1 TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN (CRIME AGAINST HUMANITY) DALAM KUHP DAN LUAR KUHP
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
DISUSUN OLEH : ISKANDAR MUDA HARAHAP NIM : 030 – 200 - 236
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
2 TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN (CRIME AGAINST HUMANITY) DALAM KUHP DAN DI LUAR KUHP
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
DISUSUN OLEH : ISKANDAR MUDA HARAHAP NIM : 030 – 200 - 236
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA DISETUJUI OLEH : KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Abul Khair, SH.M.Hum NIP. 131 842 854
Dosen Pembimbing I
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.M.Hum NIP. 130 809 557
Dosen Pembimbing II
Nurmalawaty, SH.M.Hum NIP. 131 803 347
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
3
KATA PENGANTAR
Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berpikir kepada Penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi
ini
berjudul
:”TINJAUAN
YURIDIS
MENGENAI
KEJAHATAN KEMANUSIAAN (CRIME AGAINST HUMANITY) DALAM KUHP DAN LUAR KUHP”, Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2.
Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH.MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.
3.
Bapak Syafaruddin, SH.MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.
4.
Bapak M. Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.
5.
Bapak Abul Khair, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
4 6.
Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.
7.
Ibu Nurmalawaty, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.
8.
Bapak/Ibu para dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum USU dimana penulis menimba ilmu selama ini.
9.
Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum USU yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi. Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.
Medan, Penulis,
Desember 2008
Iskandar Muda Harahap
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR ISI
Halaman
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………………………………………………………
1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………… 7 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………………………………………
8
D. Keaslian Penulisan………………………………………………….. 9 E. Tinjauan Kepustakaan i.
Pengertian Kejahatan HAM Berat……………………………… 9
ii.
Jenis-jenis Kejahatan Kemanusiaan……………………………. 11
iii.
Pengertian Kejahatan Kemanusiaan……………………………. 14
F. Metode Penelitian……………………………………………………
20
G. Sistematika Penulisan………………………………………………. 23 Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
6
BAB II
TINJAUAN TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN (CRIME
AGAINST
HUMANITY)
DALAM
BERBAGAI
PERATURAN A. Kejahatan Kemanusiaan (CrimesAgaints Humanity) Peraturan Naional 1. Menurut KUHP…………………………………………………. 42 2. Menurut
RUU
KUHP…………………………………………… 3. Menurut
UU
No.26
HAM……...
Tahun
2000
Tentang
50 Peradilan
62
B. Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) Dalam
Konvensi
Internasional………………………………………
BAB
III
71
PENGADILAN HAM SEBAGAI WADAH PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KONTEKS NASIONAL DAN INTERNASIONAL A. Hak
Asasi
Manusia
Internasional…….
dalam
Konteks
Nasional
dan
25
B. Pengadilan HAM Indonesia (UU No. 26 Tahun 2000) sebagai Lembaga Penegakan Hak Asasi Manusia…………………………. 32 C. International Criminal Court Sebagai Lembaga Penegakan Hak
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
7 Asasi Manusia……………………………………………………… 36
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan…………………………………………………………. 76 B. Saran……………………………………………………………… …
81
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………..
83
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
8 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam keadaan perang atau situasi darurat umum (istilah yang juga dikenal dalam
berbagai
konvensi
international),
dimungkinkan
adanya
pembatasan
penikmatan HAM. Kondisi yang dimaksudkan adalah "in time of public emergency with threatens the life of a nation, to the extent strictly required by the exigencies of the situation…." Konflik bersenjata, di manapun di dunia ini, selalu membawa korban; mulai dari tingkat individu, komunitas, sampai ke tingkat nasional. Sebut saja beberapa peristiwa, misal ; konflik bersenjata di Aceh, perselisihan antar warga di Ambon, di Poso, dan konflik bersenjata pasca tragedi Gedung WTC (World Trade Centre) dan Pentagon. Ironisnya, dari berbagai peristiwa tersebut, selain mengorbankan jutaan jiwa, korbannya bukan hanya militer/pasukan atau angkatan bersenjata yang terlibat langsung dalam konflik. Akan tetapi, rakyat atau masyarakat sipil yang tidak berdosa yang justru menerima akibat lebih tragis. Berdasarkan pengalaman yang dialami banyak negara di berbagai kurun waktu dan belahan dunia. Maka, tercetuslah dasar-dasar hukum humaniter yang bertujuan melindungi dan membatasi akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa tersebut. 1 Hukum humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata. Tidak seperti perangkat hukum lainnya, hukum humaniter mempunyai sejarah yang belum cukup
1
Harkristuti Harkrisnowo, Pemidanaan Kejahatan http://www.komisihukum.go.id, tanggal 18 September 2008.
Berat,
diakses
dari
situs
:
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
9 panjang namun sangat signifikan. Tujuan Hukum Humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebagai berikut :2 1.
untuk melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam suatu permusuhan (hostilities), seperti orang-orang yang terluka, yang terdampar dari kapal, tawanan perang, dan orang-orang sipil;
2.
untuk membatasi akibat kekerasan dalam peperangan dalam rangka mencapai tujuan terjadinya konflik tersebut. Pada dasarnya, masyarakat international mengakui bahwa peperangan antar
Negara atau dalam suatu Negara dalam banyak kasus tidak dapat dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan. Akan tetapi, orangorang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban. Dengan demikian semua orang harus tetap dilindungi HAM-nya, baik dalam keadaan damai maupun perang. Kelahiran hukum humaniter dapat dikatakan dimulai dengan kepedulian dan keprihatinan Henry Dunant. Ia adalah satu dari ribuan prajurit Prancis dan Austria yang terluka setelah perang di Solferino (Italia Utara) pada tahun 1859. Dalam buku yang ditulisnya, "Un Souvenir de Solferino", Dunant menghimbau dua hal, pertama, agar dicipatkan suatu lembaga international yang khusus menangani orang-orang sakit dan terluka, apapun kebangsaan, agama maupun rasnya. Kedua, negara-negara di dunia dihimbau untuk membuat kesepakatan yang mengakui keberadaan lembaga
2
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1980, hal. 5 Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
10 semacam ini, termasuk memberi jaminan agar orang-orang sakit dan luka lebih diperhatikan. 3 Hal yang paling menyenangkan adalah bahwa Dunant bukan sekedar menghimbau belaka, ia bersama beberapa orang temannya juga beraksi dengan mendirikan Inter-national Committee for Aid to the Wounded - yang kemudian diberi nama International Committee of the Red Cross. Komite ini pada akhirnya mendapat tanggapan positif dari sejumlah Negara dan selanjutnya menghasilkan konvensi Jenewa yang pertama, yang diadopsi oleh 16 Negara Eropa pada tahun 1864, dan Konvensi ini dinamakan Convention for the Amelioration of Condition of the Wounded in Armies in the Field. Tidak dapat diingkari bahwasanya konvensi ini menjadi simbol peletakkan batu pertama dari Hukum Humaniter Internasional, dengan mengutamakan prinsipprinsip universalitas dan toleransi dalam hal ras, kebangsaan dan agama. Tragedi kemanusiaan yang ditimbulkan oleh perang Saudara di Spanyol (1936-1939) dan Perang Dunia Kedua (1939-1945), menggugah Liga Bangsa-Bangsa untuk melanjutkan penetapan sejumlah konvensi berikutnya. Konvensi Kedua, berkenaan dengan anggota tentara yang terluka, sakit, terdampar di lautan; Konvensi Ketiga tentang Tawanan Perang, dan Konvensi Keempat, tentang korban-korban masyarakat sipil. Kesemua konvensi ini mempunyai kesamaan, yakni adanya penetapan mengenai aturan minimum yang harus dipatuhi pada saat terjadinya konflik bersenjata secara internal. 4
3
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979, hal. 12. 4 Geiffrey Ribertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002, hal. 120. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
11 Dari uraian di atas, nampak bahwasanya konflik bersenjata yang dimaksudkan dapat terjadi secara internal maupun inetrnasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 meletakkan dasar Hukum Humaniter dengan merumuskan bahwa dalam masa konflik bersenjata. Maka, orang-orang yang dilindugi oleh konvensi ini harus "in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth, or wealth, or other similar criteria…" padahal sebelum tahun 1949, perlindungan hukum hanya diberikan pada personel militer. Perangkat internasional yang paling signifikan dalam konteks ini mencakup tiga golongan besar, yakni : 5 1.
Law of Geneva, yakni Konvensi-konvensi dan protokol-protokol Internasional yang ditetapkan di bawah lingkup Komite Palang Merah Intersional atau ICRC, di mana perlindungan bagi korban konflik menjadi perhatian utama:
2.
Law of the Hague, ketentuan ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan di Ibukota Belanda pada tahun 1899 dan 1907, yang utamanya menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan;
3.
Upaya-upaya PBB untuk memastikan agar dalam situasi konflik bersenjata, HAM tetap dihormati, dan sejumlah senjata dibatasi pemakaiannya Protokol I dari konvensi Jenewa memberikan perlindungan bagi orang-orang
sipil yang jatuh ke tangan musuh, sedangkan Protokol II memuat ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan korban konflik bersenjata internal (bukan inter-national). Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa beserta dengan 185 Negara lainnya (menurut data tahun 1977). Konvensi Jenewa ini diterapkan melalui kerjasama a Protecting Power, atau Negara ketiga yang menjadi pihak netral dalam konflik tersebut, di bawah pengawasan ICRC. 5
ICRC, Pengantar Hukum Humaniter,ICRC, Jakarta, 1999, hal. 10.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
12 Dalam kaitannya dengan kondisi di Indonesia saat ini, yang paling relevan adalah konflik bersenjata internal yang sampai detik ini masih terjadi. Situasi konflik internal yang tengah terjadi di Aceh yang sering disebut sebagai perang saudara ini lebih kompleks sifatnya, dan memerlukan penanganan yang arif. Dengan demikian unsur-unsur yang terdapat dalam Protokol Tambahan II Tahun 1977 berkaitan dengan kasus Aceh, yang harus diperhatikan dalam situasi seperti di atas, adalah : 6 a). Intensitas dan lamanya konflik b). Perilaku dengan kekerasan yang terjadi c). Dilakukan secara spontan ataukah terorganisir d). Kekuatan kepolisian yang besar e). Kekuatan angkatan bersenjata. Dalam Geneva Convention III, tahun 1949, pasal 3 ayat (1) dicantumkan bahwa: "…Person taking no active part in the hostilities shall in all circum stance be treated humanely without any adverse distinctions….." Angkatan bersenjata dan kepolisian dilarang untuk melakukan tindakantindakan di bawah ini terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut: 1). Kekerasan terhadap tubuh maupun nyawa 2). Menyandera orang 3). Melakukan tindakan yang melecehkan martabat, menghina dan merendahkan orang 4). Menjatuhkan dan melaksanakan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin hak-hak seseorang. 6
Ibid, hal. 15.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
13 Dalam pasal 4 Protocol II to The Geneva Convention, 1977 dirumuskan bahwa: “All persons who do not take part or have ceased to take part in hostilities whether or not their liberty has been restricted, are entitled to respect to their persons, honors, and conviction and religious practices, to be treated humanely without any adverse distinction. Perilaku yang dilarang terhadap mencakup :
orang-orang
dalam kelompok tersebut
7
a). Melakukan kekerasan terhadap nyawa, kesehatan dan kesejahteraan mental maupun jasmani orang Collective Punishment b). Menyandera orang c). Melakukan terorisme d). Melecehkan harkat dan martabat seseorang terutama perilaku yang merendahkan dan menghina, perkosaan, pemaksaan prostitusi, dan semua bentuk serangan terhadap kesusilaan. e). Melakukan perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya f). Melakukan penjarahan g). Mengancam untuk melakukan perilaku-perilaku di atas. Bentuk-Bentuk Kejahatan Berat Tindak-tindak pidana yang termasuk dalam pelanggaran berat atau grave breaches dalam Konvensi Jenewa mencakup: 1. Willful killing, merupakan tindakan pembunuhan dengan sengaja yang ekuivalen dengan pasal 340 dan 338 KUHP. 2. Torture or in human treatment, including biological experiment; Penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi memang tidak dijumpai secara eksplisit dalam KUHP, akan tetapi menurut Konvesi Menentang Penyiksaan yang 7
Ibid, hal. 20.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
14 telah diratifikasi RI tindakan ini mencakup perilaku yang cukup luas, tidak hanya berkenaan
dengan
penderitaan
jasmani
belaka,
yakni
:
"… Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada sese-orang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada bentuk dikriminasi apapun, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan, dengan persetuju-an, atau sepengetahuan pejabat publik…" 3. Willfully causing suffering or serious injury to body are health; Dengan sengaja mengakibatkan penderitaan atau luka yang serius pada kesehatan atau tubuh seseorang.Ketentuan ini dapat memakai pasal 351 dst dari KUHP yang berkenaan dengan penganiayaan. 4. Extensive destruction or appropriation of property Perusakan atau penghancuran atau perampasan harta benda seseorang. Pasal 406 KUHP merupakan salah satu contoh ketentuan domestik yang dapat digunakan sehubungan dengan perilaku ini, dan sebagainya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis merasa sangat tertarik untuk membahas bagaimana pertanggungjawaban korporasi khususnya yang berkaitan dengan Tinjauan Yuridis Mengenai Tanggung Jawab Pidana Terhadap Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan RUU KUHP Indonesia”
B. Perumusan Permasalahan
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
15 Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang akan saya bahas di dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut : 1. Bagaimana Kajian Hukum Terhadap Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 2000 dan Konvensi Internasional.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana Eksistensi Pengadilan HAM sebagai wadah Penegakan HAM menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM. Selanjutnya pembahasan skripsi ini diharapkan juga dapat bermanfaat : 1. Manfaat secara teoretis. Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus
menambah khasanah ilmu pengetahuan dan
literature dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan
Kajian Hukum Terhadap Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts
Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional. 2. Manfaat secara praktis Secara praktis
penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi
pengetahuan tentang penerapan pertanggungjawaban korporasi khususnya yang berkaitan dengan Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
16
D.
