TESIS
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN
DESSY LINA OKTAVIANI SUENDRA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
TESIS
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN
DESSY LINA OKTAVIANI SUENDRA NIM: 1390561058
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
DESSY LINA OKTAVIANI SUENDRA NIM. 1390561058
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 6 AGUSTUS 2015
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Prof.Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS. NIP. 19530914 197903 1 002
Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH. NIP. 19620605 198803 1 020
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM. NIP.19611101 198601 2 001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K) NIP. 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 5 Agustus 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 2120/UN14.4/HK/2015, Tanggal 3 Agustus 2015
Ketua
: Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS
Sekretaris
: Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH.
Anggota
: 1. Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH. 2. Dr. I Gede Artha, SH.,MH 3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum.
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini
:
Nama
: Dessy Lina Oktaviani Suendra
Program Studi
: Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Dalam Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 6 Agustus 2015 Yang menyatakan,
Dessy Lina Oktaviani Suendra
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Om Swastyastu, Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), karena atas berkat rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN”. Dalam penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof.Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS., Pembimbing I yang telah penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran kepada penulis. Terimakasih penulis ucapkan juga kepada Dr. Ida Bagus Surya Darmaja, SH.,MH, Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD KEMD, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister (S2) Ilmu Hukum di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister (S2) Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas
vi
Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH., atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Magister (S2) Ilmu Hukum. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM, para penguji tesis, yaitu Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH, Dr. I Gede Artha, SH.,MH, dan Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum, yang telah memberikan masukan, saran, dan koreksi dalam penyempurnaan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada para Dosen Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah mengajar dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana. Para pegawai administrasi Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam pengurusan administrasi penulis selama perkuliahan, serta para pegawai perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam memperoleh literatur yang dibutuhkan selama penyusunan tesis ini. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, kakak, serta teman-teman yang sangat penulis cintai dan banggakan yang telah banyak memberikan semangat dan motivasi dalam penyusunan tesis ini. Teman-teman MH’13 seluruhnya, yang telah banyak memberikan masukan, saran, semangat, dan motivasi sehingga penyusunan tesis ini selesai tepat pada waktunya.
vii
Penulis menyadari bahwa materi yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh karena keterbatasan tersebut, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kelengkapan dan penyempurnaan tesis ini. Akhir kata, penulis harapkan semoga tesis ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi para pembaca. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om
Denpasar, Agustus 2015 Penulis,
viii
ABSTRAK Koperasi dipandang sebagai usaha yang dapat membantu perbaikan tingkat kehidupan ekonomi dikarenakan pada hakikatnya Koperasi membantu berdasakan asas tolong menolong. Namun Koperasi di Indonesia saat ini tidak terlepas dari kemungkinan melakukan tindak pidana, salah satunya tindak pidana perbankan terkait perijinan. Konflik norma terjadi dalam pengaturan pertanggungjawaban pidana koperasi dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin, di mana dalam UU Perkoperasian hanya diatur mengenai sanksi administrtif bagi koperasi namun pengurus koperasi tidak dikenakan sanksi pidana, sedangkan dalam UU Perbankan diatur mengenai sanksi pidana bagi pengurus/pimpinan koperasi. Berdasarkan latar belakang tersebut maka didapatlah rumusan masalah yaitu: 1) Bagaimakah pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi 2) Siapakah yang bertanggungjawab bilamana koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik studi kepustakaan dengan menggunakan metode sistematis melalui card system. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik analisis deskripsi, teknik argumentasi, dan teknik analisis interpretasi. Dari keseluruhan data-data terkait akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data tersebut secara sistematis dan selektif, kemudian data tersebut dianalisis dalam bentuk uraian-uraian yang disertai dengan penjelasan teoriteori hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbuatan koperasi yang dapat dipertanggungjawabkan pidana adalah tindak pidana penggelapan, tindak pidana penipuan, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana korupsi. Adapun tindak pidana perbankan yang dapat dilakukan oleh koperasi adalah tindak pidana perbankan terkait perijinan, di mana untuk saat ini dalam pertanggungjawaban pidananya masih mengacu pada UU Perbankan yang memberikan sanksi pidana bagi orang yang memberikan perintah/ pemimpin. Sedangkan pihak yang bertanggungjawab apabila koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin adalah pengurus koperasi. Kata Kunci
: Koperasi, Pertanggungjawaban Pidana, Perbankan
ix
ABSTRACT
Cooperatives seen as an attempt to help improve the level of economic life because in essence Cooperative Based on the principle of helping assist. However Cooperative in Indonesia today is inseparable from the possibility of a criminal act, one criminal offense related banking licenses. Conflicts occur in the setting of norms of criminal responsibility in the cooperative banking activities without a license, where the Cooperatives Act only regulates the sanctions administrtif for cooperatives, but cooperative management is not subject to criminal sanctions, while the Banking Act regulated the criminal sanctions for the management / leadership of the cooperative. Based on this background, the obtained formulation of the problem, namely: 1) How is criminal responsibility in case of banking criminal acts without permission undertaken by cooperatives 2) Who is responsible for committing a crime when the cooperative banking without permission. This research is a normative legal research. The legal materials used in this study include primary legal materials, secondary, and tertiary. Data collection techniques used is literature study technique using a systematic method through the card system. Legal materials analysis techniques used are descriptive analysis technique, argumentation technique, interpretation and analysis techniques. Of overall relevant data will be processed and analyzed by arranging such data systematically and selectively, then the data is analyzed in terms of the descriptions are accompanied by an explanation of the theories of law. These results indicate that the cooperative actions that can be accounted for criminal is a criminal offense embezzlement, criminal fraud, banking criminal acts and corruption. As for the banking criminal acts that can be performed by the cooperative is a criminal offense related banking licenses, in which for the moment in its criminal liability still refers to the Banking Act which provide criminal sanctions for those who give orders / leader. While the parties responsible for committing a crime if the cooperative banking without permission is a cooperative management
Key words : Cooperative, Criminal Liability, Banking
x
RINGKASAN
Penelitian tentang Pertanggungjawaban Pidana Koperasi dalam Tindak Pidana Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin, disusun dalam lima bab yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut : Bab I menguraikan tentang hal-hal yang melatarbelakangi penyusunan penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian yang terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus, manfaat penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis, orisinalitas penelitian, landasan teoritis, kerangka berpikir penelitian, dan metode penelitian. Bab II menguraikan tentang tinjauan umum yang berupa tinjauan secara garis besar
tentang
konsep
yang
tertuang
dalam
judul
penelitian,
yakni
pertanggungjawaban pidana (meliputi pengertian pertanggungjawaban pidana dan pertanggungjawaban pidana korporasi), koperasi (meliputi pengertian koperasi, latar belakang berdirinya koperasi, tujuan koperasi, sifat koperasi, nilai dan prinsip koperasi serta jenis-jenis koperasi), dan tindak pidana perbankan tanpa ijin (meliputi pengertian tindak pidana perbankan tanpa ijn dan pengaturan tindak pidana perbankan tanpa ijin). Bab III adalah bab inti yang menguraikan tentang pembahasan rumusan masalah pertama yakni, pertanggungjawaban pidana koperasi. Bab ini terdiri dari tiga sub bab, dimana sub bab pertama menguraikan tentang perbuatan tindak pidana yang berkaitan dengan koperasi, sub bab kedua membahas tentang koperasi sebagai
xi
korporasi, dan sub bab ketiga membahas tentang pertanggungjawaban pidana oleh koperasi. Bab IV adalah bab inti yang menguraikan tentang pembahasan rumusan masalah kedua yakni, pihak-pihak yang dapat dipertanggungjawabkan pidana dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Bab ini terdiri dari dua sub bab, dimana sub
bab
pertama
membahas
tentang
pihak-pihak
koperasi
yang
dapat
dipertanggungjawabkan pidana dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin, sedangkan sub bab kedua membahas tentang formulasi kebijakan pertanggungjawaban pidana koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin Bab V adalah bab penutup yang terdiri dari sub bab simpulan dan saran. Simpulan merupakan hasil dari pembahasan penelitian baik terhadap rumusan masalah pertama maupun rumusan masalah kedua, sedangkan saran memuat hal-hal yang dapat direkomendasikan terkait dengan permasalahan dalam penelitian sebagai bentuk jalan keluar atas permasalahan yang dikemukakan, sehingga layak untuk dilaksanakan.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM .............................................................................i HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ...........................................ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .......................................................iv UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................................... v ABSTRAK ........................................................................................................... viii ABSTRACT ............................................................................................................ix RINGKASAN .......................................................................................................... x DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1 1.1 Rumusan Masalah ............................................................................................... 10 1.2 Ruang Lingkup Masalah ..................................................................................... 10 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 10 1.4.1 Tujuan Umum........................................................................................... 10 1.4.2 Tujuan Khusus .......................................................................................... 11 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 11 xiii
1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................................................... 11 1.5.2 Manfaat Praktis......................................................................................... 11 1.6 Orisinalitas Penelitian ........................................................................................ 12 1.7 Landasan Teoritis ............................................................................................... 16 1.7.1 Kerangka Berpikir ................................................................................... 40 1.8 Metode Penelitian .............................................................................................. 42 1.8.1 Jenis Penelitian ......................................................................................... 42 1.8.2 Jenis Pendekatan ....................................................................................... 44 1.8.3 Sumber Bahan Hukum.............................................................................. 45 1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................................ 46 1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ................................................................. 47 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pertanggungjawaban Pidana .............................................................................. 49 2.2 Koperasi ............................................................................................................. 54 2.4 Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin ................................................................. 66
xiv
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BILAMANA TERJADI TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN YANG MELIBATKAN KOPERASI 3.1 Perbuatan Koperasi yang Dapat Dipidanakan .................................................... 74 3.2 Koperasi sebagai Korporasi ............................................................................... 95 3.3 Pertanggungjawaban Pidana oleh Koperasi ....................................................... 99 BAB IV PIHAK-PIHAK KOPERASI YANG DAPAT DIPERTANGGUNG-JAWABKAN PIDANA DALAM MELAKUKAN KEGIATAN PERBANKAN TANPA IJIN 4.1 Pihak-Pihak Koperasi yang dapat Dipertanggungjawabkan Pidana dalam Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin ......................................................................... 121 4.2 Formulasi Kebijakan Pertanggungjawaban Pidana Koperasi yang Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin ....................................................................... 145 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 162 5.2 Saran ................................................................................................................ 163 DAFTAR PUSTAKA
xv
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian. 2. Gambar 2. Skema Ketentuan Pasal 46
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Setelah Perang Dunia II berakhir, konsentrasi masyarakat telah berpusat pada pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah menunjukkan pengembangan ekonomi yang cukup pesat, namun juga membawa suatu permasalahan baru yang serius yaitu kesenjangan ekonomi yang semakin tajam antara kesejahteraan dan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Negara maju terdiri dari 20 persen penduduk dunia, menikmati sekitar ⅔ penghasilan dunia. Sementara negara-negara berkembang yang berpopulasi 50 persen dari penduduk dunia, menikmati sekitar ⅛ pendapatan dunia, dan negara-negara miskin yang berpenduduk sekitar 30 persen dari penduduk dunia hanya menikmati 3 persen dari pendapatan dunia.1 Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, berdasarkan penjelasan di atas hanya menikmati ⅛ dari pendapatan dunia. Ketimpangan ini membuat Pemerintah Indonesia termotifasi untuk semakin menggiatkan perekonomian Indonesia. Salah satu cara untuk menggiatkan perekonomian tersebut adalah dengan menunjang kaum yang ekonominya lemah agar dapat memperbaiki ekonominya dan hidup mandiri. 1
Bulajic, Milan, 1998, Principles of International Development Law, Martinus Niijhoff Publishers, The Netherlands, page. 20-23, dikutip dari Lili Rasjidi, Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, Hal.170
1
Koperasi didirikan untuk melakukan usaha perbaikan tingkat kehidupan ekonomi dari orang-orang yang berasal dari kelompok pekerja atau orang-orang yang jatuh miskin sebagai akibat pelaksanaan sistem kapitalisme.2 Koperasi dipandang sebagai usaha yang dapat membantu perbaikan tingkat kehidupan ekonomi dikarenakan pada hakikatnya Koperasi membantu berdasakan asas tolong menolong. Dikemukakan oleh Mohammad Hatta dalam bukunya The Cooperative Movement in Indonesia bahwa: koperasi adalah melambangkan harapan bagi kaum yang lemah ekonominya berdasarkan self-help dan tolong menolong di antara anggota-anggotanya yang melahirkan di antara mereka rasa percaya pada diri sendiri dan persaudaraan. Koperasi menyatakan semangat baru untuk menolong diri sendiri yang didorong oleh keinginan member jasa kepada kawan berdasarkan kebersamaan.3
Secara etimologi, koperasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu cooperatives: merupakan gabungan kata co dan operation. Dalam bahasa Belanda disebut cooperatie, yang artinya adalah kerja bersama. Dalam bahasa Indonesia dilafalkan menjadi koperasi.4 Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
memberikan
definisi
koperasi
sebagai
badan
usaha
yang
beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. 2
Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Banemay, 2005, Hukum Koperasi Indonesia, Kencana, Jakarta, Hal. 14 3 Ibid, hal. 19 4 Ibid, hal. 15
2
Gerakan ekonomi kerakyatan yang berdasarkan atas asas kekeluargaan ini juga dicantumkan dalam Pasal 33 UUD NKRI 1945 yaitu: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Asas kekeluargaan menjadi faktor yang penting dalam membangun perekonomian bagi masyarakat karena mementingkan kepercayaan yang diberikan sesama anggota dalam memberikan modal usaha sehingga dapat membantu pengembangan perekonomiannya. Inpres Nomor 18 Tahun 1998 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengembangan Perkoperasian dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia pada saat itu untuk mempermudah perijinan pendirian Koperasi. Dikeluarkannya Inpres Nomor 18 Tahun 1998 ini berdampak terhadap banyaknya jumlah koperasi yang ada di Indonesia. Inpres Nomor 18 Tahun 1998 memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada masyarakat untuk membentuk dan mengelola koperasi tanpa batasan wilayah kerja, koperasi menjadi lebih mandiri dan bebas melakukan aktivitas usahanya tanpa ada campur tangan pemerintah.5 Koperasi, khususnya Koperasi Simpan Pinjam (yang selanjutnya disebut KSP) merupakan jenis koperasi yang hampir menyerupai bank. Hal ini dikarenakan
5
Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, 2002, Perkoperasian Sejarah, Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal.109
3
KSP juga menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan simpan pinjam bagi para anggota koperasi yang berangkutan serta kepada koperasi lain dan anggotanya Untuk dapat melakukan kegiatan tersebut tentunya KSP juga harus mengikuti persyaratan-persyaratan yang ada untuk mendirikan suatu koperasi dan apabila nantinya KSP tersebut akan melakukan kegiatan perbankan, maka koperasi tersebut haruslah mendapat ijin/persetujuan dari Pimpinan Bank Indonesia terelebih dahulu. Seiring dengan berjalannya waktu, banyak koperasi yang tidak menjalankan usahanya dengan menggunakan asas kekeluargaan. Koperasi yang mengusung membantu perekonomian masyarakat miskin malah bergerak hanya untuk mencari keuntungan saja dan melupakan tujuan untuk mensejahterakan seluruh anggota koperasi. Dalam prakteknya banyak terdapat koperasi, khususnya koperasi simpan pinjam di Indonesia yang anggotanya hanya mendaftarkan KTP-nya saja dan tidak menyetor seluruh simpanan yang diwajibkan. Atau dengan kata lain, KTP tersebut hanya formalitas dibalik pemodal utama yang merupakan aktor dibelakang layar yang mengendalikan koperasi. Koperasi Simpan Pinjam juga dinilai sebagai korporasi di mana koperasi terkadang hanya mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan tidak jarang pula mencari keuntungan tersebut dengan cara yang tidak sesuai dengan AD/ART Perkoperasian. Dan tidak jarang koperasi tersebut juga menyimpan dana pihak ketiga dan menyalurkan kredit ke masyarakat
4
Contoh diatas menunjukkan salah satu tindak pidana yang dapat dilakukan oleh koperasi yaitu tindak pidana perbankan terkait perijinan yang jelas-jelas melanggar Pasal 1 ayat 2 UU No.7/1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan yang menerangkan bahwa hanya insitintusi perbankan yang diperbolehkan untuk menyimpan dana pihak ketiga dan menyalurkan kredit ke masyarakat.6 UU No.7/ 1992 jo.UU No. 10/1998 tentang Perbankan menguraikan jenisjenis atau bentuk-bentuk tindak pidana perbankan yang diklasifikasikan ke dalam 13 jenis tindak pidana dengan unsur dan penerapan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dari ketiga belas jenis tindak pidana perbankan tersebut, pada dasarnya dapat dikelompokkan kembali menjadi 5 kelompok utama, yaitu sebagai berikut: 1. Tindak Pidana yang berkaitan dengan perizinan 2. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank 3. Tindak pidana yang berkaitan dengan sikap dan/atau tindakan yang dilakukan oleh pengurus bank, pegawai bank, pihak terafiliasi, dan pemegang saham bank. 4. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank 5. Tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank7
Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan ini diatur dengan tegas dan jelas dalam UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992 tentang Perbankan pada Pasal 16, Pasal 18, dan Pasal 20. Dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992 tentang Perbankan disebutkan bahwa “setiap pihak yang melakukan kegiatan
6
I Gede Hartadi Kurniawan, 2013, Tindakan Koperasi Simpan Pinjam yang Mengakibatkan Perbuatan Tindak Pidana, dikutip dari http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex/article/view/348, diakses pada tanggal 26 Januari 2015 7 Kristian, dan Yopi Gunawan, 2013, Tindak Pidana Perbankan, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung, Hal.44
5
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Sedangkan tindak pidana yang berkaitan dengan pendirian bank tanpa izin (bank gelap) dapat ditemukan dalam Pasal 46 UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992 tentang Perbankan menyatakan bahwa: (1) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). (2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Penjabaran Pasal 46 UU No. 7/1992 jo. UU N. 10/1998 tentang Perbankan tersebut menjelaskan bahwa Koperasi juga dapat dikatakan melakukan tindak pidana perbankan terkait perizinan dan yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah bagi mereka yang memberi perintah maupun yang bertindak sebagai pimpinan. Sehingga dalam pasal ini secara tersirat menjabarkan bahwa Koperasi merupakan bagian dari Korporasi dan juga sebagai subyek hukum yang dapat dikenakan pidana. Berbeda halnya dengan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, koperasi masih belum dapat dikatakan sebagai subyek hukum yang dapat dikenakan pidana.
6
Hal ini dikarenakan dalam UU No.25/1992 tentang Perkoperasian tidak mengatur mengenai sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada koperasi apabila melakukan suatu tindak pidana. Koperasi hanya dikenakan sanksi administratif yaitu pembubaran sesuai dengan ketentuan Pasal 46-56 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Dimana dalam Pasal 47 ayat (1) UU No.25/1992 tentang Perkoperasian disebutkan bahwa: (1) Keputusan pembubaran oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b dilakukan apabila: a. Terdapat bukti bahwa koperasi yang bersangkutan tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini; b. Kegiatannya bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan; c. Kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi diharapkan. Penjelasan pasal tersebut menunjukkan bahwa menurut UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, Koperasi tidak dipandang sebagai subyek hukum pidana sehingga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana khususnya kepada pihakpihak individu yang menggerakkan koperasi. Jadi apabila koperasi melakukan suatu tindak pidana maka UU Perkoperasian hanya dapat memberikan sanksi administratif saja yaitu pembubaran koperasi sebagai badan hukum. Koperasi sebagai badan hukum/ korporasi juga masih menuai pro dan kontra. Terdapat pendapat yang menyebutkan bahwa koperasi berbeda dengan korporasi. Hal ini sering disebutkan dalam berbagai literatur dikarenakan koperasi memiliki cara kerja serta interaksi internal dan eksternal yang khusus dan berbeda dengan badan usaha lainnya. Namun pada kenyataanya Koperasi saat ini juga sering dipandang sebagai suatu Korporasi. Hal ini dikarenakan dalam UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
dinyatakan
bahwa
Koperasi
7
merupakan
badan
usaha
yang
beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Sedangkan Korporasi menurut Pasal 1 UU No. 31/1999 jo UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah kumpulan orang dan/ kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum serta dalam Pasal 1 butir 13 UU No. 5/1997 tentang Psikotropika menyebutkan pengertian korporasi adalah kumpulan yang terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan. Apabila dilihat dari unsur-usur yang terdapat dalam pengertian Koperasi dan Korporasi yang telah disebutkan di atas, maka akan terlihat persamaan yaitu pada unsur sekumpulan orang atau badan hukum. Seperti yang tercantum dalam UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan, dalam Pasal 46 ayat (2) disebutkan bahwa “badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi”, kalimat tersebut menyiratkan bahwa koperasi pun merupakan korporasi dan dapat melakukan pertanggungjawaban sebagai korporasi sehingga tindak pidana yang dilakukan oleh Koperasi dianggap sebagai tindak pidana korporasi pula. Pertanggung Jawaban Pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana pada seseorang pembuat tindak pidana.8 Hal seperti itu juga diatur dalam Pasal 46 UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan, dimana subyek hukum yang Chairul Huda, 2006,Dari‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal.64 8
8
dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya terkait tindak pidana perbankan berkaitan dengan perizinan adalah bagi mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pempimpin dalam melakukan perbuatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpananan tanpa izin Pimpinan Bank Indonesia. Bilamana koperasi adalah korporasi maka koperasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila koperasi tersebut melakukan tindak pidana. Sayangnya, dalam menjatuhkan pidana bagi Kopersi Simpan Pinjam yang melakukan tindak pidana perbankan akan mengalami kesulitan
karena adanya
perbedaan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dengan UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, koperasi yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan kegiatannya bertentangan dengan ketertiban umum maka koperasi tersebut hanya dikenakan sanksi administratif berupa pembubaran. Hal ini sangat jauh berbeda dengan sanksi yang dicantumkan dalam UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan
yang
memberikan
sanksi
pidana
kepada
Pengurus/Pemimpin
Perusahaan/Koperasi yang dalam hal ini kalau koperasi yang melakukan tidak pidana perbankan maka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan atau terhadap kedua-duanya harus bertanggung jawab. Konflik norma ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam memberiakan keadilan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat apabila terdapat
9
koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal inilah membuat penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih lanjut mengenai “Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Dalam Tindak Pidana Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin”
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi? 2. Siapakah yang bertanggungjawab bilamana koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin?
1.3.Ruang Lingkup Masalah Ruang
lingkup
penelitian
ini
dibatasi
hanya
pada
dalam
hal
pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi, serta siapa yang bertanggungjawab dalam hal koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin.
1.4.Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis siapakah yang bertanggungjawab dalah hal koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin.
10
1.4.2. Tujuan Khusus Berdasarkan tujuan umum di atas dan dengan menekankan pada aspek normatifnya, maka tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang dibahas yakni: 1.
Untuk menganalisis dan mendeskripsikan pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi,
2.
Untuk
menganalisis
dan
mengkritisi,
siapa
pihak
yang
bertanggungjawab dalam hal koperasi melakukan kegiatan tindak pidana perbankan tanpa ijin.
1.5.Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia akademis,yaitu dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam Hukum Pidana yang berkaitan dengan pengisian hukum dan penegakan hukum terhadap pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi. 1.5.2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik kepada Pemerintah, maupun peneliti sendiri. Dimana hasil penelitian ini
11
diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan rekomendasi bagi seluruh pihak-pihak yang berkepentingan untuk konsisten terhadap komitmen dalam menjaga dan memberikan solusi yang tepat dan adil dalam penanganan koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal ini ditujukan agar kedepannya tidak ada konflik norma antara peraturan perundangundangan yang ada sehingga Hakim kedepannya dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya bagi semua pihak yang mencari keadilan. Selain itu diperlukannya suatu peraturan yang jelas mengenai Koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan agar kedepannya tidak ada lagi kerancuan dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana.
1.6.Orisinalitas Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan dan beberapa studi empiris yang ada kaitannya dengan permasalahan Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Dalam Tindak Pidana Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin, belum pernah dilakukan oleh
peneliti-peneliti
sebelumnya.
