BULETIN EKONOMI MONETER D A N P E RB A N K A N Volume 6, Nomor 2, September 2003
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan III – 2003 Tim Penulis Laporan Triwulanan III – 2003, Bank Indonesia
1
Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi “capital flight” di Indonesia Navik Istikomah
12
Apa, bagaimana, dan Dampak Reksa Dana Kiki Nindya Asih, Wahyu Pratomo
32
SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi Firman Mochtar
53
BANK I NDONESIA
i
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan III – 2003
1
PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III – 2003 Tim Penulis Laporan Triwulanan III – 2003, Bank Indonesia
Sampai dengan triwulan III-2003, kondisi perekonomian Indonesia masih mengindikasikan bahwa proses pemulihan ekonomi terus berlangsung dengan indikator makroekonomi yang semakin membaik. Pertumbuhan ekonomi di triwulan III-2003 diperkirakan membaik hingga mencapai 4,14%(yoy). Meningkatnya kinerja ekspor dan investasi memberikan sumbangan yang positif terhadap pertumbuhan PDB triwulan III-2003. Secara sektoral, pertumbuhan positif terjadi di seluruh sektor ekonomi, dengan sumbangan terbesar berasal dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor pengangkutan. Hingga akhir tahun, pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2003 diperkirakan tetap optimis mencapai kisaran 3,5%-4,0%. Membaiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut didukung oleh stabilitas kondisi moneter antara lain menguatnya kurs rupiah, rendahnya laju inflasi, serta uang primer yang masih berada di bawah batas indikatifnya. Laju inflasi masih dalam kecenderungan menurun hingga pada akhir triwulan III-2003 mencapai sebesar 6,2% (yoy). Kecenderungan penurunan laju inflasi tersebut terutama dipengaruhi oleh kecukupan pasokan barang baik dari produksi dalam negeri maupun impor, rendahnya dampak harga-harga yang ditetapkan pemerintah (administered prices) dan menguatnya nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah bergerak stabil dan cenderung menguat pada level sekitar Rp8.400 per dolar AS. Pergerakan kurs tersebut merupakan respon dari membaiknya beberapa indikator ekonomi makro, capital inflow, meningkatnya kepercayaan investor berkaitan dengan peningkatan credit rating Indonesia oleh lembaga peringkat internasional Moody’s dan terpeliharanya stabilitas sosial politik. Penurunan laju inflasi dan relatif stabilnya nilai tukar telah memberikan ruang bagi penurunan suku bunga instrumen moneter secara hati-hati dengan laju penurunan yang semakin melambat. Dalam triwulan III-2003, suku bunga SBI 1 bulan telah menurun sebesar 87 bps, lebih rendah pada triwulan sebelumnya. Penurunan suku bunga SBI tersebut juga telah ditransmisikan ke penurunanan suku bunga kredit. Sejalan dengan kondisi moneter yang kondusif, kinerja perbankan sampai dengan Agustus 2003 juga menunjukkan perkembangan yang positif. Fungsi intermediasi perbankan
2
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
sedikit membaik tercermin dari peningkatan dana pihak ketiga (DPK) dan kredit yang disalurkan. Stabilitas kondisi perbankan juga terindikasi dari sisi aset, permodalan, dan net interest income. Ke depan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai dengan akhir tahun 2003 diperkirakan meningkat sehingga akan mencapai 3,5%-4% (yoy) sesuai dengan perkiraan awal tahun. Nilai tukar triwulan IV-2003 diperkirakan bergerak relatif stabil dengan kecenderungan menguat dan akan berlanjut sampai dengan tahun 2004. Meningkatnya permintaan barang dan jasa berkaitan dengan hari keagamaan dan tahun baru, kemungkinan dapat memberikan tekanan inflasi triwulan IV-2003. Namun demikian, dikombinasikan dengan membaiknya ekspektasi inflasi khususnya di sisi produsen dan rendahnya dampak administered prices diperkirakan tidak akan menyebabkan inflasi yang tinggi. Mempertimbangkan perkembangan dan prospek makroekonomi dan moneter sampai dengan akhir tahun 2003 dan tahun 2004, kebijakan moneter tetap diarahkan pada upaya mencapai sasaran inflasi jangka menengah dengan tetap memperkuat proses pemulihan ekonomi. Terkait dengan hal tersebut, ruang bagi penurunan suku bunga tetap terbuka yang dilakukan secara berhati-hati meskipun dengan laju yang semakin melambat dan disesuaikan dengan upaya pencapaian sasaran inflasi. Di sisi lain, untuk mengurangi fluktuasi nilai tukar rupiah dan sekaligus untuk menyerap kelebihan likuiditas dari ekspansi keuangan Pemerintah, intervensi di pasar valas akan dilakukan sesuai kebutuhan. Sementara itu di bidang perbankan, kebijakan diarahkan untuk melanjutkan upaya-upaya untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan dan perbankan serta mendorong peningkatan fungsi intermediasi perbankan dan efisiensi operasional melalui moral suasion kepada bankbank. Laporan triwulan III-2003 ini mencakup evaluasi pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran dengan penekanan pada evaluasi pencapaian sasaran inflasi dan sasaran moneter lainnya. Sistematika penyajian laporan terbagi dalam beberapa bab. Bab 2 memaparkan evaluasi Bank Indonesia atas perkembangan kinerja makroekonomi dan kinerja inflasi. Selanjutnya bab 3, 4, 5 masingmasing memaparkan evaluasi atas kebijakan dan perkembangan di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Bab 6 mengemukakan pandangan Bank Indonesia mengenai prospek ekonomi dan arah kebijakan mendatang termasuk permasalahan yang dihadapi perekonomian dan berbagai langkah yang akan ditempuh Bank Indonesia untuk mengatasinya. Dalam lampiran laporan ini juga disampaikan evaluasi kebijakan di bidang manajemen intern serta produk-produk hukum Bank Indonesia selama triwulan laporan. Secara keseluruhan, rangkuman dari materi laporan triwulan III-2003 disajikan dalam Tinjauan Umum ini.
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan III – 2003
3
1. Evaluasi Perkembangan Inflasi dan Makroekonomi 1.1. Kinerja Inflasi dan Nilai Tukar Kecenderungan penurunan laju inflasi terus berlangsung hingga triwulan III-2003. Hal ini terlihat pada laju inflasi IHK pada akhir triwulan III-2003 yang mencapai 6,2% (yoy), lebih rendah dibandingkan akhir triwulan sebelumnya (6,6%-yoy). Namun secara triwulanan inflasi pada triwulan III-2003 lebih tinggi dibandingkan dua triwulan sebelumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh relatif tingginya inflasi pada bulan Agustus dan September akibat kenaikan biaya pendidikan dan tarif dasar listrik. Namun demikian, laju inflasi selama sembilan bulan pertama 2003 masih rendah yakni baru mencapai 2,48% (year to date) lebih rendah dibandingkan 6,17% pada periode yang sama tahun 2002. Kecenderungan rendahnya laju inflasi sampai dengan triwulan III-2003 terutama disebabkan oleh melimpahnya pasokan barang baik dari produksi dalam negeri maupun impor, rendahnya dampak harga-harga yang ditetapkan pemerintah (administered prices) dan menguatnya nilai tukar rupiah. Sementara itu, dalam triwulan III-2003 nilai tukar rupiah bergerak stabil pada level Rp8.400 per dolar AS dan cenderung menguat. Meskipun secara point to point rupiah melemah dari Rp8.275 per dolar AS pada triwulan sebelumnya menjadi Rp8.395 per dolar AS pada triwulan III-2003, secara rata-rata rupiah menguat menjadi Rp8.431 perdolar dari Rp8.488 pada triwulan sebelumnya. Lebih stabilnya nilai tukar rupiah tercermin dari penurunan secara signifikan tingkat volatilitas nilai tukar menjadi 1,67% dari 3,18% pada triwulan sebelumnya. Pergerakan kurs yang stabil dan menguat tersebut merupakan respon dari membaiknya beberapa indikator ekonomi makro, berlanjutnya capital inflow terutama karena menariknya perbedaan suku bunga nominal, meningkatnya kepercayaan investor berkaitan dengan peningkatan credit rating oleh lembaga peringkat internasional Moody’s dan terpeliharanya stabilitas sosial politik.
1.2. Kinerja Makroekonomi Seiring dengan perkembangan perekonomian dunia yang membaik, terutama yang terjadi di negara tujuan ekspor utama Indonesia seperti Amerika dan Jepang, telah membuka peluang bagi peningkatan kegiatan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Surplus neraca pembayaran dalam tiga triwulan 2003 terutama disebabkan oleh surplus dalam neraca transaksi berjalan meskipun neraca modal masih mencatat defisit. Surplus pada transaksi berjalan disebabkan oleh pertumbuhan ekspor yang cukup tinggi terutama oleh masih tingginya harga di pasar internasional. Namun demikian, perkembangan ekspor nonmigas
4
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
perlu mendapat perhatian mengingat volume ekspor nonmigas secara kumulatif JanuariAgustus 2003 (data sementara) mengalami penurunan sebesar 8,4% apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, impor masih mencatat kenaikan yang cukup tinggi didorong oleh masih kuatnya permintaan domestik terutama untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang masih meningkat. Konsumsi rumah tangga diperkirakan masih merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2003. Sementara itu, kegiatan investasi meskipun telah menunjukkan indikasi perbaikan, tetapi perkembangannya belum setinggi yang diperkirakan semula. Kegiatan konsumsi yang masih meningkat tersebut antara lain didukung oleh kemudahan pembiayaan dan kecenderungan suku bunga yang menurun. Berbeda dengan dua triwulan sebelumnya, konsumsi pemerintah pada triwulan III-2003 diperkirakan mulai meningkat dan memberikan kontribusi positif terhadap kegiatan di sektor riil. Hal ini antara lain tercermin dari realisasi pengeluaran pemerintah pada dua bulan pertama triwulan III-2003 yang meningkat cukup besar. Peningkatan pengeluaran pemerintah yang tinggi pada periode tersebut dikarenakan realisasi pembayaran subsidi, realisasi pembiayaan proyek-proyek yang mengalami keterlambatan penyelesaian dari rencana pada triwulan sebelumnya, dan realisasi alokasi dana untuk daerah. Sementara itu, investasi yang semula diharapkan akan memberikan dorongan yang berarti terhadap pertumbuhan PDB, perkembangannya sampai dengan triwulan III-2003 masih menghadapi sejumlah kendala, seperti gangguan keamanan dan meningkatnya biaya produksi terutama akibat kenaikan biaya energi (listrik dan BBM) dan upah buruh. Secara sektoral, seluruh sektor ekonomi diperkirakan masih akan mencatat pertumbuhan tahunan pada triwulan III-2003. Sektor industri pengolahan diperkirakan akan memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB. Sektor lainnya yang memberikan sumbangan besar adalah perdagangan, hotel dan restoran dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Peningkatan kegiatan di sektor industri pengolahan ini mengikuti faktor musimannya yang meningkat pesat pada triwulan ke tiga dalam rangka mengantisipasi meningkatnya permintaan sehubungan dengan pelaksanaan hari besar keagamaan dan tahun baru. Sejalan dengan peningkatan di sektor industri tersebut, kegiatan di sektor perdagangan dan sektor pengangkutan yang merupakan mata rantai dari proses produksi-distribusikonsumen akhir diperkirakan juga akan mencatat pertumbuhan yang tinggi. Namun demikian, perkembangan ekonomi secara sektoral ini perlu mendapat perhatian mengingat peran industri pengolahan yang meskipun masih dominan dalam pertumbuhan PDB tetapi trend kontribusinya cenderung semakin menurun. Indikator yang mencerminkan stagnasi perkembangan di sektor industri tercermin dari survei indeks produksi industri manufaktur yang rendah, bahkan pertumbuhan tahunannya pada beberapa bulan terakhir tercatat penurunan. Dalam kondisi produksi di dalam negeri yang
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan III – 2003
5
terbatas, untuk memenuhi permintaan domestik yang masih meningkat, pasokan yang berasal dari impor memegang peranan yang penting. Tabel 1.1. Indikator Makroekonomi
Indikator
2002 Trw III Trw IV
Trw I
2003 Trw II Trw III
IHK (%) Triwulanan (quarter to quarter) Tahunan (year on year)
1,65 10,48
3,63 10,03
0,77 7,12
0,46 6,62
1,24 6,20
PDB (% pertumbuhan, tahunan) Dari sisi permintaan : Konsumsi Total Investasi Total Dari sisi produksi : Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan
4,3
3,8
3,4
3,8*
4,1*
5,2 4,6
5,9 8,9
4,2 6,9
5,1* 4,9*
5,4* 4,9*
3,8 2,7 4,2
2,4 5,7 2,4
4,3 -0,8 2,3
1,6* 4,4* 3,0*
1,1-1,6* 3,9-4,4* 3,2-3,7*
11,4 20,2 2.427 131.290
4,3 -2,1 1.291 131.343
5,0* 6,4* 1.568* 129.466
14,9* 11,0* 1.519* 130.585
0.7* -5.1* 2.193* 129.546
123.869 181.791 859.706
138.250 191.939 883.908
125.211 181.239 877.776
132.403 195.219 894.554
136.471 201.859** 905.499**
13,22 12,86 13,50 18,74 18,11
12,93 12,44 12,81 18,25 17,82
11,40 12,70 11,90 18,08 17,85
9,53 6,99 10,31 17,41 17,43
8,66 9,71 8,17 16,36 16,7
9.000 84,1 8.951
8.950 86,1 9.045
8.693 87,2 8.902
8.275 92,4 8.488
8.395 88,6 8.431
Sektor eksternal : Ekspor non migas (fob, % pertumbuhan tahunan) Impor non migas (c&f, % pertumbuhan tahunan) Transaksi berjalan (juta USD) Posisi Utang LN (juta USD) Besaran Moneter (miliar RP) M0 M1 M2 Suku bunga (%)1) SBI 1 bulan PUAB (overnight) Deposito 1 bulan Kredit modal kerja Kredit investasi Kurs (Rp/USD), nominal akhir periode Real Effective Exchange Rate (REER)2), 1995=100 Kurs rata-rata
1) Rata-rata tertimbang akhir periode 2) REER adalah indeks nilai tukar rupiah per mata uang negara mitra dagang yang dibobot dengan total ekspor dan impor dari 8 mitra dagang utama Indonesia. * : Perkiraan Bank Indonesia * : Angka bulan Agustus 2003 Sumber : BPS (diolah0 dan Bank Indonesia
2. Evaluasi Kebijakan dan Perkembangan Moneter Pada triwulan III-2003, secara umum perkembangan besaran-besaran moneter menunjukkan perkembangan yang stabil dan terkendali. Seiring dengan masih rendahnya inflasi dan stabilnya nilai tukar rupiah, suku bunga instrumen moneter dapat menurun
6
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
dengan kecepatan yang lebih lambat dari triwulan sebelumnya. Seentara perkembangan uang beredar juga masih terkendali dibawah target indikatifnya. Selama triwulan III-2003, perkembangan uang primer menunjukkan peningkatan namun masih berada dalam kisaran target indikatifnya. Posisi uang primer meningkat sebesar Rp4,07 triliun dari triwulan sebelumnya hingga menjadi Rp136,47 triliun. Perkembangan ini terutama disebabkan oleh peningkatan uang kartal seiring dengan meningkatnya permintaan uang untuk kebutuhan transaksi. Sejalan dengan stabilnya nilai tukar rupiah dan penurunan laju inflasi, kecenderungan penurunan suku bunga SBI masih terus berlanjut meskipun dengan laju yang semakin menurun. Ini tampak dari pelaksanaan lelang SBI melalui OPT yang diwarnai oleh melambatnya penurunan suku bunga SBI. Selama triwulan III-2003, suku bunga SBI 1 bulan turun 87 bp menjadi 8,66% dan SBI 3 bulan turun 143 bp menjadi 8,75%. Penurunan ini lebih lambat dari triwulan sebelumnya yang yang mengalami penurunan masing–masing sebesar 187 bp dan 179 bp. Sementara itu, suku bunga FASBI diturunkan 2 kali sebesar 125 bp menjadi 8,50%. Perlambatan akselerasi penurunan suku bunga SBI tersebut terkait dengan upaya Bank Indonesia untuk menjaga kisaran suku bunga yang aman untuk mencapai sasaran inflasi ke depan. Trend penurunan suku bunga instrumen moneter tersebut telah berdampak langsung pada suku bunga dana, namun belum sepenuhnya berpengaruh terhadap suku bunga kredit perbankan yang terkendala dengan pemenuhan target keuntungan bank. Penurunan suku bunga SBI dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI) yang terjadi direspon secara bervariasi oleh suku bunga perbankan. Searah dengan perkembangan suku bunga instrumen moneter, suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) baik rupiah dan valas menunjukkan penurunan. PUAB over night pagi dan sore turun masing-masing sebesar 181 bps dan 411 bps menjadi 9,71%. Penurunan suku bunga ini sejalan dengan besarnya likuiditas di pasar uang dan terbatasnya penempatan instrumen pasar uang. Perlambatan penurunan suku bunga SBI tersebut juga telah ditransmisikan ke penurunanan suku bunga kredit khususnya pada kredit modal kerja dan kredit investasi sekitar 105 bp dan 73 bp. Sementara itu, suku bunga deposito 1 dan 3 bulan juga menurun secara signifikan masing-masing berkisar 214 bp dan 197 bp.
3. Evaluasi Kebijakan dan Perkembangan Perbankan Selama triwulan III-2003 kebijakan bidang perbankan tetap difokuskan pada berbagai langkah untuk memperkokoh kondisi perbankan nasional sebagai kesinambungan program restrukturisasi perbankan. Program tersebut difokuskan untuk melanjutkan upaya program penyehatan lembaga perbankan dan pemantapan ketahanan sistem perbankan
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan III – 2003
7
antara lain melalui pengembangan infrastruktur, peningkatan good corporate governance, serta penyempurnaan pengaturan dan pemantapan sistem pengawasan bank. Dalam kerangka penyempurnaan ketentuan perbankan, dalam triwulan III-2003 Bank Indonesia telah mengeluarkan empat ketentuan yakni : (i) Ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Market Risk), (ii) Ketentuan tentang Posisi Devisa Neto (PDN); (iii) Ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Dana Pendidikan dan Pelatihan Untuk Pengembangan SDM BPR; (iv) Ketentuan tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum. Sejalan dengan kondisi moneter yang kondusif, indikator-indikator perbankan nasional selama triwulan III-2003 menunjukkan perkembangan yang positif. Fungsi intermediasi perbankan sedikit membaik meskipun perlu upaya-upaya yang lebih optimal lagi yang tercermin dari peningkatan dana pihak ketiga (DPK) dan kredit yang disalurkan. Pertumbuhan DPK dan kredit relatif stabil. Indikator-indikator perbankan lain juga masih menunjukkan belum terdapatnya indikasi yang berpotensi mengancam stabilitas sistem perbankan antara lain ditunjukkan dari peningkatan aset bank, peningkatan net interest income (NII), relatif rendahnya non performing loans (NPLs) dan stabilnya permodalan, serta meningkatnya rasio keuntungan bank. Sampai dengan triwulan III-2003 (Agustus 2003), jumlah bank yang tercatat 139 bank dengan total aset sebesar Rp1.119,1 triliun. Total DPK yang dihimpun perbankan telah mencapai Rp858 triliun, sementara kredit yang disalurkan mencapai sebesar Rp447,2 triliun. Perkembangan kredit baru sampai dengan triwulan III-2003 (Januari-Juli 2003) tercatat sebesar Rp46,5 triliun dengan kredit investasi sebesar Rp13,1 triliun, kredit modal kerja sebesar Rp24,8 triliun dan kredit konsumsi sebesar Rp8,6 triliun. Pertumbuhan kredit tertinggi masih terjadi pada kredit konsumsi meskipun pangsa kredit terbesar masih pada kredit modal kerja (KMK). Permintaan KMK menunjukkan peningkatan terutama yang berasal dari debitur-debitur lama. Dengan perkembangan tersebut, loan to deposit ratio (LDR) perbankan nasional tercatat sebesar 41,8%. Belum optimalnya LDR ini juga disebabkan oleh maraknya alternatif sumber pembiayaan melalui penerbitan obligasi oleh perusahaanperusahaan korporasi terutama oleh perusahaan dan debitur bank besar. Di sisi NPL menunjukkan bahwa NPL gross perbankan Indonesia membaik dibanding triwulan sebelumnya yakni dari 8,0% menjadi 7,8%. Sementara NPL neto masih tetap rendah yakni 1,1%. Secara umum, rendahnya NPL tersebut disebabkan karena adanya upaya penurunan NPL bank yang dilakukan melalui pembentukan PPAP yang tinggi. Dibandingkan dengan rasio NPL gross negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand, maka rasio NPL gross perbankan nasional merupakan yang paling baik. NPL gross negara Thailand, Filipina, dan Malaysia tercatat masing-masing 15,8%, 15,2%, dan 9,3%.
8
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
Membaiknya kinerja perbankan juga tercermin dari peningkatan NII dari rata-rata Rp12 triliun pada triwulan II-2003 menjadi rata-rata sebesar Rp12,4 triliun pada triwulan III-2003. Peningkatan NII tersebut terutama dipengaruhi oleh kecenderungan penurunan suku bunga dana pihak ketiga. Di sisi efisiensi operasional bank juga menunjukkan perbaikan yang tercermin dari rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) dan rasio efisiensi biaya perbankan. Rata-rata permodalan bank masih di atas kebutuhan minimum yang ditunjukkan dari CAR agregat triwulan II-2003 yang mencapai sebesar 24%.
