BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan penulis adalah terhadap penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi (Studi Putusan
Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM
dan
Putusan
Nomor
36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst), terdapat hal-hal penting yang terlebih dahulu harus diketahui sebelum membahas permasalahan dalam penelitian. Tindak pidana yang penulis kaji dalam skripsi ini adalah mengenai tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dan tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin pelaku tindak pidana korupsi yang ditempatkan sebagai terdakwa adalah PT Giri Jaladhi Wana dan pada tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM pelaku tindak pidana korupsi yang ditempatkan sebagai terdakwa adalah Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media. Untuk menjawab isu hukum yang diangkat oleh penulis, dalam hal ini penulis memunculkan dua rumusan masalah meliputi sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dan pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi serta prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan dalam Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM, namun tidak diterapkan dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst. A. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Sistem Pemidanaan Terhadap Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi Pertanggungjawaban pidana korporasi tidak dapat dipisahkan dari pidana dan
pemidanaan,
karena
suatu
tindak
pidana
apabila
dapat
dipertanggungjawabkan kepada pelakunya, maka konsekuensi lebih lanjut adalah penjatuhan pidana. Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli hukum pidana yang menganut aliran dualistis yang memandang bahwa tindak pidana mempunyai
49
50
struktur yang berbeda dengan pertanggungjawaban pidana, artinya terjadi pemisahan antara actus reus atau criminal act dengan mens rea atau criminal responsibility. Menurut pendapat Chairul Huda, aturan hukum pidana yang menentukan adanya tindak pidana merupakan primary rules, sedangkan pertanggungjawaban pidana diejawantahkan dalam secondary rules, artinya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seyogianya dipisahkan (Chairul Huda, 2006:20). Muladi dan Dwidja Priyatno mengungkapkan bahwa pandangan dualistis yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana ini memudahkan dalam melakukan suatu sistematika unsur-unsur mana dari suatu tindak pidana yang masuk ke dalam perbuatan dan yang mana masuk ke dalam pertanggungjawaban pidana, sehingga mempunyai dampak positif dalam menjatuhkan putusan dalam proses peradilan (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:68). Dari uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dipidananya pelaku tindak pidana tidak cukup hanya dengan dilakukannya suatu perbuatan pidana, terdapat syarat lain yaitu pelaku harus memiliki kesalahan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan kemudian dijatuhi pidana. Penegakan hukum terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana merupakan suatu pengaplikasian dari sistem pertanggungjawaban pidana. Dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana, terdapat asas yang sangat fundamental yaitu kesalahan atau dikenal dengan berlakunya asas tiada pidana pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Ada atau tidaknya kesalahan, merupakan hal yang penting bagi aparat penegak hukum untuk menentukan apakah seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan dan karenanya patut dipidana. “Asas kesalahan merupakan asas yang mutlak ada dalam hukum pidana, yaitu sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana” (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:101). Sehubungan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, muncul pertanyaan apabila korporasi dituntut atas suatu tindak pidana, dapatkah korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana, sebab unsur
51
utama dalam pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang hanya dimiliki oleh manusia. Kemudian terkait cara mengkonstruksikan unsur kesalahan yang hanya dimiliki oleh manusia tersebut terhadap korporasi sehingga korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Terkait dengan adanya asas kesalahan atau asas tiada pidana tanpa kesalahan sebagai asas yang fundamental dalam pertanggungjawaban pidana, menurut penulis hal ini berpengaruh terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi. Sehubungan dengan kesalahan pada pertanggungjawaban pidana korporasi, Van Bemmelen dan Jan Remmelink sebagaimana dikutip Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa pengetahuan bersama anggota direksi dalam badan hukum dianggap kesengajaan atau kelalaian badan hukum sebagai kesalahan, adanya kesalahan pada setiap anggota direksi yang bertindak untuk korporasi dikumpulkan atau dijumlahkan merupakan perwujudan kesalahan dari korporasi (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:102). Penulis menyimpulkan pendapat yang disampaikan oleh Van Bemmelen dan Jan Remmelink tersebut menunjukkan bahwa korporasi memiliki kesalahan yang berasal dari kesalahan setiap anggota direksi yang bertindak untuk korporasi. Penulis pada prinsipnya sependapat dengan Van Bemmelen dan Jan Remmelink, kemudian penulis mengkaitkan pandangan ini dengan realitas proses pengambilan keputusan dalam korporasi modern yang tidak lagi mendesain struktur organisasinya dengan kewenangan yang jelas, sebaliknya korporasi memiliki beberapa pusat kewenangan yang saling bekerja sama dan melengkapi satu sama lain dalam mengambil suatu kebijakan dan keputusan. Oleh karena itu, kesalahan setiap anggota direksi diatributkan sebagai kesalahan korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Korporasi dapat memiliki kesalahan, apabila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya atau orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan korporasi. Kesalahan dianggap tidak bersifat
52
individual karena mengenai badan sebagai suatu kolektivitas, kesalahan itu disebut sebagai kesalahan kolektif yang dapat dibebankan kepada pengurus korporasi yang memberi cukup alasan untuk menganggap badan atau korporasi mempunyai kesalahan dan karena itu harus menanggungnya dengan kekayaannya karena badan atau korporasi menerima keuntungan yang terlarang, hal ini diungkapkan Suprapto yang dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:101). Penulis sependapat dengan Suprapto, Van Bemmelen dan Jan Remmelink yang menyatakan bahwa korporasi memiliki kesalahan seperti halnya dengan manusia, kesalahan pada korporasi dimaksud dapat berupa pengetahuan atau kehendak bersama dari kumpulan pengurus korporasi atau pengetahuan dan kehendak bersama setiap individu yang bertindak untuk dan atas nama korporasi yang diatributkan sebagai kesalahan korporasi. Pada dasarnya, korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana tanpa melalui perantara pengurus korporasi atau karyawan korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi berdasarkan berlakunya teori pelaku fungsional, hal ini sesuai dengan pendapat Mardjono Reksodiputro yang dikutip oleh Mahrus Ali yang menyatakan bahwa kesalahan yang ada pada diri pengurus korporasi dialihkan atau menjadi kesalahan korporasi itu sendiri (Mahrus Ali, 2013:152). Sedangkan menurut Mahrus Ali, kesalahan pada korporasi berbeda dengan kesalahan pada subjek hukum manusia, karena dasar dari penetapan kesalahan pada korporasi adalah tidak dipenuhinya fungsi kemasyarakatan korporasi termasuk tetapi tidak terbatas untuk menghindari tindak pidana (Mahrus Ali, 2013:153). Menurut penulis, Mahrus Ali memiliki pandangan yang berbeda mengenai penentuan kesalahan korporasi yang pada prinsipnya menyatakan bahwa penilaian kesalahan pada korporasi ditentukan oleh dipenuhi atau tidaknya fungsi kemsayarakatan korporasi sehingga dapat dicela ketika suatu tindak pidana terjadi, adanya kesalahan itu berasal dari kesalahan pelaku
53
fungsional yang dapat dilakukan oleh pengurus korporasi atau karyawan korporasi. Oleh karena itu korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Menurut Elliot dan Quin sebagaimana dikutip Mahrus Ali, pembenaran pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan atas hal-hal sebagai berikut: 1. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang sebenarnya merupakan tindak pidana dan kesalahan dari korporasi; 2. Apabila perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang ilegal, maka perusahaan itulah yang seharusnya memikul sanksi atas tindak pidana yang dilakukan, bukan pegawainya; 3. Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat mencegah perusahaanperusahaan untuk menekan para pegawainya dalam memperoleh keuntungan kegiatan usahanya harus dilakukan secara legal; 4. Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan dapat mencegah perusahaan-perusahaan lain untuk melakukan kegiatan usaha yang ilegal (Mahrus Ali, 2013:104). Penulis sependapat dengan pandangan Eliot dan Quinn mengenai pentingnya pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sebab menurut penulis pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong korporasi untuk menjalankan kegiatan usaha yang legal dan tidak melanggar undangundang, selain itu juga memberikan pesan bahwa pencapaian tujuan negara untuk kesejahteraan masyarakat dan perlindungan terhadap masyarakat jauh lebih penting dibandingkan dengan hanya keuntungan materi yang diperoleh korporasi secara ilegal, serta merupakan pencegahan bagi korporasi lain untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang yang dapat merugikan negara maupun masyarakat dengan mengontrol pengurus korporasi maupun terhadap kegiatan usaha korporasi itu sendiri. Sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana, Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa untuk
54
adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Subjek tindak pidana yang telah diakui dalam hukum pidana di Indonesia adalah manusia dan korporasi, terhadap pengertian subjek tindak pidana memiliki konsekuensi yaitu siapa yang melakukan tindak pidana dan siapa yang dipertanggungjawabkan. Pada umumnya dalam hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan adalah pembuat tindak pidana, tetapi tidak selalu
demikian
karena
tergantung
pada
cara
perumusan
sistem
pertanggungjawaban pidana (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:82). Menurut penulis hal tersebut juga berlaku terhadap kedudukan korporasi sebagai pembuat atau pelaku tindak pidana untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus diketahui sistem pertanggungjawaban pidana korporasinya. Dalam hal ini terdapat sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang diungkapkan oleh Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali yaitu: 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, penguruslah yang bertanggung jawab; 2. Korporasi sebagai pembuat, pengurus yang bertanggung jawab;dan 3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab (Mahrus Ali, 2013:133). Terkait dengan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, Sutan Remy Sjahdeini menambahkan bentuk yang keempat yaitu sebagai berikut: 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasilah yang bertanggung jawab secara pidana; 2. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana namun pengurus korporasilah yang bertanggung jawab secara pidana; 3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang bertanggung jawab secara pidana;dan 4. Pengurus dan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan keduanya yang harus bertanggung jawab secara pidana (Sutan Remy Sjahdeini, 2006:59). Alasan Sutan Remy Sjahdeini menambahkan satu bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama,
apabila
pertanggungjawaban
hanya
pengurus
pidananya
akan
korporasi menimbulkan
saja
yang
diminta
ketidakadilan
bagi
55
masyarakat, karena pengurus dalam melakukan perbuatan tersebut adalah untuk dan atas nama korporasi yang memberikan keuntungan baik finansial maupun non finansial kepada korporasi. Kedua, apabila hanya korporasi yang dimintai pertanggungjawaban pidananya maka pengurus korporasi akan dengan mudahnya berlindung dibalik korporasi dengan mengatakan bahwa semua perbuatan yang dilakukannya adalah untuk dan atas nama korporasi dan bukan untuk kepentingan pribadi. Ketiga, pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vicarious dan segala perbuatan hukum dilakukan oleh manusia dalam menajalankan pengurusan korporasi sehingga tidak seharusnya hanya korporasi saja yang dimintai pertanggungjawaban secara pidana sedangkan pengurusnya dibebaskan maupaun sebaliknya, hanya pengurus korporasi yang dipertanggungjawabkan secara pidana sedangkan korporasinya bebas (Sutan Remy Sjahdeini, 2006:62-64). Penulis sependapat dengan pertimbangan yang dikemukakan oleh Sutan Remy
Sjahdeini
pertanggungjawaban
terkait
dengan
pidana
penambahan
korporasi,
alasan
bentuk penulis
keempat didasarkan
sistem pada
perkembangan korporasi pada era globalisasi yang multidimensional ini memiliki peran dan kekuasan di semua aspek kehidupan masayarakat, sehingga dietapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana tidaklah cukup karena hukuman yang dijatuhkan kepada pengurus tidak sebanding dengan keuntungan besar yang diterima korporasi dalam melakukan tindak pidana dan kerugian yang dialami oleh masyarakat maupun negara. Alasan yang diungkpakan oleh penulis mengenai keuntungan besar yang telah diterima oleh korporasi atas tindak pidana yang dilakukan korporasi sejalan dengan pandangan Mahrus Ali yang menyatakan bahwa korporasi merupakan makhluk yang rasional ekonomis dalam menimbang ongkos yang harus dikeluarkan dari melakukan tindak pidana dengan keuntungan yang akan didapat, artinya ketika keuntungan lebih besar dibandingkan dengan
56
ongkos yang dikeluarkan, maka korporasi akan melakukan tindak pidana (Mahrus Ali, 2013:264). Dengan hanya dipidananya pengurus saja tidak cukup memberikan jaminan bahwa korporasi tidak akan lagi melakukan tindak pidana apabila keuntungan besar diperoleh korporasi dengan melakukan tindak pidana. Menurut penulis, arah penegakan hukum yang dikehendaki masyarakat disamping mempertanggungjawabkan pidana pengurus korporasi yang melakukan tindak pidana juga korporasi yang selama ini jarang dihadapkan di pengadilan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan korporasi. Hal ini didasarkan juga pada peraturan perundang-undangan yang telah mendukung dengan mengatur mengenai syarat-syarat pemidanaan terhadap korporasi, contohnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehubungan dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dan diterimanya korporasi sebagai subjek pelaku tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana diluar KUHP, menurut penulis, terdapat hubungan antara tahap-tahap diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, penulis menjelaskan hubungan tersebut dalam tabel sebagai berikut: Tabel 1. Hubungan Tahap Diterimanya Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana dengan Perkembangan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi No. Tahap Diterimanya Korporasi Perkembangan Sistem Sebagai Subjek Tindak Pertanggungjawaban Pidana Pidana Korporasi 1.
I
Menurut Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, berdasarkan pemikiran dari abad ke-19 korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana, karena masih dianut asas
Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang harus bertanggung jawab secara pidana.
57
2.
II
3.
III
universitas delinquere non potest (Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015:161);dan Hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana dan dipertanggungjawabkan secara pidana. Hanafi Amrani dan Mahrus Ali menyatakan bahwa sesudah perang dunia I, korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana;dan Pertanggungjawaban pidana menjadi beban pengurus korporasi yang memberikan perintah atau bekerja untuk dan atas nama korporasi (Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015:163). Hanafi Amrani dan Mahrus Ali menyatakan bahwa tahap ketiga ini merupakan permulaan, diakuinya korporasi dapat melakukan tindak pidana dan bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan korporasi (Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015:164);dan Korporasi dapat dikenai sanksi pidana.
Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang bertanggung jawab secara pidana.
Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi bertanggung jawab secara pidana;dan Korporasi dan pengurus sebagai pembuat tindak pidana dan keduanya dapat bertanggung jawab secara pidana.
58
Hubungan antara diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi menunjukkan bahwa pada saat korporasi diakui sebagai subjek tindak pidana yang memiliki arti sebagai
subjek
yang
melakukan
tindak
pidana
dan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana telah berjalan secara beriringan dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi. Hubungan tersebut ditunjukkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana yang ditunjukkan dalam Pasal 1 butir 3 dan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam Pasal 20. Terkait dengan sistem pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi pengaturannya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu dapat dilihat dari diaturnya korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi, tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan korporasi, penentuan kapan korporasi melakukan tindak pidana korupsi, pengaturan mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, sanksi pidana yang tepat bagi korporasi dan tujuan pemidanaan terhadap korporasi. Pengakuan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan sebagai berikut: “Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi”. Yang dimaksud dengan korporasi dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 1 butir 1 sebagai berikut: “Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
59
Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang dihubungkan dengan subjek tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal-pasalnya, menurut penulis tidak semua tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh korporasi, hal ini dikarenakan perumusan subjek tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut menggunakan beberapa istilah diantaranya yaitu setiap orang, hakim, pemborong, ahli bangunan, orang dan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Menurut penulis, tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana korupsi yang subjek tindak pidananya dirumuskan dengan kata setiap orang yang memiliki pengertian orang perseorangan termasuk korporasi. Selanjutnya, kapan dinyatakan bahwa suatu korporasi telah melakukan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 terdapat dalam perumusan Pasal 20 ayat (2) yang menyatakan sebagai berikut: “tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”. Maka suatu tindak pidana korupsi telah dilakukan oleh korporasi dengan batas atau ukuran apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain bertindak dalam lingkungan korporasi baik sendiri maupun bersama-sama (garis bawah penulis). Menurut penulis perumusan mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan penyempurnaan perumusan tindak pidana ekonomi yang dilakukan korporasi dalam Undang-Undang Nomor Drt. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi atau yang sering disebut dengan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam Undang-Undang
60
Nomor Drt. 7 Tahun 1955 pengaturan tindak pidana ekonomi dilakukan oleh korporasi diatur dalam Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan sebagai berikut: “suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh suatu, atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang, atau suatu yayasan, jika tindakan dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu tidak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama-sama ada anasiranasir pidana tersebut”. Sehubungan dengan perumusan tersebut diatas Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa di dalam perumusan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi memang ada perumusan yang “seolah-olah” menjelaskan kapan suatu badan hukum itu dikatakan telah melakukan suatu tindak pidana. Perumusan tersebut berbunyi “suatu tindak pidana.....dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum... dan seterusnya”. Dengan adanya kata “dilakukan juga”, jelas bahwa rumusan tersebut hanya merupakan suatu fiksi yang memperluas bentuk tindak pidana yang sebenarnya tidak dilakukan oleh badan hukum tetapi “dianggap” telah dilakukan juga oleh badan hukum. Jadi, perumusan diatas tidaklah menjelaskan pengertian kapan badan hukum itu dikatakan melakukan tindak pidana atau sebagai pelaku tindak pidana, kemudian penyempurnaan perumusan pada Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi tersebut terdapat dalam rumusan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan dengan tegas bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain....dan seterusnya (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:93). Menurut Muladi dan Dwidja Priyatno yang menyatakan bahwa setelah melihat rumusan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi belum memberikan ketegasan mengenai batasan dan ukuran yang dipakai untuk
61
menentukan suatu tindak pidana ekonomi yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi, hanya saja dikatakan batasan atau ukurannya disebutkan: 1. Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain;atau 2. Berdasarkan bertindak dalam lingkungan badan hukum (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:94). Menurut penulis, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan batasan atau ukuran mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi yang memberikan batasan dan ukuran yang sama. Mencermati batasan dan ukuran tersebut, baik Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi maupun Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki kelemahan yang sama yaitu tidak adanya penjelasan yang lebih lanjut mengenai hubungan kerja maupun hubungan lainnya yang bertindak dalam lingkungan korporasi pada perumusan maupun penjelasannya untuk menentukan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, hal tersebut menyebabkan ketidakjelasan mengenai siapa orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi sehingga tindak pidana korupsi tersebut dapat dikatakan dilakukan oleh korporasi, maka kedepannya harus diperbaiki dalam formulasi perumusan pasalnya maupun penjelasannya. Setelah mengetahui mengenai tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh korporasi dengan mengetahuinya melalui perumusan subjek tindak pidananya dan menentukan kapan korporasi dapat melakukan tindak pidana korupsi, maka apabila korporasi yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, selanjutnya yang sangat penting adalah terkait pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah menyatakan sebagai berikut:
62
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan pengurusnya. 2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. 3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. 4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain 5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. 6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau tempat pengurus berkantor. 7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (sepertiga). Berdasarkan uraian Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut secara gramatikal menurut penulis terdapat tiga bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi sebagai berikut: 1. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang bertanggung jawab secara pidana; 2. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang bertanggung jawab secara pidana;dan 3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana, dan yang bertanggung jawab secara pidana adalah korporasi serta pengurus korporasi. Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menurut penulis telah sampai tahap ketiga yaitu korporasi dapat melakukan tindak pidana dan korporasi dapat bertanggung
63
jawab
secara
pidana
bersama
pengurusnya.
Sehubungan
dengan
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi, menurut penulis walaupun telah mengakui korporasi dapat melakukan tindak pidana korupsi dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, namun masih belum ada penjelasan yang tegas dan spesifik mengenai kapan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dipertanggungjawabkan oleh korporasi atau pengurus atau korporasi dan pengurus secara bersamaan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini menurut penulis merupakan suatu kelemahan dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut yang harus diperbaiki dalam formulasinya di masa yang akan datang untuk menghindari ketidakjelasan penafsiran. Mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi menurut penulis, merupakan bagian dari proses sistem pemidanaan yang pada hakikatnya berpijak pada pemikiran tujuan dipidananya korporasi, sanksi apa yang tepat diancamkan untuk korporasi dan penjatuhan pidana yang tepat untuk korporasi serta mengenai bentuk pengaturannya. Pemidanaan merupakan salah satu sarana untuk menanggulangi kesejahteraan
masalah-masalah masyarakat.
