BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Laporan atau hasil kajian ilmiah yang menyangkut kepariwisataan Bali telah
banyak dilakukan, baik penelitian yang diorientasikan untuk pengembangan pariwisata Bali berkelanjutan, maupun penelitian yang mengungkap persepsi dan penguatan citra positif pariwisata Bali yang mendasari hubungan kerjasama antar stakeholders, termasuk pihak hotel, Biro Perjalanan Wisata (BPW) yang terlibat dalam bisnis pariwisata Bali. Salah
satu
penelitian
kebijakan
umum
yang
bertujuan
untuk
mengidentifikasikan faktor-faktor yang menjadi daya tarik bagi wisatawan mancanegara mengunjungi daerah tujuan wisata Bali adalah penelitian yang dilakukan oleh I Made Suradnya, staf Sekolah Tinggi Pariwisata Bali berjudul Analisis Faktor-Faktor Daya Tarik Wisata Bali Dan Implikasinya Terhadap Perencanaan Pariwisata Daerah Bali (2006). Penelitian (survey) yang melibatkan 505 orang responden yang berasal dari negara-negara sumber utama wisatawan. Para wisatawan tersebut dipilih secara acak ketika mereka sedang berada di ruang tunggu keberangkatan di Bandara Ngurah Rai Bali setelah melakukan kunjungan di Bali selama musim ramai dan musim sepi kunjungan tahun 2005. Dengan menggunakan teknik analisis faktor (factor analysis) berhasil diidentifikasikan 8 faktor daya tarik bagi wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Bali, yakni : (1) Harga-harga produk wisata yang wajar, (2) Budaya dalam
13
14
berbagai bentuk manifestasinya, (3) Pantai dengan segala daya tariknya, (4) Kenyamanan berwisata, (5) Kesempatan luas untuk relaksasi, (6) Citra (image) atau nama besar Bali, (7) Keindahan alam, (8) Keramahan penduduk setempat. Berdasarkan atas temuan penelitian tersebut disarankan agar dalam perencanaan pengembangan Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata dunia, kedelapan faktor daya tarik tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan agar persepsi wisatawan terhadap Bali tetap terjaga. Kawasan pariwisata Bali yang diharapkan juga tetap menjaga citra positif adalah kawasan pariwisata Nusa Dua. Dalam kaitan ini, karya tesis berjudul “Strategi Komunikasi Publik Relation Dalam Mempertahankan Citra Pariwisata Bali Pada Hotel-Hotel Di Kawasan Pariwisata Nusa Dua” (2009) oleh Ni Nyoman Deni Aryaningsih berhasil mengungkap faktor-faktor yang bisa membangun citra pariwisata Bali. Disimpulkan bahwa citra positif pariwisata Bali ditentukan oleh 19 faktor meliputi: keamanan, kebersihan, kesenian, budaya, kebijakan pemerintah, sinergi, keramahtamahan (masyarakat lokal), gaya hidup masyarakat lokal, pemandangan alam, infrastruktur, tata ruang, tranportasi, promosi, magis, sumber daya manusia, cuaca, sosial politik, ekonomi dan telekomunikasi. Pengembangan citra positif pariwisata dapat terjaga apabila wisatawan memiliki persepsi positif terhadap pariwisata Bali dan segala penunjangnya. Kusuma Negara dalam penelitiannya yang berjudul “Persepsi Wisatawan Mancanegara Terhadap Pelayanan Kesehatan di Bali” (2005). Penelitian yang dilakukan di empat kota di Bali (Badung, Denpasar, Gianyar, dan Buleleng) ini mengungkapkan bahwa pesepsi wisatawan mancanegara terhadap pelayanan kesehatan di Bali adalah bagus sesuai dengan apa yang diharapkan oleh wisatawan.
