BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, KAJIAN PUSTAKA DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Konsep Istilah konsep berasal dari bahasa Latin conceptum artinya sesuatu yang dipahami. Soetriono dan Hanafie (2007:142) mengemukakan konsep adalah istilah atau simbol-simbol yang mengandung pengertian singkat dari fenomena. Koentjaraningrat (1985:4) memberi pengertian konsep sebagai deskripsi singkat dari sekelompok fakta atau gejala. Oleh karenanya dalam penelitian ini konsep membantu pemahaman peneliti dalam melakukan kajian Tradisi lisan cenggok-cenggok dalam upacara adat perkawinan Melayu Panai Labuhanbatu Sumatera Utara . Konsep-konsep yang berkaitan dengan penelitian ini adalah : 2.1.1
Tradisi
Tradisi berasal dari kata traditium yang berarti segala sesuatu yang diwarisi dari masa lalu (Murgiyanto, 2004:2). Lebih lanjut, Murgiyanto menambahkan bahwa tradisi akan tetap dilakukan dan diteruskan selama pendukungnya masih melihat manfaat dan masih menyukainya. Sebagai milik masyarakat tradisi dipahami sebagai kebiasaan turun temurun yang diatur dalam nilai-nilai atau norma-norma yan ada dalam masyarakat. Tradisi merupakan sesuatu yang diturunkan dari warisan nenek moyang yang dijalankan oleh masyarakat. Tradisi mencakup hasil cipta dan karya manusia, kepercayaan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut Finnegan (1992:7) tradisi digunakan sebagai istilah umum dan
19 Universitas Sumatera Utara
istilah khusus bagi antropolog, peneliti folklor dan sejarawan lisan. Makna tradisi dapat digunakan dalam ujaran keseharian sebagai kebudayaan, sebagai keseluruhan, cara-cara melakukan sesuatu berdasar metode yang telah ditentukan, proses pewarisan praktek, ide, atau nilai; produk yang diwariskan; dan sesuatu yang berkonotasi lampau. Sesuatu yang disebut dengan tradisi umumnya tidak ditulis yang menjadi milik keseluruhan komunitas bukan milik individu atau kelompok tertentu. Selanjutnya, Esten (1999:21) mendefinisikan bahwa tradisi adalah kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Ditegaskan oleh Esten lebih lanjut bahwa tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau keagamaan. Hosbown lebih jauh mengemukakan dalam bukunya yang berjudul ”The Invention of Tradition” bahwa tradisi dapat menjadi bentuk yang berbeda karena adanya penciptaan tradisi itu sendiri. Ditambahkan oleh Hosbown lagi bahwa penciptaan tradisi dipahami sebagai proses dialogis antara orientasi ke luar dengan orientasi ke dalam. Pada perkembangan berikutnya, penciptaan tradisi dipahami secara luas antara lain tradisi yang diciptakan, dibangun dan terlembagakan. Adanya legitimasi dari
tradisi lama yang disebutkan diatas dapat memunculkan
tradisi yang baru yang dapat berupa hasil dari adaptasi, reinterpretasi, rekontekstualisasi terhadap situasi yang sedang berkembang dalam sebuah
20 Universitas Sumatera Utara
masyarakat. 2.1.2 Tradisi Lisan Tradisi lisan adalah tradisi yang di sampaikan secara lisan dari generasi ke generasi. Tradisi lisan merupakan segala wacana yang diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara yang semuanya disampaikan secara lisan, baca (Pudentia, 2007:27). Sejalan dengan itu Ong (1988:3) menyatakan “kelisanan suatu budaya yang sepenuhnya tak tersentuh pengetahuan apapun mengenai tulisan atau cetakan sebagai kelisanan primer”. Dalam pandangan Vansina (1985:27), tradisi lisan merupakan pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini, kemungkinan dituturkan atau dinyanyikan dengan atau tanpa diiringi musik. Tradisi lisan menurut Lord (2000:1) adalah sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat. Batasan tradisi lisan ini memberikan isyarat dalam menyampaikan tradisi lisan unsur melisankan bagi penutur dan dan unsur mendengarkan bagi penerima menjadi kata kuncinya. Si penutur tidak menuliskan apa yang dituturkan dan penerima tidak membaca apa yang diterima. Menurut Pudentia (2009:59) tradisi lisan diartikan sebagai sesuatu hal yang ditransmisikan melalui tuturan meliputi yang beraksara dan tak beraksara. Tradisi lisan tidak hanya terdiri atas cerita rakyat (folklore) maupun berbagai jenis cerita lainnya, tetapi juga berbagai hal yang yang menyangkut sistem pengetahuan lokal, sistem genelogi, sejarah, hukum, lingkungan, alam semesta, adat-istiadat, tekstil, obat-obatan, religi,
21 Universitas Sumatera Utara
kepercayaan, nilai-nilai moral, bahasa seni dan sebagainya. Tradisi lisan membicarakan konteks masyarakat sebagai penghasil tradisi yang bersangkutan dan masyarakat sebagai penikmatnya. Studi kelisanan tidak selalu disusun dalam acara-acara yang sesuai dengan analisis strukturalis yang dapat diterapkan pada suatu tradisi lisan. Struktur kelisanan kadang-kadang runtuh meskipun keadaan itu tidak perlu menghalangi penutur yang piawai. Garis naratif yang lurus tidak begitu bisa diterapkan dalam penyampaian lisan dibanding dengan komposisi tulis. Komposisi lisan dilaksanakan dengan inti informasional yang tidak menunjukkan susunan yang biasanya dikaitkan dengan pikiran si penutur meskipun sedikit banyaknya dipengaruhi oleh penutur lain (Ong, 1982:165). 2.1.3
Performansi Membicarakan tradisi lisan, tentu tidak akan terlepas dari konteks
pementasan atau performansinya. Sehubungan dengan hal tersebut, selain berbicara tentang formula sebagai ciri utama kelisanan, Lord (1981: 13-29) menekankan aspek-aspek kelisanan puisi Yugoslavia berupa komposisi, performansi dan transmisi. Dikemukakannya lagi, bagi penyair lisan, pembuatan komposisi dilakukan saat ia melakukan performansi (pertunjukan) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal yang dilakukan pada saat bersamaan . Dalam bukunya The Singer of Tales (1981), ia memberi deskripsi eksplisit mengenai konsep komposisi, performansi, dan transmisi. Menurutnya
22 Universitas Sumatera Utara
bagi penyair lisan, pembuatan komposisi dilakukan saat ia melakukan performansi (pertunjukan) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal yang dilakukan pada saat bersamaan. Lebih lanjut Lord mengatakan
bahwa tidak ada komposisi, tetapi ada di
dalam performansi (1981: 13). Menurutnya
ada tiga tahap dalam proses
komposisi, yaitu peletakan pondasi dengan cara mendengarkan atau melakukan penyerapan, penerapan atau aplikasi, dan pelantunan di hadapan pendengar. Ditambahkannya
bahwa proses komposisi tersebut dilanjutkan dengan
proses
mengakumulasi, mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang telah ada. Para penyair lisan dalam melantunkan puisi lisan (lagu) tidak akan sama persis, meskipun bersumber dari puisi lisan yang sama. Hal ini disebabkan karena penyair lisan hanya menghafal formulanya saja, sehingga dalam performansi terdapat perubahan dan penambahan. Dengan demikian, hal semacam ini dapat memberi penegasan tentang proses yang terjadi dalam proses transmisi dalam tradisi lisan. Lord dalam bukunya The Singer of Tales (1981), tidak memberi deskripsi eksplisit mengenai konsep komposisi, performansi, dan transmisi; tetapi justru Finnegan, dengan berpijak pada paparan Lord, mendeskripsikan secara eksplisit ketiga konsep tersebut. Menurut Finnengan komposisi dimaksudkan sebagai suatu cara atau proses penciptaan sastra lisan atau cara sastra lisan disusun atau dihidupkan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang penciptaan,
23 Universitas Sumatera Utara
seperti keterkaitannya dengan faktor individu dan kolektif, keterkaitannya dengan performansi, keterkaitannya dengan memorisasi, keterkaitannya dengan teks-pasti dan teks-bebas. Pembicaraan mengenai komposisi yang diungkapkan oleh Lord tersebut, kemudian diuraikan Nagy (2001) sebagai lanjutan dari apa yang selama ini menjadi pertanyaan Parry dan Lord dalam mengkaji puisi Homer.
Hal
terpenting dari hasil analisis Nagy (2001: 3-10) adalah ia merumuskan tentang apa yang pernah dilakukan oleh Parry dan Lord, menjadi sepuluh kelompok konsep yang menjadi unsur terpenting dalam mengkaji sebuah tradisi lisan. Menurut Nagy, sepuluh unsur yang harus dipertimbangkan dalam mengkaji komposisi tradisi lisan adalah : (1) fieldwork, (2) syncrony vs diachrony, (3) composition-in-performance, (4) diffusion, (5) theme, (6) formula, (7) economy (thrift),(8) tradition vs innovation, (9) unity and organization, and (10) author and texs. Diperlukan pendekatan sinkronis dan diakronis (syncrony vs diachrony) untuk
melihat
perkembangan
dan
variasi
satu
tradisi
(tradition
vs
innovation).Perspektif sinkronis berkaitan dengan kerja lapangan (fieldwork) kajian sastra lisan pada saat disajikan dengan tujuan menggambarkan sistem aktual yang hidup terus menerus oleh sebuah tradisi (Nagy, 2001: 3-4). Sedangkan pendekatan diakronis dilakukan untuk melihat bagaimana tradisi tersebut, sejak pertama kali disajikan hingga sekarang.
