BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Dalam penelitian ini, peneliti memilih beberapa rujukan yang memiliki keserupaan dalam pemilihan strategi, objek penelitian dan subjek penelitian dengan penelitian ini.
Pengurutan dari beberapa rujukan ini dilakukan
berdasarkan jurnal nasional yang berisi hasil penelitian yang memiliki keserupaan pemilihan strategi, diikuti oleh jurnal internasional dengan objek dan subjek penelitian yang serupa, dan hasil penelitian lainnya yang juga memiliki objek kajian yang serupa. Rujukan-rujukan ini merupakan penelitian yang terbilang baru karena dilakukan sebelum penelitian ini. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penelitian ini,dapat dijadikan referensi bandingan. Terdapat beberapa rujukan yang yang diperoleh oleh peneliti. Rujukanrujukan tersebut terdiri atas satu (1) jurnal nasional yang berkaitan dengan penggunaan strategi WWH yang akan dipergunakan juga dalam penelitian ini, dua buah jurnal internasional yang memiliki objek penelitian yang sama dengan penelitian ini yaitu kemampuan menulis teks argumentatif, dan tiga buah penelitian yang memiliki objek kajian yang juga serupa dengan penelitian ini yaitu kemampuan menulis teks argumentatif. Rujukan terakhir dipilih berdasarkan keserupaan bidang kajian pada kekoherensian dan kekohesian wacana, yaitu teks argumentatif dalam penelitian eksperimental.
7
8
Penjabaran secara umum dari rujukan-rujukan yang dijadikan perbandingan dalam penelitian ini ada baiknya peneliti sampaikan sebelum penjabaran secara khusus dari masing-masing rujukan disampaikan. Rujukan pertama yang dijadikan sebagai salah satu kajian pustaka pada penelitian ini adalah jurnal nasional yang merupakan hasil penelitian Riani (2013) yang melakukan penelitian dengan menggabungkan strategi What Why How dan Think Pair Share pada bidang keterampilan menulis teks. Peneliti merujuk Riani (2013) karena salah satu strategi yang digunakan dalam penelitian Riani adalah What Why How. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang terdapat pada penelitian yang telah dilakukan oleh Riani dengan penelitian kali ini. Perbedaan itu terletak padacara pengimplementasian strategi. Riani menggabungkan strategi What Why How dengan Think Pair Share. Selain berbeda dalam cara pengimplementasian strategi, objek penelitian Riani juga berbeda dengan penelitian ini. Objek penelitian Riani meneliti tentang kemampuan menulis teks hortatori, sedangkan objek penelitian adalah kemampuan menulis teks argumentatif. Peneliti juga merujuk dua (2) jurnal internasional (2012 dan 2013) yang memiliki objek penelitian yang serupa yaitu mengenai keterampilan menulis argumentatif. Kedua penelitian tersebut menggunakan teknik yang berbeda dengan strategi yang digunakan oleh peneliti kali ini. Selain kedua jurnal rujukan tersebut peneliti juga menampilkan tiga buah penelitian nasional yang juga memiliki objek kajian yang serupa yaitu kemampuan menulis teks argumentasi yang menggunakan strategi yang berbeda dengan strategi What Why How.
9
Rujukan pertama dari jurnal karya Riani (2013) yang berjudul Teaching Writing In Hortatory Exposition Text By Combining What Why How And Think Pair Share Strategy For Senior High School Students menguraikan tentang penggabungan strategi What Why How dan Think Pair Share dalam pengajaran menulis teks Hortatory Exposition. Teks Hortatory Exposition adalah jenis teks yang memberikan argumen untuk mensugesti pembaca. Generic structure pada hortatory exposition berisikan thesis, arguments, dan recommendation (yang dimaksudkan untuk mensugesti pembaca). Pada penelitian yang dilakukan Riani, ia memilih subjek penelitian untuk siswa SMA, sedangkan pada penelitian ini, subjek penelitian akan dilakukan pada level Sekolah Tinggi Bahasa Asing. Jurnal karya Riani (2013) memiliki kaitan dengan penelitian ini dalam halkesamaan penggunaan Strategi WWH. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riani digunakan strategi What Why How dan Think Pair Share. Subjek penelitian diminta menulis dengan bantuan mengisi isian What Why How yang disediakan oleh pengajar. Think Pair Share digunakan untuk menciptakan suasana interaktif dalam belajar. Guru memberi petunjuk dan pertanyaan mengenai topik yang kemudian didiskusikan siswa. Jurnal ini bertujuan untuk memberikan alternatif strategi pengajaran menulis teks hortatory exposition. Akan tetapi, penelitian kali ini tidak memadukan kedua strategi tersebut tetapi hanya akan menggunakan Strategi WWH dengan tujuan mengetahui secara langsung pengaruh penggunaan strategi tersebut beserta dampaknya dalam pembelajaran mahasiswa menulis teks argumentatif.
10
Rujukan berikutnya adalah jurnal Rumanda dan Al-Hafizh (2014) yang berjudul Using the WWH (What-Why-How) Strategy in Teaching Writing an Analytical Exposition Text to Senior High School Students. Subjek penelitiannya adalah siswa kelas XI SMA dan objek yang dikaji adalah kemampuan menulis teks analytical exposition. Penerapan strategi ini diawali dengan meminta siswa membuat tabel yang terdiri atas kolom “What”,“Why”,dan “How” kemudian guru memberikan contoh dan penjelasan penggunaan setiap kolom. Strategi ini membantu siswa dalam mengembangkan ide dan menyusun teks analytical exposition menjadi lebih terorganisasi. Disamping itu, penggunaan strategi ini mempermudah guru mengajarkan teks analytical exposition. Perbedaan jurnal Rumanda dan Al-Hafizh (2014) dengan penelitian ini terdapat pada subjek penelitian dan objek yang dikaji. Apabila jurnal Rumanda dan Al-Hafizh (2014) memfokuskan pada siswa SMA, penelitian ini memfokuskan pada mahasiswa S1. Begitu pula pada objek yang dikaji pada jurnal Rumanda dan Al-Hafizh (2014) memiliki perbedaan dengan objek penelitian ini walaupun sama-sama pada bidang menulis. Jurnal Rumanda dan Al-Hafizh (2014) memilih teks analytical exposition untuk diteliti sedangkan pada penelitian ini teks argumentatif. Rujukan selanjutnya adalah jurnal internasional Fahim dan Hashtroodi (2012) dengan judul The Effect of Critical Thinking on Developing Argumentative Essays by Iranian EFL University Students yang meneliti pada objek kajian kemampuan menulis teks argumentatif dengan menggunakan teknik berpikir kritis pada tingkat universitas. Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang
11
dilakukan oleh peneliti kali ini adalah pada objek kajiannya, yaitu kemampuan menulis pada jenis argumentatif. Selain itu, subjek penelitian yang telah dipilih oleh Fahim dan Hashtroodi (2012) juga memiliki level yang sama dengan subjek penelitian yang akan dilakukan kali ini, yaitu pada level universitas. Perbedaan penelitian yang telah dilakukan oleh Fahimdan Hashtroodi dengan penelitian kali ini terletak pada teknik yang dipergunakan oleh Fahim dan Hashtroodi menggunakan Critical Thinking atau berpikir kritis yang telah dikembangkan sejak tahun 1980an. Berpikir kritis berkonsep pada skill, proses, prosedur, ataupun pelatihan. Oleh karena itu, berpikir kritis bisa ditingkatkan dengan pelatihan karena terkait dengan skill.Berdasarkan hasil perhitungan statistik, berpikir kritis ternyata tidak dapat mengembangkan penulisan esai argumentatif pada mahasiswa EFL universitas Iran. Jurnal yang menjadi rujukan berikutnya pada penelitian ini adalah jurnal penelitian oleh Fahim dan Mirzaii (2013) berjudul Improving EFL Argumentative Writing: A Dialogic Critical Thinking Approach. Relevansi penelitian Fahim dan Mirzaii dengan penelitian kali ini juga terdapat pada objek dan subjek penelitian, yakni pada kemampuan menulis jenis argumentatif pada level universitas. Perbedaanya terdapat pada pendekatan yang dipilih yaitu menggunakan Dialogic Critical Thinking Approach. Pelaksanaanya adalah dengan mengikutsertakan pembelajar dalam dialog. Hal ini memungkinkan pembelajar untuk melihat dari perspektif orang lain. Tes dilakukan dua (2) kali untuk menentukan homogenits dan untuk keperluan pretes dan postes. Peserta didik Institusi Kish Science and Technology disaring untuk memperoleh peserta
12
studi yang diperlukan.Sampel peserta ini dibagi menjadi dua grup. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Dialogic Critical Thinking Approachpada umumnya berpotensi untuk meningkatkan kemampuan berpikir secara kritis, dan secara khusus menjelaskan kemampuan menulis teks argumentatif. Penelitian peningkatkan kemampuan menulis teks argumentatif telah dilakukan oleh Rizana, dkk (2012) yang berjudul Pengaruh Penggunaan Strategi Konstruktivisme terhadap Keterampilan Menulis Karangan Argumentasidengan menggunakan strategi konstruktivisme. Penelitian ini dilakukan mengingat banyaknya siswa yang tidak memiliki ketertarikan dalam menulis. Padahal, dengan menulis teks argumentatif, cara penalaran seseorang dapat dilihat. Penelitian
ini
mengungkapkan
bahwa
langkah-langkah
menyusun
teks
