BULETIN
ISSN : 1693 - 3265 Volume 8, Nomor 3, September 2010
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan Resensi Buku: Konstitusi Ekonomi (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH) Cakrawala Hukum: Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ? Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010
Volume 8, Nomor 3, September 2010
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Direktorat Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Ahmad Fuad, Heru Pranoto, Agus Santoso Pemimpin Redaksi Agus Santoso Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Zulkarnain Sitompul, Wahyudi Santoso, Sudarmaji, Bambang Djauhari, Herminingsih, Rosalia Suci, Suprianto, Hari Sugeng Raharjo, Umi Widji. R. Redaksi Pelaksana Arief. R. Permana, Gufron Baehaki, Hilman Tisnawan, Teddy Yusuf, Anton Purba, Kuwat Wijayanto Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH, LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH, LLM Dr. Inosentius Samsul, SH, LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH, MH Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email:
[email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt 9 Jl M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. “Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi”
Halaman ini sengaja dikosongkan
Dari Meja Redaksi
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8 Nomor 3, Edisi September 2010 kembali hadir dan menyapa pembaca sekalian. Pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) sebagai amanat Pasal 34 UU Bank Indonesia harus dilakukan untuk membangun industri jasa keuangan yang sehat, teratur dan mempunyai daya saing yang tinggi guna mewujudkan perekonomian yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Namun demikian, pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) harus dicermati dari berbagai aspek. Dari aspek filosofis, pembentukan UU mengenai LPJK harus dilihat apakah dapat meningkatkan fungsi administratif kontrol dan manajerial kontrol terhadap otoritas jasa keuangan agar kebijakan yang telah ditetapkan dilaksanakan secara taat asas sesuai peraturan perundang-undangan bebas dari berbagai penyimpangan atau penyelewengan dalam rangka pencapaian tujuan. Dari aspek yuridis, RUU berkaitan LPJK tidak boleh dilihat terpisah dari UU lain yang terkait. Dari aspek sosiologis, penyusunan RUU mengenai LPJK hendaknya secara sungguh mempertimbangkan best practice dan dinamika perkembangan di sektor jasa keuangan. Menyoroti hal tersebut, dalam edisi kali ini Buletin akan khusus menghadirkan artikel berkaitan dengan rencana pembentukan OJK, yaitu: Implikasi Landasan Hukum, Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral, yang ditulis oleh Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM; Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peran dan Fungsi Bank Indonesia di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Sistem Keuangan, yang ditulis oleh Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM; Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, Oleh Dr. Wimboh Santoso, Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia; Independensi Bank Indonesia dan Peran Baru Dalam Stabilitas Sistem Keuangan, oleh Drs. Ec. Abdul Mongid, MA; serta Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan, oleh Oka Mahendra, SH; Sementara itu, dalam rubrik Cakrawala Hukum, redaksi menampilkan pula seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia: RUU OJK, Adakah Solusi ? Selanjutnya sebagai referensi, redaksi juga telah menyediakan resensi buku: Konstitusi Ekonomi. Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Mei sampai dengan Oktober 2010, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Selamat membaca. Jakarta, September 2010
Redaksi
i
Halaman ini sengaja dikosongkan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010
Halaman Dari Meja Redaksi............................................................................................................................................
i
Daftar Isi..........................................................................................................................................................
iii
Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI.......................................................................
1-9
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan...................................
11 - 16
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan........................................................................
17 - 22
Dr. Wimboh Santoso (Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia) Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan...........................................
23 - 36
Drs. Ec. Abdul Mongid, MA Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan.................................................................................
37 - 43
Oka Mahendra, SH Resensi Buku: Konstitusi Ekonomi (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH)..........................................................................................
45 - 46
Veri Dhyatmika Adhiraharja Cakrawala Hukum: Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ?................
47 - 49
Redaksi Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010......................
51 -53
Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia) Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010................................................................................
55 - 70
Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia)
iii
Halaman ini sengaja dikosongkan
Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI Oleh: Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM
A. LANDASAN DAN STATUS BANK INDONESIA
masih merupakan bagian dari Eksekutif. Konsekuensinya Bank Indonesia dituntut transaparan dan memenuhi
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 jo
prinsip akuntabilitas kepada publik dalam menetapkan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank
kebijakannya serta terbuka bagi pengawasan oleh
Indonesia (UUBI), Bank Indonesia adalah Lembaga
masyarakat.
Negara yang independen. Sebagai Lembaga Negara yang independen, Pemerintah dan/atau pihak-pihak
Apakah sebenarnya hakekat independen itu, apakah
lainnya dilarang melakukan campur tangan terhadap
independen berarti BI steril sama sekali dari segala bentuk
pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia (BI).
intervensi?. Adakah batas-batas toleransinya?. Secara
Bahkan ditegaskan di dalam UUBI, BI wajib menolak
teoritis, pada hakekatnya terminologi “independensi“
dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan
itu mempunyai cakupan yang sangat luas.
dari pihak-pihak yang disebutkan di muka. Independence: “the state or condition of being free from Pelanggaran terhadap larangan campur tangan maupun
dependence, subjection or control. Political independence
terhadap kewajiban untuk menolak campur tangan,
is the attribute of a nation or state which is enterely
diancam penjara minimal 2 (dua) tahun, maksimal 5 (lima)
autonomous and not subject to government, control or
tahun serta denda minimal Rp 2 miliar, maksimal Rp 5
dictation of any exterior power“. Independence: “not
miliar. Demikian terangkum dalam Pasal 67 dan 68 UUBI.
depending on autority, self governing, not depend on something for validity or efficiency, not supported by
B. INDEPENDENSI BI
public fund (for institution), unwilling to be under obligation to others, independent of any political aprty
Sebagai Lembaga Negara yang indepedenden, BI adalah
(for politician) (Riyanto Sastroadmodjo, 1999).
badan hukum yang status badan hukumnya diperoleh melalui penetapan Undang-Undang (UU). BI adalah
Jika dikaitkan dengan Independensi Bank Sentral, maka
badan hukum publik, dengan kriteria: cara pendiriannya
independensi Bank Sentral seperti BI terkait hal-hal
dilakukan penguasa negara berdasarkan UU, pelaksanaan
sebagai berikut: Suatu Bank Sentral yang efektif harus
tugasnya berhubungan dengan publik, diberi wewenang
kuat dengan cakupan ekonomi yang luas dalam
membuat peraturan sendiri yang mengikat masyarakat.
operasinya dan terlepas dari campur tangan partisan
Saat ini produk peraturan tersebut dituangkan dalam
serta tekanan partai politik. Sebagai lembaga independen
Peraturan Bank Indonesia (PBI).
di lingkungan pemerintahan suatu Negara, Bank Sentral seharusnya memiliki kemampuan atau otoritas atau
Adapun wewenang yang diberikan oleh UU kepada BI
kewenangan judgment dalam kaitannya dengan
antara lain wewenang mengelola kekayaan sendiri
persoalan kebijakan moneter suatu negara, namun tidak
terlepas dari APBN. Independensi BI memberikan
dalam arti berada dalam posisi isolasi terhadap seluruh
kewenangan yang lebih besar kepada BI dengan
kebijakan perekonomian suatu negara (Paul A Volcker,
harapan akan dapat lebih besar meningkatkan efektivitas
Ex Chairman Board of Governors FRS US 79-87).
pelaksanaan tugasnya. Namun di sisi lain, independensi menuntut tanggung jawab yang lebih besar. Dalam
Itulah kualifikasi dan persyaratan suatu Bank Sentral
sistem ketatanegaraan Indonesia, posisi BI tampaknya
yang independence. Dalam praktek negara maju,
1
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
kualifikasi dan persyaratan itu biasanya melekat dan
2. Kemandirian Fungsi
tercermin di dalam UU yang mengaturnya. Independen diperlukan untuk pengembangan institusi dan
Suatu Bank Sentral dapat dinilai mempunyai
mempertahankan jati dirinya secara bertanggung jawab.
kemandirian fungsi bila ia mempunyai kebebasan
Independen sering terkait dengan prinsip politik yang
dalam menggunakan instrumen-instrumen kebijakan
dianut suatu pemerintah, secara historical maupun
moneter seperti: penyesuaian tingkat suku bunga
tradisional, terutama terletak pada masalah keuangan
dan operasi pasar terbuka (OPT) dan pemberian
pemerintah.
tingkat diskonto atau pengautan tentang kebijakan perkreditan.
Di Amerika Serikat (United State/US ) pemberian status independen Federal Reserve ( FDR ) atau Bank Sentral
Dalam konteks ini kemandirian BI dapat diartikan
Amerika terutama untuk tujuan agar FDR dapat
sebagai kemandirian instrumen yang menggambarkan
mengatur kebijakan moneter US secara bebas dari
bahwa suatu bank sentral memiliki kebebasan memilih
“political presures“ (Lash, 1987: 28)
instrumen yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran moneter yang telah ditetapkan.
C. KEMANDIRIAN BI Hasil dari pelaksanaan kewenangan tersebut di atas, Sebagai Lembaga Negara yang independen, maka BI
sekalipun dengan biaya besar, misalnya dalam hal
dituntut mempunyai kemandirian terutama dalam 4
pelaksanaan OPT, tidak tepat jika dinilai atau dievaluasi
(empat) hal, yaitu: kemandirian institusi, kemandirian
dengan tolak ukur out put yang dicapainya. Bisa jadi
fungsi, kemandirian keuangan dan kemandirian
tidak sebanding, namun itulah keputusan yang
organisasi. Masing-masing kemandirian tersebut dapat
diambil oleh BI yang tidak boleh diintervensi.
diuraikan sebagai berikut. Bank Sentral yang independen harus memiliki 1. Kemandirian Institusi
kebebasan untuk memutuskan kapan dan dalam hal apa saja bantuan kredit atau fasilitas kredit
Kemandirian Institusi diartikan sebagai status BI
likuiditas dapat diberikan. Pasal 10 UUBI mengatakan:
secara institusi terpisah dari kekuasaan eksekutif
”BI dalam mengendalikan kebijakan moneter
dan legislatif. BI diberi kewenangan menetapkan
berwenang menggunakan instrumen-instrumen
kebijakan moneter secara independen dan bebas
moneter yang telah ditetapkan dalam UU tanpa
dari campur tangan pemerintah. Demikian
meminta atau memperoleh persetujuan dari
ditegaskan di dalam Pasal 4 Ayat (2) UUBI.
Pemerintah”. Oleh sebab itu, jika kemandirian fungsi ini dikaitkan dengan kebijakan Kredit Likuiditas Bank
Secara struktural kedudukan BI tidak berada di bawah
Indonesia (KLBI) misalnya, seharusnya kebijakan
atau di dalam Kabinet Pemerintah, namun mempunyai
seperti KLBI ini tidak boleh ditugaskan kepada BI,
kedudukan sejajar dengan Kabinet Pemerintah.
karena akan mengganggu kemandirian fungsi BI. KLBI diberikan untuk membiayai berbagai kredit
2
Kemandirian dalam hal menetapkan kebijakan
program pemerintah. KLBI dikucurkan terutama
moneter merupakan syarat kemandirian institusi.
untuk membiayai pengadaan pangan dan kegiatan
Sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 8 huruf a
yang menyentuh secara langsung kepada usaha
UUBI: BI berwenang untuk menetapkan dan
kecil dan masyarakat berpenghasilan rendah.
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan
Diantaranya untuk Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit
menjaga kelancaran sistem pembayaran serta
Pemilikan Rumah Sederhana dan Sangat Sederhana
mengatur dan mengawasi bank. Kewenangan ini
(KPRS/SS), Kredit Kepada Koperasi Primer untuk
tidak dapat diintervensi Pemerintah. Demikian
anggotanya (KKPA), Kredit Kepada Koperasi (KKOP),
ditentukan di dalam Pasal 9 Ayat (1) UUBI.
Kredit Modal Kerja Kepada BPR (KMK BPR), Kredit
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Kepada Pengusaha Kecil dan Mikro (KPKM) (BI, 2002:
atas, intervensi maupun pressure politik tersebut
20). Oleh sebab itu tepat jika kemudian oleh UUBI
tidak boleh terjadi pada Bank Sentral seperti BI. Oleh
di dalam Pasal 56 KLBI telah dihapuskan, karena
karena itu UUBI mengatur bahwa anggaran BI adalah
dipandang mengganggu konsep kemandirian BI.
mandiri terpisah dari Pemerintah. Terpisah di sini mengandung arti “lepas“ sama sekali dari induknya.
Kalau secara kaedah fungsi BI sebagai Lembaga
Pemerintah tidak menganggarkan kebutuhan
Negara yang mandiri, independen telah diatur secara
keuangan BI. Oleh sebab itulah, maka Pasal 60 UUBI
tegas dalam UU, maka seharusnya perdebatan siapa
mengatakan: “anggaran BI ditetapkan oleh Dewan
yang harus bertanggung jawab atas kebijakan BLBI
Gubernur. Tidak perlu approval DPR, tapi perlu
untuk mengatasi krisis tahun 1997 yang lalu tidak
diinformasikan kepada DPR, sebagai bentuk kontrol
perlu terjadi. Sebagaimana diketahui BI adalah institusi
tidak langsung.
yang paling disorot dalam kasus BLBI tersebut. Saat itu terjadi perdebatan yang berkepanjangan di Panja
4. Kemandirian Organisasi
BLBI seputar apakah BI termasuk dalam jajaran pemerintahan/Kabinet atau tidak (Mintoraharjo,
Kemandirian organisasi diperlukan oleh BI karena
2001: 20). Ada satu pandangan yang mengatakan
sangat erat kaitannya dengan komposisi dari organ
BI termasuk dalam jajaran kabinet. Argumennya
badan hukum BI dan sistem pengangkatan dan
adalah dari segi keuangan dapat dipisahkan, namun
pemberhentian pegawai BI sebagai bank sentral.
dalam kebijakan yang dilakukan BI merupakan
Pihak lain dilarang melakukan campur tangan
pelaksanaan dari kebijakan pemerintah. Pada saat
terhadap pelaksanaan tugas BI, sebaliknya BI wajib
itu BI tidak hanya berfungsi sebagai Bank Sentral,
menolak dan atau mengabaikan segala bentuk
tapi sekaligus sebagai agent of development yang
campur tangan dari pihak luar. Setiap pihak yang
punya kaitan dengan kebijakan perekonomian
melakukan campur tangan dikenai sanksi yang
pemerintah secara keseluruhan. Pandangan lain
tegas. Demikian dalam disimpulkan dari ketentuan
mengatakan tidak demikian. BI adalah lembaga yang
Pasal 67 jo Pasal 9 UUBI.
independen, lembaga yang otonom berdasarkan UU No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral waktu itu.
Belakangan ini independensi dan kemandirian serta
Perbedaan pandangan demikian seharusnya tidak
kredibilitas BI diuji, karena ditengarai di dalam
perlu terjadi jika semua pihak benar-benar memahami
pelaksanaan BI sebagai Lembaga Negara yang
fungsi Bank Sentral sebagai Lembaga Negara yang
independen, ternyata BI belum mampu menempatkan
independen, mandiri dari segi fungsinya, sebagaimana
dirinya sebagaimaan dikehendaki oleh UUBI. Netralitas
kami kemukakan di atas.
BI sebagai bank sentral ternyata belum sepenuhnya benar-benar mampu mandiri. Intervensi dan pressure
3. Kemandirian Keuangan
politik masih sering mempengaruhi kinerja dan kebijakan yang dijalankan oleh BI sebagai Lembaga Negara yang
Mengacu kepada peran Pemerintah dan DPR
independen. Akibatnya begitu BI menjalankan tugas-
terhadap anggaran bank sentral, maka diperlukan
tugasnya sebagaimana diamanatkan oleh UUBI, banyak
adanya kemandirian keuangan pada BI. Mengapa
pihak kemudian mempermasalahkan landasan hukum
demikian, karena bila dalam masalah keuangan
kebijakan dalam rangka pelaksanaan tugas BI, status
terdapat kontrol dari Pemerintah, hal ini akan berarti
dan kewenangan BI. Tidak mustahil pula kemudian
bahwa BI tidak lagi bisa memainkan peran
banyak kalangan pemerhati BI yang juga menengarai
independensinya secara optimal. Dengan adanya
intervensi dan pressure politik tersebut sebagai upaya
kontrol pemerintah akan sangat rentan intervensi
lain yang bertujuan merongrong pencapaian kinerja
atau pressure politik, khususnya berkaitan dengan
dan pelaksanaan tugas BI.
kebijakan moneter. Secara teoritis mengacu pada difinisi independen sebagaimana dikemukakan di
3
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
D. POSISI BI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
MPR
Lembaga Tertinggi Negara
Menyampaikan Laporan Keuangan BI yang telah diperiksa Lembaga Tinggi Negara
Badan Pemeriksa Keuangan
Memeriksa Laporan Keuangan BI
Presiden
Dewan Perwakilan Rakyat
Informasi Tertulis Triwulan/sewaktu-waktu
Informasi Tahunan Tertulis
Kepala Negara
Kepala Pemerintahan
Mahkamah Agung
UU BI (UUD 45) Pimpinan BI (UUBI)
Mengambil Sumpah dan Janji Anggota Dewan Gubernur
Bank Indonesia Lembaga Negara yang Independen dan Badan Hukum
Lembaga Negara (UU No. 23/1999 joUU No.3/04
Dewan Pertimbangan Agung
Departemen
Publik (Informasi Tahunan)
Sumber : Diolah kembali dari BI dan Rahbini, 2000.
Struktur Bank Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
MPR
Presiden Bank Indonesia
Kepala Negara
Kepala Pemerintahan
1. Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan Moneter: a. Inflasi b. Nilai Tukar 2. Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran 3. Mengatur dan Mengawasi Bank
Sumber : Rahbini, 2000 : 166.
4
DPR
Peraturan Bank Indonesia
DPA
BPK
Peraturan Pemerintah
MA
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Status BI yang independen dan mandiri sebagaimana
E. TUJUAN DAN TUGAS BANK INDONESIA
diuraikan di atas, secara legal berdasarkan UUBI, dapat dipelajari bahwa posisi BI dalam system ketatanegaraan
Menurut Pasal 7 UUBI, BI hanya mempunyai satu tujuan
Indonesia terlihat tidak sejajar dengan DPR, Mahkamah
yaitu: MENCAPAI & MEMELIHARA KESTABILAN NILAI
Agung, BPK maupun Presiden sebagai Lembaga Tertinggi
RUPIAH
Negara ( Rahbini, 2000 : 167 ). Posisi BI juga tidak sejajar
Pencapaian dan pemeliharaan kestabilan nilai Rupiah,
atau sederajat dengan Depertemen atau Kementeraian
tercermin pada:
Departemen, karena posisi BI berada di luar Pemerintahan
Terhadap barang dan jasa = inflasi
atau Kabinet. Secara legal menurut hemat saya, pendekatan
Terhadap mata uang negara lain = kurs
demikian yang tepat, karena berdasarkan UUBI tegas dikatakan di dalam Pasal 4 bahwa BI adalah Lembaga
Menurut Pasal 8 UUBI, guna mencapai tujuan kestabilan
Negara yang independen. BI adalah Lembaga Negara bukan
nilai tukar rupiah, BI memiliki tiga tugas yaitu:
Lembaga Pemerintah. Pemerintah boleh menyusun
•
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
kabinetnya dan setiap saat boleh diganti atau berubah-
•
Mengatur dan menjaga kelancaran sistem
ubah dan oleh UU perubahan seperti itu menjadi hak prerogative Presiden, namun untuk posisi BI berdasarkan
pembayaran; •
Mangatur dan mengawasi bank.
UU tidak perlu harus ikut arus perubahan seperti dalam sistem kabinet dan/atau pemerintahan.
Tugas Penetapan dan Pelaksanaan Kebijakan Moneter Dalam rangka melaksanakan tugas menetapkan dan
Di sinilah sebenarnya posisi BI sebagai Bank Sentral yang
melaksanakan kebijakan moneter, BI menetapkan sasaran
tidak boleh dicampuri oleh pihak manapun, termasuk
inflasi dengan memperhatikan perkembangan dan prospek
Pemerintah. Jadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
ekonomi makro, terutama perkembangan harga. Untuk
BI adalah Lembaga Negara yang independen. BI tidak
mencapai sasaran laju inflasi, BI menetapkan sasaran
berada dalam struktur kabinet atau struktur Pemerintahan,
besaran moneter atau likuiditas perekonomian.
posisinya berada di luar strtuktur tersebut dan mandiri. Rahbini mengatakan bahwa kedudukan BI adalah sejajar
Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan
dengan kedudukan Presiden. Sebagai Lembaga Negara BI
berbagai instrumen a.l. Operasi Pasar Terbuka (OPT),
dikatakan mengambil sebagian peran Presiden sebagai
penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib
Kepala Negara. Kedudukan seperti ini belum dipahami
minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.
oleh banyak kalangan, sehingga memerlukan sosialisasi yang lebih mendalam (Rahbini, 2000 : 167).
Dalam melaksanakan tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, BI tetap mempunyai fungsi sebagai
Jika poisisi demikian dipahami kebenarannya, maka
lender of the last resort yang memungkinkan BI membantu
perdebatan tentang apakah BI merupakan bagian dalam
kesulitan pendanaan jangka pendek yang dihadapi bank.
Kabinet Pemerintahan atau bukan, seperti yang terjadi pada
Pemberian bantuan dana kepada bank dalam rangka tugas
waktu-waktu yang lalu, seperti terkait dengan perdebatan
sebagai lender of the last resort tersebut dibatasi jangka
tentang kasus BLBI di Panja BLBI yang lalu seharusnya tidak
waktunya, yaitu paling lama 90 hari; Penggunaannya hanya
perlu terjadi. Jika hal ini dikaitkan dengan perbincangan
untuk kepentingan mismatch dan harus dijamin dengan
tentang sudah saatnya atau belum kehadiran OJK atau LPJK
surat berharga yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan.
untuk menggantikan peran BI sebagai Pengawas Perbankan,
Demikian dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 11 UUBI.
barangkali memerlukan perenungan atau penyimakan lebih mendalam, sebagaimana akan dibahas pada uraian di bawah,
Berpijak dari pengalaman krisis moneter tahun 1997/98
mengingat pemahaman tentang posisi atau kedudukan,
yang lalu, menurut hemat saya seyogyanya BI tidak lagi
kemandirian BI sebagai Bank Sentral saja oleh sementara
masuk ke ranah pendanaan Bank yang menghadapi masalah
kalangan pemerhati di bidang perbankan belum sepenuhnya
insolvency. Mengapa demikian, karena menurut hemat
benar.
saya jika hal ini dilakukan oleh BI, risikonya akan terlalu
5
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
besar, jika ternyata Bank yang Insolven tersebut tidak
Dalam jangka pendek, kebijakan perbankan diarahkan
kunjung dapat disehatkan bahkan bisa jadi akan semakin
untuk mempercepat penyehatan bank-bank agar dapat
kolaps dan kemudian menghadapi pailit yang sudah pasti
mendukung pemulihan ekonomi.
tidak mungkin dapat diharapkan mampu mengembalikan dana bantuan tersebut. Satu-satunya jalan adalah dana
Yang menjadi perhatian saat ini adalah kaitannya dengan
bantuan pendanaan tersebut kemudian hanya akan dijadikan
tugas mengawasi bank. Amanat UU tugas pengawasan
penyertaan.Sementara itu kebijakan penyertaan tersebut
bank tersebut akan dialihkan kepada lembaga pengawasan
tidak boleh berlangsung terus. Pada saatnya harus dijual
sektor jasa keuangan yang akan dibentuk dan diharapkan
lagi kepada investor atau pihak ketiga yang berminat dan
paling lambat akhir tahun 2010. Nama lembaga pengawas
memadai. Disinilah persoalan akan muncul, jika ternyata
tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan, di mana Rancangan
hasilnya tidak juga mampu menutup dana bantuan yang
Undang-undangnya sudah disiapkan baik oleh Departemen
telah dikeluarkan tersebut.
Keuangan, DPR ataupun BI sendiri. Diharapkan pada saat pengalihan tugas pengawasan bank kepada lembaga
Selanjutnya, dalam rangka menjalankan tugas menetapkan
pengawas yang baru tersebut, bank-bank yang selama ini
dan melaksanakan kebijakan moneter, BI mempunyai
mengalami masalah likuiditas dan masalah penyehatan
wewenang untuk melaksanakan kebijakan nilai tukar
akan benar-benar telah dapat disehatkan, sehingga tidak
berdasarkan sistem nilai tukar yang ditetapkan Pemerintah
menimbulkan masalah baru dikemudian hari.
atas usul BI. Tugas ini erat kaitannya dengan masalah lalulintas devisa dan system nilai tukar sebagaimana diatur
F. KEHADIRAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)
dalam UU Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
ATAU LEMBAGA PENJAMIN JASA KEUANGAN (LPJK).
Di samping itu, menurut Pasal 13 UUBI, BI juga bertugas
Jika mendasarkan pada amanat Pasal 34 UUBI
mengelola cadangan devisa negara yang ada di BI.
sebenarnya OJK atau LPJK tersebut diharapkan sudah
Pengelolaan cadangan devisa tersebut dilakukan dengan
terbentuk pada akhir tahun 2002 .Hal tersebut berarti
memperhatikan prinsip security, liquidity, dan probity.
Undang-undang OJK sudah harus lahir pada tahun 2002 tersebut. Namun pada kenyataannya sampai saat ini
Tugas Pengaturan dan Penyelenggaraan Sistem
UUOJK tersebut belum juga kunjung ada. Kemudian
Pembayaran
diharapkan akhir tahun 2010 UUOJK diharapkan sudah
Dalam menjalankan tugas pengaturan dan penyelenggaraan
bisa disetujui dan disahkan oleh DPR bersama-sama
sistem pembayaran, menurut Pasal 15 UUBI, BI berwenang:
dengan Pemerintah.
•
Melaksanakan dan memberikan persetujuan serta izin
• •
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran
Dengan hadirnya OJK, maka Lembaga keuangan Bank
Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran
maupun bukan Bank nantinya akan diawasi oleh OJK
untuk menyampaikan laporan kegiatannya
tersebut. Namun demikian, saat ini masih banyak
Menetapkan penggunaan alat pembayaran
kalangan yang mempertanyakan apakah kehadiran OJK tersebut benar-benar sudah merupakan kebutuhan
Tugas Pengaturan dan Pengawasan Bank
untuk mengawasi dalam satu atap lembaga keuangan
Selanjutnya dalam rangka tugas pengaturan dan pengawasan
bank maupun non bank, termasuk pasar modal dan
bank, menurut Pasal 24 UUBI, BI berwenang:
asuransi. Saat ini justru banyak kalangan juga yang
•
Menetapkan peraturan di bidang perbankan
mengkawatirkan kehadiran OJK tidak akan mampu
•
Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan
mengambil alih fungsi pengawasan tersebut, jika fakta
kegiatan tertentu dari bank
efouria saat ini tidak mencerminkan kesiapan SDM yang
Melakukan pengawasan bank baik langsung maupun
memadai untuk mendukung kehadiran OJK tersebut.
