FUNGSI DAN KEDUDUKAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM)/KELOMPOK PELITA SEJAHTERAH (KPS) DALAM PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MASSAL (STUDY TERHADAP PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MASSAL PT. SHAMBROCK)
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH : HELFRIDA DEBORA NIM. 030200071 BAGIAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERBURUHAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Helfrida Debora : Fungsi Dan Kedudukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) Dalam Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Massal (Studi Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Massal PT. Shambrock), 2007 USU Repository © 2008
FUNGSI DAN KEDUDUKAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM)/KELOMPOK PELITA SEJAHTERAH (KPS) DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MASSAL (STUDY TERHADAP PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MASSAL PT. SHAMBROCK)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
NAMA NIM BAGIAN P. KEKHUSUSAN
: HELFRIDA DEBORA : 030200071 : HUKUM ADMINISTRASI NEGARA : PERBURUHAN
DISETUJUI OLEH : KETUA DEPARTEMEN
(DR. PENDASTAREN TARIGAN SH, MS) NIP. 131 410 462
PEMBIMBING I/ KETUA BAGIAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERBURUHAN
(KELELUNG BUKIT, SH) NIP. 130 356 211
PEMBIMBING II
(DR. BUDIMAN GINTING, SH, M. Hum) NIP. 131 570 456
Helfrida Debora : Fungsi Dan Kedudukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) Dalam Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Massal (Studi Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Massal PT. Shambrock), 2007 USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi momok yang menakutkan bagi pekerja/buruh dan menjadi masalah yang cukup pelik dihadapi oleh bangsa ini. Rendahnya pengawasan pemerintahan terhadap perusahaan swasta membuat PHK meningkat tajam bahkan pengusaha tidak segan-segan melakukan PHK secara besar-besaran (massal). Salah satu bukti lemahnya pengawasan pemerintah ini dapat dilihat dari prisip bahwa PHK seharusnya menjadi upaya terakhir ternyata perusahaan swasta sering kali melakukan PHK sepihak tanpa prosedur yang jelas. Demikian juga masalah ijin dari instansi terkait yang harus didapatkan sebelum melakukan PHK ternyata belum dilaksanakan secara efektif. Dari masalah yang cukup pelik ini penulis tertarik untuk melihat realitas pelaksanaan peraturan yang mengatur tentang PHK. Akhirnya penulis memutuskan untuk melakukan study dokumen tentang pelaksanaan PHK Massal yang terjadi di PT. Shambrock Manufacturing Coorpora. Maka lahirlah skripsi yang berjudul “Fungsi dan Kedudukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Kelompok Pelita Sejahterah (KPS) dalam Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Massal”. Pertama-tama
Penulis
memanjatkan
puji
syukur
kehadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas perkenan-Nyalah Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang memberikan kontribusinya membantu Penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini baik secara langsung atau tidak langsung. Diantaranya adalah :
i
1. Bapak Prof. DR. Runtung, SH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas sumatera Utara Medan. 2. Bapak DR. Pendastaren tarigan, SH, MS selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Kalelung Bukit, SH selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Perburuhan sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah membimbing Penulis hingga diselesaikannya skripsi ini. 4. Bapak DR. Budimab Ginting, SH, M. Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan semangat dan perhatian penuh dalam penulisan skripsi ini. 5. Bapak Sahat Lumban Raja, ST, selaku Direktur Eksekutif KPS, yang telah mau memberikan pengarahan dan wejangan bagi kebaikan penulisan skripsi Penulis. 6. Bapak Gindo Nadapdap, SH, Koordinator Devisi Kampanye dan Pembelaan KPS, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdikusi. 7. Kak Kiki Pranasari, SH (alumni awak) selaku Staf Devisi Kampanye dan Pembelaan KPS, yang telah dengan sabar menemani dan meluangkan waktunya untuk menemani dan berdiskusi. 8. Kedua Oarang Tua Penulis, R. Gultom dan R. Sianaga yang telah berjerih-lelah, sabar membesarkan, mendidik dan setia berdoa bagi Penulis hingga menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
ii
9. Saudara-saudaraku, Bang Pijor Gultom dan Kak Ilin, bang Robinder Gultom, SE. dan Eda San Sariaty naenggolan ( tidak lupa Jenny Anggiat Putri Hotnauli Gultom, Jefry Pernando Gultom ponakan yang lucu en imoet) , kak Ros dan Angkang Situpang, bang Jhon Kenedy Gultom, kak Lolita desima Gultom, siampudan kami yang cantik Risma Uli Gultom, Syukur pada Tuhan Yesus yang telah menjadikan kalian semua bagian hidupku. 10. Pada kakak en abang kelompokku, Bang Tony Frengky Pangaribuan, kak Masta Napitu Pulu dan Bang Adil makasih buat dukungan doa-doa kalian. 11. Kepada teman-teman Kelompokku, Meirini Marpaung, Siska Sitepu, Eska Lina,SH. Juga pada teman-teman PIPAku, Donny Manurung, Hisar Situmorang. Andhika Dhachi, mari sama-sam berjuang !!! 12. Kepada Adik-adik Kelompokku ( Sri Maria, Nova, Evi, Sipudan, Melda, Harry, Bona, Freddy, Helga dan Sofie). Yang telah mendukung dan setia berdoa untuk kelancaran study Penulis. Kira nya menjadi sahabat sejadi di dalam Tuhan. 13. Terkhusus buat sepasang Merpati yang suka usil en berantem (Milpan alias Buncit, Anetokoro) capede… 14. Kakak en Abang alumni di UP FH, Bang Rudi,Bang Jhon, kak Ove, kak Merlin, kak Netanya, kak Juniar (jangan seteres lagi ya kak).
iii
15. Sahabat-sahabatku, Dina K Gultom (Tomjel), Boy CL. Tobing (qiting), kak Elfridawati Siburian (jujuk), Iman Pasu Purba ( maaf namamu ga lengkap kepanjangan), kak Widya (cengeng), Bang Rian (semangat…!!), kapan lagi kita kepantai …? Tuti Hutabalian (Manja Buanget) tataplah jadi pendoa bagi pelayanan kita…!, Pastahan Manalu tunduklah kepada kehenda Tuhan… 16. Buat teman-teman Stambuk 03 ( Evlyn, Tulang, Jie, Opung, Erlan, Besty, Eka, Nuri, Ai, Esnita, Tintin, Farida, Ilse) maaf klo ada nama yang ga disebutin kebanyakan sih 17. Adik-adik stb ’04 en ‘05 ( Hotma Gultom, Sastra, Herni, Ana, kristina, lista,
inak, Erwin, Tety, Swarni, Kiris, Mokmok, Adek kandungku,
Emmy, Laura en Lely Smaunya deh… 18. Kawan-kawan seperjuangan di Perburuhan (Desiana, Teresia, Triani, Rendy Bangun, Nova Versita, Melda, Polda, Lazarus en Rondi Pramuda padang). Tidak lupa junior (Edy Ginting, Julianto, …?). 19. Para pihak yang karena keterbatasan ruang tidak dapat disebutkan satu persatuyang ikut berperan banyak dalam penulisan skripsei ini.
Mengingat skripsi ini masih membutuhkan
kajian yang cukup
mendalam dan sifat ilmu pengetahuan yang mengalami perkembangan maka Penulis sangat berhatrap saran maupun kritikan yang bersifat membangun demi kemajuan ilmu pengetahuan dan tersempurnakannya skripsi ini. Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari semua pihak, Penulis tidak akan mampu menyelesaikan penulisan
iv
skripsi ini, untuk itu penulis mohon maaf apabila ada kekurangan atau tindakan Penulis yang tidak berkenan selama ini. Akhirnya biarlah kemulian hanya bagi Dia yang empunya segalanya dan yang telah Menagsihiku. Amin.
Hidup Buruh !!! Buruh bersatu Tak Bisa Dikalahkan !!! Ayo Bersatu kaum Buruh !!!
Medan, 7 Desember 2007
Penulis
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. DAFTAR ISI
i
................................................................................................
vi
ABTRAKSI ...................................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................
1
A. Latar Belakang ..................................................................................
1
B. Perumusan Masalah
5
........................................................................
C. Tujuan dan Manfaat Penulisa
..........................................................
6
D. Keaslian Penulisan
...........................................................................
7
E. Tinjauan Kepusta
.............................................................................
8
................................................................................
9
.............................................................................
10
F. Metode Penuli G. Sistematika Penul
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MASSAL MENURUT UNDANG-UNDANG
............................
13
A. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja Massal Menurut Peraturan Perundang-Undangan
......................................................................
13
B. Larangan-Larangan atau Syarat-Syarat Pemutusan Hubungan Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan...................................................................................
14
C. Hak dan Kewajiban Pekerja/Buruh Yang Terkena Pemutusan Hubungan Kerja ....................................................................................................
15
D. Sejarah Terbentuknya Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh ..........................................................................
vi
19
BAB III ALASAN-ALASAN MELAKUKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MASSAL
........................................................................
25
A. Alasan-Alasan Timbulnya Sengketa Buruh dan Majikan ...................
25
B. Penyelesaian Sengketa Menurut Undang-Undang Nomor 22 Trahun 1957 ....................................................................
31
C. Penyelesaian Sengketa Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
.......................................................................
36
D. Jenis-Jenis Organisasi Masyarakat Berkaitan Dengan Penyelesaian Sengketa Buruh dan Majikan .............................................................
48
BAB IV ANALISI KASUS TERHADAP PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MASSAL YANG TERJADI DI PT. SHAMBROCK MANUFACTURING COORPORA ................................................
60
A. Sejarah Berdirinya PT. Shambrock Manufacturing Coorpora ...........
60
B. Pertimbangan Hukum Dalam Melaksanakan Pemutusan Hubungan Kerja Massal di PT. Shambrock
.....................................................
62
C. Kendala-Kendala Dalam Penyelesaian Uang Jasa dan Pesangon Terhadap Pekerja/Buruh Yang Terkena Pemutusan Hubungan Kerja Massal ....
81
BAB V PENUTUP
......................................................................................
83
A. Kesimpulan
....................................................................................
83
................................................................................................
84
B. Saran
DAFTAR TABEL
........................................................................................
63
A. Tabel I
.............................................................................................
63
B. Tabel II
............................................................................................
65
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vii
ABTRAKSI
Kelompok Peita Sejahterah (KPS) adalah merupakan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang secara khusus memberikan diri untuk memperhatikan kehidupan para pekerja/buruh. Salah satu fungsi Kelompok Pelita Sejahterah adalah dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja massal dimana mereka mendampingai pekerja/buruh baik diluar atau didalam pengadilan dan memberikan pendidikankepada pekerja/buruh melalui diskusi dan eminar yang bertujuan agar pekerja/buruh tersebut mampu dan berani memperjuangkan sekaligus menyarakan hak-hak mereka seabgaimana yang telah di tentukan dan ditetapkan baik melalui perjanjian kerja, peraturan perundang-undangan mupun dalam surat perjanjian bersama. Pemutusan Hubungan Kerja massal menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1964 adalah Pemutusan Hubungan Kerja terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja atau lebih pada suatu perusahaan dalam satu bulan atau terjadi rentetan Pemutusan Hubungan Kerja yang dapat menggambarkan etiket pengusaha untuk melaukan Pemutusan Hubungan Kerja secara besar-besaran. Dan menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja baik perseorangan maupun secara Massal ini hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan (dahulu disebut P4D dan P4P). Metode yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan ketenagakerjaan Indonesia. Data yag digunakan adalah data sekunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah, pendapat para sarjana, artikel-artikel, dan sebagainya. Dan metode yang ke dua adalah penelitian lapangan (fred research). Di dalam mencegah/menanggulangi Pemutusan Hubungan Kerja massal yang mengakibatkan penderitaan bagi pekerja/buruh, maka pemerintah perlu mengawasi setiap perusahaan-perusahaan melalui instansi yang berwenang dalam pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja massal seperti yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.709/ 2004 tentang Larangan Pemutusan Hubungan Kerja massal. Selain itu pemerintah dapat melibatkan/melakuakan kerjasama dengan LSM atau Serikat Pekerja/ Buruh dan pengusaha untuk menciptakan hubungan kerja yang harmonis antara buruh dan majikan.
viii
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH Masalah yang paling serius bagi pekerja/buruh dalam hubungan kerja
adalah masalah Pemutusan Hubungan Kerja/Pengakhiran Hubungan Kerja. Berakhirnya hubungan kerja (PHK) bagi buruh berarti kehilangan mata pencaharian, merupakan permulaan dari segala kesengsaraan. 1 Didalam
teori
Pemutusan
Hubungan
Kerja
tidak
hanya
Pihak
Pengusaha/majikan yang dapat melakukannya, tetapi pihak pekerj/buruh juga berhak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja. Namun yang sering temukan Majikanlah yang sering sekali melakukan Pemutusan Hubungan Kerja sehingga Pemutusan hubungan kerja ini tidak dapat diterima oleh pihak pekerja/buruh. Pada akhirnya Pekerja/buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja tersebut memberontak terhadap keputusan pengusaha. Seperti halnya Pemutusan Hubungan Kerja yang terjadi di PT. Shambrock Manufacturing Corpora yang telah memPHK buruhnya secara Massal (± 813 orang pekerja sekaligus). Sebelum Pemutusan Hubungam Kerja terhadap 813 pekerja ini dilakukan sudah banyak yang di PHK. Pemutusan Hubungan Kerja jika dilihat dari sistem atau cara melakukannya ada dua macam, yaitu pemutusan Hubungan Kerja Perorangan dan Pemutusan Hubungan Kerja secara besar-besaran (Massal). Pemutusan Hubungan
1
Prof. Iman Soepomo, SH, Pengantar hukum perburuhan , (Djambatan : 1981), hal. 66
1
Kerja Massal ini sejak tahun 2004 s/d 2007 sudah lebih dari 4 kasus, itu baru yang terangkat kepermukaan keempat kasus ini terjadi di wilayah Sumatera Utara saja. Jika kita perhatikan Pemutusan Hubungan kerja secara Massal yang ada Pengusaha sepertinya dengan mudah melakukannya cukup dengan cara mengajukan surat permohonan PHK Massal ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat dahulu sebelum Undang-Undang nomor 2 tahun 2004 di undangkan. Pada tahun 2004 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia mengeluarka surat edaran tentang Pencegahaan Pemutusan Hubungan Kerja Massal
No: SE-709/Men/PHI-PPHI/X/2004. menegaskan bahwa
Pekerja/buruh dalam proses produksi barang dan jasa, tidak saja merupakan sumber daya tetapi juga sekaligus merupakan aset yang tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk menjamin kelangsungan usaha oleh karena itu hubungan kerja yang telah terjadi perlu dipelihara secara berkelanjutan dalam suasana hubungan kerja industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermartabat. Namun dalam hal suatu perusahaan mengalami
kesulitan yang dapat
membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka Pemutusan Hubungan Kerja haruslah merupakan upaya terakhir setelah dilakukannya upaya sebagai berikut : 1. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manager dan direktur; 2. Mengurangi Shift; 3. Membatasi/Menghapuskan kerja lembur; 4. Mengurangi jam kerja; 5. Mengurangi hari kerja;
2
6. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; 7. Tidak memperpanjang kontrak kerja bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; 8. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Dan dalam hal ini sebelum Pemutusan Hubungan Kerja itu dilakukan perlu diadakan musyawarah terlebihdahulu dengan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan wakil pekerja/wakil buruh dalam hal diperusahaan itu tidak ada serikat pekerja/serikat buruh untuk mendapatkan kesepakatan secara Bipartite sehingga dapat dicegah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja Massal. 2 Pada umumnya kelangsungan ikatan kerja bersama antara perusahaan dengan tenaga kerja terjalin apabila kedua belah pihak masih saling membutuhkan dan saling patuh dan taat akan perjanjian yang telah disepakatinya pada saat mereka mulai menjalin hubungan kerja. Dengan adanya keterikatan kerja bersama antara perusahaan (menajemen tenaga kerja), khususnya manajer tenaga kerja dengan para tenaga kerja, berarti masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban. 3 Keadaan seperti ini sangat merugikan pihak pekerja/buruh, karena jika pengusaha merasa tidak membutuhkan lagi pekerja/buruh tersebut maka pengusaha yang bersangkutan dapat melakukan PHK setiap saat. Saat pembuatan surat perjanjian kerjapun banyak ketentuan yang dibuat oleh pengusaha tersebut sebenarnya sangat merugikan pihak pekerja/buruh, sama halnya dengan kasus
2
wirata No. 52, tahun XIV Triwulan I. Biro Hukum Departemen Tenaga Kerja danTransmigrasi RI, (Jakarta : 2005), hal. 105-106 3 Dr. B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Menajemen tenaga Kerja Indonesia Pendekatan Administratif dan operasional, (Bumi Aksara : 2005), hal. 305
3
Pemutusan Hubungan Kerja Massal di PT. Shambrock Manufacturing Coorpora yang menjadi salah satu tuntutan pekerja/buruh pada saat melakukan unjuk rasa/mogok kerja yang berakhir dengan Pemutusan hubungan kerja secara Massal adalah agar dihapuskannya : Pertama: surat pernyataan pengunduran diri dari perusahaan bilamana menikah sesama buruh, kedua: Sepanjang perjalanan hubungan kerja yang terjalin pekerja/buruh juga tidak memiliki kebebasan untuk mengorganisasikan dirinya, ketiga: adanya proyek lain yang diadakan oleh pengusaha untuk merauk keuntungan dari tenaga kerja seperti proyek thank you khusus dibagian PHH, QC, BBS yang pada umumnya dilakukan diluar jam kerja. Hal ini hanya sebagian kecil kesepakatan yang dibuat oleh pengusaha yang nyata-nyata merugikan pekerja/buruh. Tindakan pemutusan hubungan kerja seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang ada sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Dalam pasal 151 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, mengatakan harus ada perundingan antara kedua belah pihak. Tujuan dari perundingan ini adalah apabila Pemutusan Hubungan Kerja ini dimaksud sudah tidak dapat lagi dihindarkan –memilki legitimasi yang kuat dan dapat diterima oleh pihak-pihak, baik menyangkut alasan Pemutusan Hubungn Kerja itu sendiri maupun akibat hukum yang ditimbulkannya. Perlu diketahui bahwa setiap pengakhiran hubungan kerja selalu memiliki konsekuensi, atau akibat hukum baik terhadap pekerja/buruh maupun pengusaha. 4 Salah satu konsekuensinya adalah munculnya reaksi dari masyarakat (LSM) untuk ikut serta memperjuangkan hak-hak buruh sebagai kaum
4
Edsutrisno Sidabutar, SH, Pedoman Penyelesaian PHK,(Tangerang : 2007), hal. 2
4
yang tertidas dan tereksploitasi. Kelompok Pelita Sejahterah (KPS) dalam melaksanakan fungsinya dapat kita lihat melalui misinya yaitu dengan cara melakukan pengorganisasian, pendidikan dan advokasi dalam rangka penyadaran rakyat (buruh). Fungsinya yaitu melakukan pendampingan (baik diluar maupun didalam pengadilan) dan memberikan pendidikan kritis (melalui seminar dan diskusi) agar pekerja/buruh berani bicara dan memperjuangkan hak-haknya. 5 Keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat membantu kaum pekerja/buruh, pada akhirnya mereka mengetahui dan menyadari hak-hak mereka dan mampu berbicara (menyuarakan) dalam memperjuangkan hak-hak dasar mereka dan memenuhi kewajiban mereka sebagai pekerja/buruh. Pemutusan Hubungan Kerja Massal yang banyak terjadi akhir-akhir ini di Indonesia, merupakan cambuk bagi pemerintah (departemen tenaga kerja dan transmigrasi Indonesia) atau bagi pembuat Undang-Undang agar lebih memperhatikan
kesejahteraan
pekerja/buruh
(agar
tercipta
keseimbangan
antara kepentingan pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah).
