TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PERS DALAM PERSFEKTIF HUKUM PIDANA DAN RUU KUHP INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
DISUSUN OLEH :
ZULFIKAR NIM : 020 - 200 - 001
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PERS DALAM PERSFEKTIF HUKUM PIDANA DAN RUU KUHP INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
DISUSUN OLEH :
ZULFIKAR NIM : 020 - 200 - 001
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA DISETUJUI OLEH : KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Abul Khair, SH.M.Hum NIP. 131 842 854 Dosen Pembimbing I
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.M.Hum NIP.130 809 552
Dosen Pembimbing II
M. Eka Putera, SH.M.Hum NIP. 132 208 327
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ABSTRAK Halaman Bab I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ..................................................................... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................................. 6 D. Keaslian Penulisan .................................................................... 7 E. Tinjauan Keperpustakaan .......................................................... 8 F. Metode Penelitian ..................................................................... 15 G. Sistematika Penulisan................................................................ 16
Bab II TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA PERS A. Sejarah Singkat Mengenai Tindak Pidana Pers .......................... B. Pengertian Tindak Pidana Pers .................................................. C. Peraturan–peratuaran Mengenai Kebebasan Pers di Indonesia ... D. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Pers Indonesia ............
19 25 27 31
Bab III TINDAK PIDANA PERS MENURUT KUH PIDANA DAN RUUKUHP NASIONAL A. Tindak Pers Menurut KUHP ..................................................... 37 B. Tindak Pidana Pers Menurut RUU KUHP Nasional .................. 38 C. Perbandingan Antara Tindak Pidana Pers dalam KUHP dengan Tindak Pidana Pers didalam RUU KUHP Nasonal .................... 44 D. Wacana Dekriminalisasi Pers di Indonesia ................................ 48 Bab IV TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PERS MENURUT UU No.40 TAHUN 1999 TENTANG PERS A. Tindak Pidana Pers di dalam UU No.40 tahun 1999 tentang Pers............................................................................... 56 B. UU No.40 tahun 1999 sebagai Lex Specialis Peraturan Pers Indonesia................................................................................... 62 C. Mekanisme Kontrol Kebebasan Pers Indonesia ......................... 66 D. Contoh Kasus Penerapan Tindak Pidana Pers ............................ 74 Bab V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................... 82 B. Saran ......................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berpikir kepada Penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul : “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK
PIDANA PERS DALAM PERSFEKTIF HUKUM PIDANA DAN RUU KUHP INDONESIA”, Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2.
Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH.MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.
3.
Bapak Syafruddin, SH.MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.
4.
Bapak M. Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.
5.
Bapak Abul Khair, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
6.
Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.MH selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.
7.
Bapak M. Eka Putera, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.
8.
Bapak/Ibu para dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum USU dimana penulis menimba ilmu selama ini.
9.
Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum USU yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi. Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.
Medan, Penulis,
Agustus 2007
ZULFIKAR
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
ABSTRAK
Kebebasan pers merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh karena itu sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawananya. Hal ini penting untuk menjaga obyektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman, sebagaimana pada masa orde baru berkuasa dengan istilah self-censorship. Nilai-nilai kebebasan pers telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F, di dalam KUHP dan RUU serta dalam suatu undang-undang tersendiri yaitu diaturUU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum skunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kebebasan dan tindak pidana pers dalam hukum pidana dan RUU KUHP. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya tentang tindak pidana pers. Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (Library Research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan perundangundangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Walaupun peraturan mengenai pers telah ada di dalam KUHP, RUU KUHP, namun UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menjadi tonggak dalam sejarah kemerdekaan pers di Indonesia. UU Pers ini lahir karena desakan masyarakat pers yang menginginkan adanya jaminan kemerdekaan pers yang kuat melalui instrumen hukum. Jaminan yang diinginkan oleh masyarakat pers-pun akhirnya didapat dan UU Pers dalam catatan penulis menjadi satu-satunya UU yang tidak memiliki pengaturan lebih lanjut dalam bentuk apapun dan menjadikan Dewan Pers menjadi organ/lembaga negara independen. Namun jaminan kemerdekaan secara legal formal nampak belum cukup menjamin anggota masyarakat pers lepas dari segala bentuk tindak kekerasan dan juga berbagai tuntutan hukum, baik pidana ataupun perdata, dari individu atau kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya pemberitaan pers.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Transformasi Indonesia ke dalam suatu sistem bernegara yang lebih demoktratis telah banyak membuahkan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Adapun, perubahan-perubahan tersebut bukan berarti tanpa ada pergesekan antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru, yang kadang kala tereskalasi menjasi suatu masalah sosial dan hukum. Namun bagaimanapun juga halangan dan halangan masalah yang terjadi dalam proses perubahan biarlah tetap menjadi suatu bagian dari proses alamiah perjalanan suatu sistem bernegara menuju ke arah yang lebih baik. Perubahan kondisi termasuk peraturan yang mengatur dunia pers pada saat ini berada dalam suatu persimpangan dan dikotomi, apakah akan dianut kebebasan pers secara murni sebagaimana di negara-negara industri atau barat, ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan hukum, yang dalam hal ini adalah batasan hukum pidana. Belum lama ini, kasus Tempo vs Tommy Winata telah mengguncang dunia pers Indonesia, dimana wartawan telah diputus bersalah oleh Pengadilan karena pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang. Fakta tersebut kemudian berujung pada pertanyaan, apakah pers dalam hal ini wartawan dapat dipidana ketika ia menjalankan profesinya. Ataukah seharusnya pers diberikan jaminan akan kebebasan secara utuh bebas dari hukum pidana ketika ia menjalankan profesinya. Hal tersebut menjadi suatu kajian yang tentunya sangat menarik untuk ditelaah karena hal tersebut Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
merupakan bagian dari “masalah” transformasi Indonesia menuju negara yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hukum 1. Kebebasan pers merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh karena itu sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawananya. Hal ini penting untuk menjaga obyektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman, sebagaimana pada masa orde baru berkuasa dengan istilah self-censorship 2. Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari
perwujudan
negara
yang
demokratis
dan
berdasarkan
atas
hukum.
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD 1
Komisi Hukum Nasional RI, Kebebasan Pers dalam Hukum Pidana ditinjau dari RUU KUHP, diakses dari situs : http://www.komisihukum.co.id, tanggal 30 Maret 2007. 2 Ibid Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
1945 yang telah diamandemen yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1). Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia. Tindak pidana pers jika kita perhatikan di dalam KUHP diatur di dalam Pasal 61-62 serta Pasal 483-484. Pasal 61-62 KUHP mengatur
bahwa tindak pidana pers merupakan tindak pidana
khusus. Pasal 483-484 selanjutnya hanya mengatur kapan dan hal apa pencetak dan penerbit dapat atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap barang cetakan dan
isi
penerbitannya.
Pasal 61-62 serta Pasal 483-484 KUHP hanya menyebutkan istilah “mengenai kejahatan yang dilakukan dengan barang cetakan”, tidak memberikan tafsiran autentik secara jelas dan rinci tentang apa yang dimaksud dengan “tindak pidana pers”. Maka dapat dikatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak bisa dipakai sebagai perumusan “tindak pidana pers” dan bukan merupakan merupakan tindak pidana khusus, melainkan merupakan kejahatan biasa yang harus memenuhi syarat “menggunakan barang cetakan”. 3 Melihat berbagai instrumen hukum mengenai tindak pidana pers dia atas, bukan berarti kebebasan pers telah dikekang oleh undang-undang. Justru, konsep berpikir yang harus dikembangkan adalah perangkat perundang-undangan tersebut dibuat dan diberlakukan dengan tujuan untuk membentuk pers yang seimbang, transparan dan profesional. Bagaimanapun juga harus diakui bahwa pers di Indonesia belum seluruhnya telah menerapkan suatu kualitas pers yang profesional dan bertanggung jawab dalam membuat pemberitaan. Hal ini patut diwaspadai mengingat belum seluruhnya rakyat 3
Juniver Girsang, Penyelesaian Sengketa Pers, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal. 9.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Indonesia memiliki pendidikan dan tingkat intelegensia yang memadai. Jika, pers dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan tanggung jawab maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media agitasi yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang notabene lebih besar jumlahnya dibanding masyarakat yang telah terdidik. Oleh karena itu kebebasan pers perlu diberikan pembatasan-pembatasan paling tidak melalui rambu hukum, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh pers, dapat menjadi pemberitaan pers yang bertanggung jawab 4. Yang menjadi masalah dalam pemberitaan pers adalah jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet) dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai media. Sementara kebebasan pers untuk melakukan pemberitaan jika memang dilakukan secara bertanggung jawab dan profesional, meskipun ada kesalahan dalam fakta pemberitaan tetap tidak boleh dipidana. Contohnya adalah, berita Newsweek tentang pelecehan Qur’an di Guantanamo yang ternyata merupakan kesalahan nara sumber dan Newsweek meminta maaf atas kesalahan tersebut dan berjanji akan lebih berhati-hati dalam pemberitaan. UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers) sendiri belum mengakomodir mengenai permasalahan tersebut. Di dalam UU Pers sendiri hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa denda jika perusahaan pers melanggar norma susila dan asas praduga tidak 4
Ibid
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
bersalah serta masalah pengiklanan yang dilarang oleh undang-undang (Pasal 18 Ayat 2 UU Pers). Sementara itu, selebihnya UU Pers hanya mengatur mengenai hak jawab dan hak koreksi untuk pemberitaan yang dianggap bermasalah. Hal inilah yang sebenarnya yang untuk sementara pihak dianggap tidak mengandung ketidakseimbangan dalam pers, karena tidak mengatur mengenai potensi-potensi masalah hukum yang rumit dan berat yang dapat timbul dalam pemberitaan pers. Harus diakui bahwa belum semua pers Indonesia dikelola secara profesional dan mampu melakukan pemberitaan yang bertanggung jawab, banyak perusahaan pers yang mengeluarkan berita-berita gosip dan pernyataan-pernyataan yang tidak benar atau bias. Apabila ditelaah lebih jauh, pada dasarnya UU Pers sendiri tidak mengatur secara tegas siapa yang harus menjadi penanggung jawab dalam perusahaan pers terhadap beritaberita yang dikeluarkan. Apakah itu pemimpin redaksi atau wartawan. UU pers tidak mengatur secara jelas. Pasal 12 UU Pers hanya mengatur bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab dalam perusahaan pers. Sehingga dapat terjadi bias dalam masalah pertanggung jawaban mengenai penerbitan berita dalam perusahaan pers. Jadi, jelaslah bahwa konsep kebebasan pers dalam mengeluarkan pendapat dan pikiran merupakan hal yang mutlak bagi proses demokratisasi suatu negara. Hanya saja, kebebasan tersebut bukanlah kebabasan yang mutlak dan tanpa batas. Untuk mencegah disalahgunakannya pers sebagai media penghinaan, fitnah, dan penghasutan diperlukan perangkat hukum lain, yang sebenarnya bertujuan bukan untuk mengekang tindak pidana pers namun membuat pers Indonesia menjadi lebih profesional dan
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
bertanggung jawab serta menghormati hukum dan hak asasi manusia seusai dengan perananan pers nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Pers, yaitu 5 : 1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. 2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan. 3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. 4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum 5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Jika melihat dari sudut pandang rancangan undang-undang KUHP (RUU KUHP) yang baru saat ini, maka Pasal 531 sampai dengan Pasal 541 RUU KUHP telah mengakomodasi permasalahan penghinaan maupun fitnah yang dapat terjadi dalam pemberitaan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membahas mengenai tindak pidana pers dalam skripsi ini. Karena
mau tidak mau kita harus
mengakui bahwa belum semua pers Indonesia dikelola secara profesional dan mampu melakukan pemberitaan yang bertanggung jawab, banyak perusahaan pers yang mengeluarkan berita-berita gosip dan pernyataan-pernyataan yang tidak benar atau bias. Di lihat dari sisi lain kepentingan masyarakat, tentu saja pers yang tidak berkualitas akan sangat merugikan karena tidak mendidik masyarakat dan sebagai pembentuk opini publik, pers akan sangat berbahaya jika dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki tujuan-tujuan yang melanggar hukum.
B. Rumusan Permasalahan 5
Frans Hendra Winarta, UU Pers Lex Specialis atau Bukan, Harian Kompas, edisi 17 September
2004. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang akan saya bahas di dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pers menurut KUHP dan perbandingannya di dalam RUU KUHP. 2. Bagaimana pengaturan dan efektifitas pemberlakuan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran untuk menanggulangi tindak pidana pers ini. 3. Bagaimana mekanisme kontrol tindak pidana pers di Indonesia.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini secara singkat, adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana pers menurut KUHP dan perbandingannya di dalam RUU KUHP. 2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan dan efektifitas pemberlakuan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran untuk menanggulangi tindak pidana pers ini. 3. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme kontrol tindak pidana pers di Indonesia. Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk : 1. Manfaat secara teoritis. Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
dalam dunia akademis tentang hal-hal yang berhubungan dengan tindak pidana pers di Indonesia dan peraturan-peraturan yang mengaturnya. 2. Manfaat secara praktis Secara praktis
penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi
pengetahuan tentang tindak pidana pers di dalam persfektif hukum pidana dan RUU Pidana di Indonesia. Di negara demokrasi, pers mempunyai pengaruh cukup signifikan
di
tengah
masyarakat.
Informasi
yang
disampaikannya
dapat
mempengaruhi individu atau kelompok, secara langsung ataupun tidak langsung. Selain sebagai media untuk memberi informasi bagi publik dan menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat, pers juga berfungsi melakukan kontrol sosial. Tidak hanya terhadap perilaku aparat negara, tapi juga masyarakat. Peran besar ini memang membutuhkan sejumlah prasyarat. Di antaranya adalah ruang kebebasan yang memadai sehingga pers bisa menjalankan fungsinya secara maksimal tentu saja selain kode etik yang membuatnya harus tetap profesional.
Untuk mendukung
profesionalisme ini juga dibutuhkan peraturan yang akan menjadi umbrella provision (payung hukum) terhadap semua hal yang berhubungan dengan jurnalistik (pers).
D. Keaslian Penulisan Pembahasan skripsi ini dengan judul : “Tinjauan Yuridis
Mengenai Tindak
Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia” adalah masalah merupakan wacana yang sebenarnya telah lama didengungkan. Karena banyak kasus-kasus yang timbul terkait dengan kebebasan pers di Indonesia yang kadang di luar
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
kendali, sementara di sini lain peraturan yang mengatur keprofesionalan lembaga pers kurang akomodatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi. Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrindoktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang diadakan dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang ditempatkan dalam Buku ke II dan pelanggaran yang ditempatkan dalam Buku ke III. Ternyata dalam KUHP, tiada satu Pasal pun yang memberikan dasar pembagian tersebut, walaupun pada bab-bab dari buku I selalu ditemukan penggunaan istilah tindak pidana, kejahatan atau pelanggaran. Kiranya cirri-ciri pembedaan itu terletak pada penilaian-kesadaran hukum pada umumnya dengan penekanan (stressing) kepada delik hukum (rechts-delichten) dan delik undangundang (wet-delichten) 6. Beberapa sarjana mengemukakan sebagai dasar pembagian tersebut bahwa delik hukum sudah sejak semula dapat dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan
6
SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem – Petehaem, Jakarta, 1996, hal. 17. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
hukum sebelum pembuat undang-undang menyatakan dalam undang-undang. Sedangkan delik undang-undang baru dipandang/dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum, setelah ditentukan dalam undang-undang. Sebagai contoh dari delik hukum antara lain adalah pengkhianatan, pembunuhan, pencurian, perkosaan, penghinaan dan sebagainya, dan contoh dari delik undang-undang antara lain adalah pelanggaran, peraturan lalu lintas di jalan, peraturan pendirian perusahaan, peraturan pengendalian harga dan lain sebagainya. Sarjana lain yaitu VOS tidak dapat menyetujui bilamana dikatakan bahwa dasar pembagian pelanggaran adalah karena sebelumnya tindakan-tindakan tersebut tidak dirasakan sebagai hal yang melanggar kesopanan atau tak dapat dibenarkan oleh masyarakat (zedelijk of maatschappelijk ongeoorloofd), karena 7 : a. ada pelanggaran yang diatur dalam Pasal-Pasal 489, 490 KUHP yang justru dapat dirasakan sebagai yang tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat dan b. ada beberapa kejahatan seperti Pasal-Pasal 303 (main judi), 396 (merugikan kreditur) yang justru dapat dirasakan sebelumnya sebagai tindakan yang melanggar kesopanan. Dasar pembedaan lainnya dari kejahatan dan pelanggaran yang dikemukakan adalah pada berat/ringannya pidana yang diancamkan. Seyogyanya untuk kejahatan diancamkan pidana yang berat seperti pidana mati atau penjara/tutupan. Ternyata pendapat ini menemui kesulitan karena pidana kurungan dan denda diancamkan, baik pada kejahatan maupun pelanggaran. Dari sudut pemidanaan, pembagian kejahatan sebagai delik hukum atau pelanggaran sebagai delik undang-undang, tidak banyak faedahnya sebagai pedoman. 7
Ibid, hal. 48
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Demikian pula dari sudut ketentuan berat/ringannya ancaman pidana terhadapnya, seperti yang dikemukakan di atas, sulit untuk dipedomani. Dalam penerapan hukum positif tiada yang merupakan suatu kesulitan, karena dengan penempatan kejahatan dalam buku kedua dan pelanggaran dalam buku ketiga, sudah cukup sebagai pedoman untuk menentukan apakah sesuatu tindakan merupakan kejahatan atau pelanggaran. Mengenai tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan lainnya setingkat dengan KUHP telah ditentukan apakah ia merupakan kejahatan atau pelanggaran. Sedangkan tindak pidana yang diatur dalam peraturan yang lebih rendah tingkatannya (peraturan pemerintah, peraturan-peraturan gubernur/kepala daerah dan sebagainya) pada umumnya merupakan pelanggaran. Kegunaan pembedaan kejahatan terhadap pelanggaran, kita temukan dalam sistematika KUHP yang merupakan “buku induk” bagi semua perundang-undangan hukum pidana. Sedangkan istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “Het Strafbare feit” yang setelah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti 8: a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum b. Peristiwa pidana c. Perbuatan pidana dan d. Tindak pidana Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah “Het Strafbare feit” antara lain 9 : a. Rumusan Simon
8 9
Ibid, hal. 110 Ibid, hal. 117.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Simon merumuskan “Een Strafbaar feit” adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari petindak. b. Rumusan Van Hammel Van Hammel merumuskan “Strafbaar feit” itu sama dengan yang dirumuskan oleh Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”. c. Rumusan VOS VOS merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu kelakukan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana. d. Rumusan Pompe Pompe merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum. Para sarjana Indonesia juga telah memberikan definisi mengenai tindak pidana ini, yaitu
10
:
a. Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum. b. R. Tresna mendefinisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana. 10
Ibid, hal. 204-206.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
c. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana. d. Wirdjnono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana. Setelah melihat pendapat beberapa ahli mengenai pengertian tindak pidana, maka selanjutnya dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah terdiri dari dua suku kata yaitu tindak dan pidana. Istilah tindak dan pidana adalah merupakan singkatan dari tindakan dan penindak. Artinya ada orang yang melakukan suatu tindakan, sedangkan orang yang melakukan tindakan itu dinamakan penindak. Mungkin suatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal suatu tindakan tertentu mungkin dilakukan oleh
hanya
seseorang dari suatu golongan jensi kelamin saja, atau
seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada negara/pemerintah (pegawai negeri, militer, nakhoda dan sebagainya) atau seseorang dari golongan lainnya. Jadi status/kualifikasi seseorang petindak harus ditentukan apakah ia salah seorang dari “barang siapa”, atau seseorang dari suatu golongan tertentu. Bahwa jika ternyata petindak itu tidak hanya orang (natuurlijk-persoon) saja melainkan juga mungkin berbentuk badan hukum 11. Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat, baik yang langsung atau tidak langsung terkena tindakan tersebut. Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang sudah dipandang merugikan kepentingan umum di samping kepentingan perseorangan, 11
Ibid, Hal. 209.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
dikehendaki turun tangannya penguasa. Apabila penguasa tidak turun tangan, maka tindakan-tindakan tersebut akan merupakan sumber kekacauan yang tak akan habishabisnya. Demi menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat, perlu ditentukan mengenai tindakan-tindakan yang dilarang atau yang diharuskan. Pelanggaran kepada ketentuan tersebut diancam dengan pidana. Singkatnya perlu ditentukan tindakan-tindakan apa saja yang dilarang atau diharuskan dan ditentukan ancaman pidananya dalam perundang-undangan. Penjatuhan pidana kepada pelanggar, selain dimaksudkan untuk
menegakkan keadilan,
juga untuk
mengembalikan
keseimbangan kejiwaan dalam masyarakat 12.