Akan
tetapi
permasalahan
mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, antara lain Pertama, penelitian Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anggota Penyimpan Dana Pada Koperasi Credit Union Khatulistiwa Bakti Pontianak oleh Blasius Andjioepada Program Magister Hukum Universitas Tanjungpura pada Tahun
12
2013. Tesis ini mengkaji tentang bagaiamana hubungan hukum antara anggota penyimpan dana dengan Koperasi CU Khatulistiwa Bakti Pontianak dihubungkan dengan perlindungan hukum terhadap anggota penyimpan dana pada Koperasi CU Khatulistiwa Bakti serta bagaimana pelaksanaan sistem pengaturan aktivitas usaha simpan pinjam pada Koperasi CU Khatulistiwa Bakti. Penelitian dalam Tesis ini berpusat pada Koperasi CU Khatulistiwa Bakti, dimana Koperasi ini merupakan salah satu Koperasi Simpan Pinjam yang ada di Kalimanatan Barat, dan dalam kenyataanya Koperasi ini menawarkan berbagai bentuk simpanan dan pinjaman bagi para anggotanya sehingga dapat dilihat bahwa Koperasi CU Khatulistiwa Bakti secara tidak langsung melakukan kegiatan Perbankan. Namun Blasius mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana perlindungan bagi nasabah yang menyimpan uangnya di Koperasi CU Khatulistiwa Bakti karena takut dikemudian hari dana yang mereka simpan tersebut akan hilang yang salah satunya dikarenakan adanya penipuan dari koperasi simpan pinjam tersebut. Kedua adalah Tesis oleh Orpa Ganefo Manuain, Universitas Diponegoro Semarang, Tahun 2005, yang menganalisis tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini mengarah pada pengkajian mengenai sistem hukum pidana yang dianut oleh KUHP Indonesia tidak mengenal korporasi sebagai subyek hukum. namun dalam perkembangannya ternyata bahwa hukum pidana yang tersebar di luar KUHP sudah menerima korporasi sebagai subyek hukum. di Indonesia hal ini diawali dengan lahirnya UU No 7/Drt/1995 tentang
13
Tindak Pidana Ekonomi yang kemudian disusul oleh peraturan pidana khusus lainnya seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001). Adapun berdasarkan hal tersebut, dalam tesis ini permasalahan yang diangkat adalah: bagaiamana formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana) korporasi dalam tindak pidana korupsi, dan bagaimana sebaiknya formulasinya di masa yang akan datang. Perbedaan signifikan antara tesis diatas dengan penelitian yang dibuat oleh peneliti adalah mengenai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi. Tesis ini mengangkat mengenai apakah korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama dengan manusia dalam hal tindak pidana korupsi. Dimana dalam penelitiannya ditemukan bahwa formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana) korporasi dalam tindak pidana korupsi terdapat kelemahan-kelemahan sebagai berikut: dalam merumuskan kapan korporasi melakukan tindak pidana korupsi tidak dijelaskan pengertian “hubungan kerja” dan “hubungan lain”, tidak diatur pemberatan pidana untuk korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2); tidak diatur pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh korporasi. Selain itu juga terdapat kelemahan umum dari UUPTPK yang berpengaruh terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu: tidak diaturnya pengertian pemufakatan jahat menurut UUPTPK, dan syarat-syarat pengulangan tindak pidana korupsi (residive) menurut UUPTPK. Berdasarkan hal tersebut maka dalam tesis ini
14
juga menjelaskan bahwa untuk prospeknya di masa yang akan datang, UUPTPK harus memformulasikan: pengertian “hubungan kerja” dan “hubungan lain”, pemberatan pidana untuk korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2); pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh korporasi; pengertian pemufakatan jahat; dan syarat-syarat pengulangan tindak pidana korupsi. Ketiga,
Tesis
mengenai
Pertanggungjawaban
Pidana
Korporasi
dalam
Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh M. Yusufidli Adhyaksana,SH pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Tahun 2008. Dalam penelitian ini permasalahan yang diangkat adalah bagaiamana pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi serta bagaimana penyelesaian kasus BLBI dan penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi. Perbedaan yang jelas dalam tesis ini dengan penelitian yang dibuat oleh peneliti adalah dalam penelitiandiatas menjelaskan bahwa hukum positif di Indonesia yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang relevan dengan kasus BLBI, pada saat itu tidak mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi. Oleh karena itu, semua kasus BLBI yang menggunakan proses peradilan pidana, didasarkan pada pertanggungjawaban perorangan, yang pada umumnya adalah para pengurus atau pemegang saham atau orang yang memegang peranan penting dalam beroperasinya korporasi debitur BLBI tersebut. Dengan demikian konstruksi
15
penyidikan dan penuntutan perkara BLBI didasarkan pada perbuatan Individu, dan tidak berorientasi pada pertanggungjawaban pidana korporasi itu sendiri. Selain itu dalam penelitian ini juga dibahas mengenai perbandingan KUHP Indonesia dengan KUHP di Perancis, Firlandia, Norwegia, dan Australia, dimana dalam KUHP negaranegara tersebut telah diatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, sehingga selain pegurus atau pejabat korporasi lannya dapat dipidana, terhadap korporasi itu sendiri akan dikenakan pertanggungjawaban pidana korporasi. Berdasarkan penjabaran singkat dari tesis-tesis tersebut di atas, maka dapat dilihat bahwa penelitian mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi dalam tindak pidana melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin belum pernah dilakukan sehingga penelitian ini dapat dilakukan oleh peneliti.
1.7.Landasan Teoritis 1.7.1. Landasan Teoritis Ada asumsi yang menyatakan, bahwa bagi suatu penelitian, maka teori mempunyai beberapa kegunaan yaitu sebagai berikut: a. b.
c. d.
Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisidefinsi. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut obek yang diteliti. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan
16
e.
mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.9
Maka berdasarkan kegunaan tersebut teori sangat diperlukan dalam suatu penelitian agar dicapainya kesimpulan yang kongkrit dan baik. Landasan teori merupakan butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.10 Adapun dalam penelitian ini tidak hanya teori yang digunakan untuk mencari kesimpulan yang sebaik-baiknya,terdapat pula asas-asas, konsep-konsep hukum, serta doktrin yang memiliki korelasi yang erat dengan permasalahan yang dibahas yaitu Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Dalam Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin. Dalam penelitian ini digunakan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Apabila membicarakan pertanggungjawaban pidana korporasi maka asas yang paling erat kaitannya adalah asas tiada pidana tanpa kesalahan (Green Straf Zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa). Kesalahan merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran dalam hukum pidana.11Menurut Sudarto, 9 10
Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, Hal.121 Endang Komara, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama, Bandung, h.
81. 11
Muladi dan Dwidja Priyanto, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Prenada Media, Jakarta, Hal.99-100
17
dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi seseorang yang melakukan suatu kesalahan yang melanggar rumusan delik yang ada atau ketentuan perundang-undangan tidaklah dikatakan cukup untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jadi meskipun pelakunya memenuhi rumusan delik dalam undang – undang dan tidak dibenarkan (anobjective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guild). Permasalahan pertanggungjawaban koperasi sebagai korporasi pelaku tindak pidana adalah suatu hal yang tidak sederhana mengingat pelaku tindak pidana adalah korporasi atau badan hukum. Mens rea sebagai unsur yang sulit dibuktikan dari korporasi yang dianggap melakukan tindak pidana mengingat korporasi hanya bisa melakukan tindakan melalui organ direksi. Korporasi bisa dianggap melakukan tindak pidana berdasarkan perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mengontrol pengurusan korporasi.12 Apabila pengurus korporasi melakukan suatu kesalahan atau bersalah dengan mengatasnamakan perbuatannya sebagai perbuatan dari korporasi maka korporasi tersebut dapat dijatuhkan pidana. Untuk menyelesaikan konflik norma yang terjadi dalam UU Perkoperasian dan UU Perbankan, maka diperlukan asas-asas lainnya seperti asas lex specialis
12
Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 263
18
derograt legi generali (peraturan yang lebih khusus sifatnya mengalahkan peraturan yang lebih umum) dan asas lex posteriori derograt legi priori (peraturan perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan perundangundangan yang lama) juga terkait dalam penelitian ini. UU Perkoperasian sebagai peraturan yang khusus dipandang sebagai acuan utama dalam berjalannya suatu koperasi, namun apabila koperasi tersebut telah melakukan tindak pidana perbankan maka UU Perbankan sebagai peraturan yang lebih khusus, apalagi dalam UU tersebut telah diatur mengenai koperasi yang dapat melakukan kegiatan perbankan maka UU Perbankan dapat dikatakan lebih khusus dalam menangani permasalahan ini. Sama halnya dengan asas lex posteriori derograt legi priori (peraturan perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lama), UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, saat ini belum mengalami perubahan. Sedangkan kehidupan sosial di masyarakat terus mengalami perubahan menyebabkan terkadang suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat mengikuti perubahan yang cepat tersebut. Lain halnya dengan UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yang telah mengalami perubahan. UU Perbankan ini lebih mampu mengikuti perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat khususnya mengenai tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi. Sebagai peraturan yang lebih baru, tentu saja UU
19
Perbankan akan dirasa lebih mampu untuk menyelesaikan tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh Koperasi saat ini. Mengarah pada Konsep-konsep hukum yang digunakan dan relevan dalam penelitian ini karena memiliki hubungan dengan permasalahan yang dibahas adalah adalah Konsep Tindak Pidana dan Konsep White Collar Crime (Kejahatan Kerah Putih). Konsep tindak pidana ini telah dirumuskan oleh banyak ahli hukum pidana. Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai: Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disetai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar hukum tersebut. 13 Selain itu, beliau juga mengungkapkan dengan substansi yang sama bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.14 Sedangkan sering sekali dalam berbagai literatur disebutkan bahwa kejahatan korporasi merupakan salah satu bentuk dari kejahatan kerah putih (white collar crime). Menurut Sutherland, kejahatan kerah putih adalah “kejahatan yang dilakukan seseorang yang memiliki kehormatan dan status sosial yang tingi dalam menjalankan jabatannya”. 15 Definisi dari Sutherland ini memfokuskan kepada dua hal yakni, pelaku kejahatan dan status sosial yang tinggi dari pelaku kejahatan. Konsep ini berkaitan dengan pertanggungjawaban 13 14
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 59 Moeljatno, 1983, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Akasara, Jakarta,
Hal.11 Ellen S. Podgor, 2007, “The Challenge of White Collar Sentencing”, Journal of Criminal Law and Criminology, Vol.9, Page 735, dikutip dari Mahrus Ali,2013, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, Hal. 22 15
20
pidana koperasi karena tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi dikarakteristikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai orang yang dipandang terhormat dan dipercaya dalam memimpin suatu perkumpulan/ badan hukum tersebut. J Kelly Strader mengemukakan bahwa terdapat tiga parameter untuk menentukan apakah kejahatan tertentu dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih atau tidak, yaitu pertama status sosial pelaku, dimana pelaku kejahatan kerah putih bukanlah orang-orang dengan status ekonomi sosial rendah. Contohnya seperti manager suatu perusahaan, dimana orang tersebut memiliki status sosial yang tinggi serta kemampuan ekonomi yang tinggi pula. Kedua sifat dari perbuatan. Sifat yang dimaksudkan adalah sifat sang pelaku kejahatan kerah putih haruslah memiliki kemampuan teknis dan pengetahuan yang professional. Ketiga pertimbangan pertimbangan praktis dimana kejahatan kerah putih ini tidak terkait dengan penggunaan kekerasan, bukanlah kejahatan langsung yang ditujukan kepada pemilik barang, berbeda dengan kejahatan terorganisir, serta tidak terkait dengan wilayah kebijakan tertentu seperti imigrasi, hak-hak sipil warga negara serta keamanan nasional.16 White collar crime digambarkan sebagai tindakan illegal yang mengarah pada hal-hal yang tidak tampak atau tipu muslihat, untuk mengeruk keuntungan atau kekayaan dalam usaha atau bisnis. Hal-hal ini dapat dilihat pada koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan khususnya tindak pidana perbankan terkait perijinan. 16
Ibid, Hal 24-25
21
Doktrin yang dipergunakan adalah doktrin respondeat superior, yaitu suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak dapat melakukan kesalahan. Dalam hal ini, hanya orang-orang korporasi yang dapat melakukan kesalahan, yakni mereka yang bertindak atas nama korporasi. Oleh sebab itu orang-orang yang bertindak atas nama korporasi saja yang dapat melakukan kesalahan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.17 Penelitian ini juga menggunakan putusan hakim/ yurisprudensi yang terkait pertanggungjawaban koperasi dalam tindak pidana perbankan tanpa ijin. Adapun yurisprudensi tersebut adalah Putusan Nomor: 31/PID.B/2013/PN.MTR Pengadilan Negeri Mataram, dengan terdakwa Ida Bagus Gede Wiradnyana,SE., mengenai kasus tindak pidana perbankan terkait perijinan yang dilakukan oleh Koperasi Simpan Pinjam Karya Mandiri Sejati. Dalam Putusan Pengadilan ini, Hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbankan terkait perijinan dan dihukum dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). Terdakwa terbukti bersalah karana terbukti melanggar Pasal 46 ayat (1) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain menilik pada asas, konsep, doktrin para sarjana, serta yurisprudensi dalam mengupas permasalahan dalam penelitian ini digunakan beberapa teori,
17
Kristian, 2014, Hukum Pidana Korporasi; Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Nuansa Aulia, Bandung hal.54
22
antara lain Teori Hukum Progresif, Teori Harmonisasi Hukum, Teori Pertanggungjawaban Pidana (direct corporate criminal liability, strict liability, dan vicarious liability), serta Teori Badan Hukum. Teori Badan Hukum dan Teori Harmonisasi Hukum, Teori Pertanggungjawaban Pidana digunakan dalam memecahkan permasalahan dalam hal bagaimana pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi. Sedangkan dalam permasalahan pihak yang bertangggungjawab bilamana koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin dengan Teori Pertanggungjawaban Pidana serta Teori Hukum Progresif.
1. Teori Harmonisasi Hukum Harmonisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai upaya mencari keselarasan18. Kata harmonisasi sendiri berasal dari kata harmoni yang dalam bahasa Indonesia berarti pernyataan rasa, aksi, gagasan, dan minat: keselarasan, keserasian. Sedangkan dalam Bahasa Inggris, harmoni dapat diartikan dengan harmonize, dalam bahasa Perancis disebut dengan Harmonie, dan dalam bahasa yunani disebut Harmonia. Harmonize dalam buku Jean.L diartikan sebagai “a fitting together, agreement, to exist in peace and friendship as individuals or families (1) combination of parts into an orderly or proportionate whole (2) agreement
18
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.64
23
in feeling, idea, action,interest, etc.19 Berdasarkan penjabaran diatas ditarik kesimpulan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah upaya untuk menselaraskan peraturan perundang-undangan agar menjadi proposional dan bermanfaat bagi kepentingan bersama atau masyarakat. Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam buku yang disusun oleh Moh. Hasan Wargakusumah dan kawan-kawan, menyatakan bahwa harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisan tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis, maupun yuridis.20 Nilai filosofis adalah ketika suatu kaedah hukum sudah sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
Nilai
yuridis
adalah
apabila
persyaratan
formal
terbentuknya peraturan perundang-undangan telah terpenuhi. Nilai sosiologis yaitu efektivitas atau hasil guna peraturan perundang-undangan dalam kehidupan masyarakat.21 Dan nilai ekonomi yaitu substansi peraturan perundang-undangan hendaknya disusun dengan memperhatikan efisiensi dalam pelaksanaan ketentuan dalam peraturan perundangundangan. 19
Jean L. McKechnie, 1983, Websters New Twentieth Century Dictionary Unabridge, Second Edition, Page. 828 20
Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, 1996, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodelogi Harmonisasi Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, Hal.2 21
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, Hal.109
24
Dalam negara hukum, UUD 1945 harus menjadi acuan dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara. Dalam hal ini maka sistem pemerintahannya perlu menghadirkan adanya suatu tata hukum untuk membingkai norma-norma hukum agar saling terkait dan tersusun menjadi sebuah sistem. Setiap norma hukum dalam sistem ini tidak boleh mengesampingkan atau bahkan bertentang dengan norma hukum lainnya. Dengan demikian dalam negara hukum, sistem hukumnya harus tersusun secara hierarki dan tidak boleh salin bertentangan di antara norma-norma hukumnya baik secara vertikal maupun horizontal. Sehingga, apabila terjadi konflik norma maka acuannya akan tetap tunduk pada norma logisnya yaitu norma-norma yang dasar yang ada dalam konstitusi. Karektiristik dari norma yang bersumber pada norma dasar itu meliputi prinsip konsistensi dan legitimasi. Di mana suatu norma hukum tetap akan berlaku dalam suatu sistem hukum sampai masa belakunya diakhiri melalui suatu cara yang ditetapkan dalam sistem hukum, atau digantikan norma lain yang diberlakukan oleh suatu sitem hukum itu sendiri. Maka dalam karakteristik tersebut berlaku asas-asas/ prinsipprinsip lex posteriori derograte legi priori (peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundangan-undangan yang terdahulu), lex superior derograte legi inferiori (peraturan yang lebih tinggi tingkatanya mengesampingkan peraturan yang lebih rendah), dan lex
25
specialis derograte legi generali (peraturan yang lebih khusus sifatnya mengalahkan peraturan yang lebih umum). Dalam kaitan harmonisasi hukum, menurut UU No.10/20014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah memberikan pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rencangan undang-undang yang berasal dari presiden dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Adapun menteri yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) tersebut adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2) tersebut maka dapat dilihat secara jelas bahwa harmonisasi hukum secara tegas dibebankan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini bertujuan agar normanorma dalam rancangan undang-undang dimaksud tidak bertentangan secara vertikal dengan UUD 1945 dan horizontal dengan undang-undang lain. Harmonisasi hukum ini juga sangat diperlukan agar meminimalisir judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.
2. Teori Badan Hukum Selain manusia, badan hukum juga dipandang sebagai subyek hukum. Badan hukum adalah segala sesuatu yang berdasarkan kebutuhan
26
masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban, yang memiliki status personel seperti manusia. Status ini yang menentukan hak dan kewajibannya, termasuk keberadaan dan berakhirnya badan hukum itu. Jadi yang termasuk orang menurut hukum adalah manusia dan badan hukum. Menurut Wirjono Prodjodikoro, badan hukum adalah suatu badan yang disamping manusia perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.22Sedangkan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, badan hukum adalah kumpulan dari orang-orang yang bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu (yayasan). 23 Menurut Von Savigny, meskipun syarat-syarat dalam peraturan hukum yang melekat pada manusia tidak ada pada badan hukum, namun badan hukum boleh dianggap seolah-olah manusia.24Hal ini terdapat dalam pandangan penganut teori fiksi, dimana badan hukum disamakan dengan manusia hanya saja sebagai perumpamaan (fiksi) saja. Sehingga perbuatan hukum yang dalam pelaksanaannya memerlukan jiwa manusia, seperti ketakutan dalam suatu paksaan tidak berlaku bagi badan hukum. Negara-
22
P.N.H Simanjuntak, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, Hal.
28-29 23 24
Ibid Komariah, 2002, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, Hal. 23-24
27
negara, korporasi-korporsi, ataupun lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subyek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah badan-badan itu manusia.25 Adanya badan hukum (rechtspersoon) disamping manusia tunggal (natuurlijkpersoon) timbul sebagai suatu kebutuhan hukum dalam pergaulan ditengah-tengah masyarakat. Manusia selain mempunyai kepentingan perseorangan juga mempunyai kepentingan bersama dan tujuan bersama yang harus diperjuangkan pula, karenanya mereka berkumpul
untuk bersatu dalam
suatu organisasi
dan memilih
pengurusnya untuk memimpin mereka. Mereka juga memasukkan harta kekayaan masing-masing menjadi milik bersama, dan menetapkan peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku di kalangan mereka anggota organisasi tersebut. H.M.N Purwosutjipto mengemukakan beberapa syarat agar suatu badan hukum dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Persyaratan agar suatu badan dapat dikatakan berstatus badan hukum meliputi keharusan: 1) Adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu yang terpisah dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pendiri badan itu. Tegasnya ada pemisahan kekayaan perusahaan dengan kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi para sekutu; 2) Kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama; 3) Adanya beberapa orang sebagai pengurus badan tersebut.26
25
Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Strick Liability dan Vicarious Liability), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 30
28
Ketiga unsur tersebut merupakan unsur material (substansif) bagi suatu badan hukum. Kemudian persyaratan lainnya adalah persyaratan yang bersifat formal, yakni adanya pengakuan dari negara yang mengakui suatu badan adalah badan hukum. Selain teori fiksi yang telah disebutkan diatas, terdapat pula teori kekayaan bertujuan, teori organ, teori kekayaan bersama, dan teori kekayaan yuridis. Teori kekayaan bertujuan adalah teoriyang mana hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Namun ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang mempunyai dan terikat kepada tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum. Teori organ ini dikemukakan oleh sarjana Jerman, Otto von Gierke (1948-1921). Menurut teori ini badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum yaitu ‘eine leiblichgeistige lebensein heit’. Badan hukum itu menjadi suatu ‘verbandpersoblich keit’ yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaran alat-alat atau organ-organ badan tersebut misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan
26
H.M.N Purwosutjipto, 1982, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 2, Djambatan, Jakarta, Hal.63 dalam Ridwan Khairandy, 2009, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan PerundangUndangan, dan Yurisprudensi, Total Media, Yogyakarta, Hal.10
29
kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apa yang mereka putuskan, adalah kehendak dari badan hukum. Dengan demikian, menurut teori organ, badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benarbenar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak bersubyek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa. Lain halnya dengan teori organ, menurut teori kekayaan bersama hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah milik bersama seluruh anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis saja. Pada hakikatnya badan hukum itu sesuatu yang abstrak. Teori ini berpendapat bahwa yang dapat menjadi subyek-subyek hak badan hukum adalah manusia-manusia yang secara nyata ada dibelakangnya, anggota-anggota badan hukum, dan mereka yang mendapat keuntungan dari suatu yayasan. Terakhir, teori kenyataan yuridis, badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkrit, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Dengan kata lain, badan hukum dipersamakan
30
cdengan manusia adalah suatu realita yuridis, yaitu suatu fakta yang diciptakan oleh hukum. Jadi adanya badan hukum itu karena ditentukan oleh hukum sedemikian rupa. Sebagai contoh, koperasi merupakan kumpulan yang diberi kedudukan sebagai badan hukum setelah memenuhi persyaratan tertentu, tetapi firma bukan merupakan badan hukum, karena hukum di Indonesia menuntukan demikian (vide Pasal 18 KUH Dagang)
3.
Teori Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability” dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe Pound menyatakan bahwa : I…Use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to the exaction.”27 Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan,28 menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral
ataupun
kesusilaan
yang
ada
dalam
suatu
masyarakat.
Pertanggungjawaban Pidana dalam berbagai peraturan perundanngundangan hanya dikenakan kepada orang/manusia. Hal ini dikarenakan Roscoe Pound, “ introduction to the phlisophy of law” dikutip dari Romli Atmasasmita,2000, Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, Mandar Maju, Bandung, Hal.65 28 Ibid 27
31
adanya pandangan hanya manusia alamiah sebagai subyek hukum pidana yang dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potest”, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.29 Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai “toereken-baarheid,” “criminal
reponsibilty,” “criminal
liability,”
pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang dilakukanya itu. 30 Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.31 Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci di tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu :
29
Dwidja Priyatno dan Muladi, dikutip dari Kristian, Op.Cit, Hal.40 S.R Sianturi . 1996, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, Alumni, Jakarta, Hal.245 31 Djoko Prakoso, 1987, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, Liberty Yogyakarta, Hal.75 30
32
1. Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan, 2. Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat, 3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.32 Sementara itu secara lebih tegas, Simons mengatakan bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan kehendaknya.33Adapun menurut Sutrisna, untuk adanya kemampuan beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu : 1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; 2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.34 Kemampuan bertanggungjawab dengan kata lain berkaitan dengan dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang di perbolehkan dan yang di larang atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.
Sutrisna, I Gusti Bagus,“Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tijauan terhadap pasal 44 KUHP),” dikutip dari Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana ,Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 79 33 Ibid 34 Ibid, Hal. 83 32
33
Roeslan
Saleh
menyatakan
bahwa
khususnya
untuk
pertanggungjawaban dari badan hukum (Korporasi), asas kesalahan tidak mutlak berlaku.35 Dalam kejahatan tindak pidana perbankan, dikenal tiga model pertanggungjawaban pidana Korporasi, yaitu Identification Theory, strict liability, dan vicarious liability. Direct Corporate Liability atau Identification Theory membenarkan bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik sebagai pembuat atau peserta untuk setiap delik, meskipun diisyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Menurut teori ini, korporasi dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui pimpinan dan diidentifikasikan sebagai perbuatan dari perusahaan atau badan hukum atau korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan pimpinan tersebut dipandang sebagai perbuatan korporasi. Jadi apabila suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana makan orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat diidentifikasikan terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar dibebankan kepada orang yang dapat disebut sebagai “directing mind” dari korporasi tersebut. Dalam teori identifikasi, perbuatan pidana atau tindak pidana yang dilakukan 35
oleh
pimpinan
suatu
perusahaan
atau
korporasi
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Hal.
140
34
diidentifikasikan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi. Teori ini disebut juga sebagai teori atau doktrin “alter ego” yang dapat diartikan sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi yaitu hanya perbuatan
pejabat
senior
atau
otak
korporasi
yang
dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi.36 Hal ini dikarenakan hanya pejabat senior atau ketua, dalam halnya koperasi, yang dapat mengendalikan suatu perusahaan atau korporasi secara sendiri atau bersama-sama yang dalam hal ini dipandang sebagai pengendali perusahaan atau korporasi. Berbeda halnya dengan Identification theory, Strict Liability dalam prinsipnya menyatakan pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan dari pelaku tindak pidana. Dengan demikian dapat dilihat dengan jelas bahwa Strict Liability atau Absolute Liability tidak hanya mengesampingkan asas kesalahan tetapi meniadakan asas kesalahan.37 Hamzah Hatrik mendefinisikan bahwa Strict Liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang dalam hal ini sim pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan secara tegas dalam undang-undang tanpa melihat lebih jauh sikap batin si pembuat.38
36
Barda Nawawi Arief, 2010, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 246 37 Kristian S.H, Op.Cit, Hal.58 38 Ibid, Hal.61
35
Terakhir, Vicarious Liability didasarkan pada prinsip employment principle. Yang dimaksud dengan employment principle dalam hal ini bahwa majikan (employer) adalah penaggungjawab utama dari perbuatan para buruh atau karyawannya. Sutan Remy Sjahdeini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang mengistilahkan konsep pertanggungjawaban ini dengan istilah “pertanggungjawaban pengganti”. Ia juga menyatakan bahwa ajaran “vicarious liability”, atau yang
dalam
bahasa
Indonesia
disebut
dengan
istilah
“pertanggungjawaban vikarius atau pertanggungjawaban pengganti”, adalah pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A ke B.39 Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua dari teori tersebut yaitu Direct Corporate Liability/ Identification Theory dan Vicarious Liability. Hal ini dikarenakan Koperasi sebagai salah satu badan hukum, dapat melakukan pertanggungjawaban pidana dikarenakan adanya struktur kepengurusan yang mengatur jalannya koperasi.
4. Teori Hukum Progresif Secara etimologi, kata “progresif” berasal dari kata progress dari Bahasa Inggris yang berarti kemajuan. Jika kata ‘hukum’ dan kata 39
Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, Hal.
