BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1
Kajian Teori
2.1.1 Hakikat Hasil Belajar Belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku manusia dan juga merupakan aktifitas yang disengaja dan dilakukan oleh individu agar terjadi perubahan kemampuan diri. Menurut Gagne (dalam Udin S.Winataputra 2001:2.3) mengemukakan bahwa “belajar adalah suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Dari pengertian tersebut terdapat tiga unsur pokok dalam belajar, yaitu: 1) proses, 2) perubahan perilaku, 3) pengalaman. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar diklasifikasikan menjadi tiga domain yaitu: Kognitif, Afektif dan Psikomotor. Hasil belajar akan tampak pada perubahan perilaku individu yang belajar”. Selain itu, Sutikno (2009:3) mengartikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pegalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Reber (dalam Sugihartono, 2007:74) menjelaskan “Belajar memiliki dua pengertian, pertama belajar sebagai proses memperoleh pengetahuan dan kedua, belajar sebagai perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat. Belajar adalah sebuah perjalanan, sebuah pengalaman yang didapat melalui proses dan didapatkan suatu tujuan dari ajaran ataupun perjalanan tersebut hingga akhirnya mencapai hasil”. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan mencakup bidang kognitif, afektif dan
6
7
psikomotorik yang berorientasi pada proses belajar mengajar yang dialami siswa (Sudjana, 2011:2). Hamalik ( 2004 : 30 ) menjelaskan bahwa hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku siswa setelah mengikuti rangkaian pembelajaran atau pelatihan. Pada pembelajaran, perubahan perilaku sebagai hasil belajar yang ingin dicapai dapat dirumukan dalam bentuk tujuan pembelajaran atau rumusan kompotensi yang ingin dicapai dengan segala indikatornya. Dalam poses pembelajaran terdapat unsur-unsur ysng akan menghasilkan hasil belajar, melalui hasil belajar inilah maka pembelajaran bisa berkelanjutan, sehingga segala sesuatu yang dibutuhkan manusia akan terpenuhi. Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan terkait dengan materi dalam penelitian ini, hakikat hasil belajar yang dimaksud adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh siswa setelah mengikuti kegiatan proses belajar mengajar berdasarkan kriteria tertentu dalam pengukuran pencapaian tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai pada materi Sistem Pemerintahan Desa, dan segala indikatornya. 2.1.2 Pengertian Hasil Belajar Menurut Sukmadinata (2005), "prestasi atau hasil belajar (achievement) merupakan realisasi dari kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan hasil belajar dapat dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan berpikir maupun keterampilan motorik. Di sekolah, hasil belajar atau prestasi belajar ini dapat dilihat dari penguasaan siswa akan mata pelajaran yang telah ditempuhnya. Alat
8
untuk mengukur prestasi/hasil belajar disebut tes prestasi belajar atau achievement test yang disusun oleh guru atau dosen yang mengajar mata kuliah yang bersangkutan”. Sudjana (2005:5) menyatakan bahwa hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku dan sebagai umpan balik dalam upaya memperbaiki proses belajar mengajar. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian luas mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotorik. Sedangkan “menurut Para Ahli Psikologi tidak semua perubahan perilaku sebagai hasil belajar. Perubahan perilaku karena faktor kematangan, karena lupa, karena minum minuman keras bukan termasuk sebagai hasil belajar, karena bukan perubahan dari hasil pengalaman (berinteraksi dengan lingkungan), dan tidak terjadi proses mental dan emosional atau proses berpikir dan merasakan dalam beraktivitas dalam. Sementara itu, dalam Kurukulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hasil belajar dirumuskan dalam bentuk kompetensi, yaitu: Kompetensi Akademik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial dan Kompetensi Vokasional. Keempat kompetensi tersebut harus dikuasai oleh siswa secara menyeluruh/komperhensif, sehingga menjadi pribadi yang utuh dan bertanggung jawab” (dalam Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran 2011: 125.140). Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar yaitu: penilaian hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa dan kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah
9
