1
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN INSTRUMEN GUGATAN CLASS ACTION DALAM PROSES GANTI RUGI KASUS-KASUS KORUPSI DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
DISUSUN OLEH :
DEDI SAPUTRA NIM : 020-200-059
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
2
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN INSTRUMEN GUGATAN CLASS ACTION DALAM PROSES GANTI RUGI KASUS-KASUS KORUPSI DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
DISUSUN OLEH :
DEDI SAPUTRA NIM : 020-200-059
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
DISETUJUI OLEH : KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS NIP. 131 764 556
Dosen Pembimbing I
Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum NIP.131 460 767
Dosen Pembimbing II
Hermansyah, SH.M.Hum NIP. 131 570 457
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
3
KATA PENGANTAR
Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berpikir kepada Penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul :.”Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan
Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Keperdataan. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi ini. 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH.MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU. 3. Bapak Syafruddin, SH.MH selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU. 4. Bapak M. Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU. 5. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MH selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU. 6. Bapak Hermansyah, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi ini. 7. Bapak/Ibu para dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum USU dimana penulis menimba ilmu selama ini. 8. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum USU yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi. Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.
Medan, Penulis,
Agustus 2007
DEDI SAPUTRA
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
4 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang............................................................................................. .......................................................................................................................... 1 B. Rumusan Permasalahan ............................................................................... .......................................................................................................................... 4 C. Tujuan dan Manfaaat Penulisan.................................................................... .......................................................................................................................... 5 D. Keaslian Penulisan ...................................................................................... .......................................................................................................................... 6 E. Tujuan Kepustukaan .................................................................................... .......................................................................................................................... 7 F. Metode Penelitian ....................................................................................... .......................................................................................................................... 11 G. Sisrtematika Penulisan ................................................................................ .......................................................................................................................... 12 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI INSTRUMEN HUKUM CLASS ACTION DI INDONESIA Pengertian Class Action. .................................................................................... 15 Persyaratan Class Action .................................................................................. 16 Jenis-Jenis Class Action ................................................................................... 21 Aturan Hukum Mengenai Class Action di Indonesia ......................................... 26 BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI GANTI RUGI KASUS-KASUS KORUPSI DI INDONESIA A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Ganti Rugi .................................................. 32 B. Ganti Rugi didalam KUHPerdata ................................................................. 36 BAB IV
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN INSTRUMEN GUGATAN CLASS ACTION DALAM PROSES GANTI RUGI KASUSKASUS KORUPSI DI INDONESIA A. Gugatan Class Action Untuk Kasus-Kasus Korupsi ..................................... .................................................................................................................... 41 B. Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Kasus Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
5 Korupsi ....................................................................................................... .................................................................................................................... 45 C. Prosedur dan Mekanisme Penggunaan Instrumen Class Action ................... .................................................................................................................... 49 D. Beberapa permasalahan penerapan Class Action di Indonesia. ..................... .................................................................................................................... 59 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .......................................................................................... 62 B. Saran .......................................................................................... 65
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
6 ABSTRAK
Gugatan Class Action atau Gugatan Perwakilan Kelompok merupakan fenomena yang menarik dalam perkembangan hukum di Indonesia Gugatan Class Action dalam terminologi hukum didefinisikan sebagai prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Keberadaan dan eksistensi Class Action dalam instrumen hukum di Indonesia diakui setelah berlakunya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meski hal itu masih terbatas pada masalah-masalah lingkungan hidup. Namun keberadaan UU ini menjadi tonggak bagi pengakuan Class Action di Indonesia. Selain dalam bidang Lingkungan Hidup, pada tahun 1999 eksistensi Class Action. kembali diakui dengan diundangkannya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Mengenai prosedur acara Class Action telah diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok ( Class Action). Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum skunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemakaian instrument hukum class action dalam proses ganti rugi untuk perkara-perkara korupsi. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum perdata khususnya yang terkait dengan penggunaan insturmen gugatan class action dalam proses ganti rugi untuk perkaraperkara korupsi. Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (Library Research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan dan bahanbahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Kemungkinan penggunaan instrumen gugatan Class Action dalam rangka proses ganti rugi untuk kasus-kasus korupsi di Indonesia dalam UU No. 28 tahun 1999 maupun UU No 31 Tahun 1999, meski bersifat limitatif telah memberikan peluang terlibatnya peran serta masyarakat atau partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindakan pidana korupsi. Kedua undang-undang anti KKN tersebut tidak secara rinci menerangkan upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan sama sekali tidak mengatur tentang keterlibatan masyarakat atau organisasi masyarakat/LSM untuk mengajukan Class Action ataupun Legal Standing dalam kasus-kasus korupsi. Kasus-kasus korupsi seperti dalam perkara Jamsostek, Kasus Bulog, Kasus penyalahgunaan dana JPS sangat potensial untuk diajukan melalui gugatan Class Action.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
7 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gugatan Class Action atau Gugatan Perwakilan Kelompok merupakan fenomena yang menarik dalam perkembangan hukum di Indonesia. Masyarakat mulai melihat, bahwa Class Action dapat digunakan sebagai salah satu upaya alternatif hukum dalam memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya. Sebuah model gerakan advokasi baru di Indonesia. Beberapa tahun terakhir, banyak kasus yang diajukan ke pengadilan melalui gugatan Class Action. Tentunya masih diingat, ketika 15 orang warga yang mengatasnamakan seluruh warga DKI Jakarta melakukan gugatan class action kepada Presiden RI, Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Jawa Barat akibat banjir yang melanda Jakarta. Atau perkara gugatan Class Action sembilan konsumen elpiji se-Jabotabek kepada Pertamina atas kenaikan harga elpiji. Di Bogor, masyarakat melakukan gugatan class action atas penggalian situs Batu Tulis. Gugatan class action juga pernah dilakukan atas pembangunan “Sport Mall” di Kelapa Gading. Kasus terbaru adalah gugatan Class Action dari beberapa orang yang mengatasnamakan rakyat Indonesia atas kenaikan harga BBM 1. Dalam terminologi hukum, gugatan Class Action didefinisikan sebagai prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Sesungguhnya gugatan class
1
Emerson Yuntho, Divisi Hukum dan monitoring Peradilan ICW Jakarta, Class Action untuk Kasus Korupsi, diakses dari situs : http://www.antikorupsi.org, 30 Januari 2007, hal. 3 Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
8 action merupakan suatu prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural terhadap satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai penggugat. Tujuannya untuk memperjuangkan kepentingan para penggugat itu sendiri dan sekaligus mewakili kepentingan puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan orang lain yang mengalami penderitaan atau kerugian yang sama Kelebihannya, gugatan class action ini menjadikan proses berperkara lebih efisien, biaya lebih ekonomis, mencegah pengulangan proses perkara dan mencegah putusan-putusan yang berbeda atau putusan yang tidak konsisten. Gugatan Class Action di Indonesia sudah dimulai pada 1987 dalam Kasus RO Tambunan melawan Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors yang diajukan di PN Jakarta Pusat dan gugatan Class Action yang diajukan oleh Mochtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1988 dalam kasus Demam Berdarah. Namun karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Class Action, kedua kasus tersebut ditolak oleh hakim 2. Di Inggris, pengaturan Class Action telah dimulai pada 1873 berdasarkan Supreme Court of Judicatur Act 1873 yang diperbaruhi tahun 1965 dalam bentuk Supreme Court 1965. Di Canada sudah dimulai tahun 1881, yang diatur dalam The Ontario Judicatur Act 1881, Di Amerika Serikat Class Action dimulai tahun 1912 dalam US Federal Equaty Rule 1912 yang kemudian diperbaharui lagi pada tahun 1966. Peraturan hukum positif di Indonesia baru mengakui gugatan Class Action setelah diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meski hal itu masih terbatas pada masalah-masalah lingkungan hidup. Namun keberadaan UU ini menjadi tonggak bagi pengakuan Class Action di Indonesia. Selain 2
Ibid, hal. 6.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
9 dalam bidang Lingkungan Hidup, pada tahun 1999 eksistensi Class Action. kembali diakui dengan diundangkannya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Mengenai prosedur acara Class Action telah diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action). Baik dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme maupun UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, meski bersifat limitatif telah memberikan peluang terlibatnya peran serta masyarakat atau partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kedua undang-undang anti KKN tersebut tidak secara rinci menerangkan upayaupaya apa saja yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan sama sekali tidak mengatur tentang keterlibatan masyarakat atau organisasi masyarakat/LSM untuk mengajukan Class Action ataupun Legal Standing dalam kasus-kasus korupsi. Kasus-kasus korupsi seperti dalam perkara Jamsostek, Kasus Bulog, Kasus penyalahgunaan dana JPS sangat potensial untuk diajukan melalui gugatan Class Action 3. Ada beberapa alasan yang dapat memperkuat argumen bahwa Class Action dalam kasus korupsi dapat digunakan.
Salah satu alasan dapat digunakannya
insturmen Class Action untuk kasus korupsi, karena korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga penangulangannya pun harus menggunakan cara-cara yang luar biasa pula. Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sedemikian sistematik dan meluas, terjadi hampir disemua lingkungan yudikatif,
3
Sundari, Pengajuan Gugatan secara Class Action (Suatu Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia), Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2002, hal. 10. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
10 eksekutif dan legislatif. Bukan hanya merupakan ancaman dan serangan yang merugikan keuangan negara, akan tetapi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Sehingga korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan, sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Cara–cara pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan pendekatan yang “konvensional” terbukti tidak berhasil dan mengecewakan. Penerapan Class Action terhadap kasus-kasus korupsi merupakan salah satu cara yang luar biasa dan khusus dalam penanggulangan korupsi4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pada penulisan skripsi ini penulis mencoba untuk membuat suatu analisa yuridis mengenai kemungkinan penggunaan insturmen Class Action yang merupakan gugatan perwakilan masyarakat terhadap kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Karena banyak kita lihat kasus-kasus korupsi yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas. Selanjutnya beberapa kasus korupsi memenuhi syarat-syarat diajukannya class action. Dalam pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002 menyebutkan suatu gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan cara Class Action apabila jumlah anggota kelompok sedemikan banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-diri dalam satu gugatan, terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat subtansial serta adanya kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota kelompok.
B. Rumusan Permasalahan Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang akan saya bahas di dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut : 4
Ibid, hal. 4
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
11 1. Bagaimana Prosedur Pengajuan Gugatan Class Action, yang meliputi Dasar Hukum, Syarat-Syarat Pengajuan Gugatan dan Prosedur Pengajuan Gugatan Class Action. 2. Bagaimana keberadaan dan eksistensi Class Action di dalam instrumen hukum di Indonesia. 3. Bagaimana kemungkinan penggunaan instrumen gugatan Class Action dalam rangka proses ganti rugi untuk kasus-kasus korupsi di Indonesia.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini secara singkat, adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui Proses Pengajuan Gugatan Class Action. 2. Untuk mengetahui keberadaan dan eksistensi Class Action di dalam instrumen hukum di Indonesia. 3. Untuk mengetahui kemungkinan penggunaan instrumen gugatan Class Action dalam rangka proses ganti rugi untuk kasus-kasus korupsi di Indonesia. Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk : a. Manfaat secara teoritis. Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus
menambah khasanah ilmu pengetahuan dan
literatur dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan instumrent gugatan Class Action dalam rangka proses ganti rugi untuk kasus-kasus korupsi di Indonesia. b. Manfaat secara praktis
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
12 Secara praktis
penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi
pengetahuan tentang penggunaan instumrent gugatan Class Action dalam rangka proses ganti rugi untuk kasus-kasus korupsi di Indonesia. Seperti yang diketahui bersama bahwa instrumen gugatan Class Action ini dapat dipakai untuk ganti rugi kasus-kasus korupsi, karena korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga penangulangannya pun harus menggunakan cara-cara yang luar biasa pula. Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sedemikian sistematik dan meluas, terjadi hampir disemua lingkungan yudikatif, eksekutif dan legislatif. Bukan hanya merupakan ancaman dan serangan yang merugikan keuangan negara, akan tetapi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Sehingga korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan, sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes).
