BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Dalam subbab ini dilakukan penelusuran terhadap beberapa pustaka,
seperti buku-buku, jurnal-jurnal, dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Hal ini sangat penting dilakukan karena dari penelusuran pustaka tersebut dapat diperoleh inspirasi yang dapat mempertajam konsep dan teori. Di samping itu, dapat menambah wawasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Hal lainnya adalah penjelajahan pustaka juga dimaksudkan untuk menunjukkan perbedaan substansial penelitian ini dengan penelitianpenelitian terdahulu sehingga dapat dibuktikan originalitasnya, kemudian pada gilirannya penelitian ini signifikan untuk dilakukan. Selanjutnya, berkaitan dengan kajian pustaka, beberapa pustaka yang telah ditelusuri dijelaskan di bawah ini. Secara khusus kajian tentang maniring hinting sebagai gerakan kontra hegemoni masyarakat Dayak belum banyak dilakukan, terutama yang dikaitkan dengan perlawanan masyarakat adat Dayak. Akan tetapi, beberapa kajian yang pernah dilakukan baik tentang negara dan masyarakat adat Dayak, sistem perladangan orang Dayak, maupun identitas Dayak dijadikan pijakan dalam penelitian ini.
24
25
Nurul Elmiyah dalam “Negara dan Masyarakat Adat Dayak: Studi Mengenai Hak Atas Tanah dan Hasil Hutan di Mamahak Besar dan Long Bagun” (2008) mengulas konflik antara masyarakat lokal dan negara berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat Dayak atas tanah di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Konflik tersebut bersumber dari kerancuan persepsi, kebutuhan pembangunan ekonomi dan ketiadaan konsepsi perlindungan terhadap penduduk lokal. Tujuan yang hendak dicapai kajian tersebut adalah agar terciptanya suatu konsep pemikiran perlindungan hak masyarakat lokal terkait dengan hak-hak atas tanah dan sumber daya alam. Manfaat lain, yaitu penyelesaian sengketa yang terjadi di daerah penelitian dapat diterapkan untuk daerah lain dalam rangka memperkuat NKRI. Yekti Maunati dalam “Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan” (2003) mengulas sisi lain dari mencuatnya identitas kelompok pasca orde baru jatuh dan polemik yang berkembang tentang pergulatan identitas suku Dayak di Kalimantan Timur yang menguat dalam bentuk perlawanan terhadap hegemoni luar (kekuatan orde baru). Ada pergulatan antara kubu konservatif yang ingin memberikan sentuhan budaya dan nilai dalam identitas Dayak
di
Kalimantan
Timur
dan
kubu
modernisme
yang
kurang
mempertimbangan unsur budaya dalam identitas Dayak. Hasil kajian Yekti di atas menjelaskan bahwa penguatan identitas baru Dayak terjadi pasca reformasi. Identitas Dayak pada masa lalu yang kurang maju, stereotip, dan terkesan primitif memang sengaja dikonstruksi oleh kepentingan kolonial dan pemerintah dalam proses pembangunan pada masa lalu. Identitas
26
baru Dayak ini dimunculkan dalam tataran politik lokal. Para elite Dayak tersebut merekonstruksi citra Dayak sebagai kelompok yang ‘modern’. Tentunya rekonstruksi tersebut berkaitan dengan kepentingan-kepentingan politik mereka sendiri, setidaknya dalam kerangka politik lokal. Di sini para elite Dayak yang berusaha merekonstruksi citra ‘modern’ Dayak melawan citra-citra dominan (narasi besar) yang berlaku tentang masyarakat Dayak yang ‘terbelakang’ dan ‘primitif’. Satu-satunya perbedaan adalah penegasan orang-orang Dayak baru modernitas dapat berjalan beriringan (harmoni) dengan kebudayaan Dayak dan bahwa modernitas tidak perlu menghilangkan kebudayaan itu. Seperti yang ditulis Joel S. Kahn dalam pengantarnya bahwa penelitian Yekti berhasil menunjukkan bagaimana konsep ‘kedayakan’ berkembang sebagai bagian dari sebuah wacana kolonial pada masyarakat ‘primitif’ hingga menjadi sebuah diskursus yang hanya termodifikasi dalam paham-paham pembangunan pada era orde baru. Terkait dengan penelitian ini, yang dimaksud dengan keterpinggiran hakhak masyarakat Dayak atau dalam bahasa sehari-hari Dayak disebut yang punya tanah menanam dipinggirkan (je tempun petak manana sare) dalam industri pertanian modern di Kalimantan Tengah, yakni mereka termarginalkan, tidak berdaya, posisi yang kalah, pasrah, dan terasing dalam lingkungan investasi, khususnya dalam hak kepemilikan tanah. Persamaan penelitian di atas dengan penelitian yang dilakukan saat ini, yaitu sama merespons pada masyarakat Dayak tentang pengaruh dan dominasi pemerintah dalam perubahan identitas di Indonesia, khususnya di Kalimantan.
27
Perbedaannya, peneliti meneliti keterpinggiran dan maniring hinting (modal budaya) tidak hanya sebagai alat perlawanan serta adannya kepemimpinan moral, nilai kearifan lokal Dayak, dan intelektual organik yang menjadi penggerak perlawanan, tetapi ritual maniring hinting adalah sebagai alat institusi untuk memberikan pengajaran moral dan penanaman nilai-nilai budaya lokal. Tulisan Yekti menggugah dan memberikan pemahaman peneliti tentang bagaimana suatu identitas Dayak dapat dikomodifikasi sedemikian rupa oleh penguasa orde baru untuk kepentingan pembanguan. Bagaimana produk-produk hukum dan kebijakan pemerintah lebih condong kepada pengusaha dibandingkan kepada masyarakat Dayak sehingga menimbulkan penguatan dan solidaritas perlawanan masyarakat lokal. Salah satu di antaranya melalui maniring hinting dalam mempertahankan hak-hak atas tanah. Mas’oed dkk. dalam penelitiannya yang berjudul “Kekerasan Kolektif : Kondisi
dan
Pemicu”
(2001)
menyoroti
kekerasan
struktural
dengan
menggunakan kerangka berpikir Galtung dan Gurr. Hasil kajian Mas’oed dkk. (2001: 62) khususnya pada kasus kekerasan di Sanggau Ledo menyebutkan bahwa kekerasan yang terjadi di Sanggau Ledo merupakan dinamika transformasi masyarakat di Kalimantan Barat di tengah-tengah tekanan ekspansi kekuatankekuatan dari luar. Pada tingkat ekonomi, kekuatan itu muncul dalam bentuk ekspansi kapital melalui berbagai sektor, khususnya sektor perkayuan. Pada tingkat politik, kekerasan ini muncul sebagai akibat kekuatan-kekuatan eksternal yang didukung oleh birokrasi pembangunan yang dirancang dari pusat yang hampir tidak melibatkan partisipasi masyarakat lokal atau adat.
28
Dalam penelitian Mas’oed dkk. Ini tidak terdapat penjelasan mengenai dinamika transformasi warga masyarakat Dayak dan kehadiran pemimpin kelompok (group leaders) yang memobilisasi warga Dayak untuk melakukan tindakan kekerasan, seperti yang ditunjukan oleh teori Gurr. Dalam konteks pemikiran ekonomi politik, Mas’oed membedakan antara faktor kondisional dan faktor pemicu (trigger) yang menyebabkan terjadinya konflik. Faktor kondisional adalah ketimpangan sosial yang diciptakan oleh negara dan kelompok kepentingan sehingga menyebabkan keterpinggiran (marginalisasi) warga masyarakat Dayak. Faktor keterpinggiran ini berdampak pada tekanan mental sehingga menjadi faktor pemicu sebagai awalnya tindakan perlawanan dan perjuangan masyarakat Dayak. Penelitian Mas’oed memiliki relevansi dengan penelitian yang peneliti lakukan, yakni adanya ketimpangan sosial yang disebabkan oleh dominasi dan intervensi pemerintah dalam pengelola dan pembuatan izin dan pemberian hakhak pengelolan tanah bagi HPH dan PBS sawit. Selain itu, juga terjadinya penolakan masyarakat dan konflik tanah atas kebijakan pemerintah yang dirasakan merugikan masyarakat Dayak dan lebih menguntungkan pengusaha atau investor. Sebagian masyarakat Desa Damar Makmur di Kotawaringin Timur menolak batas-batas tanah dan penggantian lahan yang sudah digarap oleh PBS sawit yang telah mengantongi HGU dan izin prinsip dari pemerintah. Pengambilalihan lahan oleh PBS yang belum selesai penyelesaian sengketa dan kejelasan status kepemilikan serta hak-hak masyarakat menyebabkan perlawanan masyarakat melalui maniring hinting.
29
Antonio Gramsci dalam Negara dan Hegemoni (2003) oleh Nezar Patria dan Andi Arief mengemukakan pemikiran tentang hegemoni dan hubungannya dengan kekuasaan negara. Konsep hegemoni dan kekuasaan negara digunakan sebagai acuan pemahaman konsep dan teori, khususnya konsep hegemoni yang berawal dari dialektikis dikotomi akan adanya kekuatan (force) dan persetujuan (consent). Menurut Gramsci, kelompok sosial akan memperoleh keunggulan atau supremasi melalui dominasi atau paksaan dan kepemimpinan intelektual moral (Patria dan Arif, 2003:119). Kepemimpinan intelektual dan moral ini dikenal sebagai konsep hegemoni yang sesungguhnya. Jadi, relevansi pandangan Gramsci terletak pada hegemoni negara atau peraturan pemerintah dalam penguasaan lahan di Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Pascareformasi, fenomena menarik terjadi dengan sendirinya tulisantulisan tentang gerakan perlawanan sekelompok masyarakat terbuka untuk dipublikasikan dengan terang-terangan tanpa adanya ketakutan terhadap penguasa atau pemerintah pusat dan daerah. Umumnya tulisan itu menceritakan perlawananan serta sengketa tanah dan wilayah adat dalam hak pengelolaan sumber daya alam. Kelompok masyarakat adat selalu dikalahkan oleh kepentingan kelompok yang lebih besar atau berkuasa. Dengan demikian kelompok minoritas atau “narasi kecil” ini harus tersingkir atau tetap bertahan memperjuangkan kepemilikan tersebut sebagai bentuk pengakuan keberadaan kelompoknya pada suatu wilayah adat (Lahajir, 2001).
30
Lahajir mengkaji “Etnoekologi Perladangan Orang Dayak di Tanjung Linggang” (2001). Secara antropologi ekologi yang berfokus pada sistem ladang berpindah (shifting cultivation) orang Dayak Tunjung di Kalimantan Timur. Lahajir merespons perubahan dalam pemanfaatan hutan di Indonesia, khususnya di Kalimantan karena masuknya para investor, baik pengusaha HPH, sawit, maupun pertambangan yang ingin mengambil kayu-kayu hutan dan membuka lahan baru untuk perkebunan sawit dan pertambangan yang didukung semangat era otonomi daerah. Pemerintah daerah berusaha meningkatkan pendapatan daerah dengan memberikan peluang yang lebih terhadap investor dalam hal berinsvestasi di daerah. Kebijakan ini kadang bagus secara makro atau “narasi besar” (Lahajir, 2001), tetapi setelah diimplementasikan terjadi banyak permasalahan dan benturan dengan masyarakat adat baik dalam hal kepemilikan atas tanah maupun solusi yang harus dicarikan jalan tengah agar program pemerintah dan usaha untuk menyejahterakan dan keadilan dapat berjalan dengan harmonis dan sinergis. Persamaan penelitian di atas dengan penelitian ini, yaitu sama merespons masyarakat Dayak tentang perubahan cara pemanfaatan hutan di Indonesia, khususnya
di
Kalimantan.
Perbedaannya,
penelitian
peneliti
tentang
keterpinggiran dan maniring hinting sebagai alat perlawanan akibat dari suatu dominasi kekuasaan serta adanya kepemimpinan moral, nilai kearifan lokal Dayak,
dan
intelektual
organik
menjadi
penggerak
perlawanan.
