Volume 3, Nomor 3, Desember 2005
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Direktorat Hukum Bank Indonesia
Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung Jawab Roswita Roza, Oey Hoey Tiong, Ramlan Ginting
Pemimpin Redaksi Agus Santoso
Sekretaris Redaksi Musliha
Dewan Redaksi Suchaemi Sy. Maarif, Hendrikus Ivo, Wahyudi Santoso, Bambang Djauhari, Sudarmaji, Tini Kustini, Umi Widji. R, Agus Santoso
Redaksi Pelaksana Eddie Rinaldy, Hilman Tisnawan, Hernowo Koentoadji, Anton Purba, Yulita Kuntari, M. Hoshi Utomo
Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Namun mulai tahun 2004 buletin ini akan terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10100, telepon (021) 381 8629 facsimile (021) 350 1931, email:
[email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt 9 Jl M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10100, telepon (021) 381 7416, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. “Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links kemudian publikasi”
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
Volume 3, Nomor 3, Desember 2005
DARI MEJA REDAKSI Seiring perkembangan permasalahan hukum khususnya dibidang perbankan dan kebanksentralan, serta dalam rangka peningkatan kualitas serta mutu Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, pada Volume 3 Nomor 3 Desember 2005 ini, Redaksi berupaya untuk tetap dapat menyuguhkan bacaan mengenai topik yang sedang hangat dan aktual. Pada kesempatan ini pula Redaksi menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada para penulis atas dukungan dan kontribusi artikel untuk penerbitan Buletin ini. Terkait dengan topik yang kami pilihkan, untuk edisi Desember ini kami mencoba menampilkan artikel-artikel yang bervariasi, antara lain membahas tentang Pandangan Yuridis Conflict of Law dan Choice of Law dalam Kontrak Bisnis Internasional, Keterkaitan Perbankan Dalam Transaksi Warehouse Receipt, Permasalahan Yuridis akan Status Hak Kepemilikan Pemegang Unit Penyertaan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset-Backed Securities) Apabila Dikaitkan dengan Kepailitan, dan Tinjauan Yuridis Rencana Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Bank Sentral Dalam Amandemen RUU Pajak Penghasilan. Dalam rubrik Resensi, kami menampilkan ulasan terhadap buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, S.H dengan judul “Keuangan Publik dalam Prespektif Hukum Teori, Praktik, dan Kritik”. Sementara itu, pada rubrik Cakrawala Hukum ditampilkan 2 (dua) resume hasil seminar perbankan syariah dengan topik Key Legal, Documentary and Structuring Issues for Islamic Financial Product yang diselenggarakan di Dubai dan 6th International Conference on Islamic Economics and Finance yang diselenggarakan di Jakarta. Selanjutnya, guna memberikan pengkinian informasi Peraturan Bank Indonesia, edisi ini, seperti edisi sebelumnya, memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia yang dikeluarkan pada bulan Agustus-Desember 2005. Dengan informasi dan wacana yang cukup beragam, semoga Buletin ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca. Selamat membaca. Jakarta, Desember 2005 Redaksi
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 3, Nomor 3, Desember 2005
Halaman Dari Meja Redaksi Daftar Isi Pandangan Yuridis Conflict of Law dan Choice of Law Dalam Kontrak Bisnis Internasional……………………………………… •
Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, S.H.
Keterkaitan Perbankan Dalam Transaksi Warehouse Receipt…. •
19 – 32
Yunus Edward Manik, S.H., LL.M
Tinjauan Yuridis Rencana Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Bank Sentral Dalam Amandemen RUU Pajak Penghasilan……………………………………………………….. •
14 – 18
Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M
Permasalahan Yuridis Akan Status Hak Kepemilikan Pemegang Unit Penyertaan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset-Backed Securities) Apabila Dikaitkan Dengan Kepailitan………………………………………………………….. •
1 – 13
33 – 41
Edi Yusup Toto S, S.H. & Leo Sukatrilaksana, S.E., M.Ec.
Resensi Buku:
42 – 45
Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik, dan Kritik (oleh Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, S.H)…………….. •
Hilman Tisnawan, S.H
Cakrawala Hukum: -
Key Legal, Documentary and Structuring Issues for Islamic Financial Product, Dubai 7-8 September 2005
46 – 56
-
6th International Conference on Islamic Economics and Finance, Jakarta 21-24 November 2005 •
Redaksi
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran (Ekstern) Bank Indonesia Agustus – Desember 2005……………………... •
Tim Informasi Hukum
57 – 62
PANDANGAN YURIDIS CONFLICT OF LAW DAN CHOICE OF LAW DALAM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL Oleh: Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH1
A. Umum 1. Pengantar Conflict of law menjadi salah satu topik dalam diskusi berkepanjangan yang dibahas dalam Working Group VI UNCITRAL bulan September 2005. Tujuan pembahasan adalah untuk membentuk model law bisnis internasional, antara lain sengketa hukum dalam pelaksanaannya, terutama yang berhubungan dengan kebebasan para pihak menentukan hukum dalam penyelesaian sengketa mereka (choice of law) dan pembatasannya, yang semakin berkembang dalam pelaksanaannya, berakibat dibutuhkannya pengaturan yang lebih luas. Keadaan nyata dapat dilihat pada perlindungan terhadap risiko yang timbul dalam perjanjian terkait dengan aktivitas bank dalam pelaksanaan fungsinya sebagai lembaga untuk menyediakan dan membiayai, seperti perkreditan, treasury, investasi, dan pembiayaan perdagangan.2 1 Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI.
Hukum sebagai penunjang utama dalam pelaksanaannya agar berjalan secara tertib berdasarkan hukum nasional para pihak yang membatasi pilihan hukum, misalnya UU 3 Kepailitan, UU Lingkungan Hidup, UU Perbankan (termasuk kantor cabang bank asing mengikuti ketentuan ini vide Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-hatian). Dalam Sekuritisasi Aset Bank 4 Umum, HAKI, PP tentang Waralaba, dan sebagainya, memperhatikan model law perdagangan internasional yang disepakati dalam UNCITRAL. Tujuannya adalah menciptakan efisiensi, konsistensi, dan koherensi dalam unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional. Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, dan dapat pula karena risiko kredit, yaitu risiko yang timbul akibat kegagalan counter part memenuhi kewajibannya. 3
Kasus insolvensi di Indonesia berlaku UU Kepailitan, berdasarkan Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Untuk proses likuidasi bank, berlaku ketentuan Bab VI mengenai Likuidasi UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. 4
2
Dalam menjalankan usahanya, bank menghadapi berbagai risiko, antara lain penerbitan surat berharga yang dipersengketakan, tunduk pada ketentuan dalam UU No. 7 Tahun 1992 Tentang
Lihat UU No. 15/ 2001 tentang Merk, dan UU No. 14/ 2001 tentang Paten yang menentukan bahwa apabila terjadi conflict of law, maka hukum yang berlaku adalah hukum dari negara yang memberikan hak khusus atas HAKI tersebut.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
1
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Konvensi internasional sebagai model law yang berlaku, pelaksanaan kontrak, antara lain di bidang barang, seperti The Hague Convention on the Law Applicable to Contracts of International Sale of Goods (1986).5 Konvensi dibidang transaksi elektronik, pelaksanaan fungsi pengawasan pelaksanaan Konvensi New York 1958 tentang recognation and enforcement of Foreign Arbital Awards, dan sebagainya. Dalam kenyataannya ketentuan hukum harmonisasi yang merupakan model law saat ini sudah tidak memadai dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan bisnis internasional, terutama yang menyangkut pelaksanaan penyertaan modal, transaksi elektronik, pemberian kredit/ hak dan kewajiban para pihak dikaitkan dengan perjanjian baku, dalam pelaksanaan fungsi bank sebagai penyedia dan penerima dana. Lembaga internasional/ Majelis Umum PBB, khususnya Komite VI (Hukum), melalui UNCITRAL, dalam mengantisipasi perkembangan yang terjadi telah melakukan usaha mengumpulkan pendapat dan kesepakatan negara anggota untuk membuat suatu konvensi yang menjadi model atau rujukan dalam pembangunan rezim hukum 5 Konvensi ini menentukan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu kontrak penjualan yang tidak dipilih oleh para pihak adalah hukum tempat kedudukan bisnis penjual saat kontrak dibuat. Pasal 13 menentukan bahwa apabila tidak ada pilihan hukum yang tegas maka berlaku hukum negara pemeriksaan barang dilakukan.
perdagangan internasional dalam bentuk model law yang sesuai kebutuhan saat ini, misalnya dalam kaitan dengan conflict of law yang berhubungan erat dengan choice of law (pilihan hukum), yaitu hak para pihak untuk memilih hukum yang berlaku apabila terjadi conflict of law.
B. Permasalahan 1. Apa, dan bagaimana pelaksanaan lembaga choice of law, dalam pelaksanaan kontrak bisnis internasional apabila terjadi conflict of law? 2. Apa permasalahan dan solusi penerapan choice of law dalam pelaksanaan kontrak bisnis internasional apabila terjadi conflict of law?
C. Pembahasan 1. Perkembangan Choice of Law dalam Kontrak Bisinis Internasional Hak dan kewajiban para pihak yang menjadi dasar penyelesaian sengketa mereka dalam conflict of law diistilahkan sebagai choice of law, dan ada pula yang mempergunakan party autonomy. Istilah choice of law lebih pasti pengertiannya dari pada party autonomy, sebagaimana
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
2
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
dikemukakan Gautama.6
oleh
Sudargo
Istilah party autonomy sering dipahami secara keliru (misleidend) dalam Hukum Bisnis Internasional, sehingga menimbulkan pemikiran ke arah yang sebenarnya tidak dicakup oleh istilah tersebut. Istilah autonomy (otonom) mengandung pengertian menentukan sendiri hukum yang harus berlaku bagi mereka. Secara hukum para pihak tidak mempunyai kemampuan untuk membuat sendiri undang-undang bagi mereka. Tidak ada kewenangan untuk menciptakan hukum bagi para pihak yang berkontrak. Mereka hanya diberikan kebebasan untuk memilih hukum mana yang mereka kehendaki untuk diterapkan bagi kontrak yang mereka buat, dan tidak diberikan kewenangan untuk secara otonom menentukan sendiri hukum yang harus berlaku bagi mereka. Kolleewijn mengemukakan dalam kaitan ini: “Het is slechts kiesvrijheid...Niet het recht tot selfregeling” .7 (Itu hanyalah kebebasan 6
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional, Jilid II Bagian 4, Buku ke 5, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hal. 3. Menurut Szaszy Schnitzer, dalam Private International Law in European People’s Democraties, Leiden Universiteit, Leiden, 1964, P. 211, bahwa party autonomy (Inggris) dalam bahasa Belanda partij autonomie, parteiautonomie/ Jerman atau party autonomy/ intention of the parties/ Inggris, lebih menekankan hak para pihak tanpa batas. Schnitzer, dalam Handelingen Nederlandse Juristenvereniging, Marthijn Nijhof, Nederland, P. 106, mengatakan bahwa istilah lain dari party autonomy adalah rechtskeuze, atau choice of law, yang menurut Schnitzer istilah choice of law lebih sesuai karena menggambarkan apa yang diartikan dengan istilah hukum yang bersangkutan dalam hukum perdata internasional. 7
Kollewijn, R.D, Rechtskeuse, Een NederlandschIndische Rechtspiegelvoorgehouden aan het
untuk memilih....bukanlah hak untuk mengatur sendiri–Terjemahan Redaksi). Perkembangan masalah otonomi para pihak ke arah kebebasan memilih hukum yang menjadi dasar hubungan perjanjian para pihak sudah dipraktekkan sejak dahulu. Otonomi para pihak secara konkrit baru dikenal kemudian. Dumolin seorang ahli hukum Italia abad pertengahan mengemukakannya berkenaan dengan masalah syaratsyarat perkawinan (huwelijksvoorwaarden) berkaitan dengan ide kebebasan para pihak.8 Di Perancis dan Nederland ajaran Dumolin ini telah tersebar. Kebebasan para pihak untuk memilih hukum ini ternyata tidak dibatasi untuk soal-soal perkawinan, tetapi juga dibidang hukum perjanjian diakui pilihan hukum oleh para pihak, baik secara tegas maupun diam-diam, sebagai faktor yang menentukan. Namun demikian belum tegas bagi para penulis saat itu tentang kebebasan untuk memilih hukum apakah juga berlaku
International Privaatrecht. Paul Scholten, Verzamelde Opstellen over Intergentiele Privaatrecht Rechtsgeleerde Opstellen Aangeboden aan, Bandung, 1955, hlm. 4. 8
De winter, L.J. op. cit, hal 23. Menurutnya persoalan epoux meries sans contrat telah menjadi famossismo question dan Dumuolin sebagai ahli hukum Perancis saat itu yang pertama-tama telah memberikan perumusan tegas daripada ide kebebasan para pihak. Karenanya ia disebut sebagai fondateur de la doctrine.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
3
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
sebagai ketentuan yang mengikat (dwingend).9
bersifat
Choice of law (pilihan hukum) dalam hukum perjanjian adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan untuk 10 perjanjian mereka. Tujuan penerapan pilihan hukum adalah perlakuan sama untuk kasus serupa, dan pengembangan kepentingan, tujuan dan kebijakan masyarakat. Ada beberapa alasan memberlakukan pilihan hukum, yaitu memberlakukan klausula pilihan hukum yang terdapat dalam kontrak (pengakuan) terhadap party autonomy,11 mengesampingkan pilihan hukum, dan memberlakukan klausula pilihan hukum sebagai penunjang, dan bukan faktor penentu.12 9 Abad ke 19 ajaran kebebasan memilih oleh para pihak ini semakin berkembang, dipergunakan oleh para hakim, antara lain Von Savigny. Menurutnya bahwa hubungan hukum ditampilkan dalam bentuk penundukan sukarela pada sesuatu stelsel hukum yang terjadi karena dipilih (lex loci executions). Pilihan sedemikian ini terutama terjadi secara diam-diam. Teori otonomi para pihak dikembangkan oleh Mancini, bahwa otonomi para pihak merupakan salah satu dari hak asasi keseluruhan bangunan hukum perdata internasional disamping prinsip nasionalitas dan kepentingan umum. Mancini menjadikan kebebasan para individu untuk menentukan hukum bagi hubungan kontrak mereka, namun kebebasan tersebut dibatasi oleh faham ketertiban umum.
10 Sudargo Gautama, op. cit, hal 5, lihat pula Subekti, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1987, hal. 11.
11
Apabila hukum yang dipilih berhubungan erat dengan kontrak, dan tidak melanggar kebijakan fundamental dari negara lain yang lebih besar kepentingannya terhadap keputusan pokok.
12
Dari berbagai putusan pengadilan di berbagai negara, dapat dilihat tidak ada perbedaan prinsipil antara sistem hukum yang ada di dunia,
Manfaat pilihan hukum adalah memuaskan para pihak karena menggunakan hak dasarnya, bersifat kepastian karena memungkinkan para pihak dengan mudah menentukan hukumnya, memberikan efisiensi dan manfaat. Dasar pertimbangan berlakunya pilihan hukum atas pemikiran bahwa semua negara tidak memiliki sistem hukum nasional yang sama. Apabila tidak ditentukan pilihan hukum, maka diterapkan hukum privat nasional. Pembahasan tentang party autonomy ditampilkan dalam satu bahasan perkembangan praktek bisnis internasional berkaitan dengan kontrak. Dikemukakan dalam Pokja UNCITRAL, bahwa party autonomy harus diakui dalam perjanjian baku perbankan, misalnya perjanjian kredit antara bank sebagai kreditur dan debitur sebagai penerima kredit. Klausula dalam perjanjian baku tersebut harus bersifat perintah (mandatory) dalam rangka melindungi debitur sebagai pihak yang melunasi kredit agar dapat membayar hutangnya sesuai kesanggupannya, bila terjadi conflict of law. Aspek-aspek lain yang dibahas apabila terjadi conflict of law, antara lain tentang negotiable instrument dan negotiable document, disamping conflict of law. Apakah seperti common law, social law, dan anglo saxon. Pengaturan pilihan hukum secara umum adalah kebutuhan akan perlindungan dan kepastian para pihak dalam melakukan hubungan dagang yang melewati batas wilayah.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
4
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
dalam menyelesaikan sengketa para pihak hukum negara pihak penanggung (guarantor) dapat sebagai tempat penyelesaiannya. Selanjutnya disinggung pula substansi pengaturan berkaitan dengan benda bergerak yang harus didaftarkan, dan intellectual property yang sudah disetujui dalam sidang sebelumnya sebagai security right intangible property, yang akan dilanjutkan di New York. Pembahasan yang dilakukan oleh Pokja Hukum UNCITRAL tersebut merupakan pembahasan yang selama ini telah dilakukan, dan sebagian sudah mencapai kesepakatan, antara lain ECommerce, the Use of Electronic Communications in International Contracts, yang dibahas oleh Pokja IV sebagai respon terhadap kebutuhan hukum berkaitan dengan secured transaction, yang secara efisien diharapkan mampu menghilangkan hambatan hukum dan memberikan dampak positif terhadap kesediaan biaya bagi 13 kredit. Pelaksanaan Sidang Working Group UNCITRAL yang diselenggarakan tanggal 5-9 September 2005, membahas masalah security interest, sesi ke 8 untuk draft rancangan ketentuan hukum secured 13
Sebagian besar masih dalam proses pembahasan. Substansi yang dibahas adalah mengenai procurement (Pokja I), arbitration (pokja II), transport law (Pokja III), insolvency law (Pokja V), dan security interest (Pokja VI). Security interest oleh Pokja VI merupakan lanjutan pembahasan pada sesi 7, diselenggarakan di New York pada tanggak 24-28 Januari 2005.
transaction, dengan fokus secured credit law. Pertimbangan pembahasan isu mengenai secured credit law ini adalah merupakan respon terhadap kendala-kendala hukum yang timbul dalam pelaksanaan penyediaan dan pembiayaan bank. Beberapa hasil keputusan dalam pembahasan Working Group VI tersebut adalah chapter IX tentang insolvency, chapter X tentang acquisition financing, dan chapter XI tentang conflict of law. Diskusi terkait dengan conflict of law antara lain menyinggung tentang bank account (rekening bank), dan security account (surat berharga). Kedua instrumen ini sulit dibedakan dalam pelaksanaan fungsi bank sebagai pihak ketiga dalam melayani nasabah. Security account berfungsi sebagai pemenuhan kewajiban yang diatur terakhir dalam Hague Convention lebih kompleks dari bank account. Kesepakatan pemanfaatan surat berharga sebagai pemenuhan kewajiban mengikuti perjanjian pokok, dan harus dibayar saat jatuh tempo oleh penerbit.