D. Keaslian Penulisan Pembahasan skripsi ini dengan judul : “Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Prosesganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia” adalah masalah merupakan wacana yang sebenarnya telah lama didengungkan. Pemakaian instrumen gugatan Class Action ini mengingat lamanya proses penyelesaian kasus korupsi bergulir dan diselesaikan oleh pengadilan, sedangkan kerugian yang ditimbulkan oleh kasus-kasus korupsi itu sudah terjadi dan menimbulkan kerugian baik terhadap negara maupun masyarakat. Oleh karenanya gugatan perwakilan (Class Action) oleh sekelompok masyarakat ini bisa dipakai untuk menggugat para tergugat membayar ganti rugi terhadap kerugian yang timbul akibat perbuatannya. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
13 Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Class Action Definisi-definisi tentang Class Action yang dapat dikemukakan, antara lain 5 : a. Meriam Webster Colegiate Dictionary Dalam Meriam Webster Colegiate Dictionary edisi ke-10 tahun 1994 disebutkan yang dimaksud class action : a legal action under taken by one or more plaintiffs on behalf of themselves and all other persons havings an identical interest in alleged wrong. (Class action adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mewakili kelompok besar yang mempunyai kepentingan yang sama). b. Black’s law dictionary Class action adalah sekelompok besar orang yang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut mewakili kekompok besar orang tersebut tanpa perlu menyebut satu peristiwa satu anggota yang diwakili. Glorilier Multi Media Encyclopedia Class action adalah gugatan yang diajukan oleh seseorang atau lebih anggota kelompok masyarakat mewakili seluruh anggota kelompok masyarakat. c. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
5
Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2005, hal. 1-2. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
14 Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dimaksud class action adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. d. PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Di Indonesia terminologi class action diubah menjadi Gugatan Perwakilan Kelompok. PERMA No. 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. e. Mas Achmad Santosa menyebutkan Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak, misalnya satu atau dua orang) sebagai perwakilan kelas (class repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members . Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Class Action adalah suatu gugatan perdata yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok yang dirugikan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan karena adanya kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dengan kelompok yang diwakili. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
15 2. Pengertian Korupsi dan Tindak Pidana Korupsi Dari segi semantik, "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersamasama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya. Secara hukum pengertian "korupsi" adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Masih banyak lagi pengertian-pengertian lain tentang korupsi baik menurut pakar atau lembaga yang kompeten 6. Di dalam UU No. 31 tahun 1999
jo UU No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur sebanyak 13 pasal tentang korupsi. Pasal-pasal tersebut telah menerangkan secara terperinci mengenai perubatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001, korupsi tindakan
yang
didefinisikan
melawan/melanggar
sebagai hukum
suatu dengan
menyalahgunakankewenangan/kesempatan/sarana yang ada pada seseorang untuk
karena
memperkaya
sehingga
jabatan/kedudukannya diri
(abuse
sendiri/orang
menimbulkan
kerugian
of
power)
lain/korporasi keuangan
/kekayaan/perekonomian negara.
6
Pengertian atau Definisi Korupsi, diakses dari situs : http://www.transparancy.or.id, tanggal 26 Maret 2007, hal. 1 Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
16 Pengertian lain tentang korupsi, adalah bahwa korupsi diartikan sebagai sebagian
kecil
dari
Fraud
(penyimpangan).
Fraud
menurut
ACFE
(Association of Certified Fraud Examiner) dalam Report to the Nation on Occupation Fraud & Abuse 2002, diartikan sebagai
7
: "the
use
of
one's
occupation
for
personal
enrichment though the deliberate misuse or misaplication of
the
employing
Definisi
organization's
memberikan
pengertian
penyalahgunaan asset berdasarkan
resources bahwa
or
assets".
korupsi
adalah
wewenang/jabatan untuk
memperkaya diri sendiri. Fraud dapat terjadi dalam berbagai bentuk, menurut ACFE ada beberapa hal yang bisa dikelompokkan ke dalam fraud: a.
Asset
missapropriation
penyalahgunaan/pencurian
aset
yang atau
harta
meliputi pers
atau
pihak lain. b. Fraudulent statement merupakan tindakan yang dilakukan oleh
pejabat
(Financial /menutupi
pers
untuk
engineering) hal
merekayasa untuk
sebenarnya,
laporan
memperoleh
atau
dapat
keuangan
keuntungan dianalogikan
dengan dengan window dressing.
7
Holid Azhari, Definisi Korupsi, diakses dari situs : http://www.mail-archive.com, tanggal 29 April 2005, hal. 2 Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
17 c.
Corruption
:
termasuk
suap,
conflict
of
interest,
karena
lemahnya
ilegal comission. penyebab fraud secara umum: 1).
Tekanan/kebutuhan.
2).
Kesempatan.
3).
Pembenaran
(rasionalisasi)
internal control dan penyimpangan analitis. Selanjutnya yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah : a). Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. b). Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999). Sedangkan yang dimaksud dengan Keuangan Negara dalam undang-undang ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena 8 : (1). Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. (2). Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan
8
Ibid, hal. 5
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
18 Perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
F.
Metode Penelitian
1.
Sifat/Bentuk Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah
pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum skunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemakaian instrument hukum class action dalam proses ganti rugi untuk perkara-perkara korupsi. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum perdata khususnya yang terkait dengan penggunaan insturmen gugatan class action dalam proses ganti rugi untuk perkaraperkara korupsi. 2. D a t a Bahan atau data yang diteliti berupa data skunder yang terdiri dari : a. Bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas kerja. b. Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. 3.
Tehnik Pengumpulan Data Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka
penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (Library Research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku,
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
19 majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan dan bahanbahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.
G. Sistematika Penulisan Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih mengarahkan pembaca, maka berikut di bawah ini penulis membuat sistematika penulisan/gambaran isi skripsi ini sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Keaslian Penulisan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, sedikit Tinjauan Kepustakaan dan diakhiri dengan Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI INSTRUMEN HUKUM CLASS ACTION DI INDONESIA Pada bab ini dibahas mengenai Pengertian Class Action, Unsur-Unsur dan Persyaratan Class Action, Jenis-Jenis Class Action., Aturan Hukum mengenai Class Action di Indonesia dan Eksistensi Class Action .di Berbagai Negara
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
20 BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI GANTI RUGI KASUS-KASUS KORUPSI DI INDONESIA Pada bab ini dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan Pengertian dan Bentuk-Bentuk Ganti Rugi, Ganti Rugi di dalam KUHPerdata dan Ganti Rugi Menurut Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan TUN
BAB IV
TINJAUAN INSTRUMEN
YURIDIS GUGATAN
PROSES GANTI
TERHADAP CLASS
PENGGUNAAN
ACTION
DALAM
RUGI KASUS-KASUS KORUPSI DI
INDONESIA Pada bab ini dibahas mengenai Gugatan Class Action Untuk KasusKasus Korupsi, Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi, Prosedur Penggunaan Class Action di Indonesia dan Beberapa permasalahan penerapan Class Action di Indonesia. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada Bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
21 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI INSTRUMEN HUKUM CLASS ACTION DI INDONESIA C. Pengertian Class Action. Ada beberapa definisi yang mencoba menjelaskan istilah class action, baik menurut kamus hukum, peraturan perundangan maupun dari ahli hukum, yakni : 1. Meriam Webster Colegiate Dictionary Dalam Meriam Webster Colegiate Dictionary edisi ke-10 tahun 1994 disebutkan yang dimaksud class action : a legal action under taken by one or more plaintiffs on behalf of themselves and all other persons havings an identical interest in alleged wrong 9. Definisi menyatakan bahwa class action adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh sekelompok orang
yang mewakili kelompok besar yang
mempunyai kepentingan yang sama. 2. Black’s law dictionary Class action adalah sekelompok besar orang yang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut mewakili kekompok besar orang tersebut tanpa perlu menyebut satu peristiwa satu anggota yang diwakili 10. 3.. Glorilier Multi Media Encyclopedia Class action adalah gugatan yang diajukan oleh seseorang atau lebih anggota kelompok masyarakat mewakili seluruh anggota kelompok masyarakat 11. 4. UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Di dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dalam Pasal 71 menyatakan bahwa : 9 10 11
Emerson Yuntho, Op.cit, hal. 4. Ibid, hal. 5 Ibid, hal. 7.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
22 (1). Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat. (2). Hak mengajukan…………….dan seterusnya. Memang di dalam ketiga UU tersebut, yaitu UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tidak ada mengatur mengenai masalah acara atau proses memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang diajukan oleh perwakilan kelompok tersebut. 5. PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Di Indonesia terminologi class action diubah menjadi Gugatan Perwakilan Kelompok. PERMA No. 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Seperti dimaklumi, berdasarkan asas peradilan yang sederhana, murah dan cepat, tidaklah tepat apabila perkara yang fakta dan dasar hukumnya dialami sekelompok orang harus diajukan oleh masing-masing anggota kelompok.
D. Persyaratan Class Action. Dari beberapa definisi class action maka didapatkan unsur-unsur class action terdiri dari 12: 1. Gugatan secara perdata 12
Ibid, hal. 8.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
23 2. Wakil Kelompok (Class Representative) Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members). Ada persyaratan–persyaratan yang harus dipenuhi dalam menggunakan prosedur class action. Tidak terpenuhi persyaratan ini dapat mengakibatkan gugatan yang diajukan tidak dapat diterima. Di beberapa negara yang menggunakan prosedur class action pada umumnya memiliki persyaratan umum yang sama yaitu : a. Adanya sejumlah anggota yang besar (Numerosity) Jumlah anggota kelompok (class members) harus sedemikan banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendirisendiri (individual). b. Adanya kesamaan (Commonality) Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakilili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members). Wakil Kelompok dituntut untuk menjelaskan adanya kesamaan ini. c. Sejenis (Typicality) Tuntutan (bagi plaintiff Class Action) maupun pembelaan (bagi defedant Class Action) dari seluruh anggota yang diwakili (class members) haruslah sejenis. Pada umumnya dalam class action, jenis tuntutan yang dituntut adalah pembayaran ganti kerugian. d. Wakil kelompok yang jujur (Adequacy of Repesentation) Wakil kelompok harus memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakili. Untuk menentukan apakah wakil kelompok memiliki kriteria Adequacy of Repesentation tidaklah mudah, hal ini sangat Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
24 tergantung dari penilaian hakim. Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Namun, dalam hal wakil kelompok mewakilkan proses beracara kepada pengacara, maka wakil kelompok harus memberikan surat kuasa khusus kepada pengacara pilihannya. Terdapat beberapa keuntungan/manfaat yang dapat diperoleh apabila mengajukan gugatan menggunakan prosedur class action. John Basten Q. C melihat ada lima manfaat yang dapat diperoleh yaitu 13 : 1) Mengatur penyelesaian perkara yang menyangkut banyak orang yang tidak dapat diajukan secara individual. 2) Memastikan bahwa tuntutan-tuntutan untuk ganti kerugian yang kecil serta dana yang terbatas diperlukan dengan sepantasnya. Sedangkan Ontario Law Reform Commission melihat ada tiga manfaat yang dapat diperoleh dari prosedur class action, yakni : a) mencapai peradilan yang lebih ekonomis, b) memberi peluang yang lebih besar ke pengadilan dan c) merubah perilaku yang tidak pantas dari para pelanggar atau orang-orang yang potensial melakukan pelanggaran. Secara umum ada tiga manfaat yang dapat diperoleh apabila menggunakan prosedur class action, yaitu 14: (1). Proses berperkara menjadi sangat ekonomis (Judicial Economy) Bukan rahasia lagi bagi masyarakat bahwa berperkara di pengadilan akanmemakan biaya yang
13
Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia), Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002, hal. 20. 14 Indra Soerjanto, Pengertian Umum, Manfaat dan Dasar Hukum Class Action di Indonesia, bahan makalah tanggal 6 September 2002, hal. 12. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
25 tidak sedikit. Bagi pihak penggugat, dengan melalui mekanisme class action maka biaya perkara dan biaya untuk pengacara menjadi lebih murah dibandingkan dengan dilakukan gugatan secara individu, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan besarnya ganti kerugian yang akan diterima. Tidak sedikit pihak (individu) yang
mengurungkan
niatnya
untuk
menyelesaikan
perkaranya,
dengan
mengajukan gugatan ke pengadilan disebabkan karena mahalnya biaya perkara dan biaya pengacara. Manfaat secara ekonomis tidak saja dirasakan oleh penggugat namun juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara class action, pihak tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan dari pihak-pihak yang dirugikan. Sedangkan bagi pengadilan sendiri sangatlah tidak ekonomis jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu persatu dan terus menerus serta dalam jumlah yang cukup besar. (2). Akses terhadap keadilan (Access to Justice) Mendorong bersikap hati-hati (Behaviour Modification) dan merubah sikap pelaku pelanggaran. Pengajuan gugatan secara class action dapat “menghukum” pihak yang terbukti bersalah, bertanggung jawab membayar ganti kerugian dengan jumlah yang diperuntukkan untuk seluruh penderita korban (dengan cara yang lebih ringkas) akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Hal ini dapat mendorong setiap pihak atau penangung jawab usaha (swasta atau pemerintah) untuk bertindak ekstra hati-hati. Selain itu dengan sering diajukannya gugatan secara class action diharapkan merubah sikap pelaku pelanggaran sehingga menumbuhkan sikap jera bagi mereka yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
26 Meskipun ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dalam mengajukan gugatan secara class action, namun tidak berarti tidak memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan dari prosedur class action adalah 15: (a). Kesulitan dalam mengelola. Semakin banyak jumlah anggota kelompok, semakin sulit mengelola gugatan class action. Kesulitan yang terjadi biasanya pada saat pemberitahuan dan pendistribusian ganti kerugian. Jumlah anggota kelompok yang banyak dan menyebar di beberapa wilayah yang tidak sama akan menyulitkan dalam hal pemberitahuan dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apabila gugatan dimenangkan dan ganti rugi diberikan, bukan tidak mungkin jumlah ganti kerugian tidak sebanding dengan biaya pendistribusiannya. (b). Dapat menyebabkan ketidakadilan. Sedangkan apabila prosedur yang dipilih untuk menentukan keanggotaan adalah dengan prosedur opt out maka tidak ada pernyataan opt out dari orang yang potensial menjadi anggota kelompok, hanya karena tidak tahu adanya pemberitahuan akan
mengakibatkan
mereka
menjadi
anggota
kelompok
dengan
segala
konsekuensinya. Konsekuensinya adalah mereka akan terikat dengan putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Yang menjadi persoalan adalah apabila gugatan dikalahkan atau digugat balik maka anggota kelompok juga harus menanggung akibatnya. (c). Dapat menyebabkan kebangkrutan pada tergugat. Pemberitaan media massa dan adanya pemberitahuan gugatan class action di media massa dapat menjadi serangan bagi kedudukan atau kekuasaan pihak tergugat. Biasanya pembaca media akan mempunyai prasangka yang tidak baik. Padahal belum
15
Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata, Class Action serta Arbitrase & Alternatif, PT. Grafitri, Bandung, 2003, hal. 35. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
27 tentu tergugat adalah pihak yang bersalah karena benar tidaknya tergugat masih harus dibuktikan oleh pengadilan.