84
36
‘progresi’ digabung, maka dapat diartikan bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman agar mampu melayani kepentingan masyarakat berdasarkan aspek moralitas sumber daya para penegak hukum. Sedangkan apabila hukum progresif dihubungkan dengan penafsiran hukum, maka dapat diartikan bahwa penafsiran progresif memahami proses hukum sebagai proses pembebasan terhadap suatu konsep kuno yang tidak dapat digunakan dalam melayani kehidupan masa kini.40 Kekuatan hukum progresif (penafsiran) adalah ketentuan untuk menolak dan mematahkan keadaan status quo.41 Hukum tertulis saat ini tidak dapat mengikuti perkembangan yang terjadi di kehidupan masyarakat karena hukum tertulis bersifat kaku sedangkan perkembangan dalam masyarakat terjadi sangat cepat. Disinilah pentingnya peran hakim untuk mengisi kekosongan hukum akibat ketertinggalan hukum dari perubahan masyarakat, karena kalau tidak akan mengakibatkan adanya ketegangan. 42 Dalam
menghadapi
problematika
ini,
Satjipto
Rahardjo
memunculkan gagasan hukum progresif. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Gagasan hukum progresif bertolak dari pandangan bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu ilmu. Oleh 40
Sajipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Press, Yogyakarta, Hal.128 41 I Gede Wiranata, ed.et.al, 2006, Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, Hal.114 42 Soerjono Soekanto, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 21-23
37
karenanya hukum tidak hanya dianggap selesai setelah tersusun sebagai peraturan perundang-undangan dengan kalimat-kalimat yang sangat rapi dan sistematis, namun hukum harus selalu mengalami proses pemaknaan sebagai sebuah pendewasaan atau pematangan. 43 Sebagaimana prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam berbagai teori hukum atau aliran hukum, hukum progresif juga memiliki prinsip utama, yaitu ‘hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya,...dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk suatu yang lebih luas, yaitu,...untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia’44. Karena hukum mengabdi untuk manusia bukan mengabdi pada hukum itu sendiri, maka karakter hukum progresif sebagai berikut. Pertama, hukum progresif mengantarkan masyarakat pada sebuah paradigma bahwa hukum ditujukan untuk manusia. Hukum bukan merupakan pusat dalam berhukum, melainkan manusia yang berada di titik pusat perputaran hukum.45 Kedua hukum progresif tidak menerapkan status quo dalam berhukum. Konsekuensi penerapan status quo dalam berhukum yakni hukum menjadi tolak ukur dalam segala aspek dan manusia adalah untuk hukum. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pilihan untuk tidah berpegangan secara mutlak 43
Mahrus Ali, 2013, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, Hal. 7 I Gede Wiranata, Op.Cit, Hal. 154 45 Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, Hal.139 44
38
kepada teks formal suatu peraturan. Cara berhukum yang penting untuk mengatasi suatu stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi yang membuta kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bisa dilakukan, apabila unsur manusia atau perbuatan manusia dilibatkan dalam berhukum. Ketiga, hukum progresif berpihak terhadap keadilan yang pro rakyat. Prinsip keadilan yang pro rakyat ini dapat dijadikan ukuran untuk menghindari agar progresivitas yang terkandung dalam hukum progresif tidak mengalami kemerosotan, penyelewengan, penyalahgunaan, dan hal negatif lainnya,46 sehingga hukum progresif dapat mengantarkan masyarakat kepada keadilan dan kesejahteraan. Keempat, hukum progresif berasumsi bahwa hukm tidak bersifat final, dengan kata lain hukum selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making). Dengan demikian, hukum progresif peka dan tanggap dalam setiap perubahan di tengah masyarakat yang bersifat dinamis (dynamic society) sehingga hukum progresf siap menghadapi perubahan tersebut tanpa melakukan kewajibannya yakni melindungi rakyat menuju ideal humu. Kelima, Hukum progresif berusaha membangun negara hukum yang berhati nurani dengan kecerdasan spritual. Cara menghukum dengan
46
Shidarta, 2010, Posisi Pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-Aliran Filsafat Hukum (Sebuah Diagnosis Awal), Jakarta, Hal.4
39
nurani tidak hanya berdasarkan logika tetapi diiringi dengan modalitas kenuranian seperti empati, kejujuran, komitmen, dan keberanian.47 Hukum progresif dijalankan dengan kecerdasan spritual yang tidak dibatasi suatu patokan tertentu (rule bound) dan hanya bersifat kontekstual, tetapi lebih bersifat out of the box dari situasi yang ada dalam usaha mencari kebenaran makna atau nilai yang lebih dalam. Hakim yang berpikir progresif berani untuk mengambil inisiasi rule breaking jika hukum normatif sudah tidak bisa menciptakan keadilan. Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga cara untuk melakukan rule breaking, yaitu: 1. Mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum 2. Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum. 3. Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian, dan keterlibatan (compassion) kepada kelompok yang lemah.48
1.7.2.
Kerangka Berpikir
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka kerangka berpikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
47
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif..., Op.Cit, Hal.18
48
Yusriyadi, dikutip oleh Suteki, Rekam Jejak Pemikiran Hukum Progresif Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, diambil darihttp://mitrahukum.orgdiakses tanggal 12 Juli 2014
40
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian
Pertanggungjawaban Pidana Koperasi dalam Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin
Maraknya tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh koperasi menjadi suatu permasalahan yang mendalam mengingat semakin hilangnya asas kekeluargaan dalam koperasi di Indonesia saat ini. Namun dalam pertanggungjawabannya pidana koperasi saat ini terdapat konflik norma yaitu dalam Pasal 46 UU Perbankan yang memberikan sanksi pidana bagi pengurus koperasi dan Pasal 47 UU Perkoperasian yang hanya memberikan sanksi administratif kepada koperasi dan tidak memberikan sanksi kepada pengurus koperasi.
Bagaimana pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi
Siapakah yang bertanggungjawab bilamana koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin
Teori Pertanggungjawaban Pidana, Teori Hukum Progresif
Teori Badan Hukum, Teori Pertanggungjawaban Pidana, Teori Harmonisasi Hukum
Hasil Penelitian : Pertanggungjawaban pidana koperasi bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin dilakukan berdasarkan pertanggungjawaban pidana korporasi sehingga pihak yang dapat bertanggungjawab adalah pengurus/pimpinan koperasi yang bertindak atas nama koperasi dan menggerakan koperasi tersebut. Dalam pertanggungjawaban pidana koperasi sebagai korporasi masih terdapat konflik norma dalam UU Perkoperasian dengan UU Perbankan yang dapat diselesaikan dengan asas lex posteriori derograt legi priori, sehingga UU Perbankan sebagai UU yang lebih baru dapat digunakan sebagai landasarn hukum dalam mengadili koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan terkait perijinan.
41
1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian ‘Metode’ itu dalam arti harafiahnya berarti ‘cara’. Sedangkan Penelitian adalah suatu kegiatan bersengaja dan bertujuan serta pula berprosedur alias bermetode. Dengan demikian apa yang disebut ‘metode penelitian’ ini tak lain daripada ‘cara mencari (dan menemukan pengetahuan yang benar yang dapat dipakai untuk menjawab suatu masalah)’.49 Morin L. Cohen dan Kent memberikan definisi tentang penelitian hukum sebagai berikut: "legal research is an essential component of legal practice. It is proses of finding the law that thefoverns an actifity and materials that explain or analys that law. The Resources give the lawyer the knowledge with wich orovide accurate and insightful advise to draft effective document or devent their client right in court"50 Artinya: Penelitian hukum adalah salah satu komponen dari praktek hukum yang meliputi proses penemuan hukum dan yang menentukan suatu kegiatan dan menjelaskan substansi atau analisis hukum. Dalam hal ini penelitian hukum memberikan sumber pengetahuan kepada praktisi hukum untuk memberikan ketepatan informasi yang cukup untuk membuatu suatu dokumen atau pembelaan terhadap hak-hak kliennya di pengadilan. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran 49
Sulistowati Irianto dan Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Hal 96-97 50 Morin L. Cohen and Kent C. Olson; 2000, "Legal Research", 7 ed, West Group, St. Paul Minn. Virginia, Page 1
42
tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu dan beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. 51 Ada dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa penelitian hukum normatif merupakan suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.52 Amiruddin dan H. Zinal Asikin berpandangan bahwa penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doctrinal karena dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis
dalam
peraturan
perundang-undangan
(Law
in
books).53Sedangkan penelitian hokum empiris menurut Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad adalah penelitian hukum yang pada kenyataannya dibuat dan diterapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat. 54Penelitian hukum empiris ini berpusat pada peranan masyarakat disekitarnya, keadaan sosial masyarakat dan perilaku masyarakat yang terkait dengan lembaga hukum. Dalam penelitian pertanggungjawaban pidana koperasi dalam tindak pidana melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin, tipe penelitian yang 51 52
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 18 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal.
35 53
Amiruddin & H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 118. 54 Fajar Mukti & Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil Komunika, Yogyakarta, Hal. 32.
43
digunakan adalah penelitian hukum normatifatau penelitian hukum dogmatik (dogmatic law research) atau penelitian doktrinal. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini diinginkan suatu kesimpulan yang mengarah pada penemuan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.
1.8.2. Jenis Pendekatan Adapun permasalahan pokok dalam penelitian ini merupakan bagian pokok dari penegakan hukum. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang berorientasi pada pendekatan kasus (case
approach),
pendekatan
historis
(historical
approach)
dan
perundang-undangan (statute approach). Pendekatan kasus didasarkan pada semakin bermunculannya tindak pidana perbankan yang dapat dilakukan oleh koperasi yang melanggar peraturan perundang-undangan (UU Koperasi dan UU Perbankan). Selain itu pendekatan perundangundangan juga digunakan karena dalam penelitian ini akan dikaji secara detail dan jelas mengenai perundangan-undangan yang terkait dengan penyelesaian permasalahan tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh koperasi.
44
1.8.3. Sumber Bahan Hukum Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari tiga jenis yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yang dimaksud adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat.55 Adapun bahan hukum tersebut berupa Peraturan Perundang-Undangan seperti: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan 4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 5. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 7/PER/M.KUKM/IX/2011 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengembangan Koperasi Skala Besar. 6. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 21/PER/M.KUKM/XI/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam Koperasi 55
H. Salim & Erlies Septiana Nurnani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 16
45
7. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 20/PER/M.KUKM/XI/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman Penilaian Kesehatan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam Koperasi. 8. Putusan Nomor: 31/ PID.B/2013/PN.MTR Pengadilan Negeri Kelas IA Mataram, dengan terdakwa Ida Bagus Gede Wiradnyana, SE mengenai kasus tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh Koperasi Simpan Pinjam Karya Mandiri Sejati. Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini seperti hasil penelitian, hasil karya para pakar dibidang hukum baik dalam buku-buku maupun literatur, tesis, disertasi, jurnal, makalah, majalah dan Koran. Bahan hukum tersier juga digunakan dalam penelitian ini seperti ensikopledia dan kamus hukum yang dapat menunjang dan memperjelas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan bahan hukum berupa studi kepustakaanyang merupakan bahan hukum utama penelitian yang dikumpulkan melalui metode sistematis dengan dicatat melalui sistem
46
kartu (card system) guna untuk lebih memudahkan analisis permasalahan. Adapun bahan-bahan tersebut yang dicatat dalam kartu antara lain permasalahannya, asas-asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh, alternatif
pemecahannya
dan
lain
sebagainya.
Kemudian
mengenai
kepustakaan yang dominan dipergunakan adalah kepustakaan dalam bidang hukum pidana khususnya Hukum Pidana Khusus dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana koperasi dalam tindapk pidana melakukan kegiatan perbankan terkait perijinan.
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul, penelitian ini menggunakan teknik analisis deskripsi, teknik argumentasi, dan teknik analisis interpretasi. Teknik deskripsi yaitu penggambaran/uraian apa adanya tehadap suatu kondisi atau posisi dari proposi-proposi hukum atau non hukum. Dalam teknik argumentasi diberikan penilaian terhadap bahan hukum dari hasil penelitian untuk selanjutnya ditemukan kesimpulannya. Sedangkan teknik interprestasi digunakan sebagai penafsiran dalam ilmu hukum baik dalam penelitian ini digunakan penafsiran secara sistematis dengan menelaah apakah penjelasan dalam UU Perbankan dapat menyelesaikan kasus tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh Koperasi, serta penafsiran ekstensif
47
dimana yang dimaksud adalah penafsiran memperluas, yaitu memperluas pengertian atau istilah yang ada dalam suatu undang-undang.56 Dalam hal ini khusunya UU Perbankan dan UU Perkoperasian.
56
Amiruddin dan Zainal Asikin,Op.Cit, Hal.166
48
BAB II TINJAUAN UMUM
2.1 Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toereken-baareid,”
“criminal
rensposibility,”
“criminal
liability”.
Pertanggungjawaban pidana di sini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang dilakukanya itu.57 Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan “tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.58 Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut dicela.59 Dengan demikian, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu pertama harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan
57
S.R Sianturi,Op.Cit, Hal.245 Djoko Prakoso, Op.Cit, Hal.75 59 Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Hal. 31 58
49
kata lain, harus ada unsur melawan hukum. Kedua, terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Unsur melawan hukum merupakan salah satu unsur perbuatan pidana. Bilamana suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum? Sesorang dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebgaimana dirumuskan dalam undangundang. Sifat melawan hukum menurut para ahli hukum pada umumya dibagi menjadi dua macam, yaitu: a. Sifat melawan hukum formil; dan b. Sifat melawan hukum materiil. Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, yang disebut melawan hukum adalah apabila suatu perbuatan telah sesuai dengan semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Jadi menurut ajaran sifat melawan hukum formil, melawan hukum sama dengan melawan undang-undang atau hukum tertulis. Sedangkan menurut ajaran sifat melawan hukum materiil, di samping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu sesuai dengan semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik dan perbuatan tersebut harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau
50
tercela. Ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Kedua ajaran ini dapat disimpulkan bahwa, apabila suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik, maka perbuatan itu dapat diindikasikan bersifat melawan hukum. Namun sifat melawan hukum tersebut dapat pula dihapus dengan adanya alasan pembenar. Seperti halnya tidak disengaja menghilangkan nyawa orang lain dikarenakan berusaha melindungi diri. Hal ini dapat dijadikan alasan pembenar karena apabila pelaku tidak melindungi diri maka pelakulah yang akan kehilangan nyawanya. Tindakan ini dapat terjadi apabila pelaku memang dalam posisi melindungi diri dari ancaman sesorang sehingga pelaku terpaksa untuk melawan. Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana. Seseorang baru dikatakan memenuhi syarat untuk dipidana apabila mempunyai kesalahan atau bersalah. Asas yang berlaku dalam hal ini adalah asas keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau Tiada Pidana Tanpa Kesalahan. Asas ini memang tidak tercantum dalam KUHP Indonesia, namun berlakunya asas ini adalah berdasarkan tujuan dari pemidanaan yaitu untuk keadilan. Untuk itu harus
51
diingat bahwa untuk adanya kesalahann dalam arti yang seluas-luasnya (pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus dinyatakan lebih dulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Selain sifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana juga dapat dilihat dari unsur kesengajaan dan karena kealpaan. Apabila dicermati dalam rumusan pasal-pasal yang ada dalam KUHP, terutama buku kedua, tampak dengan jelas disebutkan istilah kesengajaan atau kealpaan. Adapun pasal-pasal tersebut adalah: 1. Dengan
sengaja.
Misalnya,
Pasal
338
KUHP
yang
berbunyi:“barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” 2. Karena
kealpaan.
berbunyi:“barang
Misalnya, siapa
karena
Pasal
359
kesalahannya
KUHP
yang
(kealpaanya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.”
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun 1809 dicantumkan: “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undangundang.” Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.
52
Secara teoritis bentuk kesalahan berupa kesengajaan dibedakan menjadi tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan dengan sadar kepastian, dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).60 Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia dianggal lalai melakukan perbuatan tersebut jadi dalam kealpaan terdakwa kurang berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan keadaan yang dilarang. Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat bahwa pertumbuhan dari hukum pidana menitik beratkan kepada perbuatan orang berserta akibatnya. Apabila perbuatannya tersebut mengakibatkan kerugian baik kerugian materiil dan kerugian moril, maka orang tersebut dapat dikatakan melakukan suatu tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Untuk adanya pertanggungjawaban
pidana
diperlukan
syarat
bahwa
pelaku
mampu
bertanggungjawab. Mengenai kemampuan seseorang untuk bertanggungjawab, menurut KUHP diatur dalam Pasal 44 KUHP. Dalam penjabaran Pasal 44 KUHP tidak dijelaskan langsung mengenai kemampuan seseorang untuk dapat bertanggungjawab melainkan menjabarkan keadaan bagaimana seseorang tidak mampu bertanggungjawab. Adapun bunyi Pasal 44 KUHP adalah sebagai berikut:“Barang
60
siapa
melakukan
perbuatan
yang
tidak
dapat
Moeljatno, 1985, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, Hal. 174-
175
53
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana” Moeljatno
menyebutkan
bahwa
untuk
adanya
kemampuan
bertanggungjawab harus ada: a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.61
2.2 Koperasi Ide Koperasi lahir dalam era kejayaan kapitalisme. Jika kapitalisme berpijak pada paham tentang pentingnya peranan modal dalam kegiatan ekonomi, maka koperasi lebih mengutamakan peranan manusia dalam memupuk modal.62 Koperasi berfungsi sebagai suatu badan usaha yang melakukan usaha perbaikan tingkat kehidupan ekonomi dari orang-orang yang berasal dari kelompok pekerja atau orang-orang yang kurang mampu.Secara etimologi, koperasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu cooperatives; merupakan gabungan dua kata co dan operation dan dalam bahasa Belanda disebut cooperatie, yang artinya adalah kerja bersama.63
61
62 63
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, Hal.54 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, Op.Cit, Hal. 14 Ibid, Hal. 15
54
Dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian memberikan definisi koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Frank Robotka dalam tulisannya yang berjudul A Theory of Cooperative, mengemukakan bahwa kebanyakan ekonom-ekonom Amerika Serikat yang telah menulis tentang teori koperasi, pada umumnya menerima ide-ide umum tentang perkumpulan koperasi (cooperative business association) sebagai berikut: a. Suatu perkumpulan koperasi adalah suatu bentuk badan usaha atau persekutuan ekonomi, yakni suatu perkumpulan yang anggota-anggotanya adalah para langganannya (patrons). Koperasi diorganisasikan oleh mereka dan pada dasarnya dimiliki dan diawasi oleh para anggota dan bekerja untuk kemanfaatan mereka. b. Mengenai teknik organisasi dan teknik operasional, pembagian, dan praktik usahanya terdapat kesesuaian pendapat dengan apa yang disebut Rochdale Principle. Misalnya berdagang harga umum, pembagian sisa hasil usaha menurut jasa anggota, menolak pemberian suara yang diwakili (proxy voting), pengawasan hanya dilakukan oleh anggota yang aktif (active patrons members), pembayaran yang rendah oleh para anggotanya untuk keanggotaanya, netral dalam politik dan agama, dan seterusnya. c. Koperasi sebagai struktur ekonomi merupakan suatu kombinasi horizontal dari unit-unit yang dikoordinasikan, yang melayani berbagai tujuan dari unit-unit itu. Akan tetapi, bila integrasi vertical dipertimbangkan baik ke depan terhadap para konsumen atau ke belakang terhadap sumber yang tersedia, kombinasi horizontal adalah perlu diantara unit-unit yang terlalu kecil untuk melaksanakan integrasi vertical secara individual. d. Mengenai hubungan ekonomi yang terjadi diantara anggota suatu koperasi, Black mengatakan bahwa koperasi merupakan antitesis dari persaingan, yakni bahwa anggota-anggota lebih bersifat bekerjasama daripada bersaing di antara mereka sendiri. e. Pengakuan atas implikasi dari bentuk bukan kumpulan modal dan bukan mengejar keuntungan dari koperasi yang bertitik tolak dari prinsip-prinsip
55
f.
g.
h.
i.
Rochdale di mana Nourse telah menunjukkan bentuk organisasi demikian yaitu suatu bentuk yang sangat berbeda dengan sebuah perseroan yang mengejar keuntungan dan bekerja dengan suatu rencana atau skema khusus untuk memperoleh keuntungan. Keanggotaan di dalam koperasi lebih mendasarkan kepada anggota secara perseorangan daripada atas dasar yang bersifat finansial bukan perorangan (impersonal financial basis). Orang akan secara sukarela bergabung atas dasar keinginan mereka sendiri, penilaian perseorangan dan kesanggupan serta kemauan untuk menepati janji termasuk di dalamnya pelaksanaan timbale balik terutama terhadap resiko dan biaya-biaya. Koperasi merupakan suatu wadah di mana para anggotanya secara lebih efektif menunjukkan fungsi-fungsinya yang tertentu, proses atau aktivitasaktivitas yang berhubungan secara integraldengan kegiatan-kegiatan ekonomi dari para anggota. Koperasi semacam ini bukan suatu unit ekonomi yang mengejar karier ekonomi yang berifat bebas. Keanggotaan dalam koperasi yang sungguh-sungguh tidak ditentukan oleh pengikutsertaan modalnya, akan tetapi oleh partisipasinya dalam kegiatankegiatan koperasi yang bersangkutan. Modal koperasi yang demikian terlepas sama sekali dari konotasi entrepreneur yang tradisional (traditional entrepreneurial connotation) dan didasarkan atas dasar pinjaman. Karena suatu kegiatan yang dilaksanakan secara kooperatif adalah suatu usaha yang timbal balik, maka anggota-anggota koperasi itu setuju untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dalam usaha memperoleh keuntungan timbal balik dalam hubungannya dengan pelaksanaan fungsi-fungsi tertentu yang biasa berlaku dalam mencapai tujuan ekonomi mereka, yang bukan anggota adalah bukan bagian dari perkumpulan semacam ini. oleh karena itu tidak konsisten koperasi melayani mereka.64
Margono Djojohadikoesoemo mengatakan bahwa Koperasi ialah perkumpulan manusia seorang-seorang yang dengan sukanya sendirian hendak bekerja sama untuk memajukan ekonominya. Adapun unsur-unsur yang tersirat dalam definisi tersebut adalah 1. Unsur kesukarelaan dalam berkoperasi
64
Ibid, Hal 17-18
56
2. Bahwa dengan bekerjasama manusia akan lebih mudah mencapai apa yang diinginkan 3. Bahwa pendirian dari suatu koperasi mempunyai pertimbanganpertimbangan ekonomis. R.S Soeriaatmadja, memberikan definisi koperasi sebagai suatu perkumpulan dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai manusia, dengan tidak memandang haluan agama dan politik secara sukarela masuk, untuk sekedar memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atas tanggungan bersama. Kalau diteliti lebih lanjut, adapun unsur-unsur yang terdapat dalam definisi tersebut adalah: 1. Unsur demokrasi; 2. Unsur sosial; 3. Unsur tidak semata-mata mencari keuntungan. Terdapat 6 ciri Koperasi yaitu: 1. Sebagai badan usaha yang pada dasarnya untuk mencapai suatu tujuan keuntungan ekonomis sehingga dapat bergerak disegala sektor perekonomian di mana saja dengan mempertimbangkan kelayakan usaha. 2. Harus berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraannya. 3. Sifat keanggotaanya sukarela tanpa paksaan. 4. Pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para anggota memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi sehingga anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi. 5. Pembagian pendapatan atau sisa hasil usaha di dalam koperasi didasarkan pertimbangan jasa usaha anggota kepada koperasi dibatasi, yaitu tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasar,
57
sehingga dengan demikian tidak didasarkan atas besarnya modal yang diberikan. 6. Koperasi bersifat mandiri, memiliki kebebasan yang bertanggungjawab, memiliki otonomi, swadaya, serta mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri dan keinginan mengelola diri sendiri.65
Indonesia sebagai negara yang turut memajukan perekonomian bagi seluruh lapisan masyarakat dengan berlandaskan asas kekeluargaan juga dapat dilihat dengan jelas dalam definisi Koperasi oleh Mohammad Hatta dalam bukunya The Cooperative Movement in Indonesia.66 Beliau mengemukakan bahwa koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong menolong. Koperasi melambangkan harapan bagi kaum yang lemah ekonominya berdasarkan self-help dan tolong menolong di antara anggota-anggotanya yang melahirkan diantara mereka rasa percaya pada diri sendiri dan persaudaraan. Koperasi menyatakan semangat baru untuk menolong diri sendiri yang didorong oleh keinginan member jasa kepada kawan berdasarkan kebersamaan. Dalam pidato Mohammad Hatta pada tanggal 12 Juli 1951 disebutkan bahwa Perekonomian sebagai usaha bersama dengan berdasar kekeluargaan adalah koperasi, karena koperasilah yang menyatakan kerjasama antara mereka yang berusaha sebagai suatu keluarga. Sebagaimana orang sekeluarga
65
H. Budi Untung, 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, Hal.3 66 Andjar Pachta W, Op.Cit, Hal.19
58
bertanggungjawab atas keselamatan rumah tangganya, demikian pula para anggota koperasi sama-sama bertanggungjawab atas koperasi mereka. Makmur koperasinya makmurlah hidup mereka bersama, rusak koperasinya rusaklah pula hidup mereka bersama. Adapun yang dimaksud oleh Mohammad Hatta, Pasal 38 UUDS 1950 dalam pidato tersebut adalah Pasal 33 dalam UUD 1945 yaitu perekonomian
disusun
sebagai
usaha
bersama
berdasarkan
atas
asas
kekeluargaan. Asas kekeluargaan dalam Pasal inilah yang menjadi pondasi dasar dalam berdirinya suatu koperasi yang baik bagi masyarakat Indonesia. Sejarah Koperasi di Indonesia sesungguhnya berawal dari masa penjajahan
dimana
pada
saat
itu
diberlakukan
“culturstelsel”
yang
mengakibatkan penderitaan bagi rakyat terutama petani dan golongan bawah. Peristiwa ini menimbulkan gagasan dari seorang Patih Purwokerto, Raden Ario Wiraatmadja untuk membantu mengatasi kemelaratan rakyat. Kegiatannya diawali dengan menolong pegawai dan orang kecil dengan mendirikan Hulpen Spaaren Landbouwcredit, didirikan juga rumah gadai, lumbung desa, dan bank desa. Perkumpulan Budi Utomo yang dalam programnya memanfaatkan sektor perkoperasian untuk mensejahterakan rakyat miskin dimulai dengan koperasi industri kecil dan kerajinan. Ketetapan kongres Budi Utomo di Yogyakarta adalah antara lain memperbaiki dan meningkatkan kecerdasan rakyat melalui pendidikan, serta mewujudkan dan mengembangkan gerakan berkoperasi.
