BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A.
Kajian Pustaka 1.
Teori Agensi (Agency Theory) Jensen dan Meckling (1976) dalam (Januarti 2009) menggambarkan
adanya hubungan kontrak antar agen (manajemen) dengan pemilik (principal). Agen diberi wewenang oleh pemilik untuk melakukan operasional perusahaan, sehingga agen lebih banyak mempunyai informasi dibandingkan pemilik. Ketimpangan informasi ini biasa disebut sebagai asymetri information.
Baik
pemilik
maupun
agen
diasumsikan
mempunyai
rasionalisasi ekonomi dan semata- mata mementingkan kepentingan sendiri. Agen mungkin akan takut mengunkapkan informasi yang tidak diharapkan oleh pemilik, sehingga terdapat kecenderungan untuk memanipulasi laporan keuangan tersebut. Berdasarkan asumsi tersebut, maka dibutuhkan pihak ketiga yang independen, dalam hal ini adalah akuntan publik. Tugas dari akuntan publik (auditor) memberikan jasa untuk menilai laporan keuangan yang dibuat oleh agen, dengan hasil akhir adalah opini audit (Rezkhy, 2011). Untuk mengawasi perilaku manajer (agen) apakah sudah bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal, maka laporan keuangan yang dibuat oleh manajer dapat diaudit oleh pihak yang independen dan dalam hal ini adalah auditor. Auditor adalah pihak yang dianggap mampu menjembatani kepentingan pihak prinsipal (shareholders) dengan pihak manajer (prinsipal)
12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dalam mengelola keuangan perusahaan (Setiawan 2006). Auditor melakukan fungsi pengawasan pekerjaan manajer melalui sebuah sarana yaitu laporan tahunan. Tugas auditor adalah memberikan opini atas laporan keuangan tersebut, mengenai kewajarannya. Selain memberikan opini atas hasil audit, auditor juga harus mempertimbangkan akan kelangsungan hidup perusahaan (Mirna dan Januarti, 2011).
2.
Pengertian Audit Menurut Elder (2011) Auditing adalah pengumpulan dan evaluasi
bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen. Menurut Arens dan Loebbecke (2013), auditing sebagai suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang independen dan kompeten.
3.
Tipe Audit Menurut Mulyadi (2002) menggolongkan auditing secara umum
menjadi tiga golongan :
13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
1) Audit Laporan Keuangan (Financial Statement Audit) Memperoleh dan mengevaluasi bukti tentang laporan keuangan suatu entitas dengan tujuan untuk memberikan pendapat apakah Laporan Keuangan terserbut telah disajikan secara wajar sesuai dengan PABU hasil audit yang dipakai oleh pemegang saham, kreditor, intansi pemerintah dan masyarakat umum. 2) Audit Kepatuhan (Compliance Audit) Memperoleh dan mengevaluasi bukti untuk menentukan apakah aktivitas keuangan atau operasional dari suatu entitas sesuai dengan kondisi, aturan atau perundang-undangan. Laporan audit dapat berupa (1) ikhtisar temuan atau (2) pemberian pendapat tentang assurance (kepastian) atas kepatuhan dengan kriteria tertentu. 3) Audit Operasional (Operatianal Audit) Memperoleh dan mengevaluasi bukti tentang efesiensi dan efektivitas dari kegiatan operasional suatu entitas sehubungan dengan tujuan tertentu. Objek, cabang, divisi atau fungsi tertentu.
4.
Standar Audit Menurut Elder (2013) Standar auditing yang berlaku umum adalah
sebagai berikut :
14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
1) Standar Umum a.
Audit harus dilakukan oleh orang yang sudah mengikuti pelatihan dan memiliki kecakapan teknis yang memadai sebagai seorang auditor.
b.
Auditor
harus
mempertahankan
sikap
mental
yang
independen dalam semua hal yang berhubungan dengan audit. c.
Auditor harus menerapkan kemahiran profesional dalam melaksanakan audit dan menyusun laporan.
2) Standar Pekerjaan Lapangan a. Auditor harus merencanakan pekerjaan secara memadai dan mengawasi semua asisten sebagaimana mestinya. b. Auditor harus memperoleh pemahaman yang cukup mengenai entitas serta lingkungannya, termasuk pengendalian internal, untuk menilai resiko salah saji yang material dalam laporan keuangan karena kesalahan atau kecurangan, dan untuk merancang sifat, waktu, serta luas prosedur audit selanjutnya. c. Auditor harus memperoleh cukup bukti audit yang tepat dengan melakukan prosedur audit agar memiliki dasar yang layak untuk memberikan pendapat menyangkut laporan keuangan yang diaudit. 3) Standar Pelaporan a. Auditor harus menyatakan dalam laporan auditor apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip-
15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
prinsip akuntansi yang berlaku umum. b. Auditor harus mengidentifikasikan dalam laporan auditor mengenai keadaan di mana prinsip-prinsip tersebut tidak secara konsisten diikuti selama periode berjalan jika dikaitkan dengan periode sebelumnya. c. Jika
auditor
menetapkan
bahwa
pengungkapan
yang
informatif belum memadai, auditor harus menyatakan dalam laporan auditor. d. Auditor harus menyatakan pendapat mengenai laporan keuangan, secara keseluruhan, atau menyatakan bahwa suatu pendapat tidak bisa diberikan, dalam laporan auditor.