E. Jenis-Jenis Class Action. Berikut ini kita lihat beberapa jenis class action, yaitu 16: 1. Plaintiff Class Action dan Defendant Class Action Defendant class action adalah pengajuan gugatan secara perwakilan oleh seorang atau lebih yang ditunjuk untuk membela kepentingan sendiri dan kepentingan kelompok dalam jumlah yang besar. Negara-negara seperti Inggris, Australia, India, Amerika Serikat dan Kanada serta Indonesia menggunakan Defendant class action. 2. Public Class Action dan Private Class Action Hybrid class action adalah class action dimana hak yang dituntut oleh suatu kelompok orang ada beberapa tetapi objek gugatannya adalah untuk memperoleh putusan hakim tentang tuntutan terhadap suatu barang atau hak milik tertentu dari tergugat. Contoh kasus class action jenis ini adalah ada desain setir mobil yang berbentuk tanduk rusa yang membahayakan para konsumennya apabila ada kecelakaan. Sudah banyak korban yang mengalami kecelakaan akibat tertusuk setir berbentuk tanduk rusa tersebut. Oleh karena itu baik pengemudi yang telah atau belum mengalami kecelakaan dapat mengajukan gugatan ke perusahaan setir mobil tersebut, dengan beberapa tuntutan : ada yang menuntut supaya diganti dengan desain
16
Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action), Jakarta, ICEL, 1997, hal. 51. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
28 yang aman, ada yang menuntut ganti setir yang lain yang aman, dan ada yang menuntut ganti rugi berupa uang karena telah mengalami kecelakaan. Spourious class action adalah class action dimana beberapa kepentingan dari para anggota kelompok yang tidak saling berhubungan satu sama dengan yang lain dalam permasalahan yang sama terhadap seorang tergugat. Contoh gugatan ini adalah misalnya adanya permasalahan dari konsumen suatu perumahan. Para konsumen Blok I mengeluhkan belum adanya sarana air bersih seperti yang dijanjikan pengembang. Para konsumen Blok II mengeluhkan tidak adanya taman bermain dan para konsumen Blok III mengeluhkan tidak ada sarana jalan yang baik. Para konsumen Blok I , II, II dapat mengajukan gugatan class action berdasarkan permasalahan yang dialaminya 17. Namun setelah ketentuan dalam Federal Rule of Civil Procedure tahun 1938 direvisi pada tahun 1966, pembagian tersebut ditiadakan karena sering kali membingungkan dalam penerapannya. Namun meski dalam sistem hukum federal telah ditiadakan, ada beberapa negara bagian yang masih menganutnya, meskipun tidak semua jenis. Negara bagian Lousiana masih menganut True class action dan negara bagian Georgia masih menganut Spurious class action. Negara-negara yang tidak menganut sistem hukum Common Law tidak mengenal prosedur class action, namun mereka mempunyai suatu prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan sejumlah besar orang secara perwakilan. Berikut adalah gugatan–gugatan yang berdimensi kepentingan umum di luar class action : a. Actio Popularis Menurut Gokkel, actio popularis adalah gugatan yang dapat diajukan oleh setiap orang, tanpa ada pembatasan, dengan pengaturan oleh negara.
17
Menurut
Ibid, hal. 15
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
29 Kotenhagen-Edzes, dalam actio popularis setiap orang dapat menggugat atas nama kepentingan umum dengan menggunakan pasal 1401 Niew BW (pasal 1365 BW) 18. Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa actio popularis adalah suatu gugatan yang dapat diajukan oleh setiap orang terhadap suatu perbuatan melawan hukum, dengan mengatasnamakan kepentingan umum, berdasarkan peeraturan perundang-undangan yang mengatur adanya prosedur tersebut. Dalam Black’s Law Dictionary, public interest atau kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat luas atau warga negara secara umum yang berkaitan dengan negara atau pemerintah. Namun pengertian yang lebih mudah mengenai kepentingan mumum adalah kepentingan yang harus didahulukan dari kepentingan pribadi atau individu atau kepentingan lainnya, yang meliputi kepentingan bangsa dan negara, pelayanan umum dalam masyarakat luas, rakyat banyak dan atau pembangunan di berbagai bidang 19. Penyelenggaraan kepentingan umum merupakan tugas dari pemerintah, sehingga gugatan secara actio popularis pada umumnya ditujukan kepada pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pelayanan umum juga dilaksanakan oleh pihak swasta, sehingga gugatan actio popularis dapat diajukan pula kepada swasta yang ikut menyelenggarakan kepentingan umum tersebut. Actio Popularis memiliki kesamaan dengan class action, yaitu sama-sama merupakan gugatan yang melibatkan kepentingan sejumlah besar orang secara perwakilan oleh seorang atau lebih. Yang membedakan dengan class action adalah dalam actio popularis yang berhak mengajukan gugatan adalah setiap orang atas dasar bahwa ia adalah anggota masyarakat tanpa mensyaratkan bahwa ia adalah orang yang
18 19
Emerson Yuntho, Op.cit, hal. 23. Ibid, hal. 30.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
30 menderita kerugian secara langsung. Dalam class action tidak setiap orang dapat mengajukan gugatan, melainkan hanya satu atau beberapa orang yang merupakan anggota kelompok yang mengalami kerugian secara langsung. Kepentingan yang dituntut dalam actio popularis adalah kepentingan umum yang dianggap kepentingan setiap anggota masyarakat juga, sedangkan dalam class action kepentingan yang dituntut adalah kepentingan yang sama dalam suatu permasalahan yang menimpa kelompok tersebut. b. Citizen Law Suit Prinsip actio popularis dalam sistem hukum civil law sama denga prinsip citizen law suit dalam sistem hukum common law, misalnya dalam gugatan terhadap pelanggaran pencemaran lingkungan yang diajukan oleh warga negara, lepas apakah warga negara tersebut mengalami secara langsung atau tidak langsung dari pencemaran tersebut. Hal ini dikarenakan masalah perlindungan lingkungan merupakan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat luas, maka setiap warga negara berhak menuntutnya. c. Groep Acties Tidak sedikit praktisi hukum yang mencampuradukkan antara pengertian gugatan perwakilan kelompok (class action) dan konsep hak gugat lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sesungguhnya gugatan perwakilan kelompok /class action dan hak gugat LSM memiliki perbedaan. Gugatan perwakilan kelompok terdiri dari unsur wakil kelas yang berjumlah satu orang atau lebih (class representative) dan anggota kelas yang pada umumnya berjumlah besar (class members). Baik wakil kelas
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
31 maupun anggota kelas pada umumnya merupakan pihak korban atau yang mengalami kerugian nyata. 20 Sedangkan dalam konsep Legal Standing, LSM sebagai penggugat bukan sebagai pihak yang mengalami kerugian nyata. Namun karena kepentingannya ia mengajukan gugatannya. Misalkan dalam perkara perlindungan lingkungan hidup, LSM sebagai penggugat mewakili kepentingan perlindungan lingkungan hidup yang perlu diperjuangkan karena posisi lingkungan hidup sebagai ekosistem sangat penting. Lingkungan Hidup tentu tidak dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri karena sifatnya yang in-animatif (tidak dapat berbicara) sehingga perlu ada pihak yang memperjuangkan. Pihak yang dapat mengajukan class action dapat orang perorangan atau beberapa orang atau kelompok orang yang mewakili beberapa orang dalam jumlah yang banyak. Sedangkan pihak yang dapat mengajukan legal standing hanyalah LSM / Kelompok Organisasi yang memenuhi syarat-syarat. Perbedaan lainnya adalah tuntutan ganti rugi dalam class action pada umumnya adalah berupa ganti rugi berupa uang, sedangkan dalam legal standing tidak dikenal tuntutan ganti kerugian uang. Ganti rugi dapat dimungkinkan sepanjang atau terbatas pada ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh organisasi tersebut. Sedangkan dalam UU Kehutanan, Legal Standing diistilahkan sebagai gugatan perwakilan oleh organisasi bidang kehutanan. Definisi secara bebas dari legal standing adalah suatu tata cara pengajuan gugatan secara perdata yang dilakukan oleh satu atau lebih lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat atas suatu tindakan atau perbuatan atau keputusan orang perorangan atau lembaga atau
20
Mas Achmad Santosa, Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Enviromental Legal Standing), Jakarta, ICEL , 1997, hal. 29. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
32 pemerintah yang telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Tidak semua organisasi atau LSM yang dapat mengajukan hak gugat LSM (legal standing). Untuk bidang Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa hanya organisasi Lingkungan Hidup /LSM Lingkungan Hidup yang memenuhi beberapa persyaratan yang dapat mengajukan gugatan Legal Standing, yaitu 21 : 1). Berbentuk badan hukum atau yayasan; 2).Dalam anggaran dasar
organisasi
lingkungan
hidup
yang
bersangkutan
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; 3). Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Tidak setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan lingkungan hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan tertentu. Dengan adanya persyaratan tersebut, maka secara selektif keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui memiliki ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup ke pengadilan, baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata usaha negara, tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan dalam memeriksa dan mengadili perkara yang dimaksud. Pada lingkup Perlindungan Konsumen, gugatan pelanggaran perilaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Dalam gugatan pada
21
Koesnadi Hardjaseomantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi keenam belas, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999, hal. 401.
ketujuh, Cetakan
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
33 lingkungan Hidup, hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil 22. F. Aturan Hukum mengenai Class Action di Indonesia. 1. UU No. 33 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam pasal 37 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Dalam penjelasan pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan pada ayat ini adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. 2. UU No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 46 ayat 1 huruf b UU No. 8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 46 ayat 1 Huruf b menjelaskan bahwa Undang-undang ini (Perlindungan Konsumen) mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi. 3. UU No. 19 Tahun 1992 tentang Jasa Konstruksi
22
Sudaryatmo, Seri Panduan Konsumen (Memahami Hak Anda Sebagai Konsumen), Jakarta, Penerbit Pirac , 2001, hal. 31. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
34 Dalam pasal 38 ayat 1 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara : a. orang perorangan; b. kelompok orang dengan pemberian kuasa; c. kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan. Sedangkan dalam penjelasan pasal 38 ayat (1) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hak mengajukan gugatan perwakilan” adalah hak sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum, dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Dalam pasal 39 UU No. 18 Tahun 1999 disebutkan bahwa gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (1) adalah tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan pasal 39 UU No. 18 Tahun 1999 disebutkan bahwa khusus gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat tidak dapat berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu : 1). Memohon kepada pengadilan agar salah satu pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan kewajibannya atau tujuan dari kontrak kerja konstruksi;
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
35 2) Menyatakan seseorang (salah satu pihak) telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan bersama dalam kontrak kerja konstruksi; 3). Memerintahkan seseorang (salah satu orang) yang melakukan usaha/kegiatan jasa konstruksi untuk membuat atau memperbaiki atau mengadakan penyelamatan bagi para pekerja jasa konstruksi. 4.
