BULETIN
ISSN : 1693 - 3265 Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Aspek Hukum Kepailitan Dan Insolvensi Bank Di Negara-Negara Asean Pembenahan Hukum Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Resensi Buku: Kepalitian Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Suatu Bank Cakrawala Hukum: Laporan Mengikuti Sosialisasi RUU Pencegahan Dan Pendanaan Terorisme Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2011 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, September - Desember 2011
Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Direktorat Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Ahmad Fuad, Christina Sani, Heru Pranoto Pemimpin Redaksi Christina Sani Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Imam Subarkah, Sudarmaji, Arief R. Permana, Amsal Chandra Appy, Rosalia Suci, Rika S. Dewi, Amy Rachmy Budiati, Hari Sugeng Raharjo, Suprianto, Umi Widji R. Redaksi Pelaksana Dyah Pratiwi, Hernowo Koentoadji, Ellia Syahrini, Kesumawati, Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH., LLM Dr. Inosentius Samsul, SH., LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH., MH Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email:
[email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. “Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi”
Halaman ini sengaja dikosongkan
Dari Meja Redaksi
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9 Nomor 3, Edisi September s.d Desember2011 kembali hadir ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya. Dalam rangka menyongsong berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 yang menandakan lahirnya babak baru hubungan kerjasama ekonomi regional di antara negara-negara ASEAN, pemahaman yang memadai mengenai berbagai sistem hukum dan ketentuan terkait dengan bidang-bidang yang relevan dengan terbentuknya MEA merupakan suatu keharusan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kajian mengenai aspek hukum insolvensi dan kepailitan bank di negaranegara ASEAN dimaksudkan untuk melengkapi persiapan-persiapan yang diperlukan dalam rangka perundingan-perundingan menuju terbentuknya MEA tahun 2015. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Buletin edisi ini akan diterbitkan artikel mengenai Aspek Hukum Kepailitan dan Insolvensi Bank di Negara-Negara Asean. Selain itu, Buletin juga menurunkan 2 artikel lainnya, yaitu : 1.
Pembenahan Hukum Prasyarat Pertubuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan, oleh Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM.
2.
Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Dan Dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009, oleh Sri Hariningsih, SH., MH. Selanjutnya, redaksi juga menyajikan resensi buku “Kepailitan Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam
Kepailitan Suatu Bank yang ditulis oleh Dr. Silvia Janistriwati, SH., M Hum. Dalam hal ini resensi ditulis oleh Ellia Syahrini SH., CN, Analis Hukum Senior Bank Indonesia. Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Juni sampai dengan Desember 2011, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca. Jakarta, Desember 2011 Redaksi
i
Halaman ini sengaja dikosongkan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Halaman Dari Meja Redaksi............................................................................................................................................
i
Daftar Isi..........................................................................................................................................................
iii
Aspek Hukum Kepailitan Dan Insolvensi Bank Di Negara-Negara Asean............................................................
1 - 34
Rosalia Suci, SH, LLM; Teddy Yusuf, SH., LLM; Isnu Yuwana, SH., LLM; Safari Kasiyanto, SH., LLM; Dwi Kartika Siregar, SH. Pembenahan Hukum Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan............................
35 - 38
Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009.....................................................................................................................................................
39 - 45
Sri Hariningsih, SH., MH Resensi Buku: Kepalitian Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Suatu Bank...............................
47 - 50
Ellia Syahrini, SH., CN Cakrawala Hukum: Laporan Mengikuti Sosialisasi RUU Pencegahan Dan Pendanaan Terorisme.......................................................
51 - 55
Redaksi Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Juni - Desember 2011...................
57 - 59
Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia) Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Juni - Desember 2011.............................................................................
61 - 75
Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia)
iii
Halaman ini sengaja dikosongkan
Aspek Hukum Kepailitan Dan Insolvensi Bank Di Negara-Negara ASEAN Rosalia Suci, SH., LLM; Teddy Yusuf, SH., LLM; Isnu Yuwana, SH., LLM; Safari Kasiyanto, SH., LLM; Dwi Kartika Siregar, SH.1
Abstrak
Terkait dengan otoritas yang berwenang dalam proses pengajuan insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara
Dalam rangka menyongsong berlakunya Masyarakat
ASEAN, hampir semua negara mengatur bahwa hal tersebut
Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 yang menandakan
merupakan kewenangan otoritas moneter atau Bank
lahirnya babak baru hubungan kerjasama ekonomi regional
Sentral. Sementara itu, khususnya terkait dengan likuidasi
di antara negara-negara ASEAN, pemahaman yang
bank, pada umumnya dilakukan melalui proses penetapan
memadai mengenai berbagai sistem hukum dan ketentuan
pengadilan berdasarkan pengajuan dari bank sentral kecuali
terkait dengan bidang-bidang yang relevan dengan
di Indonesia yang proses likuidasinya merupakan
terbentuknya MEA sebagaimana tercantum dalam ASEAN
kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan tanpa perlu
Economic Community Blueprint (AEC Blueprint) merupakan
adanya penetapan pengadilan.
suatu keharusan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam tata urutan prioritas pembayaran terkait dengan Kajian mengenai aspek hukum insolvensi dan kepailitan
penyelesaian harta debitur pailit, hampir semua negara
bank di negara-negara ASEAN dimaksudkan untuk
ASEAN menggolongkan nasabah bank dalam kategori
melengkapi persiapan-persiapan yang diperlukan dalam
kreditur konkuren. Namun demikian, dalam rangka
rangka perundingan-perundingan menuju terbentuknya
memberikan perlindungan kepada nasabah bank, negara-
MEA tahun 2015. Dengan demikian, pada saat terbentuknya
negara Anggota ASEAN menerapkan sistem penjaminan
MEA dimana aliran barang, jasa, investasi dan tenaga kerja
atas simpanan nasabah bank yang nilai nominal
bergerak secara bebas (tahun 2015) dan terjadinya liberalisasi
penjaminannya berbeda-beda di masing-masing negara.
sub sektor jasa perbankan (tahun 2020), telah terdapat prinsip-prinsip atau standar hukum yang berlaku secara
Pengaturan proses insolvensi yang debiturnya mempunyai
regional terkait dengan penyelesaian insolvensi dan kepailitan
aset atau kreditur di luar negeri termasuk pengakuan
bank termasuk bank yang beroperasi secara lintas batas
putusan pengadilan asing (cross border insolvency) berbeda-
(cross border) di ASEAN. Kajian mengenai aspek hukum
beda antara negara yang satu dengan negara lainnya.
insolvensi dan kepailitan bank meliputi aspek-aspek
Beberapa negara mengatur bahwa hukum kepailitan hanya
pengaturan insolvensi dan kepailitan dalam sistem hukum
berlaku terhadap aset-aset debitur yang berada di dalam
dan perundang-undangan di masing-masing negara ASEAN,
negeri. Sementara itu, negara-negara lainnya mengatur
otoritas yang berwenang dalam insolvensi dan kepailitan
bahwa putusan kepailitan pengadilan negara-negara tersebut
bank, prioritas pembayaran dalam penyelesaian kepailitan
selain berlaku terhadap aset-aset debitur yang berada di
bank, cross border insolvency termasuk di dalamnya
dalam negeri juga menjangkau terhadap aset-aset debitur
pengakuan dan pelaksanaan putusan kepailitan pengadilan
yang berada di luar negeri.
asing. Terkait dengan pengaturan pengakuan putusan pengadilan Secara umum, pengaturan insolvensi dan kepailitan bank
asing, beberapa negara tidak mengakui putusan pengadilan
di masing-masing negara ASEAN diatur dalam undang-
kepailitan asing. Negara lainnya mengakui putusan kepailitan
undang tersendiri disamping adanya undang-undang
pengadilan asing dengan syarat negara tersebut telah
kepailitan yang berlaku secara umum.
menandatangani perjanjian bilateral/multilateral mengenai pengakuan putusan kepailitan pengadilan asing, atau institusi yang dipailitkan didirikan di negara tersebut.
1
Tim Moneter dan Sistem Pembayaran, Direktorat Hukum Bank Indonesia
1
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Permasalahan hukum yang mungkin timbul dari pengaturan
menandakan lahirnya babak baru hubungan
kepailitan bank yang berbeda-beda, khususnya adalah
kerjasama ekonomi regional di antara negara-
tidak dapat dilaksanakannya suatu putusan kepailitan dari
negara ASEAN, pemahaman yang memadai
pengadilan suatu negara atas kepailitan bank yang
mengenai berbagai sistem hukum dan ketentuan
mempunyai kreditur dan aset di luar negara tersebut
terkait dengan bidang-bidang yang relevan dengan
dikarenakan tidak diakuinya putusan kepailitan bank
terbentuknya MEA sebagaimana tercantum dalam
tersebut oleh negara lainnya. Kondisi tersebut berpotensi
ASEAN Economic Community Blueprint (AEC
menciptakan tidak adanya kepastian hukum dalam
Blueprint) merupakan suatu keharusan dan tidak
penyelesaian kasus-kasus cross border insolvency.
bisa ditawar-tawar lagi. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka
Idealnya, untuk mengatasi permasalahan hukum tersebut
mencapai tujuan tersebut adalah dengan melakukan
diperlukan harmonisasi hukum khususnya terkait dengan
penelitian studi komparasi sistem hukum dan
pengaturan cross border insolvency. Harmonisasi ketentuan
ketentuan terkait dengan lalu lintas modal,
insolvensi dan kepailitan bank tersebut merupakan salah
kelembagaan dan insolvensi di negara-negara
satu infrastruktur penunjang yang diperlukan apabila
ASEAN bekerja sama dengan 2 (dua) universitas di
nantinya disepakati akan beroperasi qualified ASEAN banks
Bandung yaitu Fakultas Hukum Universitas
secara lintas batas di kawasan ASEAN dan akan melengkapi
Padjadjaran dan Fakultas Hukum Universitas
infrastruktur lain yang diperlukan seperti cross border bank
Parahyangan.
supervision dan cross border bank resolution. Penelitian mengenai sistem hukum dan ketentuan Sebelum langkah harmonisasi hukum dilaksanakan, terlebih
terkait dengan kelembagaan serta insolvensi di
dahulu perlu dilakukan assesment secara mendalam atas
negara-negara ASEAN tersebut masih bersifat
hukum kepailitan dan ketentuan perbankan terkait dengan
umum dan belum secara spesifik meneliti institusi
insolvensi dan kepailitan bank di masing-masing negara
bank secara komprehensif. Oleh karena itu, untuk
ASEAN. Namun demikian, sebagaimana lazimnya dalam
lebih memperdalam dan memperoleh gambaran
suatu organisasi internasional, untuk dapat dilakukannya
secara lebih menyeluruh terkait dengan topik
proses assesment di masing-masing negara-negara ASEAN
penelitian tersebut, diperlukan kajian yang lebih
terlebih dahulu perlu adanya kesepakatan dalam forum
khusus dan mendalam mengenai salah satu materi
ASEAN mengenai pentingnya assesment atas ketentuan
yang relevan dengan tugas BI yaitu terkait dengan
mengenai insolvensi dan kepailitan bank sebagai langkah
aspek hukum insolvensi dan kepailitan bank di
awal mempersiapkan harmonisasi hukum terkait dengan
negara-negara ASEAN.
berlakunya MEA. Kajian mengenai aspek hukum insolvensi dan Dari sudut pandang Indonesia, pemikiran mengenai perlunya
kepailitan bank di negara-negara ASEAN tersebut
dilakukan harmonisasi hukum insolvensi dan kepailitan
dimaksudkan untuk melengkapi persiapan-
bank harus dikaitkan dengan tinjauan dari aspek kepentingan
persiapan yang diperlukan dalam rangka
dan strategi bisnis dan ekonomi sehingga Indonesia dapat
perundingan-perundingan menuju terbentuknya
memanfaatkan pasar bersama ASEAN di bidang perbankan
MEA tahun 2015. Dengan demikian, pada saat
dengan memperhatikan potensi, kekuatan dan kelemahan
terbentuknya MEA dimana aliran barang, jasa,
yang dimiliki oleh Indonesia.
investasi dan tenaga kerja bergerak secara bebas (tahun 2015) dan terjadinya liberalisasi sub sektor
I.
PENDAHULUAN
jasa perbankan (tahun 2020), telah terdapat prinsipprinsip atau standar hukum yang berlaku secara
1.1. Latar Belakang
2
regional terkait dengan penyelesaian insolvensi
Dalam rangka menyongsong berlakunya Masyarakat
dan kepailitan bank termasuk bank yang beroperasi
Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 yang
secara lintas batas (cross border) di ASEAN.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
1.2. Identifikasi Masalah
diatur dalam peraturan perundang-undangan
Beberapa permasalahan yang akan dibahas dan
tersendiri. Pengaturan mengenai insolvensi dan
didiskusikan dalam kajian ini meliputi :
kepailitan tersebut selain diatur dalam undang-
a. Bagaimanakah pengaturan insolvensi dan
undang juga diatur dalam ketentuan dan peraturan
kepailitan bank dalam ketentuan dan peraturan
lain di bawah undang-undang seperti peraturan
perundang-undangan di negara-negara ASEAN?
pemerintah, peraturan presiden dan peraturan
b. Bagaimanakah proses insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara ASEAN dan siapakah
lainnya sebagai peraturan tambahan atau peraturan pelaksanaan dari undang-undang kepailitan tersebut.
otoritas yang berwenang dalam proses insolvensi dan kepailitan tersebut ? c. Bagaimanakah pengaturan prioritas pembayaran
Peraturan perundang-undangan terkait dengan insolvensi dan kepailitan di masing-masing negara
dalam penyelesaian insolvensi dan kepailitan
mengatur mengenai berbagai aspek mengenai
bank dan aspek perlindungan nasabah di
insolvensi dan kepailitan secara umum atas debitur
negara-negara ASEAN?
yang mengalami keadaan insolven atau yang tidak
d. Bagaimanakah pengaturan cross border
dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh
insolvensi dan pengakuan putusan pengadilan
tempo termasuk juga mekanisme permintaan atau
kepailitan asing di negara-negara ASEAN?
gugatan pailit oleh debitur sendiri atau pihak kreditur
e. Apakah potensi permasalahan hukum yang
melalui proses pengadilan.
mungkin timbul dari pengaturan insolvensi dan kepailitan bank yang berbeda-beda di negara-
Untuk pengaturan tentang insolvensi dan kepailitan
negara ASEAN?
bank, sistem pengaturan di masing-masing negara cukup bervariasi. Sebagian negara mengaturnya
1.3. Tujuan
dalam peraturan perungan-undangan yang
Tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini adalah
mengatur insolvensi dan kepailitan secara umum,
untuk mengidentifikasi norma-norma atau prinsip-
di beberapa negara lain mengaturnya secara
prinsip yang seyogyanya diberlakukan sebagai
tersendiri dalam perundang-undangan yang
standar dalam ketentuan insolvensi dan kepailitan
mengatur tentang perbankan.
bank termasuk bank yang beroperasi lintas batas di negara-negara ASEAN.
Kajian hukum ini akan fokus terutama pada berbagai isu terkait dengan insolvensi dan kepailitan
1.4. Manfaat
bank dengan tetap mengulas beberapa hal pokok
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan
tentang ketentuan insolvensi dan kepailitan secara
masukan bagi Bank Indonesia dalam rangka
umum. Pengumpulan bahan-bahan dan informasi
mempersiapkan dan mengantisipasi negosiasi
yang digunakan dalam kajian ini terutama diperoleh
terkait jasa perbankan dalam rangka terbentuknya
melalui internet dan sebagian dari bank-bank sentral
MEA tahun 2015 dan liberalisasi sub sektor
negara-negara yang menjadi objek kajian. Adapun
perbankan tahun 2020.
negara-negara yang menjadi objek dalam kajian ini adalah Filipina, Vietnam, Thailand, Indonesia,
II. GAMBARAN UMUM TENTANG SISTEM HUKUM DAN
Singapura, dan Malaysia.
KETENTUAN TERKAIT DENGAN INSOLVENSI DAN KEPAILITAN BANK DI NEGARA-NEGARA ASEAN
2.2. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai insolvensi dan kepailitan bank di
2.1. Pendahuluan
negara-negara Asean
Pada umumnya hampir di semua negara manapun di dunia termasuk di negara-negara ASEAN, pengaturan mengenai insolvensi dan kepailitan
2.2.1 Filipina Pengaturan mengenai insolvensi dan
3
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
kepailitan secara umum terdapat dalam the
Bankruptcy Act 1940 telah mengalami
Civil Code of Philippines khususnya buku IV
beberapa kali perubahan yaitu dengan the
title XIX mengenai Concurrence and
Bankruptcy Act (No.4) B.E.2541 tahun 1998,
Preference of Credits dan dalam the
the Bankruptcy Act (No.5),B.E 2542 (1999)
Corporation Code of Philippines tahun 1980
dan the Bankruptcy Act (No.7), B.E.2547
khususnya Title XIV mengenai Dissolution,
tahun 2004.
section 11 sampai dengan section 122. Selanjutnya, insolvensi dan kepailitan diatur
The Bankruptcy Act 1940 dan perubahannya
secara lebih detail dalam undang-undang
mengatur mengenai prosedur kepailitan dan
khusus yaitu Undang-Undang No.1956 tahun
rehabilitasi bagi debitur pailit baik yang
1909 (dikenal dengan nama the Insolvensi
berbentuk perorangan maupun korporasi
Law) dan Dekrit Presiden (Presidential Decree)
termasuk pula commercial bank, finance
No.902.A tahun 1976 sebagaimana telah
company, finance and securities company or
diamandemen tahun 1981.
a credit financing company. Sementara itu, the Civil and Commercial Code mengatur
Sementara itu, untuk insolvensi dan kepailitan
mengenai prosedur likuidasi sukarela dari
bank, tunduk pada peraturan perundang-
debitur yang mengalami pailit.
undangan tersendiri (lex specialis) yaitu the New Central Bank Act No.7653 tahun 1993
2.2.4 Indonesia
(the New Central Bank Act) khususnya section
Pengaturan mengenai kepailitan secara
30, 31, dan 32.
umum terdapat dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
2.2.2 Vietnam
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Pengaturan mengenai insolvensi dan
(Undang-Undang Kepailitan) yang mencabut
kepailitan secara umum terdapat dalam Law
Undang-Undang tentang Kepailitan
No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004
(Faillissementsverordening Staatsblad
tentang Bankruptcy Law. Namun demikian,
1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) dan
dalam klausul 2 Article 2 Bankruptcy Law
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998
diatur bahwa terhadap perusahaan tertentu
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
antara lain untuk perbankan, pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
harus mengatur lebih lanjut termasuk
1998 tentang Perubahan Atas Undang-
bagaimana penerapan Bankruptcy Law
Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-
dimaksud. Disamping itu, mengenai
Undang (Lembaran Negara Republik
insolvensi dan kepailitan bank, terdapat
Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan
pengaturan yang cukup rinci dalam Law No.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010 tentang
3778). Dalam Undang-Undang tersebut
Credit Institution yang mulai berlaku pada
terdapat ketentuan yang mengatur bahwa
tanggal 1 Januari 2011.
untuk bank permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia2.
2.2.3 Thailand Secara umum, pengaturan mengenai
Disamping itu, pengaturan mengenai likuidasi
insolvensi dan kepailitan di Thailand terdapat
bank diatur tersendiri dalam Undang-Undang
dalam the Bankruptcy Act, B.E. 2483 tahun
No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
1940 (the Bankrupcty Act 1940) dan dalam the Civil and Commercial Code khususnya section 1247 sampai dengan 1273. The
4
2
Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
2.3. Otoritas yang berwenang dalam proses
Undang No.10 tahun 1998 dan Undang-
insolvensi dan kepailitan bank
Undang No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UULPS) yang mulai
2.3.1 Filipina
berlaku pada tanggal 22 September 2005.
Otoritas yang berwenang untuk menyatakan bahwa suatu bank6 mengalami keadaan
2.2.5 Singapura
insolvensi dan oleh karena itu terhadap bank
Pengaturan mengenai insolvensi, kepailitan
tersebut perlu dilakukan upaya-upaya
secara umum serta penutupan/pembubaran
penyelamatan atau dilikuidasi adalah the
perusahaan terdapat dalam Bankruptcy Act
Banko Central Monetary Board (the Monetary
(Statute of The Republic of Singapore, Chapter
Board). Sementara itu lembaga yang ditunjuk
20) dan Companies Act (Statute of the
oleh the Monetary Board untuk melakukan
Republic of Singapore, Chapter 50).
upaya rehabilitasi atau melikuidasi bank yang mengalami insolvensi adalah the Philippine
Sedangkan pengaturan lebih lanjut mengenai
Depository Insurance Corporation (PDIC).
penutupan bank diatur dalam Banking Act (Statute of the Republic of Singapore, Chapter
Sesuai dengan section 30 the New Central
19).
Bank Act diatur bahwa apabila berdasarkan laporan kepala departemen pengawasan, the
2.2.6 Malaysia
Banko Central Monetary Board (the Monetary
Secara umum, pengaturan mengenai
Board) menemukan indikasi bahwa suatu
insolvensi dan kepailitan di Malaysia diatur
bank mengalami kondisi-kondisi tersebut di
dalam :
bawah ini:
1) Bankruptcy Act 1964, berlaku untuk
1) tidak mampu membayar kewajiban yang
proses kepailitan bagi debitur individual;
telah jatuh tempo namun tidak termasuk
2) Companies Act 1965, khususnya Bab VII,3 Bab
VIII4
dan Bab
X5,
kewajiban-kewajiban luar biasa yang
berlaku untuk proses
disebabkan oleh kepanikan dalam
kepailitan bagi debitur perusahaan; dan
komunitas perbankan.
3) Banking and Financial Institution Act 1989
2) diperintahkan oleh Bank Sentral Filipina
(BAFIA), berlaku khusus untuk proses
untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya
insolvensi dan kepailitan bagi bank,
kepada Bank Sentral.
khususnya Bab X yang mengatur
3) tidak dapat melanjutkan kegiatan
mengenai Kewenangan Pengawasan dan
usahanya dan apabila dilanjutkan
Pengendalian, serta Pasal 72 sampai
kemungkinan akan menimbulkan
dengan Pasal 81.
kerugian bagi nasabah penyimpan atau krediturnya.
Dengan demikian, pengaturan mengenai
4) secara sadar melanggar keputusan the
insolvensi dan kepailitan untuk bank di
Monetary Board yang telah final terkait
Malaysia diatur dalam suatu undang-undang
dengan sanksi atau perintah penghentian
tersendiri terpisah dari aturan umum
sementara kegiatan usaha tertentu dari
mengenai kepailitan yang diatur dalam Bankruptcy Act 1964 dan Company Act 1965.
3
Scheme of Arrangement/Reconstruction.
4
Receivers & Managers.
5
Winding Up.
6
Sesuai dengan section 3 the New Central Bank Act, bank dibedakan menjadi bank dan quasi bank. Quasi bank adalah perusahaan keuangan dan lembaga keuangan non bank yang melaksanakan fungsi seperti layaknya bank.
5
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
bank sesuai dengan section 377 the New
Selanjutnya dalam waktu tidak lebih dari 90
Central Bank Act termasuk juga tindakan-
(sembilan puluh) hari, PDIC akan memutuskan
tindakan atau transaksi-transaksi curang
apakah bank tersebut dapat atau tidak dapat
yang bertujuan untuk menghilangkan
direhabilitasi atau diiziinkan untuk beroperasi
aset bank.
kembali dan aman bagi nasabah penyimpan, kreditur dan kepentingan umum. Keputusan
Maka tanpa memerlukan pembahasan atau
untuk mengizinkan bank tersebut beroperasi
hearing dengan bank yang bersangkutan
kembali tetap tunduk pada persetujuan dari
terlebih dahulu, the Monetary Board dapat
the Monetary Board.
melarang bank untuk melanjutkan kegiatan usahanya dan selanjutnya menunjuk PDIC
Dalam hal PDIC memutuskan bahwa bank
sebagai receiver (pengelola sementara)8.
yang bersangkutan tidak dapat direhabilitasi
Khususnya untuk quasi
bank9
setiap orang
atau diizinkan untuk beroperasi kembali,
yang diakui memiliki kompetensi dibidang
the Monetary Board akan memberitahukan
keuangan dan perbankan dapat ditunjuk
secara tertulis kepada manajemen bank dan
sebagai receiver. Setelah mendapat
memerintahkan PDIC untuk melakukan proses
penunjukan dari the Monetary Board, PDIC
likuidasi bank tersebut. Setelah menerima
segera melakukan langkah-langkah sebagai
perintah likuidasi dari the Monetary Board,
berikut:
PDIC melakukan tindakan-tindakan sebagai
1) Mengumpulkan semua aset-aset dan
berikut :
mengambil alih kewajiban-kewajiban bank yang bersangkutan
1) Meminta penetapan secara ex parte10 kepada pengadilan regional yang tepat
2) Melaksanakan kewenangan-kewenangan
untuk melakukan proses likudiasi atas
umum sebagaimana diatur dalam the
bank yang bersangkutan sesuai dengan
Revised Rules of Court kecuali untuk
the liquidation plan yang diadopsi oleh
melakukan pembayaran-pembayaran
PDIC untuk semua bank-bank yang
biaya administratif, mengalihkan atau
ditutup. Dalam hal quasi bank, the
menjual aset-aset bank. Namun demikian,
liquidation plan ditentukan oleh the
PDIC diperbolehkan untuk menempatkan
Monetary Board. Berdasarkan
dana-dana bank dalam bidang-bidang
kewenangannya, pengadilan akan
investasi yang tidak bersifat spekulatif.
mengadili tuntutan-tuntutan kepada bank, membantu pelaksanaan pemenuhan kewajiban-kewajiban pemegang saham secara individu, pengurus dan karyawan bank serta memutuskan isu-isu lain yang
7
Section 37 the New Central Bank Act menyebutkan beberapa sanksi administrative yang dapat diterapkan terhadap bank dan quasi bank yang melanggar ketentuan perundang-undangan perbankan yang berlaku meliputi : a. Denda dalam jumlah yang ditentukan oleh the Monetary Board tetapi tidak melebihi 30.000 peso perhari per pelanggaran b. Penundaan pemberian fasilitas atau akses kredit dari Bank Sentral Filipina c. Penundaan dalam kegiatan kliring antar bank d. Pencabutan izin quasi bank
8
PDIC adalah lembaga pemerintah yang berperan sebagai penjamin simpanan, receiver dan likuidator untuk institusi perbankan di Filipina.
