbankan syariah.
7. Aspek transparansi pengungkapan kepemilikan saham 5% (lima persen); bagi Dewan Komisaris hanya berlaku pada BUS yang bersangkutan, sementara bagi Direksi berlaku baik pada BUS yang bersangkutan maupun pada bank dan perusahaan lain di dalam negeri maupun luar negeri.
51
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
8. Dalam rangka melaksanakan GCG, Direksi wajib memiliki fungsi paling kurang: a. Audit Intern; b. Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko; dan c. Kepatuhan. dimana dalam rangka mendorong efektivitas implementasi pelaksanaan fungsi-fungsi dimaksud, Direksi dapat membentuk satuan kerja tersendiri 9. Dalam rangka penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dalam RUPS bagi BUS, rencana penunjukan dimaksud terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPbS. 10. Hal-hal yang diatur dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas DPS adalah : a. Di BUS : 1) Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi menindaklanjuti rekomendasi DPS 2) Direksi wajib menindaklanjuti rekomendasi DPS 3) Laporan hasil audit intern terkait pelaksanaan pemenuhan Prinsip Syariah disampaikan kepada DPS 4) BUS wajib memastikan ketersediaan dan kecukupan pelaporan internal yang didukung oleh sistem informasi manajemen yang memadai, dalam rangka meningkatkan kualitas proses pengawasan DPS b. Di UUS : 1) Direktur UUS wajib menindaklanjuti rekomendasi dari hasil pengawasan DPS 2) Direkrut UUS wajib menyediakan data dan informasi terkait pemenuhan Prinsip Syariah yang akurat, relevan dan tepat waktu kepada DPS 3) UUS wajib memastikan ketersediaan dan kecukupan data/informasi bagi DPS. 11. Hal-hal yang diatur terkait pelaksanaan GCG bagi DPS, antara lain : a. Anggota DPS wajib menyediakan waktu yang cukup agar pelaksanaan tugasnya berjalan optimal, dan DPS wajib menyelenggarakan rapat paling kurang 1(satu) kali dalam 1(satu) bulan. b. Anggota DPS wajib mengungkapkan rangkap jabatan sebagai anggota DPS, dan remunasi serta fasilitas yang diterima dalam laporan pelaksanaan GCG. c. Anggota DPS dilarang merangkap jabatan sebagai konsultan diseluruh BUS dan/atau UUS, dengan masa transisi pemberlakuan 1(satu) tahun setelah berlakunya PBI ini. 12. Ketua Komite sebagaimana dimaksud dalam angka 3, hanya dapat merangkap jabatan sebagai ketua Komite paling banyak pada 1 (satu) Komite lainnya pada BUS yang sama. 13. Laporan pelaksanaan GCG bagi BUS disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir, dan paling kurang meliputi: a. kesimpulan umum dari hasil penilaian self assesment atas pelaksanaan GCG BUS; b. kepemilikan saham anggota Dewan Komisaris, hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Dewan Komisaris dengan anggota Dewan Komisaris lain, anggota Direksi, dan/atau pemegang saham pengendali BUS serta jabatan rangkap pada perusahaan atau lembaga lain; c. kepemilikan saham anggota Direksi serta hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi dengan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi lain, dan/atau pemegang saham pengendali BUS; d. rangkap jabatan sebagai anggota DPS pada lembaga keuangan syariah lainnya; e. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan itu yang digunakan oleh BUS; f. kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration packages) bagi Dewan Komisaris, Direksi, dan DPS; g. rasio gaji tertinggi dan gaji terendah; h. frekuensi rapat Dewan Komisaris; i. frekuensi rapat DPS;
52
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
j. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya penyelesaian oleh BUS; k. jumlah permasalahan hukum perdata maupun pidana dan upaya penyelesaian oleh BUS; l. transaksi yang mengandung benturan kepentingan; m. buy back shares dan/atau buy back obligasi BUS; n. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah maupun pihak penerima dana; dan o. pendapatan non halal dan penggunaannya. 14. Laporan pelaksanaan GCG bagi UUS, paling kurang meliputi: a. kesimpulan umum dari hasil self assesment atas pelaksanaan GCG UUS; b. rangkap jabatan sebagai anggota DPS pada lembaga keuangan syariah lainnya; c. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan itu yang digunakan oleh UUS; d. kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration packages) bagi DPS; e. frekuensi rapat DPS; f. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya penyelesaiannya oleh UUS; g. jumlah permasalahan hukum perdata atau pidana dan upaya penyelesaiannya oleh UUS; h. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik nominal maupun penerima dana; dan i. pendapatan non halal dan penggunaannya. 15. Laporan pelaksanaan GCG BUS disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir; sedangkan laporan pelaksanaan GCG UUS yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan GCG BUK disampaikan kepada direktorat pengawasan bank/KBI dimana BUK dilakukan pengawasannya bersamaan dengan laporan pelaksanaan GCG BUK dimana laporan GCG UUS merupakan bab (chapter) tersendiri didalamnya yang disampaikan pada periode waktu sebagaimana ketentuan GCG yang berlaku bagi bank umum, serta disampaikan kepada DPbS dan/atau KBI setempat paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir. 16. Adanya ketentuan peralihan atas laporan pelaksanaan GCG BUS untuk posisi laporan akhir Desember 2009 yang tetap mengacu pada PBI Nomor 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum sebagaimana diubah dengan PBI Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan atas PBI Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum 17. Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka PBI No.8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum beserta ketentuan perubahannya dinyatakan tidak berlaku bagi BUS
53