•
tidak langsung •
6
Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan
Coba bandingkan dengan kasus Pajak yang
ketentuan perundang-undangan
menghebohkan saat ini, banyak pihak menyatakan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
bahwa kehadiran Pengadilan Pajak ternyata bukan solusi
Pejabat/pensiunan BI seperti halnya pada Peradilan Pajak,
terbaik untuk mendukung reformasi sistem perpajakan
maka jujur saya khawatir kasus serupa akan terjadi juga
di Indonesia.
di OJK tersebut. Jika konstatasi ini benar, maka menurut hemat saya saat ini masih perlu dikaji ulang apakah
Pernyataan yang layak direnungkan saat ini adalah,
mandat Pasal 34 UUBI tersebut sudah sepenuhnya tepat
persoalan sebenarnya atau persoalan substansial terkait
dan benar. Jangan-jangan mandat tersebut hanya
dengan krisis perbankan selama ini yang ditengarai
didasari atau dilatarbelakangi oleh sikap emosional
antara lain karena pelaksanaan fungsi pengawasan BI
karena trauma masa lalu.
kurang memadai, apakah persoalan tersebut terletak pada lembaganya atau pada SDMnya ?. Bercermin
Jika pandangan ini diterima, bukankah yang lebih
pada Peradilan Pajak sebagaimana dikemukakan di
esensial dan substansial adalah persoalan reformasi
atas, bukankah hal tersebut secara substansial persoalan
SDM bukan reformasi kelembagaannya. Secara sistem
mendasar adalah terletak pada SDMnya yang tidak
barangkali kelembagaannya sudah benar, sudah tepat
kredibel, tidak qualified, tidak jujur dan mempunyai
berada di jajaran BI, akan tetapi SDM pemegang kunci
kemampuan maupun integritas yang tinggi. Jika
pengambil keputusan dan/atau kebijakan di bidang
kehadiran OJK nanti ternyata hanya akan memindahkan
tugas pengawasan yang harus direformasi dan bukan
SDM Divisi Pengawasan BI ke lembaga baru yang
sistemnya.
bernama OJK, jika tidak dibarengi dengan SDM yang
Saya kawatir kehadiran OJK yang mengambil fungsi
memadai, kredibel, mempunyai integritas yang tinggi,
pengawasan BI atas Bank-bank Umum, akan tetap
tegas dalam menjalankan fungsi pengawasan yang
tumbuh atau bertabrakan dengan fungsi pengaturan
mandiri, independen, saya kawatir hal intu hanya akan
BI yang secara tidak langsung akan bersinggungan
menimbulkan masalah baru dikemudian hari.
dengan fungsi pengawasan (macroprudential).
Saya terus terang kawatir kehadiran OJK yang dimanatkan
G. HUBUNGAN DENGAN LEMBAGA LAIN
oleh Pasal 34 UUBI tersebut, hanya dilatar belakangi oleh sikap traumatis pembentuk UU waktu itu terhadap
Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, hubungan
peristiwa krisis perbankan masa lalu yang satu diantaranya
BI dengan Presiden dapat digambarkan sebagai berikut.
ditengarai karena pelaksanaan tugas pengawasan BI terhadap bank-bank umum di Indonesia yang kurang
Hubungan dengan Presiden sebagai Kepala Negara,
efektif.
Presiden berwenang: •
Jika konstatasi ini benar, maka kehadiran OJK sebenarnya
Mengusulkan dan mengangkat Gubernur & Deputi Senior
belum tentu mencerminkan solusi tepat pengaturan dan
•
Mengangkat Deputi Gubernur
pembenahan tugas dan fungsi pengawasan perbankan
•
Mengusulkan calon Gubernur & Deputi Senior
saat ini. Bercermin pada kasus Pajak sebagaimana saya kemukakan di atas, kehadiran Pengadilan Pajak yang
kepada DPR •
hanya diisi oleh SDM dari Pegawai Pajak dan Mantan Pegawai Pajak dan/atau Konsultan Pajak dengan dalih
DPR menyampaikan hasil persetujuannya kepada Presiden untuk diangkat
•
merekalah yang mempunyai pengalaman dan keahlian
Memberikan persetujuan tertulis jika anggota Dewan Gubernur akan menjalani proses hukum.
dibidang pajak, ternyata tidak memberikan solusi terbaik sistem pengelolaan perpajakan di Indonesia, ternyata
Hubungan dengan Makamah Agung, Mahkamah
juga masih rentan dengan KKN yang sungguh
Agung yang bertugas mengambil sumpah/janji anggota
membahayakan kepentingan publik dan keuangan negara.
Dewan Gubernur. Hubungan dengan Badan Pemeriksa Keuangan:
Jika kehadiran OJK ternyata juga hanya akan diisi oleh SDM dari BI yang dieksodus ke LPJK/OJK dan mantan
•
Menerima dan melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan tahunan BI
7
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
• •
Melakukan pemeriksaan khusus terhadap BI apabila
•
Dalam melaksanakan tugasnya, LPJK yang akan
diminta oleh DPR
datang mempunyai kewajiban melakukan koordinasi
BPK menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada
& kerja sama dengan BI sebagai bank sentral. Kerja
DPR.
sama tersebut akan di atur dalam UU LPJK atau OJK yang akan datang, sebagaimana diamanatkan oleh
Hubungan dengan Pemerintah: •
Pasal 34 UUBI.
Hubungan dengan Kantor Menteri Sekretaris Negara untuk pemuatan PBI dalam Lembaran Negara RI.
H. PENUTUP
Hubungan dengan Bea & Cukai dalam hal larangan
Dengan mendasarkan pada UUBI sebagaimana beberapa
membawa uang rupiah ke luar atau ke dalam wilayah
kaedahnya telah di bahas dalam uraian di atas, implikasi
pabean RI:
terhadap independensi dan posisi dalam sistem
•
BI mengelola cadangan devisa milik negara
ketatanegaraan bagi pencapaian tujuan dan pelaksanaan
•
Pemerintah dapat hadir dalam Rapat Dewan
tugas BI sebagai Bank Sentral RI, ternyata masih
Gubernur (RDG) bulanan untuk menetapkan
menyisakan perbedaan pemahaman diantara sebagian
kebijakan umum di bidang moneter dengan hak
kalangan pemerhati BI sebagai Lembaga Negara yang
bicara tanpa hak suara
independen. Secara kaedah pengaturan independensi
•
BI sebagai pemegang kas Pemerintah
BI sebagai Bank Sentral sebenarnya sudah cukup tegas,
•
Untuk dan atas nama Pemerintah dapat menerima
sebagaimana dapat dilihat pada ketentuan Pasal 8
pinjaman luar negeri, menatausahakan, serta
UUBI. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa
menyelesaikan tagihan & kewajiban keuangan
independensi tersebut masih sering tidak dapat
Pemerintah terhadap pihak luar negeri
diimplementasikan secara benar di dalam praktek karena
Pemerintah wajib meminta pendapat dan/atau
adanya intervensi baik dari Pemerintah maupun pressure
mengundang BI dalam sidang kabinet yang
politik.
•
membahas masalah ekonomi, perbankan &
• •
keuangan, atau masalah lain yang berkatan dengan
Kehadiran OJK atau LPJK sebagai salah satu solusi untuk
tugas & wewenang BI
menempatkan peran pengawasan perbankan pada
Pemerintah wajib konsultasi dengan BI & DPR dalam
Institusi mandiri di luar BI, ditengarai masih menyisakan
penerbitan surat-surat utang negara
problem mendasar dikemudian hari, karena kesiapan
BI dapat membantu Pemerintah dalam penerbitan
SDM untuk itu masih mengambil atau hanya
surat-surat utang negara.
memindahkan saja Direktorat Pengawasan BI menjadi
•
Menerima sisa surplus hasil kegiatan BI
bagian dari Lembaga Pengawasan yang baru tersebut.
•
Pemerintah dengan persetujuan DPR wajib menutup
Kajian kritis berkaitan dengan hal itu adalah apakah
kekurangan dalam hal modal BI menjadi kurang
kehadiran OJK atau LPJK itu sudah benar-benar
dari Rp 2 triliun
merupakan kebutuhan atau justru hanya merupakan efouria karena trauma masa lalu sebagai dampak dari
Hubungan Internasional, BI bertugas:
krisis perbankan yang berkepanjangan yang satu
•
Melakukan kerja sama dengan bank sentral negara
diantaranya adalah karena fungsi pengawasan BI tidak
lain, organisasi dan lembaga internasional
optimal.
•
Apabila keanggotaan suatu lembaga internasional/ multilateral dipersyaratkan adalah negara, BI dapat bertindak sebagai anggota lembaga tersebut untuk dan atas nama Negara
Hubungan dengan Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan yang Independen yang akan datang.
8
Referensi
Bank Indonesia, 2002, Mengurai Benang Kusut BLBI, Bank Indonesia. Lash, Nicholas, A.,1987, Banking Law and Regulations: An Economis Perspentive, Prentice-Hall Inc, USA. Mintorahardjo, Sukowaluyo, 2001., BLBI Simalakama, Resi, Jakarta. Macey, Jonathan, R and Miller, Geoffrey, P., 1992, Banking Law and Regulation, Litle Brown Company, Boston, Toronto, London. Rahbini, Didik J; Suwidi Tono, 1987, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, PT. Mardi Mulyo, Jakarta. UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. UU NO. 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia.
9
Halaman ini sengaja dikosongkan
Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan Oleh: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM**
Apabila judul makalah ini didekati dari teori hukum, maka
Artinya kedudukan Bank Sentral dalam struktur
teori hukum itu memberikan sarana kepada kita untuk
ketatanegaraan terpatri atau memperoleh mandat dari
merangkum dan memahami masalah implementasi Pasal
konstitusi yang sekaligus memberikan jaminan dari konstitusi
34 “Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
untuk Bank Sentral yang independen.
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, terakhir dengan Undang-Undang
Apabila diperhatikan secara mendalam, maka penafsiran
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia.” (“UUBI”).
bahwa Bank Sentral ditentukan dalam pasal 23D UUD 1945 adalah Bank Indonesia, sebagaimana telah pula ditentukan
Dengan ini dapat dipahami persoalan-persoalan yang bersifat
dalam pasal 4 ayat (1) UU BI. Berdasarkan hukum Bank
yang hakiki dari UUBI itu. Radbruch menyatakan, bahwa
Indonesia telah ditentukan sebagai Bank Sentral dan
tugas teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai serta
kedudukannya diakui oleh konstitusi.
postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.1
Untuk itu dapat dipahami berbagai pendapat yang mengkaji kedudukan bank sentral yang independen dalam konstitusi.
Berdasarkan itu harus diteliti antara lain sebagai berikut.2
Seperti dikatakan oleh Arend Lijhart, bahwa “A central
Petama, mengapa UUBI itu berlaku? Kedua, apa dasar
bank can be made particularly strong if us independence
kekuatan mengikatnya ? Ketiga, apa yang menjadi tujuan
is enshrined not just a central bank charter but in the
UUBI.? Keempat, bagaimana seharusnya UUBI dipahami?
constitution”. Sementara itu, John Elster menyatakan pula, bahwa “…they cannot be change through the ordinary
UU BI merupakan derivatif dari ketentuan pasal 23 UUD
legislative pocess but require a more stringent procedure".3
1945. Konstitusi itulah yang menjadi desain utama dan pokok dari keseluruhan sistem aturan yang berlaku sebagai pegangan bersama dalam kehidupan warga Negara dalam ** Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari Universitas Indonesia (2001), Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU (2004), Dosen Fakultas Hukum USU Medan, tahun 1987-sekarang, Dosen Pascasarjana Hukum USU Medan, tahun 1999-sekarang, Dosen Magister Manajemen Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Kenotariatan Pascasarjana USU Medan, tahun 2002-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Pancasila Jakarta, tahun 2001-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Krisnadwipayana Jakarta, tahun 2001–2002, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), Jakarta, tahun 2003-sekarang. Magister Hukum Pascasarjana Universitas Islam, Jakarta, tahun 2004-sekarang. Dosen Magister Hukum Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta, 2005. Dosen Penguji dan Pembimbing Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, tahun 2002-sekarang. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2006-sekarang. 1
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 224225.
2
Bandingkan. Satjipto Rahardjo, Op. Cit, halaman. 225
suatu Negara, yang keseluruhannya membentuk suatu kesatuan sistem hukum. Karena itu, hukum dan konstitusi disuatu Negara itu haruslah menjadi sesuatu yang hidup dalam praktek kehidupan bernegara sehari-hari. Dari sinilah kita dapat meyakini “the rule of law” atau prinsip supremasi hukum (supremacy of law) dapat benar-benar diwujudkan dalam kenyataan. Jika tidak, niscaya prinsip “the rule of law” dan “supremacy of law” itu hanya menjadi jargon atau slogan kosong belaka.4 3
Arend Lijphart dan jon Elster dalam Maqdir Ismail, “Independensi, Akuntabilitas, dan Transparansi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral: Studi Perbandingan Undang Undang Bank Indonesia”, Disertasi pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2005), hal.263.
4
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal.79.
11
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Dalam konteks kedudukan Bank Sentral dalam konstitusi
memberikan independen kepada bank sentral sebenarnya
memberikan penjelasan bahwa tata urutan atau susunan
tidak berdasar. Independensi tidak berarti bank sentral bebas
hierarkis tatanan hukum berkenaan dengan kegiatan
menjalankan kebijakan moneter yang mereka inginkan.
perbankan, termasuk pengawasan bank, harus bertitik
Independen berarti bank sentral dapat menggunakan
tolak kepada ketentuan yang mengatur tentang Bank
instrumen yang dimilikinya untuk mencapai tujuan yang
Sentral sebagaimana telah ditentukan dalam konstitusi.
telah ditetapkan oleh sistem politik tanpa adanya campur
Sebab apabila dipostulasikan dengan norma dasar, konstitusi
tangan dari pihak diluar bank sentral. Ini yang disebut
menempati urutan tertinggi dalam hukum nasional.
dengan ”instrument independence” bukan ”goal
Konstitusi tidak hanya menentukan organ-organ dan
independence”. Konsekwensi independen bagi bank sentral
prosedur pembentukan undang undang, tetapi juga sampai
adalah harus lebih akuntabel untuk tindakan yang dilakukan
derajat tertentu, isi dari hukum yang akan datang. Konstitusi
dan kebijakan moneter yang dilakukan secara transparan.
menentukan secara negatif bahwa hukum tidak boleh
Menarik untuk dicermati bahwa meskipun pada awalnya
memuat isi tertentu, misalnya bahwa parlemen tidak boleh
ada keraguan dalam memberikan independensi kepada
mengesahkan (rancangan) undang undang yang
bank sentral pada akhirnya masyarakat sangat puas terhadap
bertentangan dengan
konstitusi.5
independensi bank sentral. Tidak ada satu negara pun yang menyesal telah memberikan independensi kepada bank
Dengan demikian, peranan dan tugas Bank Indonesia yang
sentralnya.7 Terdapat kesepakatan diantara para ahli bahwa
independen sebagai Bank Sentral sebagaimana ditentukan
bank sentral independen yang bebas dari campur tangan
dalam konstitusi, harus dipertahankan kedudukannya,
pemerintah dapat mencapai tujuan menjaga stabilitas harga
termasuk tidak ada undang-undang yang akan datang yang
dengan lebih baik. Untuk mencapai kestabilan harga
dapat mencabut fungsi dan tugas bank Indonesia. Mengingat
dibutuhkan waktu lebih panjang dan komitmen tinggi
peranan dan tugas bank Indonesia sangat penting dan
terhadap pengawasan moneter.
berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama yang berhubungan dengan masalah
Alan S. Blinder menyatakan bahwa independensi bank
ekonomi, perbankan dan keuangan. Selanjutnya
sentral dapat berarti dua hal. Pertama, bank sentral memiliki
independensi Bank Indonesia harus dipahami juga sebagai
kebebasan untuk menentukan bagaimana untuk mencapai
suatu hal yang penting untuk menjamin
demokrasi.6
tujuannya, dan kedua, keputusan-keputusan yang diambil olehnya sulit untuk dibatalkan oleh cabang-cabang atau
Kedudukan Independensi Bank Indonesia
lembaga pemerintahan lainnya.8 Kebebasan dalam menentukan bagaimana untuk mencapai tujuannya bukan
Independensi merupakan salah satu isu penting dalam
berarti bahwa bank sentral dapat menentukan sendiri
membahas peran Bank Sentral. Memiliki suatu bank sentral
tujuannya, karena tujuan bank sentral secara umum tentu
yang independen mungkin merupakan elemen proses
saja ditetapkan melalui legislasi yang disepakati bersama
reformasi moneter yang memicu perdebatan sengit dan
melalui suatu sistem demokrasi. Tapi yang dimaksud adalah
dianggap sangat kontroversial pada dekade yang lalu. Secara
bahwa bank sentral memiliki diskresi yang luas mengenai
alamiah para politisi merasa tidak nyaman memberikan
bagaimana menggunakan instrumen-instrumennya untuk
independensi kepada bank sentral karena mengurangi
mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui undang-
kewenangan dalam bidang-bidang penting yang selama ini
undang.9
mereka miliki. Namun demikian keprihatinan para politisi
5
6
7 Bandingkan. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung, penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006), hal. 180181.
Lars Nyberg, “The Framework of Modern Central Banking”, Speech at a Conference on Reforming the State Bank of Thailand, Hanoi, 21 March 2006
8
Alan S. Blinder, Central Banking in Theory and Practice, (Cambridge: The MIT Press, 1998), hal. 54.
Bandingkan. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal.157.
9
Ibid.
12
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Lebih jauh lagi, Blinder menegaskan mengapa independensi
menetapkan tiga tugas Bank Indonesia yaitu : (1) menetapkan
bank sentral menjadi begitu penting. Kebijakan moneter
dan melaksanakan kebijakan moneter; (2) mengatur dan
menurut Blinder memerlukan yang ia sebut sebagai long
menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta; (3) mengatur
time horizon, atau pandangan yang jauh kedepan10. Hal
dan mengawasi bank. Oleh karena itu pelaksanaan amanat
ini karena, pertama, efek-efek yang dihasilkan dari suatu
Pasal 34 berpotensi menyulitkan BI dalam mencapai tujuan
kebijakan moneter, seperti yang terkait dengan inflasi baru
yang diamanatkan oleh UU BI. Pasal 34 tersebut telah
dapat dilihat setelah sekian waktu lamanya, sehingga para
mengamputasi instrumen penting yang dimiliki BI dalam
decision makers tidak bisa langsung melihat hasil kerja
mencapai tujuannya.
mereka. Kedua, kebijakan-kebijakan moneter memiliki karakteristik yang sama seperti halnya aktivitas investasi,
Dari sejarah pembentukan UU BI diketahui bahwa
yaitu memerlukan sesuatu dibayar dimuka, dan akan
keberadaan Pasal 34 dipenuhi kontroversi. Pasal tersebut
mendapatkan hasil secara berkala setelah sekian waktu.11
didasarkan pada pandangan yang keliru tentang lembaga yang bertanggung jawab atas krisis keuangan yang terjadi
Tetapi, orang-orang politik yang duduk di pemerintahan,
pada tahun 1997/98. BI dianggap tidak dapat menjalankan
bukanlah orang-orang yang memiliki kesabaran ataupun
tugasnya dengan efektif sehingga menimbulkan krisis
long time horizon. Kebanyakan dari mereka hanya melihat
keuangan yang parah. Pandangan ini tidak sepenuhnya
segala sesuatunya dalam short-term basis saja, tanpa
beralasan. Bila diteliti struktur pengawasan perbankan
mempertimbangkan long term gains.12 Dari sini dapat
pada waktu itu akan diketahui bahwa pengawasan bank
dilihat betapa bahayanya, apabila kebijakan moneter bank
dilakukan oleh dua lembaga yaitu BI dan Departemen
sentral yang mempengaruhi kondisi negara secara makro
Keuangan. BI bertugas mengawasi bank dalam arti sempit
diintervensi secara politis.
(audit) sedangkan tugas mengatur dan memberi/mencabut ijin usaha bank ada pada Departemen Keuangan. Oleh
Dampak Keberlakuan Pasal 34 UU BI
sebab itu tidak efektifnya tugas pengawasan bank sehingga memicu terjadi krisis pada tahun 1997/1998 tentunya
Pasal 34 UU BI mengamanatkan pembentukan Lembaga
adalah tanggung jawab bersama kedua lembaga tersebut.
Pengawas Sektor Keuangan (LPJK) paling lambat pada tahun
Berdasarkan latar belakang seperti itu maka penerapan
2010. Amanat Pasal 34 tersebut sejak awal penyusunannya
Pasal 34 UU BI perlu dikaji ulang secara komprehensif.
telah mengandung kontroversi dan perdebatan. Berdasarkan Pasal 34 UU BI fungsi BI dalam mengawasi bank dialihkan
Secara teoritis, terdapat dua aliran (school of thought) dalam
kepada LPJK. Pengalihan fungsi pengawasan bank dari bank
hal pengawasan lembaga keuangan. Di satu pihak terdapat
sentral di negara yang industri keuangannya didominasi
aliran yang mengatakan bahwa pengawasan industri
oleh industri perbankan tentunya menimbulkan perdebatan
keuangan sebaiknya dilakukan oleh institusi tunggal.
dan memicu kontroversi. Bank sentral yang diberikan
Di pihak lain ada aliran yang berpendapat pengawasan
tanggung jawab untuk menciptakan stabilitas nilai rupiah
industri keuangan lebih tepat apabila dilakukan oleh beberapa
tentu akan menemukan kesulitan untuk memenuhi tanggung
lembaga. Di Inggris misalnya industri keuangannya diawasi
jawab tersebut apabila tidak memiliki kewenangan
oleh Financial Supervisory Authority (FSA), sedangkan di
mengawasi bank. Itu sebabnya UU BI meletakan tujuan BI
Amerika Serikat industri keuangan diawasi oleh beberapa
dalam Pasal 7 yaitu mencapai dan memelihara kestabilan
institusi. SEC misalnya mangawasi perusahaan sekuritas
nilai rupiah dan untuk mencapai tujuan mencapai dan
sedangkan industri perbankan diawasi oleh bank sentral
memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut Pasal 8 UU BI
(the Fed), FDIC, dan OCC. Alasan dasar yang melatarbelakangi kedua aliran ini adalah kesesuaian dengan sistem perbankan yang dianut oleh negara tersebut. Juga, seberapa dalam
10 Ibid. hal.55.
konvergensi di antara lembaga-lembaga keuangan. Dari sudut sistem, terdapat dua sistem perbankan yang berlaku
11 Ibid.
yaitu commercial banking system dan universal banking
12 Ibid. hal.55-56.
system. Commercial banking, seperti yang berlaku di negara
13
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
kita dan di Amerika Serikat, melarang bank dalam melakukan
dalam jasa keuangan sifatnya masih sederhana dan
kegiatan usaha keuangan non bank seperti asuransi. Hal
volumenya belum besar sehingga belum dapat dikatakan
ini berbeda dengan universal banking, dianut oleh antara
sebagai masalah krusial yang dapat menimbulkan masalah
lain negara-negara Eropa dan Jepang yang membolehkan
sistemik. Produk hybrid adalah produk yang merupakan
bank melakukan kegiatan usaha keuangan non bank
perpaduan antara produk perbankan, asuransi atau pasar
seperti investment banking dan asuransi. Di samping alasan
modal. Di Indonesia, produk-produk tersebut masih
sistem perbankan yang berlaku yang juga menjadi dasar
merupakan produk asuransi atau pasar modal murni sehingga
pertimbangan adalah seberapa dalam telah terjadi
dalam hal ini bank hanya berfungsi sebagai penjual (agent)
konvergensi pada industri keuangan. Konvergensi yang
dan mendapatkan komisi (fee) dari jasanya tersebut. Ambil
dalam akan menyebabkan munculnya masalah kewenangan
contoh produk hybrid yang baru dikenal di Indonesia yaitu
regulasi. Hal ini terjadi karena produk-produk yang dihasilkan
bancassurance yang memiliki dua pengertian yaitu: Pertama,
lembaga-lembaga keuangan sudah sedemikian menyatunya
a bank that can offer banking, insurance lending and
sehingga sulit menentukan apakah suatu produk keuangan
investment product to customer, Kedua, a French term
tertentu dihasilkan oleh industri perbankan sehingga diregulasi
referring to the selling of insurance through a bank’s
oleh bank sentral atau produk perusahaan sekuritas dan
established distribution channel. Di negara-negara Eropa
harus tunduk pada regulasi Bapepam. Dengan diselesaikannya
yang menganut universal banking system produk ini sudah
kewenangan pengawasan kepada satu institusi maka masalah
lama berkembang dan dilakukan sesuai dengan pengertian
kewenangan regulasi tersebut akan terpecahkan.
bancassurance yang pertama. Di Indonesia produk ini masih murni produk perusahaan asuransi yang ditawarkan atau
Secara empiris, survey yang dilakukan Central Banking
dijual melalui jalur distribusi (distribution channel) perbankan
Publication (1999) menunjukkan bahwa dari 123 negara
sehingga lebih tepat dengan pengertian bancassurance yang
yang diteliti, tiga perempatnya memberikan kewenangan
kedua. Hal ini sesuai dengan undang-undang perbankan
pengawasan industri perbankan kepada bank sentral. Hal
yang melarang bank melakukan kegiatan asuransi. Larangan
ini lebih menonjol di negara-negara sedang berkembang.
ini sesuai pula dengan sistem perbankan yang dianut oleh
Khusus untuk negara yang sedang berkembang alasannya
Indonesia, yaitu commercial banking system. Keuntungan
adalah masalah sumber daya (resourches). Bank sentral
bank menjual produk hybrid tersebut adalah selain menerima
dianggap memadai dalam hal sumber daya (sumber daya
komisi juga sekaligus dapat memperbesar customer base
manusia dan dana). Dari kaca mata politik, dicabutnya
dan menjaga loyalitas nasabah.
kewenangan pengawasan dari bank sentral sejalan dengan munculnya kecenderungan pemberian independensi
Kedua, membentuk lembaga baru seberkuasa dan sebesar
kepada bank sentral. Ada kekhawatiran bahwa dengan
OJK tentunya membutuhkan sumber daya yang besar. Pada
independennya bank sentral, apabila bank sentral juga
saat negara sedang ”sakit” seperti saat ini pastilah lebih
berwenang mengawasi bank bank sentral akan memiliki
bijaksana apabila sumber daya yang tidak sedikit itu
kewenangan yang sedemikian besar. Bank of England
digunakan untuk memperbaiki infrastruktur yang sudah
misalnya, pada tahun 1997 mendapatkan
parah. Masalah utama yang dihadapi industri keuangan
keindependenannya, namun dua minggu kemudian
khususnya perbankan saat ini bukanlah telah semakin
kewenangan pengawasan bank diambil alih dari bank
menyatunya dengan industri keuangan lainnya, tetapi
sentral tersebut.
lemahnya penerapan good corporate governance. Masalah good corporate governance tidak akan selesai dengan
Menjawab pertanyaan kapan waktu yang tepat mulai
beralihnya kewenangan pengawasan. Orang bijak
beroperasinya OJK dapat dilakukan dengan
mengatakan don’t change your jokey in the middle of the
mempertimbangkan ketiga alasan di atas dan memperhatikan
race otherwise you will lose the game. Hal ini terbukti dalam
hal-hal berikut. Pertama, data menunjukkan bahwa industri
pengalaman Jepang dalam menerapkan FSA, suatu lembaga
keuangan kita 90% lebih di antaranya dikuasai oleh industri
semacam OJK, pada saat industri perbankan Jepang menjadi
perbankan. Belum terjadi konvergensi yang dalam di antara
lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari bangkrutnya Long-Term
industri keuangan tersebut. Kalaupun ada produk hybrid
Credit Bank dan Nippon Credit Bank, dua bank besar yang
14
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
terbukti merekayasa pembukuannya. Masalah koordinasi
Dengan demikian implementasi ketentuan pasal 34 UUBI
antara FSA dengan bank sentral juga muncul misalnya
dapat merubah esensi sistem dari suatu kesatuan UUBI
dalam kasus Ishikawa Bank dan Masalah kredit macet dan
dan berpotensi menyulitkan BI dalam mencapai tujuan
kecurangan (fraud) masih mewarnai perbankan Jepang.13
sebagaimana yang diamanatkan oleh UUBI.
