PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERS (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1060/K/PID/2008)
JURNAL Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatara Utara
Oleh :
Deffid Ivani Siahaan NIM : 100200266 Departemen Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014
PERKSPEKTIF HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA DI DALAM KEBEBASAN PERS DI INDONESIA (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 1060/K/PID/2008)
JURNAL Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh : DEFFID IVANI SIAHAAN 100200266 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui oleh, Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr.M.Hamdan,SH,MH NIP.195703261986011001
EDITOR
Dr.Madiasa Ablisar,SH,MS NIP.196104081986011002
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERS (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1060/K/PID/2008)
ABSTRAK Deffid Ivani Siahaan* Madiasa Ablisar** Edi Yunara ***
Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis. Kebebasan Pers merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan karena pers salah satu bagian penting didalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Namun, dengan melihat perilaku masyarakat saat ini, fungsi dari pers itu sendiri masih sering disalahgunakan didalam memenuhi keinginan-keinginan pribadi dari tiap individu-individu tertentu yang ada didalam masyarakat tersebut. Perbuatanperbuatan penyelewengan atau penyimpangan yang dilakukan subjek pers selama berhubungan dengan masalah ketersimpangan fungsi pers, dapat digolongkan menjadi tindak pidana-pers. Berdasarkan hal tersebut, batasan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah bagaimana pengaturan tindak pidana pers di dalam KUHP dan undang-undang lain yang berkaitan dengan pers dan bagaimana pertanggungjawaban pidana di dalam Putusan Mahkamah Agung No.1060/K/Pid/2008?. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menggunakan penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan dengan kepustakaan. Selama ini sudah dikenal dua sistem pertanggungjawaban pidana pers yang menonjol, masing-masing menurut sistem deelneming atau penyertaan dan sistem waterfall atau air terjun. Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dalam tindak pidana pers, maka yang dimaksud adalah pertanggungjawaban pidana yang berlaku dalam perundang-undangan saat ini yaitu KUHP dan Undang-undang 40 tahun 1999.
PENDAHULUAN Pers merupakan alat untuk menjalankan prinsip demokrasi. Pers menjadi salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis. Kebebasan Pers merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu Negara. Oleh karena itu, sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga menjadi media koreksi sehingga dapat dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawanannya. Hal ini penting untuk menjaga objektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara sebenarbenarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman sebagaimana pada masa orde baru. Di dalam pertimbangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, pada poin (a): “Menyatakan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat,berbangsa,dan bernegara yang demokratis,sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Undang-undang dasar 1945 harus dijamin”. Menurut pertimbangan inilah pers mendapat kepastian hukum menjadi alat yang penting didalam menjalankan proses demokrasi yang diterapkan didalam kehidupan bernegara. Kemudian di dalam pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, pada poin (b): “Menyatakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat,menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi,merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki,yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesehjahteraan umum,dan mencerdaskan kehidupan bangsa”, Sebuah pers menjadi salah satu cara pemerintah di dalam mencapai tujuan yang diharapkan pemerintah pada terpenuhinya suatu kesehjahteraan yang baik pada masyarakat, tidak hanya kesehjahteraan berupa fisik tetapi kesehjahteraan yang berupa non fisik yakni pada bagian bidang perkembangan intelektual masyarakat tersebut. Pers diyakini juga sebagai sarana komunikasi yang efektif bagi masyarakat dan pemerintahan, melalui pertimbangan poin (c): “Menyatakan bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa,penyebar informasi,dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas,fungsi,hak,kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang professional,sehingga harus mendapat
jaminan dan perlindungan hukum,serta bebas dari campur tangan dan paksaan manapun.” Masalah Pers merupakan salah satu masalah yang sangat penting di Indonesia, masalah pers menyangkut mengenai kemerdekaan untuk menyatakan pendapat,menyampaikan dan memperoleh informasi, bersumber dari kedaulatan rakyat dan merupakan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Mengenal nilai-nilai kebebasan berpendapat itu sendiri, telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam pasal 28, pasal 28 E ayat (2) dan (3) serta pasal 28 F. Oleh karena itu, jelas Negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan Negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum. Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga Negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum atau equality before law tetap berlaku terhadap semua warga Negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan dihadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD 1945 yang telah diamandemen yaitu dalam pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1). Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immunity) sebagai subjek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia. Masalah utama dalam pemberitaan pers adalah jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita (news) dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan dan unsur kesalahan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan tindak pidana pers dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai media dalam melakukan tindakan tersebut. Sementara itu, kebebasan pers untuk melakukan pemberitaan jika memang dilakukan secara bertanggungjawab dan professional, meskipun ada kesalahan dalam fakta pemberitaan seharusnya tidak boleh dipidana. Pers di dalam menjalankan fungsinya tidak dapat terlepas dari segala tindak penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukan oleh subjek-subjek dari pers tersebut baik masyarakat, pihak pers (wartawan, media-media, dewan pers, dll), bahkan pemerintah. Hukum pidana memiliki dua unsur pokok yakni, pertama adanya suatu norma, yaitu suatu larangan atau suruhan (kaidah). Kedua, adanya sanksi atas pelanggaran norma itu berupa ancaman dengan hukum pidana. Pelanggaran di dalam bidang pers tentunya melanggar adanya suatu norma hukum yang berlaku dimasyarakat, suatu contoh kasus pada tahun 1990 wartawan Berita Buana, Abdul Wahid, dipidana satu tahun penjara karena dituduh menyiarkan kabar bohong. Kasus ini menyangkut berita yang dimuat dalam harian tersebut
tanggal 14 Oktober 1988, yang berjudul “Banyak Makanan yang Dihasilkan Ternyata mengandung lemak Babi”. Dari kasus tersebut Abdul Wahid sebagai salah satu unsur didalam pers yakni wartawan, melakukan pelanggaran pada norma hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, norma hukum yang dimaksud yaitu dengan mempersalahgunakan fungsi dari pers tersebut, dan dianggap berita yang ia buat menimbulkan keonaran di dalam kalangan masyarakat. Tindakan yang ia lakukan termasuk kedalam tindak pidana pers dengan melihat dari perbuatan yang ia lakukan yang menimbulkan akibat hukum di dalam masyarakat. Perbuatan Abdul Wahid tersebut diganjar dengan ketentuan Pidana Pers berdasarkan UU No.1 Tahun 1946, khususnya pada pasal 14 ayat 2 yang mengatakan; ”Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan masyarakat,sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga tahun,” Abdul Wahid dinyatakan bersalah dan dihukum berdasarkan Undangundang No.1 tahun 1946, dan Abdul Wahid harus bertanggung jawab atasnya. Bukan berarti kebebasan pers telah dikekang oleh Undang-Undang, justru konsep berpikir yang harus dikembangkan adalah perangkat perundang-undangan tersebut dibuat dan diberlakukan dengan tujuan untuk membentuk pers yang seimbang, transparan, dan