4. Evaluasi Kebijakan dan Perkembangan Sistem Pembayaran Secara umum perkembangan aktivitas dalam sistem pembayaran baik tunai maupun non tunai dalam triwulan III-2003 mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi. Di sisi pembayaran tunai, indikator pengedaran uang dalam triwulan III-2003 menunjukkan pertumbuhan yang positif sejalan dengan penurunan suku bunga SBI dan relatif stabilnya nilai tukar rupiah selama beberapa bulan terakhir. Sesuai dengan arah kebijakan di sektor sistem pembayaran tunai, Bank Indonesia berupaya meningkatkan penyediaan uang untuk memenuhi peningkatan kebutuhan masyarakat akan uang kartal seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat khususnya menjelang datangnya bulan Ramadhan. Posisi Uang Yang Diedarkan (UYD) mengalami peningkatan sebesar 4,71% yaitu dari Rp92,19 triliun pada triwulan II-2003 menjadi Rp96,53 triliun pada triwulan III-2003. Dalam rangka mengantisipasi meningkatnya permintaan masyarakat, Bank Indonesia telah meningkatkan persediaan uang kartal sebesar 4,5% dari triwulan sebelumnya menjadi Rp84,93 triliun. Jumlah persediaan uang kartal ini diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat selama sekitar 5 bulan ke depan. Sementara itu, kebijakan di sektor sistem pembayaran non tunai diarahkan pada penciptaan sistem pembayaran yang efektif, efisien, aman dan handal melalui langkahlangkah untuk mengurangi risiko pembayaran, meningkatkan efisiensi dan kualitas, serta kapasitas layanan sistem pembayaran. Beberapa upaya yang ditempuh antara lain dengan melanjutkan langkah-langkah melalui penyusunan pengaturan transfer dana dan pengembangan nota kredit paperless. Aktivitas sistem pembayaran non tunai mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini tercermin dari meningkatnya nilai transaksi dan jumlah transaksi Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) yang mencapai Rp5,297 triliun dengan jumlah transaksi 1.094 ribu atau meningkat masing masing 5,85% dan 9,3% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sementara itu dilihat dari aktivitas kliring harian, nilai rata-rata traksaksi mengalami penurunan sebesar 2,17%, sedangkan jumlah
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan III – 2003
9
nilai rata-rata nominal harian meningkat 2,45%. Dengan demikian nominal dan jumlah rata-rata transaksi harian kliring masing-masing menjadi Rp4,5 triliun dan 293 ribu warkat pada triwulan III-2003.
5. Prospek Ekonomi dan Moneter serta Arah Kebijakan Ke Depan 5.1. Prospek Ekonomi Makro Prospek ekonomi pada triwulan IV-2003 diperkirakan akan membaik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Mencermati perkembangan indikator eksternal, permasalahan yang membayangi prospek ekonomi di paro pertama tahun 2003 diprakirakan telah berangsur mereda di triwulan mendatang. Dari sisi domestik, meningkatnya kepercayaan konsumen dan membaiknya pembiayaan investasi diprakirakan akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, upaya Pemerintah untuk memberikan stimulus fiskal yang lebih besar baik melalui anggaran pembangunan maupun pengeluaran dana kontijensi diperkirakan masih akan berlanjut yang antara lain tercermin dari tingginya rencana pengeluaran Pemerintah dalam triwulan mendatang. Secara umum, kinerja ekonomi Indonesia dalam triwulan mendatang lebih banyak didukung oleh perkembangan ekonomi domestik. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2003 diperkirakan meningkat, sehingga untuk tahun 2003 akan mencapai perkiraan awal tahun sekitar 3,5-4% (yoy). Konsumsi tetap menjadi sumber pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Didukung oleh membaiknya tingkat kepercayaan investor dan meningkatnya pembiayaan dari penerbitan saham/obligasi korporat, pertumbuhan investasi diprakirakan sedikit meningkat. Sementara itu peningkatan pertumbuhan ekspor masih terbatas mengingat pertumbuhan ekonomi beberapa negara maju relatif belum mengarah pada perbaikan yang berarti, disamping meningkatnya persaingan di pasar global. Seluruh sektor kegiatan ekonomi diperkirakan akan meningkat dengan sumbangan terbesar berasal dari sektor industri pengolahan. Untuk tahun 2003, pertumbuhan PDB terutama masih akan ditopang oleh pertumbuhan pada industri pengolahan, sektor perdagangan, restoran dan hotel, serta sektor konstruksi/bangunan.
5.2. Prospek Nilai Tukar dan Inflasi Pada triwulan IV-2003, tekanan inflasi diperkirakan mulai meningkat, sehubungan meningkatnya permintaan, khususnya kelompok bahan makanan dan sandang, berkaitan dengan hari besar keagamaan dan tahun baru. Kecenderungan mulai meningkatnya tekanan inflasi juga diindikasikan oleh perkembangan Leading Indicator Inflasi (LII) yang meningkat. Namun demikian, masih membaiknya ekspektasi inflasi khususnya dari sisi produsen dan
10
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
rendahnya dampak administered price, terutama bersumber dari penundaan kenaikan TDL, diperkirakan tidak akan menyebabkan inflasi yang tinggi. Dengan asumsi tersebut di atas, inflasi IHK pada akhir tahun 2003 diperkirakan masih akan rendah, yakni pada kisaran 5%-6% (yoy) dibawah sasaran yang ditetapkan pada awal tahun. Dalam triwulan terakhir di tahun 2003, nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan bergerak relatif stabil dengan kecenderungan menguat. Stabilitas nilai tukar rupiah diperkirakan akan ditopang oleh perkembangan kinerja Neraca Pembayaran Indonesia yang sampai triwulan IV-2003 diperkirakan masih relatif cukup kuat dan terpeliharanya keseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valas. Di sisi lain, meningkatnya kepercayaan investor berkaitan dengan meningkatnya credit rating Indonesia, berlanjutnya ekspektasi depresiasi terhadap dollar AS secara regional dan global, serta perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri diperkirakan dipandang masih menguntungkan merupakan faktor positif yang diperkirakan dapat mendorong aliran masuk modal asing ke pasar keunagan domestik. Namun demikian, terdapat beberapa faktor risiko domestik yang berpotensi dapat menimbulkan tekanan depresiatif terhadap rupiah antara lain masalah potensi ekses likuiditas perbankan dan kondisi politik dalam negeri menjelang Pemilu.
5.3. Arah Kebijakan Triwulan Mendatang Memperhatikan beberapa tantangan ekonomi ke depan, prospek ekonomi-moneter ke depan, dalam triwulan mendatang arah kebijakan Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran sebagai berikut : Di bidang moneter, kebijakan moneter tetap diarahkan pada upaya mencapai sasaran inflasi jangka menengah dengan tetap memperkuat proses pemulihan ekonomi dengan mendorong pertumbuhan ekonomi. Terkait dengan hal tersebut, ruang bagi penurunan suku bunga tetap terbuka yang dilakukan secara berhati-hati meskipun dengan laju yang semakin melambat dan disesuaikan dengan upaya pencapaian sasaran inflasi. Di sisi lain, untuk mengurangi fluktuasi nilai tukar rupiah dan sekaligus untuk menyerap kelebihan likuiditas dari ekspansi keuangan Pemerintah, intervensi di pasar valas akan dilakukan sesuai kebutuhan. Di bidang perbankan, Di bidang perbankan, kebijakan diarahkan untuk melanjutkan upaya-upaya untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan dan perbankan serta mendorong peningkatan fungsi intermediasi perbankan dan efisiensi operasional melalui moral suasion kepada bank-bank. Di bidang sistem pembayaran tunai, kebijakan tetap diarahkan pada upaya untuk memenuhi uang kartal sesuai dengan kebutuhan masyarakat khususnya menyambut harihari besar keagamaan dan tahun baru. Langkah ini dilakukan melalui peningkatan
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan III – 2003
11
efektivitas peredaran uang. Di samping itu, Bank Indonesia terus melanjutkan upaya-upaya penanggulangan uang palsu antara lain melalui perluasan jejaring dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait pada langkah penanggulangan uang palsu. Di bidang sistem pembayaran non tunai, kebijakan tetap diarahkan pada upaya pengurangan risiko dan peningkatan efisiensi sistem pembayaran yakni antara lain melalui langkah-langkah melanjutkan perluasan implementasi sistem BI-RTGS, pengembangan Nota Kredit paperless, dan penyusunan pengaturan Transfer Dana.
12
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI “CAPITAL FLIGHT” DI INDONESIA (Period Kuartal I 1990 s.d. Kuartal IV 2000) Navik Istikomah *)
Abstract : The purpose of this research is to identify the problems of the effect of economic variables, that is, changes of exchange rates Rp/US$, external debt, economic growth, inflation, differences of interest rate of IndonesianAmerica, Foreign Direct Investment, political stability condition, on capital flight in Indonesia, for period 1st quarter, 1990 – 4th quarter, 2000. The determinants of capital flight in Indonesia use cointegration equation model of Likelihood Johansen’s. The estimation completed by time series data validity, that is, unit-roots-test and co-integration-test. The result of research indicate that independent variable on model, that is, changes of exchange rates Rp/US$, external debt, economic growth, inflation, differences of interest rate of Indonesian-America, Foreign Direct Investment, and political stability condition, on the long run could explain changes of capital flight about 58,85 percent and altogether significant (computed-F = 7,1520 > value-F = 3,192). Partially, knowed that all variable on model, exceptly inflation and differences of interest rate of Indonesia-America, to have significant influence on capital flight in Indonesia. All variable sufficient stationery-condition at first different and the model could cointegrated at first different. Keywords: Capital Flight and determinant factors, and Cointegration of Johansen’s Likelihood
1) The Author is the student of Postgreduated of Padjadjaran University
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi “Capital Flight” di Indonesia
13
1. Pendahuluan
S
ejalan dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin pesat, dimana kebutuhan ekonomi antar negara juga semakin saling terkait, telah meningkatkan arus perdagangan barang, uang, serta modal antar negara-negara sedang berkembang, Kondisi ini antara lain didorong oleh adanya peningkatan kapitalisasi pasar keuangan, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, dan suku bunga tinggi (terutama di negara berkembang karena suku bunga di negara maju umumnya relatif lebih rendah). Pesatnya kapitalisasi dan mobilisasi modal antar negara tersebut juga merupakan wahana untuk melakukan diversifikasi resiko oleh investor. Hal ini dilakukan sebagai upaya menghadapi ketidakpastian dari adanya gejolak ekonomi, sosial, dan politik di berbagai negara, sehingga para investor dapat terhindar atau meminimalkan resiko dalam menginvestasikan dananya. Bagi negara berkembang, pesatnya aliran modal merupakan kesempatan guna memperoleh pembiayaan pembangunan ekonomi. Bagaimanapun, penanaman modal (domestik maupun asing) ini merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman modal (sumber pembiayaan modal) mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, yang mencerminkan marak-lesunya pembangunan. Sehingga, dalam upaya menumbuhkan perekonomian, setiap negara berusaha menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi. Sasaran yang dituju bukan hanya masyarakat atau kalangan swasta dalam negeri, tapi juga investor asing. Penggairahan iklim investasi di Indonesia dimulai dengan diundangkannya UndangUndang No.1/Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang No.6/Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pemberlakuan kedua Undang-Undang ini membawa dampak bagi investasi di Indonesia yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Adanya pemberlakuan kedua undang-undang tersebut diatas, telah menciptakan iklim investasi (penanaman modal) yang kondusif selama proses Pembangunan Ekonomi Indonesia yang dimulai sejak Pelita I. Bisa dikatakan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia selama periode tersebut telah mengalami suatu proses pembangunan ekonomi yang spektakuler pada tingkat makro. Keberhasilan ini dapat diukur dengan sejumlah indikator makro. Sepanjang Pembangunan Jangka Panjang I (PJP I) sampai awal tahun 1990-an inflasi terkendali pada persentase satu digit, laju pertumbuhan mencapai rata-rata 6,8 persen pertahun. Neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus sampai tahun 1996. Perkembangan investasi sepanjang PJP I melebihi perkembangan pertumbuhan produksi nasional, terhitung secara kumulatif telah disetujui 9.237 proyek PMDN dan 3.383 proyek PMA. Secara makro, fundamental ekonomi Indonesia dimasa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (World Bank, 1994:Bab2).
14
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
Tabel 1.1 Indikator Utama Ekonomi Indonesia Indikator GDP (%) Inflasi (%) Pengangguran (%) Neraca berjalan* Neraca perdagangan* Neraca modal* Pemerintah (neto)* Swasta (neto)* PMA (neto) * Cadangan Devisa** Nilai Tukar (Rp/$) Capital Flight a)
1990 7.20 9.95 8.00 -3.24 5.400
1991 1992 7.00 9.52 8.10 -4.392 4.911
6.50 4.94 8.00 -3.122 7.986
1993 6.50 9.77 3.10 -2.298 7.377
1994 1995 7.30 9.24 4.40 -2.960 8.039
8.20 8.64 7.20 -6.760 6.252
1996
1997
1998
7.80 4.70 6.47 11.05 4.90 8.50 -7.801 -2.103 6.219 13.458
-13.20 77.63 8.80 4.097 17.647
1999 2000 0.31 2.01 8.83 5.783 22.689
4.13 4.71 7.80 7.627 25.528
4.75 5.80 18.10 17.90 4.01 10.60 10.90 2.54 -3.87 -4.571 -7.393 0.633 1.419 1.112 0.743 0.307 0.336 -0.520 2.880 9.971 4.719 3.769 4.113 4.410 5.359 5.219 3.701 10.250 11.510 -0.388 -13.84 -4.84 -11.16 1.092 1.482 1.777 2.003 2.108 4.346 6.194 4.667 -0.356 -1.122 -4.557 8.661 9.868 11.611 12.352 13.158 14.674 19.125 17.427 17.359 20.123 27.100 1843 1950 2030 2087 2161 2249 2349 5543 14900 7100 9595 1076,75 -1811,42 -359,685 1766,683 4560,09 563,075 -7187,45 2751,28 5870,219 -4541,02 87.825,32
Keterangan : a) Hasil perhitungan menggunakan pendekatan World Bank, Data dalam juta US$ * dalam milyar US$ ** dalam juta US$ Sumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia; Statistik Keuangan Internasionals
Sayangnya, kemampuan menciptakan iklim investasi dan iklim ekonomi Indonesia yang kondusif tersebut tidak mampu dipertahankan. Sejak bulan Juli 1997, ketika krisis moneter yang merupakan contagion effect dari krisis moneter di Thailand mulai melanda Indonesia. Krisis moneter ini telah menyebabkan ketidakstabilan politik dan krisis sosial di masyarakat yang telah menyebabkan keberhasilan pembangunan ekonomi yang dicapai sebelumnya tidak mampu lagi dipertahankan. Akibatnya indikator-indikator ekonomi Indonesia selama krisis moneter berlangsung memperlihatkan suatu gambaran ekonomi Indonesia yang terburuk selama 32 tahun terakhir. Lepi T. Tarmidi (EKI : 1999) mengemukakan bahwa penyebab krisis moneter di Indonesia bukanlah disebabkan fundamental ekonomi yang lemah, tetapi karena merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar yang tajam. Utang luar negeri swasta jangka pendek sejak awal 1990-an telah terakumulasi sangat besar yang sebagian besar tidak di-hedge. Hal ini menambah tekanan nilai tukar rupiah, karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang jatuh tempo beserta bunganya. Bagaimanapun, adanya ketidakstabilan politik dan krisis sosial telah menjadi pendorong berkurangnya kepercayaan masyarakat luas terhadap nilai rupiah. Ketidakpercayaan tersebut didasari oleh ekspektasi masyarakat akan makin melemahnya nilai tukar rupiah dimasa depan karena ditunjang oleh semakin tidak stabilnya iklim ekonomi dan investasi. Dalam kondisi demikian, akan tidak menguntungkan bagi seorang pemodal (investor) untuk memegang rupiah dan melakukan investasi (penanaman modal)
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi “Capital Flight” di Indonesia
15
di Indonesia. Karena bagaimanapun, resiko memegang mata uang rupiah dan kegiatan investasi di dalam negeri dalam kondisi demikian akan sangat merugikan. Suatu pemandangan yang wajar apabila kemudian investor lebih memilih untuk memegang mata uang dolar dibandingkan rupiah, karena disamping memiliki resiko yang relatif kecil juga terdapat sejumlah return yang menguntungkan, akibatnya nilai dollar AS semakin ter-apresiasi terhadap rupiah. Kondisi ini diyakini sebagai satu penyebab terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri sejak awal Desember 1997 hingga awal Mei 1998 (World Bank, 1998: 14). Kerusuhan besar-besaran pada pertengahan Mei 1998 yang ditujukan terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi di Indonesia, akibatnya terjadi pelarian modal ke luar negeri (lihat tabel 1.1). Pada sisi neraca modal, terjadi aliran modal keluar (capital outflow) secara mendadak dalam jumlah yang cukup besar. Pada awal krisis moneter Indonesia, yaitu tahun 1998, neraca modal bernilai negatif sebesar US$ 3,87 juta, terdiri atas penanaman modal langsung senilai US$ 0,356 juta dan aliran modal swasta senilai US$ –13,84 juta. Pada tahun 1998, sebagaimana dalam tabel 1 diatas, telah terjadi pelarian modal (capital flight) bernilai US$ 55.469 juta. Berdasarkan data dari UNCTAD, diketahui bahwa Indonesia mengalami kenaikan investasi negatif sebesar hampir sepuluh kali lipat antara tahun 1998 dan 1999. Investasi negatif disini adalah foreign direct investment (FDI) outflow, yaitu PMA asal Indonesia yang menanamkan modalnya di luar negari. Pada tahun 1998, investasi negatif tersebut berjumlah US$360 juta, namun pada tahun 1999 melonjak drastis menjadi US$ 3,3 milyar. Mengingat realisasi PMA di Indonesia pada tahun 1999 sekitar US$ 2,1 milyar, hal ini berarti terdapat hampir US$5,5 milyar (sekitar Rp 44 trilyun) dana investor Indonesia yang ditanam di luar negeri, atau setara dengan 3,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 1999. Lebih buruk lagi , investasi negatif Indonesia tersebut ternyata paling besar di dunia, dimana menurut UNCTAD hanya ada dua negara lain yang mengalami investasi negatif yaitu Albania dan Selandia Baru (Dradjat H. Wibowo : 2001). Aliran modal keluar dari Indonesia dipengaruhi antara lain oleh tinggi rendahnya suku bunga aset finansial luar negeri, tingkat inflasi domestik, dan perubahan nilai tukar mata uang domestik (Cuddington : 1986). Dengan mengembangkan penelitian dari beberapa studi empiris, faktor-faktor yang mempengaruhi pelarian modal di Indonesia yaitu nilai tukar rupiah (REER), Perbedaan tingkat suku bunga Indonesia dan Amerika, utang luar negeri, tingkat pertumbuhan PDB riil, Inflasi dalam negeri, investasi asing langsung, dan unsur ketidakpastian. Dengan mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi pelarian modal (capital flight) maka kita dapat menaksir berapa besarnya jumlah pelarian modal yang keluar dari Indonesia.
16
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
Dengan latarbelakang tersebut, tulisan ini bertujuan untuk : 1. Mengestimate besarnya capital flight yang terjadi di Indonesia selama periode penelitian, yaitu dari kuartal I 1990 s.d. kuartal IV 2000. 2. Melakukan pengujian terhadap variabel ekonomi yang diidentifikasikan memiliki pengaruh terhadap capital flight di Indonesia.
2. Landasan teori Capital flight sebenarnya bukan hal baru di kalangan para ekonom. Secara teoritis capital flight telah banyak dibicarakan. Namun sampai saat ini belum ada definisi capital flight yang dapat diterima secara umum. Tetapi beberapa tahun ini penggunaan kata capital flight sering dikaitkan pada negara-negara sedang berkembang, dimana terjadi sejumlah besar modal keluar (capital outflow) yang diiring oleh adanya peningkatan hutang luar negeri. Pendapat mengenai capital flight dikemukakan oleh oleh Mohsin Khan - Ulhaque (1987 : 3), Cuddington (1986), Dooley (1988), Bank Dunia dan Susanne Erbe (1985), Morgan Guaranty Trust Company (1986), dan Cline (1987). Masing-masing ahli menggunakan konsepnya sendiri dalam membahas dan menunjukkan tentang konsep capital flight dan besarnya tingkat capital flight disuatu negara. Pendapat yang paling ekstrim dikemukakan oleh Mohsin Khan - Ulhaque (1987) yang mendefinisikan capital flight sebagai semua arus modal keluar (capital outflow) dari negara sedang berkembang dengan tidak memperhatikan latar belakang terjadinya arus modal tersebut dari dalam negeri dan jenis modal tersebut. Diartikan sebagai capital flight karena pada umumnya modal di negara sedang berkembang kurang (langka), maka arus modal keluar dapat berarti menghilangkan potensi sumber daya modal yang tersedia, serta pada gilirannya menghilangkan pula potensi pertumbuhan ekonomi. Sementara Cuddington (1986) mengartikan capital flight sebagai semua arus modal keluar jangka pendek (short term capital outflow) baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat. Arus modal keluar jangka pendek ini dapat disebabkan oleh adanya ketidakpastian situasi ekonomi atau politik di dalam negeri maupun untuk tujuan spekulasi. Hampir tidak mungkin memastikan jumlah capital flight dari suatu negara, terutama bagi negara-negara yang menganut sistem devisa bebas. Bahkan untuk negara yang menganut devisa ketat sekalipun, seperti Taiwan, arus modal tetap saja keluar tanpa diketahui oleh otoritas moneter negara tersebut. Oleh karena itu, metode yang lebih tepat untuk menggrafikkan besarnya capital flight dari suatu negara adalah dengan melakukan estimasi. Tetapi karena, seperti yang telah
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi “Capital Flight” di Indonesia
17
dijelaskan diatas, terdapat perbedaan pendapat dari para ahli maka tidak mengherankan jika terdapat perbedaan pula dalam metode estimasi capital flight dari suatu negara. Secara garis besar terdapat tiga konsep pendekatan yang berbeda terhadap pengukuran capital flight, yaitu :
2.1. Pendekatan Komputasi Neraca Pembayaran Pendekatan ini merupakan pendekatan tradisional yang memfokuskan pada komponen neraca pembayaran. Terdapat anggapan bahwa pos net error and omission meningkat karena kegagalan mengestimasi berbagai pergerakan modal swasta jangka pendek. Akibatnya, pos ini ditambahkan pada arus modal jangka pendek dalam upaya untuk memperoleh estimasi capital flight. Pendekatan ini digunakan oleh Cuddington (1986) dalam mengestimasi capital flight, dimana rumusnya secara sistematis sebagai berikut : CF = - G – C …………………………… (1) dimana, CF = Capital flight C = Arus Modal Jangka Pendek G = Error and Omission
2.2. Pendekatan Residual. Pendekatan ini mengestimasi capital flight sebagai residual. Adapun yang menggunakan pendekatan ini dalam metode estimasinya adalah Bank Dunia (1985), Morgan Guaranty (1986), dan Dooley (1988). Bank Dunia (1985) dalam salah satu bagian dari World Development Report mengestimasikan capital flight dengan cara mencari selisih (perbedaan) antara arus modal masuk dengan defisit transaksi berjalan ditambah perubahan cadangan devisa otoritas moneter pada periode tertentu. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : CF = H + B + A + F ……………………. (2) dimana, CF = Capital flight H = Perubahan hutang luar negeri B = Investasi langsung swasta bersih A = Surplus transaksi berjalan F = Perubahan cadangan devisa
18
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
2.3. Pendekatan Deposito Bank Pendekatan ini merupakan arus modal keluar yang meliputi pengukuran terhadap kenaikan dalam deposito perbankan luar negeri yang tercatat (recorded foreign bank deposits) yang dimiliki oleh penduduk dalam negeri. Namun, seringkali jumlah deposito yang tercatat pada bank-bank lebih kecil dari estimasi arus modal keluar resident secara kumulatif, atau dengan kata lain, statistik untuk bank deposito sering meng-underestimate jumlah dana yang terdapat diluar. Hal ini disebabkan oleh tiga hal yaitu : Pertama, sebagian dana disimpan pada deposito bank yang terletak di luar major (reporting) financial center. Kedua, kewarganegaraan dari depositor tidak selalu diketahui (dilaporkan) secara benar. Ketiga, ada dana yang disimpan dalam bentuk aset lain selain deposito.