Apabila pasal 34 UU BI diimplementasikan maka kewenangan
Seharusnya peranan Bank Indonesia dalam menjaga
dalam mengawasi bank oleh BI tidak akan ada lagi, padahal
stabilitas sistem keuangan seyogyanya tidak perlu
kewenangan mengawasi bank oleh BI merupakan tanggung
diintervensi oleh lembaga manapun. Karena, tugas Bank
jawabnya dalam menciptakan nilai rupiah yang stabil.
Indonesia berfungsi juga untuk menjaga stabilitas keuangan.
Selanjutnya akan mengakibatkan perubahan lainnya terhadap
Hal ini sejalan dengan nafas independensi Bank Indonesia
substansi ketentuan UU BI lainnya yang pada gilirannya
sebagaimana ditetapkan oleh norma dasar di Indonesia.
dapat mengganggu fungsi BI di bidang moneter, sistem pembayaran dan stabilitas keuangan.
Apabila munculnya berbagai badan atau lembaga yang kewenangannya sudah merupakan kewenangan Bank
Ketentuan pengawasan bank oleh BI sebelum adanya
Indonesia akan menjadi permasalahan dalam bidang hukum.
ketentuan pasal 34 UUBI adalah merupakan suatu ketentuan
Sebab, merupakan hal yang aneh apabila berbagai undang-
yang berada dalam satu sistem hukum BI. Oleh karena itu
undang melahirkan berbagai badan atau lembaga yang
tidak bisa kewenangan pengawasan bank oleh BI dipisahkan
mempunyai kewenangan yang mirip.
dengan kewenangan BI lainnya. Hal ini dapat berpotensi dibatalkannya undang-undang Beberapa ciri dari suatu kesatuan sebagai
berikut:14
1. Sistem adalah suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses).
yang menjadi dasar hukum pendirian badan atau lembaga tersebut, apalagi sebagai Bank Sentral telah diatur dalam UUD 1945.
2. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung
PENUTUP
(interdepende of its parts). 3. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu
Amanat Pasal 34 UUBI bila dilaksanakan akan mengakibatkan
kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan
tidak efektifnya Bank Indonesia dalam menciptakan stabilitas
elemen pembentuknya itu (the whole is more than the
nilai rupiah sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 7
sum of its parts).
UUBI. Tujuan BI sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal
4. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian
7 tersebut, hanya dapat dilaksanakan secara efektif apabila
pembentuknya (the whole determines the nature of its
Bank Indonesia berwenang menetapkan dan melaksanakan
parts)
kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem
5. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari
pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank sebagaimana ditetapkan dalam pasal 8 UUBI.
keseluruhan itu (the parts canot be under-stood if considered in isolation from the whole). 6. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara
Singkat kata, apabila amanat pasal 34 UUBI ingin dijalankan, maka seluruh tanggung jawab dan tugas yang diembankan
mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan
kepada Bank Indonesia harus dikaji ulang, karena pasal 34
(sistem) itu.
UUBI tersebut dilaksanakan akan mengamputasi salah satu pondasi Bank Indonesia dalam mencapai tujuannya.
13 The Economist, 30 Agustus 2003. 14 Lili Rasjidi dan Wyasa Saputra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung: Mandar Maju, tahun 2003 ,hal. 65.
15
Daftar Pustaka
Alan S. Blinder, Central Banking in Theory and Practice, Cambridge: The MIT Press, 1998. Arend Lijphart dan jon Elster dalam Maqdir Ismail, “Independensi, Akuntabilitas, dan Transparansi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral: Studi Perbandingan Undang Undang Bank Indonesia”, Disertasi pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung, penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Pilar Demokrasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Lars Nyberg, “The Framework of Modern Central Banking”, Speech at a Conference on Reforming the State Bank of Thailand, Hanoi, 21 March 2006 . Lili Rasjidi dan Wyasa Saputra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, tahun 2003. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1998 The Economist, 30 Agustus 2003.
16
Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Oleh: Dr. Wimboh Santoso1
I.
Pendahuluan
(3) Bagaimana kerja sama antar otoritas untuk mendukungnya; (4) Dengan apa kita bisa menjaga
Stabilitas sistem keuangan telah menjadi sasaran yang
stabilitas sistem keuangan.
penting dalam kebijakan ekonomi keuangan selama beberapa puluh tahun terakhir terutama paska krisis
II. Apa yang dimaksud stabilitas sistem keuangan
Asia pada tahun 1998. Pada tahun 1980an, deregulasi terhadap pasar keuangan terutama pemberian kredit
Meskipun beberapa negara telah menaruh perhatian
atau pemberian fasilitas sejenisnya dari bank serta
cukup besar terhadap stabilitas sistem keuangan, deskripsi
pengaturan aliran modal antar negara telah dihapuskan
tentang "stabilitas sistem keuangan" tetap masih menjadi
secara bertahap di beberapa negara. Kondisi ini telah
diskusi yang hangat. Agar rumah tangga dan perusahaan
menyebabkan adanya fondasi yang kuat untuk
korporasi dapat secara optimal melakukan perannya
mengembangkan sektor keuangan sehingga lebih cepat
yaitu mengkonsumsi barang-barang dan juga melakukan
dari pertumbuhan dari sektor-sektor ekonomi lainnya.
investasi secara berkesinambungan, maka harus ada
Dalam phase ini, sistem keuangan telah berkembang
sistem keuangan yang berperan secara baik dalam hal
secara struktural dan menjadi lebih komplek. Instrumen
melakukan intermediasi dari para penyimpan dana
keuangan telah berkembang menjadi beraneka ragam,
(surplus unit) dan peminjam dana (deficit unit),
aktivitasnya lebih terdiversifikasi dan risikonya lebih rumit
memberikan layanan pembayaran transaksi, dan
dengan perubahan yang sangat dinamis. Sektor keuangan
melakukan realokasi risiko secara baik.
juga menjadi lebih terintegrasi dan terkait erat satu sama lain dari segi dimensi industri maupun secara geographis,
Dalam pendekatan pemahaman yang lebih sempit atas
sehingga sulit diidentifikasi originalitasnya dan siapa
stabilitas sistem keuangan dapat dilakukan dengan
yang bertanggung jawab apabila terjadi permasalahan.
mendefinisikan sebaliknya yaitu menghindari adanya
Sejalan dengan pertumbuhan yang pesat di sektor
"instabilitas sistem keuangan" dimana telah terjadi
keuangan, maka diikuti pula dengan berbagai
gangguan terhadap perekonomian. Definisi ini lebih
permasalahan yang semakin sulit terdeteksi secara lebih
melihat dari sisi kebalikannya dari kondisi yang stabil
dini. Krisis di sektor keuangan biasanya berkaitan dengan
serta bagaimana mengupayakan untuk menghindari
siklus "boom" dan "bust"terhadap nilai aset dan kredit.
terjadinya instabilitas.
Terjadinya perkembangan pertumbuhan yang cepat harga property dan kredit konsumsi telah menjadi
Gangguan terhadap perekonomian ditandai dengan
indikator awal permasalahan instabilitas. Pertanyaannya:
timbulnya biaya yang harus dibayar oleh pemerintah.
apakah kebijakan moneter dapat digunakan untuk
Beberapa tahun terakhir terlihat bahwa biaya dari krisis
memitigasi perkembangan yang pesat tersebut? Paper
ini cukup besar bila dibandingkan dengan GDP suatu
ini akan mengulas beberapa pertanyaan terkait dengan:
negara. Dari pengalaman juga menunjukan bahwa
(1) Apa yang disebut stabilitas sistem keuangan?; (2)
krisis keuangan dapat terjadi baik dinegara berkembang
Bagaimana melakukan analisisnya agar bisa melakukan
maupun di negara maju serta dapat menimbulkan
deteksi lebih dini dan mengambil kebijakan mitigasinya;
dampak ikutan ke negara lain. Begitu terdapat biaya yang menjadi beban negara untuk
1
Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia
penyelamatan sistem keuangan, maka dapat dikatakan
17
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
bahwa sudah terjadi instabilitas di sistem keuangan.
dapat terekspose risiko. Tanpa disadari bahwa risiko
Penyelematan oleh pemerintah dimaksudkan agar biaya
sistemik akan dapat manganulir persepsi bahwa
yang ditimbulkan dari krisis dapat diminimalisir.
risikonya telah dijual, sedangkan lembaga yang membeli risiko ternyata sudah terlalu besar risiko yang dibelinya
Definisi stabilitas sistem keuangan yang banyak dipakai
dan tidak bisa dimitigasi ke lembaga lain. Kalau terjadi
dibeberapa negara mengkombinasikan atas tiga hal
default atas maka hanya bailout dari otoritas yang
yaitu: terjadi alokasi resources dengan baik sehingga
dapat menyelesaikannya.
proses intermediasi bisa berjalan dengan normal, berbagai indikator sistem keuangan masih memenuhi
Melakukan analisis risiko yang berasal dari dalam sistem
batas stabil dan belum ada dana publik yang dipakai
keuangan akan lebih jelas kalau dapat dibedakan melalui
untuk penyelamatan sistem keuangan.
dua pendekatan micro dan macroprudential.
III. Bagaimana otoritas melakukan analisis stabilitas sistem keuangan?
Microprudential analisis lebih mengarah kepada perkembangan dalam individu lembaga keuangan dengan lebih menaruh perhatian pada menghindari
Setelah pemahaman stabilitias sistem keuangan dan
problem individual lembaga untuk melindungi
sasaran yang akan dicapai disepakati dan dipahami
kepentingan para deposan.
oleh otoritas, maka pelaksanaan analisis simpul simpul kerawanan yang dapat menyebabkan instabilitas akan
Macroprudential analisis lebih mengarah kepada
dapat dilakukan dengan mudah dalam organisasi bank
sistem keuangan secara keseluruhan dengan sasaran
sentral. Terdapat dua pendekatan yang saling
agar tidak terjadi permasalahan untuk menghindari
melengkapi:
biaya yang akan dibebankan kepada pemerintah (pembayar pajak). Untuk menghindari sistemic risk
Pertama, kita perlu memfokuskan kepada berbagai
dilakukan analisis risiko terhadap semua unsur di sistem
faktor risiko yang berasal dari dalam sistem keuangan
keuangan. Khusus untuk lembaga keuangan, analisis
itu sendiri yaitu terdiri dari lembaga keuangan, pasar
terhadap keterkaitan antar lembaga keuangan yang
keuangan dan infrastruktur keuangan seperti settlement
diakibatkan oleh permasalahan likuiditas maupun
yang dilakukan oleh bank sentral (RTGS) maupun lembaga
solvabilitas merupakan analisis macroprudential yang
settlement lainnya. Unsur internal sistem keuangan ini
penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.
akan selalu dihadapkan kepada berbagai faktor risiko seperti risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan
Kedua, pendekatan dengan menekankan risiko yang
risiko operasional. Analisis atas berbagai risiko tersebut
berasal dari luar sistem keuangan. Pendekatan ini telah
telah semakin sulit beberapa tahun terakhir ini sejalan
dipahami oleh para pengambil kebijakan beberapa
dengan sistem keuangan yang semakin komplek dan
tahun terakhir. Perkembangan yang pesat perdagangan
saling berkaitan baik antar industri maupun secara
instrument derivatives atas surat hutang dan harga
geographis.
assets, termasuk juga gangguan makro ekonomi seperti turunnya harga komoditi serta terjadinya ketidak
Peningkatan kompleksitas sistem keuangan di tunjukan
seimbangan dalam ekonomi dunia dan pasar keuangan
dengan pesatnya pasar di credit derivatives. Instrumen
akan dapat menimbulkan risiko instabilitas. Untuk
ini relatif masih baru yang bentuknya bisa beraneka
melakukan identifikasi dari sumber instabilitas, kita
ragam. Meskipun instrumen ini sangat baik untuk
memerlukan berbagai indikator yang dapat memberikan
mitigasi risiko, namun terdapat kemungkinan bahwa
informasi tanda-tanda terjadinya instabilitas. Dengan
tehnis penilaiannya akan rumit serta dapat menimbulkan
mendasarkan perbandingan beberapa indikator pada
moral hazard atau rentan terjadinya spekulasi dan fraud.
waktu tertentu dengan pada waktu normal, maka kita
Lembaga keuangan baik yang melakukan mitigasi
bisa melakukan analisis seberapa besar perbedaan atas
dengan menjual risikonya kepada pihak lain masih
indikator instabilitas tersebut. Kalau perbedaannya
18
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
besar dengan trend yang meningkat maka kita bisa
monitor sistem keuangan. Terintegrasinya lembaga dan
mengindikasikan kondisi keuangan mengarah kepada
pasar keuangan dengan pasar global telah membuat
instabilitas. Namun demikian, sering sekali mendapatkan
bank sentral perlu melakukan analisis sistem keuangan
kesulitan untuk melakukan interpretasi atas berbagai
global dalam laporan stabilitas sistem keuangannya yang
indikator instabilitas karena indikator normal kadang-
dipublikasikan secara rutin. Pengembangan berbagai
kadang sulit untuk ditentukan mengingat perkembangan
tool analisis merupakan tantangan bank sentral agar
ekonomi yang sangat dinamis. Berbagai informasi yang
dapat menangkap simpul kerawanan secara lebih dini.
belum secara terintegrasi dalam sistem keuangan merupakan faktor yang penting untuk dapat dijadikan judgment dalam melakukan analisis kondisi sistem
IV. Bagaimana koordinasi antar otoritas untuk bersama-sama menjaga stabilitas sistem keuangan
keuangan. Koordinasi antar otoritas ini sangat diperlukan dalam Analisis dampak negatif atas guncangan ekonomi makro
menjaga agar terhindar dari krisis dan mempermudah
terhadap stabilitas sistem keuangan juga dapat
dalam penyelesaian krisis apabila ternyata tidak dapat
diterapkan. Macro stress testing merupakan pendekatan
dihindari. Dalam koordinasi ini, peran dan tanggung
yang biasanya digunakan dalam analisis ini dengan
jawab masing-masing otoritas harus jelas dan dituangkan
tujuan untuk mengukur ketahanan bank atau lembaga
dalam undang-undang. Tugas menjaga stabilitas sistem
keuangan dalam menghadapi berbagai shocks atas
keuangan ini dilakukan oleh bank sentral, dengan
kondisi ekonomi dan respon kebijakan makro ekonomi
berkoordinasi dengan pengawasan pasar keuangan dan
yang diperlukan dari otoritas. Berbagai skenario kondisi
menteri keuangan sebagai otoritas fiskal. Di negara
makro ekonomi dapat disimulasikan untuk melakukan
yang otoritas pengawasan lembaga keuangan dipisahkan
pengujian atas ketahanan bank atau lembaga keuangan
dari bank sentral, maka otoritas tersebut akan menjadi
termasuk dalam kondisi ekstrim, pendekatan ini sering
bagian dari otoritas yang harus melakukan koordinasi
disebut micro stress testing. Lembaga keuangan dan
dibawah menteri keuangan. Untuk mencapai sasaran
pasar keuangan sudah semakin terintegrasi serta sangat
dalam mencegah dan menyelesaikan krisis, maka sharing
tinggi ketergantungannya sehingga analisis keterkaitan
informasi antar otoritas sangat diperlukan baik dalam
antar lembaga dan pasar keuangan sangat membantu
kondisi normal maupun krisis. Dalam hal permasalahan
untuk mengukur sejauhmana permasalahan yang
disektor keuangan menyangkut bank yang operasinya
mungkin timbul di lembaga atau pasar keuangan dapat
secara multinasional maka koordinasi akan menyangkut
menimbulkan dampak sistemik di sistem keuangan.
otoritas antar negara dengan berbagai kerangka hukum
Aliran dana masuk dan keluar di pasar keuangan telah
yang berbeda. Sebagaimana yang terjadi terhadap
meningkat cukup besar aktivitasnya di beberapa tahun
Lehman Brothers pada tahun 2008, otoritas di sejumlah
terkahir. Transaksi oleh para pelaku pasar antar negara
negara terlena melakukan koordinasi untuk melakukan
telah meningkat cukup pesat baik di pasar saham,
assessment dampak penutupan lehman brothers ini
obligasi dan juga financial instrumen lainnya seperti
terhadap lembaga keuangan lain dan pasar keuangan
produk off-shore dan derivatives. Pemerintah di berbagai
dinegara lain. Pandangan umum sementara ini, otoritas
negara banyak sekali mengeluarkan surat hutang untuk
di suatu negara hanya bertanggung jawab pengawasan
membantu memperbaiki cash flow anggaran belanjanya
terhadap bank yang didirikan dengan badan hukum
dan banyak para pelaku pasar yang melakukan
di negara tersebut, sedangkan bank disuatu negara
diversifikasi risikonya dengan melakukan hedging
yang didirikan dengan dasar hukum di negara lain
diberbagai pasar dunia. Analisis dengan mendasarkan
(ie. Kantor cabang bank asing) maka tanggung jawab
domain domestik ternyata tidak cukup sehingga global
pengawasannya ada di home supervisory authorities.
analisis tentang pasar dan lembaga keuangan sangat
Permasalahan ini muncul apabila terdapat bank yang
diperlukan untuk melihat secara lebih akurat simpul
beroperasi secara multinational dan mengalami
kerawanan di sistem keuangan. Bank sentral mempunyai
permasalahan di kantor pusatnya sehingga harus ditutup,
tanggung jawab khusus dalam melakukan analisis dan
maka secara legal seluruh kantor cabangnya harus
19
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
ditutup. Timbul permasalahan, bagaimana kalau kantor
mempunyai banyak perangkat kebijakan untuk menjaga
cabangnya yang tersebar di negara lain tersebut
stabilitas sistem keuangan.
sebenarnya operasinya masih bagus? Hal ini belum ada jawabnya sampai saat ini.
Pertama-tama peran lender of last resort dapat diterapkan pada saat terjadi permasalahan likuiditas
Koordinasi secara global dalam pencegahan dan
perbankan untuk mencegah terjadinya krisis yang
penyelesaian banking crisis ini masih belum secara formal
bersifat sistemik;
dibentuk. G20 pada saat ini sedang mencoba untuk merumuskan bentuk koordinasi pencegahan dan
Kedua, bank sentral juga dapat melakukan operasi
penyelesaian krisis bank yang beroperasi secara
monetar dalam bentuk intervensi di pasar valas maupun
multinational, namun masih banyak kendala hukum
pasar likuiditas;
yang dihadapi mengingat masing-masing negara mempunyai legal basis yang berbeda. Permasalahan lain
Ketiga, secara lebih dini bank sentral juga dapat
juga muncul berkaitan dengan bank yang operasinya
mengatur laju pertumbuhan kredit;
sangat besar dengan kantor diseluruh dunia baik dalam bentuk kantor cabang maupun anak perusahaan
Keempat, dalam hal pengawasan microprudential
yang jumlahnya bisa mencapai sekitar 8000, dengan
berada di bank sentral, maka pengawasan micro dapat
kondisi ini akan sangat sulit bagi kantor pusatnya untuk
secara mudah disinkronisasikan dengan kebijakan
melakukan monitoring dan bank sentral dinegara asalnya
macroprudential.
juga mengalami kendala untuk melakukan assessment atas dampak dari permasalahan terhadap kemungkinan
Harmonisasi langkah pencegahan terhdap krisis ini
timbulnya krisis di negara lain. Dalam hal bank tersebut
sangat panting dilakukan dalam kondisi masih normal.
harus dilakukan penyelamatan, permasalahan muncul
Dengan demikian regulasi-regulasi yang bersifat macro
siapa yang akan bertanggung jawab untuk melakukan
prudential untuk mencegah adanya sistemik risk dapat
penyelamatan. Penjaminan dana nasabah juga bentuknya
dikeluarkan oleh bank sentral untuk melaksanakan
sangat beragam diantar negara, sehingga penataan
tugasnya yang menyangkut kebijakan untuk menjaga
kembali sistem keuangan secara global perlu dilakukan
stabilitas sistem keuangan. Dalam hal pengawasan
segera agar permasalahan krisis dapat dicegah lebih
bank berada di bank sentral maka regulasi yang bersifat
dini dan penyelesaian krisis dapat dilakukan dengan
microprudential juga dapat dikeluarkan oleh bank
baik.
sentral secara simultan dan harmonis. Peraturan kehatihatian diharapkan akan dapat menurunkan risiko kepada
V. Perangkat apa yang dapat digunakan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan
level dimana bank mampu untuk menyerap dan juga untuk meningkatkan ketahanan lembaga keuangan. Salah satu motif penerapan risk mangement dan Basel
Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, bank sentral
II diharapkan untuk meningkatkan efisiensi industri
harus melakukan assessment atas kerentanan dan
perbankan serta ketahanan industri perbankan agar
mengeluarkan regulasi apabila diperlukan agar dampak
mempunyai permodalan yang sesuai dengan risiko yang
negatifnya dapat dihindari serta risiko sistemiknya dapat
dihadapi. Peraturan kehati-hatian juga dapat dipakai
diminimalisir. Assessment atas kerentanan terhadap
oleh otoritas untuk memperlambat pertumbuhan yang
lembaga keuangan, pasar keuangan dan infrastrukturnya
terlalu cepat sehingga risikonya mudah dikendalikan
merupakan keharusan agar dapat menangkap simpul
oleh bank. Buffer modal yang bervariasi juga dapat
kerawanan dan melakukan mitigasi lebih dini sebelum
diterapkan untuk mengantisipasi terjadi siklus boom
permasalahan terjadi. Pertanyaannya yang sering
dan burst akan meningkatkan ketahanan perbankan
muncul, bagaimana kita melakukannya dan kebijakan
dalam menghadapi shocks. Namun demikian metodologi
apa yang bisa dilakukan agar stabilitas sistem keuangan
menentukan permodalan yang counter cyclical ini secara
tetap terjaga. Bank sentral merupakan otoritas yang
tehnik sangat bervariasi dan mengandung banyak
20
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
kelemahan, dengan kemungkinan terjadi overstated
Sebagai contoh, bank sentral telah melonggarkan
tingkat modalnya.
likuiditasnya dalam kondisi krisis. Hal ini tidak pernah terjadi dalam kondisi normal. Namun demikian,
VI. Stabilitas sistem keuangan dan kebijakan moneter
risiko terhadap instabilitas yang berasal dari ketidak seimbangan di sektor keuangan (seperti capital inflow
Beberapa tahun terakhir ini hubungan antara kebijakan
dan outflow melalui proses yang panjang). Dalam
moneter dan stabilitas sistem keuangan telah menarik
kondisi demikian, pertanyaannya kembali menyangkut
banyak perhatian para pengambil kebijakan. Stabilitas
apakah stabiltias sistem keuangan akan selalu
moneter dan sistem keuangan merupakan dua sasaran
dipertimbangkan secara eksplisit dalam kebijakan
atas kebijakan publik yang dilakukan oleh bank sentral.
moneter. Persoalan ini telah menjadi perdebatan
Dua sasaran ini saling melengkapi. Stabilitas sistem
oleh para pengambil kebijakan di bank sentral setiap
keuangan mempunyai pengaruh yang positif terhadap
kali akan mengambil kebijakan moneter. Dalam
stabilitas harga. Pertama, stabilitas sistem keuangan
kenyataannya beberapa bank sentral telah menerapkan
akan menjamin adanya penawaran kredit yang lebih
inflation targeting yang lebih fleksibel dalam kebijakan
stabil dan aliran modal yang stabil, dimana kedua hal
moneternya dalam target horizon tertentu. Ini bukti
ini merupakan prasyarat untuk menjaga pertumbuhan
bahwa terdapat kemungkinan mempertimbangkan
yang sustainable; Kedua, stabilitas sistem keuangan
dampak dari ketidakseimbangan di sektor keuangan
akan membantu efektifnya transmisi kebijakan moneter.
terhadap proyeksi inflasi. Namun demikian perlu digaris
Stabilitas sistem keuangan secara implicit memberikan
bawahi bahwa dampak negatif dari ketidak seimbangan
jalan bahwa perubahan kebijakan moneter akan
di sektor keuangan akan terjadi dalam waktu yang
mempunyai dampak terhadap suku bunga pasar
relatif lama, dan kemungkinan akan jauh lebih lama
sebagaimana yang diharapkan pengambil kebijakan.
dari horizon target inflasi. Dalam kondisi demikian,
Dengan demikian, perubahan kebijakan moneter akan
maka perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya
mempengaruhi rumah tangga dan perusahaan korporasi
risiko apabila tidak memperhitungkan dampak
dan, pada akhirnya, inflasi serta mendorong kegiatan
imbalance di sektor keuangan ini terhadap inflasi untuk
ekonomi. Dilain pihak, stabilitas harga juga akan
jangka waktu menengah dan panjang, terutama
mempunyai dampak positif terhadap stabilitas sistem
terhadap terjadinya turbulence perekonomian dimasa
keuangan. Keberhasilan kebijakan moneter akan sangat
mendatang. Dalam kondisi yang paling buruk,
mempermudah tercapainya stabilitas sistem keuangan
turbulence perekonomian dapat menimbulkan krisis
dengan hilangnya mispersepsi atas singal kebijakan
keuangan. Undang-undang bank sentral di New
moneter sehingga inflasi dapat dijaga pada tingkat
Zealand secara eksplisit mengatakan bahwa bank
yang dikehendaki sesuai target. Inflasi yang rendah
sentral dalam menetapkan kebijakan moneter harus
dan stabil akan memberikan rumah tangga dan
mempertimbangkan efisiensi dan kesehatan sistem
perusahaan korporasi mendapatkan indikasi yang jelas
keuangannya. Di Norwegia juga menerapkan
atas perubahan harga, sehingga bisa melakukan alokasi
inflation targeting yang lebih fleksibel dengan
sumber daya yang lebih efektif. Namun demikian,
mempertimbangkan stabilitas sistem keuangan dalam
stabilitas sistem keuangan dan stabilitas moneter
memformulasikan kebijakan moneternya, dengan
kadang-kadang memang tidak sejalan, pertanyaannya
pertimbangan bahwa ketidakseimbangan di sektor
sejauh mana sasaran stabilitas sistem keuangan bisa
keuangan akan sangat berpengaruh terhadap inflasi
dipertimbangkan dalam kebijakan stabilitas moneter.
dan output serta dapat menimbulkan ketidak stabilan
Kelihatannya telah terjadi kesepakatan diantara otoritas
di sistem keuangan. Seluruh bank sentral telah
bank sentral bahwa dalam kondisi ekstrim, yang dapat
mendirikan unit khusus yang melakukan moitoring
membahayakan stabilitas sistem keuangan, maka
dan analisis terhadap kondisi sistem keuangan dan
kebijakan moneter bisa sementara diarahkan untuk
sektor riil terutama perilaku rumah tangga dan
mengatasi sementara permasalahan di sektor keuangan.
perusahaan korporasi sebagai input kebijakan moneter.