professional. Bagaimanapun juga harus diakui bahwa pers di Indonesia belum seluruhnya menerapkan suatu kualitas pers yang professional dan bertanggung jawab dalam membuat pemberitaan. Hal ini patut diwaspadai mengenai belum seluruhnya rakyat Indonesia memiliki pendidikan dan tingkat integritas yang memadai. Jika pers dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan tanggung jawab, maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media agitasi yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terbuka akan suatu pemberitaan pers yang bersifat professional dan bertanggungjawab yang dimana juga masyarkat tersebut notabene lebih besar jumlahnya dibanding masyarakat yang telah terbuka akan hal tersebut. Pengaturan mengenai Tindak Pidana Pers jika kita perhatikan didalam KUHP diatur dalam pasal 61-62 serta pasal 483-484. Pasal 61-62 KUHP mengatur bahwa tindak pidana pers merupakan tindak pidana khusus. Pasal 483484 selanjutnya hanya mengatur kapan dan hal apa pencetak dan penerbit dapat atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap barang cetakan dan isi penerbitannya. Pasal 61-62 serta pasal 483-484 hanya menyebutkan istilah “mengenai kejahatan yang dilakukan dengan barang cetakan’, tidak memberikan tafsiran autentik secara jelas dan rinci tentang apa yang dimaksud dengan “tindak pidana pers”. Maka, dapat dikatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak bisa dipakai sebagai perumusan “tindak pidana pers”, melainkan merupakan kejahatan biasa yang harus memenuhi syarat “menggunakan barang cetakan”. Terhadap tindak
pidana pers misalnya penghinaan (pasal 310 KUHP), fitnah (pasal 311 KUHP), penghinaan ringan (pasal 315 KUHP), pornografi (pasal 282 KUHP dan 533 KUHP), penghasutan (pasal 160 KUHP), pernyataan kebencian atau permusuhan terhadap pemerintah (pasal 154 KUHP), pernyataan kebencian terhadap golongan tertentu (pasal 156 KUHP), dan lain-lain dapat dilakukan tuntutan hukum. Banyak sekali macam-macam sistem pertanggungjawaban dalam pers atau media massa, namun di Indonesia mengenal dua macam sistem pertanggungjawaban pidana pers yaitu sistem pertanggungjawaban deelneming atau penyertaan dan sistem pertanggungjawaban waterfall atau air terjun. Dalam pertanggungjawaban pidana pers yang dilakukan insan pers terdapat dua alternatif penyelesaian masalah, yaitu melalui jalur hukum (pidana atau perdata) dan melalui jalur hak jawab dan hak koreksi berdasarkan UU No.40 tahun 1999. PERMASALAHAN Adapun yang menjadi pokok permasalahan adalah: 1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pers di dalam KUHP dan Undangundang lain yang berkaitan dengan Pers? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana di dalam Putusan Mahkamah Agung No.1060/K/Pid/2008 dalam pers? METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Dalam penulisan ini, penulis menggunakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang menggunakan studi kasus dan bahan pustaka sebagai bahan penelitiannya. Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji permasalahan dari segi hukum yaitu asas-asas, prinsip-prinsip hukum dan peraturanperaturan yang berhubungan dengan masalah pertanggungjawaban pidana di dalam pers. 2.
Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh dari sumber yang sudah ada, yang terdiri dari: a. Bahan/sumber primer berupa putusan pengadilan, peraturan perundangundangan, buku, kertas kerja. b. Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik studi pustaka, yaitu dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan, baik itu berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, serta sumber-sumber elektronik lainnya,
dengan cara yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kuantitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. HASIL PENELITIAN A. Pengaturan tindak pidana pers di dalam kuhp dan undang-undang lain berkaitan dengan pers Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, delik berarti: “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undangundang tindak pidana”. Perbuatan yang dapat dihukum menurut undang-undang pidana contohnya seperti : Mencuri, membunuh, overspel, korupsi, dan sebagainya. Delik pers adalah tindak pidana berupa pernyataan pikiran atau perasaan yang dilakukan memakai alat cetak. Delik itu menjadi sempurna karena dilakukan memakai publikasi, karena suatu tindak pidana dilakukan memakai alat cetak atau publikasi, maka hal itu menjadi delik pers. Jadi, pers tidak mempunyai posisi yang istimewa menyangkut tindak pidana yang dilakukan contoh: ketika saya menyatakan, "Orang-orang yang ada di dalam pemerintahan Megawati ini semuanya maling", secara pribadi, saya tidak bisa dijerat pasal-pasal pidana. Tetapi kalau ucapan itu dilakukan oleh pers, maka orang-orang pers itulah yang terkena pasal. Jadi, subjek hukum jangan disamakan antara orang pers atau masyarakat sipil. Kasus-kasus yang berkaitan dengan pers lazim disebut delik pers. Istilah delik pers, sebenarnya bukan merupakan terminologi (istilah) hukum, melainkan hanya sebutan atau konvensi dikalangan masyarakat, khususnya praktisi dan pengamatan hukum, untuk menamai pasal-pasal KUHP yang berkaitan dengan pers. Delik pers adalah delik yang terdapat dalam KUHP tetapi tidak merupakan delik yang berdiri sendiri. Dengan kata lain, delik pers dapat diartikan sebagai perbuatan pidana baik kejahatan ataupun pelanggaran yang dilakukan dengan atau menggunakan pers. Beberapa ahli hukum mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai subjek delik pers di dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) bukanlah delik yang semata-mata dapat ditujukan kepada pihak pers saja, melainkan ketentuan yang berlaku secara umum untuk semua warga Negara Indonesia. Akan tetapi, karena jurnalis dan pers merupakan kelompok pekerjaan yang definisinya berdekatan dengan usaha menyiarkan, mempertunjukkan, memberitakan, dan sebagainya, maka unsur-unsur delik pers dalam KUHP itu akan lebih sering ditujukan kepada jurnalis dan pers. Hal ini disebabkan hasil pekerjaannya lebih mudah tersiar, terlihat atau terdengar dikalangan khalayak ramai dan bersifat umum.
Asas Legalitas tercantum didalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang dirumuskan dalam bahasa lain yang berbunyi:”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, bila diartikan kedalam bahasa Indonesia adalah : Tidak ada delik pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya, dengan demikian kita tidak dapat menjatuhkan suatu pidana terhadap suatu perbuatan yang belum ditetapkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai suatu tindak pidana. Oleh karena rumusan delik pers dalam hukum pidana merupakan hal yang baru dan belum diatur secara khusus dalam suatu perundang-undangan tentang hal ini, apalagi didalam Undang-undang Pers, dan apabila hal itu dinyatakan begitu saja sebagai delik pers, maka hal ini dapat menimbulkan keraguan didalam penggunaannya. Menurut para ahli hukum, delik pers adalah setiap pengumuman dan atau penyebarluasan pikiran melalui penerbitan pers. Terdapat tiga unsur atau kriteria yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan yang dilakukan melalui pers dapat digolongkan sebagai delik pers: a. Adanya pengumuman pikiran dan perasaan yang dilakukan melalui barang cetakan. b. Pikiran dan perasaan yang diumumkan atau disebarluaskan melalui barang cetakan itu harus merupakan perbuatan yang dapat dipidana menurut hukum. c. Pengumuman pikiran dan perasaan yang dapat dipidana tersebut serta yang dilakukan melalui barang cetakan tadi harus dapat dibuktikan telah disiarkan kepada masyarakat umum atau dipublikasikan. Jadi, syarat atau unsur terpenting adalah publikasi. Dari tiga kriteria tersebut, kriteria yang ketiga adalah kriteria paling penting, dan bisa membedakan mana delik yang termasuk ke dalam delik pers dan mana yang bukan. Kriteria yang ketiga dalam arti yuridis, yaitu perbuatan pidana yang dilakukan dengan menggunakan pikiran atau perasaan, tidak dapat dikatakan sebagai delik pers selama bukan dipublikasikan. Mengingat hingga saat ini, rumusan yang baku dan tepat mengenai delik pers belum ada, maka dalam kaitannya dengan delik pidana yang diatur dalam KUHP akan dicari hubungan yang sesuai dengan delik ini, khususnya pasal-pasal mengenai komunikasi, penyebaran informasi dan media massa, yang tediri dari jenis-jenis: 1. 2. 3. 4. 5.