Selanjutnya,apabila dikaitkan dengan penelitian penulisan kajian ini
31
sangat penting untuk mendapat acuan tentang konsep dan teori penelitian. Di samping itu, sekaligus sebagai pembuka wawasan dalam melakukan penelitian. Berdasarkan beberapa kajian terhadap pustaka tersebut diketahui bahwa kajian tentang masyarakat adat Dayak sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan sengketa/konflik hak-hak atas tanah adat dalam konteks pengutan hukum adat dan identitas telah dilakukan di beberapa tempat di Kalimatan Timur dan Barat, tetapi kajian-kajian tersebut sangat berbeda dengan apa yang penulis teliti saat ini. Kajian terdahulu lebih menonjolkan perspektif hukum, identitas, etnoekologi, konflik sosial. Namun, belum ada yang menyentuh gerakan masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak atas tanah melalui kearifan lokal, yaitu maniring hinting sebagai sebuah counter hegemoni, perlawanan dengan roh terhadap modal kapital (PBS) dalam penguasaan lahan di Kalimantan Tengah. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan saat ini berfokus pada persoalan terkini yang terjadi, yaitu fenomena perlawanan masyarakat adat Dayak melalui maniring hinting yang merupakan kearifan lokal yang dapat bermetamorfosis dan bermaka membuka pintu musyawarah ke arah harmonisasi hukum positif dan adat serta dapat menjadi pola penyelesaian konflik yang dapat mengakomodasi semua kepentingan. Selain itu, penelitian ini dilakukan secara mendalam dengan sudut pandangan berbeda, yakni multidisiplin, menggunakan pendekatan postruktural, dan emansipatoris yang lebih berpihak kepada masyarakat adat yang menjadi ciri penelitian ini. Oleh sebab itu, penelitian “maniring hinting” sebagai Gerakan Kontra Hegemoni Masyarakat Dayak dalam Pemertahanan Hak-Hak atas Tanah di Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah” penting dilakukan.
32
Kajian-kajian yang telah dilakukan terdahulu tentu sangat relevan dan membantu sebagai acuan yang lebih luas dan komprehensif dalam penelitian yang dilakukan saat ini.
2.2
Konsep Penelitian ini mengandung beberapa konsep penting untuk dijelaskan dan
didefinisikan secara tegas untuk menghindari kesalahpengertian, kesalahpahaman, dan kesalahmaknaan. Konsep-konsep tersebut adalah konsep maniring hinting, gerakan kontra hegemoni dilakukan oleh masyarakat adat Dayak, dan hak atas tanah serta hubungan hukum adat dan tanah adat Dayak yang dipakai dalam penulisan penelitian ini sebagai berikut. 2.2.1
Dayak Kisah asal usul Dayak paling tidak bersumber pada dua hal, yakni dari
mulut ke mulut dan pandangan yang lebih rasional (Elmiyah, 2008:91) sebagai hasil dari suatu penelitian. Pertama, asal usul Dayak diperoleh dari tetek tatum, yaitu kesusastraan asli Kalimantan, yang dapat diartikan sebagai ratap tangis sejati yang biasanya dilagukan (manasai) untuk mengisahkan keadaan Kalimantan zaman bahari, zaman dewa-dewa, zaman kebesaran hingga kerajaan Islam (Riwut, 1958:172). Tetek tatum merupakan referensi dari mulut ke mulut, biasanya dilantunkan orang tua kepada anak cucunya (Riwut, 1993:229--230). Dalam kepercayaan orang Dayak (Kaharingan), selalu dikisahkan bahwa nenek moyang mereka diturunkan dari Palangka Bulau oleh Ranying Hatala Langit disingkat Ranyinng atau Hatala yang berarti Allah atau Tuhan. Nenek moyang yang
33
diturunkan adalah (1) di Tantan Puruk Pemantuan di hulu Sungai Kahayan dan Barito; (2) di Tantang Luang Mangan Puruk Kaminting, yang terletak di sekitar Gunung Raya; (3) di Tatah Tangkasing di hulu sungai melalui Kalimantan Barat; dan (4) di Puruk Kambang Tanah Siang, di hulu Sungai Barito. Orang Dayak kawin satu dengan yang lainnya yang kemudiaan berkembang menempati seluruh Kalimantan. Sayang kisah ini tidak meninggalkan tulisan ataupun bekas-bekas yang bisa membuktikannya. Kedua, banyak penelitian tentang asal usul orang Dayak yang mengemukakan bahwa nenek moyang orang Dayak berasal dari daerah Yunan (Cina Selatan) yang datang karena terjadi over population di Cina sehingga sebagian penduduknya ke luar untuk mencari daerah permukiman baru (Coomans, 1987:3)3 diperkirakan 200 tahun sebelum Masehi (Riwut, 1993) atau sekitar 3.000--1.500 sebelum Masehi (Amz, 1985). Kelompok ini kemudian oleh Paul dan Fritz Sarasih dinamakan sebagai “Proto Melayu” yang tinggal di pedalaman Kalimantan dan Deutero Melayu yang tinggal di pesisir pantai (Eliminah, 2003:92--94). Sementara Odop dan Lakon (2009:2, 7--8) serta Usop (1994) menyatakan bahwa jauh sebelum masuknya Cina sudah ada yang namanya bangsa Austronesia (sebuah bangsa hasil perkawinan silang antara ras mongoloid dengan ras asli Kalimantan) datang ke pulau Kalimantan. Pedagang Cina baru masuk pada abab keempat, padahal abab kesatu, setelah pedagang India masuk membawa ajaran Hindu di tanah Kalimantan.
3
Coolman (1987:2) penduduk di Yunan pada waktu itu mengadakan perpindahan untuk mencari tempat yang dapat memberikan kebebasan untuk mencari nafkah, khususnya untuk berladang dan berburu.
34
Terlepas dari perdebatan asal nenek moyang orang Dayak, masuknya orang Yunan ke Pulau Kalimantan merupakan fakta dengan mengacu kepada van Heine Geldern (Elmiyah, 2008:92) tentang penyebaran kebudayaan kapak persegi. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa bangsa Autronesia berimigrasi dari daerah asalnya di sekitar Yunan, daerah di sekitar Cina Selatan, Sungai Yang Tse Kiang, Mekhong, dan Menan. Mereka masuk ke Indonesia melalui Malaysia Barat menyebar ke Sumatra, Jawa, Bali, dan sebagian ke Kalimantan. Awalnya profesi mereka adalah sebagai penambang emas, tetapi kemudian sebagian beralih profesi sebagai pekebun, petani, pedagang, dan nelayan. Setelah orang Yunan, kelompok imigran berikutnya yang datang ke Pulau Kalimantan adalah kelompok Deutro Melayu yang bertujuan melakukan perdagangan dengan menggunakan kapal-kapal kecil. Gelombang migrasi dari kelompok Deutro Melayu dari tahun ke tahun terus meningkat menguasai daerah pesisir menyebabkan kelompok Proto Melayu yang dikenal sebagai orang Dayak atau suku bangsa Dayak semakin terdesak ke daerah pedalaman. 4 Bersamaan dengan masuknya Deutro Melayu-Melayu atau Melayu Muda berkembang pula penyebaran agama Islam. Ketika orang Dayak memeluk agama Islam, mereka tidak lagi mengidentifikasi diri sebagai orang Dayak, tetapi Melayu. Orang Dayak yang tidak ingin masuk Islam berimigrasi ke pedalaman, yang kemudian
4
Pada abad 14, pedagang Cina dipimpin Laksamana Cheng Ho, masuk dengan membawa ajaran Islam, dan bagi orang Dayak yang tidak masuk Islam menyingkir ke hulu sungai dan pedalaman. Karenanya muncul kategorisasi orang Dayak dan orang Melayu. Orang Dayak selalu mengidentikkan dirinya sebagai bukan Islam, dan orang Dayak yang masuk Islam karena perkawinan mengidentikkan dirinya Melayu (Pasti, 2003: 114--115).
35
wilayahnya disebut sebagai wilayah Dayak Besar.5 Oleh karena itu, orang Dayak adalah merupakan nama dan sekaligus sebagai ciri identitas etnis6 dari suku bangsa Proto Melayu (Melayu Tua atau Proto Malayid) yang diklaim sebagai penduduk pribumi atau penduduk asli (indigenous people) Pulau Kalimantan, termasuk Kalimantan Utara. Istilah Dayak mula-mula digunakan oleh orang Deutro Melayu yang kemudiaan ditulis oleh pengarang dan penerbit dari Inggris sebelum Perang Dunia II tentang suku-suku Dayak di Kalimantan Utara, seperti Charles Brooke, petualang kebangsaan Inggris yang datang untuk menguasai Sarawak pada tahun 1839 (Djuweng, 1992: 07--08). Istilah Dayak juga muncul dalam naskah-naskah berbahasa Belanda yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari versi Dayak (Petebang, 2001), seperti yang ditulis August Haderland, seorang sosiolog Belanda. Sebutan Dayak sebagai satu kesatuan dari sub-subsuku Dayak yang ada di Kalimantan, kemudiaan disepakati dalam rapat kepala-kepala adat Dayak seluruh Kalimantan di Tumbang Anoi pada tahun 1894 (Usop, 1994:v--vii; dan Ilon, 1987:107--109). Meskipun istilah Dayak sering digunakan untuk menggambarkan suku asli Kalimantan, sebenarnya tidaklah tepat karena ada ratusan suku yang
5
Suku Simpang yang semula bermukim di tepi pantai mudik sampai jauh ke hulu sungai Simpang (Djuweng, 1994), demikian pula pada suku Dayak Maanyan di Kalimantan Tengah yang semula bermukim di Kayu Tangi (dekat Banjarmasin) ke kawasan Siung Uhang (Widen, 1995). 6 Dalam bukunya yang berjudul Ehnic Group in Conflict (1985), Donald Horowitz menggunakan istilah etnik untuk menunjukkan pada identitas kelompok yang sangat ekslusif (dan relatif berskala besar) yang didasarkan atas ide kesamaan asal usul, keanggotaan yang berdasarkan kekerabatan dan secara khusus menunjukkan kadar kekhasan budaya. Karenanya etnis selalu diterjemahkan sebagai gabungan manusia yang mengucapkan satu bahasa dan mempunyai satu rasa identitas komunitas yang khusus, tinggal di suatu wilayah geografis dengan ciri-ciri ekologi yang sama, mempunyai pengalaman sejarah yang biasanya sama, biasanya saling berinteraksi secara intensif dan dengan frekuensi yang tinggi (Clifton dalam Koentjaraningrat, 1990).
36
heterogen di Kalimantan. Sehubungan dengan itu, di antara orang-orang Dayak sendiri, ada yang keberatan memakai istilah Dayak sehingga muncul istilah Daya yang sangat populer di Kutai Kalimantan Timur.7 Namun karena tekanan dari berbagai kebijakan yang diskriminatif, baik yang dilakukan Kesultanan Melayu, penjajah Belanda, maupun kepentingan agama, kemudiaan menjadi ‘satu’ menyebut dirinya orang Dayak atau Daya.8 Di pihak lain istilah orang Dayak kadang dikontruksikan merendahkan status sosial kelompok tersebut bila diperbandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya di Kalimantan (Tanasaldy, 2007:463; King, 1985:57; Riwut, 2003:191; Ukur, 1971:183; Maunati, 2006:59; Radam, 1987:94--105; Usop, 1994; serta Odop dan Lakon, 2009:1). Orang Dayak selalu dikonstruksikan dengan kata-kata “orang udik”, “orang darat”, “orang kolot”, atau “orang bukit”, dan tinggal di kawasan perhuluan sungai dan memeluk kepercayaan non-Muslim. Konstruksi lain bagi orang Dayak dikenal kebiadabannya yang haus akan darah karena mempraktikkan budaya kayau (head hunting) (Sargent, 1974) dan liar sehingga dinilai belum beradab dan belum memiliki perikemanusiaan. Peneliti seperti Domalain (1971) menyebut orang Dayak sebagai manusia liar dan bagi Boek (1985) Borneo kemudiaan disebutnya sebagai “negara para pemburu kepala”. Meskipun dalam kenyataannya bertentangan karena orang Dayak terkenal paling 7
Coolman (1987:2) mengelompokkan penduduk daerah Kutai dalam dua kelompok besar; “Halo” dan “Daya”. “Halo” adalah sebutan dari bahasa-bahasa Daya untuk penduduk pantai Kalimantan Timur yang beragama Islam, sedangkan “Daya” adalah nama bagi penduduk lain di pedalaman yang sudah tidak beragama Islam. 8 Di dalam Kesultanan Melayu, orang Dayak tidak dianggap sebagai anak negeri sehingga tidak memiliki hak yang sama dengan mayoritas orang Melayu sehingga tidak boleh bekerja di administrasi kesultanan; mengalami pelecehan sosial dari orang Melayu, yang akhirnya menjadi penghalang berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial di luar kelompok mereka termasuk dalam memperoleh pendidikan (Tanasaldy, 207:463--464). Orang Dayak menjadi pegawai pemerintah harus mengubah dirinya menjadi Melayu atau memeluk agama Islam (Odop dan Lakon, 2009: 9).