UU No. 91 Tahun 1992 tentang Kehutanan Pengaturan mengenai gugatan class action dalam UU No. 91 Tahun 1992
tentang Kehutanan diatur dalam Pasal 71 ayat 1 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat. 5. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 3 Tahun 2001 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok PERMA ini mengatur mengenai prosedur atau tata cara gugatan perwakilan kelompok (Class Action). PERMA ini terdiri dari enam bab. Bab I mengenai ketentuan umum. Dalam bab ini mengatur mengenai definisi beberapa elemen penting dari gugatan perwakilan kelompok seperti definisi dari gugatan perwakilan kelompok, wakil kelompok, anggota kelompok, sub kelompok, pemberitahuan dan pernyataan keluar. Bab II mengenai Tata Cara dan Persyaratan gugatan perwakilan kelompok. Dalam bab ini diatur masalah kriteria gugatan perwakilan kelompok, persyaratan formal, surat kuasa, penetapan hakim dikabulkannya/ditolaknya gugatan perwakilan kelompok, penyelesaian perdamaian. Bab III mengenai Pemberitahuan/ Notifikasi. Dalam bab ini diatur mengenai tata cara pemberitahuan bagi anggota kelompok, sehingga anggota kelompok dapat Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
36 menyatakan dirinya keluar keanggotaan apabila tidak menghendaki hak-haknya diperjuangkan melalui gugatan perwakilan kelompok serta sarana pemberitahuan. Bab IV mengenai Pernyataan Keluar. Di dalamnya dijelaskan bahwa hanya anggota kelompok yang ingin menyatakan dirinya keluar wajib memberitahukan secara tertulis dan bagi yang tetap ingin bergabung tidak perlu melakukan tindakan apa-apa. Bab V mengenai putusan. Putusan dalam gugatan perwakilan kelompok wajib mengatur hal-hal seperti jumlah ganti kerugian secara rinci, penentuan kelompok dan atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian. Bab VI mengenai Ketentuan Penutup. Dalam bab ini disebutkan bahwa ketentuan lain yang telah diatur dalam hukum acara perdata tetap berlaku di samping ketentuan dalam PERMA ini.
1.1. Periode sebelum adanya pengakuan class action. Sebelum tahun 1997, meskipun belum ada aturan hukum yang mengatur mengenai class action, namun gugatan class action sudah pernah dipraktekkan dalam dunia peradilan di Indonesia. Gugatan class action yang pertama di Indonesia dimulai pada tahun 1987 terhadap Kasus R.O. Tambunan melawan Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors. Perkara Bentoel Remaja yang diajukan di PN Jakarta Pusat.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
37 Menyusul kemudian Kasus Muchtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta & Kakanwil Kesehatan DKI (kasus Endemi demam Berdarah) di PN Jakarta Pusat pada tahun 1988 dan Kasus YLKI melawan PT. PLN Persero (kasus pemadaman listrik se-Jawa Bali tanggal 13 April 1997) pada tahun 1997 di PN Jakarta Selatan. Dalam gugatan Bentoel Remaja, Pengacara R.O. Tambunan mendalilkan dalam gugatannya bahwa ia tidak hanya mewakili dirinya sebagai orang tua dari anaknya namun juga mewakili seluruh generasi muda yang diracuni karena iklan perusahaan rokok Bentoel. Dalam kasus demam berdarah, pengacara Muchtar Pakpahan selaku penggugat mendalilkan bahwa ia bertindak untuk kepentingan diri sendiri sebagai korban wabah demam berdarah maupun mewakili masyarakat penduduk DKI Jakarta lainnya yang menderita wabah serupa. Dari ketiga kasus class action di atas sayangnya tidak ada satupun gugatan yang dapat diterima oleh pengadilan dengan pertimbangan : 1). Gugatan class action bertentangan dengan adagium hukum yang berlaku bahwa tidak ada kepentingan maka tidak aksi (point d’intetrest, point d’action). Hal ini diperkuat dalam yurisprudensi MA dalam putusannya pada tahun 1971 yang mengisyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang memiliki hubungan hukum. 2). Pihak penggugat tidak berdasarkan pada suatu Surat Khusus, dalam 123 HIR disebutkan bahwa untuk dapat mewakili pihak lain yang tidak ada hubungan hukum diperlukan suatu Surat Khusus.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
38 3). Belum ada hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai gugatan class action, baik soal definisi maupun prosedural mengajukan gugatan class action ke pengadilan 4). Bahwa class action lebih didominasi di negara yang menganut stelsel hukum Aglo Saxon, sementara tradisi hukum di Indonesia lebih dominann dipengaruhi oleh stelsel hukum eropa kontinental.
2.1. Periode setelah adanya pengakuan class action Class Action dalam Hukum Positif di Indonesia baru diberikan pengakuan setelah diundangkannya UU Lingkungan Hidup pada tahun 1997 kemudian diatur pula dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Kehutanan pada tahun 1999. Namun pengaturan Class Action hanya terbatas dan diatur dalam beberapa pasal saja. Selain itu ketiga UU tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur dan acara dalam gugatan perwakilan kelompok (Class Action). Sebelum tahun 2002, gugatan secara class action umumnya dilakukan tanpa adanya mekanisme pemberitahuan bagi anggota kelompok dan pernyataan keluar dari anggota kelompok. Gugatan secara class action dilaksanakan melalui prosedur yang sama dengan gugatan perdata biasa. Ketentuan yang secara khusus mengenai acara dan prosedur Class Action baru diatur pada tahun 2002 dengan dikeluarkannya PERMA No. I Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 mengatur tentang BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI GANTI RUGI KASUS-KASUS KORUPSI DI INDONESIA
A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Ganti Rugi
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
39 Pada prinsipnya ada tiga hal mendasar yang menyebabkan seseorang secara hukum mesti bertanggungjawab membayar nilai ganti rugi. Pertama karena kesalahan orang tersebut (Pasal 1365 KUH Perdata). Kedua, karena kelalaian orang tersebut (Pasal 1366 KUH Perdata). Dan ketiga, karena pertanggungjawaban tersebut telah diatur dengan undang-undang (misalnya: Pasal 43 ayat (1) UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan). Unsur
kesengajaan
bahkan
sama
sekali
tidak
berarti
untuk
pertanggungjawaban atas dasar undang-undang yang lazimnya mengenal apa yang dikenal sebagai pertanggungjawaban kualitatif (strict liability). Pertanggungjawaban seperti ini, pada dasarnya mewajibkan si ‘pelaku’ untuk mengganti kerugian yang timbul seperti yang tercantum dalam aturan undang-undang, baik dengan, atau tanpa kesalahan dari si pelaku. Bila memang kerugian tersebut timbul bukan akibat dari kesalahan pelaku, maka dari pihak pelakulah yang mesti membuktikan hal sebaliknya tersebut 23. Ketatnya aturan pertanggungjawaban ini biasanya berkaitan dengan kualitas yang disandang oleh pelaku, keuntungan yang mungkin dia dapat, atau adanya risiko yang dianggap menjadi tanggungjawab pelaku. Karenanya, penulis mempertanyakan maksud aturan pasal 43 ayat (1) UU No. 15/1992 berkaitan dengan bukti ‘kesalahan’ pengangkut. ‘Kesalahan’ di sini semestinya diartikan sebagai segala kejadian selain daya paksa (overmacht) dan atau selain akibat kesalahan pihak ketiga atau penggugat sendiri. Karena sudah selayaknya maskapai penerbangan melindungi kepentingan pengguna jasa layanan penerbangan. Bukankah mereka dalam kualitasnya sebagai penyedia jasa harus memastikan aman dan nyamannya jasa yang dia berikan.
23
Imam Nasima, Ganti Rugi terhadap http://www.kompas.com, tanggal 24 November 2005.
Korban,
diakses
dari
situs
:
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
40 Tuntutan pertanggungjawaban tersebut tentu saja membutuhkan penjelasan yang berbeda dari nilai ganti rugi tertentu yang ditetapkan dengan undang-undang. Bukankah kita tidak bisa mengatakan bahwa jika A adalah lima, maka 5 X B dengan sendirinya adalah dua puluh lima. Berikut beberapa bentuk ganti rugi dapat kita lihat, yaitu 24 : 1. Ganti rugi psikis Kalau kita lihat dalam sistem hukum Amerika, barangkali pendapat Lord Wensleydale di tahun 1861 dapat dijadikan penjelas. Beliau berpendapat: “Mental pain and anxiety, the law cannot value, and does not pretend to redress, when the unlawful act complained of causes that allone.” (ganti rugi atas cedera psikis pada mulanya hanya diakui dalam kaitannya dengan kerugian yang timbul akibat luka, cacat, atau cemarnya nama baik). Kerugian semacam ini disebut juga ‘parasitic damages’. Barulah di tahun 1948 ditetapkan dalam § 46 Restatement of Torts bahwa: “One who, without a privilege to do so, intentionally causes severe emotional distress to another is liable for such emotional distress and for bodily harm resulting from it. (ganti rugi psikis diberikan terhadap kerugian yang timbul akibat luka, cacat, atau cemarnya nama baik).” Ketentuan tersebutlah yang pada akhirnya menjadi pegangan hakim-hakim di Amerika untuk mengakui adanya ganti rugi psikis. Di Amerika sendiri dikenal sistem diagnosa yang bersumber pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders yang dikembangkan oleh American Psychiatric Association dan International Classificitasion of Diseases versi WHO, untuk menetapkan adanya gangguan psikis serius. Ini sehubungan dengan ketentuan di negara bagian Kansas, misalnya, bahwa yang bisa menjadi dasar tuntutan ganti rugi psikis adalah gangguan psikis serius, yaitu gangguan psikis yang terbatas pada: 24
Ibid, hal. 3
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
41 “…only highly unpleasant mental reactions such as fright, horror, grief, shame, embarrasment, anger, chagrin, disappointment, and worry.” (ganti rugi psikis diberikan terhadap gangguan psikis serius, seperti ketakutan, rasa malu, kekecewaan, kekhawatiran dan sebagainya). 2. Ganti rugi atas korban meninggal Tuntutan ganti rugi atas korban meninggal bukanlah tuntutan yang datang dari korban yang meninggal. Dengan kata lain, gugatan datang dari pihak yang mengalami gangguan psikis serius akibat meninggalnya korban dan berhubungan langsung dengan insiden yang terjadi--di Amerika disebut juga bystander. Ganti rugi psikis atas korban meninggal bagi ahli waris, keluarga, atau kerabat korban bukannya tidak kontroversial. Di sini setidaknya penulis mencoba mengutarakan satu hal mendasar sehubungan dengan keberlakuan moral dari ganti rugi seperti ini. Manusia pada dasarnya tidak ingin kehilangan orang yang dikasihinya. Bahkan kalaupun ganti rugi itu sebesar kekayaan Bill Gates, misalnya, secara hati nurani tidak akan cukup untuk mengganti hilangnya orang tersayang. Berapa, coba, nilai nominal orang yang anda kasihi? Dengan demikian, ganti rugi atas korban meninggal semestinya tidak dilihat sebagai nilai kompensasi, sebagaimana ganti rugi pada umumnya. Penjelas dari ganti rugi tersebut bisa ditemukan pada nilai kompensasi atas cedera psikis yang diderita pihak penggugat, atau setidaknya pengakuan salah dari pihak yang telah berbuat salah atau lalai (appeasement) sehingga mengakibatkan meninggalnya korban, dan bukan pada nilai kompensasi atas meninggalnya korban.
