BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1
Tinjauan Pustaka Pengembangan pariwisata dengan memanfaatkan potensi pada kawasan
perdesaan merupakan salah satu langkah menuju terciptanya pemerataan kesejahteraan. Keunikan dan originalitas yang tidak terlepas dari peran kearifan lokal (indigenous knowledge) menjadi nilai tambah tersendiri yang membedakannya dengan daya tarik wisata lain . Keberadaan desa wisata di Bali telah menjadi suatu fenomena menarik untuk diteliti. Hal ini terbukti dengan beberapa penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan di beberapa daerah, antara lain : Dari kajian Pitana (1999 : 111) yang dilakukan di
Desa Pakraman
Penglipuran, didapatkan hasil bahwa kegiatan pariwisata di desa wisata tersebut telah mampu memberikan manfaat positif terhadap masyarakat, seperti perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan yang secara tidak langsung menambah kesadaran masyarakat untuk melestarikan nilai budaya yang secara turun-temurun telah menjadi kearifan lokal. Namun, pengembangan yang telah berjalan masih dirasa kurang berpihak kepada masyarakat. Hal tersebut, dikarenakan oleh pembagian retribusi yang didasarkan pada keputusan Bupati Bangli Nomor 116 Tahun 1993 yang menetapkan bahwa maryarakat hanya mendapat 40% bagian dan 60% nya diterima oleh pemerintah. Fokus dari kajian yang dilakukan oleh Pitana (1999 : 111) lebih kepada pengkajian terhadap manfaat positif ekonomi dari pengembangan pariwisata perdesaan yang telah berjalan dalam kehidupan
11
12
masyarakat Desa Penglipuran. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti mencoba merumuskan sebuah formulasi strategi terhadap kepariwisataan di Desa Pangsan yang baru berkembang. Nantinya, hasil penelitian ini
diharapkan mampu
diterapkan, dalam rangka pengembangan Desa Pangsan sebagai desa wisata yang ideal baik dari segi ekonomi, lingkungan, maupun sosial budaya. Penelitian Diasa (2009) yang berjudul “Strategi Pengembangan Pariwisata Perdesaan di Desa Jatiluwih Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan” yang menghasilkan 2 macam strategi, yaitu strategi agresif
dan strategi alternatif.
Adapun strategi agresif terdiri dari : peningkatan fasilitas sarana dan prasarana seperti jalan, air bersih dan listrik; memperahankan atau meningkatkan atraksi daya tarik wisata seperti sawah teraseringnya; peningkatan keberadaan amenities dan ancillaries seperti rumah tradisional penduduk sebagai home stay, dan kelembagaan kepariwisataan. Sedangkan strategi alternatif yang ditawarkan terdiri dari : menciptakan program-program berdasarkan seni budaya lokal; memanfaatkan rumah penduduk yang masih tradisional sebagai homestay untuk mempromosikan pariwisata alternatif; memanfaatkan teknologi terkini dalam pelayanan; memperkuat dan mengembangkan arsitektur bangunan tradisional; membuat program-program unggulan dibidang pertanian; pengembangan prasarana seperti jalan, air bersih dan listrik; pengembangan sumber daya manusia dan kelembagaan pariwisata; dan menciptakan kerjasama yang lebih baik dengan berbagai stakeholders terkait. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian Diasa (2009) hampir sama dengan penelitian ini, yaitu bagaimana merumuskan sebuah strategi pengembangan pariwisata perdesaaan. Namun tentunya lokus penelitiannya berbeda, sehingga
13
terdapat perbedaan mendasar jika dilihat dari segi potensi serta kondisi kepariwisataan aktual dibandingkan dengan pengembangan Desa Pangsan sebagai sebuah desa wisata. Pada akhirnya hal tesebut akan sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian yang akan menyesuaikan dengan karakteristik masing-masing desa. Penelitian Wijaya (2009) yang berjudul “Pengembangan Pariwisata Perdesaan dengan Aktivitas Leisure Berbasis Pertanian di Desa Wongaya Gede Kabupaten Tabanan”, menyatakan bahwa dalam perencanaan pengembangan pariwisata, dibutuhkan beberapa kebijakan, seperti: (1) mengetahui apa keinginan pasar / wisatawan (market demand), (2) menerapkan peraturan baru terhadap dampak yang ditimbulkan dari aktivitas pariwisata, (3) memperhatikan aksesibilitas, (4) penyaluran tenaga kerja untuk masyarakat lokal di bidang pariwisata. Penelitian tersebut berfokus kepada pemanfaatan potensi pertanian Desa Wongaya Gede untuk meningkatkan pelibatan masyarakat lokal dalam rangka perwujudan konsep pariwisata perdesaan dengan aktivitas leisure berbasis pertanian berdasarkan besarnya motivasi fisik dari wisatawan yang berkunjung ke Desa Wongaya Gede. Sedangkan penelitian ini selain berbeda lokusnya, juga terdapat perbedaan dari sisi metode yang digunakan. Adapun strategi dan program pengembangan yang ingin dirumuskan dalam penelitian ini didasarkan pada hasil analisis.matriks IFAS (Internal Factors Analysis Summary) dan EFAS (External Factors Analysis Summary).