2. Pengertian Tindak Pidana Pers Bagi beberapa ahli hukum, istilah tindak pidana pers sering dianggap bukan suatu terminologi hukum. Karena ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan yang disebut tindak pidana pers bukanlah tindak pidana yang semata-mata dapat ditujukan kepada pers, melainkan ketentuan yang berlaku secara umum untuk semua warga negara Indonesia. Akan tetapi jurnalis dan pers merupakan kelompok
pekerjaan
yang
difinisinya
berdekatan
dengan
usaha
menyiarkan,
mempertunjukkan, memberitakan, dan sebagainya, maka unsur-unsur delik pers dalam KUHP itu akan lebih sering ditujukan kepada jurnalis dan pers. Hal ini disebabkan hasil pekerjaannya lebih mudah tersiar, terlihat, atau terdengar di kalangan khalayak ramai atau umum 13. 12
Ibid, Hal. 210. Komariah E. Sapardjaja, Delik Pers dalam KUHP dan RKUHP dalam Kebebasan Pers dan Penegakan Hukum, Dewan Pers, Jakarta, 2003, hal. 45. 13
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Di negara demokrasi, pers mempunyai pengaruh cukup signifikan di tengah masyarakat. Informasi yang disampaikannya dapat mempengaruhi individu atau kelompok, secara langsung ataupun tidak langsung. Selain sebagai media untuk memberi informasi bagi publik dan menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat, pers juga berfungsi melakukan kontrol sosial. Tidak hanya terhadap perilaku aparat negara, tapi juga masyarakat.
Peran besar ini memang membutuhkan sejumlah prasyarat. Di
antaranya adalah ruang kebebasan yang memadai sehingga pers bisa menjalankan fungsinya secara maksimal tentu saja selain kode etik yang membuatnya harus tetap profesional. Sangatlah tepat jika wartawan senior yang juga mantan Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, Mokhtar Lubis, menyatakan, “Kemerdekaan pers merupakan satu unsur di dalam peradaban manusia yang maju dan bermanfaat tinggi dan yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan, dan jika kemerdekaan pers itu tidak ada, maka martabat manusia jadi hilang. Banyak berbagai pendapat yang berkembang di masyarakat khususnya para ahli yang mengemukakan mengenai peraturan hukum khususnya hukum pidana yang terkait dengan tindak pidana pers. Pendapat ahli hukum yang lain mengatakan, bahwa dalam hukum pidana ketentuan yang berhubungan dengan tindak pidana pers adalah bagian dari tindak pidana yang mempergunakan alat cetak. Menurut Van Hattum, yang dikutip ahli Hukum Pidana Indonesia Oemar Seno Adji, ada tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu tindak pidana pers yaitu 14: 1. Ia harus dilakukan dengan barang cetakan 2. Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan 14
Rudy S. Mukantardjo, Tindak Pidana Pers dalam RKUHP Nasional, diakses dari situs : http://www.komisihukum.co.id, tanggal 12 Desember 2005. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
3. Dari perumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk menumbuhkan kejahatan, apabila kenyataan tersebut dilakukan dengan suatu tulisan.
Dari tiga kriteria tersebut, nomor tigalah yang secara khusus mengangkat suatu delik mendapat sebutan tindak pidana pers dalam arti yuridis. Dari berbagai pendapat ahli - ahli hukum diatas tentang definisi tindak pidana pers, maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana pers secara teroritis harus memenuhi rumusan atau unsur-unsur sebagai berikut : 1. Perbuatan yang diancam pidana 2. Bersifat melawan hukum 3. Pembuatnya dapat dipidana 4. Dilakukannya dengan barang cetakan 5. Adanya pernyataan pikiran atau perasaan 6. Adanya publikasi sebagai syarat untuk menumbuhkan kejahatan Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari
perwujudan
negara
yang
demokratis
dan
berdasarkan
atas
hukum.
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
1945 yang telah diamandemen yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1). Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 15.
F.
Metode Penelitian
1.
Sifat/Bentuk Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah
pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum skunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kebebasan dan tindak pidana pers dalam hukum pidana dan RUU KUHP. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya tentang
tindak
pidana pers. 2. D a t a Bahan atau data yang diteliti berupa data skunder yang terdiri dari : a. Bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas kerja. b. Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. 3.
Tehnik Pengumpulan Data
15
Ibid.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (Library Research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalahmajalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.
G. Sistematika Penulisan Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih mengarahkan pembaca, maka berikut di bawah ini penulis membuat sistematika penulisan/gambaran isi skripsi ini sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai halhal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Keaslian Penulisan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan dan diakhiri dengan Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA PERS Pada bab ini dibahas mengenai Sejarah Singkat Mengenai Tindak Pidana Pers, Pengertian tindak pidana Pers, Peraturan-Peraturan yang Mengatur Kebebasan Pers di Indonesia dan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Pers Indonesia.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
BAB III
TINDAK PIDANA PERS MENURUT KUHPIDANA DAN RUU KUHP NASIONAL Pada bab ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Tindak Pidana Pers Menurut KUHP, Tindak Pidana Pers Menurut RUU KUHP Nasional, Perbandingan Antara Tindak Pidana Pers dalam KHUP dengan Tindak Pidana Pers dalam RUU KUHP Nasional dan Wacana Dekriminalisasi Pers di Indonesia
BAB IV
TINDAK PIDANA PERS MENURUT UU No. 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS Pada bagian ini dibahas mengenai Tindak Pidana Pers di dalam UU No. UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, UU No. 40 tahun 1999 sebagai Lex Specialis Peraturan Pers Indonesia, Mekanisme Kontrol Kebebasan Pers Indonesia dan Contoh Kasus Penerapan Tindak Pidana Pers
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Pada Bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA PERS
A. Sejarah Singkat Mengenai Tindak Pidana Pers Berbicara mengenai tindak pidana pers pertama di Indonesia, dapat kita lihat dari ”Babad Ranggawarsitan” yang diterbitkan di Solo menjelang Perang Dunia II disebutkan adanya sebuah kasus yang kini tergolong sebagai tindak pidana pers yang ditudingkan oleh Residen Yogyakarta berkebangsaan Inggris (pada era ketika Thomas Raffles memerintah sementara di Hindia Belanda) yang memprotes pemuatan tulisan yang menjadikan sang residen itu tidak senang. Konsekuensi kasus ini harus diambil oleh Susuhunan Surakarta, Paku Buwono IV (PB IV), mengingat muskilnya status politik antara Solo dan Yogya pada masa itu. Yang terasa kurang patut adalah sikap cuci tangan Frederik Winter selaku Pimpinan Redaksi Bramartani
yang
Ranggawarsita
melemparkan
yang
kala
itu
tanggung hanyalah
jawabnya seorang
kepada
konsultan
Raden
Ngabehi
Frederik
Winter.
”Karena kekurangan kepahamannya dalam bahasa Jawa”, Winter menyerahkan kepada Ranggawarsita keputusan pemuatan tulisan yang semula diperkirakan sebagai tulisan Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Ranggawarsita. Mengingat Bramartani sebagai penerbitan berbahasa Jawa berdomisili di Surakarta, menjadikan Paku Buwono IV tempat bertanya sang Residen, terkena getahnya berkaitan
dengan
pemuatan
tulisan
tanpa
nama
penulis
itu.
Kemuskilan kasus ini perlu kita perhatikan bahwa sekaligus kasus delik pers ini melibatkan
seorang
residen
berkebangsaan
Inggris
yang
meminta
pertanggungjawabannya (antara lain melalui PB IV). Padahal yang sesungguhnya harus bertanggung jawab tentulah sang Pemimpin Redaksi, yakni Frederik Winter, namun melemparkan tanggung jawabnya kepada Ranggawarsita 16. Antiklimaksnya, walaupun pada mulanya baik Winter maupun Ranggawarsita tidak mengungkapkan siapa penulisnya, namun kebetulan sang penulis muncul di ruangan di mana kasus sedang dibicarakan antara Winter dan Ranggawarsita, yang mungkin juga disaksikan orang ketiga dari Kraton Surakarta. Maka terungkaplah misteri penulis karangan yang tidak menyenangkan sang Residen Yogya itu. Buku babad Ranggawarsitan tidak mengungkap nama penulis tulisan yang kita perkirakan sebuah kasus delik pertama dalam sejarah pers Indonesia itu. Memperingati hari lahir Ranggawarsita (yang menurut Kalender Masehi pada 15 Maret 1802 kasus tindak pidana pers yang kita duga sebagai yang pertama di Nusantara ini, sangat relevan dengan kembalinya kebebasan pers di Indonesia). Kasus Bramartani mengandung beberapa hal kelabu. Pertama, pernyataan Frederik Winter yang melempar tanggung jawabnya kepada Ranggawarsita karena Winter menganggap Ranggawarsita lebih arif tentang bahasa Jawa. Begitu teganya
16
Winarta Adisubrata, Delik Pers Pertama http//www.hukumonline.com, tanggal 6 Oktober 2006.
di
Indonesia,
diakses
dari
situs
:
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Frederik Winter mengorbankan sahabatnya itu, padahal Pemimpin Redaksi Bramartani itu adalah seorang doktor bahasa Kawi yang berhasil menyusun Kamus Bahasa KawiBelanda. Kasus tindak pidana pers yang melibatkan Bramartani sepintas lalu tidak ada masalah lanjutan. Tanpa ada tuntutan hukum dari pihak yang merasa dirugikan. Namun secara deduktif dan spekulatif, peristiwa tindak pidana pers itu kita perkirakan berkaitan dengan kalimat perpisahan Ranggawarsita di mana ia menyatakan dirinya melihat tinggal delapan hari hidupnya di dunia seperti disebutkan dalam Lukilmakful (Amung kirang wolung hari kang dinulu, kasebat ing Lukil Makful). Secara harfiah kalimat perpisahan itu dapat diartikan sesungguhnya Ranggawarsita bisa mengintip “Lukil Makful” yakni Kitab Rahasia Illahi termasuk tentang kapan maut akan kita. Suatu hal yang secara rasional tidak masuk di akal kita bahwa Ranggawarsita memiliki kemampuan ini. Namun Ranggawarsita dapat menyatakan diri sebelum delapan hari ia dipanggil oleh Tuhan ia sudah bisa menuliskan hari (Rebo Pon) lengkap dengan bulan dan tahunnya. Maka wajar timbul dua spekulasi lain yang menyebutkan, pertama Ranggawarsita meninggal karena minum racun (bunuh diri), yang tidak masuk di akal karena Ranggawarsita adalah seorang muslim yang taat beragama. Dan kalimat terakhir yang ditulisnya pun berbunyi: Borong Anggo Suwargo Mesi Matoyo yang bermakna berserah diri kepada Allah Yang Maha Agung apakah ia akan diterima di sisiNya. Ranggawarsita meninggal pada 24 Desember 1873. Kedua, teori lain memperkirakan PB IV menyuruh Ranggawarsita bunuh diri. (Suatu hal yang mengingatkan kita kepada Sokrates di jaman Yunani sekian ribu tahun lalu.) Mungkinkah Ranggaswarsita disuruh bunuh diri berkaitan dengan kasus
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
tindak pidana pers yang mengaitkan Inggris, Belanda dan Kraton Surakarta. Suatu kasus menarik bagi para peneliti sejarah pers Indonesia maupun peneliti sastra Jawa 17. Menurut Andreas Harsono, praktisi jurnalisme, sejarah pers Indonesia hampir tanpa garis sambung. Pers Indonesia hari ini bukanlah kelanjutan pers kolonial Belanda, apalagi keturunan langsung Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Pemberitaan dan Penalaran Politik Batavia), organisasi berita yang didirikan Jan Erdman Jordens pada 1744 18. Surat kabar-surat kabar di masa kolonial Belanda mulai Bataviasche Courant sampai Slompret Melaju, Bintang Timur sampai Bintang Barat, atau Java Bode sampai Medan Prijaji habis pengaruhnya oleh berbagai sebab. Mereka berhenti terbit karena modal cekak atau dibredel rezim kolonial. Puncaknya, penguasa perang Jepang menyapu bersih seluruh penerbitan, sehingga Indonesia prakemerdekaan praktis hanya punya satu penerbitan, Djawa Shimbun. Baru kemudian Jepang memberikan izin pada lima penerbitan lain: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Itu pun mereka hanya dibolehkan terbit dalam bahasa Indonesia, dan operasi mereka diawasi ketat oleh lembaga sensor Djawa Shinbunkai. Waktu Jepang terusir, Belanda mencoba menghidupkan lagi institusi-institusi pemberitaannya. Kantor Berita Aneta misalkan, kembali didirikan menggantikan fungsi Domei. Di bawah kuasa lembaga grafika, Grafische Raad, Belanda menerbitkan sedikitnya dua surat kabar, Het Dagblad dan Nieuwgier. Atas nama revolusi dan sebangsanya, belakangan seluruh insitusi pers peninggalan Belanda dan Jepang masuk ke dalam kerangka pikir nasionalisasi 17
Ibid. Agus Sopyan, Meski Masih Beroperasi dalam Jargon Politik - Spirit Pelopor Pers Mahasiswa Masih Ada, diakses dari situs : http://www.pikiran-rakyat.com, Sabtu, 17 September 2005. 18
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
sebagaimana beralihnya perusahaan-perusahaan swasta eks mereka ke tangan pemerintah Republik Indonesia 19. Sejarah pers Indonesia dengan segala karakter kebebasannya barangkali baru dimulai ketika Indonesia memasuki demokrasi liberal pada 1950-an. Hanya sebentar sebab beberapa tahun kemudian, hampir seluruh institusi pers "menikah" dengan organisasi-organisasi politik dan menjadi pembawa aspirasi suara politisi. Pernikahan singkat. Pada 1970-an, situasi politik berubah drastis ketika Jenderal Soeharto tuntas mengambil alih kekuasaan dari Soekarno. Pers masuk ke dalam suatu tatanan masyarakat yang lebih tertib. Di masa inilah pers mahasiswa bermunculan, untuk kemudian menyalak pada kekuasaan Orde Baru yang mulai memperlihatkan watak aslinya sebagai rezim gila uang, yang antara lain ditandai oleh derasnya aliran modal asing. Terbawa atau tidak oleh romantisme masa lalu, yang menempatkan pers sebagai pejuang politik, pers mahasiswa beroperasi dalam jargon-jargon politik. Penerbitan mereka bahkan hampir susah dibedakan antara organisasi pers dan pamflet politik. Pers mahasiswa di tiga kota perguruan tinggi terkuat -- Salemba dan Tridharma di Jakarta, Kampus, Berita ITB, Integritas dan Mahasiswa Indonesia di Bandung, atau Muhibah di Yogyakarta secara gegap gempita mengkritik kebijakan Orde Baru seraya mengajak publik untuk terus mengawasi jalannya pemerintahan. Suara bising mereka tak berkenan di hati penguasa. Seluruh penerbitan yang disebut tadi, ditambah Aspirasi, organ pers mahasiswa dari Palembang, kena berangus. Tapi sejarah sudah kadung teranyam dan trend setter pers mahasiswa sudah kadung tercetak: bahwa pers mahasiswa adalah pejuang politik. 19
Ibid
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Sebenarnya hal tersebut bukan suatu kekeliruan, sebab media juga berurusan dengan use and gratification, kerangka berpikir yang mendasari motif pemuasan kebutuhan pelaku media. Jurnalisme politik juga bagus untuk mengontrol kekuasaan agar tak sewenang-wenang dengan kebijakannya. Soalnya adalah sering karena mereka asyikmasyuk dengan spektrum isu politik, isu-isu lain di sekitarnya jadi terabaikan. Pers mahasiswa sering tak punya kemampuan menyelami kebutuhan audiensnya akan informasi-informasi aktual yang mestinya mereka dapatkan. Audiens umpamanya, tak tahu di mana letak beasiswa berada kalau mereka hendak meneruskan kuliah ke luar negeri. Audiens juga tak tahu bagaimana menjadi hackers yang baik, membeli barangbarang murah dengan harga mahasiswa dan sebagainya. Pengelola media kampus pada akhirnya berhutang banyak informasi kepada publiknya, dan secara otomatis memukul rata publiknya sebagai audiens politik. Yang lebih celaka, mereka mengumpat temanteman sendiri sebagai kaum apolitis hanya karena emoh membeli penerbitan yang mereka kelola. Lepas dari kegelian seperti itu, tentu tidak dapat dilupakan kepeloporan mereka. Kepeloporan itu adalah banyaknya pers mahasiswa yang mulai menggunakan byline dan pagar api (firewall). Byline adalah pencantuman nama terang di bawah kepala berita atau judul artikel. Sedangkan pagar api adalah garis tipis yang membatasi wilayah berita dan iklan. Mengacu pada penggunaan byline untuk kali pertamanya pada 1850-an oleh Charles S. Taylor, penerbit harian The Boston Globe di New England, pers Indonesia jelas ketinggalan lebih dari satu abad. The Boston Globe sendiri menggunakan byline agar para wartawannya lebih berhati-hati dengan laporan-laporan mereka. Inovasi Taylor ini perlahan-lahan ditiru oleh suratkabar lain, di seluruh Amerika dan sejumlah negara Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Eropa. Bahkan di masa ini, surat kabar-surat kabar di Asia Tenggara, banyak yang menggunakan byline. Hanya pers kita saja yang kebanyakan tetap keukeuh hidup tanpa byline. Alasan klise, kuatir membahayakan wartawan 20. Bukan sekadar klise, tapi juga sulit diterima nalar sehat. Dalam satu penerbitan surat kabar, dengan ratusan kepala berita, berita "rawan" sering tak mencapai 10 persen. Persoalannya, apakah yang 90 persen sisanya rela dihancurkan hanya karena pemahaman keliru tentang byline? Orang meletakkan byline pertama-tama adalah agar para wartawan terdorong untuk lebih bertanggung jawab terhadap karyanya sendiri. "Ini masalah accountability. Wartawan yang baik bekerja setransparan dan sejujur mungkin. Bagaimana dengan firewall? Ini juga pekerjaan rumah pers Indonesia. Dalam dunia persuratkabaran, garis tipis yang memagari wilayah berita dan iklan adalah suatu keharusan. Semangat yang hendak dijunjung tinggi adalah wartawan tak boleh mencampuri urusan bisnis, dan bisnis tak boleh sekali-sekali mendikte redaksi. Semua perlu dibuat transparan, semua ada koridornya.