argumentatif yang dilakukan oleh siswa SMA dilaksanakan dengan cara: (1) mengumpulkan data dan fakta, (2) menentukan sikap dan posisi penulis teks, (3) mengatakan pada bagian awal atau pengantar tentang sikap penulis teks
dengan
paragraf singkat dan jelas, (4) mengembangkan penalaran penulis teks dengan urutan dan kaitan yang jelas, (5) menghindari penggunaan istilah yang menimbulkan prasangka atau melemahkan argumentatif, dan (6) sebagai penulis harus
menempatkan
secara
tepat
titik
ketidakpaksaan
yang
akan
diargumentatifkan. Berdasarkan beberapa pernyataan siswa pada penelitian ini disebutkan bahwa siswa kesulitan menemukan ide untuk dikembangkan dalam bentuk tulisan.Siswa tidak mampu menggunakan kata yang tepat dan merangkai kata-kata
13
untuk meyakinkan pembaca. Kurangnya teknik yang dipergunakan oleh guru juga menyebabkan siswa kurang termotivasi dalam menulis. Penelitian
akhirnya
dilakukan
dengan
menerapkan
strategi
konstruktivisme pada siswa SMA kelas X. Strategi yang ditetapkan pada penelitian ini adalah strategi konstruktivisme dengan metode ekpserimen yang didasarkan pada teori konstruktivisme. Penelitian dilaksanakan pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Lubuk Sikaping pada tahun pelajaran 2011/2012. Pada penelitian ini, keterampilan siswa dalam menulis teks dilihat berdasarkan tiga indikator
yaitu
keterampilan
berpikir
kritis
dan
logis,
keterampilan
mengemukakan fakta yang dapat diuji kebenarannya, dan keterampilan mengajak dan memengaruhi orang lain. Penggunaan strategi konstruktivisme berpengaruh positif pada hasil karangan siswa, yakni terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas perlakuan pada ketiga indikator. Pada indikator hasil berpikir kritis dan logis, penggunaan strategi konstruktivisme berhasil memenuhi indikator dan meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis teks. Pada indikator bertolak dari fakta yang dapat diuji kebenarannya penggunaan strategi konstruktivisme juga berhasil memenuhi indikator tersebut untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis teks. Pada indikator ketiga, yaitu bersifat mengajak dan memengaruhi orang lain, strategi ini juga berhasil meningkatkan keterampilan siswa berdasarkan indikator tersebut dalam menulis teks argumentatif. Berdasarkan hasil perolehan nilai siswa pada penelitian tersebut, strategi konstruktivisme ternyata mampu meningkatkan keterampilan menulis teks
14
argumentatif pada siswa yaitu untuk mengonstruksi sendiri pengetahuan siswa melalui asimilasi dan akomodasi. Penelitian yang telah dilakukan oleh Rizana dkk .(2012) ini memiliki keterkaitan dalam segi teori dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Penelitian yang dilaksanakan oleh Rizana dkk. Pada tahun 2012 menggunakan teori konstruktivisme, sama halnya dengan penelitian yang dilakukan kali ini. Akan tetapi, perbedaannya terletak pada penggunaan strategi. Strategi yang dipergunakan pada penelitian yang dilakukan Rizana dkk.(2012) menggunakan strategi konstruktivisme, sedangkan penelitian kali ini menggunakan strategi WWH (What-Why-How). Penelitian yang dilakukan Rizana dkk memfokuskan pada pengembangan ketiga indikator yang telah ditentukan untuk melihat keberhasilan siswa dalam menulis teks. Pada penelitian kali ini, selain melihat pemenuhan indikator, juga akandianalisis penggunaan koherensi pada hasil karangan teks argumentatif. Penelitian kali ini berbeda pada subjek yang diteliti yaitu pada tingkat sekolah tinggi. Wahyudin (2012) dengan judul penelitiannya Pembelajaran Menulis Paragraf Argumentasi dengan Menggunakan Model Problem Solving (Studi Kuasi Eksperimen Pada Siswa Kelas X SMA PGRI Cipeundeuy) telah melakukan penelitian dengan metode eksperimen semu pada siswa kelas X SMA dengan menggunakan model pembelajaran Problem Solving. Penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan model Problem Solving sebelum dan sesudah diterapkan pada proses pembelajaran pada dua kelompok, yakni kelompok eksperimen (diberi perlakuan) dan kelompok pembanding (tidak diberi
15
perlakuan). Pada penelitian yang dilakukan oleh Wahyudin (2012) objek yang diteliti adalah ranah keterampilan menulis teks argumentasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini, model pembelajaran Problem Solving diterapkan dengan menyajikan materi kepada siswa dengan adanya persoalan yang harus diselesaikan oleh siswa untuk dapat mencapai tujuan belajar. Penggunaan Problem Solving dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: kegiatan prainstruksional (pengkondisian kesiapan belajar dan memotivasi belajar siswa), kegiatan instruksional (berupa kegiatan yang dimulai dari guru menyiapkan bahan-bahan sebagai sumber pengidentifikasian masalah hingga siswa mengambil kesimpulan tentang jawaban pemecahan masalah), dan evaluasi (pemberian saran oleh guru atas kegiatan yang telah dilaksanakan, memeriksa dan memberi penilaian kepada hasil kerja siswa). Hasil penelitian yang dilakukan Wahyudin (2012) menunjukkan bahwa, kelompok eksperimen dan kelompok pembanding memiliki kemampuan awal yang seimbang dalam menulis paragraf argumentasi pada hasil pretes.Setelah postes dilaksanakan, disimpulkan bahwa kelompok eksperimen yang memperoleh perlakuan memiliki kemampuan menulis paragraf argumentasi yang baik dibandingkan dengan kelompok pembanding. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan Problem Solving efektif dalam meningkatkan kemampuan menulis paragraf argumentasi siswa. Korelasi penelitian yang dilakukan oleh Wahyudin (2012) dengan penelitian yang dilakukan kali ini adalah adanya persamaan metode penelitian yaitu sama-sama menggunakan model penelitian eksperimental dan objek kajian
16
menulis teks argumentatif. Walaupun demikian, ada perbedaan pada penelitian Wahyudin dibandingkan dengan penelitian kali ini yaitu, penelitian yang dilakukan oleh Wahyudin menggunakan eksperimen semu, sedangkan penelitian yang dilaksanakan kali ini menggunakan penelitian Subject Random Design Pretest-Postest Group. Ada juga kesamaan lainnya, berupa sama-sama mengkaji keterampilan menulis teks argumentatif. Hal lainyang membedakan terdapat pada mata pelajaran yang diteliti pada penelitian yang dilaksanakan oleh Wahyudin (2012) merupakan mata pelajaran Bahasa Indonesia, sedangkan pada penelitian kali ini adalah Bahasa Inggris. Jenjang yang ditempuh oleh subjek penelitian pada penelitian yang dilaksanakan oleh Wahyudin (2012) merupakan siswa SMA, sedangkan pada penelitian yang dilaksanakan kali ini adalah tingkat perguruan tinggi. Pada tahun 2008, Setiyaningsih menulis penelitiannya dengan judulPeningkatan Kemampuan Menulis Argumentatif dan Keterampilan Berpikir Kritis
Berbahasa
Indonesia
Mahasiswa
melalui
Model
Pembelajaran
Berdasarkan Logika Toulmin, melakukan penelitian eksperimental terhadap kemampuan menulis tes argumentatif mahasiswa Sanata Dharma menggunakan penerapan model pembelajaran berdasarkan logika Toulmin. Selain pada peningkatankemampuan menulis teks argumentatif mahasiswa, Setiyaningsih juga mengkaji peningkatan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Penelitiannya difokuskan pada kemampuan berbahasa Indonesia. Fokus penelitian ini adalah pengembangan argumen pada teks dengan menggunakan enam elemen argumen Toulmin yaitu: (1) pernyataan posisi
17
(claim), (2) data (grounds), (3) jaminan (warrants), (4) pendukung (backing), (5) keterangan modalitas (modal qualifier), dan (6) kondisi pengecualian (possible rebuttal) (Toulmin, dkk., 1979: 25) dalam Setiyaningsih 2008: 99). Pemilihan logika Toulmin karena teori ini dianggap mampu mengembangkan alasan secara mendalam sehingga mampu membantu mahasiswa dalam menulis teks argumentatif. Aspek berpikir kritis yang dipilih pada penulisan teks argumentatif yang dipilih adalah mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Facione yang mencakup keterampilan interpretasi (interpretation), analisis (analysis), evaluasi (evaluation), inferensi (inference), eksplanasi (explanation), regulasi diri (selfregulation) (dalam Setiyaningsih, 2008: 99). Aktivitas mental berpikir kritis sekalipun merupakan aktivitas mental yang tidak tampak tetapi, dapat diukur melalui aktivitas seperti berbicara dan menulis. Keterampilan menulis sendiri merupakan keterampilan yang tak terpisahkan dengan kegiatan berpikir (dalam Setiyaningsih, 2008: 99). Model pembelajaran yang dipergunakan pada penelitian Setiyaningsih adalah model pembelajaran inkuiri jurisprudensial (jurisprudential inquiry) yang diciptakan oleh Donald Oliver dan James P. Schaver pada tahun 1966/1974 (Joice dan Weil, 1996: 110 pada Setiyaningsih, 2008).Pemilihan model ini dianggap sesuai dengan teori argumen Toulmin dan teori keterampilan berpikir kritis. Model pembelajaran ini menekankan pada aspek sasaran isi dan proses yang kedua-duanya merupakan fokus pencapaian pembelajaran.