59
Tahun 1915 lahir UU Koperasi yang pertama “Verordening op de Cooperative Vereeniging” dengan Koninklijk Besluit 7 April 1912 stbl 431 yang bunyinya sama dengan UU Koperasi di Negara Belanda (tahun 1876) yang kemudian diubah tahun 1925. Selanjutnya, di zaman pendudukan Jepang, usahausaha koperasi dikoordinasikan/dipusatkan dalam badan-badan koperasi yang disebut Kumiai yang berfungsi sebagai pengumpul barang-barang logistik untuk kepentingan perang. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, usaha pengembangan Koperasi mengalami pasang surut mengikuti perkembangan politik. Kongreskongres koperasi, munas-munas dan lain-lain untuk pengembangan koperasi terus berlanjut. Puncaknya, pada tahun 1985 akhirnya Indonesia berhasil melahirkan UU No 70/1985 tentang Koperasi yang pada dasarnya berisi tentang tata cara pembentukan, pengelolaan koperasi (seperti prinsip-prinsip Rochdale). UU Koperasi mengalami 2 kali perubahan, yaitu yang pertama adalah UU No.12/1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, yang kemudian disempurnakan dengan UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Koperasi di Indonesia pada hakikatnya, seperti yang diungkapkan oleh Charles Gide kalau mau berkembang dan tetap setia pada dirinya sendiri dan tidak menyimpang menjadi bentuk lain, maka nilai-nilai moral yang mendasarinya harus merupakan realita-realita hidup dalam kegiatan maupun
60
tingkah laku orang-orang koperasi.67 Jadi, dengan kata lain hakikat koperasi tidak ditentukan dari nama maupun hak badan hukum yang diperolehnya dari pemerintah, akan tetapi apakah asas dan prinsip-prinsipnya sudah merupakan kenyataan yang diterapkan dalam setiap kegiatannya serta tingkah laku koperasi dan anggotanya. Berdasarkan hakikat tersebut maka dapat kita lihat bahwa koperasi memiliki tujuan, sifat, nilai dan prinsip-prinsip serta jenis koperasi. Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut: a. Tujuan Koperasi Koperasi pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu unsur ekonomi dan unsur sosial. Karena koperasi merupakan suatu sistem dan sebagaimana diketahui sistem itu merupakan himpunan komponenkomponen atau bagian yang saling berkaitan yang secara bersamasama berfungsi mencapai tujuan. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan ekonomi atau dengan kata lain bahwa koperasi harus berdasarkan motif ekonomi yaitu mencari keuntungan, sedangkan unsur sosial lebih untuk menerangkan kedudukan anggota dalam organisasi, hubungan antar sesama anggota dan hubungan anggota
dengan pengurus, bukan dalam arti
kedermawanan. Unsur sosial juga ditemukan dalam cara koperasi yang demokratis, kesamaan derajat, kebebasan keluar masuk anggota, calon 67
Ibid, Hal.21
61
anggota, persaudaraan, pembagian sisa hasil usaha kepada anggota secara proposional dengan jasanya, serta menolong diri sendiri. 68 b. Sifat Koperasi Koperasi memiliki sifat kerjasama, yaitu antara orang-orang yang termasuk golongan kurang mampu dalam hal kekayaan yang ingin meringankan beban hidup atau beban kerja. Persamaan koperasi dengan bentuk usaha lain adalah sama-sama mengejar suatu keuntungan kebendaan (stoffelijk voordeel). Perbedaannya adalah bahwa biasanya koperasi didirikan oleh orang-orang yang benar-benar memerlukan sekali kerjasama ini untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki dengan mendapat cukup keuntungan, tetapi mereka berusaha untuk memperbesar keuntungan tersebut. c. Nilai dan Prinsip-Prinsip Koperasi Koperasi
melandaskan
nilai-nilai
menolong
diri
sendiri,
bertanggungjawab kepada diri sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan dan solidaritas. Berdasarkan pengaruh para pendirinya, para anggota koperasi percaya pada nilai-nilai etis: kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan peduli pada orang lain.
68
Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, 2004, Pekoperasian: Sejarah, Teori, dan Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, Hal. 9
62
Sedangkan prinsip-prinsip koperasi adalah merupakan pedoman bagi koperasi-koperasi dalam melaksanakan nilai-nilai koperasi dalam praktik. Adapun prinsip-prinsip koperasi dibagi menjadi empat yaitu: 1. Prinsip Keanggotaan yang Sukarela dan Terbuka Prinsip ini melihat bahwa koperasi adalah organisasi yang bersifat sukarela, terbuka bagi semua orang yang bersedia menggunakan jasa-jasanya dan bersedia menerima tanggungjawab keanggotaan, tanpa membedakan jenis kelamin (gender) latar belakang sosial, ras, politik dan agama. 2. Prinsip Pengawasan Demokratis oleh Anggota Koperasi adalah organisasi demokratis yang diawasi oleh pada anggotanya, yang secara aktif menetapkan kebijakan dan membuat keputusan. Dalam koperasi primer, para anggota memiliki hak suara sama dan koperasi pada tingkat-tingkat lainnya juga dikelola secara demokratis. 3. Prinsip Partisipasi Anggota dalam Kegiatan Ekonomi Anggota memberikan kontribusi permodalan koperasi secara adil dan melakukan pengawasan secara demokratis (terhadap modal tersebut). Setidak-tidaknya sebagian dari modal itu adalah milik bersama koperasi. Apabila ada, para anggota biasanya menerima
63
kompensasi yang terbatas atas modal yang disyaratkan untuk menjadi anggota. 4. Prinsip Otonomi dan Kemandirian (Independence) Koperasi sebagai organisasi yang otonom, menolong diri sendiri serta diawasi oleh para anggotanya. Apabila koperasi melakukan perjanjian dengan organisasi lain, termasuk pemerintah, atau memupuk modal dari sumber luar, koperasi melakukannya berdasarkan persyaratan yang menjamin pengawasan demokratis oleh para anggotanya dan yang mempertahankan otonomi mereka. 5. Prinsip Pendidikan, Pelatihan dan Penerangan Koperasi memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para anggota wakil-wakil anggota yang dipilih dari rapat anggota serta para manajer dan karyawan, agar mereka dapat melakukan tugasnya lebih efektif bagi perkembangan koperasinya. Mereka memberikan penerangan kepada masyarakat umum-khususnya pemuda dan para pembentuk opini di masyarakat-tentang hakikat perkoperasian dan manfaat berkoperasi. 6. Prinsip Kerjasama antar Koperasi Koperasi melayani anggotanya secara kolektif dan memperkuat gerakan koperasi dengan bekerjasama melalui organisasi koperasi tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional.
64
7. Prinsip Kepedulian terhadap Masyarakat Koperasi melakukan kegiatan untuk pengembangan masyarakat sekitarnya secara berkelanjutan, melalui kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh rapat anggota. d. Jenis-Jenis Koperasi Untuk memisah-misahkan koperasi yang serba heterogen itu satu sama lainnya, Indonesia dalam sejarahnya menggunakan berbagai dasar atau kriteria seperti: lapangan usaha, tempat tinggal para anggota, golongan,
dan
fungsi
ekonominya.
Pemisahan-pemisahan
ini
selanjutnya disebut dengan penjenisan. Dalam Pasal 2 PP No 6/1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi, menyatakan bahwa: (1) Pada dasarnya yang dimaksud dengan penjenisan koperasi ialah pembedaan koperasi yang didasarkan golongan dan fungsi ekonomi; (2) Dalam peraturan ini dasar penjenisan koperasi ditekankan pada lapangan usaha dan atau tempat tinggal para anggota sesuatu koperasi. Berdasarkan ketentuan tersebut maka terdapatlah 7 jenis koperasi yang dijabarkan dalam Pasal 3 PP No.6/1959 yaitu: a. Koperasi Desa
65
b. Koperasi Pertanian c. Koperasi Peternakan d. Koperasi Perikanan e. Koperasi Kerajinan/Industri f. Koperasi Simpan Pinjam g. Koperasi Konsumsi.
2.3 Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin Perbankan merupakan suatu lembaga hukum yang dibentuk dalam rangka
menunjang
pelaksanaan
pemerataan
pembangunan
nasional,
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan taraf hidup rakyat. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, menentukan bahwa Perbankan di Indonesia bertujuan unuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Peran Perbankan sangatlah strategis dalam pembangunan nasional khususnya dalam pembangunan ekonomi, namun seiring dengan peran strategis tersebut terdapat pula tindakan yang merugikan dan dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tersebut, misalnya tindak pidana perbankan.
66
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau perbuatan melanggar hukum apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada menentukanbahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Sutan Remi Sjadeini mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika pelaku itu melakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.69 Selain itu, Munir Fuady juga berpendapat bahwa kejahatan bank makin meningkat dewasa ini, modus operandinya pun makin canggih. Bahkan dalam beberapa kasus, terlibat sindikat mafia, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Di samping itu, lebih dari 90% kejahatan bank di lakukan melalui kerja sama orang luar dan orang dalam bank. Uniknya, orang dalam tersebut terdiri dari para young urban profesional (yuppies) Indonesia, dengan ciri-ciri muda, pintar, gesit. workaholic, ambisius, punya posisi baik, punya penghasilan, dan memiliki angan-angan tinggi. Tindak pidana perbankan dan tindak pidana perbankan memiliki pengertian yang berbeda. Anwar mengemukakan bahwa perbedaan antara pengertian tindak pidana perbankan dengan tindak pidana dibidang perbankan didasarkan pada perbedaan perlakukan peraturan terhadap perbuatan69
Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, Hal.26-27
67
perbuatan yang telah melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatankegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tindak pidana perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan dalam undang-undang perbankan, pelanggaran mana dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang perbankan. Sedangkan tindak pidana dibidang perbankan terdiri atas perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha pokok bank, perbuatan mana dapat diperlakukan peraturan-peraturan pidana di luar undang-undang tentang perbankan, seperti KUHAP, undangundang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan lainnya yang sejenis.70 Kehidupan perbankan merupakan urat nadi kehidupan ekonomi. Dengan demikian dalam membicarakan pelanggaran pada dunia perbankan tidak lepas dari pembicaraan tindak pidana ekonomi. Secara umum tindak pidana ekonomi adalah tindakan melanggar hukum yang dilakukan karena atau untuk motif-motif ekonomi.71 Tindak pidana ekonomi ini biasanya disebut juga kejahatan kerah putih (white collar crime). Secara umum Conklin merumuskan dan mengidentifikasian unsur-unsur tindak pidana ekonomi sebagai berikut: a. Suatu perbuatan melawan hukum yang diancam dengan sanksi pidana
70
M. Arief Amrullah, 2004, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundering), Bayumedia Publishing, Malang, Hal.52 71
Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, Hal.151
68
b. Yang dilakukan ole seseorang, atau korporasi di dalam pekerjaannya yang sah atau di dalam pencarian/usahanya dibidang industri atau perdagangan. c. Untuk tujuan memperoleh uang atau kekayaan, menghindari pembayaran uang atau menghindari kehilangan/kerugian kekayaan, memperoleh keuntungan bisnis atau keuntungan pribadi.72
Seiring dengan perkembangan era globalisasi di segala bidang kehidupan termasuk perkembangan ekonomi, keuangan, perdagangan, perbankan dan sosialisasi yang pesat, telah membawa implikasi hukum tertentu bagi Indonesia. Pertama, bagaimana peranan hukum yang harus dikedepankan untuk mendukung perubahan-perubahan kebijakan di berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia untuk masa kini dan mendatang. Kedua, peranan hukum mana yang perlu dan mendesak dikedepankan untuk mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dana masyarakat era globalisasi.73 Budi Untung mengemukakan bahwa dalam hukum perbankan, terdapat beberapa kategori tindak pidana perbankan.74 Pertama, tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum (PT, Yayasan, atau Koperasi) yang melakukan praktik perbankan tanpa seijin Menteri Keuangan.
72
Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, Hal.138-
73
Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, Hal.18
74
Ibid, Hal.156
139
69
Praktik Perbankan yang dimaksud misalnya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan lain-lain (Pasal 46 UU Perbankan). Kedua, perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai bank, komisaris, ataupun direksi yang dengan sengaja ataupun lalai membuat laporan kepada Bank Indonesia mengenai usahanya maupun neraca untung rugi secara berkala sesuai dengan tata cara yang ditentutakn Bank Indonesia (Pasal 48 UU Perbankan). Ketiga, perbuatan pidana yang dilakukan oleh komisaris, direksi ataupun pegawai bank dengan cara merusak, menghilangkan, mengaburkan, memalsukan, mengubah menjadi tidak benar segala sesuatu yang menyangkut “segala dokumen perbankan” (Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan). Keempat, tindak pidana yang dilakukan oleh komisaris, direksi atau pegawai bank yang menguntungkan diri sendiri atau keluarganya (karena menerima komisi/ menerima sogokan) dalam rangka pencairan kredit atau pemberian kredit yang melebihi batas, bank garansi dan segala macam yang menyengkut transaksi perbankan (Pasal 49 ayat (2) UU Perbankan). Sedangkan menurut Sofyan Nasution (analis Bank Madya Senior) Pejabat Bank Indonesia pada Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan (DIMP). Dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, pengaturan mengenai pemidanaan diatur dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal
70
50
A.
Dalam
ketentuan
ini
jenis-jenis
tindak
pidana
perbankan
dikelompokkan dalam 5 (lima) kelompok besar yaitu: 1. Tindak pidana berkaitan dengan perijinan 2. Tindak pidana berkaitan dengan kegiatan usaha 3. Tindak pidana berkaitan dengan rahasia bank 4. Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan bank oleh Ban Indonesia 5. Tindak pidana berkaitan dengan pihak terafiliasi Dalam pendirian sebuah bank, tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Dengan kata lain, untuk dapat mendirikan sebuah bank harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan. Untuk pendirian sebuah bank tersebut, dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, mengatur secara jelas mengenai syarat pendirian sebuah bank yaitu dalam Pasal 16, 18, 19, dan Pasal 20. Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut, dapat kita lihat dengan jelas bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dan dari masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu memperoleh ijin usaha sebagai bank umum atau bank perkreditan rakyat dari pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat yang dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.
71
Pendirian bank yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan secara tegas dalam UU Perbankan ini dapat dikatakan sebagai bank gelap dan dapat dikategorikan sebagai bentuk pertama tindak pidana perbankan. Disebut sebagai bank gelap adalah badan (dalam hal ini berbentuk bank) yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat tanpa ijin dari pihak yang berwenang (Bank Indonesia). Ketentuan mengenai tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perijinan ini dapat kita lihat dalam Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa: (1) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). (2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan, atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakkan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduaduanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa yang diancam dengan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) adalah setiap orang (orang pada umumnya) yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan (yang meliputi tabungan, deposito berjangka, giro, dan lain
72
sebagainya) namun dilakukan tanpa izin dari pimpinan Bank Indonesia atau dengan perkataan lain, dapat dikatakan telah membuat suatu bank atau suatu badan yang berfungsi atau menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah sebagai sebuah bank namun tidak memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sehingga dikategorikan sebagai bank gelap. Badan hukum yang menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah sebagai sebuah bank namun tidak pernah memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank Indonsia sehingga dikategorikan sebagai bank gelap dan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan.
73
BAB III PERTANGGUNJAWABAN PIDANA BILAMANA TERJADI TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN YANG MELIBATKAN KOPERASI
3.1 Perbuatan Tindak Pidana Yang Melibatkan Koperasi Koperasi sebagai suatu badan hukum tidak bisa terlepas dari kemungkinan melakukan suatu perbuatan pidana. Tindak pidana merupakan suatu konsep yuridis yang berarti tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana. Dalam pengertian lain, tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar perbuatan tersebut.75 Kata tindak pidana merupakan terjemahan dari “delik” yang berasal dari bahasa Latin yakni delictum. 76 Adapun tindak pidana yang berkaitan dengan koperasi yang sering tejadi adalah sebagai berikut: 1. Tindak Pidana Penipuan Tindak Pidana Penipuan menurut Pasal 378 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut : “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang atau 75
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, Hal.1 Leden Marpaung, 2003, Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Terhadap Perbankan, Penerbit Djambatan, Jakarta, Hal.5 76
74
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat Tahun.”
Dalam penipuan, dimilikinya suatu benda oleh seseorang dilakukan dengan cara melawan hukum, yaitu dengan perbuatan yang tidak sah; memakai nama palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan. Seseorang yang melakukan penipuan, dengan kata-kata bohongnya itu, menyebabkan orang lain menyerahkan suatu benda kepadanya. Dan apabila tidak adanya kebohongan tersebut, maka belum tentu orang yang bersangkutan akan menyerahkan benda itu secara sukarela. Contoh yang dapat kita lihat dalam kasus koperasi yang melakukan penipuan adalah kasus koperasi yang melakukan penipuan terhadap anggota koperasi. Salah satu bentuk penipuan yang dapat dilakukan oleh koperasi adalah apabila koperasi yang berkewajiban memberikan bagi hasil koperasi dari modal penyertaan yang ditanamkan namun dalam pelaksanaannya tersebut koperasi tidak memberikannya (contoh kasusnya adalah Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada). 2. Tindak Pidana Penggelapan Tindak Pidana Penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP, dimana yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Dalam
75
penggelapan, dimilikinya suatu benda terjadi bukan karena perbuatan yang melawan hukum (bukan karena perbuatan yang tidak sah), melainkan karena suatu perbuatan yang sah (bukan karena kejahatan). Perbuatan dimilikinya barang tersebut dilakukan dengan kesadaran bahwa si pemberi dan penerima barang sama-sama menyadari perbuatan mereka, namun pada akhirnya dimilikinya benda tersebut oleh penerima barang dipanda sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki (melawan hukum). Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya,
contoh
pengurus koperasi
yang
dipercayakan oleh nasabah untuk menghimpun dana-dana dari anggota koperasi, namun pada akhirnya dana-dana tersebut bukannya digunakan untuk kepentingan sesama anggota malah digunakan untuk kepentingan pribadi pengurus. 3. Tindak Pidana Korupsi Koperasi juga dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi. Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi apabila orang tersebut bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Hal ini diatur
76
dalam ketentuan Pasal 3 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu contoh kasus koperasi yang melakukan korupsi adalah kasus Koperasi Warga Desa Harapan Maju – Serang Banten, dimana pengurus koperasi tersebut telah mengajukan permohonan bantuan perkuatan permodalan sebesar Rp6,9 miliar, untuk budidaya rumput laut. Setelah dana tersebut berhasil cair, sebesar Rp4,8 miliar, dana tersebut tidak dipergunakan untuk pengembangan budi daya rumput laut seperti yang diajukan dalam permohonan awal melainkan dipergunakan untuk usaha lain. Bahkan uang bantuan tersebut, dibawa kabur oleh ketua koperasi Harapan Maju sendiri, akibatnya negara dirugikan sebesar Rp 4,8 miliar. 4. Tindak Pidana Perbankan Tindak pidana perbankan adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja (lalai) yang dilakukan oleh korporasi dan/atau anggota-anggota pengurusnya dalam menjalankan setiap bentuk usahanya (usaha bank) sehingga menimbulkan kerugian materiil dan kerugian immateriil baik bagi masyarakat maupun bagi negara, baik yang disadari maupun yang tidak disadari yang terjadi dalam suatu wilayah negara tertentu ataupun lintas batas negara
77
(transnasional) dengan waktu yang seketika ataupun dengan adanya jangka waktu.77 Untuk menjaga ketajaman dari penelitian agar tidak terlalu meluas, maka peneliti lebih lanjut hanya akan membahas tindak pidana perbankan yang dapat dilakukan oleh Koperasi. Sebagaimana diketahui, bahwa tindak pidana perbankan merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana di bidang ekonomi. Tindak pidana perbankan dilakukan dengan menggunakan bank sebagai sarana dan sasarannya.78Menurut UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, disebutkan bahwa tindak pidana perbankan terdiri dari 13 (tiga belas) macam. Dari ketiga belas macam tindak pidana tersebut, dikelompokkan menjadi 5 kelompok utama, yaitu: 1. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan Tindak pidana perbankan yang tergolong dalam kelompok ini adalah tindak pidana yang berhubungan dengan perizinan pendirian bank sebagai lembaga keuangan. Setiap orang yang ingin mendirikan bank, haruslah memenuhi syarat-syarat atau ketentuan yang terdapat dalam undang-undang. Pihak yang mendirikan bank tanpa memenuhi syarat-syarat atau ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang dapat dikatakan telah melakukan tindak
77
78
Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, Hal.15-16
Hermansyah, Op.Cit, Hal.141
78
pidana di bidang perbankan kelompok ini. Bank yang telah didirikan ini disebut juga dengan bank gelap. Dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, syarat pendirian sebuah bank ini telah diatur dengan tegas dan jelas dalam Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20, sedangkan ketentuan mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan bank gelap dapat ditemukan dalam Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan. 2. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank Tindak pidana perbankan ini berkaitan dengan jenis dan bentuk usaha yang dilakukan oleh bank. Adapun jenis dan bentuk usaha ini sangat memperngaruhi dalam mendorong pertumbuhan perekonomian nasional suatu negara. Oleh sebab itu, jenis dan bentuk usaha bank harus senantiasa mendapat kepercayaan dari masyarakat karena apabila jenis dan usaha bank ini tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat maka perbankan itu sendiri akan hancur dan akan menimbulkan dampak serius, dampak sistemik dan meluas bahkan sampai mengancam stabilitas perekonomian nasional. Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank dan segala bentuk dan jenis usaha yang dilakukannya, hukum harus mengambil peranannya sehingga dana dari nasabah atau dana dari masyarakat dapat dipergunakan secara tepat sasaran, digunakan secara benar sesuai dengan tujuannya dan dapat dipertanggungjawabkan, yakni diwujudkan dalam bentuk
79
laporan pertanggungjawaban yang akan diumumkan langsung kepada publik melalui media massa, maupun diberikan kepada Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan. Berkaitan dengan tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan usaha bank ini, di dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, telah disebutkan atau diatur secara tegas dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c dan Pasal 49 ayat (2) huruf a dan huruf b. 3. Tindak Pidana yang Berkaitan Dengan Sikap dan/atau Tindakan yang Dilakukan oleh Pengurus, Pegawai, Pihak Terafiliasi, dan Pemegang Saham Bank Sebagai pihak yang sangat memerlukan kepercayaan dalam menjalankan setiap usahanya, tepatnya pihak yang mengelola langsung dana yang diperoleh dari masyarakat, sudah seharusnya apabila bank dan para pihak yang terkait dengan bank, misalnya pengurus bank, pegawai bank, pihak lain yang terafiliasi dengan bank serta pemegang saham bank itu sendiri menjalankan setiap tugas dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab dan semua tindakannya harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian serta dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Prinsip tanggung jawab dan prinsip kehati-hatian ini pada dasarnya penting untuk dilakukan dalam rangka menjaga kepercayaan yang sudah dipercayakan masyarakat dan untuk
80
mencegah dilakukannya kecurangan-kecurangan atau bahkan suatu tindak pidana atau penyelewengan dana. Tindak pidana yang berkaitan dengan sikap dan/atau tindakan yang dilakukan oleh pengurus, pegawai, pihak terafiliasi, dan pemegang saham bankini diatur secara tegas dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yang menyebutkan bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tidak pidana yang berkaitan dengan sikap dan/atau tindakan yang dilakukan oleh pegawai bank, pengurus bank, pihak terafiliasi, dan pemegang saham diatur dalam Pasal 50 dan Pasal 50 A. 4. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank Untuk menjaga aktivitas atau kegiatan bank agar selalu berada dalam koridor yang berlaku, serta dalam rangka mencegah dilakukannya kecurangankecurangan atau penyelewengan-penyelewengan atau bahkan tindak pidana perbankan sekaligus dalam rangka menjaga kelangsungan hidup bank yang bersangkutan atau lembaga perbankan pada umunya guna meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan, maka setiap bank mempunyai keharusan atau kewajiban untuk mematuhi kewajibannya kepada pihak yang bertanggungjawab dalam pengawasan dan pembinaan bank yang dalam hal ini adalah Bank Indonesia sebagai bank sentral dan/atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
81
Dalam kaitannya dengan hal ini, dapat dilihat apabila terdapat bank yang menyalahi aturan yang berlaku atau menjalankan aktivitasnya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maka Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat mengambil tindakan seperti mencabut izin usaha bank yang bersangkutan, melakuka penutupan bank, dan lain sebagainya. Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan diatur secara tegas dalam Pasal 48 ayat (1) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan. 5. Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Rahasia Bank Sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana masyarakat dalam jumlah yang besar, salah satu yang harus dijaga adalah kepercayaan masyarakat. Kepercayaan yang harus dijaga tersebut, salah satunya adalah mengenai keterangan tentang data diri dan keadaan keuangan nasabah. Jika ada pihak yang dengan melawan hukum membocorkan tentang keadaan keuangan nasabah suatu bank, maka dia termasuk melakukan tindak pidana perbankan kelompok ini. Rahasia bank dapat didefinisikan secara umum sebagai berikut yaitu segala sesuatu yang dipercayakan oleh nasabah bank kepada pihak bank yang dengan sengaja disembunyikan dengan maksud agar tidak diketahui oleh orang lain atau oleh pihak lain yang tidak berwenang atau tidak berhak yang dilakukan dalam kegiatan menjalankan jenis usaha yang dilakukan oleh bank
82