B. Peraturan-Peraturan yang Mengatur Tindak Pidana Pers di Indonesia Dalam suatu negara yang berpaham demokrasi, maka perlindungan hak asasi manusia harus mendapat tempat dalam konstitusi. Tanpa perlindungan konstitusional, maka perlindungan hak asasi manusia menjadi tidak berguna. Demikian pula yang terjadi di Indonesia, sejak gerakan reformasi yang kemudian menjatuhkan Presiden Soeharto pada 1998, telah muncul kehendak kuat dari seluruh rakyat untuk melakukan perubahan terhadap perubahan UUD 1945. Berbagai perlindungan ini, antara lain : 20
Ibid
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
1. Pasal 28F UUD Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan II 2. Pasal 20 dan 21 TAP MPR RI XVII/MPR/1998 tentang Piagam HAM 3. Pasal 14 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM 4. Undang Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers 5. Undang Undang No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights. Pers sebagai alat kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) seharusnya dapat bekerja secara profesional sesuai kode etik jurnalistik. fungsi pers sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU Pers No 40 Tahun 1999, mengatakan bahwa: (1) Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, (2) Pers wajib melayani Hak Jawab, (3) Pers wajib melayani Hak Pers. Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari
perwujudan
negara
yang
demokratis
dan
berdasarkan
atas
hukum.
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
1945 yang telah diamandemen yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1). Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia 21. Berdasarkan ketentuan tersebut, pers nasional dalam menyiarkan informasi dilarang keras membuat opini atau menyimpulkan kesalahan seseorang, terlebih jika kasus yang diliput itu masih dalam proses peradilan. Penyiaran informasi itu harus berimbang dari sumber berita pihak terkait dan sesuai dengan fakta yang terungkap di lapangan. Konsekuensi pelanggaran ketentuan tersebut akan berdampak, selain merugikan hak asasi orang lain juga merusak nama baik perusahaan pers tersebut. Jika hak orang lain dilanggar, orang yang dirugikan itu bisa dendam atau berdampak negatif terhadap pers. Nah, inilah salah satu penyebab mengapa sering terjadi kekerasan terhadap pers. Terkecuali, ketika pers meliput berita aktual pihak terkait mencoba menghalanghalangi pemberitaan pers bahkan sampai mengancam pers, karena takut terbongkar skandal yang diperbuat, sesuai pasal 18 ayat (1) UU Pers, seseorang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan berakibat menghambat pelaksanaan Pasal 4 ayat (2) dan (3) yaitu melakukan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran serta membatasi kemerdekaan pers, mencari, memperoleh dan menyampaikan gagasan dan informasi, dipi- dana paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
21
Juniver Girsang, SH.MH, Perlu Kepastian Hukum Pers, diakses dari situs : http://www.suarapembaruan.com, tanggal 4 September 2005. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Dewasa ini, saat gencarnya pemerintah memberantas berbagai praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) di berbagai instansi pemerintah maupun swasta, kehadiran pers sangat dibutuhkan untuk menginformasikan berita yang benar, jujur dan adil. Namun, dalam prak- tiknya, pers sering memojokkan kesalahan seseorang, yang sebenarnya belum tentu bersalah. Terkadang ada kesan bahwa pers mempunyai kepentingan dengan suatu pemberitaan, akhirnya yang bersangkutan dianggap publik bersalah. Ini merupakan pelanggaran hukum "asas praduga tak bersalah" seperti diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pers. Padahal, seseorang itu baru dianggap terbukti bersalah, jika telah divonis bersalah oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incrach van gewijde). Terjadinya sengketa pers, biasanya karena pemberitaan pers melukai perasaan orang lain. Sekalipun redaksi bertanggung jawab dan berhak memuat suatu berita, ada kesan bahwa pers mempunyai kepentingan dengan suatu pemberitaan, hingga memeti-eskan suatu tanggapan berita. Ketika diadakan hak jawab atau hak koreksi, pihak pers tak berkenan melayaninya 22. Mestinya, jika ada pihak terkait menanggapi suatu pemberitaan, penulis meminta pers terbuka, menerima dan memuat beritanya, sekaligus meminta maaf seperti yang pernah dilakukan oleh Pemimpin Redaksi surat kabar Sinar Indonesia Baru (SIB) Dr GM Panggabean mengenai "karikatur nasib suar-sair" dan permintaan maaf Pemred surat kabar Denmark Jyllands-Posten: Carsten Juste atas penerbitan kartun Nabi Muhammad yang memancing kemarahan muslim di seluruh dunia, sehingga persoalan demikian tak perlu diselesaikan secara pro-yustisia hingga ke pengadilan. Cukuplah diselesaikan lewat klarifikasi pemberitaan sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (2) dan (3) UU Pers. 22
Syahriani, Kriminalisasi Pers Vs Pilar Demokrasi, harian Waspada, edisi, Senin, 25 April 2006.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Akan tetapi, jika perusahaan pers tak mau melayani hak jawab maupun koreksi tersebut, pihak yang merasa dirugikan dapat menggugatnya secara perdata menggunakan UU Pers, dengan hukuman denda paling banyak Rp 500 juta. Jadi kalau ada kasus seperti ini masuk ke pengadilan menggunakan aturan KUHP bahkan diputus hakim berdasarkan pasal 310 atau 311 KUHP, aparat penegak hukum yang menangani kasus ini sangat keliru menggunakan payung hukum KUHP. Karena fungsi pengadilan adalah untuk memeriksa, menerima dan mengadili perkara, maka solusinya: pertama, setiap perkara yang menyangkut sengketa pers yang diajukan oleh penyidik kepolisian dan penuntutan kejaksaan ke pengadilan harus memperhatikan secara hati-hati fakta yang terjadi. Jika perbuatan itu dilakukan secara langsung menghina seseorang tanpa pemberitaan pers, gunakanlah KUHP. Tetapi jika perbuatan penghinaan itu dilakukan secara tidak langsung, artinya lewat pemberitaan pers, gunakanlah UU Pers. Kedua, jika sengketa pers tersebut tetap diajukan kejaksaan ke pengadilan menggunakan Pasal 310 (2) KUHP, hakim sesuai wewenangnya pada pasal 144 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebelum perkara tersebut disidangkan dapat memerintahkan Jaksa Penuntut Umum agar mengganti atau merubah dakwaan dari pasal KUHP menjadi pasal yang terdapat didalam UU Pers. Ketiga, jika jaksa tak mau mengubah dakwaannya, maka hakim dapat membebaskan terdakwa dari segala dakwaan jaksa (vrijpraak). Persoalannya, apakah para hakim mempunyai kepekaan perasaan naluri yang sama dalam penegakan hukum pers? Seyogyanya, Ketua Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan semacam surat edaran atau instruksi Ketua MA kepada seluruh hakim agar satu persepsi menangani sengketa pers lewat UU Pers. Keempat, jika pemerintah tetap Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
mempertahankan tindak pidana pers di dalam KUHP, kalangan pers dapat mengajukan uji material ke Mahkamah Konstitusi, sehingga polemik ganda ketentuan sengketa pers segera tuntas selesai. Oleh karena itu, setelah terbit UU Pers No 40 Tahun 1999 yang diundangkan tanggal 23 September 1999, segala tindak pidana pers yang berkaitan dengan pemidanaannya seperti yang tercantum di dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP harus diadopsi dan disempurnakan ke dalam UU Pers, sehingga UU Pers menjadi berdaya guna. Jika KUHP selalu digunakan mengadili tindak pidana pers, percuma dibentuk UU Pers. Menurut asas hukum dan kepastian hukum hal ini sangat berbahaya bagi terciptanya penegakan hukum, karena ketika hakim menerapkan aturan KUHP, terpaksa mengesampingkan UU Pers sebagai lex specialis dari KUHP
C. Dualisme Hukum Pers di Indonesia. Kemerdekaan dan kebebasan pers di Indonesia mulai mendapatkan ruang setelah reformasi pada tahun 1998. Hal ini bahkan semakin dipertegas dengan pengakuan dan landasan hukum melalui UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk menggantikan Undang-Undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982 yang dinilai represif dan membelenggu kemerdekaan dan kebebasan pers.
23
Seperti yang telah disebutkan di atas, landasan hukum bagi kemerdekaan dan kebebasan pers tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999. Lebih dari itu, undang-undang yang sama juga menegaskan adanya ancaman hukuman bagi siapapun yang menghalangi kemerdekaan pers, sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 23
Juniver Girsang, Op.cit, hal. 5.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
ayat (1) UU No. 40 tahun 1999, yang berbunyi : “setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta”. Landasan hukum yang diberikan oleh UU No. 40 tahun 1999 itu semakin kuat setalah muncul amandemen UUD 1945 yang antara lain menyatakan di dalam Pasal 28 F, bahwa : “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengna menggunakan segala jenis saluran yang ada”. 24 Berpijak pada dua landasan hukum tersebut, yaitu Pasal 28 F UUD 1945 dan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, maka pers mendapatkan jaminan hukum yang kokoh dalam menjalankan kemerdekaan dan kebebasannya di Indonesia. Jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan pers adalah hal yang wajar, dan bahkan sudah seharusnya, karena kebebasan pers merupakan salah satu dimensi hak asasi manusia. Meskipun demikian, setiap kebebasan tentu memiliki batas yang disepakati berdasarkan kaidah kultural dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu pula kemerdekaan dan kebebasan pers tidak berari tanpa batas, tanpa rambu-rambu hukum. Ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengna menghormati norma-norma agama dan kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pada bagian Penjelasakan mengenai pasal ini dikemukakan : “pers nasional dalam menyiarkan 24
Perubahan Keempat Amandemen UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
informasi, tidak menghakimi atua membuat kesimpulan seseorang, terlebih lagi umum kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut”. Pasal 5 ayat (1) beserta Penjelasannya inilah yang dinilai, terutama oleh kalangan pers, sebagai rambu hukum untuk kebebasan dan kemerdekaan pers yang dimilikinya. Namun, dalam perkembangannya konsep kemerdekaan dan kebebasan pers, terutama soal batas-batasnya, kerap dimaknai secara berbeda antara pers dan masyarakat. Rumusal Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 seringkali diangap terlalu luas untuk ditafsirkan secara hukum, dalam arti tidak memberikan klausul-klausul rinci atau kriteria apa saja yang tergolong menghormati norma-norma agama dan kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bresalah itu. Masyarakat umum tidak mendapatkan gambaran dan kepastian hukum tentang, misalnya apakah tindakan penghinaan, pencemaran nama baik, menyatakan permusuhan dan sebagainya, termasuk pelanggaran oleh pers atau tidak. Bahkan, tidak berlebihan pula jika akhrinya masyarakat menganggap pasal tersebut tidak jelas dan terlalu melindungi konsep kebebasan dan kemerdekaan pers.
25
Sebaliknya, pihak pers menilai Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 beserta Penjelasannya tersebut sudah cukup jelas, dan sebagai implementasinya, di dunia pers dikenal prinisp dan etika jurnalistik, yaitu fair (jujur), cover both sides (berimbang dari kedua belah pihak), check and recheck, objektif, tidak mencampurkan fakta dan opini, serta tidak bias. Sekalipun demikian, sebagian masyarakat tetap menilai bahwa makna kebebasan dan kemerdekaan pers yang dituangkan dalam karya jurnalistik atau pemberitaan sering kelewat batas. Bahkan sampai muncul istilah pers “kebablasan”. 25
Lukas Luwarso, Kebebasan Pers dan Penegakan Hukum, Dewan Pers & UNESCO, 2003, hal. 5.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Berita yang disajikan oleh pers dianggap kerap menimbulkan efek negatif yang harus ditanggung oleh warga masyarakat akibat arogansi pers yang menafsirkan kemerdekaan dan kebebasan pers dengan terlampau longgar. Memang harus diakui, di satu sisi pers merupakan representasi dari hak untuk mengeluarkan pendapat dan hak untuk memperoleh informasi. Namun, di sisi lain, sebagian masyarakat menilai interaksi antara masyarakat dan pers semestinya sejajar, tetapi dalam praktiknya telah terjadi ketimpangan. Masyarakat, baik sebagai penerima maupun sebagai subjek informasi, sering merasakan adanya ketidakbenaran dalam pemberitaan yang disajikan oleh pers. Ketimpangan antara pers dan sebagian masyarakat pada akhirnya memunculkan berbagai kecaman terhadap pers. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, masyarakat juga memperkarakan pers ke pengadilan dengan tujuan memenjarakan (pidana penjara) insan pers. Padahal, pihak pers berharap setiap kasus pers harus diselesaikan bukan dengan KUHP sepanjang menyangkut karya jurnalistik, melainkan dengan UU Pers. Di luar karya jurnalistik, misalnya seorang wartawan melakukan pencurian, pemerasan, pembunuhan dan sebagainya barulah digunakan KUHP. Pada kenyataannya, perbedaan pandangan hukum (dualisme hukum) ini telah muncul dalam sejumlah perkara hukum pers di Indonesia. Hal ini memunculkan dua kubu yang saling berseberangan. Kubu pertama adalha pihak yang merasa telah terjadi pembelengguan kebebasan pers melalui jalur hukum pidana (KUHP) di luar UU Pers. Kubu ini umumnya diwakili oleh pihak pers. Sedangkan kubu lainnya adalah pihak yang merasa bahwa pers sudah “kebablasan” sehingga perlu diterapkan KUHP. Kubu ini
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
umumnya diwakili oleh negara, melalui polisi, jaksa, hakim dan pihak masyarakat yang merasa dirugikan oleh pers, akhirnya terjadilan perang hukum.
D. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Pers Indonesia Ihwal perlindungan hukum dalam profesi jurnalistik (khususnya media cetak) sebenarnya berhubungan erat dengan dua kebutuhan dasar, yaitu
26
:
1. terkait dengan perlindungan hukum terhadap pekerja pers dengan segala kompleksitas permasalahannya; 2. menyangkut perlindungan hukum terhadap masyarakat akibat arogansi pers. Dua masalah ini idealnya diletakkan dalam perspektif bersamaan dan diimplementasikan dalam makna yang sama pula, sehingga sajian pers akan mencerminkan nilai keadilan dan perlindu-ngan terhadap HAM. Jadi, tak semata menitikberatkan pada perlindungan terhadap para pekerja pers dengan menyampingkan perlindungan terhadap masyarakat. Sebenarnya banyak efek negatif langsung maupun tidak, yang harus ditanggung warga masyarakat akibat arogansi pers. Namun keadaan itu tak cukup menyadarkan kita, dan lebih banyak tertutup oleh aspek positif yang disampaikan pers. Yang dimaksud dengan perlindungan hukum, berkait dengan upaya penegakan hukum pers, diawali dengan terjadinya interaksi sosiologis antara pers dan masyarakat. Hubungan antara pers dan masyarakat itu, idealnya sejajar. Pers merupakan refleksi dari
26
Syamsul Wahidin, Perlindungan terhadap http//www.banjarmasin-pos.com, tanggal 8 November 2006.
