BAB IV EVALUASI PENERAPAN DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PADA PT ACG
Berdasarkan Pasal 1 angka 25 Undang-undang PPN Nomor 18 Tahun 2000 disebutkan bahwa Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak. PT ACG merupakan perusahaan advertising yang memiliki jumlah dasar pengenaan pajak (DPP) berjumlah Rp. 4.803.745.459,-. PT ACG yang bertempat di Jalan Pinang Ranti, Jakarta Timur yang memiliki karyawan kurang lebih 8 orang karyawan tetap dan 33 orang karyawan tidak tetap. Perusahaan ini bergerak dibidang periklanan. PT ACG memberikan layanan jasa berupa pemasangan iklan atau pemasangan billboard. Dimana setiap perusahaan yang ingin menggunakan jasa PT ACG itu dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. Pada tahun pajak 2005 PT ACG memiliki pajak keluaran sebesar Rp 480.374.545,- dan
pajak masukan sebesar Rp 82.811.034,-. Sehingga PT ACG
memiliki kurang setor sebesar Rp 397.363.511,-. Pada Masa Pajak Desember 2005 PT ACG memiliki Pajak Keluaran sebesar Rp.60.908.793,- dan Pajak Masukan sebesar Rp.18.875.000,-.
56
IV.1
Evaluasi Pajak Keluaran Pengusaha Kena Pajak yang melakukan transaksi penjualan ataupun penyerahan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak, karena transaksi tersebut maka Pengusaha Kena Pajak harus memungut Pajak Pertambahan Nilai yang disebut juga dengan Pajak Keluaran atau bisa disebut dengan PPN Keluaran, yang nantinya akan disetorkan ke kas negara. Pada tahun pajak 2005 Pajak Keluaran PT ACG hanya memungut kepada pihak bukan pemungut. dari hasil temuan dan berdasarkan data-data yang diambil menurut SPT Masa tahun 2005. berikut ini adalah penjelasan tentang penyerahan dan perolehan yang didapat PT ACG pada tahun 2005. Tabel IV.1 Evaluasi Penyerahan dan Perolehan Selama Tahun 2005 pada PT ACG Penyerahan Kepada Bukan Pemungut Bulan
DPP
PPN
PPN
Kurang Bayar/ (Lebih Bayar)
Masukan
Januari
682,739,916
68,273,992
13,750,000
54,523,992
Februari
361,667,184
36,166,718
6,980,755
29,185,963
Maret
241,118,667
24,111,867
April
923,752,217
92,375,222
14,417,160
77,958,062
Mei
62,929,917
6,292,992
1,848,000
4,444,992
Juni
254,117,003
25,411,700
Juli
264,389,309
26,438,931
12,878,755
13,560,176
Agustus
265,544,917
26,554,492
14,061,364
12,493,128
September
444,642,872
44,464,287
44,464,287
Oktober
357,627,500
35,762,750
35,762,750
November
336,765,000
33,676,500
33,676,500
Desember
609,087,926
60,908,793
18,875,000
4,804,382,428
480,438,244
82,811,034
Jumlah
57
24,111,867
25,411,700
42,033,793
Berdasarkan hasil penelitian dan data-data yang didapat dari laporan laba rugi, buku besar, SPT Masa 2005, neraca dan laporan keuangan lainnya serta wawancara yang dilakukan oleh penulis kepada pihak perusahaan. Maka dengan ini penulis melakukan penelitian dengan cara menggunakan Metode Arus Piutang.
58
Tabel IV.2 METODE ARUS PIUTANG (dalam bentuk rupiah)
Penerimaan Piutang Dagang
5,639,911,179
Piutang Dagang 31-12-2005
1,351,447,536 6,991,358,715
Piutang Dagang 01-01-2005
1,459,645,325
Penjualan Kredit Incl. PPN
5,531,713,390
Pajak Keluaran
502,883,035
Penjualan Excl.PPN
5,028,830,355
Penjualan Tunai
378,670,926
DPP seluruhnya
5,407,501,280
Penyerahan Sebelum Evaluasi
4,803,745,428
Selisih
603,755,852
59
Tabel IV.3 Pos-Pos yang Dikoreksi Uraian
No
Jumlah
Dasar Diberikan Koreksi WP melaporkan DPP PPN sebesar Rp.4.803.459,-.
1
Pajak Pertambahan Nilai : sedangkan
menurut
perhitungan
penjualan
dengan DPP menurut SPT/WP
pendekatan arus piutang. Rp.4.803.745.459 Ditemukan Rp.5.407.501.280,sehingga atas DPP PPN
DPP menurut Pemeriksa
Rp.5.407.501.280 menurut SPT Masa PPN dikoreksi positif sebesar Rp.603.755.852 Rp.603.755.852,-.
2
Pajak Keluaran : Koreksi sebesar
Pajak
keluaran
Rp.60.375.583,-
yang Pajak Keluaran dalam SPT/WP
Rp.480.374.545 disebabkan atas penjualan yang
kurang
yang ada diatas Pajak Keluaran dalam SPT/Pemeriksa
Rp.540.750.128 Rp.60.375.583
60
dilaporkan
Berdasarkan hasil penelitian penulis yang menggunakan Metode Arus Piutang yang telah dijelaskan diatas, maka ditemukan beberapa masalah dalam PT ACG yaitu: 1) Ada beberapa penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak dilaporkan oleh perusahaan. Berdasarkan hasil evaluasi, kondisi yang terdapat dalam perusahaan selama tahun 2005, penulis menemukan beberapa masalah dimana terdapat beberapa penyerahan yang tidak dilaporkan oleh PT ACG kepada Fiskus. berdasarkan hasil penyerahan yang diperoleh pada tahun 2005, ada beberapa bulan dalam penyerahan yang tidak dilaporkan oleh PT ACG yaitu pada bulan Maret, April dan September. Dimana pada bulan Maret, April dan September terdapat penyerahan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap pihak bukan pemungut, dimana dalam penyerahan tersebut tidak dilaporkan oleh perusahaan. Berdasarkan SPT Masa 2005 penyerahan yang terdapat pada bulan Maret, April dan September. SPT Masa bulan Maret sebesar Rp.241.118.667,- bulan April sebesar Rp.923.752.217,- dan bulan September sebesar Rp.444.642.872,-. Setelah penulis melakukan penelitian yang menggunakan Metode Arus Piutang, terdapat sejumlah penyerahan yang tidak dilaporkan yang diantaranya: 1. Pada tanggal 17-3-2005 terjadi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan antara PT ACG dengan PT AO sebesar Rp.109.755.852,dan PPN-nya sebesar Rp.10.975.585,-. 2. Pada tanggal 20-3-2005 terjadi penyerahan antara PT ACG dengan PT TMN sebesar Rp.63.080.687,- dan PPN-nya sebesar Rp.6.308.0689,-. PT TMN memasang spanduk dengan menggunakan jasa PT ACG.