2. Choice of Law dan Ketertiban Umum Ketertiban umum dan choice of law merupakan dua asas hukum sangat penting dalam conflict of law. Para ahli beranggapan bahwa ketertiban umum berfungsi sebagai lembaga yang membatasi kebebasan para
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
5
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
pihak dalam menentukan choice of law yaitu memilih hukum yang berlaku bagi mereka apabila terjadi sengketa. Hijman mengatakan dalam bidang perdata internasional masih didiskusikan tentang seberapa jauhkah arti dari hak para pihak dalam menentukan hukum bagi mereka. Apakah keinginan para pihak memiliki peranan dalam menentukan hukum yang harus diperlakukan. Berkaitan dengan partij-autonomie dikatakan bahwa “ Met dit vragstuk raak ik een hoofdproblemen, van het geheele privaatrecht: de betekenis van den menselijken wil voor het recht” . (Dengan pertanyaan ini sampailah saya pada masalah yang utama dari keseluruhan hukum perdata: arti dari keinginan manusia terhadap hukum–Terjemahan Redaksi) Choice of law sangat penting dihubungkan dengan ketertiban umum, yang bila dilihat dari sudut pandang falsafah peranan kemauan individu terhadap hukum yang berlaku (wildogma) dan ajaran Romawi. Persoalan pilihan hukum dalam bidang bisnis internasional menampilkan unsur-unsur falsafah hukum, mengandung pula segi-segi teori hukum, praktek hukum dan politik hukum, yang oleh Kosters disebut sebagai de hoek steen van het rechtstelsel (batu penjuru dari suatu sistem hukum-Terjemahan Redaksi).
Pendekatan semacam ini dapat mempengaruhi pandangan ke arah falsafah tentang sejauh manakah peranan kemauan individu terhadap hukum yang berlaku, atau dalam hukum romawi mengenai animus, voluntas, consentire, yang substansinya tidak diuraikan lebih jauh dalam tulisan ini. Persoalannya adalah dalam menentukan haknya bila terjadi conflict of law. Para ahli dibidang bisnis internasional mengakui bahwa secara empiris prinsip pilihan hukum dibidang kontrak dipergunakan di dunia tanpa mempersoalkan pandangan secara dogmatis yang dikemukakan para ahli. Pelaksanaannya lebih didasarkan pada pertimbangan dari segi prinsipprinsip ekonomi, dan hukum, berkaitan dengan batas-batas kewenangan choice of law. Batas kewenangan choice of law dapat dilakukan secara tidak terbatas, atau dibatasi hanya dalam hal-hal tertentu, yaitu tentang hukum manakah yang berlaku bagi kontrak yang disepakati para pihak, dan sejauh manakah para pihak dapat menentukan sendiri hukum yang dipergunakan bagi hubungan hukum mereka, dan apabila para pihak tidak menggunakan haknya untuk memilih hukum yang berlaku bagi mereka maka hukum manakah yang menjadi dasar pelaksanaan kontrak mereka. Ketentuan apakah yang pantas diterapkan apabila para pihak tidak mempergunakan haknya dalam
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
6
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
menentukan pilihan hukum, dan apabila menggunakannya hak tersebut ditinjau dari sifat kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku bagi para pihak yang berkontrak sesuai dengan logika atau bertentangan dengan sifat memaksa (dwingend) dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Juga merupakan persoalan apakah para pihak bebas dalam pilihan mereka atau sangat terbatas dalam kemampuan mereka ini. Apakah para pihak dapat menentukan kaidah-kaidah tertentu tunduk atau berlaku hanya terhadap bagianbagian tertentu dalam kontrak, sehingga dalam satu kontrak terdapat beberapa kaidah yang menjadi dasar penundukan/ sebagian tunduk kepada hukum tertentu, sedangkan bagian lainnya dari kontrak tunduk kepada hukum lain perlu diamati secara tersendiri. Berkaitan dengan substansi ini, Rabel yang mendukung prinsip kebebasan memilih hukum mengatakan bahwa para pihak berhak menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak mereka.14 Secara empiris dapat dilihat pada hasil penelitian terhadap keputusan Mahkamah Agung Internasional, dan badan-badan arbitrase
internasional tentang adanya pengakuan terhadap hak pilihan hukum bagi para pihak (the principle of the importance of the intention of the parties has been adopted by most courts and publicits). Sudargo Gautama mengemukakan pendapat Winter dalam suatu karangan khusus mengenai peranan yang memaksa pada perjanjian-perjanjian internasional tentang penerimaan pilihan hukum oleh para pihak berkenaan dengan dilakukannya kontrak-kontrak internasional.15 Ketertiban umum memiliki beberapa fungsi dihubungkan dengan choice of law, pertama; sebagai rem atau penghambat, yaitu membatasi diberlakukannya hukum asing dalam hal-hal tertentu. Kedua; untuk menghalangi kebebasan hak otonomi para pihak dalam menentukan berlakunya hukum dalam kontrak mereka. Ketiga; sebagai elemen yang membatasi berlakunya stelsel hukum asing yang tidak sesuai dengan stelsel hukum dari hakim yang mengadili sengketa para pihak; dan keempat; sebagai perlindungan terhadap pemakaian otonomi hak para pihak dalam choice of law yang terlampau luas. Fungsi ketertiban umum tersebut secara empiris terdapat di Cina. Ketentuan hukum Cina melarang
14
Rabel, dalam Sudargo Gautama, op.cit, hal 122, mengatakan bahwa “despite some the parties to a contract have a right to determine the law applicable to their contractual relationship only the limits may be controversial. Hence the recent literature interest it self more in the limits to imposed upon the autonomy of the parties intention than in challenging its existence”.
15
De Winter, LJ, Dwingen Recht bij Internasionale Overeenkomsten, University of Leiden, Marthijn Nijhof, Nederland, 1964, hal 329-331. “Deze opvatting, die aanvankelijk op bezwaren van dogmatische aard stuitte, wordt thans in vrijwealle landen zowel in de rechtspraak als de wetenschap aanvaard”
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
7
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
pelaksanaan choice of law dalam kontrak bisnis yang terkait dengan teknologi. Ketentuan hukum yang dipergunakan adalah hukum Cina. Ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan dan Ekonomi Cina itu mengenai kebijakan impor teknologi di RRC.16 Oleh karena itu menurut Niboyet, salah satu ahli yang menentang otonomi para pihak, mengatakan bahwa apabila istilah otonomi dipergunakan perlu membatasi pengertiannya, misalnya dalam bentuk definisi untuk menghindari pelaksanaan yang 17 luas. Caleb menyebut ketertiban umum atau openbare orde (Belanda), dan ordre public (Perancis), sebagai pembatasan utama kebebasan untuk melaksanakan kemauan seseorang dalam bidang kontrak untuk menghindari terjadinya penyelundupan hukum. Penyelundupan hukum itu dapat dilakukan melalui perubahan titik taut yang menentukan dalam proses hukum yang dipakai sebagai dasar dalam penyelesaian suatu peristiwa 16
Douglas C. Markel dan Randy Peerenboom. The Technology Transfer Tango, The China Business, January-February 1997, P. 25.
17
Niboyet, dalam Subekti, op.cit. hal. 12 Volker Triebel dalam The Choice of Law in Commercial Relations, A German Prespective, International and Comparative Law Quarterly, Vol. 37, October 1988, P. 939, mengemukakan bahwa di negaranegara lain antara lain Jerman membentuk undang-undang yang membatasi party autonomy, yaitu the act on the regulation of standardized contract. Pilihan hukum para pihaktidak boleh mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila kontrak bersifat publik, misalnya public offer, public advertising di Jerman.
hukum. Peranan subyektif dengan jalan memindahkan atau mengubah titik-titik taut penentu ke arah stelsel hukum lain yang dikendaki dapat berakibat terjadinya penyelundupan hukum ini. Penyelundupan hukum adalah penggeseran titik-titik pertalian obyektif yang menentukan titik pertalian sekunder. Para pihak melakukan perubahan domicilie, atau menutup kontrak di luar negeri, atau memilih tempat pelaksanaan (lex loci executionis) di luar negeri. Secara hukum, pilihan hukum dapat dilakukan dengan titik pertalian yang bersifat obyektif, seperti misalnya kewarganegaraan (lex patriea), domisili (lex domicilie), tempat letaknya benda (lex rei sitae), tempat kontrak dilaksanakan (lex loci contractus), dan sebagainya. Untuk menghindari terjadinya penyelundupan hukum, melalui sikap pihak bersangkutan secara sewenang-wenang memilih hukum yang dibalut kepentingan menguntungkan dirinya sendiri, dan bukan hukum yang berlaku di negara salah satu pihak yang melakukan kontrak, maka diterapkan persyaratan secara 18 tegas. 18
Yurispudensi negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon sangat tegas menerapkan persayaratan ini. Misalnya dalam hukum Inggris, sebagai jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan oleh pemerintah Belanda berhubung dengan Konfrensi ke-6 di Den Haag mengenai jual beli internasional telah dikemukakan antara lain: “The view adopted in English Law is that a contract ought to be governed and is governed by the law or laws to which the parties intended to summit themselves. When the parties expressly
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
8
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Jika dilakukan perbuatan bersangkutan di tempat tertentu, maka pilihan tempat ini tidak dengan sengaja dipilih dengan maksud untuk melakukan penyelundupan. Rabel mengemukakan “the place should not be intentionaly selected for the purpose of evasion”, dalam berbagai sistem hukum tertentu disyaratkan bahwa pemilihan hanya dapat dilakukan mengenai hukum yang benar-benar mempunyai hubungan nyata dengan peristiwa hukum yang bersangkutan. Pemilihan hanya terhadap hukum yang ada hubungan tertentu dengan kontrak bersangkutan. Persyaratan di atas merupakan usaha untuk menghindari kemungkinan pilihan hukum berubah menjadi penyelundupan hukum. Dalam hubungan ini dapat ditunjuk pada perkara-perkara riba, yang seringkali terjadi pada Yurispudensi USA tentang perbedaan “rate” bunga dan syarat-syaratnya di berbagai negara bagian, mengakibatkan terjadinya penyelundupan hukum dengan jalan pilihan-hukum. Dalam hal ini Hakim berpendirian bahwa pilihan hukum hanya dapat diterima, jika hukum yang dipilih merupakan hukum domisili sebenarnya para pihak dan kontrak ditutup, sekaligus stipulate that their contract shall be governed by the contract, provided that the stipulation express the bonafide intention of the parties. But a contract will not be enforced in England, whether lawful by the law which the parties intended to be applicable or not, (1) if it or the enforcement of it is opposed in English interests of state, or to the police of the English law, or the moral rules upheld by English law…”
dianggap dibuat, dan dilaksanakan dan dilakukannya pembayaran.19
3. Choice of Law Dalam Praktek Perbankan Secara empiris putusan hakim Indonesia yang berkaitan dengan choice of law dalam perkembangannya jarang ditemukan, disebabkan perkaraperkara yang diajukan ke pengadilan Indonesia pada umumnya kurang dipermasalahkan pilihan hukum oleh para pihak, demikian pula terdapat sebagaian besar hukum Indonesia yang mengatur pembatasan pilihan hukum, yang berdampak kepastian hukum. Kenyataan dapat disimak sejak dahulu, bahwa dalam praktik choice of law terdapat pembatasan pemberian hak terhadap para pihak. Sebelum kemerdekaan dapat dilihat dalam kasus “ Tijdschrift van het Recht” , diputuskan hakim Indonesia berkaitan dengan sistem choice of law, atau rectskeuze yaitu Arrest dari Hoogerechtshof tahun 1935, tentang penggunaan wesel yang telah diendosir kepada order dari
19
Sudargo Gautama, op. cit hal 123. Niboyet yang dikutip oleh Sudargo Gautama menegaskan bahwa penunjukan kepada hukum intern negera bersangkutan yang dapat diterima. Jika diakui adanya kewenangan untuk memilih hukum disatu pihak, maka tidaklah pada tempatnya bahwa hukum yang dipilih ini kemudian kembali menunjuk kepada hukum lain sebagai hukum yang akan memecahkan sengketa yang bersangkutan. Jika demikian halnya, maka ini akan merupakan suatu kontradiksi dengan pikiran mengenai otonomi.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
9
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
dan diserahkan kepada Barclay’s Bank Limited. Kasus Zecha v. Samuel Jones & Co (Export) Ltd, Pedagang Lois Zecha yang bertempat tinggal di Sukabumi dan pedagang dengan merek dagang “Soekaboemische Snelpersdrukkerij” telah digugat oleh perusahaan Inggris Samuel Jones & Co (Export) Ltd, berkedudukan di London, untuk membayar 12 wesel yang telah ditarik oleh perusahaan George Man & Co Limited di London pada ordernya sendiri atas tergugat Zecha, wesel-wesel tersebut telah diaksep oleh George Man & Co Limited, sebagian dari wesel-wesel ini telah diendosir kepada order dan diserahkan kepada Barclay’s Bank Limited, yang kemudian diedarkan kepada pihak lain, dan setelah jatuh tempo pihak Zecha tidak bersedia membayar.20 Menurut pertimbangan Hooggerechtshof para pihak saat melakukan perbuatan-perbuatan tersebut adalah agar hukum Indonesia yang diberlakukan. Para pihak telah memilih hukum 20
Sudargo Gautama, op.cit 211. Sebagai alasan dikemukakan bahwa tuntutan berdasar weselwesel ini tidak beralasan, justru pihak Zecha yang mempunyai gugatan penggantian kerugian setelah wanprestasi oleh pihak Mann & Co, berdasarkan jual beli mesin, karena mesin tersebut rusak dan tidak dapat dipergunakan, berakibat telah ditarik wesel-wesel tersebut. Pihak Jones sudah mengetahui lebih dahulu sebelum mengambil alih wesel-wesel tersebut. Pengambilalihan wesel-wesel oleh Jones ini juga semata-mata merupakan suatu perbuatan purapura (schijnhandeling) karena sebenarnya cessiecessie bersangkutan hanya dilakukan supaya lebih mudah pihak Mann & Co dapat memperoleh jumlah yang dituntutnya.
Indonesia sebagai sistem hukum yang bersangkutan yang harus dipergunakan.21 Walaupun dari kasus ini ternyata bahwa cessie bersangkutan telah dilakukan di London, dihadapan Notaris Jhon Dalton Venn, yang berpraktik di kota itu. Hooggerechtshof beranggapan bahwa hukum Indonesia yang berlaku. Dalam hal ini terlihat bahwa Hooggerechtshof tidak mempertimbangkan lex loci contractus sebagai yang menentukan, dan kemampuan para pihak yang lebih diutamakan pada tempat dimana akta dibuat. Dengan mempergunakan hukum Indonesia, Hooggerchtshof berpendirian bahwa akta-akta cessie yang dibuat mempunyai titel yang sah karena ternyata cessie dan peralihan hak yang bersangkutan telah terjadi dengan pembayaran oleh pihak Jones kepada Barclay’s Bank dari jumlah yang ditagih oleh Jones dari Zecha, dan cessie semacam ini dianggap berlaku menurut ketentuan-ketentuan hukum Indonesia. Peranan ketertiban umum dalam penentuan choice of law diefektifkan dalam memutuskan 21
Pertimbangan Hooggerechtshof untuk mengetahui apakah yang merupakan kehendak para pihak saat membuat perjanjian itu, berbunyi sebagai berikut: “de grief den hove gegrond voorkomt, Immers en het feit dat de akten in de Nederlandsche taal zijn gesteld en ook den inhound van de akten erop wijzen, dat zowel de cedens als de cessionaries de toepasselijkheid van het Nederlansch-indisch recht voor oogen stond”.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
10
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
kasus-kasus oleh pengadilan dan Mahkamah Agung di negara-negara di dunia, misalnya di Amerika Serikat. Dalam perkara First National Bank vs Banco Pere El Commercio Exiterior de Cuba,22 tahun 1983, Mahkamah Agung Amerika Serikat, telah menggunakan pilihan hukum dan ketertiban umum dalam menentukan kasus nasionalisasi property yang dilakukan Cuba bertentangan dengan ketertiban umum, yaitu tidak sesuai dengan hukum yang berlaku dan situasi yang terjadi. Putusan Mahkamah Agung mengijinkan “ Citibank’s set off, advancing both equitable principles and United States public policy” . Pengadilan di Amerika Serikat menghormati pilihan hukum para pihak dalam kontrak internasional, namun mempergunakan konsep ketertiban umum (public policy) sebagai suatu alat yang mengizinkan forum pengadilan untuk mengabaikan penerapan hukum asing yang tidak sesuai. David Cliffort mengatakan bahwa pembenaran klasik penggunaan konsep public policy terhadap pilihan hukum, yaitu penerapan dalam tradisi kesejahteraan umum.23 22 Yansen Dermawan Latief, Disertasi, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum Dalam Kontrak Internasional, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Program Pascasarjana, Jakarta 2002, 6772. 23 David Cliffort, “Transnational Public Policy as a Factor in Choice of Law Analisis”, New York Law School of Journal of International and Comparative Law; 1984, 5 No. 2 & 3, P 367.
