1
BAB III KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
3.1. Landasan Teori 3.1.1. Kepemimpinan Transformasional 3.1.1.1. Definisi Kepemimpinan Kepemimpinan merupakan unsur utama dalam suatu organisasi, perusahaan, institusi, lembaga, atau badan organisasi lainnya. Dalam konsep manajemen organisasi, dalam perspektif Douglas kepemimpinan dimaknai sebagai “suatu proses yang mana seorang pemimpin berusaha mempengaruhi para pengikutnya. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk menciptakan kegiatan kelompok mencapai tujuan organisasi dengan efektivitas maksimum dan kerjasama dari tiap-tiap individu. Menurut Dimmock (2003:7) kepemimpinan lebih dipahami dalam konteks kepemimpinan yang terdistribusikan daripada konsep monolistik, didefinisikan
kepemimpinan
sebagai
kemampuan
yang
dimiliki
seseorang untuk menerapkan penekanan dan motivasi untuk lebih sukses melalui oranisasi. “Leadership as a distributed rather than monopolistic concept is more likely to achieve this, it is contended, through its capacity to apply pressure and motivation more successfully throughout the organisation. Karena
kepemimpinan
merupakan
potensi
yang
terus
berkembang, maka Bolam (2003:75) mengajukan konsep kepemimpinan 18
2
yang harus dikembangkan (leadership development), yaitu melalui tahapan: a. Sebuah proses pendidikan, pelatihan, dan pembelajaran yang terusmenerus dan segala kegiatan yang mendukung; b. Mengambil tempat di dalam lingkungan eksternal lain atau kerja berbasis seting; c. Terikat secara proaktif oleh persyaratan, karyawan profesional, kepala sekolah, dan pemimpin sekolah lainnya; d. Bertujuan pokok dalam mempromosikan pembelajaran dan pengembangan pengetahuan profesional yang tersedia, keahlian dan nilai-nilai; e. Membantu pemimpin sekolah untuk memutuskan dan menerapkan perubahan nilai di dalam perilaku kepemimpinan dan manajemen mereka; f. Mempromosikan pendidikan dengan kualitas tinggi untuk siswa agar lebih efektif; dan g. Mencapai keseimbangan yang disepakati antara individu, sekolah, dan kebutuhan nasional. Dari pendekatan psikologi sosial, kepemimpinan menurut Bligh dan Meindl (2005:11) dimaknai sebagai bentuk hubungan antara pemimpin dan bawahan (followers), yang meliputi aspek kekuasaan dan pengaruh yang saling bermanfaat (power and mutual influence), pertukaran timbal balik (reciprocal exchanges), identitas dan proses kategorisasi (identity and categorization processes), sifat sebab akibat (causal attribution), pengaruh dan menggerakkan (arousal and affect), dan sebagainya. Gaya kepemimpinan memainkan peran yang sangat krusial dalam menentukan
keefektivitasan
seorang
pemimpin.
Kenyataannya,
keseluruhan nilai keefektivan seorang pemimpin bergantung pada gaya kepemimpinan.
3
3.1.1.2. Teori Kepemimpinan Transformasional Kepemimpinan transformasional dibangun dari dua istilah, yaitu kepemimpinan (leadership) dan transformasional (transformational). Istilah transformasi berasal dari kata “transform”, yang bermakna mentransformasikan atau mengubah sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda, misalnya mentransformasikan visi menjadi realita, atau mengubah sesuatu yang potensial menjadi aktual. Istilah kepemimpinan transformasional pertama kali diperkenalkan oleh James MacGregor Burns dalam bukunya yang berjudul Leadership pada
tahun
1979.
Burns
menggunakan
kepemimpinan
(transforming
kepemimpinan
transformasional
leadership).
istilah
mentransformasi
Sedangkan
(transformational
istilah
leadership)
dikemukakan oleh Benard M. Bass dalam bukunya yang berjudul Leadership and Performance beyond Expectations pada tahun 1985. Kepemimpinan transformasional menurut Burns dalam Crowford (2006:51) merupakan suatu proses dimana pemimpin dan pengikutnya bersama-sama saling meningkatkan dan mengembangkan moralitas dan motivasinya (“transformational leadership as a process where leader and followers engage in a mutual process of raising one another to hinger levels of morality and motivation). Menurut Burns, seperti yang dinukil Wirawan (2003:47-48, formulasi kepemimpinan transformasional adalah sebagai berikut:
4
a. Antara pemimpin dan pengikut mempunyai tujuan bersama yang melukiskan nilai-nilai, motivasi, keinginan, kebutuhan, aspirasi dan harapan mereka; b. Walaupun pemimpin dan pengikut mempunyai tujuan bersama akan tetapi tingkat level motivasi dan potensi mereka untuk mencapai tujuan tersebut berbeda; c. Kepemimpinan transformasional berusaha mengembangkan sistem yang sedang berlangsung dengan mengemukakan visi yang mendorong berkembangnya masyarakat baru; d. Kepemimpinan transformasional bekerjakan para pengikut bagaimana menjadi pemimpin dengan melaksanakan peran aktif dalam perubahan; e. Tingkatan yang tertinggi adalah terciptanya dan terlaksanana nilai-nilai akhir yang meliputi keadilan, kebebasan, kemerdekaan, permasamaan dan persaudaraan. Menurut
Moynihan,
dkk.
(2009:4),
kepemimpinan
transformasional dijelaskan sebagai berikut: Transformational leadership direct and inspire employee effort by raising their awareness of the importance of organizational values and outcomes. In doing so, such leaders activate the higher order needs of their employees and encourage them to transcend their own self interest for the sake of the organization and its clientele. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Moynihan di atas diketahui bahwa kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan
5
yang mampu menggerakkan dan menginspirasi usaha karyawan dengan memunculkan kesadaran mereka tentang pentingnya nilai-nilai dan hasil akhir suatu organisasi, mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi dan mendorong mereka untuk mengutamakan minat-minat yang mereka miliki untuk kepentingan organisasi dan para pelanggan. Bass dan Riggio (2006:3-4) menjelaskan konsep kepemimpinan transformasional dengan menyatakan bahwa: pemimpin-pemimpin tipe transformasional adalah orang yang merangsang dan memberikan inspirasi untuk
mencapai
hasil
dan proses,
mengembangkan
kemampuan
kepemimpinan mereka sendiri. Pemimpin transformasional membantu pengikut untuk tumbuh dan berkembang bersama pemimpin dengan menjawab kebutuhan-kebutuahn pengikut yang besifat pribadi dengan memberdayakan mereka dan meluruskan tujuan dan maksud dari pribadipribadi, seorang pemimpin, kelompok, dan organisasi yang lebih besar. Kepemimpinan transformasional, menurut Bass dan Riggio (2006:7) dilaksanakan dengan cara memotivasi pihak lain untuk melakukan lebih banyak hal daripada yang mereka pada dasarnya inginkan dan lebih sering lagi dibandingkan dari mereka yang mungkin pikirkan. Pemimpin transformasional juga cenderung memiliki lebih banyak bawahan berkomitmen dan lebih banyak pula bawahan yang puas. Bass dan Riggio (2006:12) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang memiliki visi ke depan dan mampu
mengidentifikasikan
perubahan
lingkungan
serta
mampu
6
mentransformasi perubahan tersebut ke dalam organisasi; memelopori perubahan dan memberikan motivasi dan inspirasi kepada individuindividu karyawan untuk kreatif dan inovatif, serta membangun team work yang solid; membawa pembaharuan dalam etos kerja dan kinerja manajemen; berani dan bertanggung jawab memimpin dan mengendalikan organisasi. Menurut Bass, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wirawan (2007:49), istilah kepemimpinan transformasional merupakan upaya pemimpin mentransformasi para pengikut dari satu tingkat kebutuhan rendah dalam hirarki kebutuhan menurut teori motivasi Maslow ke kebutuhan yang lebih tinggi. Pemimpin juga mentransformasi harapan untuk kesuksesan pengikut dan nilai-nilai serta mengembangkan budaya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan pemimpin. Dengan mempergunakan kepemimpinan transformasional, pengikut dapat mencapai kinerja yang melebihi dari apa yang telah diharapkan pemimpin. Menurut Usman (2006:291), kepemimpinan transformasional adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan seorang pemimpin untuk melakukan perubahan perilaku pada diri seseorang mapun perubahan perilaku dalam organisasi sebagai bentuk respon terhadap perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, pendidikan, dan sebagainya. Unsur-unsur yang menjadi dimensi dari kepemimpinan transformasional
adalah
(1)
memengaruhi
idealisme
atribut,
(2)
7
memengaruhi idealisme-perilaku, (3) motivasi inspirasi, (4) simulasi intelektual, dan (5) mempertimbangkan secara individual. Bass dan Riggio (2006:46) mengatakan : “It is clear that transformational leaders are able to build strong follower commitment and loyalty. Building follower trust and promoting follower self-esteem and self-efficacy create more satisfied followers, generally, and followers who are more satisfied with the quality of their leadership than the followers of nontransformational leaders. Bekerja sama dengan seorang pemimpin transformasional dapat memberikan suatu pengalaman yang berharga, karena pemimpin transformasional biasanya akan selalu memberikan semangat dan energi positif terhadap segala hal dan pekerjaan tanpa kita menyadarinya. Menurut Yukl (2005:261) hakikat kepemimpinan transformasional adalah memberikan inspirasi, mengembangkan dan memberdayakan bawahan secara optimal. Pemimpin-pemimpin transformasional lebih banyak melakukan hal-hal yang akan memberdayakan pengikut-pengikut dan membuat mereka lebih sedikit ketergantungannya pada pemimpin, seperti mendelegasikan wewenang yang penting kepada individu-individu, mengembangkan keahlian-keahlian bawahan dan rasa kepercayaan diri, menciptakan tim yang terorganisasi dengan baik (self managed teams), menyediakan akses langsung kepada informasi yang sensitif, mengurangi kontrol-kontrol yang tidak perlu, dan membangun suatu budaya yang kuat untuk menyokong pemberdayaan (building a strong culture to support empowerment). Yukl (2005) berpendapat, bahwa pemimpin mentransformasikan akan memberikan motivasi dengan cara : (1) membuat mereka lebih sadar
8
tentang pentingnya hasil tugas; (2) mempengaruhi mereka untuk melebihi keinginan mereka sendiri untuk kepentingan kelompok kerja atau organisasi; (3) memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi bagi mereka. Esensi kepemimpinan transformasional adalah memberdayakan para pengikutnya untuk berkinerja secara efektif dengan membangun komitmen mereka terhadap nilai-nilai baru, mengembangkan ketrampilan dan kepercayaan mereka, menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya inovasi dan kreativitas. Berdasarkan teori-teori tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional manajer adalah perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada visi dan misi, mengantisipasi perubahan lingkungan,
memberikan
pengaruh
terhadap
pemikiran-pemikiran
bawahan, memberikan motivasi kepada bawahan, memberikan stimulasi intelektual dan memperhatikan bawahan secara perorangan (individual). Dimensi adalah: 1) Idealized Influence (Attributed), 2) Idealized Influence (Behavioral), 3) Inspirational Motivation, 4) Intelectual Stimulation, dan 5) Individual Consideration..
