1
ANALISA PIDANA HUKUM DAN KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
DISUSUN OLEH :
ISMUHADI NIM : 020 – 200 - 092
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
2
ANALISA HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
DISUSUN OLEH :
ISMUHADI NIM : 020 – 200 - 092
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA DISETUJUI OLEH : KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Abul Khair, SH.M.Hum NIP. 131 842 854 Dosen Pembimbing I
Nurmalawaty, SH.M.Hum NIP. 131 803 347
Dosen Pembimbing II
Dr. Marlina, SH.M.Hum NIP. 132 300 072
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
3
KATA PENGANTAR
Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berpikir kepada Penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul :” ANALISA HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA
PENISTAAN AGAMA DI INDONESIA”, Penulisan
skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2.
Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH.MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.
3.
Bapak Syafaruddin, SH.MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.
4.
Bapak M. Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.
5.
Bapak Abul Khair, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU. Ibu Nurmalawaty, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang j telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.
6.
7.
Ibu Dr. Marlina, SH.M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.
8.
Bapak/Ibu para dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum USU dimana penulis menimba ilmu selama ini.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
4
9.
Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum USU yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi.
Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.
Medan, Penulis,
Maret 2008
Ismuhadi
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
5
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ABSTRAK
Halaman BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang………………………………………….........................1 B. Rumusan Masalah……………………………........................................4 C. Keaslian Penulisan……………………....................................................5 D. Tujuan dan Manfaat……………….........................................................5 E. Tinjauan Kepustakaan………………………………..............................7 F. Metode Penelitian…………………………...........................................21 G. Sistematika Penulisan……………………………….............................23
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA DI INDONESIA A. Pengaturan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana................ 25 B. Pengaturan di dalam Rancangan Undang-Undang KUHP.....................35 C. Peraturan Perundangan-Undangan lain di Indonesia..............................40 BAB III ANALISA KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA DI INDONESIA A. Pengertian Kriminologi dan Teori-Teori Kriminologi............................44 B. Pengertian Kejahatan ditinjau dari pandangan kriminologi....................52 C. Faktor-faktor Penyebab Tindak Pidana Penistaan Agama......................55 D. Usaha Penaggulangan Timbulnya Tindak Penistaan Agama.........69
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………………………….....................................................81 B. Saran…………………………………...................................................84
DAFTAR PUSTAKA
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
6
ABSTRAKSI
Aliran sesat kembali menjadi topik pembicaraan terhangat di masyarakat Indonesia. Tantangan yang dihadapi MUI semakin berat, hal ini disebabkan semakin kompleknya permasalahan yang dihadapi umat islam di negeri ini. Kebebasan yang tidak terbatas akibat reformasi yang disalahartikan telah melahirkan berbagai sikap dan perbuatan yang jauh menyimpang dari dari norma-norma agama yang sebenarnya, seperti timbulnya berbagai aliran-aliran kepercayaan yang telah dinyatakan sesat oleh pemerintah serta lembaga-lembaga lainnya. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), misalnya, pernah melansir bahwa ada 250 aliran sesat yang eksis di Indonesia. Pengaturan Hukum terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah terdapat di dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, di dalam Pasal 156a KUHP, RUU KUHP di dalam Pasal 342-349, maupun pengaturan-pengaturan lain yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Kejaksaan Agung baik di tingkat pusat maupun di daerah.Beberapa faktor penyebab timbulnya aliran sesat, antara lain : kegagalan Pembinaan Agama, Lemahnya Penegakan Hukum (Law Enforcement), Munculnya Pembela Aliran Sesat, Media Tidak Berpihak kepada Umat Islam,sebagai grand design pihak asing untuk menghancurkan akidah umat Islam Indonesia dan boleh jadi para penggagas aliran sesat ini muncul hanya untuk mencari popularitas dan keuntungan pribadi. Kemudian, munculnya aliran sesat juga terkait dengan kondisi terpuruknya ekonomi serta gagasan tentang ratu adil dan penyelamatan. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum skunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan analisa hukum pidana terhadap tindak pidana penodaan/penistaan terhadap agama, khususnya yang sering terjadi dewasa ini di Indonesia, dengan munculnya berbagai ajaran-ajaran agama baru yang menyimpang. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum, yaitu hukum yang terkait dengan masalah tindak pidana penistaan terhadap agama. Pengaturan terhadap tindak pidana penistaan agama diatur dalam KUHP, RUU KUHP, pengaturan lain tentang tindak pidana ini juga ditetapkan oleh lembagalembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM).Usaha penanggulangan yang dapat dilakukan untuk tindak pidana penistaan agama ini adalah dapat dilakukan baik usaha, seperti Para tokoh agama Islam mestilah kembali ke pangkuan umatnya. Saatnya para ulama tidak boleh lagi menyalahkan satu sama lain. Meningkatkan peranan Departemen Agama dengan merespons dengan cepat setiap muncul keresahan tentang penyimpangan akidah di masyarakat serta setiap umat Islam seharusnya lebih membekali diri dengan pemahaman agama yang cukup, selain penahanan terhadap tokohnya, juga pemerintah melakukan pembinaan pada para pengikut aliaran sesat.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
7
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. Aliran sesat kembali menjadi topik pembicaraan terhangat di masyarakat Indonesia. Hangatnya kembali wacana ini tidak dapat dilepaskan dari ‘kepopuleran’ AlQiyadah Al-Islamiyah yang belakangan tengah dihujat oleh sebagian kalangan. Aliran yang dipimpin oleh Ahmad Mushaddeq ini semakin tenar karena media nasional dalam sepekan terakhir tiada henti mewartakan aliran ini, terutama terkait upaya penindakan oleh aparat kepolisian. Al-Qiyadah hanyalah satu dari sekian banyak aliran yang dicap sesat yang berkembang di Indonesia. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), misalnya, pernah melansir bahwa ada 250 aliran sesat yang eksis di Indonesia. Menurut Ketua Tim Pengacara Muslim (TPM) Mahendradatta, aliran sesat marak karena mereka pada umumnya menawarkan surga yang bersifat instan. Selanjutnya Mahendradatta mencontohkan adanya aliran sesat yang mengiming-imingi pembersihan dosa dengan syarat pembayaran sejumlah uang kepada pengikutnya. Selain itu, sejumlah aliran sesat terkadang juga menawarkan aturan yang meringankan pengikutnya berupa pengurangan kewajiban-kewajiban yang selama ini berlaku di agama konvensional. Faktor lain yang mendorong tumbuh suburnya aliran sesat, menurut Mahendradatta, adalah ringannya sanksi pidana yang berlaku sehingga tidak memberikan efek jera terhadap penyebar ajaran sesat. 1 Di Indonesia, UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang selama ini dijadikan dasar hukum, selain KUHP, upaya 1
Tim Pengacara Muslim (TPM) Anggap Penindakan Aliran Sesat Sesuai Prinsip HAM, diakses dari situs: http://www.hukumonline.com/artikel/3/11/2007. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
8
penindakan aliran-aliran sesat hanya memuat rumusan sanksi pidana penjara selamalamanya lima tahun. Mahendratta memandang rumusan tersebut sudah saatnya direvisi dengan rumusan sanksi pidana yang lebih berat sehingga dapat menimbulkan efek jera dan meredam maraknya aliran-aliran sesat. 2 Di daerah Semarang, Solo, dan Yogyakarta saja misalnya, sebagian besar pengikutnya adalah mahasiswa dan penyebarannya terus dilakukan oleh kalangan mahasiswa sendiri untuk kalangan mahasiswa dan pelajar. Penyebarannya bukan saja di kampus dan sekolah, tetapi juga di tempat-tempat tertentu dengan berbagai macam bentuk dan variasinya. Besar kemungkinan, kalau tidak terkuak luas kesesatannya, penyebaran aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah misalnya, akan terus dilakukan dan menyebar di masyarakat umum. Beruntung kalau kemudian terbongkar dan tidak berlanjut saat pemimpinnya menyerahkan diri ke Polri. Meski demikian, semua tetap harus waspada, karena meski pemimpinnya telah menyerahkan diri dan ditahan, diduga anggota aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah ada yang tetap menolak bertaubat dan tetap bersikukuh kalau ajarannya benar, akan terus menyebarkan ajarannya. Hal demikian merupakan ancaman serius yang tidak boleh dibiarkan. Untuk para pengikut yang belum mau bertobat seperti memang harus tetap diupayakan penyadaran yang berkesinambungan.
3
Para mahasiswa dijadikan sasaran karena mereka dinilai akan cukup efektif untuk direkrut dan diajak menyebarkan aliran sesat. Terlebih yang (maaf) masih dangkal pemahamannya tentang dasar keagamaan, tentu akan lebih mudah disusupi ajaran yang berunsur sesat. Mereka kemudian bagai tak punya kekuatan menolak hal
2
Ibid. Ari Nursanti, Mewaspadai penyebaran aliran sesat, http://www.wawasandigital.com.index.php/Senin/12/November/2007 3
diakses
dari
situs
::
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
9
yang diperintahkan pimpinan aliran yang diikutinya. Kalau mereka dipilih sebagai target penyebaran aliran, hal itu bukan saja karena mereka punya prestise sebagai mahasiswa dan pelajar, tetapi setelah itu juga akan mudah mempengaruhi yang lain, mudah mengeluarkan uang, tenaga dan siap menjadi bumper demi kepentingan aliran. Kalau sudah begitu, mereka tidak lagi peduli apa kata orang tentang aliran yang diikuti dan disebarkannya.Penyebaran aliran sesat yang sekarang ini makin banyak terjadi bagi mahasiswa dan pelajar akan menjadi ancaman tersendiri bagi mahasiswa dan pelajar dengan kampus maupun sekolah serta lingkungannya. Bahaya bukan saja akan membuat mereka menjadi sosok yang tidak mampu menggunakan akal sehatnya dan menjadi kebenaran sejati ajaran agamanya sebagai pedoman hidup, tetapi juga akan merusak jiwa, raga, dan kehidupan sosialnya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat masalah ini ke dalam skripsi. Karena seperti diketahui, banyak aliran-aliran sesat yang sifatnya penodaan dan penistaan terhadap agama yang kurang ditindak dengan tegas oleh hukum, padahal instrumen hukum yang mengatur hal tersebut ada. Penodaan agama, termasuk penghinaan kepada nabi, menurut syariat Islam, terancam hukuman yang cukup berat yaitu mati. Hal ini dilandaskan pada hadis riwayat Abu Dawud dari Ibnu Abbas yang menerangkan seorang buta yang membunuh ibunya sendiri, karena si ibu tak mau berhenti melakukan penghinaan kepada Nabi. Nabi pun membenarkan tindakan orang tersebut.
Penodaan agama dikualifikasikan jarimah atau suatu
kejahatan. Akan tetapi, meski terancam hukuman mati, apabila si pelaku kejahatan bertobat kepada Allah sebelum proses peradilan dijalankan, ia dapat saja dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Tobat memiliki nilai dan kekuatan yang dapat membebaskan seseorang dari kemungkinan vonis bersalah. Permasalahannya adalah Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
10
hukum syariat dengan ancaman sanksi (al uqubat) berat di atas tidaklah berlaku dalam tatanan hukum positif kita. Karenanya tidak berlaku juga asas pembebasan hukum atas dasar pertobatan. Adapun yang berlaku bagi perbuatan penyalahgunaan atau penodaan agama adalah sanksi hukum pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
4
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan hal-hal yang tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang akan saya bahas di dalam skripsi ini adalah : 1.
Apakah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya Tindak Pidana Penistaan Agama di Indonesia dan bagaimana cara penanggulangannya?
2.
Bagaimana Pengaturan Hukum terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?
C. Keaslian Penulisan Sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan penelurusan, pembahasan skripsi dengan judul : “ANALISA HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA
PENISTAAN
AGAMA DI
INDONESIA ”, adalah sebuah
masalah yang sudah sering kita dengar, namun dalam penulisan skripsi ini Penulis khusus membahas masalah analisa hukum dan kriminologi terhadap tindak pidana penistaan agama di Indonesia dengan contoh kasus aliran sesat Al-Qiyadah AlIslamiyah, Ahmadiyah dan sebagainya.
4
H.M. Rizal Fadhilah,Aspek Hukum Pertobatan http://www.pikiran-rakyat.com/14/November/2007.
Mushaddeq,
diakses dari
situs
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
:
11
Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini secara singkat, adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya Tindak Pidana Penistaan Agama di Indonesia dan bagaimana cara penanggulangannya. 2. Untuk mengetahui Pengaturan Hukum terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk : 1. Manfaat secara teoritis. Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literature dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan Analisa Hukum dan Kriminologi mengenai Tindak Pidana Penistaan terhadap Agama oleh berbagai aliran sesat di Indonesia, seperti Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Ahmadiyah dan sebagainya. 2. Manfaat secara praktis
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
12
Secara praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi pengetahuan tentang bagaimana kasus-kasus penistaan terhadap agama yang sekarang mulai sering terjadi di Indonesia. Akhir-akhir ini, hampir tiap hari membaca media massa ibukota, selalu saja menemui berita tentang berbagai aliran sesat yang meresahkan. Hampir setiap hari selalu saja ada berita mengenai hal ini. Berita-berita yang paling santer terakhir ini adalah mengenai kelompok Al-Quran Suci dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Setelah mengikuti pengajian, biasanya orang yang mengikuti aliran semacam ini perangainya menjadi berubah total. Yang biasanya periang menjadi pendiam, terkesan tertutup dan seperti kebingungan. Beberapa pihak menduga kelompok Al-Quran Suci ada kemiripan dengan Inkar Sunnah yang pernah hidup di masa orde baru. Kelompok pengajian ini menolak keberadaan Hadits, karena dianggap sebagai buatan manusia setelah Nabi Muhammad saw wafat. Jadinya, hanya mempercayai Al-Qur’an sebagai satusatunya hukum dan menolak Al-Hadits. Beberapa tokoh juga menduga kalau pelakunya (behind the scene) adalah bukan dari kalangan muslim, karena mereka berusaha untuk menjauhkan umat Islam dari Rasulullah. Mungkinkah ini grand design dari musuh Islam, kita juga tidak bisa memastikan. Dari berbagai kasus, dapat disimpulkan juga bahwa target-target yang akan direkrut kebanyakan adalah kalangan anak muda khususnya wanita, target ini biasanya memiliki semangat Islam tinggi, namun pemahaman agamanya masih rendah. Untuk itu, skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi dan memperluas wawasan dan cakrawala berfikir terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di atas.
E. Tinjauan Kepustakaan Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
13
1. Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana Hukum pidana adalah : hukum yang mempelajari mengenai perbuatanperbuatan apa yang dapat dihukum (berupa pidana) dan hukuman-hukuman apa yang dapat dijatuhkan (jenis pidananya). Hukum Pidana terdiri dari Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana). Hukum Pidana mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatankejahatan terhadap norma-norma hukum mengenai kepentingan hukum, yaitu : a. Badan peraturan perundangan negara, seperti : negara, lembaga-lembaga pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang,
peraturan
5
negara,
pemerintah
dan
sebagainya. b. Kepentingan hukum tiap manusia, seperti : jiwa, raga, kehormatan, kemerdekaan, hak milik, harta benda dan sebagainya Jadi hukum pidana mengatur kepentingan umum. Hukum pidana tidak membuat peraturan-peraturan yang baru, melainkan mengambil dari peraturan-peraturan hukum yang lain yang bersifat kepentingan umum. Setiap serangan atas kepentingan hukum perseorangan di samping menyangkut urusan hukum perdata, juga adakalanya menjadi urusan hukum pidana, seperti pencurian, penghinaan dan sebagainya. Hukum pidana bersifat memaksa dan mencegah agar tidak terjadi perkosaan terhadap hak-hak manusia sebagai anggota masyarakat.6 Secara singkat tujuan hukum pidana adalah :
7
a). Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik.
