BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN
IV.1
Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG IV.1.1 Keadaan Perekonomian Indonesia Pada Saat Krisis Ekonomi Keterbukaan perekonomian dengan sistem devisa bebas dan berbagai langkah deregulasi yang ditempuh pemerintah Indonesia, telah memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan perekonomian domestik. Hingga dalam beberapa tahun belakangan ini dinamisme perekonomian cukup tinggi dengan laju inflasi yang menurun dan surplus neraca pembayaran yang cukup besar. Perkembangan makroekonomi yang mantap tersebut memberikan keyakinan kepada investor atas prospek perekonomian sehingga mendorong masuknya arus modal dan semakin memperdalam integrasi perekonomian nasional kedalam perekonomian internasional. Akan tetapi dinamisme perekonomian tersebut tidak sepenuhnya disertai dengan upaya menata pengelolaan dunia usaha dan menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sehingga tercermin kurangnya transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan. Bersamaan dengan itu, kelemahan informasi yang diterima semakin memperburuk kualitas keputusan yang diambil oleh dunia usaha dan pemerintahan. Hal inilah yang memperlemah kondisi fundamental ekonomi sehingga meningkatkan kerentanan perekonomian terhadap guncangan eksternal. Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”. Mereka mengambil sikap demikian karena tidak percaya lagi 40
terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek. Untuk mempertahankan nilai tukar Baht agar tidak jatuh terus, pemerintah Thailand melakukan intervensi dan didukung oleh intervensi yang dilakukan oleh bank sentral Singapura. Akan tetapi, pada hari Rabu, 2 Juli 1997, bank sentral Thailand terpaksa mengumumkan bahwa nilai tukar Baht dibebaskan dari ikatan dengan dolar AS. Sejak itu nasibnya diserahkan sepenuhnya kepada kepada pasar. Hari itu juga pemerintah Thailand meminta bantuan IMF. Pengumuman itu mendepresikan nilai tukar Baht sekitar 15% hingga 20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28.20 Bath per dolar AS. Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari Rp.2,500,- menjadi Rp.2,650,- per dolar AS. Sejak saat itu, posisi Rupiah mulai tidak stabil. Menanggapi perkembangan itu, pada bulan Juli 1997 Bank Indonesia melakukan empat (4) kali intervensi, yakni memperlebar rentang intervensi. Akan tetapi pengaruhnya tidak banyak, nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan, dan tanggal 13 Agustus 1997 Rupiah mencapai rekor terendah dalam sejarah, yakni Rp.2,682,- per dolar AS sebelum akhirnya ditutup Rp.2,655,- per dolar AS. Dalam aksinya, pertama-tama BI memperluas rentang intervensi Rupiah dari 8% menjadi 12%, tetapi akhirnya juga menyerah dengan melepas rentang intervensinya dan pada hari yang sama Rupiah melemah ke Rp.2,755,- per dolar AS. Pada tanggal 14 Agustus 1997, Bank Indonesia mengubah sistem nilai tukar dari sistem mengambang terkendali menjadi
41
mengambang bebas. Dari langkah kebijakan yang diambil pemerintah, maka perkembangan moneter sampai awal September 1997 menjadi relatif terkendali. Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak bertambah buruk, pemerintah orde baru mengambil beberapa langkah konkret, di antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar Rupiah tersebut. Pada awalnya pemerintah berusaha menangani krisis Rupiah ini dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi, setelah menyadari merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, maka pada tanggal 8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF. Pada akhir bulan Oktober 1997, lembaga keuangan internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS. Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi yang ditentukan oleh IMF, pemerintah Indonesia mengumumkan pencabutan ijin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat. Ini merupakan awal dari kehancuran perekonomian Indonesia. Pada awal krisis, komitmen pemerintah yang merupakan faktor dominan dalam memulihkan kepercayaan investor baik domestik maupun internasional sering dipertanyakan. Sehingga komitmen kurang mantap itu serta berbagai masalah berat yang telah ada dalam perekonomian sebelum krisis beserta penangannannya, seperti pada sistem perbankan yang rapuh, hutang luar negeri 42
sektor swasta, perundingan dengan IMF, ditambah dengan masalah sosial, politik dan
keamanan,
semakin
ikut
memperparah
krisis
sehingga
upaya
penyembuhannya pun semakin sulit. Dalam keadaan seperti ini, sektor moneter terpaksa menanggung beban berat serta serba dilematis, yaitu keadaan stabilisasi nilai tukar dan inflasi. Program stabilisasi harus dibayar dengan suku bunga yang tinggi bahkan pernah mencapai 70%, padahal dalam suatu keadaan perekonomian yang inflasioner, suku bunga yang tinggi umumnya cukup efektif untuk meredam laju inflasi dan memperkuat nilai tukar. Namun dalam keadaan perekonomian yang mengalami stagflasi atau kontraksi dan hiper-inflasi akibat hilangnya kepercayaan, kerusakan sistem produksi dan distribusi serta gangguan keamanan, efektifitas suku bunga menjadi dipertanyakan.