Oleh
sosial
dalam
karena
itu
mencapai
menurut
tujuan
Setiyono,
yaitu dengan
menggunakan sanksi berupa sanksi pidana terhadap kejahatan korporasi yang penuh motif ekonomi harus dipertimbangkan benar urgensinya (Setiyono, 2003:116-117). Sehubungan dengan urgensi pemidanaan korporasi yang berangkat dari motivasi bahwa dengan hanya memidana pengurus korporasi saja dalam delik ekonomi tidaklah cukup apabila melihat keuntungan besar yang diterima korporasi atas tindak pidana yang dilakukan korporasi dan akibatnya berupa kerugian yang dialami negara maupun masyarakat sangat besar. Penulis menerima pendapat yang diungkapkan oleh Yoshio Suzuki yang dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno yang menyatakan bahwa dalam
64
penjatuhan pidana pada korporasi, misalnya dalam bentuk penutupan seluruh atau sebagian usaha korporasi harus dilakukan secara hati-hati (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:143). Hal ini disebabkan dampak penjatuhan pidana tersebut terhadap korporasi tidak hanya berdampak pada korporasi sendiri, tetapi juga berdampak pada buruh atau karyawan korporasi yang tidak bersalah. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu untuk mempertimbangkan peringatan Sudarto yang dikutip oleh Setiyono, bahwa “sanksi pidana akan menemui kegagalan dan mendatangkan kecemasan belaka. Terlalu banyak menggunakan ancaman pidana dapat
mengakibatkan
devaluasi
dari undang-undang pidana” (Setiyono,
2003:117). Penggunaan sanksi pidana harus dilakukan secara cermat, hati-hati dan manusiawi agar bermanfaat dalam keadaan yang tepat. Oleh karena itu Packer sebagaimana dikutip oleh Setiyono menegaskan bahwa syarat-syarat penggunaan sanksi pidana secara optimal harus mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Perbuatan yang dilarang tersebut menurut pandangan sebagian besar anggota masyarakat secara menyolok dianggap membahayakan masyarakat dan tidak dibenarkan oleh apa saja yang oleh masyarakat dianggap penting; 2. Penerapan sanksi pidana terhadap perbuatan tersebut konsisten dengan tujuan-tujuan pemidanaan; 3. Pemberantasan terhadap perbuatan tersebut tidak akan menghalangi atau merintangi perilaku masyarakat yang diinginkan; 4. Perilaku tersebut dapat dihadapi melalui cara yang tidak berat sebelah dan tidak bersifat diskriminatif; 5. Pengaturan melalui proses hukum pidana tidak akan memberikan kesan memperberat baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif;dan 6. Tidak ada pilihan-pilihan yang beralasan daripada sanksi pidana tersebut guna menghadapi perilaku tersebut (Setiyono, 2003:117). Selanjutnya menurut penulis, perlakuan secara hati-hati untuk memidana atau menjatuhkan pidana terhadap korporasi harus didasarkan pada kriteriakriteria yang tepat dalam menentukan penjatuhan sanksi pidana terhadap korporasi, dalam hal ini menurut penulis beberapa kriteria yang menentukan kapan sanksi pidana diarahkan pada korporasi, kriteria tersebut bersifat alternatif
65
sehingga tidak perlu harus terpenuhi semuanya, kriteria tersebut dikemukakan oleh Clinard dan Yeager sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno serta diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut: 1. The degree of loss to the public (Tingkat kerugian terhadap publik); 2. The lever of complicity by high corporate managers (Tingkat keterlibatan oleh jajaran manajer); 3. The duration of the violation (lamanya pelanggaran); 4. The frequensi of the violation by the corporation (Frekuensi pelanggaran oleh korporasi); 5. Evidence of intent to violate (Alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan pelanggaran); 6. Evidence of extortion, as in bribery cases (Alat bukti pemerasan, semisal dalam kasus suap); 7. The degree of notoriety engendered by the media (Derajat pengetahuan publik tentang hal-hal negatif yang ditimbulkan oleh pemberitaan media); 8. Precedent in law (Jurisprudensi); 9. The history of serious, violation by the corporation (Riwayat pelanggaranpelanggaran serius oleh korporasi); 10. Deterence potential (Kemungkinan pencegahan);dan 11. The degree of cooperation evinced by the corporation (Derajat kerja sama yang ditunjukkan oleh korporasi) (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:143). Penulis mendasarkan pertimbangan untuk pemidanaan terhadap korporasi didasarkan oleh kajian menurut Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana Badan Pengkajian Hukum Nasional, dalam laporan hasil Pengkajian Bidang Hukum tahun 1980/1981 yang menyatakan bahwa “jika dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi karena delik itu cukup besar atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat atau saingan-saingannya sangat berarti” (Muladi
66
dan Dwidja Priyatno, 2010:146). Hal ini berarti dipidananya pengurus saja tidak dapat memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak akan sekali lagi melakukan tindak pidana. Terkait hal ini, menurut penulis, kedudukan korporasi ketika terbukti melakukan tindak pidana dan dipersalahkan atas tindak pidana yang dilakukan korporasi, pemidanaan terhadap korporasi harus didasarkan pada tujuan pemidanaan yang bersifat preventif dan represif. Kemudian apabila dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan korporasi menyangkut tujuan bersifat integratif yang mencakup: 1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaiki penjahatnya, sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar orang lain tidak melakukan kejahatan tersebut. Jadi jika dihubungkan dengan korporasi, maka tujuan dipidananya korporasi agar korporasi itu tidak melakukan tindak pidana lagi, dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah untuk melakukan tindak pidana, dengan tujuan demi pengayoman masyarakat; 2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang sangat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui tindak pidana. Perlindungan masyarakat sering dikatakan berada di seberang pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan tidak mampu. Bila dikaitkan dengan korporasi, sehingga korporasi tidak mampu lagi melakukan suatu tindak pidana; 3. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat. Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan adalah untuk penegakan adat istiadat masyarakat, dan untuk mencegah balas dendam perseorangan, atau balas dendam yang tidak resmi. Pengertian solidaritas ini juga sering dihubungkan dengan masalah kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh negara. Kalau dihubungkan dengan pemidanaan korporasi kompensasi terhadap korban dilakukan oleh korporasi itu sendiri yang diambil dari kekayaan korporasi, sehingga solidaritas sosial dapat dipelihara;dan 4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau keseimbangan, yaitu adanya kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban individual dari pelaku tindak pidana, dengan memperhatikan beberapa faktor. Penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan masyarakat sehari-hari dan di samping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak
67
dengan alasan-alasan prevensi general apapun (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:147-149). Dengan demikian, menurut penulis, pemidanaan terhadap korporasi secara global haruslah sesuai dengan pendirian integratif tentang tujuan pemidanaan, yaitu dalam fungsinya sebagai sarana preventif atau pencegahan baik secara umum dan khsusus, selanjutnya tujuan pemidanaan yang bersifat represif tercermin dalam tujuan pemidanaan korporasi untuk perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan atau keseimbangan. Berbeda dengan tujuan pemidanaan secara global yang bersifat integratif, menurut Mahrus Ali, teori pemidanaan yang sesuai digunakan bagi korporasi adalah teori pencegahan (deterrence) dan teori rehabilitasi (rehabilitation) (Mahrus Ali, 2013:263). Digunakannya teori pencegahan didasarkan pada motivasi atau orientasi bahwa korporasi ketika melakukan tindak pidana didasarkan kepada motivasi ekonomi atau orientasi untung rugi dalam hal dilakukan pada tindak pidana apapun. Pendapat yang dikemukakan Mahrus Ali mengenai teori pencegahan adalah korporasi ketika melakukan suatu aktivitas tertentu berpikir secara rasional dengan tujuan utama untuk memaksimalkan keuntungan yang diharapkan, kondisi tersebut dapat dijelaskan bahwa ketika keuntungan yang diperoleh korporasi lebih besar dibandingkan dengan ongkos yang dikeluarkan korporasi, maka korporasi akan melakukan tindak pidana (Mahrus Ali, 2013:264). Selanjutnya mengenai teori rehabilitasi, Mahrus Ali mengemukakan bahwa alasan digunakannya teori rehabilitasi karena tidak jarang tindak pidana yang dilakukan korporasi menghasilkan efek negatif terhadap lingkungan hidup (Mahrus Ali, 2013:265). Pendapat yang dikemukakan Mahrus Ali mengenai teori rehabilitasi adalah bahwa korporasi merupakan entitas hukum yang tidak sehat yang memerlukan pengobatan, dalam artian hukuman yang dijatuhkan harus cocok dengan kondisi korporasi dan bukan dengan sifat kejahatannya (Mahrus Ali, 2013:266).
68
Menurut penulis, teori rehabilitasi yang dikemukakan oleh Mahrus Ali hanya tepat untuk digunakan dalam pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan orientasi penggunaan teori rehabilitasi yang dikemukakan Mahrus Ali lebih mengarah kepada rehabilitas lingkungan hidup yang rusak akibat tindak pidana yang dilakukan korporasi, oleh karena itu pendapat mengenai teori rehabilitas yang dinyatakan Mahrus Ali menurut penulis mengarah kepada perlakuan yang tepat terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup dengan memanfaatkan program rehabilitasi diharapkan agar korporasi dapat bersinergi kembali dengan masyarakat. Terkait dengan tujuan pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi, pada penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan mampu untuk memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka “mencegah” dan “memberantas” lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang telah sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Frase “mencegah” dan “memberantas” merupakan ide dari teori tujuan pemidanaan yang menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi bersifat preventif dan represif, tujuan tersebut secara normatif direalisasikan melalui pertanggungjawaban pidana korporasi. Tujuan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi bersifat preventif artinya tujuan dipidananya korporasi agar korporasi tercegah untuk melakukan tindak pidana korupsi, dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah untuk melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan tujuan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi bersifat represif artinya tujuan dipidananya korporasi adalah agar negara dapat menuntut korporasi untuk mengembalikan kerugian keuangan negara
69
yang telah dipergunakan secara melawan hukum. Selain itu, teori tujuan pemidanaan korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 dapat dilihat pada substansi pengaturan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, termasuk kedudukan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi. Sehubungan pemidanaan terhadap korporasi, hal penting yang selanjutnya harus diketahui adalah mengenai sanksi pidana pokok bagi korporasi dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya berupa denda, berikut bunyi pasalnya: “Pidana pokok yang dapat digunakan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3”. Menurut penulis, berdasarkan penjelasan pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 20 ayat (7) merupakan sanksi yang dirumuskan secara tunggal yang tidak memberikan alternatif pidana pokok lain yang dapat dipilih. Hal ini menjadi permasalahan sekaligus kelemahan tersendiri dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebab dalam ketentuan umum Buku I KUHP dalam Pasal 30 ayat (2) yang mengatur tentang denda yang tidak dibayar dapat dikenakan pidana kurungan pengganti denda yang hanya dapat dijatuhkan terhadap manusia bukan korporasi. Tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi di Indonesia, selain ketentuan pidana pokok berupa denda yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi, juga terdapat pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang dapat berupa: 1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
70
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; 2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; (Pasal 18 ayat (2) menjelaskan bahwa jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti) 3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1(satu) tahun;dan (pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan) 4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Dalam hal pemidanaan terhadap korporasi dengan dijatuhkannya sanksi pidana terhadap korporasi, penulis akan memberikan sedikit catatan mengenai dampak negatif dari pemidanaan korporasi yang akan menimbulkan dampak negatif terhadap buruh atau karyawan. Penulis pada prinsipnya sependapat dengan Muladi dan Dwidja Priyatno yang mengungkapkan bahwa untuk menghindarkan dampak efek negatif pemidanaan terhadap korporasi, dapat dilakukan dengan mengasuransikan pekerja atau buruh atau karyawan korporasi (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:143). Terkait hal ini, apabila tidak ada asuransi terhadap pekerja, pemidanaan korporasi harus tetap dilakukan, namun dilakukan dengan sangat hati-hati. Penulis menambahkan bahwa dampak negatif yang akan berpengaruh terhadap pihak-pihak disekitar terpidana merupakan konsekuensi yang harus terjadi dalam pemidanaan, hal ini tidak berbeda dengan pemidanaan terhadap manusia alamiah yang akan berpengaruh terhadap pihak-pihak disekitar terpidana. Dalam artian bahwa pemidanaan baik terhadap manusia alamiah maupun korporasi akan menimbulkan pengaruh terhadap pihak-pihak disekitar terpidana yang akan menghukum pihak yang tidak bersalah. Inti yang dimaksud dari penjelasan penulis adalah dampak negatif dari pemidanaan manusia alamiah yang berdampak pada pihak-pihak disekitar terpidana sama halnya yang akan terjadi pada pemidanaan korporasi, akan tetapi pemidanaan terhadap manusia alamiah
71
tentu tidak dihapuskan karena adanya dampak negatif terhadap pihak disekitar terpidana, demikian halnya dengan pemidanaan terhadap korporasi yang tentu tidak harus dihapuskan karena adanya hal tersebut. Berdasarkan uraian penjelasan di atas yang telah dipaparkan oleh penulis, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa sehubungan dengan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang merupakan bagian dalam proses sistem pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi, yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat beberapa kelemahan dalam substansi pengaturan mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dan sistem pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi yang dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Tidak adanya penjelasan mengenai hubungan kerja dan hubungan lain untuk menentukan siapa orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi sehingga tindak pidana korupsi dapat dikatakan dilakukan oleh korporasi menimbulkan ketidakjelasan penafsiran; 2. Tidak adanya kejelasan mengenai kapan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi itu dipertanggungjawabkan terhadap korporasi saja atau pengurus saja atau terhadap korporasi dan pengurus secara bersamaan;dan 3. Pidana pokok hanya berupa denda yang tidak ada alternatif lainnya mengenai pidana pokok terhadap korporasi menimbulkan permasalahan ketika denda tidak dibayarkan oleh korporasi, sebab dalam ketentuan umum Buku I KUHP Pasal 30 ayat (2) menjelaskan bahwa jika denda tidak dibayarkan yaitu dapat dikenakan pidana kurungan pengganti yang hanya dapat diterapkan terhadap manusia alamiah.
72
B. Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Diterapkan Sebagai Dasar
Pertimbangan
Majelis
Hakim
dalam
Putusan
Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN/BJM yang Seharusnya Dapat Diterapkan dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst 1. Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Pembangunan dan Pengelolaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin a. Kasus Posisi Bahwa PT Giri Jaladhi Wana ditunjuk oleh Pemerinah Kota Banjarmasin berdasarkan Surat Keputusan Nomor 008/Prog/1998 tanggal 13 Juli 1998 sebagai mitra kerja dalam pelaksanaan kerja sama kontrak bagi tempat usaha untuk pembangunan Pasar Sentra Antasari, dengan perjanjian kerjasama Nomor 664/I/548/Prog; Nomor 003/GJW/VII/1998 tanggal 14 Juli 1998. Selanjutnya dalam pelaksanaan pembangunan Pasar Sentra Antasari, PT Giri Jaladhi Wana melakukan penyimpangan dengan membangun 6.045 (enam ribu empat puluh lima) unit toko, kios, los, lapak dan warung tanpa persetujuan Pemerintah Kota Banjarmasin dimana seharusnya PT Giri Jaladhi Wana hanya membangun 5.145 (lima ribu seratus empat puluh lima) unit, sehingga
terjadi penambahan sejumlah 900
(sembilan ratus)
unit.
Penambahan 900 (sembilan ratus) unit tersebut dijual oleh PT Giri Jaladhi Wana dengan harga Rp16.691.713.166,00 (enam belas miliar enam ratus sembilan puluh satu juta tujuh ratus tiga belas ribu seratus enam puluh enam rupiah) dan hasil penjualan tersebut tidak disetorkan ke kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin. Selain itu, PT Giri Jaladhi Wana tidak membayarkan kewajiban untuk membayar retribusi dan penggantian uang sewa
ke
kas
daerah
Pemerintah
Kota
Banjarmasin
sebesar
Rp5.750.000.000,00 (lima miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah). PT Giri Jaladhi Wana yang ditunjuk sebagai pengelola Pasar Sentra Antasari dari
73
tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 tidak pernah membayar uang pengelolaan Pasar Sentra Antasari dengan memberikan alasan melalui Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yaitu Stevanus Widagdo kepada Pemerintah Kota Banjarmasin bahwa PT Giri Jaladhi Wana dalam pengelolaan Pasar Sentra Antasari mengalami kerugian, padahal berdasarkan laporan keuangan pengelolaan Pasar Sentra Antasari terkumpul dana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima rupiah). Padahal sebelum dibangun menjadi pasar modern, Pemerintah Kota Banjarmasin menerima hasil retribusi sebesar Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dari pengelolaan Pasar Sentra Antasari. Berdasarkan perhitungan BPKP Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan perbuatan PT Giri Jaladhi Wana tersebut telah merugikan keuangan negara c.q. Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp7.332.361.516,00 (tujuh miliar tiga ratus tiga puluh dua juta tiga ratus enam puluh satu ribu lima ratus enam belas rupiah). Dalam pelaksanaan pembangunan Pasar Sentra Antasari, PT Giri Jaladhi Wana melalui Direktur Utamanya Stevanus Widagdo mengajukan kredit modal kerja kepada PT Bank Mandiri, Tbk., akan tetapi dalam menggunakan fasilitas kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., PT Giri Jaladhi Wana melakukan berbagai penyimpangan yang merugikan PT Bank Mandiri sebesar Rp199.536.064.675,65 (seratus sembilan puluh sembilan miliar lima ratus tiga puluh enam juta enam puluh empat ribu enam ratus tujuh puluh lima rupiah enam puluh lima sen). Berdasarkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan PT Giri Jaladhi Wana dalam hal pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari serta dalam penggunaan fasilitas kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., atas perbuatan-perbuatannya tersebut PT Giri Jaladhi Wana ditetapkan sebagai Terdakwa. Penetapan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa
74
berawal dari putusan berkekuatan hukum tetap empat terdakwa sebelumnya yaitu Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana, Direktur PT Giri Jaladhi Wana, mantan Walikota Banjarmasin dan Kepala Dinas Pasar Kota Banjarmasin. Penanganan tindak pidana korupsi penyalahgunaan pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Banjarmasin untuk disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin. b. Dakwaan Penuntut Umum Dakwaan Jaksa Penuntut Umum disusun secara subsidaritas yaitu: Dakwaan Primair melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Unsur-unsurnya sebagai berikut: 1) Setiap orang termasuk korporasi; 2) Dengan melawan hukum; 3) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;dan 5) Perbuatan dilakukan secara berlanjut. Dakwaan Subsidair melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Unsur-unsurnya sebagai berikut: 1) Setiap orang termasuk korporasi; 2) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya;
75
4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;dan 5) Perbuatan dilakukan secara berlanjut. c.