Pekerja
Pers,
diakses
dari
situs
:
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
hak untuk mengeluarkan pendapat, sedangkan masyarakat merupakan refleksi dari hak untuk memperoleh informasi. Selama ini yang terjadi adalah mengemukanya hubungan subordinat antara pers dan masyarakat. Akibat ketaksejajaran hubungan ini muncul mekanisme yang timpang, yang beranjak pada asumsi munculnya sesuatu yang tak benar ketika terjadi interaksi antara pers dan masyarakat. Intinya, masyarakat dalam kedudukannya sebagai penerima informasi maupun subjek yang menjadi bahan informasi merasa adanya ketidakbenaran dalam sajian pers. Mekanisme yang ditempuh dalam perspektif yuridis berdasar hukum pers melalui tiga cara 27 : 1. hak jawab 2. jalur hukum (perdata maupun pidana) 3. hak jawab dan jalur hukum. Mekanisme melalui hak jawab, seringkali dipandang tak efektif, karena beberapa hal, yaitu : Pertama, orang belum tentu membaca jawaban tadi. Kendati pun menurut kode etik penyampaian hak jawab itu harus dilakukan sesuai dengan batasan tertentu, tetapi jawaban yang disampaikan tak menjamin berubahnya pendapat masyarakat me-ngenai masalah tertentu. Apalagi hak jawab tak berhubungan dengan benar-tidaknya satu sajian. Kedua, hak jawab dari perspektif pers mencerminkan kurang profesionalnya pers, sehingga pencantumannya seringkali direkayasa dengan berbagai dalih untuk menutupi kesalahan. Jika hal tsb menyebabkan turunnya kredibilitas penerbitan, biasanya pencantuman hak jawab disertai catatan yang
mengandung keinginan untuk
menggambarkan pers bukanlah pihak yang harus dipersalahkan. 27
Ibid.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Ketiga, hak jawab justru mendatangkan pertanyaan baru. Masyarakat cenderung berpegang pada sajian pertama. Berbagai pertanyaan seringkali muncul sehubungan adanya hak jawab tersebut. Melalui jalur hukum, seringkali dipandang tak efektif. Dalam kasus yang bermuatan delik pers, jalur hukum cenderung bertele-tele dan berakhir dengan ketidakpuasan pihak yang merasa dirugikan. Dari berbagai kasus menunjukkan, proses yang menunjukkan kekurangseriusan aparat dalam menangani delik pers. Ini dapat "dimaklumi" sehubungan posisi aparat penegak hukum yang kinerjanya memerlukan peran pers. Muncullah kerja sama yang dilembagakan dalam pola kemitraan, saling bantu, dan sebagainya. Akibatnya masyarakat yang secara tulus mengadukan pers kurang memperoleh tanggapan secara baik. Fenomena demikian mulai bergeser sejak pers menemukan kebebasaannya di era reformasi. Namun apakah hal itu akan berlanjut, masih harus ditunggu. Di sisi lain, belum ada yurisprudensi tentang tindak pidana pers. Dari berbagaikasus, seringkali diselesaikan di luar pengadilan, baik dengan prinsip win-win solution, maupun meniadakan pengaduan terhadap pers. Ukuran untuk ini tak jelas, kecuali berlindung di balik argumentasi penyelesaian berdasar hukum merupakan ultimum remidium, sehingga dipandang sah-sah saja, bahkan diutamakan penyelesaian dengan cara lain. Termasuk batasan waktu yang harus dijadikan patokan limitatif untuk menyelesaikan perkara sehubungan dengan pengaduan terhadap pers. Melalui dua jalur, juga dipandang tak efektif. Sebab, akhirnya juga menghasilkan sesuatu yang sifatnya sama. Atas dasar hal di atas, sebagian masyarakat lebih memilih penyelesaian secara "Hukum Adat" dengan melakukan penganiayaan, perusakan, bahkan pembunuhan terhadap orang yang dipandang harus bertanggung jawab atas munculnya sajian pers Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
bermasalah. Cara menyelesaikan masalah dengan cara peradilan jalanan dinilai lebih efektif. Secara kuantitas hal demikian sering terjadi. Tentunya ini mengkhawatirkan bagi pekembangan kebebasan pers ke depan. Di satu sisi, hal di atas menghadirkan urgensinya perlin-dungan hukum terhadap pekerja pers dari tindakan "Hukum Adat" warga masyarakat yang tak puas atas sajian pers. Dari perspektif ini, terasa ketidakadilan yang diterima pekerja pers yang menyebabkan terganggunya kinerja pers. Hukum (UU Pers) memberikan tiga macam proteksi yang secara yuridis tak memberikan tempat sama sekali terhadap penyelesaian secara hukum adat. Pertama, proteksi kepada pekerja pers dengan adanya jaminan siapa saja yang menghalang-halangi profesi wartawan akan disanksi. Juga, orang yang menghambat penerbitan pers akan disanksi. Kedua, proteksi kepada masyarakat atas jaminan sebuah penerbitan tak boleh menyiarkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai yang hidup di masyarakat. Nilai itu berbasis kesusilaan, kesopanan dan nilai lain yang secara universal dan peka dipegang masyarakat (setempat). Ketiga, mencegah munculnya pers tanpa identitas. Untuk itu pers dituntut mencantumkan penanggung jawab secara jelas, sehingga ketika sajian bermasalah, dapat diajukan tuntutan pada alamat yang jelas. Pertanggungjawaban normatif di atas memang tak memuaskan. Bahkan sanksinya bersifat administratif, seperti keharusan membayar denda, misalnya. Sedangkan kedudukan delik pers itu juga tak pasti. Delik aduan (klacht delict) kah atau delik formal yang tak harus menunggu pengaduan masyarakat. Jika memang bukan klacht delict, bagaimana mekanismenya? Apalagi ketentuan yang Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
berhubungan dengan aplikasi kinerja (misalnya pencemaran nama baik, fitnah dan sebagainya) tetap mengacu pada KUHP, sehingga batasan tentang delik pers itu menjadi kabur, baik konsep maupun aplikasinya. Sesuai dengan asas profesionalisme, idealnya pertanggungjawaban itu dikaitkan dengan kondisi objektif penerbitan pers yang merupakan kumpulan para profesional. Tanggung jawab harusnya dipikul oleh subjek yang memang berbuat, sesuai dengan deskripsi “politik keredaksian” yang dijadikan dasar oleh lembaga pers. Dengan demikian, akan sesuai dengan asas dalam hukum pidana, “siapa yang berbuat ia harus bertanggung jawab”. Juga, sesuai dengan prinsip keadilan paparan tentang 'tindak pidana secara materiil yang meletakkan kewajiban secara aktif kepada aparat penegak hukum. Perlindungan hukum terhadap pekerja pers dapat diambil dari konsep perlindungan hukum terhadap orang yang melaksanakan tugas dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri. Yakni, orang yang mengganggu dan menyebabkan terhambatnya pekerjaan apalagi sampai melakukan intervensi secara fisik
hukumannya ditambah
dengan sepertiganya (Pasal 212 KUHP dan seterusnya). Konsep demikian, sekurangnya menjadi upaya perlindungan hukum yang memadai. Di atas itu semua, alur berpikir hubungan antara pers dan masyarakat tak perlu dari sisi represif dengan membuat tesis tentang tidak harmonisnya hubungan pers dan masyarakat. Idealnya, karena pers sebagai institusi sosial, semestinya menyuarakan kebenaran di masyarakat. Tak semata-mata demi kebenaran, tetapi terkandung misi untuk menenteramkan dan mendamaikan masyarakat. Karena itu, fakta yang dalam takaran jurnalistik dipandang sebagai sakral dimaknai sedemikian rupa, sehingga terpulang pada seleksi apakah sebuah sajian dipandang menenteramkan dan mendamaikan mayarakat Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
atau tidak. Kalau tidak, ada kewajiban moral untuk tak menyajikan kepada masyarakat kendati pun secara ekonomis menguntungkan. Manakala kinerja para pekerja pers sampai tahap demikian, akan terwujud pola interaksi harmonis antara pers dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan konsistensi atas penegakan hukum terhadap terjadinya delik pers oleh aparat penegak hukum, sehingga warga masyarakat pun terayomi dari tindak arogansi pers. Sementara itu, pekerja pers juga dapat melaksanakana profesinya secara benar. Keseimbangan ini yang belum terwujud di dalam UU Pers sekarang.
BAB III TINDAK PIDANA PERS MENURUT KUH PIDANA DAN RUU KUHP NASIONAL
A. Tindak Pidana Yang Terkait dengan Pers Yang diatur di dalam KUHP Hal-hal yang diatur di dalam KUHP mengenai tindak pidana pers adalah : a) Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 134) dengan hukuman 6 tahun penjara. Pasal ini mengancam hukuman untuk “penghinaan dengan sengaja” terhadap Presiden. Yang diartikan dengan “penghinaan dengan sengaja” yaitu perbuatan-perbuatan macam apapun juga yang menyerang nama baik, martabat atau keagunngan Presiden dan wakil Presiden, termasuk segala macam penghinaan yang tersebut dalam Bab XVI Buku II KUHP yaitu Pasal 310 s/d 321, seperti menista, menista dengan surat, memfitnah, penghinaan ringan dan tuduhan memfitnah. b) Penghinaan terhadap Kepala Negara Sahabat (Pasal 142) dengan hukuman 5 tahun penjara. Dalam hal ini adalah perbuatan dengan sengaja menghina dengan maksud Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
menyerang kehormatan atau nama baik seperti yang diatur dalam Pasal 310 s/d 321 mengenai penghinaan. c) Penghinaan terhadap Wakil Negara Asing (Pasal 143) dengan hukuman 5 tahun penjara. Dalam hal ini adalah perbuatan dengan sengaja menghina dengan maksud menyerang kehormatan atau nama baik seperti yang diatur dalam Pasal 310 s/d 321 mengenai penghinaan. Wakil negara asing adalah wakil pada pemerintahan Indonesia seperti duta negara asing di Indonesia. Di sini orang yang menghina harus benarbenar mengetahui bahwa ia berhadapan dengan seorang duta, apabila dia tidak mengetahui, maka pasal ini tidak dapat diterapkan. d) Permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 154) dengan hukuman 7 tahun penjara. Pasal ini mengancam orang yang mengeluarkan perasaan permusuhan kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia. e) Pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan golongan (Pasal 156) dengan hukuman 4 tahun penjara. Pasal ini isinya sama dengan Pasal 154, bedanya ialah bahwa Pasal 154 pernyataan itu terhadap Pemerintah Indonesia, sedangkan Pasal 156 terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia. f) Pelanggaran kesusilaan (Pasal 282) dengan hukuman penjara 1 tahun enam bulan. Pasal
ini
mengatur
ancaman
hukuman
bagi
orang
yang
menyiarkan,
mempertontonkan atau menempelkan secara terang-terangan tulisan yang melanggar atau bertentangan dengan kesopanan. g) Penyerangan / pencemaran kehormatan atas nama baik seseorang (…kecuali jika dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri) (Pasal 310) – hukuman 9 bulan penjara. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
a) Perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama dan dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan yang Maha Esa (Pasal 156 a) dengan hukuman 5 tahun penjara. b) Penghasutan untuk melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti ketentuan Undang-Undang dengan hukuman 6 tahun penjara.
B. Tindak Pidana Pers Menurut RUU KUHP Nasional Jika melihat dari sudut pandang rancangan undang-undang KUHP (RUU KUHP) yang baru saat ini, maka Pasal 531 sampai dengan Pasal 541 RUU KUHP telah mengakomodasi permasalahan penghinaan maupun fitnah yang dapat terjadi dalam pemberitaan Pers. Untuk masalah penghinaan Pasal 531 Ayat (1) RUU KUHP telah mengatur secara jelas mengenai kriteria tindak pidana penghinaan, yaitu terlihat dari unsur-unsurnya sebagai berikut : 1. setiap orang; 2.
dengan lisan;
3. menghina menyerang; 4. kehormatan atau nama baik orang lain; 5. menuduhkan suatu hal; 6. dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum. Untuk Pasal Ayat (1) RUU KUHP tersebut ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak
Kategori III (Rp.
30.000.000,-). Sedangkan untuk tindak pidana yang dilakukan secara tertulis diatur dalam Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Pasal 531 Ayat (2) RUU KUHP, sebagai pemberat tindak pidana terhadap Pasal 531 Ayat (1) RUU KUHP. Pemberatan tersebut akan dikenakan apabila penghinaan tersebut memenuhi unsur-unsur: dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum. Dengan demikian jika tindak pidana penghinaan dilakukan melalui pemberitaan pers telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 531 Ayat (2) RUU KUHP. Akan tetapi dalam Pasal 531 Ayat (3) RUU KUHP diatur pula mengenai dasar pembenar untuk melakukan hal-hal yang diatur dalam Pasal 531 Ayat (1) dan (2) RUU KUHP, yaitu jika perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Untuk Pasal 531 Ayat (2) RUU KUHP ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Kategori III (Rp. 30.000.000,-). Untuk tindak pidana fitnah, hal tersebut diatur dalam Pasal 532 RUU KUHP. Tindak pidana fitnah itu sendiri merupakan pengembangan dari tindak pidana penghinaan baik yang diatur dalam Pasal 531 Ayat (1) maupun Ayat (2) RUU KUHP. Tindak pidana fitnah merupakan tindak pidana penghinaan yang ditambahkan unsur kesempatan bagi pelaku penghinaan untuk membuktikan kebenaran apa yang dituduhkannya, dan jika apa yang dituduhkan oleh si pelaku tersebut tidak terbukti, maka ia telah melakukan tindak pidana fitnah. Apabila tindak pidana fitnah itu dilakukan melalui media pemberitaan pers maka tindak pidana fitnah tersebut akan memenuhi unsur Pasal 531 Ayat (2) RUU KUHP. Untuk tindak pidana fitnah (Pasal 532 RUU KUHP) ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling sedikit 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Kategori III (Rp. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
30.000.000,-) dan paling banyak Kategori IV (Rp.75.000.000,-). Dengan demikian RUU KUHP sendiri di lain sisi juga cukup memberikan perlindungan bagi kebebasan pers, yaitu kesempatan bagi terdakwa pelaku penghinaan atau fitnah untuk membuktikan kebenaran mengenai apa yang dituduhkannya, atau dalam hal penghinaan atau fitnah tersebut dilakukan melalui pemberitaan pers maka wartawan yang melakukan pemberitaan tersebut dapat diberi kesempatan oleh hakim untuk membuktikan kebenaran mengenai pemberitaannya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 532 Ayat (2) RUU KUHP, dimana diatur bahwa pembuktian kebenaran akan tuduhan yang dilakukan tersebut, hanya dapat dilakukan dalam hal: 1. hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran tuduhan tersebut guna mempertimbangkan keterangan terdakwa bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri; 2. pegawai negeri dituduh melakukan suatu hal dalam melakukan tugas jabatannya. Selanjutnya Pasal 533 Ayat (1) RUU KUHP memberikan dasar pemaaf bagi pelaku penghinaan dan fitnah yaitu apabila tuduhan yang dibuat oleh si pelaku tersebut terbukti kebenarannya berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) maka, si pelaku tidak dapat dipidana atas fitnah. Hal ini tentu saja berlaku juga terhadap tindak pidana fitnah yang dilakukan melalui pemberitaan pers. Jika pemberitaan pers yang dianggap menghina atau menfitnah itu dapat dibuktikan kebenarannya maka, wartawan yang menjadi terdakwa tidak dapat dipidana atas tuduhan penghinaan atau fitnah. Sebaliknya, jika berdasarkan putusan hakim yang telah berkekekuatan hukum tetap perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak terbukti, maka si terhina atau si terfitnah tersebut dibebaskan dari apa yang dituduhkan, dan putusan Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
tersebut menjadi bukti sempurna bahwa apa yang dituduhkan tersebut tidak benar. Dalam hal ini benar-benar diperlukan hakim atau pengadilan yang betul-betul menghayati dan memahami seluk-beluk penerapan hukum pidana khususnya tentang penghinaan dan fitnah. Dalam hal terjadi kasus penghinaan atau fitnah, maka proses persidangan terdakwa penghinaan atau fitnah akan ditunda terlebih dahulu jika hakim memutuskan untuk membuktikan kebenaran akan apa yang dituduhkan dalam penghinaan atau fitnah tersebut (Pasal 533 Ayat 3 RUU KUHP) yang dilakukan baik secara lisan maupun secara tertulis (termasuk media pemberitaan pers). Setelah persidangan masalah pembuktian kebenaran tuduhan tersebut mempunyai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap maka barulah proses persidangan perkara penghinaan atau fitnah dilanjutkan. Hal tersebut dilakukan karena pembuktian akan kebenaran tentang hal yang dituduhkan dalam penghinaan atau fitnah tersebut akan menjadi alat bukti yang sangat menentukan dalam persidangan perkara penghinaan atau fitnah. Perlu ditekankan juga bahwa tindak pidana penghinaan dan fitnah adalah merupakan delik aduan (Pasal 538 RUU KUHP) karena pelaku tindak pidana penghinaan dan fitnah tidak akan dituntut, jika tidak ada pengaduan dari orang yang berhak mengadu, kecuali jika yang dihina atau difitnah adalah seorang pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya yang sah (Pasal 532 ayat (2) huruf b RUU KUHP). Berdasarkan pemaparan diatas dapat dimengerti bahwa kebebasan pers dalam mengemukakan berita tetap dijaga, akan tetapi bukan berarti kriminalisasi dalam pers tidak dimungkinkan. Dalam hal media pers telah menjadi alat untuk melakukan penghinaan dan fitnah tentu saja oknum tersebut harus dapat dipidana. Jadi bukan pers Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
sebagai media pemberitaan yang dikriminalisasi tetapi pelaku, oknum yang mungkin saja menunggangi pers atau memanfaatkan pers untuk kepentingan yang melanggar hukum, itulah yang akan dikriminalisasi. Jadi yang diadili adalah si pelaku dan bukan pers. Dalam pembuktian pidana penghinaan dan fitnah yang dilakukan melalui media pemberitaan pers, tentu saja harus terdapat opzet atau kesengajaan pelaku untuk melakukan tindak pidana, dan juga adanya schuld atau kesalahan dalam perbuatan tersebut. Jadi sesungguhnya bukan pemberitaan pers yang dipidanakan tetapi perbuatan menghina atau memfitnah tersebut yang dipidana. Harus diakui bahwa belum semua pers Indonesia dikelola secara profesional dan mampu melakukan pemberitaan yang bertanggung jawab, banyak perusahaan pers yang mengeluarkan berita-berita gosip dan pernyataan-pernyataan yang tidak benar atau bias. Di lihat dari sisi lain kepentingan masyarakat, tentu saja pers yang tidak berkualitas akan sangat merugikan karena tidak mendidik masyarakat dan sebagai pembentuk opini publik, pers akan sangat berbahaya jika dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki tujuan-tujuan yang melanggar hukum. Oleh karena itu jika dipandang dari sudut pandang hukum pidana khususnya dalam RUU KUHP, hukum secara seimbang telah mengatur antara kebebasan pers dan pertanggung jawaban isi dari beritanya, dan perlu diingat bahwa pasal-pasal penghinaan dan fitnah dalam RUU KUHP adalah pasal-pasal yang mengatur mengenai tindak pidana penghinaan dan fitnah secara umum (general) jadi tidak hanya mengacu pada pemberitaan pers saja. Justru dengan adanya pasal-pasal mengenai penghinaan dan fitnah dalam RUU KUHP maka pers Indonesia didorong untuk menjadi lebih profesional dan lebih bertanggung jawab dalam menerbitkan pemberitaan. Hal tersebut karena pers selain Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
mempunyai tugas untuk memberikan informasi secara terbuka dan transparan terhadap masyarakat, pers juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik masyarakat dan untuk menjaga opini publik, yang rentan terhadap situasi sosial politik di negara seperti Indonesia. Akan tetapi ada yang perlu dikritisi dalam pasal-pasal mengenai penghinaan dan fitnah RUU KUHP yaitu mengenai pembukt ian akan kebenaran tuduhan yang dibuat oleh terdakwa penghinaan atau fitnah yang didasarkan atas kepentingan umum atau pembelaan diri. Berdasarkan Pasal 532 Ayat (2) RUU KUHP pembuktian kebenaran tuduhan yang dibuat oleh terdakwa penghinaan atau fitnah sepenuhnya tergantung pada keputusan hakim, sedangkan seharusnya pembuktian mengenai apa yang dituduhkan sebagai penghinaan atau fitnah harus dilakukan tanpa kecuali karena hal tersebut merupakan bukti apakah si terdakwa benar melakukan tindak pidana atau tidak. Hal lain yang perlu dikritisi adalah tidak efisiennya persidangan, karena sidang pembuktian akan kebenaran tuduhan fitnah atau penghinaan pasti akan memakan waktu yang lama sehingga asas peradilan yang cepat, dan biaya murah sulit untuk diterapkan dalam kasus penghinaan dan fitnah. Akhirnya, kebebasan pers merupakan hal yang mutlak untuk dijaga dan dijamin secara hukum. Namun demikian pers sebagai bagian dari demokrasi harus memiliki profesionalisme dan tanggung jawab dalam melakukan tugasnya. Oleh karena itu hukum berada ditengah masyarakat guna untuk menciptakan keseimbangan antara demokrasi, kebebasan, dan tanggung jawab. Pers tidak kebal hukum tetapi kebebasan pers tidak pernah terancam karena kebebasan pers bukan merupakan kejahatan.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
