1
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM ISLAM
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh
MUFIDAH ULFAH NIM : 040200105 Jurusan: Hukum Keperdataan Program Kekhususan : Perdata BW
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
2
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM ISLAM
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh
Nama : Mufidah ulfah NIM : 040200105 Jurusan : Hukum Keperdataan Program Kekhususan : Perdata BW Disetujui, Ketua Jurusan
(Prof. DR. Tan Kamelo, SH, MS) NIP. 131764556
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(M. Hayat, SH) NIP. 130808994
(Yefrizawati, SH, M.Hum) NIP. 132300074
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
3
ABSTRAK Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menghindari pencatatan perkawinan, biasanya pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan, melakukan perkawinan di bawah tangan. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimana pandangan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan hukum Islam terhadap perkawinan tanpa akta nikah dan apa akibat hukumnya jika suatu perkawinan tidak mempunyai akta nikah menurut ketentuan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan ketentuan Hukum Islam serta apa upaya yang harus dilakukan agar suatu perkawinan tanpa akta nikah menjadi sah menurut hukum. Penelitian pada skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode Library Research atau penelitian kepustakaan dengan mempelajari perundang-undangan, sejumlah buku, tulisan dan karya ilmiah yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Menurut ketentuan Undang-undang No 1 Tahun 1974 bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya serta dicatat oleh pejabat yang berwenang. Hal ini berarti bahwa perkawinan di bawah tangan adalah tidak sah menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974. Sebaliknya, menurut hukum Islam, suatu perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan dianggap sebagai perkawinan yang sah walaupun tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah sehingga akibat hukumnya sama dengan perkawinan pada umumnya, akibat hukum tersebut berbeda dengan akibat hukum perkawinan di bawah tangan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974. Oleh karena perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum positif, maka perkawinan tersebut tidak mempunyai akibat hukum, tetapi terdapat dampak perkawinan di bawah terhadap status anak dan istri, yaitu dalam hal warisan dan pengakuan anak, sebab akan sulit untuk mendapatkan akte kelahiran anak apabila orang tuanya tidak mempunyai akta nikah. Untuk mengantisipasi hal tersebut,maka kepada mereka diberikan kesempatan untuk mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, sedangkan bagi yang beragama non-Islam dapat melakukan perkawinan ulang dan kemudian mencatatkan perkawinan tersebut ke Kantor Catatan Sipil.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
4
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, hanya karena nikmat dan Karunia-Nya penulis dapat melaksanakan aktifitas sehari-hari khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya. Adapun judul Skripsi yang penulis kemukakan adalah“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH MENURUT UNDANGUNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM ISLAM ”. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan masalah dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi. Didalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
5 2. Bapak Prof. DR. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata. 3. Bapak M. Hayat, SH, selaku dosen pembimbing I yang telah banyak membantu dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. 4. Ibu Yefrizawati, SH, M.Hum, sebagai dosen pembimbing II yang juga memberikan begitu banyak masukan dan bantuan terhadap penyusunan skripsi ini, serta rela meluangkan waktunya agar skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Atas semua kebaikan ibu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya, semoga Allah SWT membalasnya dengan suatu kebaikan yang lebih. Amiin..... 5. Ibu Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum, selaku dosen wali penulis. 6. Kepada seluruh dosen Fakultas Hukum USU yang telah memberikan Ilmu dan Pengetahuan kepada penulis. 7. Teristimewa kepada yang tersayang dan terpenting dalam hidupku, ayahanda H. Maraenda Hrp, SH, M.H, dan ibunda Dra. Pitta Hara Siregar. Tak hentihentinya penulis mengucapkan terima kasih atas segala dorongan semangat, spiritual, material, serta do’a yang selalu ayahanda dan ibunda panjatkan agar langkah serta usaha yang ditempuh dalam penulisan skripsi ini diberkahi oleh Allah SWT. 8. Terima kasih kepada keempat saudaraku tercinta, Kak Mawaddah, Cici, Lukman, dan Farhan atas kerelaan kehilangan sebagian besar waktu berkumpul serta atas canda tawa yang menemani pada saat skripsi ini disusun sehingga penulis selalu optimis dalam mengerjakan skripsi ini. Juga kepada Rida, Lia, Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
6 Jipa, Kak Nisa, terima kasih atas segala pengertiannya kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 9. Rekan-rekan seperjuangan yang bersama-sama memulai perjuangan dalam menempuh pendidikan di Fakultas Hukum USU, Bela, Siti, Teteh, Desi, Dara, Mami Kohati (Fitri), Kubo, Tyas, Erni, Putri, Heri, Yoa, Zaki, Yessy, Ulfa, Mala, Reja dan anak-anak Stambuk 04 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Medan, Mei 2008
Mufidah Ulfah
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
7 DAFTAR ISI
Abstrak
i
Kata Pengantar
ii
Daftar Isi
v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..............................................................................1 B. Perumusan Masalah.....................................................................................5 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.....................................................................5 D. Keaslian Penulisan.......................................................................................7 E. Tinjauan Pustaka..........................................................................................7 F. Metode Penelitian.........................................................................................8 G. Sistematika Penulisan...................................................................................9
BAB II TINJAUAN UMUM
TERHADAP HUKUM
PERKAWINAN DI
INDONESIA A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia..................................................11 B. Asas-asas dalam Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974……….29 C. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perkawinan …………...…………….…...…36 1. Syarat-syarat sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974.................................................36 2. Syarat-syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum Islam….43 3. Syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam...............................................................46
BAB III KETENTUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH
A. Pengertian Perkawinan dan Akta Nikah…………..………....…………..51 Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
8 1. Pengertian perkawinan...................................................................51 2. Pengertian akta nikah.....................................................................53 B. Pengertian Perkawinan Tanpa Akta Nikah................................................58 C. Fungsi dan Pentingnya Akta Nikah dalam Perkawinan.............................59 D. Pengertian Itsbat Nikah..............................................................................62
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN TANPA
AKTA
NIKAH A. Tinjauan Hukum terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah........................64 1. Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974..................................64 2. Menurut hukum Islam....................................................................66 3. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI).......................................77 B. Akibat Hukum Perkawinan Tanpa Akta Nikah Ditinjau dari Undang-undang No 1 Tahun 1974.............................................................78 C. Akibat Hukum Perkawinan Tanpa Akta Nikah Ditinjau dari Ketentuan Hukum Islam............................................................................83 D. Akibat Hukum Perkawinan Tanpa Akta Nikah Ditinjau dari Ketentuan Kompilasi Hukum Islam...........................................................84 E. Kaitan Itsbat Nikah dengan Perkawinan Tanpa Akta Nikah.....................85
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan................................................................................................87 B. Saran...........................................................................................................89
DAFTAR PUSTAKA
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
9
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan perkawinan di atas merupakan rumusan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dituangkan dalam Pasal 1. Rumusan perkawinan tersebut pada dasarnya mengandung inti dan tujuan yang sama dengan rumusan-rumusan perkawinan yang dikemukakan oleh para ahli dan para sarjana. Setelah berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974, mulai dikenal dalam masyarakat, khususnya umat Islam, pernikahan yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang tidak dicatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Akad nikah dilaksanakan oleh pihak keluarga pengantin pria bersama pengantin wanita, tanpa dihadiri oleh pejabat KUA Departemen Agama RI. Hal ini biasanya terjadi di kalangan anggota masyarakat yang ingin berpoligami atau ingin beristri lebih dari satu secara diam- diam agar tidak diketahui oleh pihak istri dan atau anak-anak dari si suami. Pernikahan ini bertentangan dengan Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang mengharuskan seorang suami apabila ingin beristri lebih dari satu, harus mendapat persetujuan dari istrinya atau istri-istrinya
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
10 dan mendapat izin dari Pengadilan Agama. Pernikahan ini di dalam masyarakat sering disebut dengan pernikahan di bawah tangan. 1 Latar belakang terjadinya pernikahan di bawah tangan ini disebabkan pihak pengantin pria dan wanita tersebut ingin menghindar dari Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974. Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa : ”Pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Jadi pada dasarnya Undang-undang No 1 Tahun 1974 menganut asas monogami. Dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974 dinyatakan pula bahwa: ”Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Hal ini berarti bahwa suami diperbolehkan beristri lebih dari satu orang apabila hal itu dikehendaki oleh suami dan istrinya. 2 Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa : ”Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana disebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”. Selanjutnya dalam pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa : ”Pengadilan dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang (berpoligami) apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan 1 2
Mimbar Hukum, No 64 Tahun XV 2004, hlm 120. Ibid, hlm 121.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
11 c.
Istri tidak dapat melahirkan keturunan”.
Jika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, si suami masih harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa : ”Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 UU ini, harus dipenuhi syarat-ayarat sebagai berikut: a. Adanya persetujuan dari istri/ istri-istri b. Adanya kepastian bahwa suami dapat menjamin keperluan-keperluan hidupistri-istri dan anak-anak mereka c. Adanya kepastian bahwa suami mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Adanya persyaratan seperti di maksud dalam Pasal 5 ayat (1) butir b serta Pasal 5 ayat (1) butir c dipandang oleh masyarakat sebagai persyaratan yang seharusnya ada dan logis. Akan tetapi tentang persyaratan seperti yang dimaksud Pasal 5 ayat (1) butir a yang mengharuskan adanya izin atau persetujuan dari istri/istri-istrinya dipandang berlebihan karena sulit kemungkinan untuk mendapatkan izin untuk berpoligami atau menikah lagi. 3 Namun dalam kenyataannya amat jarang wanita dalam keadaan bagaimanapun yang dengan sukarela mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Meskipun terdapat persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974, namun masih ada saja istri yang keberatan untuk memberikan persetujuan kepada suaminya untuk menikah lagi, atau si suami tidak tega hati untuk meminta persetujuan untuk menikah lagi kepada istrinya. Oleh karena itu, si suami yang ingin sekali mendapatkan keturunan, atau yang istrinya menderita cacat fisik serta tidak dapat
3
Ibid.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
12 melaksanakan kewajibannya kepada sang suami, menempuh cara menikah di bawah tangan. 4 Di samping latar belakang seperti disebut di atas, banyak juga prilaku suami yang meskipun istrinya dapat melaksanakan kewajibannya kepada suami, istri berbadan sehat dan dapat memberikan keturunan kepada suami, namun si suami masih saja menginginkan beristri lagi karena berbagai alasan seperti membantu wanita miskin, tidak merasa cukup atau bosan dengan istrinya dan lain-lain. Karena si suami tersebut tidak berhasil mendapatkan persetujuan dari istri/istri-istrinya, atau tidak tega atau karena berbagai alasan tidak berani meminta persetujuan tersebut, maka si suami menempuh cara menikah di bawah tangan. 5 Tertarik dengan adanya hal-hal tersebut di atas yang menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan, dan bagaimana pula jika perkawinan tersebut tidak mempunyai akta nikah, dan apa akibatnya menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka penulis akan membahasnya dalam skripsi yang berjudul
” TINJAUAN
YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM ISLAM ”. Adapun pokok pembahasannya lebih menyoroti tentang bagaimana perkawinan tanpa akta nikah menurut pandangan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan dikaitkan dengan pandangan Hukum Islam serta bagaimana akibat hukumnya. Hal ini bertujuan untuk menjaga budaya perkawinan dalam masyarakat Indonesia agar perkawinan tersebut
4
Ibid, hlm 122. Ibid.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
13 benar-benar sah menurut undang-undang yang pada akhirnya bertujuan untuk mendapatkan kepastian hukum.
B. Perumusan Masalah Dari uraian-uraian dan latar belakang masalah seperti yang telah penulis uraukan di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagi berikut: 1.
Bagaimana pandangan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan hukum Islam terhadap perkawinan tanpa akta nikah?
2.
Apakah akibat hukumnya jika suatu perkawinan tidak mempunyai akta nikah menurut ketentuan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan ketentuan Hukum Islam?
3.
Apakah upaya yang harus dilakukan agar suatu perkawinan tanpa akta nikah menjadi sah menurut hukum.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah: 1.
Untuk mengetahui dan memberikan perbandingan pandangan antara Undangundang No 1 Tahun 1974 dengan hukum Islam mengenai perkawinan tanpa akta nikah.
2.
Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan tanpa akta nikah yang ditinjau dari Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan hukum Islam
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
14 3.
Menjelaskan apa upaya yang harus dilakukan agar perkawinan tanpa akta nikah tersebut mempunyai kekuatan hukum, agar di masa yang akan datang perkawinan tersebut dapat dilindungi oleh hukum. Manfaat penulisan yang ingin dikemukakan oleh penulis adalah: -
Manfaat teoritis
1.
Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum keluarga.
2.
Memberikan masukan kepada pemerintah untuk menciptakan suatu peraturan yang seragam terhadap status perkawinan di bawah tangan.
3.
Sebagai bahan masukan kepada pihak-pihak yang belum melangsungkan perkawinan, agar mendaftarkan perkawinannya kelak. -
1.
Manfaat praktis Agar masyarakat Indonesia mengetahui bagaimana syarat-syarat sah nya suatu perkawinan menurut ketentuan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan bagaimana pula menurut ketentuan hukum Islam.
2.
Agar masyarakat Indonesia mengetahui bagaimana akibat hukum dari suatu perkawinan yang tidak mempunyai akta nikah jika ditinjau dari hukum positif dan hukum Islam.
3.
Agar masyarakat Indonesia mengetahui langkah apa yang harus ditempuh agar perkawinan yang tanpa akta nikah tersebut menjadi sah menurut ketentuan hukum positif yang berlaku.
D. Keaslian Penulisan
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
15 Dalam rangka mengembangkan diri dan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di samping belajar dan membaca buku yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, di samping mengingat pentingnya peranan hukum dalam perkawinan di Indonesia yang menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan, sehingga penulis mencoba menerapkan tinjauan yuridis terhadap perkawinan tanpa akta nikah, dimana penulis dalam mengambil judul ini telah meninjau ke sebuah perpustakaan USU bahwa judul tersebut di atas belum pernah ada yang membahasnya dan melakukan penelitian, sehingga penulis mencoba membahas dan menuangkannya ke dalam sebuah skripsi.