61
3. Pada tanggal 4-4-2005 adanya penyerahan kepada PT ABP sebesar Rp.45.725.738 dan PPN-nya Rp.4.572.573,8. PT ABP menggunakan jasa PT ACG untuk memasang reklame yang nantinya digunakan untuk kepentingan perusahaan. PT ABP memasang reklame untuk memperkenalkan produk yang akan mereka tawarkan kepada masyarakat agar masyarakat melihat dan mengetahui tentang produk yang dibuat oleh PT ABP. 4. Pada tanggal 17-4-2005 PT AO ingin memasang billboard dengan menggunakan jasa PT ACG. PT ACG memberikan harga pemasangan billboard sebear Rp.128.863.434 dan PPN-nya Rp.12.886.343,-. yang nantinya akan di pasang dipinggir jalan yang terletak di depan kantor PT AO yang berada di Jakarta Selatan, PT AO ini adalah salah satu perusahaan yang membuat suatu produk yang nantinya produk itu akan diperkenalkan kepada masyarakat. 5. Pada tanggal 19-4-2005 PT AJ menggunakan jasa PT ACG karena ingin membuat logo perusahaan, PT ACG memberikan harga sebesar Rp.41.568.849 dan PPN-nya Rp.4.156.884,-. 6. Pada tanggal 1-4-2005 PT AO menggunakan jasa PT ACG untuk perijinan reklame sebesar Rp.6.270.135 dan PPN-nya Rp.627.013,-. PT ACG diberikan kepercayaan untuk mengurus masalah perijinan reklame PT AO. 7. Pada tanggal 15-9-2005 PT KI menggunakan jasa PT ACG untuk pembuatan logo perusahaan, PT ACG memberikan harga kepada PT KI
sebesar
Rp.11.756.503,- dan PPN-nya Rp.1.175.650,-. 8. Pada tanggal 25-9-2005 PT JKP memasang konstruksi reklame kepada PT ACG sebesar Rp.27.431.841,- dan PPN-nya Rp.2.743.184,-. PT JKP memasang
62
reklame tersebut agar masyarakat mengetahui bahwa PT JKP adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang jasa asuransi, maksud dan tujuan PT JKP membuat dan memasang reklame bertujuan untuk mengenalkan bidang usahanya di bidang jasa asuransi. Berdasarkan dari penjelasan diatas, penyerahan pada bulan Maret, April dan September. Perusahaan tidak melaporkan secara keseluruhan dari hasil penyerahan tersebut, sebab perusahaan khawatir pajak yang dibayarkan nantinya akan terlalu besar. Sehingga dalam hal ini perusahaan tidak ingin mengambil resiko yang terlalu besar. Menurut penulis, melihat keadaan dan status PT ACG sebagai Pengusaha Kena Pajak , sebaiknya PT ACG melakukan kewajibannya untuk melaporkan dan memungut Pajak Pertambahan Nilai dari Pengusaha Kena Pajak pembeli. Berdasarkan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 disebutkan bahwa Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak. Menurut Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 menjelaskan bahwa Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang. Dalam pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP524/PJ./2000 dijelaskan bahwa Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan secara langsung kepada konsumen dan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena
63
Pajak kepada pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang tidak diketehui identitasnya dapat membuat Faktur Pajak Sederhana. Akibatnya, penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut dicatat sebagai penjualan non-PPN dalam buku besar perusahaan dan tidak dilaporkan atau dicatat dalam SPT Masa PPN bulan Maret, Apil dan September 2005. Menurut penulis, jika hal ini dibiarkan maka akan berdampak negative bagi PT ACG yang pada nantinya bila terjadi pemeriksaan oleh pihak Fiskus, atas kondisi yang terjadi tersebut akan diterbitkan surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sehingga perusahaan akan dikenakan sanksi sebesar 2% per bulan dari pajak yang kurang dibayarkan. Dengan ini penulis memberikan rekomendasi kepada perusahaan agar perusahaan harus dan wajib untuk melaporkan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, karena melaporkan hasil dari penyerahan tersebut memang sudah kewajiban PT ACG yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Penulis berharap agar perusahaan menekankan betapa pentingnya melaporkan Pajak Pertambahan Nilai kepada pihak Fiskus.
