BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Pada subbab ini dilakukan penelusuran tulisan dan penelitian yang lalu untuk membantu dan melihat manfaatnya dalam memberikan gambaran yang berhubungan dengan struktur teks mitos, fungsi dan makna teks mitos, serta pola pewarisannya dalam kehidupan masyarakat Serangan. Beberapa penelitian dan tulisan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Tesis yang berjudul “Badawangnala dalam Palinggih Meru di Pura Penataran Agung Dalem Belingkang Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli (Perspektif teologi Hindu)” oleh Sunasdyana (2010) menyebutkan bahwa setiap bangunan suci memiliki perbedaan penafsiran dalam penggunaan simbol Badawangnala, seperti palinggih, gedong, tugu, dan bade pengusung jenasah. Dengan demikian, diperlukan aturan yang pasti dalam penggunaan simbol sebagai pedoman bagi undagi karena alasan estetik pada bangunan suci sehingga melemahkan fungsi dari simbol tersebut. Dari pandangan tersebut Sunasdyana merumuskan permasalahan:
bagaimana
bentuk
Badawangnala,
fungsi
penggunaan
Badawangnala, dan makna teologi penggunaan Badawangnala pada palinggih meru. Subjek penelitian Sunasdyana berupa simbol Badawangnala pada bangunan suci,
sedangkan
peneliti,
mengkaji
teks
mitos
Badawangnala
yang
diimplementasikan pada bagunan suci di Pura Batu Api di Desa Serangan.
15
16
Penelitian yang dilakukan oleh Surasmi (1990) berjudul “Kegunaan Meru Pura Yeh Gangga Perean” menemukan fungsi, struktur bentuk, dan hiasan pada meru Pura Yeh Gangga, serta menjelaskan mantra-mantra yang diucapkan pada saat upacara di pura tersebut. Meru atau bangunan suci pada masyarakat Bali memiliki kesamaan latar belakang sejarah dengan mitos Badawangnala. Menurut kepercayaan masyarakat Bali, meru adalah simbol dari Gunung Mandaragiri, menceritakan tentang pemutaran lautan susu. Konsep penelitian tersebut menjelaskan sejarah keterkaitannya
dengan India, Jawa, dan Bali. Penelitian
Surasmi terkait dengan mitos Badawangnala dapat mempertajam konsep penelitian ini. Selain itu, kajian pustaka ini membantu penulis menghindari halhal yang telah dikaji. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah bahwa peneliti menggali lebih dalam asal usul teks mitos Badawangnala, fungsi mitos Badawangnala, dan pola pewarisannya pada masyarakat Serangan. Disertasi Sudiana yang diterbitkan dengan judul Pertentangan Ideologis Barat dan Timur Tentang Penyu di Bali (Sudiana, 2010) membahas tentang penyu yang berkaitan erat dengan kepercayaan yakni sebagai simbol dalam upacara, yang diyakini bahwa secara mitologis penyu sebagai lambang dasar dunia dan penyu termasuk binatang suci. Dengan demikian, pemanfaatan penyu dalam upacara tidak lagi berkonotasi hanya untuk dikonsumsi, tetapi sebagai simbol kepercayaan masyarakat Bali. Berdasarkan kekuatan mitologi yang dipercaya masyarakat Bali, penyu dipergunakan sabagai sarana upacara dan divisualisasikan menjadi dasar dalam bangunan padmasana serta simbol keharmonisan dunia.
17
Penelitian Sudiana lebih menekankan penggunaan daging penyu sebagai sumber perekonomian,
konsumsi dan sarana upacara di Desa Serangan.
sebaliknya peneliti meneliti struktur teks mitos, fungsi dan makna, dan strategi pewarisan mitos Badawangnala di Pulau Serangan. Buku Sudiana tersebut dapat digunakan sebagai
referensi dalam penulisan tentang konsep Badawangnala,
gambaran umum Desa Serangan, dan sebagai acuan penulisan peneliti untuk menghindari pengulangan kajian penelitian. Penelitian Kusuma (2002) yang berjudul “Mitos Bake di Desa Suana Nusa Penida” mengulas tentang pandangan masyarakat pesisir Desa Serangan bahwa mitos bake sebagai warisan budaya yang berisikan nilai-nilai yang berfungsi sebagai pelestarian kehidupan. Melalui pemahaman mitos bake diharapkan masyarakat Desa Suana di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali menjadikannya sebagai pedoman untuk melestarikan lingkungan hidupnya. Penelitian tersebut memiliki kesamaam dengan penelitian ini tentang makna mitos yaitu berupa nilai-nilai yang tercermin dalam aktivitas kehidupan masyarakat setempat, seperti ritual, aktivitas sosial, dan pelestarian lingkungan. Perbedaannya terletak pada subjek penelitian, peneliti mengkaji mitos Badawangnala. Sedangkan penelitian tersebut mengkaji mitos bake yang dapat dijadikan referensi karena memiliki kesamaan nilai. Penelitian yang ditulis oleh Meitridwiastini (2012) berjudul “Mitos Keris Ki Baru Gajah: Sumber Tekstual Tradisi Ngebek dan Nglisah di Kecamatan Kediri, Tabanan” menganalisis struktur mitos yang bersifat tekstual, menjelaskan implementasi mitos Keris Ki Baru Gajah dalam Purana Pura Luhur Pakendungan
18
dan mengungkap fungsi dan makna yang berkembang di masyarakat Kediri, Tabanan. Penelitian Meitridwiastini memiliki kesamaan dengan penelitian ini dalam mengungkap keterkaitan mitos dengan pelaksanaan ritual. Sedangkan perbedaannya terlihat pada, mitos Badawangnala yang bersifat kontekstual, mitos beradaptasi dengan pola kehidupan masyarakat saat yang mengalami perubahan sesuai dengan zamannya. Penelitian yang dilakukan oleh Meitridwiastini dapat digunakan sebagai bahan pembanding penelitian mitos Badawangnala yang dilisankan di Pulau Serangan. Penelitian yang dilakukan oleh Woinarski (2002) berjudul “Pulau Serangan: Dampak Pembangunan pada Lingkungan dan Masyarakat” membahas: pertama, dampak proyek BTID terhadap lingkungan maupun sosial budaya dan ekonomi masyarakat Serangan; kedua, penyelamatan kondisi fisik Pulau Serangan dari kerusakan; dan ketiga, peningkatkan perekonomian masyarakat, pelestarian peninggalan budaya dan meningkatan apresiasi budaya. Kesamaannya dengan penelitian ini adalah lokasi penelitian, yaitu di Pulau Serangan. Sementara itu, perbedaannya peneliti meneliti struktur teks, fungsi dan makna, serta pewarisan mitos Badawangnala. Laporan penelitian yang dilakukan oleh Lisa dapat dijadikan pembanding, referensi, dan penambah wawasan tentang kehidupan masyarakat di Pulau Serangan yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat Serangan. Hal ini tampak rekonstruksi kehidupan yang lebih baik hubungan manusia dengan alam lingkungan, melalui upacara piodalan di Pura Batu Api sebagai pengingat pada sang pencipta.