6.
Opini Audit Going Concern Going concern adalah kelangsungan hidup suatu badan usaha. Ketika suatu entitas bisnis dinyatakan going concern, artinya entitas tersebut dinyatakan mampu untuk mempertahankan kelangsungan usahanya dalam jangka waktu yang panjang, tidak mengalami likuidasi dalam waktu yang pendek (Setyarno,dkk,. 2006). Opini audit going concern merupakan opini audit modifikasi yang dalam pertimbangan auditor terdapat ketidakmampuan atau ketidakpastian signifikan atas kelangsungan hidup perusahaan dalam menjalankan operasinya (SPAP, 2012).
16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7.
Good Corporate Governance Menurut Monks (2003) dalam Kaihatu (2006) Good Corporate
Governance (GCG) secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Forum for Corporate Governance (FCGI) dalam publikasi yang pertamanya mempergunakan definisi Cadbury Committee, yaitu: "seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hakhak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan” (Retno dan Priantinah, 2012). Haidar (2009) dalam Pertiwi dan Pratama (2012) menjelaskan Good Corporate Governance (Tata kelola perusahaan) adalah rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan dan institusi yang memengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Tata kelola perusahaan juga mencakup hubungan antara para pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat serta tujuan pengelolaan perusahaan. Pihak-pihak utama dalam tata kelola perusahaan adalah pemegang saham, manajemen dan dewan direksi. Tata Kelola Perusahaan adalah suatu subyek yang memiliki banyak aspek. Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut
masalah
akuntabilitas
dan
tanggung
jawab,
khususnya
implementasi pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik
17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dan melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para pemegang saham. Ada pula sisi lain yang merupakan subyek dari tata kelola perusahaan, seperti sudut pandang pemangku kepentingan yang menun-juk perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap pihakpihak lain selain pemegang saham, misalnya karya-wan atau lingkungan. Kaen (2003) dan Shaw (2003) dalam Kaihatu (2006) menjelaskan ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep good corporate governance, yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip good corporate governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Konsep good corporate governance baru populer di Asia. Konsep ini relatif berkembang sejak tahun 1990-an. Konsep good corporate governance baru dikenal di Inggris pada tahun 1992. Negara-negara maju yang tergabung dalam kelompok OECD (kelompok Negara-negara maju di Eropa Barat dan Amerika Utara) mempraktikkan pada tahun 1999 (Kaihatu, 2006). Menurut Kaen (2003) dan Shaw (2003) dalam Kaihatu (2006) menjelaskan secara umum terdapat lima prinsip dasar dari Good Corporate Governance yaitu :
18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
a.
Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.
b.
Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
c.
Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.
d.
Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola
secara
profesional
tanpa
benturan
kepentingan
dan
pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. e.
Fairness (kesetaraan da kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku (Kaihatu, 2006). Corporate governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori
keagenan diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah diinvestasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka,
19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana/kapital yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengontrol para manajer (Shleifer dan Vishny, 1997 dalam Putri, 2012).
8.