3. Metodelogi Penelitian dan Spesifikasi Model 3.1. Metodelogi Penelitian Studi-studi sebelumnya tentang capital flight telah dilakukan oleh Cuddington (1986), Conesa (1987), Dooley (1988), Onwioduokit,E.A. (2001), Pastor (1990), dan Moh. Ikhsan Mahyudin (1989). Penelitian ini merupakan perluasan dari variabel-variabel yang digunakan didalam model Cuddington (1986) dan Moh. Ikhsan Mahyudin (1989) dan dilakukan dengan analisa time series menggunakan Kointegrasi Johansen’s, dengan periode waktu dari kuartal I tahun 1990 s.d. kuartal IV tahun 2000. Sebelum metode OLS diaplikasikan dalam menaksir model yang penulis gunakan, terhadap data dalam model terlebih dahulu dilakukan pengujian validitas asumsi klasik dan pengujian stasioneritas data runtun waktu (time series). Konsep terkini yang banyak dipakai untuk menguji kestasioneran data runtun waktu adalah uji akar unit (unit root test) atau dikenal juga dengan uji Dickey Fuller (DF) dan uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Jika semua variabel lolos dari uji akar unit, maka selanjtnya dilakukan uji kointegrasi (cointegrasi test) menggunakan kointegrasi Johansen’s untuk mengetahui keseimbangan atau kestabilan jangka panjang diantara variabel-variabel yang diamati dan arah pengaruh yang diberikan oleh variabel-variabel tersebut terhadap capital flight.
3.2. Spesifikasi Model Dengan mendasarkan pada model Cuddington (1986), dan model penelitian Moh. Ikhsan Mahyudin (1989), dapat dikembangkan sfesifikasi model, yang akan dijadikan sebagai model penelitian, sebagai berikut : −
−
+/−
−
+
+ /−
−
KP = f (REER, DINT , EDT , LGDP, INF , FDI , DummyKP ) ………….. (3)
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi “Capital Flight” di Indonesia
Dimana : KF = REER EDT LGDP INF DINT FDI DummyKP
19
Capital flight = Real Effective Exchange Rate = Utang Luar Negeri = Tingkat pertumbuhan GDP riil = Inflasi dalam negeri = Perbedaan tingkat suku bunga Indonesia dan AS = Investasi Asing Langsung = Dummy Kondisi Politik
(a) Real Effective Exchange Rate (REER) Kerugian aset di pasar modal tidak dapat dipisahkan dengan depresiasi mata uang yang merupakan salah satu sumber paling penting dalam ketidakpastian. Depresiasi nilai tukar berimplikasi terhadap capital flight. Secara umum investor domestik lebih merasa aman menanamkan assetnya ke luar negeri (dalam bentuk foreign assets), jika nilai tukar domestik nilainya terus melemah terhadap mata uang asing. Dalam penelitian untuk melihat apresiasi atau depresiasi nilai tukar riil rupiah terhadap dolar Amerika yaitu dengan menggunakan Real Effective Exchange Rate. Satuannya dalam bentuk indeks persentase, yang datanya diambil dari International Financial Statistics, Years Book, berbagai edisi. (b) Perbedaan Tingkas Suku Bunga Indonesia – Amerika (DINT) Perbedaan tingkat suku bunga dalam penelitian ini diukur sebagai perbedaan tingkat suku bunga dalam negeri dan tingkat suku bunga Internasional. Data tingkat suku bunga domestik yang dipakai adalah tingkat suku bunga pasar uang, sedangkan data tingkat suku bunga internasional yang digunakan adalah suku bunga pasar uang Amerika. Sumber data untuk kedua bunga tersebut diambil dari International Monetery Fund, Year Books, berbagai edisi. Jika perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri makin membesar diperkirakan akan mampu menarik arus modal masuk sehingga nilai capital flight akan berkurang. (c) Utang Luar Negeri (EDT) Utang jangka panjang terdiri dari utang pemerintah (public debt), utang swasta yang dijamin oleh pemerintah (publicly guaranteed debt), dan utang swasta yang tidak dijamin oleh pemerintah (private nonguaranteed external debt). Utang jangka pendek (short-term external debt) tidak dibedakan antara utang pemerintah dan swasta yang tidak dijamin. Besarnya utang luar negeri ini dinyatakan dalam juta dolar Amerika. Data dikumpulkan dari World Debt Table, World Bank, berbagai edisi. Besarnya utang luar negeri akan
20
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
berpengaruh secara negatif maupun positif terhadap capital flight di Indonesia. (d) Pertumbuhan Ekonomi (Laju GDP) Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia (LGDP), yaitu persentase perubahan PDB riil Indonesia yang merefleksikan kinerja ekonomi dari tahun ke tahun dan dinyatakan dalam persen. Makin tinggi LGDP makin rendah tingkat capital flight di Indonesia. (e) Tingkat Inflasi (INF) Laju inflasi Indonesia per tahun dihitung berdasarkan persentase perubahan indeks harga konsumen (IHK) dari tahun ke tahun menggunakan tahun dasar 1990, dinyatakan dalam persen. Tingkat inflasi memberikan pengaruh yang searah terhadap capital flight, semakin tinggi tingkat inflasi maka makin besar pelarian modal dari Indonesia. (f) Investasi Asing Langsung (FDI) Investasi asing langsung yaitu besarnya penanaman investasi asing langsung yang masuk ke Indonesia yang datanya diambil dari neraca pembayaran Indonesia. Investasi asing langsung dalam penelitian ini dilambangkan dengan FDI dengan satuan dalam juta dollar Amerika. Besarnya utang luar negeri akan berpengaruh secara negatif maupun positif terhadap capital flight di Indonesia. Artinya, aliran masuk dari investasi asing langsung akan mempengaruhi secara negatif terhadap capital flight. Sedangkan transfer pendapatan maupun jasa-jasa akibat investasi ini akan berarah positif terhadap capital flight. (f) Dummy Kestabilan Kondisi Politik (DummyKP) Kondisi kestabilan politik yaitu kondisi kestabilan politik dan ekonomi dalam negeri yang dapat menciptakan tingkat resiko dan kerugian dalam investasi. Dalam penelitian ini variabel kestabilan politik adalah proksi dengan menggunakan variabel dummy dengan kriteria nilai “0” untuk data Kuartalan sebelum bulan Juli 1997 (periode sebelum krisis) yang berati kondisi politik negara stabil dan penuh dengan kepastian, dan nilai “1” untuk data Kuartalan setelah bulan Juli 1997 (periode setelah krisis), yang berarti kondisi politik negara tidak stabil dan penuh dengan ketidakpastian. Pengambilan variabel dummy kondisi politik ini, untuk mengetahui bagaimana pengaruh krisis ekonomi politik selepas semester I tahun 1997. Sebelum semester I tahun 1997, kondisi politik di Indonesia relatif begitu stabil sedangkan kondisi politik setelah terjadinya krisis moneter menunjukkan kondisi yang relatif tidak stabil. Dengan memasukkan variabel dummy sebagai proxy kondisi kestabilan politik, ingin dilihat bagaimana pengaruh kondisi kestabilan politik terhadap capital flight, dan dapat membedakan kondisi sebelum kondisi krisis dengan kondisi setelah krisis.
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi “Capital Flight” di Indonesia
21
4. Hasil Estimasi 4.1. Estimasi Besarnya Capital Flight (CF) selama Periode Penelitian Capital flight yang digunakan dalam penelitian ini diukur berdasarkan pendekatan residual dari World Bank yang didefinisikan sebagai akuisisi aset external kecuali cadangan devisa resmi (official reserves) ditambah dengan error and omission yang tercatat. Ukuran penerimaan arus modal masuk (inflows of capital) dalam bentuk peningkatan investasi asing langsung (FDI) yang mencerminkan utang luar negeri, kemudian kurangi dengan defisit transaksi berjalan (current account deficit) dan cadangan devisa (official reserves). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : CFWB = ∆EDT + ∆FDI - CAD - ∆OR ………………....(4) Dimana : CFWB = Capital flight (ukuran World Bank) ∆EDT = Perubahan dalam utang luar negeri (diestimasi dari DLTF) CAD = Defisit transaksi berjalan ∆FDI = Investasi asing langsung bersih (FDI) ∆OR = Selisih cadangan devisa
Berdasarkan formula atau rumus capital flight sebagaimana diatas, penulis selanjutnya dapat melakukan estimasi terhadap besarnya capital flight yang terjadi selama periode penelitian, sebagaimana tampak pada tabel 4.1. berikut ini : Tabel 4.1. Estimasi Capital Flight Periode Kuartal I tahun 1990 sampai dengan Kuartal IV tahun 2000. (dalam US$ Juta) Periode
EDT*
OR**
FDI**
CA**
***CF
1990 Kuartal I
14523,31
4136,42
243
-676
-2135.13
Kuartal II
16486,44
3653,77
228
-816
1857.78
Kuartal III
18449,56
4004,07
227
-1208
631.82
Kuartal IV
20412,69
5351,92
395
-288
722.28
1991 Kuartal I
17165,63
6102,47
575
-1203
-4625.62
Kuartal II
18979,88
6706,98
251
-1304
156.74
Kuartal III
20794,13
6306,85
150
-932
1432.38
Kuartal IV
22608,38
6581,02
506
-821
1225.08
1992 Kuartal I
19622,81
7121,35
624
-1085
-3986.89
Kuartal II
21207,94
7594,93
517
-952
676.545
Kuartal III
22793,06
7389,79
354
-770
1374.265
Kuartal IV
24378,19
7707,52
282
27
1576.395
22
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
Lanjutan Tabel 4.1 Periode
EDT*
OR**
FDI**
CA**
***CF
1993 Kuartal I
23315,50
8011,61
552
-596
1410.77
Kuartal II
24492,83
7990,75
616
-295
1519.191
Kuartal III
25670,17
8030,36
478
-382
1233.721
Kuartal IV
26847,50
8308,15
358
-833
424.5412
1994 Kuartal I
21710,13
8348,71
520
-1230
-5887.93
Kuartal II
25207,38
7644,50
305
-585,5
3920.96
Kuartal III
28704,63
7840,99
525
-158
3667.76
Kuartal IV
32201,88
8419,44
759
-818,5
2859.3
1995 Kuartal I
26.438,06
7.982,80
978
-1.688
-6037,17
Kuartal II
29.545,69
8.296,44
765
-1.930
1628,985
Kuartal III
32.653,31
8.904,23
1.344
-1.609
2234,835
1995 Kuartal I
26.438,06
7.982,80
978
-1.688
-6037,17
Kuartal II
29.545,69
8.296,44
765
-1.930
1628,985
Kuartal III
32.653,31
8.904,23
1.344
-1.609
2234,835
Kuartal IV
35.760,94
9.330,43
1.259
-1.204
2736,425
1996 Kuartal I
30.957,53
10.342,00
1.990
-2.034
-5858,98
Kuartal II
31.809,34
10.902,60
1.024
-2.564
-1248,79
Kuartal III
32.661,16
10.870,00
1.640
-2.111
413,4125
Kuartal IV
33.512,97
12.800,90
1.540
-954
-493,088
1997 Kuartal I
32.009,25
13.816,80
2.342
-2.192
-2369,62
Kuartal II
33.365,25
14.758,60
1.267
-1.103
578,2
Kuartal III
34.721,25
14.959,90
1.392
-1.393
1153,7
Kuartal IV
36.077,25
12.401,90
-324
-201
3.389
1998 Kuartal I
33.572,53
11.913,40
-502
1.001
-1517,22
Kuartal II
36.396,84
13.589,10
367
669
2184,613
Kuartal III
39.221,16
14.437,80
-144
1.682
3513,613
Kuartal IV
42.045,47
16.239,90
-77
744
1689,213
1999 Kuartal I
37.821,25
18.638,50
-232
1.512
-5342,82
Kuartal II
37.747,75
19.810,00
-890
852
-1.283
Kuartal III
37.674,25
18.868,10
-698
1.886
2056,4
Kuartal IV
37.600,75
19.376,20
-925
1.535
28,4
2000 Kuartal I
37.993,53
21.239,70
-1.474
1.898
-1046,72
Kuartal II
36.298,34
21.560,00
-448
1.355
-1108,49
Kuartal III
34.603,16
22.344,20
-943
2.242
-1180,39
Kuartal IV
32.907,97
17.414,20
-1.686
2.503
4051,813
Sumber : * World Debt Table, World Bank, berbagai edisi ** Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, berbagai edisi *** Hasil Estimasi berdasarkan persamaan 3.1.
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi “Capital Flight” di Indonesia
23
Berdasarkan tabel 4.1. sebagaimana diatas, selanjutnya apabila diperlihatkan dalam gambar, tampak sebagaimana gambar 4.1. berikut ini :
Gambar 4.1. Perkembangan Capital Flight 6000 CF
4000 2000 0 90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
00
-2000 -4000 -6000 -8000
Periode
Sumber : Hasil Estimasi Data Persamaan 4
Sebagaimana terlihat pada tabel 4.1. dan gambar 4.1. diatas, secara umum capital flight di Indonesia memperlihatkan kecenderungan fluktuatif, terutama pasca krisis ekonomi pada tahun 1997. Capital flight yang makin meningkat ini, semuanya tidak terlepas dari kondisi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Pada gambar diatas, dapat dilihat estimasi capital flight yang tertinggi sebelum krisis terjadi pada kuartal II tahun 1994, yaitu sebesar US$ 3920,96 juta. Pelarian modal pada kuartal II tahun 1994 ini bahkan melebihi jumlah pelarian modal yang terjadi pada awal periode krisis ekonomi ditahun 1997. Beberapa hal yang turut mendorong derasnya pelarian modal pada periode tersebut disebabkan oleh serangkaian peristiwa moneter dan perbankan yang terjadi pada periode tersebut dan periode sebelumnya, yang diantaranya adalah akibat adanya penurunan suku bunga deposito yang rendah bagi deposan oleh bank-bank umum antara 8% hingga 9%, atau lebih rendah dari tingkat inflasi yang terjadi pada akhir tahun 1993. Tingkat bunga yang rendah ini, sebagaimana di khawatirkan oleh Mar’ie Muhammad (dalam Tony Prasetiantono, 1997 : 24), dapat memaksa penabung yang berskala besar (big savers) untuk melakukan pelarian modal sebagai bentuk pilihan portofolionya. Disamping itu, penyebab lainnya adalah terungkapnya skandal atau kasus kredit macet di beberapa bank BUMN yang mewarnai pergantian tahun 1993 menuju tahun 1994, seperti kasus kredit bermasalah yang sangat menghebohkan pada bank Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) sebesar Rp 1,3 trilyun dan desas-desus kebangkrutan bank Subentra. Kasus ini tentu saja, banyak mengganggu kredibilitas sektor perbankan nasional dimana nasabah. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama periode setelah krisis telah terjadi peningkatan capital flight yang cukup signifikan hingga tahun 1998, hal ini terutama
24
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
disebabkan oleh kondisi di dalam negeri yang kurang begitu kondusif dalam menciptakan keuntungan bagi pemegang dana. Dalam kurun waktu periode setelah tahun 1997, kondisi perekonomian dibayangi oleh kondisi ketidakpastian sebagai akibat tingginya resiko politik, ekonomi, dan finansial pada masa itu. Ketika kondisi politik mulai stabil pada tahun 1999, tingkat capital flight lambat laun mulai berkurang, dan bahkan modal yang ditransfer ke luar negeri pada awal krisis, secara berangsur-angsur mulai kembali ke dalam negeri hingga tahun 2000. Namun akhir tahun 2000 ketika para demonstan mulai menggoyang pemerintahan Gus Dus, ditambah pula dengan berbagai teror yang membayangi Ibu Kota, capital flight yang terjadi pada akhir tahun 2000 menjadi US$ 4051,813.
4.2. Pengujian Validitas Data Pengujian stasioneritas data yang dilakukan berdasarkan Augmented Dickey Fuller test, yang perhitungannya menggunakan bantuan komputer program Eviews 3.0., dimana hasil pengujiannya dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4.2. Hasil Pengujian Augmented Dickey Fuller (ADF)
First Difference
Level Variabel
CF
Tanpa Intercept
Intercept
Intercept + Trend
Tanpa Intercept Tanpa + Trend + Trend
-7,0694****
-6,9887****
-6,8977****
-7,4053**** -7,3091****
-7,2102****
REER
-0,9089
-1,8490
-2,8482
-3,6470**** -3,6373****
-3,6116**
EDT
-0,2471
-1,7831
-2,5837
-4,3856**** -4,3518****
-4,2981****
LGDP
-1,7776
-1,9142
-1,8646
-3,5443****
-3,3927****
-5,0227****
-5,4797****
DINT
-1,4467
-1,9438
-1,8362
-2,9626****
-2,9243*
-3,2055*
FDI
-0,8090
-0,5076
-1,0369
-4,9167**** -4,9286****
-5,2432****
0,0000
-0,6385
-1,9826
-4,4159**** -4,5277****
-4,5310****
INF
DummyKP
-3,4993***
-3,4541*
-4,5970**** -4,5385****
-4,4748****
Sumber : Hasil Pengolahan Data menggunakan Program Eviews 3,0 Catatan : **** Signifikan pada derajat kepercayaan 1 % (pada n = 44 nilai ADFtabel untuk tanpa Intersep = – 2,6296, intersep = –3,6208, intercep + trend = –4,2052) *** Signifikan pada derajat kepercayaan 2,5 % (pada n = 44 nilai ADFtabel untuk tanpa Intersep = – 2,2524, intersep = –3,2462, intercep + trend = –3,836) ** Signifikan pada derajat kepercayaan 5 % (pada n = 44 nilai ADFtabel untuk tanpa Intersep = – 1,9500, intersep = –2,9468, intercep + trend = –3,5240) * Signifikan pada derajat kepercayaan 10 % (pada n = 44 nilai ADFtabel untuk tanpa Intersep = – 1,6076, intersep = –2,6048, intercep + trend = –3,1944)
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi “Capital Flight” di Indonesia
25
Berdasarkan hasil perhitungan uji stasioner yang disajikan dalam tabel diatas, diketahui bahwa tidak semua variabel pada data asli nilainya stasioner, namun seluruh data selanjutnya dapat stasioner pada (beda) tingkat pertama. Hal ini terlihat dari nilai ADFhitung yang lebih besar dari Nilai ADFtabel pada derajat kepercayaan tertentu. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa seluruh variabel yang diestimasi dalam penelitian ini telah stasioner. Tabel 4.3 Hasil Pengujian Kointegrasi
Residual ∆et
DF
ADF
-6,1785 ****
-8,0341****
Sumber : Hasil Pengolahan Data menggunakan Program Eviews 3,0 Catatan : *Signifikan pada derajat kepercayaan 1 % (pada n = 44, nilai DF dan ADFtabel = – 2,6296)
Pada tabel diatas, memperlihatkan nilai DF dan ADFhitung untuk residual persamaan kointegrasi lebih besar(signifikan) dari nilai kritis DF dan ADFtabel, Kondisi tersebut menyimpulkan bahwa variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini berkointegrasi pada derajat yang sama. Hal ini berarti terjadi keseimbangan jangka panjang antar variabel, atau dengan kata lain dalam jangka panjang REER, EDT, LGDP, INF, DINT, FDI, dan DummyKP, memiliki keterkaitan dengan capital flight. Setelah data yang akan dimasukkan dalam model telah diuji perilakunya sebagaimana tersebut diatas (uji stasioner dan uji kointegrasi), maka atas data tersebut kemudian akan dihitung model jangka panjang persamaan kointegrasi dengan menggunakan persamaan Johansen’s Likelihood, dan diperoleh persamaan jangka panjang sebagai berikut :
DCF
= 37869,13 – 351,6219 D REER – 586,2416 D DINT – 0,0684 D EDT
thitun g
(-3,9744)
(-4,5279)
(-1,0209)
– 646,9262 D LGDP + 178,8756 D INF + 6,2624 D FDI – 403,7517 D DummyKP
thitun g
(-4,4080)
(3,0069)
(4,1 782)
(3,5 201)
Catatan : Huruf tebal menunjukkan signifikasi secara statistik dan signifikan dalam arah yang diberikan
Berdasarkan tabel tersebut diatas dapat diketahui bahwa semua variabel penelitian memiliki arah yang benar (konsisten) sebagaimana hipotesis yang diajukan. Jadi secara teoritis, keseluruhan model yang dipergunakan sudah benar menurut teori ekonomi. Pada pengujian signifikasi secara statistik (uji t-hitung), diketahui bahwa variabel REER, EDT,
26
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
LGDP, FDI, dan DummyKP memberikan pengaruh yang signifikan secara individu terhadap variabel capital flight (CF) pada derajat kepercayaan 1%. Begitupun untuk variabel INF memberikan pengaruh yang signifikan secara individu pada terhadap capital flight (CF) derajat kepercayaan yang lebih rendah (5%). Sedangkan variabel EDT, tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap capital flight (CF) baik pada derajat kepercayaan 1%, 5%, maupun 10%. Koefisien pengaruh real effective exchange rate yang bernilai negatif menunjukkan bahwa apabila indeks real effective exchange rate meningkat, maka dapat menghambat peningkatan pelarian modal dari dalam negeri, sebaliknya apabila real effective exchange rate menurun atau rupiah mengalami depresiasi, maka akan dapat mendorong peningkatan tingkat pelarian modal ke luar negeri. Temuan diatas, baik arah koefisien dan signifikasi pengaruh variabel tersebut diatas (REER) terhadap capital flight disamping telah sesuai dengan teori pada umumnya, temuan ini juga sesuai dengan temuan empiris yang dilakukan oleh Cuddington (1996) bahwa nilai tukar merupakan penyebab yang mendorong terjadinya capital flight dengan arah yang diberikan secara negatif. Koefisien pengaruh perbedaan tingkat bunga terhadap capital flight yang berlawanan arah menunjukkan bahwa apabila perbedaan tingkat bunga dari kedua negara makin meningkat, maka akan mengurangi tingkat pelarian modal, sebaliknya apabila perbedaan tingkat bunga makin kecil, maka akan mendorong tingkat pelarian modal ke luar negeri. Signifikanya perbedaan tingkat bunga ini secara statistik, menunjukkan bahwa para pemilik dana begitu apresiatif dengan perbedaan tingkat bunga yang begitu besar di dalam negeri dengan bunga luar negeri (Amerika Serikat). Hal ini terkait dengan persepsi mereka yang melihat bahwa perbedaan tingkat suku bunga yang cukup besar yang terjadi pada periode setelah krisis, dipersepsikan sebagai tempat penanaman investasi yang menguntungkan, karena menawarkan tingkat keuntungan yang besar bagi mereka, meskipun didalamnya terkandung tingkat resiko yang tinggi pula yaitu tingginya kemungkinan resiko kegagalan dalam pembayaran tingkat bunga yang mereka tawarkan itu. Hanya saja, resiko ini dapat diabaikan, karena adanya jaminan dari pemerintah terutama jaminan terhadap dana diperbankan. Dengan demikian, kebijakan pemerintah yang mengambil kebijakan peningkatan suku bunga dalam negeri dalam rangka mengurangi pelarian modal dapat dibenarkan. Koefisien pengaruh Utang Luar Negeri terhadap capital flight yang berlawanan arah menunjukkan bahwa apabila Utang Luar Negeri meningkat, maka akan menurunkan tingkat pelarian modal karena dana dari luar negeri masuk ke Indonesia, sebaliknya apabila Utang Luar Negeri menurun, maka akan meningkatkan tingkat pelarian modal ke luar negeri. Namun demikian, dilihat secara statistik arah yang negatif ini ternyata tidak
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi “Capital Flight” di Indonesia
27
signifikan. Hal ini berarti meskipun hutang berpengaruh secara negatif terhadap capital flight, bukan berarti peningkatan utang luar negeri ini dapat mengurangi ccapital flight. Hal ini diperlihatkan oleh tidak signifikannya pengaruh variabel ini terhadap capital flight secara statistik. Barangkali kondisi tersebut terkait dengan keharusan pembayaran utang luar negeri (pokok dan bunga) yang cukup besar saat terjadi pertambahan utang luar negeri. Dengan kata lain, semakin besar utang luar negeri, akan memungkinkan semakin besar capital flight ke luar negeri pada saat pelunasan pokok pinjaman beserta bunga yang harus dibayar oleh negara Indonesia. Koefisien pengaruh laju pertumbuhan ekonomi terhadap capital flight yang bernilai negatif menunjukkan bahwa apabila laju pertumbuhan ekonomi meningkat, maka akan mengurangi tingkat pelarian modal, sebaliknya apabila laju pertumbuhan ekonomi menurun, maka akan mendorong peningkatan tingkat pelarian modal ke luar negeri. Hal ini dapat dipahami, bahwa semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara, semakin kondusif kondisi perekonomian negara yang bersangkutan, karena bagaimanapun pertumbuhan ekonomi ini mencerminkan keberhasilan suatu negara dalam pembangunan ekonominya. Oleh karenanya, pemerintah selalu berusaha untuk meningkatkan dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi agar capital flight dapat selalu ditekan. Koefisien pengaruh tingkat inflasi terhadap capital flight yang searah atau bernilai positif menunjukkan bahwa apabila tingkat inflasi meningkat, maka akan menyebabkan peningkatan pelarian modal dari Indonsia. Sebaliknya apabila tingkat inflasi menurun, maka akan menyebabkan berkurangnya tingkat pelarian modal ke luar negeri. Signifikannya variabel inflasi tersebut menunjukkan bahwa inflasi merupakan indikator yang diperhatikan oleh pemilik modal dalam melarikan modalnya ke laur negeri. Boleh jadi, dalam hal ini para pemilik modal menganggap bahwa inflasi yang terjadi di Indonesia cukup tinggi, sebagaimana terjadi antara periode 1990 sampai dengan 1997, begitupun untuk periode setelahnya, sehingga secara riil dapat mengurangi tingkat keuntungan yang diperolehnya. Koefisien pengaruh investasi asing langsung terhadap capital flight yang bernilai positif (searah) menunjukkan bahwa apabila investasi asing langsung meningkat, maka akan meningkatkan tingkat pelarian modal, sebaliknya apabila investasi asing langsung menurun, maka akan mengurangi peningkatan tingkat pelarian modal ke luar negeri. Koefisien pengaruh unsur kestabilan kondisi politik terhadap capital flight yang berlawanan arah menunjukkan bahwa semakin stabil kondisi politik maka semakin rendah tingkat capital flight. Sebaliknya semakin tidak stabil kondisi politik maka makin tinggi tingkat tingkat pelarian modal dari Indonesia ke luar negeri. Peran dari stabilitas kondisi politik telah diuji secara empirik baik dengan data survey
28
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
maupun analisis ekonometrik. Sebagaimana temuan empiris yang dikemukakan oleh Cuddington (1986), bahwa kestabilan politik berpengaruh kuat terhadap capital flight pada suatu negara. Lebih lanjut dikatakan, bahwa semakin tidak stabil kondisi politik di dalam negeri, maka semakin besar keinginan untuk menghindari resiko politik yang tinggi di dalam negeri, dengan cara mengambil keputusan melakukan portofolio terhadap aset luar negeri melalui capital flight. Sependapat dengan Cuddington, temuan empiris tentang ketidakpastian ini dikemukakan oleh Dooley (1987), bahwa kestabilan dalam negeri berpengaruh negatif terhadap tingkat pelarian modal di negara yang bersangkutan. Jika masyarakat asing melihat kestabilan politik dan ekonomi di suatu negara cukup baik maka mereka akan memindahkannya asetnya ke negara yang bersangkutan, dan mengurangi tingkat pelarian modal dari negara yang bersangkutan.
5. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 5.1. Kesimpulan 1. Selama periode yang diamati tingkat inflasi dan investasi asing langsung mempunyai pengaruh yang positif terhadap capital flight, sedangkan Real Effective exchange Rate, perbedaan tingkat bunga Indonesia-Amerika, tingkat utang luar negeri, laju pertumbuhan ekonomi, dan dummy Kondisi Politik berpengaruh secara negatif terhadap capital flight di Indonesia.
5.2. Saran 1. Untuk mengurangi terjadinya tingkat pelarian modal yang lebih tinggi dimasa yang akan datang, perlu diambil langkah-langkah dan berbagai kebijakan dari pemerintah baik dari sisi eksternal maupun internal, terutama yang berkaitan dengan variabelvariabel fundamental yang diteliti. 2. Pemerintah sebagai pemegang otoritas, sangat penting untuk membuat langkah-langkah selain menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, tapi juga secara bersama-sama berusaha mengurangi kenaikan utang luar negeri, meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, mendorong masuknya FDI, dan mengawasi kenaikan stabilitas harga secara umum. Bagi otoritas moneter, yang lebih penting bukan hanya kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah, tetapi bagaimana menciptakan kestabilan kondisi politik, ekonomi, dan keuangan Indonesia. 3. Adanya langkah-langkah sebagaimana tersebut diatas, bagaimanapun diharapkan dapat berdampak pada makin meningkatnya kepercayaan investor dan pemilik modal terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Lambat-laun langkah-langkah tersebut dapat menciptakan
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi “Capital Flight” di Indonesia
29
kestabilan ekonomi dan mengikis kondisi ketidakpastian sebagai pengaruh yang paling dominan terhadap capital flight.
DAFTAR PUSTAKA : A. Tony Prasetiantono, 1997, “Agenda Ekonomi Indonesia: Suku Bunga versus Capital Flight, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: Conesa, E.R., 1987, “The Causes of Capital Flight from Latin America”, Inter-American Development Bank Washington D.C. Cuddington, John T., 1986, Capital Flight: Estimate, Issue and Explanation, Princeton studies in International Finance, No. 58 Desember 1986. Dickey, D.A. and Fuller, W.A., 1979, “Distribution of Estimators in Autoregressive Time Serries with a Unit Root”, Journal of American Statistical Assosiation, 74, 427-3L. Dooley, Michael P., 1988, Capital Flight a respond to Differences in Financial Risks, International Monetary Fund staff Papers, No. 35, September 1988. Dradjat H. Wibowo, 2001, “Kendala dalam Pemulihan Ekonomi: Country Risk dan Arus Modal”, Bisnis dan Ekonomi Politik, Vol. 4 (1), April 2001. Lepi T. Tarmidi, 1999, “Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 4, Maret 1999. Moh. Ikhsan Mahyudin, 1989, “Pelarian Modal dari Indonesia: Estimasi dan Masalahnya”, Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia Vol. XXXVII, No.1, LPEM- FEUI, Jakarta. Morgan Guaranty Trush Company, 1986, “LDC Capital Flight”, World Financial Markets, March 1986. Mudrajad Kuncoro, 2001, “Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi”, UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Onwioduokit, E.A., 2000, “Capital Flight from Nigeria : An Empirical Re-Examination”, West African Monetary Institute, Accra, Ghana. Pastor, Manuel Jr., 1990, “Capital Flight from Latin America”, World Development, Vol. 18, No.1, January 1990.
30
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
LAMPIRAN Pengujian Uji Kointegrasi • Uji Dickey Fuller (DF)
Dependent Variable: D(RES) Method: Least Squares Date: 01/31/03 Time: 22:41 Sample(adjusted): 1990:2 2000:4 Included observations: 43 after adjusting endpoint Variable Coefficient Std. Error RES(-1) -0.994954 0.161036 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.475846 0.475846 2257.110 2.14E+08 -392.5476
t-Statistic -6.178466
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
Prob. 0.0000 72.52084 3117.620 18.30454 18.34550 1.902602
• Uji Augmented Dickey Fuller (DF) Dependent Variable: D(RES) Method: Least Squares Date: 01/30/03 Time: 22:31 Sample(adjusted): 1990:3 2000:4 Included observations: 42 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
RES(-1) D(RES(-1))
-1.556672 0.546802
0.193758 0.137071
-8.034093 3.989200
0.0000 1.902602
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.636477 0.627389 1921.187 1.48E+08 -376.1202 2.270715
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
38.50695 3147.325 18.00572 18.08847 70.03421 0.000000
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi “Capital Flight” di Indonesia
31
Perhitungan Persamaan Kointegrasi Model Penelitian Menggunakan Johansen’s Likelihood Date: 01/31/03 Time: 22:48 Sample: 1990:1 2001:4 Included observations: 42 Test assumption: Linear deterministic trend in the data Series: CF REER DINT EDT LGDP INF FDI DUMMYKP Lags interval: 1 to 1
Eigenvalue 0.877452 0.791798 0.640870 0.541748 0.439312 0.287251 0.101883 0.003972
Likelihood 5 Percent Ratio Critical Value 273.0654 184.8968 118.9884 75.97741 43.20331 18.90250 4.680228 0.167138
156.00 124.24 94.15 68.52 47.21 29.68 15.41 3.76
1 Percent Hypothesized Critical Value No. of CE(s) 168.36 133.57 103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65
None ** At most 1 ** At most 2 ** At most 3 * At most 4 At most 5 At most 6 At most 7
*(**) denotes rejection of the hypothesis at 5%(1%) significance level L.R. test indicates 4 cointegrating equation(s) at 5% significance level Unnormalized Cointegrating Coefficients: CF 6.87E-05 9.64E-05 0.000110 4.71E-05 1.22E-05 -0.000102 -1.16E-05 -0.000123
REER 0.024139 -0.025692 0.001291 0.043875 -0.012634 0.015377 0.001196 0.008713
DINT 0.040246 -0.019411 -0.002778 -0.004134 -0.013020 -0.013289 -0.001776 0.029441
EDT 4.69E-06 -2.66E-05 -1.97E-05 -7.82E-06 -6.45E-05 -1.46E-05 -1.34E-05 3.12E-06
LGDP 0.044412 -0.051834 0.020580 -0.018509 0.066119 -0.000584 -0.039679 -0.037362
INF -0.012280 -0.017957 0.017757 0.010791 0.021442 0.007672 -0.010932 -0.029024
FDI -0.000430 0.000692 4.61E-05 0.000140 0.000335 0.000137 -8.10E-06 9.40E-05
DUMMYKP 0.027718 0.571692 0.354067 1.691827 0.892942 1.463271 0.143970 0.212022
FDI -6.262431 (114.70)
DUMMYKP 403.7517
Normalized Cointegrating Coefficients: 1 Cointegrating Equation(s) CF 1.000000 (88.4719)
REER 351.6219 (129.474)
DINT 586.2416 (0.06698)
Log likelihood-1406.193
EDT 0.068377 (146.762)
LGDP 646.9262 (59.4893)
INF -178.8756 (1.49884)
C -37869.13
32
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
APA, BAGAIMANA, DAN DAMPAK REKSA DANA Kiki Nindya Asih Wahyu Pratomo 1
PENDAHULUAN
P
roduk reksa dana (mutual fund) akhir-akhir ini mendapat cukup banyak perhatian dengan perkembangannya yang fenomenal khususnya dalam 12 bulan terakhir2 . Perkembangan fenomenal ini tercermin dari peningkatan jumlah nasabah (pemegang unit penyertaan reksa dana), dana kelolaan, dan produk reksa dana yang beredar di pasar3 . Sampai dengan bulan Desember 2002, jumlah account investor reksa dana tercatat sebesar 125.820 account (143,2%, y-o-y), sementara dana kelolaan secara tahunan melonjak 252,8% menjadi Rp56,1 triliun. Rasio dana kelolaan terhadap DPK meningkat tajam, dari hanya 2% di awal tahun 2002 menjadi 7% pada bulan Desember 20024 . Sementara itu, dari Grafik 1. Perkembangan DPK dan Kelolaan MI DPK (triliun) 840 830 820 810 800 790 780 770 760 750
Dana MI (triliun)
60 50 40 30 20 10
DPK
Dana Kelolaan MI 0
1 Penulis adalah peneliti ekonomi di Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan dari bagian SMON-DSM, PTPU-DPM, DPNP, DPmB2, DPwB2, dan internal DKM atas saran, masukan, komentar, berikut data dan informasi yang sangat berharga. 2 Reksa dana (mutual fund) adalah sertifikat yang menjelaskan bahwa pemiliknya menitipkan sejumlah uang kepada pengelola reksa dana untuk digunakan sebagai modal berinvestasi di pasar uang atau pasar modal sesuai dengan kebijakan investasi yang dipilih. Reksa dana merupakan produk pasar modal (UU No. 8 tahun 1995). Reksa dana diterbitkan oleh perseroan yang telah memperoleh ijin dari Bapepam. 3 Dana kelolaan MI digunakan sebagai proksi dana kelolaan reksa dana. Sebenarnya data dana kelolaan MI terdiri dari dana kelolaan reksa dana dan discretionary fund (untuk kepentingan nasabah institusi seperti Dana Pensiun, Asuransi ataupun Yayasan). Hal ini dilakukan karena statistik pasar modal belum memisahkan keduanya. 4 Rasio ini sebenarnya masih relatif rendah bila dibandingkan dengan rasio untuk Malaysia (sekitar 16%), India dan Australia (sekitar 30%).
Apa, Bagaimana, Dan Dampak Reksa Dana
33
4 jenis reksa dana yang ditawarkan ke pasar5 , saat ini terdapat 131 macam produk dari hanya 25 macam produk pada awal reksa dana diperkenalkan di tahun 1996. Walaupun portfolio tiap produk reksa dana adalah unik, perkembangannya yang pesat ini antara lain didorong oleh (i) meningkatnya intensitas penerbitan maupun perdagangan obligasi pemerintah di pasar sekunder dalam dua tahun terakhir, (ii) kecenderungan menurunnya suku bunga simpanan perbankan, (iii) tidak dibatasinya penempatan reksa dana yang berbasis obligasi pemerintah oleh Bapepam 6 , (iv) dibebaskannya PPh final atas kupon dan diskonto produk reksa dana (PP No. 6/2002)7 , (v) keterlibatan bank dalam menjual reksa dana yang seolah ‘membungkus’ produk pasar modal menjadi produk perbankan8 .
Tabel 1. Perubahan Posisi Kepemilikan Obligasi Pemerintah
Pemilik Departemen Keuangan Bank Rekapitalisasi BUMN Rekap BUSN Rekap Bank Take Over Bank Pembangunan Daerah Bank Non Rekapitalisasi Sub Registry Asuransi Reksa Dana Dana Pensiun BPPN/Perbankan Corporate Sekuritas Yayasan Perorangan Lainnya SUB TOTAL
Jan 2002 877.545 355.622.540 233.520.212 18.564.349 102.307.529 1.230.450 26.706.235 13.584.087 4.158.511 2.317.965 170.750 6.671.328 113.177 147.170 3.000 2.186 0 396.790.407
Persentase 0,22 89,62 58,85 4,68 25,78 0,31 6,73 3,42 1,05 0,58 0,04 1,68 0,03 0,04 0,00 0,00 0,00 100,00
Des 2002
Persentase
872.545 334.573.956 228.176.234 22.646.557 82.538.678 1.212.487 13.829.234 44.782.147 6.512.792 35.719.912 360.411 1.908.124 71.880 133.603 75.425 394.057.882
0,22 84,90 57,90 5,75 20,95 0,31 3,51 11,36 1,65 9,06 0,09 0,48 0,02 0,03 0,00 0,00 0,02 100,00
5 Jenis-jenis reksadana: reksadana pasar uang, reksadana pendapatan tetap, reksadana saham, dan reksadana campuran. Informasi yang lebih mendalam dapat dilihat pada lampiran. 6 Obligasi korporasi dibatasi hanya 10% dari Nilai Aktiva Bersih reksa dana pada setiap saat. 7 Khususnya bagi produk reksa dana yang berumur kurang dari 5 tahun. Manajer Investasi menyiasati hal ini dengan terus memperbaharui produknya dan secara otomatis memindahkan rekening nasabahnya ke produk yang lebih baru pada saat produk reksana mencapai usia 5 tahun. 8 Peran perbankan di pasar modal diatur dengan ketentuan SK Direksi BI No. 25/97/KEP/DIR dan SE BI No. 25/1/BPPP tanggal 17 November 1992 tentang Penyertaan Modal dan Pemilikan Saham oleh Bank. Dalam ketentuan dimaksud, keikutsertaan bank dapat digolongkan sebagai (1) pendiri perusahaan efek, (2) penyedia jasa sebagai bank kustodian dan atau agen penjual reksa dana dalam outlet terpisah, dan (3) investor.
34
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
Tabel 2. Data Kepemilikan Obligasi Pemerintah dalam Sub-registry
Bidang Usaha
Januari 2002 Nilai Nominal
Asuransi Reksa Dana Dana Pensiun Perbankan Corporate Sekuritas Yayasan Perorangan Lain-lain Total
4.158.511.000.000 2.317.965.000.000 170.750.000.000 6.671.328.000.000 113.177.000.000 147.170.000.000 3.000.000.000 2.186.000.000 13.584.087.000.000
Desember 2002
Persentase
Nilai Nominal
30,61 17,06 1,26 49,11 0,83 1,08 0,02 0,02 100,00
6.512.792.000.000 35.719.912.000.000 360.411.000.000 1.908.124.000.000 71.880.000.000 133.603.000.000 75.425.000.000 44.782.147.000.000
Persentase 14,54 79,76 0,80 4,26 0,16 0,30 100,00
Perkembangan ini terutama dimotori oleh reksa dana dengan underlying portfolio obligasi pemerintah khususnya obligasi rekapitalisasi perbankan. Hal ini antara lain tercermin dari Tabel 1 dan 2 yang menunjukkan perubahan posisi kepemilikan obligasi pemerintah (termasuk obligasi rekap) yang sangat signifikan, dari perbankan ke perusahaan reksa dana. Dari Tabel 1 terlihat jelas bahwa persentase kepemilikan obligasi pemerintah oleh perusahaan reksa dana meningkat dari 0,6% di bulan Januari 2002 menjadi 9,1% di bulan Desember tahun yang sama. Persentase kenaikan kepemilikan ini (8,5%) hampir setara dengan persentase penurunan kepemilikan obligasi pemerintah yang terjadi pada bank rekap, bank non-rekap, dan BPPN/perbankan (9,1%). Dalam tulisan ini, pertama-tama akan dibahas mengenai mekanisme transaksi reksa dana melalui perbankan. Bagian selanjutnya akan membahas tentang apa dan bagaimana dampak potensial dari perkembangan reksa dana ini terutama terhadap (individu dan industri) perbankan, (indikator besaran) moneter dan sektor pemerintah. Hanya saja, patut dicatat bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah produk final, melainkan sebuah kajian awal sebagai dasar studi yang lebih mendalam dan komprehensif.
9 Dalam tulisan ini—bila tidak disebutkan secara khusus—kata ‘bank’ merujuk pada bank sebagai agen penjual. 10 Manajer Investasi berada dalam pengawasan otorita pasar modal dan tunduk pada ketentuan pasar modal.
Apa, Bagaimana, Dan Dampak Reksa Dana
35
PERAN (INDIVIDUAL) BANK DALAM TRANSAKSI REKSA DANA Secara umum peran perbankan yang terkait dengan reksa dana adalah sebagai bank kustodian dan agen penjual (selling agent) dari berbagai produk reksa dana yang dirilis oleh Manajer Investasi (pengelola reksa dana) 9 10 . Walaupun sama-sama berfungsi sebagai selling agent, implikasi transaksi reksa dana yang dilakukan oleh bank akan berbeda-beda. Hal ini banyak bergantung pada kesepakatan pihak bank dengan Manajer Investasi (pengelola reksa dana yang selanjutnya disingkat dengan MI), dan juga jenis bank-nya (bank non-rekap atau rekap). Minimal terdapat dua bentuk praktek transaksi reksa dana melalui perbankan yang dapat diidentifikasi. Pertama, perbankan murni hanya bertindak sebagai agen penjual reksa dana (dan atau bank kustodian) 11 , di mana mereka memperoleh fee dari MI untuk menjalankan peran tersebut. Kedua, perbankan bertindak sebagai selling agent produk reksa dana dari MI yang underlying atau portfolio-nya dalam bentuk obligasi pemerintah yang dijual oleh bank yang bersangkutan (atau diistilahkan sebagai product mix). Sebagian besar bank yang terlibat dalam transaksi reksa dana hanya menjalankan peran selling agent, sementara salah satu bank rekap merupakan pemain pertama dan utama dari sedikit bank yang melakukan product mix. Dua buah skema di bawah ini mencoba menggambarkan mekanisme transaksi reksa dana dengan underlying obligasi rekap melalui perbankan12 . Di sini dilakukan simplifikasi bahwa tidak ada fresh money dari masyarakat (tidak ada calon pembeli reksa dana yang datang ke counter bank dengan membawa uang tunai) dan dana milik masyarakat yang digunakan untuk membeli reksa dana berasal dari simpanannya di bank penjual reksa dana (proses kanibal)
11 Untuk menjadi bank kustodian, bank harus mengajukan permohonan perijinan ke Bapepam. Bank dapat menjadi bank kustodian a/d SE BI No. 29/35/UPPB tanggal 31 Desember 1996. Bank kustodian adalah Pihak yang memberikan jasa penitipan kolektif dan harta lainnya yang berkaitan dengan Efek. Sedangkan Pihak yang dapat melaksanakan kegiatan usaha sebagai Kustodian adalah LPP, Perusahaan Efek (a.l. Penjamin Emisi, Perantara Pedagang Efek, dan Manajer Investasi), atau Bank Umum yang telah mendapat persetujuan dari Bapepam. Sampai dengan 30 April 2002, jumlah Bank Kustodian yang telah mendapat persetujuan dari Bapepam sebanyak 21 Bank Kustodian. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP) adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain. Bapepam telah memberikan 1 izin usaha Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian: PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), PT KSEI mendapatkan izin usaha pada tanggal 11 Nopember 1998. Lembaga tersebut melaksanakan fungsi penyimpanan dan penyelesaian yang sebelumnya dikerjakan oleh PT Kliring Depositori Efek Indonesia (PT KDEI). 12 Skema selayaknya dipandang dalam kerangka dinamis atau flow.