IV.1.2 Keadaan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis dan Pemulihan Ekonomi Pemerintahan
reformasi
yang
diawali
dengan
terpilihnya
K.H
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden RI keempat dan Megawati Soekarno Putri sebagai Wakil Presiden pada tanggal 20 Oktober 1999, menjadi suatu momentum yang dimana masyarakat umum, kalangan pengusaha, dan investor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan memuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri. Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukan adanya perbaikan. Laju
43
pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat bunga juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil. Nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS yang tidak stabil dan sempat menyentuh Rp.12,000,- per dolar AS (April 2001) sangat berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terjadi karena dua hal, yaitu: perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, dan utang luar negeri Indonesia dalam nilai dolar AS (swasta dan pemerintah) sangat besar. Pemerintah terus berusaha untuk melakukan pemulihan-pemulihan dengan berbagai cara, misalnya: pada tahun 2001 pemerintah membuat langkahlangkah perbaikan ekonomi dengan melakukan restrukturisasi utang usaha, penjualan aset BPPN, perbaikan dalam gaya kepemimpinan presiden, dan amandemen UU Bank Indonesia. Sedikit demi sedikit usaha pemerintah itu mulai menampakkan hasil, walaupun dengan jatuh bangun. Akhirnya pada bulan Maret 2003 usaha pemerintah ini menunjukan hasil yang signifikan dimana bulan ini menjadi titik awal Bullish Trend IHSG dan suku bunga simpanan yang stabil dibawah 12% per tahun (untuk Deposito 1 bulan).
44
IV.1.3 Perkembangan IHSG Periode 1997 – 2005 Pasar modal merupakan pasar dimana terjadi aktivitas yang rasional dan spekulatif. Fluktuasi IHSG tidak terlepas dari hal ini, tindakan para spekulan yang jelas dapat membuat pasar berkembang menjadi tidak normal, artinya harga yang terjadi tidak sesuai dengan nilai wajar saham. Hal ini yang menyebabkan adanya Bullish Trend dan Bearish Trend yang cenderung berubah dengan cepat dalam pergerakan IHSG. Gambar 4.1 Pergerakan IHSG Tahun 1997 - 2005 1400.00
1200.00
IHSG (poin)
1000.00
800.00
600.00
400.00
200.00
0.00 Jan 97
Jul 97
Jan 98
Jul 98
Jan 99
Jul 99
Jan 00
Jul 00
Jan 01
Jul 01
Jan 02
Jul 02
Jan 03
Jul 03
Jan 04
Jul 04
Jan 05
Jul 05
Bulan
Sumber : Jurnal Pusat Referensi Pasar Modal Bursa Efek Jakarta Tahun 1997 – 2005
Jika dilihat dari Gambar 4.1, awal tahun 1997 Indeks mencapai level psikologis 700 poin, dan sampai akhirnya menembus level 700 poin hingga 721.720 poin (Jul 1997). Hal ini disebabkan antara lain karena pencapaian laba dari emiten yang lebih besar daripada yang diperkirakan serta membaiknya Indeks Harga Saham Wall Street.