14
2.2
Konsep Penelitian
2.2.1 Strategi Pengembangan Stephanie dalam Husein (2001 : 31) menyatakan bahwa strategi merupakan suatu proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, yang disertai penyusunan suatu cara atau upaya, bagaimana agar tujuan dapat dicapai. Selain itu, Rangkuti (2009 : 3) juga memberikan definisi yang tidak jauh berbeda bahwa strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Menurut Marpaung (2002 : 96) strategi adalah suatu proses penentuan nilai pilihan dan pembuatan keputusan dalam pemanfaatan sumber daya yang menimbulkan suatu komitmen bagi organisasi yang bersangkutan kepada tindakantindakan yang mengarah pada masa depan. Strategi juga dapat diartikan sebagai rencana umum yang bersifat integrative yang dirancang untuk memampukan organisasi pariwisata untuk mencapai tujuannya melalui alokasi pemanfaatan sumber daya dengan tepat walaupun menemukan banyak rintangan dari pihak pesaing. Lebih lanjut Yoeti (1996 : 164) menyatakan bahwa pengertian strategi harus dibedakan dengan pengertian taktik. Strategi diperlukan agar suatu perencanaan dapat dilaksanakan secara praktis dan spesifik mungkin, maka didalamnya harus mencakup pertimbangan dan penyesuaian terhadap reaksi-reaksi orang dan pihak yang dipengaruhi, dalam hal demikian diperlukan suatu strategi yang dapat membantu perencanaan yang telah dibuat. Berdasarkan pendapatnya, Alwi (2005 : 538) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa pengembangan merupakan suatu proses, cara,
15
perbuatan menjadikan sesuatu menjadi lebih baik, maju, sempurna dan berguna. Pengembangan merupakan suatu proses / aktivitas memajukan sesuatu yang dianggap perlu untuk ditata sedemikian rupa dengan meremajakan atau memelihara yang sudah berkembang agar menjadi lebih menarik dan berkembang. Suwantoro dalam Krisna (2006) menyatakan strategi pengembangan pariwisata bertujuan untuk mengembangkan produk dan pelayanan yang berkualitas, seimbang dan bertahap. Adapun langkah – langkah pokok yang di ambil adalah : 1. Dalam jangka pendek, dititik beratkan pada optimasi terutama untuk menetapkan
citra,
meningkatkan
mutu
tenaga
kerja,
meningkatkan
kemampuan pengelolaan dan manfaat produk yang ada. 2. Dalam jangka menengah, dititikberatkan pada konsolidasi terutama dalam citra
kepariwisataan,
mengkonsolidasikan
kemampuan
pengelolaan,
mengembangkan dan diversifikasi produk. 3. Dalam jangka panjang dititikberatkan pada pengembangan dan penyebaran dalam
pengembangan
kemampuan
pengelolaan,
pengembangan
dan
pengelolaan produk dan pelayanan, serta pengembangan mutu dan jumlah tenaga kerja. Menurut Gunawan dalam Budiastawa (2009), pembangunan kepariwisataan perlu dilakukan secara totalitas dan seimbang antara sedikitnya tiga kelompok permasalahan. Ketiga kelompok permasalahan dan hal pokok yang diperlukan untuk pengembangan kepariwisataan adalah :
16
1. Pengembangan dari sisi penawaran yang terdiri atas : a. Pengembangan destinasi, yaitu pengembangan berbagai tempat tujuan wisata di berbagai daerah, yang satu sama lain saling melengkapi dan tidak bersaing secara internal; b. Pengembangan industri pariwisata, dimaksudkan untuk mengoptimalkan kaitan-kaitan ekonomi ke depan dan ke belakang yang memiliki keuntungan kompetitif serta kredibilitas yang tinggi; 2. Pengembangan pasar yang mencakup pengembangan citra destinasi, penetrasi dan diversifikasi pasar untuk meningkatkan ketertarikan pasar tradisional menjadi wisatawan pengulang dan memperluas jangkauang pasar dalam bentuk segmen-segmen pasar baru; 3. Pengembangan institusi kepariwisataan yang menyangkut organisasi, sumber daya insani serta regulasi yang akan menangani pengelolaan kepariwisataan. Terkait dengan uraian di atas maka yang dimaksud strategi pengembangan dalam penelitian ini adalah upaya atau usaha yang dilakukan untuk memajukan Desa Pangsan sebagai desa wisata dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada, untuk membuatnya menjadi lebih menarik serta berkembang sesuai tujuan yang diinginkan.