21
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
VII.Tantangan kedepan Meskipun pemikiran tentang stabilitas sistem keuangan telah berkembang dan diterapkan secara formal oleh sebagian besar bank sentral di seluruh dunia, namun tetap tidak ada jaminan bahwa akan terhindar dari krisis yang bersifat sistemik. Krisis pada tahun 2008 yang baru lalu membuktikan bahwa masih banyak tantangan kedepan untuk lebih meningkatkan berbagai perhatian kita terhadap pencegahan untuk menghindari terjadinya krisis dan penyelesain atas krisis itu sendiri dengan pertimbangan bahwa sistem keuangan akan berkembang terus sehingga dimungkinkan adanya sumber kerawanan yang belum terdeteksi sebelumnya. Peningkatan peraturan yang bersifat macroprudential merupakan agenda yang penting kedepan sebagaimana yang telah dicanangkan dari berbagai program bersama dibawah G20. Perkembangan capital inflow ke beberapa negara berkembang juga akan menjadi sumber kerawanan yang perlu menjadi perhatian bersama.
22
Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan Oleh Drs. Ec Abdul Mongid, MA1
A. Pengantar
yang dimiliki BI sebagai bank sentral. Rencana pengalihan kewenangan dalam pengawasan bank menunjukan
Di Inggris, pada 21 Januari 2009, pada The Economist's
adanya upaya mengurangi kewenangan BI sehingga BI
Inaugural City Lecture, Adair Turner, Kepala OJK Inggris
hanya berfungsi dari aspek moneter. Masalahnya adalah
menyatakan bahwa model pengawasan Inggris saat ini
kalau kewenangan dalam mengawasi bank dicabut,
yang memisahkan pengawasan dari bank sentral telah
maka secara otomatis kemampuan BI dalam menjalankan
membuat otoritas pengawas terlalu terfokus pada
tugas moneternya terganggu karena bank merupakan
lembaga per lembaga dengan perhatian pada risiko
lembaga keuangan yang sangat dominan dalam transmisi
tunggal. Sementara bank sentral terlalu fokus pada
kebijakan moneter.
kebijakan moneter yang secara sempit, yaitu mencapai target inflasi. Akibatnya semua laporan tentang kondisi
Terkait dengan masalah stabilitas sistem keuangan,
sistem keuangan dan potensi risiko sistemik tidak pernah
peran bank sentral sangat penting. Di tengah krisis
memberikan gambaran risiko yang seutuhnya. Bahkan
keuangan global saat ini, isu tentang stabilitas keuangan
laporan IMF yaitu Global Financial Stability mengakui
menjadi topik utama diskusi ekonomi baik di tingkat
secara riil mereka salah dalam menilai keadaan. Karena
regional maupun global. Krisis keuangan selalu memiliki
itu disarankan agar bank sentral dan otoritas untuk
konsekuensi kerugian bagi perekonomian Negara yang
mengintegrasikan analisa ekonomi makronya dengan
mengalaminya makanya upaya pencegahan jangan
analisa makroprudensial dan mengintegrasikan langkah
sampai krisis terjadi menjadi perhatian banyak pihak.
kebijakanya sebelum krisis terjadi.
Terlebih saat ini globalisasi sudah menjadi fakta yang tidak dapat dibantah. Globalisasi telah membawa
Independensi merupakan isu krusial bagi sebuah Bank
manfaat bagi banyak negara di dunia dengan
Sentral untuk memainkan perannya secara optimal di
mendorong peningkatan Gross Domestic Product (GDP).
tengah perkembangan ekonomi global yang sangat
Globalisasi juga membuka akses yang lebih lebar bagi
dinamis dan seringkali bergejolak. Status kelembagaan
negara-negara di dunia terhadap pasar global. Saat ini
Bank Indonesia (BI) yang independen sebagaimana
hampir tidak ada Negara yang tidak memiliki hubungan
tercantum pasal 4 UU No. 23 Tahun 1999 menjamin
ekonomi internasional.
BI bebas dari campur tangan pemerintah dan pihakpihak luar lainnya. Dari sisi kelembagaan Independensi
Meski demikian, globalisasi yang terjadi bukan tanpa
BI terlihat dari kedudukan kelembagaanya yang berbeda
cela. Stiglitz (2006) menyatakan aturan main globalisasi
dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia.
cenderung tidak adil dan menguntungkan negara-
Menurut UU, kedudukan BI tidak sejajar dengan DPR,
negara industri maju dan hanya mengutamakan nilai-
MA, BPK atau Presiden yang merupakan Lembaga
nilai material dibandingkan nilai-nilai lainnya, seperti
Tinggi Negara. Kedudukan BI juga tidak sama dengan
perhatian terhadap aspek lingkungan. Sementara
departemen karena BI berada di luar pemerintah.
penanganan globalisasi cenderung mengurangi kedaulatan negara berkembang serta mengabaikan
Masalahnya adalah ternyata independensi BI diikuti
kemampuan negara berkembang dalam mengambil
dengan upaya sistimatis untuk mengurangi kewenangan
keputusan sendiri, khususnya terkait area utama yang akan mempengaruhi penduduknya. Terlebih sistem
1
Dosen STIE Perbanas Surabaya
ekonomi yang dipaksakan terhadap negara sedang
23
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
berkembang cenderung tidak tepat bahkan tidak
untuk konvertasi mampu memanajemeni. Seperti
menguntungkan negara tersebut. Akibatnya meski
diketahui arus kas investasi bisa diramalkan tetapi
mereka yang pro globalisasi mengklaim bahwa setiap
ketidak sesuaian suku bunga diskonto sebagai proksi
orang akan diuntungkan secara ekonomi, namun pada
inflasi tidak diketahui maka nilai riil investasi juga tidak
kenyataannya baik di negara maju maupun berkembang
diketahui.
terdapat banyak pihak yang dirugikan. Begitu pentingya stabilitas uang menjadikannya sebagai B. Independensi Bank Sentral: Perspektif Akademis
suatu fondasi dasar perekonomian untuk berjalan baik. Karena itu terjadi konsensus secara luas bahwa
Independensi bank sentral merupakan tema utama
menciptakan stabilitas uang tidak bisa diserahkan kepada
diskusi kebijakan moneter yang sangat intensif di awal
proses politik keseharian. Artinya terlalu berbahaya
tahun 1990-an. Diskusi ini menjadi sangat penting
dalam jangka panjang jika masalah manajemen nilai
setelah kajian akademis menunjukan Negara yang
uang diserahkan oleh kekuatan politik karena kekuatan
memiliki bank sentral yang independen memiliki tingkat
politik memiliki perspektif jangka pendek. Stabilitas
inflasi yang lebih rendah. Temuan ini menimbulkan arus
uang juga merupakan barang publik sehingga sangat
baru penelitian yang mencoba mencari kaitan secara
wajar jika pengelolaanya dilakukan oleh lembaga yang
detail kenapa inflasi dapat menjadi lebih rendah.
independen dari campur tangan politik. Lembaga ini
Jawabannya terletak pada perspektif kebijakan bank
harus bebas dari kepentingan lain yang dapat membuat
sentral yang berdimensi jangka panjang dan kredibilitas
upaya mencapai tujuan menciptakan uang yang stabil
kebijakan yang ditempuhnya.
gagal. Inilah yang menjadi latar belakang kenapa bank sentral yang independen dibentuk.
Temuan ini menimbulkan semangat baru dalam kajian kebanksentralan karena semua ekonom percaya bahwa
Bank sentral yang independen memiliki mandat jelas dan
stabilitas harga merupakan fondasi seluruh stabilitas
terbatas. Ini menjadikan mandat itu jelas dan membatasi
ekonomi yang lain. Stabilitas harga menjadi fondasi
kewenangan diskresi yang dapat mengalihkan dari
bagi berjalanya ekonomi pasar yang baik. Ini berarti
pencapaian tugas utama. Implikasi dari keadaan ini adalah
stabilitas harga menjadi syarat yang harus dipenuhi
bank sentral harus menjadi agen masyrakat yang bertindak
agar perekonomian berjalan dengan baik. Ana Schwartz
sebagai prinsipal. Proses ini menuntut bank sentral juga
(1988) menyatakan perlunya Bank Sentral menjaga
akuntabel ke publik. Saat ini masalah independensi bank
inflasi dengan kebijakan moneter yang tepat. Bank
sentral sudah dapat diterima secara umum baik di negara
Sentral yang dapat menjaga stabilitas dan juga menjaga
maju maupun di negara berkembang. Secara umum,
likuiditas perbankan melalui lender of the last resort.
termasuk di Indonesia, kinerja bank sentral dalam
Krisis keuangan pada level apapun akan diperburuk
mendorong inflasi lebih rendah relatif berhasil sehingga
dengan kenaikan tingkat inflasi. Artinya mengapa
manfaat bagi masyarakat relatif dapat dirasakan. Dalam
kebijakan moneter berusaha menjaga stabilitas adalah
sejarah ekonomi politik di Indonesia, gejolak ekonomi
sebagai upaya tidak langsung Bank Sentral dalam
selalu menjadi pemicu bagi gerakan masyarakat untuk
menjaga jangan sampai krisis keuangan terjadi.
melalukan protes jalanan.
Pandangan Schwartz ini sering disebut sebagai Schwartz
Diterimanya konsep independensi bank sentral tidak
Hypothesis, kebijakan moneter yang berusaha
lepas dari keberhasilan Bundesbank Jerman. Seperti
membatasi inflasi cenderung mengurangi terjadinya
diketahui ekonomi Jerman pernah mengalami inflasi
krisis keuangan karena kestabilan hanya akan membuat
yang sangat tinggi dan itu dirasakan sebagai masalah
proses pemakaian investasi yang benar dapat dilakukan.
berat dan menjadi sejarah kelam ekonomi Jerman.
Dalam bahasa lain ketidak stabilan sistem keuangan
Makanya pengalaman sejarah itu menjadikan masyrakat
karena para investor, penabung dan peminjam kesulitan
Jerman sangat takut inflasi tinggi terulang sehingga
dalam menilai pendapatan potensial dan tindakannya
menjadikan Bundesbank sebagai penjaga inflasi sebagai
24
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
suatu yang tidak dapat ditawar lagi. Prinsip ini juga
kebijakan moneter baik di negara maju dan berkembang.
menjadi dasar operasional European Central Bank (ECB),
Secara umum disimpulkan bahwa peran kelompok-
yang diakui atau tidak, merupakan penjelmaan
kelompok sosial dan politik, bank sentral yang independen
Bundesbank.
dan preferensi sektor swasta sangat penting dalam menentukan kebijakan bank sentral (Cukierman, Kiguel
Selain pengalaman Jerman, indpendensi bank sentral
and Liviatan : 1992). Dalam sebuah makalahnya Epstein
juga dipopulerkan oleh penelitian akademsis terkait
(2005) berpendapat bahwa bank sentral secara historis
dengan bias inflasi ketika kebijakan bank sentral sangat
memainkan peran aktif sebagai agen pembangunan
dipengaruhi diskresi kebijakan. Dengan penerapan
ekonomi karena itu nilai baru independensi bank sentral,
kebijakan target inflasi (inflation targeting) peran ini
demokrasi, transparansi dan akuntabilitas (harus menjadi
makin jelas dan dapat dijalankan oleh bank sentral
nilai baru bank sentral dimanapun saja.
karena prinsip dasarnya sangat jelas (Taylor Principle). Yang diperlukan adalah konsistensi kebijakan.
Di banyak negara, aspek politik yang kondusif mendukung pencapaian inflasi yang rendah. Makanya Epstein (1992)
Teori kebjakan moneter optimal (The modern theory
mengembangkan model ekonomi politik dari bank sentral
of optimal monetary policy) yang dikembangkan oleh
yang memperhitungkan berbagai kepentingan yang
Kydland and Prescott (1977) serta dilanjutkan oleh
saling bersaing dalam perekonomian dan efeknya pada
Barro and Gordon (1983) menempatkan posisi bank
fungsi dan tujuan bank sentral. Kesimpulanya adalah
sentral sebagai perencana sosial yang berusaha
politik menentukan kebijakan dan disain kelembagaan
memaksimalkan kemakmuran sosial masyarakat yang
bank sentral. Dalam studi lain terkait hubungan politik
kalau diperhatikan merupakan pengembangan lebih
dan kebijakan moneter, Henning (1994), menunjukkan
lanjut dari ekspektasi implisit dari kurva Philips
bahwa preferensi sektor swasta memainkan peran penting
(expectations-augmented Phillips curve). Sebagai
dalam formulasi kebijakan moneter dan manajemen nilai
perencana sosial dimana bank sentral juga bertanggung
tukar. Preferensi sektor swasta merupakan hasil hubungan
jawab untuk menciptakan kesempatan kerja, maka
struktural antara perbankan dan industri.
setiap pergeseran output riil dari output potensial akan menimbulkan bias inflasi (inflation bias). Bias inflasi
Gutiérrez (2003) menyatakan bahwa rendahnya
inilah yang harus diatasi yang menurut Rogoff (1985)
hubungan antara independensi bank sentral secara
dengan mendelegasikan kebijakan moneter kepada
hukum dan inflasi mungkin tergantung pada apakah
bank sentral yang independen tetapi juga banker bank
independensi itu dijalankan secara benar atau tidak.
sentral yang konservatif.
Artinya apakah independensi secara legal itu diterapkan secara benar sebagaimana di Negara maju meruakan
Pandangan ini akhirnya memberi jalan pada
masalah tersendiri. Karena itu memperhatikan dokumen
perkembangan studi model ekonomi politik baru bank
hokum saja tidak mencukupi. Dvorsky (2000) mengukur
sentral dengan memperhitungkan tujuan fungsional
derajad independensi bank sentral di Negara transisi
bank sentral sebagai kompromi antara tujuan
eropa timur meliputi Czech, Hungaria, Polandia, Slovakia
menciptakan stablitas harga dan menciptkan
dan Slovenia menggunkan pendekatan Cukierman,
kesempatan kerja sebagaimana dinyatakan oleh
Kiguel and Liviatan menyimpulkan independensi bank
Cukierman, Kiguel and Liviatan (1992). Dalam model
sentral tidak memadai untuk inflasi rendah tetapi perlu
ini independensi bank sentral cukup mampu mendorong
reformasi ekonomi dan koordinasi antara sector moneter
inflasi rendah walaupun studi lebih lanjut menunjukan
dan fiscal. Sturm and de Haan (2001) menemukan
variasi regional yang signifikan.
bahwa bank sentral perlu bekerjasama dengan dengan lembaga lain untuk inflasi yang rendah dan independensi
Kajian mengenai ekonomi politik terkait peran bank
saja tidak cukup. Hanya negara yang inflasinya sangat
sentral dan kebijakan moneter menyimpulkan pentingnya
tinggi saja independensi sangat efektif dalam jangka
aspek politik dan kelembagaan dalam penentuan
pendek.
25
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Hasil empiris itu menimbulkan pertanyaan apakah
instrumen dimaksudkan sebagai kemampuan bank
independensi bank sentral masih relevan bagi negara
sentral dalam memilih kebijakan yang ingin dilakukan.
sedang berkembang? Jawabnya Ya. Dari berbagai macam literature akademis tercipta konsesnus bahwa
Dalam kontek Indonesia, status kelembagaan BI yang
independensi bank sentral diperlukan walaupun semua
independen yang tercantum pada pasal 4 UU No. 23
sepakat bahwa independensi secara legal saja tidak
Tahun 1999. Independensi artinya bebas dari campur
cukup. Perlu ada kewenangan lain untuk mengatasi
tangan pemerintah dan pihak-pihak luar lainnya dalam
tekanan inflasi. Harus ada perangkat kelembagaan lain
melakukan kebijakan moneter. Dengan UU yang baru
yang berfungsi mendukung peran ini.
ini, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI. BI dalam
Karena itu definisi independensi perlu dijelaskan lebih
melaksanakan tugasnya wajib menolak dan mengabaikan
detail antara independensi secara legal dan aktual.
segala bentuk campur tangan terhadap tugas BI, maupun
Secara legal independensi adalah jaminan secara
dewan gubernur dan pejabat BI yang tidak menolak
konsitusional tentang fungsi bank sentral dan khususnya
campur tangan pihak lain, dikenai ancaman pidana berat
terkait dengan hubungannya dengan pemerintah.
dan denda yang besar. Pertimbangan mendasar BI dalam
Aktual dimaksudkan sebagai independensi dari sisi
menjalankan kebijakan moneter adalah untuk tujuan
otonomi dalam hubungannya dengan pemerintah.
menstabilkan nilai rupiah.
Cukierman, Kiguel and Liviatan (2007) menggunakan istilah yang serupa yaitu independensi de jure dan de
C. Pengawasan Bank
facto. De Jure adalah independensi dari sisi legalitas dalam undang undang dan ini digunakan sebagai proksi
Seperti diketahui amanat membuat lembaga pengawas
untuk independensi de facto.
bank yang baru ada sejak diundangkannya UU bank sentral nomor 23 tahun 1999. Pembentukan lembaga
Grilli, Masciandaro, dan Tabellini (1991) menfokuskan
pengawas yang baru ini selain memang mengikuti
pada dua dimensi penting yaitu independensi politis dan
trend pemisahan pengawasan bank di negara maju
independensi ekonomi. Sementara Debelle dan Fisher
seperti Inggris dan Australia, juga didorong oleh krisis
(1994) mengkategorikan independensi dari sisi Tujuan
perbankan 1998. Krisis yang membuat pemerintah
(goal) dan Perangkat (instrument). Tujuan dimaksudkan
mengeluarkan dana rekapitalisasi perbankan sebesar
sebagai kemampuan menentukan tujuan tanpa campur
Rp 420 triliun dipandang sebagai bukti kegagalan BI
tangan langsung dari pemerintah. Independensi
dalam melakukan fungsi pegawasan.
Tabel I. Sistem Pengawasan Bank Bentuk
26
Ciri-Ciri Umum
Institusional
Menentukan regulator mana yang akan mengawasi sebuah institusi adalah status badan hukum dari perusahaan tersebut baik dalam hal safety dan soundness serta pelaksanaan bisnis
Functional
Menentukan regulator mana yang akan mengawasi sebuah institusi adalah transaksi bisnis yang dilakukan oleh perusahaan, tanpa mempedulikan status hukum dari perusahaan tersebut. Masingmasing lini bisnis diawasi oleh regulator masing-masing
Integrasi
Terdapat sebuah regulator tunggal yang melaksanakan pengawasan dalam hal safety dan soundness, begitu juga conduct of business, untuk seluruh lembaga yang berada di sektor keuangan
Twin Peaks
Bentuk regulation by objective, yaitu pemisahan antara fungsi regulatory menjadi dua (2) regulator: salah menjalankan fungsi supervisi safety dan soundness, sementara yang lainnya fokus pada conduct of business
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Setelah UU BI diamandemen melalui UU No. 3 tahun
memiliki produk yang terkait dengan pasar modal. Ada
2004, pemikiran pembentukan OJK masih ada.
semacam efisiensi pengawasan yang akan dapat
Berdasarkan Pasal 34 dinyatakan tugas mengawasi bank
dinikmati karena pengawasan bank, pasar modal dan
nantinya akan dilakukan oleh lembaga pengawasan
lembaga keuangan lain ada dalam satu pengendalian.
sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk
Selain itu akan terhindar dari conflict of interest antara
dengan UU. Lembaga pengawas ini selambat-lambatnya
macroprudential dan microprudential supervision.
31 Desember 2010. Sebelumnya berdasar UU 23 tahun
Mengacu pada kasus Century Artaboga, konsolidasi
1999, OJK dibentuk paling lambat akhir tahun 2004.
pengawasan produk bank dan non-bank menjadi lebih
Tapi kemudian pemerintah bersama DPR sepakat merevisi
efektif karena tergabung dalam satu institusi.
UU 23 Tahun 1999 tentang BI menjadi UU 3/2004. Sementara kalau pengawasan bank dibawah bank Di dunia saat ini sebenanrya ada empat sistem
sentral, koordinasi kebijakan antara sektor moneter
pengawasan lembaga keuangan yang dapat ditemui
dan perbankan yang lebih lancar. Demikian juga dengan
di dunia. Pertama, sistem pengawasan institutisional
akses informasi kondisi perbankan sebelum bank sentral
yaitu sistem pengawasan dimana lembaga pengawas
mengambil keputusan terkait kebijakan moneter. Dari
didasarkan pada status badan hukum lembaga tersebut.
sisi sistem pembayaran, akan meningkatkan reliabilitas
Secara umum ini sistem yang mayoritas dengan bank
sistem pembayaran karena BI juga merupakan
sentral sebagai pengawas mendominasi diatas 70%.
penyelenggara sistem pembayaran nasional. Terkait
Kedua, sistem pengawaan fungsional, dimana
dengan krisis likuiditas, keberadaan BI sebagai pengawas
pengawasan lembaga keuangan dilakukan oleh berbagai
akan menjamin tersedianya likuiditas bagi perbankan
lembaga yang berbeda sesuai fungsi bisnis lembaga itu.
ketika terjadi liquidity shortage sehingga diharapkan
Contohnya asuransi akan diawasi lembaga pengawas
mengurangi risiko sistemik karena kecepatan
asuransi. Jika bank menjalankan bisnis asuransi, maka
pengambilan keputusan (crisis prevention).
bank akan diawasi lembaga pengawas asuransi juga. Jadi sebuah lembaga keuangan akan diawasi oleh
Namun bagi negara berkembang dimana perbankan
banyak pengawas tergantung aktifitas bisnisnya.
adalah lembaga keuangan utama dalam sistem keuangan, manfaat efisiensi pengawasan sepertinya
Ketiga, sistem pengawasan terintegrasi yaitu semua
tidak akan diperoleh. Makanya literatur ekonomi
lembaga keuangan diawasi oleh lembaga pengawasan
(Goodhard dll) menyatakan sebaiknya Negara
yang tunggal dengan cakupan pengawasan yang luas
berkembang tidak menyatukan pengawasan perbankan
baik untuk aspek mikroprudensial, makroprudensial
ke dalam OJK. Sayangnya pandangan pentingya bank
dan praktek bisnisnya. Konsep ini diterapkan di Inggris,
sentral tetap sebagai pengawas bank kurang terdengar
Australia dan Belanda. Model pengawasan demikian
akhir akhir ini.
inilah yang sedang kita gagas dengan OJK. Terakhir, twin peak yaitu sistem pengawassan berbasis pada
Apakah sistem keuangan kita sudah membutuhkan
tujuan dimana ada pemisahan antara fungsi supervisi
pengawasan terkonsolidasi semua lembaga keuangan
safety dan soundness di satu sisi dengan fungsi pada
dalam satu lembaga? Rasanya itu belum mendesak
praktek bisnis.
karena produk keuangan kita saat ini relative sederhana. Bahkan perbankan menguasai porsi pembiayaan lebih
Keempat sistem itu adalah selalu punya untung dan
dari 80%. Demikian juga dengan integrasi perbankan
rugi. Artinya apakah pengawasan lembaga keuangan
dengan pasar modal sangat rendah karena pasar modal
yang terpisah dari bank sentral atau menyatu dalam
belum cukup berkembang.
bank sentral adalah sama baiknya asal semuanya berfugsi dan menjalankan fungsinya dengan baik. Pengawasan
Kita menyadari masalah otoritas dan pengawasan jasa
lembaga keuangan oleh OJK akan sangat efektif ketika
keuangan bukan sekedar masalah efisiensi ekonomi saja
lembaga keuangan saling terkait seperti ketika bank
tetapi lebih banyak nuansa politis. Jabaran teori ekonomi
27
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
politiknya adalah pemerintah sebagai lembaga politis
sepuluh tahun kebelakang. Dari berbagai krisis ekonomi,
sebenarnya tidak rela bank sentral, yang notabene adalah
ternyata sumbernya beragam baik dari sisi perbankan,
profesional terlalu menguasai keputusan ekonomi. Ingat
nilai tukar, hutang luar negeri dan lainnya. Namun
profesional memperoleh kekuasaan karena keahlian.
kalau diperhatikan, mayoritas krisis berasal dari lembaga
Sementara politisi memperoleh kekuasaan karena mereka
keuangan atau ketika lembaga keuangan tidak sehat,
berjuang dengan kampanye dan perjuangan politis.
mereka menjadi pemicu maupun pemacu (accelerator)
Politisi memiliki pendukung yang harus dipuaskan.
krisis.