B.
PERMASALAHAN Adapun
yang
menjadi
perumusan
masalah
sehubungan
dengan
judul skripsi “ Fungsi dan kedudukan lebaga swadaya masyarakat (LSM/KPS) dalam penyelesaian perselisihan hubungan kerja massal” adalah sebagai berikut : 1. Alasan-alasan timbulnya sengketa antara buruh dan majikan 5
Sesuai hasil diskusi bersama Bapak Gindo Nadapdap (Staf KPS bidang Advokasi) di sekretariat KPS Jl. Cempaka I No. 20, Medan.
5
2. Bagaimana pertimbangan hukum dalam melakukan PHK Massal di PT. Shambrock Manufacturing Corpora; 3. Kendala-kendala
yang
dihadapi
oleh
perusahaan
dalam
penyelesaian pembayaran uang jasa dan uang pesangon;
C.
TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan Penulisan dan Penelitian. Dari hasil penelitia dan penulisan ini diharapkan dapat mengetahui dan menganalisis : 1. Proses pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja Massal terhadap pekerja/buruh sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku (SE
Menarkertrans
No.
:
SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004,
tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal ). 2. Hak-hak buruh yang menjadi korban PHK dan upaya hukum yang
dapat
dilakukan
buruh
untuk
mendapat
hak-haknya
apabila terjadi perselisihan antara Pengusaha dan pekerja/buruh. 3. Peranan
Lembaga
Swadaya
Masyrakat
dalam
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Massal.
2. Manfaat Penulisan dan Penelitian Pantasnyalah setiap penelitian bermanfaat bagi lingkungan akademis dan lingkungan kehidupan Praktis. Manfaat dalam dunia akademis yang akan didapatkan dari penulisan ini adalah memperkaya khasanah ilmu hukum terkhusus hukum perburuhan/ketenaga
6
kerjaan
sangat
dirasakan
kurang
sekali
perburuhan /ketenaga kerjaan bila dilihat
kajian
hukum
tentang
dan dibandingkan dengan tinjauan
sosialnya. Manfaat praktisnya adalah penelitian inibermanfaat bagi pengusaha, pekerja/buruh
maupun
masyarakat
yang
berada
disekitar
PT. Sambrock. Bagi pengusaha (majikan), penelitian ini bermanfaat sebagai bahan evaluasi bagi perjalanan perusahaan diwaktu yang akan datang. Sedangkan bagi pekerja/buruh, penelitian ini bermanfaat untuk menyadarkan mereka atas hak-haknya yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Sementara bagi masyarakat sekitar perusahaan, penelitian ini bermanfaat sebagai penyeimbang
wacana
sehingga
dalam
arah
perjuangannya
semakin
memperhatikan nasip pekerja/buruh.
D.
KEASLIAN PENULISAN Skripsi ini adalah hasil karya penulis sendiri yang penulis susun dengan
cara mempelajari, membaca, mengutip data yang ada pada buku-buku, literatur-literatur,
dan
peraturan
perundang-undangan
yang
berkaitan
dengan judul skripsi ini. Skripsi yang berjudul “ Fungsi dan kedudukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Kelompok Pelita Sejahterah (KPS) dalam Mengatasi Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Massal, study tehadap PHK Massal di PT. Shambrock Manufacturing Coorpora” sepengetahuan penulis belum ada yang mengemukakannya, hal ini penulis ketahui setelah membaca dan melihat skripsi
7
yang ada di perpustakaan fakultas dan perpustakaan universitas, dan penulis telah mengkonfirmasikannya kepada dosen jurusan Perburuhan.
E.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN Di dalam skripsi ini penulis membahas mengenai “Fungsi dan
kedudukan
Lembaga
Swadaya
Masyarakat
(LSM)/Kelompok
Pelita
Sejahtera (KPS) dalam mengatasi Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Massal” Pemutusan Hubungan kerja menurut DR. B. Siswanto Sastrohadiwiryo adalah : “suatu proses pelepasan keterikatan kerja sama antara perusahaan dengan tenaga kerja, baik atas permintaan tenaga kerja yang bersangkutan maupun atas kebijakan perusahaan yang karenanya tenaga kerja tersebut dipandang sudah tidak mampu memberian produktivitas kerja lagi atau karena kondisi perusahaan yang tak memungkinkan”. 6
Sedangkan pengertian Pemutusan Hubungan Kerja Massal menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta adalah : “Pemutusan Hubungan Kerja terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja atau lebih pada suatu perusahaan dalam satu bulan atau
terjadi
rentetan
pemutusan
hubungan
kerja
yang
dapat
menggambarkan suatu itikad pengusaha untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran”. 7 Jika dilihat dari arti kata, Fungsi adalah : sekelompok pekerjaan, kegiatan dan usaha-usaha yang satu sama lainnya ada hubungan erat untuk melaksanakan
6
Op. Cit 305 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. 7
8
segi-segi tugas pokok. Sedangkan Lembaga Swadaya Masyarakat adalah : kemampuan dari suatu kelompok masyarakat dengan kesadaran dan inisiatif sendiri mengadakan ikhtiar kearah pemenuhan kebutuhan jangka pendek maupun jangka panjang yang dirasakan dalam kelompok masyarakat itu. 8
F.
METODE PENULISAN Untuk
menghasilkan
karya
tulis
ilmiah
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, maka harus didukung dengan fakta-fakta/dalil-dalil yang akurat yang diperoleh dari penelitian. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis berusaha untuk mengupulkan datadatayang diperlukan untuk dijadikan bahan dalam pengerjaan dan penulisan skripsi ini. Data-data tersebut haruslah mempunyai kaitan atau hubungan satu sama lain yang berhubungan dengan judul skripsi penulis. Untuk memperoleh data dalam penulisan skripsi ini, maka penulis melakukan metode sebagai berikut : 1.
Penelitian kepustakaan (library research) Yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan-bahan bacaan, dengan cara membaca buku-buku, literatur-literatur serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi yang akan dibahas didalam skripsi ini.
2.
Penelitian lapangan (field research). Selain penelitian kepustakaan, penulis juga mengadakan penelitian secara langsung kelapangan yaitu dengan mendatangi LSM yang menangani 8
Disusun oleh Redaksi Tata Nusa, Kamus istilah Menurut Peraturan Perundangundangan Republik Indonesia, (Jakarta : 1994), hal. 590.
9
kasus PHK Massal di PT. Shambrock Manufacturing Corpora Medan untuk mendapatkan data, informasi dan keterangan-keterangan yang diperlukan dalam penulisan skripsi.
G.
SISTEMATIKA PENULISAN Sistemanika penulisan ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut
dengan bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun
masih
dalam
konteks
yang
saling
berkaitan
antara
satu
dengan yang lainnya. Secara sistematis, mendapatkan materi pembahasan keseluruhannya kedalam 5 (lima) bab yang terperinci sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan Pada bab ini menggambarkan hal-hal yang bersifat umum sebagai langkah awal dalam penulisan skripsi ini. Pada bab ini penulis menguraikan alasan yang menjadi latar belakang kemudian agar tulisan ini tidak lari dari tujuannya dalam memahami tulisan ini, maka penulis menetapkan apa yang menjadi permasalahan dan apa saja tujuan dan manfaat dari tulisan ini. Dalam bab ini, penulis juga menerangkan tentang keaslian penulisan, dimana tulisan tulisan ini di tulis dan dibuat sendiri oleh penulis akhirnya bab ini ditutup dengan sistematika penulisan yang menerangkan langkah-langkah dari keseluruhan bab secra ringkas.
10
Bab II Ketentuan Umum Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Massal Bagian ini berisi tentang tinjauan umum tentang pemutusan hubungan kerja. Dimulai dengan syarat-syarat Pemutusan Hubungan Kerja secara Massal, sebab-sebab dan larang dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja Massal. Setelah itu dijelaskan pula tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal baik oleh Pemerintah melaluai SE menteri Tenaga Kerja dan Transmikgrasi No. 907 tahun 2004. Dimana didalam Surat edaran ini di tuangkan sebab-sebab di lakukan Pemutusan Hubungan Kerja Massal.
Bab III Alasan-alasan Secara Hukum Perusahaan Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja Massal. Dalam Pemutusan
Bab
III
Hubungan
Hubungan Kerja Massal
ini
dimulai
dengan
Kerja
Massal
serta
Pengertian kriteria
dasar
Pemutusan
dan kapan Pemutusan Hubungan Kerja itu disebut
dengan Pemutusan Hubungan Kerja Massal. Dalam Bab ini juga di uraikan tentang Hak dan Kewajiban Pekerja/buruh yag terkena PHK secara Massal, apakah sama dengan korban dari Pemutusan Hubungan Kerja biasa yang banyak kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini akan digambaraka bagaiman kondisi Pekerja/buruh yang di PHK secara massal dan penyabab hal itu terjadi.
Bab IV
Hasil Analisis Kasus PHK Massal Manufacturing Coorpora Medan.
Pada Pemutusan di
bagian
ini
Hubungan
berisikan Kerja
analsis
Pada
penulis
Massal
P.T.
sambrock
terhadap yang
kasus terjadi
PT. Shambrock Manufacturing Coorporayaitu yang meliputi sejarah
11
berdirinya
perusahaan
yang
bersangkutan.
Selanjutnya
menguraikan
juga tentang pertimbangan hukum pihak pengusaha dalam melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal, dan dalam bagian terakhir dari bab ini, penulis akan menguraikan
tentang kendala-kendala yang dihadapi oleh
pengusaha dalam melakukan pembayaran uang jasa kepada korban Pemutusan Hubungan Kerja Massal di PT. Shambrock Manufacturing Coorpora Medan Sumatera Utara.
Bab V Penutup Bab ini merupakan dalam
bab-bab
inti dari pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya.
Inti
pembahasan
ini
dikemukakan
dan dirumuskan dalam bentuk kesimpulan. Dengan membaca kesimpulan ini, penulis berharap para pembaca sudah dapat menangkap dan memahami isi yang terkandung
didalam skripsi ini. Sebagai penutup, bab ini diakhiri
dengan
saran
beberapa
yang
diajukan
dalam
Pencegahan
Pemutusan
Hubungan Kerja Massal di perusahaan yang ada di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera Utara. Saran ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi LSM/KPS yang memperhatikan keadaan dan nasib pekerja/buruh yang tereksploitasi.
12
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MASSAL
A.
Pengertian PHK Massal Dalam berbagai litratur Hukum Perburuhan hanya sedikit penulis yang
membahas/memberikan defenisi tentang Pemutusan Hubungan Kerja Massal sebagaimana yang dipaparkan oleh Lula Husni, S. H. M. Hum dalam bukunya “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia” Beliau mengutib dari bunyi pasal 3 ayat (2) Undang-Undang nomor 12 tahun 1964 yang berbunyi, bahwa yang dimaksud dengan Pemutusan Hubungan Kerja Massal adalah : “Pemutusan Hubungan Kerja terhadap 10 (sepuluh) orang Pekerja/Buruh atau lebih pada suatu perusahaan dalam suatu perusahaan dalam satu bulan atau lebih terjadi rentetan Pemutusan Hubungan Kerja yang dapat menggambarkan itikad pengusaha untuk mengadakan Pemutusan Hubungan Kerja secara besar-besaran.” 9
Pada prinsipnya Pemutusan Hubungan Kerja Massal ini adalah Pemutusan Hubungan Kerja atas sejumlah besar Pekerja/Buruh oleh majikan/pengusaha. Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak satu pasalpun yang menyatakan secara nyata baik pengertian maupun akibat hukum yang
diakibatkan
oleh
Pemutusan
Hubungan
Kerja
secara
Massal.
Namun dapat dinyatakan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja biasa (perorangan) dan Pemutusan Hubungan Kerja Massal ini baru dapat dilakukan setelah memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Undang-undang
Nomor
13
Tahun
9
2003
Tentang
Ketenagakerjaan
Lalu Husni, SH.H., M. Hum. Pengantar Hukum Ketenaga Kerjaan Indonesia, Edisi Revisi,(Jakarta : 2007) hal.177.
13
(yaitu setelah adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan dahulu dikenal dengan P4D dan P4P) Selanjutnya
dari
defenisi
yang
terdapat
dalam
Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor. Kep-150/Men/2000 tercantum dalam Pasal 1 poin 5,
dalam pengertian Pemutusan hubungan Kerja Massal tidak terdapat perbedaan pengertian dengan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1946 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
B.