45
Namun memasuki Agustus 1997, gejolak nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS mulai mempengaruhi pasar modal sehingga mengalami penurunan yang tajam walaupun sempat menguat pada bulan September 1997 karena pemerintah melepas batasan bagi investor asing dalam pemilikan saham di pasar modal. Ditambah lagi arbitrase akibat melemahnya Rupiah oleh investor asing terhadap saham-saham dual listing seperti Telkom, Indosat, dan Tambang Timah. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama karena setelah itu nilai tukar Rupiah terus terdepresiasi cukup tajam terhadap dolar AS, hingga IHSG mengalami Bearish Trend dengan nilai 258.10 pada tanggal 21 September 1998 dengan nilai kapitalisasi Rp. 108 Triliun. Pada periode ini, tercatat dari 289 emiten yang mencatatkan sahamnya di BEJ, 170 diantaranya bernilai di bawah harga nominalnya yang rata-rata Rp. 500,- per lembarnya. Dari 170 saham tersebut , 20 saham berharga Rp. 75,- per lembarnya, 13 saham berharga Rp. 50,- per lembarnya, dan 11 saham berharga Rp. 25,- per lembarnya. Sebaliknya, nilai perdagangan dan jumlah emiten di pasar modal mengalami peningkatan, hal ini mengindikasikan semakin aktifnya perdagangan saham di BEJ yang ditandai dengan bertambahnya jumlah emiten sebanyak 35 emiten yang 15 diantaranya mencatatkan sahamnya sebelum gejolak nilai tukar. Inilah yang menyebabkan indeks terangkat sedikit pada kuartal I 1998. Indeks mulai merangkak naik sedikit demi sedikit dari Oktober 1998 hingga mencapai range 500-600 poin pada tahun 1999, aliran dana asing yang masuk turut berperan besar dalam peristiwa ini. Tahun 2000 dimana keadaan politik domestik yang mengalami ketegangan berkepanjangan, faktor keamanan yang tidak kunjung membaik, 46
pemulihan ekonomi yang berjalan lambat, IMF yang menunda kucuran dananya, keadaan ekonomi yang tidak pasti, perkembangan bisnis yang lesu telah membuat IHSG terpangkas hingga ke level 416.321 poin (Des 2000). Dimana banyak pemodal asing yang mempunyai investasi jangka panjang “hengkang” dari Indonesia, ditambah lagi dengan peristiwa runtuhnya World Trade Center akibat aksi teroris di New York menyebabkan IHSG terus terpuruk hingga ke sekitar level 350 poin. Investor asing mulai masuk lagi ke BEJ pada tahun 2002, sehingga sepanjang semester I tahun 2002, BEJ mencatat prestasi sebagai bursa yang kinerjanya terbaik di dunia. IHSG telah menguat dari 383 poin (2 Jan 2002) menembus level 540 poin(14 Juni 2002), naik sekitar 42% dalam waktu 6 bulan. Nilai transaksi meningkat drastis menjadi sekitar Rp. 500 miliar hingga Rp. 600 miliar sehari. Kemudian IHSG mulai jatuh kembali akibat peristiwa akuntansi yang melemahkan bursa saham Amerika, krisis ekonomi Amerika, Bom Bali (Oktober 2002) dan terkuaknya kejadian-kejadian “memalukan” di pasar modal, seperti: adanya emiten yang melakukan penggelembungan laporan keuangan, pimpinan perusahaan sekuritas “dikirim” ke tahanan polisi, dan semakin meningkatnya pelanggaran peraturan-peraturan pasar modal. Tetapi pada tahun ini juga BEJ melakukan penyempurnaan sistem scriptless trading dan remote trading. Tetapi pada Maret 2003 dimana perekonomian sudah menunjukan suatu pemulihan dan suku bunga yang mulai stabil, BEJ mulai “diserbu” lagi oleh para investor baik asing maupun domestik. Sehingga bulan ini menjadi awal dari Bullish Trend IHSG yang cukup panjang, dan pada akhir tahun 2004 dibawah 47
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono IHSG berhasil menembus level 1000 poin, yang mana lebih besar dari ekspektasi optimis masyarakat.
IV.1.4 Perkembangan Laju Inflasi Periode 1997 – 2005 Memasuki tahun 1997, laju inflasi masih dapat dikatakan normal, malah mengalami deflasi dalam bulan Maret dan Juni yaitu sebesar 0.12% dan 0.17%. Namun setelah gejolak nilai tukar yang menimpa Indonesia, laju inflasi mulai Gambar 4.2 Pergerakan Laju Inflasi Tahun 1997 - 2005 14
% Inflasi(berdasarkan IHK)
12 10 8 6 4 2 0 Jan 97 Jul 97 Jan 98 Jul 98 Jan 99 Jul 99 Jan 00 Jul 00 Jan 01 Jul 01 Jan 02 Jul 02 Jan 03 Jul 03 Jan 04 Jul 04 Jan 05 Jul 05 -2 Bulan
Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, Tahun 1997 – 2005