Tuntutan Penuntut Umum 1) Menyatakan PT Giri Jaladhi Wana telah terbukti bersalah melakukan beberapa perbuatan yang berhubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut yang melanggar Pasal 2 Jo. Pasal 18 Jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana Dakwaan Primair; 2) Menjatuhkan pidana terhadap PT Giri Jaladhi Wana dengan pidana denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah); 3) Menjatuhkan pidana tambahan penutupan sementara PT Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan.
d. Pertimbangan Majelis Hakim Pertimbangan Majelis Hakim mengenai Dakwaan Primair: 1) Unsur setiap orang termasuk korporasi a) Bahwa pengertian “setiap orang” sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah orang perorangan termasuk korporasi, yang dimaksud korporasi
adalah
kumpulan
orang
dan/atau
kekayaan
yang
terorganisasi, baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum; b) Bahwa sebagaimana Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu dalam hal tindak pidana
76
korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya; c) Bahwa Penuntut Umum telah menghadapkan Stevanus Widagdo Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yang bertindak mewakili PT Giri Jaladhi Wana, dan setelah pemeriksaan di tingkat penyidikan dan pra penuntutan selanjutnya PT Giri Jaladhi Wana dihadapkan dipersidangan sebagai terdakwa, berdasarkan keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti surat. d) Bahwa terdakwa PT Giri Jaladhi Wana merupakan badan hukum, maka terdakwa dapat dikategorikan sebagai korporasi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; e) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut unsur pertama “setiap orang” telah terpenuhi. 2) Unsur secara melawan hukum a) Bahwa sebagaimana pendapat jonkers, dalam perundang-undangan unsur melawan hukum disebut dengan bermacam-macam istilah, biasanya disebut dengan “melawan hukum” atau dengan tanpa hak, dengan
tanpa
izin,
dengan
melampaui
kekuasaannya,
tanpa
memperhatikan cara yang ditentukan dalam undang-undang; b) Bahwa dalam ilmu hukum dikenal dua macam sifat melawan hukum, yaitu sifat melawan hukum materiel dan sifat melawan hukum formil. Sifat melawan hukum materiel artinya tidak hanya melawan hukum yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis, sedangkan sifat melawan hukum formil adalah unsur dari hukum positif yang tertulis saja yang dengan tegas disebutkan dalam rumusan tindak pidana;
77
c) Bahwa sifat melawan hukum menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diartikan sebagai sifat melawan hukum dalam arti formil maupun materiil. Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006, penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sifat melawan hukum materiel dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sehingga
Majelis
Hakim
membatasi
pembahasan
pengertian melawan hukum hanya mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil; d) Bahwa menurut ajaran sifat melawan hukum formil, suatu perbuatan bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undangundang; e) Bahwa sebagaimana keterangan ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh personel korporasi dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi, kecuali bahwa apabila perbuatan tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh directing mind dari korporasi atau dengan kata lain bahwa untuk dapat korporasi bertanggung jawab atas perbuatan pengurusnya harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi maupun didalam struktur organisasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi;
78
(2) Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi; (3) Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi; (4) Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi; (5) Pelaku dan pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. f) Bahwa sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa: “tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”; g) Bahwa sesuai anggaran dasar PT Giri Jaladhi Wana bergerak di bidang usaha : perdagangan, industri, agrobisnis, pengadaan barang, jasa, transportasi, pembangunan dan desain interior; h) Bahwa
berdasarkan
fakta-fakta
hukum
yang
terungkap
di
persidangan, telah terbukti benar, seluruh rangkaian perbuatan terdakwa berkaitan dengan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota
Banjarmasin
dan
surat
Walikota
Banjarmasin
Nomor
500/259/Ekobang/2004 tanggal 31 Mei 2004 tentang Penunjukan Pengelolaan Sementara Pasar Sentra Antasari kepada terdakwa; i) Bahwa dalam penandatanganan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 dan surat
79
Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004, terdakwa diwakili oleh Stevanus Widagdo Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dan Drs. Tjiptomo selaku Direktur PT Giri Jaladhi Wana, keduanya adalah directing mind pada PT Giri Jaladhi Wana; j) Bahwa dalam memperoleh dana Kredit Modal Kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., yang diajukan terdakwa, dalam hal ini terdakwa diwakili oleh Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dan Drs. Tjiptomo selaku Direktur PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan kedudukannya keduanya adalah directing mind pada PT Giri Jaladhi Wana; k) Bahwa benar atas kejadian tersebut Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana telah dijatuhi pidana berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap melalui Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 936k/Pid.Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009; l) Bahwa dari rangkaian fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan,
telah
terbukti
benar
adanya
penyimpangan-
penyimpangan yang dilakukan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sebagai berikut: (1) Perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tanpa persetujuan DPRD Kota Banjarmasin membangun 6.045 (enam ribu empat puluh lima) unit terdiri dari toko, kios , los, lapak dan warung, sehingga terjadi penambahan 900 (sembilan ratus) unit yang kemudian dijual dengan harga Rp16.691.713.166,00 (enam belas miliar enamratus sembilan puluh satu juta tujuh ratus tiga belas ribu seratus enam puluh enam rupiah) dan hasil penjualan tidak disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin, hal tersebut bertentangan dengan:
80
(a) Perda No. 9/1980 tentang Pasar Dalam Daerah Kotamadya Banjarmasin;dan (b) Perjanjian
Kerja
Sama
Nomor
664/1/548/Prog-Nomor
003/GJW/VII/1998 dan Pasal 3 Addendum. (2) Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana mempunyai kewajiban membayar kepada Pemerintah Kota Banjarmasin, berupa: (a) Retribusi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); (b) Penggantian uang sewa Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah);dan (c) Pelunasan
Kredit
Inpres
Pasar
Sentra
Antasari
Rp3.750.000.000,00 (tiga miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Jumlah
keseluruhan
yang
harus
dibayar
adalah
Rp6.750.000.000,00 (enam miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah), yang terdakwa bayarkan hanya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), sehingga terdapat kekurangan Rp5.750.000.000,00 (lima miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) yang seharusnya disetor ke kas Pemerintah Kota Banjarmasin, namun terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sengaja tidak membayar uang tersebut, terdakwa PT Giri Jaladhi Wana melalui Stevanus Widagdo memberikan keterangan yang tidak benar dengan menyatakan kepada Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah pembangunan Pasar Sentra Antasari belum selesai, padahal sesuai keterangan Ir. Wahid Udin, MBA. Projek Manajer Pembangunan Pasar Sentra Antasari, per September 2004 pembangunan Pasar Sentra Antasari telah selesai dan per Oktober 2004 mempunyai surplus Rp64.579.000.000,00 (enam puluh empat miliar lima ratus tujuh
81
puluh sembilan juta rupiah) dari hasil penjualan kios, toko dan los serta warung, hal tersebut bertentangan dengan: (a) Pasal 1 huruf f Permendagri Nomor 3 Tahun 1986 tentang Penyertaan Modal Daerah Pada Pihak Ketiga; (b) Pasal 1 huruf g Perda Nomor 8 Tahun 1992 tentang Penyertaan Modal Daerah Pihak Ketiga;dan (c) Perjanjian
Kerja
Sama
Nomor
664/1/548/Prog-Nomor
003/GJW/VII/1998 serta Addendumnya. m) Perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sejak ditunjuk mengelola Pasar
Sentra
Antasari
berdasarkan
Surat
Walikota
Nomor
500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 sampai dengan Desember 2007 sengaja tidak membayar uang pengelolaan Pasar Sentra Antasari ke kas daerah Kota Banjarmasin dan Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana memberikan keterangan tidak benar dengan mengatakan kepada Pemerintah Kota Banjarmasin bahwa PT Giri Jaladhi Wana dalam melakukan pengelolaan Pasar Sentra Antasari merugi, padahal sesuai laporan keuangan pengelolaan Pasar Sentra Antasari periode 2004 sampai dengan Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp7.650.143.654,00 (tujuh miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus lima puluh empat rupiah), hal tersebut bertentangan dengan: (1) Pasal 13 Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Retribusi Parkir; (2) Pasal 10 ayat (2) Perda Nomor 2 Tahun 1993 tentang Kebersihan;dan (3) Pasal 15 ayat (2) Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/1/548/ProgNomor 003/GJW/VII/1998.
82
n) Perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dalam penggunaan Kredit Modal Kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., telah melakukan penyimpangan-penyimpangan berupa: (1) Berdasarkan
Perjanjian
Kredit
Modal
Kerja
Nomor
048/001/KMK-CO/2001 tanggal 19 Desember 2001 akta notaris Nomor 69, untuk penambahan pendanaan pembangunan Pasar Sentra Antasari sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), terdapat kekurangan pembayaran oleh terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sebesar Rp23.550.000.000,00 (dua puluh tiga miliar lima ratus lima puluh juta rupiah) dan utang bunga Rp3.452.000.000,00 (tiga miliar empat ratus lima puluh dua juta rupiah). Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 2 Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor 048/001/KMK-CO/2001; (2) Berdasarkan Addendum I Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor 048/001/KMK-CO/2001 tanggal 9 Oktober 2002 akta notaris Nomor
24
diberikan
kredit
tambahan
sebesar
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), terdakwa PT Giri Jaladhi Wana hanya membayar sebesar Rp5.720.000.000,00 (lima miliar tujuh ratus dua puluh juta rupiah); (3) Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tidak menyetorkan hasil penjualan ke rekening escrow I, sebagai berikut: a) Surat Nomor 9.Hb.BLM.CMB/013/2003 tanggal 9 Januari 2003 penjualan Rp1.168.000.000,00 (satu miliar seratus enam puluh delapan juta rupiah), yang tidak disetorkan sebesar Rp704.000.000,00 (tujuh ratus empat juta rupiah); b) Surat Nomor 9.Hb.BLM.CMB/104/2003 tanggal 11 Januari 2003 penjualan Rp8.770.000.000,00 (delapan miliar tujuh ratus tujuh puluh juta rupiah), yang tidak disetorkan sebesar
83
Rp8.129.000.000,00 (delapan miliar seratus dua puluh sembilan juta rupiah);dan c) Surat Nnomor 9.Hb.BLM.CMB/178/2003 tanggal 11 Maret 2003 penjualan Rp1.173.000.000,00 (satu miliar seratus tujuh puluh tiga juta rupiah), yang tidak disetorkan sebesar Rp284.000.000,00 (dua ratus delapan puluh empat juta rupiah). Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 2 Addendum Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor 048/011/KMK-CO/2001 dan Pasal 4 ayat (1) huruf a Akta Nomor 16 tanggal 27 Mei 2002 perihal Perjanjian Kerja Sama antara PT Bank Mandiri, Tbk., dengan PT Giri Jaladhi Wana. (4) Berdasarkan Addendum II Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor 048/001/KMK-CO/2001 tanggal 8 Januari 2004 akta notaris Nomor 5, dilakukan penjadwalan kembali dengan limit kredit turun menjadi Rp67.830.000.000,00 (enam puluh tujuh miliar delapan ratus tiga puluh juta rupiah), namun terdakwa PT Giri Jaladhi Wana hanya membayar sebesar Rp1.030.000.000,00 (satu miliar tiga puluh juta rupiah), hal tersebut bertentangan dengan Pasal 2 Addendum II Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor 048/001/KMK-CO/2001 tanggal 8 Januari 2004. (5) Berdasarkan Addendum III Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor 048/011/KMK-CO/2001 tanggal 2 Agustus 2004 dilakukan penjadwalan
kembali
dengan
limit
turun
menjadi
Rp66.800.000.000,00 (enam puluh enam miliar delapan ratus juta rupiah),
terdakwa
PT
Giri
Jaladhi
Wana
tidak
dapat
mengembalikan kredit modal kerja kepada PT Bank Mandiri, Tbk., sesuai jadwal yang ditentukan, terdakwa PT Giri Jaladhi
84
Wana malah meminta PT Bank Mandiri, Tbk., untuk mencairkan fasilitas Bank Garansi sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). Perbuatan PT Giri Jaladhi Wana bertentangan dengan Pasal 2 Addendum II Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor 048/011/KMK-CO/2001 tanggal 2 Agustus 2004 dan Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor 048/032/KMK-CO/2004 Akta Notaris Nomor 81 tanggal 21 Desember 2004, atas perbuatan tersebut terdakwa PT Giri Jaladhi Wana harus mengembalikan kredit modal kerja yang telah diterima dari PT Bank Mandiri, Tbk. o) Bahwa dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, telah terbukti benar bahwa seluruh rangkaian perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana adalah berkaitan dengan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 dan surat Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 31 Mei 2004; p) Bahwa dalam penandatanganan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 dan surat Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 31 Mei 2004, PT Giri Jaladhi Wana diwakili oleh Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dan Ir. Tjiptomo selaku Direktur PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan kedudukan keduanya tersebut adalah directing mind pada PT Giri Jaladhi Wana; q) Bahwa dalam pengajuan Kredit Modal Kerja ke PT Bank Mandiri, Tbk., PT Giri Jaladhi Wana diwakili oleh Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dan Ir. Tjiptomo selaku Direktur PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan kedudukan keduanya adalah directing mind pada PT Giri Jaladhi Wana;
85
r) Bahwa sesuai anggaran dasar PT Giri Jaladhi Wana, maka Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 dan surat Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 31 Mei 2004 serta upaya terdakwa mendapatkan fasilitas Kredit Modal Kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., adalah masih dalam ruang lingkup usaha terdakwa PT Giri Jaladhi Wana; s) Bahwa dari uraian di atas jelas bahwa Stevanus Widagdo selaku pengurus PT Giri Jaladhi Wana yang diwakili oleh terdakwa PT Giri Jaladhi Wana adalah berkedudukan sebagai Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yang melakukan perbuatan tersebut dalam rangka maksud dan tujuan korporasi dan dengan maksud memberikan manfaat atau keuntungan bagi korporasi dan perbuatan terdakwa dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum formil dan oleh karenanya maka unsur kedua “secara melawan hukum” telah terpenuhi. 3) Unsur melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi a) Bahwa memperkaya diri sendiri artinya diri si pembuat sendirilah yang meperoleh atau bertambah kekayaannya secara tidak sah. Sedangkan memperkaya orang lain adalah orang yang kekayaannya bertambah atau memperoleh kekayaannya merupakan orang lain selain si pembuat. Demikian dengan memperkaya suatu korporasi, bukan si pembuat yang memperoleh atau bertambah kekayaannya oleh perbuatan si pembuat tetapi suatu korporasi. b) Bahwa unsur ketiga ini bersifat alternatif sehingga dalam pembuktian unsur cukup apabila salah satu unsur telah terbukti maka unsur yang lain tidak perlu dibuktikan atau bisa secara kumulatif beberapa unsur terbukti;
86
c) Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan, menyangkut aliran dana dalam pelaksanaan Kontrak Bagi Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin menggunakan fasilitas kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri pada periode 1 Januari 2000 sampai dengan 30 Juni 2003 untuk
pembangunan
Pasar
Sentra
Antasari
sebesar
Rp39.179.924.284,00 (tiga puluh sembilam miliar seratus tujuh puluh sembilan juta sembilan ratus dua puluh empat ribu dua ratus delapan puluh empat rupiah), telah dapat disimpulkan adanya penambahan kekayaan terdakwa, pihak-pihak yang terlibat didalamnya dan orang lain; d) Bahwa penunjukan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana untuk mengelola Pasar
Sentra
Antasari
berdasarkan
Surat
Walikota
Nomor
500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 sampai dengan Desember 2007, dengan sengaja tidak membayar uang pengelolaan Pasar Sentra Antasari kepada kas daerah Kota Banjarmasin dan memberikan keterangan yang tidak benar dengan mengatakan kepada Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-oleh pengelolaan merugi, padahal laporan keuangan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin periode Juli 2004 sampai dengan Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima rupiah); e) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut
unsur
“melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi telah terpenuhi”. 4) Unsur dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
87
a) Bahwa dengan adanya kata “dapat” menunjukan bahwa delik korupsi merupakan delik formil yaitu adanya delik korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat atau dengan kata lain tidak menimbulkan kerugian pun asal perbuatannya memenuhi unsur korupsi terdakwa sudah dapat dihukum; b) Bahwa yang dimaksud dengan “keuangan Negara” adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (1) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; (2) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud “perekonomian Negara” adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha masyarakat secara mandiri berdasarkan pada kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Dengan demikian, yang dimaksud merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara berarti mengurangi atau mengganggu keuangan Negara atau kehidupan perekonomian Negara; c) Bahwa unsur ini bersifat alternatif, sehingga tidak perlu seluruh elemen yang diuraikan dalam unsur terpenuhi pada perbuatan
88
terdakwa. Cukup salah satu terpenuhi maka unsur ini dinyatakan telah terpenuhi; d) Bahwa dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan telah terbukti benar, dana dalam pelaksanaan Kontrak Bagi Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin tersebut menggunakan dana kucuran Kredit Modal Kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., yang diajukan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana yang mana dalam hal ini PT Bank Mandiri, Tbk., merupakan Badan Usaha Milik Negara sehingga dana yang dikucurkan dalam bentuk kredit modal kerja tersebut dikategorikan sebagai kekayaan Negara yang berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara; e) Bahwa terdakwa PT Giri Jaladhi Wana juga tidak membayar rertibusi, penggantian uang sewa dan pelunasan retribusi serta pelunasan Kredit Inpres Pasar Antasari sebagaimana telah diperjanjikan, yang seluruhnya adalah sebesar Rp5.750.000.000,00 (lima miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah); f) Bahwa terdakwa sejak ditunjuk untuk mengelola Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin berdasarkan Surat Walikota Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 sampai dengan Desember 2007 sengaja tidak membayar uang pengelolaan Pasar Sentra Antasari kepada kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin dan Stevanus Widagdo memberikan keterangan yang tidak benar dengan mengatakan kepada Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah pengelolaan itu merugi, padahal sesuai laporan keuangan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin periode Juli 2004 sampai dengan Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh
89
miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima rupiah); g) Bahwa akibat perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tersebut telah merugikan keuangan Negara c.q. Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp7.332.361.516,00 (tujuh miliar tiga ratus tiga puluh dua juta tiga ratus enam puluh satu ribu lima ratus enam belas rupiah) berdasarkan perhitungan BPKP Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan No. S-1911/PW.16/5/2008 tanggal 19 Mei 2008 dan PT Bank Mandiri, Tbk., sebesar Rp199.536.064.675,65 (seratus sembilan puluh sembilan miliar lima ratus tiga puluh enam juta enam puluh empat ribu enam ratus tujuh puluh lima rupiah enam puluh lima sen); h) Bahwa dalam hal ini selain telah nyata-nyata merugikan keuangan Negara, karena perbuatan terdakwa tersebut berkaitan dengan pembangunan
dan
pengelolaan
sebuah
pasar,
dan
dengan
terungkapnya tindak pidana korupsi ini kondisi Pasar Sentra Antasari sekarang menjadi tidak jelas lagi, siapa pengelolanya maka perbuatan terdakwa juga berpotensi merugikan Perekonomian Negara; i) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut unsur “dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara” telah terpenuhi. 5) Perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana memenuhi ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP a) Bahwa Pasal 64 ayat (1) KUHP berbunyi: “jika
antara
merupakan
beberapa
kejahatan
perbuatan atau
meskipun
pelanggaran,
ada
masing-masing hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat”;
90
b) Bahwa untuk adanya perbuatan berlanjut dipersyaratkan harus timbul dari satu niat atau kehendak dan perbuatan tersebut harus sejenis dan rentang waktunya tidak boleh terlalu lama; c) Bahwa dari fakta hukum yang terungkap di persidangan, telah terbukti, bahwa penyimpangan yang dilakukan terdakwa dalam perkara ini berlangsung dari tahun 1998 sampai dengan sekarang, adalah dalam rangkaian kontrak bagi tempat usaha dalam rangka pembangunan
dan
pengelolaan
Pasar
Sentra
Antasari
Kota
Banjarmasin; d) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut perbuatan terdakwa dapat dikategorikan sebagai “perbuatan berlanjut”. Bahwa oleh karena kesemua unsur telah terpenuhi, maka kepada PT Giri Jaladhi Wana haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP (Dakwaan Primair). Bahwa oleh karena dakwaan primair telah terbukti maka Majelis Hakim tidak akan mempertimbangkan dakwaan selanjutnya. e.