Kondisi Keuangan Kondisi
keuangan
perusahaan
adalah
keadaan
atas
keuangan
perusahaan selama periode waktu tertentu. Kondisi keuangan perusahaan menggambarkan kinerja sebuah perusahaan. Media yang dapat dipakai untuk meneliti kondisi kesehatan perusahaan adalah laporan keuangan yang terdiri dari neraca, perhitungan laba-rugi, ikhtisar laba yang ditahan, dan laporan posisi keuangan. Menurut Mc Keown (1991) semakin memburuk kondisi perusahaan maka akan semakin besar kemungkinan perusahaan menerima opini audit going concern. Sebaliknya perusahaan yang tidak pernah mengalami kesulitan keuangan, auditor tidak pernah memberikan opini audit going concern. Mutchler (1985) dalam Santosa (2007) mengungkapkan beberapa karakteristik dari suatu perusahaan yang mengalai kondisi keuangan yang sulit, antara lain perusahan memiliki modal total negatif, arus kas negatif, pendapatan operasi negatif, modal kerja negatif, kerugian pada tahun berjalan, dan deficit saldo laba tahun berjalan. Altman dan McGough (1974) dalam Fanny dan Saputra (2005) menemukan bahwa tingkat prediksi kebangkrutan dengan menggunakan suatu model prediksi mencapai tingkat keakuratan 82%
20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dan menyarankan penggunaan model prediksi kebangkrutan sebagai alat bantu auditor
untuk
memutuskan
kemampuan
perusahaan
mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Fanny dan Saputra (2005) menemukan bahwa penggunaan model prediksi kebangkrutan yang dikembangkan oleh Altman mempengaruhi ketepatan pemberian opini audit. Penelitian yang dilakukan oleh Setyarno, dkk., (2006) juga berhasil membuktikan bahwa model prediksi kebangkrutan Altman berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang terancam bangkrut berpeluang mendapatkan opini audit going concern dari auditor. The Altman Model yang terkenal dengan istilah Z score merupakan suatu
formula
kebangkrutan
yang
dikembangkan
perusahaan
pada
oleh
beberapa
Altman periode
untuk
mendeteksi
sebelum
terjadinya
kebangkrutan. Penelitian ini menggunakan The Altman Model (1968) yang diformulasikan khusus untuk perusahaan manufaktur (Arga dan Linda, 2007). Formulanya adalah sebagai berikut. Z = 1,2Z1 + 1,4Z2 + 3,3Z3 + 0,6Z4 + 1,0Z5
Keterangan: Z1 = working capital/total asset Z2 = retained earnings/total asset Z3 = earnings before interest and taxes/total asset Z4 = market value of equity/book value of debt
21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Z5 = sales/total asset Nilai Z diperoleh dengan menghitung kelima rasio tersebut berdasarkan data pada neraca dan laporan laba/rugi dikalikan dengan koefisien tiap- tiap rasio kemudian hasilnya dijumlahkan.
9.
Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan
besar kecil perusahaan menurut berbagai cara, antara lain: total aktiva, log size, nilai pasar saham, dan lain sebagainya. Ukuran perusahaan menunjukan kemampuan financial perusahaan Kevin (2007). Ukuran umum untuk menggambarkan ukuran perusahaan adalah log of total asset. Krishnan (2000) berpendapat bahwa, semakin besar perusahaa yang diaudit, maka kualitas audit yang diberikan KAP juga semakin besar. Menurut Ferry dan Jones (1979) dalam Panjaitan dan Desinta (2004) ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya perusahaan menurut berbagai cara, antara lain: total aktiva, penjualan, log size, nilai pasar saham, kapitalisasi pasar, dan lain lain yang semuanya berkorelasi tinggi. Semakin besar total aktiva, penjualan, log size, nilai pasar saham, dan kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ukuran perusahaan tersebut. Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam tiga kategori yaitu perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium size), dan perusahaan kecil (small firm). Ardian dan Rahardja (2013) mengatakan variabel ukuran perusahaan diproksikan dengan menggunakan log (total asset).
22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Menurut Sawir (2004) dalam Sudartono (2006) ukuran perusahaan dinyatakan sebagai determinan dari struktur keuangan dalam hampir setiap studi untuk alasan yang berbeda: 1) Ukuran perusahaan dapat menentukan tingkat kemudahan perusahaan memperoleh dana dari pasar modal. Perusahaan kecil umumnya kekurangan akses ke pasar modal yang terorganisir, baik untuk obligasi maupun saham. Meskipun mereka memiliki akses, biaya peluncuran dari penjualan sejumlah kecil sekuritas dapat menjadi penghambat. Jika penerbitan sekuritas dapat dilakukan, sekuritas perusahaan kecil mungkin kurang dapat dipasarkan sehingga membutuhkan penentuan harga sedemikian rupa agar investor mendapatkan hasil yang memberikan return lebih tinggi secara signifikan. 2) Ukuran perusahaan menentukan kekuatan tawar-menawar dalam kontrak keuangan. Perusahaan besar biasanya dapat memilih pendanaan dari berbagai bentuk hutang, termasuk penawaran spesial yang lebih menguntungkan dibandingkan yang ditawarkan perusahaan kecil. Semakin besar jumlah uang yang digunakan, semakin besar kemungkinan kemungkinan pembuatan kontrak yang dirancang sesuai dengan preferensi kedua pihak sebagai ganti dari penggunaan kontrak standar hutang. 3) Ada kemungkinan pengaruh skala dalam biaya dan return membuat perusahaan yang lebih besar dapat memperoleh lebih banyak laba. Pada akhirnya, ukuran perusahaan diikuti oleh karakteristik lain yang
23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mempengaruhi struktur keuangan. Karakteristik lain tersebut seperti perusahaan sering tidak mempunyai staf khusus, tidak menggunakan rencana keuangan, dan tidak mengembangkan sistem akuntansi mereka menjadi suatu sistem manajemen. Ukuran perusahaan dapat diukur dengan berbagai cara, yaitu melalui total aset, total penjualan, maupun nilai pasar saham. Perusahaan yang memiliki total aset besar menunjukan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan umumnya arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu mencerminkan juga bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total aset kecil (Sudaryono, 2006). Ukuran perusahaan diukur menggunakan logaritma total aset (Alexander, 2006, dalam Suaryana dan Febriana, 2012). Perhitungan Ukuran perusahaan berdasarkan logaritma total aset adalah sebagai berikut:
B.