9
Dalam Section 3 the New Central Bank Act No.7653 disebutkan bahwa quasi bank mengacu pada perusahaan-perusahaan keuangan dan lembaga-lembaga keuangan non bank yang melaksanakan fungsi-fungsi quasi bank (menyerupai bank)
6
mempunyai nilai material bagi pelaksanaan the liquidation plan. 2) Mencairkan aset-aset bank untuk membayar kewajiban-kewajiban bank sesuai dengan ketentuan prioritas pembayaran sebagaimana diatur dalam the Civil Code of Philipines. PDIC dengan bantuan counsel diberikan pula wewenang
10 Bahasa latin yang berarti satu pihak saja atau tanpa perlu adanya pemberitahuan atau persetujuan dari pihak yang lain (Black’s Law Dictionary)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
untuk dan atas nama bank untuk
Penanganan yang dilakukan dapat meliputi
mengumpulkan, mengembalikan dan
pembelian saham bank, keputusan untuk
mempertahankan aset-aset bank dari
melakukan penggabungan usaha, peleburan,
tuntutan atau klaim dari pihak lain.
atau pembubaran bank, sampai dengan
Seluruh aset bank yang berada dibawah
melakukan tugas dan kewenangan sesuai
pengawasan PDIC dan dalam porses
dengan ketentuan perundang-undangan
likuidasi dianggap berada dalam status
yang mengatur kepailitan dari credit
custodia legis11 di tangan PDIC dan oleh
institutions (termasuk bank yang merupakan
karenanya dari sejak bank berada dalam
salah satu bentuk dari credit institutions)15.
pengelolaan PDIC dan likudasi aset-aset bank tersebut dikecualikan dari proses
Pengaturan mengenai kepailitan dan likuidasi
garnishment12, levy13, sita, atau eksekusi.
diatur dalam Chapter VIII (Special Control, Reorganization, Bankruptcy, Dissolution and
Keputusan the Monetary Board untuk
Liquidation of Credit Institution), Law
memerintahkan PDIC melikuidasi bank
No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010
bermasalah yang sudah tidak dapat
tentang Credit Institution. Dalam Chapter VIII
direhabilitas bersifat final, mengikat dan tidak
antara lain diatur bahwa ketika suatu bank
dapat dikesampingkan oleh pengadilan.
mengalami kesulitan likuiditas dan menghadapi
Namun demikian, keputusan tersebut masih
adanya kemungkinan insolvensi, maka bank
dapat di challenge melalui gugatan certiorari14
dimaksud harus segera melapor kepada the
ke pengadilan dengan dasar gugatan bahwa
State Bank mengenai status keuangannya,
the Monetary Board telah bertindak melebihi
penyebab terjadinya kesulitan likuiditas, serta
atau menyalahgunakan kewenangannya.
langkah-langkah yang telah dan akan dilakukan untuk mengatasi kesulitan dimaksud.16 The
Gugatan certiorari tersebut harus diajukan
State Bank dapat menempatkan bank, yang
oleh pemegang saham mayoritas dalam
menghadapi kemungkinan insolvensi, dalam
waktu 10 hari sejak the Board of Director
pengawasan khusus, yaitu pengawasan
Bank menerima pemberitahuan penyerahan
langsung dari the State Bank.17
bank ke PDIC atau bank akan dilikuidasi. The State Bank akan menempatkan suatu 2.3.2 Vietnam
bank dalam pengawasan khusus dalam hal
Otoritas yang berwenang untuk menetapkan
bank mengalami hal-hal sebagai berikut:18
penanganan atas suatu bank yang mengalami
1. Menghadapi kemungkinan insolvensi;
kesulitan keuangan yang mengancam
2. Terdapat kewajiban-kewajiban yang tidak
keamanan sistem perbankan adalah The
dapat dipenuhi yang kemungkinan dapat
State Bank of Vietnam (Bank Sentral Vietnam).
menyebabkan insolvensi;
11 bahasa latin yang berarti dalam penguasaan hukum atau aset dalam pengawasan pengadilan selama berlangsungnya proses litigasi terhadap aset tersebut (Black’s Law Dictionary) 12 Suatu proses hukum dimana seorang kreditur meminta pengadilan agar memerintahkan pihak ketiga yang berhutang kepada debitur atau memegang jaminan debitur menyerahkan tagihan atau aset debitur yang dikuasai oleh pihak ketiga tersebut kepada kreditur (Black’s Law Dictionary). 13 Pengenaan denda atau pajak (Black’s Law Dictionary) 14 Bahasa latin yang berarti perintah pengadilan banding yang memerintahkan pengadilan dibawahnya untuk mengirimkan berkas perkara kepada pengadilan banding untuk proses review.
15 Point 12, Article 4, Law No. 46/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang The State Bank of Vietnam. Mengenai pengertian credit institution dan bank terdapat dalam Point 1 dan 2 Article 4, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions. 16 Article 145, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions. 17 Article 146, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions. 18 Article 147, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
7
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
3. Memiliki kerugian yang secara kumulatif
2. Mengusulkan kepada the State Bank
melebihi 50% dari nilai aktual modal
untuk memperpanjang atau
disetor dan dana cadangan yang tercantum
menghentikan pengawasan khusus,
dalam financial statement hasil audit
memberikan atau menghentikan
terakhir.
pinjaman kepada bank, membeli saham
4. Memiliki peringkat “poor” berdasarkan
bank, melikuidasi atau mencabut izin
ketentuan the State Bank dalam 2 tahun
usaha, atau mewajibkan untuk
berturut-turut.
menerima, menggabungkan usaha,
5. Mengalami kegagalan untuk memelihara rasio modal minimal sebagaimana dimaksud
meleburkan, atau mengambilalih bank. 3. Meminta kepada bank untuk
dalam Point b, Clause 1, Article 130 Law
mengajukan permohonan kepailitan
No. 47/2010/QH12 dalam 1 tahun atau
kepada pengadilan berdasarkan the
rasio dimaksud turun menjadi dibawah
Bankruptcy Law.
4% dalam 6 bulan berturut-turut. Tugas Special Control akan berakhir dalam Dalam menempatkan bank dalam pengawasan
hal credit institution:21
khusus, the State Bank juga membentuk
a. beroperasi kembali secara normal;
Special Control Board yang bertugas untuk19:
b. telah dilakukan penggabungan usaha
1. Memberikan arahan kepada direksi bank
atau peleburan dengan credit institution
yang berada dalam pengawasan khusus
lain selama dalam pengawasan khusus;
dalam memformulasikan suatu Rencana
c. credit institution tidak dapat dipulihkan;
Konsolidasi Organisasi dan Operasional. 2. Memberikan arahan dan pengawasan
Jika pengakhiran status dalam pengawasan
dalam pengimplementasian langkah-
khusus dihentikan karena credit institution
langkah penanganan yang tercantum
tidak dapat dipulihkan maka the State Bank
dalam Rencana Konsolidasi Organisasi
akan menyampaikan dokumen-dokumen
dan Operasional yang telah disetujui oleh
terkait penghentian upaya penyehatan credit
Special Control Board.
institution kepada pengadilan.22
3. Memberikan laporan kepada the State Bank mengenai operasional bank dan
Terkait dengan upaya penyehatan credit
hasil pelaksanaan Rencana Konsolidasi
institution, Deposit Insurer dapat menyediakan
Organisasi dan Operasional.
bantuan finansial dalam bentuk loan provision, guarantee, atau debt re-purchase
Dalam melaksanakan tugasnya, Special Control Board memiliki kewenangan antara
lain20
:
1. Menghentikan kegiatan operasional yang
kepada credit institution dalam hal menurut the State Bank pembubaran atau kepailitan dari suatu credit institution dapat berpengaruh
tidak sesuai dengan Rencana Konsolidasi
terhadap keamanan sistem keuangan dan
Organisasi dan Operasional atau
perbankan nasional serta kondisi politik dan
bertentangan dengan praktek perbankan
sosial ekonomi Bantuan finansial dari Deposit
yang sehat yang dapat merugikan
Insurer ini harus dibayar kembali oleh credit
kepentingan nasabah penyimpan dana.
instituion yang menerimanya sebelum
19 Clause 1, Article 148, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
21 Article 152, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
20 Clause 2, Article 148, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
22 Clause 3, Article 152, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
8
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
pembayaran utang-utang lainnya oleh credit institution.23
1) Seorang kreditur atau beberapa orang kreditur yang jumlah piutang secara keseluruhannya mencapai lebih dari 10
Setelah the State Bank menerbitkan dokumen penghentian pengawasan khusus atau
juta baht. 2) Debitur yang memiliki kualifikasi sebagai
penghentian atau tidak dipenuhinya langkah-
berikut :
langkah penyehatan. Dalam hal credit
a) Perseroan terbatas atau juristic person26
institution tetap dalam kondisi pailit maka credit institution harus mengajukan
apapun sebagaimana diatur dalam peraturan menteri.
permohonan kepada pengadilan untuk
b) Mengalami pailit
putusan pernyataan pailit.24 Setelah menerima
c) Memiliki hutang kepada satu atau
permohonan pernyataan pailit, pengadilan
beberapa kreditur yang secara
akan memulai proses penyelesaian
keseluruhan mencapai lebih dari 10
permohonan pernyataan pailit dan segera
juta baht tanpa memandang apakah
menerapkan prosedur untuk melikuidasi aset
hutang tersebut akan jatuh tempo
credit institution berdasarkan the Bankruptcy
dalam waktu dekat atau jatuh tempo
Law.25
pada masa yang akan datang. d) Tidak ada putusan pengadilan yang
2.3.3 Thailand Secara umum, ada 3 (tiga) jenis prosedur kepailitan yang tersedia di Thailand yaitu :
memerintahkan aset debitur insolven ditempatkan dalam absolut custody. 3) Bank of Thailand dalam hal debitur insolven
1) prosedur kepailitan langsung;
adalah bank komersial, lembaga keuangan,
2) prosedur restrukturisasi atau prosedur
perusahaan keuangan dan sekuritas atau
reorganisasi; 3) prosedur likuidasi.
perusahaan pembiayaan kredit. 4) The Office of the Securities and Exchange Commision dalam hal debitur pailit adalah
Dalam prosedur kepailitan langsung untuk segala jenis debitur termasuk bank komersial
perusahaan sekuritas. 5) Perusahaan asuransi dalam hal debitur
dan lembaga keuangan lainnya, pemohon
insolven adalah perusahaan asuransi
kepailitan dapat merupakan kreditur preferen,
kecelakaan atau kematian.
kreditur konkuren ataupun likuidator yang telah ditunjuk.
6) Agen-agen pemerintah (government agencies) yang diberikan kewenangan untuk mengawasi kegiatan usaha debitur.
Untuk prosedur restrukturisasi atau reorganisasi, pihak-pihak yang dapat menjadi pemohon
Dalam prosedur likuidasi, keputusan untuk
kepada pengadilan diatur sebagai berikut :
melikuidasi suatu institusi atau debitur insolven berada pada rapat umum pemegang saham. Setelah adanya keputusan dari rapat umum pemegang saham untuk melikuidiasi debitur
23 Article 14, Article 15 Circular State Bank of Vietnam No. 03/2006/TTNHNN tanggal 25 April 2006 tentang Guiding the implementation of several contents of the Decree No. 89/1999/ND-CP dated 01/09/1999 of the Government on deposit insurance and the Decree No.109/2005/NDCP dated 24/8/2005 of the Government on the amandment, supplement of several articles of the Decree No. 89/1999/ND-CP.
insolven tersebut dilanjutkan dengan penunjukan likuidator. Selanjutnya, likuidator akan mengajukan permohonan likuidasi kepada pengadilan.
24 Clause 1, Article 155, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions. 25 Clause 2, Article 155, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
26 Disebut juga sebagai artificial person yang berarti entitas seperti perusahaan yang diciptakan oleh hukum dan diberikan hak dan kewajiban tertentu sebagaimana layaknya manusia. (Black’s Law Dictionary)
9
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Dalam prosedur rehabilitasi atau restrukturisasi
c. bank menghapusbukukan kredit atau
debitur insolven berupa bank, permohonan
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
diajukan oleh Bank of Thailand ke pengadilan.
yang macet dan memperhitungkan
Dalam hal pengadilan telah menerima
kerugian bank dengan modalnya;
permohonan rehabilitasi dari Bank of Thailand, pengadilan akan menunjuk the planner
d. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
(pengelola sementara) yang akan diberikan
e. bank dijual kepada pembeli yang bersedia
tugas untuk mengelola bisnis dan aset bank,
mengambil alih seluruh kewajiban;
membayar kreditur, memperoleh kredit,
f. bank menyerahkan pengelolaan seluruh
menjual aset dan mewakili bank di muka
atau sebagian kegiatan bank kepada
pengadilan. Selanjutnya, dalam hal bank
pihak lain;
tersebut tidak dapat direhabilitasi dikarenakan
g. bank dijual sebagian atau seluruh harta
aset bank tidak mencukupi untuk menutup
dan atau kewajiban bank kepada bank
seluruh kewajibannya maka the planner akan
atau pihak lain.
mengajukan proses likuidasi bank tersebut ke pengadilan yang mewilayahi.
Tindakan-tindakan tersebut di atas dilakukan agar tidak terjadi pencabutan izin usaha
2.3.4 Indonesia
dan/atau likuidasi. Dengan kata lain, tindakan-
Otoritas yang berwenang dalam menangani
tindakan tersebut dilakukan dalam rangka
bank yang mengalami kesulitan yang dapat
mempertahankan/menyelamatkan bank
membahayakan kelangsungan usahanya
sebagai lembaga kepercayaan masyarakat.29
adalah Bank Indonesia (BI). Keadaan suatu bank dikatakan mengalami kesulitan yang
Selanjutnya, apabila tindakan tersebut diatas
membahayakan kelangsungan usahanya
masih belum cukup untuk mengatasi kesulitan
apabila berdasarkan penilaian BI kondisi
yang dihadapi bank dan menurut penilaian
usaha bank semakin memburuk antara lain
BI dapat membahayakan sistem Perbankan,
ditandai dengan menurunnya permodalan,
BI dapat mencabut izin usaha bank dan
kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta
memerintahkan Direksi bank untuk segera
pengelolaan bank yang tidak dilakukan
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang
berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas
Saham guna membubarkan badan hukum
Perbankan yang
sehat.27
bank dan membentuk tim likuidasi.30 Dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan
Dalam rangka menangani bank yang
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), BI
mengalami kesulitan yang dapat
meminta kepada pengadilan untuk
membahayakan kelangsungan usahanya
mengeluarkan penetapan yang berisi
tersebut, Bank Indonesia dapat melakukan
pembubaran badan hukum bank, penunjukan
tindakan-tindakan sebagai berikut
:28
tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan
a. pemegang saham menambah modal;
likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-
b. pemegang saham menganti Dewan
undangan yang berlaku.31
Komisaris dan atau Direksi bank; 29 Penjelasan Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan.
27 Penjelasan Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan. 28 Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan.
10
30 Pasal 37 ayat 2 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan. 31 Pasal 37 ayat 3 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan jo. Pasal 14 ayat (1).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Dalam proses kepailitan bank, otoritas yang
meliputi pengambilalihan hak dan wewenang
berwenang untuk mengajukan permohonan
pemegang saham, termasuk hak dan
pernyataan pailit adalah BI dan pernyataan
wewenang Rapat Umum Pemegang Saham
pailit dimaksud ditetapkan oleh putusan
(RUPS)35. Dengan diambilalihnya hak dan
Pengadilan
Niaga.32
Berbeda dengan
wewenang RUPS tersebut, LPS segera
pertimbangan permohonan pailit untuk
memutuskan pembubaran badan hukum
institusi lain, diajukan atau tidak diajukannya
bank, pembentukan Tim Likuidasi (TL),
permohonan pernyataan pailit suatu bank
penetapan status bank sebagai “Bank Dalam
ke pengadilan niaga oleh BI, didasarkan pada
Likuidasi”, serta penonaktifan seluruh Direksi
penilaian atas kondisi keuangan bank yang
dan Dewan Komisaris. TL kemudian akan
bersangkutan yang dikaitkan pula dengan
menangani likuidasi dan pembubaran badan
kondisi perbankan secara keseluruhan dan
hukum bank tersebut, dan melaporkan
bukan semata-mata pada pertimbangan
pelaksanaan tugas tersebut kepada LPS.
persyaratan kepailitan sebagaimana diatur Undang-Undang Kepailitan.33 Walaupun
2.3.5 Singapura
permohonan pernyataan pailit untuk bank
Article 253 huruf g Companies Act (Statute
hanya dapat diajukan oleh BI, namun
of the Republic of Singapore, Chapter 50)
kewenangan BI untuk mengajukan pernyataan
menyebutkan bahwa dalam hal perusahaan
pailit tersebut tidak menghapuskan
bergerak di bidang usaha perbankan,
kewenangan BI untuk melakukan pencabutan
perusahaan tersebut dapat ditutup (baik
izin usaha bank, pembubaran badan hukum,
secara sukarela ataupun tidak), berdasarkan
dan likuidasi bank sesuai peraturan
putusan Pengadilan atas permohonan the
perundang-undangan34.
Monetary Authority of Singapore (MAS).
Dalam prakteknya,
sampai dengan saat ini BI belum pernah mempergunakan mekanisme kepailitan dalam
Dalam hal bank akan atau menjadi insolven,
rangka penyelesaian bank yang mengalami
atau Bank tidak memenuhi kewajibannya,
keadaan insolvensi, namun cenderung
atau Bank telah menunda atau akan menunda
menggunakan mekanisme sebagaimana
pembayarannya, maka Bank tersebut harus
diatur dalam Undang-Undang Perbankan.
segera menginformasikan kepada MAS.36
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 24
MAS berwenang untuk melakukan tindakan-
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
tindakan tertentu dalam hal menurut
Simpanan, Selanjutnya, otoritas yang
pendapat MAS, bank menjalankan kegiatan
menangani suatu bank yang dicabut izin
usaha dengan cara-cara yang mungkin akan
usahanya adalah Lembaga Penjamin
merugikan nasabahnya atau mengalami
Simpanan (LPS). Penanganan tersebut
keadaan insolven atau tidak dapat memenuhi kewajibannya dan melanggar ketentuan undang-undang perbankan. Tindakan-
32 Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
tindakan tertentu tersebut misalnya dengan
33 Persyaratan kepailitan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi sebagai berikut “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
melakukan hal-hal yang terkait dengan usaha
34 Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
meminta bank untuk melakukan atau tidak bank, menunjuk satu atau lebih statutory
35 Pasal 3 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 001/PLPS/2010 tentang Likuidasi Bank. 36 Article 48 Banking Act
11
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
adviser, menunjuk satu orang atau lebih
direktur maupun pegawai bank yang
statutory manager.37
bersangkutan, dalam jangka waktu tertentu sebagaimana tertuang dalam
Apabila setelah MAS melakukan tindakantindakan tersebut di atas dan bank tetap
perintah BNM kepada bank tersebut;42 2) Melarang bank dimaksud untuk
tidak bisa diselamatkan, maka MAS dapat
melakukan ekspansi kredit dalam jangka
mengajukan permohonan winding up atas
waktu tertentu, termasuk membuat
Bank tersebut ke pengadilan.
pengecualian-pengecualian atas larangan tersebut dan memberlakukan
2.3.6 Malaysia
persyaratan-persyaratan yang harus
Sesuai Pasal 72 dan Pasal 73 ayat (1) huruf
dipenuhi oleh bank terkait pengecualian-
(b) BAFIA, bank yang mengalami insolvensi
pengecualian tersebut;43
dapat diketahui melalui dua cara, yakni:
3) Memberhentikan pegawai bank dimaksud
1) Dari bank yang bersangkutan, yang
terhitung sejak tanggal efektif sebagaimana
kemudian diharuskan memberitahukan hal tersebut kepada Bank Negara Malaysia (BNM) selaku bank
sentral;38
atau
2) Ditetapkan oleh BNM.39
ditetapkan dalam perintah BNM;44 4) Melakukan penggantian satu atau lebih direktur pada bank tersebut;45 atau 5) Menunjuk seorang advisor bagi bank tersebut, yang pembayaran remunerasinya
Terhadap bank yang mengalami insolvensi
menjadi beban bank yang bersangkutan.46
tersebut, BNM dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan40 dapat melakukan tindakantindakan sebagai berikut: 1) Meminta bank dimaksud untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan41 terkait dengan kelembagaan, kegiatan usaha,
37 Article 49 Banking Act 38 Lihat Pasal 72 BAFIA, yang berbunyi: “Any licensed institution which considers that it is insolvent, or is likely to become unable to meet all or any of its obligations, or, that it is about to suspend payment to any extent, shall immediately inform the Bank of that fact.” Sesuai Pasal 2 ayat (1) BAFIA, “’Bank’ means the Central Bank of Malaysia established by the Central Bank of Malaysia Act 1958.” 39 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (b) BAFIA, yang berbunyi: “whether after an examination under section 69 or 70, or otherwise howsoever, the Bank is satisfied that a licensed institution— (i) is carrying on its business in a manner detrimental to the interests of its depositors, or its creditors, or the public generally; (ii) is insolvent, or has become or is likely to become unable to meet all or any of its obligations, or is about to suspend payment to any extent; or (iii) has contravened any provision of this Act or the Central Bank of Malaysia Act 1958, or any condition of its licence, or any provision of any written law, regardless that there has been no criminal prosecution in respect thereof… “. 40 Lihat Pasal 73 ayat (1) paragraf kedua yang berbunyi: “….Provided that the powers of the Bank… shall be exercised only with the prior concurrence of the Minister.” 41 Termasuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan adalah melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
12
42 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (A) BAFIA, yang berbunyi: “the Bank may, by order in writing, exercise any one or more of the following powers, as it deems necessary: (A) require the licensed institution to take any steps, or any action, or to do or not to do any act or thing, whatsoever, in relation to the institution, or its business, or its directors or officers, which the Bank may consider necessary and which it sets out in the order, within such time as may be set out therein” 43 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (B) BAFIA, yang berbunyi: “…(B) prohibit a licensed institution from extending any further credit facility for such period as may be set out in the order, and make the prohibition subject to such exceptions, and impose such conditions in relation to the exceptions, as may be set out in the order, and, from time to time, by further order similarly made, extend the aforesaid period” 44 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (C) BAFIA, yang berbunyi: “…(C) notwithstanding anything in any written law, or any limitations contained in the constituent documents of the licensed institution, for reasons to be recorded by it in writing, remove from office, with effect from such date as may be set out in the order, any officer of the licensed institution” 45 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (D) BAFIA, yang berbunyi: “…(D) notwithstanding anything in any written law, or any limitations contained in the constituent documents of the licensed institution, and, in particular, notwithstanding any limitation therein as to the minimum or maximum number of directors, for reasons to be recorded by it in writing— (i) remove from office, with effect from such date as may be set out in the order, any director of the licensed institution; or (ii) appoint any person or persons as a director or directors of the licensed institution, and provide in the order for the person or persons so appointed to be paid by the institution such remuneration as may be set out in the order” 46 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (E) BAFIA, yang berbunyi: “…(E) appoint a person to advise the licensedinstitution in relation to the proper conduct of its business, and provide in the order for the person so appointed to be paid by the institution such remuneration as may be set out in the order”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Dalam hal bank yang mengalami insolvensi
3) Mengizinkan BNM untuk mengajukan
adalah bank lokal Malaysia, maka terlepas
gugatan ke pengadilan tinggi untuk
apakah BNM telah atau belum mengambil
pembubaran bank.49
tindakan-tindakan sebagaimana tersebut di atas, maka BNM harus merekomendasikan
Perintah dari BNM yang berisi tindakan-
kepada Menteri Keuangan, dan selanjutnya
tindakan yang harus dilakukan bank yang
Menteri Keuangan berdasarkan rekomendasi
mengalami insolvensi sebagaimana tersebut
dari BNM tersebut segera mengeluarkan
di atas maupun perintah dari Menteri
perintah yang dimuat dalam Berita Negara,
Keuangan yang dimuat dalam Berita Negara,
terkait dengan hal-hal sebagai berikut:
dari waktu ke waktu dapat dimodifikasi,
1) Bagi BNM untuk mengendalikan dan
diubah, disesuaikan atau diganti.50
menjalankan seluruh harta kekayaan dan kegiatan bisnis dari bank tersebut, atau
Lebih lanjut, aturan-aturan dalam BAFIA
menunjuk pihak lain untuk melakukan
yang terkait dengan penunjukan: (1) pihak
pengendalian tersebut untuk dan atas
lain untuk mengelola/menjalankan bisnis
nama BNM, serta dengan beban biaya
bank, (2) direktur baru, atau (3) advisor bagi
BNM, atau remunerasi bagi pihak yang
bank yang mengalami insolvensi adalah
ditunjuk tersebut dapat di settle dengan
sebagai berikut:
harta kekayaan bank dengan segera
1) Penunjukan dilakukan untuk jangka
(preferen);47 2) Mengizinkan BNM untuk mengajukan
waktu tidak lebih dari 2 (dua) tahun. Meskipun demikian, yang bersangkutan
penetapan kepada Pengadilan Tinggi
dapat ditunjuk kembali untuk periode 3
terkait penunjukan kurator atau pengampu
(tiga) kali berturut-turut dengan masing-
untuk mengelola harta kekayaan dan
masing periode tidak lebih dari 1 (satu)
menjalankan bisnis bank tersebut, serta
tahun. Pihak yang ditunjuk wajib
melakukan seluruh perintah pengadilan
menjalankan tugas sesuai dengan
tinggi baik yang bersifat prinsipiil, insidentil
perintah BNM.51
maupun supporting, sesuai dengan arahan dari
BNM;48
2) Syarat dan ketentuan yang berlaku bagi pihak yang ditunjuk oleh BNM disesuaikan dengan perintah yang mendasari penunjukan dimaksud. Syarat dan ketentuan dimaksud dibuat oleh BNM dan harus mengikat juga bank yang mengalami insolvensi yang berada di
47 Lihat Pasal 73 ayat (2) huruf (a) BAFIA, yang berbunyi: “…(a) for the Bank to assume control of the whole of the property, business and affairs of the licensed institution, and carry on the whole of its business and affairs, or to assume control of such part of its property, business and affairs, and carry on such part of its business and affairs, as may be set out in the order, or for the Bank to appoint any person to do so on behalf of the Bank, and for the costs and expenses of the Bank, or the remuneration of the person so appointed, as the case may be, to be payable out of the funds and properties of the institution as a first charge thereon” 48 Lihat Pasal 73 ayat (2) huruf (b) BAFIA, yang berbunyi: “…(b) whether or not an order has been made under paragraph (a), to authorize an application to be made by the Bank to the High Court to appoint a receiver or manager to manage the whole of the business, affairs and property of the licensed institution, or such part thereof as may be set out in the order, and for all such incidental, ancillary or consequential orders or directions of the High Court in relation to such appointment as may, in the opinion of the Bank, be necessary or expedient”
bawah pengelolaannya.52 3) Pihak yang ditunjuk oleh BNM tidak boleh dibebani dengan kewajiban atau tanggung jawab semata-mata karena penunjukannya.53
49 Lihat Pasal 73 ayat (2) huruf (c) BAFIA, yang berbunyi: “…(c) whether or not an order has been made under paragraph (a) or (b), to authorize the Bank to present a petition to the High Court for the winding up of the institution” 50 Lihat Pasal 73 ayat (3) BAFIA. 51 Pasal 74 ayat (1) BAFIA. 52 Pasal 74 ayat (2) BAFIA. 53 Pasal 74 ayat (4) BAFIA.
13
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
4) Penggantian direktur bank yang
orang yang diperintahkan meninggalkan
mengalami insolvensi tidak membatasi
kantor tidak diberikan hak untuk menuntut
kemungkinan bank untuk menunjuk
ganti rugi atas kerugian yang timbul dari
direktur lagi jika anggaran dasar bank
perintah untuk meninggalkan kantor
tersebut memungkinkan hal itu dan
tersebut.57
penunjukan direktur oleh BNM belum membuat jumlah maksimum direktur
Terkait dengan pengambilalihan bank oleh
sebagaimana diatur dalam anggaran
BNM atau pihak lain yang ditunjuk oleh BNM,
dasar
terpenuhi.54
5) Jika seorang kurator atau manager telah
BAFIA mengatur hal-hal sebagai berikut: 1) Dalam hal BNM mengambil alih bank
ditunjuk oleh pengadilan tinggi, maka
yang mengalami insolvensi, maka bank
seluruh biaya, beban dan pengeluaran
dimaksud beserta seluruh direktur dan
yang wajar, termasuk remunerasi untuk
pegawainya harus menyerahkan harta
kurator atau manager tersebut harus
kekayaan, kegiatan usaha dan tindakan-
dapat dibayar dengan harta kekayaan
tindakannya dan menyediakan bagi BNM
dari bank. Kewajiban pembayaran ini
atau pihak yang ditunjuk oleh BNM
bersifat preferens dibandingkan dengan
seluruh fasilitas yang diminta guna
kewajiban-kewajiban lainnya.55
meneruskan kegiatan usaha dari bank tersebut.58
Terkait dengan perintah dari BNM kepada
2) Dalam hal BNM atau pihak yang ditunjuk
pegawai atau direktur tertentu dari bank yang
oleh BNM telah mengambil alih bank,
mengalami insolvensi untuk meninggalkan
maka BNM atau pihak yang ditunjuk
kantor bank dimaksud, BAFIA mengatur hal-
tersebut harus menjalankan kendali atas
hal sebagai berikut:
bank untuk dan atas nama bank sampai
1) Pegawai atau direktur bank yang
jangka waktu yang disebutkan dalam
diperintahkan untuk meninggalkan kantor oleh BNM harus menghentikan seluruh
perintah berakhir.59 3) Selama periode kontrol, BNM atau pihak
kegiatannya di kantor terhitung sejak
yang ditunjuk diberikan kekuasaan penuh
tanggal diperintahkan.
atas bank dimaksud beserta seluruh
2) Pegawai atau direktur dimaksud juga
direkturnya.60
dilarang memegang posisi atau jabatan
4) Selama jangka waktu pengambil alihan
di kantor lain pada bank dimaksud, atau
kendali tersebut, tidak seorang direktur
secara langsung maupun tidak langsung
pun pada bank dimaksud dibenarkan
turut berperan atau terlibat dalam
untuk, baik langsung maupun tidak
tindakan atau kegiatan apapun terkait
langsung, terlibat dalam kegiatan usaha
dengan bank.56
bank, kecuali diminta atau disetujui oleh
3) Perintah dari BNM kepada pegawai atau
BNM atau pihak yang ditunjuk oleh BNM,
direktur bank untuk meninggalkan kantor
serta tidak dibenarkan untuk membayar
adalah sah menurut hukum, terlepas dari
remunerasi kepada direktur tersebut
isi kontrak atau perjanjian yang dibuat
terkait dengan aktivitas yang diminta
oleh pegawai atau direktur tersebut, dan
atau disetujui untuk dijalankan oleh BNM,
57 Pasal 75 ayat (2) BAFIA. 54 Pasal 74 ayat (3) BAFIA.
58 Pasal 76 ayat (1) BAFIA.
55 Pasal 74 ayat (5) BAFIA.
59 Pasal 76 ayat (2) BAFIA.
56 Pasal 75 ayat (1) BAFIA.
60 Pasal 76 ayat (3) BAFIA.
14
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
kecuali telah mendapat persetujuan
belum dibayar tersebut.65 Jika modal
tertulis dari BNM atau pihak yang ditunjuk
ditempatkan telah diturunkan atau
oleh
BNM.61
permintaan penambahan modal telah
5) Untuk menghindari keragu-raguan, UU
dibatalkan, maka BNM atau pihak yang
menyatakan bahwa perintah yang
ditunjuk dapat memerintahkan perubahan
dikeluarkan oleh BNM atau Menteri
anggaran dasar dari bank tersebut.