18
Hasil yang diperoleh pada tes awal dikemukakan bahwa komponen pendahuluan tulisan argumentatif subjek penelitian termasuk dalam kategori kurang dan sangat kurang.Padahal bagian pendahuluan merupakan bagian penting yang harus dikemukakan untuk selanjutnya menentukan fokus bagian isi yang akan disampaikan. Pada penerapan pembelajaran dengan menggunakan logika Toulmin pada tahap 1, 2, dan 3, peningkatan kemampuan mengungkapkan gagasan argumentatif cenderung meningkat.Hal ini dapat dilihat pada tes akhir yang menunjukkan angka peningkatan. Keterampilan membaca untuk memahami dan menilai informasi yang termasuk fakta dan opini, serta alasan-alasan, memberikan dasar bagi keterampilan menulis argumentatif.Selain itu, perbedaan topik ikut menentukan tingkat kesulitan (Setiyaningsih, 2008: 102). Subjek perlu untuk memilah informasi ataupun alasan yang akan dipergunakannya dalam mendukung topik yang dibawakan dalam teks argumentatif. Hal ini dikarenakan pemilihan informasi dan alasan yang tepat dapat membantu memperkuat tesisnya.Topik tertentu yang lebih umum dijumpai cenderung mempermudah subjek dalam menulis teks argumentatif. Komponen bahasa yang terdapat pada teks argumentatif dalam penelitian ini meliputi kelengkapan unsur kalimat, pilihan kata dan ejaan, serta koherensi antar kalimat.Dalam penelitian ini, kesalahan yang umum terjadi adalah mengenai kelengkapan unsur kalimat, seperti kalimat hanya terdiri atas klausa anak (Setiyaningsih, 2008: 102).
19
Pada akhir penelitian ini ditemukan beberapa temuan, yaitu peningkatan elemen pendukung pada teks argumentatif, peningkatan elemen argumen Toulmin, penerapan aktivitas regulasi diri.Relevansi penelitian yang dilakukan oleh Setiyaningsih (2008) dengan penelitian yang dilakukan kali ini adalah adanya kesamaan subjek dan objek penelitian yaitu pada subjek jenjang mahasiswa dan pada objek keterampilan menulis teks argumentatif. Perbedaannya adalah jika pada penelitian yang dilakukan oleh Setiyaningsih menggunakan elemen argument Toulmin yang mengutamakan (1) pernyataan posisi (claim), (2) data (grounds), (3) jaminan (warrants), (4) pendukung (backing), (5) keterangan modalitas (modal qualifier), dan (6) kondisi pengecualian (possible rebuttal) (Toulmin, dkk., 1979: 25) dalam Setiyaningsih 2008: 99), maka pada penelitian yang dilaksanakan kali ini menggunakan WWH. Selain meningkatkan keterampilan menulis teks argumentatif, penelitian kali ini adalah membahas tentang penggunaan persesuaian yang akan dipergunakan dalam teks argumentatif oleh subjek. Pembahasan penggunaan persesuaian ini bertujuan untuk melihat gambaran secara umum penggunaan persesuaian oleh subjek pada teks argumentatif. Penelitian dilaksanakan oleh Tanjung (2013) dengan judul “Hubungan Penguasaan Kohesi dan Koherensi dengan Kemampuan Memahami Wacana oleh Siswa KelasIX Sma Islam Terpadu al-Ulum Medan Tahun Pembelajaran 2012/2013”.Populasi penelitian berjumlah 119 siswa.Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan sampel sebanyak 25% atau sejumlah 10 orang siswa dari jumlah populasi dengan teknik pengambilan sampel secara
20
random.Kemudian masing-masing kelas akan dipilih sampel sebanyak 10 orang secara random. Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan penguasaan kohesi dan koherensi dengan kemampuan memahami wacana siswa.Data penelitian berupa deskripsi data penguasaan kohesi dan koherensi sebagai variable (X) dan data kemampuan memahami wacana argumentasi sebagai variable (Y).Hasil penelitian menunjukkan, bahwaada hubungan penguasaan kohesi dan koherensi dengan kemampuan memahami wacana. Keserupaan penelitian yang telah dilakukan oleh Tanjung (2013) dengan penelitian yang dilakukan kali ini adalah sama-sama merupakan penelitian eksperimen dengan ranah wacana argumentasi. Perbedaannya adalah pada subjek penelitian yang digunakan oleh Tanjung adalah tingkat SMA dan Tanjung tidak menggunakan strategi WWH seperti yang digunakan pada penelitian kali ini. Perbedaan lainnya adalah pada keterampilan yang dikaji. Objek keterampilan penelitian kali ini adalah kemampuan menulis, hal ini berbeda dengan bidang kajian Tanjung yang berupa kemampuan memahami wacana. Pada penelitian kali ini, baik kohesi maupun koherensi dipergunakan dalam menilai kemampuan menulis mahasiswa. Akan tetapi, hal yang menjadi sorotan dikhususkan pada koherensi terkait dengan strategi yang akan digunakan dalam menulis, di samping pendukung keselarasan wacana yaitu kohesi. Deskripsi koherensi yang ditampilkan pada penelitian ini menentukan keberhasilan penggunaan strategi WWH.
21
2.2 Konsep Dalam penelitian kali ini, digunakan beberapa konsep seperti strategi pembelajaran, teks, menulis, dan argumentatif. Berikut ini, akan disajikan beberapa konsep dimaksud. 2.2.1 Strategi Menulis Strategi menulis menurut Collins (2008) adalah alat yang digunakan penulis untuk mengerjakan pekerjaannya. Ia juga berpendapat bahwa penulis yang sukses menggunakan prosedur mental untuk mengontrol produksi tulisan. Prosedur mental inilah yang disebut strategi menulis. Strategi menulis berfokus pada cara berpikir dalam menulis. Bentuk strategi menulis terdiri atas banyak bentuk. Bisa berupa rencana formal dari guru, atau bisa berupa sesuatu yang berupa semacam trik (Collins: 2008). Hal ini dapat diartikan bahwa strategi menulis merupakan alat atau prosedur mental yang digunakan oleh penulis dalam menyampaikan idenya baik berupa rencana formal yang diberikan oleh guru maupun trik. Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan, bahwa strategi belajar dengan WWH yang diterapkan pada mahasiswa STIBA Saraswati, Denpasar adalah prosedur mental untuk membantu memudahkan mereka dalam memecahkan masalah yaitu menyampaikan argumen dalam proses pembelajarannya agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efisien. Tujuan penggunaan strategi ini adalah untuk pembelajaran yang lebih efektif. Jadi, bisa disimpulkan strategi menulis disini merupakan alat untuk pengaplikasian metode PBL dalam menulis teks.
22
2.2.2 Teks Istilah teks yang dipergunakan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan konsep teks itu sendiri yang dikutip dari beberapa sumber. Kutipan pertama dari SIL Internasional dan kutipan kedua dari Simon dan Delyse Ryan (2003). Dalam sebuah artikel berjudul “What is a Text?” dari SIL International (2003), diperoleh pernyataan sebagai berikut. A text is a sequence of paragraphs that represents an extended unit of speech. Dapat dilihat di dalam hal ini bahwa, teks terdiri atas paragraf-paragraf yang saling berkelanjutan, yang merepresentasikan ujaran.Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa teks terdiri atas beberapa paragraf yang dibuat dengan alur berkelanjutan untuk merepresentasikan ujaran tertentu. Simon dan Delyse Ryandalam artikelnya yang berjudul “What is a text?” mengemukakan bahwa, untuk sesuatu dapat disebut sebagai “text” penggunaan kata, frasa, baris dan kalimat bukan karena seseorang yang menggunakannya karena adanya kesempatan, melainkan atas tujuan tertentu. Simon dan Ryan juga mengemukakan bahwa penggunaan teks lebih mengacu pada interpretasi.
Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa teks adalah serangkaian kata, frasa, kalimat ataupun paragraf saling berkaitan dan berkelanjutan yang dibuat dengan tujuan tertentu oleh penulis teks.Teks juga menampilkan sudut pandang tertentu untuk menyampaikan isu yang ingin disampaikan penulis teks.
23
2.2.3 Menulis Berikut adalah istilah menulis yang dikemukakan oleh Ager (2014) yang menyatakan sebagai berikut. Writing is a method of representing language in visual or tactile form. Writing systems use sets of symbols to represent the sounds of speech, and may also have symbols for such things as punctuation and numerals. Ager,
mengemukakan
bahwa
menulis
adalah
metode
dalam
merepresentasikan bahasa dalam bentuk visual dan taktil.Maksud dari taktil di sini berkenaan dengan alat peraba. Berdasarkan pernyataan Ager di atas, disebutkan bahwa menulis merupakan cara seseorang dalam menyampaikan bahasa yang dapat dilihat dan diraba. Oleh karena itu, istilah keterampilan menulis kali ini apabila dihubungkan dengan makna pernyataan Ager tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan menulis yang akan dipelajari oleh subjek di dalam penelitian kali ini merupakan keterampilan yang dipelajari untuk merepresentasikan bahasa yang dapat dilihat dan diraba. 2.2.4 Argumentatif Argumen diperlukan untuk menghadapi situasi di masyarakat untuk memecahkan permasalahan sosial. Kata “argue” dalam bahasa Inggris berarti menampilkan sesuatu beserta dengan bukti-bukti untuk memengaruhi orang lain.Sesuatu yang berupa pesan yang ingin seseorang sampaikan akan disertai oleh bukti dengan tujuan menunjang pendapat utama yang ingin disampaikan. Buktibukti atau contoh-contoh merupakan dasar empiris seseorang tersebut dalam
24
menghasilkan sebuah karya ilmiah.Selanjutnya, Ozagac (2004) juga memberikan pernyataan terkait teks argumentatif sebagai berikut. In this kind of essay, we not only give information but also present an argument with the PROS (supporting ideas) and CONS (opposing ideas) of an argumentative issue. Ozagac menyatakan, bahwa dalam pemberian informasi berupa teks argumentatif juga disertai argumen baik itu argumen pendukung (PRO) maupun argumen penyanggah (CON).Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa argumentatif merupakan informasi yang disertai argumen untuk keperluan memecahkan masalah yang disertai dengan bukti-bukti untuk memengaruhi orang lain. Struktur teks argumentatif terdiri atas : tesis, ide pendukung/ ide penentang disertai sanggahan, dan simpulan. Penjelasan lebih lanjut mengenai organisasi teks argumentatifakan disajikan pada bagian lampiran materi argumentatif. Terkait dengan jenis teks yang dikaji pada penelitian ini, yaitu teks argumentatif, maka peneliti menyimpulkan penggunaan istilah teks argumentatif adalah teks yang berisikan tidak hanya sekadar informasi tetapi juga berisikan argumen dalam menghadapi isu tertentu yang menjadi tujuan penulis teks berdasarkan sudut pandang penulis teks. Hipotesis awal yang diusulkan,memberikan interpretasi terhadap todengan prosedur sebagai berikut. a) Merumuskan Hipotesis alternatifnya (H1): “Ada (terdapat) perbedaan Mean yang signifikan antara Variabel X (grup eksperimen) dan Variabel Y (grup kontrol).”