Meski begitu, gangguan psikis serius yang timbul akibat meninggalnya orang yang dikasihi, juga merupakan kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Di samping itu, Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
42 sebagaimana sudah penulis bahas dalam paragraf di atas, perkembangan ilmu dan teknologi diyakini telah dapat mengenali, sekaligus menjadi landasan akan adanya ‘cedera’ yang tak nampak ini. Oleh karena itu, hukum pertanggungjawaban mau tak mau harus dapat mengikuti perubahan cara pandang masyarakat tersebut. Namun demikian, sebagai fasilitator sekaligus mediator, hukum di samping harus dapat mengakomodir kepentingan korban tersebut, juga harus dapat melindungi kepentingan pihak tergugat. Dalam arti, seseorang wajib membayar ganti rugi pada orang lain, jika dan hanya jika dia mengakibatkan timbulnya kerugian pada orang tersebut (lihat juga konsep ‘harm principle’ John Stuart Mill dalam On Liberty). Karenanya, tuntutan dari pihak ke tiga (tak langsung mengalami insiden) biasanya mesti memenuhi beberapa syarat tertentu. Di dalam sistem hukum Amerika persyaratan tersebut beragam. Keberagaman tersebut, selain dipengaruhi keunikan setiap kasus, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: di negara bagian mana tuntutan ganti rugi diajukan, ideologi hakim bersangkutan, maupun komposisi juri terpilih. Namun, sebagai gambaran abstrak dari perdebatan yuridis yang akan lahir, sekaligus penutup tulisan ini, penulis akan menyebutkan beberapa hal yang mungkin menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan tuntutan ganti rugi psikis dari pihak ketiga. Dasar-dasar pertimbangan tersebut, atau yang dikenal sebagai basic principles of bystander recovery meliputi beberapa hal. Pertama, pihak ketiga harus berada di dekat atau pada tempat terjadinya insiden. Kedua, gangguan psikis yang timbul merupakan akibat dari menyaksikan sendiri insiden tersebut. Ketiga, pihak ketiga merupakan pasangan hidup atau masih saudara sampai derajat ke tiga dari korban meninggal. Keempat, setiap manusia pada umumnya mungkin dan dapat
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
43 membayangkan betapa parah dan mematikannya cedera yang didera korban. Kelima, gangguan psikis haruslah merupakan gangguan psikis serius.
B. Ganti Rugi di dalam KUHPerdata Belakangan ini cukup banyak aksi ganti rugi warga masyarakat terhadap pemerintah, karena dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum onrechtmatige overheids daad. Makin maraknya gugatan terhadap pemerintah itu menandakan adanya
kesadaran hukum warga masyarakat akan haknya dan keberanian untuk
menggapai keadilan melalui saluran hukum yang berlaku. Pejabat pemerintah yang digugat di pengadilan, tidak perlu menganggap sebagai tamparan yang merongrong kewibawaannya, tapi sebagai peringatan agar senantiasa berhati-hati dalam melaksanakan tugas. Perbuatan melanggar hukum yang dijadikan dasar menuntut ganti rugi pada umumnya disebutkan dalam pasal 1365 Kitab Undang-undang HukumPerdata (KUHPerdata), yang merupakan duplikasi pasal 1401 BW Belanda. Untuk memahami konsepsi "perbuatan melanggar hukum" itu hakim di Indonesia mengikuti paham yang dianut di negeri Belanda, dimana sejak tahun 1919 hingga kini berpegang pada putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 yang dikenal dengan arrest drukker. Menurut arrest tersebut, perbuatan melanggar hukum tidak lagi ditafsirkan secara sempit sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri maupun barang orang lain 25.
25
Riduan Syahrani, Perbuatan Melanggar Hukum oleh Penguasa, diakses dari situs : http://www.hukumonline.com, tanggal 4 April 2006. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
44 Khusus mengenai "perbuatan melanggar hukum oleh penguasa", dunia peradilan di Belanda sempat menganut ajaran yang membedakan antara perbuatan penguasa di bidang hukum publik dan hukum privat. Sehingga aksi ganti rugi karena kelalaian penguasa dalam melaksanakan tugasnya di bidang hukum publik dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Tetapi sejak putusan Hoge Raad 21 November 1924 yang masyhur dengan sebutan Ostermann arrest, ajaran yang memilah perbuatan penguasa tidak dipakai lagi. Hoge Raad di Belanda menganut asas pertanggungan jawab negara, tanpa membedakan perbuatan melanggar hukum privat atau hukum publik. Sama seperti warga biasa yang melanggar hukum pidana.
Atas dasar itulah Hoge Raad
membenarkan tuntutan ganti rugi Ostermann (seorang pedagang) yang gagal mengekspor barang dagangannya karena izin untuk itu tidak diberikan oleh pejabat bea dan cukai di Amsterdam. Padahal, izin ekspor tersebut tidak diberikan bukan berdasarkan undang-undang, tetapi sebaliknya bertentangan dengan undang-undang. Jadi penguasa dalam kasus ini disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukum (publik)-nya sendiri 26. Jika kelalaian penguasa dalam melaksanakan tugas di bidang hukum publik tidak dinyatakan sebagai perbuatan melanggar hukum, dan karenanya tidak dapat dituntut membayar ganti rugi berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, maka hukum akan kehilangan fungsinya yang ideal, sebagai sarana untuk memotivasi penguasa agar dapat melakukan "peran yang seharusnya". Dalam kaitan itu, tidak mustahil akan banyak warga masyarakat yang menderita kerugian karena kelalaian penguasa dalam melaksanakan tugasnya, tanpa dapat menuntut kompensasi melalui pengadilan. Dan itu, jelas tidak sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 26
Ibid, hal. 3
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
45 Dengan demikian, putusan pengadilan dalam kasus lubang riol di Medan tadi sepatutnya dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam mengadili kasus-kasus yang substansinya sama. Namun bukan berarti setiap tuntutan ganti rugi terhadap pemerintah -karena dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum niscaya dikabulkan. Bagaimanapun, dapat atau tidaknya tuntutan ganti rugi tersebut dikabulkan, masih harus dipertimbangkan perhitungannya dan kasualitasnya secara kasuistis, agar putusan yang diberikan betul-betul mencerminkan rasa keadilan 27.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ganti Rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata atas beban Badan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat.
2. Kompensasi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atas beban Badan Tata Usaha Negara oleh karena putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di bidang kepegawaian tidak dapat atau tidak sempurna dilaksanakan oleh Badan Tata Usaha Negara.
BAB II GANTI RUGI Pasal 2
27
Ibid, hal. 4
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
46 (1) Ganti Rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Pusat, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
(2) Ganti Rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Daerah, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pasal 3
(1) Besarnya ganti rugi yang dapat diperoleh penggugat paling sedikit Rp. 250.000,(dua ratus lima puluh ribu rupiah), dan paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), dengan memperhatikan keadaan yang nyata.
(2) Ganti rugi yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara jumlahnya tetap dan tidak berubah sekalipun ada tenggang waktu antara tanggal ditetapkannya putusan tersebut dengan waktu pembayaran ganti rugi.
Pasal 4
(1) Tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri.
Pasal 5
Pelaksanaan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dilakukan oleh masing-masing pimpinan Badan yang bersangkutan.
Pasal 6 Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
47 (1) Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berisikan kewajiban pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikirimkan kepada para pihak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara yang menetapkan putusan, paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah putusan tersebut ditetapkan.
(2) Apabila putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau oleh Mahkamah Agung, maka putusan tersebut dikirimkan pula kepada Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat pertama.
Pasal 7
(1) Permintaan pelaksanaan putusan Pengadilan, diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada Badan Tata Usaha Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penerimaan salinan putusan Pengadilan.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan melalui surat tercatat dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penerimaan permintaan tersebut.
Pasal 8
Apabila pembayaran ganti rugi tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Tata Usaha Negara dalam tahun anggaran yang sedang berjalan, maka pembayaran ganti rugi dimasukkan dan dilaksanakan dalam tahun anggaran berikutnya.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
48 BAB IV
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN INSTRUMEN GUGATAN CLASS ACTION DALAM PROSES GANTI RUGI KASUS-KASUS KORUPSI DI INDONESIA
E. Gugatan Class Action Untuk Kasus-Kasus Korupsi Tentunya kita masih ingat, ketika 15 orang warga yang mengatasnamakan seluruh warga DKI Jakarta melakukan gugatan class action kepada Presiden RI, Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Jawa Barat akibat banjir yang melanda Jakarta. Atau perkara gugatan class action sembilan konsumen elpiji se-Jabotabek kepada Pertamina atas kenaikan harga elpiji. Di Bogor, masyarakat melakukan gugatan class action atas penggalian situs Batu Tulis. Gugatan class action juga pernah dilakukan atas pembangunan “Sport Mall” di Kelapa Gading. Kasus terbaru adalah gugatan Class Action dari beberapa orang yang mengatasnamakan rakyat Indonesia atas kenaikan harga BBM 28. Tujuannya untuk memperjuangkan kepentingan para penggugat itu sendiri dan sekaligus mewakili kepentingan puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan orang lain yang mengalami penderitaan atau kerugian yang sama Kelebihannya, gugatan class action ini menjadikan proses berperkara lebih efisien, biaya lebih ekonomis, mencegah pengulangan proses perkara dan mencegah putusan-putusan yang berbeda atau putusan yang tidak konsisten. Gugatan Class Action di Indonesia sudah dimulai pada 1987 dalam Kasus RO Tambunan melawan Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors yang diajukan di PN Jakarta Pusat dan gugatan Class Action yang diajukan oleh Mochtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1988 dalam kasus 28
Sudaryatmo, Op.cit, hal. 17.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
49 Demam Berdarah. Namun karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Class Action, kedua kasus tersebut ditolak oleh hakim. Untuk kasus korupsi, baik dalam UU No. 28 tahun 1999 maupun UU No 31 Tahun 1999, meski bersifat limitatif telah memberikan peluang terlibatnya peran serta masyarakat atau partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindaka pidana korupsi. Kedua undang-undang anti KKN tersebut tidak secara rinci menerangkan upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan sama sekali
tidak
mengatur
tentang
keterlibatan
masyarakat
atau
organisasi
masyarakat/LSM untuk mengajukan Class Action ataupun Legal Standing dalam kasus-kasus korupsi. Kasus-kasus korupsi seperti dalam perkara Jamsostek, Kasus Bulog, Kasus penyalahgunaan dana JPS sangat potensial untuk diajukan melalui gugatan Class Action. Setidaknya ada 4 (empat) alasan yang dapat memperkuat argumen bahwa Class Action dalam kasus korupsi dapat digunakan, yaitu 29 : 1. Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga penangulangannya pun harus menggunakan cara-cara yang luar biasa pula. Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sedemikian sistematik dan meluas, terjadi hampir disemua lingkungan yudikatif, eksekutif dan legislatif. Bukan hanya merupakan ancaman dan serangan yang merugikan keuangan negara, akan tetapi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Sehingga korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan, sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Cara–cara pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan pendekatan yang “konvensional”
29
Kadir Mappong, Prosedur Pengajuan Gugatan Perwakilan (Classs Action) dan Kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, bahan makalah Seminar Sehari : Meningkatkan Peran Serta Masyarakat dalam Rangka Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Negara Melalui PERMA No. 1/2002, Oktober 2002, hal. 5. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
50 terbukti tidak berhasil dan mengecewakan. Penerapan Class Action terhadap kasus-kasus korupsi merupakan salah satu cara yang luar biasa dan khusus dalam penanggulangan korupsi. 2. Beberapa kasus korupsi memenuhi syarat-syarat diajukannya class action. Dalam pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002 menyebutkan suatu gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan cara Class Action apabila jumlah anggota kelompok sedemikan banyak sehingga tidaklahefektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-diri dalam satu gugatan, terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat subtansial serta adanya kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota kelompok. 3. Class Action telah diterima dalam aturan hukum di Indonesia. Saat ini di Indonesia telah memiliki 4 (empat) aturan hukum yang mengatur mengenai Class Action, yaitu UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU tentang Perlindungan Konsumen, UU tentang Jasa Konstruksi dan UU tentang Kehutanan. Keberadaan para wakil kelas yang memiliki kepentingan dan kedudukan hukum untuk mewakili anggota kelas yang jumlahnya besar dalam memperjuangkan hakhaknya dalam praktik peradilan di Indonesia telah diakui dalam berbagaai putusan pengadilan, seperti Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara Nomor. 50/Pdt.G/2000/PN. JKT.PST mengenai keterwakilan 139 tukang becak atas 5000 orang beacak lainnya di Jakarta, Putusana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dalam
perkara
Nomor.
550/Pdt.G/2000/PN.