C. Perbandingan Antara Tindak Pidana Pers dalam KHUP dengan Tindak Pidana Pers dalam RUU KUHP Nasional Ada beberapa catatan perbandingan antara tindak pidana pers yang terdapat dalam KUHP dan RUU KUHP, yaitu : Pertama, hampir semua pasal tentang tindak pidana pers yang terdapat dalam KUHP dimasukkan kembali ke dalam RUU KUHP. Ini termasuk sejumlah pasal yang banyak diktitik, yakni pasal-pasal yang berisi penghinaan terhadap penguasa (Haatzaai Artikelen) dan pasal-pasal mengenai pencemaran nama baik. Perubahan yang dilakukan dalam RUU KUHP adalah pada perluasan definisi pers. Dalam RUU KUHP terlihat, tindak pidana pers dilebarkan dari yang semula (mengikuti tiplogi pembagian tindak pidana pers Umar Senoadji) tindak pidana pers dalam arti sempit ke dalam arti luas. Dalam pasal-pasal mengenai pers, tercakup semua jenis media yakni media cetak (mempertunjukkan, menempelkan), media televisi (menyiarkan, menempelkan gambar) hingga media radio (memperdengarkan rekaman). Kedua, RUU KUHP bukan memperkecil pasal-pasal mengenai delik pers. RUU KUHP sebaliknya menambah beberapa pasal mengenai tindak pidana pers. Apa yang tidak diatur dalam KUHP, ada dalam RUU KUHP. Dalam RUU KUHP terdapat tindakan pidana berupa peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila (Pasal 214) dan pidana penyebaran dan pengembangan komunisme (Pasal 214). Ketiga, sejumlah tindakan pidana dalam KUHP dijabarkan atau didetilkan lebih lanjut dalam RUU KUHP. Tidak mengherankan jikalau pasal-pasal mengenai tindak pidana pers lebih banyak terdapat dalam RUU KUHP. Misalnya pasal mengenai permusuhan atau penghinaan terhadap kelompok tertentu. KUHP menggabungkan Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
permusuhan terhadap golongan, agama dalam satu pasal. Sementara dalam RUU KUHP, pidana penghinaan terhadap kelompok/golongan dan agama ini dipisah. Dalam RUU KUHP juga dimasukkan pidana mengenai penghasutan untuk menidakan keyakinan orang terhadap agama. Tindak pidana lain yang didetilkan ( dijabarkan) dalam RUU KUHP adalah
mengenai berita bohong. Dalam KUHP hanya ada 1 pasal yang
mempidanakan penyiaran berita bohong. Sementara dalam RUU KUHP, selain penyebaran berita bohong juga diatur pidana penyiaran berita yang tidak pas, tidak lengkap dan berlebihan. Dalam hal pengaturan pornografi. KUHP hanya memuat 2 pasal yang berkaitan dengan penyiaran dan penyebaran materi pornografi. Sementara dalam RUU KUHP, tindakan pidana pornografi ini diatur dari hulu hingga hilir dari model yang mengeksploitasi daya tarik seksual ( Pasal 472), pihak yang membuat (Pasal 470 dan Pasal 474), pihak yang mendanai ( Pasal 476) hingga pihak yang menyiarkan dan menyebarluaskan (Pasal 471 dan Pasal 474). Bahkan ketentuan dalam RUU KUHP juga menyertakan pidana terhadap pihak yang menyediakan tempat (misalnya museum) yang menyelenggarakan pameran seni yang dikategorikan mengeksploitasi daya tarik seksual. Keempat, RUU KUHP adanya ketentuan hukuman yang terdapat dalam KUHP, yakni pencabutan profesi. Dalam tindak pidana pers, paling tidak terdapat 7 pasal dalam RUU KUHP dimana pelaku bukan hanya dijatuhi hukuman kurungan tetapi juga pencabutan profesi. Pencabutan profesi ini dilakukan jikalau pelaku dalam menjalankan profesinya melakukan tindak pidana yang sama dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam konteks pekerjaan jurnalis, wartawan bisa dicabut profesinya (sebagai wartawan) jikalau melakukan tindak pidana yang sama. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
RUU KUHP jelas tidak ramah terhadap kemerdekaan pers karena semangat yang ada dalam Rancangan KUHP terutama berkaitan dengan pers adalah semangat represif. Jika berita pers salah, maka harus dihukum dan dipidana. Ini tidak akan menumbuhkan kehidupan pers yang sehat dan demokratis. Paradigma yang dianut dalam RUU KUHP berbeda dengan paradigma yang ada dalam Undang-Undang Pers (UU No. 40 tahun 1999) dan Undang-Undang Penyiaran ( UU No. 32 tahun 2002). Kedua Undang-Undang ini dibangun dengan prinsip membangun media dalam ranah demokrasi. Media ditempatkan sebagai mediun yang penting untuk menumbuhkan semangat demokratis dan sebagai saluran kontrol kepentingan publik. Tentu saja dalam melakukan tugasnya, pers bisa salah. Tetapi kesalahan itu tidak lantas dihukum dengan ancaman pidana. Undang-Undang pers lebih mengedepankan semangat membangun pers agar tumbuh sehat dan bertanggungjawab dengan penyelesaian lewat jalur mediasi (melalui hak jawab dan penyelesaian Dewan Pers). Jika ada berita media yang tidak akurat, narasumber dapat menggunakan haknya untuk mengkoreksi pemberitaan media. Undang-Undang Pers menjamin, pers wajib memberikan hak jawab dari narasumber yang merasa diberitakan secara tidak benar oleh media. Paradigma semacam ini tidak muncul dalam RUU KUHP. Dalam RUU KUHP yang terjadi adalah kriminalisasi kegiatan jurnalis. Apabila pers salah (misalnya memberitakan secara tidak benar), dihukum dengan ancaman pidana. Karena itu banyak pasal-pasal dalam RUU KUHP yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Pers (UU No. 40 tahun 1999) dan Undang-Undang Penyiaran ( UU No. 32 tahun 2002). Salah satu ketidaksesuaian tersebut adalah pasal mengenai berita bohong (RUU KUHP Pasal 632). Pasal ini hanya mengoper pasal serupa yang ada dalam KUHP (Pasal Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
171). Dalam prakteknya, pasal ini banyak dipakai oleh jaksa penuntut umum atau hakim dalam mengadili sengketa jurnalis terutama pers dinilai tidak memberitakan secara benar suatu peristiwa. Dalam RUU KUHP, media yang salah atau tidak benar dalam pemberitaan, dihukum dengan ancaman pidana. Sementara dalam UU Pers, pendekatan yang dikedepankan adalah mediasi antara pihak yang tidak puas dengan pemberitaan media. Khalayak mempunyai hak jawab, dan pers wajib melayani hak jawab tersebut. Orang yang tidak puas dengan berita media bisa mengajukan keberatan, dan pers wajib memuat ketidakpuasan narasumber. Soal berita bohong ini juga diatur dalam kode etik wartawan (Kode Etik Wartawan Indonesia, butir 4 : wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila). Oleh karena itu penggunaan instrumen hak jawab, yang diatur dalam Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menjadi penting, karena merupakan upaya untuk mewujudkan keseimbangan antara kemestian pers bebas dan upaya perlindungan kepentingan individu dari pemberitaan pers yang keliru. Penggunaan hak jawab, kewajiban hak jawab, dan hak koreksi sebagai prosedur yang harus dilalui sebelum pers diminta pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadi adanya dugaan perbuatan melanggar hukum. Jika hak jawab tersebut tidak digunakan, maka pemberitaan yang dilakukan oleh pers mengandung kebenaran atau paling tidak mempunyai nilai estimasi karena sudah dianggap memenuhi batas minimal investigasi reporting yaitu mencari, menemukan, dan menyelidiki sumber berita, sehinga paling tidak sudah terpenuhi pemberitaan yang berimbang.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Oleh karena itu, penting untuk melihat pendapat Mahkamah Agung bahwa unsur melawan hukum dalam KUHP dan/atau RUU KUHP tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang ketentuan KUHP dan/atau RUU KUHP. Apalagi, tindakan yang dilakukan oleh wartawan dilakukan berdasarkan.
D. Wacana Dekriminanalisasi Pers di Indonesia Dekriminalisasi karya jurnalistik dalam media pers kini sudah menjadi tuntutan zaman yang tidak terelakkan. Tuntutan ini tidak memungkinkan kita menarik kembali sejarah kebebasan ke masa lampau. Kebebasan itu termasuk kebebasan pers, yang merupakan bagian satu paket yang tidak terpisahkan dari kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat yang dimiliki setiap warga, seperti demonstran, aktivis advokasi, dan penceramah. Perkembangan kebebasan manusia di banyak negara sudah demikian jauh sehingga dipandang tidak lagi wajar, bahkan tidak patut untuk menjatuhkan sanksi hukum pidana penjara kepada para pencipta karya pemikiran kreatif, seperti karya jurnalistik, pendapat, atau ekspresi. Berkat perjuangan yang amat panjang dari para pendukung kebebasan, keterbukaan, dan demokrasi, perkembangan itu kini amat berbeda dari, umpamanya, sikap para penguasa pemerintahan lima abad lalu. Ketika dunia cetakmencetak baru mengawali sejarahnya di Eropa sekitar 500 tahun silam, seorang pejabat tinggi Inggris mengingatkan, "Kita harus menghancurkan percetakan. Jika tidak, percetakan akan menghancurkan kita." Tetapi, para pencetak terus mencetak segala rupa gagasan pada mesin cetak berukuran kecil dan sederhana. Ketekunan ini hanya berbekal
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
keyakinan pada kata-kata pemikir besar bahwa "Kita harus mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan membuat kita bebas 28." Di Inggris pada masa itu, mengkritik raja, para menteri, dan parlemen, dipandang sebagai kejahatan. Hakim Agung Inggris bahkan menetapkan, "Menulis masalah pemerintah-tidak menjadi soal, apakah itu memuji atau mencela-adalah tindak kejahatan karena tidak seorang pun berhak mengatakan sesuatu tentang pemerintah." Hukuman bagi pelanggaran terhadap ketetapan ini ialah memotong daun telinga, mengiris lidah, dan siksaan lain, hukuman mati (Gertrude Hartman, Builders of the Old World). Penindasan terhadap arus informasi dan pendapat di Inggris mencerminkan kekhawatiran di Eropa bahwa percetakan telah menjadi alat untuk berekspresi dan melakukan pembaruan melalui produk bacaan. Ketakutan demikian juga menyebar ke wilayah koloni Inggris di Benua Amerika. Gubernur Inggris di Virginia, Sir William Berkeley, pada tahun 1671 mengatakan, "berterima kasih kepada Tuhan" karena wilayah kekuasaannya terbebas dari kegiatan cetak-mencetak 29. Ketakutan itu menular ke Hindia Belanda 41 tahun kemudian. Seharusnya Indonesia sudah memiliki surat kabar pertama pada tahun 1712. Tetapi, De Heeren Zeventien, 17 direktur VOC (Perserikatan Dagang Hindia Timur), di Nederland melarang rencana penerbitan surat kabar itu di Batavia karena takut para pesaingnya mendapat keuntungan dari berita perdagangan yang dimuat di koran itu. Barulah 32 tahun kemudian, pada tahun 1744, pemerintah liberal dari Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron von Imhoff membolehkan penerbitan surat kabar pertama di negeri ini,
28 29
Atmakusumah, Dekriminalisasi Pers Tuntutan Zaman, Harian Kompas, edisi 12 Maret 2005. Ibid
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia). Nasib koran pertama ini tetap buruk. Hampir dua tahun kemudian, pada 20 Juni 1746, gubernur jenderal terpaksa memberedelnya atas perintah para direktur VOC yang menganggap koran itu "merugikan dan membahayakan." Barangkali karena mereka ketakutan kepada para pesaing dagang yang memperoleh informasi dari Bataviasche Nouvelles. Setelah itu, pemberedelan media pers hampir terus terjadi di Hindia Belanda. Demikian pula pada masa penjajahan Jepang selama Perang Dunia II bahkan setelah Indonesia merdeka. Pemberedelan terakhir terjadi pada tahun 1994, 250 tahun sejak kelahiran surat kabar pertama di negeri ini dan empat tahun sebelum pemerintahan Orde Baru berakhir 30. Dewasa ini di Indonesia muncul wacana tentang adanya dekriminalisasi pers di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi keinginan untuk meningkatkan kebebasan pers. Adanya delik pers di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengundang protes berbagai organisasi wartawan dan Dewan Pers. Mereka meminta delik atau tindak pidana tentang pers dicabut dari RUU KUHP karena sudah diatur secara khusus dalam UU Pokok Pers nomor 40 Tahun 1999, sesuai asas lex specialis derogate lex generale (peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan umum). Di negara demokrasi, penyelenggaraan pers tidak boleh dikontrol dan diintervensi oleh pemerintah. Dan umumnya penyelenggaraan pers didasarkan pada asas self regulating. Kalaupun harus diatur pihak eksternal umumnya diatur oleh suatu badan pengatur independen. Di tempat kita disebut dewan pers untuk pers cetak dan atau KPI untuk pers elektronik. 30
Ibid
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Dalam organisasi pengawasan pers, secara sederhana ada dua pelaku kontrol yang lazim berlaku di negara demokrasi, yaitu: 1. Pelaku kontrol internal, terdiri dari hati nurani wartawan sendiri, editor, dan ombudsman media yang bersangkutan. 2. Pelaku kontrol eksternal yang berisi kontrol dari masyarakat, media watch, organisasi wartawan/pers, dewan pers/KPI, dan jalur hukum (apabila terjadi pelanggaran dalam karya jurnalis diproses secara civil defamation, sedangkan pelanggaran berita non karya jurnalis secara criminal defamation) Dan apabila ternyata lembaga ombudsman, media watch, organisasi wartawan/pers, dewan pers, KPI, pada kenyataannya gagal dalam mengontrol pers, hal ini yang kemudian kelak dapat menjadi dalih bagi penganut konsep pers otoriter, agar pemerintah kembali turun tangan mengontrol pers 31. Di negara semacam USA, Belanda, Jepang, Korea Selatan, Australia dan lainlain, mereka mengembangkan politik hukum medianya antara lain bercirikan tidak menganut criminal defamation; tidak memenjarakan wartawan karena karya jurnalistik yang dihasilkannya; melainkan menganut civil defamation, karya jurnalis yang terkandung pencemaran nama baik, perusahaan pers dapat dihukum denda. Tetapi bukan berarti watawan lantas tidak bisa dikriminalkan. Sepanjang hasil karyanya merupakan
31
Ampuan Situmeang SH, MH, Disampaikan pada : Diskusi Mengurai Delik Pers dalam RUU KUHP, yang diselenggarakan oleAliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Aliansi Reformasi KUHP, Batam, 21 September 2006. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
malpraktek jurnalisme atau penyalahgunaan profesi mediapers, wartawan tetap bisa dikriminalkan 32. Berita yang merupakan hasil malpraktek antara lain bercirikan 33: 1. Tidak untuk kepentingan umum, tetapi misalnya untuk kepentingan pemerasan 2. Hasil fabrikasi; 3. Berintensi malice, misalnya untuk melampiaskan dendam kepada seseorang atau instansi tertentu. Hal-hal tersebut diatas dapat dijadikan sebagai modus operandi bagi wartawan untuk dapat dikriminalkan. Kriminalisasi karena malpraktek jurnalistik, dimasukkan dalam kerangka menjaga substansi kemerdekaan pers tetap terpelihara dan terhindar karena gangguan operasi kerja wartawan yang terselipkan unsur present of actual malice 34. Lalu bagaimana cara menyelesaikan permasalahan hukum akibat pemberitaan pers. Berdasarkan UU no. 40/1999 tentang Pers, apabila terjadi pelanggaran pemberitaan bisa diselesaikan dengan cara 35: 1. Melalui mekanisme penyelesaian dewan pers; yakni berdasarkan UU No. 40 tahun 1999, pasal 15 ayat (2) huruf c dan d3, yang berbunyi sebagai berikut : “Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: (c). menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik 32
Amirudin dalam makalah yang berjudul “Kriminalisasi atas Kebebasan Pers dalam Perspektif pers, Disampaikan pada : Diskusi Mengurai Delik Pers dalam RUU KUHP, yang diselenggarakan oleAliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Aliansi Reformasi KUHP, Batam, 21 September 2006. 33 Banjar Nakon Brudar, Delik Pers, Jakarta, Chalia Indonesia,1994, hal. 22 34
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Memebicarakan Peran Dewan Pers melaksanakkan fungsi-fungsinya. 35 Jakop Oetama, Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Jakarta, Penerbit buku Kompas, Oktober 2001. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
(d). memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
Penjelasan pasal 15 Ayat (2), menyatakan : “Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik”. Dewan Pers dapat mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasuskasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, yang antara lain apabila terbukti permintaan maaf terbuka, kesepakatan ganti rugi, dan melakukan skorsing sampai tindakan pemecatan terhadap wartawan yang salah. Dalam konteks itu, tugas-tugas Dewan Pers hanyalah sebatas sampai menghasilkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR). Yang berwewenang melaksanakan sanksi adalah media yang bersangkutan itu sendiri. Bila media ternyata tidak bersedia melaksanakan sanksi sebagai tindak lanjut dari PPR yang diterbitkan Dewan Pers, maka Dewan Pers akan mempublikasikan secara terbuka kepada umum, dengan harapan yang melakukan penilaian akhirnya publik.
2. Mekanisme penyelesaian kedua adalah melalui jalur hukum, yakni berdasarkan UU No. 40 tahun 1999, Pasal 18 ayat (2) dan (3). Kemudian apabila ternyata berita yang dihasilkan terbukti bersalah dan atau bukan merupakan hasil karya jurnalistik tetapi adalah hasil malpraktek maka berlaku Pasal
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
12 Penjelasan, UU No. 40 tahun 1999 yang dapat diproses dalam perkara pidana sesuai mekanisme KUHP. Berikut ini beberapa peraturan mengenai pers, yaitu 36: 1. UU pers (Lex Specialis) 2. Dekriminalisasi Pers (Pasal 50 KUHP atau Pasal 31 RUU KUHP) 3. RUU Keterbukaan Informasi 4. RUU Perlindungan Saksi 5. Asas “Absence of Malice” Pasal 18, ayat (2) menyatakan : “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” 3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) Penjelasan pasal 18 Ayat (2), menyatakan : “Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 12”. Penjelasan Pasal 12, menyatakan : “Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundangundangan yang berlaku”. Pasal 50 (KUHP), menyatakan :
36
Jakop Oetama. Berpikir Luang tentang Keindonesiaan. Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2001.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang- Undang, tidak dipidana”.
Oleh karena itu, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah
37
:
1. Perlu fatwa atau Peraturan MA yang menyatakan UU No. 40 tahun 1999 adalah Lex Specialis, sebagaimana diatur di dalam Pasal 311 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, yaitu : “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Selanjutnya Pasal 1365 dan pasal 1372 KUH Perdata, sebagai berikut : Pasal 1365 berbunyi : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1372 berbunyi : “Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. Dalam menilai satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat-ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan”.
37
Sapto Pradityo, Politisi Dukung Anti Kriminalisasi Pers, Majalah Tempo, edisi September 2004.
Kamis, 2
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Jika UU Pers, bukan lex specialis, UU ini justru memperberat hukuman bagi pers, bukannya melindungi (l KUHP Pasal 63 ayat (1) yang berbunyi : “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”. 2. Setiap komplain harus ditanggapi secara serius 3. Perlu ditawarkan Hak Jawab, Hak Koreksi, Klarifikasi, Jasa Ombudsman atau penyelesaian melalui Dewan pers.
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PERS MENURUT UU No. 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS
A. Tindak Pidana Pers di dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut dengan UU Pers) telah menjadi tonggak dalam sejarah kemerdekaan pers di Indonesia. UU Pers ini lahir karena desakan masyarakat pers yang menginginkan adanya jaminan kemerdekaan pers yang kuat melalui instrumen hukum. Jaminan yang diinginkan oleh masyarakat pers pun akhirnya didapat dan UU Pers dalam catatan penulis menjadi satu-satunya UU yang tidak memiliki pengaturan lebih lanjut dalam bentuk apapun dan menjadikan Dewan Pers menjadi organ/lembaga negara independen. Namun jaminan kemerdekaan secara legal formal nampak belum cukup menjamin anggota masyarakat pers lepas dari segala bentuk tindak kekerasan dan juga berbagai tuntutan hukum, baik pidana ataupun perdata, dari individu atau kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya pemberitaan pers 38.
Meski Mahkamah Agung melalui putusannya No 1608 K/PID/2005 dalam kasus Bambang Harymurti telah menyatakan bahwa kebebasan pers merupakan conditio sine qua non bagi terwujudnya demokrasi dan Negara berdasar atas hukum, maka tindakan hukum yang diambil terhadap pers yang menyimpang tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum oleh karena itu proses pemidanaan terhadap pers tidak mengandung upaya penguatan pers bebas malah membahayakan kehidupan pers bebas. Sampai saat ini masih terdapat empat perkara pemidanaan terhadap pemberitaan pers yang masih dalam proses pengadilan. Yaitu kasus Supratman (Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka) dalam kasus penghinaan terhadap Presiden, Risang Bima Wijaya (Pemimpin Redaksi Radar Yogya) dalam kasus 38
S. Sinancari Ecep, UU Pers Nasional, diakses dari situs : http//www.hukumonline.com, tanggal 20 Januari 2006. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
pencemaran nama baik, Teguh Santosa (Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Online) dalam kasus penodaaan terhadap agama, dan Karim Paputungan (Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka), dalam kasus pencemaran nama baik.