19
Setelah dicermati, penelitian terhadap mitos Badawangnala belum ada yang melakukannya. Diharapkan dari kajian pustaka yang peneliti lakukan dapat diperoleh acuan atau referensi untuk memecahkan masalah terhadap penelitian yang dilakukan. Kajian pustaka yang dilakukan tentu dapat menguatkan hasil penelitian. Kajian-kajian di atas bermanfaat dan dapat memberikan inspirasi serta gambaran fenomena budaya yang dipengaruhi oleh modernisasi dan berdampak pada perubahan budaya lokal kehidupan masyarakat Desa Serangan. Namun, peneliti tidak menemukan ada peneliti lain yang mengkaji tentang struktur teks, fungsi dan makna, serta strategi pewarisan mitos Badawangnala.
2.2 Konsep Dalam penelitian ini ada beberapa konsep yang berkaitan dengan kajian tentang Mitos Badawangnala di Pura Batu Api di Pulau Serangan yang perlu diuraikan yakni sebagai berikut.
2.2.1 Mitos Badawangnala Mitos adalah cerita suci yang mendukung kepercayaan atau religi dan dianggap benar (Hutomo, 1990: 63). Mitos merupakan sistem komunikasi yang diikuti dan berkaitan erat dengan ritual yang diucapkan. Dalam masyarakat, ritual dilakukan oleh pemuka-pemuka agama agar terhindar dari bahaya dan mendatangkan keselamatan. Relevansinya dengan ritual tidak hanya dalam hal agama, tetapi sebagai fenomena kultural suatu bangsa yang unik, mitos bermakna, memuat identitas diri, dan kekuatan tertentu.
20
Mitos dikenal dengan cerita anonym mengenai asal mula alam semesta dan tujuan hidup yang berisikan penjelasan-penjelasan dari masyarakat kepada anakanak mereka mengenai dunia, tingkah laku, citra alam, dan tujuan hidup manusia yang sifatnya mendidik (Wellek & Warren, 1989: 243). Kata mitos berasal dari bahasa Yunani mythos ‘kata’, ‘ujaran’, ‘kisah tentang dewa-dewa’. Sebuah mitos adalah narasi yang karakter utamanya adalah seorang dewa, para pahlawan, dan makhluk mistis, plotnya di sekitar benda-benda dan setting-nya di dunia metafisika dengan dunia nyata. Mitos berfungsi menjelaskan asal usul, tindakan, dan karakter manusia selain fenomena di dunia yang dapat menyampaikan nilainilai dan moral kepada generasi selanjutnya. Mitos dalam kebudayaan diklasifikasikan dalam beberapa cerita, yaitu kosmogonis, eskatologis, dan eksplanatoris. Kosmologis: bagaimana dunia itu ada. Eskatologis: menjelaskan akhir dunia. Biasanya mitos ini meramalkan kerusakan dunia, dewa akan mengirim manusia ke surgawi atau penyiksaan abadi tergantung dari cara hidup yang manusia jalani. Eksplanatoris: mitos yang berusaha menjelaskan peristiwa
alam (Barthes, 1983). Mitos Badawangnala
bersifat eksplanatoris yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan, informasi, dan data, serta menghubungan variable satu dengan variable lain yang saling memengaruhi sehingga dapat menjelaskan fenomena sosial. Pakar sosiolog, Prancis Emile Durkheim (1912: 12) menyatakan bahwa alam adalah model keteraturan, keteramalan, dan sesuatu yang biasa. Mitos muncul sebagai respons emosional terhadap eksistensi sosial yang menghasilkan kode moral narasi historis. Mitos dan ritual berasal dari kedua hal tersebut yang
21
kemudian mempertahankan dan memperbaharui sistem moral, menjaga supaya tidak dilupakan dan mengikat manusia secara sosial. Kesadaran manusia dalam setiap individu mampu menempatkan perilaku dan perbuatan sesuai dengan sistem moral. Menurut mitologi Hindu yang berkembang di masyarakat Bali, mitos Badawangnala bersumber dari teks Adiparwa I. Mitos tersebut menceritakan pemutaran Gunung Mandaragiri untuk mencari tirta amarta. Gunung Madaragiri digunakan untuk mengaduk lautan susu, sedangkan Badawangnala sebagai dasar bumi yang menyangga Gunung Mandaragiri. Badawangnala adalah avatara (jelmaan) Dewa Wisnu yang diutus oleh Bhatara Agung. Peran penting penyu dalam kosmologi dan Dewa Wisnu sebagai penyelamat dunia maka binatang penyu dianggap sebagai lambang dasarnya dunia (Cudamani, 1998: 20). Berdasarkan cerita itulah dibangun tempat suci yang disebut padmasana. Padmasana berbentuk Badawangnala yang dililit oleh dua ekor naga, yaitu Naga Basuki dan Naga Anantaboga. Naga Basuki merupakan simbol dari lapisan air yang menutupi kulit bumi dan Anthaboga merupakan simbol dari bumi pertiwi. Badawangnala adalah gambaran arsitektur penyu raksasa yang mengeluarkan api pada dasar bangunan padmasana. Secara etimologis, kata Nala berasal dari kata anala
yang berarti
api
sedangkan
Badawang
artinya
penyu
raksasa.
Badawangnala berarti penyu raksasa yang mengeluarkan api (Sanjaya, 2001: 7). Mitos yang dikenal dengan cerita masa lalu yang berkaitan erat dengan manusia dan lingkungan alamnya. Oleh karena itu, mitos Badawangnala adalah cerita masa lalu tentang Dewa Wisnu sebagai penyelamat dunia yang menjelma
22
sebagai Badawangnala (kurmaraja), yaitu penyu raksasa yang mengeluarkan api. Cerita ini mendukung kepercayaan masyarakat dan merupakan pedoman inspirasi untuk mempertahankan dan memperbaharui sistem moral atau perubahan tingkah laku. Perkembangan
teks
mitos
Badawangnala
dalam
perjalanan
dan
pengembangannya mengubah perilaku masyarakat Serangan. Teks mitos Badawangnala di Serangan memiliki keunikan karena variasinya. Teks mitos Badawangnala yang awalnya bersumber pada Adiparwa berkembang melalui media cerita Watugunung. Dalam cerita Watugunung, Badawangnala diyakini memberikan kekuatan untuk mengatasi permasalahan di Desa Serangan. Keyakinan mereka, Badawangnala sebagai Kurma Avatara Dewa Wisnu, yang berbentuk penyu raksasa, berkuku tajam, bernapaskan api, tergambarkan pada Pura Batu Api.
2.2.2 Serangan Sebelum adanya reklamasi Serangan adalah nama sebuah pulau. Pulau adalah daratan yang dikelilingi oleh laut. Pulau Serangan terletak di sebelah selatan Pulau Bali. Pulau Serangan merupakan wilayah administrasi Kelurahan Serangan, Denpasar Selatan (Wiana. 2010: 11). Pulau itu dikenal sebagai tempat persinggahan penyu terbesar di Indonesia setelah Kalimantan sehingga dikenal dengan Pulau Penyu. Penyu singgah di Pulau Serangan untuk bertelur sehingga perkembangbiakan penyu sangat besar dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat
23
setempat selain digunakan sebagai bagian dari sesajen dalam ritual bagi masyarakat Serangan. Serangan merupakan pulau yang dikelilingi oleh tanaman bakau, terhindar dari abrasi. Menuju ke Pulau Serangan sebelum reklamasi, yaitu sebelum tahun 1996, harus memakai jukung atau perahu kecil, bila air laut surut dapat dilalui dengan berjalan kaki. Setelah reklamasi, sekarang, Pulau Serangan dihubungkan dengan jalan aspal dari arah Sanur. Penyebutan pulau bagi Pulau Serangan saat ini mulai berkurang, karena berdasarkan geografi, pulau adalah daratan yang dikelilingi oleh lautan. Tampak sekarang Serangan telah dihubungkan dengan jalan beraspal dan mudah dijangkau dengan berkendara, dapat dilalui setiap saat, tanpa harus menunggu air laut surut atau air laut pasang. Luas Serangan saat ini 491 hektar setelah direklamasi. Perluasan tanah adalah hak milik BTID, yang saat ini digunakan oleh masyarakat Serangan sebagai hak guna pakai. Mereka tidak menyewa, dapat dipakai tanpa batas waktu, sebagai timbal baliknya, turut berpartipasi dalam pengembangan BTID dalam hal perizinan dan dapat diterima masyarakat dengan baik.