2.2.2 Desa Wisata Menurut Suwatoro (1997) desa wisata adalah suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari tata ruang, arsitektur, bangunan, maupun pola kehidupan sosial-budaya masyarakat,
17
adat istiadat keseharian serta mampu menyediakan komponen-komponen kebutuhan pokok wisatawan seperti akomodasi, makanan dan minuman, cinderamata, dan atraksi-atraksi wisata. Desa wisata merupakan suatu produk wisata yang melibatkan anggota masyarakat desa dengan segala perangkat yang dimilikinya. Desa wisata tidak hanya berpengaruh pada ekonominya, tetapi juga sekaligus dapat melestarikan lingkungan alam dan sosial budaya masyarakat terutama berkaitan dengan nilainilai kebersamaan, kekeluargan, kegotongroyongan, dan lain-lain. Dengan demikian, kelestarian alam dan sosial budaya masyarakat akan menjadi daya tarik bagi wisatawan yang melakukan perjalanan wisata (Muljadi, 2009 : 27). Desa wisata juga dapat diartikan sebagai suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan, baik dari segi kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, arsitektur, bangunan dan tata ruang desa yang khas, serta memiliki potensi untuk dikembangkan berbagai komponen kepariwisataan (Prastyo, 2005 : 40). Dalam desa tersebut juga mampu menyediakan dan memenuhi serangkaian kebutuhan suatu perjalanan wisata, baik dari aspek daya tarik maupun berbagai fasilitas pendukungnya. Adapun unsur-unsur dari desa wisata adalah : 1. Memiliki potensi pariwisata, seni dan budaya khas daerah setempat 2. Lokasi desa masuk dalam lingkup daerah pengembangan pariwisata atau setidaknya berada dalam koridor dan rute perjalanan wisata yang sudah dijual 3. Diutamakan sudah tersedia tenaga pengelola, pelatihan dan pelaku-pelaku pariwisata yang sudah dijual
18
4. Aksesibilitas dan infrastruktur mendukung program desa wisata 5. Terjaminnya keamanan, ketertiban, dan kebersihan (Prastyo, 2005 : 33) Tujuan dari program ini adalah untuk memperkenalkan secara langsung wisatawan dengan kehidupan tradisional desa, menyediakan interaksi spontan antara wisatawan dengan penduduk setempat, menghilangkan persepsi yang salah dari wisatawan mengenai lingkungan dan budaya setempat dan meningkatkan rasa kebanggaan akan budaya dari penduduk setempat. Tujuan lainnya dari bagian program ini adalah menyediakan pekerjaan bagi generasi muda untuk mengurangi kecenderungan urbanisasi (Inskeep, 1991 : 250). Menurut Wilson et. al. (2001) ada 10 faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan pariwisata di daerah perdesaa (rural areas), yaitu : 1. A complete tourism package (paket wisata lengkap) 2. Good leadership (kepemimpinan yang baik) 3. Support and participation of local government (dukungan dan partisipasi pemerintah lokal) 4. Sufficient funds for tourism development (dana pengembangan pariwisata yang cukup) 5. Strategic Planning (perencanaan strategis) 6. Coordination and cooperation between businesspersons and local leadership (kerjasama antara pengusaha dan pemimpin lokal) 7. Coordination and cooperation between rural tourism entrepreneurs (kerjasama antara pengusaha pariwisata)
19
8. Information and technical assistance for tourism development and promotion (bantuan informasi dan teknis untuk pengembangan dan promosi pariwisata) 9. Good convention and visitors bureaus (adanya biro konvensi dan pengunjung yang baik) 10. Widespread community support for tourism (adanya dukungan seluruh masyarakat terhadap pariwisata). Pengembangan desa wisata diharapkan benar-benar mencerminkan suasana pedesaan. Oleh karena itu, konsep penggalian produk desa wisata diarahkan pada pengembangan interaksi budaya dari manusia ke manusia, dan dari manusia ke alam desa (Diparda Bali, 2003). Dengan demikian, beragam atraksi wisata yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut. a.
Kegiatan persawahladangan. Para wisatawan dapat dilibatkan langsung di dalam kegiatan pembajakan sawah, penyemaian, penanaman padi, penanaman palawija, pemetikan buah serta kegiatan lainnya yang berhubungan dengan aktivitas pertanian.
b.
Kegiatan kesenian desa. Para wisatawan dapat terlibat langsung dalam aktivitas kesenian desa seperti : seni tari, seni pahat, seni bela diri, seni kecantikan tradisional, seni kerajinan tangan, masak-memasak dan sebagainya.
c.
Kegiatan olah raga. Para wisatawan terlibat dalam berbagai olah raga langsung dengan alam pedesaan, misalnya : trekking, jogging di sepanjang pematang sawah, jalan kaki menyusuri wilayah desa dengan pemandangan
20
alamnya, lomba laying-layang, memancing ikan, dan aktivitas olah raga lainnya. d.
Kegiatan upacara. Pada upacara-upacara tertentu, dengan persyaratanpersyaratan tertentu perlu dikembangkan kemungkinan wisatawan ikut terlibat di dalamnya baik dalam persiapan, maupun pelaksanaan upacara.
e.
Kegiatan-kegiatan lainnya, seperti : kegiatan meditasi, pembangunan rumah, serta kegiatan adat lainnya. Yang dimaksud desa wisata dalam penelitian ini adalah Desa Pangsan yang
menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan. Kemudian berbagai potensi yang ada baik dari segi kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, alam, adat istiadat, arsitektur, bangunan dan tata ruang desa yang khas dimanfaatkan sebagai atribut produk wisata sehingga menjadi suatu rangkaian aktivitas pariwisata yang terpadu.
2.2.3 Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan United Nation World Commision on Environment and Development / UNWCED dalam Purba (2002), menyatakan bahwa pembangunan berlanjut adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dimasa sekarang tanpa menghambat
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Disini ditekankan pentingnya keterkaitan antara kependudukan, sumber daya dan lingkungan serta perlunya memperhatikan kelangsungan keterkaitan antar manusia, sumber daya dan pembangunan.