Keaslian Penelitian Pembahasan skripsi ini dengan judul : “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI
KEJAHATAN KEMANUSIAAN (CRIME AGAINST HUMANITY) DALAM KUHP DAN DI LUAR KUHP”, adalah masalah yang sebenarnya sudah sering kita dengar. Namun yang dibahas dalam skripsi ini adalah khususnya yang berkaitan dengan Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional. Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Departemen Hukum Pidana. Apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka
penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan a. Pengertian Kejahatan HAM Berat UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia di dalam Pasal 1 ayat (6) memberikan definisi pelanggaran HAM, adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja ataupun tidak disengaja, atau kelalaian secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
17 mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (Non Derogable Rights) meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak diatuntut atas dasar hukum yang berlaku. Menurut Theo Van Boven kata “berat” menerangkan kata “pelanggaran” yaitu menunjukkan betapa parahnya akibat pelanggaran yang dilakukan. Kata “berat” juga berhubungan dengan jenis hak asasi manusia yang dilanggar. Pelanggaran HAM yang berat yang merupakan yurisdiksi dari Pengadilan HAM, adalah :
8
a. Kejahatan Genosida (Pembunuhan Massal) Genosida didefinisikan sebagai tindakan-tindakan berikut yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, secara menyeluruh atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama seperti dengan melakukan 9: a. Membunuh anggota kelompok b. Menyebabkan luka parah baik mental maupun fisik kepada anggota kelompok c. Secara sengaja menciptakan kondisi hidup kelompok yang diperhitungkan akan mengakibatkan kehancuran fisik baik secara menyeluruh maupun sebagian d. Memaksakan tindakan yang menghambat kelahiran dalam kelompok e. Secara paksa memindah anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain. 8
Andrey Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 30. 9 Ibid. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
18 Jadi secara umum genocide (genosida), adalah tindakan terencana yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi dasar dari sebuah bangsa atau kelompok sebuah entitas, yang diarahkan pada individu-individu yang menjadi anggota kelompok bersangkutan. pada 11 Desember 1946 dimana Majelis Umum PBB dengan suara bulat mengeluarkan resolusi yang mengatakan bahwa ‘Genosida adalah penyangkalan atas eksistensi kelompok manusia secara keseluruhan… yang menggoncang nurani manusia. b. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Istilah kejahatan terhadap kemanusian (Crime Against Humanity) pertama kali digunakan dalam Piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II. Mereka (Amerika Serikat dan sekutunya) menilai bahwa para pelaku (NAZI) dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa tersebut. Definisi Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma dan Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terdapat sedikit perbedaan tetapi secara umum adalah, salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut secara langsung ditujukan pada penduduk sipil, yaitu berupa : a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan; d
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan; Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
19 g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i.
Penghilangan orang secara paksa; atau
j.
Kejahatan apartheid. Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat / instansi negara,
atau pelaku non negara. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia masih menimbulkan beberapa perbedaaan. Salah satunya adalah kata serangan yang meluas atau sistematik. Sampai saat ini istilah tersebut masih menimbulkan banyak perbedaan pandangan bahkan kekaburan. Pengertian sistematik (systematic) dan meluas (widespread) menurut M. Cherif Bassiouni dalam bukunya yang berjudul Crime Againts Humanity on International Criminal Law; sistematik mensyaratkan adanya kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan kebijakan organisasi untuk pelaku diluar negara. Sedangkan istilah meluas juga merujuk pada sistematik, hal ini untuk membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau targetnya acak. Korban dimana memiliki kateristik tertentu misalnya agama, ideologi, politik, ras, etnis, atau gender 10. c. Kejahatan Perang Pasal 8 Statuta Roma terdiri dari suatu definisi yang panjang tentang kejahatan perang. Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum 10
M. Cherif Bassiouni, Crimes against humanity, Oxford Press, 1998, hal 499.508.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
20 internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang, contoh Saddam Husein, mantan Presiden Irak, diadili karena kejahatan perang. 11 Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang. Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu kejahatan perang, walaupun dalam hukum kemanusiaan internasional, kejahatan-kejahatan ini secara luas dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan perang
merupakan
bagian penting
dalam
hukum
kemanusiaan internasional karena biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu pengadilan internasional, seperti pada Pengadilan Nuremberg. Contoh pengadilan ini pada awal abad ke-21 adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda, yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal VII Piagam PBB. 12 d. Aggression (kejahatan Agresi)
11 12
Geoffrey Robertson QC, Op.cit, hal. 409. Ibid.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
21 Satu jenis kejahatan lainnya yang termasuk kejahatan internasional, adalah kejahatan agresi, yaitu Kejahatan terhadap perdamaian dalam bentuk perencanaan, persiapan, memulai atau melaksanakan perang, disebut juga kejahatan agresi. Pada mulanya konsep kejahatan agresi sebagai kejahatan internasional berkait erat dengan perbedaan antara " Perang adil " dan " Perang tidak adil " (just and injust war). Metode-metode perang tidak adil pada dasarnya merupakan perang agresi yaitu perang yang melanggar keagunan (jaminan) dari fakta untuk tidak saling menyerang ( not to attack ).
b. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan Istilah kejahatan terhadap kemanusian (Crime Against Humanity) pertama kali digunakan dalam Piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II. Mereka (Amerika Serikat dan sekutunya) menilai bahwa para pelaku (NAZI) dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa tersebut. Definisi Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma dan Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terdapat sedikit perbedaan tetapi secara umum adalah, salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut secara langsung ditujukan pada penduduk sipil, yaitu berupa : a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan; d
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
22 e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan; g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i.
Penghilangan orang secara paksa; atau
j.
Kejahatan apartheid. Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat / instansi negara,
atau pelaku non negara. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia masih menimbulkan beberapa perbedaaan. Salah satunya adalah kata serangan yang meluas atau sistematik. Sampai saat ini istilah tersebut masih menimbulkan banyak perbedaan pandangan bahkan kekaburan. Pengertian sistematik (systematic) dan meluas (widespread) menurut M. Cherif Bassiouni dalam bukunya yang berjudul Crime Againts Humanity on International Criminal Law; sistematik mensyaratkan adanya kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan kebijakan organisasi untuk pelaku diluar negara. Sedangkan istilah meluas juga merujuk pada sistematik, hal ini untuk membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau targetnya acak.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
23 Korban dimana memiliki kateristik tertentu misalnya agama, ideologi, politik, ras, etnis, atau gender 13. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (crimes against humanit) adalah satu dari empat "kejahatan-kejahatan internasional" (international crimes), di samping The Crime of Genocide, War Crimes dan The Crime of Aggression. International Crimes sendiri didefinisikan sebagai kejahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya, tidak satu pun pelakunya boleh menikmati imunitas dari jabatannya; dan tidak ada yuridiksi dari satu negara tempat kejahatan itu terjadi bisa digunakan untuk mencegah proses peradilan oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain, international crimes ini menganut asas universal juridiction. Sementara, definisi dari kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan sendiri adalah "tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari sebuah penyerangan yang luas dan sistematik yang terjadi secara langsung terhadap populasi sipil". Terdapat 11 bentuk kejahatan yang dikualifikasi sebagai crimes against humanity, antara lain; (1) pembunuhan, (2) penghancuran yang sengaja terhadap sarana-sarana vital bagi kelangsungan hidup, misalnya yang bisa mengakibatkan kelaparan dan bahaya penyakit, (3) pemaksaan terhadap masyarakat sipil untuk berpindah dari area yang mereka diami secara sah, (4) penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisikal maupun mental, (5) penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, (6) kekerasan seksual dan (7) penghilangan paksa (diakibatkan penculikan atau penahanan sewenang-wenang) 14. Pembahasan lebih lanjut mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanit) yang dimuat di dalam Pasal 7 Statuta Roma adalah menyatakan
13 14
M. Cherif Bassiouni, Crimes against humanity, Oxford Press, 1998, hal 499.508. http://id.wikipedia.org.com, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
24 bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah kejahatan yang menimbulkan
penderitaan besar dan tak perlu terjadi, yaitu pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan bentuk lain dari pelecahan seksual, perbudakan, penyiksaan dan pengasingan. Yang menjijikkan adalah bahwa kejahatan itu dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis (yang melibatkan banyak pihak) dan ditujukan pada setiap penduduk mengikuti atau mendorong kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan serangan semacam itu 15. Definisi ini dianggap terlalu sempit oleh LSM, yang lebih menyukai arti yang lebih luas sebagaimana disarankan oleh Komisi Hukum Internasional, yaitu ‘setiap aksi yang tak berprikemanusiaan, yang dihasut atau dipimpin oleh pemerintah atau organisasi atau kelompok’. Para delegasi di Roma bertindak benar ketika menentang definisi semacam itu. Sebab, definisi itu akan mendorong pengadilan internasional juga mengadili para antek dan prajurit. Definisi itu setidaknya menjamin bahwa ICC harus membatasi diri hanya pada kejahatan-kejahatan yang paling berbahaya, yang dilakukan secara sistematis
keteimbang yang dilakukan secara spontan, serta
mengikuti kebijakan yang disusun baik oleh aparat negara (seperti kepolisian atau tentara) maupun oleh suatu entitas organisasi untuk membedakan dirinya
dari
kelompok kriminal biasa. Definisi di dalam Pasal 7 ayat (1) menjelaskan bahwa suatu tuntutan dapat dibuat atas suatu aksi tunggal (salah satu atau lebih dri beberapa perbuatan) sepanjang diketahui oleh terdakwa sebagai bagian dari rangkaian perbuatan yang melibatkan berbagai tindakan kekejaman terhadap warga sipil. Namun sejauh mana entitas yang melakukan kejahatan tersebut harus “terorganisir” sehingga anggota-anggotanya dapat menjadi subyek penahanan. Tidak ada persyaratan bahwa hal tersebut harus berkaitan dengan kekuasaan, sehingga 15
Geoffrey Robertson, Op.cit, hal. 412-413.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
25 sebuah kekuatan oposisi dalam perjuangannya meraih kemerdekaan dapat memenuhi kualifikasi. Demikian juga halnya dengan kelompok teroris, jika terorganisir dalam skala seperti yang dipimpin oleh Osama Bin Laden, yang melatih ribuan pengikutnya dan bertanggung jawab atas pemboman kedutaan besar Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania serta gedung WTC tahun 2001 yang lalu. Pemboman itu merenggut nyawa ribuan warga sipil. Berbagai aksi terhadap pembunuhan ini merupakan bagian dari serangan sistematis terhadap populasi warga sipil, yang merupakan kelanjutan dari kebijakan organisasi untuk melakukan serangan-serangan seperti itu. Dalam bahasa sehari-hari hal ini disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Seperti yang diketahui, bahwa konferensi Roma menolak yurisdiksi atas beberapa tindak kejahatan, seperti kejahatan terorisme tertentu. Namun nampaknya tak ada alasan legal mengapa para jaksa menuntut tak dapat menyelidiki kelompokkelompok teroris yang sering melakukan kekejaman yang menyebabkan hilangnya nyawa warga sipil. Atau, suatu organisasi criminal dengan agenda politik seperti Kartel Obat terlarang ketika organisasi ini secara sistematis membunuh para hakim, wartawan dan politisi serta menghancurkan jalur penerbangan. Ketentuan-ketentuan tambahan mengizinkan negara-negara untuk memilih melakukan yurisdiksi atas warga yang ditahan. Walaupun pengalamanan Columbia di masa lalu (ketika, pada suatu waktu tertentu, keadilan tak dapat diterapkan terhadap Pablo Escobar dan pemimpin Kartel lainnya karena intimidasi mereka terhadap pengadilan setempat) telah memberikan contoh kasus
yang tepat untuk dipindahkan ke pengadilan
internasional 16.
16
Ibid.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
26 Termasuk diantara aksi-aksi di bawah ini, jika dilaksanakan secara sistematis dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah ‘penghilangan orang secara paksa’, didefinisikan sebagai penahanan atau penculikan orang-orang oleh/atau dengan persetujuan negara atau organisasi politik, yang diikuti oleh penolakan untuk menyatakan pengetahuan tentang keberadaan atau nasib korban. Tindakan ini disetujui dengan maksud untuk menjauhkan mereka dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang lama. Rumusan yang janggal ini (kebanyakan tindakan ini telah menghilangkan orang-orang untuk selamanya, melalui eksekusi secara rahasia) ditujukan untuk menggambarkan tingkah laku dari sejumah pemerintah di Amerika Selatan yang telah mengizinkan ‘pasukan kematian’ beroperasi bersama dengan militer, dan tidak berusaha untuk melacak jejak para korbannya. Definisi ersebut akan memberatkan mereka yang termasuk dalam pasukan tersebut, atau departemen-departemen dan kantor-kantor pemerintah yang menutupnutupi aktifitas tersebut. Apartheid dikategorikan kembali sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, definisinya lebih hati-hati dibandingkan dengan yang tercantum dalam Konvensi Apartheid. Selanjutnya, kejahatan ini membutuhkan tindakan kejahatan yang tidak berprikemanusiaan dengan tujuan untuk memelihara hegemoni dari rejim melalui penindasan rasional secara sistematik. Sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti disebutkan dalam Pasal 7 Statuta Roma yang hanya benar-benar cocok jika didakwakan pada pimpinan politik atau militer. Ini disebabkan karena prajurit dan pembantu sipil mungkin melakukannya tanpa maksud untuk bertindak tidak berprikemanusiaan. Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa adalah satu contoh, dimana tujuan para pembuat kebijakan itu (tetapi tidak selalu menjadi tujuan mereka yang menjalankan perintah
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
27 untuk melaksanakan kebijakan tersebut di lapangan) adalah untuk melanggar hukum internasional. Kejahatan “penindasan” didefinisikan sebagai pencabutan hak-hak dasar dengan sengaja dan keji yang bertentangan dengan hukum internasional, yang dilakukan terhadap kelompok yang diidentifikasikan berdasarkan politik, ras atau budaya. Kejahatan ini bisa didakwakan bagi para pemimpin yang melakukan ‘pembersihan etnis’ yang tidak jauh berbeda dengan genoside. Ini juga berlaku bagi mereka yang membantu tindakan tersebut. Para supir Ford Falcons yang digunakan oleh “pasukan kematian” di Argentina, dokter-dokter yang hadir untuk mengatur penyiksaan atas tindakan “subversif” di pusat-pusat yang didirikan oleh Pinochet, hakim-hakim yang memberikan instruksi politik untuk menolak permintaan habeas corpus, dan lain sebagainya. Pengetahuan terdakwa bahwa tindakan yang dituduhkan kepadanya mempunyai hubungan suatu kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan (seperti genoside atau penyiksaan atau kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya) merupakan unsur yang paling mendasar dalam tindakan kejahatan penindasan. Setelah mengetahui hal itu, tak akan ada maaf bagi para algojo yang menyalahgunakan profesinya dan memberikan bantuan dalam bentuk kekerasan. Bagaimanapun kejahatan penindasan (yang definisinya membingungkan karena tumpang tindih antara Pasal 7 (1) (h) dan Pasal 7 (2) (g) akan menjadi sebuah senjata bagi para jaksa penuntut untuk melawan para pengacara, banker, tukang propaganda, orang-orang yang menggunakan ijazah professional mereka untuk membersihkan tangan mereka dari darah yang tumpah di rejim klien-kliennya
F. Metode Penelitian 1. Sifat/Bentuk Penelitian Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
28 Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum skunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan analisa hukum pidana khususnya terhadap Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional. .Selain itu dipergunakan juga bahanbahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan masalah Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional. 2. D a t a Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (Library Research) untuk mendapatkan konsep-
konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Sumber data kepustakaan diperoleh dari : 1. Bahan Hukum Primer, terdiri dari : a. Norma atau kaedah dasar ; b. Peraturan dasar ; c. Peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan
pertanggungjawaban
korporasi khususnya yang berkaitan dengan Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
29 No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional.
2. Bahan Hukum Sekunder, seperti : hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. 3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.
17
Selanjutnya Situs Web
juga menjadi bahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.
3.