3.1.1.3.Indikator Kepemimpinan Transformasional Menurut Bass dan Riggio dalam Yukl (2005:253-254) terdapat empat dimensi kepemimpinan tranformasional, yang dikenal sebutan
9
empat I, yaitu : idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration. a. Idealized influence: manajer merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan sebagai panutan bagi karyawan dan karyawannya, dipercaya, dihormati dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan perusahaan. b. Inspirational motivation: manajer dapat memotivasi seluruh karyawan dan karyawannnya untuk memiliki komitmen terhadap visi organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai tujuan pendidikan di perusahaan. c. Intellectual Stimulation: manajer dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi di kalangan karyawan dan stafnya dengan mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan perusahaan ke arah yang lebih baik. d. Individual consideration: manajer dapat bertindak sebagai pelatih dan penasihat bagi karyawan dan stafnya. Berkaitan transformasional
dengan di
atas,
keempat
dimensi
Bass
(2006:11),
pokok
kepemimpinan
menjelaskan
bahwa
kepemimpinan transformasional mengacu pada pemimpin yang dapat menggerakkan pengikut melampaui minat pribadi mereka melalui pengaruh yang teridealisasi (karisma), inspirasi, stimulasi intelektual, atau pertimbangan individual. Ini mengangkat tingkat kematangan dan cita-cita pengikut serta berkaitan untuk berprestasi, aktualisasi diri, dan mencapai
10
kesejahteraan di level orang lain, organisasi, dan masyarakat. Pengaruh ideal dan kepemimpinan inspirasional ditampilkan bila pemimpin membayangkan
masa
depan
yang
diinginkan,
mengartikulasikan
bagaimana hal itu dapat dicapai, menetapkan contoh untuk diikuti, menetapkan standar kinerja yang tinggi, dan menunjukkan tekad dan keyakinan. Pengikut ingin mengidentifikasi dengan kepemimpinan seperti itu.
Stimulasi
intelektual
ditampilkan
bila
pemimpin
membantu
pengikutnya untuk menjadi lebih inovatif dan kreatif. Pertimbangan individual ditampilkan ketika para pemimpin memperhatikan terhadap kebutuhan
perkembangan
bawahan,
mendukung
dan
melatih
perkembangan mereka. Para pemimpin mendelegasikan tugas sebagai kesempatan untuk pertumbuhan. Menurut Danim dan Suparno (2009:50), transformasi intinya adalah mengubah potensi menjadi energi nyata. Manajer yang dapat melakukan
transformasi
kepemimpinan
berarti mengubah potensi
institusinya menjadi energi untuk meningkatkan mutu proses dan hasil belajar siswa. Menurut
Danim
dan
Suparno
(2009:53),
kepemimpinan
transformasional memiliki ciri-ciri dominan dalam konteks kepemimpinan manajer sebagai berikut : a. memiliki sensitivitas terhadap pengembangan organisasi, b. mengembangkan visi bersama antarkomunitas organisasi, c. mendistribusikan peran kepemimpinan,
11
d. mengembangkan kultur perusahaan, dan e. melakukan usaha-usaha restrukturisasi perusahaan. Kepemimpinan transformasional menurut Danim dan Suparno (2009:51), dapat didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam perusahaan untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di perusahaan (karyawan, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal perusahaan. Menurut Luthans (2006:464), kepemimpinan transformasional adalah jenis kepemimpinan yang memberikan visi dan misi, memunculkan rasa bangga, mendapatkan respek dan kepercayaan, penuh dengan inspirasi, memberikan simulasi intelektual, dan memerhatikan individu. Luthans
(2006:461)
memberikan
empat
karakteristik
kepemimpinan transformasional, yaitu : a. Karisma: memberikan visi dan misi; memunculkan rasa bangga; mendapatkan respek dan kepercayaan. b. Pengaruh terhadap inspirasi: Mengomunikasikan harapan tinggi; menggunakan
simbol-simbol
untuk
memfokuskan
usaha;
mengekspresikan tujuan penting dalam cara yang sederhana. c. Simulasi intelektual: Menunjukkan inteligensi; rasional; pemecahan masalah; secara hati-hati.
12
d. Memerhatikan pengikutnya secara individu: Menunjukkan perhatian terhadap pribadi; memperlakukan karyawan secara individu; melatih dan menasihati. Kepemimpinan transformasional menurut Nurkolis (2008:172-173) adalah kepemimpinan yang dijalankan melalui proses untuk membangun komitmen bersama terhadap sasaran organisasi dan memberikan kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai sasaran. Adapun ciriciri kepemimpinan transformasional adalah sebagai berikut : Pertama, adanya kesamaan yang paling utama, yaitu jalannya organisasi yang tidak digerakkan oleh birokrasi, tetapi oleh kesadaran bersama. Kedua, para pelaku mengutamakan kepentingan organisasi dan bukan kepentingan pribadi. Ketiga, adanya partsipasi aktif dari pengikut atau orang yang dipimpin. Kepemimpinan transformasional memiliki empat karakteristik yang melandasi konsep relasi seorang pemimpin dengan bawahan yaitu, kharismatik, inspirasional, stimulasi intelektual dan perhatian individual. Oleh karena itu, pemimpinan yang diakui memiliki kharisma pada umumnya diperoleh melalui legitimasi suksesi kekuasaan yang bersifat monarkhi. Karakteristik
inspirasional
bermakna
kepemimpinan
transformasional mampu membuka ruang-ruang imajinasi, kreasi dan inovasi bagi pihak yang dipimpin. Inspirasi dalam pandangan Valentine (2005:160) berasal dari konsep antusiasme, semakin besar getaran
13
perasaan terhadap sesuatu, semakin dalam kesenangan yang akan dialami. Kunci dari inspirasi adalah antusiame, semangat dan keinginan yang kuat dalam bekerja. Johnson dan Johnson sebagaimana yang dikutip oleh Danim dan Suparno (2009:58-59) menggambarkan kepemimpinan transformasional menciptakan susasana kekeluargaan di dalam dan antara anggota, saling merawat
satu
dengan
lainnya,
memiliki
visi
dan
mencoba
mengaktualisasikannya. Berikut ini beberapa identifikasi kepemimpinan transformasional : a. Bagaimana mengelola tantangan status quo dari persaingan tradisional dan model individual dalam manajemen. Dalam hal ini pemimpin harus
mampu
memberi
spirit
dan
contoh
senantiasa
maju
meningkatkan kualitas. b. Bagaimana menggagas visi yang harus dan dapat diraih organisasi, menjabarkan visi menjadi misi yang jelas dan dapat tercapai, serta merumuskan tujuan yang dijadikan pedoman bagi bawahan. c. Sejauhmana kemampuan memberdayakan anggota melalui kerjasama tim yang saling mendukung. d. Sejauh mana pemimpin menjadi contoh dalam menerapkan prosedur kerja dan berani menanggung resiko dalam melakukan hal yang dapat meningkatkan keahliannya. e. Berapa dalam kesadaran anggota untuk meningkatkan kemampuan interpersonalnnya.
14
Perilaku kepemimpinan transformasional manajer melibatkan usaha mengangkat pandangan orang melampaui kepentingan diri menuju usaha bersama demi tujuan bersama. Manajer transformasional membuat orang bertindak atas nama kepentingan kolektif dari kelompok atau komunitas organisasi mereka. Tipe pemimpin ini memperhatikan nilainilai kolektif umum seperti kebebasan, kebersamaan, komunitas, keadilan, dan keadilan. Kepemimpinan transformasional mengundang perhatian karyawan dan staf pada maksud dasar organisasi perusahaan dan pada relasi antara organisasi perusahaan dan masyarakat. Menurut Danim (2010:142) Kepemimpinan transformasional mengubah sikap, nilai, dan keyakinan-keyakinan operatif yang berpusat pada karyawan menuju keyakinan, sikap, dan nilai ang lebih tinggi. Hal yang paling ditakutkan oleh manajer dalam menjalankan kebijakannya adalah kegagalan, atau setidak-tidaknya apa yang telah diputuskan olehnya mengalami kegagalan. Oleh sebab itu salah satu cara untuk menghindari keputusan atau kebijakan yang gagal adalah sebagaimana yang dimaksudkan oleh Nutt dengan melibatkan karyawan untuk berperan aktif di dalam pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil bersama akan mengikat semua anggota untuk melaksanakannya Bagi Nutt (2005:156), partisipasi adalah, dalam hal ini karyawan, menjadi ujung tombak pelaksanaan segala program dan kebijakan yang telah diambil oleh pemimpin.
15
3.1.2. Lingkungan kerja 3.1.2.1.Definisi Lingkungan Kerja Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor dari fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia, tepatnya fungsi perencanaan. Fungsi perencanaan berhubungan langsung dengan pegawai yang bekerja pada lingkungan organisasi. Dengan demikian lingkungan kerja dalam suatu organisasi akan berpengaruh kepada semua kegiatan organisasi. Kondisi lingkungan kerja yang berbeda pada setiap organisasi dapat memberikan tingkat kepuasan yang berbeda pula bagi karyawan, sehingga prestasi kerja
dalam menyelesaikan tugas yang dibebankan
padanya juga berbeda. Yang harus diusahakan untuk memperbaiki metode kerja dalam suatu organisasi atau tempat kerja yang lain adalah menjamin agar para karyawan dapat bekerja dan melaksanakan tugasnya dalam keadaan yang memenuhi persyaratan, sehingga mereka dapat melakukan tugasnya tanpa mengalami hambatan. Vischer (2007:175) mengembangkan konsep lingkungan kerja psikologis. Ia mendefinisikan lingkungan kerja sebagai system kerja yang mendapatkan proteksi dari manajemen kerja sehingga ada perasaan aman untuk melaksanakan kegiatan atau menjalankan tugas. Senada dengan Vischer, et.al., (2004:83) mengembangkan konsep lingkungan kerja psikososial berkembang dari hubungan sosial dan interpersonal antara tokoh-tokoh organisasi, bahwa itu adalah hasil dari hubungan formal dan informal dan negosiasi antara karyawan dan antara karyawan dan manajemen. Melalui ini interaksi dan negosiasi seperangkat
16
norma mengembangkan yang mengatur hubungan anggota organisasi ke salah satu organisasi, dan pengaruh lain mereka sikap dan perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan. Lingkungan kerja
yang memuaskan para
karyawan akan
mendorong para karyawan untuk bekerja dengan sebaik-baiknya, hal ini terjadi karena dengan adanya lingkungan yang baik akan membuat prestasi kerja karyawan tersebut meningkat, sehingga ia dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik. Menurut Hermino (2013:15) lingkungan kerja dibedakan menjadi lingkungan fisik dalam arti semua keadaan yang terdapat di sekitar tempat kerja akan mempengaruhi pegawai baik secara langsung, misalnya pusat kerja, kursi, meja, maupun secara tidak langsung misalnya rumah, kantor, sekolah, sistem, jalan raya, dan kendaraan. Selain lingkungan fisik ada juga lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi kondisi manusia yang disebut dengan lingkungan perantara, misalnya temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, bau tak sedap, warna, dan sebagainya. Lingkungan dimana seseorang melakukan segala aktivitasnya akan mempengaruhi produktivitasnya. Menurut Wirawan (2007:122), lingkungan kerja dalam organisasi adalah persepsi anggota organisasi (secara individual dan kelompok) dan mereka yang secara tetap berhubungan dengan organisasi (misalnya pemasok, konsumen, konsultan, dan kontraktor) mengenai apa yang ada atau terjadi di lingkungan internal organisasi secara rutin, yang
17
mempengaruhi sikap dan perilaku organisasi yang kemudian menentukan kinerja anggota dalam organisasi tersebut. Menurut
Neal
dan
Griffin
(2008:100),
lingkungan
kerja
didefinisikan dengan konstruksi multidimensional yang memberikan petunjuk pada rentangan atau jangkauan yang luas terhadap evaluasievaluasi individu di dalam lingkungan kerja. Berkaitan dengan pengertian lingkungan kerja yang meliputi aspek iklim dalam bekerja di dunia usaha dan dunia industri, Adenike menjelaskan lingkungan kerja berfungsi sebagai ukuran dari persepsi individu atau perasaan seseorang tentang suatu organisasi. Lingkungan kerja, menurut Adenike (2011:152) meliputi gaya manajemen atau kepemimpinan, partisipasi dalam pengambilan keputusan, pemberian pekerjaan yang menantang untuk karyawan, pengurangan kebosanan dan frustrasi, ketentuan bagi keuntungan, kebijakan personil, penyediaan kondisi kerja yang baik dan penciptaan tahapan karir yang cocok untuk akademisi. Burton, et al. (2007:3), mendefinisikan lingkungan kerja dengan atmosfer dari suatu organisasi atau perusahaan yang bersifat psikologis, suatu kualitas lingkungan internal organisasi yang terjamin secara relatif, dialami oleh anggotanya dan mempengaruhi perilaku mereka. Burton melanjutkan bahwa lingkungan kerja dunia usaha dan industri di suatu organisasi atau perusahaan dapat diukur dengan menggunakan tujuh konsep, yaitu kepercayaan (trust), nilai moral (morale), pertentangan (conflict), persamaan ganjaran (rewards equity), kredibilitas pemimpin (leader
18
credibility), memiliki daya tahan terhadap perubahan dan pengorbanan (resistance to change and scapegoating). Gibson et all., (2006:173), mengemukakan bahwa lingkungan kerja sebagai: ” a set of properties of the works environment perceived directly or indirectly by the employees who worked in this environment and is assumed to be a major force in influencing their behavior on the job”. (satu set perlengkapan dari suatu lingkungan kerja yang dirasakan secara langsung atau tidak langsung oleh karyawan yang bekerja di lingkungan ini dan beranggapan akan menjadi kekuatan utama yang mempengaruhi tingkah laku mereka dalam bekerja) Gilmer (2006:197) mengatakan bahwa lingkungan kerja merupakan karakteristik yang membedakan satu organisasi dengan organisasi lainnya dan mempengaruhi orang-orang dalam organiasasi tersebut. Steers and Porter (2008:213) menyebutkan bahwa lingkungan kerja dapa dipandang sebagai kepribadian organisasi yang dicerminkan oleh anggota-anggotanya. Lebih lanjut lagi, Steers and Porter mengatakan bahwa lingkungan kerja tertentu adalah iklim yang dilihat pekerjanya, tidak selalu iklim yang sebenarnya dan iklim yang muncul dalam organisasi merupakan faktor pokok yang menentukan perilaku pekerja.