21
Tourism Stream, action strategy yang diambil dari Globe ’90 conference Vancouver, Canada (Swarbroke dalam Wirawan, 2009) menyatakan bahwa, kepariwisataan berkelanjutan (sustainable tourismi) didefinisikan sebagai bentuk dari pengembangan ekonomi yang dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup dari masyarakat sekitar, memberikan image yang positif bagi wisatawan, pemeliharaan kualitas lingkungan hidup yang tergantung dari masyarakat sekitar dan wisatawan itu sendiri. Pariwisata berkelanjutan menurut konsep Muller (1997) adalah pariwisata yang dikelola mengacu pada pertumbuhan kealitatif, maksudnya adalah meningkatkan kesejahteraan, perekonomian dan kesehatan masyarakat. Peningkatan kualitas hidup dapat dicapai dengan meminimalkan dampak negatif sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Lima hal yang harus diperhatikan dalam pariwisata berkelanjutan menurut konsep Muller (1997), yaitu : 1) Pertumbuhan ekonomi yang sehat, 2) Kesejahteraan masyarakat lokal, 3) Tidak merubah struktur alam dan melindungi sumber daya alam, 4) Kebudayaan masyarakat yang tumbuh secara sehat, 5) Memaksimalkan kepuasan wisatawan dengan memberikan pelayanan yang baik, karena wisatawan pada umumnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan. Pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development) pembangunan
pariwisata
yang
menekankan
pada
prinsip
pembangunan
berkelanjutan. WTO (1999 : 42), menekankan ada tiga hal penting dalam pemabangunan berkelanjutan, yaitu :
22
1. Quality. Sustainable tourism provides a quality experience for visitor, while improving the quality of the host community and protecting the quality of environment. 2. Continuity. Sustainable tourism ensures the continuity of the natural resources upon which it based and the continuity of the cultural of the host community with satisfying experience for visitors. 3. Balance. Sustainable tourism balances the need of the tourism industry, supporters of environment, and the local community. Sejak dilakukan langkah-langkah untuk pengembangan pariwisata di Indonesia, maka kegiatan-kegiatan terencana dan terprogram yang dilakukan oleh pemerintah pada hakekatnya memang bertujuan untuk “berkelanjutan”. Khususnya dibidang pariwisata misalnya, apa yang dimaksud dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan pada intinya berkaitan dengan usaha menjamin agar sumber daya alam, sosial, dan budaya yang dimanfaatkan untuk pembangunan pariwisata dalam generasi ini dilestarikan untuk generasi mendatang (Ardika, 2003). Dalam penelitian ini yang dimaksud pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pembangunan pariwisata di Desa Pangsan, yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengabaikan kebutuhan generasi yang akan datang, dengan manfaatkan sekaligus melestarikan sumber daya yang ada.
2.2.4 Permintaan dan Penawaran dalam Kepariwisataan Permintaan (demand) dalam kepariwisataan terdiri dari bermacam-macam unsur, yang satu dengan lainnya tidak hanya berbeda sifat dan bentuk, tetapi juga
23
manfaat dan kegunaannya bagi wisatawan. Demand dalam kepariwisataan dapat berupa benda bebas (free goods), yang dapat diperoleh tanpa dibeli namun menjadi daya tarik bagi wisatawan sebagai suatu objek wisata, misalnya panorama alam yang indah, udara yang segar, cahaya matahari (sun set, sun rise), panorama alam pantai / laut, Permintaan untuk “Tourist Services” seperti information, travel preparation, transportation, accommodation, tour operator dan lain-lain. Semua itu merupakan alat / perlengkapan guna memberi kepuasan bagi wisatawan. Menurut Wahab dalam Yoeti (2008 : 125 - 127), penawaran dalam industri pariwisata dapat dibagi menjadi 2 bentuk, antara lain: 1. Natural amenities a. Climate, atau cuaca seperti: segarnya udara (mild), sinar matahari (sun shine) b. Land configuration and landscape atau tata letak tanah dan pemandangan
alam seperti:
daratan (plains), pemandangan di
pegunungan (scenic mountain), danau (lake), pantai (beach), bentukbentuk yang unik (unusual formation), pemandangan yang indah yang mengesankan (panoramic view), air terjun (water falls), kawasan gunung berapi (volcanic zones), bermacam-macam gua (grottos), dan sebagainya. c. Sylvan elements, yaitu hutan-hutan lebat, dan pohon-pohon langka. d. Flora and fauna, yang termasuk dalam kelompok ini adalah tumbuhtumbuhan dan binatang yang aneh, unik, langka, dan beragam yang memungkinkan
orang-orang
melakukan
penelitian,
memancing,
24
berburu, membuat foto, seperti pada taman nasional, kebun raya dan taman safari yang kita kenal. e. Health center, pusat-pusat kesehatan seperti: sumber air panas atau mineral, kolam lumpur yang berkhasiat untuk mandi, dan sebagainya. 2. Man-made supply Ada lima kategori utama yang dapat ditawarkan, yaitu: a. Historical, cultural, and religious Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya adalah: i. Historical monuments and remnants of past civilizations, yaitu monument-monumen
dan
peninggalan-peninggalan
bersejarah
peradaban masa lalu. ii. Cultural places, seperti museum, gedung kesenian, handicraft industries, tugu peringatan, prasasti, tempat- tempat pertunjukan kesenian tradisional, tempat-tempat penjualan cinderamata, dan lain-lain. iii. Traditional events, seperti perayaan-perayaan tradisional (Sekaten atau Ngaben), pameran, karnaval, upacara-upacara adat, ziarah dan sebagainya. iv. Religious edificies, yaitu bangunan atau gedung-gedung bersejarah seperti mesjid, gereja, vihara, klenteng, pura, dan sebagainya. b. Infrastructures Ada tiga kategori yang termasuk dalam prasarana (infrastructures), masing-masing adalah:
25
i. General infrastructures Meliputi prasarana umum, mencakup hal-hal sebagai berikut: sistem penyediaan air bersih, tenaga listrik, jalan, dab jembatan, pelabuhan, airport, terminal atau stasiun kereta api. ii. Basic needs of civilized life Kebutuhan pokok manusi modern, seperti: kantor pusat dan telepon, rumah sakit, apotek, bank, pusat-pusat perbelanjaan, bar dan restoran, salon kecantikan, barbershop, kantor polisi, toko obat, penjualan rokok, toko kacamata, toko-toko penjual Koran dan majalah, pompa bensin, bengkel mobil, wartel, waret dan yang lainnya. iii. Tourist infrastructures
Residential tourist plants Termasuk dalam kelompok ini adalah: hotels, motels, pensions, furnished flats, furnished rooms with private individuals, social tourism establishments (holiday villages, camping areas, caravanning areas, youth hotels, etc); catering establishments (restaurants, tavems, self service, grill rooms, etc).