5
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 169. Ibid, hal. 170. 7 Ibid, hal. 171. 6
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
14
b). Untuk mendidik orang telah pernah melakukan permbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam lingkungan kehidupannya. Setelah diketahui mengenai pengertian hukum pidana, selanjutnya akan dilihat mengenai peristiwa pidana (selanjutnya disebut tindak pidana). Tindak pidana (delik) adalah perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai tindak pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya, yang terdiri dari : 8 a). Unsur objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Yang menjadikan titik utama dari pengertian objektif di sini adalah tindakannya. b). Unsur subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang. Selanjutnya syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu tindak pidana, adalah : 9 a). Harus ada suatu perbuatan. b). Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yagn dilukiskan dalam ketentuan hukum. Artinya, perbuatan itu sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. c). Harus terbukti adanya kesealahan yang dapat dipertanggungjawabkan. d). Harus berlawanan dengan hukum. Artinya suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum dimaksudkan kalau tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan aturan hukum. 8 9
Ibid, hal. 174. Ibid.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
15
e). Harus tersedia ancaman hukumannya. Maksudnya kalau ada ketentuan yang megnatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu, maka ketentuan itu memuat sanksi ancaman hukumannya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang diadakan dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang ditempatkan dalam Buku ke II dan pelanggaran yang ditempatkan dalam Buku ke III. Ternyata dalam KUHP, tiada satu Pasal pun yang memberikan dasar pembagian tersebut, walaupun pada bab-bab dari buku I selalu ditemukan penggunaan istilah tindak pidana, kejahatan atau pelanggaran. Kiranya cirri-ciri pembedaan itu terletak pada penilaian-kesadaran hukum pada umumnya dengan penekanan (stressing) kepada delik hukum (rechts-delichten) dan delik undang-undang (wet-delichten) 10. Beberapa sarjana mengemukakan sebagai dasar pembagian tersebut bahwa delik hukum sudah sejak semula dapat dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum sebelum pembuat undang-undang menyatakan dalam undang-undang. Sedangkan delik undang-undang baru dipandang/dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum, setelah ditentukan dalam undang-undang. 11 Sebagai contoh dari delik hukum antara lain adalah pengkhianatan, pembunuhan, pencurian, perkosaan, penghinaan dan sebagainya, dan contoh dari delik undang-undang antara lain adalah pelanggaran, peraturan lalu lintas di jalan, peraturan pendirian perusahaan, peraturan pengendalian harga dan lain sebagainya. Sarjana lain yaitu VOS tidak dapat menyetujui bilamana dikatakan bahwa dasar pembagian pelanggaran adalah karena sebelumnya tindakan-tindakan tersebut tidak dirasakan 10
SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem – Petehaem, Jakarta, 1996, hal. 17. 11 H.A.K. Moch. Anwar, Beberapa Ketentuan Umum dalam Buku Pertama KUHP, Alumni, Bandung, 1981, hal. 15. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
16
sebagai hal yang melanggar kesopanan atau tak dapat dibenarkan oleh masyarakat (zedelijk of maatschappelijk ongeoorloofd), karena : a. ada pelanggaran yang diatur dalam Pasal-Pasal 489, 490 KUHP yang justru dapat dirasakan sebagai yang tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat dan b. ada beberapa kejahatan seperti Pasal-Pasal 303 (main judi), 396 (merugikan kreditur) yang justru dapat dirasakan sebelumnya sebagai tindakan yang melanggar kesopanan. Dasar pembedaan lainnya dari kejahatan dan pelanggaran yang dikemukakan adalah pada berat/ringannya pidana yang diancamkan. Seyogyanya untuk kejahatan diancamkan pidana yang berat seperti pidana mati atau penjara/tutupan. Ternyata pendapat ini menemui kesulitan karena pidana kurungan dan denda diancamkan, baik pada kejahatan maupun pelanggaran. Dari sudut pemidanaan, pembagian kejahatan sebagai delik hukum atau pelanggaran sebagai delik undang-undang, tidak banyak faedahnya sebagai pedoman. Demikian pula dari sudut ketentuan berat/ringannya ancaman pidana terhadapnya, seperti yang dikemukakan di atas, sulit untuk dipedomani. Dalam penerapan hukum positif tiada yang merupakan suatu kesulitan, karena dengan penempatan kejahatan dalam buku kedua dan pelanggaran dalam buku ketiga, sudah cukup sebagai pedoman untuk menentukan apakah sesuatu tindakan merupakan kejahatan atau pelanggaran. 12 Mengenai tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan lainnya setingkat dengan KUHP telah ditentukan apakah ia merupakan kejahatan atau pelanggaran. Sedangkan tindak pidana yang diatur dalam peraturan yang lebih rendah
12
H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Alumni, Bandung, 1981, hal. 20. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
17
tingkatannya (peraturan pemerintah, peraturan-peraturan gubernur/kepala daerah dan sebagainya) pada umumnya merupakan pelanggaran. Kegunaan pembedaan kejahatan terhadap pelanggaran, kita temukan dalam sistematika KUHP yang merupakan “buku induk” bagi semua perundang-undangan hukum pidana. Sedangkan istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “Het Strafbare feit” yang setelah diterjemahkan
dalam bahasa
Indonesia berarti: a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum b. Peristiwa pidana c. Perbuatan pidana dan d. Tindak pidana Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah “Het Strafbare feit” antara lain
13
:
a. Rumusan Simon Simon
merumuskan
(tindakan/perbuatan)
“Een yang
Strafbaar
diancam
feit”
dengan
adalah
pidana
oleh
suatu
handeling
undang-undang,
bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif yang berupa
kesalahan
(schuld)
dan
kemampuan
bertanggung
jawab
(toerekeningsvatbaar) dari petindak. b. Rumusan Van Hammel 13
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Cetakan III, Eresco Jakarta, Bandung, 1980, hal. 121. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
18
Van Hammel merumuskan “Strafbaar feit” itu sama dengan yang dirumuskan oleh Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”. c. Rumusan VOS VOS merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu kelakukan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana. d. Rumusan Pompe Pompe
merumuskan
“Strafbaar
feit”
adalah
suatu
pelanggaran
kaidah
(penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum. Para sarjana Indonesia juga telah memberikan definisi mengenai tindak pidana ini, yaitu 14 : a. Mr. Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum. b. Mr. R. Tresna mendefinisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana. c. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana. d. Dr. Wirdjnono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana. Setelah melihat pendapat beberapa ahli mengenai pengertian tindak pidana, maka selanjutnya dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah terdiri dari dua suku kata yaitu tindak dan pidana. Istilah tindak dan pidana adalah merupakan singkatan dari tindakan dan penindak. Artinya ada orang yang melakukan suatu tindakan, sedangkan orang yang melakukan tindakan itu dinamakan penindak. Mungkin suatu tindakan 14
Ibid, hal. 204-206.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
19
dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal suatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh
seseorang dari suatu golongan jensi kelamin saja, atau
seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada negara/pemerintah (pegawai negeri, militer, nakhoda dan sebagainya) atau seseorang dari golongan lainnya. Jadi status/kualifikasi seseorang petindak harus ditentukan apakah ia salah seorang dari “barang siapa”, atau seseorang dari suatu golongan tertentu. Bahwa jika ternyata petindak itu tidak hanya orang (natuurlijk-persoon) saja melainkan juga mungkin berbentuk badan hukum
15
. Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau
tidak sesuai dengan hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat, baik yang langsung atau tidak langsung terkena tindakan tersebut. Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang sudah dipandang merugikan kepentingan umum di samping kepentingan perseorangan, dikehendaki turun tangannya penguasa. Apabila penguasa tidak turun tangan, maka tindakan-tindakan tersebut akan merupakan sumber kekacauan yang tak akan habis-habisnya. Demi menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat, perlu ditentukan mengenai tindakan-tindakan yang dilarang atau yang diharuskan. Pelanggaran kepada ketentuan tersebut diancam dengan pidana. Singkatnya perlu ditentukan tindakan-tindakan apa saja yang dilarang atau diharuskan dan ditentukan ancaman pidananya dalam perundang-undangan. Penjatuhan pidana kepada pelanggar, selain dimaksudkan untuk menegakkan keadilan, juga untuk mengembalikan keseimbangan kejiwaan dalam masyarakat 16.
2. Pengertian Tindak Pidana Penistaan Agama 15 16
Ibid, Hal. 209. Ibid, Hal. 210.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
20
Perlu diketahui bahwa Code Penal sendiri tidak mengatur mengenai delik agama, yang ada hanyalah undang-undang mengenai “Godslastering” di Negeri Belanda pada tahun 1932 yang terkenal dengan nama “Lex Donner” oleh Menteri Donner yang menciptakan undang-undang tersebut. Undang-undang di Jerman dalam Strafgesetzbuch mencantumkan delik agama dalam Pasal 166, tampaknya menjadi model dan ilham bagi Negeri Belanda, yang tidak memiliki aturan mengenai delik agama tersebut di tengah-tengah kehidupan hukum di sana dan tidak mengadakan transfer ke KUHP Indonesia. 17 Akhirnya tindak pidana penistaan terhadap agama diatur di dalaam Pasal 156 dan 156a, yang memidanakan barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di negeri Belanda, Jerman dan lain-lain, bahwa ucapan, pernyataan ataupun perbuatan-perbuatan yang mengejek Tuhan, memiliki peraturan sendiri, suatu Godslasteringswet di samping peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan delikdelik agama, ataupun pernyataan terhadap Tuhan, Nabi dan lain-lainnya dituangkan dalam satu ketentuan seperti di Inggris, yaitu “blasphemy”. Selanjutnya Oemar Seno Adji berpendapat, tindak pidana penistaan terhadap agama di Indonesia sendiri diatur di dalam Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP, yang dimasukkan pada tahun 1965 dengan Penpres No. 1 Tahun 1965 ke dalam kodifikasi 17
Nanda Agung Dewantara, Kemampuan Hukum Pidana dalam Menanggulangi KejahatanKejahatan Baru yang Berkembang dalam Masyarakat, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 73. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
21
mengenai delik agama. Namun demikian, Indonesia dengan Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima, tidak memiliki suatu “afweer” terhadap serangan kata-kata mengejek terhadap Tuhan. Tidak terdapat di sini suatu perundang-undangan semacam Godslasteringswet ataupun blasphemous libel di atas. Hal ini dikemukakan sebagai suatu kekurangan yang vital dalam suatu negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 18 Tindak pidana penistaan terhadap agama yang diatur di dalam Pasal 156 KUHP, adalah salah satu dari “haatzaai-artikelen” yang “befaamd” dirumuskan dengan perbuatan pidana yang kontroversial, yaitu mengeluarkan pernyataan perasaan bermusuhan, benci atau merendahkan dengan objek dari perbuatan pidana tersebut, ialah golongan penduduk, yang kemudian diikuti oleh interprestasi otentik. Dikatakan dalam Pasal 156 KUHP kemudian, bahwa yang dimaksudkan dengan golongan penduduk ialah golongan yang berbeda, antara lain karena agama dengan golongan penduduk yang lain. Maka suatu pernyataan perasaan di muka umum yang bermusuhan, benci atau merendahkan terhadap golongan agama, dapat dipidanakan berdasarkan Pasal 156 KUHP. Selanjutnya istilah dalam bahasa Belanda, yaitu ongelukkig
adalah pernyataan yang ditujukan terhadap golongan agama itu
ditempatkan dalam salah satu haatzaai-artikelen. Selanjutnya Pasal 156a KUHP memidanakan barangsiapa di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalagunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
18
Ibid.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
22
b. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti telah dikemukakan di atas, pasal ini dimasukkan dalam kodifikasi delik agama pada Penpres No. 1 Tahun 1965, di mana dalam Pasal 1 Penpres tersebut melarang untuk dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok ajaran agama itu. 19 Selanjutnya barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 1 tersebut, ia diberi peringatan dan diperintahkan untuk menghentikan perbuatannya itu ke dalam suatu keputusan bersama menteri agama, jaksa agung dan menteri dalam negeri. Jika yang melanggar itu suatu organisasi atau aliran kepercayaan, ia oleh presiden setelah mendapat pertimbangan dari menteri agama, menteri/jaksa agung dan menteri dalam negeri, dapat dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi/aliran terlarang. Jika setelah diadakan tindakan-tindakan sebagaimana tersebut di atas, ia masih terus melanggar ketentuan dalam Pasal 1 itu, maka orang/anggota atau anggota pengurus dari organisasi/aliran tersebut dipidana penjara selama-lamanya lima tahun. Sandaran dari peraturan tersebut adalah pertama-tama melindungi ketenteraman beragama dari pernyataan ataupun perbuatan penodaan/penghinaan serta ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Pengertian Kriminologi 19
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Pliteia, Bogor, 1996, 134-135. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
23
Dalam memberikan pengertian ataupun rumusan apa yang disebut dengan kriminologi pada prinsipnya belum terdapat suatu definisi yang sama antara pendapat yang satu dengan pendapat-pendapat penulis lainnya, hal ini disebabkan adanya perbedaan pandangan para sarjana-sarjana kriminologi. Namun demikian dalam hal memberikan rumusan apa yang dimaksud dengan kriminologi, maka penulis akan mencoba mengemukakan pengertian kriminologi baik ditinjau dari segi tata bahasa (etimologi) dan juga beberapa pendapat dari para sarjana. Secara etimologi, kriminologi sebagaimana yang dimuat di dalam buku karangan Ediwarman, yang berjudul Selayang Pandang Tentang Kriminologi menyebutkan bahwa kriminologi berasal dari dua suku kata, yaitu Crime = kejahatan, Logos = ilmu pengetahuan. Jadi kalau diartikan secara lengkap, kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seluk beluk kejahatan 20. Selanjutnya mengenai pengertian kriminologi dapat juga diketahui dari beberapa rumusan yang dikemukakan oleh beberapa sarjana , antara lain: 1. Menurut Hurwitj,
kriminologi adalah, : “ilmu pengetahuan yang mempelajari
kejahatan sebagai gejala masyarakat (Social Phenomenon Sutherland), sekarang ini dimasukkan ke dalamnya, usaha-usaha untuk mengatasinya (menanggulangi), memperbaiki kelakuan jahat, memberantas, setidak-tidaknya mengusahakan mengurangi kejahatan atau mencegah kejahatan 21. 2. Menurut Michael dan Adler berpendapat bahwa, “kriminologi adalah keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka,
20
Ediwarman, Selayang Pandang Tentang Kriminologi, USU Press, Medan, 1994, hal. 4. Ridwan Hasibuan, Kriminologi Dalam Arti Sempit dan Ilmu-Ilmu Forensik, USU Press, Medan, 1994, hal. 5. 21
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
24
dan cara mereka secara resmi diperlakukan oleh lembaga-lembaga penerbit masyarakat dan oleh para anggota masyarakat 22. 3. Menurut Wood berpendirian bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman, yang bertalian dengan perbuatan jahat dari penjahat, termasuk di dalamnya reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat 23. 4. Menurut Wilhelm Sauer berpendapat bahwa kriminologi adalah merupakan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang dilakukan individu dan bangsa-bangsa yang berbudaya, sehingga objek penelitian kriminologi ada dua, yaitu
24
:
a. perbuatan individu (Tat Und Tater) b. perbuatan / kejahatan 5. Menurut Moeljatno, kriminologi merupakan ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan kelakuan jelek dan tentang orangnya yang tersangkut pada kejahatan dan kelakuan jelek itu. Apabila diperhatikan rumusan pendapat-pendapat sarjana tersebut di atas, maka terdapat adanya satu hal penting yang mempunyai persamaan di mana perumusan itu secara keseluruhan mempergunakan istilah perbuatan jahat dan atau penjahat.
F.
Metode Penelitian
1. Sifat/Bentuk Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum
22
JE. Sahetapy, Kriminologi Suatu Pengantar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 7. Ibid. 24 Stephan Hurwitz, Kriminologi, saduran Ny. L. Moeljatno, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal. 3. 23
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
25
skunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan analisa hukum pidana terhadap tindak pidana penodaan/penistaan terhadap agama, khususnya yang sering terjadi dewasa ini di Indonesia, dengan munculnya berbagai ajaran-ajaran agama baru yang menyimpang. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum perdata khususnya yang terkait dengan masalah tindak pidana penodaan/penistaan terhadap agama. 2. D a t a Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research) untuk mendapatkan konsep-konsep, teoriteori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Sumber data kepustakaan diperoleh dari : 1. Bahan Hukum Primer, terdiri dari : a. Norma atau kaedah dasar ; b. Peraturan dasar ; c. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana penistaan agama di Indonesia beserta peraturan-peraturan terkait lainnya. 2. Bahan Hukum Sekunder, seperti : hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. 3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
26
sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.
25
Selanjutnya Situs Web
juga menjadi bahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini. 3.
Tehnik Pengumpulan Data Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka
penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (Library Research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.
G. Sistematika Penulisan Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih mengarahkan pembaca, maka berikut di bawah ini penulis membuat sistematika penulisan/gambaran isi skripsi ini sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah,
25
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakrta 1998, hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 1990), hal. 41. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
27
Keaslian Penulisan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan dan diakhiri dengan Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II
ANALISA
KRIMINOLOGI
TERHADAP
TINDAK
PIDANA
PENISTAAN AGAMA Pada bab ini dibahas mengenai Pengertian Kriminologi dan Teori-teori Kriminologi, Pengertian Kejahatan ditinjau dari pandangan kriminologi, Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Penistaan Agama dan UsahaUsaha Penanggulangan Timbulnya Tindak Pidana Penistaan Agama, meliputi yaitu : Usaha Preventif (Usaha Pencegahan), Usaha Repressif (Tindakan Penanggulangan ) dan Usaha Reformatif (Pembinaan terhadap Para Pelaku) BAB III
PENGATURAN DAN ANALISA HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA DI INDONESIA Pada bab ini dibahas mengenai Pengaturan di dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), Pengaturan di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU)
KUHP dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya di Indonesia. BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN Pada Bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
28
BAB II ANALISA KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA
A.
Pengertian Kriminologi dan Teori-teori Kriminologi 1). Pengertian Kriminologi Dalam memberikan pengertian ataupun rumusan apa yang disebut dengan
kriminologi pada prinsipnya belum terdapat suatu definisi yang sama antara pendapat yang satu dengan pendapat-pendapat penulis lainnya, hal ini disebabkan adanya perbedaan pandangan para sarjana-sarjana kriminologi. Namun demikian dalam hal memberikan rumusan apa yang dimaksud dengan kriminologi, maka penulis akan mencoba mengemukakan pengertian kriminologi baik ditinjau dari segi tata bahasa (etimologi) dan juga beberapa pendapat dari para sarjana. Secara etimologi, kriminologi sebagaimana yang dimuat di dalam buku karangan Ediwarman, yang berjudul Selayang Pandang Tentang Kriminologi menyebutkan bahwa kriminologi berasal dari dua suku kata, yaitu Crime = kejahatan, Logos = ilmu pengetahuan. Jadi kalau diartikan secara lengkap, kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seluk beluk kejahatan 26. Selanjutnya mengenai pengertian kriminologi dapat juga diketahui dari beberapa rumusan yang dikemukakan oleh beberapa sarjana , antara lain:
26
Ediwarman, Selayang Pandang Tentang Kriminologi, USU Press, Medan, 1994, hal.
4. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
29
1. Menurut Hurwitj,
kriminologi adalah, : “ilmu pengetahuan yang mempelajari
kejahatan sebagai gejala masyarakat (Social Phenomenon Sutherland), sekarang ini dimasukkan ke dalamnya, usaha-usaha untuk mengatasinya (menanggulangi), memperbaiki kelakuan jahat, memberantas, setidak-tidaknya mengusahakan mengurangi kejahatan atau mencegah kejahatan 27. 2. Menurut Michael dan Adler berpendapat bahwa, “kriminologi adalah keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka, dan cara mereka secara resmi diperlakukan oleh lembaga-lembaga penerbit masyarakat dan oleh para anggota masyarakat 28. 3. Menurut Wood berpendirian bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman, yang bertalian dengan perbuatan jahat dari penjahat, termasuk di dalamnya reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat 29. 4. Menurut Wilhelm Sauer berpendapat bahwa kriminologi adalah merupakan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang dilakukan individu dan bangsa-bangsa yang berbudaya, sehingga objek penelitian kriminologi ada dua, yaitu
30
:
a. perbuatan individu (Tat Und Tater) b. perbuatan / kejahatan 5. Menurut Moeljatno, kriminologi merupakan ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan kelakuan jelek dan tentang orangnya yang tersangkut pada kejahatan dan kelakuan jelek itu.
27
Ridwan Hasibuan, Kriminologi Dalam Arti Sempit dan Ilmu-Ilmu Forensik, USU Press, Medan, 1994, hal. 5. 28 JE. Sahetapy, Kriminologi Suatu Pengantar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 7. 29 Ibid. 30 Stephan Hurwitz, Kriminologi, saduran Ny. L. Moeljatno, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal. 3. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
30
Apabila diperhatikan rumusan pendapat-pendapat sarjana tersebut di atas, maka terdapat adanya satu hal penting yang mempunyai persamaan di mana perumusan itu secara keseluruhan mempergunakan istilah perbuatan jahat dan atau penjahat. 2). Teori-teori Kriminologi Sudah menjadi satu istilah yang umum bahwa manusia itu adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon) yang berarti di samping manusia itu sebagai makhluk individu/pribadi, juga manusia itu harus hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya. Sehingga di dalam manusia itu berbuatpun, tidak hanya didasarkan atas kemauannya sendiri, melainkan juga dipengaruhi oleh masyarkat lainnya atau lingkungannya. Demikian halnya timbulnya tindakan-tindakan criminal/kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat selain berasal dari diri manusia itu secara pribadi/individu juga dipengaruhi oleh masyarakat di lingkungannya. Berikut ini akan dibahas mengenai beberapa teori tentang kriminologi, yaitu : 1.
Teori Individualistis. Menurut teori ini kejahatan itu timbul dari dalam diri manusia itu sendiri
akibat dari sifat-sifat si pelaku yang ditentukan oleh bakatnya ataupun pembawaannya. Unsur bakat di sini oleh para sarjana kriminologi sering diartikan sebagai unsur keturuanan dan faktor-faktor pembawaan seseorang, sehingga diantara para sarjana tersebut muncul suatu pertentangan mengenai faktor-faktor yang menentukan dalam timbulnya kejahatan yang dipengaruhi oleh “Type Geno” atau “Type Pheno”. Dalam hal ini sebagian sarjana mengatakan bahwa kejahatan itu dipandang sebagai unsur dari keturunan (type geno) dan penganut yang lain tidak sejauh itu dan
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
31
mereka hanya membicarakan kejahatan itu sebagai faktor-faktor pembawaan seseorang (type phaeno). JE Sahetapy mengatakan, type geno adalah “modal keturunan” yang dimiliki oleh individu yang diwariskan oleh orang tua individu itu kepadanya yang ada gilirannya nanti akan diwariskan oleh individu tersebut secara turun temurun dan untuk selanjutnya tergantung dari keadaan, unsur-unsur yang manakah yang akan menjadi nyata dalam hidup individu itu di kemudian harinya dan sebaliknya unsur-unsur manakah yang tidak akan nyata atau tidak akan berkembang dalam diri individu itu untuk seterusnya. Type Pheno adalah individu yang diwujudkan di bawah pengaruh type geno dan lingkungan, dimana type phaeno)
ini selama hidup individu itu
berlangsung akan dimungkinkan adanya perubahan-perubahan. 31 Pelopor dari teori individualistis ini adalah Lambroso seorang ahli penyakit jiwa dan guru besar dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman di Italia dan alirannya disebut Mazhab Italia yang merupakan cikal bakal dari Mazhab Antropologi. a. Ajaran Lambroso. Lambroso mengatakan ciri khas seorang penjahat dapat dilihat dari keadaan fisik seseorang yang mana keadaan itu sangat berbeda dengan manusia-manusia lainnya. Bentuk-bentuk perbedaan itu menurut dia adalah berupa tanda-tanda, seperti : tengkorak yang simetris, dagu yang memanjang, hidung pesek, roman mukanya yang lebih lebar, mukanya menceng, tulang dahinya melengkung ke belakang, rambutnya tebal dan kalau sudah tua lekas botak di bagian tengah kepalanya. Ciri –ciri jasmani ini (stigma atau anomaly) bukanlah sebab musabab dari kriminalitas, namun ciri-ciri tersebut memang memberi indikasi adanya pradisposisi31
J.E. Sahetapy, op.cit.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
32
disposisi untuk kriminalitas ini. Pradisposisi ini, seperti ciri-ciri jasmani merupakan akbiat dari gejala atavistis atau degenerasi, dan hanyalah dalam keadaan lingkungan yang sangat memuaskan, individu yang menunjukkan sejumlah ciri tersebut tidak akan melakukan kriminalitas. Hipotesa yang dibuat oleh Lambroso ini dalam dunia ilmu pengetahuan hukum jika dipandang akan menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya, adalah : a. akibat perkembangan ajaran ini maka dapat memberikan sokongan pendapat mengenai psychiatric criminal di Prancis mempertahankan
pengertian-pengertian
dan
tentang
memberi bantuan untuk sebab-sebab
patologi
dari
kejahatan. b. karena kerjanya maka pribadi si penjahat oleh hakim makin lama makin dijadikan pusat perhatian. Sedangkan dampak negatifnya adalah hal ini akan menghalang-halangi majunya perkembangan kriminologi karena ada anggapan/sugesti bahwa penjahat dipandang dari sudut biologi adalah makhluk abnormal.
2. Aliran yang menggunakan test mental (the mental testern) Aliran ini adalah merupakan kelanjutan dari aliran Lambroso yang asli yang ketika itu mendapat tantangan keras dari ahli-ahli masyarakat pada jamannya. Pelopor dari teori ini adalah Goddaard, yang menyatakan : “lemah pikiran merupakan suatu faktor bakat yang membawa kepada kejahatan, sebab orang-orang yang lemah pikiran
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
33
tidak mampu memahami akibat-akibat dari perbuatan-perbuatannya, dan tidak sanggup memahami maksud dan makna dari undang-undang. 32 Dalam hal ini Goddaard melakukan percobaan-percobaan dengan dengan test mental, yang akhirnya menemukan suatu kesimpulan bahwa tingkah laku jahat itu adalah bakat yang dibawa sejak lahir. c. Aliran Psychiatric Pelopor aliran ini adalah Sutherland yang mengatakan bahwa kejahatan merupakan pengungkapan yang tidak dapat dihindarkan dari struktur kepribadian tertentu, yang ditentukan oleh bakat. Keadaan lingkungan boleh dikatakan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan itu 33. Aliran ini sangat dipengaruhi oleh ajaran Sigmund Freud tentang susunan kepribadian dari seseorang itu yang terdiri dari : “id”, “ego” dan “super ego”. Calvin S. Hall dalam bukunya Suatu Pengantar Ke dalam Ilmu Jiwa Sigmund Freud mengatakan bahwa ; “seluruh kepribadian, seperti yang dirumuskan oleh Freud sendiri terdiri dari tiga sistem yang penting yang dinamakan dengan “id”, “ego” dan “super ego”. Ketiga sistem ini merupakan satu susunan yang bersatu dan harmonis sehingga memungkinkan individu itu bergerak secara efisien dan memuaskan lingkungannya. Tujuan dari gerak-gerik ini adalah untuk memenuhi keperluan dan keinginan manusia yang pokok.
32 33
Ibid, hal. 108. Ibid, hal. 109
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
34
Selanjutnya Sigmud Freud mengatakan bahwa ketiga susunan kepribadian ini id, ego dan super ego masing-masing mempunyai fungsi yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lainnya yaitu dalam hal 34: 1.“id” berfungsi untuk mengusahakan segera tersalurkannya kumpulan-kumpulan energi atau ketegangan, yang dicurahkan dalam jasad oleh rangsangan-rangsangan baik itu dari dalam maupun dari luar. 2. “ego” adalah pelaksanaan dari kepribadian, yang mengontrol dan memerintah id dan super ego dan memelihara hubungan dengan dunia luar untuk kepentingan seluruh kepribadian dan keperluannya yang luas. 3. “super ego” adalah cabang moril atau cabang keadilan dari kepribadian. Super ego itu bertujuan kearah kesempurnaan dari kenyataan atau kesenangan. Jadi super ego itu adalah kode moril dari seseorang yang berkembang dari ego sebagai akibat dari perpaduan yang dialami oleh seorang anak dari ukuran-ukuran orangtuanya mengenai apa yang baik dan apa yang buruk dan bathil. 2.
Teori Sosiologis Teori sosiologis adalah merupakan kebalikan dari teori individualistis. Teori
individualistis mengatakan bahwa kejahatan adalah sebagai akibat dari pembawaan sifat-sifat tertentu dari si pelaku. Maka dalam teori ini kejahatan itu timbul diakibatkan oleh faktor-faktor yang terletak di luar diri si pelaku. Menurut teori ini sebenarnya tingkah laku manusia itu ditentukan oleh lingkungan individu (environment) dari si pelaku. Teori sosiologis ini muncul adalah sebagai reaksi terhadap pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana yang menganut teori individualistis yang hanya memandang kejahatan itu dari dalam diri si 34
Calvin S. Hall, Suatu Pengantar Ke dalam Ilmu Jiwa Sigmund Freud, Terjemahan S. Tasrif, Pembangunan, Jakarta, 1962, hal. 28. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
35
pelaku. Sebagai reaksi terhadap teori individualistis maka penganut teori sosiologis (lingkungan) mengemukakan pendapat-pendapat mereka, antara lain 35 : a. Bonger Bonger melihat kejahatan itu sebagai suatu gejala massa dalam pergaulan hidup, dimana terutama fluktuasi (bertambah atau berkurang) mempunyai arti penting. Dan meskipun ada orang-orang yang karena struktur kepribadiannya dapat menjadi penjahat, namun jumlah presentase mereka dalam suatu pergaulan hidup selama satu tenggang waktu yang panjang tidak berobah. Jika dalam jangka waktu itu dan dalam masyarakat itu terjadi juga fluktuasi dalam jumlah kejahatan yang terbagi dalam jenis-jenis delik, maka hal ini tentu diakibatkan oleh faktor-faktor yang terletak di luar individu itu, jadi dari faktor lingkungan. b. Gabriel Tarde Gabriel Tarde mengemukakan bahwa sifat meniru (imitation) dari manusia menentukan tingkah lakunya kemudian. Karena itu sebab dari kejahatan adalah hasil dari peniruan kejahatan yang sudah pernah dilakukan oleh orang lain, dan dalam hal ini tiru meniru hanya terdapat dalam masyarakat/lingkungan individu (environment). c. Lacassagne Mengemukakan bahwa yang terpenting adalah keadaan sosial di sekeliling kita yang merupakan suatu kebun pembenihan untuk kejahatan. Kumannya adalah penjahat, yaitu suatu unsur yang baru mempunyai arti apabila sebabnya sudah menjadi suatu kejahatan 36.
35
MWE. Noach, Kriminologi Suatu Pengantar, diterjemahkan oleh JE. Sahetapy, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 104. 36 Ridwan Hasibuan, op. cit, hal. 24. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
36
Selanjutnya, mengenai hal ini orang beranggapan bahwa seorang individu yang melakukan peniruan (imitasi) dalam masyarakat memang besar sekali pengaruhnya walaupun setiap kehidupan manusia itu mempunyai ciri khas tersendiri, namun harus kita akui bahwa orang-orang dalam hidupnya sehari-hari dan pendapatnya sangat mengikuti keadaan dari lingkungan di sekitar mereka itu ataupun lingkungan di sekitar kita sangat dominant dalam menentukan arah hidup kita selanjutnya.
B. Pengertian Kejahatan ditinjau dari pandangan kriminologi Kejahatan adalah suatu nama yang diberikan oleh orang/masyarakat untuk menilai perbuatan ataupun tingkah laku seseorang ataupun sekelompok orang sebagai suatu perbuatan yang digolongkan ke dalam perbuatan jahat. Jadi, pengertian kejahatan ini adalah termasuk ke dalam pengertian yang relatif, yaitu tergantung kepada orang yang memandang dan dari sudut mana dia memandangnya. Kejahatan di dalam KUHP terdapat di dalam buku II yang memuat tentang tindak pidana yang dinamakan misdrijven atau kejahatan 37. Beberapa sarjana yang memberikan definisi tentang kejahatan, membagi kejahatan dari 3 (tiga) sudut pandang, antara lain : 1. Kejahatan dipandang dari Segi Sosiologis a. W.A. Bonger, menyatakan bahwa kejahatan dipandang dari sudut sosiologis adalah satu jenis gejala sosial, yaitu suatu kelakuan yang asosial dan amoral yang tidak dikehendaki oleh kelompok pergaulan dan secara sadar ditentang oleh pemerintah.
37
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hal. 4
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
37
b. Paul Mudikno Moeliono menyatakan kejahatan adalah perbuatan manusia yang merupakan pelanggaran norma yang dirasakan merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan. Pengertian tidak boleh dibiarkan disini dimaksudkan bahwa apabila terjadi juga perbuatan tersebut, maka si pembuat tersebut harus ditindak dan sarana yang paling tepat menindaknya adalah melalui sarana hukum, yaitu hukum pidana. 2. Kejahatan dipandang dari Segi Hukum Pengertian kejahatan dipandang dari segi hukum adalah perbatasan yang dilarang oleh undang-undang dan barang siapa yang melakukan sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang tersebut, maka ia akan dihukum. Jadi, tegasnya kejahatan di sini adalah setiap perbuatan yang telah ditetapkan atau dirumuskan dalam suatu peraturan (pidana). 3. Kejahatan dipandang dari segi kejiwaan (Psikologis) Setiap perbuatan manusia adalah dicerminkan oleh kejiwaan dari manusia bersangkutan yang dalam tindakannya sampai dimana manusia itu dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma yang terdapat dalam masyarakatnya. Jadi dapat dikatakan bahwa perbuatan jahat (kejahatan) adalah suatu tindakan (perbuatan) yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat
tertentu tersebut yang oleh karena itu pula
perbuatan itu dapat dikatakan adalah tidak normal (abnormal). Setelah melihat mengenai pengertian dari kejahatan itu tetapi masih belum ditemui suatu keseragaman pendapat karena memang pada umumnya bahwa kejahatan itu diartikan tergantung kepada orang tertentu dan dari sudut mana dia memandang. JE. Sahetapy menyatakan, bahwa pengkajian lebih lanjut dan pembagian dari gejala kejahatan dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu bentuk gejala kejahatan itu Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
38
sendiri yang dapat dibahas dan dibagi menurut perbuatan atau perbuatan kelompok, tetapi perubuatan itu dapat juga dilihat sebagai ungkapan pelaku dan kemudian para pelaku dijadikan dasar pembagian. 1. Pangkal tolak = perbuatan. Pembagian menurut perbuatan dapat dibagi dua, bilamana dilihat pada cara tindak pidana dilakukan atau pada denda hukum dan nilai hukum yang menderita karena tidak pidana itu 38. Menurut cara melakukan sebagai suatu kemungkinan pembagian 39: a. perbuatan itu dilakukan sedemikian rupa, sehingga si korban dapat mengamati, baik perbuatan maupun si pelaku, tanpa mempertimbangkan apakah si korban menyadari perbuatan itu sebagai tindak pidana atau tidak, misalnya penganiayaan, penghinaan, perampokan, sejumlah bentuk perbuatan curang, banyak tidak pidana seksual, dan sebagainya). Sebaliknya, perbuatan itu dibuat sedemikian rupa sehingga si korban tidak melihat perbuatan, pelaku atau kedua-duanya pada waktu hal itu dilakukan, misalnya : penggelapan, penahanan, banyak bentuk pencurian biasa atau yang dikualifikasi, kebanyak tindak pidana pemalsuan dan peracunan. b. perbuatan itu dilakukan dengan mempergunakan sarana-sarana bantu khusus (alat-alat pertukangan, bahan kimia dan sebagainya) atau tanpa yang disebut tadi. c. perbuatan itu dilakukan dengan kekerasan fisik, dengan cara memaksa atau secara biasa. Menurut benda-benda hukum yang menderita, pada pokoknya hal ini dipakai sebagai dasar pembagian dalam hukum pidana terutama dalam Buku II, dimana 38 39
Ibid. Ibid
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
39
pada tiap bab diberi judul = Kejahatan terhadap………………………. Juga dalam kriminologi dikenal selama ini pembagian sedemikian, dimana dibadakan tindak pidana agresif, ekonomi, seksual, politik dan tindak pidana lain. 2. Pangkal tolak = si pelaku. Si pelaku juga disini terdapat dua cara, dapat dimulai berdasarkan motif si pelaku atau berdasarkan sifat-sifat si pelaku.
C. Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Penistaan Agama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai perlu ada aturan perundangundangan yang lebih tegas terkait aliran-aliran sesat di Indonesia. Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menyatakan, aturan yang ada saat ini, seperti soal penistaan agama, dirasa sudah kurang memadai terbukti pemerintah seringkali terkesan bingung dan ragu menyikapi aliran sesat yang muncul dan marak belakangan ini. Oleh karena itu, Untuk keselamatan bangsa ke depan, maka perlu ada modifikasi aturan perundangan terkait aliran sesat tersebut.40 Menurut KH Hasyim Muzadi, kelonggaran yang muncul sejak reformasi bergulir, juga memberi peran pada maraknya kemunculan aliran sesat.
