12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang digunakan dalam
penelitian ini baik tentang Tanah Lot ataupun perempuan. Penelitian tersebut ditulis oleh Pujani (2010), Kusuma (2012), Widana (2015), Pratiwi (2013), Sri (2013) dan Cukier (1996). Penelitian sebelumnya memfokuskan diri pada pekerja anak pada sektor informal, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat di Tanah Lot, perubahan pengelolaan Tanah Lot dan dampaknya terhadap masyarakat, kehidupan social ekonomi perempuan penjual postcard di Tanah Lot, motivasi perempuan sebagai pengelola pondok wisata di Ubud, dan peluang kerja bagi kaum perempuan di industri pariwisata. Berikut akan dikaji satu per satu untuk melihat perbedaan dengan penelitian ini. Pujani (2010) dalam penelitiannya tentang pekerja anak di sektor informal penjual postcard di Tanah Lot berpendapat bahwa anak-anak terlibat dalam kegiatan sektor nafkah di Tanah Lot sebagai penjual postcard. Adapun yang melatarbelakangi anak-anak berjualan dapat dikategorikan atas dua kategori pokok yakni faktor internal lingkungan keluarga mereka dan faktor eksternal yang berasal dari lingkungan komunitas mereka. Dorongan anak-anak untuk bekerja di
12
13
sektor informal menjadi menguat karena mereka berada dalam lingkungan kerja yang mampu memberikan rasa aman bagi mereka. Dikatakan demikian karena, interaksi sosial antara anak komponen-komponen jaringan kerja dan aspek pariwisata lainnya di Tanah Lot di landasi hubungan kebudayaan pseudo dan geniologis. Kusuma (2012) mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat Desa Beraban dalam pengelolaan Tanah Lot dimulai sejak tahun 2000 sampai sekarang. Keterlibatan masyarakat lokal dalam pembangunan dan pengelolaan pariwisata merupakan salah satu implementasi dari community based tourism. Bentuk keterlibatan masyarakat beraban berupa partisipasi pasif dan partisipasi aktif, partisipasi pasif dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat Desa Beraban dalam setiap kegiatan yang dibuat oleh pihak manajemen operasional dalam memajukan Tanah Lot dan partisipasi aktif dilakukan oleh masyarakat yang langsung terlibat dalam pengelolaan Tanah Lot setiap harinya seperti pegawai atau karyawan dari operasional. Proses pemberdayaan masyarakat desa beraban dilihat dari empat bentuk yaitu pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan psikologis, pemberdayaan sosial, dan pemberdayaan politik. Proses pemberdayaan bertujuan untuk membantu masyarakat untuk memiliki kemampuan dalam merencanakan, mengelola, mengambil keputusan, dan mengawasi jalannya pembangunan pariwisata di Tanah Lot. Widana (2015) dalam penelitiannya tentang perubahan pengelola Tanah Lot dan dampaknya terhadap Desa Pakraman didapat bahwa terjadinya perubahan pengelolaan Tanah Lot karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi. Faktor
14
yang mempengaruhi pengelolaan dari pihak swasta menjadi tiga pihak seperti kesempatan kerja, tanggunjawab lokal, sumber daya manusia yang memadai, wilayah Desa Pakraman, landasan hukum, dan kondisi politik. Faktor yang mempengaruhi pengelolaan dari tiga pihak menjadi dua pihak yaitu kepentingan pemerintah
daerah
dan
Desa
Pakraman,
peningkatan
hasil
pembagian
pengelolaan, memiliki sumber daya manusia yang baik untuk mengelola, berakhirnya masa perjanjian, adanya landasan hukum, dan kondisi politik saat itu. Perubahan pengelolaan Tanah Lot telah memberikan dampak secara langsung dan tidak langsung yang dapat dinikmati oleh masyarakat setempat. Dampak tersebut dibagi menjadi tiga aspek, yaitu aspek fisik, sosial budaya, dan ekonomi. Adapun upaya yang dilakukan oleh pengelola yang baru yaitu menambah atraksi wisata, menyediakan lokasi fasilitas pariwisata, mendistribusikan lokasi berdagang, mengatur dan mengawasi kegiatan usaha pariwisata, menjaga kelestarian dan kebersihan kawasan Tanah Lot, dan membentuk membentuk kelompok pedagang serta menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan pemilik lahan pribadi. Dalam penelitian yang berjudul “Kehidupan Sosial Ekonomi Perempuan Penjual Postcard di Kawasan Daya Tarik Wisata Khusus Tanah Lot” Pratiwi, (2013) mendapatkan bahwa hal-hal yang memotivasi atau mendorong kaum perempuan untuk bekerja sebagai penjual postcard digolongkan menjadi tiga faktor antara lain : faktor ekonomi, faktor sosial dan faktor etos kerja. Perempuan yang bekerja sebagai penjual postcard memberikan kontribusi bagi kehidupan keluarganya, sehingga dapat disimpulkan bahwa perempuan penjual postcard memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan keluarganya.