Tehnik Pengumpulan Data Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka
penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (Library Research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
Metode yang
digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. 17
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakrta 1998, hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 1990), hal. 41. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
30
4. Analisis Data Seluruh data yang sudah diperolah dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan pasal-pasal yang
berisi
kaidah-kaidah
hukum
yang
mengatur
tentang
dengan
pertanggungjawaban korporasi khususnya yang berkaitan dengan Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional. Kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klassifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara induktif kualitatif yang diselaraskan dengan hasil dari data pendukung sehingga sampai pada suatu kesimpulan yang akan menjawab seluruh pokok permasalahan dalam penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih mengarahkan pembaca, maka berikut di bawah ini penulis membuat sistematika penulisan/gambaran isi skripsi ini sebagai berikut :
BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Keaslian
Penulisan,
Tujuan
dan
Manfaat
Penulisan,
Tinjauan
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
31 Kepustakaan dan diakhiri dengan Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II
TINJAUAN (CRIME
TERHADAP AGAINST
KEJAHATAN
HUMANITY)
KEMANUSIAAN
DALAM
BERBAGAI
PERATURAN Pada bab ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Pengertian dan Jenis-jenis Kejahatan Kemanusiaan (CrimesAgainstHumanity),Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Aginst Humanity) Dalam Peraturan Nasional dan Kejahatan Kemausiaan (Crimes Against humanity) dalam Konvensi Internasional
BAB III
PENGADILAN HAM SEBAGAI WADAH PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KONTEKS INTERNASIONAL DAN NASIONAL Pada bab ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Internasional dan Nasional, Pengadilan HAM Indonesia (UU No. 26 Tahun 2000) sebagai Lembaga Penegakan Hak Asasi Manusia dan International Criminal Court Sebagai Lembaga Penegakan Hak Asasi Manusia
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
32
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN Pada Bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan
BAB
II
TINJAUAN TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN (CRIME AGAINST HUMANITY) DALAM BERBAGAI PERATURAN
F. Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) Dalam Peraturan Nasional 1. Berdasarkan KUHP
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
33 Pada dasarnya konflik bersenjata dapat terjadi secara internal maupun inetrnasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 meletakkan dasar Hukum Humaniter dengan merumuskan bahwa dalam masa konflik bersenjata. Maka, orangorang yang dilindugi oleh konvensi ini harus "in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth, or wealth, or other similar criteria…" padahal sebelum tahun 1949, perlindungan hukum hanya diberikan pada personel militer. 18 Perangkat internasional yang paling signifikan dalam konteks ini mencakup tiga golongan besar, yakni : 1. Law of Geneva, yakni Konvensi-konvensi dan protokol-protokol Internasional yang ditetapkan di bawah lingkup Komite Palang Merah Intersional atau ICRC, di mana perlindungan bagi korban konflik menjadi perhatian utama: 2. Law of the Hague, ketentuan ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan di Ibukota Belanda pada tahun 1899 dan 1907, yang utamanya menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan; 3. Upaya-upaya PBB untuk memastikan agar dalam situasi konflik bersenjata, HAM tetap dihormati, dan sejumlah senjata dibatasi pemakaiannya Protokol I dari konvensi Jenewa memberikan perlindungan bagi orang-orang sipil yang jatuh ke tangan musuh, sedangkan Protokol II memuat ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan korban konflik bersenjata internal (bukan international). Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa beserta dengan 185 Negara lainnya (menurut data tahun 1977). Konvensi Jenewa ini diterapkan melalui kerjasama a
18
Fadillah Agus (ed), Hukum Humaniter suatu Persfektif, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti-ICRC, Jakarta, 1997, HAL. 85-86. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
34 Protecting Power, atau Negara ketiga yang menjadi pihak netral dalam konflik tersebut, di bawah pengawasan ICRC. Dalam kaitannya dengan kondisi di Indonesia saat ini, yang paling relevan adalah konflik bersenjata internal yang sampai detik ini masih terjadi. Situasi konflik internal yang tengah terjadi di Aceh misalnya yang sering disebut sebagai perang saudara ini lebih kompleks sifatnya, dan memerlukan penanganan yang arif Internal disturbances dirumuskan sebagai berikut: "…..situations, in which there is no international armed conflict as such, but there exists a confrontation within the country, characterized by a certain seriousness or duration, and which involves acts of violence from the spontaneous generation of acts of revolt to the struggle between more or less organized groups the authorities in power call upon extensive police force or even armed forces to restore internal order the high number of victims had made necessary the applications of minimum of humanitarian rules…" Dengan demikian unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam situasi seperti di atas adalah : 19 a). Intensitas dan lamanya konflik b). Perilaku dengan kekerasan yang terjadi c). Dilakukan secara spontan ataukah terorganisir d). Kekuatan kepolisian yang besar e). Kekuatan angkatan bersenjata. Dalam Geneva Convention III, tahun 1949, pasal 3 ayat (1) dicantumkan bahwa: "…Person taking no active part in the hostilities shall in all circum stance be treated humanely without any adverse distinctions….."
19
Harkristuti Harkrisnowo, Kejahatan Berat dan Hukum Humaniter, diakses dari situs : http:www.komisihukum.go.id, tanggal 12 Oktober 2008, hal. 2-3. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
35 Angkatan bersenjata dan kepolisian dilarang untuk melakukan tindakantindakan di bawah ini terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut: 1). Kekerasan terhadap tubuh maupun nyawa. 2). Menyandera orang 3). Melakukan tindakan yang melecehkan martabat, menghina dan merendahkan orang 4). Menjatuhkan dan melaksanakan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin hak-hak seseorang. Dalam pasal 4 Protocol II to The Geneva Convention, 1977 dirumuskan bahwa: All persons who do not take part or have ceased to take part in hostilities whether or not their liberty has been restricted, are entitled to respect to their persons, honors, and conviction and religious practices, to be treated humanely without any adverse distinction. Perilaku yang dilarang terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut mencakup: 20 a). Melakukan kekerasan terhadap nyawa, kesehatan dan kesejahteraan mental maupun jasmani orang Collective Punishment. b). Menyandera orang c). Melakukan terorisme d). Melecehkan harkat dan martabat seseorang terutama perilaku yang merendahkan dan menghina, perkosaan, pemaksaan prostitusi, dan semua bentuk serangan terhadap kesusilaan. e). Melakukan perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya f). Melakukan penjarahan 20
Ibid.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
36 g). Mengancam untuk melakukan perilaku-perilaku di atas. Tindak-tindak pidana yang termasuk dalam pelanggaran berat atau grave breaches dalam Konvensi Jenewa mencakup : 21 1). Willful killing; Willful Killing merupakan tindakan pembunuhan dengan sengaja yang ekuivalen dengan pasal 340 dan 338 KUHP. 2). Torture or in human treatment, including biological experiment; 22 Penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi memang tidak dijumpai secara eksplisit dalam KUHP, akan tetapi menurut Konvesi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi RI tindakan ini mencakup perilaku yang cukup luas, tidak hanya berkenaan dengan penderitaan jasmani belaka, yakni: "… Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada bentuk dikriminasi apapun, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbul-kan oleh, atas hasutan, dengan persetuju-an, atau sepengetahuan pejabat publik…" 3). Willfully causing suffering or serious injury to body are health;
21
Ibid. Romli Atmasasmita, Aplikasi Anti Penyiksaan dalam Undang-Undang Hukum Pidana, makalah disampaikan pada diskusi publik, Mencari Strategi Pencegahan Kejahatan Penyiksaan, diakses dari situs : http://www.komisihukum.go.id, tanggal 10 September 2008. 22
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
37 Dengan sengaja mengakibatkan penderitaan atau luka yang serius pada kesehatan atau tubuh seseorang.Ketentuan ini dapat memakai pasal 351 dan seterusnya dari KUHP yang berkenaan dengan penganiayaan. 4). Extensive destruction or appropriation of property Perusakan atau penghancuran atau perampasan harta benda seseorang. Pasal 406 KUHP merupakan salah satu contoh ketentuan domestik yang dapat digunakan sehubungan dengan perilaku ini. 5). Compelling a prisoner of war or protected person to serve in the armed force of hostile power, Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang melindungi (oleh hukum) untuk bekerja bagi angkatan bersenjata pihak musuh 6). Willfully depriving a prisoner of war of protected person of the right to a fair and regular trial. Dengan sengaja menghalang-halangi tawanan perang untuk mempergunakan haknya untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak memihak. Pertanggungjawaban pidana atas kejahatan berat yang diurai di sini ini dapat diletakkan pada orang-orang yang : 23 1. memenuhi semua unsur tindak pidana, 2. memerintahkan dilakukannya tindakan tersebut, termasuk dalam bentuk percobaan, 3. gagal mencegah atau menindak perilaku kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya, sedangkan si atasan mengetahui bahwa bawahannya tengah atau akan melakukan kejahatan tersebut,
23
Ibid, hal. 4.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
38 4. dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan tersebut, baik secara langsung maupun secara substansial, termasuk menye-diakan sarana untuk penyele-saian kejahatan tersebut, 5. langsung berpartisipasi dalam merencanakan atau menye-pakati keja-hatan tersebut, dan kejahatan itu dilakukan, 6. secara langsung dan umum menghasut seseorang untuk melakukan kejahatan tersebut, dan kejahatan itu dilakukan, 7. mencoba melakukan kejahatan itu dengan memulai perbuatan, namun tidak selesai karena hal-hal yang ada di luar dirinya. Melihat uraian di atas, untuk Indonesia Pasal 55 (tentang penyertaan tindak pidana), Pasal 56 (tentang pembantuan tindak pidana), dan Pasal 53 (tentang percobaan tindak pidana), sudah jelas akan menjadi acuan apabila kasus-kasus semacam ini diproses dalam peradilan di Indonesia. Dasar-dasar pemidanaan yang berlaku secara umum juga berlaku dalam hukum humaniter. Satu hal yang sangat penting adalah penegasan asas legalitas, bahwasanya seseorang tidak dapat dihukum atas sesuatu perbuatan yang belum dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam Undang-Undang Negara yang bersangkutan. Hukum Acara Pidana yang dipergunakan dalam proses peradilan bagi kasuskasus se-macam ini tentu saja mendapat perhatian yang sangat besar. Pasal 6 Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa 1949 misalnya, memberikan rambu-rambu bagi penuntutan dan penghukuman terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan situasi konflik bersenjata. Pidana tidak dapat dijatuhkan dan dilaksanakan terhadap sese-orang yang dibuktikan bersalah dalam proses peradilan yang menjamin adanya kebebasan dan ketidakberpihakan pengadilan. Secara khusus ditentuka pula bahwa: Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
39 1). Prosedur yang diterapkan harus memberikan hak pada terdakwa untuk diberitahu dengan segera mengenai tindak pidana yang dituduhkan padanya, beserta sejumlah hak dan sarana untuk melakukan pembelaan, baik sebelum maupun selama persidangan. 2). Tak seorangpun dapat dijatuhi pidana atas tindak pida-na yang dilakukannya kecuali berdasarkan pertanggungjawaban pidana secara pribadi. 3). Tak seorangpun dapat di-nyatakan bersalah atas suatu tindak pidana yang pada saat dilakukannya perbuatan tersebut tidak dirumuskan oleh hukum sebagai suatu tindak pidana; tidak dibenarkan menjatuhkan pidana yang lebih berat daripada sanksi pidana yang dirumuskan dalam hukum yang ada pada saat dilakukannya perbuatan ter-sebut; apabila setelah terjadinya perbuatan dilakukan perubahan perundang-undangan yang menjatuhkan sanksi yang lebih ringan. Maka, terdakwa harus dijatuhi pidana yang lebih ringan tersebut; 4). Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahan-nya menurut hukum, 5). Setiap orang yang diadili berhak untuk menghadiri persidangannya, 6). Tak seorangpun dapat dipaksa untuk memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya sendiri atau untuk mengakui kesalahannya. Bagian selanjutnya dari pasal ini menetukan sejumlah ketentuan lain yakni: 1). Bahwa setiap orang yang dijatuhi pidana harus diberitahukan mengenai upayaupaya hukum yang dapat dilakukannya, 2). Pidana mati tidak boleh dijatuhkan pada orang-orang yang berusia di bawah 18 tahun, wanita hamil, dan perempuan yang mempunyai anak kecil 3). Pada akhir masa konflik atau permusuhan, pihak penguasa harus berupaya untuk mem-berikan amnesti pada orang-orang yang terlibat dalam konflik bersenjata, Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
40 atau orang-orang yang ditahan/dipenjara berdasarkan alasan-alasan yang berkenaan dengan konflik bersenjata. Kewajiban untuk melakukan proses peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan suatu ketentuan internasional yang telah dirumuskan dalam berbagai konvensi
internasional.
Hak-hak
yang
wajib
diberikan
pada
seorang
tersangka/terdakwa telah jelas dalam ketentuan Internasional Covenant on Civil and Political Rights, terutama pasal 9 sampai dengan Pasal 15, yang pada dasarnya berisikan asas-asas antara lain: 1). Praduga tak bersalah (pre-sumption of innocence) 2). Persamaan di muka hukum (equality before the law) 3). Asas legalitas (principle of legality) 4). Ne bis in idem (double jeopardy) 5). Asas tidak berlaku surut (non retroactivity), kecuali apabila ada perubahan UU yang meringankannya. Apabila yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara. Maka, yang harus diperhatikan adalah Basic Principles for the Treatment of Prisoners, beserta pula Body of Principles for the Protection of all Persons under any form of Detention or Imprisonment.