37
lembut dan cinta damai dalam kehidupan sehari-harinya9 selalu diliputi dengan rasa cemas karena selalu menjadi others atau berada di luar negara sehingga selalu menjadi objek sasaran untuk melakukan modernisasi demi kepentingan pembangunan. Konstruksi tentang orang Dayak yang terkenal adalah budaya kayau (head hunting) seharusnya telah berakhir melalui kesepakatan dalam rapat para damang di Tumbang Anoi pada tahun 1894 (Usop, 1994:v--vii). Namun dalam banyak perkara budaya ini masih sering digunakan orang Dayak untuk mempertahankan dirinya. Misalnya, dalam konflik dengan etnis Madura yang terjadi di Kalimantan Barat pada tahun 1999 dan Kalimantan Tengah pada tahun 2001, orang Dayak tampaknya kembali mempraktikkan budaya kayau.10 Identitas seperti ini tentunya mengandung nuansa-nuansa negatif yang merupakan kerikilkerikil bagi kerukunan dan integrasi antara kelompok orang Dayak dan kelompok pendatang. Namun, bagi orang Dayak Ngaju istilah Dayak menunjukkan kata sifat sebagai suatu kekuatan. Dalam bahasa Sangen, Dayak berarti bakena yang artinya gagah (bagi laki-laki) atau cantik (bagi perempuan) kata seorang tokoh Dayak (Wawancara dilakukan dengan Usop, KMA di Palangka Raya pada 15 Juni 2009).
Suku bangsa Dayak terbagi menjadi berapa subsuku. Riwut (1958 & 1979); Hudson (1967); dan Ukur (1972) menyatakan bahwa paling sedikit 405 9
Pengamatan Victor King (1976), Michael Dove (1986), Coomans (1987), dan bahkan pengakuan para perantau suku-suku lainnya yang setiap hari bersosialisasi dengan orang Dayak di bumi Kalimantan, menunjukkan kontruksi yang berbeda dan menyatakan bahwa orang Dayak itu umumnya bersifat jujur, memegang janji, sabar, bersahabat, dan konsisten mempertahankan harga diri tetapi tidak cepat naik darah. 10 Penggunaan budaya kayau dalam konteks konflik antara etnis Dayak dan Madura masih dipertayakan dan diperdebatkan.
38
subetnis Dayak tinggal di Kalimantan. Walaupun terbagi menjadi beberapa suku, pada dasarnya orang Dayak memiliki persamaan-persamaan dalam bentuk fisik dan unsur-unsur budaya, seperti rumah panjang, persamaan-persamaan linguistik, korpus tradisi lisan, adat istiadat dan hukum adat, struktual sosial, bentuk senjata, dan pandangan mengenai jagat raya. Hal lain yang juga serupa adalah pola hubungan religius dengan tanah dan alam sekitar, pola pemanfaatan, pemilikan, dan ekstraksi sumber daya alam (King, 1978; Ukur, 1992). Bagi orang Dayak, tanah menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan yang akan datang (Djuweng, 1992). 2.2.2
Maniring Hinting Suku bangsa Dayak sebagai masyarakat adat mempunyai hubungan yang
sangat erat dan dekat dengan lingkungan hidupnya. Mereka sering dipengaruhi oleh alam pikiran religio magis. Kenyataan ini tidak mudah dipahami dan dimengerti atau dipercayai oleh setiap orang. Sebaliknya, masyarakat Dayak menganggap pengetahuan akan tanda-tanda atau simbol-simbol tertentu dalam kehidupan mereka merupakan hal yang wajar walaupun sebenarnya tidak setiap orang memiliki kepandaian untuk memahami dan menginterpretasi tanda-tanda tersebut. Nilai-nilai budaya masyarakat Dayak, Kalimantan Tengah bersumber dari kepercayaan Kaharingan (berasal dari kata “Haring” yang artinya kehidupan ada dengan sendirinya). Pada intinya Kaharingan ini percaya pada segala benda dan makhluk yang memiliki roh (gana) dan hanya ada satu Tuhan, yaitu Ranying Hatala Langit yang menciptakan segala isi alam semesta seperti tercantum dalam
39
tutur Balian: Inyaho hai mamparuguh tungkupah, kilat panjang mampa rinjet ruang (Guntur/suara agung membuka kuasanya, kilat panjang menggerakkan ruang/membelah-belah angkasa) Asal usul penciptaan manusia dan alam semesta ini digambarkan dengan simbol “pohon kehidupan” (batang garing/haring) yang di dalamnya terdapat burung enggang (tingang) sebagai simbol penguasa dunia atas dan naga (tambun) sebagai simbol penguasa dunia bawah. Sekarang ini simbol batang garing dipahami oleh masyarakat Dayak sebagai keseimbangan hubungan manusia dengan alam dan keseimbangan hubungan antarmanusia. Dalam kehidupan sehari-hari umat Kaharingan percaya kepada makhlukmakhluk Ilahi yang berkuasa dan bertugas membantu keselamatan manusia, memberikan rezeki dan menyebarkan penyakit, dan lain-lain yang tersebar di air (sungai, danau, dan laut), gunung, hutan, tanaman, dan tempat-tempat tertentu. Bagi pemeluk Kaharingan, makhluk-makhluk Ilahi itu sangat berpengaruh dalam menentukan kehidupan manusia. Keberuntungan dan kemalangan hidup, bencana alam, kecelakaan terjadi karena tindakan mereka walaupun penyebab munculnya tindakan itu adalah perbuatan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, wujud tertinggi dalam praktik kepercayaan Kaharingan adalah mematuhi adat, yaitu tidak melanggar pantangan (pali) dan melaksanakan upacara ritual yang meliputi upacara kehidupan (gawi belom), seperti mamapas lewu, manyanggar, pakanan batu dan manajah antang dan upacara kematian (gawi matei) seperti upacara tiwah.
40
Orang Dayak zaman dahulu sebelum membuka lahan baik untuk pertanian maupun berladang, membuat tanda. tujuananya supaya orang lain tidak merampas atau menyerobot serta menggarap ladang di tempat yang diberikan penanda (simbol adat berupa tarinting atau hinting) atau memberikan patok pada kayu dari setiap sudut rintisan areal dari tanah kosong yang akan digarapnya (Salilah, 1977: 1). Hinting atau tarinting dapat diartikan sebagai suatu tanda larangan atau simbol lokal masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah untuk menandai suatu areal pertanian/ladang dan areal ritual keagamaan dalam Kaharingan atau sekarang disebut Hindu Kaharingan terintegrasi dengan agama Hindu. Tanda atau simbol maniring hinting tersebut jika berada di ladang atau tanah garapan seseorang, berarti menandakan kepemilikan dan hak bagi si pemilik lahan/areal. Jika maniring hinting didapati dalam upacara atau di depan rumah orang yang sedang melaksanakan balian11 dalam upacara keagamaan Hindu Kaharingan, artinya dilarang melakukan tindakan atau perbuatan tidak senonoh di dalam garis batas/portal adat, seperti berkelahi, berjudi, dan perbuatan yang tidak senonoh. Apabila sampai ada yang meninggal dan berdarah, dapat dikenakan singer atau membayar denda adat sesuai dengan hukum adat yang berlaku di daerah itu. Sehubungan dengan sebagai pemasangan tanda batas ini, jika dalam ritual maniring hinting patok bersifat adat yang disaksikan oleh damang sebagai pejabat/kepala
adat,
akan
tetapi
dalam
hukum
positif
(BPN)
dalam
pemasangangan patok dari BPN harus disaksikan pejabat atau aparat yang 11
Balian adalah nyanyian disertai tetabuhan musik tradisional Dayak Ngaju dalam upacara tiwah. Tiwah adalah upacara ritual penting kematian kedua (second burial) dalam agama Hindu Kaharingan yang bertujuan untuk mengantarkan roh ke langit ketujuh atau surga.
41
mengetahui atau memiliki data siapa-siapa pemilik tanah yang berbatasan. Kantor pertanahan tidak memiliki data pemilik tanah yang berbatasan bila tanah tersebut belum terdaftar data pemilik tanah yang berbatasan dimiliki oleh Kepala Desa/ Kelurahan oleh karena itu pelaksanaan asas kontradiktur ini wajib disaksikan oleh aparat desa/kelurahan. Seyogyanya patok tanda batas tidak diberi tulisan BPN karena patok tersebut bukan dipasang oleh BPN dan bukan milik BPN. Tradisi maniring hinting merupakan tradisi dalam konteks perlawanan dan perjuangan hak-hak atas tanah masyarakat adat Dayak dari pengusaha atau investor asing yang menanamkan modal dalam bentuk perkebunan besar yang dalam praktiknya melakukan hal yang melanggar adat, tidak menaati adat, atau melanggar kesepakatan atau pali. Orang yang melanggar pali disebut orang yang hidup tidak beradat (belom dia bahadat). Oleh itu, maniring hinting menjadi salah satu cara penanaman nilai-nilai dan norma-norma yang berfungsi memelihara tertib sosial, penghukuman, dan pendisiplinan dalam kehidupan masyarakat Dayak. Maniring berartinya membentangkan/mengencangkan tali, hinting berarti larangan/pantangan dalam bahasa Dayak menjadi maniring hinting penanda larangan dengan membentangkan tali larangan. Akan tetapi, dalam konteks perlawanan makna
maniring hinting
bergeseran yang bertujuan untuk
mempertahankan hak-hak seseorang atau kelompok dengan cara membuat tanda atau simbol dengan membentangkan tali larangan dari rotan atau tali dari akar kayu. Pada tali rotan tersebut digantung daun lenjuang atau sawang disertai cacah pada permukaan depan daun dengan kapur sirih yang berwarna putih yang dalam
42
konteks ini menandakan bahwa di areal tanah yang ditandai dengan maniring hinting terjadi pelanggaran kesepakatan dalam hal kepemilikan dan hak-hak atas tanah tersebut. Di pihak lain simbol tali rotan dalam maniring hinting berarti masih dimungkinkan adanya negosiasi dalam musyawarah atau kesepakatan dalam menyelesaikan masalah sengketa tanah. Sesuai dengan tujuan maniring hinting yang memangil gana atau roh-roh tanah dan tanaman yang sengaja dilakukan untuk menjadi saksi sumpah mereka atau seperti peradilan roh bahwa yang bersangkutan melaksanakan upacara/tradisi maniring hinting adalah menyatakan benar-benar sang pemilik lahan atau areal tanah tersebut. Jikalau ada yang berbohong, maka salah satu pihak yang bersengketa akan mengalami kematian dan malapetaka yang akan dilakukan oleh roh-roh (spiritual violence) tersebut kepada pihak yang memang sengaja melanggar, memutus, membongkar, melanggar, dan menyerobot tanah tersebut. Masyarakat adat mempunyai kekuasaan dan kekayaan sendiri. Wujud kekuasaan dan kekayaan itu sendiri, antara lain “hak atas wilayahnya” sebagai berikut. 1. Apabila melebihi kehidupan keseharian, harus dengan izin/kesepakatan masyarakat (usaha yang umum dilakukan masyarakat dalam satu wilayah tertentu) secara spontanitas. Contoh: menangkap ikan di sungai kecil (luhak) atau ayap pada musim kemarau hendaklah secukupnya/tidak berkelebihan. 2. Warga masyarakat bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi di wilayahnya.
43
3. Orang luar yang akan memanfaatkannya harus dengan izin dan membayar
uang
pengakuan
(mesi
recognitie
retribusi)
kepada
masyarakat adat. Kontribusi ini digunakan untuk pembangunan daerah tersebut (tidak boleh diatur oleh PP Pemda seperti ketentuan pokok kewajiban investor dalam membayar pajak/kontribusi kepada daerah dan pusat, tetapi harus berpijak pada kesepakatan dengan daerah penghasil / otonomi khusus desa). 4. Hak ulayat meliputi pula tanah yang sudah digarap (secara perorangan) oleh warga. 5. Hak ulayat tidak boleh dijualbelikan kepada pihak asing (pihak asing walaupun dalam arti pemeliharaan atau dalam bentuk apa pun). 2.2.3
Gerakan Kontra Hegemoni Penderitaan dan ketidakadilan yang dialami masyarakat adat bukanlah
sesuatu yang bersifat kebetulan dan muncul dari dirinya sendiri. Gerak sejarah perkembangan masyarakat telah mencatat itu, yaitu dari fase pasar komunal dan tertutup ke kapitalisme yang terbuka dan individual merupakan sebuah rangkaian proses dialektis. Dialektika dirumuskan dengan sangat baik dalam ungkapan bahasa Inggris yang berarti bahwa setiap tindakan negara atau penguasa (bukan hanya dalam konteks politik, melainkan juga sosial, ekonomi, dan budaya) akan selalu menimbulkan tanggapan dari masyarakat. Dalam bahasa Inggrisnya social question, seperti yang diungkapkan oleh Francis Wahono (2005). Social question merupakan ekspresi sebagai bentuk kegelisahan masyarakat, wujud aksi perlawanan, baik yang halus maupun radikal, dan berbagai bentuk protes.