36
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
Skim (pure) Selling Agent
Apa, Bagaimana, Dan Dampak Reksa Dana
37
Skim Selling Agent - Product Mix Approach)13
13 Besarnya kewajiban MI untuk membeli obligasi milik Bank sangat bervariasi dan tergantung pada perjanjian antar keduanya.
38
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
DAMPAK (POTENSIAL) PERKEMBANGAN REKSA DANA Meningkatnya intensitas transaksi reksa dana melalui perbankan mempunyai sejumlah dampak riil dan potensial dari kacamata (individu dan industri) perbankan, moneter, dan keuangan pemerintah.
Perbankan Mekanisme di atas cukup jelas menggambarkan bahwa dengan murni bertindak sebagai selling agent, bank di satu sisi membuka peluang untuk menambah pendapatan (fee based income) dari kerja sama dengan Manajer Investasi. Di sisi lain, langkah bank ini dapat dipandang sebagai bentuk defense strategy. Dalam artian, selain menyediakan outlet alternatif penanaman dana dan mendapat tambahan pendapatan, bank sekaligus berupaya meng-‘keep’ nasabah besar (prime customer) agar tidak berpindah ke bank lain seiring dengan meningkatnya permintaan nasabah akan produk penanaman dana alternatif dengan return yang cukup tinggi di tengah-tengah kecenderungan penurunan suku bunga instrumen moneter dan produk perbankan. Bagi bank yang melakukan pendekatan product mix, transaksi reksa dana memberi peluang kepada mereka untuk merestrukturisasi komponen neraca mereka14 , dengan cara menyelaraskan maturity dan repricing profile antara sisi aktiva-pasiva bank15 . Keterlibatan bank dalam transaksi jenis ini juga berpotensi mengurangi cost of funds bank mengingat sebagian besar dana pihak ketiga yang berpindah ke produk reksa dana adalah dana-dana ‘mahal’ yang dimiliki oleh nasabah besar. Penurunan simpanan nasabah di sisi kewajiban dan penurunan kepemilikan obligasi rekap di sisi asset akan membawa konsekuensi logis pada membaiknya loan to deposit ratio (LDR), net interest margin (NIM), dan juga return on asset (ROA)16 . Meski terdapat beberapa keuntungan yang mungkin diperoleh bank sebagai penjual, transaksi reksa dana yang dilakukan bank juga memiliki sejumlah risiko potensial. Reputasi bank akan terancam ketika produk reksa dana MI mengalami default (reputation risk), terlebih bilamana MI tersebut adalah private labeled fund yang dibentuk oleh bank itu sendiri (terafiliasi dengan bank). Masyarakat akan mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi apakah default tersebut dapat secara penuh dibebankan kepada MI dan atau juga kepada bank
14 Restrukturisasi aset perbankan a.l. dilakukan dengan mengurangi pangsa obligasi rekap dalam aktiva mereka. Adapun proses pengurangan obligasi rekap ini dapat dilakukan antara lain dengan cara (i) menjual obligasi rekap yang dimilikinya kepada pihak ketiga bukan bank di pasar sekunder secara tunai (baik secara outright maupun repo), (ii) mengelola penerbitan reksa dana yang di link-kan dengan obligasi rekap miliknya dengan menunjuk Manajer Investasi tertentu (umumnya secara repo), (iii) atau dengan melakukan asset to bond swap (ABS) dengan BPPN. 15 Di mana aset/penggunaan dana yang relatif berjangka panjang (obligasi) akan diselaraskan dengan struktur pasiva/sumber pendanaan yang sebagian besar berjangka pendek (giro, tabungan, dan deposito). 16 Ini merupakan salah satu bentuk accounting engineering.
Apa, Bagaimana, Dan Dampak Reksa Dana
39
sebagai last resort (legal risk)17 . Kedua risiko ini, baik secara terpisah ataupun berbarengan, berpotensi memicu pencairan dana reksa dana secara besar-besaran oleh nasabah (redeem shock) yang pada gilirannya akan mengancam likuiditas bank (liquidity risk)18 . Selain itu, risiko redeem ini juga sangat mungkin timbul di tengah-tengah perubahan kondisi di pasar keuangan yang signifikan (market risk), termasuk misalnya sebagai akibat perubahan (arah) perkembangan suku bunga instrumen moneter yang mendadak dan bergejolak. Intensitas kedua jenis risiko di atas terkait erat dengan keberadaan dua variabel, yakni (i) bagaimana hubungan antara bank dengan MI—apakah terafiliasi ataukah independen dari bank dan (ii) bagaimana skim perjanjian kerja sama antar keduanya. MI yang terafiliasi dengan bank akan memperbesar kedua jenis risiko. Terutama terkait dengan bank yang melakukan product mix, sebuah pertanyaan krusial yang muncul adalah apakah bank melakukan perjanjian transaksi jual beli obligasi miliknya dengan MI secara outright (jual putus) ataukah repo19 . Hal ini penting karena transaksi repo dikuatirkan masih akan meninggalkan risiko (kontinjen) bagi bank. Mengingat reksa dana dewasa ini didominasi reksa dana dengan underlying portfolio obligasi pemerintah, masalah pricing obligasi menjadi isu lain yang perlu diperhatikan. Bapepam sampai dengan saat ini belum mengeluarkan aturan penentuan harga obligasi. Harga obligasi pada saat pembelian kembali oleh bank akan sangat tergantung pada kebijakan penentuan harga yang digunakan oleh MI, apakah marked to market (misalnya atas dasar weighted average price BES selama hari kerja, atau bisa juga atas dasar last price done), amortization (diamortisasi sampai dengan maturity), ataupun cara lainnya. Selain berisiko bagi bank, belum adanya aturan penentuan harga ini juga sangat potensial merugikan nasabah pembeli produk reksa dana terutama ketika mereka ingin mencairkan reksa dana mereka. Selain itu, kecenderungan bank-bank nasional untuk melakukan praktek copy-paste produk perbankan yang dianggap sukses membawa risiko reksa dana dari risiko individual bank menjadi risiko sistemik perbankan. Default-nya satu atau beberapa produk reksa dana yang dijual oleh satu bank kemungkinan dapat merembet pada pencairan besar-besaran (redeem shock-rush) pada produk reksa dana yang dijual oleh bank lain. Kesulitan likuiditas yang semula dihadapi oleh (sejumlah) individu bank pada gilirannya berpotensi mengancam gejolak sistim perbankan (domino effect). 17 Dalam perkembangannya, untuk meningkatkan popularitas produk reksa dana, sebuah bank bahkan berani memberikan semacam return guarantee kepada nasabah atas produk reksa dana yang mereka beli dari MI. Garansi tersebut dituangkan dalam sebuah statement of account. Namun mekanisme semacam ini sepatutnya dilarang karena menyisakan risiko bagi bank ybs. Apalagia/d kode etik MI tidak diperkenankan menjamin return. 18 Ancaman ini masih ada meski ada ketentuan bahwa nasabah hanya dapat mencairkan produk reksa dana mereka dalam prosentase tertentu per hari. Dari sisi legal sebenarnya bank penjual sama sekali tidak terpapar risiko likuiditas. 19 Nama lain dari perjanjian atas dasar repo adalah stand by buyer. Namun, ini pada dasarnya tidak berbeda dengan repo karena setiap terjadi redeem selalu dibeli oleh Bank.
40
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
Moneter Isu Statistik Moneter Satu isu yang menjadi perdebatan awal terkait dengan kegiatan reksa dana melalui perbankan adalah pendapat yang menyatakan bahwa dana hanya mengalir dari satu bank ke bank lain. Atau dengan penyederhanaan transaksi, aliran dana hanya berpindah dari tabungan (SD) atau deposito (TD) milik nasabah ke bentuk giro bank (DD) yang lebih likuid milik MI (di bank yang bersangkutan atau di bank yang berbeda)20 . Pendapat ini, bila benar, membawa sebuah konsekuensi logis bahwa penurunan SD/TD di satu bank akan meningkatkan DD di bank tersebut atau bank lain, sehingga secara agregat makro tidak terjadi aliran dana keluar dari sistim perbankan. Hanya pendapat di atas ternyata belum mampu didukung oleh data perbankan secara keseluruhan (Grafik 2)21 . Dengan menggunakan satu titik ekstrim di bulan Juli 2002 sebagai ilustrasi22 , seiring dengan kenaikan dana kelolaan reksa dana sebesar Rp6,6 triliun, statistik tabungan-deposito dan giro juga mengalami kenaikan masing-masing sebesar Rp5,1 triliun dan Rp1,2 triliun23 . Mengapa pendapat di atas sulit dijustifikasi dengan data? Jawaban pertama kemungkinan terkait dengan kenyataan bahwa sifat data statistik yang saat ini dimiliki dan digunakan adalah data stock, bukan data flows. Data stock yang berasal dari laporan bulanan bank umum (LBU) hanya menangkap data posisi akhir bulan, tanpa bisa mengungkapkan mutasi-mutasi harian yang terjadi (flows)24 . Grafik 2. Perubahan nominal Simpanan Masyarakat dan Reksadana 15,000
7,000 miliar Rp
6,000 10,000 5,000 4,000
5,000
3,000 -
2,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 11 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 01 1 1 2 1,000
(5,000)
2001
2002 -
(10,000)
(1,000 Uang Giral
Deposito
Tabungan
NAB right sca
20 MI aktif melakukan transaksi beli-jual di pasar sekunder, sehingga membutuhkan rekening yang likuid dan transferable seperti halnya giro. 21 Monetary survey sebagai sumber data. 22 Pada waktu itu, dana kelolaan reksa dana mencatat kenaikan tertinggi. 23 Untuk timeframe (triwulanan) yang lebih panjang, kondisi ini tetap valid 24 Selain masalah timing (kapan transaksi terjadi dan kapan pencatatan dilakukan), struktur portfolio reksa dana menjadi isu lanjutan. Sebagai ilustrasi, bila MI melakukan investasi pada saat IPO, yang terjadi adalah mirip-mirip penyaluran kredit/ pembiayaan, yang kemudian alirannya sebagian akan masuk kembali ke perbankan walau mungkin tidak one to one.
Apa, Bagaimana, Dan Dampak Reksa Dana
41
Kemungkinan jawaban kedua terkait dengan isu potensi larinya dana reksa dana ke luar negeri, yang pada gilirannya akan mengurangi dana yang ada di dalam sistim perbankan di Indonesia. Meski sejumlah prospektus produk reksa dana belum mencantumkan penanaman di luar negeri dalam portfolio-nya, langkah ini mungkin terjadi mengingat peraturan Bapepam telah mengizinkan reksa dana berinvestasi ke luar negeri sebesar 15% dari NAB mereka. Dalam kaitan ini, dampaknya secara makroekonomi diperkirakan kurang lebih sama dengan dampak capital flight. Namun dalam praktek, mengingat penempatan dana pada aset di luar negeri dewasa ini menghasilkan return yang jauh lebih rendah dari aset rupiah dan terlebih lagi terkena currency risk, hal ini kemungkinan besar belum terjadi. Namun, argumen berikut diyakini dapat membantah pendapat di atas. Meski pencatatan LBU menunjukkan telah terjadi aliran dana keluar dari sistim perbankan, dana tersebut sejatinya secara fisik tidak keluar dari sistim. Muara aliran dana (end game) transaksi reksa dana kemungkinan besar tidak lagi tercatat di perbankan, meski transaksi tersebut dilakukan melalui perbankan,. Untuk memperjelas argumen di atas, terlebih dahulu perlu dicermati tentang (i) apa peran bank kustodian, dan (ii) bagaimana dan di mana perlakuan pencatatan transaksi reksa dana. Sesuai ketentuan yang berlaku, kegiatan transaksi reksa dana tidak serta merta tercermin dalam neraca bank kustodian25 . Hal ini dikarenakan lembaga kustodian hanya bertindak sebagai administrator untuk manajer investasi—antara lain dengan memberikan jasa penitipan efek sehubungan dengan kekayaan reksa dana, menyimpan catatan secara terpisah dari sisi kewajiban reksa dana26 , mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya, termasuk menghitung Nilai Aktiva Bersih per unit penyertaan reksa dana setiap hari27 . Dengan demikian, semua harta dan kewajiban reksa dana itu tidak muncul di neraca bank kustodian, baik secara on ataupun off-balance sheet. Di luar masalah ketentuan tersebut di atas, mengingat bahwa reksa dana adalah suatu bentuk hukum tersendiri, baik harta maupun kewajiban reksa dana adalah milik reksa dana itu sendiri, bukan milik bank kustodian dan sama sekali terpisah dari laporan keuangan MI28 . Kondisi ini menyiratkan bahwa transaksi reksa dana sudah terlepas dari pembukuan bank yang menjadi subyek pelaporan (LBU). Di sinilah terjadi fenomena
25 Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-15/PM/2002 tanggal 14 Agustus 2002, peraturan No. IV.B.1 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK). Hampir seluruh reksa dana yang ada saat ini berbentuk KIK. 26 a.l. menunjukkan semua perubahan dalam jumlah unit penyertaan berikut data administratif terkait dengan kepemilikan unit penyertaan. 27 Data Nilai Aktiva Bersih (NAB) digunakan untuk menunjukkan performance dari manajer investasi dan reksadana yang bersangkutan. 28 Sesuai UU No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
42
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
missing money sebagai akibat belum diperhitungkannya neraca reksa dana sebagai salah satu komponen uang beredar. Fenomena tersebut di atas terjadi baik pada bank yang hanya menjadi penjual maupun yang mengaitkan langsung dengan produk bank (lihat skema halaman 4-5, neraca posisi setelah reksa dana), sebagai akibat dari menurunnya dana masyarakat di sisi pasiva perbankan—dari sisi komponen—dan menurunnya obligasi rekapitalisasi milik perbankan—dari sisi faktor NCG. Sementara itu, kenaikan kewajiban produk reksa dana terhadap investor belum diperhitungkan. Dengan kata lain, meski secara agregat likuiditas perekonomian baik secara nominal maupun riil sebenarnya tidak mengalami penurunan, pencatatan statistik uang beredar yang dilakukan dewasa ini tidak mampu “menangkapnya” dan karenanya dapat digolongkan understated. Menilik perkembangan di atas, langkah pendefinisian kembali indikator uang beredar menjadi semakin mendesak untuk dilakukan. Meski kemungkinan semakin kehilangan fungsinya sebagai sasaran moneter, besaran moneter secara umum masih dapat difungsikan sebagai leading information terhadap perkembangan konsumsi masyarakat kedepan dan karenanya juga inflasi29 . Sebagai informasi, reksa dana menjadi salah satu bagian penting dalam salah satu pendefinisian uang beredar versi Federal Reserve. Istilah MZM atau Money of Zero Maturity mencakup besaran checking account, saving deposit, dan money market mutual fund (reksa dana pasar uang)30 . Indikator ini dalam spektrum agregat moneter mempunyai cakupan yang sedikit lebih luas daripada M1—karena penghitungan indikator ini memasukkan besaran produk reksa dana pasar uang, namun lebih sempit daripada M2. Indikator ini antara lain berfungsi sebagai indikator awal atas kemungkinan peningkatan transaksi masyarakat, yang pada akhirnya bermuara pada munculnya tekanan pada harga dan output. Collins dan Edwards (1994) dalam salah satu papernya bahkan mengusulkan perlunya perluasan M2 dengan menambahkan reksa dana saham dan obligasi yang dimiliki oleh rumah tangga31 .
29 Apalagi bila ditilik secara teoritis uang beredar dalam arti luas (broad money) layaknya mengukur karakteristik ‘store of value’ dari uang. Oleh karena itu, mengingat simpanan rumah tangga mewakili konsumsi yang ditangguhkan, selayaknya broad money mampu memberi leading information terhadap konsumsi ke depan, hence, inflasi. Lihat Recent Developments in the Monetary Aggregates and Their Implications (Bank of Canada Review, Spring 2000), Money and Financial Markets (Federal Reserve Bank of Cleveland several issues). 30 Term MZM ini pertama kali disampaikan oleh Poole (1991), didasari oleh pemikiran Friedman dan Schwartz (1970) bahwa uang adalah ‘temporary abode of purchasing power’. Hasil pengujian statistik terhadap MZM dalam 20 tahun terakhir menunjukkan MZM memiliki hubungan yang stabil dengan nominal GDP. Stabilitas ini mendukung paper Motley (1988) dan Poole (1990) yang mengajukan argumen bahwa instrumen moneter dengan zero maturity cenderung lebih terisolasi dari dampak deregulasi dan inovasi finansial. 31 Collins, S., and C.I. Edwards. “An Alternative Monetary Aggregate: M2 plus Household Holdings of Bond and Equity Mutual Funds,” Federal Reserve Bank of St. Louis, Review vol. 76 (November/December 1994) page 7-30.
Apa, Bagaimana, Dan Dampak Reksa Dana
43
Isu Kebijakan Moneter Dalam kerangka kebijakan moneter base money targeting yang dewasa ini masih diadopsi oleh Bank Indonesia secara formal, perkembangan reksa dana diperkirakan tidak berdampak secara langsung pada pencapaian sasaran operasional uang primer32 . Meski pembelian produk reksa dana—dengan nilai nominal mulai dari Rp100.000—dimungkinkan dengan uang tunai (kartal), pembelian investasi di reksa dana baru dewasa ini baru menjangkau kalangan yang terbiasa melakukan transaksi melalui perbankan (banking minded). Namun demikian, perkembangan reksa dana sebagai akibat ‘genuine demand’— bukan karena kanibalisme dengan produk perbankan seperti saat ini—secara positif potensial mempengaruhi angka pelipat ganda uang (money multiplier) dari besaran uang beredar. Dalam proses transmisi ke sasaran akhir dengan mempertimbangkan efek tundanya, perkembangan reksa dana secara teoritis dipercaya terjadi melalui jalur harga aset. Setiap perubahan dalam instrumen moneter pada tahap pertama akan mempengaruhi pasar uang, yang pada gilirannya akan diikuti oleh penyesuaian seluruh suku bunga di sepanjang yield curve. Aset dalam bentuk obligasi dengan demikian akan dihargai kembali sebagai akibat dari (i) revisi dalam kupon, dan (ii) revisi dalam ekspektasi penghasilan akibat perubahan harga obligasi. Kondisi ini selanjutnya diterjemahkan ke kegiatan ekonomi riil melalui wealth effect, yang pada gilirannya mempengaruhi permintaan domestik dan akhirnya inflasi. Kecepatan proses transmisi tersebut sangat bergantung pada struktur ekonomi itu sendiri. Menjadi pertanyaan penting sekarang adalah seberapa besar perubahan instrumen moneter tersebut mempengaruhi permintaan domestik dengan mengubah nilai agregat dari wealth. Jawaban pertanyaan ini sangat terkait dengan seberapa besar proporsi pemegangan aset-aset oleh rumah tangga. Ludvigson (2002) menemukan bahwa dampak perubahan suku bunga fed terhadap wealth hanyalah bersifat sementara, dan akan hilang dalam kurun waktu kurang dari dua tahun. Lettau and Ludvigson (2001) menyatakan bahwa perubahan signifikan pada konsumsi hanya akan terjadi sebagai respons dari perubahan nilai aset yang bersifat permanen. Di Amerika Serikat, yang pasar modalnya sudah sangat berkembang dan setidaknya separuh rumah tangganya memiliki saham, ternyata wealth pasar modalnya pun masih sangat terkonsentrasi (Ameriks dan Zeldes, 2001). Semua ini memberi implikasi bahwa apapun bentuk wealth effect yang terjadi dapat digolongkan relatif kecil karena hanya melibatkan sebagian kecil rumah tangga.
32 Uang primer di Indonesia didefinisikan sebagai (i) uang tunai (uang kartal) yang dipegang baik oleh masyarakat maupun bank umum, ditambah dengan (ii) saldo rekening giro atau cadangan dalam Rupiah milik bank umum dan masyarakat di Bank Indonesia.