Putusan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin pada Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM tanggal 23 Mei 2011 memutuskan sebagai berikut: 1) Menyatakan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut sebagaimana Dakwaan Primair;
91
2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa PT Giri Jaladhi Wana oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah); 3) Menjatuhkan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan. 2. Putusan
Nomor
36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst
Tindak
Pidana
Korupsi Pengadaan Videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) a. Kasus Posisi Tindak pidana korupsi ini berawal dari adanya Rencana Kerja dan Anggaran Rumah Tangga (RKA-K/L) untuk mengalokasikan anggaran sebesar Rp23.501.000.000,00 (dua puluh tiga miliar lima ratus satu juta rupiah) untuk pengadaan 2 (dua) unit videotron pada gedung Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Riefan Avrian yang merupakan Direktur Utama PT Rifuel mempersiapkan untuk mendirikan PT Imaji Media yang akan diikutsertakan dalam lelang pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM. Selanjutnya pada tanggal 1 Februari 2012, Rievan Afrian yang merupakan Direktur Utama PT Rifuel mengangkat Office Boy (OB) di kantornya bernama Hendra Saputra yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD) untuk ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Imaji Media guna kepentingan memperoleh proyek videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Terdakwa Hendra Saputra kemudian menyetujui tentang pengangkatannya sebagai Direktur Utama PT Imaji Media, berdasarkan akta pendirian Perseroan Terbatas Nomor 2 tanggal 1 Februari 2012 terdakwa Hendra Saputra tercatat sebagai Direktur Utama PT Imaji Media. Sebelumnya pada tanggal 30 Desember 2011 unit layanan pengadaan jasa Kementrian Koperasi dan UKM telah mengumumkan adanya pelelangan
92
umum pekerjaan pengadaan videotron, setelah dokumen pendirian PT Imaji Media lengkap, Riefan Avrian mempersiapkan segala dokumen yang dibutuhkan untuk mengikutsertakan PT Imaji Media dan PT Rifuel dalam lelang pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM. Selanjutnya, pada tahap pemasukan penawaran terdapat empat perusahaan yang mengajukan penawaran yaitu PT Divaintan Pitripratama, PT Rifuel, PT Imaji Media dan PT Batu Karya Mas. Dalam pengajuan surat dokumen penawaran PT Imaji Media telah dilakukan penandatangan oleh Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media atas perintah dan instruksi dari Riefan Avrian. Pada tanggal 8 Oktober 2012 PT Imaji Media ditetapkan sebagai pemenang lelang, hal ini sesuai dengan tujuan didirikannya PT Imaji Media. Selanjutnya, terdakwa Hendra Saputra menandatangani kwitansi pembayaran uang muka 20% dari kontrak atas pekerjaan, menandatangani surat jaminan uang muka, menandatangani surat jaminan pelaksanaan dan membuka rekening atas nama terdakwa Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media di BRI KCP Duta Mas Fatmawati untuk menampung pembayaran hasil pekerjaan pengadaan videotron. Dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron, PT Imaji Media tidak melakukan pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak, karena PT Imaji Media melalui Direktur Utamanya terdakwa Hendra Saputra menyerahkan semua pekerjaan kepada Riefan Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel tanpa adanya perjanjian kerjasama operasi atau kemitraan dan tanpa addendum kontrak. Di dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron yang tidak dilakukan PT Imaji Media tetapi oleh PT Rifuel terdapat pekerjaan yang tidak dikerjakan maupun pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi. Akan tetapi PT Imaji Media tetap mendapatkan seluruh pembayaran atas pekerjaan pengadaan videotron, walaupun kemudian terdakwa Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media
93
memberikan surat kuasa mutlak kepada Riefan Aviran selaku Direktur Utama PT Rifuel untuk mengambil pembayaran atas pekerjaan pengadaan videotron. Berdasarkan pekerjaan yang telah dilakukan Hendra Saputra dalam hal menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai Direktur Utama PT Imaji Media yang dilakukan sesuai dengan perintah dan kendali Riefan Avrian, terdakwa Hendra
Saputra
mendapatkan
bonus
dari
Riefan
Avrian
sebesar
Rp19.000.000.000,00 (sembilan belas juta rupiah). Selanjutnya untuk menyamarkan keberadaan Hendra Saputra sebagai Direktur Utama PT Imaji Media, Riefan Avrian memerintahkan agar Hendra Saputra pergi ke Samarinda Kalimantan Timur. Riefan Avrian yang sebenarnya merupakan pemilik PT Imaji Media kemudian menjual PT Imaji Media kepada Pendi sebesar Rp100.000.000,00 (seratus jutas rupiah). Berdasarkan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada bulan Februari 2013 ditemukan adanya kelebihan pembayaran yang tidak sesuai dengan spesifikasi teknis sebesar Rp2.695.958.491,90 (dua miliar enam ratus sembilan puluh lima juta sembilan ratus lima puluh delapan ribu empat ratus sembilan puluh satu rupiah sembilan puluh sen) dan berdasarkan audit yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) jumlah kerugian keuangan negara sebesar Rp4.780.298.934,00 (empat miliar tujuh ratus delapan puluh juta dua ratus sembilan puluh delapan ribu sembilan ratus tiga puluh empat rupiah) yang disebabkan oleh adanya pekerjaan yang tidak dikerjakan dan pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi. b. Dakwaan Penuntut Umum Dakwaan Jaksa Penuntut Umum disusun secara subsidaritas yaitu: Dakwaan Primair melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-
94
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Unsur-unsurnya sebagai berikut: 1) Setiap orang; 2) Dengan melawan hukum; 3) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;dan 5) Yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan. Dakwaan Subsidair melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Unsur-unsurnya sebagai berikut: 1) Setiap orang; 2) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya; 4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;dan 5) Yang melakukan, yang menyuruh melakukan perbuatan dan turut serta melakukan perbuatan. c. Tuntutan Penuntut Umum 1) Menyatakan terdakwa Hendra Saputra terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan subsidair melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
95
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Hendra Saputra dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa menjalani penahanan dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan; 3) Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan; 4) Membayar uang pengganti sebesar Rp19.000.000,00 (sembilan belas juta rupiah), jika terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka terpidana dipidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan apabila terpidana membayar uang pengganti yang jumlahnya kurang dari seluruh kewajiban membayar uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti. d. Pertimbangan Majelis Hakim Pertimbangan Majelis Hakim dalam Dakwaan Primair: 1) Unsur setiap orang a) Bahwa yang dimaksud sebagai setiap orang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo UndangUndang No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi;
96
b) Bahwa menurut teori hukum yang dimaksud dengan setiap orang adalah siapa saja sebagai subjek hukum yaitu sebagai penyandang hak dan kewajiban yang sama nilainya dengan barang siapa; c) Bahwa kemampuan bertanggung jawab itu sendiri menurut para ahli hukum pidana dapat dideskripsikan bahwa pelaku tindak pidana sebagai subjek hukum mempunyai kemampuan untuk membedakan mana perbuatan yang baik mana yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum, disamping itu pelaku tindak pidana mempunyai
kemampuan
untuk
menentukan
mengerti
akan
perbuatannya dan dapat menentukan kehendaknya secara sadar; d) Bahwa dari fakta di persidangan Terdakwa adalah benar sebagai subyek hukum yang mempunyai identitas sebagaimana disebutkan dalam surat dakwaan, dengan demikian terbukti tidak terjadi kesalahan orang (error in persona), in casu adalah Hendra Saputra, disamping itu Terdakwa sehat dan cakap menurut hukum hal demikian dibuktikan atas kemampuannya untuk menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya secara lancar dan terhadap diri Terdakwa tidak melekat alasan-alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapuskan sifat perbuatan pidana; e) Bahwa berdasarkan uraian diatas Majelis Hakim berpendapat unsur “setiap orang” telah terpenuhi. 2) Unsur secara melawan hukum a) Bahwa yang dimaksud dengan pengertian secara melawan hukum dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, namun perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
97
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dengan demikian,
dapat
dipahami
sebenarnya
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut ajaran sifat melawan hukum formil maupun sifat melawan hukum materiil; b) Bahwa apabila mencermati rumusan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat disimpulkan bahwa yang menjadi delik inti dari pasal tersebut adalah “adanya perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” dengan demikian konstruksi perbuatan melawan hukum harus dijadikan sebagai cara untuk mencapai tujuan yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi tersebut; c) Bahwa sesuai Putusan Hak Uji Materiil Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006 No. 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai perbuatan melawan hukum materiil adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan demikian menurut Mahkamah Konstitusi pemberantasan tindak pidana korupsi harus didasarkan pada perbuatan melawan hukum formil semata; d) Bahwa dengan mencermati teori hukum, doktrin hukum dan Yurisprudensi, Majelis Hakim berpendapat bahwa disamping hukum fomil sebagai sumber hukum positif, maka doktrin dan yurisprudensi juga harus dipandang sebagai sumber hukum, dengan demikian majelis memaknai perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil;
98
e) Bahwa dalam perkara a quo sesai fakta hukum yang terungkap di persidangan, terdakwa Hendra Saputra adalah seseorang yang bekerja sebagai Office Boy (OB) di PT Rifuel milik saksi Rievan Afrian; f) Bahwa meskipun pekerjaan terdakwa Hendra Saputra sebagai Office Boy (OB), namun terdakwa mengakui telah menandatangani Akta Pendirian PT Imaji Media yang disodorkan oleh saksi Sarah Salamah atau perintah saksi Riefan Avrian. Penandatanganan dilakukan di kantor PT Rifuel tidak dihadapan Notaris Johny Sianturi, ketika ditunjukkan Akta Notaris tentang pendirian PT Imaji Media, terdakwa mengakui tanda tangannya dan pada waktu dirinya ditanya oleh Hakim apakah terdakwa membaca bahwa di atas namanya tertulis Direktur, terdakwa membenarkan ia membaca tulisan tersebut dan tidak menanyakan kepada saksi Riefan Avrian; g) Bahwa diperoleh fakta hukum bahwa peserta lelang pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM ada 23 (dua puluh tiga) perusahaan, dan yang memenuhi kualifikasi ada empat yaitu PT Divaintan Pratama, PT Rifuel, PT Imaji Media dan PT Batu Karya Mas; h) Bahwa terdakwa mengakui tandang-tangan yang ditunjukkan di persidangan yaitu dokumen tentang persyaratan lelang antara lain surat dokumen penawaran PT Imaji Media, kuitansi uang muka 20% Nomor 111/Kwt/MJ-JKT/X/12 tanggal 19 Oktober 2012, Surat Jaminan Uang Muka Nomor: PL11630208j.0027.043530 dengan penjamin PT Asuransi Mega Pratama, Surat Jaminan Pelaksanaan No. PL PL11630208j.0027.043530 tanggal 18 Oktober 2012 dengan nilai sebesar Rp1.170.500.000,00 (satu miliar tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah) dan pembukaan rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media di BRI KCP Duta Mas
99
Fatmawati dengan nomor rekening 0525-01-000159-30-6 untuk menampung pembayaran pekerjaan pengadaan videotron; i) Bahwa terdakwa membenarkan pula tanda-tangan dirinya pada Surat Perjanjian Nomor: 617/Kont/SM.3/X/2012 tanggal 18 Oktober 2012 antara terdakwa dengan Ir. Hasnawi Bachtiar selaku Pejabat Pembuat Komitmen, dengan lingkup pekerjaan persiapan, pekerjaan konstruksi rangka videotron, pekerjaan pemasangan videotron, materi awal LED videotron, jasa lainnya dan support serta utilities; j) Bahwa terdakwa membenarkan tanda-tangan dirinya pada surat kuasa yang isinya terdakwa memberi kuasa kepada saksi Riefan Avrian, yang menimbulkan hak hukum yang luas bagi saksi Riefan Avrian untuk mengambil uang perusahaan, termasuk menerima pembayaran uang muka dari PPK berdasarkan SPPD Nomor: 196895A/019/110 tanggal 23 November 2012 sebesar Rp4.682.000.000,00 (empat miliar enam ratus delapan puluh dua juta rupiah); k) Bahwa terdakwa membenarkan tanda-tangan dirinya pada akad kredit senilai Rp7.089.000.000,00 (tujuh miliar delapan puluh sembilan juta rupiah) dengan saksi Roro Moninggar, S.E., selaku Pimpinan Cabang Pembantu BRI Duta Mas; l) Bahwa terdakwa membenarkan tanda-tangan dirinya pada surat permintaan pemenuhan pembayaran atas nama PT Imaji Media, melalui SPPD Nomor: 225554A/019/110 tanggal 17 Desember 2012 sebesar Rp18.728.000.000,00 (delapan belas miliar tujuh ratus dua puluh delapan juta rupiah); m) Bahwa dalam persidangan maupun dalam pembelaannya terdakwa menyatakan tidak menolak untuk menandatangani dokumen-dokumen meskipun tidak ada paksaan, karena terdakwa takut kehilangan pekerjaan,
dengan
demikian
terdakwa
menyadari
apa
yang
100
dilakukannya, paling tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukannya adalah diluar pekerjaan sebagai Office Boy dan terdakwa tidak berusaha untuk menanyakan kepada pihak lain sebagai bentuk kehatihatian atas penandatanganan beberapa dokumen; n) Bahwa
penandatanganan
beberapa
dokumen
tersebut
telah
menimbulkan akibat hukum yang tentu harus dipertanggungjawabkan oleh terdakwa Hendra Saputra; o) Bahwa perbuatan-perbuatan terdakwa mulai dari menandatangani akta pendirian PT Imaji Media sampai penyerahan pekerjaan pengadaan videotron di kantor Kementrian Koperasi dan UKM, dan menerima pembayaran atas pekerjaan tersebut adalah dilakukan secara melawan hukum, sehingga unsur “melawan hukum” telah terpenuhi. 3) Unsur memperkaya diri sendiri, orang lain dan suatu korporasi a) Bahwa yang dimaksud ”memperkaya” adalah perbuatan untuk menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya, memperhatikan pengertian tersebut berarti memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi akan dihubungkan dengan fakta hukum bahwa terdakwa, orang lain atau suatu badan telah memperoleh sejumlah uang atau harta, yang menjadikannya kaya atau bertambah kaya dari suatu perbuatan melawan hukum; b) bahwa unsur ke-3 ini bersifat alternatif, sehingga salah satu terbukti maka unsur ke-3 tersebut telah terpenuhi; c) bahwa sebagaimana fakta hukum yang terungkap di persidangan, saksi Riefan Avrian menerangkan bahwa motivasi didirikannya PT Imaji Media adalah untuk mengikuti lelang pengadaan barang berupa Videotron di Kementrian Koperasi dan UKM;
101
d) Bahwa di persidangan terungkap fakta hukum bahwa terdakwa telah menandatangani surat kuasa yang isinya terdakwa memberi kuasa kepada saksi Riefan Avrian, yang menimbulkan hak hukum bagi saksi Riefan Avrian untuk
mengambil uang perusahaan termasuk
pembayaran uang muka dari PPK berdasarkan SPPD (SP2D) Nomor : 196895A/019/110
tanggal
23
November
2012
sebesar
Rp4.682.000.000,- (empat miliar enam ratus delapan puluh dua juta rupiah); e) Bahwa hak hukum yang diberikan kepada saksi Riefan Avrian dalam surat kuasa tersebut cukup luas yaitu berhak untuk mengecek saldo, menarik uang tanpa limit dan menandatangani cek, yang artinya hak hukum untuk mengambil uang yang dimiliki Riefan Avrian dalam surat kuasa tersebut sama besarnya dengan pemilik rekening; f) Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh Terdakwa Hendra Saputra tersebut telah memperkaya orang lain dan korporasi, yaitu saksi Riefan Avrian dan PT Imaji Media, sehingga unsur ke-3 telah terpenuhi. 4) Unsur dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara a) Bahwa tindak pidana korupsi adalah merupakan delik formil, artinya dari kata “dapat” dipahami akibat kerugian negara tidak perlu sudah terjadi, akan tetapi apabila perbuatan itu mungkin merugikan negara perbuatannya sudah selesai dan sempurna dilakukan; b) Bahwa yang dimaksud dengan merugikan adalah artinya menjadi rugi atau berkekurangan, sehingga yang dimaksud merugikan keuangan negara artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara, sedangkan pengertian keuangan negara dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun
102
1999 menyatakan bahwa “keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala kewajiban yang timbul karena: (1) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; (2) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau
perusahaan
yang
menyertakan
modal
pihak
ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara. c) Bahwa merugikan perekonomian negara adalah dengan perekonomian negara menjadi merugi atau perekonomian negara menjadi kurang berjalan. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan “ perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun
usaha
masyarakat
mandiri
yang
didasarkan
pada
kebijaksanaan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat”; d) Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan adalah sebagai berikut: berdasarkan hasil audit BPKP, jumlah kerugian Negara terkait dengan pengadaan videotron pada tahun 2012 adalah sebesar Rp.4.780.298.934,- (empat milyar tujuh ratus delapan puluh juta dua ratus sembilan puluh delapan ribu Sembilan ratus tiga puluh empat rupiah);
103
e) Bahwa jumlah kerugian tersebut belum termasuk perhitungan kerugian pengadaan 2 (dua) unit videotron yang belum dihitung; f) Bahwa sesuai dengan audit BPK RI, PT Imaji Media telah mengembalikan uang ke kas Negara sebesar Rp.2.695.958.491.90,(dua milyar enam ratus sembilan puluh lima juta sembilan ratus lima puluh delapan ribu empat ratus sembilan puluh satu rupiah sembilan puluh sen); g) Bahwa berdasarkan uraian diatas unsur “dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara” telah terpenuhi. 5) Unsur yang melakukan, yang menyuruh melakukan perbuatan dan turut serta melakukan perbuatan a) Bahwa bentuk perbuatan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP antara lain disebut sebagai pembuat tindak pidana adalah mereka yang melakukan, mereka yang menyuruh dan mereka yang turut serta melakukan, tetapi dalam praktek peradilan tidak selalu mudah untuk menentukan bentuk perbuatan pelaku, apakah orang itu melakukan, menyuruh lakukan, atau turut melakukan; b) Bahwa menurut pendapat Adami Chazawi yang menguraikan dalam bukunya bahwa kerjasama yang diinsyafi adalah suatu bentuk kesepakatan, suatu kesamaan kehendak antara beberapa orang (Pembuat peserta dengan pembuat pelaksana) untuk mewujudkan suatu tindak pidana secara bersama dan kerjasama yang di insyafi tidak perlu berupa permufakatan yang rapi dan formal yang dibentuk sebelum pelaksanaan, tapi sudah cukup adanya saling pengertian yang sedemikian rupa antara mereka dalam mewujudkan perbuatan oleh yang satunya terhadap perbuatan oleh yang lainnya ketika berlangsungnya perbuatan (Drs. Adam Chazawi, SH, Pelajaran
104
Hukum Pidana Bagian III, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.101); c) Bahwa masalah penyertaan (deelneming) ini telah dibahas oleh Drs.P.A.F.Lamintang, SH dalam bukunya “Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia” halaman 503-608 menguraikan bahwa Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana sebagai ajaran “deelneming” yang terdapat pada suatu strafbaarfeit atau delict, apabila dalam suatu
delict
tersangkut beberapa orang atau lebih dari seorang, dalam hal ini harus dipahami bagaimanakah “hubungan” tiap peserta itu terhadap delik, Karena hubungan ini adalah bermacam-macam, hubungan ini berbentuk: (1) Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik; (2) Mungkin hanya seorang saja yang mempunyai kehendak dan merencanakan delik, akan tetapi delik tersebut tidak dilakukan sendiri, tetapi ia menggunakan orang lain untuk melakukan delik tersebut; (3) Dapat juga terjadi bahwa seseorang saja yang melakukan delik, sedang orang lain membantu orang itu dalam melaksanakan delik. d) Bahwa dalam uraian Dakwaannya Penuntut Umum telah mendakwa Terdakwa Hendra Saputra melakukakan tindak pidana baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan saksi Riefan Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel; e) Bahwa diperoleh fakta hukum bahwa apa yang telah dilakukan oleh Terdakwa yaitu sejak menandatangani Akta Pendirian PT Imaji Media, sampai dengan mengikuti proses pengadaan barang dan jasa Videotron di Kementrian Koperasi dan UKM serta menerima pembayaran atas proyek tersebut dilakukan atas perintah dari saksi Riefan Avrian dan pada saat ini saksi Riefan Avrian telah ditetapkan
105
sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM tersebut, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa yang mempunyai kehendak dan merencanakan delik adalah saksi Riefan Avrian, akan tetapi delik tersebut tidak dilakukan sendiri, tetapi ia menggunakan orang lain dalam hal ini Terdakwa Hendra Saputra untuk melakukan delik berupa tindak pidana korupsi tersebut; f) Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas maka unsur bersama-sama telah terpenuhi sehingga Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam perkara ini telah terbukti. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, oleh karena seluruh unsur dalam dakwaan primair telah terpenuhi maka terdakwa Hendra Saputra telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah
melakukan
Tindak
Pidana
Korupsi
secara
bersama-sama
sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Primair Surat Dakwaan Penuntut Umum a quo, maka terdakwa haruslah dijatuhi pidana penjara dan denda yang akan disebutkan dalam amar putusan dan jika terdakwa tidak membayar denda tersebut maka diganti dengan pidana kurungan. Bahwa Hakim Anggota II memiliki pendapat yang berbeda atau dissenting opinion mengenai unsur melawan hukum yang dikemukakan sebagai berikut: a) Bahwa dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan barang bukti serta bukti surat, diperoleh fakta hukum: (1) Bahwa Terdakwa Hendra Saputra adalah Dirut PT Imaji Media; (2) Bahwa berdasarkan pengumuman pemenang lelang No. 1753/ PUM/ ULP/ SM/ X/ 2001 tanggal 8 Oktober 2012 telah
106