2. Pembayaran Uang Muka yang Tidak Dilaporkan. hal ini dikarenakan ketika perusahaan menerima uang muka atas penyerahan jasa kena pajak perusahaan mengganggap, bahwa penyerahan uang muka yang diterima tidak harus dilaporkan sebagai Pajak Pertambahan Nilai, melainkan hanya dicatat sebagai pendapatan saja.perusahaan tidak melaporkan uang muka dari hasil penyerahaan yang dilakukan pada bulan Maret dan November. karena perusahaan
64
khawatir pajak yang dibayarkan nantinya terlalu besar, sehingga dalam hal ini perusahaan tidak ingin mengambil resiko yang terlalu besar. penyerahan uang muka yang
seharusnya
dilaporkan
oleh
perusahaan,
tetapi
perusahaan
tidak
melaporkannya. Seharusnya perusahaan melaporkan pembayaran uang muka kepada Fiskus. Pembayaran uang muka yang tidak dilaporkan terdapat pada bulan Maret dan November. Berdasarkan SPT Masa bulan Maret dan November 2005 (sebelum evaluasi) penyerahan yang dilakukan oleh perusahaan sebesar Rp.241.118.667,-, dan pada bulan November sebesar Rp.336.765.000,- setelah penulis melakukan penelitian dan evaluasi. Penulis menemukan beberapa kesalahan yang tedapat pada perusahaan yaitu pembayaran uang muka yang tidak dibuatkan Faktur Pajak, diantaranya : 1. Tanggal 3-3-2005 PT SD menggunakan jasa PT ACG untuk pembuatan dan pemasangan billboard. PT SD baru menyerahkan uang muka sebesar Rp.36.148.637,- tetapi PT ACG tidak membuatkan Faktur Pajak Standar tersebut. Penyerahan uang muka yang seharusnya dilaporkan tetapi PT ACG tidak melaporkannya. pembayaran uang muka tersebut seharusnya dimasukan kedalam SPT 1195 pada kolom A1. 2. Tanggal 24-11-2005 PT MC menggunakan jasa PT ACG untuk pembuatan konstruksi reklame. Pembayaran uang muka baru dibayarkan 45% sebesar Rp.52.376.668,- dan sisa pembayarannya setelah pembuatan konstruksi reklame selesai. Perusahaan tidak melaporkan pembayaran dimuka, dikarenakan perusahaan khawatir pajak yang ditanggung akan besar nantinya. Sehingga dalam hal ini
65
perusahaan tidak melaporkannya, karena perusahaan beranggapan apabila pembayaran dimuka tersebut tidak dilaporkan pajak yang ditanggungnya akan kecil. Pada dasarnya hal seperti itu tidak perlu dilakukan karena akan merugikan perusahaan, yang nantinya perusahaan akan dikenakan sanksi 2% dari dasar pengenaan pajaknya. Akibat dari masalah tersebut diatas, dapat merugikan lawan teransaksinya yang merupakan pemilik dari perusahaan teresbut, karena tidak ada Faktur Pajak sebagai bukti pungutan yang dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, apabila dalam jangka 1 bulan Pajak Pertambahan Nilai-nya tidak dibayar maka Direktur Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat Ketetapan Kurang Bayar ditambah dengan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu dikenakan denda sebesar 2% dari nilai DPP-nya. Menurut Pasal 13 Ayat (4) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2002 ,umumnya pekerjaan jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergerak lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu. Dan sebelum jasa pemborong itu selesai dan siap untuk diserahkan telah diterima pembayaran dimuka sebelum pekerjaan pemborong dimulai atau pembayaran atas sebagian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Penulis memberikan rekomendasi kepada perusahaan agar perusahaan melaporkan pembayaran dimuka, dan ada baiknya perusahaan juga membuatkan Faktur Pajak pada saat terjadinya teransaksi dan melakukan pencatatan kepada setiap transaksi. selain itu perusahaan juga harus segera melakukan pembetulan sebelum dilakukannya pemeriksaan kepada pihak Fiskus. Karena apabila
66
perusahaan tidak segera melaporkannya maka akan dikenakan sanksi sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak.
3. Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak di pungut Pajak Pertambahan Nilai Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan PT ACG terdapat penyerahan yang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. setelah penulis melakukan penelitian berdasarkan data-data yang dikuatkan dengan SPT Masa 2005, laporan laba rugi, buku besar, buku besar penjualan dan neraca. Penulis menemunkan beberapa penyerahan yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yaitu pada bulan Maret, April, September dan November. Dimana dalam SPT Masa 2005 bulan Maret, Pajak Keluarannya sebesar Rp.241.118.667,-
bulan April
sebesar Rp.923.752.217,-, bulan September sebesar Rp.444.642.872,- dan bulan November sebesar Rp.336.765.000,-. Berdasarkan dari hasil penelitian terdapat penyerahan yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yaitu: 1. Tanggal 5-3-2005 PT AO mengguankan jasa PT ACG untuk membuat dan memasang billboard yang nantinya akan dipasang dipinggir jalan yang terletak di Jakarta selatan, pemasangan dan pembuatan billboard adalah sebesar Rp.166.275.398,- dan PPN sebesar 16.627.540,- tanpa dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, 2. Tanggal 14-3-2005 PT TMN ingin membuat dan memasang neon box atau neon sign yang nantinya akan dipasang di pinggir papan billboard karena lampu yang
67
ada di papan billboard sudah harus diganti karena rusak, dengan biaya sebesar Rp.44.467.096,- dan PPN sebesar Rp.446.709,6. 3. Tanggal 11-4-2005 PT SD membuat dan memasang konstruksi reklame Dasar Pengenaan Pajaknya sebesar Rp.207.474.675,- dan PPN 20.747.467,-. 4. Tanggal 9-9-2005 PT JRP memasang dan membuat billboard perusahaan. Dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar Rp.164.891.570,- dan PPN 16.489.157. 5. Tanggal 15-11-2005 PT TL memasang dan membuat papan billboard yang nantinya akan dipasang didepan kantornya. Papan billboard tersebut nantinya akan diletakan dipinggir jalan PT TL. PT TL menggunakan jasa PT ACG karena PT TL memberikan kepercayaan kepada PT ACG untuk memasang dan membuatkan papan billboard, PT TL merupakan perusahaan yang bergerak dibidang telekomunikasi. Biaya yang harus dikeluarkan oleh PT TL untuk pembuatan papan billboard Dasar Pengenaan Pajak Rp.266.164.720,- dan Pajak Pertambahan Nilainya sebesar Rp.26.616.472,-. Dalam pembuatan papan billboard tersebut tidak dikenakan PPN karena PT TL sudah menjadi pelanggan tetap perusahaan. Hal ini disebabkan pada waktu melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Beberapa Pengusaha Kena Pajak pembeli tidak ingin dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Menurut perusahaan disatu sisi perusahaan juga tidak mau kehilangan pelanggan, Jika memaksakan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak pembeli maka perusahaan akan kehilangan pelanggannya. Oleh karena itu beberapa penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa
68
Kena Pajak tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Menurut penulis melihat keadaan seperti ini dan melihat status PT ACG sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka PT ACG harus melakukan kewajiban untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai dari Pengusaha Kena Pajak pembeli. Berdasarkan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 disebutkan bahwa Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, Jasa Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak. Menurut Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 menjelaskan bahwa Pengusaha Kena Pajak Wajib melaporkan usahanya untuk segera dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang. Dalam Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-524/PJ./2000 dijelaskan bahwa Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan secara langsung kepada konsumen dan hasil kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang tidak diketahui identitasnya dapat membuat Faktur Pajak Sederhana. Akibatnya, penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dicatat sebagai penjualan non-PPN dalam buku besar perusahaan, dan tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN bulan November 2005. dalam hal ini tidak terdapatnya bukti pungutan berupa Faktur Pajak Standar. Selain itu PT ACG harus menanggung sendiri Pajak Keluaran yang seharusnya menjadi tanggungan Pengusaha Kena Pajak pembeli. Menurut
69
penulis, jika hal ini terus dibiarkan akan berdampak negative bagi perusahaan itu sendiri. Yang pada nantinya apabila terjadi pemeriksaan oleh Fiskus maka perusahaan akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sehingga perusahaan akan dikenakan sanksi berupa bunga sebesar 2% per bulan dari pajak yang kurang dibayarkan oleh pihak Fiskus. Dalam hal ini penulis memberikan rekomendasi kepada pihak perusahaan agar pihak perusahaan pada waktu melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak harus menekankan kepada setiap pelangganya atau kepada Pengusaha Kena Pajak pembeli untuk tetap membayar Pajak Pertambahan Nilai, karena memang sudah kewajiban yang harus dilakukan kepada Pengusaha Kena Pajak yang sudah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Seharusnya PT ACG memberikan arahan kepada setiap pelanggannya karena bagaimanapun juga Pajak Pertambahan Nilai itu wajib untuk dibayarkan. Jika Pajak Pertambahan Nilai tidak dibayarkan maka akan berdampak negatif terhadap perusahaan dan Pengusaha Kena Pajak pembeli. Dari pihak PT ACG akan dikenakan sanksi berupa bunga, denda, bahkan kenaikan. Sedangkan dari pihak Pengusaha Kena Pajak pembeli Pajak Masukan atas prolehan Barang Kena Pajak tersebut tidak dapat dikreditkan karena tidak terdapat bukti pungutan berupa Faktur Pajak Standar. Seharusnya PT ACG pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, PT ACG dapat menerbitkan Faktur Pajak Sederhana. Hal ini dilakukan agar identitas pembeli dianggap tidak diketahui dan pembeli dianggap sebagai konsumen akhir. Maka nilai Pajak Keluaran yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana tersebut nantinya akan dimasukan ke dalam SPT Masa PPN
70
Januai-Desember 2005 dalam pembetulan II formulir 1195 lampiran A1 pada kolom Faktur Pajak Sederhana. Berdasarkan dari penjelasan diatas, jelas bahwa perusahaan belum mematuhi peraturan-peraturan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang menjelaskan bahwa Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP wajib untuk melaporkan hasil dari Penyerahan Barang Kena Pajak atau jasa Kena Pajak.
Tabel IV.4 Evaluasi Penyerahan atas Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak (dalam bentuk rupiah)
Setelah Evaluasi
Sebelum Evaluasi
No
Keterangan
1
Januari
2
Februari
3
Maret
4
April
5
Mei
6
Juni
7
Juli
8
Agustus
9
September
10
Oktober
11
November
12
Desember Total PPN 10%
Keterangan Dalam Tanggal
Penyerahan Penyerahan Selisih 682,739,916 682,739,916 0 361,667,184 361,667,184 0 241,118,667 467,028,255 225,909,588 17,20,3,5 & 14 923,752,217 1,166,927,840 243,175,623 1,4,17,19 & 11 62,292,917 62,292,917 0 254,117,003 254,117,003 0 264,389,309 264,389,309 0 265,544,917 265,544,917 0 444,642,872 500,320,373 55,677,501 9,15 & 25 357,627,500 357,627,500 0 336,765,000 415,758,140 78,993,140 15 & 24 609,087,926 609,087,926 0 4,803,745,428 480,374,543
5,407,501,280 540,750,128
71
603,755,852 60,375,585
IV.2
Evaluasi Pajak Masukan Dalam melakukan teransaksi pembelian, perusahaan mencatat dasar historis
sebesar nilai beli barang yang tercantum dalam Faktur Pajak. Pembelian diakui setelah barang yang diterima oleh perusahaan. Perusahaan dalam melakukan teransaksi pembelian Kena Pajak, PT ACG menerima lembar asli Faktur Pajak Standar. Faktur Pajak Standar tersebut merupakan Faktur Pajak Masukan bagi perusahaan. Untuk Faktur Pajak Standar Masukan, terdapat beberapa Faktur Pajak Standar yang diperoleh dari Pengusaha Kena Pajak penjual yang tidak dicoret pada bagian dari kalimat (Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termijin) yang tidak perlu sebagaimana diminta dalam catatan bagian bawah sebelah kiri Faktur Pajak Standar. Dari seluruh perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diterima PT ACG selama bulan Januari-Desember 2005, teryata Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan kepada PT ACG (Pajak Masukan) hanya sebesar Rp.82.811.034,-. PT ACG mencatat Pajak Masukan ke dalam jurnal sebagai berikut.