3.1.2.2.Dimensi Lingkungan Kerja Lingkungan kerja memiliki empat dimensi utama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jain dan Kaur (2014:2), sebagai berikut:
19
1.
Komunikasi Terbuka dan Jelas (Apparent and Open Communication): Pada intinya, itu alamat karyawan merasa bahwa mereka sesuai dalam organisasi. Namun perlu bagi staf untuk membahas organisasi filosofi, misi dan nilai-nilai.
2.
Stabilitas terhadap Kehidupan Kerja (Stability of Work-Life): Harus ada semacam keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Secara umum memiliki rasa keseimbangan akan meningkatkan kepuasan kerja antara karyawan.
3.
Ketidakberpihakan (Impartiality): Karyawan perlu mengidentifikasi bahwa mereka sedang memihak dihargai didirikan pada kinerja mereka. Ketidakberpihakan berarti bahwa konsekuensi dari kinerja tegas oleh kuantitas dan kualitas kinerja.
4.
Konsistensi
(Consistency):
Konsistensi
berarti
prediktabilitas.
Bawahan ingin tahu bagaimana atasan mereka akan bereaksi dengan diberikan situasi. Menurut studi manajemen konsistensi adalah satu standar yang paling efektif untuk membangun dengan Anda sendiri kepemimpinan. Burke, et.al. (2007:326), mendefinisikan lingkungan psikologis dari 3 sudut pandang yang berbeda, yaitu (1) social constructionist, (2) general psychological, dan (3) multiple stakeholder. Pertama, iklim psikologis dipandang dari kalangan konstruksi sosial, yang memandang iklim sebagai bentuk minat dan persepsi karyawan dalam bentuk
20
karakteristik lingkungan kerja, seperti ganjaran, rutinitas, tindak kekerasan dari senior (bullying), kreativitas dan inovasi, pelayanan nasabah (customers service), kepercayaan organisasi (organizational trust), tingkat keamanan (safety), pelecehan seksual (sexual harassment), suasana tim, dan transfer dengan pembelajaran. Kedua, lingkungan dari perspektif psikologi umum, dipandang dari “emphasizes
the
importance
personal values (e.g., clarity, responsibility, support, and
of
friendly
social relations) in the appraisal of work environment attributes”. Iklim psikologis dari perspektif ini menekankan pada pentingnya nilai-nilai pribadi seperti rendah hati, tanggung jawab, dukungan, hubungan sosial yang penuh rasa persahabatan di dalam penilaian terhadap identitas lingkungan kerja. Sedangkan ketiga, iklim dipandang dari perspektif pihak yang berkompeten yang besifat ganda, yaitu iklim tidak hanya ditentukan dari internal dan karakteristik individu melainkan juga oleh nilai dan manajemen keorganisasian yang berhubungan dengan pihak-pihak berkepentingan lainnya seperti pemasok (suppliers), nasabah (costumers), kontraktor, dan masyarakat umum . Stringer mengemukakan bahwa terdapat lima faktor pembentuk lingkungan kerja dalam suatu organisasi, yaitu lingkungan eksternal, strategi, praktik kepemimpinan, pengaturan kerja organisasi, dan sejarah organisasi. Berikut adalah gambaran kelima faktor tersebut :
21
Praktik kepemimpinan
Pengaturan kerja Organisasi
Strategi organisasi
Lingkungan kerja dalam Organisasi
Sejarah Organisasi
Lingkungan Eksternal
Gambar 1. Lima Faktor Pembentuk Lingkungan kerja dalam Organisasi (Wirawan, 2007:135)
Patterson,
et
al.
(2004:8),
memberikan
gambaran tentang
lingkungan kerja sebagai “characteristic or a descriptive concept, for instance, the evaluative construct of job satisfaction, which of an entire organization or sub-organization, apparently requiring measurement through the perceptions of a broad range of employees”. Pandangan tersebut menjelaskan bahwa lingkungan kerja merupakan bentuk dari karakteristik atau konsep deskriptif yang berupaya melakukan evaluasi seluruh pekerjaan yang dilakukan karyawan untuk mengetahui tingkat kepuasan kerja, dalam sistem organisasi atau sub-organisasi yang secara jelas membutuhkan pengukuran melalui sikap-sikap atau perilaku karyawan itu sendiri.
22
Sargent (2006:3) mengembangkan konsep lingkungan kerja yang sesuai dengan proses pembelajaran yang ia sebut dengan Workplace Community Learning (WCL). Konsep WCL tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : a. Mengidentifikasi kesempatan-kesempatan untuk mempelajari tentang beberapa aspek yang berbeda dari pekerjaan yang dilakukan; b. Memperluas perspektif karyawan tentang bagaimana fungsi tempattempat kerja yang modern; c. Mengidentifikasi penerapan teknologi dan peluang karier yang digunakan di dalam kegiatan pembelajaran dan bimbingan karier; d. Mendokumentasikan beberapa keahlian yang para pekerja pemula dan pekerja mahir butuhkan untuk menjadi sukses; dan e. Menghimpun informasi karier dan dunia kerja yang dapat membantu siswa ketika mereka siap memasuki bursa kerja. Menurut Daft dan Marcic (2006:49), ada tiga jenis lingkungan kerja dalam konteks organisasi, yaitu lingkungan internal, eksternal, dan lingkungan umum (general environment). Lingkungan internal terdiri dari nasabah (customers), karyawan (employers), manajemen, dan budaya organisasi. Sedangkan lingkungan eksternal terdiri dari pesaing, sumber daya, teknologi, dan kondisi ekonomi yang mempengaruhi organisasi. Ini tidak termasuk peristiwa-peristiwa begitu jauh dari organisasi yang dampaknya tidak dirasakan. Lingkungan umum adalah lapisan terluar yang tersebar luas dan mempengaruhi organisasi secara tidak langsung. Ini
23
termasuk faktor sosial, demografi, dan ekonomi yang mempengaruhi semua organisasi yang sama. Peningkatan laju inflasi atau adanya persentase pasangan karir ganda dalam angkatan kerja adalah bagian dari umum organisasi. Sedarmayanti (2006: 97) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi 2 yakni (a) lingkungan kerja fisik, dan (b) lingkungan keija non fisik Lingkungan kerja fisik diantaranya adalah: penerangan/cahaya, temperatur/suhu udara, kelembaban, sirkulasi udara, kebisingan, setaran inekanis, bau tidak sedap, tata warna, dekorasi, musik dan keamanan di tempat kerja. Sedangkan lingkungan kerja non fisik diantaranya adalah hubungan sosial di tempat kerja baik antara atasan dengan bawahan atau hubungan antara bawahan.
3.1.2.3 Aspek yang Berpengaruh pada Lingkungan Kerja Mangkunegara (2005:105), menyatakan bahwa ada beberapa jenis lingkungan kerja, yaitu : 3. Kondisi lingkungan kerja fisik yang meliputi : a. Faktor lingkungan tata ruang kerja Tata ruang kerja yang baik akan mendukung terciptanya hubungan kerja yang baik antara sesama karyawan maupun dengan atasan karena akan mempermudah mobilitas bagi karyawan untuk bertemu. Tata ruang yang tidak baik akan membuat ketidaknyamanan dalam bekerja sehingga menurunkan efektivitas kinerja karyawan.
24
b. Faktor kebersihan dan kerapian ruang kerja Ruang kerja yang bersih, rapi, sehat dan aman akan menimbulkan rasa nyaman dalam bekerja. Hal ini akan meningkatkan gairah dan semangat kerja karyawan dan secara tidak langsung akan meningkatkan efektivitas kinerja karyawan. 1.
Kondisi lingkungan kerja non fisik yang meliputi : a. Faktor lingkungan sosial Lingkungan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kinerja karyawan adalah latar belakang keluarga, yaitu antara lain status keluarga, jumlah keluarga, tingkat kesejahteraan dan lain-lain. b. Faktor status sosial Semakin tinggi jabatan seseorang semakin tinggi pula kewenangan dan keleluasaan dalam mengambil keputusan. c. Faktor hubungan kerja dalam perusahaan Hubungan kerja yang ada dalam perusahaan adalah hubungan kerja antara karyawan dengan karyawan dan antara karyawan dengan atasan. d. Faktor sistem informasi Hubungan kerja akan dapat berjalan dengan baik apabila ada komunikasi yang baik diantara anggota perusahaan. Dengan adanya komunikasi di lingkungan perusahaan maka anggota perusahaan akan berinteraksi, saling memahami, saling mengerti satu sama lain dapat menghilangkan perselisihan salah faham.
