ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007
SUSUNAN PENGURUS BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Pelindung Dewan Gubernur Bank Indonesia Dewan Editor Prof. Dr. Anwar Nasution Prof. Dr. Miranda S. Goeltom Prof. Dr. Insukindro Prof. Dr. Iwan Jaya Azis Prof. Iftekhar Hasan Dr. M. Syamsuddin Dr. Perry Warjiyo Dr. Halim Alamsyah Dr. Iskandar Simorangkir Dr. Solikin M. Juhro Dr. Haris Munandar Dr. Andi M. Alfian Parewangi Pimpinan Editorial Dr. Perry Warjiyo Dr. Iskandar Simorangkir Direktur Eksekutif Dr. Andi M. Alfian Parewangi Sekretariat Toto Zurianto, MBA MS. Artiningsih, MBA Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin ini paper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email :
[email protected] Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi Seksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan: telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email:
[email protected].
1
BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Volume 12, Nomor 4, April 2010
Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan I - 2010 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
415
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia Indra Maipita, Mohd. Dan Jantan, Nor Azam Abdul Razak 421 Keputusan Investasi dan Financial Constraints: Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia Riskin Hidayat
457
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction Moch. Doddy Ariefianto, Perry Warjiyo
451
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia Ebrinda Daisy Gustiani, Ascarya, Jaenal Effendi
517
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2010
415
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2010 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
Penguatan ekonomi domestik terus berlanjut didukung oleh kinerja ekonomi global yang kondusif. Aktivitas ekonomi Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan pada triwulan IV 2009. Pada triwulan tersebut perekonomian Indonesia mampu tumbuh sebesar 5,4% (yoy), sehingga secara keseluruhan tahun 2009 perekonomian tumbuh sebesar 4,5% (yoy). Kondisi perekonomian yang semakin menunjukkan suasana optimis tersebut mendukung prospek ekonomi yang lebih baik dari perkiraan semula. Perekonomian Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan akan tumbuh mencapai kisaran 5,5%-6,0% dan pada tahun 2011 mencapai 6,0%-6,5%. Stabilitas harga masih terjaga sebagaimana tercermin pada perkembangan IHK yang rendah selama triwulan I 2010. Hal ini sejalan dengan perkiraan tekanan inflasi yang signifikan, yang belum akan muncul setidaknya sampai semester I 2010. Untuk keseluruhan tahun, inflasi IHK tahun 2010 akan berada pada kisaran sasaran sebesar 5%±1%. Bank Indonesia memandang bahwa proses pemulihan ekonomi global terus berlangsung dan semakin kuat. Ekonomi negara maju, terutama di AS dan Jepang terus membaik. Demikian juga pemulihan ekonomi Asia non-Jepang, terutama China dan India juga semakin kuat. Sementara itu, indikasi perbaikan ekonomi di Eropa mulai terlihat meski masih terbatas. Penyelesaian krisis Yunani sejauh ini direspons secara positif oleh pelaku ekonomi dan hanya berdampak terbatas di pasar finansial. Pemulihan ekonomi global yang disertai dengan perbaikan persepsi risiko memicu optimisme di pasar finansial dan pasar komoditas. Hal ini dicerminkan oleh indeks harga di bursa saham global yang mencatat kenaikan dan harga komoditas di pasar internasional yang cenderung meningkat. Aliran modal asing ke pasar keuangan emerging market terus berlangsung seiring dengan semakin membaiknya persepsi risiko. Kondisi ini mendorong penguatan nilai tukar mata uang di kawasan tersebut. Optimisme yang semakin kuat terhadap pemulihan ekonomi global dan permintaan global yang membaik, mendorong kenaikan harga berbagai komoditas. Kenaikan harga yang dibarengi oleh penguatan mata uang sejauh ini belum memicu kenaikan inflasi global secara signifikan terutama di negara maju. Dalam kondisi
416 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
proses pemulihan ekonomi dunia yang belum sepenuhnya kembali normal, otoritas moneter terutama di negara maju cenderung masih menerapkan stance kebijakan moneter yang akomodatif. Sinyal kebijakan pengetatan moneter lebih banyak tampak di emerging market terkait dengan meningkatnya tekanan inflasi seiring dengan ekspansi ekonomi yang tinggi. Kinerja ekonomi domestik pada triwulan I 2010 berpotensi lebih baik dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya. Pada triwulan I 2010, ekonomi domestik diperkirakan tumbuh 5,7% (yoy). Perkembangan tersebut didukung oleh hal-hal sebagai berikut. Pertama, kinerja ekspor diperkirakan meningkat seiring dengan perbaikan ekonomi global dan membaiknya harga komoditas internasional. Kedua, konsumsi diperkirakan masih kuat didukung oleh daya beli masyarakat dan ekspektasi konsumen yang terjaga. Ketiga, sejalan dengan peningkatan ekspor dan konsumsi rumah tangga, pemulihan investasi diperkirakan lebih kuat didukung oleh berbagai upaya Pemerintah untuk mendorong proyek infrastruktur. Selain itu, iklim investasi pada tahun 2010 yang lebih baik juga didukung oleh perbaikan sovereign credit rating Indonesia oleh S&P dari BB- ke BB. Dengan peningkatan tersebut, rating Indonesia tinggal 1 notch menuju investment
grade. Keempat, sejalan dengan perbaikan kinerja di sisi eksternal, sejumlah sektor diperkirakan dapat tumbuh lebih tinggi yakni sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan. Pertumbuhan sektor industri pengolahan yang lebih tinggi didorong oleh membaiknya industri yang berorientasi ekspor dan industri otomotif. Sementara itu, pertumbuhan sektor perdagangan yang lebih tinggi sejalan dengan kenaikan kegiatan ekspor dan impor serta membaiknya kinerja industri pengolahan. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang menjadi tantangan untuk mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi terutama terkait dengan upaya mempercepat implementasi program-program infrastruktur dan memanfaatkan secara optimal peluang dari implementasi ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA). Berlanjutnya penguatan ekonomi juga terlihat dari perkembangan ekonomi daerah yang terus menunjukkan perbaikan. Kinerja perekonomian daerah terutama ditopang oleh perekonomian di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Kali-Sulampua), dan Jakarta. Sementara itu, kegiatan ekonomi di wilayah lainnya (Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara atau Jabalnustra) menunjukkan perlambatan. Kinerja ekonomi daerah yang meningkat bersumber dari peningkatan ekspor, investasi, dan konsumsi. Membaiknya kinerja ekspor di masing-masing wilayah bersumber dari kenaikan ekspor komoditas utama, seperti produk pertambangan dan CPO di Sumatera dan Kali-Sulampua, serta produk kimia di Jabalnustra. Dari sisi negara tujuan utama, ekspor masing-masing wilayah mengalami pergeseran yang semula ke Jepang, Amerika dan Eropa, beralih ke negara ASEAN dan China karena pemulihan ekonomi terutama terjadi di kawasan tersebut. Bahkan porsi ekspor Sumatera dan Kali-Sulampua ke India menunjukkan peningkatan, terutama untuk produk CPO dan batubara. Sejalan dengan
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2010
417
peningkatan kegiatan ekonomi, investasi terindikasi menguat. Hal itu tercermin dari indikator pertumbuhan konsumsi semen dan impor barang modal yang pertumbuhannya masih positif. Dari sisi investasi Pemerintah Daerah, belanja modal juga menunjukkan peningkatan. Peningkatan investasi terutama terkait dengan proyek-proyek infrastruktur seperti perbaikan dan pembangunan jalan, bendungan, jembatan, dan bandara. Dari sisi lapangan usaha, sektor industri mengalami peningkatan terkait dengan membaiknya permintaan domestik dan eksternal. Kinerja sektor industri yang membaik tercermin dari kapasitas produksi dan impor bahan baku yang meningkat di seluruh daerah. Dari sektor pertambangan, membaiknya kinerja di sektor ini terutama bersumber dari peningkatan produksi pertambangan nonminyak dan gas (nonmigas), khususnya batubara dan tembaga, sedangkan produksi migas masih cenderung melambat. Dari sisi harga, inflasi tetap terkendali pada triwulan I 2010. Tekanan inflasi pada triwulan I 2010 cenderung rendah ditandai oleh deflasi pada Maret 2010 sebesar 0,14% (mtm), sehingga secara tahunan inflasi IHK mencapai 3,43% (yoy). Terkendalinya inflasi pada tingkat yang relatif rendah sejalan dengan kecenderungan penguatan nilai tukar rupiah dan kecukupan pasokan dalam merespons kenaikan permintaan. Selain itu, rendahnya inflasi di bulan Maret 2010 juga didukung oleh meredanya tekanan inflasi yang bersumber dari volatile food (terutama beras) karena mulainya musim panen di beberapa daerah dan minimalnya tekanan inflasi yang bersumber dari administered price. Kinerja neraca pembayaran Indonesia (NPI) triwulan I 2010 diperkirakan masih tetap solid yang didukung oleh pemulihan ekonomi dunia. Transaksi berjalan diperkirakan akan mencatat surplus. Hal tersebut sejalan dengan kinerja ekspor yang terus membaik terutama berasal dari komoditas berbasis sumber daya alam (SDA) di antaranya batubara dan tembaga. Di sisi lain, impor juga meningkat sejalan dengan akselerasi permintaan domestik dan ekspor. Dari sisi neraca transaksi modal dan finansial (TMF) triwulan I 2010 diperkirakan juga mencatat surplus terkait dengan aliran modal masuk dan penerbitan obligasi valas pemerintah. Indikator risiko Indonesia membaik, tercermin pada indikator credit default swaps (CDS) Indonesia yang saat ini berada pada level terendah, penurunan yield spread Government Bond Indonesia dengan
US Treasury Note, serta perbaikan rating Indonesia. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir Maret 2010 diperkirakan mencapai 71,8 miliar dolar AS atau setara dengan 5,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Sejalan dengan kinerja NPI yang solid, nilai tukar rupiah cenderung menguat. Secara keseluruhan, selama triwulan I 2010 rupiah rata-rata menguat 2,2% ke level Rp9.254/USD. Pada akhir triwulan I 2010, rupiah mencapai level Rp9.090/USD atau menguat 3,7% (point to
point). Penguatan nilai tukar rupiah didukung oleh kondisi fundamental makroekonomi yang
418 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
kondusif, tercermin pada kinerja NPI yang cukup baik dan membaiknya persepsi risiko. Selain itu, penguatan rupiah juga didukung oleh imbal hasil rupiah tetap menarik tercermin pada
uncovered interest parity (UIP), covered interest parity (CIP) dan yield spread Government Bond Indonesia yang relatif tinggi, bahkan tertinggi dibandingkan dengan negara kawasan lainnya. Penguatan rupiah yang terjadi juga diikuti oleh volatilitas nilai tukar yang relatif stabil mencapai 0,57% dibandingkan dengan triwulan IV 2009 yang mencapai 0,56%. Kinerja sektor keuangan membaik sejalan dengan pemulihan ekonomi global dan domestik. IHSG selama triwulan I 2010 mengalami penguatan yang cukup signifikan, yaitu mencapai 10,2%. Kinerja IHSG tersebut merupakan yang tertinggi di negara kawasan. Beberapa faktor yang mendorong perbaikan IHSG antara lain prospek perekonomian Indonesia yang membaik, diikuti oleh menurunnya persepi risiko, perbaikan credit rating, dan masih tingginya imbal hasil rupiah. Hal serupa juga tercermin pada indikator keuangan lainnya seperti yield SUN yang menurun. Di pasar uang antar bank, ekses likuiditas masih cukup besar sehingga mendorong suku bunga PUAB O/N mendekati koridor bawah BI Rate. Langkah Bank Indonesia memperpanjang jangka waktu SBI antara lain dalam rangka mendalamkan pasar (financial
deepening) berjalan dengan baik tercermin dari menurunnya spread suku bunga tertinggi dan terendah di pasar PUAB O/N. Selain itu, porsi SBI dengan tenor 3 bulan saat ini porsinya meningkat menjadi 67,04% dari 24,64% di akhir triwulan sebelumnya. Sejalan dengan menurunnya persepsi risiko perbankan, suku bunga deposito dan kredit masih mengalami penurunan meskipun belum sebesar yang diharapkan. Ke depan, transmisi kebijakan moneter diperkirakan akan semakin membaik seiring dengan meningkatnya optimisme perbankan pada kondisi perekonomian. Di sisi mikro perbankan, kondisi perbankan nasional tetap stabil. Hal itu tercermin dari masih terjaganya rasio kecukupan modal (CAR) per Februari sebesar 19,3%. Sementara itu, rasio gross non-performing loan (NPL) tetap terkendali pada 4% dengan rasio neto NPL sebesar 1%. Selain itu likuiditas perbankan, termasuk likuiditas di pasar uang antar bank semakin membaik. Demikian pula dana pihak ketiga (DPK) menunjukkan peningkatan. Perkembangan ekonomi global dan domestik yang membaik selama triwulan I-2010 diperkirakan akan terus berlanjut ke depan. Hal ini memperkuat keyakinan Bank Indonesia bahwa prospek perekonomian Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula. Pertumbuhan ekonomi pada 2010 diperkirakan mencapai kisaran 5,5%-6,0%, lebih tinggi dari perkiraan semula sebesar 5,0%-5,5%. Perbaikan ekonomi tidak hanya ditopang oleh konsumsi yang tetap kuat, tetapi juga didukung oleh peningkatan ekspor sejalan dengan pemulihan ekonomi global. Peningkatan permintaan yang dibarengi oleh perbaikan iklim investasi diperkirakan mendorong peningkatan investasi secara signifikan. Perbaikan ekonomi tersebut diperkirakan
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2010
419
terus berlanjut pada 2011 dengan pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 6,0%-6,5%. Peningkatan permintaan yang dapat direspons sisi penawaran secara memadai diharapkan dapat menjaga tekanan inflasi ke depan pada tingkat yang rendah. Prospek ekonomi jangka menengah panjang (medium-terms) tahun 2010-2014 secara lengkap tersaji dalam Laporan Perekonomian Indonesia 2009 yang dapat diakses melalui website Bank Indonesia. Dengan mempertimbangkan bahwa tingkat BI Rate 6,5% masih konsisten dengan sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 5%±1% dan arah kebijakan moneter saat ini juga dipandang masih kondusif bagi proses pemulihan perekonomian dan berlangsungnya intermediasi perbankan. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 6 April 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5% dengan koridor suku bunga sebesar +/- 50bps di sekitar BI Rate.
420 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
421
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN ANGKA KEMISKINAN DI INDONESIA Indra Maipita Mohd. Dan Jantan Nor Azam Abdul Razak 1 Abstraksi
Pemerintah secara berkelanjutan merancang kebijakan-kebijakan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan angka kemiskinan. Tapi, pemerintah menghadapi beberapa kendala seperti meningkatnya defisit yang berpotensial memberikan dampak pada penentuan skala prioritas sebagaimana pro dan kontra yang terjadi di dalamnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, kebijakan ekonomi haruslah direvisi dan didesain ulang untuk memenuhi tuntutan pro pertumbuhan, pro lowongan kerja, dan pro kemiskinan. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak perluasan dan kontraksi
kebijakan fiskal pada kinerja ekonomi di Indonesia. Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini, perubahan indikator makroekonomi, kinerja sektor ekonomi, dan perubahan angka kemiskinan dan distribusi pendapatan dikaji dengan menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE) . Untuk mengevaluasi kesenjangan distribusi pendapatan, fungsi distribusi beta yang digunakan diadopsi dari Decaluwe, et al. (1999). Studi ini menggunakan metode Foster, Greer, dan Thorbecke (F-G-T) dan Cockburn (2001) untuk mengevaluasi angka kemiskinan di setiap kelompok rumah tangga. Hasil dari penelitian ini menunjukkan dampak dari meningkatnya subsidi lebih baik daripada dua kebijakan fiskal sebelumnya. Walaupun kebijakan transfer pendapatan memberikan dampak positif untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga di pedesaan dan menurunkan angka kemiskinan, di sisi lain kebijakan ini memiliki dampak negatif dalam mengurangi GDP.
JEL Classification: 132, E62.
Kata Kunci: Kebijakan Fiskal, kemiskinan, distribusi pendapatan.
1 Indra Maipita is adalah pengajar pada Universitas Negeri Medan (
[email protected]); Mohd. Dan Jantan pengajar pada Universiti Utara Malaysia (
[email protected]); Azam Abdul Razak pengajar pada Universiti Utara malaysia (
[email protected]).
422 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
I. PENDAHULUAN Penurunan angka kemiskinan merupakan sebuah tujuan utama dari pembangunan fundamental yang menjadi indikator keefektifan program-program pembangunan. Berdasarkan pandangan tersebut, pemerintah telah membentuk sebuah program penurunan angka kemiskinan sejak 1960an dengan menggunakan strategi memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagaimana yang disebutkan oleh Penasbede (Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun). Sayangnya, program ini terhenti dikarenakan krisis politik pada tahun 1965. Tetapi pada tahun 1970an, pemerintah kembali membuat program penurunan angka kemiskinan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Selama REPELITA V-VI, pemerintah menerapkan program penurunan angka kemiskinan dengan menggunakan strategi berbeda yang menghilangkan permasalahan kesenjangan sosial ekonomi . Untuk 40 tahun terakhir ini, pemerintah mengamati adanya masalah dalam menerapkan program-program untuk menurunkan angka kemiskinan. Konsekuensinya, usaha pemerintah untuk mengatasi kemiskinan belum berhasil. Kemiskinan menyisakan permasalah terbesar dalam cakupan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa terdapat sekitar 35 juta (15.47%) orang miskin pada tahun 2008. Walaupun angka tersebut 6% lebih sedikit dibandingkan tahun 2007, angka kemiskinan pada tahun 2008 hampir sama dengan yang terjadi pada tahun 1990 dan 2005. Angka kemiskinan pada tahun 2009 telah meningkat 1.32% dibandingkan tahun 2008. Kesenjangan distribusi pendapatan, kesejahteraan, dan kemiskinan sekali lagi menarik perhatian banyak pihak, seperti perencana pembangunan, peneliti sosial, politisi, dan warga negara secara meluas. Masalah-masalah tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak paralel secara otomatis dengan perluasan pekerjaan dan penurunan angka kemiskinan. Jadi, kebijakan ekonomi haruslah didesain kembali lebih kepada pro pertumbuhan, pro lowongan kerja, dan
pro kemiskinan. Pemerintah telah mendesain beberapa kebijakan untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi dan mengatasi kemiskinan. Tetapi, defisit merupakan masalah yang tengah dihadapi pemerintah. Dan, defisit terus meningkat tahun demi tahunnya. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka akan ada tekanan besar terhadap APBN, khususnya pada aspek pengeluaran. Perubahan posisi Indonesia dari eksportir minyak menjadi importir minyak menyebabkan defisit bagi neraca perdagangan Indonesia. Subsidi yang besar terhadap penyulingan minyak menjadi bahan bakar dalam kas nasional dan pada waktu yang sama peningkatan harga CPO (Crude Palm Oil) memberikan kontribusi yang sangat besar dalam membebani kas negara. Untuk menurunkan defisit kas, pemerintah telah memilih untuk menerapkan kontraksi kebijakan fiskal dengan cara mengurangi subsidi BBM. Kebijakan ini pasti berdampak negatif pada keluarga miskin.
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
423
Karena dampak ini harus diantisipasi, maka pada waktu yang sama pemerintah menerapkan kebijakan transfer pendapatan dalam bentuk tunai kepada keluarga miskin. (Transfer tanpa syarat). Tujuan umum dari studi ini adalah untuk mengukur sejauh mana dampak kebijakan fiskal pemerintah yang mengukur distribusi pendapatan dan angka kemiskinan di Indonesia. Secara khusus, penelitian ini ditujukan untuk menganalisa dampak: (1) perluasan dan kontraksi fiskal pada kinerja makro ekonomi Indonesia, (2)peningkatan pajak pada kinerja sektor ekonomi, (3) peningkatan pajak pada pendapatan dan kemiskinan, (4) peningkatan subsidi pada kinerja sektor ekonomi, (5) peningkatan subsidi pada pendapatan dan kemiskinan di Indonesia, (6) transfer pendapatan pada kinerja sektor ekonomi, (7)transfer pendapatan pada pendapatan dan kemiskinan, (8) perluasan dan kontraksi fiskal pada distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia.
II. TEORI II.1. Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal terdiri atas dua instrumen utama, (1) kebijakan pajak dan (2) pengeluaran pemerintah (Mankiw, 2003; Turnovsky, 1981), tapi, kebijakan apapun itu dapat secara langsung mempengaruhi komponen-komponen permintaan secara menyeluruh jatuh pada kebijakan ini. Menurut Sudiyono (1985) variable instrumen kebijakan fiskal dapat berbentuk pajak, transfer pemerintah, subsidi, dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal atau penganggaran memiliki tiga fungsi:(1) fungsi alokasi, (2) fungsi distribusi, dan (3) fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi berhubungan dengan persediaan barang-barang sosial dan proses pemanfaatan sumber daya secara menyeluruh untuk produksi barang-barang swasta, barang-barang sosial, dan kombinasi dari barang-barang sosial yang telah dipilih. Fungsi distribusi berhubungan dengan persamaan kesejahteraan dan distribusi pendapatan dalam masyarakat. Selama fungsi stabilisasi ditujukan untuk menstabilkan atau mempertahankan rendahnya tingkat pengangguran, harga atau tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi yang telah ditargetkan.
II.2. Pengaruh Pada Kebijakan Fiskal Keynesian Dalil Keynes selama masa kekacauan ekonomi, kebijakan moneter seperti menurunkan bunga ternyata tidak efektif. Permintaan secara agregat bisa meningkat dengan cepat hanya dengan pengukuran kebijakan fiskal (Romer, 2001). Berdasarkan model makroekonomi Keynes, kas pemerintah merupakan bagian yang sangat penting untuk mengontrol permintaan agregat.
424 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Jika ekonomi berada dibawah tingkat full employment, permintaan agregat bisa ditingkatkan dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah dan/atau dengan mengurangi tingkat pajak. Menurut Keynes, pemerintah memiliki peranan penting untuk mempromosikan permintaan agregat terhadap pemenuhan tingkat full employment. Masalah paling inti di kebanyakan ekonomi berkembang adalah tingginya pengangguran dan tingkat inflasi, dan defisit neraca berjalan atau external imbalance. Untuk mengatasi masalahmasalah tersebut, pertumbuhan ekonomi yang tinggi sangatlah dibutuhkan, tapi kebijakan perluasan untuk meningkatkan pertumbuhan memiliki kelemahan terkait dengan ketidak seimbangan antara tingginya pertumbuhan permintaan dan kapasitas persediaan dalam ekonomi. Ini akan berdampak pada neraca eksternal yang merupakan sebuah peningkatan impor dan penurunan ekspor, sebagaimana permintaan yang berlebihan akan menghasilkan inflasi yang tinggi. Sebagaimana akibat dari situasi ini, ekonomi bisa saja kehilangan daya saingnya yang pada akhirnya memperburuk external imbalance. Walaupun hal tersebut dapat dicapai untuk meningkatkan employment level tapi hal tersebut bermasalah dalam hal memperburuk neraca berjalan dan neraca pembayaran (BOP). Pertentangan antara keseimbangan eksternal dan internal mengharuskan sebuah kebijakan fiskal yang efektif dan memiliki dampak negatif yang minim. Menurut sejarah, negaranegara berkembang mengandalkan perluasan kebijakan fiskal untuk mencapai sebuah pertumbuhan ekonomi. Model Fleming-Mundell dari model IS-LM standar yang menggunakan pendekatan Keynesians dapat menjelaskan fenomena historis tersebut. Asumsi yang digunakan dalam Model Fleming-Mundell Model Neraca Pembayaran (BOP) adalah: (1) nilai upah dan harga tetap, (2) permintaan agregat berhubungan dengan pengeluaran pemerintah secara positif (G) dan output asing (Yf), dan nilai tukar (e) secara negatif berhubungan dengan tingkat suku bunga domestik (rd), (3) permintaan uang adalah fungsi negatif dari tingkat suku bunga dunia (r*) dan fungsi positif tingkat pendapatan domestik, (4) persediaan uang secara negatif dipengaruhi oleh perbedaan tingkat nilai tukar (e) dan nilai tukar yang telah ditentukan (e*), (5) nilai dagang ditentukan oleh tingkat output domestik (Yd) dan tingkat output asing (Yf), dan (6) neraca model ditentukan oleh perbedaan di antara tingkat suku bunga asing dan domestik (Husain dan Chowdhury, 2001) Tingkat arus modal ditentukan oleh perbedaan tingkat sensifitas suku bunga antara r dan r*, yang memiliki peranan penting dalam model MF. Y
= C(Y-T) + I(r*) + G (D) + NX(e)
(II.1)
M/P
= ƒ(r*,Y)
(II.2)
BOP
= ƒ(Yƒ Y, ER, r,r*)
(II.3)
425
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
Persamaan (II.3) menunjukkan bahwa BOP = 0 untuk variasi kombinasi pendapatan domestik (Y) dan tingkat suku bunga koresponden domestik mereka (r). Pengeluaran pemerintah (G), nilai tukar (e) dan pendapatan asing (Yf) adalah variabel shifter positif. Kemiringan kurva BOP menunjukkan tingkat arus modal. Jika kurva model vertikal, maka tidak ada arus modal. Arus modal sempurna ditunjukkan oleh kurva BOP yang horizontal. Kurva BOP yang horizontal menggambarkan bahwa tidak ada perbedaan antara tingkat suku bunga asing dan domestik dan tidak ada insentif untuk aliran modal. Keefektifan kebijakan fiskal pada model MF pada ekonomi terbuka bergantung pada tingkat arus modal dan tingkat suku bunga. Kebanyakan negara asia tenggara termasuk Indonesia, adalah ekonomi terbuka, tapi, hanya ada sedikit aliran masuk investasi asing. Hal ini mengimplikasikan bahwa tingkat kemiringan kurva BOP cenderung curam bahkan hampir vertikal, yang ternyata menunjukkan adanya arus modal yang terbatas. Di negara-negara tersebut, tingkat suku bunga sebenarnya tidak memiliki peranan pada permintaan uang yang cukup signifikan, dan digambarkan dengan kurva LM yang sangat curam. Penggunaan model MF untuk masa nilai tukar tetap dalam arus modal yang lebih terbatas dan tingkat kemiringan kurva LM lebih curam secara relatif atau lebih datar dari kurva BOP tersebut. Perluasan kebijakan fiskal akan menggeser kurva IS menjadi IS1 (Romer, 2001; Sukirno, 2005). Pada saat kurva BOP lebih curam dibandingkan LM, seperti yang ditunjukkan pada Grafik II.1. (a), keseimbangan internal baru (E1) menyebabkan defisit pada BOP, karena ia diletakkan di bawah kurva BOP. Jika Bank Sentral mencampuri pasar uang untuk menetralisir depresiasi mata uang domestik, kurva LM akan bergeser ke kiri dan hal ini akan mnurunkan efektifitas perluasan kebijakan fiskal. Dalam kasus lain di mana kurva BOP lebih datar
rd
BOP=0 LM1
E2
rd2 rd1
E1
rd0
r d
LM0
E0
BOP =0 0
E
1
r d1 r d2
E
2
r d0
IS1
LM 1
LM 0
IS 1
E
0 IS
0
IS0 0
Yd0
Source: Romer (2001), Sukirno (2005)
(a)
Yd2
Yd1
Yd
0
Y
d0
Y
d1
Y
d2
Y d
Source: Romer (2001), Sukirno (2005)
(b)
Grafik II.1: Efektifitas Kebijakan Fiskal di bawah Nilai Tukar Tetap dan Mobilitas Modal Terbatas
426 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
dibandingkan kurva LM, sebagaimana digambarkan pada Grafik II.1. (b) neraca internal baru (point E1) menunjukkan surplus BOP karena ia diletakkan di bawah kurva BOP. Secara umum, untuk mengurangi tekanan surplus dan untuk mempertahankan nilai tukar tetap dikarenakan tekanan depresiasi nilai mata uang domestik, Bank sentral ingin menurunkan perbedaan nilai tukar domestik-asing dengan cara perluasan moneter sehingga persediaan uang bertambah. Saat kurva LM bergeser ke kanan dan jika aliran masuk modal tidak steril, maka efektifitas kebijakan fiskal akan bertambah meningkat. Maka dari itu, pada masa nilai tukar tetap, efektifitas kebijakan fiskal akan meningkat dengan meningkatnya arus modal. Grafik II.2 menunjukkan kurva BOP dibawah masa nilai tukar yang fleksibel (Romer, 2001; Sukimo, 2005). Jika kurva BOP lebih curam dibandingkan kurva LM, sebagaimana yang diunjukkan pada Grafik II.2, perluasana kebijakan fiskal akan menyebabkan defisit pada BOP dan menekan nilai tukar riil. Karena daya saing dan ekspor akan meningkat, kurva IS akan bergeser lebih jauh bergeser ke kanan dan begitupun kurva BOP. Keseimbangan baru adalah E2 di mana efektifitas kebijakan fiskal akan lebih besar secara relatif dibandingkan masa nilai tukar tetap. Jika kurva BOP lebih datar dibandingkan kurva LM, sebagaimana digambarkan pada Grafik II.2. (b), perluasan kebijakan fiskal akan memberikan surplus pada BOP. Surplus ini menyebabkan apresiasi pada nilai tukar riil, mengurangi daya saing, dan akhirnya menurunkan ekspor. Keseimbangan terakhir, kurva IS atau BOP bergeser ke kiri hingga neraca internal dan eksternal baru dapat tercapai pada poin E2. Hal ini menyimpulkan di bawah masa nilai tukar yang fleksibel, makin sensitif aliran modal pada suku bunga, akan makin mengecilkan efektifitas sebuah kebijakan fiskal.
BOP =0 0
r d
BOP =0 1
LM 0
2
E E
1
IS IS
Y
d0
Source: Romer (2001), Sukirno (2005)
(a)
Y
d1
BOP =0 1
1
E
BOP =0 0
2
2
0 IS
0
E r d1 r d2
E
r d2 r d1 r d0
LM 0
r d
Y
IS IS
E
1
2
0
0
IS Y
d2
1
r d0
d
0
Y d0
Y
Y d2 d1
0 Y d
Source: Romer (2001), Sukirno (2005)
(b)
Grafik II.2: Efektifitas Kebijakan Fiskal di bawah Nilai Tukar Fleksibel dan Mobilitas Modal Terbatas
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
427
II.3. Pemasukan Pemerintah Sumber pemasukan pemerintah adalah pajak, non-pajak, dan sumber daya awal. Pajak meliputi pajak pusat, yang dikumpiulkan oleh pemerintah pusat, dan pajak lokal yang dikumpulkan oleh pemerintah lokal. Jenis-jenis pajak pusat adalah: (1) pajak pendapatan (PPh), (2) pajak pertambahan nilai pada barang dan jasa (PPn), (3) pajak penjualan barang mewah (PPnBM), (4) pajak bumi dan bangunan (PBB), (5) pajak real estate (BPHTB), (6) pajak dokumen berharga, (7) cukai, (8) pajak ekspor, dan (9) pajak masuk (Hutahaean, et, al, 2002). Pajak pendapatan dan pajak pertambahan nilai memiliki kecepatan pengaruh transmisi yang relatif pada perubahan perilaku, investasi, dan perluasan perusahaan. Menurut James dan Nobes (1992), perilaku rumah tangga dan perusahaan di Indonesia cukup sensitif pada perubahan PPh dan PPn. Konsekuensinya, campur tangan pemerintah untuk mempengaruhi kinerja sektoral akan efektif dengan menggunakan instrumen PPh dan PPn (Darsono, 2008). Kombinasi analisis PPh dan PPn ditemukan pada model Atkinson dan Stiglizt (1976), Mirrless (1976), dan Myles (1997). Pada model ini, diasumsikan bahwa terdapat n barang yang disediakan oleh produsen sebagai barang 1 dan tingka upah, w. Aturan normalisasi mengatakan bahwa pajak berbanding lurus terhadap barang n. Dengan menggunakan aturan ini, kas yang terbatas (qx) dihadapi oleh banyak konsumen yang mampu membayar pajak, s, dan tingkat pajak T adalah: n
∑q χ i
i
(II.4)
= swx1 − T (swx1 )
1 =2
Untuk menyederhanakan turunannya, teknologi produksi dianggap berbanding lurus jadi kemungkinan produksi diatur dalam hubungan berikut ini: n ∞
∞
∑ ∫ x (s)γ (s)ds ≤ ∫ swx (s)γ (s)ds − z i =2 0
(II.5)
G
1
i
0
Di mana, zG adalah pungutan pajak oleh pemerintah. Linearitas teknologi memungkinkan kita untuk menurunkan harga produsen pada setiap barang2,...., n menjadi 1. Pajak yang optimal dapat dicapai dengan menempatkan U(s) sebagai variable riil dan xi(s,),i = 1,...,n-1 sebagai variabel kontrol. Xn ditetapkan sebagai identitas U(s)=U(x1(s),....,xn(st)). Syarat untuk urutan pertama untuk pilihan tersebut diturunkan dengan menggunakan
atau dalam bentuk notasi sebagai
us =
U xl x1 s
us =
U 1 2 U 1l = s2 s
. Hamiltonian terlebih dahulu mensyaratkan
untuk memaksimalisasi dengan persamaan sebagai berikut (II.6).
428 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
n xlU xl H = U + λ swx1 − ∑ xi γ ( s ) − µ s i−2
(II.6)
Untuk memilih xk(s), k = 2,....,n-1, fakta yang digunakan adalah
Ux ∂xn =− k ∂xk U xn
(II.7)
Syarat penting untuk optimalisasi adalah
Ux Ux µx − λ 1 − k γ − 1 U x1 x k − U x1 xn k = 0, k = 2,...n s U x n U x n (II.8) Dari syarat penting di atas, rumah tangga memaksimalkan pemanfaatannya sebagai berikut:
U xk U xn
=
1 + tk 1
(II.9)
Mensubtitusi persamaan (II.9) menjadi persamaan (II.8) dan mengatur kembali untuk mendapatkan pajak yang optimal (tk) yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
U x d log k µx1U xk U xn , k = 2,...n − 1 tk = dx1 λγs
(II.10)
II.4. Pengeluaran Pemerintah Hubungan antara konsumsi pemerintah dan budget nya dapat dilihat dengan memperhatikan neraca keuangan sektor publik sebagai berikut:
(T − Cg − Ig ) = Bgp + ∆H + Bgf
(II.11)
Di mana T adalah pendapatan pajak, Cg adalah konsumsi pemerintah, Ig adalah investasi pemerintah, Bgp adalah pinjaman pemerintah dari sektor swasta, πH adalah perubahan persediaan tingginya kekuatan uang, dan Bgf pinjaman pemerintah dari sektor asing. Sisi kiri dari persamaan (II.12) menunjukkan defisit fiskal sementara di sisi kanan persamaan
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
429
menunjukkan sumber pendanaan. Jika pemerintah ingin meningkatkan pengeluarannya, maka pendanaan harus dilakuakan dengan meningkatkan pendapatan pajak tanpa mempengauhi defisit fiskal. Tingkat konsumsi pemerintah ditentukan oleh pendapatannya dan pembiyaan diluar hanya untuk defisit budget. Untuk mengatasi defisit budget, oemerintah harus menginisisasi hal-hal berikut: (a) meminjam dari sektor swasta, (b) money creation, (c) pinjaman luar negeri, (d) pengurangan simpanan devisa, (e) privatisasi, dan (f) akumulasi area. Secara alternatif, melihat posisi fiskal pemerintah adalah dengan memperhatikan keseimbangan simpanan-investasi. Secara matematis, hal ini digambarkana pada persamaan (II.12). (T- Cg - Ig) = (Sp - Ip) + (M - X)
(II.12)
Di mana T adalah pendapatan pajak, Cg adalah konsumsi pemerintah, Ig adalah investasi pemerintah, Sp adalah simpanan swasta, Ip adalah investasi swasta, M adalah import, X adalah ekspor, dan (M √ X) adalah defisit neraca berjalan eksternal. Persamaan (II.12) menunjukkan bahwa defisit fiskal sama dengan total kesenjangan simpanan-investasi dari sektor sektor swasta dan defisit neraca berjalan eksternal. Mengkombinsasikan (II.11) dan (II.12) untuk mendapatkan persamaan berikut ini:
Sp − Ip = Bgp + ∆H − Bpf
(II.13)
M − X = Bgf + Bpf
(II.14)
Di mana Bpf adalah pinjaman dari sektor asing dan swasta. Persamaan (II.13) menyatakan bahwa surplus simpanan sektor swasta sama dengan pinjaman pemerintah ditambah dengan kasnya dikurangi dengan hutang luar negeri. Persamaan (II.14) menyatakan defisit neraca berjalan eksternal dibiayai oleh pinjaman pemerintah kepada asing dan pinjaman pemerintah kepada sektor swasta. Sumber pinjaman asing adalah simpanan asing. Mensubstitusi (II.13) dan (II.14) menjadi persamaan (II.12) untuk mendapatkan persamaan (II.11).
II.5. Subsidi dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Subsidi merupakan pembayaran dari pemerintrah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang pada akhirnya memungkinkan mereka untuk memproduksi atau mengkonsumsi produk dalam jumlah yang lebih besar atau dengan harga yang lebih murah. Tujuan utama subsidi adalah untuk menurunkan harga barang atau untuk meningkatkan jumlah output. (Spencer & Amos, 1993). Menurut Suparmoko, subsidi atau transfer pembayaran adalah kurang lebih merupakan pengeluaran pemerintah yang juga dikenal sebagai pajak negatif
430 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan dari penerima subsidi atau konsumen menyadari peningkatan pendapatan riil jika mereka mengkonsumsi barang-barang yang disubsidi. Ada dua jenis subsidi pemerintah √ transfer dalam bentuk tunai dan subsidi. Transfer tunai diberikan kepada konsumen sebagai pendapatan tambahan pendapatan atau jika uang ini diberikan kepada produsen, maka diharapkan harga produk bisa lebih rendah. Subsidi adalah dimana penerima mendapatkan barang tertentu tanpa harus membayarnya (Handoko dan Patriadi, 2005). Subsidi dalam bentuk pengeluaran pemerintah adalah untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan dasarnya dengan harga yang terjangkau. Juga, subsidi diberikan kepada produsen untuk memproduksi kebutuhan dasar dalam bentuk barang dengan jumlah yang cukup dan dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat. Subsidi ditujukan untuk menstabilkan ekonomi, khususnya stabilitas harga. Subsidi diharapkan menjaga bahan mentah yang ada untuk siap pakai dan harganya terjangkau (Nota Keuangan & APBN, 2010). Di banyak negara berkembang, subsidi sangatlah penting untuk meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan (Norton, 2004). Subsidi adalah cara yang efisien atau transfer pembayaran dari pemerintah kepada masyarakat sebagai bentuk dari redistribusi kesejahteraan. Redistribusi kesejahteraan adalah dasar dari subsidi. Efek dari subsidi pemerintah, khususnya produk agrikultur, ditunjukkan pada Grafik II.3. Kurva persediaan produk agrikultur dalam jangka pendek (SR) diasumsikan inelastis sebagaimana ditunjukkan pada gambar II.3 (a). Jika pemerintah memberikan subsidi untuk produk agrikultur, maka dampaknya adalah pada permintaan produk, sebagai contoh, kurva permintaan bergeser ke kanan dan ke atas. Meningkatnya permintaan menghasilkan peningkatan harga akan tetapi petani tidak bisa meningkatkan produksinya. Akan tetapi, pada jangka panjang (LR), subsidi pada produksi agrikultur membuat peningkatan pada jumlah
SSR
Harga Produk
Harga Produk SLR
Ps Ps P
P
Ds
Ds
D 0 Source : Stiglitz (2000)
QQs
D Produk
0
Q
Source : Stiglitz (2000)
Grafik II.3: Dampak Subsidi Terhadap Produksi Agrikultur
Qs
Produk
431
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
penawaran dikarenakan pada jangka panjang, kurva penawaran lebih elastis sebagaimana diilustrasikan pada panel (b), Grafik II.3. Pengaruh subsidi pada konsumsi dan produksi dapat dianalisis dengan memperhatikan kurva permintaan sebagaimana kurva penawaran. Subsidi menggeser kurva permintaan ke kanan dan ke atas sebagai pergeseran ke kanan dan ke bawah untuk kurva penawaran barang-
P
P
S
S S»
D» D
D
Q
Q
(b)
(a)
Grafik II.4: Pengaruh Subsidi Terhadap Penawaran dan Permintaan
P
D
S
S
P
S»
S»
D
Q
Q
(a)
(b)
P
S
S» D
Q (c)
Grafik II.5: Pengaruh Subsidi Terhadap Elastisitas Sempurna dan Tidak Sempurna
432 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
barang yang disubsidi. Hasil dari kedua subsidi ini adalah keseimbangan baru yang lebih besar pada jumlah barang. Pengaruh dari dua subsidi tersebut dalam permintaan dan penawaran ditunjukkan pada Grafik II.4. Pada Grafik II.4 (a), subsidi konsumsi menggeser kurva permintaan D menjadi D». Sementara pada Grafik II.4 (b), subsidi pada produksi menggeser kurva penawaran S menjadi S». Pengaruh elastisitas pada penawaran dan permintaan ditunjukkan pada grafik II.5. Jika kurva permintaan tidak elastis secara sempurna, sebagaimana ditunjukkan pada grafik II.5 (a), subsidi menggeser kurva penawaran dari S menjadi S». Jumlah pada keseimbangan hasilnya sama saja, tapi harga akan meningkat. Jika permintaan secara sempurna elastis, sebagaimana ditunjukkan pada panel (b), grafik II.5, pengaruh subsidi merupakan peningkatan jumlah keseimbangan pada harga yang sama. Jika kurva penawaran elastis secara sempurna, subsidi meningkatkan jumlah keseimbangan, sebagaimana digambarkan pada panel (c). Kebijakan subsidi pemerintah selalu berhubungan dengan barang dan jasa yang memiliki eksternalitas positif. Pada saat pengaruh negatif dari subsidi menciptakan alokasi yang tidak efektif karena konsumen mengkonsumsi barang yang disubsidi secara berlebihan (boros). Juga, dikarenakan harga lebih rendah dibandingkan opportunity cost, maka ada kemungkinan bagi produsen untuk menjadi tidak efektif dalam menggunakan sumber daya untuk memproduksi barang-barang yang disubsidi(Spencer & Amos, 1993). Subsidi yang tidak transparan dan tidak ditargetkan dengan baik bisa saja menyebabkan distorsi harga, inefesiensi, dan dinikmati oleh orang-orang yang tidak berhak (Basri, 2002).