Receptive tourist plants -
for organization of travel Termasuk dalam kelompok ini adalah travel agents, tour operators, rent-a-car excursion and sightseeing agent, etc.
-
for information and propaganda
26
Termasuk dalam kelompok ini adalah: tourist information offices at point of entry, in the cities and resorts; local or peripheral tourist organization; special events celebration communities.
Recreative and sportive plants Termasuk dalam kelompok ini adalah: sporting facilities for Winters and Summers, land and sea sporting facilities and equipment, etc.
c. Means of access and transport facilities Termasuk dalam kelompok ini adalah: airports, ports of countries bordering the sea, rivers or multi-national lakes, rail roads and other land transportation means, boats, air transport, mountain transport system, etc. d. Superstructure Seperti halnya dengan prasarana yang biasa kita kenal, yang dimaksud dengan prasarana di sini adalah perusahaan-perusahaan yang memberi pelayanan kepada wisatawan (establishment generating services) yang sebenarnya tidak begitu penting, tetapi bagi wisatawan justru sangat diperlukan. Termasuk dalam kelompok ini adalah bioskop, gedung opera, gedung pentas kesenian, kasino, night club, tempat hiburan dan rekreasi lainnya. (there are mostly recreational and entertainment).
27
e. People’s way of life Tata cara hidup masyarakat setempat dapat merupakan daya tarik yang kuat bagi wisatawan yang berkunjung pada suatu negara atau DTW. Adat-istiadat, kebiasaan hidup tradisional, terutama pada negara-negara sedang berkembang, seperti: Ngaben di Bali, atau Sekaten di Yogyakarta, Khitanan (Betawi), Potong Gigi (Bali), Turun Mandi (Padang), Nyale (Lombok), Tabut (Padang), atau Tabot (Bengkulu). Permintaan terhadap produk industri pariwisata dapat dibagi atas dua bagian yang penting, yaitu permintaan potensial (potential demand) dan permintaan yang sebenarnya terjadi (actual demand). 1.
Potential demand Adalah permintaan sejumlah orang yang secara potensial sanggup dan mampu akan melakukan perjalanan wisata (Potential demand is the number of persons who fulfill the basic elements of travel, and are, therefore, in position travel).
2.
Actual Demand Adalah permintaan sejumlah orang-orang yang sebenarnya berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata. Artinya, sejumlah wisatawan yang nyata-nyata datang berkunjung pada suatu DTW (Actual demand represents those who actual travel to a certain tourist desatination) (Yoeti, 2008 : 107). Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan penawaran (supply) adalah
berbagai komponen pariwisata seperti yang telah disebutkan di atas yang telah ada ataupun perlu ditambahkan dalam pengembangan Desa Pangsan sebagai desa
28
wisata. Sedangkan permintaan, dalam hal ini dapat dibagi dua antara lain Potential Demand, yaitu permintaan potensial yang berasal dari wisatawan Asing untuk mengunjungi Desa Pangsan secara ber-grup; serta Actual Demand, yaitu seluruh wisatawan yang telah mengunjungi Desa Pangsan untuk melakukan kegiatan wisata
2.3
Landasan Teori
2.3.1 Teori Perencanaan Perencanaan pariwisata menggunakan konsep perencanaan umum yang sudah terbukti
efektif
dalam
menghadapi
proses
pembangunan
modern,
tetapi
menyesuaikan diri dengan karakteristik jenis pariwisata tertentu. Pendekatan perencanaan pariwisata mengarah pada aplikasi praktis dalam perumusan kebijakan pengembangan pariwisata dan perencanaan. Menurut Inskeep (1991 : 29), proses perencanaan dasar menyediakan kerangka
perencanaan
yang umum, dan
menekankan pada konsep perencanaan menjadi berkesinambungan, berorientasi sistem, menyeluruh, terintegrasi, dan lingkungan dengan fokus pada keberhasilan pengembangan yang dapat mendukung keterlibatan masyarakat. Unsur-unsur dalam pendekatan tersebut sebagai berikut : 1.