Keuangan tidak boleh berdampak pada pengalihan title/kepemilikan atau
Terkait dengan kewenangan Pengadilan
kepentingan atas harta kekayaan bank
Tinggi, apabila permintaan telah dibuat oleh
kepada BNM atau pihak yang ditunjuk
BNM kepada Pengadilan Tinggi, maka:
BNM.62
a. Pengadilan Tinggi memiliki kewenangan
6) Kewenangan yang diberikan kepada BNM
sebagaimana dimaksud pada Pasal 64
atau pihak yang ditunjuk sesuai BAFIA
Companies Act 1965, khususnya terkait
adalah penambahan kewenangan
dengan “application for confirmation”;
sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) Companies Act 1965.63
dan b. Pasal 64 ayat (9) dan ayat (10) dari Companies Act 1965 berlaku.66
Lebih lanjut, dalam hal BNM atau pihak yang ditunjuk oleh BNM mengambil alih kendali
Lebih lanjut, dalam hal BNM menganggap
dari bank yang mengalami insolvensi, dan
bahwa suatu bank tidak akan dapat
modal disetor dari bank tersebut mengalami
memenuhi seluruh atau sebagian dari
penurunan atau tidak tercerminkan dari asset
kewajibannya atau akan menghentikan
yang ada, BNM atau pihak yang ditunjuk
pembayaran, maka dengan tanpa
dapat meminta penetapan kepada Pengadilan
mengabaikan ketentuan Pasal 31 dan
Tinggi agar memerintahkan pengurangan
dengan memperhatikan Pasal 42 Central
modal ditempatkan (share capital) bank
Bank of Malaysia Act 1958, maka BNM atas
dengan membatalkan sebagian dari modal
persetujuan Menteri Keuangan dapat:
disetor yang hilang/turun atau yang tidak
a. memberikan pinjaman kepada bank
tercermin dari asset yang
ada.64
Dalam hal
dengan jaminan surat berharga yang
kemudian Pengadilan Tinggi memerintahkan
dapat berupa: (1) saham dari bank
penurunan modal ditempatkan atas bank,
tersebut, (2) saham perusahaan lain, atau
maka:
(3) surat berharga lainnya dalam jumlah
a. berdasarkan permintaan BNM atau pihak yang ditunjuk; dan b. jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari) sejak tanggal permintaan bank kepada shareholders untuk menambah
yang cukup; b. membeli saham dari bank tersebut dengan maksud mengendalikan kegiatan usaha bank; atau c. memberikan pinjaman kepada perusahaan
modal, permintaan dimaksud tidak
lain untuk membeli saham, atau seluruh
dipenuhi, pengadilan juga dapat
atau sebagian harta dan kewajiban dari
memerintahkan pembatalan atas
bank tersebut.67
permintaan penambahan modal yang
61 Pasal 76 ayat (4) BAFIA. 62 Pasal 76 ayat (5) BAFIA.
65 Pasal 77 ayat (2) BAFIA.
63 Pasal 77 ayat (4) BAFIA.
66 Pasal 77 ayat (4) BAFIA.
64 Pasal 77 ayat (1) BAFIA.
67 Pasal 78 ayat (1) BAFIA.
15
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
BNM atau perusahaan yang diberi pinjaman
d. membekukan izin bank dimaksud
untuk membeli saham bank sebagaimana
untuk suatu periode tertentu jika
tersebut di atas harus segera mengalihkan
dianggap perlu; atau
saham yang telah dibeli pada saat BNM
e. melakukan langkah-langkah yang
berpendapat bahwa alasan untuk memiliki
diperlukan untuk efektivitas pengenaan
saham tersebut telah tidak ada.68 Dalam
sanksi termasuk menaruh di bawah
melaksanakan kewenangan tersebut, BNM
kustodian atau kontrol BNM atas harta
harus berkonsultasi dengan Advisory Panel,
kekayaan, buku, dokumen atau
yakni panel yang dibentuk berdasarkan Pasal
kepemilikan bank.
31A (2) Central Bank of Malaysia Act 1958.69 Perintah dari Menteri Keuangan Terkait dengan penggunaan istilah “bank”
sebagaimana tersebut di atas dari waktu
dalam Bab X, untuk bank yang mengalami
ke waktu dapat dimodifikasi, diubah,
insolvensi, maka istilah tersebut harus dibaca
disesuaikan atau diganti.
(termasuk): a. perusahaan terkait dengan bank; dan
2.4. Prioritas pembayaran dalam proses insolvensi
b. orang yang dikendalikan oleh direktur
dan kepailitan bank dan aspek Perlindungan
bank, atau oleh orang yang bertindak untuk kepentingan direktur
nasabah
bank.70 2.4.1 Filipina
Lebih lanjut, Menteri Keuangan memiliki
Kedudukan nasabah bank dalam perkara
kewenangan sebagai berikut:71
insolvensi dan kepailitan bank sesuai dengan
1) Berdasarkan rekomendasi dari BNM jika
ketentuan the New Central Bank Act termasuk
dirasa menguntungkan bagi deposan
dalam kategori kreditur konkuren. Namun
bank, dan melalui suatu perintah yang
demikian, nasabah bank tetap memperoleh
dipublikasikan melalui Berita Negara,
perlindungan dari pemerintah melalui
maka Menteri Keuangan dapat:
penjaminan simpanan oleh PDIC sebesar
a. melarang bank menjalankan kegiatan
maksimum P 500.000 (sekitar Rp.100 juta,
usahanya, baik sebagian atau
kurs P 1 = Rp.200,00 ) per nasabah. Dengan
seluruhnya;
demikian, dalam hal terjadi suatu bank
b. melarang bank untuk melakukan
mengalami insolvensi dan kemudian dilikuidasi
aktivitas atau fungsi terkait dengan
berdasarkan suatu putusan pengadilan maka
kegiatan usahanya;
nasabah bank berhak untuk mengajukan
c. mengizinkan BNM untuk mengajukan
klaim kepada PDIC terkait dengan simpanannya
penetapan kepada pengadilan tinggi
maksimum senilai P 500.000. Sementara itu
agar memerintahkan dalam jangka
dalam penyelesaian aset dan harta aset bank,
waktu maksimal 6 (enam) bulan
PDIC mengacu kepada section 31 the New
dilakukan atau dilangsungkannya
Central Bank Act dan the civil code terkait
tindakan atau proses perdata oleh
dengan kedudukan dan urutan kreditur
atau melawan bank terkait dengan
preferen dan konkuren.
kegiatan usaha bank tersebut; Sesuai dengan section 31 the New Central Bank Act diatur bahwa dalam hal suatu bank 68 Pasal 78 ayat (2) BAFIA. 69 Pasal 78 ayat (3) BAFIA.
atau quasi bank dilikuidasi maka aset dan
70 Pasal 79 BAFIA.
harta bank akan dicairkan untuk memenuhi
71 Kewenangan Menteri Keuangan Malaysia ini diatur dalam Pasal 80
kewajiban-kewajiban bank dengan urutan
BAFIA.
16
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
sebagai berikut :
Bagi badan usaha yang telah mendapatkan
1) pembayaran biaya perkara di pengadilan;
bantuan dari negara untuk melakukan
2) biaya dan fee PDIC yang diizinkan oleh
penyehatan usaha namun tetap gagal dan
pengadilan; 3) pembayaran kewajiban-kewajiban bank
dilikuidasi maka badan usaha dimaksud wajib mengembalikan biaya yang dikeluarkan oleh
berdasarkan perintah pengadilan yang
negara untuk melakukan penyehatan,
berpedoman pada ketentuan kreditur
sebelum dilakukan pembagian harta kekayaan
konkuren dan preferen sebagaimana
badan usaha kepada para kreditur.75
diatur dalam the Civil Code. Selanjutnya, pembagian sisa harta kekayaan 2.4.2 Vietnam
badan usaha yang dilikuidasi diatur berdasarkan
Setiap credit institution yang memperoleh
urutan pembayaran sebagai berikut76:
izin untuk melakukan kegiatan perbankan di
1. biaya kepailitan;
Vietnam, wajib berpartisipasi dalam deposit
2. utang gaji, pesangon, asuransi sosial untuk
insurance72. Maksimum simpanan per nasabah
karyawan, dan kepentingan karyawan
yang dapat dibayar penjaminannya adalah
lainnya berdasarkan kesepakatan dan
sebesar 50 juta Dong sedangkan perubahan atas besarnya nilai penjaminan akan ditetapkan oleh Perdana Menteri73.
perjanjian dengan karyawan; 3. unsecured debts yang dapat dibayar kepada para kreditur yang tercantum dalam daftar kreditur berdasarkan prinsip
Dalam hal hakim mengeluarkan putusan
bahwa jika nilai kekayaan debitur pailit
untuk melakukan likuidasi, maka terhadap
mencukupi untuk pembayaran kembali
utang-utang yang dijamin dengan properties
utang-utangnya, setiap kreditur akan
mortgaged atau pledge yang telah dilakukan
dibayar sejumlah piutangnya; jika nilai
sebelum pengadilan menerima permohonan
kekayaan debitur pailit tidak mencukupi
penetapan kepailitan akan diprioritaskan
untuk pembayaran utang-utangnya,
untuk dibayar kembali dengan penjualan
setiap kreditur akan dibayar berdasarkan
harta yang dijaminkan. Dalam hal nilai harta
pembagian sesuai dengan rasio tertentu.
yang dijaminkan tidak mencukupi untuk pembayaran utang dimaksud maka
Dalam hal masih terdapat sisa nilai kekayaan
pembayaran sisa utang akan dibayarkan dari
badan usaha setelah dilakukan pembayaran
hasil likuidasi kekayaan debitur pailit. Dalam
atas utang-utang sesuai dengan urutan
hal nilai harta yang dijadikan jaminan lebih
pembayaran tersebut di atas, maka sisa
besar dari utang maka kelebihannya akan
kekayaan akan menjadi milik dari77:
ditambahkan menjadi kekayaan debitur pailit.74
1. cooperative members; 2. para pemilik dari private enterprises; 3. members of companies; the shareholders of joint-stock companies;
72 Section 1, point 1.a., Circular State Bank of Vietnam No. 03/2006/TTNHNN tanggal 25 April 2006 tentang Guiding the implementation of several contents of the Decree No. 89/1999/ND-CP dated 01/09/1999 of the Government on deposit insurance and the Decree No.109/2005/NDCP dated 24/8/2005 of the Government on the amandment, supplement of several articles of the Decree No. 89/1999/ND-CP.
4. para pemilik dari State enterprises.
75 Article 36, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law.
73 Article 4, Decree No. 89/1999/ND-CP tanggal 1 September 1999, tentang Deposit Insurance sebagaimana telah diubah dengan Decree No. 109/2005/ND-CP tanggal 24 Agustus 2005.
76 Clause 1 Article 37, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law.
74 Article 35, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law.
77 Clause 2 Article 37, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law.
17
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
2.4.3 Thailand
pada tanggal 10 Agustus 2008. Dalam
Sesuai dengan the Bankruptcy Act dan the
undang-undang tersebut diatur bahwa dari
Civil and Commercial Act, kreditur preferen
sejak berlakunya the Deposit Insurance Act
(secured creditor) yaitu kreditur-kreditur yang
sampai dengan tanggal 11 Agustus 2011,
memegang hak-hak kebendaan atas aset-
nasabah bank mendapatkan penjaminan 100
aset debitur dalam bentuk mortgage, pledge,
% (seratus persen) atas seluruh simpanannya.
atau hak retensi atau seorang kreditur yang
Selanjutnya, sejak tanggal 11 Agustus 2011
memegang hak-hak preferensi yang sejenis
sampai dengan tanggal 10 Agustus 2012,
dengan pledge, memiliki hak untuk mengklaim
nilai penjaminan simpanan turun menjadi 50
aset-aset debitur pailit terlebih dahulu
(lima puluh) juta baht atau setara dengan
sebelum dikeluarkannya perintah pengadilan
Rp.15 milyar dan sejak tanggal 10 Agustus
untuk menempatkan aset-aset debitur pailit
2012, nilai penjaminan simpanan nasabah
dibawah pengawasan dan pengelolaan
bank diberikan hanya sebesar 1 (satu) juta
kurator (receiver).78 Namun demikian,
baht atau setara dengan Rp.300 juta.
kreditur preferen harus mengizinkan kurator untuk memeriksa legalitas dan keabsahan
2.4.4 Indonesia
aset-aset debitur tersebut. Selanjutnya,
Pengaturan mengenai prioritas pembayaran
setelah kreditur preferen mengeksekusi aset-
dalam proses insolvensi dan kepailitan bank
aset debitur dan ternyata aset debitur
dalam kerangka Undang-Undang Kepailitan
tersebut belum cukup untuk memenuhi
mengacu kepada Kitab Undang-Undang
kewajiban debitur maka kreditur preferen
Hukum Perdata Pasal 1134, 1139, dan 1149,
tersebut dapat mengajukan klaim untuk sisa
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang
kewajiban debitur yang belum dipenuhi.
Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Bendabenda yang Berkaitan dengan Tanah
Dalam hal kepailitan bank, nasabah bank
(Undang-Undang Hak Tanggungan) dan
termasuk ke dalam golongan kreditur
Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang
konkuren berdasarkan the Bankruptcy Act
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
dan the Civil and Commercial Code.
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Dengan demikian, nasabah bank berada
Undang-Undang No. 16 Tahun 2009.
dalam prioritas yang rendah dalam proses penyelesaian pembayaran kewajiban-
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut,
kewajiban bank pailit.79
dapat disimpulkan bahwa prioritas pembayaran dalam hal terjadi kepailitan
Namun demikian, dalam rangka memberikan
bank mengikuti tata urutan sebagai berikut:
kepercayaan kepada nasabah penyimpan,
a. ongkos pengadilan dan biaya-biaya lelang;
pemerintah menyediakan skim penjaminan
b. pajak-pajak;
untuk nasabah bank terkait dengan
c. klaim dari kreditur-kreditur preferen yaitu
simpanannya dalam hal terjadi kepailitan atau
kreditur yang memegang hak-hak
likuidasi bank. Perlindungan nasabah bank
kebendaan seperti gadai, hipotik, fidusia
tersebut diatur dalam the Deposit Insurance
dan hak tanggungan atas aset-aset
Act BE 2551 tahun 2008 yang mulai berlaku
debitur sebagaimana diatur dalam Pasal 1134 KUH Perdata, dan Undang-Undang Hak Tanggungan;
78 Lorenz & Partner, Legal, tax and Business Consultants, Bankruptcy and Business Reorganization, hal 9. 79 Dr.Andrew M. Goodman,Thailand’s Deposit Insurance Law : Recent Changes and How They Can Affect You, hal 2
18
d. klaim dari kreditur-kreditur yang memiliki hak privileged sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 dan 1149 KUH Perdata yaitu
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
antara lain terkait dengan penjual barang
2.4.5 Singapura
bergerak dan tidak bergerak yang belum
Kewajiban bank yang harus dibayarkan
terbayar, biaya penyimpanan gudang
sebagaimana diatur dalam Section 62
yang belum terbayar, gaji karyawan dan
Banking Act harus diprioritaskan dari
upah buruh yang belum terbayar, klaim
kewajiban konkuren bank lainnya selain dari
berkenaan dengan biaya pengangkutan,
utang yang harus didahulukan sebagaimana
legal fees;
diatur dalam Section 328 (1) Companies Act.
e. kreditur konkuren. Section 62 Banking Act mengatur tata urutan Nasabah bank termasuk dalam kategori
pendistribusian kewajiban dalam hal terjadi
kreditur konkuren dalam penyelesaian harta
penutupan Bank sbb :
bank yang dipailitkan. Namun demikian,
1) Kontribusi premi yang jatuh tempo dan
nasabah bank mendapatkan jaminan atas
harus dibayarkan berdasarkan the Deposit
simpanannya sebagaimana diatur dalam Pasal
Insurance Act (Cap. 77A);
10 dan Pasal 11 Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan.80
2) Kewajiban bank yang timbul terkait simpanan yang diasuransikan, sampai dengan jumlah kompensasi yang
Berbeda dengan prioritas pembayaran dalam
dibayarkan dengan dana oleh the
prosedur kepailitan bank sebagaimana diatur
Singapore Deposit Insurance Corporation
dalam KUH Perdata, prioritas pembayaran
(SDIC) berdasarkan Deposit Insurance
dalam proses likudasi bank diatur sebagai
Act terkait simpanan yang diasuransikan
berikut :
dimaksud;
a. penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang; b. penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai;
3) Kewajiban bank terkait simpanan yang timbul dari nasabah non bank selain yang dispesifikasikan pada angka 2 dan 4; 4) Kewajiban bank terkait simpanan yang
c. biaya perkara di pengadilan, biaya lelang
timbul dengan nasabah non-bank apabila
yang terutang, dan biaya operasional
mengoperasikan Asian Currency Unit yang
kantor;
disetujui berdasarkan section 77.
d. biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Kewajiban dimaksud harus :
dan/atau pembayaran atas klaim
1) diperingkatkan sebagaimana di atas, akan
Penjaminan yang harus dibayarkan oleh
tetapi dalam hal kewajiban tersebut
LPS;
berada pada kelas yang sama maka harus
e. pajak yang terutang; f. bagian simpanan dari nasabah penyimpan
diperingkatkan setara di antara mereka; 2) dibayarkan penuh kecuali apabila aset
yang tidak dibayarkan penjaminannya
bank tidak cukup memenuhi, maka harus
dan simpanan dari nasabah penyimpan
dibagi dengan proporsi yang adil di antara
yang tidak dijamin; dan
mereka.
g. hak dari kreditur lainnya. Lebih lanjut, dalam Section 62 A juga diatur bahwa dalam hal terjadi penutupan bank di Singapore, likuidator harus terlebih dahulu 80 Pasal 10 UULPS mengatur bahwa LPS menjamin Simpanan nasabah bank yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Pasal 11 ayat (1) berbunyi bahwa Nilai Simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
melakukan set off atas kewajiban nasabah terhadap bank (baik di dalam ataupun di luar Asian Currency Unit di bank tersebut)
19
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
terhadap segala simpanan nasabah yang
saham biasa akan berpartisipasi sama rata
ditempatkan dalam bank selain dalam Asian
atas sisa aset.
Currency Unit di bank dimaksud. Dalam hal bank (yang termasuk dalam Deposit Sedangkan tata urutan pendistribusian harta
Insurance Scheme) insolven, simpanan
bank menurut Section 328 (1) Companies
nasabah paling banyak sebesar S$ 50,000
Act yang memiliki hak didahulukan
mendapatkan perlindungan dari Pemerintah
dibandingkan floating chargeholder dan
dan berhak untuk mendapatkan kompensasi.
kreditor konkuren diatur sebagai berikut:
Sesuai Section 21 Deposit Insurance and
1) pembayaran biaya dan pengeluaran
Policy Owners’ Protection Schemes Act 2011,
terkait penutupan; 2) pembayaran penghasilan atau gaji
MAS akan memerintahkan SDIC untuk membayarkan kompensasi kepada nasabah,
sampai dengan lima kali gaji pegawai
dalam hal terdapat putusan pengadilan untuk
atau S$7,500 (yang mana yang lebih
menutup bank (yang termasuk dalam Deposit
kecil);
Insurance Scheme member) tersebut; atau
3) pembayaran manfaat retrenchment dan
MAS menetapkan bank tersebut insolven,
pembayaran ex gratia berdasarkan
tidak mampu atau akan tidak mampu
Companies Act dengan jumlah maksimal
memenuhi kewajibannya atau akan menunda
S$7,500;
pembayarannya.
4) pembayaran kompensasi pekerja atas kerugian yang diderita selama bekerja
2.4.6 Malaysia
berdasarkan ketentuan dalam Work Injury
Kedudukan nasabah bank dalam perkara
Compensation Act;
insolvensi dan kepailitan bank sesuai dengan
5) pembayaran kontribusi kepada national superannuation scheme; 6) pembayaran remunerasi yang dibayarkan terkait cuti liburan;
ketentuan Pasal 81 ayat (1) BAFIA termasuk dalam kategori kreditur preferen dibandingkan dengan seluruh kewajiban lainnya yang menjadi tanggung jawab bank tersebut.81
7) pembayaran pajak;
Namun demikian, dalam menentukan seluruh
8) manfaat penghargaan dan retrenchment
kewajiban dari bank tersebut, maka:
berdasarkan Employment Act.
1) bank dilarang memperhitungkan dana simpanan nasabah pada bank dimaksud
Apabila tidak terdapat aset perusahaan yang
yang pembukaan rekeningnya dilakukan
cukup untuk membayar kewajiban yang
bertentangan dengan ketentuan pada
didahulukan dimaksud, kewajiban dimaksud
BAFIA dan yang dibuat setelah tanggal
akan dibagi secara proporsional. Selanjutnya,
efektif, atau yang dibuat sebelum atau
kewajiban yang berada pada peringkat yang
setelah tanggal efektif namun dilakukan
lebih rendah dan kreditur tanpa jaminan lainnya tidak dibayarkan.
secara melawan hukum. 2) hak untuk melakukan set-off diberlakukan.82
Sisa harta bank setelah pembayaran kepada secured, preferred dan unsecured creditors
Sesuai Pasal 81 ayat (4) BAFIA, ketentuan
akan dibagikan kepada para pemegang
mengenai kewajiban pembayaran ini tetap
saham. Dalam hal terdapat saham preferen,
berlaku walaupun terdapat ketentuan hukum
hak atau preferensi akan dilakukan berdasarkan
lain selain BAFIA yang mengatur secara berbeda.
ketentuan dalam Memorandum of Association perusahaan dimaksud. Sedangkan pemegang
81 Pasal 81 ayat (1) BAFIA. 82 Pasal 81 ayat (2) dan ayat (3) BAFIA
20
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
2.5. Pengaturan insolvensi dan kepailitan bank yang beroperasi lintas batas (cross border
yang memadai terhadap aset debitur pailit yang berada di Filipina.85
insolvency) Tidak ada diskriminasi perlakuan antara 2.5.1 Filipina
kreditur asing dengan kreditur lokal terkait
Filipina menganut asas bahwa pengadilan
dengan prioritas pembayaran. Demikian pula
atau lembaga-lembaga administratif Filipina
tidak ada persyaratan khusus atau tambahan
tidak mempunyai yurisdiksi yang efektif
agar klaim dari kreditur asing diakui oleh
terhadap aset-aset debitur korporasi yang
pengadilan Filipina.
berada diluar negeri apabila debitur korporasi tersebut tidak memiliki kontrol terhadap aset-aset diluar negeri tersebut. Hal ini sejalan dengan asas lex
situs83
yang dianut Filipina
2.5.2 Vietnam Hukum kepailitan (the Bankruptcy Law) Vietnam tidak mengatur secara spesifik
dan Article 16 Civil Code yang mengatur
bahwa putusan pengadilan kepailitan
sebagai berikut : “real property as well as
Vietnam menjangkau aset-aset debitur yang
personal property is subject to the law of
berada di luar negeri. Namun demikian, the
the country where it is
situated”.84
Bankruptcy law berlaku selain terhadap debitur-debitur korporasi yang didirikan di
Terkait dengan asas dan ketentuan tersebut,
Vietnam juga badan hukum asing atau warga
dalam hal suatu institusi dipailitkan di Filipina
negara asing yang berada di Vietnam.86
maka pengadilan Filipina hanya akan menjangkau aset dan harta debitur pailit
The Bankruptcy Law tidak membedakan
yang berada di yurisdiksi Filipina. Dengan
pengaturan terhadap kreditur lokal dan
demikian, dalam hal debitur pailit tersebut
kreditur asing dan oleh karena itu kreditur
memiliki aset dan harta di luar negeri maka
asing dan kreditur lokal diperlakukan sama
status aset dan harta tersebut tunduk dan
didepan pengadilan dalam proses kepailitan.
bergantung pada putusan pengadilan negara dimana aset tersebut berada karena aset
2.5.3 Thailand
dan harta debitur pailit yang berada diluar
Hukum Kepailitan Thailand tidak menjangkau
negeri sepenuhnya tunduk pada hukum dan
aset-aset debitur korporasi yang berada
perundang-undangan negara setempat.
terletak di luar yurisdiksi Thailand. Hukum kepailitan Thailand hanya berlaku terhadap
Demikian pula, dalam hal suatu institusi
aset-aset debitur pailit yang berada wilayah
dipailitkan di suatu negara dan memiliki aset
kerajaan Thailand.87
dan harta yang berada di Filipina maka tidak mudah untuk mengeksekusi putusan
Hukum kepailitan asing tidak dapat
pengadilan asing terkait dengan aset dan
menjangkau atau mempunyai dampak
harta debitur pailit di Filipina karena
terhadap aset-aset debitur pailit yang berada
pengadilan Filipina beranggapan bahwa
di Thailand. Aset-aset debitur pailit yang
pengadilan asing tidak mempunyai yurisdiksi
berada di luar wilayah kerajaan Thailand tunduk pada hukum kepailitan negara
83 Bahasa latin, mengandung pengertian bahwa hukum yang berlaku bagi suatu aset dan/atau property adalah hukum negara dimana aset dan/atau property itu berada (Black’s Law Dictionary, seventh edition) 84 Asean Development Bank, Promoting Regional Cooperation in the Development of Insolvency reform, Country Report for Singapore Conference Cross-Border Insolvency – Indonesia, Korea, Philippines and Thailand
dimana aset debitur pailit tersebut berada.
85 Asean Development Bank, Regional Technical Assistance Project No.5795REG. Insolvency Law Reforms Report on Philippines, hal 61. 86 www.insol.org/pdf/cross_pdfs/Vietnam.pdf 87 Section 177 the Bankruptcy Act
21
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Klaim dari kreditur asing diakui berdasarkan
pailit yang berada di luar negeri tentunya
section 91 the Bankruptcy Act B.E.2541.
tidak mudah untuk dilakukan karena tidak
Namun demikian terdapat ketentuan khusus
semua negara secara otomatis mengakui
terkait dengan klaim dari kreditur asing yang
putusan kepailitan pengadilan asing.
menyebutkan bahwa adanya bukti bahwa kreditur Thailand juga mendapatkan perlakuan
Tidak ada ketentuan khusus dan perbedaan
yang sama berdasarkan hukum negara
perlakuan antara kreditur asing dengan
dimana negara asing tersebut bertempat
kreditur lokal dalam prioritas pembayaran.
tinggal. Dalam hal kreditur asing tersebut
Kreditur asing dapat turut serta dalam proses
telah menerima sebagian pembayaran klaim
kepailitan dan memperoleh pembayaran
di negara asalnya maka kreditur tersebut
dengan menunjukkan bukti-bukti yang
harus bersedia untuk menyerahkan hasil
mendukung.
pembayaran tersebut untuk ditambahkan dalam harta debitur yang berada di Thailand.88
2.5.5 Singapura Singapura adalah sebuah negara common
Thailand bukan negara anggota dari konvensi
law yang banyak dipengaruhi oleh hukum
internasional terkait dengan persoalan-
Inggris. Terkait dengan hukum perusahaan,
persoalan insolvensi. Namun demikian,
hukum Singapura mirip dengan hukum
Thailand menunjuk wakilnya untuk menghadiri
perusahaan yang berlaku di Inggris dan
the Working Group on Insolvency Law yang
negara-negara commonwealth lainnya seperti
diinisiasi oleh the United Nations Commision
Australia, Canada, dan Malaysia.
on International Trade Law dalam rangka penyusunan draft UNCITRAL Model Legislative
Terkait dengan pengaturan cross border
Provision on Cross Border Insolvency.
insolvency, Singapura menerapkan hukum dimana perusahaan didirikan (the law of the
2.5.4 Indonesia
place of incorporation of a company).