Sementara dalam konteks gugatan perdata melalui putusan Mahkamah Agung MA No 903 K/PDT/2005 dalam kasus Tomy Winata Vs. PT Tempo Inti Media, Zulkifli Lubis, Bambang Harymurti, Fikri Jufri, Toriq Hadad, Achmad Taufik, Bernarda Burit, Cahyo Junaedi dan putusan MA No 3173 K/PDT/1993 dalam kasus Surat kabar Harian Garuda, Y Soeryadi, Syawal Indra, Irianto Wijaya, Yayasan Obor Harapan Medan Vs. Anif kembali menegaskan tentang harus didahulukannya penggunaan hak jawab, kewajiban hak jawab, dan hak koreksi sebagai prosedur yang harus dilalui sebelum pers diminta pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadi adanya dugaan perbuatan melanggar hukum. Dalam kasus ini Mahkamah Agung berpegang pada pendapatnya bahwa kebebasan pers merupakan prinsip dasar yang dijamin dalam UUD dan system kenegaraan Republik Indonesia oleh karena itu hak jawab dan penyelesaian melalui lembaga pers merupakan prinsip yang mengatur keseimbangan lembaga pers dan individu atau kelompok. Maka penggunaan hak jawab atau penyelesaian melalui lembaga pers merupakan tonggak yang harus ditempuh sebelum memasuki upaya hukum lain. Namun, berdasarkan catatan AJI Indonesia, selama 2006 masih terdapat 7 tuntutan hukum, pidana dan perdata, terhadap media dan jurnalis.
Ujian terhadap UU Pers untuk mampu menyandang gelar lex specialist masih menemui jalan panjang dan berliku. Oleh karena itu dibutuhkan suatu terobosan untuk mengukuhkan kemerdekaan pers yang telah dijamin oleh UUD RI dan juga instrumen Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
hukum lainnya serta berbagai putusan Mahkamah Agung. Terobosan ini dapat dilakukan melalui revisi UU Pers, akan tetapi revisi ini akan mengundang reaksi keras dari anggota masyarakat pers, karena pada umumnya masyarakat pers memandang curiga bahwa revisi UU Pers justru akan mengundang campur tangan pemerintah seperti yang telah terjadi dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran serta berpotensi untuk melemahkan kemerdekaan pers yang telah dijamin oleh UU Pers. Terobosan lain yang perlu dipikirkan adalah membentuk RUU tentang Penyelesaian Perselisihan Pemberitaan Pers (RUU P4) untuk merespon berbagai tuntutan pidana maupun gugatan perdata yang melanda media dan jurnalis di Indonesia dan juga merespon kebuntuan perdebatan tentang penting tidaknya revisi terhadap UU Pers.
Pers sebagai alat kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) seharusnya dapat bekerja secara profesional sesuai kode etik. jurnalistik. Fungsi pers sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU Pers No. 40 Tahun 1999, mengatakan bahwa: (1) Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, (2) Pers wajib melayani Hak Jawab, (3) Pers wajib melayani Hak Koreksi. Berdasarkan ketentuan tersebut, pers nasional dalam menyiarkan informasi dilarang keras membuat opini atau menyimpulkan kesalahan seseorang, terlebih jika kasus yang diliput itu masih dalam proses peradilan. Penyiaran informasi itu harus
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
berimbang dari sumber berita pihak terkait dan sesuai dengan fakta yang terungkap di lapangan 39. Konsekuensi pelanggaran ketentuan tersebut akan berdampak, selain merugikan hak asasi orang lain juga merusak nama baik perusahaan pers tersebut. Jika hak orang lain dilanggar, orang yang dirugikan itu bisa dendam atau berdampak negatif terhadap pers. Inilah salah satu penyebab mengapa sering terjadi kekerasan terhadap pers. Terkecuali, ketika pers meliput berita aktual pihak terkait mencoba menghalang-halangi pemberitaan pers bahkan sampai mengancam pers, karena takut terbongkar skandal yang diperbuat, sesuai Pasal 18 ayat (1) UU Pers, seseorang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan berakibat menghambat pelaksanaan Pasal 4 ayat (2) dan (3) yaitu melakukan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran serta membatasi kemerdekaan pers, mencari, memperoleh dan menyampaikan gagasan dan informasi, dipidana paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. Dewasa ini, saat gencarnya pemerintah memberantas berbagai praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) di berbagai instansi pemerintah maupun swasta, kehadiran pers sangat dibutuhkan untuk menginformasikan berita yang benar, jujur dan adil. Namun, dalam praktiknya, pers sering memojokkan kesalahan seseorang, yang sebenarnya belum tentu bersalah. Terkadang ada kesan bahwa pers mempunyai kepentingan dengan suatu pemberitaan, akhirnya yang bersangkutan dianggap publik bersalah. Ini merupakan pelanggaran hukum "asas praduga tak bersalah" seperti diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU
39
Binsar Gultom, Berdayakan UU Pers untuk Mengadili Delik Pers, Harian Kompas, edisi 2 Juli
2006. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Pers. Padahal, seseorang itu baru dianggap terbukti bersalah, jika telah divonis bersalah oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incrach van gewijde). Terjadinya sengketa pers, biasanya karena pemberitaan pers melukai perasaan orang lain. Sekalipun redaksi bertanggung jawab dan berhak memuat suatu berita, ada kesan bahwa pers mempunyai kepentingan dengan suatu pemberitaan, hingga memetieskan suatu tanggapan berita. Ketika diadakan hak jawab atau hak koreksi, pihak pers tak berkenan melayaninya. Mestinya, jika ada pihak terkait menanggapi suatu pemberitaan, penulis meminta pers terbuka, menerima dan memuat beritanya, sekaligus meminta maaf seperti yang pernah dilakukan oleh Pemimpin Redaksi (Pemred) surat kabar Sinar Indonesia Baru (SIB) Dr GM Panggabean mengenai "karikatur nasib suar-sair" dan permintaan maaf Pemred surat kabar Denmark Jyllands-Posten Carsten Juste, atas penerbitan kartun Nabi Muhammad yang memancing kemarahan muslim di seluruh dunia, sehingga persoalan demikian tak perlu diselesaikan secara pro-yustisia hingga ke pengadilan. Cukuplah diselesaikan lewat klarifikasi pemberitaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU Pers. Akan tetapi, jika perusahaan pers tak mau melayani hak jawab maupun koreksi tersebut, pihak yang merasa dirugikan dapat menggugatnya secara perdata menggunakan UU Pers, dengan hukuman denda paling banyak Rp 500 juta. Jadi kalau ada kasus seperti ini masuk ke pengadilan menggunakan aturan KUHP bahkan diputus hakim berdasarkan Pasal 310 atau 311 KUHP, aparat penegak hukum yang me- nangani kasus ini sangat keliru menggunakan payung hukum KUHP 40.
40
Ibid
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Fungsi pengadilan adalah untuk memeriksa, menerima dan mengadili perkara, maka solusinya, adalah sebagai berikut 41 : 1. Setiap perkara yang menyangkut sengketa pers yang diajukan oleh penyidik kepolisian dan penuntutan kejaksaan ke pengadilan harus memperhatikan secara hati-hati fakta yang terjadi. Jika perbuatan itu dilakukan secara langsung menghina seseorang tanpa pemberitaan pers, gunakanlah KUHP. Tetapi jika perbuatan penghinaan itu dilakukan secara tidak langsung, artinya lewat pemberitaan pers, gunakanlah UU Pers. 2. Jika sengketa pers tersebut tetap diajukan kejaksaan ke pengadilan menggunakan Pasal 310 (2) KUHP, hakim sesuai wewenangnya pada pasal 144 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebelum perkara tersebut disidangkan dapat memerintahkan Jaksa Penuntut Umum agar mengganti atau merubah dakwaan dari pasal KUHP menjadi pasal yang terdapat didalam UU Pers. 3. Jika jaksa tak mau mengubah dakwaannya, hemat saya hakim dapat membebaskan terdakwa dari segala dakwaan jaksa (vrijpraak). Persoalannya, apakah para hakim mempunyai kepekaan perasaan naluri yang sama dalam penegakan hukum pers? Seyogyanya, Ketua Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan semacam surat edaran atau instruksi Ketua MA kepada seluruh hakim agar satu persepsi me- nangani sengketa pers lewat UU Pers. 4. Jika pemerintah tetap mempertahankan delik pers di dalam KUHP, kalangan pers dapat mengajukan uji material ke Mahkamah Konstitusi, sehingga polemik ganda ketentuan sengketa pers segera tuntas selesai. Oleh karena itu setelah terbit UU Pers No 40 Tahun 1999 yang diundangkan tanggal 23 September 1999, segala delik pers 41
Ibid
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
yang berkaitan dengan pemidanaannya seperti yang tercantum di dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP harus diadopsi dan disempurnakan ke dalam UU Pers, sehingga UU Pers menjadi berdaya-guna. Jika KUHP selalu digunakan mengadili delik pers, percuma dibentuk UU Pers. Menurut asas hukum dan kepastian hukum hal ini sangat berbahaya bagi terciptanya penegakan hukum, karena ketika hakim menerap- kan aturan KUHP, terpaksa mengesampingkan UU Pers sebagai lex specialis dari KUHP. B. UU No. 40 tahun 1999 sebagai Lex Specialis Peraturan Pers Indonesia
Semua wartawan Indonesia berkeinginan undang-undang persnya menjadi lex specialis, "mengalahkan" UU lain yang berlaku umum. Namun, di sini terdapat persimpangan jalan untuk itu, apakah UU itu tidak atau perlu diperbaiki. Mereka yang berpendapat tidak memerlukan perbaikan beranggapan sudah tepat Undang-Undang (UU) Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers langsung menjadi lex specialis. Mereka yang lain menganggap UU tersebut belum memenuhi syarat untuk menjadi lex specialis. Karena itu, harus dilakukan revisi. Menteri Negara Komunikasi dan Informasi bulan lalu di Jakarta mengatakan, UU No 40 tahun 1999 adalah lex specialis. Media kurang memerhatikan pernyataan penting tersebut sehingga tidak ada yang menyiarkan atau memuatnya. Pernyataannya ini kemudian diperbaiki, menjadi, nantinya UU itu akan menjadi lex specialis. Artinya, diperlukan perbaikan atasnya. Ucapan populer dalam kaitan ini adalah, "Lex specialis derogat legi lex generalis". Maksudnya, ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum. UU No 40 tahun 1999 khusus dibuat sebagai lex specialis, hanya mengatur dan menyelesaikan masalah yang timbul akibat peran dan fungsi pers menjalankan kegiatan jurnalistik. Masih menurut pemahamannya, Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
UU No 40 tahun 1999 dan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) adalah satu tarikan napas 42.
Pihak lain yang kurang sependapat dengan hal tersebut di atas mengatakan, untuk menjadi lex specialis ada syaratnya. Syarat utamanya, kedua tatanan itu berada dalam satu rezim hukum yang sama. Di dalam KUHP umpamanya, ada pasal-pasal tentang tindak kejahatan yang digolongkan terorisme. UU Antiterorisme diberlakukan sebagai lex specialis karena rezim hukumnya sama, di kedua aturan itu ada tentang tindak terorisme. Sementara UU No 40 tahun 1999 tentang Pers tidak berimpitan atau tidak mempunyai rezim hukum yang sama dengan KUHP. UU Pers kita tidak mengatur tindak pidana pers. Karena itu, di sini tidak berlaku pengertian lex specialis.
Perbedaan pendapat yang tajam terjadi, yaitu menyangkut kesalahan pemberitaan. Bila terjadi kesalahan pemberitaan, menurut satu pihak adalah kesalahan proses pencarian berita. Yang dilanggar adalah kode etik, bukan tindak pidana. Penyelesaiannya melalui kode etik jurnalistik, dalam hal ini pemenuhan Hak Jawab, yakni perbaikan atas berita yang dianggap salah itu. Pihak lain beranggapan, pemenuhan Hak Jawab bisa jadi tidak cukup. Mereka yang dirugikan masih boleh mengadu ke polisi untuk kemudian berproses ke pengadilan. Tidak jarang terjadi yang dirugikan langsung membawanya ke proses pengadilan. Di sini kesalahan pemberitaan itu dianggap sebagai tindak pidana. Yang salah bukan prosesnya melainkan produknya. Pelakunya (si wartawan) dapat diancam pidana kurungan (penjara).
42
Frans Hendra Winarta, UU Pers Lex Specialis atau Bukan,, harian Kompas, edisi 3 April
2006. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Mereka yang segaris dengan "paham" Kode Etik berpendapat, kesalahan jurnalistik seyogianya diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik. Kata-kata jangan dibalas dengan kurungan. Pemberitaan yang salah dapat diperbaiki. Memperbaiki berita pertama-tama harus datang dari kesadaran redaksi media yang bersangkutan. Masyarakat mempunyai hak untuk memperbaikinya, yang disebut Hak Jawab dan Hak Koreksi. Di dalam KEWI disebutkan secara nyata. Kedua hak itu juga dinyatakan dalam UU No. 40 tahun 1999. Sayangnya, dalam praktik, media tidak begitu bersikap positif dalam menanggapi Hak Jawab dan Hak Koreksi. Sebagian media papan bawah dalam mutu, bahkan tak acuh terhadap kedua hak masyarakat itu. Sebagian yang lain melayaninya dengan sekadarnya, misalnya memuat sedikit koreksi di ruang surat pembaca. Hanya sebagian kecil media yang memuat koreksi di tempat yang sama dengan berita yang salah dalam ruang yang cukup besar 43. Dalam undang-undang dinyatakan, media massa yang memuat pemberitaan yang salah wajib memuat Hak Jawab. Jika media yang bersangkutan tidak melakukannya, diancam bayar denda Rp 500 juta (Pasal 18 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers). Dalam kaitan itu, kasus Majalah Tempo dengan Tommy Winata tidak perlu berproses ke pengadilan apalagi bervonis kurungan misalnya. Majalah Tempo diproses hukum karena dianggap salah dalam pemberitaan Pasar Tanah Abang cukup memberi layanan Hak Jawab kepada Tommy Winata. Bagaimana jika Tommy Winata tidak puas? Paling-paling redaktur dihukum denda, yang membayarnya bukan pribadi melainkan perusahaan. Penerapan KUHP dalam kasus Tempo-Tommy di atas dianggap sebagai kriminalisasi pers. Masyarakat pers menentangnya. Hal yang
43
Ibid
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
menyangkut kesalahan profesional (etika) tidak harus dianggap sebagai tindak kejahatan biasa (pidana).
KUHP sendiri adalah produk hukum penjajah Belanda yang berusia sangat tua. Dalam waktu tidak lama, KUHP akan diperbaiki besar-besaran. Banyak hal sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman sekarang. Memang benar UU No 40tahun 1999 hanya menyangkut kegiatan jurnalisme seperti disebutkan dalam Pasal 1. Itu oleh sementara pihak dianggap belum cukup untuk menyebutnya sebagai lex specialis. Selain itu, UU ini belum mandiri karena banyak pasalnya masih menyebutkan berlakunya UU lain. Contohnya, dalam penjelasan Pasal 12 tertulis, "Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku." Yang dimaksud tentulah KUHP. Tentang hal itu, Penyebutan pertanggungjawaban pidana di situ bukanlah menyangkut pidana pers melainkan pidana lain. Contohnya, wartawan yang mencuri akan dihukum sesuai KUHP. Kalau benar seperti itu, mengapa disebutkan secara khusus dalam penjelasan? Bukankah memang sudah semestinya tindak pidana lain itu urusan KUHP. Jadi, tidak perlu dinyatakan dalam penjelasan. Penjelasan tersebut menekankan tindak pidana pers, yang bukan pelanggaran profesi/kode etik, berurusan dengan KUHP. Apalagi secara nyata dalam penjelasan tentang hal umum dinyatakan dengan jelas pada alinea terakhir, untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
peraturan perundang-undangan lainnya. UU yang diberlakukan secara lex specialis harus dinyatakan dengan jelas, baik itu di dalam batang tubuh ataupun di penjelasannya 44.
Mungkin waktu memang diperlukan. Manakala perlakuan terhadapnya sebagai lex specialis memerlukan revisi, tidak jelek untuk melakukannya segera. Pemerintah dan DPR perlu turun tangan. Semangatnya adalah membuat UU No 40 tahun 1999 tentang Pers menjadi lex specialis yang benar-benar eksis, bukan sekadar bagian dari diskusi publik saja. Satu kelemahan yang lain di negeri kita adalah pekerjaan ikutannya, yaitu sosialisasi UU. Penyebutan semua orang dianggap tahu bila naskah undang-undang sudah dimuat di lembaran negara tidaklah cukup. Lembaran negara dicetak terbatas. Tidak banyak orang yang segera mengetahuinya. Polisi, jaksa, pengacara, dan hakim pertamatama harus terus menerus memahami UU yang baru. Sering polisi yang sedang memeriksa kasus tidak tahu UU Pers sudah berumur lima tahun. Jika hamba hukum saja belum tahu, apalagi masyarakat.
C. Mekanisme Kontrol Kebebasan Pers Indonesia Mekanisme kontrol etika diperlukan untuk dapat melindungi pihak lain dari penyalahgunaan penderitaan. Kontrol tersebut dapat dilakukan melalui cara : a. Melalui Organisasi Profesi.
44
Dadang Sukandar, KUHP dan Perundang-undangan Lex Specialis, diakses dari situs : http://www.sinar-harapan.co.id, tanggal 30 Juni 2004. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Mekanisme kontrol melalui organisasi profesi dapat dilakukan sepanjang ada satu organisasi jurnalis yang kuat, berpengaruh, dan berwibawa. Selain itu seluruh jurnalis tergabung dalam satu organisasi jurnalis atau setidaknya mempunyai kewajiban untuk bergabung dengan salah satu organisasi jurnalis. Mekanisme ini sangat ideal karena sebagai contoh tentang pelaksanaan prinsip self regulating society yang bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk negara. Namun praktek inipun membutuhkan berbagai parameter sehingga organisasi jurnalis memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Tanpa kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, maka akan sulit kontrol tersebut dilaksanakan melalui organisasi profesi. b. Melalui Lembaga Pengadilan Mekanisme kontrol melalui pengadilan merupakan salah satu mekanisme resmi yang diakui dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Namun penggunaan mekanisme ini berbahaya, karena melegitimasi campur tangan negara dalam suatu masyarakat sipil yang terorganisir. Selain itu, penggunaan mekanisme itu tidak memberikan pembelajaran bagi peningkatan profesionalitas. c. Melalui Lembaga Quasi Negara Mekanisme ini digunakan ketika tidak ada satupun organisasi profesi jurnalis yang kuat, berpengaruh, dan berwibawa. Mekanisme ini merupakan pilihan yang baik jika tidak ada kewajiban bagi jurnalis untuk bergabung di salah satu organisasi profesi. Namun, lembaga ini haruslah diberikan kewenangan yang cukup untuk dapat melakukan penindakan dan memberikan sanksi terhadap setiap pelanggaran etika. d. Pentingnya Pembentukan RUU P4 (Penyelesaian Perselisihan Pemberitaan Pers).