44
Tindakan masyarakat adat dalam menghadapi ketidakadilan yang menimpa dan dialami mereka adalah merupakan sebuah social question. Hegemoni tidak hanya suatu metode kontrol bagi borjuasi kapitalis yang berkuasa, tetapi juga dapat digunakan oleh kaum proletar untuk kepentingan mereka sendiri. Namun, mereka tidak dapat mengerjakannya sendiri sehingga memerlukan kerja sama dengan kelompok yang dirugikan dan kelompok yang ditindas lainnya (Rupert & Zarate, 2008: 162). Selain dapat digunakan untuk kepentingan sendiri, hegemoni juga dapat digunakan untuk melawan hegemoni yang sudah ada bersifat menindas terhadap subkultur atau masyarakat termarginal. Hal ini merupakan sesuatu yang disebut sebagai kontra hegemoni (counterhegemony). Berbeda dengan anti hegemoni sebagai upaya menentang segala bentuk hegemoni (dominasi) tanpa batas sampai tidak ada lagi hegemoni. Konsep
kontra
hegemoni
Gramscian
pada
dasarnya
bekerja
mengidentifikasi, membaca, atau menganalisis kekuatan sosial dan budaya dominan yang berkuasa atau hegemonik. Selanjutnya, bergerak menghimpun kekuatan atau melakukan kontra hegemoni, suatu upaya perlawanan untuk mereduksi atau menghilangkan, bahkan memperjuangkan suatu hegemoni baru. Melalui teori kontra hegemoni dapat dilihat bagaimana seseorang atau suatu kelompok bergerak membentuk dan memperjuangkan sebuah hegemoni tersendiri sebagai perlawanan terhadap suatu dominasi tertentu. Jurnal elektronik The International Gramsci Society (Asia-Pasific) dalam ulasannya “Why Gramsci”12 menjelaskan sebagai berikut.
12
http://www.uow.edu.au/arts/index.html (diaskes pada tangga l 9 Maret 2014)
45
“Gramsci did not use the currently popular concept of 'counterhegemony', but wrote of the 'war of position' and 'war of movement' through which the working class and its allies would become capable of building and enforcing a clear hegemony of their own which would challenge the fundamental 'hegemonic principles' of capitalism, capital accumulation based on exploitation and private property.” Berdasarkan kutipan di atas dapat dipahami bahwa dengan membuat hegemoni tandingan berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal, maniring hinting memberikan pengaruh yang berbeda dengan gerakan yang bersifat radikal. Maniring hinting mempunyai makna tambahan dari sekadar larangan dan portal adat, tetapi membuka pintu musyawarah untuk mencari pola kerja sama atau kemitraan dengan masyarakat adat setempat yang adil dan dapat menyejahterakan mereka. Gramsci (Strinati, 1995) memberikan dua cara agar kaum buruh dapat menciptakan hegemoninya, yaitu melalui “war of position” (perang posisi) dan “war of movement” (perang pergerakan). Perang posisi, yaitu sebuah proses transformasi kultural yang menghancurkan dan menggantikan dengan posisi hegemonik lain. Inilah yang disebut kontra hegemoni (Sugiono, 1999: 46). Untuk menghancurkan
hegemoni, maka perlu diciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan krisis hegemonik itu terjadi sehingga membuka jalan bagi adanya perubahan sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memperoleh dukungan melalui propaganda media massa, membangun aliansi strategis dengan barisan sakit hati, pendidikan pembebasan melalui sekolah-sekolah yang meningkatkan kesadaran diri dan sosial. Karakteristik perjuangan ini panjang dan perlu waktu yang cukup lama. Selain itu, juga mengutamakan perjuangan dalam sistem. Perjuangan diarahkan kepada dominasi budaya dan ideologi. Perang pergerakan dilakukan dengan
46
serangan langsung (frontal), tentunya dengan dukungan massa. Perang pergerakan bisa dilakukan setelah perang posisi dilakukan, tetapi bisa juga tidak. 2.2.4
Hak Atas Tanah Proses munculnya pemilikan tanah secara tradisional didahului oleh
adanya hubungan antara tanah dan orang atau orang-orang yang menggarapnya. Pada tahap berikutnya baru muncul hak (yakni sesuatu yang merupakan pilihan bagi si penyandang hak). Namun, bagi masyarakat Dayak “hak” tersebut tepatnya berupa “kewajiban” karena bila hubungan antara tanah dan yang bersangkutan, misalnya pemeliharan sempat terhenti dalam satuan waktu tertentu, maka aksesnya terhadap tanah menjadi hilang meskipun sering kali bersifat sementara. Sebaliknya, di dunia modern yang muncul lebih dahulu adalah “hak” (misalnya diberikan hak untuk mengelola HPH selama 25 tahun), baru kemudian muncul hubungan dengan tanahnya. Hubungan yang terjadi pada visi tradisional, seperti telah disebutkan, yaitu lebih berupa “kewajiban”. Namun, pada dunia modern justru dibelokkan menjadi “hak” (Atmajaya, 1998). Cara pemindahtanganan hak atas tanah di dalam masyarakat Dayak adalah melalui (1) jual beli (hajual hapili), (2) pewarisan, (3) pemberian (panenga), (4) tukar-menukar (tangkiri ramu), (5) gadai (sanda, hasanda), dan (6) perkawinan (petak palaku). Pemindahan hak atas tanah terjadi bilamana keluarga tertentu sangat membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak, seperti biaya sekolah anak di kota, biaya pengobatan, perkawinan, pesta upacara tiwah, dan lain-lain.
47
Menurut UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) No. 5, Tahun 1960, pemanfaatan lahan yang tidak permanen, seperti pola ladang berpindah (shifting cultivation) yang dilakukan warga desa di sebagian wilayah Kalimantan Tengah, relatif sulit untuk mendapat pengakuan formal. Hal ini menyebabkan jaminan hukum bagi masyarakat lokal cenderung lemah dibandingkan dengan perusahaan atau pihak swasta. Tanpa kejelasan status hak, masyarakat lokal tidak mempunyai kekuatan untuk mempertahankan tanah yang telah dimanfaatkan secara turuntemurun. Pada kasus akuisisi (pengambilalihan) lahan untuk proyek kepentingan umum atau proyek-proyek swasta yang didukung oleh kebijakan pemerintah, ganti rugi untuk lahan yang diakuisisi kemungkinan tidak dibayar. Perusahaanperusahaan kayu, kelapa sawit, dan pertambangan menguasai dan memanfaatkan lahan dan hutan dengan membawa izin formal dari pemerintah. Pemanfaatan lahan oleh pihak swasta mempunyai kekuatan secara hukum, termasuk di daerahdaerah yang secara de facto telah dimanfaatkan dan dikuasai oleh masyarakat secara turun temurun. Di sinilah perlu harmonisasi hukum posistif dan adat untuk membantu mengurai konflik pada masa yang akan datang. Hak atas tanah yang disebut beschikkingsrecht oleh van Vollenhoven, “hak pertuan” oleh Soepomo, “hak pertuan” oleh Mahadi, “hak wilayah” oleh M. Tauuchid dan “hak ulayat” oleh Soekanto Ridwan (1982) dalam Florus (1994: 55). Akhirnya, yang paling banyak digunakan adalah “hak ulayat,” yaitu istilah yang berasal dari Minangkabau. Tanah adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan kebudayaan orang Dayak. Tanah adat sangat penting untuk masyarakat adat
48
Dayak karena tanah adat merupakan penunjang keberlangsungan hidup dan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan, baik yang bersifat sosial maupun ekonomis. Sehubungan dengan itu, tanah adat sebagai bagian dari hak-hak adat, masyarakat adat baik kolektif (ulayat) maupun perorangan, di Kalimantan Tengah perlu diakui, dihormati, dan dihargai keberadaannya. Kebijakan pemerintah provinsi dengan menetapkan Perda Provinsi Kalimantan Tengah No. 16/2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah dan Pergub Kalimantan Tengah No. 13/2009 Jo Pergub Provinsi Kalimantan Tengah No. 4/2012 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah sangatlah tepat untuk kondisi Kalimantan Tengah saat ini. Tanah adat yang diolah dan dikuasai masyarakat adat selama ini, secara yuridis menjadi memiliki sandaran hukum tertulis/positif. Terkait dengan isu agraria yang menyangkut kontrol hukum positif atas tanah lokal oleh negara tampaknya menjadi isu yang paling dibenci oleh masyarakat adat karena pengambilan hak-hak lokal secara tidak sah (Greg Acciaoli dalam Davidson, 2010: 339). Perwakilan masyarakat adat menolak sepenuhnya penyataan tanah adat sebagai tanah negara ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat. 2.2.5
Hubungan Hukum Adat dan Tanah Adat Dayak 1.
Hukum adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani masyarakat dan tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan pola-pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
49
2.
Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah Kadamangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan, dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama, yang keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat.
3.
Tanah adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur turun temurun yang dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama oleh para ahli waris sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini dapat disejajarkan maknanya dengan hak ulayat.
4.
Tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang diperoleh dari membuka hutan atau berladang, jual beli, hibah, warisan, dapat berupa kebun atau tanah yang ada tanam tumbuhnya atau tanah kosong belaka.
5.
Hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama atau hak perorangan untuk mengelola, memungut, dan memanfaatkan sumber daya alam dan atau hasil-hasilnya, baik di dalam maupun di atas tanah, yang berada di dalam hutan di luar tanah adat.
6.
Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat (semacam majelis) yang selanjutnya disebut Kerapatan Mantir/Let adalah forum gabungan para Mantir/Let, adat baik yang berada di kecamatan maupun di desa/kelurahan.
7.
Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat dan Ketua Kerapatan Mantir
Perdamaian
Adat
tingkat
kecamatan
yang
berwenang
50
menegakkan hukum adat Dayak dalam suatu wilayah adat yang pengangkatannya berdasarkan hasil pemilihan oleh para kepala desa/kelurahan, para ketua Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan, para Mantir Adat Kecamatan, para Ketua Kerapatan Mantir Adat Perdamaian desa/kelurahan yang termasuk dalam wilayah kedamangan tersebut; Damang Kepala Adat diangkat oleh bupati/wali kota. 8.
Kedamangan adalah suatu lembaga adat Dayak yang memiliki wilayah adat, kesatuan masyarakat adat, dan hukum adat di wilayah Provinsi Kalimantan
Tengah
yang
terdiri
atas
himpunan
beberapa
desa/kelurahan/kecamatan/kabupaten dan tidak dapat dipisah-pisahkan. 9.
Kerapatan Mantir Adat atau Kerapatan Let Adat adalah perangkat adat pembantu damang atau gelar bagi anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat di tingkat Kecamatan dan anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat desa/kelurahan, berfungsi sebagai peradilan adat yang berwenang membantu Damang Kepala Adat dalam menegakkan hukum adat dayak di wilayahnya; Mantir/Let kecamatan berjumlah tiga orang; Mantir/Let tiap desa/kelurahan berjumlah tiga orang; Mantir/Let diangkat dan diberhentikan oleh keputusan bupati/walikota.
10. Wilayah adat adalah wilayah satuan budaya tempat adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat Dayak itu tumbuh, berkembang
51
dan berlaku sehingga menjadi penyangga untuk memperkukuh keberadaan masyarakat adat Dayak bersangkutan. 11. Identifikasi dan inventarisasi adalah pendataan dan pencatatan pemilik tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah serta penentuan areal tanah adat yang akan didaftarkan untuk mendapat Surat Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak Adat di atas Tanah (Buku Panduan Pembuatan Surat Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak Adat di Atas Tanah, Pemda Kalimantan Tengah, Palangkaraya, 6 Maret 2013). Perda Provinsi Kalimantan Tengah No.16, Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah, Bab XIV Pasal 36 ayat 1, 2, dan 3 menyatakan seperti di bawah ini. 1. Hak-hak adat masyarakat adat Dayak Kalimantan Tengah adalah tanah adat, hak-hak adat di atas tanah, kesenian, kesusastraan, obat-obatan tradisional, desain/karya cipta, bahasa, pendidikan, sejarah lokal, peri boga tradisional, tata ruang, dan ekosistem. 2. Pemerintah
Daerah
Provinsi
Kalimantan
Tengah
mengakui,
menghormati, dan menghargai keberadaan hak-hak masyarakat adat Dayak sebagaimana dimaksud ayat (1) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak adat Dayak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan gubernur.