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Berdasarkan hukum tersebut diatur bahwa
Kepailitan, harta debitur pailit meliputi semua
dalam hal suatu perusahaan didirikan di
kekayaan debitur pada saat putusan
Singapura, hukum insolvensi Singapura
pernyataan pailit termasuk kekayaan yang
menjangkau semua aset-aset yang dimiliki
diperoleh selama proses
kepailitan.89
Harta
oleh perusahaan tersebut dimanapun berada.
debitur pailit tersebut juga meliputi harta
Di sisi lain, dalam hal suatu perusahaan asing
debitur pailit yang berada di luar wilayah
baik yang terdaftar maupun yang tidak
Negara Kesatuan Republik Indonesia.90
terdaftar di Singapura mengalami kepailitan maka hukum insolvensi Singapura hanya
Dalam prakteknya, pelaksanaan eksekusi
berlaku terhadap aset-aset perusahaan asing
putusan kepailitan terhadap aset-aset debitur
tersebut yang ada di Singapura.91 Tidak ada diskriminasi terhadap kreditur-
88 www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_tha_p.pdf.
kreditur asing yang memiliki hak tagih kepada
89 Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan mengatur bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
debitur pailit di Singapura. Kreditur asing berhak untuk datang dan mengikuti proses likuidasi dan berpartisipasi dalam proses
90 Pasal 212 Undang-Undang Kepailitan menyebutkan bahwa Kreditor yang setelah putusan pernyataan pailit diucapkan mengambil pelunasan seluruh atau sebagian piutangnya dari benda yang termasuk harta pailit yang terletak diluar wilayah Negara Republik Indonesia, yang tidak diperikatkan kepadanya dengan hak untuk didahulukan wajib mengganti kepada harta pailit segala apa yang diperolehnya.
22
rehabilitasi sebagaimana layaknya krediturkreditur lokal. 91 www.adb.org/documents/others/insolvensy
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
2.5.6 Malaysia
berada di Filipina, harus dilakukan dengan
Berdasarkan hukum dan prinsip-prinsip
mengajukan gugatan pailit ke pengadilan
hukum perselisihan Malaysia di atur bahwa
Filipina dengan mengacu pada persyaratan-
Likuidator Malaysia dipandang memiliki
persyaratan yang ditetapkan dalam the
yurisdiksi terhadap aset-aset debitur korporasi
Insolvency Law of the Philippines.
yang didirikan (incorporated) di Malaysia yang berada diluar negeri. Selanjutnya, melalui
Filipina mengakui keberadaan UNICITRAL
kerjasama antar negara, diharapkan bahwa
Model Law on Cross Border Insolvency, namun
berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum
tidak ada satupun ketentuan dan perundang-
privat internasional, pengadilan asing dimana
undangan Philippines terkait dengan insolvensi
aset-aset debitur tersebut berada akan
dan kepailitan yang mengadopsi model law
mengakui keberadaan Likuidator Malaysia.
tersebut.92
Tidak terdapat perbedaan atau diskriminasi
2.6.2 Vietnam
dalam Hukum Malaysia terkait dengan klaim
Berdasarkan the Civil Procedure Code93 (the
dari kreditor lokal maupun asing. Selain itu,
CPC) diatur bahwa putusan pengadilan
tidak terdapat ketentuan khusus atau
negara asing akan diakui di Vietnam apabila
persyaratan tambahan bagi kreditor asing
negara asing tersebut menandatangani
untuk dapat melakukan klaim, khususnya
perjanjian dengan Vietnam terkait dengan
terkait dengan prioritas pembayaran. Satu-
pengakuan dan eksekusi putusan pengadilan
satunya ketentuan yang terkait dengan klaim
asing atau negara asing tersebut merupakan
kreditor asing adalah Exchange Control Act
co-signatory sebuah international treaty
1953 yang mewajibkan kreditor asing
tentang pengakuan dan eksekusi putusan
mendapatkan izin dari Malaysian Controller
pengadilan asing dimana Vietnam juga
of Exchange Control (Bank Negara Malaysia)
terikat dengan perjanjian tersebut.94 Pada
untuk membawa hasil klaimnya ke luar dari
saat ini Vietnam telah menandatangani
wilayah Malaysia. Dalam praktiknya, izin
perjanjian bilateral dengan 11 Comecon
dimaksud sangat jarang tidak dikabulkan.
countries95 terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing.
2.6. Pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing terkait dengan kepailitan
Namun demikian Vietnam belum
bank
menandatangani perjanjian bilateral terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan
2.6.1 Filipina
putusan pengadilan asing dengan negara-
Pengadilan Filipina tidak mengakui proses
negara ASEAN. Sampai dengan saat ini,
peradilan dan putusan pengadilan asing terkait dengan harta debitur pailit yang berada di Filipina. Dengan demikian, walaupun terjadi
92 Opcit.
suatu pengadilan asing telah memutuskan
93 The Civil Procedure Code (the CPC) adalah kodifikasi atau kumpulan ketentuan-ketentuan dan prosedur terkait dengan civil court, economic court dan labour court dan prosedur pengakuan dan eksekusi putusan pengadilan asing dan dan arbitrase asing. The CPC disahkan oleh the National Assembly Vietnam pada tanggal 15 Juni 2004 dan mulai berlaku efektif tanggal 1 Januari 2005.
kepailitan suatu debitur dan kepailitan tersebut juga meliputi aset dan harta debitur pailit di Filipina maka dalam prakteknya putusan pengadilan asing tersebut sulit untuk diakui dan dieksekusi di Filipina. Oleh karena itu, apabila kreditur asing atau lembaga asing akan mengklaim aset debitur pailit yang
94 www.herbersmith.com 95 Comecon countries adalah sebuah organisasi ekonomi yang didirikan pada masa pemerintahan Uni Sovyet yang terdiri dari negara-negara blok Timur dan negara-negara komunis di seluruh dunia. (sumber wikipedia)
23
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Vietnam juga bukan merupakan negara
proses kepailitan di Indonesia.98 Sebagai
penandatangan perjanjian internasional
konsekuensinya, hukum Indonesia pun tidak
terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan
mengakui kurator yang ditunjuk dalam proses
putusan pengadilan asing.
kepailitan asing. Dengan demikian, kurator asing tidak berhak untuk mengklaim,
2.6.3 Thailand
mengendalikan, mengambil alih aset debitur
Hukum Thailand tidak mengakui proses
pailit asing yang berada di Indonesia. Namun
peradilan insolvensi yang dilakukan di luar
demikian, dalam hal aset-aset debitur pailit
wilayah kerjaan Thailand termasuk juga tidak
asing dijaminkan kepada kreditur dan diikat
memberikan akses kepada kurator asing
dengan suatu hak kebendaan, maka kurator
untuk turut serta dalam proses peradilan
asing dapat mengklaim dan mengambil alih
kepailitan di Thailand. Kurator asing harus
aset-aset debitur yang berlokasi di Indonesia
terlebih dahulu melakukan gugatan ke
sepanjang kurator asing tersebut tunduk
pengadilan untuk meminta pembayaran atas
pada ketentuan hukum jaminan sebagaimana
hutang-hutang debiturnya.
diatur dalam hukum Indonesia.
Thailand mengakui keberadaan UNICITRAL
Indonesia menyadari adanya keberadaan
Model Law on Cross Border Insolvency.
UNICITRAL Model Law on Cross Border
Namun demikian, tidak ada satupun ketentuan
Insolvency, namun tidak ada satupun
dan perundang-undangan Thailand terkait
ketentuan perundang-undangan Indonesia
dengan insolvensi dan kepailitan yang
terkait dengan insolvensi dan kepailitan yang
mengadopsi model law UNCITRAL tersebut.96
mengadopsi model law UNCITRAL tersebut.99
2.6.4 Indonesia
2.6.5 Singapura
Secara umum, hukum Indonesia tidak
Berdasarkan the law of the place of
mengakui putusan pengadilan asing termasuk
incorporation of a company yang diterapkan
putusan kepailitan yang dilakukan di luar
Singapura, dalam hal suatu perusahaan
negeri kecuali dalam hal antara negara-negara
mengalami kepailitan di negara dimana
dimana debitur dan kreditur bertempat tinggal
perusahaan tersebut didirikan, maka
memiliki hubungan bilateral atau terikat dalam
pengadilan Singapura akan mengakui
suatu perjanjian regional atau internasional
putusan pengadilan kepailitan asing atas
terkait dengan pengakuan putusan pengadilan
perusahaan tersebut. Sebaliknya, Singapura
asing.97
tidak akan mengakui putusan putusan pengadilan negara lain diluar negara dimana
Putusan-putusan yang dihasilkan dari proses
perusahaan tersebut didirikan.
kepailitan di luar negeri tidak diakui dan tidak memiliki kekuatan eksekutorial dalam sistem
Putusan yang menyangkut uang (Money
hukum Indonesia. Putusan-putusan tersebut
judgments) dari High Court negara-negara
hanya diakui sebagai bukti pendukung dalam
Commonwealth dapat didaftarkan di Singapore berdasarkan the Reciprocal Enforcement of Commonwealth Judgments Act dan dilaksanakan sebagai putusan Pengadilan Singapore.
96 Opcit. 97 Blake Dawson Waldron Lawyer, Asian Development Bank, Promoting Regional Cooperation in the Development of Insolvency Reform, Country Report for Singapore, Conference Cross Border Insolvency – Indonesia, Korea, Philippines and Thailand.
24
98 Ibid 99 Opcit.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Selain itu, terdapat juga the Reciprocal Enforcement of Foreign Judgments Act, akan
III. GAMBARAN UMUM UNCITRAL MODEL LAW ON CROSS BORDER INSOLVENCY
tetapi hingga saat ini ketentuan dimaksud belum diberlakukan ke negara mana pun.
3.1. Pendahuluan
Money judgments dari negara-negara lain
UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency
dapat dilaksanakan di Singapore dengan
(UNCITRAL Model Law) adalah suatu model law
mengajukan tindakan hukum baru terkait
yang disusun oleh the United Nations Commisions
putusan ke pengadilan Singapore. Tidak
on International Trade Law (UNCITRAL) bekerja
terdapat ketentuan di Singapore yang
sama dengan the International Association of
mengakui putusan pengadilan asing di luar
Insolvency Practitioners (INSOL) yang
money judgments.
direkomendasikan kepada negara-negara anggota PBB untuk diadopsi dalam perundang-udangan
Singapura mengakui keberadaan UNICITRAL
nasional negara-negara tersebut terkait dengan
Model Law on Cross Border Insolvency, namun
pengaturan cross border insolvency. UNCITRAL
tidak ada satupun ketentuan dan perundang-
Model Law dirancang untuk membantu negara-
undangan Singapore terkait dengan insolvensi
negara memiliki hukum insolvensi yang modern,
dan kepailitan yang mengadopsi model law
harmonis dan adil dalam menyelesaikan berbagai
tersebut.
macam kasus cross border insolvency secara efektif. Kasus-kasus tersebut termasuk kasus-kasus dimana
2.6.6 Malaysia
debitur insolven memiliki aset atau kreditur di
Malaysia mengakui proses kepailitan yang
beberapa negara selain dari negara tempat
dilakukan di luar wilayah yurisdiksi Malaysia
berlangsungnya proses peradilan insolvensi.
termasuk likuidator asing yang ditunjuk di
Negara-negara yang mengadopsi UNCITRAL Model
negara asing. Namun demikian dalam
Law (the enacting states) akan memasukkan
prakteknya, walaupun berdasarkan section
tambahan-tambahan pengaturan yang bermanfaat
340 (2) the Companies Act mengakui
dan sekaligus melakukan penyempurnaan-
keberadaan likuidator asing, the High Court
penyempurnaan dalam regime hukum insolvensi
mungkin akan menunjuk likuidator lokal
nasional
untuk mengambil alih/menjual aset debitur yang ada di Malaysia dan membayar hasil
Walaupun UNCITRAL Model Law direkomendasikan
penjualan aset debitur tersebut kepada
untuk diadopsi dalam hukum nasional terkait
likuidator asing (setelah dikurangi dengan
dengan pengaturan cross border insolvency,
kewajiban-kewajiban debitur asing tersebut
UNCITRAL Model Law tetap menghormati
kepada kreditur lokal).100
perbedaan-perbedaan sistem hukum diantara negara-negara dan tidak bermaksud untuk
Malaysia menyadari keberadaan UNICITRAL
melakukan unifikasi hukum insolvensi terkait
Model Law on Cross Border Insolvency, namun
dengan pengaturan cross border insolvency. Oleh
demikian sampai dengan saat ini tidak ada
karena itu, the enacting states masih diberikan
satupun ketentuan dan perundang-undangan
kebebasan untuk mengubah atau menyesuaikan
malaysia terkait dengan insolvensi dan
beberapa ketentuan dalam UNCITRAL Model Law
kepailitan yang mengadopsi model law
yang dianggap tidak sesuai atau tidak relevan
tersebut.
dengan sistem hukumnya.
100 www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_mal_p.pdf
25
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
UNCITRAL Model Law menawarkan solusi-solusi yang moderate tetapi dengan cara-cara yang signifikan terkait dengan hal-hal sebagai
berikut:101
a. memberikan kewenangan kepada kurator atau likudator asing untuk dapat mengakses
3.2 Pokok-pokok pengaturan dalam UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency Sistematika UNCITRAL Model Law terdiri dari preamble, 5 chapter dan 32 Article yang secara umum meliputi hal-hal sebagai berikut:103
langsung ke pengadilan negara-negara yang telah mengadopsi UNCITRAL model law (the
a. Ruang lingkup
enacting states) dan oleh karena itu memberikan
UNCITRAL Model law dapat diterapkan pada
hak kepada kurator atau likuidator asing untuk
beberapa situasi cross border insolvency sebagai
meminta temporary breathing space102 kepada
berikut:104
pengadilan the enacting states sekaligus
1) Dalam kasus adanya permintaan pengakuan
memberikan kesempatan kepada pengadilan
suatu putusan pengadilan asing ke the
the enacting states menentukan jenis koordinasi diantara yurisdiksi-yurisdiksi atau solusi lain bagi
enacting states. 2) Dalam kasus adanya permintaan dari
penyelesaian insolvency yang optimal;
pengadilan atau kurator the enacting states
b. menentukan kapan sebuah proses peradilan
terkait dengan pengakuan proses insolvensi
insolvensi asing harus diakui dan konsekuensi
yang dilaksanakan berdasarkan hukum the
dari pengakuan proses peradilan insolvensi asing
enacting states di negara asing.
tersebut;
3) Koordinasi proses insolvensi yang sedang
c. menyediakan regime yang transparan terkait
berlangsung secara bersamaan di dua negara
dengan hak-hak kreditur asing untuk memprakarsai atau turut serta dalam proses
atau lebih. 4) Partisipasi kreditur asing dalam proses
peradilan insolvensi di the enacting states;
insolvensi yang sedang berlangsung di the
d. mengizinkan pengadilan the enacting state
enacting states.
bekerja sama lebih efektif dengan pengadilanpengadilan dan kurator-kurator asing yang
Dalam ruang lingkup juga diatur mengenai hak
terlibat dalam permasalahan insolvensi;
dan kewenangan the enacting states untuk
e. memberikan kewenangan kepada pengadilan-
mengecualikan beberapa institusi meliputi
pengadilan dan kurator the enacting state untuk
antara lain bank dan perusahaan asuransi dari
meminta bantuan ke luar negeri;
ruang lingkup Model Law dalam hal institusi-
f. menentukan jurisdiksi pengadilan dan menetapkan peraturan-peraturan terkait
institusi tersebut akan atau telah diatur dalam ketentuan tersendiri (special regulatory regime).
dengan koordinasi atas proses peradilan insolvensi yang berlangsung secara bersamaan di the enacting state dan di negara asing; g. menetapkan peraturan-peraturan yang mengatur
b. Bantuan pihak asing untuk proses peradilan insolvensi yang sedang berlangsung di the enacting states.
mengenai koordinasi terkait bantuan yang diberikan oleh the enacting states kepada dua
UNCITRAL Model Law memberikan guidance
atau lebih proses peradilan insolvensi yang
kepada pengadilan-pengadilan the enacting
sedang berlangsung di negara-negara asing
states dalam menghadapi adanya permintaan
untuk debitur yang sama.
pengakuan putusan pengadilan dari negaranegara asing. Selain itu, UNCITRAL Model Law
101 UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enacment, United Nations, New York, 1999 102 Dalam Black’s law Dictionary dinamakan breathing room yang berarti masa setelah bankruptcy dimana debitur diberikan kesempatan untuk memformulasikan rencana penyelesaian hutang-hutangnya tanpa adanya intervensi dari kreditur.
26
juga memberikan kewenangan kepada pengadilan-pengadilan the enacting states
103 Ibid 104 Lihat Article 1
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
untuk meminta bantuan kepada pengadilan
4) Memberikan hak kepada kurator asing
asing terkait dengan proses peradilan insolvensi
untuk mengintervensi proses peradilan
yang sedang berlangsung di the enacting
insolvensi di the enacting states dalam hal
states.105 UNCITRAL Model Law juga mengisi
terdapat aksi atau gugatan individual
kekosongan hukum di the enacting states terkait
terhadap debitur atau asetnya di the
dengan pengaturan koordinasi dan mekanisme
enacting states.109
permintaan bantuan kepada pengadilan asing. d. Pengakuan putusan peradilan asing c. Akses kurator asing terhadap pengadilan the enacting states
UNCITRAL Model Law menentukan kriteria pengakuan putusan peradilan asing yang harus
Salah satu tujuan penting dari UNCITRAL Model
diakui110 dan mengatur bahwa dalam kasus-
Law adalah memberikan kemudahan kepada
kasus yang tepat, pengadilan boleh menetapkan
kurator asing untuk mengakses ke pengadilan-
putusan sela sebelum diterbitkannya putusan
pengadilan the enacting states tanpa perlu
terkait dengan pengakuan.111 Putusan sela
bergantung pada adanya komunikasi atau surat
tersebut juga termasuk menentukan apakah
permintaan bantuan melalui saluran diplomatik
putusan peradilan asing dimaksud merupakan
yang mungkin yang sangat memakan waktu.
peradilan insolvensi asing yang utama atau
UNCITRAL Model Law lebih mengutamakan
bukan (main or non main foreign insolvency
pendekatan kerjasama dan koordinasi agar
proceeding). Sebuah putusan peradilan asing
penyelesaian kasus-kasus cross border insolvency
dianggap sebagai putusan peradilan utama
dapat diselesaikan secara cepat. Disamping
jika peradilan tersebut dilaksanakan di negara
menetapkan prinsip-prinsip terkait dengan
dimana debitur memiliki pusat kepentingan
akses langsung kurator asing ke pengadilan
(centre of main interest). Penentuan putusan
the enacting states, UNCITRAL Model Law juga
peradilan utama dan bukan utama mempengaruhi
mengatur hal-hal sebagai berikut :
sifat bantuan yang akan diberikan kepada
1) Menetapkan persyaratan-persyaratan
kurator asing.
pembuktian yang sederhana terkait dengan permintaan pengakuan putusan pengadilan
Dampak dari diberikannya pengakuan atas
asing seperti antara lain tidak disyaratkannya
putusan peradilan asing yaitu terhentinya aksi-
legalisasi putusan pengadilan secara notaril
aksi atau gugatan individual terhadap debitur
atau dengan consular procedures.106
atau terhentinya eksekusi atas aset debitur dan
2) Menetapkan bahwa kurator asing memiliki
ditundanya hak-hak debitur untukmengalihkan
hak untuk memprakarsai proses insolvensi
aset-asetnya di the enacting states.112 Terhentinya
di the enacting states dan bahwa bahwa
gugatan, eksekusi dan transfer aset tersebut
kurator asing dapat berpartisipasi dalam proses
sifatnya wajib atau otomatis berlaku setelah
peradilan insolvensi di the enacting
states.107
diberikannya pengakuan.
3) Menegaskan akses kreditor-kreditor asing untuk memprakarasi proses peradilan
e. Kerjasama lintas negara
insolvensi atau turut serta dalam proses insolvensi di the enacting states dengan
UNCITRAL Model Law mengisi kesenjangan
tetap tunduk pada persyaratan-persyaratan
hukum yang ditemukan dalam hukum nasional
states.108
negara-negara dengan memberikan kewenangan
yang ditetapkan oleh the enacting 105 106 107 108
Lihat Article 2 Lihat Article 15 Lihat Article 11 dan 12 Lihat Article 13
109 110 111 112
Lihat Article 24 Lihat Article 15 - 17 Lihat Article 19 Lihat Article 20
27
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
pengadilan untuk memperluas kerjasama dalam
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam bab ini
bidang-bidang yang diatur dalam UNCITRAL
akan dilakukan analisis terhadap pengaturan
Model
Law.113
Demikian pula, UNCITRAL Model
insolvensi dan kepailitan bank di masing-masing
Law menetapkan peraturan-peraturan terkait
negara dan selanjutnya akan dikaji mengenai potensi
dengan koordinasi antara pengadilan di the
permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam
enacting state dengan kurator asing dan antara
kaitan dengan terbentuknya MEA.
kurator lokal dengan pengadilan asing atau kurator asing.114
4.2. Analisis perbedaan sistem hukum dan ketentuan terkait insolvensi dan kepailitan
IV. ANALISIS PENGATURAN INSOLVENSI DAN
bank di Negara-Negara ASEAN dikaitkan
KEPAILITAN BANK DI NEGARA-NEGARA ASEAN
dengan terbentuknya MEA
DIKAITKAN DENGAN BERLAKUNYA MEA 2015
Negara-negara ASEAN memandang permasalahan insolvensi dan kepailitan bank sebagai sesuatu hal
4.1. Pendahuluan
yang sangat penting dan oleh karena itu pada
Dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN
umumnya masing-masing negara ASEAN tersebut
(MEA) pada 2015, idealnya tercipta suatu kondisi
mengatur insolvensi dan kepailitan bank dalam
dimana anggota-anggota MEA menerapkan
peraturan perundang-undangan tersendiri seperti
ketentuan atau peraturan yang standar dan seragam
di Filipina tercantum dalam the New Central Bank
terkait dengan berbagai hal yang relevan dengan
Act No.7653, Vietnam diatur dalam Law
terbentuknya MEA termasuk juga pengaturan
No.47/2010/QH12 tentang Credit Institution,
mengenai insolvensi dan kepailitan bank.
Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Dalam kenyataannya saat ini untuk insolvensi dan
Kewajiban Pembayaran Utang, Singapura dalam
kepailitan bank, masing-masing negara ASEAN
Banking Act dan Malaysia diatur dalam Banking
masih mengaturnya secara berbeda-beda, seperti
and Financial Institutions Act (BAFIA) 1989.
misalnya terkait dengan pengaturan insolvensi dan kepailitan debitur bank yang memiliki aset atau
Selanjutnya, dalam beberapa hal pengaturan
kreditur di luar negeri (cross border insolvency) dan
insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara
pengaturan mengenai pengakuan dan pelaksanaan
ASEAN memiliki persamaan antara lain terkait
putusan pengadilan kepailitan asing (the recognition
otoritas yang berwenang untuk mengajukan
and enforcement of foreign bankruptcy judments).
permohonan kepailitan bank ke pengadilan dan aspek perlindungan nasabah bank. Di sisi lain,
Dalam konteks terbentuknya MEA 2015 dimana
dalam beberapa hal lainnya juga terdapat
aliran barang, jasa, investasi dan tenaga kerja
perbedaan pengaturan yang cukup signifikan di
bergerak secara bebas, kondisi tersebut tentunya
antara negara-negara tersebut antara lain terkait
akan menjadi kontra produktif terhadap cita-cita
dengan pengaturan cross border insolvency dan
terbentuknya MEA itu sendiri terlebih setelah
pengakuan putusan insolvensi pengadilan asing.
berlakunya liberalisasi sub sektor perbankan pada tahun 2020. Dalam hal ini, pengaturan yang
Dalam tata urutan prioritas pembayaran terkait
berbeda-beda tersebut dapat menjadi salah satu
dengan penyelesaian harta debitur pailit, hampir
potensi masalah dalam penyelesaian kepailitan
semua negara ASEAN menggolongkan nasabah
bank yang beroperasi secara lintas batas (cross
bank sebagai kreditur konkuren bersamaan dengan
border insolvency).
kreditur lainnya. Namun demikian, dalam rangka memberikan perlindungan kepada nasabah bank, negara-negara ASEAN menerapkan sistem
113 Lihat Article 25 - 27 114 Lihat Article 26
28
penjaminan atas simpanan nasabah bank yang
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
nilai nominal penjaminannya berbeda-beda di
bilateral dengan Indonesia atau antara negara
masing-masing negara.
asing tersebut dan Indonesia terikat dalam suatu perjanjian internasional mengenai pengakuan dan
Pengaturan proses insolvensi yang debiturnya
pelaksanaan putusan pengadilan asing. Singapura
mempunyai aset atau kreditur di luar negeri
memiliki sistem hukum yang berbeda dimana
(cross border insolvency) berbeda-beda antara
pengadilan Singapura mengakui putusan pengadilan
negara yang satu dengan negara lainnya. Beberapa
asing terkait dengan kepailitan suatu institusi yang
negara seperti Filipina, Vietnam, dan Thailand
didirikan di negara asing tersebut. Demikian pula
mengatur dalam sistem hukumnya bahwa hukum
Malaysia mengakui proses kepailitan dan putusan
kepailitan hanya berlaku terhadap aset-aset debitur
pengadilan asing yang dilakukan di luar wilayah
yang berada di dalam negeri karena aset-aset
yurisdiksi Malaysia walaupun dalam prakteknya
debitur yang berada diluar negeri tunduk pada
pelaksanaan putusan pengadilan asing tersebut
hukum negara dimana aset-aset debitur tersebut
tidak mudah karena biasanya the High Court
berada. Sementara itu negara-negara lainnya yaitu
Malaysia akan menunjuk likuidator lokal untuk
Indonesia, Singapura, dan Malaysia mengatur
menjual aset-aset debitur yang berada di Malaysia
bahwa putusan kepailitan pengadilan negara-
dan kemudian membayarkan hasil penjualan aset-
negara tersebut selain berlaku terhadap aset-aset
aset tersebut kepada likuidator asing setelah
debitur yang berada di dalam negeri juga berlaku
dikurangi dengan kewajiban-kewajiban debitur
terhadap aset-aset debitur yang ada di luar negeri.
kepada kreditur lokal Malaysia.
Khususnya untuk Indonesia, ketentuan mengenai cross border insolvency tersebut terdapat dalam
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, pengaturan
Pasal 21 dan Pasal 212 Undang-Undang No. 37
dan praktek yang berbeda-beda terkait dengan
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara
Kewajiban Pembayaran Utang.