Delik Kebencian (Haatzaai Arikelen); Delik Penghinaan (Pencemaran Nama Baik); Delik Penyebaran Kabar Bohong; Delik Kesusilaan; Pertanggungjawaban Penerbitan;
B. Pertanggungjawaban pidana putusan mahkamah agung no.1060/k/pid/2008 di dalam pers 1. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA a. Perbuatan Pidana Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang diancam pidana. Di dalam menyatakan hubungan tersebut dipakailah kata perbuatan yang berarti suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua hal yang konkrit. Istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu: tindakan pidana. Perbuatan pidana atau dalam istilah Belanda, yaitu; strafbaarfeit. Menurut Simon, strafbaarfeit adalah kelakuan oleh seseorang yang dapat bertanggung jawab, berhubungan dengan kesalahan yang bersifat melawan hukum dan diancam pidana. Di dalam suatu perbuatan pidana mengandung suatu unsur-unsur, yakni: 1. Kelakuan dan akibat. 2. Sebab atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan. 3. Keadaan tambahan atau unsur-unsur yang memberatkan. 4. Sifat melawan hukum. 5. Unsur melawan hukum secara obyektif dan subyektif. Pada kasus dengan putusan Mahkamah Agung No: 1060/K/PID/2008 ini, si terdakwa Ratna Bin Karim, dituduhkan melakukan suatu perbuatan pidana. Perbuatan pidana yang dimaksudkan yaitu, melakukan penghinaan terhadap suatu kekuasaan yang ada di Negara Indonesia sehingga dapat dikenakan pasal 207 KUHP dan juga melakukan pencemaran nama baik yang dapat dikenakan pasal 315 KUHP. Namun bila dilihat dari putusan mahkamah agung no.1060 K/PID/2008, Hakim mahkamah agung memutuskan bahwa Ratna Bin Karim tidak melakukan suatu perbuatan pidana yang dituduhkan kepadanya oleh Jaksa penuntut umum (pasal 207 atau 315 KUHP). Ratna Bin Karim dianggap melakukan perbuatan yang di dakwakan kepadanya namun perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana dikarenakan Jaksa Penuntut Umum dianggap salah meletakkan Judex Facti di dalam menerapkan hukum, karena seharusnya bukanlah Ratna Bin Karim diperiksa oleh polisi, tetapi si wartawan sendiri (saksi korban) karena telah membuat tulisan dan menyiarkannya pada majalah Ganyang Do Kaur (pasal 207 KUHP). Bahwa penghukuman atas diri terdakwa dengan dasar pasal 207 KUHP adalah keliru dalam penerapan hukum materiil yang mana seharusnya di terapkan di dalam undangundang nomor 40 tahun 1999. Bahwa dalam undang-undang nomor 40
tahun 1999, ada dikenal dengan hak koreksi yaitu hak setiap orang untuk membetulkan pemberitaan dilakukan oleh pers (pasal 13) namun Ratna Bin Karim tidak diberikan kesempatan untuk melakukan hak koreksi. Menurut pasal 5 Undang-undang nomor 40 tahun 1999 juga, bahwa seharusnya setiap pers nasional tidak bersifat menghakimi dan membuat kesimpulan kesalahan orang dan berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan melihat asas praduga tidak bersalah terhadap masyarakat. Lalu, Ratna Bin Karim bahwa dalam mengatakan kata “goblok” kepada saksi korban, lebih ditujukan kepada korban sebagai pribadi bukan kepada korban sebagai pejabat publik dan tidak memenuhi unsur-unsur pasal 207 KUHP dan seharusnya diituduhkan pasal 310 KUHP yakni menista dengan lisan di depan umum.. Atas dasar-dasar tersebut Ratna Bin Karim tidak terbukti melakukan suatu perbuatan pidana dikarenakan tidak memenuhi suatu unsur perbuatan pidana yakni sifat melawan hukum. b. Kesalahan Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya . Dalam hal ini berlakulah asas “tiada pidana tanpa kesalahan” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa. Di dalam putusan Mahkamah Agung No.1060 K/PID/2008, menurut para hakim bahwa perbuatan pidana yang dituduhkan oleh jaksa penuntut umum terhadapat terdakwa Ratna Bin Karim tidak ditemukan adanya unsur-unsur kesalahan yang dilakukan oleh Ratna Bin Karim, sehingga Ratna Bin Karim tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadapnya. Namun hakim mempunyai pendapat lain, bahwa Ratna Bin Karim terbukti melakukan perbuatan pidana lain yaitu menista dengan lisan di depan umum yaitu pasal 310 KUHP. Perbuatan Ratna Bin Karim
tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila ia dituntut sesuai dengan juridis facto yang benar. Perbuatan Ratna Bin Karim tersebut bila ditelusuri telah memenuhi unsur-unsur kesalahan sesuai dengan pasal 310 KUHP. Unsur-unsur kesalahan perbuatan pidana Ratna Bin Karim tersebut antara lain: 1. Kemampuan bertanggungjawab, bahwa seseorang mampu bertanggungjawab apabila jiwa yang dimilikinya berada dalam kondisi sehat, yakni apabila ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. Ratna Bin Karim bila dilihat dari fakta-fakta persidangan berada di dalam kondisi yang mampu bertanggungjawab. Kondisi jiwa Ratna Bin Karim berada dalam keadaan baik dan Ia dapat mampu mengetahui bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum (sesuai dengan pembelaan dari penasehat hukum si terdakwa. 2. Bahwa perbuatan pidana yang dilakukan Ratna Bin Karim, merupakan bentuk kesalahan kesengajaan (dolus). Fakta persidangan mengatakan bahwa Ratna Bin Karim melakukan perbuatan pidana tersebut dikarenakan adanya rasa kesal si terdakwa terhadap si korban sehingga dengan sengaja, si pelaku melakukan perbuatan pidana tersebut kepada si korban. 3. Bila dilihat dari alasan-alasan pembenar, pemaaf, dan penghapus kesalahan, perbuatan dari Ratna Bin Karim dianggap oleh hakim tidak memenuhi alasan-alasan tersebut sehingga perbuatan pidana yang dilakukan oleh Ratna Bin Karim merupakan murni dari kesalahan yang dilakukannya dan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana akan hal tersebut. c. Kemampuan bertanggungjawab (Toerekeningsvatbaarheid) Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur yang terdapat di dalam suatu kesalahan yang diperbuat seseorang dikarenakan perbuatan pidana yang dilakukannya. Seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan kriminalnya adalah orang yang berkemampuan bertanggungjawab. Adapun kriteria-kriteria yang dapat dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab, antara lain: 1. Orang itu mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum. 2. Orang itu dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran yang dimilikinya. Menurut Van Hamel, seseorang dapat diminta pertanggungjawaban pidana apabila seseorang tersebut yakni:
1. Memahami arah tujuan faktual dari tindakannya. 2. Menyadari bahwa tindakan tersebut secara sosial dilarang. 3. Tindakan tersebut dilakukan tanpa tekanan/paksaan dari orang lain (dilakukan berdasarkan kehendak bebasnya). Perundang-undangan di Indonesia mengenai pengaturan tentang pers telah mengalami banyak perubahan, yakni dari Undang-undang nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, kemudian Undang-undang ini ditambah dan menjadi Undang-undang Nomor 4 tahun 1967 tentang Penambahan Undangundang nomor 11 tahun 1966. Perkembangan selanjutnya mengenai Undangundang Pers di Indonesia yakni, Undang-undang nomor 4 tahun 1967 diubah menjadi Undang-undang nomor 21 tahun 1982 tentang perubahan atas Undangundang nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pers. Terakhir, Undang-undang nomor 21 tahun 1982 diganti dengan Undang-undang nomor 40 tahun 1999. Perubahan-perubahan undang-undang yang terjadi mengenai pers ini, tentunya mempengaruhi sistem pengaturan yang terkandung di dalam undangundang tersebut, dalam hal ini yaitu sistem pertanggungjawaban pidana. Undang-undang Nomor 11 tahun 1966 jo Undang-undang Nomor 21 tahun 1982 menganut sistem pertanggungjawaban pidana air terjun atau waterfall system. Sistem pertanggungjawaban pidana ini yaitu bahwa orang yang mempunyai tanggungjawab pidana atas suatu tulisan dapat melimpahkan atau menurunkan tanggungjawab itu kepada bawahannya, begitu seterusnya sampai pada bagian yang paling bawah. Cara pelimpahan yang turun terus kebawah itu terbentuk seperti air terjun. Hal ini diatur dalam pasal 15 Undang-undang nomor 11 tahun 1966, yang semula terdiri dari lima ayat, kemudian pada tahun 1982 ditambah tiga ayat lagi dalam pasal 15a, namun ketiga ayat tersebut ditekankan pada masalah hak jawab seseorang, organisasi dan badan hukum dan bukan soal pertanggungjawaban pidana. Dalam perusahaan penerbitan pers seperti yang dimaksudkan oleh pasal 14 ayat 1 Undang-undang nomor 11 tahun 1966 ditetapkan bahwa : “Pimpinan suatu penerbitan pers terdiri dari pimpinan umum, pimpinan redaksi, dan pimpinan perusahaan.” Dengan adanya ketentuan tersebut timbul permasalahan ditangan siapakah letak tanggung jawab jika terjadi suatu tindak pidana pers. Pada pasal 15 Undang-undang ini pertanggungjawaban dilimpahkan kepada: 1. Pimpinan umum bertanggungjawab atas keseluruhan penerbitan, baik ke dalam maupun keluar. 2. Penanggungjawab pemimpin umum terhadap hukum dapat dipindahkan kepada pemimpin redaksi mengenai isi penerbitan dan kepada pemimpin perusahaan mengenai soal-soal perusahaan. 3. Pemimpin redaksi bertanggungjawab atas pelaksanaan redaksionil dan wajib melayani hak jawab dan hak koreksi. 4. Pemimpin redaksi dapat memindahkan pertanggungjawabannya mengenai suatu tulisan pada anggota redaksi yang lain atau kepada penulisnya yang bersangkutan.
5. Dalam mempertanggungjawabkan sesuatu tulisan terhadap hukum, pemimpin umum, pemimpin redaksi, anggota redaksi atau penulisnya mempunyai hak tolak. Dengan melihat ketentuan pasal 15 Undang-undang nomor 11 tahun 1966, dijelaskan bahwa pertanggungjawaban dalam tindak pidana pers terletak pada pihak siapa menurut ketentuan diatas, pemimpin redaksi bertanggungjawab sekalipun dia tidak memenuhi dua syarat dalam KUHP yaitu: 1. Tidak tahu isi dan tulisan yang dimasukkan; 2. Tidak tahu akan sifat dapat dipidananya suatu tulisan. Oleh karena itu pertanggungjawaban pidana pemimpin redaksi, oleh Oemar Seno Adji dinamakan fictieve verantwoordelijkheid juga dinamakan successeve verantwoordelijkheid sebab pertanggungjawaban tersebut dapat dialihkan (secara berurutan) dari pemimpin redaksi kepada anggota redaksi yang lain atau kepada penulis yang bersangkutan. Sistem pertanggungjawaban air terjun ini kurang cocok digunakan karena pemakaian sistem pertanggungjawaban air terjun untuk seluruh kasus tulisan atau berita bertentangan dengan mekanisme kerja pers dan karenanya bertentangan pula dengan keadilan. Dengan memakai sistem ini dalam setiap kasus tindak pidana pers, maka orang yang berada dalam posisi paling bawah lah yang menanggung beban tanggungjawab paling besar, sedangkan kepada atasan diberi peluang untuk membebaskan diri dari tanggungjawab yang seharusnya mereka pikul dan sekaligus memuat kedudukan bawahan dalam posisi hukum yang paling dirugikan. Dengan kata lain tidak ada keseimbangan dan keselarasan antara hak dan kewajiban. Sistem pertanggungjawaban air terjun atau waterfall system dapat digunakan tetapi cara pelimpahannya harus tetap menggunakan teori kesalahan, berarti pelimpahan tersebut harus benar-benar rasional dan beralasan. Disebut salah dalam hukum pidana itu bila dia mempunyai dolus dan culpa lalu dia mempunyai kemampuan bertanggungjawab. Jadi, mestinya yang berperan aktif adalah hakim yang bisa mengaktualisasikan teori kesalahan itu dalam praktek. Meskipun demikian, pemimpin redaksi dalam prinsipnya harus bertanggungjawab atas pelaksanaan redaksionil. Pemindahan pertanggungjawaban hukum hendaknya hanya dilakukan setelah adanya musyawarah antara pihakpihak yang bersangkutan. Jika musyawarah tidak berhasil, maka pemimpin redaksi harus tetap mempertanggungjawabkan secara pidana. Pemimpin redaksi yang mempunyai rasa tanggungjawab dan leadership yang baik serta bersifat ksatria hendaknya jangan atau tidak akan mudah/mau begitu saja memindahkan tanggungjawab hukum kepada orang (anggota redaksi) lain apabila sampai terjadi tindak pidana pers. Ketentuan-ketentuan yang bersangkutan dengan pers yang meliputi beberapa tindak pidana pers dan pertanggungjawaban pidana sekarang sudah
mengalami suatu pergeseran. Adapun yang menjadi subjek hukum atas terjadinya tindak pidana pers menurut Undang-undang Pers No.40 tahun 1999 adalah perusahaan pers dan badan hukum, sedangkan yang dimaksud dengan pers adalah: “Badan Hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi.” Dalam Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999 terdapat empat pasal yang mengatur tentang tindak pidana pers dan ketentuan mengenai bentuk pidana yang dijatuhkan, yaitu pasal 5 ayat 1, pasal 9 ayat 2, pasal 12 dan pasal 13, sedangkan yang mengatur tentang bentuk pidana yang dijatuhkan jika melanggar keempat pasal diatas adalah pasal 18 ayat 2 dan ayat 3 yaitu berupa pidana denda. Pasal 5 ayat 1 dan 2 mengatur tentang kewajiban Pers Nasional dalam menyiarkan informasi tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut. Ketentuan pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 : 1. Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. 2. Pers wajib melayani hak jawab. Adapun yang dimaksud dengan hak jawab adalah hak seseorang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Dalam pasal 9 ayat 2 mengatur tentang bentuk perusahaan pers harus berbentuk badan hukum, sedangkan pasal 12 mengatur tentang pengumuman secara terbuka yang dilakukan dengan cara: 1. Media cetak memuat kolom nama, alamat, dan penanggungjawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan; 2. Media elektronik menyiarkan nama, alamat, dan penanggungjawabnya pada awal atau akhir setiap siaran karya jurnalistik; 3. Media lainnya menyesuaikan dengan bentuk, sifat dan karakter media yang bersangkutan. Dalam pasal 13 mengatur tentang larangan bagi perusahaan pers dalam pemuatan iklan yang dapat menjerumuskan masyarakat. Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggungjawabnya yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi sesuai dengan mana pelanggaran tersebut dilakukan. Namun, meski telah ada penanggungjawabnya, yang dikenai pidana (denda) adalah tetap perusahaan persnya. Hal ini sesuai dengan pasal 18 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang pers nomor 40 tahun 1999. Dengan demikian, undang-undang tersebut menganut sistem pertanggungjawaban korporasi. Sistem pertanggungjawaban ini dapat