Data
menyebutkan sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia, 50 aliran di antaranya tumbuh subur di Jawa Barat. Menurut KH Hasyim Muzadi, kalau dulu ada preventive action, kalau dinilai berpotensi membuat kekacauan, ditangkap dulu sebelum terjadi sesuatu, kalau sekarang tidak bisa karena turannya terlalu longgar. Tidak adanya hukum yang cukup tegas tentang aliran-aliran yang menyimpang dari ajaran agama itu membuat aparat berwenang kehilangan pegangan
40
PBNU : Perlu Ada Aturan Yang Tegas Terkait dengan Aliran Sesat, diakses dari situs : http://www.antara.co.id/arc/2007 /10/31. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
40
sehingga kerap tampak ragu-ragu menentukan sikap bila muncul sebuah aliran yang berpotensi meresahkan masyarakat. Fenomena aliran sesat, bukanlah persoalan kebebasan dalam bingkai hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dikampanyekan sebagian kalangan. Mengaku nabi itu bukan hak asasi manusia, tapi hak ketuhanan. Harus dibedakan antara hak asasi manusia dan hak ketuhanan. Hak asasi tidaklah bebas nilai. Hak tersebut, tetaplah harus dalam bingkai norma, etika dan agama. Dewasa ini banyak sekali muncul aliran-aliran sesat, seperti Al-Qiyadah AlIslamiyah, Ahmadiyah dan sebagainya. Seperti aliran Al-Qiayadah Al-Islamiyah telah difatwa sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kapolri Jenderal Polisi Sutanto menginstruksikan seluruh jajarannya untuk mencari dan menangkap tokoh-tokoh penebar aliran al-Qiyadah al-Islamiyah. Aliran ini dipimpin oleh Ahmad Mushaddeq alias Haji Salam, yang memproklamirkan diri sebagai Rasul setelah bertapa di Gunung Bunder Bogor 40 hari 40 malam, menjadi salah satu tokoh paling disorot dalam beberapa waktu belakangan ini. Aliran ini telah menyebar di beberapa daerah seperti Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat dan Batam. Selain telah dinyatakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai ajaran sesat dan terlarang, instruksi tersebut dikeluarkan Kapolri karena keberadaan aliran alQiyadah al-Islamiyah dinilai telah meresahkan dan mengganggu ketenteraman masyarakat. Melalui keputusan nomor 04 tertanggal 3 Oktober 2007, MUI telah menetapkan bahwa aliran al-Qiyadah al-Islamiyah adalah sesat dan orang-orang yang mengikutinya telah keluar dari Islam (murtad). Dalam keterangannya di kantor MUI masjid Istiqlal, KH Ma’ruf Amin menegaskan bahwa al-Qiyadah telah terbukti
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
41
mengingkari ajaran pokok Nabi Muhammad serta menodai dan mencemari ajaran agama Islam. 41 Ada dua kesalahan fatal, di samping yang lain, yang dilakukan al-Qiyadah alIslamiyah
sehingga pantas dinyatakan sesat. Pertama, pengakuan pemimpinnya
(Ahmad Mushaddeq) bahwa dia adalah rasul Allah sesudah Nabi Muhammad. Dia diutus
untuk
menyempurnakan
ajaran
Muhammad
sebagaimana
Muhammad
menyempurnakan ajaran Musa dan Isa. Bentuk nyata dari pengakuan di atas adalah diperkenalkannya ‘syahadat’ baru, yaitu asyahadu anla Ilaha illa-Allah, wa asyahadu anna Masih al-Mau’ud rasul-Allah (saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Masih al-Mau’ud [Ahmad Mushaddeq] adalah Rasul Allah). Terlihat jelas di situ bahwa sang pemimpin menggantikan posisi abi Muhammad.
42
Kedua, al-Qiyadah al-Islamiyah menggugurkan kewajiban ibadah-ibadah utama dalam Islam. Dikatakan bahwa shalat lima waktu sehari semalam, puasa di bulan Ramdhan dan menunaikan ibadah haji tidaklah wajib. Mereka berdalih bahwa perkembangan umat Islam Indonesia saat ini baru berada pada fase awal. Karena itu, sebagaimana yang berlaku pada fase awal di masa Nabi, semua ibadah di atas tidaklah diwajibkan kepada umat Islam sampai berdirinya Khilafah Islamiyah. Adapun ibadah yang wajib dilakukan umat Islam adalah shalat tahajud pada malam hari. Selain aliran al-Qiyadah al-Islamiyah, muncul juga aliran sesat lain, yaitu aliran ahmadiyah. Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Jakarta menerbitkan sebuah buku berjudul “Ahmadiyah Menodai Islam” memerinci kesesatan dan niat jahat ahmadiyah. Aliran sesat yang didirikan oleh seorang Qodiyan yang mengaku dirinya
41
Melepas Jerat Aliran Sesat, ind_more.php?id=4969_0_3_30_M14 42 Ibid.
diakses
dari
situs
:
http://www.cmm.or.id/cmm-
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
42
nabi bernama Mirza Ghulam Ahmad pada tanggal 23 Maret 1889 di sebuah kota bernama Ludhiana di Punjab, India. Negeri ini oleh orang-orang ahmadiyah disebut “Darul Bai’at”. Mereka meyakini sesudah Nabi Muhammad SAW akan ada nabi-nabi lain yang tidak membawa syariat baru, dan hal ini akan berlangsung hingga hari kiamat. Dengan pemahaman ini mereka ingin melegalkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi baru. Karena itu, bagi mereka nabi dan rasul yang wajib diimani tidak lagi 25 orang orang, tapi 26 orang. Tidak cukup mengaku nabi, Mirza juga mengaku menerima wahyu. Wahyu itu ditulis dalam kitab suci yang disebut “Tadzkirah”. Kitab ini berisi potongan-potongan ayat Al-Quran yang dimaknai sesuai keinginan nabi palsu. Selain itu, Mirza
juga membuat ayat-ayat
sendiri yang mirip dengan ayat Al-Quran.
Tadzkirah
menempati posisi yang sama dengan Al-Quran pada jamaah mereka.
Sehingga kitab suci yang wajib diimani bertambah satu, selain Zabur, Taurat, Injil dan Al-Quran. 43 Kajian yang dilakukan oleh LPPI menemukakan pada halaman 43-53 kitab itu ada 101 ayat Al-Quran yang dibajak, halaman 363-374 ada 161 ayat, halaman 374-388 ada 208 ayat. Dia meramu sendiri ayat-ayat Al-Quran dan ayat-ayat buatannya sendiri, bahkan tanpa menyebut sumber ayat tersebut. Sebagai contoh, dalam buku Haqidatul Wahyu yang ditulis Mirza Ghulam Ahmad bahwa dalam surat Al-Anfal (8) ayat 16:”…dan bukan kamu melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar…” disambung dengan surat Ar-Rahman (55) ayat 1-2 : “Tuhan Yang Maha Pemurah (1) yang mengajarkan Al-Quran (2). Padahal ayat itu memiliki latar belakang (asbabun nuzul) yang berbeda. Banyak lagi ayat lain yang semodel dengan ini.
43
Ahmadiyah Jahat dan Sesat, Tabloid Surat Islam, Edisi 36, tanggal 18-31 Januari 2008 M/9 – 22 Muharram 1429 H. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
43
Selain itu, jemaat ahmadiyah juga menganggap bahwa Rasulullah mempunyai wakil agung. Padahal ajaran ini tidak pernah ada dalam Islam. Kemudian, ahmadiyah mengajarkan paham reinkarnasi yang menyebut
bahwa Mirza Ghulam Ahmad
merupakan reinkarnasi (penjelmaan) dari Nabi Muhammad SAW. Ajaran ini tidak pernah ada dalam Islam. Selanjutnya, kalangan ahmadiyah mempunyai tempat suci sendiri untuk melaksanakan ibadah haji yaitu Rabwah dan Qodiyan di India. Mereka mengatakan, “alangkah celakanya orang yang telah melarang dirinya bersenang-senang dalam haji akbar ke Qodiyan. Haji ke Mekkah tanpa haji ke Qodiyan adalah haji yang kering lagi kasar. Dan selama hidupnya Mirza tidak pernah pergi haji ke Mekkah. Aliran ahmadiyah juga memiliki perhitungan kalender yang berbeda dengan kalangan umat Islam lainnya. Nama bulannya adalah suluh, tabligh, aman, syahadah, hijrah, ihsan, wafa, zuhur, tabuk, ikha’, nubuwah, dan fatah. Sedangkan tahunnya menggunakan apa yang
disebut sebagai Hijri Syamsi (HS). Saat ini masuk tahun
1387 HS.44 Selanjutnya dalam pandangan ahmadiyah, orang di luar mereka adalah kafir dan wanita ahmadiyah haram kawin dengan laki-laki di luar ahmadiyah. Mereka juga mengeluarkan “sertifikat
kuburan surga” yang memungkinkan anggota ahmadiyah
yang mati bisa dikuburkan di Rabwah, Pakistan, tentu dengan membayar sejumlah uang. Daerah ini dianggap
tempat suci. Sertifikat itu juga dilengkapi pernyataan
wasiat yang isinya menyerahkan setengah harta kekayaan orang yang mati tersebut kepada ahmadiyah. Berkenaan dengan hal itu Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin meminta pengikut aliran sesat untuk dirangkul dan diajak kembali kepada Islam. Beliau 44
Ibid.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
44
menyatakan bahwa
jangan sampai ada penghakiman secara sepihak dan tindakan
kekerasan. Mareka harus dirangkul agar kembali ke jalan yang benar. Pernyataan ini harus dipahami secara baik oleh umat Islam. Kekerasan yang sejauh ini dilakukan terhadap para pengikut al-Qiyadah telah menimbulkan dua kemungkinan. Yang pertama, keimanan para pengikut itu semakin kuat. Hal ini disebabkan pandangan bahwa kebenaran senantiasa memerlukan pengorbanan. Apalagi dalam sejarah dakwah Rasulullah Saw, penindasan dan pengucilan adalah sesuatu yang kerap terjadi. Artinya sejarah itu bisa dijadikan inspirasi dan teladan oleh mereka dengan menganalogikan apa yang mereka alami sekarang sama dengan di masa Rasul.
45
Selanjutnya menurut beliau bahwa munculnya aliran-aliran sesat seperti alQiyadah al-Islamiyah dan al-Quran Suci, merupakan dampak dari era kebebasan yang tidak terbatas serta dakwah Islamiyah yang tidak komprehensif. Akibatnya banyak masyarakat awam yang mudah terjebak dengan aliran-aliran sesat yang seringkali mengatasnamakan Islam. Padahal, Din menegaskan, Islam menghargai perbedaan selama perbedaan tersebut seputar persoalan-persoalan yang khilafiah. Perbedaan yang menyangkut hal-hal bersifat cabang atau disebut khilafiah, ada toleransi. Tapi kalau sudah menyentuh dasar keyakinan, tidak ada toleransi. Pada dasarnya Indonesia menghargai kebebasan beragama. Namun bukan berarti kebebasan itu bisa dipakai seenaknya. Bukan berarti bisa mencederai. Apalagi secara sengaja merusak ajaran yang sudah baku. Agama manapun tidak akan setuju. 46 Umat Islam di Indonesia, mungkin akan bertanya mengapa banyak sekali muncul aliran-aliran sesat di Indonesia. Sedangkan di Timur Tengah misalnya, isu-isu
45
Fenoma Aliran Sesat dan Makna Kebebasan Beragama, Diakses dari situs http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=4984, 27 November 2007. 46 Ibid. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
:
45
aliran sesat nyaris tidak pernah terdengar. Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Ahmadiyah dan berbagai aliran sesat lainnya hanya fenomena gunung es (iceberg) saja. Di dasar lautan, ratusan ajaran menyimpang dari aqidah yang lurus telah banyak malang melintang. Menurut koordinator Aliansi Ummat Islam (ALUMI), Hedi Muhammad, dari hasil penyelidikan ALUMI diketahui, aliran sesat yang mengatasnamakan Islam telah muncul di Indonesia sejak tahun 1980-an. Sampai 2006, jumlahnya telah mencapai 250 aliran. 47 Untuk menjawab hal tersebut itu, setidaknya ada beberapa faktor penting yang wajib dicermati bersama, yaitu :
1. Kegagalan Pembinaan Agama Semua ormas dan orsospol Islam harus mengakui bahwa mereka boleh dibilang masih gagal dalam membina aqidah umat. Pembinaan yang serius boleh jadi belum berhasil sepenuhnya. Di tataran akar rumput harus diakui bahwa umat ini masih belum mendapat sentuhan tarbiyah dan pembinaan. Fenomena maraknya pengajian dan ceramah baru menyentuh lapis terluar. Sedangkan akar rumput rakyat yang terselip di sana-sini, luput dari sentuhan pembinaan. Angka 250 aliran sesat sepanjang 26 tahun menunjukkan secara telanjang bahwa begitu mudahnya sebuah aliran sesat lahir dan punya pengikut. Kalau rakyat ini sudah terbina, mustahil mereka jadi pengikut. Umat Islam seharusnya miris dan khawatir, berapa persen sebenarnya dari 200 juta muslim Indonesia ini yang aktif mengerjakan shalat lima waktu, bisa membaca Al-Qurantau yang puasa penuh di bulan Ramadhan. Sebab banyak bisa 47
disaksikan pada saat shalat Jumat, begitu banyak
Ahmad Sarwat, Aliran-Aliran Sesat di Indonesia, diakses dari http://www.eramuslim.com/ustadz/aqd/7b06080216-aliran-aliran-sesat-indonesia.htm
situs
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
:
46
kendaraan yang berseliweran di jalan raya. Dan yang jelas, pada saat adzan Maghrib berkumandang, berapa banyak orang yang turun dari mobil keluar dari kemacetan sekedar untuk melakukan shalat Maghrib. Berapa besar kapasitas tempat shalat di malmal Jakarta untuk bisa menampung ribuan pengunjung. Jadi kalau ALUMI mengatakan ada 250 aliran sesat, mungkin masuk akal, sebab yang tidak shalat Maghrib dan sibuk meeting di mal pun termasuk aliran sesat juga, karena tidak shalat wajib. Padahal shalat bagian dari rukun Islam. Kondisi ini dapat dikatakan muncul akibat kurangnya perhatian tokoh agama pada umatnya. Ketika orang-orang yang dianggap sebagai panutan umat terkesan hanya sibuk mengurusi kepentingan diri sendiri, golongan maupun menceburkan diri kedalam ranah politik, maka wajar bila sebagian dari umat yang tergolong awam mencari pegangan lain. Kalangan awam ini, pada prinsipnya, tidak mempersoalkan apakah ajaran baru yang mereka peroleh menyimpang dari norma-norma akidah. Yang mereka butuhkan adalah untaian kalimat sejuk dan perhatian dari orang yang dianggap sebagai panutan.
48
Menurut Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, munculnya aliran-aliran sesat seperti al-Qiyadah al-Islamiyah dan al-Quran Suci, merupakan dampak dari era kebebasan yang tidak terbatas serta dakwah Islamiyah yang tidak komprehensif. Akibatnya banyak masyarakat awam yang mudah terjebak dengan aliran-aliran sesat yang seringkali mengatasnamakan Islam. Padahal, Islam menghargai perbedaan selama perbedaan tersebut seputar persoalan-persoalan yang khilafiah. Perbedaan yang
48
AH. Mahally, Pemicu Timbulnya Aliran Sesat, diakses dari situs Republika online, tanggal 9 November 2007. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
47
menyangkut hal-hal bersifat cabang atau disebut khilafiah, ada toleransi. Tapi kalau sudah menyentuh dasar keyakinan, tidak ada toleransi. 49
2. Lemahnya Penegakan Hukum (Law Enforcement) Peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya juga sudah mengatur mengenai tindak pidana penistaan agama, tetapi tidak diketahui penyebab yang pasti mengapa peraturan tersebut kurang efektif. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang selama ini dijadikan dasar hukum, selain KUHP, upaya penindakan aliran-aliran sesat hanya memuat rumusan sanksi pidana penjara selamalamanya lima tahun. Di dalam Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 dinyatakan bahwa : “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Keberadaan ahmadiyah, suatu contoh yang dapat diberikan betapa tidak tidak jalannya peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya tentang tindak pidana penistaan agama ini. Status ahmadiyah sejak tahun 1974 sudah selesai dengan dikeluarkannya fatwa sesat terhadap aliran ini oleh MUI dan fatwa ini juga menjadi keputusan Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang kemudian dieksekusi secara efektif di puluhan negara anggotanya. Di Indonesia, MUI menetapkan fawa sesat ahmadiyah sejak tahun 1980. Fatwa MUI tahun 2005 menegaskan kembali fatwa itu, bahwa aliran ahmadiyah adalah aliran 49
Fenomena Aliran Sesat dan Makna Kebebasan Beragama,…Op.cit.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
48
sesat dan mnyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad. MUI juga meminta agar Pemerintah segera melarang penyebaran paham ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasinya. Kemudian rapat Tim Pakem Pusat tanggal 12 Mei 2005
merumuskan rekomendasi pelanggaran ahmadiyah tersebut
untuk
disampaikan pada Presiden RI. 50 Rapat Tim Pakem Pusat tanggal 18 Januari 2005 yang dihadiri oleh seluruh anggota yang dikoordinir oleh Jaksa Agung Muda Inteligen di Kejaksaan Agung RI, sepakat menyatakan bahwa aliran ahmadiyah Qodiyan maupun ahmadiyah Labore dilarang di seluruh Indonesia dan membekukan organisasinya. Bahkan Presiden RI pun, dalam hal ini, menyatakan tunduk pada MUI. Dengan tegas, Menteri Agama Prof. Maftuh Basyuni mengatakan bahwa persoalan ahmadiyah sudah terang benderang. Sesuai pendapat hukum Islam di tataran nasional maupun internasional, ahmadiyah adalah aliran di luar Islam. Ia boleh eksis, selama membuat agama baru di luar Islam. 51 Dalam serangkaian dialog yang difasilitasi Balitbang Departemen Agama, tokoh ahmadiyah memang menerima sejumah butir tentang keyakinan Islam yang benar. Tapi ahmadiyah tetap bersikukuh mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai Rasul Allah. Padahal itulah masalah pokoknya. 52 Kejaksaan Agung, sampai hari ini seperti tak bergigi mengeksekusi ahmadiyah. Padahal, menurut UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) dan
50
Dendam Kesumat Membonceng Ahmadiyah, Suara Islam, Edisi 36 tanggal 18-31 Januari 2008 M/9 – 22 Muharram 1429 H, hal. 4. 51 Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Din Syamsuddin pun menyatakan hal yang sama. 52 Ibid. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
49
(2), Jaksa Agunglah yang berwenang
mengeksekusi pelarangan dan pembubaran
aliran sesat semacam ahmadiyah. 53 Ketidaktegasan aparat penegak hukum dimanfaatkan kaum liberal
untuk
mencoba menuntaskan balas dendam terhadap MUI. Kasus kekerasan di Kuningan dipakai untuk meneriakkan lagi bahwa fatwa MUI menyebabkan kerusuhan massa. Dan untuk itu mereka menuntut agar MUI dibubarkan saja.