II.6. Pengaruh pada Pengeluaran Pemerintah Pengaruh meningkatnya pengeluaran pemerintah pada kemajuan output mengandalkan efek pengganda kebijakan tersebut yang dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan IS-LM. Kurva IS menunjukkan keseimbangan dalam pasar barang, sementara kurva LM menunjukkan keseimbangan pasar uang. Secara sistematis, dua keseimbangan ini dapat dijelaskan dalam persamaan (II.15) dan (II.16) secara berturut-turut.
y = c ( y − t ( y ) ) + i( r ) + g
(II.15)
M = l( r ) + k ( y ) P0
(II.16)
Fungsi konsumsi dan pajak memiliki kemiringan yang positif tapi lebih kecil dari pada 1 ( 0 < c' , t ' < 1 ). Kemiringan investasi, permintaan uang, dan transaksi permintaan uang adalah
i ' < 0, l ' < 0, dan k ' > 0 (simbol menunjukkan nilai tertentu). Persamaan (II.15) dan (II.16)
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
diturunkan dengan mengasumsikan
433
M adalah konstan, maka kita mendapatkan persamaan P
(II.17) dan (II.18).
dy = c(dy − t ' dy ) + i ' dr + dg dy = c(1 − t ' )dy + i' dr + dg
(II.18)
0 = l ' dr + k ' dy dr = −
(II.17)
k' dy l'
Mensubtitusi (II.17) menjadi (II.18) untuk mendapatkan persamaan (II.19)
dy =
1 i' k ' 1 − c ' (1 − t ' ) + l'
Karena c '(1 − t ' ) < 1 dan
(II.19)
dg
i'k ' memiliki nilai positif, maka penggandanya akan bernilai positif. l'
Kemiringan kurva LM adalah −
i'k' menunjukkan penurunan investasi dijelaskan oleh l'
meningkatnya r pada saat y dan y meningkat sepanjang kurva LM. Jika kurva LM horizontal, contohnya kemiringan nol, maka pengganda akan menjadi:
dy =
1 1 dg = dg 1 − c ' (1 − t ' ) 1 − MPC
(II.20)
Implikasi persamaan (II.20) adalah walaupun pengeluaran pemerintah berada pada tingkat rendah, ini berdampak pada output. Dengan kata lain, perubahan output secara relatif lebih besar jika kurva LM secara relatif datar, contohnya pada saat kemiringan kurva LM mendekati nol. BPS menggunakan konsep pendekatan kebutuhan dasar dalam memperkirakan angka kemiskinan di Indonesia. Pendekatan ini menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan ketidakmampuan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar yang berupa makanan dan nonmakanan, yang diperkirakan dengan menggunakan pengeluaran rumah tangga. Dengan menggunakan pendekatan ini, tiga perkiraan tentang kemiskinan, contohnya Headcount Index menjelaskan orang-orang yang tinggal di bawah garis kemiskinan, indeks tingkat kemiskinan mendalam (P1) dan indeks kemiskinan yang sangat mencekam (P2) dapat dihitung.
434 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Metode yang digunakan adalah perhitungan garis kemiskinan (GK), terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) and garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). Perkiraan garis kemiskinan dihitung secara terpisah untuk area perkotaan dan pedesaan di setiap provinsi. Orang miskin adalah mereka yang pendapatan per kapitanya di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan makanan (GKM) adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum untuk makanan yang sama dengan 2100 kilokalori per kapita perhari. Cakupan komoditas kebutuhan dasar terdiri dari 52 item, diantaranya adalah beras, ikan, daging, telur, susu, sayuran, kacangkacangan, buah-buahan minyak.
III. METODOLOGI Studi ini menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE), yang diformulasikan oleh Institusi Penelitian Kebijakan Pangan Internasional (IFPRI). Model ini merujuk kepada standar model CGE yang dikembangkan oleh Lofgren, et al. (2002), Decaluwe Decaluwe, et al (1998; 1999), dan Cockburn (2001). Untuk tujuan penelitian ini, langkah pertama adalah mengidentifikasi asumsi, struktur, data utama, fungsi produksi, closure dan variabel endogen dan eksogen. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi sektor-sektor yang memanfaatkan data utama dari tabel Input-Output (IO), Keseimbangan Ekonomi-Sosial Sheet System (SNSE) dan Survey Ekonomi-Sosial Nasional (SUSENAS). Mekanisme transmisi kebijakan fiskal yang merupakan dasar dari penelitian ini dapat disimpulkan pada Diagram II.1 Studi ini berfokus pada kebijakan fiskal sebagai berikut: (1) pajak tidak langsung, (2) subsidi pemerintah untuk listrik, udara, dan air; transportasi dan komunikasi; dan sektor manufaktur, dan (3) transfer langsung kepada tiap rumah tangga. Untuk tujuan penelitian ini, kami mengikuti pengelompokan rumah tangga berdasarkan BPS, yang bernama (i) tenaga kerja agrikultur pedesaan, (ii) wiraswasta agrikultur pedesaan, (iii) tenaga kerja non-agrikultur berpendapatan rendah di pedesaan, (iv) kelompok tak dikenal dan barisan bukan pekerja di pedesaan, (v) tenaga kerja berpenghasilan tinggi di pedesaan, (vi) tenaga kerja non-agrikultur berpenghasilan rendah di perkotaan, (vii) kelompok tak dikenal dan bukan tenaga kerja di perkotaan, dan (viii) tenaga kerja berpenghasilan tinggi non-agrikultur di perkotaan. Identifikasi struktur produksi sangatlah penting untuk studi ini. Struktur dan perilaku fungsi produksi yang bervariasi ke input dan output hingga elastisitas diidentifikasi menggunakan fungsi Leontief, constant elasticity of transformation (CES). Koefisien elastisitas dari fungsi masing-masing dapat langsung diperkirakan dan dikutip dari sumber yang bermacam-macam pada studi sebelumnya. Langkah selanjutnya adalah up dating data utama dari tahun 2003
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
435
Pertumbuhan Lebih Lambat: banyak penyesuaian pada pasar tenaga kerja
Pajak Produksi Pajak Penghasilan Pajak Penjualan
Pilihan Bekerja-Bersantai; dapat menyebabkan pendapatan pajak yang lebih kecil
Pinjaman External Kas Pemerintah
Transfer untuk Rumah Tangga
Komoditas Subsidi
Penyesuaian Penghasilan
Penyesuaian Harga
Tekanan untuk Inflasi
Penyesuaian Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga
Pengeluaran untuk pembangunan dan infrastruktur; khususnya infrastruktur kesejahteraan
- Kemiskinan - Distribusi Pendapatan Area Kebijakan Fiskal Kemungkinan Dampak yang kurang baik
Sumber: Damuri dan Perdana, 2003
Transmission mechanism
Diagram II.1. Mekanisme Kebijakan Fiskal Dalam Memepengaruhi Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan
hingga tahun 2005 dengan menggunakan metode Cross-Entropy. Data yang terkandung, baik yang berasal dari perkiraan atau hasil studi sebelumnya, dianggap relevan data data-data tersebut dikuatkan dan diuji untuk kekonsistenannya. Begitu data diurutkan, maka simulasi fiskal akan selesai. Simulasi yang dilaksanakan pada studi ini adalah untuk penyesuaian fiskal, seperti pajak, subsidi, dan transfer pembayaran kepada rumah tangga. Hasil dari simulasi ini akan dievaluasi, terkait dengan mikro dan makro. Kondisi makro adalah perubahan pada pendapatan domestic
bruto, tingkat inflasi, neraca perdagangan, tingkat pengangguran, sementara kondisi mikro dilihat melalaui perubahan distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Diagram II.2 menunjukkan konsep desain penelitian.
436 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Tabel IO
RAS dan CE
Tabel SNSE
Sektor Seleksi
Survey Literatur
UPDATE DATABASE SNSE
Susenas
Parameter estimasi dan Nilai Elastisitas tidak
Consistency check
ya combined
CGE MODEL
Ekonometrik Model
Simulasi Kebijakan Fiskal Indikator Makroekonomi
Evaluasi Kebijakan
Indikator Mikroekonomi
Diagram II.2 Konsep Design Penelitian
III.1. Perkiraan Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Untuk menganalisis kemiskinan berdasarkan kelompok rumah tangga, disarankan untuk menggunakan formula distribusi pendapatan berdasarkan karakteristik rumah tangga. Distribusi ini menggunakan pendapatan maksimum dan minimum pada kecenderungan distribusi pendapatan. Untuk menggunakan karakteristik ini pada distribusi pendapatan, fungsi distribusi beta digunakan sebagaimana diberikan oleh Decaluwe, et. Al (1999), sebagai berikut: p −1
q −1
1 (y − mn ) (mx − y ) I ( y; p, q) = B (p , q ) (mx − mn) p + q −1
(II.21)
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
437
Dimana p −1 q −1 ( y − mn ) (mx − y ) B(p, q ) = ∫ dy mn (mx − mn) p + q −1 mx
(II.22)
Parameter mx dan mn adalah pendapatan maksimum dan minimum pada kelompok tersebut. Parameter p dan q akan mempengaruhi bentuk dan distribusi kemiringan. Distribusi ini berdasarkan distribusi tertentu parameter beta yang diestimasi dari parameter statistic yang bervariasi. Hubungan antara parameter p dan q pada fungsi distribusi beta dan parameter statistic yang bervariasi dapat dijelaskan menggunakan formula di bawah ini
x (1 − x ) p = x − 1 2 s
dan
x (1 − x ) − 1 q = (1 − x ) 2 s
Di mana x adalah sample utama dan s2 adalah sampel varian yang diturunkan dari
∑x
i
Sampel utama:
x=
i =1
sampel varian
s2 =
n
1 n 2 ∑ (xi − x ) n i =1
Jika p > q, maka distrbusi miring ke kiri dan situasi ini membawa kemiringan miring ke sisi kiri dan kesenjangan p dan q makin meningkat. Jika q > p, distribusi miring ke kanan yang menunjukkan kesenjangan meningkat. Jika p = q, maka fungsi simetris. Tiga kondisi ini benar jika nilai yang diambil oleh p dan q lebih dari satu. Fungsi distribusi sebagaimana ditunjukkan pada persamaan (II.21) digunakan untuk mengevaluasi persinggungan kemiskinan tiap kelompok rumah tangga pada model ekonomi ekuilibrium umum. Jika rata-rata pendapatan adalah y, maka pendapatan pada masing-masing rumah tangga meningkat hingga y. Berdasarkan aturan ini, distribusi pendapatan akan berubah secara proporsional dan horizontal berdasarkan perubahan pendapatan. Prosedur di atas memungkinkan kita untuk membandingkan tingkat kemiskinan yang dibuat pada sebelum dan sesudah simulasi dengan menggunakan pengukuran yang dikembangkan oleh Foster, Greer, dan Thorbecke (F-G-T), Pa Pengukuran Pa menggunakan digambarkan pada distribusi beta. Formula F-G-T adalah : z
α
z− y Pα = ∫ I ( y; p, q)dy z mn
(II.23)
Di mana α adalah parameter poverty-aversion, z adalah garis kemiskinan, dan mn adalah pendapatan minimum intra-group pada saat p dan q adalah parameter dari fungsi beta sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
438 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Garis kemiskinan mengukur sebagaimana telah ditunjukkan pada persamaan garis kemiskinan moneter (II.24) ditentukan secara endogen pada model CGE. Hal ini menggambarkan garis kemiskinan sebagaimana ditentukan oleh sejumlah komoditi menunjukkan konsumsi kebutuhan dasar. Hal ini konsisten dengan metode Ravallion (1994) dalam mengestimasi m kemiskinan absolut, γ c h , yaitu:
Garis kemiskinan moneter:
∑ PQ . γ c
m ch
(II.24)
c ∈C
Karena harga komoditi ditentukan secara endogen pada model, maka nilai nominal basket tersebut adalah garis kemiskinan. Jika peningkatan pada harga komoditi mengikuti goncangan eksternal tertentu, maka garis kemiskinan, z, akan meningkat (bergeser ke kanan) dan kemiskinan akan meningkat juga, ceteris paribus. Sistem permintaan yang ditentukan dalam model ini berdasarkan system pengeluaran linear (LES), yaitu:
PQc . QH c h = PQc . γ cmh + β cmh . EH h − ∑ PQc . γ cmh c ∈C
(II.25)
Dimana QHch adalah kuantitas konsumsi komoditi c yang diperlihatkan oleh rumah m tangga h, dan γ c h adalah komoditi konsumsi subsisten c yang diperlihatkan oleh rumah tangga m h, dan β ch adalah marginal share dari pengeluaran konsumsi c yang diperlihatkan oleh rumah
tangga h.
III.2. Aktivitas Produksi dan Faktor Pasar. Pada model ini, asumsikan bahwa setiap produsen mencoba memaksimalkan keuntungannya. Profit digambarkan sebagai perbedaan total revenue dan total cost produksi dan input intermediet, pada level teknologi yang diberikan. Fungsi produksi dapat dalam beberapa bentuk seperti Leontief, CES, Cobb-Douglas, Nested, dan translog. Fungsi elastisitas konstan substitusi (CES) adalah fungsi alternatif yang bermanfaat bagi sektor tertentu. Fakta empiris menunjukkan jika tekniknya ada, maka memungkinkan untuk menggabungkan agregat antara nilai tambah dan input intermediet untuk perubahan. Nilai tambah ditentukan oleh fungsi CES dari faktor utama pada saat input intermediet agregat ditentukan oleh fungsi Leontif dari input intermediet disagregat.
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
439
III.3. Institusi Pada model CGE, institusi terdiri dari rumah tangga, perusahaan, pemerintah, dan RoW (The Rest of The World). Rumah tangga menerima pendapatan dari faktor produksi dan transfer dari institusi lain. Transfer dari RoW kepada rumah tangga fix pada mata uang asing. Pada model ini, pajak langsung dan transfer kepada institusi domestik lain diartikan sebagai saham tetap dari pendapatan rumah tangga, kecuali untuk simpanan saham yang fleksibel untuk rumah tangga yang terpilih. Konsumsi rumah tangga termasuk komoditi yang diiklankan, yang dibeli pada pasar harga termasuk komoditi pajak dan biaya transaksi. Konsumsi rumah tangga yang dialokasikan di antara komoditi-komoditi yang berbeda berdasarkan fungsi permintaan Sistem Pengeluaran Linier (LES), diturunkan dari maksimalisasi fungsi utility Stone Geary (Dervis et.al 1982, pp. 482-485). Pemerintah mengumpulkan pajak dan menerima transfer dari institusi lain. Pada versi model dasar, semua pajak diselesaikan (dibayarkan) pada fixed ad-valorem. Pemerintah menggunakan pemasukan ini untuk membeli komoditi untuk konsumsinya dan untuk transfer ke institusi lain. Pengeluaran pemerintah bersifat tetap pada kuantitas riil kecuali transfer pemerintah kepada institusi domestik yang diindekskan kepada Indeks Harga Konsumen (CPI). Pada saat simpanan pemerintah tersisa secara fleksibel. Institusi yang terakhir adalah Row. Transfer pembayaran antara RoW dengan institusi lainnya dan semua faktor telah tetap dalam bentuk mata uang asing. Simpanan asing berbeda diantara pengeluaran dan pendapatan dalam mata uang asing.
III.4. Pasar Komoditi Fungsi CES pada model survey digunakan untuk fungsi agregat. Output permintaan dari setiap aktivitas diturunkan dari masalah minimalisasi biaya dengan kuantitas penawaran tertentu dari output agregat dengan fungsi CES sebagai halangan. Langkah selanjutnya, output agregat
domestic dialokasikan di antara ekspor dan penjualan domestik dengan asumsi bahwa produsen akan memaksimalkan pendapatan penjualan untuk beberapa output agregat pada level tertentu, dengan rintangan berupa transformabilitas tidak sempurna antara ekspor dan penjualan domestik. Hal ini dijelaskan oleh Constant Elasticity of Transformation function (CET). Pada pasar internasional, permintaan ekspor elastis tanpa batas pada harga dunia tertentu. Total permintaan pasar adalah total dari output domestik untuk komoditi non-impor dan impor langsung untuk komoditi yang produk domestiknya langka atau bahkan tidak ada. Permintaan komoditi impor dilakukan oleh produsen internasional yang elastis tanpa batas pada harga dunia tertentu. Harga impor yang dibayar oleh konsumen domestik termasuk
440 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
tarif impor (at fixed ad-valorem rates) dan biaya-biaya tertentu dari transaksi impor per unit, menututpi biaya komoditi yang bergerak dari border ke konsumen. Transaksi di sini tidak ad-
valorem. Tingkatan atau rasio tarif antara margin dan margin tanpa harga berubah sebagaimana perubahan harga layanan transaksi atau komoditi yang dipasarkan. Asusmsi transformabilitas yang tidak sempurna (antara ekspor dan penjualan domestikdari output domestik dan substitutabilitas yang tidak sempurna). Antara impor dan output domestik yang terjual secara domestik menjadikan model ini lebih baik secara relatif dalam menggambarkan realitas empiris kebanyakan negara. Asumsi yang digunakan mencetuskan sistem harga domestik (tingkat kemandirian) dari harga internasional dan menghindari respon ekspor dan impor yang tidak realisitis dari guncangan ekonomi.
III.5. Neraca Makroekonomi Model CGE yang dibentuk mencakup tiga neraca makro. Neraca-neraca ini adalah neraca pemerintah saat ini, neraca eksternal (rekening neraca pembayaran, termasuk neraca perdagangan), dan Neraca Investasi-Simpanan. Untuk neraca pemerintah, closure yang digunakan adalah simpanan pemerintah yang merupakan sisa yang fleksibel pada saat semua pajak sudah tetap. Konsumsi pemerintah juga tetap, baik pada kondisi riil atau sebagaimana saham batas nominal penggunaannya (baik sebagai istilah riil atau sebagai saham penyerap nominal). Untuk neraca eksternal, yang dijelaskan dalam mata uang asing, closure yang digunakan nilai tukar riil yang fleksibel pada saat simpanan asing (defisit rekening) tetap. Jika komponen lain yang diberikan tetap dalam neraca eksternal (transfer antara institusi RoW dan domestik), jadi neraca perdagangan juga tetap. Ceteris Paribus, jika simpanan asing berada pada level endogen, maka depresiasi dari nilai tukar riil akan memperbaiki situasi ini secara simultan: (1) mengurangi pengeluaran pada impor dan (2) meningkatkan pendapatan dari ekspor. Untuk penutupan neraca investasi-simpanan, baik yang sisi permintaan investasi atau investasi yang dibawa atau berasal dari sisi permintaan simpanan atau simpanan yang dibawa.
Closure yang digunakan adalah investment driven. Kuantitas investasi riil tetap. Untuk memproduksi kuantitas simpanan yang sama dengan biaya permintaan investasi, maka tingkatan institusi simpanan non pemerintah yang terpilih disesuaikan pada satu poin dengan kuantitas persentase yang sama. Secara implisit, kondisi ini mengasumsikan pemerintah mampu untuk menerapkan kebijakan untuk memproduksi simpanan swasta yang dibutuhkan untuk membiayai investasi riil tertentu. Kombinasi dari tiga closure ini pada macro-closure literature dikenal dengan Johansen Closures. Tipe closure ini telah digunakanpada model CGE yang dikembangkan oleh Leif Johansen (1960).
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
441
Kesimpulan closure yang digunakan pada penelitian ini adalah untuk neraca closure pemerintah, di mana simpanan pemerintah tetap dan pajak langsung juga tetap. Untuk closure RoW, simpanan asing tetap pada saat nilai tukar fleksibel. Dan, untuk simpanan-investasi closure, pembentukan modal tetap dan kuantitas investasi juga tetap. Closure ini sangatlah penting untuk ditentukan karena kesalahan penentuan closure akan membuat interpretasi yang berbeda.
III.6. Model Persamaan Untuk menganalisis kebijakan fiskal pada studi ini, model CGE standar digunakan untuk ekonomi terbuka yang dikembangkan oleh Hans Lofgren dari International Food Policy Research
Institute (IFRI). Model ini dioperasikan dengan menggunakan software GAMS (General Algebraic Modelling System). Persamaan pada model dibagi menjadi empat blok, yaitu harga, produksi dan perdagangan, institusi, dan sistem rintangan. Persamaan yang telah dibuat sebelumnya membentuk model distribusi dan kemiskinan di Indonesia. Pembahasan berikut ini adalah bagaimana persamaan memproses dalam memproduksi solusi yang berpusat. Proses kalibrasi dapat dimaknai sebagai proses manipulasi matematika persamaan tertentu. Proses kalibrasi ditunjukkan untuk mendapatkan parameter distribusi dan efisiensi parameter fungsi CES. Contohnya, asumsikan ekonomi memiliki fungsi produksi, seperti digambarkan oleh elastisitas subtitusi yang konstan, CES sebagai berikut: −
[
y =α β X
−ρ 1
+ (1 − β )X
−ρ 2
]
1 ρ
(II.26)
Dimana α adalah efisiensi parameter yang hanya menggeser seluruh fungsi, β adalah parameter distribusi yang membolehkan keutamaan relative X1 dan X2, dan ρ adalah subtitusi parameter. Efisiensi pareto terjadi pada saat ekulibrium tecapai melalui mekanisme pasar persaingan sempurna, i.e. pada saat ketiga fungsi √ konsumsi, produksi, dan produk campuran berada pada posisi seimbang (ekuilibrium).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kebijakan fiskal dalam studi ini hanya meliputi: (1) pajak tidak langsung, (2) subsidi pemerintah pada listrik, air dan gas, transportasi, dan industri, dan (3) pembayaran transfer langsung kepada rumah tangga. Akibat dari pengukuran kebijakan fiskal ini akan dibahas untuk menilai kinerja variabel ekonomi makro, seperti GDP (Gross Domestic Product), indeks harga konsumen, neraca perdagangan, output agregat, tenaga kerja agregat, tingkat investasi, dan konsumsi rumah tangga.
442 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
IV.1. Akibat Kontraksi dan Ekspansi Kebijakan Fiskal pada Kinerja Ekonomi Makro di Indonesia. Tabel II.1 menunjukkan hasil simulasi kontraksi dan ekspansi kebijakan fiskal yang bervariasi hingga 10%. Simulasi 1 adalah peningkatan pajak tidak langsung. Hasil pada simulasi 1 secara umum memiliki dampak negatif pada kinerja ekonomi makro di Indonesia. Hal ini tergambar dengan penurunan GDP hingga 0.005%. Penurunan kinerja ekonomi Indonesia tidak lain disebabkan oleh penurunan konsumsi pemerintah sebagaimana konsumsi swasta, ekspor, dan impor. Walaupun impor menurun, ekspor juga menurun yang pada akhirnya menyebabkan penurunan GDP.
Tabel II.1 Hasil Simulasi Kontraksi dan Ekspansi Kebijakan Fiskal Terhadapa Kinerja Ekonomi Indonesia Variabel Penyerapan Konsumsi Pribadi Investasi Konsumsi Pemerintah Ekspor Impor GDP oleh pengeluaran GDP oleh produksi
Simulasi 1 -0,010 -0,026 0,110 -0,124 -0,040 -0,064 -0,005 -0,005
Simulasi 2 0,141 0,059 0,178 0,807 0,310 0,487 0,106 0,106
Simulasi 3 -0,002 -0,001 -0,004 0,001 -0,019 -0,021 -0,002 -0,002
Simulasi 1: Peningkatan pajak tidak langsung hingga 10% pada seluruh sektor aktifitas ekonomi Simulasi 2: Peningkatan subsidi pemerintah hingga 10% pada seluruh sektor produksi Simulasi 3: Transfer pendapatan sebesar Rp. 100.000,- kepada kelompok rumah tangga pedesaan dari pendapatan rata-rata sebenarnya pada masing-masing rumah tangga
Di sisi lain, jika pemerintah mengadakan ekspansi kebijakan fiskal seperti peningkatan subsidi hingga 10%, sebagaimana ditunjukkan pada simulasi 2, seluruh GDP meningkat hingga 0.106%. Persediaan subsidi berperan sebagai insentif kepada produsen yang pada akhirnya menurunkan harga dan meningkatkan permintaan (swasta dan pemerintah). Menariknya, peningkatan subsidi meningkatkan ekspor dan investasi. Selanjutnya, dampak dari simulasi 3 dimana transfer pembayaran pemerintah senilai Rp. 10.000,- kepada rumah tangga pedesaan dikaji. Seluruh hasil menunjukkan transfer pembayaran kepada rumah tangga memiliki penurunan yang kecil dalam GDP riil. GDP riil menurun hingga 0.002%.
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
443
IV.2. Dampak Peningkatan Pajak Pada Kinerja Ekonomi Sub-sesi ini meringkas dampak ekspansi dan kontraksi kebijakan fiskal pada kinerja ekonomi sektoral. Untuk tujuan dari dari studi ini, analisis berfokus pada peningkatan pajak pada perubahan output sektoral, harga output, dan penyerapan tenaga kerja.
IV.2.1. Dampak Peningkatan Pajak Pada Kinerja Ekonomi Sektoral Tabel II.2 mengungkap dampak peningkatan pajak hingga 10% pada output sektoral, harga output, dan penyerapan tenaga kerja. Ditemukan bahwa peningkatan pajak memiliki dampak positif pada berbagai sektor dengan pengecualian industri manufaktur; dan perdagangan, hotel, dan restoran. Industri manufaktur dan perdagangan, hotel, dan restoran menunjukkan dampak negatif peningkatan pajak pada performa output.Peningkatan pajak menghasilkan peningkatan harga output di semua sektor. Hasil ini menunjukkan bahwa produsen mampu untuk melewati beban pajak pada konsumen. Peningkatan pajak juga mengurangi tingkat penyerapan tenaga kerja untuk dua sektor, yang bernama industri manufaktur; dan perdagangan, hotel, dan restoran. Walaupun produsen mampu untuk melewati beban pajak kepada konsumen dalam bentuk harga output yang lebih tinggi, permintaan untuk outputyang telah dijelaskan sebelumnya terpengaruh secara negatif. Konsekuensinya, permintaan tenaga kerja yang merupakan turunan permintaan menurun sebagai hasil dari peningkatan pajak. Tabel II .2. Hasil Simulasi Peningkatan Pajak Hingga 10% pada Kinerja Ekonomi Sektoral (%) Sektor Agrikultur Galian dan Tambang Industri Manufaktur Listrik, gas, dan air bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Sewa Menyewa, dan Layanan Bisnis Layanan Lainnya
Output 0,254 0,301 -0,317 0,463 0,004 -0,189 0,020 0,184 0,175
Harga 0,999 0,966 0,993 0,993 0,999 1,009 1,006 1,010 1,006
Tenaga Kerja 0,325 0,996 -0,662 1,567 0,007 -0,230 0,040 0,572 0,260
IV.2.2. Dampak Peningkatan Pajak Pada Pendapatan dan Kemiskinan Langkah selanjutnya adalah menganalisis dampak peningkatan pajak hingga 10% pada utilitas rumah tangga, pendapatan, dan pengeluaran. Tabel II.3 menunjukkan hasil dari simulasi tersebut. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dampak peningkatan pajak pada utilitas bervariasi
444 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
bergantung pada pengelompokkan rumah tangga. Tenaga kerja agrikultur di pedesaan dan wiraswasta membuat utilitasnya meningkat kurang dari 1%. Peningkatan pajak memiliki dampak negatif pada pendapatan riil untuk semua kelompok rumah tangga. Sebagaimana diharapkan, peningkatan pajak dapat dijelaskan ke dalam peningkatan harga, jadi penurunan pada daya beli konsumen. Penurunan daya beli searah dengan penurunan pengeluaran rumah tangga, kecuali rumah tangga yang berwiraswasta dan tenaga kerja agrikultur pedesaan. Tabel II.3 Hasil Simulasi Dampak Peningkatan Pajak Pada Ultilitas, Pendapatan, dan Pengeluaran Rumah Tangga No
Klasifikasi Rumah Tangga
1 2 3 4 5 6 7 8
Tenaga Kerja Agrikultur Pedesaan Pengusaha Agrikultur Pedesaan Tanaga Kerja Non-Agrikultur Berpendapatan Rendah Pedesaan Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Pedesaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Pedesaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Rendah Perkotaan Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Perkotaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Perkotaan
Utilitas 0,341 0,101 -0,055 -0,008 -0,053 -0,118 -0,065 -0,092
Pendapatan Pengeluaran -0,621 -0,888 -0,973 -0,925 -1,002 -1,014 -0,956 -1,030
0,270 0,060 -0,085 -0,026 -0,048 -0,114 -0,038 -0,072
Dikarenakan peningkatan pajak memiliki dampak negatif pada pendapatan rumah tangga, diperkirakan kemiskinan juga akan meningkat. Studi ini menggunakan index Foster-Greer-
Thorbecke (F-G-T) sebagai pengukuran tingkat kemiskinan. Umumnya, kemiskinan diukur dengan menggunakan unit moneter. Standar garis kemiskinan menurut Bank Dunia adalah US$2/hari atau sama dengan Rp. 559.000,-/bulan. Garis kemiskinan adalah nilai moneter sejumlah komoditi yang merupakan cerminan dari konsumsi kebutuhan dasar. Peningkatan pajak diperkirakan mempengaruhi indeks rasio kemiskinan (head count index or poverty
incidence), indeks kesenjangan kemiskinan (poverty depth), dan indeks intensitas kemiskinan (poverty severity) rumah tangga. Tabel II.4 mengungkap hasil simulasi peningkatan pajak pada pengukuran kemiskinan untuk semua kategori rumah tangga. Berdasarkan indikator kemiskinan (head count index, poverty depth and poverty severity), ditemukan bahwa peningkatan pajak meningkatkan intensitas kemiskinan, kesenjangan, dan rasio kemiskinan untuk semua kategori rumah tangga. Umumnya, dampak peningkatan pajak pada kemiskinan lebih tinggi pada rumah tangga di area urban dibandingkan rumah tangga di area pedesaan.
IV.3. Dampak Peningkatan Subsidi pada Kinerja Ekonomi Sesi ini akan membahas dampak peningkatan subsidi terhadap kinerja ekonomi sektoral. Sebagai contoh, pemerintah meningkatkan subsidi hingga 10 %. Diperkirakan peningkatan
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
445
Tabel II.4 Hasil Simulasi Peningkatan Pajak Terhadap Perubahan Tingkat Kemiskinan (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Klasifikasi Rumah Tangga
α=0
Tenaga Kerja Agrikultur Pedesaan Pengusaha Agrikultur Pedesaan Tanaga Kerja Non-Agrikultur Berpendapatan Rendah Pedesaan Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Pedesaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Pedesaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Rendah Perkotaan Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Perkotaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Perkotaan
Perubahan (%) α=1
0.7787 1.4580 1.4074 1.3666 1.6037 2.6043 2.2276 2.7778
1.4103 2.1222 2.0999 2.0301 2.2153 2.7928 2.7046 2.8869
α=2 1.6409 2.4649 2.5169 2.4236 2.6600 3.0850 2.9039 3.1413
subsidi ini akan memiliki dampak positif pada kinerja ekonomi sektoral karena subsidi menurunkan biaya dalam menjalankan bisnis. Secara keseluruhan, peningkatan subsidi hingga 10% menghasilkan peningkatan peningkatan GDP hingga 0,106%. Dampak peningkatan subsidi terhadap output sektoral, harga, dan penyerapan tenaga kerja dibahas dibawah ini.
IV.3.1. Dampak Peningkatan Subsidi pada Kinerja Ekonomi Hasil simulasi peningkatan subsidi hingga 10% pada output, harga, dan permintaan tenaga kerja ditunjukkan pada Tabel II.5. Ditemukan bahwa peningkatan subsidi memberikan dampak positif pada output pada industri manufaktur dan utilitas publik pada sektor listrik, gas, dan air bersih. Sektor lain menunjukkan penurunan pada output. Dampak peningkatan subsidi mengungkap perbedaan gambaran pada harga output. Ditemukan bahwa peningkatan subsidi menurunkan harga pada beberapa sektor, i.e. penggalian dan tambang, industri manufaktur, dan utilitas publik. Peningkatan output sektor industri manufaktur dan utilitas publik memiliki pengaruh positif pada permintaan tenaga kerja. Industri manufaktur mampu Tabel II.5 Hasil Simulasi Peningkatan Subsidi pada Kinerja Ekonomi Sektoral (%) Sektor Agrikultur Galian dan Tambang Industri Manufaktur Listrik, gas, dan air bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Sewa Menyewa, dan Layanan Bisnis Layanan Lainnya
Output -0,798 -0,943 1,724 3,022 -0,037 -0,219 -0,557 -0,631 -1,172
Harga 1,966 -0,057 -1,614 -5,730 0,397 1,642 0,823 0,870 1,132
Tenaga Kerja -1,004 -2,950 3,731 10,693 -0,033 -0,256 -0,998 -1,831 -1,696
446 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
menyerap 3,73% tenaga kerja baru dan sektor utilitas publik (listrik, gas, dan air bersih) membuat 10,96% lowongan kerja baru. Sektor-sektor tersebut yang mengalami peningkatan harga sebagai hasil dari peningkatan subsidi menunjukkan penurunan output. Sama halnya permintaan tenaga kerja terpengaruh secara negatif. Kemungkinan besar subsidi pemerintah cukup kecil dibandingkan dengan harga input intermediet dan maka dari itu dampak pada harga input kecil. Hasil akhirnya adalah penurunan output dan peningkatan harga.
IV.3.2 Dampak Peningkatan Subsidi Pada Pendapatan dan Kemiskinan. Sub sesi ini membahas hasil simulasi peningkatan subsidi hingga 10% pada pendapatan dan kemiskinan diantara rumah tangga sebagaimana ditampilkan pada Tabel II.6. Ditemukan bahwa peningkatan subsidi pemerintah memberikan dampak positif terhadap pendapatan rumah tangga. Tapi, utilitas rumah tangga di antara tenaga kerja agrikultur di pedesaan, usaha agrikultur pedesaan, dan pendapatan rendah tenaga kerja agrikultur menunjukkan penurunan. Penurunan utilitas berhubungan dengan penurunan pengeluaran rumah tangga untuk tenaga kerja agrikultur pedesaan dan usaha rumah tangga di bidang agrikultur di pedesaan.
Tabel II.6 Hasil Simulasi Peningkatan Subsidi Pada Utilitas dan Pendapatan Keluarga (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Klasifikasi Rumah Tangga Tenaga Kerja Agrikultur Pedesaan Pengusaha Agrikultur Pedesaan Tanaga Kerja Non-Agrikultur Berpendapatan Rendah Pedesaan Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Pedesaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Pedesaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Rendah Perkotaan Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Perkotaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Perkotaan
Utilitas
Pendapatan
Pengeluaran
-0,857 -0,186 -0,045 0,107 0,172 0,193 0,220 0,170
1,383 2,024 2,227 2,157 2,371 2,309 2,207 2,363
-0,636 -0,145 0,189 0,095 0,178 0,239 0,100 0,160
Peningkatan subsidi mempengaruhi angka kemiskinan di antara rumah tangga seperti digambarkan oleh head count index, poverty depth, poverty severity. Tiga indikator kemiskinan ini menunjukkan trend penurunan sebagai hasil dari peningkatan subsidi (Tabel II.7). Penyusutan terbesar berada pada poverty severity di antara rumah tangga di area pedesaan. Temuan ini menunjukkan bahwa peranan subsidi cukup signifikan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia.
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
447
Tabel II.7 Hasil Simulasi Peningkatan Subsidi Pada Perubahan Tingkat Kemiskinan (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Klasifikasi Rumah Tangga Tenaga Kerja Agrikultur Pedesaan Pengusaha Agrikultur Pedesaan Tanaga Kerja Non-Agrikultur Berpendapatan Rendah Pedesaan Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Pedesaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Pedesaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Rendah Perkotaan Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Perkotaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Perkotaan
α=0 -2,131 -3,463 -2,967 -3,047 -3,856 -4,138 -5,641 -5,778
Perubahan (%) α=1 -3,074 -4,672 -4,664 -4,584 -5,033 -6,068 -5,922 -6,235
α=2 -3,547 -5,372 -5,507 -5,408 -6,000 -6,627 -6,330 -6,784
IV.4. Dampak Kebijakan Transfer Pendapatan pada Kinerja Ekonomi Indonesia Sesi ini menggambarkan hasil simulasi kebijakan pemerintah untuk meningkatkan transfer pendapatan hingga 10% pada kinerja ekonomi sektoral. Transfer pendapatan adalah alokasi pengeluaran pemerintah untuk rumah tangga miskin. Dampak transfer pendapatan pada kinerja ekonomi sektoral, dan pendapatan dan kemiskinan antar rumah tangga digambarkan di bawah ini.
IV.4.1. Dampak Transfer Pendapatan pada Kinerja Ekonomi Sektoral. Peningkatan transfer pendapatan senilai Rp. 100.000,- kepada rumah tangga memiliki dampak pada output, harga output, dan tingkat penyerapan tenaga kerja. Hasil simulasi disajikan pada Tabel II.8. Hal ini menunjukkan peningkatan transfer pendapatan memiliki dampak positif terhadap output pada beberapa sektor √ agrikultur; utilitas publik (listrik, gas, dan air); transportasi dan telekomunikasi; dan keuangan; sewa menyewa, dan layanan bisnis. Tapi sektor tambang dan galian; industri manufaktur; dan perdaganga, hotel, dan restoran menunjukkan dampak negatif sebagai hasil dari peningkatan transfer pendapatan pada rumah tangga. Transfer pendapatan juga berdampak negatif pada harga output pada sektor tambang dan galian; industri manufaktur; dan konstruksi. Peningkatan transfer pendapatan berdampak positif pada tingkat penyerapan tenaga kerja pada beberapa sektor √ agrikultur (0,069%); persediaan utilitas publik (0,0209%); transportasi dan komunikasi (0,034); dan keuangan, sewa, dan layanan bisnis (0,004%). Sektor lainnya menunujukkan penciptaan pekerjaan negatif atau permintaan tenaga kerja yang stagnan. Trend penciptaan lapangan kerja untuk berbagai sektor mengikuti permintaan tenaga kerja khususnya berhubungan dengan tanda koefisien.
448 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Tabel II.8 Hasil Simulasi Transfer Pendapatan Pada Kinerja Ekonomi Sektoral (%) Sektor Agrikultur Galian dan Tambang Industri Manufaktur Listrik, gas, dan air bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Sewa Menyewa, dan Layanan Bisnis Layanan Lainnya
Output 0,055 -0,002 -0,026 0,063 0,000 -0,028 0,018 0,002 0,000
Harga
Tenaga Kerja
0,017 -0,005 -0,010 0,069 -0,003 0,000 0,009 0,005 0,001
0,069 -0,008 -0,056 0,209 0,000 -0,035 0,034 0,004 0,000
IV.4.2. Dampak Kebijakan Transfer Pendapatan pada Pendapatan dan Kemiskinan. Hasil simulasi transfer pendapatan dari pemerintah kepada rumah tangga menunjukkan peningkatan signifikan pada utilitas, pendapatan, dan pengeluaran di antara rumah tangga pedesaan seperti disajikan pada Tabel II.9. Peningkatan pendapatan riil antar rumah tangga di pedesaan meningkatkan daya beli dan pengeluaran mereka hingga level utilitas mereka. Tapi, dampak peningkatan transfer pendapatan pada utilitas, pendapatan, dan pengeluaran antar rumah tangga di daerah urban / perkotaan menunjukkan dampak yang decremental. Tabel II.10 menunjukkan hasil simulasi peningkatan transfer pendapatan kepada keluarga miskin. Ditemukan bahwa peningkatan transfer pembayaran telah menurunkan tingkat kemiskinan pada rumah tangga di pedesaan. Tujuan dari transfer pendapatan dari pemerintah adalah untuk mengurangi angka kemiskinan sehingga orang-orang tersebut memiliki akses untuk memenuhi kebutuhan dasar Tabel II.9. Hasil Simulasi Kebijakan Transfer Pendapatan Pada Utilitas dan Pendapatan Rumah Tangga (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Klasifikasi Rumah Tangga Tenaga Kerja Agrikultur Pedesaan Pengusaha Agrikultur Pedesaan Tanaga Kerja Non-Agrikultur Berpendapatan Rendah Pedesaan Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Pedesaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Pedesaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Rendah Perkotaan Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Perkotaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Perkotaan
Utilitas 2,045 1,501 1,452 1,280 2,670 -1,804 -1,899 -1,934
Pendapatan Pengeluaran 2,624 2,862 2,861 2,855 4,431 -0,186 -0,227 -0,249
1,177 1,314 1,409 1,385 2,847 -1,615 -1,683 -1,769
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
449
Tabel II.10 Hasil Simulasi Kebijakan Transfer Pendapatan Pada Angka Kemiskinan (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Klasifikasi Rumah Tangga Tenaga Kerja Agrikultur Pedesaan Pengusaha Agrikultur Pedesaan Tanaga Kerja Non-Agrikultur Berpendapatan Rendah Pedesaan Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Pedesaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Pedesaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Rendah Perkotaan Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Perkotaan Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Perkotaan
α=0 -4,385 -4,850 -3,804 -4,037 -3,933 0,571 0,488 1,000
Perubahan (%) α=1 -5,747 -6,539 -5,953 -6,022 -5,157 0,505 0,635 0,688
α=2 -6,608 -7,499 -7,012 -7,088 -6,147 0,557 0,681 0,749
mereka. Denagn menerapkan kebijakan ini, pemerintah berharap pendapatan tiap rumah tangga meningkat dan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan akan berkurang. Kebijakan transfer pendapatan secara langsung mengurangi angka kemiskinan khususnya di daerah pedesaan, sebagaimana dapat dilihat dari penurunan tren indikator kemiskinan seperti head count index, poverty depth, dan poverty severity kecuali rumah tangga di daerah perkotaan. Hal ini membuktikan bahwa transfer pendapatan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar untuk menjadi instrumen kebijakan dalam mengembangkan kinerja ekonomi regional.