dihubungkan dengan sistem pertanggungjawaban pidana yang disebut vicarious liability (pertanggungjawaban pengganti). Korporasi (perusahaan pers) dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan atau pelanggaran terhadap suatu kewajiban hukum oleh karyawan dari perusahaan pers yang bersangkutan, misalnya jika seseorang wartawan dari suatu perusahaan pers menulis berita yang ternyata menimbulkan konflik hukum, maka berdasarkan pasal 18 ayat 2 dan ayat 3 Undang-undang pers nomor 40 tahun 1999 yang harus bertanggungjawab adalah perusahaan persnya. Dengan demikian, pertanggungjawaban dari karyawan atau wartawan tersebut telah digantikan dengan atau menjadi pertanggungjawaban korporasi (perusahaan pers). Dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 dengan tegas dikatakan ada dua ketentuan perundang-undangan yang dicabut, masing-masing Undang-undang nomor 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 21 tahun 1982 dan penetapan Presiden nomor 4 tahun 1963 pasal 2 ayat 3 sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, dan penerbitan-penerbitan berkala. Namun, dalam Undang-undang pers nomor 40 tahun 1999 sama sekali tidak menjelaskan bagaimana hubungan antara tindak-tindak pidana pers yang terdapat di KUHP dengan Undang-undang pers nomor 40 tahun 1999. Jika bertitik tolak dari pengertian dan penafsiran yang harafiah, maka pernyataan penjelasan pasal 12 Undang-undang pers nomor 40 tahun 1999 yang berbunyi: “Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundangundangan yang berlaku” bermakna menganut pula ketentuan sistem pertanggungjawaban penyertaan yang ada dalam KUHP buat pers. Teryata istilah “menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku” bersifat fakultatif yaitu yang diperbolehkan, maka dengan sendirinya karena tidak ada larangan yang tegas boleh pula memakai sistem pertanggungjawaban penyertaan. Dengan kata lain, selain sistem korporasi masih diperbolehkan pilihan lain, yaitu sistem pertanggungjawaban penyertaan yang terdapat dalam KUHP. Dalam hal ini, Undang-undang pers nomor 40 tahun 1999 bukan merupakan lex specialis (peraturan khusus) yang menyingkirkan KUHP, tetapi keduanya justru saling melengkapi. Namun, karena tidak adanya ketegasan hukum mana yang dipakai dalam pertanggungjawaban pidana pers, maka persoalan muncul ketika terjadi tindak pidana pers. Pertanggungjawaban pidana pers menimbulkan sifat fakultatif artinya hukum mana yang dipakai diserahkan pada pihak yang berperkara. Masalah akan lebih terasa jika diantara mereka yang terlibat dalam perkara masing-masing jaksa, terdakwa, pembela , dan hakim berbeda pendapat. Menurut konstruksi pihak satu yang dipakai adalah KUHP yaitu menggunakan sistem pertanggungjawaban air terjun atau waterfall system, tetapi di pihak lain percaya yang harus diterapkan adalah sistem pertanggungjawaban Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999 yaitu sistem pertanggungjawaban korporasi, malah bukan tidak mungkin ada pihak yang mencoba menggabungkan unsur-unsur kedua
sistem tersebut, sebagian memakai KUHP dan sebagian lagi memakai Undangundang Pers nomor 40 tahun 1999. Berbicara mengenai pers dan hukum, terdapat empat kategori ketentuan yaitu mengenai publikasi (publication regulation), aturan-aturan mengenai profesinya (professional regulation), mengenai perusahaan (enterprise regulation) dan aturan-aturan internasional (international regulation) yang didalamnya tedapat segala etik yang mengandung aturan-aturan hukum, kesusilaan, moral dan agama. Adapun Code of Publication dan Code of Enterprise adalah merupakan bagian dari tanggungjawab pers. Aspek hukum perdata atau hukum perburuhan yang terkumpul dalam peraturan-peraturan pers terhimpun dalam Code of Enterprise. Demikian pula peraturan-peraturan hukum mengenai perusahaan dapat dituangkan dalam Code of Enterprise, sedangkan peraturan-peraturan hukum mengenai kekaryaan dituangkan dalam Code of Publication. Code of Publication mengatur banyak ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan pembatasan represif terhadap kebebasan untuk menyatakan pendapat, baik ia disalurkan melalui penciptaan tindak-tindak pidana yang dilakukan oleh pers maupun masalah pertanggungjawab dari mereka yang tersangkut dalam publikasi seperti penerbit, pencetak, penulisnya sendiri, redaksi maupun pengedarnya. Press Law mencakup dua kategori peraturan yaitu Code of Publication dan Code of Enterprise yang memancar dalam dua bagian hukum yang dikenal dengan hukum public dan privat. Aspek hukum tata Negara sebagai suatu cabang hukum publik dari persoalan pers misalnya membahas soal-soal fundamental seperti kebebasan pers, sedangkan hukum pidana meninjau pertanggungjawaban atas suatu tulisan dalam pers. Code of Enterprise misalnya mengemukakan soalsoal yang berhubungan dengan hukum dagang, hukum perdata, hukum fisika ataupun hukum perburuhan untuk pekerja pers (wartawan). Code of Publication dan Code of Enterprise adalah merupakan bagian tanggungjawab dari pers. Undang-undang pers adalah ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik: mulai dari mencari, memilah, dan memberitakannya sampai ke mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers. Mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap pemberitaan yang merugikan pihak lain, bahwa secara teknis hukum, perusahaan pers harus menunjuk penanggung jawabnya, yang terdiri dari 2 (dua) bidang yaitu, penanggung jawab bidang usaha dan penanggung jawab bidang redaksi. Mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan oleh wartawan diambil alih oleh perusahaan pers yang diwakili oleh penanggung jawab itu. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 12 Undang-undang Pers yang mengatakan bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan "penanggung jawab" adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi.
Mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh dalam hal terdapat pemberitaan yang merugikan pihak lain adalah melalui hak jawab (Pasal 5 ayat 2 Undang-undang Pers) dan hak koreksi (Pasal 5 ayat 3 Undang-undang Pers). Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers adalah sebagai berikut: 1. Pertama-tama dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi. Hal ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara langsung kepada redaksi yang dalam hal ini mewakili perusahaan pers sebagai penanggungjawab bidang redaksi wajib melayaninya. Orang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan itu tidak benar. Implementasi pelaksanaan Hak Jawab tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (Kode Etik Jurnalistik) sebagai kode etik wartawan yang baru, yang menyatakan bahwa “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”. 2. Selain itu, pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat [2] huruf d UU Pers). Dikatakan bahwa salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. 3. Permasalahan akibat pemberitaan pers dapat juga diajukan gugatan perdata ke pengadilan atau dilaporkan kepada polisi. Namun demikian, karena mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers diatur secara khusus di Undang-undang pers muaranya adalah pada pemenuhan Hak Jawab atau Hak Koreksi, maka pengadilan maupun penyidik atau jaksa atau hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut tetap menggunakan Undang-undang pers dengan muaranya adalah pemenuhan Hak Jawab dan atau Hak Koreksi. Bila dikaitkan dengan kasus putusan Mahkamah Agung No.1060 K/Pid/2008, terjadi kekeliruan pada persidangan yang terjadi, seharusnya pada perkara termasuk ke dalam delik pers dengan mengacu pada undang-undang Nomor 40 tahun 1999 dan harus diselesaikan sesuai dengan undang-undang Nomor 40 tahun 1999. Kasus ini berjalan dengan cara mekanisme penyelesaian berdasarkan KUHP. Dalam perkembangan hukum tentang pers, penyelesaian perkara yang berhubungan dengan pers sudah seharusnya diselesaikan melalui
mekanisme penyelesaian Undang-undang pers, dan penyelesaian pers secara KUHP sudah harus ditinggalkan. Bila perkara ini diselesaikan dengan mekanisme undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999, proses mekanisme yakni: 1. Bahwa semua persoalan pers bila melalui mekanisme undang-undang 40 tahun 1999 ada baiknya melalui pertimbangan dewan pers selaku pihak yang ditunjuk oleh undang-undang didalam menyelesaikan perkara pers melalui hak jawab dan hak koreksi. 2. Bahwa dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999, dikenal dengan adanya hak koreksi, yaitu hak dimana setiap orang untuk membetulkan pemberitaan yang dilakukan oleh pers (pasal 12 butir 1). Jadi, pihak redaksi surat kabar Ganyang Do Kaur berhak untuk melakukan hak koreksi terhadap tulisan yang dibuat oleh wartawan tersebut selaku pihak pers, apabila pernyataan yang dibuatnya tentang korban tersebut memang salah dan tidak terbukti Ratna Bin Karim melakukannya. Namun, apabila memang Ratna Bin Karim terbukti melakukan perbuatan tersebut adalah baiknya apabila wartawan tersebut menggunakan hak tolak nya di dalam memberitakan berita tersebut. Hak tolak merupakan hak wartawan karena profesinya untuk menolak dan mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya untuk mencegah konflik yang ada. 3. Lalu, setelah adanya hak jawab dan hak koreksi yang dilakukan maka Dewan Pers akan mempertimbangkannya, apakah pihak pers akan mendapatkan sanksi penyalahgunaan kode etik pers atau tidak dan akan memberikan solusi yang terbaik bagi pihak yang berkonflik. C. Analisis kasus Pada putusan Mahkamah Agung No: 1060/K/PID/2008 ini, menyatakan bahwa Ratna Bin Karim dibebaskan dari segala tuntutan Jaksa penuntut Umum dan dinyatakan tidak melakukan suatu perbuatan pidana seperti yang dituduhkan kepadanya. Ratna Bin Karim tidak melakukan suatu perbuatan pidana yang dituduhkan kepadanya oleh Jaksa penuntut umum (pasal 207 atau 315 KUHP). Ratna Bin Karim dianggap melakukan perbuatan yang di dakwakan kepadanya namun perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana dikarenakan Jaksa Penuntut Umum dianggap salah meletakkan Judex Facti di dalam menerapkan hukum, karena seharusnya bukanlah Ratna Bin Karim diperiksa oleh polisi, tetapi si wartawan sendiri (saksi korban) karena telah membuat tulisan dan menyiarkannya pada majalah Ganyang Do Kaur (pasal 207 KUHP). Bahwa dalam mengatakan kata “goblok” kepada saksi korban, lebih ditujukan kepada korban sebagai pribadi bukan kepada korban sebagai pejabat publik dan tidak memenuhi unsur-unsur pasal 207 KUHP. Atas dasar-dasar tersebut Ratna Bin Karim tidak terbukti melakukan suatu perbuatan pidana dikarenakan tidak memenuhi suatu unsur perbuatan pidana yakni sifat melawan hukum.