25
b) Merumuskan Hipotesis nihilnya (Ho) “Tidak ada (tidak terdapat) perbedaan Mean yang signifikan antara Variabel X (grup eksperimen) dan Variabel Y (grup kontrol)”. 2.3
Landasan Teori Landasan teori digunakan sebagai “alat bedah” dalam penelitian ini.Beberapa teori telah disiapkan untuk penelitian ini. Dalam subbab berikut ini, akan disajikan teori-teori yang dijadikan sebagai landasan dalam penelitian ini.
2.3.1 Teori Konstruktivisme Penelitian ini menggunakan teori konstruktivisme sebagai teori utama dalam penelitian ini karena teori ini merupakan teori yang meyakini adanya pengonstruksian pengetahuan dalam diri anak. Teori ini menjadi landasan pendekatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu pendekatan konstruktivisme. Pendekatan konstruktivisme merupakan pendekatan dalam pembelajaran yang lebih menekankan pada tingkat kreatifitas siswa dalam menyalurkan ide-ide baru yang dapat diperlukan bagi pengembangan diri siswa yang didasarkan pada pengetahuan (Emanuel: 2008). Berdasarkan teorinya, konstruktivisme menghasilkan berbagai metode yang dikembangkan untuk pembelajaran. Pada penelitian ini metode yang dipilih adalah metode PBL. Dalam melaksanakan metode PBL digunakan strategi menulis yang merupakan strategi WWH. Perkembangan pengetahuan ini tampak dalam hasil pretes dan postes.
26
Penerapan teori konstruktivisme pada proses belajar mengajar dapat mengarahkan penelitian ini terutama dalam kegiatan pembelajaran oleh mahasiswa dengan penerapan Stategi WWH. Arah penelitian ini adalah pada pengembangan aspek konstruktivisme mahasiswa dalam proses pembelajaran keterampilan menulis, khususnya menulis teks argumentatif. Teori ini kemudian mendasari penerapan Strategi WWH yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam penelitian yang dilakukan, Pengonstruksian pengetahuan dalam segi kognitif pembelajar menentukan pengembangan argumen-argumen yang diperlukan dalam membuat teks argumentatif. Teori konstruktivisme Piaget (1965) meyakini adanya pengonstruksian blok-blok pengetahuan dalam segi kognitif anak yang berkembang berdasarkan pengalamannya sendiri. Berdasarkan uraian diatas peneliti memilih teori konstruktivisme Piaget, yang memfokuskan pada adanya tahap akomodasi dan asimilasi yang terjadi dengan adanya interaksi dengan pengalaman dan pengorganisasian asimilasi serta adanya ekuilibrium yang merupakan adaptasi yang terjadi diantara tahap-tahap akomodasi dan asimilasi. Proses pengonstruksian pengetahuan berdasarkan teori Piaget digunakan sebagai dasar pada saat pengimplementasian strategi pada grup eksperimen. Penerapan teori Piaget digunakan untuk melihat adanya progres pada kemampuan menulis mahasiswa berdasarkan atas pengalaman atau fakta yang ditemukan untuk membantu mengembangkan argumen dalam teks argumentatif. Pada saat tahap akomodasi yang terjadi dalam interaksi mahasiswa dalam pengalamannya serta pengorganisasian asimilasi, mahasiswa akan merekam kedua
27
tahap ini untuk mengembangkan argumen yang ia perlukan. Pada tahap ekuilibrasi mahasiswa dihadapkan dengan adanya fakta baru yang bertentangan dengan fakta yang selama ini ditemuinya.Dengan konsep yang telah dikumpulkan, mahasiswa dapat mengembangkan argumen-argumen baru berdasarkan fakta baru yang ditemui. Untuk memperjelas teori konstruktivisme akan diuraikan berdasarkan latar belakangnya secara umum. Istilah konstruktivisme, dimulai oleh para filosof kognitif pada tahun 1710 (Rizana dkk.: 2012).Teori ini berkembang seiring dengan
perkembangan
yang
dilakukan
oleh
peneliti
lainnya
dibidang
serupa.Vygotsky pada “Interaction Between Learning and Development” dalam Mind and Society (1978) misalnya,telah mengaitkan adanya hubungan interaksi sosial dan pengonstruksian pengetahuan dalam segi kognitif anak. Akan tetapi, dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori yang diyakini oleh Piaget sebagai pengonstruksian pengetahuan dalam segi kognitif anak berdasarkan pengalaman yang diperoleh seiring dengan kematangan biologisnya. Teori konstruktivisme memiliki latar belakang sejarah yang cukup lama.Berawal dari perbincangan Socrates dan pengikutnya dalam karya Plato yang kemudian disebut sebagai Socrates Learning Method yang diidentifikasikan sebagai asal dari inquiry-based learning.Dalam hal ini, inquiry-based learning merupakan salah satu pendekatan pendidikan konstruktivis (Lam, 2011: 4). Kanz (1999: 7) menjabarkan bahwa metode pembelajaran dari Socrates ternyata diakui serta dianjurkan oleh Immanuel Kant (1724-1804) dengan menyatakan
bahwa
pembelajaran
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
28
kemampuan berpikir dapat tercapai dengan baik apabila menggunakan metode pembelajaran Socrates tersebut.Ia menganjurkan bahwa pendidikan di masa depan sebaiknya berdasarkan metode Socrates. Dalam pernyataannya, Kant menyatakan bahwa walaupun anak tidak bisa memeroleh pemahaman tanpa bantuan eksternal, tetapi harus disadari juga bahwa pemahaman seharusnya dimunculkan dari diri anak tersebut. Pada awal abad 20, John Dewey (1859-1952) mengembangkan teori perkembangan dan edukasi anak.Ia menyatakan bahwa pendidikan harus didasarkan pada pengalaman nyata. Menurut Dewey, konten pengalaman anak lebih penting dibandingkan dengan bahan subjek kurikulum (Ültanır, 2012: 201).Pandangan filosofi Dewey, ini kemudian mengalami perkembangan yang diikuti oleh Jean Piaget, Lev Vygotsky, Carl Rogers, dan Abraham Maslow (Ültanır, 2012: 199). Jean Piaget (1896-1980) meyakini bahwa setiap individu terlahir dengan kemampuan untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan.Refleks ini kemudian berganti dengan skema mental yang terkonstruksi yang memungkinkan mereka berinteraksi ataupun beradaptasi dengan lingkungan.Akomodasi adalah tekanan dari lingkungan, sedangkan adaptasi dapat dikatakan sebagai ekuilibrium asimilasi dan akomodasi (Piaget, 1965: 6).Pada mulanya teori ini dikembangkan dengan merespons permasalahan yang muncul dalam hubungannya dengan reaksi pertanyaan: Bagaimanakah sensorimotor, postural (sikap), dan reaksi lain melekat pada perlengkapan bayi baru lahir, mempersiapkannya untuk beradaptasi sendiri
29
terhadap lingkungan eksternal dan memperoleh suburutan perilaku terlepas dari perkembangan pengalamannya? (Piaget, 1965: 24). Berdasarkan pertanyaan yang diajukan tersebut, seorang anak yang belum pernah memperoleh pengalaman karena ia baru saja mengenal lingkungan ternyata memilki perlengkapan sendiri untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya yang menimbulkan perilaku berurutan. Perilaku ini berdasarkan atas pengonstruksian pengetahuan dalam segi kognitif anak yang dimunculkan dalam tahap-tahap berkelanjutan. Dalam hal adaptasi refleks, akomodasi semestinya dipertimbangkan, dan akomodasi tidak dapat dipisahkan dari progres asimilasi,
yang melekat
pada
refleks
anak
(Piaget,
1965:
32).Dalam
menginterpretasikan penggeneralisasian asimilasi tersebut terdapat skema pada diri anak yang merupakan pergerakan koordinatif anak yang disertai adanya kesiagaan anak.Berdasarkan fakta, skema berupa pengulangan dan penggunaan bukan semata-mata merupakan refleks anak atas stimulus, eksternal ataupun internal, tetapi berfungsi sebagaimana seharusnya untuk keperluan dirinya (Piaget, 1965: 35). Adaptasi tersebut kemudian terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi yang merupakan elemen penting dari konstruktivisme modern (Lutz & Huitt, 2004: 2). Selain hal-hal yang dijabarkan di atas, Piaget (dalam Ültanır, 2012: 207) menyatakan bahwa pembelajaran terjadi melalui proses konstruksi makna bukan melalui penerimaan pasif. Akomodasi terjadi bukan hanya disebabkanoleh penerimaan terlebih dahulu sesuatu dari lingkungan, melainkan juga karena mekanisme refleks yang
30
memerlukan lingkungan, sedangkan asimilasi terjadi berdasarkan fungsinya, persesuaiannya dengan objek yang tersedia baik yang ia butuhkan ataupun yang tidak (Piaget, 1965: 41). Akomodasi bekerja dengan pemilahan skema yang ada dan pemasukan elemen sensorimotor baru yang telah siap terbentuk (Piaget, 1965: 139).Interaksi akomodasi dan pengalaman dan pengorganisasian asimilasi membuat hal seperti menyediakan jawaban pada pertanyaan yang krusial dari setiap teori intelejensi mengenai cara perpaduan dari pengonstruksian intelektual dengan progresnya dapat dijelaskan (Piaget, 1965: 416). Teori
konstruktivisme
Piaget
ini
mencakup
proses
seseorang
membangun pengetahuan dan mencari makna dari apa yang telah ia pelajari sesuai dengan pengalamannya.Terdapat tiga komponen dasar teori konstruktivisme Piaget, yaitu sebagai berikut. 1. Skema (schemas)yaitu pembangunan blok-blok pengetahuan Piaget (1952) (dalam McLeod: 2009) mendefinisikan skema sebagai 'a cohesive, repeatable action sequence possessing component actions that are tightly interconnected and governed by a core meaning'. Sebagaimana seorang anak mengalami perkembangan proses mental, ia mengalami peningkatan jumlah dan kekompleksan skema. Perkembangan ini disebut tahap ekuilibrium atau tahap penyeimbangan mental. Pengertian skema sendiri adalah representasi dari sesuatu yang dialami seorang anak untuk kemudian dimengerti dan digunakan olehnya saat ia memerlukan skema tersebut dalam menghadapi situasi tertentu. Pembangunan blok-blok pengetahuan seperti yang telah dikemukakan oleh McLeod, merupakan cara dalam mengorganisasikan pengetahuan.