2.2.3 Tradisi Lisan Secara etimologis, kata tradisi berasal dari bahasa Latin dan bahasa Inggris. Tradition dalam bahawa Latin memiliki arti, menyampaikan atau meneruskan, sedangkan dalam bahasa Inggris, tradition memiliki arti tradisi atau adat istiadat. Kata tradisi adalah hal yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan memiliki ciri-ciri sebagai pesan yang
24
disampaikan secara lisan, seperti ucapan, nyanyian, dan musik, selain itu berasal dari generasi sebelumnya. Tradisi merupakan budaya suatu daerah yang sarat dengan nilai-nilai budaya, moral, dan dapat membentuk identitas serta membangun peradaban. Tradisi lisan merupakan tradisi yang dilisankan dan yang diwariskan secara turuntemurun. Penyampaian informasi pada masa lalu, dilakukan secara lisan. Pada zaman dahulu belum ada media yang mendukung, seperti belum dikenal tulisan dan alat rekam, tetapi manusia melakukan proses pewarisannya melalui media lisan, dengan berbagai pengalaman yang mereka miliki, seperti ilmu pengetahuan, daya ingat, dan kreasi atau menciptakan gaya tuturan. Kejadian atau peristiwa yang disampaikan dalam suatu komunitas masyarakat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa lisan, seperti adat istiadat, mitos, dongeng, nyanyian, mantra, ritual, dan pengobatan. Demikian pula yang diungkapkan oleh Sibarani (2012: 5) bahwa tradisi lisan tidak dapat dipisahkan dari keberaksaraan. Keduanya memiliki potensi yang saling berkaitan. Cerita yang dilisankan dalam pewarisannya dapat berbentuk tulisan. Kemudian, dari tulisan dituturkan kembali, seperti yang terdapat dalam cerita rakyat, yaitu dongeng, hikayat, dan mite. Tradisi lisan dapat dijadikan kekuatan kultural dalam pembentukan identitas dan pembangunan peradaban (Sibarani, 2012: 15). Dongeng atau cerita dapat mengingatkan dan membentuk manusia untuk menjadi lebih baik, seperti cerita kancil yang sering diceritakan oleh orang tua kita terdahulu. Tokoh kancil kemudian dikenal sebagai tokoh yang cerdik dan pintar. Hal ini membuat anak-
25
anak mampu berpikir seperti si kancil dalam menghadapi lingkungan agar tidak mudah terkena tipu daya. Pudentia (2008: 3-4) menyatakan dalam kata pengantar buku Metodologi Kajian Tradisi Lisan, bahwa “Tradisi lisan diartikan
sebagai “wacana yang
diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara” atau dikatakan juga sebagai “sistem
wacana
yang
bukan
aksara”.
Kepedulian
menumbuhkan
dan
meningkatkan mutu akademisi dalam mengkaji tradisi lisan, menurut Pudentia, dimaksudkan untuk memberikan penjelasan dan pemahaman bagi peneliti dan akademisi kajian tradisi lisan. Dengan memahami dan mengerti kegiatan budaya, peneliti tidak mempertentangkan antara teks dan konsep. Hal ini bertujuan memberikan keleluasaan akademisi dalam mengkaji kegiatan budaya. Demikian pula yang diungkapkan oleh Hoed (2008: 185), tradisi lisan lebih luas dari bahasa, dalam pengertiannya didengar dan dikatakan. Teks tradisi lisan memiliki latar belakang yang sama dengan teks tertulis. Pada kajian mitos Badawangnala yang dilisankan di Pulau Serangan memiliki latar belakang yang sama dengan Lontar Adiparwa dan Lontar Medang Kemulan. Diceritakan dalam kedua lontar tersebut bahwa terdapat penokohan yang sama, yaitu Dewa Wisnu. Secara mitologis, bahwa Dewa Wisnu adalah penyelamat manusia. Dengan demikian, penutur di Serangan memiliki versi yang disesuaikan dengan konteks kehidupan di Pulau Serangan. Cerita mitos yang dituturkan apa adanya oleh penutur, dan peneliti berusaha untuk membekukan kelisanan tersebut, sehingga peneliti dapat mengkaji apa yang sudah didengar dan dideskripsikan secara luas. Hal tersebut yang diungkapan dalam pengertian tradisi
26
lisan bahwa pembekuan data diperlukan dengan tujuan apa yang terkandung dalam data, yaitu cerita mitos Badawangnala, yang terlahir dalam suatu masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang. Tradisi lisan yang meliputi dongeng, mite, hikayat, dan cerita yang berhubungan dengan kelisanan sebagai kebudayaan yang diwariskan secara turuntemurun memiliki ciri seperti: penyebaran dan pewarisan dalam bentuk lisan, bersifat tradisional, memiliki varian yang berbeda, bersifat anomim, berguna bagi kehidupan kolektif (Danandjaja, 1994: 5). Kehidupan zaman dahulu yang sarat dengan nilai-nilai luhur dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan masa sekarang, seperti mitos Badawangnala, yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dilihat dari konteks penceritaan dan struktur teks yang memiliki penokohan, mitos tersebut diyakini sebagai pelindung manusia bagi umat Hindu. Menurut Sibarani (2012: 47), tradisi lisan merupakan kegiatan tradisional yang disampaikan secara lisan seperti kebiasaan mendongeng di suatu daerah, yaitu kearifan lokal yang dapat dan telah mampu menata kehidupan manusia, hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan sang pencipta. Kandungan yang terdapat dalam mitos memiliki cerita khayalan dan tidak masuk akal, tetapi memiliki nilai-nilai moral yang bermakna dalam kehidupan. Cerita dapat digali dengan pemahaman dan logika dan dimanfaatkan untuk masa sekarang. Mitos yang dituturkan kembali dapat hidup lewat kreativitas penutur yang
dalam
transformasinya
disesuaikan
dengan
situasi/keadaan
dan
perkembangan daerah setempat dengan unsur etniknya tetap tampak. Cerita yang
27
diungkapkan berupa dilisankan, dalam bentuk teks, dan atau yang sudah ditranskripsikan. Mitos Badawangnala yang terdapat dalam Lontar Adiparwa memiliki kesamaan tokoh dalam cerita mitos Watugunung dalam Lontar Medang Kemulan, sehingga oleh tokoh adat Serangan, digunakan sebagai pedoman dan inspirasi dalam membenahi kehidupan Serangan yang ada kemiripan dengan cerita Watugunung, yaitu keserakahan. Perkembangan penceritaan mitos Badawangnala sebagai salah satu tradisi lisan sehingga menimbulkan banyak versi cerita. Cerita mitos Badawangnala yang dilisankan di Pulau Serangan yang telah digali, dipahami, dan dengan pemikiran kreatif oleh Made Wiguna Mudana, mampu mewujudkan tempat persembahyangan bagi umat Hindu. Upacara yadnya yang dilakukan secara rutin diyakini dapat berfungsi sebagai pengingat dalam memperbaiki pola pemikiran dari keserakahan menjadi lebih memperhatikan kepentingan bersama dalam menuju pada kehidupan yang harmonis.