25
3. Kondisi psikologis dari lingkungan kerja yang meliputi : a. Rasa bosan Kebosanan kerja dapat disebabkan perasaan yang tidak enak, kurang bahagia, kurang istirahat dan perasaan lelah. b. Keletihan dalam bekerja Keletihan kerja terdiri atas dua macam yaitu keletihan kerja psikis dan keletihan psikologis yang dapat menyebabkan meningkatkan absensi, turn over, dan kecelakaan. Kuenzi
mengembangkan
model
Molar,
dalam
menganalisis
lingkungan kerja di suatu perusahaan atau organisasi, yaitu : Iklim Hubungan Manusia: 1. Persepsi ikatan yang terbagi, moral, dan pengembangan SDM 2. Sistem Sosial yang berhubungan dengan pekerja 3. Mengembangkan hubungan kerjayang positif di antara sesama karyawan
Iklim Sistem yang Terbuka: 1. Pertumbuhan, penguasaan sumber, dan dukungan luar 2. Sistem Sosial yang fokus pada eksternal dan fleksibilitas 3. Mengembangkan hubungan yang positif dengan karyawan 4. Fokus pada mempertahankan penyesuaian dengan perubahan lingkungan
Lingkungan kerja
Iklim Proses Internal: 1. Manajemen Informasi, komunikasi, stabilitas, dan kontrol 2. Sistem Sosial yang berhubungan dengan control internal 3. Fokus pada upaya meluruskan pekerjaan internal untuk menyelesaikan tugas system sosial
Iklim Tujuan Rasional: 1. Perencanaan dan Produktivitas 2. Sistem Sosial yang merancang dan menghasilkan produktivitas mengikuti kecenderungan perubahan 3. memproduksi hasil yang dinilai oleh sector lingkungan 4. Focus pada mempertahankan penyesuaian dengan perubahan lingkungan 5. Kelenturan 6. Keterukuran 7. Internal 8. Eksternal
Gambar 2. Model Molar dalam Pengembangan Lingkungan kerja (Kuenzi, 2008:109)
26
Lingkungan kerja adalah kualitas relatif dari lingkungan internal suatu organisasi, yang dialami dan mempengaruhi perilaku anggotanya, dan dapat digambarkan
dalam
suatu
perangkat
karakteristik
tertentu
dengan,
dipengaruhi oleh faktor dari luar seperti penyediaan perangkat kerja, hubungan dengan dunia usaha dan industri, dan transfer teknologi. Ada beberapa faktor penghambat terciptanya lingkungan kerja yang aman dan nyaman, sebagaimana yang dikemukakan oleh Clarke dan Cooper (2004:33), di antaranya: terdapat cacat perangkat keras (defect hardware), kegagalan desain (design failures), prosedur pemeliharaan yang buruk (poor maintenance procedures), prosedur operasi yang redah (poor operating procedures), kondisi kesalahan memberdayakan staf (error-empowering conditions), rumah tangga/kantor miskin (poor housekeeping), tujuan sistem tidak sesuai dengan keselamatan (system goals incompatible with safety), kegagalan organisasi (organizational failures), kegagalan komunikasi (communication failures), pelatihan yang tidak memadai (inadequate trainings), dan pertahanan tidak memadai (inadequate defences). Yang menjadi
indikator-indikator
lingkungan kerja
Sedarmayanti (2001:46) adalah sebagai berikut : 1.
Penerangan
2.
Suhu udara
3.
Suara bising
4.
Penggunaan warna
5.
Ruang gerak yang diperlukan
menurut
27
6.
Keamanan kerja
7.
hubungan karyawan Sedangkan lingkungan kerja memiliki beberapa dimensi sebagai
berikut yaitu 1) dimensi struktur dengan indikator sebagai berikut yaitu (a) struktur organisasi, (b) Sistem birokrasi, (c) peraturan, (d) Proses pengambilan keputusan, 2) dimensi tanggung jawab dengan indikator sebagai berikut: (a) pekerjaan, (b) proses input dan out pekerjaan, 3) dimensi interaksi dengan indikator yaitu (a) saling mendukung, (b) keharmonisan, 4) dimensi imbalan dan sanksi dengan indikator sebagai berikut : (a) sistem pemberian imbalan dan sanksi (b) bobot imbalan dan sangsi, 5) dimensi konflik dengan indikator sebagai berikut (a) mengurangi konflik, (b) mencegah konflik, 6) dimensi resiko dengan indikator sebagai berikut (a) siap menanggung resiko, (b) prediksi resiko, 7) dimensi identitas organisasi dengan indikator yaitu (a) visi dan misi organisasi, (b) loyalitas yang kuat.
3.1.3. Kepuasan Kerja 3.1.3.1. Definisi Kepuasan Kerja Kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas kerja seorang karyawan atau karyawan dalam suatu organisasi secara langsung maupun tidak langsung. Kepuasan kerja merupakan instrumen dasar dalam upaya mewujudkan sistem kerja yang menempatkan manusia sebagai totalitas dari sistem produksi organisasi, baik itu pendidikan maupun non-kependidikan.
28
Menurut Lumley, et.al. (2011:101), kepuasan kerja didefinisikan sebagai “an individual’s total feeling about their job and the attitudes they have towards various aspects or facets of their job, as well as an attitude and perception that could consequently influence the degree of fit between the individual and the organisation”. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan keseluruhan yang ada pada diri seseorang tentang pekerjaan dan sikap yang mereka miliki terhadap berbagai macam aspek atau bentuk dari pekerjaan mereka, sebagaimana sikap dan persepsi yang mempengaruhi tingkat kesesuaian antara individu dan organisasi. Fried, et.al., (2008:308), mendefinisikan kepuasan kerja sebagai yang berlaku umum dari konsep ini adalah bahwa kepuasan kerja mengacu pada seseorang kognitif (evaluatif), afektif (atau emosional), dan perilaku tanggapan terhadap pekerjaan seseorang, sebagaimana dinilai oleh evaluasi fitur pekerjaan atau karakteristik seseorang, respon emosional terhadap peristiwa yang terjadi pada pekerjaan, dan pekerjaan yang berhubungan dengan minat perilaku. Menurut Kondalkar (2007:89) menyatakan konsep kepuasan kerja sebagai berikut: (a) Kepuasan kerja dapat diukur dengan respon emosional terhadap situasi kerja, karena itu tidak dapat dilihat, dan itu hanya dapat disimpulkan; (b) Kepuasan kerja adalah terkait dengan apa yang karyawan dapatkan sebagai hadiah dan apa
yang mereka harapkan untuk
memperolehnya. Jika perbedaan antara pahala aktual dan harapan adalah
29
minimum atau diabaikan mereka seseorang akan menampilkan sikap positif dan jika ada perbedaan luas antara keduanya, seseorang akan menampilkan sikap negatif terhadap pekerjaannya dan Oleh karena itu, tingkat kepuasan akan rendah; (c) Kepuasan kerja berhubungan dengan dimensi pekerjaan. Ini dapat dinyatakan dalam hal pekerjaan konten, remunerasi, sikap rekan kerja, dan peluang pertumbuhan pekerjaan yang mampu menyediakan promosi sehingga membuat mereka loyal dengan pekerjaannya. Menurut Luthans (2011:141) kepuasan kerja didefinisikan dengan “a result of employees’ perception of how well their job provides those things that are viewed as important. Dari pendapat Luthans tersebut dapat dipahami bahwa kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan tentang bagaimana baiknya pekerjaan mereka itu ddapat memberikan sesuatu yang dipandang penting. Sesuatu itu bisa berupa hadiah, apresiasi, penghargaan, piagam, promosi jabatan, jenjang karier yang meningkat, dan kepuasan batin. Lebih lanjut Luthans menyebutkan beberapa dimensi kepuasan kerja, yaitu: 1. Pekerjaan itu sendiri (work itself). Sejauh mana pekerjaan menyediakan individu dengan menarik tugas, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab 2. Upah (payment). Jumlah remunerasi keuangan yang diterima dan sejauh mana hal ini dipandang sebagai adil vis-á-vis orang lain dalam organisasi 3. Peluang promosi (promotion opportunities). Kemungkinan untuk kemajuan dalam organisasi
30
4. Pengawasan (supervision). Kemampuan supervisor untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku 5. Rekan kerja (coworkers). Sejauh mana sesama pekerja ahli teknis dan mendukung secara sosial. Kepuasan kerja didefinisikan oleh Locke dalam Ram (2011:123), et.al., sebagai “ a pleasurable or positive emotional state that arises when people appraise their job or job experiences”. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kepuasan kerja merupakan kondisi kejiwaan atau emosional seseorang yang dalam keadaan positif atau menyenangkan ketika orang-orang menghargai pekerjaan dan pengalaman mereka. Sedangkan Ram et.al., berpendapat bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh tantangan pekerjaan, keanekaragaman pekerjaan, cakupan, dan otonomi pekerjaan. Menurut Stranks (2007:192) kepuasan kerja digambarkan sebagai ”the process of achieving the right balance between the needs of a particular job, in terms of the demands of the job, and the personal needs of the job holder”. Ungkapan itu berbakna bahwa kepuasan kerja dapat digambarkan sebagai proses pencapaian keseimbangan yang tepat antara kebutuhan pekerjaan tertentu, dalam hal tuntutan pekerjaan, dan kebutuhan pribadi dari pemilik pekerjaan. Hierarki
kebutuhan
Maslow,
dalam
Stranks
(2007:193)
mengidentifikasi beberapa tahap dalam proses motivasi - keselamatan dan kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial dan kebutuhan ego. Semua kebutuhan ini adalah elemen yang sangat penting dari kepuasan kerja.
31
Keselamatan dan keamanan adalah kebutuhan bawaan (safety and security needs), kebutuhan sosial (social needs), dalam terminologi yang diterima adalah sebagai salah satu kelompok kerja berkontribusi besar terhadap kepuasan kerja dan ego kebutuhan (ego needs), kebutuhan untuk diperhatikan, untuk menerima penghargaan untuk pekerjaan yang baik dilakukan, adalah sangat signifikan bagi anggota yang lebih ambisius di dalam organisasi. Kepuasan kerja secara umum merupakan sikap terhadap pekerjaan yang didasarkan pada evaluasi terhadap aspek-aspek yang berbeda bagi pekerja. Sikap seseorang terhadap pekerjaannya tersebut mengambarkan pengalaman-pengalaman menyenangkan atau tidak menyenangkan dalam pekerjaan dan harapan-harapan mengenai pengalaman mendatang. Sementara itu, Osborn, dalam Anzhizan (2006:29) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai berikut: “Kepuasan kerja adalah derajat positif atau negatif perasaan seseorang mengenai segi tugas-tugas pekerjaannya, tantanan kerja serta hubungan antar sesama pekerja”. Definisi Osborn tersebut menjelaskan dua jenis perasaan yang selalu muncul ketika seseorang bekerja. Karyawan misalnya, dalam lembaga perusahaan mengalami dua sisi perasaan tersebut, entah itu positif atau negatif ketika ia melakukan tugas-tugas sebagai seorang pendidik. Kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda, seperti yang didefinisikan oleh Kreitner & Kinicki, sebagaimana yang dikemukakan
32
kembali oleh Nugraha (2008:68) bahwa kepuasan kerja sebagai efektivitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Definisi ini mengandung pengertian bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal, sebaliknya seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau beberapa aspek lainnya. Sedangkan
menurut
Aubrey
(2005:408),
kepuasan
kerja
didefinisikan sebagai kesenangan atau ketidaksenangan yang datang sebagai hasil dari pencapaian pekerjaan, baik dalam keadaan sulit maupun senang, gembira ataupun frustrasi. Bagi Aubrey, kesenangan dapat diperoleh dengan jalan memberikan karyawan atau karyawan sebagai peserta aktif di dalam proses pelaksanaan kerja untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan Yerkes (2003:31) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai fusi (gabungan) antara kesenangan dan kerja sehingga melahirkan konstruksi kesadaran diri ketika ia bekerja. Kombinasi kesenangan dan kerja melahirkan tingkat kepuasan yang dirasakan seorang karyawan atau karyawan dalam merasakan hasil akhir dari aktivitas bekerjanya. Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah kondisi psikologis seseorang yang telah menjalani proses pekerjaan baik berupa perasaan senang maupun tidak senang, yang berhubungan dengan pencapaian yang telah dilakukan karyawan yang tergantung dari karakteristik karyawan,
33
pekerjaan dan suasana organisasi sehingga menimbulkan rasa nyaman dalam bekerja. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Ini disebabkan adanya perbedaan persepsi pada masing-masing individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya. Oleh karenanya sumber kepuasan seorang karyawan secara subyektif menentukan bagaimana pekerjaan yang dilakukan memuaskan. Meskipun untuk batasan kepuasan kerja ini belum ada keseragaman tetapi yang jelas dapat dikatakan bahwa tidak ada prinsip-prinsip ketetapan kepuasan kerja yang mengikat dari padanya. Untuk
membantu
mengetahui
seberapa
besar
kemampuan
seseorang mendapatkan tingkat kepuasan kerja, maka ada beberapa dimensi yang dapat diukur yang dijadikan sebagai tolak ukur Kepuasan Kerja dalam penelitian ini dengan 6 (enam) dimensi, yaitu 1) Kepuasan terhadap gaji; 2) Kepuasan terhadap pekerjaan; 3) Kepuasan terhadap promosi; 4) Kepuasan terhadap supervisi; 5) Kepuasan terhadap kelompok kerja; dan 6) Kepuasan terhadap kondisi kerja. Sedang Herujito (2007) menyebutkan bahwa kepuasan kerja karyawan dipengaruhi faktor-faktor: (1) balas jasa yang adil dan layak; (2) penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian; (3) berat-ringannya pekerjaan; (4) suasana dan lingkungan pekerjaan; (5) peralatan yang
34
menunjang
pelaksanaan
pekerjaan;
(6)
sikap
pimpinan
dalam
kepemimpinannya; dan (7) sifat pekerjaan monoton atau tidak.