yakni menghimpun dana dari masyarakat dan kegiatan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.79 Dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, disebutkan bahwa tindak pidana yangtermasuk ke dalam jenis tindak pidana yang berkaitan dengan rahasiabank, terdapat dalam Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat (2), dan Pasal 47A. Tindak pidana perbankan yang berpotensi dilakukan dalam kegiatan Koperasi adalah kejahatan melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Adapun beberapa contohcontoh kasus tindak pidana perbankan terkait dengan perijinan yang dilakukan oleh Koperasi yang terjadi di Indonesia dan telah melalui proses peradilan. Contoh kasus pertama adalah sebagai berikut: 1. Kasus Koperasi Simpan Pinjam Anugerah Sejahtera, Lumajang, yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib tanpa terlebih dahulu memperoleh ijin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Pengkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia. Perbuatan ini dilakukan oleh Hery Santoso Al Henfa yang menjabat sebagai Manajer Kantor Koperasi Simpan Pinjam Anugerah Sejahtera. Hery selaku manajer melakukan kegiatan usaha menerima simpanan berjangka 1 (satu) tahun atau 12 (dua belas) bulan dengan
79
Kristian, Op.Cit, Hal. 114
83
ketetapan suku bunga 15% per tahun, namun Hery dalam menjalankan usaha perkoperasian tersebut tidak sesuai dengan UU Perbankan yang menjelaskan bahwa KSP tidak diperbolehkan menghimpun dana dari masyarakat yang bukan merupakan anggota. Selain itu, pada saat jatuh tempo dari simpanan berjangka milik korban/nasabah Koperasi Anugerah Sejahtera, Hery tidak dapat melunasi atau membayarkan uang tersebut kepada korban dengan alasan simpanan berjangka milik saksi dan korban tidak dapat dicairkan karena Koperasi tidak ada dana atau tidak ada uang. Dan setiap kali dilakukan penagihan terdakwa selalu berjanji namun saksi dan korban tidak mendapatkan uang miliknya tersebut. Selain itu para korban juga tidak mendapat sisa hasil usaha yang seharusnya diterima oleh setiap anggota koperasi. Adapun dalam putusan pengadilan, Penuntut Umum meyakinkan terdakwa Hery melanggar ketentuan pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No. 10/1998
tentang Perbankan. Pasal tersebut
menyinggung adanya unsur-unsur yang harus terpenuhi yaitu: 1) Unsur setiap pihak; 2) Unsur melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan;
84
3) Unsur wajib terlebih dahulu memperoleh ijin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia; dan 4) Unsur kecuali kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-Undang tersendiri. Dalam unsur setiap pihak, yang dimaksud di sini adalah orang atau perseorangan atau Badan Hukum atau Korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana. Menimbang hal tersebut maka Hery yang menjabat sebagai Manager Koperasi Simpan Pinjam Anugerah Sejahtera yang mengelola KSP Angerah Sejahtera dapat bertanggungjawab secara pidana. Unsur-unsur lainnya pun telah terpenuhi sehingga Hery dianggap dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun penjara dan denda sejumlah Rp. 10.000.000.000,(sepuluh milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan diganti denan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
2. Kasus penggelapan Rp 71 Miliar oleh pengurus Koperasi Serba Usaha Swadana Mandiri yang bekerja sama dengan Suwondo komisaris PT. Bank Pasar Harta Guna. Kasus ini terjadi di kota Malang dan merupakan kasus kejahatan berskala nasional yang berimplikasi luas terhadap
85
masyarakat umum dan perekonomian. Pada saat surat laporan dan tuntutan yang diajukan LHKI No 04/BPHG.KSUSM/LHKI/IX/2002 kepada : 1. Kepala Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta 2. Kepala Kejaksaan Agung RI di Jakarta. kasus ini telah sampai pada tahap persidangan PN Malang, JPU tetap bersikukuh memajukan tersangka tunggal Suwondo., tanpa menahan tersangka lain (yakni pengurus dan Manajer KSU) sehingga mendapat kritikan pedas dari berbagai kalangan (Kuasa Hukum para korban, LSM, Mass media, dan masyarakat). Dasar pemprosesan perkara diatas menggunakan laporan polisi dari 6 korban. Sedangkan dalam kasus ini, LHKI merupakan pemegang kuasa dari korban lainnya, yang dua diantaranya telah melapor ke Polisi yaitu dengan laporan Polisi No. Pol. : LP/ 129/V/2002/Polwil, tanggal 07 Mei 2002 dan Laporan polisi No. Pol : LP/ 130/ V/2002 Polwil, tanggal 07 Mei 2002, namun anehnya berdasarkan laporan tersebut tidak segera dilakukan penyelidikan. Kronologi kasus ini adalah : a. Kasus ini menggunakan modus operandi perbankan fiktif (bank gelap) dimana koperasi Serba Usaha Swadana Mandiri (SUSM) melakukan operasional layaknya perbankan dengan melakukan pelayanan deposito, yang sebagian besar deposannya berasal dari
86
eks nasabah PT. Bank Pasar Harta Guna (BPHG) yang berkedudukan di Malang. b. Awalnya para nasabah PT. BPHG datang untuk melakukan transaksi (deposito), namun oleh karyawan PT. BPHG yaitu Theresia
dan
Indah
Saronto
para
nasabah
tersebut
disuruh/dianjurkan menyetorkan uangnya dalam bentuk deposito di koperasi SUSM dengan dijanjikan keuntungan antara lain adanya Bunga Deposito yang lebih tinggi dan tidak kena pajak sehingga para nasabah PT BPHG akhirnya memasukkan dan memindahkan uangnya dalam bentuk deposito (dengan nama deposito Mandiri) ke Koperasi tersebut. Dimana pada saat melakukan transaksi para nasabah/ deposan melihat pengoperasian Koperasi tersebut layaknya seperti bank, hal ini membuat nasabah yakin terhadap keberadaan dan kebonafidan Koperasi tersebut. c. Penerbitan Deposito mandiri oleh koperasi SUSM merupakan sebuah kegiatan perbankan yang illegal, karena menurut Pasal 16 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 diatur bahwa sebuah lembaga yang akan melakukan kegiatan perbankan harus mendapat izin dan memenuhi syarat-syarat dari BI. d. Deposan yang uangnya disimpan/ didepositokan ke Koperasi tersebut sebenarnya belum jelas kedudukan mereka dalam
87
keanggotaannya, padahal menurut UU No 23 Tahun 1992 tentang Perkoperasian segala kegiatan yang dilakukan oleh koperasi haruslah dilakukan dari, oleh dan untuk anggota koperasi tersebut. e. Karena ketat dan beratnya sanksi hukum terhadap pelaku kejahatan perbankan sebagaimana ditetapkan dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, maka Suwondo memprakarsai pendirian Koperasi Serba Usaha Swadana Mandiri yang dipakai sebagi killing field untuk merampok/menguras uang eks. Nasabah/ deposan PT. BPHG f. Sejumlah korban yang uangnya diduga digelapkan oleh oknumoknum Koperasi SUSM, yakni kurang lebih 217 orang dengan jumlah kerugian kurang lebih sebesar Rp. 71 milyar. g. Kadiskop Kota Malang ternyata telah lalai dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Koperasi SUSM, sehingga kejahatan perbankan berkedok koperasi tersebut dengan mudah dapat terjadi, oleh karenanya mereka harus ikut bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh para korban. Fakta-fakta diatas menunjukkan adanya kejanggalan-kejanggalan dalam penanganan kasus ini, yang pada intinya : Koperasi ini tidak memiliki anggota yang jelas dan tidak adanya badan pengawas serta sangat besarnya kekuasaan Suwondo (bisa mengendalikan
88
pengurus dan manajer koperasi SUSM sehingga dengan leluasa sekali mengeluarkan keputusan terutama pengelolaan uang koperasi). Koperasi bukan merupakan sebuah Bank, tapi melakukan transaksi selayaknya bank, yakni dengan mengeluarkan deposito Mandiri. Oleh karenanya, Koperasi ini dapat dikategorikan kejahatan bank gelap dan melanggar Pasal 46 UU No.7/1992 jo. No.10/1998 tentang Perbankan.80 Namun dalam kasus ini, pengurus dan manajer koperasi tidak ditahan, padahal biasanya dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh koperasi, pengurus dan manajer ikut bertanggungjawab karena mereka memiliki posisi yang tinggi dalam koperasi dan pengurus bertugas dalam mengambil setiap kebijakan yang ada di koperasi tersebut. Sedangkan manajer dalam koperasi biasanya mengatasi karyawannya. Manajerlah yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan bawahannya. Sehingga dalam penanganan kasus ini seharusnya pengurus dan manajer tidak boleh dilepaskan dari tanggungjawab begitu saja. Padahal dalam Pasal 34 UU No.25/1992 tentang perkoperasian menyatakan bahwa pengurus menanggung kerugian yang diderita koperasi karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaian. Selain itu, apabila tindakan itu dilakukan dengan kesengajaan maka tidak menutup 80
Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Indonesia, 2009, Kasus Penggelapan 71M oleh Pengurus Koperasi Serba Usaha Swadana Mandiri yang bekerjasama dengan Suwondo Komisaris PT/ Bank Pasar Harta Guna, tersedia di website http://lhkipusat.blogspot.com/2009/08/kasus-penggelapan-71moleh-pengurus.html, diakses pada tanggal 1 April 2015
89
kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan. Melalui penjelesan Pasal 34 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian tersebut maka membuktikan bahwa pengurus wajib untuk bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya, termasuk tindak pidana. 3. Kasus Koperasi Simpan Pinjam Karya Mandiri Sejati (KSP KMS) dengan tersangka Ida Bagus Gede Wiradnyana, I Nyoman Mandiarta sebagai Sekretaris KSP KMS, dan I Wayan Tisna sebagai Bendahara KSP KMS. Terdakwa didakwa melakukan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 KSP KMS menghimpun dana dari masyarakat di wilayah Mataram dan sekitarnya yang sebagian besar dari Masyarakat umum bukan anggota KSP KMS, calon anggota KSP KMS, koperasi lain dan/atau anggotanya dalam bentuk simpanan (tabungan/simpanan, simpanan berjangka/ deposito dan simpanan masa depan) tanpa ada ijin dari Pimpinan Bank Indonesia, dengan cara pegawai lapangan KSP KMS mendatangi ke rumah-rumah penduduk masyarakat umum di wilayah kota Mataram dan sekitarnya untuk menawarkan menyimpan/menabung uangnya di KSP KMS dalam bentuk tabungan/simpanan, simpanan berjangka/deposito dan simpanan masa depan. Bahkan terdakwa juga ikut menawarkan untuk menyimpan/menabung uangnya di KSP KMS kebeberapa masyarakat.
90
Hal ini menyebabkan pada kenyataanya KSP KMS menerima simpanan berbentuk tabungan/simpanan berjangka/deposito dan simpanan masa yang bukan dari anggota koperasi. Berdasarkan perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 46 ayat (1) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Sehingga pada akhirnya hakim memutuskan bahwa menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “bersama-sama menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa memperoleh ijin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia secara berlanjut” dan oleh karena itu dihukum dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp 10.000.000.000,(sepuluh miliar rupiah), subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. Peneliti dalam kasus ini melihat adanya perbedaan pendapat oleh saksi ahli yang dihadirkan dalam kasus ini. Adapun saksi ahli pertama yaitu Dr. I
Wayan Wiryawan,SH.,MH menyatakan bahwa
menjalankan
aktivitasnya
berdasarkan
kalau koperasi
ketentuan
dalam
UU
Perkoperasian, maka kalau terjadi pelanggaran dikenakan sanksi berdasarkan UU Perkoperasian pula; akan tetapi kalau koperasi dalam menjalankan
aktivitasnya
di
luar
yang
ditentukan
dalam
UU
Perkoperasian, maka koperasi tersebut dikenakan UU di luar UU
91
Perkoperasian. Sehingga koperasi yang bentuk usahanya adalah tabungan, deposito, dan tabungan masa depan dengan memberi bunga kepada penabungnya dan bukan merupakan SHU, maka koperasi tersebut menjalankan usaha perbankan. Koperasi seperti ini tidak dibolehkan karena operasi asasnya untuk kesejahteraan anggotanya sehingga dapat dikenakan UU Perbankan. Pendapat yang berbeda diberikan oleh saksi ahli Dr. I Ketut Westra,SH.,MH dimana beliau menyatakan bahwa Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998. tentang Perbankan perlu dipahami secara keseluruhan dan utuh ketentuan dalam Pasal 16 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan; di mana dinyatakan bahwa setiap pihak melakukan menghimpun dana dari masyarakat wajib terlebih dahulu mendapat ijin, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat diatur dalam asuransi atau ataupun kegiatan oleh badan hukum koperasi yang telah diatur oleh UU tersendiri dapat mengenyampingkan atau tidak dapat diterapkan unsur untuk terlebih dahulu memperoleh ijin dari BI karena telah diatur UU tersendiri yakni UU No 25/1995 tentang Perkoperasian. Jadi, badan hukum yang bersifat khusus maka penuntutan atau aturan serta penerapan aturan adalah UU Khusus yang mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga menurut saksi ahli kalau badan hukum sudah diatur
92
dalam UU Perkoperasian maka tidak bisa diselesaikan dengan UU Perbankan; demikian sebaliknya. Berdasarkan penjabaran kasus-kasus tersebut diatas maka dapat kita lihat bahwa koperasi dapat melakukan tindak pidana perbankan terkait dengan perijinan. Hal ini dikarenakan koperasi merupakan suatu badan hukum yang bentuknya menyerupai bank. Bahkan dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan pun mengatur mengenai pemidanaan bagi Koperasi yang melakukan perbuatan tindak pidana perbankan terkait perijinan yaitu dalam Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan. Selain itu, dalam UU Perbankan telah disebutkan dalam Pasal 21 bahwa: (1) Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa: a. Perseroan Terbatas; b. Koperasi; atau c. Perusahaan Daerah (2) Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari: a. Perusahaan Daerah; b. Koperasi; c. Perseroan Terbatas; d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (3) Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka koperasi termasuk salah satu klasifikasi bentuk hukum suatu bank sehingga apabila koperasi melakukan perbuatan tindak pidana perbankan terkait dengan perijinan maka koperasi tersebut dapat dipidanakan seseuai dengan UU Perbankan yang berlaku saat ini yaitu UU No.7/1992
93
jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan. Hal ini juga sesuai dengan teori fiksi dan teori kenyataan yuridis dalam teori badan hukum dimana badan hukum dapat dilihat sebagai subyek hukum dan Koperasi sebagai kumpulan yang diberikan kedudukan sebagai badan hukum setelah memenuhi persyaratan tertentu telah dinyatakan dalam UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Namun
dalam
pelaksanaannya,
pertanggungjawaban
koperasi
dalam
melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin dengan menggunakan UU Perbankan masih menuai pro dan kontra. Seperti contohnya dalam kasus Koperasi Simpan Pinjam Karya Mandiri Sejati (KSP KMS) dimana saksi ahli tidak sependapat mengenai koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan tersebut diselesaikan dengan UU Perbankan. Hal ini dikarenakan koperasi telah memiliki peraturan perundang-undangannya
sendiri
sehingga
proses
pengadilannya
pun
harus
menggunakan perturan perundang-undangan yang khusus pula yaitu dengan UU Perkoperasian (lex specialis derograt legi generali). Padahal dalam pelaksanaannya, banyak putusan hakim yang menjatuhkan hukuman pidana kepada para pengurus koperasi karena dianggap bertanggungjawab atas tindak pidana perbankan terkait perijinan yang dilakukannya. Selain itu, dalam putusan-putusan tersebut dapat dilihat bahwa pertanggungjawaban pidana koperasi baru dibebankan hanya kepada pengurus/ pimpinan yang memberikan perintah, sedangkan pemberian sanksi administratif tidak dibebankan kepada koperasi sebagai korporasi.
94
Adanya kesempatan yang diberikan untuk melakukan perbuatan melawan hukum menyebabkan semakin banyaknya koperasi yang melakukan tindak pidana, termasuk tindak pidana perbankan terkait perijinan. Semakin banyaknya jenis tindak pidana yang ada semakin besar ruang lingkup tindak pidana yang dapat dilanggar oleh koperasi. Hal-hal inilah yang kedepannya dapat merugikan masyarakat apabila masih terjadi konflik norma dalam hal pertanggungjawaban pidana koperasi dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin.
3.2 KOPERASI SEBAGAI KORPORASI Seperi yang telah dijelaskan sebelumnya dalam Bab II, Koperasi menurut Margono Djojohadikoesoemo adalah perkumpulan manusia seseorang-seseorang yang dengan sukanya sendiri hendak bekerja sama untuk memajukan ekonominya. Prof. R.S. Soeriaatmadja juga memberikan definisi yang hampir serupa yaitu koperasi merupakan suatu perkumpulan dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai manusia, dengan tidak memandang haluan agama dan politik secara sukarela masuk untuk sekedar memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atas tanggungan bersama. Negara Nederland, berhasil mengundangkan Undang-Undang Koperasi pada tahun 1876 yang memberikan definisi mengenai koperasi sebagai suatu perkumpulan dari orang-orang, dalam mana diperbolehkan masuk atau keluar sebagai anggota, dan yang bertujuan memperbaiki kepentingan-kepentingan perbedaan atau materiil dari
95
para anggota, secara bersama-sama menyelenggarakan suatu penghidupan atau pekerjaan (gemeenschappelijke uitoefening van hun nering of hun ambacht).81 Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Berdasarkan penjabaran Pasal tersebut dapat dilihat secara hukum bahwa Koperasi memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. Koperasi adalah badan usaha/ badan hukum; 2. Pendirinya adalah orang-orang (perorangan/individu) atau badan hukum Koperasi; 3. Bekerja berdasarkan prinsip-prinsip Koperasi dan asas kekeluargaan; dan 4. Sebagai gerakan ekonomi rakyat. Koperasi sebagai salah satu badan hukum memiliki hak dan kewajibannya yang sama dengan badan hukum lainnya. Badan hukum memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab
atas
segala
tindakan
yang
dilakukannya,
termasuk
bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan. Dalam pertanggungjawaban pidana, koperasi dapat dikategorikan sebagai korporasi. Secara harafiah korporasi (corporatie, Belanda), corporation (Inggris), Corporation (Jerman) berasal dari kata “corporation” dalam bahasa latin. Corporation sebagai kata benda (substantivum) berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau 81
Budi Untung, Op.Cit, Hal 1-2
96
sesudah itu. “Corporare” berasal dari kata “corpus” (Indonesia=Badan) yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, “corporation” berasal dari hasil pekerjaan membadankan. Badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam.82 Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa korporasi berasal dari kata corporate, yaitu suatu badan yang mempunyai sekumpulan anggota dang anggotaanggota tersebut mempunyai hak dan kewajiban tiap-tiap anggota.83 J.C. Smith dan Brian Hogan mendefinisikan korporasi sebagai: A corporation is a legal person but it has no physical existence and cannot, therefore, act a form an intention of any kind except throught its directors or servant is also a legal person quite distinct from the corporation, it follows that a corporation’s legal liabilities are all, in a sense, vicarious. This line of thingking is epitomized in the catchphrase “corporations don’t commit crimes”; people do84 Pengertian Korporasi juga disebutkan dalam berbagai undang-undang yang bersifat khusus seperti UU No.31/1999 jo. UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 1 angka 3 UU No.31/1999 jo. UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 1 angka 10 UU No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dikemukakan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang 82
Soetan K.Malikoel Adil, 1995, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, PT Pembangunan, Jakarta, Hal.83, dikutip dari Mahrus Ali, 2013, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Rajawali Pers, Jakarta, Hal.1 83
Muladi dan Dwidja Priyanto, Op.Cit, Hal.19-20
84
Eric Colvin, 1995, Corporate Personality and Criminal Liability, Criminal Law Forum, Page.5
97
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan dan/atau badan hukum. Berdasarkan penjelasan tersebut sudah dapat dilihat persamaan unsur-unsur dari definisi koperasi dengan korporasi yaitu merupakan perkumpulan orang dan merupakan badan hukum. Korporasi adalah badan hukum yang tidak memiliki fisik dan oleh karena itu tidak dapat bertindak atau memiliki kehendak kecuali melalui Direktur atau karyawannya. Direktur dan karyawan juga merupakan entitias hukum yang berbeda dengan korporasi, karena semua bentuk pertanggungjawaban hukum korporasi adalah melalui pertanggungjawaban pengganti. Hal ini berarti bahwa korporasi tidak dapat melakukan kejahatan, tapi orang-orang yang bertindak untuk dan atau atas ama korporasilah yang bisa melakukan kejahatan. Menurut sifatnya, badan hukum itu ada dua macam, yaitu korporasi (corporatie) dan yayasan (stichting).85 Badan hukum merupakan subyek hukum pada akhinya tumbuh pada bidang-bidang hukum lain di luar stelsel hukum perdata, termasuk dalam stelsel hukum pidana. Penempatan korporasi sebagai subyek tindak pidana sampai sekarang masih menjadi masalah, sehinggal timbul sikap pro dan kontra. Koperasi dikatakan sebagai korporasi bukanlah sekedar pernyataan, namun juga berdasarkan landasan-landasan hukum. Seperti yang dijelaskan dalam pengertian Koperasi dan Korporasi, dimana dalam pengertian tersebut Koperasi dan Korporasi 85
H. Setiyono, 2009, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, Hal.6
98
merupakan badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Dengan adanya persamaan tersebut maka pertanggungjawaban pidana koperasi merupakan pertanggungjawaban korporasi pula. Pada sub bab sebelumnya, telah dijabarkan kasus-kasus koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan terkait dengan perijinan. Ditegaskan bahwa koperasi-koperasi tersebut dikenakan Pasal 16 dan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan karena telah menghimpun dana dari masyarakat luas tanpa seijin dari Pimpinan Bank Indonesia. Hal ini tentu saja menunjukkan secara jelas bahwa para penegak hukum juga beranggapan bahwa koperasi merupakan salah satu bentuk korporasi dan dapat dipertanggungjawabkan secara korporasi pula.
3.3 Pertanggungjawaban Pidana Oleh Koperasi Ketika korporasi harus bertanggungjawab secara pidana atas tindak pidana yang dilakukannya, maka secara umum dikenal tiga sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu sebagai berikut86: a) Pengurus
korporasi
sebagai
pembuat
dan
pengurus
harus
bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban korporasi pada tahap pertama); Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatas pada perorangan 86
Mardjono Reksodiputro, 1994, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Hal.9
99
(natuurlijk persoon). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi itu. b) Korporasi
sebagai
pembuat,
namun
pengurus
yang
harus
bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban korporasi pada tahap ke dua); Sistem pertanggungjawaban korporasi ini ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), akan tetapi tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi) tersebut. Secara perlahan-lahan tanggungjawab pidana
beralih
dari
anggota
pengurus
kepada
mereka
yang
yang
harus
memerintahkan. c) Korporasi
sebagai
pembuat
dan
korporasi
pula
bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban korporasi pada tahap ketiga). Sistem pertanggungjawaban pada tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab yang langsung dari koporasi. Dalam sistem ini dibuka
kemungkinan
menuntut
korporasi
dan
meminta
pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Adapun hal-hal yang dapat digunakan sebagai dasar pembenar atau alasan-alasan bahwa
100
korporasi sebagai pembuat sekaligus yang bertanggungjawab adalah sebagai berikut: 1) Karena dalam berbagai tindakan ekonomi dan fiscal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat sedemikian besar sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan pada pengurus saja; 2) Dengan hanya memidanakan pengurus saja, tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana lagi. Dengan memidanakan korporasi dengan jenis dan berat sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan korporasi dapat menaati peraturan yang bersangkutan.87 Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi tidak cukup sampai dengan 3 konsep yang dikemukakan di atas, perlu ditambahkan satu konsep lagi yaitu, pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban secara pidana. Hal ini dikemukakan oleh Sutan Remi Sjahdeini dengan beberapa penjelasan yaitu: a. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian. b. Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan atau dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan” atau mnegalihkan pertanggungjawaban. c. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius, dan bukan secara langsung (doctrine of vicarious liability) yaitu pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dibebankan kepada pihak lain. Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius karena korporasi tidak mungkin dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum. Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam hal perbuatan hukum, merupakan kejahatan atau suatu tindak pidana apabila actus reus tindak pidana tersebut dilkukan 87
H. Setiyono, Op.Cit, Hal.14-15
101
oleh manusia sebagai pelaku tindak pidana itu (pengurus). Berdasarkan pemahaman tersebut, maka tidak seharusnya sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut adalah bahwa hanya korporasi yang harus memilkul pertanggungjawaban pidana, sedangkan manusia pelakunya dibebaskan. Sama halnya dengan koperasi, pengurus koperasi tidak boleh dibebaskan begitu saja ketika telah melakukan tindak pidana. Pengurus koperasi harus terlebih dahulu dapat dibuktikan bahwa tindak pidana tersebut benar-benar telah dilakukan oleh pengurus koperasi dan sikap batin pengurus koperasi tersebut dalam melakukan tindak pidana itu haruslah benar-benar bersalah sehingga dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. Dalam Teori Badan Hukum, selain manusia, badan hukum juga dipandang sebagai
subyek
hukum.
Hal
inilah
yang menjadi
dasar
pembenar
dari
pertanggungjawaban pidana oleh koperasi. Koperasi sebagai badan hukum dapat kita lihat dalam penjabaran Pasal 1 ayat (1) bahwa Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Terminology atau istilah korporasi, yang sebenarnya belum terlalu lama dipergunakan sebagai suatu istilah dalam hukum di Indonesia, dewasa ini dalam kehidupan sehari-hari sudah biasa dipergunakan sebagai pengganti kata perusahaan, badan usaha, dan atau badan hukum.88 Secara etimologi, menurut Soetan K. Malikoel Adil, korporasi atau corporation (inggris) berasal dari kata corporare yang banyak 88
Hasbullah F. Sjawie, Op.Cit, Hal. 27
102
dipakai orang pada abad pertengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari kata corpus (badan dalam Bahasa Indonesia), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, corporation itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan; dengan kata lain, badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia, sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam.89 J.S Badudu mengartikan korporasi sebagai: badan usaha yang sah sebagai badan hukum/ badan serikat. Korpus berarti badan, satu keseluruhan.90 Pengaturan korporasi sebagai subyek tindak pidana juga masih menjadi suatu permasalahan, yang mana timbul pendapat pro dan kontra terhadap layak atau tidaknya suatu korporasi sebagai subyek hukum. Adapun anggapan pihak-pihak yang tidak setuju mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut: a. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah. b. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan, dan sebagainya) c. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan pada korporasi. d. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah. e. Bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana.