52
2.3
Landasan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori khas kajian
budaya yang berpihak kepada narasi-narasi kecil dan kritis, yakni disiplin dan hukum, kuasa dan pengetahuan dari Foucault, praksis atau praktik sosial dari Bourdieu, serta teori hegemoni dan kontra hegemoni oleh Gramsci. Ketiga teori itu dijadikan sebagai pisau analisis dalam memahami konflik, relasi, dan pertarungan antara masyarakat lokal yang melakukan maniring hinting atau dalam konteks
ini
kelompok
terdominasi/terhegemoni
oleh
masyarakat pihak
yang
pengusaha
dan
terpinggirkan
atau
pemerintah
dalam
mempertahankan legitimasi dan konsepsi dan kekuasaan mereka masing-masing. Landasan dan kekuatan teori serta pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan studi sebelumnya, seperti Nurul Elmiyah dalam tulisannya yang berjudul “Negara dan Masyarakat Adat Dayak: Studi mengenai Hak Atas Tanah dan Hasil Hutan di Mamahak Besar dan Long Bagun” (2008). Studi itu menyoroti konflik yang disebabkan oleh adanya kerancuan persepsi tentang pembangunan ekonomi dan ketidakpastian tentang konsep perlindungan terhadap masyarakat adat di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur dari perpektif hukum nasional. Dalam konteks inilah perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini merupakan acuan dan interpretasi antara hukum positif dan adat antara negara dan masyarakat Dayak pada hak kepemilikan dibongkar secara multidisipliner, yaitu tidak hanya secara aspek hukum. Penelitian ini sejalan dengan pendekatan kajian budaya yang lebih berpihak kepada pihak yang termarginal dan narasi kecil.
53
Yekti Maunati dalam buku berjudul Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan (2003) secara khusus menyoroti penguatan identitas Dayak di Kalimantan Timur pascareformasi adalah wacana yang dikonstruksikan oleh kolonial Belanda dan orbe baru dalam proses pembanguan masa lalu tidak berhubungan langsung dengan objek penelitian ini. Akan tetapi, tulisan itu banyak mengungkap bagaimana dinamika identitas di tengah masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, terutama ketika dikaitkan dengan politik, sosial, dan sejarah. Dengan demikian, yang diambil sebagai rujukan pada karya ini adalah bagaimana Yekti menganalisis bangunan komodifikasi elite terhadap masyarakat Dayak. Sebaliknya, yang menjadi pembedanya adalah ritual maniring hinting tidak hanya sebagai media perlawanan masyarakat Dayak dan penguatan identitasnya, tetapi alat pengetahuan, kekuasaan, disiplin, hukuman, dan penanaman nilai-nilai kearifan lokal masyarakat. Jadi penelitian ini membongkar pergulatan ideologi dan kepentingan negara, pemerintah, dan pengusaha sawit, sedangkan Yekti fokus pada konstruksi identitas dan relasi kuasa. Penelitian ini sekaligus pula merupakan kelanjutan dari studi-studi atau peryempurnaan dari studi tentang gerakan sosial adat. Dengan model pendekatan semacam itu, penelitian ini dapat menemukan isu-isu teoretik terbaru yang dapat memperkaya penelitian-penelitian yang serupa terdahulu. 2.3.1
Teori Kuasa dan Pengetahuan Foucault (2002) mengatakan bahwa pengetahuan itu identik dengan
kekuasaan. Jadi, kekuasaan muncul bersandarkan pada sejumlah pengetahuan begitu juga pengetahuan melahirkan kekuasaan. Kekuasaan dan pengetahuan
54
diibaratkan dua sisi mata uang satu kesatuan yang kemunculannya menuntut kehadiran sisi lainnya. Demikian menurut Foucault bagaimana kekuasaan harus dipahami: “...power must be understood in the first instance as the multiplicity of force relations immanent in the sphere in which they operate and which constitute their own organization; as the process which, through ceaseless struggles and confrontations, transforms, strengthens, or reserves them; as the support which these force relations find in one another, thus forming a chain or a system, or on the contrary, the disjunctions and contradictions which isolate them from one another; and lastly, as the strategy in which they take effect, whose general design or institutional crystalization is embodied in the state apparatus, in the formulation of the law, in the various social hegemony."(Foucault, 1990: 92-93). Dengan demikian, kekuasaan mesti dipahami sebagai bentuk relasi kekuatan yang imanen dalam ruang di mana kekuasaan itu beroperasi. Kekuasaan mesti dipahami sebagai sesuatu yang melanggengkan relasi kekuatan itu. Di sisi lain kekuasaan membentuk rantai atau sistem dari relasi itu atau justru yang mengisolasi mereka dari yang lain dari suatu relasi kekuatan. Oleh karena itu, kekuasaan merupakan strategi di mana relasi kekuatan adalah efeknya. Berbeda dengan konsep kekuasaan yang umum, yakni yang dimiliki oleh pihak-pihak yang kuat terhadap yang lemah, kekuasaan bagi Foucault (2002a) bukanlah merupakan suatu entitas atau kapasitas yang dapat dimiliki oleh satu orang atau lembaga, tetapi dapat diibaratkan dengan sebuah jaringan yang tersebar di mana-mana. Jadi kekuasaan tidak datang secara vertikal dari penguasa terhadap yang ditindas, dari pemerintah ke rakyat, melainkan datang dari semua lapisan masyarakat, dan ke segala arah.
55
Kekuasaan menurut Foucault, bukan milik siapa pun kekuasaan ada di mana-mana kekuasaan merupakan strategi. Kekuasaan adalah praktik yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu. Ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu dengan yang lain dan senantiasa mengalami pergeseran. Kekuasaan menentukan susunan, aturan, dan hubungan dari dalam. Kekuasaan bertautan dengan pengetahuan yang berasal dari relasi-relasi kekuasaan yang menandai subjek. Karena Foucault menautkan kekuasaan dengan pengetahuan sehingga kekuasaan memproduksi pengetahuan dan pengetahuan menyediakan kekuasaan, ia mengatakan bahwa kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, melainkan juga normalisasi dan regulasi (Sutrisno, 2005). Kuasa bekerja lewat regulasi dan normalisasi, serta lewat normalisasi dan regulasilah masyarakat digerakkan. Misalnya, peraturan yang dibuat pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA) yang bermakna bahwa kebudayaan ladang berpindah (shifting cultivation) yang dilakukan oleh masyarakat Dayak sulit untuk mendapat pengakuan kepemilikan atas tanah secara hukum formal/positif ini sangat melemahkan hak-hak masyarakat adat merupakan salah satu bentuk kuasa yang bekerja dalam masyarakat. Efeknya dapat dilihat rentannya konflik tentang pertanahan jika ada perusahaan baik itu sawit dan pertambangan yang akan berinvestasi di daerah tersebut, biasanya warga masyarakat akan dicap melawan negara dan susah diajak bekerjasama dan kesannya anti terhadap investor. Hal ini suatu strategi untuk berkuasa dan sasaran atau target kekuasan adalah kepatuhan terhadap peraturan tersebut sebagai warga negara.
56
Kuasa dan pengetahuan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, kuasa menemukan bentuknya dalam pengetahuan. Berbeda dengan analisis Marxis yang masih menyisakan kebenaran dalam pengetahuan. Foucault melangkah lebih jauh dari itu. Baginya setiap pengetahuan pasti mengandung kuasa dan setiap kekuasaan produktif menghasilkan pengetahuan. Artinya, tidak ada kebenaran bahkan dalam ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah sekalipun. Biologi, ekonomi, komunikasi, juga banyak disiplin ilmu modern lainnya, dan tidak lebih dari perwujudan kuasa yang fungsinya membentuk subjek. Klaim ilmiah yang selama ini menjadi pembenaran akan sifat pengetahuan yang netral bagi Foucault adalah strategi kuasa. Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subyek tanpa memberi kesan ia datang dari subyek tertentu (Haryatmoko, 2003: 225). Tesis yang menarik dari Foucault adalah hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Kuasa didefinisikan dalam istilah “kepemilikan” di mana seseorang yang memiliki sumber kekuasaan tertentu. Kuasa tidak hanya dimiliki tetapi juga dipraktikan dalam ruang lingkup di mana banyak proporsisi yang secara strategis berkaitan satu dengan yang lain. Jadi, kuasa bekerja melalui hubungan-hubungan, susunan-susunan, aturan-aturan, sistem regulasi di mana saja ada manusia yang saling memiliki hubungan tertentu antara satu dengan yang lainnya di dunia di situ lah kuasa sedang bekerja dan direproduksi. Hubunganhubungan itu, seperti hubungan sosial-ekonomi, hubungan-hubungan yang menyangkut keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas pendidikan, adat, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
57
Kendati demikian, subjek (masyarakat Dayak) dalam pandangan Foucault bukan robot yang manut pada setiap kuasa yang coba membentuknya. Konsekuensi dari pengertian kuasa yang dibangun Foucault dimana kuasa tidak bisa dimiliki artinya cair atau tersebar. Hal ini, melahirkan konsepsi resistensi. Konsep ‘resistensi’ adalah, sebagaimana diungkap Ramazanoğlu (1993) dalam (Haryatamoko, 2003) mencatat bahwa bagian dari definisi Foucault tentang kuasa semenjak ia menentukan bahwa semua kuasa memproduksi resistennya. Resistensi atau perlawanan pada kuasa menurut Ramazanoglu dapat mengambil bentuk wacana baru yang menghasilkan ‘kebenaran baru’. Oleh karenanya subjek dalam pemikiran Foucault adalah sesuatu yang aktif dan bebas untuk memilih wacana atau kuasa mana yang akan digunakannya. Bagi Foucault komponen kritis dari kuasa adalah kebebasan karena kuasa hanya dapat dikatakan menciptakan efek jika objek yang terkena kuasa memiliki kemampuan untuk melawan. Michel Foucault (2002) adalah seorang filsuf postmodernisme yang mempunyai teori tentang geneologi kekuasaan pengetahuan dan disiplin tubuh. Foucault menyatakan bahwa kekuasaan dan pengetahuan terjalin erat karena kekuasaan adalah pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan adalah kekuasaan atau lebih jelasnya tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dalam praktik yang terkait dengan regulasi tubuh, pengaturan tindakan, dan pembentukan diri.
58
Berdasarkan landasan teori kuasa dan pengetahuan, dicoba untuk diuraikan bagaimana terjadinya proses pelaksanaan upacara maniring hinting sebagai bentuk perlawanan atau kekuasaan atas kepemilikan dan hak atas tanah masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Hal ini tidak terlepas dari kontribusi keberadaan hukum positif yang diberlakukan di Indonesia. Dalam hal kepemilikan dan penguasaan atas tanah negara, seperti UUPA No. 5, Tahun 1960 dan UUD Pasal 33 ayat 3, dan peraturan sejenisnya yang menyatakan hak dan kepemilikan tanah dan di atas tanah semua di atur serta dikuasai oleh negara. Selanjutnya, untuk menelusuri jejak-jejak terjadinya proses perlawanan masyarakat Dayak dan mengkaji permasalahannya digunakan teori kuasa dan pengetahuan. Teori ini cukup relevan dipakai untuk mempertajam analisis permasalahan bagaimana proses terjadinya pelaksanaan upacara ritual maniring hinting. Mencermati pemaparan singkat di atas, maka kegunaan teori kuasa dan pengetahuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis diskursus atau pernyataan-pernyataan masyarakat maupun pemerintah yang disampaikan baik melalui dialog maupun dimuat di media massa. Diskursus yang berkembang di masyarakat dan pemerintah membentuk pengetahuan baru tentang maniring hinting sebagai suatu gerakan kontra hegemoni masyarakat adat di Kalimantan Tengah. Pengetahuan yang didapat berpengaruh terhadap kekuasaan Pemerintah sebagai pemegang dan penentu kebijakan sebagai pengatur dan pemberi hak terhadap kepemilikan tanah. Teori kekuasaan dan pengetahuan membantu memahami makna yang terkandung dibalik gerakan masyarakat adat Dayak melalui maniring hinting.