Pembatasan terhadap pilihan hukum para pihak diatur dalam Pasal 187 (2) (b) The Restatement (second), yang menentukan pengadilan mengikuti hukum para pihak, kecuali bertentangan dengan kebijaksanaan mendasar dari negara yang mempunyai hubungan lebih erat dengan pilihan hukum yang telah dilakukan.24 Klausula pilihan hukum memang secara esensi memberikan para pihak kecakapan untuk mengeluarkan suatu peraturan “ illegality” atas kontrak dan mengesampingkan hukum, namun the restatement juga menentukan pembatasan-pembatasan. The Restatement’s “ fundamental policy” dan “ materially greater interest test” adalah suatu versi modifikasi dari pendekatan analisis kepentingan (interest analisis).25
24 Ari Dobnert, “Litigation for Sale “University of Pennsylvania Law Review. V. 144:1529. Ia mengemukakan bahwa application of the law of chosen state would be contrary to a fundamental policy of state which has a materially greater interest than the chosen state in the determination of the particular issue and which, under the rule of & 188, would be the state of applicable law in the absence of an effective choice of law by the parties.
25
Joint venture antara warga negara Cuba dan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah menanamkan modal di Cuba. Dalam pelaksanaannya beberapa bank, termasuk Citibank telah membuka cabang di Cuba untuk melancarkan usahanya termasuk dana investasi, namun demikian, akibat politik, hubungan Cuba dan Amerika Serikat semakin sulit saat itu. Amerika Serikat melakukan ketentuan melarang impor gula dari Cuba. Untuk menanggulangi persoalan bisnis, pemerintah Cuba mengeluarkan peraturan menasionalisasi seluruh property dari penduduk Amerika Serikat di Cuba. Cuba mengatakan bahwa Banco National mempunyai suatu “legal personality and was a separate juridical entity. Banco National capable of suing and being sued”. Bank hanya bertanggung jawab
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
11
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Indonesia menganut kedua asas tersebut, baik asas kebebasan berkontrak maupun ketertiban umum, atas dasar Pasal 1337 KUHPerdata, bahwa suatu sebab terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, demikian pula Pasal 25 AB, bahwa perbuatan atau perjanjian tidak boleh menghilangkan kekuatan peraturan hukum, ketentuan umum atau kesusilaan. Pasal 17 AB mengatur tentang barang tidak bergerak berlaku hukum nasional di tempat barang itu terletak sesuai dengan asas lex rei sitae. Bagi tanah yang dijadikan jaminan harus didaftarkan pada kantor pertanahan, dalam perjanjian antara kreditur asing dan debitur Indonesia.26 Demikian pula ketentuan UU Kepailitan menentukan penyelesaian kepailitan berdasarkan hukum Indonesia, dan bukan pilihan hukum para pihak. Ketentuan UU Kepailitan mengabaikan pilihan hukum para
terhadap modal dan aset, dan bukan merupakan tanggung jawab pemerintah Cuba atas utang Banco National. Revolusi Cuba mengakibatkan perubahan ekonomi, sosial dan politik, “(t) here was a studied effort to preserve a continued corporate existence, while reorganizing the Central Bank to conform it to the new order”. Dengan demikian terjadi perubahan signifikan. Pertama, seluruh Banco National dimiliki dan dikontrol oleh pemerintah Cuba. Kedua, nasionalisasi secara khusus terhadap property beberapa bank Amerika Serikat, termasuk Citibank. Dalam sengketa, Citibank dimenangkan atas dasar ketertiban umum. 26
St Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan, Asas-asas Ketentuan Pokok dan Masalah Perbankan. Pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan untuk lahirnya hak tanggungan, dan untuk mengikatnya pada pihak ketiga, Bandung, Penerbit Alumni, Hal 36-44.
pihak dalam kontrak bisnis internasional, dan menerapkan hukum Indonesia dalam penyelesaian sengketa insolvensi, dan penundaan pembayaran utang melalui kewenangan khusus, berupa yurisdiksi substantif yang efektif, berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan choice of law dalam conflict of law memberikan hak kepada para pihak untuk menentukan hukum yang berlaku bagi bisnisnya. Hakim negara-negara di dunia menghormati pilihan hukum para pihak. Namun demikian ada pembatasannya, melalui penerapan asas ketertiban umum, misalnya berdasarkan UU nasional pelaksanaan kontrak, misalnya di Indonesia UU Kepailitan yang menentukan berlakunya hukum nasional dalam penyelesaian conflict of law. Apabila hukum yang dipilih tidak mempunyai hubungan yang substantif dengan transaksi dan tidak memiliki alasan yang cukup bagi pilihan hukum para pihak, maka hakim akan menentukan hukum manakah yang berlaku. Hukum negara hakim yang mengadili dapat menjadi dasar penyelesaiannya apabila hukum yang dipilih para pihak tidak dapat diterapkan dalam sengketa yang terjadi.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
12
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
DAFTAR PUSTAKA Cliffort, David. Transnational Public Policy as a Factor in Choice of Law. Harvard University Press, 1979. School of Journal of International and comparative Law, 1984, 5 No. 2 & 3, P. 367. Dobnert, Ari. Litigation for Sale. University of Pennsylvania Law Review. V. 144: 1529. Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional. Jilid II Bagian 4. Buku ke 5. Bandung: Alumni, 1992. Kolewijn, RD. Rechtskeuse Een Nederlandsch Indische Rechtspiegelvoorge houden aan het International Privaatrecht. Nederland, Marthijn Nijhof, 1969. LJ, De Winter. Dwingen Recht bij Internationale Overeenkomsten. Leiden, University of Leiden, Marthijn Nijhof, Nederland, 1964. Schnitzer, dalam Handelingen Nederlandse Juristenvereeniging. Marthijn Nijhof, Nederland, 1999. Scholten, Paul. Verzamelde Opstellen over intergentiele Privaatrecht Rechtsgeleer de Opstellen Aangeboden aan. Bandung, 1955. Sjahdeini, St Remy. Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan dan Pokok dan Masalah Perbankan. Bandung: Alumni, 1999. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Pustaka Djembatan, 1982. Szaszy Schnitzer. Private International Law in European People’s Democraties. Leiden, Leiden Universiteit, 1964. Triebel, Volker. The Choice of Law Commercial Relations, A German Perspective, International and Comparative Law Quarterly, Vol 37, October 1988. Yansen Demawan Latief. Disertasi, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum Dalam Kontrak Internasional. Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2002.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
13
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
KETERKAITAN PERBANKAN DALAM TRANSAKSI WAREHOUSE RECEIPT1
Oleh: Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M
Transaksi warehouse receipt telah banyak dilakukan baik di negara maju seperti Amerika dan Kanada maupun di negara berkembang seperti Philipina, India, Ukraine, Brazil, Zambia serta di negara dengan perekonomian dalam transisi (transition country) seperti Poland. Transaksi warehouse receipt ini melibatkan depositor (producer, farmer group, trader, exporter, processor or individual) dan warehouse operator (collateral manager). Depositor yang menyimpan komoditi pada warehouse akan menerima warehouse receipt dari warehouse operator. Warehouse receipt adalah dokumen yang membuktikan komoditi tertentu dengan jumlah, kualitas dan grade tertentu telah disimpan oleh depositor pada sebuah warehouse. Dalam implementasi transaksi warehouse receipt dilibatkan juga lembaga lain seperti perusahaan asuransi kerugian, perusahaan penjamin (perusahaan asuransi dan surety company), perusahaan kliring komoditi dan perbankan.
2
Dalam tulisan ini fokus pembahasan adalah berkenaan dengan keterkaitan perbankan dalam transaksi warehouse receipt.
Warehouse Receipt sebagai Dasar Pembiayaan Perbankan Warehouse receipt dapat digunakan sebagai dokumen yang berfungsi sebagai collateral untuk mendapatkan pembiayaan modal kerja dari perbankan (financing bank) yang besarnya tergantung pada penilaian financing bank atas warehouse receipt tersebut. Kepercayaan financing bank terhadap warehouse receipt sudah pasti sangat ditentukan oleh reputasi warehouse operator yang menerbitkan warehouse receipt itu. Dalam upaya mengoptimalkan kepercayaan financing bank terhadap warehouse receipt adalah sangat wajar jika warehouse receipt tersebut mendapatkan penjaminan dari lembaga penjamin yang selain perusahaan asuransi dan surety company dapat juga dilakukan oleh perbankan dengan menerbitkan jaminan bank.
1
Paper disampaikan pada Seminar Nasional Sistem Resi Gudang tanggal 15 November 2005 di Hotel Sangrila Jakarta.
2
Deputi Direktur Direktorat Hukum Bank Indonesia.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
14
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Jaminan bank ini dapat berupa Standby Letter of Credit yang tunduk pada ketentuan International Standby Practices 1998 (ISP98) atau Demand Guarantee yang tunduk pada ketentuan Uniform Rules of Demand Guarantees (URDG) atau Bank Garansi yang berlaku di Indonesia yang didasarkan pada Pasal 1820-1850 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Dalam hal ini, jaminan bank merupakan dokumen yang menjamin kebenaran isi dari sebuah warehouse receipt. Pengajuan penerbitan jaminan bank kepada bank dilakukan oleh warehouse operator yang menerbitkannya. Jaminan bank itu akan menjamin kewajiban dari warehouse operator yakni memastikan bahwa jumlah, kualitas dan grade komoditi yang dinyatakan dalam warehouse receipt yang diterbitkannya adalah benar. Dengan adanya jaminan dari bank penjamin (guarantor), maka seharusnya tidak ada lagi keraguan bagi financing bank atas warehouse receipt yang dijadikan sebagai collateral dalam kerangka mendapatkan pembiayaan dari bank dimaksud. Sehingga, warehouse receipt financing pun terwujud dengan nilai yang maksimal. Pembiayaan maksimal adalah pembiayaan yang diharapkan oleh depositor yang telah menyimpan komoditinya pada warehouse tertentu. Apabila dalam pelaksanaannya depositor sebagai peminjam tidak
dapat mengembalikan modal kerja yang diperolehnya dari financing bank sebagaimana kesepakatan dalam perjanjian kredit, maka financing bank berhak mencairkan warehouse receipt yang dijadikan sebagai collateral oleh depositor. Jika pada saat warehouse receipt dicairkan ternyata komoditi yang dinyatakan dalam warehouse receipt tersebut tidak ada atau tidak benar, maka financing bank akan mencairkan jaminan bank kepada guarantor. Atas pencairan ini, guarantor akan membayar ganti rugi yang besarnya sesuai dengan kerugian yang dialami financing bank. Selain jaminan bank umum untuk menjamin kebenaran substansi sebuah warehouse receipt, financing bank dapat juga meminta agar warehouse operator memohon kepada salah satu bank untuk menerbitkan jaminan bank tersendiri (Standby Letter of Credit, Demand Guarantee atau Bank Garansi) untuk menjamin kepastian delivery of goods yang juga merupakan kewajiban warehouse operator. Jaminan bank ini diterbitkan juga untuk financing bank. Ketika depositor tidak dapat mengembalikan modal kerja yang diperolehnya dari financing bank sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian kredit, maka selain mencairkan jaminan bank yang menjamin kebenaran isi warehouse receipt, financing bank juga akan mencairkan jaminan bank yang
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
15
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
menjamin delivery of goods. Artinya, dua jaminan bank dicairkan sekaligus untuk melindungi kepentingan financing bank. Namun, dalam pelaksanaannya dapat saja diterbitkan hanya satu jaminan bank yang menjamin baik isi warehouse receipt maupun kepastian delivery of goods. Sudah barang tentu, jaminan bank terhadap isi warehouse receipt dan/ atau delivery of goods tersebut dapat sangat diperlukan oleh financing bank sebelum ada Undang-Undang yang mengatur halhal mengenai warehouse receipt. Bila telah ada pengaturan warehouse receipt dalam UndangUndang, maka terhadap penggunaan warehouse receipt pada dasarnya tidak perlu lagi dicover dengan jaminan bank atau jaminan lembaga keuangan lainnya karena status hukum dan tanggung jawab hukum atas warehouse receipt termasuk tanggung jawab hukum berkenaan dengan delivery of goods telah menjadi jelas. Ketiadaan jaminan bank dalam kerangka warehouse receipt financing ini merupakan penghematan ongkos bagi perekonomian.
Warehouse Receipt dalam Green Clause Letter of Credit Dalam transaksi perdagangan internasional adakalanya seller dan buyer sepakat untuk menerbitkan green clause Letter of Credit untuk
membiayai barang yang diperjualbelikan. Tentu, green clause Letter of Credit yang dinamakan green clause Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri dapat juga digunakan dalam perdagangan domestik di Indonesia. Green clause Letter of Credit yang merupakan jenis khusus dari Letter of Credit tidak diatur dalam Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) yang berlaku namun dikenal dalam praktik Letter of Credit. Demikian juga green clause Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri tidak diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 5/6/PBI/2003 Tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (PBI SKBDN). Sebagaimana halnya dengan red clause Letter of Credit, pada green clause Letter of Credit ini, issuing bank atas permintaan buyer melakukan pembayaran di muka (pre-shipment finance) kepada seller atas komoditi yang telah disepakati untuk diperjualbelikan antara seller dan buyer. Dengan pola pembayaran di muka ini, tentu buyer dapat mengalami risiko (commercial risk) berupa gagalnya seller melakukan delivery of goods yang harga barangnya telah dibayar di muka. Untuk mengurangi risiko (risk mitigation) bagi buyer, maka pembayaran di muka tersebut perlu di-cover dengan penyerahan warehouse receipt oleh seller. Dalam hal ini pembayaran uang muka baru akan dilakukan oleh buyer melalui issuing bank setelah seller
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
16
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
menyetujui penerbitan warehouse receipt sebagai cover atas uang muka yang akan diterimanya. Pembayaran Letter of Credit yang demikian ini dinamakan green clause Letter of Credit.
dan nominated bank) bahwa underlying transaction memang benar ada. Namun, warehouse receipt perlu diterbitkan oleh warehouse operator yang terpercaya.
Transaksi green clause Letter of Credit, dengan demikian merupakan secured transaction yang berbeda dengan red clause Letter of Credit yang merupakan unsecured transaction karena pre-shipment finance yang diberikan issuing bank tidak di-cover dengan warehouse receipt atau dokumen sejenisnya. Pada red clause Letter of Credit potensi terjadinya risiko pada buyer menjadi besar.
Di dalam UCP yang berlaku sekarang tidak terdapat pengaturan mengenai warehouse receipt. Namun, ketiadaan pengaturan ini bukanlah merupakan suatu hambatan karena para pihak dalam transaksi Letter of Credit bebas menentukan dan mengatur dokumen yang menjadi dasar pembayaran Letter of Credit tersebut. Penentuan dan pengaturan dokumen yang demikian ini dilakukan sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang juga sejalan dengan UCP yang berlaku (UCP 500).
Warehouse Receipt sebagai Dokumen Transaksi Letter of Credit Pada umumnya warehouse receipt tidak dipersyaratkan sebagai salah satu dokumen yang menjadi dasar pembayaran Letter of Credit baik dalam perdagangan internasional maupun perdagangan domestik di Indonesia. Dalam upaya mencegah atau paling tidak mengurangi kemungkinan terjadinya penipuan (fraud) atau ekspor fiktif dalam transaksi Letter of Credit, maka warehouse receipt, seperti halnya invoice, bill of lading dan certificate of insurance, dapat dijadikan salah satu dokumen Letter of Credit. Kehadiran warehouse receipt ini akan menambah keyakinan para pihak termasuk bank (issuing bank
Sebagaimana halnya dengan UCP, warehouse receipt juga tidak diatur secara eksplisit dalam PBI SKBDN. PBI SKBDN ini mengatur hal-hal berkenaan dengan Letter of Credit yang khusus berlaku di Indonesia yang disebut juga Letter of Credit Domestik atau Letter of Credit Antar Pulau. Namun, di dalam PBI SKBDN sebutan resminya adalah Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri. PBI SKBDN juga pada prinsipnya memberi kebebasan kepada para pihak untuk menentukan dan mengatur sendiri dokumen yang menjadi syarat pembayaran Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri. Oleh karena itu para pihak dapat saja menyepakati agar warehouse receipt menjadi salah satu dokumen
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
17
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri.
Warehouse Receipt sebagai Dokumen Transaksi Non-Letter of Credit Selain penggunaan warehouse receipt dalam transaksi Letter of Credit, dengan tujuan yang sama, yakni mencegah atau minimal mengurangi terjadinya penipuan atau ekspor fiktif, maka dalam transaksi non-Letter of Credit (Advance Payment, Collection, Open Account dan Consignment) ada baiknya juga warehouse receipt disyaratkan sebagai salah satu dokumen yang menjadi dasar pembayaran baik dalam perdagangan internasional maupun perdagangan domestik. Tentu juga, dalam transaksi Letter of Credit, warehouse receipt harus diterbitkan oleh warehouse operator yang memiliki reputasi baik.
warehouse receipt namun juga ketika kita telah memilikinya kelak. Negara kita tidak akan bisa terhindar dari perkembangan transaksi warehouse receipt karena telah menjadi transaksi internasional yang melibatkan negara maju, negara berkembang dan negara dengan perekonomian dalam transisi. Lagi pula, turut serta dalam transaksi warehouse receipt adalah suatu keuntungan bagi perekonomian kita. Namun, pelaksanaannya kiranya perlu dilakukan dengan prudent dalam konteks trade finance sesuai ketentuan perundangundangan dibidang perbankan yang berlaku dan dibidang warehouse receipt yang nantinya akan kita miliki seperti halnya negara-negara lain yang telah lebih dahulu memilikinya.