IV.5. Dampak Kontraksi dan Ekspansi Fiskal pada Distribusi Pendapatan Beta density distribution function atau yang juga dikenal sebagai fungsi distribusi beta digunakan untuk mengkaji dampak investasi sumber daya manusia dan transfer pendapatan pada distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini mengikuti saran dari Decaluwe, et al. (1999), Cockburn (1999), and Agenor, et al. (2003), di mana mereka yakin bahwa pendekatan mereka lebih logis dibandingkan dengan metode pengukuran lainnya. Studi ini menggunakan Index Foster, Greer, dan Thorbecke (F-G-T) sebagai pengukur tingkat kemiskinan. Metode ini cukup populer untuk studi tentang kemiskinan. Tabel II.11 mengungkapkan distribusi rumah tangga dengan pengelompokkan pendapatan. Variasi tingkat pendapatan minimum dari Rp. 44.540 hingga 114.260 tiap bulan, di mana pendapatan minimum paling kecil (Rp 35.240) adalah mereka yang termasuk kategori non-tenaga kerja dan kelompok yang tidak dikenal di daerah pedesaan. Variasi rata-rata tingkat pendapatan dari Rp 543.840 (tenaga kerja agrikultur pedesaan) hingga Rp. 1.028.150 (rumah tangga non-agrikultur berpendapatan tinggi di daerah perkotaan).
450 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Tabel II.11 Distribusi Rumah Tangga Berdasarkan Kelompok Pendapatan No
Rumah Tangga
Rata-rata Minimum Maksimum Orang Di Bawah Garis (Rp 000) (Rp 000) (Rp 000) (Rp 000) Kemiskinan (%)
1
Tenaga Kerja Agrikultur Pedesaan
543,84
44,54
999,91
2,88
2
Pengusaha Agrikultur Pedesaan
555,13
58,54
1000,00
23,99
57,23 55,07
3
Tanaga Kerja Non-Agrikultur Berpendapatan Rendah Pedesaan
559,91
47,14
6543,52
8,48
62,52
4
Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Pedesaan
565,32
35,24
6935,20
29,64
61,35
5
Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Pedesaan
560,28
68,15
4175,76
2,87
61,33
6
Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Rendah Perkotaan
1001,79
102,16
8878,63
6,99
27,35
7
Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Perkotaan
984,43
100,49
8994,67
22,80
26,98
8
Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Perkotaan
1028,15
114,26
9613,13
2,34
26,13
Sumber: Susenas, 2002
Telah ditemukan bahwa 29,64% populasi berada di bawah kategori non-tenaga kerja dan termasuk kelompok yang tidak dikenal di daerah pedesaan dan 61,35% rumah tangga ini hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini diikuti dengan usaha agrikultur pedesaan yang berjumlah 23,99% dari populasi dan 55,07% dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Secara keseluruhan, sebagian besar masyarakat pedesaan hidup di bawah garis kemiskinan. Masyarakat miskin perkotaan berjumlah 26% dari seluruh populasi. Untuk menganalisis dan mengevaluasi distribusi pendapatan berdasarkan pengelompokan rumah tangga beta density distribution function atau fungsi distrbusi beta digunakan untuk setiap rumah tangga dan kelompok pendapatannya masing-masing. Paremeter p dan q ditentukan oleh persamaan. Parameter-parameter ini mempengaruhi kesenjangan distribusi pendapatan untuk masing-masing kelompok rumah tangga. Jika p > q maka distribusi pendapatan cenderung berada di sebelah kiri, yang mengindikasikan ketidakmerataan distribusi pendapatan meningkat. Di sisi lain, jika q > p maka distribusi pendapatan condong ke kanan. Hal ini membuktikan bahwa ketidakmerataan sedang terjadi pada distribusi pendapatan. Jika parameter p = q, maka fungsi menjadi simetris, atau dengan kata lain, distribusi pendapatan merata. Tabel II.12 menyajikan parameter yang dibutuhkan oleh beta density distribution function untuk masing-masing kelompok rumah tangga. Parameter mx, mn, p, dan q diukur dengan menggunakan data yang didapatkan kembali dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada tahun 2002. Bentuk distribusi pendapatan untuk masing-masing kelompok rumah tangga disajikan pada Tabel II.3 √ II.10.
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
451
Tabel II.12 Nilai Parameter of Fungsi Beta Density Distribution No
Rumah Tangga
p
q
Minimum (mx) Maksimum (mn) (Rp 000) (Rp 000)
1
Tenaga Kerja Agrikultur Pedesaan
2.18
1.99
44.54
999.91
2
Pengusaha Agrikultur Pedesaan
2.16
1.94
58.54
1000.00
3
Tanaga Kerja Non-Agrikultur Berpendapatan Rendah Pedesaan
2.27
26.54
47.14
6543.52
4
Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Pedesaan
2.30
36.03
35.24
6935.20
5
Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Pedesaan
2.29
16.14
68.15
4175.76
6
Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Rendah Perkotaan
1.23
9.00
102.16
8878.63
7
Angkatan Non-Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Dikenal Perkotaan
1.25
12.02
100.49
8994.67
8
Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpenghasilan Tinggi Perkotaan
1.16
10.25
114.26
9613.13
Sumber: Susenas, 2002
Tabel II.3 dan II.4 menunjukkan agrikultur pedesaan dan usaha rumah tangga di bidang agrikultur, untuk masing-masing. Dapat dilihat bahwa distribusi pendapatan untuk kedua kelompok ini miring ke kiri. Temuan ini mengindikasikan bahwa kedua kelompok rumah tangga ini, distribusi pendapatan tidak merata di mana sangat banyak keluarga berpenghasilan rendah. Hal ini dibuktikan oleh SUSENAS pada tahun 2002 bahwa total individu pada masing-masing kelompok rumah tangga yang bekerja pada bidang agrikultur dan usaha rumah tangga di bidang agrikultur yang hidup di bawah garis kemiskinan cukup tinggi, yaitu 57,23% dan 55,07%. Kelompok rumah tangga lain (seperti digambarkan pada Tabel II.6 √ II.12) memiliki distribusi pendapatan yang miring ke kanan. Temuan ini membuktikan bahwa banyak individu yang termasuk dalam kategori rumah tangga ini berpendapatan tinggi situasi ini juga menunjukkan bahwa distribusi pendapatan bertambah tinggi. Distribusi pendapatan ini dapat digunakan untuk mengevaluasi distribusi pendapatan di tiap kelompok rumah tangga. Jika rata-rata pendapatan meningkat senilai y, maka pendapatan pada masing-masing kelompok rumah tangga juga akan meningkat senilai y. Berdasarkan argumen ini, distribusi pendapatan akan berpindah secara horizontal sebagaimana pendapatan pada masing-masing kelompok rumah tangga berubah. Tabel II.3 adalah hasil simulasi kelompok tenaga kerja agrikultur pedesaan di mana peningkatan pajak berdampak pada meningkatnya ketidakmerataan pada distribusi pendapatan, meskipun relatif kecil. Hal ini digambarkan oleh fungsi distribusi beta yang proporsional yang berpindah secara horizontal dari sisi kiri ke bagian yang lebih rendah sisi kanan garis kemiskinan. Dengan kata lain, distribusi pendapatan kelompok rumah tangga yang memiliki usaha di bidang agrikultur pedesaan menjadi lebih sama. Hal yang sama terjadi kelompok rumah tangga yang memiliki usaha agrikulur pedesaan yang disajikan pada Tabel II.4. Dapat dilihat bahwa subsidi dan transfer pendapatan berdampak pada tidak meratanya distribusi pendapatan atau menurun
452 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
di mana kurva bergerak secra horizontal dari kiri ke kanan di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, peningkatan pajak memiliki dampak tidak meratanya distribusi pendapatan terhadap tingkat ketidakmerataan yang lebih tinggi. Tapi, dampak peningkatan pajak, subsidi, dan transfer pendapatan kepada kelompok rumah tangga tidak begitu signifikan terhadap perubahan distribusi pendapatan.
V. KESIMPULAN Sebagai kesimpulan, hasil simulasi menunjukkan, yang pertama, secara agregat, peningkatan pajak tidak langsung pendapatan pada rumah tangga pedesaan memiliki dampak negatif pada kinerja ekonomi makro. Kedua, peningkatan pajak tidak langsung telah menggabungkan beberapa dampak pada sektor yang bervariasi dan kelompok rumah tangga. Sektor industri manufaktur; dan perdagangan, hotel, dan restoran memiliki dampak negatif dari peningkatan pajak tidak langsung. Umumnya, harga output pada setiap sektor menunjukkan trend yang meningkat. Sektor sekunder dan tersier mengalami harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor primer. Telah ditemukan bahwa utilitas rumah tangga antar usaha dan tenaga kerja agrikultur pedesaan telah meningkat sebagai hasil dari peningkatan pajak tidak langsung. Tapi, kelompok rumah tangga lain menunjukkan penurunan utilitas. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah head count index or poverty incidence, poverty depth
index and poverty severity index dalam kelompok rumah tangga masing-masing. Peningkatan index tertinggi pada kelompok rumah tangga masing-masing adalah poverty severity index. Diikuti juga oleh poverty depth index dan head count index. Ketiga, Peningkatan subsidi menghasilkan penurunan harga pada sektor tambang dan galian; manufaktur; dan listrik, gas, dan air. Dampak peningkatan subsidi pada kemiskinan menunjukkan penurunan yang signifikan, khususnya area pedesaan. Keempat, dampak peningkatan transfer pendapatan kepada rumah tangga pedesaan menunjukan hasil campuran pada output, harga output, dan permintaan tenaga kerja. Peningkatan pendapatan meningkatkan permintaan output. Karena permintaan input tenaga kerja adalah turunan permintaan, maka ada peningkatan permintaan tenaga kerja. Transfer pendapatan dari pemerintah kepada rumah tangga pedesaan berpengaruh positif terhadap utilitas, pendapatan, dan pengeluaran rumah tangga. Tapi, telah ditemukan bahwa tingkat utilitas, pendapatan riil, dan pengeluaran rumah tangga perkotaan mengalami penurunan. Kebijakan transfer pendapatan menurunkan angka kemiskinan secara langsung khususnya di daerah pedesaan. Hal ini dapat dilihat dengan melihat seluruh indikator kemiskinan seperti head count index, poverty depth and poverty severity yang telah meningkat, terkecuali rumah tangga perkotaan.
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
453
DAFTAR PUSTAKA Atkinson, A.B. and J.E. Stiglizt. (1976). The Structure of Indirect Taxation and Economic efficiency. Journal of Public economics, 1:97-119. Basri, Faisal. (2002). Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Jakarta: Erlangga. Cockburn, J. (2001). Trade Liberalization and Poverty in Nepal: A Computable General Equilibrium Microsimilation Analysis. Centre for Study of African economies/CSAE, Nuffield College (Oxford University) and CREFA, Canada: Universite Laval. Quebec. Damuri, Yose Rizal and Ari A. Perdana. (2003). The Impact of Fiscal Policy on Income distribution and Poverty: A Computable General Equilibrium Approach for Indonesia. Economic Working Paper Series. Jakarta: Centre For Strategic and International Studies. Darsono. (2008). Analisis Keefektifan Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian Dengan Penekanan Pada Agroindustri di Indonesia. Disertasi Doktor (tidak dipublikasikan). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian. Decaluwé, B., A. Patry, L. Savard., and E. Thorbecke, (1999). Poverty Analysis Within a General Equilibrium Framework. Working Paper 99-06. CRÉFA, Département d»économique Université Laval. Decaluwé, B., A. Patry and L. Savard, (1998). Income Distribution, Poverty Measures and Trade Shocks: A Computable General Equilibrium Model of a Archetype Developing Country. Département d»économique. Université Laval. Decaluwé, B., J.-C. Dumont and L. Savard. (1999). Measuring Poverty and Inequality in a Computable General Equilibrium Model∆, Working paper 99-20, CREFA, Université Laval Departemen Keuangan RI. 2009. Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2010. Paparan Menteri Keuangan pada Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR RI 1 Juni 2009. Dervis, K, J. de Melo and S Robinson. 1982. General Equilibrium Models for Development Policy. Cambridge University Press, London, pp.1-526. Handoko, Rudi dan Patriadi, Pandu. (2005). Evaluasi Kebijakan Subsidi NonBBM. Kajian Ekonomi dan Keuangan. Vol.9. No.4. Desember 2005. Husain, A. and A. Chowdhry. (2001). Open-Economy Macroeconomics for Developing Countries. Northampton: Edwar Elger, Cheltenham. Hutahean, P., Purwiyanto, A. Hadiyanto, Askolani dan S.L.Rahayu. (2002). Bunga rampai Kebijakan Fiskal. Jakarta: Badan Analisis Fiskal Departemen Keuangan RI.
454 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
James, S. and C. Nobes. (1992). The Economics of Taxation. Fourth Edition. United Kingdom: Prentice Hall International. Mankiw, N.G. 2003. Macroeconomics. Fifth Edition. Worth Publisher, New York. Mirrlees, J.A. (1976). An Exploration in the Theory of Optimum Income Taxation. Review of economic Studies, 38:175-208. Myles, G.D. (1997). Public Economics. Cambridge: University Press Cambridge. Norton, R.D. (2004). Agricultural Development Policy: Concept and Experiences. Food and Agricultural Organization and John willey and sons Ltd. West Sussex. Ravallion, M. and B. Bidani. (1994). How Robust Is a Poverty Profile? World Bank Economic Review, vol. 8, pp 75-102. Republik Indonesia. (2009). Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010. Romer, D. (2001). Advanced Macroeconomics. Second Edition. New York: McGraw-Hill Book Co. Soediyono 1985. Ekonomi Makro: Analisis IS-LM dan Permintan Agregatif. Liberty. Yokyakarta. Spencer, Milton H. & Amos, Orley M. Jr. (1993). Contemporary Economics, Edisi ke-8, Worth Publishers, New York. Stiglitz, J.E. (2000). Economic of The Public Sector. Third edition. New York: W.W. Norton and Company. Sukirno, S. (2005). Makroekonomi Modern: Perkembangan Pemikiran Dari Klasik Hingga Keynesian Baru. Jakarta: Rajawali Press. Suparmoko. M. (2003). Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik, Edisi ke-5, BPFE, Yogyakarta. Turnovsky, S.J. 1981. Macroeconomic Analysis and Stabilization Poliscy. Cambridge University Press, Cambridge.
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Dan Angka Kemiskinan Di Indonesia
455
LAMPIRAN
Value Y
Value Y
0.00175
Base Simulasi 1
0.00150
Simulasi 2 Simulasi 3
0.00175
0.00125
0.00125
0.00100
0.00100
0.00075
0.00075
0.00050
0.00050
0.00025
0.00025
0.00000
Simulasi 2 Simulasi 3
Base Simulasi 1
0.00150
0.00000 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100120013001400 1500 Value X
0
100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 11001200 Income
Grafik 1. Distribusi Pendapatan Untuk Tenaga Kerja Pertanian
Grafik 2. Distribusi Pendapatan Untuk Tenaga Kerja Pertanian
Value Y
Value Y
0.00200
Base Simulasi 1
0.00175
Simulasi 2 Simulasi 3
0.00150
0.00175
Base Simulasi 1
0.00150
Simulasi 2 Simulasi 3
0.00125
0.00125 0.00100 0.00100 0.00075
0.00075
0.00050
0.00050
0.00025
0.00025 0.00000
0.00000 0
100
200
300
400 500 Income
600
700
800
900
Grafik 3. Distribusi Pendapatan Untuk Tenaga Kerja Non-Pertanian Pedesaaan Berpendapatan Rendah
0
100
200
300
400
500 600 Income
700
800
900 1000
Grafik 4. Distribusi Pendapatan untuk Bukan Angkatan Kerja Pedesaan dan Pekerjaan yang tidak Tercatat
456 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Value Y 0.00175
Value Y Base Simulasi 1
0.00150
Simulasi 2 Simulasi 3
0.0010
Simulasi 2 Simulasi 3
0.0008
0.00125
0.0007
0.00100
0.0006
0.00075
0.0005 0.0004
0.00050
0.0003
0.00025
0.0002 0.0001
0.00000 0
500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 5500 6000 Income
Grafik 5. Distribusi Pendapatan Untuk Tenaga Kerja Non-Agrikultur Berpendapatan Tinggi Pedesaan
0.0000 0 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000 10.00011.00012.000 13.000 Income
Grafik 6. Distribusi Pendapatan Untuk Tenaga Kerja Perkotaan Non Pertanian Berpendapatan Rendah
Value Y 0.0011 0.0010 0.0009 0.0008 0.0007 0.0006 0.0005 0.0004 0.0003 0.0002 0.0001 0.0000
Base Simulasi 1
0.0009
Value Y Base Simulasi 1
Simulasi 2 Simulasi 3
0.0010
Base Simulasi 1
0.0009
Simulasi 2 Simulasi 3
0.0008 0.0007 0.0006 0.0005 0.0004 0.0003 0.0002 0.0001 0.0000 0 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000 10.00011.00012.000 13.000 Income
Grafik 7. Distribusi Pendapatan Untuk Angkatan Non Tenaga Kerja dan Kelompok Tak Teridentifikasi di Perkotaan
0
2.500
5.000
7.500 Income
10.000
12.500
Grafik 8. Distribusi Pendapatan Untuk Tenaga Kerja Perkotaan Non Pertanian Berpendapatan Tinggi
Keputusan Investasi dan Financial Constraints: Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia
457
KEPUTUSAN INVESTASI DAN FINANCIAL CONSTRAINTS: STUDI EMPIRIS PADA BURSA EFEK INDONESIA
Riskin Hidayat 1
Abstract
This research aims to test the sensitivity level of liquidity and invesment opportunity to invesment decision between non-financially constrained and financially constrained firms. Sample in this research is the firm of non finance which enlist in Indonesia Stock Exchange from period 2003 to 2007, obtained sample 136 firms with 680 observations. Result of research refer that liquidity and invesment opportunity have an influence on positive to invesment decision. Liquidity is more sensitive to invesment decision for financially constrained firms. Invesment opportunity is more sensitive to invesment decision for non financially constrained.
JEL Classification Classification: E22, G32, O16.
Key words: Investment decision, liquidity, financially constraint.
1 (Penulis adalah Dosen STIE«YPPI» Rembang, alumni Magister Sains FEB-UGM.
458 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
I. PENDAHULUAN Keputusan investasi merupakan faktor penting dalam fungsi keuangan perusahaan. Fama (1978) menyatakan bahwa nilai perusahaan semata-mata ditentukan oleh keputusan investasi. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa keputusan investasi itu penting, karena untuk mencapai tujuan perusahaan yaitu memaksimumkan kemakmuran pemegang saham hanya akan dihasilkan melalui kegiatan investasi perusahaan. Tujuan keputusan investasi adalah memperoleh tingkat keuntungan yang tinggi dengan tingkat risiko tertentu. Keuntungan yang tinggi disertai dengan risiko yang bisa dikelola, diharapkan akan menaikkan nilai perusahaan, yang berarti menaikkan kemakmuran pemegang saham. Dengan kata lain, bila dalam berinvestasi perusahaan mampu menghasilkan keuntungan dengan menggunakan sumber daya perusahaan secara efisien, maka perusahaan akan memperoleh kepercayaan dari calon investor untuk membeli sahamnya. Dengan demikian semakin tinggi keuntungan perusahaan semakin tinggi nilai perusahaan. Yang berarti semakin besar kemakmuran yang akan diterima oleh pemilik perusahaan. Keputusan investasi meliputi investasi pada aktiva jangka pendek (aktiva lancar) dan aktiva jangka panjang (aktiva tetap). Aktiva jangka pendek biasanya didefinisikan sebagai aktiva dengan jangka waktu kurang dari satu tahun atau kurang dari satu siklus bisnis, dalam hal ini dana yang diinvestasikan pada aktiva jangka pendek diharapkan akan diterima kembali dalam waktu dekat atau kurang dari satu tahun dan diterima sekaligus. Tujuan perusahaan berinvestasi pada aktiva jangka pendek adalah untuk digunakan sebagai modal kerja atau operasional perusahaan. Contoh aktiva jangka pendek adalah persediaan, piutang, dan kas. Sedangkan aktiva jangka panjang didefinisikan sebagai aktiva dengan jangka waktu lebih dari satu tahun, dalam hal ini dana yang ditanamkan pada aktiva jangka panjang akan diterima kembali dalam waktu lebih dari satu tahun dan kembalinya secara bertahap. Tujuan perusahaan berinvestasi pada aktiva jangka panjang adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan. Keputusan investasi dalam penelitian ini merupakan pengeluaran modal ( capital
expenditure) yaitu investasi pada aktiva tetap seperti tanah atau properti, bangunan, dan peralatan. Pengeluaran modal adalah dana yang dikeluarkan perusahaan dalam hal ini dengan pengeluaran tersebut perusahaan akan memperoleh manfaat lebih dari satu tahun. Motif dasar pengeluaran modal adalah untuk ekspansi, penggantian, atau memperbaharui aktiva tetap atau mencari manfaat yang mungkin less tangible dalam jangka panjang. Pengeluaran modal merupakan bagian dari penganggaran modal (capital budgeting). Menurut Riyanto (1997) penganggaran modal adalah keseluruhan proses perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pengeluaran dana dengan jangka waktu pengembalian dana melebihi satu tahun.
Keputusan Investasi dan Financial Constraints: Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia
459
Investasi modal merupakan salah satu aspek utama dalam keputusan investasi selain penentuan komposisi aktiva. Keputusan pengalokasian modal ke dalam usulan-usulan investasi yang manfaatnya akan direalisasikan di masa yang akan datang harus dipertimbangkan dengan cermat. Akibat ketidakpastian di masa yang akan datang, manfaat yang diperoleh menjadi tidak pasti, sehingga usulan investasi tersebut mengandung risiko. Konsekuensinya, usulan investasi harus dievaluasi dan dihubungkan dengan risiko dan hasil yang diharapkan. Menurut Modigliani dan Miller (1958) bahwa pada kondisi pasar yang sempurna tidak ada hubungan antara keputusan investasi dan keputusan pendanaan. Menurut Arifin (2005), meskipun asumsi pasar sempurna dihilangkan, pemisahan antara keputusan investasi dan keputusan pendanaan masih terjadi meskipun ada sedikit modifikasi yaitu manajer harus menggunakan biaya modal rata-rata tertimbang sebagai discount rate. Bahkan ketika struktur modal telah menjadi relevan, baik karena faktor pajak atau karena faktor yang lain, masih saja tidak terjadi hubungan langsung antara investasi dan pendanaan. Yang ada adalah bahwa program investasi diputuskan dahulu baru kemudian diputuskan pendanaannya. Agar keputusan investasi benar-benar ditujukan untuk memaksimalkan nilai perusahaan, sehingga keputusan investasi seharusnya bersifat independen terhadap keputusan pendanaan. Keputusan investasi tidak dapat diamati secara langsung oleh pihak luar. Beberapa studi yang dilakukan dalam hubungannya dengan keputusan investasi antara lain oleh Myers (1977) yang memperkenalkan set kesempatan investasi (investment opportunity set). Set kesempatan investasi memberi petunjuk yang lebih luas yang mana nilai perusahaan tergantung pada pengeluaran perusahaan di masa yang akan datang. Jadi prospek perusahaan dapat ditaksir dari kesempatan investasi. Set kesempatan investasi merupakan kombinasi antara aktiva yang dimiliki
(assets in place) dan pilihan investasi di masa yang akan datang dengan net present value positif. Menurut Gaver dan Gaver (1993), kesempatan investasi merupakan nilai perusahaan yang besarnya tergantung pada pengeluaran-pengeluaran yang ditetapkan manajemen di masa yang akan datang, dalam hal ini pada saat ini merupakan pilihan-pilihan investasi yang diharapkan akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Pendapat ini sejalan dengan Smith dan Watts (1992) yang menyatakan bahwa set kesempatan investasi merupakan komponen nilai perusahaan yang merupakan hasil dari pilihan-pilihan untuk membuat investasi di masa yang datang. Menurut Kallapur dan Trombley (1999) bahwa kesempatan investasi perusahaan tidak dapat diobservasi untuk pihak-pihak di luar perusahaan sehingga diperlukan suatu proksi untuk melihatnya. Menurut Modigliani dan Miller (1958) bahwa pada kondisi pasar yang sempurna tidak ada hubungan antara keputusan investasi dan keputusan pendanaan. Namun bukti empiris
460 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
menunjukkan adanya keterkaitan antara keputusan investasi dan keputusan pendanaan, dalam hal ini ada keterkaitan antara tingkat likuiditas dan tingkat investasi pada banyak perusahaan. Bukti empiris Fazzari, Hubbard, dan Petersen (1988); Vogt (1994); Kaplan dan Zingales (1997); Cleary (1999); Moyen (2004); Almeida, Campello, dan Weisbach (2004) menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara likuiditas dengan keputusan investasi pada perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat. Hal yang sama juga ditemukan oleh Hoshi, Kashyap, dan Scharfstein (1991) di Jepang. Bukti empiris di Indonesa ditunjukkan oleh Agung (2000), Kristianti (2003), dan Hermeindito (2004) yang menemukan bahwa likuiditas berhubungan positif dengan keputusan investasi. Sebaliknya Prasetyantoko (2007) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa likuiditas berhubungan negatif terhadap keputusan investasi. Dari hasil temuan empiris di atas, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara teori yang menyatakan bahwa keputusan investasi dan keputusan pendanaan adalah independen dengan praktek yang dilakukan oleh perusahaan. Selain itu, hasil penelitian Fazzari, Hubbard, dan Petersen (1988); Vogt (1994); Hoshi, Kashyap, dan Scharfstein (1991); Hermeindito (2004) menunjukkan adanya perbedaan temuan sensitivitas keputusan investasi perusahaan dengan likuiditas ketika dimoderasi oleh financial constraints (hambatan finansial) dengan hasil penelitian Kaplan dan Zingales (1997); Cleary (1999); Kristianti (2003). Penelitian Fazzari, Hubbard, dan Petersen (1988); Vogt (1994); Hoshi, Kashyap, dan Scharfstein (1991); Hermeindito (2004) menunjukkan bahwa keputusan investasi perusahaan lebih sensitif terhadap likuiditas pada perusahaan financially constrained selanjutnya disingkat
FC, dibandingkan perusahaan non financially constrained selanjutnya disingkat NFC. Sebaliknya, Kaplan dan Zingales (1997); Cleary (1999); Kristianti (2003) menemukan bahwa keputusan investasi perusahaan lebih sensitif terhadap likuiditas pada perusahaan NFC dibandingkan perusahaan FC. Adanya pertentangan bukti empiris antara Fazzari, Hubbard, dan Petersen (1988) yang didukung oleh Vogt (1994); Hoshi, Kashyap, dan Scharfstein (1991); Hermeindito (2004) dengan hasil penelitian empiris Kaplan dan Zingales (1997) yang didukung oleh Cleary (1999) dan Kristianti (2003), maka penelitian ini akan meneliti lebih lanjut faktor yang membedakan dua bukti yang bertentangan tersebut, yaitu dengan menggunakan variabel FC dan NFC sebagai pemoderasi.
Financial constraints adalah keterbatasan perusahaan dalam mendapatkan modal dari sumber-sumber pendanaan yang tersedia untuk berinvestasi. Kaplan dan Zingales (1997) menyatakan bahwa financial constraints terjadi bila perusahaan menghadapi perbedaan antara
Keputusan Investasi dan Financial Constraints: Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia
461
biaya modal dari sumber pendanaan internal dan biaya modal dari sumber pendanaan eksternal. Berdasarkan uraian di atas dan hasil penelitian empiris, maka penelitian ini bertujuan untuk menguji tingkat pengaruh likuiditas dan kesempatan investasi terhadap keputusan investasi pada perusahaan FC dan NFC. Perusahaan FC yaitu perusahaan yang memiliki kendala keuangan dalam melakukan investasi, sedangkan perusahaan NFC yaitu perusahaan yang tidak memiliki kendala keuangan dalam melakukan investasi. Keputusan investasi perusahaan sangat dipengaruhi oleh kesempatan investasi, karena semakin besar kesempatan investasi yang menguntungkan maka investasi yang dilakukan semakin besar, dalam hal ini manajer berusaha mengambil peluang-peluang tersebut untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham. Bila terdapat kesempatan investasi yang menguntungkan, maka perusahaan NFC akan dengan mudah mengambil kesempatan investasi tersebut untuk berinvestasi. Hal ini disebabkan perusahaan NFC mempunyai akses yang lebih mudah ke pasar modal, sehingga dapat dengan mudah menyesuaikan finansialnya untuk investasi yang menunjukkan fleksibelitas finansial yang lebih besar, dengan kata lain perusahaan
NFC menunjukkan nilai perusahaan yang tinggi (Bhaddari, 1988; Chan dan Chen, 1991; Fama dan French, 1992). Perusahaan NFC juga cenderung sudah lama, lebih besar, lebih dewasa, dan lebih mengetahui pasar. Hal ini berarti bahwa dengan kondisi perusahaan yang telah mapan, maka perusahaan NFC dalam melakukan investasi cenderung sensitif terhadap kesempatan investasi. Berdasarkan bukti empiris Fazzari, Hubbard, dan Petersen (1988); Vogt (1994); Kaplan dan Zingales (1997); Cleary (1999); Moyen (2004); Almeida, Campello, dan Weisbach (2004); Hoshi, Kashyap, dan Scharfstein (1991); Agung (2000), Kristianti (2003), Hermeindito (2004); Prasetyantoko (2007), keputusan investasi perusahaan juga dapat mempertimbangkan ketersediaan sumber pendanaan internal yaitu aliran kas. Keputusan investasi yang dibuat perusahaan dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan menghasilkan kas yang dapat memenuhi kebutuhan jangka panjang maupun jangka pendek atau yang disebut likuiditas perusahaan. Perusahaan harus menjaga likuiditas agar tidak terganggu, sehingga tidak menganggu kelancaran aktivitas perusahaan untuk melakukan investasi dan tidak kehilangan kepercayaan diri dari pihak luar. Perusahaan FC cenderung menggunakan likuiditas untuk mendanai investasi. Hal ini karena perusahaan FC memiliki keterbatasan akses terhadap pasar modal dan relatif lebih kecil, yang menunjukkan keterbatasan finansial sehingga akan sulit bagi perusahaan mengambil kesempatan investasi yang menguntungkan untuk investasi. Dengan kata lain bahwa perusahaan
FC mempunyai nilai perusahaan yang rendah.
462 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Menurut Fazzari, Hubbard, dan Petersen (1988) bahwa adanya asimetri informasi pada pendanaan eksternal (hutang) akan menimbulkan biaya pendanaan eksternal lebih mahal dari pada pendanaan internal, yang berakibat perusahaan FC kurang memiliki akses ke pendanaan eksternal. Dengan keterbatasan tersebut, maka keputusan investasi perusahaan FC cenderung lebih sensitif terhadap likuiditas. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa terdapat perbedaan hasil penelitian tentang tingkat pengaruh likuiditas terhadap keputusan investasi ketika dimoderasi oleh financial
constrains, khususnya penelitian yang dilakukan oleh Kristianti (2003) dan Hermeindito (2004) di Indonesia. Penelitian Kristianti (2003) mendukung temuan Kaplan dan Zingales (1997) dan Cleary (1999) yang menunjukkan bahwa likuiditas lebih berpengaruh terhadap keputusan investasi pada perusahaan NFC dibanding perusahaan FC. Sebaliknya, hasil penelitian Hermeindito (2004) mendukung penelitian Fazzari, Hubbard, dan Petersen (1988); Vogt (1994); Hoshi, Kashyap, dan Scharfstein (1991) yang menunjukkan bahwa likuiditas lebih berpengaruh terhadap keputusan investasi pada perusahaan FC dibanding perusahaan NFC. Berdasarkan perbedaan hasil penelitian tersebut, maka penelitian ini bermaksud untuk merekonsiliasi tingkat pengaruh likuiditas dan kesempatan investasi terhadap keputusan investasi dengan memasukkan variabel FC dan NFC sebagai pemoderasi. Bagian kedua dari paper ini akan mengulas teori dan penurunan 4 hipotesis yang diuji dalam paper ini, bagian ketiga membahas metodologi yang digunakan dan bagian keempat menguraikan hasil estimasi dan analisis. Kesimpulan, implikasi dan saran akan menjadi penutup.
II. TEORI Terdapat 3 aspek yang menjadi fokus analisis sebagai faktor yang mempengaruhi keputusan investasi. Tiga aspek tersebut adalah: (i) aspek likuiditas, (ii) kesempatan investasi, dan (iii) aspek financial constraint. Menurut Modigliani dan Miller (1958) bahwa pada kondisi pasar yang sempurna tidak ada hubungan antara keputusan investasi dan keputusan pendanaan. Namun bukti empiris menunjukkan adanya interdependensi antara keputusan investasi dan keputusan pendanaan, dalam hal ini ada keterkaitan antara tingkat likuiditas dan tingkat investasi pada banyak perusahaan. Keputusan investasi yang dibuat perusahaan dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan menghasilkan kas yang dapat memenuhi kebutuhan jangka panjang maupun jangka pendek atau yang disebut likuiditas perusahaan. Perusahaan harus menjaga likuiditas agar tidak terganggu, sehingga tidak menganggu kelancaran aktivitas perusahaan untuk melakukan investasi dan tidak kehilangan kepercayaan diri dari pihak luar.
Keputusan Investasi dan Financial Constraints: Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia
463
Likuiditas merupakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya terutama kewajiban jangka pendek (Hanafi dan Halim, 2005). Menurut Riyanto (1997) perusahaan yang likuid adalah perusahaan yang memiliki kekuatan sedemikian besarnya sehingga mampu memenuhi segala kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi, kemampuan membayar ini berhubungan dengan penyelenggaraan proses produksi. Menurut Kaplan dan Zingales (1997), likuiditas merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan kas dalam memenuhi kebutuhan perusahaan baik jangka panjang maupun jangka pendek. Pengertian tersebut secara eksplisit menunjukkan apakah dengan kas yang tersedia perusahaan mengalami kesulitan untuk mendanai investasinya atau tidak. Perusahaan dikatakan tidak mengalami kesulitan dalam mendanai investasinya apabila perusahaan mampu menghasilkan kas dalam membiayai investasi. Dalam penelitian ini likuiditas diproksikan dengan aliran kas (cash flow). Aliran kas terdiri dari aliran kas masuk dan aliran kas keluar. Aliran kas keluar biasanya digunakan untuk melakukan investasi baru, sedangkan aliran kas masuk merupakan hasil dari investasi tersebut. Menurut Brigham dan Ehrhardt (2005), laporan aliran kas merupakan laporan yang menjelaskan dampak aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan perusahaan terhadap aliran kas selama satu periode akuntansi. Geczy, Minton, dan Schrand (1997) menyatakan bahwa aliran kas perusahaan dengan level volatilitas tinggi memiliki pengeluaran, biaya riset dan pengembangan, serta biaya iklan lebih rendah. Hal tersebut berarti bahwa adanya perbedaan level investasi akan membuat volatilitas yang berbeda, tergantung pada tujuan investasi perusahaan. Biasanya perusahaan tidak menggunakan hutang atau pasar ekuitas agar volatilitas aliran kas tidak tajam, karena biaya masuk ke pasar modal juga berhubungan dengan volatilitas aliran kas perusahaan. Penelitian Fazzari, Hubbard, dan Petersen (1988); Vogt (1994); Kaplan dan Zingales (1997); Cleary (1999); Moyen (2004); Almeida, Campello, dan Weisbach (2004) menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara likuiditas dengan keputusan investasi pada perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat. Hal yang sama juga ditemukan oleh Hoshi, Kashyap, dan Scharfstein (1991) di Jepang. Bukti empiris di Indonesa ditunjukkan oleh Agung (2000), Kristianti (2003), dan Hermeindito (2004) yang menemukan bahwa likuiditas berhubungan positif dengan keputusan investasi. Sebaliknya Prasetyantoko (2007) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa likuiditas berhubungan negatif terhadap keputusan investasi. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis
pertama yang diuji dalam paper ini adalah bahwa lLikuiditas berpengaruh positif terhadap keputusan investasi.
464 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Myers (1977) menyatakan bahwa kesempatan investasi merupakan kombinasi antara aktiva yang dimiliki dan pilihan investasi di masa yang akan datang dengan NPV positif. Gabungan aset milik perusahaan (assets in place) dengan kesempatan investasi akan berpengaruh pada struktur modal. Gaver dan Gaver (1993) menyatakan bahwa kesempatan investasi merupakan nilai perusahaan yang besarnya tergantung pada pengeluaran-pengeluaran yang ditetapkan manajemen di masa yang akan datang dalam hal ini pilihan-pilihan investasi yang diharapkan akan menghasilkan return yang lebih besar. Menurut Chung dan Charoenwong (1991) bahwa esensi pertumbuhan bagi suatu perusahaan adalah adanya kesempatan investasi yang menghasilkan keuntungan. Jika terdapat kesempatan investasi yang menguntungkan, maka manajer berusaha mengambil peluangpeluang tersebut untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham. Karena semakin besar kesempatan investasi yang menguntungkan, maka investasi yang dilakukan akan semakin besar. Dalam penelitian ini, proksi dari kesempatan investasi adalah rasio book to market. Rasio
book to market adalah rasio nilai buku terhadap harga saham. Perusahaan yang memiliki rasio book to market yang tinggi mengindikasikan bahwa siklus tumbuh perusahaan pada masa yang akan datang bagus, sehingga akan memiliki kesempatan investasi yang tinggi, dengan demikian perusahaan akan mudah untuk melakukan investasi karena investor akan tertarik untuk membeli saham perusahaan. Penelitian Fazzari, Hubbard, dan Petersen (1988); Vogt (1994); Kaplan dan Zingales (1997); Cleary (1999); Almeida, Campello, dan Weisbach (2004); Prasetyantoko (2007) menunjukkan bahwa kesempatan investasi berpengaruh positif terhadap keputusan investasi. Sebaliknya penelitian Moyen (2004) menunjukkan bahwa kesempatan investasi berpengaruh negatif terhadap keputusan investasi. Dengan demikian, maka hipotesis kedua yang diajukan pada penelitian ini adalah kesempatan investasi berpengaruh positif terhadap keputusan investasi. Menurut Myers dan Majluf (1984) bahwa proporsi sentral dari modal berbasis asimetri informasi sangat mahal. Lebih lanjut Myers dan Majluf (1984) berpendapat bahwa dividen bersifat sticky, berarti peningkatan dividen dilakukan bila manajer merasa yakin dapat menyediakan aliran kas permanen (baik internal maupun eksternal) yang cukup pada masa yang akan datang. Penurunan dividen dilakukan bila perusahaan menghadapi financial
constraints yang tinggi, secara eksternal merasa tidak dapat mempertahankan aliran kas permanen yang cukup untuk membiayai investasi. Oleh karena itu perusahaan FC lebih mengandalkan sumber pendanaan internal dari pada eksternal, perusahaan cenderung menyesuaikan dividen berdasarkan peluang investasi yang tersedia.
Keputusan Investasi dan Financial Constraints: Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia
465
Menurut Jansen dan Meckling (1976) bahwa manajer lebih senang menggunakan modal internal untuk membiayai investasi karena modal internal dapat mengurangi keterlibatan pengawasan dari pemegang saham atau pihak eksternal terhadap keputusan investasi yang dibuat oleh manajer. Fazzari, Hubbard, dan Petersen (1988) menyatakan bahwa perusahaan
FC cenderung lebih sensitif terhadap pendanaan internal (likuiditas) dalam melakukan investasi. Kecenderungan tersebut disebabkan karena adanya asimetri informasi pada pendanaan eksternal, sehingga pendanaan eksternal (hutang) lebih mahal dari pada pendanaan internal yang berakibat perusahaan FC kurang memiliki akses ke sumber pendanaan eksternal. Penelitian Fazzari, Hubbart, dan Petersen (1988); Hoshi, Kashyap, dan Scharfstein (1991); Schaller (1993); Almeida, Campello, dan Weisbach (2004) menunjukkan bahwa keputusan investasi perusahaan FC lebih sensitif terhadap likuiditas dibandingkan perusahaan NFC. Sebaliknya, penelitian Kaplan dan Zingales (1997) dan Cleary (1999) menunjukkan bahwa investasi dari perusahaan NFC lebih sensitif terhadap likuiditas dibandingkan investasi dari perusahaan FC. Penelitian Moyen (2004) menemukan bahwa ketika menggunakan klasifikasi berdasarkan
dividend payout, cash flow, dan kriteria Fazari, Hubbard, dan Petersen perusahaan FC lebih sensitif terhadap likuiditas dibanding perusahaan NFC dalam berinvestasi. Sebaliknya ketika menggunakan Indeks Cleary dan kriteria Kapalan dan Zingales ditemukan bahwa perusahaan
NFC lebih sensitif terhadap cash flow dibanding perusahaan FC dalam berinvestasi. Bukti empiris di Indonesia ditujukkan oleh Agung (2000) yang menemukan adanya hubungan positif likuiditas dengan keputusan investasi. Kristianti (2002) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa likuiditas lebih sensitif terhadap keputusan investasi pada perusahaan
NFC dibanding perusahaan FC. Sebaliknya, Hermeindito (2004) menemukan bahwa likuiditas lebih sensitif terhadap keputusan investasi pada perusahaan FC dibanding perusahaan NFC. Prasetyantoko (2007) juga menunjukkan bahwa likuiditas berpengaruh negatif pada investasi. Mengacu pada uraian ini, maka hipotesis ketiga yang diuji adalah bahwa likuiditas lebih berpengaruh terhadap keputusan investasi pada perusahaan financially constrained dibanding perusahaan non financially constrained. Menurut Jensen dan Meckling (1976) kebijakan dividen dan kesempatan investasi merupakan mekanisme kontrol manajemen yang dapat bersifat substitusi lebih tergantung penerapannya dari ketersediaan sumber pendanaan internal dari pada sumber pendanaan eksternal melalui kesempatan investasi. Perusahaan yang memiliki sumber pendanaan internal tinggi dikontrol melalui pembayaran dividen tinggi sehingga perusahaan ini dapat diklasifikasikan sebagai NFC. Dengan demikian perusahaan NFC dapat dengan mudah menyesuaikan sumber pendanaan untuk investasi yang menunjukkan fleksibelitas finansial yang lebih besar dan
466 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
cenderung mempunyai akses lebih mudah ke pasar modal eksternal, dengan kata lain perusahaan NFC menunjukkan nilai perusahaan yang tinggi (Bhaddari, 1988; Chan dan Chen, 1991; Fama dan French, 1992). Prasetyantoko (2007) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kesempatan investasi berpengaruh positif terhadap keputusan investasi. Kaplan dan Zingales (1997); Cleary (1999) menemukan bahwa keputusan investasi perusahaan NFC lebih sensitif pada kesempatan investasi dibandingkan pada perusahaan FC. Sebaliknya, Moyen (2004) menemukan bahwa secara umum kesempatan investasi berpengaruh negatif terhadap investasi pada perusahaan NFC dan FC. Almeida, Campello, dan Weisbach (2004) menunjukkan bahwa kesempatan investasi lebih sensitif terhadap keputusan investasi pada perusahaan FC dibanding perusahaan NFC. Dengan dasar tersebut, maka hipotesa bahwa kesempatan investasi lebih berpengaruh terhadap keputusan investasi pada perusahaan non financially constrained dibanding perusahaan
financially constrained, merupakan hipotesa keempat yang diuji dalam paper ini.