ASEAN khususnya mengenai cross border insolvency termasuk pengakuan putusan kepailitan pengadilan
Praktek pengakuan putusan pengadilan asing
asing dapat menjadi potensi permasalahan hukum
termasuk putusan tentang kepailitan berbeda-
pada saat berlakunya MEA tahun 2015.
beda di masing-masing negara ASEAN. Sistem
Permasalahan hukum tersebut terutama terkait
hukum Filipina mengatur bahwa pengadilan Filipina
dengan tidak dapat dilaksanakannya suatu putusan
tidak mengakui sama sekali putusan pengadilan
kepailitan suatu negara atas kepailitan bank yang
kepailitan asing. Vietnam mengatur ketentuan
mempunyai kreditur dan aset diluar negeri
yang lebih fleksibel dimana pada dasarnya
dikarenakan tidak diakuinya putusan kepailitan
pengadilan Vietnam tidak mengakui putusan
bank tersebut oleh negara lainnya. Kondisi tersebut
pengadilan asing namun putusan pengadilan asing
tentunya tidak dikehendaki oleh kalangan investor
dapat diakui di Vietnam dalam hal negara asing
atau pelaku usaha yang menginginkan adanya
tersebut menandatangani perjanjian bilateral
kepastian hukum dan penyelesaian yang pasti
dengan Vietnam terkait dengan pengakuan dan
dalam hal terjadinya kasus-kasus cross border
pelaksanaan putusan pengadilan asing atau negara
insolvensy.
asing tersebut merupakan co-signatory sebuah internasional treaty terkait dengan pengakuan dan
4.3. Kemungkinan Harmonisasi Hukum Insolvensi
pelaksanaan putusan pengadilan asing dimana
dan Kepailitan Bank di antara Negara-Negara
Vietnam juga terikat dengan perjanjian internasional
ASEAN
tersebut. Sistem hukum Indonesia mengatur bahwa
Dengan terbentuknya pasar tunggal ASEAN, di
hukum Indonesia tidak mengakui proses kepailitan
mana masyarakat, pelaku usaha, dan institusi
yang dilakukan di negara asing kecuali apabila
perbankan menjadi lebih bebas dalam bertransaksi
negara asing tersebut menandatangani perjanjian
serta berusaha, seharusnya hal tersebut diikuti pula
29
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
dengan adanya standardisasi atau persamaan
menandatangani perjanjian tersebut. Sehubungan
perlakuan diantara negara-negara ASEAN, khususnya
dengan hal tersebut, model harmonisasi pengaturan
terkait dengan pengaturan penyelesaian kepailitan
kepailitan bank yang lebih mungkin untuk diterapkan
bank yang beroperasi secara lintas batas (cross
di kawasan ASEAN yaitu melalui penundukan diri
border insolvency), termasuk didalamnya pengakuan
atau pengadopsian Uniform Laws seperti UNCITRAL
putusan kepailitan bank asing. Dengan kata lain,
Model Law on Cross Border Insolvency karena
diperlukan harmonisasi hukum terkait dengan
belum ada Uniform Rules dalam bidang kepailitan.
pengaturan cross border insolvency termasuk pengakuan putusan pengadilan asing dalam rangka
Agar proses harmonisasi hukum insolvensi dan
memberikan kepastian hukum kepada para pelaku
kepailitan di Negara-negara ASEAN berjalan
usaha, investor dan masyarakat ASEAN secara
dengan baik maka sebagai langkah awal sebelum
keseluruhan.
dilakukannya proses harmonisasi, perlu dilakukan assesment atas hukum kepailitan dan ketentuan
Secara teoritis, model harmonisasi hukum insolvensi
perbankan yang terkait dengan insolvensi dan
dan kepailitan bank tersebut dapat dilakukan melalui
kepailitan bank di masing-masing negara ASEAN.
3 (tiga) cara yaitu :115
Hal tersebut penting dilakukan dalam rangka
a. Pembentukan perjanjian internasional secara
mengidenfikasi kekuatan, potensi, kelemahan dan
regional; b. Penundukan diri atau pengadopsian atas Uniform
faktor-faktor lain yang relevan dan mendukung untuk berhasilnya proses harmonisasi hukum
Laws (Hukum Seragam) seperti UNCITRAL Model
dimaksud. Untuk terjadinya proses asesmen
Law on Cross Border Insolvency; atau
tersebut, negara-negara ASEAN harus terlebih
c. Menerapkan Uniform Rules (Aturan Seragam)
dahulu memiliki komitmen yang sama dan
sebagaimana The Uniform Customs and Practice
menyepakati mengenai perlunya dilakukan
for Documentary Credits diterapkan dalam
assesment atas ketentuan mengenai insolvensi
international trading.
dan kepailitan bank dalam rangka harmonisasi hukum terkait dengan berlakunya MEA.
Berdasarkan praktek yang berlaku saat ini, di mana negara-negara menganut prinsip yurisdiksi teritorial
Dari sudut pandang Indonesia, pemikiran mengenai
yang berarti bahwa negara-negara tersebut secara
perlu tidaknya dilakukan harmonisasi hukum
ekslusif menetapkan aturan-aturan terhadap warga
insolvensi dan kepailitan bank dalam rangka
negara dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi
menyongsong berlakunya MEA dan sejauh mana
di wilayah yurisdiksinya, tidak mudah untuk
substansi hukum yang perlu atau dapat
membuat suatu perjanjian internasional regional
diharmonisasikan tentunya harus didasarkan pada
ASEAN sebagai pilihan model harmonisasi ketentuan
tinjauan dari aspek kepentingan dan strategi
kepailitan bank di ASEAN. Hal tersebut dikarenakan
perekonomian nasional agar Indonesia dapat
adanya pemikiran bahwa apabila suatu negara
memanfaatkan pasar bersama ASEAN di bidang
menandatangani suatu perjanjian internasional,
perbankan secara optimal dengan memperhatikan
berarti akan menghilangkan sebagian kedaulatan
potensi, kekuatan dan kelemahan yang dimiliki
dari negara penandatangan (yakni berupa hak
oleh Indonesia.
mengatur) dan timbulnya konsekuensi-konsekuensi hukum yang melekat sebagai akibat dari
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hal-hal yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya maka dapat disusun kesimpulan dan
11 Huala Adolf, Diskusi Terbatas “Aspek Hukum Insolvensi dan Kepailtian Bank di Negara-Negara ASEAN” tanggal 22 s.d 23 September 2011, Hotel Grand Preanger, Bandung.
30
rekomendasi sebagai berikut :
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
5.1. Kesimpulan
5) Terkait dengan pengaturan pengakuan putusan pengadilan asing, beberapa negara tidak
1) Pada umumnya pengaturan insolvensi dan
mengakui putusan pengadilan kepailitan asing.
kepailitan bank di masing-masing negara ASEAN
Negara lainnya mengakui putusan kepailitan
diatur dalam perundang-undang tersendiri
pengadilan asing dengan syarat negara tersebut
disamping adanya undang-undang kepailitan
telah menandatangani perjanjian bilateral/
yang berlaku secara umum.
multialteral mengenai pengakuan putusan kepailitan pengadilan asing, atau institusi yang
2) Secara umum, otoritas yang berwenang untuk
dipailitkan didirikan di negara tersebut.
mengajukan proses insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara ASEAN adalah otoritas
6) Permasalahan hukum yang mungkin timbul
moneter atau Bank Sentral. Terkait dengan
dari pengaturan kepailitan bank yang berbeda-
likuidasi bank di negara-negara ASEAN, pada
beda, khususnya adalah tidak dapat
umumnya dilakukan melalui proses penetapan
dilaksanakannya suatu putusan kepailitan dari
pengadilan berdasarkan pengajuan dari bank
pengadilan suatu negara terkait dengan
sentral kecuali di Indonesia yang proses
kepailitan bank yang mempunyai kreditur dan
likuidasinya merupakan kewenangan Lembaga
aset di luar negeri dikarenakan tidak diakuinya
Penjamin Simpanan tanpa perlu adanya
putusan kepailitan bank tersebut oleh negara
penetapan pengadilan.
lainnya. Kondisi tersebut berpotensi menciptakan tidak adanya kepastian hukum
3) Dalam tata urutan prioritas pembayaran terkait
dalam penyelesaian kasus-kasus cross border
dengan penyelesaian harta debitur pailit,
insolvency. Idealnya, untuk mengatasi
hampir semua negara ASEAN menggolongkan
permasalahan hukum tersebut diperlukan
nasabah bank dalam kategori kreditur konkuren.
harmonisasi hukum khususnya terkait dengan
Namun demikian, dalam rangka memberikan
pengaturan cross border insolvency. Harmonisasi
perlindungan kepada nasabah bank, negara-
ketentuan insolvensi dan kepailitan bank
negara Anggota ASEAN menerapkan sistem
tersebut merupakan salah satu infrastruktur
penjaminan atas simpanan nasabah bank yang
penunjang yang diperlukan apabila nantinya
nilai nominal penjaminannya berbeda-beda di
disepakati akan beroperasi qualified ASEAN
masing-masing negara.
banks secara lintas batas di kawasan ASEAN. Harmonisasi ketentuan insolvensi dan kepailitan
4) Pengaturan proses insolvensi yang debiturnya
bank tersebut akan melengkapi infrastruktur
mempunyai aset atau kreditur di luar negeri
lain yang diperlukan seperti cross border bank
termasuk pengakuan putusan pengadilan asing
supervision dan cross border bank resolution.
(cross border insolvency) berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara lainnya.
5.2 Rekomendasi
Beberapa negara mengatur bahwa hukum kepailitan hanya berlaku terhadap aset-aset
1) Dalam upaya menjembatani adanya perbedaan
debitur yang berada di dalam negeri. Sementara
sistem hukum dan pengaturan terkait dengan
itu, negara-negara mengatur bahwa putusan
insolvensi dan kepailitan bank khususnya
kepailitan pengadilan negara-negara tersebut
mengenai cross border bank insolvency, perlu
selain berlaku terhadap aset-aset debitur yang
dilakukan upaya harmonisasi hukum dan
berada di dalam negeri juga menjangkau
ketentuan terkait dengan cross border bank
terhadap aset-aset debitur yang berada di luar
insolvency di negara-negara ASEAN. Hal ini
negeri.
dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum di bidang cross border bank insolvency dan
31
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
terdapat standardisasi pengaturan dan perlakuan dalam penyelesaian kasus-kasus cross border bank insolvency di antara negara-negara ASEAN. 2) Perlu dilakukan assesment secara mendalam atas hukum kepailitan dan ketentuan perbankan terkait dengan insolvensi dan kepailitan bank di masing-masing negara ASEAN sebelum dilakukannya proses harmonisasi hukum tersebut. Sebagaimana lazimnya dalam suatu organisasi internasional, untuk dapat dilakukannya proses assesment di masingmasing negara-negara ASEAN terlebih dahulu perlu adanya kesepakatan dalam forum ASEAN mengenai pentingnya assesment atas ketentuan mengenai insolvensi dan kepailitan bank sebagai langkah awal mempersiapkan harmonisasi hukum terkait dengan berlakunya MEA. 3) Dari sudut pandang Indonesia, pemikiran mengenai perlunya dilakukan harmonisasi hukum insolvensi dan kepailitan bank harus dikaitkan dengan tinjauan dari aspek kepentingan dan strategi perekonomian nasional sehingga Indonesia dapat memanfaatkan pasar bersama ASEAN di bidang perbankan dengan memperhatikan potensi, kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh Indonesia.
32
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-undangan a. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. b. Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 tahun 1998. c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun. 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 d. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 001/PLPS/2010 tentang Likuidasi Bank e. the New Central Bank Act of Philippines No.7653 f. the Central Bank of Malaysia Act 1958 g. Law No. 46/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010 regarding The State Bank of Vietnam h. Banking Act of Singapore i.
Bankruptcy act of Singapore (chapter 20)
j.
Decree No. 89/1999/ND-CP tanggal 1 September 1999, tentang Deposit Insurance
k. Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010 regarding Credit Institutions l.
Banking and Financial Institusion Act 1989
m. Circular State Bank of Vietnam No. 03/2006/TT-NHNN tanggal 25 April 2006 tentang Guiding the implementation of several contents of the Decree No. 89/1999/ND-CP dated 01/09/1999 of the Government on deposit insurance and the Decree No. 109/2005/ND-CP dated 24/8/2005 of the Government on the amandment, supplement of several articles of the Decree No. 89/1999/ND-CP. n. Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law o. Decree No. 89/1999/ND-CP tanggal 1 September 1999 regarding Deposit Insurance as amended by Decree No. 109/2005/NDCP dated 24 Agustus 2005. p. the Thailand Deposit Insurance Act BE 2551 q. the bankrupcy of Act of Thailand r.
the Civil and Commercial Act of Thailand
s. UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enactment, United Nations, New York, 1999
Artikel/hasil kajian a. Lorenz & Partner, Legal, tax and Business Consultants, Bankruptcy and Business Reorganization, page 9 b. Dr.Andrew M. Goodman,Thailand’s Deposit Insurance Law : Recent Changes and How They Can Affect You, page 2 c. Asean Development Bank, Promoting Regional Cooperation in the Development of Insolvency reform, Country Report for Singapore Conference Cross-Border Insolvency – Indonesia, Korea, Philippines and Thailand d. Asean Development Bank, Regional Technical Assistance Project No.5795-REG. Insolvency Law Reforms Report on Philippines, page 61.
33
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Diskusi Terbatas Huala Adolf, Diskusi Terbatas “Aspek Hukum Insolvensi dan Kepailtian Bank di Negara-Negara ASEAN” tanggal 22 s.d 23 September 2011, Hotel Grand Preanger, Bandung.
Lain-lain a. Black’s Law Dictionary) b. Wikipedia c. www.insol.org/pdf/cross_pdfs/Vietnam.pdf d. www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_tha_p.pdf. e. www.adb.org/documents/others/insolvensy f. www.herbersmith.com g. www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_mal_p.pdf
34
Pembenahan Hukum Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan Oleh: Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM. (Dosen luar biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Universitas Tarumanegara dan Universitas 17 Agustus 1945. Saat ini menjabat Kepala Perwakilan Bank Indonesia London)
Pendahuluan
menghukum para pelanggar hukum, bagaimana mengatur persaingan usaha dan perlindungan konsumen, bagaimana
Salah satu yang menjadi pertimbangan banyak lembaga
hukum dapat menjamin persamaan perlakuan warga Negara
pemeringkat (rating agencies) belum menaikan peringkat
dan warga Negara asing. Tingkat “kematangan” hukum
Indonesia ke tingkat peringkat investasi (investment grade)
suatu Negara pada hakekatnya merupakan komponen
adalah masalah kepastian hukum, disamping masalah
terpenting didalam upaya kita memudahkan pembiayaan
lambatnya pembangunan infrastruktur dan apa yang disebut
keuangan internasional bagi pembangunan Indonesia serta
dengan political infighting. Tentu penyelesaian masalah ini
meningkatkan investasi, baik portfolio maupun investasi
bukanlah hal yang gampang. Menangani masalah kepastian
langsung yang sangat penting dalam memacu pertumbuhan
hukum memerlukan waktu dan tenaga yang tidak
ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan. Jadi tidak
terhingga. Dalam konteks hal peringkat Negara dan kegiatan
benar apabila tahanan yang bisa berjalan-jalan keluar negeri
usaha ekonomi lainnya, banyak orang memahami bahwa
atau ada sekelompok massa yang main hakim sendiri tidak
persoalan ketidakpastian hukum ini hanya terkait dengan
akan berpengaruh kepada persepsi negara kita. Kedua
ketidakpastian hukum dibidang hukum ekonomi. Apabila
contoh in merupakan contoh kasat mata betapa lemahnya
kita mendalaminya dengan baik, masalah kepastian hukum
peranan lembaga hukum didalam menerapkan hukum secara
ini jauh melampaui area hukum ekonomi, dan terkait erat
benar.
dengan tingkat kematangan suatu Negara didalam mengimplementasi apa yang disebut dengan konsep “the
Menggantungkan diri kepada pembangunan perangkat
rule of law” sebagai salah satu prasyarat untuk dapat
keras semata sudah dapat dipastikan tidak akan berjalan
dikategorikan sebagai Negara demokrasi yang maju. Pada
optimal didalam mendorong pembangunan ekonomi.
dasarnya semua sistem hukum dan sistem peradilan (legal
Kematangan hukum ini tidak terkait dengan apakan
and justice system) akan menjadi penilaian lembaga rating.
suatu Negara itu berukuran kecil atau besar ataupun
Hal ini dapat dimaklumi bukan saja karena suatu transaksi
berideologi tertentu, melainkan sangat tergantung kepada
perekonomian hanya dapat dilakukan dalam suasana
kemampuannya memberdayakan institusi-institusi hukum
kepastian hukum yang tinggi, melainkan juga kesaling-
di negaranya secara optimal. Didalam sistem Negara yang
terkaitan dan saling mendukung antara berbagai area
demokratis pemberdayaan institusi-institusi hukum ini
hukum didalam menjamin lingkungan perekonomian yang
merupakan hal sangat penting dan merupakan tugas semua
sehat dan kondusif.
cabang kekuasaan Negara yaitu Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif, serta dukungan masyarakat luas seperti civil
Mungkin penilaian lembaga pemeringkat tidak begitu
societies dan akademisi.
penting apabila dilihat selintas saja mengingat begitu banyaknya persoalan yang harus kita hadapi dewasa ini,
Kondisi hukum Indonesia sekarang
akan tetapi dengan mengingat ketergantungan Indonesia terhadap pembiayaan dan investasi asing dan domestik
Belakangan ini kita kita semakin dibuat risih dengan
didalam memacu pertumbuhan ekonominya, maka persoalan
permasalahan hukum yang dihadapi oleh Negara kita. Kasus
penilaian lembaga pemeringkat dan gambaran persepsi
demi kasus yang menggemparkan, baik dalam kasus korupsi
Indonesia secara umum menjadi sangat penting. Kematangan
seperti kasus Gayus Tambunan, kasus tuduhan suap Miranda
hukum suatu Negara akan terlihat dari seberapa jauh hukum
Gultom, kasus mantan Bendahara Partai Demokrat Nazarudin,
dapat melindungi hak-hak individu dan korporasi, bagaimana
maupun dalam bentuk kekerasan massa, dan kejanggalan-
35
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
kejanggalan keputusan Hakim diberbagai tahap peradilan
Didalam suatu Negara demokrasi yang belum matang
semakin menjadikan citra Negara kita sebagai Negara hukum
secara hukum, tirani ini dapat berupa kekuasaan politik,
menjadi sangat terpuruk, dan bahkan bisa dikatakan ada
kekuasaan ekonomi, dan bahkan dapat berupa kekuasaan
dalam titik nadir.
massa. Hukum dalam format yang modern, dan didalam masyarakat yang pluralistis seperti Indonesia harus mampu
Kita menyadari betapa lemahnya penegakan hukum yang
menghilangkan tirani ini, dan seharusnya hukum menjadi
dilakukan oleh Indonesia saat ini, kita bisa merasakan
panglima yang dapat melindungi hak azasi manusia,
begitu kuatnya tangan politik, tangan kekuasaan dan
kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan
tangan kekuatan ekonomi didalam mempengaruhi
beragama, menjamin keamanan, membatasi kekuasaan
efektivitas implementasi hukum. Kondisi ini sungguh
politik dan ekonomi, penindakan pelanggaran hukum
merupakan kondisi yang anomali dari Indonesia sebagai
secara efektif, perlindungan hak atas harta benda dan
Negara yang menyatakan dirinya Negara hukum. Dari satu
kekayaan intelektual. The rule of law juga menunjukkan
pemerintahan ke pemerintahan lainnya konsep “Negara
bahwa semua orang pada dasarnya sama dimuka hukum,
hukum” masih saja dijadikan slogan politik yang hampa
dan oleh karenanya tidak dapat dibenarkan privelese
dan tanpa makna. Hukum terkesan seperti pisau, tajam
kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi dimuka hukum.
kebawah tapi tumpul keatas. Hukum hanya dijunjung
Hukum harus dimungkinkan melakukan penetrasi yang
ketika tidak mengenai diri sendiri dan kelompoknya. Hukum
sangat dalam terhadap semua relung-relung kekuasaan
hanya ditegakan ketika tidak ada perlindungan politik dan
politik dan ekonomi. Apabila hal ini tidak dapat tercapai
perlindungan ekonomi dari kekuasaan resmi maupun
dapat diperkirakan bahwa akan terdapat “distrust” terhadap
kekuasaan tidak resmi. Hukum bahkan digunakan untuk
berjalannya hukum yang akan membawa konsekuensi yang
menjatuhkan lawan politik atau lawan bisnis. Rule of law
serius dalam bentuk menjamurnya mafia hukum, rekayasa
sebagai prinsip politik dan moral bangsa kita nampaknya
hukum, dan main hakim sendiri didalam masyarakat yang
semakin jauh ditinggalkan. Banyak orang berpaling kepada
akan mengancam sendi-sendi kehidupan bernegara yang
kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan bahkan
tertib berdasarkan rule of law.
kekuasaan massa didalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya.
Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan satusatunya untuk membentuk dan mengimplementasikan
Penundukan diri terhadap hukum dari orang yang memiliki
hukum harus benar-benar memiliki kredibilitas yang tinggi.
kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi yang besar
Negara tidak boleh membiarkan kekuasaan lain ikut
memang memerlukan suatu tingkat moralitas dan budaya
memainkan peran penegakkan dan implementasi hukum
hukum yang sangat tinggi. Sementara itu, bagi para penegak
untuk kepentingan self-interest, dan memaksakan berlakunya
hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman
hukum dengan cara dan perangkat diluar yang sudah diatur
“kewenangan” yang dimiliki dapat menjadi komoditas politik
Negara. Kegagalan Negara didalam menjaga kredibilitas
dan komoditas ekonomi apabila tidak mampu menghadap
hukum akan berakibat serius terhadap wibawa Negara
tekanan dan godaan politik dan ekonomi. Pertarungan
secara keseluruhan, dan akan mengganggu efektivitas
antara rule of law dan kekuasaan politik dan kekuasaan
pemerintahan. Kebutuhan membangun wibawa Negara
ekonomi ini nampaknya sedang berlangsung dengan keras
melalui implementasi rule of law ini akan semakin dirasakan
di Indonesia. Perlu ada upaya-upaya yang lebih terukur
didalam Negara yang menganut sistem demokrasi. Kebebasan
untuk memberdayakan (empowering) para penegak hukum,
berpikir dan bertindak dari begitu banyak komponen
baik secara substansi, moralitas, kewenangan, dan sekaligus
masyarakat harus dapat diimbangi dengan implementasi
mensejahterakan secara ekonomi untuk dapat mengimbangi
hukum yang efektif, dimana kebebasan berpikir dan bertindak
“godaan” kekuasaan politik dan ekonom yang demikian
dari satu orang akan dibatasi dengan kebebasan berpikir
besar.
dan bertindak orang lain. Hukum harus mampu menciptakan harmoni diantara pihak-pihak yang saling bertentangan
Sebagaimana dikatakan oleh filosof Inggris John Lock pada
didalam masyarakat, baik secara sosial, politik maupun
tahun 1690 bahwa “whenever law ends, tyranny begins”.
ekonomi. Didalam Negara demokrasi ketaatan terhadap
36
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
rule of law akan menjadi kunci untuk mencapai cita-cita
Bagaimana keluar dari krisis hukum ini
Negara demokrasi itu sendiri. Mengorbankan rule of law demi tujuan politik, ekonomi atau tujuan lainnya akan
Carut marut dunia hukum ini terjadi terutama karena mereka
menjadikan hukum menjadi sterile dan kosong yang akan
yang seharusnya paling memahami hukum dan berkewajiban
menjadikan “chaos” didalam kehidupan bernegara dan
menerapkan hukum ikut terlibat didalam proses pembusukan
bermasyarkat.
hukum itu sendiri. Hampir semua profesi hukum telah terkena virus kekuasaan dan uang. Alih-alih hukum dijadikan
Pembangunan infrastruktur hukum setelah reformasi,
benteng moral bangsa dan negara, hukum malah dijadikan
termasuk pendirian Mahkamah Konstitusi, independensi
komoditi politik dan bisnis yang sangat menguntungkan.
Mahkamah Agung, pemisahan Kepolisian dari Tentara
Perombakan dunia hukum kita tidak dapat lagi bersifat
Nasional Indonesia, pendirian Komisi Pemberantasan
piece-meal melainkan harus dilakukan secara fundamental.
Korupsi, dan sederet perangkat hukum lainnya yang
Sense of urgency dan sense of emergency harus ada disemua
dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi hukum Indonesia
kalangan, baik kalangan professional (hukum), pemerintahan
di berbagai bidang, baik politik, ekonomi maupun sosial
maupun kalangan masyarakat luas. Shock therapy dan
harus benar-benar dijaga agar dapat menjamin perlindungan
prinsip catch the biggest fishes dalam cara penegakan hukum
hak-hak warga negara, penegakan hukum yang adil dan
kita seperti yang dilakukan oleh lembaga ad hoc seperti KPK
konsisten, perlindungan diri dan harta kekayaan, menjamin
pada dasarnya memiliki banyak keterbatasan. Kepemimpinan
berlangsungnya kepastian berusaha. The rule of law ini
KPK yang merupakan produk seleksi politik dapat menjadi
juga diperkirakan bisa mengatasi atau setidaknya
titik lemah yang dapat membahayakan kredibilitas hukum
mengurangi persoalan pertikaian politik yang kerap terjadi
itu sendiri. Secara mendasar kita harus tetap fokus untuk
didalam suatu negara demokratis yang dapat berakibat
membenahi lembaga-lembaga hukum permanen.
kepada tidak efektifnya suatu pemerintahan atau bahkan terjadinya pemerintahan yang tidak berfungsi (dysfunctional
Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis hukum yang
government). Dalam hal ini tentu saja bidang Hukum Tata
berat didalam, tapi nampaknya tidak ada upaya yang nyata
Negara dan Administrasi Negara bisa memainkan perannya
untuk bagaimana keluar dari krisis hukum ini dengan,
dengan baik. Pengalaman Amerika Serikat dimana Presiden
apabila perlu, melakukan overhaul terhadap seluruh legal
bersitegang dengan Kongres mengenai batas atas utang
and justice system yang kita praktekan sekarang ini. Kita
(debt ceiling) yang hampir membawa Amerika Serikat
harus jujur bahwa diperlukan perombakan terhadap sistem
menjadi negara yang gagal bayar utang (defaulting country)
pendidikan hukum kita yang cenderung mengedepankan
harus dijadikan cermin yang baik. Konstitusi Amerika (14th
legalitas diatas moralitas kebenaran dan keadilan (suka tidak
Amendment) ternyata sudah menegaskan mengenai
suka nampaknya pengaruh The Pure Theory of Law dari
kedudukan utang negara, dan diperkuat pula dengan
H.Kelsen sangat menonjol dalam dunia pendidikan hukum
yurisprudensi. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi harus
kita), kita harus meninjau ulang sistem kerja kejaksaan,
mampu menjawab persoalan-persoalan mendasar
kepolisian dan kehakiman yang berorientasi kepada
kenegaraa seperti perlindungan hak-hak kaum minoritas
kewenangan dan kekuasaan semata, dan kurang berorientasi
(Hak Asasi Manusia).
kepada penegakan hukum yang benar dan adil.
Untuk dapat berfungsinya hukum dengan tingkat
Kalangan penegak hukum harus memiliki komitmen moral
kematangan yang tinggi diperlukan kekuasaan Negara
yang tinggi. Benteng moral bangsa ini sangat tergantung
yang kuat dan kredibel. Salah satu ukuran yang diutamakan
kepada mereka. Apabila mereka “memperjual-belikan”
didalam mengukur kematangan hukum di zaman modern
hukum dengan politik dan uang maka akan hapus harapan
ini adalah efektifitasnya. Hukum baru dapat dikatakan
bangsa kita untuk menjadi bangsa yang kompetitif dibidang
matang apabila berwujud dalam peraturan perundang-
ekonomi. Kalangan pemerintahan harus memposisikan diri
undangan dan dapat diimplementasikan dengan fair dan
sebagai the guardian of the legal and justice system.
konsisten. Dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Negara
Pemerintah dengan perangkat hukum kejaksaan dan
dapat memainkan peranannya yang sangat dominan.
kepolisian hendaknya benar-benar memberdayakan
37
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Kepolisian dan Kejaksaan untuk menjadi lebih professional
menjadi bagian negara-negara yang memiliki kematangan
dengan melakukan reformasi birokrasi yang memungkinkan
hukum yang baik.
sistem kerja yang lebih efektif, reformasi hendaknya tidak ditujukan semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan
Pembenahan mendasar berbagai bidang hukum di Indonesia
secara ekonomis.
akan menjadi kata kunci untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi dan berkelanjutan. Hukum harus
Kalangan akademisi harus menjadi benteng pertahanan
mampu memainkan perannya sebagai ”pembeda” mana
ilmu hukum yang berlandaskan kepada objektivitas keilmuan,
yang benar dan salah diberbagai sektor kehidupakan bangsa
moralitas dan kebenaran. Keterlibatan dosen dan para guru
kita. Begitu besar tantangan yang akan dihadapi, tapi kapan
besar hukum didalam pemerintahan, konsultan hukum dan
lagi kalau tidak Pemerintahan ini yang memulai. Sudah
pengacara telah memperlemah “kredibilitas ilmiah” mereka.
terbukti dari sejarah berbagai negara di dunia bahwa
Reformasi birokrasi terhadap dunia pendidikan hukum harus
perubahan pada hakekatnya terjadi karena seorang
segera terjadi, kesejahteraan mereka harus ditingkatkan
pemimpin pemerintahan dan negara yang memiliki visi yang
secara signifikan. Kita sekarang menyaksikan betapa para
baik bagi bangsa dan negaranya, dan perserverence didalam
dosen dan guru besar berlomba mencari proyek, mengejar
memperjuangkannya. Kita berharap jangan lagi ada istilah
jabatan melalui aktivitas mereka di partai politik dan atau
menunggu ratu adil untuk mengubah semua ini.
mengajar di pendidikan hukum eksekutif. Hal ini antara lain diduga menjadi penyebab terjadinya degradasi kualitas dan kredibilitas pendidikan hukum di Indonesia. Walaupun terdengar agak naif, penetapanan undang-undang khusus bagi para penegak hukum dan profesi hukum menjadi sangat penting sebagai undang-undang “darurat”. Harus ada hukum yang akan memberikan efek deterrent terhadap mereka yang memahami dan berkecimpung didalam dunia hukum tapi malah ikut serta melakukan pembusukan terhadap hukum itu sendiri. Sanksi berat harus benar-benar dikenakan terhadap mereka ini. Era reformasi hanyalah akan menjadi era tanpa makna bagi pembangunan hukum di Indonesia seandainya tidak ada reformasi yang sungguh-sungguh di sektor hukum. Kita juga bisa bercermin kepada negara-negara lain yang telah lebih baik membenahi bidang hukum ini. Didalam masyarakat yang sudah "globalized" ini banyak institusi hukum berdasarkan desakan kebutuhan akan menjadi semakin mengarah kepada hukum yang sama atau sekurang-kurangnya "comparable" diantara bangsa-bangsa di dunia. Diperkenalkannya institusi-institusi hukum baru nampak dengan jelas dalam hal perkembangan hukum ekonomi Indonesia. Fenomena ini terjadi antara lain sebagai dampak perkembangan ekonomi dunia yang demikian drastis, sehingga hukum dituntut untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangan ekonomi tersebut. Kondisi ini harus dijadikan kesempatan bagi Indonesia untuk melakukan reformasi hukum yang memungkinkan kita
38
Semoga....
Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Oleh: Sri Hariningsih SH., MH. *)
I. UMUM
a. Asas Pembentukan (vide Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Beberapa prinsip guna memahami makna suatu
Perundang-undangan), yang mensyaratkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan adalah :
dipenuhinya ketentuan yang mencakup : 1) kejelasan tujuan;
1. norma (ketentuan) yang diatur/dituangkan dalam Pasal harus dibaca dan dicermati maknanya secara utuh (komprehensif) atas seluruh ketentuan yang diatur dan tidak boleh dimaknai hanya berdasarkan
2) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; 3) kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan;
ketentuan Pasal demi Pasal kemudian telah
4) dapat dilaksanakan;
mengambil suatu kesimpulan. Guna memperoleh
5) kedayagunaan dan kehasilgunaan;
pemahaman yang tepat, harus dicermati keterkaitan
6) kejelasan rumusan; dan
makna dari satu Pasal dengan Pasal yang lain.
7) keterbukaan.
Demikian juga harus dicermati Penjelasan Umum dan penjelasan dari masing-masing Pasal tersebut,
b. Asas Materi Muatan (vide Pasal 6 UU Nomor
agar diperoleh pemahaman secara komprehensif
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
mengenai keseluruhan konsepsi dari Peraturan yang
Perundang-undangan), yang mensyaratkan
bersangkutan.
bahwa dalam materi muatan harus tercermin asas :
2. untuk menerapkan atau melaksanakan suatu Pasal
1) pengayoman;
tidak boleh hanya tertumpu pada ketentuan Pasal
2) kemanusiaan;
yang bersangkutan, tetapi harus dilihat adakah
3) kebangsaan;
keterkaitan makna Pasal tersebut dengan makna
4) kekeluargaan;
yang diatur dalam Pasal yang lain .
5) kenusantaraan; 6) bhineka tunggal ika;
3. perlu dipahami adanya asas pembentukan dan asas materi muatan dari Peraturan Perundang-undangan itu sendiri, sudahkah hal tersebut diterapkan oleh pembentuk Undang-Undang. Asas tersebut yakni:
7) keadilan; 8) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; 9) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau 10) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dan ditambah asas lain sesuai dengan bidang hukum
*)
- Mantan Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Dep Huk & HAM-RI - Mantan Tenaga Ahli Perundang-undangan pada Deputi Perundangundangan Setjen DPR-RI
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
39
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
II. TINJAUAN TERHADAP KETENTUAN PASAL 34 UU BI
2)
mengenai tugas Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
1. Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
tersebut dijabarkan lagi dalam ketentuan
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Pasal 8 yang mencakup:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 berbunyi
a. menetapkan dan melaksanakan
sebagai berikut :
kebijakan moneter; b. mengatur dan menjaga kelancaran
Pasal 34
sistem pembayaran;dan
(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh
c. mengatur dan mengawasi Bank.
lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen,dan dibentuk dengan undang-
Mengenai tugas Bank Indonesia yang diatur
undang.
dalam Pasal 8 ini, pada dasarnya merupakan
(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana
salah satu aktualisasi dari konsepsi yang
dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan
tertuang dalam latar belakang pemikiran,
selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
maksud, dan tujuan pembentukan UndangUndang tentang Bank Indonesia
2. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa guna
sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan
melaksanakan atau menerapkan ketentuan suatu
Umum, antara lain untuk mencapai dan
Pasal harus dicermati keterkaitannya dengan
memelihara kesetabilan nilai rupiah.
ketentuan dalam Pasal yang lain agar tidak menimbulkan permasalahan dalam penerapannya.
3)
mengenai pelaksanaan tugas Bank Indonesia
Dalam penerapan Pasal 34 ini, perlu dicermati atau
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 tersebut
dikaji masing-masing ketentuan yang diatur pada
yakni termasuk tugas mengatur dan
ayat (1) dan pada ayat (2) sebagai berikut :
mengawasai Bank (yang tercantum dalam Pasal 8 huruf c), dilarang adanya campur
a. Terkait dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1).
tangan dari pihak manapun. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 9
1)
Pengaturan Pasal 34 UU BI sangat terkait
yang berbunyi :
dengan ketentuan Pasal 8 huruf c, Pasal 9, Pasal 24, dan Pasal 27. Demikian juga
Pasal 9
ketentuan Pelaksanaan Pasal 8, Pasal 9,
(1) Pihak lain dilarang melakukan segala
Pasal 24, dan Pasal 27 tersebut, bersumber
bentuk campur tangan terhadap
dari tugas dan wewenang yang diberikan
pelaksanaan tugas Bank Indonesia
kepada Bank Indonesia selaku lembaga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
negara independen, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2).
(2) Bank Indonesia wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun
Pasal 4 ayat (2) berbunyi : Bank Indonesia
dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan
Selanjutnya penjelasan Pasal 9 ayat (1)
wewenangnya, bebas dari campur tangan
berbunyi sebagai berikut :
Pemerintah dan/atau pihak lain,kecuali
Yang dimaksud dengan pihak lain adalah
untuk hal-hal yang secara tegas diatur
semua pihak di luar Bank Indonesia,
dalam Undang-Undang ini.
termasuk Pemerintah dan atau lembagalembaga lainnya.
40
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Yang dimaksud dengan segala bentuk
dan paling lama 5 (lima) tahun, serta denda
campur tangan adalah segala perbuatan
sekurang-kurangnya Rp2.000.000.000,00
pihak lain yang secara langsung atau tidak
(dua miliar rupiah) dan paling banyak
langsung dapat mempengaruhi kebijakan
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
dan pelaksanaan tugas Bank. 5)
Pengertian Bank tentunya adalah
Ketentuan ini dimaksudkan agar Bank
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1
Indonesia dapat melaksanakan tugas dan
angka 5 yang berbunyi : Bank adalah Bank
wewenangnya berdasarkan Undang-
Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
Undang ini secara efektif.
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang tentang Perbankan yang berlaku.
Tidak termasuk dalam pengertian campur tangan adalah kerja sama yang dilakukan
6)
Jika kita cermati ketentuan Pasal 8 huruf
oleh pihak lain atau bantuan teknis yang
c yang memberikan tugas kepada Bank
diberikan oleh pihak lain atas permintaan
Indonesia untuk mengatur dan
Bank Indonesia dalam rangka mendukung
mengawasi Bank dan kemudian kita
pelaksanaan tugas Bank Indonesia
kaitkan dengan ketentuan dalam Padal 9
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
beserta penjelasanya, maka nampak jelas
Undang ini.
bahwa tugas pengawasan terhadap Bank merupakan tugas Bank Indonesia
4)
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam
dan dilarang untuk dilakukan oleh pihak
Pasal 9 tidak bisa dianggap ringan, karena
lain.
dikenakan sanksi pidana yang cukup berat sebagaimana diatur dalam Pasal 67 untuk
Ketentuan mengenai tugas dan wewenang
pelanggaran Pasal 9 ayat (1) dan dalam
Bank Indonesia untuk mengawasi Bank
Pasal 68 untuk pelanggaran Pasal 9 ayat
dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 24
(2).
dan Pasal 27 yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:
Pasal 67 berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
Pasal 24
Barangsiapa yang melakukan campur
Dalam rangka melaksanakan tugas
tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
c, Bank Indonesia menetapkan peraturan,
Pasal 9 ayat (1), diancam dengan pidana
memberikan dan mencabut izin atas
penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu
dan paling lama 5 (lima) tahun, serta denda
dari Bank, melaksanakan pengawasan
sekurang-kurangnya Rp2.000.000.000,00
Bank dan mengenakan sanksi terhadap
(dua miliar rupiah) dan paling banyak
Bank sesuai dengan peraturan Perundang-
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
undangan. Penjelasan : Dalam hal ini, pengaturan dan
Pasal 68 berbunyi sebagai berikut :
pengawasan Bank mengacu pada Undang-
Pasal 68
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Anggota Dewan Gubernur dan atau pejabat
Perbankan sebagaimana telah diubah
Bank Indonesia yang melanggar ketentuan
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
Pasal 9 ayat (2) diancam dengan pidana
1998.
penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
41
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Pasal 27
10) Terjadinya tumpang tindih pengaturan
Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia
bahkan saling bertentangan satu dengan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
yang lain, jelas tidak mencerminkan asas
adalah pengawasan langsung dan tidak
pembentukan peraturan perundang-
langsung.
undangan (khususnya yang terkait dengan
Penjelasan : Yang dimaksud dengan
”kejelasan tujuan” dan ”kedayagunaan
pengawasan langsung adalah dalam
dan kehasilgunaan”) dan juga tidak
bentuk pemeriksaan yang disusul dengan
mencerminkan asas yang harus tercermin
tindakan-tindakan perbaikan.
dalam materi muatan (khususnya asas
Yang dimaksud dengan pengawasan tidak
”ketertiban dan kepastian hukum” dan
langsung terutama dalam bentuk
asas ”keseimbangan, keserasian, dan
pengawasan dini melalui penelitian, analisis,
keselarasan”).
dan evaluasi laporan Bank. 11) Jika dilakukan pembentukan lembaga 7)
Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) yang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
menentukan bahwa tugas pengawasan
(1) maka :
Bank akan dilakukan oleh lembaga
a. terlebih dahulu harus dilakukan
pengawasan jasa keuangan yang
perubahan terhadap ketentuan 4
independen, jelas tidak sejalan bahkan
(empat) Pasal tersebut diatas beserta
ketentuan tersebut bertentangan
uraian konsepsi yang terdapat dalam
(kontradiktif) dengan ketentuan keempat Pasal tersebut (Pasal 8 huruf c, Pasal 9, Pasal 24, dan Pasal 27).
Penjelasan Umum; b. perlu dipertimbangkan secara seksama/cermat terkait dengan prinsip kehasilgunaan dan kedayagunaan
8)
Pengaturan lebih lanjut dari ketentuan
pembentukan lembaga yang baru
Pasal 34 ayat (1) tidak dapat mengabaikan
dibandingkan dengan mengintensifkan
atau mengesampingkan ketentuan dalam
atau melakukan perbaikan kinerja dari
Pasal 8 huruf c, Pasal 9, Pasal 24 dan Pasal
lembaga yang sudah ada ;dan
27 serta pemahaman secara utuh atas
c. perlu dipertimbangkan secara seksama/
konsepsi pembentukan Undang-Undang
cermat dari sisi efisiensi dan efektifitas
tentang Bank Indonesia yang tertuang
pembentukan lembaga baru (untuk
dalam Penjelasan Umum. Demikian juga
menangani hal yang sama yang
ketentuan terhadap sanksi atas
sebenarnya sudah ada lembaga yang
pelanggaran Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 9
menangani), mengingat pembentukan
ayat (2) sebagaimana ditegaskan masing-
lembaga baru pasti terkait antara lain
masing dalam Pasal 67 dan Pasal 68, perlu
dengan penyediaan infrastruktur baru
dilakukan penyesuaian.
yang berakibat pembengkakan anggaran negara dan penyelesaian
9)
Jika adanya saling keterkaitan antara Pasal-
masalah status kepegawaian dari
Pasal dimaksud tidak diperhatikan, maka
lembaga yang lama yang mungkin tidak
akan terjadi tumpang tindih pengaturan
mudah penyelesaiannya.
yang saling bertentangan satu dengan yang lain, sehingga mengakibatkan kerancuan
12) pemberian kewenangan kepada Bank
bahkan kekacauan di bidang Peraturan
Indonesia walaupun merupakan lembaga
Perundang-undangan.
independen, bukan berarti tanpa batas. Hal tersebut secara jelas terlihat dari uraian
42
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
yang terdapat dalam alinea terakhir
4)
Setelah lewat dari jangka waktu yang
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor
ditentukan (yakni 31 Desember 2010),
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
ketentuan Pasal 34 ayat (2) tidak dapat lagi
yang berbunyi: Agar independensi yang
dijadikan legitimasi atau dasar hukum
diberikan kepada Bank Indonesia
pembentukan lembaga yang didelegasikan
dilaksanakan dengan penuh tanggung
oleh ketentuan pada ayat (1). Oleh karena
jawab, kepada Bank Indonesia dituntut
itu, Pembentuk Undang-Undang (DPR dan
untuk transparan dan memenuhi prinsip
Presiden) tidak dapat lagi menggunakan
akuntabilitas publik dalam menerapkan
dasar hukum ketentuan Pasal 34 ayat (2)
kebijakannya serta terbuka bagi
untuk membentuk Undang-Undang tentang
pengawasan oleh masyarakat.
Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan.
b. terkait dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2).
5)
Mengingat ketentuan dalam Pasal 8 huruf c, Pasal 9, Pasal 24, dan Pasal 27 dikaitkan
1)
Pasal 34 ayat (2) menentukan bahwa :
dengan ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2)
Pembentukan lembaga pengawasan
khususnya yang terkait dengan pembatasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan
jangka waktu pembentukan lembaga
dilaksanakan selambat-lambatnya 31
pengawasan jasa keuangan, maka :
Desember 2010. •
Jika lembaga pengawasan jasa
Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2) ini tidak
keuangan akan dipaksakan dibentuk
sama perlakuannya dengan ketentuan
dengan mendasarkan pada ketentuan
dalam Pasal-Pasal yang lain terkait dengan
dalam Pasal 34 ayat (1), maka
limit atau jangka waktu berlakunya.
pembentukan tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 8 huruf
2)
Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2) ini
c, yang memberikan tugas pengawasan
memuat pembatasan secara eksplisit
terhadap bank kepada Bank Indonesia,
mengenai masa berlaku penerapannya,
dengan Pasal 9 yang menyatakan
yakni hanya sampai tanggal 31 Desember
pihak lain dilarang melakukan
2010.
segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank
3)
Pasal 34 ayat (2) ini secara jelas memberikan
Indonesia dan Bank Indonesia wajib
peringatan kepada Pembentuk UU (DPR
menolak dan atau mengabaikan
dan Presiden) bahwa jika akan membentuk
segala bentuk campur tangan dari
UU tentang lembaga pengawasan jasa
pihak mana pun dalam rangka
keuangan maka tidak boleh melewati batas
pelaksanaan tugasnya, selanjutnya
waktu tanggal 31 Desember 2010. Batas
bertentangan juga dengan Pasal 24,
waktu tersebut secara eksplisit dirumuskan
dan Pasal 27 serta tidak sejalan dengan
dalam frasa ”selambat-lambatnya 31
konsepsi yang diuraikan dalam
Desember 2010”.
Penjelasan Umum.
Ketentuan dalam pasal yang lain yang secara
•
Jika lembaga pengawasan jasa
eksplisit tidak menentukan batas waktu
keuangan akan dipaksakan dibentuk
penerapannya, masih berlaku sampai
dengan mengabaikan ketentuan dalam
dinyatakan secara tegas dicabut dan
Pasal 34 ayat (2) yang secara eksplisit
dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-
membatasi sampai 31 Desember 2010,
Undang tersendiri.
maka pembentukan tersebut akan cacat
43
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
hukum karena tidak mempunyai
kewenangan BI yang keberadaan lembaganya walau
legitimasi lagi
dengan nama yang lain (Bank Sentral) adalah legitimasi dari UUD (vide Pasal 23 D).
•
Pengabaian terhadap ketentuan suatu Pasal UU pasti ada konsekuensi
3. Pembentukan UU tentang lembaga pengawasan
hukumnya. (Bandingkan pada waktu
jasa keuangan yang didasarkan pada ketentuan
dilakukan perubahan atas ketentuan
Pasal 34 jelas akan memunculkan ketidak pastian
Pasal 11 ayat (5) UU BI yang menghapus
hukum karena :
ketentuan tentang batas waktu.
a. Selama wewenang Bank Indonesia sebagaimana
Demikian juga mengenai pembentukan
diatur dalam Pasal 8 huruf c, dalam Pasal 9, Pasal
UU tentang Pengadilan Tindak Pidana
24, dan Pasal 27 termasuk ketentuan sanksi
Korupsi yang diberi batas waktu
pidana atas pelanggaran Pasal 9 sebagaimana
berdasarkan putusan MK).
diatur dalam Pasal 67 dan Pasal 68 serta konsepsi yang tertuang dalam Penjelasan Umum tidak
6)
Jika terdapat keinginan untuk memberikan
dilakukan penyesuaian/perubahan maka akan
wewenang pengawasan Bank kepada
terjadi tumpang tindih kewenangan pengawasan
lembaga lain selain Bank Indonesia, maka:
terhadap Bank dan bahkan terjadi pertentangan
ketentuan Pasal 8 huruf c, Pasal 9 beserta
kewenangan.
penjelasannya, Pasal 24, Pasal 27, dan Pasal
b. Ketentuan mengenai pembatasan waktu yang
34 ayat (2), Pasal 67, dan Pasal 68 serta
diatur dalam Pasal 34 ayat (2) jika diabaikan
konsepsi yang dituangkan dalam Penjelasan
jelas akan merusak asas ketertiban dan
Umum harus diubah terlebih dahulu.
kepastian hukum.
III. PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
4. Proses pembentukan UU tentang lembaga
UNDANGAN BERDASARKAN KETENTUAN DALAM
pengawasan jasa keuangan sebagaimana
UU NOMOR 12 TAHUN 2011
didelegasikan oleh Pasal 34 harus mengacu pada ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 UU No.12 Tahun
Dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan
2011 (khususnya asas kejelasan tujuan,
terdapat 2 (dua) asas yang harus diperhatikan yakni
kehasilgunaan dan kedayagunaan,asas ketertiban
asas pembentukan (vide Pasal 5) dan asas dari materi
dan kepastaian hukum, serta asas keseimbangan,
muatan (vide Pasal 6).
keserasian, dan keselarasan), maka UU tersebut terdapat kemungkinan dapat dilakukan judicial
Dalam kaitan dengan rencana pembentukan UU tentang
review oleh pihak yang berkepentingan atau yang
lembaga pengawasan jasa keuangan yang hanya
dirugikan mengingat tidak sesuai dengan prosedur
mendasarkan pada perintah Pasal 34 UU BI kekhawatiran
pembentukannya.
yang muncul adalah : 1. Apakah UU tersebut kira-kira dapat dilaksanakan, karena akan terdapat pertentangan dengan ketentuan Pasal 8 huruf c, Pasal 9, Pasal 24, dan Pasal 27, Pasal 67 dan Pasal 68 termasuk konsepsi yang tertuang dalam Penjelasan Umum UU BI. 2. Apakah UU tersebut akan mempunyai kedayagunaan dan kehasilgunaan, mengingat kemungkinan kewenangannya akan berbenturan dengan
44
Daftar Pustaka
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009. 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
45
Halaman ini sengaja dikosongkan
Resensi Buku
Judul
:
Penulis Penerbit Halaman Oleh
: : : :
Kepalitian Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Suatu Bank Dr. Silvia Janisriwati, SH., M Hum. Logoz Publishing 190 halaman Ellia Syahrini, SH., CN.
Salah satu pelaksanaan reformasi hukum dalam bidang
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang KPKPU, menurut
hukum kepailitan ditandai dengan disempurnakannya
penulis, memberikan pengertian bahwa Undang Undang
ketentuan tentang kepailitan yaitu terbentuknya Undang
Kepailitan tidak melihat apakah debitur mampu atau tidak
Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
mampu melunasi utangnya, sepanjang utang itu telah jatuh
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut
waktu dan dapat ditagih, dan saat itu dia tidak mampu
dengan Undang-Undang KPKPU.
membayar atau tidak maunya debitur melunasi utangnya, maka akan mengakibatkan debitur tersebut dinyatakan
Perdefinisi dalam Undang Undang KPKPU, pengertian
pailit.
kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Undang-Undang KPKPU telah membuat pengaturan khusus
kurator dibawah pengawasan hakim pengawas. Secara
yang berbeda bagi debitur berbentuk badan hukum
umum pengertian kepailitan atau biasa disebut bangkrut/
perbankan dibandingkan dengan pengaturan terhadap
bankrupt atau insolven berasal dari bahasa Italia, banca
debitur pada umumnya. Pernyataan pailit bagi debitur
rotta atau artinya meja yang patah, yang merupakan simbol
berbentuk badan hukum perbankan, permohonan
atau lambang bagi peminjam/debitur yang insolven.
pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
Kepailitan lahir dari adanya utang debitur atau tagihan/klaim
Bank sebagai debitur tidak dapat mengajukan sendiri
kreditur yang muncul karena adanya perikatan utang
permohonan pernyataan pailit bagi dirinya sendiri
piutang/transaksi bisnis antara satu orang debitur/pemilik
sebagaimana halnya yang dapat dilakukan oleh debitur pada
utang/yang berutang dengan dua atau lebih kreditur/pemilik
umumnya. Demikian pula kreditur/nasabah bank juga tidak
piutang/pemberi utang, dimana seorang debitur yang
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
memiliki dua atau lebih kreditur tersebut tidak mampu
bank sebagai debiturnya, sebagaimana yang dapat dilakukan
membayar lunas sedikitnya satu utangnya yang telah jatuh
oleh kreditur pada umumnya terhadap debiturnya.
tempo dan dapat ditagihkan padanya, maka debitur tersebut dapat dinyatakan pailit.
Mengenai pengaturan khusus tentang pernyataan pailit bagi debitur berbentuk badan hukum perbankan yang
Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-
hanya merupakan kewenangan bagi Bank Indonesia, lebih
undang No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
lanjut disitir penulis dari pendapat Mudofir Hadi bahwa hal
Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) secara umum
tersebut seharusnya diartikan bahwa Bank Indonesia
dinyatakan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih
dijadikan filter dari setiap permohonan kreditur dari bank
kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
yang hendak mempailitkan bank/debitur, artinya kreditur
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
akan menemui jalan buntu apabila dia akan mengajukan
oleh pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun
bank sebagai debiturnya untuk pernyataan pailit tanpa
atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Dari persyaratan
melalui Bank Indonesia. Demikian pula sebaliknya dalam
47
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
hal bank/debitur itu sendiri tidak dapat secara semena-
Sesuai asas dan tujuan kepailitan bahwa pengertian kepailitan
mena mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri,
adalah sebagai sita umum atas kekayaan debitur pailit yang
tanpa melalui Bank Indonesia, yang dapat merugikan para
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator
nasabahnya.
dibawah pengawasan hakim pengawas dan dimaksudkan untuk menghindari adanya sita/eksekusi oleh para kreditur
Dalam kepailitan dikenal adanya tiga kategori dasar dalam
secara sendiri sendiri yang dapat menimbulkan kecurangan
hukum kepailitan yaitu pertama, Penagihan hutang atau
dan terabaikan hak kreditur lainnya, maka para kreditur dari
Debt collection, merupakan konsep pembalasan kreditur
debitur yang dipailitkan untuk mendapatkan pemenuhan
terhadap debitur pailit dengan menagih klaimnya terhadap
haknya, harus bertindak secara bersama sama (concursus
debitur atau harta debitur, yang dapat dimanifestasikan
creditorum) sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1132 KUH
dalam bentuk Likuidasi aset. Kedua adalah pengampunan
Perdata.
utang atau Debt forgiveness, merupakan konsep meringankan, mengecualikan atau membebaskan kewajiban debitur yang
Dengan demikian meskipun berdasarkan jenisnya dalam
dimanifestasikan dalam bentuk asset exemption, yaitu
hukum kepailitan terdapat kreditur separatis yaitu kreditur
pengecualian harta debitur terhadap budel pailit, moratorium
yang piutangnya dijamin dengan agunan hak kebendaan,
yaitu penundaan pembayaran untuk jangka waktu tertentu,
dan kreditur preferen yaitu kreditur dengan hak istimewa
relief from imprisonment (membebaskan dari hukuman
khusus dan hak istimewa umum berdasarkan Pasal 1139
penjara karena gagal membayar hutang), discharge of
dan 1149 KUH Perdata, tagihannya didahulukan terhadap
indebtedness (pembebasan debitur atau harta debitur untuk
hasil penjualan harta kekayaan debitur yang telah dibebani
utang yang benar benar tidak dapat dipenuhinya). Dan
dengan hak tertentu bagi kepentingan kreditur serta kreditur
terakhir adalah penyesuaian utang atau debt adjustment
konkuren, yaitu kreditur yang mempunyai hak sama dan
merupakan aspek dalam hukum kepailitan yang dimaksudkan
harus berbagi dengan kreditur lain secara proporsional,
merubah hak distribusi dari para kreditur sebagai grup,
namun dalam pelaksanaan kepailitan tetap saja diupayakan
implementasi dari konsep ini adalah prinsip pro rata
pemenuhan hak para kreditur dalam kepailitan dilakukan
distribution atau structured prorate (pembagian berdasarkan
secara bersama-sama (concursus creditorum) dan dengan
kelas kreditur)
pembagian harta kekayaan debitur diantara para kreditur sesuai dengan asas pari passu.
Sementara itu beberapa prinsip yang dikenal dalam hukum kepailitan yaitu, prinsip paritas creditorium yang dikenal di
Di sisi lain, Undang Undang Kepailitan yang merupakan
Indonesia dalam pasal 1131 KUHPerdata. Prinsip ini bermakna
proses pelaksanaan ketentuan pasal 1131 dan 1132 KUH
bahwa semua harta kekayaan debitur baik yang ada dan
Perdata pada pokoknya memberi perlindungan kepada
yang akan ada, baik bergerak maupun tetap, terikat pada
kreditur apabila debitur tidak mampu membayar lunas
penyelesaian kewajiban debitur. Pada prinsip ini semua
hutangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
kreditur kedudukannya disamaratakan. Hal ini merupakan
diharapkan dapat memberikan jalan keluar untuk
ketidakadilan karena selain penyamarataan kedudukan
pendistribusian kekayaan debitur secara pasti dan adil.
kreditur, harta debitur yang tidak terkait dalam utang tersebut akan turut menjadi terikat untuk penyelesaian utangnya.