Larangan-Larangan Atau Syarat-Syarat Pemutusan Hubungan Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu peristiwa yang tidak
diharapkan
terjadinya,
khususnya
dari
kalangan
pekerja/buruh
karena
dengan PHK pekerja/buruh yang bersangkutan akan kehilangan mata pencahrian untuk menghidupi diri dan keluarganya, karena itu semua pihak yang terlibat dalam hubungan industrial
(pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat
buruh
dengan
dan
pemerintah),
segala
upaya
harus
mengusahakan
agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja pasal 135 ayat (1) Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
Menyatakan
pengusaha
dilarang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan : a. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan (dua belas) bulan secara terus menerus;
14
b. Pekerja/buruh
berhalangan
manjalankan
pekerjaannya
karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku; c. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; d. Pekerja/buruh menikah; e. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; f. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh
lainnya
didalam
satu
perusahaan,
kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; g. Pekerja/buruh
mendirikan,
menjadi
anggota
dan/atau
pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh diluar jam kerja, atau didalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang
diatur
dalam
perjanjian
kerja,
peraturan
perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama; h. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; i. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
15
j. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Jika
pengusaha
akan
melakukan
Pemutusan
Hubungan
Kerja,
maka terlebih dahulu harus merundingkannya dengan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh yang bersangkutan jika tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Dalam hal perundingan benar-benar tidak
menghasilkan
persetujuan,
pengusaha
yang
dapat
memutuskan
hubungan kerja (PHK) dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (pasal 151 ayat 3). Pemutusan Hubungan Kerja tanpa penetapan dari lembaga yang berwenang batal demi hukum, kecuali alasan-alasan sebagaimana diatur dalam pasal 154 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003. 10
C.
Hak dan Kewajiban Pekerja/Buruh Yang Terkena PHK. Hak-hak pekerja/buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja adalah,
dapat kita lihat dari Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenaga Kerjaan Indonesia yaitu :
10
Pasal 153 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
16
a.
Uang Pesangon, Yaitu pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh sebagai akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja. Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan ditetapkan dengan jelas mengenai cara penghitungan uang pesangon yaitu : 1. Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah; 2. Masa kerja 1 sampai 2 tahun, 2 bulan upah; 3. Masa kerja 2 sampai 3 tahun, 3 bulan upah; 4. Masa kerja 3 sampai 4 tahun, 4 bulan upah; 5. Masa kerja 4 sampai 5 tahun, 5 bulan upah; 6. Masa kerja 5 sampai 6 tahun, 6 bulan upah; 7. Masa kerja 6 atau lebih, 7 bulan upuh. 11
b.
Uang Penghargaan masa kerja, Yaitu
uang
jasa
sebagaimana
dimaksud
dalam
undang-undang
nomor 12 tahun 1964 sebagai penghargaan pengusaha kepada pekerja yang dikaitkan dengan lamanya masa kerja. Cara
penghitungan
uang
penghargaan
masa
kerja
ini
menurut
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 adalah : 1.
Masa kerja 3 sampai 6 tahu, 2 bulan upah;
2.
Masa kerja 6 sampai 9 tahun, 3 bulan upah;
3.
Masa kerja 9 sampai 12 tahun, 4 bulan upah;
11
Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahaun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
17
c.
4.
Masa kerja 12 sampai 15 tahun, 5 bulan upah;
5.
Masa kerja 15 sampai 18 tahun, 6 bulan upah;
6.
Masa kerja 18 sampai 21 tahun, 7 bulan upah;
7.
Masa kerja 21 sampai 24 tahun, 8 bulan upah;
8.
Masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah. 12
Ganti kerugian Yaitu pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai penggantian istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan ketempat dimana pekerja diterima bekerja , fasilitas pengobatan, fasilitas perumahan dan lain-lain yang ditetapkan oleh P4D/P4P (sekarang pengadilan hubungan Industrial) sebagai akibat adanya Pengakhiran Hubungan Kerja. Upah sebagai dasar pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja, dan ganti kerugian tersebut terdiri atas, Upah pokok, Segala macam tunjangan yang bersifat tetap diberikan kepada pekerja dan keluarga pekerja/buruh, Harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja secara Cuma-Cuma apabila harus dibayar pekerja dengan subsidi maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja. 13
12 13
Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Op.Cit hal 317.
18
D.
Sejarah Terbentuknya Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000. Pengertian serikat pekerja/serikat buruh menurut Undang-Undang Nomor
21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah : “Organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.” 14
Menurut Semaoen, didalam bukunya yamg berjudul Penuntun Kaum Buruh mengatakan : “bahwa awal terbentuknya serikat pekerja (Nokbond) adalah dikarenakan oleh
semakin
ramainya
perdagangan
yang
pada
akhirnya
muncul
hubungan
antara pekerja/buruh dengan majikan atau kaum borjois (pemilik modal), pada akhirnya sipemilik modal ini hanya ingin merauk keuntungan dari kesengsaraan buruh-buruh yang dipekerjakan di pabrik-pabrik yang didirikan di Indonesia” 15
Usaha-Usaha kelas majikan dalam menarik keuntungan dari kaum buruh bisa diumpamakan sebagai berikut kelas majikan membeli pekerjaan kaum buruh dan kaum buruh menjual pekerjaannya kepada majikan. Sebagaimana dipasar ada transaksi jual beli maka dalam hal ini tentu ada yang untung dan yang rugi. Karena yang berjualan (buruh) lebih banyak daripada pembeli (majikan/pemilik modal) maka harga pekerja/buruh itu sangat murah atau pihak pembeli bisa sesukanya memberikan penawaran harga terhadap pekerja/buruh. 16
14
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000, tentang serikat pekerja/serikat buruh, pasal 1
poin 1. 15
Semaoen, Penuntun Kaum Buruh (judul asli “Penoentoen Kaoem Boeroeh Dari Hal Sarekat Sekerdja), ( Yogyakarta : 2000), hal. 17. merupakan pelacakan kembali pemikiran kekuasaan Marxisme. Yang mengatakan bahwa kaum buruh adalah entitas sekaligus terminologi. (Semaoen merupakan pendiri SI Merah di Semarang) 16 Ibid. 22-23.
19
Hal ini adalah merupakan permulaan terbentuknya serikat pekerja/buruh sebelum
adanya
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
dengan
sistemmatis. Kaum pekerja/buruh sekarang dapat menarik nafas legah dengan di Rativikasinya konvensi ILO Nomor 87 tahun 1948 tentang kebebasab berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi (Convention Concorning Freedom Of Association and Protectiaon Of the Righ to Organise). Seiring perkembangan waktu dan keadaan ketenagakerjaan Indonesia maka pada tahun 2000pemerintah Republik indonesia
berhasil menetapkan
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh. Di
dalam
Undang-Undang
ini
dikatakan
dengan
jelas
bahwa
serikat
pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang di bentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela
serta
melindungi
hak
dan
kepentingan
pekerja/buruh
serta
meningkatkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. 17 Bab III Undang-Undang nomor 21 tahun 2000 ini memuat tentang proses pembentukan serikat pekerja/serikat buruh disuatu perusahaan. Dinyatakan bahwa setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buru, serikat pekerja ini harus dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 orang pekerja, Undang-Undang ini juga menjelaskan dengan lengkap bahwa penjenjangan harus dimuat dalam anggaran dasar dan anggaran Rumah Tangganya. serikat pekerja/serikat buruh itu dibentuk atas kehendak bebas
17
Op.cit. hal 42.
20
pekerja/buruh tanpa campurtangan Pengusaha, Pemerintah, partai Politik, atau
pihak
dapat
manapun.
dibentuk
Pembentukan
berdasarkan
serikat
sektor
pekerja/serikat usaha,
buruh
jenis
ini
pekerjaan,
atau bentuk lain sesuai dengan kehendak pekerja/buruh. Sedangkan pada Pasal 11 ayat (2) Bab ini mengmukakan tentang anggaran dasar suatu serikat pekerja/buruh itu sekurang-kurangnya harus memuat tentang : 1. Nama dan lambang; 2. Dasar negara, asas, dan tujuan; 3. tanggal pendirian; 4. tempat kedudukan; 5. Keanggotaan dan kepengurusan; 6. Sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan 7. ketentuan perubahan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga. 18
Kehadiran organisasi pekerja/buruh bertujuan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja/buruh sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Kebebasan yang diberikan kepada pekerja/buruh dalam berorganisasi melalui undang-undang Nomor 21 tahun 2000 ini merupakan implementasi dari Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. 19
18 19
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Op. cit. hal 38.
21
Langkah strategis yang dapat diambil untuk meningkatkan pengembangan serikatpekerja/serikat buruh setelah perubahan bentuk serikat pekerja dari Single Union ,ke Plural Union, yang telah memberikan situasi yang kondusif bagi perkembangan serikat pekerja dalam peningkatan hak-hak asasi dan standar ketenaga kerjaan pada masa kini dan akan datang adalah : 1.
Kemajemukan serikat pekerja harus tetap di pertahankan dan mencegah timbulnya wadah tunggal serikat pekerja sebagaiman yang diamanatkan oleh Konvensi ILO No. 87 tahun 1948, harus dilaksanakan secara konse-kuen, dengan penetapan peraturan perundang-undangan yang menjamin kebebasan pekerja/buruh untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja.
2.
Untuk menjaga kemandirian serikat pekerja, maka segala bentuk bantuan dana dari pemerintah harus dihentikan. Sedangkan dana dari luar negeri harus diatur sedemikian rupa agar dana dari luar negeri tersebut digunakan untuk kepentingan pekerja.
3.
Dilihat
dari
segi
pelaksanaan
Hubungan
Industrial
Pancasila,
ketiga asas partnership dalam hubungan Industrial harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-sehari di tempat kerja. Sebagai partnet in Profit, para pekerja harus mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan. Selanjutnya sebagai Partner in Responsibility dan Partner Prodaction, para pekerja bekerja sama dengan pengusaha mengupayakan agar perusahaan maju dan berkembang sehingga dapat memberikan yang lebih besar lagi.
22
4.
Pelaksanaan ketiga asas Partnership dalam Hubungan Industrial Pancasila secara benar, dipastikan akan dapat menciptakan Industrial Peace. Oleh karena itu pemerintah tidak perlu menetapka lperaturan tentang mogok.
5.
Dilihat dari segi tingkat pengangguran yang masih tinggi, serikat pekerja pada masa datang harus berperan aktif membantu keterampilan pekerja/buruh
yang
terkena
Pemutusan
Hubungan
Kerja.
Dengan demikian akan membantu mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang baru dengan cepat. 6.
Paradigma lama yang memandang bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan konflik, harta ditinggalkan dan dirubah dengan paradigma
baru bahwa hubungan pekerja dengan pengusaha
adalah hubungan kerja sama yang saling membutuhkan satu sama lain. 7.
Pemerintah sebagaimana anggota tripartie harus berperan sebagai pihak ketiga yang tidak memihak. Disamping itu membuat peraturan perundangundangan yang menjadi kewenangannya, pemerintah harus menciptakan iklim yang
kondusif
bagi
para
pekerja
dan
pengusaha
dalam
mengupayakan kemajuan perusahaan. 8.
Dalam era globalisasi dialog sosial antara pekerja dengan pengusaha harus ditingkatkan. Untuk dapat dipertimbangakan beberapa hal sebagai berikut, Para
pekerja
perusahaan
harus yang
memiliki
akses
sebenarnya
untuk
mengetahui
(open
keadaan
management).
Para pekerja harus memiliki kesempatan untuk menjadi pemegang
23
saham perusahaan. Para pekerja harus memiliki akses untuk mendapatkan informasi
keadaan
perusahaan
Para
pekerja
dan
pengusaha
harus membentuk for a komunikasi (sosial dialogue)
9.
Dengan telah diratifikasinya 7 (tujuh) Konvensi ILO yang fundamental dibidang hak-hak asasi, pemerintah harus mengadakan peraturan perundang-undangan dibidang perburuhan agar
ketentuan-ketentuan
yang
sudah
Konvensi ILO tersebut dapat digantikan 20
20
Suara Merdeka, edisi minggu, 09 April 2006.
24
(Labor Law Reform),
tidak
sesuai
lagi
dengan
BAB III ALASAN-ALASAN MELAKUKAN PHK MASSAL
A.
Alasan-Alasan Timbulnya Sengketa Buruh dan Majikan Dalam
sosiologi
kita
telah
mengetahui
bahwa
perselisihan
itu
merupakan masalah yang umum dalam kehidupan manusia, dalam setiap interaksi tentu
akan terdapat reaksi, masalahnya adalah apakah reaksi-reaksi itu
masing-masing dapat mengendalikan sehingga pertemuannya dapat mencapai titik
persamaan,
yang
selanjutnya
dapat
mewujudkan
keterpaduan
yang terjalin dengan keharmonisan, searah dan setujuan. 21 Dalam perusahaan, yang merupakan lingkungan masyarakat pekerja yang tertentu, suatu kebijaksanaan pengusaha yang telah dipertimbangkan dengan matang, akan diterima oleh para buruhnya dengan rasa puas dan ada pula yang kurang puas. Mereka yang merasa kurang puas ini telah mengandung benih-benih perselisihan antara pemberi kebijaksanaan dengan dan
mereka
apabila
rasa
yang kurang
akan puas
menerima ini
di
kebijakan
ekspos
dan
tersebut,
dikembangkan,
akan terjadi kegoncangan ini harus segera diatasi dengan jalan musyawarah, dengan
demikian
maka
perusahaan
akan
dapat
melangsungkan
proses produksi sebagaimana yang telah direncanakan. 22 Jadi
alasan-alasan
timbulnya
perselisihan/sengketa
antara
pengusaha dengan para pekerja/buruh, berpokok pangkal karena adanya perasaan-perasaan
kurang
puas
dari
masing-masing
pihak.
Pengusaha memberikan kebijaksanaannya (yang menurut pertimbangannya sudah 21
G. Kartasapoetra, R.G. Kartasapoetra, S.H, Ir. A.G. Kartasapoetra, Hukum Perburuhan Di Indonesia Berlandaskan Pancasila, (Jakarta : 1985), hal. 245. 22 Lok. Cid.
25
mantap
dan
bakal
diterima
oleh
para
buruh),
celakanya…
karena para pekerja/buruh memiliki perasaan dan pertimbangan yang berlainan, berbeda-beda perasaan dan reaksi itu pada diri Pekerja/buruh masing-masing…, maka penerimaan atas kebijaksanaan pengusaha itupun menjadi tidak sama, sebagian yang merasa puas akan tetap bekerja dengan tenang dan bergairah, yang merasa kurang puas dengan cepat menunjukan apatisme, gairah kerja menjadi
sangat
turun
dan
terjadilah
perselisihan-perselisihan
itu.
Hal inilah yang salah satu penyebab terjadinya sengketa antara pengusaha dan pekerja/buruh yang ada di Pt. Shambrock Manufacturing Coorpora yaitu kebijakan pengusaha yang tidak jelas dan tidak dimusyawarahkan sebelumnya. Jadi pokok pangkal kekurang puasan itu umumnya berkisar pada masalah-masalah :
1.
Pengupahan.
Yang menjadi pokok pangkal sengketa dalam bagian pengupahan ini adalah : a. Lambatnya
pelaksanaan
pembayaran
upah
(Pembayaran
upah
tidak sesuai dengan tanggal yang telah disepakati dalam perjanjian kerja). b. Adanya pemotongan-pemotongan upah untuk keperluan suatu dana bagi
kepentingan
buruh,
tampa
perundingan
terlebih
dahulu
dengan pihak buruh. (misalnya adanya biaya yang dipungut untuk jamsostek,
sementara
pekerja/buruh
tidak didaftarkan sebagai anggota Jamsostek).
26
yang
bersangkutan
c. Belum mampunya pengusaha untuk memperbaiki upah buruh (di PT. shambrock Manufacturing Coorpora upah buruh belum sesuai dengan UMP yang telah ditetapkan oleh Gubernur Sumatera Utara melalui surat keputusan tahun 2004) d. Adanya kehendak dari pihak buruh agar upahnya dipersamakan dengan
pengupahan
yang
lebih
baik
diperusahaan
lain,
ini merupakan tuntutan yang wajar untuk hidup yang lebih layak. Mengetahui yang menjadi masalah pokok dalam soal pengupahan ini, pengusaha
hendaknya
mengambil
langkah-langkah
untuk
memperbaiki
apa yang memang kurang baik, sesuai dengan kemampuan perusahaannya, dan apabila perbaikan-perbaikan itu belum mampu mengingat keuangan perusahaan
sebaiknya
memusyawarakannya
hal
itu
secara
terbuka
dengan pihak serikat buruh, dengan cara musyawarah inilah keinginan dan
kemampuan
akan
dapat
didekatkan
tanpa
adanya
perselisihan
yang berlarut-larut. Keterbukaan dalam menajemen, musyawarah dalam menghadapi masalah, akan melahirkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang sejalan dan memuaskan masing-masing pihak. Penopang perusahaan dengan demikian memiliki fundamen keterpaduan yang kokoh, yaitu pengusaha dan para pekerja/buruh serta serikat pekerja/buruhnya yang toleran.