Penelitian Terdahulu Penelitian
mengenai
“Pengaruh
Mekanisme
Good
Corporate
Governance, Kondisi Keuangan dan Ukuran Perusahaan Terhadap Opini Audit Going Concern” ini menggunakan beberapa acuan penelitian sebelumnya. Penelitian Santosa dan Wedari (2007) setelah melalui proses sampel, diperoleh jumlah data sebanyak 310 observasi periode 2001 sampai dengan
24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2005 membuktikan bahwa kondisi keuangan, opini audit tahun sebelumnya, ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kecenderungan penerimaan opini audit going concern, sedangkan kualitas audit, pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh terhadap kecenderungan penerimaan opini audit going concern. Sedangkan dalam penelitian Ginting dan Suryana (2014) dengan sampel perusahaan- perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2008-2012 membuktikan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern, sedangkan kondisi keuangan, pertumbuhan perusahaan dan reputasi auditor berpengaruh terhadap opini audit going concern. Selanjutnya adalah penelitian Chandra (2013) menggunakan sampel perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2010-2011 membuktikan bahwa kepemilikan manajerial, komisaris independen, komite audit tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern. Penelitian selanjutnya Solikhah dan Kiswanto (2010) menggunakan sampel perusahaan go public yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta yang bergerak dalam bidang manufaktur pada tahun 2005 dan 2006 membuktikan bahwa kondisi keuangan, opini audit tahun sebelumnya berpengaruh negatif terhadap opini audit going concern, sedangkan pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern. Penelitian Sherly dan Gunawan (2015) menggunakan 129 sampel selama periode 2011-2013 membuktikan bahwa dewan komisaris independen,
25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kepemilikan manajerial, kepemilikan blockholder dan kondisi keuangan tidak berpengaruh terhadap pemberian opini audit going concern. Penelitian Meriani dan Krisnadewi (2012) menggunakan sampel sebanyak 78 perusahaan selama periode 2008-2010 membuktikan bahwa kondisi keuangan berpengaruh negatif terhadap opini audit going concern. Sebaliknya, pertumbuhan perusahaan dan reputasi auditor tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern. Penelitian Putri, Rasuli, dan Diyanto (2014) menggunakan sampel sebanyak 72 pengamatan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-2013 membuktikan bahwa opinion shopping, disclosure, ukuran perusahaan berpengaruh terhadap opini audit going concern, sedangkan reputasi auditor tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern. Penelitian Januarti (2009) menggunakan sampel seluruh auditee manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia periode 1997-2006 mengungkapkan bahwa variabel yang mempengaruhi opini audit going concern adalah variabel default, In sales (size), lamanya perikatan (audit client tenure), opini tahun sebelumnya (prior opinion) dan kaualitas auditor (specialization), sedangkan variabel yang tidak mempengaruhi opini audit going concern adalah audit lag, opinion shopping, kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional. Penelitian Ravyanda, Dwi, dan Zubaidah (2015) menggunakan sampel dari 503 perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2012
26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mengungkapkan bahwa komisaris independen, komite audit dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern. Penelitian Puspitasari dan Rustiana (2014) menggunakan sampel 327 perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia periode 20102012 mengungkapkan bahwa proporsi dewan komisaris independen, kepemilikan berpengaruh
manajerial, negatif
dan
terhadap
kepemilikan opini
audit
27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
institusional going
concern.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu “Mengenai Kepemilikan Manajerial, Proporsi Dewan Komisaris Independen, Ukuran Komite Audit, Kondisi Keuangan dan Ukuran Perusahaan terhadap Opini Audit Going Concern” No. 1
2
Peniliti (Tahun) Arga Fajar Santosa dan Linda Kusumaning Wedari (2007)
Suriani Ginting dan Linda Suryana (2014)
Metedologi Penelitian Judul Penelitian Analisis Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan Penerimaan Opini Audit Going Concern
Persamaan Penelitian Variabel Independen: Kondisi Keuangan Perusahaan dan Ukuran Perusahaan. Variabel Dependen: Penerimaan Opini Audit Going Concern.
Analisis Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Opini Audit Going Concern Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia
Variabel Independen: Ukuran Perusahaan dan Kondisi Keuangan. Variabel Dependen: Opini Audit Going Concern.