Penutup Pengembangan transaksi warehouse receipt perlu mendapat dukungan perbankan baik dari segi pembiayaan, penjaminan maupun penciptaan “rasa aman” atas keberadaan underlying transaction dalam transaksi perdagangan internasional dan perdagangan domestik. Dukungan perbankan diperlukan bukan hanya pada saat sekarang ini kita belum memiliki Undang-Undang mengenai
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
18
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
PERMASALAHAN YURIDIS AKAN STATUS HAK KEPEMILIKAN PEMEGANG UNIT PENYERTAAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF EFEK BERAGUN ASET (ASSET-BACKED SECURITIES) APABILA DIKAITKAN DENGAN KEPAILITAN. Oleh: Yunus Edward Manik, S.H., LL.M
A. LATAR BELAKANG Sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1998, yang mengakibatkan begitu banyak perusahaan, serta lembaga Perbankan yang bertumbangan, pasar modal adalah merupakan alternatif sumber pendanaan yang sangat signifikan bagi dunia usaha. Salah satu jenis instrumen yang kini semakin marak diperdagangkan di pasar modal adalah penjualan instrumen obligasi. Selain dari obligasi sebagai salah satu pola pendanaan dan peningkatan likuiditas dari pada instrumen keuangan (monetary instruments), negara-negara industri maju mencoba untuk mencari alternatif strategi keuangan melalui penerbitan instrumen keuangan lain yang salah satunya dikenal dengan sebutan Asset-Backed Securities. Asset-Backed Securities adalah proses pencarian dana (raising fund) melalui penerbitan efek yang di back up oleh cash flow di masa depan yang berasal dari kumpulan (pool) aset yang menghasilkan revenue terhadap efek yang dapat diperdagangkan (Norton, Joseph J.et, al 1993:294).
Atau dengan kata lain, bila sebuah perusahaan ingin menambah modalnya dengan cara mengubah asetnya berupa tagihan yang tidak likuid menjadi likuid, perusahaan yang bersangkutan dapat mensekuritisasi asetnya, dengan cara menjualnya kepada suatu lembaga keuangan atau manajer investasi. Untuk membayar aset itu, pihak manajer investasi akan menerbitkan surat berharga Beragun aset, dan menawarkannya kepada publik melalui pasar modal. Asset-Backed Securities mulai dikenal dalam transaksi di pasar modal kita pada akhir tahun 1996. Hal ini dapat dilihat melalui peraturan Bapepam No. IX.K.1 mengenai pedoman KIK EBA (AssetBacked Securities), yang menjelaskan KIK EBA adalah unit penyertaan kontrak investasi kolektif yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersil, sewa guna usaha, perjanjian jual beli bersyarat, perjanjian pinjaman cicilan, tagihan kartu kredit, pemberian kredit termasuk kredit pemilikan rumah atau apartemen,
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 19
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
efek yang bersifat hutang yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan kredit (credit enhancement) arus kas (cash flow), serta aset keuangan setara dan aset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut. Ada beberapa alasan mengapa perusahaan-perusahaan tertentu memilih untuk mencari dana melalui pola sekuritisasi aset antara lain (Lederman 1996: 5); a. Biaya finansial yang sangat rendah, maksudnya adalah cukup dengan menggunakan aset yang dimiliki, perusahaan dapat melakukan penjualan efek dengan kualitas kredit yang tinggi dibandingkan dengan nilai perusahan tersebut. b. Penghematan modal. Apabila dikaitkan dengan pembatasan hutang perusahaan khususnya bagi lembaga keuangan, oleh karena ketentuan pasar modal, maka transaksi dengan pola penjualan aset (true sale) dalam sistem akuntansi dapat mengurangi kebutuhan untuk kebutuhan modal yang besar (higher cost equity). c. Pendanaan/ strategi pendanaan yang sesuai. Dengan sekuritisasi efek perusahaan dapat menawarkan pola, jangka waktu dan harga dasar atas efek tersebut. d. Pendapatan. Apabila konsep sekuritisasi adalah penjualan aset
(true sale), penerbit atau penjual diperbolehkan untuk mengetahui, sesuai prinsip standard akuntansi (GAAP) keuntungan atau kerugian penjualan aset tersebut diperhitungkan dengan nilai saat ini (present value) dan ekspektasi nilai yang akan datang. Dari sisi investor ada beberapa manfaat yang didapatkan melalui pembelian instrumen ini (Personal & Corporate Finance edisi 2: hal 13) yakni: a. Sebagai alternatif pendanaan jangka panjang 3 – 10 tahun KIK EBA lebih menarik bagi investor dibanding surat utang lain, seperti obligasi dan promes, karena didukung dengan aset yang likuid dengan risiko yang relatif kecil. b. Meski originator (penerbit) bangkrut, tagihannya tetap ada. Ini berbeda dari pembeli obligasi atau promes, yang akan kehilangan dananya kalau perusahaan yang bersangkutan bangkrut. Walaupun Efek Beragun Aset ini sangat menarik ditinjau dari aspek jaminan dan likuiditasnya, namun dalam pelaksanaannya masih menimbulkan pertanyaan yang signifikan tentang ketidakjelasan akan timbulnya kerugian (loss experience). Hal ini dapat terjadi karena secara umum asset-backed securities tidak memiliki standar dalam beberapa hal yaitu;
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 20
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
-
Tipe dan struktur dari Aset;
-
Pembayaran/sumber dari arus kas dikaitkan dengan kualitas kredit;
-
Servis dan tahapan (processing procedure);
-
Pola pembayaran. 1996: 4).
proses
(Lederman,
Tidak adanya standarisasi akan halhal sebagaimana disebut di atas, pada tingkat tertentu akan mengurangi pertumbuhan dan efisiensi transaksi atas instrumen tersebut. Ini dapat terjadi karena begitu banyak jenis aset yang dapat disekuritisasi dan struktur transaksi bervariasi. Seperti dikatakan:
Potential corporate asset backed security issuer/asset seller continue to face the difficulties and costs inherent in adapting internal system to securitization requirement, while investors are still learning how to analyze the characteristic of and risks associated with various asset types and how to differentiate among issues for a given asset type. (Lederman,1996 : 4). Dari analisis di atas ditekankan bahwa aspek hukum yang berkaitan dengan karakteristik aset merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam menganalisis dan mengantisipasi permasalahan yang akan timbul dalam penerbitan sekuritisasi aset. Permasalahan hukum yang perlu menjadi perhatian adalah: (i) berkaitan dengan keabsahan jaminan dan hak
kepemilikan atas aset tersebut (title of the ownership); dan (ii) risiko atas pailitnya kreditur awal ataupun penyedia jasa (servicer). Sebagaimana diketahui Pemegang Unit Penyertaan KIK EBA dalam melakukan transaksi ini secara umum memiliki dua hak yaitu hak secara yuridis dan hak secara ekonomis yang satu sama lain saling berkaitan. Hak secara yuridis adalah hak yang melekat pada Pemegang Unit Penyertaan KIK EBA seperti hak untuk dimuat nama pemegang Efek Beragun Aset tersebut termasuk juga hak untuk mendapat keterangan singkat mengenai hak materiil yang menyangkut kelas Efek Beragun Aset tersebut. Sedangkan hak ekonomis adalah hak yang dapat mempengaruhi manfaat ekonomis atas transaksi KIK EBA. Manfaat ekonomis tersebut seperti terhambatnya pembayaran kepada pemegang KIK EBA akibat terjadinya kepailitan, menurunnya likuiditas dari transaksi KIK EBA tersebut karena adanya faktor ketidakjelasan dari status kepemilikan aset yang disekuritisasi tersebut, dan juga tidak adanya kepastian siapa yang berhak untuk mendapatkan nilai tambah dari kenaikan aset yang disekuritisasi. Permasalahan hukum yang masih belum jelas adalah berkaitan dengan aspek keabsahan jaminan dan hak kepemilikan atas aset yang disekuritisasi apabila dikaitkan dengan aspek pendaftaran atas jaminan kebendaan tersebut.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 21
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Misalnya, untuk sebagian aset yang berupa benda tidak bergerak ketentuan dapat dimasukan kedalam ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Undang-Undang Hak Tangungan dengan tegas mengakui sifat assesoir dari hak tanggungan tersebut. Dalam Pasal 16 UndangUndang No. 4 Tahun 1996 ditentukan bahwa manakala piutang terhadap mana hak tanggungan diberikan, maka jika terjadi peralihan piutang dengan cara cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebabsebab lain seperti merger, maka hak tanggungan tersebut ikut juga beralih “demi hukum” kepada kreditur yang baru. Hanya saja Undang-Undang Hak Tanggungan mensyaratkan bahwa peralihan hak tanggungan tersebut harus dipenuhi syarat administratif berupa pendaftaran oleh kreditur yang baru kepada kantor pertanahan. Menurut Pasal 16 ayat (3) dari Undang-Undang Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan dalam hal ini bertugas untuk mencatat peralihan hak tanggungan tersebut dalam : (1). buku tanah hak tanggungan; (2). buku hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan; (3). Sertifikat hak tanggungan, dan (4). Sertifikat hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan. Apabila dalam peralihan piutang untuk mana diterbitkan assetbacked securities, selama belum
diatur lain oleh peraturan khusus lainnya, maka prosedur pendaftaran dan pencatatan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan haruslah dipenuhi. Bagaimana implikasinya dalam penerbitan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset. Permasalahan hukum yang kedua adalah berkaitan dengan aspek hukum kepailitan yakni, apabila terjadinya permohonan kepailitan terhadap originator, namun sebelum adanya permohonan kepailitan pihak originator telah menjual aset tersebut dengan cara jual putus (true sale) kepada special purpose vehicle/ lembaga trustee, maka aset tersebut tidak termasuk dan didaftarkan dalam boedel pailit (property of the estate). Timbul pertanyaan, apakah dalam hal ini originator atau kreditur awal adalah merupakan pemilik sah (legal of the ownership) dari aset tersebut, sehingga dapat menjual kepada pihak lain? ataukah dia hanya merupakan pemegang hak atas aset tersebut sebagai jaminan kebendaan hutang debitur awal? Atau justru spesial purpose vehicle yang dalam hal ini adalah manajer investasilah yang merupakan pemilik dari aset tersebut karena dia telah membeli aset tersebut dari kreditur awal secara jual putus (true sale)? Hal ini pernah menjadi perdebatan dalam kasus Majors Furniture Mart, Inc. vs Castle Credit Corp., Inc F.2d 538.543 dikatakan:
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 22
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
An issue that often arises in rating a transaction structured as a sale is whether a court examining the transaction at the request of trustee in bankruptcy or a creditor of the originator would re characterize the transaction as a pledge of assets to secure debt or as a sale of asset. Apabila dilihat pandangan umum lembaga peradilan di negara Amerika Serikat terhadap permasalahan dalam transaksi true sale tersebut, dinyatakan bahwa: [Legal overview the Hand Book chapter 3 page 44]: In addressing the true sale issue, court generally look at the extent to which transferor has parted with the risk and the benefit owning the assets and such factors are particularly relevant to the inquiry; -
The form of the transaction and the consistency of the parties treatment of the transaction, including how the transaction is characterized in the documents.
-
The nature and extent of the risks transferred, whether the investor has recourse to the seller in some form, such as guarantee or obligate to repurchase non performing asset and who is at risk if the value of the asset declines; and who is at risk if there is default on the underlying assets.
-
The nature and extent of the benefit transferred including who benefit from any appreciation in the value of the asset and who receives the income from the assets.
-
The irrevocability of the transfer including whether specific and indentifiable assets are sold; whether and in which circumstances the transferor can re-acquire or substitute assets; who exercise and control over the assets and, if the originator services the assets and their proceeds; and whether the purchaser can resell the asset without the accounting to the transferor for any gain on the sale.
Pengadilan dalam hal ini tidak memberikan kepastian secara khusus akan status kepemilikan dari aset tersebut, namun secara umum dikatakan bahwa pengadilan dalam menganalisis aset dalam suatu transaksi efek, apakah transaksi tersebut adalah jual beli (true sale) atau sebagai pinjaman adalah dari substansi ekonomi dari transaksi tersebut. Atas dasar tersebut maka permasalahan pokok yang akan timbul adalah, bagaimanakah kedudukan hukum pemegang unit penyertaan KIK EBA terhadap aset yang disekuritisasi? apakah ia menjadi kreditur separatis yaitu kreditur dengan hak mendahului (secure creditor) terhadap seluruh
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 23
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
aset yang dahulu dijadikan jaminan kebendaan dan didaftarkan atas nama kreditur awal? Ataukah dia hanya merupakan pemegang hak atas piutang dari kreditur awal? dan apabila investor atau pemegang efek mempunyai hak untuk recourse kepada originator sebagaimana diperjanjikan, bagaimana kedudukan hukum dari investor ini, apakah ia sebagai pemilik aset?
B. PERMASALAHAN Dari uraian tersebut diatas, maka menjadi pertanyaan adalah: 1. Bagaimanakah kedudukan hukum pemegang unit penyertaan KIK EBA atas aset yang merupakan jaminan kebendaan atas piutang Kreditur awal, dimana atas jaminan tersebut telah dipasang hak tanggungan, hipotik, fidusia, dimana sebelumnya telah didaftarkan atas nama Kreditur awal ? 2. Bagaimanakah akibat hukum terhadap aset yang disekuritisasi, apabila terjadi kepailitan ataupun insolvensi atas kreditur awal (seller) ataupun manajer investasi (issuer), dimana sebelum adanya kepailitan aset tersebut telah di jual putus (true sale)?
C. PEMBAHASAN I. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan penerbitan KIK EBA Asset-backed securities merupakan salah satu bentuk surat berharga yang tergolong kedalam efek. Sebagaimana pengertian efek yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal. Dalam Pasal 1 ayat (5) dari Undang Undang No. 8 Tahun 1995 dinyatakan bahwa yang termasuk dalam efek adalah:
Surat berharga, yaitu surat pengakuan hutang, surat berharga komersil, saham, obligasi, tanda bukti hutang, Unit Penyertaan Kontrak Investasi Kolektif, Kontrak Berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari efek. Undang-Undang ini merupakan umbrella act bagi penerbitan dan transaksi KIK EBA. Namun sebagaimana yang dikatakan Sudikno Mertokusumo, sistem hukum merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleksitas unsur-unsur yaitu yuridis seperti peraturan-peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum (Mertokusumo 1999:115), maka tentunya banyak sekali peraturan-
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 24
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
peraturan dan ketentuan lain yang saling berkaitan misalnya, berkenaan dengan dasar hukum Perikatan KIK EBA yakni ketentuan-ketentuan hukum perdata, untuk aspek surat berharga adalah Kitab Hukum Dagang, sedangkan untuk penerbitan efek beragun aset pedoman kontrak investasi kolektif didasarkan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan dibawahnya seperti kita kenal dengan Peraturan No IX.K.1 atau Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-53/ PM/ 1997 tentang Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset. Demikian pula untuk penjaminan kita dapat melihat ketentuan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan ataupun Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia jo UndangUndang No.16 tahun 1985 tentang Rumah Susun. Sedangkan untuk permasalahan aspek kepailitan tentunya kita dapat kaitkan juga dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan juga ketentuan-ketentuan lainnya.
II. Tinjauan yuridis tentang perikatan yang mendasari lahirnya KIK EBA Seperti halnya perjanjian pada umumnya, kontrak investasi adalah juga merupakan peristiwa hukum, dengan objek yang disepakati berupa investasi dibidang efek. Bahwa sesuai asas konsensual,
perjanjian sudah dilahirkan sejak terjadinya kesepakatan, sudah sah dalam arti mengikat sejak tercapainya kesepakatan, sekalipun dalam beberapa hal undang-undang mensyaratkan harus dibuat secara tertulis [Subekti, 2002: 19]. Hal ini dapat dilihat dari Peraturan No.IX.K.1 sebagai Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-53/PM/1997 butir (a) yang berbunyi: Kontrak Investasi Kolektif adalah Kontrak Antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit Penyertaan dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif. Dikatakan bahwa Kontrak Investasi Kolektif adalah Kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian, jelas menegaskan bahwa pembentuk undang-undang yang dalam hal ini adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Bapepam, menentukan bahwa kontrak investasi ini adalah hanya antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian, artinya secara tertulis hanya dua pihak, namun mengikat pemegang unit penyertaan yang dalam hal ini adalah investor. Timbul pertanyaan jenis transaksi apakah yang terjadi dan yang melatar belakangi instrumen KIK EBA ini? Apabila kita melihat lebih lanjut dalam Peraturan IX.K.1 Pasal 2:
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 25
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Aset yang membentuk portofolio Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset dapat diperoleh dari Kreditur Awal melalui pembelian atau tukar menukar dengan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset. Jelaslah disini kontrak pertama antara kreditur awal dengan manajer investasi ataupun issuer dapat didasari kontrak ataupun perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 KUH Perdata dan ataupun perjanjian tukar menukar yang diatur dalam ketentuan 1541 KUH Perdata. Segala peraturan tentang perjanjian jual beli juga berlaku terhadap perjanjian tukar menukar sebagaimana ketentuan Pasal 1546 KUH Perdata. Berkaitan dengan Investor ataupun pemegang unit Penyertaan KIK EBA apabila kita lihat dalam Peraturan IX.K.1 Pasal 4:
Pemegang Efek Beragun Aset wajib menandatangani pernyataan bahwa yang bersangkutan telah menerima dan membaca Dokumen Keterbukaan Efek Beragun Aset, sebelum membeli Efek Beragun Aset. Ataupun kalau kita lihat dalam pernyataan Jes Lederman dalam bukunya The Hand book of AssetBacked Securities dikatakan dengan tegas Securitization is the open
market selling of financial instrument backed by asset cash flow or asset value. Jelaslah investor adalah merupakan pembeli dari Efek Beragun Aset sebagaimana yang diatur dalam ketentuan jual beli KUH Perdata. Konstruksi hukum ini tentunya berbeda jika kita kaitkan dengan latar belakang terjadinya perikatan antara debitur awal dan kreditur awal. Perjanjian yang mendasari terjadinya perikatan antara mereka tentunya dilandasi atas suatu kewajiban atau yang kita kenal dengan perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1765 KUH Perdata. Dari aspek perikatannya saja KIK EBA ini ternyata telah mendasari atas tiga jenis perikatan yaitu perikatan jual beli, tukar menukar dan perikatan pinjam meminjam.