III. METODOLOGI III.1. Data dan Konseptualisasi Variabel Data yang diperlukan pada penelitian ini adalah laporan keuangan perusahaan dari tahun 2003 √ 2007. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan publik yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan sampel penelitian ini adalah perusahaan publik non keuangan yang tercatat di BEI. Data diperoleh dari BEI dan ICMD (Indonesia Capital Market Directory). Kriteria pengambilan sampel pada penelitian ini adalah perusahaan non keuangan yang terdaftar di BEI serta mempublikasikan laporan keuangannya dari tahun 2003 √ 2007 secara konsisten. Variabel independen pada penelitian ini adalah likuiditas yang diproksikan dengan cash
flow (aliran kas) dan kesempatan investasi yang diproksikan dengan book to market. Untuk mengukur cash flow dan book to market sebagai berikut: netincome + penyusutan dan/atau amortisasi + selisih pembayaran pajak yang ditanggulkan Cash flow = aktiva tetap Yang dimaksud aktiva tetap dalam penelitian ini adalah tanah, gedung, peralatan, dan perlengkapan. Cash flow dibagi dengan aktiva tetap untuk mengkontrol efek perbedaan skala perusahaan. Book to market =
nilai buku ekuitas nilai pasar ekuitas
Keputusan Investasi dan Financial Constraints: Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia
467
Variabel dependen pada penelitian ini adalah investasi (investment). Investasi dalam penelitian ini merupakan net capital expenditure dan dihitung selama periode t, dirumuskan sebagai berikut:
Investasi =
(aktiva tetapt - aktiva tetapt-1) aktiva tetap
Variabel moderasi pada penelitian ini adalah financial constraints yang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu non financially constrained (NFC) dan financially constrained (FC). Dalam penelitian ini untuk mengklasifikasi perusahaan NFC dan FC menggunakan empat tahapan yaitu dengan melihat kebijakan deviden, aliran kas, hutang (leverage), dan kesempatan investasi. Klasifikasi awal didasarkan pada kebijakan deviden. Beberapa penelitian menggunakan rasio pembayaran dividen (Fazzari, Hubbard, dan Petersen, 1988; Vogt, 1994; Kaplan dan Zingales, 1997; Cleary, 1999; Kristianti, 2003; Moyen, 2004; Almeida, Campello, dan Weisbach, 2004; Hermeindito, 2004). Perusahaan dengan dividen rendah masuk kategori FC, sedangkan perusahaan dengan dividen tinggi masuk kategori NFC. Fazzari, Hubbard, dan Petersen (1988) menyatakan bahwa terdapat dua kemungkinan penjelasan mengapa perusahaan membayar dividen rendah. Pertama, perusahaan menghadapi biaya sumber pendanaan eksternal yang mahal karena adanya asimetri informasi sehingga menggunakan sebagian besar laba untuk membiayai investasinya dari pada membayar dividen tinggi. Kedua, perusahaan tidak memperoleh laba yang cukup untuk membayar dividen. Perusahaan yang membayar dividen dimasukkan dalam kategori NFC, sedangkan perusahaan yang tidak membayar dividen dimasukkan dalam kategori FC. Perusahaan yang masuk kategori FC kemungkinan tidak mampu membayar dividen belum tentu karena tidak mampu membayar, tetapi kemungkinan dana yang dimiliki digunakan untuk kepentingan lain seperti untuk investasi, maka perlu dilakukan klasifikasi yang kedua yaitu dengan melihat aliran kas. Pada klasifikasi kedua sebagaimana digunakan oleh Moyen (2004) perusahaan yang memiliki aliran kas lebih besar dari rata-rata aliran kas seluruh sampel dikategorikan sebagai NFC, sedangkan perusahaan yang memiliki aliran kas lebih kecil dari rata-rata aliran kas seluruh sampel dikategorikan sebagai FC. Perusahaan dengan aliran kas yang besar cenderung tidak akan mengalami kendala dalam pendanaan dan sebaliknya perusahaan dengan aliran kas yang kecil cenderung akan mengalami kendala dalam pendanaan. Agar mendapatkan hasil klasifikasi perusahaan NFC dan FC yang akurat, maka perusahaan yang masuk kategori financially constrained pada klasifikasi kedua dilanjutkan dengan klasifikasi ketiga yaitu dengan melihat kesempatan investasi yang dimiliki oleh perusahaan. Kesempatan investasi perusahaan dalam hal ini diproksikan dengan rasio book to market sebagaimana
468 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
digunakan oleh Hovakimian dan Titman (2006) dalam mengklasifikasi perusahaan NFC dan
FC. Perusahaan masuk kategori NFC apabila rasio book to market perusahaan lebih rendah dari rata-rata rasio book to market seluruh sampel dan perusahaan masuk kategori FC apabila rasio book to market perusahaan lebih tinggi dari rata-rata rasio book to market seluruh sampel. Perusahaan yang memiliki rasio book to market rendah berarti perusahaan tersebut mempunyai nilai buku yang lebih rendah dari nilai pasarnya, dengan kata lain perusahaan tersebut memiliki nilai pasar yang lebih tinggi dari nilai bukunya yang mencerminkan perusahaan NFC. Dengan demikian perusahaan perusahaan NFC akan dengan mudah mendapatkan sumber pendanaan eksternal karena memiliki nilai sekuritas yang tinggi dari nilai bukunya, sehingga investor akan tertarik untuk membeli sekuritas perusahaan tersebut. Selanjutnya untuk lebih meyakinkan dan memperoleh hasil yang lebih akurat dalam mengklasifikasikan perusahaan NFC dan FC maka perusahaan yang masuk kategori financially
constrained pada klasifikasi ketiga dilanjutkan dengan klasifikasi keempat sebagaimana dilakukan oleh Lang, Ofek, dan Stulz (1996); Hovakimian dan Titman (2006) dengan melihat hutang perusahaan. Perusahaan yang memiliki tingkat hutang yang tinggi cenderung sulit untuk mengakses sumber pendanaan eksternal dan sebaliknya perusahaan yang memiliki tingkat hutang yang rendah cenderung lebih mudah untuk mengakses sumber pendanaan eksternal. Untuk itu, dalam penelitian ini perusahaan yang memiliki rasio hutang lebih kecil dari rata-rata rasio hutang seluruh sampel, maka dikategorikan sebagai perusahaan NFC, sedangkan perusahaan yang memiliki rasio hutang lebih tinggi dari rata-rata rasio hutang seluruh sampel maka dikategorikan sebagai perusahaan FC. Dari empat tahapan klasifikasi tersebut, maka untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1.
Bayar = NFC Tinggi = NFC
D
Rendah = NFC
Tidak bayar Rendah CF
Rendah = NFC Tinggi BM
Tinggi = FC Debt
Gambar III.1. Klasifikasi perusahaan Financially Constrained dan Non Financially Constrained
Dalam hal ini, D adalah dividen; CF adalah cash flow (aliran kas); BM adalah rasio book to
market proksi dari kesempatan investasi; Debt adalah hutang; NFC adalah non financially constrained; dan FC adalah financially constrained.
Keputusan Investasi dan Financial Constraints: Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia
469
Jadi, perusahaan dikategorikan sebagai NFC bila perusahaan tersebut membayar dividen, memiliki aliran kas yang tinggi, book to market yang rendah, dan hutang yang rendah. Sedangkan perusahaan dikategorikan sebagai FC bila perusahaan tersebut tidak membayar dividen, memiliki aliran kas yang rendah, book to market yang tinggi, dan hutang yang tinggi. Penelitian ini juga mengguunakan variabel kontrol yakni hutang (leverage) yang diukur dengan:
DER =
Total hutang Total ekuitas
III.2. Teknik Estimasi Model empiris yang diuji dalam paper ini adalah sebagai berikut: INVATit = β0 + β1 CFATit + β2 BMit + β3 Dit + β4 CFATit*Dit + β5 BMit*Dit + β6 DERit + uit Dalam hal ini, INVAT adalah investasi pada pengeluaran modal (capital expenditure) yang dibagi dengan aktiva tetap, merupakan variabel dependen; CFAT adalah aliran kas (cash flow) dibagi dengan aktiva tetap yang merupakan proksi dari likuiditas dan BM (book to market) merupakan proksi dari kesempatan investasi adalah variabel independen; D adalah variabel dummi perusahaan FC dan NFC, 1 adalah perusahaan FC dan 0 adalah perusahaan NFC; CFAT*D adalah interaksi antara CFAT dengan variabel dummy dan BM*D adalah interaksi antara BM dengan variabel dummy, merupakan variabel moderasi; dan DER (debt to equity ratio) merupakan variabel kontrol. Aliran kas dan investasi dibagi dengan aktiva tetap untuk mengkontrol efek perbedaan skala perusahaan. Indeks i menunjukkan perusahaan i dan t adalah periode. Teknik estimasi yang diterapkan adalah teknik estimasi data panel dengan fixed effect
model (FEM) dan common cross-section parameter. Dimungkinkan untuk mempertimbangkan variasi parameter lintas individual perusahaan dan lintas waktu, namun hal tersebut tidak dilakukan dalam penelitian ini.
IV. HASIL DAN ANALISIS Berdasarkan kriteria pemilihan sampel yaitu perusahaan non keuangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan mempublikasikan laporan keuangannya dari tahun 2003 √ 2007 secara konsisten, diperoleh sampel sebanyak 217 perusahaan non keuangan selama lima tahun dengan jumlah observasi sebanyak 1.085. Dari sampel 217 perusahaan, terdapat 57 perusahaan yang tidak lengkap datanya karena tidak ada data pajak yang ditangguhkan dan 24 perusahaan yang datanya outlier karena memiliki nilai cash flow, book to market, equity, dan investasi
470 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
negatif sehingga dikeluarkan dari sampel. Maka sampel akhir penelitian ini berjumlah 136 perusahaan non keuangan selama lima tahun dengan jumlah observasi 680. Tabel III.1 menunjukkan proses pemilihan sampel. Table III.1 Proses Pemilihan Sampel Jumlah Perusahaan
Kriteria 1. Perusahaan non keuangan yang tercatat di BEI dan mempublikasikan laporan keuangan secara konsisten pada periode 2003-2007 2. Dikeluarkan karena data tidak lengkap *) 3. Dikeluarkan karena data outlier **) Sampel akhir
217 (57) 160 (24) 136
Keterangan: *) tidak ada data pajak yang ditangguhkan **) nilai cash flow, book to market, equity, dan investasi negatif
Dalam paper ini, untuk mengklasifikasikan perusahaan dikategorikan sebagai FC dan
NFC dilihat dari dividen, cash flow, book to market, dan debt. Perusahaan yang dikategorikan sebagai FC bila perusahaan tidak membayar dividen, memiliki cash flow yang lebih rendah dari rata-rata sampel, serta memiliki book to market dan hutang yang lebih tinggi dari rata-rata sampel. Sedangkan perusahaan dikategorikan sebagai NFC bila perusahaan membayar dividen, memiliki cash flow yang lebih tinggi dari rata-rata sampel, serta memiliki book to market dan hutang yang lebih rendah dari rata-rata sampel. Perusahaan FC dan NFC dalam penelitian ini merupakan variabel moderasi yang menggunakan dummy, yaitu: 1 untuk perusahaan FC dan 0 untuk perusahaan NFC. Hasil klasifikasi perusahaan yang dikategorikan sebagai FC dan NFC dapat dilihat pada Gambar III.2.
D
Bayar (299) Tidak bayar (381)
CF
Tinggi (299+137=436) Rendah BM (381-137=244)
Rendah (436+85=521)
Rendah (521+25=546)
Tinggi Debt (244-85=159) Tinggi (159-25=134)
Gambar III.2. Hasil Klasifikasi Perusahaan Financially Constrained dan Non Financially Constrained
Keputusan Investasi dan Financial Constraints: Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia
471
Gambar ini menunjukkan klasifikasi awal perusahaan dilihat dari status pembayaran dividen; terdapat sejumlah 299 perusahaan yang membayar dividen dan yang tidak membayar dividen sejumlah 381. Pada klasifikasi kedua, perusahaan yang tidak membayar dividen diklasifikasikan lebih lanjut menurut kondisi cash flow-nya; pada tahap ini menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai cash flow lebih tinggi dari rata-rata sampel bertambah 137 menjadi 436 dan yang lebih kecil dari rata-rata berkurang 137 menjadi 244 perusahaan. Pada klasifikasi ketiga, perusahaan yang masih rendah cash flow-nya dilihat lagi book to marketnya, hasil klasifikasi menunjukkan jumlah perusahaan yang memiliki book to market lebih rendah dari rata-rata sampel bertambah 85 menjadi 521 perusahaan, sedangkan perusahaan yang memiliki book to market lebih tinggi dari rata-rata berkurang 85 menjadi 159 perusahaan. Pada klasifikasi terakhir perusahaan yang masih tinggi book to market-nya dilihat lagi debtnya, hasil klasifikasi menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki debt lebih rendah dari rata-rata sampel bertambah 25 menjadi 546 dan perusahaan yang memiliki debt di atas ratarata sampel berkurang 25 menjadi 134 perusahaan. Dengan demikian perusahaan yang dikategorikan sebagai FC berjumlah 134, sedangkan perusahaan yang dikategorikan sebagai
NFC berjumlah 546. Dari hasil klasifikasi di atas, maka untuk mengetahui perbedaan antara perusahaan FC dan NFC digunakan uji beda dengan independent sample t- test. Hasil dari uji beda perusahaan
FC dan NFC dapat dilihat pada tabel III.2.
Table III.2 Hasil Uji Beda Perusahaan Financially Constrained dan Non Financially Constrained Variabel
Mean FC
Mean NFC
Perbedaan Mean
CFAT BM DER
0,8154 6,6650 0,7097
1,1976 3,8180 0,4154
-0,3822 2,8470 0,2943
t value -4,867 *** 12,639 *** 12,555 ***
Sumber: data diolah Keterangan : *** Signifikan pada level 1% (2,326) CFAT (aliran kas dibagi aktiva tetap), BM (nilai buku ekuitas dibagi nilai pasar ekuitas) dalam kali, DER (total hutang dibagi total ekuitas) dalam persen.
Hasil perhitungan uji beda pada tabel III.2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan ratarata antara perusahaan FC dan NFC pada semua variabel CFAT, BM, dan DER. Tanda koefisien negatif pada CFAT menunjukkan bahwa aliran kas perusahaan NFC lebih tinggi dibanding perusahaan FC, sedangkan varaibel BM dan DER bertanda positif yang berarti bahwa book to market dan hutang perusahaan FC lebih tinggi dari pada perusahaan NFC.
472 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Hasil estimasi model diberikan pada Tabel III.3. Model ini telah lolos pengujian asumsi klasik (Gujarati, 2003) meliputi uji normalitas, uji autokorelasi, uji multikolinieritas dan uji heteroskedastisitas. Pengujian normalitas data menggunakan uji statistik non parametric Kolmogorov-Smirnov (K-S) dengan nilai 1,313 dan angka signifikansi sebesar 0,064. Ini menunjukkan bahwa data residual terdistribusi normal (Ghozali, 2001). Pengujian autokorelasi dilakukan dengan menggunakan statistik Durbin Watson (DW) . Dengan jumah observasi 680 dan variabel bebas sebanyak 6, didapatkan nilai dl sebesar 1,707 dan du sebesar 1,831. Hasil uji autokorelasi menunjukkan nilai DW sebesar 1,857 yang terletak antara du dan 4-du, maka pada model tidak terdapat autokorelasi. Uji multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai VIF, bila nilai VIF mendekati 1 maka persamaan regresi tersebut tidak terjadi multikolinieritas. Hasil uji multikolinieritas menunjukkan bahwa nilai VIF variabel CFAT (1,069), BM (1,156), dan DER (1,250) adalah mendekati 1, sedangkan nilai VIF variabel D (5,344), CFAT*D (2,653), dan BM*D (3,939) lebih besar dari 1 namun masih dalam batas wajar, sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa tidak ada korelasi antar variabel independen. Uji asumsi klasik yang terakhir adalah uji heteroskedastisitas yang dilakukan dengan uji Park. Dari hasil uji Park diperoleh hasil signifikansi variabel CFAT (0,193), BM (0,864), D (0,481), CFAT*D (0,377), BM*D (0,254), dan DER (0,866) yang berarti lebih besar dari 0.05, maka di dalam model tidak terdapat heteroskedastisitas yang menjamin parameter yang diperoleh merupakan parameter yang paling efisien. Table III.3 Hasil Pengujian Hipotesis Variabel Independen Konstanta CFAT BM D CFAT*D BM*D DER R2
t value
Koefisien 0,049 0,018 0,001 -0,026 0,011 -0,014 0,027
9,102 8,796 1,981 -2,496 1,759 -3,143 3,668
*** *** ** *** ** *** ***
0,131
Sumber: data diolah Keterangan: ** Signifikan pada level 5% (1,645) *** Signifikan pada level 1% (2,326) CFAT (aliran kas dibagi aktiva tetap) adalah proksi dari likuiditas dan BM (nilai buku ekuitas dibagi nilai pasar ekuitas) adalah proksi dari kesempatan investasi merupakan variabel independen; D (variabel dummy, 1 untuk perusahaan financially constrained, 0 untuk perusahaan non financially constrained); CFAT*D (interaksi antara CFAT dengan dummy perusahaan financially constrained) dan BM*D (interaksi antara BM dengan dummy perusahaan non financially constrained) merupakan variabel moderasi; dan DER (total hutang dibagi total ekuitas) adalah variabel kontrol
Keputusan Investasi dan Financial Constraints: Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia
473
Hasil ini menunjukkan bahwa 4 hipotesis yang diajukan dalam paper ini didukung oleh hasil estimasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis 1 dan 4 signifikan pada level 1%, dalam hal ini variabel CFAT memiliki koefisien positif, sedangkan variabel moderasi BM*D yaitu interaksi antara BM dengan dummy perusahaan NFC memiliki koefisien negatif. Untuk hipotesis 2 dan 3, variabel BM dan variabel moderasi CFAT*D yaitu interaksi antara CFAT dengan dummy perusahaan FC memiliki koefisien positif dan signifikan pada level 5%. Meski demikian, perlu digarisbawahi bahwa koefisien determinasi (R2) model relatif kecil sebesar 0,131 yang menunjukkan bahwa 13,1% variasi keputusan investasi bisa dijelaskan oleh variasi dari keenam variabel independen CFAT, BM, D, CFAT*D, BM*D, dan DER. Sedangkan sisanya (86,9%) dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model. Dengan likuiditas yang tinggi, perusahaan memiliki kesempatan untuk berinvestasi lebih besar pada pengeluaran modal (capital expenditure) yaitu investasi pada aktiva tetap seperti tanah atau properti, bangunan, dan peralatan. Namun demikian, dengan likuiditas perusahaan yang tinggi akan sensitif terjadi konflik keagenan. Menurut teori ini, manajer lebih senang menggunakan modal internal untuk membiayai investasi karena modal internal dapat mengurangi keterlibatan pengawasan dari pemegang saham atau pihak eksternal terhadap keputusan investasi yang dibuat oleh manajer. Manajer cenderung memilih proyek yang lebih sulit dimonitor oleh pihak luar, sehingga memberi keleluasaan yang lebih besar bagi si manajer untuk mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya. Manajer juga lebih senang menyimpan free cash flows dari pada membagikannya kepada pemegang saham. Semakin tinggi free cash flows maka semakin besar kebebasan manajer dalam mengontrol sumber daya perusahaan. Selain itu menurut Myers dan Majluf (1984) bahwa dengan adanya asimetri informasi, maka sumber pendanaan internal lebih murah dibanding pendanaan eksternal seperti hutang, sehingga perusahaan cenderung akan memilih pendanaan internal daripada pendanaan eksternal. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fazzari, Hubbard, dan Petersen (1988); Hoshi, Kashyap, dan Scharfstein (1991); Vogt (1994); Kaplan dan Zingales (1997); Cleary (1999); Agung (2000); Kristianti (2003); Moyen (2004); Almeida, Campello, dan Weisbach (2004); dan Hermeindito (2004). Dengan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat interdependensi antara keputusan investasi dengan keputusan pendanaan. Keputusan investasi perusahaan sebenarnya lebih dekat kaitannya dengan kesempatan investasi yang dimiliki oleh perusahaan. Hasil hipotesis 2 pada penelitian ini mendukung pernyataan tersebut, dalam hal ini terdapat pengaruh positif kesempatan investasi terhadap keputusan investasi. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Fazzari, Hubbard, dan Petersen (1988); Vogt (1994); Kaplan dan Zingales (1997); Cleary (1999); Almeida, Campello, dan
474 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Weisbach (2004); dan Prasetyantoko (2007). Menurut Gaver dan Gaver (1993), kesempatan investasi merupakan nilai perusahaan yang besarnya tergantung pada pengeluaran-pengeluaran yang ditetapkan manajemen di masa yang akan datang dalam hal ini pilihan-pilihan investasi yang diharapkan akan menghasilkan return yang lebih besar. Jika terdapat kesempatan investasi yang menguntungkan, maka manajer berusaha mengambil peluang-peluang tersebut untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham. Semakin besar kesempatan investasi yang menguntungkan, maka investasi yang dilakukan oleh perusahaan akan semakin besar. Pengaruh likuiditas dan kesempatan investasi terhadap keputusan investasi akan berbeda ketika dimoderasi oleh perusahaan FC dan perusahaan NFC. Hal ini ditunjukkan oleh hasil hipotesis 3 dan 4. Hasil hipotesis 3 menunjukkan bahwa likuiditas lebih berpengaruh terhadap keputusan investasi pada perusahaan FC dibanding perusahaan NFC. Menurut Fazzari, Hubbart, dan Petersen (1988) disebabkan adanya asimetri informasi pada pendanaan eksternal, sehingga pendanaan eksternal seperti hutang lebih mahal dari pada pendanaan internal yang berakibat perusahaan
FC kurang memiliki akses ke sumber pendanaan eksternal. Selain itu perusahaan FC relatif lebih kecil, yang menunjukkan keterbatasan finansial sehingga akan sulit bagi perusahaan mengambil kesempatan investasi yang menguntungkan untuk investasi. Dengan kata lain bahwa perusahaan
FC mempunyai nilai perusahaan yang rendah. Dengan demikian, perusahaan FC cenderung lebih sensitif terhadap likuiditas dalam berinvestasi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fazzari, Hubbart, dan Petersen (1988); Hoshi, Kashyap, dan Scharfstein (1991); Schaller (1993); Almeida, Campello, dan Weisbach (2004); dan Hermeindito (2004). Sebaliknya, hasil hipotesis 4 menunjukkan bahwa kesempatan investasi lebih berpengaruh terhadap keputusan investasi pada perusahaan NFC dibanding perusahaan FC. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Kaplan dan Zingales (1997); Cleary (1999); Kristianti (2003). Menurut Jensen dan Meckling (1976) kebijakan dividen dan kesempatan investasi merupakan mekanisme kontrol manajemen yang dapat bersifat substitusi lebih tergantung penerapannya dari ketersediaan sumber pendanaan internal dari pada sumber pendanaan eksternal melalui kesempatan investasi. Perusahaan yang memiliki sumber pendanaan internal tinggi dikontrol melalui pembayaran dividen tinggi sehingga perusahaan ini dapat diklasifikasikan sebagai NFC. Dengan demikian perusahaan NFC dapat dengan mudah menyesuaikan sumber pendanaan untuk investasi yang menunjukkan fleksibelitas finansial yang lebih besar dan cenderung mempunyai akses lebih mudah ke pasar modal eksternal. Dengan kata lain perusahaan NFC menunjukkan nilai perusahaan yang tinggi (Bhaddari, 1988; Chan dan Chen, 1991; Fama dan French, 1992). Hal ini berarti bahwa perusahaan NFC lebih sensitif terhadap kesempatan investasi dalam berinvestasi.
Keputusan Investasi dan Financial Constraints: Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia
475
V. KESIMPULAN Dari hasil pengujian hipotesis, maka simpulan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Bahwa likuiditas berpengaruh positif terhadap keputusan investasi. Pengaruh ini menunjukkan bahwa dengan likuiditas yang tinggi, perusahaan memiliki kesempatan untuk berinvestasi lebih besar pada pengeluaran modal (capital expenditure) yaitu investasi pada aktiva tetap seperti tanah atau properti, bangunan, dan peralatan. 2. Bahwa kesempatan investasi berpengaruh positif terhadap keputusan investasi. Jika terdapat kesempatan investasi yang menguntungkan, maka manajer berusaha mengambil peluangpeluang tersebut untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham yang berarti juga meningkatkan nilai perusahaan. Dengan demikian, semakin besar kesempatan investasi yang menguntungkan, maka investasi yang dilakukan akan semakin besar. 3. Bahwa likuiditas lebih berpengaruh terhadap keputusan investasi pada perusahaan FC dibanding perusahaan NFC. Hal ini disebabkan adanya asimetri informasi pada pendanaan eksternal, sehingga pendanaan eksternal seperti hutang lebih mahal dari pada pendanaan internal yang berakibat perusahaan FC kurang memiliki akses ke sumber pendanaan eksternal. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan investasi perusahaan FC lebih sensitif terhadap likuiditas. 4. Bahwa kesempatan investasi lebih berpengaruh terhadap keputusan investasi pada perusahaan NFC di banding perusahaan FC. Hal ini dikarenakan perusahaan NFC cenderung mempunyai akses lebih mudah ke pasar modal eksternal sehingga dapat dengan mudah menyesuaikan sumber pendanaan untuk investasi yang menunjukkan fleksibelitas finansial yang lebih besar. Hal ini berarti bahwa perusahaan NFC dalam berinvestasi lebih sensitif terhadap kesempatan investasi. Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh positif likuiditas terhadap keputusan investasi, dengan kata lain terdapat interdepensi antara keputusan pendanaan dalam hal ini likuiditas dengan keputusan investasi pada perusahaan-perusahaan di Indonesia khususnya perusahaan yang menjadi sampel. Keputusan investasi perusahaan lebih dekat hubungannya dengan kesempatan investasi. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan tersebut, bahwa terdapat pengaruh positif kesempatan investasi terhadap keputusan investasi pada perusahaanperusahaan di Indonesia khususnya perusahaan yang menjadi sampel. Ketika pengaruh likuiditas dan kesempatan investasi terhadap keputusan investasi dimasukkan variabel FC dan NFC sebagai variabel moderasi, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa likuiditas lebih berpengaruh terhadap keputusan investasi pada perusahaan FC dibanding perusahaan NFC. Implikasinya adalah perusahaan FC cenderung akan menggunakan likuiditas untuk berinvestasi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kesempatan investasi lebih
476 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
berpengaruh terhadap keputusan investasi pada perusahaan NFC dibanding perusahaan FC. Jika terdapat kesempatan investasi yang menguntungkan, maka perusahaan NFC akan dengan mudah mengambil kesempatan tersebut untuk berinvestasi. Hal ini karena perusahaan NFC lebih mudah dalam mengakses sumber pendanaan eksternal karena memiliki fleksibelitas financial yang lebih besar, lebih berpengalaman, dan lebih lama. Jadi, dalam berinvestasi perusahaan NFC cenderung lebih sensitif terhadap kesempatan investasi. Perlu digarisbawahi bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan yang merupakan ruang pengembangan untuk penelitian lebih lanjut. Hal pertama adalah jumlah sampel yang terbatas, yaitu hanya 136 perusahaan non keuangan selama lima tahun yaitu dari periode 2003-2007 dengan jumlah observasi 680. Untuk penelitian selanjutnya dapat menambah sampel dengan periode yang lebih panjang. Kedua, banyak sampel yang tidak mengandung nilai akuntansi pajak yang ditangguhkan dalam perhitungan cash flow, sehingga banyak data yang dikeluarkan. Penelitian yang akan datang agar menggunakan proksi cash flow dengan perhitungan lain. Selain itu kecilnya jumlah sampel juga disebabkan terdapat data yang outlier karena memiliki nilai cash flow, book to market, equity, dan investasi negatif. Ketiga, penelitian ini hanya menggunakan dua variabel independen yaitu likuiditas dan kesempatan investasi. Penelitian yang akan datang mungkin perlu menambah variabel independen lain yang relevan seperti hutang, sehingga dapat membandingkan antara sumber pendanaan internal dan sumber pendanaan eksternal yang dimoderasi oleh perusahaan FC dan NFC. Keempat, sampel dipool sehingga satu perusahaan yang masuk kategori perusahaan FC pada tahun ini bisa jadi masuk kategori perusahaan NFC di tahun berikutnya. Seharusnya dibuat Robustness test, dengan cara hold-out sample. Yang dites hanya sampel yang lima tahun atau tiga tahun berturut-turut ada di kategori yang sama.
Keputusan Investasi dan Financial Constraints: Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia
477
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Juda (2000), ≈Financial Constraint, Firms» Investment and the Channels of Monetary Policy in Indonesia∆, Apllied Economics, 32: pp. 1637-1646. Almeida, Heitor, Campello, Murillo, and Weisbach, Michael S. (2004), ≈The cash Flow Sensitivity of Cash∆, Journal of Finance, vol. LIX, no. 4: pp. 1777-1804. Arifin, Zaenal, (2005), ≈Teori Keuangan dan Pasar Modal∆, Yogyakarta: Ekonosia. Brigham, Eugene F. and Ehrhardt, Michael C. (2005), ∆Financial Management: Theory and
Practice∆ 11th Edition, Thomson, South-Western. Brigham, E.F., Gapenski, L.C., and Daves, P.R. (1999), ≈Intermediate Financial Management∆, 6th Edition, The Dryden Press, Harcourt Brace College Publishers. Chan, L. K. and Chen, N. (1991), ≈Structural and Return Characteristics of Small and Large Firms∆, Journal of Finance, 46: pp. 1467-1484. Chung, K.H. and Charoenwong, C. (1991), ∆Investment Options, Assets in Place, and the Risk of Stocks∆, Financing Management, Autumn: pp. 21-33. Cleary, Sean (2004), ≈International Corporate Investment and the Role of Financial Constraint∆,
Saint Mary»s University Working Paper. Cleary, Sean (1999), ≈The Relationship between Firm Investment and Financial Status∆, Journal
of Finance, vol. LIV no. 2: pp. 673-692. Fama, Eugene F. (1974), ≈The Empirical Relationship Between the Dividend and Investment Decisions of Firms∆, American Economic Review, 76: pp. 323-329. Fama, Eugene F. and French, Kenneth R. (2000), ≈ Testing Tradeoff and Pecking Order Predictions about Dividents and Debt∆, The Center for Research in Security Price Working Paper No. 506. Fama, Eugene F. and French, Kenneth R. (1992), ≈The Cross-Section of Expected Stock Returns∆,
Journal of Finance, 47: pp. 427-465. Fazzari, Steven M., Hubbart, Glenn R., and Petersen, Bruce C. (1988), ∆Financing Constrains and Corporate Investment∆, Brooking Papers on Economic Activity, 19: pp. 141-195. Gaver, J.J. and Gaver, K.M. (1993), ∆Additional Evidence on Association between the Investment Opportunity Set and Corporate Financing, Dividend, and Compensation Policies∆, Journal
of Accounting and Economics, 16: pp. 125-160.
478 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Geczy, C., Minton, B.A., and Schrand, C. (1997), ≈Why Firm Use Currency Derivatives∆, Journal
of Finance, 52: pp. 1323-1354. Ghozali, Imam, (2001), ≈Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS∆, Semarang: BP Undip. Gujarati, Damodar N. (2003), ≈Basic Econometric∆, fourth edition, New York: McGraw-Hill. Hanafi, Mamduh M. dan Halim, Abdul (2005), ≈Analisis Laporan Keuangan∆, Edisi kedua, Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Hermeindito (2004), ≈Asimetri Informasi dan Kontrol Manajemen: Analisis Kepekaan Investasi
dan Leverage Terhadap Pemilihan Sumber-sumber Pendanaan∆, Disertasi Program Doktor, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Tidak dipublikasikan. Hovakimian, Gayane and Titman, Sheridan, (2006), ∆Corporate Investment with Financial Constraints: Sensitivity of Investment to Funds from Voluntary Asset Sales∆, Journal of Money,
Credit, and Banking, 38 (2): pp. 357-374. Hoshi, Takeo, Kashyap, Anil K., and Scharfstein, David, (1986), ≈ Corporate Structure Liquidity and Investment: Evidence from Japanese Panel Data∆, Quarterly Journal of Economics, 106: pp. 33-60. Jensen, Michael C. (1986), ≈Agency Costs of Free Cash Flow, Corporate Finance, and Takeovers∆,
American Economic Review, 76: pp. 323-329. Jensen, Michael C. and Meckling, W.H. (1976), ≈Theory of the Firm: managerial Behavior, Agency Costs, and Ownership Structure∆, Journal of Financial Economics, vol. 3 no. 4: pp. 305-360. Kallapur, Sanjay and Trombley, Mark A. (1999), ≈The Association Between Investment Opportunity Set Proxies and Realized Growth∆, Journal of Business and Accounting, April/ May: pp. 505-519. Kaplan, Steven N. and Zingales, Luigi (2000), ≈Investment-Cash Flow Sensitivities Are Not Valid Measures of Financing Constraints∆, Quarterly Journal of Economics, May: pp. 707-712. Kaplan, Steven N. and Zingales, Luigi (1997), ≈Do Financing Constraints Explain Why Investment is Correlated with Cash Flow?∆, Quarterly Journal of Economics, 112: pp. 169-215. Kristianti, Rina A. (2002), ≈Pengaruh Likuiditas Terhadap Keputusan Investasi Aktiva Tetap
pada Perusahaan Yang Dikelompokkan dalam Financially Constraints∆, Tesis Program Pasca Sarjana (Magister Sains), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Tidak dipublikasikan. Lang, Larry, Ofek, Eli, and Stulz, Rene M. (1996), ≈Leverage, Investment, and Firm Growth∆,
Journal of Financial Economics, 40, pp. 3-29. Modigliani, Franco and Miller, Merton, H. (1958), ∆The Cost of Capital, Corporation Finance, and the Theory of Investment∆, American Economics Review, 48: pp. 461-297.
Keputusan Investasi dan Financial Constraints: Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia
479
Moyen, Nathalie (2004), ∆Investment-Cash Flow Sensitivities: Constrained versus Unconstrained Firms∆, Journal of Finance, vol. LIX, no. 5: pp. 2061-2092. Myers, Stewart C. (1984), ≈The Capital Structure Puzzle∆, Journal of Finance, 39:
pp. 575-
592. Myers, Stewart C. and Majluf, Nicholas S. (1984), ∆Corporate Financing and Investment Decisions when Firms Have Information that Investors Do Non Have∆, Journal of Financial Economics, 13: pp. 187-221. Myers, Stewart C. (1977), ∆Determinant of Corporate Borrowing∆, Journal of Financial
Economics, November: 147-176. Prasetyantoko, Augustinus, (2007), ∆Financing Constraints and Firm-Level Investment Following a Financial Crisis in Indonesia∆, Working Papers on Documents De Travail, Juli: pp. 1-42. Riyanto, Bambang, (1997), ∆Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan∆, edisi 4, Yogyakarta: BPFE. Schaller, Huntley, (1993), ∆Asymmetric Information, Liquidity Constraints, and Canadian Investment∆, Canadian Journal of Economics, 26: pp. 552-574. Smith, Jr. Clifford W. and Watts, Ross L. (1992), ≈The Investment Opportunity Set and Corporate Financing, Dividend, and Compensation Policies∆, Journal of Financial Economics, 32: pp. 263-292. Vogt, S.G. (1994), ≈The Cash Flow/Investment Relationship: Evidence from U.S. Manufacturing Firm∆, Financial Management, 23 (2): pp. 3-20.
480 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
481
PERGERAKAN BERSAMA MATA UANG ASEAN 4 PERIODE 1997-2005: SUATU APLIKASI TEORI OPTIMAL CURRENCY AREA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL VECTOR ERROR CORRECTION Moch. Doddy Ariefianto Perry Warjiyo 1
Abstraksi
Starting from the Optimum Currency Area (OCA), this paper utilize the Vector Error Correction Model (VECM) to identify the dynamic short term and the long term co-movement between the ASEAN 4 currencies, including their existing fundamental mechanism. There are at least 3 important findings, (i) the co-movement between the ASEAN 4 currencies is not proved empirically, (ii) the theory of OCA does not robust in explaining the co-movement pattern in ASEAN, and (iii) the existance of OCA is a global phenomena, indicated from the significance of Yen currency on the ASEAN 4. These findings led to a conclusion of this paper that the ongoing economic integration as well as the financial one in ASEAN are not enough to form a unified monetary arrangement nor a common currency in this region.
JEL Classification : F02, F36, F33, C32
Keywords : Pergerakan Bersama, Optimum Currency Area, Vector Error Correction Model.
1
Doddy Arifianto adalah Ekonom Senior Bank Mandiri (
[email protected] and ), Dr. Perry Warjiyo adalah Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, (
[email protected]).
482 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
I. PENDAHULUAN Penelitian ini melakukan investigasi terhadap faktor/mekanisme fundamental yang bekerja dibalik keberadaan co-movement (jika ada) pada suatu pasangan mata uang. Tentunya diharapkan dengan menggunakan mata uang yang nilainya ditetapkan oleh pasar, keberadaan mekanisme fundamental akan lebih jelas terlihat. Hal ini terutama disebabkan minimalnya distorsi, misalnya dalam bentuk intervensi Bank Sentral/Pemerintah. Implikasi dari adanya keberadaan co-movement dapat bersifat ekonomi dan politis. Dari sisi ekonomi jika sekelompok negara ternyata memiliki mata uang yang berkorelasi sangat erat, maka secara implisit kelompok negara tersebut dapat menggabungkan mata uangnya. Dengan kata lain negara tersebut dapat melepaskan kekuasaan moneternya dan memberikan kepada suatu badan supra nasional (dalam wadah ekonomi bersama). Salah satu contoh yang paling sukses dari proses penggabungan ini adalah keberadaan
European Monetary Union, (EMU) dan mata uang tunggal dengan European Central Bank (ECB) sebagai bank sentralnya. Namun demikian proses kearah penggabungan moneter sebenarnya telah berlangsung cukup lama. Treaty Of Rome (1957) dapat dikatakan titik tolak yang meletakkan dasar/fase yang harus ditempuh dalam rangka pembentukan komunitas ekonomi eropa. Salah satu studi penting yang melakukan penelitian terhadap kesiapan prasyarat OCA di ASEAN dan perbandingan versus Uni Eropa dilakukan oleh Bayoumi dan Mauro (1999). Mereka berpendapat bahwa negara-negara ASEAN telah mencapai level yang sama dengan Uni Eropa sebelum traktat Maastricth 1991 pada beberapa aspek. Aspek tersebut adalah 1. Perdagangan intra wilayah (yang diukur oleh share perdagangan internal terhadap GDP). 2. Komposisi perdagangan berdasarkan type produk. Dengan berlangsungnya transisi ekonomi, negara-negara di wilayah ini (kecuali Singapura) memiliki tendensi sebagai negara manufaktur. 3. Pola goncangan ekonomi. Meskipun dampak goncangan adalah lebih besar di ASEAN tetapi kecepatan pemulihan lebih tinggi di wilayah ini. Dengan demikian dapat dikatakan hasil bersih dari pola goncangan ekonomi semacam ini adalah cenderung netral. Namun demikian mereka juga menemukan beberapa faktor yang dianggap dapat mengurangi daya tarik penyatuan moneter bagi wilayah ASEAN. Faktor-faktor ini adalah 1. Diversifikasi budaya dan system politik di ASEAN cenderung lebih tinggi dibandingkan Uni Eropa 2. Diversifikasi perdagangan yang signifikan. Meskipun US, Jepang dan Zona Eropa adalah rekan dagang utama, namun proporsi masing-masing adalah heterogen. Hal ini berimplikasi
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
483
bahwa setiap negara ASEAN memiliki suatu goncangan spesifik pada level tertentu. 3. OCA index (Eichengreen dan Bayoumi, 1996) menunjukkan kesiapan negara ASEAN masih kalah dengan negara Eropa pra traktat Maastricth. Disini ditunjukkan divergennya arah keterkaitan mata uang ASEAN terhadap salah satu mata uang utama dunia. Singapura, Malaysia dan Philipina misalnya, lebih cocok masuk sebagai blok USD. Sedangkan Indonesia dan Thailand cenderung kepada blok JPY. Hasil ini mengkonfirmasi temuan empiris Frankel dan Wei (1994), Kim dan Ryou (2001) dan Alesina et al (2002) bahwa permasalahan yang dihadapi dalam penyatuan keuangan negaranegara ASEAN adalah tidak adanya suatu mata uang anchor yang tunggal bagi mata uang negara ASEAN tersebut. Dari sisi institusi, aktivitas ditingkat ofisial tentang keberadaan OCA dapat dikatakan langka. Beberapa lembaga kerjasama regional telah ada diwilayah ini, misalnya ASEAN, AFTA dan SEACEN, ASEAN misalnya bahkan telah berdiri sejak 1967. Namun demikian diskursus mengenai suatu kerjasama regional yang lebih erat melalui kerjasama moneter (dan mata uang bersama) baru terdengar pasca krisis keuangan Asia 1997. Era sebelum ini suatu kerjasama moneter yang lebih serius tampaknya terkendala oleh keberadaan rezim nilai tukar yang heterogen diwilayah Asia (Wilson, 2002). Tahun 1997, Jepang menawarkan ide Asian Monetary Fund (AMF). Hal ini merupakan wujud dari kesadaran terhadap perlunya suatu dana emergency yang siap digunakan ketika dibutuhkan. Tampaknya ini juga merupakan reaksi kecewa terhadap sikap lamban IMF dalam mengatasi krisis Asia. Ide ini memperoleh resistensi keras dari IMF (dan stake holder utamanya US) sehingga akhirnya gagal diwujudkan. Sebagai pengganti, dalam kerangka ASEAN+3 suatu kesepakatan dalam hal penyediaan dana emergency diwujudkan dalam bentuk pejanjian swap. Inisiatif ini dikenal sebagai Chiang Mai Initiatives. Dari forum ini tampaknya terlihat adanya perkembangan kearah suatu instrument obligasi Asia. Dari sisi upaya penyatuan mata uang, negara-negara diwilayah ini terlihat jauh lebih ≈kaku∆. Meskipun dibawah Hanoi Plan Action dibulan Desember 1998, pemimpin wilayah ASEAN sepakat untuk memulai suatu studi kelayakan atas adopsi mata uang bersama. Namun baru Januari 2001, suatu proyek resmi untuk penelitian ini dimulai (Wilson, 2002). Proyek ini dikenal dengan nama Kobe Research Project. Meskipun ditingkat pengambil kebijakan arah penyatuan moneter adalah bergerak lamban, pra kondisi bagi negara Asia sebenarnya telah ada. Eichengreen dan Bayoumi (1996) dalam suatu studinya berkesimpulan bahwa wilayah Asia Timur telah memenuhi persyaratan standar OCA serta telah memiliki kesiapan yang sama dengan wilayah zona Eropa. Bayoumi dan Mauro
484 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
(1999) juga mengusulkan hal yang serupa, namun dengan mesyaratkan perlunya suatu komitmen politik untuk memastikan bahwa proyek ini akan berhasil. Proposal lainnya dapat dilihat misalnya Wilson (2002), Mundel (2003), dan Branson dan Healy (2005). Syarat dan kondisi teoritis dimana penyatuan mata uang adalah menguntungkan merupakan subyek dari teori Optimum Currency Area (OCA). Teori OCA modern secara komprehensif diuraikan oleh Robert Mundell (1961) dalam seminal paper nya yang berjudul ≈A Theory Of Optimum Currency Areas∆. Secara ringkas teori tersebut menguraikan bahwa sekelompok negara dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dengan melepaskan penggunaan mata uang sendiri dan (secara bersama) mengadopsi mata uang lain atau menerapkan rezim nilai tukar tetap (khususnya antar mata uang negara anggota OCA). Manfaat yang lebih besar ini dapat terjadi karena berbagai hal misalnya signifikannya transaksi perdagangan internal anggota OCA, mobilitas faktor produksi yang tinggi, korelasi siklus bisnis dsb. Dalam kondisi ini manfaat yang diperoleh dengan tetap menggunakan mata uang sendiri (berupa seignorage dan independensi kebijakan moneter) lebih kecil dari manfaat yang diperoleh dari penyatuan mata uang (berupa biaya transaksi yang rendah, stabilitas dan kredibilitas kebijakan). Dengan asumsi serangkaian kondisi tersebut dipenuhi maka penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan OCA di wilayah Asia khususnya antara negara-negara: Indonesia, Singapura, Phillipina dan Thailand (ASEAN4). Secara lebih spesifik permasalahan penelitian ini diselesaikan dengan menjawab tiga pertanyaan, pertama,Apakah terdapat suatu co-movement yang secara statistik berarti pada mata uang negara Asia?; kedua, Apakah sejumlah kriteria yang dirujuk dalam teori OCA seperti perbedaan inflasi, pendapatan nasional, suku bunga dan jumlah uang beredar antar negara dapat digunakan sebagai faktor penjelas dari co-movement mata uang negara Asia tersebut?; dan ketiga, Apakah co-movement mata uang negara Asia tersebut lebih merupakan fenomena pergerakan nilai tukar mata uang global (JPY)? Bagian kedua dari paper ini mengulas tinjauan teori, model teoritis dan beberapa studi literatur utama tentang pembentukan OCA. Bagian ketiga mengulas tentang metodologi khsusunya model empiris yang digunakan untuk menjawab ketiga pertanyaan penelitian yang diajukan. Bagian keempat mengulas hasil dan analisis sementara kesimpulan dan saran kebijakan menjadi penutup.