E. Tinjauan Pustaka Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorag pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk kelurga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan pengertian perkawinan dalam pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tersebut bukan saja memuat pengertian atau arti perkawinan itu sendiri, tetapi juga mencantumkan tujuan dan dasar perkawinan. Pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuannya adalah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan jika dihubungkan dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 adalah didasarkan kepada hukum agamanya atau kepercayaan agamanya masing-masing, sedangkan pasal 2 ayat (2) menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
16 Ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) merupakan syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum positif. Sedangkan perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor Pejabat Pencatat Nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam ). 6 Pengertian perkawinan yang ditentukan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 sangat bertolak belakang dengan pengertian perkawinan di bawah tangan.
F. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif yaitu suatu bentuk penelitian yang tidak terlepas dari norma-norma dan asasasas hukum yang ada. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode Library Research atau penelitian kepustakaan dengan mempelajari perundang-undangan, sejumlah buku, tulisan dan karya ilmiah yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah bersifat deskriptif yang memberikan gambaran dan memaparkan sebagian atau keseluruhan dari objek yang akan diteliti yang bersumber dari data primer dan skunder, dan selanjutnya data tersebut dianalisis secara kualitatif sehingga diperoleh hasil yang semaksimal mungkin.
G. Sistematika Penulisan BAB I : tentang Pendahuluan. Pada bab ini diuraikan pokok permasalahan skripsi yang mencakup mengapa penulis tertarik memilih judul tersebut sehingga membuatnya 6
http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
17 dalam bentuk skripsi, dengan menguraikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, tinjauan pustaka, sistematika penulisan yang bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap perkawinan yang tidak mempunyai akta nikah. BAB II : tentang Tinjauan Umum Terhadap Hukum Perkawinan di Indonesia. Pada bab ini diuraikan materi pokok mengenai hukum perkawinan di Indonesia, yang meliputi sejarah hukum perkawinan di Indonesia, asas-asas dalam Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 serta syarat-syarat sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan hukum Islam BAB III : tentang Ketentuan Umum terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah. Pada bab ini diuraikan materi tentang perkawinan tanpa akta nikah, yang meliputi pengertian perkawinan dan akta nikah, pengertian perkawinan tanpa akta nikah, fungsi dan pentingnya akta nikah dalam perkawinan dan pengertian Itsbat nikah. BAB IV : tentang Tinjauan Yuridis terhadap Perkawinan Tanpa Akta. Pada bab ini diuraikan materi tentang tinjauan hukum terhadap perkawinan tanpa akta nikah menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan hukum Islam, akibat hukum perkawinan tanpa akta nikah ditinjau dari Undang-undang No 1 Tahun 1974, akibat hukum perkawinan tanpa akta nikah ditinjau dari ketentuan hukum Islam, kaitan itsbat nikah dengan perkawinan tanpa akta nikah. BAB V Pada bab ini hanya memuat tentang kesimpulan mengenai tinjauan hukum terhadap perkawinan tanpa akta nikah dan mencoba memberi saran-saran yang dianggap penting dalam pendaftaran perkawinan.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
18
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
D. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M yang dibawa oleh pedagang-pedagang arab. Perkembangan hukum Islam di Indonesia menjelang abad XVII, XVIII, XIX, baik dalam tatanan intelektual dalam bentuk kitab-kitab dan pemikiran juga dalam praktek-praktek keagamaan dapat dikatakan cukup baik. Dikatakan cukup baik karena hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir dapat dikatakan sempurna, yang mencakup masalah muamalah (perkawinan, Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
19 perceraian, warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Bukan hanya itu, hukum Islam menjadi suatu sistem hukum yang mandiri yang digunakan di kerajaankerajaan Islam nusantara. Tidaklah salah jika dikatakan bahwa pada masa itu jauh sebelum Belanda menancapkan kakinya di Indonesia, hukum Islam menjadi hukum yang positif di Indonesia. 7 Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC (Vereenigde Oots-Indische Compagnie) yang memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya dengan hukum adat. Berangkat dari kekuasaan yang dimiliki VOC bermaksud menerapkan hukum Belanda di Indonesia, namun tetap saja tidak berhasil karena umat Islam tetap saja menjalankan syari’atnya. Dapatlah dikatakan pada saat VOC berkuasa di Indonesia (1602-1800 M) hukum Islam dapat berkembang dan dipraktekkan oleh umatnya tanpa adanya hambatan apapun dari VOC. Bahkan bisa dikatakan VOC ikut membantu untuk menyusun suatu peraturan yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dan berlaku di kalangan umat Islam. 8 Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka seperti yang terlihat bahwa sikap Belanda berubah terhadap hukum Islam, kendati perubahan itu terjadi secara perlahan-lahan. Setidaknya perubahan itu dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menguasai Indonesia sebagai wilayah yang mempunyai sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua, menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia 7
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesa, Prenada Media, 2004, hlm 8. 8 Ibid, hlm 9. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
20 dengan proyek Kristenisasi. Ketiga, keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang disebut dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia. Maksudnya, Belanda ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. 9 Kendatipun terbatas pada pelaksanaan hukum keluarga, hukum Islam telah teraplikasi dalam kehidupan masyarakat Islam walaupun masih dalam lingkup yang sangat terbatas yaitu hukum kekeluargaan saja. Menarik untuk dicermati, ternyata pemerintah Belanda memberikan perhatian yang serius terhadap perjalanan hukum Islam. Hal ini terlihat dari instruksi-instruksi yang diterbitkannya kepada bupati dan sultansultan berkenaan dengan pelaksanaan hukum Islam tersebut. Sebagai contoh: melalui Stabl. No 22 Pasal 13, diperintahkan kepada bupati untuk memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk menjaga supaya pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka dan yang sejenis. 10 Sedangkan perkawinan menurut hukum adat berlaku bagi golongan Pribumi, yang tidak memeluk agama Islam maupun Kristen. Peraturan tentang perkawinan adat inipun merupakan konsekuensi politik hukum pemerintah Belanda. Sampai abad XIX istilah hukum adat ini tidak dikenal. Pada akhir abad tersebut barulah istilah hukum adat ini dikenal. Istilah ini timbul dalam pikiran seorang warga Belanda yaitu Snouck Hurgronje yang mendalami kesusilaan dan kebiasaan berbagai penduduk di Indonesia.
11
9
Ibid. Ibid, hlm 10. 11 Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm 73. 10
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
21 Perkawinan adat merupakan suatu hidup bersama yang langgeng dan lestari antara seorang pria dengan seorang perempuan yang diakui oleh persekutuan adat yang diarahkan pada pembentukan sebuah keluarga. Perkawinan adat ini dibagi atas tiga kategori, yaitu: 1. Tatanan Patrilineal, yaitu pengaturan menurut hukum ayah yang merupakan sistem pengaturan kemasyarakatan dimana hanya nenek moyang pria dalam garis pria yaitu ayah, ayah dari ayah (kakek) dan seterusnya yang dipandang menentukan dalam menetapkan keturunan dari individu. Melalui pengaturan yang seperti ini, maka di dalam keluarga, kekuasaan dan pengaruh yang lebih berada pada kaum pria dan bahkan dari pihak ayah. 2. Tatanan Matrilineal, yaitu pengaturan menurut hukum ibu terhadap penentuan keturunan yang justru merupakan kebalikan dari tatanan patrilineal. Ikatan keturunan keluarga hanya ada pada ibu, ibu dari ibu (nenek) dan seterunya. 3. Tatanan Parental, yaitu hubungan kekeluargaan dilihat dari kedua belah pihak yaitu ayah dan ibu. 12 Sejak tahun dua puluhan pada masa di bawah kepemimpinan Belanda, dari golongan Bumiputera diajukan permohonan dengan hormat agar diadakan pembaharuan hukum perkawinan. Kongres pertama kaum Perempuan Indonesia, yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 22 sampai 24 Desember 1928, telah dihadiri oleh wakil-wakil dari 30 Organisasi Perempuan Bumiputra (antara lain Wanito Oetomo, Putri Indonesia,
12
Ibid, hlm 74-75.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
22 Wanita Katolik, Moehammadiyah bagian Wanita, Sarikat Islam bagian Wanita). Kongres ini telah berhasil mendirikan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). 13 Kongres pertama PPPI (Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia) yang berlangsung sejak tanggal 29 sampai 31 Desember 1929, telah mencurahkan perhatian yang cukup besar pada masalah-masalah perkawinan. Topik yang dibicarakan adalah antara lain tentang kewajiban perempuan untuk menentang poligami, perkawinan paksa maupun perkawinan anak-anak. Di sini telah diterima resolusi yang memuat antara lain permohonan untuk mendesak pemerintah Belanda agar melarang poligami. 14 Pada kongres PPPI yang kedua, yang diadakan pada tanggal 20 sampai 24 Juli 1935 di Batavia, kembali masalah perkawinan menjadi topik utama. Pada kongres ini, diputuskan bahwa PPPI akan mengadakan penelitian tentang posisi perempuan menurut Hukum Islam, dan memperbaiki posisi perempuan tanpa menyampingkan Agama Islam. Pada kongres PPPI yang ketiga yang diadakan di Bandung pada bulan Juli 1938, telah menghasilkan keputusan untuk membentuk sebuah komisi yang diberi tugas untuk merancang Peraturan Perkawinan yang paling adil dan patut. Pada kongres PPPI yang keempat yang berlangsung di Semarang pada bulan Juli 1941 yang membahas tentang upaya peningkatan perempuan di dalam masyarakat, menyediakan ruang dan peluang bagi perkawinan berikut seluk beluknya. Kongres ini memutuskan untuk membentuk empat buah komisi kerja yang salah satu diantaranya akan membahas masalah perkawinan yang berhubungan dengan Agama Islam. 15
13
Ibid, hlm 192. Ibid. 15 Ibid. 14
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
23 Sehubungan dengan kongres-kongres tersebut dapat disimpulkan bahwa gerakan Perempuan Indonesia yang dimulai pada masa pemerintahan Belanda, di era pemerintahan Presiden Soekarno sampai pada masa pemerintahan Presiden Soeharto merupakan kelompok penekan yang tidak kenal menyerah terhadap pembentukan perundang-undangan perkawinan. 16 Ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia memperoleh tempat berpijak yang semakin kokoh, maka desakan untuk membentuk Undang-undang Perkawinan bukan hanya datang dari pergerakan perempuan saja, tetapi dari kalangan penegak hukum seperti hakim, advokat dan lain-lain juga dengan alasan bahwa undang-undang buatan Belanda yang sampai saat itu masih berlaku dianggap tidak sesuai dengan tatanan hukum Indonesia dan Pancasila. 17 Pada akhir tahun 1950 dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 oleh pemerintah dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk bagi umat Islam. Panitia ini bertugas meninjau kembali semua peraturan perkawinan dan menyusun suatu RUU Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Anggotaannya terdiri dari orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Mr. Tengku Hasan. 18
16
Ibid. Ibid. 18 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm 234. 17
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
24 Pada akhir tahun 1952 panitia tersebut selesai membuat suatu Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama, dan peraturan-peraturan khusus yang mengatur hal-hal yang hanya mengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 Panitia menyampaikan RUU Perkawinan Umum serta daftar pertanyaan umum yang mengenai undang-undang tersebut kepada organisasi-organisasi dengan permintaan supaya masing –masing memberikan pendapat atau pandangan tentang soalsoal tersebut. 19 RUU Perkawinan yang dimajukan itu selain berusaha ke arah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaaan masyarakat dengan menetapkan antara lain : 1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan dan ditetapkan batas umur 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. 2. Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbangdalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 3. Poligagmi diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama / perdata yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian sehingga dapat memenuhi syarat keadilan. 4. Harta pembawaan dan harta yang diperoleh masing-masing, sendiri tetap menjadi milik masing-masing dan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 5. Perceraian diatur dengan keputusan pengadilan negeri, berdasarkan alasanalasan tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan yang khusus Islam. 6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian. 20
19 20
Ibid. Ibid, hlm 234-235.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
25 Dalam Rancangan-rancangan yang diajukan oleh komisi ini, terdapat pendapatpendapat yang menyatakan perlunya suatu Undang-undang umum yang mengatur perkawinan-perkawinan seluruh warga negara Indonesia dan sekaligus mengatur secara khusus perkawinan berbagai kelompok agama. Walaupun RUU Perkawinan ini telah berhasil diselesaikan, namum dalam pembahasannya di Parlemen mengalami penundaan. Atas suatu inisiaif yang diprakarsai oleh sekelompok anggota Parlemen di bawah pimpinan Ny. Soemarnie, maka akhirnya RUU Perkawinan mulai dibahas dalam Parlemen. Pada saat itu telah ada tiga buah RUU Perkawinan yaitu dua buah RUU berasal dari Komisi yang diketua oleh Mr. Tengku Hasan dan satu buah RUU dari Ny. Soemarnie dan kawan-kawan. Pada prinsipnya masih ada persamaan antara RUU Perkawinan yang diusulkan oleh Komisi Hasan dan RUU Perkawinan dari DPR, namun ada dua perbedaan penting antara pengusulan-pengusulan tersebut: -
RUU Perkawinan yang berasal dari Komisi Hasan menyatakan bahwa di samping sebuah RUU Perkawinan yang berlaku bagi setiap warga negara, juga peraturanperaturan yang berlaku bagi kelompok-kelompok keagamaan yang di dalamnya poligami diperkenankan.
-
Sedangkan dari kelompok Ny. Soemarnie meliputi hanya pemberlakuan suatu Undang-undang Umum yang di dalamnya semata-mata hanya mengakui adanya monogami (kendatipun demikian RUU Perkawinan yang disebut terakhir juga memberi ruang dan peluang bagi suatu peraturan perundang-undangan perkawinan
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
26 untuk kelompok- kelompok keagamaan yang berbeda-beda, namun semuanya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku bagi setia (warga negara). 21 Satu tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober 1959, RUU Ny. Soemarnie tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya, karena kendati pun memperoleh perhatian besar oleh sejumlah besar anggota DPR, rancangan tersebut nampaknya tidak berpeluang untuk dibicarakan. Para anggota dari partai Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogami yang dikandung rancangan ini. Nampaknya perlu dikemukakan di sini apa yang menjadi alasan salah seorang dari kelompok Islam.