27
2.
Pokok Pangkal Ketidak Puasan Pekerja/Buruh Atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) Adanya
pada
perbedaan
perusahaan
dimana
dalam
besarnya
buruh
itu
pemberian
bekerja
pada
jaminan
sosial
perusahaan
lain,
sehingga buruh mengajukan permintaan agar pemberian jaminan sosial tersebut ditinjau kembali. Pengusaha yang baik merupakan “Bapak” bagi para pekerja/buruhnya, sejak dini telah membayangkan bakal terjadinya pokok pangkal ketidak puasan ini, mengingat adanya perusahaan-perusahaan besar yang bermodal kuat, karena itu satu-satunya jalan yang dapat ditempuh dan dapat menyelamatkan perusahaannya,
ialah
mentaati
kewajiban
pengusaha
sesuai
dengan
PP. No. 33 Tahun 1977 tentang kewajiban dalam mempertanggungkan Pekerja/buruhnya dalam asuransi sosial tenaga kerja 23 .
3.
Pokok Pangkal Ketidakpuasan Pekerja/Buruh Dalam Hal Penugasan Kerja. Timbulnya
yaitu
karena
terhadap dimana
ketidakpuasan ada
salah
kebijaksanaan untuk
meningkatkan
pemindahan-pemindahan
dalam
yang
merupakan
pandangan pengelolaan produksi
dari
pihak
perselisihan, pekerja/buruh
dalam
pengusaha
lingkungan
benih
terpaksa
perusahaannya
perusahaan, melakukan yang
mana
pihak pekerja/buruh merasakan bahwa kebijaksanaan tersebut telah menyimpang dari perjanjian kerja.
23
Ibit, hal 249.
28
Menghadapi keadaan seperti ini, sebaiknya pengusaha melakukan musyawarah dengan serikat pekerja/serikat buruh, menjelaskan sejelas-jelasnya agar dapat dimengerti, bahwa cara untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh hanyalah dapat ditempuh kalau perusahaan dapat berkembang dengan baik, meningkatkan produksinya. Untuk itu maka diperlukan penggiliran para tenaga kerja pada pekerjaannya agar produktivitas jangan sampai terkubur oleh kejenuhan, jadi maksud pemindahan-pemindahan tersebut adalah untuk refresing, disamping menempatkan tenaga kerja yang cocok dengan pekerjaannya. Adanya kerja sama antara pengusaha dengan serikat buruh akan dapat menyadarkan pekerja/buruh dari kekeliruan penafsirannya.
4.
Masalah Daya Kerja dan Kemampuan Kerja Masih dalam usaha untuk meningkatkan produksi, Pengusaha ada kalanya
mengeluarkan satu peraturan khusus agar para pekerja/buruh dapat meningkatkan daya kerja dan kemampuan kerjanya, peraturan khusus ini diadakan karena pihak
pengusaha
kemampuan
kerja
memandang para
bahwa
daya
pekerja/buruhnya
kerja
itu
dan
sangat
kemauan
lemah,
serta
walaupun
dengan rangsangan-rangsangan dengan perbaikan kesejahteraan telah dilakukan. Dalam hal ini Pengusaha harus ingat pada penjelasan tentang pengadaan peraturan
kerja,
bahwa
dalam
pembentukan
suatu
peraturan
khusus
hendaklah sebelum peraturan tersebut diberlakukan, terlebih dahulu dimintakan persetujuan dari pihak serikat buruh atau dalam membuat peraturan khusus ini melakukan
suatu
kerja
sama
dengan
pihak
serikat
pekerja/buruh
yang bersangkutan, dengan demikian kalau ada pekerja/buruh yang memprotes,
29
pekerja/buruh ini akan disadarkan pula oleh serikat pekerja/serikat buruh yang ada di perusahaan yang bersangkutan.
5.
Pokok Pangkal Ketidak Puasaan Karena Masalah Pribadi Masalah
pribadi
yang
dapat
menimbulkan
perselisihan
antara
pekerja/buruh dengan pengusaha ada bermacam-macam, yaitu yang disebabkan oleh : a. Tingkah laku dan atau tindakan pengusaha terhadap pekerja/buruh. b. Tingkah laku dan atau tindakan pekerja/buruh terhadap pengusaha. Pengusaha
yang
pancasilais,
tindakan-tindakan
terhadap
batas
untuk
kewajaran
sangat
pekerja/buruhnya mencegah
para
kecil secara
anggota
untuk kasar stafnya
melakukan atau
diluar
melakukan
tindakan-tindakan yang dapat menyakitkan pekerja/buruh. Apabila terdapat pekerja/buruh yang melakukan perilaku dan perbuatan yang diluar batas kewajaran, lakukanlah pembinaan yang sebaik-baiknya, dan dapat agar
kalau
cara
meminta dapat
ini
tidak
bantuan
memungkinkan,
kepada
menyadarkannya,
serikat
sebelum
pengusaha/majikan
pekerja/serikat
menyerahkan
buruh
pekerja/buruh
yang demikian kepada pihak keamanan. Yang penting untuk diperhatikan bahwa
dalam
melakukan
Baik
pekerja/buruh
tindakan
terhadap
cegalah pengusaha
terhadap pekerja/buruh.
30
main
hakim
maupun
sendiri. pengusaha
B.
Penyelesaian Sengketa Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Bilamana terjadi perselisihan, maka serikat pekerja/buruh dan majikan
mencari penyelesaian Perselisihan itu secara damai dengan jalan perundingan, persetujuan
yang
dicapai
menjadi
perjanjian
melalui
perundingan
perburuhan
itu
menurut
dapat
di
susun
ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam Undang-Undang Perjanjian Perburuhan. Jika dalam perundingan itu oleh pihak-pihak yang berselisih sendiri tidak
dapat
diperoleh
penyelesaian,
maka
ada
2
(dua)
alternative
yang dapat di tempuh.
1.
Menyerahkan Perselisihan itu Secara Suka Rela Pada Seorang Juru Atau Dewan Pemisah. Penyelesaian Seperti ini Disebut Juga Dengan Penyelesaian Sukarela (Fulantary Arbitration); Penyelesaian secara suka rela dilakukan oleh juru atau dewan pemisah
sebagai
arbitrase.
Penyerahan
perselisihan
kepada
juru
pemisah
atau dewan pemisah harus dilakukan dengan surat perjanjian antara kedua belah pihak dalam surat perjanjian diterangkan mengenai : a. Pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang akan diserahkan kepada dewan pemisah untuk diselesaikan; b. Nama pengurus atau wakil serikat pekerja/serikat buruh dan majikan serta tempat kedudukan mereka; c. Siapa yang menjadi juru pemisah atau dewan pemisah dan tempat tinggalnya. d. Bahwa
kedua
belah
pihak
akan
tunduk
kepada
yang akan diambil oleh juru pemisah atau dewan pemisah;
31
putusan
e. Hal-hal yang perlu untuk melancarkan pemisah; Penunjuk juru pemisah atau pembentukan dewan pemisah demikian pula mengenai tata cara pemisahan terserah sepenuhnya kepada persetujuan kedua belah pihak terhadap keputusan juru atau dewan pemisah dapat dimintakan pemeriksaan ulangan. Putusan juru atau dewan Pemisah dapat dimintakan pengesahan
dari
Panitia
Daerah
dan
Panitia
Pusat,
ini
harus
memberikan pengesahannya kecuali : a. Jika ternyata putusan itu melampaui kekuasaan juru atau dewan pemisah; b. Di dalamnya terdapat hal-hal yang menunjukan itikad buruk; c. Di dalamnya terdapat hal-hal yang bertentangan dengan Undang-undang ketertiban umum atau dengan tata susila; Putusan yang disahkan oleh panitia pusat memperoleh kekuatan hukum sebagai putusan panitia pusat artinya : a. Dapat dimintakan kepada pengadilan Negeri supaya putusan itu dinyatakan dapat dijalankan (fiet executive) dan selanjutnya dilaksanakan menurut aturan yang biasa untuk menjalankan suatau putusan perdata; b. Pihak pidana
yang
tidak
kurungan
tunduk
pada
selama-lamanya
putusan 3
(tiga)
itu
diancam
bulan
atau
dengan denda
setinggi-tingginya Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Penyelesaian perselisihan secara suka rela/diluar Pengadilan (non litigasi) dikenal juga dengan istilah alternative disputes resolution (ADR) beberapa bentuk penyelesaian ADR ini adalah :
32
1. Mediasi, Cara penyelesaian perselisiahan oleh seorang atau beberapa orang
atau
badan/dewan
Mempertemukan yang berselisih
atau
memberi
yang
disebut
mediator.
fasilitas
kepada
pihak-pihak
untuk menyelesaikan perselisihannya tampa mediator
ikut campur dalam masalah yang diperselisihkan. 2. Konsiliasi,
cara
penyelesaian
perselisihan
oleh
seorang
atau beberapa orang atau badan/dewan yang disebut konsiliator mempertemukan
atau
memberi
fasilitas
kepada
pihak-pihak
yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya konsiliator ikut serta secara aktif
memberikan solusi terhadap masalah yang
diperselisihkan. 3. Arbitrase, Cara penyelesaian perselisihan dimana pihak yang berselisih sepakat untuk menyerahkan perselisihannya kepada pihak ketiga (orang/lembaga)
dengan
pernyataan
pihak
yang
berselisih
akan tunduk tehadap putusan yang diambil oleh Arbiter.
2.
Menyerahkan Perselisihan itu Ksepada Pegawai Perantara Departemen Tenaga Kerja. Penyelesaian Seperti ini Lazim Disebut Penyelesaian Wajib (Compulsory Arbitration); Penyelesaian
yang
perselisihan
secara
wajib
yakni
penyelesaian
dilakukan melalui pegawai perantara dan instansi yang berwenang
untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan, karena itu disebut dengan istilah penyelesaian wajib. Perselisihan
perburuhan
yang
tidak
dapat
diselesaikan
dengan perundingan dan oleh pihak yang berselisih tidak menyerahkannya
33
kepada juru atau dewan pemisah, maka para pihak atau salah satu dari mereka memberitahukan kantor
dengan
surat
kepada
pegawai
perantara
Departemen Tenaga Kerja setempat pemberitahuan ini sekaligus
sebagai permintaan kepada pegawai perantara kantor Departemen Tenaga Kerja untuk
memberikan
perantaraan
terhadap
perselisihan
perburuhan
yang terjadi selanjutnya langkah yang akan dilakukan adalah : 1. Perantaraan yang wajib diberikan itu dimulai dengan mengadakan penyelidikan duduk perkara yang sesungguhnya; 2. Dalam waktu tujuh hari selambat-lambatnya, pegawai perantara mengadakan
perundingan
dengan
pihak-pihak
yang
berselisih
dan mengusahakan serta memimpin perundingan antara pihak-pihak itu kearah mencapai penyelesaian secara damai, artinya mencapai persesuaian paham antara pihak-pihak itu,
maka hasil perdamaian tersebut
dapat dituangkan dalam persetujuan bersama. 3. Jika perundingan itu tidak menghasilkan persetujuan dan karena pegawai perantara, berpendapat bahwa perselisihan itu tidak dapat diselesaikan dengan perantaraan olehnya; maka perselisihan itu segera diserahkan kepada panitia penyelesaian perselisihan daerah (P4D) atau dibuat pula dengan istilah panitia daerah dengan memberitahukan hal itu kepada pihak-pihak yang bersangkutan. 4. Panitia Daerah pertama-tama juga memberikan perantaraan yang segerah setelah menerima penyelesaian perselisihan, mengadakan perundingan dengan pihak yang berselisih untuk penyelesaian secara damai,
34
jika berhasila maka hasil perdamaian dapat dituangkan dalam isi perjanjian perburuhan/KKB. 5. Jika perundingan tidak menghasilkan persetujuan, panitia daerah besiap-siap
mengambil
maupun
keputusan
baik
yang
bersifat
anjuran
yang bersifat mengikat. Putusan yang bersifat anjuran
yakni menganjurkan pihak-pihak yang berselisih agar menerima penghasilan menurut ketentuan yang dimuat dalam putusan itu jika panitia daerah berpendapat bahwa penyelesaian itu sukar diselesaikan dengan putusan yang bersifat ajuran, maka panitia daerah memberikan putusan yang bersifat mengikat dalam mengambil keputusan panitia daerah menimbang dengan mengingat hukum perjanjian yang ada, kebiasaan, keadilan dan kepentingan negara. 6. Jika
putusan
itu
tidak
dilaksanakan
secara
suka
rela,
maka untuk menjalankan putusan itu, oleh yang bersangkutan dapat dimintakan kepada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi pihak terhadap siapa putusan harus dijalankan, supaya putusan itu dinyatakan dapat dijalankan. 7. Terhadap
putusan
panitia
daerah
yang
bersifat
mengikat
itu,
dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diambil, salah satu pihak yang berselisih dapat meminta pemeriksaan ulang kepada panitia pusat putusan itu mengenai soal khusus yang bersifat lokal. 8. Barang siapa yang tidak tunduk kepada putusan panitia pusat itu
diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan
dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
35
9. Dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan itu diambil, Mentri
Tenaga
Kerja
dapat
membatalkannya
atau
menunda
pelaksanaan putusan, apabila dipandang perlu untuk memelihara ketertiban umum dan atau untuk melindungi kepentingan negara. 24
C.
Penyelesaian Tahun 2004. Menurut
Sengketa
Menurut
Undang-undang
Nomor
Undang-Undang
2
tahun
2004,
Nomor
jika
2
terjadi
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja berikut dengan akibat hukumnya, maka penyelesaiannya dapat diupayakan melalui mekanisme : a. Bipartit. b. Konsiliasi atau Arbitrasee. c. Mediasi. d. Pengadilan Hubungan Industrial.
Ad. a. Penyelesaian Secara Bipartit Setiap perselisihan hubungan industrial, apapun jenis perselisihannya, wajib untuk terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya secara bipertit. Prosedur
dan
Mekanisme
Penyelesaian
Perselisihan
Industrial
mendapatkan mekanisme bipartit pada posisi yang utama dan bersifat inferatif. Penyelesaian perselisihan Arbitrasi
dan
Pengadilan
oleh instrument lain, seperti Mediasi, Konsiliasi, Hubungan
industrial,
hanya
jika sebelumnya telah melalui tahap penyelesaian secara bipartit.
24
Op.cit, hal. 125-135.
