PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA POLISI TERHADAP TEMBAK DI TEMPAT PADA PELAKU KEJAHATAN TERORISME Jurnal
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh TOMMY ELVANI SIREGAR 090200338
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA POLISI TERHADAP TEMBAK DI TEMPAT PADA PELAKU KEJAHATAN TERORISME Jurnal Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh TOMMY ELVANI SIREGAR 090200338
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana
DR. M.Hamdan, SH., MH NIP: 195703261986011001
Editor
Liza Erwina, S.H., M.Hum NIP..19610241989032002
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
ABSTRAKSI Tommy Elvani Siregar * Dr. Madiasa Ablisar, SH, M.S ** Alwan, SH, M.Hum *** Skripsi ini berbicara mengenai pertanggungjawaban polisi pidana terhadap pelaku terorisme yang ditembak mati dimana pada saat ini sering terjadi suatu proses penangkapan yang tidak memandang kepada hak asasi manusia (HAM) mengenai hak untuk hidup yang diatur oleh UUD 1945 oleh pihak kepolisian serta melakukan penembakan mati terhadap orang yang diduga terkait terorisme tanpa menjalani suatu proses peradilan yang menentukan salah tidaknya seseorang. Dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana aturan mengenai tembak mati di tempat oleh pihak kepolisian dan bagaimana pertanggungjawaban anggota kepolisian yang melakukan tembak mati di tempat pada pelaku kejahatan terorisme dapat diminta pertanggungjawabnnya. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan kualitatif.Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan dan melihat kasus-kasus penembakan mati orang yang diduga terorisme oleh polisi.Kemudian pendekatan secara kualitatif dilakukan dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan.Tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui mengenai aturan tembak mati di tempat serta mengetahui sejauh mana polisi dapat diminta pertanggungjawabannya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Mengenai aturan tembak mati di tempat oleh polisi pada pelaku kejahatan terorisme diatur dalam KUHP dan KUHAP, dalam undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia serta dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam Tindakan Kepolisan serta Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia. Mengenai pertanggungjawaban pidana polisi, tidak dapat diminta pertanggungjawabnnya karena dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedur sehingga ada alasan pembenar dan dapat diminta pertanggungjawabannya apabila dalam melakukan tugasnya tidak sesuai dengan prosedur. Sehingga kesimpulannya bahwa polisi mempunyai aturan dalam melakukan tembak mati di tempat sesuai peraturan perundang-undangan dan dapat diminta pertanggungjawabanya apabila menjalankan tugasnya tidak sesuai prosedur dan perlunya masyarakat dan polisi mengetahui mengenai prosedur yang jelas dalam melakukan tembak di tempat serta dapatnya polisi diminta pertanggungjawabannya. * Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara ** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. *** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
A. PENDAHULUAN Kata teror sudah hadir dan menjelma dalam kehidupan kita sebagai momok sebagai virus ganas dan monster yang menakutkan yang sewaktu-waktu dan tidak dapat diduga bisa menjelma terjadinya “prahara nasional maupun global”, termasuk mewujudkan tragedi kemanusiaan, pengebirian martabat bangsa, dan penjarahan tragedi atas hak asasi manusia (HAM). Dimana hak asasi manusia (HAM) kehilangan eksistensinya dan tercabut kesucian atau kefitrahannya di tangan pembuat teror yang telah menciptakan kebiadaban berupa aksi animalisasi (kebinatangan) sosial, politik, budaya, dan ekonomi.1 Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi UndangUndang dengan Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Polisi yang ditunjuk untuk melakukan penegakan hukum pertama pada kejahatan terorisme dalam hal melakukan penangkapan, penahanan, penyelidikan, penyidikan sesuai fungsi kepolisian pada Pasal 2 Undang-undang Kepolisan Negara Nomor 2 tahun 2002. Oleh karena itu maka dibentuklah satu detasemen khusus di bawah Brigadir Mobil (BRIMOB) satuan Kepolisian Republik Indonesia yang disebut Detasemen Khusus 88 selanjutnya disingkat Densus 88. Densus 88 dibentuk dengan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 tentang pembentukan Densus 88 untuk melaksanakan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dibentuknya Densus 88 tentu pulabanyak operasi yang dilakukan oleh detasemen khusus ini untuk memberantas serta mencengah terjadinya tindak-tindak terorisme di wilayah Indonesia.2 Hal yang menjadi menarik adalah dalam setiap operasi yang dilakukan oleh Densus 88 dalam menanggulangi tindak terorisme dilakukan dengan upaya kekerasan dan sedikit dilakukan dengan paksaan. Dalam upaya penggerebakan biasanya para anggota Densus 88 mendobrak masuk ke dalam rumah orang yang masih disangka terlibat dengan 1 Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2004, hal 1. 2 www.wikipediaindonesia/DetasemenKhusus88%28AntiTeror%29.html, diakses tanggal 10 desember 2012
tindakan terorisme kemudian langsung menangkapnya dan memborgolnya atau bahkan sampai dilakukan penembakan di tempat yang menyebabkan orang yang disangka tersebut meninggal di tempat tanpa ada suatu proses hukum maupun upaya hukum yang dilakukan orang yang disangka tersebut.3 Dengan kenyaatan ini yang apa dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam upaya menindak para pelaku terorisme yang menjadi sorotan penulis adalah pertanggungjawaban polisi yang terkait dalam kejahatan terorisme yang tidak menujukan dan memberitahukan surat penangkapan, penahanan, maupun pengeledahan yang di keluarkan oleh Pengadilan Negeri serta melakukan penembakan di tempat yang menyebabkan kematian di tempat seseorang tanpa ada suatu proses hukum termasuk proses peradilan yang menentukan salah benarnya seseorang. Hal inilah yang ingin dikaji dan dibahas lebih lanjut oleh penulis, dan karena hal tersebutlah maka penulis mengangkat judul skripsi mengenai “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA POLISI TERHADAP
TEMBAK
DI
TEMPAT
PADA
PELAKU
KEJAHATAN
TERORISME”.