15
Selanjutnya Putra menulis tesis berjudul “ Persepsi Wisatawan Terhadap Pelayanan Hotel Melati Di Kawasan Ubud, Kabupaten Gianyar (2009). Kajian dengan menerapkan analisis pelayanan (servqual), analisis kepentingan kinerja (importance-performance analyisis), dan pendekatan kemampuan mendasar (competence-based) ini menemukan bahwa rata-rata wisatawan terpuaskan atas pelayanan yang diberikan oleh hotel melati di kawasan Ubud. Penelitian tentang kepuasan pelanggan juga dilakukan oleh Eka Mahadewi (2004). Kajian tesis dengan menggunakan model Structural Equation Modeling (SEM) ini berhasil melakukan konfirmasi terhadap model hipotesis melalui data emperik bahwa terdapat 36 hotel di Bali yang layak digunakan untuk penyelenggaraan konvensi. Hasil lain dari penelitian ini adalah : (1) faktor asurance dan faktor tangible dapat mempengaruhi wisatawan konvensi, bahkan keduanya dapat dikatakan sebagai faktor kunci bagi kepuasan wisatawan, (2) faktor kepuasan mempengaruhi destinasi bagi wisatawan konvensi, dengan nilai 89%. Wisatawan menyatakan bahwa Bali baik sebagai destinasi untuk wisatawan konvensi. Beberapa kajian (Suradnya, 2006; Aryaningsih, 2009; dan Putra, 2009) di atas secara umum mengungkap kaitan antara wisatawan dengan upaya menjaga citra positif dan keberlangsungan pariwisata Bali. Hasil penelitian tersebut belum ada yang membahas hubungan sinergi dan kerjasama sesama stakeholders pelaku bisnis pariwisata Bali. Penelitian dengan skup terbatas dan lebih khusus ini berupaya memahami persepsi pengelola Biro Perjalanan Wisata (BPW) terhadap produk NDBHS. Kajian tesis ini diperlukan untuk melihat dasar kerjasama antar kedua pelaku bisnis pariwisata Bali, yakni BPW dengan NDBHS. Keberlanjutan dan pengembangan kerjasama antara BPW dengan NDBHS dapat dilakukan berlanjut
16
apabila sesama mereka memilki persepsi yang baik (positif) terhadap mitra kerjanya. Citra dan persepsi positif NDBHS dapat dipertahankan sepanjang manajemen dan staf NDBHS dapat memberikan pelayanan yang memuaskan kepada para mitra kerjanya, termasuk kepada BPW. 2.2 Konsep Dalam penelitian ini akan muncul banyak kata, frasa, dan istilah yang terkait dengan bisnis pariwisata. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu penjelasan konsepkonsep yang akan digunakan dalam penelitian ini. Adapun konsep-konsep yang diuraikan pada bagian berikut adalah konsep persepsi Biro Perjalanan Wisata (BPW), konsep hotel benbintang lima, dan konsep produk Nusa Dua Beach Hotel & Spa (NDBHS). 2.2.1 Persepsi Biro Perjalanan Wisata (BPW) Persepsi adalah proses internal yang dilakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Persepsi merupakan cara untuk mengubah energi – energi fisik lingkungan menjadi pengalaman yang bermakna. Persepsi juga sebagai suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya (http://id.shvoong.com/social-scienses/psychology). Persepsi meliputi penginderaan (sensasi) melalui alat – alat indra (indra perasa, indra peraba, indra pencium, indra pengecap, dan indra pendengar). Makna pesan yang dikirimkan ke otak harus dipelajari. Semua indra itu mempunyai andil bagi berlangsungnya komunikasi manusia. Penglihatan menyampaikan pesan non-
17
verbal ke otak untuk diinterprestasikan. Pendengaran juga menyampaikan pesan verbal ke otak untuk ditafsirkan. Penciuman, sentuhan dan pengecapan, terkadang memainkan peranan penting dalam komunikasi, seperti bau parfum yang menyengat, jabatan tangan yang kuat, dan rasa air garam di pantai. Selanjutnya atensi atau perhatian adalah, pemrosesan secara sadar sejumlah kecil informasi dari sejumlah besar informasi yang tersedia. Informasi didapatkan dari penginderaan, ingatan dan, proses kognitif lainnya. Proses atensi membantu efisiensi penggunaan sumberdaya mental yang terbatas yang kemudian akan membantu kecepatan reaksi terhadap rangsang tertentu. Atensi dapat merupakan proses sadar maupun tidak sadar. (http://id.shvoong.com/social-scienses/psychology/183978-definisi-persepsi/) Menurut Rangkuti (2003: 31) makna dari proces persepsi dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dari individu yang bersangkutan. Dikatakan juga ada tiga faktor yang mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap produk atau jasa yaitu: 1. Tingkat kepentingan pelanggan didefinisikan sebagai keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli produk atau jasa, yang akan dijadikan standar acuan dalam menilai kinerja produk atau jasa tersebut. Ada dua tonggak kepentingan pelanggan, yaitu adequate service (kinerja jasa minimal) dan disire service (kinerja jasa yang diharapkan). 