36
bisa
dilakukan
Bahkan permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial boleh ditolak oleh instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, bilamana belum
ternyata
upaya
dilakukan
penyelesaian oleh
perselisihan
pihak-pihak
melalui
yang
bipartit berselisih
(pasal 4 ayat 2 UU No. 2 Tahun 2004). Penyelesaian perselisihan hubungan industrial lewat mekanisme bipartit diatur dalam pasal 3,4,6 dan 7 UU No. 2 Tahun 2004, yang pada pokoknya mengatur demikian : 1. perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah kekeluargaan untuk mencapai mufakat (pasal 3 ayat 1); 2. Penyelesaian paling
perselisihan
lama
30
(tiga
melalui
bipartit
puluh)
hari
harus
kerja
diselesaikan
sejak
tanggal
dimulainya perundingan (pasal 3 ayat 1); 3. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja salah satu pihak menolak
untuk
berunding
atau
telah
dilakukan
perundingan
tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal (pasal 3 ayat 3); 4. Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu pihak atau
para
pihak
dapat
mencatatkan
perselisihannya
kepada
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat dengan
melampirkan
bukti
bahwa
melalui bipartit telah dilakukan (pasal 4 ayat 1);
37
upaya
penyelesaian
5. setiap perundingan bipartit harus dibuatkan risalah perundingan yang ditandatangani oleh para pihak (pasal 6 ayat 1); 6. risalah perundingan sekurang-kurangnya memuat : a. Nama lenggkap dan alamat para pihak; b. Tanggal dan tempat perundingan; c. Pokok masalah atau alasan perselisihan ; d. Pendapat para pihak; e. Kesimpulan atau hasil perundingan ; f. Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan; 7. Bilamana maka
dalam
perundingan
bipartit
perjanjian
Bersama
dibuatkan
tercapai yang
kesepakatan, ditandatangani
oleh para pihak. Dan perjanjian bersama ini kemudian didaftarkan oleh para pihak pada pengadilan industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama. 8. Bilamana Perjanjian Bersama tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah Perjanjian Bersama didaftarkan. 9. dalam hal permohonan eksekusi berdomisili diluar Pengadilan Negeri tempat perjanjian bersama didaftarkan, maka permohonan eksekusi dapat
diajukan
diwilayah
melalui
domisili
Pengadilan
pemohon
38
eksekusi
Hubungan untuk
Industrial diteruskan
ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. Dampak praktek, adakalanya perundingan secara bipartit tidak dapat dilakukan oleh pihak pengusaha dengan pekerja/buruh. Kendalanya bisa terletak pada pekerja/buruh itu sendiri, misalnya kekhawatiran akan mendapatkan tekanan, atau
intimidasi
dari
pihak
pengusaha;
sehingga
pekerja/buruh
lebih memilih tidak melakukan perundingan secara bipartit dengan pengusaha, karena dikhawatirkan hasilnya akan merugikan kepentingan pekerja/buruh dan hal ini sering terjadi. Namun untuk
bisa
mengadakan
juga
terjadi
perundingan
sebaliknya.
secara
bipartit
Pengusaha dengan
kesulitan
pekerja/buruh
karena secara kebetulan melibatkan pekerja/buruh dalam jumlah besar. Seperti kasus mogok kerja misalnya. Untuk biasanya
kondisi
menempuh
yang cara
demikian, dengan
pihak-pihak
yang
berselisih
menyampaikan
surat
undangan
dari pihak yang satu kepada pihak lainnya. Surat undangan ini nantinya akan dijadikan sebagai bukti bahwa upaya perundingan telah dilakukan, meskipun secara substantive belum memenuhi ketentuan UU No. 2 Tahun 2004. Cara lain yang sering digunakan adalah dengan secara langsunag mengajukan
permohonan
kepada
instansi
yang
bertanggung
jawab
dibidang ketenagakerjaan. Umumnya permohonan ini akan ditindaklanjuti dengan
menyampaikan
surat
panggilan
kapada
masing-masing
pihak
yang berselisih. Jika para pihak hadir memenuhi panggilan tersebut,
39
maka instansi akan menyarankan agar pihak-pihak yang berselisih terlebih dahulu melakukan perundingan bipartit ditempat dan waktu itu juga. Selanjutnya, perundingan bipartit dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perundingan bipartit.
Ad. b. Penyelesaian Melalui Konsiliasi Jika
upaya
penyelesaian
lewat
mediasi
ternyata
gagal,
maka
pihak-pihak yang bersangkutan memiliki 2 (dua) opsi untuk penyelesaian selanjutnya,
yakni
lewat
mekanisme
konsiliasi
atau
Pengadilan Hubungan Industrial. Penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dapat diupayakan penyelesaiannya melalui konsiliasi bilamana pihak-pihak yang berselisih setuju dan
sepakat
untuk
memilih
instrument
ini.
Penunjukan
penyelesaian
melalui konsiliasi oleh pihak-pihak yang berselisih dilakukan setelah terlebih dahulu
ditawarkan
oleh
instansi
yang
bertanggung
jawab
dibidang
ketenagakerjaan, yakni pada saat permohonan penyelesaian perselisihan didaftarkan/dicatatkan (pasal 4 ayat 3 UU No.2 Tahun 2004). Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Jika mediator adalah pegawai negeri pada kantor instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenaga kerjaan, maka konsiliator adalah seseorang yang
dipandang
memiliki
kompetensi
dan
berpengalamannya
ketenagakerjaan yang kemudian diangkat menjadi konsiliator.
40
dibidang
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1.
sidang konsiliasi pertama sudah harus dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah konsiliator menerima permintaan penyelesaian perselisihan;
2.
Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja semenjak konsiliator menerima permintaan penyelesaian perselisihan;
3.
Konsiliator dapat mengambil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya;
4.
Bilaman
dalam
sidang
konsiliasi
tercapai
kesepakatan,
maka dibuatlah Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh pihak-pihak yang berselisih dan disaksikan oleh konsiliator untuk kemudian di daftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah hukum pihak-pihak yang berselisih; 5.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis, selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama dilaksanakan;
6.
Pihak-pihak
yang
berselisih
diberi
waktu
selambat-lambatnya
10 (sepuluh) hari kerja semenjak anjuran diterima untuk memberikan jawaban/tanggapan terhadap anjuran konsiliator; 7.
Dalam jangka waktu ditetapkan para pihak yang tidak memberikan jawaban, maka dianggap menolak anjuran konsiliator;
41
8.
Dalam
hal
para
pihak
menyetujui
anjuran
tertulis
konsiliator,
maka selambat-lambatnya 3 (tiga) harikerja sejak anjuran disetujui, para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah domisili hukum pihak-pihak yang berselisih; 9.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian melalui konsiliasi dan atau pihak-pihak menolak anjuran konsiliator, maka salah satu pihak atau para pihak dapat mengupayakan penyelesaian perselisihan dengan cara mengajukan permohonan/gugatan ke Pengadilan hubungan Industrial pada Pengadilan negeri di wilayah domisili hukum pihak-pihak yang berselisih.
Ad. c. Penyelesaian Melalui Mediasi Bilamana melalui
perundingan
dengan
perselisihan
berada
disetiap
perselisihan
bipartit,
mengupayakan
Penyelesaian yang
penyelesaian
maka
tidak
tahapan
penyelesaian melalui
mediasi
kantor
dapat
instansi
diselesaikan
selanjutnya melalui
dilakukan yang
adalah mediasi.
oleh
bertanggung
mediator jawab
dibidang ketenaga kerjaan. Pasal
10
UU
No.
2
Tahun
2004
menyebutkan,
bahwa dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima
pelimpahan
penyelesaian
perselisihan,
mediator
sudah
mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.
42
Mekanisme
penyelesaian
perselisehan
melalui
mediasi
dilaksanakan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1.
Penyelesaian melalui mediasi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan;
2.
Mediator
dapat
memanggil
saksi
atau
saksi
ahli
untuk
hadir
dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangan; 3.
Bilamana
dalam
sidang
mediasi
tercapai
kesepakatan,
maka dibuat perjanjian Bersama yang ditanggani oleh para pihak dengan di
disaksikan
Pengadilan
oleh
mediator
Hubungan
untuk
Industrial
kemudian
pada
didaftarkan
Pengadilan
Negeri
diwilayah hukum pihak-pihak yang berselisi; 4.
Bilaman dalam mediasi tidak tercapai kesepakatan, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
5.
Mediator
sudah
harus
mengeluarkan
anjuran
selambat-lambatnya
10 (sepuluh) hari setelah sidang mediasi dilaksanakan; 6.
Pihak-pihak yang berselisih sudah harus menyampaikan tanggapan atau jawaban secara tertulis terhadap anjuran mediator selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah anjuran mediator diterima;
7.
Bilamana pihak-pihak yang berselisih tidak memberikan tanggapan atau jawaban tertulis, maka dianggap menolak anjuran mediator;
8.
Bilamana pihak-pihak yang berselisih dapat menerima anjuran mediator, maka
selambat-lambatnya
Perjanjian
Bersama
3
(tiga) untuk
hari
sudah kemudian
harus
dibuatkan didaftarkan
di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah
43
9.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan dan atau pihak-pihak menolak anjuran mediator, maka salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan dengan mengajukan permohonan/gugatan ke Pengadilan Negeri diwilayah domisili hukum pihak-pihak yang berselisih.
Ad. d. Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan Industrial Berdasarkan
pasal
55
UU
No.
2
tahun
2004,
Pengadilan
Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berbeda pada lingkungan peradilan umum. Keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial ini adalah sebuah terobosan penting di dalam menjawab kebutuhan atas penyelesaian
setiap perselisihan hubungan industrial yang sederhana, cepat,
dan efisien. Penngadilan hubungan Industrial adalah muara atau akhir dari rangkaian
proses
penyelesaian
perselisihan
hubungan
industrial.
Pengadilan hubungan Industrial menjadi upaya terakhir bilamana instrument PPHI yang
disediakan,
seperti
bipartit,
mediasi,
konsiliasi,
arbitrasi,
belum juga menghasilkan penyelesaian yang dapat diterima oleh para pihak yang berselisih. Sebagai
upaya
terakhir,
maka
penyelesaian
setiap
perselisihan
hubungan industrial tidak dapat langsung diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Demikian halnya jika instrument PPHI (bipartit, mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi) telah mampu menghasilkan keputusan yang dapat diterima
44
oleh pihak-pihak yang berselisih, maka perselisihan tersebut tentu saja juga tidak akan sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial. Untuk
jenis
perselisihan
pemutusan
hubungan
kerja,
Pengadilan Hubungan Industrial memiliki kompetensi untuk memeriksa dan memutus ditingkat pertama. Sehingga jika para pihak atau salah satu pihak tidak
dapat
menerima
keputusan
yang
dihasilkan
oleh
Pengadilan Hubungan Industrial maka pihak yang berselisih dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Makamah Agung. Prosedur penyelesaian perselisihan di Pengadilan Hubungan Industrial menggunakan hukum acara yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali beberapa hal yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004. Beberapa ketentuan yang mengatur mengenai tata cara penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja melalui Peradilan hubungan Industrial, antara lain sebagai berikut : 1. Gugatan
perselisihan
hubungan
industrial
diajukan
kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja; 2. Pihak
yang
risalah
mengajukan
penyelesaian
gugatan melalui
wajib mediasi
untuk atau
melampirkan konsiliasi
yang telah dilakukan sebelumnya; 3. penggugat
sewaktu-waktu
dapat
sebelum tergugat memberikan jawaban;
45
mencabut
gugatannya
4. Untuk
nilai
gugatan
di
bawah
Rp.
150.000.000.-
(seratus lima puluh juta rupiah), pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi; 5. serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya; 6. ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan sudah harus menetapkan Majilis Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Hakim Anggota Majelis; 7. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang pertama; 8. Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang
tanpa
alasan
yang
dapat
dipertanggung
jawabkan,
Ketua Majelis Hakim menetapkan hari sidang berikutnya; 9. Hari sidang berikutnya ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak tanggal penundaan; 10. Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu pihak hanya dapat diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan; 11. Bilaman para pihak hadir pada hari sidang yang ditetapkan, maka prosesnya mengikuti tahapan persidangan sesuai ketentuan
46
Hukum
Acara
Perdata,
mulai
dari
jawaban,
duplik
replik,
pembuktian hingga pengambilan keputusan; 12. Dalam hal pengusaha tidak memberikan upah dean hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh, maka Hakim Ketua Sidang harus
segera
menjatuhkan
putusan
sela
berupa
perintah
kepada pengusaha untuk membayar upah serta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh; 13. Majelis
Hakim
wajib
memutus
perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama; 14. Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-lambatnya
7
(
tujuh)
hari
kerja
setelah
putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang pengambilan putusan; 15. Dan setelah
selambat-lambatnya putusan
14
ditandatangani,
(empat
belas)
hari
kerja
Panetera
Muda
harus
sudah
sudah
harus
menerbitkan salinan putusan; 16. salinan
putusan
dimaksud
disampaikan
kepada pihak-pihak yang berselisih selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan; 17. Ketua Majelis Hakim dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan
terlebih
dahulu,
perlawanan atau kasasi;
47
meskipun
putusannya
diajukan
18. Terdapat
putusan
Majelis
Hakim,
dapat
diajukan
permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja, terhitung semenjak putusan dibacakan bagi pihak yang hadir, dan sejak menerima pemberitahuan putusan bagi pihak yang tidak hadir. 25
D.
JENIS-JENIS ORGANISASI-ORGANISASI BERKAITAN DENGAN PENYELESAIAN SENGKETA BURUH DAN MAJIKAN
1.
ORGANISASI YANG DIBENTUK OLEH PEKERJA/BURUH Perkembangan
organisasi
pekerja/buruh
di
negeri
kita
diawali
sejak lahirnya Serikat Pekerja Guru Belanda (Nederland indische onderwys genootschap) pada tahun 1876. mulai saat itu pekerja/buruh pribumi juga bertekat mendirikan serikat pekerja/serikat buruh sendiri, tanpa warga negara asing. Mereka sudah menyadari pentingnya perjuangan untuk memperbaiki nasib, seperti upah
syarat dan
dan
kondisi
jaminan
sosial.
kerja,
kesehatan
Kesadaran
ini
dan
keselamatan
tumbuh
karena
kerja,
didorong
pula dengan semakin berkembangnya industri barang dan jasa pada masa itu. Setelah lahirnya boedi Utomo pada tahun 1908, organisasi Pekerja/Buruh juga ikut berkembang disusul dengan berdirinya Serikat Pekerja Kereta Api dan Trem pada tahun yang sema. Kemudian disusul Perkumpulan Bumi Putera Pabean
pada
Persatuan
25
tahun
1911,
Pegawai
Persekutuan
penggadaian
Op. cit ,hal. 151-160.
48
Buruh
Bumi
Bantu
Putera
tahun tahun
1912, 1914,
Serikat Pekerja Perusahaan Swasra tahun 1915, Serikat Pekerja Opium Regie Bond tahun 1916, Serikat Pekerja Pabrik Gula tahun 1917 dan lain-lain. Sejalan dengan dinamika perjuangan bangsa Organisasi pekerja/buruh juga
tidak
terlepas
dari
pergulatan
politik
ditanah
air.
Berbagai serikat pekerja/serikat buruh dengan nama dan segala bentuknya ikut bermunculan sebagai bagian partai politik. Dalam kenyataan sejarah kondisi tersebut tidak menguntungkan dan akhirnya pada tanggal 1 November 1969 dibentuklah
Majelis
Permusyawaratan
Buruh
Indonesia
(MPBI),
sebagai upaya penyatuan dan penyederhanaan organisasi/serikat pekerja. Berawal dari MPBI inilah kemudian dicetuskan Deklarasi Buruh
Seluruh
Indonesia
pada
tanggal
20
Persatuan
Februari
1973,
yang melahirkan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Prinsip awal berdirinya
FBSI
adalah
tetap
menjunjung
tinggi
asas
demokrasi,
bebas dan bertanggung jawab. Anggota FBSI pada saat itu berjumlah 21 buah SBLP
(Serikat
Buruh
Lapangan
Pekerja),
yang
masing-masing
memiliki kepengurusan dan anggaran dasar. Dalam kiprahnya organisasi yang bersifat federasi ini tidak efektif, karena masing-masing SBLP tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Melalui kongres FBSI pada tahun 1985 sifat organisasi federasi diubah menjadi Unitaris, sekaligus berubah nama menjadi SPSI. Bentuk unitaris inipun banyak ditentang oleh kalangan aktivis buruh khususnya yang tidak ikut kongres, sebagai
reaksinya
ia
mendirikan
Sekretariat
Bersama
Serikat
Buruh
Lapangan Pekerjaan (SEKBER SBLP), namun organisasi ini tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah.
49
Untuk Permenaker
“melegalkan”
tindakan
05/MEN/1985
tentang
tersebut,
pemerintah
Pendaftaran
mengeluarkan
Organisasi
Pekerja.
Dalam peraturan ini disebutkan bahwa organisasi buruh yang dapat didaftarkan adalah: a. Bersifat kesatuan; b. Mempunyai pengurus sekurang-kurangnya di 20 (dua puluh) daerah TK. I, 100 (seratus) daerah tingkat II, dan 1000 (seribu) ditingkat Unit/Perusahaan. Ternyata perubahan sifat dan nama organisasi tersebut belum juga menjawab masalah
persoalan
yang
dihadapi,
bahkan
cenderung
menimbulkan
dan konflik baru. Akhirnya melalui Munas SPSI tahun 1990
diambil kebijakan dengan mengubah departemen menjadi sektor sebagai unsur pimpinan
dan menjadi Anggota Pleno DPP SPSI. Dengan perubahan
ini sifat organisasi lebih mendekati federasi dan selanjutnya berganti nama Federasi SPSI (F-SPSI). Kendati demikian organisasi tersebut dianggap belum menyuarakan kepentingan pekerja/buruh dan tidak dapat berfungsi sebagai wahana perjuangan cenderung
menjadi
alat
kaum pekerja/buruh bahkan ada pendapat kepentingan
Sejalan dengan kondisi tersebut,
politik
kelompok
tertentu.
maka berdirilah Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (SBSI) yang diketuai oleh
Dr. Muchtar Pahpahan, SH., MA.,
seorang aktivis, praktisi hukum dan akademisi. Kemudian setelah reformasi bergaung dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru, pemerintah transisi Presiden Habibie menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 83 tahun 1998 Tentang Pengesahan konvensi ILO Nomor 87 tentang
50
Kebebasan
Berserikat
dan
Perlindungan
Hak
untuk
Berorganisasi.