22
Mengenai dua buah RUU, yang disusun oleh Komisi Hasan, sementara belum ada keputusan yang diambil oleh Parlemen. Kemudian dalam tahun 1963 sebuah Seminar tentang Hukum Nasional diselenggarakan dan disponsori berturut-turut oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), yakni sebuah badan penguasa untuk meningkatkan perundang-undangan nasional, dan Persatuan Hakim Indonesia (Persahi) yang cukup berpengaruh pula. Di dalam seminar ini diterima sebuah resolusi mengenai keharusan adanya pembentukan suatu Undang-undang Perkawinan yang seragam. Bagi Lembaga Pembinaan Hukum Nasional itu sendiri nampaknya pertemuan ini merupakan dorongan penting, yaitu untuk menyibukkan diri dengan problema terbentuknya suatu perundangundangan perkawinan Indonesia sendiri.
23
Setelah setahun lamanya LPHN tersebut telah menyiapkan sebuah peraturan perkawinan bagi kaum muslimin, dan pada tahun 1968 telah dirampungkan sebuah 21
Wila Chandrawila Supriadi, Op. Cit., hlm 196. Ibid. 23 Ibid, hlm 197. 22
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
27 rancangan tentang asas-asas dasar perkawinan. Sampai dengan berahirnya tahun parlementer 1971, dua buah rancangan tersebut termuat dalam agenda DPR, akan tetapi kembali anggota-anggota Parlemen ini tidak berhasil mengambil keputusan. 24 Hampir selama dua dasawarsa telah diikhtiarkan menghasilkan pembentukan sebuah perundang-undangan perkawinan nasional, yang oleh DPR selama beberapa tahun telah diterima pengusulan dari tiga pihak yang berlainan (Komisi Hasan, Kelompok Soemarie dan LPHN), telah ditimbang sebagaimana mestinya, namun dipandang belum memadai adanya. Ketidakberhasilan selama dua puluh tahun penuh itu untuk membentuk sebuah Undang-undang Perkawinan Indonesia sendiri, terutama diakibatkan oleh pihak Islam di dalam DPR yang tetap mempertahankan dengan gigih asas poligami tersebut. 25 Pada tahun 1972 telah dimulai kembali dengan upaya percobaan keempat pembentukan RUU Perkawinan yang diharapkan memperoleh persetujuan dari DPR. Dalam hal ini pekerjaan tersebut dilakukan oleh pejabat-pejabat Departemen Kehakiman. Pada pertengahan tahun 1973 RUU yang baru tersebut telah selesai dan pada tanggal 31 Juli 1973, Presiden Republik Indonesia menyampaikannya kepada DPR, bersamaan dengan hal tersebut, RUU tahun 1967 dan 1968 ditarik kembali. Rancangan yang diajukan pada tanggal 31 Juli 1973 tersebut menyebabkan sedikit keributan dalam masyarakat. Kelompok-kelompok dan individu-individu menyatakan kepuasan maupun keberatan terhadap RUU tersebut, sehingga perlu diadakan pembicaraan yaitu pembicaraan pada tingkat I yang dilakukan pada tanggal 30 Agustus 1973 di mana pemerintah diwakili oleh dua menteri yaitu Menteri Kehakiman dan Menteri Agama.
24 25
Ibid. Ibid.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
28 Kemudian pada pembicaraan tingkat II tanggal 17 dan 18 September 1973, di mana para anggota DPR memberikan pandangan umumnya atas RUU Perkawinan yang diajukan pemerintah tesebut. Berbicara pada kesempatan itu sebanyak 9 orang anggota masingmasing seorang dari anggota Fraksi Angkatan Bersenjata, dua orang dari Fraksi Karya Pembangunan, seorang dari Fraksi Partai Demokrasi Pembangunan dan lima orang dari Fraksi Persatuan Pembangunan. Pemerintah menanggapi pandangan umum para anggota DPR ini dan tanggapannya disampaikan oleh Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973. 26 Dalam rapatnya pada tanggal 30 November 1973, Badan Musyawarah DPR memutuskan pembicaraan tingkat III akan dilakukan oleh gabungan Komisi III dan Komisi IX. Dari gabungan Komisi III dan Komisi IX akan dibentuk suatu Panitia Kerja yang bertugas sebagai suatu komisi dengan jumlah anggota sebanyak 10 orang. Panitia Kerja ini dibentuk oleh Rapat Gabungan Komisi III dan Komisi IX pada tanggal 6 Desember 1973 dengan anggota sebanyak 10 orang yakni dua orang dari Fraksi Angkatan Bersenjata, dua oran dari Fraksi Karya Pembangunan, dua orang dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia dan empat orang dari Fraksi Persatuan Pembangunan, komisi gabungan ini diketuai oleh Djamal Ali, S.H. 27 Sebelum tanggal 8 Oktober 1973 Komisi III dan Komisi IX telah mengadakan Rapat Gabungan untuk membicarakan prosedur teknis pembahasan RUU Perkawinan tersebut. Kemudian pada tanggal 15 Oktober 1973, pimpinan Komisi III dan Komisi IX
26 27
Ibid, hlm 198. Racmadi Usman, Op. Cit., hlm 241.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
29 mengadakan inventarisasi persoalan yang muncul dari RUU Perkawinan di bawah koordinator Wakil Ketua DPR Domo Pranoto. 28 Dari tanggal 6 sampai dengan 20 Desember 1973 diadakan pembicaraan tingkat III, di mana panitia kerja yang dibentuk pada tanggal 6 Desember 1973 lalu mempunyai status seperti komisi guna mengadakan pembicaraan bersama dengan pemerintah. Panitia kerja dalam melaksanakan tugasnya melakukan rapat-rapat intern panitia untuk menjajaki pendirian masing-masing fraksi sejauh mungkin untuk membulatkan pendapat dalam kalangan panitia dan jika hal tersebut tercapai maka masalah tersebut akan dibawa ke rapat kerja dengan pemerintah yang sifatnya terbuka. Rapat kerja ini dilakukan apabila hal-hal yang akan dibahas adalah hal-hal yang bersifat umum. Selanjutnya apabila hal ini telah selesai maka kemudian dilakukan rapat kerja bersama yang bersifat tertutup, mengenai perumusan-perumusan yang sifatnya konkret dalam bentuk pasal demi pasal. Cara-cara tersebut tercapai dengan baik karena adanya suasana kerja yang baik, toleransi yang besar, dan kesediaan saling memberi dan menerima dalam musyawarah. Hal ini didukung pula oleh fraksi-fraksi yang menyadari akan pentingnya masalah yang dibahas dan tanggung jawab sebagai salah satu badan kelengkapan. Anggota panitia kerja, baik perorangan maupun atas nama fraksinya mendapat kesempatan yang besar untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing dan semua pembicaraan disemangati oleh cita-cita yang sama, yakni mewujdkan Undang-undang Perkawinan yang sejauh mungkin dapat memenuhi aspirasi hukum yang hidup di dalam masyarakat sekaligus memberi pengarahan bagi perkembangan hukum di masa depan. 29
28 29
Ibid. Ibid.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
30 Dengan kesadaran dan tujuan yang sama itulah kemudian dimusyawarahkan dengan sungguh-sungguh isi RUU Perkawinan agar dapat menampung menampung segala aspirasi dari masyarakat dan memberikan formulasinya secara teknis yuridis. Dalam membentuk isi dari RUU Perkawinan tersebut diusahakan dapat mempertemukan aspirasi hukum yang berbeda-beda, namun hal tersebut tidak dapat dilakukan, maka kemungkinan dengan melakukan suatu pengecualian dilakukan sebagai suatu pola untuk mengatasi kesulitan tersebut, apabila hal tersebut juga tidak dapat dilakukan maka materi yang menjadi permasalahan tadi akan dicabut dari RUU Perkawinan. RUU Perkawinan yang telah disetujui oleh DPR tersebut telah mengalami perubahan, penambahan, dan penghapusan beberapa pasal dari naskah asli yang disampaikan oleh pemerintah. Pasalpasal yang mengalami perubahan meliputi Pasal 1 dan Pasal 2, dan pasal-pasal yang mengalami penghapusan adalah Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), asal 13, 14, 43, dan 62. Mengenai asas poligami telah dipertahankan dalam arti masih dimungkinkan dalam halhal tertentu dan dimintakan putusan pengadilan. Demikian juga masalah perceraian hanya dimungkinkan apabila alasan-alasannya cukup dan harus melalui prosedur pengadilan. 30 Akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973, pada pembicaraan tingkat IV, DPR mengambil keputusan dengan didahului pendapat akhir dari fraksi-fraksi di DPR, yang menyetujui disahkanannya RUU Perkawinan dengan perubahan perumusan dan dihapuskan beberapa pasal yang merupakan hasil panitia kerja RUU tentang Perkawinan untuk menjadi Undang-undang tentang Perkawinan. Selanjutnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU tentang Perkawinan yang telah disetujui oleh DPR tersebut disahkan dan diundangkan menjadi Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang baru 30
Ibid, hlm 242.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
31 berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 karena masih diperlukan langkahlangkah persiapan dan serangkaian petunjuk-petunjuk pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 agar dapat berjalan dengan aman, tertib dan lancar. 31 Dengan berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974, maka telah terjadi perubahan fundamental terhadap kodifikasi hukum barat. Karena Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan perkawinan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek tidak berlaku lagi. Pernyataan ini membawa pengaruh di mana sebagian ketentuan dalam pasal-pasal dari Buku I Burgerlijk Wetboek yang mengatur tentang perkawinan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Undang-undang No 1 Tahun 1974 memuat kaedah-kaedah hukum yang berkaitan dengan perkawinan dalam garis besar secara pokok, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dalam berbagai peraturan pelaksananya. Hal ini berarti Undang-undang Perkawinan akan menjadi sumber pokok bagi pengaturan hukum perkawinan, perceraian dan rujuk yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia. 32 Undang-undang No 1 Tahun 1974 pada mulanya dimaksudkan untuk mengkodifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional, disamping mengunifikasikan hukum perkawinan. Akan tetapi setelah disahkan, bukan hukum perkawinan yang bersifat nasional yang tercapai, melainkan kompilasi hukum perkawinan nasional yang bersifat nasional yang belum tuntas dan menyeluruh, sebab Undang-undang Perkawinan masih merujuk dan memberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan yang lama yang ada sebelumnya, termasuk ketentuan hukum adat dan hukum agama atau kepercayaan
31 32
Ibid. Ibid, hlm 245.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
32 masing-masing yang mengatur mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Rumusan ketentuan dalam pasal-pasal Undang-undang Perkawinan mencerminkan teknik kompilasi hukum sebagai modifikasi pelaksanaan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional. 33 Dengan demikian, Undang-undang Perkawinan bermaksud mengadakan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan Kebhinekaan yang masih harus dipertahankan, karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan perkawinan yang beraneka ragam dalam masyarakat hukum Indonesia. Dengan sendirinya Undang-undang Perkawinan mengadakan perbedaan kebutuhan hukum perkawinan, yang berlaku secara khusus bagi golongan penduduk warga negara Indonesia tertentu yang didasarkan pada hukum masing-masing agamanya itu. Bagi umat beragama selain tunduk pada Undangundang No 1 Tahun 1974, juga tunduk pada ketentuan hukum agamanya atau kepercayaan agamanya sepanjang belum diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Apa yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan terbatas pada mengatur soal-soal perkawinan yang belum diatur oleh hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya tersebut. 34 Untuk melaksanakan Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif, maka masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain yang menyangkut tentang masalah-masalah: 1. Pencatatan perkawinan. 2. Tata cara pelaksanaan perkawinan.
33 34
Ibid. Ibid, hlm 245-246.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
33 3. Tata cara perceraian. 4. Cara mengajukan gugatan perceraian. 5. Tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan. 6. Pembatalan perkawinan. 7. Ketentuan dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. 35 Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 1 April 1975 oleh pemerintah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974. Dalam Peraturan Pemerintah ini, memuat ketentuan tentang masalahmasalah yang dikemukakan di atas, yang diharapkan akan dapat memperlancar pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974. 36 Apabila dikaji secara seksama, maka kandungan materi Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 mengatur pokok persoalan sebagai berikut: 1. Meletakkan beberapa pengertian yang digunakan dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 (Pasal 1). 2. Mengatur pejabat pegawai pencatat perkawinan (Pasal 2), pemberitahuan kehendak pelaksanaan perkawinan (Pasal 3 sampai dengan Pasal 5), penelitian syarat-syarat perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan (Pasal 6 dan Pasal 7), dan pengumuman kehendak melangsungkan perkawinan (Pasal 8 dan Pasal 9). 3. Hal-hal yang berkaitan dengan tata cara perkawinan dan pencatatan perkawinan, termasuk kewajiban penandatanganan akta perkawinan (Pasal 10 dan Pasal 11). 4. Mengatur hal-hal yang harus dimuat dalam akta perkawinan (Pasal 12 dan Pasal 13).