2. Kepuasan pelanggan yang diidefinisikan sebagai jawaban pelanggan terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja yang dirasakannya setelah pemakaian. Faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan salah satunya adalah persepsi pelanggan mengenai kualitas jasa yang berfokus lima dimensi jasa. Selain itu juga oleh persepsi kualitas jasa, kualitas produk, harga, dan faktor lainya yang besifat pribadi serta sesaat. Persepsi
18
pelanggan mengenai kualitas jasa tidak mengharuskan pelanggan menggunakan pelanggan jasa tersebut terlebih dahulu untuk memberikan penilaian. 3. Nilai yang didefinisikan sebagai pengkajian secara menyeluruh manfaat dari suatu produk, yang didasarkan pada persepsi pelanggan atas apa yang telah diterimanya dan telah diberikan oleh produk tersebut. Pelanggan akan semakin loyal jika produk atau jasa tersebut semakin bernilai bagi pelanggan. Selanjutnya Biro Perjalanan Wisata (BPW) adalah operator perjalanan (tour operator) wisata yang memasarkan produk (product marketing ) industri pariwisata, yang tidak lain adalah bahan baku (raw materials) bagi BPW selaku Tour Operator. Produk industri pariwisata adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan untuk menarik perhatian target pasar agar supaya mengambil alih atau memiliki, memakai atau mengkonsumsi, yang dapat memuaskan wisatawan tentang kebutuhan dan keinginan mereka yang bermacam-macam, termasuk dalam pengertian ini adalah obyek-obyek pariwisata yang berwujud, program perjalanan, berbagai bentuk layanan yang bersifat pribadi di tempat-tempat yang dipersiapkan organisasi yang dianggap memiliki nilai dan bermanfaat bagi wisatawan (Kotler, 1985: 221). Dalam fungsinya selaku Tour Operator suatu BPW minimal ia harus memiliki kegiatan usaha yang akhirnya merupakan produk yang akan ditawarkan kepada pelanggannya, seperti: ticketing (domestik dan internasional), pelayanan reservasi kamar hotel (hotel reservations), pelayanan pengurusan dokumen perjalanan (passport, exit permit, visa, health certificate, dan lain-lain) dan tour operations, yaitu kegiatan, merencanakan, menyusun, mempromosikan dan menjual paket wisata yang mencirikannya selaku Tour Operator. Karenanya, adalah merupakan keharusan ia untuk memanfaatkan produk industri periwisata sebagai
19
bahan bakunya dalam menyusun paket wisata yang akan ditawarkan pada pelanggannya. (Yoeti, 2003). Sesuai dengan pengertian di atas, maka persepsi BPW adalah persepsi pengelola BPW terhadap fasilitas dan produk layanan Nusa Dua Beach Hotel & Spa (NDBHS). 2.2.2 Hotel Bintang Lima Menurut Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. SK.241/G/70 tahun 1970, hotel adalah perusahaan yang menyediakan jasa dalam bentuk penginapan (akomodasi) serta menyajikan hidangan serta fasilitas lainnya dalam hotel untuk umum, yang memenuhi syarat-syarat comfort dan bertujuan komersial. Selanjutnya menurut Surat Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. PM.10/PW-301/Phb.77, tanggal 12 Desember 1977 dan Suarthana (1996: 2) dinyatakan bahwa hotel adalah suatu bentuk akomodasi yang dikelola secara komersial, disediakan bagi setiap orang untuk memperoleh pelayanan penginapan, berikut makan dan minum. Selanjutnya Direktorat Jendral Pariwisata mengeluarkan suatu peraturan usaha dan penggolongan hotel (SK. No. KM 37/PW.304/MPPT-86). Penggolongan hotel tersebut ditandai dengan bintang, yang disusun mulai dari hotel bintang satu sampai dengan hotel bintang lima (Tabel 2.1).