3.1.3.2. Teori Kepuasan Kerja Menurut Wexley dan Yukl, dalam Riva'i (2005:475) teori-teori tentang kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim dikenal yaitu : 1. Teori Perbandingan Intrapersonal (Discrepancy Theory) Kepuasan atau ketidakpuasan yang dirasakan oleh individu merupakan hasil dari perbandingan atau kesenjangan yang dilakukan oleh diri sendiri terhadap berbagai macam hal yang sudah diperolehnya dari pekerjaan dan yang menjadi harapannya. Kepuasan akan dirasakan oleh individu tersebut bila perbedaan atau kesenjangan antara standar pribadi individu dengan apa yang diperoleh dari pekerjaan kecil, sebaliknya ketidakpuasan akan dirasakan oleh individu bila perbedaan atau kesenjangan antara standar pribadi individu dengan apa yang diperoleh dari pekerjaan besar. 2. Teori Keadilan (Equity Theory) Seseorang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity atau inequity atas suatu situasi diperoleh seseorang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor, maupun di tempat lain.
35
1. Teori Dua – Faktor (Two Factor Theory) Prinsip dari teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Menurut teori ini, karakteristik pekerjaan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yang satu dinamakan Dissatisfier atau hygiene factors dan yang lain dinamakan satisfier atau motivator. Faktor penentu kepuasan kerja di suatu lembaga, baik itu perusahaan atau perusahaan tidak terlepas dari faktor kepribadian, keterampilan dan iklim organisasi. Dengan kepuasan yang tinggi, individu juga akan lebih kerasan di tempat kerjanya. Berikut gambaran yang dikemukakan oleh Triantoro dan Rahardi (2006:4) berkaitan dengan hubungan antara faktor personal dan organisasional dengan kepuasan kerja di tempat kerja. Faktor personal
Faktor Organisasional
Tipe kepribadian Minat dan Bakat Keterampilan Nilai-nilai
Iklim dan budaya Kebijakan dan struktur Kepemimpinan
Tipe tugas dan Pekerjaan Nilai-nilai
Kecocokan
Kepuasan kerja dan kerasan di tempat kerja
Ketidakcocokan
Ketidakpuasan kerja, tidak kerasan
Gambar 3. Hubungan antara Faktor Personal dan Organisasional dengan Kerasan di Tempat Kerja (Triantoro Safaria & Kunjana Rahardi, 2005:5)
36
Memakai pendapat Tirantoro dan Rahardi (2005:40-46), kepuasan kerja karyawan dapat dicapai dalam perusahaan dengan mengikuti faktorfaktor penentu sebagai berikut : a. Lingkungan Fisik Kerja. Lingkungan kerja termasuk meja kerja, dekorasi ruangan, luas ruangan kantor karyawan, suhu udara yang sejuk, kebersihan kantor dan pengendalian suara dalam kantor. Fasilitas, seperti adanya telepon, komputer dengan jaring internet, tong sampah, kertas kerja, mesin fotokopi, sampai hal-hal yang terkecil seperti tersedianya tinta printer, alat tulis dan penghapus. b. Imbalan. Salah satu yang menjadi faktor kepuasan kerja seseorang adalah pembagian imbalan atau gaji yang adil. Seorang karyawan akan merasa puas ketika digaji sesuai dengan kinerja dan aspek keadilan. Gaji merupakan hasil pertukaran antara apa yang telah diberikan karyawan kepada perusahaan dan imbalan perusahaan atas usaha karyawan dalam bekerja. c. Rasa Aman. Bagaimanapun jika seorang karyawan merasa terancam, akan timbul perasaan cemas, tertekan, dan takut. Jika karyawan merasa sewaktu-waktu bisa saja dipecat oleh pihak pemerintah daerah, yayasan, atau kepala perusahaan karena kebijakan yang otoriter, selama karyawan tersebut bekerja, ia akan merasakan ancaman tersebut. Selain itu, bekerja di lingkungan yang tidak aman dan kondisi perusahaan yang mengancam kesehatan fisik, tentu berdampak pada perasaan tidak puas dalam bekerja.
37
d. Perkembangan Karier dan Pribadi. Setiap karyawan ingin mengalami peningkatan positif dalam hidupnya. Peningkatan tersebut bisa berupa peningkatan status ekonomi, jabatan, keluarga, pendidikan anak-anak, dan kesehatan. e. Minat dan Tantangan. Karyawan akan merasa tertantang dengan situasi perusahaan yang dihadapi. Dengan tantangan tersebut, karyawan berupaya mengeluarkan potensi terbaik yang dimilikinya, sehingga ada kepuasan tersendiri yang lahir ketika berhasil menghadapi tantangan. Lambat laun, minat akan mengikuti di dalam diri seorang karyawan. f. Komitmen dan Keterlibatan. Karyawan merasa nyaman dengan tugas bekerja apabila kepala perusahaan atau pihak terkait melibatkan setiap pengambilan kebijakan strategis, dilibatkan dalam upaya memikirkan kemajuan perusahaan di masa yang akan datang.
3.1.3.3. Indikator Kepuasan Kerja Menurut
Aydogdu
dan Asikgil (2011:44),
mengemukakan
beberapa indikator dari kepuasan kerja karyawan, yaitu : 1.
Gaji (Pay) : Upah dan gaji merupakan faktor penting untuk kepuasan kerja. Uang tidak hanya membantu personil mencapai kebutuhan dasar mereka, tetapi juga berperan dalam menyediakan tingkat atas kepuasan kebutuhan.
2.
Bekerja sendiri (work itself) : bahwa pekerjaan itu sendiri memainkan peran penting dalam mencapai kepuasan kerja.
38
3.
Pengawasan (supervision) : Perilaku pengawas memainkan peran penting berkaitan dengan reaksi karyawan untuk peristiwa yang bermasalah. Hal ini menunjukkan bahwa karyawan yang dianggap atasan mereka sesungguhnya lebih mudah didekati dan responsif untuk menyuarakan keprihatinan mereka.
4.
Kemungkinan
promosi
(Promotion
possibilities)
:
Promosi
kemungkinan melibatkan ketersediaan peluang untuk mencapai kemajuan. Jika orang berpikir bahwa mereka tidak akan memiliki kemungkinan promosi banyak, mereka dapat terpengaruh. 5.
Kelompok (Peers) : Interaksi dengan teman sebaya merupakan faktor penting dalam kepuasan kerja. Sebuah studi di industri otomotif menunjukkan bahwa pekerja yang terisolasi tidak menyukai pekerjaan mereka.
6.
Kondisi Kerja : Menyediakan kondisi baik fisik kerja (misalnya kebersihan tempat bekerja, pencahayaan, alat-alat yang memadai dan peralatan) memungkinkan karyawan untuk melaksanakan pekerjaan mereka dengan mudah, nyaman dan efisien. Kondisi kerja seperti waktu yang fleksibel, pembagian kerja dan minggu kerja yang pendek cukup dihargai oleh karyawan karena mereka dapat memfasilitasi untuk dihargai dari kegiatan pekerjaan seperti menyalurkan hobi.
39
3.1.4. Komitmen Organisasional 3.1.4.1. Definisi Komitmen Organisasional Komitmen adalah salah satu faktor yang dapat mempermudah dan sekaligus memperingan suatu tugas atau pekerjaan, meskipun bobot atau beban kerja itu dirasakan cukup berat. Menurut Silverthorne (2005:176) organisasi atau lembaga yang menganut sistem manajemen modern tentu terdapat nilai-nilai kesetiaan (loyalty), pengorbanan (sacrifice), curahan kasih sayang (attachment), ikatan perjanjian yang kuat (engagement), kesetiaan (loyalty), pemenuhan tugas (fulfillment) dan keterlibatan total di dalamnya (involvement) dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Semua unsur itu inherent di dalam entitas variabel pengorbanan. Silverthorne (2005:176) menambahkan unsur kewajiban yang saling menguntungkan (mutual obligations) dan kepuasan (satisfaction) yang termasuk dimensi komitmen dalam konteks organisasi. Mutual obligations bermakna yaitu tugas tersebut memberikan kepastian positif terhadap anggota organisasi yang telah menyelesaikan tugas (attainment of the tasks). Inipun dapat digunakan sebagai meta-analisis tentang studi komitmen kepada tugas, seorang karyawan memiliki komitmen organisasional yang tinggi apabila pekerjaan yang wajib ia lakukan memberikan konstribusi positif bagi dirinya. Selain itu, karyawan berkomitmen untuk memberikan kepuasan pelayanan kepada pelanggan dan masyarakat yang menaruh kepercayaan kepada perusahaan atau organsiasi.