35 36
Ibid, hlm 251. Ibid, hlm 252.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
34 5. Mengatur mengenai tata cara pemeriksaan cerai talak atau perceraian (Pasal 14 sampai dengan Pasal 18), alasan-alasan perceraian (Pasal 19), tata cara pemeriksaan cerai gugat (Pasal 20 sampai dengan Pasal 36). 6. Mengatur mengenai pembatalan perkawinan oleh pengadilan (Pasal 37, 38). 7. Mengatur mengenai waktu tunggu bagi seorang janda (Pasal 39). 8. Mengatur mengenai kewajiban mengajukan permohonan beristri lebih dari seorang kepada pengadilan dalam hal-hal yang berkaitan dengan pemeriksaan permohonan beristri lebih dari seorang oleh pengadilan dan larangan pegawai pencatat perkawinan untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin dari pengadilan (Pasal 40 sampai dengan Pasal 44). 9. Mengatur ancaman sanksi pidana bagi pihak mempelai atau pejabat pencatat perkawinan yang melanggar ketentuan Pasal-pasal Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 (Pasal 45). 10. Mendelegasikan kewenangan untuk mengatur secara khusus ketentuan perkawinan dan perceraian bagi anggota Angkatan Bersenjata oleh Menteri Hankam/Pangab (Pasal 46). 11. Pernyataan tidak berlakunya ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 (Pasal 47). 12. Mendelegasikan kewenangan untuk mengatur petujuk-petunjuk pelaksanaan bagi kelancaran pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 kepada Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, baik bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri dalam bidang masing-masing (Pasal 48). Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
35 13. Pernyataan mulai berlakunya dan perintah pengundangan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975).37 Selama ini, dalam menyelesaikan perkara-perkara muamalah, hakim Pengadilan Agama selalu berpedoman pada kitab fiqih yang penggunaannya tergantung pada kemampuan hakim-hakim Pengadilan Agama yang bersangkutan dalam memahami secara utuh dan menyeluruh terhadap kitab-kitab fiqih tersebut. Sehingga dampaknya tidak tertutup kemungkinan timbul putusan yang berbeda-beda terhadap perkara-perkara yang sama. Untuk itu, sudah seyogianya bangsa Indonesia memiliki hukum materil berupa hukum Islam yang berbentuk kodifikasi yang dapat dijadikan landasan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama Nomor 7/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985, maka dibentuk suatu Tim Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi. Dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya, tim tersebut mengadakan penelaahan dan pengkajian kitab-kitab fiqih dari berbagai sumber dan wawancara terhadap para ulama, yang kemudian hasilnya diseminarkan melalui loka karya yang diadakan di Jakarta dari tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988. Loka karya ini telah menerima dengan baik tentang tiga Rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri atas Buku I tentang hukum perkawinan, Buku II tentang hukum kewarisan, dan Buku III tentang hukum perwakafan. Dengan Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, maka disebarluaskan Kompilasi Hukum Islam tersebut untuk dapat digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di
37
Ibid, hlm 253.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
36 bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan di samping peraturan perundang-undangan lainnya. 38
E. Asas-asas Perkawinan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 1. Asas Sukarela Dalam Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang sejahtera, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sehubungan dengan hal tersebut di atas agar perkawinan terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang dilaksanakan itu haruslah didasarkan dengan persetujuan kedua mempelai. Agar suami isteri dapat membentuk keluarga bahagia, sejahtera dan kekal, maka diwajibkan bagi calon mempelai untuk saling mengenal terlebih dahulu. Perkenalan yang dimaksud dalam hal ini adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari norma agama yang dianutnya. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihan orangtua, melainkan diharapkan dapat membimbing dan menuntun anak-anaknya untuk memilih pasangan hidup yang serasi bagi mereka yang sesuai dengan anjuran agama. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka kawin paksa sangat dilarang oleh Undang-undang Perkawinan ini.
38 39
39
Ibid, hlm 255-256. Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm 6-
7. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
37 Batas umur yang dikehendaki Undang-undang ini adalah minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Penyimpangan dari batas umur yang ditentukan dalam Undang-undang ini harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari pengadilan. Pengajuan dispensasi dapat diajukan oleh orang tua atau wali dari calon mempelai yang belum mencapai batas umur minimal yang telah ditentukan tersebut. Antara kedua mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya. 40 2. Asas Partisipasi Keluarga Meskipun calon mempelai diberi kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya berdasarkan asas sukarela, tetapi karena perkawinan itu merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan seseorang, maka partisipasi keluarga sangat diharapkan di dalam pelaksanaan akad perkawinan tersebut. Pihak keluarga masing-masing diharapkan memberikan restu perkawinan kepada kedua mempelai. Hal ini sesuai dengan sifat dan kepribadian
bangsa Indonesia yang penuh dengan etika sopan santun dan religius.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas bagi para mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin terlebih dahulu dari orang tuanya sebelum melaksanakan perkawinannya. Dalam keadaan orang tuanya tidak ada atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin tersebut dapat diperoleh dari walinya, atau keluarga dalam garis lurus ke atas. Seandainya pihak-pihak tersebut keberatan, maka izin untuk melangsungkan perkawinan tersebut dapat diperoleh dari Pengadilan Umum bagi orang-
40
Ibid, hlm 7.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
38 orang yang nonmuslim dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam (Pasal 6 ayat (4) dan (5) Undang-undang No 1 Tahun 1974). 41 Partisipasi keluarga diharapkan dalam peminangan dan dalam hal pelaksanaan perkawinan. Dengan demikian diharapkan dapat terjalin hubungan silaturrahmi antar pihak keluarga mempelai, dan dengan harapan agar dapat membimbing pasangan yang baru menikah itu supaya dapat menciptakan rumah tangga yang baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku. 42 3. Perceraian Dipersulit Undang-undang No 1 Tahun 1974 berusaha menekan angka perceraian pada titik yang paling rendah. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa perceraian yang dilakukan tanpa kendali dan sewenang-wenang dapat mengakibatkan kehancuran bukan hanya pada pasangan suami isteri tersebut, juga kepada anak-anak mereka yang mestinya harus diasuh dan dipelihara dengan baik. Oleh karena itu, pasangan suami isteri yang telah menikah secara sah harus bertanggung jawab dalam membina keluarga agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat utuh sampai maut memisahkan. Banyak sosiolog menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya dalam membina masyarakat sangat ditentukan oleh masalah perkawinan yang merupakan salah satu faktor diantara beberapa faktor yang lain. Kegagalan membina rumah tangga bukan hanya membahayakan rumah tangga itu sendiri, tetapi juga berpengaruh bagi kehidupan masyarakat. Sebagian kenakalan remaja yang terjadi di beberapa negara disebabkan oleh keluarga yang berantakan. 43
41
Ibid. Ibid, hlm 8. 43 Ibid. 42
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
39 Penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa perceraian itu adalah hak suami harus segera dihilangkan. Pemikiran yang keliru ini harus segera diperbaiki. Hak cerai tidak dipegang oleh suami saja, tetapi isteri juga dapat menggugat cerai suaminya apabila ada hal-hal yang menurut keyakinannya rumah tangga yang telah dibina tersebut sudah tidak dapat diteruskan. Untuk itu Undang-undang Perkawinan merumuskan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di luar pengadilan dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan demikian tidak diakui kebenarannya. Pengadilan berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk rukun kembali. Undang-undang Perkawinan tidak melarang perceraian tetapi mempersulit pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan perceraian jika seandainya memang benar-benar tidak dapat dihindarkan, dan harus dilakukan secara baik-baik di hadapan sidang pengadilan. Perceraian yang demikian merupakan hal yang baru dalam masyarakat Indonesia, yang sebelumnya hak cerai sepenuhnya berada di tangan suami yang pelaksanaannya dapat dilakukan semaunya yang sama sekali tidak memperhatikan hak-hak isteri dan anak-anaknya. 44 4. Poligami Dibatasi dengan Ketat Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, perkawinan adalah bersifat monogami, namun demikian mempunyai istri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya, serta memenuhi alasan dan persyaratan tertentu yang ditetapkan dengan Undang-undang Perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari istrinya dan baru dapat dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu. Dalam Pasal 4 dan 5 Undang44
Ibid, hlm 9.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
40 undang No 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang harus dengan alasan bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam hal ini tidak dijelaskan secara rinci apakah ketentuan tersebut bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu, penggunaan alasanalasan tersebut diserahkan kepada hakim. 45 Apabila alasan-alasan sebagaimana disebut di atas sudah terpenuhi, maka Pengadilan Agama juga meneliti apakah ada atau tidaknya syarat-ayarat tersebut secara kumulatif yaitu (1) persetujuan dari istri atau istri-istrinya, kalau ada harus diucapkan di muka Majelis Hakim; (2) kemampuan material dari orang yang bermaksud menikah lebih dari satu orang; (3) jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan berlaku adil ini dibuat di dalam persidangan Majelis Hakim. Apabila syaratsyarat ini sudah dipenuhi secara kumulatif, maka barulah pengadilan memberikan izin kepada pemohon untuk melaksanakan pologami. Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan tersebut di atas, maka perkawinan tersebut tidak berdasarkan hukum dan kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 dan 45 Undang-undang No 1 Tahun 1974. 46 Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Perkawinan lebih dari satu orang atau poligami tanpa dibatasi oleh peraturan secara ketat dapat menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menjalankan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda menjadi
45 46
Ibid, hlm 10. Ibid.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
41 tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu akan menjurus kepada pertentangan yang dapat membahayakan hidup mereka, dan hal ini biasanya terjadi jika ayah mereka telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif tersebut tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang melakukan poligami tersebut maka Undang-undang No 1 Tahun 1974 membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan poligami dengan menentukan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu. Undang-undang No 1 Tahun 1974 memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu benar-benar bermanfaat bagi mereka yang melaksanakannya. 47
5. Kematangan Calon Mempelai Undang-undang No 1 Tahun 1974 mempunyai hubungan yang erat dengan masalah kependudukan. Dengan adanya pembatasan usia untuk melakukan perkawinan bagi wanita dan pria, maka diharapkan lajunya angka kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian program Keluarga Berencana (KB) Nasional dapat berjalan seiring dengan undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut, perkawinan di bawah umur dilarang keras dan harus dicegah pelaksanaannya. Pencegahan ini semata-mata didasarkan agar kedua mempelai dapat memenuhi tujuan luhur yaitu untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera dengan mewujudkan suasana rukun dan damai dalam rumah tangga. Agar hal ini dapat terlaksana, maka kematangan calon mempelai sangat diharapkan yaitu dalam hal kematangan usia, kematangan dalam berfikir dan
47
Ibid.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
42 bertindak sehingga tujuan perkawinan sebagaimana tersebut di atas dapat terlaksana dengan baik. 48 6. Memperbaiki Derajat Kaum Wanita Dengan lahirnya Undang-undang No 1 Tahun 1974, maka diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan derajat kaum wanita, sebab sebelum berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974, banyak para suami yang memperlakukan istrinya dengan tindakan sewenang-wenang, menceraikan istrinya begitu saja tanpa alasan yang jelas sehingga banyak kaum wanita yang menderita. Para istri harus mencari nafkah hidup untuk membiayai dirinya dan juga anak-anaknya yang seharusnya menjadi tanggung jawab suaminya. Secara lahiriah, wanita adalah makhluk yang paling membutuhkan perlindungan, pengayoman dan kasih sayang. Tindakan seorang suami yang tidak bertanggung jawab kepada istrinya merupakan pukulan moril bagi seorang istri. Dengan kehadiran Undang-undang No 1 Tahun 1974 diharapkan pada masa yang akan datang para suami akan lebih bertanggung jawab sepenuhnya kepada istri dan anakanaknya. Perceraian tidak boleh dilakukan seorang suami dengan sembarangan, tetapi harus dengan cara yang baik setelah mendapat persetujuan dari pengadilan. Di dalam sidang pengadilan akan ditetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dipikul oleh suami baik sebelum dan sesudah perceraian dilakukan. Demikian juga dalam hal poligami, harus dilakukan secara tertib sehingga para isrti dalam keluarga itu mendapatkan perlindungan dan tidak merasa dirugikan sebagai akibat dari perkawinan tersebut. Oleh karena itu, poligami baru dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari pengadilan. 49
48 49
Ibid, hlm 11. Ibid, hlm 12.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
43
F. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perkawinan 1. Syarat-syarat sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Perkawinan adalah persetujuan kekeluargaan, yang menghendaki adanya asas kebebasan kata sepakat antara calon suami istri. Hal ini menunjukkan bahwa adanya sifat tidak dipaksakan, bahwa persetujuan perkawinan harus lahir oleh karena adanya persamaan kehendak. Kekuatan mengikat dari persetujuan perkawinan adalah lebih luas jika dibandingkan persetujuan umumnya sebab perkawinan harus diindahkan oleh setiap orang. Sifat perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 kiranya sama dengan sifat perkawinan menurut KUH Perdata, jika kita kaitkan dengan tujuan perkawinan (pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974), maka sifat tersebut adalah logis dan layak, sebab kebahagiaan akan tercapai jika ikatan lahir dan batin betul-betul didasarkan atas kesepakatan, tidak ada unsur paksaan dalam bentuk apapun dan dari siapa pun juga. Jadi adanya persamaan kehendak merupakan dasar harapan terwujudnya tujuan dari perkawinan. 50 Undang-undang No 1 Tahun 1974 telah menentukan secara tegas bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1)) dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat (2)). Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut: 50
F.X Suhardana, S.H., Hukum Perdata I, PT Prenhallindo, Jakarta, 1990 hlm 91-92.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
44 1. Adanya persetujuan kedua mempelai. 51 Syarat perkawinan ini diatur secara jelas dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa : ”Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai” Pada penjelasannya disebutkan bahwa: ”Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak yang manapun”. Syarat perkawinan ini memberikan jaminan agar tidak terjadi lagi perkawinan paksa dalam masyarakat. Ketentuan ini sudah selayaknya diterapkan, mengingat masalah perkawinan merupakan urusan pribadi seseorang yang merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah seharusnya apabila urusan perkawinan itu lebih banyak diserahkan kepada keinginan masing-masing pribadi untuk menentukan pilihan sendiri siapa yang akan dijadikan kawan hidupnya dalam berumah tangga. Pilihan ini harus benar-benar dilakukan secara bebas tanpa ada paksaan dari pihak manapun. 2. Adanya izin dari kedua orangtua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun. 52 Syarat perkawinan ini diatur secara tegas dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5) dan (6), yaitu: (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud
51 52
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, P.T Alumni, Bandung, 2004, hlm 64. Ibid, hlm 65-66.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
45 ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari orang yang bersangkutan tidak menentukan lain. Ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 1874 yang mensyaratkan adanya izin dari kedua orang tua/wali untuk melangsungkan perkawinan bagi yang belum berusia 21 tahun ini memang sudah selayaknya dan ini sesuai dengan tatakrama masyarakat Indonesia sebagai orang Timur. Walaupun suatu perkawinan dipandang dan diakui sebagai urusan pribadi, tetapi masyarakat Indonesia mempunyai rasa kekeluargaan yang masih kuat terutama dalam hal hubungan antara anak dengan orang tuanya. Yang dimaksud dengan izin dari kedua orang tua dalam hal ini adalah izin kedua orang tua/wali sebagai realisasi dari adanya doa restu mereka terhadap perkawinan yang akan dilangsungkan. 53 3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun. Syarat perkawinan tersebut diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
53
Ibid.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
46 ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun”. Ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak yang masih di bawah umur, dengan tujuan agar calon suami istri yang akan melangsungkan perkawinan sudah matang jiwa dan raganya sehingga dapat membina rumah tangganya dengan sebaik-baiknya tanpa berakhir dengan perceraian serta mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Selain itu, juga dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami istri serta sebagai pengendalian angka kelahiran. Seperti yang dinyatakan dalam penjelasan umum angka 4 sub d Undang-undang No 1 Tahun 1974, bahwa: ”...perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubungan dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita”. 4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin Hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 8 adalah sebagai berikut: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas. b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara nenek. c. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. d. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seseorang. f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya dan peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
47 Pada dasarnya, larangan untuk melangsungkan perkawinan karena hubungan darah/keluarga yang dekat seperti yang disebut dalam Pasal 8 di atas, terdapat juga dalam sistem hukum lain, seperti hukum Islam. Akan tetapi, karena dalam Pasal 8 tersebut dinyatakan bahwa hubungan yang dilarang kawin juga adalah hubungan yang oleh agamanya dan peraturan lain yang berlaku untuk larangan kawin, maka larangan kawin dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tersebut mungkin akan bertambah dengan larangan-larangan kawin menurut hukum agama atau peraturan lain. 54 5. Tidak berada pada ikatan perkawinan dengan pihak lain 55 Syarat untuk melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Pasal 9 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa: ”Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 undangundang ini”. Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa: ” Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki dari pihak-pihak yang bersangkutan”. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-undang No 1 Tahun 1974 angka c yang menyatakan bahwa: ”Hanya apabila dikehendaki yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan”. 54 55
Ibid, hlm 69. Ibid, hlm 70.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
48
Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974, kini poligami tidak dapat dilakukan oleh setiap orang dengan sekehendak hati atau asalkan dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan saja, tetapi poligami hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari pengadilan. Untuk itu yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan di daerah tempat tinggal pemohon. Pengadilan hanya memberi izin kepada seorang suami untuk melakukan poligami apabila ada alasan yang dapat dibenarkan dan telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. 56 Alasan yang dapat dijadikan dasar oleh suami untuk melakukan poligami telah ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974, yaitu: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seluruhnya oleh seorang suami untuk melakukan poligami diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974, yaitu: ”Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri. 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. 3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka”.