31
Indeed, it is useful to think of schemas as “units” of knowledge, each relating to one aspect of the world, including objects, actions and abstract (i.e. theoretical) concepts.(McLeod, 2009). 2. Ekuilibrasi, asimilasi, dan akomodasi Perkembangan intelektual merupakan proses adaptasi seorang anak. Proses ini terjadi melalui asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Tahap-tahap ini dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Asimilasi Asimilasi merupakan tahap pada saat seorang anak menggunakan skema yang ia miliki untuk menghadapi situasi atau objek baru. b. Akomodasi Akomodasi merupakan tahap pada saat skema tidak cocok dengan situasi atau objek baru. c. Ekuilibrasi Ekuilibrasi merupakan penekanan yang menggerakkan perkembangan. Pada proses ini, ekuilibrium terjadi saat skema anak dapat menerima situasi atau objek baru tersebut dari lingkungannya. Akan tetapi, skema tidak selalu dapat cocok dengan situasi baru yang ditemukan anak (disekuilibrium).Tahap inilah yang disebut sebagai asimilasi. Ekuilibrasi merupakan penekanan yang terjadi pada anak pada saat ia harus menyeimbangkan segi konstruktivismenya dengan cara menerima dan menguasai pengetahuan baru yang ia temukan. Tahap ini kemudian disebut sebagai akomodasi.
32
Dalam proses pembelajaran, tahap asimilasi merupakan tahap mahasiswa menggunakan pengetahuan awal mengenai isu dari topik yang ia tulis (dalam thesis statement teks dan kolom what strategi WWH). Kemudian, tahap akomodasi adalah tahap adanya ketidaksamaan fakta dengan pengetahuan awal mahasiswa terhadap isu tersebut. Lalu, equilibrasi adalah tahap mahasiswa dapat mengakui isu dari topik yang ia tulis sebagai isu yang benar (dalam CON idea). Selanjutnya, adanya disekuilibrium atau tahap fakta baru ditemukan oleh mahasiswa dan berbeda dengan pengetahuan awal mahasiswa terhadap isu tersebut (dalam PRO idea dan kolom why strategi WWH). Tahap ini diikuti dengan asimilasi yaitu tahap pemberian contoh dan bukti yang memacu perkembangan pengetahuan mahasiswa terhadap pengetahuan awal isu (dalam kolom how tabel strategi WWH). 3. Tahapan perkembangan (Stages of development) Tahap-tahap perkembangan terjadi pada saat seorang anak mulai mampu mengembangkan model dari dunia yang ia hadapi. 2. 3. 2 Teori Belajar Konstruktivisme Walaupun pada mulanya Piaget tidak memfokuskan diri pada proses belajar-mengajar terkait dengan teorinya, banyak peneliti yang menemukan bahwa teori ini dapat berlaku pula pada proses berlajar-mengajar (McLeod, 2009).Dalam teori ini terdapat beberapa prinsip pembelajaran yang berkaitan dengan tahapantahapan
dalam
segi
kognitif
anak
yang
didasarkan
konstruktivisme.Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
atas
teori
33
a. Fokus pada proses pembelajaran, dibandingkan produk akhir (Focus on the process of learning, rather than the end product of it). b. Penggunaan metode aktif yang memerlukan penemuan kembali atau rekonstruksi “fakta” (Using active methods that require rediscovering or reconstructing "truths"). c. Penggunaan pembelajaran kolaboratif, dan juga aktivitas individual sehingga anak-anak dapat saling belajar satu sama lain (Using collaborative, as well as individual activities, so children can learn from each other). d. Perencanaan situasi yang mempresentasikan permasalahan yang bermanfaat, dan menciptakan disekuilibrium untuk anak (Devising situations that present useful problems, and create disekuilibrium in the child). e. Evaluasi tahap perkembangan anak, sehingga tugas yang tepat dapat diberikan (Evaluate the level of the child's development, so suitable tasks can be set). (McLeod, 2009). Berdasarkan teori belajar konstruktivisme yang telah dikemukakan oleh Piaget di atas, teori ini dapat dikembangkan untuk keperluan belajar anak terutama terkait dengan penelitian yang dilakukan kali ini memerlukan metode aktif yang memerlukan pengonstruksian fakta untuk pembelajaran menulis teks argumentatif. Teori konstruktivisme kemudian menghasilkan beberapa metode
34
pembelajaran dan salah satunya adalah PBL. Berikutnya akan dibahas mengenai pengertian PBL. 2. 3. 3 Problem Based Learning (PBL) Metode belajar Problem Based Learning (PBL) dipakai pada penelitian ini berdasarkan fungsinya yang dinilai sebagai metode yang memungkinkan pembelajar untuk lebih aktif dalam belajar dan mengeksplorasi pengetahuan dalam segi kognitif mereka. Metode ini membuat mahasiswa mengonstruksikan pengetahuan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki, mengidentifikasi fakta yang relevan dengan kasus yang mereka hadapi, dan mengidentifikasi isu pembelajaran. PBL memungkinkan pembelajar untuk menjawab “Mengapa?”, “Apa maksudmu?”, “Bagaimana kau tahu itu benar?” yang dipergunakan dalam pembelajaran menulis teks argumentatif. Problem Based Learning (PBL) merupakan metode yang memayungi strategi yang dipergunakan dalam penelitian kali ini. PBL merupakan metode pembelajaran yang memungkinkan pembelajar untuk memecahkan masalah berdasarkan fakta untuk keperluan dalam proses pembelajaran. Menurut
Savery
dan
Duffy
(1995)
terdapat
relevansi
teori
konstruktivisme dan Problem Based Learning. Teori konstrutivisme mendasari filosofinya berdasarkan cara kita mengerti atau mengetahui, sehingga PBL akan mencoba membuat situasi belajar yang membuat pembelajar menjadi memahami suatu pengetahuan baru. Percobaan yang dilakukan Savery dan Duffy (1995), dilakukan dengan memberikan permasalahan pada siswa kemudian siswa ditugasi untuk
35
mendiskusikan permasalahan, memberikan hipotesis berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki, mengidentifikasi fakta yang relevan dengan kasus yang mereka hadapi, dan mengidentifikasi isu pembelajaran. Isu pembelajaran terkait dengan topik yang berpotensi memiliki keterkaitan dengan permasalahan dan bagian-bagian yang tidak dimengerti siswa.Siswa memberikan isu pembelajaran berdasarkan analisis permasalahan. Berdasarkan percobaan, Savery dan Duffy (1995) menyatakan bahwa pada tujuan pembelajaran desain lingkungan menstimulasikan dan memungkinkan siswa untuk berperilaku memecahkan masalah. Proses pemecahan masalah didesain untuk memandu siswa. Dalam pengembangan permasalahan terdapat dua panduan.Panduan yang pertama yaitu permasalahan harus memunculkan konsep dan prinsip-prinsip harus relevan dengan konten. Oleh karena itu, permasalahan harus dimulai dengan mengetahui
konsep atau prinsip yang harus diketahui
siswa. Kedua, yaitu permasalahan harus “nyata”.Pembelajar harus menerima permasalahan sebagai permasalahan sesungguhnya yang harus mereka pecahkan. Dalam perannya, fasilitator hanya menanyakan pertanyaan seperti “Mengapa?”, “Apa maksudmu?”, “Bagaimana kau tahu itu benar?”.Fasilitator tidak menggunakan pengetahuannya tentang konten untuk menanyakan sesuatu yang mengarahkan siswa pada jawaban yang benar. Menurut Utecht (2003: 7), PBL yang merupakan pembelajaran yang bersifat self-directed (pembelajar mengatur arah pembelajaran) dan berdasarkan situasi nyata, pembelajar meningkatkan kepercayaan diri untuk memecahkan masalah yang kemungkinan akan mereka hadapi dalam keseharian mereka. PBL
36
membantu menunjukkan kepada pembelajar bahwa terdapat korelasi langsung antara permasalahan di sekolah dan di dunia luar sekolah.PBL juga membantu pembelajar dalam mengembangkan keterampilan berpikir analitis seperti berpikir kritis, penentuan permasalahan dan pemecahan masalah (Utecht, 2003: 8). Pembelajaran yang dilakukan dalam sistem berkelompok membantu pembelajar belajar berkomunikasi secara efektif dengan pembelajar lain. PBL tidak hanya membuat pembelajar menjadi aktif tetapi juga mengharuskan mereka untuk berperan aktif. Pengajar pertama-tama harus menentukan standar yang harus dipenuhi siswa pada akhir pembelajaran.Dengan demikian pengajar dapat menentukan dan mengembangkan permasalahan yang memungkinkan pembelajar memenuhi standar yang ditentukan. Berdasarkan uraian Savery dan Duffy dan Utecht di atas, Problem Based Learning merupakan metode yang merupakan payung yang menaungi strategi yang digunakan dalam penelitian kali ini. Problem Based Learning dinilai sangat memungkinkan pembelajar untuk memberikan hipotesis berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki, mengidentifikasi fakta yang relevan dengan kasus yang mereka hadapi, dan mengidentifikasi isu pembelajaran. Selain itu, PBL memungkinkan pembelajar untuk menjawab “Mengapa?”, “Apa maksudmu?”, “Bagaimana kau tahu itu benar?” yang akan dipergunakan dalam pembelajaran menulis teks argumentatif. PBL kemudian diimplementasikan dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan berbagai cara, teknik, prosedur, atau taktik yang digunakan sebagai alat dalam melaksanakan PBL.