89
Dwidja Priyatno, 2004, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, Hal. 12 90 J.S. Badudu, 2009, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, Kompas, Jakarta, Hal. 199
103
Berbeda dengan pihak kontra, pihak yang setuju menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut: a. Pemidanaan pengurus saja ternyata tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya perlu pula kemungkinan pemidanaan korporasi, korporasi dan pengurus, atau pengurus saja. b. Dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan yang penting pula. c. Hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat, yaitu melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuanketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya ditentukan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi. d. Pemidanaan korporasi merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.91 Terlepas dari pro dan kontra tersebut, Oemar Seno Adji berpendapat, kemungkinan adanya pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan, didasarkan tidak saja atas pertimbangan-pertimbangan utilitas, melainkan pula atas dasar-dasar teoritis dapat dibenarkan.92 Peneliti juga setuju terhadap pengaturan korporasi sebagai subyek tindak pidana. Hal tersebut dikarenakan agar suatu korporasi dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya diperlukan adanya pengaturan hukum yang pasti untuk korporasi sehingga suatu korporasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Selain itu, dilihat dari perspektif korban dari tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi, biasanya tidaklah sedikit, sehingga tidak adil rasanya apabila korporasi tidak ikut mempertanggungjawabkan 91
H. Setiyono, Op.Cit, Hal.10-11
92
Ibid
104
perbuatannya. Adapaun seperti yang disebutkan sebelumnya korporasi tersebut dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui 4 sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus harus bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban korporasi pada tahap pertama), korporasi sebagai pembuat, namun pengurus yang harus bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban korporasi pada tahap ke dua), korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggung jawaban korporasi pada tahap ketiga), serta pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban secara pidana. Seperti pendapat Von Savigny, meskipun meskipun syarat-syarat dalam peraturan hukum yang melekat pada manusia tidak ada pada badan hukum, namun badan hukum boleh dianggap seolah-olah manusia.93 Hal ini terdapat dalam pandangan penganut teori fiksi (fiction theory), dimana badan hukum disamakan dengan manusia hanya saja sebagai perumpamaan (fiksi) saja. Sehingga perbuatan hukum yang dalam pelaksanaannya memerlukan jiwa manusia, seperti ketakutan dalam suatu paksaan tidak berlaku bagi badan hukum. Kepribadian hukum sebagai kesatuan-kesatuan dari manusia yang merupakan hasil dari suatu khayalan. Kepribadian sesungguhnya hanya ada pada diri manusia. Negara-negara, korporasikorporsi, ataupun lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subyek hak dan
93
Komariah, Loc.Cit
105
perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah badan-badan itu manusia.94 Badan hukum dalam hal ini korporasi, dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagai subyek hukum pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku. Pertanggungjawaban pidana oleh koperasi juga tidak terlepas dari teori pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban atau yang kita kenal dengan konsep “liability” diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Pertanggungjawaban yang dilakukan tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat. Dalam pertanggungjawaban pidana, adanya kesalahan merupakan unsur mutlak yang bisa mengakibatkan dimintakannya pertanggungjawaban pidana dari si pelaku delik. Pertanggungjawaban pidana atau criminal responsibility artinya orang yang telah melakukan suatu tindak pidana belum berarti harus dipidana. Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya jika ditemukan unsur kesalahan padanya
95
karena suatu tindak pidana itu terdiri dari a criminal act (actus
reus) dan a criminal intent (mens rea). 96Actus reus atau guilty act dan mens rea atau
94
Hamzah Hatrik, Loc.Cit
95
Suharto R.M, 2004, Hukum Pidana Materiil: Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.106 96 Robert W. Emerson, 2004, Business Law, Barron’s, New York, Page.409
106
guilty mind ini mutlak ada untuk pertanggungjawaban pidana.97 Pengecualian prinsip actus reus dan mens rea ini ada pada delik yang bersifat strict liability, di mana mens rea tidak perlu dibuktikan.98 Permasalahan pertanggungjawaban koperasi sebagai korporasi pelaku tindak pidana adalah suatu hal yang tidak sederhana, mengingat koperasi adalah badan hukum. permasalahan ini berpangkal pada adanya asas tiada pidana tanpa kesalahan. Kesalahan adalah mens rea atau sikap kalbu yang secara alamiah hanya ada pada orang alamiah. Oleh sebab itu, hanya manusia alamiah yang bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana. “Since the corporation has a legal personality, that it can be criminally liable ini the same way that a normal person can”99. Karena korporasi dianggap sebagai orang, yang mempunyai organ layaknya manusia alamiah, maka korporasi harus dianggap mempunyai sikap kalbu atau dipandang sebagai manusia biasa. Dalam KUHP Indonesia belum dikenal adanya ketentuan yang menetapkan rechtpersoon atau korporasi sebagai subyek hukum pidana. Hal ini terlihat dari Pasal 2 KUHP yang menyebutkan berlakunya KUHP bagi setiap orang di Indonesia yang melakukan suatu delik. Karenanya, istilah atau terminology yang umunya dipakai dalam KUHP merujuk pada subyek atau pelaku delik adalah barang siapa. Pandangan KUHP bahwa hanya ada manusia alamiah semata yang bisa menjadi subyek hukum
97
Paul Dobson, 2008, Nutshells Criminal Law, Sweet & Maxwell, London, Page.18 Roger Geary, 2002, Understanding Criminal Law, Cavendish Publishing Limited, Oregon, USA, Page.7 99 Emily Finch and Stefan Fafinski, 2011, Criminal Law, Pearson Education, England, Page. 124 98
107
pidana tersebut mungkin didasari pemikiran bahwa hanya manusia yang mempunyai mens rea; sedangkan makhluk hidup lain ataupun koperasi sebagai korporasi-badan yang diciptakan manusia melalui hukum-dianggap tidak memiliki mens rea. Korporasi dianggap sebagai subyek hukum pidana dikenal oleh peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Bahkan sejak pertengahan tahun 1950-an korporasi sudah ditempatkan oleh peraturan perundang-undangan di luar KUHP sebagai subyek hukum pidana, hingga dapat pula dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Penempatan korporasi sebagai subyek hukum pidana di Indonesia telah ada di dalam hukum poitif meskipun terdapat dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP sebagai peraturan perundang-undangan pidana khusus. Dalam kaitan ini, perumusan korporasi sebagai subyek hukum pidana-sekaligus dapat dimintakan tanggungjawab pidananya-sudah saatnya di akui dalam KUHP guna sebagai salah satu sarana pengendalian kecenderungan perilaku korporasi melakukan delik. Latar belakang adanya pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana berbeda di setiap negara, termasuk juga di Indonesia. Namun pada akhirnya ada kesamaan pandangan, yaitu sehubungan dengan perkembangan industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan telah mendorong pemikiran bahwa subyek hukum pidana tidak lagi hanya bisa dibatasi pada manusia alamiah, tetapi meliputi juga korporasi karena untuk tindak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi.100 Adanya sikap kontra dalam korporasi sebagai subyek 100
E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, Hal.222
108
hukum pada dasarnya merupakan argument yang lemah. Hal ini dikarenakan, pertama, hampir dalam setiap pengenaan pidana bagi pelaku tindak pidana akan berimbas pada pihak lainnya yang berkaitan dengan pelaku tersebut, yang secara langsung atau tidak langsung, sedikit atau banyak, akan menanggung akibatnya. Kedua, antara korporasi sebagai badan hukum dan pihak-pihak lainnya, termasuk pengurus, manajer, karyawan, adalah hal yang terpisah sama sekali karena korporasi adalah badan yang dianggap mempunyai kedudukan sendiri layaknya manusia. Sanksi denda yang diberikan kepada korporasi tidak bisa diartikan sebagai pemberian sanksi, baik kepada pengurus, manajer mapun karyawannya. Mengingat KUHP menganut sistem dua jalur (double track system) dalam pemidanaan, dalam arti di samping pidana dapat pula dikenakan berbagai tindakan kepada pelaku, maka sistem ini dapat pula diterapkan dalam pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Sesuai dengan motif-motif kejahatan korporasi, sanksi yang bersifat ekonomis dan administrative juga sangat sesuai diterapkan dalam pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Maksudnya, agar adanya keadilan dan perlindungan bagi korban maupun masyarakat lainnya,
sebaiknya
tidak
hanya
pengurus
saja
yang
harus
dikenakan
pertanggungjawaban pidana melainkan juga korporasi itu sendiri sebagai subyek hukum dapat dikenakan sanksi administrative sesuai dengan perturan perundangundangan yang berlaku.
109
Pertanggungjawaban pidana korporasi dilandasi pada Teori Indentifikasi (Identification Theory), Teori Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Vicarious Liability), dan Teori Pertanggungjawaban Ketat Menurut Undang-Undang (Strict Liability). Adapun pada penelitian ini, teori pertanggungjawaban pidana korporasi yang dirasa paling tepat digunakan dalam pertanggungjawaban pidana koperasi sebagai korporasi adalah Teori Identifikasi (Identification Theory). Teori
indentifikasi
ini
berlandaskan
adanya
pengharusan
dapat
diidentifikasikan terlebih dahulu siapa yang melakukan tindak pidana tersebut. Apabila yang melakukan tindak pidana merupakan “directing mind” atau orang yang diberi wewenang untuk bertindak atas nama korporasi, maka korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Seperti dalam kasus-kasus koperasi yang telah disebutkan sebelumnya, tentu dapat kita lihat bahwa suatu koperasi dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana dengan berdasarkan teori pertanggungjawaban pidana korporasi ini. Siapapun pihak yang memberikan wewenang untuk bertindak atas nama korporasi dapat bertanggungjawab pula atas nama korporasi. Sama dengan halnya koperasi, apabila melakukan suatu tindak pidana yang bertentang dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka siapapun pihak yang bertindak atas nama koperasi atau merupakan directing mind dari perbuatan pidana tersebut maka ia dapat bertanggung jawab atas perbuatan tindak pidana yang dilakukannya tersebut. Dalam sistem pertanggungjawaban pidana korporasi terdapat salah satu sistem di mana apabila korporasi sebagai pembuat,
110
namun
pengurus
yang
harus
bertanggungjawab
secara
pidana.
Sistem
pertanggungjawaban korporasi ini ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), akan tetapi tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi) tersebut. Secara perlahanlahan tanggungjawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan. Hal ini sejalan dengan teori identifikasi, bahwa pengurus sebagai directing mind atau yang memberikan perintah atau orang yang menggerakkan suatu korporasi dan bertindak atas nama korporasi maka perrtanggungjawaban pidananya dapat dilakukan secara pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini dapat dilihat dalam kasus-kasus
yang
telah
dipaparkan
sebelumnya,
bahwa
walaupun
pertanggungjawaban pidana yang digunakan adalah pertanggungjawaban pidana korporasi, namun dalam pembebanan pertanggungjawabannya digunakan teori identifikasi sehingga pengurus/ manajer yang merupakan directing mind dan bergerak atas nama koperasi tersebutlah yang dianggap pantas untuk bertanggungjawab dalam hal terjadinya tindak pidana perbankan tanpa ijin tersebut. Adanya teori identifikasi digunakan dalam rangka memberikan jaminan pertanggungjawaban koperasi terhadap korban kejahatan koperasi sehingga diharapkan dapat memberikan dasar hukum bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana koperasi. Hal inilah yang kedepannya diharapkan dapat diformulasikan dalam
111
UU Perkoperasian di Indonesia, agar pertanggungjawaban pidana koperasi dapat dipertegas dan membawa keadilan bagi korbannya. Banyak orang mengatakan bahwa mengelola koperasi adalah lebih sulit daripada mengelola seebah Perusahaan Terbatas. 101 Hal ini diucapkan bukan tanpa alasan, karena sebagaimana kita ketahui koperasi mempunyai ciri ganda yaitu merupakan suatu organisasi ekonomi yang berwatak sosial sebagaimana dinyatakan dalam UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Disamping itu dengan adanya kekuatan yang tidak terbatas yang berkumpul dalam rapat anggota, menjadikan manajemen dari koperasi menjadi lebih rumit lagi. Ciri ganda ini tidak ditemukan dalam Perseroan Terbatas/korporasi lainnya. Ewell Paul Roy, dari Agricultural Economics and Agribusiness Louisiana State University mengatakan bahwa manajemen dari koperasi itu melibatkan 4 unsur (perangkat) yaitu: anggota, pengurus, manajer, dan karyawan.102 Khusus mengenai karyawan, mereka bertugas sebagai penghubung antara manajemen dengan anggota pelanggan. Keempat unsur dalam manajemen ini lah yang berpengaruh besar terhadap kesuksesan suatu koperasi. Dan pihak yang paling andil dalam mengambil keputusan dalam koperasi adalah pengurus serta manajer. Mengapa pengurus? Pengurus koperasi mempunyai tugas dan tanggungjawab. Adapun tugas dan tanggungjawab ini telah diatur dalam Pasal 29 s/d Pasal 37 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Leon
101
Drs. Hendrojogi,M.Sc, 2012, Koperasi: Asas-Asas, Teori, dan Praktik, Rajawali Pers, Jakarta, Hal.133 102 Ibid, Hal.135
112
Garayon dan Paul O.Mohn menyebutkan bahwa pengurus mempunyai fungsi idiil (ideal function), dan karenanya pengurus mempunyai fungsi yang luas, yaitu 103: a. Berfungsi sebagai pusat mengambil keputusan tertinggi (Supreme Decision Center Function) Pengurus suatu organisasi biasanya mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi daripada yang lain. Masalah-masalah yang tidak bisa diputuskan oleh bawahan maka akan ditarik dan diputuskan oleh atasan/pengurus. Sekali sudah diputuskan oleh pengurus tertinggi, maka keputusan tersebut akan dikembalikan ke bawahan untuk dijabarkan lebih lanjut dan mengambil keputusan pada tingkatan yang lebih rendah. Fungsi pengurus sebagai pusat pengambil keputusan yang tertinggi dapat diwujudkan dalam bentuk: menentukan tujuan organisasi, merumuskan kebijakan-kebijakan organisasi; menentukan rencana, sasaran serta program-program dari organisasi; memilih manajer-manajer tingkat atas, serta mengawasi tindakan-tindakannya. b. Berfungsi sebagai pemberi nasihat (Advisory Function) Bagi para manajer, meminta nasehat kepada pengurus adalah penting, terutama dalam penjabaran dan penerapan kebijaksanaan operasional dari kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah dirumuskan oleh pengurus.
103
Ibid, Hal.150
113
c. Berfungsi sebagai pengawas atau sebagai orang yang dapat dipercaya (Trustee Function) Yang dimaksud sebagai pengawas adalah bahwa pengurus merupakan kepercayaan dari anggota untuk melindungi semua kekayaan organiasasi. d. Berfungsi sebagai penjaga berkesinambungannya organisasi (Perpetuating Function) Agar organiasi tetap berlanjut maka pengurus di sini berperan untuk mampu menyediakan adanya manajer yang cakap dalam organisasi, perlu menyeleksi manajer yang efektif, memberikan pengarahan kepada para manajer, mengusahakan adanya pengurus yang terdiri dari orang-orang yang mampu mengarahkan kegiatan dari organisasi, serta mengikuti perkembangan pasar. e. Berfungsi sebagai symbol (Symbolic Function). Pengurus sebagai symbol dari kekuatan, kepemimpinan dan sebagai motivator bagi tercapainya tujuan organisasi. Karena berfungsi sebagai symbol dari organisasi maka hendaknya langkah-langkah yang diambil pengurus terhadap anggota maupun karyawan bersifat persuasif. Meskipun pengurus mempunyai kekuasaan-kekuasaan seperti tersebut di atas, tetapi dia atau mereka harus bertanggungjawab pribadi atas kerugian organisasi bilamana hal tersebut disebabkan karena kelalaiannya. Hal lain di mana pengurus secara hukum harus bertanggungjawab pribadi adalah dalam hal seperi:
114
penyalahgunaan uang organisasi, melalaikan tugas, melakukan tugasnya dengan tidak hati-hati, dan sebagainya. Manajer untuk koperasi diperkenalkan di Indonesia pada akhir 1970-an. Tetapi sesungguhnya sebelum tahun tersebut, banyak koperasi yang dalam bidang pengelolaan administrasi perkantorannya diserahkan kepada seorang manajer yang lebih dikenal dengan istilah administrator. 104 Dalam batasan yang diberikan oleh Mary Parker Follet, dapat diartikan bahwa manajer itu mempunyai bawahan. 105 Jadi manajer mempunyai orang-orang di bawahnya untuk diarahkan dan dikendalikan untuk mencapai tujuan. Pengurus bertanggungjawab penuh dan harus memahami keinginan anggota-anggota dan merumuskannya dalam suatu kebijakan (policy). Pengurus boleh menunjukkan ataupun memberikan pengarahan-pengarahan kegiatan, akan tetapi pelaksanaan detailnya harus diserahkan kepada manajer, karena penguruslah yang kemudian harus memberikan penilaian apakah seorang manajer itu berhasil dalam operasinya atau tidak. Manajerlah yang bertanggungjawab atas keberhasilan usaha-usaha dari koperasi yang bersangkutan. Hal-hal inilah yang tidak jarang juga menempatkan manajer sebagai salah satu orang yang memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab secara pidana apabila ia melakukan kelalaian dan kesalahan yang dapat merugikan koperasi dan anggotanya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Koperasi merupakan badan hukum yang dapat dijadikan subyek hukum pidana. Terlepas dari pendapat pro dan kontra,
104 105
Drs.Hendrojogi, M.Sc., Op.Cit, Hal.160 Ibid
115
berbagai perturan perundang-undangan di luar KUHP telah mengatur mengenai pertanggungjawaban korporasi. Koperasi sebagai subyek hukum pidana, dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana baik itu pada koperasi yang melakukan tindak pidana, maupun membebankan pertanggungjawaban pidana secara vikarius kepada koperasi, maka kemungkinan yang dapat terjadi adalah manusia pelakunya (pengurus koperasi) yang harus memikul pertanggungjawaban pidana, sedangkan koperasinya bebas. Berbeda dengan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian belum diatur lebih lanjut mengenai ketentuan pertanggungjawaban pidana bagi pengurus koperasi yang melakukan tindak pidana. Sehingga apabila suatu koperasi melakukan tindak pidana, UU Perkoperasian hanya mampu untuk memberikan sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 47 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian yaitu berupa pencabutan ijin dari koperasi tersebut
namun tidak ada pemidanaan lebih lanjut yang diatur
mengenai pengurus koperasi yang melakukan tindak pidana sehingga apabila hanya mengandalkan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian maka pengurus dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban pidananya. Hal ini berbeda dengan kasus-kasus yang telah dibahas dalam sub bab sebelumnya, di mana dalam kasus-kasus tersebut pertanggungjawaban pidana koperasi
dikenakan
kepada
perorangan/individu
(pengurus/pimpinan)
yang
memberikan perintah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 46 UU No.7/1992 jo UU No.10/1998 tentang Perbankan yaitu dengan memberikan sanksi pidana berupa denda
116
dan penjara. Sedangkan sanksi administrasi tidak diberikan kepada koperasi tersebut sehingga hal ini memperlihatkan adanya konflik norma dalam UU Perbankan dan UU Perkoperasian. Disinilah peran Teori Harmonisasi Hukum dalam menyelesaikan kasus konflik norma yang terjadi dalam UU Perkoperasian dan UU Perbankan. Berdasarkan teori harmonisasi hukum, maka sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan dapat dilhat dari harmonisasi vertikal dan harmonisasi horizontal. Apabila menganalisis berdasarkan hamonisasi vertikal maka akan dilihat apakah UU No.25/1992 tentang Perkoperasian dan bertentangan dengan peraturan perundangundangan diatasnya seperti UUD 1945 dan KUHP. Sedangkan dalam harmonisasi horizontal, UU No.25/1992 tentang Perkoperasian akan dibandingkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang setara dengan UU Perkoperasian. Dalam Penjelasan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, sudah dijelaskan bahwa UU ini dibentuk berdasarkan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 33 menyatakan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang dan bangun perusahaan, hal tersebut sesuai dengan koperasi. Selain itu Pasal 33 UUD 1945 menempatkan koperasi baik dalam kedudukan sokuguru perekonomian nasional maupun sebagai bagian integral tata perekonoman nasional. Dalam bagian menimbang juga dijabarkan bahwa koperasi, baik sebagai gerakan ekonomi rakyat
117
maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dalam tata perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Hal inilah yang menunjukkan bahwa UU Perkoperasian tidak bertentangan secara vertikal dengan UUD 1945 karena UU Perkoperasian itu sendiri dibentuk mengingat Pasal 33 UUD 1945. Begitu pula dengan UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, Undang-undang ini tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 atau peraturan yang ada diatasnya. UU Perbankan dibentuk karena menimbang adanya upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, UU Perbankan dibentuk mengingat Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 UUD 1945 serta UU No.12/1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian (saat ini sudah berubah menjadi UU No.25/1995 tentang Perkoperasian). Namun, secara harmonisasi horizontal, UU Perkoperasian dan UU Perbankan masih terdapat konflik norma. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, walaupun dalam UU Perbankan dibentuk karena mengingat UU Perkoperasian, namun ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi apabila melakukan tindak pidana khususnya tindak pidana perbankan terkait perijinan masih berbeda atau disharmonisasi. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya pemidanaan bagi pemimpin/ atau orang yang memberikan perintah pada koperasi dapat dikenakan pidana apabila
118
melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin (Pasal 46 ayat (2)). Sedangkan dalam UU Perkoperasian, tidak terdapat sanksi pidana bagi pimpinan (dalam hal ini adalah pengurus) yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Pasal 47 UU No.25/1992 hanya memberikan sanksi administratif bagi koperasi yaitu berupa pembubaran koperasi. Perbedaan ketentuan ini tentunya akan sangat berbahaya mengingat maraknya kasus koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin saat ini, sedangkan masyarakat tentu saja menginginkan keadilan yang setinggi-tingginya. Untuk mencari jawaban atas disharmonisasi peraturan perundang-undagan tersebut, maka asas-asas/ prinsip-prinsip lex posteriori derograte legi priori (peraturan
perundang-undangan
yang
baru
mengesampingkan
peraturan
perundangan-undangan yang terdahulu), dan lex specialis derograte legi generali (peraturan yang lebih khusus sifatnya mengalahkan peraturan yang lebih umum) dapat digunakan. Apabila kita melihat waktu dibentuknya peraturan perundangundangan, maka UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan berada diatas UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Hal tersebut dikarenakan UU Perbankan yang berlaku saat ini lebih baru dan lebih mengikuti perkembangan perekonomian saat ini sehingga tidaklah salah apabila hakim menggunakan UU Perbankan dalam mengadili kasus koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin. Sedangkan apabila menganalisis berdasarkan asas lex specialis derograte legi generali (peraturan yang lebih khusus sifatnya mengalahkan peraturan yang lebih umum) maka akan terlihat bahwa UU Perbankan akan lebih tepat digunakan dalam mengadili kasus
119
koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal tersebut dikarenakan walaupun koperasi telah memiliki peraturannya yang mengkhusus, namun apabila berkaitan dengan melakukan tindak pidana perbankan maka tidaklah salah apabila melihat eksistensi dari UU Perbankan. Karena ketentuan pertanggungjawaban koperasi apabila melakukan tindak pidana perbankan telah diatur dalam UU Perbankan maka UU Perbankan tentunya dapat digunakan untuk mengadili koperasi tersebut.
120
BAB IV PIHAK-PIHAK KOPERASI YANG DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN PIDANA DALAM MELAKUKAN KEGIATAN PERBANKAN TANPA IJIN
4.1 Pihak-Pihak Koperasi Yang Dapat Dipertanggung-Jawabkan Pidana Dalam Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab III, pengurus koperasi harus bertanggungjawab apabila terjadi tindak pidana melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal ini telah dikuatkan dengan menggunakan teori pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu Identification Theory, dimana berdasasrkan teori ini,
pimpinan/
pengurus koperasi yang menggerakkan suatu koperasi adalah pihak yang bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya atas nama koperasi. Hal ini dikarenakan koperasi sebagai korporasi, maka dalam pertanggungjawaban pidananya hanya manusia alamiah lah yang diakui sebagai subyek hukum. Konsep White Collar Crime (Kejahatan Kerah Putih) juga menjadi alasan pembenar dalam menentukan pihak yang dapat bertanggungjawab apabila koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin. Hal tersebut dikarenakan kejahatan kerah putih merupakan kejahatan yang dilakukan seseorang yang memiliki kehormatan/ berstatus sosial tinggi. White collar crime juga digambarkan sebagai tindakan illegal yang mengarah pada hal-hal yang tidak tampak atau tipu muslihat,
121
untuk mengeruk keuntungan atau kekayaan dalam usaha atau bisnis. Terkait dengan penelitian ini, dapat dilihat bahwa sama halnya dengan koperasi, Pengurus koperasi sebagai pemimpin/ orang yang memberikan perintah dalam suatu koperasi dapat dikatakan melakukan kejahatan kerah putih karena pengurus sebagai orang yang memiliki jabatan tertinggi dalam koperasi dan dipandang terhormat oleh anggotaanggotanya. Selain itu pengurus yang melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin juga menempatkan pengurus yang terhormat tersebut untuk menggunakan tipu muslihat mereka guna mendapatkan keuntungan dan kekayaan baik untuk kepentingan koperasi maupun untuk pribadi. Koperasi sebagai salah satu bentuk hukum suatu bank seperti yang tercantum dalam Pasal 21 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, dapat pula melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Apabila bank sebagai suatu badan usaha yang mempunyai kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bebagai bentuknya, maka sudah tentu membutuhkan persyaratan dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Hal ini sangat penting untuk melindungi kepentingan masyarakat, terutama terhadap nasabah penyimpan dan simpanannya. Untuk itu, dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan telah sedemikian rupa diatur mengenai perizinan untuk menjalankan kegiatan usahanya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3) yaitu: Pasal 16 ayat (1): Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai
122
Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.
Dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) di atas terkandung arti bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapa pun pada dasarnya merupakan kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut. Sehubungan dengan itu dalam ayat ini ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau sebagai Bank Perkreditan Rakyat. Kenyataannya dimasyarakat, terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau semacam simpanan, misalnya yang dilakukan oleh kantor pos, oleh dana pensiun, atau oleh perusahaan asuransi. Kegiatan lembaga-lembaga tersebut tidak dicakup sebagai usaha perbankan berdasarkan ayat ini. Kegiatan penghimpunan dan dari masyarakat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut diatur dengan undangundang tersendiri. Selain Pasal 16 ayat (1) dalam ketentuan Pasal 16 ayat (2) juga diatur mengenai kewajiban suatu badan hukum untuk dapat melakukan kegiatan perbankan. Adapun bunyi dari Pasal tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 16 ayat (2):
123
Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan sekurangkurangnya tentang: a. Susunan organisasi dan kepengurusan; b. Permodalan; c. Kepemilikan; d. Keahlian di bidang perbankan; e. Kelayakan rencana kerja. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dikemukakan bahwa dalam hal memberikan izin usaha sebagai Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia selain memerhatikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, juga wajib memerhatikan tingkat persaingan yang sehat antar bank, tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu, serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Apabila dikaitkan dengan koperasi, pemenuhan persyaratan untuk dapat memperoleh ijin ini akan sulit dicapai. Pasalnya, suatu koperasi dalam pelaksanaanya tidak memiliki keahlian di bidang perbankan, hal ini dikarenakan koperasi hanya bertujuan untuk membangun perekonomian masyarakat dengan berdasarkan asas gotong royong dan kekeluargaan, berbeda halnya dengan Bank Umum maupun Bank Perkreditan lainnya. Namun pada kenyataanya di masyarakat, banyak koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Dalam ketentuan Pasal 16 ayat (3) disebutkan bahwa persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sebagaimana halnya ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), maka berhubungan
dengan
ketentuan
Pasal
124
16
ayat
(3)
dapat
di
kemukakan bahwa pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain: a. Persyaratan untuk menjadi pengurus bank antara lain menyangkut keahlian di bidang perbankan dan konduite yang baik. b. Larangan adanya hubungan keluarga di antara pengurus bank. c. Modal disetor minimum untuk pendirian Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. d. Batas maksimum kepemilikan dan kepengurusan. e. Kelayakan rencana kerja f. Batas waktu pemberian izin pendirian bank.106
Melalui ketantuan-ketentuan tersebut di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa undang-undang perbankan menyebutkan bahwa setiap pihak yan melakukan kegatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat yang dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Begitu pula dengan koperasi yang melakukan kegiatan perbankan, apabila tidak memenuhi ijin dari pimpinan Bank Indonesia maka koperasi tidak diperbolehkan menghimpun dana dari masyarakat luas yang bukan anggota. Selain itu, dalam undang-undangn perkoperasian sendiri tidak diatur mengenai ijin untuk koperasi melakukan kegiatan perbankan. Dikaitkan dengan tindak pidana perbankan, perbuatan yang dikategorikan atau diklasifikasikan sebagai tindak pidana perbankan terkait dengan perizinan ini adalah
106
Hermansyah, Op.Cit, Hal.26
125
setiap pihak (orang dan/atau suatu korporasi) yang mendirikan bank tetapi tidak memenuhi syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan dalam UU No.7/1992 jo UU No.10/1998 tentang Perbankan, pihak yang mendirikan bank akan tetapi bank tersebut didirikan tidak berdasarkan atau tidak memenuhi syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang Perbankan mengenai syarat pendirian suatu bank, maka pihak pendiri bank tersebut dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perizinan bank. Pendirian bank yang tidak sesuai dengan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang telah diatur secara tegas dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan atau dengan istilah lain dapat dikatakan sebagai bank gelap dapat dikategorikan sebagai bentuk pertama tindak pidana perbankan menurut undangundang ini. Ketentuan mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan bank gelap ini dapat ditemukan dalam Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa: Pasal 46: (3) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). (4) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan, atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakkan perbuatan itu atau
126
yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduaduanya.
Ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan ini dapat digambarkan dengan skema sabagai berikut:
Gambar 2. Skema Ketentuan Pasal 46 Barang siapa
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
Pasal 55 KUHP
Korporasi Tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia Badan usaha berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa yang diancam dengan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) adalah setiap orang (orang pada umumnya) yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan (yang meliputi tabungan, deposito berjangka, giro, dan lain sebagainya) namun dilakukan tanpa izin dari pimpinan Bank Indonesia atau dengan perkataan lain, dapat dikatakan telah membuat suatu bank atau suatu badan yang berfungsi atau
127
menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah sebagai sebuah bank namun tidak memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sehingga dikategorikan sebagai bank gelap. Hal inilah yang terjadi pada Koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Koperasi menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah sebagai sebuah bank namun tidak pernah memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank Indonsia sehingga dikategorikan sebagai bank gelap dan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan. Sayangnya, dalam Undang-Undang Perkoperasian sendiri belum ada ketentuan mengenai tanggung jawab pidana bagi koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Perlu diketahui pula bahwa perumusan Pasal 46 ini merupakan delik formil dimana delik yang sudah dapat dipidana manakala telah memenuhi setiap unsur yang ada dalam rumusan tanpa memperhatikan akibat yang muncul. Hal ini merupakan hal yang wajar mengingat, sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa tindak pidana perbankan merupakan tindak pidana yang menimbulkan dampak sangat luas, sistemik, dan menimbulkan dampak negatif yang sangat luar biasa. Hal ini dikarenakan keamanan perekonomian di Indonesia akan dinilai lemah sehingga para infestor akan merasa ragun serta takut untuk melakukan infestasi di Indonesia. Padahal untuk dapat memajukan perekonomian bangsa, keamanan perekonomian ini sangat penting untuk menarik minta para infestor sehingga tidak menutup kemungkinan baik perusahaan besar maupun UMKM dapat dilirik oleh infestor asing
128
dan dapat berkembang dengan baik. Dengan demikian, perumusan delik formal ini diharapkan tidak hanya mampu menanggulangi tindak pidana ini namun lebih menitikberatkan kepada upaya pencegahan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, menurut Ewell Paul Roy dari Agricultural Economics and Agribusiness Louisiana State University mengatakan bahwa manajemen dari koperasi itu melibatkan 4 unsur (perangkat) yaitu: anggota, pengurus, manajer, dan karyawan.107 Khusus mengenai karyawan, mereka bertugas sebagai penghubung antara manajemen dengan anggota pelanggan. Keempat unsur dalam manajemen ini lah yang berpengaruh besar terhadap kesuksesan suatu koperasi. Dan pihak yang paling andil dalam mengambil keputusan dalam koperasi adalah pengurus serta manajer. Mengapa pengurus? Pengurus koperasi mempunyai tugas dan tanggungjawab. Adapun tugas dan tanggungjawab ini telah diatur dalam Pasal 29 s/d Pasal 37 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Meskipun pengurus mempunyai kekuasaan-kekuasaan tertentu, tetapi dia atau mereka harus bertanggungjawab pribadi atas kerugian organisasi bilamana hal tersebut disebabkan karena kelalaiannya. Hal lain di mana pengurus secara hukum harus bertanggungjawab pribadi adalah dalam hal seperi: penyalahgunaan uang organisasi, melalaikan tugas, melakukan tugasnya dengan tidak hati-hati, dan sebagainya.
107
Ibid, Hal.135
129
Ketentuan tentang tanggungjawab pengurus terhadap kerugian koperasi seperti yang disebutkan di atas tertera dalam Pasal 34 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian yang menyatakan bahwa: (1) Pengurus, baik bersama-sama, maupun sendiri-sendiri menanggung kerugian yang diderita koperasi karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya. (2) Di samping penggantian kerugian tersebut, apabila tindakan itu dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan.
Sehingga dengan adanya ketentuan Pasal 34 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian ini, seharusnya tidak ada lagi alasan pengurus dapat lari dari pertanggungjawaban pidana. Apabila pengurus tersebut terbukti melakukan tindakan dengan kesengajaan maka seharusnya pengurus dapat dituntut dan dijatuhkan hukuman pidana. Namun apabila kita melihat lebih jauh lagi, dalam UU Perkoperasian masih belum diatur lebih jelas ketentuan pidana apabila pengurus atau yang memimpin suatu koperasi dapat dipindana apabila melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Sehingga Hakim saat ini hanya menggunakan Pasal 46 ayat (1) UU Perbankan dalam menyelesaikan permasalahan tindak pidana melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin oleh koperasi. Pengurus koperasi ini juga tidak dapat begitu saja dikatakan telah melakukan suatu tindak pidana perbankan tanpa ijin. Apabila dilihat berdasarkan rumusannya, unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang atau sekelompok orang dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1) ini harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
130
a. Unsur barangsiapa Secara sederhana pengertian unsur “barangsiapa” dapat diartikan dengan setiap orang tanpa terkecuali. Namun demikian, harus diketahui dengan jelas siapa yang dimaksud dengan “barangsiapa” dalam perumusan UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal 1 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan tidak diatur secara tegas mengenai unsur “barangsiapa” ini. Oleh sebab itu, untuk menjelaskan siapa yang sebenarnya dimaksud dengan unsur “barangsiapa” dalam undang-undang ini akan mengacu kepada Pasal 55 KUHP sebagai berikut: Pasal 55 KUHP: (1) Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana: Ke-1 Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; Ke-2 Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 55 KUHP tersebut diatas, dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan barangsiapa dalam KUHP yang berlaku pula bagi penerapan UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan meliputi: a) Pembuat (Dader)
131
Yang dimaksud dengan pembuat (dader) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 KUHP adalah setiap oang yang sikap dan tindakannya memenuhi semua unsur yang disebut atau terkandun dalam rumusan tindak pidana (peraturan perundang-undangan pidana) dan orang ini adalah orang yang melakukan tindak pidana tersebut atau dengan kata lain, orang ini adalah orang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari tindak pidana.108 Dalam kaitannya dengan tindak pidana perbankan, dapat dikategorikan sebagai orang yang melakukan atau sebagai pembuat (dader) adalah mereka yang mendirikan dan menjalankan suatu bank gelap yang berfungsi atau menjalankan tugas selayaknya sebuah bank resmi namun tidak memperoleh atau tidak mendapatkan izin dari Pimpinan Bank Indonesia. b) Yang menyuruh melakukan (Doenpleger) Yang dimaksud dengan mereka yang menyuruh melakukan menurut doktrin ilmu hukum pidana dinyatakan bahwa terdapat 2 (dua) subyek hukum, yaitu mereka yang menyuruh melakukan dan mereka yang disuruh melakukan. Dalam hal ini, yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana adalah orang yang menyuruh melakukan bukan orang yang disuruh melakukan. Orang yang disuruh melakukan tidak dapat 108
R. Soesilo, 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, Hal. 73
132
dimintakan pertanggungjawaban secara pidana karena subyek yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan
secara
pidana.
P.A.F.
Lamitang
sebagaimana mengutip pernyataan Simons menyatakan bahwa untuk adanya doenpleger orang yang dibuat melakukan (yang disuruh melakukan atau manus ministra) haruslah memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang (manusia) 2. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu merupakan orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana seperti: a. Apabila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya atau rusak jiwanya (sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP); b. Apabila ia berbuat karena daya paksa (sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP); c. Apabila ia melakukan tindak pidana atas perintah jabatan yang tidak sah seperti dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP; d. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana sama sekali tidak mempunyai suatu dwaling atau kesalahpahaman mengenai salah satu unsur tindak pidana yang bersangkutan; e. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana sama sekali tidak mempunyai unsur schuld (kesalahan) baik dolus dan culpa ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana yang bersangkutan; f. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsur-unsur oogmerk atau kesengajaan padahal unsur tersebut telah disyaratkan di dalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana yang bersangkutan; g. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah, padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu; h. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai hoedanigheid atau sifat tertentu seperti yang
133
disyaratkan oleh undang-undang yakni sebagai sifat yang harus dimiliki pelakunya sendiri.109 c) Orang yang turut serta melakukan (Medepleger) Dalam beberapa literatur hukum pidana, istilah medepeleger sering pula dituangkan dalam istilah mededader. Pada dasarnya, terhadap kedua istilah tersebut tidak dapat dibedakan secara prinsipil. Di dalam KUHP sendiri, tidak ada suatu definisi yang menggambarkan hal ini. Namun demikian, untuk menggambarkan hal ini, peneliti akan mengutip pendapat dari Memorie van Toelichting Wetboek van Strafrecht, yang menyatakan bahwa orang yang turut serta melakukan (mededader) merupakan orang yang secara langsung telah ikut mengambil bagian di dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang diancam dengan suatu hukuman oleh undangundang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu perbuatan atau turut melakukan perbuatan-perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan.110 Menurut P.A.F Lamintang dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Indonesia mengemukakan pendapat hoge Raad antara lain putusan Hoge Raad tanggal 9 Januari 1914, N.J.1914, sebagai berikut: Untuk adanya suatu mededader itu diisyaratkan bahwa setiap pelaku mempunyai maksud yang diperlukan serta pengetahuan yang 109
P.A.F.Lamintang,1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 610 110
Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, Hal.52
134
disyaratkan. Untuk dapat menyatakan bersalah turut melakukan itu haruslah diselidiki dan dibuktikan bahwa pengetahuan dan maksud tersebut memang terdapat pada tiap peserta.111 Dalam kaitannya dengan tindak pidana perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 di atas, ketentuan mengenai medepleger (orang yang turut serta melakukan) dapat sangat luas jangkuannya. Dikatakan demikian karena mulai dari pemegang saham, direksi atau organ yang melakukan atau menjalankan usaha bank gelap serta pihak-pihak lainnya yang terlibat dalam pendirian dan pengelolaan atau pengurus suatu bank gelap yang seolah-olah adalah bank resmi dapat dikualifikasikan sebagai orang yang turut serta melakuka tindak pidana sebagaimana tercakup dalam rumusan unsur “barangsiapa” dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan. Sedangkan dalam koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin ini, orang yang turut serta melakukan dapat ditujukan kepada pengurus dan manajer koperasi. Hal ini dilakukan karena kedua pihak ini merupakan pengelola dari koperasi, sehingga mereka bertanggungjawab apabila koperasinya melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. d) Penganjuran (Uitlokker) Menurut Jan Remmelink dalam kontruksi hukum utilokker terdapat 4 (empat) syarat yang dipenuhi, yaitu sebagai berikut: 111
P.A.F Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,
Hal. 40
135
1) Harus ada kesengajaan untuk menggerakkan orang lain melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang. 2) Perbuatan menggerakkan orang lain ini dilakukan dengan sarana-sarana sebagaimana ditetapkan secara tegas oleh undangundang. 3) Keputusan untuk berkehendak pada pihak lainnya harus dibangkitkan. 4) Orang yang tergerak (terbujuk atau terprovokasi) mewujudkan rencana yang ditanamkan oleh pembujuk atau penggerak untuk melakukan tindak pidana atau setidak-tidaknya melakukan percobaan ke arah itu. 5) Orang yang terbujuk niscaya harus dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.112
Dikaitkan dengan tindak pidana perbankan, sama halnya dengan medepleger, ketentuan mengenai uitlokker (penganjuran) dapat sangat luas jangkauannya. Dikatakan demikian dikarenakan penganjuran dapat menganjurkan orang lain (siapa pun) untuk mendirikan atau menjalankan bank seolah-olah sebagai suatu bank resmi. Dalam hal ini, perlu pula dikemukakan bahwa baik orang yang menganjurkan ataupun orang yang dianjurkan akan dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.
b.
Unsur menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan Perbuatan orang sebagaimana dimaksud dalam unsur “barangsiapa” di atas haruslah berupa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dapat dilihat dalam definisi mengenai bank sebagaimana diatur
112
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.328
136
dalam Pasal 1 angka 2 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa Bank adalah badan usaha yan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Berdasarkan definsi di atas dapat dilihat bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat mempunyai tugas dan fungsi bank yang utama dan mempunyai tujuan yang mulia, yaitu meningkatkan taraf hidup rakyat banyak atau mensejahterakan masyarakat. Sama halnya dengan koperasi, ia memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak atau mensejaterakan masyarakat, namun lebih mengedepankan asas kekeluargaan dan gotong royong serta penghimpunan dana tersebut tidak dilakukan kepada masyarakat luas tetapi hanya kepada anggota koperasi. c.
Unsur tanpa izin Pimpinan Bank Indonesia Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan izin pimpinan Bank Indonesia, pembahasan tidak akan mengacu kepada UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan melainkan akan mengacu kepada UU No.3/2004 jo. UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Hal ini dilakukan karena dalam Pasal 1 angka 20 dan angka 21 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan dikemukakan dengan tegas bahwa Bank
137
Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang berlaku dan pimpinan Bank Indonesia adalah pimpinan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang berlaku. Perkataan “sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang berlaku” akan mengacu kepada UU No.3/2004 jo. UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Perlu dikemukakan bahwa unsur “tanpa izin pimpinan Bank Indonesia” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 UU Perbankan ini sangat berkaitan dengan tugas dan fungsi dari Bank Indonesia sebagai bank sentral. Secara umum, tugas Bank Indonesia tersebut diatas dikelompokkan kembali mejadi 4 (empat) bidang tugas, yaitu bidang moneter, bidang pengawasan, bidang sistem permbayaran, bidang operasi internal.113 Dalam kaitannya menjelaskan unsur izin pimpinan Bank Indonesia, peneliti hanya akan menjelaskan tugas Bank Indonesia dalam hal pengawasan yaitu dalam hal mengatur dan mengawasi bank yang diatur secara tegas dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 35 UU Bank Indonesia.
Namun
pertanggungjawaban
dalam pidana
penelitian koperasi
yang
mengenai melakukan
pengaturan kegiatan
perbankan tanpa ijin maka Pasal yang akan dibahas hanya Pasal 24, Pasal 26, Pasal 33, dan Pasal 34. 113
Suarpika Bimantaro dan Syahrul Bahroen, 2003, Organisasi Bank Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Jakarta, Hal.5
138
Untuk mencapai tujuan yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia mempunyai tugas mengatur dan mengawasi bank serta melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Dalam Pasal 24 UU Bank Indonesia, disebutkan bahwa Bank Indonesia menetapkan peraturan memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank, dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam Pasal 26 menyatakan: Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Bank Indonesia berhak: a. Memberikan dan mencabut izin usaha Bank; b. Memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor Bank; c. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan Bank; d. Memberikan izin kepada Bank untuk menjalankan kegiatankegiatan usaha terentu. Pasal 33 Dalam hal keadaaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indoenesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku. Pasal 34 (1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undangundang.
139
(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Adapun berdasarkan Pasal 34, dapat kita lihat adanya lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen untuk melakukan kegiatan pengawasan. Lembaga tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam siaran pers bersama OJK, menganai nota kesepahaman Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementrian Koperasi dan UKM tentang Koordinasi Pelaksanaan UU Nomor 1/2003 mengenai Lembaga Keuangan Mikro114, OJK telah menyepakati Nota Kesepahaman dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementrian Koperasi dan UKM tentang Koordinasi Pelaksanaan UU Nomor 1/2003 mengenai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) mengenai tindak lanjut dari Pasal 28 UU LKM yang menegaskan bahwa: 1. Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan; 2. Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dengan Kementerian yang menyelenggarakan urusan Koperasi dan Kementerian Dalam Negeri; 3. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; 114
Otoritas Jasa Keuangan, 2014, Siaran Pers Bersana: Nota Kesepahaman Otoritas Jasa Keuangan. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Koperasi dan UKM tentang Koordinasi Pelaksanaan UU Nomor 1/2003 mengenai Lembaga Keuangan Mikro, tersedia di website http://www.ojk.go.id/siaran-pers-bersama-nota-kesepahaman-otoritas-jasa-keuangan-kementeriandalam-negeri-dan-kementerian-dalam-negeri-dan-kementerian-koperasi-dan-ukm-tentang-koordinasipelaksanaan-uu-nomor-1-2003-mengenai-lembaga-keuangan-mikro, diakses pada tanggal 19 April 2015
140
4. Dalam hal pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum siap, Otoritas Jasa Keuangan dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan LKM kepada pihak lain yang ditunjuk. Dengan adanya Nota kesepahaman ini maka pada awal tahun 2015 OJK siap mengawasi keberadaan koperasi di Indonesia dalam menyikapi masalah dan penyimpangan yang ada dalam lembaga koperasi di Indonesia. Munculnya pengawasan koperasi oleh OJK ini bukan tanpa alasan. Hal ini dikarenakan koperasi sebagai lembaga keuangan dewasa ini dalam praktiknya tidak hanya melibatkan anggota tetapi juga pihak ketiga. Terjadi perubahanperubahan dalam operasional koperasi khususnya koperasi simpan pinjam sehingga asetnya terus tumbuh dan bertambah. Bahkan di berbagai daerah di Indonesia, banyak ditemui koperasi simpan pinjam yang memiliki aset puluhan hingga raturan miliar rupiah. Dan merupakan hal yan biasa bagi KSP tersebut memungut dana dari pihak ketiga kemudian menyalurkan kembali kepada pihak ketiga sehingga sudah sepatutnya diawasi oleh OJK. Adanya
peran
pengawasan
oleh
OJK
terhadap
koperasi
memperlihatkan bahwa pada kenyataannya, koperasi saat ini sudah tumbuh layaknya seperti bank dan melakukan kegiatan perbankan. Koperasi tidak lagi memiliki asas kekeluargaan sehingga tidak lagi memperoleh modal dari anggota dan kemudian disalurkan kembali kepada anggota sendiri. Hal inilah yang menimbulkan pernyataan bahwa koperasi saat ini melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin.
141
Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tidak jarang digunakan dalam mengadili koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin dikarenakan dalam Pasal 46 ayat (2) dimana dikemukakan secara tegas bahwa: Dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa unsurunsur pidana yang diancamkan dalam Pasal 46 ayat (2) sama dengan unsurunsur dan pidana yang diancamkan dalam Pasal 46 ayat (1). Namun perbedaanya hanya terletak pada subyek hukum yang melakukan tindak pidana. Pada Pasal 46 ayat (1) subyek hukum yang melakukan tindak pidana adalah orang perseorangan (manusia alamiah atau naturelijk person), sedangkan dalam ketentuan Pasal 46 ayat (2) yang menjadi subyek hukum adalah korporasi. Jadi dalam hal tindak pidana perbankan ini sudah mengakui korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Sesungguhnya penggunaan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan terhadap pertanggungjawaban pidana koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin sudah tepat. Hal ini dikarenakan adanya teori hukum progresif, dimana dikarenakan adanya
142
hambatan pada hukum tertulis saat ini yang tidak dapat mengikuti perkembangan yang terjadi di kehidupan masyarakat karena hukum tertulis bersifat kaku sedangkan perkembangan dalam masyarakat terjadi sangat cepat, maka peran hakim untuk mengisi kekosongan hukum akibat ketertinggalan hukum dari perubahan masyarakat sangatlah penting. Seperti yang telah dibahas sebelumnya oleh peneliti, gagasan hukum progresif bertolak dari pandangan bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu ilmu, jadi hukum tidak hanya dianggap selesai setelah tersusun sebagai suatu peraturan perundang-undangan dengan kalimat-kalimat yang sangat rapi dan sistematis, namun hukum harus selalu mengalami proses pemaknaan sebagai sebuah pendewasaan atau pematangan. Dalam konsep pengaturan pertanggungjawaban pidana koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin ini, UU Perbankan menganggap koperasi sebagai salah satu subyek hukum. Hal ini dapat kita lihat dalam penjabaran Pasal 46 ayat (2) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998, dimana koperasi sebagai salah satu badan hukum apabila melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin, maka baik mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap
kedua-duanya.
Hakim
dalam
mengambil
keputusannya
menggunakan Pasal 46 dalam memberikan pertanggungjawaban pidana
143
koperasi dalam melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin karena adanya inisiasi rule breaking. Teori Hukum Progresif merupakan suatu proses penemuan hukum. UU No.25/1992 tentang Perkoperasian yang dianggap sebagai peraturan khusus mengenai koperasi tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Sanksi yang diberikan dalam UU Perkoperasian pun hanyalah sanksi administrasi sehingga tidak memberikan rasa aman dan keadilan bagi masyarakat yang resah karena koperasi saat ini dapat melakukan tindak pidana yang dapat merugikan perekonomian masyarakat dan negara. Hakim melalui teori hukum progresif melihat peraturan dalam UU Perbankan dapat memberikan keamanan untuk sementara bagi masyarakat sampai nanti dibentukannya peraturan perundang-undangan khusus mengenai perkoperasian yang baru sehingga keadilan dapat diberikan tidak hanya bagi pihak korban melainkan juga bagi pelaku tindak pidana itu sendiri yaitu dalam kasus ini adalah koperasi. Hukum tertulis yang tidak dapat senantiasa mengikuti perkembangan yang terjadi di kehidupan masyarakat membuat pentingnya peran hakim untuk mengisi kekosongan hukum akibat ketertinggalan hukum dari perubahan masyarakat. Dalam UU Perkoperasian saat ini, belum dikenal adanya koperasi yang dapat melakukan suatu tindak pidana sehingga dalam pengaturannya
144
tidak ada ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana apabila koperasi melakukan suatu tindak pidana. Jadi tidaklah salah bagi hakim apabila menggunakan UU Perbankan sebagai acuan untuk memberikan pidana bagi pengurus koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin.
4.2 Formulasi
Kebijakan
Pertanggungjawaban
Pidana
Koperasi
Yang
Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin Seperti yang dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, koperasi saat ini dapat melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Namun dalam kenyataannya, perlindungan masyarakat terhadap kemungkinan mereka ikut dalam kegiatan koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin ini belum berjalan maksimal. Hal ini terjadi karena belum adanya ketentuan pertanggungjawaban pidana koperasi apabila melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin secara jelas. Apabila
meninjau
peraturan
perundang-undangan
terkait
dengan
perkoperasian, maka sanksi yang dapat diberikan kepada koperasi sebagai bentuk pertanggungjawabannya hanya lah berupa sanksi administratif. Sedangkan sanksi pidana masih belum diatur dalam UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam proses pembentukan suatu norma atau suatu produk hukum atau suatu peraturan perundang-undangan dalam rangka mencegah, menanggulangi, dan memberantas suatu tindak pidana adalah orientas dan tujuan yang hendak dicapai dari produk
145
hukum atau suatu peraturan perundang-undangan itu sendiri. Intinya, dalam proses pembentukan suaut produk hukum yang dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi serta segala sesuatu yang berkaitan atau mempengaruhi penegakan hukum (law enforcement) pertanggungjawaban pidana koperasi, harus dapat diakomodasi atau setidaknya dipertimbangkan dalam proses pembentukan perturan perundang-undangan yang bersangkutan. Hal ini penting untuk diperhatikan karena sebuat produk hukum yang dapat dijalankan tentu merupakan sebuah produk hukum yang memiliki sebuah tujuan utama atau orientasi yang hendak dicapai, yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan baik dari ideologi nasional (Pancasila dan UUD RI 1945), kondisi manusia atau masyarakat dalam negara, kebutuhan masyarakat, budaya dan tradisi bangsa, kesadaran hukum masyarakat atau integritas dari aparatur penegak hukum, maupun dari perkembangan masyarakat internasional atau dunia internasional yang diakui oleh masyarakat beradab. Oleh sebab itu, proses pembentukan suatu produk hukum atau suatu peraturan perundang-undangan harus memerhatikan asas-asas hukum atau nilai-nilai hukum yang akan sangat berpengaruh terhadap produk hukum yang akan dilahirkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa asas-asas hukum atau nilai-nilai hukum merupakan jiwa atau roh dari sebuah produk hukum.
146
Indonesia
sebagai
negara
hukum
wajib
melindungi
seluruh
masyarakatnya dengan cara memberikan rasa aman dan perlindungan dari ancaman baik yang berasal dari luar negara maupun dari dalam negara. Indonesia yang menganut teori negara hukum tentu saja memandang bahwa pemerintahan harus menjunjung tinggi supremasi hukum dan tidak berorientasi kepada kekuasaan. Sehingga hukum akan ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahannya (supremasi hukum). Salah satu syarat adanya negara hukum (rechtsstaat) adalah adanya asas legalitas, dimana setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas dasar peraturan perundangundangan (wetleijke grondslag). Suatu tindak pidana tidak dapat dipidana apabila tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya terlebih dahulu. Apabila dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini, koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin tidak dapat dipidana dengan pasti karena dalam UU Perkoperasian belum diatur secara jelas dan pasti mengenai tindak
pidana
ini,
sehingga
koperasi
dapat
meloloskan
diri
dari
pertanggungjawabannya. Dengan menggunakan teori negara hukum sebagai landasan untuk diperlukannya melakukan formulasi UU Perkoperasian yang baru, peneliti mencoba menggali hal-hal apa saja yang diperlukan kedepannya untuk dapat menegakkan keadilan terhadap koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin sehingga dapat mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang seutuhnya.