III. Tinjauan yuridis berkaitan dengan penjualan piutang dari kreditur awal kepada manajer investasi, dan implikasinya terhadap aset yang dijaminkan. Berkaitan status kepemilikan dari aset jaminan yang dijual oleh kreditur awal (true sale) kepada special purpose vehicle/ lembaga trustee sebelum terjadi permohonan kepailitan atas kreditur, maka perlu kiranya dikaji mengenai faktor-faktor hukum yang berkaitan dengan dasar pengalihan piutang tersebut atau
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 26
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
alas hak dari pengalihan piutang dan implikasinya terhadap jaminan atas hutang tersebut. Menurut Pasal 584 KUH Perdata, alas hak dari perolehan hak milik hanya dapat diperoleh dengan cara pemilikan karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasarkan atas suatu peristiwa perdata. Transaksi yang dilakukan antara kreditur awal sebagai pemilik piutang dan manajer investasi secara umum dapat dikategorikan sebagai transaksi jual beli sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1457 KUH Perdata. Apabila dikaitkan dengan alas hak perolehan hak milik sebagaimana ketentuan Pasal 584 KUH Perdata, maka alas hak dari perolehan hak milik dari manajer investasi adalah adanya penyerahan akibat suatu peristiwa perdata, yaitu perjanjian jual beli atau lebih spesifik perjanjian jual beli piutang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1533 KUH Perdata. Sehingga peristiwa perdata yang dalam hal ini perjanjian jual beli piutang antara kreditur awal dengan manajer investasi menimbulkan beralihnya hak kepemilikan atas piutang tersebut kepada manajer investasi. Namun peristiwa hukum ini secara teoritis belum lengkap, harus ada satu unsur lagi yang harus dilengkapi yaitu penyerahan (levering) atas objek jual beli piutang tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari
ketentuan berbunyi:
Pasal
1459
yang
Hak Milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si Pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616. Dengan demikian dalam sistem B.W levering merupakan suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik (transfer of the ownership). Menurut Pasal 613 ayat (1) dan (2) KUH Perdata, piutang atas nama sebagai jenis surat berharga bentuk op naam harus diserahkan dengan cara cessie, yaitu dengan membuat akta pengalihan dan harus diberitahukan kepada atau disetujui oleh pihak debitur atau penjual. Timbul pertanyaan apakah dengan telah dipenuhinya ketentuan ini seluruh aspek peralihan atas jual beli piutang telah sah? Ternyata tidak. Dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 ditentukan bahwa manakala piutang terhadap mana hak tanggungan diberikan, maka jika terjadi peralihan piutang dengan cara cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain seperti merger, maka hak tanggungan tersebut ikut juga beralih “demi hukum” kepada kreditur yang baru. Hanya saja Undang-Undang Hak Tanggungan mensyaratkan bahwa peralihan hak tanggungan tersebut harus memenuhi syarat administratif berupa pendaftaran oleh Kreditur
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 27
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
yang baru pertanahan.
kepada
kantor
Menurut Pasal 16 ayat (3) dari Undang-Undang Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan dalam hal ini bertugas untuk mencatat peralihan hak tanggungan tersebut dalam: (1) buku tanah hak tanggungan (2) buku hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan, (3) sertifikat hak tanggungan, dan (4) sertifikat hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan. Apabila dalam peralihan piutang untuk mana diterbitkan assetbacked securities, selama belum diatur lain oleh peraturan khusus lainnya, maka prosedur pendaftaran dan pencatatan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan haruslah dipenuhi.
IV. Tinjauan yuridis berkaitan dengan kedudukan lembaga trustee dalam transaksi KIK EBA. Konsep hubungan hukum trust menurut sistim Common Law, trust atau trustee semula adalah orang yang diberi kewenangan menguasai harta milik berdasarkan legal title yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan beneficiary (Kimborough dan Simanjuntak, 1994: 2). Lantas apakah dengan demikian secara yuridis efek yang diterbitkan oleh trustee itu adalah efek miliknya (legal owner)? Karena
didalam lembaga trust dikatakan bahwa trustee itu berkedudukan sebagai legal owner atas harta kekayaan trust (Simanjuntak 1992: 3). Dalam perkembangan konsep hubungan hukum di dalam trust, dewasa ini trust modern telah berhasil menjadikan kedudukan trustee hanya sebagai pengelola, dan melalui campur tangan equity kekuasaannya dikurangi dari setiap wewenang yang melampaui posisi itu sehingga sekarang trustee tidak mempunyai kekuasaan hukum diluar batas (Hefti dan Simanjuntak, 1992: 4). Trustee sebagai pengelola jika dibandingkan dengan bewindvoerder dalam konsep hukum Belanda, tampaknya mempunyai kesamaan. Jadi antara trustee dengan bewindvoerder terdapat kesamaan dalam hal mengelola sesuatu property untuk kepentingan orang lain atau pihak ketiga (beneficiary). Perbedaannya Trustee mempunyai kewenangan mengelola atas dasar legal title yang diberikan oleh hukum Common Law, sedangkan bewinvoerder kewenangan mengelola itu timbul atas dasar hubungan perwakilan atau kuasa (Pramono, 1997: 320). Indonesia yang perangkat peraturan perundang-undangannya kebanyakan masih merupakan peninggalan penjajahan Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental tidak mengenal didalam sistem hukum lembaga yang disebut
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 28
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
trust (Pramono,1997: 237). Dengan demikian kedudukan hukum special purpose vehicle dalam konstruksi transaksi KIK EBA adalah bukan pemilik dari aset jika kita melihat uraian diatas.
V. Tinjauan yuridis dengan Aspek Kepailitan.
oleh Bank Indonesia], maka pada prinsipnya kepailitan terhadap seorang debitur mengakibatkan seluruh aset debitur masuk dalam sita umum, karena sitaan-sitaan yang lain jika harus ada dianggap gugur karena hukum. Sesuai dengan Pasal 21 Undang–Undang No. 37 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, sitaan umum tersebut berlaku terhadap seluruh kekayaan debitur meliputi:
berkaitan Hukum
Permohonan kepailitan dapat diajukan baik oleh kreditur sebagai pemohon pailit ataupun debitur sendiri (voluntair petition) sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 tahun 2004 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi: (1) Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Apabila kreditur awal dikarenakan satu dan lain hal dinyatakan pailit [memang untuk kreditur yang awal yang berupa Bank sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (3) permohonan kepailitan hanya dapat diajukan
(i) kekayaan yang sudah ada pada saat pernyataan pailit ditetapkan; dan (ii) kekayaan yang akan diperoleh oleh debitur selama kepailitan tersebut.
Tentu menjadi permasalahan adalah akibat dari kepailitan tersebut. Investor akan terhambat untuk menagih pembayaran atas hutangnya, dan mengajukan sita untuk asetnya yang telah masuk dalam sita umum. Hal ini merupakan permasalahan hukum yang dinyatakan dalam legal overview of Asset-Backed Securities [Lederman, 1996: 42]
Uppon filling a petition under the federal Bankruptcy code 11 U.S.C. Section 101 et seq., the right of creditors, including secured creditors, are substantially impaired. For
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 29
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
example, upon filling a bankruptcy petition, creditor actions to collect prepetition debt or to foreclose on collateral are automatically stayed under section 362 (a). Thus, a secured creditor would not receive timely payments and would be unable to realize on its collateral once petition was filed. Ketentuan tersebut adalah sama dengan Pasal 56 A ayat (1) UndangUndang Kepailitan kita yang mengakibatkan kreditur separatis [Kreditur dengan hak mendahului sebagaimana ketentuan Pasal 1133 KUH Perdata] tidak diperkenankan untuk mengeksekusi jaminan hutangnya dalam masa penangguhan eksekusi (stay) selama
90 hari. Walaupun dalam ketentuan jelas mereka dapat mengeksekusi haknya seolah–olah tidak terjadi kepailitan. Sehingga terhalang tujuan percepatan pembayaran hutang, bahkan juga menunda pelaksanaan eksekusi atas jaminan kebendaan yang nyata-nyata merupakan hak preferen dari kreditur. Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1178 KUH Perdata yang menyebutkan cara pelaksanaan eksekusi dengan parate eksekusi yang artinya merupakan eksekusi langsung tanpa title eksekutorial, ataupun keputusan hakim, tentunya akan menimbulkan pemikiran Undang-Undang Kepailitan adalah bersifat lex spesialis.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 30
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir. Pasar Modal Modern. Bandung: Penerbit Citra Adya Bakti, 2003. ________. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek. Bandung: Penerbit Citra Adya Bakti, 2002. Fabozzi, Frank J, et al. Capital Market. New Jersey USA: Prentice Hall, inc 1996. Hasan, Djuhaendah. Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda lain yang melekat pada tanah dalam konsepsi penerapan azas pemisahan Horisontal. 1996. Helfi, Peter. “The American Journal of Comparative Law.” Autum 1956, Volume 5, Number 4. 1956. Joseph Norton J, et al. International Finance in the 1990s. USA: Blackwell Publisher,1993. Kimborough, Robert T. Summary of American Law. Lederman Jass 1996, The Hand Book of Asset Backed Securities. Cleveland Ohio, 1974. Nazir, Moh. Metode Penelitian Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985. Noeng, Muhajir. Metode Penelitian kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin 1989. Pramono, Nindyo,2003 Menyibak Masa Lalu menggapai masa depan Pasar Modal.[Pidato Pengukuhan Jabata Guru Besar pada fakultas hukum Universitas Gadjah Mada]. ________. Sertifikasi Saham PT.Go Public dan Hukum Pasar Modal di Indonesia. 1997. Simanjuntak, Emmy Pangaribuan. Hukum Dagang Surat-surat Berharga. cet ke II. Seksi hukum Dagang fakultas UGM. 1979. ________. Mengenal Trust. Bahan Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang. Yogyakarta, 1994. Subekti. Aneka Perjanjian. cet ke 10. Bandung: Citra Adya Bakti, 1995. ________. Hukum Perjanjian. cet ke 19. Intermasa, 2002.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 31
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Majalah dan Surat Kabar Personal & Corporate Finance edisi ke 2 hal 13
Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Undang-Undang No.37 Tahun 2004 jo Undang-Undang No.4 Tahun 1998, Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 32
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Tinjauan Yuridis Rencana Pengenanaan Pajak Penghasilan Terhadap Bank Sentral Dalam Amandemen RUU Pajak Penghasilan
Oleh: Edi Yusup Toto S, S.H. & Leo Sukatrilaksana, S.E., M.Ec1
I. PENDAHULUAN Perkembangan tugas kelembagaan Bank Indonesia sebagai bank sentral dan dinamika lingkungan yang semakin kompleks, telah mengantar beberapa kali perubahan atas Undang-Undang mengenai Bank Indonesia, yaitu dimulai dengan UU No. 11 Tahun 1953, UU No. 13 Tahun 1968, UU No. 23 Tahun 1999 dan terakhir adalah UU No. 3 Tahun 2004. Salah satu implikasi dari perubahan undang-undang tersebut adalah pada status Bank Indonesia dalam bidang perpajakan yaitu kedudukan Bank Indonesia sebagai Wajib Pajak Badan, dalam arti surplus Bank Indonesia sebagai obyek pajak penghasilan. Wacana mengenai hal tersebut terus menjadi polemik hingga saat ini, dengan berbagai 2 sudut pandang dan kepentingan. Polemik ini semakin mengemuka dengan adanya rencana amandemen Undang-Undang No. 17 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua UU No. 7 tahun 1983 1
2
Kepala Seksi Bagian Pelaksanaan Gaji dan Keuangan Intern (PGKI) & Analis Keuangan Tim Pengendali Keuangan Intern Bank Indonesia Liberty Pandiangan, BI (bukan) Wajib Pajak, Harian Bisnis Indonesia, 14 Juni 2004.
tentang Pajak Penghasilan, sebagai salah satu bentuk reformasi di bidang perpajakan. Ruang lingkup Rancangan Undang-Undang (RUU) ini meliputi reformasi pada subyek pajak, obyek pajak dan tarif pajak. Dalam RUU tersebut, surplus Bank Indonesia merupakan obyek pajak penghasilan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk memperoleh perspektif yang lebih luas dan fair dalam menyikapi polemik dimaksud, maka tulisan ini akan memaparkan berbagai pandangan terhadap rencana pengenaan Pajak Penghasilan atas Surplus Bank Indonesia. Sebelumnya akan diuraikan secara sekilas status Bank Indonesia dalam bidang perpajakan menurut undang-undang dan praktek di bank sentral negara lain (best practices) sebagai perbandingan serta pendapat dari lembaga internasional.
II. STATUS BANK INDONESIA DALAM BIDANG PERPAJAKAN MENURUT UNDANG-UNDANG Status dan kedudukan Bank Indonesia dalam bidang perpajakan tercermin dari ketentuan yang diatur
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 33
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
oleh undang-undang Bank Indonesia, yaitu:
mengenai
1. UU No. 11 tahun 1953 tanggal 19 Mei 1953 Sesuai Pasal 34 ayat (5) UU No.11 tahun 1953 diatur sebagai berikut: “Dari laba Bank yang telah disahkan demikian pertama-tama dapat disisihkan dahulu suatu jumlah cadangan istimewa, sisa dari laba ini disetor sebanyak dua puluh prosen ke dalam dana cadangan sampai jumlah dana itu menjadi sama besar dengan modal bank. Sisanya jatuh ke dalam tangan Negara”. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa atas laba/surplus Bank Indonesia tidak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) sehingga status Bank Indonesia bukan sebagai Wajib Pajak Badan. Namun demikian apabila surplus tersebut setelah dikurangi cadangan-cadangan sehingga dana cadangan tersebut menjadi sama besar dengan jumlah modal bank maka sisanya diserahkan kepada negara, sehingga Bank Indonesia tetap berperan dalam penerimaan negara.
2. UU No.13 Tahun 1968 tanggal 7 Desember 1968 Berdasarkan Pasal 47 ayat (6) UU No. 13 tahun 1968 ditentukan bahwa Laba Bank yang disahkan dan setelah dikurangi pajak dibagi sebagai berikut : a. dua puluh cadangan
perseratus untuk umum, sampai
cadangan ini mencapai jumlah yang sama besarnya dengan modal bank; b. dua puluh perseratus cadangan tujuan;
untuk
c. tujuh setengah perseratus untuk dana kesejahteraan pegawai bank yang penggunaannya dilaksanakan dengan memperhatikan petunjukpetunjuk pemerintah; d. tujuh setengah perseratus untuk jasa produksi bagi pegawai bank, dengan batas sebanyakbanyaknya 3 (tiga) kali gaji sebulan; e. penggunaan laba selebihnya ditetapkan oleh pemerintah.
Dengan ketentuan ini maka atas laba/ surplus Bank Indonesia dikenakan pajak penghasilan.
3. UU No. 23 Tahun tanggal 17 Mei 1999
1999
Sesuai Pasal 62 ayat (4) UU No. 23 Tahun 1999 ditentukan bahwa Terhadap surplus Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenakan pajak penghasilan. Pertimbangan bahwa surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan sebagaimana disebutkan dalam penjelasan pasal tersebut, yaitu: ”Ketentuan ayat ini dimaksudkan agar pemenuhan kecukupan modal Bank Indonesia
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 34
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari kewajiban moneter dapat tercapai. Dalam hal modal Bank Indonesia sudah mencapai 10% (sepuluh per seratus) dari kewajiban moneter, sebagian dari surplus yang diperoleh Bank Indonesia diserahkan kepada negara melalui pemerintah.” Penyerahan surplus kepada pemerintah tersebut dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat berbagi peran dalam proses pembangunan bagi kesejahteraan rakyat, khususnya dalam bentuk penyisihan dana dari sisa surplus Bank Indonesia apabila ada.3
4. UU No. 3 Tahun 2004 tanggal 15 Januari 2004 Sesuai dengan Pasal II ayat 4 UU No. 3 tahun 2004 diatur bahwa ”Sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa atas surplus Bank Indonesia dikenakan pajak penghasilan, maka berdasarkan undang-undang ini surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan.” Dari ketentuan tersebut tampak bahwa tidak dikenakannya pajak atas surplus Bank Indonesia bersifat sementara yaitu sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pengenaan pajak penghasilan atas surplus Bank Indonesia.
III. PANDANGAN TERHADAP RENCANA PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS SURPLUS BANK INDONESIA Sebagai tanggapan atas rencana pengenaan pajak penghasilan atas surplus Bank Indonesia, dikemukakan beberapa pandangan sebagai berikut : 1. Bank Indonesia adalah sebagai Lembaga Negara Eksistensi suatu Bank Sentral diakui oleh UUD 1945 yaitu dalam Pasal 23 D4 yang menetapkan bahwa negara memiliki suatu Bank Sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 4 UU No. 3 Tahun 2004 diatur bahwa Bank Indonesia merupakan Bank Sentral Republik Indonesia dan merupakan lembaga negara. Disamping itu dalam penjelasan pasal tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa Bank Indonesia adalah sebagai badan hukum publik yang berwenang menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya. Berdasarkan hal tersebut, dalam rencana pengenaan pajak kepada Bank Indonesia, harus dilihat dari kedudukan Bank Indonesia yaitu sebagai lembaga negara dan badan hukum publik.
3
Dawam Rahardjo, et al, Independensi BI Dalam Kemelut Politik, Cidesindo, Jakarta, 2000, hal. 78.
4
Amandemen keempat UUD 1945
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 35
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Dalam konteks keuangan negara, adalah tidak tepat apabila Bank Indonesia sebagai badan hukum publik dikenakan pajak. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Ray M. Sommerfeld, Hershel M. Anderson dan Horace R. Brock:
A tax can be defined meaningfully as any non penal yet compulsory transfer of resources from the private to the public sector, levied on the basis of predetermined criteria and without receipt of a specific benefit of equal value, in order to accomplish some of nation’s 5 economic and social objectives Dari hal tersebut di atas terlihat bahwa hakikat pajak adalah merupakan iuran dari sektor swasta ke sektor publik yaitu negara, sehingga apabila Bank Indonesia sebagai badan hukum publik dikenakan pajak, hanya merupakan perpindahan dari kantong yang satu ke kantong yang lain.
2. Tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah merupakan pencerminan dari 5 Ray M. Sommerfeld et al, Introduction to Taxation, New York, Harcourt Brace Janovich, Inc, 1981 hal.1 (Pendapat tersebut dikutip dari buku R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Ind Hill-Co, Jakarta, 1996, hal 1-2). Bandingkan dengan pendapat Prof. Dr. Rochmat Soemitro yaitu pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (Prof. Dr. Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung).
kontribusi Bank Indonesia kepada masyarakat Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 ditentukan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai tugas: a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; c. mengatur dan mengawasi bank.
Kestabilan rupiah tersebut dapat diukur dari kestabilan harga barang dan jasa di dalam negeri atau inflasi dan kestabilan nilai tukar rupiah. Secara makro, tercapainya stabilitas moneter, inflasi yang rendah, dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan menunjang kesinambungan pembangunan dalam jangka panjang. Secara mikro, stabilitas moneter akan menguntungkan Pemerintah. Suku bunga yang rendah pada kondisi moneter stabil dapat menurunkan beban pengeluaran pemerintah untuk pembayaran bunga hutang dalam negeri. Selain itu, nilai tukar yang stabil dapat mengurangi kewajiban hutang luar negeri Pemerintah. Dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut, diperlukan biaya yang sangat besar dan menjadi tanggungan Bank Indonesia
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 36
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
sepenuhnya, meskipun di banyak negara (common practices) merupakan beban Pemerintah. Namun demikian Bank Indonesia sebagai lembaga non profit oriented tidak memperhitungkan untung rugi artinya berapapun biaya yang harus ditanggung akan tetap dilaksanakan sepanjang tujuan tersebut dapat tercapai. Tugas ini secara nyata mencerminkan kontribusi Bank Indonesia sebagai lembaga publik kepada masyarakat. Pengenaan pajak terhadap Bank Indonesia dapat mengurangi kemampuan keuangan Bank Indonesia dalam menyerap likuiditas perekonomian dan pada gilirannya dapat mendorong terjadinya inflasi yang tinggi dan nilai tukar Rupiah yang tidak stabil. Hal ini selanjutnya akan menurunkan daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Dari sisi pemerintah, tingginya suku bunga akibat kebijakan moneter yang ketat dalam memerangi inflasi, dapat meningkatkan beban hutang dalam negeri pemerintah. Selain itu, depresiasi nilai tukar rupiah yang terlalu besar mengakibatkan membengkaknya kewajiban hutang luar negeri Pemerintah yang akan menambah beban APBN.
3. Dampak terhadap keuangan Pemerintah. Dalam rangka pelaksanaan tugas pokok sebagai bank sentral, Bank Indonesia memerlukan modal yang cukup agar dapat membiayai
kegiatannya secara efektif. Modal dimaksud berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan berupa penjumlahan modal, cadangan tujuan dan cadangan umum serta bagian laba yang belum dibagi. Cadangan tujuan dan cadangan umum tersebut berasal dari sebagian surplus Bank Indonesia. Dengan demikian, pengenaan pajak atas surplus Bank Indonesia akan dapat berpotensi pada tidak terpenuhinya kecukupan modal sehingga berimplikasi pada terganggunya kelancaran tugas Bank Indonesia. Selanjutnya, hal ini pada gilirannya juga akan membebani keuangan Pemerintah. Sesuai Pasal 62 ayat 3 UU No. 3 Tahun 2004, apabila modal BI kurang dari Rp 2 trilyun dan telah dilakukan upaya pengalokasian seluruh surplus BI ke dalam cadangan umum tetapi masih kurang dari batas minimal tersebut maka pemerintah wajib menutup kekurangan modal BI tersebut dan dilaksanakan setelah mendapat persetujuan DPR. Disamping itu, sesuai kesepakatan penyelesaian BLBI, dalam hal rasio modal Bank Indonesia kurang dari 3%, maka Pemerintah wajib membayar charge kepada Bank Indonesia dalam bentuk tunai atau obligasi negara sebesar kekurangan dana yang diperlukan untuk mencapai rasio modal tersebut. Oleh karena itu, pengenaan pajak kepada Bank Indonesia justru tidak memberikan dampak yang positif
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 37
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
bagi keuangan Pemerintah apabila menyebabkan rasio modal BI kurang dari 3% karena adanya kewajiban pembayaran charge. Pada sisi lain, dengan tidak dikenakannya pajak terhadap Bank Indonesia bukan berarti Bank Indonesia tidak berperan serta dalam menyumbang penerimaan kepada pemerintah, karena sesuai Pasal 62 ayat (4) UU No. 3 Tahun 2004, diatur bahwa seluruh surplus Bank Indonesia akan diserahkan kepada pemerintah setelah diperhitungkan untuk cadangan tujuan dan cadangan umum sampai dengan rasio pemenuhan modal Bank Indonesia ditambah dengan cadangan umum mencapai minimal 10% dari seluruh kewajiban moneter.
sehingga akan menurunkan daya beli masyarakat dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat. Dalam kaitan tersebut ada suatu pendapat yang sangat menarik yaitu peranan pajak pada masa kini bukanlah sekedar untuk menghindari defisit anggaran belanja, akan tetapi untuk 7 menghindari inflasi.
4. Praktek di negara lain
Sentral
Praktek yang lazim dan berlaku di bank sentral negara lain sebagai berikut :8 a. Bank Negara Malaysia (BNM)
Dikaitkan dengan landasan filosofis pemungutan pajak, maka pengenaan pajak terhadap surplus Bank Indonesia tidak sesuai dengan Teori Daya Beli yang merupakan salah satu teori yang memberikan dasar pembenaran atau landasan filosofis dalam pemungutan pajak6 Dari aspek teoritis tersebut, dengan pemungutan pajak diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dengan pengenaan pajak kepada Bank Indonesia justru dapat berpotensi untuk mendorong inflasi yang tinggi 6 Teori-teori yang memberikan dasar pembenaran atau landasan filosofis wewenang negara untuk memungut pajak dengan cara yang dapat dipaksakan yaitu teori asuransi, teori kepentingan, teori kewajiban pajak mutlak, teori daya beli dan teori daya pikul (H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, PT.Raja Grafindo, Cetakan ke 4, Jakarta, 2004,hal.36-38
Bank
7
•
Laba yang diperoleh BNM tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh Badan). Hal ini didasarkan pada sifat kegiatan BNM yang tidak berorientasi profit.
•
Pembagian laba kepada pemerintah tetap dilakukan dengan cara membayar dividen kepada pemerintah, yang dihitung berdasarkan laba yang diperoleh dalam tahun berjalan.
•
Selain itu, pemerintah wajib menutup kekurangan modal yang dihadapi BNM, apabila BNM mengalami defisit yang
Ibid. hal.154
8
Makalah Biro PPKI, Antisipasi Pengenaan Pajak Penghasilan Badan Bagi Bank Indonesia (Dalam Perspektif Penyusunan Rancangan UndangUndang Pajak Penghasilan), Biro PPKI, Jakarta, 2004, hal.7-9
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 38
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
mengakibatkan negatif.
modalnya
pemerintah sesuai dengan Pasal 1 ayat (4) UU BOE Tahun 1946. •
b. Reserve Bank of New Zealand (RBNZ) •
•
Laba yang diperoleh RBNZ sesuai dengan Secsion 180 RBNZ Act 1989, tidak dikenakan PPh Badan. Hal ini mengingat sifat kegiatan RBNZ tidak berorientasi profit. Laba yang diperoleh RBNZ tersebut digunakan untuk menambah equity (modal) dan disetorkan kepada pemerintah.
Sedangkan laba yang berasal dari aktivitas normal Banking Dept merupakan objek PPh Badan (corporate tax). Pajak tersebut dihitung berdasarkan laba yang telah dikurangi bagian yang disetorkan kepada pemerintah.
e. De Nederlandsche Bank (DNB) •
Laba yang diperoleh DNB tidak dikenakan PPh Badan.
•
Laba tersebut disetor kepada pemerintah dalam hal jumlah modal telah melebihi jumlah modal disetor dan cadangan umum yang dipersyaratkan oleh undang-undang dengan persetujuan rapat umum pemegang saham.
c. Reserve Bank of Australia (RBA) •
•
Laba yang diperoleh RBA tidak dikenakan PPh Badan karena sifat kegiatan RBA sebagai bank sentral tidak berorientasi profit.
f. Deutsche Bundesbank •
Sesuai dengan Section 5 No. 2 German law on corporation taxation, Laba yang diperoleh Deutsche Bundesbank dikecualikan dari pajak karena sifat kegiatan Deutsche Bundesbank tidak berorientasi profit. Namun demikian, laba yang diperoleh tetap diserahkan kepada pemerintah.
•
Dalam hal Deutsche Bundesbank mengalami defisit, pemerintah wajib menutup defisit tersebut.
Laba yang diperoleh disetor kepada pemerintah.
d. Bank of England (BOE) •
•
Terdapat dua departemen terpisah yaitu Issue Dept. dan Banking Dept. Seluruh penghasilan bersih BOE dari Issue Dept diserahkan kepada pemerintah. Sebagian laba BOE dari Banking Dept diserahkan kepada
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 39
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
g. Hongkong Monetary Authority Hongkong Monetary Authority tidak membayar pajak penghasilan badan kepada pemerintah
h. Bank of Japan Bank of Japan tidak dikenakan pajak penghasilan badan terhadap surplus yang diperoleh. Surplus yang diperoleh dikembalikan kepada pemerintah.
i.
Bank of Thailand Bank of Thailand tidak membayar pajak penghasilan terhadap penghasilan yang diperoleh.
j.
Bank of Canada Bank of Canada tidak membayar pajak terhadap surplus yang diperolehnya. Hal ini karena surplus yang diperoleh bukan merupakan objek PPh badan. Seluruh keuntungan netto setelah dikurangi dengan biaya operasional diserahkan kepada pemerintah federal.
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya surplus yang diperoleh bank sentral tidak dikenakan pajak penghasilan karena :
1. Dalam rangka pelaksanaan tugasnya bank sentral tersebut tidak berorientasi pada profit. 2. Bank sentral tersebut akan menyetor sebesar prosentase tertentu atas surplus yang diperoleh kepada pemerintah. 3. Apabila modal Bank sentral mengalami defisit maka pemerintah wajib menutup kekurangan modal dimaksud. 4. Mengecualikan Bank sentral dari pajak penghasilan, secara prinsip tidak akan membuat perbedaan jumlah penerimaan pemerintah. Dengan kata lain, pengecualian yang mengurangi penerimaan pajak di lain pihak akan memperbesar pengalihan surplus bank sentral kepada pemerintah. 5. Pajak penghasilan dapat membahayakan otonomi keuangan bank sentral karena secara tidak sengaja dapat mengalihkan perhatian bank sentral kepada pengelolaan penghasilan daripada mencapai tujuan utamanya.
IV. PENUTUP Dalam penyelenggaraan negara yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas, diperlukan keselarasan dari setiap aspek kebijakan, termasuk harmonisasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, kendati dua kebijakan tersebut dilakukan oleh otoritas yang berbeda yaitu
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 40
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Departemen Keuangan selaku otoritas fiskal dan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter. Dalam upaya mewujudkan harmonisasi kebijakan tersebut, hendaknya setiap kebijakan diciptakan dengan semangat keberpihakan kepada masyarakat luas. Dengan demikian wacana pengenaan pajak terhadap Bank Indonesia kiranya perlu dicermati secara lebih bijaksana oleh para pengambil keputusan, pengamat bahkan oleh masyarakat luas karena pandangan yang dikemukakan dalam RUU Pajak masih memerlukan keseimbangan dengan kepentingan lain yang cakupannya lebih luas dan mendasar.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 41
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
RESENSI BUKU
Judul
:
Penulis Penerbit
: :
Tahun terbit : Oleh :
Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik, dan Kritik Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, S.H. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2005 Hilman Tisnawan, S.H.1
Keuangan negara merupakan urat nadi dalam pembangunan suatu negara dan amat menentukan kelangsungan perekonomian baik sekarang maupun yang akan datang. Mengutip Rene Stours, dijelaskan bahwa hakekat atau falsafah APBN adalah:
The constitutional right which a nation possesses to authorize public revenue and expenditure does not originates from the fact that the members of the nation contribute the payments. This right is based in a loftier idea. The idea of a sovereignty. Jadi hakekat public revenue and expenditure APBN adalah kedaulatan. Di negara demokrasi seperti Indonesia yang memiliki kedaulatan adalah rakyat, implementasi kedaulatan tersebut dapat terlihat dalam peraturan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dimana rakyatlah yang
1
menentukan hidupnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya yang tercermin dalam APBN. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mencerminkan kedaulatan rakyat tersebut, yang tergambar dari adanya hak begrooting (hak budgetTerjemahan Redaksi) yang dimiliki oleh DPR, dimana dinyatakan bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih kuat dari kedudukan pemerintah. Hal ini tanda kedaulatan rakyat, dan pemerintah baru dapat menjalankan APBN setelah mendapat persetujuan dari DPR dalam bentuk undangundang. Sesuai judulnya, dalam buku ini, istilah keuangan publik dimaksudkan selain meliputi keuangan negara dan keuangan daerah juga meliputi keuangan badan hukum lain yang modalnya/ kekayaannya berasal dari kekayaan negara/ daerah yang dipisahkan. Namun sebenarnya buku ini seperti diakui sendiri oleh penulisnya, lebih merupakan opini,
Analis Hukum Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Direktorat Hukum Bank Indonesia
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
42
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
argumentasi, dan evaluasi arti keuangan negara yang tercantum dalam Pasal 23 UUD 1945. Menurut penulis buku ini, rumusan atau definisi yang digunakan oleh peraturan perundang-undangan saat ini belum sesuai dengan konsepsi hukum serta lingkungan kuasa hukum yang berlaku pada umumnya, khususnya setelah dilakukannya amandemen ketiga terhadap UUD 1945 yang mengatur bidang keuangan negara dan hadirnya tiga paket undang-undang yang mengatur keuangan yakni UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (lihat Carut Marut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, hal 71). Buku ini tampaknya sengaja dibuat hanya dalam dua Bab, Bab I memuat arti Keuangan Negara pra amandemen UUD 1945, sedangkan Bab II memuat arti keuangan negara pasca amandemen UUD 1945. Dengan membagi buku ini ke dalam dua bab, maka pembaca diajak untuk membandingkan arti keuangan negara secara normatif pada satu sisi dan melihat prakteknya pada sisi lainnya. Dalam Bab pertama diuraikan mengenai arti keuangan negara berdasarkan Pasal 23 UUD 1945 yang didukung dengan beberapa tafsiran dari ahli hukum antara lain
Prof. M. Yamin, Allons, dan Prof. Dr. D. Simons. Menurut tafsiran Prof. M. Yamin seperti yang dikutip oleh penulis buku ini, Keuangan Negara menurut Pasal 23 ayat (4) meliputi segala hal yang berhubungan dengan keadaan dan ketentuanketentuan mengenai garis-garis besar kebijaksanaan moneter dan mengenai kedudukan serta tugastugas bank ditetapkan dengan undang-undang. Comptabiliteitswet (Wet 23 April 1864) dan peraturanperaturan devisa (devisen-ordonantie 1940: K.B.21 Juli 1943 dengan perubahan. Dari beberapa pendapat ahli hukum tersebut, menurut penulis buku ini, definisi keuangan negara bersifat plastis, tergantung kepada sudut pandang, sehingga apabila berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBN, sedang apabila bicara keuangan dari sudut pemerintah daerah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBD, demikian seterusnya dengan Perjan, PN-PN maupun Perum. Dengan perkataan lain definisi keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD, Keuangan Negara pada Perjan, Perum, PN-PN dan sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya (lihat hal 69). Menurut penulis buku ini, dengan menyitir pendapat Otto Eickstein (1979); Musgrave, Richard
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
43
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
A (1959); Roges Douglas & Melinda Jones (1996), apabila berbicara mengenai keuangan yang meliputi APBN, APBD dan BUMN serta BUMD, tidaklah tepat apabila menggunakan istilah keuangan negara, yang lebih tepat adalah menggunakan istilah Keuangan Publik. Untuk menambah nilai dari Bab pertama buku ini, penulis dalam awal pembahasannya juga memuat beberapa artikel yang ditulis oleh kalangan akademisi dan birokrat mengenai keuangan negara yang merupakan kilas balik pengertian keuangan negara sebelum maupun setelah amandemen UUD 1945. Amandemen keempat UUD 1945, yang melahirkan UU No 17 Tahun 2003 sebagai UU organik dari Pasal 23 C Bab VIII UUD 1945, dianggap sebagai pangkal permasalahan yang mengakibatkan menjadi biasnya arti keuangan negara. Penulis buku ini menilai bahwa landasan filosofi keempat amandemen UUD 1945 tersebut sangat tidak memadai, apalagi rumusan substansi ilmiahnya jauh dari yang semestinya. Hal tersebut mengakibatkan subtansi yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 menjadi “melenceng” karena yang diatur bukan mengenai hal-hal lain keuangan negara, melainkan hal-hal lain yang berada di luar domain hukum keuangan negara. Patut disimak adalah pendapat penulis buku ini yang menyatakan bahwa Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 yang merumuskan secara
lengkap keuangan negara cenderung menimbulkan kerugian keuangan negara dan membangkrutkan negara. Hal ini khususnya ditujukan pada Pasal 2 huruf i, yang menyatakan bahwa salah satu arti keuangan negara adalah kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dengan rumusan tersebut berarti negara akan turut bertanggung jawab terhadap kekayaan pihak swasta yang memperoleh fasilitas pemerintah. Seluruh kritik dan kegalauan penulis tersebut di atas dituangkan dalam bab II buku ini, yang diakui oleh penulisnya sebagai pendapat yang tidak dilandasi kepentingan politik maupun kekuasaan tertentu dan semata-mata didasarkan pemahamannya sebagai birokrat maupun akademisi. Status keuangan yang ada pada Perseroan Terbatas (PT) yang sebagian sahamnya dimiliki oleh negara, Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) serta mengenai transformasi hukum keuangan negara menjadi hukum keuangan daerah juga merupakan hal yang dikaji dalam buku ini. Pada bagian akhir buku ini dilampirkan artikel penulis mengenai Konservatisme Pemeriksaan Keuangan Negara. Lampiran artikel ini menarik untuk didiskusikan mengingat menurut penulis buku ini, dengan adanya perubahan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
44
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
fungsi pemeriksaan BPK melalui Pasal 23 E ayat 1 UUD 1945, yang semula hanya ditujukan pada tanggung jawab keuangan negara, dan kemudian meliputi pengelolaan keuangan negara, dinilai merupakan disorientasi fungsi BPK yang justru melemahkan kedudukannya sebagai lembaga negara. Disorientasi fungsi BPK tersebut hanya akan mendorong ketidakberdayaan BPK dalam menjangkau segi strategis tanggung jawab keuangan negara karena berkutat menjelajah segi teknis pengelolaan keuangan negara. Seharusnya sebagai lembaga negara yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK merupakan lembaga yang langsung mengawasi dan memeriksa kebijakan keuangan negara (fiscal policy audit) yang dilakukan pemerintah, yang menempatkan BPK sebagai lembaga
negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya, termasuk pemerintah. Apabila dilihat dari konsep hukum administrasi negara (HAN), disorientasi fungsi tersebut telah mengubah bentuk BPK dari organisasi negara menjadi organisasi administrasi negara. Dengan demikian kedudukannya melemah sebagai bagian dari unsur pemerintah dan bukan merupakan lembaga yang mandiri. Buku ini layak menjadi bahan kajian, khususnya mereka yang tertarik di bidang keuangan publik, atau bagi mereka yang saat ini berada dalam lingkup legislatif dan institusi keuangan publik. Hal penting yang tidak dimuat dalam buku ini adalah latar belakang dan suasana (milieu) pada saat dilakukannya amandemen UUD 1945 dan penerbitan Paket Undang-undang Keuangan Negara.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
45
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
CAKRAWALA HUKUM Oleh: Redaksi
KEY LEGAL, DOCUMENTARY AND STRUCTURING ISSUES FOR ISLAMIC FINANCIAL PRODUCT
Produk keuangan syariah pada prinsipnya dapat dikelompokkan dalam 3 bagian, yaitu, (i) produk penghimpunan dana (funding); (ii) pembiayaan (financing); dan (iii) jasa-jasa (services). Pada produk penghimpunan dana, biasa digunakan prinsip penitipan (wadiah dan mudharabah), produk pembiayaan digunakan prinsip investasi dan jual beli (musyarakah dan mudharabah, murabahah, salam, dan istishna), dan pada produk jasa digunakan prinsip pelayanan jasa keuangan (financing services). Dalam seminar ini khusus dibahas produk keuangan syariah dari sisi pembiayaan (financing) terutama dilihat dari sisi investasi dan jual beli dalam bentuk produk cash financing dan surat berharga (sekuritas). Pengertian pembiayaan difokuskan terhadap produk perbankan syariah yang mengandung adanya unsur pendapatan atau laba baik yang diterima oleh bank maupun pemasok barang dan jasa.