37
Salah satu alat yang digunakan dalam mengimplementasikan PBL dalam proses belajar mengajar adalah dengan menggunakan strategi WWH yang merupakan prosedur mental yang digunakan penulis dalam membuat teks. Berikut akan dijelaskan mengenai strategi WWH. 2. 3. 4 Strategi What Why How (WWH) Strategi WWH merupakan strategi yang cocok dan sesuai dengan landasan teori konstruktivisme. Strategi ini memiliki tahapan-tahapan yang memungkinkan mahasiswa untuk mengeksplorasi pengetahuan dan diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam pengembangan penulisan teks argumentatif. Penggunaan strategi
ini
memiliki keterkaitan
yang erat
dengan teori
konstruktivisme yang dipercaya terjadi pada diri setiap anak. Dengan penerapan strategi ini setiap anak diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam membangun blok-blok pengetahuan, melakukan transisi pengetahuan, serta memungkinkan terjadinya perkembangan pada segi konstruktivisme mahasiswa pada proses pembelajaran menulis teks argumentatif. Strategi WWH mempunyai peranan penting pada penelitian ini. Strategi WWH merupakan salah satu alat yang digunakan dalam pelaksanaan metode PBL. Metode PBL sendiri merupakan metode yang dikembangkan berdasarkan pendekatan konstruktivisme. Kondisi ini terstruktur dalam strategi WWH yang mengharuskan
pembelajar
untuk
membangun
pengetahuan
berdasarkan
lingkungan untuk perekonstruksian ulang pengetahuan dalam ketiga tahap WWH (What, Why, dan How) sesuai teori konstruktivisme.Strategi ini juga
38
menghadirkan permasalahan yang harus dipecahkan oleh pembelajar dengan panduan ketiga tahapan WWH. Penggunaan strategi What Why How (WWH) pada penelitian ini dimaksudkan untuk mempermudah subjek penelitian ini dalam mempelajari keterampilan menulis khususnya menulis teks argumentatif. What Why How (WWH) is the strategy to express the important information (Peha, 2003: 20). Strategi ini merupakan cara yang dipakai penulis untuk menegaskan argumenargumen yang ingin disampaikan berupa informasi penting. Strategi WWH dianggap dapat mendukung penelitian yang dilakukan dan menjadi strategi yang dapat diandalkan dalam proses pembelajaran dan pengajaran. Seperti yang telah dijelaskan oleh Peha, strategi WWH memiliki bagian-bagian yang memberdayakan siswa untuk memberikan dukungan atau bukti pada proses menulis mereka (Peha, 2003: 20). Strategi ini memiliki keterkaitan dengan penggunaan jenis teks yang dijadikan sebagai objek penelitian kali ini yaitu teks argumentatif yang memerlukan bukti dan dukungan dalam proses pembuatannya. Berikut ini akan disampaikan bagian-bagian strategi WWH yang akan dipergunakan pada penelitian ini. a. What: what do you think? Pengertian tahap ini adalah apa yang seseorang pikirkan. Pembelajar diharapkan
dapat
menuangkan
apa
yang
ia
pikirkan
berupa
pendapatnya. Bagian ini merupakan tahap awal dari strategi WWH.
39
Pada bagian ini pembelajar memberikan pendapat mereka, kemudian menetapkannya sebagai ide utama pada saat mereka menulis.
b. Why: why do you think it? Pengertian tahap kedua ini adalah mengapa seseorang berpikir dengan pendapat yang telah ia sampaikan. Pada tahap ini mahasiswa menggunakan CON dan refutation atau dengan kata lain PRO dalam pattern 3. Pada bagian ini mahasiswa diharapkan dapat memberikan CON
terhadap
(refutation/PRO).
tesis
mereka
dan
sanggahan
terhadap
CON
alasan mereka tentang pendapat mereka. Mereka
akan mengeksplorasi skema yang mereka miliki. c. How: how do you know? Pengertian tahap ini adalah bagaimana seseorang tahu bahwa apa yang telah ia sampaikan itu benar. Ini adalah tahap pada saat mahasiswa memberikan bukti-bukti pendukung untuk memperkuat gagasannya. Pada tahap ini, pembelajar mulai menulis bukti-bukti dengan mengeksplorasi semua hal yang terkait dengan penulisannya. Ini adalah Tabel strategi WWH: WHAT (What do you think?) (This is your opinion)
WHY (Why do you think it) (These are your reasons)
HOW (How do you know?) (This is your evidence or examples)
(Sumber: Peha, 2003: 21) Berdasarkan uraian di atas, strategi WWH dinilai mampu untuk membantu pembelajar dalam menulis teks khususnya dalam penelitian ini teks
40
argumentatif.Strategi ini akan menjawab pertanyaan “Mengapa?”, “Apa maksudmu?”, “Bagaimana kau tahu itu benar?” dalam pengembangan argumen yang diperlukan dalam menulis teks argumentatif. 2. 3. 5 Teks Argumentatif Argumen diperlukan untuk menghadapi situasi di masyarakat untuk memecahkan permasalahan sosial. Kata “argue” dalam bahasa Inggris berarti menampilkan sesuatu beserta dengan bukti-bukti untuk memengaruhi orang lain. Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan peneliti mengkaji mengenai kemampuan menulis teks argumentatif. Bukti-bukti yang ditampilkan dipergunakan untuk mendukung apa yang ingin disajikan penulis. Oleh karena itu, menulis teks argumentatif dapat membantu seorang penulis menuangkan idenya beserta dukungan yang kuat yang dapat menyokong pendapatnya. Penelitian ini menggunakan teori konstruktivisme pada proses pembelajaran mahasiswa dan menggunakan strategi WWH. Penggunaan strategi ini dimaksudkan untuk dapat lebih memberdayakan mahasiswa dalam menulis teks argumentatif. Permasalahan yang dihadapi mahasiswa dalam pembuatan teks argumentatif diharapkan dapat dikurangi dengan menggunakan strategi WWH yang memungkinkan mahasiswa dalam mengeksplorasi pengetahuan sesuai dengan konsep teori konstruktivisme. Objek yang diamati adalah keterampilan menulis teks argumentatif. Kata argumentative berasal dari kata “argue” (bahasa Inggris) yang bermakna “to
41
present with evidence to convince someone else.” (Arguments & Persuasion, Reasoning & Emotion: The Gentle Art of Arguing.) Menurut Ozagac (2004), esai argumentatif merupakan jenis tulisan yang tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga menampilkan argumen yang berisikan PROS (ide-ide pendukung) dan CONS (ide-ide penentang). Dalam jenis tulisan argumentatif, seorang penulis akan memberikan alternatif atau cara baru yang selama ini berbeda dari apa yang dipercayai oleh pembaca. Penulis teksakanmemberikan sebuah topik yang berisikan isu. Setelah itu penulis teks akan menampilkan apa yang selama ini dipercayai oleh pembaca (PROS). Kemudian, untuk membandingkan dengan pernyataan tersebut, penulis teksakan menampilkan hal berbeda dari apa yang dipercayai pembaca untuk mengubah cara pandang pembaca (CONS). Untuk mendukung CONS yang berupa argumen, penulis teks menambahkan bukti-bukti pendukung argumennya. Berikut ini adalah Generic Structure dari esai argumentatif menurut Ozagac (2004). Pattern 1: Thesis statement: PRO idea 1 PRO idea 2 CON(s) + Refutation(s) Conclusion Pattern 2: Thesis statement: CON(s) + Refutation(s) PRO idea 1 PRO idea 2
42
Conclusion Pattern 3: Thesis statement: CON idea 1 CON idea 2 CON idea 3
-----> Refutation -----> Refutation -----> Refutation
Conclusion Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini menggunakan jenis teks argumentatif dengan pattern 3. Dalam menulis teks argumentatif mahasiswa dilihat kemampuannya dalam menunjukkan fakta untuk menyimpulkan kebenaran yang ia ungkap dan selama ini belum diketahui pembaca teks. Pattern3 ini dinilai lebih jelas dalam menampilkan argumen PRO dan CON sehingga dapat memperlihatkan kemampuan mahasiswa dalam memperlihatkan argumen dan bukti yang mendukung tesisnya. Ide-ide PRO yang terdapat pada pattern 3 terdapat pada bagian refutation yang merupakan sanggahan atas ide-ide CON dan mendukung atau pro terhadap thesis statement. Teks argumentatif karangan mahasiswa dinilai kekohesifan dan koherensiannya dalam teks. Alwi (2001: 428) berpendapat, “kohesi dan koherensi menjadikan tulisan yang dibaca bermakna, dan untaian kalimat yang tidak kohesif dan koheren tidak akan membentuk wacana”. Berdasarkan pendapat Alwi tersebut, dapat dikatakan bahwa kohesi dan koherensi membuat suatu wacana menjadi berterima bagi pembaca. Suatu tulisan menjadi bermakna dan dapat dikatakan sebagai sebuah wacana apabila tulisan tersebut kohesif dan koheren. Perlu diperhatikan bahwa pada penelitian ini mengkaji keselarasan antarparagraf maka yang digunakan adalah koherensi, sedangkan kohesi adalah keselarasan