15
Cukier, Norris dan Wall (1996) dalam studi kasus di Sanur dan Kuta yang dilakukan pada tahun 1991-1992 pada 240 pekerja dibidang pariwisata dengan empat kategori kelompok, (1) Staf kantor depan di hotel berbintang; (2) Sopir atau guide yang mengantar wisatawan dalam tour wisata; (3) Bekerja di art shop; (4) Pedagang acung dijalan dan di pantai. Kuisioner dibagikan secara kuota sampling dengan 30 per orang untuk setiap lokasi di dua daerah. Jumlah responden terbagi atas 159 laki-laki dan 81 perempuan. Hasil penelitian, pada pekerja kantor depan ditemukan jumlah pekerja pria dan wanita hampir sama (26 perempuan dan 34 laki-laki), pekerja art shop di dominasi oleh kaum perempuan (46 perempuan dan 14 laki-laki), pedagang acung didominasi oleh laki-laki (51 laki-laki dan 9 perempuan) sebagian besar pedagang berasal dari Jawa, tetapi tour guide tidak ada perempuan untuk menjadi sampel diteliti. Penelitian ini membuktikan bahwa pariwisata
memberikan
peluang
kerja
bagi
perempuan,
walaupun
ini
menguntungkan bagi laki-laki dan perempuan namun pada sektor formal (pekerja di hotel), perempuan dibayar lebih murah daripada laki-laki. Secara keseluruhan penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah pekerja perempuan didominasi pekerja pada art shop dan bagian kantor depan hotel. Kedua pekerjaan ini memiliki keserasian dengan peraturan tradisional perempuan Bali (Cukier, Norris dan Wall 1996). Dalam Artikel yang berjudul “Faktor-faktor yang Memotivasi Perempuan sebagai Pengelola Pondok Wisata di Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar” Sri (2013) mengungkapkan motivasi perempuan sebagai pengelola pondok wisata adalah untuk mengaktualisasi diri guna meningkatkan
16
ekonomi keluarga. Selain untuk meningkatkan ekonomi demi kesejahteraan keluarga, tetapi juga didasarkan atas pertimbangan faktor budaya, sistem sosial, kemajuan teknologi, pendidikan, dan faktor lingkungan. Meskipun kegiatan perempuan mampu memberikan sumbangan ekonomi yang cukup besar terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, namun dalam kenyataan belum mampu mengurangi beban kerja perempuan di sektor domestik serta memberikan hak yang setara dengan laki-laki dalam membuat keputusan, hal ini terganjal oleh adat patrilineal yang berakar pada agama Hindu (Sri, 2013). Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu sama-sama meneliti tentang kaum perempuan yang bekerja pada ranah publik khususnya sektor informal. Adapun kaitan antara penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang yaitu penelitian terdahulu memberi pemahaman bahwa perempuan dapat melakukan peran yang kompleks tanpa mempertimbangkan perbedaaan jenis kelamin, serta penggunaan fisik yang kuat. Bagi perempuan bekerja merupakan suatu keharusan, karena itu mereka tidak memilih-milih jenis pekerjaan, baik itu pekerjaan kasar atau halus, berat atau ringan semua mesti dapat dilakoni. Yang terpenting pekerjaan tersebut mampu memenuhi kebutuhan ekonominya serta tidak terikat ketat oleh waktu karena perempuan tidak bisa terlepas dari ikatan domestik dan menyama braya (sosial). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu tahun penelitian dilakukan dan subjek penelitian. Penelitian ini meneliti motivasi kaum perempuan untuk membuka usaha sektor informal di kawasan Tanah Lot. Setelah diketahui motivasi maka akan diteliti faktor yang menghambat dan mendukung
17
perempuan dalam membuka usaha sektor informal, dan kemudian akan diteliti terkait pemberdayaan perempuan dalam membuka usaha sektor informal di kawasan Tanah Lot. 2.2
Konsep Dalam penelitian ini terdapat tiga konsep yang digunakan dan dijelaskan
sebagai berikut. 2.2.1
Sektor Informal Menurut Effendi Sektor informal di Indonesia telah dirumuskan dengan