tidak dapat dikendalikan lagi, walaupun laju inflasi pada awal krisis masih tergolong wajar. Kebijakan moneter untuk menekan laju inflasi tersebut dirasakan kurang efektif lagi. Hal ini ditambah dengan tidak adanya pemasukan modal luar negeri, maka yang seharusnya peningkatan suku bunga efektif untuk meredam laju inflasi, namun yang terjadi adalah peningkatan suku bunga sangat tinggi sedangkan perekonomian mengalami hiper-inflasi. 48
Oleh karena itu, selama krisis kemungkinan terjadi hubungan yang lemah antara suku bunga dengan inflasi. Faktornya karena suku bunga yang tinggi lebih banyak dipengaruhi oleh kelangkaan likuiditas yang dialami oleh bank-bank yang tidak sehat secara struktural, mengandalkan sumber dana dari pasar uang antar bank, ditambah lagi adanya rush oleh para nasabah. Oleh karena itu penetapan suku bunga yang tinggi masih tidak dapat menahan laju inflasi tersebut, karena penyebab dari laju inflasi yang tinggi ini bukan berasal dari Demand Pull melainkan Cost Push. Gambar 4.2 menunjukan mulai kapan inflasi tersebut tidak terkendali, hingga pada akhir tahun 1998 mencapai laju inflasi yang cukup tinggi yaitu 77.63% per tahun sedangkan pada tahun sebelumnya hanya mencapai 11.05%. Memasuki tahun 1999 inflasi sudah mulai terkendali akibat bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Kemudian inflasi terus berada rata-rata di bawah 2% per bulannya. Tahun 2004 ke depan inflasi dijaga ketat oleh BI untuk tetap berada di kisaran 6-7% dengan mempertahankan kebijakan moneter yang cenderung ketat. Tetapi di periode ini inflasi mengalami tekanan untuk meningkat disebabkan: harga minyak dunia yang tinggi, ekspektasi masyarakat internasional terhadap kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed Amerika, peningkatan konsumsi, dan perkembangan ekonomi di dalam negeri. Hingga pada Oktober tahun 2005 laju inflasi melonjak hingga ke angka 8.70% disebabkan dampak kenaikan harga BBM yang sekitar 80% lebih, mempengaruhi peningkatan harga pada semua kelompok barang dan jasa.
49
Kenaikan harga BBM ini disebabkan adanya penghapusan subsidi pemerintah untuk BBM dan dialihkan kepada bantuan tunai untuk para fakir miskin.
IV.1.5 Perkembangan Suku Bunga Deposito Bank Umum Periode 1997 – 2005 Sampai sebelum krisis ekonomi (Juli 1997), kebijakan moneter memiliki banyak sasaran, seperti pertumbuhan yang tinggi, stabilitas harga dan neraca Gambar 4.3 Perkembangan Tingkat Bunga Deposito 1 Bulan Bank Umum Tahun 1997 - 2005 6.00
% suku bunga /bulan
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00 Jan 97 Jul 97 Jan 98 Jul 98 Jan 99 Jul 99 Jan 00 Jul 00 Jan 01 Jul 01 Jan 02 Jul 02 Jan 03 Jul 03 Jan 04 Jul 04 Jan 05 Jul 05
Bulan
Sumber : http://www.bi.go.id
pembayaran yang mantap. Namun semenjak krisis, Bank Indonesia menetapkan sistem nilai tukar mengambang, dan sasaran kebijakan moneter diprioritaskan untuk menstabilkan harga dan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS. Dalam masa krisis ini, dimana terjadi perkembangan harga yang hiper-inflasi dan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS, maka bunga nominal dipertahankan tetap tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.3 yang menunjukan tingkat bunga
50
Deposito 1 bulan yang berada di atas level 20% per tahun dari bulan Agustus 1997 sampai akhir Juni 1999. Tingkat bunga yang tinggi secara teoritis dalam perekonomian terbuka dengan arus lalu lintas modal yang bebas akan memperkuat nilai tukar karena terjadi pemasukan modal dari luar negeri. Namun hal ini tidak berlaku dalam masa krisis. Suku bunga yang tinggi tetapi nilai tukar masih tetap merosot. Hal ini terjadi karena suku bunga tidak akan efektif untuk memperkuat nilai tukar dan menurunkan laju inflasi apabila terdapat faktor-faktor non-ekonomis yang mengganggu, seperti: rumor negatif, gangguan keamanan dan sosial. Tingkat bunga yang tinggi ini akhirnya mulai mereda pada sekitar Agustus 1999, yang disebabkan mulai meredanya juga krisis perbankan nasional. Untuk menciptakan perekonomian yang stabil maka BI membuat kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas suku bunga dengan cara menyerap kelebihan likuiditas yang terjadi di perbankan, melalui Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (Fasbi) dan pelaksanaan lelang SBI. Kestabilan tingkat bunga ini membuat para pebisnis mulai melakukan kembali kegiatannya, tetapi tidak banyak berdampak pada perkembangan IHSG. Baru setelah suku bunga deposito rata-rata berada dibawah 12% per tahun, aktivitas bursa mulai ramai dan IHSG melonjak hingga menembus level 1000 poin.