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Pembentukan RUU P4 ini sangat penting untuk mengatasi berbagai kelemahan dari UU Pers. UU Pers sedari awal memiliki kelemahan yang juga diakui oleh Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa diperlukan adanya improvisasi dalam menciptakan yurisprudensi agar perlindungan hukum terhadap insan pers dan sekaligus juga menempatkan UU Pers sebagai lex specialist karena diakui sendiri oleh Mahkamah Agung bahwa UU Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers terutama dalam hal adanya delik pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam UU Pers dan diberlakukan ketentuan KUHP (Lihat putusan MA No 1608 K/PID/2005 dalam kasus Bambang Harymurti). Meski untuk kasus gugatan perdata Mahkamah Agung telah menegaskan bahwa penyelesaian yang disediakan melalui UU Pers harus ditempuh terlebih dahulu (Putusan MA No. 903 K/PDT/2005 dalam kasus Tomy Winata Vs. PT Tempo Inti Media, Zulkifli Lubis, Bambang Harymurti, Fikri Jufri, Toriq Hadad, Achmad Taufik, Bernarda Burit, dan Cahyo Junaedi). Namun sejatinya UU Pers juga tidak memberikan kewenangan yang cukup kuat kepada Dewan Pers dalam hal menangani sengketa pemberitaan. Sehingga memungkinkan para pihak yang tidak puas dengan pemberitaan pers untuk menempuh upaya hukum melalui pengadilan. Selain itu, dalam sengketa pemberitaan juga tidak diatur hukum acara dalam penyelesaian sengketa di Dewan Pers. Kewenangan Dewan Pers yang diberikan oleh UU Pers UU Pers dalam hal penanganan sengketa pemberitaan hanyalah sebagai lembaga konsiliasi, oleh karena itu bentuk ”putusan” dari Dewan Pers adalah Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR). Dalam konteks hukum putusan ini tidak mempunyai kekuatan eksekutorial bagi para pihak yang bersengketa. Mungkin hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kenapa Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
ada pihak yang tidak menginginkan penyelesaian melalui Dewan Pers, disamping itu masih kuatnya keinginan dari beberapa pihak yang tidak menginginkan adanya kemerdekaan pers tumbuh dan berkembang di Indonesia. Meski Mahkamah Agung dalam tiga putusannya telah menyatakan semua mekanisme dalam UU Pers terlebih harus dahulu dijalani, namun putusan tersebut tidak dapat memberikan jaminan yang sempurna dikarenakan pengadilan di Indonesia tidak menganut asas preseden secara permanen. Oleh sebab itu pembentukan RUU P4 menjadi sangat penting untuk mengukuhkan kemerdekaan pers tanpa harus mengundang campur tangan pemerintah ke dalam kehidupan pers. Sehingga tujuan penguatan kemerdekaan pers yang dilakukan melalui penguatan fungsi dan peran Dewan Pers sebagai lembaga penyelesaian sengketa pemberitaan pers satu-satunya (pengadilan pers) dapat tercapai melalui pembentukan RUU P4. Pengaturan RUU P4 harus memiliki setidaknya bersandar pada tiga prinsip utama yaitu: 1. Untuk mempertahankan dan memperkokoh kemerdekaan pers 2. Menjadi Pengadilan Pers bagi penyelesaian perselisihan pemberitaan pers. 3. Merupakan pengaturan khusus tentang bagaimana pertanggung jawaban hukum, baik pidana dan/atau perdata, bagi media dan jurnalis. RUU P4 setidaknya harus mengatur tentang bagaimana proses pemeriksaan secara perdata dan juga apabila adanya dugaan terjadinya tindak pidana. Dalam proses perdata maka kewenangan Dewan Pers harus ditingkatkan menjadi lembaga arbitrase yang putusannya bersifat terakhir dan mengikat (final and binding) serta mempunyai kekuatan eksekutorial. Dalam dugaan terjadinya tindak pidana, penyelesaian melalui Dewan Pers harus dilalui terlebih dahulu untuk menilai terjadinya pelanggaran kode etik Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
yang serius dan tidak dapat ditolerir, Dewan Pers juga harus diberikan kewenangan untuk menilai dan menemukan adanya indikasi unsur ”niat jahat” dan ”balas dendam” dalam pemberitaan. Setelah Dewan Pers memberikan putusan tentang adanya pelanggaran kode etik yang serius dan tidak dapat ditoleransi serta ditemukan adanya indikasi unsur ”niat jahat” dan ”balas dendam” dalam pemberitaan, maka polisi dapat meneruskan penyidikan terjadinya tindak pidana. RUU P4 juga sebaiknya menghapuskan ketentuan pidana penjara dan/atau kurungan dan lebih mengedepankan pidana denda yang tentunya harus dibatasi besaran dendanya. RUU P4 juga harus mengatur tentang proses dan tata cara pengangkatan arbitrer dalam Dewan Pers, mekanisme acara (hukum acara), pembuktian, waktu persidangan, dan bagaimana serta bilamana eksekusi dapat dilakukan. RUU P4 harus mengatur tentang kemungkinan adanya kasasi ke Mahkamah Agung dalam hal-hal sebagai berikut : 1. Kasasi dapat dimungkinkan dengan batas waktu 30 hari sejak putusan Dewan Pers dijatuhkan 2. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu atau; 3. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, telah disembunyikan oleh pihak lawan atau; 4. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan atau; 5. Putusan melampaui kewenangan dari Dewan Pers; atau 6. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
7. Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam jangka waktu 30 hari sejak putusan Dewan Pers tersebut dimohonkan kasasi. 8. Gugatan perdata ke pengadilan negeri hanya dimungkinkan apabila salah satu pihak tidak melaksanakan putusan dari Dewan Pers. Dengan dibentuknya RUU P4, maka diharapkan kontroversi tentang lex specialis tidaknya UU Pers menjadi hilang dan juga dapat sebagai senjata bagi masyarakat pers untuk membendung keinginan pemerintah melakukan revisi terhadap UU Pers. Karena UU Pers tetap berlaku namun pada saat yang sama kedudukan Dewan Pers semakin diperkuat sebagai tempat pengadilan pers di Indonesia. Untuk itu kekuatiran akan adanya kriminalisasi menggunakan KUHP atau RUU KUHP menjadi hilang, karena Dewan akan akan menjadi lembaga yang akan mengawasi kegiatan pers di Indonesia. Selain mekanisme kontrol yang telah disebutkan di atas, pada akhirnya memang sangat dibutuhkan sebuah organisasi media watch yang nyata untuk hal tersebut. Organisasi media watch memang baru lahir di Indonesia tahun 1999. Sebelumnya organisasi semacam ini tidak perlu. Pers sudah diawasi dan dikendalikan oleh pemerintah. Ada juga yang namanya Dewan Pers. Namun, karena ketuanya adalah Menteri Penerangan, fungsi Dewan Pers itu menjadi dipandang sebelah mata oleh kalangan pers dan masyarakat. Kasus Tempo vs Menteri Penerangan menjadi dagelan ketika (mantan) Menpen Harmoko mengatakan Dewan Pers telah menyetujui dibredelnya Tempo. Yang dimaksud Dewan Pers itu tentu dia dan anggota di bawahnya yang tak kuasa bersuara lain. Dewan Kehormatan PWI, yang mestinya mengawasi kualitas pemberitaan dan profesionalisme kerja wartawan, juga tidak berbuat apa-apa ketika terjadi banyak pelanggaran etika pers oleh anggota PWI yang merugikan masyarakat. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Namun, begitu kerana kebebasan pers dibuka, masyarakat merasakan perlunya pengawasan terhadap pers. Pers yang baru memperoleh kebebasannya ini banyak menyajikan berita bombastis, sensasional, tidak mendidik dan mencerdaskan, provokatif, kabar bohong, trial by the press (memojokkan), dan lain-lain. Ada penerbitan (tabloid) yang mencantumkan motto di bawah nama/judul tabloidnya, Trial By The Press, Ada yang berjudul Skandal, Bual, dan sejenisnya. Inilah cermin pelanggaran yang dibanggakan. Pendeknyya, rambu-rambu etika profesi jurnalistik sudah bertumbangan dilanggar laju pers bebas. Bahkan hukum pun dilanggar. Seorang relawan yang meninggal dibunuh di rumahnya, oleh pers diberitakan sisi kehidupan seks bebasnya ketika hidup. Padahal ini jelas melanggar KUHP Pasal 320 tentang pencemaran atau penghinaan nama orang mati. Tumbuhnya media watch di Indonesia diawali berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Pers (LKP) di Surabaya, awal Maret 1999. Hasil Rapat Kerja Dewan Pers yang menyimpulkan perlunya peranan masyarakat dalam pengawasan media dalam bentuk media watch, serta dimasukkannya unsur pengawasan media oleh masyarakat dalam UU Pers No. 40 tahun 1999 , muncul beberapa bulan sesudahnya. Nama yang tak ada hubungannya dengan YLKI ini dipilih khusus karena LKP berkonsentrasi pada pemberdayaan
konsumen pers.
Kesetaraan
merupakan
kunci
hubungan
yang
harmonis/ideal antara pers dan masyarakat. Setelah LKP atau bersamaan dengan itu, di Jakarta, ISAI juga mendirikan lembaga pengawasan media. Bahkan karena dukungan dana yang cukup besar, ISAI mengembangkan jaringan di 20 kota besar di Indonesia. Kemudian di Medan, Ujung Pandang, Bandung, Yogyakarta, dan di Surabaya, bertumbuhanlah lembaga-lembaga pengawas media. Namun mungkin karena kurangnya Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
pemahaman atas apa itu media watch, sebagian lembaga yang menggunakan nama media watch itu justru bermaksud mengawasi pemerintah dan memberikan perlindungan kepada jurnalis dalam menjalankan profesinya (ISAI), atau memberikan pelatihan keterampilan jurnalistik pada para jurnalis (Indonesia Media Watch/ IMW). Keduanya berarti strengthenning the media, bukan watching atau criticizing the media. Bahkan IMW yang berbasis di Surabaya melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, kegiatan yang tidak memiliki hubungan langsung dengan produk media massa yang harus diawasi 45. Pada awalnya memang orang-orang pers "kemaruk" untuk membentengi dan memperkuat diri, sementara orang-orang perguruan tinggi asyik meneliti perubahan sosial yang diakibatkan kebebasan pers. Namun, dalam perkembangannya, perlahanlahan beberapa media watch yang tumbuh kemudian, mulai melakukan fungsinya sesuai nama yang disandangnya sebagai pengawas media. Media Watch Society misalnya, telah melakukan kegiatan aktif menyoroti dan mengkritisi pemberitaan media. LKP melakukan pencatatan pelanggaran pers dan mengirimkannya kembali kepada pers (dalam bentuk newsletter) sebagai input dan feedback, sambil mendidik masyarakat (melalui workshop, seminar, siaran radio) untuk sadar informasi dan sadar akan hak-hak dan tanggung jawabnya. Marka atau Media Ramah Keluarga yang sering dimuat di Republika, sangat jeli menyoroti produk-produk media yang dikonsumsi keluarga Indonesia. Sentilansentilan ini, diharapkan menjadi perhatian dan pertimbangan para pemilik dan pengelola media, agar mereka lebih bijaksana, lebih profesional, dan lebih bertanggung jawab dalam melayani kebutuhan publik akan informasi dan hiburan melalui media. 45
Ibid
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Masyarakat Indonesia memang telah mendapatkan kebebasannya dalam berpolitik atau memperoleh informasi. Namun tanpa latar belakang pendidikan dan pengetahuan yang memadai, dua jenis kebebasan ini dapat menjadi bumerang bagi hidup mereka sendiri dan tatanan sosial di mana mereka berinteraksi. Dengan demikian, keberadaan lembaga media watch yang memiliki misi ke dua arah, sangat penting. Di satu sisi, media watch mengawasi dan mengingatkan media untuk tidak kebablasan dan agar tetap memiliki hati nurani. Di sisi lain, media watch perlu mengajari masyarakat untuk bersikap selektif namun tetap demokratis. Saat ini belum banyak, bahkan mungkin belum ada, lembaga media watch yang memberikan perlindungan hukum pada korban pers. Mungkin ini disebabkan keengganan media watch untuk berhadapan langsung dengan pers. Boleh jadi juga karena lemahnya SDM. Untuk bergerak di bidang perlindungan hukum, tentu diperlukan ahli-ahli hukum yang memahami hukum pers. Di beberapa kasus, pihak pers berkelit dengan hak jawab dan hak koreksi sebagai solusi. Ahli hukum konsumen pers harus dapat mematahkan argumen ini bahwa hak jawab dan hak koreksi itu, sebagai hak, boleh dipakai boleh tidak. Setelah dipakaipun, bila yang dirugikan tidak puas, masih dapat melakukan upaya hukum. Di Jawa Timur, pembela (kuasa hukum) jurnalis yang dituduh mencemarkan nama baik seorang pejabat setempat, juga berargumentasi demikian di pengadilan. Bagaimanapun, tumbuhnya media watch, dipercayai, bukan dimaksudkan sebagai "lawan" pers, apalagi kemudian menjadi "tirani" baru bagi pers. Oleh sebab itu, komposisi ideal keanggotaan media watch adalah multi profesi. Media watch yang hanya berisi orang-orang pers akan cenderung melakukan pembelaan dan penguatan kepada pers dengan mengabaikan hak masyarakat. Sebaliknya, media watch yang hanya berisi Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
pakar dan pengamat dari perguruan tinggi, akan mudah menghakimi pers. Media watch yang efektif seyogianya beranggotakan sebanyak mungkin golongan dan lapisan di masyarakat, seperti tokoh pendidikan, budayawan, politikus, pengusaha, bahkan pemerintah (yang sering menjadi nara sumber). Namun keberadaan insan pers juga merupakan pelengkap yang manis dan perlu dalam media watch. Ketika semua orang bermaksud mengecam pers bebas tanpa mengerti sesungguhnya hakekat pers bebas, maka hancurlah harapan terhadap tumbuhnya masyarakat demokratis. Masyarakat media watch akan mudah tergelincir menjadi tirani baru. Unsur pers dalam media watch akan memberikan pemahaman/wawasan tentang pers dan menciptakan keseimbangan 46.
D. Contoh Kasus Penerapan Tindak Pidana Pers
Kasus Bambang Harymurti Dalam kasus ini Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, oleh Jaksa Penuntut Umum dikenakan dakwaan Pertama Primair melanggar Pasal XIV ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 jo Pasal 55 ayat (1) ke - 1 KUHP Subsidair melanggar Pasal XIV ayat (2) UU No 1 Tahun 1946 jo Pasal 55 ayat (1) ke - 1 KUHP dan Kedua Primair melanggar Pasal 311 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke - 1 KUHP subsidair melanggar Pasal 310 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke - 1 KUHP.
Kasus Posisi Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo menerbitkan berita di Majalah Tempo edisi 3/9 Maret 2003 telah menampilkan berita dengan judul ?Ada Tomy di 46
Ibid
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Tenabang? yang isinya bahwa pengusha Tomy Winata?telah mendapat proyek renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp. 53 milyar, yang proposalnya sudah diajukan ke Pemda DKI Jakarta sebelum kebakaran di Pasar Tanah Abang terjadi. Tomy Winata dalam pemberitaan tersebut juga telah membantah keterkaitannya dengan rencana renovasi Pasar Tanah Abang. Dugaan bahwa pasar grosir itu dibakar juga dibantah oleh Kepala Pasar Tanah Abang.
Ringkasan Dakwaan Primair Bahwa berita yang dimuat dan disiarkan oleh terdakwa di Majalah Tempo berjudul Ada Tomy di Tenabang. terdakwa telah membakar emosi dan membuat kegemparan serta menyebarkan keresahan di kalangan masyarakat terutama masyarakat korban kebakaran Pasar Tanah Abang, mereka berkumpul dan sepakat untuk mendatangi kantor dan rumah Tomy Winata yang disebut-sebut sebagai pihak yang berada di belakang kasus terbakarnya Pasar Tanah Abang. Sementara di sisi lain seorang bernama Tomy Winata karena berita tersebut telah menerima kecaman, ancaman dari berbagai pihak melalui telepon, di samping karena berita itu telah memicu aksi demo karyawan Artha Graha Group ke kantor Majalah Tempo. Perbuatan terdakwa diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal XIV ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 jo Pasal 55 ayat (1) ke - 1 KUHP
Ringkasan Dakwaan Subsidair Bahwa dengan berita yang dimuat dan disiarkan oleh terdakwa di Majalah Tempo berjudul Ada Tomy di Tanah Abang tersebut terdakwa dapat membakar emosi dan menyebarkan keresahan di kalangan masyarakat korban kebakaran Pasar Tanah Abang Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
dan sekitarnya atau orang-orang yang mempunyai kepentingan dengan Pasar Tanah Abang, karena berita tersebut seolah-olah sebagai orang yang berada di belakang peristiwa terbakarnya Pasar Tanah Abang, untuk menangguk keuntungan dari renovasi Pasar Tanah Abang. Perbuatan terdakwa diancam pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal XIV ayat (2) UU No 1 Tahun 1946 jo Pasal 55 ayat (1) ke - 1 KUHP.
Kedua Ringkasan Dakwaan Primair Bahwa berita yang dimuat dan disiarkan oleh Terdakwa di Majalah Tempo berjudul Ada Tomy di Tanah Abang tersebut seolah-olah Tomy Winata mendapat proyek renovasi Tanah Abang senilai Rp. 53 milyar, proposalnya sudah diajukan sebelum kebakaran dan dari musibah kebakaran itu, tapi juga pemulung besar. Tomy Winata nantinya, pengusaha Artha Graha ini akan menangguk keuntungan dari proyek renovasi Pasar Tanah Abang, karena sebelumnya terdengar isu tidak pasti bahwa kebakaran terjadi karena ada kesengajaan pihak tertentu, karena berita tersebut sekelompok masyarakat berkumpul untuk mendatangi kantor dan rumah Tomy Winata sementara di sisi lain seorang bernama Tomy Winata karena berita itu telah menerima kecaman, ancaman dari berbagai pihak melalui telepon. Perbuatan terdakwa diancam pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP.
Ringkasan Dakwaan Subsidair
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Bahwa berita yang dimuat dan disiarkan di Majalah Tempo berjudul Ada Tomy di Tanah Abang tersebut seolah-olah Tomy Winata mendapat proyek renovasi Tanah Abang senilai Rp. 53 milyar, proposalnya sudah diajukan sebelum kebakaran dan dari musibah kebakaran itu, tapi juga pemulung Besar. Tomy Winata, nantinya, Pengusaha dari Artha Graha ini akan menangguk keuntungan dari proyek renovasi Pasar Tanah Abang, telah menimbulkan persepsi di kalangan masyarakat luas terutama masyarakat korban kebakaran Tanah Abang, seolah-olah kebakaran Pasar Tanah Abang pada bulan Maret 2003 tersebut dilakukan oleh pihak Tomy Winata karena sebelumnya terdengar isu tidak pasti bahwa kebakaran terjadi karen ada kesengajaan pihak tertentu, karena berita tersebut sekelompok masyarakat berkumpul untuk mendatangi kantor dan rumah Tomy Winata sementara di sisi lain seorang bernama Tomy Winata karena berita itu pula telah menerima kecaman, ancaman dari berbagai pihak melalui telepon. Perbuatan terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasla 310 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP.