24 Universitas Sumatera Utara
Pendekatan ini dimaksudkan bukan untuk mengklasisfikasi sejarahnya sebagaimana ilmu lain seperti filologi, sejarah sastra, ataupun ilmu kritik sastra. Karena sifat tradisi lisan dinamis dan komposisi disajikan pada saat penyajian (composition-in-performansi) (Lord, 1981: 13), maka prinsip diakronis diperlukan untuk melihat variasi yang muncul dan selalu berbeda disetiap penyajian. Dengan kata lain tradisi lisan bukan objek mati, tetapi justru merupakan tradisi komunikasi yang berbentuk dan berubah dalam interaksi antara penyampai (author) dan khalayak. Dari interaksi ini, terjadilah proses penyebaran (diffusion), baik pengetahuan maupun informasi yang diperoleh dari teks lisan. Ditegaskan
kembali
oleh
Nagy
bahwa
selama
ini
telah
terjadi
kesalahpahaman peneliti sastra lisan yang menganggap bahwa konsep yang ditemukan oleh Parry dan Lord adalah teori sastra lisan. Menurutnya, sastra ataupun puisi adalah satu “fakta” yang diketahui dari hasil kerja lapangan. Dari hasil analisis tersebut, Nagy mengatakan bahwa tanpa performansi tradisi lisan tidak akan tersaji dalam bentuk lisan. Tanpa performansi, gagasan utama tradisi lisan akan kehilangan keutuhan (unity and organization) dan integritasnya. Berkaitan
dengan performansi, perlu juga melihat pemikiran yang
dikemukakan oleh Ruth Finnengan. Walaupun ia adalah seorang antropolog, Finnengan memperlihatkan hasil kajian di bidang lain berupa seni pertunjukan dan tradisi lisan. Dalam bukunya Oral Poetry: Its Nature,Significance and
25 Universitas Sumatera Utara
Social Contexs (1991), ia
mengungkapkan bahwa terdapat tiga aspek penting
yang harus diperhatikan dalam mengkaji penyajian sastra lisan yaitu (1) composition, suatu proses bentuk-bentuk lisan dikomposisi (digubah) dengan mempertimbangkan relasi antara tradisi dan kreasi individual yang mampu mengembangkannya ke dalam beberapa dimensi yang berbeda, budaya, dan gendre yang beragam seperti gaya (bahasa), isi, musik, plot, ideologi ataupun ciri khas penyajian itu sendiri, (2) transmission, yaitu proses regenerasi ataupun proses penyeleksian terhadap individual tertentu yang akan mewarisi dan melanjutkan tradisi lisan tersebut, dan (3) audience, yaitu unsure khalayak atau penikmati yang menentukan sukses tidaknya sebuah performansi. Lebih lanjut, Finnengan (1992: 91-111) menguraikan lebih luas bahwa pada sejumlah gagasan dan teori yang overlapping yang berkaitan dengan karya seni dan ekspresi lisan. Tapi, pendekatan pada performansi cenderung dapat dijadikan sebagai ide sentral untuk mengkaji bagaimana kegiatan masyarakat pemiliknya berkaitan dengan budaya lisan itu sendiri. Dalam pendekatan etnografi, performansi dapat dipandang sebagai satu “lahan” lain di samping teks sebagai salah satu unit deskripsi dan analisis yang fundamental dalam mendukung kerangka kerja empiris bagi pemahaman terhadap sastra lisan. Etnografi sebagai
sebuah pendekatan, menaruh perhatian pada tingkah
laku yang aktual pada saat penyajian lisan yang bersifat artistik dalam kehidupan masyarakat tertentu. Beberapa komponen yang berperan dalam penyajian adalah
26 Universitas Sumatera Utara
penyaji (performer), audience, situasi dan pengorganisasian penyajian yang didukung oleh media seperti musik, tempat dan waktu penyajian (Bauman, 1993: 3). Finnegan dalam buku Oral Tradition and Verbal Art (1992),
memperkaya
tiga aspek di atas dengan membagi aspek audience menjadi empat kelompok, yaitu (1) primary audience, yaitu orang yang berkepentingan dengan pelaksanaan tradisi lisan, (2) secondary audience, yaitu orang yang tidak hanya hadir untuk sekedar menikmati penyajian, tetapi juga merekam dan mengambil gambar dokumentasi, (3) integral audience, yaitu orang yang memang wajib untuk datang karena penyajian adalah satu bagian tertentu yang sudah melekat dalam diri dan kesehariannya, dan (4) accidental audience, yaitu orang (kelompok) yang mendapat informasi dari pemberitaan lisan ataupun media massa (hlm. 98-100) Lebih jauh, Finnengan juga memberikan sejumlah panduan yang dapat diaplikasikan
dalam
menganalisis
dan
membandingkan
teks
dengan
memperhatikan aspek gaya, struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan melalui
penerjemahan,
pendeskripsian,
dan
presentasi.
Selanjutnya,
ia
mengatakan bahwa performansi adalah suatu peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik. Pertunjukan memiliki model tindakan dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami. Tindakan komunikasi diperagakan, diperkenalkan dengan objek luar, dan dibangun dari lingkungan
27 Universitas Sumatera Utara
kontekstualnya. Pertunjukan budaya merupakan konteks pertunjukan yang menonjolkan suasana komunitas, yang berkaitan dengan ruang dan waktu. Hal yang sama juga dikemukan oleh Fine bahwa ada tiga fokus yang perlu diperhatikan dalam kajian performansi sastra lisan, yaitu (1) sebagai model estetika dan gaya komunikasi, 2) berhubungan dengan peristiwa tertentu, 3) budaya khusus dan varibel dari studi lintas-budaya (Fine, 1984: 58). Oleh karena itu, metode penelitian sastra lisan, harus diarahkan dalam dua aspek, yang pertama adalah berkaitan dengan konten atau isi dari tradisi lisan, dan kedua adalah berhubungan dengan performansi yang merupakan ruang tersendiri yang memiliki hubungan dengan model komunikasi khusus yang berbeda dengan pidato, antara performer dengan pendengarnya. Selain itu, performansi sastra lisan juga merupakan ruang ekspresi budaya yang berhubungan dengan peristiwa budaya tertentu di dalam suatu masyarakat. Performansi juga merupakan variasi budaya yang penting dalam studi lintas budaya. Oleh karena itu, kajian mengenai performansi sastra lisan merupakan kekayaan kajian di masa yang akan datang. Lebih lanjut , Finnegan mengatakan bahwa performansi dalam tradisi lisan dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1) performansi yang ditampilkan di hadapan audiens, dan performansi yang tidak ditampilkan di hadapan audiens sesuai dengan kondisi tertentu. Model performansi pertama dimanfaatkan untuk tujuan hiburan, dan model kedua dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Ia juga mengatakan bahwa dalam
28 Universitas Sumatera Utara
performansi melibatkan unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan), audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), serta media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material). Konsep performansi yang digunakan dalam kajian ini aspek-aspek kelisanan dari sebuah penyajian tradisi lisan diantaranya komposisi, transmisi, dan audience. Analisis mengenai aspek-aspek tersebut dapat dianalisis melalui prespektif sinkronis dan diakronis sehingga ditemukan perubahan-perubahan yang muncul, baik dalam teks maupun dalam performansi tradisi lisan itu sendiri. Selanjutnya menurut Sulkarnaen (2010:90) tindakan pertunjukan dalam tradisi lisan merupakan bagian dari peritiwa sosial tertentu yang turut menentukan makna pertunjukan. Seni pertunjukan berbeda dengan cabang seni yang lain, ia bukanlah seni yang ”membenda”. Seni pertunjukan dimulai dan selesai dalam waktu tertentu dan tempat tertentu pula,sesudah itu tak ada lagi wujud seni pertunjukannya. Seni pertunjukan terjadi hanya sekali, pertunjukan yang lain adalah ”wujud” seni yang lain, meskipun materi seninya tetap sama. Seni pertunjukan diajarkan atau diwariskan secara lisan oleh guru kepada muridnya (biasanya bapak kepada anaknya) dengan langsung melihat, mendengar, meniru dan melakukannya (guru panggung ). Kelisanan seni pertunjukan menjadi multi tafsir, sehingga penambahan, pengurangan, pengubahan bisa terjadi hanya dalam satu atau dua generasi. Budaya lisan menyebabkan tumbuhnya varian suatu jenis seni pertunjukan berkembang antara satu daerah dengan daerah lain, antara satu kurun
29 Universitas Sumatera Utara
waktu. Jika dipandang dari konteksnya semua seni pertunjukan yang ada di Indonesia sejak dahulu yang sampai sekarang masih hidup (living tradition) adalah hasil dari konteks sosio budaya masa lalu bangsa Indonesia. Perubahan terjadi apabila masyarakat pendukung atau pewarisnya mengalami perubahan , dan perubahan terjadi jika suatu seni pertunjukan dipentaskan di wilayah lain atau konteks lain. Mengkontekstualisasikan seni pertunjukan Indonesia merupakan tugas intelektual seni yang lahir dari institusi pendidikan dengan menjelaskan makna dan fungsi seni. Wujud dari seni pertunjukan ini selalu diselenggarakan untuk alasan-alasan yang berhubungan dengan upacara peralihan 1 (rites de passage, rites of passage). Konteks upacara dalam sebuah seni pertunjukan akan melakonkan apa yang menjadi fenomena yang dialami masyarakatnya. Antara seni pertunjukan dan upacara dapat kita bedakan dimana salah satunya adalah ritus sebagai bentuk pertunjukan asli, sedangkan upacara terdiri dari bermacam-macam jenis upacara yakni, 1. Upacara Besar
1
Upacara peralihan atau Rite of passage menurut antropolog adalah ritual yang dilakukan hanya
sekali yang dilakukan sebagai petunjuk bahwa seseorang telah mengalami masa peralihan. Antropolog Arnold Van Gennep, menganalisis bahwa upacara ritual peralihan ini akan membawa manusia melintasi krisis yang menentukan dalam hidupnya, seperti kelahiran, pubertas, pernikahan, menjadi ayah atau ibu, naik ke kelas yang lebih tinggi spesialisasi pekerjaan dan kematian (Soekadijo, 1993: 207). Victor Turner menjelaskan karya Arnold Van Gennep tentang upacara perjalanan sebagai ritual yang menandai perubahan keadaan, khususnya upacara krisis kehidupan. Rirual-ritual tersebut sering disimboliskan sebagai kelahiran kembali atau kelahiran baru, untuk mencapai status baru dengan mematikan atau menghilangkan status lama ( Connolly (ed), 2002: 48).