Pertanggungjawaban Pidana pers seharusnya diterapkan didalam kasus ini dikarenakan adanya terpenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dalam pemberitaan pers. Unsur kesengajaan yang dilakukan pihak pers dapat diselesaikan mekanisme undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999, proses mekanisme yakni: 1. Bahwa dalam persoalan pers ini apabila pihak pers melakukan perbuatan penyiaran atau penerbitan yang melanggar ketentuan tertentu harus melalui mekanisme undang-undang 40 tahun 1999 dan ada baiknya melalui pertimbangan dewan pers selaku pihak yang ditunjuk oleh undang-undang didalam menyelesaikan perkara pers melalui hak jawab dan hak koreksi. 2. Bahwa dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999, dikenal dengan adanya hak koreksi, yaitu hak dimana setiap orang untuk membetulkan pemberitaan yang dilakukan oleh pers (pasal 12 butir 1). Jadi, pihak redaksi surat kabar Ganyang Do Kaur berhak untuk melakukan hak koreksi terhadap tulisan yang dibuat oleh wartawan tersebut selaku pihak pers, apabila pernyataan yang dibuatnya tentang korban tersebut memang salah dan tidak terbukti Ratna Bin Karim melakukannya. Namun, apabila memang Ratna Bin Karim terbukti melakukan perbuatan tersebut adalah baiknya apabila wartawan tersebut menggunakan hak tolak nya di dalam memberitakan berita tersebut. Hak tolak merupakan hak wartawan karena profesinya untuk menolak dan mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya untuk mencegah konflik yang ada. 3. Lalu, setelah adanya hak jawab dan hak koreksi yang dilakukan maka Dewan Pers akan mempertimbangkannya, apakah pihak pers akan mendapatkan sanksi penyalahgunaan kode etik pers atau tidak dan akan memberikan solusi yang terbaik bagi pihak yang berkonflik. Dalam hal meluruskan berita yang salah yang diyakini sangat merugikan kredibilitas dan reputasi perseorangan atau lembaga, atau bahkan ada unsur pencemaran nama baik dan perbuatan melawan hukum, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh yaitu langkah penyelesaian berdasarkan Kode Etik Jurnalistik dan Undang-undang pokok pers Nomor 40 tahun 1999. Apabila pihak Ratna Binti Karim merasa dirugikan bahkan pihak korban yaitu Warman Suwardi atas pemberitaan tersebut maka penyelesaian berdasarkan Kode Etik Jurnalistik dan Undang-undang pers adalah dengan mengajukan surat keberatan atas berita tersebut dan menuntut redaksi untuk melakukan ralat dengan memberikan pelurusan informasi yang diinginkan berdasarkan hak jawab menurut pasal 1 ayat 11 Undang-undang Pers. Berdasarkan ketentuan Nomor 7 Kode Etik Wartawan Indonesia, ditegaskan bahwa wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab. Dalam kaitan penggunaan hak jawab tersebut maka langkah pertama adalah mengirimkan surat keberatan kepada redaktur atau langsung ke pemimpin redaksinya, bukan kepada wartawan yang menuliskan beritanya. Surat keberatan tersebut disertai dengan tembusan ke Dewan Pers,
yakni lembaga atau dewa kehormatan profesi pers, yang dibentuk oleh Pemerintah dan PWI yang ada di Jakarta serta Dewan Kehormatan Pers yang dibentuk oleh PWI daerah. Selain itu, apabila penerbitan pers bersangkutan memiliki lembaga ombudsman, yakni lembaga yang dibentuk oleh perusahaan pers tersebut untuk menjaga kehormatan profesi dan profesionalisme para wartawannya, tembusan surat keberatan dan tuntutan pelurusan berita dikirimkan juga ke pengurus ombudsmannya. Di Indonesia terdapat perusahaan pers yang memiliki lembaga ombudsman sendiri yaitu Harian Jawa Pos dan Kompas yang telah difungsikan secara efektif. Lembaga tersebut difungsikan sebagai mediator negoisasi antara jajaran redaksi dengan pihak yang dirugikan oleh pemberitaan untuk menemukan solusi yang sama-sama menguntungkan. Redaktur yang menerima surat keberatan tersebut akan membawa permasalahan ke dalam rapat redaksi untuk diputuskan penyelesaiannya. Sebagai perusahaan-perusahaan yang dinilai memiliki kredibilitas dan integritas, biasanya secara elegan mengakui kesalahan pemberitaannya dan melayani hak jawab dari pihak yang dirugikan, bahkan melakukan pencabutan berita atau membuat pernyataan minta maaf secara terbuka ke publik atas kesalahannya tersebut. Hal-hal tersebut mencerminkan bahwa sistem pertanggungjawaban pidana pers berdasarkan Undang-undang pers No.40 Tahun 1999 lebih mengedepankan penyelesaian konflik hukum secara musyawarah melalui pembentukan adanya dewan pers yang ditunjuk oleh undang-undang sebagai alat dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan pers yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Penulis berpendapat bahwa putusan hakim yang ditujukan kepada Ratna Binti Karim sudah tepat dikarenakan kesalahan yang dilakukan pihak jaksa penuntut umum. Namun, apabila dilihat dari perbuatan yang dilakukan Ratna Binti Karim, memang Ratna sangat pantas diberi hukuman atas perbuatannya, tetapi bila dilihat dari fakta-fakta hukum yang terlihat dipersidangan, Ratna Binti Karim melakukan suatu kesalahan yang disebabkan oleh emosi yang tidak terkendali, sehingga ada baiknya sebagai masyarakat Indonesia yang menganut pancasila, perbuatan Ratna Binti Karim tersebut sudah sepatutnya tidak dibesar-besarkan oleh pihak pers sampaisampai diterbitkan ke media massa segala perkataan-perkataan Ratna Binti Karim. Pihak pers sudah sepatutnya memiliki pemikiran untuk membuat suatu berita-berita yang mencegah konflik dan membuat suatu berita yang berisi informasi-informasi yang baik untuk masyarakat bukan berita yang membuat suatu permasalahan-permasalahan muncul di tengah-tengah masyarakat dari berita yang diterbitkan oleh media tersebut.
PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan dari uraian bab-bab sebelumnya, dalam hal ini penulis berusaha untuk menyampaikan beberapa kesimpulan diantaranya : Pengaturan tindak pidana pers di dalam KUHP antara lain: a. Tindak pidana terhadap keamanan negara dan ketertiban umum (diatur dalam Pasal 112 KUHP dan Pasal 113 KUHP). b. Tindak Pidana Penghinaan dengan Sengaja terhadap Presiden (diatur dalam Pasal 134 KUHP). c. Tindak Pidana Penghinaan terhadap Raja atau Kepala Negara sahabat (diatur dalam Pasal 144 KUHP). d. Tindak Pidana Penghinaan atau Penyebaran Kebencian dengan Lisan (diatur dalam Pasal 154 KUHP). e. Tindak Pidana Penghinaan atau Penyebaran Kebencian dengan Tulisan (diatur dalam Pasal 155 KUHP). f. Tindak Pidana Delik SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) diatur dalam pasal 156 KUHP dan 157 KUHP. g. Tindak Pidana Penghinaan terhadap Penguasa (diatur dalam Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP) h. Tindak Pidana Pers dalam pelanggaran Kesusilaan (diatur dalam Pasal 282 KUHP. i. Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik atau Penghinaan (diatur dalam Pasal 310 KUHP). j. Tindak Pidana Fitnah atau Pencemaran Tertulis (diatur dalam Pasal 311 KUHP). Pengaturan Tindak Pidana Pers Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran: a. Pasal 57 “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio, dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp.10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, terhadap setiap orang yang”: 1. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (3). 2. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (2). 3. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1).
4. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat(5). 5. Melanggar ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat(6). b. Pasal 58 “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan atau denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang”: 1. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1). 2. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (1). 3. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (4). 4. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 (10). c. Pasal 59 “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (10) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio, dan paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk penyiaran televisi”. Pengaturan Tindak Pidana Pers Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik : a. Tindak Pidana Pendistribusian Dan Pengaksesan Alat Informasi Elektronik yang memiliki muatan Pelanggaran Kesusilaan (diatur dalam Pasal 27 ayat 1). b. Tindak Pidana Pendistribusian dan Pengaksesan Alat Informasi Elektronik yang memiliki muatan Perjudian (diatur dalam Pasal 27 ayat 2).. c. Tindak Pidana Pendistribusian dan Pengaksesan Alat Informasi Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik (diatur dalam pasal 27 ayat 3). d. Tindak Pidana pendistribusian dan pengaksesan Alat Informasi Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan pengancaman (diatur dalam pasal 27 ayat 4).