ciri-ciri pokok yang bersifat kualitatif sebagai berikut : 1. Teknologi yang digunakan masih bersifat tradisional. 2. Modal dan putaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil. 3. Pendidikan yang dipergunakan untuk menjalankan usaha tidak memerlukan pendidikan formal, karena pendidikan yang diperoleh dari pengalaman kerja (magang). 4. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan oneman enter prise dan tenaga kerja dari keluarga. 5. Hasil produksi atau jasa, terutama dikonsumsi oleh golongan tertentu yaitu masyarakat kota atau wisatawan (Effendi, 1998). Sektor informal pada umumnya ditandai oleh beberapa karakteristik khas seperti sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi barang dan jasa, berskala kecil, unit-unit produksinya dimiliki secara perorangan atau keluarga, banyak menggunakan tenaga kerja dan teknologi yang dipakai relatif sederhana. Para
18
pekerja yang menciptakan sendiri lapangan kerjanya. Sektor informal ini memiliki banyak keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dalam perekonomian perkotaan, bahkan nasional secara keseluruhan (Erani, 2000). Menurut Safaria (2003) sektor informal dipandang sebagai kekuatan yang semakin signifikan bagi perekonomian lokal dan global, seperti yang dicantumkan dalam pernyataan visi WIEGO (Woman In Informal Employment Globalizing and Organizing) yaitu mayoritas pekerja di dunia kini bekerja di sektor informal dan proporsinya terus membengkak sebagai dampak dari globalisasi: mobilitas capital, restrukturisasi produksi barang dan jasa, dan deregulasi pasar tenaga kerja mendorong semakin banyak pekerja ke sektor informal. Menurut Manning (1991) bahwa sektor informal merupakan suatu istilah yang mencakup dalam istilah usaha sendiri, merupakan jenis kesempatan kerja yang kurang terorganisir, persyaratan kerjanya jarang dijangkau oleh aturan hukum. Mereka adalah kumpulan pedagang, pekerja yang tidak terikat, memiliki pendapatan tidak tetap. Dari pemaparan di atas yang dimaksudkan sektor informal pada penelitian ini yaitu usaha-usaha yang dibuka oleh kaum perempuan seperti penjual jepit rambut, usaha penjualan postcard, dan penjual jajan tradisional Bali (klepon). Semua usaha di atas tergolong informal karena tergolong usaha berskala kecil yang memiliki
tujuan
mendistribusikan
mendapatkan keuntungan ekonomi.
barangnya
kepada
konsumen
untuk
19
2.2.2
Kinerja Perempuan Menurut Suyatno (2010:179) keberhasilan usaha industri kecil di
pengaruhi oleh berbagai faktor. Kinerja usaha perusahaan merupakan salah satu tujuan dari setiap pengusaha. Kinerja usaha industri kecil dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan dalam pencapaian maksud atau tujuan yang diharapkan. Ukuran keberhasilan usaha suatu perusahaan dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti: kinerja keuangan dan image perusahaan. Menurut Luk dalam Suyatno (2010:179) berkaitan dengan faktor penentu keberhasilan usaha industri kecil ditandai oleh inovasi dan perilaku mau mengambil resiko. Hasil penelitian Murphy dalam sumber yang sama menemukan bahwa keberhasilan usaha kecil disumbangkan oleh kerja keras, dedikasi, dan komitmen terhadap pelayanan dan kualitas.Berbagai faktor penentu keberhasilan usaha industri kecil hasil identifikasi penelitian Luk tersebut pada dasarnya adalah cerminan dari kemampuan usaha (pengetahuan, sikap dan keterampilan), pengalaman yang relevan, motivasi kerja dan tingkat pendidikan seseorang pengusaha. Keberhasilan usaha dapat dipengaruhi oleh kemampuan usaha yang tercermin diantarannya melalui pengetahuan, sikap, dan keterampilan dari pengusaha. Keberhasilan suatu usaha diidentikkan dengan laba atau penambahan material yang dihasilkan oleh pengusaha, tetapi pada dasarnya keberhasilan usaha tidak hanya dilihat dari hasil secara fisik tetapi keberhasilan usaha dirasakan oleh pengusaha dapat berupa panggilan pribadi atau kepuasaan batin.