51
IV.2
Analisa Korelasi Tingkat Bunga dan Inflasi Terhadap IHSG IV.2.1 Periode Tahun 1997-2005 Dalam sub-bab ini, penulis akan membahas faktor ekternal yang akan mempengaruhi fluktuasi IHSG, yaitu laju inflasi dan tingkat bunga deposito 1 bulan pada bank umum. Untuk menguji hipotesa, maka digunakan fungsi regresi linear berganda dimana variabel inflasi (X1) dan variabel tingkat bunga (X2) adalah variabel bebas (independen). Sementara variabel IHSG sebagai variabel tidak bebas (dependen). Dengan menggunakan program Microsoft Excel, maka didapat hasil sebagai berikut (1997-2005):
Tabel 4.1 Tabel ANOVA 1 All SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.481490262 R Square 0.231832872 Adjusted R Square 0.217201118 Standard Error 198.9431612 Observations 108
α = 5% Correlation: IHSG-Inflasi -0.106610245t table :1.6449 IHSG-Bunga -0.465897124F table :3.07 Inflasi-Bunga 0.460412264 Stdev IHSG :
224.8557077
ANOVA Regression Residual Total
Intercept X Variable 1 X Variable 2
df 2 105 107
SS MS F 1254199.508 627099.754 15.84450227 4155730.047 39578.3814 5409929.555
Coefficients Standard Error t Stat 726.8915245 31.2856854 23.23399712 14.99667366 10.55352629 1.421010689 -105.1841232 19.16070473 -5.489574871
52
Average IHSG 592.007713 Inflasi 1.20962963 Tingkat bunga 1.454822531 Sumber: Hasil Data analysis Microsoft Excel
Min 276.15 -1.05 0.49
Max 1182.301 12.76 5.15
Rentang 906.151 13.81 4.66
Yang berarti apabila kita memasukan hasil analisa di atas kedalam model penelitian, maka: IHSG = 726.8916 + 14.9967.Inflasi – 105.1841.Bunga Dari persamaan dan analisa regresi linear di atas maka dapat diinterpretasikan sebagai berikut: b0
= 726.8915845 artinya bahwa jika tingkat bunga dan laju inflasi tidak
terjadi dan diabaikan atau sama dengan nol (0), maka IHSG akan berada di posisi 726.8915845 poin. b1
= 14.99667366 artinya bahwa jika tingkat bunga diabaikan atau sama
dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% inflasi akan mengakibatkan kenaikan Indeks sebesar 14.99667366 poin. b2
= –105.1841232 artinya bahwa jika laju inflasi diabaikan atau sama
dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% tingkat bunga akan mengakibatkan penurunan Indeks sebesar 105.1841232 poin. Perhitungan di atas menunjukan nilai R-square = 0.231832872 atau 23.18% yang berarti model di atas dapat menjelaskan perilaku IHSG sebesar 23.18%(rendah). Sedangkan sisanya sebesar 76.82% tidak dapat dijelaskan oleh model di atas. Menurut uji statistik yang telah dilakukan didapat suatu kesimpulan bahwa inflasi mempunyai hubungan yang tidak signifikan terhadap IHSG, hal
53
ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang diperoleh sebesar 1.421010689 lebih kecil daripada nilai t-table sebesar 1.6449 (Ho diterima). Sementara tingkat bunga mempunyai hubungan yang signifikan terhadap IHSG, hal ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang diperoleh sebesar 5.489574871 lebih kecil daripada nilai t-table sebesar -1.6449 (Ho ditolak)
α = 0.05
-t 0.05 (-1.6449) t 0.05 (1.6449) Ho diterima Gambar 4.4 Kurva t-Test 1 Hubungan antara laju inflasi dan tingkat bunga deposito bank umum 1 bulan secara bersama-sama dapat tercermin dari uji F (F-test). Analisa regresi berganda yang diperoleh sebesar 15.84450227 menujukan hasil yang lebih besar daripada nilai F-table dengan level signifikan α = 5% adalah 3.07. Sehingga Ho ditolak, Ha diterima, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari seluruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependen (IHSG).