Keberadaan Keppres ini ternyata mendorong tumbuhnya banyak organisasi pekerja/buruh, di samping F-SPSI dan SBSI yang sudah berdiri sebelumnya. Organisasi Pekerja/buruh dimaksut antara lain : 1. Persaudaraan Pekerja Muslim indonesia (PPMI); 2. Federasi Serikat Pekerja BUMN; 3. Kesatuan Pekerja Nasional Indonesia (KPNI); 4. Serikat Buruh Muslim Indonesia ( SARBUMUSI); 5. Fron Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI); 6. Kesatuan Buruh Marhaen (KBM); 7. Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (GASPERMINDO); 8. Federasi Organisasi Pekerja Keuangan dan Perbankan Indonesia (FOKUBA); 9. Gabungan Serikat Buruh Industri Indonesia (GASBINDO); 10. Asosiasi Karyawan Pendidikan Swasta (ASOKADIKTA); 11. Serikat Pekerja Penegak Keadilan Kesejahteraan dan Persatuan (SPKP); 12. Federasi Serikat Buruh Demokrasi Seluruh indonesia (FSDSI); 13. Solidaritas Pekerja Amanat Nasional (SOPAN); 14. Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia); 15. serikat Pekerja Keadilan (SPK); 16. Serikat Pekerja Nasional Indonesia (SPNI) 17. Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI); 18. Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (SPTKS);
51
19. Gabungan Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (GOBSI). Data terakhir sampai dengan Oktober 2005 jumlah serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) ditingkat nasional tercatat sebanyak 187 buah SP/SB, yang terdiri 86 buah SP/SB federasi, dan 101 buah SP/SB non-Federasi. Tumbuhnya serikat pekerja/buruh ternyata berdampak positif terhadap pola dan sistem ketenagakerjaan ditanah air, disamping juga dampak negatif yang tidak dapat di hindari. Dampak positif itu antara lain semakin tingginya tingkat
kesadaran
pekerja/buruh
terhadap
pentingnya
berorganisasi,
tumbuhnya persaingan antar-serikat pekerja dan solidaritas pekerja/buruh dalam setiap memperjuangkan perbaikan nasib. Sesuai Undang-undang
dengan
tuntutan
Nomor
21Tahun
reformasi 2000
pemerintah
tentang
Serikat
menerbitkan Pekerja/Buruh,
yang memberikan keleluasaan bagi pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepentingan dan haknya. Keberadaan serikat pekerja/buruh dalam pabrik ternyata menjadi problema tersendiri bagi masyarakat industri. Apalagi bagi perusahaan yang belum siap menerima kehadiran multi serkat pekerja. Untuk itu dalam menyikapi serikat pekerja/serikat buruh hendaknya selalu koordinatif Menghindarkan organisasi
sikap
pekerja/serikat
skeptis buruh,
dan karena
dan akomodatif.
konfrontatif hal
ini
justeru
terhadap memicu
persoalan-persoalan baru yang lebih rumit di kemudian hari. Memang kehadiran serikat pekerja/serikat buruh dapat memunculkan dualisme kepemimpinan dalam suatu perusahaan ini hendaknya tetap dalam koridor positif dan terpadu dalam memimpin dan membina pekerja/buruh dalam suatu perusahaan,
52
disamping mereka sebagai bawahan majikan (pengusaha) juga sebagai anggota serikat
pekerja/serikat
buruh.
Oleh
sebab
itu
para
pengurus
serikat pekerja/serikat buruh harus benar-benar memahami posisi tersebut. Jadi jangan sampai pengurus serikat pekerja/serikat buruh tidak dapat menjaga keseimbangan dalam menciptakan ketenangan bejerja dan kelangsungan berusaha. Menurut
Abdul
Khakim
dalam
bukunya
Pengantar
Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia mengatakan : “
bahwa
disinilah
pentingnya
anggota
SP/SB
selektif
dalam
memilih
calon pengurus. Jangan hanya tertarik pada tipe calon pengurus yang hanya pandai bicara dan
berani
“menghadapi”
pengusaha.
Calon
pengurus
SP/SB
hendaknya
dipilih dari anggota yang memiliki kualitas prima, seperti jiwa kepemimpinan, mampu berkomunikasi dan berwawasan cukup, serta jujur dan dapat dipercaya.” 26
Kehadiran organisasi pekerja/buruh dimaksudkan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Keberhasilan maksud ini sangat tergantung dari kesadaran para pekerja/buruh untuk mengorganisasikan dirinya, semakin baik organisasi itu, maka akan semakin kuat. Sebaliknya semakin lemah, maka semakin tidak berdaya dalam melakukan tugasnya. Karena itulah kaum pekerj/buruh harus menghimpun dirinya dalam suatu wadah atau organisasi. Hal
ini
merupakan
implementasi
dari
amanat
ketentuan
Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan yang ditetapkan dengan Undang-undang, maka pemerintah telah meratifikasi konvensi Organisasi Perburuhan Internasional
26
Op. cit.hal. 219
53
Nomor 94 dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 mengenai Dasar-Dasar Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama. Serikat pekerja/serikat buruh ini juga mempunyai hak dan tanggung jawab seperti yang dikemukakan dalam Pasal 1 ayat (1) undang-undang Nomor 21 tahun 2000 bahwa : “Serikat pekerja/serikat buruh ialah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokrasi dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.” 27 Berdasarkan pengertian tersebut nyata bahwa tugas pengurus SP/SB amat berat tapi mulia. Oleh sebab itu mereka diberikan jaminan seperti yang diatur dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang serikat pekerja/serikat buruh.
a.
Hak serikat pekerja/buruh 1.
Membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha.
2.
mewakili pekerja/buruh dalam penyelesaian perselisihan industrial.
3.
Mewakili pekerja/buruhdalam lembaga ketenagakerjaan.
4.
Membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh.
5.
Melakukan kegiatan lainnya dibidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan undang-undang.
6.
dapat berafiliasi dan atau bekerja sama dengan SP/SB internasional atau organisasi internasional lainnya. 27
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000, tentang serikat pekerja/serikatburuh.
54
b.
Kewajiban Serikat Pekerja/serikat Buruh 1. Melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya. 2. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya. 3. Mempertanggung jawabkan kegiatan organisasi kepada anggota sesuai AD/ART. Khusus mengenai pelaksanaan hak SP/SB harus dilakukan sesuai
dengan ketentuan perundangan yang berlaku (Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000).
2.
ORGANISASI YANG TUMBUH DIMASYARAKAT Banyak organisasi yang tumbuh dimasyarakat, yang pertumbuhannya
dipengaruhi
oleh
keadaan
yang
merangsang
kepedulian
masyarakat
itu semdiri terhadap nasibdan keadaan diri pribadi. Di sini khusus yang bergerak di bidang ketenaga kerjaan dimana kegerakan ini di pelopori oleh masyarakat yang terdidik (kaum intelektual) yang didukung oleh masyarakat sekitar mereka, pemikiran ini tidak hanya muncul begitu saja tetapi muncul diakibatkan oleh keadaan di lapangan (disekitar) kita dimana mereka turut prihatin dengan nasib mereka kelak saat terjun menjadi tenaga kerja siap pakai. Kelompok
Pelita
Sejahtera
(KPS)
adalah
sebuah
Organisasi
Non Pemerintah (Ornop atau NGO) yang pada tanggal 8 April 1992 resmi berbadan hukum “Yayasan” (maka itu disingkat dengab YKPS), dibangun oleh para aktivis pergerakan mahasiswa/i YANG BERPUSAT DIKAMPUS Universitas HKBP Nomensen, Medan. Pada tahun 1986
55
kelompok ini
bernama kelompo Studi Analisis Perkotaan (KSAP).
Kepedulian pertama berdirinya KPS adalah bahwa konsep pembangaunan dan Industrialisasi yang beroriaetasi kepada pertumbuhan ekonomi yang justru menjadikan
rakyat
sebagai
korban.
Sebagai
“vocatio
dei”
KPS mengangkat 3 (tiga) issue keprihatinan utama bagaimana berjuang bersama : Buruh yang Tereksploitasi dan Tertindas, Rakyat Korban Penggusuran Tanah untuk
Kepentingan
Industri,
dan
Pencemaran
Lingkungan
Hidup.
Pada tahun 1990-an terjadi perluasan kawasan industrialisasi khususnya manufaktur
dari Jakarta ke Medan, maka permasalahan pelanggaran
hak-hak normatif
dan hidup buruh semakin semakin mendesak untuk
ditangganni. Dalam pendidikan
menjalankan
dan
pendampingan
advokasi dan
misinya, dalam
KPS
rangka
pendidikan
melakukan
pengorganisasian,
menyadarkan
kritis
agar
rakyat
buruh
berani
(buruh) bicara
dan memperjuangkan hak-haknya. Buruh mulai sadar akan pentingya organisasi sebagai
alat
perjuangan
dengan
membentuk
kelompok
belajar
dan forum buruh yaitu Forum Aspirasi Kaum Buruh (FAKB). Hasilnya, dibawah rezim diktator Orde Baru Jendral Soeharto kaum buruh dengan berani memperjuangkan maupun
secara
perjuangan
buruh
hak-haknya lewat demonstrasi baik ditingkat pabrik bersama-sama. meningkat
Sepanjang
baik
lewat
tahun mogok
1990
s/d
ditingkat
1994, pabrik
maupun secra bersama-sama, yang memuncak pada demonstrasi buruh besarbesaran
(50.
000
buruh)
pada
“
56
Gerakan
Buruh
14
April
1994”
yang merupakan gerakan buruh terbesar
di zaman diktator Orde Baru.
Buruh menuntut kenaikan upah, kebebasan berserikat dan tunjangan hari raya. Sejak tahun 1996, KPS lebih terkonsentrasi pada pengorganisasian buruh sebagai
pilihan
strategis
karena
keterbatasan
sumberdaya
dan perlunya lebih fokus. Hal ini berlangsung hingga kejatuhan Soeharto (1998), gerakan reformasi membuka ruang yang terbuka bagi buruh untuk membangun serikat buruh
yang legal. Berangkat dari desakan dan kebutuhan buruh,
tahun 2001 KPS ikut mendorong terbentuknya Serikat Buruh Medan Independen (SBMI).
Hingga
saat
ini
SBMI
telah
melewati
Kongres
ke
II
dengan proses yang demokratis. SB telah semakin mampu menjalankan peran dan fungsi serikat buruh secara independen, dimana peran KPS sebagai peran pendukung. KPS mempunyai beberapa Program Utama untuk mencapai sasaran dan cita- cita KPS yang mungkin juga bertujuan untuk mempermudah gerak langkah dan pelaksanaan nilai dan misi KPS
1.
Riset dan Pengembangan Organisasi Buruh a. Pengorganisasian
dan
penelitian
buruh
perkebunan,
industri dan kaum miskin kota. b. Penyusunan modul-modul pendidikan dan panduan-panduan sederana yang berperspektif gender yang mampu digunakan oleh serikat buruh untuk mendidik anggotanya. c. Pendidikan dan pelatihan yang berperspektif gender.
57
d. Pengembangan sistem informasi dan dokumentasi perburuhan untuk mendukung, pengorganisasian, pendidikan dan kampanye.
2.
Kampanye dan Pembelaan (Advokasi) a. Konsolidasi jaringan lokal lewat pertemuan rutin bulanan dan tahunan. b. Konsolidasi jaringan nasional lewat pertemuan nasional, kongres dan mengunjungi jaringan nasional NGO dan SB. c. Pengembangan media kompanye seperti website yang di update secara rutin, membuat poster, brosur, infosheet, tabloid, pamlet, selebaran, dan radio komunitas.
3.
Pengembangan Ekonomi a. Pengembangan Ekonomi kolektif lewat metode grameen bank dan CU b. Fasilitas pembentukan koperasi serikat buruh.
4.
Pengembangan Kelembagaan a. Studi formal, eksposure/study banding/magang dan kursus singkat dilembaga lain. b. Pelatihan di internal KPS. c. Monitoring dan evaluasi secara rutin. d. Pengadaan fasilitas yang dibutuhkan untuk mendukung program kerja.
58
Nilai dan Misi KPS adalah sebagai berikut : Nilai yang dibangun oleh KPS ialah selalu mendorong cara kerja yang agaliter, terbuka, dialogis dan tanpa membedakan kedudukan rekan-rekan sekerja. Posisi seseorang dalam stuktur organisasi hanyalah pembagian peran, tidak
membedakan
perlakuan
sosial
satu
terhadap
yang
lain,
demikian juga perlakuan terhadap buruh dan pihak-pihak lain. Perbedaan pendapat
dan
konflik
internal
menjadi
bagian
dari
dinamika
yang harus diselesaikan secara demokratis lewat rapat-rapat dan diskusi-diskusi. Misi KPS adalah : Memperkuat Serikat Buruh dan Organisas Rakat, sehingga
mampu
memperjuangkan
hak-hak
ekonomi,
sosial
politik
yang berkeadilan gender melalui proses pengorganisasian dengan pendekatan pendidikan, serta
pembelaan
pengembangan
dan
kompanye,
ekonomi
maupun
nasional dan internasional. 28
28
Katalok KPS (Profil KPS)
59
riset
dan
kajian
pengembangan
gerakan, jaringan
BAB IV ANALISIS KASUS TERHADAP PHK MASSAL DI PT. SHAMBROCK
A.
SEJARAH PERUSAHAAN “PT.SHAMBROCK MANUFACTURING CORPORA” Perusahaan ini bernama PT. Shambrock Manufacturing Corpora,
perusahaan ini berdiri pada tahun 1988 (berdasarkan pengurusan akte izin) akan tetapi perusahaan ini mulai produksi pada tahun 1989. PT. Shambrock manufakturing ini beralamat di jalan besar Medan Namorambe, pasar IV Kelurahan Deli Tua , Kecamatan Deli Tua, Kaupaten
Deli
Serdang.
Perusahaan
ini
memproduksi
sarung
tangan
yang berlabel Shambrock dan orientasi eksport perusahaan ini adalah negara, USA (texas), Jepang, Italia, China dan Jakarta. Jenis perusahan ini adalah PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri), pemilik lokasi pabrik ini adalah Hansen Laurence. Dengan pemegang saham, Hansen
Laurence,
Lipping
Kuanto,
Sudirman
dan
Kaliman.
Denagan direktur utama dipegang oleh hansen Laurence sendiri selaku pemilik lokasi pabrik dan pemegang saham terbesar, manager utama dipegang oleh
Rudi
Salim,
dengan
Asisten
Manager
Suyantono,
dan Personalia yaitu H. Daniel Syah, SH. Perusahaan
ini
pada
waktu
kasus
ini
tejadi
dalam
kondisi
pekerjanya dirumahkan lebih dari 50% dari jumlah keseluruhan buruh yang ada/yang bekerja diperusahaan tersebut hal ini terjadi mulai dari bulan April sampai pada bulan Juli tahun 2004. selain ini masih banyak kasus/masalah
60
yang terjadi diperusahaan ini sebelum terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja secara Massal oleh pihak perusahaan antara lain adalah : 1. Keterlambatan
pembayaran
gaji,
dengan
alasan
perusahaan
tidak ada dana ini terjadi semenjak tahun 2003; 2. Pada tahun 2004 keterlambatan pembayaran gaji ini kembali terjadi dengan alasan yang sama; 3. Pekerja/buruh
diminta
mengundurkan
diri
karena
menikah
sesama pekerja/buruh akibat adanya perjanjian kerja yang salah satu klausulanya berisi tentang larangan menikah sesama pekerja/buruh; 4. Penundaan kenaikan UMP sesuai dengan SK Gubernur Sumatera Utara yang seharusnya berlaku semenjak bulan Januari 2004; 5. Fasilitas didalam pabrik yang kebanyakan tidak lagi berfungsi, seperti pentilasi angin , penyedot debu dan yang lainnya; 6. Tindakan
Intimidasi
oleh
pihak
manajemen
perusahaan
dan satpam kepada pekerja/buruh. Hal ini terus berlangsung sampai aksi mogok/unjuk rasa dilakukan oleh
sebagian
hal
ini
putusan
besar
Pekerja/buruh
berdasarkan ini
keputusan
berdasarkan
lebih P4P
Undang-Undang
tertanggal 14 oktober 2004.