2. Berdasarkan RUU KUHP Perancang RUU KUHPidana membuat langkah yang penting dalam pembaruan atau reformasi hukum pidana, yakni dengan memasukkan ‘Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia’ dalam RUU KUHPidana yang tertuang dalam Bab IX. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
41 Kreasi atau langkah inovatif para perancang RUU boleh dikatakan langkah yang maju, yang sejalan dengan usaha menata kembali tatanan kehidupan kenegaraan kita yang demokratis di masa transisi saat ini. Kita menyebut seluruh usaha ini dengan istilah “reformasi”. Salah satunya yang saat ini dengan serius kita tata kembali adalah, jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. RUU ini, yang merancang kriminalisasi terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang serius, tampak memanifestasikan keinginan “reformasi” tersebut. Pemikiran inovatif para perancang RUU KUHPidana tersebut haruslah kita apresiasi dengan positif. Maka, dengan semangat inilah saya ingin mengajukan beberapa catatan kritis terhadap RUU ini, khususnya terhadap Bab IX mengenai tindak pidana hak asasi manusia. Kalau ingin diajukan dalam bentuk pertanyaan, pemasalahan yang saya ajukan adalah, (i) apakah kriminalisasi terhadap kejahatan hak asasi manusia harus selalu dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?, dan (ii) bagaimana dengan status UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM? Apakah tidak sebaiknya tetap dipertahankan pola tindak pidana khusus di luar KUHP, sehingga UU No. 26 Tahun 2000 berstatus sebagai tindak pidana khusus sesuai dengan karakternya sebagai extra-ordinary crime? Yang paling mengedepankan sumbangannya dalam usaha melakukan kriminalisasi terhadap hak asasi manusia adalah hukum pidana internasional. Tonggak terpentingnya adalah pengadilan Nuremberg setelah Perang Dunia II yang mengkriminalisasi kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), dan genosida (crime against genocide), yang kemudian diikuti oleh lahirnya konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia yang mewajibkan negara-negara untuk mengkriminalisasi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia tertentu, seperti penyiksaan (torture), dan penghilangan paksa Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
42 (involuntary disappearance). Boleh dikatakan terjadi hubungan yang sangat dinamis antara hukum pidana internasional dengan hak asasi manusia internasional dalam usaha untuk memelihara dan menjaga perdamaian dunia. Menurut pakar hukum pidana internasional kenamaan, Prof. M. Cherif Bassiouni, kejahatan-kejahatan internasional tersebut seperti agresi, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, pembajakan, perbudakan dan penyiksaan memiliki status sebagai kejahatan ‘jus cogens’, yang menimbulkan kewajiban ‘erga omnes’ bagi setiap negara. Sebagai kejahatan internasional yang memiliki status jus cogens, berarti menimbulkan pula kewajiban untuk mengadili atau mengekstradisi, tidak berlakunya statuta batasan untuk kejahatan demikian dan berlakunya yurisdiksi universal terhadap kejahatan tersebut dimanapun terjadinya, oleh siapa (termasuk kepala negara), apapun kategori korban dan tanpa memandang konteks terjadinya (damai atau perang). Sebagian karena alasan ini, saat ini banyak negara yang telah memasukkan kejahatankejahatan internasional tersebut ke dalam hukum pidana nasionalnya, antara lain seperti Belgia, Denmark, Kanada, dan seterusnya. Kita dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebenarnya telah melakukan kriminalisasi terhadap kejahatan yang dalam hukum pidana internasional dikenal sebagai kejahatan ‘jus cogens’ itu yang sekaligus merupakan bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia. Sekarang melalui RUU KUHPidana, kita mengukuhkan kembali kriminalisasi terhadap kejahatan-kejahatan tersebut, yang dimasukkan ke dalam Bab IX tentang Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia. 24
24
Zainal Abidin dan Supriyadi Widodo Edyono, Kejahatan Perang dalam RUU KUHP, diakses dari situs : http://kuhpreform.wordpress.com/2008/01/17/kejahatan-perang-dalam-ruu-kuhp/ tanggal 20 September 2008. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
43 Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap hak asasi manusia atau kejahatan internasional merupakan sesuatu yang niscaya; kita tidak bisa menolak kecenderungan universal ini. Tetapi masalahnya adalah, apakah harus dibuat dalam sebuah kitab kodifikasi (KUHPidana) atau diatur tersendiri sebagai tindak pidana khusus? Kita tidak ingin menjawabnya dengan ya atau tidak, tetapi dengan mengajukan beberapa problematiknya dengan mengacu pada pengalaman penerapan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu apa yang diatur dalam Bab IX KUHPidana itu. Secara ringkas, bab dengan judul Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia itu mengatur tentang kriminalisasi terhadap : (i) genosida; (ii) tindak pidana kemanusiaan; (iii) tindak pidana perang dan konflik bersenjata; dan (v) penyiksaan. Dibanding dengan UU No. 26 Tahun 2000, RUU ini jauh lebih lengkap karena memasukkan dua kejahatan hak asasi manusia atau kejahatan internasional lagi ke dalamnya. Tetapi bila ditinjau dari standard internasional, RUU ini masih kurang karena belum memasukkan ke dalamnya kejahatan penghilangan orang secara paksa, dan perbudakan. Padahal kedua kejahatan internasional tersebut juga merupakan kejahatan yang oleh Prof. Bassiouni dikategorikan ke dalam kejahatan ‘jus cogens’. Dari segi perumusan delik, selain dua kejahatan “baru” yang dimasukkan dalam RUU, tidak ada perbedaan substantif dengan UU No. 26 Tahun 2000. Baik itu menyangkut rumusan delik genosida maupun rumusan delik tindak pidana kemanusiaan, hanya ada penambahan kecilkecilan saja dalam RUU KUHPidana. Perbedaan yang besar terjadi pada besarnya ganjaran hukuman. Kalau RUU mengatur ancaman hukumannya mulai dari 3 tahun hingga 15 tahun (paling lama), maka UU No. 26 Tahun 2000 mengancam hukuman mulai dari 10 tahun hingga (paling berat) hukuman mati. Melihat besarnya perbedaan ini, maka mana yang akan digunakan. Atau memang UU No. 26 Tahun 2000 akan Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
44 dicabut, apalagi kalau melihat RUU KUHPidana jauh lebih lengkap dalam memasukkan kejahatan hak asasi manusia. Berkaitan dengan rumusan delik tersebut, RUU ini bersama dengan UU No. 26 Tahun 2000 tidak memuat dengan gamblang berkaitan dengan unsur-unsur delik (element of crimes) dari kejahatan-kejahatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap hak asasi manusia. Padahal inilah yang menjadi masalah dalam penerapan UU No. 26 Tahun 2000. Ia membuka ruang interpretasi, yang kalau tidak dilandasi penguasaan literatur dan jurisprudensi internasional yang memadai, akan berakibat fatal (sebagaimana yang ditujukkan oleh DPR dalam kasus Trisaksi dan Semanggi I-II, yang menyimpulkan tidak terjadi pelanggaran berat HAM di sana). Padahal unsu-unsur deliknya, yakni meluas (widespread) atau sistematik (systematic) dan unsur diketahuinya (intention) tidak dibahas dengan memadai di dalam kasus itu. Apa yang dimaksud dalam unsur-unsur itu, bila tidak diberikan pedoman yang jelas, akan menjadi celah yang menyulitkan penerapannya. Aspek lain yang perlu juga kita perhatikan dalam konteks kriminalisasi atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius atau kejahatan internasional ini adalah, masalah pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Dalam sistem yang dianut RUU KUHPidana, masalah ini diatut dalam Buku I. Membaca ketentuan yang dirumuskan dalam Buku I tersebut kita tidak menemukan dengan gamblang aturan mengenai
pertanggungjawaban
komando
(command
responsibility)
dan
pertanggungjawaban atasan (superior order) sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000. Yang diatur dalam RUU adalah pertanggungjawaban pidana secara umum. Dalam konteks ini kita perlu mempertanyakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 31 RUU, yang menyatakan : “tidak dipidana, setiap orang yang melakukan
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
45 tindak pidana karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang”. Apa arti pasal ini bila dikaitkan dengan perintah atasan? Masalah pertanggungjawaban pidana sebagaimana dipaparkan di atas sangat penting, justru karena dikriminalisasinya dalam RUU ini tindak pidana perang dan konflik bersenjata. Buku I harus mencakup pula mengatur tentang aspek-aspek pertanggungjawaban pidana dalam konteks kejahatan tersebut. Makanya perlu pengaturan yang lebih jelas mengenai aspek-aspek ini, apalagi mengingat pengalaman selama ini dalam menerapkan UU No. 26 Tahun 2000
yang meskipun sudah
mengatur soal ini, tetapi masih gamang dalam mengimplementasikannya. Mahkamah Pidana Internasional
misalnya, dalam mengimplementasikan Roma Statute,
mengeluarkan aturan mengenai elemen-elemen kejahatan (element of crimes) dan hukum acara serta pembuktiannya (rule of procedure and evidence). RUU KUHP telah memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bagian yang akan diatur dalam KUHP. Dimasukkannya jenis kejahatan ini merupakan hasrat besar dari penyusun RUU KUHP untuk memasukkan semua jenis tindakan yang masuk dalam kategorisasi pidana dan maksud atas upaya kodifikasi hukum pidana. Namun muncul kekhawatiran dimasukkannya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP akan melemahkan bobot kejahatan (gravity of the crimes) dikarenakan jenis-jenis kejahatan tersebut telah dikenal sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) dan merupakan kejahatan internasional.
Kejahatan-kejahatan
ini merupakan kejahatan yang
mengejutkan hati nurani umat manusia (shocking conciousness of human kind). Sebagai konsekuensinya, terhadap kejahatan-kejahatan yang tergolong serius ini, asas dan doktrin hukum menunjukkan adanya pemberlakukan asas-asas umum yang berbeda untuk menjamin adanya penghukuman yang efektif. Dengan demikian, Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
46 memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Rancangan KUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif karena adanya ketentuan dan asas-asas umum dalam hukum pidana yang justru tidak sejalan dengan karakteristik kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan gross violation of human rights yang dikategorikan sebagai musuh seluruh umat manusia (hostis humanis generis). Literatur hukum menyatakan bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan jus cogens, yakni hukum yang memaksa dan berada dalam posisi hierarkis yang tertinggi dibandingkan dengan semua norma dan prinsip lainnya. Norma jus cogens dianggap mutlak (peremtory) dan tidak dapat diabaikan. Terhadap kejahatan ini, setiap umat manusia mempunyai tanggung jawab (obligatio erga omnes) untuk melakukan penghukuman secara adil. Dalam sejarahnya, penghukuman atas kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi pasca Perang Dunia Kedua. Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo pada tahun 1948 menjadi awal atas proses penghukuman bagi para pelaku gross violation of human rights. Selanjutnya, pada tahun 1993 digelar Pengadilan Pidana Internasional ad hoc untuk mengadili pelaku berbagai pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional di negara bekas Yugoslavia. Pada tahun 1994 juga dibentuk Pengadilan Pidana Internasional ad hoc untuk mengadili kejahatan Genosida. Pelanggaran Konvensi Jenewa dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994. Berdasarkan statuta dalam dua pengadilan di atas, muncul juga perumusan dan pendefinisian tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada tahun 1998 dengan disahkannya dokumen dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court), yaitu Statuta Roma 1998, Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
47 menandai adanya perumusan tentang maksud kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma juga menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida adalah kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan. Statuta Roma 1998 menempatkan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida sebagai kejahatan dengan karakteristik khusus, yang dalam hal-hal tertentu, prinsip-prinsip hukum pidana dan acaranya berbeda dengan kejahatan pidana biasa. Statuta ini juga dilengkapi dengan perumusan tentang unsur-unsur kejahatan dan prosedur beracara dan pembuktian tersendiri. Statuta Roma juga menegaskan bahwa alasan atas adanya perintah atasan atau komandan tidak membebaskan tanggung jawab pidananya karena ketidaktahuan bahwa perintah tersebut melanggar hukum atau tidak nyata-nyata melanggar hukum. Perintah untuk melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan jelas-jelas melanggar hukum. Sehingga dalih bahwa perbuatan itu dilakukan karena perintah jabatan atau ketidaktahuan bahwa tindakan yang dilakukan bukan merupakan pelanggaran hukum tidak melepaskan tanggung jawab pidana pelakunya. Indonesia pada tahun 2000 telah mengeluarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam UU tersebut, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. UU ini secara tegas juga menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat (kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) adalah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) dan dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
48 Berdasarkan karakteristik kejahatannya yang sangat khusus dan berbeda dengan kejahatan “biasa” lainnya, maka Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus. Terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperlukan langkahlangkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus. Beberapa prinsip dalam hukum pidana diatur secara berbeda dalam UU No. 26 Tahun 2000, yakni adanya penegasan tentang dapat diberlakukan asas non-retroaktif dan tidak adanya masa daluarsa terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 25 Penempatan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP menurut beberap ahli
mempunyai kelemahan mendasar yang akan
menimbulkan kesulitan dalam melakukan penuntutan yang efektif terhadap kejahatankejahatan ini. Akibatnya adalah, kelemahan dalam memberikan usaha untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Setidaknya ada tiga alasan mengapa menempatkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kodifikasi RUU KUHP dianggap tidak tepat : 26 1. Perumusan yang tidak sesuai dengan hukum internasional dan implikasi atas efektivitas penerapannya. Perumusan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP tidak mempunyai perbedaan dengan perumusan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Perbedaannya hanyalah pada nama tindak pidananya, yakni tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan. Perumusan ketentuan dalam 25
Andrey Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 35. 26 Aliansi Nasional Reformasi KUHP, USAID, Kejahatan Kemanusiaan dan Kejahatan Genoside, Tepatkah diatur di dalam KUHP, diakses dari situs : http://usaid.or.id., tanggal 20 November 2008, hal. 2. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
49 RUU KUHP tentang tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan yang sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 inilah yang menimbulkan permasalah karena justru mengulangi kesalahan perumusan sebagaimana dalam UU No. 26 Tahun 2000. Para penyusun juga tidak melengkapi perumusan kedua tindak pidana dengan adanya element of crimes sebagai bagian yang sangat penting untuk memberikan kejelasan dalam menafsirkan maksud tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan. Dengan demikian, rumusan yang tidak lengkap dan salah dari ketentuan aslinya sesuai dengan Statuta Roma 1998 telah melemahkan tingkat kejahatan-kejahatan tersebut. Padahal dalam hukum pidana, asas kardinal yang dianut adalah asas legalitas yang menuntut adanya pengaturan yang jelas dan rinci (lex certa). Dalam penerapannya, perumusan dalam undang-undang
menjadi pijakan untuk
menentukan tindak pidana yang dilakukan dan tingkat kesalahan pelakunya. Tidak dibenarkan adanya penafsiran yang meluas atas tindak pidana yang diatur. Akibatnya, jika rumusan tentang tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP ini dipertahankan dengan rumusan yang demikian, maka akan melemahkan efektivitas penuntutan terhadap kejahatan-kejahatan ini. Kondisi ini berbeda dengan pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Meskipun dengan perumusan yang tidak lengkap, tetapi ada klausul bahwa apa yang dimaksud dengan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU tersebut sesuai dengan Statuta Roma 1998. Hal ini mempunyai konsekuensi bahwa hakim masih mempunyai peluang untuk menafsirkan perumusan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sesuai dengan maksud aslinya dalam Statuta Roma 1998. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
50 Tindak pidana genosida dan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan dengan tindak pidana umum (ordinary crimes), yang oleh karena itu asas-asasnya menyimpangi asas-asas umum hukum pidana. Kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida tidak mengenal asas “daluarsa” dan alasan penghapusan pidana karena perintah jabatan atau perintan tersebut melanggar hukum. 2. Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan internasional yang berdasarkan hukum internasional, terhadap kejahatan ini dilarang untuk diberikan amnesti. Berdasarkan Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law; General Comment 31, Update Set of Principles to Combat Impunity dalam Prinsip 1, 19, 22 dan 24, diatur bahwa ketika terjadi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan maka setiap negara memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menuntut dan menghukum secara setimpal para pelakunya serta tidak memberikan amnesti kepada para pejabat atau aparat negara sampai mereka dituntut di depan pengadilan. Jadi, ada kewajiban negara untuk menghukum pelaku dan memberi kompensasi terhadap korban. Rumusan dalam Buku I RUU KUHP kembali lagi menentukan adanya gugurnya kewenangan penuntutan karena adanya pemberian amnesty dari Presiden (Pasal 145 huruf g). Klausul ini memberikan peluang terhadap tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan tidak dilakukan penuntutan karena adanya amnesti. Hal ini sangat bertentangan dengan hukum internasional yang mewajibkan setiap negara untuk melakukan penuntutan terhadap para pelaku kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
51 Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki status yang sangat khusus dalam Hukum Internasional. Kejahatan ini adalah the most serious crimes of international concern as a whole atau kejahatan paling berat bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Kejahatan ini termasuk pelanggaran terhadap Jus cogens dan Erga Omnes, yakni norma tertinggi dalam hukum internasional yang mengalahkan norma-norma lain (overriding norms) dan merupakan suatu kewajiban seluruh negara untuk melakukan penuntutan. 27 Oleh karena itu, menempatkan jenis-jenis kejahatan tersebut dengan perumusan saat ini di RUU KUHP dan memaksakannya masuk dalam KUHP di masa depan akan menimbulkan kelemahan-kelemahan baik dari sisi perumusan kejahatan maupun ketidakcukupan asas-asas umum yang dianutnya. Bahkan, berpotensi menimbulkan pertentangan dengan asasasas umum hukum pidana dalam Buku I RUU KUHP. Oleh karena itu, jenis kejahatan ini sebaiknya tetap dikeluarkan dalam RUU KUHP. Sedangkan revisi menyeluruh tentang perumusan dan akomodasi asas-asas khusus yang akan mewadahi efektivitas penuntutan atas kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalah dengan melakukan amandemen UU No. 26 Tahun 2000. Yang juga akan menjadi masalah bila kejahatan ini diatur dalam satu kodifikasi adalah, masalah hukum acaranya. Berdasarkan UU No. 26/2000, penyelidikan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat berada dalam kewenangan Komnas HAM. Yang jadi pertanyaan dengan RUU KUHPidana ini adalah, apakah kewenangan ini masih berada di bawah Komnas HAM atau berada di bawah kepolisian?