3. Munculnya Pembela Aliran Sesat Aliran sesat yang sudah banyak ini semakin subur ketika kelompok liberalis ikut-ikutan membela. Alasan yang paling banyak adalah alasan kebebasan memilih agama dan kebebasan untuk menafsirkan ajaran agama adalah merupakan hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Kelompok liberal dan sekuler semakin gencar mengkampanyekan pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah memfatwakan beberapa aliran sesat, seperti al-Qiyadah al-Islamiyah, ahmadiyah dan sebagainya. Menurut mereka, fatwa MUI tentang aliran sesat terhadap jamaah ahmadiyah merupakan pelanggaran HAM, kebebasan dalam memeluk keyakinan dan ajaran tertentu. Selanjutnya fatwa MUI tersebut dianggap telah mengecam pluralisme dan berpotensi memicu kekerasan dan tindak in-toleransi.
Dengan fatwa ini
massa merasa memiliki legitimasi
untuk
53
Badan Koordinasi Pengawas Aliran dan Kepercayaan (Bakorpakem) sempat menyatakan tidak akan melilbatkan MUI dalam rapat penentuan nasib ahmadiyah. Alasannya, agar rapat itu dapat dilakukan dengan lebih objektif, namun rapat tersebut juga masih diundur-undur, harian Republika, edisi 31 Desember 2007. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
50
melakukan aksi kekerasan terhadap jamaah ahmadiyah.Untuk itu, MUI harus bertanggung jawab dan harus dilaporkan ke pengadilan. 54 Tudingan miring terhadap fatwa MUI ini juga datang dari Dawam Rahardjo. Mantan Rektor Unisma Bekasi ini menganggap Keputusan Munas MUI No. 05/Kep/munas /MUI/1980 tentang fatwa yang menetapkan ahmadiyah sebagai jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan serta menjadi sumber tetoris. Fatwa MUI tersebut menjadi pemicu tindak kekerasan umat Islam terhadap jamaah ahmadiyah. 55
4. Media Tidak Berpihak kepada Umat Islam Umat Islam hari ini tidak punya media. Itu realita yang tidak ada seorang pun yang bisa menyanggahnya. Umat Islam tidak punya televisi, tidak punya kantor berita, tidak punya jaringan pers nasional apalagi dunia. Maka munculnya aliran sesat di media, pada akhirnya mengarahkan agar umat jangan sampai terlibat, yang terjadi justru pembelaan kalangan pers kepada aliran-aliran itu. Salah satu televisi swasta nasional malah membuat sebuah liputan yang menggambarkan bagaimana anarkisme dilakukan oleh umat Islam, membakar dan meruntuhkan sebuah markas aliran sesat sambil meneriakkan lafadz Allahu akbar. Dalam hal ini melihat adegan seperti ini dapat menimbulkan
penafsiran dan
mendudukkan umat Islam sebagai penjahat. Demikian beberapa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya aliran-aliran sesat di Indonesia. Selain, faktor-faktor di atas, aliran-aliran sesat itu bisa jadi muncul sebagai grand design pihak asing untuk menghancurkan akidah umat Islam Indonesia. 54
Poros Penjajah : Liberal – Kristen – Ahmadiyah, Suara Islam, Edisi 36 tanggal 18-31 Januari 2008 M/9-22 Muharram 1429 H, hal. 6. 55 Gus Dur pun menolak pelarangan ahmadiyah dengan mengatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam, dimana yang berlaku adalah ukuran-ukuran nasional bukan ukuran-ukuran Islam. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
51
Jika data statistik yang dijadikan patokan, maka Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim tersbesar di dunia. Ada semacam kekhawatiran bahwa peradaban Islam diprediksikan akan kembali berjaya seperti di masa Dinasti Abbasiyyah (750 M – 1258 M). Kiblatnya tidak lagi di kawasan Timur Tengah, tetapi Benua Asia dengan Indonesia sebagai titik sentralnya. Tentu saja banyak pihak yang sekarang merasa paling bergengsi peradabannya (the most civilized nations) resah jika Islam di Indonesia suatu saat menggeser kejayaan mereka. 56 Selanjutnya, boleh jadi para penggagas aliran sesat ini muncul hanya untuk mencari popularitas dan keuntungan pribadi. Sejak era reformasi bergulir dan rezim Suharto jatuh, tidak sedikit orang yang hendak mengail di air keruh. Saat siapa pun bebas berbicara, terbuka pula peluang untuk mempopulerkan diri sendiri (self – declared popularity). Napsu semacam ini tidaklah aneh. Memunculkan aliran baru dalam beragama menjadi pilihan yang dipandang strategis untuk sebuah popularitas. Tak hanya itu, dengan bujuk rayu dan kadang disertai ancaman dosa jika tidak mematuhi, maka kalangan awam yang menjadi pengikut aliran baru itu pun rela mengeluarkan sejumlah uang untuk diberikan kepada penyebar ajaran baru, meski mereka sebenarnya diarahkan ke jalan yang sesat.57 Kemudian, munculnya aliran sesat juga terkait dengan kondisi terpuruknya ekonomi serta gagasan tentang ratu adil dan penyelamatan, mislanya al-Qiyadah alIslamiyah. Para pengikutnya adalah orang-orang yang merasa kehilangan harapan ke depan sehingga kemunculan tokoh seperti Ahmad Mushaddeq memang ditunggutunggu mereka. Mushaddeq yang bernama asli Abdul Salam itu sebelumnya aktif melatih bulu tangkis mulai 1971-1982. Setelah tidak melatih, dia mempelajari al-Quran 56 57
Ibid. Ibid.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
52
secara otodidak. Setelah itu, dia punya pemahaman dan keyakinan sendiri sehingga akhirnya mengaku telah mendapatkan wahyu kerasulan melalui mimpi saat berada di Bogor sekitar enam tahun silam. Dia mengaku menerima wahyu setelah berpuasa siangmalam selama 40 hari. Selanjutnya, dia mendirikan al-Qiyadah al-Islamiyah dan mengaku sebagai rasul bergelar al-Masih al-Maw’ud. 58
D.
Usaha-Usaha Penanggulangan Timbulnya Tindak Pidana Penistaan Agama, yaitu : a. Usaha Preventif (Usaha Pencegahan) Maraknya aliran sesat akhir-akhir ini menuntut kita untuk melakukan otokritik.
Umat Islam yang mayoritas berada dalam golongan “non-sesat” tak perlu menyalahkan pihak lain yang dianggap sesat keyakinannya. Sebab sangat mungkin aliran sesat itu muncul karena keterbatasan dakwah. Hal itu membuat sebagian umat Islam tidak ajaran Islam dengan baik apalagi mengamalkannya. Sementara itu, pemerintah cenderung menggunakan upaya hukum untuk menangani kasus munculnya aliran sesat. Upaya tersebut kurang diiringi dengan membina dan merangkul mereka agar kembali ke jalan yang benar. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mestinya tidak hanya menyatakan sesat terhadap sebuah aliran, tapi juga melarang tindakan kekerasan terhadap penganutnya. Dalam konteks ini, harus dikedepankan upaya merangkul, bukan memukul. Kalau mau mengakui secara jujur, sebenarnya dakwah Islam saat ini sedang mengidap berbagai penyakit. Ajakan pada kebenaran (amar ma’ruf nahi munkar) sangat kerepotan mengimbangan seruan pada kesesatan (amar munkar nahi ma’ruf). Di 58
Ibid.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
53
samping itu, sangat sedikit para pendakwah membuat semacam ‘kurikulum’ dalam menjalankan tugasnya. Dakwah Islam tidaklah dirumuskan dalam sebuah paket yang mendasar, integral, kreatif dan dalam koridor lillahi ta’ala. Tanpa menafikan adanya ulama dan pendakwah yang sungguh-sungguh dan ikhlas, banyaknya bermunculan pendakwah ‘profesional’ telah sangat membebani dakwah itu sendiri. Mereka menggunakan dakwah sebagai ‘jalan hidup’ untuk mendapatkan popularitas dan kekayaan. Ayat-ayat Allah dijadikan barang dagangan untuk ditukarkan dengan paket wisata, rumah mentereng, kendaraan berkelas dan setumpuk uang. Ulama-ulama gadungan ini berpacu mendekati segala mata air kekayaan. Para penguasa, yang notabene memegang kunci-kunci harta, begitu juga dengan orang-orang berduit, menjadi prioritas untuk diambil hatinya. Mereka antri berebut jadwal ceramah di perkantoran ‘basah’, komplek mewah dan perkumpulan orang-orang berkantong tebal. Sang pendakwah datang ke sana bukan untuk
menyelamatkan dan
mengingatkan manusia berduit ini berbagai kesalahannya, tapi hanya untuk tebar pesona dan membuat mereka terbuai guna mendapatkan amplop setebal mungkin. Mereka yang membacakan ayat-ayat Allah itu sedang merajut mimpin untuk menjadi seperti para hartawan yang didakwahinya. Inilah yang membuat banyak pendakwah itu tidak mau berceramah di tempat ‘sembarangan’. Dia baru mau menemui orang-orang miskin jika di sana telah disiapkan banyak uang sesuai dengan tarifnya. Inilah salah satu faktor yang membuat tidak meratanya dakwah Islam. Akibatnya, di atas mimbar-mimbar mentereng itu, tidak ada lagi dakwah, nasehat, koreksi dan kritik, sekalipun para pendengarnya nyata-nyata sangat pantas ditegur. Tidak ada independensi dakwah karena sang pendakwah bukan sebagai subjek, Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
54
tetapi objek ‘dakwah’ umatnya. Segala agenda dakwah, materi, metode dan pendekatannya diatur sesuai selera pendengarnya. Sangat ironis, di samping sang pendakwah tidak bisa menasehati apa-apa, dia malahan yang banyak menerima ‘masukan’, bahkan dikendalikan. Tidak akan terdengar di sana amar ma’ruf nahi munkar dalam arti sesungguhnya karena hal itu akan membuat sang dai kehilangan jadwal ceramah dan pengaliran dana ke rekeningnya. Ini merupakan kelemahan utama dakwah personal. Ketika dakwah dilakukan sendiri-sendiri dan tidak diorganisir dengan baik, dia akan menjadi sangat kerdil di hadapan gencarnya upaya penyesatan umat. Pendekatan sangat parsial ini hanya akan membuat dakwah tidak bisa hadir pada waktu, tempat dan dengan bobot yang tepat. Konsep dakwah organisasional merupakan model dakwah yang mesti dirujuk kembali dan dijadikan alternatif. Dalam model ini, para ulama dan pendakwah hanya melaksanakan tugasnya dakwahnya secara maksimal di lapangan tanpa bersentuhan dengan urusan amplop. Dia tidak diberi peluang untuk memilih-milih lokasi dakwah, karena dia tetap dibayar sesuai standar organisasi. Dia ‘dikaryakan’ dan digaji oleh organisasi dakwahnya, persis seperti sebuah profesi. Organisasi inilah yang bertanggung jawab secara finansial, menyiapkan kurikulum dan membuat peta dakwah secara komprehensif. Ancaman pola dakwah semacam ini adalah upaya penunggangan dari orangorang yang ingin memperalatnya. Konsep ini juga tidak akan begitu nyaman bagi para pendakwah yang telah mapan dengan segala dunianya di di bidang dakwah. Tapi, ini tidak perlu dijadikan halangan. Masih banyak orang ikhlas di negeri ini yang mau mengelola dakwah dalam bingkai semacam
itu. Malahan, konsep dakwah
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
55
organisasional ini dapat dilahirkan dan dijalankan orang-orang yang belum tercemar sama sekali dengan bisnis dakwah selama ini, sekalipun mereka dianggap masih hijau. Untuk mengerem munculnya aliran-aliran sesat lanjutan di masa datang, ada beberapa hal menurut penulis harus segera dilakukan, yaitu : 1). Para tokoh agama Islam mestilah kembali ke pangkuan umatnya. Saatnya umat diurus lagi dan para ulama tidak boleh lagi menyalahkan satu sama lain. Seperti dinasihatkan oleh Ketua Dewan Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin dalam acara Pertemuan Kiai se-Indonesia di Pesantren Nurul Huda Al Islami, Pekanbaru, Riau Pada 25 Agustus 2007, dimana para ulama harus seperti bulan yang menyinari semua alam (public interests). Bukan seperti bintang, yang hanya bersinar untuk dirinya sendiri (personal interest). Ceramah-ceramah agama pun sudah harus disampaikan dengan cara-cara yang sejuk, damai dan ramah (friendly) agar umat merasa nyaman, bukan dibayangi oleh ketakutan. 2). Departemen Agama wajib merespons dengan cepat setiap muncul keresahan tentang penyimpangan akidah di masyarakat. Sikap lambat Depag justeru merugikan kalangan awam yang memerlukan kepastian soal kebenaran agama yang selama ini mereka yakini. Ketiga, Polri dan jajaran intelijen di negeri ini harus pula mewaspadai adanya strategi asing yang hendak merusak stabilitas nasional. Jika Indonesia sebagai negara Muslim terbesar sukses dihancurkan akidahnya, maka akan selanjutnya negeri ini akan mudah untuk diadu domba. Perlu diingat bahwa Tanah Air kita tercinta ini terdiri dari ribuan pulau dengan beragam suku dan bahasa, yang tentu rentan dengan percikan api permusuhan. Untuk itu kita wajib berdoa agar Bangsa Indonesia selamat dari bahaya disintegrasi dan penghancuran terselubung, baik oleh elemen internal maupun eksternal. Menjaga persatuan dan Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
56
kesatuan umat Islam Indonesia sama artinya dengan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu sendiri. Ini, jika keutuhan NKRI masih dirasa perlu untuk dipertahankan. 3). Setiap umat Islam seharusnya lebih membekali diri dengan pengetahuan dan pemahaman agama yang cukup. Mereka yang merasa dirinya cukup berilmu dan ‘mampu untuk berijtihad’, janganlah berlaku semena-mena, bahkan terlalu over, dalam mengutak-atik ajaran Islam. Tindakan ini sangat berpotensi sampai ke gerbang kesesatan dan menyesatkan orang lain, karena segmen semacam ini bukanlah bagian dari kebebasan beragama. Allah memang memberikan ruang cukup besar untuk berpikir, tetapi harus tetap berada dalam lingkaran koridor aqidah yang benar. b. Usaha Repressif (Tindakan Penanggulangan ) Sudah berabad-abad yang lalu Indonesia selalu digambarkan sebagai negara dengan pemeluk agama Islam yang toleran. Toleransi juga diperlihatkan agama-agama dominan sebelum Islam, yakni Hindu dan Budha, terhadap ajaran baru: Islam. Para ulama penyebar Islam dulunya juga bersikap toleran terhadap ajaran agama sebelumnya, bahkan menyerap beberapa unsur budayanya. Namun, sekarang justru sesama umat Islam sering terdapat berbagai persoalan. Aliran yang telah difatwakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu memang layak terkena pasal-pasal pidana sehingga diamankan aparat kepolisian karena telah menodai agama Islam, seperti al-Qiyadah al-Islamiyah memang menodai Islam karena beranggapan bahwa Islam sudah hancur, Nabi Muhammad sudah selesai sehingga digantikan olehnya. Ini bisa dibaca dalam belasan halaman tanggapan alQiyadah terhadap fatwa MUI. Al-Qiyadah juga menganggap shalat dan puasa Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
57
Ramadhan belum wajib terkait dengan tahapan yang masih dalam masa perjuangan di Mekah. Perjuangan yang mereka tempuh dilakukan dalam enam tahap, yaitu: perjuangan rahasia, perjuangan terang-terangan, hijrah, perang, futuh (merebut) Mekah dan membangun Khilafah yang diramal akan terjadi pada 2024. 59 Selain penahanan terhadap tokohnya, pemerintah juga akan membina pengikutnya. Mushaddeq menyerahkan diri setelah melihat reaksi umat Islam dari berbagai media massa yang merasa terganggu dengan aliran itu. Dengan penyerahan diri itu, kita meminta masyarakat untuk tidak melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap pengikut aliran al-Qiyadah. Kalau tetap main hakim sendiri maka bisa jadi nanti malah akan menimbulkan persoalan hukum yang baru. Seperti yang terjadi pada sejumlah umat Islam di Jawa Barat dan Jakarta telah merasa terganggu dengan munculnya aliran ini sebab dinilai menyimpang dari ajaran agama Islam. Sebelumnya, sekitar 100 orang anggota Front Pemuda Islam (FPI) Jawa Barat berunjuk rasa ke DPRD Jawa Barat, mendesak penegak hukum agar pimpinan alQiyadah, Ahmad Mushaddeq dihukum mati sesuai syariat Islam. Apakah kita berhak memarahi mereka atau kalau perlu menghabisi mereka agar tak menular kepada yang lain? Tanya seorang warga yang berunjuk rasa dengan nada emosional. Kita ini sudah telanjur menjadi bangsa yang salah kaprah dan gampang sekali marah. Ketika mengadili seseorang yang dianggap bersalah, sering tak bisa dipilah kesalahannya apa, sehingga yang terjadi, dipukul rata. Mereka itu sebenarnya sedang mencari jalan menuju ke Tuhan. Hanya saja, cara mereka salah. Tapi, kita memperlakukan mereka tak ada bedanya dengan maling ayam. Dikejar-kejar, kemudian ditangkap polisi. Berarti kita masih terhormat memperlakukan 59
Ibid.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
58
para koruptor ketimbang memperlakukan orang yang “hanya” salah dalam memahami agama. Padahal, koruptor juga jelas-jelas merugikan negara. Berarti kaum agamawan perlu mengubah cara menyampaikan dakwah kepada umatnya. Tugas dakwah Islam menjadi lebih berat ketika dihadapkan pada penyimpangan-penyimpangan dakwah yang mencuat kembali akhir-akhir ini. Ditengah kondisi negeri kita yang masih tertatih ini hendaknya kita memfokuskan dirinya pada wilayah etis-emansipatoris. Kesadaran semacam ini dalam bingkai ilmu pengetahuan dianggap sebagai perwujudan dari sinergi epistemologi dan aksiologi. Dengan pendekatan model inilah, dakwah billisan, bil qalam, dan bil hal bisa dijalankan dalam satu waktu. Kita harus menilai secara sangat positif bahwa dakwah harus memberikan sumbangan untuk nilainilai kemanusiaan. Sebab di samping sasaran dakwah itu adalah akhlak manusia, juga harus memperhatikan persoalan kemanusiaan. Kita harus peduli dengan kemanusiaan, pada manusia-manusia yang menderita. Dengan begitu, kita harus senantiasa menggunakan pikiran dan analisa di dalam struktur dakwah yang kita sajikan pada masyarakat. Analisa harus kita utamakan dulu, sebelum mengambil kesimpulankesimpulan umum yang akan kita perhatikan. Seringkali yang menjadi titik perhatian kita biasanya terletak pada pendeteksian secara dini masalah keagamaan yang dihadapi masyarakat. Lalu, ihwal pendidikan keagamaan di dalam kehidupan masyarakat. Keduanya mesti mendapat perhatian yang lebih serius sehingga dapat dihindari salah tafsir dan salah paham mengenai ajaran agama, tentu penyimpangan seperti dilakukan beberapa aliran itu dapat dihindari sebelum “terperosok” lebih dalam. Jika perlu di bawah koordinasi Pemerintah dibentuk Tim khusus untuk mengkaji kegiatan aliran yang dianggap sesat tersebut.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
59
Tim ini nantinya dapat membantu menemukan aspek-aspek yang mungkin bertentangan dengan ajaran Islam. Pembentukan tim khusus itu juga bertujuan untuk mengkaji berbagai aspek yang dilakukan ole berbagai aliran yang ada, terutama mengenai praktik-praktik ibadah yang tidak lazim dilaksanakan umat Islam. Melalui tim ini diharapkan persoalan kesalahpahaman mengenai keagamaan seperti yang dilakukan sebagian masyarakat dapat dihindari. Selain UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang selama ini dijadikan dasar hukum, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan sepuluh kriteria suatu aliran dapat digolongkan tersesat. Namun, tidak semua orang dapat memberikan penilaian suatu aliran dinyatakan keluar dari nilai- nilai dasar Islam. Suatu paham atau aliran keagamaan dapat dinyatakan sesat bila memenuhi salah satu dari sepuluh kriteria. Kriteria tersebut tidak dapat digunakan sembarang orang dalam menentukan suatu aliran itu sesat dan menyesatkan atau tidak. Ada mekanisme dan prosedur yang harus dilalui dan dikaji terlebih dahulu, sehingga bagi MUI sebenarnya tidak gampang untuk mengeluarkan fatwa. Pedoman MUI itu menyebutkan, sebelum suatu aliran atau kelompok dinyatakan sesat, terlebih dulu dilakukan penelitian. Data, informasi, bukti, dan saksi tentang paham, pemikiran, dan aktivitas kelompok atau aliran tersebut diteliti oleh Komisi Pengkajian.