61
dari
nomor Nomor
765 1868 22
orang
pekerja
M/KP4P/2004 tahun
1957
B.
PERTIMBANGAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN DI PT. SHAMBROCK.
DALAM MELAKUKAN KERJA MASSAL
1.
Kronologis Aksi Buruh PT. Shambrock Manufacturing Corpora yang Berakhir pada PHK Massal. Kondisi Kasus Kasus-Kasus Pekerja/Buruh dalam Perusahaan ini : Pembayaran
gaji
pada
akhir
Bulan
Desember
2003.
sebesar setengah dari upah pokok. Alasan perusahaan tidak ada dana yang tersedia. hasilnya dibayar
Buruh buruh setelah
melakukan
pemogokan
diliburkan
selama
pada
pada
3
selama
(tiga) awal
hari bulan
1 dan
(satu)
hari
kekurangannya Januari
2004.
Keterlambatan pembayaran upah yang terus menerus. Mulai Bulan Januari 2003 s/d Juli 2004, paling cepat pembayaran gaji tanggal 5 s/d tanggal 8 awal bulan. Alasan Perusahaan adalah krisis keuangan. Pekerja/buruh pernah melakukan aksi yaitu Bulan Mei tahun 2004 selama 3 (tiga) hari. Perusahaan membayar uapah sesuai kesepakatan paling lama tanggal 5 awal bulan. Kasus buruh yang diminta mengundurkan diri karena buruh menikah sesama buruh dalam perusahaan. Buruh sudah banyak menjadi korban dari kasus ini, karena awal masuk bekerja buruh disuruh untuk membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri bilamana menikah sesama buruh di PT. Shambrock. Jadi hal inilah yang menjadi alasan perusahaan untuk memaksa si buruh
untuk mengundurkan diri (“PHK”). Berikut nama –nama buruh yang
sudah mengundurkan diri (“PHK”) karena menikah sesama buruh PT. Shambrock :
62
Tabel 1 Daftar nama-nama buruh yang diminta mengundurkan diri dengan suka rela karena menikah sesama buruh di TP. Shambrock . Nama
Bagian
Tgl.
Cara Penyelesaian
Kejadian Widia Saputri
Presipmen
Salah satu buruh keluar
Dalimunthe
dari 19 Juli 2004
dengan
pabrik
penguduran diri. Sebesar
Andre
packing
2 (dua) bulan gaji
Irvan
Countainer
Sda
dengan
Bulan Juli
Aminah Syam
QC
Jusia
QA. WTT
dengan Laboratorium
Rajes
Drayer
dengan
Salah satu buruh keluar
2004
Pabrik I
(tiga) bulan gaji
Perusahaan
2003
Sahendra Produksi I
dengan
dari pabrik dengan 3
Salah satu keluar dari Bulan Januari
Helmi
Sda Tahun 2003
Rusdiana
Dokumen QC
Supriadi
Produksi
dengan
2004
Bulan Juli
Putri Sari
Rama
dengan
Sda Tahun 2003
63
Susanti
Umum
Khairunisa Mulianto Girsang Produksi dengan
Tahun 2003
halimah
Packing
Herdianto dengan
Mekanik
lisbet
Sda
Nani Produksi I
Karena Tanggal 12
situmeang
juli 2004
tidak
mau
disuruh
mengundurkan
diri
PHK
di
kedua-
duanya
Penundaan pembayaran kenaikan UMP sesuai SK Gubernur SUMUT yang berlaku sejak bulan Januari 2004. ditunda mulai dari bulan januari s/d April 2004. Alasan pihak perusahaan kondisi perusahaan yang tidak mampu membayar kenaikan upah tersebut. Buruh melakukan mogok selama 3 (tiga) hari yaitu tanggal 5 s/d 7 Mei 2004. Akhirnya kenaikan upah diberikan oleh pihak perusahaan pada bulan Mei 2004 dengan sistem rapel gaji. Kekurangan upah lembur pada bulan Januari s/d April 2004 tidak diberikan sesuai dengan kenaikan UMP. Alasan pihak perusahaan karena perusahaan
sudah
membayar
gaji
buruh
waktu
melakukan
mogok,
jadi disatukan dengan uang lembur. Fasilitas didalam pabrik yang banyak tidak lagi berfungsi seperti pentilasi angin, penyedot debuh, dll. Sehingga mengancam kesehatan buruh. Pernah melakukan mogok pada bulan Mei 2004. hasilnya pihak perusahaan akan memperbaiki fasilitas didalam perusahaan yang tidak layak pakai. Tindakan 64
intimidasi yang dilakukan oleh pihak Menagemen Perusahaan dan satpam kepada buruh yang mencoba melawan. Seperti menginterogasi buruh. Kasusnya seperti membagikan brosur SBMI dll. Dari tabel diatas diketahui bahwa kasus Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan terjadinya perkawinan antara sesama buruh pada tahun 2003 adalah sebanyak 4 (empat) orang. Sedangkan pada tahun 2004 adalah sama dengan yang terjadi di tahun 2003 yaitu 5 (lima) orang, jadi jumlah selurunya adalah 9 (sembilan orang) Pekerja/buruh.
Tabel 2 Berikut Buruh yang kena PHK mulai dari tahun 2003 s/d tahun 2004 Nama Amsal
Bagian Mekanik
Kasus Mutasi
Tgl. Kejadian
kerja
Penyelesaian Tri Partit. Dan
Sulaiman
yang berakhir Agustus 2003
sampai
Kalalo
pemberian
sekarang
PHK
masih di P4D
Sda
Bipartit.
Martin
Pengolahan
Tahun 2003
Diberi pesangon dua kali ketentuan
Marlinson Purba
Mekanik
Karena
Tripartit.
membawa
Diberi
serikat lain ke Maret 2004
pesangon
65
perusahaan di
kurang dari 2
PHK dengan
kepmen
alasan strukturisasi Rudolf.
Mold
Efisiensi
Maret 2004
Andre
Diselesaikan dengan
cara
tripartit dengan pesangon Rp. 5.000.000,Natangsa
Produsi III
Barus
Efisiensi dan
Diselesaikan
dikaitkan
dengan
dengan
Maret 2004
cara
bipartit.
mogok buruh pada
bulan
maret 2004 Samin
Produsi II
Simarmata
Menggalang
Diselesaikan Maret 2004
massa, melakukan
dengan
cara
bepartit
mogok. Johanes Sitorus
Mold
Menggalang massa,
Diselesaikan Maret 2004
melakukan mogok
66
dengan bipartit
cara
14
Merongrong
Menjadi salah
(antara lain
wibawa
satu tuntutan
Ahmadsyah,
perusahaan
M.
orang -
Yusuf,
Juli-Agustus
aksi saat itu
2004
Junaidi Fendra, Duma Manurung, Jojor, Agustina, dll).
Dari tabel kedua ini dapat diketahui jumlah pekerja/buruh yang di PHK pada tahun 2003 adalah 2 (dua) orang, dan ditahun 2004 adalah sebanyak 19 (sembilan belas) pekerja. Dengan berbagai alasan antara lain : karena mutasi kerja, membawa/membuat serikat pekerja selain yang ada diperushaan yang telah ada sebelumnya, karena melakukan penggalangan massa untuk melakukan mogok dan alasan yang lainnya adalah efisiensi. Jadi jika di bandingkan besarnya tingkat PHK yang dilakukan oleh Pengusaha (PT. Shambrock) mulai dari akhir tahun 2003 s/d 2004 adalh pada tahun 2004, karena data yang terdapat dalam tabel ini belum semua korban PHK yang ada. Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam lampiran.
67
TUNTUTAN BURUH DALAM AKSI 1. Pekerjakan kembali buruh-buruh yang di PHK sepihak karena mendirikan serikat pekerja sebanyak 14 orang; 2. Berikan kebebasan berserikat (tanpa harus ikut campur tangan pengusaha); 3. Menolak mutasi M. yusuf ke PT. Darsum. Kab. Langkat; 4. Hapuskan surat pernyataan pengunduran diri dari perusahaan bilamana menikah sesama buruh; 5. Hentikan buruh yang dirumahkan secara terus menerus; 6. Tetapkan skala upah; 7. Kembalikan JPK. Mandiri (Jaminan Pelayanan Kesehatan Mandiri); 8. Perbaiki Perlengkapan Keselamatan Kerja; 9. Perbaiki Upah Cuti Haid (CH) selama dua hari tanpa syarat; 10. Hentikan Proyek Thank You di bagian PHH, QC, BBS yang dilakukan diluar jam kerja; 11. Hapuskan sistem penerapan target kerja; 12. tolak Penggusuran Mess Buruh.
KRONOLOGIS AKSI 29 Senin, 09 Agustus 2004 08.00 wib Buruh berkumpul didepan pabrik. Pengusaha mendatangkan satu kompi PASKAS AU dan masuk kedalam pabrik. Beberapa pasukan tersebut keluar dari pabrik dan 29
Merupakan hasil studi dokumen LSM/KPS tentang kasus dan pelaksanaan PHK Massal di PT. Shambrock.
68
berdiri di depan gerbang perusahaan untuk menjaga. Ada sebagian buruh yang masuk kepabrik untuk bekerja. 09.15 wib Ratusan buruah long march menuju lapangan bola Pasar V Namorambe 09.45 wib Buruh berangkat ke DPRD TK II SU dengan mengendarai belasan bus POVRI dan sebuah truk. 10.10 wib Buruh tiba dikantor Dewan dan bergabung dengan buruh yang aksi dari PT. MTC. 15.00 wib Sepuluh orang tim delegasi berunding dengan Dewan dan M. Yusuf sebagai juru bicara tim delegasi membagikan surat yang berisi tuntutan kepada pimpinan rapat komisi V. meskipun pihak pengusaha telah dihubungi oleh dewan, tetapi pihak pengusah maupun perwakilannya menghadirinya. Hasil dari rapat /perundingan ini adalah dilanjutkannya kembali rapat/perundingan tim delegasi dengan pihak pengusaha pada hari rabu, tanggal 11 agustus 2004. 16.00 wib Tim delegasi keluar dari ruang rapat dan menjumpai massa. 17.00 wib Dengan cara long march massa menuju lapangan merdeka Medan dari lapangan DPRD untuk pulang. 19.00wib Massa pulang dengan mengendarai belasan bus POVRI dan kembali ketempat tinggal masing-masing.
69
Selasa , 10 Agustus 2004 07.20 wib Puluhan buruh dan beberapa orang tim delegasi serta pimpinan aksi berkumpul didepan gerbang perusahaan. Di depan gerbang Hariman dan Dayat (buruh yang masih tidak bergabung dengan buruh yang aksi), satpam, PASKAS telah siap siaga menjaga pabrik dan mengajak buruh lain untuk tetap bekerja. Pimpinan aksi dan perangkat aksi lainnya tetap berorasi dan mengumpulkan buruh untuk melanjutkan aksi. 07.30 wib Terjadi perdebatan antara pihak pengusaha dengan beberapa KORLAP diantara ratusan massa yang telah berkumpul. Selanjutnya KORLAP melanjutkan tugs untuk menjaga massa agar tetap tertib dan pengusaha masuk ke dalam perusahaan 08.05 wib Kaki tangan pengusaha (paul) memegang Handy Talky berbincang-bincang dengan preman. 09.10 wib Pemerintah Kabupaten Deli Serdang datang ke lokasi pabrik. Saat seorang buruh membacakan puisi. 09.30 wib M. yusuf dan Hendry (tim delegasi) dipanggil agar masuk kedalam pabrik dan gerbang ditutup. Massa menanti kedua rekannya keluar dari pabrik. 10.00 wib Massa masih tetap aksi dan bergantian memberikan orasi dan kegiatan aksi tersebut diselingi dengan beberapa lagu.
70
10.20 wib beberapa buruh laki-laki memasang tenda didepan pabrik agar buruh tidak kepanasan dibawah teriknya sinar matahari. Buruh masih tetap bertahan untuk mengdakan aksi. 10.30 wib Satu truk dari AU masuk kedalam pabrik. 11.25 wib Polisi dengan mengendarai mobil masuk kedalam pabrik. 11.30 wib Seorang pemuda bertubuh besar, berpakaian berwanah kuning masuk kedalam kerumunan massa mencoba memprovokasi setelah keluar dari mobil yang diparkirnya digerbang
kedua pabrik PT. Shambrock, namun massa tidak
terprovokasi. 12.30 wib seorang buruh (Ginto) yang sebenarnya masuk sift tiga (malam) masuk kelokasi pabrik. 12.35 wib Massa tetap bersemangat meskipun cuaca cukup panas dan masi berada dalam garis dan saatnya makan siang. Dan beberapa buruh mencoba menghibur. 13.05 wib Ada sekitar 6 (enam) oarang polisi (salah satunya seregar dari Poltabes Medan) dan enam orang tentara berbaret kuning yang keluar masuk pabrik. Mereka menjaga pabrik juga kondisi aksi.
71
14.10 wib Adanya pihak yanga memanas-manasi buruh yang mengakibatkan hampir terjadinya bentrok antara buruh dan satpam PT. Shambrock. 15.00 wib Pihak DPC SPSI datang kelokasi aksi. Saat itu massa dibagi dua. Sebagian dipintu utama dan sebagian lagi di pinti ke-dua. 15.11 wib Aparat meminta pada pimpinan aksi agar pintu gerbang ke-dua tidak didirikan pagar betis 15.30 wib Buruh yang berada di pintu ke-dua berdiri dan semakin bersemangat dengan menyanyikan beberapa lagu aksi. Saat itu sebuah dengan plat 718 keluar dari pabrik. 16.00 wib buruh mulai kesal dan menangis. Pihak pengusaha menjemput buruh shift dua dari tempat tertentu dengan mobil berwarna putih. Buruh yang berada didalam mobil tiarap agar tidak kelihatan oleh massa saat memasuki pabrik. Pada saat itu di pintu satu seorang buruh (Arif) mengamuk karena buruh menyorakinya ketika hendak masuk kelokasi pabrik. Sehingga nyaris terjadi bentrok. 16.15 wib Truk PASKAS keluar pabrik dan meninggalkan lokasi aksi.
72
16.22 wib Mash kesal dan marah, buruh semakin bersemangat dan duduk didepan gerbang ke-2saat itu sebuah mobil container hendak masuk kelokaso pabrik, namun karena merasa dibohongi oleh polisi massa tidak memperbolehkannya. Sehingga container meninggalkan lokasi pabrik /Namorambe. 16.45 wib Seorang buruh mengmuk karena buruh menyorakinya ketika hendak masuk kelokasi pabrik. Sehingga nyaris terjadi bentrok. 17.00 wib Buruh semakin bersemangat. Mereka bernyanyi. Jika ada kendaraan yang masuk maupun keluar pabrik diperhatikan dengan seksama. 18.00 wib Buruh bergantian pulang untuk mandi dan mempersiapkan diri untuk menginap dilokasi aksi. Satu kompi polisi datang kelokasi aksi. 20.00 wib Massa mulai berkumpul kembali dan makan malam. 21.00 wib sebagian buruh makan malam dan yang lainnya mengadakan hiburan. 22.00 wib Disekitar pabrik banyak kerumunan manusia. Sehingga tidak dapat dibedakan atara buruh,nasyarakat setempat, dan preman. 22.15 wib dari luar tenda datang sekitar 3-4 orang yang tidak dikenal salah satunya membawa kayu melakukan kerusuhan dengan membalikan peralatan masak dan
73
merusak tenda. Mereka mengaku adalah pemuda setempat. Mereka merasa terganggu dengan kegiatan aksi buruh. Saat itu meskipun polisi masih ada dilokasi, mereka menculi Junaidi (pimpinan aksi) dan menyebutkan bahwa ada tiga orang provokator dalam aksi tersebut dan salah satunya adalah Junaidi. Saat itu, setelah Junaidi ditangkap ada juga orang yang tidak dikenal menakutnakuti buruh dan berteriak bahwa mereka adalah penduduk setempat dan anakanaknya tidak bisa bekerja akibat banyak pendatang menjadi buruh. Hal itu membuat buruh ketakuatan dan berkumpul duduk di depan pabrik. Karena ketakutan buruh tak berani bicara, sehingga suasana hening. Mereka juga mengeluarkan kata-kata bahwa buruh yang aksi adalah orang gila dan mau tidur diluar seperti ini. Masih syukur menjadi buruh dan digaji oleh perusahaan. Bisa saja nanti buruh perempuan menjadi lonte. Buruh juga diintrogasi dan perlakuan pelaku tindak kekerasan. 24.15 wib Para peserta aksi berangkat dari lokasi aksi menuju mesjid Al-Iklas, Pasar IV Namorambe. 24.50 wib Massa tiba di mesjid dan ketegangan mulai berkurang. Selanjutnya istirahat. Menurut pandangan dari LSM yang bersangkutan kronologis terjadinya mogok/unjuk rasa yang berakhir dengan dilakukannya PHK secara besar-besaran ini adalah wujud dari ke tidak pedulian dari pengusaha akan nasib buruh, dan pengusaha telah mengekang pekerja/buruh dalam menyarakan hak-hak normatif mereka.