2.2.4 Sastra Lisan Sastra lisan merupakan bagian tradisi, dengan bahasa sebagai media utama. Sastra lisan berkembang di masyarakat melalui tuturan yang didengar, dihayati, dan dipahami secara bersama dengan maksud dan tujuan tertentu dalam peristiwa tertentu, seperti upacara kelahiran, upacara panen raya, upacara perkawinan, dan upacara lainnya yang memiliki daya magis. Sastra lisan mengandung ide pemikiran, gagasan, ajaran, dan keinginan masyarakat pada dampak yang positif sehingga hubungan sosial masyarakat terjalin apik.
28
Memudarnya kehidupan sosial masyarakat berakibat pudarnya sastra lisan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Melalui sastra lisan kebudayaan dalam konteks kekinian dapat dikembangkan dan diperbaharui. Pengembangan tersebut ditampilkan dalam bentuk ungkapan tradisional, seni pertunjukan, puisi, nyanyian, dan simbol keagamaan dalam sarana religi. Menurut Teeuw ( 1988: 446), dalam sastra lisan terdapat aspek mimesis, yakni representasi, meniru, dan membayangkan kenyataan. Melalui pemakaian bahasa dapat diungkapkan ekspresi kesusastraan, kebudayaan sesuai dengan konteks masyarakat, dan pada akhirnya dapat menghasilkan ciptaan baru sehingga berpengaruh pada seluruh sistem nilai kehidupan masyarakat. Sastra lisan yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat diturunkan pada generasi berikutnya dengan melakukan tradisi tersebut secara rutin berdasarkan jadwal yang telah disepakati. Misalnya, tradisi panen raya, upacara dilakukan di sawah atau ladang, sebagai rasa syukur atas hasil yang diperoleh dan mohon kesejahteraan. Selama proses upacara berlangsung terdapat sarana upacara berupa sajen atau persembahan, nyanyian atau musik tradisional atau bacaan mantra/doa-doa sebagai ungkapan rasa syukur pada sang pencipta. Peranan upacara dilakukan dalam secara lisan dan dimainkan melalui proses ingatan dengan menciptakan teks-teks lisan berupa bunyi suara pembaca mantra, musik yang mengiringi, dan upacara yang mengiringi persembahan. Semua unsur tersebut memiliki nilai-nilai moral dan makna bagi kehidupan manusia. Demikian pula halnya, penceritaan yang dilisankan, tukang cerita mampu membina teks yang dihasilkan tanpa wujud teks tulis. Teknik penceritaan terletak pada daya
29
ingat, memberikan peluang untuk berkreativitas, menciptakan variasi yang baru. Daya pengingat yang paling kuat terletak pada tokoh cerita, hal ini pengaruh dari tokoh yang cenderung memiliki karakter antagonis atau protagonis. Dengan demikian, tokoh cerita memberikan pengaruh pada kepercayaan dan nilainilai moral pada kehidupan. Seperti yang diungkapkan oleh Koster (2008: 38;49) bahwa
dalam satra lisan pencerita menciptakan teks-teks dengan mengingat.
Penceritaan yang diungkapkan, diserukan, ditegaskan, dan ditetapkan oleh pencerita ialah tradisi dan diterima oleh masyarakat. Tindakan mengingat dilakukan oleh pencerita untuk mendapatkan ide dan gagasan yang dihubungkan dengan tradisi atau konteks kekinian, sebagai upaya memengaruhi masyarakat menuju ke kehidupan yang lebih baik, yaitu sejahtera. Penceritaan Badawangnala di Serangan yang dilisankan oleh Mudana, merupakan hasil pemikiran dan ide yang dipahami dari penceritaan dalam Adiparwa dan Medang Kemulan. Dengan demikian, penceritaan versi Serangan dipengaruhi oleh konteks kekinian.
2.2.5 Wacana Secara etimologis, wacana berasal dari bahasa Sanskerta. Wacana berarti kata-kata, cara berkata, ucapan, pembicaraan, perintah dan nasihat. Nama lain dari wacana adalah discourse dalam bahasa Inggris dan berasal dari bahasa Latin, discurrere/discursus, yang berarti percakapan, perdebatan aktif. Wacana memiliki kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis serta kemampuan atau proses memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat. Pernyataan yang dirangkai
30
dengan menggunakan satuan bahasa bahasa dan terikat konteks yang memiliki makna, baik lisan mau pun tulisan dan dipublikasikan melalui media, ialah wacana. Dalam kehidupan sehari-hari wacana berfungsi menyampaikan berbagai informasi tentang sesuatu, membangun ilmu pengetahuan dan kekuasaan (Vass, 1992:7). Merujuk pada Van Dijk yang menyatakan bahwa melalui wacana penutur dapat menyalahgunakan kekuatan sosial, kekuasaan dan ketidaksamaan membuat peraturan, menurunkan atau mereproduksi, dan melakukan perlawanan melalui teks dan lisan dalam kehidupan sosial dan konteks politik (Schiffrin. 2001: 356). Menurut Foucault (1984), wacana merupakan sekumpulan teks yang dapat memproduksi bentuk baru (gagasan) dari ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dalam konteks tertentu sehingga memengaruhi cara berpikir dan bertindak, dapat membentuk kepercayaan, konsep, dan ide-ide yang dianut dari perspektif yang dipercaya dan dipandang benar dalam batas-batas yang telah ditentukan. Wacana juga dapat memproduksi pengetahuan berlandaskan kekuasaan sehingga menghasilkan kebenaran yang menimbulkan efek kuasa. Pembenaran ini disebarkan lewat wacana melalui kekuasaan dengan cara positif dan produktif sehingga memproduksi bentuk-bentuk perilaku yang memengaruhi pola pikir seseorang untuk melakukan sesuatu atau memengaruhi pola pikir. Selain kekuasaan, wacana dalam hubungan dengan simbol merupakan perwujudan dari kreativitas pola pikir dan produktif membentuk budaya melalui bahasa, moralitas, hukum yang menghasilkan perilaku, nilai-nilai, dan ideologi. Demikian pula, menurut Eriyadi (2010: 15), wacana membentuk dan
31
mengonstruksi peristiwa tertentu atau gabungan dari beberapa peristiwa dalam narasi yang dapat dikenali oleh kebudayaan tertentu. Pemaparan wacana dapat melalui narasi, yaitu jenis wacana yang menceritakan peristiwa secara sistematis berdasarkan urutan kejadiannya. Dengan demikian, wacana tidak bermaksud untuk memengaruhi seseorang, melainkan menceritakan kejadian yang telah dipahami, dialami dan didengar oleh pengarang. Seperti yang diungkapkan oleh Eriyanto (2013: 45), narasi menceritakan suatu pristiwa lewat plot (alur) dan peristiwa yang disampaikan secara kronologis dengan tujuan menarik perhatian pendengar. Peristiwa disusun dengan berpedoman pada tahapan, mulai tahapan perkenalan, konflik, dan berakhir dengan penyelesaian. Pandangan
Eriyanto berkiblat pada Torodov, yang
menyatakan bahwa dalam narasi terdapat urutan kronologis, motif, dan plot, serta memiliki hubungan sebab akibat dari peristiwa. Wacana naratif merupakan rangkaian pernyataan yang diungkapkan secara lisan ataupun tulisan yang menceritakan peristiwa. Rangkaian peristiwa dan urutan peristiwa yang dipilih dan dibuang sehingga memunculkan kelebihan yang terkandung dalam penceritaan tersebut. Kelebihan tersebut adalah: a) membantu dalam memahami makna dan nilai produksi bagi masyarakat; b) membantu kekuatan nilai sosial yang dominan dalam masyarakat; c) mengungkap hal-hal yang tersembunyi; dan d) merefleksikan kontinuitas komunikasi (Eriyanto, 2013: 8). Pernyataan ini memiliki hubungan makna dalam satuan bahasa dan terikat konteks, seperti halnya mitos Badwangnala yang pada awalnya bersumber dari teks tertulis dalam Adiparwa I, yang dalam perjalanan dan perkembangan teks
32
mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat Serangan. Kemudian, di Serangan, mitos Badawangnala tertuang dalam cerita Watugunung. Berdasarkan konsep wacana tersebut mitos Badawangnala dipandang sebagai wacana naratif.