72
Tabel IV.5 Evaluasi Pajak Masukan SPT Masa 2005
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Keterangan Januari Febuari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total
Sebelum Evaluasi Perolehan PPN 10% DPP 13,750,000 137,500,000 6,980,755 69,807,550 14,417,160 1,848,000
144,171,600 18,480,000
12,878,755 14,061,364
128,787,550 140,613,640
18,875,000 82,811,034
188,750,000 828,110,340
Setelah Evaluasi Perolehan PPN 10% DPP 14,162,500 141,625,000 7,329,793 73,297,928 567,566 5,675,655 14,561,332 145,613,316 2,310,000 23,100,000
13,587,087 14,061,364 1,855,464 2,187,579 18,875,000 89,497,683
135,870,865 140,613,640 18,554,642 21,875,785 188,750,000 894,976,831
Selisih 4,125,000 3,490,378 5,675,655 1,441,716 4,620,000 0 0 7,083,315 0 18,554,642 21,875,785 66,866,491
Setelah penulis melakukan verifikasi terhadap laporan laba rugi JanuariDesember 2005, teryata perolehan Barang Kena Pajak yang terdapat pada laporan laba rugi PT ACG sebesar Rp.894.208.703,-. Berdasarkan hasil penelitian yang dikuatkan dengan dokumen-dokumen berupa SPT Masa 2005, buku besar pembelian, Faktur Pajak, laporan laba rugi dan neraca maka dengan ini penulis menemukan beberapa masalah yang terdapat dalam Pajak Masukan PT ACG, yang diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Terdapatnya perolehan Barang Kena Pajak yang seharusnya dipungut Pajak Pertambahan Nilai, namun tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Dalam perolehan Barang Kena Pajak PT ACG tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusahan Kena Pajak penjual. Setelah penulis melakukan evaluasi yang didapat dari data dan hasil wawancara kepada pihak perusahaan. Penulis menemukan saldo yang terdapat dalam laporan laba rugi sebesar
73
Rp.894.976.831,- sedangkan yang terdapat dalam SPT Masa PPN sebesar Rp.828.110.340,- maka dalam hal ini penulis menemukan selisih sebesar Rp.66.866.491,- sehingga Pajak Pertambahan Nilai yang belum dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli adalah sebesar Rp.6.686.650-. Seperti pada bulan Februari, Maret dan April terdapat perolehan Barang Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, diantaranya : 1. Pada tanggal 10-2-2005 terdapat perolehan Barang Kena Pajak dari PT CBM sebesar Rp.41.250.000,- dan PPN-nya sebesar Rp.4.125.000,-. 2. Tanggal 15-2-2005 terdapat perolehan Barang Kena Pajak dengan Dasar Pengenaan
Pajaknya
sebesar
Rp.34.903.780,-
dan
PPN-nya
sebesar
Rp.3.490.378,-. 3. Pada tanggal 4-3-2005 terdapat perolehan Barang Kena Pajak. sebesar Rp.14.189.137,- dengan PPN sebesar Rp.1.418.913,-. 4. Pada tanggal 12-3-2005 terdapat perolehan Barang Kena Pajak yang dipungut sebesar Rp.17.026.968,- dan PPN-nya Rp.1.702.696,-. 5. Pada tanggal 25-3-2005 terdapat perolehan Barang Kena Pajak, perusahaan membeli peralatan untuk pemasangan reklame dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar Rp.25.540.450,- dan PPN-nya sebesar Rp.2.554.045,-. 6. Pada tanggal 8-4-2005 terdapat perolehan Barang Kena Pajak, perusahaan membeli perlengkapan kantor sebesar Rp.14.417.180 dan PPN-nya sebesar Rp.1.441.716,-. setelah penulis melakukan penelitian penulis mendapatkan jumlah yang seharusnya
dibayarkan
oleh
perusahaan
74
pada
bulan
Januari
sebesar
Rp.141.625.000,- Februari sebesar Rp.73.297.928,- Maret sebesar Rp.5.675.655,dan bulan April sebesar Rp.145.613.316,-. Dalam hal ini seharusnya perusahaan harus membayarkan kekurangan dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. apabila perusahaan tidak ingin dikenakan sanksi oleh pihak Fiskus. Apabila terjadi pemeriksaan oleh pihak Fiskus maka perusahaan akan dikenakan sanksi dari dasar pengenaan pajaknya. Menurut Pasal 1 angka 24 undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayarkan oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean atau impor Barang Kena Pajak. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-524/PJ./2000, tanda bukti penyerahan atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak yaitu bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 2 ketentuan ini dapat diperlukan sebagai Faktur Pajak Sederhana. Menurut Pasal 5 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-524/PJ./2000. Faktur Pajak Sederhana tidak dpaat digunakan oleh pembeli Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak sebagai dasar pengkreditan Pajak Masukan. Hal ini disebabkannya transaksi yang dilakukan PT ACG kepada Pengusaha Kena Pajak pembeli, terlalu mengabaikan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut kepada Pengusaha Kena Pajak pembeli, tetapi PT ACG tidak memungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut kepada Pengusaha Kena Pajak
75
pembeli. jadi yang seharusnya itu merupakan kewajiban Pengusaha Kena Pajak pembeli, tetapi PKP pembeli tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar PPN. Akibatnya, Pajak Masukan yang dibayarkan melalui Pengusaha Kena Pajak pembeli lebih kecil dibandingkan jumlah yang seharusnya dibayarkan. Jika dilakukan pemeriksaan, maka PT ACG dapat diterbitkan Surat Teguran bahkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Hal ini disebenarnya sangat merugikan PT ACG, karena akan dikenakan sanksi sebesar 2% per bulan dari Dasar Pengenaan Pajak. Penulis memberikan rekomendasi kepada perusahaan, agar perusahaan menyerahkan tanda bukti atau pembayaran atas perolehan Barang Kena Pajak yang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai yang nantinya akan diperlakukan sebagai Faktur Pajak Sederhana. Nilai Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana. Nilai Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana tersebut nantinya dimasukkan kedalam SPT Masa PPN Januari-Desember 2005. Pembetulan II formulir 1195 lampiran B4 pada kolom Faktur Pajak Sederhana (tidak dapat dikreditkan). Setelah itu, setiap pembelian yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli harus memperhatikan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. Selain itu PT ACG juga harus lebih bersikap tegas kepada Pengusaha Kena Pajak pembeli agar mereka memenuhi kewajiban untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai.