Berbeda halnya dengan Undang Undang Kepailitan di
Selain itu prinsip pari passu pro rata parte, diatur dalam
Indonesia, dalam Undang Undang KPKPU setelah adanya
pasal 1132 KUH Perdata, adalah prinsip yang mengenal
tindakan pemberesan tidak mengenal adanya financial fresh
harta kekayaan debitur merupakan jaminan bersama untuk
start, baik kepada debitur perorangan maupun badan hukum.
para kreditur yang harus dibagikan secara proporsional
Artinya apabila setelah pemberesan/likuidasi ternyata masih
kecuali jika diantara kreditur tersebut terdapat kreditur yang
terdapat utang debitur yang tidak terlunasi, maka debitur
berdasarkan Undang-Undang harus didahulukan dalam
tersebut masih berkewajiban melunasi semua utang
penerimaan pembayaran tagihannya serta prinsip structured
utangnya, tetapi kepada debitur tersebut masih diberikan
creditur, yaitu prinsip mengkelompokkan berbagai macam
kewenangan untuk melakukan tindakan hukum berkaitan
kreditur sesuai dengan kelasnya masing-masing.
dengan usahanya. Artinya pasca kepailitan debitur tersebut
48
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
masih tetap eksis dan melakukan usahanya sehingga pada
UU KPKPU untuk mengajukan permohonan pernyataan
akhirnya mampu menyelesaikan utang/kewajibannya yang
pailit terhadap bank adalah bertentangan dengan prinsip
lalu yang belum terlunasi.
hukum perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, dan asas konsesualisme karena
Keterkaitan antara Kepailitan dan Likuidasi adalah bahwa
akan menghilangkan hak kreditur dihadapan hakim yang
pada dasarnya kepailitan merupakan likuidasi secara paksa,
secara bebas dapat menggugat debitur yang telah cidera
sehingga aset dan harta debitur dapat dijual secara paksa
janji. Selain itu penolakan tersebut juga bertentangan
untuk membayar utang debitur dan dibagi kepada para
dengan asas lex specialis derogate legi genarali.
kreditur secara pro rata, kecuali ada diantaranya kreditur
2. Apabila Bank Indonesia menolak mengajukan pernyataan
yang harus didahulukan menurut ketentuan pasal 1132
pailit terhadap bank di Pengadilan Niaga tanpa adanya
KUH Perdata.
upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para kreditur tentunya hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian
Menurut penulis apa yang dipersyaratkan dalam pasal 2
hukum dan tidak memberi perlindungan hukum terhadap
ayat (1) Undang Undang KPKPU bahwa debitur yang
pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini bank bukannya
mempunyai dua atau lebih kreditur dan debitur tidak
tidak dapat dipailitkan tetapi pemailitan bank tersebut
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
membutuhkan itikad baik dari Bank Indonesia yang
waktu dan dapat ditagih kepada salah satu krediturnya
mempunyai kewenangan. Para kreditur/nasabah
dapat dinyatakan pailit, apabila diterapkan kepada debitur
penyimpan dana akan tetap mendapatkan perlindungan
berbentuk badan hukum perbankan akan menjadi kurang
hukum apabila Bank Indonesia mau mempergunakan
tepat dan sangat riskan, karena sangat mudah terpenuhinya
kewenangannya yang diberikan oleh Undang Undang
persyaratan dimaksud, mengingat banyaknya jumlah kreditur/nasabah bagi bank sebagai debitur, meskipun pada dasarnya tidak selalu terpenuhinya kriteria insolven.
Kepalitan. 3. Pada dasarnya penyelesaian bank bermasalah dilakukan dengan general insolvency law oleh bankruptcy court sehingga bank diperlakukan sama sebagaimana
Dengan demikian untuk melindungi kepentingan kreditur
perusahaan pada umumnya atau adanya aturan kepailitan
sesuai teori keadilan, dikemukakan oleh penulis, seharusnya
khusus yang berlaku bagi bank yang dikelola oleh
ketentuan dalam pasal 2 ayat (3) Undang Undang KPKPU
supervisory authority atau lembaga penjamin simpanan,
harus diubah dengan menyertakan para kreditur sebagai
sebagaimana di Amerika dan Inggris. Menurut penulis
pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan
hal demikian dapat pula diterapkan di Indonesia dengan
pailit bagi debitur berbentuk badan hukum perbankan,
menggunakan general insolvency law dan melakukan
selain kewenangan sepenuhnya berada pada Bank Indonesia.
proses kepailitan melalui pengadilan yang akan lebih cepat waktu penyelesaian dan transparan.
Lebih lanjut penulis mengusulkan agar ketentuan dalam pasal 2 ayat (3) diubah menjadi, “dalam hal debiturnya
Undang Undang KPKPU mengatur satu-satunya lembaga
adalah bank, maka yang dapat mengajukan permohonan
yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit
pernyataan pailit adalah Bank Indonesia atau para kreditur
terhadap debitur berbentuk badan hukum perbankan
dari bank tersebut,” dengan pertimbangan sesuai teori
hanyalah Bank Indonesia. Berdasarkan Undang Undang
keadilan kreditur memiliki hak untuk mendapatkan pemenuhan
No. 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang
utangnya sesuai kontrak yang telah disepakati. Bahwa hanya
No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia
melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu
adalah otoritas perbankan yang kewenangannya meliputi
menjamin pelaksanaan pemenuhan hak sekaligus
penetapan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas
mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang.
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi
Disamping itu, Penulis menambahkan beberapa catatan
terhadap bank. Selaku otoritas perbankan maka kebijakan
yang perlu menjadi perhatian yaitu:
pengaturan dan pengawasan bank yang dirumuskan dan
1. Penolakan Bank Indonesia sebagai pihak yang mempunyai
diimplementasikan oleh Bank Indonesia bertujuan untuk
kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (3)
mengupayakan terciptanya individu bank yang sehat
49
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
yang pada gilirannya mendukung sistem perbankan yang sehat. Untuk melindungi kepercayaan masyarakat kepada dunia perbankan, bank sebagai debitur tidak serta merta dan sedemikian mudahnya dapat dimintakan permohonan pailit manakala terdapat satu saja utang bank/debitur yang telah jatuh waktu dan dapat ditagihkan kepadanya dari salah satu krediturnya/nasabahnya. Dalam hal ini diatur pengecualian permohonan pernyataan pailit bagi debitur berbentuk badan hukum perbankan sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia yang didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan perbankan secara keseluruhan. Sementara itu dalam prakteknya Bank Indonesia akan melakukan tindakan secara persuasif yang diakhiri dengan likuidasi tanpa perlu pernyataan pailit terhadap bank yang mengalami insolvensi atau masalah kesulitan dana yang dapat membahayakan keberadaan bank
50
Cakrawala Hukum: Laporan Mengikuti Sosialisasi RUU Pencegahan Dan Pendanaan Terorisme Oleh: Tim Redaksi
Pemerintah Indonesia telah menyusun Rancangan Undang-
dengan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap
Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
pendanaan terorisme, maka sebagai negara yang beberapa
Pidana Pendanaan Terorisme (RUU PPTPPT). Dalam rangka
kali mengalami serangan terorisme, Indonesia perlu
pendalaman materi berkaitan dengan penyusunan RUU
memperluas jangkauan upaya pencegahan dan pemberantasan
dimaksud, Bank Indonesia diundang oleh Pusat Pelaporan
tindak pidana terorisme dengan upaya memutus ”mata
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk bersama-
rantai” atau alur pendanaan terorisme disamping melakukan
sama Pemerintah mengikuti kegiatan counter financing of
upaya-upaya untuk menangkap dan menghukum secara
terrorism study tour, di Sydney-Australia, tanggal 25 – 29
fisik para teroris.
September 2011. Pada pokoknya tujuan dari menyusunan RUU tersebut, Penyusunan RUU tersebut dilatarbelakangi RUU disusun
adalah (i) memberikan dasar hukum yang kuat dan
dengan latar belakang bahwa :
kemudahan dalam pendeteksian, pembekuan, penyitaan
a. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan
dan perampasan dana atau aset yang diketahui atau patut
yang mengancam kedaulatan setiap negara. Negara
diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung
wajib melindungi masyarakat dari ancaman tindak pidana
atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi
terorisme dan aktifitas yang mendukung terorisme;
teroris, atau teroris perseorangan; (ii) mendukung dan
b. Pendanaan merupakan faktor penting dalam aksi
meningkatkan efektivitas upaya pencegahan dan
terorisme sehingga upaya penanggulangan terorisme
pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme; dan
harus diikuti dengan pencegahan dan pemberantasan
(iii) menyesuaikan pengaturan mengenai pencegahan dan
terhadap pendanaan terorisme;
pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme
c. Dengan telah diratifikasinya Konvensi Internasional
sehingga sejalan dengan konvensi yang telah diratifikasi
Pemberantasan Pendanaan Terorisme, maka Indonesia
oleh Pemerintah Indonesia dan standar internasional di
wajib untuk membuat atau menyelaraskan peraturan
bidang pencegahan dan pemberantasan pendanaan
perundang-undangan terkait pendanaan terorisme
terorisme.
sehingga sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi tersebut; d. Peraturan PerUUan yang berkaitan dengan pendanaan
Sasaran utama dari penyusunan RUU tersebut, adalah (i) ikut memelihara dan menjaga stabilitas ekonomi, sosial
terorisme belum mengatur pencegahan dan pemberantasan
budaya, dan keamanan dan ketertiban nasional; (ii) memutus
tindak pidana pendanaan terorisme secara memadai
alur pendanaan terorisme sekaligus mencegah terjadinya
dan komprehensif.
lagi serangan atau aksi-aksi terorisme di seluruh tanah air;
e. Dalam perspektif internasional Indonesia harus menaruh
dan (iii) menunjukkan komitmen Indonesia yang kuat dan
perhatian penuh untuk memperbaiki kelemahan dalam
serius dalam pencegahan dan pemberantasan pendanaan
memenuhi 9 Rekomendasi Khusus FATF mengenai
terorisme.
Pendanaan Terorisme. Berdasarkan hasil penilaian Mutual Evaluation (ME), penanganan anti pendanaan terorisme
Australia adalah salah satu negara yang memiliki pengaturan
di Indonesia dipandang masih lemah.
yang komprehensif mengenai pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme. Pengaturan yang dibangun telah
Berdasarkan realitas bahwa upaya penanggulangan tindak pidana terorisme tidak akan optimal tanpa diikuti
mendorong terwujudnya integrasi dan efektifitas lembagalembaga terkait mencegah dan memberantas tindak pidana
51
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
pendanaan terorisme. Berkaitan dengan pemberantasan
Fund Transfer Instruction (IFTI) serta Cross Border Movement
tindak pidana terorisme, Pemerintah Australia berdasar pada
(CBM). Berkenaan dengan domestic dan international
hukum nasional dan hukum internasional yang langsung
coordination diketahui pada saat ini yang menjadi domestic
diadopsi menjadi hukum nasional serta kerja sama
partner agencies AUSTRAC meliputi law enforcement,
internasional. Hukum internasional yang diadopsi ke dalam
national security, social justice, revenue collection, regulatory.
hukum nasional Australia berasal dari resolusi Dewan
Sedangkan jumlah FIU yang telah menandatangi MOU
Keamanan PBB dan rekomendasi-rekomendasi FATF. Hal ini
dengan AUSTRAC sebanyak 59 FIU. Pihak-pihak yang diatur
sejalan dengan konstitusi, yang memberikan dasar bagi
dan diawasi oleh AUSTRAC terdiri dari pihak pelapor yang
hukum internasional dapat berlaku setelah adanya
melakukan kegiatan salah satu dari 71 designated services,
persetujuan parlemen (termasuk yang berupa resolusi dan
yang meliputi:
rekomendasi).
a. Provision of an account b. Pemberian pinjaman (Making a loan)
Di Australia, lembaga yang berwenang dalam bidang analisis dan pelaporan transaksi keuangan adalah AUSTRAC yang didirikan pada tahun 1989 berdasarkan the Financial Transaction Reports Act 1988 (FTR Act). Secara umum pendekatan yang dilakukan berdasarkan FTR Act 1988
c. Leasing dan penyewaan (Some leasing and hire purchase agreement) d. Penerbitan kartu debit, money order, travel cek atau store value card e. Penerimaan taruhan dan atau pembayaran kepada
adalah “prescriptive”. Selanjutnya berdasarkan anti-Money
pemenang taruhan (accepting bets and/or paying
Laundering/Counter Terrorism Financing atau yang dikenal
winnings)
dengan AML/CFT Act 2006, pendekatan dilakukan berdasarkan “risk-based”. AUSTRAC merupakan Financial
Berdasarkan FTR Act dan AML/CFT Act, pihak-pihak yang
Intelligence Unit (FIU) yang bertipe Administratif dan
memiliki kewajiban pelaporan kepada AUSTRAC yakni:
merupakan menjadi bagian dari Australian Government
lembaga keuangan (financial institutions);pedagang valuta
Attorney-Generals Department. Keberadaan AUSTRAC
asing (bureau de changes); pedagang emas dan permata
dalam AML/CFT Act 2006 tercantum dalam bagian 209.
(bullion sellers); penyedia jasa pengiriman uang (money transfer remmitters); pembawa uang tunai/cash carriers;
AUSTRAC memiliki 6 kantor yang terdiri dari 1 kantor pusat
perjudian/casinos; penyelenggara undian/TAB/bookmakers.
di New South Wales dan 5 kantor regional di 5 state yang berbeda (Victoria, ACT, Qld, WA, dan SA). AUSTRAC memiliki
Beberapa hal yang dapat disimpulkan berkenaan dengan
peran ganda yaitu sebagai regulator dalam mengatur dan
materi RUU PPTPPT, sebagai berikut :
mengawasi pelaksanaan dan pemenuhan kepatuhan pihak pelapor terhadap ketentuan anti pencucian uang dan
1. Pada hakikatnya, pendekatan yang dilakukan dalam
pendanaan terorisme di Australia (the AML/CTF Act and FTR
rangka pencegahan dan pemberantasan Pendanaan
Act); dan sebagai lembaga di bidang intelijen keuangan
Terorisme adalah pendekatan “Follow the Money”, yang
/financial intelligence unit AUSTRAC menerima, menganalisis
menyakini bahwa uang dan segala bentuk property yang
dan menyediakan atau menyampaikan informasi kepada
dimiliki oleh individual terrorist maupun terrorist group
pihak terkait yang berwenang di dalam negeri (partner
adalah merupakan jantungnya kegiatan pendanaan
agencies) maupun di luar negeri (international counterparts).
terorisme itu.
Informasi AUSTRAC digunakan oleh pihak terkait dimaksud dalam penyelidikan berbagai tindak pidana seperti pencucian
2. Key tools yang dipakai dalam strategi pemberantasan
uang, penipuan/fraud, obat terlarang, penyelundupan, dan
Pendanaan Terorisme haruslah ditujukan bagi Detection;
kejahatan serius lainnya.
Disruption; Prevention (termasuk melakukan upaya perlawanan atas radikalisasi teroris); dan Response.
Jenis laporan yang diterima AUSTRAC dari pihak pelapor sesuai AML/CFT Act terdiri dari Suspicious Matter Reports
3. Pencegahan dan pemberantasan Pendanaan Terorisme
(SMR), Threshold Transaction Report (TTR), dan International
membutuhkan respon dari multiagensi, yang meliputi:
52
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
a. Penetapan mekanisme pencegahan yang efektif, dan juga kemampuan khusus di dalam investigasi pelaku pendanaan terorisme.
dari sumber-sumber yang sah (legitimate) maupun yang haram (illegitimate). b. Dana-dana tersebut yang walaupun pada
b. Koordinasi-koordinasi kebijakan antar lembaga
kenyataannya tidak jadi digunakan untuk melakukan
c. Instrument-instrumen penegakan yang memadai
terorisme, dan tidak harus dihubungkan dengan
d. Sasaran yang ditujukan dengan jelas untuk mencegah
kegiatan terorisme tertentu.
dan memberantas pendanaan terorisme. e. Peranan dan kesadaran dari lembaga-lembaga yang
c. Kegiatan untuk pendanaan terorisme baik yang dilakukan oleh organisasi teroris maupun teroris
masih belum dapat merasakan bahwa keterlibatan
perorangan, yang dilakukan di tempat yang sama
lembaga mereka sangat penting, dan untuk itu
maupun di tempat yang berbeda dari penanggung
mereka juga harus memperluas keikutsertaan mereka
jawab di bidang keuangan terorisnya.
di dalam pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme tersebut, seperti kantor pajak, lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengatur
6. Kriminalisasi harus pula meliputi perbuatan-perbuatan pidana lainnya, seperti percobaan, penyertaan, konspirasi.
mengenai yayasan-yayasan sosial, atau lembaga charity lainnya. f. Penguatan kerjasama internasional karena
7. Dibandingkan dengan konvensi, maka elemen-elemen yang terkandung dalam SR II lebih luas, meliputi
mengingat sifat dan hakikat pendanaan terorisme
perbuatan untuk menyediakan atau mengumpulkan
bersifat transnasional, yang membutuhkan adanya
dana, yang sengaja disediakan untuk digunakan oleh
kerjasama internasional untuk pencegahan dan
organisasi teroris atau teroris perseorangan untuk tujuan
pemberantasannya. Kerjasama internasional yang
apapun. Tantangan-tantangan dihadapi dalam
perlu dikuatkan tersebut antara lain kerjasama antar
implementasi, antara lain, bahwa berdasarkan kriteria
Financial Intellegence Units (FIUs), lembaga-lembaga
penting yang ada di dalam SR II. 1, pengaturan mengenai
pengawas dan pengatur mengenai charity, regulator
pendanaan terorisme belum seluruhnya meliputi
sektor finansial (Bank Sentral), Kepolisian,
pendanaan terorisme untuk kegiatan terorisme, organisasi
Kepabeanan, Pengadilan, dll).
terorisme dan individual terorisme. a. Tidak semua treaty tentang kejahatan-kejahatan
4. Komunitas internasional telah menyetujui standar-standar
sebagaimana ada dalam lampiran konvensi telah
yang harus dipedomani dalam rangka penguatan rezim
mencakup mengenai kegiatan pendanaan terorisme.
Counter Financing of Terrorism meliputi bidang-bidang
Negara-negara yang belum menjadi peserta dalam
pertukaran informasi, baik yang informal, bersifat
suatu treaty dapat melakukan kriminalisasi atas
intelligence, maupun yang dapat digunakan sebagai
kegiatan pendanaan terorisme. Untuk proses
bukti adanya keterlibatan orang secara pribadi ataupun
penuntutan harus pula dapat dibuktikan bahwa
group dalam pendanaan terorisme tersebut.
tindak pidana yang dilakukan ditujukan untuk tujuan khusus tertentu, seperti untuk melakukan intimidasi
5. Kriminalisasi pendanaan terorisme ditentukan dalam SR
pada suatu pemerintah tertentu, dll.
II dan SR III dari 9 Special Recommendation of FATF. Pada hakikatnya perbuatan yang harus dikriminalisasikan
8. Terkait dengan standar internasional untuk pembekuan
sebagai tindak pidana pendanaan terorisme adalah
dana/aset, SR III mengharuskan negara-negara untuk
meliputi tindakan menyediakan atau mengumpulkan
melakukan pembekuan dana ataupun aset lainnya dari
dana yang dimaksudkan untuk digunakan oleh organisasi
orang-orang yang telah ditentukan oleh UNSCR (United
teroris atau teroris perorangan, untuk semua tujuan.
Nations Security Council Resolution) Number 1267,
Dengan demikian pendanaan terorisme harus diperluas
yaitu Al Qaeda dan Taliban, termasuk di dalamnya
sehingga menjadi sebagai berikut:
adalah orang atau organisasi, kelompok, perusahaan
a. Dana-dana (termasuk di dalamnya semua property)
maupun asosiasi-asosiasi lainnya yang berafiliasi dengan
yang digunakan untuk pendanaan terorisme diperoleh
Al Qaeda dan Taliban tersebut. Nama-nama tersebut
53
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
dikirimkan kepada delegasi Dewan Keamanan PBB dan
-
Untuk tetap menjaga dana tetap dibekukan
kemudian diedarkan kembali kepada negara-negara
selama proses pembuktian ataupun prses
yang berwenang. Prosedur pembekuan aset-aset untuk
investigasi terhadap tindak pidana pendanaan
kelompok tersebut haruslah “without delay and without
terorismenya berjalan.
prior notice to targets”. Hal tersebut dilakukan untuk
-
Harus menyertakan keterlibatan institusi
mencegah dilakukannya pemindahan aset oleh mereka
keuangan secara langsung di dalam
yang akan mengakibatkan sulitnya pelacakan dan
melaksanakan kewajibannya, serta orang-orang
pembekuan aset. Pembekuan dana atau aset lainnya
yang memegang aset untuk melakukan
dari Orang yang telah ditentukan oleh UN sebagai
pembekuan without undue delay.
teroris menurut masing-masing Pemerintah negara, berdasarkan Resolution Number 1373, misalnya LTTE
11. Lingkup penerapan Resolusi 1267 dan 1373 pada
di Malaysia, dll. Resolusi ini tidak diperuntukkan bagi
hakikatnya menghendaki adanya perluasan makna
taliban atau Al Qaeda, dan tidak termasuk nama-nama
pelaksanaan freezing atau pembekuan yaitu terhadap
yang sudah masuk dalam daftar teroris yang dikeluarkan
dana ataupun aset lainnya:
oleh UN.
a. Yang seluruhnya atau yang secara bersama-sama dimiliki atau dikuasai, secara langsung maupun tidak
9. Diaturnya prosedur pelacakan, pembekuan, penyitaan
langsung, oleh orang-orang yang telah ditetapkan,
aset-aset teroris dalam proses penyidikan kasus terorisme
sebagai teroris, yang memberikan pendanaan untuk
maupun dalam proses lainnya dalam kasus pendanaan
kegiatan terorisme pada teroris ataupun organisasi
terorisme. Setiap negara juga diwajibkan untuk memiliki
teroris; dan
hukum dan prosedur untuk:
b. Yang dihasilkan atau didapatkan dari dana atau aset
a. Melakukan pembekuan dana dan aset lainnya dari
lainnya yang dimiliki atau dikontrol secara langsung
teroris maupun pihak-pihak lain yang berafiliasi
ataupun tidak langsung oleh orang-orang yang telah
dengan prinsip without delay and without prior
ditetapkan sebagai teroris, yang memberikan
notice to targets;
pendanaan untuk kegiatan terorisme pada teroris
b. Menerima permohonan negara lain atas diterapkannya
ataupun organisasi terorisme.
Resolusi 1373 dalam rangka tindakan pembekuan asetnya;
12. Berdasarkan c. III. 5 Resolusi 1267 dan 1373, maka
c. Mengkonfirmasi mengenai permohonan oleh negara
diwajibkan bagi negara-negara untuk dapat menerapkan
tersebut apakah yang menjadi landasan pengajuannya,
mekanisme komunikasi kepada sektor keuangan maupun
apakah berdasarkan pada alasan yang reasonable
pihak-pihak lainnya terkait dengan prosedur freezing.
atau memiliki dasar hukum yang tepat untuk
Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan efektif,
dimintakannya tindakan pembekuan tersebut;
mengingat proses freezing menjadi hal penting dalam
d. Melakukan tindakan untuk membekukan aset untuk
konteks pendanaan terorisme, dan harus dilaksanakan
merespon permintaan tersebut, jika sesuai, dilakukan
dengan sifatnya yang urgen.
tanpa ditunda dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada orang yang diduga melakukan pendanaan terorisme tersebut.
13. Berdasarkan c. III.6 Resolusi 1267 dan 1373, maka untuk menciptakan proses freezing yang efektif, negara-negara harus membuat pedoman yang jelas bagi institusi-institusi
10. Sebagai response atas Resolusi 1267 dan 1373, maka
keuangan dan pihak-pihak lain atau badan hukum yang
pada pelaksanaan rezim Extraordinary ini menghendaki
mungkin menguasai dana-dana atau aset-aset yang
2 (dua) hal, yaitu:
menjadi target pembekuan.
a. Mensyaratkan kemungkinan tetap dilakukannya pembekuan atas aset sekalipun tiada penuntutan. b. Dapat melingkupi proses administratif dan juga proses peradilan, dengan maksud adalah:
54
14. Terkait dengan SR III, maka seharusnya terdapat sistem monitoring yang memadai untuk memantau kepatuhan dari pihak-pihak di bawah rezim freezing terhadap
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
ketentuan hukum yang relevan, peraturan dan kebijakan, dan menerapkan sanksi bagi pihak-pihak yang non compliance secara tepat. 15. Mekanisme lain yang seharusnya diterapkan pula berdasarkan Resolusi 1267 dan 1373, adalah bahwasannya negara-negara harus mengimplementasikan pula prosedur pemberitahuan kepada publik untuk: a. Permintaan untuk melakukan delisting (c.III.7); b. Permintaan dilakukannya unfreezing atas dana-dana atau aset dari orang yang dimintakan delisting tersebut (c.III.7); c. Permintaan untuk unfreezing atau dana-dana atau aset dari orang atau badan hukum lainnya yang terkena imbas dari mekanisme pembekuan, misalnya beberapa kasus yang telah diverifikasi karena adanya kesalahan identitas atau terjadi kekeliruan (c.III.8); d. Pihak-pihak atau perusahaan yang dana atau asetnya telah dibekukan tersebut diperbolehkan melakukan CHALLENGE kepada pengadilan atas tindakan pembekuan yang telah dilakukan. 16. Menurut c. III.9 Resolusi 1267 sejalan dengan Resolusi 1425, ada pula kewajiban dari pihak berwenang untuk mengakses dana atau aset yang dibekukan untuk menentukan biaya-biaya dan pembayaran atas berbagai tipe tambahan biaya, seperti biaya hipotek, biaya-biaya yang telah dikeluarkan lainnya.
55
Halaman ini sengaja dikosongkan
Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) Juni - Desember 2011
Peraturan
Tanggal
Satker
13/25/PBI/2011
09/12/2011
DPNP
Perihal Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain
13/24/PBI/2011
01/12/2011
DPM
Operasi Moneter Syariah.
13/23/PBI/2011
02/11/2011
DPbS
Penerapan Manajemen Resiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
13/22/PBI/2011
30/09/2011
DInt
Kewajiban Pelaporan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.
13/21/PBI/2011
30/09/2011
DSM
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank
13/20/PBI/2011
30/09/2011
DPM
Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri
13/19/PBI/2011
22/09/2011
DPNP
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum.
13/18/PBI/2011
01/08/2011
DPU
Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/28/PBI/2004 Tentang Pengeluaran Dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004
13/17/PBI/2011
01/08/2011
DPU
Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005 Tentang Pengeluaran Dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005.
13/16/PBI/2011
01/08/2011
DPU
Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/29/PBI/2004 Tentang Pengeluaran Dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004
13/15/PBI/2011
23/06/2011
DSM
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank
57
Halaman ini sengaja dikosongkan
Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank Indonesia Juni - Desember 2011
Peraturan
Tanggal
Satker
Perihal
13/29/DPNP
09/12/ 2011
DPNP
Penerapan Manajemen Risiko pada Bank Umum yang Melakukan Layanan Nasabah Prima
13/28/DPNP
09/12/2011
DPNP
Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum
13/27/DPM
01/12/2011
DPM
Tata Cara Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Syariah Negara Dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah
13/26/DPNP
30/11/2011
DPNP
Perubahan atas SE No. 13/8/DPNP tanggal 28 Maret 2011 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (fit and proper test)
13/25/DPNP
25/11/2011
DPNP
Pencabutan SE BI No. 29/02/UPPB tgl. 31 Juli 1996 perihal Tatacara Penerimaan, Penatausahaan, Pelaporan Setoran Penerimaan Negara dan Pengenaan Sanksi.
13/24/DPNP
25/10/2011
DPNP
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
13/23/DPNP
25/10/2011
DPNP
Perubahan atas Surat Edaran No. 5/21/DPNP perihal Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
13/22/DASP
18/10/2011
DASP
Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan di Indonesia
13/21/DSM
15/08/2011
DSM
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa lembaga Bukan Bank.
13/20/DPM
08/08/2011
DPM
Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka.
13/19/DSM
10/06/2011
DSM
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/31/DSM tanggal 1 Desember 2003 perihal Laporan Bulanan Bank Umum Syariah
59
Halaman ini sengaja dikosongkan
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Juni - Desember 2011
NOMOR PBI
13/25/PBI/2011
RINGKASAN PBI
1.
Tujuan pengaturan ini adalah : a. Agar bank dapat berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya dan mengoptimalkan pelaksanaan fungsinya sebagai lembaga intermediasi sejalan dengan semakin kompleks dan beragamnya kegiatan usaha dalam menghadapi pesatnya perkembangan dunia usaha dan ketatnya tingkat persaingan b. Agar bank menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain (alih daya) sehingga bank dapat meminimalisasi risiko yang mungkin timbul atas penyerahan pekerjaan tersebut; dan c. Agar terdapat kejelasan atas tanggung jawab terhadap pekerjaan yang diserahkan kepada pihak lain tersebut dan terjaganya aspek perlindungan nasabah.