20
Beberapa indikator dalam menentukan keberhasilan usaha menurut Noor (2007:397) adalah sebagai berikut : 1. Laba/Profitability Laba merupakan tujuan utama dari bisnis. Laba usaha adalah selisih antara pendapatan dengan biaya. 2. Produktivitas Besar kecilnya produktivitas suatu usaha akan menentukan besar kecilnya produksi. Hal ini akan mempengaruhi besar kecilnya penjualan dan pada akhirnya menentukan besar kecilnya pendapatan, sehingga mempengaruhi besar kecilnya laba yang diperoleh. 3. Daya Saing Daya saing adalah kemampuan atau ketangguhan dalam bersaing untuk merebut perhatian dan loyalitas konsumen. Suatu bisnis dapat dikatakan berhasil, bila dapat mengalahkan pesaing atau paling tidak masih bisa bertahan menghadapi pesaing. Jadi dalam penelitian ini yang dimaksud dengan sukses dalam membuka usaha yaitu: 1. Memiliki laba nyata atau keuntungan selama berjualan di Tanah Lot. 2. Produktivitas dalam penelitian ini yaitu produktivitas perempuan yang bekerja dari sektor informal, lebih lanjut dilihat dari jam kerja dan jumlah hari kerja.
21
3. Daya saing yaitu kemampuan para perempuan dalam bersaing secara sehat untuk keberlanjutan usahanya, baik sebagai penjual postcard, klepon, dan jepit. 2.2.3
Pemberdayaan Perempuan Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi
yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat people centred, participatory, empowering, and sustainable (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut sebagai alternative development, yang menghendaki ‘inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equaty”. Menurut Sumodiningrat (2002) dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu; 1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (Enabling ). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan
22
mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. 2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkahlangkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranatapranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Hal terpenting adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan demokrasi. 3. Memberdayakan
mengandung
arti
melindungi.
Dalam
proses
pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah sangat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal akan mengerdilkan
23
yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Adapun yang dimaksud dengan pemberdayaan dalam penelitian ini yaitu upaya yang dilakukan guna mampu meningkatkan kualitas hidup perempuan dan kesejahteraan perempuan selama membuka usaha sektor informal di Tanah Lot. 2.3
Landasan Teori
2.3.1
Teori Motivasi Menurut Herzberg ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk
berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor tersebut yaitu faktor higiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene memotivasi seseorang untuk ke luar dari ketidakpuasan, termasuk di dalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan (faktor ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk di dalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan (faktor intrinsik). Semakin kuat motivasi intrinsik yang dimiliki oleh seseorang, semakin besar kemungkinan
24
ia memperlihatkan tingkah laku yang kuat untuk mencapai tujuan. Motivasi ekstrinsik adalah segala sesuatu yang diperoleh melalui pengamatan sendiri, ataupun melalui saran, anjuran atau dorongan dari orang lain (Luthans, 2006:283). Dari pengertian di atas maka dalam penelitian ini motivasi perempuan membuka usaha sektor informal dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Adapun variabel motivasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Golongan Umur Umur pekerja sangat besar mempengaruhi motivasi seseorang untuk bekerja, semakin tua umurnya maka produktivitasnya akan semakin menurun. Hal ini disebabkan karena kondisi fisiknya yang semakin menurun sehingga mereka cenderung untuk menetap bekerja di satu tempat sebaliknya pekerja diusia yang muda akan memiliki hasrat untuk berpindah-pindah kerja (Siagian, 2002). 2. Tingkat Pendidikan Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki kaum perempuan maka semakin tinggi juga peluang kerja yang dimilikinya (Siagian, 2002). 3. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga merupakan keseluruhan hasil yang didapat oleh anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhannya, yang dihitung dalam satuan rupiah. Semakin rendah pendapatan keluarga, maka semakin besar motivasi perempuan untuk bekerja (Siagian, 2002). 4. Status Perkawinan
25
Perempuan yang menyandang status kawin, akan meningkatkan aktivitas pergaulan dalam masyarakat. Bertambahnya aktivitas di masyarakat tentu akan bertambah pula kebutuhan sebagai akibat dari interaksi sosial yang ada di dalam masyarakat sehingga akan mampu memotivasi perempuan dalam bekerja (Siagian, 2002). 5. Lokasi Rumah Lokasi bekerja yang dekat dengan rumah memberikan banyak keuntungan, seperti ongkos transportasi murah, bahkan dapat ditempuh dengan berjalan kaki, tidak menyewa tempat tinggal (Siagian, 2002). 6. Kondisi Kerja Kondisi kerja yang baik bisa menjadi motivator untuk bekerja. Adapun kondisi kerja yang dimaksudkan yaitu lingkungan kerja, fasilitas kerja yang baik, keamanan dan keselamatan di
tempat kerja juga
mempengaruhi motivasi kerja (Siagian, 2002). 7. Pendapatan Tinggi Upah merupakan salah satu jenis pembayaran balas jasa yang diterima oleh tenaga kerja. Bekerja dengan mendapatkan penghasilan yang tinggi akan dapat memotivasi perempuan untuk bekerja atau membuka usaha (Siagian, 2002). 8. Kedudukan Memiliki usaha atau bekerja di publik, maka perempuan akan memiliki penghargaan atau prestise dari keluarganya karena tidak hanya bekerja dirumah sebagai ibu rumah tangga (Siagian, 2002).