2.3 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori wacana naratif, teori mitologi, dan teori semiotika yang dapat diuraikan sebagai berikut.
2.3.1 Teori Wacana Naratif Menurut Genette (1986: 32),
tense memiliki tiga ciri, yaitu order,
duration, dan frequency. Order adalah hubungan penceritaan dengan peristiwaperistiwa nyata, peristiwa kronologis, dan peristiwa yang diatur kembali (dekronologisasi). Duration adalah hubungan antara waktu yang telah berlalu, dari waktu penceritaan dan pembacaan. Durasi juga dilihat dari keseluruhan waktu cerita yang disampaikan pada penerima. Frequency adalah hubungan potensial antara cerita dan penceritaan yang di dalamnya terdapat pengulangan (repetisi), dalam pengertian, mengacu pada berapa kali suatu peritiwa yang sama ditampilkan, tetapi dalam kondisi nyata, suatu peristiwa tampil sekali saja. Pengulangan ini untuk menekankan makna tertentu dalam narasi. Menurut Genette (1986: 25), wacana merupakan teks yang
berfungsi
sebagai naratif tanpa memperhatikan waktu atau masa, sulit untuk dipahami dan membingungkan. Ia membedakan naratif dalam tiga bentuk, yaitu story, recit, dan narrating. Story adalah cerita yang dituturkan atau ditulis dalam bentuk wacana
33
dan memiliki sifat abstrak. Kata story digunakan untuk menunjukkan cerita atau isi naratif. Cerita disajikan secara utuh, dari awal sampai akhir. Recit (narrative) adalah wacana atau teks yang menggambarkan susunan suatu peristiwa nyata atau fiktif. Peristiwa tersebut sebagai penanda dari subjek yang diceritakan. Subjek dalam cerita adalah tokoh. Cerita tidak menarik untuk dipahami tanpa tokoh. Sedangkan narrating (penceritaan) mengacu pada satu atau banyak peristiwa yang diceritakan oleh seseorang dan menghasilkan teks. Tindakan menceritakan dilakukan oleh diri sendiri atau si pencerita. Wacana naratif dihasilkan oleh tindakan bercerita dengan cara yang sama karena beberapa pencerita sangat jelas dalam menyampaikannya. Penceritaan merupakan karya dari hasil kebudayaan, dan Genette melihatnya dari seluruh aspek dengan melibatkan penulis atau pencerita dan pembaca. Wacana dan teks dalam penceritan dianggap sebagai naratologi strukturalis dengan melibatkan tiga faktor, yaitu tense (waktu), mood (keinginan), dan voice (suara). Wacana merujuk pada bahasa yang digunakan secara lisan ataupun tulis, dengan kata lain, teks merupakan struktur abstrak dalam wacana. Seperti halnya pada mitos, sebuah bentuk tuturan yang keberadaannya dikendalikan secara kultural menjadi sesuatu yang ilmiah. Tuturan lisan dan tulis terdiri atas sekumpulan teks yang diciptakan kapan saja dan sesuai kemampuannya menjadi kerangka baru dari kutipan masa lalu dengan menyusun makna-makna yang tersebar (Barthes, 1981: 15). Sedangkan Eriyanto (2013: 161) mengungkapkan bahwa pemikiran LeviStrauss dalam menjelaskan dan menggambarkan cerita dalam suatu pola tertentu
34
untuk menghasilkan makna dipengaruhi oleh pemikiran Ferdinand de Saussure, yang menyatakan bahwa bahasa mempunyai relasi, sehingga terbentuk relasi sintagmatik dan paradigmatik. Sintagmatik adalah hubungan antara satu tanda dengan tanda lain, sedangkan paradigmatik adalah relasi tanda-tanda dalam suatu kesamaan umum (paradigma). Relasi antara kata-kata memiliki aturan tertentu sehingga membentuk makna, kesamaan arti, dan persamaan fungsi. Kata-kata tersebut bisa saling menggantikan. Menganalisa mitos yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, Endaswara (2003: 113) merujuk pada Levi-Strauss (1963: 210) berpendapat bahwa mitos memiliki dua aspek bahasa dalam perwujudannya, yaitu sebagai sarana komunikasi dan struktur yang membentuk sistem tetap yang tidak dipengaruhi oleh individu-individu. Mitos merujuk pada kejadian-kejadian masa lampau, jadi mitos memiliki struktur ganda, historis dan ahistoris. Mitos yang diyakini dalam kehidupan masyarakat yang berbeda dan memiliki kemiripan mitos antara satu dan lainnya. Kemiripan dapat dilihat dari ciri-ciri tokohtokohnya dan pengalaman tokoh-tokohnya. Persamaan ini perlu dilakukan kajian untuk menjelaskan kesamaan-kesamaan antara fonem atau kombinasi fonemfonem, karena makna tidak terletak pada fonem, tetapi pada kombinasi fonem. Fonem adalah hasil dari sejumlah oposisi berpasangan, terbentuk dari relasi-relasi. Relasi tersebut berbeda dalam tataran kompleks yang dikenal dengan istilah mitem. Mitem berupa kalimat, adegan, rangkaian kalimat dalam satu alinea. Kedudukan mitem dalam mitos, adalah unit terkecil berupa kalimat atau kata-kata sebagai simbol dan tanda.