α = 0.05
F0.05 (3.07) Ho diterima Gambar 4.5 Kurva F-Test 1 Kemudian korelasi antar variabel dalam analisa di atas menunjukan berapa besar hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya. IHSG-Inflasi: 54
0.106610245, yang berarti IHSG dengan inflasi berkorelasi negatif sebesar 0.106610245 atau 10.66%. IHSG-Bunga: -0.465897124, yang berarti IHSG dengan tingkat bunga berkorelasi negatif sebesar 0.465897124 atau 46.59%. Inflasi-Bunga: 0.460412264 yang berarti laju inflasi dengan tingkat bunga berkorelasi positif sebesar 0.460412264 atau 46.04%. Berdasarkan data bulanan selama periode 1997-2005 IHSG bergerak sebesar 906.151 poin dengan titik terendah di level 276.15 poin dan titik tertinggi di level 1182.301 poin dengan tingkat fluktuasi (Standar Deviasi) sebesar 224.8557077; laju inflasi bergerak sebesar 13.81 poin (bukan akumulasi) dengan titik terendah di level -1.05% dan titik tertinggi di level 12.76%; tingkat bunga bergerak sebesar 4.66 poin dengan titik terendah di level 0.49% dan titik tertinggi di level 5.15%. Dalam tahun 1997-2005 terdapat peristiwa krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia, sehingga dalam rentang periode penelitian terdapat 2 periode yaitu: periode krisis ekonomi/moneter (Juli 1997 – Juni 1999), periode pasca krisis dan pemulihan ekonomi Indonesia (Juli 1999 – Desember 2005). Dan kalau kita lihat dari hasil analisa regresi berganda di atas menunjukan koefisien determinasi yang amat kecil yaitu 0.231832872 atau 23.18%, sehingga model tersebut tidak dapat dijadikan acuan dalam menentukan nilai IHSG periode mendatang. Maka penulis mencoba untuk menganalisa kembali dengan cara memisahkan analisa masing-masing periode, yaitu: analisa regresi berganda pada saat krisis moneter (Juli 1997 – Juni 1999), dan analisa regresi berganda pada saat pasca krisis dan pemulihan ekonomi Indonesia (Juli 1999 – Desember 2005). 55
IV.2.2 Periode Juli 1997 – Juni 1999 Dalam periode ini Indonesia dilanda suatu krisis yang luar biasa (uraian terdapat dalam sub-bab IV.1). Sub-bab ini ingin menjelaskan analisa model penelitian dalam peristiwa krisis moneter tersebut. Berikut adalah hasil analisa yang diperoleh dengan program Microsoft Excel: Tabel 4.2 Tabel ANOVA 2 Krisis (Jul 97-Jun 99) SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.687442092 R Square 0.47257663 Adjusted R Square 0.422345832 Standard Error 78.64851677 Observations 24
α = 5% Correlation IHSG-Inflasi -0.099179744 t table :1.7139 IHSG-Bunga -0.686378348 F table :3.47 Inflasi-Bunga 0.199077845 Stdev IHSG
103.4800384
ANOVA Regression Residual Total
Intercept X Variable 1 X Variable 2
df 2 21 23
SS MS F 116389.349 58194.67448 9.408105305 129897.373 6185.589191 246286.722
Coefficients Standard Error t Stat 668.4317396 51.31540264 13.02594748 1.209028469 5.01213897 0.241220061 -64.95317053 15.13219286 -4.292383209
Average IHSG 459.62 Inflasi 2.950416667 Tingkat bunga 3.27 Sumber: Hasil Data analysis Microsoft Excel
Min 276.15 -0.68 1.29
Max 721.27 12.76 5.15
Rentang 445.12 13.44 3.86
Yang berarti apabila kita memasukan hasil analisa di atas kedalam model penelitian, maka: 56
IHSG = 668.4317 + 1.2090.Inflasi – 64.9532.Bunga Dari persamaan dan analisa regresi linear di atas maka dapat diinterpretasikan sebagai berikut: b0
= 668.4317396 artinya bahwa jika tingkat bunga dan laju inflasi tidak
terjadi dan diabaikan atau sama dengan nol (0), maka IHSG akan berada di posisi 668.4317396 poin. b1
= 1.209028469 artinya bahwa jika tingkat bunga diabaikan atau sama
dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% inflasi akan mengakibatkan kenaikan Indeks sebesar 1.209028469 poin. b2
= – 64.95317053 artinya bahwa jika laju inflasi diabaikan atau sama
dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% tingkat bunga akan mengakibatkan penurunan Indeks sebesar 64.95317053 poin. Perhitungan di atas menunjukan nilai R-square = 0.47257663 atau 47.26% yang berarti model di atas dapat menjelaskan perilaku IHSG sebesar 47.26%(sedang). Sedangkan sisanya sebesar 52.74% tidak dapat dijelaskan oleh model di atas. Menurut uji statistik yang telah dilakukan didapat suatu kesimpulan bahwa inflasi mempunyai hubungan yang tidak signifikan terhadap IHSG, hal ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang diperoleh sebesar 0.241220061 lebih kecil daripada nilai t-table sebesar 1.7139 (Ho diterima). Sementara tingkat bunga mempunyai hubungan yang signifikan terhadap IHSG, hal ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang diperoleh sebesar 4.292383209 lebih kecil daripada nilai t-table sebesar -1.7139 (Ho ditolak).