27
Ibid, hal. 3.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
52 Seperti kita ketahui, UU No. 26/2000 mengatur secara sumir mengenai hukum acara ini. Hanya terbatas mengatur soal kewenangan Kejaksaan Agung, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Hakim. Jaksa Agung diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka, dan juga diberi kewenangan untuk meneruskan atau tidak suatu penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Selain diberikan kewenangan mengangkat penyidik ad hoc. Sedangkan kepada Komnas HAM diberikan kewenangan penyelidikan. Mengenai hakim, Undang-undang memberi kewenangan kepadanya untuk melakukan pemeriksaan dalam suatu majelis (terdiri dari lima hakim) dalam jangka waktu 180 hari sudah harus memutuskan perkara yang diajukan kepadanya (terhitung sejak perkara dilimpahkan). Tentang alat bukti dan cara bagaimana mendapatkannya dengan demikian aturannya mengacu kepada KUHAP. Itu artinya sangat tidak mungkin alat-alat bukti yang berupa rekaman video, kaset atau fotokopi dan pernyataan-pernyataan (statements) dipergunakan di dalam proses persidangan. Padahal dalam kasus persidangan Rwanda dan bekas- Yugoslavia, alat-alat bukti seperti itu dibenarkan. Termasuk mendengarkan kesaksian dari para saksi di hadapan televisi pengamat terbatas (closed circuit television). KUHAP masih sangat konvensional dalam mengatur tentang alat bukti dan pembuktian, yang karena itu sangat tidak memadai untuk diterapkan pada perkara-perakara yang diperiksa di pengadilan HAM yang memiliki kerumitan tersendiri. Pembatasan waktu hanya dalam jangka 180 hari bagi pemeriksaan di pengadilan jelas sangat kaku. Begitu juga jangka waktu yang ditetapkan bagi proses penyelidikan dan penyidikan, yang sangat terbatas. Pembatasan waktu itu jelas perlu agar ada ancangan waktu, tetapi tidak bisa ditetapkan sebagai suatu kewajiban. Perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia bukan perkara yang sederhana, tetapi Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
53 seringkali merupakan perkara yang bersifat rumit dan peka. Dalam praktiknya, sebagaimana yang tampak pada kasus Rwanda dan bekas Yugoslavia, sidang pengadilan memakan waktu cukup lama (lebih dari satu tahun). Pemaparan di atas menunjukkan, bahwa RUU KUHPidana ini menuntut juga perubahan terhadap hukum acara pidananya (KUHAP). Perubahan terhadap KUHAP, tentu harus pula disepadankan dengan perkembangan dalam hukum acara pidana secara global.
3. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM Pada tanggal 23 September 1999, telah disahkan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai bentuk realisasi dari Tap MPR No. XVII tahun 1998. Undang-undang ini memuat sebuah daftar panjang hak-hak asasi manusia yang diakui dan wajib dipenuhi dan dilindungi oleh negara Indonesia. UU ini mengakui hak untuk hidup (Pasal 9), hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10), hak untuk mengembangkan diri (Pasal 11-16), hak untuk memperoleh keadilan (Pasal 17-19), hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27), hak atas rasa aman (Pasal 28-35), hak atas kesejahteraan (Pasal 36-42), hak untuk turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43-44), hak-hak perempuan (Pasal 45-51), dan hak-hak anak (Pasal 52-66). Selain menjamin hak-hak tersebut, UU ini juga menegaskan adanya tugas, kewajiban dan tanggungjawab yang mendasar dari pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak-hak asasi manusia tersebut. Patut dicatat bahwa termasuk dalam “hak untuk memperoleh keadilan” sebuah aturan yang melarang seseorang diproses pengadilan dan dijatuhi hukuman pidana berdasarkan peraturan perundangan yang belum dibuat saat tindak pidana dilakukan Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
54 (lihat pasal 18 ayat 2 dan juga pasal 4). Ini berarti seseorang tidak dapat dihukum atas dasar hukum yang berlaku surut. Namun, dalam Penjelasan atas pasal 4 UU tersebut, dinyatakan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan”. Selain itu, UU ini juga menegaskan bahwa “ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi bagian hukum nasional” (Pasal 7 ayat 2). Bagian lain dari UU No.39 Tahun 1999 ini mengatur tentang pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai sebuah lembaga independen yang mempunyai fungsi, tugas, otoritas dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan penyelidikan, kampanye, pamantauan, dan mediasi kasus-kasus atau isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia. UU ini juga memungkinkan masyarakat untuk membuat dan mengajukan komplain atau pengaduan serta penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia; serta menyumbang rekomendasi mengenai kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM. UU No.39 Tahun 1999 ini sekaligus juga memperkuat kewenangan Komnas HAM yang sebelumnya diatur melalui Keppres No.50 Tahun 1993. Penguatan ini terutama terletak pada kewenangan untuk memantau dan melaporkan kepada publik adanya pelanggaran hak asasi manusia. Yang paling penting, dalam fungsi penyelidikannya, Komnas HAM dibekali dengan kewenangan subpoena dalam menangani kasus-kasus hak asasi manusia. Ini berarti berdasarkan UU No.39 Tahun 1999 Komnas HAM mempunyai kekuasaan secara hukum untuk memanggil secara paksa para saksi, baik dari pihak pengadu maupun pihak yang diadukan (Lihat Pasal 89 ayat 3(c) dan (d), serta Pasal 95). Kewenangan inilah yang kemudian digunakan Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
55 untuk memanggil para perwira tinggi militer untuk memberikan keterangan berkaitan dengan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur kepada KPP HAM. Undang-undang ini juga memberi Komnas HAM wewenang untuk merujukkan kasus kepada lembaga pengadilan. Meskipun dalam undang-undang ini mediasi ditetapkan sebagai metode penyelesaian kasus atau pengaduan yang harus diutamakan, paling tidak ada aturan yang membolehkan satu pihak yang bertikai mengajukan kasus ke pengadilan jika pihak lainnya tidak melaksanakan perjanjian mediasi sebagaimana mestinya. Komnas HAM diberi waktu dua tahun sejak disahkannya undang-undang ini pada September
1999
untuk
melakukan perubahan-perubahan sebagaimana
dimandatkan oleh UU No.39 Tahun 1999, termasuk terhadap struktur organisasi, keanggotaan, penugasan, tanggung jawab, dan kebijakan internalnya. Jika dilihat dari sudut pandang yang optimistik, disahkannya Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM merupakan sebuah langkah positif. Selain mengandung beberapa wewenang penting dalam penerapan hukum yang paling tidak diharapkan akan dapat mendongkrak kredibilitas Komnas HAM di mata publik, Undang-undang ini juga memberikan Komnas HAM anggaran yang terpisah dari anggaran Sekretariat Negara seperti yang diatur sebelumnya, yang secara teoritik akan memberikan independensi yang lebih kepada Komnas HAM, meskipun dalam prakteknya masih ada beberapa “perjanjian idiosinkratis” yang tidak beranjak dari tempatnya.
28
Jika diperhatikan lebih mendalam, sebetulnya masih ada lagi beberapa “kelemahan” yang perlu untuk di amandemen. Misalnya saja, UU ini tidak memberi 28
Andrey Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 30. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
56 Komnas HAM wewenang untuk bekerja di bidang hak orang-orang cacat. Mandat Komnas HAM hanya tercantum pada bab khusus mengenai Komnas HAM dan tidak terkonsentrasi pada pasal-pasal tentang hak-hak dasar. Kekurangan-kekurangan lain adalah yang berkaitan dengan klasifikasi hak-hak asasi manusia yang kurang sesuai atau tidak mengikuti standar internasional, seperti misalnya yang tersusun dalam Human Rights Documentation System (HURIDOCS). Selain berisi daftar tentang hak-hak asasi manusia dan mengatur mengenai Komnas HAM, UU No.39 Tahun 1999 juga memandatkan pembentukan sebuah pengadilan hak asasi manusia dalam jangka waktu paling lama empat tahun sejak disahkannya undang-undang tersebut untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran berat hak asasi manusia
(Pasal 104). Yang dimaksud dengan
“pelanggaran berat hak asasi manusia oleh undang-undang ini meliputi pembunuhan masal (genocide), pembunuhan yang sewenang-wenang dan eksekusi di luar pengadilan (arbitrary or extra-judicial killing), penyiksaan, penghilangan paksa, perbudakan, dan diskriminasi yang sistematik (Lihat Penjelasan UU No.39 Tahun 1999 Pasal 104). Mandat tersebut di atas direalisasikan dengan dikeluarkannya UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh DPR pada tanggal 6 Nopember 2000, yang di dalamnya mencantumkan ketentuan untuk penerapan hukum secara retrospektif. UU Pengadilan HAM menyediakan dasar teknis dalam mendirikan pengadilan HAM, sedangkan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM mengemukakan prinsip-prinsip dan bentuk HAM yang diakui oleh hukum Indonesia UU No.26 Tahun 2000 ini memuat ketentuan tentang pembentukan pengadilan HAM khusus (ad hoc) untuk mengadili pelanggaran HAM di masa lalu yang terjadi sebelum undang-undang berlaku sedangkan pengadilan HAM permanen hanya Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
57 menangani kejahatan yang terjadi terjadi setelah pengesahan UU tersebut. Namun, pengadilan ad hoc seperti itu hanya didirikan untuk mengadili kasus khusus dan dibentuk melalui prosedur yang khusus pula. Presiden hanya dapat mendirikan pengadilan ad hoc seperti ini jika ada rekomendasi eksplisit dari DPR (ayat 43). Sayangnya tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai teknis “pemberian rekomendasi” ini, yang menyebabkan proses pembentukan pengadilan menjadi sebuah proses politiuk ketimbang sebuah proses hukum. Masalah yang kemudian muncul adalah sampai sejauh mana pengadilan HAM dapat memenuhi tuntutan dan harapan dari aktivis pembela HAM dan korban pelanggaran HAM di rezim Soeharto. Hal menjadi pertanyaan besar, apalagi jika melihat adanya tarik ulur politik yang terjadi selama penyusunan UU ini. Ketika UU Pengadilan HAM diajukan ke DPR pada bulan Juni 2000, praktek retroaktif dikritik khususnya oleh militer dan wakil-wakil Golkar yang sebagian besar berhubungan dengan rezim orde baru Soeharto. DPR juga telah beberapa kali menunda perdebatan tentang rancangan UU tersebut. Selain itu, ada tiga masalah utama yang muncul bersamaan dengan UU tersebut selain masalah retroaktivitas: cakupan kejahatan yang dapat diproses oleh pengadilan ini, jaminan ketidakberpihakan (guarantee of impartiality), dan jaminan kemandirian (guarantee of independence). Pelanggaran HAM Berat dalam UU ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 hanya meliputi dua macam kejahatan yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Implikasinya, Para pelanggar HAM yang bisa diadili menjadi semakin sedikit karena kejahatan yang dapat diadili oleh Pengadilan ini hanya meliputi dua jenis kejahatan itu saja, padahal diluar dua jenis kejahatan tersebut yang merupakan kejahatan terhadap masyarakat Internasional (delicta juris gentium) tidak ter-cover di Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
58 dalam UU ini. Oleh karena itu Pengadilan HAM ini tidak akan dapat melaksanakan efective remedy bagi korban pelanggaran HAM. Sementara itu, pengertian “kejahatan terhadap kemanusiaan” dalam Pasal 9 UU ini juga sumir karena tidak ada parameter yang tegas untuk mendefinisikan unsur “meluas”, “sistematik” dan “intensi” yang menjadi unsur utama bentuk kejahatan ini. Ketidak jelasan defenisi menyangkut ketiga elemen tersebut mengakibatkan (pembuktian) pemidanaan terhadap kejahatankejahatan yang dimaksud akan menjadi sulit. Persyaratan pengangkatan para hakim dan jaksa ad hoc untuk keperluan pengadilan HAM juga mempunyai implikasi yang serius berkaitan dengan jaminan ketidakberpihakan (guarantee of impartiality) dan jaminan kemandirian (guarantee of independence). Hal ini terjadi karena Kemungkinan masuknya penuntut umum non karier di luar kejaksaan dan oditur militer, sangat kecil kecuali bagi para pensiunannya Karena dibatasi oleh syarat bahwa calon Jaksa ad hoc harus berpengalaman sebagai penuntut umum di pengadilan. Bahasa yang digunakan dalam Pasal 23 yang mengatur mengenai hal ini juga berimplikasi bahwa penuntut ad hoc yang berasal dari unsur pemerintah dan atau masyarakat bersifat pelengkap bukan suatu hal yang wajib. Masalah umur juga akan menhambat masuknya calon PU yang berkompeten karena dibatasi oleh umur sekurang-kurangnya 40 Tahun. Kemungkinan orang (berkompeten) yang ingin menjadi hakim ad hoc menjadi semakin kecil karena masa jabatan hakim yang lama (5 tahun), dan kemudian terikat dengan Keppres Nomor 13 Tahun 1993 yang mensyaratkan bahwa seorang hakim diperbolehkan untuk merangkap pekerjaanya hanya sebagai tenaga pengajar. Ini berarti hanya kalangan akademis dan pensiunan saja yang bisa mendaftarkan diri untuk menjadi hakim ad hoc.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
59 Penempatan
pengadilan HAM didalam
lingkungan peradilan
umum
menjadikannya sangat bergantung pada mekanisme birokrasi dan administrasi peradilan umum yang ditempatinya. Ini juga berarti posisi politik pengadilan HAM akan dipengaruhi oleh Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman dan HAM. Secara teoretis, hal ini akan berpengaruh pada independensi pengadilan HAM. Selain itu, UU No.26 Tahun 2000 ini tidak dilengkapi dengan hukum acara yang memadai untuk menyidangkan kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), serta tidak dilengkapi dengan aturan perundangan mengenai perlindungan saksi dan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang dapat dioperasionalisasikan dengan efektif. Mekanisme pengadilan seringkali dianggap sebagai salah satu cara terbaik untuk menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran HAM di dalamnya. Jika sebuah sistem pengadilan dapat berjalan dengan adil, independen dan kompeten. Selain itu vonis dan hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan diharapkan dapat menimbulkan efek jera (detterent effect) yang dapat mencegah terulangnya kembali kejadian serupa di masa mendatang, paling tidak oleh pelaku yang sama. Kemampuan untuk menjatuhkan suatu vonis bersalah serta menetapkan hukuman membuat pengadilan dapat melaksanakan tiga fungsi publik. Pertama, adalah untuk menjamin retributive justice. Walaupun retributive justice hanya satu dari berbagai aspek keadilan, namun tak urung banyak orang merasa bahwa hukuman bagi pihak yang bersalah –yang tidak berpengaruh langsung kepada korban-- sudah merupakan bagian dari keadilan. Kedua, hukuman-hukuman dan vonis pidana dapat membantu mengatasi impunity serta menghentikan suatu pola yang terjadi di rezimrezim otoriter dimana aparat negara, anggota-anggota militer dan polisi dapat melakukan tindakan yang bersifat kriminal dan mereka tidak akan pernah dituntut Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
60 atau dihukum. Ketiga, dengan menghancurkan “mitos” dan persepsi impunity, pengadilan pidana dapat
membantu membangun supremasi hukum karena
menegaskan bahwa tidak seorangpun, walaupun dia berkuasa sebagai pemimpin negara, berada di atas hukum dan tidak dapat dihukum. Pada waktu yang bersamaan haruslah disadari bahwa ada beberapa batasanbatasan penting dalam penerapan pengadilan pidana dan konsekuensinya. Terdapat beberapa alasan untuk itu. Pengadilan pidana pelanggaran HAM di masa lalu cenderung merupakan sesuatu yang harus membutuhkan biaya yang sangat mahal karena membutuhkan penyelidik, penuntut dan hakim yang profesional. Hal ini penting mengingat bahwa dalam sebuah diktator atau pemerintahan yang represif, pengadilan sering dibiarkan dengan tidak efektif: hakim-hakim secara politis diajak bekerjasama atau korup, sementara hakim-hakim yang baru ditunjuk serta jaksa-jaksa kekurangan tenaga ahli dan sumber daya. Sejarah di berbagai negara telah menujukkan bahwa pada umumnya relatif hanya sejumlah kecil kasus dapat diajukan ke pengadilan. Contohnya, diperkirakan terdapat lebih dari 14.000 kasus penghilangan paksa di Indonesia. Tidak akan cukup baik secara finansial, fisik dan sumber daya manusia untuk menyidangkan 14.000 kasus dalam waktu yang relatif singkat, belum lagi memperhitungkan proses rehabilitasi dan/atau kompensasi bagi korban. Ini belum termasuk pelanggaran HAM jenis lainnya, seperti eksekusi tanpa proses peradilan, penyiksaan, kejahatan terhadap kemanusiaan, pemerkosaan sistematis, dan sebagainya. Terkadang kejahatan-kejahatan yang diajukan telah terjadi bertahun-tahun yang lalu dan ini menjadi lebih sulit untuk dibuktikan, karena bukti telah hilang, ingatan para saksi sudah tidak lengkap atau segar, dan banyak dari para saksi serta pelaku-pelakunya telah meninggal dunia. Selain itu, para pelaku kejahatan HAM Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