A. Prinsip Investasi Dalam Sistem Syariah
Mudharabah Management)
(Fund
Dalam sesi ini dijelaskan mengenai struktur dari produk keuangan syariah dengan menggunakan prinsip mudharabah, yang melibatkan 3 pihak yaitu deposan selaku penyedia dana (Rab Al Mal), bank selaku penerima dana (Mudareb) sekaligus investor (Rab AL Mal), dan Pengusaha. Dalam skema ini, bank bisa berfungsi sebagai Mudareb sekaligus Rab Al Mal. Bank berfungsi sebagai Mudareb pada saat bank melakukan perjanjian dengan Deposan, dan bank berfungsi sebagai Rab Al Mal pada saat bank melakukan perjanjian dengan pengusaha. Pada dasarya, prinsip mudharabah adalah suatu akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (Rab Al Mal) menyediakan seluruh modal usaha sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
46
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
sebaliknya jika rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.
B. PRINSIP JUAL BELI SISTEM SYARIAH
DALAM
Murabahah (Sale with Profit) Musyarakah (Partnership) Dalam sesi ini dijelaskan mengenai struktur dari produk keuangan syariah dengan menggunakan prinsip musyarakah, yang melibatkan 2 pihak yaitu bank dan klien selaku partner dalam suatu proyek/ transaksi, dimana satu partner bertindak sebagai penjamin bagi partner lainnya. Berbeda dengan mudharabah yang merupakan kombinasi kerjasama antara penyediaan dana dan keahlian, dalam skema musyarakah ini dipersyaratkan bahwa para pihak harus menginvestasikan dananya masing-masing dalam pelaksanaan suatu proyek. Pembagian hasil keuntungan harus disebutkan dalam kontrak dan rasio pembagian keuntungan tidak selalu berhubungan dengan kontribusi modal yang telah diberikan. Dalam praktek managing partner diperbolehkan untuk menerima keuntungan lebih dibanding dari partner lain. Pada dasarnya, prinsip musyarakah adalah suatu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Dalam sesi ini dijelaskan mengenai struktur produk keuangan syariah dengan menggunakan prinsip murabahah. Penerapan prinsip murabahah sangat popular untuk dilakukan dalam bisnis perdagangan. Pada prinsipnya murabahah adalah akad jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang telah disepakati. Dalam skema ini, tedapat 3 pihak yaitu klien, bank dan supplier. Klien melakukan penjajagan kepada bank dengan permintaan untuk membeli barangbarang tertentu/ proyek dari supplier independen. Klien berjanji untuk membeli barang/ proyek yang sama dari bank dengan harga asal dan tambahan keuntungan bagi bank yang telah disepakati. Jual beli dengan menggunakan prinsip murabahah ini hanya dapat terjadi untuk barang atau produk yang telah dikuasai atau dimiliki oleh penjual pada waktu negosiasi dan berkontrak. Menjual barang yang tidak dimiliki adalah tindakan yang dilarang syariah. Dengan kata lain, walaupun pembelian barang dilakukan oleh bank untuk dan atas nama klien, tetapi sesuai dengan persyaratan syariah maka ketika bank menjual barang tersebut kepada pemesan, harus terdapat peralihan kepemilikan atas barang dimaksud terlebih dahulu dari
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
47
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
supplier kepada bank, untuk selanjutnya bank berhak menjual barang tersebut kepada pemesan/ klien. Dalam konteks penguasaan dan pemilikan barang ini, bank membeli barang dari supplier untuk dan atas nama bank, tetapi dalam kondisi tertentu bank diperbolehkan meminta klien untuk berhubungan langsung dengan agen penjual untuk dan atas namanya atau nama bank, dan dalam konteks ini pembayaran harus dibayarkan terlebih dahulu oleh bank kepada supplier.
Istisna Dalam sesi ini dijelaskan mengenai struktur dari produk pembiayaan syariah dengan menggunakan prinsip istisna, yang melibatkan 2 pihak yaitu bank selaku penjual dan klien selaku pembeli. Pembiayaan dengan menggunakan prinsip istisna diadopsi untuk membiayai suatu proyek yang spesifikasinya harus dideskripsikan oleh pembeli seperti spesifikasi pembangunan gedung, pembuatan kapal, pesawat. Atas penjelasan spesifikasi yang dideskripsikan oleh klien, bank sepakat untuk membiayai proyek dengan perjanjian istisna. Pada prinsipnya akad istisna adalah merupakan kontrak penjualan antara pembeli (klien) dan pembuat barang (bank). Hak kepemilikan atas proyek yang dibiayai oleh bank beralih kepada klien terhitung sejak
penandatanganan perjanjian istisna, dan tidak digantungkan pada perjanjian penjualan barang ataupun penyerahan barang.
Salam (Deferred Delivery) Seperti istisna, salam adalah struktur pembiayaan syariah lainnya dimana komoditas tertentu ditransaksikan sebelum tiba masa panen atas komoditas tersebut, misalnya pada produk hasil pertanian. Pada prinsipnya akad salam berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Struktur yang terjadi dalam prinsip salam adalah bank menjanjikan akan menyediakan komoditas tertentu pada masa yang akan datang dengan pembayaran harga yang berlaku pada saat ini. Harga pembelian dalam prinsip salam ini harus tetap dan di bawah harga pasar, dengan pertimbangan bahwa bagi pembeli, harga di bawah pasar ini merupakan keuntungan dari terjadinya perbedaan 2 harga sebagai bentuk penghargaan karena telah membantu penjual untuk menerima hasil dari komoditi yang ditransaksikan. Salam hanya dapat diterapkan bagi komoditi dengan kualitas dan kuantitas yang bisa dispesifikasikan.
Ijarah (Leasing) Prinsip ijarah pemindahan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
48
adalah hak
akad guna/
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
pemanfaatan atas barang melalui pembayaran sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri. Dengan kata lain, ijarah diperspektifkan sebagai leasing atas suatu proyek yang mempunyai nilai manfaat. Ada dua sistem yang bisa digunakan dalam pembiayaan dengan prinsip ijarah, yaitu dengan sistem operating lease (barang dikembalikan kepada lessor pada saat berakhirnya jangka waktu sewa) dan sistem financial lease (barang dapat dijual kepada lesse setelah berakhirnya jangka waktu sewa). Dalam perkembangannya, terdapat pengembangan prinsip ijarah yaitu yang dikenal dengan ijarah muntahia bit-Tamlik dimana merupakan perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa, atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang kepada si penyewa. Hal yang perlu diperhatikan dalam pembiayaan dengan prinsip ijarah adalah perlu adanya kepastian bahwa lessor adalah pemilik dari barang yang kegunaannya/ nilai manfaatnya hendak dialihkan.
Sukuk Al Ijarah Pada prinsipnya sukuk atau obligasi syariah merupakan bentuk surat berharga sebagai instrumen investasi, yang diterbitkan berdasarkan suatu transaksi atau akad syariah yang melandasinya (underlying transaction) yang bisa
berupa ijarah, mudharabah, musyarakah atau yang lain. Sukuk bukan instrumen utang piutang dengan bunga seperti obligasi yang dikenal dalam sistem keuangan konvensional, tetapi merupakan instrumen investasi. Sukuk diterbitkan dengan suatu underlying asset dengan prinsip syariah yang jelas. Underlying transaction yang banyak digunakan sebagai dasar penerbitan sukuk adalah transaksi yang menggunakan prinsip sewa (ijarah) sehingga saat ini dikenal sukuk al ijarah yaitu surat berharga yang diterbitkan berdasarkan akad sewa dimana hasil investasi berasal dan dikaitkan dengan arus pembayaran sewa aset tersebut. Penerbitan sukuk al ijarah dimulai dari adanya suatu akad jual beli aset oleh suatu perusahaan kepada perusahaan tertentu yang ditunjuk untuk suatu jangka waktu tertentu dengan janji membeli kembali setelah jangka waktu tersebut berakhir.
C. WORK SHOP Dalam seminar yang diselenggarakan pada 7 dan 8 September 2005 ini disediakan sesi khusus berupa workshop yang membahas studi kasus penerapan skim-skim pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang telah diimplementasikan oleh Dubai Islamic Bank, diantaranya : a. Skim pembiayaan dengan menggunakan prinsip ijarah
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
49
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
dalam membiayai proyek-proyek besar yang dilakukan di Uni Emirat Arab.
mentah terkait dengan fasilitas pembiayaan sindikasi di negara ASEAN.
b. Skim pembiayaan dengan menggunakan prinsip istisna dalam membiayai proyek-proyek minyak bumi.
d. Skim pembiayaan dengan menggunakan prinsip musyarakah dalam membiayai proyek pengadaan pusat perbelanjaan (shopping mall) di Uni Emirat Arab.
c. Skim pembiayaan dengan menggunakan prinsip murabahah dalam membiayai proyek pengadaan minyak
THE 6th INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAMIC ECONOMICS AND FINANCE
The 6th International Coference on Islamic Economics and Finance diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 21 – 24 November 2005 dengan tema “Islamic Economics and Banking in the 21st Century”. Konferensi tersebut diselenggarakan bersama-sama oleh Bank Indonesia, the Islamic Research and Training Institute, dan the International Association for Islamic Economics bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia dan Universitas Indonesia. Konferensi tersebut merupakan konferensi ke 6 dari rangkaian konferensi yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 1976 di Mekkah. Konferensi tersebut dihadiri oleh 300 orang peserta dari 38 negara. Terdapat 30 makalah dengan topik yang berbeda dibidang ekonomi, perbankan, dan keuangan Islam.
Pembukaan konferensi diadakan di Istana Wakil Presiden dan dibuka oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Wakil presiden menekankan pentingnya membuat rumusan solusi yang praktis dibidang ekonomi dan keuangan Islam yang dapat diterapkan dalam rangka pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Selain itu, wakil presiden juga menegaskan perlunya dikembangkan kerja sama antara negara-negara Islam dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat. Hal tersebut antara lain dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan modal dari negaranegara Islam yang memiliki kelebihan dana. Dr. Ahmed Mohamed Ali, President Islamic Development Bank (IDB)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
50
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Group, menegaskan kembali komitmen IDB Group untuk terus mendukung pengembangan ekonomi dan keuangan Islam. Selanjutnya, Dr. Ali mengemukakan bahwa dalam dunia internasional, industri keuangan Islam tidak dapat berkompetisi apabila tidak sepenuhnya berintegrasi dengan sistem keuangan internasional dan harus memiliki kredibilitas dengan cara menerapkan standar yang diterima secara internasional. Dalam hal ini, IDB bekerja sama dengan berbagai bank sentral, termasuk Bank Indonesia dan juga organisasi internasional lainnya seperti IMF, telah memainkan peran yang bersifat mempercepat penguatan infrastruktur dan sistem keuangan Islam internasional dengan mendirikan 7 lembaga, yaitu: 1. Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI); 2. Islamic Financial Services Board (IFSB) 3. International Islamic Market (IIFMI); 4. Liquidity (LMC);
Management
5. Islamic International Agency (IIRA);
Financial Centre Rating
6. General Council of Islamic banks and Financial Institutions (GCIBFI); 7. Arbritation and Reconciliation Centre for Islamic Financial Institutions (ARCIFI).