76
2. Perusahaan belum mengelompokan antara Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan yang tidak dapat dikreditkan. Menurut perusahaan, pembayar Pajak Pertambahan Nilai selama Januari sampai Desember sebesar RP.828.110.340,- dan PPN-nya Rp.82.811.034,- dengan nilai tersebut dianggap dapat dikreditkan semua, tetapi setelah penulis melakukan penelitian yang didasarkan pada dokumen, berupa Faktur Pajak, buku besar pembelian, laporan laba rugi dan neraca. Pajak Masukan tersebut sebesar Rp.894.976.831,- dan PPN-nya Rp.89.497.683,1. penulis menemukan ada beberapa Pajak Masukan yang seharusnya tidak dapat dikreditkan tapi perusahaan mengkreditkannya, yaitu terdapat pada bulan Mei, Agustus dan November. Dengan total keseluruhan sebesar Rp.33.579.100,-. Dalam hal ini perusahaan belum begitu memahami Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan yang tidak dapat dikreditkan. Kriteria umum suatu Pajak Masukan dapat dikreditkan apabila telah memenuhi persyaratan baik formal maupun material berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. Sedangkan dalam Pasal 9 ayat (8), disebutkan bahwa Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana, dan Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar yang tidak memunuhi ketentuan perundangundangan Pajak Pertambhan Nilai tidak dapat dikreditkan. Menurut perusahaan, hal ini disebabkan fungsi pajak PT ACG kurang memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. tanggapan penulis atas keterangan dari Pengusaha Kena Pajak penjual
77
merupakan Faktur Pajak Standar yang cacat, dan pihak perusahaan tidak menyadari hal tersebut sebagai sebuah kekeliruan. Akibatnya, karena Faktur Pajak Standar yang diterima tergolong Faktur Pajak Standar cacat, seharusnya perusahaan tidak mengelompokan Pajak Masukan tersebut sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan melainkan sebagai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, karena akan berpengaruh dalam pengisian SPT dan Pelaporan Pajak-nya, selama Faktur Pajak tersebut belum diganti maka Faktur Pajak tersebut adalah Faktur Pajak yang tidak dapat dikreditkan. Berdasarkan kondisi yang ada, penulis memberikan rekomendasi kepada perusahaan agar PT ACG meminta Faktur Pajak Standar pengganti kepada Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar, agar Pajak Masukan tersebut dapat dikreditkan dalam SPT Masa Pembetulan. PT ACG juga harus melakukan klasifikasi terlebih dahulu sebelum mengisi SPT Masa. Klasifikasi Pajak Masukan dapat dilakukan dengan menggunakan format kertas kerja.
78
3. Terdapatnya Faktur Pajak Standar yang diperoleh dari Pengusaha Kena Pajak penjual yang tergolong Faktur Pajak Standar cacat. Tabel IV.6 Kertas Kerja Evaluasi Pajak Masukan Januari – Desember 2005
No
1 2 3
No. Faktur Pajak
EUMVJ-0360002413 CZRUJ-0260049214 EUMVJ-0360002684
Dasar Pengenaan Pajak
PPN
Klasifikasi
Dibandingkan dengan PK
Lengkap
Cacat
DD
TDD
3.497.683
349.768
X
√
X
√
10.056.959
1.005.695
X
√
X
√
5.000.000
500.000
X
√
X
√
Keterangan : DD = Dapat Dikereditkan TDD = Tidak Dapat Dikreditkan Menurut hasil penelitian yang didasarkan pada data dan hasil wawancara yang dilakukan, penulis mendapatkan Faktur Pajak cacat pada bulan Oktober. Penulis beranggapan bahwa PT ACG belum begitu memahami ketentuan-ketentuan yang ada, sehingga Faktur Pajak yang cacat tersebut tidak ada pembetulan kembali yang seharusnya diperbaiki. Karena Faktur Pajak yang cacat sebenarnya merugikan perusahaan, oleh karena itu yang seharusnya dapat dikreditkan tapi tidak dapat dikreditkan. Menurut Pasal 13 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, Faktur Pajak wajib diisi dengan benar, lengkap, dan jelas. Benar berarti sesuai dengan Undang-Undang material. Lengkap berarti semua unsur yang tercantum dan lampiran yang diisyaratkan harus lengkap dan ditandatangani. Jelas berarti setiap
79
tulisan maupun angka harus jelas sehingga tidak dapat ditafsirkan lain. Dari unsur jelas ini, diantaranya termasuk dengan memberikan coretan pada bagian yang tidak perlu dari kalimat (Harga Jual/ Penggantian/ Uang Muka/ Termijin**) sesuai dengan keadaan pada saat pembuatan Faktur Pajak Standar. Jika penyerahan Barang Kena Pajak Dasar Pengenaan Pajaknya adalah Harga Jual, maka baris tersebut yang bukan harga jual harus dicoret, menjadi seperti berikut: “(Harga Jual/ Penggantian/ Uang Muka/ Termijin**)”. Hal ini disebabkan karena ada kolom atau baris yang teryata tidak diisi berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan tidak memenuhi persyaratan jelas. Faktur Pajak Standar tidak dicoret pada bagian yang tidak perlu dari kalimat (Harga Jual/Penggantian/ Uang Muka/ Termijin), sehingga menjadikan yang terdapat dalam Faktur Pajak Standar menjadi rancu, apakah berupa Harga Jual, Penggantian, Uang Muka atau Termijin. Akibatnya, Faktur Pajak Standar Masukan yang diperoleh itu merupakan Faktur Pajak Standar cacat. Karena Faktur Pajak Standar yang diperoleh tidak lengkap atau cacat, maka Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan. Rekomendasi dari penulis yaitu, perusahaan sebaiknya pada waktu menerima Faktur Pajak dari Pengusaha Kena Pajak penjual, fungsi Pajak PT ACG harus memeriksa kembali kelengkapan dari Faktur Pajak Standar itu. Jika teryata ditemukan Faktur Pajak Standar yang tidak diisi dengan lengkap, PT ACG harus segera meminta Faktur Pajak Standar pengganti kepada Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Pajak tersebut.