26
Adapun motivasi instrinsik yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu umur, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, dan status perkawinan. Motivasi ekstrinsik dalam penelitian ini yaitu lokasi tempat usaha, kondisi tempat kerja/usaha, pendapatan/upah, kedudukan. Maslow (1943 - 1970) mengemukakan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki lima kebutuhan. Lima tingkat kebutuhan itu dikenal dengan sebutan Hirarki Kebutuhan Maslow, dimulai dari kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks. Adapun hirarki tersebut seperti gambar berikut :
Aktualisasi diri Keb. Penghargaan Kebutuhan Sosial Kebutuhan Rasa Aman Kebutuhan fisiologis Gambar 2.1 Teori Kebutuhan Menurut Abraham Maslow (Sumber : Maslow, 1943)
1) Kebutuhan fisiologis (sandang, pangan, dan papan) 2)
Kebutuhan rasa aman (merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya)
3) Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan orang lain, diterima, dan memiliki) 4) Kebutuhan akan penghargaan (berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan serta pengakuan) 5) Kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan kognitif: mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan estetik: keserasian, keteraturan, dan keindahan;
27
kebutuhan aktualisasi diri: mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya) Teori motivasi ini akan digunakan untuk menganalisis rumusan masalah yang pertama yaitu motivasi kaum perempuan untuk membuka usaha pariwisata sektor informal di kawasan Tanah Lot. 2.3.2
Teori Postfeminisme Secara
historis,
akar
gerakan
feminisme
sebagai
gerakan
yang
memperjuangkan kepentingan kaum perempuan muncul pertama kali pada abad ke-19 pada era victorian. Gelombang pertama gerakan feminisme muncul pada abad 19 ketika kaum perempuan menuntut persamaan hak dengan laki – laki dan menyoal berbagai penindasan yang menimpa kaum perempuan, dan terwujud dengan pengakuan atas hak perempuan sebagai warga negara (hak sipil, ekonomi dan sosial), serta berbagai hak formal yang diakui oleh hukum (Van Vutch Tijsen, 2000). Hak tersebut antara lain hak untuk ikut dalam pemilu, hak kepemilikan dan hak hukum lainnya. Prinsip – prinsip postfeminisme ini terlihat sejalan dengan ideologi posttrukturalis ide pembebasan menjadi isu utama gerakan mereka. Pembebasan tersebut dilakukan untuk melawan beroperasinya struktur kekuasaan, hegemoni patriarki serta untuk memerdekakan diri
(liberating) subjek. Gerakan
posfeminisme berusaha untuk mendestabilisasi dan mendekonstruksi ideologi patriarki dan kehidupan masyarakat dunia yang phallosentris, menggantikannya dengan tatanan baru yang lebih cair. Perempuan dapat mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya tanpa sekat struktural yang membelenggu.