B. PERMASALAHAN 1. Bagaimana Aturan Hukum Tentang Tembak Mati di Tempat Terhadap Pelaku Terorisme? 2. Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Polisi Terhadap Tembak Mati Di Tempat pada Pelaku Kejahatan Terorisme?
C. METODE PENELITIAN Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini maka digunakanlah suatu metode penelitian hukum yaitu jenis penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan kualitatif.Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini.
D. HASIL PENELITIAN 1. Aturan Hukum Tentang Tembak Mati Terhadap Pelaku Terorisme Pelaksanaan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan dasar hukum pelaksanaan 3
http://www.detik.com/news/read/2012/11/03/092419/2080424/10/penggerebekanteroris-di-poso, diakses pada tanggal 22 Januari 2013
kewenangan tembak di tempat serta sesuai dengan situasi dan kondisi kapan perintah tembak di tempat itu dapat diberlakukan, dan juga dalampelaksanaan perintah tembak di tempat harus sesuai dengan asas tujuan, keseimbangan, asas keperluan, dan asas kepentingan. Pada dasarnya tindakan tembak di tempat menjadi prioritas apabila posisi petugas terdesak dan pelaku mengancam keselamatan anggota Kepolisian Republik Indonesia.Dalam pelaksanaan kewenangan tembak di tempat harus mnenghormati hak hidup dan hak bebas dari penyiksaaan karena kedua hak itu dijamin dengan undangundang. Serta perlunya pemahaman mengenai kode etik dan prinsip dasar penggunaan senjata api oleh anggota Polri dalam pelaksanaan kewenangan tembak di tempat agar nantinya dalam pelaksanaan kewenangan tembak di tempat itu tidak melanggar hukum. Hal yang terpenting dalam pelaksanaan perintah tembak di tempat harus sesuai dengan mekanisme pelaksanaan tembak di tempat dan prosedur tetap penggunaan senjata api oleh Polri. Dalam setiap melakukan tindakan tembak di tempat Polisi selalu berpedoman pada suatu kewenangan yaitu kewenangan bertindak menurut penilaiannya sendiri, hal ini yang sering disalahgunakan oleh oknum anggota kepolisian. a. Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) Pasal 48 KUHP yang berbunyi barang siapa melakukan perbuatan karena adanya daya paksa (Overmacht) tidak dipidana. Adanya daya paksa itulah yang menyebabkan anggota Kepolisian Republik Indonesia menggunakan kekuatan dengan senjata api. Dalam kaitan adanya upaya paksa yang dimaksudkan adalah upaya paksa yang bersifat paksaan lahir bathin serta paksaan rohani da jasmani karena ada pertentangan antara penegakan hukum dan peraturan hukum itu sendiri. Jonkers yang dikutip Soesilo membedakan daya paksa atas 3 macam, ialah4: a. Daya paksa yang bersifat absolut yang dalam hal ini orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat mengelakannya. b. Daya paksa yang bersifat relatif yang mana daya paksa tersebut tidak mutlak dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan untuk dapat memilih akan berbuat yang mana. c. Daya paksa yang bersifat darurat dimana daya paksa ini terletak pada orang yang dipaksa melakukan peristiwa pidana yang dia pilih. Dalam hal melakukan tembak mati di tempat pada proses penangkapan oleh Kepolisian Republik Indonesia terdapat daya paksa yang bersifat darurat karena polisi 4
Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor, 2007, hal 63.
melakukan tembak mati di tempat untuk menghindarkan jatuhnya korban baik dari pihak polisi maupun masyarkat. Dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP mengatur tentang Pembelaan Terpaksa (Noodweer), yang rumusannya menyebutkan barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana. Pembelaan terpaksa, berkaitan dengan prinsip pembelaan diri. Dalam pembelaan terpaksa inilah anggota Kepolisian Republik Indonesia menggunakan kekuatan dengan senjata api karena adanya perbuatan yang melanggar kepentingan hukum orang lain, namun perbuatan tersebut dibenarkan oleh hukum karena memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Undang-undang, yakni: perbuatan tersebut dilakukan karena ada serangan atau ancaman serangan yang bersifat seketika, serangan atau ancaman serangan tersebut bersifat melawan hukum serangan tersebut ditujukan terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, dan harta benda baik milik sendiri maupun orang lain. Dikatakan pembelaan terpaksa harus dipenuhi tiga macam syarat sebagai berikut5: a. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa untuk mempertahankan (membela) dimana pembelaan tersebut amat perlu dan tidak ada jalan lain. b. Perbuatan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan yang dalam pasal ini ialah badan, kehormatan dan barang sendiri maupun orang lain. c. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyongkonyong atau pada ketika itu juga. Penembakan mati dalam proses penangkapan oleh Kepolisian Republik Indonesia ialah keadaan yang terpaksa karena tidak ada jalan lain dan dalam hal mempertahankan hak yang didahului dengan serangan. Dalam penjelasannya disebutkan, pembelaan terpaksa itu hanya bisa dilakukan berdasarkan prinsip keseimbangan, kalau yang diserang atau diancam masih bisa menghindar atau melarikan diri, janganlah polisi memaksakan diri untuk melakukan penembakan dengan dalih pembelaan terpaksa. Dalam pasal 50 KUHP yang menyatakan barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang, tidak boleh di hukum, menjalankan undang-undang artinya tidak hanya terbatas melakukan perbuatan yang diatur undangundang akan tetapi dapat lebih luas lagi ialah meliputi pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang. Polisi yang 5
Ibid, hal 65.