43
antar kalimat dalam sebuah paragraf. Menurut Laelasari dan Nurlaila (2006: 140), koherensi adalah keselarasan yang mendalam antara isi dalam wacana. Suatu wacana dikatakan koheren, apabila ada kekompakan gagasan yang dikemukakan kalimat yang satu dengan yang lainnya. Kalimat-kalimatnya memiliki hubungan timbal balik serta secara bersama-sama membahas satu gagasan utama. Oleh karena itu, peneliti melihat adanya kebersinambungan pada suatu paragraf apabila terdapat kohesi dan koherensi pada suatu teks. Akan tetapi, pendeskripsian hasil penelitian ini lebih ditonjolkan pada koherensi paragraf. Hal ini berkaitan dengan strategi yang dipakai pada penelitian kali ini yaitu strategi WWH. Korpus berupa hasil karangan mahasiswa dalam bentuk teks argumentatif ditampilkan kemudian dianalisis kekoherenannya untuk membuktikan adanya pengaruh penggunaan strategi WWH dalam membangun teks argumentatif. Penilaian pada rubrik berfokus pada keterampilan menulis teks argumentatif mahasiswa, yaitu dengan kriteria: ide, organisasi teks, indikator (keterampilan berpikir kritis dan logis, keterampilan mengemukakan fakta yang dapat diuji kebenarannya, dan keterampilan mengajak dan memengaruhi orang lain), serta ketepatan mekanis. Pada bagian ketepatan mekanis ditonjolkan penggunaan tata bahasa dalam oleh mahasiswa pada hasil teks argumentatif. 2. 3. 6 Koherensi Dalam menulis sebuah teks seorang penulis hendaknya mampu memudahkan pembaca untuk memahami teks yang ia sajikan dengan penggunaan kalimat-kalimat yang mengalir dengan baik. Kalimat-kalimat yang terangkai
44
dengan baik satu sama lain menghasilkan sebuah teks yang koheren. Creswell (2009) menyatakan bahwa pengertian koherensi adalah sebagai berikut. Coherence in writing means that the ideas tie together and logically flow from one sentence to another and from one paragraph to another. Pernyataan di atas memperlihatkan bahwa koherensi dalam tulisan berarti ide-ide saling berhubungan dan secara logis mengalir dari satu kalimat ke kalimat lainnya dan dari satu paragraf ke paragraf lainnya. Diperlukan kejelian penulis dalam memilih kata-kata yang dipergunakan untuk menghasilkan sebuah teks yang koheren. Kata-kata yang dipergunakan memiliki keterkaitan serta muncul dengan lazim antara kalimat sebelumnya dan berikutnya.Hal ini membuat tulisan menjadi lebih mengalir dan menarik untuk dibaca. Oleh karena itu,penyajian sebuah teks hendaknya menggunakan parameter yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam menulis teks. Burchfield (1996) dalam The New Fowler’s Modern English Usage mengemukakan empat parameter koherensi pada kemampuan menulis, yaitu: penggunaan ekspresi transisi, pengulangan kata-kata dan frasa kunci, penggunaan referensi kata ganti, dan penggunaan bentuk paralel. Berikut ini akan disampaikan mengenai penjabaran secara umum dari keempat parameter tersebut, yang terdiri atas penggunaan ekspresi transisi, pengulangan kata-kata dan frasa kunci, penggunaan referensi kata ganti, dan penggunaan bentuk paralel. 1. Penggunaan ekspresi transisi terdiri atas yang paling sederhana, yaitu konjungsi kecil seperti and, but, nor, for, yet, or, (atau kadang-kadang) so ke penanda yang lebih kompleks yang menghubungkan ide-ide, yaitu kata
45
keterangan penghubung dan ekspresi transisi sepertihowever, moreover, nevertheless, on the other hand. Berikut adalah tabel parameter transisi yang disebut juga sebagai kata keterangan konjungsi atau konjungsi adverbial.
Addition
comparison Concession Contrast
Emphasis example or illustration Summary
time sequence
Tabel 1.1Ekspresi transisi again, also, and, and then, besides, equally important, finally, first, further, furthermore, in addition, in the first place, last, moreover, next, second, still, too also, in the same way, likewise, similarly granted, naturally, of course although, and yet, at the same time, but at the same time, despite that, even so, even though, for all that, however, in contrast, in spite of, instead, nevertheless, notwithstanding, on the contrary, on the other hand, otherwise, regardless, still, though, yet certainly, indeed, in fact, of course after all, as an illustration, even, for example, for instance, in conclusion, indeed, in fact, in other words, in short, it is true, of course, namely, specifically, that is, to illustrate, thus, truly all in all, altogether, as has been said, finally, in brief, in conclusion, in other words, in particular, in short, in simpler terms, in summary, on the whole, that is, therefore, to put it differently, to summarize after a while, afterward, again, also, and then, as long as, at last, at length, at that time, before, besides, earlier, eventually, finally, formerly, further, furthermore, in addition, in the first place, in the past, last, lately, meanwhile, moreover, next, now, presently, second, shortly, simultaneously, since, so far, soon, still, subsequently, then, thereafter, too, until, until now, when
Penggunaan ekspresi transisi di atas dipergunakan bukan berarti harus dipergunakan seluruhnya dalam sebuah teks. Penggunaan transisi tersebut bertujuan untuk menghubungkan ide-ide satu sama lain,bukan merupakan suatu keharusan pula bagi seorang penulis untuk menghapal daftar di atas. Namun, tetap ada ketentuan penggunaan ekspresi transisi di atas seperti misalnya penggunaan before yang sering digunakan menandai kejadian
46
sebelumnya, bisa saja digunakan dalam kalimat non-formal atau informal. Akan tetapi apabila dalam teks tertulis yang lebih formal hendaknya digunakan alternatif formerly yang lebih formal untuk mengawali kalimat. Dalam teks mahasiswa hendaknya menggunakan tulisan formal. Selanjutnya, terdapat pula konjungsi yang berfungsi sebagai konjungsi antar kata, antar kalimat, dan antar paragraf. Mahasiswa hendaknya menggunakan ketiga macam konjungsi sesuai dengan fungsinya masing-masing. Contohnya adalah: And
konjungsi antar kata
But
konjungsi antar kata
Before
konjungsi antar kata
However
konjungsi antar kalimat atau antar paragraf
Furthermore konjungsi antar kalimat atau antar paragraf Formerly
konjungai antar kalimat atau antar paragraf
2. Pengulangan kata-kata dan frasa kunci Pengulangan kata-kata dan frasa kunci biasanya dihindari karena dianggap sebagai pemborosan kata.Tetapi, dalam hal ini kata-kata atau frasa yang penting bagi pembaca adalah hal yang penting untuk diulang dalam teks. Pengulangan ini merupakan salah satu cara untuk menekankan poin penting yang ingin disampaikan penulis sehingga menjadi lebih mencolok untuk dibaca dalam teks. Kemampuan inilah yang juga harus dimiliki oleh penulis dalam membentuk sebuah teks yang koheren.
47
3. Penggunaan referensi kata ganti Penggunaan kata ganti merupakan penghubung ide-ide karena kata ganti memberikan
pembaca
rujukan
dari
hal
yang
telah
dibicarakan
sebelumnya.Penggunaan tersebut membuat pembaca secara cepat menyimpulkan hal yang sedang dibicarakan berdasarkan kata ganti yang digunakan.Penulis teks hendaknya menggunakan kata ganti dengan jelas dalam mengacu ke hal yang sebelumnya
dibicarakan.
Ketidakjelasan
penggunaan
kata
ganti
akan
menyebabkan kalimat menjadi ambigu (bermakna ganda) atau bahkan menyesatkan pembaca.