44
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
Central Bank rate
Reserves M0 Market Interest Rates
Loan Supply
Asset Prices Level
Real Rate (Given Inflation Expectation)
Wealth Channel
Exchange Rate
Interest Rate Channel
Relative Asset Prices
Collateral Exchange Rate Channel Broad Credit Channel
Narrow Credit Channel
Domestic Demand
Monetary Channel
Net External Demand
Stock of Money
Total Demand
Domestic Inflation Pressure
Import Prices
Inflation Rate
Sumber : Kuttner and Mosser (2002, p. 16) and Bank of England (1999,p.1)
Dalam konteks maraknya reksa dana obligasi pemerintah di Indonesia dewasa ini, skenario transmisi moneter yang mungkin terjadi adalah iSBI↓ p(Α)↑ w↑ D↑ π↑. Penurunan suku bunga instrumen direspons dengan kenaikan harga obligasi yang akan meningkatkan kekayaan rumah tangga. Kondisi ini pada gilirannya akan meningkatkan permintaan domestik dan akhirnya berdampak pada kenaikan harga (inflasi). Namun, menimbang bahwa kepemilikan reksadana dewasa ini baru dienyam oleh sebagian kecil masyarakat perkotaan yang berpendidikan relatif tinggi dan sekaligus banking minded, wealth effect dari maraknya reksa dana akhir-akhir ini diprakirakan masih sangat kecil. Terkait dengan pelaksanaan kebijakan moneter, mengingat bahwa perkembangan reksa dana—khususnya dengan underlying obligasi pemerintah—terkait erat dengan kecenderungan penurunan suku bunga SBI akhir-akhir ini, perkembangan reksa dana dengan demikian sangat rentan terhadap perubahan stance kebijakan otoritas moneter. Secara
Apa, Bagaimana, Dan Dampak Reksa Dana
45
lebih spesifik, perubahan stance kebijakan otoritas moneter, terlebih yang dilakukan secara mendadak dan dalam magnitude besar (bergejolak), sangat membahayakan perkembangan reksa dana khususnya dan kestabilan pasar keuangan secara umum. Perubahan stance kebijakan moneter dalam kaitan ini perlu dilakukan secara gradual, terukur, dan konsisten (smooth). Pertimbangan inilah yang menjadi dasar utama mengapa bank-bank sentral di dunia umumnya menerapkan kebijakan interest rate smoothing33 . Dalam konteks kondisi perekonomian Indonesia dewasa ini, maraknya fenomena reksa dana yang melibatkan perbankan ini dapat menjadi salah satu indikator dari masih belum pulihnya aliran dana-dana perbankan dalam bentuk kredit ke sektor riil. Besarnya ketertarikan perbankan di bisnis reksa dana dikuatirkan justru akan makin mempertebal keengganan bank-bank untuk menyalurkan kredit ke sektor riil yang secara umum masih dipandang penuh risiko. Satu efek positif dari fenomena “disintermediasi” perbankan ini adalah munculnya dorongan yang semakin kuat bagi perusahaan-perusahaan untuk mengurangi ketergantungan mereka pada dana perbankan dengan menerbitkan obligasi. Terutama guna memahami dampaknya pada mekanisme transmisi kebijakan moneter. otoritas moneter sangat berkepentingan untuk mencermati kemungkinan perubahan struktural di pasar keuangan Indonesia ini.
Keuangan Pemerintah Pertumbuhan produk reksa dana sangat kondusif bagi pengembangan pasar obligasi pemerintah, baik di pasar perdana maupun sekunder. Pembebasan PPh untuk reksa dana dapat dianggap sebagai salah satu cara untuk memuluskan jalan bagi terbentuknya pasar sekunder obligasi pemerintah yang deep dan likuid yang pada gilirannya mendorong yield Grafik 3. Perkembangan YTM beberapa Fixed Rate Bonds dan Suku Bunga SBI % 15.0 14.5 14.0 13.5 13.0 12.5 12.0 11.5 3
10
17
24
31
7
Januari 2003 FR 06
FR 08
14
21
28
Februari 2003 FR 21
SBI 1 bulan
33 Lihat Srour, Gabriel (2001), “Why Do Central Banks Smooth Interest Rates”, Bank of Canada, Working Paper 2001-17 dan Battelino, Ric et. al, “The Implementation of Monetary Policy in Australia”, Reserve Bank of Australia, Research Discussion Paper 9703
46
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
to maturity (YTM) menjadi lebih rendah34 . Dengan YTM yang lebih rendah, penghematan keuangan pemerintah yang bisa dihasilkan dari penerbitan obligasi untuk keperluan refinancing selama setahun diperkirakan dapat mencapai Rp35 triliun, jauh lebih besar daripada tax-revenue loss kurang lebih sebesar Rp1 triliun akibat pembebasan PPh final tersebut di atas 35 . Grafik 3 mengindikasikan bahwa sejumlah obligasi pemerintah yang aktif diperdagangkan, seperti FR 06, FR 08 (obligasi rekap) dan FR 21 (T-bonds), mempunyai pergerakan YTM yang semakin menurun tajam. Per akhir Februari 2003, YTM obligasi seri FR 06 dan FR 08 bahkan telah mencapai level di bawah suku bunga SBI 1 bulan.
PENUTUP Salah satu kesulitan mendasar dalam pengawasan dan pengaturan perkembangan reksa dana adalah bahwa produk reksa dana berada pada dua wilayah yurisdiksi yang berbeda, yakni industri perbankan dan pasar modal. Meski produk reksa dana sendiri secara formal merupakan produk pasar modal, keterlibatan bank dalam transaksinya berpotensi menimbulkan sejumlah risiko. Guna meminimisasi risiko yang mungkin terjadi namun tanpa mengorbankan keuntungan yang potensial diperoleh dari perkembangan reksa dana (pendapatan tetap), kerja sama antara otoritas moneter dan otoritas pasar modal sangat diperlukan. Dipertegasnya aturan transaksi jual beli obligasi rekap antara bank dan MI untuk lebih menekan risiko bank adalah salah satu bentuk kerja sama tersebut36 . Selain itu, peran regulator dan perbankan perlu ditekankan dalam mengedukasi masyarakat bahwa reksa dana adalah produk pasar modal yang memiliki risiko investasi tersendiri. Termasuk dalam upaya edukasi ini adalah dihapuskannya seluruh bentuk garansi atas return reksa dana oleh perbankan37 . Terakhir, otoritas pasar modal juga perlu menyusun aturan pricing obligasi untuk melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, termasuk masyarakat sebagai nasabah.
34 Sebelum muncul kebijakan ini, YTM obligasi rekap berada pada kisaran 24% sehingga menyebabkan tipisnya permintaan terhadap obligasi jenis ini. 35 Hasil perhitungan kasar dari P.T. Schroders Investment Management Indonesia. 36 Secara khusus, aturan tersebut menyatakan bahwa hanya transaksi outright yang dimungkinkan dan diterapkan peraturan prudential yang berlaku terhadap MI yang terafiliasi dengan bank. 37 Baru-baru ini Bapepam menyatakan bahwa produk reksadana tidak termasuk produk dalam penjaminan pemerintah.
Apa, Bagaimana, Dan Dampak Reksa Dana
47
DAFTAR PUSTAKA Bank of England Monetary Policy Committee. 1999. “The Transmission Mechanism of Monetary Policy.” London: Bank of England. Battelino, Ric et. al, “The Implementation of Monetary Policy in Australia”, Reserve Bank of Australia, Research Discussion Paper 9703. Collins, S., and C.I. Edwards. 1994. “An Alternative Monetary Aggregate: M2 plus Household Holdings of Bond and Equity Mutual Funds,” Federal Reserve Bank of St. Louis, Review vol. 76 (November/December 1994) page 7-30. Kuttner, K.N., and P.C. Mosser.2002. “The Monetary Transmission Mechanism: Some Answers and Further Questions.” Federal Reserve Bank of New York Economic Policy Review. Ludvigson, Sidney et.al. 2002. “Monetary Policy Transmission through the Consumption-Wealth Channel.” Federal Reserve Bank of New York Economic Policy Review Mishkin, cF.S. 1995. “Symposium on the Monetary Transmision Mechanism. ” Journal of Economic Perspectives. Srour, Gabriel. 2001. “Why Do Central Banks Smooth Interest Rates” , Bank of Canada, Working Paper 2001-17. ........................, Indikator Terkini Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia, 1999-2003. ........................, Laporan Tahunan Surat Utang Negara, Bank Indonesia, Februari 2003. ........................, Money and Financial Markets, Federal Reserve Bank of Cleveland, several issues. ........................, Statistik Pasar Modal, Riset-Biro PIR Bapepam, beberapa edisi. ........................, Recent Developments in the Monetary Aggregates and Their Implications, Bank of Canada Review, Spring 2000.
48
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
LAMPIRAN R E K S A D A N A38 Definisi Reksa dana (mutual fund) adalah sertifikat yang menjelaskan bahwa pemiliknya menitipkan sejumlah uang kepada pengelola Reksa dana (Manajer Investasi) untuk digunakan sebagai modal berinvestasi di pasar uang atau pasar modal sesuai dengan kebijakan investasi yang dipilih. Pada prinsipnya, investasi pada Reksa dana adalah melakukan diversifikasi pada sekian alat investasi yang diperdagangkan di pasar modal dan pasar uang, seperti saham, obligasi, commercial paper, dan lainnya.
Landasan Hukum • Undang Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 45 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal • Peraturan-peraturan Bapepam Bentuk Hukum • Perseroan • Kontak Investasi Kolektif Keduanya harus memperoleh ijin dari Bapepam. Jenis Reksa dana • Reksadana Pasar Uang (Money Market Fund) Reksadana ini hanya melakukan investasi pada efek bersifat utang dengan jatuh tempo kurang dari 1 (satu) tahun. Tujuannya untuk menjaga likuiditas dan pemeliharaan modal. Risiko relatif lebih rendah dibanding reksadana jenis lain. • Reksadana Pendapatan Tetap (Fixed Income Funds) Reksadana ini melakukan investasi sekurang-kurangnya 80% dari aktivanya dalam bentuk efek bersifat utang. Tujuannya untuk menghasilkan tingkat pengembalian yang stabil. Risiko relatif lebih besar dari Reksadana Pasar Uang.
38 Sumber: http://www.jsx.co.id/_old/education/reksa.htm, http://www.bankmandiri.co.id/indonesia/company-info/consumer-banking/reksadana.asp
Apa, Bagaimana, Dan Dampak Reksa Dana
49
• Reksadana Saham (Equity Funds) Reksadana ini melakukan investasi sekurang-kurangnya 80% dari aktivanya dalam bentuk efek bersifat ekuitas. Tujuannya untuk memperoleh pertumbuhan harga saham/ unit dalam jangka panjang. Risiko lebih tinggi dari Reksadana Pasar Uang dan Reksadana Pendapatan Tetap namun menghasilkan tingkat pengembalian yang tinggi. • Reksadana Campuran (Discretionary Funds) Reksadana ini melakukan investasi dalam efek bersifat saham dan utang yang perbandingannya tidak termasuk Reksadana Pendapatan Tetap dan Saham. Tujuannya untuk pertumbuhan harga dan pendapatan. Risiko moderat dengan tingkat pengembalian yang relatif tinggi daripada Reksadana Pendapatan Tetap.
Manfaat • Dapat Diperjual Belikan Reksa dana jenis open-end bisa dijual kembali kepada Manajer Investasi, sedang reksadana close-end bisa dijual di pasar sekunder39 . • Dikelola Manajemen Profesional Pengelolaan portofolio Reksadana dilaksanakan oleh Manajer Investasi yang dapat melakukan riset secara langsung dalam menganalisa harga efek serta mengakses informasi ke pasar modal. • Diversifikasi Investasi Akan mengurangi risiko karena dana/kekayaan reksadana diinvestasikan pada berbagai jenis efek sehingga risikonya juga tersebar. • Kemudahan Berinvestasi Nilai investasi awal reksadana relatif rendah dibandingkan jenis investasi lain. • Transparansi Informasi Pengelola reksadana wajib mengumumkan Nilai Aktiva Bersih (NAB)-nya setiap hari di surat kabar serta menerbitkan laporan keuangan tengah tahunan
39 Sifat reksa dana: • Terbuka (open end) Merupakan perusahaan dimana pemodal membeli saham dan menjual kembali kepada perusahaan tersebut, tanpa mengenal batas jumlah saham yang diterbitkan. Transaksi pembelian/penjualan dilaksanakan dengan harga yang dilandaskan pada nilai saat transaksi (current value) yang dalam hal ini disebut sebagai Nilai Aktiva Bersih (Net Asset Value). Perhitungan Nilai Aktiva Bersih dilakukan paling sedikit satu kali sehari dan menunjukkan nilai satu lembar saham di dalam portfolio Reksa dana. • Tertutup (close end) Merupakan perusahaan Reksa dana yang beroperasi dengan jumlah saham yang tetap dan tidak mengatur secara teratur penerbitan saham baru. Harga saham Reksa dana tertutup ditentukan tidak hanya oleh Nilai Aktiva bersihnya saja, tetapi juga ditentukan oleh permintaan dari penawaran di Bursa. Perusahaan Reksa dana tertutup tidak dapat membeli kembali sahamnya. Jual/beli di lakukan di Bursa atau di luar Bursa. • Unit Investment Trust Merupakan suatu wahana investasi dimana sponsor Reksa dana (biasanya perusahaan pialang) menempatkan suatu portofolio saham yang tetap secara bersama dengan menyimpannya kepada pihak yang dipercaya (seperti bank), dan kemudian dalam menjual kepemilikan unit-unit dalam portofolio tersebut kepada pemodal (biasanya perorangan).
50
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
atau tahunan serta prospektif secara teratur sehingga investor dapat memonitor perkembangan investasinya secara rutin. • Likuiditas yang Tinggi Pemodal dapat mencairkan kembali saham/unit penyertaannya setiap saat sesuai ketetapan yang dibuat, sehingga memudahkan investor mengelola kasnya. • Biaya Relatif Rendah Karena Reksa dana merupakan kumpulan dana dari banyak pemodal akan menghasilkan efisiensi biaya transaksi.
Risiko • Risiko Berkurangnya Nilai Unit Penyertaan Diakibatkan menurunnya harga dari efek (saham, obligasi dan surat berharga lainnya). • Risiko Likuiditas Penjualan kembali (redemption) sebagian besar unit penyertaan secara bersamaan dapat menyulitkan Manajer Investasi dalam menyediakan uang tunai bagi pembayaran tersebut. • Risiko Politik dan Ekonomi Perubahan kebijaksanaan di bidang politik dan ekonomi dapat mempengaruhi kinerja perusahaan dan harga efek dalam portofolio • Risiko Wanprestasi Risiko ini dapat timbul saat perusahaan asuransi yang mengasuransikan kekayaan reksadana tidak segera membayar ganti rugi atau membayar lebih rendah dari nilai pertanggungan. • Risiko Pembubaran Pembubaran Manajer Investasi yang penyebabnya bisa datang dari berbagai hal dapat merugikan pemodal.
Memonitor Kinerja Reksa dana • Total Hasil Investasi (Total return) Total Hasil Investasi adalah perbandingan antara nilai kenaikan NAB per unit saham/unit penyertaan dalam satu periode dengan NAB per saham/unit penyertaan pada awal penyertaan • Perkembangan NAB Perkembangan NAB dan tata cara perhitungan besarnya NAB harus dimuat di media massa sehingga memudahkan masyarakat dalam membandingkan kinerja suatu Reksa dana dengan Reksa dana sejenis lainnya. • Laporan Periodik Pengelola reksadana wajib memberikan laporan periodik (tahunan maupun tengah tahunan) kepada pemegang saham/unit penyertaan yang menggambarkan kinerja reksadana yang bersangkutan.
Apa, Bagaimana, Dan Dampak Reksa Dana
51
Pihak Penunjang Reksa dana • Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan undang-undang yang berlaku • Bank Kustodian Kustodian adalah lembaga yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek.
Return dari Reksa dana Penghasilan investasi reksadana akan sangat bergantung pada prospektus dan jenis reksadana yang dipilih40 . Secara umum terdapat 3 sumber penghasilan dari investasi pada reksadana: • Dividen Untuk mendapatkan dividen/bunga, pemodal harus memilih reksadana yang memiliki sasaran investasi berupa pendapatan. Manajer Investasi mempunyai hak untuk mendistribusikan atau tidak deviden atau bunga yang diperolehnya kepada pemodal. Kalau prospektusnya menerangkan bahwa dividen/bunga akan didistribusikan, dalam waktu tertentu pemodal akan mendapatkan dividen/bunga tersebut. • Capital gain Capital gain akan diberikan oleh reksadana yang memiliki sasaran pertumbuhan. Pendapatan ini berasal dari kenaikan harga saham atau diskon obligasi yang menjadi portofolio reksadana. Bila Manajer Investasi dalam prospektusnya menerangkan akan mendistribusikan capital gain, dalam waktu tertentu pemegang reksadana akan mendapat distribusi capital gain ini. Namun juga terdapat reksadana yang tidak mendistribusikan capital gain, tapi keuntungan tersebut ditambahkan pada NAB. • Peningkatan NAB (Nilai Aktiva Bersih) NAB adalah perbandingan antara total nilai investasi yang dilakukan manajer investasi dengan total volume reksadana yang diterbitkannya. Sebagai ilustrasi, pada awal tahun 1990, Manajer Investasi X menerbitkan 445.000 lembar reksadana, dengan harga Rp1.000. Harga ini bisa dianggap sebagai NAB awal. Pada akhir tahun 1990, nilai investasi meningkat menjadi Rp600 juta sebagai akibat kenaikan harga saham yang menjadi portofolio Manajer Investasi X, serta pembayaran dividen dan bunga obligasi. NAB baru adalah Rp600 juta : 445.000 = Rp1.348. Berarti, reksadana telah mengalami kenaikan 40 Sebagai informasi, setiap prospektus reksa dana akan mencantumkan sasaran investasi pada saat penawaran. Sasaran investasi reksadana adalah pendapatan, pertumbuhan, pertumbuhan dan pendapatan, dan keseimbangan.
52
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
34,8%. Bagaimana mendapatkan kenaikan NAB tersebut akan sangat bergantung pada jenis reksadana yang dibeli. Reksadana terbuka akan membeli kembali dengan harga NAB baru, sementara reksadana tertutup tidak akan dibeli kembali oleh penerbitnya. Jadi setelah terjadi transaksi di pasar perdana, reksadana tertutup selanjutnya akan diperjualbelikan di pasar sekunder. Harga yang terbentuk merupakan pertemuan dari permintaan dan penawaran. NAB yang diperhitungkan oleh penerbitnya merupakan informasi yang dapat menjadi pedoman tawar-menawar.
SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi
53
SBI, T-BILLS DAN PENGENDALIAN INFLASI
Firman Mochtar Juni 2003
Abstrak Kajian sederhana ini bertujuan untuk membandingkan dampak penggunaan SBI dan rencana penggunaan T-Bills sebagai piranti operasi pasar terbuka dalam kaitannya dengan pengendalian inflasi. Hasil kajian ini memperlihatkan bahwa kebijakan moneter dalam periode penggunaan SBI sebagai piranti OPT tidak sepenuhnya sesuai dengan pendapat para kaum monetaris yang meyakini bahwa kebijakan moneter ketat akan dengan berkelanjutan mampu mengendalikan inflasi. Studi ini memperlihatkan bahwa kebijakan moneter ketat yang diterapkan Bank Indonesia dalam periode SBI ini ternyata dalam proses dinamisnya dapat memberikan tekanan kembali bagi meningkatnya inflasi di periode-periode selanjutnya. Hasil berbeda didapat bilamana TBills sebagai piranti OPT telah diterapkan. Keyakinan kaum monetaris akan mampu dicapai bilamana T-Bills telah diterapkan secara penuh sebagai piranti operasi pasar terbuka. Melalui kebijakan moneter yang credible (permanent and unanticipated) serta dibarengi oleh kebijakan fiskal yang memberikan komitmen terhadap TBills yang diterbitkan, hasil simulasi memperlihatkan bahwa pengendalian inflasi akan dapat secara permanen diperoleh.
54
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
1. Pendahuluan Sejalan dengan pemberlakuan UU No. 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara maka pemerintah memperoleh landasan hukum untuk menerbitkan surat utang negara (Bank Indonesia, 2003 hal. 136). Salah satu utang negara yang diterbitkan adalah Surat Perbendaharaan Negara atau semacam T-Bills di AS dengan karakteristik mirip dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Memperhatikan karakteristik tersebut dalam jangka panjang T-Bills ini diharapkan akan menjadi pengganti SBI sebagai piranti moneter dalam operasi pasar terbuka yang dilakukan oleh Bank Indonesia (Boediono, 2003). Merujuk kepada rencana tentang T-Bills tersebut, paper ini akan secara sederhana mencoba membandingkan dampak dari penerapan kedua piranti tersebut (SBI dan T-Bills) terhadap upaya pengendalian inflasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Guna membandingkan kedua rejim tersebut paper ini akan terdiri dari empat bagian. Bagian kedua menjelaskan model yang digunakan untuk menganalisa permasalahan. Bagian ketiga akan memberikan gambaran hasil simulasi atas model yang digunakan setelah menggunakan data Indonesia sebagai parameter dalam kalibrasi. Pada bagian ini juga akan diinterpretasikan konsekuensi penggunaan SBI dan T-Bills dalam upaya pengendalian inflasi di Indonesia. Sementara bagian keempat merupakan kesimpulan dan implikasi kebijakan.
2. Model Perekonomian diasumsikan berpopulasikan rumah tangga (representative housed holds) yang pada tiap periode 1 t memilih konsumsi riil c, uang nominal, Mt serta surat d berharga pemerintah Bt guna memaksimalkan utilitas ∞
max E ∑ β tU (ct , Mtd / Pt ), d d
0 < β < 1,
(1)
Mtd − Mt −1 Btd − Rt −1 Bt −1 + = yt − τ t , Pt Pt
(2)
{c t , M t , Bt }
t =0
dalam batasan anggaran
ct +
dimana Pt indeks harga secara umum, Rt −1 bunga dan pokok surat berharga pemerintah yang dijual pada satu periode sebelumnya (t-1) dan jatuh tempo pada periode t, τ t pajak lumpsum yang ditarik pada periode (t-1) dan produksi perekonomian pada periode t.
1 Dalam analisanya, model ini akan menggunakan periode triwulanan.
SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi
55
Produksi perekonomian diasumsikan merupakan variabel eksogen2 . Pengeluaran pemerintah dalam arti konsolidasi anggaran pemerintah pusat dan bank sentral (yang selanjutnya disebut akan sebagai anggaran pemerintah/ government budget constraint) dibiayai melalui penciptaan uang oleh bank sentral, Mt − Mt −1 , nilai bersih penjualan surat berharga pemerintah, Bt − Rt −1 Bt −1 , dan pajak lumpsum, τ t , sehingga memenuhi persamaan batasan anggaran pemerintah dalam arti konsolidasi antara pemerintah pusat dengan bank sentral
Mt − Mt −1 Bt − Rt −1 Bt −1 + + τ t = gt Pt Pt
(3)
Secara sepintas, anggaran pemerintah ini tidak berbeda dengan persamaan anggaran pemerintah yang banyak digunakan dalam pembahasan peranan anggaran pemerintah dan interaksinya dengan kebijakan moneter dalam perekonomian. Namun bila dikaitkan dengan periodisasi penerapan T-Bills dan SBI, sebagaimana akan dijelaskan pada bagian tersendiri, persamaan (3) khususnya melalui variabel B akan memililiki arti yang berbeda dan mempunyai implikasi lanjutan yang berbeda pula bagi pengendalian inflasi. Dalam model ini diasumsikan pengeluaran pemerintah adalah konstan dalam rasio tertentu terhadap output perekonomian, g t = λy t dimana. 0 < λ < 1 Dengan menggunakan rasio ini maka persamaan kendala anggaran pemerintah konsolidasi antara pemerintah pusat dan bank sentral pada persamaan (3) dalam nilai riil menjadi :
mt −
m t− 1 bt −1 R t−1 + bt − + τ t = λ yt πt πt
(4)
Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal Dalam model ini kebijakan moneter dan kebijakan fiskal diformulasikan secara eksplisit. Penetapan kebijakan moneter yang tercermin dari penetapan suku bunga SBI, disamping dipengaruhi oleh inflasi pada periode bersangkutan diasumsikan pula menganut forward looking monetary policy dengan turut memberikan bobot pada ekspektasi inflasi satu periode mendatang dalam penentuan kebijakan moneter.
2) Terdapat 2 alasan penggunaan produksi perekonomian menjadi variable eksogen (endowment economy). Pertama variable harga dalam model yang digunakan diasumsikan merupakan harga yang fleksibel. Akibat penggunaan harga yang fleksibel ini maka setiap kejutan yang terjadi dalam perekonomian akan memberikan dampak yang relatif kecil terhadap output perekonomian. Kedua adalah penggunaan asumsi produksi perekonomian menjadi sebuah variable endogen (production economy) tidak akan terlalu banyak mengubah kesimpulan tentang pentingnya upaya memodelkan dengan eksplisit adanya interaksi kebijakan fiskal dan moneter dalam perekonomian.
56
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
Rt = exp(γ 0 )π tγ 1 π tγ+21θ t
(5)
dimana
ρθ ∈ [ 0,1) dan
log(θ t ) = ρ θ log(θ t −1 ) + σ θ ε θt
σθ > 0
(6)
Penggunaan inflasi sebagai satu-satunya variable yang mempengaruhi monetary policy rule sejalan dengan penerapan kerangka inflation targeting dalam kebijakan moneter di Indonesia (Alamsyah et.al., 2001). Hasil uji sederhana menunjukkan pula bahwa sejak periode 1998 kebijakan moneter di Indonesia yang tergambar melalui penetapan suku bunga SBI hanya memberikan bobot dan perhatian kepada inflasi dalam kebijakan moneter (Mochtar, 2002). Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah pusat diasumsikan secara sederhana menganut pola kebijakan berbentuk penetapan pajak lumpsum yang mengacu kepada posisi surat berharga pemerintah (SBI atau T-Bills) pada periode sebelumnya.
τ t = exp(δ 0 )btδ−21ν t
(7)
dimana
log(ν t ) = ρν log(ν t −1 ) + σ ν ε tν
ρν ∈ [ 0,1) dan σ ν > 0
(8)
Ekonomi dalam Keseimbangan Dalam kondisi keseimbangan maka perilaku rumah tangga yang optimal sebagaimana digambarkan melalui first order condition dapat disederhanakan menjadi:
U c (t ) U (t + 1) = βRt E t c Pt Pt +1
(9)
U (t + 1) u M (t ) U c (t ) = − βE t c Pt Pt Pt +1
(10)
SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi
57
Persamaan (9) menginterpretasikan standar persamaan Euler dari konsumsi dimana utilitas yang diperoleh untuk setiap penambahan konsumsi di periode sekarang adalah sama dengan present value utilitas yang diperoleh untuk setiap penambahan konsumsi pada periode mendatang setelah memperhitungkan suku bunga nominal. Sementara persamaan (10) menggambarkan utilitas yang diperoleh untuk setiap penambahan uang yang dipegang adalah sama dengan selisih penambahan utilitas konsumsi sekarang dengan present value utilitas konsumsi periode mendatang, Dalam kondisi keseimbangan ini, perekonomian berkarakteristik memenuhi market clearing condition sebagai berikut :
M td = M t
ct = (1 − λ ) y t
(11)
B td = B t Dengan mengasumsikan preferensi rumah tangga dalam perekonomian memiliki bentuk fungsional α −1 α −1 d α M α d t α , U ( ct , M t / Pt ) = c t + α −1 Pt
α > 0 (12)
dimana βfaktor diskonto (discount factor), dan α elastisitas subsitusi antar waktu (elasticity of intertemporal substitution) maka kombinasi persamaan (9), (10) serta kondisi market clearing akan diperoleh fungsi permintaan uang (liquidity preference)
R − 1 Mt = c t t Pt Rt
−α
Pt
(13)
Bila inflasi, π t = P maka dari persamaan (9) diperoleh pula persamaan Fisher t −1 yang menghubungkan antara suku bunga nominal dengan suku bunga riil dan ekspektasi inflasi
Rt =
1 u c (t ) E t π t+1 β uc (t + 1)
atau bila menggunakan bentuk fungsional menjadi:
58
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
1 − α ct 1 Rt = Et π t +1 1 − β α c t +1
α −1 α −1 d α M α t +1 c t+ 1 + P t +1 α −1 α −1 d α c α + M t P t t
(14)
Linearisasi Model Solusi dalam paper ini selanjutnya akan dilakukan secara linier. Dalam kaitan itu maka model-model di atas terlebih dahulu diaproksimasi secara linear melalui aproksimasi log-linier (Uhliq, 1995 dan Walsh, 2003). Bila adalah deviasi sekitar level steady state dan adalah kondisi steady state maka persamaan-persamaan hasil log linearisasi diperoleh sebagai berikut:: Market clearing pasar barang : cˆ t = ˆyt
(15)
Anggaran pemerintah (government budget constraint):
m mˆ t −
m bR ˆ bR ˆ m bR πˆt + b bˆt − mˆ t− 1 + + bt −1 − Rt −1 + τ τˆt = λyyˆt π π π π π
(16)
Kebijakan moneter
Rˆ t = γ 1πˆ t + γ 2 πˆ t +1 + θˆt
(17)
Persamaan Fisher: α −1
Bila z = c α + m t t t
α −1 α
dan
cˆt = ˆyt maka Fisher equation menjadi
1 1 Rˆ t = ˆyt +1 − yˆ t + πˆ t +1 + zˆt +1 − zˆ t α α
(18)
Sementara bagi definisi sendiri menjadi:
zˆt =
1 α − 1 m z α
α −1 α
α −1 α −1 mˆ t + ( (1 − λ ) y ) α yˆ t α
(19)
SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi
τˆt = δ 1bˆt −1 + νˆt
Kebijakan Fiskal :
(20)
α ˆ Rt R −1
mˆ t = yˆ t −
Permintaan uang :
(21)
θˆt = ρ θ θˆt −1 + σ θ ε θt
Kejutan pada kebijakan moneter:
νˆ t = ρν νˆt −1 + σ ν ε
Kejutan pada kebijakan fiskal:
59
(22)
ν t
(23)
Sementara itu dalam kondisi steady state, perekonomian memiliki karakteristik sebagai berikut : Market clearing pasar barang : c = (1 − λ ) y Pajak :
τ = λy − m +
m bR −b+ π π
(25)
Suku bunga nominal: Permintaan uang :
R − 1 m t = c R
(24)
π R= β
(26)
−α
(27)
Variabel kejutan : θ = ν = 1 Definisi :
z=c
α −1 α
+m
(28)
α −1 α
(29)
Selain persamaan-persamaan di atas, ditambahkan pula persamaan pertumbuhan mt uang dalam arti nominal µ = m π t guna mengikuti perkembangan pertumbuhan uang t− 1 bilamana terjadi kejutan dalam perekonomian3 . Persamaan pertumbuhan uang ini bilamana di-aproksimasi secara linear di sekitar steady state level menjadi Pertumbuhan nominal uang :
mˆ t = mˆ t −1 + µˆ t − πˆ t
(30)
sedangkan dalam kondisi steady state pertumbuhan nominal uang adalah sama dengan inflasi yaitu Pertumbuhan nominal uang:
µ =π
(31)
Determinasi Keseimbangan Sebagaimana digunakan Leeper (1991) maka determinasi kesiembangan pada sistem persamaan yang digunakan (15)-(23) dan (30) juga dapat diterasir melalui parameter kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Sebagai gambaran untuk kondisi α = 1 4 maka determinasi keseimbangan kebijakan moneter diperoleh melalui kombinasi persamaan kebijakan moneter (17) dan persamaan fisher (18) sehingga menghasilkan satu sistem Mt
M t Pt −1 Pt
mt
3 Persamaan pertumbuhan nominal uang ini diperoleh dari
µ=
4 Dalam kondisi maka bentuk fungsional utilitas menjadi
U ( ct , M td / Pt ) = log c t + log
M t −1
=
Pt M t −1 Pt −1
=
m t −1
πt
M td Pt
60
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
γ1 rekursif persamaan inflasi dengan root 1 − γ . Sementara itu determinasi kseimbangan 2 kebijakan fiskal dalam kondisi α = 1 ditentukan melalui kombinasi persamaan anggaran pemerintah (16) dan kebijakan fiskal (20) guna menghasilkan sistem rekursif persamaan 1 τ obligasi pemerintah dengan root β − δ 1 b .
Dari kedua root tersebut, keseimbangan yang stabil pada sistem persamaan yang digunakan akan diperoleh bilamana satu dari kedua root tersebut merupakan root yang stabil. Menggunakan berbagai kombinasi karakteristik keseimbangan yang dapat terjadi maka karakteristik inflasi dalam perekonomian akan tergantung pada kombinasi parameter-parameter kebijakan yang digunakan oleh kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Pada Leeper (1991), ruang lingkup (region) kebijakan tersebut dapat dibagi menjadi 4 region:
Region I : Pada region ini kebijakan moneter bersifat aktif yang ditandai dengan kebijakan moneter tidak memberikan respon terhadap perubahan yang terjadi pada obligasi pemerintah. Bank sentral menerapkan kebijakan moneternya tanpa memperhatikan pola dan kondisi obligasi pemerintah. Pada sisi lain karakteristik kebijakan fiskal adalah bersifat pasif yaitu kebijakan fiskal yang terus memberikan respon terhadap perubahan yang terjadi pada obligasi pemerintah sehingga dapat memenuhi keseimbangan pada persamaan anggaran pemerintah (16). Berbagai karakteristik pada kebijakan moneter dan fiskal tersebut tercermin melalui root
γ1 > 1 untuk kebijakan moneter yang aktif sedangkan kebijakan fiskal yang pasif 1− γ 2 1
τ
tergambar melalui root β − δ 1 b < 1 . Region II: Berbeda dengan region I, dalam region II ini karakteristik kebijakan yang terjadi adalah kebijakan fiskal yang aktif dan kebijakan moneter yang pasif. Kebijakan fiskal yang aktif adalah kebijakan fiskal yang tidak memberikan respon terhadap perubahan pada obligasi pemerintah sedangkan kebijakan moneter yang pasif adalah kebijakan moneter yang selalu memberikan respon terhadap perubahan yang terjadi pada obligasi pemerintah guna menjamin tejadinya keseimbangan pada anggaran pemerintah. Dalam kaitannya ini kebijakan moneter yang terjadi adalah kebijakan moneter yang berkomitmen menjaga keseimbangan pada anggarannya bila terjadi perubahan pada obligasi pemerintah.
SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi
1
61
τ
Kedua karak teristik dalam region ini tergambar melalui root β − δ1 b > 1 bagi kebijakan
γ1 fiskal dan root 1− γ < 1 bagi kebijakan moneter yang pasif. 2
Region III: Pada region ini kebijakan yang terjadi adalah kebijakan yang pasif pada kedua kebijakan yang ditandai dengan root
γ1 < 1 pada kebijakan moneter dan root 1− γ 2
1 τ −δ 1 <1 b β
pada kebijakan fiskal.
Region IV: Bertolak-belakang dengan region III, maka karakteristik kebijakan yang terjadi pada region ini adalah kebijakan yang aktif dengan root
γ1 >1 1− γ 2
pada kebijakan moneter
1 τ dan root β − δ1 b > 1 pada kebijakan fiskal.
Konsekuensi yang muncul bilamana kebijakan makro dalam perekonomian berada pada region III adalah banyaknya harga yang konsisten dengan kondisi keseimbangan (multiple equilibria) (Sargent dan Wallace, 1975). Sementara itu bilamana kebijakan yang terjadi dalam perekonomian adalah pada region IV maka keseimbangan harga tidak akan tercapai5 yang pada gilirannya dapat menimbulkan hyperinflation (Obstfeld danRogoff, 1985). Dengan keyakinan bahwa pengambil kebijakan akan segera melakukan koreksi bilamana pekeronomian berada pada region III dan region IV maka pembahasan dalam tulisan ini akan terkonsentrasai pada region I dan region II.
Kalibrasi Model Guna kepentingan kalibrasi maka model diasumsikan merupakan model dalam keseimbangan jangka panjang. Parameter rasio pengeluaran pemerintah terhadap output ( λ ) diperoleh secara tidak langsung melalui perhitungan rasio rata-rata konsumsi rumah tangga rata-rata terhadap PDB selama periode 1980 - 2000 yaitu sebesar 59%. 5 Hal ini akibat adanya dua root yang tidak stabil sehingga model tidak memiliki solusi
62
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
Menggunakan persamaan (31) maka rasio pengeluaran pemerintah terhadap output adalah 41% ( λ = 0.41 ). Inflasi dalam kondisi steady state diasumsikan melalui rata-rata inflasi periode 1981 - 1997 yaitu sebesar 8,5% (π = 0,85 ). Sementara itu suku bunga rill karena secara definisi melalui persamaan (26) adalah berbanding terbalik dengan parameter diskonto6 maka dengan suku bunga riil rata-rata 7 pada periode 1981-1997 sebesar 7,5% akan diperoleh parameter diskonto sebesar 9,3%. Untuk parameter rasio obligasi pemerintah yang dipegang masyarakat terhadap output dalam model ini akan tergantung periodisasi penerapan piranti yang digunakan dalam instrumen operasi pasar terbuka. Pemisahan ini menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan kombinasi kebijakan yang diterapkan guna memutuskan region kebijakan yang terjadi. Dalam periode SBI sebagai instrumen OPT diasumsikan rasio obligasi pemerintah dalam kondisi steady state adalah sama dengan rata-rata posisi SBI terhadap PDB yaitu sebesar 15%8 . Sementara itu rasio obligasi pemerintah terhadap output dalam periode penerapan T-Bill sebagai instrument OPT akan menjadi parameter skenario dalam tulisan ini. Parameter elastisitas substitusi antar waktu ( ) diperoleh secara tidak lansung melalui perhitungan elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga. Elastisitas permintaan uang diperoleh melalui hasil regresi menggunakan data triwulanan 1984 -2000 sebagai berikut:
m1t = 0,70 y t − 0,34 R t (2,95)
(32)
(−2,34)
Dengan merujuk pada persamaan (32) bahwa elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga adalah -0,34 ( Em R = − 0,34 ) maka dengan menggunakan persamaan (13) diperoleh elasitistas permintaan uang terhadap suku bunga adalah
Ε mR =
∂m R α =− ∂R m R −1
π Dengan menggunakan kondisi R = β dan
(
)
(33)
Em R = − 0,34 maka diperoleh koefisien α
yaitu α = Ε m R π i − 1 = 0,34[(1,085 x1.075)− 1] = 0.05
8 Dalam kalkulasi model, parameter ini kemudian akan menjadi
SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi
63
3. Simulasi dan Interpretasi Posisi Indonesia 3.1. Pola Kebijakan Moneter dan Fiskal pada Periode SBI Mengingat SBI berfungsi sebagai instrumen operasi pasar terbuka (OPT) yang dilakukan oleh Bank Indonesia maka karakteristik yang muncul dalam periode penerapan SBI ini adalah Bank Indonesia berkomitmen terhadap penerbitan SBI guna membayar kembali pokok dan bunga SBI yang diterbitkan pada periode-periode sebelumnya. Dalam hubungannya dengan pemerintah pusat, penerbitan SBI ini tidak memiliki ikatan tertentu dalam arti pemerintah tidak memiliki komitmen dan tidak memberikan respon dalam kebijakan fiskalnya terhadap penerbitan dan posisi SBI. Selain itu pemerintah pusat juga tidak memiliki obligasi sendiri yang akan dapat dijadikan instrumen dalam OPT oleh Bank Indonesia. Berkaitan dengan ruang lingkup kebijakan pada Leeper (1991) maka karakteristik penerapan SBI ini secara implisit memiliki hubungan yang sama dengan karakteristik region II yaitu kebijakan moneter pasif dan kebijakan fiskal aktif. Sebagai gambaran lain, karakteristik periode SBI terlihat melalui proses pembentukan konsolidasi anggaran pemerintah antara anggaran pemerintah pusat dan neraca bank sentral. Dari sisi pemerintah pusat, dengan asumsi bahwa penerimaan pemerintah dalam APBN hanya bersumber dari penerimaan dalam negeri maka selama periode penerapan SBI ini, seluruh pengeluaran pemerintah pusat dalam APBN hanya dibiayai dan bersumber dari pajak lumpsum dalam negeri dan penerimaan langsung dari Bank Indonesia (RCBt) (persamaan 38)9 .
g t = τt +
RCBt Pt
(34)
Melalui persamaan (34) ini serta praktik keuangan pemerintah yang terjadi selama ini menggambarkan bahwa dalam periodisasi SBI ini pemerintah tidak memiliki komitmen terhadap penerbitan SBI oleh Bank Indonesia atau dengan kata lain kebijakan fiskal yang diterapkan adalah kebijakan yang aktif10 . Dari sisi Bank Indonesia, arus kas Bank Indonesia pada setiap periode akan bersumber pada selisih pertambahan base money (seignorage) dan pertambahan penerbitan SBI sedangkan penggunaannya akan ditujukan kepada pembayaran bunga SBI periode 9 Penerimaan langsung dari Bank Indonesia ini dapat diinterpretasikan sebagai profit Bank Indonesia yang harus disetor kepada pemerintah. 10 Disadari bahwa penggunaan persamaan (34) berarti mengabaikan peranan pinjaman luar negeri dalam pembentukan APBN. Namun, mengingat besarnya penerimaan pembangunan relative sama besar dengan dengan pembayaran kembali pokok dan bunga pinjaman luar negeri maka penggunaan persamaan (34) ini masih memiliki relevansi.
64
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
sebelumnya dan setoran profit kepada pemerintah (persamaan 35).
rt −1 SBI t RCBt SBI t − SBI t−1 M t − M t −1 + = + Pt Pt Pt Pt
(35)
Persamaan (35) dan praktik yang terjadi menunjukkan bahwa kebijakan moneter dalam periode SBI ini adalah kebijakan yang pasif. Karena fungsi SBI disini adalah sebagai instrumen OPT yang kurang lebih akan sama fungsinya bila menggunakan T-Bills kelak sehingga secara definisi kita dapat menotasikan SBI t = Bt . Dengan mengkombinasikan persamaan (34) dan (35) maka diperoleh
M t − M t− 1 Pt
+
Bt − Bt −1 Pt
+τ t = g t +
rt−1 B t −1 Pt
(36)
Bilamana Rt −1 = 1 + rt− 1 guna menggambarkan nilai pembayaran bunga dan pokok kewajiban surat berharga pemerintah pada periode sebelumnya dan jatuh tempo pada periode sekarang maka kendala anggaran pemerintah dalam arti konsolidasi antara APBN dan arus kas Bank Indonesia akan tetap menghasilkan persamaan yang sama dengan persamaan (3). Menggunakan dasar premis tersebut bahwa kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia dan pemerintah selama periode penerapan SBI berada dalam region II maka pengujian berikutnya adalah menentukan parameter - parameter pada kebijakan moneter ( γ 1 dan γ 2 ) dan kebijakan fiskal ( δ 1 ). Berdasarkan hasil regresi suku bunga SBI 1 bulan sebagai instrumen penetapan kebijakan moneter untuk periode 1997:4-2001:2 maka didapat monetary policy rule sebagai berikut
R t = 0,44π t + 0,18π t +1 + θˆt (6,25) (2,60)
(37)
Sementara persamaan untuk kejutan kebijakan moneter diperoleh adalah
θˆt = 0.2θˆt −1 + ε θt Dari persamaan ini maka diperoleh parameter γ 1 = 0,44 , γ 2 = 0,18 , ρθ = 0. 2 , dan σ θ = 1 . Dari sisi kebijakan fiskal karena perilaku kebijakan fiskal yang aktif selama periode SBI in maka kita akan memperoleh parameter kebijakan δ 1 = 0 . Parameter-parameter yang mencerminkan adanya kebijakan moneter yang pasif dan kebijakan fiskal aktif pada
SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi
65
perekonomian akan memberikan implikasi tertentu bilamana terjadi kejutan pada masingmasing kebijakan.
Simulasi Kebijakan pada Periode SBI Solusi perilaku agen ekonomi berekspektasi rasional pada sistem persamaan (15)(23) dan (30) di atas diperoleh dengan menggunakan metode pada Sims (1997)11 . Berdarkan hasil simulasi, pengaruh kejutan kebijakan moneter melalui peningkatan suku bunga SBI pada periode awal akan menurunkan pertumbuhan nominal base money (gambar 1). Dalam praktiknya hal ini dapat digambarkan melalui OPT yang dilakukan Bank Indonesia melalui penjualan SBI guna menyerap uang beredar. Penurunan base money ini selanjutnya menurunkan laju inflasi. Penurunan laju inflasi ini (atau berarti terjadi penurunan penerimaan melalui seignogare) berdampak pada beralihnya portfolio rumah tangga representative dari memegang uang nominal menjadi lebih memilih memegang SBI. Menurunnya inflasi dan base money nominal mengakibatkan pada periode awal permintaan uang dalam arti riil juga mengalami penurunan sedangkan posisi SBI riil mengalami peningkatan. Dari pajak, akibat kebijakan fiskal yang aktif maka perubahan yang terjadi pada SBI tidak akan mempengaruhi pajak. Pemerintah pusat tidak merespon perubahan SBI ini sebagaimana tergambar pada pajak yang tidak mengalami perubahan .12 Pada periode kedua setelah kejutan kebijakan moneter, perilaku perekonomian tidak segera kembali kepada level steady state akan tetapi mengalami perubahan arah yang cukup berbeda dibandingkan periode awal. Pertumbuhan base money mengalami pertumbuhan positif sebagai dampak dari komitmen Bank Indonesia untuk membayar bunga atas SBI yang telah jual pada periode sebelumnya sedangkan pada sisi lain pemerintah pusat tidak memberikan respon dengan kondisi ini. Dengan asumsi Bank Indonesia di periode kedua ini tidak kembali melakukan pengetatan kebijakan moneter maka secara kumulatif uang yang beredar mengalami peningkatan (pada saat bank Indonesia harus membayar pokok ditambah bunga SBI). Akibat kuatnya kaitan inflasi dan uang beredar maka peningkatan uang beredar ini berarti pula menyebabkan terjadinya kembali inflasi (gambar 1). Secara teoritis fenomena inflasi yang meningkat akibat kebijakan moneter ketat yang dilakukan pada periode sebelumnya ini dikenal dengan fenomena “unpleasant monetarist arithmetic” (Sargent dan Wallace, 1981 dan Ljungvist dan Sargent, 2000).