menembak mati dalam proses penangkapan harus dilihat apakah seimbang apa tidak dalam hal penggunaan senjata api6. Serta dalam pasal 51 KUHP ayat (1) yang menyatakan barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum. Ada syarat yang harus dipenuhi yaitu syarat pertama, bahwa orang itu melakukan perbuatan atas suatu perintah jabatan dimana ada hubungan kepegawaian negeri, syarat kedua perintah diberikan oleh kuasa yang berhak untuk memberikan perintah.7 b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 7 ayat (1) angka 10 menentukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan dalam melaksanakan tugasnya wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Tindakan lain yang dimaksud dalam angka 10 pasal 7 Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah termasuk melakukan tembak mati di tempat pada orang yang di duga atau tersangka yang terkait dalam suatu tindak pidana termasuk kejahatan terorisme. Upaya tembak mati ialah tindakan lain dalam melaksanakan tugasnya yang dilakukan dalam hal sebagai upaya terakhir untuk menghindarkan orang yang di duga atau tersangka tersebut melarikan diri maupun melakukan perlawanan kepada pihak Kepolisian Republik Indonesia. c. Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Dalam bertugas dilapangan anggota Kepolisian Republik Indonesia dituntut dapat menerapkan Pasal Undang-undang yang kadang-kadang belum diatur jelas ketentuannya, untuk itu penerapan diskresi Kepolisian perlu dipelajari Polisi dan perlu dipahami modelmodel permasalahan apa yang dapat didiskresi. Kewenangan diskresi tersebut harus tetap dalam koridor hukum sehingga diskresi tersebut mempunyai manfaat bagi penegakan hukum dan tentunya dengan tidak melanggar hukum.Kewenangan diskresi harus selalu mempunyai rambu-rambu pembatas karena penggunaan diskresi yang tidak salah gunakan harus dapat dikendalikan secara internal melalui kode etik profesi.8 Dasar hukum diskresi bagi petugas kepolisian negara Republik Indonesia (Polri) dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia: a. Pasal 15 ayat (2) huruf k, Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang : melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;
6
Ibid, hal 66. Ibid, hal 67. 8 http://muhammad-makalahhukum.blogsopt.com/2011/06/tinjauan-diskresikepolisian.html, diakses pada tanggal 28 Maret 2013. 7
b. Pasal 16 ayat (1) huruf l : Dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab; c. Pasal 18 ayat (1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan Perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia; d. Petunujuk Pelaksana (JUKLAK) dan Petunjuk Teknis (JUKNIS) Kepolisian Republik Indonesia Dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam Tindakan Kepolisan ada beberapa prinsip dasar yang menjadi dasar pengunaan senjata api. Penggunaan senjata api dalam melakuakan tindakan preventif maupun kekerasan yang dalam proses penegakan hukum tetap dalam koridor batas yang di tetapkan dan tetap harus berpatok pada peraturan yang berada di atasnya. Sebelum petugas kepolisian melakukan tindakan kekerasan kepolisian berupa tembak ditempat, sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian harus melakukan tindakan tembakan peringatan terlebih dahulu.Sebelum melakukan penembakan peringatan terlebih dahulu anggota Kepolisian Republik harus melalui tahapan sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) huruf f Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian yakni tahapan penggunaan senjata api harus di dahului dapat diikuti dengan komunikasi lisan atau ucapan dengan cara membujuk, memperingatkan dan memerintahkan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian pada Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api dilakukan ketika: a. Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;
b. Anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan atau perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut; c. Anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat. Serta dalam ayat (2) yang menyebutkan penggunaan kekuatan dengan senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. Dalam hal pelaksanaan tembak di tempat, ada standard prosedur (SOP) yang dijadikan petunjuk lapangan pengggunaan senjata api bagi anggota Polri:9 1. Keadaan yang mengijinkan penggunaan senjata api. a. Senjata api hanya akan digunakan dalam keadaan terpaksa. b. Senjata api hanya digunakan untuk mompertahankan diri atau melindungi orang lain dan ancaman kematian atau luka serius yang seketika terjadi. Dimana ancaman tersebut ialah: 1) Ancaman dari seseorang atau sekelompok orang yang melakukan perlawanan ketika diambil tindakan upaya hukum atau upaya paksa, misalnya ketika perampok atau sekawanan perampok melarikan diri dengan menggunakan mobil, petugas dapat menggunakan senjata untuk menembak ban mobilnya. 2) Perlawanan atau penyerangan terhadap petugas Polri sebagai dampak dilakukannya upaya hukum atau upaya paksa, misalnya perampok yang tertangkap dirumahnya dan menyerang petugas dengan menggunakan alat seperti martil, palu, golok, memukul petugas dengan batu, maka petugas dapat menggunakan senjata api untuk melumpuhkan perampok itu apabila tidak dapat ditangani secara persuasif. 3) Ancaman terhadap masyarakat, berupa perlakuan seseorang atau sekelompok orang yang diperkirakan dapat mengancam keselamatan jiwa atau kehormatan seseorang atau masyarakat, dalam bentuk tindakan
kekerasan
seperti
penganiayaaan,
penyekapan,
penyanderaan ataupun ancaman lainnya.
9
http://polri.go.id/standar-universal-penggunaan-senjata-api-pada-penegak-hukum, diakses pada tanggal 11 Maret 2013.
4) Ancaman terhadap tersangka, seperti: a) Ancaman untuk melakukan bunuh diri, b) Tindakan kekerasan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang diduga melakukan tindakan pidana (tindakan main hakim sendiri) c. Untuk mencegah suatu kejahatan yang serius yang melibatkan ancaman yang gawat terhadap kehidupan. d. Dalam hal apapun hanya apabila langkah-langkah yang kurang ekstrim atau keras tidak mencukupi. e. Penggunaan kekuatan dan senjata api yang mematikan secara sengaja diperkenankan, hanya apabila sama sekali tidak dapat dihindari untuk melindungi kehidupan manusia. 2. Presedur penggunaan senjata api. a. Petugas harus mengidentifikasi dirinya sebagai petugas kepolisian. b. Petugas harus memberikan peringatan yang jelas. c. Petugas harus memberikan peringatan yang cukup agar peringatan tersebut itu dipatuhi tetapi hal ini tidak diperlukan kalau penundaan (penggunaan senjata api) akan mengakibatkan kematian atau luka serius bagi petugas atau orang-orang lain. d. Jelas tidak ada artinya atau tidak tepat dalam keadaan itu untuk berbuat demikian.