JKT.PST
mengenai
keterwakilan 9 orang konsumen LPG atas 200.000 konsumen LPG se-Jabotabek, Putusan
Pengadilan
Negeri
Pekan
3
Baru
dalam
perkara
Nomor.
32/Pdt.G/2000/PN. PBR mengenai keterwakilan Firdaus Basyir, SH atas 600.000 warga Riau yang terkena dampak Lab Clearing dengan pembakaran di Riau dan Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
51 yang terakhir Putusana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara Nomor. 493/Pdt.G/2001/PN. JKT.PST, yaitu keterwakilan 8 masyarakat miskin kota mewakili komunitas masyarakat miskin kota dari unsur pengemudi becak, pengamen, dan penghuni pemukiman miskin. Gugatan Class Action untuk kasus korupsi sebelumnya pernah dilakukan pada tahun 2000 oleh Ali Sugondo dkk melawan 18 Anggota DPRD Jawa Timur (Perkara No. 593/Pdt.G/2000/PN.SBY). Ali Sugondo dkk mengatasnamakan 34 juta wajib pajak warga Jawa Timur menggugat 18 orang anggota Komisi B DPRD yang melakukan perjalanan studi banding ke Singapura dan Thailand dengan menggunakan dana dari APBD Jawa Timur. Penggugat menilai , sebagai wajib pajak masyarakat merasa dirugikan karena kepergian mereka menggunakan dana APBD yang diambil dari pajak. Dalam persidangan karena gugatan mengatasnamakan 34 juta penduduk Jawa Timur, hakim mempertanyakan apakah benar 34 juta orang tersebut dirugikan secara langsung atas kepergian anggota DPRD tersebut dan apakah 34 juta warga Jawa timur semuanya adalah wajib pajak. Pada akhirnya gugatan Class Action tersebut ditolak oleh majelis hakim dengan alasan penggugat bukan merupakan pihak yang dirugikan. Meski tidak ada alasan untuk tidak mengajukan gugatan Class Action kasus korupsi, namun tidak berarti semua kasus korupsi dapat diajukan Class Action. Karena jika tanpa perhitungan atau asal mengajukan gugatan Class Action tanpa adanya perhitungan dikhawatirkan gugatan tidak akan diterima oleh hakim. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan Class Action kasus korupsi . Pertama , anggota kelompok (class members) dan wakil kelompok (class representatif) harus jelas. Kedua, harus ada kerugian yang nyata-nyata dialami oleh anggota kelompok dan wakil kelompok. Oleh karena itu untuk mengajukan gugatan Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
52 Class Action kasus korupsi segala sesuatunya perlu diperhitungkan dan dipersiapkan secara matang. Oleh karena itu sebagai salah satu upaya penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi, maka peran serta masyarakat harus dibuka seluas-luasnya dengan memberi peluang kepada mereka untuk melakukan Class Action atau Legal Standing kasus-kasus korupsi. Revisi terhadap UU No. 31 tahun 1999 dengan memasukkan aturan mengenai Class Action atau Legal Standing dalam kasus korupsi perlu dilakukan. Namun tidak perlu menunggu revisi UU Tindak Pidana Korupsi untuk melakukan gugatan Class Action. Segala cara dan usaha dalam pemberantasan korupsi asal tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan adalah sah untuk digunakan.
F. Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi Instrument perdata dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau instansi yang dirugikan terhadap pelaku korupsi (tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya bila terpidana meninggal dunia). Instrumen pidana lebih lazim dilakukan karena proses hukumnya lebih sederhana dan mudah 30. Penggunaan instrumen perdata dalam perkara korupsi, menimbulkan kasus perdata yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata yang berlaku, baik materiil maupun formil. UU korupsi lama yaitu UU No. tahun 1971, tidak menyatakan digunakannya instrumen perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Tetapi dalam praktek instrumen perdata ini digunakan oleh Jaksa,
30
Suhadibroto, Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi, diakes dari situs : http://www.kompas, com, tanggal 5 November 2005. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
53 berkaitan dengan adanya hukuman tambahan yaitu pembayaran uang pengganti terhadap terpidana vide pasal 34 (C) UU tersebut. Dalam hal ini Jaksa Pengacara Negara (JPN) melakukan gugatan perdata terhadap terpidana, agar membayar uang pengganti sebagaimana ditetapkan oleh Hakim pidana yang memutus perkara korupsi yang bersangkutan. UU Korupsi yang berlaku saat ini, yaitu UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 dengan tegas menyatakan penggunaan instrumen perdata, sebagaimana pada Pasal 32, 33, 34, UU N.31 tahun 1999 dan Pasal 38 C UU No. tahun 2001. Kasus perdata yang timbul berhubungan dengan penggunaan instrumen perdata tersebut adalah sebagai berikut
31
:
1. Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur-unsur pidana korupsi, maka penyidik menghentikan penyidikan yang dilakukan. Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut (Pasal 32 ayat (1) UU No.31 tahun 1999). 2. Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi, meskipun secara nyata telah ada kerugian negara, karena unsur-unsur pidana korupsi tidak terpenuhi. Dalam hal ini penuntut umum (PU) menyerahkan putusan Hakim kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas terdakwa yang telah merugikan keuangan negara (Pasal 32 ayat (2) UU No.31 tahun 1999).
31
Elise T. Sulistini dan Rudi T. Erwin , Petunjuk Praktis Menyelesaikan PerkaraPerkara Perdata, Jakarta, Penerbit Bina Aksara, Desember 1987, hal. 39. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
54 3. Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Penyidikan terpaksa dihentikan dan penyidik menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka (Pasal 33 UU No.31 tahun 1999) Sebagaimana disinggung di atas, bahwa upaya pengembalian kerugian keuangan negara menggunakan instrument perdata, sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum perdata materiil maupun formil, meskipun berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem pembuktian materiil, maka proses perdata menganut sistem pembuktian formil yang dalam prakteknya bisa lebih sulit daripada pembuktikan materiil. Dalam tindak pidana korupsi khususnya, di samping penuntut umum, terdakwa juga mempunyai beban pembuktian, yaitu terdakwa wajib membuktikan bahwa harta benda miliknya diperoleh bukan karena korupsi. Beban pembuktian pada terdakwa ini disebut “pembuktian terbalik terbatas” (penjelasan Pasal 37 UU No. 31 tahun 1999) 32. Untuk melaksanakan gugatan perdata tersebut sungguh tidak gampang. Faktor-faktor yang menghadang dalam praktek dapat dicontohkan seperti di bawah ini, yaitu 33 : 1). Dalam Pasal 32, 33 dan 34 UU No.31 tahun 1999 terdapat rumusan “secara nyata telah ada kerugian negara”. Penjelasan Pasal 32 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian negara adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik”
32
33
Subekti, R, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Jakarta, 1982, hal. 60. Emerson Yuntho, Op.cit, hal. 20.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
55 Pengertian “nyata” di sini didasarkan pada adanya kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik. Jadi pengertian “nyata” disejajarkan atau diberi bobot hukum sama dengan pengertian hukum “terbukti”. Dalam sistem hukum kita, hanya Hakim dalam suatu persidangan pengadilan mempunyai hak untuk menyatakan sesuatu terbukti atau tidak terbukti. Perhitungan instansi yang berwenang atau akuntan publik tersebut dalam sidang pengadilan tidak mengikat hakim. Hakim tidak akan serta merta menerima perhitungan tersebut sebagai perhitungan yang benar, sah dan karenanya mengikat. Demikian halnya dengan tergugat (tersangka, terdakwa atau terpidana) juga dapat menolaknya sebagai perhitungan yang benar, sah dan dapat diterima. Siapa yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang”, juga tidak jelas; mungkin yang dimaksud instansi seperti BPKP, atau BPK. Mengenai “akuntan publik”, juga tidak dijelaskan siapa yang menunjuk akuntan publik tersebut; penggugat atau tergugat atau pengadilan. 2). Penggugat (JPN atau instansi yang dirugikan) harus dapat membuktikan bahwa tergugat (tersangka, terdakwa, atau terpidana) telah merugikan keuangan negara dengan melakukan perbuatan tanpa hak (onrechmatige daad, factum illicitum). Beban ini sungguh tidak ringan, tetapi penggugat harus berhasil untuk bisa menuntut ganti rugi. 3). Kalau harta kekayaan tergugat (tersangka, terdakwa atau terpidana) pernah disita, hal ini akan memudahkan penggugat (JPN atau instansi yang dirugikan) untuk melacaknya kembali dan kemudian dapat dimohonkan oleh penggugat agar Hakim melakukan sita jaminan (conservatoir beslag). Tetapi bila harta kekayaaan Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
56 tergugat belum (tidak pernah disita), maka akan sulit bagi penggugat untuk melacaknya; kemungkinan besar hasil korupsi telah diamankan dengan di atas namakan orang lain. Kalau diperhatikan uraian mengenai hambatan-hambatan yang diperkirakan dapat timKalau ketidakber-hasilan ini sering terjadi, maka akan menimbulkan penilaian yang keliru, khususnya terhadap JPN karena dianggap gagal melaksanakan perintah UU 34. Untuk extra ordinary crime seperti korupsi, perlu instrumen yang juga extra ordinary, agar pemulihan kerugian keuangan negara bisa efektif, yaitu antara lain dengan memberlakukan konsep pembuktian terbalik secara penuh dalam proses perdata, khususnya dalam kaitannya dengan harta benda tergugat (tersangka, terdakwa atau terpidana). Artinya tergugat diberi beban untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak berasal dari korupsi. Di samping itu perlu penyederhanaan proses, misalnya proses sita jaminan (conservatoir beslag) 35.
G. Prosedur dan Mekanisme Penggunaan Instrumen Class Action Ketentuan hukum acara dalam class action di Indonesia diatur secara khusus dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok. Namun Sepanjang tidak diatur PERMA No. 1 Tahun 2002, maka untuk hukum acara dalam class action berlaku juga ketentuan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku (HIR/RBg).