147
Menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Nyoman Serikat Putra Jaya, pentingnya nilai-nilai dan asas-asas hukum dalam rangka pembentukan sebuah produk hukum yang dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan dapat dijabarkan ke dalam beberapa prinsip dasar sebagai berikut: 1.
Asas-asas hukum merupakan tendensi-tendensi yang dituntut oleh rasas susila dan berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan kita, yang secara langsung dengan jelas menonjol; 2. Asas-asas mempunyai ungkapan-ungkapan yang sangat umum sifatnya, yang bertumpu pada perasaan yang ada pada setiap orang; 3. Asas-asas hukum merupakan pikiran-pikiran yang memberi arah atau pimpinan yang menjadi dasar pada tata hukum yang ada; 4. Asas-asas hukum dapat ditemukan dengan menunjukkan hal-hal yang sama dari berbagai peraturan yang berjauh satu sama lain; 5. Asas-asas hukum merupakan suatu sesuatu yang ditaati oleh orangorang, apabila mereka ikut bekerja dalam merumuskan dan mewujudkan undang-undang. 6. Asas-asas hukum dipositifkan, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi; 7. Asas-asas hukum tidak bersifat transendental atau melampui alam kenyataan yang dapat disaksikan oleh pancaindera; 8. Artikulasi dan penjabaran-penjabaran hukum bergantung pada kondisikondisi sosial sehingga bersifat open ended, multi interpretable, gesellschaftsgebunden, dan bukannya bersifat absolut seperti pandangan yuridis yang tradisional; 9. Asas-asas hukum berkedudukan relatif otonom dan melandasi fungsi pengendalian masyarakat, penyelenggaraan ketertiban, dan penanggulangan kejahatan atau tindak pidana; 10. Asas-asas hukum merupakan legetimasi dalam prosedur pembentukan, penemuan dan pelaksanaan hukum. 11. Asas-asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang dan pejabat-pejabat resmi (penguasa) sehingga bukan merupakan suatu keharusan untuk menganutnya dalam hukum positif.115
115
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal.88-90
148
Penjelasan tersebut di atas mengemukakan bahwa nilai-nilai atau asasasas hukum mempunyai kedudukan dan fungsi yang fundamental dari sistem hukum yang berlaku pada suatu Negara, baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Di sisi lain, nilai-nilai atau asas-asas hukum tersebut sekaligus berfungsi sebagai alat atau instrumen penguji krisis terhadap sistem hukum yang berlaku saat ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai atau asas-asas hukum ini akan menjadi dasar dari sistem hukum yang berlaku sekaligus alat atau instrumen penguji kritis terhadap sistem hukum yang berlaku itu. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, selain berfungsi sebagai alat atau instrumen penguji kritis terhadap sistem hukum yang berlaku saat ini, nilai-nilai atau asas-asas hukum juga berfungsi untuk menguji kritis, apakah suatu produk hukum atau suatu peraturan perundang-undangan atau keputusan hukum yang telah dibuat itu sesuai dengan nilai-nlai atau asas-asas hukum, atau justru bertentangan dengan nilai-nilai atau asas-asas hukum yang mendasarinya. Apabila suatu produk hukum atau suatu peraturan peraturan perundang-undangan atau keputusan hukum yang telah dibuat bertetangan dengan nilai-nilai atau asasasas hukum yang mendasarinya, maka produk hukum atau suatu peraturan perundang-undangan atau keputusan hukum tersebut ditinjau ulang bahkan dicabut atau dinyatakan tidak berlaku atau dirumuskan kembali (reformulasi) dengan penyesuaian asas-asas hukum atau nilai-nilai hukum atau orientasi yang hendak dicapai.
149
Peneliti beranggapan bahwa sebelum melakukan pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin dalam sistem hukum atau peraturan perundang-undangan di Indonesia, harus diperhatikan terlebih dahulu nilai-nilai atau asas-asas hukum yang mendasarinya dan tujuan yang ingin dicapai dari pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi itu sendiri. Apabila proses pembentukan peraturan perundang-undangan ini sudah dilaksanakan, maka ketentuan atau produk hukum tersebut dapat diimplementasikan atau dilaksanakan dengan baik tanpa adanya tumpang tindih atau perumusan yang kabur, sehingga akan menimbulkan
ketidakpastian
hukum
dan
hambatan-hambatan
dalam
pelaksanaanya (hambatan-hambatan dalam tahap aplikasi dan eksekusinya). Hukum pidana di era modern ini tidak hanya berfungsi sebagai pelindung nilai-nilai moral semata tetapi juga cenderung berfungsi sebagai sarana atau alat untuk meningkatkan atau mencapai kesejahteraan sosial atau kesejahteraan masyarakat (social welfare), serta memberikan keamanan atau perlindungan bagi setiap warga masyarakatnya (social defence). Terkait dengan hal ini, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal (criminal policy) adalah memberikan perlindungan masyarakat (social defence) dan mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).116
116
Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Pranada Media Grup, Jakarta, Hal,4
150
Demikian pula dengan Muladi, menyatakan keadaan seperti itu dengan kalimat “sarana untuk meningkatkan rasa tanggungjawab pemerintah dalam rangka melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya”117. Senada dengan hal tersebut, Sjachran Basah juga menyatakan bahwa: Fungsi hukum secara klasik perlu ditambah dengan fungsi-fungsi lainnya yakni untuk menciptakan hukum yang berfungsi sebagai sarana pembaruan masyarakat. Oleh karena itu, hukum tidak harus dipandang sebagai kaidah semata-mata, tetapi juga harus dipandang sebagai sarana pembangunan dengan tujuan untuk mencapai tujuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di lain pihak, hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat dapat diartikan bahwa hukum harus mampu memberi motivasi cara berpikir masyarakat ke arah yang lebih maju (progresif), dengan demikian, hukum tidak terpaku kepada pemikiran yang konservatif dengan tetap memerhatikan faktor-faktor sosiologis, antropologis, dan kebudayaan masyarakat.118 Jadi dalam mencegah dan memberantas suatu tindak pidana, pada dasarnya dapat ditempuh melalui kebijakan kriminal (criminal policy) yang terdiri dari dua bagian besar, yaitu kebijakan hukum pidana yang dirumuskan dalam sebuah peraturan perundang-undangan atau dirumuskan secara penal yang dikenal pula dengan istilah penal policy dan kebijakan hukum pidana yang tidak dirumuskan secara penal atau perundang-undangan yang disebut dengan istilah non penal policy. Proses perumusan peraturan perundang-undangan mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi ini sudah tentu merupakan proses atau 117
Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Naskah Pidato Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang, Hal.148 118
S.F.Marbun, Deno Kamelus, Saut P.Panjaitan, dkk, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Hal.184-185
151
sebuah contoh kebijakan hukum pidana yang dilakukan secara penal (penal policy). Charles O.Jones mendefinisikan atau mengartikan kebijakan (policy) sebagai keputusan tetap yang ditandai dengan adanya konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang memenuhi keputusan tersebut.119 Sementara itu menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan (policy) berasal dari kata “politic”, “politics” dan “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Sedangkan politik itu sendiri berarti “acting of judging wisely, prudent”120. Selain itu, Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana (criminal policy) tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan menggunakan sarana penal dan sarana nonpenal. Barda mengutip pernyataan dari Marc Ancel yang menyatakan bahwa: “.........Modern criminal science has in fact three essential components; criminology, which studies the phenomenon of crime in all its aspects; criminal law, which is the explantion and application of the positive rule whereby society reacts against the phenomenon of crime; finally, penal policy, both of science and an art, of which the better formulated and to guide not only the lesgilator who has to draft criminal statutes, but the court by which they are applied and the prison administration which gaves practical effect to the court’s decision”121 119
Charles O.Jones, 1994, Pengantar Kebijakan Publik, Grafindo, Jakarta, Hal.74
120
William N.Dunn (Penyadur: Muhadjir Darwin), 2000, Analisa Kebijakan Publik, PT. Hadindita Graha Widia, Yogyakarta, Hal.10 121
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, Hal.VI
152
Apabila diterjemahkan maka dapat diartikan sebagai berikut: ilmu hukum pidana modern pada kenyataanya terdiri dari tiga komponen penting: kriminologi sebagai ilmu yang mempelajari fenomena tentang kejahatan dari segala aspeknya; ilmu hukum pidana yang merupakan penjelasan dan penerapan dari aturan positif di mana masyarakat bereaksi terhadap fenomena kejahatan yang terjadi; dan akhirnya, kebijakan penal yang merupakan ilmu pengetahuan dan sekaligus seni, yang digunakan untuk tujuan praktis dan pada akhirnya adalah untuk memungkinkan aturan positif menjadi aturan yang dirumuskan secara lebih baik dan tidak hanya membimbing legislator yang harus menyusun undangundang pidana, tetapi juga pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Dapat dilihat bahwa Marc Ancel berpendapat penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada hakikatnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada para pembentuk undang-undang dan juga para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Dengan demikian, menurut peneliti, hal yang penting untuk diperhatikan terkait dengan pembahasan pada bagian ini adalah dengan penal policy atau kebijakan penal. Penal policy atau kebijakan penal mempunyai tujuan yang sangat jelas yakni membentuk suatu peraturan hukum positif yang lebih baik dari sebelumnya dan memberi pedoman, arah, patokan, panduan atau ukuran, bak bagi para pembentuk undang-
153
undang maupun bagi pengadilan dan pelaksana putusan pengadilan atau dengan kata lain, kebijakan penal ini akan berlaku bagi seluruh aparatur penegak hukum di mana seluruh aparatur penegak hukum diharapkan dapat menerapkan hukum secara tepat dan akurat. Berkaitan dengan pengaturan pertanggungjawaban pidana koperasi dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin dalam sistem hukum Indonesia dan positif di Indonesia, sudah tentu yang menjadi pertanyaan dasar adalah, apakah pertanggungjawaban pidana koperasi dalam mencegah dan memberantas kegiatan perbankan yang dilakukan tanpa ijin oleh koperasi perlu diatur? Bentuk formulasi pertanggungjawaban pidana koperasi seperti apa yang sepatutnya dilakukan untuk memperbaharui hukum pidana Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut memang tidaklah mudah. Namun mengingat adanya kekosongan norma dalam UU Perkoperasian saat ini mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dan konflik norma mengenai ketidaksesuaian sanksi yang diberikan kepada koperasi yang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ketertiban umum (dalam hal ini adalah tindak pidana perbankan tanpa ijin), di mana dalam UU No.25/1992 tentang Perkoperasian dengan UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan dimana sanksi dalam UU Pekoperasian hanya memberikan sanksi administratif bagi koperasi sedangkan dalam UU Perbankan, koperasi dipandang
154
sebagai badan hukum/korporasi yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yaitu sanksi pidana penjara dan sanksi pidana berupa denda. Sehingga dalam hal ini peneliti akan membahas formulasi pertanggungjawaban pidana koperasi seperti apa yang seyogyanya harus dilakukan untuk memperbaharui hukum pidana Indonesia. Adapun pembaharuan hukum pidana (penal reform) itu sendiri pada hakikatnya dapat diartikan sebagai suatu upaya atau proses untuk melakukan reorientasi dan reformulasi hukum pidana yan sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitis, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial (social policy), kebijakan kriminal (criminal policy), dan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) di Indonesia.122 Dapat disimpulkan bahwa pembaharuan hukum pidana, tepatnya termasuk
pengaturan
mengenai
pertanggungjawaban
pidana
koperasi
dilatarbelakangi beberapa faktor, yaitu antara lain karena hukum pidana yang ada saat ini berlaku tidak lengkap atau tidak dapat menampung berbagai masalah dan dimensi perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana baru yang dapat dilakukan oleh koperasi; karena hukum pidana yang berlaku saat ini kurang dan bahkan tidak sesuai dengan nilai-nilai sosipolitis, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang hidup di dalam masyarakat; karena hukum pidana yang berlaku saat ini kurang
122
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, Hal.7
155
atau tidak sesuai dengan perkembangan pemikiran dan aspirasi tuntuan kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan masyarakat nasional maupun kebutuhan masyarakat internasional dan hukum pidana yang berlaku saat ini berlaku bukan merupakan sistem hukum pidana yang utuh karena masih banyak terdapat pasalpasal yang bertentangan satu dengan yang lainnya. Kebijakan hukum pidana dapat dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaiu tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif) dan tahap eksekusi (kebijakan eksekutif atau kebijakan administratif). Berkaian dengan tahapan-tahapan tersebut, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa: Pembagian kewenangan itu didasarkan pada adanya tiga tahap konkretisasi atau fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana. Pertama, tahap penetapan atau perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang (tahap kebijakan formulatif atau legislatif). Kedua, tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan (tahap kebijakan aplikatif atau yudikatif atau yudisial). Dan ketiga, tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana atau eksekusi pidana (tahap kebijakan eksekutif atau administratif.123 Maka dari itu dapat dikatakan bahwa tahap formulasi adalah tahap penetapan atau perumusan hukum pidana oleh lembaga legislatif atau para pembuat undang-undang atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap aplikasi adalah tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan
123
Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Adiya Bhakti, Bandung, Hal.137
156
sampai ke pengadilan, sedangkan tahap eksekusi adalah tahap pelaksana pidana oleh aparat pelaksana atau eksekusi pidana. Tahap formulasi pada dasarnya merupakan tahap yang paling penting karena tahap ini akan menentukan produk hukum yang telah dibuat dapat ditegakkan (enforceable) atau tidak. Barda juga menyatakan bahwa dari ketiga tahapan tesebut di atas, tahap formulasi merupakan tahapan yang paling strategis dalam upaya pencegahan dan penanggulangan atau pemberantasan tindak pidana melalui kebijakan hukum pidana (penal policy). Sebaliknya, kesalahan atau kelemahan kebijakan lembaga legislatif dalam merumuskan dan menyusun undang-undang merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi kendala atau penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan suatu tindak pidana pada tahap aplikasi dan eksekusi.124 Jadi menurut peneliti, lemahnya penegakan hukum dan carut marut penegakan hukum di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh lemahnya integritas dari aparat penegak hukum, melainkan dipengaruhi pula oleh formulasi peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan kata lain, kesalahan atau kelemahan kebijakan lembaga legislatif dalam merumuskan dan menyusun undang-undang merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam rangka membenahi penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia.
124
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang, Hal.30
157
Dalam memformulasikan pertanggungjawaban pidana koperasi di masa yang akan datang, yakni dalam rangka pembaharuan hukum pidana (penal reform), peneliti mengidentifikasikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pengertian atau definisi Koperasi Formulasi pertanggungjawaban pidana koperasi di masa yang akan datang harus mengatur secara konsisten dan tegas definisi dari koperasi, dimana yang dimaksud dengan koperasi adalah 2. Subjek Hukum Formulasi pertanggungjawaban pidana koperasi di masa yang akan datang harus mengatur secara tegas bahwa koperasi merupakan subyek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana (tidak hanya koperasi saja tetapi juga pengurusnya) 3. Dasar Pemidanaan Koperasi Menurut
peneliti,
dalam
dasar
pemidanaan
koperasi,
formulasi
pertanggungjawaban pidana koperasi di masa yang akan datang harus mengatur secara tegas mengenai dasar pemidanaan suatu koperasi. Dasar pemidanaan koperasi dalam hal ini diatur secara tegas mengenai teori-teori yang membenarkan pertanggungjawaban pidana koperasi (dalam hal ini koperasi dapat dimasukkan ke dalam korpoasi) yakni: identification theory atau direct liability, serta vicarious liability, sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab III.
158
4. Klasifikasi Perbuatan Sebagai Tindak Pidana Koperasi dalam Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin Hal ini perlu diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan nasional mengenai klasifikasi perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh koperasi. Adapun klasifikasi tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana koperasi dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin apabila: a. Tindak pidana dilakukan oleh personel pengendali koperasi (sebagai directing mind); b. Tindak pidana dilakukan karena perintah personel pengendali koperasi (adanya pendelegasian); c. Tindak pidana dilakukan oleh agen atau organ atas nama koperasi; d. Tindak pidana dilakukan dalam lingkup pekerjaan; e. Tindak pidana dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan koperasi; f. Tindak pidana dilakukan melalui agen yang berhubungan erat dengan koperasi; g. Tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah;
159
h. Tindak pidana yang dilakukan oleh sekumpulan orang secara kolektif (karena telah dijelaskan sebelumnya dalam pertanggungjawaban pidana, koperasi dipandang sebagai korporasi); i. Koperasi tidak membentuk sebuah sistem, prosedur, disiplin internal atau pengawasan dan budaya yang terdapat dalam koperasi yang mencegah dan menindak tindak pidana; j. Tindak pidana dilakukan dengan maksud memberikan manfaat atau keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi koperasi. 5. Jenis Sanksi Terhadap Koperasi Mengingat bahwa jenis sanksi yang diancamkan terhadap koperasi dalam perturan perundang-undangan nasional saat ini masih banyak dirumuskan secara tidak tegas, maka menurut peneliti perlu diatur alternatif sanksi yang dapat dibebankan terhadap koperasi. Adapun alternatif sanksi (baik pidana pokok maupun pidana tambahan) yang dapat dijatuhkan terhadap koperasi antara lain sebagai berikut: a. Sanksi denda (fine); b. Pencabutan hak tertentu; c. Perampasan aset koperasi; d. Pengumuman putusan hakim; e. Penyitaan barang dan perampasan keuntungan yang diperoleh secara melawan hukum;
160
f. Pengawasan koperasi; g. Peringatan; h. Pengaturan sanksi administrartif. Hal-hal tersebutlah yang sudah seharusnya diatur dalam Undang-Undang Perkoperasian
yang
baru.
Formulasi
yang
inovatif
diperlukan
dalam
memberantas koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Dengan adanya formulasi yang baru, maka koperasi tidak akan lari lagi dari keharusannya untuk bertanggungjawab secara pidana dan Indonesia sebagai negara hukum tidak akan lagi diragukan atau dipertanyakan.
161
BAB V PENUTUP
5.1 KESIMPULAN 1. Pertanggungjawaban pidana koperasi bilamana terjadinya tindak pidana perbankan terkait perijinan dalam UU Perkopeasian masih sebatas pemberian sanksi administrasi, padahal sesungguhnya koperasi merupakan korporasi sehingga
bentuk
pertanggungjawabannya
pun
seharusnya
pertanggungjawaban korporasi. Berbeda dengan yurisprudensi yang ada dimana pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan koperasi saat ini dibebankan kepada pengurus/ pimpinan koperasi yang memberikan perintah sehingga pertanggungjawabannya hanya diberikan kepada pribadi masingmasing. 2. Pihak-pihak yang bertanggungjawab bilama koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin adalah pengurus/ manajer koperasi sebagai orang yang memberikan perintah dan menggerakan koperasi. Menurut UU No.25/1995 tentang Perkoperasian tidak dikenal pertanggungjawaban pidana, yang dikenal hanyalah sanksi administratif. Hal ini menimbulkan konflik norma dengan UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi yang mana seharusnya
koperasi
yang
162
merupakan
korporasi
dapat
dipertanggungjawabankan
pidana
dan
pihak
koperasi
yang
bertanggungjawab dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin tersebut adalah pengurus koperasi/pimpinan yang memberikan perintah.
5.2 SARAN Adapun saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1. Agar hakim untuk saat ini tetap menggunakan UU Perbankan sebagai landasan hukum dalam pemberian pidana bagi pihak-pihak koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal tersebut sesuai dengan asas lex posteriori derograt legi priori di mana UU Perbankan lebih baru dibandingan dengan UU Perkoperasian dan dirasa lebih mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. 2. Agar pemerintah kedepannya dapat melakukan pembaharuan terhadap UU Perkoperasian mengenai pihak-pihak yang dapat bertanggungjawab atas tindak pidana perbankan terkait perijinan yang dilakukan oleh koperasi. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi disharmonisasi antara UU Perkoperasian dengan UU Perbankan mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi sebagai korporasi, dalam dalam melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin.
163
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Ali, Mahrus, 2013, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Pressindo, Yogyakarta ---------------, 2013, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, PT Sinar Grafika, Jakarta Amiruddin, H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Arief Amrullah, M., 2004, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundering), Bayumedia Publishing, Malang Atmasasmita, Romli, 2000, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung -------------------------, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta Badudu, J.S., 2009, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, Kompas, Jakarta Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Adiya Bhakti, Bandung -----------------------------, 2010, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta -----------------------------, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Pranada Media Grup, Jakarta Budi Untung, H. 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta --------------------, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta
Eric Colvin, 1995, Corporate Personality and Criminal Liability, Criminal Law Forum Fajar Mukti & Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil Komunika, Yogyakarta Finch, Emily and Stefan Fafinski, 2011, Criminal Law, Pearson Education, England Firdaus, Muhammad dan Agus Edhi Susanto, 2004, Perkoperasian Sejarah, Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta Geary, Roger, 2002, Understanding Criminal Law, Cavendish Publishing Limited, Oregon, USA Hamzah, Andi, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Strick Liability dan Vicarious Liability), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Hasan Wargakusumah, Moh., dkk, 1996, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodelogi Harmonisasi Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta
Hasbullah F. Sjawie, 2013, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta Hendrojogi, 2012, Koperasi: Asas-Asas, Teori, dan Praktik, Rajawali Pers, Jakarta Huda, Chairul, 2006, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,Kencana Prenada Media Group, Jakarta Irianto, Sulistowati dan Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Jones, Charles O., 1994, Pengantar Kebijakan Publik, Grafindo, Jakarta Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Kanter, E.Y dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Khairandy, Ridwan, 2009, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan PerundangUndangan, dan Yurisprudensi, Total Media, Yogyakarta Komara, Endang, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama, Bandung Komariah, 2002, Hukum Perdata, UMM Press, Malang Kristian, Yopi Gunawan, 2013, Tindak Pidana Perbankan, Nuansa Aulia, Bandung --------------, 2014, Hukum Pidana Korporasi; Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Nuansa Aulia, Bandung Lamintang, P.A.F., 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung Lamintang, P.A.F, dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung Lili Rasjidi, Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung Marpaung, Leden, 2003, Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Terhadap Perbankan, Penerbit Djambatan, Jakarta McKechnie, Jean L., 1983, Websters New Twentieth Century Dictionary Unabridge, Second Edition
Moeljatno, 1983, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Akasara, Jakarta
-------------, 1985, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta -------------, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta Marbun, Deno Kamelus, Saut P.Panjaitan, dkk, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Naskah Pidato Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung -------------------------------------------, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung Muladi dan Dwidja Priyanto, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Prenada Media, Jakarta Morin L. Cohen and Kent C. Olson; 2000, "Legal Research", 7 ed, West Group, St. Paul Minn. Virginia Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung --------------------------------------, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang Pachta W, Andjar, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, 2005, Hukum Koperasi Indonesia; Pemahaman, Regulasi, Pendirian dan Modal Usaha, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Paul Dobson, 2008, Nutshells Criminal Law, Sweet & Maxwell, London Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Prakoso, Djoko, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, Liberty Yogyakarta Priyatno, Dwidja, 2004, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT Pradnya Paramita, Jakarta Rahardjo, Sajipto, 2009, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Press, Yogyakarta ---------------------, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta Reksodiputro, Mardjono 1994, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta Robert W. Emerson, 2004, Business Law, Barron’s, New York Salim, H. & Erlies Septiana Nurnani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Setiyono, H. 2009, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang Shidarta, 2010, Posisi Pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-Aliran Filsafat Hukum (Sebuah Diagnosis Awal), Jakarta Sianturi, S.R, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni, Jakarta Simanjuntak, P.N.H, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta Soekanto, Soerjono, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta ------------------------, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta
Soesilo, R., 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor Soetan K.Malikoel Adil, 1995, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, PT Pembangunan, Jakarta, Hal.83, dikutip dari Mahrus Ali, 2013, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Rajawali Pers, Jakarta
Suarpika Bimantaro dan Syahrul Bahroen, 2003, Organisasi Bank Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Jakarta Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta Suharto R.M, 2004, Hukum Pidana Materiil: Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan, Sinar Grafika, Jakarta Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta William N.Dunn (Penyadur: Muhadjir Darwin), 2000, Analisa Kebijakan Publik, PT. Hadindita Graha Widia, Yogyakarta Wiranata, I Gede, ed.et.al, 2006, Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta
B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1998 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengembangan Perkoperasian
C. Jurnal Ilmiah I Gede Hartadi Kurniawan, 2013, Tindakan Koperasi Simpan Pinjam yang Mengakibatkan Perbuatan Tindak Pidana, tersedia di website http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex/article/view/348 Suteki, 2010, Rekam Jejak Pemikiran Hukum Progresif Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, tersedia di website http://mitrahukum.org/wpcontent/uploads/2012/09/Rekam-Jejak-Pemikiran-Hukum_Progresif-ProfSatjiipto-Rahardjo-by-Suteki.pdf
D. Internet Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Indonesia, 2009, Kasus Penggelapan 71M oleh Pengurus Koperasi Serba Usaha Swadana Mandiri yang bekerjasama dengan Suwondo Komisaris PT/ Bank Pasar Harta Guna, tersedia di website http://lhkipusat.blogspot.com/2009/08/kasus-penggelapan-71moleh-pengurus.html, diakses pada tanggal 1 April 2015 Otoritas Jasa Keuangan, 2014, Siaran Pers Bersana: Nota Kesepahaman Otoritas Jasa Keuangan. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Koperasi dan
UKM tentang Koordinasi Pelaksanaan UU Nomor 1/2003 mengenai Lembaga Keuangan Mikro, tersedia di website http://www.ojk.go.id/siaran-pers-bersama-nota-kesepahaman-otoritasjasa-keuangan-kementerian-dalam-negeri-dan-kementerian-dalam-negeridan-kementerian-koperasi-dan-ukm-tentang-koordinasi-pelaksanaan-uunomor-1-2003-mengenai-lembaga-keuangan-mikro, diakses pada tanggal 19 April 2015