60
Selanjutnya, Komisi Pengkajian memanggil pimpinan aliran atau kelompok dan saksi ahli atas berbagai data, informasi, dan bukti yang didapat. Hasilnya kemudian disampaikan kepada Dewan Pimpinan. Bila dipandang perlu, Dewan Pimpinan dapat
60
MUI Tetapkan Kriterika Aliran Sesat, diakses dari situs : http://groups.google.com/group/soc.culture.indonesia/browse_thread/thread/969c7ef61ed6b8c4/0175364 d6029c192?lnk=raot, Rabu, 07 Nopember 2007. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
60
menugaskan Komisi Fatwa untuk membahas dan mengeluarkan fatwa. Di batang tubuh fatwa mengenai aliran sesat, juga ada poin yang menyatakan akan menyerahkan segala sesuatunya kepada aparat hukum dan menyeru masyarakat jangan bertindak sendirisendiri. Menurut Menteri Agama, Maftuh Basyuni, Pemerintah terus berupaya meyakinkan para penganut aliran sesat agar dapat kembali ke jalan yang benar, sekarang sudah banyak tokoh aliran sesat yang ditangkap dan menyerahkan diri, tergantung aparat untuk menindaklanjutinya.
c. Usaha Reformatif (Pembinaan terhadap Para Pelaku) Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berpendapat bahwa aliran sesat dan menyesatkan yang mengaitkan diri dengan ajaran Islam bermunculan di Indonesia antara lain karena dakwah belum dilakukan secara meluas dan menyentuh segenap umat Islam. Boleh jadi adanya paham-paham baru yang bertentangan dengan akidah Islamiyah ini disebabkan karena dakwah yang belum meluas dan mendalam ke seluruh umat. Mengenai berbagai
aliran
sesat seperti al-Qiyadah al-Islamiyah,
ahmadiyah dan sebagainya, beliau
berpendapat agar para pengikutnya yang telah
disesatkan untuk dirangkul dan ditarik agar kembali ke jalan yang lurus. Namun, bila mereka tidak ingin kembali maka diharapkan agar aliran yang mereka junjung jangan dikaitkan dengan agama Islam. Din juga mengatakan, sebab lain dari munculnya berbagai aliran sesat juga karena adanya kebebasan yang kebablasan dari alam reformasi sehingga orang dapat membuat berbagai organisasi tertentu. Untuk masa mendatang, tidak ada jaminan bahwa sebuah pemikiran atau keyakinan dapat
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
61
“dibunuh” begitu saja. Cara yang paling baik adalah melalui penyadaran, yaitu bagaimana kita sentuh hatinya dan kita kembalikan ke jalan yang benar.
61
Penyadaran adalah kata penting dalam beragama. Pilihan terhadap aliran tertentu pun bukan didorong oleh keterpaksaan dan rasa frustasi. Mereka memilih berdasarkan kesadaran penuh. Apalagi jika dilihat dalam komposisi penganut alQiyadah, sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa dan masyarakat terpelajar. Jadi pilihan untuk masuk aliran tersebut lebih disebabkan oleh kesadaran. Dengan demikian pendekatan yang sebaiknya diambil dalam menangani mereka adalah dengan bentuk penyadaran. Menyuguhkan konsepsi yang dapat membuka pikiran mereka. Tentu saja pendekatan semacam ini bukan sesuatu yang bisa dilihat hasilnya. Jika dibandingkan dengan pendekatan kekerasan yang sejauh ini telah dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam dalam merespon dan menangani kasus ini, meskipun pendekatan kekerasan memberikan hasil yang segera, namun dampaknya dalam waktu yang panjang justru tidak baik. Amat boleh jadi konversi para pengikut setia al-Qiyadah itu ke dalam Islam (yang konvensional) tidak berdasar pada ketulusan, sehingga justru menjadi bumerang bagi citra Islam sendiri. Selain itu juga tindakan kekerasan telah menyalahi ajaran Islam itu sendiri. Dalam konteks ini peran pemerintah, termasuk lembaga agama yang diberi otoritas oleh negara, tidak perlu intervensi terlalu jauh terhadap keyakinan agama seseorang, dengan menghukum kafir kepada mereka misalnya. Sebab pada dasarnya keyakinan (keberagamaan) seseorang merupakan hak asasi, yang tidak ada seorang dan
61
Negara dan Kebebasan Berkeyakinan, diakses http://www.cmm.or.id/cmm.ind_more.php?id tanggal 12 Desember 2007
dari
situs
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
:
62
lembaga pun yang memiliki otoritas untuk memaksanya. Wajar jika dalam Islam dikatakan “laa ikraaha fi ad-diin” (tidak ada paksaan dalam beragama). 62 Sejatinya, pemerintah becermin kepada para pendiri negara (founding fathers). Mereka memiliki visi yang konstruktif dalam menghadapi dilema kedaulatan agama dan negara. Muhammad Abduh adalah salah seorang tokoh modernis Mesir yang memberikan banyak pengaruh terhadap corak pemikiran mereka. Dalam bukunya alIslam wa al-Nashraniyah ma’a al-Ilm wa al-Madaniyyah, Abduh mengatakan bahwa kekuasaan negara haruslah berlandas pada kedaulatan rakyat dan kebebasan sipil. Abduh memaksudkan kebebasan sipil di sini tidak hanya sebatas kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berijtihad, melainkan pula kebebasan setiap orang untuk berbeda agama dan menjalankan ibadah agama yang diyakininya tersebut. Gagasan Abduh ini sejalan dengan pernyataan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29, yang menyebutkan bahwa, negara menjamin kebebasan setiap orang untuk beragama dan menjalankan ibadahnya.
63
Negara bukanlah ciptaan Tuhan. Negara terbentuk melalui pergulatan sosialpolitik manusia. Rakyat Indonesia mendeklarasikan Republik Indonesia (RI) setelah mengalami pergumulan panjang dengan penindasan kolonialisme Belanda. Sungguhpun kemerdekaan tersebut diakui sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa, tetapi bukan berarti menerima kedaulatan agama tertentu dalam negara. Indonesia bukanlah negara agama, tetapi juga bukan negara yang tak beragama. Agama diberikan ruang untuk hidup dan berkembang. Karena itu, tuntutan pendirian rumah ibadah adalah hak dan konsekuensi dari kedaulatan rakyat. Konflik internal umat beragama, antara aliran alQiyadah dan Islam konvensional, tidak serta merta menjadikan negara boleh 62 63
Ibid. Ibid.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
63
menghukum dan memvonis kriminal kepada kelompok yang minoritas itu. Dalam kasus ini, negara atau pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak umat beragama dan memediasi konflik antara umat beragama.
BAB III Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
64
PENGATURAN DAN ANALISA HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA DI INDONESIA
A. Pengaturan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156a KUHP selengkapnya berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.” Perlu dijelaskan bahwa pasal tersebut tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, melainkan dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 4 undang-undang tersebut langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP. Pasal 1 Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu”.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
65
Dalam Penjelasan Umum dinyatakan bahwa UU No. 1/PNPS/1965 bertujuan melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta ajaranajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa . Pasal 156a ini dimasukkan ke dalam KUHP Bab V tentang Kejatahan terhadap Ketertiban Umum yang mengatur perbuatan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap orang atau golongan lain di depan umum. Juga terhadap orang atau golongan yang berlainan suku, agama, keturunan dan sebagainya. Pasal-pasal tersebut tampaknya merupakan penjabaran dari prinsip anti-diskriminasi dan untuk melindungi minoritas dari kewenang-wenangan kelompok mayoritas. Perumusan delik dalam Pasal 156a adalah sebagai berikut : a). setiap orang dilarang. b). di muka umum. c). menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum. d). untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran atau kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Penjelasan Pasal 156 a antara lain, menyatakan bahwa maksud ketentuan ini telah cukup jelas yaitu dengan cara mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan baik secara lisan, tulisan maupun dengan perbuatan lain yang bertujuan menghina suatu agama. Pasal 156a tersebut dikategorikan sebagai kejahatan terhadap ketertiban umum yang termuat dalam Bab V Buku II KUHP. Sebagai suatu delik terhadap ketertiban umum, maka dapat disimpulkan bahwa baik dalam Penjelasan Umum maupun dalam Penjelasan UU No. 1/PNPS/1965, didasarkan pada suatu keinginan untuk melindungi Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
66
rasa ketentraman dari orang-orang beragama. Jika ketentraman dari orang-orang ini dipandang sebagai suatu kepentingan hukum yang harus dilindungi, maka dapatlah dipahami bahwa delik ini tertumat dalam Bab V Buku II KUHP mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum. Sebagai suatu delik terhadap ketertiban umum, maka konsekwensinya adalah bahwa hal tersebut menimbulkan suatu delik terhadap agama, yang hanya mengemukakan suatu sanksi pidana, apabila kepentingan umum terganggu karenanya, Jadi, bukanlah agamanya dilindungi oleh peraturan tersebut, melainkan kepentingan/ketertiban umumlah yang harus dilindungi. Dengan demikian, dapat dikatakan rasa ketentraman orang-orang beragama yang diganggu karena ucapan-ucapan atau pernyataan-pernyataan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 156a KUHP itu yang membahayakan ketertiban umum. Sehingga agama sebagai agama an sich tidak menjadi objek dari perlindungan. Pernyataan-pernyataan
atau
perbuatan
yang
bersifat
permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia, yang dilakukan di muka umum terdiri atas orang-orang yang tidak menganut agama, misalnya melihata penempatannya di bawah Bab V mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum dan melihat penjelasannya, bahwa ketentraman beragama yang hendak dilindungi, tidak akan menimbulkan delik seperti yang dimaksud dalam Pasal 156a KUHP. Maka jelaslah bahwa hal tersebut menghendaki suatu pemidanaan terhadap pernyataan-pernyataan mengejek Tuhan secara langsung, bukanlah suatu pemidanaan terhadap pernyataan karena hal tersebut melanggar ketertiban umum. Penempatannya dalam Bab V, kualifikasinya sebagai suatu ketertiban umum, kemudian penjelasannya sebagai
delik terhadap
suatu peraturan hukum
yang
bermaksud melindungi ketentraman orang-orang beragama, pada hakekatnya tidak Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
67
sesuai dengan teksnya sendiri dalam Pasal 156a KUHP. Jika penempatannya sebagai Pasal 156a KUHP menggolongkan hal tersebut sebagai delik terhadap ketertiban umum, yang timbul apabila ketentraman orang beragama terganggu karenanya, maka kesimpulan demikian tidak dilihat dalam teks dan rumusan Pasal 156a KUHP tersebut. Pasal 156a KUHP adalah memidanakan mereka yang di muka umum mengeluarkan perasaan
(atau
melakukan
perbuatan-perbuatan),
yang
bersifat
permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama (yang dianut di Indonesia). Redaksinya memungkinkan penafsiran adanya pemidanaan secara langsung pernyataan perasaan-perasaan tersebut, yang ditujukan terhadap agama dipidanakan menurut rumusan Pasal 156a KUHP, dimana pemidanaannya dilaksanakan oleh karena hal tersebut mengganggu ketentraman orang-orang beragama, dan oleh karena menjadi membahayakan ketertiban umum. Dengan demikian, berdasarkan teks Pasal 156a KUHP, pernyataan perasaan permusuhan, penyalagunaan atau penodaan suatu agama dapat dipidanakan, tanpa melibatkan diri dalam persoalan, apakah pernyataan demikian dapat mengganggu ketentraman orang beragama dan karena itu membahayakan
atau mengganggu
ketertiban umum. Lagi pula, teks dari Pasal 156a KUHP ini tidak merupakan rintangan terhadap pemidanaan yang dilakukan di muka umum di hadapan orang-orang yang tidak beragama. Sehingga bunyi Pasal 156a KUHP adalah “strafbaar”, baik diucapkan atau dilakukan di hadapan orang-orang yang beragama atau yang tidak, atau dihadapan kedua-duanya. Sehingga pada akhirnya, statusnya sebagai delik terhadap ketertiban umum demikian juga penjelasannya (yang bermaksud melindungi ketentraman orangorang beragama), pemidanaannya baru dapat dipertimbangkan, apabila pernyataan-
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
68
pernyataan tersebut mengganggu ketentraman orang-orang beragama, dan demikian membahayakan ketertiban umum. Mengapa
aturan
tentang
penodaan
agama
perlu
dimasukkan
dalam
KUHP?Pertanyaan ini barangkali bisa dijawab dengan memperhatikan konsideran dalam UU No. 1/PNPS/1965 tersebut. Di sana disebutkan beberapa hal, antara lain: 1). Undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai Kerjasama. 2). Timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/ kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliranaliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini. 3). Karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/ penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. 4). Seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu [Confusius]), undangundang ini berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya. Pasal 156a dalam praktiknya memang menjadi semacam peluru yang mengancam, daripada melindungi warga Negara. Ancaman itu terutama bila digunakan Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
69