34
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta, 1998, hal. 82. 35 M. Yahya Harahap, Beberapa Masalah yang perlu Diperhatikan dalam Penerapan PERMA No. 1 Tahun 2002, Makalah pada Seminar Setengah Hari PERMA No. 1 Tahun 2002 , Jakarta 6 Juni 2002, hal. 14. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
57 Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok (Pasal 4 PERMA No. 1 Tahun 2002). Dalam ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, tidak ada kewajiban bagi para pihak (baik penggugat maupun tergugat) untuk diwakili oleh orang lain atau pengacara selama pemeriksaan di persidangan. Para pihak dapat secara langsung maju dalam proses pemeriksaan di persidangan. Namun seperti halnya proses persidangan yang lazim dilakukan, para pihak biasanya diwakili atau memberikan kuasa kepada pengacara untuk maju dalam persidangan. Dalam kasus class action, berlaku juga ketentuan hukum acara perdata yang mensyaratkan, apabila wakil kelompok pihak diwakili atau didampingi oleh pengacara maka diwajibkan untuk membuat surat kuasa khusus antara wakil kelompok kepada pengacara. Hal yang menarik berkaitan dengan pengacara pada class action adalah dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 pasal 2 huruf d menyebutkan bahwa hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakantindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompok. Disini terlihat bahwa hakim memiliki kewenangan untuk menilai dan menganjurkan penggantian terhadap pengacara dalamperkara class action. Hal ini tidak dapat ditemukan dalam perkara biasa 36. Prosedur dalam class action dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan 37 : 1. Permohonan pengajuan gugatan secara class action; 2. Proses sertifikasi; 3. Pemberitahuan;
36 37
Ibid, hal. 21 Ibid, hal. 30
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
58 4. Pemeriksaan dan Pembuktian dalam class action; 5. Pelaksanaan Putusan. Untuk lebih jelasnya maka tahapan-tahapan tersebut akan diuraikan di bawah ini, yaitu 38 : a.. Permohonan Pengajuan Gugatan Secara Class Action Selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal surat gugatan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku seperti mencantumkan identitas dari pada para pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan (fundamentum petendi) dan tuntutan, surat gugatan
perwakilan kelompok (class action ) harus memuat hal-hal
sebagai
berikut 39. : 1). Identitis lengkap dan jelas wakil kelompok. Identitas biasanya memuat nama, pekerjaan dan alamat lengkap. 2). Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu. Pada kasus gugatan kenaikan harga LPG yang diajukan Komite Advokasi Pemakai Anti Kenaikan LPG (KAPAK LPG) pada tahun 2000, definisi kelompok yang dimaksud adalah seluruh konsumen elpiji (LPG) di Jabotabek, yang mengalami kerugian karena kenaikan harga elpiji (LPG) sebesar 40% berdasrkan S.K. No. Kpts- 097/C0000/2000-S3 tanggal 2 November 2000. Sedangkan dalam kasus gugatan konsumen korban kereta api, kelompok yang kepentingannnya diwakili oleh wakil kelompok adalah komunitas konsumen
38
Susanti Adi Nugroho, Pedoman Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) di Indonesia, makalah pada Seminar Setengah Hari PERMA No. 1 Tahun 2002 , Jakarta 6 Juni 2002, hal. 10. 39 Kadir Mappong, Loc.cit, hal. 10. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
59 kereta api yang mengalami kerugian akibat terjadinya tabrakan antara KA Empu Jaya melawan Kereta Api Gaya Baru Malam di Stasiun Ketanggunan Barat Kabupaten Brebes pada tanggal 25 Desember 2001. 3). Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan. Contoh dari kasus Gugatan class action Banjir di Jakarta, di dalam gugatannya disebutkan selain bertindak atas nama sendiri juga bertindak mewakili kepentingan seluruh kelompok masyarakat korban banjir. Bahwa wakil kelompok merupakan bagian dari masyarakat yang mengalami kerugian karena peristiwa banjir yang melanda Jakarta pada bulan Januari hingga Februari 2002. 4). Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terperinci. Penggugat harus menjelaskan aspek kesamaan kepentingan yaitu faktor kesamaan fakta, kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan yang digunakan sebagai dasar gugatan. Selain itu penggugat memberikan usulan tentang mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan usulan tentang pembentukan komisi yang akan membantu kelancaran pendistribusian ganti kerugian 5). Dalam suatu gugatan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau subkelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda. Dalam class action kasus Banjir di Jakarta misalnya disebutkan masing-masing wakil kelompok mewakili anggota yang korban banjir yang menderita kerugian yang berbeda. Para penggugat dibagi dalam lima bagian kelompok 40:
40
Ibid, hal. 16.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
60 a). Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang menderita kerugian dengan meninggalnya sanak keluarganya; b). Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang menderita sakit; c). Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang menderita kerugian kehilangan harta benda; d). Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang menderita kerugian kerusakan harta benda; e). Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang menderita kerugian kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh. b. Proses Sertifikasi Atau Pemberian Ijin Berdasarkan permohonan pengajuan gugatan secara class action tersebut, pengadilan kemudian memeriksa apakah wakil tersebut dijinkan untuk menjadi wakil kelompok, apakah syarat-syarat untuk mengajukan gugatan class action sudah terpenuhi, dan apakah class action merupakan prosedur yang tepat dalam melakukan gugatan dengan kepentingan yang sama tersebut. Setelah Hakim memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan class action, maka
41
:
1). Apabila hakim memutuskan bahwa penggunaan tata cara gugatan perwakilan kelompok (class action) dinyatakan tidak sah maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim dengan amar putusan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (NO), demikian pula jika hakim berpendapat bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, maka amar putusannya akan menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang untuk 41
Ibid, hal. 12
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
61 memeriksa perkara tersebut. Atas putusan ini maka pihak penggugatdapat mengajukan upaya hukum. 2). Apabila hakim menyatakan sah maka gugatan Class Action tersebut dituangkan dalam penetapan pengadilan kemudian hakim memerintahkan penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim. 3). Setelah model pemberitahuanmemperoleh persetujuan hakim pihak penggugat melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh hakim. c. Pemberitahuan Setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah, hakim memerintahkan kepada penggugat/pihak yang melakukan class action untukmengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim. Setelah usulan model tersebut disetujui oleh hakim maka penggugat dengan jangka waktu yang ditentukan oleh hakim melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok. Pemberitahuan kepada anggota kelompok adalah mekanisme yang diperlukan untuk memberikan kesempatan bagi anggota kelompok untuk menentukan apakah mereka menginginkan untuk ikut serta dan terikat dengan putusan dalam perkara tersebut atau tidak menginginkan yaitu dengan cara menyatakan keluar (opt out) dari keanggotaan kelompok. Dalam pemberitahuan tersebut juga memuat batas waktu anggota kelas untuk keluar dari keanggotaan (opt out), lengkap dengan tanggal dan alamat yang dituju untuk menyatakan opt out. Dengan
demikian pihak yang
menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok tidak terikat dengan putusan dalam perkara tersebut.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
62 Menurut pasal 1 huruf PERMA No. 1 Tahun 2002 yang melakukan pemberitahuankepada anggota kelompok adalah panitera berdasarkan perintah hakim. Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media cetak dan atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti kecamatan, kelurahan atau desa, kantor pengadilan, atau secara langsung kepada anggota yang bersangkutan sepanjang dapat diindentifikasi berdasarkan persetujuan hakim. Pemberitahuan wajib dilakukan oleh penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok kepada anggota kelompok pada tahap-tahap : a). Segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah (pada tahap ini harus juga memuat mekanisme pernyataan keluar). b). Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti kerugian ketika gugatan dikabulkan. Namun apabila dalam proses pemeriksaan, pihak tergugat mengajukan perdamaian maka pihak Penggugat untuk dapat menerima atau menolak tawaran perdamaian tersebut juga harus melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompoknya. Berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2002, Pemberitahuan yang dilakukan harus memuat 42 : (1). Nomor gugatan dan identitas penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak tergugat atau para tergugat; (2). Penjelasan singkat tentang kasus; (3). Penjelasan tentang pendefinisian kelompok; (4). Penjelasan dari implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok
42
Kadir Mappong, op.cit. hal. 11.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
63 (5). Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok; (6). Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam, pemberitahuan penyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan; (7). Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan penyataan keluar; (8). Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa dan tempat yang tersedia bagi penyedian informasai tambahan; (9). Formulir isian tentang pernyataan keluar anggota kelompok sebagaimana yang diatur dalam lampiran PERMA No. 1 Tahun 2002; (10). Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan. Menurut Mas Acmad Santosa apabila class action tidak menyangkut tuntutan uang (monetary damages) dan hanya mengajukan permintaan deklaratif atau injuction, pemberitahuan (notice) terhadap anggota kelompok (untuk mendapatkan rekonfirmasi) tidak perlu dilakukan. Namun apabila tuntutan menyangkut ganti rugi dalam bentuk uang, pemberitahuan kepada masyarakat atau masing-masing anggota kelompok untuk mengambil sikap (opt in atau opt out) harus disampaikan. Opt in adalah mekanisme dimana anggota kelompok memberikan penegasan bahwa mereka benar-benar merupakan bagian dari class action. Sedangkan Opt ot adalah kesempatan untuk anggota kelompok menyatakan diri keluar dari class action apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan 43. PERMA No. 1 Tahun 2002 sendiri hanya mengatur mengenai pemberitahuan dan pernyataaan keluar (opt out), sedangkan mengenai pernyataan yang menyatakan sebagai bagian class action (opt in) tidak diatur. Pada mekanisme pemberitahuan ini
43
Mas Ahmad Santosa, Op.cit, hal. 70.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
64 membuka kesempatan bagi anggota kelompok untuk menyatakan diri keluar dari class action apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan. Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 disebutkan bahwa pernyataan keluar adalah suatu bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani dan diajukan kepada pengadilan dan/atau pihak penggugat oleh anggota kelompok yang menginginkan diri keluar dari keanggotaan gerakan perwakilan kelompok /class action . Pihak yang menyatakan diri keluar dari keanggotaan gerakan perwakilan kelompok /class action, maka secara hukum tidak terikat dengan putusan atas gugatan tersebut. Sedang pihak lain (penggugat pasif) yang tidak menyatakan keluar (tidak opt out) akan terikat dalam putusan class action tersebut, baik gugatan dikabulkan maupun gugatan tidak dikabulkan. Dalam hal tuntutan class action ditolak, penggugat\ pasif ini tidak dapat lagi mengajukan gugatan untuk kasus yang sama. Sebaliknya jika tuntutan class action dikabulkan ia berhak menerima ganti kerugian yang ditetapkan.
d. Pemeriksaan Dan Pembuktian Dalam Class Action Proses pemeriksaan dan pembuktiaan dalam gugatan class action adalah sama seperti dalam perkara perdata pada umumnya seperti : 1). Pembacaan surat gugatan oleh penggugat; 2). Jawaban dari tergugat; 3). Replik atau tangkisan Penggugat atas jawaban yang telah disampaikan oleh Tergugat; 4). Duplik atau jawaban Tergugat atas tanggapan penggugat dalam replik; 5). Pembuktian yang merupakan penyampaian bukti-bukti dan mendengarkan saksisaksi;
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
65 6). Kesimpulan yang merupakan resume dan secara serentak dibacakan oleh kedua belah pihak. Namun karena gugatan yang akan diperiksa adalah gugatan class action, ada beberapa hal yang memerlukan pemeriksaan lebih khusus lagi seperti : a). Pemeriksaan apakah wakil yang maju dianggap jujur dan benar-benar mewakili kepentingan kelompok. Pemeriksaan ini tidak hanya dilakukan pada saat sertifikasi akan tetapi juga dilakukan pada tahap pemeriksaan, dengan cara memberikan kesempatan kepada anggota kelompok untuk mengajukan keberatan terhadap wakil kelompok yang maju di persidangan. Atas dasar keberatan ini, hakim dapat mengganti wakil kelompok ini dengan yang lain. Sebelum wakil kelompok diganti, maka ia tidak boleh mengundurkan terlebih dahulu. b). Pemeriksaan apakah ada persamaan dalam hukum dan fakta serta tuntutan pada seluruh anggota kelompok. c). Pembuktian khusus untuk membuktikan masalah yang sama yang menimpa banyak orang. d). Mekanisme pembagian uang ganti kerugian untuk sejumlah besar uang. e. Pelaksanaan Putusan Setelah proses pemeriksaan telah selesai selanjutnya hakim menjatuhkan suatu putusan. Sama halnya dengan putusan hakim dalam perkara perdata biasa maka putusan hakim dalam gugatan class action dapat berupa putusan yang mengabulkan gugatan penggugat ( baik sebagian maupun seluruhnya) atau menolak gugatan penggugat. Dalam hal gugatan ganti kerugian dikabulkan, hakim wajib memutuskan jumlah kerugian secara rinci, penentuan kelompok dan atau sub-kelompok yang berhak menerima, mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan langkah-langkah Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
66 yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian. Pada dasarnya eksekusi putusan perkara gugatan class action dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan atas permohonan pihak yang menang seperti diatur dalam hukum acara perdata. Namun mengingat bahwa eksekusi putusan harus dilakukan sesuai dengan amarm putusan dalam perkara yang bersangkutan, sedangkan dalam amar putusan gugatan class action yang mengabulkan gugatan ganti kerugian memuat pula perintah agar penggugat melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok, serta perintah pembentukan komisi independen yang komposisi keanggotaannya ditentukan dalam amar putusannya guna membantu kelancaran pendistribusian, maka eksekusi dilakukan setelah diadakannya pemberitahuan kepada anggota kelompok, komisi telah terbentuk, tidak tercapai kesepakatan anatara kedua belah pihak tentang penyelesaian ganti kerugian dan tergugat tidak bersedia secara sukarela melaksanakan putusan. Dalam eksekusi tersebut paket ganti kerugian yang harus dibayar oleh tergugat akan dikelola oleh komisi yang secara administratif di bawah koordinasi panitera pengadilan agar pendistribusian uang ganti kerugian dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan besarnya kerugian yang dialami oleh kelompok.