35
Merujuk pada Levi-Strauss, wacana sebagai bentuk ekspresi merupakan transmisi struktur naratif. Menurutnya, mitos adalah naratif yang berkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan tertentu dan memiliki bentuk struktur yang diciptakan untuk tujuan tertentu yang akan menampilkan makna setelah terwujudnya bentuk struktur dan fungsi. Bentuk struktur merupakan pesan-pesan atau tuturan yang disampaikan secara keseluruhan. Fungsi memiliki karya yang dihasilkan dan memiliki kontinuitas dalam kegiatan kehidupan sehingga penerima dapat memberikan panduan/arahan moral kepada masyarakat, menjaga tradisi, menghasilkan sesuatu yang baru, dan membentuk identitas. Relasi yang terdapat dalam struktur, digunakan untuk menemukan makna melalui oposisi yang berpasangan (binary opposition). Oposisi biner adalah aspek yang dapat menyingkap pemikiran manusia, manusia memproduksi makna, dan memahami realitas di balik suatu cerita. Wacana bersifat unik, memiliki hubungan interaksi sosial dan kebudayaan khususnya dalam bentuk bahasa. Wacana membentuk citra tokoh-tokoh, tempat dan waktu kejadian, tema, dan motif. Untuk membedakan mitos dengan bahasa, mitos mempunyai ciri yang khas dalam hal isi dan susunannya sehingga sifat dan ciri mistisnya tidak hilang. Mitos dapat dirasakan, ditangkap, dimengerti sebagai mitos oleh siapa saja. Walaupun mitos tidak lagi memiliki bentuk asli karena dalam prosesnya mengalami perubahan, pengurangan, dan ciptaan wacana teks tertulis ataupun lisan dari budaya masyarakat setempat, tetap merupakan mitos karena isi, susunan, dan ceritanya (Ahimsa, 2001: 86).
36
Teori wacana naratif ini digunakan untuk mengkaji masalah pertama yaitu menjelaskan struktur teks mitos Badawangnala yang dilisankan di Pulau Serangan. Peneliti menganalisis teks mitos Badawangnala dengan melakukan pembacaan cermat untuk mengetahui relasi hubungan seluruh teks yang terkandung dalam teks mitos sehingga memudahkan untuk menganalisis struktur naratif teks mitos Badawangnala. Teks mitos Badawangnala pada zaman Jawa Kuno yaitu dari Adiparwa dan Watugunung. Sedangkan variasi teks mitos Badawangnala adalah Watugunung yang dilisankan di Serangan. Awal mula teks adalah mitos Badawangnala yang terdapat dalam Adiparwa, kemudian teks mitos Badawangnala yang terdapat dalam Watugunung, terakhitr teks yang dilisankan oleh Made Mudana Wiguna di Serangan. Ketiga teks tersebut dibaca cermat dan dilihat struktur teksnya dari story (alur), recit (tokoh), narrating (peristiwa yang diceritakan). Teks mitos Badawangnala Pada teks mitos Adiparwa menunjukkan Story (alur) adalah pemutaran Gunung Mandara Giri, recit pada teks mitos Adiparwa menunjukkan petanda dari subjek yang diceritakan, adalah Badawangnala awatara Dewa Wisnu, sedangkan narrating atau penceritaan, yakni memerangi keangkaramurkaan. Setelah teks awal dianalisis, dilanjutkan pada struktur teks mitos Badawangnala dalam Watugunung, kemudian teks mitos yang dilisankan oleh tokoh adat Desa Serangan yaitu, Made Mudana Wiguna. Teks mitos yang dilisankan di Serangan adalah teks yang dikontekstualkan oleh Made Mudana Wiguna.
37
Semua penafsiran yang terkandung dalam teks dihubungkan dengan kehidupan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkap aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan peristiwa peristiwa penting dari zamannya serta usaha mereka beradaptasi dengan lingkungannya.
2.3.2 Teori Mitologi Mitologi terbentuk dari kata gabungan mythos (pemikiran yang benar) dan logos (pemikiran rasional). Mitologi mempelajari ide-ide dalam bentuk mitos. Mitologi memanifestasikan diri dengan cara simbolik dan ekspresi yang dapat membentuk sesuatu yang baru dalam kehidupan sosial. Suatu pembentukan gaya hidup yang tidak ada pada masa sebelumnya, pada masa-masa sebelumnya, belum mengalami kecurangan, masih bersih dari peradaban, kehidupan yang jauh dari perbuatan dosa, kemurnian, dan kesederhanaan. Sebaliknya, saat ini banyak terjadi perubahan dalam kehidupan sosial dan membawa pada tatanan sosial yang baru dengan peran yang berbeda. Pada saat mitologi mengalami penyesuaian, etika dan nilai kultural memengaruhi perubahan pola perilaku dan gaya hidup (Danesi, 2010: 214). Mitos sebagai tipe wicara yang memiliki ilmu tanda yang diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure dengan nama Semiologi. Bahasa pada mitos adalah materi wicara mistis (fotografi, lukisan, poster, ritual, dan objek lainnya), semuanya memiliki kesatuan sehingga bahasa memiliki sekumpulan tanda Pada mitos yang diungkapkan dengan bahasa, memiliki penanda yang dianggap dapat mengungkapkan petanda. Menurut de Saussure, bahasa atau langue, petanda
38
adalah konsep, sedangkan penanda adalah citra akustik, sehingga terdapat tiga pola dimensi, yaitu penanda, petanda, dan tanda. Tanda adalah gabungan antara konsep dan citra (Barthes, 1983: 160). Mengungkap mitos dengan melihat pada keseluruhan cerita mitos, si penerima mitos mampu memahami dan memaknai apa yang terkandung dalam mitos dan dapat diterima akal. Mitos tidak menyembunyikan atau memamerkan apa
pun,
tetapi
mampu
membentuk
pola
perilaku
manusia
dalam
merefleksikannya pada kehidupan. Bagi Barthes pemahaman gejala yang terdapat pada mitos dilakukan melalui signifier dan signified. Signifier adalah suatu gejala yang dipahami dan diproduksi oleh manusia, dilihat dengan sistem tanda. Signified adalah makna yang ditangkap dari signifier. Barthes melihat tanda sebagai sistem diadik, yaitu dua hal yang berbeda, tetapi saling berkaitan dan merupakan suatu struktur yang berkaitan satu sama lain dalam satu bangun (Hoed, 2004: 54). Mitos yang disampaikan secara turun-temurun, baik tertulis maupun lisan, merupakan tradisi dan kebudayaan yang sangat kuat. Tulisan sangat membantu dalam meneruskan tradisi dan kebudayaan. Teks dapat digunakan sebagai pengingat pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat. Walaupun demikian, sebagian penyebarannya juga melalui kelisanan, seperti yang disampaikan oleh Sweeney (1987: 176 ), “In an orally oriented society, writing appears as a super device: now, all the words of one’s teacher may be preserved verbatim, and thus even be memorized verbatim! Writing is thus and aid to the oral transmission of knowledge”.
39
Dalam sebuah kelisanan di masyarakat, tulisan sebagai pilihan utama. Semua kata yang merupakan awal pengetahuan dapat tersimpan secara alami, dan dihafal secara alami. Tulisan atau keberaksaraan merupakan harapan sebagai penurunan atau penerus ilmu pengetahuan secara lisan. Demikian pula, menurut Lord (1987: 36), penyampaian cerita secara lisan berlangsung spontan. Pencerita membawakannya dengan menciptakan kembali dengan memakai unsur bahasa (kata, frasa, dan kata majemuk). Untuk mitos yang panjang diperlukan hafalan, namun saat menceritakan tercipta kembali secara baru dan spontan. Hal ini dipengaruhi oleh kebudayaan yang memicu reproduksi teks. Sebagai sumber utamanya adalah teks tertulis sebagai proses memorisasi (Teeuw, 1994: 6). Teori ini digunakan untuk mengkaji masalah kedua yaitu, fungsi mitos Badawangnala yang dilisankan di Serangan serta masalah ketiga yaitu, mengungkap makna mitos Badawangnala yang dilisankan di Serangan.