30 Universitas Sumatera Utara
Dilakukan oleh semua kelompok suku atau negara secara kolektif dan periodik (jangka waktu lama). 2. Upacara Harian Dilakukan oleh keluarga secara individu maupun kelompok, secara individual maupun kolektif. Adapun bentuk-bentuk upacara mempunyai tujuan tertentu antara lain, (a) Menceritakan kembali mitos asal muasal (b) Mementaskan atau mendramatisasi mitos (c) Menyelenggarakan upacara adat (d) Menyelenggarakan perayaan-perayaan atau pesta (e) Mengadakan kurban (f) Tari menari yang menghadirkan tata alam, dan sebagainya.
2.1.4
Teks, Konteks, dan Koteks
2.1.4.1 Teks Sibarani dan Talhah (2015) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan teks adalah teks tertulis, teks lisan, dan teks pertunjukan. Teks tertulis adalah teks yang ditemukan dalam bentuk tulisan yang bersifat tetap karena direkam dalam tulisan. Teks lisan adalah teks yang dilisankan atau diucapkan saat pertunjukan. Teks lisan ini sangat lentur, tergantung sekali pada saat pertunjukan. Teks lisan bisa menjadi teks tertulis jika ditranskripsi ke dalam bentuk tulisan.
31 Universitas Sumatera Utara
Teks ini tidak berdiri sendiri di dalam seni tradisi, tetapi wujudnya selalu muncul dalam setiap pertunjukan. Pertunjukan merupakan objek tontonan yang melibatkan pelaku dan penonton. Sebuah upacara ritual yang masih dianggap sakral, juga melibatkan publik yang mungkin hanya menonton atau pada saat tertentu, ikut terlibat. Oleh karenanya, peristiwa sosial semacam itu menjadi pertunjukan dan dibaca sebagai teks pertunjukan. Pada teks pertunjukan terdapat unsur verbal dan nonverbal. Unsur verbal berbentuk bahasa yang diucapkan oleh penyanyi, pemantun, dan pepantun saat kelompok kesenian cenggok-cenggok mengadakan pertunjukan. Menurut Fox (1986:44) teks sebagai wadah makna yang memaparkan dunia ide, dalam setiap teks terdapat seperangkat hubungan internal yang mengatur koherensinya, hubungan asosiatif yang menghubungkannya dengan teks-teks lain dalam sebuah korpus budaya, acuan yang menunjuk pada satuan-satuan tertentu, dan kondisi di luar teks itu sendiri. Koherensi internal, pola asosiatif, dan tata acuannya membentuk struktur komunikatif teks dan interaksi yang rumit antara hubungan teks yang satu dan hubungan teks yang lain itu berdasarkan asumsi budaya para penuturnya. 2.1.4.2 Ko-teks Koteks merupakan bagian penting dalarn memberikan pemaknaan terhadap teks tradisi lisan. Dalam tradisi lisan, sebuah teks seringkali didampingi oleh unsur-unsur nonverbal yang disebut dengan “ko-teks” (co-text) Ko-teks bisa saja
32 Universitas Sumatera Utara
terdiri atas paralinguistic (suprasegmental), kinetic (gerak isyarat), prosemic (penjagaan jarak), dan unsur-unsur material atau benda-benda yang digunakan untuk mengana1isis tradisi lisan yang berbentuk upacara. 2.1.4.3 Konteks Konteks mempunyai peranan penting dalam pengkajian makna sebuah teks wacana. Bertalian dengan fungsinya dalam konteks, menurut Osch (1988:8), wacana merupakan seperangkat makna yang menghubungkan struktur bahasa dengan konteks yang melatarinya yang dirajut oleh penutur dan pendengar dalam proses memproduksi dan menafsirkan makna. Dalam tradisi lisan konteks memberikan keutuhan pemaknaan sebuah tradisi. Pertunjukan tradisi lisan akan memiliki interpretasi yang berbeda apabila konteksnya berbeda. Konteks adalah segala keadaan atau kondisi yang berada di sekitar suatu tradisi lisan yang membuat tradisi itu hidup dan tercipta. Melalui konteks pemahaman terhadap keseluruhan tradisi lisan tercipta. Konteks dapat dipilah atas konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi adalah lingkungan langsung tempat sebuah teks berfungsi dengan unsur pembentuknya mencakupi pembicara dan pendengar, pesan, latar atau situasi, saluran, dan kode. Konteks budaya merujuk pada kumpulan pengetahuan, sikap dan perilaku bahasa milik bersama, suatu kelompok masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang sistematis dari prinsip-prinsip budaya, pola komunikasi antaranggota masyarakat, wujud sikap, pola perilaku lain secara bersama-sama
33 Universitas Sumatera Utara
berterima dan berlaku dalam realitas kehidupan suatu guyub budaya tertentu (Hesselgrave dan Edward, 1989:200). Konteks dalam tradisi lisan dapat diketahui dengan memahami di mana, kapan, siapa, dan untuk apa tradisi lisan itu dipertunjukkan. Selain itu, yang juga termasuk dalam konteks adalah keyakinan apa yang ada dalam pertunjukan itu dan apa fungsinya. Konteks yang ada berkaitan dengan konteks situasi, konteks budaya, konteks sosial, dan konteks ideologi. Konteks situasi adalah yang
berkaitan
dengan waktu, tempat, suasana, dan cara; konteks budaya berkaitan dengan siklus mata pencaharian, siklus kehidupan; konteks sosial adalah jenis kelamin, pendidikan, usia, stratifikasi sosial, dan etnis; dan konteks ideologi menyangkut paham, pengetahuan, aliran, keyakinan, dan latar belakang (Sibarani dan Talhah, 2015:25). 2.1.5
Konsep Formula Formula diwujudkan dalam bentuk kata, frasa, klausa, dan larik atau baris.
Untuk menciptakan unsur-unsur tersebut, pencerita menggunakan daya ingatnya yang biasanya dilakukan melalui analogi atau perumpamaan. Menurut Tuloli (1994:15), ide dan formula itu adalah apa yang ada dalam pikiran pencerita yang bisa berbentuk; (1) sifat-sifat sesuatu benda atau manusia, (2) perasaan-perasaan tertentu seperti kasih sayang, benci, dan sindiran, dan (3) menunjukkan nama tokoh, kegiatan khusus, waktu, dan tempat.