80
Setelah penulis melakukan penelitian yang didasarkan pada data-data dan hasil wawancara oleh pihak perusahaan, berikut ini merupakan perincian dari Pajak Keluaran dan Pajak Masukan Masa PPN 2005 Sebelum dan Sesudah Evaluasi.
Tabel IV.7 Evaluasi Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai Kurang Bayar Uraian A. Penyerahan Yang Terutang PPN. - Penyerahan Kepada Bukan Pemungut PPN
Sebelum Evaluasi
Setelah Evaluasi
Koreksi
4,803,745,459
5,407,501,280
603,755,821
480,374,546
540,750,128
60,375,582
B. Pajak Keluaran. - Dengan Tarif 10% C. Pajak yang dapat diperhitungkan. - Pajak Masukan Dalam Negeri
82,811,034
82,811,034
82,811,034
82,811,034
- Pajak Masukan Dari Masa Tidak Sama - Kompensasi Kelebihan Bulan Lalu Jumlah Pajak Yang Dapat Diperhitungkan PPN Kurang (Lebih) Dibayar
IV.3
397,626,405
451,252,445
53,626,040
Evaluasi Penerapan dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan penjelasan Pasal 3 UU KUP digariskan bahwa bagi Pengusaha
Kena Pajak fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran, pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh
82
Pengusaha Kena Pajak dan/ atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Penerapan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai sangat penting untuk Pengusaha Kena Pajak. Karena, Wajib Pajak yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan hasil kegiatan yang berupa Penyerahan Pajak Pertambahan Nilai dan Perolehan Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha Kena Pajak harus mengetahui bagaimana prosedur pelaporan Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal ini Pengusaha Kena Pajak tidak hanya melaporkan Pajak Pertambahan Nilai selain itu juga harus menerapkan Pajak Pertambahan Nilai yang sudah diatur dalam ketentuanketentuan yang berlaku. Dimana Dalam hal ini Pengusaha Kena Pajak harus mengetahui bagaimana cara pelaksanaan dan cara pelaporan. Pelaksanaan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai memang wajib bagi setiap Wajib Pajak yang sudah dikukuhkan sebagai PKP. Berdasarkan kondisi-kondisi yang ada PT ACG dalam menerapkan dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai, masih belum begitu mmahami. Karena dari hasil penelitian masih terdapatnya kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam pengisian SPT Masa PPN. Dari data dan hasil wawancara penulis oleh karyawan PT ACG, penulis beranggapan bahwa PT ACG belum begitu menerapkan Pajak Pertambhan Nilai. dengan keadaan seperti ini penulis menemukan beberapa masalah dalam Penerapan dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang diantaranya sebagai berikut.
83
Tabel IV.10 Evaluasi Pajak Keluaran dan Pajak Masukan Masa Januari-Desember 2005 Sebelum Evaluasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Penyerahan 682,739,916 361,667,184 241,118,667 923,752,217 62,929,917 254,117,003 264,389,309 265,544,917 444,642,872 357,627,500 336,765,000 609,087,926
PK 68,273,992 36,166,718 24,111,867 92,375,222 6,292,992 25,411,700 26,438,931 26,554,492 44,464,287 35,762,750 33,676,500 60,908,793
Perolehan 137,500,000 69,807,550
PM 13,750,000 6,980,755
144,171,600 18,480,000
14,417,160 1,848,000
128,787,550 140,613,640
12,878,755 14,061,364
188,750,000
18,875,000
Tabel IV.11 Evaluasi Pajak Keluaran dan Pajak Masukan Masa Januari-Desember 2005 Setelah Evaluasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Penyerahan 682,739,916 361,667,184 492,350,383 1,147,384,913 62,292,917 254,117,003 264,389,309 265,544,917 504,992,922 357,627,500 505,306,390 609,087,926
PK 68,273,992 36,166,718 49,235,038 114,738,491 6,229,292 25,411,700 26,438,931 26,554,492 50,499,292 35,762,750 50,530,639 60,908,793
84
Perolehan 141,625,000 73,297,928 5,675,655 145,613,316 23,100,000
PM 14,162,500 7,329,793 567,566 14,561,332 2,310,000
135,870,865 140,613,640 18,554,642 21,875,785 188,750,000
13,587,087 14,061,364 1,855,464 2,187,579 18,875,000
1. SPT Masa PPN merupakan surat yang digunakan oleh PT ACG untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang untuk setiap Masa Pajak. Penulis menemukan beberapa penyimpangan dalam SPT Masa PPN, dalam hal ini penulis menjadi lebih fokus dalam melakukan evaluasi. Penyimpangan yang terjadi pada SPT Masa yaitu kesalahan penulisan SPT Masa yang terdapat pada Formulir 1195. Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, salah satu unsur yang terdapat dalam pengisian Surat Pemberitahuan adalah benar, lengkap, dan jelas. Benar berarti, pengisian SPT sudah sesuai penghitungannya menurut Undang-Undang material (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 dan UndangUndang Nomor 18 Tahun 2000). Lengkap, berarti seluruh unsur dan lampiran yang diisyaratkan telah diisi dengan lengkap dan SPT
tersebut ditandatangani oleh
Wajib Pajak atau kuasanya. Jelas, berarti baik tulisan maupun angka yang ada di dalam SPT harus jelas dan terang sehingga tidak dapat ditafsirkan lain. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undnag Nomor 16 Tahun 2000, Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan SPT atas ketentuan sendiri dengan menyampaikan peryataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, dengan syarat Dirjen Pajak belum memenuhi tindakan pemeriksaan.