59
2.3.2
Teori Disiplin dan Hukuman (Dicipline and Punish) Teori dicipline dan punish relevan digunakan karena basis dan praktik
maniring hinting berpusat pada pendisiplinan tubuh (tidak melanggar pali) dan larangan. Jika dianalogikan pendekatan Foucault tentang disiplin dan hukuman, secara khusus Foucault mencoba melihat hubungan antara power dan tubuh. Secara umum Foucault melihat bahwa tubuh adalah objek utama dalam kegiatan penghukuman, yaitu sebuah ilusi melihat bahwa hukuman merupakan sarana untuk mengurangi kejahatan dan hal tersebut dapat berarti berat ataupun ringan. Tubuh, bagi Foucault, secara langsung terlibat dalam bidang politik, artinya hubungan kekuasaan terus-menerus berlangsung di atas tubuh. Lebih jauh, tubuh dapat menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa dan sangat berguna hanya jika tubuh tersebut menjadi produktif dan tunduk. Di sisi yang berbeda, power adalah cara untuk menghasilkan pengetahuan. Tubuh sendiri dapat menjadi kunci bagi pengetahuan. Mungkin ada pengetahuan dari tubuh yang tidak persis berlaku seperti ilmu difungsikan dan penguasaan atasnya adalah kemampuan untuk menaklukkan tubuh. Maksudnya bahwa pengetahuan dan penguasaan ini merupakan apa yang dapat disebut sebagai teknologi politik tubuh. Ketertundukan tubuh menjadi kata kunci penting. Ketertundukan sebagai satu bentuk hukuman menjadi dimensi tersendiri yang dieksplorasi Foucault. Jika sebelumnya eksekusi publik mengambil bentuk dan dimensi teatrikal, yang sering kali memiliki ekses yang lebih luas ke publik, maka pergeseran domain beralih ke sebuah institusi lain dalam konteks ini penelitian ini adalah ritual maniring hinting meskipun dengan tujuan yang kurang lebih sama yaitu penjara. Penjara diawali
60
dengan bentuk yang berbeda dari tontonan publik. Dalam penjara hukuman menjadi lebih “lembut” meskipun tidak melulu berdasarkan alasan kemanusiaan. Gagasan kaum reformis untuk ‘melembutkan’ bentuk hukuman sekaligus membawa domain penghukuman dan kekuasaan kehakiman dari domain negara ke bentuk kekuasaan publik. Dalam hal ini pergeseran pun berimbas pada narapidana. Jika sebelumnya mereka adalah objek dari tindakan balas dendam atas dosa yang dilakukan, maka dengan penjara, mereka beralih menjadi objek yang terkontrol, yang dapat dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang mencerminkan kejahatan mereka sebagai bentuk bayaran13 atas pelanggaran dan dosa-dosa. Dalam konteks ini barangkali penulis salah membaca bahwa para narapidana menunjukkan sebuah ontologi, yaitu manusia sebagai mesin. Bertens dalam “Filsafat Barat Kontemporer Perancis” (2000: 297--325) mengulas pemikiran Michel Foucault yang menghubungkan pendisiplinan tubuh dengan kekuasaan. Foucault menulis dalam bahasa Perancis Surveiller et Punir. Naissan de la Proson (Menjaga dan Menghukum. Lahirnya Penjara) yang menghubungkan pengawasan dan pendisiplinan yang terjadi dalam masyarakat dipengaruhi mekanisme pengawas penjara. Foucault menyakini bahwa kuasa bekerja melalui beberapa strategi, yaitu kuasa terdapat di mana-mana dan tidak dapat dilokalisasi; kuasa tidak bersifat destruktif, tetapi bersifat produktif; kuasa tidak bekerja secara represi, tetapi melalui regulasi, menjaga, dan menghubungkan yang dapat diartikan sebagai disiplin (Bertens, 2001: 318--324).
13
Dalam budaya Dayak jika seseorang melanggar pali, akan dijatuhi hukuman denda adat (singer) sesuai dengan adat setempat.
61
Anthony Synnot dalam “Tubuh Sosial: Simbolisme Diri dan Masyarakat” (2007: 369--373) mengutip gagasan Foucault mengenai kekuasaan yang berakar pada kekuasaan atas tubuh (biopower) dan dalam setiap aktivitas kecil mikrofisika tubuh dan dalam setiap institusi politik tubuh. Foucault menggambarkan masyarakat sebagai tubuh yang didisiplinkan melalui institusi kekuasaan yang bekerja secara mekanis melalui sekolah, bengkel kerja, dan sebagainya. Disiplin membuat tubuh menjadi serupa dengan mesin dan segala bentuk pendisiplinan, optimalisasi kemampuan, penetrasi kekuatan, dan peningkatan kegunaan menjadi pararel dengan kepatuhan, dan tubuh menjadi instrumen bagi kontrol politis (Synnot, 2007: 416). Kebudayaan merupakan produk manusia dan kebudayaan juga mengatur manusia. Kebudayaan diperoleh melalui pembelajaran melalui institusi atau pranata yang ada dalam struktur sosial masyarakat. Apa yang dipikirkan manusia atau apa yang dilakukan individu adalah produk dari struktur sosial, epistemologi, ataupun apa yang disadari individu sebagai suatu kebenaran tak lebih dari produk kuasa yang bermain dalam ruang lingkup diskursus. Begitu juga permasalahan makna, pengalaman, pikiran, dan kebenaran tak lebih dari produk kuasa yang memberikan identitas kepada kita. Suatu bentuk pandangan terhadap dunia bersifat given. Disiplin, kontrol, pengawasan, dan pengaturan pada tubuh itulah dilakukan oleh kuasa (power). Power tersebut meliputi bagaimana suatu bentuk kontrol terhadap tubuh itu menjadi mungkin. Hubungan timbal balik antara apa yang dianggap benar dan mekanisme kuasa atau mekanisme yang di dalamnya
62
“rezim politik berkuasa” dinamakan sebagai genealogi. Pendekatan Foucault menegaskan bahwa suatu normativitas yang disepakati, baik berupa hati nurani maupun panggilan hati, ide tentang moralitas baik, norma adat istiadat, dan sebagainya semua merupakan bentuk identitas subjek historis. Kuasa ada karena konstruk hubungan timbal balik antara manusia, yang dipertahankan atau diubah untuk mengontrol tubuh manusia untuk disiplin. Apabila dikaitkan dengan maniring hinting, pendekatan ini menjadi ritual sebagai pengatur, alat kontrol, pengawas, dan pendisiplinan terhadap tubuh. Tubuh tidak boleh begini dan begitu, tubuh harus bersama di suatu tatanan sosial. Norma inilah yang ditekankan dan dijadikan pedoman bagi tubuh untuk mengatur serta mengawasinya. Norma ini (tidak melanggar pali) menjadikan tubuh secara berjenjang menjadi orang yang berkuasa mengawasi dan mengontrol (orang Dayak) dan tubuh yang dikontrol, tetapi di sisi lain, tubuh-tubuh itu untuk disiplin dalam suatu pola sikap tertentu. Berdasarkan pemikiran Foucault, diketahui bahwa maniring hinting adalah salah satu upacara ritual Hindu Kaharingan yang berfungsi sebagai institusi adat yang berfungsi memelihara tertib sosial, Namun, dapat berfungsi pula sebagai anti order jika terjadi pelanggaran terhadap adat yang disebut pali. Tubuh (masyarakat Dayak) diajarkan untuk bersikap menghargai kosmos, menjalani aturan adat, mematuhi hukum dan tidak melanggar pali/pantangan, serta hidup beradat (belom bahadat). Tubuh harus tunduk di bawah tuntutan normatif. Begitu juga tubuh harus dilatih agar tubuh dapat bersikap dan menghargai adat. Agar dapat beradat, maka tubuh perlu dipagari dalam ruangan yang dipisahkan.
63
Individu harus disiplin dan siap menghadapi tugas yang akan diembannya setelah tubuh dilatih melalui pranata sosial. Tubuh juga perlu dibagi-bagi. Tubuh yang tidak melanggar adat dan tubuh yang melanggar pali, tubuh yang tidak beradat maka tubuh itu diberikan hukuman (singer) yang setimpal dengan kesalahannya14. Sebaliknya, tubuh yang taat kepada adat, maka perlu ditempatkan pada tingkat yang tinggi. Tubuh mesti diatur berdasarkan sikap atau fungsi tubuh, dan kekuatan tubuh itu karena tingkat kemampuan tubuh berbeda-beda. Pengetahuan itu identik dengan kekuasaan. Kekuasaan muncul bersandarkan pada sejumlah pengetahuan; begitu juga pengetahuan melahirkan kekuasaan. Kekuasaan dan pengetahuan diibaratkan dua sisi mata uang; satu kesatuan yang kemunculannya menuntut kehadiran sisi lainnya. Demikian menurut Foucault bagaimana kekuasaan harus dipahami. “...power must be understood in the first instance as the multiplicity of force relations immanent in the sphere in which they operate and which constitute their own organization; as the process which, through ceaseless struggles and confrontations, transforms, strengthens, or reserves them; as the support which these force relations find in one another, thus forming a chain or a system, or on the contrary, the disjunctions and contradictions which isolate them from one another; and lastly, as the strategy in which they take effect, whose general design or institutional crystalization is embodied in the state apparatus, in the formulation of the law, in the various social hegemony."(Foucault, 2002: 92--93). Kekuasaan mesti dipahami sebagai bentuk relasi kekuatan yang imanen dalam ruang di mana kekuasaan itu beroperasi. Kekuasaan mesti dipahami sebagai sesuatu yang melanggengkan relasi kekuatan itu, yang membentuk rantai
14
Sebelum adanya Rapat Damai Tumbang Anoi 1894, jika seseorang yang tidak dapat membayar denda adat (singer) akibat pelanggaran adat yang diperbuatnya, maka sebagai gantinya yang bersangkutan dijadikan budak (jipen). Dalam masyarakat Dayak keturunan budak (utus jipen) disebut keturunan rendah/budak/jipen (utus randah), sedangkan bagi golongan/kalangan yang taat dan tidak melanggar adat disebut keturunan tinggi (utus gantung).
64
atau sistem dari relasi itu, atau justru yang mengisolasi mereka dari yang lain dari suatu relasi kekuatan. Oleh karena itu, kekuasaan merupakan strategi di mana relasi kekuatan adalah efeknya. Seno Joko Suyono dalam buku Tubuh yang Rasis (2002: 397--418) menguraikan secara kritis pemikiran Foucault tentang bukunya yang berjudul Disipline dan Punish” (1975). Tulisan Foucault ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Nietszche bahwa tubuh sebagai tempat menananmkan kekerasan, manifestasi stigmata kekerasan. Tubuh dicetak, dibentuk, dikonstruksi berbagai rezim yang melalui mekanisme kerja, aturan, nutrisi, dan etika (Suyono, 2002: 196). Disiplin dicirikan dengan adanya perhatian yang besar untuk mengoreksi segala gerak-gerik natural dan alamiah agar termanipulasi dan terlatih menjadi docility-utility, yakni tubuh yang berguna, bernilai ekonomis, dan dapat menambah kepatuhan secara politis yang disebut sebagai a new political economy to power to punish. Dalam pendekatan teori dicipline dan punish (kepatuhan dan hukuman), Foucailt menjabarkan “Politik Anatomi dan Modus Operandi Disiplin” yang digunakan tubuh melalui empat prosedur pengondisian, yaitu (1) distribusi ruang, (2) tabulasi waktu (time table), (3) administrasi kumulatif, serta (4) komposisi dan konfigurasi tenaga. Pada distribusi ruang, individu digolongkan untuk melaksanakan disiplin dengan menggunakan”kehadiran” dan ketidakhadiran” tubuh dalam tatapan mata pengawas yang justru tak tampak tubuhnya (anonim, invisible) dalam konteks penelitian ini roh (gana) yang dihadirkan dalam ritual maniring hinting mengawasi dan memberikan hukuman kepada pihak-pihak yang tidak
65
bertanggung jawab melakukan pelanggaran pali. Pengawasan dan pendistribusian ruang
terhadap
tubuh
dilakukan
dengan
mengklasifikasikan
kecekatan,
kekonstanan, dan ketepatan waktu yang bertendensi eliminatif dan diskriminatif. Disiplin dalam konteks ini melibatkan subjek, pada ruang tertentu, pemisahan, pelatihan, dan standardisasi yang menghasilkan subjek dengan kategori dan menamai mereka dalam suatu urutan hierarki, efisiensi, produktivitas, dan normalisasi (Barker, 2000: 80--83). Disiplin individu didasarkan atas tabulasi waktu yang ketat dan identik dengan ketepatan waktu yang meregulasi aktivitas, memaksa, dan merutinkan elemen tubuh melakukan gerakan khusus. Tabulasi waktu berlandaskan prinsip exhautic-use, yaitu pemanfaatan waktu yang maksimal dan tidak boleh terbuang percuma. Tabulasi waktu juga berkolerasi dengan gerak-gerik yang tepat dan operasional agar menjadi individu yang tepat guna. Administratif kumulatif mengharuskan individu berkelompok dalam suatu struktur agar evolusi kemajuannya dapat dievaluasi. Modus ini digunakan sebagai kontrol untuk meningkatkan keterampilan individu sesuai dengan tuntutan. Komposisi dan konfigurasi tenaga berhubungan dengan praktik institusi disiplin (sekolah, militer, dan lain-lain) yang berusaha membuat tubuh-tubuh menjadi mudah diinteraksikan, dikombinasikan dengan tujuan agar tercipta akumulasi kekuatan. Praktik ini menggunakan sistem komando yang diadopsi dari militer sehingga setiap individu diharapkan secara otomatik merespons tandatanda (perintah). Pendisiplinan dalam konteks ini berhubungan dengan kepatuhan
66
politik yang digunakan untuk menetralisasikan atau meredam konflik kekuasaan untuk menyerang pihak-pihak yang dominan. Praktik maniring hinting memusatkan aktivitas pendisiplinan diri yang ketat melalui tanda-tanda dan simbol-simbol larangan (pali) dan ritual. Pisor, basir, dan damang yang memimpin dan melaksanakan ritual manirng hinting sebelum melaksanakan ritual maniring hinting mengetahui secara jelas status dan kondisi areal/lokasi tanah yang menjadi sengketa yang akan di-hintingpali-kan. Hal ini penting karena ritual maniring hinting adalah upacara ritual agama Hindu Kaharingan yang bersifat sakral dan suci. Itulah sebabnya tidak sembarangan orang boleh melaksanakannya. Setelah areal/lokasi tersebut di-hinting-kan maka ada larangan dan pantangan (pali) dan hanya dapat dinetralkan dengan ritual memutus tali larangan (menetes hinting pali) setelah ada konsensus atau kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai atau bersengketa. Michel Foucault (1997) adalah seorang filsuf postmodernisme yang mempunyai teori tentang geneologi kekuasaan pengetahuan dan disiplin tubuh. Foucault menyatakan bahwa kekuasaan dan pengetahuan terjalin erat karena kekuasaan adalah pengetahuan. Sebaliknya, pengetahuan adalah kekuasaan atau lebih jelasnya tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dalam praktik terkait dengan regulasi tubuh, pengaturan tindakan, dan pembentukan diri. Berdasarkan landasan teori dicipline dan punish (kepatuhan dan hukuman), dicoba untuk diuraikan bagaimana terjadinya proses pelaksanaan
67
upacara maniring hinting sebagai bentuk perlawanan atau kekuasaan atas kepemilikan dan hak atas tanah masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Teori ini cukup relevan dipakai untuk mempertajam analisis permasalahan ketiga dalam penelitian ini, yakni apa makna ritual maning hinting bagi masyarkat Dayak, pemerintah, dan investor. Berdasarkan pemaparan singkat di atas, diketahui bahwa kegunaan teori disiplin dan hukuman dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis, baik makna atau pernyataan-pernyataan masyarakat maupun pemerintah, yang disampaikan melalui ritual maniring hinting melalui pendisiplinan dan hukuman secara spiritual dan roh-roh (gana). Roh-roh inilah yang akan memberikan hukuman dan pendisiplinan kepada pihak-pihak yang melanggar adat. Pendisiplinan dan hukuman tidak melalui persidangan dan hukum positif, tetapi bergeser pada tataran spiritual di luar struktur hukum positif dan penguasa. Teori kekuasaan dan pengetahuan membantu memahami makna yang terkandung di balik gerakan kontra hegemoni masyarakat adat Dayak melalui maniring hinting. Sementara, di era modern sistem pengawasan panaopticon dijalankan dengan lebih canggih dengan menggunakan kamera pengawas (CCTV-CloseCircuit Television) di setiap sudut kota. Di pihak lain, masyarakat Dayak menggunakan ritual maniring hinting sebagai sistem pengawasan panapticon. Ritual diadakan bila terjadi sengketa lahan dan penyerobotan lahan. Akibatnya perusahaan sawit dan pemerintah menjadi tidak bebas dalam bertindak karena masyarakat
mengawasi tindak-tanduk mereka dengan norma lokal dalam
menilainya. Jadi normalisasi adalah instrumen kekuasaan pendisiplinan mereka.