oleh kekuatan yang anti demokrasi dan anti pluralisme, sehingga orang dengan mudah menuduh orang lain telah melakukan penodaan agama. Dalam pratiknya pasal ini seperti “pasal karet” (hatzaai articelen) yang bisa ditarik-ulur, mulur-mungkret untuk menjerat siapa saja yang Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah. Bagian ini mengatur dua hal, yaitu Gangguan terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan (pasal 346-347); dan Perusakan Tempat Ibadah (pasal 348). (Masalah ini akan dibahas di nomor selanjutnya). Selanjutnya kalau dianalisa lebih mendalam, dalam hubungannya dengan Pasal 156 KUHP, dimana golongan agamalah yang menjadi objek dari perbuatan pidana, yang dalam hal ini masih menunjukkan adanya perumusan dengan pasal 156a KUHP, maka sekarang agamanya itu sendiri dalam Pasal 156a KUHP yang menjadi sasaran, terhadap mana perbuatan pidana itu ditujukan. Maka Pasal 156a KUHP tersebut masih sekedar memberikan pemecahan secara parsial, oleh karena perbuatan pidana tersebut ditujukan terhadap agama (atau untuk tidak menganut agama) dan karenanya belum merangkum pernyataan perasaan yang ditujukan terhadap nabi, kitab suci ataupun pemuka-pemuka agama dan lembaga agama. Dengan demikian, hal tersebut masih memerlukan konstruksi hukum seperti dipergunakan untuk Pasal 156 KUHP untuk dapat menghadapi pernyataan ataupun perbuatan yang ditujukan terhadap nabi (sebagai founder dari agama), kitab suci, pemuka-pemuka agama dan lain-lain. 64 Dapat dikatakan, bahwa nabi, kitab suci, pemuka agama secara essensial tidak dapat dilepaskan dari agama, sehingga pernyataan atau perbuatan tidak dapat dilepaskan dari agama, sehingga pernyataan atau perbuatan-perbuatan yang ditujukan 64
Nanda Agung Dewantara, Op.cit, hal. 78.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
70
terhadap nabi (sebagai founder dari agama), seperti dimaksudkan oleh Pasal 156a KUHP. Bagi kita, setidak-tidaknya dapat merupakan persoalan apakah perumusan demikian juga dapat meliputi ucapan-ucapan, ejekan, cemoohan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Maka, suatu undang-undang tersendiri mengenai Godslastering, ataupun kata-kata yang mengotori asma Tuhan itu
ingeweven
dalam undang-undang
mengenakan ucapan demikian terhadap agama, nabi, kitab suci, pemuka agama sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu agama. Hal ini jelas akan dibenarkan oleh hukum dalam suatu negara yang memandang sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima. Oemar Seno Adji mengemukakan bahwa
Seksi Pidana,
Tuntutan Ilmiah
Islamiah, menghendaki penambahan delik-delik mengenai agama, seperti : 65 a). pengakuan nabi palsu dan kitab suci palsu. b). penganutan dan penyebaran atheisme (tidak ber-Tuhan dan anti Tuhan). c). penghinaan terhadap Tuhan, Nabi dan kitab suci. d). penghalangan dan penggangguan terhadap orang beribadat
secara upacara
keagamaan. Jika usul dari Tuntutan Ilmiah Islamiah, khususnya yang termuat dalam sub (b) mengenai penganutan dan penyebaran atheisme (tidak ber-Tuhan dan anti Tuhan) sedikit banyak te penganutan dan penyebaran atheisme (tidak ber-Tuhan dan anti Tuhan) sedikit banyak tertampung dalam sub b Pasal 156 (a) KUHP yaitu mengeluarkan
perasaan dan perbuatan, dengan maksud agar orang tidak menganut
agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka penghinaan dalam Pasal 156a KUHP. Hal tersebut merupakan indikasi, bahwa delik-delik agama 65
Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Alumni, Bandung, 1983, hal. 150.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
71
tidak meliputi dengan sendirinya pernyataan yang mengotorkan asma Tuhan, nabi dan kitab suci, yang menurut Tuntutan Ilmiah Islamiah sebagai salah satu aspek dari delikdelik agama yang harus dituangkan dalam peraturan-peraturan pidana. 66 Selain itu, Tuntutan Ilmiah Islamiah memberikan gambaran, bahwa penghinaan terhadap Tuhan itu didampingi tersendiri oleh penghinaan terhadap nabi, kitab suci dan bahwa Godslastering sebagai delik agama diakui di samping penghinaan terhadap nabi dan kitab suci. Menurut Oemar Seno Adji, maksud Tuntutan Ilmiah Islamiah untuk mengadakan penambahan pasal-pasal tentang delik-delik agama, seperti penghinaan terhadap nabi, kitab suci, dapat berjalan sejajar dengan konstruksi hukum, yang tidak memisahkan secara essensial agama dengan nabi dan kitab suci dan yang dipergunakan dalam menafsirkan Pasal 156 dan 156a KUHP. Kemudian penghinaan terhadap Tuhan sebagai Godslastering dapat mengikuti Pasal 156a KUHP, yang melalui penafsiran tersebut dengna meliputi penghinaan terhadap nabi, kitab suci. Suatu pasal mengenai Godslastering apakah ia ditempatkan tersendiri ataukah ia dimasukkan dalam kerangka yang dinamakan blasphemy dengan menyebut pula ucapan, perbuatan menghina nabi, kitab suci, berdasarkan pandangan Ilmiah Islamiah dapat dibenarkan. Berdasarkan Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP dengan atau tanpa mempergunakan konstruksi hukum dan mengadakan penafsiran, maka pasal semacam Godslastering, Gotteslaesterung merupakan hal yang condition sinequa non harus ada di tengah-tengah kehidupan hukum kita. Sama halnya dengan perundang-undangan
66
Nanda Agung Dewantara, Op.cit, hal. 79.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
72
pidana, baik di Negeri Belanda, Jerman, Inggris ataupun Amerika Serikat, maka kita harus bersembah-sujud kepada Tuhan, yang kita agungkan. 67 Simon mengemukakan, bahwa pasal mengenai
Godslastering, penambahan
delik agama dengan penghinaan terhadap nabi, kitab suci, pemuka agama dan lain-lain, Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP, dapat hidup berdampingan dengan delik-delik agama, seperti dicantumkan dalam beberapa pasal yang sekarang ada di KUHP dan yang dimasukkan dalam bab mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum. Hal ini dimulai dengan Pasal 175-177, yang khususnya mengenai pelanggaran terhadap pertemuan keagamaan, dan seterusnya Pasal 178 sampai dengan Pasal 181 KUHP, yang umumnya mencakup mengenai delik-delik yang berkaitan dengan soal-soal kuburan dan jenazah, Kesemuanya itu dipandang oleh Simorns sebagai delik yang bersangkutan dengan agama. Dari gambaran tersebut dapat dilihat dengan jelas adanya upaya untuk merentangkan lebih luas aspek penodaan agama ini. Di sini perlu ketelitian dan antisipasi untuk menyusun dan memunculkan pasal-pasal tentang agama dalam RUU KUHP yang lebih berorientasi pada perlindungan korban. Pasal-pasal dalam RUU KUHP tentang agama ini semestinya diorientasikan disamping untuk melindungi kepentingan umum, juga untuk melindungi kebebasan beragama baik mayoritas maupun minoritas dan juga melindungi minoritas dari ancaman diskriminasi dan kewewenang-wenangan mayoritas. Pasal ini juga harus bisa menjamin bahwa perbedaan penafsiran dan cara pandang atas berbagai masalah keagamaan tidak kemudian dituduh melakukan penodaan agama. Karena, menuduh orang melakukan penodaan agama tidak bisa hanya berangkat dari asumsi dan prasangka, namun harus 67
Nanda Agung Dewantara, Op.cit,hal. 80.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
73
bisa dibuktikan bahwa orang tersebut memang bermaksud melakukan permusuhan, merendahkan, dan melecehkan agama. Revisi KUHP tidak boleh disandera kelompok tertentu dengan meminjam “tangan Negara” guna memuluskan agenda-agenda politiknya. Karena dianggap menodai agama. Pasal ini bisa digunakan untuk menjerat penulis komik, wartawan, pelaku ritual yang berbeda dengan mainstream, aliran sempalan, dan sebagainya. Karena kelenturannya itu, “pasal karet” bisa direntangkan hampir tanpa batas. Pada dasarnya, pasal ini tidak hanya bisa dipakai untuk menjerat aliran-aliran seperti Lia Eden dan Ahmadiyah, misalnya, melainkan juga bisa dikenakan kepada aliran-aliran natau organisasi agama yang suka membuat kekerasan dan onar di dalam masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu. Namun dalam praktiknya, pasal 156a ini tidak pernah diterapkan baik oleh Polisi maupun Hakim untuk melindungi korban. Dalam kasus Lia “Eden” Aminudin, misalnya, yang justru ditangkap dan diadili ketika ada tekanan massa. Lia sebagai korban justru dikorbankan dan dijerat dengan pasal ini karena ada tekanan dari FPI yang dipicu oleh Fatwa MUI yang menganggapnya sesat.
B. Pengaturan di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Jika dalam KUHP yang selama ini berlaku penodaan agama hanya ada dalam satu pasal (156a), dalam Rancangan KUHP yang merevisi KUHP lama, pasal penodaan agama diletakkan dalam bab tersendiri, yaitu Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan yang di dalamnya ada 8 (delapan) pasal. Dari delapan pasal itu dibagi dalam dua bagian: Bagian I mengatur tentang tindak pidana terhadap Agama. Bagian ini mengatur tentang Penghinaan terhadap Agama (pasal 341Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
74
344) dan Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama (pasal 345). Bagian II mengatur tentang Pasal Penodaan Agama dalam KUHP. Berikut pasal-pasal di dalam RUU KUHP yang mengatur mengenai Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan. BAB VII TINDAK PIDANA TERHADAP AGAMA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA Bagian Kesatu Tindak Pidana terhadap Agama Paragraf 1 Penghinaan terhadap Agama Pasal 342 Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Kategori III.
Pasal 343 Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 344 Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
75
Pasal 345 (1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar, sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 atau Pasal 344, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Kategori IV. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tersebut. Paragraf 2 Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama Pasal 346 Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Bagian Kedua Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah Paragraf 1 Gangguan terhadap Penyelenggaran Ibadah dan Kegiatan Keagamaan Pasal 347 Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
76
(1) Setiap orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori IV. (2) Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II. Pasal 348 Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejek petugas agama yang sedang melakukan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Kategori III. Paragraf 2 Perusakan Tempat Ibadah Pasal 349 Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Selanjutnya sesuai dengan pendapat yang Simons mengemukakan, bahwa pasal mengenai Godslastering, penambahan delik agama dengan penghinaan terhadap nabi, kitab suci, pemuka agama dan lain-lain, Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP, juga mencakup mengenai delik-delik yang berkaitan dengan soal-soal kuburan dan jenazah,
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
77
Kesemuanya itu dipandang oleh Simons sebagai delik yang bersangkutan dengan agama. Di dalam RUU KUHP hal tersebut diatur sebagai berikut : Ganggungan terhadap Pemakaman dan Jenazah Pasal 312 Setiap orang yang merintangi, menghalang-halangi atau mengganggu jalan masuk kepemakaman atau pengangkutan jenazah ke pemakaman, atau upacara penguburan jenazah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Kategori III. Pasal 313 Setiap orang yang secara melawan hukum menodai kuburan atau merusak kuburan, merusak atau menghancurkan tanda peringatan di kuburan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Kategori III. Pasal 314 Setiap orang yang secara melawan hukum mengambil barang yang ada pada jenazah, menggali, membongkar, mengambil, memindahkan, mengangkut, atau memperlakukan secara tidak beradab jenazah yang sudah digali atau diambil, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan
atau denda paling banyak
Kategori III.
Pasal 315 Setiap orang yang mengubur, menyembunyikan, membawa, atau menghilangkan jenazah dengan maksud untuk menyembunyikan kematian atau kelahirannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun
atau denda paling banyak
Kategori III. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
78
C. Peraturan Perundang-Undangan lainnya di Indonesia. Seperti telah disebutkan di atas, delik agama adalah dalam rangka melindungi kepentingan umum, oleh karenanya harus dilindungi oleh negara.Oleh karenanya, negara harus pro aktif dalam melihat berbagai hal-hal yang merusak ketentraman beragamanya warga negaranya. Selain peraturan perundangan-undangan yang terdapat di dalam KUHP dan RUU KUHP tentang Tindak Pidana Penistaan terhadap Agama, yang menjadi landasan dan pedoman hukum lainnya khususnya oleh umat Islam adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Beberapa Fatwa MUI telah dijadikan pedoman dalam menangani beberapa aliran sesat di Indonesia yang masih mengatasnamakan Islam, misalnya mengeluarkan fatwa kesesatan ahmadiyah pada tahun 1980 yang kemudian ditegaskan lagi pada tanggal 28 Juli 2005. MUI memfatwakan orang Islam yang mengikuti aliran tersebut adalah murtad (keluar dari Islam). Bagi yang sudah terlanjur, mereka diminta kembali kepada ajaran Islam yang benar yang sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. Sebagai wadah yang dijadikan pedoman oleh umat khususnya umat Islam, tantangan yang dihadapi oleh MUI sangat berat. Hal ini disebabkan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh Umat Islam di negeri ini. Kebebasan yang kebablaan akibat reformasi yang disalahartikan telah melahirkan berbagai sikap yang jauh menyimpang dari agama, seperti perilaku hedonis yang
semakin akut,
korupsi yang merajarela, sampai lahirnya kelompok-kelompok yang menyuarakan, paham dan pemikiran yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
79
Sebagai wadah musyawarah para ulama dan cendekiawan muslim, tentu MUI harus bisa menjawab dan memberikan solusi atas berbagai masalah yang dihadapi umat. Karena itulah di Rakernas MUI, yang merupakan salah satu forum tertinggi di lingkungan MUI, adalah untuk mengevaluasi pelaksanaan program selama satu tahun dan menetapkan prioritas program untuk tahun berikutnya.Secara garis besar, MUI mempunyai 5 (lima) peran dan fungsi dalam berkhitmah kepada umat dan bangsa, yakni peran sebagai waratsah al anbiya
(penerus tugas para nabi), sebagai pemberi
fatwa, sebagai pembimbing dan pelayan umat (ri’ayah wa khadim al-ummah), sebagai pelapor gerakan al-ishlah wa at-tajdid, dan sebagai penegak amar ma’ruf nahyi almunkar.