2.
Dalam melakukan Alih Daya, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
3.
Bank wajib memastikan bahwa pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan oleh Perusahaan Penyedia Jasa sesuai dengan perjanjian yang dibuat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.
Bank tetap bertanggung jawab atas pekerjaan yang dialihdayakan kepada Perusahaan Penyedia Jasa.
5.
Bank dilarang melakukan Alih Daya yang mengakibatkan beralihnya tanggung jawab atau risiko Bank dari obyek pekerjaan yang dialihdayakan kepada Perusahaan Penyedia Jasa.
6.
Bank hanya dapat melakukan Alih Daya atas pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank dan pada alur kegiatan pendukung usaha Bank.
7.
Pekerjaan penunjang sebagaimana dimaksud dalam angka 6 diatas paling kurang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. berisiko rendah; b. tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi yang tinggi di bidang perbankan; dan c. tidak terkait langsung dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi operasional bank.
61
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
NOMOR PBI
RINGKASAN PBI 8.
Bank hanya dapat melakukan perjanjian Alih Daya dengan Perusahaan Penyedia Jasa yang paling kurang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbadan hukum Indonesia; b. memiliki ijin usaha yang masih berlaku dari instansi berwenang sesuai bidang usahanya; c. memiliki kinerja keuangan dan reputasi yang baik serta pengalaman yang cukup; d. memiliki Sumber Daya Manusia yang mendukung pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan; dan e. memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam Alih Daya.
9.
Bank wajib melakukan penelitian, analisis dan penilaian atas pemenuhan kriteria Perusahaan Penyedia Jasa.
10. Perjanjian Alih Daya paling kurang mencakup aspek-aspek: ruang lingkup pekerjaan; jangka waktu perjanjian; nilai kontrak; struktur biaya dan mekanisme pembayaran; hak, kewajiban dan tanggung jawab bank maupun perusahaan penyedia jasa, termasuk didalamnya adalah kesediaan Perusahaan Penyedia Jasa untuk memberikan akses pemeriksaan kepada Bank Indonesia bersama-sama dengan Bank dalam hal diperlukan; ukuran dan standar pelaksanaan pekerjaan; kriteria atau kondisi early termination; sanksi dan penalti; dan penyelesaian perselisihan. 11. Bank wajib menyampaian laporan kepada Bank Indonesia yang mencakup: a. Laporan rencana Alih Daya; dan b. Laporan Alih Daya yang bermasalah. 12. Bank yang telah melakukan Alih Daya atas pekerjaan selain pekerjaan yang diperbolehkan wajib melakukan langkah-langkah berikut: a. menghentikan Alih Daya sejak berakhirnya perjanjian atau paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. b. dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari 1 (satu) tahun tetapi tidak lebih dari 2 (dua) tahun, Bank wajib menghentikan Alih Daya pada saat berakhirnya perjanjian atau dapat meperpanjang perjanjian paling lama 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. c. dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari 2 (dua) tahun, Bank wajib menghentikan perjanjian Alih Daya paling lama 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. d. menyusun dan menyampaikan laporan rencana tindak (action plan) dalam rangka penyesuaian Alih Daya sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c. 13. Pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi kewajiban membayar dan/atau sanksi administratif, antara lain berupa : a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau c. pembekuan kegiatan usaha tertentu.
62
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
NOMOR PBI
RINGKASAN PBI Bank Indonesia berwenang menghentikan Alih Daya yang dilakukan Bank apabila menurut penilaian Bank Indonesia Alih Daya tersebut berpotensi mengganggu kelangsungan usaha Bank.
13/24/PBI/2011
1.
Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dilakukan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian moneter dan pemenuhan prinsip-prinsip syariah dalam pelaksanaan transaksi khususnya transaksi yang memiliki second leg serta dalam rangka penyempurnaan ketentuan mengenai Operasi Moneter Syariah (OMS) khususnya Pasal 18 mengenai pengenaan sanksi terhadap transaksi operasi moneter syariah yang dinyatakan batal.
2.
Dalam hal transaksi Operasi Moneter Syariah batal, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan dengan ketentuan sebagai berikut : a. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi repo dan dalam hal harga surat berharga pada transaksi second leg lebih rendah dari harga surat berharga pada transaksi first leg, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi first leg dan harga pada transaksi second leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang direpo-kan. b. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi reverse repo dan dalam hal harga pasar SBSN pada transaksi second leg lebih tinggi dari harga pada transaksi first leg, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih harga pada transaksi second leg dan harga pada transaksi first leg, setelah dikalikan dengan nominal SBSN yang di-reverse repo-kan.
13/23/PBI/2011
3.
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2011.
I.
Tujuan pengaturan untuk mengakomodasi karakteristik kegiatan usaha Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang tidak sepenuhnya sama dengan perbankan konvensional dan dalam rangka memenuhi amanah Pasal 38 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Penerapan Manajemen Risiko pada BUS dan UUS disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan BUS dan UUS.
II.
Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini antara lain meliputi: 1. Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, untuk BUS dilakukan secara individual maupun konsolidasi dengan perusahaan anak, sedangkan untuk UUS dilakukan terhadap seluruh kegiatan usaha UUS yang merupakan satu kesatuan dengan penerapan Manajemen Risiko pada Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS (BUK induk). 2. Penerapan Manajemen Risiko paling kurang mencakup : a. pengawasan aktif Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah; b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Manajemen Risiko; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
63
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
NOMOR PBI
RINGKASAN PBI 3. BUS dan UUS wajib menerapkan Manajemen Risiko yang mencakup 10 risiko, yaitu Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Stratejik, Risiko Kepatuhan, Risiko Imbal Hasil (rate of return risk), dan Risiko Investasi (equity investment risk). Penerapan Risiko Imbal Hasil (rate of return risk) dan Risiko Investasi (equity investment risk) belum diperhitungkan dalam penilaian Risiko (risk profile) BUS dan UUS. BUS dan UUS wajib melakukan penilaian terhadap Risiko Imbal Hasil dan Risiko Investasi meskipun penilaian kedua jenis risiko dimaksud belum diperhitungkan dalam penilaian Risiko (risk profile) BUS dan UUS. 4. Peringkat risiko dikategorikan menjadi 5 peringkat, yaitu 1 (Low), 2 (Low to Moderate), 3 (Moderate), 4 (Moderate to High), dan 5 (High). 5. Implementasi/pelaksanaan manajemen risiko harus dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah. 6. Penerapan Manajemen Risiko UUS adalah sebagai berikut : a. Manajemen Risiko UUS merupakan satu kesatuan dengan Manajemen Risiko BUK induk. b. Fungsi pengawasan aktif terbatas sampai dengan Direktur UUS. c. Kebijakan, prosedur dan penetapan limit UUS merupakan bagian tidak terpisahkan dari Manajemen Risiko BUK induk. d. Sistem Informasi Manajemen Risiko UUS dapat menggunakan teknologi sistem informasi yang digunakan dalam system informasi Manajemen Risiko BUK induk. e. Pelaksanaan sistem pengendalian intern untuk UUS dapat digabung dengan sistem pengendalian intern dari BUK induk. f. Komite Manajemen Risiko dan satuan kerja Manajemen Risiko untuk UUS dapat dibentuk secara tersendiri atau digabungkan dengan BUK induk sesuai dengan ukuran dan kompleksitas usaha UUS serta Risiko yang melekat pada UUS. Dalam hal Komite Manajemen Risiko untuk UUS dibentuk secara tersendiri, maka keanggotaan Manajemen Risiko UUS paling kurang terdiri dari : 1) Direktur UUS 2) Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan BUK 3) Pejabat eksekutif terkait. Dalam hal komite Manajemen Risiko untuk UUS digabung dengan komite Manajemen risiko BUK induk maka dalam pembahasan yang terkait dengan Manajemen Risiko UUS, Direktur UUS wajib diikutsertakan sebagai salah satu anggota komite Manajemen Risiko BUK induk. 7. Pemberian masa transisi untuk UUS sebagai berikut: a. kewajiban penyampaian laporan profil Risiko untuk UUS berlaku sejak laporan posisi bulan Juni 2012. b. penyesuaian pengungkapan Manajemen Risiko untuk UUS berlaku pertama kali pada laporan tahunan BUK induk posisi akhir Desember 2012.
64
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
NOMOR PBI
RINGKASAN PBI 8. BUS dan UUS menyampaikan laporan profil risiko secara triwulanan kepada Bank Indonesia paling lambat 15 hari kerja setelah akhir bulan laporan dan mengungkapkan Manajemen Risiko dalam laporan tahunan sesuai dengan ketentuan transparansi kegiatan usaha bank. 9. Dengan diberlakukannya PBI ini, maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dinyatakan tidak berlaku bagi BUS dan UUS.
13/22/PBI/2011
I.
Latar Belakang 1. Dana valuta asing yang berasal dari penarikan devisa utang luar negeri diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif untuk memasok sumber dana valuta asing yang relatif stabil, dibandingkan dana yang berasal dari investasi portfolio pihak asing. Dengan pasokan dan permintaan di pasar valuta asing domestik yang lebih berimbang dengan sumber pasokan dari dari dalam negeri, diharapkan mendukung upaya menjaga stabilitas makroekonomi khususnya stabilitas nilai tukar. 2. Mempertimbangkan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan penarikan devisa utang luar negeri dilakukan melalui Bank Devisa. Untuk memastikan bahwa kebijakan penarikan devisa utang luar negeri tersebut berjalan efektif, maka Debitur ULN diwajibkan melaporkan penarikan devisa utang luar negeri kepada Bank Indonesia.
II.
Pokok-pokok Pengaturan 1. Debitur Utang Luar Negeri (ULN) wajib melaporkan setiap penarikan Devisa Utang Luar Negeri (DULN) yang dilakukannya melalui Bank Devisa kepada Bank Indonesia. 2. Laporan penarikan DULN wajib disampaikan kepada Bank Indonesia setiap bulan dengan waktu penyampaian dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 pada bulan berikutnya dan apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka laporan penarikan DULN disampaikan pada hari kerja berikutnya. 3. Laporan penarikan DULN wajib disertai dokumen pendukung. 4. Penyampaian laporan penarikan DULN dapat dilakukan melalui media online, media offline atau menggunakan hardcopy. 5. Pelapor DULN yang terlambat dan yang tidak menyampaikan laporan penarikan DULN serta pelapor DULN yang terlambat dan yang tidak menyampaikan dokumen pendukung
65
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
NOMOR PBI
RINGKASAN PBI kepada Bank Indonesia dikenakan sanksi administratif berupa denda yang disetorkan ke rekening Kas Negara. 6. Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum berlakunya PBI ini, dikecualikan dari kewajiban pelaporan penarikan DULN. 7. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2012 dan pengenaan sanksinya mulai diberlakukan untuk laporan penarikan DULN bulan Juni 2012 yang disampaikan pada bulan Juli 2012.
13/21/PBI/2011
1.
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) merupakan pelaporan mengenai perpindahan aset dan kewajiban fiansial antara penduduk dengan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. Pelaksanaan pelaporan Kegiatan LLD diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlandaskan pada UU No.24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Tujuan pelaporan tersebut adalah untuk mendukung perumusan dan pelaksanaan kebijakan, baik di bidang moneter, perbankan, maupun sistem pembayaran. Adapun keterangan dan data yang diperoleh dari pelaporan ini diperlukan untuk penyusunan statistik, antara lain satistik Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), Posisi Investasi Internasional Indonesia (PIII), serta statistik lainnya.
2.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/21/PBI/2011 tanggal 30 September 2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank merupakan penyempurnaan dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebelumnya. Penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kelengkapan dan akurasi data/informasi LLD, termasuk untuk mendukung pelaksanaan ketentuan mengenai penerimaan devisa hasil ekspor (DHE). Beberapa aspek yang disempurnakan dalam ketentuan dimaksud terutama terkait dengan cakupan data maupun pelapor, periodisasi, dan sanksi pelaporan. Berbeda dengan PBI sebelumnya yang juga mengatur Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB), PBI baru ini hanya mengatur bank, mengingat terdapat perbedaan karakteristik kegiatan usaha antara bank dengan LKNB.
3.
Pelapor LLD yang diatur dalam peraturan ini adalah seluruh bank umum yang berkedudukan di Indonesia.
4.
Bank sebagaimana disebutkan di atas wajib menyampaikan laporan LLD yang secara umum mencakup data/informasi tentang: a. Transaksi bank dan/atau nasabah yang mempengaruhi Aset Finansial Luar Negeri (AFLN) dan/atau Kewajiban Finansial Luar Negeri (KFLN) bank, dan/atau b. Posisi dan perubahan AFLN dan/atau KFLN bank. Dalam hal terdapat transaksi terkait ekspor nasabah, bank wajib menyampaikan rincian transaksi ekspor dan dokumen pendukungnya kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam PBI yang mengatur mengenai penerimaan devisa hasil ekspor.
66
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
NOMOR PBI
RINGKASAN PBI 5.
Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD, bank yang tidak menyampaikan Laporan LLD, serta Bank yang menyampaikan Laporan LLD secara tidak benar dikenakan sanksi administratif berupa denda. Pembebanan sanksi denda dilakukan dengan cara mendebet rekening giro bank di Bank Indonesia untuk kemudian disetorkan ke rekening Kas Negara yang berada di Bank Indonesia.
6.
PBI LLD ini diberlakukan sejak data bulan Oktober 2011 yang disampaikan bulan November 2011.
7.
Pengenaan sanksi untuk penyampaian rincian transaksi terkait Ekspor Nasabah mulai berlaku untuk data PL bulan Januari 2012 yang disampaikan bulan Februari 2012.
8.
Dengan berlakunya PBI Pemantauan Kegiatan LLD bank yang baru, maka PBI No.1/9/PBI/1999 tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali pasal-pasal yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa lembaga keuangan non bank untuk data sampai dengan periode laporan bulan Desember 2011 yang disampaikan bulan Januari 2012.
13/20/PBI/2011
I.
Latar Belakang dan Tujuan Pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang memadai dan berkesinambungan. Sementara itu, pasokan valuta asing di pasar domestik yang sebagian besar dalam bentuk investasi portofolio jangka pendek merupakan salah satu sumber dana pembangunan ekonomi yang rentan terhadap risiko pembalikan (sudden capital reversal). Sumber dana lain yang sifatnya stabil (sustainable) dapat berasal dari Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Devisa Utang Luar Negeri (DULN). Dalam hal penempatannya dilakukan melalui perbankan Indonesia, DHE dan DULN dimaksud dapat memberikan kontribusi yang optimal secara nasional dan juga bermanfaat untuk mendorong terciptanya pasar keuangan yang lebih sehat serta mendukung upaya menjaga kestabilan nilai rupiah. Dalam pelaksanaannya tidak seluruh DHE dan DULN ditempatkan pada perbankan Indonesia sehingga diperlukan pengaturan yang dapat memastikan penerimaan DHE dan penarikan DULN dilakukan melalui perbankan Indonesia. Pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini, dimana setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
II.
Materi Pengaturan A. Kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa di Indonesia 1. Seluruh DHE wajib diterima oleh Eksportir melalui Bank Devisa di Indonesia. 2. Penerimaan DHE melalui Bank Devisa wajib dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
67
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
NOMOR PBI
RINGKASAN PBI 3. Penerimaan DHE melalui Bank Devisa, yang dilakukan dengan cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal PEB, wajib dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran yang bersangkutan. 4. Eksportir harus menyampaikan informasi yang tercantum pada PEB terkait DHE yang diterima, kepada Bank Devisa. Informasi dimaksud disampaikan kepada Bank Devisa paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah DHE diterima oleh Eksportir melalui Bank Devisa yang kemudian diteruskan kepada Bank Indonesia. 5. Eksportir yang akan menerima DHE dengan cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal PEB, harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung yang dipersyaratkan, kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. Penjelasan tertulis disertai dengan bukti dokumen pendukung tersebut disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal PEB. 6. DHE yang diterima oleh Eksportir harus sesuai dengan Nilai PEB. Eksportir yang menerima DHE lebih kecil dari nilai PEB, harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung tersebut disampaikan kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia paling lama tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima oleh Eksportir melalui Bank Devisa. 7. Dalam hal selisih kurang antara DHE dan nilai PEB karena maklon, jasa perbaikan, dan/atau operational leasing atau financial leasing, maka DHE yang diterima dianggap sesuai dengan nilai PEB sehingga Eksportir harus tetap menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung. 8. Dalam hal selisih kurang antara DHE dan nilai PEB karena biaya administrasi sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai PEB atau paling banyak ekuivalen Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), maka DHE yang diterima dianggap sesuai dengan nilai PEB sehingga Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung. 9. Eksportir yang tidak menerima DHE atau menerima DHE lebih kecil dari nilai PEB melalui Bank Devisa karena importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force majeure), harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung tersebut disampaikan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal PEB. Namun demikian, untuk DHE dengan cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, dan/atau collection yang jatuh temponya sama atau melebihi 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal PEB, penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.
68
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
NOMOR PBI
RINGKASAN PBI B. Kewajiban penarikan DULN melalui Bank Devisa 1. Setiap DULN wajib ditarik oleh Debitur ULN melalui Bank Devisa. 2. Kewajiban penarikan DULN oleh Debitur ULN berlaku bagi DULN yang berbentuk dana tunai yang berasal dari: a. ULN berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement) dalam bentuk non revolving yang tidak digunakan untuk refinancing; b. Selisih fasilitas refinancing dengan jumlah ULN lama; dan c. ULN berdasarkan surat utang (debt securities) dalam bentuk Bonds, Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN), Promissory Notes (PN), dan Commercial Paper (CP). 3. Penarikan DULN wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. 4. Nilai akumulasi penarikan DULN harus sama dengan nilai komitmen. Dalam hal nilai akumulasi penarikan DULN melalui Bank Devisa oleh Debitur ULN lebih kecil dari komitmen, Debitur ULN harus menyampaikan penjelasan tertulis kepada Bank Indonesia. C. Pemantauan DHE dan DULN 1. Bank Indonesia melakukan penelitian dokumen atas kepatuhan Eksportir terhadap pemenuhan kewajiban penerimaan DHE. 2. Bank Indonesia melakukan penelitian atas kepatuhan Debitur ULN terhadap pemenuhan kewajiban penarikan DULN. 3. Dalam melakukan penelitian kepatuhan Eksportir dan Debitur ULN, Bank Indonesia dapat meminta bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan instansi terkait. D. Pengenaan sanksi 1. Eksportir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa dikenakan sanksi administratif berupa denda. Pengenaan sanksi denda tersebut dilakukan dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal pengenaan sanksi denda. 2. Dalam hal Eksportir tidak membayar sanksi administratif dan/atau tidak memenuhi kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa, dikenakan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Debitur ULN yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban penarikan DULN melalui Bank Devisa dikenakan sanksi administratif berupa denda. Pengenaan sanksi tidak menggugurkan kewajiban penerimaan DHE dan penarikan DULN melalui Bank Devisa. 4. Pembayaran sanksi administratif berupa denda disetorkan ke rekening Kas Negara yang berada di Bank Indonesia. 5. Pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan setelah Bank Indonesia menerima dan melakukan verifikasi atas bukti pembayaran sanksi administratif dan/atau bukti penerimaan DHE melalui Bank Devisa.
69
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
NOMOR PBI
RINGKASAN PBI E. Penyampaian informasi dan laporan 1. Prosedur penyampaian informasi serta penjelasan tertulis dan dokumen pendukung dalam kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan lalu lintas devisa. 2. Prosedur penyampaian laporan serta penjelasan tertulis dan dokumen pendukung dalam kewajiban penarikan DULN melalui Bank Devisa dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan penarikan DULN. F. Ketentuan peralihan 1. Penerimaan DHE yang diperjanjikan tidak melalui Bank Devisa atau dikaitkan dengan pembayaran kewajiban Eksportir yang sudah ditandatangani sebelum berlakunya PBI ini, tidak wajib diterima melalui Bank Devisa sampai dengan 12 (dua belas) bulan setelah berlakunya PBI ini. Penerimaan DHE tersebut harus dilaporkan Eksportir kepada Bank Indonesia dilengkapi dengan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal PEB. 2. Khusus bagi penerimaan DHE yang berasal dari PEB yang dikeluarkan tahun 2012, kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa berlaku 6 (enam) bulan setelah tanggal PEB. 3. Penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting tagihan Eksportir dengan kewajiban Eksportir hanya dapat dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2012 dan dilengkapi dengan dokumen pendukung. 4. Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tidak wajib dilakukan melalui Bank Devisa, kecuali untuk penarikan DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya perubahan perjanjian (amendment) yang ditandatangani setelah berlakunya PBI ini. G. Ketentuan penutup 1. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2012. 2. Ketentuan yang mengatur mengenai sanksi mulai berlaku pada tanggal 2 Juli 2012.
13/19/PBI/2011
1.
Latar belakang dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini adalah: a. perlu percepatan waktu penyampaian beberapa laporan di LBBU dalam rangka optimalisasi pemanfaatan laporan lain yang telah dipercepat penyampaiannya. b. perlu penyempurnaan formulir laporan pos-pos neraca mingguan dan laporan profil maturitas. c. perlu penambahan laporan baru yaitu (i) laporan perhitungan ATMR untuk risiko kredit dengan metode standar dan (ii) laporan perhitungan suku bunga dasar kredit (SBDK). d. perlu penyempurnaan beberapa pengaturan di ketentuan LBBU dalam rangka penyelarasan dengan ketentuan lain mengenai pelaporan.
70
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
NOMOR PBI
RINGKASAN PBI 2.
Pokok-pokok pengaturan dalam PBI tersebut meliputi antara lain: a. Penyampaian beberapa laporan di LBBU untuk bank secara individu dimajukan dari periode penyampaian III (paling lambat tanggal 21) menjadi periode penyampaian I (paling lambat tanggal 6) dengan masa transisi sebagai berikut: 1. sejak posisi laporan tanggal akhir bulan September 2011 s.d posisi laporan tanggal akhir bulan Maret 2012, penyampaian beberapa laporan di LBBU dimajukan dari periode penyampaian III (paling lambat tanggal 21) menjadi periode penyampaian II (paling lambat tanggal 13); 2. selanjutnya, dimajukan menjadi periode penyampaian I (paling lambat tanggal 6). b. Tambahan data mengenai laporan perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan Metode Standar dan laporan perhitungan SBDK bagi Bank Umum Konvensional mulai berlaku sejak tersedianya sistem pelaporan data dimaksud di LBBU, yang akan diberitahukan kemudian oleh Bank Indonesia. c. Bank dan UUS yang dikecualikan untuk menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU secara online karena hal-hal tertentu sebagaimana diatur dalam PBI tersebut, wajib menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU secara offline paling lama 1 (satu) hari kerja setelah periode penyampaian yang sama. d. Dalam hal batas akhir periode penyampaian LBBU dan/atau koreksi LBBU jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, dan/atau hari libur, maka penyampaian LBBU dan/atau koreksi LBBU secara online tetap dilakukan pada hari yang sama. Dalam hal terdapat pertimbangan tertentu, waktu penyampaian LBBU dan/atau koreksi LBBU dapat disesuaikan oleh Bank Indonesia.
13/18/PBI/2011
1.
Perubahan unsur pengaman pada desain uang kertas (UK) rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 dilakukan dengan pertimbangan untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada desain UK Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/28/PBI/2004 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004 meliputi: a. Uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 terbuat dari bahan serat kapas; b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar 100.000 (seratus ribu); c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2011, antara lain sebagai berikut: 1. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna merah; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan electrotype berupa ornamen;
71
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
NOMOR PBI
RINGKASAN PBI 4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI100000” yang utuh atau terpotong sebagian dan akan berubah warna dari emas menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; 5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga. d. Ciri uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011, antara lain sebagai berikut: 1. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna merah; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan electrotype berupa ornamen; 4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI100000” yang utuh atau terpotong sebagian dan akan berubah warna dari emas menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; 5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga. 6. rainbow printing dalam bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; 7. elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye ditengahnya berwarna putih. e. Uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
13/17/PBI/2011
1.
Perubahan unsur pengaman pada desain uang kertas (UK) rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 dilakukan dengan pertimbangan untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada desain UK Rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005 meliputi: a. Uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 terbuat dari bahan serat kapas; b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar 50.000 (lima puluh ribu); c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2011, antara lain sebagai berikut: 1. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna biru; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Bali;
72
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
NOMOR PBI
RINGKASAN PBI 4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI50000” berulang-ulang dan akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; 5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga. d. Ciri uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011, antara lain sebagai berikut: 1. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna biru; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Bali; 4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI50000” berulang-ulang dan akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; 5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga berwarna hitam; 6. rainbow printing dalam bidang berbentuk segi empat; 7. elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye ditengahnya berwarna putih. e. Uang kertas rupiah pecahan 50.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2005 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
13/16/PBI/2011
1.
Perubahan unsur pengaman pada desain uang kertas (UK) rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 dilakukan dengan pertimbangan untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada desain UK Rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/29/PBI/2004 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004 meliputi: a. Uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 terbuat dari bahan serat kapas; b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar 20.000 (dua puluh ribu); c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2011, antara lain sebagai berikut: 1. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna hijau; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata; 4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI20000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah, biru dan kuning di bawah sinar ultra violet; 5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah persegi panjang.
73
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
NOMOR PBI
RINGKASAN PBI d. Ciri uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011, antara lain sebagai berikut: 1. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna hijau; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata; 4. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah persegi panjang berwarna hitam; 5. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI20000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah, biru dan kuning di bawah sinar ultra violet; 6. rainbow printing dalam bidang berbentuk persegi panjang; 7. elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna hijau ditengahnya berwarna putih. e. Uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
13/15/PBI/2011
1.
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) merupakan pelaporan mengenai perpindahan aset dan kewajiban fiansial antara penduduk dengan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. Pelaksanaan pelaporan Kegiatan LLD diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlandaskan pada UU No.24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Adapun tujuan pelaporan tersebut untuk pemantauan kegiatan LLD yang sangat diperlukan dalam rangka penyusunan statistik, antara lain satistik Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), Posisi Investasi Internasional Indonesia (PIII), serta untuk mendukung perumusan kebijakan.
2.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 tanggal 23 Juni 2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank merupakan penyempurnaan dari ketentuan pelaporan Kegiatan LLD sebelumnya. Penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kelengkapan dan akurasi data/informasi LLD. Disamping itu, juga untuk mengeliminir redudansi data laporan perusahaan yang disampaikan kepada Bank Indonesia selama ini, seperti dalam pelaporan Utang Luar Negeri, dan laporan tentang kegiatan pedagang valuta asing. Beberapa aspek yang disempurnakan dalam ketentuan pelaporan LLD dimaksud terutama terkait dengan cakupan data maupun pelapor, periodisasi dan sanksi pelaporan.
3.
Pelapor LLD yang diatur dalam peraturan ini adalah Lembaga Bukan Bank (LBB) yang memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: a. BUMN; b. BUMD yang memiliki utang luar negeri; c. Lembaga Keuangan Non Bank; d. Perusahaan Publik; e. Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan minyak dan gas; f. Perusahaan yang memiliki kegiatan ekspor dan/atau impor barang;
74
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
NOMOR PBI
RINGKASAN PBI g. Perusahaan yang bergerak di sektor jasa; h. Perusahaan penanaman modal asing; i.
BUMS yang memiliki utang luar negeri;
j.
Badan Lainnya yang memiliki utang luar negeri; dan/atau
k. LBB di luar huruf a sampai dengan huruf j yang memiliki total aset atau omset tertentu yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 4.
LBB sebagaimana disebutkan di atas wajib menyampaikan laporan LLD yang secara umum mencakup data/informasi tentang: a. Transaksi perdagangan barang, jasa dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk; dan/atau b. Posisi dan perubahan Aset Finansial Luar Negeri (AFLN) dan/atau Kewajiban Finansial Luar Negeri (KFLN).
5.
PBI LLD ini diberlakukan sejak data bulan Juni 2011 yang disampaikan bulan Juli 2011 dengan masa uji paralel selama 7 bulan.
6.
Dengan berlakunya PBI Pemantauan Kegiatan LLD LBB yang baru maka : a. Ketentuan mengenai pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Keuangan Non Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/9/PBI/1999 tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank; b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan; dan c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/1/PBI/2003 tanggal 31 Januari 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan Januari 2012 yang disampaikan bulan Februari 2012.
75
Halaman ini sengaja dikosongkan