Perbedaan Penelitian Variabel Independen: Kualitas Audit, Opini Audit Tahun Sebelumnya, dan Pertumbuhan Perusahaan. Tahun Data: 2001-2005 Variabel Independen: Pertumbuhan Perusahaan dan Reputasi Auditor. Tahun Data: 2008-2012
Sample: Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia
Hasil Kondisi Keuangan, Opini Audit Tahun Sebelumnya, Ukuran Perusahaan Berpengaruh Terhadap Kecenderungan Penerimaan Opini Audit Going Concern, Sedangkan Kualitas Audit, Pertumbuhan Perusahaan Tidak Berpengaruh Terhadap Kecenderungan Penerimaan Opini Audit Going Concern. Ukuran Perusahaan Tidak Berpengaruh Terhadap Opini Audit Going Concern, Sedangkan Kondisi Keuangan, Pertumbuhan Perusahaan Dan Reputasi Auditor Berpengaruh Terhadap Opini Audit Going Concern.
Bersambung kehalaman berikutnya
28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
No. 3
4
Peniliti (Tahun) Felicia Lianna Chandra (2013)
Badingatus Solikhah dan Kiswanto (2010)
Metedologi Penelitian Judul Penelitian Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance Terhadap Opini Audit Mengenai Going Concern Pada Perusahaan Yang Terdaftar Dalam Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2011
Pengaruh Kondisi Keuangan, Pertumbuhan Dan Opini Audit Tahun Sebelumnya Terhadap Opini Audit Going Concern
Persamaan Penelitian
Perbedaan Penelitian
Variabel Independen: Kepemilikan Manajerial, Komisaris Independen, dan Komite Audit.
Hasil Kepemilikan Manajerial, Komisaris Independen, Komite Audit Tidak Berpengaruh Terhadap Opini Audit Going Concern.
Variabel Dependen: Opini Audit Going Concern Sampel: Perusahaan Yang Terdaftar Dalam Bursa Efek Indonesia Variabel Independen: Kondisi Keuangan
Tahun Data: 2010-2011 Variabel Independen: Pertumbuhan Perusahaan dan Opini Audit Tahun Sebelumnya
Variabel Dependen: Opini Audit Going Concern
Tahun Data: 2005-2006
Kondisi Keuangan, Opini Audit Tahun Sebelumnya Berpengaruh Negatif Terhadap Opini Audit Going Concern, Sedangkan Pertumbuhan Perusahaan Tidak Berpengaruh Terhadap Opini Audit Going Concern.
Bersambung kehalaman berikutnya
29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
No. 5
6
Peniliti (Tahun) Sherly dan Gunawan (2015)
Ni Putu Meriani dan Komang Ayu Krisnadewi (2012)
Metedologi Penelitian Judul Penelitian Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance Dan Kondisi Keuangan Perusahaan Terhadap Opini Audit Going Concern Dengan Ukuran Perusahaan Sebagai Variabel Moderating
Pengaruh Kondisi Keuangan, Pertumbuhan Perusahaan, Dan Reputasi Auditor Pada Pengungkapan Opini Audit Going Concern
Persamaan Penelitian
Perbedaan Penelitian
Variabel Independen: Dewan Komisaris Independen, Kepemilikan Manajerial, Kondisi Keuangan Perusahaan dan Ukuran Perusahaan
Variabel Independen: Kepemilikan Blockholder
Variabel Dependen: Penerimaan Opini Audit Going Concern Variabel Independen: Kondisi Keuangan
Tahun Data: 2011-2013
Variabel Dependen: Pengungkapan Opini Audit Going Concern
Hasil Dewan Komisaris Independen, Kepemilikan Manajerial, Kondisi Keuangan Perusahaan, Ukuran Perusahaan, Kepemilikan Blockholder Tidak Berpengaruh Negatif Terhadap Opini Audit Going Concern
Variabel Independen: Kondisi Keuangan Berpengaruh Negatif Pertumbuhan Perusahaan Terhadap Opini Audit Going Concern. Dan Reputasi Auditor Sebaliknya, Pertumbuhan Perusahaan Dan Reputasi Auditor Tidak Berpengaruh Terhadap Opini Audit Going Concern. Tahun Data: 2008-2010 Bersambung kehalaman berikutnya
30
http://digilib.mercubuana.ac.id/
No. 7
8
Peniliti (Tahun) Tria Widiastuti, M. Rasuli dan Volta Diyanto (2014)
Indira Januarti (2009)
Metedologi Penelitian Judul Penelitian Pengaruh Opinion Shopping, Reputasi Auditor, Disclosure, dan Ukuran Perusahaan Terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern Pada Perusahaan Manufaktur 20112013 Yang Listing Di Bursa Efek Indonesia
Analisis Pengaruh Faktor Perusahaan, Kualitas Auditor, Kepemilikan Perusahaan Terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern (Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)
Persamaan Penelitian Variabel Independen: Ukuran Perusahaan
Perbedaan Penelitian Variabel Independen: Opinion Shopping, Reputasi Auditor, dan Disclosure
Variabel Dependen: Opini Audit Going Concern Sampel: Perusahaan Manufaktur Yang Listing Di Bursa Efek Indonesia Variabel Independen: Kondisi Keuangan, Ukuran Perusahaan, dan Kepemilikan Manajerial dan Institusional Variabel Dependen: Opini Audit Going Concern Sampel: Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia
Hasil Opinion Shopping, Disclosure, Ukuran Perusahaan Berpengaruh Terhadap Opini Audit Going Concern, Sedangkan Reputasi Auditor Tidak Berpengaruh Terhadap Opini Audit Going Concern.