Sehingga kewenangan bank sentral yang besar membuat ruang gerak politisi/pemerintah makin terbatas. Makanya independensi diberikan tetapi pengawasan diambil
D. Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan
politisi. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Pengalaman membuktikan apapun struktur
Indonesia mengatur tentang peran dan tugas Bank
pengawasannya, bank sentral atau OJK, hampir tidak
Indonesia sebagai sebagai otoritas moneter. Dalam
ada pengaruhnya terhadap kinerja pengawasan.
perkembanganya peran sebagai otorita moneter
Kegagalan Nothern Rock Bank di Inggris buktinya. Studi
dirasakan kurang memadai karena cakupan otoritas
empiris membuktikan yang lebih penting dan lebih
moneter hanya terbatas pada aspek stabilitas harga.
menentukan kinerja pengawasan adalah suprastruktur
Dalam perkembngan ekonomi modern yang makin
dan lingkungan operasional pengawas seperti
komplek seperti saat ini peran bank sentral dalam
independensi operasional, akuntabilitas dan transparansi
stabilitas sistem keuangan makin diperlukan.
pengawas bank dalam menjalankan tugasnya. Bukan struktur kelembagaanya. Makanya kalau partai
Konsep stabilitas sistem keuangan atau stabilitas
Konservatif di Inggris menang dalam pemilu kedepan,
keuangan jauh lebih luas dari stabilitas moneter. Stabilitas
pengawassan bank akan dikembalikan ke Bank Of
moneter hanya mengacu pada stabilitas harga (price
England kembali.
stability). Artinya merupakan salah satu konsep kestabilan yang skopnya lebih kecil tetapi punya peranan penting
Secara tradisional tujuan pengaturan dan pengawasan
adalah stabilitas moneter. Stabilitas moneter (monetary
bank adalah untuk mencapai dan menjaga agar lembaga
stability) didefiniskan sebagai stabilitas harga dimana
keuangan menjadi sehat dan aman. Artinya agar
perekonomian mengalami inflasi dalam jumlah yang
lembaga keuangan beroperasi dengan mengindahkan
relatif kecil yaitu 1-2% setahun. Deflasi juga ancaman
prinsip pengelolaan lembaga keuangan yang sehat dan
terhadap stabilitas moneter namun karena isu deflasi
berhati hati. Ini untuk menjamin kepentingan nasabah
sangat jarang terjadi maka kurang menjadi perhatian.
baik deposan maupun debitur. Fungsi otoritas dalam
Kalau melihat UU No 23/99 tentang Tugas Bank
hal ini adalah mewakili kepentingan nasabah (delegated
Indonesia yaitu menjaga stabilitas nilai rupiah maka
monitor) dengan mengawasi prilaku lembaga keuangan.
secara singkat merupakan upaya mengurangi inflasi menjadi dasar bagi pertumbuhan ekonomi jangka
Sekarang ini terjadi pergeseran yaitu pengawasan
panjang yang berkelanjutan (sustainable economic
lembaga keuangan juga diarahkan untuk mencegah
growth). Pertumbuhan ekonomi menjadi isu global
jangan sampai lembaga keuangan menjadi sumber dari
dan nasional saat ini secara politik penentu selalu
krisis ekonomi (systemic risk). Tujuan ini sering disebut
menjalankan pertumbuhan ekonomi sebagai bukti
sebagai mencapai stabilitas sistem keuangan. Seperti
keberhasilan dalam pembangunan.
diketahui krisis ekonomi merupakan situasi yang sangat merugikan karena krisis mampu menghancurkan sendi-
Sementara stabilitas sistem keuangan memiliki cakupan
sendi ekonomi yang lama dibangun suatu negara.
yang luas walaupun definisi baku stabilitas sistem
Ongkos penyelesaian dan dampak krisis sangat mahal
keuangan (SSK) belum disepakati. Ada banyak definisi
dan dapat menyeret ekonomi suatu negara mundur
kestabilan sistem keuangan diantaranya:
28
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
John Chant (2003) menyatakan instabilitas adalah
Sementara itu, Schinasi (2006) mendefinisikan stabilitas
keadaan pasar yang merugikan perekonomian yang
keuangan sebagai kondisi dimana sistem keuangan:
mengancam kinerja ekonomi sehingga melumpuhkan
a. Secara efisien memfasilitasi alokasi sumber daya
kondisi keuangan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah dan membuat arus dana terbatas. Keadaan juga mengganggu fungsi dan operasi lembaga keuangan. Crockett (1996) mendefinisikan stabilitas keuangan sebagai ketiadaan instabilitas. Instabilitas sebagai situasi ekonomi yang terganggu karena fluktuasi
dari waktu ke waktu, dari deposan ke investor, dan alokasi sumber daya ekonomi secara keseluruhan, b. Dapat menilai/mengidentifikasi dan mengelola risikorisiko keuangan. c. Dapat dengan baik menyerap gejolak yang terjadi pada sektor keuangan dan ekonomi.
harga aset keuangan yang besar atau ketika lembaga keuangan gagal memenuhi kewajiban yang sudah
Dari semua definisi diatas dapat diringkas secara
diperjanjikan. Sementara Deutsche Bundesbank (2003)
sederhana kestabilan keuangan adalah tidak adanya
menggambarkan stabilitas keuangan sebagai keadaan
krisis yang berarti situasi dimana ketahanan sistem
seimbang sistem keuangan sehingga berfungsi efisien
keuangan terhadap guncangan perekonomian, sehingga
dalam alokasi sumber dan mengelola risiko dan
fungsi intermediasi, sistem pembayaran dan penyebaran
menjalankan fungsi pembayaran, mampu mengatasi
risiko tetap berjalan dengan semestinya.
kejutan ekonomi, kebangkrutan dan perubahan struktural yang mendasar.
Dari uraian diatas terlihat keterkaitan antara Stabilitas Moneter & Stabilitas Sistem Keuangan. Stabilitas
Frederick Mishkin (1999) menyatakan instabilitas
moneter dan stabilitas sistem keuangan ibarat dua sisi
keuangan terjadi ketika kejutan terhadap sistem
dari satu koin yang saling mempengaruhi satu terhadap
keuangan karena masalah arus informasi sehingga
yang lain. Namun demikian, terdapat perbedaan
sistem keuangan tidak mampu menjalankan funsinya
mendasar antara keduanya.
menyalurkan dana kedalam investasi produktif.
Tabel 2. Perbandingan Stabilitas Moneter dan Stabilitas Keuangan
Stabilitas Moneter
Stabilitas Keuangan
Definisi
Stabilnya harga untuk mengendalikan inflasi mengendalikan deflasi
Kestabilan institusi dan pasar keuangan dan tiadanya tekanan dan pergerakan harga yang berpotensi menyebabkan guncangan perekonomian
Instrumen pengontrol
Kebijakan moneter Suku bunga Operasi pasar
Sangat terbatas, dan sulit untuk disesuaikan: Fasilitas Pembiayaan Darurat
Struktur Proyeksi
Trend, Central tendency of distribution
Tails of distribution, Extreme event
Alat Proyeksi
Teknik peramalan standar
Simulasi, Stress test
Sumber: Diadaptasi dari Aspach O, et. al. (2006) dan Schioppa (2002)
29
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Kalau memperhatikan UU no. 23 Tahun 1999, peran
perekonomian. Sistem pembayaran dapat dikelompokan
dan fungsi Bank Indonesia dalam stabilitas sistem
dalam dua kategori yaitu sistem pembayaran berbasis
keuangan yang tidak secara eksplisit tercantum dalam
tunai atau kartal dan sistem pembayaran berbasis giral
Undang-Undang Bank Indonesia. Beranjak dari
atau elektronik. Bank Indonesia berwenang untuk
pengalaman krisis keuangan 1997/1998 dan juga dampak
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
krisis keuangan global pada perekonomian Indonesia
Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan
tahun 2008 yang lalu, Bank Indonesia memegang peran
pengaturan untuk mengurangi risiko timbulnya gangguan
dan fungsi sentral dalam stabilitas sistem keuangan.
yang bersifat sistemik dalam sistem pembayaran yang
Karena memandang bahwa stabilitas sistem keuangan
cenderung semakin meningkat. Berkaca dari kasus
sebagai suatu hal yang sangat penting untuk menunjang
Herstatt Bank pengaturan dalam sistem pembayaran
stabilitas makroekonomi.
diarahkan jangan sampai risiko kredit dalam sistem pembayaan berdampak pada kekacauan sistem
Walaupun tidak secara eksplisit peran BI dalam menjaga
pembayaran nasional.
stabilitas sistem keuangan, namun berdasarkan pengalaman negara-negara maju, fungsi menciptakan
Selain BI menyediakan infrastruktur sistem pembayaran
stabilitas sistem keuangan merupakan fungsi yang
yang terpercaya seperti sistim kliring nasional (SKN),
melekat di bank sentral. Walaupun tidak secara eksplisit
BI-RTGS dan BI-SSS, BI juga mengatur agar risiko kredit
tercantum, secara implisit peran ini juga dekat dengan
dalam sistem pembayaran Nasional diminimalkan.
peran BI sebagai bank sentral secara umum.
Kewajiban baik untuk menyediakan Cover Fund (Saldo) yang cukup atau kewajiban menjalankan aset likuid
Dalam kaitan dengan tugas Bank Indonesia untuk
seperti SBI dan SUN merupakan upaya BI mencegah
menjaga stabilitas moneter antara lain melalui
jangan sampai krisis berawal dari kegagalan sitem
penggunaan instrumen suku bunga dalam operasi
pembayaran.
pasar terbuka, maka secara implisit mengharuskan BI untuk melakukan segala daya dan kewenanganya
Dalam kaitan dengan fungsi pencegahan krisis, maka
untuk mencapai tugas itu. Dalam hal ini, Bank Indonesia
prinisip mencegah lebih baik daripada mengobati harus
dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter
menjadi filosofis dasar manajemen perekonomian
secara tepat dan berimbang melalui pengendalian suku
nasional. Kemamapuan dalam mendeteksi risiko yang
bunga sebagai target antara (intermediate target).
mungkin terjadi harus menjadi keahlian baru bank
Penerapan kebijakan moneter dengan target inflasi
sentral dalam fungsinya menjaga stabilitas sistem
(inflation targeting) merupakan salah satu implementasi
keuangan. Saat ini Bank Indonesia sudah melakukan
dari tugas menjaga stabilitas moneter.
riset dan pemantauan macroprudential (macroprudential surveilance) terhadap sistem keuangan dan meneliti
Sistem keuangan Indonesia secara umum didominasi
potensinya dalam menyebabkan krisis. Bank Indonesia
perbankan. Artinya stabilitas sistem keuangan Indonesia
dalam hal ini menganalisis dan memonitor kerentanan
sangat dipengaruhi kemampuan sistem perbankan
sektor keuangan termasuk mendeteksi potensi shock
dalam menahan ancaman destabilisasi. Karena itu Bank
yang berdampak sistemik terhadap sistem keuangan,
Indonesia berperan vital dalam menciptakan stabilitas
selain melakukan riset untuk mengembangkan instrumen
sistem keuangan yang sehat, khususnya perbankan.
dan indikator macroprudential guna mendeteksi
Peran Bank Indonesia dalam menciptakan dan
kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan
memelihara sistem perbankan yang sehat dilakukan
ini akan diolah menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait
melalui mekanisme kebijakan dan pengawasan yang
dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
efektif, serta penegakan hukum (law enforcement).
meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Sistem pembayaran nasional merupakan tulang
Untuk makin mendorong fungsi bank sentral dalam
punggung (backbone) kelancaran arus dana di
menajga stabilitas sistem keuangan, maka bank sentral
30
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
melengkapi alat berupa sistem peringatan dini. Mengingat
mengabaikan dampaknya terhadap perekonomian
krisis bersumber dari berbagai sebab dan pengalaman
secara keseluruhan. Dengan demikian dapat diringkas
membuktikan bahwa pendekatan mikroprudensial
tujuan dari makroprudensial adalah berada pada wilayah
lembaga keuangan saja tidak cukup mampu memberi
ekonomi makrotradisional sementara untuk
nilai peramalan, maka dikembangkanlah konsep yang
microprudential bertujuan perlindungan terhadap
dikenal dengan pengawasan makroprudensial
nasabah lembaga keuangan. Dalam perspektif
(macroprudential surveillance).
manajemen keuangan, makroprudensial bertujuan mencegah terjadinya kejadian ekstrim (tail event) pada
Kita sepakat bahwa sangat penting mencegah jangan
portofolio semenatara mikroprudensial diarahkan untuk
sampai krisis keuangan terjadi karena dampak dari
mencegah terjadinya kejadian ekstrim pada satu
krisis sangat mahal bagi perekonomian. Pertanyaan
sekuritas atau instrumen keuangan.
mendasar saat ini yang penting untuk dijawab adalah bagaimana mencegahnya? Jawaban atas pertanyaan
Karena itu bagi otoritas keuangan, macroprudential
ini sangat tergantung kepada pemahaman kita terhadap
merupakan alat yang dapat membantu otoritas dalam
ketidakstabilan, sebab utamanya dan implikasi dari
menjaga stabilitas sistem keuangan. Walaupun tujuanya
ketidakstabilan itu sendiri. Pertanyaan diatas selalu
berbeda yaitu macroprudential bertujuan menjaga sistem
membawa kita pada suatu konsep yang dikenal dengan
sementara microprudential bertujuan menjaga lembaga
”Macroprudential”. Walaupun belum ada definisi baku
keuangan, namun keduanya memiliki keterkaitan yang
pengertian makroprundesial tetapi secara umum ada
erat. Selama ini tangung jawab menjaga mikroprudensial
hubungan erat dengan konsep ”Microprundential”
ada di lembaga pengawas jasa keuangan baik itu bank
yang selama ini kita kenal. Komparasi konsep ini ada
sentral maupun lembaga diluar bank sentral. Satu hal
di table 3.
yang pasti adalah dalam menjaga stabilitas sistem Tabel 3. Perbandingan Macroprudential dan Microprudential
Attributes
Macroprudential
Microprudential
Proximate objective
limit financial system-wide distress
limit distress of individual institutions
Ultimate objective
avoid output (GDP) costs
consumer (investor/depositor) protection
Model of risk
(in part) endogenous
exogenous
Correlations and common exposures across institutions
important
irrelevant
Calibration of prudential controls
in terms of system-wide distress; topdown
in terms of risks of individual institutions; bottom-up
Sumber: Claudio Borio (2003) Dari tabel 3 dapat disimpulkan bahwa macroprudential
keuangan, pendekatan macroprudential dan
bertujuan membatasi risiko krisis yang terjadi pada
microprudential harus menjadi kesatuan.
suatu perekonomian dengan dampak kerugian produksi ekonomi suatu negara. Sementara microprudential
Peran penting yang terkait dengan stabilitas sistem
merupakan upaya untuk mencegah terjadinya krisis
keuangan adalah yang terkait dengan fungsi penyediaan
pada individu lembaga keuangan yang dapat merugikan
dana likuiditas kepada perbankan. Fungsi ini merupakan
nasabah atau investor lembaga keuangan dengan
bagian dari fungsi jaring pengaman sektor keuangan
31
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
selain perlindungan nasabah deposan lewar Lembaga
Dari berbagai kajian teoritis dan pengukuran empiris
Penjamin Simpanan (LPS). Bank Indonesia berperan
membuktikan kestabilan sistem keuangan bukan
dalam jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi
merupakan suatu hasil yang dengan sendirinya tercipta.
bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR).
Kestabilan sistem keuangan merupakan hasil dari
Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia
suatu proses yang terencana dan merupakan hasil dari
sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna
sinergi bank sentral, pemerintah, lembaga keuangan
menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan.
dan semua perilaku alami. Untuk mencapai dan
Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank
mempertahankan stablitas sistem keuangan, diperlukan
Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard
intervensi kebijakan. Disinilah peran baru bank sentral
sehingga pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan
yang memerlukan kekuasaan pengawasan bank yaitu
yang ketat harus diterapkan dalam mekanisme lender
untuk memastikan kesehatan mikroprudensial. Menjaga
of last resort tersebut.
agar kesehatan bank terjaga sangat penting terlebih dengan keterkaitan perbankan dalam sistem
E. Kesimpulan dan Implikasi
pembayaran dan kebijakan moneter, pengawasan perbankan sangat penting itu untuk memastikan
Independensi bank sentral merupakan tema utama
kebijakan yang tepat dalam mengatasi dan mencegah
diskusi kebijakan moneter yang sangat intensif di awal
terjangkitnya ketidakstabilan.
tahun 1990-an karena negara yang memiliki bank sentral yang independen memiliki tingkat inflasi yang lebih
Kedepan peran bank sentral dalam pencegahan krisis
rendah. Temuan ini menimbulkan arus baru penelitian
akan menjadi peran utama yang menuntut kewenangan
yang mencoba mencari kaitan secara detail kenapa inflasi
yang lebih besar dari sisi supervisi mikro-makroprudensial
bias menjadi lebih rendah. Jawabanya terletak pada
maupun dalam regulasi risiko sistemik. Apakah
perspektif kebijakan bank sentral yang berdimensi jangka
kewenangan ini akan dapat diperoleh bank sentral
panjang dan kredibilitas kebijakan yang ditempuhnya.
mengingat kewenangan ini diberikan oleh politisi
Temuan ini sangat penting karena stabilitas harga
(DPR dan Pemerintah)? Ini pertanyaan besar kita.
merupakan fondasi seluruh stabilitas ekonomi yang lain. Stabilitas harga menjadi fondasi bagi berjalanya ekonomi
Terlebih, selama ini memang ada pendangan yang salah
pasar yang baik. Ini berarti stabilitas harga menjadi syarat
terhadap fungsi BI sebagai bank sentral. Kesan ini
yang harus dipenuhi agar pereknomian berjalan dengan
secara implisit diakui oleh Gubernur BI, yang sebelumnya
baik. Karena itu independensi bank sentral harus
merupakan bagian pemerintah saat di Kementrian
diperkuat untuk menjamin kepentingan ekonomi jangka
Keuangan. Sebagai pengusul OJK, Darmin Nasution,
panjang dijaga sebagai penyeimbang kepentingan politisi
merasa paling bertanggung jawab dengan tarik ulur
yang dimensinya hanya lima tahun sesuai siklus pemilu.
pembentukan OJK. Setelah menjadi petinggi BI, beliau menyadari terjadinya kesalahan dalam mempersepsi
Trend yang terjadi pada awal tahun 2000-an yang
peran bank sentral. Pemerintah selama ini melihat BI
memisahkan fungsi pengawasan lembaga keuangan
dalam suasana “negatif” sehingga BI sering dipandang
dari bank sentral telah menimbulkan fenomena kebijakan
sebagai “negara dalam Negara”. Akibatnya perspektif
kaca mata kuda (single focus policy). Otoritas bank
negatif terhadap BI sangat kuat dan melihat isu conflict
sentral, yang sesuai mandatnya adalah bertanggung
of interest dalam penataan sektor moneter dan
jawab menjaga stabilitas nilai uang, akhirnya
perbankan sebagai masalah besar. Walaupun sebenarnya
memfokuskan semua kebijakanya untuk mencapai
kondisi conflict of interest ini menguntungkan karena
inflasi. Bank sentral menjadi kurang peduli dengan tugas
BI tidak akan menaikan suku bunga sangat tinggi. Aneh
lembaga Negara yang lain bahkan dunia usaha. Selama
kalau pemisahan pengawasan ini terkesan supaya BI
ada ancaman inflasi, suku bunga akan dinaikan. Selama
bisa bebas menaikan suku bunga. Di sisi lain kita selalu
inflasi rendah maka kebijakan moneter yang longgar
menyerukan agar suku bunga turun.
akan dilakukan.
32
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Alasan bahwa BI membutuhkan perbankan dalam mengelola kebijakan moneter adalah fakta dan realitas. Tanpa adanya kewenangan untuk mengawasi maka BI akan kehilangan salah satu kaki untuk keberhasilan pengelolaan dan kebijakan moneter. Teori saluran kredit dalam literatur moneter masih sangat kuat karena memang perbankan masih menguasai 80% dari porsi pembiayaan nasional. Karena itu, dengan berbagai pertimbangan tersebut, Pengawasan Bank tetap berada di bawah Gubernur BI dikonstruksikan sebagai jalan tengah kepentingan stabilisasi dan efektifitas pengawasan mikroprudensial perbankan. Sudah seharusnya akses untuk memperoleh informasi kondisi mikroprudensial diberikan ke otoritas yang bertanggung jawab dalam masalah makroprudensial walaupun OJK ada. Tanpa akses yang cepat, tepat dan mudah maka tugas makroprudential tidak akan berhasil. Kebutuhan akan kewenangan ini harus ada dan bukan ada karena belas kasihan lembaga lain. Terlebih ketika krisis mulai terjadi, maka proses tarik ulur terkait akses ini bisa menghancurkan kepercayaan pasar dan memicu permasalahan lain yang lebih besar yaitu distrust kelembagaan. Bagaimana mau mengatasi krisis jika antar lembaga negara yang bertanggung jawab masalah ekonomi saling bertikai. Kalau proses ini tidak diatur maka sekat kelembagaan akan menjadi kendala yang serius dalam perumusan kebijakan yang tepat dan cepat pada kritis dan implemetasi kebijakan itu di publik. Inilah titik kritis jika RUU OJK diundangkan tanpa memberi jaminan akses kepada BI untuk memantau langsung kondisi perbankan.
33
Daftar Pustaka
Barro, R and D Gordon (1983), `Rules, Discretion and Reputation in a Model of Monetary Policy', Journal of Monetary Economics. Borio Claudio : “Towards a macroprudential framework for financial supervision and regulation?”, Monetari and Economic Department, February 2003 Chant, J. (2003), Financial Stability as a Policy Goal , in: J. Chant, A. Lai M. Illing and F. Daniel (eds), Essays on Financial Stability, Bank of Canada Technical Report, No. 95. Ottawa.) Crockett, Andrew (1997) ’Why is Financial Stability a Goal of Public Policy?’, paper presented at Maintaining Financial Stability in a Global Economy Symposium, the Federal Reserve bank of Kansas City, August 28-30. Cukierman, A, S Edwards and G Tabellini (1990), `Seigniorage and Political Instability', CEPR Discussion Paper No. 381. Cukierman , Kiguel and Liviatan , (1992), How much to commit to an exchange rate rule: balancing credibility and flexibility, No 931, Policy Research Working Paper Series , The World Bank Davies, E Philip, (2002), A Typology of Financial Instability, Financial Stability Report, No. Deutsche, Bundesbank (2003), Report on the stability of the german financial system, Monthly report, Frankfurt, December Dvorsky, S, (2000), Measuring Central Bank Independence in Selected Transition Countries and the Disinflation Process , BOFIT Discussion Paper No. 13/2000 Epstein, GA, (19920 "Political Economy and Comparative Central Banking", Review of Radical Political Economics , vol. 24(1), Spring, pp. 1-32. Fischer, Stanley (1994), ‘Modern Central Banking.’ In The Future of Central Banking, Forrest Capie, Charles A. E. Goodhart, Stanley Fischer, and Norbert Schnadt, eds., Cambridge University Press, pp. 262-308. Goodhart, C A E (1995) ‘The Central Bank and The Financial System’, MIT Press, Cambridge, MA. Goodhart, C A E and Huang, H (1999) ‘a Model of The Lender of Last Resort’, LSE Financial Markets Group Discoussion Paper, dp0131. Haldane A. (2001), The Resolution of International Financial Crises : Private Finance and Henning, C. R. 1994. Currencies and politics in the United States, Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for International Economics.
34
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Hoggarth, Glenn, Peter Sinclair, and Jack Reidhill (2003) Resolution of Bank Crises Failures: A Review, Financial Stability Review, Bank of England, December. Hoggart, Glenn, Saporta V. (2001), Cost of Banking System Instability, Financial Stability Review, Bank of England, Junne. Kydland, F., and E. C. Prescott (1977). "Rules Rather than Discretion: The Inconsistency of Optimal Plans". Journal of Political Economy: 473–492. Lopes, Melinda, Central Bank And The Sources Of Financial Stability, Paper Presented In The 12th Annual Conference On Pacific Basin Finance, Economics, Accounting, And Business Bangkok, Thailand August 10-11, 2004. Mishkin, Frederick (2001), ‘Financial Policies and The Prevention of Financial Crises in Emerging Market Countries’, NBER Working Paper No. 8087, January. -______(1999), Global Financial Instability: Framework, Events, Issues, Journal of Economic Perspectives, Vol.13, No. 4 Mongid, Abdul, (2004), ‘Roads to Achieve Financial System Stability In ASEAN’, Paper for the 16th MEA Convention on December 9, 2004 and the 29th Conference of the Federation of ASEAN Economic Associations (FAEA), Institute Integrity of Malaysia, Persiaran Duta, Off Jalan Duta, Kuala Lumpur, Malaysia, December 10-11, 2004 Owen, E, M. Leone, M.Gill, and P. Hilbers (2000), Macroprudential Indicators of Financial System Soundness, OC Paper 192, INTERNATIONAL MONETARY FUND Washington DC, April 2000 Rogoff, K (1985), `The Optimal Degree of Commitment to an Intermediate Monetary Target', Quarterly Journal of Economics. Santoso, Wimboh (2007) ‘Effective Financial System Stability Framework’, The SEACEN Centre, Occasional Paper No.45, September Schwarts, Anna J. (1993). “ Currency Boards: Their Past, Present, and Possible Future Role,” Carnegie-Rochester Conference Series on Public Policy, 39, 147-187. Sinclair, P.J.N. (2000) ‘Central Banks and Financial Stability. Bank of England Quarterly Bulletin, Vol. 40, No. 4, November, 2000. Stiglitz, Joseph (1999), ‘Lesson from East Asia’, Journal of Policy Modeling 21 (3) pp. 311-330. ______(2002), Globalization and its Discontents, W.W. Northon & Co. Sturm , Jan-Egbert and Jakob de Haan, (2001), Inflation in Developing Countries: Does Central Bank Independence Matter? New Evidence Based on a New Data Set, http://www.unikonstanz.de/monec/teaching/WS04/monpol/material/sturmdehaan2001is.pdf Sturm , Jan-Egbert and Jakob de Haan, (2001), Inflation in Developing Countries: Does Central Bank Independence Matter? New Evidence Based on a New Data Set, http://www.unikonstanz.de/monec/teaching/WS04/monpol/material/sturmdehaan2001is.pdf
35
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Tommaso Padoa-Schioppa, (2002), ‘Central Banks and Financial Stability: Exploring a land in between’, Second ECB Central Banking Conference, Frankfurt am Main, October. Turner, Adair, 2009, The financial crisis and the future of financial regulation, The Economist’s Inaugural City Lecture , 21 January 2009
36
Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan Oleh Oka Mahendra, SH. 1
Saat ini Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Otoritas Jasa Keuangan sudah ditangan DPR RI. Tinggal menunggu jadwal untuk dibahas bersama dengan Pemerintah. RUU tersebut terdiri dari 11 Bab, 53 Pasal yang disusun dengan sistimatika sebagai berikut. Bab I
–
Ketentuan Umum Bab ini memuat pengertian beberapa istilah yang dipergunakan dalam RUU. Diantaranya memuat pengertian istilah perbankan dan keuangan non bank: a. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang mengenai perbankan. b. Industri Keuangan Non Bank yang selanjutnya disingkat IKNB adalah kegiatan jasa keuangan yang disediakan oleh lembaga keuangan selain bank yang mencakup Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, Lembaga Penjaminan, Pergadaian, Perusahaan Perasuransian, dan lembaga yang menyelenggarakan program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan yang bersifat wajib, serta industri keuangan non bank lainnya.