56
Ibid, hlm 73.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
49 6. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya. 57 Syarat perkawinan yang ke enam ini disebutkan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 10, yang menyatakan bahwa: ”Apabila suami dan istri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain”. Dalam penjelasan Pasal 10 Undang-undang No 1 Tahun 1974, menyebutkan bahwa: ”Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain. 7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda. Dalam Pasal 11 Undang-undang No 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa wanita yang putus perkawinannya, tidak boleh begitu saja kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis. 58 2. Syarat-syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum Islam. Sejak berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka sahnya suatu perkawinan menurut hukum agama di Indonesia sangat menentukan. 57 58
Ibid, hlm 74. Ibid, hlm 75.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
50 Apabila suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing berarti perkawinan tersebut tidak sah. Perkawinan yang dilakukan di Kantor Catatan Sipil atau di Pengadilan apabila tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu berarti tidak sah. Menurut hukum Islam, suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, yaitu: 1. Calon suami, syarat-syaratnya: -
Beragama Islam
-
Laki-laki
-
Jelas orangnya
-
Dapat memberikan persetujuan
-
Tidak terdapat halangan perkawinan.
2. Calon istri, syarat-syaratnya: -
Beragama Islam
-
Perempuan
-
Jelas orangnya
-
Dapat dimintai persetujuannya
-
Tidak terdapat halangan perkawinan
3. Wali nikah, syarat-syaratnya: -
Laki-laki
-
Dewasa
-
Mempunyai hak perwalian
-
Tidak terdapat halangan perwaliannya
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
51 4. Saksi nikah, syarat-syaratnya: -
Minimal dua orang laki-laki
-
Hadir dalam ijab qabul
-
Dapat mengerti maksud akad
-
Islam
-
Dewasa
5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya: -
Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
-
Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
-
Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut
-
Antara ijab dan qabul bersambungan
-
Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
-
Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah
-
Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum oleh empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi. 59
Di samping rukun dan syarat tersebut di atas, menurut para ulama, mahar itu hukumnya wajib dan ditempatkan sebagai syarat sahnya dalam perkawinan berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Hal ini berdasarkan QS an-Nisa’ ayat 4 dan 24. Di dalam QS an-Nisa’: 4, Allah SWT berfirman; yang artinya: “Berikanlah mas kawin (shaduq, nihlah) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian mas kawin itu 59
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit., hlm 62-63.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
52 dengan senang hati, maka gunakanlah (makanlah) pemberian itu dengan sedap dan nikmat”. Pada QS an-Nisa’: 24, Allah SWT berfirman; yang artinya: ”Dihalalkan bagimu (mengawini) perempuan-perempuan dengan hartamu (mahar), serta beristri dengan dia, bukan berbuat jahat. Jika kamu telah menikmati (bersetubuh) dengan perempuan itu, hendaklah kamu memberikan kepadanya mas kawin (ujur, faridah) yang telah kamu tetapkan”. Sementara berkaitan dengan masalah wali, menurut Imam Hanafi wali bukanlah syarat dalam perkawinan, oleh karena itu wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat boleh mengawinkan dirinya asalkan perkawinannya dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa wali adalah tidak sah. Selanjutnya syarat-syarat bagi dua orang saksi dalam akad nikah adalah harus orang yang beragama islam, dewasa (baligh), berakal sehat, dapat melihat, mendengar dan memahami tentang akad nikah. Tidak ada ketentuan yang menjadi saksi apakah orang yang masih mempunyai hubungan darah atau tidak dengan kedua mempelai. 60 3. Syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam. Di dalam Kompilasi Hukum Islam juga diatur mengenai rukun dan syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 14 KHI yaitu untuk melaksanakan perkawinan harus ada: 1) Calon suami 2) Calon istri 3) Wali nikah 60
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama.,Manndar Maju, Bandung, 1990, hlm 28-30. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
53 4) Dua orang saksi; dan 5) Ijab dan Kabul Mengenai calon mempelai baik calon suami dan calon istri diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut: Pasal 15 KHI yaitu: (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. (2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undangundang No 1 Tahun 1974. Pasal 16 KHI yaitu : (1) Perkawinan didasarkan persetujuan calon memelai (2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan tegas. Pasal 17 KHI yaitu : (1) Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua orang saksi nikah. (2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. (3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Pasal 18 KHI yaitu: ”Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI”. Mengenai Wali Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut : Pasal 19 KHI yaitu:
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
54 ”Wali Nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. Pasal 20 KHI yaitu: (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, akil dan baligh. (2) Wali nikah terdiri dari: a. Wali Nasab b. Wali Hakim. Pasal 21 KHI yaitu: (1) Wali Nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua : kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga : kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka. (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang samasama berhak menjadi wali nikah, maka yang paling berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. (3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah adalah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah. (4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya, sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Pasal 22 KHI yaitu: ”Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau karena wali itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
55 sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya”. Pasal 23 KHI yaitu: (1) Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan. (2) Dalam hal wali adlal atau enggan, maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada Putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. Mengenai Saksi Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: Pasal 24 KHI yaitu: (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Pasal 25 KHI yaitu: ”Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah adalah seorang laki-laki muslim, adil, akil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”. Pasal 26 KHI yaitu: ”Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akad Nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan”. Mengenai Ijab Kabul diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: Pasal 27 KHI yaitu: ”Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu”. Pasal 28 KHI yaitu:
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
56 ”Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain”. Pasal 29 KHI yaitu: (1) Yang berhak mengucapkan kabul adalah calon mempelai pria secara pribadi. (2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberikan kuasa yang tegas secara tertulis. (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
BAB III KETENTUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH
F. Pengertian Perkawinan dan Akta Nikah a. Pengertian perkawinan
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
57 Kata pernikahan berasal dari bahasa Arab: nikah, yang berarti ”pengumpulan” atau ”berjalinnya sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Adapun dalam istilah hukum syariat, nikah adalah akad yang menghalalkan pergaulan sebagai suami-istri (termasuk hubungan seksual) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan bukan mahram yang memenuhi persyaratan tertentu, dan menetapkan hak dan kewajiban masing-masing demi membangun keluarga yang sehat secara lahir dan bathin. Kata lain yang biasa digunakan untuk nikah adalah zawaj yang berarti perkawinan. 61 Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorag pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk kelurga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1). Sementara menurut KHI, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholidzan 62 untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Pasal 2). Sedangkan Hazairin, dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Nasional mengatakan bahwa inti perkawinan itu adalah hubungan seksual. Menurut beliau tidak ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan seksual. Beliau mengambil tamsil bahwa bila tidak ada hubungan seksual antara suami istri, maka tidak perlu ada tenggang waktu menunggu (iddah) untuk menikahi lagi mantan istri tersebut dengan laki-laki lain. 63
61
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, Penerbit Mizan, Bandung, 2002, hlm 3-4. 62 Kata Miitsaqan Ghalidan ditarik dari firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 21 yang artinya: “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (Miitsaqan Ghalidhan) 63 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2004, hlm 2. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
58 Rumusan pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 bukan saja memuat pengertian atau arti perkawinan itu sendiri, tetapi juga mencantumkan tujuan dan dasar perkawinan. Pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuannya adalah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa atau jika dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (1) Undangundang No 1 Tahun 1974 adalah didasarkan kepada hukum agamanya atau kepercayaan agamanya masing-masing. 64 Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam yang secara spesifik meletakkan perkawinan itu sebagai salah satu ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah (Pasal 2 dan 3). Dengan demikian, bila dibandingkan dengan pengertian dan tujuan perkawinan yang dirumuskan dalam Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974, pengertian dan tujuan perkawinan yang dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam ini lebih lengkap. 65 Dengan ikatan lahir batin dimaksudkan bahwa perkawinan tidak hanya cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan batin saja, tetapi harus kedua-duanya. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata yang terjadi dengan adanya upacara perkawinan, yaitu dengan mengucapkan akad nikah bagi yang beragama Islam. Sedangkan ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, yaitu suatu ikatan yang tidak dapat dilihat yang merupakan
64 65
Rachmadi Usman, Op. Cit., hlm 268. Ibid, hlm 268.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
59 pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri, yang pada tahap permulaan ikatan batin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Selanjutnya dalam hidup bersama ikatan batin ini tercermin dengan adanya kerukunan suami istri yang bersangkutan. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga bahagia dan kekal. 66 b. Pengertian akta nikah Sesaat setelah dilangsungkan perkawinan menurut masing-masing hukum agama dan kepercayaan, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta nikah itu juga ditandatangani oleh kedua orang saksi dan Pegawai Pencatat Nikah yang menghadiri perkawinan, dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan tersebut maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi. 67 Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut Pasal 2 ayat (1) yaitu perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing dan Pasal 2 ayat (2) yaitu dilakukan pencatatan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku yang disebut dengan ” Surat Akta ”.
66 67
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1975, hlm 14. Prof. H. Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hlm 92.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
60 Surat akta adalah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya suatu surat akta dapat disebut sebagai akta adalah: a. Surat itu harus ditandatangani; b. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan; c. Surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti. 68 Surat akta dapat dibagi dua, yaitu: 1. Akta resmi (Autentik) adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum menurut undang-undang ditegaskan untuk membuat surat akta tersebut. 2. Akta di bawah tangan adalah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum. Suatu akta resmi (Autentik) menurut undang-undang mempunyai suatu kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya apabila suatu pihak menerimanya dan menganggap apa yang telah dituliskan dalam akta itu sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi. 69 Sebagai alat bukti, maka akta perkawinan mempunyai tiga sifat, yaitu: 1. sebagai satu-satunya alat bukti yang mempunyai arti mutlak. 2. sebagai alat bukti penuh, artinya disamping akta perkawinan itu, tidak dapat dimintakan alat-alat bukt i lain. 68
Viktor M Situmorang dan Cormentya Sitanggang, Aspek Hukum Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm. 52. 69 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Inter Masa, Jakarta, 1980, hlm 178. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
61 3. sebagai alat bukti yang bersifat memaksa, sehingga bukti perlawanannya tidak dapat melemahkan akta perkawinan itu. 70 Menurut Masjfuk Zuhdi akta nikah itu adalah: ”sebagai bukti autentik sahnya suatu perkawinan seseorang, adalah sangat bermanfaat dan mashlahat bagi diri dan keluarganya (istri dan anak-anaknya) untuk menolak kemungkinan di kemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya dan akibat hukum dari perkawinan itu (harta bersama dalam perkawinan dan hak-hak perkawinan) dan juga untuk melindungi dari fitnah dan tuduhan zina, maka jelaslah bahwa pencatatan nikah untuk mendapatkan akta tersebut sangat penting”. 71 Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa akta itu merupakan surat keterangan tanda bukti kebenaran sesuatu yang ditandatangani oleh pihak yang berkepentingan dan disahkan oleh pejabat yang berwenang terhadap akta tersebut. Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975, tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, disebutkan bahwa akta perkawinan adalah sebuah daftar besar yang memuat antara lain sebagai berikut: 1. Nama, tempat dan tanggal lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman dari suami dan istri, dan apabila salah seorang atau kedua-duanya pernah kawin , disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu, orang tua mereka; 2. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka; 3. Izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UndangUndang; 4. Dispensasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang; 5. Izin Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Undang-Undang; 6. Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang; 7. Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Hankam/Pangab bagi anggota angkatan bersenjata; 8. Perjanjian perkawinan bila ada; 70
Soetojo Prawiro Hamidjojo dan Azis Sofiodin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1979, hlm 59. 71 Mimbar Hukum, No. 62 Tahun XIV 2003, hlm 68. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
62 9. Nama, umur agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam; 10. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa. Akta perkawinan itu oleh Pejabat Pencatat Nikah dibuat dalam rangkap 2 (dua). Helai pertama disimpan di kantor pencatatan (Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil), sedangkan helai kedua dikirim ke pengadilan yang daerah hukumnya mewilayahi Kantor Pencatatan tersebut. Hal ini untuk memudahkan pemeriksaan oleh pengadilan bila dikemudian hari terjadi talak atau gugatan perceraian. Sebab undang-undang menentukan bahwa cerai hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, sedang cerai gugatan harus dengan putusan pengadilan. Sedangkan kepada suami istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan yang disebut dengan Buku Nikah dengan isi yang sama. Dalam kutipan ini tentu saja tidak dimuat semua catatan yang terdapat dalam Akta Nikah itu sendiri, melainkan hanya beberapa catatan umum yang dipandang perlu, yaitu bagi seorang laki-laki dimuat tentang nama lengkap dan aliasnya, bin, tanggal lahir (umur), tempat lahir, agama, pekerjaan, tempat tinggal, tanda-tanda istimewa, jejaka, duda atau beristri. Sedangkan bagi seorang perempuan kutipan tersebut hanya memuat tentang nama lengkap dan aliasnya, binti, tanggal lahir (umur), tempat lahir, agama, pekerjaan, tempat tinggal, tanda-tanda istimewa, perawan atau janda. Dan yang menjadi wali nikah hanya memuat nama lengkap dan aliasnya, bin, tanggal lahir (umur), pekerjaan, agama, tempat tinggal, dan apa hubungannya (wali apa). 72 Perlu diketahui bahwa pemerintah melarang adanya akta perkawinan yang tidak sah, misalnya surat kawin khusus yang dikeluarkan oleh ”aliran kepercayaan”.