Pendekatan berkelanjutan dan fleksibel. Walaupun masih berdasarkan pada suatu kebijakan dan rencana, perencanaan pariwisata berlanjut sesuai dengan penyesuaian yang dibuat pada monitoring dan umpan balik, dalam kerangka memelihara sasaran hasil dan kebijakan dasar pengembangan pariwisata.
29
2.
Pendekatan sistem, pariwisata di pandang sebagai suatu sistem yang saling berhubungan dan di rencanakan sedemikian rupa dengan memanfaatkan teknik analisa system.
3.
Pendekatan menyeluruh, semua aspek pengembangan pariwisata mencakup unsur-unsur kelembagaan dan implikasi sosial ekonomi dan lingkungan yang dianalisa dan direncanakan dengan penuh pemahaman, itu adalah suatu pendekatan holistik.
4.
Pendekatan yang terintegrasi, suatu pendekatan yang dihubungkan dengan sistem
dan
pendekatan
menyeluruh,
pariwisata
direncanakan
dan
dikembangkan sebagai suatu sistem terintegrasi dalam dirinya dan juga terintegrasi dalam keseluruhan rencana dan total pola teladan pengembangan area. 5.
Pendekatan
pengembangan
berkelanjutan
dan
lingkungan
pariwisata
direncanakan, dikembangkan, dan diatur yang merupakan sumber daya budaya yang alami, tidaklah dihabiskan atau diturunkan kualitasnya, tetapi merawat sumber daya secara permanen untuk penggunaan masa depan berkelanjutan. Analisa daya dukung adalah suatu teknik penting yang menggunakan pendekatan pengembangan berkelanjutan dan lingkungan. 6.
Pendekatan masyarakat, adanya keterlibatan maksimum masyarakat lokal di dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan pariwisata serta adanya
keikutsertaan
masyarakat
maksimum
manajemen pariwisata dan manfaat sosial ekonomi.
dalam
pengembangan
30
7.
Pendekatan pelaksanaan, yaitu adanya kebijakan pengembangan pariwisata, rencana, dan rekomendasi dirumuskan untuk dapat dilaksanakan dengan realistis dengan teknik implementasi. Teknik implementasai dipertimbangkan sepanjang seluruh kebijakan dan perumusan rencana mencakup suatu pengembangan, program, tindakan atau strategi yang secara rinci diadopsi dan diketahui.
8.
Aplikasi proses perencanaan sistematis. Proses perencanaa yang sistematis diterapkan dalam perencanaa pariwisata berdasarkan pada suatu urutan aktivitas logis, perencanaan strategis dapat digunakan untuk menentukan misi, visi, nilai-nilai, tujuan, sasaran hasil peran, dan tanggung jawab, batas waktu, dan sebagainya. Perencanaan strategis adalah suatu alat manajemen, yang digunakan untuk
membantu suatu organisasi melakukan suatu pekerjaan lebih baik dalam memusatkan energinya, untuk memastikan anggota organisasi bekerja kearah tujuan yang sama, menilai dan melakukan penyesuaian arah organisasi tersebut sebagai jawaban atas suatu perubahan lingkungan. Jadi perencanaan strategis merupakan suatu tertib usaha untuk menghasilkan tindakan dan keputusan pokok yang membentuk dan memandu dalam mengerjakan suatu fokus masa depan. Berdasarkan penjelasan di atas, teori perencanaan dipandang relevan digunakan untuk menganalisi pengembangan Desa Pangsan sebagai desa wisata. Oleh karena pengembangan desa wisata yang berkelanjutan haruslah bersifat holistik dan berpihak pada masyarakat. Rencana yang dirumuskan pun harus jelas, realistis, dan termonitor kemajuan pengembangannya.
31
2.3.2 Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata Destinasi berjalan menurut siklus evolusi yang terdiri dari tahap pengenalan (introduction), pertumbuhan (growth), pendewasaan (maturity), penurunan (decline), dan peremajaan (rejuvenation). Tujuan dari penggunaan model siklus hidup (destination life cycle model) adalah sebagai alat untuk memahami evolusi dari produk dan destinasi pariwisata. Model siklus hidup destinasi ini ditententukan oleh keputusan strategis manajemen dan sangat tergantung pada faktor eksternal, seperti kompetisi, pengembangan produk subsitusi atau sejenis, perubahan selera konsumen dan regulasi pemerintah (Pitana 2009 : 131). Dalam teori siklus hidup destinasi wisata (Butler, 2006 : 5-8) dipaparkan tujuh fase dalam pengembangan destinasi wisata. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.1 Gambar 2.1 Siklus Hidup Destinasi Wisata
Sumber : Butler, 2006
32
Adapun gambar tersebut menjelaskan beberapa fase dalam pengembangan suatu destinasi wisata dengan karakteristiknya masing-masing, antara lain: 1. Exploration Ditandai oleh kunjungan wisatawan yang terbatas, mengatur perjalanannya secara individu dan mengikuti pola perjalanan yang tidak teratur. Wisatawan tertarik pada keunikan alam dan budaya yang berbeda dengan yang terdapat di negara asalnya. Pada fase ini tidak ada fasilitas yang khusus disediakan untuk wisatawan, mereka justru menggunakan fasilitas milik masyarakat lokal sehingga terjadi kontak yang intensif. Secara tidak langsung, masyarakat lokal menjadi daya tarik tersendiri untuk wisatawan. Tatanan fisik dan lingkungan sosial daerah tidak akan berubah oleh pariwisata. Pada dasarnya, pengaruh kunjungan wisatawan terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat lokal sangatlah kecil. 2. Involvement Ditandai dengan meningkatnya pengunjung yang mendorong penduduk lokal menawarkan fasilitas secara ekslusif kepada pengunjung. Kontak dengan penduduk lokal tetap tinggi dan beberapa dari mereka mulai menyesuaikan pola sosialnya untuk mengakomodasi perubahan kondisi ekonomi akibat keberadaan wisatawan, misalnya dalam menyediakan makanan bagi wisatawan. Promosi destinasi wisata mulai dilakukan, pasar utama wisatawan telah ditemukan, dan organisasi perjalanan wisata diharapkan untuk berpartisipasi. Pada fase ini mulai terjadi tekanan terhadap pemerintah untuk menyediakan berbagai fasilitas penunjang bagi wisatawan.