85
Dari hasil yang dilakukan dalam melakukan penelitian, hal ini terjadi karena human error yang dilakukan oleh user (orang yang melakukan input data kedalam SPT). Akibat yang ditimbulkan yaitu data yang terdapat dalam SPT Masa PPN Januari-Desember 2005 menjadi tidak benar, sehingga harus dilakukan kembali pembetulan kedua. Rekomendasi dari penulis, agar perusahaan memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut dengan prosedur yang telah ditentukan dalam ketentuan perpajakan yang berlaku. Perbaikan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa PPN JanuariDesember 2005 pembetulan II. Prosedur yang harus ditempuh yaitu menyampaikan permohonan tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar sebgai Pengusaha Kena Pajak yang sudah dikukuhkan dengan menggunakan Formulir SPT biasa, dengan mencantumkan kata pembetulan di SPT induk maupun lampiran-lampirannya. Perusahaan juga sebaiknya melakukan pengisian SPT Masa PPN Formulir 1195 lampiran B4. Karena, menurut penulis tidak semua Pajak Masukan dapat dikreditkan karena beberapa Faktur Pajak Standar yang tergolong cacat.
Selanjutnya, pengisian SPT Masa PPN dapat dilihat pada kertas kerja
pengisian SPT Masa PPN 1195. Sebelum SPT Masa PPN disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak, sebaiknya diperiksa kembali. Karena, penulis berpendapat bahwa peran personel yang khusus memeriksa kembali SPT Masa PPN sebelum dilaporkan atau disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sangat penting dan diperlukan. Personel ini harus terpisah dari bagian penghitungan serta input data, agar kesalahan dalam pengisian SPT dapat diminimalkan.
86
2. SPT Masa PPN Pembetulan I Masa Pajak Desember 2005 yang dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak merupakan SPT Masa yang tidak lengkap. Karena dalam hal ini penulis menemukan beberapa kesalahan pengisian. Berdasarkan kondisi-kondisi yang ada, setelah penulis melakukan pengamatan yang didasarkan dan dikuatkan data yang berbentuk dokumentasi seperti hasil wawancara dengan pihak perusahaan. Dengan ini penulis menemukan suatu masalah dalam Penerapan dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai. Dimana terdapat kesalahan pengisian SPT 1195, dengan melihat Kondisi pada PT ACG saat ini yaitu SPT Masa Pembetulan I yang telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak, merupakan SPT yang tidak lengkap karena, elemen yang terdapat dalam Formulir 1195 Induk lembar kedua dan ketiga belum lengkap diisi. SPT Masa PPN yang telah disampaikan PT ACG ke Kantor Pelayanan Pajak hanya menyampaikan lampiran SPT yang diisi saja. Lempiran SPT Masa PPN lainyang diisyaratkan oleh direktur Jenderal Pajak tidak disampaikan. Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 Undnag-Undang Nomor 16 Tahun 2000, salah satu unsur yang terdapat dalam pengisian Surat Pemberitahuan adalah benar, lengkap, dan jelas. Benar berarti, pengisian SPT sudah sesuai dengan peghitungannya menurut Undang-Undang material (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2000). Lengkap, berarti seluruh unsur dan
lampiran yang diisyaratkan telah diisi dengan lengkap dan SPT tersebut ditandatangani oleh wajib Pajak atau kuasanya. Jelas berarti, baik tulisan maupun angka yang ada ada di dalam Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP-
87
215/PJ./2001, Surat Pemberitahuan dinyatakan tidak lengkap apabila memenuhi diantaranya : 1) Elemen Surat Pemberitahuan induk dan lampiran tidak atau kurang lengkap 2) diisi. 3) Surat Pemberitahuan kurang atau tidak dilampiri dengan lampiran yang diisyaratkan termasuk termasuk media elektronik. Perusahaan berpendapat bahwa hal tersebut sudah lama diterapkan di dalam perusahaan. Selama ini perusahaan tidak mengetahui bahwa hal seperti itu merupakan sebuah kekeliruan yang berdampak negatif untuk perusahaan sendiri. Menurut, hal seperti ini disebkan pihak perusahaan sendiri. Menurut penulis, hal ini disebabkan pihak perusahaan kurang memperhatikan ketentuan yang berlaku. Akibatnya, jika saat dilakukan pemeriksaan oleh fiskus, kemudian diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, maka dalam hal ini perusahaan dapat dikenakan sanksi yang lebih besar yaitu dapat berupa kenaikan. Rekomendasi yang dapat diberikan penulis adalah perusahaan sebaiknya melakukan pemeriksaan kembali atas SPT Masa PPN. Perusahaan seharusnya menyampaikan SPT Masa beserta seluruh lampiran yang diisyaratkan. dalam hal ini penulis menyarankan agar perusahaan dalam menyampaikan SPT Masa PPN Pembetulan kedua yang dapat dilihat pada lembar lampiran yang berada dibelakang.
88