72
Mohd. Idris Ramulyo, Op. Cit., hlm 182.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
63 Sebagaimana dinyatakan dalam Surat Menteri Agama tanggal 18 Oktober 1978 nomor B. IV/11215/1978 kepada para Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia, antara lain menyebutkan: ” Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah menegaskan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama dan pembinaannya tidak menggarah kepada pembentukan agama baru”...”. Berdasarkan hal-hal yang tersebut di atas dan mengingat pula masalah penyebutan agama, perkawinan, sumpah, penguburan zenazah adalah menyangkut keyakinan agama, maka dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak mengenal adanya tata cara perkawinan, sumpah dan penguburan jenazah menurut aliran kepercayaan dan tidak dikenal pula adanya penyebutan ”Aliran Kepercayaan” sebagai ”Agama” baik dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan lain-lain”... . Kemudian dalam Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Kep089/J.A/9/1978 tentang larangan pengedaran/penggunaan Surat kawin yang dikeluarkan oleh Yayasan Pusat Srati Dharma Yogyakarta, antara lain dikatakan: ”Bahwa aliran Sapto Darmo sebagai salah satu aliran kepercayaan telah membuat dan menggunakan surat kawin khusus yang dikeluarkan oleh Yayasan Pusat Srati Darma Yogyakarta bagi para penganutnya. Bahwa penggunaan surat kawin tersebut telah mengakibatkan keresahan dari umat beragama yang akhirnya akan menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban”... .
G. Pengertian Perkawinan Tanpa Akta Nikah Istilah perkawinan tanpa akta nikah atau disebut juga dengan perkawinan di bawah tangan lahir setelah Undang-undang No 1 Tahun 1974 berlaku secara efektif. Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor Pejabat Pencatat Nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam) 73. Perkawinan di
73
http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
64 bawah tangan diartikan pula sebagai perkawinan yang dilaksanakan oleh orang-orang Islam Indonesia, memenuhi baik rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak didaftarkan pada Pejabat Pencatat Nikah, seperti yang diatur dan ditentukan oleh Undang-undang No 1 Tahun 1974. 74 Menurut Wildan Suyuti Mustafa perkawinan tanpa akta nikah adalah istilah yang sering di dengar, tetapi agak sulit untuk ditelusuri, sebab bagi mereka yang melakukannya cenderung untuk berdiam diri, serta dilakukan sebagai alternatif di tengah kondisi darurat berkaitan dengan iklim keagamaan serta sosial budaya. 75 Pada awalnya perkawinan di bawah tangan yang dilakukan adalah didasarkan pada suatu pilihan hukum yang sadar dari pelakunya, bahwa mereka menerima untuk tidak mendaftarkan atau mencatatkan perkawinannya ke KUA bagi yang beragama Islam. Mereka merasa cukup memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974, tanpa harus memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974 dengan alasan agar tidak diketahui oleh masyarakat dan tidak ada tuntutan untuk walimah/resepsi, atau memang perkawinan ini dirahasiakan dulu dan suami istri sepakat belum kumpul sebagai suami istri selama masih kuliah atau pendidikan atau untuk menghindari
status
kawin
karena
menyangkut
kelangsungan
pekerjaan,
atau
mempelainya belum cukup umur menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, kawinnya hanya untuk segera menyambung tali kekeluargaan dan sebagainya. 76
C. Fungsi dan Pentingnya Akta Nikah dalam Perkawinan 74
Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal UU No.1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Ind, Co., 1990, Cet, Ke-2, hlm 226. 75 Mimbar Hukum, No. 26 Tahun VII 1996, hlm 47. 76 Mimbar Hukum, No 62 Tahun XIV 2003, hlm 69. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
65 Suatu perbuatan kawin atau nikah baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara positif. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara perkawinan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974. Perkawinan dengan tata cara demikianlah yang mempunyai akibat hukum, yaitu akibat yang mempunyai hak mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum.
77
Menurut hukum perkawinan di Indonesia, akta nikah mempunyai dua fungsi, yaitu: 1. Fungsi formil (formalitas causa) yaitu untuk lengkapnya dan sempurnanya suatu perkawinan, haruslah dibuat akta autentik, yakni akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Di sini, akta nikah merupakan syarat sebagai adanya perkawinan yang sah. 2. Fungsi materil (probationis causa) yaitu akta nikah mempunyai fungsi sebagai alat bukti. 78 Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 menentukan bahwa suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah menurut hukum apabila saat akan adanya hubungan hukum nikahnya dilakukan menurut hukum agama, sedangkan Pasal 2 ayat (2) menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian didapatkan sebuah makna normatif bahwa perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dilakukan menurut hukum.
77 78
Ibid, hlm 67. Mimbar Hukum No 26 Tahun VII 1996, hlm 48.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
66 Selanjutnya K Wantjik Saleh dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia menyatakan bahwa: ”kiranya dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang resmi yang termuat pula dalam suatu daftar dapat dpergunakan dimana perlu, terutama sebagai suatu alat bukti tertulis yang autentik. Dengan adanya suatu surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah atau perbuatan lain”. 79 Dilihat dari segi teori hukum, suatu tindakan yang dilakukan menurut hukum baru dikatakan sebagai perbuatan hukum, dan oleh karena itu maka berakibat hukum yakni akibat dari tindakan itu mendapat pengakuan dan perlindungan hukum. Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum tidak dikatakan sebagai perbuatan hukum sekalipun tindakan itu belum tentu melawan hukum dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui atau dilindungi oleh hukum. Apabila dilihat dari segi administrasi kependudukan, peristiwa perkawinan adalah proses awal dari mekanisme pertumbuhan kependudukan. Naiknya jumlah penduduk atau menurunnya angka perkawinan turut menjadi bagian dari proses prediksi kondisi masa depan. Proyeksi aspek kependudukan sangat mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masa yang akan datang. Terhindarnya ketimpangan antara proyeksi kependudukan dengan gambaran kehidupan sosial ekonomi di masa datang hanya dapat terjadi melalui kematangan kondisi objektif saat sekarang. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa administrasi kependudukan perlu ditangani secara serius dan salah satu masalah kependudukan adalah perkawinan. 80
79 80
K. Wantjik Saleh, Op. Cit., hlm 15. Mimbar Hukum No 23 Tahun VI 1995, hlm 49.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
67 Unsur pencatatan perkawinan di samping unsur agama pada tiap peristiwa perkawinan seperti yang dikehendaki Pasal 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 mempunyai kaitan secara langsung dengan masalah kependudukan tadi. Tinggi rendahnya angka kelahiran dan umur perkawinan terletak pada peristiwa perkawinan itu sendiri. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan bukan hanya untuk ketertiban masalah perkawinan, akan tetapi mencakup hal-hal seperti masalah kependudukan. Dari pernyataan tersebut dapat dijumpai bahwa pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 terdapat norma keteraturan mengenai bagaimana suatu perkawinan yang sah itu harus terjadi, dan pada ayat (2) pasal ini terkandung norma ketertiban yang bertujuan untuk terciptanya ketertiban yang bertujuan untuk terciptanya ketertiban perkawinan bagi seluruh aspeknya. 81 G. Pengertian Itsbat Nikah Pengertian ”itsbat nikah” dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi bahasa dan segi istilah. Secara bahasa itsbat nikah terdiri atas dua kata arab, yaitu kata ”itsbat” dan kata ”nikah”. Kata ”itsbat” merupakan masdar atau asal kata dari kata ”atsbata” yang berarti ”menetapkan”. Kata ”itsbat” berarti ”penetapan”. Sedangkan ”nikah” berasal dari kata ”nakaha”
yang berarti ”saling menikah”. Kata nikah berarti ”pernikahan”. Dengan
demikian, istilah itsbat nikah berarti penetapan pernikahan. 82 Bagi yang beragama Islam, suatu perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan adanya akta nikah yang dibuat oleh Pejabat Pencatat Nikah. Apabila suatu perkawinan
81
Ibid, hlm 49-50. M. Ma’sum Ibn’ Ali, Al Amsilatu at Tasrifiyyatu, Surabaya, Maktabu Wa Matba’ati Salim Nabhan, hln 16-17. 82
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
68 tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah , maka dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Namun Itsbat Nikah tersebut hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan alasan: 1. 2. 3. 4.
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; Hilangnya akta nikah; Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974; 5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974. 83
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH
A. Tinjauan Hukum terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah 1. Menurut UU No 1 Tahun 1974 Sahnya suatu perkawinan merupakan hal yang sangat penting, karena berkaitan erat dengan akibat-akibat perkawinan, baik yang menyangkut keturunan (anak) maupun harta. Bila perkawinan dinyatakan sah, maka baik harta yang diperoleh selama masa perkawinan, maupun anak yang lahir dari perkawinan tersebut, kedudukan hukumnya menjadi jelas dan tegas. Harta yang diperoleh selama perkawinan dan anak yang lahir
83
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 7 ayat (3).
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
69 dari perkawinan tersebut dinyatakan mempunyai hubungan hukum dengan kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan. Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa: ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) ini, disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundangundangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepecayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dengan undang-undang ini. Dan dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa: ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Jadi, orang beragama Islam, perkawinannya baru dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam, tetapi di samping itu, ada keharusan pencatatan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan suatu perkawinan sama dengan pencatatan suatu peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang, misalnya: kelahiran, kematian. Pencatatan itu perlu dilakukan untuk memperoleh kepastian hukum. 84 Dengan demikian sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 adalah apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2). Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut merupakan syarat kumulatif, oleh karena itu, suatu perkawinan 84
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 2004, hlm 243.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
70 yang dilakukan menurut hukum agama tanpa dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), belum dianggap sebagai perkawinan yang sah. Hal ini dipertegas oleh ketentuan Pasal 3 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa: ” Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan, memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.” Dan ketentuan Pasal 10 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975, yang menyatakan bahwa: “ Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.” Dengan ketentuan Pasal-pasal tersebut maka semakin jelas dan tegas bahwa suatu perkawinan itu harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Apabila perkawinan itu tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat ketika perkawinan itu dilaksanakan, maka kesulitan yang akan timbul adalah ketika perkawinan itu hendak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), Pegawai Pencatat Nikah akan menolak mencatat perkawinan itu, dengan alasan bahwa mereka tidak mengetahui adanya perkawinan, sebab Pegawai Pencatat Nikah tersebut tidak ikut menyaksikan secara langsung perkawinan tersebut. 85 2. Menurut hukum Islam Pada dasarnya, seorang laki-laki hendaklah mencukupkan diri dengan memiliki satu orang istri saja, demi menjaga ketenangan kehidupan berkeluarga, dan agar lebih mudah untuk memelihara dan mendidik anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan 85
Mimbar Hukum No 23 Tahun VI 1995, hlm 37.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
71 tersebut. Namun adakalanya timbul situasi atau kondisi darurat, misalnya dalam keadaan istri tidak dapat melahirkan keturunan, atau tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, karena cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan sebagainya. Sedangkan si suami masih tetap mencintai istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Di sisi lain, cukup banyak perempuan yang sudah waktunya menikah, dan telah memenuhi persyaratan untuk itu, namun belum juga beruntung memperoleh seorang suami untuk menjadi pendamping hidupnya dan memperoleh keturunan darinya. Dalam keadaan yang demikian, solusi yang mungkin paling sedikit mudaratnya walaupun tidak terlepas dari berbagai keberatan adalah laki-laki yang sudah beristri tersebut mengawini seorang perempuan lain di samping istrinya yang sudah ada. Di dalam Al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang memerintahkan atau menganjurkan poligami. Hal tersebut dinyatakan dalam QS An-Nisa’ [4]: 3 yang hanyalah sebagai informasi dalam rangka perintah Allah SWT agar memperlakukan sanak saudara terutama anak-anak yatim dan harta mereka dengan perlakuan yang seadiladilnya. Terjemahan QS. An-Nisa’ [4]: 3 tersebut berbunyi sebagai berikut: ”...serahkanlah kepada anak-anak yatim (setelah mereka mencapai usia baligh) harta mereka. Jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya perbuatan (memakan harta anak yatim) itu adalah dosa amat besar. Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu ingini (atau kamu nilai baik): dua, tiga atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil (di antara istri-istrimu apabila mengawini lebih dari satu orang istri) maka cukupkanlah dirimu dengan satu orang istri saja, atau hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat (atau lebih patut) bagi kamu agar tidak bertindak aniaya”. Para ahli tafsir menyatakan bahwa dalam ayat ini, Allah SWT menujukan firmanNya kepada para penanggung jawab atau kepada wali anak-anak perempuan yatim, Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
72 terutama kepada wali yang kebetulan ikut mengelola harta mereka, lalu timbul niat dalam hati untuk mengawini mereka agar para wali itu berhati-hati. Sehingga sekiranya tidak merasa yakin dapat bersikap adil terhadap anak-anak yatim apabila mengawini mereka, baik dengan tidak memberi mas kawin kepada mereka selayaknya ataupun tidak mengelola harta mereka dengan sejujur-jujurnya, maka sebaiknya beralih saja kepada perempuan-perempuan lain untuk dikawini, sedangkan Allah SWT tidak mempersempit bagi mereka. Sehingga bukan saja mereka hanya diperbolehkan mengawini satu orang perempuan saja, tetapi sepanjang mampu bersikap adil, dalam arti memberikan perlakuan yang sama, maka boleh mempunyai istri dua,tiga atau empat dalam waktu bersamaan. Sebaliknya apabila takut tidak dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya maka mereka hanya dibolehkan mengawini satu orang saja. 86 Para ulama sepakat bahwa tidak seorang pun, selain Rasulullah Saw, yang dibolehkan mengawini lebih dari empat orang istri dalam waktu yang bersamaan. Hal ini berdasarkan ketentuan dalam firman Allah SWT di atas, juga berdasarkan hadis Nabi Saw, serta fakta bahwa tak seorang pun di kalangan para sahabat yang beristrikan lebih dari empat orang. Adapun tentang yang diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw mempunyai sembilan orang istri, maka yang demikian itu merupakan salah satu kekhususan yang berkaitan dengan kepribadian beliau sebagai Nabi. Perlu dicamkan bahwa tidak sekali pun Beliau menikahi salah seorang di antara istrinya kecuali demi tujuan mulia, sesuai dengan adat kebiasaan masa itu. Antara lain, untuk memperkokoh ikatan persaudaraan di antara para sahabat dan pendukungnya, atau demi menyelamatkan janda yang suaminya
86