2.3.3 Teori Fungsi Berkaitan dengan pengkajian fungsi, mitos Badawangnala yang dituturkan di Pulau Serangan memiliki nilai-nilai sosial yang terdapat dalam masyarakat Serangan sebagai pembaharuan dan perombakan tradisi yang muncul atas dasar penciptaan teks.
Perkembangan sejarah yang berkembang terus menerus
menumbuhkan nilai baru sesuai dengan zamannya dengan tidak meninggalkan budaya setempat.
40
Bascom (1965: 3-20 dan Dundes, 1965: 290-294) menyatakan bahwa folklore sebagai sastra lisan dapat dimengerti oleh pemilik kebudayaan itu sendiri. Folklore memiliki empat fungsi, yakni: (1) sebagai sebuah hiburan, (2) sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidikan anak-anak, (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma masyarakat dipatuhi oleh pihak kolektif. Demikian pula, Dundes (1965: 277) menyatakan bahwa fungsi folklore secara umum adalah, (1) membantu pendidikan anak muda, (2) menjaga perasaan solidaritas kelompok, (3) memberikan sanksi sosial agar berperilaku baik, (4) sebagai sarana kritik sosial, (5) memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan, (6) mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi permainan. Pada dasarnya, folklore dapat memengaruhi mayarakat dalam pembentukan tatanan nilai sikap dan perilaku. Menurut Sztompka (2004: 74), fungsi tradisi adalah sebagai berikut: (1) sebagai kebijakan turun temurun dalam norma, keyakinan, dan nilai, serta menyediakan fragmen warisan historis yang bermanfaat untuk membangun masa depan berdasarkan pengalaman masa lalu; (2) memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, pranata, keyakinan, dan aturan; (3) memberikan simbol identitas
sebagai kekuatan komunitas dan kelompok; dan (4) membantu
menyediakan sumber pengganti kebanggaan bila kondisi masyarakat dalam keadaan kritis akibat dari kekecewaan kehidupan modern. Pendapat Sztompka mengenai fungsi tradisi menunjukan peran tradisi sebagai pondasi kekuatan yang diakui dan diterima masyarakat. Terlihat pada simbol identitas di Pura Batu Api, perwujudan penyu raksasa sebagai awatara Dewa Wisnu, mampu melegitimasi
41
pandangan hidup dan keyakinan. Dengan demikian padangan Sztompka merupakan pola pewarisan pada generasi selanjutnya dalam menata kehidupan lebih harmonis. Mitos merupakan pesan yang disampaikan dengan bahasa Bali lisan atau tertulis. Menurut Jakobson (dalam Teeuw, 1988: 73), apabila bahasa dipandang dari sudut puitika bahasa dan sastra, fungsi bahasa dipusatkan pada pesan-pesan yang tersirat dalam pesan itu sendiri. Jakobson mengungkapkan fungsi bahasa, yang dan diperjelas oleh Ibrahim (1995: 128-137), terdiri atas: (1) fungsi ekspresif, sebagai ungkapan rasa mengarah pada diri sendiri atau penutur; (2) fungsi fatik, situasi komunikatif antara pembicara dan pendengar; (3) fungsi konatif, mengharapkan sesuatu dari mitra lawan bicara dari bagian awal sampai bagian akhir tuturan; (4) fungsi referensial, fungsi yang mengarah pada kenyataan lain, di luar penutur dan pendengar dan berhubungan dengan topik, objek, dan isi wacana; (5) fungsi metalingual, fungsi yang berkaitan dengan kode-kode linguistik; (6) fungsi puitik, lebih menekankan pada aspek pesan, bagaimana pesan itu disampaikan. Penekanan dalam pengkajian mitos Badawangnala terdapat dalam teks tuturan di Pulau Serangan, keterkaitan antarunsur tuturan dengan lingkungan tanpa membedakan kebutuhan pemikiran manusia dalam memenuhi kebutuhan dalam memelihara keutuhan dan sistem struktur sosial (Proop. 1975:21). Demikian juga yang diungkap oleh Halliday (1973: 22-31) bahwa bahasa yang ditentukan oleh pola varietas bahasa, yang disampaikan dan diturunkan oleh individu menggunakan bahasa dalam budaya tertentu, dimana pada penyampaiannya tergantung dari penutur, pendengar, dan situasi. Selain itu
42
dapat berfungsi untuk mengontrol dan mengarahkan orang dalam hubungannya dengan lingkungan. Seperti halnya dalam bentuk interaksi antara generasi ke generasi yang diwali dari orangtua dan anak dalam proses sosial. Penggunaan bahasa yang abstrak dan kompleks dengan struktur sosial yang terkait menjelaskan dalam interaksi dan konteks sosial. Hal tersebut terlihat dalam bentuk tatabahasa yang mengandung ekspresi, kenyataan, dan keadaan lingkungan. Fungsi suatu folklore tergantung dari ekspresi penciptaan dan tuntutan lingkungannya. Dalam tuturan, mitos Badawangnala yang dimplementasikan berupa tempat pemujaan, yaitu Pura Batu Api, memilki hubungan dengan religi. Hal ini ditandai dengan dilakukannya upacara secara rutin sesuai dengan hari baiknya setiap enam bulan sekali. Tradisi ini memilki fungsi bagi kehidupan masyarakat untuk menjadi lebih baik. Pengkajian teori fungsi digunakan untuk mengkaji masalah kedua yakni fungsi mitos Badawangnala yang dilisankan di Serangan. Kajian dilihat dari teks mitos Badawangnala yang dilisankan di Pulau Serangan kemudian dihubungkan dengan pendapat Dundes dan Sztomka. Mereka berasumsi bahwa suatu kebudayaan memiliki nilai-nilai yang dikontekskan dengan perilaku dan budaya masyarakat Serangan dan dikaitkan dengan struktur teks secara intriksik dari penokohan, alur, dan tema. Dengan demikian, fungsi mitos merujuk pada fungsi sebagai alat pendidikan, fungsi sosial, fungsi kekuatan komunitas, fungsinya integritas sebagai pandangan hidup dan aturan.