34 Universitas Sumatera Utara
Niles (1981:398) menjelaskan lebih lanjut bahwa formula adalah hasil dari suatu sistem formulaik. Dasar bagi penyair/pencerita untuk mengekspresikan makna dalam cerita secara tepat dalam bentuk metrik tertentu merupakan fungsi dari sistem formulaik. Formula mengikuti susunan yang mengikuti pola-pola tertentu dalam bentuk komposisi. Formula memiliki berbagai jenis. Storl yang dikutip oleh Tuloli (1994:16) mengemukakan penjenisan formula. Menurutnya penjenisan formula meliputi (1) formula kata demi kata yaitu pengulangan yang tepat, (2) formula yang salah satu unsur variabelnya (hanya satu unsur yang diulang tetap), (3) formula yang kedua unsurnya (yaitu paruhan awal dan akhir) variabel atau dengan kata lain keseluruhannya hanya dibangun dengan pola-pola struktural, dan (4) formula struktural tunggal. Lebih jauh, Tuloli (1994:20) membagai formula dalam empat kategori, yakni (1) formula satu baris, (2) formula setengah baris, (3) formula yang salah satu unsurnya variable, dan (4) formula afiks pada baris-baris yang terdiri dari satu kata. Selanjutnya, Tuloli (1990:16) mengemukakan bahwa setiap pencerita atau tukang tutur telah menguasai bentuk-bentuk formula yang siap pakai untuk mempermudah dan memperlancar penciptaan cerita. Batasan formula dikemukakan oleh Lord (2000:30) sebagai, “ a group of words which is regularly employed under the same metrical conditions to expres a given essential idea” (sekelompok kata-kata yang dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu ide yang hakiki). Menurut Lord (2000:4) formula mempunyai hubungan yang erat dengan tema yang didefinisikan
35 Universitas Sumatera Utara
sebagai “ the repeated incident and descriptive passages in the traditional song” Tema mengalami perkembangan secara terus menerus dalam pikiran pencerita. Pencerita menguasai rangkaian adegan tertentu yang ditambah atau dikurangi ketika dipertunjukkan atau ditampilkan. Tema yang ada bisa yang lama dan bisa yang baru. Tema juga bisa diambil dari kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi atau yang hanya dalam khalayan, mite, legenda, dan dongeng. Peristiwa yang benar-benar terjadi dan khalayan itu kemudian diberikan gaya tambahan sedemikian rupa sehingga menjadi indah ketika dipertunjukkan. Formula memiliki fungsi yang penting dalam cerita atau nyanyian. Tuloli (1994:21) menjelaskan fungsi formula, yaitu (1) mempermudah daya ingat tukang cerita yang utuh pada saat penampilan atau yang disebut dengan skema oleh Sweeney, (2) mempermudah pencerita untuk menyusun baris-baris yang sama polanya dalam waktu yang singkat pada saat bercerita, (3) memperindah cara penceritaan karena irama akan teratur oleh adanya pengulangan formula-formula pada pola-pola baris yang sama, dan (4) pencerita melahirkan arti atau makna cerita secara tepat dalam baris atau bentuk sintaksis dan ritme tertentu. Konsep formula dan formulaik merupakan teori yang pertama kali dipopulerkan oleh Parry dan Lord. Dalam perkembangannya, teori ini kemudian dikenal sebagai teori formula Parry-Lord. Dikatakan sebagai
teori formula
Parry-Lord karena ide dasar teori tersebut muncul dari Parry kemudian disempurnakan oleh muridnya Lord. Pemikiran mengenai formula, bermula dari
36 Universitas Sumatera Utara
temuan Milman Parry mengenai komposisi yang ada dalam tradisi lisan yang dinyanyikan oleh Homer. Ia menemukan bahwa komposisi puisi-puisi Yunani Kuno yang ada dalam Illiad dan Odissey yang dinyanyikan oleh Homer merupakan suatu yang istimewa. Parry kemudian mempertanyakan siapa sesungguhnya Homer yang mampu menyusun komposisi yang begitu indah dan panjang, serta bagaimana ia menyusun komposisi tersebut, pada hal Homer tidak mengenal tulisan. Rasa penasaran ini kemudian membawa Parry pada sebuah ketetapan bahwa karya Illiad dan Odissey merupakan hasil kreasi kolektif dari sejumlah generasi penyanyi yang bekerja tidak secara individual, namun dalam tradisi puitik, (Foley,1986: 3-6). Implikasi dari hasil penelitian Milman Parry tersebut, diwujudkan Foley dan Albert B. Lord dengan melakukan penelitian bersama di beberapa wilayah Yugoslawia.
Mereka
merekam
dan
mewawancarai
sejumlah
„penyanyi
tradisional‟ (guslar). Hasil penelitian itu menghasilkan maha karya yang berjudul Milman Parry Collection of Oral Literature di Harvard University. Dalam buku itu,
terdapat
sejumlah
buku
yang
sudah
diedit,
diterjemahkan
dan
dipublikasikandalam seri Serbo-Croatian Heroic Songs. Di antara hasil editan tersebut adalah TheWendding of Smailogic Meho, teks yang memiliki panjang 13.000 larik tersebut memiliki struktur yang sama dengan kesejajaran (paralelisme) dalam Odissey-nya Homer. Dalam kronologi perjalanan puisi
37 Universitas Sumatera Utara
Homer, puisi ini telah dibicarakan sejak 1600 sebelum Masehi hingga tahun 1990-an. Parry dalam tulisannya memperlihatkan kajiannya dengan memberikan gambaran stilistika pada puisi-puisi Homer. Menurutnya, aspek stilistika pada puisi-puisi Homer berasal dari teknik-teknik penciptaan sajak dan syair secara lisan yang diimprovisasi pada setiap penyajian. Kajiannya ini dianggap paling komprehensif dan berpengaruh dalam kajian-kajian komposisi tradisi lisan (Hopkins, 1999: xi). Kemudian pada buku The Singer of Tales (1960), Lord menghasilkan karya perbandingan yang monumental dengan mengaplikasikan pengetahuan baru yang diperolehnya dari bahan-bahan puisi Yugoslavia. Dari hasil pengaplikasian ilmu pengetahuan baru tersebut, Lord kemudian menemukan satu konsep yang sangat mendasar yang banyak memancing minat para peneliti sastra lisan di seluruh dunia. Salah satu konsep mendasar yang ditemukan Lord tersebut adalah lahirnya konsep formula.Menurut Lord (1981: 59) formula adalah kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu ide hakiki (pokok). Sementara itu, ekspresi formulaik adalah larik atau parolarik yang disusun atas dasar pola formula. Menurut Ong, (1989: 35) penggunaan ekspresi formulaik dapat membantu terbentuknya wacana ritmis sehingga merupakan salah satu alat bantu mengingat kembali dengan mudah, cepat dan tepat serta menjadi ungkapan tetap yang dapat bertahan hidup secara lisan.
38 Universitas Sumatera Utara
2.1.6 Pantun Pantun merupakan puisi asli yang dimiliki oleh masyarakat Melayu serta paling awal muncul dibanding puisi yang lain (Piah, 1989-22). Bahkan menurut Ahmad (1981-178), tentu tiada dinafikan bahwa pantun sudah ada dalam masyarakat Melayu sebelum orang-orang Melayu mengetahui cara menulis dan membaca. Pantun dituturkan dan disebarkan secara lisan. Pantun terdiri dari sampiran da nisi pantun. Sampiran itu bisa menjadi kiasan. Pantun juga bisa disebut sugesti bunyi dan unsur estetik pada irama, bahkan menjadi teka-teki pengertian terhadap isi pantun. Karena ada kegaiban dalam hubungan sampiran dengan isi. Kegaiban itu terkesan dari sesudah baris 2 pertama tiba-tiba disusul 2 baris terakhir, sedangkan pada bagian isi dalam 2 baris terakhir. Selain itu menurut Chee (1981:188) pantun adalah suatu gejala dalam suatu masyarakat Melayu yang secara langsung memperkenalkan nilai-nilai dasar kemelayuan dan mengukuhkan pengaruhnya dalam hidup sehari-hari orang Melayu. Sedangkan menurut Mahayana (2004:5) menyatakan bahwa pantun dapat dianggap sebagai ikon kebudayaan Melayu berdasarkan tiga alasan. Pertama, pantun tercatat sebagai salah satu produk kebudayaan Melayu telah sejak lama menjadi objek pengkajian para peneliti dari mancanegara. Sejak tahun 1688 hingga kini telah ratusan kali atau lebih yang melakukan penelitian mengenai pantun. Kedua, dibanding jenis kesenian lain yang lahir di alam Melayu, pantun relatif
39 Universitas Sumatera Utara
tidak terikat oleh batasan usia, jenis kelamin, stratifikasi sosial, dan hubungan darah. 2.1.7 Kearifan Lokal Pengertian kearifan lokal
(local wisdom) dalam kamus terdiri dari dua kata
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat dan sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakatnya. Dalam istilah antropologi dikenal dengan local genius. Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran merupakan perpaduan nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian,
40 Universitas Sumatera Utara
pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam kearifan
adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu
dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya serta diekspesikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Sibarani (2012: 119) merujuk pada UNESCO dan NUFFIC (2002) memberi pengertian pengetahuan lokal sebagai berikut: Indigenous or local knowledge refers to a complete body of knowledge,know-how and practise, maintened and developed by people, generally in rural areas who have histories of interaction with the natural environment These sets of understanding, interpretations, and meanings are part of cultural complex that encompasses of language, naming and classification systems, practises for using resources, ritual, sprituality and worldview. It provides that basis for local level decision-making about many fundamental aspects of day-to-day life: for example hunting, fishing, gathering, agriculture and husbandary, food production, water, health, and adaptation to enviromental or social change. Non-formal knowledge – in contrast with formal knowledge – is handed over orally, from generation to generation, and is therefore seldom documented.
Pengertian kearifan lokal ini berdasarkan kesamaan cara pandang
panduan dalam UNESCO didapati
tentang pengertian local genius (kecerdasan lokal).