28
Menurut Brook (2009) postfeminisme adalah jalan baru bagi upaya sebagian perempuan untuk melakukan kritik dan otokritik dari dalam dan dari luar gerakan feminis yang memberikan suara lain bagi gerakan perempuan untuk memperbaiki kehidupannya, baik dalam lingkungan kerja maupun keluarga, baik dunia pemikiran maupun dunia aktivisme, baik dalam lingkungan real ataupun simbolik, dan baik dunia sosial maupun dunia media. Teori postfeminisme akan digunakan untuk menganalisis rumusan masalah yang kedua terkait faktor yang menghambat dan mendukung perempuan dalam membuka usaha sektor informal di kawasan daya tarik wisata Tanah Lot. 2.3.3
Teori Partisipasi Dalam penelitian ini digunakan teori partisipasi Arnstein (1969). Arnstein
merupakan orang yang pertama kali mendefinisikan strategi partisipasi yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan badan pemerintah (agency). Partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen partisipation is citizen power), Arnstein menggunakan metafora tangga partisipasi, setiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada distribusi kekuasaan. Tangga terbawah merepresentasikan kondisi tanpa partisipasi (non participation), meliputi: (1) manipulasi (manipulation) dan (2) terapi (therapy). (3) menginformasikan (informing), (4) konsultasi (consultation), dan (5) penentraman (placation), ketiga tangga menggambarkan tingkatan tokenisme (degree of tokenism). Tokenisme dapat diartikan sebagai kebijakan sekadarnya, berupa upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam
29
pencapaian suatu tujuan.
Tangga ke (6) kemitraan (partnership), (7)
pendelegasian wewenang (delegated power), dan (8) pengendalian masyarakat (citizen control). Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat. Berikut gambar 2.2 menunjukan tangga partisipasi menurut Arnstein: Citizen Control Delegated Power
Citizen Power
Partnership Placation Consultation
Tokenisme
Informing Therapy Nonparticipation Manipulation Gambar 2.2 Tangga partisipasi menurut Arnstein (Sumber : Arnstein, 1969)
1. Manipulasi (manipulation) Pada tangga partisipasi ini relatif tidak ada komunikasi dan dialog, tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik partisipan. 2. Terapi (therapy) Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah. Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat tokenisme, peran serta masyarakat diberikan
30
kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat. 3. Informasi (information) Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tetapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tangapan balik (feed back). 4. Konsultasi (consultation) Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi. 5. Penentraman (placation) Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut. Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari
31
partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. 6. Kemitraan (partnership) Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan melakukan kesepakatan. 7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power) Ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program. 8. Pengendalian warga (citizen control) Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah. Jadi dalam penelitian ini teori partisipasi akan digunakan untuk menganalisis rumusan masalah yang ketiga yaitu pemberdayaan perempuan dalam membuka usaha sektor informal di kawasan daya tarik wisata Tanah Lot.
32
2.4
Model Penelitian Perkembangan globalisasi memberikan pengaruh terhadap tuntutan hidup
masyarakat di Bali, begitu juga dengan perempuan yang berada di kawasan Tanah Lot. Namun satu sisi, perempuan dengan bekerja akan memiliki peran ganda. Kedua sisi ini saling mempengaruhi kehidupan masyarakat lokal khususnya perempuan yang terlibat dalam membuka usaha pariwisata sektor informal di Kawasan Tanah Lot. Partisipasi perempuan dalam membuka usaha sektor informal di Tanah Lot akan dikaji lebih dalam dengan kajian pariwisata terkait motivasi perempuan untuk membuka usaha pariwisata sektor informal di kawasan daya tarik wisata Tanah Lot, faktor penghambat dan pendukung perempuan dalam membuka usaha sektor informal di kawasan daya tarik wisata Tanah Lot, dan upaya pemberdayaan perempuan dalam membuka usaha sektor informal di kawasan daya tarik wisata Tanah Lot. Model penelitian digambarkan sebagai berikut.
33
Pariwisata di Tanah Lot Tuntutan Hidup
Perempuan di Tanah Lot
Peran Ganda
Usaha sektor informal di Tanah Lot Motivasi perempuan membuka usaha sektor informal di Tanah Lot Teori Motivasi - Sektor Informal
- Kinerja Perempuan
- Pemberdayaan Perempuan
Faktor penghambat dan pendukung perempuan dalam membuka usaha sektor informal di Tanah Lot
Pemberdayaan perempuan dalam membuka usaha sektor informal di Tanah Lot
Hasil
Rekomendasi
Keterangan tanda : Hubungan Klausal Hubungan Korelasi
Teori Postfeminisme
Teori Partisipasi