43
2.3.4 Teori Transformasi Teks awal merupakan teks yang dijadikan pedoman atau acuan dalam penurunan dan pewarisannya. Teks tersebut menjadi latar penciptaan teks baru (hipogram), namun turunan dan pewarisannya berdasarkan konteks budaya masyarakat setempat. Setiap teks dikonstruksi melalui penyerapan dan penciptaan yang dipengaruhi teks lain, tetapi tetap memiliki sifat historis. Teks tersebut adalah teks transformasi, hasil dari tindakan interpretasi, seperti halnya yang diungkapkan oleh Teeuw (1983: 5) bahwa: (a) teks dipilih secara khusus dalam transformasi, pemilihan teks dibedakan antara alasan sastra dan alasan sosial budaya, (b) pada proses transformasi ada bagian-bagian yang diubah, diadaptasi, atau ditransformasikan, baik dalam bentuk sastra maupun fungsi sosial, (c) teks bersumber pada teks transformasi sehingga teks sumber memengaruhi teks sastra membentuk genre baru, memengaruhi norma-norma dan konvensi-konvensi, dan (d) hasil teks transformasi yang berasal dari teks sumber dapat diterima, diadaptasi, atau ada beberapa bagian yang ditolak dan ditinggalkan. Transformasi berperan dalam proses perjalanannya yang bersumber pada sejarah dan memiliki makna dengan latar belakang keseluruhan sastra secara sinkronis dan diakronis. Demikian pula dalam mitos, pembaca atau penerima sebagai subjek dalam fungsi semiotik (pemaknaan) pada struktur. Teeuw (1984:188) yang sependapat dengan pemikiran Mukarovsky menyatakan bahwa peranan masyarakat memiliki hubungan dengan struktur mitos. Hubungan tersebut antara unsur-unsur heterogen menjadi kesatuan makna dalam pengamatan, penanggapan, dan penilaian berbagai sikap, pengalaman, asosiasi, perasaan
44
masyarakat dan tergantung pada lingkungan sosial dan kedudukan sejarah. Semuanya itu memunculkan karya baru dan unik, sebagai akibat adanya interaksi antara teks dan konteks. Hal ini dapat dilihat dari penceritaan mitos, pada awalnya bersumber pada Adiparwa , kemudian dalam Watugunung yang dilisankan di Serangan. Teori transformasi digunakan untuk mengkaji masalah ketiga yaitu, mengungkap makna teks mitos Badawangnala yang dilisankan di Serangan serta mengkaji
masalah
keempat
yaitu,
merumuskan
pola
pewarisan
mitos
Badawangnala yang dilisankan di Serangan. Selain menggunakan teori transformasi ditunjang secara eklektik bersama konsep pewarisan dari Sibarani dan Pudentia. Proses pewarisan dari Sibarani melalui pengorganisasian, pemberdayaan, pendokumentasian, dan pelestarian. Sedangkan konsep pewarisan Pudentia berupa sistem pembelajaran, tekhnologi dengan pendokumentasian. Dengan berjalannya waktu dan dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat setempat, yaitu Serangan, penceritan mitos Badawangnala diyakini masyarakat memiliki versi yang berbeda dan unik. Hal ini dibuktikan dengan adanya bentukan baru bangunan suci, yaitu Pura Batu Api, yang terinspirasi dari mitos Badawangnala. Produk masa lampau memiliki keterkaitan dengan masa sekarang. Pada awalnya Badawangnala diwujudkan dengan satu penyu, tetapi di Pura Batu Api diwujudkan dengan dua penyu, yaitu penyu jantan dan penyu betina.
45
2.3.5 Teori Semiotika Pandangan Barthes (1981: 89) yang mendasarkan diri pada semiotik yang diturunkan oleh de Saussure yang memiliki aspek langue dan parole. Langue, yakni sistem abstrak pada aspek bahasa, sedangkan parole, praktik bahasa dalam masyarakat. Pada mitos aspek yang menonjol adalah parole karena berhubungan dengan tuturan atau komunikasi. Demikian pula pernyataan Levi-Strauss (1963: 209) menyatakan bahasa pada mitos memiliki aspek langue dan parole. Langue adalah sebuah bahasa sedangkan parole adalah adalah tuturan individu. Bahasa terdiri dari komponen-komponen yang saling terkait dan memiliki makna. Perubahan komponen pada struktur bahasa menyebabkan perbedaan makna, yang relevan dalam kaitannya dengan semiotik yang diuraikan melalui sintagmatik dan paradigmatik, yang keduanya adalah konsep denotasi dan konotasi. Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan suatu wacana yang berkonotasi dalam proses signifikasi, yaitu keterkaitan antara tanda dan makna yang digambarkan melalui konsep denotasi dan konotasi yang mengacu pada ekspresi dan isi. Barthes melihat teks sebagai entitas berwujud bahasa dan memiliki kaidah kebahasaan sehingga dapat dipahami, tetapi tidak terlepas dari konteks budaya dan lingkungan (Hoed, 2004: 58). Teori ini digunakan untuk mengkaji masalah ketiga yaitu mengungkap tanda dan makna teks mitos Badawangnala yang dilisankan di Pura Batu Api. Menelusuri tanda bahasa dapat dilihat dari dua segi: sinkronik yaitu perkembangan bahasa pada tataran kurun waktu tanpa melihat proses
46
perkembangan
dan
diakronik
perkembangan. Hal ini dapat
yaitu
gejala
bahasa
dilihat
dari
proses
dilihat dari proses transformasi, diawali dalam
Adiparwa, Badawangnala dari aspek sinkronik yang dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno disebut empas, Kūrmarāja (terjemahan dari rotuning pās) atau Badavagni, badawangnala, dan kurma, dalam teks Watugunung menjadi kurmawatara, dan teks yang dilisankan di Serangan menjadi penyu. Jadi secara sinkronik, di Serangan Badawangnala disebut penyu.
Sementara itu, secara
diakronik, ditandai oleh proses perkembangannya dari Adiparwa dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno sampai di Serangan.yang ditunjukan dengan pembeda penyebutan . Tanda bahasa terlihat dari teks watugunung adalah Badawangnala yang berbentuk penyu raksasa bernafaskan api dan berkuku tajam. Oleh tokoh adat dibangun Pura Batu Api, sebagai sumber kekuatan dan spiritual, rasa bakti umat manusia pada sang pencipta. Arsitektur tempat persembahyangan dibangun berdasarkan teks yang dilisankan di Serangan yaitu berbentuk dua buah arca penyu raksasa dengan lidah menjulur keluar seperti nyala api dan berkuku tajam. Terlihat simbol resistensi yang menunjuukan semua tentang keangkaramurkaan.
2.4 Model Penelitian Model penelitian merupakan kerangka berpikir dalam menggambarkan jalinan kajian Mitos Badawangnala di Pulau Serangan Denpasar Selatan. Kerangka berpikir yang dimaksud dibagankan sebagai berikut.
47
Model Penelitian Kebudayaan Bali
Masyarakat Serangan
Versi Adiparwa Versi Watugunung Versi tokoh adat Pura Tanjung Segara Pura Batu Api
Mitos Badawangnala
Struktur teks
Fungsi
Makna
Teori Teori Teori Teori Teori
Wacana Naratif Mitologi Fungsi Transformasi Semiotika
Strategi Pewarisan
Temuan
Keterangan: : “berkembang” atau “terbentuk” atau “dikaji dengan” : “saling berkaitan” Penjelasan: Pada masyarakat Serangan, sebagai salah satu pendukung kebudayaan Bali, berkembang sebuah mitos Badawangnala. Kemudian, cerita mitos yang pada awalnya dari teks Adiparwa kemudian berkembang di Serangan dan diturunkan
dan
direspons
oleh
masyarakat
Serangan
menjadi
mitos
Badawangnala dengan versi yang diyakini di Pulau Serangan. Mitos tersebut ianalisis dengan teori wacana naratif, teori mitologi, teori transformasi, dan teori semiotika. Teks mitos Badawangnala dikaji dari sudut struktur teks, fungsi, makna,
dan
strategi
pewarisan
merekonstruksi perkembangan teks.
sehingga
membentuk
temuan
dalam
48