3. Setelah Penggunaan Senjata Api a. Pertolongan medis harus segera diberikan kepada semua orang yang terluka. b. Keluarga atau teman dari mereka yang terluka harus diberitahu. c. Penyelidikan harus diperbolehkan, apabila diminta atau dibutuhkan. d. Laporan sepenuhnya, sebenarnya, selengkapnya dan terperinci mengenai peristiwa itu harus dibuat dan diberikan. Mengenai aturan tembak mati juga dapat dilihat dalam tentang Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia. Penggunaan senjata api dalam Pasal 47 Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia dalam ayat (1) menyatakan bahwa Penggunaan senjata api hanya boleh
digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia dan dalam ayat (2) menyatakan senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk: a. Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa; b. Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat; c. Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat; d. Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang; e. Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan f.
Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
2. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tembak Mati di Tempat Oleh Kepolisian Pada Kejahatan Terorisme
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompe keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.10 Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana.Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.11 Ada dua paham yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana yang selama ini dianut yaitu paham:12 1. Paham Indeterminisme Penganut paham indeternimisme berpendapat bahwa manusia mempunyai kehendak bebas yang tindakannya merupakan sebab dari segala keputusan 10
Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal 131. Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Pertama, Yogyakart, Liberty Yogyakarta, 1987, hal 75. 12 Mahmud Mulyadi, Bahan Kuliah Acara Pidana, FH-USU Medan, hal 7. 11
kehendak tersebut.Kebebasan kehendak ini menetukan suatu kesalahan, karena tanpa adanya kebebasan kehendak,maka tidak ada suatu kesalahan sehingga tanpa ada suatu kesalahan sesorang tidak dapat di pidana. 2. Paham Determinisme Penganut paham determinisme menyatakan bahwa orang yang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan faktor-faktor lingkungan
kemasyarakatan.Dengan
demikian
kejahatan
adalah
manifestasi jiwa yang abnormal oleh karena itu, pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas suatu perbuatan dan tidak dapat dikenakan pidana. a. Pertanggungjawaban pidana
Suatu pertanggung jawaban pidana tidak terlepas dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana dengan kata lain sesorang tidak akan diminta pertanggungjawaban pidananya apabila tidak melakukan perbuatan pidana. Pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana diperlukan beberapa syarat yakni: 1) Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan (dolus dan culpa). Asas
kesalahan
ini
merupakan
asas
yang
diterapkan
dalam
pertanggungjawaban pidana yang artinya pidana hanya dijatuhkan terhadap mereka yang benar-benar melakukan suatu kesalahan dalam suatu tindak pidana.Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.Jadi meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak di benarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (Subjective guilt).Di sini berlaku apa yang di sebut atas tiada suatu pidana tanpa kesalahan (keine strafe ohne schhuld atau geen straf zonder schuld)atau nulla poena sinna culpa(“Culpa” di sini dalam arti luas meliputi kesengajaan). Simons menyebutkan bahwa kesalahan adalah adanya keadaan physchis yang tertentu pada orang yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang di lakukan sedemikan rupa,
hingga orang itu dapat di cela karena melakukan perbuatan tadi. Dengan demikian untuk adanya suatu kesalahan harus di perhatikan dua hal di samping melakukan tindak pidana, yakni: a. Adanya keadaan Phychis(bathin) yang tertentu, dan b. Adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin tersebut dengan perbuatan yang di lakukan, hingga menimbulkan celaaan tadi. Menyangkut hal mengenai kesengajaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dicantumkan bahwa sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.Dalam ilmu hukum pidana pada umumnya dibedakan tiga macam kesengajaan, yaitu:13 a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet alsoogmerk); b. Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian; c. Kesengajaan dengan kesadaran melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafaan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan suatu tindak pidana (dolus eventulais). Perbedaannya adalah dolus atau kesengajaan merupakan kesalahan yang berat sedangkan culpa merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan.Walaupun pada umumnya delik kelalaian (culpa) di pandang lebih ringan dan oleh karena itu ancaman pidananya juga lebih ringan dari pada yang di lakukan dengan sengaja.Berkaitan dengan masalah ini, menurut doktrinal bahwa culpa harus memenuhi 2 (dua) syarat yaitu:14 a. Tidak ada kehati-hatian yang diperlukan; b. Akibat yang adapat diduga sebelumnya, atau keadaan atau akibat yang dapat diduga sebelumnya yang membuat perbuatan itu menjadi perbuatan yang dapat dihukum. 2) Adanya pembuat yang mampu bertangggungjawab Kemampuan
bertanggungjawab
merupakan
salah
satu
unsur
pertanggungjawaban pidana.Mampu bertanggung jawab merupakan syarat kesalahan dan kesalahan adalah unsur pertanggungjawaban pidana.Mampu bertanggungjawab 13
berkaitan
dengan
A.Fuad Usfa, Op.Cit, Hal 79. Andi Hamzah, Op.Cit, Hal 128.