Lebih lanjut Ife (2002) dalam Endaswara (2002), mengemukakan enam dimensi kearifan lokal yaitu pengetahuan lokal, nilai lokal, ketrampilan lokal, sumber daya lokal, mekanisme pengambilan keputusan lokal dan solidaritas kelompok lokal. Tradisi lisan dalam masyarakat Melayu sangat beraneka ragam. Hal ini dapat terlihat pada bentuk-bentuk kepercayaan dan permainan rakyat. Bentuk kepercayaan ini
direalisasikan di dalam pengetahuan tradisional (local
knowledge) masyarakat Melayu seperti peraturan dalam bentuk pepatah dan
41 Universitas Sumatera Utara
pantun. Ungkapan-ungkapan ini dipilih untuk tujuan pengungkapan aspek-aspek alam dan pelestarian lingkungan. Falsafah yang diterapkan kepada masyarakat ini adalah hutan hanya dirambah jika diperlukan misalnya untuk berladang, pembukaan dusun baru, pembuatan alat sebagai sarana kehidupan dan kebutuhan konsumsi serta ramuan dalam pengobatan. Begitu pula pada upacara-upacara sebagai suatu seni tradisi dalam kebudayaan lisan yang mencerminkan adat dalam komunitas masyarakat Melayu misalnya
upacara
menyambut
tamu,
memberi
gelar
kehormatan
adat,
menyemarakkan panen padi,upacara jamuan laut, upacara tolak bala, ritual lukah, mandi berminyak, dan sebagainya, di dalam kehidupan manusia antara lain hari kelahiran, upacara turun sungai, sunat rasul, perkawinan dan juga kematian tidak terlepas dari ungkapan-ungkapan verbal yang mengandung petuah-petuah sebagai kearifan lokal masyarakatnya. Secara umum, kearifan lokal memiliki ciri dan fungsi berikut ini. (1) Sebagai penanda identitas sebuah komunitas. (2) Sebagai elemen perekat kohesi sosial. (3) Sebagai unsur budaya yang tumbuh dari bawah, eksis dan berkembang dalam masyarakat; bukan unsur budaya yang dipaksakan dari atas. (4) Berfungsi memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. (5) Dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas commonground. (6) Mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi dan mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan
42 Universitas Sumatera Utara
ataupengrusakan solidaritas kelompok sebagai komunitas yang utuh dan terintegrasi. Sebagai bagian dari suatu kebudayaan manusia tradisi lisan umumnya dilandasi oleh nilai-nilai keyakinan yang relatif menetap, dan pandangan hidup tertentu yang saling berkaitan dari suatu masyarakat. Pemahaman tentang nilai-nilai budaya dalam kaitannya dengan tradisi lisan akan lebih jelas apabila pemahaman akan pengertian nila-nilai budaya. Sistem nilai budaya ini menjadi pedoman dan pendorong prilaku manusia dalam hidup bermasyarakat yang manifestasi konkritnya dapat terlihat dalam bentuk pola prilaku anggota-anggota suatu masyarakat. C.Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (1981:246) berpendapat bahwa sistem nilai budaya berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi segala tindakan manusia dalam hidup. Sistem nilai budaya merupakan suatu rangkaian dari konsep luas bagi segala tindakan dari konsep luas dan abstrak yang hidup dalam pikiran dari sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dalam hidup. Secara rinci ada ada 5 (lima) masalah dasar yang universal sebagai nilai orientasi budaya dalam semua kebudayaan di dunia yag berhubungan dengan perikehidupan manusia, yaitu: (1) masalah hakekat hidup manusia; (2) masalah hakekat karya manusia; (3) masalah hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu; (4) masalah hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitar; dan (5) masalah hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.
43 Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan pemahaman terhadap kelima masalah dasar inilah, maka pemahaman terhadap nilai budaya yang hidup di tengah masyarakat Melayu Labuhanbatu dan pewarisannnya dapat ditelusuri melalui tradisi lisan – acara
pada acara
yang dimiliki masyarakat Melayu sebagai salah satu genre tradisi lisan
yang dapat mencerminkan kebudayaan masyarakat Melayu Labuhanbatu. 2.1.8
Revitalisasi Pengertian revitalisasi adalah perubahan komunitas karena kesadaran
baru untuk mencapai suatu cita-cita atau menempuh suatu cara hidup dengan sesuatu yang baru ataupun cara hidup dan nilai-nilai dari zaman yang sudah lampau. Keesing lebih menekankan pada kesadaran baru terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan masyarakat yang sudah menyimpang dari tradisi-tradisi lama. Revitalisasi dapat berupa cara hidup yang sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap mengikuti aturan-aturan yang diwariskan oleh para leluhur ataupun tetap mengikuti pola kehidupan lama yang telah diturun-temurunkan dari suatu generasi kegenerasi berikutnya (Keesing, 1999:257). Konsep yang sama
diungkapkan oleh Sibarani (2004:30) yang menyebutkan
bahwa revitalisasi kebudayaan adalah sebuah proses dan usaha memvitalkan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau usaha untuk membuat kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan harus menjadi bagian dari masyarakat pendukungnya. Budaya lokal harus diusahakan
dapat
bermanfaat
dalam
kehidupan
manusia
untuk
lebih
44 Universitas Sumatera Utara
menyejahterakan masyarakat. 2.1 Landasan Teori 2.2.1
Teori Tradisi Lisan
Tradisi selalu dikaitkan dengan sesuatu yang telah ada dan tersedia dalam suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dari suatu generasi sebelumnya ke generasi berikutnya dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Lord (2000:1) memberikan batasan tradisi lisan sebagai sesuatu yang dituturkan di dalam masyarakat. Batasan tradisi lisan yang dikemukakan oleh Lord ini memberikan isyarat bahwa dalam menyampaikan tradisi lisan unsur melisankan bagai penutur dan unsur mendengarkan bagi penerima menjadi kuncinya. Artinya penutur tidak menuliskan apa yan ingin dituturkannya dan penerima tidak membaca apa yang diterimanya. Lebih lanjut Hoed (2008:184) mengatakan tradisi lisan sebagai kumpulan berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan. Selanjutnya Hoed mengemukakan bahwa tradisi lisan mencakup seperti apa yang dikemukakan oleh Roger Tol dan Pudentia (1995:2) bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, mitos, legenda dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitasnya pemiliknya,
misalnya kearifan lokal, system nilai, pengetahuan tradisional,
sejarah, hukum adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi dan berbagai hasil seni. Hoed (2008:185) membedakan antara tradisi lisan dengan
45 Universitas Sumatera Utara
bahasa lisan. Menurut pandangannya tradisi lisan lebih luasa dari bahasa dalam komunikasi lisan seperti yang dikenal dalam linguistik. Hanya saja tradisi lisan bila ditinjau dari sudut pandang linguistik pengertian dikatakan dan didengar merupakan dasarnya. Lebih lanjut Hoed menyatakan bahwa penelitian tradisi lisan dilakukan atas komunikasi lisan yang dalam perekamannya dapat tertulis dan lisan . Tradisi dapat berwujud barang atau jasa, bahkan perpaduan antara keduanya. Sebagai barang, tradisi dapat dikatakan merupakan produk masa lalu. Sementara sebagai jasa, tradisi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, yang jenis dan caranya sudah tertentu. Produk dan kegiatan yang demikian itu diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dalam produk barang dan jasa itu terkandung simbol-simbol dan makna serta nilai-nilai dan norma yang juga ikut diwariskan bersama-sama dengan barang dan jasa yang dikandungnya. Vansina mengemukakan ungkapan tradisi lisan ditinjau pada dua aspek, yaitu aspek proses dan produknya. Prosesnya adalah pewarisan pesan-pesan melalui mulut ke mulut sepanjang waktu sampai hilangnya pesan itu, sedangkan produknya adalah pesan-pesan lisan yang berdasarkan pada pesan dari generasi sebelumnya. “the expression of “oral tradition” applies both to a process and to its product. The products are oral messages at least a generation old. The process is the transmission of such messages by word of mouth over the time until the disappearance of the message” (Vansina, 1985: 1) Yang dimaksud dengan tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000: 1069), tradisi adalah 1) adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang
46 Universitas Sumatera Utara
masih dijalankan masyarakat, 2) penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada, merupakan cara yang paling baik dan benar. Tradisi yang ada pada masyarakat itu diteruskan dalam ruang dan waktu dengan perbuatan atau praktik berbahasa, baik secara lisan maupun tertulis, dan dengan perbuatan pengindraan, perbuatan jasmani serta perbuatan rohani. Secara garis besar, tradisi berdasarkan medium transmisi yang digunakan, yang dapat dikelompokan atas tradisi lisan dan tulisan. Tradisi lisan ada yang diteruskan dengan bahasa tulis yaitu dalam bentuk naskah dan ada yang hanya dalam bentuk lisan. Ruang lingkup kajian tentang tradisi itu sangat luas, meliputi berbagai hal yang menjadi konteks dalam kejadiannya dan selalu ditautkan dengan kehidupan masyarakat itu. Terdapat tradisi yang berkenaan dengan alam fisik (tanah, air, udara, cahaya, benda-benda langit, dsb), alam hayati (tumbuhan, binatang), masyarakat, budaya dan kehidupan beragama. Tradisi dapat menjadi dasar bagi penciptaan kebudayaan baru, yaitu dalam membentuk dan mengembangkan kehidupan budaya bangsa serta menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa hal ini dikarenakan 1. Tradisi merupakan bagian dari budaya serta mempunyai kandungan unsur budaya yang banyak. 2. Tradisi merupakan bagian dari budaya yang sekaligus mencerminkan pula budaya keseluruhannya.