memahami belajar dengan diiringi oleh perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi. Terkait dengan materi dalam penelitian ini hasil belajar yang dimakasud adalah hasil yang diperoleh siswa setelah terjadinya proses pembelajaran pada meteri Sistem Pemerintahan Desa yang ditunjukan dengan nilai hasil tes yang diberikan oleh guru setelah selesai memeberikan materi pelajaran pada pokok bahasan Sistem Pemerintahan Desa. Dan nilai yang dapat dicapai oleh siswa dari nilai tertinggi yang ditunjukan dengan angka 100 dan nilai terendah 0. Nilai tersebut dapat diproleh siswa setelah proses belejar mengajar selama 2 atau 3 kali pertemuan melalui ujian. Dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam memahami materi Sistem Pemerintahan Desa yang telah disampaikan oleh guru. 2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Menurut Muhibbin (2007: 132) Secara global faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni : 1. Faktor Internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa. 2. Faktor Eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan disekitar siswa. 3. Faktor Pendekatan Belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
10
2.1.4 Pengertian Metode Bermain Peran Proses belajar mengajar merupakan interaksi yang dilakukan antara guru dengan siswa dalam suatu situasi pendidiakn atau pegajaran untuk mewujudkan tujuan yang ditetapkan. Seorang guru sudah tentu dituntut kemampuannya untuk menggunakan berbagai metode mengajar secara bervariasi. Menurut Sumantri (2007: 134) menyatakan bahwa “Metode pembelajaran merupakan cara-cara yang ditempuh guru untuk menciptakan situasi pengajaran yang benar-benar menyenangkan dan mendukung bagi kelancaran proses belajar dan tercapainya prestasi belajar anak yang memuaskan”. Bermain Peran dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perasaan, ucapan dan tindakan, sebagai suatu pola hubungan unik yang ditunjukkan oleh individu terhadap individu lain. Peran yang dimainkan individu dalam hidupnya dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Oleh sebab itu, untuk dapat berperan dengan baik, diperlukan pemahaman terhadap peran pribadi dan orang lain. Pemahaman tersebut tidak terbatas pada tindakan, tetapi pada factor penentunya, yakni perasaan, persepsi dan sikap. Bermain peran berusaha membantu individu untuk memahami perannya sendiri dan peran yang dimainkan orang lain sambil mengerti perasaan, sikap dan nilai yang mendasarinya. Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran
11
harus mampu menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih. Selama pembelajaran berlangsung, setiap pemeranan dapat melatih sikap empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan peran lainnya. Pemeranan tenggelam dalam peran yang dimainkannya sedangkan pengamat melibatkan dirinya secara emosional dan berusaha mengidentifikasikan perasaan dengan perasaan yang tengah bergejolak dan menguasai pemeranan. Menurut Mulyasa (2004:141) terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai sosial, yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut: 1. Secara implisit bermain peran mendukung sustau situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain. 2. Bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara
12
bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran. 3. Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Denagn demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan
masalah
yang
pada
gilirannya
dapat
dimanfaauntuk
mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.
13
4. Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan system keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya. Terdapat tiga hal yang menentukan kualitas dan keefektifan bermain peran sebagai model pembelajaran, yakni (1) kualitas pemeranan, (2) analisis dalam diskusi, (3) pandangan peserta didik terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi kehidupan nyata. Penggunaan metode mengajar dalam pembelajaran ditinjau dari segi prosesnya memiliki fungsi. Menurut Udin (2005: 4.4) fungsi metode pembelajaran adalah: (1) Sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan pembelajaran. (2) Sebagai gambaran aktivitas yang harus ditempuh oleh siswa dan guru dalam kegiatan pembelajaran. (3) Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan alat penilaian pembelajaran. (4) Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan bimbingan dalam kegiatan pembelajaran. Sebagai suatu metode pembelajaran, bermain peran berakar pada dimensi pribadi dan sosial. Dari dimensi pribadi model ini berusaha membantu siswa menemukan makna dari lingkungan sosial yang bermanfaat bagi dirinya. Juga melalui model ini siswa diajak untuk belajar memecahkan masalah pribadi yang sedang dihadapinya dengan bantuan kelompok sosial yang beranggotakan teman-
14
teman sekelas. Wahab ( 2009:34 ) menyatakan bahwa, “Bermain Peran adalah berakting sesuai dengan peran yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk tujuantujuan tertentu seperti menghidupkan kembali suasana historis misalnya mengungkapkan
kembali
perjuangan
para
pahlawan
kemerdekaan,
atau