H. Beberapa permasalahan penerapan Class Action di Indonesia. Seperti yang telah disinggung dalam pembahasan sebelumya, bahwa class action sebagai suatu prosedur dalam mengajukan gugatan keperdataan lebih dikenal negaranegara yang menganut sistem hukum common law. Negara-negara lain yang menganut sistem hukum civil law seperti Indonesia kemudian mengadopsi ke dalam sistem hukum di negaranya masing-masing. Indonesia telah mengadopsi prinsipDedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
67 prinsip gugatan class action melalui beberapa peraturan perundang-undangan seperti UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Proses adopsi prosedur class action tersebut ternyata banyak menimbulkan masalah dalam prakteknya, karena peraturan yang telah mengadopsi ketentuan class action tersebut menentukan bahwa hukum acara yang dipergunakan adalah hukum acara yang berlaku di Indonesia dalam hal ini adalah Het Herziene Indonesisch Regelement (HIR) dan Regelement op de Burgelijk Rechtsvordering(RBg), padahal HIR dan RBg tidak mengenal prosedur class action 44. Permasalahan yang timbul akibat tidak adanya ketentuan mengenai prosedur class action ini terlihat dari beberapa putusan pengadilan yang memeriksa dan mengadili gugatan perdata yang menggunakan prosedur class action. Hasil kajian dari tim ICEL pada tahun 2002 terhadap beberapa kasus class action yang sedang atau dalam proses di peradilan sebelum terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok, menemukan beberapa permasalahan yang sering terjadi dalam praktek gugatan class action di peradilan diIndonesia, antara lain 45: 1. Tentang surat kuasa dari anggota kelompok kepada perwakilan kelompok. Dari keseluruhan putusan pengadilan yang dianalisa, dapat dicatat bahwa bantahan pertama yang sering dikemukakan oleh tergugat terhadap penggunaan prosedur class action adalah tidak adanya surat kuasa dari anggota kelompok kepada anggota kelompok. Dalam ketentuan hukum acara perdata yang berlaku 44
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1977,
hal. 78. 45
Mas Achmad Santosa, Op.cit.hal. 23
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
68 (HIR/RBg) mensyaratkan bahwa untuk dapat bertindak sebagai wakil atau kuasa, seseorang harus memperoleh suart kuasa istimewa dari orang/pihak yang diwakilinya. 2. Tentang surat gugatan. Dalam surat gugatan yang diajukan pada umumnya tidak menjelaskan karakteristik dari sebuah gugatan yang menggunakan prosedur class action, dalam hal ini tidak mendeskripsikan secara jelas definisi kelas, posita gugatan tidak menjelaskan secara rinci dan jelas kesamaan tentang fakta dan hukum serta kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dengan anggota kelompok, serta tata cara pendistribusian ganti kerugian. Di samping itu, dalam menentukan wakil kelompok, penggugat cenderung mengajukan jumlah wakil kelompok dalam jumlah yang besar. Hal ini akan menyulitkan penggugat dalam membuktikan adanya unsur kesamaan kepentingan antara wakil kelompokdengan anggota kelompok. 3. Mempersamakan gugatan class action dengan gugatan legal standing. Dalam beberapa putusan baik penggugat, tergugat maupun pengadilan masih terjebak pada pemikiran bahwa gugatan dengan prosedur class action adalah identik dengan gugatan atas dasar hak gugat LSM atau “NGO’s standing to sue”. 4. Tentang prosedur acara pemeriksaan. Penentuan pengakuan atau keabsahan dari suatu gugatan yang menggunakan prosedur class action dalam berbagai putusan, dilakukan dalam tahap pemeriksaan yang berbeda-beda. Ada yang mengesahkan penggunaan prosedur ini diperiksa dan diputus pada akhir putusan bersama-sama dengan pokok perkara, sedangkan pada putusan perkara lainnya diputus pada tahapan putusan sela.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
69 Dengan lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok, sebagai suatu terobosan hukumdiharapkan di masa datang dapat mengatasi permasalahan dan memenuhi kebutuhan hukum dalam praktek pengajuan dan pemeriksaan gugatan class action di Indonesia.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
70 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
C. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat dikemukakan di dalam skripsi ini, adalah : 1. Gugatan Class Action dalam terminologi hukum didefinisikan sebagai prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Sesungguhnya gugatan class action merupakan suatu prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural terhadap satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai penggugat. Tujuannya untuk memperjuangkan kepentingan para penggugat itu sendiri dan sekaligus mewakili kepentingan puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan orang lain yang mengalami penderitaan atau kerugian yang sama Kelebihannya, gugatan class action ini menjadikan proses berperkara lebih efisien, biaya lebih ekonomis, mencegah pengulangan proses perkara dan mencegah putusan-putusan yang berbeda atau putusan yang tidak konsisten. Prosedur dan Mekanisme Pengajuan Gugatan Class Action, adalah : a. Permohonan pengajuan gugatan secara class action; b. Proses sertifikasi; c. Pemberitahuan; d. Pemeriksaan dan Pembuktian dalam class action; e. Pelaksanaan Putusan.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
71 2. Keberadaan dan eksistensi Class Action di dalam instrumen hukum di Indonesia, adalah dengan adanya aturan hukum positif di Indonesia yang mengakui gugatan Class Action terutama setelah diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meski hal itu masih terbatas pada masalahmasalah lingkungan hidup. Namun keberadaan UU ini menjadi tonggak bagi pengakuan Class Action di Indonesia. Selain dalam bidang Lingkungan Hidup, pada tahun 1999 eksistensi Class Action. kembali diakui dengan diundangkannya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Mengenai prosedur acara Class Action telah diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok ( Class Action). 3. Kemungkinan penggunaan instrumen gugatan Class Action dalam rangka proses ganti rugi untuk kasus-kasus korupsi di Indonesia, adalah : dalam UU No. 28 tahun 1999 maupun UU No 31 Tahun 1999, meski bersifat limitatif telah memberikan peluang terlibatnya peran serta masyarakat atau partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindaka pidana korupsi. Kedua undang-undang anti KKN tersebut tidak secara rinci menerangkan upayaupaya apa saja yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan sama sekali tidak mengatur tentang keterlibatan masyarakat atau organisasi masyarakat/LSM untuk mengajukan Class Action ataupun Legal Standing dalam kasus-kasus korupsi. Kasus-kasus korupsi seperti dalam perkara Jamsostek, Kasus Bulog, Kasus penyalahgunaan dana JPS sangat potensial untuk diajukan melalui gugatan Class Action. Setidaknya ada 4 (empat) alasan yang dapat memperkuat argumen bahwa Class Action dalam kasus korupsi dapat digunakan, yaitu : a. Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
72 penangulangannya pun harus menggunakan cara-cara yang luar biasa pula. Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sedemikian sistematik dan meluas, terjadi hampir disemua lingkungan yudikatif, eksekutif dan legislatif. Bukan hanya merupakan ancaman dan serangan yang merugikan keuangan negara, akan tetapi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Sehingga korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan, sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes).
Cara–cara
pencegahan
dan
pemberantasan
korupsi
dengan
pendekatan yang “konvensional” terbukti tidak berhasil dan mengecewakan. Penerapan Class Action terhadap kasus-kasus korupsi merupakan salah satu cara yang luar biasa dan khusus dalam penanggulangan korupsi. b. Beberapa kasus korupsi memenuhi syarat-syarat diajukannya class action. Dalam pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002 menyebutkan suatu gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan cara Class Action apabila jumlah anggota kelompok sedemikan banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-diri dalam satu gugatan, terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat subtansial serta adanya kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota kelompok. c. Class Action telah diterima dalam aturan hukum di Indonesia. Saat ini di Indonesia telah memiliki 4 (empat) aturan hukum yang mengatur mengenai Class Action, yaitu UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU tentang Perlindungan Konsumen, UU tentang Jasa Konstruksi dan UU tentang Kehutanan. Keberadaan para wakil kelas yang memiliki kepentingan dan kedudukan hukum untuk mewakili anggota kelas yang jumlahnya besar dalam Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
73 memperjuangkan hak-haknya dalam praktik peradilan di Indonesia telah diakui dalam berbagaai putusan pengadilan, seperti Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara Nomor. 50/Pdt.G/2000/PN. JKT.PST mengenai keterwakilan 139 tukang becak atas 5000 orang beacak lainnya di Jakarta, Putusana
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
dalam
perkara
Nomor.
550/Pdt.G/2000/PN. JKT.PST mengenai keterwakilan 9 orang konsumen LPG atas 200.000 konsumen LPG se-Jabotabek, Putusan Pengadilan Negeri Pekan 3 Baru dalam perkara Nomor. 32/Pdt.G/2000/PN. PBR mengenai keterwakilan Firdaus Basyir, SH atas 600.000 warga Riau yang terkena dampak Labd Clearing dengan pembakaran di Riau dan yang terakhir Putusana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara Nomor. 493/Pdt.G/2001/PN. JKT.PST, yaitu keterwakilan 8 masyarakat miskin kota mewakili komunitas masyarakat miskin kota dari unsur pengemudi becak, pengamen, dan penghuni pemukiman miskin. D. Saran Saran yang dapat dikemukakan di dalam skripsi ini, adalah : 1. Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga penangulangannya pun harus menggunakan cara-cara yang luar biasa pula. Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sedemikian sistematik dan meluas, sehingga korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan, sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Cara–cara pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan pendekatan yang “konvensional” terbukti tidak berhasil dan mengecewakan. Oleh karena, itu penerapan Class Action terhadap kasus-kasus korupsi merupakan salah satu cara yang luar biasa dan khusus dalam
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
74 penanggulangan korupsi, sehingga kasus-kasus korupsi di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik. 2. Pihak-pihak yang mengajukan Class Action harus membuat perhitungan yang sangat matang, atau tidak asal mengajukan gugatan Class Actio. Karena tanpa adanya perhitungan yang matang, dikhawatirkan gugatan tidak akan diterima oleh hakim.
Pihak-pihak yang mengajukan Class Action
harus memperhatikan
beberapa hal dalam mengajukan gugatan Class Action kasus korupsi, yaitu : a. Anggota kelompok (class members) dan wakil kelompok (class representatif) harus jelas. b. Harus ada kerugian yang nyata-nyata dialami oleh anggota kelompok dan wakil kelompok. Oleh karena itu untuk mengajukan gugatan Class Action kasus korupsi segala sesuatunya perlu diperhitungkan dan dipersiapkan secara matang.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
75 DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku-buku
A, Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa, Intermasa, Jakarta, 2002. Harahap, Krisna, Hukum Acara Perdata, Class Action serta Arbitrase & Alternatif, PT. Grafitri, Bandung, 2003. Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkkungan, Edisi ketujuh, Cetakan keenam belas, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta, 1998. Santosa, Mas, Achmad, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action), ICEL (Indonesian Centre for Environmental Law),
Jakarta,
1997. --------------------------, Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Enviromental Legal Standing), ICEL (Indonesian Centre for Environmental Law), Jakarta, 1997. Subekti, R, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Jakarta, 1982. Sudaryatmo, Seri Panduan Konsumen (Memahami Hak Anda Sebagai Konsumen), Jakarta, Penerbit Pirac , 2001. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia), Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002. Sulistini, Elise, T. dan Erwin, T, Rudi, Petunjuk Praktis Menyelesaikan PerkaraPerkara Perdata, Jakarta, Penerbit Bina Aksara, Desember 1987. Yuntho, Emerson, Class Action Sebuah Pengantar, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2005. Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
76 B. Makalah / Bahan Seminar Harahap, Yahya, M, Beberapa Masalah yang perlu Diperhatikan dalam Penerapan PERMA No. 1 Tahun 2002, Makalah pada Seminar Setengah Hari PERMA No. 1 Tahun 2002 , Jakarta 6 Juni 2002. Mappong, Kadir, Prosedur Gugatan Perwakilan (Class Action) dan Kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, bahan makalah Seminar Sehari : Meningkatkan Peran Serta Masyarakat dalam Rangka Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Negara Melalui PERMA No. 1/2002, Oktober 2002. Nugroho, Susanti, Adi, Pedoman Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) di Indonesia, makalah pada Seminar Setengah Hari PERMA No. 1 Tahun 2002 , Jakarta 6 Juni 2002. Santosa, Mas, Achmad, Kasus-Kasus Lingkungkungan yang terjadi di Indonesia, Makalah pada seminar Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak di Bidang Lingkungan Hidup, Jakarta, 16 Juni 1994. Soerjanto,Indra, Pengertian Umum, Manfaat dan Dasar Hukum Class Action di Indonesia, bahan makalah tanggal 6 September 2002.
C. Peraturan Hukum/Perundang-Undangan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009
77 D. Berita-berita dari Internet Emerson Yuntho, Divisi Hukum dan monitoring Peradilan ICW Jakarta, Class Action untuk Kasus Korupsi, diakses dari situs : http://www.antikorupsi.org, 30 Januari 2007. Holid Azhari, Definisi Korupsi, diakses dari situs : http://www.mail-archive.com, tanggal 29 April 2005. Imam
Nasima,
Ganti
Rugi
terhadap
Korban,
diakses
dari
situs
:
http://www.kompas.com, tanggal 24 November 2005. Pengertian atau Definisi Korupsi, diakses dari situs : http://www.transparancy.or.id tanggal 26 Maret 2007.
Dedi Saputra : Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Instrumen Gugatan Class Action Dalam Proses Ganti Rugi Kasus-Kasus Korupsi Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009