ditetapkan PT Imaji Media sebagai pemenang lelang pengadaan Videotron di Kementrian Koperasi dan UKM Tahun Anggaran 2012; (3) Bahwa pada tanggal 18 Oktober 2012 Terdakwa menandatangani kontrak/SPK No. 617/Kont/SM.3/X/2012 dengan Ir. Hasnawi Bahtiar, MM selaku PPK (Pejabat Pembuat Komitmen); (4) Bahwa dalam melaksanakan pekerjaan / pemenuhan kontrak terdakwa atas perintah Saksi Riefan Avrian (Dirut PT Rifuel) terdakwa menjaminkan proyek dengan mengajukan kredit ke BRI KCP Dutamas Fatmawati senilai Rp 7.890.000.000 (tujuh miliar delapan ratus sembilan puluh juta rupiah); (5) Bahwa Terdakwa membuka rekening giro dan rekening escrow No. 0525 01 000159-30-6 atas nama Hendra Saputra; (6) Bahwa dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan Videotron, tidak melaksanakan pekerjaan sama sekali. Namun di laporkan seluruhnya oleh Saksi Riefan Avrian (Dirut PT. Rifuel). b) Bahwa atas pekerjaan tersebut berdasarkan audit reguler oleh BPK RI diperoleh temuan hasil pekerjaan tidak sesuai kontrak yaitu antara lain: (1) Hanya terpasang 1 (satu) unit LED Videotron ukuran 8 x 32 M dari seharusnya dipasang 2 (dua) Unit dengan ukuran 8 x 16 M per unit; (2) Generator set dengan kapasitas 350 KUA seharga 500 KVA; (3) Pemasangan sambungan listrik yang tidak dikerjakan karena sudah menyatu dengan sambungan PLN yang ada di gedung SMESCO; (4) Tangki Bahan bakar yang seharusnya 600 liter dalam pelaksanaan menjadi 500 liter;
107
(5) Tidak adanya ruang khusus menyimpan genset c) Bahwa dalam pekerjaan tidak ada perjanjian kemitraan antara Terdakwa selaku penandatangan kontrak dengan saksi Riefan Avrian; d) Bahwa Terdakwa pada tanggal 23 November 2012 telah menerima pembayaran uang muka dari PPK berdasarkan SPPD atau (SP2D) No. 196895 A/019/100 sebesar Rp4.682.000.000,00 (empat miliar enam ratus delapan puluh dua juta rupiah) yang masuk ke rekening PT Imaji Media; e) Bahwa uang yang masuk ke PT Imaji Media seluruhnya atas kendali saksi Riefan Avrian; f) Bahwa walaupun telah diangkat menjadi Dirut PT Imaji Media gaji yang Terdakwa terima tetap sebesar Rp1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) setiap bulan dan tetap melaksanakan tugas seharihari sebagai office boy di PT. Rifuel; g) Bahwa setelah dimulainya penyidikan tindak pidana korupsi videotron terdakwa diperintahkan melarikan diri ke Samarinda Kalimantan Timur atas saran rekan terdakwa sesama karyawan PT Rifuel dan atas biaya saksi Riefan Avrian; h) Bahwa dari fakta-fakta hukum tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Terdakwa Hendra Saputra mulai dari pengangkatan menjadi Direktur Utama PT Imaji Media sampai kepada pemenangan PT Imaji Media sebagai pelaksana Projek Pengadaan Videotron, telah diatur sedemikian rupa oleh saksi Riefan Avrian dan keterlibatan Terdakwa hanya sepanjang penandatanganan dokumen dan kontrak pekerjaan berlaku, sehingga tidak ada ketentuan undang-undang terkait penandatanganan
dokumen-dokumen
adalah
bertentangan dengan peraturan tertulis lainnya;
terlarang
atau
108
i) Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut menurut Hakim Anggota II, Unsur melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa tidak terpenuhi dan tidak terbukti; j) Bahwa oleh karena unsur melawan hukum tidak terbukti, maka unsur berikutnya tidak perlu dipertimbangkan lagi, sehingga dengan tidak terbuktinya unsur ke 2 secara melawan hukum maka terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan primair tersebut. Bahwa selanjutnya Hakim Anggota II akan mempertimbangkan dakwaan subsidair yang melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaiamana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang unsur-unsurnya dipertimbangkan sebagai berikut: 1) Unsur setiap orang a) Bahwa oleh karena unsur setiap orang telah dipertimbangkan dalam dakwaan primair, maka untuk selanjutnya segala pertimbangan unsur ini diambil alih menjadi pertimbangan unsur setiap orang dalam dakwaan subsidair; b) Bahwa pengertian unsur setiap orang dalam Pasal 3 dipersyaratkan adanya suatu jabatan atau kedudukan, yang dengan jabatan tersebut terdakwa diberi kewenangan; c) Bahwa terdakwa adalah Direktur PT Imaji Media diangkat berdasarkan akta Notaris No. 2 tanggal 2 Februari 2012, berdasarkan pertimbangan hukum diatas, maka unsur setiap orang terpenuhi. 2) Unsur Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri atau Orang Lain atau Suatu Korporasi a) Bahwa yang dimaksud dengan menguntungkan sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya. Dengan demikian yang dimaksud dengan unsur
109
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi adalah sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, di dalam ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 ini, unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain adalah tujuan dari pelaku tindak pidana korupsi; b) Bahwa berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 29 Juni 1989 No. 813/K/Pid/1987 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa mengungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan cukup dinilai dari kenyataan yang terjadi atau dihubungkan dengan perilaku terdakwa sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya karena jabatan atau kedudukan; c) Bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan diperoleh adanya fakta hukum sebagai berikut : (1) Bahwa berdasarkan atas Berita Acara Pemeriksaan Fisik No. 440/BA PF/PBJ/SM/X/2012; (2) Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan dan penerimaan barang selanjutnya bagian Keuangan mengajukan Surat Pemenuhan Pembayaran Tagihan Tahap ke2 kepada PPK; (3) Bahwa setelah diproses oleh pihak keuangan proyek maka tagihan dibayarkan dengan cara di setorkan langsung ke rekening Nomor : 0525 01000 159 30-6 atas nama Terdakwa Hendra Saputra selaku Direktur
PT
Imaji
225554A/019/110/Tanggal
Media 12
dengan Desember
SP2D 2012
No. sebesar
Rp18.728.000.000,00 (delapan belas miliar tujuah ratus dua puluh delapan juta rupiah); d) Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan dari pencairan pelunasan proyek pengadaan videotron Tahun Anggaran
110
2012 terdakwa selaku Direktur Utama PT Imaji Media telah memperoleh keuntungan Rp19.000.000,- (sembilan belas juta rupiah) dan telah menguntungkan orang lain yaitu Riefan Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel dan Sarah Salamah, Andre Risakota, Kaim, Kristi, Ika Diahningsih, Barli Sadewa, Ahmad Kamaludin; e) Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan diatas, maka unsur “menguntungkan diri sendiri atau menguntungkan orang lain” telah terpenuhi. 3) Unsur Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan a) Bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan adalah mengandung pengertian yang sifatnya alternatif, artinya unsur menyalahgunakan kewenangan, dialternatifkan dengan menyalahgunakan sarana yang ada pada diri Terdakwa karena jabatan atau kedudukannya; b) Bahwa yang dimaksud menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, kewenangan berarti kekuasaan/hak, jadi yang disalahgunakan itu adalah kekuasaan atau hak yang ada pada pelaku misalnya, untuk menguntungkan anak, saudara, atau kroni sendiri. (Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung 2002, hal. 34); c) Bahwa pengertian menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan harus ada hubungan kausal antara keberadaan kewenangan, kesempatan, dan sarana dengan jabatan atau kedudukan. Oleh karena memangku jabatan atau kedudukan akibatnya dia mempunyai kewenangan, kesempatan dan sarana yang timbul dari jabatan atau kedudukan
111
tersebut. Jika jabatan atau kedudukan itu lepas, maka kewenangan, kesempatan atau sarana akan hilang, dengan demikian tidaklah mungkin ada menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimilikinya (Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang 2005, hal. 53); d) Bahwa dari uraian pengertian unsur tersebut di atas dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, dan keterangan Terdakwa, maka diperoleh fakta hukum sebagai berikut : (1) Bahwa Terdakwa Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media yang dalam proses pelelangan pengadaan videotron pada Kementerian Koperasi dan UKM Tahun Anggaran 2012 ditetapkan sebagai pemenang/pelaksana proyek; (2) Bahwa pada tanggal 18 Oktober 2012 telah dilakukan penandatanganan
kontrak/Surat
Perjanjian
Kerja
No.
617/Kont.SM.3/X/2012 antara Ir. Hasnawi Bachtiar, MM selaku Pejabat Pembuat Komitmen dan Terdakwa Selaku Direktur PT Imaji Media sebagai Pihak Penyedia. e) Bahwa didalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron tersebut terdakwa selaku Direktur Utama PT Imaji Media tidak melakukan pekerjaan sebagaimana disepakati didalam kontrak, akan tetapi pekerjaan tersebut diserahkan seluruhnya dan dikerjakan oleh Riefan Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel; f) Bahwa dari fakta lain yang terungkap dipersidangan terdakwa telah menandatangani Surat Kuasa Mutlak yang dibuat oleh Riefan Avrian yang berisi segala pengurusan tentang keuangan PT Imaji Media terkait pengadaan videotron diserahkan kepada Riefan Avrian;
112
g) Bahwa dari pencairan terhadap uang muka tanggal 3 November 2012 telah
diterima uang sejumlah Rp4.682.000.000,00 (empat milyar
enam ratus delapan puluh dua juta rupiah) dan selanjutnya telah dilakukan pula pembayaran sepenuhnya terhadap pekerjaan videotron pada tanggal 17 Desember 2012 sejumlah Rp18.728.000.000,00 (delapan belas miliar tujuh ratus dua puluh delapan juta rupiah) dari pembayaran uang muka maupun pelunasan/pembayaran tahap akhir keseluruhannya dengan Surat Kuasa yang diterima oleh Riefan Avrian ternyata telah dicairkan seluruhnya oleh yang bersangkutan; h) Bahwa setelah seluruh pekerjaan pengadaan diserah terimakan pada tanggal 17 Desember 2012, kemudian pada bulan Februari 2013 sampai dengan Mei 2013 Badan Pemeriksaan Keuangan Repulik Indonesia (BPK RI) telah melakukan pemeriksaan rutin dan melakukan audit terhadap pengadaan tersebut dengan hasil temuan adanya kelebihan pembayaran yang tidak sesuai dengan spesifikasi teknis sebesar Rp2.695.958.491,90,00 (dua miliar enam ratus sembilan puluh lima juta empat ratus sembilan puluh satur ribu rupiah koma sembilan puluh sen); i) Bahwa terhadap temuan tersebut BPK telah menagih pada PT Imaji Media, bahwa PT Imaji Media telah melakukan penyetoran lebih bayar tersebut dengan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) ke kas negara; j) Bahwa di persidangan telah terungkap fakta lain dari keterangan saksi Pendi bahwa saksi telah membeli PT Imaji Media pada saksi Riefan Avrian dan untuk pengambil alihan PT Imaji Media saksi telah mengeluarkan uang sebanyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupuah);
113
k) Bahwa dari fakta hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa Direktur Utama PT Rifuel dalam hal ini Saksi Riefan Avrian telah memanfaatkan karyawannya yang bernama Hendra Saputra untuk merealisasikan keinginannya untuk mendapatkan proyek a quo sudah dipersiapkan sejak jauh hari; l) bahwa di depan persidangan perkara a quo saksi Riefan Avrian telah mengakui perbuatannya dan siap bertanggung jawab sepenuhnya dalam pengadaan videotron yang menjadi kasus sampai kepersidangan perkara ini; m) Bahwa dari keseluruhan uraian fakta hukum sebagaimana telah dipertimbangkan diatas, maka menurut Hakim Anggota II unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada Terdakwa Hendra Saputra tidaklah terpenuhi dan terbukti. Bahwa Hakim Anggota II berpendapat dengan tidak terpenuhinya unsur ketiga dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, maka terdakwa Hendra Saputra haruslah dibebaskan dari dakwaan subsidair. Dengan tidak terbuktinya dakwaan primair maupun dakwaan subsidair, maka terdakwa Hendra Saputra haruslah dibebaskan dari dakwaan primair dan dakwaan subsidair tersebut. Bahwa oleh karena dua orang Hakim berpendapat terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana tercantum dalam dakwaan primair, sedangkan satu orang Hakim berpendapat bebas (vrijs praak), maka berdasarkan Pasal 14 ayat (3) Undang Undang R.I No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maka pendapat yang digunakan ialah pendapat 2 orang hakim (suara terbanyak) sehingga, terdakwa harus dipersalahkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam dakwaan primair.
114
e. Putusan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst tanggal 27 Agustus 2014 memutuskan sebagai berikut: 1) Menyatakan terdakwa Hendra Saputra telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersamasama sebagaimana dalam Dakwaan Primair; 2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hendra Saputra oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan; 3) Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4) Menetapkan terdakwa tetap ditahan. Bahwa berkenaan dengan uraian 2 (dua) putusan pengadilan dalam tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi, penulis memberikan catatan terhadap 2 (dua) putusan tersebut yaitu adanya hal yang sama dan hal yang berbeda dalam tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi pada kedua putusan tersebut, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Tabel 2. Persamaan Pada Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dan Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Indikator
Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM
Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt .Pst
Peran korporasi dalam terjadinya tindak pidana
Perbuatan hukum PT Giri Jaladhi Wana melalui Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dalam melakukan penandatangan Kontrak Kerja Sama Bagi
Terungkap fakta hukum tujuan didirikannya PT Imaji Media oleh Riefan Avrian adalah untuk memenangkan lelang pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM. Riefan Avrian
115
korupsi.
Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari, persetujuan terkait penunjukan PT Giri Jaladhi Wana oleh Pemerintah Kota Banjarmasin dalam Pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dan Penandatanganan Perjanjian Kredit Modal Kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., untuk pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin. Dimana PT Giri Jaladhi Wana dalam melaksanakan pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari melakukan penyimpanganpenyimpangan sehingga merugikan keuangan Negara c.q. Pemerintah Kota Banjarmasin serta melakukan penyimpangan atas penggunaan kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., sehingga merugikan PT Bank Mandiri, Tbk.
(dilakukan penuntutan secara terpisah) Direktur Utama PT Rifuel sekaligus pemilik PT Imaji Media memanfaatkan terdakwa Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media untuk bertindak atas nama PT Imaji Media yang sebenarnya merupakan Office Boy (OB) di PT Rifuel dengan perintah dan kendali dari Riefan Avrian untuk menandatangani dokumendokumen penting dalam pengadaan videotron yaitu surat dokumen penawaran PT Imaji Media, kuitansi uang muka 20 %, surat jaminan uang muka dengan penjamin PT Asuransi Mega Pratama, surat jaminan pelaksanaan, pembukaan rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media, dan surat perjanjian mengenai lingkup pekerjaan pengadaan videotron. Dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron, Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media yang bertindak atas nama PT Imaji Media menyerahkan semua pekerjaan pengadaan videotron kepada Riefan Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel tanpa adanya addendum kontrak maupun perjanjian kerjasama operasi atau kemitraan, kemudian dalam pelaksanaannya terdapat
116
pekerjaan yang tidak dikerjakan dan pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi dalam kontrak sehingga menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Selanjutnya, Terdakwa Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media memberikan surat kuasa kepada Riefan Avrian untuk mengambil uang perusahaan (PT Imaji Media) termasuk pembayaran hasil pekerjaan pengadaan videotron. Dalam hal ini terlihat jelas maksud dan tujuan PT Imaji Media didirikan hanya untuk melakukan tindak pidana korupsi pada pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM. Peraturan Perundang -undangan yang digunakan untuk dilakukan nya penuntuta n.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Petimbang an Hakim mengenai manfaat yang diperoleh korporasi dari tindak
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan pada pertimbangan Majelis Hakim mengenai unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi pada Pasal 2 Undang-
Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim dalam unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun
117
pidana korupsi.
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya menyangkut aliran dana dalam pelaksanaan Kontrak Bagi Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari yang menggunakan dana kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., dan penunjukan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana untuk mengelola Pasar Sentra Antasari telah dapat disimpulkan adanya penambahan kekayaan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, termasuk pihakpihak yang terlibat didalamnya maupun orang lain. Sehingga perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media telah memperkaya orang lain dan korporasi yaitu saksi Riefan Avrian dan PT Imaji Media.
Tindak pidana korupsi dilakukan dalam lingkup usaha korporasi.
Bahwa sesuai anggaran dasar PT Giri Jaladhi Wana bergerak di bidang usaha perdagangan, industri, agrobisnis, pengadaan barang, jasa, transportasi, pembangunan dan desain interior. Mencermati rangkaian perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dalam Kontrak Bagi Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar
Bahwa sesuai maksud dan tujuan didirikannya PT Imaji Media yang terungkap dipersidangan untuk memenangkan lelang pengadaan videotron, dalam anggaran dasar PT Imaji Media tentunya tercantum bidang usaha PT Imaji Media adalah pengadaan barang dan atau jasa. Oleh karena itu pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian
118
Tindak pidana korupsi dilakukan oleh directing mind dari korporasi.
Sentra Antasari Kota Banjarmasin, penunjukan PT Giri Jaladhi Wana untuk mengelola Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dan pengajuan kredit modal kerja untuk pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin kepada PT Bank Mandiri, Tbk., adalah masih dalam ruang lingkup bidang usaha terdakwa PT Giri Jaladhi Wana.
Koperasi dan UKM dilakukan dalam lingkup usaha PT Imaji Media.
Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana mewakili setiap tindakan hukum dari PT Giri Jaladhi Wana. Sehingga Stevanus Widagdo merupakan directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana.
Riefan Avrian merupakan directing mind dari PT Imaji Media, hal ini dikarenakan terungkap fakta hukum bahwa Riefan Avrian merupakan pemilik PT Imaji Media, dan seluruh tindakan hukum yang dilakukan oleh Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media yang dilakukan untuk dan atas nama PT Imaji Media berada dibawah kendali dan perintah Riefan Avrian.
Tabel 3. Perbedaan Pada Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dan Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Indikator Putusan Nomor Putusan Nomor Pembeda 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt .Pst Dasar penempata n terdakwa dalam tindak
Penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa didasarkan pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Penempatan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media sebagai terdakwa menurut penulis didasarkan pada fakta-fakta
119
pidana korupsi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka penuntutan dan penjatuhan pidana bisa dimintakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Dan dengan menerapkan teori identifikasi yang menyatakan bahwa Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana merupakan directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana, maka Stevanus Widagdo diidentifikasi sebagai PT Giri Jaladhi Wana, sehingga perbuatan serta kesalahan Stevanus Widagdo dianggap perbuatan dan kesalahan PT Giri Jaladhi Wana.
hukum bahwa semua perbuatan yang bersifat melawan hukum dilakukan secara fisik oleh Hendra Saputra yang tidak dinilai sebagai perbuatan korporasi dan perbuatan Hendra Saputra yang dilakukan bertindak dengan mengatasnamakan PT Imaji Media sebenarnya berada dibawah kendali dan perintah Riefan Avrian yang merupakan pemilik dari PT Imaji Media.
Pasal yang digunakan dalam Dakwaan Penuntut Umum.
Pasal 2 dan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Jo. Pasal 20 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal 2 dan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Uraian penjelasan unsur setiap orang dalam
Setiap orang dalam putusan ini dimaknai sebagai orang perseorangan termasuk korporasi sesuai Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Dengan menggunakan pasal yang sama yaitu Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, setiap orang
120
Dakwaan Penuntut Umum.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, kemudian dikaitkan dengan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu dalam hal tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka tuntutan pidana dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya, selanjutnya berdasarkan saksi-saksi dan bukti-bukti surat, Penuntut Umum menempatkan korporasi (PT Giri Jaladhi Wana) sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
adalah orang perseorangan termasuk korporasi, namun dengan mendalilkan menurut teori hukum yang dimaksud setiap orang adalah siapa saja sebagai subjek hukum yaitu penyandang hak dan kewajiban yang sama nilainya dengan barang siapa maka dalam hal ini Penuntut Umum hanya menutut pelaku individualnya saja tanpa melihat bahwa perbuatan terdakwa Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media yang dilakukan dengan mengatasnamakan PT Imaji Media yang berada dibawah kendali dan perintah Riefan Avrian yang merupakan directing mind dari PT Imaji Media, oleh karenanya perbuatan dan kesalahan Riefan Avrian dengan memanfaatkan Hendra Saputra dapat diidentifikasi sebagai perbuatan dan kesalahan PT Imaji Media, sehingga seharusnya PT Imaji Media dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Penuntuta n terhadap tindak pidana korupsi yang melibatka n korporasi.
Disamping dilakukan penuntutan terhadap pelaku individual yaitu Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana juga dilakukan penuntutan terhadap PT Giri Jaladhi Wana dengan mendasarkan pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang
Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron hanya dilakukan terhadap pelaku individualnya saja yaitu Rievan Avrian yang terbukti merupakan pemilik PT Imaji Media (dilakukan penuntutan secara terpisah) dan Hendra Saputra selaku Direktur
121
Pertanggu ngjawaban pidana pada tindak pidana korupsi.
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan dalam hal tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
Utama PT Imaji Media, hal ini menunjukan Penuntut Umum hanya melihat bahwa semua perbuatan yang bersifat melawan hukum dilakukan secara fisik oleh manusia tanpa melihat peran korporasi dalam terjadinya tindak pidana korupsi.