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Op. Cit., hlm 91.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
73 gugur dalam peperangan membela agama Islam, sementara tak seorang pun keluarganya yang bersedia dan mampu memeliharanya dan memelihara anak-anaknya. 87 Para pakar sejarah hukum-hukum Islam juga menyebutkan bahwa turunnya ayat Al-Qur’an tentang pembatasan jumlah istri sampai empat orang saja adalah sesudah Nabi Muhammad Saw beristrikan semua Ummahat Al-Mukminin (ibu-ibu kaum mukmin, sebutan bagi istri-istri Nabi Saw). Sementara kebiasaan yang berlaku pada saat itu adalah dibolehkannya
bagi
laki-laki
untuk
mengawini
beberapa
perempuan
yang
dikehendakinya. Para pakar menyebutkan pula bahwa beliau tidak melakukan perkawinan baru lagi sejak turunnya ayat Al-Qur’an tersebut.88 Hal ini juga berkaitan dengan firman Allah yang turun kemudian, yaitu QS Al-Azhab [33]: 52, yang artinya: ” tidaklah halal bagimu(wahai Muhammad) mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh pula mengganti mereka (yakni istri-istri beliau) dengan istri-istri yang lain, meskipun kecantikannya menarik hatimu...” Lalu mengapa Rasulullah tidak menceraikan istri-istri beliau yang lebih dari empat orang ketika turun ayat QS An-Nisa [4] : 3, seperti yang telah diperintahkan bagi kaum muslimin lainnya? Ini juga berkaitan dengan kekhususan Nabi Muhammad Saw, karena istri-istri beliau dalam kedudukan sebagai Ummahat Al Mukminin. Maka seandainya beliau menceraikan mereka, tidak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk menikah dengan laki-laki lain. 89
87
Ibid, hlm 93. Ibid. 89 Ibid, hlm 94. 88
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
74 Tentang larangan akan hal tersebut dapat dibaca dalam firman Allah yang lain dalam rangka penghormatan kepada Rasulullah, yaitu QS Al-Ahzab [33]: 53, yang artinya: ” ...dan tidak boleh kamu menyakiti hati Rasulullah, dan tidak pula mengawini istri-istrinya sepeninggalnya untuk selama-lamanya. Sungguh yang demikian itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah” Para ahli hukum agama mencatat berbagai macam hikmah sosial maupun individual mengapa poligami dibolehkan, dengan mengingat bahwa Islam adalah agama yang universal yang berlaku di setiap tempat dan zaman, dan karena itu sudah seharusnya menyiapkan perundang-undangan guna mencapai kemaslahatan, dalam hal apa saja yang telah terjadi di kalangan masyarakat ataupun diperkirakan akan terjadi dikemudian hari. Adapun hikmah-hikmah tersebut antara lain: 1. Salah satunya adalah kebutuhan menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang baik, secara kuantitas maupun kualitas. Agar dari mereka dapat disiapkan warga negara terpelajar dan terdidik, dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan negara di bidang industri, pertanian, teknologi, kedokteran, militer, administrasi, perdagangan dan sebagainya. Dengan demikian, tidak diperlukan lagi impor tenaga kerja dari luar negeri seperti yang terjadi di negara-negara yang kekurangan sumber daya manusianya, yang pasti membawa berbagai problem yang tidak mudah diatasi. Adapun salah satu caranya untuk meningkatkan jumlah tenaga seperti itu antara lain dengan tidak ditunda-tundanya perkawinan di kalangan kaum muda dan bilamana diperlukan
dengan
membuka
pintu
poligami
yang
memenuhi
berbagai
persyaratannya. Nabi Muhammad Saw, pernah bersabda,”hendaklah kamu saling menikah agar jumlah kamu menjadi banyak” Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
75 2. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa jumlah perempuan di semua negara di dunia adalah lebih banyak dari pada laki-laki. Bahkan adakalanya jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki secara signifikan pada situasi tertentu. Misalnya akibat peperangan yang dalam waktu panjang dan membunuh banyak laki-laki baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam keadaan seperti itu, membolehkan laki-laki mengawini lebih dari satu orang istri, hal ini tentunya lebih baik dari pada membiarkan sejumlah besar perempuan tanpa suami dan tanpa penanggung jawab. Sedangkan di antara mereka cukup banyak perempuan yang sudah waktunya menikah dan sudah memenuhi semua persyaratan untuk itu, namun belum juga beruntung mendapatkan seorang suami untuk menjadi pendamping hidupnya dan diharapkan memperoleh keturunan darinya. Dengan alasan seperti itu maka bersalahkah jika seorang perempuan menerima lamaran menikah dari seorang laki-laki yang sudah beristri dan karena alasan-alasan tertentu memerlukan seorang istri lagi, sedangkan perkawinan bagi seorang laki-laki dan perempuan adalah merupakan kebutuhan primernya, bahkan hak asasi manusia. Selain itu tidak sedikit pula di antara para wanita yang mempunyai status janda yang menanggung beban anak-anak dari suamisuami mereka terdahulu. Dalam keadaan itu, poligami merupakan salah satu solusi sosial untuk menjaga kaum perempuan yang mengalami hal seperti itu agar tidak terjerumus pada pekerjaan yang tidak layak bagi mereka, bahkan adakalanya menjerumuskannya dalam lembah-lembah prostitusi terang-terangan ataupun yang terselubung dalam berbagai profesi tertentu yang bernuansa kemaksiatan. 3. Potensi kebanyakan laki-laki untuk memberi keturunan lebih besar dan lebih lama dari pada yang dimiliki perempuan. Pada umumnya laki-laki tetap subur meski telah Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
76 mencapai usia lanjut, sedangkan perempuan mengalami kehilangan kesuburan ketika mengalami monopouse pada usianya yang ke empat puluh lima atau yang ke lima puluh tahun. Gairah seksual tetap ada pada laki-laki meski telah mencapai usia enam puluh tahun atau bahkan
lebih dari enam puluh tahun, sementara kebanyakan
perempuan kehilangan gairah seksualnya jauh lebih cepat dari usia laki-laki. Dalam hal seperti itu, apakah sebaiknya ia menyalurkan hasrat seksualnya pada perempuan yang tidak dihalalkan baginya, ataukah dalam hal ini lebih baik baginya menikahi lagi seorang perempuan lain yang dengannya ia dapat menjaga kesucian dirinya dan menghindari murka Tuhannya. 4. Adakalanya seorang istri dalam keadaan mandul atau menderita penyakit menahun yang tidak dapat disembuhkan dan oleh karenanya tidak dapat mengurus rumah tangganya dengan sempurna, sementara ia masih ingin agar perkawinannya tetap kekal.
Sedangkan
si
suami
masih
tetap
mencintainya,
dan
tidak
ingin
menceraikannya. Namun ia juga mendambakan keturunan dan ingin pula mendapatkan istri yang sehat, yang bersamanya ia dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya di samping mampu mengurus rumah tangganya. Dalam keadaan yang seperti ini apakah ia lebih baik berpisah dengan istrinya yang sekarang dan kemudian menikah lagi dengan perempuan yang lain?. Tidakkah tindakan yang demikian justru akan menimbulkan kekecewaan bagi istrinya yang sekarang, sementara si istri masih tetap menginginkan kelangsungan perkawinannya dengan suaminya, ataukah si suami harus memendam dalam-dalam segala keinginannya sehingga melewati seluruh hidupnya dalam kesedihan dan tekanan batin? ataukah yang lebih baik dari itu semua adalah dengan memadukan antara keinginannya sendiri dengan keinginan istrinya Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
77 dengan tetap memelihara perkawinannya dan di saat yang sama ia mengawini seorang perempuan lain dan dengan begitu akan bertemu kepentingannya sendiri dan kepentingan istrinya. 5. Tidak dapat dipungkiri bahwa di antara kaum lelaki ada yang secara alami mempunyai hasrat biologis yang berlebihan sehingga untuk memenuhinya tiddak cukup hanya melalui satu orang istri saja. Apakah tidak lebih baik jika menyalurkannya melalui seorang istri sah lainnya, dari pada ia terpaksa berhubungan dengan perempuan lain melalui cara-cara yang tidak dibenarkan oleh agama dan moral, dan bahkan besar kemungkinannya dapat menyalurkan kepadanya dan keluarganya berbagai penyakit kelamin, seperti HIV/AIDS dan sebagainya. Sedangkan Allah SWT sangat melarang perbuatan zina dan mengancam pelakunya dengan azab yang pedih di dunia maupun di akhirat. 90 Seperti dalam QS Al-Isra [17] : 3; yang artinya: ”...dan janganlah kamu mnedekati zina, sungguh itu adalah perbuatan amat keji dan seburuk-buruknya jalan”. Dan dalam QS An-Nur [24] :2; yang artinya: ”perempuan pezina dan laki-laki pezina, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu dari pada melaksanakan hukum agama Allah, apabila kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kiamat. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman atas mereka disaksikan oleh sekelompok di antara kaum mukminin”. Harus sungguh-sungguh diingat pula bahwa adanya persyaratan yang cukup berat bagi seorang seorang suami yang ingin mengawini lebih dari satu orang istri, yaitu terpenuhinya keadilan yakni kesamaan dan kesetaraan dalam segala segi perlakuannya 90
Ibid, hlm 95-96.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
78 kepada istri-istrinya seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, termasuk dalam hal penyediaan makanan, pakaian, perumahan, pembagian waktu dan sebagainya, tanpa membedakan istri yang cantik atau tidak, terpelajar atau tidak, berasal dari keluarga yang miskin atau kaya, atau orang tuanya pejabat atau rakyat jelata. Atas dasar itu pula, jika ia hanya mampu memberikan keadilan hanya kepada dua orang istri saja, haram baginya mengawini lebih dari itu. Dan jika ia hanya mampu memberikan keadilan kepada tiga orang saja, maka hararm baginya untuk mengawini lebih dari itu, dan begitulah seterusnya. 91 Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam QS An-nisa’ [4]: 3; yang artinya: ”...apabla kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) satu orang istri saja, atau hamba sahayamu. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” Dan telah diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah bersabda; ”Barang siapa mempunyai dua orang istri lalu ia lebih cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, ia akan datang pada hari kiamat kelak. dengan sebelah tubuhnya miring” (HR Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibn Majah). Tidak dapat dipungkiri bahwa hidup berkeluarga di masa sekarang memerlukan biaya yang besar, bukan saja untuk makan, minum, pakaian dan tempat kediaman, tetapi juga dalam upaya memelihara kesehatan keluarga dan memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya dalam usia sekolah. Apalagi jumlah anggota keluarga makin membesar dengan adanya poligami, pasti beban nafkah yang harus dipikul seorang suami semakin besar sehingga dikhawatirkan tidak lagi mampu mendidik anak-anaknya dengan 91
Ibid, hlm 100.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
79 sebaik-baiknya pendidikan. Dan pada akhirnya akan menambah jumlah manusia yang tidak terpelajar dan makin banyak pula yang terpaksa mengalami pengangguran bahkan terjerumus dalam kejahatan, sehingga pada gilirannya akan menghilangkan salah satu hikmah poligami sebagaimana dimaksud di atas, yakni memperbanyak sumber daya manusia muslim yang sehat, pandai dan terampil. Dari berbagai argumen yang dikeluarkan oleh para fuqaha yang berkenaan dengan diperbolehkannya poligami dengan beberapa persyaratan tertentu, terutama persyaratan keadilan, yang ditekankan dalam Al-Qur’an, maka kita boleh saja menerima atau menolak argumen-argumen para fuqaha tersebut, namun satu hal yang tidak boleh kita lupakan bahwa Allah SWT jelas membolehkannya dalam Al-Qur’an dan begitu juga dengan Nabi Muhammad Saw, serta para sahabat beliau telah memperaktekkannya dalam kehidupan mereka. Hanya bagaimana kita mampu menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi zaman sekarang, dengan menyusun peraturan-peraturan yang mendatangkan kebaikan sebanyak mungkin dan jauh dari keburukan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan di atas dengan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sabda Rasulullah yang membolehkan poligami, maka membuka kesempatan bagi para kaum laki-laki untuk mempunyai istri lebih dari satu orang dengan syarat-syarat yang telah ditentukan khususnya dalam hal keadilan. Untuk menghindari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-undang No 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa : ”Pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
80 Maka biasanya calon suami istri melangsungkan perkawinan tersebut hanya dengan melalui tata cara dan syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum Islam saja, sebab hukum Islam sudah sangat jelas membolehkan poligami. Oleh karena itu dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh agama Islam yaitu: 1. adanya calon mempelai pria dan calon mempelai wanita dimana kedua mempelai tersebut harus beragama Islam, telah akil baligh ( dewasa dan berakal ), sehat jasmani dan rohani; 2. harus ada persetujuan bebas antara kedua calon mempelai, artinya perkawinan tersebut adalah memang keinginan mereka berdua tanpa adanya paksaan dari pihak manapun; 3. adanya wali nikah; 4. adanya dua orang saksi 5. bayarlah mahar 6. ijab dan kabul. 92 Sehingga perkawinan mereka telah dianggap sah. Dengan kata lain walaupun perkawinan tersebut hanya dilaksanakan menurut ketentuan hukum Islam saja, tetapi perkawinan tersebut telah dianggap sah meskipun perkawinan tersebut tidak dicatatkan ke Pejabat Pencatat Nikah (PPN) atau sering disebut dengan perkawinan tanpa akta nikah. 3. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 (Pasal 4 KHI). Dalam Pasal 5 KHI disebutkan bahwa: 92
Mohd. Idris Ramulyo, Op. Cit., hlm 51-52.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
81 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, maka setiap perkawinan itu harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 1946 jo Undang-undang No 32 Tahun 1954 . Dan dalam Pasal 6 KHI, disebutkan bahwa: (1) Untuk memenuhi ketentuan Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika dilihat dalam ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 KHI, ternyata unsur sah dan unsur tata cara pencatatan diberlakukan secara kumulatif, bahkan dalam Pasal 7 ayat (1) KHI dikatakan bahwa perkawinan bagi orang yang menikah menurut hukum Islam hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan Pasal-pasal di atas, maka sudah jelas KHI menyatakan bahwa unsur pencatatan menjadi syarat sahnya suatu perkawinan. 93
B. Akibat Hukum Perkawinan Tanpa Akta Nikah Ditinjau dari Undang-undang No 1 Tahun 1974. Sebelum melihat bagaimana akibat hukum dari suatu perkawinan tanpa akta nikah menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, maka ada baiknya jika terlebih dahulu mengetahui akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, yang dapat dijadikan sebagai perbandingan, yaitu antara lain:
93
Mimbar Hukum No 62 Tahun XIV 2003, hlm 67.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
82 1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)). 2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 ayat (2)). 3. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga (Pasal 31 ayat (3)). 4. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, rumah tempat kediaman yang dimaksud ditentukan oleh suami istri bersama (Pasal 32). 5. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat (1)) 6. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan (Pasal 34 ayat (3)). 7. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 ayat (1)). 8. Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1)). 9.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi anak yang sah (Pasal 42)
10. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebail-baiknya (Pasal 45 ayat (1)). Suatu perbuatan nikah atau kawin baru dapat dikatakan perbuatan hukum (menurut hukum) apabila dilakukan menurut ketentuan hukum positif. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara perkawinan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
83 kepercayaannya itu, dan pada Pasal 2 ayat (2) yang menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila dilihat dari teori hukum, suatu tindakan yang dilakukan menurut hukum baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, dan oleh karena itu maka berakibat hukum yaitu akibat dari perbuatan itu mendapat pengakuan dan perlindungan hukum. Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum, maka tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum sekalipun tindakan itu tidak melawan hukum, dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat hukum yang diakui dan dilindungi oleh hukum.