Tahun Data: 2011-2013 Variabel Independen: Debt Default, Opini Audit Tahun Sebelumnya, Audit Lag, Audit Client Tenure, Kualitas Audit, dan Opinion Shopping
Tahun Data: 1997-2006
31
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Variabel Yang Mempengaruhi Opini Audit Going Concern Adalah Variabel Default, In Sales (Size), Lamanya Perikatan (Audit Client Tenure), Opini Tahun Sebelumnya (Prior Opinion), Kondisi Keuangan, Dan Kaualitas Auditor (Specialization), Sedangkan Variabel Yang Tidak Mempengaruhi Opini Audit Going Concern Adalah Audit Lag, Opinion Shopping, Kepemilikan Manajerial Dan Kepemilikan Institusional. Bersambung kehalaman berikutnya
No. 9
10
Peniliti (Tahun)
Metedologi Penelitian Judul Penelitian
Moh. Gusti Ravyanda, Endang Dwi W dan Siti Zubaidah (2015)
Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, Dan Kepemilikan Institusional Terhadap Opini Audit Asumsi Going Concern
Anastasia Sally Puspitasari dan Rustiana (2014)
Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris Independen, Kepemilikan Manajerial Dan Kepemilikan Institusional Terhadap Pemberian Opini Audit Going Concern
Persamaan Penelitian Variabel Independen: Komisaris Independen dan Komite Audit.
Perbedaan Penelitian Variabel Independen: Kepemilikan Institusional
Variabel Dependen: Opini Audit Going Concern
Hasil Komisaris Independen, Komite Audit Dan Kepemilikan Institusional Tidak Berpengaruh Terhadap Opini Audit Going Concern.
Tahun Data: 2010-2012
Variabel Independen: Proporsi Dewan Komisaris Independen dan Kepemilikan Manajerial
Variabel Independen: Kepemilikan Institusional
Variabel Dependen: Opini Audit Going Concern
Tahun Data: 2010-2012
Sumber : Dari berbagai jurnal
32
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Proporsi Dewan Komisaris Independen, Kepemilikan Manajerial, Dan Kepemilikan Institusional Berpengaruh Negatif Terhadap Opini Audit Going Concern.
C.
Rerangka Pemikiran Menggambarkan hubungan antara variabel yang didukung oleh analisa
peneliti- peneliti terdahulu. 1.
Herawaty (2008) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial dapat berfungsi sebagai mekanisme corporate governance sehingga dapat mengurangi tindakan manajer dalam memanipulasi laba dan merupakan sarana monitoring yang efektif yang dapat membawa pada kualitas pelaporan yang lebih tinggi, sehingga opini audit yang diberikan auditor atas laporan keuangan perusahaan cenderung merupakan opini yang bersih (clean opinion).
2.
Fama dan Jensen (1983) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa komisaris independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. komisrais manajer.
Pengawasan independen Kinerja
yang
dilakukan
dapat
yang
baik
oleh
meningkatkan dapat
dewan kinerja
memungkinkan
perusahaan memperoleh opini audit non going concern. 3.
Komite audit berfungsi untuk meningkatkan fungsi audit internal dan eksternal serta meningkatkan kualitas laporan keuangan. Dengan adanya komite audit maka akan ada pengawasan yang
33
http://digilib.mercubuana.ac.id/
lebih kuat agar laporan keuangan yang dihasilkan berkualitas. Sehingga semakin baik komite audit, maka semakin kecil penerimaan opini audit going concern terhadap perusahaan (Linoputri, 2010). 4. Pramudita (2010) menunjukan bahwa kondisi keuangan yang dihitung dengan metode kebangkrutan revised Z-Score berpengaruh positif terhadap penerimaan opini going concern. Kondisi keuangan perusahaan dikatakan bermasalah jika perusahaan memiliki beberapa indikator seperti total modal negatif, arus kas negatif, pendapatan operasi negatif, modal kerja negatif, kerugian tahun berjalan, dan defisit saldo laba tahun berjalan. Jadi, apabila perusahaan memiliki indikatorindikator tersebut, maka perusahaan memiliki probabilitas menerima opini going concern. 5. Ukuran perusahaan menggambarkan besar kecilnya suatu perusahaan. Auditor lebih sering mengeluarkan opini audit going concern pada perusahaan yang lebih kecil. Maka semakin besar perusahaan akan semakin kecil kemungkinan perusahaan menerima opini audit going concern. Hal ini disebabkan karena opini giong concern cenderung lebih dibutuhkan
oleh
perusahaan
kecil
untuk
menjamin
kelangsungan hidup perusahaannya (Ginting dan Suryana, 2014).