Dengan penempatan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi maka yang dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi, dengan menerapkan teori identifikasi tidak dapat dibantah bahwa Stevanus Widagdo adalah directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana, maka Stevanus Widagdo diidentifikasi sebagai PT Giri Jaladhi Wana dan kesalahan Stevanus Widagdo dianggap kesalahan PT Giri Jaladhi Wana, sehingga PT Giri Jaladhi Wana dipertanggungjawabkan secara pidana.
Pertanggungjawaban pidana hanya dibebankan terhadap Riefan Avrian (dilakukan penuntutan terpisah) dan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media, walaupun telah terbukti dipersidangan bahwa perbuatan yang dilakukan Riefan Avrian dengan memanfaatkan Hendra Saputra dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama PT Imaji Media adalah bertindak untuk dan atas nama PT Imaji Media. Dalam hal ini Penuntut Umum tidak menilai bahwa Hendra Saputra merupakan pelaku fungsional atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PT Imaji Media yang dimanfaatkan oleh Riefan Avrian sebagai pemilik PT Imaji Media untuk melakukan perbuatanperbuatan hukum dengan mengatasnamakan PT Imaji Media. Oleh Karena itu sebenarnya PT Imaji Media dapat dimintakan
122
pertanggungjawaban pidana.
Bahwa dalam kedua Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut diatas menggunakan peraturan perundang-undangan yang sama yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi selain subjek hukum manusia alamiah, sehingga pelaku tindak pidana korupsi bisa oleh manusia alamiah atau korporasi. Terkait dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi, pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
mengatur
mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi, dalam ayat pertama mengatur mengenai tanggung jawab yang bisa dimintakan kepada korporasi dan atau pengurusnya untuk tindak pidana korupsi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi. Selanjutnya pada Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi yaitu apabila tindak pidana dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi, baik sendiri maupun bersama-sama. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 memberikan peluang korporasi untuk diajukan ke muka pengadilan atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya bersama dengan pengurus korporasinya. Pengaturan dalam Pasal 20 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menunjukkan adanya pilihan bagi aparat penegak hukum untuk mendakwa dan menuntut korporasi atau pengurus korporasi atau korporasi secara bersama-sama dengan pengurus korporasi.
123
Sehubungan dengan rumusan Pasal 20 ayat (2), Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi menganut teori identifikasi dan teori aggregasi. Teori identifikasi tercermin dalam frase “apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orangorang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain”. Selanjutnya teori aggregasi tercermin dalam frase “apabila tindak pidana tersebut dilakukan...baik sendiri maupun bersama-sama” (Sutan Remy Sjahdeini, 2006:152). Terkait dengan teori identifikasi, menurut Sutan Remy Sjahdeini yang dimaksud dengan orang-orang berdasarkan hubungan kerja adalah mereka yang merupakan pengurus korporasi, sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang berdasarkan hubungan lain adalah orangorang yang memiliki hubungan lain dengan korporasi selain hubungan kerja yaitu orang yang dapat melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama korporasi yang dapat didasarkan pada surat kuasa, perjanjian pemberian kuasa maupun pendelegasian wewenang serta orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan korporasi yang dapat menentukan arah dan kebijakan korporasi (Sutan Remy Sjahdeini, 2006:151-154). Yang dimaksud pengurus korporasi berdasarkan penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah: “organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi”. Menurut penulis, pengertian pengurus korporasi dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tidak hanya terbatas pada pengertian pengurus korporasi secara yuridis, namun juga bukan pengurus korporasi yang memiliki peran dan kekuasaan dalam korporasi yang sama seperti
124
pengurus atau bahkan melebihi pengurus korporasi. Menurut penulis, baik pengurus korporasi maupun orang dalam hubungan lain yang melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama korporasi adalah yang dimaksud dengan directing mind korporasi dalam teori identifikasi. Yang dimaksud penulis sebagai directing mind korporasi adalah orang yang merupakan otak dan pikiran dari setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi, sehingga orang tersebut dapat diidentifikasikan sebagai korporasi itu sendiri. Mengenai teori aggregasi yang menurut Sutan Remy Sjahdeini dianut oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang tercermin dalam rumusan Pasal 20 ayat (2) pada frase “apabila tindak pidana tersebut dilakukan...baik sendiri maupun bersamasama”, menurut penulis pendapat Sutan Remy Sjahdeini tersebut didasarkan pada realitas untuk mengatasi persoalan proses pengambilan keputusan dalam korporasi modern yang merupakan hasil dari usaha-usaha kolektif pengurus korporasi secara bersama-sama, sehingga terjadi penyebaran tanggung jawab dalam korporasi modern. Menurut penulis, poin utama dalam teori aggregasi adalah tanggung jawab pidana tidak hanya ditujukkan terhadap satu orang individu dalam korporasi, melainkan terhadap beberapa orang dalam korporasi, sehingga kesalahan beberapa orang dalam korporasi tersebut diakumulasikan untuk diatributkan sebagai kesalahan korporasi untuk mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana. 3. Kajian Penulis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam Menerapkan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM Penulis
sependapat
dengan
Putusan
Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM yang menempatkan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa untuk dipertanggungjawabkan secara pidana dalam tindak pidana korupsi.
PT
Giri
Jaladhi
Wana
dalam
Putusan
Nomor
125
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM
telah
dijatuhi
pidana
denda
sebesar
Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) dan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan. Penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa, berawal pada perkara Stevanus Widagdo yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolan Pasar Sentra Antasari yang bertindak dalam jabatannya sebagai Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana, dan masih bertindak dalam ruang lingkup PT Giri Jaladhi Wana untuk kepentingan PT Giri Jaladhi Wana. Dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan menerapkan Pasal 20 yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, PT Giri Jaladhi Wana ditempatkan sebagai terdakwa. Menurut penulis, penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa merupakan hal yang tepat, sebab dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur apabila terjadi tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi, maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Sehingga memberikan peluang bagi aparat penegak hukum untuk menjerat korporasi dengan menghadapkannya ke muka pengadilan sebagai pelaku tindak pidana korupsi dan bertanggung jawab secara pidana. Selanjutnya, pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap PT Giri Jaladhi Wana didasarkan pada pertimbangan Majelis Hakim dengan menerapkan teori identifikasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan penerapan teori identifikasi yang memiliki prinsip utama yaitu menentukan directing mind dari korporasi, sehingga perbuatan dan kesalahan directing mind
dari
126
korporasi diidentifikasi sebagai perbuatan dan kesalahan korporasi. Perbuatan Stevanus Widagdo yang dilakukan dalam rangka fungsi dan tugasnya sebagai Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dalam pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari dengan mengtasanamakan PT Giri Jaladhi Wana, yang dilakukannya dalam ruang lingkup kewenangan PT Giri Jaladhi Wana pada pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin serta dilakukan untuk kepentingan PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan hal tersebut telah menentukan bahwa Stevanus Widagdo merupakan directing mind atau otak dan pikiran dari PT Giri Jaladhi Wana. Stevanus Widagdo dapat diidentifikasikan sebagai PT Giri Jaladhi Wana itu sendiri, sehingga seluruh perbuatan dan kesalahan yang dilakukan oleh Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana diidentifikasi sebagai perbuatan dan kesalahan dari PT Giri Jaladhi Wana. Oleh karena itu, PT Giri Jaladhi Wana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Majelis
Hakim
yang
mengadili
perkara
Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dalam mempertimbangkan unsur melawan hukum sebagai delik inti atau beestanddeel delict merujuk pada pendapat ahli yang dihadirkan di persidangan yaitu Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini yang menyatakan bahwa untuk dapat suatu korporasi bertanggung jawab atas perbuatan pengurusnya harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi maupun di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi; b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi; c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi;
127
d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi; dan e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. Berdasarkan keterangan ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini yang diambil alih dan dijadikan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin untuk mengadili perkara dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, penulis pada intinya sependapat dengan keterangan yang disampaikan oleh ahli. Dan penulis akan menguraikan syarat-syarat yang telah diungkapkan oleh ahli satu per satu dan penulis kaitkan berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan sebagai berikut: a. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi maupun di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi; Penulis menerima syarat pertama yang diungkapkan oleh ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, bahwa tindak pidana tersebut (baik dalam
bentuk
commission
maupun
omission)
dilakukan
atau
diperintahkan oleh personel korporasi maupun didalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi. Hal ini menunjukan bahwa ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini menerapkan teori identifikasi dalam mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana pada tindak pidana korupsi. Terkait dengan frase “diperintahkan” dalam syarat pertama yang diutarakan ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, menurut penulis tidak sama dengan pengertian “disuruh” dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, hal ini perlu diungkapkan karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
128
Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak mengatur secara khusus mengenai penyertaan, maka menurut Pasal 103 KUHP berlaku bentuk penyertaan yang diatur dalam Pasal 55 KUHP. Pada Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHP pelaku fisik yang melakukan suatu tindak pidana berdasarkan “suruhan” dari orang lain tidak dapat dipidana. Tentu saja yang dimaksud “diperintahkan” disini tidak sama pengertiannya dengan “disuruh” menurut Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mengenai hal “diperintahkan” disini yang dimaksud adalah seolah-olah tindak pidana korupsi dilakukan oleh pelaku fisik karena diperintahkan oleh personel korporasi yang diidentifikasi sebagai directing mind dari korporasi. Menurut penulis syarat pertama ini berhubungan dengan teori pelaku fungsional yang digunakan untuk mendukung teori identifikasi dalam menentukan directing mind dari korporasi. Dimana teori pelaku fungsional menyatakan bahwa korporasi tidak harus melakukan perbuatannya sendiri secara fisik, tetapi perbuatan itu dilakukan oleh pengurusnya dalam rangka fungsi dan tugasnya, dan masih dalam ruang lingkup kewenangan korporasi. Maka secara umum perbuatan pengurus korporasi dianggap sebagai perbuatan korporasi, sehingga terjadi pelimpahan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Sehubungan dengan penerapan teori identifikasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengenai penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai pelaku tindak pidana korupsi didasarkan pada directing mind yang ada pada Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana. Sehingga perbuatan dan kesalahan yang dilakukan oleh Stevanus Widagdo diidentifikasi sebagai perbuatan dan kesalahan PT Giri Jaladhi Wana, yaitu dengan didasarkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap
129
di persidangan bahwa tindakan hukum Stevanus Widagdo sebagai Direktur Utama yang bertindak untuk dan atas nama PT Giri Jaladhi Wana berupa penandatanganan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/I/548/Prog-Nomor 003/GJW/VII/1998 dan Perjanjian Kredit Modal Kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., atas kedua perjanjian kerjasama tersebut PT Giri Jaladhi Wana melalui Stevanus Widagdo melakukan
penyimpangan-penyimpangan
untuk
mendapatkan
keuntungan secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi; Salah satu kriteria tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi dan dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi apabila dilakukan dalam lingkungan korporasi. Dalam lingkungan korporasi menurut penulis dapat diketahui dari maksud dan tujuan korporasi yang tercantum dalam anggaran dasar korporasi. Sehubungan dengan maksud dan tujuan PT Giri Jaladhi Wana yang tercantum dalam anggaran dasarnya bahwa PT Giri Jaladhi Wana bergerak di bidang usaha perdagangan, industri, agrobisnis, pengadaan barang, jasa, transportasi, pembangunan dan desain interior. Apabila mencermati perbuatan PT Giri Jaladhi Wana dalam melaksanakan perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Kota Bajarmasin mengenai Kontrak Bagi Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dan Penunjukan Pengelolaan Sementara Pasar Sentra Antasari oleh Pemerintah Kota Banjarmasin kepada PT Giri Jaladhi Wana serta Perjanjian Kredit Modal Kerja dengan PT Bank Mandiri, Tbk., masih dalam ruang lingkup bidang usaha PT Giri Jaladhi Wana yang tercantum dalam anggaran dasarnya.
130
c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi; Tindak
pidana
korupsi
yang
dilakukan
korporasi
dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidananya kepada korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain. Menurut penulis, pelaku yang memberikan perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi merujuk kepada pengurus korporasi yang dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan: “yang dimaksud pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi”. Berdasarkan teori identifikasi yang menyatakan bahwa agar suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana maka orang yang melakukan perbuatan atau perintah itu harus diidentifikasi sebagai directing mind dari korporasi, sehingga perbuatan dan kesalahan directing mind korporasi dianggap sebagai perbuatan dan kesalahan dari korporasi, jadi dalam hal menyangkut PT Giri Jaladhi Wana, Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dapat diidentifikasi sebagai directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana, sehingga perbuatan dan kesalahan Stevanus Widagdo dalam rangka tugasnya sebagai
Direktur
Utama
PT
Giri
Jaladhi
Wana
dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap PT Giri Jaldhi Wana. Bahwa perbuatan hukum yang dilakukan Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dengan mengatasnamakan PT Giri Jaladhi Wana dalam hal penandatanganan Kontrak Bagi Tempat
131
Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dan Pengelolaan Pasar Sentra Antasari serta Perjanjian Kredit Modal Kerja dengan PT Bank Mandiri, Tbk., yang dalam pelaksanaannya
terjadi
penyimpangan-penyimpangan
sehingga
mengakibatkan kerugian keuangan bagi Negara c.q Pemerintah Kota Banjarmasin dan PT Bank Mandiri, Tbk., yang dilakukan maupun berdasarkan perintah Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yang menurut teori identifikasi merupakan directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana, maka pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan terhadap PT Giri Jaladhi Wana. d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi; Perbuatan seseorang yang diidentifikasi sebagai directing mind dari korporasi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya terhadap korporasi. Dalam konteks ini menurut penulis, perbuatan yang dilakukan oleh directing mind dari korporasi dapat memberikan keuntungan atau manfaat bagi directing mind itu sendiri maupun juga keuntungan terhadap korporasi, dalam konteks ini pertanggungjawaban pidananya tetap ada pada korporasi. Dalam tindak pidana korupsi yang menempatkan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa, atas perbuatan yang dilakukan oleh Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dalam pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin berupa penjualan atas tambahan 900 (sembilan ratus) unit toko, kios, los, lapak dan warung sebesar Rp16.691.713.166,00 (enam belas miliar enam ratus sembilan puluh satu juta tujuh ratus tiga belas ribu seratus enam puluh enam
132
rupiah) yang tidak disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin merupakan keuntungan yang diterima PT Giri Jaladhi Wana. PT Giri Jaladhi Wana juga mendapatkan keuntungan karena adanya kewajiban dari PT Giri Jaladhi Wana yang tidak dipenuhi yaitu pembayaran retribusi dan penggantian uang sewa serta membayar pelunasan Kredit Inpres Pasar Sentra Antasari yang keseluruhannya sejumlah Rp6.750.000.000,00 (enam miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) yang hanya dibayarkan oleh PT Giri Jaladhi Wana sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), sehingga masih terdapat kekurangan yang tidak dibayar oleh PT Giri Jaladhi Wana sebesar Rp5.750.000.000,00 (lima miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Selain itu, PT Giri Jaladhi Wana sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 sengaja tidak membayar uang pengelolaan Pasar Sentra Antasari ke kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin, dalam hal ini Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana memberikan keterangan yang tidak benar kepada Pemerintah Kota Banjarmasin bahwa PT Giri Jaladhi Wana dalam pengelolaan Pasar Sentra Antasari mengalami kerugian, padahal berdasarkan laporan keuangan Pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin periode Juli 2004 sampai dengan Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima rupiah). Selanjutnya, Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana melakukan penyimpangan atas penggunaan kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., untuk pembangunan Pasar Sentra Antasari dengan tidak membayar beberapa angsuran kredit modal kerja kepada PT Bank Mandiri, Tbk., sehingga mengakibatkan kerugian terhadap PT Bank Mandiri, Tbk., sebesar Rp199.536.064.675,00 (seratus
133
sembilan puluh sembilan miliar lima ratus tiga puluh enam juta eman puluh empat ribu enam ratus tujuh puluh lima rupiah). Dengan demikian, terbukti bahwa perbuatan Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana adalah memiliki maksud dan tujuan untuk memberikan keuntungan secara melawan hukum terhadap korporasinya yaitu PT Giri Jaladhi Wana. e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. Dalam pertanggungjawaban pidana terkait alasan penghapus pidana yaitu adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf, apabila dalam diri pelaku tindak pidana tidak terdapat alasan pembenar maka perbuatan pelaku tersebut bersifat melawan hukum, dan apabila dalam diri pelaku tindak pidana tidak terdapat alasan pemaaf maka unsur kesalahan atau mens
rea
ada
pada
diri
pelaku
sehingga
pelaku
dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, perbuatan dan kesalahan Stevanus Widagdo yang diidentifikasi sebagai directing mind
dari PT Giri Jaladhi Wana, maka dengan penerapan teori
identifikasi, perbuatan dan kesalahan Stevanus Widagdo dianggap sebagai perbuatan dan kesalahan PT Giri Jaladhi Wana. Sehingga menurut penulis, dalam konteks alasan pembenar dan alasan pemaaf pada PT Giri Jaladhi Wana dengan menerapkan teori identifikasi, berdasarkan kedudukan Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana merupakan directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana yang telah dipidana dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 936K/Pid.Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009 dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin
134
sehingga tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf pada diri Stevanus Widagdo. Merujuk pada penerapan teori identifikasi, secara mutatis mutandis tidak adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf pada diri Stevanus Widagdo sebagai directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana yang diidentifikasikan sebagai PT Giri Jaladhi Wana itu sendiri, maka terhadap PT Giri Jaladhi Wana tidak terdapat juga adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, yaitu mendasarkan penuntutan terhadap PT Giri Jaladhi Wana dengan menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa menurut penulis tepat dengan didasarkan pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa: “dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurus korporasi” Menurut penulis penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa lebih
tepat
apabila
dibandingkan
dengan
hanya
menuntut
pelaku
individualnya saja. Selanjutnya dengan menerapkan teori identifikasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menentukan bahwa Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana merupakan directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana, sehingga Stevanus Widagdo diidentifikasi sebagai PT Giri Jaladhi
135
Wana itu sendiri, dan perbuatan serta kesalahan Stevanus Widagdo dianggap sebagai perbuatan dan kesalahan dari PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan hal tersebut PT Giri Jaladhi Wana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dasar pertimbangan Majelis Hakim dengan menerapkan teori identifikasi untuk mempertanggungjawabkan PT Giri Jaladhi Wana secara pidana dikuatkan dengan keterangan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini sebagai ahli dalam tindak pidana korupsi dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, yang pendapatnya diambil alih untuk digunakan sebagai pertimbangan Majelis Hakim untuk mengadili dan memutuskan perkara Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dengan menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu korporasi bertanggung jawab atas perbuatan pengurusnya dan korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana. Sehubungan dengan pidana yang dijatuhkan terhadap PT Giri Jaladhi Wana berupa pidana denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) dan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan, menurut penulis sudah tepat, hal ini dikarenakan pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah berupa denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3 (sepertiga), ancaman pidana pada Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang digunakan Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap PT Giri Jaladhi Wana adalah dengan ancaman pidana denda maksimum Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sehingga pidana denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) merupakan pemberatan dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana denda maksimum, kemudian mengingat dalam Putusan
136
Kasasi Stevanus Widagdo selaku Direktrur Utama PT Giri Jaladhi Wana telah dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan membayar uang pengganti sebesar Rp6.300.000.000,00 (enam miliar tiga ratus juta rupiah), maka masih ada kekurangan dari hasil pengelolaan Pasar Sentra Antasari sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) dari hasil pengelolaan Pasar Sentra Antasari periode 2004 sampai 2007 yang tidak disetorkan oleh PT Giri Jaladhi Wana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima rupiah),
selisih tersebut menjadi beban PT Giri Jaladhi Wana, sehingga
denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) sudah tepat. Selanjutnya pidana tambahan telah mengacu pada Pasal 18 ayat (1) huruf c yaitu penutupan seluruh atau sebagian korporasi untuk waktu paling lama
1
(satu)
tahun,
dimana
dalam
Putusan
Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM pidana tambahan penutupan sementara telah ditentukan dalam jangka waktu selama 6 (enam) bulan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan serta meminimalkan ekses negatif
bagi
karyawan dari penjatuhan pidana terhadap korporasi. Penulis
pada
prinsipnya
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM,
setuju
berkenaan
dengan
dengan
Putusan
pemidanaan
Nomor terhadap
korporasi untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi karena telah sesuai dengan arah penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime maka upaya pemberantasannya dituntut dengan cara-cara yang luar biasa seperti halnya menjerat korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi untuk mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana, mengingat dalam era globalisasi ini tindak pidana korupsi banyak melibatkan peran korporasi, namun korporasi sering lolos dari jerat hukum, sehingga penempatan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi merupakan hal
137
yang sangat penting, maka putusan ini bisa menjadi dasar untuk memutus perkara yang sama terhadap pemidanaan kepada korporasi. 4. Kajian Penulis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam Menerapkan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst Dalam putusan kedua yang dikaji oleh penulis, dalam hal ini penulis tidak sependapat dengan Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM dengan hanya menempatkan pelaku tindak pidana korupsi terhadap Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media dan Riefan Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel sekaligus pemilik PT Imaji Media (dilakukan penuntutan secara terpisah). Penempatan terdakwa dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst menunjukkan bahwa penuntutan secara pidana dengan berpedoman pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya dilakukan terhadap pelaku individualnya saja atau perseorangannya selaku subjek hukum (naturlijke persoon) dan tidak melakukan
penuntutan
terhadap
korporasi
selaku
subjek
hukum
(rechtspersoon) untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi. Apabila berpedoman pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah diatur dengan jelas dalam Pasal 20 mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana korupsi. Menurut penulis, tidak sulit bagi aparat penegak hukum dalam menguraikan dan menjabarkan garis-garis batas pertanggungjawaban pidana pelaku individu dengan pertanggungjawaban pidana pelaku korporasi. Dalam hal ini suatu korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam tindak pidana korupsi, sepanjang pengurus korporasi bertindak atas nama dan untuk
138
kepentingan
korporasi
yang
menimbulkan
kerugian
keuangan
dan
perekonomian negara maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurus korporasi. Sehubungan dengan tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM yang melibatkan peran korporasi dalam terjadinya tindak pidana korupsi, namun tidak dilakukan penuntutan secara pidana terhadap korporasi dalam hal ini PT Imaji Media. Menurut penulis, penuntutan secara pidana terhadap PT Imaji Media penting untuk dilakukan karena telah terbukti dipersidangan bahwa maksud dan tujuan didirikannya PT Imaji Media oleh Riefan Avrian adalah untuk melakukan kejahatan. Dengan tidak dilakukannya penuntutan secara pidana terhadap PT Imaji Media untuk dipertanggungjawabkan secara pidana, hal ini membawa konsekuensi bahwa PT Imaji Media tetap dapat beroperasi menjalankan kegiatan usahanya. Akibat dibatasinya penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, yaitu hanya pelaku individu saja atau perseorangan membawa konsekuensi pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi tidak berjalan optimal. Hal ini disebabkan negara tidak dapat menuntut PT Imaji Media untuk bertanggung jawab atas kerugian keuangan negara yang telah disalahgunakan secara melawan hukum. Padahal tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime karena adanya hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat yang dilanggar dari tindak pidana korupsi, maka sebagai extra ordinary crime upaya pemberantasannya dituntut cara-cara yang luar biasa, salah satunya dengan menjerat korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi untuk dipertanggungjawabkan secara pidana. Selanjutnya, lolosnya PT Imaji Media dari jerat hukum karena tidak dilakukannya penuntutan terhadap korporasi yaitu PT Imaji Media sebagai pelaku tindak
139
pidana korupsi, sehingga tidak ada sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap PT Imaji Media, baik berupa pidana pokok berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maupun berupa pidana tambahan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dapat berupa: 1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; 2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyakanya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; 3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;dan 4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Akibat tidak adanya penjatuhan sanksi pidana terhadap PT Imaji Media karena tidak dilakukannya penuntutan secara pidana terhadap PT Imaji Media, membawa konsekuensi hukum bagi PT Imaji Media tetap beroperasi dan menjalankan aktivitas usaha tanpa menanggung beban apapun, selain itu terungkap fakta hukum dipersidangan bahwa PT Imaji Media telah dijual oleh Riefan Avrian selaku pemilik PT Imaji Media kepada saksi Pendi sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dengan tetap beroperasinya PT Imaji Media untuk menjalankan kegiatan usahanya, tidak ada jaminan bahwa PT Imaji Media tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan undang-undang, hal ini dikarenakan terungkap fakta hukum di persidangan bahwa sejak awal maksud dan tujuan didirikannya PT Imaji Media oleh
140
Riefan Avrian adalah untuk melakukan kejahatan. Padahal kerugian yang dialami negara dinikmati ataupun mengalir pada PT Imaji Media. Kedudukan PT Imaji Media dalam tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM apabila dikaitkan dengan bentuk kejahatan korporasi yang diungkapkan oleh Mahrus Ali diantaranya crimes for corporation, crimes against corporation, dan criminal corporation (Mahrus Ali, 2013:18-19), peran dan kedudukan PT Imaji Media dalam tindak pidana korupsi ini adalah masuk ke dalam bentuk criminal corporation yaitu korporasi sengaja dibentuk atau didirikan dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan. Oleh karena itu, seharusnya dilakukan penegakan hukum terhadap PT Imaji Media untuk dipertanggungjawabkan secara pidana. Adanya keterbatasan dalam membebankan pertanggungjawaban pidana
atas
tindak
pidana
korupsi
dalam
perkara
Nomor
36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst menurut penulis dapat berakibat korporasi justru semakin tidak tersentuh oleh hukum sehingga tidak mendapat sanksi pidana. Padahal korporasi dalam hal ini PT Imaji Media telah terbukti berperan dalam terjadinya tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM. Pelaku yang dipidana dalam korupsi pekerjaan pengadaan videotron hanya pelaku individu yaitu Riefan Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel sekaligus pemilik PT Imaji Media dan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media yang dipertanggungjawabkan secara pidana, sehingga korporasi terlindungi oleh tindakan Direktur Utama korporasi yang dianggap bertindak sebagai pribadi. Padahal secara konkret di persidangan telah terungkap bahwa Riefan Avrian yang memanfaatkan terdakwa Hendra Saputra untuk bertindak selaku Direktur Utama dengan mengatasnamakan PT Imaji Media.