14
mental
pembuat
yang
dapat
di
pertanggungjawabkan dalam hukum pidana.Berkaitan dengan mental si pembuat ada beberapa keadaan yang menggambarkan hubungan antara keadaan mental dengan perbuatannya.Keadaan pertama ialah automatism yaitu terpenuhinya rumusan tindak pidana di luar kehendak atau tanpa disadari pembuatnya. Kedaaan kedua disebut dengan mistake of law, hal ini terjadi jika pembuat telah keliru dalam memberi pertimbangan tentangapa yang dilakukannya. Keadaan yang ketiga karena mistake of fact, dimana pembuat dapat membedakan perbuatan yang terlarang dari yang boleh dilakukan tetapi kekeliruan penilaian terhadap fakta yang menyebabkan dia yakin yang dilakukannya bukanlah suatu tindak pidana. 15 Pasal 44 KUHP “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terggangu karena penyakit” berdasarkan Pasal 44 tersebut dapat dikemukakan bahwa kemampuan bertanggungjawab seseorang ditentukan oleh faktor akal. Moeljatno yang dikutip oleh Mahmud Mulayadi menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:16 a. Kemampuan untuk membeda-bedakan anatara perbuatan yang baik dan yang buruk,sesuai hukum dan yang melawan hukum; b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang buruknya perbuatan tadi. 3) Tidak ada alasan pemaaf Alasan
pemaaf
bersifat
subjektif
dan
melekat
pada
diri
si
pembuat,khususnya sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat. Alasan pemaaf ini terdiri atas: a. Ketidakmampuan
bertangungjawab
“ontoerekeningvatbaarheid”
(Pasal
atau 44
ayat
disebut
juga
(1)KUHPidana)
berbunyi: Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum. b. Pembelaan
terpaksa
yang
melampaui
batas
atau
“noodweerexes”(Pasal 49 ayat(2) KUHP) berbunyi: Melampaui 15 Chairl Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, Hal 92-93. 16 Mahmud Mulyadi, Op.Cit, hal 35.
batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbutan dengan sekonyongkonyong di lakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh di hukum.
c. Karena melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (Pasal 51 ayat (2) KUHP) yang berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang berhak akan tidak boleh di hukum.
4) Tidak ada alasan pembenar Alasan pembenar bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pembuat. Alasan pembenar terdiri atas:17 a. Adanya daya paksa atau “overmacht” (Pasal 48 KUHP) yang berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat di hindarkan, tidak boleh di hukum.
b. Adanya pembelaan terpaksa atau “noodweer” (Pasal 49 ayat (1) KUHP) yang berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa di lakakuanya untuk memeprtahankan dirinya, atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh di hukum c. Karena sebab menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP) yang berbunyi: Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang tidak boleh di hukum.
d. Karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP) yang berbunyi:Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang berhak akan tidak boleh di hukum.
Terdapat kemiripan antara alasan pemaaf dan alasan pembenar tapi terdapat perbedaan antara kedua alasan tersebut: Dibedakannya alasan pembenar dan alasan pemaaf karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda bahkan Wilson yang dikutip Chairul Huda 17
Ibid, hal 64.
mengatakan terdapat moral force yang berbeda pada kedua hal tersebut. Adanya alasan pembenar berujung pada pembenaran berujung pada pembenaran atas tindak pidana yang sepintas melawan hukum,contohnya: seorang petinju yang bertarung di atas ring, memukul lawannya sehingga luka-luka atau mati sedangkan alasan pemaaf berdampak pada pemaafan pembuatnya sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum.Contohnya: orang gila yang memukul orang lainsehingga luka berat.18 b. Pertanggungjawaban Pidana Polisi Terhadap Tembak Mati Di Tempat Pada Pelaku Kejahatan Terorisme Pertanggung jawaban pidana biasanya diperiksa oleh aparat kepolisian sebagai penegak hukum yang terdepan yang ada di dalam tatanan sosial masyarakat.Kepolisian adalah suatu lembaga penegak hukum yang diatur dalam undang-undang mengenai segala hal yang berkaitan erat sehingga memiliki kepastian hukum dalam bertindak dalam melaksanakan tugas yang di berikan Negara padanya. Sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) undang-undang kepolisian menyebutkan pengertian dari kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Kepolisian RI dalam menjalankan tugasnya mempunyai fungsi, tugas dan wewenang yang diberikan Negara yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 2 menyebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan melihat konsep dari pertanggungjawaban pidana yang dibahas sebelumnya dapat kita membuat sebuah pertanyaan dasar dapatkah kita meminta pertanggungjawaban pidana pada pihak kepolisian yang notabene semua tindak tanduknya diatur dalam undang-undang dan adanya alasan pembenar atau/dan alasan pemaaf dari setiap tindakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dimana 18
Chairl Huda, Op.Cit, Hal .121
hal ini menyangkut tembak mati di tempat.Dalam tindak pidana terorisme umumnya memiliki jaringan terorganisir dan dilengkapi dengan persenjataan layaknya alat persenjataan yang dimiliki oleh TNI dan Polri.Apabila tindakan teroris seperti ini dihubungkan dengan peranan Polri merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan.19 Dalam operasi yang di lakukan oleh Densus 88 yang di lakukan dengan pendekatan senjata api dalam catatan Kontras sebuah Organisasi Masyarakat yang berfokus pada orang hilang dan korban kekerasan, pendekatan senjata api banyak digunakan aparat Densus 88 sepanjang 2010-Juni 2011. Setidaknya dari 13 operasi anti-terorisme Densus 88, 30 orang tewas tertembak oleh Densus 88,sebanyak 9 orang luka tembak, 30 orang merupakan korban penangkapan sewenang-wenang dan akhirnyadibebaskan karena tidak terbukti terlibat dalam aksi teror yang disangkakan.20 Terkait dapat atau tidaknya angggota Kepolisian Republik Indonesia diminta pertanggungjawabannya mengenai perbuatan yang dilakukan dalam menjalankan tugasnya karena dalam Pasal 16 huruf l Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang menyatakan dalam tugasnya dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang menyatakan setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberi pangkat yang mencerminkan peran, fungsi dan kemampuan, serta sebagai keabsahan wewenang dan tanggung jawab dalam penugasannya serta dalam pasal 13Peraturan Kepala KepolisianNegara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang PenggunaanKekuatan Dalam Tindakan Kepolisian yang menyatakan setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaanpenggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya. Salah satu kasus mengenai penembakan mati orang yang di duga teroris atau tersangka teroris terjadi di Makasar, Sulawesi Selatan dan Dompu, Nusa Tenggara Barat dimana terjadi penembakan 2 orang yang di duga teroris yang 19 Awaloedin Djamin, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia dari Zaman Kuno Sampai Sekarang, PTIK Press, Jakarta, 2006, hal 493. 20 http://www.kontras.com/data/data-teroris-2010-2011, diakses tanggal 28 Februari 2013