34
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan s e p e r t i
b e r ikut ini :
35
http://digilib.mercubuana.ac.id/
D.
Hipotesis Berdasarkan
kerangka
penelitian
di
atas,
model
tersebut
menggambarkan pengaruh antara Mekanisme Good Corporate Governance yang terdiri dari Kepemilikan Manajerial, Proporsi Dewan Komisaris Independen,
dan Ukuran Komite Audit, Kondisi Keuangan, Ukuran
Perusahaan (variabel independen) terhadap Opini Audit Going Concern (variabel dependen). Oleh karena itu,
sesuai permasalahan penelitian dan
tujuan penelitian ini, hipotesis yang diajukan untuk diuji adalah:
1. Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Opini Audit Going Concern Jensen dan Meckling (1976) dalam Herawaty (2004) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berhasil menjadi mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dari manajer dengan menyelaraskan kepentingan-kepentingan manajer dengan pemegang
saham.
Penelitian
mereka
menemukan
bahwa
kepentingan manajer dengan pemegang saham eksternal dapat disatukan jika kepemilikan saham oleh manajer diperbesar sehingga
manajer
tidak
akan
memanipulasi
laba
untuk
kepentingannya. Shleifer dan Vishny (1986) Herawaty (2004) menyatakan bahwa dalam kepemilikan saham yang rendah, maka insentif
terhadap
kemungkinan
terjadinya
36
http://digilib.mercubuana.ac.id/
perilaku
oportunistik manajer akan meningkat. Kepemilikan manajerial akan mendorong manajemen untuk meningkatkan memiliki
kinerja
perusahaan
Peningkatan
kinerja
perusahaan, (Sujoko
karena
dan
perusahaan
mereka
Soebiantoro,
menyebabkan
juga 2007).
perusahaan
memperoleh opini audit non going concern. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang diajukan yaitu: H1 : Kepemilikan Manajerial berpengaruh terhadap Opini Audit Going Concern.
2. Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris Independen terhadap Opini Audit Going Concern Didalam Teori Agensi dijelaskan bahwa permasalahan antara manajemen dan pemilik muncul karena adanya perbedaan kepentingan diantara
keduanya,
sehingga
dibutuhkan
pengawasan
dari
pihak
independen dalam hal ini komisaris independen agar manajemen bertindak sesuai keinginan pemilik dan tidak melakukan tindakan kecurangan yang dapat merugikan pemilik, baik pemegang saham mayoritas maupun pemegang saham minoritas. Keberadaan komisaris independen telah diatur oleh Bursa Efek Jakarta melalui peraturan Kep-361/BEJ/06-2000 tanggal 1 Juli 2000 yang menjelaskan
bahwa
dalam
rangka
penyelenggaraan
37
http://digilib.mercubuana.ac.id/
pengelolaan
perusahaan yang baik, perusahaan yang tercatat di Bursa harus mempunyai Komisaris Independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki pemegang saham minoritas (bukan controlling shareholders) dengan ketentuan jumlah Komisaris Independen sekurang-kurangnya 30% dari seluruh anggota Dewan Komisaris. Semakin besar proporsi komisaris independen maka semakin tinggi pengawasan dan pengaruh komisaris independen terhadap kinerja manajemen dalam mengelola perusahaan yang bertujuan meningkatkan nilai dan daya saing perusahaan. Selain itu, tingginya pengawasan komisaris independen dapat mengurangi masalah keagenan yang terjadi antara agen (manajemen) dengan prinsipal (pemilik), sehingga dapat mencegah tindakan manipulasi atas laporan keuangan yang biasanya dilakukan
manajemen
untuk
memenuhi
kepentingannya,
yaitu
mendapatkan kompensasi yang tinggi bila laba perusahaan meningkat. Hal ini diharapkan dapat membawa pada pelaporan keuangan yang lebih berkualitas, sehingga kemungkinan auditor mengeluarkan opini audit going concern semakin kecil. Hasil penelitian Setiawan (2011) mengungkapkan adanya pengaruh negatif proporsi komisaris independen terhadap penerimaan opini audit going concern pada perusahaan. Hal ini sejalan dengan penelitian Iskandar et al., (2011) yang menyatakan proporsi komisaris berhubungan negatif dengan going concern problems yang diproksikan dengan opini going concern. Proporsi komisaris independen yang lebih besar mampu
38
http://digilib.mercubuana.ac.id/
memberikan pengawasan yang lebih baik sehingga kemungkinan auditor memberikan opini audit going concern kecil. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang diajukan yaitu: H2 : Proporsi Dewan Komisaris Independen berpengaruh terhadap Opini Audit Going Concern.