Bab II
–
Pembentukan, Tempat Kedudukan, dan Tugas Dalam bab ini ditentukan bahwa dengan Undang-undang ini dibentuk Otoritas Jasa Keuangan. Diatur pula pengertian Otoritas Jasa Keuangan yaitu lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini. Selanjutnya diatur pula tugas pengaturan dan pengertian Otoritas Jasa Keuangan.
Bab III –
Dewan Komisioner, Komite Eksekutif, Organ Pendukung dan Kepegawaian Bab ini mengatur kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu Dewan Komisioner yang mempunyai 7 (tujuh) orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Susunan Dewan Komisioner terdiri atas: a. Seorang ketuamerangkap anggota; b. 3 (tiga) orang Kepala Eksekutif merangkap anggota; dan c. 3 (tiga) orang anggota. Bab III terdiri dari 21 pasal.
Bab IV –
Kerahasiaan Informasi Dalam bab ini diatur larangan untuk pejabat atau orang-orang tertentu untuk menggunakan atau mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia kepada pihak lain.
Bab V –
Rencana Kerja, Anggaran, dan Pembiayaan Dalam bab ini ditentukan bahwa Dewan Komisionaris menyusun rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu diatur pula mengenai pembiayaan sebagai berikut:
1
Ahli Perancangan Peraturan Perundang-undangan
37
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
a. Otoritas Jasa Keuangan menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. b. Otoritas Jasa Keuangan menyerahkan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan. c. Dalam rangka penyelesaian dan penanganan bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik, Otoritas Jasa Keuangan wajib menginformasikan kepada forum stabilitas sistem keuangan tentang bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik. Bab VI –
Pelaporan dan Akuntabilitas Otoritas Jasa Keuangan diwajibkan menyusun laporan tahunan yang terdiri atas laporan kegiatan dan laporan keuangan. Laporan tersebut wajib disampaikan kepada DPR dan juga kepada Presiden. Laporan tersebut diaudit oleh BPK atau akuntan publik.
Bab VII –
Hubungan dengan Lembaga Lain Dalam bab ini diatur hubungan koordinasi kerjasama Otoritas Jasa Keuangan dengan lembaga lain, seperti Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan melalui forum stabilitas sistem keuangan. Selain itu diatur pula peluang bagi Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan hubungan internasional.
Bab VII –
Penyidikan Bab ini mengatur mengenai penyidik PPNS dengan kewenangannya, antara lain: a. Pengalihan tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan di bidang Perbankan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan dilakukan secara bertahap dan berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini diundangkan. b. Untuk 2 (dua) tahun pertama setelah tugas dan wewenang pengaturan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih, pembiayaan penyelenggaraan tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan di bidang Perbankan berasal dari anggaran Bank Indonesia.
Bab IX –
Ketentuan Pidana Dalam bab ini dimuat beberapa perbuatan pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara dan denda.
Bab X –
Ketentuan Peralihan Dalam bab ini diatur kondisi-kondisi dalam masa peralihan.
Bab XI –
Ketentuan Penutup
RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan didusun dengan pertimbangan antara lain: 1. Untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan industri jasa keuangan yang sehat, teratur, dan mempunyai daya saing yang tinggi. 2. Untuk itu diperlukan otoritas jasa keuangan yang bertugas melaksanakan pengawasan yang dapat mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan tugas pengawasan tersebut. 3. Sebagai pelaksanaan Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009. Pasal 34 UU tentang Bank Indonesia memuat pokok pikiran sebagai berikut: 1. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dengan Undang-undang.
38
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
2. Lembaga tersebut harus bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada BPK dan DPR. 3. Dalam melaksanakan tugasnya lembaga tersebut (supervisory body) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia. 4. Koordinasi dan kerjasama tersebut diatur dalam Undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. 5. Lembaga pengawasan tersebut dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia, serta keterangan dan data makro yang diperlukan. 6. Pengalihan fungsi pengawasan dari Bank Indonesia kepada lembaga pengawas sektor jasa keuangan dilakukan secara bertahap setelah dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang. 7. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan akan dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2010. 8. Sepanjang lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) belum dibentuk, menurut Pasal 35 UU tentang Bank Indonesia maka tugas pengaturan dan pengawasan bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Batas waktu pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan tersebut tinggal 4 bulan lagi. Meskipun waktu yang tersedia relatif pendek, namun pembahasan RUU tersebut harus dilakukan secara cermat dan mendalam. Berbagai aspek perlu dipertimbangkan agar kondisi perbankan semakin membaik dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Keputusan politik yang diambil oleh pembentuk Undang-undang akan sangat menentukan format pengawasan terhadap bank di masa mendatang. Pembentuk Undang-undang perlu belajar dari pengalaman sejarah pengawasan bank di tanah air dan juga dari pengalaman sejarah negara lain dalam mengatur pengawasan terhadap bank. Sekiranya UU tentang Otoritas Jasa Keuangan belum disahkan samapai tanggal 31 Desember 2010, berlaku ketentuan Pasal 35 UU tentang Bank Indonesia. Sehubungan dengan pembahasan RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan bersama ini disampaikan catatan hukum sebagai berikut: 1. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan, tidak boleh mengganggu, tetapi harus mendukung peran Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang antara lain berwenang merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter mengatur dan mengawasi perbakan, serta menjalankan fungsi sebagai “lender of the last resort”. 2. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan agar dapat menciptakan kondisi kondusif untuk tumbuhnya industri jasa keuangan yang sehat, berkelanjutan, dan berdaya saing. 3. Materi mutan yang diatur dalam Undang-undang tidak boleh mempersempit atau memperluas mandat yang didelegasikan oleh Pasal 34 UU tentang Bank Indonesia. 4. Terhadap hal-hal yang secara expersis verbis ditentukan dalam Pasal 34 UU tentang Bank Indonesia dan penjelasannya, serta pasal yang terkait harus dilaksanakan secara taat asas. 5. Mengingat pelaksanaan pengawasan terhadap bank sangat erat kaitannya dengan peran Bank Indonesia sebagai penanggung jawab kebijakan moneter maka kerjasama dan koordinasi dengan Bank Indonesia sangat penting untuk diatur secara jelas dalam Undang-undang. 6. Mengenai nama Undang-undang a. Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia tidak secara jelas menentukan nama undang-undang, tetapi mengisyaratkan nama Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan (LPJK). b. Nama Otoritas Jasa Keuangan secara etimologis bermakna otoritas tersebut diberi kewenangan yang luas. 7. Sifat lembaga a. LPJK merupakan lembaga yang independen dalam menjalankan tugasnya. b. Dalam Pasal 2 ayat (2) RUU ditentukan ”Otoritas Jasa Keuangan lembaga independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undangundang ini”.
39
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Dalam Penjelasan Umum antara lain dikemukakan bahwa independensi Otoritas Jasa Keuangan diwujudkan dalam 2 hal, yaitu: a. secara kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan tidak berada di bawah otoritas lain di dalam sistem pemerintahan RI. b. Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan memiliki kepastian atas jabatannya. Independensi Otoritas Jasa Keuangan tampaknya sulit diwujudkan karena: a. Proses pengisian anggota Dewan Komisioner sebagaimana diatur dalam Pasal 5 RUU sebagian besar diisi secara ex officio (5 diantara 7 anggota Dewan Komisioner),yaitu 1 dari Bank Indonesia, 1 dari Kementerian Keuangan, dan 3 dari unsur Otoritas Jasa Keuangan. b. Karena ex officio maka masa jabatan Dewan Komisioner tersebut tergantung kepada masa jabatan pada instansi asalnya. c. Tidak ada kesetaraan dalam proses rekrutmen. Ada yang perlu mendapat konfirmasi DPR, ada yang diusulkan melalui Menteri Keuangan kepada Presiden dan ada yang langsung kepada Presiden, yaitu yang berasal dari Kementerian Keuangan (periksa Pasal 6 RUU) d. Sebagai konsekuensi proses rekrutmen seperti tersebut di atas terdapat kecenderungan bahwa anggota Dewan Komisioner dari instansi tertentu terpengaruh oleh kebijakan instansinya. Sehubungan dengan itu proses rekrutmen anggota Dewan Komisioner perlu diperbaiki. Ada beberpa pola yang dapat diacu, yaitu pola rekrutmen KPK, Hakim Konstitusi, Hakim Agung, atau Komisi Yudisial. 8. Jumlah Dewan Komisioner perlu dipertimbangkan untuk merampingkan agar lebih efektif dan efisien. Kiranya Dewan Komisione cukup 5 orang. Struktur organisasi Otoritas Jasa Keuangan perlu dipertimbangkan kembali agar tidak ada kesan Otoritas Jasa Keuangan dalam Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 5 ayat (4) yunto Pasal 20, dan Pasal 21, Kepala Eksekutif mempunyai kewenangan yang luas baik dalam menetapkan kebijakan operasional pengawasan, menetapkan aturan, melakukan pengawasan, maupun menetapkan sanksi administratif. Tiga kewenangan menumpuk di tangan Kepala Eksekutif tanpa mekanisme kontrol yang jelas. Pasal 13 ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf f RUU secara sumir menentukan bahwa Dewan Komisioner mempunyai fungsi dan wewenang untuk mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif. Perlu dicatat bahwa Kepala Eksekutif adalah juga anggota Dewan Komisioner. Selain itu ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan, menambah perkasa Kepala Eksekutif. Sebab setiap orang yang sengaja mengabaikan, tidak memenuhi atau menghambat pelaksanaan kewenangan Kepala Eksekutif, diancam dengan pidana. Penumpukan kewenangan disatu jabatan dalam organisasi tidak sejalan dengan prinsip pemisahan kekuasaan dengan mekanisme checks and balances yang jelas. Sifat kolektif Dewan Komisioner sebagaimana diatur Pasal 5 ayat (2) kehilangan maknanya. 9. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan di luar pemerintah. Ada beberapa alternatif yang dapat dipilih selain seperti yang diatur dalam RUU. Pilihannya antara lain kedudukannya sebagai bagian dari lembaga independen atau badan hukum publik yang mandiri. Bila ditempatkan sebagai bagian dari lembaga independen, tentunya lembaga yang bergerak di bidang pengawasan jasa keuangan, untuk keterpaduan pengawasan seperti yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan dan untuk efisiensi. 10. Tugas Otoritas Jasa Keuangan Pasal 4 ayat (1) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan menentukan tugas Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengaturan dan pengawasan secara terpadu, independen, dan akuntabel terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan; b. ..…….. c. ……….
40
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Menurut Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen. Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa lembaga tersebut fungsinya antara lain melakukan pengawasan terhadap bank …. dan seterusnya. Lembaga tersebut yang ditekankan sebagai supervisory body dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia. Apakah yang dimaksud dengan tugas pengawasan terhadap bank dalam ketentuan ini? Bila merujuk kepada UU tentang Bank Indonesia tugas pengawasan dimaksud meliputi hal-hal yang diatur dalam Pasal 27 s/d Pasal 33 UU tentang Bank Indonesia sebagai berikut: a. Pengawasan langsung dan tidak langsung (Pasal 27). b. Mewajibkan bank menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan (Pasal 28 ayat (1)). b. Pemeriksaan berkala maupun setiap waktu (Pasal 29 ayat (1)). c. Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan tertentu (Pasal 31). d. Mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank (Pasal 32). e. Melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait perbankan yang berlaku dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkuta dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional (Pasal 33). Dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) antara lain dikemukakan bahwa Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dngan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan. Sehubungan dengan itu rumusan Pasal 4 ayat (1)dan ayat (3) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan perlu disesuaikan dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia dan penjelasannya, serta pasal yang terkait. Demikian pula Penjelasan Umum RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan yang beberapa kali mengulang pernyataan yang kurang tepat bahwa Pasal 34 UU tentang Bank Indonesia “memberikan otoritas pengaturan dan pengawasan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan” atau untuk ”menyelenggarakan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di bidang Perbankan, Pasar Modal, dan IKNB”. 11. Secara teknis perundang-undangan apakah UU tentang Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan atau membolehkan instansi lain untuk melaksanakan tugas atau kegiatan tertentu? Periksa Pasal 37, Pasal 46 ayat (2), Pasal 48, Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan. Seharusnya subyek yang diatur UU tentang Otoritas Jasa Keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan. Karena itu formulasi pasal-pasal tersebut perlu disempunakan agar tidak terkesan mengatur instansi atau lembaga lain yang tunduk kepada Undang-undang tersendiri yang menjadi dasar hukum pembentukannya atau yang memberi kewenangan untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang tertentu. 12. Pasal 37 ayat (2) UU tentang Otoritas Jasa Keuangan menentukan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dapat berkoordinasi dan bekerjasama dalam pengawasan bersama atas kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan. Pertanyaannya ialah apakah pengawasan disini berupa pengawasan makro atau mikro atau keduanya? Perlu dikemukakan bahwa kewenangan pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan merupakan bagian dari fungsi Bank Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 UU tentang Bank Indonesia. 13. Pasal 37 ayat (4) menentukan “dalam pengawasan bersama Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan langsung dan/atau tidak langsung terhadap bank”. Ayat ini mengatur kembali apa yang sebetulnya merupakan kewenangan Bank Indonesia. Bukankah kewenangan Bank Indonesia tersebut telah diatur dalam UU tentang Bank Indonesia?
41
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
14. Jenis-jenis peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Ada 3 jenis peraturan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu: a. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengikat secara umum (Pasal 1 angka 2). b. Peraturan Dewan Komisioner yang mengikat dilingkungan internal Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 1 angka 3). c. Peraturan Kepala Eksekutif sebagai aturan teknis dalam rangka pelaksanaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Peraturan Dewan Komisioner dan mengikat secara umum (Pasal 1 angka 4). Sesuai dengan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Penjelasan Pasal 7 ayat (4) memang dikenal adanya jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga yang pembentukannya berdasarkan Undang-undang. Tetapi jenis peraturan seperti itu hanya diakui dan mengikat bila diperintahkan pembentukannya oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jadi dalam hal ini tidak dikenal adanya atribusi kewenangan pengaturan seperti ditentukan dalam UU tentang Otoritas Jasa Keuangan. Seharusnya hanya ada satu jenis peraturan yang dapat dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang jelas-jelas didelegasikan pembentukannya oleh UU tentang Otoritas Jasa Keuangan. 15. Pasal 30 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan memberi kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk menetapkan dan memungut biaya yang wajib dibayar oleh industri jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap pasal ini, yaitu: a. Ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang mewajibkan industri jasa keuangan untuk membayar biaya tertentu kepada Otoritas Jasa Keuangan? Biaya apa yang dimaksud? b. Apakah biaya tersebut termasuk PNBP atau bukan? c. Besaran biaya apakah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau oleh instansi lain? Apa dasarnya? d. Perlu dicek apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang telah member kewenangan kepada instansi lain untuk memungut biaya dimaksud? Bila hal tersebut tidak jelas pengaturannya, dikawatirkan terjadi tumpang tindih/duplikasi pemungutan biaya yang akan memberatkan industri jasa keuangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. 16. Pelaporan dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 36 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan perlu disesuaikan dengan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia yang menentukan Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan laporan kepada BPK dan DPR. 17. PPNS sebagaimana diatur dalam Pasal 41 apakah dapat diangkat dari Pegawai Negeri yang dipekerjakan pada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan? Ketentuan tentang PPNS tersebut perlu diharmonisasikan dengan KUHAP dan UU tentang Kepegawaian. 18. Ketentuan peralihan terutama yang berkaitan dengan pengalihan status kepegawaian pegawai Bank Indonesia yang melaksanakan tugas dan wewenang di bidang pengawasan bank, pengaliahan infrastruktur dan kekayaan negara pada Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan, untuk digunakan sementara oleh Otoritas Jasa Keuangan agar dipertimbangkan dengan seksama. Jangan jangan tidak ada lagi yang tersisa di Bank Indonesia karena semua hal tersebut merupakan infrastruktur dan kekayaan yang diguakan untuk mendukung tugas pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan. Selain itu ketentuan Pasal 46 ayat (1) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan perlu ditelaah dengan seksama terutama mengenai: a. Apakah yang dialihkan dari Bank Indonesia tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan atau tugas yang secara ekplisit ditentukan dalam Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia?
42
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
b. Apakah waktu 3 tahun cukup dan bagaimana agendanya secara rinci sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU tentang Bank Indonesia? c. Dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU tentang Bank Indonesia dikemukakan penyerahan bertahap tersebut dilaporkan kepada DPR, tetapi RUU tidak menyinggung hal tersebut. Satu hal yang perlu dipertimbangkan yaitu perkembangan model pengawasan finansial dan regulasi dan peran bank central dalam pengawasan prudential di dunia perlu dijadikan pertimbangan. Masahiro Kawai and Michael Pomerleano (ADB Institute No. 189, January 2010, halaman 10 antara lain mengemukakan ”Of the 84 countries listed in the table, 30 have an integrated prudential supervisor, 20 have supervisory agencies in charge of two types of financial intermediaries, and 34 have multiple sectoral supervision. The central bank of 48 countries (57% of the total) have the authority of banking supervision, and of these 48 countries 39 (81%) are developing and emerging economies. It is informative to note that in countries with multiple sectoral supervisors, central bank almost always have this supervisory authority.” Sebagai catatan akhir dapat dikemukakan satu pertanyaan yang perlu dijawab pembentuk Undang-undang, yaitu siapakah yang mengawasi Otoritas Jasa Keuangan yang memiliki kewenangan cukup besar dalam mengawasi industri jasa keuangan yang menjadi urat nadi perekonomian nasional?
43
Halaman ini sengaja dikosongkan
Resensi Buku
Judul Penulis Penerbit Halaman Oleh
: : : : :
Konstitusi Ekonomi Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH Penerbit Buku Kompas, Januari 2010 (ISBN: 978-979-709-465-2) xvi + 440 halaman Veri D. Adhiraharja
Sejenak setelah membaca judul buku terbaru karya Prof.
dan tidak boleh dilanggar oleh penentu kebijakan ekonomi
Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, tak banyak dari pembaca yang
yang bersifat operasional. Jika kebijakan-kebijakan ekonomi
bertanya-tanya, apa sebenarnya maksud dari ‘konstitusi
tersebut bertentangan dengan UUD, maka tidak lagi
ekonomi’. Hal ini sangat wajar karena literatur/referensi
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
mengenai ekonomi maupun hukum yang membahas materi ‘konstitusi ekonomi (economic constitution) masih sangat
Di negara-negara demokrasi konstitusional selalu terdapat
jarang baik di Indonesia maupun di dunia. Wacana tentang
mekanisme peradilan untuk membatalkan atau menyatakan
konstitusi ekonomi itu sendiri dapat dikatakan memang
bahwa undang-undang atau sebagian materi undang-
masih baru. Namun, usaha untuk mengaitkan konstitusi
undang yang bersangkutan tidak lagi mempunyai kekuatan
dengan perekonomian di berbagai negara sebenarnya
hukum yang mengikat, hal inilah yang biasa disebut judicial
sudah dimulai sejak lama. Sejak tahun 1918, Soviet-Rusia
review, di Indonesia fungsi ini dilaksanakan oleh Mahkamah
yang bersifat komunis telah mencantumkan pasal-pasal
Konstitusi.
perekonomian dalam undang-undangnya. Sedangkan di Jerman yang menganut paham liberal, sejak Konstitusi
Pada buku Prof.Jimly sebelumnya yang berjudul Green
Weimar 1919 telah mengadopsi ide pengaturan prinsip-
Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara
prinsip kebijakan ekonomi dalam undang-undang dasar.
Republik Indonesia Tahun 1945 (2009), beliau menguraikan
Tradisi tersebut juga dikembangkan secara lebih luas oleh
kecenderungan menuangkan kebijakan lingkungan hidup
Irlandia dalam Konstitusi tahun 1937 dengan memperkenalkan
dalam bentuk undang-undang yang dapat dipaksakan
konsep Directive Principles of Social Policy (DPSP) yang
berlakukanya secara imperatif. Namun, karena ternyata
kemudian ditiru oleh banyak Negara non-komunis.
hanya diatur dengan undang-undang saja, daya paksa kebijakan lingkungan itu tidak cukup kuat dan efektif
Pengertian dan Pentingnya
menghadapi persaingan dengan kepentingan lain. Mirip dengan hal tersebut, berbagai kebijakan ekonomi yang biasa
Prof. Jimly dalam bukunya tersebut menguraikan pengertian
dituangkan dalam bentuk undang-undang sering disusun
dan pentingnya konstitusi ekonomi di suatu Negara.Suatu
tanpa rambu-rambu hukum yang dapat dijadikan acuan
konstitusi disebut sebagai Konstitusi Ekonomi jika memuat
yang mengikat. Sehingga berkembang kebutuhan untuk
kebijakan ekonomi. Kebijakan-kebijakan itulah yang akan
menuangkan dasar-dasar kebijakan ekonomi itu dalam
memayungi dan memberi arahan bagi perkembangan
konstitusi yang dapat dijadikan pegangan oleh legislatif
kegiatan ekonomi suatu negara. Pengaturannya dapat
sebagai penentu kebijakan Negara dan pemerintahan (policy
bersifat rinci dan eksplisit maupun bersifat fleksibel atau
maker) dalam menyusun suatu undang-undang di bidang
bahkan hanya memuat rambu-rambu filosofis yang bersifat
perekonomian.
implisit (misalnya di Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Jepang). Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dituangkan
Secara umum, buku karya Prof Jimly ini memusatkan
dalam konstitusi suatu Negara tersebut bersifat mutlak
perhatian pada fenomena konstitusi ekonomi dengan
45
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
menguraikan aspek-aspek UUD 1945 sebagai konstitusi
Namun demikian pada dasarnya semua konstitusi ekonomi
ekonomi. Isi buku terdiri atas delapan bab, yaitu (1)
di dunia selalu mengatur sekurang-kurangnya (i) tentang
Kedudukan Konstitusi dalam Penyelenggaraan Negara, (2)
penguasaan dan kepemilikan kekayaan sumber daya alam
Wacana Konstitusi Ekonomi, (3) Konstitusi Ekonomi Pelbagai
sebagai warisan kehidupan, (ii) tentang konsepsi hak milik
Negara, (4) Konstitusi Ekonomi Indonesia Sebelum
perorangan, dan (iii) mengenai peranan negara dan
Reformasi, (5) Konstitusi Ekonomi Indonesia Pascareformasi,
perusahaan negara dalam kegiatan usaha. Bahkan, banyak
(6) Mahkamah Konstitusi dan UU tentang Perekonomian,
juga konstitusi yang mengatur kebijakan ekonomi itu secara
(7) Realisme dan Konstitusionalisme Kebijakan Ekonomi,
lebih luas dan terperinci.
dan (8) Simpulan dan Penutup. UUD 1945: Konstitusi Ekonomi Indonesia Tipe Konstitusi Ekonomi Melihat keempat tipe konstitusi ekonomi sebagaimana Dari sejumlah konstitusi yang diperbandingkan dalam buku
disebutkan di atas, Indonesia lebih pas masuk dalam kategori
ini, secara umum terdapat empat tipe konstitusi ekonomi,
Konstitusi Ekonomi nonkomunis.Hal ini terlihat dengan jelas
yaitu Pertama, konstitusi Liberal-Kapitalis, seperti Amerika,
setelah reformasi konstitusi di Indonesia berhasil diselesaikan
Kanada, Inggris dan Australia. Pada tipe ini memandang
tahun 2002, rumusan baru pasal-pasal perekonomian dalam
bahwa soal-soal perekonomian biasa dilihat sebagai
UUD 1945 mencakup lingkup materi yang cukup luas dan
persoalan yang timbul dan dapat diselesaikan sendiri dalam
memepertegas konsepsi dasar di bidang perekonomian
masyarakat sesuai mekanisme pasar. Sehingga dalam
dan kesejahteraan rakyat. Butir-butir ketentuan tersebut
perumusan materi terkait dengan ekonomi dan keuangan
mencakup (i) prinsip-prinsip dasar hak atas ekonomi dan
dalam konstitusinya hanya yang berhubungan dengan
konsepsi mengenai hak milik, (ii) kebijakan dasar di bidang
moneter, fiskal dan anggaran.
perekonomian untuk kesejahteraan social, (iii) kebijakan dasar di bidang kesejahteraan social, (iv) hal keuangan
Kedua, Konstitusi Ekonomi Negara komunis, seperti China,
Negara yang menyangkut kebijakan anggaran dan
Soviet-Rusia, Vietnam dan Korea Utara. Pada dasarnya pada
perpajakan, (v) mata uang dan bank sentral, (vi) pemeriksaan
konstitusi ekonomi negara yang termasuk dalam tipe kedua
keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan. Keenam hal
ini, menyebutkan bahwa semua sarana dan prasarana
tersebut dibahas secara mendalam pada buku ini.
produksi dimiliki oleh negara, organisasi masyarakat dan koperasi. Kekayaan milik negara merupakan hak milik seluruh
Penutup
masyarakat. Sehingga pemerintah mempunyai peranan utama dalam kegiatan ekonomi di negara-negara berpaham komunis.