40
Menurut
Sutrisno
(2010:296),
komitmen
organisasional
didefinisikan sebagai bentuk sikap loyalitas pekerja terhadap organisasinya dan juga merupakan suatu proses mengekspresikan perhatian dan partisipasinya terhadap organisasi. Khusus untuk ikatan perjanjian di antara masyarakat berlaku ketika prinsip-prinsip di dalam organisasi masyarakat dan organisasi profesional tersebut berkembang. Prinsip-prinsip tersebut, menurut McCloskey et.al. (2011:4), meliputi nilai kejujuran, keadilan, pemberdayaan, partisipasi, dan kebulatan tekad. begitu pula dengan adanya prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, pemberdayaan, dan partisipasi yang berlaku di perusahaan akan mengingat karyawan dalam menjalankan tugas yang dapat memupuk komitmen organisasional karyawan itu sendiri. Macey dan Schneider (2008:8) mengaitkan ikatan yang kuat itu dengan motivasi kerja (work motivation). Selain itu, konotasi makna ikatan itu ada dalam konteks tujuan organisasi, dan paralel dengan makna keterlibatan total (involvement), komitmen, antusiasme, gairah dalam bekerja (passion), upaya yang difokuskan, dan energi. Ketika karyawan memiliki komitmen yang tinggi, berarti karyawan itu menjalankan tugas-tugas keprofesian mereka dengan situasi psikologis keterlibatan total, antusias, penuh gairah dalam bekerja, fokus pada usaha, dan memiliki kekuatan yang besar. Gostick dan Elton (2004:76) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang
41
merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi. Armstrong (2006:272) menyatakan bahwa ada tiga faktor pembentuk komitmen organisasional: Pertama, hasrat yang kuat untuk tetap menjadii anggota dalam organisasi. Kedua, adanya kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai-nilai dana tujuan-tujuan organisasi; dan ketiga, adanya kesiapan untuk mengeluarkan kemampuan sekuat tenaga dengan usaha-usaha yang dapat dipertimbangkan dari setengah target pencapaian organisasi. Berkaitan
dengan
komitmen
organisasional
ini
Armstrong
(2006:273) menyatakan dengan jelas sebagai berikut: Many people are more committed to their work than the organization that provides the work, for example researchers in universities or research establishments. Others take a transient view of their organization as a stepping stone in their career that provides them with the sort of experience they want but to which they feel no particular loyalty. If the organization wants people in the latter categories to work harder and better, it may well want to focus on the work they provide and opportunities for development they offer and place less emphasis on organizational commitment. If the organization wants to concentrate more on retention, loyalty and people putting themselves out for the organization rather than themselves, then policies to encourage commitment come to the fore. Banyak orang lebih berkomitmen pada pekerjaan mereka daripada organisasi yang menyediakan pekerjaan, misalnya para peneliti di universitas atau lembaga penelitian. Lainnya mengambil pandangan sementara organisasi mereka sebagai batu loncatan dalam karir mereka yang menyediakan mereka dengan jenis pengalaman yang mereka
42
inginkan, tetapi yang mereka merasa tidak ada kesetiaan tertentu. Jika organisasi ingin orang-orang dalam kategori kedua untuk bekerja lebih keras dan lebih baik, mungkin juga ingin fokus pada pekerjaan yang mereka berikan dan kesempatan untuk pengembangan yang mereka tawarkan dan menempatkan kurang penekanan pada komitmen organisasi. Jika organisasi ingin lebih berkonsentrasi pada retensi, loyalitas dan orang-orang menempatkan diri bagi organisasi daripada diri mereka sendiri, maka kebijakan untuk mendorong komitmen datang ke kedepan Sedangkan
Ugboru
(2006:237)
mengemukakan
ada
empat
pengertian dasar tentang komitmen: (1) kemauan yang kuat dari seseorang untuk mengidentifikasi dengan dan hasrat untuk tidak meninggalkan organsisasi demi kepentingan diri sendiri atau demi keuntungan tertentu; (2) kemauan yang kuat untuk bekerja seorang diri dan berkontribusi pada efektivitas organisasi (3) keinginan yang kuat untuk berkorban seorang diri, bekerja melampaui batas waktu dan harapan yang normal di dalam organisasi; dan (4) penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi sebagai faktor internalisasi. Penulis menambahkan tinjauan dari aspek konsistensi antara pikiran, sikap, dan tindakan dalam mensikapi perubahan deskripsi pekerjaan dan orientasi perubahan organisasi. Definisi ini perlu ditambahkan mengingat,
pekerjaan karyawan dengan karakteristik
perubahan kurikulum yang senantiasa berubah mengikuti perubahan zaman menjadi tolok ukur mengetahui parameter komitmen organisasional yang dilaksanakan karyawan dalam suatu perusahaan. Weick dan Quinn (2007:375) memahami perubahan berkelanjutan sebagai perubahan di tubuh organisasi yang cenderung menjadi perubahan terus-menerus, berevolusi, dan mencapai titik kumulatif. Perubahan yang
43
berkelanjutan inilah yang mesti diantisipasi oleh individu karyawan dengan konsistensi yang kuat. Perubahan kurikulum dan kebijakan pendidikan nasional tidak bersifat fluktuatif pada psikologi dan emosi karyawan, karena komitmen yang ada bukan pada lembaga melainkan pada kecintaan pada profesi dan tugas yang diemban. Kerancuan terminologi komitmen organisasional dan komitmen kerja ditemukan oleh beberapa pakar. Amstrong (2006:273) meyakini bahwa banyak orang yang lebih kuat komitmen pada pekerjaan atau tugasnya dibandingkan dengan komitmen pada organisasi. Seperti peneliti yang kuat komitmen organisasional dengan penelitiannya, daripada berkomitmen kepada lembaga. Begitu pula dengan profesi kekaryawanan, banyak dijumpai karyawan memiliki komitmen kuat dengan tugas bekerja, dibandingkan dengan berkomitmen kepada perusahaan. Ketika karyawan itu kurang sehat, atau ada permasalahan dengan keluarganya, sebagian besar karyawankaryawan tetap menjalankan tugas, bukan karena memiliki komitmen kuat kepada perusahaan, melainkan alasan komitmen untuk tidak mengecewakan pelanggan. Karena berkaitan dengan aspek psikologis, maka diperlukan strategistrategi pengembangan komitmen yang ditujukan kepada setiap anggota organisasi.
Menurut
Armstrong
(2006:145),
ada
beberapa
strategi
pengembangan komitmen organisasional anggota: a) Mengkomunikasikan nilai-nilai dan tujuan-tujuan dari pihak manajemen dan upaya pencapaian organisasi,
sehingga
para
karyawan
menjadi
lebih
tertarik
untuk
44
mengidentifikasikan nilai dan tujuan itu sebagai bentuk kebanggaan dari pekerjaan yang mereka lakukan; b) Mempertunjukkan kepada pekerja bahwa pihak manajemen berkomitmen kepada mereka dengan mengakui sumbangsih mereka sebagai “stakeholders” dan berupaya untuk memaksimalkan keamanaan pekerjaan; c) mengembangkan iklim kepercayaan (a climate of trust) dengan jaminan bahwa pihak manajemen berlaku jujur kepada orang, bersikap adil kepada mereka, menjaga perkataan dan kemauan untuk mendengarkan komentar dan saran yang dibuat oleh pekerja pada saat proses konsultasi dan partisipasi berlangsung; d) Menciptakan ikatan psikologis yang positif (positive psychological contract) dengan pensikapan kepada pihak pekerja sebagai “pemilik saham” (stakeholders), yang berjalan sesuai dengan konsensus dan kerjasama daripada bertindak dengan sistem pengawasan dan penekanan, dan fokus pada upaya menyediakan kesempatan kepada pekerja untuk belajar, demi kemajuan dan pengembangan karier; e) Mengembangkan proses-proses manajemen kinerja untuk mensinergikan antara tujuan pribadi dengan organisasi; f) Membantu karyawan untuk menambah pengenalan kepada organisasi dengan pemberian ganjaran (rewards) yang dikaitkan dengan kinerja organisasi (pembagian keuntungan) atau melalui skema kepemilikan yang dibagikan kepada pihak karyawan (employee share ownership schemes); dan g) mengembangkan dan mempertahankan suatu lingkungan pekerjaan yang menjadikan organisasi sebagai “majikan terhadap pilihan” karena tempat dimana mereka bekerja merupakan tempat yang luar biasa (a great place to work).
45
Sedangkan komitmen organisasional yang lebih tepat dikemukakan oleh Luthans (2011: 147) sebagai berikut: (1) keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi tertentu, (2) kemauan untuk mengerahkan tingkat tinggi usaha atas nama organisasi, dan (3) keyakinan yang pasti dalam, dan penerimaan, nilai-nilai dan tujuan organisasi. Porter, Steers, Mowday, dan Boulin yang dinukil oleh Shore dan Martin mengajukan argumentasi dasar tentang komitmen, yaitu sikap-sikap yang bersifat umum terhadap organisasi bisa jadi berdampak lebih besar terhadap keputusan untuk tetap menetap di suatu organisasi daripada sikap yang lebih khusus daripada pekerjaan. Jika itu yang dipahami, maka konsep tersebut menjadi pengertian dasar komitmen organisasi.
3.1.4.2. Teori Komitmen Organisasional Menurut Moreland et.al., sebagaimana yang dinukil oleh Sutrisno (2010:298-302),
ada
beberapa
teori
yang
menjelaskan
dasar-dasar
motivasional munculnya komitmen individu dalam organisasi, yaitu teori sosialisasi kelompok, teori pertukaran sosial, teori kategorisasi diri, dan teori identitas. 1. Teori Sosialisasi Kelompok Menurut model ini, baik kelompok maupun individu melakukan proses evaluasi dalam hubungan bersama dan membandingkan valuenya dengan hubungan yang selama ini berlangsung. Dalam evaluasi ini perubahan
46
perasaan akan berpengaruh terhadap komitmen yang dimiliki individu. Semakin tinggi perasaan positif semakin besar juga komitmen organisasinya. Ada lima tahap yang dilalui dalam model ini, yaitu investigasi, sosialisasi, maintenance, resosialisasi, dan kenangan dan ada juga empat transisi peran yang dilakukan mulai dari entry, acceptance, divergence, dan exit. Keanggotaan suatu kelompok berawal dari periode investigasi. Selama investigasi kelompok melakukan rekrutmen, dan mencari orang yang bisa memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan kelompok. Sementara itu, individu akan memasuki kelompok karena ia mencari kelompok yang dapat memberikan kontribusi yang memuaskan kebutuhan dasarnya. Tahap ini akan ditandai masuknya individu ke dalam suatu kelompok dan menjalani proses sosialisasi. Selama sosialisasi, kelompok mencoba mengubah individu sehingga ia memberikan kontribusi yang lebih banyak dalam mencapai tujuan kelompok, sementara itu individu mencoba masuk ke dalam kelompok sehingga ia memberikan pengaruh yang positif. Bila aktivitas ini sukses, kedua sisi akan meningkatkan penerimaannya, sehingga individu melakukan transisi penerimaannya dan menjadi anggota penuh suatu kelompok. Penerimaan menandai berakhirnya sosialisasi dan kemudian mulai dengan periode pemeliharaan. Selama pemeliharaan, terjadi proses negosiasi antara individu dan kelompok dalam mencari peran tertentu yang bisa mencapai kepentingan kelompok dan individu secara bersamaan. Bila dalam negosiasi peran sukses, maka tingkat komitmen akan semakin tinggi baik bagi
47
kelompok maupun individu. Sebaliknya bila negosiasi gagal, maka tingkat komitmen yang diperoleh akan mencapai kriteria divergen (DC). Divergensi akan menandai akhir dari tahap maintenance dan memulai tahap resosialisasi. Selama resosialisasi, kelompok mencoba lagi mengubah individu sehingga ia memberikan kontribusi yang lebih pada pencapaian tujuan kelompok. Sedangkan individu mencoba lagi mengubah kelompok sehingga ia dapat memuaskan kebutuhannya. Bila tingkat komitmen meningkat lagi, maka transisi peran dapat terjadi dan individu mendapatkan keanggotaannya kembali pada kelompok secara penuh, namun bila komitmen tidak dicapai, maka individu akan melakukan transisi peran dengan cara keluar kelompok. 2. Teori Pertukaran Sosial Teori ini semula dikembangkan oleh Thibaut dan Kelley, seperti yang dikemukakan oleh Sutrisno (2010:300), dalam perkembangannya mengalami berbagai perubahan. Ide dasar teori ini sangat sederhana. Pertama, setiap hubungan akan selalu melibatkan pertimbangan untung dan rugi bagi pertisapannya. Keseimbangan antara reward dan cost akan menjadi faktor kritis dalam menentukan nilai suatu hubungan. Kedua, dalam sebagian besar suatu hubungan, partisipan termotivasi untuk memaksimalkan reward dan atau menurunkan cost yang diakibatkan hubungan tersebut, dan setiap saat, partisipan melakukan reevaluasi dalam reward dan cost tersebut sehingga hubungan lebih berarti. Ketiga, orang dapat berpartisipasi dalam beberapa hubungan secara simultan, sehingga nilai relatif pada suatu hubungan juga
48
dipengaruhi oleh relationship juga dipengaruhi relation¬ship yang lain yang sesuai bagi partisipan. 3. Teori Kategorisasi Diri Teori ini semula dikembangkan oleh Turner dkk. dalam Sutrisno (2010:306) dan berkembang dari penelitian mengenai hubungan antar kelompok. Teori ini membahas berbagai fenomena kelompok seperti pembentukan kelompok, konformitas, penyimpangan dalam pengambilan keputusan, dan kekompakan (kohesi). Teori ini tentunya bisa dibawa ke arah komitmen. Moreland dkk. dalam Sutrisno (2010:309) menyatakan beberapa pokok dasar teori ini. Pertama, orang termotivasi untuk memahami dunia sekitarnya sehingga ia akan mampu melakukan koping secara efektif terhadap problem yang terjadi. Kedua, setiap stimulus lingkungan baik yang sosial dan nonsosial dapat dikategorisasi. Kategorisasi diri berperan penting dalam mengarahkan perilaku sosial seseorang. Ketiga, kategorisasi diri ini juga meliputi hal yang abstrak, seperti sensasi tentang identitas sosial. 4. Teori Identitas Identitas sosial ini berkembang, ketika seseorang mengkategorisasi dirinya dalam suatu kelompok bukan pada kelompok lainnya. Bila seseorang menyatakan ia sangat unik dibandingkan anggota kelompoknya, maka disebut sebai identitas personal. Hal ini juga dinyatakan oleh Jenkins tentang adanya identitas ini. Peran identitas sangat penting dalam membentuk kategorisasi diri ini.