141
Menurut penulis, dalam korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, baik terhadap Riefan Avrian sebagai pemilik PT Imaji Media dan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media maupun PT Imaji Media sebagai korporasi dapat dilakukan penuntutan pidana secara
bersama-sama
untuk
dipertanggungjawabkan
secara
pidana.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa PT Imaji Media sebagai korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki hubungan erat dengan korporasi yang dapat dipandang sebagai korporasi itu sendiri dan tindakannya dilakukan berkaitan dengan korporasi. Dalam korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, penulis berpendapat bahwa secara fisik tindakan hukum PT Imaji Media dalam pekerjaan pengadaan videotron memang dilakukan oleh terdakwa Hendra Saputra, namun apabila mencermati fakta hukum dipersidangan, terungkap bahwa seluruh tindakan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media berada dibawah perintah dan dalam kendali Riefan Avrian, hal ini diungkapkan oleh penulis berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan bahwa Hendra Saputra bukan merupakan pelaku utama sebagai berikut: a. Bahwa Hendra Saputra ditunjuk oleh Riefan Avrian untuk menempati posisi sebagai Direktur Utama PT Imaji Media dan menandatangani akta pendirian PT Imaji Media atas perintah Riefan Avrian; b. Hendra Saputra merupakan seorang Office Boy (OB) yang identitasnya digunakan untuk mendirikan PT Imaji Media yang nantinya perusahaan tersebut diikutkan dalam tender pengadaan videotron; c. Walaupun sebagai Direktur Utama PT Imaji Media gaji yang diterima Hendra Saputra tetap sebesar Rp1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu
142
rupiah) setiap bulan dan tetap melaksanakan tugas sehari-hari sebagai Office Boy (OB) di PT Rifuel; d. Bahwa seluruh tindakan hukum yang dilakukan Hendra Saputra dalam fungsi dan tugasnya sebagai Direktur Utama PT Imaji Media merupakan perintah dan kendali Riefan Avrian, yaitu meliputi tindakan: 1) Penandatanganan surat dokumen penawaran PT Imaji Media; 2) Penandatanganan kuitansi uang muka 20 % Nomor 111/Kwt/MJJKT/X/12; 3) Penandatanganan
Surat
Jaminan
Uang
Muka
Nomor
PL11630208j.0027.043530 dengan penjamin PT Asuransi Mega Pratama; 4) Penandatanganan
Surat
Jaminan
Pelaksanaan
Nomor
PL
PL11630208j.0027.043530 dengan nilai sebesar Rp1.170.500.000,00 (satu miliar seratus tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah); 5) Pembukaan rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media di BRI KCP Duta Mas Fatmawati dengan nomor
rekening:
0525-01-000159-30-6
untuk
menampung
pembayaran hasil pekerjaan pengadaan videotron; 6) Penandatanganan dan pelaksanaan Kontrak atau Surat Perjanjian Kerja Nomor 617/Kont.SM.3/X/2012 dengan Ir. Hasnawi Bachtiar selaku Pejabat Pembuat Komitmen mengenai lingkup pekerjaan pengadaan videotron; 7) Penandatanganan akad kredit senilai Rp7.089.000.000,00 (tujuh miliar delapan puluh sembilan juta rupiah) selaku Direktur Utama PT Imaji Media dengan Roro Moninggar, S.E., selaku Pimpinan Cabang Pembantu BRI Duta Mas Fatmawati; 8) Penandatanganan surat permintaan pemenuhan pembayaran atas nama Direktur PT Imaji Media untuk pekerjaan pengadaan videotron
143
dengan Nomor 225554A/019/110 sebesar Rp18.728.000.000,00 (delapan belas miliar tujuh ratus dua puluh delapan juta rupiah). e. Pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron seluruhnya dilaksanakan oleh Riefan Avrian (Direktur Utama PT Rifuel dimana Hendra Saputra bekerja sebagai Office Boy) tanpa perjanjian kemitraan dan addendum kontrak; f. Seluruh pembayaran pengadaan videotron yang disetorkan ke rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media, seluruh pengambilan pembayarannya dikuasakan kepada Riefan Avrian berdasarkan surat kuasa mutlak yang dibuat oleh Riefan Avrian sendiri; g. Bahwa setelah dimaulainya penyidikan Hendra Saputra diperintahkan untuk melarikan diri ke Samarinda Kalimantan Timur atas perintah dan biaya dari Riefan Avrian; h. Penjualan PT Imaji Media dilakukan oleh Riefan Avrian tanpa sepengetahuan Hendra Saputra; i. Bahwa dalam hal ini dapat disimpulkan Direktur Utama PT Rifuel Riefan Avrian telah memanfaatkan karyawannya yaitu Hendra Saputra untuk merealisasikan keinginannya untuk mendapatkan proyek pengadaan videotron yang dalam pelaksanaannya dilakukan berbagai penyimpangan yang merugikan keuangan negara. Menurut penulis, kedudukan Riefan Avrian yang memanfaatkan Hendra Saputra dalam tindak pidana korupsi pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM yang dikaitkan dengan peran pelaku tindak pidana dalam penyertaan, dapat dikategorikan ke dalam bentuk uitlokker, yaitu orang yang menggerakan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah menggerakan dan membujuk dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dibatasi dalam hal memberikan atau menjanjikan sesuatu, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana
144
dan keterangan. Dalam hal ini, Riefan Avrian selaku atasan Hendra Saputra di PT Rifuel telah memberikan tekanan kepada Hendra Saputra, terungkap fakta hukum bahwa Hendra Saputra menerima untuk diangkat sebagai Direktur Utama PT Imaji Media dan melakukan penandatangan dokumendokumen penting terkait pengadaan videotron karena Hendra Saputra takut kehilangan pekerjaannya sebagai Office Boy di PT Rifuel. Sehingga Hendra Saputra sebagai orang yang dikendalikan dan dibujuk oleh Riefan Avrian tetap dapat dihukum, karena Hendra Saputra sebenarnya mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan dan dikendalikan oleh Riefan Avrian. Oleh karena itu, penulis dalam hal ini menilai bahwa perbuatan Riefan Avrian yang memerintahkan dan mengendalikan tindakan Hendra Saputra adalah bertujuan memanfaatkan Hendra Saputra sebagai alat yang digunakan untuk merealisasikan kehendak Riefan Avrian dalam pekerjaan pengadaan videotron. Pada dasarnya Riefan Avrian merupakan pemilik PT Imaji Media sehingga walaupun secara struktural nama Riefan Avrian tidak termasuk dalam jajaran pengurus maupun komisaris PT Imaji Media, akan tetapi berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan Riefan Avrian merupakan pemilik PT Imaji Media, sehingga dapat dikatakan bahwa Riefan Avrian merupakan bagian dari korporasi (PT Imaji Media) dan memiliki hubungan erat dengan PT Imaji Media serta berkedudukan penting sebagai penentu arah kebijakan PT Imaji Media. Dalam tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, terhadap Riefan Avrian telah dilakukan penuntutan secara pidana dan telah dijatuhi pidana 6 (enam) tahun penjara dan denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selanjutnya terhadap terdakwa Hendra
145
Saputra dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst telah dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun penjara dan denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) subsider 1(satu) bulan kurungan. Pendapat penulis yang menyatakan bahwa dalam tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM seharusnya
tidak
hanya
dilakukan
penuntutan
dan
pembebanan
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku individunya saja, namun terhadap PT Imaji Media sebenarnya dapat dilakukan penuntutan untuk dipertanggungjawabkan secara pidana, hal ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Djoko Sarwoko sebagaiamana dikutip Edi Yunara yang mengemukakan bahwa tindak pidana korporasi (corporate crime) pada dasarnya adalah setiap perbuatan yang dilakukan pegawai korporasi pada setiap tingkatan yang dapat mengakibatkan tanggung jawab pidana, baik terhadap pegawai korporasi maupun korporasi atau keduanya secara bersamasama dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana (Edi Yunara, 2012:203). Mencermati pendapat yang disampaikan Djoko Sarwoko tersebut, dalam tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM dapat dilakukan penuntutan secara pidana terhadap korporasi yaitu PT Imaji Media atas tindakan hukum Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media yang berada dibawah kendali Riefan Avrian yang terungkap dipersidangan merupakan pemilik PT Imaji Media dan atasan terdakwa Hendra Saputra di PT Rifuel, dan tindakan hukum tersebut mengakibatkan tanggung jawab pidana maka baik terhadap Riefan Avrian dan Hendra Saputra selaku pribadi serta PT Imaji Media dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Dalam melakukan penuntutan tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, seharusnya Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan terobosan hukum dengan menuntut PT
146
Imaji Media, dan tidak seperti menutup mata dengan hanya menuntut secara pidana terhadap Riefan Avrian dan terdakwa Hendra Saputra selaku pribadi atau individu yang dalam tindak pidana korupsi ini telah melakukan tindak pidana korupsi melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hal ini terbutki karena Jaksa Penuntut Umum pada perkara Nomor 36/Pid.Sus/2014/TPK/PN.Jkt.Pst dalam menguraikan unsur “setiap orang” sebagai pelaku tindak pidana korupsi hanya menekankan pelaku
individu,
yaitu
terdakwa
Hendra
Saputra
yang
mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Jaksa Penuntut Umum tidak meminta pertanggungjawaban pidana kepada korporasi yaitu PT Imaji Media yang telah terbukti dipersidangan bahwa pendiriannya oleh Riefan Avrian memiliki maksud dan tujuan untuk melakukan kejahatan dalam hal ini tindak pidana korupsi. Menurut penulis, penempatan PT Imaji Media sebagai pelaku tindak pidana korupsi dapat didasarkan pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang sebenarnya memberikan peluang bagi Jaksa Penuntut Umum untuk menghadapkan PT Imaji Media sebagai terdakwa di muka pengadilan, Pasal 20 ayat (1) tersebut menyatakan bahwa: “dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya”. Mencermati rumusan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut dan dihubungkan dengan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi meliputi:
147
a. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang bertanggung jawab secara pidana; b. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang bertanggungjawab secara pidana;dan c. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana, yang bertanggung jawab secara pidana adalah korporasi dan pengurus korporasi. Dalam sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang dapat diterapkan dalam korupsi pengadaan videotron adalah bentuk ketiga yaitu terhadap korporasi (PT Imaji Media) dan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media serta Riefan Avrian selaku pemilik PT Imaji Media dapat
dilakukan
penuntutan
secara
bersama-sama.