Lembaga-lembaga tersebut dapat berperan penting dalam rangka mengembangkan infrastruktur industri lokal di negara anggota IDB dan juga dalam memberikan plat form dalam rangka interaksi dan integrasi dengan sistem keuangan internasional. Berkaitan dengan pengembangan industri keuangan Islam, Dr. Ali mengemukakan bahwa negaranegara Islam menerapkan 2 pendekatan, yaitu pendekatan dari sisi kebijakan dan dan pendekatan dari sisi rekayasa keuangan. Pendekatan pertama mengemukakan reformasi hukum yang sesuai dengan kebutuhan industri keuangan dan jasa Islam. Pendekatan kedua mendorong dan mendukung pengembangan produk dan perjanjian industri keuangan dan jasa Islam yang sesuai dengan syariah dan sistem hukum yang berlaku. Disamping kedua pendekatan tersebut di atas, Shariah Governance System (SGS) dalam bentuk pengawasan berdasarkan prinsip syariah adalah hal utama yang dibutuhkan oleh industri keuangan Islam. SGS yang efisien diharapkan akan meningkatkan pengembangan produk dan mobilisasi sumber daya, likuiditas, dan manajemen risiko, memastikan pengawasan berdasarkan syariah dan meningkatkan kredibilitas industri keuangan Islam, serta membangun kepercayaan nasabah dalam sistem keuangan Islam yang sehat dan berkesinambungan.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
51
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Pengembangan SGS membutuhkan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang memiliki keahlian dibidang syariah, perbankan, keuangan, dan pengetahuan lainnya. Gubernur Bank Indonesia dalam sambutannya menekankan pentingnya konferensi tersebut sebagaimana halnya konferensikonferensi sebelumnya dalam mengembangkan ilmu keuangan dan ekonomi Islam. Selain itu, Gubernur Bank Indonesia juga mengemukakan pentingnya kerja sama negara-negara Islam dalam mengembangkan sistem perbankan syariah. Konferensi tersebut dimulai dengan diskusi yang diketuai oleh Profesor Khurshid Ahmed, Ketua the Islamic Foundation dan Rektor Markfield Institute of Higher Education. Dalam diskusi pembukaan tersebut, Dr. Mabid Ali Al-Jarhi, Presiden International Association for Islamic Economics, menjelaskan perbedaanperbedaan tahapan dalam perkembangan keuangan Islam dan hal-hal yang perlu dilakukan untuk membantu perkembangan tersebut menuju tahapan lepas landas. Selanjutnya, Dr. Abbas Mirakhor, Executive Director IMF, menggarisbawahi pentingnya kepercayaan dalam pengembangan keuangan Islam dalam bentuk musyarakah. Dalam konferensi tersebut diselenggarakan serangkaian diskusi
atas 30 makalah yang membahas berbagai topik terkait keuangan Islam. Salah satu diantaranya yang berkaitan dengan perkembangan perbankan syariah di Indonesia adalah Basel II: Implications for Islamic Bank yang ditulis oleh Monzer Kahf, konsultan independen dari Amerika dibidang ekonomi Islam. Dalam makalah tersebut di atas, Monzer Kahf mengemukakan bahwa Basel II bertujuan menciptakan cara dan kriteria yang mendukung stabilitas dan melindungi tingkat solvensi industri perbankan dan lebih fokus pada managemen yang berkaitan dengan tata kelola bank (corporate governance practice) dan prinsip kehati-hatian. Harapannya adalah pembuat kebijakan dan industri perbankan harus lebih sensitif terhadap pengelolaan risiko sehingga kecukupan modal harus diikuti oleh penilaian risiko, yang dituangkan dalam 3 (tiga) pilar dalam Basel II, yaitu: minimum capital requirement; supervisory review process; dan market discipline. Berkaitan dengan risiko tersebut di atas, makalah dimaksud bertujuan untuk membahas berbagai jenis risiko yang biasanya dihadapi oleh perbankan Islam dan memiliki pengaruh terhadap kecukupan modal bank. Risiko dimaksud tergantung pada kondisi aset dan kewajiban bank, juga dapat berkaitan dengan sumber daya
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
52
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
manusia, sistem yang digunakan bank, dan juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dan internal bank. Berkaitan dengan hal itu, bank dapat menghadapi risiko eksternal yang disebabkan oleh perubahan politik dan peraturan yang dibuat oleh otoritas perbankan (risiko peraturan) atau perubahan tingkat suku bunga, misalnya LIBOR, yang digunakan sebagai acuan oleh perbankan Islam. Dari berbagai macam risiko tersebut, Pilar 1 pada Basel II yang berkaitan dengan modal terutama difokuskan pada penghitungan, pengawasan, dan pemenuhan kebutuhan modal minimum untuk menghadapi risiko kredit, risiko operasional, dan risiko pasar (akibat adanya perubahan harga pasar terhadap portofolio yang dapat diperdagangkan). Selanjutnya Basel II telah membuat metodologi dalam mengukur risiko tersebut dengan menggunakan the Standardized Approach dalam pemberian rating terdapat aset oleh eksternal credit assessment, the Internal Rating-Based (IRB) Methodology untuk risiko kredit dan the Advanced Measurement Approach (AMA) untuk risiko operasional. Namun pilar 1 ini tidak memberikan pengaturan lebih lanjut terhadap risiko eksternal yang disebutkan di atas dan risiko lain seperti interest rate risk dalam banking book, assessment terhadap residual risk dan credit concentration risk. Hal itu mengakibatkan peran otoritas
pengawas akan dominan sebagaimana di amanatkan Pilar 2 dan harus selalu memantau situasi dalam hal risiko yang dihadapi bank mengancam stabilitas industri perbankan dengan cara memastikan ke-3 metode di atas telah diterapkan oleh bank baik secara on-site maupun off-site supervision. Pilar 2 dan Pilar 3 lebih menekankan pada transparansi informasi. Namun konsekuensi dari Pilar 3 ( market discipline) akan menuntut industri perbankan untuk transparan dan mengumumkan informasi kualitatif. Oleh karena itu informasi tersebut harus meliputi kesimpulan umum terhadap tujuan dan kebijakan dari risiko manajemen bank, reporting system dan definisi-definisi. Selanjutnya, Monzer Kahf membuat 2 klasifikasi atas instrumen keuangan Islam yaitu debt-creating assets dan non-debt creating assets yang memiliki dampak risiko berbeda-beda dengan menggunakan prosedur akuntansi yang merujuk kepada AAOIDI standard. Yang termasuk dalam debt-creating assets antara lain prinsip jual beli murabahah, ijarah, istisna, musyarakah import financing dan salam. Sementara itu, mudharabah dan musyarakah dapat dikategorikan dalam non-debt creating assets mengingat beneficiary-nya tidak memiliki tanggung jawab terhadap principal, sedangkan kerugian ditanggung sesuai porsi dana/ modal masingmasing.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
53
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Berkaitan dengan Basel II maka cara penghitungan kecukupan modal dalam pencatatan neraca aset terdiri atas hutang dan modal. Untuk bank Islam aset adalah terdiri atas tabungan, unresticted investment (mudharabah) deposit dan restricted investement (mudharabah) deposit. Mengingat unresticted investment deposit hanya digunakan hanya untuk investasi yang pengelolaannya diserahkan kepada bank dan dapat juga digabungkan dengan sumber dana lain misalnya yang berasal dari tabungan dan modal bank sendiri. Oleh karena itu, hal ini juga termasuk dari modal yang pencatatannya seharusnya tidak pada sisi kredit dalam neraca. Untuk risiko operasional diusulkan kecukupan modal seharusnya lebih rendah dari yang diusulkan dalam Basel II, mengingat bank Islam tidak bertanggung jawab terhadap pemilik dana atas risiko yang timbul dalam kondisi normal sesuai dengan perjanjian antara bank dan pemilik dana. Tanggung jawab pemegang saham bank Islam hanya terbatas atas 3 hal yaitu pelanggaran kontrak oleh senior management, kelalaian dalam memberlakukan prinsip kehati-hatian, dan kesalahan dengan sengaja oleh manajemen. Oleh karena itu, risiko yang ditimbulkan dari kegagalan proses internal, sistem, pegawai dan opini hukum atau kejadian eksternal bukanlah tanggung jawab dari bank Islam terhadap unrestricted deposit
holders, kecuali depositor membuktikannya.
dapat
Hal lain yang menjadi perhatian Monzer Kahf bahwa si risiko trading book (market risks) yang ditetapkan oleh Basel II tidak relevan dengan bank Islam, mengingat bank tidak melakukan short term transaksi pada pasar keuangan dan tidak melakukan jual beli komoditi di pasar bursa. Namun demikian terdapat beberapa instrumen bank Islam yang tidak dikenal oleh bank konvensional antara lain penyertaan pada perusahaan real estate dan long term investment. Oleh karena itu diusulkan bahwa risiko trading book bank Islam lebih tinggi dibandingkan dengan short term tradable securities pada bank konvensional. Secara keseluruhan, paper Monzer Kahf mereview bahwa lembaga sistem keuangan Islam internasional telah berupaya untuk membuat aturan yang sejalan dengan Basel II namun tentunya harus disesuaikan dengan karakteristik dari bank Islam. Sebagai hasil akhir dari konferensi tersebut menghasilkan rekomendasi sebagai berikut: a. Negara-negara Islam dalam menetapkan kebijakan pembangunan ekonominya harus mendasarkan pada nilainilai ekonomi Islam yang kesinambungan pengembangannya ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan kesejahteraan sosial.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
54
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
b. Lembaga pemerintah dan nonpemerintah harus diperbolehkan untuk berkompetisi dalam rangka meningkatkan pengumpulan zakat yang berdasarkan keterbukaan dan transparansi. Keterlibatan bank Islam dalam mendistribusikan zakat dengan mendanai proyek mikro diharapkan dapat mengurangi angka kemiskinan. c. Sehubungan dengan pertumbuhan blok-blok ekonomi, harus dibuat rencana untuk mengintegrasikan ekonomi Islam secara gradual.
perbankan harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan perbankan Islam yang spesifik. h. Ilmuwan Islam diminta untuk memberikan perhatian yang sama terhadap seluruh aspek ekonomi Islam dan tidak terpaku hanya pada lembaga keuangan Islam. i.
Transformasi dari ekonomi konvensional ke ekonomi Islam, secara kelembagaan dalam tingkat nasional, dapat dilakukan melalui perencanaan yang baik. Oleh karena itu negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan Islam diminta untuk membuat dan menerapkan rencana dimaksud.
j.
Sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan pengetahuan tentang ekonomi Islam sangat penting dalam mengembangkan lembaga keuangan Islam. Sehubungan dengan hal itu, diperlukan dukungan terhadap pengembangan lembaga pendidikan dan pelatihan yang mampu menghasilkan tenagatenaga terampil.
d. Dalam konferensi berikutnya, diskusi harus lebih difokuskan kepada metodologi ekonomi Islam. e. Negara-negara Islam diminta untuk membuat konsep yang mendukung pengembangan musyarakah dan mudharabah termasuk mendapat perlakuan sama dalam perpajakan dan penegakan hukum. f. Lembaga keuangan dan perbankan Islam harus berusaha keras untuk berperan dalam meningkatkan pembangunan dengan cara lebih aktif terlibat dalam lembaga keuangan dan pertanian. g. Negara-negara Islam diminta untuk menciptakan kondisi yang mendukung pengembangan sistem bagi hasil dan ekonomi Islam, khususnya ketentuan
k. Pelatihan ekonomi Islam yang pada umumnya dilakukan secara ad hoc harus mampu menyediakan pelatihan yang sistematis berdasarkan materi yang dipersiapkan secara baik dengan menggunakan teknologi
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
55
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
informasi dan modul berbasis komputer. l.
yang
Universitas Islam, Lembaga pendidikan, dan perusahaan dihimbau untuk mendirikan suatu perusahaan yang dapat menerbitkan buku dan materi pelatihan yang dapat diterima secara umum oleh kalangan akademisi dan profesional.
m. International Association for Islamic Economics diminta untuk menyelenggarakan konferensi dimaksud secara reguler dalam jangka waktu tidak lebih dari 3 tahun. Selain itu, konferensi diminta untuk lebih fokus pada pengembangan ide-ide ekonomi Islam.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
56
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA AGUSTUS-DESEMBER 2005
No Urut
Nomor PBI
Tanggal
Satker Penerbit
Perihal
Nomor LN & TLN RI
Perubahan Atas Peraturan Bank 1.
7/21/PBI/2005
03-08-2005
DPM/DPNP
Indonesia Nomor 5/15/PBI/2003 Tentang Fasilitas Pendanaan
LN.Thn. 2005 No.68 TLN.4518
Jangka Pendek Bagi Bank Umum.
2.
7/22/PBI/2005
03-08-2005
DPM/DASP
Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum.
LN.Thn. 2005 No.69 TLN.4519
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/3/PBI/2003 3.
7/23/PBI/2005
03-08-2005
DPbS
Tanggal 4 Februari 2003 Tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka
LN.Thn. 2005 No.70 TLN.4520
Pendek Bagi Bank Syariah. Fasilitas Likuditas Intrahari Bagi 4.
7/24/PBI/2005
03-08-2005
DPM
Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi
5.
7/25/PBI/2005
03-08-2005
DPNP/DPbS
Pengurus dan Pejabat Bank Umum.
LN.Thn. 2005 No.71 TLN.4521
LN.Thn. 2005 No.72 TLN.4522
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor : 2/8/PBI/2000 6.
7/26/PBI/2005
08-08-2005
DPM
Tanggal 23 Februari 2000 Tentang Pasar Uang Antar Bank
LN.Thn. 2005 No.74 TLN.4524
Berdasrkan Prinsip Syariah. Perubahan Atas Peraturan Bank 7.
7/27/PBI/2005
24-08-2005
DPNP/UKMI/DSM/ Indonesia Nomor 3/17/PBI/2001 DPIP
Tentang Laporan Berkala Bank
LN.Thn. 2005 No.75 TLN.4525
Umum. Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8.
7/28/PBI/2005
01-09-2005
DPM
6/11/PBI/2004 Tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan
LN.Thn. 2005 No.77 TLN.4526
Pihak Ketiga dan Pasar Uang
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
57
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
No Urut
Nomor PBI
Tanggal
Satker Penerbit
Perihal
Nomor LN & TLN RI
Antar Bank.
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 9.
7/29/PBI/2005
06-09-2005
DPNP/DPM/DKM Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia
LN.Thn. 2005 No.80 TLN.4529
Dalam Rupiah dan Valuta Asing. Perubahan Ketiga Atas Peraturan 10.
7/30/PBI/2005
13-09-2005
DPD/DPM
Bank Indonesia No.4/9/PBI/2002 Tentang Operasi Pasar Terbuka.
11.
7/31/PBI/2005
13-09-2005
DPD
Transaksi Derivatif.
LN.Thn. 2005 No.84 TLN.4533
LN.Thn. 2005 No.85
Pencabutan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 Tentang Suku Bunga Penjaminan 12.
7/32/PBI/2005
22-09-2005
DPM
Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank Sebagaimana
LN.Thn. 2005 No.86
Telah Diubah Terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/28/PBI/2005. Pencabutan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/17/PBI/2003 Tentang Persyaratan dan Tata 13.
7/33/PBI/2005
22-09-2005
DPBPR/DPbS
Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban
LN.Thn. 2005 No.87
Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Tindak Lanjut Penanganan 14.
7/34/PBI/2005
22-09-2005
DPBPR/DPbS
Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
58
LN No. 88. Thn.2005 TLN No.4534
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
No Urut
Nomor PBI
Tanggal
Satker Penerbit
Perihal
Nomor LN & TLN RI
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 15.
7/35/PBI/2005
29-09-2005
DPbS
Tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
LN No. 90. Thn.2005 TLN No.4536
Berdasarkan Prinsip Syariah. LN No. 91. 16.
7/36/PBI/2005
30-09-2005
DPD
Transaksi Swap Lindung Nilai.
Thn.2005 TLN No.4537
Perubahan Kedua Atas Peraturan 17.
7/37/PBI/2005
30-09-2005
DPNP/DPD
Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 Tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum.
LN No. 92. Thn.2005 TLN No.4538
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 18.
7/38/PBI/2005
10-10-2005
DPNP
Tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan
LN No. 93. Thn.2005 TLN No.4539
Status Bank. Pemberian Bantuan Teknis Dalam 19.
7/39/PBI/2005
18-10-2005
BKr
Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
LN No. 99. Thn.2005 TLN No.4543
Pengeluaran dan Pengedaran 20.
7/40/PBI/2005
18-10-2005
DPU
Uang Kertas Rupiah Pecahan
LN No. 100.
10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun
Thn.2005
Emisi 2005. Pengeluaran dan Pengedaran Uang Khusus Pecahan 10.000 21.
7/41/PBI/2005
18-10-2005
DPU
(Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005 Dalam Bentuk Uang Kertas Belum
LN No. 101. Thn.2005
Dipotong. Pengeluaran dan Pengedaran 22.
7/42/PBI/2005
18-10-2005
DPU
Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun
LN No. 102. Thn.2005
Emisi 2005. Pengeluaran dan Pengedaran 23.
7/43/PBI/2005
18-10-2005
DPU
Uang Khusus Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
59
LN No. 103. Thn.2005
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
No Urut
Nomor PBI
Tanggal
Satker Penerbit
Perihal
Nomor LN & TLN RI
2005 Dalam Bentuk Uang Kertas Belum Dipotong.
Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 24.
7/44/PBI/2005
21-10-2005
DPD
5/5/PBI/2003 Tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan
LN No. 109. Thn.2005
Valuta Asing. Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Umum Pasca Pasca Bencana 25.
7/45/PBI/2005
11-11-2005
DPNP/DPbS
Alam di Propinsi Nangroe Aceh
LN No. 109.
Darussalam dan Kabupaten Nias
Thn.2005
serta Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Akad Penghimpunan dan 26.
7/46/PBI/2005
14-11-2005
DPbS
Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
27.
7/47/PBI/2005
14-11-2005
DPbS
Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
LN No. 124. Thn.2005 TLN No.4563 LN No. 125. Thn.2005 TLN No.4564
Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 28.
7/48/PBI/2005
16-11-2005
DASP
LN No. 131.
2/24/PBI/2005 Tentang Hubungan Thn.2005 TLN No. Rekening Giro antara Bank
4570
Indonesia dengan Pihak Ekstern.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
60
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
DAFTAR SURAT EDARAN (EKSTERN) BANK INDONESIA AGUSTUS-DESEMBER 2005
No Urut 1.
Nomor SE BI Ekstern 7/32/DPM
Tanggal
01-08-2005
Satker Penerbit
Perihal
DPM
Marjin Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank.
2.
7/33/DPM
03-08-2005
DPM
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/7/DPM Tanggal 16 Februari 2004 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.
3.
7/34/DPM
03-08-2005
DPM
Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum.
4.
7/35/DPM
03-08-2005
DPM
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/9/DPM Tanggal 16 Februari 2004 Perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah.
5.
7/36/DPM
03-08-2005
DPM
Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.
6
7/37/DPM
08-08-2005
DPM
Tata Cara Pelaksanaan dan Penyelesaian Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
7.
7/38/DPM
09-08-2005
DPM
Biaya Laporan Harian Bank Umum dan Biaya Pusat Informasi Pasar Uang.
8.
7/39/DPM
19-08-2005
DPM
Pencabutan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/17/DPM Tanggal 6 April 2004 perihal Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia Secara Repurchase Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia Di Pasar Sekunde.
9.
7/40/DPNP
24-08-2005
DPNP
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/23/DPNP Tanggal 30 Oktober 2001 Tentang Laporan Berkala Bank Umum.
10.
7/41/DPM
01-09-2005
DPM
Marjin Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank.
11.
7/42/DPNP
06-09-2005
DPNP
Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing.
12.
7/43/DASP
07-09-2005
DASP
Batas Nilai Nominal Nota Debet dan Transfer Kredit dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
13.
7/44/DPD
15-09-2005
DPD
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.7/23/DPD Tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 61
VOLUME 3 NOMOR 3, DESEMBER 2005
No Urut
Nomor SE BI Ekstern
Tanggal
Satker Penerbit
Perihal oleh Bank.
14.
15.
7/45/DPD
7/46/DPM
15-09-2005
27-09-2005
DPD
Transaksi Derivatif.
DPM
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/34/DPM Tanggal 3 Agustus 2005 Perihal Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum.
16.
7/47/DASP
13-10-2005
DASP
Batasan Nilai Nominal Per Transaksi Antar Bank untuk Kepentingan Nasabah Melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement Sehubungan dengan Hari Libur Nasional.
17.
7/48/DPNP
14-10-2005
DPNP
Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum.
18.
7/49/DInt
28-10-2005
DInt
Pencabutan Atas Beberapa Surat Edaran Bank Indonesia Yang Terkait Dengan Kegiatan Eksport-Import.
19.
7/50/DPBPR
01-11-2005
DPBPR
Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus.
20.
7/51/DPNP
09-11-2005
DPNP
Prinsip Kehati-hatian dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset bagi Bank Umum.
21.
7/52/DPbS
22-11-2005
DPbS
Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
22.
7/53/DPbS
22-11-2005
DPbS
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 62
VOLUME 3 NOMOR 3, DESEMBER 2005