33
3. Development Ditandai dengan ditemukannya pasar pariwisata yang lebih baik, sebagai hasil dari promosi yang intensif. Pada fase ini pelibatan serta kontrol masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di daerahnya menurun. Investor mulai datang untuk membangun fasilitas baru (khususnya akomodasi) yang lebih besar dan lebih baru untuk menggantikan fasilitas yang disediakan oleh masyarakat lokal. Atraksi wisata yang ada didukung oleh atraksi buatan dengan fasilitas import. Perubahan fisik pada destinasi wisata terlihat dengan jelas, namun tidak semua perubahan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat lokal. Pada fase ini diperlukan perencanaan dan pengaturan dalam pembangunan fasilitas, dan mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan keinginan masyarakat. Jumlah wisatawan pada puncak kunjungan sama atau bahkan melebihi jumlah masyarakat lokal. Maka pekerja asing dan fasilitas import tambahan (sepertti laundry) akan digunakan. Seiring pertumbuhan pariwisata yang terjadi begitu cepat, tipe wisatawan yang datang pun mulai berubah. 4. Consolidation Pada fase ini tingkat pertumbuhan kunjungan wisatawan mengalami penurunan, walaupun jumlah total kunjungan tetap tinggi, dan jumlah total wisatawan melebihi jumlah masyarakat lokal. Sebagian besar kegiatan ekonomi terkait dengan pariwisata. Pemasaran dan periklanan dilakukan untuk memperpanjang musim kunjungan dan memperluas pasar. Fasilitas pariwisata
yang
disediakan
dalam
jumlah
besar
membangkitkan
34
ketidakpuasan masyarakat lokal, khususnya yang tidak dilibatkan dalam aktivitas pariwisata. Sementara, fasilitas pariwisata yang sudah tua tidak diminati lagi. 5. Stagnation Pada fase ini puncak jumlah kunjungan telah tercapai. Kapasitas maksimal pada berbagai variabel penunjang telah tercapai bahkan terlampaui. Destinasi wisata memiliki citra yang terbangun dengan baik, namun tidak lagi dianggap menarik. Terjadi ketergantungan terhadap kunjungan ulang dan konvensi. Atraksi budaya asli dan alam mulai tergantikan oleh atraksi buatan yang diimpor. Fasilitas pariwisata yang ada sering mengalami perubahan kepemilikan. 6. Decline Pada fase ini destinasi wisata kalah bersaing dengan destinasi wisata baru lainnya dan mengalami penurunan pasar, baik secara kewilayahan maupun jumlah. Destinasi wisata tidak lagi dianggap menarik oleh wisatawan. Fasilitas pariwisata digantikan dengan fasilitas non-pariwisata. Keterlibatan masyarakat lokal kembali meningkat, mereka bahkan dapat membeli fasilitas pariwisata yang ada dengan harga yang murah. Hotel-hotel berubah menjadi tempat tinggal permanen. Pada akhirnya destinasi tersebut mejadi daerah wisata yang kumuh atau bahkan benar-benar kehilangan fungsi pariwisatanya.
35
7. Rejuvenation Di sisi lain, fase rejuvenation bisa saja terjadi, walaupun hal tersebut hampir tidak mungkin terwujud tanpa melakukan perubahan menyeluruh pada destinasi wisata. Ada dua cara untuk mencapai tujuan tersebut. Pertama, dengan penambahan atraksi buatan misalnya dengan pembangunan kasino. Namun, efektivitasnya akan berkurang jika destinasi pesaing juga melakukan hal yang sama. Alternatif Kedua adalah dengan memanfaatkan sumber daya alam yang belum diangkat sebelumnya, selain itu pembangunan fasilitas baru juga layak dilakukan untuk memberi kesan yang lebih baik pada destinasi wisata. Secara lebih rinci Arah kurva setelah periode stabilisasi yang terlihat pada gambar menghasilkan beberapa penafsiran : A. Menunjukkan suksesnya pembangunan kembali, yang menghasilkan pertumbuhan dan pengembangan baru B. Menunjukkan perubahan dan penyesuaian kecil terhadap tingkat kapasitas, dan perlindungan sumber daya yang berkelanjutan dapat menghasilkan pertumbuhan lanjutan pada tingkat yang sangat rendah C. Menunjukkan penyesuaian kembali untuk memenuhi seluruh tingkat kemampuan destinasi dapat lebih menstabilkan dan mempertahankan tingkat kunjungan D. Menunjukkan penurunan akibat berlanjutnya penggunaan sumber daya yang berlebih, tidak dilakukannya perbaharuan vegetasi tua, serta menurunnya daya saing terhadap destinasi wisata lain
36
E. Pada akhirnya pengaruh peperangan, wabah penyakit, ataupun bencana lain akan menyebabkan penurunan drastis terhadap jumlah kunjungan dan mungkin sangat sulit untuk memulihkannya. Jika penurunan berlangsung lama, destinasi dan fasilitasnya tidak akan menarik lagi bagi wisatawan meski masalah telah terselesaikan. Dengan teori ini akan dilihat sejauh mana Desa Pangsan berkembang sebagai desa wisata hingga saat ini, yang kemudian dipadukan dengan kondisi internal dan eksternal, sehingga dapat ditetapkan pengembangan pariwisata yang tepat kedepannya.