Alasan
penulis
menentukan bentuk ketiga sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan
didasarkan
pada
pertimbangan
bahwa
pembebanan
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi hanya dapat dilakukan dengan mengalihkan pertanggungjawaban perbuatan manusia menjadi perbuatan korporasi dan atas segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia dalam menajalankan pengurusan korporasi, maka tidak seharusnya hanya pengurus korporasi saja yang dimintai pertanggungjawaban secara pidana melainkan juga terhadap korporasi dan orang yang memiliki hubungan erat dengan korporasi secara bersama-sama dipertanggungjawabkan secara pidana. Selanjutnya mengenai pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap PT Imaji Media dapat dilakukan dengan menerapkan teori identifikasi dan teori aggregasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, teori identifikasi tercermin dalam frase “apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain” dan teori
148
aggregasi
tercermin
dalam
frase
“apabila
tindak
pidana
tersebut
dilakukan...baik sendiri maupun bersama-sama”. Pertimbangan Majelis Hakim
dapat
didasarkan
pada
penerapan
teori
identifikasi
untuk
mempertanggungjawabkan PT Imaji Media secara pidana yang menentukan bahwa korporasi bisa melakukan tindak pidana secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan korporasi (garis bawah oleh penulis), atau yang disebut sebagai controlling officer yang dapat dipandang sebagai korporasi itu sendiri, sepanjang tindakan dilakukan berkaitan dengan korporasi (Hasbullah F. Sjawie, 2015:39). Prinsip utama teori identifikasi adalah mengidentifikasi seseorang untuk ditentukan sebagai otak dan pikiran atau directing mind and will dari korporasi (Hasbullah F. Sjawie, 2015:40-41). Menurut penulis, untuk menentukan directing mind dari PT Imaji Media dapat ditentukan dengan mencermati fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan sebagai berikut: a. PT Imaji Media didirikan oleh Riefan Avrian yang merupakan Direktur Utama PT Rifuel dengan menunjuk Office Boy (OB) di kantornya bernama Hendra Saputra sebagai Direktur Utama PT Imaji Media, dengan maksud dan tujuan untuk mengikuti dan memenangkan lelang pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, yang dalam pelaksanaannya dilakukan penyimpangan-penyimpangan oleh PT Imaji Media sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara; b. Seluruh tindakan hukum terdakwa Hendra Saputra dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama PT Imaji Media mulai dari persiapan sampai dengan
pelaksanaan
pekerjaan
pengadaan
videotron
dengan
mengatasnamakan PT Imaji Media sebenarnya berada dibawah perintah dan kendali oleh Riefan Avrian; c. Seluruh pekerjaan pengadaan videotron dilimpahkan Hendra Saputra tanpa adanya perjanjian kerjasama kemitraan atau addendum kontrak
149
untuk dikerjakan oleh Riefan Avrian yang kemudian memerintahkan anak buahnya di PT Rifuel untuk mengerjakan pengadaan videotron; d. Seluruh uang pembayaran pekerjaan pengadaan videotron di rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media diambil dan dikuasai oleh Riefan Avrian melalui surat kuasa mutlak yang diberikan Hendra Saputra atas perintah dan dibuat oleh Riefan Avrian. Oleh karena itu untuk mencari dan mengidentifikasi siapa yang menjadi drecting mind dari PT Imaji Media dengan mencermati fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan, penulis menyimpulkan bahwa seseorang yang memiliki hubungan sangat erat dengan PT Imaji Media dan tindakannya dilakukan berkaitan dengan PT Imaji Media yang dapat diidentifikasi sebagai directing mind dari PT Imaji Media adalah Riefan Avrian berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah diuraikan oleh penulis. Sehubungan dengan penentuan drecting mind dari PT Imaji Media yang berdasarkan pada fakta hukum yang terungkap dipersidangan atas tindakan-tindakan hukum yang dilakukan terdakwa Hendra Saputra yang berada
dibawah
perintah
dan
kendali
Riefan
Avrian
dengan
mengatasnamakan PT Imaji Media yang mengakibatkan timbulnya tanggung jawab pidana, dengan mencermati fakta hukum yang terungkap dipersidangan akan memudahkan teori identifikasi untuk menentukan siapa directing mind dari korporasi yang tidak dapat dibantah lagi bahwa Riefan Avrian merupakan directing mind dari PT Imaji Media. Maka perbautan dan kesalahan Riefan Avrian dapat diidentifikasikan sebagai perbuatan dan kesalahan
PT
Imaji
Media,
sehingga
PT
Imaji
Media
dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Apabila merujuk pada Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM yang menempatkan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa untuk dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidana korupsi yang
150
dilakukan PT Giri Jaladhi Wana berawal dari putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yang dipidana berdasarkan Putusan Mahamah Agung Republik Indonesia Nomor 936K/Pid.Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009, hal ini akan mempermudah untuk membuktikan adanya kesalahan pada korporasi yaitu PT Giri Jaladhi Wana dengan pengajuan di pengadilan terhadap pelaku individu atau pribadi dan korporasinya dilakukan secara terpisah, yaitu korporasinya diajukan ke hadapan pengadilan setelah pelaku individualnya dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman. Merujuk kepada penerapan teori identifikasi
untuk
mempertanggungjawabkan
secara
pidana
terhadap
korporasi, teori identifikasi tidak mensyaratkan untuk diajukannya pelaku individu terpisah dengan pengajuan korporasinya ke pengadilan (Hasbullah F. Sjawie, 2015:202). Maka menurut penulis, pengajuan pelaku individu dan korporasinya dapat dilakukan bersama-sama dengan menerapkan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
teori identifikasi serta teori
aggregasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya dapat diterapkan pada perkara Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst mengenai tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM untuk melakukan penuntutan pidana secara bersama-sama antara pelaku individu yaitu Riefan Avrian selaku pemilik PT Imaji Media dan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media dengan korporasinya yaitu PT Imaji Media ke hadapan pengadilan. Apabila perkara itu diperiksa oleh Majelis Hakim yang sama dan bisa memudahkan persidangan, sehingga diharapkan
151
putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim tidak bertentangan satu sama lainnya merupakan kelebihan yang didapat apabila perkaranya diajukan dalam tiga berkas secara bersamaan (Hasbullah F. Sjawie, 2015:202). Terkait dengan pertimbangan Majelis Hakim yang dapat didasarkan pada penerapan teori aggregasi untuk mempertanggungjawabkan secara pidana PT Imaji Media terlebih dahulu harus diketahui bahwa prinsip utama teori ini berada pada pengumpulan atau penjumlahan perbuatan atau kesalahan dari orang-orang yang secara relevan berada di lingkungan korporasi atau merupakan bagian dari korporasi itu dianggap sebagai perbuatan dan kesalahan satu orang saja, kumpulan perbuatan dan kesalahan manusia tersebut kemudian diatributkan kepada korporasi, maka korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:236). Menyangkut tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron yaitu tindak pidana korupsi tersebut dilakukan secara bersamasama Riefan Avrian dan Hendra Saputra maka perbuatan dan kesalahan keduanya diatributkan sebagai perbuatan dan kesalahan PT Imaji Media, hal ini dikarenakan Riefan Avrian dan Hendra Saputra keduanya adalah orangorang yang secara relevan berada dilingkungan PT Imaji Media dan merupakan bagian dari PT Imaji Media yaitu Riefan Avrian terbukti sebagai pemilik PT Imaji Media dan Hendra Saputra yang ditunjuk oleh Riefan Avrian berkedudukan sebagai Direktur Utama PT Imaji Media. Menurut penulis, unsur actus reus atau perbuatan dan unsur mens rea atau kesalahan dalam teori aggregasi dapat dikonstruksikan dari tingkah laku dan pengetahuan dari Riefan Avrian dan Hendra Saputra. Dengan mencermati fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa pendirian PT Imaji Media dan penunjukan Hendra Saputra sebagai Direktur Utama PT Imaji Media oleh Riefan Avrian memiliki maksud dan tujuan untuk mengikuti dan memenangkan lelang pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi
152
dan UKM. Setelah PT Imaji Media ditetapkan sebagai pemenang lelang, pekerjaan seluruhnya dikerjakan oleh Riefan Avrian tanpa perjanjian kerjasama kemitraan dan addendum kontrak, yang dalam pengerjaannya dilakukan penyimpangan yaitu terdapat pekerjaan yang tidak dikerjakan dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak mengakibatkan negara mengalami kerugian, dalam hal ini perbuatan tersebut diketahui dan dikehendaki oleh Riefan Avrian dan Hendra Saputra. Selanjutnya seluruh tindakan hukum Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media mulai dari persiapan sampai dengan pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron berada dibawah perintah dan kendali Riefan Avrian, tindakan tersebut meliputi: a. Penandatanganan Akta Pendirian PT Imaji Media; b. Penandatanganan surat dokumen penawaran PT Imaji Media; c. Penandatanganan kuitansi uang muka 20 % Nomor 111/Kwt/MJJKT/X/12; d. Penandatanganan
Surat
Jaminan
Uang
Muka
Nomor
PL11630208j.0027.043530 dengan penjamin PT Asuransi
Mega
Pratama; e. Penandatanganan
Surat
Jaminan
Pelaksanaan
Nomor
PL
PL11630208j.0027.043530 dengan nilai sebesar Rp1.170.500.000,00 (satu miliar seratus tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah); f. Pembukaan rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media di BRI KCP Duta Mas Fatmawati dengan nomor rekening: 0525-01-000159-30-6 untuk menampung pembayaran hasil pekerjaan pengadaan videotron; g. Penandatanganan dan pelaksanaan Kontrak atau Surat Perjanjian Kerja Nomor 617/Kont.SM.3/X/2012 dengan Ir. Hasnawi Bachtiar selaku
153
Pejabat Pembuat Komitmen mengenai lingkup pekerjaan pengadaan videotron; h. Penandatanganan akad kredit senilai Rp7.089.000.000,00 (tujuh miliar delapan puluh sembilan juta rupiah) selaku Direktur Utama PT Imaji Media dengan Roro Moninggar, S.E., selaku Pimpinan Cabang Pembantu BRI Duta Mas Fatmawati; i. Pelimpahan pengerjaan pengadaan videotron kepada Riefan Avrian tanpa perjanjian kerjasama kemitraan dan addendum kontrak; j. Penandatanganan surat permintaan pemenuhan pembayaran atas nama Direktur Utama PT Imaji Media untuk pekerjaan pengadaan videotron dengan Nomor 225554A/019/110 sebesar Rp18.728.000.000,00 (delapan belas miliar tujuh ratus dua puluh delapan juta rupiah); k. Pemberian surat kuasa mutlak kepada Riefan Avrian untuk mengambil semua pembayaran pekerjaan pengadaan videotron dari rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media. Bahwa semua tindakan Hendra Saputra yang berdasarkan perintah dan kendali Riefan Avrian dilakukan oleh Hendra Saputra secara sadar dan Hendra Saputra membenarkan telah melakukan tindakan-tindakan hukum yang berkaitan dengan pekerjaan pengadaan videotron tersebut. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan hukum menyimpang yang dilakukan oleh Riefan Avrian dan Hendra Saputra memang diketahui dan dikehendaki oleh keduanya, maka perbuatan dan kesalahan keduanya diatributkan kepada PT Imaji Media, sehingga PT Imaji Media dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Sehubungan untuk dapat dipertanggungjawabkannya secara pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan pemidanaan terhadap korporasi dengan mendasarkan pada Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM, disamping menerapkan teori identifikasi untuk
154
mempertanggungjawabkan PT Giri Jaladhi Wana secara pidana dalam putusan tersebut juga dikuatkan oleh pendapat ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini yang disampaikan dipersidangan yang menyatakan bahwa untuk dapat suatu korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan pengurus korporasi harus dipenuhi syarat-syarat tertentu. Apabila syaratsyarat yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini dijadikan pertimbangan Majelis Hakim untuk dapat mempertanggungjawabkan secara pidana PT Imaji Media atas perbuatan Riefan Avrian sebagai pemilik PT Imaji Media maupun Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media diterapkan dalam perkara Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst dan dihubungkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan, maka dapat penulis uraikan sebagai berikut: a. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi maupun di dalam struktur organinasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi; Menurut penulis dalam hal tindak pidana dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi, menunjuk bahwa tindak pidana itu dilakukan oleh directing mind dari korporasi. Dalam hal korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, sehubungan dengan penentuan directing mind dari PT Imaji Media yang didasarkan pada penerapan teori identifikasi yang dihubungkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa tindakan hukum Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media berkaitan dengan pengadaan videotron berada dibawah perintah dan kendali Riefan Avrian, tindakan-tindakan tersebut meliputi sebagai berikut: 1) Penandatanganan Akta Pendirian PT Imaji Media; 2) Penandatanganan surat dokumen penawaran PT Imaji Media;
155
3) Penandatanganan kuitansi uang muka 20 % Nomor 111/Kwt/MJJKT/X/12; 4) Penandatanganan
Surat
Jaminan
Uang
Muka
Nomor
PL11630208j.0027.043530 dengan penjamin PT Asuransi Mega Pratama; 5) Penandatanganan
Surat
Jaminan
Pelaksanaan
Nomor
PL
PL11630208j.0027.043530 dengan nilai sebesar Rp1.170.500.000,00 (satu miliar seratus tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah); 6) Pembukaan rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media di BRI KCP Duta Mas Fatmawati dengan nomor
rekening:
0525-01-000159-30-6
untuk
menampung
pembayaran hasil pekerjaan pengadaan videotron; 7) Penandatanganan dan pelaksanaan Kontrak atau Surat Perjanjian Kerja Nomor 617/Kont.SM.3/X/2012 dengan Ir. Hasnawi Bachtiar selaku Pejabat Pembuat Komitmen mengenai lingkup pekerjaan pengadaan videotron; 8) Penandatanganan akad kredit senilai Rp7.089.000.000,00 (tujuh miliar delapan puluh sembilan juta rupiah) selaku Direktur Utama PT Imaji Media dengan Roro Moninggar, S.E., selaku Pimpinan Cabang Pembantu BRI Duta Mas Fatmawati; 9) Pelimpahan pengerjaan pengadaan videotron kepada Riefan Avrian tanpa perjanjian kerjasama kemitraan dan addendum kontrak; 10) Penandatanganan surat permintaan pemenuhan pembayaran atas nama Direktur Utama PT Imaji Media untuk pekerjaan pengadaan videotron
dengan
Nomor
225554A/019/110
sebesar
Rp18.728.000.000,00 (delapan belas miliar tujuh ratus dua puluh delapan juta rupiah);
156
11) Pemberian surat kuasa mutlak kepada Riefan Avrian untuk mengambil semua pembayaran pekerjaan pengadaan videotron dari rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media. Maka berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah diuraikan oleh penulis diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa PT Imaji Media dapat melakukan tindak pidana dan dipertanggungjawabkan secara pidana melalui Riefan Avrian yang memiliki hubungan erat dengan PT Imaji Media yaitu sebagai pemilik PT Imaji Media dan yang mengendalikan serta memerintahkan seluruh tindakan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media, dan perbuatan Riefan Avrian dilakukan berkaitan dengan maksud serta tujuan didirikannya PT Imaji Media untuk mendapatkan lelang pengadaan videotron, dalam hal ini Riefan Avrian dapat dipandang sebagai PT Imaji Media atau directing mind dari PT Imaji Media, maka perbuatan dan kesalahan Riefan Avrian dapat diidentifikasikan sebagai perbuatan dan kesalahan PT Imaji Media, oleh karenanya PT Imaji Media dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. b. Tindak Pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi; Penulis dalam hal ini mendasarkan pendapatnya dari penentuan directing mind suatu korporasi dalam teori identifikasi, dimana perbuatan pidana
yang
dilakukan
oleh
directing
mind
suatu
korporasi
mengakibatkan dimintakannya pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi dan sepanjang masih dalam ruang lingkup usaha korporasi. Tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, terkait dengan PT Imaji Media sebagai korporasi pemenang lelang, terungkap fakta hukum di persidangan
157
berdasarkan keterangan Riefan Avrian yang merupakan Direktur Utama PT Rifuel sekaligus pemilik PT Imaji Media, dengan menunjuk Hendra Saputra yang sebenarnya berprofesi sebagai Office Boy (OB) di PT Rifuel untuk menjadi Direktur Utama PT Imaji Media memiliki maksud dan tujuan mendirikan PT Imaji Media untuk mengikuti lelang pekerjaan pengadaan
videotron
di
Kementrian
Koperasi
dan
UKM
dan
memenangkan lelang tersebut. Kemudian untuk mengetahui maksud dan tujuan suatu korporasi sebenarnya dapat diketahui dengan melihat anggaran dasar korporasi, penulis dalam perkara ini tidak menemukan anggaran dasar dari PT Imaji Media untuk mengetahui maksud dan tujuan PT Imaji Media berdasarkan bidang usahanya yang tercantum dalam anggaran dasar. Menurut penulis maksud dan tujuan PT Imaji Media dapat diketahui dari maksud dan tujuan didirikannya PT Imaji Media berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan yaitu untuk mengikuti dan memenangkan lelang pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, sehingga secara tidak langsung dapat diketahui bahwa PT Imaji Media bergerak di bidang usaha pengadaan barang dan atau jasa. Maka Surat Perjanjian Kerja Nomor 617/Kont.SM.3/X/2012 tentang lingkup pekerjaan pengadaan videotron adalah dalam ruang lingkup bidang usaha PT Imaji Media. c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi; Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dibebankan kepada korporasi apabila pelaku yang melakukan perbuatan dalam rangka tugasnya dalam korporasi. Berdasarkan penjelasan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
158
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa: “Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”. Berdasarkan rumusan Pasal 20 ayat (2) tersebut diatas diketahui bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, memperhatikan frase berdasarkan hubungan kerja mencerminkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh pengurus korporasi, sedangkan berdasarkan hubungan lain adalah mencerminkan orang-orang yang memiliki hubungan lain dengan korporasi selain hubungan kerja, yaitu seperti halnya Riefan Avrian yang berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan terbukti sebagai pemilik PT Imaji Media, walaupun namanya tidak tercantum dalam anggaran dasar PT Imaji Media sebagai pengurus maupun komisaris PT Imaji Media, akan tetapi kedudukan Riefan Avrian sebagai pemilik PT Imaji Media sangat
menentukan
arah
kebijakan
PT
Imaji
Media
dengan
memanfaatkan Hendra Saputra yang ditunjuk oleh Riefan Avrian sebagai Direktur Utama PT Imaji Media, sehingga seluruh tindakan hukum Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media berkaitan dengan proyek pengadaan videotron berada dibawah perintah dan kendali Riefan Avrian. Oleh karena itu, kedudukan Riefan Avrian sebagai pemilik PT Imaji Media berdasarkan fakta hukum yang terungkap dipersidangan, Riefan Avrian dapat memerintahkan dan mengendalikan seluruh tindakan hukum Hendra Saputra dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Direktur Utama PT Imaji Media berkaitan dengan proyek pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM.
159
d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi; Sehubungan dengan kriteria adanya pertanggungjawaban pidana korporasi adalah perbuatan yang dilakukan oleh directing mind dari korporasi dilakukan untuk kepentingan korporasi. Kepentingan korporasi dalam hal ini dapat berupa manfaat atau keuntungan yang diperoleh korporasi dari tindak pidana yang dilakukan oleh directing mind dari korporasi. Dalam hal ini, pelaku fisik yang melakukan tindak pidana juga dapat memperoleh keuntungan disamping adanya manfaat yang diperoleh korporasi, dalam konteks ini tetap saja korporasi yang bersangkutan harus bertanggung jawab secara pidana. Dapat dikatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan directing mind dari korporasi untuk kepentingan korporasi, walaupun directing mind dari korporasi juga memperoleh keuntungan
pribadi,
dalam
hal
ini
korporasi
tetap
dipertanggungjawabkan secara pidana. Tindak Pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, pada unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa Hendra Saputra telah terbukti memperkaya orang lain dan korporasi yaitu Riefan Avrian dan PT Imaji Media. Disamping itu, atas perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan Hendra Saputra atas perintah dan kendali Riefan Avrian berkaitan dengan proyek pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, Hendra Saputra telah menerima bonus sebesar Rp19.000.000,00 (sembilan belas juta rupiah) dari Riefan Avrian. Keuntungan yang diperoleh PT Imaji Media dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa Hendra
160
Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media atas perintah dan kendali Riefan Avrian, yaitu terbukti dari adanya kerugian yang dialami negara atas pembayaran pekerjaan pengadaan videotron terhadap adanya pekerjaan yang tidak dikerjakan dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak, pembayaran tersebut mengalir pada PT Imaji Media. Oleh karena itu, dengan keuntungan yang diterima oleh PT Imaji Media, Riefan Avrian dan Hendra Saputra terkait dengan tindak pidana korupsi pengadaan videotron, maka terhadap PT Imaji Media dalam hal ini tetap dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. Dalam doktrin hukum pidana adanya alasan pembenar berujung pada pembenaran atas tindak pidana yang bersifat melawan hukum, selanjutnya adanya alasan pemaaf berdampak pada pemaafan pelaku tindak pidana sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum (Mahrus Ali, 2013:160). Dengan demikian tidak adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf pada directing mind dari korporasi dalam tindak pidana korupsi maka korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Mengenai tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, menurut penulis dengan penerapan teori identifikasi yang menentukan Riefan Avrian sebagai directing mind dari PT Imaji Media, maka tidak adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf pada diri Riefan Avrian dapat diidentifikasikan sebagai tidak adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf pada PT Imaji Media, oleh karenanya PT Imaji Media dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Disamping itu pada diri Riefan Avrian telah dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus
161
juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan, maka dijatuhkannya pidana terhadap Riefan Avrian membuktikan bahwa pada diri Riefan Avrian yang merupakan directing mind dari PT Imaji Media tidak terdapat alasan pembenar dan alasan pemaaf. Bahwa berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan oleh penulis, untuk dapat mempertanggungjawabkan secara pidana korporasi dalam hal ini PT Imaji Media yang terbukti bahwa pendiriannya memiliki maksud dan tujuan serta dikendalikan untuk digunakan melakukan kejahatan, maka penerapan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi tepat digunakan untuk menjerat hukum atas tindakan PT Imaji Media. Penempatan PT Imaji Media sebagai terdakwa dapat didasarkan pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa: “dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya”. Penempatan korporasi (PT Imaji Media) sebagai terdakwa lebih tepat dibandingkan hanya menuntut pelaku individualnya saja yaitu Riefan Avrian dan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media. Selanjutnya, adanya suatu pertanggungjawaban pidana korporasi harus didasarkan pada penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi. Bahwa Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menganut teori identifikasi dan teori aggregasi, terkait dengan teori identifikasi untuk menentukan bahwa perbuatan dan kesalahan seseorang dianggap sebagai perbuatan dan kesalahan korporasi haruslah berasal dari
162
perbuatan dan kesalahan directing mind dari korporasi untuk dapat mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana. Bahwa berdasarkan penentuan yang menjadi otak dan pikiran atau directing mind dari PT Imaji Media, penulis dengan mendasarkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan menentukan bahwa Riefan Avrian merupakan directing mind dari PT Imaji Media, sehingga perbuatan dan kesahalan Riefan Avrian merupakan perbuatan dan kesalahan PT Imaji Media yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap PT Imaji Media. Berdasarkan penerapan teori aggregasi yang menentukan bahwa perbuatan dan kesalahan orang-orang yang relevan berada dilingkungan korporasi dikumpulkan atau dijumlahkan sebagai perbuatan dan kesalahan satu orang saja dan diatributkan kepada korporasi. Dalam korupsi pekerjaan pengadaan videotron, perbuatan dan kesalahan Riefan Avrian dan Hendra Saputra sebagai orang yang memiliki hubungan erat dengan PT Imaji Media maka perbuatan dan kesalahan keduanya dapat dikumpulkan atau dikombinasikan untuk diatributkan kepada PT Imaji Media, sehingga PT Imaji Media dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dengan demikian menurut penulis, prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan sebagai dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam
Putusan
Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM
untuk
mempertanggungjawabkan secara pidana PT Giri Jaladhi Wana dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin yaitu penerapan teori identifikasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Majelis Hakim yang mengadili Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst seharusnya
dapat
mendasarkan
pertimbangan
hukumnya
untuk
mempertanggungjawabkan PT Imaji Media dalam tindak pidana korupsi
163
pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM juga dengan menerapkan teori identifikasi. Menurut penulis, sebenarnya aparat penegak hukum dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan dan Majelis Hakim dalam memberikan pertimbangan hukumnya pada saat menangani tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM
dapat
menerapkan
prinsip-prinsip
pertanggungjawaban
pidana
korporasi dalam teori identifikasi dan teori aggregasi yang dianut Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dihubungkan dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi serta mendasarkan pada Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM terkait pemidanaan terhadap korporasi untuk menjerat hukum dan mempertanggungjawabkan PT Imaji Media secara pidana.