49
Komitmen organisasional merefleksikan tiga dimensi utama, yaitu komitmen dipandang merefleksikan orientasi afektif terhadap pekerjaan, pertimbangan kerugian jika meninggalkan pekerjaan tersebut, dan beban moral untuk terus melaksanakan tugas yang dipandang sebagai misi suci dan kemanusiaan. Meyer dan Allen (2006:20) merumuskan tiga dimensi komitmen dalam berorganisasi, yaitu: affective, continuance, dan normative. Ketiga hal ini lebih tepat dinyatakan sebagai komponen atau dimensi dari komitmen berorganisasi, daripada jenis-jenis komitmen berorganisasi. Hal ini disebabkan hubungan anggota organisasi dengan organisasi mencerminkan perbedaan derajat ketiga dimensi tersebut. 1.
Affective commitment berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu.
2.
Continuance commitment berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota organisasi dengan continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut.
3.
Normative commitment menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative
50
commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam organisasi tersebut. Dari perspektif Meyer dan Allen tersebut, dapat dikembangkan teori tentang komitmen organisasional sebagai berikut: Pertama, Affective commitment terhadap tugas berarti terjadi ikatan psikologis yang kuat antara individu dengan pekerjaan yang sedang dan akan lakukan. Seorang karyawan memiliki komitmen kuat terhadap tugas mendidik, karena faktor kecintaan dan perasaan suka terhadap profesi kekaryawanan; Kedua, continuance commitment dalam konteks komitmen organisasional berarti individu merasakan kerugian yang besar apabila meninggalkan pekerjaan yang sedang dilaksanakan. Kerugian itu meliputi kerugian materi dan modal sosial yang selama ini individu peroleh. Dalam konteks profesi kekaryawanan, karyawan akan merugi jika meninggalkan profesi kekaryawanan, mengingat sejumlah keuntungan yang diperoleh sebagai pendidik (mendapatkan waktu yang lebih luang daripada pekerja biasa atau karyawan, memperoleh fasilitas berupa tunjangan profesi,
memiliki banyak teman sesama karyawan, dan
sebagainya); Ketiga, Normative commitment ini berarti ada keterikatan kuat antara individu dengan pekerjaan yang sedang dan akan dilaksanakan. Ketika tidak melakukan perbuatan yang menjadi rutinitas, mereka akan merasakan kehilangan, terasing sebagai makhluk yang membutuhan pekerjaan. Begitu pula dengan seorang karyawan, ketika satu hari tidak melaksanakan tugas bekerja, ini dirasakan menjadi pukulan hebat dalam dirinya. Bekerja merupakan bagian dari pengabdian hidup.
51
3.1.4.3
Faktor Pembentuk Komitmen Organisasional Menurut Allen and Meyer (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi
komitmen dalam berorganisasi meliputi aspek karakteristik pribadi, karakteristik organisasi, dan pengalaman selama berorganisasi. Yang termasuk ke dalam karakteristik organisasi adalah struktur organisasi, desain kebijaksanaan dalam organisasi, dan bagaimana kebijaksanaan organisasi tersebut disosialisasikan. Karakteristik pribadi terbagi ke dalam dua variabel, yaitu variabel demografis; dan variabel disposisional. Variabel demografis mencakup gender, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya seseorang bekerja pada suatu organisasi. Dalam beberapa penelitian Allen and Meyer (2007) ditemukan adanya hubungan antara variabel demografis tersebut dan komitmen berorganisasi, namun ada pula beberapa penelitian yang menyatakan bahwa hubungan tersebut tidak terlalu kuat. Variabel disposisional, menurut Allen and Meyer (2007) mencakup kepribadian dan nilai yang dimiliki anggota organisasi. Hal-hal lain yang tercakup ke dalam variabel disposisional ini adalah kebutuhan untuk berprestasi dan etos kerja yang baik. Selain itu kebutuhan untuk berafiliasi dan persepsi individu mengenai kompetensinya sendiri juga tercakup ke dalam variabel ini. Variabel disposisional ini memiliki hubungan yang lebih kuat dengan komitmen berorganisasi, karena adanya perbedaan pengalaman masing-masing anggota dalam organisasi tersebut.
52
Sedangkan pengalaman berorganisasi tercakup ke dalam kepuasan dan motivasi anggota organisasi selama berada dalam organisasi, perannya dalam organisasi tersebut, dan hubungan antara anggota organisasi dengan supervisor atau pemimpinnya. Komitmen karyawan pada organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Komitmen karyawan pada organisasi juga ditentukan oleh sejumlah faktor. Misalnya, Nawawi (2006:162) mengidentifikasi tiga ada faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu : 1. Ciri pribadi pekerja, termasuk masa jabatannya dalam organisasi, dan variasi, kebutuhan dan keinginan yang berbeda dan tiap karyawan. 2. Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan rekan sekerja. 3. Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan cara pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya mengenai anisasi Sedangkan Sopiah (2008:58) mengemukakan ada 8 unsur yang menjadi bagian dari indikator komitmen organisasional : 1. Kepuasan terhadap promosi, 2. karakteristik pekerjaan, 3. komunikasi, 4. kepuasan terhadap kepemimpinan, 5. pertukaran ekstrinsik,
53
6. pertukaran intrinsik, 7. imbalan intrinsik, dan 8. imbalan ekstrinsik. Luthans (2011) mengemukakan komitmen organisasional memiliki 3 indikator : 1. Kemauan karyawan 2. Kesetiaan karyawan 3. Kebanggan karyawan pada organisasi
3.2. Penelitian Terdahulu Ada beberapa penelitian yang relevan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dieksplorasi, di antaranya : Tabel 3.1. Penelitian Terdahulu No 1
Nama Peneliti Junaedi, Swasto, Utami
Judul Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Organisasional (Studi Pada Karyawan PG. Kebet Baru Malang)
Hasil Penelitian 1) Hasil perhitungan koefisien jalur mendukung hipotesa 1 karena berpengaruh positif dan signifikan antara Gaya Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja sebesar 0,270, nilai Sig sebesar 0,012 (Sig Prob.<0,05). 2) Hasil perhitungan koefisien jalur tidak mendukung hipotesa 2 karena berpengaruh positif dan tidak signifikan antara Gaya Kepemimpinan terhadap Komitmen Organisasional sebesar 0,008 dan nilai Sig sebesar 0,585 (Sig Prob.>0,05). 3) Hasil perhitungan koefisien jalur mendukung hipotesa 3 karena berpengaruh positif dan signifikan antara Keselamatan dan Kesehatan
Tahun 2012
54
No
Nama Peneliti
Judul
2
Chasanah dan Herminingsih
Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasional Karyawan di PT. Jaya Konstruksi MP.Tbk.
3
Raharjo Nafisah
4
Bushra, Usman, Naveed
dan
dan
Hasil Penelitian Kerja terhadap Kepuasan Kerja sebesar 0,406 dan nilai Sig sebesar 0.000 (Sig Prob.<0,05). 4) Hasil perhitungan koefisien jalur mendukung hipotesa 4 karena berpengaruh positif dan signifikan antara Keselamatan dan Kesehatan Kerja terhadap Komitmen 1) Kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional karyawan, sehingga semakin tinggi perilaku kepemimpinan transformasional yang diterapkan dalam perusahaan maka semakin tinggi pula komitmen organisasional karyawan. 2) Kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional, yakni semakin tinggi kepuasan yang diperoleh karyawan maka semakin tinggi komitmen organisasional karyawan.
Tahun
Analisis Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi dan Kinerja Karyawan (Studi Empiris pada Departemen Agama Kabupaten Kendal dan Departemen Agama Kota Semarang)
Tinggi rendahnya kepuasan kerja, komitmen organisasi dan kinerja karyawan yang telah diungkap dalam penelitian ini tidak dapat dipisahkan dari peran yang dimainkan oleh atasannya, atau perilaku kepemimpinan atasan.
2006
Effect of Transformational Leadership on
1) Terdapat pengaruh yang signifikan kepemimpinan transformasional terhadap
2011
2012
55
No
5
Nama Peneliti
Judul Employees’ Job Satisfaction and Organizational Commitment in Banking Sector of Lahore (Pakistan)
Hasil Penelitian kepuasan kerja karyawan di Bank Sektorr Lahore, dengan nilai r hitung sebesar 0,61; 2) Terdapat pengaruh yang signifikan kepemimpinan transformasional terhadap komitmen organisasi di Bank Sektorr Lahore, dengan nilai r hitung sebesar 0,40.
Tahun
Kieres
A Study of the Value Added by Transformational Leadership Practices to Teachers' Job Satisfaction and Organizational Commitment
1) Pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja intrinsik dengan hasil F hitung sebesar 5,300; dengan derajat kebebasan (deegre of freedom) sebesar 1,154 dan model regresi adalah signifikan pada level 0,2. Sedangkan nilai t hitung adalah 2,302, ini berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel atribusi yakni kepemimpinan transformasional terhadap variabel prediktor yaitu kepuasan kerja intrinsik; 2) Pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja ekstrinsik dengan hasil F hitung sebesar 127,556; dengan derajat kebebasan (deegre of freedom) sebesar 1,154 dan model regresi adalah signifikan pada level 0,000. Sedangkan nilai t hitung adalah 11,094, ini berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel atribusi yakni kepemimpinan transformasional terhadap variabel prediktor yaitu kepuasan kerja ekstrinsik; 3) Pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja umum (general job satisfaction) dengan hasil F hitung sebesar 36,903; dengan derajat kebebasan (deegre of freedom) sebesar 1,154 dan model regresi adalah signifikan pada level 0,000.