94
Oleh karena perkawinan di bawah tangan dianggap sebagai perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan seperti yang diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974, maka perkawinan di bawah tangan tersebut belum dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sehingga perkawinan tersebut tidak mempunyai akibat hukum yang dapat diakui dan dilindungi oleh hukum. Namun, walaupun demikian penulis akan memaparkan dampak dari perkawinan tanpa akta nikah, yaitu sebagai berikut: 1. Makna historik Undang-undang No 1 Tahun 1974 akan tidak efektif sehingga tujuan dari lahirnya Undang-undang Perkawinan tersebut tidak akan tercapai. Maka dengan demikian pengorbanan bangsa dan negara untuk lahirnya Undang-Undang Perkawinan akan menjadi sia-sia. 2. Tujuan normatif dari pencatatan perkawinan tidak terpenuhi seperti yang dikehendaki oleh Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 2, sehingga akan menciptakan kondisi ketidakteraturan di dalam mekanisme kependudukan. 94
Mimbar Hukum, No 23 Tahun VI 1995, hlm 47-48.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
84 3. Naik turunnya jumlah penduduk dan pengaturan umur kawin atau angka kelahiran tidak akan dapat terkendali dan pada akhirnya akan berulang kembali ketimpangan antara pertumbuhan jumlah penduduk dengan mekanisme konsumsi nasional. 4. Masyarakat pada umumnya terutama masyarakat Islam dipandang tidak lagi memperdulikan kehidupan bangsa dan kenegaraan dalam bidang hukum yang pada akhirnya akan sampai pada anggapan bahwa pelaksanaan ajaran agama Islam tidak memerlukan keterlibatan negara. 5. Dampak no 4 di atas akan berpengaruh pada kalangan elite agama Islam sehingga mudah dijumpai perkawinan di bawah tangan yang hanya memperdulikan unsur agama dibandingkan dengan unsur tata cara pencatatan nikah seperti yang diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974. 6. Apabila terjadi wanprestasi terhadap perkawinan maka peluang untuk putusnya perkawinan akan terbuka secara bebas. Kondisi seperti ini akan berakhir tanpa keterlibatan prosedur hukum sebagai akibat langsung dari pemenuhan pelaksanaan unsur tata cara pelaksanaan perkawinan. 7. Apabila perkawinan di bawah tangan terjadi maka secara hukum hanya dapat diikuti dengan perceraian di bawah tangan juga. 95 Apabila dampak perkawinan di bawah tangan ditinjau dari para pelaku perkawinan tersebut, maka dampak yang akan terjadi dari perkawinan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Terhadap Istri
95
Ibid, hlm 50.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
85 Secara hukum, istri dari perkawinan di bawah tangan dianggap tidak sah, sebab perkawinan yang mereka lakukan tidak sah menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974, istri juga tidak berhak atas nafkah dan warisan dari si suami jika ia meninggal dunia dan tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian, karena secara hukum perkawinan mereka dianggap tidak pernah terjadi. 2. Terhadap Suami Hampir tidak ada dampak yang mengkhawatirkan dan merugikan bagi si suami yang melakukan perkawinan di bawah tangan. Yang terjadi justru menguntungkannya, karena suami bebas menikah lagi, sebab perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah menurut hukum, sehingga ia bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. 3. Terhadap Anak Tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum, memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan, yaitu anak tersebut dianggap sebagai anak tidak sah, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 42 Undang-undang No 1 Tahun 1974 bahwa: ” Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Begitu juga dalam Pasal 99 KHI yang menyebutkan hal yang sama dengan Pasal 42 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tersebut, sehingga anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974). Artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya. 96
96
www.gtzggpas.or.id/news/mc/art280306.htm.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
86 Di dalam akte kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga yang dicantumkan hanya nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak dicantumkannya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam terhadap psikologis si anak. Ketidakjelasan status anak menurut hukum, mengakibatkan hubungan anak dengan si ayah tidak kuat, sehingga suatu waktu si ayah dapat menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
C. Akibat Hukum Perkawinan Tanpa Akta Nikah Ditinjau dari Ketentuan Hukum Islam Menurut hukum Islam, apabila suatu perkawinan telah dilakukan dan memenuhi syarat dan rukun perkawinan seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, maka perkawinan tersebut adalah sah menurut hukum Islam. Sehingga walaupun perkawinan tersebut tidak mempunyai akta nikah, tetapi akibat hukumnya adalah sama dengan perkawinan yang mempunyai akta nikah, yaitu: 1. Menjadi halal hubungan seksual antara suami istri. 2. Mahar (mas kawin) menjadi milik istri. 3. Timbulnya hak dan kewajiban diantara suami istri. 4. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi anak yang sah menurut hukum Islam. 5. Suami istri wajib mendidik dan memelihara anak-anaknya. 6. Suami berhak menjadi wali nikah dari anak perempuannya. 7. Berhak mewarisi antara suami istri, demikian juga anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu berhak saling mewarisi dengan orang tuanya. Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
87 8. Bila salah seorang suami atau istri meninggal dunia, maka salah seorang dari mereka berhak menjadi wali pengawas, baik terhadap harta maupun terhadap anak-anak mereka, kecuali hak-hak tersebut dicabut secara sah oleh pengadilan. 97 Hanya saja, perkawinan di bawah tangan tersebut akan berdampak pada anak hasil perkawinan tersebut yaitu tidak bisa mendapatkan akta kelahiran.
D. Akibat Hukum Perkawinan Tanpa Akta Nikah Ditinjau dari Ketentuan Kompilasi Hukum Islam Jika dilihat dari ketentuan Kompilasi Hukum Islam, maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa perkawinan di bawah tangan adalah tidak sah sebab tidak dilakukan pencatatan seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 KHI, sebab unsur sahnya suatu perkawinan dengan unsur tata cara pencatatan diberlakukan secara kumulatif. 98 Hal ini berarti pada dasarnya KHI menganut pandangan yang sama dengan Undang-undang No 1 Tahun 1974 mengenai perkawinan di bawah tangan. Mengenai akibat hukum dari perkawinan yang sah menurut KHI adalah pada dasarnya sama dengan yang diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974.
E. Kaitan Itsbat Nikah dengan Perkawinan Tanpa Akta Nikah Bagi yang beragama Islam, namun tidak dapat membuktikan bahwa telah terjadi perkawinan dengan adanya akta nikah maka mereka dapat mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Namun, tidak semua perkawinan dapat diajukan itsbat nikahnya ke
97 98
Mohd. Idris Ramulyo, Op. Cit., hlm 248. Mimbar Hukum No 62 Tahun XIV 2003, hlm 67
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
88 pengadilan Hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan hal-hal seperti yang dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (3) KHI bahwa: ” Itsbat nikah hanya dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai halhal yang berkenaan dengan: a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. hilangnya akta nikah; c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974, dan e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974”. Artinya, bila ada salah satu dari alasan di atas yang dapat dipergunakan, maka dapat mengajukan itsbat nikah ke pengadilan. Sebaliknya akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (30 KHI tersebut. Tetapi khusus untuk perkawinan di bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian, sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain selain alasan penyelesaian perceraian, hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudak memiliki akta nikah dari pejabat yang berwenang yaitu PPN.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
89
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Undang-undang No 1 Tahun 1974 telah menentukan secara tegas bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1)) dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat (2)).Dengan demikian sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 adalah apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2). Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut merupakan syarat kumulatif, oleh karena itu, suatu perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama tanpa dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), belum dianggap sebagai perkawinan yang sah menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-undang No 1 Tahun 1974. Perkawinan inilah yang disebut dengan perkawinan di bawah tangan. Sedangkan menurut hukum Islam yang berdasarkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sabda Rasulullah yang membolehkan poligami, maka membuka kesempatan bagi para kaum laki-laki untuk mempunyai istri lebih dari satu orang dengan syarat-syarat yang telah ditentukan khususnya Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
90 dalam hal keadilan. Untuk menghindari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-undang No 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa : ”pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Maka biasanya calon suami istri melangsungkan perkawinan tersebut hanya dengan melalui tata cara dan syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum Islam saja, sebab hukum Islam sudah jelas membolehkan poligami. Jadi berdasarkan hal tersebut, maka perkawinan tanpa akta nikah tetap dianggap sah menurut ketentuan hukum Islam, dengan ketentuan bahwa perkawinan tersebut telah memenuhi rukun dan syaratsyarat sahnya perkawinan seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. 2. Apabila dilihat dari teori hukum, suatu tindakan yang dilakukan menurut hukum baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, dan oleh karena itu maka berakibat hukum yaitu akibat dari perbuatan itu mendapat pengakuan dan perlindungan hukum. Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum, maka tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum sekalipun tindakan itu tidak melawan hukum, dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat hukum yang diakui dan dilindungi oleh hukum.
99
. Dengan demikian, berdasarkan teori tersebut, maka suatu
perkawinan di bawah tangan tidak mempunyai akibat hukum, tetapi hanya mempunyai dampak terhadap anak, istri maupun suami sepeti yang dijalaskan pada bab IV di atas. Sedangkan menurut hukum Islam, perkawinan di bawah tangan mempunyai akibat hukum yang sama dengan perkawinan yang mempunyai akta 99
Mimbar Hukum, No 23 Tahun VI 1995, Loc., Cit.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
91 nikah, baik dalam hal warisan, hak istri dan anak, dan lain-lain. Hanya saja apabila terjadi sesuatu hal yang berhubungan dengan hukum positif di Indonesia, maka perkawinan tersebut akan mengalami kesulitan, seperti membuat akta kelahiran bagi anak hasil perkawinan tersebut, dan apabila hendak bercerai, maka perceraian itu hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam saja. 3. Upaya yang harus di tempuh agar perkawinan di bawah tangan menjadi sah menurut ketentuan hukum positif di Indonesia adalah bagi yang beragama Islam dengan cara mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama seperti yang diatur dalam Pasal 7 KHI, tetapi untuk perkawinan di bawah tangan hanya dimungkinkan mengajukan permohonan itsbat nikah dengan alasan untuk menyelesaikan perceraian, sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain hanya dimungkinkan jika sebelumnya pihak yang mengadakan perkawinan telah memiliki akta nikah.
B. Saran 1. Sebaiknya masyarakat Indonesia melakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku supaya perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum, dan di masa yang akan datang perkawinan tersebut dapat dilindungi oleh hukum. 2. Diharapkan kepada masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam, agar perkawinannya tidak hanya berdasarkan ketentuan hukum Islam saja, walaupun sah menurut hukum Islam, tetapi apabila tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang,maka perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum positif.
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
92
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku Al-Habsyi, Muhammad Bagir, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, Mizan, Bandung, 2002 Ali, M. Ma’sum Ibn’, Al Amsilatu at Tasrifiyyatu, Surabaya, Maktabu Wa Matba’ati Salim Nabhan Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990 Hamidjo, Soetojo Prawiro dan Azis Sofiodin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1979 Manan, Abdul, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006 Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesa, Kencana Prenada Media Group, 2004 Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2004 Tinjauan Beberapa Pasal UU No.1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Ind, Co., 1990 Saleh, K. Wantjik Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1975 Situmorang, Viktor M dan Cormentya Sitanggang, Aspek Hukum Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Inter Masa, Jakarta, 1980 Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
93
Suhardana, F.X, Hukum Perdata I, Prenhallindo, Jakarta, 1990 Supriadi, Wila Chandrawila, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, Mandar Maju, Bandung, 2002 Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2004 Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
II. Jurnal Mimbar Hukum, No. 26 Tahun VII 1996 Mimbar Hukum, No. 62 Tahun XIV 2003 Mimbar Hukum No 23 Tahun VI 1995 Mimbar Hukum, No 64 Tahun XV 2004 Mimbar Hukum, No 23 Tahun VI 1995
III. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Instruksi Presiden No 1 Tahun 1999 tentang Kompilasi Hukum Islam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan
IV. Internet http://www.gtzggpas.or.id/news/mc/art280306.htm http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009
94
Mufidah Ulfah : Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam, 2008. USU Repository © 2009