61 seringkali menutupi bukti dari kejahatan-kejahatan tersebut, menghancurkan dokumen-dokumen, atau memberikan perintah secara tidak tertulis, serta hanya melakukan apa yang diperintahkan secara lisan, atau mengintimidasi atau membunuh saksi-saksi agar timbul masalah dalam proses pembuktian selama persidangan. Ini merupakan suatu usaha mencapai keadilan yang sulit dicapai, terlebih di Indonesia, dimana barang bukti yang bersifat hard-evidence dan saksi langsung lebih dari satu orang disyaratkan oleh hukum (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, KUHAP) terhadap kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan. Persidangan juga cenderung menjadi mahal dan memakan waktu lama karena guna mencapai tujuannya yakni salah satunya mendemonstrasikan pentingnya supremasi hukum, maka persidangan itu harus mengikuti proses hukum (due process of law) yang sesuai dengan standar internasional, khususnya ketika menyidangkan orang-orang sebelumnya termasuk dalam “kelas” penguasa. Dalam konteks Indonesia, harus disadari bahwa sumber daya yang diperlukan tidak hanya dalam hal ada atau tidaknya dana yang cukup, melainkan juga dalam hal kemauan politis (political will) serta kebutuhan akan penuntut dan penyelidik yang terlatih, cekatan dan berpengalaman untuk membuktikan kasus-kasus ini. Ini juga berarti lebih banyak dana harus dialokasikan dari anggaran negara bagi tujuan reformasi hukum. Terakhir, terdapat sebuah realita politis yang nampaknya juga terdapat pada pengalaman sebagian besar negara yang melalui transisi demokratis, yaitu bahwa hanya terdapat kesempatan yang secara relatif sangat singkat untuk mengajukan tuntutan akan kejahatan-kejahatan yang telah lalu. Terlebih lagi, terdapat konsekuensi-konsekuensi sebagai akibat dari persidangan atau pengadilan pidana yang berakhir dengan salah satu diantara pilihan berikut: Jika terlalu lama waktu yang lewat dan belum ada sebuah tuntutan pun yang diajukan ke pengadilan atau Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
62 diselesaikan, publik cenderung menjadi lelah untuk berfokus pada masa lampau dan kemauan politisnya berkurang untuk mendukung tuntutan yang diajukan. Atas dasar semua alasan ini, dapat disimpulkan sementara bahwa penuntutanpersidangan-penghukuman penting demi keadilan, untuk membangun supremasi hukum dan konsolidasi transisi demokratik, sementara pada waktu yang bersamaan, harus disadari bahwa terdapat batasan-batasan dimana dapat menyebabkan sangat sedikit sukses yang dapat diraih melalui pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, seperti pengalaman di sebagian besar negara-negara di dunia.
G. Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) dalam Konvensi Internasional Di dalam Hukum Humaniter khususnya Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 kejahatan-kejahatan internasional terutama kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)
kejahatan terhadap
terjadi apabila tindakan tertentu yang
dilarang dilakukan sebagai bagian dari serangan skala luas atau sistematik terhadap penduduk sipil. Penduduk sipil yang dimaksud adalah kelompok sipil apapun. Kelompok ini termasuk, misalnya, kelompok yang mempunyai kaitan ideologi, politik atau budaya dan jenis kelamin, termasuk kelompok sipil yang menyuarakan kebebasan atau mendukung resistensi terhadap pendudukan. Tindakan yang dilarang termasuk: pembunuhan, pembinasaan (termasuk dengan tidak memberikan makanan), perbudakan; deportasi atau pemindahan paksa penduduk, kerja paksa, pemenjaraan, penyiksaan; perkosaan, memberikan hukuman karena alasan politik, ras, atau agama;penghilangan paksa; dan tindakan tidak manusiawi lainnya “yang memiliki sifat yang sama yangsecara sengaja menimbulkan penderitaan yang mendalam, atau luka berat baik fisik maupunmental atau kesehatan fisik”. Tindakan yang dilarang ini Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
63 dilakukan sebagai bagian dari seranganskala luas atau sistematis terhadap penduduk sipil. “Skala luas” artinya skala besar baikserangannyamaupun jumlah penduduk yang menjadi
sasaran,
sementara
kata“sistematis”artinya
tindakan
yang
sifatnya
terorganisir dan tidak mungkin terjadi secara acak 29. Selanjutnya di dalam Konvensi Jenewa 1949 dikenal juga istilah kejahatan perang. Dua kategori kejahatan perang berlaku dalam konteks konflik bersenjata internasional, seperti konflik antara pasukan bersenjata Indonesia dan gerakan pembebasan nasional Timor-Lesteantara tahun 1975 dan 1999. Kategori pertama adalah “pelanggaran berat” Konvensi Jenewa, adalah : Suatu “pelanggaran berat” terjadi apabila tindakan kejahatan tertentu dilakukan terhadap orang yang lemah, misalnya orang yang terluka, orang yang sakit, tawanan perang dan penduduk sipil. 30 Menurut International Criminal Court sebuah serangan dianggap “berskala luas” apabila serangan itu berupa tindakan yang sering dilakukan dan berskala besar, yang dilakukan secara kolektif secara sungguh-sungguh dan ditujukan kepada korban dalam jumlah banyak. International Criminal Court mendefinisikan kata “sistematik” sebagai “tindakan terorganisir, yang mengikuti pola tetap, yang berasal dari kebijakan umum dan melibatkan sumber daya umum dan swasta yang besar harus ada unsur rencana atau kebijakan yang sudah ditetapkan. Rencana atau kebijakan tersebut tidak harus dinyatakan secara formal; Rencana atau kebijakan tersebut bisa dirunut dari kenyataan di lapangan, termasuk “skala tindakan kekerasan yang dilakukan.” Baik Indonesia dan Portugal meratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahan I, tentang :
29 30
http://www.sekitarkita.com Kunarac Appeal Judgement, paragraf 94
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
64 a. Pembunuhan, disengaja, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, secara sengaja menyebabkan penderitaan yang mendalam atau luka parah baik fisik maupun kesehatan b. Penghancuran besar-besaran dan perampasan harta benda yang tidak terkait dengan keperluan militer dan dilakukan secara tidak sah dan semena-mena c. Memaksa tawanan perang atau penduduk sipil untuk bertugas di pasukan musuh d. Secara sengaja menolak memberikan hak atas pengadilan yang tidak berat sebelah kepada tawanan perang atau penduduk sipil e. Deportasi atau pemindahan yang tidak sah atau pembatasan kebebasan penduduk sipil secara tidak sah; dan memperlakukan penduduk sipil sebagai sandera. Kategori kedua terdiri dari pelanggaran hukum dan kebiasaan perang. Hal initermasuk misalnya, pembunuhan, penyiksaan, perlakuan buruk atau deportasi penduduk sipil; pembunuhan atau perlakuan buruk terhadap tawanan perang; perampokan harta benda milik pribadi maupun milik negara; dan penghancuran semena-mena kota atau desa atau perusakan yang tidak terkait dengan keperluan militer. Dalam sebuah konflik bersenjata internal, seperti antara pengikut Fretilin pada tahun 1975, kejahatan perang terdiri dari pelanggaran yang paling berat seperti yang tertuang dalam Penjelasan Umum Pasal 3 Konvensi Jenewa atau dalam hukum dan kebiasaan perang 31. Selanjutnya di dalam Pasal Umum 3 termasuk tindak kejahatan terhadap orang yang tidak ikut terlibat dalam perseteruan, seperti anggota pasukan bersenjata
31
ICRC (International Committee of The Red Cross), Protocol Additional to the Geneva Convention, 1949, Geneva, 1977, hal. 30. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
65 yang elah meletakkan senjata atau yang sakit, terluka atau dalam tahanan. Tindak kejahatan demikian meliputi pembunuhan, kekerasan terhadap orang, mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan; melakukan tindakan terkait dengan martabat orang, khususnya perlakuan yang mempermalukan atau merendahkan; menjadikan sandera; dan memutuskan hukuman dan melaksanakan eksekusi tanpa proses hukum yang layak. Selanjutnya mengenai masalah Pembunuhan yang sah dan penahanan. Pembunuhan dan penahanan penempur oleh anggota pasukan musuh tidak dianggap melanggar hukum humaniter internasional apabila pembunuhan tersebut dilakukan dalam batas-batas cara perang yang bisa diterima. Tindakan semacam ini karena itu dimasukkan dalam definisi pelanggaran hak asasi manusia yang dipakai Komisi. Tindakan tersebut tidak dicakup dalam Laporan ini, dan tidak dimasukkan dalam tindakan-tindakan yang didefinisikan sebagai pelanggaran untuk maksud analisa statistik. Untuk negera Indonesia, sebagai
instrumen internasional, Pemerintah
Indonesia telah meratifikasi dan menjadi peserta (pihak) Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang (International Conventions for the Protection of Victims of War) dengan cara aksesi berdasar UU Nomor 59 Tahun 1958 mengenai keikutsertaan RI dalam keempat konvensi tersebut. Dalam konvensi tersebut Pasal 49 dan 50 juga dimasukkan beberapa pengaturan mengenai tindakan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran. Dalam
Pasal 49 dinyatakan peserta agung berjanji menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan salah satu di antara pelanggaran berat (grave breaches) dalam konvensi. Dengan kewajiban, mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
66 memerintahkan pelanggaran berat atau segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan konvensi. Dalam Pasal 50 dinyatakan pelanggaran tersebut meliputi perbuatan apabila dilakukan terhadap orang atau milik yang dilindungi konvensi, pembunuhan disengaja, penganiayaan atau perlakuan tak berperikemanusiaan, termasuk percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, serta penghancuran yang luas dan tindakan perampasan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan melawan hukum dan semena-mena.
BAB III
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
67 PENGADILAN HAM SEBAGAI WADAH PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KONTEKS NASIONAL DAN INTERNASIONAL A. Hak Asasi Manusia dalam Konteks Internasional dan Nasional 1). Hak Asasi Manusia dalam Konteks Internasional Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan. Mengingat begitu pentingnya proses internalisasi pemahaman Hak Asasi Manusia bagi setiap orang yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu pendekatan historis mulai dari dikenalnya Hak Asasi Manusia sampai dengan perkembangan saat ini perlu diketahui oleh setiap orang untuk lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang lain. 32 Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari 32
Fadillah Agus (ed), Hukum Humaniter suatu Persfektif, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti, ICRC, Jakarta, 1997, hal. 21. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
68 sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM dahulu sudah berketatapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.
33
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi,
33
Andrey Sudjatmoko, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional, Kumpulan Tulisan, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 11. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
69 walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam oerut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu. Selanjutnya pada tahun 1789 lahir lah The French Declaration, dimana hakhak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakah tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengelaurkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnyademokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya. Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di bawah ini : "The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world terms, means economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
70 of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical agression against any neighbor-anywhere in the world." Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948. Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya. Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
71 pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan. Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
2). Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional Pada tanggal 23 September 1999, telah disahkan UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai bentuk realisasi dari Tap MPR no. XVII tahun 1998. Undang-undang ini memuat sebuah daftar panjang hak-hak asasi manusia yang diakui dan wajib dipenuhi dan dilindungi oleh negara Indonesia. UU ini mengakui hak untuk hidup (Pasal 9), hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10), hak untuk mengembangkan diri (Pasal 11-16), hak untuk memperoleh keadilan (Pasal 17-19), hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27), hak atas rasa aman (Pasal 28-35), hak atas kesejahteraan (Pasal 36-42), hak untuk turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43-44), hak-hak perempuan (Pasal 45-51), dan hak-hak anak (Pasal 52-66). Selain menjamin hak-hak tersebut, UU ini juga menegaskan adanya tugas, kewajiban dan tanggungjawab yang mendasar dari pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak-hak asasi manusia tersebut.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
72 Patut dicatat bahwa termasuk dalam “hak untuk memperoleh keadilan” sebuah aturan yang melarang seseorang diproses pengadilan dan dijatuhi hukuman pidana berdasarkan peraturan perundangan yang belum dibuat saat tindak pidana dilakukan (Pasal 18 ayat 2 dan juga pasal 4). Ini berarti seseorang tidak dapat dihukum atas dasar hukum yang berlaku surut. Namun, dalam Penjelasan atas Pasal 4 UU tersebut, dinyatakan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan”. Selain itu, UU ini juga menegaskan bahwa “ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi bagian hukum nasional” (Pasal 7 ayat 2). 34 Bagian lain dari UU No.39 Tahun 1999 ini mengatur tentang pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai sebuah lembaga independen yang mempunyai fungsi, tugas, otoritas dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan penyelidikan, kampanye, pamantauan, dan mediasi kasus-kasus atau isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia. UU ini juga memungkinkan masyarakat untuk membuat dan mengajukan komplain atau pengaduan serta penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia; serta menyumbang rekomendasi mengenai kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM. UU No.39 Tahun 1999 ini sekaligus juga memperkuat kewenangan Komnas HAM yang sebelumnya diatur melalui Keppres no.50 tahun 1993. Penguatan ini terutama terletak pada kewenangan untuk memantau dan melaporkan kepada publik
34
Agung Yudhawiranata, Pengadilan HAM di Indoesia, dalam Teori dan Praktek, diakses dari situs : http://www.elsam.co.id, tanggal 10 November 2008. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
73 adanya pelanggaran hak asasi manusia. Yang paling penting, dalam fungsi penyelidikannya, Komnas HAM dibekali dengan kewenangan subpoena dalam
menangani kasus-kasus hak asasi manusia. Ini berarti berdasarkan UU No.39 Tahun 1999 Komnas HAM mempunyai kekuasaan secara hukum untuk memanggil secara paksa para saksi, baik dari pihak pengadu maupun pihak yang diadukan (Lihat Pasal 89 ayat 3(c) dan (d), serta Pasal 95). Kewenangan inilah yang kemudian digunakan untuk memanggil para perwira tinggi militer untuk memberikan keterangan berkaitan dengan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur kepada KPP HAM.