Selain itu,
penggunaan kata
ganti
juga tidak
diperkenankan untuk menghindari pernyataan yang memerlukan sumber yang jelas seperti “Mereka menyatakan bahwa….” Atau “Banyak yang menyatakan…”. 4. Penggunaan bentuk paralel Dalam menulis, seorang penulis mengulang-ulang frasa, klausa, ataupun keseluruhan kalimat untuk memudahkan bagi pembaca dalam membaca tulisan penulis. Penggunaan bentuk paralel juga dapat ditemukan pada prosa. Pengulangan secara sengaja dari frasa, klausa ataupun keseluruhan kalimat dalam struktur yang lebih besar secara sengaja oleh penulis inilah yang disebut sebagai penggunaan bentuk paralel. Pengulangan ini merupakan keseimbangan pada kalimat atau frasa yang memiliki struktur gramatikal yang sama agar penulis dapat mengekspresikan idenya dengan jelas dan tepat. Bagaimanapun juga, seorang penulis hendaknya menulis dengan berdasarkan ide-ide yang sama yang bersumber dari satu acuan dalam sebuah kalimat berupa topik ataupun ide utama yang sama, bukan dengan menampilkan beberapa ide yang berlainan dalam satu
48
kalimat. Kekonsistenan ini merupakan hal yang penting bagi penulis dalam menampilkan daftar ide yang ia sampaikan.Sebagai contoh dari penggunaan bentuk paralel dikutip dari Kim dkk. (2014: 6) adalah: 1. Kalimat asli
: Writing gives us the power to freely speak about our
opinions, topics, and views, and this will inevitably cause change. 2. Perbaikan
: Writing gives us the power to freely speak about our
opinions, our topics, and our views, which will inevitably cause change. Pada contoh di atas kalimat asli hendaknya ditambahkan our sebagai bentuk keselarasan atau koherennya tulisan. Kata this yang merupaka kata penunjuk tunggal pada “this will inevitably cause change” tidak selaras dengan kelas kata-kata sebelumnya yang merupakan kata benda jamak diawali our. Contoh lain dapat pula dilihat dari “Using Parallellism” dari Boundless Writing, antara lain sebagai berikut. 1. Tidak paralel : We can pay with a mark, a yen, buck, or pound. 2. Paralel
: We can pay with a mark, a yen, a buck, or a pound.
Paralelisme di atas memerlukan artikel (a, an atau the) atau preposisi yang diterapkan ke semua anggota dalam seri seharusnya hanya diletakkan di awal item saja atau diulang untuk semua item. A mark, a yen, diawali dengan artikel a, sedangkan buck, or pound tidak. Oleh karena itu dianggap tidak paralel. 1. Tidak paralel : Students spend their time going to classes, studying, working, and they wish they had time for a social life. 2. Paralel
: Students spend their time going to classes, studying,
working, and wishing for a social life.
49
Paralelisme dalam contoh di atas memerlukan ide dan elemen yang sama ditampilkan dalam bentuk yang sama. Pada contoh dipergunakan konjungsi “and” memberitahukan bahwa verba berikutnya harus paralel dengan verba sebelumnya (Boundless, 2015). Dalam sebuah teks, koherensi membantu pembaca dalam memahami teks. Penulis juga dapat menyampaikan dengan baik pesan yang ingin ia disampaikan. Oleh karena itu, merupakan bagian yang sangat penting bagi penulis dalam menulis sebuah teks untuk memperhatikan penulisan teks yang koheren. Koherensi merupakan salah satu aspek yang dinilai dari teks mahasiswa dan merupakan poin penting dalam pengembangan teks. Selain aspek koherensi, aspek-aspek lainnya adalah ide, organisasi, pengemukaan fakta, pemberian sugesti, dan kaidah. Keenam aspek ini kemudian akan dinilai sesuai rubrik penilaian. 2.4 Model Penelitian Model
penelitian
ini
adalah
penelitian
eksperimen,
dengan
menggunakan desain penelitian Subjek Random Desain Pretes-Postes Grup (Randomized Subjects, Pretest-Posttest Control Group Design).Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan pola desain penelitian ini. Tabel 1.2 Randomized Subjects Pretest-Postest Control Group Design Grup Pretes Variabel Terikat (R) Eksperimen Y1 X (R) Kontrol Y1 X = ada treatment (perlakuan) - = tidak menerima treatment(perlakuan) (Sukardi, 2003: 185).
Postes Y2 Y2
50
Terdapat empat kelas yang diajarkan oleh empat orang dosen. Dua kelas dipilih yang memilliki kemampuan setara baik dalam segi tahun angkatan, usia, ataupun level kemampuan rata-rata kelas. Rata-rata nilai semua kelas diperoleh dari hasil nilai mata kuliah menulis pada semester sebelumnya.Setelah itu, pengundian secara lotre dilakukan pada kedua kelas tersebut untuk memutuskan dua kelas yang digunakan untuk diteliti. Sampel terdiri atas dua grup, yaitu: grup eksperimen dan grup kontrol. Grup eksperimen adalah grup yang diberikan perlakuan yaitu pada proses pembelajaran menggunakan StrategiWWH, sedangkan grup kontrol merupakan grup yang tidak diberikan perlakuan melainkan sebagai grup pengontrol untuk mengetahui perbandingan antara penggunaan Strategi WWH pada grup eksperimen ataupun pembelajaran tanpa penerapan Strategi WWH pada grup kontrol. Pada pretes dilaksanakan tes awal dengan pembelajaran tanpa menggunakan Strategi WWH (Y1) pada kedua grup, baik grup eksperimen ataupun grup kontrol. Penerapan Strategi WWH merupakan tahapan pada variabel terikat, yakni grup eksperimen menggunakan Strategi WWH (X) dan grup kontrol tidak menggunakan Strategi WWH (-) dalam proses pembelajaran. Pada postes dilaksanakan tes akhir pada kedua grup.Dalam tahap ini direfleksikan hasil dari penerapan Strategi WWH pada hasil pembelajaran (Y2). Hasil tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui pengaruh penggunaan Strategi WWH pada proses pembelajaran. Pada postes, faktor-faktor yang
51
memengaruhi hasil karangan teks argumentatif pada mahasiswa dibahas serta dianalisis. Model pada penelitian ini disajikan pada bagan berikut.
52
Permasalahan: kendala menulis teks argumentatif mahasiswa STIBA Saraswati Denpasar
Teori belajar konstruktivisme
PBL WWH Strategy Populasi
Pengundian secara lotere
Grup Kontrol
Grup Eksperimen Pretes (Y1)
Refleksi
Perlakuan (X)
Tanpa Perlakuan (-)
Refleksi
Refleksi
Refleksi Postes (Y2)
Refleksi
Data (Kuesioner dan Tes)
Analisis Data
Simpulan
53
Keterangan: : langkah selanjutnya : penerapan metode dan strategi : pembelajaran dengan penerapan perlakuan dan pembelajaran tanpa perlakuan
Berikut ini dijelaskan gambaran secara umum langkah-langkah pada desain penelitian. Langkah awal pada desain penelitian ini adalah dengan menentukan kendala yang terdapat pada mahasiswa STIBA Saraswati Denpasar Program Studi Bahasa Inggris Strata 1. Kendala yang ditemukan adalah mengenai kurangnya kemampuan mahasiswa dalam menulis teks argumentatif. Berdasarkan atas teori konstruktivisme yang meyakini adanya konstruksi pengetahuan dalam kognitif seseorang, metode yang dapat menyesuaikan dengan teori ini adalah Problem Based Learning yang memungkinkan mahasiswa untuk belajar secara aktif mengkonstruksikan pengetahuan. Standar yang harus dipenuhi siswa pada akhir pembelajaran diberitahukan pada pemberian materi teks argumentatif. Dengan demikian pengajar
dapat
memungkinkan
menentukan pembelajar
dan
mengembangkan
memenuhi
standar
permasalahan yang
yang
ditentukan.PBL
memungkinkan pembelajar untuk menjawab “Mengapa?”, “Apa maksudmu?”, “Bagaimana kau tahu itu benar?” yang dipergunakan dalam pembelajaran menulis teks argumentatif. Strategi yang dipilih untuk memudahkan mahasiswa dalam membuat teks argumentatif adalah strategi What Why How. Strategi ini menjawab
54
pertanyaan “Mengapa?”, “Apa maksudmu?”, “Bagaimana kau tahu itu benar?” dalam pengembangan argumen yang diperlukan dalam menulis teks argumentatif. Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah dengan menetapkan sampel dari populasi mahasiswa STIBA Saraswati Denpasar Program Studi Bahasa Inggris Strata 1 dengan menetapkan sampel.Dua (2) kelas yang memiliki kemampuan awal setara dalam keterampilan menulis berdasarkan rata-rata nilai yang diperoleh mahasiswa semester sebelumnya dipilih. Berikutnya penerapan pretes dan diikuti dengan refleksi hasil skor perolehan mahasiswa dengan penyekoran menggunakan acuan rubrik penilaian. Setelah diadakan refleksi, penerapan strategi WWH dilakukan pada grup eksperimen sedangkan pada grup kontrol tidak diimplementasikan.Kemudian dilakukan refleksi dengan menggunakan rubrik penilaian. Langkah berikutnya adalah dengan memberikan postes pada kedua grup, yaitu grup eksperimen dan grup kontrol. Refleksi kembali dilakukan dengan rubrik penilaian. Setelah refleksi, dilakukan penyebaran kuesioner pada mahasiswa. Setelah analisis data baik tes dan kuesioner, langkah akhir yang dilakukan peneliti adalah membuat simpulan mengenai hasil penelitian. Kesimpulan ini menjawab masalah yang telah dirumuskan. Selain itu, simpulan juga menentukan kebenaran hipotesis awal yang diajukan peneliti.