47 Universitas Sumatera Utara
3. Tradisi dalam suatu unsur budaya mempunyai kaitan yang erat dengan unsur-unsur budaya lainnya Tradisi juga mempunyai potensi yang dapat diwujudkan untuk pengembangan budaya. Potensi ini menjadi potensi yang terpendam apabila tidak dilakukan upaya yang sungguh-sungguh dalam mengelola tradisi itu. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha agar tradisi dapat hadir dan berfungsi dalam kehidupan masyarakat masa kini dan yang akan datang. Kebenaran dan keyakinan yang telah mentradisi dalam suatu masyarakat disebut kearifan lokal (local genius). Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai luhur budaya masyarakat yang didasari oleh keyakinan dan keimanan masyarakat dan berbagai nilai yang pada masyarakat tersebut. Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk
sosial
yang
digunakannya
untuk
memahami
dan
menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya.
Dengan
demikian,
kebudayaan
merupakan
serangkaian
aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.” (Suparlan, 2003:2). Berbagai kebudayaan yang ada di Indonesia menimbulkan suku bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang masing-masing memiliki kekhasan
48 Universitas Sumatera Utara
tersendiri. Dari keanekaragaman tersebut melahirkan suatu kehidupan tradisi lisan yang unik. Pengkajian terhadap tradisi lisan
merupakan kajian yang cukup
menarik. Dengan menggunakan media lisan sebagai bentuk penyebarannya dan pada umumnya melalui tutur kata, karenanya
disebut
sebagai tradisi lisan
(oral tradition). Menurut Ki-Zerbo (1990)
Tradisi lisan dapat didefinisi sebagai
kesaksian yang disampaikan secara verbal dari satu generasi ke generasi berikutnya. Persifatan khusus sedemikian adalah tentang keverbalannya dan cara bagaimana ia disampaikan." "Oral tradition may be defined as being a testimony transmitted verbally from one generation to another. Its special characteristics are that it is verbal and the manner in which it is transmitted." (Ki-Zerbo 1990:7) Karena cakupan tradisi itu khususnya tradisi lisan, sangat luas, Unesco (2003) mengelompokkannya menjadi beberapa bidang, antara lain (1) sastra lisan, (2) teknologi tradisional, (3) pengetahuan tentang masyarakat (folk), (4) unsur-unsur religi dan kepercayaan masyarakat, dan (5) hukum adat. Rincian contoh tradisi itu dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Sastra: terdiri atas : (1) dongeng : mite, legenda, (2) cerita pantun babad dan hikayat (umumnya dalam bentuk naskah), (3) mantra (ajian, jampi-jampi, dan sejenisnya), (4) sindiran, (5) puji-pujian, (6) sawer, dan lain-lain. 2) Teknologi tradisional: terdiri atas : (1) peralatan produktif, (2) peralatan upacara, (3) alat bunyi-bunyian, (4) senjata tradisional, (5) wadah, (6) pakaian dan
49 Universitas Sumatera Utara
tekstil, (7) anyaman, (8) bangunan permukiman, (9) alat transportasi, (10) makanan dan minuman. 3) Pengetahuan tentang Masyarakat (folk) meliputi : (1) lingkungan alam, (2) alam flora, (3) tanaman berkhasiat, (4) alam fauna, (5) zat dan bahan mentah, (6) tubuh manusia, (7) sifat manusia (ilmu firasat), dan (8) ruang waktu dan angka (ilmu patangan) 4) Peristiwa dalam kehidupan beragama meliputi tradisi yang menyertai peristiwa keagamaan. Dalam hal ini praktik beragama dilakukan dengan menyertakan unsur budaya. 5) Kesenian: misalnya : patung, relief, ukir, lukis, gambar, tenun, rias, vokal, tari, olah kapuragan, karawitan, perwayangan, dan lain-lain. Vansina lebih lanjut mendefinisikan tradisi lisan sebagai "pesan verbal berupa pernyataan dilaporkan dari, masa silam kepada generasi masa kini" di mana "pesan itu haruslah berupa pernyataan yang dituturkan dinyanyikan, atau diiringi alat musik";
"Haruslah
ada
penyampaian
melalui
tutur
kata
dari
mulut
sekurang-kurangnya sejarak satu generasi". Dia mengemukakan bahwa "Definisi kami adalah definisi yang berfungsi bagi kalangan sejarawan. Para sosiolog, bahasawan, atau sarjana seni verbal mengajukan pendekatannya masing-masing, yang untuk kasus khusus (sosiologi) mungkin saja menekankan pengetahuan umum, fitur kedua yaitu membedakan bahasa dari dialog (bahasawan) biasa, dan fitur terakhir adalah bentuk dan isi yang mendefinisi seni (pendongeng)."
50 Universitas Sumatera Utara
"verbal messages which are reported statements from present generation" which "specifies that the message must be oral statements spoken, sung or called out on musical instruments only"; "There must be transmission by word of mouth over at least a generation". He points out that "Our definition is a working definition for the use of historians. Sociologists, linguists or scholars of the verbal arts propose their own, which in, e.g., sociology, stresses common knowledge. In linguistics, features that (linguists), and in the distinguish the language from common dialogue verbal arts features of form and content that define art (folklorists).(Vansina, 1985:272-8) Tradisi lisan menurut Sibarani (2000) adalah semua kesenian, pertunjukan, atau permainan yang menggunakan tuturan lisan. Jika suatu kesenin tidak menggunakan atau tidak disertai ucapan lisan tidak termasuk tradisi lisan. Sebaliknya, jika suatu cerita tidak ditradisikan (dipertunjukkan) di hadapan masyarakat pendukungnya, tidak termasuk tradisi lisan, walaupun itu sastra lisan dan potensial jadi tradisi lisan. Berdasarkan apa yang dikemukakan para ahli dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa tradisi lisan adalah kegiatan, pertunjukan, dan permainan yang diikuti tuturan lisan, baik masih aktif maupun pasif.
Unsur kelisanan
merupakan bagian utama dari tradisi lisan menurut Dorson (1963) kutipan Sukatman (2009:4)
dalam
tanpa kelisanan suatu budaya tidak bisa disebut
tradisi lisan. Oleh karena itu, secara utuh tradisi lisan mempunyai dimensi (kelisanan), (2) kebahasaan, (3) kesastraan, dan (4) nilai budaya. Posisi kelisanan dalam tradisi lisan dapat digambarkannya
dalam bagan 2.1 di bawah ini.