3. Pengaruh Ukuran Komite Audit terhadap Opini Audit Going Concern Komite Audit mulai diperkenalkan kepada dunia usaha di Amerika Serikat pada tahun 1930-an. Kemudian pada tahun 1970-an, New York Stock Exchange (NYSE) mulai mewajibkan keberadaan komite audit sebagai persyaratan pencatatan. Sejak itu banyak Negara yang membuat ketentuan mengenai Komite Audit apakah itu dalam bentuk Code of Best Practices, peraturan perundang-undangan, maupun persyaratan pencatatan di bursa. Sejalan dengan kecenderungan internasional ini, persyaratan semacam ini juga telah ditetapkan di Indonesia melalui Pedoman Good Corporate Governance yang diterbitkan pada bulan Mei 2002. Pada umumnya dewan komisaris membentuk komite-komite dibawahnya
sesuai
dengan
kebutuhan
perusahaan
dan peraturan
perundangan yang berlaku. Komite tersebut ditujukan untuk membantu dewan komisaris dalam melaksanakan tanggung jawab dan wewenangnya secara efektif. Berkaitan dengan peran komite audit sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian perusahaan, FCGI membagi
39
http://digilib.mercubuana.ac.id/
tanggung jawab komite audit pada tiga bidang, yaitu: laporan keuangan, tata kelola perusahaan, dan pengawasa perusahaan. Komite audit berfungsi untuk
meningkatkan
fungsi
audit
internal
dan
eksternal
serta
meningkatkan kualitas laporan keuangan. Dengan adanya komite audit maka akan ada pengawasan yang lebih kuat agar laporan keuangan yang dihasilkan berkualitas. Sehingga semakin baik komite audit, maka semakin kecil penerimaan opini audit going concern terhadap perusahaan. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang diajukan yaitu: H3 : Ukuran Komite Audit berpengaruh terhadap Opini Audit Going Concern.
4. Pengaruh Kondisi Keuangan terhadap Opini Audit Going Concern Kondisi perusahaan
keuangan
yang
perusahaan
sebenarnya
menggambarkan
(Ramadhany,
2004).
keadaan
Kondisi
ini
digambarkan dengan rasio keuangan yang dapat memberikan indikasi bahwa perusahaan dalam keadaan baik atau buruk. Perusahaan yang dalam kondisi baik akan memiliki profitabilitas yang besar cenderung memiliki
laporan keuangan
yang sewajarnya
sehingga peluang
mendapatkan opini yang baik juga semakin besar dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki nilai profitabilitas rendah. Carcello dan Neal (2000) menyatakan bahwa semakin buruk kondisi
keuangan perusahaan maka semakin besar probabilitas
perusahaan menerima opini audit going concern. McKnown et al (1991)
40
http://digilib.mercubuana.ac.id/
memberikan opini audit going concern terhadap perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang diajukan yaitu: H4 : Kondisi Keuangan berpengaruh terhadap Opini Audit Going Concern.
5. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Opini Audit Going Concern McKnown and Hopwood (1991) mengatakan bahwa perusahaan besar lebih banyak menawarkan fee audit tinggi daripada yang ditawarkan oleh perusahaan kecil. Dalam kaitannya mengenai kehilangan fee audit yang signifikan tersebut, sehingga auditor mungkin ragu mengeluarkan opini audit going concern pada perusahaan besar. Mutchler, dkk (1997) dalam penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi laporan audit
pada
perusahaan pada perusahaan
gulung tikar.
Memberikan bukti empiris bahwa ada hubungan negatif antara ukuran perusahaan dengan penerimaan opini audit going concern. Semakin besar ukuran perusahaan akan berpengaruh terhadap pemilihan agen karena perusahaan besar cenderung menjadi subjek pemeriksaan (pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah dan masyarakat) yaitu dengan mencari manajer yang benar-benar dapat dipercaya dan mengetahui secara jelas kapabilitas dan personaliatas dengan kontrak insentif dan skema kompensasi operasional yang jelas sehingga memotivasi agen untuk bekerja sesuai dengan kepentingan principal dengan penghargaan yang wajar terhadap principal. Reward merupakan salah satu cara yang
41
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dilakukan oleh principal kepada agen agar agen dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan keinginan principal, maka secara logis dapat diartikan bahwa semakin besar ukuran perusahaan maka akan semakin besar pula reward yang diterima, reward yang diberikan dapat berupa bonus dengan timbal balik pengambilan keputusan yang menguntungkan pihak principal. Konsekuensi logis dari adanya reward adalah terjadinya perilaku yang tidak semestinya (dysfunctional behaviour) dikalangan manajer, manajer sebagai agen akan cenderung melakukan manipulasi akuntansi agar kinerjanya terlihat bagus. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang diajukan yaitu: H5 : Ukuran Perusahaan berpengaruh terhadap Opini Audit Going Concern.
42
http://digilib.mercubuana.ac.id/