68
2.3.3
Teori Praktik Pandangan Bourdieu mengenai kuasa simbolik juga dibaca dengan
beberapa tafsir. Bagi Thompson, konsep kuasa simbolik kadang Bourdieu menggunakan sebutan kekerasan simbolik menunjuk pada salah satu aspek dari sebagian besar kekuasaan yang diterapkan sehari-hari, yaitu kekuasaan yang dialihkan ke dalam bentuk simbolik dan diterapkan melalui pertukaran simbolik. Karena dialihkan, kuasa simbolik tidak dikenali sebagai sebentuk kekuasaan, tetapi dikenali sebagai sesuatu yang absah (Thompson, 1995: 23; 1984: 36). Pembacaan yang sama dilakukan Rusdiarti. Bedanya, ia membedakan antara kekuasaan simbolik yang menunjuk pada aspek tertentu kekuasaan dan kekerasan simbolik yang lebih menunjuk pada mekanisme objektif yang menjamin kepatuhan mereka yang didominasi (Rusdiarti, 2003: 37--39). Harker juga membedakan antara kekuasaan simbolik sebagai “kekuasaan untuk membentuk fakta yang diterima sebagai hal yang benar dengan cara menyatakannya” dan kekerasan simbolik sebagai pelaksanaan kekuasaan simbolik itu (Harker, 2005: 120). Menurut Bourdieu dalam karya Richard Jenkins “Pierre Bourdieu” (1992: 104), kekerasan berada dalam lingkungan kekuasaan. Hal tersebut berarti bahwa kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses dominasi tersebut akan dihasilkan sebuah kekerasan. Kekerasan di sini bukanlah kekerasan yang banyak dikenal oleh masyarakat, seperti kekerasan fisik dan kekerasan psikologis yang bentuknya “mudah dikenali” dan dampaknya mudah diamati.
69
“Symbolic violence, according to Bourdieu, is the imposition of system of symbolism and meaning (i.e.culture) upon groups or classes in such a way that they are experienced as legitimate. This legitimacy obscures the power relation which permit that imposition to be successfull. Insofar as it accepted as legitimate, culture adds its own force to those power relations, contributing to their systematic reproduction. This is achieved through a process of misrecognition; ‘the process whereby power relations are perceived not far what objectively are but in a form which renders legitimate in the eyes of the beholder.” (Jenkins, 1992: 104). Kekerasan yang dimaksud Bourdieu adalah bentuk “kekerasan simbolik” yang tidak didasari banyak pihak yang terjadi pada masyarakat adat khususnya masyarakat Dayak. Konsep ini dikemukakan oleh Bourdieu untuk menjelaskan mekanisme yang digunakan kelompok elite atau kelompok kelas atas yang mendominasi struktur sosial masyarakat untuk “memaksakan” ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidupnya kepada kelompok kelas bawah yang didominasinya. Rangkaian budaya ini oleh Bourdieu disebut habitus. Akibatnya, masyarakat kelas bawah atau yang terdominasi dipaksa untuk menerima, menjalani, mempraktikkan, dan mengakui bahwa habitus kelas atas merupakan hal yang pantas bagi mereka (kelas bawah), sedangkan habitus kelas bawah merupakan habitus yang sudah selayaknya “dibuang jauh-jauh”. Kekerasan simbolik (symbolic violence) sebenarnya jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik karena kekerasan simbolik melekat dalam setiap bentuk tindakan, struktur pengetahuan, struktur kesadaran individual, dan memaksakan kekuasaan pada tatanan sosial. Bourdieu bertutur seperti di bawah ini. “...the gentle, invisible form of violence, misrecognized as such, chosen as much as it is submitted to, the violence of confidence, of personal loyalty, of hospitality, of the gift, of the debt, of recognition, of piety of all virtues, in a word, which are honoured by the ethics of honour.” (Bourdieu, 1990: 192).
70
Karena media perjuangan masyarakat Dayak dalam perlawanan ritual maniring hinting adalah merepresentasikan simbol-simbol lokal, maka diperlukan pelacakan terhadap pertarungan simbol-simbol yang direpresentasikan di balik ideologi tiap-tiap kelas. Dalam konteks ini, simbol-simbol tersebut dijadikan oleh para aktor untuk membentuk kekuasaan sekaligus kekuatan karena melalui sombol-simbol tersebut mereka berupaya meyakinkan orang lain agar tetap berada dalam lingkaran kekuasaan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Fashri (2014: 20) dengan menyitir pula gagasan Bourdieu tentang simbol sebagai berikut. Simbol memiliki kekuatan untuk membentuk, melestarikan, dan mengubah realitas. Kekuatan simbol ini mengandung energi magis yang bisa membuat orang percaya, mengakui, serta tunduk atas kebenaran yang diciptakan oleh tata simbol. Bukan lagi kekuatan atau tindakan represif fisik yang diutamakan, tetapi kemampuan simbol membelokkan makna atas nama kepentingan dominan (Fashri, 2014: 20). Berdasarkan pemikiran di atas, maka pusat kajian perlawanan masyarakat Dayak ritual maniring hinting terhadap pemerintah dan investor adalah di arena pertunjukan ritual ini. Dikatakan demikian karena di arena ritual sejumlah simbol tersebut diproduksi dengan makna-makna yang ditujukan sebagai resistensi kepada kelompok dominan yang merepresi mereka sebagai masyarakat marginal. Apabila dikaitkan dengan teori postkonial, maka cukup jelas bahwa kelompok terjajah dalam hal ini adalah kelas bawah memang tidak memiliki akses yang cukup. Mereka adalah “subaltern” yang tak mampu bersuara dan melawan. Banyak mekanisme atau cara yang digunakan kelompok kelas atas untuk memaksakan habitusnya. Salah satu di antaranya melalui undang-undang, peraturan-peraturan dan lembaga negara. Mekanisme sosialisasi habitus kelompok
71
atas ini pun dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Kita dapat melihat bagaimana masyarakat adat di Nusantara dipaksa mematuhi peraturan tentang memperoleh kepemilikan hak atas tanah. Selain itu, juga berbagai regulasi yang berkenaan dengan
kekuasaan
negara
mengatur
pemberian
hak-hak
kepada
investor/pengusaha yang harus ditaati dan dipahami oleh kelompok kelas bawah. Dengan kata lain, masyarakat adat dipaksa untuk menyesuaikan dan seragam dengan hukum formal yang bersifat sentralistik “layaknya” kelas atas. Mereka dipaksa menerima habitus kelas atas atau penguasa. Implikasi dari cara pandang Pierre Bourdieu dalam Harker et al. (2005) khususnya mengenai konstruksi praksis itu, maka simbol-simbol dan konsepsikonsepsi mengenai suatu kebudayaan dianggap sebagai sesuatu yang cair, dinamis, variatif, dan sementara karena keberadaanya sangat tergantung pada praksis para individu yang berada dalam konteks ruang sosial tertentu. Kebudayaan dalam pengertian ini merupakan suatu konstruksi sosial bertalian erat dengan kepentingan dan kekuasaan yang dimiliki oleh si aktor dalam hal ini pemerintah dan pengusaha perkebunan. Kebudayaan dalam arti konteks semacam ini menawarkan sejumlah konsepsi yang menjadi bahan pertimbangan si pelaku dalam menentukan tindakannya dan menginterpretasikan suatu aturan sesuai dengan konsepsi yang diyakininya dan dapat menguntungkan kepentingan dan keberlangsungan usaha investasinya. Lewat teori habitusnya, Bourdieu menunjukkan bagaimana relasi kuasa terjadi dalam struktur masyarakat tertentu. Namun, lewat konsep habitus itu terlihat bahwa realitas sosial tidaklah begitu sederhana seperti penjelasan lewat
72
teori pertentangan kelas, yang terlalu mengutamakan faktor ekonomi dan mengabaikan faktor-faktor lain. Habitus diwujudkan dalam kebiasaan, gaya hidup, simbol-simbol kepemilikan, dan unsur-unsur lain yang secara implisit mampu mencerminkan simbol-simbol kelas tertentu. Bourdieu juga telah menunjukkan bahwa pendekatan oposisi agensi versus struktur sudah tidak lagi memadai dalam menjelaskan realitas sosial. Jadi, Bourdieu menolak pandangan Cartesian (“Cartesian” adalah kata sifat yang melukiskan filsafat Descartes) yang membedakan secara jelas antara subjek dengan dunia luar, antara agensi dan struktur. Memang ada relasi atau keterkaitan antara keduanya, tetapi hubungan itu bersifat dinamis, kompleks, saling memengaruhi, dan tidak linier untuk menghasilkan praktik sosial. Di Indonesia khusus di Kalimantan Tengah, pemikiran Bourdieu ini bermanfaat signifikan dalam upaya memahami dan menganalisis kesenjangan sosial budaya, ekonomi, dan politik yang ada di masyarakat. Selain itu, perlu dilihat secara kritis terjadinya represi dan kekerasan simbolik, yang dilakukan oleh rezim atau kelompok yang berkuasa terhadap masyarakat kelas bawah, yang terpinggirkan dalam proses “pembangunan.” Bahkan, perlu dipikirkan secara serius mengapa meskipun sudah dilakukan berbagai program pemerintah, ternyata jurang antara masyarakat bawah dan kelompok yang diuntungkan oleh sistem masih sangat lebar. Bisa jadi kelompok yang dominan pada hakikatnya terus mereproduksi struktur yang menguntungkan posisinya tersebut. Diharapkan bahwa jangan sampai struktur yang menindas dan represif ini berkelanjutan. Dari komitmen keberpihakan tersebut, dapat dipikirkan langkah-langkah apa yang
73
patut dilakukan untuk menjembatani kesenjangan itu dan meningkatkan posisi masyarakat kelas bawah yang tertindas (Herker et al., 2005). Teori praktik sosial digunakan dalam mengkaji pergulatan yang terjadi Kalimantan Tengah khususnya di Kabupaten Kotawaringin Timur. Artinya hak pengelolaan perkebunan besar swasta sawit merupakan sebuah ranah/arena/field bagi pemerintah dan masyarakat adat Dayak yang mempertaruhkan kepentingankepentingan dalam perebutan hak-hak atas tanah, modal politik, ekonomi, sosial, budaya, dan modal simbolis. 2.3.4
Teori Hegemoni Posisi yang tidak imbang dalam struktur pemerintahan dan sosial
menyebabkan terjadinya hegemoni atau dominasi. Artinya ada pihak yang menghegemoni dan terhegemoni (oposisi biner). Biasanya yang terhegemoni adalah kaum yang lemah dan termarginal secara budaya dan ekonomi di dalam struktur masyarakat. Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah adalah masyarakat adat yang termarginal karena hak-hak atas tanah mereka terabaikan oleh pemerintah, investor perkebunan, dan investor pertambangan besar swasta. Hal itu disebabkan oleh terjangan era globalisasi dan hukum positik yang positifis (kepemilikan tanah harus tersertifikat dan terukur, serta disahkan oleh lembaga negara, yaitu BPN) yang tidak dapat terpadu dengan hukum tradisional atau adat. Chris Barker dalam bukunya yang berjudul “Cultural Studies Teori dan Praktek” (2000) menguraikan pemikiran Gramsci bahwa hegemoni sebagai situasi yang di dalamnya terdapat suatu kelompok yang berkuasa dan mendapat kewenangan serta kepemimpinan atas kelompok subordinat dengan cara
74