51 Universitas Sumatera Utara
(1) Dimensi Kelisanan
(2) Dimensi Kebahasan
(4) Dimensi Nilai Budaya
TRADISI LISAN
(3) Dimensi Nilai Kesastraan
Bagan 2.1 Dimensi Kelisanan sebagai Bagian Esensial dari Tradisi Lisan
Danandjaja (dalam Pudentia, 1998) mengartikan tradisi lisan dan folklor dengan referensi yang relatif sama, yaitu „budaya lisan‟ dengan unsur kelisanan sebagai dimensi yang essensial. Untuk kepentingan bahasan ini kelisanan diposisikan sebagai “bagian” dari tradisi lisan. Tradisi lisan adalah “segala wacana yang disampaikan secara lisan, mengikuti cara atau adat istiadat yang telah memola dalam suatu masyarakat”. Kandungan isi wacana tersebut dapat meliputi berbagai hal : berbagai jenis cerita ataupun berbagai jenis ungkapan seremonial dan ritual. Cerita-cerita yang disampaikan secara lisan itu bervariasi mulai dari uraian genealogis, mitos, legenda, dongeng, hingga berbagai cerita kepahlawanan (Sedyawati, 1996:5). Perkembangan tradisi lisan terjadi dari mulut ke mulut sehingga menimbulkan banyak versi cerita. Menurut
Hutomo (1991:11), tradisi lisan itu mencakup
52 Universitas Sumatera Utara
beberapa hal, yakni (1) yang berupa kesusastraan lisan, (2) yang berupa teknologi tradisional, (3) yang berupa pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4) yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar. (5) yang berupa kesenian folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, dan (6) yang berupa hukum adat. Pudentia (1999: 32) memberikan pemahaman tentang hakikat kelisanan (orality) sebagai berikut: Tradisi lisan (oral tradition) mencakup segala hal yang berhubungan dengan sastra, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Jadi, tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda sebagaimana umumnya diduga orang, tetapi juga berkaitan dengan system kognitif kebudayaan, seperti : sejarah, hukum dan pengobatan. Tradisi Lisan adalah “segala wacana yang diucapkan/disampaikan secara turun temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara”. Lisan yang pertama (oracy) mengandung maksud kebolehan bertutur secara beraksara. Kelisanan dalam masyarakat beraksara sering diartikan sebagai hasil dari masyarakat yang tidak terpelajar; sesuatu yang belum dituliskan; sesuatu yang dianggap belum sempurna/matang, dan sering dinilai dengan kriteria keberaksaraan. Sweeney (2008:99) dalam pandangannya menyatakan bahwa istilah oral dan orality merupakan istilah induk yang memunculkan istilah terjemahan lisan dan kelisanan. Sweeney mengharapkan agar pengguna padanan terjemahan dari
53 Universitas Sumatera Utara
kedua istilah itu jangan hanya menurut perkembangan asing serta menerapkannya tanpa mengukur sesuai tidaknya dengan kebudayaan sendiri. Khususnya di Nusantara perlu dijembatani jurang antara teori umum dengan data Nusantara. Implikasi kata ”lisan” dalam pasangan ”lisan” lawan ”tertulis” jauh berbeda dengan ”lisan” yang diseringkan dengan ”beraksara”. Memang masyarakat yang memperoleh tulisan tidak berhenti bertutur. Tentu saja orang masih perlu bercakap, tetapi mereka dapat bertutur dengan cara-cara baru. Misalnya konsep dalam ujian di Universitas sangat berbeda dengan kelisanan komposisi lisan yang sering muncul dari kalangan yang sama sekali tidak bergantung pada pengetahuan tulisan. Tujuan ujian lisan ialah untuk menduga kemelekhurufan seseorang secara viv voce. Istilah Inggris yang sekarang dipakai untuk merujuk pada kelisanan yang lawannya keberaksaraan ialah orality (Sweeney, 2008:100) Pantun
sebagai
ungkapan
sebuah
tradisi
lisan,
sering
kali
merupakan ”kalimat-kalimat” pendek yang disarikan dari pengalaman panjang” (Cervantes dalam Dananjaya, 1997:28). Sementara, Russel (dalam Dananjaya, 1997:28) mengatakan
ungkapan tradisional merupakan ”kebijaksanaan orang
banyak, kecerdasan seseorang”. Di dalam kehidupan sehari-hari tidak semua anggota masyarakat pemilik ungkapan tradisional dapat menguasai, dalam makna menghafal dan menggunakan secara tepat seluruh ungkapan
yang ada dalam
masyarakat tersebut. Sedangkan, menurut Dananjaya (1997:32), sebagaimana halnya dengan folklor lisan lainnya,
ungkapan tradisional dapat digunakan untuk berbagai
fungsi sosial, seperti sistem proyeksi, alat pengesahan pranata atau lembaga kebudayaan, media pendidikan bagai anak-anak atau generasi muda, alat untuk mengawasi kepatuhan anggota masyarakat terhadap norma tertentu, alat untuk
54 Universitas Sumatera Utara
mengkritik
seseorang
yang
melanggar
norma-norma
tertentu
(the
impersonalization of authority, Dundes), serta alat untuk menaikkan gengsi seseorang dalam sebuah masyarakat karena menguasai hal tersebut secara aktif. Tradisi lisan adalah “segala wacana yang disampaikan secara lisan, mengikuti cara atau adat istiadat yang telah memola dalam suatu masyarakat.” Kandungan isi wacana tersebut dapat meliputi berbagai hal : berbagai jenis cerita ataupun berbagai jenis ungkapan seremonial dan ritual . Cerita-cerita yang disampaikan secara lisan itu bervariasi mulai dari uraian genealogis, mitos, legenda, dongeng, hingga berbagai cerita kepahlawanan (Sedyawati, 1996:5). Perkembangan tradisi lisan terjadi dari mulut ke mulut sehingga menimbulkan banyak versi cerita. Pudentia (1999: 32) memberikan pemahaman tentang hakikat kelisanan (orality) sebagai berikut: Tradisi lisan (oral tradition) mencakup segala hal yang berhubungan dengan sastra, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Jadi, tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda sebagaimana umumnya diduga orang, tetapi juga berkaitan dengan system kognitif kebudayaan, seperti : sejarah, hukum dan pengobatan. Tradisi Lisan adalah “segala wacana yang diucapkan/disampaikan secara turun temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara”. Lisan yang pertama (oracy) mengandung maksud kebolehan bertutur secara beraksara. Kelisanan dalam
55 Universitas Sumatera Utara
masyarakat beraksara sering diartikan sebagai hasil dari masyarakat yang tidak terpelajar; sesuatu yang belum dituliskan; sesuatu yang dianggap belum sempurna/matang, dan sering dinilai dengan kriteria keberaksaraan. 2.2.1.1 Ciri- ciri Tradisi Lisan Tradisi lisan berbeda dengan kebudayaan lainnya. Perbedaan ini terletak pada ciri-ciri, yang menurut Danandjaja (2002)
adalah (1) penyebaran dan
pewarisannya biasa dilakukan dengan lisan, yakni dari mulut ke mulut contoh, isyarat, atau alat bantu mengingat, (2) bersifat tradisional, yakni berbentuk relatif atau standart, (3) bersifat anonim, (4) mempunyai varian atau versi yang berbeda, (5) mempunyai pola bentuk, (6) mempunyai kegunaan bagi kolektif tertentu, (7) menjadi milik bersama suatu kolektif, dan (8) bersifat polos dan lugu sehingga sering terasa kasar atau terlalu sopan. Dalam konteks budaya Jawa Kadarisman (1997:71) memaparkan ciri tradisi lisan sesuai dengan kelompoknya, yaitu tradisi lisan besar dan kecil. Kedua kelompok itu mempunyai ciri seperti dalam tabel dibawah ini. Tabel 2.2 Ciri-ciri Tradisi Lisan Besar dan Kecil dalam Masyarakat Jawa No 1.
Tradisi Lisan Besar Merupakan tradisi budaya tengah
Tradisi Lisan Kecil Merupakan tradisi budaya pesisir
2.
Berorientasi pada budaya keraton
Berorientasi pada budaya kedaerahan
3.
Terikat dengan seni klasik lain
Berdiri sendiri sebagai sastra rakyat
4.
Mencerminkan ideologi kepercayaan “priyayi”
Mencerminkan kepercayaan-mimpi-mimpi “wong
56 Universitas Sumatera Utara
5.
Dikuasai dengan cara yang tepat
6.
Bersifat simbolik-mendalam
cilik” Terkadang dikuasai dengan cara yang tepat Muatan simboliknya kecil
7.
Dikuasai lewat latihan terprogram
Dikuasai secar intuitif-samar-samar
8.
Variannya dipindahkan lewat filologi
Variannya dipindahkan secara etnografik
9.
Bergantung teks
Tidak tergantung teks
10.
Ditampilkan dengan teks dan memori
Ditampilkan rakyat dengan memori saja
11.
Bernilai seni tinggi dan formal
Kurang bernilai seni dan keseharian
12.
Banyak menggunakan bahasa Jawa Kandungan bahasa Jawa klasiknya klasik kecil
13.
Bahasa pertunjukan khas
Bahasanya mendekati bahasa sehari-hari
Diadaptasi dari Kadarisman, (1997:71). Danandjaja (dalam Pudentia, 1998) mengartikan tradisi lisan dan folklor dengan referensi yang relatif sama, yaitu „budaya lisan‟ dengan unsur kelisanan sebagai dimensi yang essensial. 2.2.2
Teori Struktural Semiotik Semiotik komunikasi Pierce bertitik tolak dari teori produksi tanda, Teori
yang digunakan untuk melakukan analisis terhadap tradisi berpantun adalah merujuk kepada teori strukturalisme khususnya teori semiotika. Alasan peneliti memilih dua teori ini ada dua hal. Yang pertama bahwa semiotika ada yang bersumber dari teori Ferdinand de Saussure dinamakan semiotik signifikasi dan
57 Universitas Sumatera Utara
yang bersumber dari Charles Sanders Pierce, seorang filosof pragmatis dan sekaligus ahli logika Amerika, teruji dalam menganalisis produk kebudayaan baik dari analisis bahasa dan linguistik,
bahasa dalam konteks budaya, serta
menganalisis aspek kebudayaan manusia dari perspektif sastra, seperti pengirim, penerima kode, pesan, konteks, dan kontak komunikasi dan kode. Tanda-tanda ini dapat mewakili sesuatu dalam berbagai hal, sehingga pada akhirnya semiotika merupakan telaah segala sesuatu tanda yang memerlukan penafsiran interpretasi untuk makna tanda itu. Charles Sanders Pierce menggolongkan tanda ke dalam 3 (tiga) jenis berdasarkan relasi antara representan dengan sifat denotatumnya, yakni: simbol, indeks dan ikon. Simbol adalah tanda yang dapat melambangkan atau mewakili suatu benda secara arbitrer dan konvensional. Misalnya, warna merah dan putih dalam bendera kebangsaan Indonesia yang melambangkan keberanian dan kesucian. Sedangkan indeks adalah tanda yang dapat menunjukkan sesuatu (benda) lain. Misalnya asap menunjukkan adanya api. Sementara ikon adalah tanda yang dapat menggambarkan sesuatu benda berdasarkan persamaan dan perbandingan. Misalnya foto menggambarkan orangnya. Dengan demikian dalam teori Pierce ini simbol dibedakan dengan indeks dan ikon. Dari uraian diatas dapat dilihat dalam tradisi lisan berpantun. Simbol/ tanda banyak ditemukan dan dapat dianalisis melalui kata-kata. Simbol ditandai 2 (dua) ciri: (1) penanda dan petanda, merupakan konteks
58 Universitas Sumatera Utara
kultural yang berbeda, (2) penanda dan petanda, tidak ada hubungan denga interaksi sebelumnya. Ciri tanda (1) ada hubungan intrinsik,(2) ada hubungannya dengan konteks kultural. Kajian umum semiotika sosial, kajian ini mencakup tiga hal, yaitu : 1.