II. TEORI Pemikiran klasik mengenai penyatuan ekonomi (dalam bentuk penyatuan mata uang) dapat ditelusuri paling tidak sejak John Stuart Mill (1848, hal 176), dimana ia menulis
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
485
≈º..so much barbarism, however still remains in the transactions of most civilized nations that almost all independent countries choose to assert their nationality by having, to their own convenience and that of their neighbours, a peculiar currency of their own.∆ Paradigma pemikiran Mill (yang juga sebagaimana ekonom klasik lainnya) didasarkan pada suatu dunia yang semua aspek ekonominya adalah fleksibel. Dengan demikian sebenarnya suatu goncangan ekonomi dapat diatasi melalui penyesuaian variabel riil (misalnya perpindahan faktor produksi) tanpa melibatkan suatu variabel nominal (misalnya nilai tukar). Sebagai contoh jika di permintaan ekspor negara A turun secara drastis (karena pergeseran pola konsumsi dunia) maka faktor produksi dinegara tersebut dapat digunakan untuk produksi lain (baik dinegara tersebut maupun di negara lainnya) dan dengan demikian terjadi equilibrium baru. Penyesuaian diasumsikan berlangsung seketika (karena absennya hambatan) sehingga suatu deviasi variabel nominal yang substansial tidak akan bertahan lama. Pemikiran yang lebih modern dan komprehensif mengenai teori OCA diuraikan oleh
seminal paper Robert Mundel yang berjudul A Theory Of Optimum Currency Areas pada tahun 1961. Dari sini teori OCA terus berkembang, dimana dengan mengikuti struktur dari Mongeli (2002) ia dapat dibagi dalam beberapa fase, yakni2 : 1. Fase Awal (1960-an s/d awal 1970-an). Fase ini dikarakteristikkan oleh kondisi dunia yang umumnya menganut nilai tukar tetap (Bretton Wood) dan pengawasan devisa. Disini timbul ide-ide yang mempertanyakan manfaat dan biaya antara rezim nilai tukar tetap dan nilai tukar fleksible serta kemungkinan integrasi ekonomi (khususnya di Eropa). Dari periode ini lahir kriteria yang harus dipenuhi agar manfaat integrasi ekonomi (dan penyatuan mata uang) dapat optimal. Mundel (1961), Ingram (1962), McKinon (1963), Kenen (1969), Grubel (1970), Mintz (1970), Fleming (1971) dan Corden (1972) adalah beberapa tulisan awal dibidang OCA. 2. Fase Rekonsiliasi (1970-an). Pada fase ini teori OCA dikembangkan dengan menggunakan kerangka berfikir manfaat versus biaya (lihat Corden, 1972 dan Mundell, 1973). Jika suatu wilayah (atau sekelompok negara) teridentifikasi sebagai OCA maka wilayah tersebut dapat melakukan penyatuan mata uang (kebijakan moneter bersama). Implikasi kebijakan semacam ini akan memberi suatu manfaat namun juga memiliki suatu biaya. Warjiyo (2004) membuat suatu rangkuman atas manfaat dan biaya dimaksud, yang dapat dilihat pada tabel IV.1.
2
Lihat Horvath (2003) dan Hawkins and Mason (2003) untuk suatu survey teori OCA dalam pandangan yang berbeda.
486 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Table IV.1 Manfaat dan Biaya Integrasi Ekonomi Manfaat
Biaya
1. Peningkatan efisiensi mikro karena penggunaan uang yang lebih luas. 2. Perbaikan stabilitas makro dan pertumbuhan karena stabilitas harga dan akses dana yang lebih besar dari integrasi finansial. 3. Positive externality dari biaya transaksi dan cadangan devisa yang lebih rendah serta koordinasi kebijakan yang lebih efektif.
1. Beberapa kelemahan ditingkat mikro terutama pada tahap awal integrasi 2. Terbatasnya pilihan instrumen kebijakan untuk stabilisasi ekonomi makro 3. Permasalahan disiplin: ada insentif bagi negara anggota untuk melakukan deviasi dari traktat ekonomi bersama.
Sumber : Warjiyo (2004)
3. Fase Reassement (1980-an s/d 1990-an). Dilatari oleh laporan ≈One Market, One Money
Report∆ (Emerson et al, 1992), ditemukan beberapa aspek dari teori OCA (yang lama) untuk disesuaikan. Aspek-aspek tersebut meliputi; a. Tidak efektifnya kebijakan moneter terhadap output jangka panjang (fenomena short
run Phillips Curve). Hal ini mengurangi biaya dari hilangnya kebijakan moneter yang independen (akibat integrasi ekonomi). b. Diperlukan kredibilitas yang besar untuk membantu mengurangi biaya pengendalian inflasi didalam negara anggota OCA. c. Penyesuaian nilai tukar tidak efektif didalam mempengaruhi sektor riil. Hal ini disebabkan adanya proses transmisi melalui capital account. d. Dampak mata uang tunggal semakin kecil terhadap pasar tenaga kerja, yang disebabkan desentralisasi negosiasi kontrak ditingkat perusahaan. 4. Fase Empiris (1990-an). Upaya untuk mengoperasionalisasikan OCA semakin meningkat dengan adanya proyek Uni Eropa (dengan mata uang tunggalnya: Euro). Dapat dikatakan Uni Eropa adalah ≈landmark∆ yang sangat penting bagi pengembangan teori OCA. Dalam fase ini, teori OCA berkembang melalui uji empiris terhadap karakteristik dan model teoritis (lihat misalnya Frankel dan Rose (1996), Alesina et al (2002), dan Baele (2004)). Sejalan dengan perkembangan pemikiran OCA, definisi OCA juga berkembang. Definisi terkini dan paling komprehensif diberikan oleh Mongeli (2002) dimana OCA didefinisikan sebagai:
≈Optimal geographic domain of a single currency, or of several currencies, whose exchange rates are irrevocably pegged and might be unified. The single currency, or the pegged currencies can only fluctuate in unison against the rest of the world∆ Dapat dilihat disini, OCA memiliki dua kata kunci, yakni (i) OCA domain yang didefinisikan sebagai negara yang berdaulat yang memilih untuk mengadopsi mata uang tunggal atau
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
487
memberlakukan nilai tukar tetap (terhadap sesama negara angota OCA) yang permanen, (ii)
Optimality, yang didefinisikan sebagai sifat/karakter dimana manfaat penyesuaian ekonomi makro (internal dan eksternal) dari nilai tukar secara sendiri-sendiri (oleh OCA domain) akan berkurang dibandingkan penggunaan mata uang bersama atau nilai tukar bilateral yang bersifat tetap dan permanen. Dengan kata lain, sekelompok negara akan membentuk OCA jika manfaat yang diberikan dari keanggotaan OCA lebih besar dari kerugian karena kehilangan kendali kebijakan moneter. Untuk mencapai optimalitas wilayah mata uang bersama perlu dipenuhi beberapa karakteristik tertentu. Karakteristik ini menunjukkan kondisi yang diperlukan agar manfaat OCA yang diperoleh para anggotanya dapat maksimal. Tabel IV.2 dibawah ini merangkum karakteristik OCA dimaksud (Mongeli, 2002). Table IV.2 Persyaratan Optimum Currency Area No.
Karakteristik OCA
Persyaratan Untuk OCA
1.
Fleksibilitas harga dan upah
Fleksibilitas harga dan upah didalam dan diantara negara OCA memperkecil penyesuaian nilai tukar apabila terjadi kejutan.
2.
Mobilitas faktor produksi
Mobilitas faktor produksi, termasuk tenaga kerja, antar negara OCA memperkecil penyesuaian harga faktor produksi dan nilai tukar terhadap kejutan
3.
Integrasi pasar keuangan
Integrasi finansial dalam bentuk mobilitas modal (FDI, portfolio investment, pinjaman) antar negara OCA memungkinkan penyesuian kejutan melalui aliran modal.
4.
Tingkat keterbukaan ekonomi
Keterbukaan ekonomi antara negara OCA yang tinggi akan memperbesar transmisi harga internasional ke harga domestik
5.
Diversifikasi produksi dan konsumsi
Keberagaman tenaga kerja, sektor ekonomi dan produksi antar negara OCA memperkecil penyesuaian Term Of Trade
6.
Kesamaan tingkat inflasi
Kesamaan inflasi (dalam arti rendah dan stabil) antar negara OCA mendorong stabilitas term of trade dan menyeimbangkan current account.
7.
Integrasi fiscal
Sistem transfer fiskal antar negara OCA memungkinkan distribusi dana ke negara yang membutuhkan.
8.
Integrasi politis
Kemauan politik memperkuat kepatuhan komitmen bersama, kerjasama berbagai kebijakan ekonomi, dan hubungan kelembagaan antar negara OCA.
Sumber : Mongeli (2002)
Pada satu dekade belakangan ini berkembang suatu pemikiran kontemporer didalam teori OCA. Berbeda dengan pola pemikiran sebelumnya dimana wilayah moneter bersama akan optimal jika negara-negara anggotanya memenuhi syarat karakteristik OCA, Frankel dan Rose (1998), justru berpendapat sebaliknya: karakteristik OCA adalah bersifat endogen. Dengan kata lain sekelompok negara dapat saja tidak memenuhi satu-lebih karakteristik OCA ex ante
488 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
tetapi suatu penyatuan moneter akan optimal ex post. Penelitian yang mereka lakukan terhadap dua puluh negara industri memberikan dukungan empiris. Lebih lanjut, Corsetti dan Pesenti (2002) memberikan suatu model formal mengenai aspek ini yang berangkat dari teori keseimbangan umum, dan disebut dengan model self validating OCA.
II.1. Model Teoritis Kerangka teoritis studi ini dibangun dari model pendekatan moneter harga fleksibel (flexible price monetary approach, FLMA)3 . FLMA berawal dari kritik terhadap penentuan nilai tukar yang menggunakan pendekatan flow neraca pembayaran. Mussa (1979) berargumen bahwa penentuan nilai tukar tersebut seharusnya didekati dengan pendekatan harga aset (karena nilai tukar adalah harga relatif mata uang domestik terhadap mata uang lainnya). Jika nilai tukar dipandang sebagai harga aset maka terdapat implikasi berikut (MacDonald, 1988): 1. Faktor ekspektasi akan bersifat penting didalam penentuan nilai tukar. Hal ini terjadi karena daya tahan uang yang cukup tinggi (durability). Dengan demikian perubahan ekspektasi dimasa depan akan mempengaruhi nilai tukar saat ini. 2. Karena aset adalah suatu konsep stok, maka ekuilibrium didefinisikan sebagai situasi dimana stok permintaan mata uang akan sama dengan stok penawaran uang. Dengan demikian
flow neraca pembayaran tidak dapat digunakan dalam penentuan nilai tukar karena ia hanya merupakan situasi disekuilibrium yang bersifat sementara. Ini adalah titik sentral dari pemikiran penganjur pendekatan moneter terhadap nilai tukar. 3. Faktor riil dapat mempengaruhi nilai tukar, namun hanya melalui faktor permintaan uang. 4. Empirical regularities berupa: (1) spot rate dan forward rate memiliki korelasi erat, (2) nilai tukar berperilaku random walk (dari hipotesa efisiensi pasar, lihat Fama (1970)), (3) forward
rate dapat digunakan sebagai ekspektasi nilai tukar dan (4) informasi baru yang relevan akan mengubah nilai tukar saat ini. Sebelum menguraikan model secara mendetail, terlebih dahulu diasumsikan beberapa hal (MacDonald, 1988 dan Gartner, 1993): 1. Ekonomi dunia dibagi dua, yakni domestik dan dunia (world) dengan variabel-variabel makro ekonomi terkait. 2. Small economy, dalam artian nilai variabel ekonomi domestik tidak memiliki dampak bagi perekonomian dunia. 3. Perekonomian domestik dan dunia selalu dalam kondisi full employment. 3
Tulisan Frenkel (1976), Mussa (1976) dan Bilson (1978) dapat dianggap sebagai perintis model FLMA.
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
489
4. Pasar uang dan pasar barang selalu mencapai kondisi ekuilibrium (jika terjadi goncangan). 5. Pasar uang dalam dan luar negeri memiliki karakteristik serupa. 6. Terpenuhinya uncovered interest rate parity. 7. Fleksibilitas harga dan purchasing power parity/PPP berlaku 8. Constant Real Exchange Rate. Konvensi notasi bagi variabel didalam model, adalah y
: pendapatan nasional
r
: suku bunga domestik
y*
: pendapatan dunia
r*
: suku bunga dunia
s
: nilai tukar (dalam X mata uang domestik per mata uang dunia)
M
: penawaran uang domestik
p*
: tingkat harga dunia
M*
: penawaran uang dunia
p
: tingkat harga domestik
g
: pengeluaran pemerintah domestik
•
s
: tingkat depresiasi
semua notasi diatas (kecuali suku bunga) adalah dalam bentuk logaritma natural (y=ln (Y); Y = pendapatan nasional dalam rupiah)4 .
Model FLMA secara sederhana dapat dijabarkan dalam persamaan-persamaan berikut: 1. Persamaan sektor riil (IS Curve):
y = δ ( s + p * − p ) + γy * + βr + g
(IV.1)
dimana δ>0 (Marshall-Lerner Condition terpenuhi), γ>0, β<0 2. Sektor Moneter:
m − p = φy − λr
(IV.2)
m * − p* = φy * −λr *
(IV.3)
dengan asumsi: φ>0, λ>0 (permintaan uang ala Cagan) 3. Pasar Asset (kondisi Uncovered Interest Parity): Untuk memperoleh nilai tukar yang menjamin ekuilibrium di ketiga pasar diatas, dapat dilakukan beberapa operasi matematis sbb: •
r = r * + E (s) 4
(IV.4)
Pemodelan semacam ini memberikan manfaat intrepretasi statika komparatif. Dalam bentuk logaritma natural koefisien yang dihasilkan dari turunan pertama suatu variabel terhadap variabel lainnya adalah suatu elastisitas. Misalnya y = ax, maka d/dx (y) = a d/dx (x) = 1/y y»= a x»/x sehingga a = y»/y : x»/x yang merupakan suatu elastisitas.
490 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
atur kembali persamaan IV.1 sebagai
p − p* = s +
1 ( − y + γy * + β r + g ) δ
(IV.5)
dari persamaan IV.2 dan IV.3, dapat diperoleh
p − p* = m − φy + λr − (m * −φy * +λr*) = (m − m*) − φ ( y − y*) + λ (r − r*)
(IV.6)
Atur kembali persamaan IV.5 dan substitusikan persamaan IV.6
s = ( p − p*) −
1 ( − y + γy * + βr + g ) δ
1 ( − y + γy * + β r + g ) δ 1 γ β g = ( m − m*) − φ ( y − y*) + λ ( r − r*) + y − y * − r − δ δ δ δ 1 − φδ φδ − γ λδ − β g = ( m − m*) + y+ y *+ r − λr * − δ δ δ δ
s = ( m − m*) − φ ( y − y*) + λ ( r − r*) −
(IV.7)
dengan mensubstitusikan persamaan IV.4 kedalam persamaan IV.7 diperoleh • φδ − γ λδ − β g 1 − φδ y+ y *+ ( r * + E ( s )) − λr * − δ δ δ δ • φδ − γ β λδ − β g 1 − φδ (IV.8) = ( m − m*) + y+ y*− r*+ E ( s) − δ δ δ δ δ
s = ( m − m*) +
Dengan asumsi real exchange rate adalah konstan, maka pers diatas dapat ditulis kembali sebagai
(IV.9) Akhirnya karena ekonomi juga diasumsikan dalam kondisi full employment maka ekspektasi inflasi akan sama dengan ekspektasi pertumbuhan uang beredar, atau
(IV.10)
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
491
perilaku nilai tukar dapat diturunkan sebagai berikut: •
•
5 λδ − β dE (m ) ∂s λδ − β dE (m ) ∂s ∂s β =1+ >1 ; = −1 − <0; =− >0 δ dm ∂m δ dm * ∂m * ∂r * δ
∂s 1 =− <0 ∂g δ
(IV.11)
dan
∂s ∂s dan dapat mengambil nilai apapun ∂y ∂y * Model FLMA diatas baru membahas 4 dari 8 karakteristik OCA, yakni Integrasi Pasar Keuangan, Tingkat Keterbukaan Ekonomi, Kesamaan Tingkat Inflasi dan Integrasi Fiskal. Dengan demikian model ini masih belum lengkap. Untuk membahas perilaku nilai tukar terhadap karakteristik OCA yang belum tercakup, model diatas dapat diperluas kembali. Hal ini dilakukan sbb: 1. Penggunaan fungsi produksi Y = F(X) yang merupakan suatu kelas khusus dari fungsi produksi CRTS (Constant Return To Scale), yakni fungsi produksi Cobb-Douglas6 . Dalam bentuk log linear fungsi ini dapat ditulis sebagai n
n
y = ∑ α i xi ;
∑α
i =1
= 1 ;7
i
(IV.12)
i =1
Dimana xi = ln (Xi) 2. Dengan mengasumsikan pula bahwa perusahaan adalah bersifat (1) price taker (berada dalam pasar persaingan sempurna) dan (2) bertujuan tunggal : memaksimumkan keuntungan, maka kita dapat merumuskan permasalahan produsen secara matematis sebagai:
5
Respon nilai tukar terhadap perubahan pertumbuhan jumlah uang beredar lebih dari proporsional (1:1). Hal ini oleh Bilson (1979) disebut dengan magnification effect.
6
Bentuk umum fungsi Cobb-Douglas adalah Y = A
n
n
∏X
αi i
, dengan asumsi CRTS maka:
i =1
αi i
;.
n
Y = A∏ X i
= 1 dan dengan demikian fungsi
∑α
i
=1
i =1
i =1
Bukti:
i
i =1
n
n
∏X
tersebut dapat ditulis kembali sebagai Y = A
7
∑α
αi
; dengan asumsi A = 1 dan dengan mengambil nilai log maka fungsi produksi tersebut dapat ditulis
i =1
n
kembali sebagai ln(Y ) =
∑α
n i
ln( X i ) dimana
i =1
n
logaritma maka
y = ∑ α i xi ; i =1
∑α
i
= 1 . Konsisten dengan konvensi, dimana huruf kecil adalah bentuk
i =1
n
∑α i =1
i
= 1 seperti yang diinginkan.
492 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Min wx x≥0 st f(x) ≥ y
(IV.13)
dimana w: vektor harga input (dan w >> 0), y adalah vektor output yang dikehendaki. Solusi dari masalah ini adalah
w ≥ ë ∇f ( x o )
dan
w − ë ∇f ( x o ) = 0
(IV.14)
Dimana ∆f(x) adalah gradient vector: ∂f ( x ) ∂x Dari solusi ini secara implisit kita dapat mendefinisikan xo sebagai fungsi harga input (w) dan output (y) atau xo = xo(w w,yy)
(IV.15)
3. Dengan mensubstitusikan 15 kedalam 12 maka diperoleh n
n
y = ∑ α i x ( w, y )i ; i =1
∑α
=1
i
(IV.16)
i =1
Atau dalam kondisi optimisasi adalah n
n
y = ∑ α i x ( w) i ; i =1
∑α
=1
i
(IV.17)
i =1
4. Hasil yang terakhir ini dapat disubsitusikan kembali ke persamaan IV.10 dan memberikan
s = ( m − m*) + λδ − β + δ
1 − φδ δ
n
∑αi xi ( w) + i =1
φδ − γ δ
n
∑α *
i
x *i ( w) −
i =1
β r* δ
E ( m) − E ( m *) − g δ •
•
(IV.18)
Persamaan II.18 melengkapi seluruh pembahasan perilaku nilai tukar dari karakteristik n
n
OCA. Seperti yang dapat dilihat disini keberadaan komponen ∑ α i x ( w) i dan ∑ α *i x *i ( w) i =1
i =1
menunjukkan fleksibilitas harga dan upah, mobilitas faktor produksi dan diversifikasi produksi dan konsumsi. Sebagai suatu rangkuman, model yang telah diturunkan diatas dapat diintrepretasikan sebagai berikut: 1. Nilai tukar adalah fungsi yang negatif terhadap selisih jumlah uang beredar dalam negeri dengan luar negeri. Dengan asumsi ekspektasi rasional, magnitude dari variabel selisih jumlah uang beredar akan bertambah lebih besar dari pada kondisi ekspektasi statis. 2. Goncangan pada sisi penawaran (upah, siklus bisnis, hubungan dagang, dsb) memiliki dampak yang tidak dapat ditentukan terhadap nilai tukar. Hal ini merupakan konsekuensi
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
493
logis, mengingat parameter output agregat dari model tidak dapat memiliki tanda tertentu. 3. Peningkatan suku bunga luar negeri akan berdampak negatif terhadap nilai tukar domestik. 4. Dampak dari ekspansi fiskal adalah positif bagi nilai tukar domestik. Kembali perlu ditekankan disini bahwa model ini mengasumsikan dunia yang hanya terdiri dari dua negara, generalisasi lebih lanjut pada kondisi banyak negara perlu memperoleh suatu catatan. Kerangka teori sebagaimana diuraikan diatas adalah valid jika ASEAN4 memiliki mata uang anchor yang sama (misalnya USD atau JPY). Dalam kondisi ini maka yang berperan sebagai pihak luar negeri (variabel dengan *) adalah US atau Jepang. Suatu varian yang menyangkut
anchor ganda (keranjang mata uang) juga dapat diadaptasi sepanjang keranjang mata uang tersebut adalah identik untuk semua negara ASEAN4. Dengan syarat asumsi diatas terpenuhi, model ini dapat menjelaskan pergerakan bersama mata uang ASEAN4 (jika terbukti secara statistik signifikan). Hal ini dapat diuraikan sbb: 1. Notasikan terlebih dahulu sj sebagai nilai tukar negara j (yang diduga merupakan anggota OCA yang terdiri atas n negara) terhadap suatu mata uang yang diduga sebagai benchmark (misalnya USD). 2. Adanya suatu OCA pada kelompok negara ini dapat dikarakteristikkan dengan terpenuhinya persamaan berikut s = w1s1 = w2s2 = … = wnsn
(II.19)
dimana s adalah mata uang bersama OCA yang merupakan fungsi dari mata uang-mata uang anggota OCA (si ; i = 1,2,…,n) dan wi adalah bobot mata uang si didalam s. 3. Apabila mata uang sekelompok negara diduga adalah OCA, maka koefisien wi harus memiliki tanda matematis yang sama (yakni positif). Magnitude dapat berbeda tergantung dari signifikansi ekonomi yang bersangkutan. 4. Implikasi dari FLMA adalah pergerakan variabel ekonomi makro harus konsisten dengan nilai tukar, karena s = w1s1[(m1-m*), (y1-y*), …] = w2s2 [(m2-m*), (y2-y*), …] = … = wnsn [(mn-m*),(yn-y*), …]
(II.20)
Dengan kata lain, kebijakan maupun kondisi ekonomi negara yang tidak konsisten akan berdampak pada keluarnya negara tersebut dari OCA8 . Secara grafis konsep yang baru saja diuraikan diatas dapat dirangkum melalui Grafik IV.1. Seperti yang dilihat disini, seandainya Indonesia mengikatkan diri pada komitmen 8
Seperti yang dilihat nanti, penulis memasukkan variabel inflasi dan suku bunga secara terpisah kedalam model. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah multikolinearitas. Namun demikian seperti yang dapat dilihat pada model formal yang diuraikan disini, inflasi perlu dimasukkan untuk menjadi proxy dari ekspektasi inflasi. Jika ekspektasi adalah sempurna maka dapat diharapkan suatu multikolinearitas sempurna (sangat tinggi), tetapi jika ekspektasi hanya bersifat rasional/adaptif maka multikolinearitas yang terjadi hanya bersifat ringan (dapat diabaikan).
494 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
5100 5050 5000 4950 4900 ACU/IDR Upper Bound Lower Bound
4850 4800 1
3
5
7
9
11 13
15 17
19 21
23
25 Time
Grafik IV.1. Konstruksi Suatu Currency Unit
mata uang bersama ASEAN4 (sebut saja mata uangnya sebagai ASEAN Currency Unit; ACU), maka pergerakan IDR versus ACU harus berada didalam range yang disepakati. Jika IDR bergerak diluar range secara berkelanjutan, maka komitmen (dan kemampuan) IDR untuk tetap menjadi anggota wilayah moneter bersama ASEAN4 akan dipertanyakan. Lebih lanjut sebagai konsekuensi OCA mata uang tersebut harus bergerak searah terhadap mata uang anchor. Penulis akan menjelaskan hal ini melalui suatu illustrasi. Anggap saja Indonesia dan Thailand adalah anggota ACU dengan nilai konversi 1 ACU = IDR 1000 dan 1 ACU = 10 THB. Kedua negara diketahui memiliki anchor terhadap USD dengan nilai tukar 1 USD= IDR 10.000 dan 1USD = 100 THB. Saat ini nilai tukar internal (terhadap ACU) maupun eskternal (terhadap USD) adalah konsisten. Namun seandainya terjadi perubahan terhadap nilai tukar eksternal, khususnya IDR, misalnya menjadi 1 USD = IDR 5000 dan lainnya tetap, maka disini akan terdapat kesempatan arbitrage. Secara eksternal, nilai tukar 1 THB = IDR 50, sedangkan melalui ACU, 1 THB bernilai IDR 100. Keuntungan bebas risiko akan diperoleh dengan jalan membeli THB dengan IDR (melalui USD) dan (secara bersamaan) menjualnya melalui ACU.
II.2. Beberapa Studi Empiris Terdahulu Salah satu studi empiris OCA yang sangat berpengaruh adalah karya dari Frenkel dan Wei (1993). Mereka mencoba melihat keberadaan blok dagang dan blok mata uang berdasarkan teori gravitasi. Teori ini memberikan hipotesis siap uji: intensitas dagang dan keterkaitan mata uang (co movement mata uang) adalah (1) berbanding lurus dengan ukuran ekonomi dan (2) berbanding terbalik dengan jarak. Sampel yang digunakan meliputi 63 negara diberbagai wilayah Dunia (Zona Eropa, Hemisfer Barat dan Asia) dengan berbagai periode observasi yang tidak
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
495
identik. Dengan menggunakan teknik estimasi regresi pada first difference mereka menemukan bahwa mata uang suatu negara umumnya memiliki keterkaitan erat dengan mata uang utama dunia (USD, Yen dan Deustchmark). Untuk wilayah Eropa, Deutschmark adalah dominan sedangkan hemisfer barat dan Asia adalah USD. Suatu studi yang secara lebih khusus mendalami hubungan mata uang diwilayah Asia (yakni IDR, THB, PHP, SGD, KRW, MYR) terhadap dua mata uang utama dunia, yakni USD dan JPY dilakukan oleh Takagi (1996). Ia menggunakan pendekatan deskriptif melalui pengamatan pada episode-episode dimana JPY bergerak fluktatif selama 1980-1995. Disini ia menduga bahwa peran JPY mungkin lebih signifikan dibandingkan estimasi ekonometris (khususnya hasil studi Frankel dan Wei (1993)) tetapi tidak simetris. Saat JPY mengalami tekanan depresiasi, mata uang Asia cenderung mengikuti. Dengan kata lain ada peningkatan bobot JPY pada penentuan nilai tukar mata uang negara Asia, disaat JPY mengalami depresiasi. Takagi (1996) berargumen bahwa hal ini terjadi dalam rangka menjaga agar ekspor tetap kompetitif. Sebaliknya ketika JPY dalam periode ≈tenang∆, bobot lebih banyak pada USD. Yang terakhir ini diduga dalam rangka upaya stabilitas inflasi domestik. Metoda lain didalam menghitung relasi antar mata uang dilakukan oleh Kim dan Ryou (2001). Disini mereka mencoba mengestimasi bobot mata uang utama dunia (USD, JPY dan Deutcshmark) didalam penentuan nilai tukar beberapa negara Asia (yakni Korea, Singapura, Malaysia, Indonesia, Thailand, Philipina, Hongkong dan Taiwan). Bobot tersebut dihitung dengan melakukan regresi OLS antara mata uang i terhadap USD, JPY dan Deutcshmark pada denominator yang sama (Special Drawing Right/SDR). Disini mereka menemukan bahwa negara Asia tidak dapat dikarakteristikkan sebagi suatu blok mata uang tunggal (misalnya terhadap USD atau JPY). Lebih lanjut mereka menduga setting penentuan nilai tukar negara-negara tersebut adalah terhadap suatu keranjang mata uang. Studi-studi diatas umumnya melakukan penelitian terpisah antara co-movement nilai tukar dengan co-movement variabel ekonomi makro lainnya atau hanya mempelajari salah satu aspek saja. Ini adalah suatu kelemahan. Interaksi antara nilai tukar dan variabel ekonomi makro dapat bersifat dua arah, semuanya adalah variabel endogen. Dengan demikian penelitian terhadap co-movement nilai tukar saja tanpa memasukkan variabel ekonomi makro dapat berujung pada masalah mis spesifikasi. Kelemahan lain dari penelitian sebelumnya ada pada aspek metodelogi. Seluruh penelitian empiris yang diberikan diatas diestimasi dengan menggunakan OLS (atau variannya). Penggunaan teknik OLS memiliki beberapa kelemahan, yakni 1. Spurious regression. Umumnya penelitian dilakukan menggunakan data time series. Karakteristik khusus dari data ini adalah adanya fenomena autokorelasi (nilai suatu variabel
496 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
saat ini dapat dijelaskan oleh nilai variabel tersebut pada waktu lampau). Dengan demikian estimasi LS antara dua variabel yang datanya memiliki karakteristik ini dapat menimbulkan masalah regresi palsu (Gujarati, 2003). 2. Endogeneity. Teknik LS mengasumsikan adanya arah hubungan yang jelas. Jadi ketika Y diregresikan terhadap X, maka dalam model tersebut sekaligus diasumsikan bahwa X adalah variabel penjelas dan Y adalah variabel yang dijelaskan. Banyak hubungan antar variabel ekonomi bersifat simultan, sehingga menurut Sims (1980) seharusnya variabel-variabel tersebut diperlakukan pada equal footing. 3. Ad hoc process. Variabel-variabel ekonomi makro biasanya bersifat nonstationary / integrated pada orde 1 atau 2 (Nelson dan Plosser, 1982). Padahal LS hanya valid jika variabel yang digunakan adalah stationary. Untuk mengatasi masalah ini, peneliti-peneliti sebelumnya melakukan perlakuan first differenced. Sims (1980) menentang teknik ini karena beranggapan teknik tersebut dapat membuang informasi berharga pada data. 4. Short term vs long term. Dengan menggunakan teknik LS, hubungan yang diperoleh belum tentu bersifat jangka panjang, bahkan mungkin hanya berlaku pada periode sampel. Dengan demikian untuk diperlukan suatu teknik yang dapat menunjukkan adanya hubungan ekuilibrium dan linear antara variabel-variabel yang nonstationary namun memiliki error yang stationary yang disebut dengan istilah kointegrasi (Enders, 1995). Didalam paper ini, penulis mencoba melakukan beberapa perbaikan berdasarkan kelemahan yang telah diidentifikasi diatas. Perbaikan yang dilakukan meliputi: 1. Pemodelan yang memasukkan co-movement nilai tukar (versus dua anchor currency USD dan JPY) dan sekaligus co-movement variabel ekonomi makro lainnya (yakni tingkat harga, suku bunga, output nasional dan jumlah uang beredar). Namun demikian penulis membatasi bentuk hubungan sebagai nilai tukar adalah variabel dependen dan variabel ekonomi makro sebagai variabel independent (eksogen). Dengan demikian model yang digunakan adalah untuk keperluan (1) identifikasi adanya co-movement nilai tukar dan (2) penggunaan variabel ekonomi makro sebagai variabel kontrol (oleh sebab itu teori OCA adalah valid sebagai penjelas). 2. Perbaikan teknik estimasi, dengan alasan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, paper ini tidak menggunakan OLS. Sebagai penggantinya digunakan teknik ekonometrika yang disebut dengan vector error correction model/VECM (Johansen, 1988)9 .
9
VECM adalah suatu kelas dari Vector Auto Regressive Model yang dikenalkan oleh Sims (1980). Metoda ini adalah pengembangan dari persamaan simultan yang digunakan secara ateoritis.
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
497
III. METODOLOGI Hipotesis penelitian diuji dengan mengestimasi model hubungan antar variabel dalam bentuk vector error correction (VECM) sebagaimana diberikan oleh persamaan IV.21. k −1
∆Yt =
∑ Γ ∆Y i =1
i
t-i
+ ΠYt-k + ΦXt + µ + εt
(IV.21)
Untuk mengestimasi model ini, penulis menggunakan metoda Johansen (1988). Model empiris harus dapat menunjukkan bahwa variabel karakteristik OCA (Xt) berpengaruh penting kepada co-movement mata uang ASEAN4. Hal ini dilakukan dengan mengeluarkan sebagian dari variabel karakteristik OCA sebagai variabel kontrol, yang diasumsikan bersifat eksogen terhadap nilai tukar. Mengingat OCA didefinisikan sebagai suatu wilayah yang penggunaan mata uang bersama akan memberikan hasil yang optimal maka dampak goncangan atau kebijakan terhadap suatu mata uang adalah sama dampaknya terhadap mata uang lain. Sebagai contoh, seandainya Otoritas Moneter Thailand memutuskan untuk menaikkan jumlah uang beredar (ekspansi moneter), hal ini tidak hanya akan melemahkan THB terhadap USD (berdasarkan FLMA), namun juga seluruh mata uang negara ASEAN 4. Ini adalah OCA dalam bentuk yang paling ideal (sebut saja sebagai strong form OCA). Dalam bentuk lemahnya OCA diperkirakan sudah ada, cukup dengan adanya kointegrasi. Hal ini disebabkan terbatasnya variabel karakteristik OCA yang dimasukkan sebagai variabel eksogen/kontrol. Karakteristik ketiga akan secara otomatis terjawab jika hubungan ekuilibrium yang diperoleh memiliki arah yang sama, misalnya IDR = _ SGD; dimana _>0. Bentuk yang paling ketat dari OCA mensyaratkan _ = 1. Namun demikian disini, penulis menilai OCA telah teridentifikasi sepanjang _>0 dan secara statistik signifikan. Selanjutnya penulis juga tertarik untuk mengetahui kemungkinan adanya mata uang anchor lainnya, yang dalam paper ini dipilih JPY. Untuk menghindari kompleksitas representasi, variabel JPY (terhadap USD) digunakan sebagai variabel eksogen. Tentunya jika variabel ini memiliki koefisien yang positif dan signifikan, maka mata uang ASEAN4 juga memiliki anchor terhadap JPY. Adapun variabel-variabel yang digunakan dapat diuraikan sbb1 0: 1. IDR, SGD, PHP dan THB : nilai tukar dengan konvensi 1 USD sama dengan X mata uang domestik. 2. XUS_INFt: selisih inflasi antara ASEAN4 versus US 3. XUS_IRTt: selisih perubahan suku bunga ASEAN4 versus US
10 Variabel yang digunakan adalah dalam bentuk log. Notasi X didepan setiap variabel merujuk pada Indonesia (ID), Singapura(SG), Philipina(PH) dan Thailand(TH) sedangkan t adalah periode.
498 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
4. XUS_GRWt: selisih pertumbuhan GDP riil ASEAN4 versus US 5. XUS_M1Ct: selisih pertumbuhan M1 ASEAN4 versus US 6. JPY_FX: selisih pertama dari log JPY (JPYt - JPYt-1). Jumlah variabel yang digunakan pada studi ini adalah sebanyak 21 variabel. Data memiliki frekuensi bulanan dengan periode observasi meliputi 1997:09 s/d 2005:09 (97 observasi). Pengujian OCA dilakukan secara 2 tahap. Tahap pertama adalah pengujian OCA bivariate yang hanya melibatkan dua mata uang ASEAN 4. Secara keseluruhan terdapat 6 (enam) kombinasi OCA bivariate, yakni: 1. OCA1: variabel endogen: IDR, SGD dan variabel eksogen:IDUS_INF, IDUS_IRT, IDUS_GRW, IDUS_M1C, SGUS_INF, SGUS_IRT, SGUS_GRW, SGUS_M1C dan JPY_FX. 2. OCA2: variabel endogen: IDR, PHP dan variabel eksogen: IDUS_INF, IDUS_IRT, IDUS_GRW, IDUS_M1C, PHUS_INF, PHUS_IRT, PHUS_GRW, PHUS_M1C dan JPY_FX. 3. OCA3: variabel endogen: IDR, THB dan variabel eksogen: IDUS_INF, IDUS_IRT, IDUS_GRW, IDUS_M1C, THUS_INF, THUS_IRT, THUS_GRW, THUS_M1C dan JPY_FX. 4. OCA4: variabel endogen: SGD, PHP dan variabel eksogen: SGUS_INF, SGUS_IRT, SGUS_GRW, SGUS_M1C, PHUS_INF, PHUS_IRT, PHUS_GRW, PHUS_M1C dan JPY_FX. 5. OCA5: variabel endogen: SGD, THB dan variabel eksogen: SGUS_INF, SGUS_IRT, SGUS_GRW, SGUS_M1C, THUS_INF, THUS_IRT, THUS_GRW, THUS_M1C dan JPY_FX. 6. OCA6: variabel endogen: PHP, THB dan variabel eksogen: PHUS_INF, PHUS_IRT, PHUS_GRW, PHUS_M1C, THUS_INF, THUS_IRT, THUS_GRW, THUS_M1C dan JPY_FX. Tahap kedua dilakukan dengan memodelkan secara penuh seluruh 21 variabel di atas yakni: 4 mata uang, 16 variabel eksogen OCA dan JPY_FX (sebut saja sebagai OCA Model Lengkap). Pentahapan ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif terhadap keberadaan OCA di ASEAN4. Jika terdapat konsistensi terhadap keberadaan OCA baik ditingkat bivariate maupun model lengkap, hal ini akan memberikan gambaran yang lebih kuat mengenai bagaimana OCA itu terbentuk. Penggunaan VECM memungkinkan penelitian untuk melakukan estimasi hubungan jangka panjang dan jangka pendek secara sekaligus. Hal ini ditunjukkan dengan terpenuhinya persyaratan berikut: 1. Hubungan yang terbentuk adalah jangka pendek, jika variabel kointegrasi/error correction
term tidak signifikan11. 2. Hubungan yang terbentuk adalah jangka panjang, jika variabel kointegrasi/error correction term adalah negatif dan signifikan. 11 Jika Error Correction Term positif dan signifikan, hubungan yang ada adalah eksplosif dan berarti system tidak konvergen.