dilakukan di depan masjid Nur Alfiah RS Dr.Wahidin sudirohusodo Makasar 21 pada hari Juma’t tanggal 4 Januari 2013 pada pukul 10.45 Wita dimana terduga teroris tersebut bernama Hasan alias Kholik dan Syamsudin alias Asmar alias Buswah yang di tembak pada di depan pintu Mesjid tersebut. Wakil Komnas HAM mengatakan anggota Polisi jangan main hakim sendiri dengan melakukan penembakan di depan pintu Mesjid tersebut serta bagaimana orang yang akan melakukan perlawanan ketika ingin beribadah justru anggota Polisi cenderung melanggar HAM .22 Untuk melihat pertanggungjawaban atas tugas dan weweanang anggota Kepolisian Republik Indonesia harus dipisah antara: 1. Anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak dapat diminta pertanggungjawabannya karena melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan prosedur. Tembak mati di tempat yang dilakukan dalam tugasnya sebagai anggota Kepolisian Republik Indonesia dilakukan dalam proses penangkapan. Dimana dalam penangkapan yang kemudian terjadi penembakan yang berujung kematian pada terduga atau tersangka teroris, anggota Kepolisian Republik Indonesia harus mengikuti prosedur penangkapan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 tahun 1981 Pasal 18 ayat (1) menyatakan pelaksanaan penangkapan dilakukan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan indentitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang disangkakan serta tempat dia diperiksa dan jugamemberitahu hak-hak tersangka dan cara menggunakan hak-hak tersebut, berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan hukum dan/atau didampingi oleh penasihat hukum, serta hak-hak lainnya sesuai Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).23
21
http//kompas.com/news/read/2013/01/06/JAT.Tembak.Mati.7/htm, diakses pada tanggal 15 Februari 2013. 22 http://banjarmasin.tribunnews.com/mobile/idex.php/2013/01/05/diduga-direkayasapenembakan-terduga-teroris-di-makasar, diakses pada tanggal 15 Februari 2013. 23 Mahmud Mulyadi, Kepolisian Dalam Sistem Peradialn Pidana, USU Press, Medan, 2009, hal 20.
Prosedur-prosedur yang dilakukan dengan benar dan memperhatikan semua hal dalam proses penangkapan yang menyebabkan penembakan pada terduga atau tersangka teroris oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak dapat diminta pertanggungjawabannya karena dilindungi oleh alasan Pembenar yang
menyatakan
adanya
daya
paksa
atau
“overmacht”
(Pasal
48
KUHP),pembelaan terpaksa atau “noodweer” (Pasal 49 ayat (1) KUHP), karena sebab menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP), karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP). Perbuatan tembak mati pada proses penangkapan dibenarkan undang-undang karena:24 a. Perbuatan itu tidaklah bertentangan dengan sesuatu aturan hukum, baik aturan tertulis maupun dari hukum yang tidak tertulis karena perbuatan membela diri oleh seseorang terhadap serangan yang bersifatmelawan hukum yang telah dilakukan seketika itu juga adalah hak setiap orang, sehingga perbuatannya itu tidaklah bersifat melawan hukum. b. Perbuatan menangkap atas perintah yang berhak merupakan suatu tindakan jabatan yang harus dilakukan oleh seorang Polisi, karena merupakan kewajiban hukum baginya menaati perintah-perintah yang telah diberikan oleh seorang penyidik kepadanya. c. Perbuatannya merupakan suatu perbuatan yang masuk akal dan patut untuk dilakukan, karena tanpa melakukan tembak mati tidak akan dapat melaksanakan perintah. d. Perbuatan yang dalam hal ini menembak mati pelaku kejahatan terorisme dilakukan atas pertimbangan yang layak berdasarkan suatu keadaan yang memaksa, karena apabila tidak demikian akan secara langsung menembak mati penyerangnya, semata-mata untuk mempertahankan kepentingan hukumnya untuk tetap hidup tanpa menghiraukan kepentingan hukum yang sama dari para penyerang itu sendiri.
24
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 65.
e. Perbuatan menembak mati pelaku terorisme sesuai dengan ketentuan diatas tidaklah dapat disebut sebagai perbuatan yang bersifat tidak menghormati hak asasi manusia. 2. Anggota Kepolisian Republik Indonesia dapat diminta pertanggungjawabannya karena melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak sesuai dengan prosedur. Dalam hal Anggota Kepolisian Republik Indonesia yang melakukan proses penangkapan yang menyebabkan kematian apabila tidak dengan sesuai prosedur pada Pasal 18 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 tahun 1981 dimana pada penejelasannya pelaksanaan penangkapan yang dilakukan oleh petugas Kepolisian Republik Indonesia tersebut hanya sah menurut undang-undang, apabila memenuhi syarat-syarat yaitu:25 a. Dengan menunjukan surat tugas penangkapan yang dikeluarkan penyidik atau penyidik pembantu. b. Dengan memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka yang mencantumkan indentitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkat mengenai kejahatan yang di persangkakan terhadap tersangka, dan mengenai tempat dimana tersangka akan diperiksa. c. Surat penangkapan tersebut harus dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam melakukan penyidikan di daerah hukumnya. d. Dengan menyerahkan tembusan suratpenangkapan kepada keluarga tersangka, yakni segera setelah penangkapan dilakukan. Dalam hal tidak terpenuhinya syarat-syarat dalam proses penangkapan di atas
maka
anggota
Kepolisian
Republik
Indonesia
dapat
diminta
pertanggungjawabannya oleh orang yang merasa kebaratan dengan tindakan kekuatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya baik keluarga terduga atau tersangka teroris, penasehat hukum keluarga terduga atau tersangka terorisme. Dalam hal penembakan mati di tempat pada proses penangkapan pada pelaku kejahatan terorisme baik terduga maupun tersangka dilakukan dengan prosedur yang tidak jelas sesuai yang telah diatur dalam petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) pada Pasal 8 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan 25
Ibid, hal 114.