Sebagai pendiri dan ketua pertama Mahkah Konstitusi (2003-2008) serta sebagai penggerak wacana literatur
Tipe konstitusi ekonomi yang ketiga, Konstitusi Ekonomi
yang membahas konstitusi ekonomi, Prof. Jimly menjadikan
Negara-negara eks komunis, seperti Polandia, Hongaria dan
buku ini sebagai referensi utama untuk mengkaji konstitusi
Polandia. Setelah runtuhnya komunisme, pada kelompok
ekonomi. Paparan Prof. Jimly pada buku ini disampaikan
ini telah mengalami pergeseran yang sangat mendasar ke
secara deskriptif dan tak sedikit bersifat evaluatif, juga
arah liberalisme.
mengupas tuntas sejarah konstitusi ekonomi di dunia. Sedikit masukan kepada buku ini dari peresensi, khususnya
Keempat, adalah Konstitusi Ekonomi negara-negara non
mengenai penjelasan konstitusi di berbagai negara terdapat
komunis, seperti Perancis, Brasil, Spanyol, Filipina, dan
pengulangan pembahasan mengenai pemuatan kebijakan
India. Pada tipe ini secara umum mencantumkan materi
lingkungan hidup pada konstitusi di suatu negara.
perekonomian lebih lengkap dalam konstitusinya. Bahkan pada konstitusi di beberapa negara memberikan
Akhirnya, peresensi juga merekomendasikan bahwa buku
kewenangan kepada lembaga/badan independen tertentu
ini sangat tepat dibaca oleh ahli dan praktisi hukum, pejabat
untuk berperan dalam pengembangan ekonomi di
negara penentu kebijakan, civitas akademika dan masyarakat
negaranya, misalnya Dewan Ekonomi dan Sosial di Perancis
umum.
dan Badan Perencanaan Ekonomi di Filipina.
46
Cakrawala Hukum: Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ?
Pada tanggal 17 Juni 2010, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) mengadakan seminar dengan Judul “RUU
1. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan (LPJK) dibentuk dengan UU.
OJK, Adakah Solusi Alternatif” di Hotel Borobudur. Seminar diselenggarakan dalam rangka memberikan masukan
2. Lembaga tersebut harus bersifat independen dalam
terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang saat ini
menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di
sedang disusun oleh Pemerintah. Pembicara seminar adalah
luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan
AA. Oka Mahendra, Dr. Dradjad H. Wibowo, Drs Sigid
laporan kepada BPK dan DPR.
Pramono, MBA (Ketua Perbanas) dan Aviliani, SE, MSi. 3. Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga tersebut Dalam pandangannya, pembicara berpendapat bahwa RUU
melakukan koordinasi dan kerja sama dengan BI.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang disusun oleh Pemerintah
Koordinasi dan kerja sama tersebut diatur dalam undang-
berdasarkan amanat Pasal 34 UU BI, dilakukan dengan
undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud.
pertimbangan untuk membangun industri jasa keuangan yang sehat, teratur dan mempunyai daya saing yang tinggi
4. Lembaga tersebut dapat mengeluarkan ketentuan yang
guna mewujudkan perekonomian yang mampu tumbuh
berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank
secara berkelanjutan dan stabil.
dengan koordinasi BI dan meminta penjelasan dari BI, keterangan dan data mikro yang diperlukan.
Namun demikian, pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) harus dicermati dari berbagai aspek. Dari
Pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan harus
aspek filosofis, pembentukan UU mengenai LPJK harus
mendukung peran BI sebagai Bank Sentral, serta tidak boleh
dilihat apakah dapat meningkatkan fungsi administratif
memperluas atau mempersempit tugas, fungsi, dan
kontrol dan manajerial kontrol terhadap otoritas jasa
kewenangan LPJK, khususnya berkaitan dengan pengawasan
keuangan agar kebijakan yang telah ditetapkan dilaksanakan
bank. Terhadap hal-hal yang secara tegas telah ditentukan
secara taat asas sesuai peraturan perundang-undangan
dalam UU BI menjadi fungsi, tugas dan wewenang lembaga
bebas dari berbagai penyimpangan atau penyelewengan
pengawasan dimaksud tidak terbuka untuk ditafsirkan lain,
dalam rangka pencapaian tujuan. Dari aspek yuridis, RUU
hanya hal-hal yang belum jelas arahan pengaturannya
OJK tidak boleh dilihat terpisah dari UU lain yang terkait.
terbuka untuk ditafsirkan dengan menggunkan metode
Dari aspek sosiologis, penyusunan RUU OJK hendaknya
peafsiran sesuai dengan doktrin hukum.
secara sungguh mempertimbangkan best practice dan dinamika perkembangan di sektor jasa keuangan. Oleh
Dalam kesempatan tersebut, salah satu pembicara yaitu
karena itu, dalam penyusunan RUU OJK perlu diperhatikan
Bp. AA Oka Mahendra secara tegas mengusulkan alternatif
perkembangan model pengawasan finansial dan regulasi
solusi Pasal 34 UU BI, yaitu:
dan peran bank sentral dalam pengawasan prudensial.
1. Dibandingkan “Otoritas”, nama yang lebih tepat diusulkan adalah Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan.
Pada dasarnya, Pasal 34 UU BI memuat janji karena baik
Otoritas Jasa Keuangan seperti usulan Pemerintah
pada ayat (1) dan ayat (2) menggunakan kata “akan”
memiliki makna yang sangat luas, sebagai kekuasaan,
bukan “mewajibkan”atau “mengharuskan”. Dari ketentuan
wewenang, hak melakukan tindakan atau hak untuk
Pasal 34 dan penjelasannya dapat diperoleh informasi
membuat peraturan untuk memerintahkan orang lain
bahwa:
(Kamus Besar Bahasa Indonesia)
47
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
2. Sifat kelembagaan independen, dengan status diluar pemerintah.
34 UU BI adalah rencana, sebagaimana frasa “akan dilakukan”. Berkaitan dengan amanat tersebut, yang direncanakan (bukan diperintahkan) oleh Pasal 34 ayat (1)
3. Fungsi: melakukan pengawasan terhadap bank dan
UU BI adalah pembentukan LPJK. Batang tubuh Pasal 34
perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi
menyebutkan kata “pengawasan” bukan Otoritas.
asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan
Selanjutnya disebutkan bahwa lembaga pengawasan ini
perusahaan pembiayaan serta badan lain yang
dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan koordinasi Bank Indonesia. Ketentuan ini tidak secara otomatis
4. Tugas dan wewenang : a. Mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara
memberikan kekuasaan “pengaturan” tetapi hanya berupa “dapat mengeluarkan ketentuan” yang bisa ditafsirkan sebagai penjabaran peraturan.
yang ditetapkan (Pasal 28 UU BI) b. Melakukan pemeriksaan (Pasal 29 UU BI)
Dari sisi ketentuan perundang-undangan, Drajad melihat
c. Memerintahkan bank untuk menghentikan sebagian
bahwa rencana pembentukan OJK bukan perintah UU BI.
atau seluruh transaksi tertentu apabila menurut
Pasal 34 hanya merencanakan pembentukan LPJK, dengan
penilaian lembaga terhadap transaksi patut diduga
Pasal 8 butir c menyebutkan tugas BI adalah mengatur dan
merupakan tindak pidana perbankan (Pasal 31 UU
mengawasi bank. Lebih lanjut Drajad mengemukakan bahwa
BI)
pengawasan Bank merupakan titik terlemah BI yang
d. Dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan
membuat modal politik BI negatif. Kelemahan tersebut tidak
dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank
terletak pada investigasi, penemuan dan diagnosis masalah
dengan koordinasi BI dan meminta penjelasan BI
oleh jajaran di bawah Dewan Gubernur, namun terletak
mengenai keterangan dan data makro yang
pada pengambilan keputusan oleh Dewan Gubernur BI.
dibutuhkan (Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU BI) Keberadaan lembaga pengawas keuangan yang bersifat 5. Pimpinan: Dewan Gubernur/Dewan Komisioner/Dewan
“integrated supervision” ataupun pengawasan oleh bank
Komisioner dan kepala Eksekutif/Dewan Direktur/Chief
sentral bukan merupakan sesuatu yang superior/mutlak.
Executif Officer (CEO).
Pengawasan bank yang terpisah dari bank sentralnya, seperi FSA yang terpisah dengan Bank of England tidak
6. Rekrutmen pimpinan: pemilihan oleh panitia seleksi
menjamin selamanya bahwa sistem perbankan akan aman.
independen, diajukan oleh Pemerintah atau lembaga
Amerika Serikat dengan pengawasan oleh The Fed juga
Negara dengan rekomendasi atau persetujuan DPR.
mengalami kebobolan, malah menjadi sumber krisis keuangan dunia pada tahun 2008 akibat kegagalan
7. Jumlah pimpinan 5-9 orang sesuai kebutuhan organisasi agar tugas dapat dijalankan secara efektif dan efisien.
mengawasi perilaku spekulatif bank dan inovasi produk derivative berbasis subprime mortgage.
8. Pembiayaan: APBN dengan kewenangan pengelolaan
Berkaitan dengan krisis perbankan yang terjadi di Inggris,
mandiri/biaya sendiri dari fee/sumber pembiayaan lain
karena dianggap tidak dapat melakukan koordinasi, maka
yang sah.
pengawasan bank yang semula dilakukan oleh FSA dikembalikan kepada bank sentralnya (Bank of England).
Sementara itu Drajad Wibowo mengemukakan bahwa kelahiran Pasal 34 UU BI merupakan kompromi politis dan
Dari pertimbangan praktis, berdasarkan survey yang
melahirkan pengaturan yang bersifat abu-abu. Dalam hal
dilakukan oleh perbanas, diketahui bahwa hampir 90%
ini Drajad menilai bahwa terdapat pertentangan antara
bank masih menginginkan pengawasan dilakukan oleh
Pasal 8 dan Pasal 34 UU BI. Pasal 8 UU BI belum dicabut
Bank Indonesia. Dalam hal ini Bank sebagai pelaku bisnis
dan bersifat definitif dan direktif, sementara itu sifat Pasal
selalu mempertimbangkan cost dan efisiensi dalam
48
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
mengelola bisnisnya, sehingga sangat menghindari adanya premi yang dibebankan kepada industri. Bank menganggap pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sudah baik dan sangat ketat. Sementara itu dari pandangan ekonom, Aviliani mengemukakan bahwa faktor koordinasi dan integrasi pengawasan menjadi isu yang penting dalam rangka antisipasi dan penanganan krisis, sehingga tidak terlalu material apakah pengawasan bank ada di Bank Sentral ataukah pada pembaga khusus yang akan dibentuk. Dari pandangan pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada yang dapat menjamin suatu negara terluput dari krisis apabila pengawasan bank dilakukan oleh bank sentral maupun oleh lembaga di luar bank sentral. Namun demikian, dalam rangka antisipasi krisis maka isu terpenting adalah adanya koordinasi pengawasan yang dilakukan terhadap institusi bank dan non bank.
49
Halaman ini sengaja dikosongkan
Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) Mei - Oktober 2010
Peraturan
Tanggal
Satker
Perihal
LN & TLN
12/8/PBI/2010
3-6-2010
DPU
Perubahan Kedua atas PBI No.7/40/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005
LN 71
12/9/PBI/2010
29-6-2010
DPNP
Prinsip Kehati-hatian Dalam Melaksanakan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri Oleh Bank Umum
LN 82 TLN 5139
12/10/PBI/2010
1-7-2010
DPD
Perubahan Ketiga Atas PBI No. 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum
LN 83 TLN 5140
12/11/PBI/2010
2-7-2010
DPM
Operasi Moneter
LN 84 TLN 5141
12/12/PBI/2010
4-8-2010
DASP
Perubahan atas PBI No.10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System
LN 93 TLN 5146
12/13/PBI/2010
4-8-2010
DASP
Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
LN 94 TLN 5147
12/14/PBI/2010
13-8-2010
DPU
Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang Logam Pecahan 25 (Dua Puluh Lima) Rupiah Tahun Emisi 1991
LN 96
12/15/PBI/2010
23-8-2010
DInt
Perubahan atas PBI No.10/34/PBI/2008 tentang Transaksi Pembelian Wesel Ekspor Berjangka oleh Bank Indonesia
LN 97
12/16/PBI/2010
30-8-2010
DPD
Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
12/17/PBI/2010
30-8-2010
DPM
Perubahan atas PBI No.10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah
LN 107
12/18/PBI/2010
30-8-2010
DPM
Perubahan atas PBI No.10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah
LN 108
12/19/PBI/2010
4-10-2010
DPNP/DKM
Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing
LN 115 TLN 5158
12/20/PBI/2010
4-10-2010
DKBU/DPbS
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
LN 116 TLN 5159
12/21/PBI/2010
19-10-2010
DPNP/DPbS
Rencana Bisnis Bank
LN 120 TLN 5161
LN 106 TLN 5153
51
Halaman ini sengaja dikosongkan
Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank Indonesia Mei - Oktober 2010
Peraturan
Tanggal
Satker
Perihal
12/14/DKBU
1-6-2010
DKBU
Pelaksanaan Pedoman Akuntansi BPR
12/15/DKBU
11-6-2010
DKBU
Perubahan Kedua atas SE No.8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat
12/16/DPM
6-7-2010
DPM
Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter
12/17/DPM
6-7-2010
DPM
Koridor Suku Bunga (Standing Facilities)
12/18/DPM
7-7-2010
DPM
Operasi Pasar Terbuka
12/19/DInt
22-7-2010
DInt
Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri
12/20/DPM
2-8-2010
DPM
Perubahan atas SE BI No.5/29/DPD tnggal 18 November 2003 perihal Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
12/22/DPM
2-8-2010
DPM
Perubahan atas SE BI No.12/12/DPD tanggal 8 April 2010 perihal Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia
12/23/DPM
30-8-2010
DPM
Perubahan atas SE BI No.11/8/DPM tanggal 27 Maret 2009 perihal Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah (FASBIS)
12/24/DPM
30-8-2010
DPM
Perubahan atas SE BI No.10/44/DPM tanggal 10 Desember 2008 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan Bank Indonesia
12/25/DPM
30-8-2010
DPM
Perubahan Kedua atas SE BI No.10/16/DPM tanggal 31 Maret 2008 perihal Tata Cara Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Syariah Melalui Lelang
12/26/DPM
30-8-2010
DPM
Perubahan atas SE BI No.10/17/DPM tanggal 31 Maret 2008 perihal Tata Cara Transaksi Repo Sertifikat Bank Indonesia Syariah dengan Bank Indonesia
12/27/DPNP
25-10-2010
DPNP
Rencana Bisnis Bank Umum
53
Halaman ini sengaja dikosongkan
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Mei - Oktober 2010
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/8/PBI/2010 tentang Pengeluaran dan Pengedaran uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005. Ringkasan : 1. Seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di masyarakat perlu didukung dengan ketersediaan uang rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya sehingga diharapkan dapat memperlancar kegiatan transaksi ekonomi di masyarakat. Sehubungan dengan itu, selanjutnya dipandang perlu untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada desain uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 sebagai alat paembayaran yang sah (legal tender) di Negara Kesatuan Republik Indonesia, melalui penyempurnaan desain uang rupiah antara lain dengan perubahan warna dan unsure pengamanan. 2. Materi pokok yang tercantum dalam ketentuan ini meliputi : a. Uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 terbuat dari bahan serat kapas; b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar Rp. 10.000 (Sepuluh Ribu rupiah); c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 untuk tahun pencetakan sampai dengan tahun pencetakan mulai tahun 2010, baik dari segi warna, gambar dan bahan; d. UK rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. 3. Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) untuk tahun pencetakan mulai tahun 2010 antara lain sebagai berikut: a. Terbuat dari serat kapas dengan ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm; b. Bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan ungu kebiruan. c. Tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Baharuddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Palembang; d. Benang pengamanan yang tertanan di dalam kertas uang yang membuat tulisan “ BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah di bawah sinar ultra violet. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/9/PBI/2010 tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Melakukan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri Oleh Bank Umum Ringkasan : Latar belakang diterbitkannya ketentuan ini Dalam rangka meningkatkan kegiatan usaha bank dan mempertahankan nasabah bank, bank dituntut untuk meningkatkan operasional pelayanannya kepada nasabahnya dan mengubah strategi bisnis perbankan sehingga lebih banyak memanfaatkan kemajuan Teknologi Informasi. Pembelian produk keuangan luar negeri oleh nasabah merupakan hal yang dipandang perlu dilayani oleh bank untuk meningkatkan daya saing bank dan perolehan pendapatan dari fee based transactions. Penerapan Teknologi Informasi telah
55
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
meningkatkan kemampuan bank dalam kegiatan operasional serta pengelolaan data bank yang bersifat mendunia seperti melakukan penawaran, setelmen, dan pemberian informasi atas produk keuangan luar negeri kepada nasabah secara lebih akurat dan cepat. Disamping berbagai manfaat dan keunggulan yang diperoleh dari aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri, terdapat pula risiko yang dapat merugikan bank serta nasabah seperti risiko hukum, risiko reputasi, dan risiko penyelesaian transaksi. Untuk mengatasi risiko yang dihadapi bank dan dalam rangka memberikan perlindungan kepada nasabah, maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan kegiatan operasional yang terkait penjualan produk keuangan luar negeri kepada nasabah termasuk penerapan manajemen risiko. Dalam hubungan dengan aktivitas terkait Produk Keuangan Luar Negeri, Bank juga wajib memperhatikan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Peraturan Bank Indonesia ini, antara lain Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ketentuan Bank Indonesia yang mengatur tentang Transaksi Derivatif, Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Transparansi Informasi Produk Perbankan dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Terorisme Bagi Bank Umum, Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing, dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Pokok-pokok pengaturan 1. Bank di Indonesia dapat melakukan keagenan Produk Keuangan Luar Negeri yaitu instrumen investasi yang diterbitkan oleh penerbit asing di luar negeri yang mencakup Instrumen Investasi Asing Efek dan Instrumen Investasi Asing Selain Efek (berupa Structured Product) 2. Aktivitas keagenan tersebut dapat dilakukan sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. Aktivitas Keagenan mencakup: a. Menindak lanjuti permintaan nasabah Bank di DN atas Produk Keuangan LN. b. Menawarkan Produk Keuangan LN kepada nasabah/calon nasabah baik melalui penawaran secara tatap muka maupun melalui cara-cara penawaran lainnya. 3. Prinsip dasar pengaturan keagenan Produk Keuangan LN: a. Manajemen Risiko b. Kehati-hatian c. Perlindungan Nasabah 4. Manajemen Risiko: bank wajib menerapkan manajemen risiko dalam melakukan aktivitas keagenan produk keuangan LN yang minimal mencakup: a. Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; b. Kecukupan kebijakan dan prosedur; c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko yang timbul dari aktivitas keagenan produk keuangan LN; dan d. Sistem pengendalian intern atas aktivitas keagenan produk keuangan LN. 5. Perlindungan Nasabah: a. Bank wajib melakukan analisis mengenai Produk Keuangan LN yang akan ditawarkan. b. Bank wajib memberikan informasi yang transparan kepada nasabah sesuai ketentuan yang berlaku seperti:
56
•
penerbit, nama, jenis, spesifikasi, karakteristik, dan fitur produk;
•
fungsi dan kesesuaian produk terhadap kebutuhan nasabah;
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
•
perhitungan pendapatan atau imbal hasil (return) dari produk;
•
risiko produk yang ditawarkan termasuk kemungkinan kerugian nilai investasi Nasabah akibat fluktuasi nilai investasi sesuai kondisi pasar (market risk), kualitas aset yang mendasari (credit risk), dan risiko operasional terutama settlement risk;
•
perhitungan perkiraan kerugian terburuk yang mungkin dapat terjadi;
•
syarat dan kondisi produk yang meliputi biaya-biaya, jangka waktu, cooling off period, prosedur setelmen, penghentian sebelum jatuh waktu (early termination); dan
•
mekanisme penyelesaian sengketa.
c. Bank wajib menatausahakan dokumen penawaran produk keuangan LN secara tertulis dan berbahasa Indonesia. d. Bank wajib menyampaikan informasi kinerja investasi kepada nasabah secara transparan termasuk memberitahukan kepada nasabah media/sarana untuk penyampaian informasi tersebut. 6. Prinsip Kehatian-hatian: a. Bank dilarang melakukan tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan nasabah menganggap produk keuangan LN adalah produk bank; b. Bank wajib menerapkan prinsip mengenal nasabah (KYC) sesuai ketentuan yang berlaku; dan c. Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu menghentikan aktivitas keagenan produk keuangan LN tertentu apabila kegiatan tersebut tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan/atau memiliki potensi risiko yang dapat membahayakan bank. 7. Bank yang dapat mengajukan permohonan persetujuan untuk melakukan keagenan Produk Keuangan LN harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Bank Devisa. b. Mencantumkan rencana aktivitas keagenan produk keuangan LN dalam Rencana Bisnis bank (RBB). c. Memiliki sistem operasi dan prosedur yang didukung oleh teknologi informasi yang memadai untuk dapat menjalankan manajemen risiko atas aktivitas keagenan produk keuangan LN. 8. Kriteria Produk Keuangan LN yang dapat diageni oleh Bank di Indonesia paling kurang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Telah terdaftar dan/atau memenuhi ketentuan dari otoritas berwenang di negara asal penerbit. b. Telah dilaporkan kepada Bank Indonesia. Untuk produk keuangan LN berupa Instrumen Investasi Asing Selain Efek wajib memenuhi persyaratan berikut ini: c. Diterbitkan oleh bank di LN yang memiliki kantor cabang di Indonesia d. Dikaitkan dengan variabel dasar berupa nilai tukar dan/atau suku bunga. e. Bukan merupakan kombinasi berbagai instrumen dengan transaksi derivatif valas terhadap rupiah. 9. Kriteria Penerbit produk keuangan LN yang dapat dijadikan mitra kerjasama dengan Bank dalam aktivitas keagenan produk keuangan LN wajib memenuhi kriteria berikut ini: a. Terdaftar dan memiliki ijin usaha dari otoritas berwenang di negara asal tempat penerbit berkedudukan. b. Merupakan badan yang menjadi objek pengawasan dari otoritas berwenang di negara asal. 10. Kriteria Nasabah —> Bank hanya dapat menawarkan produk keuangan LN kepada nasabah non retail sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 11. Pelaporan —> Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia: a. Setiap jenis produk keuangan LN yang akan diageni. b. Realisasi bulanan aktivitas keagenan produk keuangan LN.
57
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
12. Ketentuan Peralihan —> Bank yang telah menjalankan keagenan produk keuangan LN sebelum ketentuan ini berlaku wajib: a. mengajukan permohonan ijin untuk melakukan aktivitas keagenan produk keuangan LN. b. Melaporkan setiap produk keuangan LN yang diageni. c. Menyesuaikan penyelenggaraan aktivitas keagenan produk keuangan LN dengan pengaturan pada regulasi ini paling lambat 3 bulan setelah diterbitkannya ketentuan ini. Bank yang tidak menyampaikan laporan produk keuangan LN dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dikenakan sanksi. d. Bank yang telah mengageni instrumen Investasi Asing Efek yang telah dipasarkan namun belum mendapat ijin dari otoritas terkait di dalam negeri wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang di bidang pasar modal di Indonesia. e. Bank yang pada saat Peraturan Bank Indonesia ini dikeluarkan masih menata usahakan Produk Keuangan Luar Negeri Nasabah yang tidak sesuai dengan ketentuan pada Peraturan Bank Indonesia ini, dapat melakukan penatausahaan Produk Keuangan Luar Negeri sampai jatuh tempo. Dalam hal produk tersebut tidak mempunyai jatuh tempo, Bank dapat melakukan early termination atas dasar kesepakatan dengan Nasabah. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/10/PBI/2010 tentang Perubahan Ketiga PBI No. 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum Ringkasan : Latar Belakang dan Tujuan Dinamika perekonomian dewasa ini dan ke depan memunculkan sejumlah tantangan yang membutuhkan kestabilan moneter dan sistem keuangan yang kokoh guna menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah dan jangka panjang. Salah satu upaya untuk memperkokoh stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan adalah pendalaman pasar keuangan, termasuk pendalaman pasar valuta asing domestik yang memungkinkan perbankan memiliki ruang gerak yang memadai dalam pengelolaan eksposur valuta asing dengan tetap berpegang pada prinsip kehatian-hatian. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan atas ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto Bank Umum dalam bentuk Perubahan Ketiga Atas PBI No.5/13/PBI/2003 Tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum. Materi Pengaturan 1. Penghapusan pengaturan tentang Posisi Devisa Neto untuk Neraca Bank 2. Penyempurnaan pengaturan tentang Posisi Devisa Neto setiap saat dengan memberikan tenggang waktu 30 menit dan batasan paling tinggi sebesar 20% dari modal bank. a. PDN setiap 30 (tiga puluh) menit adalah penjumlahan antara PDN secara keseluruhan akhir hari kerja sebelumnya dengan posisi terbuka tresuri pada setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit. b. PDN setiap 30 menit tersebut dihitung sejak sistem tresuri dibuka sampai dengan sistem tresuri ditutup. Contoh : •
Bank A memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 08.00 WIB. Posisi Devisa Neto dengan batas maksimal 20% Modal setiap akhir jangka waktu 30 menit dihitung sejak pukul 08.00 WIB dengan tenggang waktu 30 menit yaitu: i.
Pukul 08.30 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal
ii. Pukul 09.00 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal iii. Pukul 09.30 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal; dan seterusnya hingga sistem tresuri ditutup.
58
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
•
Bank B memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 07.45 WIB. Posisi Devisa Neto dengan batas maksimal 20% Modal setiap akhir jangka waktu 30 menit dihitung sejak pukul 07.45 WIB dengan tenggang waktu 30 menit yaitu: i.
Pukul 08.15 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal
ii. Pukul 08.45 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal iii. Pukul 09.15 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal; dan seterusnya hingga sistem tresuri ditutup. •
Posisi terbuka tresuri pada setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit merupakan selisih bersih antara transaksi beli dan jual valuta asing yang terkait dengan kegiatan tresuri Bank pada posisi akhir 30 (tiga puluh) menit yang bersangkutan.