e. Tindak Pidana menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik (diatur dalam pasal 28 ayat 1). f. Tindak Pidana penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu dan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA (diatur dalam pasal 28 ayat 2). g. Tindak Pidana Pengiriman Dokumen elektronik dengan ancaman kekerasan dan menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (diatur dalam pasal 29). Pengaturan Tindak Pidana Pers yang diatur di dalam Undangundang keterbukaan Informasi Publik (Undang-undang Nomor 14 tahun 2008): a. Tindak Pidana penggunaan informasi publik secara melawan hukum (diatur dalam Pasal 51). b. Tindak Pidana Keterbukaan informasi rahasia yang mengakibatkan kerugian orang lain (diatur dalam Pasal 52). c. Tindak Pidana Penghancuran, pengrusakan, dan penghilangan dokumen informasi publik dalam bentuk media apapun (diatur dalam Pasal 53). d. Tindak Pidana membuat informasi publik yang tidak benar dan menyesatkan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain (diatur dalam pasal 55). Pengaturan Tindak Pidana Pers yang diatur Undang-undang Pornografi (Undang-undang nomor 44 tahun 2008): a. Tindak Pidana memproduksi, membuat, memperbanyak , menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan (diatur dalam Pasal 4). b. Tindak Pidana pemberian pendanaan atau memfasilitasi perbuatan (diatur dalam pasal 7). c. Tindak Pidana mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan muatan pornografi (diatur dalam pasal 10). Pertanggungjawaban Pidana pers seharusnya diterapkan didalam kasus ini dikarenakan adanya terpenuhi unsur-unsur perbuatan pidana pers dalam pemberitaan pers. Pertanggungjawaban tersebut dapat diselesaikan melalui mekanisme undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999, proses mekanisme antara lain: 1. Bahwa semua persoalan pers bila melalui mekanisme undang-undang 40 tahun 1999 ada baiknya melalui pertimbangan dewan pers selaku pihak yang ditunjuk oleh undang-undang didalam menyelesaikan perkara pers melalui hak jawab dan hak koreksi.
2. Bahwa dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999, dikenal dengan adanya hak koreksi, yaitu hak dimana setiap orang untuk membetulkan pemberitaan yang dilakukan oleh pers (pasal 12 butir 1). Lalu, setelah adanya hak jawab dan hak koreksi yang dilakukan maka Dewan Pers akan mempertimbangkannya, apakah pihak pers akan mendapatkan sanksi penyalahgunaan kode etik pers atau tidak dan akan memberikan solusi yang terbaik bagi pihak yang berkonflik. Berdasarkan ketentuan Nomor 7 Kode Etik Wartawan Indonesia, ditegaskan bahwa wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab. Dalam kaitan penggunaan hak jawab tersebut maka langkah pertama adalah mengirimkan surat keberatan kepada redaktur atau langsung ke pemimpin redaksinya, bukan kepada wartawan yang menuliskan beritanya. Surat keberatan tersebut disertai dengan tembusan ke Dewan Pers, yakni lembaga atau dewa kehormatan profesi pers, yang dibentuk oleh Pemerintah dan PWI yang ada di Jakarta serta Dewan Kehormatan Pers yang dibentuk oleh PWI daerah. Selain itu, apabila penerbitan pers bersangkutan memiliki lembaga ombudsman, yakni lembaga yang dibentuk oleh perusahaan pers tersebut untuk menjaga kehormatan profesi dan profesionalisme para wartawannya, tembusan surat keberatan dan tuntutan pelurusan berita dikirimkan juga ke pengurus ombudsmannya. Di Indonesia terdapat perusahaan pers yang memiliki lembaga ombudsman sendiri yaitu Harian Jawa Pos dan Kompas yang telah difungsikan secara efektif. Lembaga tersebut difungsikan sebagai mediator negoisasi antara jajaran redaksi dengan pihak yang dirugikan oleh pemberitaan untuk menemukan solusi yang sama-sama menguntungkan. Redaktur yang menerima surat keberatan tersebut akan membawa permasalahan ke dalam rapat redaksi untuk diputuskan penyelesaiannya. Sebagai perusahaan-perusahaan yang dinilai memiliki kredibilitas dan integritas, biasanya secara elegan mengakui kesalahan pemberitaannya dan melayani hak jawab dari pihak yang dirugikan, bahkan melakukan pencabutan berita atau membuat pernyataan minta maaf secara terbuka ke publik atas kesalahannya tersebut. 2. Saran Sebagai penutup dari skripsi ini berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh seperti yang telah disebutkan diatas, penulis ingin mengemukakan beberapa saran dengan harapan dapat menjadi masukan bagi pihak yang membaca skripsi ini, antara lain : 1. Mengingat bahwa mekanisme kerja pers cukup panjang dan melibatkan banyak orang didalamnya, maka sistem pertanggungjawaban korporasi yang dianut oleh Undang-undang Pers No.40 tahun 1999 adalah cocok untuk diterapkan dalam kasus tindak pidana pers, karena sistem pertanggungjawaban tersebut sudah praktis. Selain itu dengan
diterapkannya sistem pertanggungjawaban korporasi ini, para wartawan dapat lebih bebas untuk berkarya. 2. Ada baiknya didalam memilih jalur penyelesaian konflik hukum pers, setiap pihak yang berkonflik mengedepankan penyelesaian konflik dengan mekanisme jurnalistik dan nonlitigasi karena secara langsung maupun tidak langsung memberi jaminan terhadap pers untuk bebas bersuara. DAFTAR PUSTAKA BUKU Adji Oemar Seno. 1977.Mass media dan Hukum,Jakarta:Erlangga. Atmakusumah. 1981. Wajah Hukum Pidana Pers. Jakarta: Pustaka Kartini. Girsang, Juniver. 2007. Penyelesaian Sengketa Pers. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kusumaningrat, Hikmat, dan Purnama Kusumaningrat. 2005. Jurnalistik Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosda Karya. Lasmana Tjipta,2005,Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers antara Indonesia dan Amerika,Jakarta:Erwin-Rika. Moeljatno. 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. Poernomo, Bambang. 1992 .Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Hindia Indonesia. Panjaitan Hinca IP,Amir Siregar,Abdullah Ahmadi, Menegakkan Kemerdekaan Pers: 1001 Alasan Undang-undang Pers Lex Specialis, Menyelesaikan Masalah Akibat Pemberitaan Pers,Jakarta: Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Kemerdekaan Pers Serikat Penerbit Surat Kabar. Rachmadi R.1990,Perbandingan Sistem Pers, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. Sadono, Bambang. 1998. Penyelesaian delik pers secara politis. Jakarta: Sinar Harapan.
Sahetapy, J.E dan Agustinus Pohan. 2007. Hukum Pidana. Bandung:PT.Citra Aditya. Saleh,
Roeslan.
1983.
Perbuatan
Pidana
dan
Pertanggungjawaban.
Jakarta:Rhineka Cipta. Sapardjaja, Komariah. 2003. Delik Pers dalam KUHP dan RKUHP dalam kebebasan pers dan penegakkan hukum. Jakarta:Dewan Pers. Susanto Edi,Muhammad Taofik Makarao,Hamid Syamsuddin,2010,Hukum Pers di Indonesia,Jakarta:Rhinneka Cipta. PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-undang hukum Pidana. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi.