BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan salah satu rangkaian penelitian yang berguna untuk mengetahui sejauh mana penelitian mengenai pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu telah dilakukan oleh peneliti atau penulis-penulis sebelumnya. Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan diketahui bahwa tulisan dalam bentuk buku, karya ilmiah, dan hasil penelitian yang terkait dengan pemberdayaan keterampilan bagi anak tunarungu sebagai sasaran penelitian secara khusus belum ada. Kajian yang mendekati penelitian ini adalah kajian I Gusti Made Bagiadi (2006) dalam tulisannya “Pemberdayaan Kelompok Usaha Bersama Penyandang Cacat di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung (Perspektif Kajian Budaya)”. Penelitian
tersebut
membahas
pemberdayaan
penyandang
cacat
yang
diorganisasikan melalui KUBE berdasarkan keterampilan yang dimiliki dan peranan
pemerintah
dalam
mendukung
pemberdayaan
untuk
mencapai
kesejahteraan. Dalam penelitian I Gusti Made Bagiadi (2006:176) disimpulkan bahwa meskipun ada sedikit kendala, baik sifatnya internal maupun eksternal, secara umum pemberdayaan KUBE penyandang cacat ditemukan dua di antaranya tergolong maju, satu berkembang dan sisanya tumbuh. Faktor yang menyebabkan belum semua KUBE penyandang cacat maju adalah di satu sisi belum ada
11
12
kesungguhan KUBE penyandang cacat itu sendiri terutama keaktifan pengurusnya dalam menjalankan organisasi. Sebaliknya di sisi lain adanya kelemahan dalam pengembangan bakat kewirausahaan mereka sendiri. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada hal yang diberdayakan. Dalam penelitian Bagiadi yang diberdayakan adalah KUBE yang terbentuk berdasarkan keterampilan yang dimiliki anggotanya. Tujuan pembentukannya adalah untuk berproduksi dalam mencapai kesejahteraan. Sebaliknya penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti adalah anak tunarungu yang di didik melalui pendidikan keterampilan vokasional di sekolah sehingga mempunyai bekal untuk hidup mandiri di masyarakat, sedangkan persamaannya adalah sama-sama membahas pemberdayaan penyandang cacat. Selanjutnya Encep Kasroni (2003:6) dalam tulisannya dengan judul “Mencari Format Menuju Keberdayaan Ekonomi Penyandang Cacat”. Penelitian ini membahas keberdayaan ekonomi penyandang cacat dari berbagai jenis kecacatan melalui koperasi, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis adalah pemberdayaan keterampilan vokasional melalui sekolah. Persamaan dengan penelitian tersebut adalah sama-sama membahas pemberdayaan penyandang cacat. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa “koperasi” merupakan salah satu alternatif yang dapat dipakai untuk memberdayakan ekonomi penyandang cacat. Sebagai uji coba atau dapat dijalankan pembentukan kelompok swadaya penyandang cacat (KSP) beranggotakan 5--10 orang penyandang cacat dari berbagai jenis kecacatan dan dibentuk berdasarkan kesamaan usaha atau
13
berdasarkan kedekatan domisili yang memungkinkan terbentuknya KSP dalam keragaman usaha. Selanjutnya, penelitian yang ditulis oleh I Wayan Nurija (2008) dengan judul “Pemberdayaan Pengangguran Melalui Pelatihan Kewirausahaan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional dan Tenaga Kerja Mandiri Terdidik di Kota Denpasar”. Penelitian ini membahas pemberdayaan pemuda pengangguran yang ada di kota Denpasar melalui pelatihan kewirausahaan dan pemagangan. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa berdasarkan status kepemilikan usaha 80,33% tkpmp/tkmt mengelola usaha milik sendiri dengan modal milik keluarga. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis, yaitu penelitian tersebut memberdayakan
pengangguran
melalui
pelatihan
kewirausahaan
dan
pemagangan. Sebaliknya, penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah anak tunarungu yang di didik keterampilan vokasional melalui proses pembelajaran. Persamaannya, yaitu sama-sama meneliti tentang pemberdayaan. Leli Rahayu (2008) dalam penelitiannya dengan judul “Pemberdayaan Kelompok Usaha Bersama Keluarga Miskin di Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar: Sebuah Kajian Budaya”. Penelitiannya membahas kelompok usaha bersama keluarga miskin dengan pemberian bantuan berupa sapi beserta pengembangannya
(pembuatan
pupuk
kandang).
Penelitian
tersebut
menyimpulkan walaupun pemberdayaan sudah dilaksanakan secara maksimal, belum semua keluarga miskin berhasil, hanya separo yang bisa berhasil meningkatkan kesejahteraan keluarganya, sedangkan sebagian lagi belum berhasil. Di pihak lain penelitian yang dilaksanakan penulis membahas
14
pemberdayaan anak tunarungu melalui sekolah dengan pendidikan dan pelatihan keterampilan
vokasional.
Persamaannya
adalah
sama-sama
membahas
pemberdayaan. Hasil penelitian dalam bentuk karya ilmiah yang telah diuraikan, sangat diperlukan sebagai bahan pembanding bahwa penelitian yang dilakukan belum pernah dibahasnya secara khusus. Selanjutnya buku yang ditulis oleh Sunyoto Usman (2010) dengan judul Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat membahas transformasi sosial dan pemberdayaan masyarakat, problema masyarakat modern, Islam dan perubahan sosial, modernisasi dan masalah lingkungan hidup. Buku tersebut sebagai referensi tentang pemberdayaan yang penulis lakukan. Berbagai karya yang telah diuraikan di atas, baik berupa karya ilmiah maupun dalam bentuk buku, belum menunukkan adanya kajian yang mendalam terkait dengan pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu. Oleh karena lebih banyak perbedaan, maka menunjukkan keaslian penelitian ini dan diharapkan kajian-kajian yang telah dibukukan di atas dapat mendukung penelitian yang penulis laksanakan.
2.2 Konsep Konsep dalam penelitian ini adalah (1) pemberdayaan keterampilan vokasional, (2) anak tunarungu, dan (3) Sekolah Luar Biasa Bagian B. Setiap konsep tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
15
2.2.1 Pemberdayaan keterampilan vokasional Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005:242) kata pemberdayaaan memiliki arti cara atau proses, perbuatan memberdayakan. Sebagai sebuah proses, maka pemberdayaan adalah upaya terus-menerus dengan berbagai terobosan sampai tercipta masyarakat yang berdaya, yakni memiliki kemampuan dan kekuatan dalam menghadapi berbagai hal. Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Oleh karena itu, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan (Suharto, 2005:57). Menurut Ife dan Tesoriero (2008:510/ dalam wordpress com), pemberdayaan berarti menyediakan sumber daya, kesempatan, kosakata, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat demi masa depan mereka sendiri. Selain itu, untuk berpartisipasi dan memengaruhi kehidupan masyarakatnya. Dari definisi ini terlihat jelas bahwa pemberdayaan lebih diarahkan kepada peningkatan kemampuan masyarakat untuk mandiri, dapat mengendalikan masa depannya, bahkan dapat memengaruhi orang lain. Bookman dan Morgen (1988:4) mengemukakan bahwa pemberdayaan sebagai konsep yang sedang populer mengacu pada usaha menumbuhkan keinginan pada seseorang untuk mengaktualisasikan diri, melakukan mobilitas ke atas, serta memberikan psikologis yang membuat seseorang merasa berdaya. Suharto (2005:58) mengatakan pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki
16
kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka
memiliki
kebebasan
(freedom),
dalam
arti
tidak
saja
bebas
mengemukakan pendapat, tetapi juga bebas dari kelaparan, kebodohan, dan kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memeroleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan, dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang memengaruhi mereka. Pengertian-pengertian mengenai pemberdayaan tersebut menunjukkan bahwa pada prinsipnya pemberdayaan bukan merupakan suatu program atau kegiatan yang berdiri sendiri. Pemberdayaan merujuk pada serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki lebih dari satu aspek pada diri dan kehidupan seseorang atau sekelompok orang agar mampu melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk membuat kehidupannya lebih baik dan sejahtera. Untuk mencapai kesejahteraan, diperlukan
motivasi yang tinggi pada diri setiap
individu. Secara
sederhana,
tujuan
pemberdayaan
adalah
membuat
sesuatu/seseorang memiliki daya. Adi (2008 : 78 – 79) mengatakan bahwa “tujuan dan target pemberdayaan bisa saja berbeda, misalnya di bidang ekonomi, pendidikan, atau kesehatan”. Suharto (2005:60) berpendapat bahwa tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi eksternal (misalnya ditindas oleh
17
struktur sosial yang tidak adil. Untuk itu Suharto mengategorikan kelompok lemah. Ada beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya, meliputi. 1. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender maupun etnis. 2. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing. 3. Kelompok lemah secara personal, yakni yang mengalami masalah pribadi dan keluarga. Apabila merujuk pada pemikiran Suharto (2005:60) di atas mengenai kelompok lemah dan ketidakberdayaan, maka salah satu dari kelompok rentan dan lemah itu adalah anak tunarungu. Pendidikan
keterampilan,
atau
yang
disebut
pendidikan
vokasi
(vokasional), saat ini menjadi alternatif pembelajaran yang diyakini mampu menjadi solusi dalam mengurangi jumlah pengangguran. Hal itu disebabkan oleh konsep pendidikan lebih menitikberatkan pada keterampilan (skill), dirancang dengan kurikulum yang mengasah keterampilan, disiplin, dan konsep pesertanya tentang
pekerjaan
dan
kewirausahaan.
Program
pendidikan
vokasional,
diharapkan dapat menjembatani lulusan SLB dengan dunia kerja dan kebutuhan pasar serta kualifikasi lulusan pendidikan vokasi dapat diperhitungkan di pasaran. Kurikulum dalam pendidikan vokasional, terkonsentrasi pada sistem pembelajaran keahlian (apprenticeship of learning) pada kejuruan-kejuruan
18
khusus (specific trades). Kelebihan pendidikan vokasional ini, antara lain peserta didik secara langsung dapat mengembangkan keahliannya disesuaikan dengan kebutuhan lapangan atau bidang tugas yang akan dihadapinya. Pendidikan kecakapan hidup merupakan jembatan penghubung antara penyiapan peserta didik di lembaga pendidikan dan masyarakat juga dunia kerja. Pembekalan kecakapan hidup secara khusus menjadi muatan kurikulum dalam bentuk pelajaran keterampilan fungsional dan kepribadian profesional. Di samping itu, juga pembekalan kecakapan hidup melalui mata pelajaran iptek dengan pendekatan tematik, induktif, dan berorientasi kebutuhan masyarakat di wilayahnya. Kecakapan hidup adalah berbagai jenis keterampilan yang memampukan anak tunarungu menjadi anggota masyarakat yang aktif, produktif, dan tangguh. Kecakapan Hidup (life skills) atau keterampilan vokasional merupakan salah satu standar isi yang menjadi pokok dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan sehingga setiap sekolah diharapkan dan dimungkinkan untuk menerapkan standar isi ini. Menurut Mulyani Sumantri (2004 http://klipingut.wordpress.com/ 2009/12/03/keterampilan-vokasional-bagi-siswa-sma-dan-ma/),
tujuan
khusus
pembelajaran life skills adalah seperti di bawah ini. 1. Menyajikan kecakapan berkomunikasi dengan menggunakan berbagai teknik yang memadai bagi siswa. 2. Mengembangkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan masyarakat masa kini dan memenuhi kebutuhan pada masa datang.
19
3. Mengembangkan kemampuan membantu diri dan kecakapan hidup agar setiap siswa dapat mandiri. 4. Memperluas pengetahuan dan kesadaran siswa mengenai sumber-sumber dalam masyarakat. 5. Mengembangkan kecakapan akademik yang mendukung kemandirian setiap siswa. 6. Mengembangkan kecakapan pravokasional dan vokasional dengan memfasilitasi latihan kerja dan pengalaman bekerja di masyarakat. 7. Mengembangkan kecakapan untuk memanfaatkan waktu senggang dan melakukan rekreasi. 8. Mengembangkan kecakapan memecahkan masalah untuk membantu siswa melakukan pengambilan keputusan masa kini dan pada masa depan. Keterampilan vokasional merupakan pembelajaran yang menitikberatkan pada penggabungan antara teori dan praktik dengan tujuan mempersiapkan peserta didik agar terampil di bidang tertentu (sesuai dengan bakat, minat, dan potensi yang dimilik setiap anak) agar dapat berkompetensi dalam dunia kerja, dunia usaha, dan dunia industri. Keterampilan vokasional memberikan kesempatan peserta didik untuk terlibat dalam pengalaman apresiasi dan kreasi untuk menghasilkan suatu karya yang bermanfaat bagi peserta didik. Aktivitas pembelajaran memberikan bekal kepada peserta didik agar adaptif, kreatif dan inovatif melalui pengalaman belajar yang menekankan pada aktivitas fisik dan aktivitas mental. Orientasi pembelajaran keterampilan vokasional adalah memfasilitasi pengalaman emosi, intelektual, fisik, persepsi, sosial, estetika,
20
artistik dan kreativitas peserta didik dengan melakukan aktivitas apresiasi dan kreasi terhadap berbagai produk. Muara akhir sekaligus tujuan dari keberhasilan penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah terserapnya peserta didik ke pasar tenaga kerja selepas menyelesaikan studinya. Pendidikan keterampilan atau yang disebut pula sebagai pendidikan vokasional, saat ini diyakini mampu menjadi solusi dalam mengurangi angka pengangguran. Hal itu disebabkan oleh konsep pendidikannya lebih mengandalkan skill atau keterampilan dan bertujuan melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, terampil, memiliki disiplin tinggi, dan berjiwa kewirausahawan.
Menurut
Puskur
Depdiknas
(2007
http://klipingut.wordpress.com/2009/12/03/keterampilan-vokasional-bagi-siswasma-dan-ma/), keterampilan vokasional merupakan keterampilan membuat sebuah produk yang berkaitan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat. Bekal keterampilan vokasional seorang siswa diharapkan dapat digunakan untuk memeroleh pekerjaan sesuai dengan bidang yang diminatinya. Misalnya, kemampuan mencetak batako dapat digunakan sebagai modal kemampuan untuk mendirikan usaha sendiri atau kemampuan menjahit dapat dijadikan modal kemampuan untuk bekerja pada industri garmen. Keterampilan vokasional terdiri atas dua bagian, yaitu keterampilan vokasional dasar (basic vocational skill) dan keterampilan vokasional khusus (occupational skill). Keterampilan vokasional dasar mencakup, antara lain melakukan gerak dasar, menggunakan alat sederhana, menghasilkan teknologi sederhana berdasarkan aspek taat asas, presisi, akurasi,
21
dan tepat waktu yang mengarah pada perilaku produktif. Keterampilan vokasional khusus berkaitan dengan bidang pekerjaan tertentu. Berdasarkan defenisi di atas, peserta didik diarahkan pada penguasaan keterampilan vokasional khusus sebagai bekal untuk mendapat pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya atau membuka usaha sendiri.
2.2.2 Anak tunarungu Menurut Daniel F.Hallahan dan J.H.Kauffman dalam Pemanarian Somad (1996:26), tunarungu adalah suatu istilah umum yang digunakan bagi mereka yang mengalami kesulitan mendengar, yang meliputi keseluruhan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat, digolongkan ke dalam bagian tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah orang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran baik memakai maupun tidak memakai alat bantu mendengar. Sebaliknya, orang kurang dengar adalah seseorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu mendengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran. Selanjutnya menurut Sardjono (1995:8), tunarungu adalah anak yang kehilangan pendengaran sejak lahir atau yang kehilangan pendengaran sebelum belajar bicara atau kehilangan pendengaran pada saaat anak mulai belajar bicara karena suatu gangguan pendengaran, suara, dan bahasa seolah-olah hilang. Menurut Andreas Dwidjosumarto dalam seminar ketunarunguan di Bandung (1988) dalam Pemanarian Somad (1996:27) mengemukakan bahwa “tunarungu
22
dapat diartikan suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang terutama melalui indra pendengaran”. Dari beberapa batasan tentang pengertian tunarungu yang telah dikemukakan oleh para ahli
di atas diketahui bahwa anak tunarungu adalah
seseorang yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar, baik sebagian maupun keseluruhan dari fungsi pendengarannya sehingga pendenggarannya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya walaupun telah menggunakan alat bantu dengar. Dengan demikian, individu tersebut memerlukan pelayanan dan pendidikan secara khusus agar dapat mencapai perkembangan seoptimal mungkin. Orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, yaitu mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, bahkan tidak berbicara sama sekali, dapat dikatakan mereka berisyarat. 2.2.3 Sekolah Luar Biasa Bagian B Sekolah Luar Biasa Bagian B adalah lembaga pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena mengalami gangguan pendengaran dan komunikasi. Selain itu, pendidikan luar biasa juga berarti pembelajaran yang dirancang khususnya untuk memenuhi kebutuhan yang unik dari anak berkebutuhan khusus. Secara singkat pendidikan luar biasa adalah program pembelajaran yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan unik dari individu/siswa dalam menyongsong kehidupan pada masa depan.
23
Pendidikan Luar Biasa merupakan salah satu komponen dalam salah satu sistem pemberian layanan yang kompleks dalam membantu individu untuk mencapai potensinya secara maksimal. Dalam satu unit SLB biasanya terdapat berbagai jenjang pendidikan mulai dari TKLB, SDLB, SMPLB, hingga SMALB. Salah satu hak hidup yang dimiliki oleh setiap manusia tidak terkecuali oleh anak yang mempunyai kebutuhan khusus adalah hak untuk mendapatkan pengajaran. Hak untuk mendapatkan pengajaran dapat diperoleh di sekolah. Selain itu, sekolah juga merupakan tempat proses pembudayaan dan pembentukan karakter serta sarana bersosialisasi untuk mempersiapkan diri terjun ke dalam masyarakat. Para ahli sejarah pendidikan menggambarkan mulainya pendidikan luar biasa pada akhir abad kedelapan belas atau awal abad kesembilan belas. Di Indonesia, sejarah perkembangan pendidikan luar biasa dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia, (1596--1942) mereka memperkenalkan sistem persekolahan dengan orientasi barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat dibuka lembaga–lembaga khusus. Lembaga pertama untuk pendidikan anak tunanetra dan tunagrahita tahun 1927 dan untuk tunarunggu tahun 1930. Keduanya berlokasi di kota Bandung. Tujuh
tahun
setelah
proklamasi
kemerdekaan,
pemerintah
RI
mengundangkan yang pertama mengenai pendidikan khususnya mengenai anakanak yang mempunyai kelainan fisik atau mental. Undang-undang itu menyebutkan bahwa pendidikan dan pengajaran luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6 ayat 2) dan untuk itu anak-anak tersebut pasal 8 yang berisi semua anak-anak yang sudah berumur enam tahun
24
berhak dan sudah berumur delapan tahun diwajibkan belajar di sekolah sedikitnya enam tahun. Berlakunya undang-undang tersebut, menyebabkan sekolah-sekolah baru muncul yang khusus bagi anak-anak penyandang cacat, termasuk untuk anak tunadaksa dan tunalaras. Sekolah ini disebut sekolah luar biasa (SLB). Berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk tiap-tiap kategori kecacatan SLB itu dikelompokkan menjadi sebagai berikut. 1. SLB bagian A untuk anak tunanetra ( buta/low vision ) 2. SLB bagian B untuk anak tunarungu (tuli/kurang dengar) 3. SLB bagian C untuk anak tunagrahita (IQ di bawah rata-rata) 4. SLB bagian D untuk anak tunadaksa (cacat fisik) 5. SLB bagian E untuk anak tunalaras (anak nakal) 6. SLB bagian F untuk anak cacat ganda (lebih dari satu kecacatan) Pasal-pasal yang melandasi pendidikan luar biasa, bahwa seluruh warga Negara tanpa terkecuali apakah dia mempunyai kelainan atau tidak, mempunyai hak yang sama untuk memeroleh pendidikan. Hal ini dijamin oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “tiap–tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam undang-undang tersebut dikemukakan hal-hal yang erat hubungan dengan pendidikan bagi anakanak dengan kebutuhan pendidikan khusus sebagai berikut.
25
1. Bab 1 pasal 1 (18) wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. . 2. Bab II pasal 4 (1) pendidikan diselenggarakan secara demokratis berdasarkan HAM, agama, kultural dan kemajemukan bangsa. 3. Bab IV pasal 5 (1) setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memeroleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual maupun sosial berhak memeroleh pendidikan khusus. 4. Bab V pasal 12 (1) huruf b mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. 5. Bab VI bagian kesebelas tentang pendidikan khusus, pasal 32 (1) pendidikan khusus bagi peserta yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, social, atau memiliki potensi kecerdasan. 2.2.4 Definisi operasional Upaya pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu adalah upaya yang dilakukan oleh Sekolah Luar Biasa Bagian B Negeri Tabanan dalam membangun daya, potensi peserta didik dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya mengembangkannya.
Pemberdayaan
anak
tunarungu
dimaksudkan
untuk
meningkatkan sumber daya manusia, memperkuat potensi peserta didik melalui pendidikan keterampilan dan pelayanan sosial dengan menerapkan prinsip
26
kegotongroyongan, kebersamaan, keswadayaan, dan partisipasi. Selain itu, memberikan dan meningkatkan motivasi untuk maju dari ketidakberdayaan sehingga ia mampu hidup mandiri dan dapat bekerja, terlebih dapat menciptakan lapangan pekerjaan di masyarakat. Setiap peserta didik memiliki potensi yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya dengan mengenali, memberikan pelatihan keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya, memotivasi dan mendorong untuk berprestasi. Dengan demikian, dapat dikatakan memperkuat potensi yang dimiliki peserta didik. Indikator upaya pemberdayaan anak tunarungu pada Sekolah Luar Biasa bagian B Negeri Tabanan ini dalam pelaksanaannya melalui beberapa tahapan yaitu (1) pelatihan keterampilan, (2) pendidikan dan evaluasi, dan (3) promosi.
2.3 Landasan Teori Dalam penelitian ini diaplikasikan teori-teori secara eklektik dan diuraikan sebagai berikut. 2.3.1 Teori Pemberdayaan Ketimpangan struktur kekuasaan yang berlangsung selama ini, ketika masyarakat haus akan kebutuhan untuk mendapat kekuasaan dalam mengatur diri mereka sendiri merupakan sesuatu yang harus diatasi dan pemberdayaan muncul sebagai solusi atas fakta ketimpangan struktur tersebut. Dalam konteks tersebut Ife (1995:182) menjelaskan bahwa pemberdayaan tentang pengetahuan dan keterampilan kepada orang-orang untuk menentukan diri mereka sendiri pada masa mendatang dan untuk berprestasi dalam menghadapi kehidupan masyarakat
27
itu sendiri. Pemberdayaan yang dimaksud adalah memberikan pengetahuan dan pelatihan keterampilan untuk anak tunarungu sehingga dapat hidup mandiri di masyarakat. Selanjutnya Erwidodo (1999:15) mengatakan bahwa keberpihakan yang bersifat pemberdayaan yang diberikan kepada pelaku ekonomi lemah, khususnya di pedesaan bisa efektif kalau kondisi mekanisme pasar bekerja dengan baik dan memadainya kemampuan bisnis (kewirausahaan) dari pelaku ekonomi lemah tersebut. Pemberdayaan anak tunarungu dimaksudkan agar anak tunarungu memeroleh keterampilan, mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga bisa mandiri serta meningkatkan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya kesejahteraan sosial. Usaha pemberdayaan ini harus dilakukan secara berkesinambungan dan
terus-menerus. Shaardlow dalam
Adi
(2003:54)
menjelaskan bahwa pemberdayaan pada intinya bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Pada prinsipnya individu dapat menentukan pilihannya dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Ini menunjukkan bahwa setiap manusia dalam hal ini anak tunarungu memiliki potensi yang dapat dikembangkan, dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi yaitu Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya,
28
tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya karena jika demikian, akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Langkah-langkah lebih positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana sangat diperlukan meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan tidak hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Upaya menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaruan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, dan pengamalan demokrasi. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutup interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Upaya melindungi dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat tidak
29
membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Hal itu terjadi karena pada dasarnya setiap apa yang dihasilkan harus dari usaha sendiri. Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Teori pemberdayaan digunakan penulis dalam penelitian ini untuk mengulas bentuk pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu lewat lembaga pendidikan, yakni melalui Sekolah Luar Bisa Bagian B Negeri Kabupaten Tabanan. 2.3.2 Teori motivasi Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Pentingnya dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang bagi perbaikan diri dan perbaikan lingkungan
dikemukakan
oleh
McClelland
(1961:34)
bahwa
kegagalan
pembangunan sebuah masyarakat disebabkan 0leh warga masyarakat tersebut tidak memiliki motivasi untuk berprestasi. Anak tunarungu bersifat pasrah dan menerima nasib apa adanya tanpa perlawanan. Oleh karena itu, agar pembangunan (dalam hal ini adalah pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu) berhasil, sikap anak tunarungu harus diubah dan didorong untuk memiliki motivasi. Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang
30
ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja, maupun dalam kehidupan lainnya. Berkaitan dengan motivasi, Stoner (1996:134) menyatakan bahwa motivasi sebagai suatu manajemen untuk memengaruhi tingkah laku manusia berdasarkan pengetahuan mengenai apa yang menyebabkan orang bergerak. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri (daya pendorong) seseorang untuk mencapai tujuan. Teori motivasi memfokuskan pada pertanyaan mengapa perilaku individu terjadi? Jawabannya adalah (1) kebutuhan-kebutuhan, motifmotif, atau dorongan-dorongan yang mendorong, menekan, memacu dan menguatkan individu untuk melakukan kegiatan, (2) hubungan-hubungan individu dengan faktor-faktor eksternal yang menyebabkan, mendorong, dan memengaruhi untuk melakukan suatu kegiatan (Handoko,1986:158). Mengacu pada pandangan di atas, teori ini digunakan untuk memberikan dorongan pada peserta didik dan pendidik dalam mengatasi kendala-kendala dalam program pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu. 2.3.3 Teori dekonstruksi Menurut Kutha Ratna (2005:250), kata dekonstruksi berakar dari de+constructio (Latin). Pada umumnya prefiks “de” berarti ke bawah, pengurangan, atau terlepas dari. Selanjutnya, “constructio” berarti bentuk, susunan, menyusun, atau mengatur. Dalam pandangannya mengatakan bahwa dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun sebagai bentuk yang baku. Dalam teori kontemporer, dekonstruksi sering diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan, penghancuran,
31
penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula. Dalam mendekonstruksi strukturalisme, misalnya kegiatan dilakukan secara terus-menerus untuk mengurangi intensitas oposisi biner sehingga unsur yang dominan tidak selalu mendominasi unsur-unsur lain. Sebaliknya, unsurunsur semula selalu terlupakan, terdegradasikan, dan termarginalisasikan yang dalam hal ini seperti kelompok minoritas, kelompok lemah, kaum perempuan, tokoh-tokoh komplementer, kawasan kumuh, pejalan kaki, dan sebagainya yang dapat diberikan perhatian memadai, bahkan secara seimbang dan proporsional. Selanjutnya, apabila dikaitkan dengan keberadaan studi kultural di Indonesia, baik secara teori maupun metode, pemanfaatan teori dekonstruksi dan posstrukturalisme pada umumnya tidak perlu dipermasalahkan lagi. Sama seperti teori-teori lain, dekonstruksi sudah ada di depan kita sehingga tidak mungkin untuk menolaknya. Masalahnya adalah bagaimana teori diaplikasikan dan dimanfaatkan
sehingga
tidak
mengorbankan
hakikat
objek.
Teori
posstrukturalisme sendiri sudah mengalami evaluasi selama berabad-abad sehingga dengan sendirinya juga sudah melihat kelemahan-kelemahan teori terdahulu. Di samping itu, sebuah teori lahir sesudah lahirnya gejala baru ternyata tidak terdeteksi oleh teori terdahulu. Teori posstrukturalisme ternyata telah melihat adanya stagnasi dalam strukturalisme dan varian-variannya. Inti teori dekonstruksi Derridean pada dasarnya adalah perbedaan (diffrence), sehingga akan disebut sebagai teori perbedaan. Oleh karena itu, maka dekonstruksi
disebut
sebagai
ciri
utama
teori
pos-strukturalisme.
32
Multikulturalisme, misalnya dalam teori kontemporer dianggap sebagai ciri utama. Menurut Spivak (dalam Agger, 2003:140), perbedaan manusia lebih penting daripada persamaan. Menurut Derrida, interpretasi tidak bisa berhasil untuk memecahkan persoalan makna sebab interpretasi sebagaimana dimaksud oleh para filsuf dan teologi, kemudian diintroduksi oleh Gadamer (120--121). Tujuannya, yakni untuk menemukan makna yang benar atau sebaliknya. Menurut Derrida, makna benar tidak mungkin atau tidak perlu dicapai sebab semua teks mendekonstruksi dirinya sendiri sebagaimana makna secara harfiah, textum/textus diartikan sebagai “tenunan, jaringan, atau susunan”. Dalam kaitannya dengan ciri-ciri perbaikan bahwa aspek-aspek yang diperbaiki adalah yang berhubungan dengan keberadaan manusia pascamodern. Masyarakat kontemporer sadar bahwa modernisme melalui zaman pencerahan dengan memanfaatkan kemampuan rasio, yakni telah melahirkan revolusi dalam bidang sains dan teknologi yang sangat bermanfaat bagi perkembangan umat manusia. Dalam bidang sosial politik telah terjadi perubahan besar dengan lahirnya demokrasi dan kebebasan berpikir dalam segala bidang. Dalam bidang ekonomi
telah
terjadi
peningkatan
pendapatan
negara
sebagai
akibat
ditemukannya sumber-sumber energi alam, peningkatan teknologi pertanian, kelautan, kehutanan, pariwisata, dan sebagainya. Satu masalah yang belum dipertimbangkan, justru merupakan akibat kemajuan peradaban manusia itu, dalam hal ini disebut sebagai dampak negatif, yakni eksploitasi tanpa batas sehingga terjadi pembalikan total proposisi “sains untuk manusia” menjadi “manusia untuk sains”. Penggusuran, perombakan
33
monumen bersejarah, degradasi seni dan seniman, alih fungsi pertanian dan kawasan wisata untuk keperluan pabrik dan sebagainya, yakni merupakan sejumlah akibat negatif strukturalisme. Dekonstruksi memandang sains sebagai “alat” melaluinya harkat dan martabat manusia dapat ditingkatkan. Sains bukanlah subjek dalam pengertian bahwa sains secara bebas membawa manusia ke dalam perangkap. Demikianlah teori dekonstruksi telah menjadi salah satu teori utama yang dimanfaatkan untuk menganalisis gejala-gejala kebudayaan kontemporer, khususnya dalam kerangka studi kultural. Dengan kata lain, sebagai ciri khas posstrukturalisme,
dekonstruksi
melalui
cara
kerjanya
dikenal
dengan
“membongkar”, yang dianggap sebagai salah satu metode yang paling tepat untuk memahami pluralisme budaya. Apabila benar bahwa manusia kritis merupakan masa untuk membangun kembali (moment of construction), sesuai dengan pendapat Gramsci (2000:173), maka pembongkaran harus diikuti oleh pembangunan kembali, sekaligus menggantikannya dengan cara-cara baru sehingga memeroleh temuan-temuan baru secara praktis dan nyata. Teori dekonstruksi digunakan penulis dalam penelitian ini untuk melihat dampak serta makna yang terkait dengan upaya pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu lewat lembaga pendidikan, yakni melalui Sekolah Luar Bisa Bagian B Negeri Kabupaten Tabanan.
34
2.4 Model Penelitian Penelitian ini menganalisis pemberdayaan keterampilan bagi anak tunarungu pada Sekolah Luar Biasa Bagian B Negeri Tabanan di Kabupaten Tabanan. Pemberdayaan ini dilakukan oleh sekolah, pemerintah, dan masyarakat dengan tujuan membuat agar mampu di samping memandirikan anak tunarungu agar dapat mengembangkan diri melalui potensi yang dimiliki untuk mencapai kemajuan yang pada akhirnya meningkatkan harkat dan martabatnya di masyarakat. Selanjutnya untuk lebih memahami permasalahan yang dibahas dengan konsep dan teori yang digunakan, maka dapat digambarkan dengan suatu model penelitian seperti gambar berikut.
Model Penelitian Pemerintah
- Sumber biaya - Peraturan - Kurikulum - Puskesmas
Bentuk upaya sekolah
Sekolah Luar Biasa Upaya sekolah dalam pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu pada sekolah Luar Biasa bagian B Negeri Tabanan di Kabupaten Tabanan
Kendala-kendala dan cara mengatasi
- Komite Sekolah - Panti
Dampak dan makna
Keterangan tanda Menyatakan hubungan searah Menyatakan hubungan timbal balik
35
Penjelasan Model Kesejahteraan sosial anak tunarungu bersifat kompleks, maka upaya pemberdayaan yang dilaksanakan harus bersifat sinergis, berkesinambungan dan komprehensif dengan mengikutsertakan berbagai instansi terkait, baik instansi pemerintah, maupun lembaga sosial masyarakat seperti komite sekolah, panti, dan lembaga lain yang bergerak di bidang usaha kesejahteraan sosial dalam suatu jaringan kerja pada seluruh tataran mulai dari tingkat daerah hingga nasional. Kurikulum KTSP tahun 2006 dan pasal 3 UU RI No. 20, Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang dibuat oleh pemerintah merupakan landasan diadakannya upaya pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu yang diselenggarakan oleh Sekolah Luar Biasa Bagian B Negeri Tabanan. Hal itu dilakukan memerhatikan potensi daerah dan potensi peserta didik sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki agar anak mempunyai bekal keterampilan untuk kehidupan pada masa mendatang dan dapat hidup mandiri di tengah masyarakat. Disamping, itu kondisi anak
yang tunarungu tidak
memungkinkan
akademisnya
untuk
mengandalkan
kemampuan
sehingga
memberikan keterampilan vokasional lebih diprioritaskan demi tercapainya kesejahteraan . Peranan pemerintah sebagai ujung tombak di bidang pembiayaan, aturan, dan pelayanan sosial sangat penting dalam upaya pemberdayaan yang dilaksanakan. Upaya pemberdayaan keterampilan vokasional
akan ditinjau melalui
paradigma budaya yang mengacu pada dimensi bentuk, kendala-kendala, dampak, dan makna.