Dalam Tindakan Kepolisian dan harus memahami prinsip penggunaan kekuatan senjata api yang tertulis pada pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dan Pasal 5 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian tentang tahapan penggunaan senjata api
dan Pasal 47 Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia serta
harus sesuai dengan standar
operasional (SOP) dari Kepolisian Republik Indonesia. Dalam melakukan tindakan Penggunaan kekuatan dengan kendali senjataapi atau alat lain termasuk dalam hal ini tembak mati di tempat dilakukan ketika: a. Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat; b. Anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan atau perbuatan pelaku kejahatan atau tersangkatersebut; c. Anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangkayang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri ataumasyarakat. Tanpa adanya ancaman atau perlawan dari pihak penyerang Polisi maka penggunaan senjata api harus dihindarkan karena dapat terjadi kesengajaan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan hukumnya agar tetap hidup tanpa memandang kepentingan hidup pelaku kejahatan terorisme. Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan kewajibannya di luar kebutuhan untuk melakukan pembelaan terpaksa dapat diminta pertanggungjawabanya sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian yang menyatakan Setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas
pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya dan Pasal 49 ayat (1) huruf a yang menyatakan setiap petugas wajib mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api. Dimana, alasan pembenar tidak dapat digunakan karena melakukan penggunaan senjata api tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang mengapuskan sifat melawan hukumya karena menjalankan undang-undang. Menurut penjelasan Memorie van Toelichting (MVT) dapat diketahui anggota Kepolisian mendapat jaminan tidak dipidana karena telah melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan telah diwajibkan untuk melakukan perbuatan tertentu, dan bukan orang yang diberikan hak untuk melakukan perbuatan tertentu.Ini sesuai dengan pendapat Noyon dan Langemeijer yang mengatakan untuk melaksanakan peraturan perundanundangan, orang hanya dapat melakukan sutu perbuatan itu sebagai kewajiban dan bukan seseorang mempunyai hak untuk berbuat demikian.26 Dengan tidak sesuai prosedurnya pihak Kepolisian Republik Indonesia melakukan penangkapan yang menyebabkan kematian pada terduga atau tersangka terorisme dimana dalam penangkapan dan penembakan mati dilakukan dengan
sewanang-weanang
maka
pihak
kepolisian
dapat
diminta
pertanggungjawabannya karena terdapat kesalahan dalam melaksanakan tugasnya karena tidak sesuai dengan amanat Pasal 48 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang daya paksa yang disebabkan adanya perlawanan atau ancaman dari pihak pelaku terorisme. Dimana tidak terdapat daya paksa batin dan psikis yang mengharuskan anggota Kepolisian melepaskan tembakan yang berujung pada kematian. Daya paksa sendiri dapat dibagi 3 macam peristiwa yakni:27 a. Peristiwa-peristiwa dimana terdapat paksaan secara fisik; b. Peristiwa-peristiwa dimana terdapat pemaksaan secara psikis dan c. Peristiwa dimana terdapat keadaan, seperti: 1) Suatu pertentangan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum yang lain; 2) Suatu pertentangan antara suatu kwajiban hukum dengan suatu kepentingan hukum; 26
Ibid, hal 68. Ibid, hal 428.
27
3) Suatu
pertentangan
antara
kepentingan
hukum dengan
kepentingan hukum yang lain. Tidak terpenuhinya juga Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dimana pembelaan terpaksa didahului dengan adanya serangan pertama yang berasal dari pihak pelaku terorisme yang melawan hukum maka penggunaan kekuatan senjata api yang menyebabkan kematian adalah suatu perbuatan yang berlebihan dan sewenang-wenang dimana hanya bepatokan kepada kepentingan hukum anggota Kepolisian Republik Indoesia saja tidak melihat kepentingan hukum untuk hidup pelaku terorisme. Ada bebrapa syarat mengenai pembelaan terpaksa dimana syarat yang harus dipenuhi oleh serangannya dan syarat yang harus dipenuhi oleh pembelaannya, menurut Van Hamel serangan itu harus:28 a. Bersifat melanggar hukum atau bersifat wederrechtlijk; b. Mendatangkan suatu bahaya yang mengancam secara langsung; c. Bersifat berbahaya bagi tubuh, kehormatan atau benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain Sedang pembelaan itu: a. Harus bersifat perlu atau bersifat noodzakelijk dan b. Perbuatan yang dilakukan untuk melakukan perbuatan itu haruslah dapat dibenarkan. Mengenai Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang menjalankann
perintah
undang-undang
harus
berpatokan
pada
tahapan
penggunaan senjata api, walaupun menjalankan perintah undang-undang untuk melakukan penangkapan tapi harus sesuai dengan tahapan penggunaan sejata api. Untuk dapat disebut sebagai perbuatan melaksanakan peraturan perundangundangan menurut Van Hamel ialah:29 a. Haruslah secara murni bersifat publiekrechterlijk, sehingga perbuatan yang telah dilakukan oleh seseorang itu pada hakikatnya merupakan pelaksanaan suatu kewajiban jabatan termasuk juga kedalam pengertian ini pelaksaan ini kewajiban-kewajiban yang bersifat hukum publik dalam arti luas; 28 29
Ibid, hal 466. Ibid, hal 518.