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
499
Untuk melakukan estimasi VECM, penulis mengikuti tahapan sebagaimana yang disarankan oleh Enders (1995) dan A.V. Hardiyanto (2004): 1. Uji derajat integrasi masing-masing variabel. Hal ini untuk memastikan bahwa variabelvariabel dalam analisis tidak memiliki orde integrasi yang berbeda. 2. Lakukan pemilihan lag Vektor Auto Regressive berdasarkan lag length criteria. 3. Lakukan pengujian Cointegration Test. 4. Estimasi dan Investigasi hasil proses Vektor Error Correction (VEC) dalam kaitan kriteria
normality dan classical test. 5. Lakukan restriksi dan uji bahwa parameter yang ditemukan telah sesuai dengan hipotesis. Hipotesis penelitian diuji dengan melihat terpenuhi tidaknya karakteristik berikut pada VECM: 1. Adanya pergerakan bersama diantara mata uang ASEAN4. Hal ini ditunjukkan oleh Impact
matrix (P)), dimana koefisien penyesuaian ai adalah negatif dan signifikan. Hal ini berarti terdapat suatu hubungan ekuilibrium jangka panjang serta suatu mekanisme dari mana suatu deviasi hubungan ekuilibrium akan seimbang kembali. 2. Teori OCA dapat menjelaskan co-movement: karakteristik OCA yakni perbedaan inflasi, pendapatan nasional, suku bunga dan jumlah uang beredar antar negara dapat digunakan sebagai faktor penjelas dari co-movement mata uang negara Asia. Hal ini berlaku jika a. Seluruh koefisien selisih tingkat harga ASEAN 4 dengan US adalah positif dan signifikan. b. Seluruh koefisien selisih tingkat bunga ASEAN 4 dengan US adalah positif dan signifikan. c. Seluruh koefisien selisih GDP riil ASEAN 4 dengan US adalah dapat bersifat positif atau negatif yang penting konsistensi arah dan signifikan1 2. d. Selisih koefisien jumlah uang beredar ASEAN 4 dengan US adalah positif dan signifikan. 3. Pengaruh Global: mata uang ASEAN4 memiliki anchor mata uang yang identik (USD, JPY atau USD dan JPY). Hal ini ditunjukkan dengan matriks koefisien hubungan jangka pendek (Gi) dan vektor hubungan kointegrasi (b) yang memiliki tanda koefisien yang sama (yakni positif) dan signifikan. Alternatifnya: jika koefisien tersebut adalah tidak signifikan tetapi koefisien JPY adalah signifikan (dengan mengambil tanda apapun) maka anchor bagi mata uang diwilayah ini adalah JPY. Penolakan terhadap kedua kondisi ini dapat diartikan absennya OCA yang didefinisikan terhadap anchor USD dan/atau JPY. Disisi lain jika kedua anchor
12 Berdasarkan persamaan 10 koefisien dari selisih GDP (ASEAN4 versus US) adalah
1 − φδ φδ − γ y+ y* δ δ
, nilai parameter ini
tidak dapat ditentukan didepan karena besaran _, _ dan φ tidak diketahui. Disini ditekankan pada konsistensi, respon nilai tukar. Jika pada IDR, kenaikan GDP adalah bersifat depresiatif maka pada SGD, THB dan PHP juga harus bersifat depresiatif. 2 Model terbaik yang dianggap mencerminkan persamaan kointegrasi akan dilihat dari nilai kriteria informasi (digunakan AIC dan SIC). Model yang terpilih adalah model dengan nilai kriteria informasi terendah pada lag kointegrasi.
500 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
diatas adalah signifikan maka mata uang ASEAN4 diduga memiliki jangkar terhadap suatu keranjang mata uang dimana baik USD maupun JPY menempati porsi yang dominan. 4. Jika koefisien sebagaimana dimaksud pada poin 1, 2 atau 3 tidak berbeda nyata dari nol atau diperoleh hasil yang divergen, maka disimpulkan persyaratan OCA dari studi ini tidak terpenuhi. Terkait dengan verifikasi hipotesis, disini dapat diberikan suatu catatan sbb: 1. Model bivariat dan model lengkap adalah pentahapan verifikasi hipotesis dengan demikian model bivariate akan menjadi support bagi model lengkap. Dengan perkataan lain, tanda aljabar koefisien dan signifikansi yang diperoleh seharusnya adalah serupa. 2. Apabila terjadi perbedaan antara kedua model dimaksud, maka akan dilihat model dengan ukuran signifikansi statistik yang lebih tinggi baik secara parsial maupun keseluruhan
(goodness of fit). 3. Kesimpulan selanjutnya dilakukan secara statistik. Jika model parsial memiliki ukuran statistik yang lebih baik, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan empiris OCA dilevel ASEAN4 adalah rendah. Dalam hal ini OCA terdefinisi lebih baik secara bilateral. 4. Ketidak sesuaian terhadap hipotesis dipandang sebagai suatu gradasi terhadap persyaratan OCA. Maintained hypotheses adalah terdapat OCA di ASEAN 4. Hipotesis ini memperoleh dukungan paling kuat jika seluruh koefisien memiliki tanda aljabar yang sesuai dan signifikan secara statistik. Semakin banyak tanda aljabar atau koefisien yang tidak signifikan maka semakin besar gradasi deviasi terhadap keberadaan OCA.
IV. HASIL DAN ANALISIS Bagian Hasil dan Analisis akan menguraikan hasil estimasi dan analisa atas temuan empiris. Sub bagian pertama akan dikemukakan hasil pretest dan validasi model yang terdiri atas pengujian stasioneritas dan kointegrasi variabel yang digunakan (termasuk pemilihan lag optimal). Dalam bagian Pre Test dan Validasi Model juga dilakukan uji stabilitas dan pelanggaran asumsi klasik. Pada sub bagian kedua akan dibahas tentang fenomena co-movement yang ditemui serta variabel yang mempengaruhinya. Akhirnya pembahasan akan ditutup dengan suatu pendapat mengenai eksistensi OCA serta evaluasi (assestment) atas pemenuhan persyaratan empiris yang telah diperoleh.
IV.1. Pre Test dan Validasi Model Tabel IV.3 menunjukkan bahwa kecuali IDR, variabel nilai tukar adalah berderajat integrasi 1 (I(1)). Disini kami kira IDR mengalami permasalahan yang disebut near stationary. Seperti
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
501
yang diuraikan Harris (1995), salah satu permasalahan didalam pengujian unit root, adalah rendahnya power dan size dari pada teknik pengujian. Untuk itu tampaknya lebih baik menganggap bahwa sifat data IDR adalah non stationary.
Table IV.3 Pengujian Derajat Integrasi Terhadap Variabel Nilai Tukar No. Variabel 1 2 3 4 5
IDR (Lv) IDR (1d) SGD (Lv) SGD (1d) PHP (Lv) PHP (1d) THB (Lv) THB (1d) JPY (Lv) JPY (1d)
ADF Model
Lag
Constant None Constant None Trend Constant Constant None Constant None
Phillips-Perron t stat
5 4 4 3 1 0 5 4 5 4
-3.76 -4.42 -1.19 -10.32 -2.76 -7.60 -2.05 -4.13 -1.54 -5.58
p value 0.005 0.001 0.677 0.000 0.216 0.000 0.266 0.000 0.507 0.000
Model
Bandwidth
Trend Constant Constant Trend Constant Constant Constant None Constant None
8 12 5 18 1 6 4 22 4 3
t stat -5.04 -7.52 -3.60 -8.48 -2.47 -7.46 -3.21 -7.33 -2.00 -7.44
p value 0.000 0.000 0.008 0.000 0.125 0.000 0.022 0.000 0.284 0.000
Kesimpulan I(0) I(1) I(1) I(1) I(1)
Pengujian terhadap sifat stasionaritas dari variabel eksogen juga menunjukkan bahwa variabel-variabel ini adalah I(1). First differencing telah cukup untuk mengubah sifat data menjadi stasioner (lihat tabel IV.4). Dengan sifat data yang seperti ini, dimana variabel endogen adalah I(1) dan variabel eksogen (first difference form) adalah stasioner, maka penggunaan teknik VECM telah memenuhi persyaratan pertamanya. Disini semua variabel telah memiliki derajat integrasi yang sama. Tahap analisis selanjutnya dilakukan dengan pemilihan lag optimal. Seperti juga uji unit root, lag optimal dipilih dengan terlebih dahulu memilih lag maksimum yang diperkirakan tidak lagi memiliki sifat autokorelasi. Kembali disini digunakan formula dari Said-Dickey (1984), yang memberikan lag maksimum sebanyak 5 (lihat tabel IV.5). Perhitungan kriteria informasi bagi setiap model OCA (bivariat dan model lengkap) menunjukkan lag optimal adalah pada lag ke 5. Pengecualian ada pada bivariat IDR-PHP, yang memberikan preferensi berimbang antara lag ke 4 dan ke 5. Disamping memenuhi syarat optimal, VAR dengan lag terpilih juga memenuhi syarat stabilitas. Lag yang diperoleh sebelumnya akan digunakan sebagai lag terpilih didalam pengujian kointegrasi. Prosedur pengujian kointegrasi dilakukan dengan menggunakan teknik Johansen (1988) yang merupakan uji kointegrasi berbasis VAR. Teknik ini mengunakan reduced rank untuk menentukan jumlah persamaan kointegrasi yang ada pada variabel yang dianalisis.
502 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Table IV.4 Pengujian Derajat Integrasi Terhadap Variabel Eksogen No.
Variabel
1
IDUS_INF (LV) IDUS_INF (1d) SGUS_INF (Lv) SGUS_INF (1d) PHUS_INF (Lv) PHUS_INF (1d) THUS_INF (Lv) THUS_INF (1d) IDUS_IRT(Lv) IDUS_IRT(1d) SGUS_IRT (Lv) SGUS_IRT(1d) PHUS_IRT(Lv) PHUS_IRT(1d) THUS_IRT(Lv) THUS_IRT(1d) IDUS_GRW(Lv) IDUS_GRW(1d) SGUS_GRW (Lv) SGUS_GRW(1d) PHUS_GRW(Lv) PHUS_GRW(1d) THUS_GRW(Lv) THUS_GRW(1d) IDUS_M1C(Lv) IDUS_M1C(1d) SGUS_M1C (Lv) SGUS_M1C(1d) PHUS_M1C(Lv) PHUS_M1C(1d) THUS_M1C(Lv) THUS_M1C(1d)
2
3
4
ADF Model
Lag
Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant
Phillips-Perron t stat
4 3 1 5 0 5 2 5 0 1 0 5 1 3 1 4 3 5 5 5 5 2 5 5 0 4 0 4 0 5 3 1
-3.75 -12.15 -9.65 -8.32 -7.56 -7.40 -4.05 -6.67 -4.09 -9.57 -6.46 -6.55 -5.86 -7.65 -4.76 -6.76 -3.10 -8.23 -5.50 -7.64 -5.40 -18.94 -10.83 -10.91 -9.99 -7.86 -12.47 -7.41 -10.18 -7.10 -4.19 -12.44
p value 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Model
Bandwidth
Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant Constant
9 65 4 18 4 50 2 54 1 9 2 20 4 15 4 15 94 20 10 41 32 20 1 2 2 57 2 23 6 31 5 3
t stat -3.92 -22.40 -13.14 -46.67 -7.52 -43.70 -7.14 -29.47 -4.05 -13.09 -6.47 -27.68 -9.68 -42.68 -7.45 -27.75 -5.32 -20.36 -10.07 -14.77 -7.26 -20.52 -4.51 -10.66 -9.99 -80.84 -12.59 -63.37 -10.32 -56.06 -9.14 -21.74
p value 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Kesimpulan I(0) I(0) I(0) I(0) I(0) I(0) I(0) I(0) I(0) I(0) I(0) I(0) I(0) I(0) I(0) I(0)
Hasil pengujian kointegrasi sensitif terhadap komponen deterministik yang diasumsikan pada model (Johansen, 1995). Terdapat 5 jenis model dengan komponen deterministik yang dipertimbangkan, yakni13 : 1. Data tidak memiliki trend deterministik dan persamaan kointegrasi tidak memiliki intersep. 2. Data tidak memiliki trend deterministik dan persamaan kointegrasi memiliki intersep. 3. Data memiliki trend linier dan persamaan kointegrasi hanya memiliki intersep. 4. Data dan persamaan kointegrasi memiliki trend linier. 5. Data memiliki trend kuadratik dan persamaan kointegrasi memiliki trend linier. 13 Model terbaik yang dianggap mencerminkan persamaan kointegrasi akan dilihat dari nilai kriteria informasi (digunakan AIC dan SIC). Model yang terpilih adalah model dengan nilai kriteria informasi terendah pada lag kointegrasi.
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
503
Table IV.5 Pemilihan Lag Optimal dan Syarat Stabilitas No.
Tipe OCA
1 2
IDR-SGD IDR-PHP
3 4 5 6 7
IDR-THB SGD-PHP SGD-THB PHP-THB Model Lengkap
Lag Optimal 5 5 4 5 5 5 5 5
Kriteria
Stabilitas
LR, FPE, AIC, HQ FPE, AIC LR, HQ LR, FPE, AIC, HQ LR, FPE, AIC, HQ LR, FPE, AIC, HQ LR, FPE, AIC LR, FPE, AIC
Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya
Table IV.6 Uji Kointegrasi Johansen (1988) pada model OCA ASEAN4 No. 1 2
OCA
Model 2 AIC
AIC
Model 3 AIC
3 4 5 6
IDR-SGD IDR-PHP (lag 5) IDR-PHP (Lag 4) IDR-THB SGD-PHP SGD-THB PHP-THB
-9.8943 -8.7211* -8.5005* -9.0973* -12.0247 -12.4584* -11.0815
-9.0666 -8.0313* -7.9249* -8.4075* -11.4729 -11.7686* -10.3917*
-9.8943 -8.707 -8.4999 -9.078 -12 -12.4366 -11.0917*
7
Model Lengkap
-21.8359*
-19.3802*
-21.7763
SIC
Jumlah Pers Terkointegrasi Test Statistik
-9.0666 -7.9896 -7.8967 -8.3606 -11.393 -11.7192 -10.3743
(Trace=2; Max Eigen=2) (Trace=1; Max Eigen=1) (Trace=1; Max Eigen=1) (Trace=1; Max Eigen=1) (Trace=0; Max Eigen=0) (Trace=1; Max Eigen=1) Model 2: (Trace=0; Max Eigen=0) Model 3: (Trace=1; Max Eigen=0) -19.2378 Model 2: (Trace=1; Max Eigen=1) Model 3: (Trace=2; Max Eigen=1)
* model terpllih
Seperti yang dapat dilihat pada tabel IV.6, kecuali pada bivariat SGD-PHP, uji kointegrasi Johansen (1988) menunjukkan hasil yang signifikan. Disini paling tidak terdapat satu persamaan terkointegrasi pada bivariate: IDR-PHP, IDR-THB, SGD-THB dan model lengkap. Uji kointegrasi memberikan hasil yang lemah untuk pasangan PHP-THB dan negatif untuk SGD-PHP. Sedangkan untuk model lengkap, pengujian secara konklusif menunjukkan paling tidak terdapat satu persamaan kointegrasi. Hasil ini memberikan indikasi awal dukungan bagi hipotesis adanya OCA diwilayah ASEAN 4. Meskipun demikian kesimpulan yang lebih tegas masih harus diperoleh melalui keberadaan mekanisme error correction yang signifikan. Kecuali bivariat PHP-THB, semua model OCA bivariat memiliki tingkat model goodness
of fit (R2) yang moderat (0.5 s/d 0.65) (lihat tabel IV.7). Tingkat goodness of fit yang tertinggi dimiliki oleh bivariat IDR-THB sebesar 0.66. Yang terendah dimiliki oleh IDR-PHP (lag 4), dengan nilai R2 sebesar 0.58. Disini variabel independen secara bersama menjelaskan 50%-65% variasi yang terjadi pada variabel dependen. OCA model lengkap memiliki goodness of fit yang lebih
504 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Table IV.7 Goodness Of Fit Model OCA No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Tipe OCA IDR-SGD IDR-PHP (lag 4) IDR-PHP (Lag 5) IDR-THB SGD-PHP SGD-THB PHP-THB Model Lengkap
R2
F Stat
AIC
SIC
0.61 0.58 0.65 0.66 0.64 0.64 0.34 0.78
5.88 6.01 6.98 7.11 6.69 6.27 1.93 5.22
-2.90 -2.87 -3.01 -3.02 -6.43 -6.41 -5.14 -3.10
-2.34 -2.37 -2.45 -2.47 -5.88 -5.83 -4.59 -2.05
tinggi dari model bivariat. Disini nilai R2 adalah sebesar 0.78, secara signifikan diatas seluruh nilai OCA bivariat.
IV.2. Co-Movement Mata Uang ASEAN dan Faktor Penentunya Dari tabel IV.8 terlihat bahwa hanya 14 dari 88 (16%) koefisien yang diestimasi lulus dari uji signifikansi parsial pada a = 5%. Hal ini merupakan indikasi awal dari lemahnya dukungan data terhadap keberadaan co-movement yang berarti secara statistik. Tanda aljabar pada koefisien co-movement jangka pendek tidak homogen. Keadaan seperti ini tidak sejalan dengan hipotesis, dimana dalam jangka pendek sekalipun diharapkan agar mata uang bergerak searah (dan dengan demikian memiliki koefisien yang positif). Pada Table IV.8 Koefisien Co-movement Jangka Pendek (t statistik didalam kurung) No.
Tipe OCA
1
IDR-SGD (D(IDR))
2
IDR-PHP Lag 4 (D(IDR)) IDR-PHP Lag 5 (D(IDR))
3
IDR-THB (D(IDR))
4
SGD-PHP (D(SGD))
5
SGD-THB (D(SGD))
6
PHP-THB (D(PHP))
7
Model Lengkap (D(IDR))
D(IDR(-1)) D(IDR(-2)) D(IDR(-3)) D(IDR(-4)) D(IDR(-5)) D(SGD(-1)) D(SGD(-2)) D(SGD(-3)) D(SGD(-4)) D(SGD(-5))
0.1428 0.0665 -0.0773 [1.1984] [0.6947] [-0.8249] 0.0113 -0.0334 -0.0467 [0.1175] [-0.3939] [-0.5454] 0.1507 0.0432 -0.0704 [1.5137] [0.5014] [-0.8708] 0.1581 -0.0739 -0.0666 [1.4844] [-0.6798] [-0.6667] 0.1988 -0.1137 -0.0832 [1.6803] [-0.9705] [-0.7294]
0.0498 0.0941 -0.0972 [0.5871] [1.0926] [-0.1732] 0.0742 [0.9585] 0.1024 0.0348 [1.3892] [0.4682] 0.1451 -0.156 [1.5273] [-1.6545] - 0.01789 - [0.2002] 0.112 - [1.0325] 0.1157 -0.1942 -0.0593 [1.0400] [-1.7041] [-0.0743]
-0.5629 -0.8789 -0.9344 -0.0633 [-0.9954] [-1.5325] [-1.683] [-0.1147] -0.1392 -0.0645 -0.0597 -0.0325 [-1.5561] [0.0862] [-0.7334] [-0.3881] -0.3001 -0.0032 0.0957 0.0749 [-2.7131] [-0.0286] [0.8865] [0.6837] -0.501 0.0378 1.4449 0.3633 [-0.6792] [0.0453] [2.0682] [0.5058]
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
505
Table IV.8 (Lanjutan) Koefisien Co-movement Jangka Pendek (t statistik didalam kurung) No.
Tipe OCA
1
IDR-SGD (D(IDR))
2
IDR-PHP Lag 4 (D(IDR)) IDR-PHP lag 5 (D(IDR))
3
IDR-THB (D(IDR))
4
SGD-PHP (D(SGD))
5
SGD-THB (D(SGD))
6
PHP-THB (D(PHP))
7
Model Lengkap (D(IDR))
D(PHP(-1)) D(PHP(-2)) D(PHP(-3)) D(PHP(-4)) D(PHP(-5)) D(THB(-1)) D(THB(-2)) D(THB(-3)) D(THB(-4)) D(THB(-5))
-0.5431 [-1.5639] -0.165 [-0.4867] 0.01923 [0.3021] 0.3174 [2.4877] -0.7742 [-1.7848]
-0.1261 [-0.3781] -0.2186 [-0.6500] -0.1092 [-1.9025] -0.0943 ][-0.7277] -0.2095 [-0.5340]
-0.8632 [-2.6815] -0.6699 [-2.1834] -0.0829 [-1.4239] 0.0013 [0.0098] -0.2714 [-0.6612]
-0.7693 [-2.2665] -0.7491 [-2.3654] -0.0472 [-0.8419] -0.1457 [-1.1328] -0.5506 [-1.3721]
0.6855 [1.9922] - -0.0395 0.4991 -0.5733 -0.7511 0.8182 - [-0.1214] [1.4577] [-2.2427] [-2.9383] [2.8642] 0.0061 [0.1082] - -0.0468 0.0318 -0.1081 -0.1165 -0.0414 - [-0.8009] [0.5850] [-2.0400] [-2.2324] [-0.7796] 0.1712 0.1194 -0.0211 -0.0369 0.1093 -0.1213 [1.3600] [1.085] [-0.2225] [-0.4090] [1.2422] [-1.4219] 0.08764 0.4888 0.7178 -0.4772 -1.0004 0.6205 [0.2174] [1.0032] [1.5312] [-1.1365] [-2.6631] [1.4401]
beberapa bivariate tertentu koefisien-koefisien co-movement jangka pendek yang signifikan justru bernilai negatif (lihat misalnya OCA IDR-PHP lag 5 koefisien D(PHP(-3)) yang bernilai 0.6699) . Kecenderungan yang disebutkan diatas berlaku baik pada OCA bivariate maupun OCA model lengkap. Dengan demikian dapat dikatakan estimasi bagi persamaan jangka pendek tidak mendukung adanya co-movement. Dari tabel IV.9. keberadaan mekanisme penyesuaian (error correction term) pada bivariat SGD-THB dan PHP-THB tidak memperoleh dukungan data. Hal ini terlihat dari rendahnya statistik
t koefisien error correction/cointegrating term yang bernilai hanya (masing-masing) -0.5004 dan -1.2001 yang jauh dibawah t kritis pada level of significance yang standar (5% dan/atau 1%). Hasil ini agak bertentangan dengan hasil pengujian kointegrasi yang menunjukkan paling tidak ada 1 (satu) persamaan terkointegrasi (lihat tabel IV.6). Disisi lain hasil estimasi bivariat SGD-PHP adalah tidak konsisten dengan uji kointegrasi. Nilai koefisien kointegrasi yang negatif dan signifikan bertentangan dengan hasil uji kointegrasi (statistik Trace dan Max-Eigen) yang meunjukkan 0 (nol) hubungan kointegrasi. Paper ini menggunakan pendekatan yang agak konservatif. Hasil yang cenderung kontradiktif pada tiga bivariat diatas mendorong penulis untuk mengambil kesimpulan tidak adanya hubungan ekuilibrium pada bivariat mata uang Singapura √ Thailand (SGD-THB), Singapura √ Philipina (SGD-PHP) dan Philipina-Thailand (PHP-THB).
506 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Table 9 Koefisien Co-movement Ekuilibrium, Koreksi Kesalahan dan Variabel OCA (t statistik didalam kurung) No.
Tipe OCA
Cointegrating Equation IDR
SGD
1
IDR-SGD
1
2
IDR-PHP(lag 4)
1
3
IDR-PHP(lag 5)
1
4
IDR-THB
1
5
SGD-PHP
6
SGD-THB
7
PHP-THB
8
Model Lengkap
1 -
PHP
THB
COINT TERM
-0.8769 - -0.2657 [-1.1715] - [-3.8786] - -0.3757 - -0.3138 - [-2.8848] - [-4.2400] -0.367 -0.335 - [-3.059] - [-4.5047] - -1.0615 -0.2893 - [-2.8546] [-3.8595] 1 0.5468 -0.029 - [2.3807] - [-2.7646] 1 - -0.6633 -0.0211 - [-5.9703] [-0.5004] 1 -4.0494 -0.0127 [-3.7281] [-1.2001] 2.4204 -0.1709 -1.9277 -0.3563 [3.3525] [-1.5639] [-3.6049] [-3.207]
Eksogen IDUS_INF IDUS_IRT IDUS-GRW IDUS_M1C SGUS_INF SGUS_IRT 0.9437 [1.8748] 1.6684 [3.2020] 1.7442 [3.3681] 1.4855 [2.7707] 1.809 [2.9445]
0.179 [2.1899] 0.2237 [2.8359] 0.1499 [1.8919] 0.0387 [0.4921] 0.0972 [0.9962]
0.6722 [1.5189] 0.2981 [0.4478] 0.3728 [0.5300] 0.0999 [0.2408] 0.0148 [0.0198]
0.4859 [2.6415] 0.6614 [3.6140] 0.4186 [2.3139] 0.3807 [2.1956] 0.4566 [2.3692]
-3.3066 -0.0159 [-2.5947] [-0.1940] -0.3414 0.0107 [-1.5960] [0.8596] -0.4413 0.0279 [-1.8344] [2.2656] -2.2786 0.1101 [-1.6799] [1.2972]
Lanjutan No.
Tipe OCA
1
IDR-SGD
2
IDR-PHP(lag 4)
3
IDR-PHP(lag 5)
4
IDR-THB
5
SGD-PHP
6
SGD-THB
7
PHP-THB
8
Model Lengkap
Eksogen SGUS-GRW SGUS_M1C PHUS_INF PHUS_IRT PHUS-GRW PHUS_M1C THUS_INF THUS_IRT THUS-GRW THUS_M1C JPY_FX 0.4466 -0.4181 [0.7320] [-1.7001] -0.82 - [-0.8346] - -1.2067 - [-1.2934] -0.0597 0.0211 0.0143 [-0.4695] [0.4958] [0.0883] 0.0106 0.0168 [0.1023] [0.3844] - 0.1266 - [0.4384] 0.5088 -0.6607 -0.6794 [0.6473] [-2.4424] [-0.6773]
0.0395 0.1102 -0.1086 [0.9461] [0.4719] [-0.5656] 0.0262 0.1582 -0.0649 [0.6744] [0.6696] [-0.3472] 0.5465 -0.0015 -0.4884 -0.0389 - [0.3569] [-0.0221] [-1.346] [-0.2507] 0.0133 0.0422 0.0115 [1.9096] [1.3503] [0.3610] 0.0859 -0.0128 -0.0047 0.0426 - [0.2659] [-1.1746] [-0.0774] [1.5405] 0.0063 0.0147 -0.0084 -0.5296 -0.0033 0.0811 0.0803 [0.4638] [0.2925] [-0.1263] [-1.0422] [-0.1685] [0.6795] [1.3817] [0.0719] -0.2894 0.1887 1.1167 -0.1289 -0.1309 -0.1979 [1.728] [-0.9515] [0.9499] [0.5940] [-1.7411] [-0.3052] [-0.1709]
0.4946 [1.9843] 0.5607 [2.2329] 0.383 [1.5815] 0.3524 [1.4925] 0.2945 [7.2381] 0.3036 [6.7928] 0.2097 [2.7799] 0.3006 [1.1183]
Sedangkan untuk bivariat yang lainnya yakni pasangan mata uang Indonesia-Singapura (IDR-SGD), Indonesia-Philipina (IDR-PHP) dan Indonesia-Thailand (IDR-THB) serta model lengkap, kita dapat menerima hipotesis adanya co-movement yang berarti. Untuk model-model ini, koefisien kointegrasi telah sesuai dengan hipotesis dan signifikan pada level standar. Dengan demikian untuk pasangan mata uang ini, representasi error correction dapat dikatakan valid.
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
507
Umumnya koefisien persamaan ekuilibrium yang diperoleh dari estimasi OCA bivariat telah memenuhi hipotesis (koefisien persamaan ekuilibrium adalah positif). Terdapat pengecualian pada bivariat SGD-PHP dimana koefisien yang diperoleh justru negatif, dalam hal ini SGD = -0.5468 PHP. Dengan kata lain nilai tukar SGD (terhadap USD) adalah turun (menguat) ketika PHP meningkat (melemah). Hal ini berbeda dengan hipotesis yang mengharapkan hubungan dengan tanda koefisien yang sama. Sedangkan untuk bivariat IDR-SGD, koefisien hubungan jangka panjang tidak signifikan.
Magnitude OCA bivariat cukup bervariasi. IDR-THB misalnya nyaris berkorespondensi satu-satu. Satu persen kenaikan (penurunan) nilai tukar IDR akan diikuti pula oleh satu persen kenaikan (penurunan) nilai THB. Respon terbesar diberikan oleh bivariat PHP-THB sebesar 4.0494 sedangkan yang terkecil adalah IDR-PHP sebesar 0.3737. Pada OCA model lengkap hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan hipotesis. Disini tanda koefisien PHP dan THB adalah positif (yakni 0.17 dan 1.93), namun demikian koefisien PHP tidak signifikan pada level standar. Sedangkan koefisien SGD justru memiliki tanda yang berlawanan dengan hipotesis. Dengan memperhitungkan PHP dan THB, 1% kenaikan (pelemahan) SGD terhadap USD diikuti dengan penguatan IDR sebesar 2.42%. Pada OCA bivariat dimana IDR merupakan variabel tergantung, umumnya tanda koefisien variabel kontrol sendiri1 4 telah sesuai dengan hipotesis dan memiliki tingkat signifikansi yang memadai. Sebagai contoh OCA bivariat IDR-SGD, baik variabel selisih suku bunga dan jumlah uang beredar (terhadap US) memiliki pegaruh yang positif terhadap nilai tukar dan signifikan pada _ yang standar. Variabel kontrol lain pada OCA bivariat ini memiliki koefisien yang sesuai hipotesis meskipun tingkat signifikansi yang harus digunakan adalah agresif (>10%). Pengecualian ada pada variabel selisih pertumbuhan, dimana tidak ada satupun OCA bivariat dimana variabel ini adalah signifikan. Pada OCA bivariat lainnya, beberapa koefisien variabel kontrol sendiri memiliki tanda yang salah (lihat misalnya variabel SGUS_INF pada OCA bivariat SGD-PHP dan PHPUS_M1C pada OCA bivariat PHP-THB). Signifikansi koefisien umumnya tidak memadai. Hal ini dapat dilihat misalnya pada OCA bivariat SGD-PHP, dimana tidak satupun variabel kontrol sendiri dapat dikatakan signifikan pada level standar. Satu-satunya OCA bivariat diluar IDR yang memiliki koefisien variabel kontrol sendiri yang signifikan adalah SGD-THB (yakni SGUS_IRT).
14 Yang dimaksud dengan variabel kontrol sendiri adalah variabel eksogen (yang diturunkan dari teori pendekatan moneter) yang terkait dengan variabel tergantung pada hubungan ekuilibrium (persamaan terkointegrasi). Sebagai contoh variabel kontrol sendiri pada OCA bivariat IDR-SGD adalah seluruh variabel eksogen IDUS_X dimana X adalah tingkat inflasi (INF), suku bunga (IRT), pertumbuhan (GRW) dan jumlah uang beredar (M1C).
508 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Tanda koefisien dari variabel kontrol asing1 5 secara umum adalah tidak konsisten dengan hipotesis. Pada beberapa OCA bivariat dan variabel tertentu tanda telah sesuai dengan hipotesis, lihat misalnya THUS_INF pada OCA IDR-THB. Disisi yang lain tanda variabel justru berlawanan dengan hipotesis, ini terjadi misalnya pada OCA bivariat SGD-THB (variabel THUS_IRT). Disamping itu persyaratan signifikansi koefisien variabel kontrol asing umumnya tidak tercapai (pada level standar). Suatu pengecualian adalah pada variabel SGUS_INF pada OCA bivariat IDR-SGD yang signifikan pada _ = 5%. Pada model lengkap, dimana IDR adalah variabel dependen pada persamaan ekuilibrium, variabel kontrol sendiri: IDUS_INF dan IDUS_M1C, telah memiliki tanda yang sesuai dengan hipotesis dan signifikan pada level standar (masing-masing 1% dan 5%). Variabel lain (IDUS_IRT dan IDUS_GRW) juga memiliki tanda yang telah sesuai dengan hipotesis tetapi tidak signifikan. Sedangkan tanda variabel kontrol asing adalah tidak konsisten dengan hipotesis. Pada beberapa variabel misalnya PHUS_M1C dan THUS_INF, dampak perubahan telah sesuai dengan yang diharapkan. Namun hal sebaliknya terjadi pada beberapa variabel lain, misalnya SGUS_M1C dan THUS_M1C yang kontradiksi dengan hipotesis. Disini kecuali variabel SGUS_M1C, variabel kontrol asing adalah tidak signifikan pada _ = 5%. Tanda koefisien variabel eksogen nilai tukar JPY (terhadap USD) adalah positif pada semua OCA bivariat. Hal ini telah sesuai dengan hipotesis. Pada beberapa OCA bivariat (IDR-SGD, IDRPHP(lag=4), SGD-PHP, SGD-THB dan PHP-THB, koefisien yang diperoleh adalah signifikan pada _ yang standar (5%). Sedangkan pada OCA bivariat IDR-PHP (lag=5) dan IDR-THB, variabel eksogen JPY tampaknya tidak memiliki pengaruh penjelas yang signifikan. Respon terbesar dari perubahan JPY dimiliki oleh bivariat IDR-PHP (sebesar 0.5607), sedangkan yang terkecil (dengan tetap memperhatikan signifikansi koefisien) dimiliki oleh bivariat PHP-THB (sebesar 0.2097). Pada OCA model lengkap, dampak JPY adalah konsisten dengan OCA dilevel bivariat. Namun demikian variabel JPY pada OCA model lengkap adalah tidak signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan dengan mempertimbangkan seluruh co-movement, tidak ada alasan untuk menerima bahwa hubungan ekuilibrium dapat dijelaskan oleh pergerakan JPY.
15 Variabel kontrol asing adalah variabel eksogen yang terkait dengan variabel bebas yang terletak pada sisi sebelah kanan persamaan terkointegrasi. Pada OCA bivariat IDR-SGD, variabel ini adalah seluruh variabel eksogen SGUS_X dimana X adalah tingkat inflasi (INF), suku bunga (IRT), pertumbuhan (GRW) dan jumlah uang beredar (M1C).
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
509
IV.3. Eksistensi OCA dan Assessment Persayaratannya Dari hasil estimasi VECM maupun uji kointegrasi yang telah dilaporkan diatas tampaknya suatu co-movement dalam bentuk yang kuat diwilayah Asia Tenggara tidak dapat didukung oleh data. Hal ini terlihat dari (1) lemahnya signifikansi dari koefisien-koefisien co-movement persamaan jangka pendek dan (2) divergennya hasil estimasi error correction term dan koefisien
co-movement jangka panjang. Lemahnya signifikansi koefisien persamaan jangka pendek menunjukkan rendahnya kemampuan interaksi diantara mata uang ASEAN 4 yang diamati. Namun demikan cukup mengherankan, disini koefisien error correction term ternyata memiliki kinerja yang relatif lebih baik. Intrepetasi ekonomi dari hal ini adalah bahwa meskipun interaksi antar mata uang ASEAN4 dalam jangka pendek adalah lemah (mereka bergerak secara independen), namun terdapat suatu mekanisme koreksi jika mereka berada diluar paritas. Ditinjau dari persamaan jangka panjang, dugaan suatu co-movement pada mata uang ASEAN 4 memiliki dukungan data yang lebih kuat dibandingkan persamaan jangka pendek. Disini tingkat signifikansi yang cukup baik diperoleh bagi koefisien co-movement ekuilibrium bagi OCA bivariat: IDR-SGD, IDR-PHP, IDR-THB dan OCA lengkap. Sedangkan pada OCA bivariat: SGD-THB, PHP-THB dan SGD-PHP, keberadaan fenomena ini tidak memiliki signifikansi yang diperlukan. Lebih lanjut dengan melihat OCA bivariat dimana IDR adalah variabel dependen, maka adanya co-movement bagi mata uang ASEAN 4 dengan mata uang jangkar USD adalah valid. Beberapa hubungan ekuilibrium yang dapat diuraikan untuk menjustifikasi hal ini adalah a. IDR-SGD, setiap apresiasi/depresiasi sebesar 1% pada SGD (terhadap USD) akan disertai dengan apresiasi/depresiasi sebesar 0.88%16 pada IDR. b. IDR-PHP, setiap apresiasi/depresiasi sebesar 1% pada PHP (terhadap USD) akan disertai dengan apresiasi/depresiasi sebesar 0.37%(lag 5)-0.38%(lag4) pada IDR. c. IDR-THB, setiap apresiasi/depresiasi sebesar 1% pada THB (terhadap USD) akan disertai dengan apresiasi/depresiasi sebesar 1.06% pada IDR. Pengembangan OCA bivariat lebih lanjut dengan memasukkan mata uang ASEAN 4 lainnya secara lengkap juga memberikan dukungan terhadap keberadaan co-movement nilai tukar. Untuk model lengkap intrepretasi parsial1 7 hubungan yang berlaku adalah apresiasi/ depresiasi pada PHP sebesar 1% akan disertai dengan apresiasi/depresiasi sebesar 0.17% pada 16 Namun demikian koefisien SGD pada persamaan ekuilibrium tidak signifikan. 17 Intrepretasi parsial khususnya berlaku terhadap suatu persamaan regresi bervariabel lebih dari dua. Dimaksud parsial adalah dampak yang hendak diamati terhadap variabel terikat adalah akibat perubahan satu variabel bebas dengan mengasumsikan variabel bebas lainnya adalah konstan.
510 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
IDR. Sedangkan apresiasi/depresiasi THB sebesar 1%, akan memberikan dampak sebesar 1.93% pada apresiasi/depresiasi IDR. Suatu pengecualian ada pada SGD karena karena arah pergerakan yang dimilikinya adalah berlawanan (dan signifikan). Disini 1% apresiasi/depresiasi SGD akan diikuti oleh depresiasi/apresiasi IDR sebesar 2.42%. Dari representasi error correction, dapat diturunkan lamanya proses penyesuaian terhadap disekuilibrium bagi setiap pasangan mata uang sebagai berikut: 1. IDR-SGD = 3.77 bulan (setiap bulan terjadi penyesuaian sebesar 26.57% dari kondisi disekuilibrium) 2. IDR-PHP (lag 4)= 3.19 bulan (setiap bulan terjadi penyesuaian sebesar 31.38% dari kondisi disekuilibrium) 3. IDR-PHP (lag 5)= 2.99 bulan (setiap bulan terjadi penyesuaian sebesar 33.35% dari kondisi disekuilibrium) 4. IDR-THB = 3.46 bulan (setiap bulan terjadi penyesuaian sebesar 28.93% dari kondisi disekuilibrium) 5. Model lengkap= 2.78 bulan (setiap bulan terjadi penyesuaian sebesar 35.63% dari kondisi disekuilibrium) Sekilas dari analisis ini terlihat kemungkinan adanya co-movement yang secara statistik signifikan di antara beberapa mata uang ASEAN4. Mata uang yang menjadi acuan adalah USD. Temuan ini mendukung hasil studi Frankel dan Wei (1994) yang menduga wilayah Asia adalah memiliki acuan terhadap USD. Orientasi penetapan nilai tukar yang cenderung pada USD ini kuat diduga dalam rangka mengendalikan inflasi (cost push inflation). Lebih lanjut keberadaan co-movement ini juga dapat diduga dipengaruhi oleh mata uang diluar USD, dimana dalam paper ini diajukan alternatif JPY. Seperti yang dilaporkan pada bagian sebelumnya, keseragaman koefisien (serta cukup baiknya signifikansi) variabel JPY pada seluruh OCA (baik bivariat maupun lengkap) memperkuat dugaan ini. Positifnya hubungan antara mata uang ASEAN4 dengan JPY telah menyebabkan dugaan pergeseran hubungan antara negara diwilayah ini dengan Jepang menjadi rival (terutama dalam aspek perdagangan). Implikasi lebih jauh adalah kemungkinan adanya nilai tukar jangkar berupa suatu keranjang mata uang, dimana baik USD maupun JPY adalah komponen dominan. Hal ini memperkuat temuan empiris yang dilakukan oleh Kim dan Ryou (2001). Peran dominan JPY ini sebenarnya telah terindikasi oleh Frankel pada suatu studinya di tahun 1992, dimana karena faktor ekonomi dan non ekonomi (agenda dari Washington) diperkirakan peran Jepang diwilayah Asia akan semakin meningkat.