•
Perhitungan posisi terbuka tresuri tersebut termasuk transaksi valuta asing yang telah dilakukan (deal done) namun belum dimasukkan ke dalam sistem tresuri. Contoh : Bank A memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 08.00 WIB. Apabila terjadi transaksi valuta asing pada pukul 08.20 WIB namun belum dimasukkan ke dalam sistem tresuri sampai dengan pukul 08.30 WIB, maka transaksi dimaksud termasuk dalam perhitungan PDN setiap 30 (tiga puluh) menit pada pukul 08.30 WIB.
3. Penyempurnaan mengenai sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran ketentuan PDN sebesar Rp250 juta per hari pelanggaran dengan batas paling banyak sebesar Rp5 miliar per tahun kalender. 4. Kewajiban bagi bank untuk melaporkan (self declare) atas terjadinya pelanggaran PDN, baik untuk PDN secara keseluruhan maupun PDN setiap 30 menit secara harian. a. Dalam hal terjadi pelanggaran kewajiban pengelolaan dan pemeliharaan atas PDN pada akhir hari dan PDN setiap 30 (tiga puluh) menit, Bank wajib menyampaikan laporan pelanggaran dimaksud kepada Bank Indonesia. b. Laporan pelanggaran tersebut disampaikan paling lambat pukul 16.00 WIB pada 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya pelanggaran dan ditandatangani paling kurang oleh pejabat eksekutif Bank. 5. Pengaturan Pengenaan Sanksi a. Pelanggaran atas ketentuan PDN akan dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp250 juta per hari pelanggaran dengan batas paling banyak sebesar Rp5 miliar per tahun kalender. b. Selain bentuk sanksi di atas, terhadap jenis pelanggaran tertentu akan dikenakan tambahan berupa dilakukan proses fit & proper test dan/atau penilaian tingkat kesehatan bank. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter Ringkasan : 1. Pertimbangan Penerbitan Ketentuan: Untuk meningkatkan efektivitas Operasi Moneter dalam rangka mendukung pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. 2. Pokok-Pokok Ketentuan a. Operasi Moneter dilakukan dalam bentuk Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facilities. b. OPT dapat diikuti oleh Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, sementara Standing Facilities hanya dapat diikuti oleh Bank.
59
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
c. Kegiatan OPT meliputi: 1. Penerbitan SBI. Terkait dengan perdagangan SBI, pemilik SBI dilarang melakukan transaksi atas SBI yang dimilikinya dengan pihak lain selama jangka waktu tertentu sejak memiliki SBI kecuali untuk transaksi SBI oleh Peserta Operasi Moneter dengan Bank Indonesia. 2. Transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat berharga. Dalam melakukan transasi repo dan reverse repo, Bank Indonesia dapat menggunakan surat berharga milik pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia berdasarkan pada suatu perjanjian antara Bank Indonesia dan pemilik surat berharga. 3. Transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright. Transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright dilakukan terhadap SBN (SUN & SBSN) dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 4. Penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia. Term deposit adalah penempatan dana rupiah milik peserta Operasi Moneter secara berjangka di Bank Indonesia. Term deposit dapat dicairkan sebelum jatuh waktu (early redemption) sepanjang memenuhi persyaratan tertentu dan atas pencairan tersebut dikenakan biaya. 5. Jual beli valuta asing terhadap rupiah, yang antara lain dilakukan dalam bentuk spot, forward atau swap. d. Kegiatan standing facilities meliputi: 1. Lending Facility Lending facility dilakukan melalui mekanisme repo SBI, SBN, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2. Deposit facility Deposit facility dilakukan tanpa penerbitan surat berharga. 3. Ketentuan Peralihan Transaksi atas SBI yang dilakukan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini yang merupakan bagian dari transaksi yang telah dilakukan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan, dikecualikan dari ketentuan minimum 1 month holding period sampai dengan transaksi yang bersangkutan jatuh waktu. 4. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka ketentuan dibawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yaitu: a. PBI No.4/9/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Operasi Pasar Terbuka; b. PBI No.6/4/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka; c. PBI No.6/33/PBI/2004 tanggal 31 Desember 2004 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka; d. PBI No.7/30/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka; e. PBI No.10/14/PBI/2008 tanggal 23 September 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka; f. PBI No.10/21/PBI/2008 tanggal 15 Oktober 2008 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka; g. PBI No.4/10/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia; dan h. PBI No.6/5/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia.
60
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/12/PBI/2010 tentang Perubahan atas PBI No. 10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia Scripless Securuties Settlement System Ringkasan : 1. Materi perubahan yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia ini antara lain mencakup: a. penyesuaian beberapa definisi antara lain: bank, operasi moneter, koridor suku bunga, fasilitas pendanaan, dan surat berharga; b. penambahan pialang pasar modal sebagai peserta BI-SSSS; c. penyesuaian terhadap istilah ‘broker’. 2. Beberapa penyesuaian definisi yang dilakukan dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah sebagai berikut: a. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. b. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Koridor Suku Bunga (Standing Facilities). Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain dalam rangka Operasi Moneter. c. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada peserta Standing Facilities dan penyediaan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh peserta Standing Facilities di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter. d. Instrumen Operasi Moneter adalah instrumen yang digunakan dalam rangka OPT dan Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) serta ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. e. Fasilitas Pendanaan adalah penyediaan dana yang dapat berupa pemberian kredit atau pembiayaan dari Bank Indonesia kepada Bank yang penatausahaannya dilakukan melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. f. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku. g. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku. h. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 3. Pihak-pihak yang dapat menjadi Peserta BI-SSSS adalah : a. Bank Indonesia. b. Kementerian Keuangan. c. Bank. d. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. e. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing. f. Perusahaan Efek. g. Pialang pasar modal. h. Lembaga lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. 4. Dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan BI-SSSS, Penyelenggara antara lain menyediakan aplikasi BI–SSSS, Help Desk terkait dengan operasional BI–SSSS; dan sistem layanan informasi, serta ketentuan dan prosedur baik dalam keadaan normal, keadaaan tidak normal maupun keadaan darurat.
61
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
5. Penyelenggara melakukan pendebetan Rekening Giro Peserta, Rekening Giro Bank yang ditunjuk oleh Peserta dan/atau Rekening Surat Berharga Peserta untuk transaksi antara lain sebagai berikut: a. setelmen Transaksi Dengan Bank Indonesia; b. setelmen transaksi Surat Berharga antar Peserta; c. pembayaran kewajiban kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga yang jatuh waktu; d. pembebanan biaya penggunaan BI-SSSS; e. sanksi kewajiban membayar terkait ketentuan operasi moneter; f. kewajiban pelunasan Fasilitas Pendanaan; g. eksekusi agunan/jaminan sesuai ketentuan yang berlaku mengenai Fasilitas Pendanaan dan/atau fasilitas pemerintah kepada Peserta; dan/atau h. biaya lainnya. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/13/PBI/2010 tentang Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Ringkasan : 1. Materi perubahan yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia ini antara lain mencakup: a. Penyesuaian beberapa definisi seperti: surat utang negara, surat berharga negara dan surat berharga syariah negara; b. Persyaratan bagi bank umum yang dapat menggunakan FLI. 2. Beberapa definisi yang disesuaikan dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah sebagai berikut: a. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku. b. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku. c. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 3. Persyaratan agar Bank dapat menggunakan FLI disesuaikan sebagai berikut: a. memiliki surat berharga yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia berupa SBI, SBN dan/atau surat berharga lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank peserta BI-RTGS dan/atau penghentian sebagai Bank peserta kliring; dan c. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS. 4. Perhitungan nilai SBI, SBN dan/atau surat berharga lainnya yang digunakan Bank dalam rangka FLI ditetapkan oleh Bank Indonesia. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/14/PBI/2010 tentang Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang Logam Pecahan 25 (Dua Puluh Lima) Rupiah Tahun Emisi 1991 Ringkasan : 1. Uang logam (UL) pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 dicabut dan ditarik dari peredaran dengan pertimbangan sebagai berikut: a. UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah sudah tidak banyak dipergunakan oleh masyarakat dalam melakukan pembayaran;
62
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
b. Nilai intrinsik dan biaya pencetakan UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 saat ini telah lebih besar dari nilai nominalnya. 2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang Logam Pecahan 25 (Dua Puluh Lima) Rupiah Tahun Emisi 1991 meliputi: a. Bank Indonesia mencabut dan menarik dari peredaran UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991; b. UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 yang dicabut dan ditarik dari peredaran dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah sejak tanggal 31 Agustus 2010; c. UL rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran dapat ditukarkan di Bank Indonesia dan/atau Bank Umum dalam jangka waktu tertentu; d. Jangka waktu dan tempat penukaran ditetapkan sebagai berikut: 1. Terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2010 sampai dengan tanggal 30 Agustus 2015 penukaran dilakukan di Bank Indonesia dan/atau Bank Umum; 2. Terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2015 sampai dengan tanggal 30 Agustus 2020 penukaran hanya dapat dilakukan di Bank Indonesia. e. Hak untuk menuntut penukaran uang logam rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku lagi setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan atau tanggal 31 Agustus 2020. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/15/PBI/2010 tentang Perubahan Atas PBI No.10/34/PBI/2008 Tentang Transaksi Pembelian Wesel Ekspor Berjangka Oleh Bank Indonesia Ringkasan : I. Latar Belakang Pengaturan: Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/15/PBI/2010 tanggal 23 Agustus 2010 ini merupakan perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/34/PBI/2008 tanggal 5 Desember 2008 tentang Transaksi Pembelian Wesel Ekspor Berjangka Oleh Bank Indonesia. Perubahan PBI dilakukan karena adanya penyempurnaan organisasi di Bank Indonesia membawa konsekuensi pada perubahan satuan kerja yang bertugas melakukan transaksi pembelian wesel ekspor berjangka. II. Pokok-Pokok Pengaturan: Materi perubahan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini hanya menyangkut satuan kerja pelaksana transaksi pembelian Wesel Ekspor Berjangka (WEB) oleh Bank Indonesia dari semula Bank Indonesia cq. Direktorat Pengeloaan DevisaBiro Manjemen Devisa dan Nilai Tukar menjadi Bank Indonesia cq. Direktorat Pengelolaan Moneter-Biro Operasi Moneter. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/16/PBI/2010 tentang Sistem Monitering Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Ringkasan : Latar Belakang dan Tujuan Integrasi pasar keuangan domestik dengan pasar keuangan global yang berjalan cukup cepat dewasa ini memunculkan sejumlah tantangan dan risiko bagi para pelaku pasar. Bank Indonesia selaku otoritas moneter berupaya untuk memitigasi segala risiko tersebut dengan memberikan respon kebijakan nilai tukar yang antisipatif dan responsif sesuai dengan perkembangan pasar valuta asing domestik.
63
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Dalam kerangka tersebut, Bank Indonesia menerbitkan ketentuan mengenai Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah (SISMONTAVAR) yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan mekanisme monitoring kegiatan di pasar valuta asing domestik, dimana informasi tentang transaksi valuta asing antarbank diperoleh melalui suatu sistem jaringan on-line. Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap tugas Bank Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas moneter. Materi Pengaturan SISMONTAVAR diterapkan kepada Bank Devisa yang telah menggunakan Sistem Transaksi Valuta Asing. Ruang lingkup SISMONTAVAR tersebut meliputi transaksi valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan antarbank. Kewajiban Bank Devisa dalam SISMONTAVAR meliputi: Bank Devisa wajib memelihara aplikasi SISMONTAVAR dalam kondisi on-line pada saat Bank melakukan transaksi valuta asing terhadap rupiah. Bank Devisa wajib melakukan Prosedur Konfirmasi pada Sistem Transaksi Valuta Asing yang terhubung dengan aplikasi SISMONTAVAR segera setelah transaksi valuta asing terhadap rupiah selesai dilakukan (deal is done). Kewajiban tersebut berlaku pula untuk transaksi valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan dengan menggunakan jasa Pialang Pasar Uang. Dalam hal terdapat kesalahan dalam informasi transaksi setelah Prosedur Konfirmasi dilakukan, Bank Devisa menyampaikan kepada Bank Indonesia koreksi atas informasi transaksi segera setelah diketahui adanya kesalahan. Koreksi transaksi yang disampaikan kepada Bank Indonesia tersebut dapat dilakukan melalui media faksimile. Pengaturan Pengenaan Sanksi Bank Devisa yang tidak memelihara aplikasi SISMONTAVAR dalam kondisi on-line pada saat melakukan transaksi valuta asing terhadap rupiah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Bank Devisa yang tidak segera melakukan Prosedur Konfirmasi setelah transaksi valuta asing terhadap rupiah selesai dilakukan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pengecualian terhadap sanksi di atas berlaku dalam kondisi: a. aplikasi SISMONTAVAR terkendala; b. jaringan data terganggu; c. kegagalan Sistem Transaksi Valuta Asing; dan/atau d. kejadian luar biasa (force majeure). Ketentuan Peralihan Ketentuan SISMONTAVAR tidak berlaku bagi Bank Devisa yang telah menggunakan Sistem Transaksi Valuta Asing namun pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini aplikasi SISMONTAVAR belum terpasang. Kewajiban mulai berlaku pada saat aplikasi SISMONTAVAR terpasang. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/17/PBI/2010 tentang Perubahan Atas PBI No.10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah Ringkasan : 1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dilakukan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah serta dalam rangka penyempurnaan ketentuan mengenai Operasi Moneter Syariah (OMS) khususnya Pasal 18 ayat (1) huruf b mengenai pengenaan sanksi terhadap transaksi operasi moneter syariah yang dinyatakan batal.
64
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
2. Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada Peserta OMS terhadap setiap Transaksi OMS yang dinyatakan batal berupa: 1). teguran tertulis; dan 2). kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai nominal transaksi Operasi Moneter Syariah yang batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Selain dikenakan sanksi tersebut di atas, Peserta OMS yang melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan juga dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut. 3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 Agustus 2010. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/18/PBI/2010 tentang Perubahan Atas PBI No.10/11/PBI/2008 Tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ringkasan : 1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dilakukan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah serta dalam rangka penyempurnaan ketentuan mengenai Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) khususnya Pasal 14 ayat (2) huruf b dan ayat (3) mengenai pengenaan sanksi terhadap transaksi SBIS yang dinyatakan batal. 2. Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada BUS atau UUS atas Transaksi SBIS yang dinyatakan batal berupa: 1). teguran tertulis; dan 2). kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai Transaksi SBIS yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk setiap Transaksi SBIS yang dinyatakan batal. Dengan tidak mengurangi sanksi tersebut diatas, dalam hal BUS atau UUS melakukan Transaksi SBIS dan/atau transaksi operasi moneter syariah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter syariah, yang dinyatakan batal sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, maka BUS atau UUS dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan operasi moneter syariah selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut. 3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 Agustus 2010. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing Ringkasan : Latar Belakang Pengaturan : 1. Tekanan inflasi serta kondisi ekses likuiditas perbankan yang tinggi dan persisten perlu dikendalikan agar tidak berdampak pada peningkatan ekspektasi inflasi yang dapat berpengaruh pada stabilitas moneter. Selain itu, stabilitas sektor keuangan perlu terus didukung oleh penguatan kondisi sektor perbankan dalam menghadapi berbagai risiko dan pengoptimalan fungsi intermediasi perbankan. 2. Guna mendukung stabilitas moneter dan sektor keuangan perlu dilakukan pengelolaan ekses likuiditas perbankan secara optimal, antara lain melalui kebijakan giro wajib minimum dengan memperhatikan kondisi likuiditas perbankan serta peran bank dalam menjalankan fungsi intermediasi.
65
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Substansi Pengaturan : 1. Bank wajib memenuhi GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing. 2. GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi terdiri dari: a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah; b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah; dan c. GWM LDR sebesar perhitungan antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan selisih antara LDR Bank dan LDR Target dengan memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM Insentif. 3. Ketentuan mengenai GWM Sekunder dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing tidak mengalami perubahan. 4. GWM Primer dalam rupiah, GWM LDR dan GWM dalam valuta asing dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia, sedangkan GWM Sekunder dalam rupiah dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve. 5. Perhitungan GWM LDR dilakukan sebagai berikut: a. Batas bawah LDR Target sebesar 78% dan batas atas LDR Target sebesar 100%. b. Bank yang memiliki LDR di dalam kisaran LDR target memiliki GWM LDR sebesar 0%. c. Bank yang memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR Target diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter Disinsentif Bawah (saat ini sebesar 0,1) dengan selisih LDR bank dari batas bawah LDR target. d. Bank yang LDR-nya lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM Insentif (saat ini 14%) akan diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter Disinsentif Atas (saat ini sebesar 0,2) dengan selisih LDR bank dari batas atas LDR target. e. Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM sama atau lebih besar dari KPMM insentif (saat ini sebesar 14%), maka kewajiban pemenuhan GWM LDR sebesar 0% f. Besaran dan parameter LDR Target, KPMM Insentif, Parameter Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif Atas akan dievaluasi sewaktu-waktu apabila diperlukan. 6. Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per tahun terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam rupiah. 7. Bagian tertentu sebagaimana dimaksud dalam angka 6 ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam rupiah. 8. Jasa giro diberikan apabila Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah. 9. Bank yang mendapatkan insentif dalam rangka konsolidasi perbankan memperoleh kelonggaran pemenuhan GWM dalam rupiah sebesar 1% bagi pemenuhan GWM Primer dalam rupiah. 10. Terhadap Bank yang sedang dikenakan Cease and Desist Order (CDO) terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana, dalam rangka supervisory action Bank Indonesia berwenang melakukan perhitungan yang berbeda dari ketentuan GWM LDR sebagaimana diatur dalam PBI ini. 11. PBI ini mencabut PBI No. 10/19/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan PBI No. 10/25/PBI/2008, namun peraturan pelaksanaan dari PBI dimaksud tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PBI ini.
66
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
12. Ketentuan mengenai GWM LDR beserta sanksi terhadap pelanggaran GWM LDR mulai berlaku pada 1 Maret 2011. 13. PBI ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2010. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/20/PBI/2010 tentang Pendanaan Terorisme Bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Ringkasan : Latar belakang 1. Semakin berkembangnya industri BPR dan BPRS disertai dengan perkembangan produk serta pelayanan BPR/BPRS terutama yang berbasis teknologi informasi, maka risiko pemanfaatan BPR dan BPRS dalam pencucian uang dan pendanaan terorisme semakin tinggi. 2. Ketentuan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles/KYC) bagi BPR dan BPRS yang berlaku selama ini perlu untuk disempurnakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara internasional dalam mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Materi Pengaturan 1. BPR dan BPRS wajib menerapkan program Program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT). 2. Penggunaan istilah baru terkait dengan penerapan program APU dan PPT sebagai berikut: a. Customer Due Diligence (CDD) adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan BPR dan BPRS untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan profil pengguna jasa bank. b. Enhanced Due Diligence (EDD) adalah CDD dan kegiatan lain yang dilakukan oleh BPR/BPRS untuk mendalami profil calon Nasabah, Nasabah atau Beneficial Owner yang tergolong berisiko tinggi termasuk PEP terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme. c. Politically Exposed Person (PEP) adalah orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik d. Beneficial Owner adalah setiap orang yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi nasabah atau WIC, yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian e. Walk in Customer adalah pengguna jasa BPR/BPRS yang tidak memiliki rekening pada BPR/BPRS tersebut, tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau penugaasan dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah tersebut. 3. Pengaturan dalam rangka pelaksanaan pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris. 4. BPR dan BPRS wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pegawai BPR dan BPRS yang bertanggung jawab atas penerapan program APU dan PPT dan bertanggung jawab terhadap Direktur. 5. Pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) kepada calon Nasabah, Nasabah, dan WIC yang terdiri dari:
67
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
a. Permintaan informasi dan dokumen kepada calon nasabah perorangan, perusahaan berbentuk bank dan non bank termasuk nasabah berupa yayasan, perkumpulan serta Lembaga Negara. Pengaturan termasuk untuk nasabah usaha mikro dan kecil yang lebih sederhana. b. Permintaan informasi dan dokumen kepada WIC baik yang melakukan transaksi di atas Rp100 juta maupun untuk WIC yang melakukan transaksi di bawah Rp100 juta. c. Pelaksanaan verifikasi dokumen dalam rangka meneliti dan meyakini kebenaran dokumen termasuk pelaksanaan wawancara. d. Pemantauan dan pengkinian data 6. BPR dan BPRS wajib memelihara Daftar Teroris berdasarkan data yang diterima dari Bank Indonesia setiap 6 bulan berdasarkan data yang dipublikasikan oleh PBB. 7. BPR dan BPRS wajib memiliki sistem pencatatan dan memelihara profil Nasabah. 8. BPR dan BRPS wajib menatausahakan data Nasabah dan WIC dengan jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan nasabah atau WIC atau sejak ditemukanannya ketidak sesuaian transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha serta wajib memelihara dokumen Nasabah dan WIC dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam UU yang mengatur mengenai Dokumen Perusahaan. 9. Pengaturan mengenai pemindahan dana. 10. Kewajiban BPR dan BPRs untuk menolak transaksi, membatalkan transaksi dan atau menutup hubungan usaha dengan Nasabah dalam hal: tidak memenuhi kelengkapan informasi dan dokumen, diketahui menggunakan identitas dan/atau memberikan informasi yang tidak benar, BPR dan BPRS ragu terhadap kebenaran informasi Nasabah atau penggunaan rekening tidak sesuai dengan profil Nasabah. 11. Pengaturan mengenai Beneficial Owner perorangan, perusahaan, yayasan atau perkumpulan. 12. Pelaksanaan EDD untuk calon Nasabah, Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau PEP. Direksi BPR/BPRS atau Pejabat Eksekutif bertanggung jawab atas pelaksanaan hubungan usaha dengan calon nasabah yang tergolong PEP tersebut. 13. Pengaturan mengenai CDD yang lebih sederhana dapat dilakukan terhadap calon Nasabah yang tingkat risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme tergolong rendah. 14. BPR dan BPRS dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap calon Nasabah yang telah menjadi nasabah pada pihak ketiga tersebut. Namun demikian BPR dan BPRS wajib memastikan kecukupan identifikasi & verifikasi atas hasil CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga dan bertanggung jawab untuk melaksanakan penatausahaan dokumen. 15. BPR dan BPRS wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif yang dibuktikan dengan adanya batasan wewenang dan tanggung jawab yang jelas untuk unit kerja atau pegawai yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT serta pemisahan fungsi antara pelaksana penerapan program APU dan PPT dengan pegawai yang ditunjuk untuk mengawasi efektivitas penerapan program tersebut.
68
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
16. BPR dan BPRS wajib melakukan penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan pegawai baru, serta melaksanakan pelatihan mengenai program APU dan PPT kepada SDM BPR dan BPRS. 17. BPR wajib menyampaikan Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT yang telah mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak diberlakukannya PBI ini dan wajib menyampaikan perubahan Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak perubahan tersebut kepada BI. 18. BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai dan laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam UU yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang. 19. Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib disampaikan 3 (tiga) hari kerja setelah BPR dan BPRS mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan yaitu sejak Direktur yang berwenang menyetujui transaksi tersebut sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan. 20. Sanksi keuangan diberikan kepada BPR yang terlambat menyampaikan atau tidak menyampaikan Pedoman Pelaksanaan APU dan PPT serta BPR dan BPRS yang terlambat menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. 21. Peraturan ini mencabut PBI No.5/23/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles/KYC) bagi BPR tanggal 23 Oktober 2003. Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/21/PBI/2010 tentang Rencana Bisnis Bank Ringkasan : 1. Tujuan pengaturan ini adalah : a. Agar Bank memiliki Rencana bisnis yang disusun secara matang dan realistis berdasarkan prinsip kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko, dengan cakupan yang komprehensif. b. Sebagai sarana bank dalam mengendalikan risiko strategik dengan memperhatikan faktor eksternal dan faktor internal untuk mengarahkan kegiatan operasional bank sesuai visi dan misinya. c. Selain itu rencana bisnis bank yang realistis diperlukan juga bagi otoritas moneter sebagai pertimbangan dalam menetapkan kebijakan dan melakukan pengawasan macro prudential dan d. Menjadi salah satu acuan bagi pengawas bank dalam menyusun rencana pengawasan berdasarkan risiko yang optimal dan efektif. 2. Bank wajib menyusun Rencana Bisnis setiap tahun. Bagi Bank Umum yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS), Rencana Bisnis wajib pula memuat Rencana Bisnis khusus untuk UUS yang merupakan satu kesatuan dengan Rencana Bisnis Bank Umum. 3. Cakupan Rencana Bisnis paling kurang meliputi: a. Ringkasan eksekutif; b. Kebijakan dan strategi manajemen; c. Penerapan manajemen risiko dan kinerja Bank saat ini; d. Proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan; e. Proyeksi rasio-rasio dan pos-pos tertentu lainnya; f. Rencana pendanaan; g. Rencana penanaman dana;
69
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
h. Rencana permodalan; i.
Rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia (SDM);
j.
Rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru;
k. Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor; l.
Informasi lainnya.
4. Rencana Bisnis wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan November sebelum tahun Rencana Bisnis dimulai. Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk melakukan penyesuaian dalam hal Rencana Bisnis yang disampaikan belum sepenuhnya memenuhi ketentuan ini. 5. Bank hanya dapat melakukan perubahan terhadap Rencana Bisnis apabila: a. Terdapat faktor eksternal dan internal yang secara signifikan mempengaruhi operasional Bank. Perubahan ini hanya dapat dilakukan 1 kali, paling lambat pada akhir bulan Juni tahun berjalan; dan/atau b. Terdapat faktor yang secara signifikan mempengaruhi kinerja Bank, berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia. 6. Bank wajib menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis secara triwulanan dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis secara semesteran kepada Bank Indonesia. 7. Pemberian masa transisi sebagai berikut: a. Khusus untuk Rencana Bisnis tahun 2011, Bank wajib menyampaikan Rencana Bisnis kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan Desember 2010. b. Khusus untuk Bank yang menyampaikan Rencana Bisnis tahun 2011, namun melewati akhir Desember 2010: 1). Tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar, apabila disampaikan paling lambat akhir Januari 2011; atau 2). Dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50 juta, apabila disampaikan setelah akhir Januari 2011.
70