57
α = 0.05
-t 0.05 (-1.7139) t 0.05 (1.7139) Ho diterima Gambar 4.6 Kurva t-Test 2 Hubungan antara laju inflasi dan tingkat bunga deposito bank umum 1 bulan secara bersama-sama dapat tercermin dari uji F (F-test). Analisa regresi berganda yang diperoleh sebesar 9.408105305 menunjukan hasil yang lebih besar daripada nilai F-table dengan level signifikan α = 5% adalah 3.47. Sehingga Ho ditolak, Ha diterima, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari seluruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependen (IHSG).
α = 0.05
F0.05 (3.47) Ho diterima Gambar 4.7 Kurva F-Test 2 Kemudian korelasi antar variabel dalam analisa di atas menunjukan berapa besar hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya. IHSG-Inflasi: 0.099179744, yang berarti IHSG dengan inflasi berkorelasi negatif sebesar 0.099179744 atau 9.92%. IHSG-Bunga: -0.686378348, yang berarti IHSG dengan tingkat bunga berkorelasi negatif sebesar 0.686378348 atau 68.64%.
58
Inflasi-Bunga: 0.199077845 yang berarti laju inflasi dengan tingkat bunga berkorelasi positif sebesar 0.199077845 atau 19.91%. Berdasarkan data bulanan selama periode Juli 1997 – Juni 1999 IHSG bergerak sebesar 445.12 poin dengan titik terendah di level 276.15 poin dan titik tertinggi di level 721.27 poin dengan tingkat fluktuasi (Standar Deviasi) sebesar 103.4800384; laju inflasi bergerak sebesar 13.44 poin (bukan akumulasi) dengan titik terendah di level -0.68% dan titik tertinggi di level 12.76%; tingkat bunga bergerak sebesar 3.86 poin dengan titik terendah di level 1.29% dan titik tertinggi di level 5.15%.
IV.2.3 Periode Juli 1999 – Desember 2005 Peristiwa krisis moneter yang cukup menyakiti Indonesia mulai mereda pada periode ini. Indonesia kembali melakukan pembangunan ekonomi dan perbaikan-perbaikan di berbagai sektor. Usaha pemerintah dan beberapa perubahan kepepimpinan telah membawa IHSG memasuki Bullish trend yang bahkan tidak diperkirakan oleh masyarakat sebelumnya, yaitu menembus level 1000 poin. Yang dimana level ini adalah suatu level pergerakan Indeks yang baru yang belum pernah dicapai sebelumnya. Bahkan hingga saat tulisan ini dibuat Indeks terus bergerak di atas level 1000 poin. Berikut adalah hasil analisa yang diperoleh dengan program Microsoft Excel:
59
Tabel 4.3 Tabel ANOVA 3 Setelah krisis(Jul99-Des05) SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.696086375 R Square 0.484536242 Adjusted R Square 0.470790542 Standard Error 177.7452579 Observations 78
α = 5% Correlation IHSG-Inflasi 0.128668339 t table :1.6449 IHSG-Bunga -0.680665876 F table :3.15 Inflasi-Bunga 0.024964003 Stdev IHSG
244.3341797
ANOVA df 2 75 77
Regression Residual Total
SS MS F 2227334.481 1113667.24 35.25002252 2369503.253 31593.37671 4596837.734
Coefficients Standard Error t Stat 1141.856628 69.35868164 16.46306708 31.40195201 17.86684888 1.757554017 -595.032582 72.10995283 -8.251739998
Intercept X Variable 1 X Variable 2
Average IHSG 625.32 Inflasi 0.734487179 Tingkat bunga 0.91 Sumber: Hasil Data analysis Microsoft Excel
Min 358.23 -1.05 0.49
Max 1182.30 8.7 1.46
Rentang 824.07 9.75 0.98
Yang berarti apabila kita memasukan hasil analisa di atas kedalam model penelitian, maka: IHSG = 1141.8566 + 31.4020.Inflasi – 595.0326.Bunga Dari persamaan dan analisa regresi linear di atas maka dapat diinterpretasikan sebagai berikut: b0
= 1141.856628 artinya bahwa jika tingkat bunga dan laju inflasi tidak
terjadi dan diabaikan atau sama dengan nol (0), maka IHSG akan berada di posisi 1141.856628 poin.