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
511
Sebagai suatu kesimpulan dapat dinyatakan disini bahwa keberadaan co-movement diantara mata uang ASEAN4 tidak didukung secara kuat oleh data. Hal ini disebabkan (1) lemahnya signifikansi pada koefisien co-movement jangka pendek dan (2) tidak homogennya tanda koefisien koreksi kesalahan dan co-movement jangka panjang. Namun demikian, studi ini telah mengungkapkan suatu kemungkinan bagi keberadaan OCA. Hal ini ditunjukkan oleh homogennya tanda koefisien JPY (dengan signifikansi yang moderat). Studi lebih lanjut dengan menggunakan suatu jangkar komposit mungkin dapat lebih baik mengungkapkan keberadaan OCA. Beberapa hal yang diduga menyebabkan gagalnya variabel pendekatan moneter berperan sebagai variabel kontrol pada beberapa model OCA adalah 1. Restriksi antar negara yang tidak valid, asumsi kesamaan fungsi permintaan uang antar negara tidak memperoleh dukungan empiris (Boothe dan Glassman, 1987). 2. Fungsi permintaan dan penawaran uang sendiri bukanlah suatu fungsi yang stabil (Frankel, 1981). Dengan membatasi pada model OCA dengan IDR sebagai variabel tak bebas, maka terlihat bahwa variabel selisih output nasional (IDUS_GRW) tidak pernah menjadi variabel yang berpengaruh. Dikaitkan dengan alasan yang dikemukakan oleh Frankel (1981), maka pengaruh transaksional dari pendapatan terhadap jumlah uang yang dipegang adalah semakin kecil. Hal ini terjadi dengan adanya peningkatan teknologi, dimana kebutuhan memegang uang secara
cash adalah berkurang. Variabel suku bunga (dan juga ekspektasi suku bunga melalui inflasi) memiliki pengaruh terbesar didalam peran sebagai variabel kontrol. Berbeda dengan ekspektasi umum yang cenderung menganggap bahwa kenaikan suku bunga adalah bersifat apresiatif. Kenaikan suku bunga disini adalah depresiatif. Jika suatu negara menggunakan interest rate targeting dan suku bunga misalnya ditetapkan diatas suku bunga ekuilibrium, maka akan terjadi excess money
supply (relatif terhadap mata uang asing) dan sebagai konsekuensinya mata uang ini akan mengalami depresiasi. Kemampuan variabel OCA ini didalam menjelaskan OCA dengan IDR sebagai variabel terikat tampaknya dapat dihubungkan dengan temuan dari Alesina et al (2002). Analisis mereka terhadap co-movement harga dan output pada berbagai wilayah dunia berkesimpulan bahwa terdapat wilayah yang didefinisikan sebagai area USD. Dengan demikian sebagai suatu kesimpulan, analisis dan intrepretasi secara ekonomi terhadap kemampuan karakteristik OCA didalam menjelaskan co-movement mata uang ASEAN 4 adalah terbatas. Karakteristik ini hanya ≈cukup∆ baik jika digunakan didalam menjelaskan
512 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
model OCA dimana IDR berperan sebagai variabel terikat. Dengan kata lain tampaknya karakteristik OCA terpilih tidak dapat menjadi penjelas umum bagi semua negara ASEAN4. Disini diduga terdapat suatu mekanisme yang berbeda didalam penentuan nilai tukar IDR dibandingkan dengan negara ASEAN4 lainnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil estimasi menunjukkan OCA ASEAN 4 dalam bentuk yang ideal tampaknya tidak memperoleh dukungan empiris yang kuat. Namun demikian, penelitian yang telah dilakukan tetap memberikan hasil yang menarik diantaranya: 1. Co-movement yang teridentifikasi diantara mata uang ASEAN 4 adalah tidak robust. Dilihat dari perspektif jangka pendek, hipotesis gagal dipenuhi (baik dari segi tanda maupun signifikansi) sedangkan dari jangka panjang, hipotesis juga tidak terpenuhi meskipun hasil estimasi yang diperoleh adalah lebih baik. 2. Kemampuan variabel/karakteristik OCA didalam menjelaskan pergerakan bersama dapat diuraikan sebagai berikut a. Pada model bivariat dimana IDR adalah variabel terikat (IDR-SGD, IDR-PHP dan IDRTHB), tanda koefisien dan tingkat signifikansi variabel kontrol/karakteristik OCA sendiri (misalnya IDUS_INF) umumnya memiliki tanda yang sesuai dengan hipotesis dan juga signifikan. b. Pada bivariat yang lain (SGD-PHP, SGD-THB dan PHP-THB), baik variabel kontrol sendiri maupun asing tidak mendukung hipotesis. Dihubungkan dengan tidak signifikannya koefisien error correction (lihat poin 1.b diatas) tampaknya baik co-movement dan OCA tidak teridentifikasi pada model bivariat ini. 3. Keberadaan OCA juga merupakan fenomena global. Hal ini terindikasi dari homogenitas tanda koefisien dan tingkat signifikansi baik persamaan ekuilibrium (yang menunjukkan jangkar USD) dan variabel JPY sebagai mata uang jangkar alternatif diluar USD. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini memiliki beberapa implikasi kebijakan sebagai berikut: 1. Temuan empiris menunjukkan peran Rupiah bersifat asimetris. IDR adalah weak currency yang dikelilingi oleh mata uang lain yang strong currency. Keterkaitan IDR terhadap pergerakan mata uang regional (ASEAN 4) menyarankan kepada pengambil kebijakan untuk menaruh perhatian kepada goncangan yang terjadi dinegara tetangga. 2. Variabel moneter (jumlah uang beredar dan suku bunga) secara empiris berperan didalam penentuan nilai tukar IDR. Dengan demikian otoritas terkait (Bank Indonesia) perlu lebih memperhatikan pengelolaan moneternya agar tidak terjadi goncangan-goncangan terhadap
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
513
nilai tukar. Sebaliknya kebijakan moneter dapat berperan aktif didalam mengelola nilai tukar agar konsisten dengan kestabilan ekonomi. 3. Tidak homogennya faktor-faktor/mekanisme penentuan nilai tukar yang ada diantara negara ASEAN 4 menunjukkan masih dominannya goncangan spesifik-domestik (idiosynchratic
shocks) didalam penentuan nilai tukar. Hal ini berimplikasi bahwa orientasi para pembuat kebijakan masih harus condong pada kondisi domestik. 4. Terdapat indikasi peningkatan peran variabel global, khususnya dari negara Jepang. Dengan demikian pengambil kebijakan harus melakukan antisipasi terhadap pergeseran kondisi ekonomi dibeberapa wilayah utama dunia diluar Amerika Serikat, khususnya Jepang. Peran proaktif ini diperlukan agar setiap goncangan dapat diantisipasi sedini mungkin. Studi ini telah mengungkapkan beberapa temuan empiris penting dan menarik mengenai OCA di ASEAN4. Pengembangan lebih lanjut dapat dilakukan pada dua arah berikut, (1) Penambahan variabel-variabel kontrol/karakteristik OCA yang diduga kuat mempengaruhi seluruh mata uang yang diamati melalui suatu kriteria statistik tertentu dan (2) Penggunaan suatu jangkar berupa komposit dari mata uang utama dunia.
514 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
DAFTAR PUSTAKA
Alesina, Alberto, Robert J. Barro dan Sylvana Tenreyro, ∆Optimal Currency Areas∆, National Bureau Of Economic Research, Working Paper No. 4335, 2002 Baele, Lieven, Ferrando, Annalisa, Hordahl, Peter, Krylova, Elizaveta dan Monnet, Cyril, ≈Measuring Financial Integration In The Euro Area, Occassional Papers∆, European Central Bank, Working Paper No. 14, April 2004. Bayoumi, Tamim,∆A Formal Model Of Optimum Currency Areas∆, CEPR Discussion Papers No. 968, 1994. Bayoumi, T and P. Mauro.∆The Suitability Of Asean For A Regional Currency Arrangement∆, International Monetary Fund, Working Paper No. 99/162, December 1999. Bilson, John F.O ≈Recent Developments In Monetary Models Of Exchange Rate Determination∆, IMF Staff Paper No. 26, 1979. Branson, William dan Healy, Conor N. ≈Monetary and Exchange Rate Policy Coordination In ASEAN+1∆, National Bureau Of Economic Research, Working Paper No. 11713, 2005. Corsetti, G. and Pesenti, Paolo,∆Self-Validating Optimum Currency Areas∆, National Bureau Of Economic Research, Working Paper, No. 8783, 2002. Corden, W.M.≈Monetary Integration∆, Essays In International Finance, International Finance Section No. 93, Princeton University, Dept. Of Economics, 1972. Dickey, D.A. dan Fuller, W.A., ≈Distribution Of The Estimators For Autoregressive Time Series With A Unit Root∆, Journal Of The American Statistical Association, 1979, Vol. 74, hal. 427431. Eichengreen, Barry and Bayoumi T,∆ Is Asia An Optimum Currency area? Can It Become One? Regional, Global and Historical Perspectives On Asian Monetary Relations∆, Mimeo, University Of California, Berkeley, 1996. Emerson, M., D. Gros, A. Italianer, J. Pisani-Ferry and H. Reichenbach.∆One Market, One Money: An Evaluation of the Potential Benefits and Costs of Forming an Economic and Monetary Union∆, New York, Oxford University Press, 1992. Enders, Walter, Applied Econometric Time Series, John Wiley & Son, New York, 1995. Fleming, J. Marcus, ≈On Exchange Rate Unification∆, The Economic Journal, 1971, Vol 81, hal 467-88. Frenkel, J. A., ≈A Monetary Approach To The Exchange Rate: Doctrinal Aspects and Empirical Evidence∆, Scandinavian Journal Of Economics, 1976, 78(2), hal 200-24.
Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction
515
Frankel, Jeffrey A. ∆Is Japan Creating A Yen Bloc In East Asia and The Pacific?∆, National Bureau Of Economic Research, Working Paper No. 4050, April 1992. Frankel, Jeffrey. A., dan Rose, Andrew K.,∆Economic Structure and The Decision To Adopt A Common Currency∆, Background Report, Swedish Government Commission On EMU, Mei 1996. Frankel, Jeffrey A., dan Rose, Andrew K.,∆The Endogeneity Of The Optimum Currency Area∆,
Economic Journal, July 1998, 108(449), hal. 1009-25. Frankel, Jeffrey A. dan Wei, Shang-Jin. ∆Trade Blocs and Currency Blocs∆, National Bureau Of Economic Research, Working Paper No. 4335, April 1993. Grubel, Herbert G.∆ The Theory Of Optimum Currency Areas∆, Canadian Journal Of Economics, Mei 1970, hal. 318-324. Harris, Richard. Using Cointegration Analysis In Econometric Modelling, Harvester Wheatsheaf, Mayland Avenue, 1995. Hawkins, John and Paul Masson,∆Economic Aspects Of Regional Currency areas and The Use Of Foreign Currencies∆, BIS Working Paper, pp. 4-42, May 2000. Horvath, Julius., ≈Optimum Currency Area Theory: A Selective Review∆, BOFIT Discussion Papers∆, Vol. 15, 2003. Johansen, Soren. ≈Estimation and Hypothesis Testing of Cointegration Vectors in Gaussian Vector Of Autoregressive Models∆, Econometrica, 1991, Vol. 59, pp. 1551-80. Kenen, P.B.∆Theory of Optimum Currency areas: An Eclectic View∆. dalam R.A. Mundell, dan A.K. Swoboda, eds., Monetary Problems in the International Economy, Chicago, University Of Chicago Press, 1969. Kim, T-J dan Ryou, J-W, ≈The Optimum Currency Basket and The Currency Bloc in Asia∆, Bank Of Korea Economic Papers, Vol 4, No. 1, May, pp. 194-216, 2001. McKinon, Ronald. ≈Optimum Currency areas∆, American Economic Review, 53, September 1963, 717-724. Mintz, N.N., ≈Monetary Union and Economic Integration∆, The Bulletin, New York University, April 1970. Mongeli, Fransesco P.≈New Views On The Optimum Currency Area Theory: What Is EMU Telling US?∆, ECB Working Paper No. 138, April. 2002. Mundell, R, ,∆A Theory Of Optimum Currency Areas∆, American Economic Review, 1961, hal. 379-96. Mundel, Robert A. ≈Uncommon Arguments For Commonc Currencies∆, dalam H.G. Johnson and A. K. Swoboda,eds., The Economics Of Common Currencies, Allen and Unwin, 1973, hal. 114-32. Mundell, R, ≈Prospects for an Asian Currency Area∆, Journal Of Asian Economics, 2003, no. 14, hal. 1-10.
516 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Said, S. and David Dickey, ≈Testing for Unit Roots in Autoregressive-Moving Average Models with Unknown Order∆, Biometrica, 1984, 71, hal 599-607. Sims, Christopher, 1980, ≈Macroeconomics and Reality∆, Econometrica, 48, hal. 1-49. Shinji, Takagi,∆The Yen and Its Asean Neighbors, 1980-1995: Cooperation Or Competition∆, National Bureau Of Economic Research, Working Paper No. 5720, 1996. Warjiyo, Perry, ≈Materi Kuliah Ekonomi Keuangan Internasional∆, Program Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, 2004. Wilson, Peter.∆Prospects For Asian Monetary Cooperation After The Asian Financial Crisis: Pipedream or Possible Reality?∆National University Of Singapore, Working Paper No. 151, 2002.
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
517
ANALISIS PENGARUH SOCIAL VALUES TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN UANG ISLAM DI INDONESIA Ebrinda Daisy Gustiani, Ascarya, Jaenal Effendi1
Abstrak s i Sebagai salah satu instrumen yang ada dalam sistem ekonomi Islam, zakat menjadi penting untuk diteliti pengaruhnya dalam formulasi kebijakan moneter di Indonesia, terutama berhubungan dengan jumlah uang. Selama ini masih belum ada seseorang yang membuktikan secara empiris pengaruh zakat sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan moneter, terutama jumlah uang di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dibuktikan apakah zakat sebagai salah satu yang merupakan variabel social values dalam pemikiran Umer Chapra berpengaruh dalam jumlah permintaan uang Islam di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder dalam series bulanan berawal dari Januari 2001 sampai dengan Desember 2007. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Vector Autoregression (VAR) yang dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM) jika terdapat kointegrasi dengan bantuan software Eviews 4.1. dan Microsoft Excel 2003.Secara umum kita dapat melihat hubungan pada jangka panjang hanya pada model permintaan tabungan mudharabah dan deposito mudharabah saja. GDP berpengaruh signifikan untuk setiap model permintaan uang (kecuali pada giro wadi»ah) karena baik pada sistem syariah maupun konvensional, jika masyarakat lebih sejahtera maka asumsinya permintaan uang akan meningkat. Untuk variabel social values dan return syariah pada beberapa model pengaruhnya negatif dikarenakan sistem syariah masih di dominasi oleh sistem konvensional. Hal ini disebabkan karena faktor uang kartal, conspicious consumption dan social values itu sendiri. RS tidak signifikan pada beberapa model persamaan dapat dijelaskan dengan melihat opportunity cost dari memegang uang. Untuk saat ini karena beberapa alasan sebelumnya variabel social values belum begitu terlihat pengaruhnya terhadap jumlah permintaan uang di Indonesia.
JEL Classification: C32, E41, P52
Keywords : Money demand, social values, Islam, VAR/VECM
1 Ebrinda Daisy Gustiani adalah mahasiswa pasca sarjana PSTTI Universitas Indonesia (
[email protected]); Ascarya adalah senior researcher di PPSK Bank Indonesia (
[email protected]); Jaenal Effendi adalah dosen FEM Institut Pertanian Bogor (
[email protected]).
518 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
I. PENDAHULUAN Uang sebagai alat tukar telah dikenal semenjak tahun 4000 SM, dalam dunia Islam uang sebagai alat tukar adalah dinar (uang emas) dan dirham (uang perak) yang digunakan semenjak awal berdirinya Islam di muka bumi, dalam kegiatan muamalah maupun pembayaran zakat dan diyat (pembayaran denda). Standarisasi berat uang dinar dan dirham mengikuti hadits Rasullullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dimana timbangan adalah timbangan penduduk Makkah dan takaran adalah takaran penduduk Madinah. Pada tahun 642 M khalifah Umar bin Khattab membakukan standar uang dinar dan dirham, yaitu berat tujuh dinar sama dengan berat 10 dirham. Menurut Chapra (1996) rasio perbandingan antara dinar dan dirham adalah 1:10. Uang dalam Islam juga digunakan untuk menunaikan salah satu ibadah umat Islam dan salah satu instrumen moneter yaitu zakat dan juga kegiatan yang bernilai sosial diantaranya infaq, shadaqah dan wakaf, seperti terdapat dalam Karim (2007) dalam melihat stabilitas ekonomi melalui persamaan permintaan uang Chapra. Sebenarnya ada tiga peran yang dimainkan zakat dalam perspektif ekonomi, yaitu sebagai alat redistribusi pendapatan dan kekayaan, sebagai stabilisator perekonomian dan sebagai instrumen pembangunan dan pemberdayaan kaum dhuafa. Dalam hal zakat, infaq, shadaqah dan wakaf Indonesia memiliki potensi yang luar biasa, karena menurut Badan Pusat Statistik (BPS,2000) mayoritas penduduk muslim yang berjumlah 85 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Menurut penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, potensi dalam bentuk uang tunai adalah kira-kira 14,2 triliun rupiah, dan dalam bentuk barang adalah 5,1 triliun rupiah setiap tahun. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia terwakili dalam simbol yang disebut islamic
banking atau disingkat menjadi ib yang disosialisasikan oleh Bank Indonesia. Setelah melihat beberapa aspek perkembangan perbankan syariah di Indonesia maka kita perlu mengetahui karakteristik lain yang dimiliki oleh sistem ekonomi atau keuangan Islam yaitu adanya instrumen
social values. Dalam Chapra (1996) yang dikategorikan social values adalah semua hal yang tidak dilarang oleh agama dan bersifat sosial (zakat, wakaf, infak dan shadaqah) yang mempengaruhi permintaan akan uang, maka instrumen moneter lain yang diajukan oleh Chapra untuk sistem ekonomi Islam adalah target pertumbuhan M1 Islam yang didalamnya terdiri dari uang kartal dan giro wadi»ah dan M2 Islam terdiri dari M1 ditambah tabungan mudharabah dan investasi deposito mudharabah; Public Share of Demand Deposit; Statutory Reserve
Requirement dan Credit Ceilling. Instrumen social values berpengaruh pada target pertumbuhan M2 Islam dan M1 Islam, yaitu M1 yang berupa pinjaman tanpa bunga yang digunakan untuk penyediaan perumahan, fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat miskin.
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
519
Dari keseluruhan instrumen moneter diatas maka terlihat jelas perbedaan mendasar dari kedua sistem, dimana pada sistem ekonomi konvensional dikenal adanya bunga. Sedangkan pada sistem ekonomi Islam digunakan sistem bagi hasil (mudharabah) dan adanya unsur social
values. Setelah adanya penelitian sebelumnya mengenai konsep bunga dan bagi hasil, maka penulis akan membuktikan secara empiris apakah konsep dengan social values mempengaruhi stabilitas moneter, dan kita akan melihat lewat pengaruhnya terhadap jumlah permintaan uang di Indonesia. Selanjutnya akan membahas tinjauan teori, bagian tiga adalah sumber data dan metodologi penelitian yang akan digunakan dan pada bagian empat berisi hasil analisis dan pembahasan. Pada akhirnya mengenai kesimpulan dan saran. Tujuan penelitian ini adalah 1) Menganalisis fungsi permintaan uang (M1 dan M2) Islam pada sistem keuangan / perbankan ganda yang dikhususkan lagi pada uang kartal, giro wadi»ah, tabungan mudharabah dan deposito investasi mudharabah pada bank syariah dan 2) Menganalisis pengaruh social values dalam fungsi permintaan uang dan mengetahui ada / tidaknya hubungan atau pengaruh yang signifikan antara jumlah uang beredar dalam sistem ekonomi Islam dengan instrumen social values tersebut. Bagian kedua dari paper ini mengulas teori dan tinjauan atas literatur yang sudah ada dan bagian ketiga mengulas tentang metodologi. Bagian keempat membahas hasil estimasi dan analisis sementara kesimpulan diberikan pada bagian penutup.
II. TEORI II.1. Perbedaan Sistem Ekonomi Islam dan Konvensional Sebenarnya perbedaan sistem ekonomi yang digunakan diatas bisa juga diwakili oleh tiga sistem ekonomi yaitu sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi Marxisme. Perbandingan antara ketiga sistem ekonomi tersebut dapat dilihat dalam Tabel V.1.
II.1.1. Perbedaan Sistem Ekonomi Kapitalis, Marxsisme dan Islam Ada beberapa pendapat dalam melihat perbedaan dan jumlah paham dari sistem ekonomi, namun pada dasarnya sistem ekonomi secara umum dapat kita bedakan menjadi sistem yang berasal dari Al-Qur»an dan Hadits dan sistem yang bukan berdasarkan Al-Qur»an dan Hadits. Karim (2004) menyatakan tentang paham √ paham ekonomi yang berkembang di dunia ada empat yaitu kapitalisme, sosialisme, komunisme dan Islam. Sistem ekonomi kapitalis adalah sistem ekonomi yang didominasi oleh capital atau modal, dengan profit motive dimana uang
520 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Tabel V.1 Perbandingan Sistem Ekonomi Kapitalis, Islam dan Marxisme Aspek yang Dibandingkan
Konvensional Kapitalis
Islam Marxisme
Filosofi dalam produksi, distribusi dan konsumsi
Laissez Faire yang menjelaskan kebebasan berbuat dan invisible hand
Perjuangan kelas dan kontardiksi antar kelas
Keimanan kepada Allah dan hidup sesudah mati, serta hanya mencari ridho All ah
Prinsip yang berlaku dalam kepemilikan dan akses untuk bertransaksi
Kepemilkan mutlak dan pasar bebas
Kepemilikan oleh pemerintah atau penguasa sehingga akses terbatas
Hak penggunaan bukan kepemilikan (hanya sampai dengan meninggal) serta keseimbangan dan keadilan
Operasional
Bebas entryiexit (dalam kompetisi sempurna) atau bebas menentukan harga dalam pasar monopolistik
Kerja iteration dan kerja kolektivitas
Adanya instrumen zakat dan wakaf, pelarangan riba dan Qirad Mudharabah
Sumber : Iqbal (2007)
adalah segalanya. Dalam sistem ekonomi kapitalis juga dikenal adanya kebebasan dalam berekonomi, beserta instrumen bunga yang kental. Beberapa karakteristik dari ekonomi kapitalis adalah inividual actions dengan tidak adanya perencanaan ekonomi yang tersentralisasi. Sementara sosialisme dimana tidak adanya kepemilikan pribadi, yang ada hanyalah kepemilikan publik, keberadaan industri serta faktor produksi sepenuhnya untuk kepentingan sosial serta adanya social service motive. Beberapa karakteristik dari ekonomi sosialis adalah
central planning of the economy, berlakunya distribusi pendapatan secara merata dan aset √ aset penting dimiliki oleh publik. Selanjutnya marxisme adalah salah satu bentuk komunisme dimana konsumsi dan produksi diatur secara kolektif yang menekankan pada program sosial dan pendidikan, serta bersumber pada ilmu pengetahuan dan meniadakan Tuhan. Sehingga dalam praktiknya menghalalkan segala cara untuk kebahagiaan kolektif. Lain halnya dengan sistem ekonomi Islam, pada gambar V.1 yang memperlihatkan bentuk penyikapan dari manusia terhadap harta atau sumber daya ekonomi secara garis besar meliputi aktifitas mencari harta, mengelola harta dan membelanjakan harta. Melalui penyikapan tersebut akan terdapat implikasi berupa pengembangan harta, pertukaran harta dan pendistribusian harta Sakti (2007). Memperoleh harta dalam Islam dapat dilakukan atau bisa didapatkan melalui berbagai aktivitas ekonomi. Mencari harta dapat dilakukan dengan aktivitas investasi seperti mudharabah dan musyarakah dan aktivitas jual √ beli seperti murabahah, ijarah, istisna, salam dan rahn. Sedangkan bagi masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap kedua aktivitas sebelumnya, maka seseorang dapat memperoleh melalui instrumen lain yang ada dalam mekanisme ekonomi
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
PEMENUHAN KEBUTUHAN MENUJU FALAH
PENYIKAPAN TERHADAP HARTA / SUMBER DAYA EKONOMI
Mengembangkan, distribusi dan tukar menukar harta
Aktifitas mencari, mengelola dan membelanjakan harta
Investasi
Jual - Beli
Sosial
521
Regulasi
Sumber : Sakti (2007)
Gambar V.1. Karakteristik Berdasarkan Prinsip √ Prinsip Ekonomi Islam
Islam, seperti aktivitas sosial (infaq, shadaqah, hadiah dan hibah) dan aktivitas regulasi (zakat, warisan, kharaj dan jizyah). Secara umum Himawan (2005) mengatakan bahwa sistem ekonomi Islam berdasarkan syariah adalah sistem yang menggunakan pendekatan zakat, melarang adanya riba dan melarang adanya maisyir atau dengan kata lain sebuah sistem perekonomian sunnatullah yang mendorong adanya aliran investasi dengan zakat secara optimal dengan anti riba yang bersifat produktif dengan anti judi seperti terlihat pada Gambar V.2. dibawah ini.
Penghasilan
Σ Σ
Anti Judi
In Opves timtas al i
Zakat maal
n ira si Al esta Inv
Harta
Zakat maal
Anti Judi Anti Riba
n ira si Al esta Inv
Sumber: Himawan (2007)
Anti Riba
Sumber : Himawan (2007)
Gambar V.2. Teori Aliran
In op vest tim asi al
Ta m ha bah rta an Harta
si sta tif k
Penghasilan
Zakat Penghasilan
ve
Zakat Penghasilan
In odu asi Pr est tif Inv oduk Pr
an ah mb ta Ta Har
27
522 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Apabila kita melihat dari perkembangannya dalam Karim (2004) perkembangan pemikiran ekonomi Islam terdiri dari empat periode yaitu periode pondasi (Awal Islam -450 H / 610-1059 M), periode pengembangan (1058 √ 1446 M), periode kemunduran (1446 √ 1931 M) dan periode kebangkitan (1932- 2000-an M). Tradisi dan praktek pada masa Rasullullah SAW dengan prinsip √ prinsip seperti Allah SWT ialah penguasa tertinggi serta pemilik absolut alam semesta dan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi; semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah seizin Allah SWT; kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun; eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya dihilangkan dan Menerapkan sistem warisan sebagai instrumen redistribusi kekayaan. Pada masa Rasullullah SAW, sistem ekonomi Islam diterapkan dengan cara mempercepat peredaran uang, mendirikan baitul maal dan adanya kebijakan fiskal. Dalam mempercepat uang beredar Rasullullah SAW menerapkan larangan terhadap kecenderungan mencegah dinar & dirham keluar dari peredaran; larangan praktek bunga uang; mencegah tertahannya uang dari pemilik modal dan menghapus praktek monopoli setelah Fath Al-Makkah. Selain itu praktik pendirian baitul maal dapat terlihat dari pendapatan baitul maal saat itu berupa Kharaj, Zakat, Khums, Jizyah (pajak, cukai) dan penerimaan lainnya seperti kaffarah. Dapat terlihat juga praktik pengeluaran baitul maal saat itu untuk penyebaran Islam, pendidikan & kebudayaan, pengembangan ilmu pengetahuan, pembangunan infrastruktur, pembangunan armada perang & keamanan, & penyedian layanan kesejahteraan sosial. Sedangkan salah satu bentuk dari kebijakan fiskal pada masa Rasullullah adalah meningkatkan pendapatan nasional dengan kebijakan mempersaudarakan kaum Muhajirin & Anshar dan menerapkan kebijakan penyediaan lapangan pekerjaan bagi kaum Muhajirin dengn impelementasi akad Muzara»ah,
Musaqah, & Mudharabah. Setelah kepemimpinan Rasullullah SAW berakhir, dimulailah masa Khulafaur Rasyidin. Dimulai dengan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, dalam praktek ekonomi masa ini sangat memperhatikan keakuratan penghitungan zakat, kekayaan dari orang yang berbeda tidak dapat digabung, atau kekayaan yang telah digabung tidak dapat dipisahkan serta pendistribusian langsung terhadap penerimaan Baitul Maal. (tidak ada simpanan). Selanjutnya kegiatan ekonomi pada masa Khalifah Umar bin Khattab adalah dengan mendirikan Baitul Maal yang reguler & permanen, serta cabang-cabangnya di ibukota propinsi; menjadikan Baitul Maal sebagai pelaksana kebijakan fiskal negara Islam; melakukan penyimpanan terhadap pendapatan Baitul Maal sebagai cadangan darurat; menjadikan Properti Baitul Maal sebagai harta kaum muslimin dan pemegang keputusan adalah Khalifah, selain itu mendirikan Diwan Islam yang pertama, yang disebut al-Divan ; memperkenalkan istilah pendapatan negara yang lain; fay (rampasan perang), ushr, Nawaib, tebusan tawanan perang. Dalam masa Khalifah Umar bin Khatab ada klasifikasi pendapatan dan pengeluaran negara.
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
523
Pada masa Khalifah setelahnya , yaitu Khalifah Utsman bin Affan kegiatan ekonomi mulai diperluas dengan meningkatkan pengeluaran pertahanan dan kelautan, meningkatkan pengeluaran dana pensiun dan pembangunan diwilayah taklukkan baru, memberikan tanggung jawab penaksiran zakat kepada muzakki serta mengizinkan adanya pertukaran lahan. Namun sebagian besar kegiatan ekonomi yang dilakukan pada masa khalifah sebelumnya tetap dilanjutkan. Setelah masa Kahalifah Utsman bin Affan berakhir, maka pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib dilaksanakan perubahan dalam penetapan pemungutan zakat, menghilangkan pengeluaran untuk angkatan laut, pendistribusian secara langsung terhadap pendapatan Baitul Maal serta memperkenalkan pemerataan distribusi uang rakyat dengan mengadopsi sistem distribusi setiap satu minggu sekali.
II.1.2. Sistem Moneter Konvensional Sistem moneter konvensional diawali dengan teori √ teori ekonomi konvensional, beberapa teori ekonomi konvensional yang berkembang sejak dulu. Perkembangan pemikiran ekonomi ini dimulai dari mazhab ekonomi pra-klasik; ekonomi klasik; marxisme; neo-klasik; historis; institutional; Keynes; monetaris; supply siders dan aliran rationale expectation sampai seterusnya mengalami perkembangan hingga saat ini. Perkembangan mengenai sistem moneter konvensional terutama dalam hal permintaan uang, sangat terlihat jelas pada masa lahirnya aliran monetaris, yang didasari kritikan atas pendapat keynessian mengenai perlunya campur tangan pemerintah dalam mengarahkan dan membimbing perekonomian yang diinginkan. Dimana tokoh √ tokohnya terbagi dalam dua golongan yaitu golongan tua dan golongan muda. Salah satu tokoh yang paling mendasari perkembangan aliran ini adalah Milton Friedman yang melihat bahwa peran pemerintah memang diperlukan untuk perekonomian yang lebih efektif. Maka pokok √ pokok pikiran aliran monetaris adalah dimana perkembangan moneter merupakan salah satu unsur penting dalam perkembangan produksi, kesempatan kerja dan harga. Aliran moneter juga mengemukakan bahwa pertumbuhan uang beredar merupakan unsur yang dapat diandalkan dalam perkembangan moneter. Dalam tulisannya Friedman (1970) mengatakan bahwa perubahan dalam jumlah uang beredar sangat berpengaruh pada tingkat inflasi pada jangka panjang dan juga perilaku GNP riil. Selain itu aliran monetaris mengemukakan adanya kekuatan √ kekuatan pasar dan pengaruh sumberdaya yang menyatakan turunnya suku bunga akan mendorong investasi dan turunnya tingkat harga akan mendorong konsumsi (pigou effect). Hal lainnya adalah pendapat kaum monetaris mengenai fluktuasi ekonomi yang terjadi karena terjadinya pelonjakan √ pelonjakan dalam jumlah uang beredar yang disebabkan karena
524 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
kebijakan yang ekspansif yang diambil oleh pemerintah. Kita dapat melihat bahwa aliran monetaris lebih menggerakkan ekonomi dari sisi moneter, yang sangat berlawanan dengan aliran Keynesian.
II.1.3. Sistem Moneter Islam Sistem moneter berhubungan erat dengan instrumen moneter, salah satunya uang, maka sebelum memahami mengenai hal tersebut, kita perlu memahami konsep uang dalam Islam. Menurut Al-Ghazali, uang adalah standar pengukuran (satuan) untuk menghindari penipuan dan kecurangan, uang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah-masalah sistem barter, dinar dan dirham adalah penguasa bila dibandingkan jenis kekayaan yang lain dan ciri utama uang adalah seperti cermin yang memantulkan warna tapi ia sendiri tidak memiliki warna sesuai dengan konsep netralitas uang. Menurut Ibnu Taimiyah, uang adalah standar nilai (mi»yar al-amwal) dan merupakan alat tukar, selain itu uang tidak pernah dimaksudkan untuk dikonsumsi. Uang itu digunakan untuk mendapatkan barang lain (alat tukar) dan tidak untuk diperdagangkan. Ibnu Taimiyah mengemukakan tentang konsep volume fulus (uang) haruslah proporsional dengan volume transaksi dimana tingkat harga ditentukan, dan konsep ini dalam teori konvensional disebut sebagai quantity theory of money. Sedangkan menurut Ibnu Khaldun, uang adalah standar pengukuran dan juga merupakan store of value (penyimpan nilai). Menurut Ibnu Khaldun emas dan perak merupakan bentuk uang yang tidak mudah berfluktuasi yang relatif stabil. Setelah kita mengetahui konsep uang dalam Islam maka menurut Beik (2007) kita perlu mengetahui konsep bank sentral dan kebijakan moneter yang berdasarkan prinsip syariah. Tujuan kebijakan moneter dalam Islam adalah tercapainya kondisi full employment dimana seluruh faktor produksi dapat dioptimalkan penggunaannya, menjamin stabilitas nilai mata uang dan stabilitas harga (mengendalikan inflasi) dan alat redistribusi kekayaan dimana harta disinergiskan antara sektor keuangan dan sektor riil. Sementara itu fungsi bank sentral adalah mengatur peredaran uang dan mengendalikan money supply, sebagai regulator financial market dan menjamin kejujuran laporan profit dan loss sektor perbankan dan melaksanakan audit secara reguler. Fungsi bank sentral dilakukan melalui instrumen moneter seperti merubah high powered
money; melalui reserve ratio; liquidity ratio; penjualan dan pembelian Central Deposit Certificate dan surat-surat berharga lainnya, merubah profit-sharing ratio; menetapkan qard hassan ratio dan mengendalikan nilai tukar mata uang.
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
525
Dalam Ascarya (2006), ada tiga perbedaan mendasar atas sistem moneter Islam dengan sistem moneter konvensional, seperti terlihat pada Tabel 2.2. dibawah ini. Perbedaan pertama dan yang paling membedakan adalah sistem bunga dalam ekonomi konvensional sedangkan ekonomi Islam menawarkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing), sistem bagi hasil menjamin adanya keadilan dan tidak ada pihak yang timpang dalam menanggung kerugian. Pada saat pemilik modal bekerja sama dengan pengusaha untuk melakukan kegiatan usaha. Jikalau menghasilkan keuntungan dibagi berdua, namun jika terjadi kerugian juga ditanggung bersama. Pada perbedaan yang kedua, pada sisi konvensional ada sistem fractional reserve banking dimana bank hanya diwajibkan untuk menyimpan cadangan dalam persentase tertentu dari dana simpanan yang dihimpun. Dengan sistem ini perbankan memiliki kemampuan menciptakan jenis lain dari fiat money, yaitu uang bank (demand deposits, termasuk uang elektronik), dan hal ini terjadi juga ketika bank memberikan pinjaman. Dengan demikiansistem ini juga memberikan keuntungan seigniorage yang tidak adil bagi pihak bank yang melalui sistem ini diberi kuasa untuk menciptakan uang baru. Tabel V.2 Perbedaan Sistem Moneter Islam dan Konvensional Konvensional Instrumen suku bunga Fractional reserve banking system Penggunaan uang fiat
Islam Konsep bagi hasil 100 percent reserve banking system full bodied/fully backed money
Sumber : Ascarya (2006)
Sedangkan pada sistem ekonomi Islam ada seratus persen reserve banking system, dimana sistem ini tidak memberikan peluang bagi bank untuk menciptakan uang baru, karena seluruh cadangan harus disimpan ke bank sentral. Bank maksimum hanya dapat menyalurkan pembiayaan sampai sebesar simpanan awal saja. Hal ini menyebabkan tidak ada daya beli baru yang diciptakan (tidak ada seigniorage), maka tidak mengandung unsur riba dan tidak ada pihak yang dirugikan. Uang fiat adalah sesuatu (biasanya dalam bentuk kertas atau koin) yang diakui sebagai alat tukar yang sah di suatu negara ksetelah ditetapkan oleh pemerintahnya yang tidak memiliki nilai cadangan sesuai nilai nominalnya. Diterbitkannya uang fiat memunculkan daya beli baru dari sesuatu yang tidak ada. Hal ini memberikan keuntungan yang tidak adil (seigniorage) bagi pihak yang diberi kuasa untuk menerbitkannya dan dapat dikategorikan riba. Sedangkan uang dalam Islam adalah uang (emas dan perak) yang mempunyai nilai intrinsik sama dengan nilai nominalnya atau sejumlah dengan cadangan emas yang disimpan oleh
526 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
pihak yang menerbitkannya. Karena tidak ada daya beli baru yang diciptakan (tidak ada
seigniorage), sehingga tidak mengandung unsur riba. Karena di Indonesia masih menggunakan sistem moneter dan perbankan ganda, maka yang menjadi perbedaan utama antara sistem moneter Islam dan konvensional adalah adanya konsep bagi hasil dalam Islam yang meniadakan bunga.
II.2. Kebijakan Moneter Islam Kontemporer Keuangan Islam pada hakikatnya menggambarkan aktivitas ekonomi riil menggunakan berbagai jenis transaksi seperti perdagangan dan investasi serta jasa √ jasa keuangan. Melalui gambar II.3 terlihat bahwa dalam dual economic system di banyak Negara Muslim keuangan Islam menjadi elemen penguat sektor riil yang mengimbangi sektor moneter, bahkan memperkuat struktur perekonomian riil. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah porsi atau kontribusi keuangan Islam serta sektor sosialnya jika ingin diterapkan pada perekonomian nasional.
Z, If, Sh, Wq
Ms, I, Tx, Tr Financial Authority
Social Institution
IFIs
Money Market
Firms
Real Market
Monetary Sector
House Hold
Real Sector
Sumber : Sakti (2007)
Gambar V.3. Struktur Ekonomi Islam Kontemporer.
Dapat terlihat dalam gambar tersebut diatas bahwa bentuk instrumen moneter Islam adalah kebijakan √ kebijakan yang mampu menggerakkan sektor riil atau semakin menekan uang yang menganggur untuk masuk ke sektor riil. Pada gambar diatas Ms adalah uang beredar;
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
527
i adalah tingkat bunga; Tx adalah pajak; Tr adalah subsidi; Z adalah zakat; If adalah infak; Sh adalah shadaqah dan Wq adalah Wakaf.
II.3. Teori Permintaan Uang Persamaan money demand dalam Chapra (1996) menjelaskan salah satu variabel yang belum pernah digunakan dalam teori permintaan uang yaitu variabel social values, terlihat pada persamaan dibawah ini:
Md = f(Ys, S, π)
(V.1)
Dimana Ys menunjukkan barang dan jasa yang sesuai dengan pemenuhan kebutuhan dan investasi produktif yang selaras dengan Islam. Sementara itu S menjelaskan tentang nilai √ nilai moral dan sosial (termasuk didalammnya zakat) yang nantinya akan mempengaruhi proses alokasi dan distribusi sumber daya, yang akan mempengaruhi permintaan uang yang tidak dipergunakan untuk conspicious consumption (kegiatan konsumsi yang berlebihan, bermewah √ mewahan dan spekulasi). Dalam penelitiannya Umer Chapra belum dapat membuktikan secara empiris persamaan V.1 diatas, dan dalam hipotesisnya mengenai pengaruh social values terhadap jumlah permintaan uang tidak dijelaskan apakah berpengaruh negatif pada jangka panjang atau jangka pendek. Sebelumnya menurut Mishkin (2001) uang sebagai money supply didefinisikan sebagai sesuatu yang secara umum diterima sebagai alat pembayaran barang dan jasa atau pembayaran kembali utang. Adapun fungsi permintaan uang menurut Keynes adalah:
M d = f (i,Y)
(V.2)
dimana i merupakan fungsi suku bunga yang berbanding terbalik dengan permintaan uang dan Y adalah pendapatan nasional riil yang positif pengaruhnya terhadap permintaan uang. Untuk permintaan uang Islam pada sistem perbankan ganda, dijelaskan pada Kaleem (2000), dimana ada variabel tingkat return Syariah sebagai pengganti suku bunga, sehingga: ln M ISLRt= α0 + α1ln Yt + α2 πt
(V.3)
Dimana M1ISLR merupakan keseimbangan uang riil Islam dan Yt adalah jumlah pendapatan nasional. Dalam gambar V.4 dibawah ini menjelaskan mengenai motif dari seseorang memeganga uang, diantaranya adalah untuk tarnsaksi, berjaga - jaga dan spekulasi. Namun permintaan yang dimaksud oleh Chapra (1996) dalam persamaan permintaan uang Islam adalah permintaan uang yang transaksi dan berjaga √ jaga.
528 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Permintaan Uang
Transaksi
Berjaga - jaga
Kecelakaan dan Musibah
Spekulasi
Keadaan Ekonomi dan Fluktuasi Harga
Y Pasar Komoditi
C
I
X
Kegiatan Produktif
Kebutuhan Barang dan Jasa
M
Pasar Saham
Valas dan instrument keuangan lainnya
Gambar V.4. Unsur Pokok Permintaan Uang
Kegiatan tidak Produktif dan Spekulatif
Kemewahan dan prestise
Kebutuhan lainnya
Kemewahan dan prestise
Pengeluaran yang tidak bermanfaat
Sumber : Chapra (1996)
Gambar V.4. Unsur Pokok Permintaan Uang
Dimana dalam transaksi tidak ada unsur untuk konsumsi yang bermewah √ mewah atau menunjukkan status atau simbol dan kegiatan yang tidak bermanfaat. Dan investasi yang dilakukan haruslah yang produktif, sedangkan untuk impor yang dilakukan adalah untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dicukupi oleh negara sendiri. Kegiatan yang spekulatif dalam persamaan permintaan uang Islam adalah kegiatan yang tidak diperbolehkan.