memenangi kesadaran. pihak yang dikuasai oleh penguasa. Selain itu, pihak yang dikuasai tidak hanya merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai serta norma penguasa, tetapi memberikan kesepakatan atas subordinasi mereka. Inilah yang disebut “hegemoni” atau menguasai “kepemimpinan moral dan intelektual” secara konseptual. Teori hegemoni dibangun atas premis yang menyatakan pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik dalam kontrol sosial politik (Sugiono, 1999: 31--34). Pentingnya ide dalam kontrol sosial politik memiliki arti agar yang dikusai mematuhi penguasa, sedangkan yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa. Lebih dari itu, mereka harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksudkan Gramsci dengan “hegemoni” atau dengan kata lain hegemoni dapat diartikan menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual.” Di pihak lain, penggunaan kekuatan hanya merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk kekuasaan. Stabilitas kekuasaan dapat terselenggara berkat inkorporasi kelompok yang dikuasai terhadap ideologi, moral, dan kultur penguasa. Pada dasarnya kepatuhan pada aturan dan perangkat hukum penguasa dapat
disebabkan
oleh
tiga
hal,
yaitu
karena
takut,
terbiasa,
dan
kesadaran/persetujuan. Dari ketiga hal tersebut, pandangan yang terakhir merupakan ciri dalam konsep hegemoni sehingga hegemoni bersifat menyeluruh karena bersifat psikologis (Patria dkk., 2003:125). Lebih dari itu Gramsci menyebutkan bahwa secara esensial hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekerasan, melainkan relasi kesepahamam antara negara
75
dan masyarakat dengan menggunakan politik dan ideologi (Suetomo, 1977 ; Simon, 1999; Sukeni, 2010: 14). Dalam teori hegemoni Gramsci tidak tampak ada dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya, tetapi lebih ditentukan oleh adanya relasi kesepahaman antara kelompok yang menghegemoni dan yang terhegemoni. Kekuasaan tidak datang secara vertikal dari penguasa terhadap yang ditindas, dari pemerintah ke rakyat, tetapi datang dari semua lapisan masyarakat, ke segala arah. De Witt (1979) mengatakan bahwa konsensus yang terjadi di dalam suatu komunitas tidak disepakati oleh semua kalangan, tetapi masih ada anggota yang tidak setuju atau dengan kata lain tidak ada konsensus atau kesepakatan tercapai secara seratus persen. Kelompok yang tidak setuju ini dalam kesempatan lain akan muncul sebagai kelompok yang mengadakan resistensi atau perlawanan terhadap kelompok lain (kelompok yang dominan). Perlawanan bisa bersifat terbuka (nyata), tetapi ada juga secara halus dengan sikap dan perilaku sebagai gambaran jiwa. Teori hegemoni Gramsci dipandang tepat sebagai teori utama dalam penelitian ini. Sesuai dengan kenyataan yang ada di masyarakat bahwa kondisi masyarakat pada masa kini cukup memprihatinkan. Penguasaan tanah dan ekspansi
pasar
yang
dilandasi
oleh
nilai-nilai
kapitalisme
berupaya
mengomodifikasi, menguasai tanah-tanah masyarakat yang memiliki relasi-relasi sosial dengan masyarakat adat. Isu-isu energi alternatif (bio-fuel) (Aspandi, 2012) serta keterbatasan lahan untuk mengembangkan dan memenuhi kebutuhan akan bahan bakunya
76
menyebabkan kelompok kelas atas ini mencari areal. Hal ini sejalan dengan era otonomi daerah yang sedang giat-giatnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadikan semua itu berkolaborasi dengan mesra dalam menyebabkan gerakan tandingan (counter movement) yang tidak cocok dan sejalan dengan prinsip pasar pada masa-masa yang lalu. Oleh karena itu, teori ini relevan untuk menganalisis perlawanan dalam pelaksanaan penguatan hukum adat dan kearifan lokal. Dalam penelitian ini, teori hegemoni digunakan untuk memahami kekuatan-kekuatan dominan yang melakukan hegemoni terhadap kelompokkelompok subordinat dalam pengelolaan dan pemberian hak atas tanah. Walaupun perlawanan dengan maniring hinting dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah, berbagai upaya konsensus atau kesepakatan terus dilakukan sampai mendapatkan hasil yang disepakati dan dapat menampung semua kepentingan.
2.4.
Model Penelitian Model penelitian kualitatif juga disebut metode postpositivistik karena
berlandaskan filsafat postpositifisme yang bersifat artistik. Di sampin itu, juga karena proses penelitian lebih bersifat artistik berbeda dengan metode kuantitatif yang
berlandaskan
filsafat
positivisme
yang
berkaidah
ilmiah,
yaitu
konkrit/empiris, objektif, terukur, rasional, dan sistematis. Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian kuantitatif berupa angka-angka dan menggunakan statistik (Suryana, 201: 34).
77
Penelitian kualitatif bersifat naturalistik (Endraswara, 2003). Fungsi paradigma dan teori tidak dalam rangka membentuk fakta atau melakukan prediksi dan menunjukkan hubungan dua variabel sebagaimana dalam penelitian kuantitatif yang bercorak positivis. Pendekatan kualitaitif lebih banyak mengembangkan konsep dan pemahaman serta kepekaan peneliti sebagai instrumen penelitian yang memiliki wawasan dan bekal teori yang luas. Paradigma naturalistik sering diidentikkan dengan nama paradigma definisi sosial (Suprayogo, 2001) atau pospositivis (Maryaeni, 2005), yang intinya menyatakan bahwa dalam penelitian dengan paradigma ini maka peneliti akan mengamati fenomena sosial atau budaya dan berupaya menafsirkan dan memaknai fenomena yang diamati dengan interpretasi teori-teori kritis yang beraliran kiri. Pada proses penafsiran fenomena yang diamati maka peneliti wajib berpedoman pada sudut pandang subjek penelitian dengan pengembangan dengan hal-hal lainnya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan paradigma kritis. Peneliti berupaya mempelajari peristiwa kultural dalam sudut pandang pelakunya. Kejadian kultural yang dimaksud ialah proses perjuangan masyarakat Dayak dalam menuntut pengakuan yang utuh atas keberadaan hak-hak mereka di Kalimantan Tengah khusus perlakuan para investor perkebunan sawit, pertambangan, dan pemerintah. Berkenaan dengan itu, model penelitian ini dibuat untuk memahami fenomena dan menjadi fokus penelitian sesuai dengan landasan teori yang diuraikan di atas yang dapat digambarkan ke dalam bentuk model berikut (Gambar 2.1). Lihat Gambar di bawah ini.
78
Gambar 2.1 Model Penelitian Globalisasi
Keterpinggiran/Marginalisasi Hak-Hak Masyarakat Dayak di Kab Kotim, Prov Kalteng
Negara -
Badan Pertanahan Negara (BPN)
Masyarakat Adat Dayak di Kab. Kotawaringin Timur. - Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK)
Pengusaha/Investor - Perkebunan Besar Swasta (PBS)
-
Gerakan Kontra Hegemoni Ritual Maniring Hinting
Kontra Hegemoni dalam Pembertahanan Hak-Hak atas Tanah Masyarakat Dayak
Proses Pelaksanaan ManiringHinting
Teori Hegemoni/Kontra Hegemoni Teori Disiplin dan hukuman Teori Kekuasaan dan Pengetahuan Teori Praktik Sosial
Sinkronisasi Nilai-Nilai Budaya Lokal Dayak (Tradisional) dengan Nilai-Nilai Hukum Positif (Modern)
Keterangan:
= saling pengaruh = berpengaruh = harapan/ideal
Makna Perlawanan Maniring Hinting dalam Masyarakat Dayak
79
Bagan penelitian di atas memberikan gambaran tentang bagaimana model penelitian ini bahwa penelitian ini bertitik tolak meningkatnya permintaan global untuk minyak sawit tengah memacu ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara dan Afrika. Kekhawatiran timbul atas dampak lingkungan dan sosial dari konversi lahan yang sangat luas untuk perkebunan monokultur menyebabkan perlawanan masyarakat yang mendorong ekspansi kelapa sawit dengan cara yang tidak merusak nilai-nilai konservasi yang tinggi atau menyebabkan konflik sosial khususnya pertanahan. Fakta dan realitas yang mempertemukan ritual maniring hinting sebagai salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat Dayak, yakni sebagai produk kebudayaan agama Hindu Kaharinagan sekaligus juga menjadi adat masyarakat Dayak yang digunakan sejak ratusan tahun yang lalu dalam mencari keadilan dan musyawarah kesepakatan apabila terjadi sengketa. Ritual maniring hinting sebuah intitusi yang memelihara ketertiban sosial baik dalam aspek sosial, hukum, dan agama. Dalam konteks kalimantan Tengah, dampak dari globalisasi yang begitu kuat sehingga menyebar di seluruh aspek kehidupan, salah satunya terdapat dalam kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengembangan perkebunan sawit telah meminggirkan dan memarginalkan orang Dayak. Hal inilah yang menyebabkan negara, pengusaha, dan majelis besar agama hindu kaharingan (MBAHK) memberikan respons terhadap pelaksaanan ritual maniring hinting sebagai alat perlawanan masyarakat yang termarginalkan/terhegemoni oleh dominasi kelompok elite yang selanjutnya menimbulkan pro dan kontra kepentingan berupa pertaruang ideologi.
80
Bagan penelitian di atas juga menunjukkan bahwa ritual maniring hinting merupakan objek penelitian yang sekaligus menjadi arena praktik pertarungan ideologi bagi negara, pengusaha, dan masyarakat adat. Dalam benturan ideologi tersebut para pihak yang berbenturan menggunakan ideologi dan perspektif pemahaman berbeda, yaitu negara berideologikan hukum positif dengan paradigma neokapitalistik yang bersifat sentralistik, pengusaha menggunakan etos kapitalis dengan kerangka berpikir budaya kapitalisme, dan
masyarakat adat
Dayak dengan ideologi dan kearifan lokal yang berbasis keharmonisan dan keseimbangan terhadap alam yang dalam pemahaman masyarakat Dayak hutan dan kosmos merupakan bagian dari diri manusia orang Dayak sebagai manifestasi batang garing (pohon kehidupan) yang berisikan nilai menjaga hubungan keseimbangan antara Tuhan, alam, manusia. Untuk membongkar praktik pergulatan ideologi, pelaksanaan, dan makna maniring hinting tersebut digunakan teori-teori postmodern, seperti teori praktik sosial Bourdieu, teori kuasa dan pengetahuan Foucault, serta teori hegemoni Gramsci. Oleh karena objek penelitian ini adalah masyarakat Dayak, maka pembongkaran ritual maniring hinting dalam penelitian ini digunakan teori , teori disiplin dan hukuman. Akan tetapi, teori disiplin dan hukuman Foucault dalam penelitian ini berkaitan erat dan berhubungan langsung dengan teori-teori kritis yang sudah disebutkan di atas. Dapat juga dikatakan bahwa teori disiplin dan hukuman yang digunakan dalam memahami ritual maniring hinting sebagai sebuah ritual untuk menghukum dan mendisilkan kelompok elite yang dominan secara secara spritual dengan tanda/simbol lokal. Hal ini disebabkan oleh upaya
81
untuk membongkar secara kritis konteks ritual maniring hinting sebagai konta hegemoni masyarakat Dayak dalam praktik perjungan dan mempertahankan hakhak atas tanah yang masih mencari pola dan berproses di dalam keadaan dan situasi ketidakapastian undang-undang, peraturan, dan konsep yang jelas tentang perlindungan terhadap masyarakat adat di nusantara khususnya masyarakat Dayak.