35
Undang-undang ini juga memberi Komnas HAM wewenang untuk merujukkan kasus kepada lembaga pengadilan. Meskipun dalam undang-undang ini mediasi ditetapkan sebagai metode penyelesaian kasus atau pengaduan yang harus diutamakan, paling tidak ada aturan yang membolehkan satu pihak yang bertikai mengajukan kasus ke pengadilan jika pihak lainnya tidak melaksanakan perjanjian mediasi sebagaimana mestinya. Komnas HAM diberi waktu dua tahun sejak disahkannya undang-undang ini pada September
1999
untuk
melakukan perubahan-perubahan sebagaimana
dimandatkan oleh UU No.39 tahun 1999, termasuk terhadap struktur organisasi, keanggotaan, penugasan, tanggung jawab, dan kebijakan internalnya. Jika dilihat dari sudut pandang yang optimistik, disahkannya Undang-undang No.3 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM merupakan sebuah langkah positif. Selain mengandung beberapa wewenang penting dalam penerapan hukum yang paling tidak diharapkan akan dapat mendongkrak kredibilitas Komnas HAM di mata publik, Undang-undang ini juga memberikan Komnas HAM anggaran yang terpisah dari 35
Ibid, hal. 10.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
74 anggaran Sekretariat Negara seperti yang diatur sebelumnya, yang secara teoritik akan memberikan independensi yang lebih kepada Komnas HAM, meskipun dalam
prakteknya masih ada beberapa “perjanjian idiosinkratis” yang tidak beranjak dari tempatnya. Jika diperhatikan lebih mendalam, sebetulnya masih ada lagi beberapa “kelemahan” yang perlu untuk di amandemen. Misalnya saja, UU ini tidak memberi Komnas HAM wewenang untuk bekerja di bidang hak orang-orang cacat. Mandat Komnas HAM hanya tercantum pada bab khusus mengenai Komnas HAM dan tidak terkonsentrasi pada pasal-pasal tentang hak-hak dasar. Kekurangan-kekurangan lain adalah yang berkaitan dengan klasifikasi hak-hak asasi manusia yang kurang sesuai atau tidak mengikuti standar internasional, seperti misalnya yang tersusun dalam Human Rights Documentation System (HURIDOCS).
B. Pengadilan HAM Indonesia (UU No. 26 Tahun 2000) sebagai Lembaga Penegakan Hak Asasi Manusia 1) Pengertian pengadilan HAM ad hoc. Hukum acara pengadilan HAM ad hocSebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan kata lain pengadilan HAM
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
75 adalah pengadilan khusus terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
36
Di samping Pengadilan HAM, saat ini dikenal pula adanya Pengadilan HAM Ad Hoc. Menurut pasal 43 ayat 1 UU No.26 tahun 2000, Pengadilan HAM Ad Hoc adalah pengadilan yang memeriksa, mengadili , dan memutus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26 tahun 2000. Dengan demikian undang undang pengadilan HAM berlaku surut atau retroaktif. Pelanggaran Ham yang berat mempunyai sifat khusus dan digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (exrtra ordinary crime). Oleh karena itu, pasal 28 ayat 2 Undang Undang Dasar 1945 dan hukum internasional menentukan bahwa asas retroaktif berlaku dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran Ham yang berat. Asas retroaktif merupakan dasar yang membolehkan suatu peraturan perundang-undangan dapat berlaku surut ke belakang. Hal ini berbeda dengan kejahatan biasa (ordinary crime) yang perbuatannya baru dapat dihukum setelah ada hukumnya/undang-undangnya terlebih dahulu. Asas yang berlaku dalam penanganan kejahatan biasa adalah asas legalitas. 2). Dasar hukum pembentukan Pembentukan Pengadilan HAM Ad-Hoc, didasarkan pada ketentuan pasal 43 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Selain itu Mahkamah konstitusi juga telah menguatkan berlakunya azas retroaktif melalui pengadilan HAM Ad-hoc dengan keputusan nomor 065/PUU-II/2004 atas gugatan 36
R. Herlambang Perdana Wiratraman, Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Makalah untuk Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), IKADIN-PERADI-Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 8 Agustus 2008, dapat diakses dari situs : http://www.solusihukum.com, tanggal 2 Oktober 2008, hal. 3. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
76 Abilio Soares dalam Kasus Timor Timur yang meminta pemberlakukan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 dibatalkan karena tidak sesuai dengan Konstitusi, namun Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut dan menguatkan eksistensi Pengadilan HAM Ad-hoc. Pasal 43 ayat 2 menyatakan bahwa pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan
peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Ayat (3) menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, Dewan Perwakilan Rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. Ketentuan tentang adanya bebarapa tahap untuk diadakannya pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu :
37
1). Dugaan adanya pelanggaran HAM ad hoc yang terjadi sebelum Tahun 2000 atau sebelum disyahkannya UU No. 26 Tahun 2000. 2). Adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat atas hasil penyelidikan Komnas HAM. 3). Adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung. 4). Adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempo dan locus delicti tertentu. 37
Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Seri Bahan Bacaan Khusus untuk Pengacara X: 2005., Jakarta: Elsam, hal. 12. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
77 5). Adanya keputusan presiden (Keppres) untuk berdirinya pengadilan HAM ad hoc. Ketentuan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana sebetulnya proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timor menjelaskan bahwa mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan ke
kejaksaan agung, Kejaksaan agung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan ke Presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi. Kemudian Presiden mengeluarkan keppres yang melandasi dibentuknya pengadilan HAM ad hoc. Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling tajam adalah adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap sebagai pihak yang dapat menentukan untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat di masa lalu karena pelanggaran HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa politik sehingga lembaga politik yang paling cocok adalah DPR. Adanya ketentuan ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kontrol atas adanya pengadilan HAM ad hoc sehingga adanya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya usulan atau rekomendasi dari DPR. Hal ini secara implisit sama halnya dengan memberikan
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
78 kewenangan kepada DPR memandang pelanggaran HAM berat ini dalam konteks politik dan dapat menyatakan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat. 38 Dalam pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur juga melalui mekanisme dalam Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000. Langkah pertama adalah adanya penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM sesuai dengan ketentuan dalam Perpu No. 1 Tahun 1999 mengenai pengadilan HAM. Dalam perpu ini dinyatakan pihak yang berwenang melakukan penyelidikan adalah Komnas HAM, terutama dalam hal kejahatan terhadap
kemanusian. Komnas HAM kemudian untuk penyelidikan membentuk KPP-HAM yang memiliki ruang lingkup tugas yaitu mengumpulkan fakta dan mencari berbagai data, informasi tentang pelanggaran HAM di Tim-tim yang terjadi sejak Januari 1999 sampai dikeluarkannya TAP MPR yang mengesahkan hasil jejak pendapat. Dengan memberikan perhatian khsusus kepada pelanggaran berat hak asasi manusia antara lain genocida, massacre, torture, enforced displacement, crime against woman and children dan politik bumi hangus. Menyelidiki tingkat keterlibatan aparatur negara dan atau badan lain nasional dan internasional dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sejak Januri 1999 di Timor-Timur. Proses selanjutnya adalah dilakukannya penyidikan oleh Kejaksaan Agung dari hasil penyelidikan oleh komnas HAM. Setelah melalui proses persetujuan DPR dari hasil usulan sidang pleno DPR melalui keputusan DPR-RI No 44/DPR-RI/III/2001 tanggal 21 Maret 2001 akhirnya Presiden mengeluarkan dua buah Keppres yaitu Keppres No. 53 Tahun 2001 dan
38
Wiratraman, R. Herlambang Perdana, Konsep dan Pengaturan Hukum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, artikel untuk Jurnal Ilmu Hukum Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2008, hal. 15. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
79 Keppres No. 96 Tahun 2001. Keluarnya dua buah Keppres ini karena Keppres Nomor 53 tahun 2001, oleh pemerintah dianggap mempunyai wilayah yurisdiksi yang terlalu luas (tidak membatasi secara spesifik baik wilayah maupun waktunya). Kemudian wilayah dan waktu ini dipersempit dengan Keppres No. 96 tahun 2001 dan yuridiksi menjadi tiga wilayah yaitu wilayah Liquica, Dili, dan Suai dengan batasan waktu antara bulan April dan September 1999. 39
C. International Criminal Court Sebagai Lembaga Penegakan Hak Asasi Manusia Pengadilan terhadap kejahatan kemanusiaan dalam sejarah ada dikenal 2 (dua) mahkamah yang mengadili Penjahat Perang Dunia II, yaitu Mahkamah Tokoy dan Mahkamah Nuremberg. Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Jepang, sedangkan mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi, Jerman. Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter)
atau biasa juga disebut dengan nama
Piagam London (London Charter). Sejak terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada dua puluh empat tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah Nuremberg ini, yaitu : 40 1. kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace). 2. kejahatan perang (crimes war) 3. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity).
39
Ibid, hal. 18. David Cohen, Intended to Fail : The Trials Before the Ad Hoc Human Rights Court in Jakarta. New York: International Center for Transitional Justice (ICTJ)., 2003, hal. 9. 40
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
80 Di samping memberikan penjelasan terminologi dari tiga bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah Nuremberg. Berdasarkan Pasal 6 Piagam Nuremberg ditegaskan bahwa tanggung jawab individual dari pelaku kejahatankejahatan yang dimaksud. Ini berarti pelaku kejahatan tersebut tidak dapat berdalih bahwa perbuatannya tersebut untuk kepentingan atau karena perintah negara. Dengan demikian, setiap pelaku ketiga kejahatan tersebut di atas tidak dapat kemudian dengan menggunakan dalih tanggung jawab negara. Mahkamah Penjahata Perang Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Nama resmi dari mahkamah ini adalah International Military Tribunal for the Far East. Berbeda dengan mahkamah Nuremberg yang dibentuk Treaty yang disusun oleh beberapa negara, Tokyo Tribunal dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas MacArthur. Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg. Sama halnya dengan mahkamah Nuremberg, mahkamah Tokyo juga mempunyai yurisdiksi terhadap 3 (tiga) kejahatan, yaitu :
41
1. kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace). 2. kejahatan perang (crimes war) 3. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity). Di dalam Piagam Mahkamah Tokyo dikatakan bahwa alasan tindakan negara (Act of State) dan perintah atasan tidak dapat dijadikan dasar untuk membebaskan tanggung jawab si pelaku, tetapi hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengurangi
41
Rumusan dan pengertian dari ketiga bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksi mahkamah Tokyo ini adalah sama dengan apa yang terdapat dalam mahkamah Nuremberg. Hanya saja mengenai war crimes di Piagam Mahkamah Tokyo dirumuskan sebagai Conventional War Crimes yang diartikan sebagai pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang tanpa penjelasan lebih lanjut. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
81 hukumannya. Hal yang sama juga diterapkan jika si pelaku melakukan tindakan tersebut dalam kapasitasnya sebagai pejabat resmi. Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak negara gagal membawa mereka yang bertanggung-jawab atas genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang ke pengadilan. Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional (Statuta Roma) akan membantu penanganan masalah ini dengan membentuk Pengadilan Pidana Internasional yang permanen bagi para pelaku kejahatan untuk diadili dan membantu para korban, ketika negara tidak mampu atau tidak ingin melakukannnya. Keberhasilan ini akan bergantung pada meluasnya ratifikasi atas Statuta Roma. Hasil terpenting dalam Konferensi Roma adalah kodifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7) dalam perjanjian multilateral yang pertama sejak Piagam Nuremberg. Mahkamah akan memiliki yurisdiksi atas kejahatan tersebut, baik yang dilakukan oleh negara maupun aktor non-negara. Memang ada desakan dari beberapa negara untuk membatasi kewenangan Mahkamah atas kejahatan terhadap kejahatan yang terjadi saat berlangsungnya konflik bersenjata. Hukum kebiasaan internasional, kenyataannya tidak memandatkan hal ini, dan hanya membahas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di masa damai. Kesepakatan akhir memutuskan bahwa Mahkamah tetap memiliki kewenangan atas kejahatan terhadap kemanusiaan baik yang terjadi di masa damai maupun di tengah konflik bersenjata. Isu yang paling berkembang dalam debat wacana tentang kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalah apakah yurisdiksi Mahkamah juga termasuk atas “serangan yang luas atau sistematik yang diarahkan pada suatu kelompok penduduk sipil.” Beberapa negara berargumen bahwa Mahkamah hanya boleh mempunyai kewenangan atas serangan yang sifatnya luas dan sistematik. Sementara kelompok Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
82 pembela HAM merespon bahwa hal itu bisa menimbulkan keterbatasan yang tak perlu bagi Mahkamah, yang hanya bisa menangani kasus dimana ditemukan bukti bahwa yang terjadi merupakan kebijakan yang direncanakan. Mereka lebih lanjut menegaskan bahwa rangkaian aksi yang meluas yang berupa pembunuhan dan pembasmian sudah cukup untuk mendukung yurisdiksi Mahkamah. Kompromi yang dicapai adalah “luas atau sistematik”, namun ditegaskan dengan “Serangan yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil” berarti serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda sesuai dengan atau sebagai kelanjutan dari kebijakan Negara atau organisasi untuk melakukan serangan tersebut” (Pasal 7 ayat 2.a). Sayangnya, pernyataan bahwa serangan sebagai kelanjutan dari sebuah kebijakan secara efektif berarti bahwa tindak kejahatan tersebut haruslah sistematik. Statuta juga mensyaratkan adanya “aksi individual yang
berkaitan dengan serangan” menimbulkan sugesti bahwa pelaku individual haruslah mengerti tentang kebijakan yang bersangkutan, untuk bisa dinyatakan bersalah. Persyaratan ini sebetulnya merupakan kemunduran dilihat dari standar hukum internasional yang selama ini diakui dan dipakai, dan secara signifikan membatasi yurisdiksi Mahkamah atas jenis kejahatan ini. Hasil penting lain dari Konferensi Roma ini adalah pencantuman secara eksplisit bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah : perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan, kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara (Pasal 7 ayat 1.b) (Pasal 8 ayat 2.b.xxii) (Pasal 8 ayat 2.e.vi). Statuta tidak berbeda substansi dengan yang terkandung dalam hukum internasional Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
83 yang ada dalam hal ini. Pencantuman secara detail dan eksplisit tindakan kejahatan seksual ini dalam yurisdiksi Mahkamah, merupakan sebuah penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional. Pada malam tanggal 17 Juli 1998, sebuah
statuta untuk membentuk
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) akhirnya mencapai tahap penentuan di hadapan Konferensi Diplomatik PBB di Roma, yang telah berlangsung sejak 15 Juni 1998. Dengan hasil penghitungan suara dimana 120 diantaranya mendukung, 7 menentang, dan 21 abstain, para peserta menyetujui statuta yang akan membentuk sebuah pengadilan bagi tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional : genocide (pemusnahan etnis/suku bangsa), crime
against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), dan war crime (kejahatan perang) 42. Sesuatu yang bersejarah baru saja hadir. Namun, bagi para aktivis hak asasi manusia di Amerika Serikat, kegembiraan yang hadir karena satu langkah maju bagi upaya meniadakan impunity ini, sedikit ternoda karena negara mereka bersamasama dengan China dan Irak justru menentang disahkannya Statuta itu. Statuta ini belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya, sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Bahkan, setelah mahkamah ini terbentuk, beberapa hambatan-hambatan yurisdiksional akan membatasi efektivitasnya pada tahun-tahun awal.