II.5. Hikmah dan Manfaat Zakat Dalam Hafiddudin (2002), zakat ditinjau dari segi bahasa mempunyai arti, yaitu al-barakatu (keberkahan); al-namaa (pertumbuhan dan perkembangan); ath-thaharatu (kesucian) dan ash-
shalahu (kebesaran). Pengertian zakat secara umum adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu; yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya; dengan persyaratan tertentu pula. Hubungan pengertian zakat menurut bahasa
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
529
dan istilah sangat erat, yakni bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi berkah; tumbuh; berkembang dan bertambah; suci dan baik. Chapra (1985) menyampaikan bahwa zakat mempunyai dampak positif dalam meningkatkan ketersediaan dana bagi investasi sebab pembayaran zakat pada kekayaan dan harta yang tersimpan akan mendorong para pembayar zakat untuk mencari pendapatan dari kekayaan mereka, sehingga mampu membayar zakat tanpa mengurangi kekayaannya. Dengan demikian, dalam sebuah masyarakat yang nilai-nilai Islam-nya telah terinternalisasi, simpanan emas dan perak serta kekayaan yang tidak produktif cenderung akan berkurang dalam rangka meningkatkan investasi dan menimbulkan kemakmuran yang lebih besar. Secara umum terdapat tujuh hikmah dan manfaat zakat dalam Hafiddudin (2002), sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT; untuk menolong para mustahik; sebagai pilar amal bersama (jama»i); sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang dimiliki umat islam (sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi) dan sarana pengembangan kualitas sumberdaya muslim; untuk memasyaraktakan etika bisnis yang benar; sebagai salah satu instrumen pemerataan pendapatan dan dorongan yang kuat bagi orang √ orang yang beriman untuk menunaikan zakat. Beberapa manfaat zakat seperti, mencegah terjadinya akumulasi harta pada satu tangan yang otomatis membuat manusia terdorong untuk berinvestasi. Zakat juga merupakan institusi yang komprehensif untuk distribusi harta karena menyangkut harta setiap muslim setelah mencapai nisab. Zakat yang dikelola dengan baik akan mampu membuka lapangan kerja dan usaha yang luas sekaligus penguasaan aset √ aset oleh umat Islam. Saefuddin (1986) menyatakan bahwa dengan zakat dikelola dengan baik maka dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi, sekaligus pemerataan pendapatan,
economic with equity. Manfaat dari segi akhlak seperti menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat, pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya serta mengandung aspek penyucian terhadap akhlak. Jika kita melihat faedah ijtimaiyyah (segi sosial kemasyarakatan), maka zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia; Memberikan support kekuatan bagi kaum muslimin dan mengangkat eksistensi mereka.Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah; Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial; zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah dan
530 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Fungsi kontrol
Pressure harta
Investasi meningkat
Supply Brg & jasa Harga menurun
Sejahtera
Zakat
Fungsi sosial
Funding dana sosial
Subsidi dana sosial meningkat
Daya beli Si miskin
Sumber : Himawan (2005)
Gambar V.5. Fungsi Zakat atas Inflasi
membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat. Himawan (2005) menyampaikan mengenai fungsi zakat yang menjadi solusi dari inflasi seperti terlihat pada gambar bahwa zakat memiliki fungsi kontrol dan fungsi sosial. Dimana dengan fungsi sosialnya zakat bisa menurunkan harta yang ditumpuk, sehingga menjadi aliran investasi. Jika aliran investasi tinggi maka pengadaan barang dan jasa juga akan meningkat, hal ini menyebabkan turunnya harga. Disisi lain zakat dengan fungsi sosialnya memberikan subsidi untuk meningkatkan daya beli mustahik. Sehingga pada akhirnya akan menciptakan kesejahteraan.
II.6. Kerangka Pemikiran Keterkaitan antara perumusan masalah dan tujuan penelitian dapat dilihat dari kerangka pemikiran penelitian, dapat dilihat pada Gambar V.6. dimana permintaan uang dalam Islam yaitu M1IS dan M2IS yang dibagi lagi dalam turunannya masing √ masing dipengaruhi oleh variabel makroekonomi yaitu GDP Riil. Sebagai biaya imbangan dalam memegang uang, pada permintaan uang dilihat dari tingkat return pada skim syariah. Lalu akan dilihat pula pengaruh
social values pada sistem Islam, sehingga dapat terlihat dari masing √ masing klasifikasi permintaan uang berhubungan dengan melihat jumalah permintaan uang Islam untuk monetary
management dalam Islam. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis utama yang dibangun dalam paper ini ada 2,
pertama, dalam model permintaan uang Islam yang juga dibagi dalam unsur uang kartal, giro
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
Permintaan M1- Islam
Giro wadi»ah
531
Permintaan M2- Islam
Tabungan mudharabah
Uang kartal
Deposito mudharabah
Variabel Makroekonomi: GDP Riil
Social Values
Return Syariah (Ekuivalen Rate BSM dan Ekuivalen Rate BMI)
Monetary Management in Islam (Money Demand) Keterangan : : Alur kerangka : Dipengaruhi oleh : Terdiri dari
Gambar V.6. Kerangka Pemikiran Konseptual
wadi»ah, tabungan mudharabah dan investasi mudharabah pada jangka panjang, maka GDP Riil diduga berpengaruh positif terhadap permintaan uang Islam dan return syariah berpengaruh negatif. Kedua, social values (zakat) berpengaruh negatif terhadap permintaan uang untuk kegiatan yang tidak produktif pada sistem Islam pada sisi muzakki dan berpengaruh positif terhadap permintaan uang pada sisi mustahik;
III. METODOLOGI III.1. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini, data yang digunakan merupakan data sekunder negara Indonesia dalam bentuk bulanan yang diperoleh dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia Bank
532 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Indonesia (SEKI-BI); Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia (SPS-BI); data publikasi return syariah dalam laporan distribusi pendapatan Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri; Laporan Tahunan Bagian Zakat Departemen Agama dan Laporan Keuangan dari beberapa lembaga (Badan Amil Zakat Nasional; Pos Keadilan Peduli Umat; Rumah Zakat Indonesia; BAMUIS BNI; BSM Umat; BAZDA DKI; BAZDA BOGOR; Tabung Wakaf Indonesia; Yayasan Wakaf Paramadina; Forum Zakat dan Dompet Dhuafa) serta data potensi zakat di Indonesia dalam periode waktu antara bulan Januari 2001 sampai dengan bulan Desember 2007. Mengacu pada kerangka pemikiran (Gambar V.6), maka variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Permintaan M1 Islam (M1IS), jumlah uang beredar Islam dalam arti sempit terdiri dari uang kartal dan demand deposit (giro wadi»ah). Dalam penelitian ini belum dapat membedakan uang berbasis Islam dan konvensional karena adanya unsur uang kartal dalam M1IS. b. Permintaan M2 Islam (M2IS), jumlah uang beredar Islam dalam arti luas terdiri dari M1IS ditambah tabungan mudharabah dan deposito mudharabah, seperti sebelumnya pada variabel ini belum dibedakan kriteria yang benar √ benar uang yang sesuai syariat Islam karena adanya unsur uang kartal dalam M2IS. c. Uang Kartal (UK), uang beredar baik logam ataupun kertas yang ada di masyarakat (diluar bank umum) dan siap dibelanjakan, setiap saat dikeluarkan oleh bank sentral. Dalam uang kartal ini terutama belum dapat dibedakan uang yang sesuai syariat Islam dan konvensional. d. Giro Wadi»ah (GW), rekening giro dimana akad titipan yang dilakukan dengan kondisi penerima titipan bertanggung jawab atas nilai dari uang. e. Tabungan Mudharabah (TM) adalah simpanan pihak ketiga di bank Islam yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai dengan perjanjian. f. Deposito Investasi Mudharabah (DM) adalah simpanan pihak ketiga di bank Islam yang mensyaratkan adanya tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar dana bisa diputarkan. g. Gross Domestic Product Riil (GDPR), adalah nilai Produk Domestik Bruto yang dideflasi dengan tingkat IHK tahun dasar 2002, namun pada penelitian ini GDP belum terlepas dari conspicious
consumption. h. Sosial Values (S), tingkat alokasi dan distribusi dari sumber daya yang bersifat sosial. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data zakat yang merupakan data perkiraan jumlah zakat penghasilan, formulasi Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). i. Return Syariah (RS), terdiri dari Ekuivalen Rate Bank Syariah Mandiri dan Ekuivalen Rate Bank Muamalat Indonesia.
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
533
III.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data Vector Autoregression (VAR) akan digunakan untuk menganalisis pengaruh social values terhadap permintaan uang, jika data yang digunakan stationer dan tidak terkontegrasi, atau akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan menjadi Vector Error Correction Model (VECM) jika data yang digunakan adalah stationer pada perbedaan pertama namun terdapat kointegrasi. Analisis impulse response function juga dilakukan untuk melihat respon suatu variabel endogen terhadap guncangan variabel lain dalam model. Analisis variance
decomposititon juga dilakukan untuk melihat kontribusi relatif suatu variabel dalam menjelaskan variabilitas variabel endogenusnya. Semua data dalam penelitian ini ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural (ln) kecuali rate of return. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Microsoft Excel 2003 dan program Eviews 4.1. Sebelum estimasi dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji stationeritas terhadap semua variabel untuk menghindari masalah regresi lancung (spurious regression). Uji ini dilakukan pada tingkat level dan first difference. Dalam sebuah sistem VAR penentuan lag optimal sangat penting, karena penentuan lag optimal berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sebuah sistem VAR. Disamping itu penentuan lag optimal berguna untuk menunjukkan berapa lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya. Pengujian lag optimal dalam penelitian ini menggunakan kriteria AIC minimum. Berdasarkan pengujian ini, maka lag satu akan digunakan untuk setiap persamaan permintaan uang Islam selanjutnya. Setelah melakukan uji penentuan lag optimal maka dilakukan VAR stability condition
check berupa roots of characteristic polynomial. Dalam Eviews for Users Guide (2002), Lutkepohl mengemukakan bahwa suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan terletak dalam unit circle-nya. Linda (2007) juga mengemukakan sistem VAR yang tidak stabil menjadikan analisis IRF dan FEVD tidak valid. Hasil uji sistem VAR ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Jika semua model berada dalam unit circle-nya atau dibawah satu, hal ini menandakan model √ model tersebut stabil. Pengujian kointegrasi dilakukan untuk memperoleh hubungan jangka panjang antar variabel yang telah memenuhi persyaratna selama proses integrasi yaitu dimana semua variabel telah stationer pada derajat yang sama yaitu derajat satu I(1). Hubungan kointegrasi dalam sebuah sistem persamaan menandakan bahwa dalam sistem tersebut terdapat error correction
model yang mengambarkan adanya dinamisasi dalam jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya seperti diungkapkan oleh Verbeek (2000). Uji kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen dengan
534 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
membandingkan antara trace statistic dengan critical value yang digunakan, yaitu 5 persen. Jika trace statistic lebih besar dari critical value 5%, maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Hasil pengujian kointegrasi dapat dilihat pada Lampiran 2. Melalui lampiran terlihat bahwa untuk persamaan M1IS, M2IS, UK dan GW tidak terdapat kointegrasi. Pada persamaan TM dan DM masing √ masing persamaan terdapat minimal satu rank kointegrasi pada taraf nyata lima persen. Informasi ini menandakan hasil estimasi selanjutnya untuk persamaan TM dan DM menggunakan model VECM. Setelah melalui uji kointegrasi pada sistem VAR sebelumnya dan terlihat bahwa terdapat empat persamaan yang menggunakan VAR dan dua persamaan memiliki kointegrasi maka analisis selanjutnya dikombinasikan dengan model VECM. Estimasi VECM dilakukan untuk melihat analisis jangka panjang dan jangka pendek, sedangkan jika hanya dilakukan sampai VAR maka kita dapat melihat analisis jangka pendek.
IV. HASIL DAN ANALISIS IV.1. Hasil Estimasi VAR Permintaan Uang Islam Hasil estimasi VAR untuk model permintaan uang M1 Islam dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada jangka pendek menunjukkan bahwa output atau GDP berhubungan positif secara signifikan terhadap keseimbangan M1 riil Islam sebesar 1.122078. Artinya ketika GDP meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan M1 riil Islam meningkat juga sebesar 1.122078 persen. Maka hal tersebut sesuai dengan hipotesis dimana ketika output meningkat maka biaya transaksi akan meningkat untuk dipenuhi, sehingga permintaan uang meningkat. Hal ini dapat terlihat pada periode pertama tahun 2001 dimana pada saat GDP sebesar 1198.59 milyar dengan M1 Islam sebesar 59724.47 milyar dibandingkan periode pertama pada tahun 2002 mengalami peningkatan menjadi 1251.53 milyar untuk GDP dan 69003.59 milyar untuk M1 Islam. Variabel social values (zakat) pada jangka pendek secara signifikan mempengaruhi permintaan keseimbangan M1 riil Islam secara positif sebesar 2.151359. Hal ini berarti bahwa jika S meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan M1 riil Islam meningkat juga sebesar 2.151359 persen. Maka hal tersebut bisa saja terjadi dalam jangka pendek, meskipun pada jangka panjang hal tersebut bisa saja berubah atau sesuai dengan teori dimana dengan meningkatnya S maka masyarakat akan mengurangi permintaan uang untuk konsumsi yang berlebihan atau spekulatif. Melalui perbandingan periode pertama data tahun 2001 dan 2002, pada saat S meningkat dari 1685.22 milyar menjadi 1710.50 milyar, maka M1 Islam juga meningkat dari angka 59724.47 milyar menjadi 69003.59 milyar.
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
535
Sedangkan bagi variabel return syariah variabel ini bernilai positif. Dimana jika RS meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan M1 riil Islam mengalami kenaikan sebesar 0.015241 persen. Hal ini bisa saja terjadi dalam jangka pendek karena saat RS naik, masyarakat bisa memiliki pandangan untuk mengambil uangnya misalnya untuk konsumsi. Namun dalam permintaan M1 riil Islam RS tidak berpengaruh secara signifikan. Dalam hal ini kita membandingkan peride pertama pada tahun 2001 dan 2002, dimana pada saat RS dari 9.59% menjadi 11.81 persen, kenaikan juga terjadi pada M1 Islam di periode yang sama. Berdasarkan Lampiran 4,, untuk permintaan uang M2, hasil estimasi menunjukkan bahwa output atau GDP berhubungan positif secara signifikan terhadap keseimbangan M2 riil Islam sebesar 1.032118. Artinya ketika GDP meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan M2 riil Islam meningkat sebesar 1.032118 persen. Hal ini sesuai juga dengan hipotesis yang sebelumnya. Dapat terlihat pada perbandingan data pada tahun 2002 dan 2003 di periode pertama, dimana GDP meningkat dari 1251.53 milyar menjadi 1286.89 milyar dengan M2 Islam dari 70575.74 milyar menjadi 79020.61 milyar. Variabel social values (zakat) pada jangka ini signifikan dan mempengaruhi permintaan keseimbangan M2 riil Islam secara positif sebesar 2.023231. Hal ini berarti bahwa jika S meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan M2 riil Islam meningkat sebesar 2.023231 persen. Hal ini dapat terjadi pada jangka pendek, karena saat seseorang memberikan zakat maka hal tersebut menaikkan agregat demand bagi mustahik. Sifat zakat membuat pihak yang memiliki dana lebih sejahtera, maka asumsinya mereka akan berpikir untuk investasi. Dengan investasi tersebut maka akan menggeser agregat supply juga, hal ini menyebabkan kuantitas barang dan jasa meningkat. Saat itu PDB meningkat, hal ini membuat tingkat kesejahteraan muzakki meningkat juga. Sedangkan bagi variabel return syariah, variabel ini bernilai positif sebesar 0.014216. Dimana jika RS meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan M2 riil Islam mengalami kenaikan sebesar 0.014216 persen. Hal ini wajar terjadi pada jangka pendek, karena saat RS meningkat menandakan tingkat bagi hasil meningkat pula sehingga pada jangka pendek dapat terjadi penarikan dana untuk kegiatan lain atau kembali menginvestasikan uangnya. Namun RS tidak berpengaruh signifikan terhadap pilihan seseorang untuk memegang uang.
IV.2. Hasil Estimasi VAR Permintaan Uang Kartal Untuk variabel GDP, hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel ini berhubungan positif secara signifikan terhadap keseimbangan UK riil sebesar 1.112937. Artinya ketika GDP meningkat
536 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan UK riil akan meningkat sebesar 1.112937 persen. Dapat kita ambil salah satu contoh yang terjadi pada tahun 2001 dan 2002, dimana GDP meningkat pada 1198.59 milyar menjadi 1251.53 milyar dan pada saat yang sama UK meningkat dari 59540.00 milyar menjadi 68762.00 milyar. Variabel social values (zakat) pada jangka pendek mempengaruhi permintaan keseimbangan UK riil secara positif sebesar 2.186456. Hal ini berarti bahwa jika S meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan UK riil meningkat juga sebesar 2.186456 persen, namun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah permintaan uang kartal. Pada periode yang sama seperti sebelumnya S meningkt dari 1685.22 milyar menjadi 1710.50 milyar. Sedangkan bagi variabel return syariah, signifikan dan bernilai positif 0.014752. Dimana jika RS meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan UK riil mengalami kenaikan sebesar 0.014752 persen, hal ini dapat dilihat pada Lampiran 5. Jika kita mengambil data pada tahun 2005 periode pertama, saat RS 9.59% jumlah UK adalah 59540 milyar, selanjutnya pada tahun 2006 periode pertama, saat RS 13.23% jumlah UK meningkat menjadi
4.3. Hasil Estimasi VAR Permintaan Giro Wadi»ah Berdasarkan Lampiran 6, pada jangka pendek menunjukkan bahwa output atau GDP berhubungan positif secara signifikan terhadap keseimbangan GW riil sebesar 0.198811. Artinya ketika GDP meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan GW riil meningkat sebesar 0.198811 persen. Melihat pada data tahun 2006 dan 2007 dimana GW mengikuti pergerakan GDP yang meningkat dari 1473.12 milyar menjadi 1625.39 milyar dan GW meningkat dari 2056.76milyar menjadi 3277.23 milyar. Variabel social values (zakat) pada jangka pendek mempengaruhi permintaan keseimbangan GW riil secara negatif sebesar -0.232958. Hal ini berarti bahwa jika S meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan GW riil menurun sebesar -0.232958 persen.
Social values tidak berpengaruh signifikan terhadap GW riil. Hal ini terlihat pada periode awal tahun 2001 dimana saat S meningkat dari 1685.22 milyar menjadi 1687.32 milyar, GW mengalami penurunan dari 184.7 milyar menjadi 171.63 milyar. Sedangkan bagi variabel return syariah, bernilai negatif sebesar -0.582130 dan tidak signifikan. Dimana jika RS meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan GW riil mengalami penurunan sebesar -0.582130 persen. Dapat dilihat pada data tahun 2004, dimana saat RS turun dari 8.74 persen menjadi 7.77 persen, GW meningkat dari 664.62 milyar
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
537
menjadi 667.7 milyar. Dalam hal ini terlihat bahwa masyarakat masih mempertimbangkan
opportunity cost dalam memegang uang, hal ini bisa saja terjadi karena sebagai pemilik dana tidak dapat melihat naik turunnya jumlah nisbah.
IV.4. Hasil Estimasi VECM Permintaan Tabungan Mudharabah Pada jangka panjang menunjukkan bahwa output atau GDP berhubungan negatif secara signifikan terhadap keseimbangan TM riil sebesar -1.908627. Artinya ketika GDP meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan TM riil menurun sebesar 1.908627 persen. Dapat terlihat pada periode pertama dan kedua tahun 2001, dimana saat GDP mengalami penurunan dari 1198.59 milyar menjadi 1187.62 milyar, TM mengalami kenaikan dari 367.55 milyar menjadi 403.58 milyar. Variabel social values (zakat) pada jangka panjang signifikan dan mempengaruhi permintaan keseimbangan TM riil secara positif sebesar 2.198949. Hal ini berarti bahwa jika S meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan TM riil meningkat pula sebesar 2.198949 persen. Pada periode yang sama S yang meningkat dari 1685.22 milyar menjadi 1687.32 milyar diikuti juga oleh kenaikan TM seperti disebut diatas. Sedangkan bagi variabel return syariah, signifikan dan bernilai negatif sebesar -0.057216. Dimana jika RS meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan TM riil mengalami penurunan sebesar -0.057216 persen. Dapat terlihat di tahun yang sama pada periode 4 dan 5, saat RS mengalami penurunan dari 12.11 persen menjadi 10.83 persen, TM mengalami kenaikan dari 430.43 milyar menjadi 475.12 milyar. Maka hal ini sesuai dengan hipotesis sebelumnya yang melihat pada opportunity cost. Dapat terlihat pula bahwa terdapat penyesuaian antara peralihan jangka pendek ke jangka panjang karena hasil estimasi tstatistiknya yang signifikan. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 7.
IV.4.1. Impuls Respon Permintaan Tabungan Mudharabah Pada Grafik V.1. terlihat bahwa guncangan GDP menyebabkan permintaan tabungan
mudharabah responnya bernilai negatif. Pada periode pertama sampai periode lima mengalami penurunan, namun setelah itu pada periode ke sepuluh mulai terlihat adanya kestabilan respon permintaan tabungan mudharabah (TM) terhadap pengaruh guncangan GDPR dengan nilai sekitar 0.39 persen hingga periode terakhir pengamatan. Sedangkan untuk variabel social values dalam hal ini zakat, guncangan S menyebabkan respon tabungan mudharabah bernilai positif, meskipun pada periode pertama sampai tigkat memberikan respon negatif sekitar 0.02 persen.
538 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Response of LNTM to LNGDPR
Response of LNTM to LNTM 05
05
04
04
03
03
02
02
01
01
00
00
-01
-01
-02
-02
-03
-03 -04
-04 5
10
15
20
25
30
35
40
5
45
10
15
20
25
30
35
40
45
35
40
45
Response of LNTM to RS
Response of LNTM to LNS 05
05
04
04
03
03
02
02
01
01
00
00
-01
-01
-02
-02
-03
-03 -04
-04 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
10
15
20
25
30
Grafik V.1. Respon Permintaan TM Akibat Guncangan GDP, S dan RS pada Jangka Panjang
Pada periode empat respon TM mulai meningkat hingga periode ke tujuh mulai menunjukkan tanda menuju kestabilan sekitar 0.2 persen. Sedangkan untuk guncangan yang diberikan oleh variabel return syariah (RS), TM merespon secara negatif sejak periode pertama. Dari periode pertama sampai periode tujuh mengalami penurunan dan mulai terlihat stabil pada periode sepuluh sekitar 0.25 persen. Hasil dari impuls respon terhadap TM dapat menjelaskan lebih detail dari hasil penelitian sebelumnya ( Hasanah, 2007 ) mengenai permintaan M2 Islam, dimana pada penelitian tersebut berdasarkan IRF permintaan M2 Islam disebut stabil dalam merespon inovasi variabel lainnya dan hasil dari ECT secara statistik signifikan terlihat dari adanya mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang.
IV.4.2. Variance Decomposition Permintaan Tabungan Mudharabah Hasil FEVD permintaan tabungan nudharabah dapat dilihat pada grafik V.2. melalui gambar ini dapat terlihat bahwa pada periode pertama, fluktuasi dari variabel permintaan tabungan
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
539
% RS
120
LNS
LNGDPR
LNTM
100 80 60 40 20 0 1
12
24
36
48
Periode
Grafik V.2. Variance Decomposition Permintaan TM
mudharabah dipengaruhi oleh guncangan TM itu sendiri sebesar 100 persen dan variabel lainnya belum berpengaruh. Pada periode √ periode selanjutnya pengaruh dari guncangan TM semakin menurun mempengaruhi fluktuasi permintaan TM. Mulai periode berikutnya variabel GDPR mulai memberikan pengaruh yang dominan terhadap fluktuasi permintaan tabungan
mudharabah. Pada periode ke-12 fluktuasi TM dapat dijelaskan oleh variabel GDPR sebesar 36.08 persen meskipun variabel TM sendiri masih berpengaruh sebesar 36.96 persen. Selanjutnya pada periode ke-24 sampai ke-48 pengaruh dari GDPR lebih dominan masing √ masing 39.29 persen, 40.22 persen dan 40.66 persen. Variabel social values dalam setiap periode memberikan pengaruh terhadap fluktuasi permintaan TM sekitar 11.38 persen sampai 12.97 persen. Untuk variabel RS juga memberikan kontribusi terhadap fluktuasi TM mulai dari periode pertama sampai ke-48, berkisar antara 15.57 persen sampai 16.74 persen. Maka dapat disimpulkan bahwa pada jangka panjang GDPR memiliki pengaruh terhadap permintaan TM, sedangkan variabel social values kurang berpengaruh. Hal ini dapat dilihat pada juga pada penelitian yang dilakukan Chapra (1996) bahwa S belum dapat dijelaskan pengaruhnya, karena Md yang belum terbebas dari conspicious consumption.
IV.5. Hasil Estimasi VECM Permintaan Deposito Mudharabah Variabel social values (zakat) pada jangka panjang signifikan dan mempengaruhi permintaan keseimbangan DM riil secara positif sebesar 2.462457. Hal ini berarti bahwa jika S meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan DM riil meningkat sebesar 2.462457 persen.
540 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Pada jangka panjang menunjukkan bahwa output atau GDP berhubungan negatif secara signifikan terhadap keseimbangan DM riil sebesar -4.205416. Artinya ketika GDP meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan DM riil menurun sebesar 4.205416 persen. Sedangkan bagi variabel return syariah, tidak signifikan dan bernilai negatif. Dimana jika RS meningkat sebesar satu persen maka permintaan keseimbangan DM riil mengalami penurunan sebesar 0.020466 persen. Dapat terlihat pula bahwa terdapat penyesuaian antara peralihan jangka pendek ke jangka panjang karena hasil estimasi t-statistiknya yang signifikan.
IV.5.1. Impuls Respon Permintaan Deposito Mudharabah Pada grafik dibawah ini dapat dilihat pengaruh guncangan social values terhadap deposito mudharabah pada periode pertama sampai dua masih memberikan respon negatif. Terlihat pada gambar setelah itu mulai memberikan respon positif sampai periode akhir yang diamati. Respon DM menuju kearah yang stabil pada periode enam sekitar 0,3 persen.
Response of LNDM to LNS
Response of LNDM to LNDM 20
20
15
15
10
10
05
05
00
00
-05
-05 -10
-10 5
10
15
20
25
30
35
40
5
45
10
Response of LNDM to LNGDPR
15
20
25
30
35
40
45
35
40
45
Response of LNDM to RS
20
20
15
15
10
10
05
05
00
00
-05
-05
-10
-10 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
10
15
20
25
Grafik. V.3. Respon Permintaan DM Akibat Guncangan GDP, S dan RS pada Jangka Panjang
30
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
541
Pada variabel GDPR, DM merespon goncangan dari GDPR pada periode pertama mengalami penurunan samapi ke periode lima. Setelah mengalami penurunan maka tanda √ tanda menuju kestabilan terlihat setelah periode sepuluh dengan kisaran sebesar 0,6 persen. Saat terjadi goncangan dari variabel return syariah maka respon yang diberikan oleh DM adalah pada periode pertama sampai kedua tetap pada kisaran nol dan mulai bergerak turun hingga periode empat. DM mulai menuju kestabilan pada periode lima dengan kisaran 0,15 persen. Hal in merupakan penjabaran lebih detail dari persamaan yang digunakan Hasanah (2007) yang menunjukan M2 Islam dapat disebut cukup stabil.
IV.5.2. Variance Decomposition Permintaan Deposito Mudharabah Untuk melihat fluktuasi dari permintaan deposito mudharabah dapat dijelaskan melalui grafik V.4 dibawah ini. Pada periode pertama variabel DM sendiri yang paling berpengaruh atas flukuasi DM sebesar 100 persen, dan pengaruh dari DM sendiri masih tetap dominan hingga periode pengamatan terkahir. Pada periode ke-12 fluktuasi DM mulai dapat dijelaskan oleh variabel GDPR sebesar 30,22 persen diikuti oleh variabel social values sebesar 4,85 persen. Pada periode selanjutnya pengaruh dari guncangan GDPR bertambah begitu juga dengan variabel social values dengan pertambahan satu hingga dua persen. Sedangkan guncangan dari RS hanya memberikan kontribusi sebesar 0,90 sampai 1,24 persen
% RS
120
LNS
LNGDPR
LNTM
100 80 60 40 20 0 1
12
24
36
48
Periode
Gambar V.4. Variance Decomposition Permintaan DM
Pada periode ke-48 fluktuasi permintaan DM dominannya dipengaruhi oleh dirinya sendiri sebesar 52,21 persen, GDPR sebesar 39,9 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada jangka panjang variabel DM sendiri tetap berpengaruh dominan terhadap permintaan DM sendiri, sedangkan RS kurang berpengaruh.
542 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
V. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai analisis pengaruh social values terhadap pemintaan uang di Indonesia, hasilnya bervariasi. Sebagian mengikuti hipotesis awal, tapi sebagian lainnya tidak sesuai hipotesis awal. Hal ini disebabkan oleh variabel uang kartal yang belum dapat dibedakan uang yang benar √ benar sesuai dengan syariah Islam, permintaan uang harus bersih dari conspicious consumption dan social values yang digunakan belum secara keseluruhan merangkum bagian yang dapat diukur dan yang tidak dapat diukur. Namun demikian, hasil ini memberikan gambaran awal mengenai perilaku permintaan uang Islam terhadap guncangan √ guncangan variabel yang mempengaruhinya. Kesulitan dalam uji empiris menggunakan model permintaan uang Umer Chapra memang sudah diprediksikan sebelumnya oleh Umer Chapra sendiri berkenaan dengan variabel social values dan mengenai
conspicious consumption. Secara umum kita dapat melihat hubungan pada jangka panjang hanya pada model permintaan tabungan mudharabah dan deposito mudharabah saja. GDP berpengaruh signifikan untuk setiap model permintaan uang (kecuali pada giro wadi»ah) karena baik pada sistem syariah maupun konvensional, jika masyarakat lebih sejahtera maka asumsinya permintaan uang akan meningkat. Untuk variabel social values dan return syariah pada beberapa model pengaruhnya berkebalikan dengan hipotesis awal dikarenakan sistem syariah masih di dominasi oleh sistem konvensional. Hal ini disebabkan karena faktor uang kartal, conspicious consumption dan social
values itu sendiri. RS tidak signifikan pada beberapa model persamaan dapat dijelaskan dengan melihat opportunity cost dari memegang uang. Untuk saat ini karena beberapa alasan sebelumnya variabel social values belum begitu terlihat pengaruhnya terhadap jumlah permintaan uang di Indonesia. Kesimpulan dari hasil analisis secara umum adalah : 1. Pada model permintaan M1 Islam dan M2 Islam pada jangka pendek, GDP berhubungan positif secara signifikan. Variabel social values (zakat) secara signifikan mempengaruhi secara positif dan return syariah variabel ini bernilai positif dan tidak berpengaruh secara signifikan. 2. Pada model permintaan uang kartal pada jangka pendek GDP berhubungan positif secara signifikan. Sedangkan social values (zakat) mempengaruhi permintaan keseimbangan uang kartal secara positif namun tidak berpengaruh secara signifikan. Untuk variabel return syariah bernilai positif dan mempengaruhi secara signifikan terhadap uang kartal. 3. Untuk model permintaan giro wadi»ah variabel GDP memiliki pengaruh positif, social values berpengaruh negatif begitu juga dengan return syariah. Namun semua variabel tidak berpengaruh signifikan.
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
543
4. Model permintaan tabungan mudharabah pada jangka panjang GDP berhubungan negatif secara signifikan. Sedangkan social values (zakat) signifikan dan mempengaruhi permintaan keseimbangan tabungan mudaharabah secara positif. Variabel return syariah signifikan dan bernilai negatif. Berdasarkan hasil IRF permintaan akan tabungan mudharabah dapat dikatakan cukup stabil dalam merespon inovasi variabel lainnya. Terdapat mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang dan melalui hasil FEVD terlihat bahwa
social values tidak dominan mempengaruhi permintaan tabungan mudharabah. 5. Pada model permintaan deposito mudharabah pada jangka panjang, social values (zakat) signifikan dan mempengaruhi permintaan keseimbangan tabungan mudaharabah secara positif. Sedangkan GDP berhubungan negatif secara signifikan variabel return syariah tidak signifikan dan bernilai negatif. Terdapat mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang Berdasarkan hasil IRF permintaan akan deposito mudharabah dapat dikatakan cukup stabil dalam merespon inovasi variabel lainnya dan melalui hasil FEVD terlihat bahwa social values tidak dominan mempengaruhi permintaan tabungan mudharabah. Melalui hasil dari analisis pengaruh social values terhadap jumlah permintaan uang di Indonesia, maka saran yang dapat diberikan adalah dibutuhkannya lebih banyak penelitian mengenai social values terutama variabel yang ada di dalamnya sendiri. Perlunya pendataan yang lebih menyeluruh mengenai social values untuk benar √ benar membuktikan fungsinya sebagai instrumen moneter dalam sistem moneter Islam. Sebagai otoritas bagi sistem perbankan dan ekonomi Islam, diharapkan Bank Indonesia dapat mempertimbangkan variabel social values untuk dikaji lebih lanjut pengaruhnya dalam mengambil kebijakan moneter. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk meneliti permintaan uang dengan memperpanjang series data; menurunkan lagi variabel social values untuk semua kegiatan yang sifatnya sosial dengan data primer; membedakan uang kartal konvensional dan Islam serta pemisahan konsumsi tanpa conspicious consumption. Karena kemungkinan akan menghasilkan analisis yang berbeda dan lebih baik.
544 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, M.Syafi»I. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta. Apriani, Dian K. 2007. Analisis Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia Terhadap Inflasi dan
Output di Indonesia : Periode 1990 √ 2006 [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Ascarya dan Diana Yumanita. 2004. Bank Syariah :Gambaran Umum. Seri Kebanksentralan No. 14. Bank Indonesia, Jakarta. Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah. Rajawali Press, Jakarta. Ascarya. 2007. Optimum Monetary Policy under Dual Financial/Banking Sains Islam Malaysia (USIM) Islamic Economics Conference Lumpur, Malaysia, 17-19
System. Universiti
(IECONS 2007), Kuala
Juli.
Ascarya, Achsani, N.A, Yumanita, D dan Ali Sakti. 2007. Towards Integrated Monetary Policy
under Dual
Financial System: Interest System vs Profit and Loss Sharing System. (mimeo).
Paper. PPSK. Bank Indonesia, Jakarta. Bank Indonesia. Beberapa Tahun Penerbitan. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Chapra, Umer. 1996. Monetary Management in an Islamic Economy. Islamic Economic Studies, Vol.4 No.1. Darrat, A.F. 2000. On The Efficiency of Interest-free Monetary System : A CaseStudy. ERF»s Seventh Annual Conference, Amman-Jordan, 26-29 Oktober. Deliarnov. 2003. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Rajawali Press, Jakarta. Direktorat Perbankan Syariah. Statistik Perbankan Syariah. Bank Indonesia, Jakarta. Berbagai Edisi. Fauzia, Amelia, Andy Agung, Chaider S. Bamualim, Irfan Abubakar. 2006. Filantropi Islam dan
Keadilan Sosial. Centre for Study of Religion and Culture, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah], Erlangga, Jakarta. Hafidhuddin, Didin. 1998. Panduan Praktis Tentang Zakat Infak Sedekah, Gema Insani, Jakarta. Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern, Gema Insani, Jakarta. Hafidhudin, Didin. 2006. Mutiara Dakwah, ALBI Publishing, Jakarta. Hasanah, Heni. 2007. Stabilitas Moneter pada Sistem Perbankan Ganda di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
545
Iqbal, Muhamad. 2007. Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar dan Dirham. Spiritual Learning Centre, Jakarta. Juanda, Bambang. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press, Bogor. Karim, Adiwarman. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Rajawali Press, Jakarta. Karim, Adiwarman. 2007. Ekonomi Makro Islami, Rajawali Press, Jakarta. Linda, Maiva. 2007. Responsifitas Kredit Investasi terhadap Variabel Makroekonomi dan
Perbankan pada Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Mankiw, N.G. 2003. Teori Makroekonomi, terjemahan, Erlangga, Jakarta. Mishkin, F.S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, Colombia University. Nachrowi, N. D. dan H. Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk
Analisis Ekonomi dan Keuangan. Universitas Indonesia, Jakarta. Nugraha, Fickry W. 2006. Efek Perubahan (Pass Through Effect) Kurs terhadap Indeks Harga
Konsumen di ASEAN √ 5, Jepang dan Korea Selatan [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pasaribu, Syamsul Hidayat. 2003. Eviews untuk Analisis Runtut Waktu (Time Series Analysis). Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pasaribu, Syamsul H, Djoni Hartono, dan Toni Irawan. 2005. Pedoman Penulisan Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Sakti, A. 2007. Sistem Ekonomi Islam: Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern, Paradigma & Aqsa Publishing, Jakarta. Sarwoko 2007. Dasar √ Dasar Ekonometrika, Andi, Yogyakarta. Winarno, W.W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews, UPP STIM YKPN, Yogyakarta.
546 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
LAMPIRAN
Table 1 Hasil Uji Stabilitas Sistem VAR No.
Model
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kisaran Modulus
LNM1IS LNM2IS LNUK LNGW LNTM LNDM
0.417043 0.416193 0.410916 0.554353 0.277161 0.455528 -
0.070260 0.082248 0.067792 0.130271 0.068155 0.137169
Table 2 Hasil Pengujian Kointegrasi (lag optimal = 1) Trace Statistic H0
r=0
r <= 1
r <= 2
r <= 3
H1
r >= 1
r >= 2
r >= 3
r >= 4
LNM1IS LNM2IS LNUK LNGW LNTM LNDM 5% critical value
51.80194 52.19621 51.66462 33.71517 63.62918 70.85890
24.36049 24.46873 24.36053 15.75253 26.05854 27.69989
12.47034 12.61307 12.49479 4.201820 14.25646 15.36594
2.669380 2.587696 2.740090 0.402486 2.918710 4.228240
62.99
42.44
25.32
12.25
Catatan : Cetak tebal menunjukkan bahwa trace statistic > 5% critical value dan terjadi kointegrasi
Table 3 Hasil Estimasi VAR Permintaan M1 Islam JANGKA PENDEK Variabel D(LNM1IS(-1)) D(LNGDPR(-1)) D(LNS(-1)) D(RS(-1)) C
Koefisien -0.445146 1.122078 2.151359 0.015241 0.017000
Catatan : Cetak tebal menunjukkan bahwa variabel signifikan pada taraf nyata 5%
T-Statistic -4.24137 3.22959 4.09567 1.94604 2.65226
Analisis Pengaruh Social Values terhadap Jumlah Permintaan Uang Islam di Indonesia
Table 4 Hasil Estimasi VAR Permintaan M2 Islam JANGKA PENDEK Variabel D(LNM2IS(-1)) D(LNGDPR(-1)) D(LNS(-1)) D(RS(-1)) C
Koefisien -0.445903 1.032118 2.023231 0.014216 0.018550
T-Statistic -4.22948 3.09416 4.01773 1.89670 3.01926
Catatan : Cetak tebal menunjukkan bahwa variabel signifikan pada taraf nyata 5%
Table 5 Hasil Estimasi VAR Permintaan Uang Kartal JANGKA PENDEK Variabel D(LNUK(-1)) D(LNGDPR(-1)) D(LNS(-1)) D(RS(-1)) C
Koefisien -0.434011 1.112937 2.186456 0.014752 0.016904
T-Statistic -4.11628 3.16769 1.86620 4.12135 2.61075
Catatan : Cetak tebal menunjukkan bahwa variabel signifikan pada taraf nyata 5%
Table 6 Hasil Estimasi VAR Permintaan Giro Wadi»ah JANGKA PENDEK Variabel D(LNGW(-1)) D(LNGDPR(-1)) D(LNS(-1)) D(RS(-1)) C
Koefisien 0.029453 0.198811 -0.232958 -0.582130 0.044192
T-Statistic -6.18646 0.16927 -0.11953 1.04078 1.84506
Catatan : Cetak tebal menunjukkan bahwa variabel signifikan pada taraf nyata 5%
Table 6 Hasil Estimasi VAR Permintaan Giro Wadi»ah JANGKA PENDEK Variabel D(LNGW(-1)) D(LNGDPR(-1)) D(LNS(-1)) D(RS(-1)) C
Koefisien 0.029453 0.198811 -0.232958 -0.582130 0.044192
Catatan : Cetak tebal menunjukkan bahwa variabel signifikan pada taraf nyata 5%
T-Statistic -6.18646 0.16927 -0.11953 1.04078 1.84506
547
548 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010
Table 7 Hasil Estimasi Permintaan Tabungan Mudharabah JANGKA PENDEK Variabel CointEq1 D(LNTM(-1)) D(LNGDPR(-1)) D(LNS(-1)) D(RS(-1))
Koefisien -0.333766 0.113769 0.415462 0.011711 -0.827572
T-Statistic -5.23838 1.13528 1.28691 -1.53806 1.47837
JANGKA PENDEK Variabel LNGDPR(-1) LNS(-1) RS(-1) @TREND(01:01)
Koefisien -1.908627 2.198949 -0.057216 0.049968
T-Statistic 5.49247 -3.17298 4.51625 -10.2711
Catatan : Cetak tebal menunjukkan bahwa variabel signifikan pada taraf nyata 5%
Table 8 Hasil Estimasi Permintaan Deposito Mudharabah JANGKA PENDEK Variabel CointEq1 D(LNDM(-1)) D(LNS(-1)) D(LNGDPR(-1)) D(ERBMI(-1))
Koefisien -0.589760 -0.153518 -3.013017 -0.169284 0.010978
T-Statistic -4.26577 -1.32523 -1.34550 -0.13311 0.36062
JANGKA PENDEK Variabel LNS (-1) LNGDPR(-1) RS(-1) @TREND(01:01)
Koefisien 2.462457 -4.205416 -0.020466 0.067205
Catatan : Cetak tebal menunjukkan bahwa variabel signifikan pada taraf nyata 5%
T-Statistic -2.08780 7.18548 0.94958 -8.11926
PETUNJUK PENULISAN
1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima, TETAP menjadi hak penulis. 2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial sebesar Rp 2.500.000,-. 3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan
softcopy anda ke:
[email protected] (Cc. to:
[email protected].)
Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan melalui pos ke alamat redaksi berikut: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2 Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394 4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan ukuran font 12. 5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation. 6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya. 7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal
of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/ jel_class_system.html. 8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,
550 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, April 2010
I. JUDUL BAB I.1. Sub Bab I.1.1. Sub Sub Bab 9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote. 10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut, a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New Jersey. b. Artikel dalam jurnal: Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with Human Capital∆, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416. c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. ≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995, hal. 397-416. d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Chen, Daniel Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No.7530, 2000. John. ≈Can Parental Decision Explain e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999. f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston Heston, Alan W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆ http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997. g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆,
Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56. 11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.