b. Selanjutnya juga kewajiban-kewajiban jabatan yang menurut sifatnya dan sesuai dengan ketentuan mengaturnya haruslah dipandang
sebagai
kewajiban-kewajiban
yang
bersifat
publiekrechterlijk. Pasal 51 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang menjalankan perintah harus terlebih dahulu dipastikan bahwa yang memberi perintah adalah orang yang berwenang dan yang menerima perintah dapat tidak melaksanakan perintah apabila bertentangan dengan undnag-undang. Ketentuan seperti diatas sudah barang tentu dapat mendatangkan kesulitan-kesulitan bagi orang-orang bawahan yang harus melaksanakan perintah-perintah jabatan, oleh karena disatu pihak
dari mereka dituntut suatu ketaatan yang penuh untuk
melaksanakan perintah-perintah yang diberikan oleh atasan-atasan mereka, dan di lain pihak agar karena melaksanakan perintah-perintah dari atasan-atasannya itu, mereka jangan sampai dapat dihukum, maka setiap kali mereka mendapat perintah dari atasan mereka, mereka harus membuat penilaian yaitu apakah atasan yang telah memberikan perinntah kepada mereka memang benar mempunyai keweanagan untuk mengelurakan semacam itu atau tidak. Penembakan yang menyebabkan kematian yang didasarkan pada perintah dimana perintah tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar prosedur (SOP) penggunaan senjata api tetapi tetap dilakukan maka anggota kepolisian berbuat kesalahan. Tidak terpenuhiya alasan-alasan pembenar ini menyebabkan anggota kepolisian dalam melakukan proses penangkapan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain baik terduga maupun tersangka pelaku kejahatan terorisme dapat diminta pertanggungjawaban pidananya karena adanya unsur kesalahan baik kesengajaan maupun kelalaian dan mampunya anggota Kepolisian Republik Indonesia untuk bertanggungjawab. E. PENUTUP 1. Kesimpulan
a. Aturan mengenai tembak mati ditempat pada kejahatan terorisme secara hukum dapat dilihat dalam Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 7 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun
1981; Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; Pasal 5, Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian; dan Pasal 47 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia. b. Anggota Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam proses penangkapan yang menyebabkan kematian dengan melakukan penembakan kepada terduga teroris atau tersangka teroris yang dilakukan sesuai dengan prosedur penangkapan sesuai Pasal 18 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981; prosedur tembak mati dalam penangkapan sesuai Pasal 5 dan Pasal 8 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan
Dalam
Tindakan
Kepolisian
tidak
dapat
diminta
pertanggungjawabannya karena adanya alasan pembenar. Akan tetapi, dalam proses penangkapan yang menyebabkan kematian dengan melakukan penembakan kepada terduga teroris atau tersangka teroris yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur dapat diminta pertanggungjawabanya sesuai dengan Pasal 13
ayat (1) Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. 2. Saran a. Perlu memberikan tambahan pengetahuan dan wawasan bagi para penegak hukum dan mahasiswa akan pentingnya prosedur yang benar dalam hal penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan perlakuan kekerasan dengan atau tanpa senjata api dalam penindakan tersangka atau terduga kasus terorisme sebagai salah satu kejahatan yang extra ordinary sehingga tercapai suatu prinsip hukum yakni persamaan hak
di depan hukum atau equality before the law di dalam penerapan hukum di Negara Indonesia. b. Perlu memberikan tambahan pengetahuan dan wawasan bagi para penegak hukum dan mahasiswa tentang pentingnya perlindungan hukum kepada orang yang diduga dan tersangka kasus terorisme sebagai kejahatan yang khusus karena dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tidak ada di atur mengenai perlindungan hak-hak bagi para tersangka yang diatur di dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP). c. Perlu memberikan pengetahuan yang mendasar kepada para penegak hukum secara langsung tentang dapat dapat para penegak hukum dapat diminta pertanggungjawaban pidana dalam upaya melakukan tindakan kekerasan yang dianggap tidak wajar dan cenderung melakukan proses penegakan hukum dengan melanggar hukum dengan melakukan tembak mati di tempat
walaupun di dasarkan pada
Peraturan Kapolri No. 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan oleh Kepolisian tentang diskresi yang dimiliki anggota kepolisian bertentangan dengan Peraturan Kapolri No.8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia. d. Perlu memberikan masukan kepada pemerintah dan lembaga legislatif agar dapat membuat suatu undang-undang yang jelas tentang penggunaan senjata api dalam tindakan kepolisian agar tercapai kepastian hukum baik bagi penegak hukum maupun bagi orang yang terkena kekuatan polisi dalam melakukan tindakan dan tidak berpatokan lagi pada peraturan-peraturan yang dibentuk oleh Kapolri serta memudahkan masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban pihak kepolisian apabila melakukan tindakan yang semena-mena dan tidak sesuai prosedur.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Djamin, Awaloedin, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia dari Zaman Kuno Sampai Sekarang, PTIK Press, Jakarta, 2006 Hamzah,Andi, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994 Huda,Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006 Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997 Mulyadi,Mahmud, Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, USU Press, Medan, 2009 Prakoso,Djoko, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Pertama, Yogyakart, Liberty Yogyakarta, 1987 Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor, 2007 Usfa,A.Fuat, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang, 2004 Wahid,Abdul, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2004 B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakkan Kepolisian Negara Republik Indonesia Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia
Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia C. Internet www.wikipediaindonesia/DetasemenKhusus88%28AntiTeror%29.html, tanggal 10 desember 2012.
diakses
http//kompas.com/news/read/2013/01/06/JAT.Tembak.Mati.7/htm, diakses pada tanggal 15 Februari 2013. http://www.detik.com/news/read/2012/11/03/092419/2080424/10/penggerebekanteroris-di-poso, diakses pada tanggal 22 Januari 2013 http://www.kontras.com/data/data-teroris-2010-2011, diakses tanggal 28 Februari 2013 http://banjarmasin.tribunnews.com/mobile/idex.php/2013/01/05/didugadirekayasa-penembakan-terduga-teroris-di-makasar, diakses pada tanggal 15 Februari 2013 http://polri.go.id/standar-universal-penggunaan-senjata-api-pada-penegak-hukum, diakses pada tanggal 11 Maret 2013. http://muhammad-makalahhukum.blogsopt.com/2011/06/tinjauan-diskresi kepolisian.html, diakses pada tanggal 28 Maret 2013. D. Diktat Kuliah Mahmud Mulyadi, Bahan Kuliah Acara Pidana, 2010, FH-USU Medan