2012
56
No
6
Nama Peneliti
Ardakani, Jowkar, Mooghali
Judul
Hasil Penelitian Sedangkan nilai t hitung adalah 6,075, ini berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel atribusi yakni kepemimpinan transformasional terhadap variabel prediktor yaitu kepuasan kerja umum; 4) Pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap komitmen organisasi dengan hasil F hitung sebesar 42,816; dengan derajat kebebasan (deegre of freedom) sebesar 1,154 dan model regresi adalah signifikan pada level 0,000. Sedangkan nilai t hitung adalah 6,543, ini berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel atribusi yakni kepemimpinan transformasional terhadap variabel prediktor yaitu komitmen organisasi;
Tahun
The effect of organizational environment on performance and job satisfaction (Case Study of Shiraz University)
1) Lingkungan aspek hubungan manusia (human relation environment) berdampak positif terhadap kepuasan kerja karyawan di Shiraz University dengan level korelasi sebesar 11,25. 2) Lingkungan sistem terbuka (open system environment) berdampak positif terhadap kepuasan kerja karyawan di Shiraz University dengan level korelasi sebesar 6,86. 3) Lingkungan proses internal (internal process environment) tidak berdampak positif terhadap kepuasan kerja karyawan di Shiraz University dengan level korelasi sebesar 0,00. 4) Lingkungan tujuan-tujuan logis (reasonable goals environment) tidak berdampak positif terhadap kepuasan kerja karyawan di Shiraz University dengan level korelasi sebesar 1,50.
2012
57
No 7
Nama Peneliti Setiyawan
Judul Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Kepuasan Kerja dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) sebagai Variabel Intervening (Studi pada Inspektorat Kabupaten Temanggung)
Hasil Penelitian organisasional 1) Komitmen berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. Semakin tinggi tingkat komitmen organisasional, maka semakin tinggi tingkat kepuasan kerja. 2) Komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap organizational citizenship behavior. Semakin tinggi tingkat komitmen organisasional, maka semakin tinggi kerelaan pegawai dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan di luar deskripsi pekerjaan. 3) Organizational citizenship behavior berpengaruh positif terhadap tingkat kepuasan kerja, maka semakin tinggi OCB semakin tinggi tingkat kepuasan kerja. (4) Pengaruh komitmen organisasional terhadap kepuasan kerja lebih bersifat langsung dibandingkan tidak langsung melalui organizational citizenship behavior.
Tahun 2009
8
Brahmasari dan Suprayetno
Kepemimpinan mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan.
2011
9
Tobing
Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada Kinerja Perusahaan (Studi kasus pada PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia) Pengaruh Komitmen Organisasional dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. Perkebunan
Komitmen Afektif (X1) berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap Kepuasan Kerja (Y1). Hal ini terlihat dari koefisien jalur yang bertanda positif sebesar 0,467 dengan nilai CR sebesar 2,920 dan diperoleh probabilitas signifikansi (p)
2009
58
No
Nama Peneliti
Judul Nusantara III di Sumatera Utara
10
Wijayanti
Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Komitmen Organisasional Terhadap Keinginan Untuk Keluar (Intensi Keluar) dari Suatu Organisasi pada Perawat di RSI Hidayatullah Yogyakarta
11
Koesmono
Pengaruh Lingkungan Organisasi Terhadap Motivasi dan Kepuasan Kerja Serta Kinerja Karyawan Pada Sub Sektor Industri Pengolahan Kayu Skala Menengah di Jawa Timur
12
Lumley, et.al.
13
Avolio, et.al.
Exploring the job satisfaction and organisational commitment of employees in the information technology environment Transformational leadership and organizational commitment: mediatingrole of psychological empowerment and moderating role of structural distance
Hasil Penelitian sebesar 0,004 yang lebih kecil dari taraf signifikansi (σ) yang ditentukan sebesar 0,05. Dalam penelitian ini kepuasan kerja dan komitmen organisasi berpengaruh sebesar 40,7% terhadap intensi keluar, berarti 59,3%-nya dipengaruhi oleh sebab-sebab lain. Walaupun pengaruh kedua variabel tersebut terhadap intensi keluar dapat dikatakan cukup kecil, namun berdasarkan hasil analisis statistik terbukti siginifikan ((tingkat signifikansi variabel kepuasan kerja = 0,003 (p value < 0,05); tingkat signifikansi variabel komitmen organisasional = 0,004 (p value < 0,05)). Jadi temuan tersebut secara statistik tetap bermakna. bahwa secara langsung motivasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja sebesar 1.462 dan motivasi berpengaruh terhadap kinerja sebesar 0.387, kepuasan kerja berpengaruh terhadap kinerja sebesar 0,003 dan lingkungan organisasi berpengaruh terhadap kinerja sebesar 0.506, lingkungan organisasi berpengaruh terhadap motivasi sebesar 0.680 dan lingkungan organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja sebesar 1.183. terdapat pengaruh positif yang signifikan komitmen organisasional karyawan terhadap kepuasan kerja karyawan dengan nila r hitung sebesar 0,50.
Tahun
kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasional dengan nilai korelasi sebesar (r = 0.43, p < 0.01).
2008
2012
2009
2011
59
No 14
Nama Peneliti Dadgar, et.al.
Judul The Relationship Between Organizational Culture, Job Satisfaction, Organizational Commitment and Intention to Stay of Health Personnel's of Zahedan University of Medical Sciences
Hasil Penelitian Terdapat hubungan yang positif antara komitmen organisasional terhaap kepuasan kerja karyawan diperoleh skor 0.32 (P<0.01).
Tahun 2013
3.3. Kerangka Pemikiran 3.3.1. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap Komitmen Organisasional Kepemimpinan transformasional adalah kemampuan pemimpin mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja, dan pola kerja, dan nilai-nilai kerja yang dipersepsikan bawahan sehingga mereka lebih mampu mengoptimalkan kinerja untuk mencapai tujuan organisasi. Berarti, sebuah proses transformasional terjadi dalam hubungan kepemimpinan manakala pemimpin membangun kesadaran bawahan akan pentingnya nilai kerja, memperluas dan meningkatkan kebutuhan melampaui minat pribadi serta mendorong perubahan tersebut ke arah kepentingan bersama termasuk kepentingan organisasi. Ketika karyawan diperlakukan dengan baik, dihargai, dan diberikan motivasi serta contoh positif dari atasan, maka akan membuat mereka semakin kuat dalam komitmen untuk bekerja sebaik mungkin. Para karyawan akan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap organisasi.
60
3.3.2. Pengaruh Lingkungan kerja terhadap Komitmen Organisasional Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan sangat penting untuk diperhatikan manajemen. Meskipun lingkungan kerja tidak melaksnakan proses produksi dalam suatu perusahaan, namun lingkungan kerja mempunyai
pengaruh
melaksanakan
proses
langsung produksi
terhadap tersebut.
para
karyawan
Lingkungan
kerja
yang yang
memusatkan bagi karyawannya dapat meningkatkan kinerja. Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja. Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja dan akhirnya menurunkan motivasi kerja karyawan. Ada beberapa aspek lingkungan kerja yang berpengaruh terhadap komitmen organisasional, di antaranya: penerangan/cahaya di tempat kerja, temperatur/suhu udara di tempat kerja, kelembaban di tempat kerja, sirkulasi udara di tempat kerja, kebisingan di tempat kerja. getaran mekanis di tempat kerja. bau tidak sedap di tempat kerja. tata warna di tempat kerja. dekorasi di tempat kerja. musik di tempat kerja. keamanan di tempat kerja. Ada pula lingkungan psikis dan lingkungan sosial yang juga berpengaruh pada kepuasan kerja karyawan.
3.3.3. Pengaruh
Kepuasan
Kerja
Karyawan
terhadap
Komitmen
Organisasional Kepuasan kerja karyawan menjadi sangat penting bagi organisasi, khususnya pada industri perbankan, karena kepuasan kerja disinyalir
61
sebagai prediktor yang lebih baik bagi turnover intentions dibandingkan dengan komtimen organisasional. Seorang individu masuk ke dalam suatu organisasi dengan bermacam kebutuhan, keinginan dan kemampuan, dan mereka berharap dapat menemukan sebuah lingkungan kerja dimana individu tersebut dapat menggunakan kemampuan serta memenuhi berbagai macam kebutuhan dasarnya. Saat individu tersebut menemukan peluang-peluang tersebut dalam pekerjaannya, maka komitmen terhadap organisasi akan meningkat. Dengan dimilikinya kepuasan kerja yang tinggi pada diri seorang karyawan bank dalam melaksanakan tugasnya, maka dapat mendorong adanya iklim kerja yang mendukung karyawan untuk mencapai prestasi yang nantinya dapat menciptakan komitmen organisasional itu sendiri. Kepuasan kerja dianggap sangat penting karena adanya biaya akibat ketidakpuasan (dissatisfaction) dalam employee turnover, absenteeism dan kinerja pekerjaan.
3.3.4. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional, Lingkungan Kerja, dan Kepuasan Kerja Karyawan secara Simultan terhadap Komitmen Organisasional Pemimpin
transformasional,
pemimpin
yang
memberikan
pertimbangan dan rangsangan intelektual yang di individualkan, dan yang memiliki karisma. Kepemimpinan transformasional menunjuk pada proses membangun komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi
62
kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Kepemimpinan transformasional mampu menciptakan iklim kerja yang kondusif, kenyamanan dalam bekerja, dan mengkreasikan sistem kerja serta tata ruang kerja yang memungkinkan karyawan termotivasi untuk
melaksanakan
tugas
dengan
maksimal.
Pemimpin
yang
menggunakan pendekatan transformasional senantiasa berupaya menjadi sosok tauladan, bekerja terlebih dahulu sebelum bawahan melaksanakan, mewujudkan visi menjadi program organisasi yang nyata, dan sebagainya. Dengan demikian, diasumsikan suatu organisasi yang memiliki pemimpin transformasional akan menciptakan lingkungan kerja yang nyaman. Lingkungan kerja yang nyaman akan melahirkan kepuasan kerja karyawan. Karyawan merasakan kenyaman dalam bekerja, tingkat kepuasan dalam melaksanakan tugas-tugas kantor sehingga menimbulkan komitmen organisasional yang memadai. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan pendekatan regresi linear. Ɛ
H1
X1 H2 X2
Y H3
X3 H4 Gambar 4. Rerangka Pemikiran
63
3.4. Hipotesis Beradasarkan paparan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah: 1. Kepemimpinan Transformasional berpengaruh signifikan terhadap Komitmen Organisasional karyawan PT. Panin Bank Tbk. Kantor Cabang Utama (KCU) CBD Pluit Jakarta. 2. Lingkungan Kerja berpengaruh signifikan terhadap Komitmen Organisasional karyawan PT. Panin Bank Tbk. Kantor Cabang Utama (KCU) CBD Pluit Jakarta. 3. Kepuasan
Kerja
berpengaruh
signifikan
terhadap
Komitmen
Organisasional karyawan PT. Panin Bank Tbk. Kantor Cabang Utama (KCU) CBD Pluit Jakarta. 4. Kepemimpinan Transformasional, Lingkungan Kerja, dan Kepuasan Kerja secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Komitmen Organisasional karyawan PT. Panin Bank Tbk. Kantor Cabang Utama (KCU) CBD Pluit Jakarta.