mengungkapkan kemungkinan keadaan yang akan datang”. Tujuan dari Metode Bermain Peran adalah agar penanaman dan pengembangan aspek nilai, moral dan sikap siswa akan lebih mudah dicapai bilamana siswa secara langsung mengalami ( memerankan ) peran tertentu, daripada hanya mendengarkan penjelasan ataupun melihat/mengamati saja. Sejalan dengan pendapat Aina (2012) (dalam http://ainamulyana.blogspot. com/2012/02/metode-pembelajaran-bermain-peran.html). Secara spesifik tujuan dari Metode bermain Peran ini adalah sebagai berikut : (1) Agar menghayati suatu kejadian atau hal yang sebenarnya terdapat dalam realita kehidupan. (2) Agar memahami sebab akibat suatu kejadian. (3) Sebagai penyaluran / pelepasan ketegangan dan perasaan tertentu. (4) Sebagai alat mendiagnosa. 5) Concept. (6) Menggali peran – peran seseorang dalam suatu kehidupan, kejadian, dan keadaan. (7) Menggali dan meneliti nilai-nilai atau norma-norma dan peran budaya dalam kehidupan. (8) Membantu siswa dalam mengklasifikasikan atau memperinci, memperjelas pola berfikir, berbuat dan memiliki keterampilan dalam membuat atau mengambil keputusan menurut caranya sendiri. (9) Alat penghubung untuk membina struktur sosial dan sistem nilai lingkungannya. (10) Membina kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, berpikir kritis analitis hidup dalm
15
kelompok dan kehidupan masyarakat. (11) Melatih siswa dalam mengendalikan dan memperbaharui perasaan, cara berpikirnya dan perbuatannya. Sebuah metode yang digunakan tentu saja untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai pula. Pemilihan suatu metode yang akan digunakan tentulah diiringi dengan suatu pertimbangan untuk mendapatkan suatu kebaikan ataupun kelebihan. Menurut Rufina (dalam http://rufina.com/kelemahan-metode-bermain-peran-pdf-d328744650). menyatakan bahwa, kelebihan metode bermain peran adalah sebagai berikut : (1) Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. (2) Memberikan kesempatan kepada siswa-siswa untuk berperan aktif mendramatisirkan sesuatu masalah sosial yang sekaligus melatih keberanian serta kemampuan melakukan suatu adegan dimuka orang banyak. (3) Membuat suasana kelas menjadi hidup, karena perhatian siswa semakin tertarik melihat adegan-adegan seperti keadaan yang sesungguhnya. (4) Para murid dapat menghayati suatu peristiwa, sehingga mudah menganalisis serta mengambil kesinmpulan berdasarkan penghayatan sendiri. (5) Siswa-siswa menjadi terlatih berpikir kritis dan sistimatis. (6) Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa, dan dapat menumbuhkan / membuka kesempatan bagi lapangan kerja. Sedangkan menurut Sanjaya (2006:161) “metode role playing ini merupakan sebagian dari simulasi yang diarahkan utuk mengkreasikan peristiwa peristiwa aktual atau kejadian- kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang”. Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan
16
pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa (Sudjana, 2004:62). Bermain peran dapat dilakukan dalam berbagai macam peranan. Seseorang dapat memerankan berbagai peran dalam satu harinya, misalnya sebagai seorang ibu, istri, teman, kepala sekolah, penjual, pembeli, dan sebagainya. Pada setiap peranan tersebut seorang anak harus dapat berperilaku sesuai dengan peran yang dilakukannya. Cara anak berperilaku pada setiap peranan tersebut bergantung pada status atau posisinya dengan pasangan perannya. Jadi, perilaku ibu kepada anaknya berbeda dengan perilakunya terhadap suaminya dan berbeda pula dengan perilakunya terhadap bawahannya di sekolah. Dengan kata lain kepribadian seseorang adalah keseluruhan peranan yang diperankannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan sekalipun. Seseorang dapat dikatakan mempunyai penyesuaian diri yang baik apabila dapat berperilaku sesuai dengan peranan yang dimilikinya baik sebagai individu maupun makhluk sosial 2.2
Kajian Penelitian yang Relevan Darius Yosep Nim. 34211271. Skripsi. Peningkatan Motivasi Belajar Murid
Dalam Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Melalui Metode Bermain Peran Di Kelas V SDN 02 Toho. Hasil belajar. Sebagai ciri khas peserta didik pada umumnya murid di Kelas V SDN 02 Toho memiliki karakter yang bermacam-macam, ada yang memiliki karakter pendiam, pemalu, penakut, pemberani, selalu tampil Percaya Diri, hyperaktif, egois, dan penurut. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi proses belajar mengajar yang menyenangkan atau
17
kurang menyenangkan bagi guru dan murid jika tidak dapat mengelolanya dengan baik.
Adapun
hasil
belajar
murid
dalam
pembelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan menggunakan metode bermain peran Di Kelas V SDN 02 Toho mengalami peningkatan dari siklus I sebanyak 57,92% menjadi 92,31% yang diambil dari paparan data siklus II, karena setelah dilakukannya kegiatan tersebut murid bersemangat dalam mengikuti materi pelajaran yang disampaikan oleh guru, dan murid dapat berkomunikasi satu sama lain dengan baik sehingga tercipta suasana yang akrab antara guru dan murid, serta antara murid yang satu dengan yang lainnya. 2.3
Hipotesis Tindakan Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan pada
penelitian ini yaitu: Jika pada materi sistem pemerintahan desa guru menggunakan metode bermain peran maka hasil belajar siswa meningkat. 2.4
Indikator Kinerja Yang menjadi indikator kinerja pada penelitian ini adalah jika 85% dari
jumlah siswa telah mencapai ketuntasaan hasil belajar di atas 70 maka penelitian ini dianggap telah berhasil.