Bahasa merupakan realitas fisik
2.
Bahasa merupakan realitas sosial
3.
Bahasa merupakan realitas semiotika di dalam konteks sosial dan budaya.
Semiosis merupakan proses, efek dari produksi, penerimaan dan sirkulasi makna dalam semua bentuk yang digunakan dalam berkomunikasi. 2.3
Kajian Pustaka
2.3.1
Kajian Terdahulu
Dalam penelitian ini, hasil penelitian tradisi lisan
yang pernah dilakukan
oleh peneliti terdahulu dikaji dalam kaitannya dengan kebudayaan etnik Melayu Panai. Tujuan kajian hasil penelitian itu untuk mengetahui temuan-temuan yang telah dicapai dan sekaligus memberikan peluang untuk mengkaji tradisi lisan dengan pendekatan beberapa teori. Hasil penelitian tersebut dimanfaatkan sebagai sumber rujukan dalam mengkaji tradisi lisan upacara adat lewat kajian budaya. Beberapa penelitian tradisi lisan yang
relevan antara lain:
Amaluddin (2009) didalam disertasinya pada program studi pendidikan bahasa Indonesia program pascasarjana Universitas Negeri Malang
yang
59 Universitas Sumatera Utara
berjudul Nyanyian rakyat Bugis (Kajian bentuk, Fungsi dan Nilai dan strategi pelestariannya). Penelitian ini memerikan empat aspek yakni : (1) bentuk, (2) fungsi, (3) nilai, (4) strategi pelestariannya. Aspek bentuk meliputi pemaknaan terhadap kategori diksi yang digunakan dalam nyanyian yang berhubungan dengan ruang persepsi masyarakat Bugis, pemaknaan terhadap bentuk kalimat yang digunakan dalam kaitannya dengan esksistensi siri‟ dan pêsse sebagai inti budaya Bugis dan pemaknaan gaya bahasa dalam nyanyian yang mendeskripsikan sifat-sifat manusia Bugis. Semua proses didasari oleh pandangan etik dan emik dalam studi budaya. Penelitian tentang tunjuk ajar Melayu Riau juga dilakukan oleh Tenas Effendi oleh Tenas ungkapan-ungkapan yang indah dalam bentuk pantun, syair, gurindam, peribahasa, seloka dan lain sebagainya itu karena
sering digunakan
sebagai media pengajaran dan pendidikan disebut tunjuk ajar. Tenas mengklasifikasi dalam bergam tema yang sesuai dengan kandungan isi masing-masing ungkapan. Pembagian secara tematis memudahkan memahami nilai luhur yang dikandung dalam budaya Melayu. Kategorisasi dan pemaknaan sangat penting menurutnya dimana perkembangan penafsiran harus sesuai dengan konteks masyarakat Melayu itu sendiri. Mohd. Harun (2007) dalam disertasi Doktoral di Universitas Negeri Malang yang mengangkat Hadih Maja sebagai kekayaan kultural asal sukunya yaitu Aceh mengungkap struktur, fungsi dan nilai Hadih Maja temuan dalam
60 Universitas Sumatera Utara
penelitian ini mencerminkan
seluruh sisi kehidupan orang Aceh
terutama
dimensi konseptual artinya untuk mengenal orang Aceh secara dekat, dapat dimulai
dari nilai-nilai yang terkandung dalam hadih maja.
Rahman (2011) mengulas Kelisanan Dalam Tradisi Maata pada masyarakat Laporo di Kabupaten Buton dalam tesis di Universitas Indonesi. Tradisi Maata merupakan tradisi tahunan yang di dalamnya terdapat berbagai ritual, khabanti dan tarian. Tujuan penelitiannya untuk mengungkapakan kelisanan dan keberlangsungan tradisi maata dengan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Hasil penelitiannya menunjukkan kelisanan dalam tradisi maata tercermin dalam khabanti yang dilantunkan yang sarat dengan repetisi dan penggunaan perumpamaan yang diambil dari alam sekitar dengan formula berbentuk frasa dan ketika dilantunkan terjadi variasi dalam teksnya. Untuk mempertahankan eksistensi tradisi maata diwariskan dengan tiga pola pewarisan yaitu pewarisn dalam pertunjukan, pewarisan secara lansung dan pewarisan di kalangan sendiri. Darwan Sari (2011) membahas revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara pada era globalisasi
pada tesis di Universitas
Udayana Bali. Tradisi lisan kantola warisan budaya masyarakat Muna telah menuju ambang kepunahan. Masalah yang dibahas dalam penelitiannya adalah bentuk revitalisasi, fungsi revitalisasi, dan makna revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Sulawesi Tenggara.
61 Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tradisi lisan kantola yang dilaksanakan secara periodik merupakan media pengenalan dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat sehingga memberi peluang bagi pertumbuhan, dan perkembangan tradisi lisan yang semakin terhimpit dengan produk budaya global. Tradisi lisan yang sarat dengan nilai-nilai estetika berfungsi untuk menyebarkan aspek-aspek moral dan etika kepada masyarakat. Kantola merupakan pernyataan perasaan dan pendapat seseorang, disampaikan secara santun sehingga mudah dihayati dan dipahami. Segala aturan yang bersumber dari nilai-nilai tradisional mampu menjadi perekat dalam membangun ikatan sosial masyarakat. Samsul (2012) dalam tesis di Universitas Indonesia mengangkat penelitian yang fokus pada formula dan pewarisan dalam tradisi lisan kabhanti modero yakni berbalas pantun dalam bentuk nyanyian tanpa menggunakan alat musik yang dimainkan oleh dua kelompok yaitu kelompok laki-laki dan perempuan, tradisi ini ada pada masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara. Teori yang digunakannya dalam penelitan ini adalah teori tradisi lisan dengan metode etnografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola formula yang digunakan dalam tradisi lisan kabhanti modero berbentuk kata, frasa dan satu larik. Pola pewarisannya pada kabhanti modero dilakukan secara non formal. Penelitian T.Silvana Sinar (2011), mengkaji tentang kearifan lokal berpantun dalam perkawinan adat Melayu Batubara mengungkapkan struktur, tema, makna, dan fungsi pantun perkawinan adat,
yang menunjukkan tingginya
62 Universitas Sumatera Utara
peradaban suku Melayu yang mencerminkan keadaan masyarakat dan cara berpikirnya. Terkait dengan penelitian-penelitian diatas penelitian ini memusatkan perhatian pada tradisi lisan cenggok-cenggok pada upacara adat perkawinan Melayu Panai di
Labuhanbatu Sumatera Utara. Kajian ini dilakukan untuk
menjelaskan aspek kelisanan cenggok-cenggok yang meliputi bentuk performansi dan formula, dengan pendekatan etnografi. Penelitan ini juga menggali makna, fungsi, nilai, norma, dan kearifan lokal serta menemukan model revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan cenggok-cenggok pada upacara adat perkawinan Melayu Panai di Labuhanbatu Sumatera Utara. 2.3 Konstruk Penelitian Konstruk penelitian dimulai dengan peneliti yang melakukan riset awal dan studi pustaka. Langkah berikutnya adalah melakukan penelitian terhadap tradisi lisan pantun dan syair dalam upacara adat perkawinan Melayu Panai Labuhanbatu. Penelitian ini datanya direkam dalam bentuk audiovisual. Kemudian data tersebut dianalisis melalui tiga komponen utama tradisi lisan yaitu: koteks, teks, dan konteks. Untuk mengkaji koteks digunakan aspek paralinguistik, proksemik, dan kinetik. Di sisi lain untuk mengkaji teks pantun dan syair digunakan pendekatan formula teks. Kemudian kajian terhadap konteks meliputi nilai budaya dan sosial, situasi, dan ideologi. Dari ketiganya diurai nilai dan norma budaya. Selepas itu dikaji tentang
63 Universitas Sumatera Utara
kearifan lokal, dan yang terakhir adalah revitalisasi tradisi lisan cenggok-cenggok dalam konteks upacara perkawinan adat Melayu Panai di Labuhanbatu.
Riset Awal
Peneliti
Studi Pustaka
TRADISI LISAN BBBERPANTUN LISBERBERPANTUN PERFORMANSI LISABERPANTUNBBERP PERFORMANSI ANTUN KO-TEKS
TEKS
KONTEKS
KsSSSSS Formula
Paralinguistik, Proksemik, Kinetik,
Nilai Budaya, Sosial, Situasi, dan Idiologi
Material
NILAI DAN NORMA BUDAYA
KEARIFAN LOKAL
REVITALISASI TRADISI LISAN Cenggok-Cenggok
Bagan 2.2
Konstruk Penelitian
Keterangan: 1. Bagan ini merupakan bagan model analisis antropolinguistik yang sudah dimodifikasi dan juga bisa diterapkan dalam kajian tradisi lisan (lihat juga Sibarani, 2012:310). 2. Keterangan bagan: Garis penelitian pendahuluan 64 Universitas Sumatera Utara
Garis penelitian lanjutan Garis hasil penelitian Garis revitalisasi hasil penelitian
65 Universitas Sumatera Utara