20
Tabel 2.1 Penggolongan Hotel Menurut Fisik, Manajemen dan Pelayanan. Aspek
Deskripsi/keterangan
Fisik
1) Besar kecilnya hotel atau sedikit banyaknya jumlah kamar: a. Hotel kecil , hotel dengan 25 kamar atau kurang b. Hotel sedang, hotel yang memiliki lebih dari 25 dan kurang dari 100 kamar. c. Hotel menengah, hotel dengan jumlah kamar lebih dari 100 dan kurang dari 300 kamar d. Hotel besar, adalah hotel dengan jumlah kamar lebih dari 300 kamar 2) Kualitas, lokasi, dan lingkungan bangunan 3) Fasilitas yang tersedia untuk tamu, seperti ruang penerima tamu, dapur, toilet, dan telepon umum 4) Perlengkapan yang tersedia baik bagi karyawan, tamu, maupun bagi pengelola hotel. Peralatan yang dimiliki oleh setiap departemen/bagian, baik yang digunakan untuk keperluan pelayanan tamu ataupun untuk keperluan palaksanaan kerja karyawan. 5) Kualitas bangunan yang dimaksud adalah kualitas bahanbahan bangunan yang digunakan, seperti kualitas lantai, dinding, termasuk juga tingkat kekedapan api, kekedapan terhadap suara yang datang dari luar maupun dalam hotel. 6) Tata letak ruang dan ukuran ruang Operasional/ 1) Struktur organisasi dengan uraian tugas dan manual kerja Manajemen secara tertulis bagi masing-masing jabatan yang tercantum dalam organisasi 2) Tenaga kerja, spesialisasi dan tingkat pendidikan karyawan disesuaikan dengan persyaratan peraturan penggolongan hotel Pelayanan 1) Keramah tamahan, sopan dan mengenakan pakaian seragam hotel 2) Pelayanan yang diberikan dengan mengacu pada kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan tamu 3) Untuk hotel berbintang empat (4) dan lima (5), pelayanan dibuka selama 24 jam Sumber: SK. No. KM 37/PW.304/MPPT-86 Menurut
Keputusan
Mentri
Kebudayaan
dan
Pariwisata
No.
KM.3/HK.001/MKP.02 tentang penggolongan kelas hotel, hotel digolongkan menjadi hotel kelas berbintang dan hotel kelas melati. Untuk hotel kelas berbintang
21
dikelompokkan lagi menjadi hotel bintang satu sampai dengan hotel bintang lima. Nusa Dua Beach Hotel & Spa (NDBHS) merupakan hotel bintang lima. Aspekaspek yang digunakan dalam memberikan penilaian terhadap kenaikan golongan pada hotel bintang lima ini adalah sebagai berikut: 1) Ramah lingkungan. 2) Sanitasi dan hygiene. 3) Sumber Daya Manusia. 4) Penggunaan produk dalam negeri. 5) Pemberdayaan masyarakat setempat. Syarat-syarat penetapan hotel bintang dengan tanda berlian ini tertuang dalam Keputusan Mentri Kebudayaan dan Pariwisata No.KM3/HK.001/MKP.02 tentang penggolongan kelas hotel yang didasarkan pada kriteria persyaratan operasional hotel mutlak dan tambahan. Perlu juga diketahui bahwa usaha perhotelan di Indonesia ini terbagi menjadi 3 kelompok yaitu jaringan hotel Internasional (International Hotel Chains) , jaringan hotel nasional (National Hotel Chains), dan hotel yang dikelola secara indipenden. 2.2.3 Produk Nusa Dua Beach Hotel & Spa (NDBHS). Sebagai hotel bintang lima, NDBHS memiliki fasilitas dan produk layanan yang berstandar bintang lima baik yang bersifat tangible (terukur, terlihat) maupun yang intangible (tidak terukur, tidak terlihat). Fasilitas NDBHS yang tangible meliputi lokasinya, kondisi lingkungan sekitar dan fasilitas yang ada di hotel, yakni kamar hotel, lobby, ruang meeting, restoran, bar, pub, kolam renang, unit bisnis (bank, toko souvenir, taxi counter), layanan Spa dan beauty salon. Selanjutnya
22
produk Intangible NDBHS meliputi: penerimaan, pengakuan dan penghargaan staf NDBHS kepada mitra kerja, layanan yang bersahabat, ramah dan santun, layanan yang cepat, tepat, tanggap dan memuaskan pelanggan, layanan yang simpati dan empaty, serta layanan yang memberikan rasa aman dan nyaman pihak NDBHS kepada mitra kerja (BPW) serta wisatawan pemakai jasa akomodasi hotel bintang lima ini. 2.3 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan beberapa teori, yakni teori persepsi, teori pelayanan, teori hirarki kebutuhan dan teori stakeholders. 2.3.1 Teori Persepsi Untuk memahami bentuk persepsi BPW terhadap produk tangible dan intangible NDBHS, maka digunakan teori persepsi. Menurut Sarwono (2002:94) persepsi dapat dideskripsi sebagai sebuah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi adalah panca indera dan untuk memahaminya diperlukan adanya kesadaran atau kognisi. Demikian juga halnya dengan ahli komunikasi DeVito (1998: 52) dalam buku komunikasinya mengatakan bahwa, persepsi adalah sebuah proses dimana seseorang menjadi sadar akan banyaknya rangsangan yang mempengaruhi panca inderanya. Persepsi ini mempengaruhi rangsangan atau pesan apa yang ditangkap serta pemaknaan apa yang diberikannya. Sifatnya sangat kompleks. Proses persepsi ini bekerja melibatkan tiga langkah yang saling tumpang tindih dan bersifat kontinyu. Tahap pertama dimulai dengan masuknya rangsangan pada panca indera yang selanjutnya diikuti pengaturan rangsangan yang masuk oleh alat indera melalui
23
prinsip-prinsip proksimitas (proximity) atau kemiripan dan prinsip kelengkapan (closure). Tahap selanjutnya dalam proses perseptual adalah penafsiran dan evaluasi. Tahap ini merupakan proses subjektif yang melibatkan proses evaluasi dari pihak penerima rangsangan. Proses ini dikatakan sangat subjektif karena tidak hanya didasarkan pada rangsangan yang datang dari luar, melainkan juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, kebutuhan, keinginan, sistem nilai, keyakinan tentang yang seharusnya, keadaan fisik dan emosi pada saat itu, dan lain sebagainya yang ada pada diri seseorang. Menurut Sarwono (2002:94) persepsi bersifat sangat subjektif, yaitu sangat tergantung pada subjek yang melaksanakan persepsi selain juga sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Dengan demikian, dalam persepsi sosial ada dua hal yang penting, yaitu keadaan dan perasaan orang pada saat ini, di tempat ini melalui komunikasi lisan maupun tidak lisan untuk mengetahui hal-hal apa yang menjadi sebab dari kondisi tampilannya saat ini. Dalam hal persepsi sosial, penjelasan akan berbagai hal yang ada di balik perilaku yang nampak saat ini disebut atribusi. Persepsi menurut Noerhadi (dalam Alfian,1985:94) adalah, penghayatan langsung oleh seorang pribadi, atau proses-proses yang menghasilkan penghayatan langsung tersebut. Tercakup di dalamnya proses-proses attention, constancy, depthmovement perseption, plasticity, motives, emotions and expectations. Dalam tulisannya tentang Persepsi Kebudayaan: Utopia dan Realita tersebut, dikatakan juga bahwa persepsi itu dapat dibayangkan sebagai penghayatan langsung seorang pribadi terhadap suatu fakta atau realita.
24
Persepsi juga dapat merupakan beragam kemampuan pengamatan yang merupakan imajinasi, bahkan cita-cita seorang pribadi, dimana objek persepsinya di sini tidak teraga. Oleh karena itu, proses-proses motivasi, emosi, dan ekspektasi berpengaruh sekali terhadap pembentukan persepsi itu sendiri. Persepsi adalah suatu persiapan ke perilaku konkret dan bahwa nilai-nilai lewat emosi, motivasi, dan ekspektasi mempengaruhi persepsi ini. Nilai-nilai dengan saling berbeda mempengaruhi persepsi dan perilaku. Dengan demikian, gerak perilaku terbentuk dalam waktu mendapat arah dari masa lalu, lewat masa kini ke masa datang, melalui persepsi realita dan persepsi utopis. Banyak pakar mengatakan bahwa, persepsi ini sifatnya memang sangat subjektif. Hal ini disebabkan karena persepsi sangat tergantung pada subjek yang melakukan persepsi tersebut, ruang dan waktu melakukan persepsi tersebut. Namun demikian bukan berarti bahwa tidak ada sama sekali kecenderungan persamaan dalam persepsi dari berbagai orang terhadap sebuah objek yang dipersepsikan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan menyajikan penelitian Cunningham dkk.pada tahun 1995 di Amerika Serikat (dalam Sarwono,2002:96). Dalam penelitian yang dilakukan pada sejumlah mahasiswa pendatang baru keturunan Asia, Amerika Latin, dan asli Amerika sendiri, yang diminta untuk menilai kecantikan (melalui foto) wanita-wanita keturunan Asia, Amerika Latin dan Amerika (kulit hitam dan putih). Hasilnya, bahwa semua ras menilai kecantikan lebih berdasarkan pada wajahnya daripada tubuh. Persepsi terkadang serupa atau seragam, tetapi tidak jarang pula berbeda seperti ditulis para ahli. Hal ini dijelaskan Kenny, 1994 (dalam Sarwono,2002:97) yang mengatakan bahwa, ada perbedaan antara persepsi tentang orang (person perception) dan persepsi dalam hubungan
25
antar pribadi (interpersonal perception). Menurutnya, dalam hal yang pertama, objeknya lebih abstrak, lebih hipotetis (seperti penelitian Cunningham) sehingga orang cenderung memberi persepsi yang sama. Sedangkan dalam hal yang kedua, objeknya lebih kongkret atau merupakan pengalaman pribadi. Dalam hal hubungan antarpribadi, hal yang lebih kongkret itu lebih banyak dipengaruhi oleh motivasi, emosi, harapan dan lain sebagainya. Selain itu seperti telah dibahas, persepsi sosial juga sangat menggantungkan diri pada proses komunikasi yang terjadi di antara keduanya. Komunikasi dimaksud adalah komunikasi verbal maupun non-verbal. Dalam hal ini komunikasi non-verbal dikatakan jauh lebih bermakna daripada komunikasi verbal. Komunikasi verbal seringkali kurang dapat dipercaya. Sesuai
dengan
teori
aksi
(action
theory)
Max
Weber
(dalam
Sarwono,1997:19), individu akan melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsirannya atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan dimaksud merupakan tindakan yang rasional, yaitu dalam mencapai tujuan atau sasaran mempergunakan sarana-sarana yang paling tepat. Tingkah laku (action) dapat dibedakan dalam beberapa tipe, yaitu pertama, voluntary action di mana perbuatan individu tersebut dilakukan atas keinginannya sendiri. Kedua, intentional action, di mana konsep ini berdasarkan pada pengertian bahwa setiap tingkah laku itu punya tujuan. Sedangkan ketiga, meaningful action, yang mengandung arti bahwa tingkah laku seseorang memiliki arti. Di sini ada saling hubungan antara bahasa, perbuatan, dan lingkungan. Dikatakan juga bahwa, makna dari perbuatan itu adalah cerminan aktivitas mental (Thompson, 2005:50)
26
2.3.2 Teori Pelayanan Untuk memahami produk layanan NDBHS, maka digunakan teori pelayanan. Disamping pruduk nyata (tangible), pelayanan hotel dapat dikategorikan sebagai salah satu produk pelayanan yang tidak nyata (intangible) karena hanya dapat dirasakan dari suatu pengalaman. Produk tidak nyata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pelayanan dan image (citra) suatu produk yang dihasilkan oleh hotel. Produk yang dihasilkan seyogyanya dapat memenuhi keinginan serta rangsangan (desire) kepada calon pelanggan. Menurut Barata (2004) pelayanan prima (service excellence) terdiri dari 6 unsur pokok: (1) kemampuan (ability);(2) sikap (attitude), (3) penampilan (appearance); (4) perhatian (attention); (5) tindakan (action), dan (6) tanggung jawab (accounttability). Selanjutnya menurut Tjiptono (2008) pelayanan prima (service excellence) terdiri dari 4 unsur pokok, antara lain: (1) kecepatan, (2) ketepatan, (3) keramahan, dan (4) kenyamanan. Kualitas dari suatu pelayanan (jasa) ataupun kualitas dari suatu produk dapat didefinisikan sebagai pemenuhan yang dapat melebihi dari keinginan ataupun harapan dari pelanggan (konsumen). Zeithami, Berry dan Parasuraman (Yamit, 2001:10) telah melakukan berbagai penelitian terhadap beberapa jenis jasa, dan berhasil mengidentifikasi lima dimensi karakteristik yang digunakan oleh para pelanggan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan. Kelima dimensi karakteristik kualitas pelayanan tersebut adalah: (1) Tangibles (bukti langsung), yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi; (2) Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan dalam memberikan pelayanan dengan segera dan memuaskan serta sesuai dengan yang telah dijanjikan; (3) Responsiveness (daya tangkap), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan
27
memberikan pelayanan dengan tanggap; (4) Assurance (jaminan), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko ataupun keragu-raguan; (5) Empaty, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, dan perhatian dengan tulus terhadap kebutuhan pelanggan. 2.3.3 Teori Stakeholder Teori stakeholder diperlukan untuk memahami dampak persepsi terhadap kelangsungan kerjasama antara Biro Perjalanan Wisata (BPW) dengan Nusa Dua Beach Hotel & Spa (NDBHS). Menurut teori stakeholder, perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya. Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007). Fenomena seperti ini terjadi, karena adanya tuntutan dari masyarakat akibat negative externalities yang timbul serta ketimpangan sosial yang terjadi (Harahap, 2002). Untuk itu, tanggungjawab perusahaan yang semula hanya diukur sebatas indikator ekonomi (economics focused) dalam laporan keuangan, kini harus bergeser dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial (social dimentions) terhadap stakeholders, baik internal maupun eksternal. Gray, Kouhay dan Adams (1996, p.53) mengatakan bahwa Kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Makin powerful stakeholder, makin besar usaha perusahaan beradaptasi.
28
Pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari dialog antara perusahaan dengan stakeholdernya. Definisi stakeholder menurut Freeman (1984) dalam Moir (2001) adalah setiap kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi. Kasali (2005) membagi stakeholders, menjadi: 1) Stakeholders internal dan stakeholders eksternal. Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada dalam lingkungan organisasi, misalnya karyawan, manajer dan pemegang saham (shareholders). Sedangkan stakeholders eksternal adalah stakeholders yang berada diluar lingkungan organisasi, seperti: penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah, pers, kelompok investor, dan lainnya. 2) Stakeholders primer, stakeholders sekunder dan stakeholders marjinal. Stakeholders primer merupakan stakeholders yang harus diperhatikan oleh perusahaan, dan stakeholders sekunder merupakan stakeholders kurang penting, sedangkan stakeholders marjinal merupakan stakeholders yang sering diabaikan oleh perusahaan. 3) Stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan. Karyawan dan konsumen merupakan stakeholders tradisional, karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi. Selanjutnya stakeholders masa depan adalah stakeholders pada masa yang akan datang diperkirakan akan memberikan pengaruh pada organisasi, seperti: peneliti, konsumen potensial, calon investor (investor potensial) dan lainnya. 4) Proponents, opponents, uncommitted. Stakeholders proponents merupakan stakeholders yang berpihak kepada perusahaan, stakeholders opponents merupakan
stakeholders
yang
tidak
memihak
perusahaan,
sedangkan
29
stakeholders uncommitted adalah stakeholders yang tak peduli lagi terhadap perusahaan (organisasi) 5) Silent majority dan vocal minority. Dilihat aktivitas stakeholders dalam melakukan komplain atau dukungannya secara vocal (aktif), namun ada pula yang menyatakan secara silent (pasif). Analisis stakeholders ini amat penting dalam mengkaji persepsi BPW terhadap produk dan layanan NDBHS; terutama bisa dipakai untuk menganalisis apakah
dalam
pengembangan
produk
layanannya,
pihak
NDBHS
sudah
mempertimbangkan faktor stakeholders, baik stakeholders internal (staf/karyawan) maupun stakeholders ekternal (mitra kerja dan pelanggan). 2.3.4 Teori Hirarki Kebutuhun Konsep hirarki kebutuhan manusia dari Abraham Maslow dapat dipergunakan untuk membahas persepsi BPW terhadap produk NDBHS. Selain itu, teori ini juga dapat diterapkan untuk membedah dampak persepsi terhadap kelangsungan kerjasama antara pihak BPW dengan NDBHS. Teori hirarki kebutuhan merupakan wujud dari aliran humanistic dari ilmu psikologi, setelah aliran psikonalisa dan behaviorisme yang telah berkembang sebelumnya. Teori Maslow ini bersifat humanisme dan holisme. Humanisme mengakui adanya keseluruhan kapasitas martabat dan nilai kemanusiaan untuk menyatakan diri (self-realization). Humanisme menentang pesimisme dan keputusasaan seperti pandangan psikoanalitik dan tidak mengakui konsep kehidupan ‘robot’ seperti pandangan behaviorism. Humanisme yakin bahwa manusia memiliki di dalam dirinya potensi untuk berkembang dengan kreatif. Jika seseorang mau
30
menerima tanggungjawab untuk hidupnya sendiri, dia akan menyadari potensinya, mengatasi pengaruh kuat dan tekanan dari lingkungannya. Sedangkan holisme mengakui bahwa organisme selalu bertingkah laku sebagai kesatuan yang utuh, bukan sebagai rangkaian bagian komponen yang berbeda. Jiwa dan tubuh bukan dua unsur yang terpisah, tetapi bagian dari satu kesatuan, dan apa yang terjadi di bagian satu akan mempengaruhi bagian lain. Hukum yang berlaku umumnya mengatur fungsi setiap bagian. Pandangan holistic dalam kepribadian manusia adalah: (a) kepribadian normal ditandai dengan unitas, integrasi, konsistensi, dan koherensi (unity, integration, consistency, coherence) organisasi adalah keadaan normal sedangkan disorganisasi adalah keadaan patologik; (b) organisme dapat dianalisis dengan membedakan tiap bagiannya, tetapi tidak ada bagian yang dapat dipelajari dalam isolasi. Keseluruhannya berfungsi menurut hukum-hukum yang tidak terdapat dalam bagian-bagian; (c) Organisme memiliki satu drive yang berkuasa, yakni aktualisasi diri (self actualzation). Orang berjuang tanpa henti (continuous) untuk mengaktualisasikan potensi interen yang dimilikinya pada ranah manapun yang terbuka baginya; (d) Pengaruh lingkungan eksternal pada perkembangan normal bersifat minimal. Potensi organisme, jika bisa terkuak di lingkungan yang tepat, akan menghasilkan kepribadian yang sehat dan integral; (e) Penelitian yang komprehensif terhadap satu orang lebih berguna dari pada penelitian ekstensif terhadap banyak orang mengenai fungsi psikologis yang diisolasi (Alwisol, 2005: 251-274). Dalam upaya mencapai aktualisasi dirinya, manusia akan berupaya memenuhi kebutuhannya. Abraham Maslow mengurutkan kebutuhan manusia
31
sebagai berikut: (1) Basic psychological needs, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan pelestarian hidup manusia, seperti, makan, minum, istirahat, dan sebagainya; (2) Safety and secutirty needs, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan segi keamanan dan keselamatan. Keselarasan kerja, seperti: menabung, asuransi, mendapatkan pekerjaan tetap, dan pada tahapan tingkah laku manusia akan didominasi oleh boding safety, yaitu keamanan yang berkaitan dengan fisik serta didominasi oleh economic safety, yaitu keadaan yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan ekonomi; (3) Belonging and sosial needs, yaitu kebutuhan terhadap lingkungan sosial. Kebutuhan dimiliki atau menjadi bagian dari kelompok sosial dan cinta menjadi tujuan yang dominan. Orang sangat peka dengan kesendirian, pengasingan, ditolak lingkungan dan kehilangan sahabat atau orang yang dicintai; (4) Esteem and status, yaitu kebutuhan untuk dihargai atau dihormati atau mengharapkan pengalaman tertentu dari individu lain walaupun terbatas dalam lingkungan kerja saja; (5) Self actualization and fullfillment, yaitu kebutuhan akan dorongan untuk menjadi orang yang terbaik, termasuk mengembangkan potensi dan kekuatan-kekuatan untuk tumbuh menjadi orang yang bisa mengaktualisasikan potensinya (Alwisol, 2005: 257-260).
2.4 Model Penelitian Penelitian tentang persesi BPW terhadap produk NDBHS ini dapat divisualisasikan dalam bentuk Bagan 2.1. Bagan 2.1 memperlihatkan bahwa dinamika kawasan pariwisata Nusa Dua diwarnai dengan adanya kerjasama antara NDBHS dengan pihak Biro Perjalanan Wisata (BPW). Kerja sama BPW dengan NDBHS didasari oleh persepsi BPW terhadap fasilitas dan produk NDBHS.
32 DINAMIKA KAWASAN PARIWISATA NUSA DUA
NUSA DUA BEACH HOTEL & SPA
BIRO PERJALANAN WISATA (BPW)
PRODUK NUSA DUA BEACH HOTEL & SPA
PERSEPSI BPW TERHADAP PRODUK NUSA DUA BEACH HOTEL & SPA
PERSEPSI BPW TERHADAP PRODUK TANGIBLE
KONSEP : 1.Persepsi BPW 3. Hotel Bintang Lima 4. Produk NDBHS
PERSEPSI BPW TERHADAP PRODUK INTANGIBLE
PENGEMBANGAN PRODUK DAN KERJASAMA
TEORI : 1.Teori Persepsi 2.Teori Pelayanan 3.Teori Hirarki Kebutuhan 4. Teori Stakeholder
HASIL PENELITIAN
REKOMENDASI
Bagan 2.1: Model Penelitian
Catatan: Saling berhubungan Arah hubungan Saling mempengaruhi
33
Penelitian ini hendak mengkaji bentuk persepsi BPW di Bali terhadap produk tangible (servis/layanan yang nampak) dan produk intangible (servis/layanan yang tidak nampak) NDBHS, serta dampak persepsi terhadap kelangsungan kerjasama BPW dengan NDBHS. Sesuai dengan topik yang dikaji, penelitian ini menggunakan konsep dan teori yang relevan. Adapun konsep penelitian yang digunakan adalah konsep persepsi BPW, konsep hotel bintang lima, dan konsep produk NDBHS dan empat teori yang digunakan untuk membedah permasalahan penelitian adalah teori persepsi, teori pelayanan, teori hirarki kebutuhun (Abraham Maslow), dan teori stakeholders. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang dapat dijadikan masukan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan jasa akomodasi NDBHS pada khususnya serta untuk pengelolaan dan pengembangan Kawasan Pariwisata Nusa Dua pada umumnya di masa yang akan datang.