68
Apa yang dilakukan oleh MUI selama ini tidak lepas dari lima peran itu. Salah satunya adalah penetapan sesat terhadap aliran-aliran sesat yang bertujuan
untuk
melindungi dan membimbing umat agar tidak tersesat meyakini faham yang nyatanyata keluar dari ajaran Islam. Rapat Kerja Nasional MUI yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 4-6 November 2007 telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi ekstern yang menyoroti berbagai permasalahannya yang dihadapi umat Islam. Dalam masalah politik, MUI menghimbau kepada semua pihak untuk mencegah dan menghindari black compaign dan money politics dalam berbagai event politik, seperti Pemilihan Presiden, Pemilu Legislatif, Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) di berbagai daerah. Sebab ini berimplikasi pada munculnya kerusuhan dari para pendukung yang kalah. Juga memunculkan dampak yang mengganggu upaya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. 68
Majelis Ulama Indonesia, Rakornas Majelis Ulama Indonesia 2007, Suara Islam, Edisi 32 tanggal 23 November – 6 Desember 2007 M/13 Dzulqaidah -26 Dzulqaidah 1428 H, hal. 16. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
80
Sementara terkait
maraknya aliran dan faham keagamaan yang berindikasi
sesat, seperti al-Qiyadah al-Islamiyah, ahmadiyah, maka MUI menyerukan kepada Pemerintah untuk mengoptimalkan peran fungsi control dan antisipasinya terhadap kecenderungan gerakan yang dapat memeperkeruh kehidupan beragama. Untuk itulah MUI mendesak pemerintah untuk segera mengaktifkan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Kejaksaan Agung dalam melaksanakan tugas dan fungsinya baik di tingkat pusat maupn di daerah. Memang, untuk beberapa kasus aliran sesat Bakor Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Kejaksaan Agung ini telah berupaya untuk melaksanakan tugasnya, seperti memperkuat fatwa MUI terhadap aliran sesat ahmadiyah dengan memutuskan untuk melarang aliran ahmadiyah pada tanggal 15 Januari 2008. MUI
juga merekomendasikan kepada pemerintah untuk
mempercepat
mengeluarkan produk hukum untuk memberantas kemungkaran umat. Khusus untuk aliran sesat, MUI telah mengeluarkan sepuluh kriteria mengenai aliran sesat. Ketua Dewan
Dakwah
Islamiyah
Indonesia
(DDII)
Adian
Husaini
menyebut
keluarnya putusan MUI sebagai sesuatu yang ditunggu-tunggu umat Islam. Sepuluh kriteria yang ditetapkan MUI itu merupakan ajaran Islam yang mendasar dan penekanannya lebih untuk umat sendiri. Sepuluh kriteria aliran sesat tersebut adalah, sebagai berikut : 69 (1) Mengingkari rukun iman dan rukun Islam (2) Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Alquran dan As-sunah). (3) Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran. 69
Ibid.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
81
(4) Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran. (5) Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir. (6) Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam. (7) Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul. (8) Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir . (9) Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah. (10) Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar'i. Seperti telah disebutkan di atas, tidak semua orang dapat memberikan penilaian suatu aliran dinyatakan keluar dari nilai-nilai dasar Islam. Suatu paham atau aliran keagamaan dapat dinyatakan sesat bila memenuhi salah satu dari sepuluh kriteria. Kriteria tersebut tidak dapat digunakan sembarang orang dalam menentukan suatu aliran itu sesat dan menyesatkan atau tidak. Ada mekanisme dan prosedur yang harus dilalui dan dikaji terlebih dahulu, sehingga bagi MUI sebenarnya tidak gampang untuk mengeluarkan fatwa. Pedoman MUI itu menyebutkan, sebelum suatu aliran atau kelompok dinyatakan sesat, terlebih dulu dilakukan penelitian. Data, informasi, bukti, dan saksi tentang paham, pemikiran, dan aktivitas kelompok atau aliran tersebut diteliti oleh Komisi Pengkajian.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
82
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini, adalah : 1. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya Tindak Pidana Penistaan Agama di Indonesia, adalah : 1. Kegagalan Pembinaan Agama Semua ormas dan orsospol Islam harus mengakui bahwa mereka boleh dibilang masih gagal dalam membina aqidah umat. Pembinaan yang serius boleh jadi belum berhasil sepenuhnya. Di tataran akar rumput harus diakui bahwa umat ini masih belum mendapat sentuhan tarbiyah dan pembinaan. Fenomena maraknya pengajian dan ceramah baru menyentuh lapis terluar. Sedangkan akar rumput rakyat yang terselip di sana-sini, luput dari sentuhan pembinaan. Kondisi ini dapat dikatakan muncul akibat kurangnya perhatian tokoh agama pada umatnya. Ketika orang-orang yang dianggap sebagai panutan umat terkesan hanya sibuk mengurusi kepentingan diri sendiri, golongan maupun menceburkan diri kedalam ranah politik, maka wajar bila sebagian dari umat yang tergolong awam mencari pegangan lain. Kalangan awam ini, pada prinsipnya, tidak mempersoalkan apakah ajaran baru yang mereka peroleh menyimpang dari norma-norma akidah. Yang mereka butuhkan adalah untaian kalimat sejuk dan perhatian dari orang yang dianggap sebagai panutan. 2. Lemahnya Penegakan Hukum (Law Enforcement) Peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya juga sudah mengatur mengenai tindak pidana penistaan agama, tetapi tidak diketahui penyebab yang Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
83
pasti mengapa peraturan tersebut kurang efektif. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud
adalah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 3. Munculnya Pembela Aliran Sesat Aliran sesat yang sudah banyak ini semakin subur ketika kelompok liberalis ikut-ikutan membela. Alasan yang paling banyak adalah alasan kebebasan memilih agama dan kebebasan untuk menafsirkan ajaran agama adalah merupakan hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Kelompok liberal dan sekuler semakin gencar mengkampanyekan pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah memfatwakan beberapa aliran sesat, seperti al-Qiyadah al-Islamiyah, ahmadiyah dan sebagainya. Menurut mereka, fatwa MUI tentang aliran sesat terhadap jamaah ahmadiyah merupakan pelanggaran HAM, kebebasan dalam memeluk keyakinan dan ajaran tertentu. Selanjutnya fatwa MUI tersebut dianggap telah mengecam pluralisme dan berpotensi memicu kekerasan dan tindak in-toleransi. Dengan fatwa ini massa merasa memiliki legitimasi untuk melakukan aksi kekerasan terhadap jamaah ahmadiyah.Untuk itu, MUI harus bertanggung jawab dan harus dilaporkan ke pengadilan. 4. Media Tidak Berpihak kepada Umat Islam Umat Islam hari ini tidak punya media. Itu realita yang tidak ada seorang pun yang bisa menyanggahnya. Umat Islam tidak punya televisi, tidak punya kantor berita, tidak punya jaringan pers nasional apalagi dunia. Maka munculnya aliran sesat di media, pada akhirnya mengarahkan agar umat jangan sampai terlibat, yang terjadi justru pembelaan kalangan pers kepada Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
84
aliran-aliran itu. Salah satu televisi swasta nasional malah membuat sebuah liputan yang menggambarkan bagaimana anarkisme dilakukan oleh umat Islam, membakar dan meruntuhkan sebuah markas aliran sesat sambil meneriakkan lafadz Allahu akbar. Dalam hal ini melihat adegan seperti ini dapat menimbulkan penafsiran dan mendudukkan umat Islam sebagai penjahat. Usaha penanggulangan yang dapat dilakukan untuk tindak pidana penistaan agama ini adalah, sebagai berikut : a. Usaha Preventif (Usaha Pencegahan) 1). Para tokoh agama Islam mestilah kembali ke pangkuan umatnya. Saatnya umat diurus lagi dan para ulama tidak boleh lagi menyalahkan satu sama lain. Seperti dinasihatkan oleh Ketua Dewan Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin dalam acara Pertemuan Kiai se-Indonesia di Pesantren Nurul Huda Al Islami, Pekanbaru, Riau Pada 25 Agustus 2007, dimana para ulama harus seperti bulan yang menyinari semua alam (public interests). Bukan seperti bintang, yang hanya bersinar untuk dirinya sendiri (personal interest). Ceramah-ceramah agama pun sudah harus disampaikan dengan cara-cara yang sejuk, damai dan ramah (friendly) agar umat merasa nyaman, bukan dibayangi oleh ketakutan. 2). Departemen Agama wajib merespons dengan cepat setiap muncul keresahan tentang penyimpangan akidah di masyarakat. Sikap lambat Depag justeru merugikan kalangan awam yang memerlukan kepastian soal kebenaran agama yang selama ini mereka yakini. Ketiga, Polri dan jajaran intelijen di negeri ini harus pula mewaspadai adanya strategi asing yang hendak merusak stabilitas nasional. Jika Indonesia sebagai negara Muslim terbesar sukses dihancurkan akidahnya, maka akan selanjutnya negeri ini akan mudah untuk diadu domba. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
85
Perlu diingat bahwa Tanah Air kita tercinta ini terdiri dari ribuan pulau dengan beragam suku dan bahasa, yang tentu rentan dengan percikan api permusuhan. Untuk itu kita wajib berdoa agar Bangsa Indonesia selamat dari bahaya disintegrasi dan penghancuran terselubung, baik oleh elemen internal maupun eksternal. Menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia sama artinya dengan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu sendiri. Ini, jika keutuhan NKRI masih dirasa perlu untuk dipertahankan. 3). Setiap umat Islam seharusnya lebih membekali diri dengan pengetahuan dan pemahaman agama yang cukup. Mereka yang merasa dirinya cukup berilmu dan ‘mampu untuk berijtihad’, janganlah berlaku semena-mena, bahkan terlalu over, dalam mengutak-atik ajaran Islam. Tindakan ini sangat berpotensi sampai ke gerbang kesesatan dan menyesatkan orang lain, karena segmen semacam ini bukanlah bagian dari kebebasan beragama. Allah memang memberikan ruang cukup besar untuk berpikir, tetapi harus tetap berada dalam lingkaran koridor aqidah yang benar.
b. Usaha Repressif (Tindakan Penanggulangan ) Selain penahanan terhadap tokohnya, pemerintah juga akan membina para pengikut aliaran sesat. Seperti yang terjadi pada sejumlah umat Islam di Jawa Barat dan Jakarta telah merasa terganggu dengan munculnya aliran ini sebab dinilai menyimpang dari ajaran agama Islam. Sebelumnya, sekitar 100 orang anggota Front Pemuda Islam (FPI) Jawa Barat berunjuk rasa ke DPRD Jawa Barat, mendesak penegak hukum agar pimpinan al-Qiyadah, Ahmad Mushaddeq dihukum mati sesuai syariat Islam. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
86
Selain UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang selama ini dijadikan dasar hukum, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan kriteria suatu aliran dapat digolongkan tersesat. Namun, tidak semua orang
dapat memberikan penilaian suatu aliran
dinyatakan keluar dari nilai- nilai dasar Islam. Suatu paham atau aliran keagamaan dapat dinyatakan sesat bila memenuhi salah satu dari sepuluh kriteria. Kriteria tersebut tidak dapat digunakan sembarang orang dalam menentukan suatu aliran itu sesat dan menyesatkan atau tidak. Ada mekanisme dan prosedur yang harus
dilalui dan dikaji terlebih dahulu,
sehingga bagi MUI sebenarnya tidak gampang untuk mengeluarkan fatwa. Pedoman MUI itu menyebutkan, sebelum suatu aliran atau kelompok dinyatakan seat, terlebih dulu dilakukan penelitian. Data, informasi, bukti, dan saksi tentang paham, pemikiran, dan aktivitas kelompok atau aliran tersebut diteliti oleh Komisi Pengkajia c. Usaha Reformatif (Pembinaan terhadap Para Pelaku) Aliran-aliran sesat yang muncul di Indonesia boleh jadi karena adanya pahampaham baru yang bertentangan dengan akidah Islamiyah ini disebabkan karena dakwah yang belum meluas dan mendalam ke seluruh umat. Mengenai berbagai
aliran
sesat seperti al-Qiyadah al-Islamiyah, ahmadiyah dan
sebagainya, untuk itu agar para pengikutnya yang telah disesatkan untuk dirangkul dan ditarik agar kembali ke jalan yang lurus. Namun, bila mereka tidak ingin kembali maka diharapkan agar aliran yang mereka junjung jangan dikaitkan dengan agama Islam. Din juga mengatakan, sebab lain dari munculnya berbagai aliran sesat juga karena adanya kebebasan yang Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
87
kebablasan dari alam reformasi sehingga orang dapat membuat berbagai organisasi tertentu. Untuk masa mendatang, tidak ada jaminan bahwa sebuah pemikiran atau keyakinan dapat “dibunuh” begitu saja. Cara yang paling baik adalah melalui penyadaran, yaitu bagaimana kita sentuh hatinya dan kita kembalikan ke jalan yang benar.
2. Pengaturan Hukum terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah terdapat di dalam KUHP, RUU KUHP maupun pengaturan-pengaturan lain yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Kejaksaan Agung baik di tingkat pusat maupun di daerah. KUHP mengatur mengenai tindak pidana penistaan terhadap agama adalah di dalam Pasal 156a KUHP selengkapnya berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.” Selanjutnya di dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 1 Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: “Setiap orang dilarang dengan
sengaja di muka umum menceritakan,
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
88
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu”. Perumusan delik dalam Pasal 156a adalah sebagai berikut : a). setiap orang dilarang. b). di muka umum. c). menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum. d). untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran atau kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Beberapa pakar mengemukakan bahwa tindak pidana penistaan terhadap agama termasuk melakukan perbuatan-perbuatan seperti : a). pengakuan nabi palsu dan kitab suci palsu. b). penganutan dan penyebaran atheisme (tidak ber-Tuhan dan anti Tuhan). c). penghinaan terhadap Tuhan, Nabi dan kitab suci. d). penghalangan dan penggangguan terhadap orang beribadat
secara upacara
keagamaan.
B. Saran-saran Saran-saran yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini, adalah : 1. Penyadaran adalah kata penting dalam beragama. Pilihan terhadap aliran tertentu pun bukan didorong oleh keterpaksaan dan rasa frustasi. Mereka memilih berdasarkan kesadaran penuh., misalnya jika dilihat dalam komposisi penganut alIsmuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
89
Qiyadah, sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa dan masyarakat terpelajar. Jadi pilihan untuk masuk aliran tersebut lebih disebabkan oleh kesadaran. Dengan demikian pendekatan yang sebaiknya diambil dalam menangani mereka adalah dengan bentuk penyadaran. Menyuguhkan konsepsi yang dapat membuka pikiran mereka. Tentu saja pendekatan semacam ini bukan sesuatu yang bisa dilihat hasilnya. 2. Jika dibandingkan dengan pendekatan kekerasan yang sejauh ini telah dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam dalam merespon dan menangani kasus ini, meskipun pendekatan kekerasan memberikan hasil yang segera, namun dampaknya dalam waktu yang panjang justru tidak baik. Amat boleh jadi konversi para pengikut setia al-Qiyadah itu ke dalam Islam (yang konvensional) tidak berdasar pada ketulusan, sehingga justru menjadi bumerang bagi citra Islam sendiri. Selain itu juga tindakan kekerasan telah menyalahi ajaran Islam itu sendiri. Dalam konteks ini peran pemerintah, termasuk lembaga agama yang diberi otoritas oleh negara, tidak perlu intervensi terlalu jauh terhadap keyakinan agama seseorang, dengan menghukum kafir kepada mereka misalnya. Sebab pada dasarnya keyakinan (keberagamaan) seseorang merupakan hak asasi, yang tidak ada seorang dan lembaga pun yang memiliki otoritas untuk memaksanya. Wajar jika dalam Islam dikatakan “laa ikraaha fi ad-diin” (tidak ada paksaan dalam beragama). Sejatinya, pemerintah becermin kepada para pendiri negara (founding fathers). Mereka memiliki visi yang konstruktif dalam menghadapi dilema kedaulatan agama dan negara. Misalnya, mengenai kebebasan sipil. Dimana kebebasan sipil di sini tidak hanya sebatas kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berijtihad, melainkan pula kebebasan setiap orang untuk berbeda agama dan menjalankan ibadah agama Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
90
yang diyakininya tersebut. Indonesia bukanlah negara agama, tetapi juga bukan negara yang tak beragama. Agama diberikan ruang untuk hidup dan berkembang. Karena itu, tuntutan pendirian rumah ibadah adalah hak dan konsekuensi dari kedaulatan rakyat. Konflik internal umat beragama, antara aliran sesat dan Islam konvensional, tidak serta merta menjadikan negara boleh menghukum dan memvonis kriminal kepada kelompok yang minoritas itu. Dalam hal ini, negara atau pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak umat beragama dan memediasi konflik antara umat beragama.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
91
DAFTAR PUSTAKA
1. BUKU/MAKALAH Ediwarman, Selayang Pandang Tentang Kriminologi, USU Press, Medan, 1994. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakrta 1998, hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1990. Calvin S. Hall, Suatu Pengantar Ke dalam Ilmu Jiwa Sigmund Freud, Terjemahan S. Tasrif, Pembangunan, Jakarta, 1962. H.A.K. Moch. Anwar, Beberapa Ketentuan Umum dalam Buku Pertama KUHP, Alumni, Bandung, 1981. ------------------------, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Alumni, Bandung, 1981. JE. Sahetapy, Kriminologi Suatu Pengantar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992. MWE. Noach, Kriminologi Suatu Pengantar, diterjemahkan oleh JE. Sahetapy, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992. Nanda Agung Dewantara, Kemampuan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan-Kejahatan Baru yang Berkembang dalam Masyarakat, Liberty, Yogyakarta, 1988. Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Alumni, Bandung, 1983. Ridwan Hasibuan, Kriminologi Dalam Arti Sempit dan Ilmu-Ilmu Forensik, USU Press, Medan, 1994.. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
92
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1984. Ridwan Hasibuan, Kriminologi Dalam Arti Sempit dan Ilmu-Ilmu Forensik, USU Press, Medan, 1994. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Pliteia, Bogor, 1996. Stephan Hurwitz, Kriminologi, saduran Ny. L. Moeljatno, Bina Aksara, Jakarta, 1986. SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem – Petehaem, Jakarta, 1996. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986. --------------------------, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Cetakan III, Eresco Jakarta, Bandung, 1980.
2. INTERNET Ahmad
Sarwat,
Aliran-Aliran
Sesat
di
Indonesia,
diakses
dari
situs
:
http://www.eramuslim.com/ustadz/aqd/7b06080216-aliran-aliran-sesatindonesia.htm AH. Mahally, Pemicu Timbulnya Aliran Sesat, diakses dari situs Republika online, tanggal 9 November 2007. Ari Nursanti, Mewaspadai penyebaran aliran sesat,
diakses dari situs :
http://www.wawasandigital.com.index.php/Senin/12/November/2007 H.M. Rizal Fadhilah, Aspek Hukum Pertobatan Mushaddeq, diakses dari situs : http://www.pikiran-rakyat.com/14/November/2007. Fenoma Aliran Sesat dan Makna Kebebasan Beragama, Diakses dari situs
:
http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=4984, 27 November 2007. Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009
93
Melepas Jerat Aliran Sesat, diakses dari situs : http://www.cmm.or.id/cmmind_more.php?id=4969_0_3_30_M14 MUI
Tetapkan
Kriterika
Aliran
Sesat,
diakses
dari
situs
:
http://groups.google.com/group/soc.culture.indonesia/browse_thread/thread/969c 7ef61ed6b8c4/0175364d6029c192?lnk=raot, Rabu, 07 Nopember 2007. Negara
dan
Kebebasan
Berkeyakinan,
diakses
dari
situs
:
http://www.cmm.or.id/cmm.ind_more.php?id tanggal 12 Desember 2007 PBNU : Perlu Ada Aturan Yang Tegas Terkait dengan Aliran Sesat, diakses dari situs : http://www.antara.co.id/arc/2007 /10/31. Tim Pengacara Muslim (TPM) Anggap Penindakan Aliran Sesat Sesuai Prinsip HAM, diakses dari situs: http://www.hukumonline.com/artikel/3/11/2007.
3. SURAT KABAR/MAJALAH/TABLOID Ahmadiyah Jahat dan Sesat, Tabloid Surat Islam, Edisi 36, tanggal 18-31 Januari 2008 M/9 – 22 Muharram 1429 H. Dendam Kesumat Membonceng Ahmadiyah, Suara Islam, Edisi 36 tanggal 18-31 Januari 2008 M/9 – 22 Muharram 1429 H. Majelis Ulama Indonesia, Rakornas Majelis Ulama Indonesia 2007, Suara Islam, Edisi 32 tanggal 23 November – 6 Desember 2007 M/13 Dzulqaidah -26 Dzulqaidah 1428 H. Poros Penjajah : Liberal – Kristen – Ahmadiyah, Suara Islam, Edisi 36 tanggal 18-31 Januari 2008 M/9-22 Muharram 1429 H.
Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009