Tabel Ancaman Pidana Dalam Kasus Bambang Harymurti Dakwaan
No 1 1.1
Primair
Pasal Pertama Pasal XIV ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 jo Pasal 55 ayat (1) ke ? 1 KUHP
Penjelasan Pasal XIV ayat (1) UU No 1/1946 Barang siapa dengan sengaja menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahunPasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPDipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
1.2
Subsidair
2 2.1
Primair
2.2
Subsidair
perbuatan pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan Pasal XIV ayat (2) UU Pasal XIV ayat (2) UU No No 1 Tahun 1946 jo 1/1946 Barang siapa Pasal 55 ayat (1) ke ? 1 menyiarkan suatu berita atau KUHP mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahunPasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPDipindana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan Kedua Pasal 311 ayat (1) Pasal 311 ayat (1) KUHP Jika KUHP Jo Pasal 55 ayat yang melakukan kejahatan (1) ke ? 1 KUHP pencemaran atau pencemaran tertulis, dalam hal dibolehkan untuk membuktikan?bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahunPasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPDipindana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan Pasal 310 ayat (1) Pasal 310 ayat (1) KUHP KUHP jo Pasal 55 ayat Barang siapa dengan sengaja
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
(1) ke ? 1 KUHP
menyerang kehormatan atau nama baik seorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam, karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiahPasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPDipindana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan
Dalam kasus Bambang Harymurti ini, kasusnya telah diputus dalam tingkat kasasi, Berikut ini adalah Tabel Putusan………… No 1
2 3
Pengadilan Amar Putusan Pengadilan Negeri 1. Menyatakan Terdakwa Bambang Harymurti telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menyiarkan suatu berita atau pemberitaan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat secara bersama-sama dan tindak pidana pemfitnahan secara bersama-sama 2. Menjatuhkan pidana terhadap Bambang Harymurti dengan pidana penjara 1 tahun Pengadilan Tinggi Menguatkan putusan PN Jakarta Pusat Mahkamah Agung 1. Menyatakan terdakwa Bambang Harymurti tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atas dakwaan KESATU PRIMAIR dan SUBSIDAIR serta dakwaan KEDUA PRIMAIR dan SUBSIDAIR 2. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan 3. Memulihkan hak terdakwa dalam kedudukan, kemampuan, dan harkat serta martabatnya
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Dalam perkara pidana yang dihadapi oleh Bambang Harymurti, Mahkamah Agung kembali menegaskan tentang kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang memutus perkara ini. Mahkamah Agung berpendapat bahwa perkara ini tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang ketentuan KUHP sementara tindakan yang dilakukan oleh terdakwa dilakukan berdasarkan UU Pers. Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa pemberitaan yang dibuat oleh wartawan berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 dilindungi sebagai kemerdekaan pers yang dijamin sebagai hak asasi warga negara. Pemuatan berita oleh terdakwa juga dinilai oleh Mahkamah Agung telah berimbang dan cover both side, mematuhi dan memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik dan kode etik wartawan dan bantahan dari Tomy Winata juga telah dimuat, maka pemberitaan tersebut, menurut Mahkamah Agung tidak dapat dikategorikan sebagai berita bohong. Selanjutnya Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa harus ada pembuktian tentang hubungan kasualitas antara adanya ancaman atau serangan terhadap Tomy Winata atau terhadap hak miliknya dengan pemberitaan yang dilakukan Majalah Tempo. Mahkamah Agung juga menilai filosofi yang dianut dalam UU Pers telah menempatkan posisi pers nasional sebagai pilar keempat dalam negara demokrasi. meskipun demikian Mahkamah Agung juga menyatakan keharusan adanya improvisasi dalam menciptakan yurisprudensi agar perlindungan hukum terhadap insan pers dan sekaligus juga menempatkan UU Pers sebagai lex specialist karena diakui sendiri oleh Mahkamah Agung bahwa UU Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers terutama dalam hal adanya tindak pidana pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam UU Pers dan diberlakukan ketentuan KUHP.. Mahkamah Agung Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
juga menekankan pentingnya instrumen hukum dan kode etik pers untuk memastikan kehadiran pers bebas dan mencegah penyalahgunaan kebebasan pers. Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa tindakan penghukuman dalam bentuk pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas dan malah membahayakan pers bebas oleh karena itu tata cara yang diatur dalam UU Pers harus didahulukan daripada ketentuan hukum yang lain 47. Dalam kasus ini pula Mahkamah Agung meneguhkan kembali tentang upaya penggunaan hak jawab dan pemeriksaan melalui Dewan Pers sebagai upaya yang harus didahulukan dibandingkan melalui proses hukum karena cara ini dipandang oleh Mahkamah Agung sebagai sendi penyelesaian sengketa pers dalam hal pemulihan cedera akibat adanya pemberitaan yang keliru 48. Mengenai unsur melawan hukum, Mahkamah Agung berpendapat bahwa unsur melawan hukum dalam pemberitaan pers tidak dapat digunakan ukuran unsur melawan hukum sebagaimana yang terdapat dalam KUHP semata karena berkaitan dengan UU Pers. Sementara dalam kasus gugatan perdata antara Tomy Winata melawan PT Tempo Inti Media, Tbk dkk Mahkamah Agung kembali menegaskan tentang harus didahulukannya penggunaan hak jawab, kewajiban hak jawab, dan hak koreksi sebagai
47
Dalam hal ini Mahkamah Agung tetap berpendapat bahwa kebebasan pers merupakan condition sine qua non bagi terwujudnya demokrasi dan Negara berdasar atas hukum, maka tindakan hukum yang diambil terhadap pers yang menyimpang tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum. 48 Dalam konteks ini Mahkamah Agung menilai bahwa instrumen hak jawab merupakan keseimbangan antara kemestian pers bebas dan upaya perlindungan kepentingan individu dari pemberitaan pers yang keliru, Lihat Putusan MA No 1608 K/PID/2005. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
prosedur yang harus dilalui sebelum pers diminta pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadi adanya dugaan perbuatan melanggar hukum 49.
49
Mahkamah Agung berpendapat bahwa unsur melawan hokum menjadi hilang manakala pemberitaan telah cover both side dan suatu pemberitaan telah dibantah. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
BAB
V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini, adalah : 1. Pengaturan kebebasan pers menurut KUHP dan perbandingannya di dalam RUU KUHP, adalah : a. Hampir semua pasal mengenai tindak pidana pers yang terdapat dalam KUHP dimasukkan kembali ke dalam RUU KUHP. Ini termasuk sejumlah pasal yang banyak diktitik, yakni pasal-pasal yang berisi penghinaan terhadap penguasa (Haatzaai Artikelen) dan pasal-pasal mengenai pencemaran nama baik. Perubahan yang dilakukan dalam RUU KUHP adalah pada perluasan definisi pers. Dalam RUU KUHP terlihat, tindak pidana pers dilebarkan dari yang semula (mengikuti tiplogi pembagian tindak pidana pers Umar Senoadji) tindak pidana pers sempit ke tindak pidana pers dalam arti luas. Dalam pasal-pasal mengenai pers, tercakup semua jenis media yakni media cetak (mempertunjukkan, menempelkan), media televisi
(menyiarkan,
menempelkan
gambar)
hingga
media
radio
(memperdengarkan rekaman). b. RUU KUHP bukan memperkecil pasal-pasal mengenai tindak pidana pers. RUU KUHP sebaliknya menambah beberapa pasal mengenai tindak pidana pers. Apa yang tidak diatur dalam KUHP, diatur dalam RUU KUHP.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
c. Sejumlah tindakan pidana dalam KUHP dijabarkan atau didetilkan lebih lanjut dalam RUU KUHP. Tidak mengherankan jikalau pasal-pasal mengenai tindak pidana pers lebih banyak terdapat dalam RUU KUHP. Misalnya pasal mengenai permusuhan atau penghinaan terhadap kelompok tertentu. KUHP menggabungkan permusuhan terhadap golongan, agama dalam satu pasal. Sementara dalam RUU KUHP, pidana penghinaan terhadap kelompok / golongan dan agama ini dipisah. Dalam RUU KUHP juga dimasukkan pidana mengenai penghasutan untuk menidakan keyakinan orang terhadap agama. Tindak pidana lain yang didetilkan ( dijabarkan) dalam RUU KUHP adalah mengenai berita bohong. Dalam KUHP hanya ada 1 pasal yang mempidanakan penyiaran berita bohong. Sementara dalam RUU KUHP, selain penyebaran berita bohong juga diatur pidana penyiaran berita yang tidak pas, tidak lengkap dan berlebihan. Dalam hal pengaturan pornografi. KUHP hanya memuat 2 pasal yang berkaitan dengan penyiaran dan penyebaran materi pornografi. Sementara dalam RUU KUHP, tindakan pidana pornografi ini diatur dari hulu hingga hilir dari model yang mengeksploitasi daya tarik seksual, pihak yang membuat, pihak yang mendanai hingga pihak yang menyiarkan dan menyebarluaskan . Bahkan ketentuan dalam RUU KUHP juga menyertakan pidana terhadap pihak yang menyediakan tempat (misalnya museum)
yang
menyelenggarakan
pameran
seni
yang
dikategorikan
meneksploitasi daya tarik seksual. d. RUU KUHP memuat kembali ketentuan hukuman yang terdapat dalam KUHP, yakni pencabutan profesi. Dalam tindak pidana pers, paling tidak terdapat 7 pasal dalam RUU KUHP dimana pelaku bukan hanya dijatuhi hukuman kurungan tetapi Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
juga pencabutan profesi. Pencabutan profesi ini dilakukan jikalau pelaku dalam menjalankan profesinya melakukan tindak pidana yang sama dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam konteks pekerjaan jurnalis, wartawan bisa dicabut profesinya (sebagai wartawan) jikalau melakukan tindak pidana yang sama. 2. Pengaturan dan efektifitas pemberlakuan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran untuk menanggulangi tindak pidana pers ini, sebagai berikut : UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menjadi tonggak dalam sejarah kemerdekaan pers di Indonesia. UU Pers ini lahir karena desakan masyarakat pers yang menginginkan adanya jaminan kemerdekaan pers yang kuat melalui instrumen hukum. Jaminan yang diinginkan oleh masyarakat pers-pun akhirnya didapat dan UU Pers dalam catatan penulis menjadi satu-satunya UU yang tidak memiliki pengaturan lebih lanjut dalam bentuk apapun dan menjadikan Dewan Pers menjadi organ/lembaga negara independen. Namun jaminan kemerdekaan secara legal formal nampak belum cukup menjamin anggota masyarakat pers lepas dari segala bentuk tindak kekerasan dan juga berbagai tuntutan hukum, baik pidana ataupun perdata, dari individu atau kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya pemberitaan pers. Paradigma yang dianut dalam RUU KUHP berbeda dengan paradigma yang ada dalam Undang-Undang Pers (UU No. 40 tahun 1999) dan Undang-Undang Penyiaran (UU No. 32 tahun 2002). Kedua Undang-Undang ini dibangun dengan prinsip Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
membangun media dalam ranah demokrasi. Media ditempatkan sebagai mediun yang penting untuk menumbuhkan semangat demokratis dan sebagai saluran kontrol kepentingan publik. Tentu saja dalam melakukan tugasnya, pers bisa salah. Tetapi kesalahan itu tidak lantas dihukum dengan ancaman pidana. Undang-Undang pers lebih mengedepankan semangat membangun pers agar tumbuh sehat dan bertanggungjawab dengan penyelesaian lewat jalur mediasi (melalui hak jawab dan penyelesaian Dewan Pers). Jika ada berita media yang tidak akurat, narasumber dapat menggunakan haknya untuk mengkoreksi pemberitaan media. Undang-Undang Pers menjamin, pers wajib memberikan hak jawab dari narasumber yang merasa diberitakan secara tidak benar oleh media.
3. Mekanisme kontrol kebebasan pers di Indonesia, adalah : Pers sebagai alat kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) seharusnya dapat bekerja secara profesional sesuai kode etik. jurnalistik. Fungsi pers sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU Pers No. 40 Tahun 1999, mengatakan bahwa: a. Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. b. Pers wajib melayani Hak Jawab. c. Pers wajib melayani Hak Koreksi. Berdasarkan ketentuan tersebut, pers nasional dalam menyiarkan informasi dilarang keras membuat opini atau menyimpulkan kesalahan seseorang, terlebih jika kasus yang diliput itu masih dalam proses Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
peradilan. Penyiaran informasi itu harus berimbang dari sumber berita pihak terkait dan sesuai dengan fakta yang terungkap di lapangan. Mekanisme kontrol etika diperlukan untuk dapat melindungi pihak lain dari penyalahgunaan penderitaan. Kontrol tersebut dapat dilakukan melalui cara : a. Melalui Organisasi Profesi. Mekanisme kontrol melalui organisasi profesi dapat dilakukan sepanjang ada satu organisasi jurnalis yang kuat, berpengaruh, dan berwibawa. Selain itu seluruh jurnalis tergabung dalam satu organisasi jurnalis atau setidaknya mempunyai kewajiban untuk bergabung dengan salah satu organisasi jurnalis. Mekanisme ini sangat ideal karena sebagai contoh tentang pelaksanaan prinsip self regulating society yang bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk negara. Namun praktek inipun membutuhkan berbagai parameter sehingga organisasi jurnalis memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Tanpa kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, maka akan sulit kontrol tersebut dilaksanakan melalui organisasi profesi. c. Melalui Lembaga Pengadilan Mekanisme kontrol melalui pengadilan merupakan salah satu mekanisme resmi yang diakui dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Namun penggunaan mekanisme ini berbahaya, karena melegitimasi campur tangan negara dalam suatu masyarakat sipil yang terorganisir. Selain itu, penggunaan mekanisme itu tidak memberikan pembelajaran bagi peningkatan profesionalitas. c. Melalui Lembaga Quasi Negara
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Mekanisme ini digunakan ketika tidak ada satupun organisasi profesi jurnalis yang kuat, berpengaruh, dan berwibawa. Mekanisme ini merupakan pilihan yang baik jika tidak ada kewajiban bagi jurnalis untuk bergabung di salah satu organisasi profesi. Namun, lembaga ini haruslah diberikan kewenangan yang cukup untuk dapat melakukan penindakan dan memberikan sanksi terhadap setiap pelanggaran etika. d. Pentingnya Pembentukan RUU P4 (Penyelesaian Perselisihan Pemberitaan Pers). Pembentukan RUU P4 ini sangat penting untuk mengatasi berbagai kelemahan dari UU Pers. UU Pers sedari awal memiliki kelemahan yang juga diakui oleh Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa diperlukan adanya improvisasi dalam menciptakan yurisprudensi agar perlindungan hukum terhadap insan pers dan sekaligus juga menempatkan UU Pers sebagai lex specialist karena diakui sendiri oleh Mahkamah Agung bahwa UU Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers terutama dalam hal adanya delik pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam UU Pers dan diberlakukan ketentuan KUHP.
B. Saran – Saran Saran-saran yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini, adalah : 1. Mahkamah Agung hendaknya menyadari akan perlunya improvisasi dalam menciptakan yurisprudensi agar perlindungan hukum terhadap insan pers dapat dipenuhi, dan sekaligus juga menempatkan UU Pers sebagai lex specialist karena UU Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers terutama dalam hal adanya delik pers karena tidak ada ketentuan pidana dalam UU Pers. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
2. Mekanisme kontrol melalui organisasi profesi sangat perlu dilakukan untuk mengawasi dunia pers di Indonesia. Untuk itu dibutuhkan suatu organisasi jurnalis yang kuat, berpengaruh, dan berwibawa. Mekanisme ini sangat ideal karena sebagai contoh tentang pelaksanaan prinsip self regulating society yang bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk negara. Namun praktek inipun membutuhkan berbagai parameter sehingga organisasi jurnalis memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Tanpa kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, maka akan sulit kontrol tersebut dilaksanakan melalui organisasi profesi.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU / MAKALAH Amirudin
dalam makalah yang berjudul “Kriminalisasi atas Kebebasan Pers dalam
Perspektif pers, Disampaikan pada : Diskusi Mengurai Delik Pers dalam RUU KUHP, yang diselenggarakan oleAliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Aliansi Reformasi KUHP, Batam, 21 September 2006. Ampuan Situmeang SH, MH, Disampaikan pada : Diskusi Mengurai Delik Pers dalam RUU KUHP, yang diselenggarakan oleAliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Aliansi Reformasi KUHP, Batam, 21 September 2006. Banjar Nakon Brudar, Delik Pers, Jakarta, Chalia Indonesia,1994. Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Pernada Media Group, Jakarta, 2006. Komariah E. Sapardjaja, Delik Pers dalam KUHP dan RKUHP dalam Kebebasan Pers dan Penegakan Hukum, Dewan Pers, Jakarta, 2003.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Jakop Oetama, Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Jakarta, Penerbit buku Kompas, Oktober 2001. ------------------, Berpikir Luang tentang Keindonesiaan. Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2001. Juniver Girsang, Penyelesaian Sengketa Pers, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007. Lukas Luwarso, Kebebasan Pers dan Penegakan Hukum, Dewan Pers & UNESCO, 2003. SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem – Petehaem, Jakarta, 1996.
B. INTERNET Agus Sopyan, Meski Masih Beroperasi dalam Jargon Politik - Spirit Pelopor Pers Mahasiswa Masih Ada, diakses dari situs : http://www.pikiran-rakyat.com, Sabtu, 17 September 2005. Dadang Sukandar, KUHP dan Perundang-undangan Lex Specialis, diakses dari situs : http://www.sinar-harapan.co.id, tanggal 30 Juni 2004. Juniver Girsang, SH.MH, Perlu Kepastian Hukum Pers, diakses dari situs : http://www.suara-pembaruan.com, tanggal 4 September 2005. S.Sinancari
Ecep,
UU
Pers
Nasional,
diakses
dari
situs
:
http//www.hukumonline.com, tanggal 20 Januari 2006. Syamsul Wahidin,
Perlindungan terhadap Pekerja Pers, diakses dari situs :
http//www.banjarmasin-pos.com, tanggal 8 November 2006.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Rudy S. Mukantardjo, Tindak Pidana Pers dalam RKUHP Nasional, diakses dari situs : http://www.komisihukum.co.id, tanggal 12 Desember 2005. Winarta Adisubrata, Delik Pers Pertama di Indonesia, diakses dari situs : http//www.hukumonline.com, tanggal 6 Oktober 2006. Komisi Hukum Nasional RI, Kebebasan Pers dalam Hukum Pidana ditinjau dari RUU KUHP, diakses dari situs : http://www.komisihukum.co.id, tanggal 30 Maret 2007.
C. PERATURAN PERUNDANG -UNDANGAN Undang – Undang Dasar 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Rancangan Undang-Undang KUHP Nasional Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran
D. SURAT KABAR / MAJALAH Atmakusumah, Dekriminalisasi Pers Tuntutan Zaman, Harian Kompas, edisi 12 Maret 2005. Binsar Gultom, Berdayakan UU Pers untuk Mengadili Delik Pers, Harian Kompas, edisi 2 Juli 2006. Frans Hendra Winarta, UU Pers Lex Specialis atau Bukan,, harian Kompas, edisi 3 April 2006. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
Sapto Pradityo, Politisi Dukung Anti Kriminalisasi Pers, Majalah Tempo, edisi Kamis, 2 September 2004. Syahriani, Kriminalisasi Pers Vs Pilar Demokrasi, harian Waspada, edisi, Senin, 25 April 2006.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009