74
Peristiwa PHK Massal di PT. Shambrock Manufakturing berawal dari, rencana dan keinginan para Pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja yaitu SBMI di perusahaan yang bersangkutan. Namun pihak pengusaha menuduh bahwa Pekerja/buruh tersebut melakukan rapat gelap, sedangkan menurut keterangan pihak pekerja mengatakan bahwa rapat itu dilakukan diluar perusahaan dan diluar jam kerja. Inilah awal terjadinya PHK secara besar-basaran di PT. Shambrock Manufakturing Corpora, awalnya yang dimintakan izin untuk di PHK hanyalah 14 orang tetapi jumlah ini meningkat menjadi 800 orang, menurut keterangan pengusaha karena Pekerja/buruh melakukan mogok kerja sebagai aksi solidaritas Pekerja/buruh terhadap teman mereka yang di PHK. Dalam hal ini peran Lembaga Swadaya Masyarakat adalah sebagai pendamping
(mendampingi)
bertanggung
jawab
memberikan
pendidikan/memberitahukan kepada Pekerja/buruh tentang hak-hak dan tanggung jawab pekerja tersebut. Dan Lembaga Swadaya Masyarakat ini juga mempunyai fungsi serbagai penasehat bagi Pekerja/Buruh baik di pengadilan maupun diluar pengadilan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja pasal 5 ayat (2) bahwa syarat pertama pembentukan Serikat Pekerja/Buruh disuatu perusahaan haruslah didirikan oleh sekurangkurangnya
10 (sepuluh) orang pekerja/buruh. Sementara pekerja/buruh yang
mengajukan pembentukan serikat pekerja (SBMI) tersebut ada 14 orang jadi syrat ini sudah di penuhi. Menurut pasal 9 undang-undang No. 21 tahun 2000 menyatakan bahwa “
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat dibentuk atas kehendak
75
bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun.” Jadi dalam hal ini pihak pengusaha tidak berhak melakukan PHK secara massal terhadap 800 orang pekerja/buruh dengan alasan yang tersebut di atas.
2.
Pihak Pengusaha Berkewajiban Memperhatikan Kesehatan Semua Pekerja. Menurut pengakuan pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja atau yang
di PHK tersebut ada beberapa fasilitas yang sangat dibutuhkan oleh pekerja/buruh tersebut yang telah rusak/tidak berfungsi lagi dan tidak ada inisiatif pihak pengusaha untuk memperbaikinya. Mengingat bahwa ini akan mempengaruhi kesehatan pekerja/buruh itu sendiri. Dalam aksi yang dilakukan oleh pekerja/buruh pada tanggal 9 sampai dengan 10 agustus tahun 2004 mereka juga menuntut diperbaikinya perlengkapan keselamatan kerja di perusahaan tersebut. Beberapa fasilitas itu adalah seperti pentilasi atau saluran udara dan penyedot debuh, yang akhirnya pekerja juga menuntut agar JPK. Mandiri dikembalikan kepada JAMSOSTEK. Ini merupakan bukti bahwa kesehatan pekerja/buruh tidak terjamin dengan baik. Berdasarkan pasal 86 ayat (1) huruf a Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan, mengatakan bahwa jaminan terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja/buruh adalah merupakan hak dasar pekerja/buruh yang bersangkutan.
76
3.
Menurut peraturan Perundang-Undangan Sebelum Melakukan Mogok Kerja/Unjuk Rasa Harus Ada Izin Dari Instansi Yang Berkaitan Seperti, Departemen Tenaga Kerja, Kepolisian, dan Pihak Perusahaan. Menurut keterangan pihak pengusaha unjuk rasa yang dilakukan oleh
pekerja/buruh tersebut adalah ilegal, hal ini dinyatakan oleh pengusaha dalam keterangannya kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat bahwa para pekerja melakukan unjuk rasa tanpa memberikan surat pemberitahuan keperusahaan maupun instansi terkait yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Peraturan Perundang-Undangan nomor 13 tahun 2003 dalam pasal : Pasal : 139 menyatakan bahwa : “Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatir sedemikian rupa sehingga tidak menggangu kepentingan umum atau membahayakan keselamatan orang lain.” Dalam hal ini pekerja dinyatakan bersalah karena dalam melakukan unjuk rasa pekerja/buruh telah menimbulkan keresahaan dikalangan masyarakat sekitar perusahaan, pekerja terbukti melakukan kekerasan (mengarah kepada tindakan anarkis) terhadap beberapa buruh yang tidak bergabung/ikut berunjuk rasa. Disinilah sebenarnya salah satu fungsi dari LSM/KPS, yaitu membimbing atau
memberitahukan
pekerja/buruh
sebelum
melakukan
Unjuk
Rasa
keperusahaan tempat mereka bekerja. Atau memberikan pengarah kepada pihak pekerja/buruh tentang unjuk rasa yang legal/sah menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
77
Pasal 140 menyatakan bahwa : Ayat (1) “sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan
secara
tertulis
kepada
pengusaha
dan
instansi
yang
bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat” ayat (2) “Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurangkurangnya memuat : a. Waktu (hari, tanggal, dan jam)dimulai dan diakhiri mogok kerja; b. tempat mogok kerja; c. alasan dan mengapa harus melakukan mogok kerja dan d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. Jika berdasarkan pasal ini maka LSM yang mendanpingi pekerja/buruh tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Pasal 142 menyatakan bahwa : Ayat (1) “mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 139 dan pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah/ilegal.” Ayat (2) “Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dealam ayat (1) akan diatur dengan keputusan menteri.”
78
Jadi berdasarkan perbandingan kasus yang ada dengan Peraturan Perundang-undangan yang seharusnya dilakukan, maka ini merupakan evaluasi bagi LSM yang mendampingi pekerja/buruh dilapangan agar lebih telitih lagi karena hal ini telah merugikan kliennya sendiri dalam memperjuangkan hak-hak normatif mereka. Ini merupakan suatu kegagalan LSM dalam mendampingi pekerja/buruh agar diperhatikan lebih lanjut demi kemajuan dan kebaikan nasib pekerja/buruh. 4.
Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja yang Oleh Pihak Perusahaan Tidak Sesuai Dengan Undang-Undang.
Dilakukan Ketentuan
Menurut pasal 161 ayat (1) “Dalam hal pekerja buruh melakukan penggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha
dapat
melakukan
pemutusan
hubugan
kerja,
setelah kepada pekerja/buruhyang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, Menurut
dan ketiga secara berturut-turut.” keterangan
pekerja/buruh,
pengusaha
belum
pernah menyampaikan surat peringatan secara langsung kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Dan pihak perusahaan mengakui hal itu, bahwa pengusaha hanya membuat surat peringatan atau himbauan kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan
sebanyak
3
(tiga)
kali
namun
tidak
disampaikan
secara langsung hanya di tempelkan di papan pengumuman yang ada di dalam pabrik.
79
Ayat (2); “Surat peringata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk 6 (enam) bulan, kecualin ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaanatau perjanjian kerja bersama.” Dalam kasus Pemutusan Hubungan Kerja, di PT. Shambrock ini baik dari pihak pengusaha maupun dari pihak buruh sendiri tidak ada pernyataan yang jelas apakah hal yang diatur dalam pasal 161 ayat (2) ini ada di perjanjikan atau tidak, namun baik
dapat dalam
kita
lihat
perjanjian
kebenarannya kerja,
bahwa
peraturan
ini
tidak
perusahaan
ada
dimuat
ataupun
dalam
surat perjanjian kerja bersama dari pernyataan beberapa pekerja/buruh yang menjadi korban PemutusanHubungan Kerja Massal yang mengatakan bahwa mereka tidak pernah menerima surat peringatan. Ayat (3). “Pekerja/buruhyang
mengalami
Pemutusan
Hubungan
Kerja
sebagaimana dimaksud dalam pasal ayat (1)memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuanpasal 156 ayat (3)dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4). Putusan panitia pusat hanya memenuhi ayat (3) dan ayat (4) dari pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
80
C.
KENDALA-KENDALA DALAM PENYELESAIAN PEMBAYARAN UANG JASA DAN PESANGON TERHADAP PEKERJA BURUH YANG TERKENA PHK.
Kendala yang dihadapi oleh pengusaha dalam melakukan pembayaran uang jasa
dan
pesangon
kepada
buruh
yabg
terkena
PHK
Massal
adalah karena tidak adanya dana yang tersedia. Keadaan ini merupakan salah satu pemicu t erjadinya mogok kerja/unjuk rasa, karena sejak januari 2003 sampaai dengan juli 2004 sering terjadi keterlambatan pembayaran gaji kepada pekerja/buruh. Keadaan ini juga merupaka penyebab dirumahkannya lebih dari 50% pekerja/buruh dari jumlah keseluruhan pekerja/buruh yang ada diperusahaan tersebut. Pihak pengusaha dalam putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat untuk 13 orang yang di PHK tahap pertama adalah : Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003. Putusan Panitia Pusat ini telah sesuai dengan ketetapan peraturan perundang-undangan. Uang penggantian Perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar 156 ayat (4) huruf c Undang-Undang Nomor.
13
tahun
2003.
seharusnya
penghitungannya
adalah
15
%
dari uang pesangon, tetapi menurut putusan ini para pekerja tidak memperoleh uang
pesangon,
Upah
bulan
Agustus
2004
sebesar
100%,
uang pisah sebesar 1 bulan upah. Sementara untuk pekerja/buruh yang di PHK tahap ke II, hanya berhak memperoleh
uang,
Uang
pisah
upah bulan agustus 2004 sebesar 100%
81
sebesar
1
bulan
upah,
Yang
menjadi
pertimbangan
Panitia
Pusat
memutuskan
bahwa pekerja/buruh yang di PHK tahap II ini tidak memperoleh uang pesangon atau uang jasa adalah : Pekerja/buruh telah merongrong wibawa perusahaan untuk melakukan tindakan
ataupun
perbuatan
perundang-undangan,
yang
membujuk
dan
bertentangan menginti
dengan
midasi
peraturan
teman
sekerja
untuk masuk kepada kelompok tertentu yang bersifat penggalangan massa. Menyebarkan berita bohong tentang kebijakan perusahaan mengenai status yang berindikasikan membongkar rahasia perusahaan atau rahasia rumah tangga perusahaan, yang pada akhirnya mengakibatkan, menimbulkan keresahan karyawan. Walaupun semua alasan ini menurut surat anjuran dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumatera Utara karena tidak tercapainya klesepakatan dan
semuanya
tidak
terbukti.
Maka
dalam
anjurannya
Dinas Tenaga Kerja Sumatera Utara menganjurkan agar pihak pengusaha memperkerjakan
kembali
seluruh
pekerja
yang
kena
PHK
pada tahap kedua/semua pekerja yang melakukan unjuk rasa. Karena ketidak harmonisan hubungan pekerja/buruh dengan majikan maka terjadilah pertentangan antara pengusaha/buruh
yang menyebabkan
ketidak pedulian pekerja/buruh terhadap kesulitan keuangan perusahaan tersebut.
82
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan diatas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah : Pertama, Dalam hubungan banyak sengketa yang terjadi antara pekerja/buruh dan majikan. Hal ini terjadi karena ketidak harmonisan hubungan antara buruh dan majikan. Beberapa alasan yang menyebabkan timbulnya sengketa buruh dan majikan adalah, rasa tidak puas buruh terhadap keputusan yang diambil oleh pengusaha. Dimana menurut pemahaman dan pemikiran pengusaha keputusan itu akan diterima oleh pekerja. Rasa ketidak puasan ini timbul atas ketetapan pengusaha yang berkenaan dengan kebijakan atas sistem, pengupahan, perjanjian kerja, pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemampuan pekerja/buruh, masalah jaminan sosial dan masalah-masalah pribadi, baik pribadi pengusahanya maupun pribadi pekerja/buruh. Kedua, Pemutusan Hubungan Kerja di PT. Shambrockyang dilakukan secara Massal adalah disebabkan oleh mogok/unjuk rasa yang dilakukan oleh pekerja/buruh sebanyak ± 1.000 pekerja/buruh adalah ilegal, buruh terbukti melakukan kekerasan terhadap pekerja/buruh yang tidak mau bergabung dalam aksi dan tindakan ini merupakan perbuatan yang merongrong wibawa perusahaan dengan diedarkannya isu tentang niat pengusaha untuk menjadikan semua pekerja/buruh dengan status buruh kontarak.
83
Ketiga, kendala yang paling utama perusahaan dalam pembayaran uang jasa atau uang penghargaan masa kerja (dalam melakukan kewajiban yang telah ditetapkan olek Panitia Pusat) adalah, ketidak tersediannya dana/krisis keuangan Perusahaan yang merupakan salah satu alasan pengusah merumahkan hampir 50% dari jumlah keseluruhan pekerja/buruh yang ada.
B. SARAN Setelah memperhatikan bahasan diatas maka saran-saran penulis adalah: Pertama, pengusaha dalam setiap mengambil atau ingin menetapkan suatu putusan/kebijakan, sebaiknya terlebih dahulu dirundingkan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang ada diperusahaan, jika pekerja tidak menjadi anggota dari satu serikat pekerj/buruh pengusaha dapat melakukan perundingan dengan pekerja/buruh yang bersangkutan. Jadi rasa tidak puas terhadap kebijakan perusahaan tersebut tidak menimbulkan peselisihan antara pengusah/majikan dengan pekerja/buruh. Kedua, tindakan Pemutusan Hubungan kerja Massal yang dilakukan pihak shambrock seharusnya mempertimbangkan anjuran dari Dinas Ketenagakerjaan Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan surat edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 907 tahun 2004 tentang Larangan Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja dapat menjadi acuan kebijakan bagi pengusaha-pengusa yang mempunyai niat untuk melakukan Pemutusan Hubungan kerja Massal terhadap karyawannya. Ketiga, kesulitan dalam pembayran uang pesangon atau uang penghatgaan masa kerja, uang jasa atau lain sebagainya tiadak perlu terjadi jika ada hubungan yang
84
harmonis antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Kepada pengusaha/perusahaan ciptakanlah hubungan yang harmonis dengan karyawan dan jadilah bapak bagi pekerja/buruh, sesuai dengan sistem perburuhan Pancasila.
85
DAFTAR PUSTAKA
A.
Daftar Buku Husni Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Perss,
Jakarta 2007 Khakim Abdul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2007. Prof. Sopomo Iman, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta 1981 Kartasapoetra. G, Kartasapoetra. R.G, Kartasapoetra. A.G, Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Bima Aksara, Jakarta 1985. DR. Sastrohadiwiryo Siswanto. B, Menajemen tenaga Kerja Indonesia (Pendekatan Administratif dan Operasional)/ Bumi Aksara, Jakarta 2005. Sutrisno Edy Sidabutar, Pedoman Penyelesaian PHK, Elpress, Tangerang 2007. Semaoen, Penuntun Kaum Buruh, Jendela, Yogyakarta, 2000. Tunggal
Sjahputra
Iman,
Dasar-Dasar
Hukum
Ketenagakerjaan,
Harvarindo, Jakarta 2003. Gindo Nadapdap, Baginda Harahap, Arifin Agus, Panduan Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama Ditingkat Perusahaan, Kelompok Pelita Sejahterah, Medan 2007.
Media Massa, Suara Merdeka, 2006. Wirata, 2005.
86
B.
Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang
Nomor
22
Tahun
1957
Tentang
Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan. Undang-Undang nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU. PPHI). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
87