60
b1
= 31.40195201 artinya bahwa jika tingkat bunga diabaikan atau sama
dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% inflasi akan mengakibatkan kenaikan Indeks sebesar 31.40195201 poin. b2
= – 595.032582 artinya bahwa jika laju inflasi diabaikan atau sama
dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% tingkat bunga akan mengakibatkan penurunan Indeks sebesar 595.032582 poin. Perhitungan di atas menunjukan nilai R-square = 0.484536242 atau 48.45% yang berarti model di atas dapat menjelaskan perilaku IHSG sebesar 48.45%(sedang). Sedangkan sisanya sebesar 51.55% tidak dapat dijelaskan oleh model di atas. Menurut uji statistik yang telah dilakukan didapat suatu kesimpulan bahwa inflasi dan tingkat bunga mempunyai hubungan yang signifikan terhadap IHSG secara individu, hal ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang diperoleh sebesar 1.757554017 untuk inflasi dan -8.251739998 untuk tingkat bunga yang semuanya lebih besar daripada nilai t-table sebesar 1.6449 (Ho ditolak).
α = 0.05 -t 0.05 (-1.6449) t 0.05 (1.6449) Ho diterima Gambar 4.8 Kurva t-Test 3 Hubungan antara laju inflasi dan tingkat bunga deposito bank umum 1 bulan secara bersama-sama dapat tercermin dari uji F (F-test). Analisa regresi berganda yang diperoleh sebesar 35.25002252 menunjukan hasil yang jauh lebih
61
besar daripada nilai F-table dengan level signifikan α = 5% adalah 3.15. Sehingga Ho ditolak, Ha diterima, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari seluruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependen (IHSG).
α = 0.05 F0.05 (3.15) Ho diterima Gambar 4.9 Kurva F-Test 3 Kemudian korelasi antar variabel dalam analisa di atas menunjukan berapa besar hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya. IHSG-Inflasi: 0.128668339, yang berarti IHSG dengan inflasi berkorelasi positif sebesar 0.128668339 atau 12.87%. IHSG-Bunga: -0.680665876, yang berarti IHSG dengan tingkat bunga berkorelasi negatif sebesar 0.680665876 atau 68.07%. Inflasi-Bunga: 0.024964003 yang berarti laju inflasi dengan tingkat bunga berkorelasi positif sebesar 0.024964003 atau 2.496%. Berdasarkan data bulanan selama periode Juli 1999 – Desember 2005 IHSG bergerak sebesar 824.07 poin dengan titik terendah di level 358.23 poin dan titik tertinggi di level 1182.30 poin dengan tingkat fluktuasi (Standar Deviasi) sebesar 244.3341797; laju inflasi bergerak sebesar 9.75 poin(bukan akumulasi) dengan titik terendah di level -1.05% dan titik tertinggi di level 8.7%; tingkat bunga bergerak sebesar 0.98 poin dengan titik terendah di level 0.49% dan titik tertinggi di level 1.46%.
62
IV.2.4 Rangkuman Berikut adalah perbandingan ketiga model penelitian yang telah dibahas: Jan 97 – Des 05 : IHSG = 726.8916 + 14.9967.Inflasi – 105.1841.Bunga KP = 23.18%
KKLB = 48.15%
Jul 97 – Jun 99 : IHSG = 668.4317 + 1.2090.Inflasi – 64.9532.Bunga KP = 47.26%
KKLB = 68.74%
Jul 99 – Des 05 : IHSG = 1141.8566 + 31.4020.Inflasi – 595.0326.Bunga KP = 48.45%
KKLB = 69.61%
Melihat perbandingan di atas tampak bahwa model penelitian mempunyai Koefisien Korelasi (KP) terbesar pada saat keadaan ekonomi Indonesia sedang mengalami pemulihan dan menuju kepada kestabilan. Dari model tersebut (setelah krisis) kita mendapat informasi bahwa pergerakan IHSG amat sensitif terhadap tingkat bunga 1 bulan deposito bank umum, hal ini terlihat dari nilai b2 yaitu sebesar -595.0326, yang berarti apabila suku bunga deposito bank umum naik sebesar 1%(1 bulan) atau 12% (1 tahun), maka IHSG akan jatuh sebesar 595.0326 poin. Dan juga bila kita membandingkan korelasi IHSG dengan suku bunga dari ketiga periode model di atas, kita akan melihat korelasi ini terus menerus menduduki peringkat pertama. Dalam keadaan krisis moneter pergerakan IHSG paling banyak dipengaruhi oleh keadaan sosial politik dan keamanan negara dibandingkan dengan inflasi, karena inflasi yang terjadi pada saat itu bukan berarti adanya pertumbuhan ekonomi yang baik, tetapi disebabkan karena adanya gejolak nilai
63
tukar Rupiah terhadap dolar AS yang luar biasa. Tetapi faktor tingkat bunga tetap mempengaruhi secara signifikan.
64