11 Penggunaan Sim (1997) melalui metode ‘gensys’ memberikan manfaat tambahan dalam menggambarkan solusi sistem persamaan yang digunakan. Metode ‘gensys’ mampu memberikan informasi apakah solusi yang diperoleh merupakan solusi yang unik, un-determined ataukah explosive. 12 Magnitude pada pajak dapat dikategorikan nol. Nilai yang terjadi merupakan numerical error dalam komputasi (sebagaimana dari sangat kecilnya angka perubahan yang terjadi)
66
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
Gambar 1 Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter terhadap Perekomian dalam Periode SBI
Indikasi awal bahwa dalam periode penerapan SBI ini kebijakan moneter ketat justru mendorong inflasi ini secara implisit dapat pula didukung dan sejalan beberapa hasil riset yang dilakukan sebelumnya oleh Bank Indonesia melalui uji impulse response function atas model identified VAR (Kusmiarso et.al ,2002, hal.42 dan 44, Agung et.al, 2002 hal.114, Wuryandani et.al., 2002 hal.199 dan 206 dan Idris et.al, 2002 hal.257-264). Indikasi awal dari paper ini sekaligus memberikan solusi atas kemungkinan adanya ‘price puzzle13 dari hasil riset-riset tersebut. Perilaku suku bunga pada region ini akan tetap tinggi dan tidak akan segera turun setelah kebijakan moneter ketat diterapkan. Hal ini terjadi karena dalam dalam ruang lingkup ekspektasi rasional, representative agent secara rasional memiliki ekspektasi bahwa dalam region ini kebijakan moneter ketat berarti akan menyebabkan terjadinya inflasi di period ke depan. Melalui efek Fisher, ekspektasi adanya inflasi di periode mendatang menyebabkan suku bunga akan meningkat. Sementara dari sisi bank sentral, policy rule yang menerapkan forward looking policy berdampak pada tidak fleksibelnya suku bunga untuk segera turun setelah kejutan terjadi. Simulasi untuk periode penerapan SBI ini dilakukan pula atas kebijakan fiskal. Kejutan dari sisi kebijakan fiskal dilakukan dengan meningkatkan pajak sehingga berdampak pada menurunnya kekayaan rumah tangga representative pada periode setelah kejutan. Penurunan pendapatan masyarakat ini kemudian berdampak pada menurunkan permintaan terhadap barang yang pada akhirnya akan menurunkan inflasi (gambar 2). Dari sisi bank 13 Price puzzle didefinisikan sebagai perilaku harga yang meningkat justru saat terjadi kebijakan moneter ketat. Penyebab dan solusi secara ekonometrik ttg price puzzle bila tanpa memperhatikan region yang terjadi dapat lihat Sims (1992) dan Hanson (2000).
SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi
67
sentral, akibat lebih rendahnya inflasi maka selanjutnya menyebabkan bank sentral melalui kebijakan moneter melakukan penurunan suku bunga. Akibatnya, dari sisi permintaan terhadap SBI riil akan juga menurun sedangkan dari sisi permintaan uang riil akan mengalami peningkatan. Gambar 2 Pengaruh Kejutan Kebijakan Fiskal terhadap Perekonomian dalam Periode SBI
Kondisi perekonomian riil yang memberikan respon terhadap kejutan kebijakan fiskal di bawah periode SBI ini dapat diklasifikasikan dalam perekonomian non-Ricardian (Woodford, 1995). Dalam hubungannya dengan pengendalian inflasi maka kondisi kebijakan fiskal yang dapat mempengaruhi inflasi sering dikategorikan dalam perekonomian yang menerapkan ‘fiscal theory of price level determination’ (Woodford, 2001, Koncherlakota dan Pellan, 1999 dan Ljungvist dan Sargent, 2000).
3.2. Skenario Pola Kebijakan Moneter dan Fiskal pada Periode T-Bills Pada sub-bagian ini diasumsikan bahwa OPT telah dilakukan sepenuhnya menggunakan T-Bills. Dalam hubungan itu maka parameter kebijakan yang digunakan merupakan parameter skenario mengingat penerapan secara penuh T-Bills guna menggantikan SBI ini masih dalam beberapa waktu mendatang. Dalam periode penerapan T-Bills ini proses pembentukan konsolidasi anggaran pemerintah antara anggaran pemerintah pusat dan neraca bank sentral turut memberikan implikasi pada pengendalikan inflasi. Sebagaimana banyak terdapat dalam buku teks 14 , dalam periode ini sumber penerimaan anggaran pemerintah akan berasal dari penerimaan 14 Penjelasan lengkap mendapatkan persamaan (3) yang dalam paper ini terkait dengan penerapan T-Bills lihat Walsh (2003, hal. 137)
68
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
pajak, penjualan bersih T-Bills dan penerimaan langsung dari bank sentral. Sementara itu pengeluaran akan terdiri dari pembeliaan barang dan jasa serta pembayaran bunga atas pembelian T-Bills pada periode sebelumnya (persamaan 38).
gt +
rt −1 BtT−1 B T − BtT−1 RCBt = τt + t + Pt Pt Pt
(38)
Dari sisi bank sentral maka sumber dana akan berasal dari bersumber pada selisih bersih pertambahan base money (seignorage) dan bunga pembeliaan T-Bills sedangkan penggunaan dana ditujukan pada pembelian bersih T-Bills di pasar sekunder SBI dan kewajiban pembayaran keuntungan bank sentral kepada pemerintah (persamaan 39).
BtM − B tM−1 RCB t rt −1 B tM−1 M t − M t −1 + = + Pt Pt Pt Pt
(39)
T M Bila didefinisikan Bt = Bt − Bt sebagai gambaran nilai T-Bills yang beredar di masyarakat
dan bila tetap mendefinisikan Rt −1 = 1 + rt− 1 maka kombinasi persamaan (38) dan (39) akan diperoleh batasan anggaran pemerintah dalam arti konsolidasi antara APBN dan arus kas Bank Indonesia pada persamaan (3). Memperhatikan persamaan (3) maka akan tetap terdapat dua skenario kebijakan yang dapat diterapkan dalam periode ini. Pertama adalah kebijakan moneter diterapkan secara pasif dan kebijakan fiskal dilakukan secara aktif. Bila karakteristik kebijakan ini yang terjadi dalam perekonomian maka dampak yang terjadi diperkirakan adalah sama dengan dampak pada penerapan SBI. Pada jangka pendek kebijakan moneter ketat tersebut memang akan dapat menurunkan inflasi. Namun demikian, kebijakan moneter ketat ini diperkirakan tidak akan bertahan lama (uncredible policy: anticipated and temporary policy). Upaya pemerintah pusat membiayai pengeluarannya melalui obligasi secara teoritis akan memiliki batasannya. Bila ini terjadi maka lambat laun pembiayaan tersebut akan dibarengi oleh penciptaan uang oleh bank sentral sehingga melalui proses dinamis cepat atau lambat maka kebijakan moneter ketat ini akan kembali meningkatkan inflasi .15 Skenario kedua dari periode ini adalah ditandai dengan kebijakan moneter yang aktif dan kebijakan fiskal yan pasif. Pemerintah akan memiliki komitmen secara penuh terhadap perkembangan T-Bills yang telah dikeluarkan sedangkan Bank Indonesia akan dapat menerapkan kebijakan moneternya tanpa harus melihat pada path T-Bills tersebut. Sub-bagian berikut akan menggambarkan dampak kebijakan moneter dalam skenario tersebut. 15 Pembahasan lebih lanjut tentang kecenderungan yang pada dasarnya merupakan penjelasan dari teori ‘unpleasent monetarist arithmetic’ ini lihat Liviatan (1984) dan Drazen (1985).
SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi
69
Simulasi Kebijakan pada Periode T-Bills Sebagaimana dikemukakan sebelumnya maka parameter-parameter kebijakan akan menentukan perilaku perekonomian. Guna kepentingan simulasi pada region I ini maka diasumsikan parameter
γ 1 = 0,9 dan γ 2 = 0 ,75 . Parameter-paremeter ini sekaligus
mengimplikasikan bahwa dalam periode ini kebijakan moneter dapat memberikan respon yang lebih kuat terhadap inflasi bila dibandingkan periode penerapan SBI. Sementara itu, mengingat karekteristik kebijakan fiskal pada region ini akan terus memantau perkembangan T-Bills yang beredar di masayarkat maka diasumikan parameter kebijakan fiskal adalah
δ 1 = 0,3 .Untuk parameter kalibrasi lainnya diasumsikan sama dengan yang
terjadi pada periode penerapan SBI. Implikasi yang terjadi pada perekonomian dalam masa penerapan T-Bills ini diperkirakan akan berbeda dibandingkan periode penerapan SBI. Berdarkan hasil simulasi, kejutan kebijakan moneter pada periode ini secara penuh akan memenuhi kaidah yang diterapkan oleh kaum monetaris yaitu kebijakan moneter ketat akan dengan efektif menurunkan inflasi. Pada tahap awal kebijakan moneter ketat melalui peningkatan suku bunga nominal akan berdampak pada meningkatnya permintaan rumah tangga representative terhadap T-Bills. Dalam kondisi ini maka portfolio asset rumah tangga beralih dari memegang uang nominal menjadi memegang T-Bills yang tergambar melalui penurunan jumlah uang beredar dan peningkatan T-Bills. Dalam kaitannya dengan inflasi, maka menurunnya base money periode awal ini berarti pula menurunnya inflasi (gambar 3). Berbeda dengan pada masa penerapan SBI maka pada skenario penerapan T-Bills ini pemerintah akan merespon kenaikan T-Bills ini dengan meningkatkan pajak melalui kebijakan fiskalnya guna membayar kewajiban kembali terhadap bunga dan pokok T-Bills yang jatuh tempo. Adanya kenaikan pajak ini berdampak pada berkurangnya daya beli masyarakat sehingga menurunkan permintaan terhadap barang dan jasa yang pada akhirnya akan dapat menurunkan inflasi. Dari sisi kebijakan moneter, peningkatan T-Bills ini tidak akan memberikan peningkatan kembali kepada uang beredar karena melalui kebijakan yang aktif bank sentral tidak memberikan komitmen terhadap pembayaran bunga dan pokok T-Bills tersebut sebagaimana sebelumnya tergambar pada periode penerapan SBI. Adanya kombinasi kebijakan moneter yang aktif dan kebijakan fiskal yang pasif ini memberikan dampak permanen terhadap pengendalian inflasi bilamana terjadi kejutan kebijakan moneter. Inflasi akan terus menerus mengalami penurunan hingga pengaruh kebijakan moneter tersebut habis dan menuju kembali pada level steady state (gambar 3). Dari sisi suku bunga nominal maka adanya ekspektasi rasional masyarakat bahwa kebijakan moneter ketat akan dengan efektif mampu menurunkan inflasi akan berdampak
70
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
positif bagi tetap rendahnya suku bunga nominal. Melalui Fisher efek maka suku bunga nominal tidak mengalami peningkatan mengingat ekspektasi inflasi pada periode-periode berikutnya akan mengalami penurunan. Gambar 3 Pengaruh Kejutan Kebijakan Moneter terhadap Perekonomian dalam Skenario Periode Penerapan T-Bills
Hal berbeda dalam periode penerapan T-Bills ini bila dibandingkan pada periode penerapan SBI seandainya terjadi kejutan kebijakan fiskal. Dalam kondisi ini maka kejutan fiskal yang terjadi diperkirakan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap perekonomian. Kejutan dari sisi fiskal tidak akan mempengaruhi pertumbuhan base money dan inflasi. Kebijakan fiskal tersebut hanya akan berpengaruh pada meningkatnya pajak guna dan menurunnya T-Bills sehingga secera keseluruhan batasan anggaran pemerintah tetap dalam kondisi seimbang (gambar 4). Dalam tataran teori kondisi dimana kebijakan fiskal tidak mempengaruhi perekonomian disebut perekonomian yang berperilaku Ricardian Equivalence. Rumah tangga representatif menyadari bahwa kenaikan pajak yang dilakukan oleh pemerintah tersebut adalah bertujuan untuk mengurangi defisit yang terjadi pada anggaran pemerintah. Mengingat kenaikan pajak tersebut akan menurunkan daya beli masyarakat serta dibarengi dengan perilaku rasional ekspektasi maka masyarakat akan menjual kembali kepemilikan T-Bills yang telah mereka pegang untuk mempertahankan daya beli tersebut. Oleh karena itu kenaikan pajak akibat kebijakan fiskal tersebut akan dibarengi pula oleh penurunan penjualan T-Bills (gambar 4). Dengan kondisi ini maka pengaruh keseluruhan secara present value dari kenaikan pajak ini akan menjadi hilang. Dengan kata lain, kebijakan fiskal tersebut tidak memiliki wealth effect di dalam masyarakat dan oleh karenanya secara keseluruhan tidak mempengaruhi pergerakan inflasi di periode setelah kejutan fiskal dan juga periodeperiode selanjutnya.
SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi
71
Meskipun secara teoritis perilaku Ricardian Equivalence ini dapat dipahami, secara empiris kondisi ini masih diperdebatkan. Berbagai hasil kajian di berbagai negara guna menguji keberadaan teori ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan teori tersebut (Romer, 1996 hal. 66-72 serta Agenor dan Montiel, 1996 hal. 127) Gambar 4 Pengaruh Kejutan Kebijakan Fiskal terhadap Perekonomian dalam Skenario Periode Penerapan T-Bills
4. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Kesimpulan Berbeda dengan pandangan kaum monetaris yang meyakini bahwa kebijakan moneter ketat akan mampu mengedalikan inflasi secara permanen, hasil studi ini memperlihatkan bahwa dalam periode SBI sebagai piranti dalam operasi pasar terbuka kebijakan moneter uang ketat yang dilakukan oleh Bank Indonesia selama ini tidak akan selalu berkesudahan dengan penurunan inflasi hingga akhir periode. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan moneter ketat selama periode ini cenderung akan kembali memberikan beban tambahan bagi upaya pengendalian inflasi pada periode selanjutnya. Penerapan kebijakan moneter ketat memang akan mampu menurunkan inflasi pada periode sesaat setelah kebijakan tersebut diterapkan. Namun pada periode-periode selanjutnya, komitmen Bank Indonesia terhadap kewajiban pembayaran kembali pokok dan bunga SBI mengakibatkan kebijakan uang ketat tersebut ternyata menjadi sumber bagi kembali meningkatnya inflasi. Hasil ini juga memberikan dukungan dan solusi atas kemungkinan adanya price puzzle dalam perekonomian Indonesia.
72
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
Hasil tambahan yang diperoleh dalam periode penerapan SBI ini adalah berkemampuannya kebijakan fiskal dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia atau dalam tataran teoritis dikenal merupakan karakteristik fiscal theory of price level. Upaya menaikkan pajak oleh pemerintah akan secara efektif memberikan pengaruh terhadap pengendalian inflasi di periode SBI. Karateristik inflasi berbeda akan terlihat bilamana T-Bills secara penuh telah diterapkan sebagai piranti operasi pasar terbuka guna menggantikan SBI. Hasil simulasi memperlihatkan bahwa kebijakan moneter akan secara efektif mampu mengendalikan inflasi sebagaimana yang diyakini oleh kaum monetaris. Dengan asumsi bahwa kebijakan moneter yang diterapkan tersebut adalah kebijakan moneter yang permanen dan un-unticipated dan dibarengi oleh kebijakan fiskal yang berkomitmen terhadap T-Bills yang telah diterbitkan maka kebijakan moneter ketat akan mampu menurunkan infasi secara permanen. Dari sisi kebijakan fiskal maka dalam periode penerapan T-Bills ini kebijakan fiskal tidak mampu mempengaruhi pengendalian infasi. Terlepas dari debat yang menguji kesahihan secara empiris karakteristik ‘Ricardian Equivalence’ yang menjadi karakteristik utama dampak kebijakan fiskal dalam periode penerapan T-Bills ini, hasil simulasi menunjukkan bahwa adanya perilaku ekspektasi rasional masyarakat akan secara dominan menyebabkan kebijakan fiskal tidak memberikan pengaruh signifikan dalam upaya pengendalian inflasi.
Implikasi Kebijakan Implikasi dari hasil kajian menunjukkan bahwa kebijakan moneter yang ditempuh dalam upaya pengendalian inflasi perlulah memperhatikan bagaimana kebijakan moneter dan fiskal berinteraksi dalam perekonomian (Gordon dan Leeper, 2002). Hal ini penting mengingat masing-masing kebijakan fiskal dan kebijakan moneter tersebut memiliki karakteristik tersendiri dalam memandang path SBI/T-Bills. Dengan pemahaman tersebut maka dalam periode SBI saat ini adalah beralasan untuk tetap mengendalikan suku bunga SBI agar tidak terlalu tinggi mengingat bila tetap dipertahankan tinggi akan memberikan dampak ke periode depan bagi peningkatan kembali inflasi. Lebih lanjut bila suku bunga SBI tersebut tetap dipertahankan dalam kisaran tinggi sehingga selanjutnya akan dapat semakin meningkatkan biaya dalam pembayaran bunga SBI (dan juga bagi potensi peningkatan kembali uang beredar) maka dikhawatirkan pada satu waktu akan memiliki dampak balik yang kurang baik bagi kredibilitas dan komitmen Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan moneter. Bila rumah tangga representative memiliki ekspektasi rasional yang baik tentang kemungkinan terjadinya time inconsistency dari kebijakan moneter ini maka selanjutnya dikhawartirkan pada satu waktu akan semakin mempersulit pengendalian inflasi oleh Bank Indonesia.
SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi
73
Memperhatikan kekhawatiran tersebut serta hasil kajian di atas adalah ide yang baik untuk semakin mempercepat realisasi penerbitan T-Bills serta menjadikannya secara penuh sebagai piranti dalam operasi pasar terbuka guna menggantikan peran SBI. Dengan penerapan T-Bills ini secara penuh maka diharapkan efektivitas pengendalian inflasi oleh Bank Indonesia akan dapat semakin meningkat.
Daftar Pustaka Agenor, P. dan Peter J. Montiel (1996), Development Macroeconomics (Princeton, NJ: Princeton University Press) Agung, J., Rita M., Bambang P. dan Nuroho J.P (2002). “Bank Lending Channel of Monetary Transmission in Indonesia”, dalam Transmission Mechanisms of Monetary Policy in Indonesia, Perry Warjiyo dan Juda Agung, eds. (Bank Indonesia) Alamsyah, H., Charles J., Juda A., dan Doddy Z. (2001), “Towards Implementation of Inflation Targeting in Indonesia”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.37, No.3, 309-324 Bank Indonesia (2003), Laporan Tahunan Bank Indonesia, Jakarta Boediono (2003), “IMF tak Persoalkan Tertundanya Penerbitan T-Bills”, Bisnis Indonesia, 3 Februari. Drazen, Allan (1985), “Tight Money and Inflation: Further Result”, Journal of Monetary Economics, 15, January, 113-120 Gordon D.B dan Eric M. Leeper (2002) The Price Level, the Quantity Theory of Money and the Fiscal Theory of the Price Level, NBER WP 9084 Hanson, Michael S (2000), “The ‘Price Puzzle’ Reconsidered”, Wesleyan University, September, mimeo. Idris, R.Z., Tri Y., Clarita L.I., dan Darsono (2002). “Asset Price Channel of Monetary Transmission in Indonesia”, dalam Transmission Mechanisms of Monetary Policy in Indonesia, Perry Warjiyo dan Juda Agung, eds. (Bank Indonesia) Koncherlakota, Narayana dan Christoper Phelan (1999), “Explaing the Fiscal Theory of the Price Level”, Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review, Vol. 23 No.4, Fall, 14-23 Kusmiarso, B., Elizabeth S., Andry P., Sudiro P., Dadal A., dan Iss S.H (2002). “Interest Rate Channel of Monetary Transmission in Indonesia”, dalam Transmission Mechanisms of Monetary Policy in Indonesia, Perry Warjiyo dan Juda Agung, eds. (Bank Indonesia)
74
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2003
Liviatan, Nissam (1984), “Tight Money and Inflation”, Journal of Monetary Economics, 13, January, 5-15 Leeper, Eric M. (1991), “Equilibria under ‘Active’ and ‘Passive’ Monetary and Fiscal Policies”, Journal of Monetary Economics, 27, Februari, 129-147 Leeper, Eric M., (2002) “A Model of Monetary and Fiscal Policy Interactions”. Indiana University, unpublished Ljungqvist, Lars dan Sargent, Thomas J. (2000). Recursive Macroeconomic Theory. (Cambridge, MA: The MIT Press) Mochtar, Firman (2002), “Macroeconomic Performance and Monetary Policy Response: Indonesia’s Case”. Indiana University, unpublished Obstfeld, Maurice dan Rogoff, Kenneth (1983). “Speculative Hyperinflations in Maximizing Models: Can We Rule Them Out?” Journal of Political Economy, 91, Agustus, 675-687 Romer, David (1996) Advanced Macroeconomics, (New York, NY: The McGraw - Hill Companies, Inc.) Sargent, Thomas dan Wallace, Neil (1975), Rational Expectation, the Optimal Monetary Instrument and Optimal Money Supply Rule, Journal of Political Economy, vol.83, No.2, 241-254 Sargent, Thomas J. dan Wallace, Neil (1981). “Some Unpleasent Monetarist Arithmetic” Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review 5, Fall, 1-17 Sims, Christoper A. (1992), “Interpreting of Macroeconomic Time Series Facts: The Effects of Monetary Policy”, Europeon Economic Review, vol. 36 No.5, 975-1000 Sims, Christoper A. (1997) “Solving Linear Expectation Model”. September, pada http:// www.princeton.edu/~sims/ Uhliq, Harald (1999). “A Toolkit for Analysing Nonlinier Dynamic Stochastic Models Easily”, dalam Computational Method for the Study of Dynamic Economies, Ramon Marimon dan Andrew Scott, eds. (Oxford, England: Oxford University Press) Walsh, Carl (2003) Monetary Theory and Policy, 2nd Edition, (Cambridge, MA: The MIT Press) Woodford, Michael (2001) “Fiscal Requirements for Price Stability” Journal of Money, Credit and Banking, 33, Agustus, 669-728 Wuryandani, G., Abdul M.I. dan Diah E,H (2002). “Monetary Transmission through Inflation Expectation Channel”, dalam Transmission Mechanisms of Monetary Policy in Indonesia, Perry Warjiyo dan Juda Agung, eds. (Bank Indonesia)