42
http://www.pikiran-rakyat.com.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
84 Walaupun demikian, Mahkamah ini paling tidak memberikan harapan untuk memutus rantai impunity bagi tindak kekejaman terhadap hak asasi manusia dan meningkatkan daya cegah terhadap kejahatan yang menakutkan itu. Menjelang akhir abad yang menjadi saksi terjadinya holocaust, ditambah dengan bayangan pembersihan etnis di Bosnia dan Rwanda yang masih segar dalam ingatan, arti penting harapan ini bagi nilai-nilai kemanusiaan sangatlah besar.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini, adalah : 1. Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut KUHP, adalah adanya beberapa tindak pidana yang tergolong dalam kejahatan berat menurut Konvensi Jenewa yang bisa dianalogikan diatur oleh KUHP, yaitu : a). Willful killing, merupakan tindakan pembunuhan dengan sengaja yang ekuivalen dengan pasal 340 dan 338 KUHP. g). Torture or in human treatment, including biological experiment; Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
85 Penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi memang tidak dijumpai secara eksplisit dalam KUHP, akan tetapi menurut Konvesi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi RI tindakan ini mencakup perilaku yang cukup luas, tidak hanya berkenaan dengan penderitaan jasmani belaka, yakni: "… Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada sese-orang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada bentuk dikriminasi apapun, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbul-kan oleh, atas hasutan, dengan persetuju-an, atau sepengetahuan pejabat publik…"
c). Willfully causing suffering or serious injury to body are health; Dengan sengaja mengakibatkan penderitaan atau luka yang serius pada kesehatan atau tubuh seseorang.Ketentuan ini dapat memakai pasal 351 dst dari KUHP yang berkenaan dengan penganiayaan. d). Extensive destruction or appropriation of property Perusakan atau penghancuran atau perampasan harta benda seseorang. Pasal 406 KUHP merupakan salah satu contoh ketentuan domestik yang dapat digunakan sehubungan dengan perilaku ini. e). Compelling a prisoner of war or protected person to serve in the armed force of hostile power, yaitu Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang melindungi (oleh hukum) untuk bekerja bagi angkatan bersenjata pihak musuh Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
86 6). Willfully depriving a prisoner of war of protected person of the right to a fair and regular trial, yaitu Dengan sengaja menghalang-halangi tawanan perang untuk mempergunakan haknya untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak memihak. Pertanggungjawaban pidana atas kejahatan berat yang diurai di sini ini dapat diletakkan pada orang-orang yang : 1). memenuhi semua unsur tindak pidana, 2). memerintahkan dilakukannya tindakan tersebut, termasuk dalam bentuk percobaan, 3). gagal mencegah atau menindak perilaku kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya, sedangkan si atasan mengetahui bahwa bawahannya tengah atau akan melakukan kejahatan tersebut,
4). dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan tersebut, baik secara langsung maupun secara substansial, termasuk menyediakan sarana untuk penyelesaian kejahatan tersebut, 5). langsung berpartisipasi dalam merencanakan atau menye-pakati keja-hatan tersebut, dan kejahatan itu dilakukan, 6). secara langsung dan umum menghasut seseorang untuk melakukan kejahatan tersebut, dan kejahatan itu dilakukan, 7). mencoba melakukan keja-hatan itu dengan memulai perbuatan, namun tidak selesai karena hal-hal yang ada di luar dirinya. Berdasarkan uraian di atas, untuk Indonesia pasal 55 (tentang penyertaan tindak pidana), pasal 56 (tentang pembantuan tindak pidana), dan Pasal 53 (tentang Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
87 percobaan tindak pidana), sudah jelas akan menjadi acuan apabila kasus-kasus semacam ini diproses dalam peradilan di Indonesia.
2. Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut RUU KUHP, adalah : RUU KUHP telah memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bagian yang akan diatur dalam KUHP. Dimasukkannya jenis kejahatan ini merupakan hasrat besar dari penyusun RUU KUHP untuk memasukkan semua jenis tindakan yang masuk dalam kategorisasi pidana dan maksud atas upaya kodifikasi hukum pidana. Namun muncul kekhawatiran dimasukkannya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP akan melemahkan bobot kejahatan (gravity of the crimes) dikarenakan jenis-jenis kejahatan tersebut telah dikenal sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) dan merupakan kejahatan
internasional. Kejahatan-kejahatan ini merupakan kejahatan yang mengejutkan hati nurani umat manusia (shocking conciousness of human kind). Sebagai konsekuensinya, terhadap kejahatan-kejahatan yang tergolong serius ini, asas dan doktrin hukum menunjukkan adanya pemberlakukan asas-asas umum yang berbeda untuk menjamin adanya penghukuman yang efektif. Dengan demikian, memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Rancangan KUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif karena adanya ketentuan dan asas-asas umum dalam hukum pidana yang justru tidak sejalan dengan karakteristik kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
88 3. Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM, adalah : Selain berisi daftar tentang hak-hak asasi manusia dan mengatur mengenai Komnas HAM, UU No.39 Tahun 1999 juga memandatkan pembentukan sebuah pengadilan hak asasi manusia dalam jangka waktu paling lama empat tahun sejak disahkannya undangundang tersebut untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran berat hak asasi manusia (Pasal 104). Yang dimaksud dengan “pelanggaran berat hak asasi manusia oleh undang-undang ini meliputi pembunuhan masal (genocide), pembunuhan yang sewenang-wenang dan eksekusi di luar pengadilan (arbitrary or extra-judicial killing), penyiksaan, penghilangan paksa, perbudakan, dan diskriminasi yang sistematik (Lihat Penjelasan UU No.39 Tahun 1999 Pasal 104). Mandat tersebut di atas direalisasikan dengan dikeluarkannya UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh DPR pada tanggal 6 Nopember 2000, yang di
dalamnya mencantumkan ketentuan untuk penerapan hukum secara retrospektif. UU Pengadilan HAM menyediakan dasar teknis dalam mendirikan pengadilan HAM, sedangkan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM mengemukakan prinsipprinsip dan bentuk HAM yang diakui oleh hukum Indonesia UU No.26 Tahun 2000 ini memuat ketentuan tentang pembentukan pengadilan HAM khusus (ad hoc) untuk mengadili pelanggaran HAM di masa lalu yang terjadi sebelum undang-undang berlaku sedangkan pengadilan HAM permanen hanya menangani kejahatan yang terjadi terjadi setelah pengesahan UU tersebut. Namun, pengadilan ad hoc seperti itu hanya didirikan untuk mengadili kasus khusus dan dibentuk melalui prosedur yang khusus pula. Presiden hanya dapat mendirikan pengadilan ad hoc seperti ini jika ada rekomendasi eksplisit dari DPR Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
89 (ayat 43). Sayangnya tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai teknis “pemberian rekomendasi” ini, yang menyebabkan proses pembentukan pengadilan menjadi sebuah proses politiuk ketimbang sebuah proses hukum.
4. Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut Konvensi Internasional, adalah : Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut Konvensi Internasional, adalah : Dalam sejarah ada dikenal 2 (dua) mahkamah yang mengadili Penjahat Perang Dunia II, yaitu Mahkamah Tokyo dan Mahkamah Nuremberg. Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Jepang, sedangkan mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi, Jerman. Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter) atau biasa juga disebut dengan nama Piagam London (London Charter). Sejak terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada dua puluh empat tersangka. Di samping memberikan penjelasan terminologi dari tiga bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah Nuremberg. Berdasarkan
Pasal 6 Piagam
Nuremberg ditegaskan bahwa tanggung jawab individual dari pelaku kejahatankejahatan
yang dimaksud. Ini berarti pelaku kejahatan tersebut tidak dapat
berdalih bahwa perbuatannya tersebut untuk kepentingan atau karena perintah negara. Dengan demikian, setiap pelaku ketiga kejahatan tersebut di atas tidak dapat kemudian dengan menggunakan dalih tanggung jawab negara. Mahkamah Penjahata Perang Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Nama resmi dari mahkamah ini adalah International Military Tribunal for the Far East. Berbeda dengan mahkamah Nuremberg yang dibentuk Treaty yang disusun oleh Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
90 beberapa negara, Tokyo Tribunal dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas MacArthur. Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg.
B. SARAN Saran yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini, adalah :
1. Rumusan KUHP maupun RKUHP tentang Kejahatan Perang yang didalamnya terdapat kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) masih sangat lemah. Kelemahan utama adalah RKUHP hanya meletakkan kejahatan perang dalam lingkup pelanggaran berat (graves breaches) dan pelanggaran serius (serious breaches) sementara pelanggaran hukum Perang lainnya yang diatur di dalam seluruhan Konvensi Jenewa tidak tercakup. Oleh karena itu maka sudah seharusnya RKUHP juga mengatur pelanggaran lainnya (pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa yang tidak tergolong pada pelanggaran berat Konvensi Jenewa dan pelanggaran serius tentang kebiasaan perang) sementara pelanggaran beratnya diatur dalam pengaturan khusus mengingat kejahatan tersebut sangat luar biasa.
2. Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tidak secara spesifik mencakup semua hal yang dibutuhkan untuk memenuhi asas-asas dan menjamin terjadinya pengadilan yang adil (fair trial). Meskipun menjadi dasar dari pengadilan yang menangani perkara pidana luar biasa (extra ordinary crimes) namun UU ini tidak dilengkapi dengan aturan hukum acara pidana luar biasa. Sebaliknya, undang-undang ini secara eksplisit merujukkan hukum acaranya kepada hukum acara pidana biasa yang diatur melalui Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lebih Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
91 jauh lagi, Undang-undang ini menutup kemungkinan digunakannya hukum acara lain kecuali hukum acara pidana yang tercantum dalam KUHAP tersebut. Padahal idealnya, sebuah pengadilan ad hoc yang dibentuk melalui tata cara khusus, dan menangani kasus-kasus yang khusus, selayaknya menggunakan hukum acara yang khusus pula, termasuk pengadilan HAM adhoc sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 26 Tahun 2000.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU/MAKALAH Andrey Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, 1999. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
92 ---------------------, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional, Kumpulan Tulisan, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta, 1999. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakrta 1998, hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 1990). David Cohen, Intended to Fail : The Trials Before the Ad Hoc Human Rights Court in Jakarta. New York: International Center for Transitional Justice (ICTJ), 2003. Fadillah Agus (ed), Hukum Humaniter suatu Persfektif, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti-ICRC, Jakarta, 1997. Geiffrey Ribertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002. ICRC (International Committee of The Red Cross), Protocol Additional to the Geneva Convention, 1949, Geneva, 1977. ----------------------------------------------------------, Pengantar Hukum Humaniter,ICRC, Jakarta, 1999. Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979. --------------------------------, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1980. M. Cherif Bassiouni, Crimes against humanity, Oxford Press, 1998. Wiratraman, R. Herlambang Perdana, Konsep dan Pengaturan Hukum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, artikel untuk Jurnal Ilmu Hukum Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2008. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
93 Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Seri Bahan Bacaan Khusus untuk Pengacara X: 2005., Jakarta: Elsam.
B. INTERNET Agung Yudhawiranata, Pengadilan HAM di Indoesia, dalam Teori dan Praktek, diakses dari situs : http://www.elsam.co.id, tanggal 10 November 2008. Aliansi Nasional Reformasi KUHP, USAID, Kejahatan Kemanusiaan dan Kejahatan Genoside, Tepatkah diatur di dalam KUHP, diakses dari situs : http://usaid.or.id., tanggal 20 November 2008. Antonio Cassesse, Self Detemination of People, Cambrige University Press, 1995, hal. 27-33, dikutip di dalam http://www.kompas.com. Edisi 29 Maret 2003. Antonia Pradjasto, H,
Konvensi Genocida, Melindungi Hak Asasi, Memerangi
Impunitas,
diakses
dari
:hhttp://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=130543
situs tanggal
21
November 2008. Harkristuti
Harkrisnowo,
Pemidanaan
Kejahatan
Berat,
diakses
dari
situs:http://www.komisihukum.go.id, tanggal 18 September 2008. http://id.wikipedia.org.com, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Jerry Flower, Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan bagi Generasi Mendatang, http://www.elsam.or.id, Jerry Fowler adalah penasehat Legislasi pada Lawyers Committee for Human Rights. Ia turut berpartisipasi dalam Konferensi Diplomatik di Roma. Penegakan
Hukum,
diakses
dari
situs
:
http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php http://id.wikipedia.org.com, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
94 http://www.sekitarkita.com R. Herlambang Perdana Wiratraman, Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Makalah untuk Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), IKADIN-PERADI-Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 8 Agustus 2008, dapat diakses dari situs :
http://www.solusihukum.com, tanggal 2 Oktober 2008. http://www.pikiran-rakyat.com.
Romli Atmasasmita, Aplikasi Anti Penyiksaan dalam Undang-Undang Hukum Pidana, makalah disampaikan pada diskusi publik,
Mencari Strategi
Pencegahan
dari
Kejahatan
Penyiksaan,
diakses
situs
:
http://www.komisihukum.go.id, tanggal 10 September 2008. Zainal Abidin dan Supriyadi Widodo Edyono, Kejahatan Perang dalam RUU KUHP, diakses dari situs : http://kuhpreform.wordpress.com/2008/01/17/kejahatanperang-dalam-ruu-kuhp/ tanggal 20 September 2008.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009