2.3.3 Teori Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Komunitas Pembangunan berbasis komunitas merupakan paradigma alternatif terhadap kegagalan paradigma birokratis yang dianggap menciptakan ketergantungan masyarakat perdesaan terhadap birokrasi. Atas dasar itulah Korten (1986), memperkenalkan paradigma kerakyatan (people centered development). Korten mengungkapkan bahwa pembangunan kerakyatan adalah sebagai produk dan prakarsa kreatif masyarakat dengan tujuan untuk mewujudkan pemberdayaan. Hal tersebut diperkuat oleh Natori (2001 : 44) yang mengatakan bahwa pengelolaan sumber daya berbasis komunitas adalah aktivitas masyarakat untuk mempromosikan daerahnya melalui pertukaran dan penciptaan kreasi masyarakat melalui sumber daya lokal yang ada secara penuh dan memanfaatkan alam, budaya, sejarah, industri, orang-orang yang berbakat, dan sumber daya lokal lainnya.
37
Menurut Korten (1986 : 5), pengelolaan sumber daya berbasis komunitas dalam pengoperasiannya mengacu pada tiga alasan mendasar, yaitu: 1. Local variety, yaitu adanya variasi kehidupan masyarakat lokal atau kehidupan yang berbeda menuntut sistem pengelolaan yang berbeda, perlakuan yang sama tidak dapat diberikan dan masyarakat lokallah yang selalu paling akrab dengan situasinya. 2. Local resources, yakni sumber daya secara tradisional dikuasai dan dikelola oleh masyarakat setempat. 3. Local accountability, yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat yang biasanya bertanggung jawab karena kegiatan yang dilakukan secara langsung akan mempengaruhi hidup mereka. Adapun pengelolaan sumber daya yang bertumpu pada komunitas merupakan pendekatan dengan ciri-ciri pokok sebagai berikut : 1.
Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara bertahap harus diletakkan pada masyarakat itu sendiri
2. Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasi sumber-sumber yang terdapat dalam masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka, menjadi fokus utama 3. Mentoleransi variasi lokal dan oleh karenanya sifatnya sangat fleksibel menyesuaikan dengan kondisi lokal 4. Dalam rangka pembangunan, menekankan pada social learning yang didalamnya terdapat interaksi dalam komunitas mulai dari proses
38
perencanaan sampai proses evaluasi proyek dengan mendasarkan diri pada saling belajar 5. Proses pembentukan jaringan antara birokrat dengan LSM organisasi tradisional yang mandiri, merupakan bagian integral dari pendekatan ini, baik untuk meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi dan mengelola berbagai sumber maupun dalam menjaga keseimbangan antara struktur vertikal dan horizontal. Teori ini digunakan untuk mengkaji pengembangan Desa Pangsan sebagai salah satu desa wisata di Kabupaten Badung. Dengan menggunakan teori ini diharapkan terlihat jelas berbagai kendala yang dihadapi dan upaya pengembangan yang dilakukan oleh pihak pengelola dalam pengembangan Desa Wisata Pangsan apakah telah memenuhi prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya berbasis komunitas atau belum. Sehingga dapat dirumuskan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan Desa Pangsan melalui keterlibatan dan pengelolaan oleh masyarakat.
2.4
Model Penelitian Untuk menjawab dan memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan,
diperlukan kerangka konsep yang merupakan abstraksi dari penelitian ini. Adapun penelitian ini dilatar belakangi upaya Pemkab. Badung dalam menggali dan mengembangkan potensi pariwisata perdesaan yang terdapat di Badung bagian utara. Hal tersebut ditandai dengan penetapan 11 desa wisata dalam Peraturan Bupati Badung no. 47 tahun 2010.
39
Desa Pangsan yang termasuk salah satu desa wisata di Kabupaten Badung dipilih sebagai objek dari penelitian ini. Adapun penelitian diawali dengan menjawab rumusan masalah pertama, dengan mengidentifikasi potensi daya tarik
pariwisata yang terdapat di Desa Pangsan mengacu pada konsep desa wisata serta permintaan dan penawaran dalam Kepariwisataan. Kemudian penelitian dilanjutkan dengan menjawab rumusan masalah kedua, dengan mengkaji kondisi lingkungan internal dan eksternal dalam pengembangan Desa Pangsan sebagai desa wisata. Adapun lingkungan internal yang dikaji mengenai daya tarik (attraction), fasilitas (amenities), layanan pendukung (ancillary service), dan akses (accessibility). Sedangkan lingkungan eksternal menyangkut ekonomi, sosial budaya, kebijakan pemerintah, kemajuan teknologi, kerjasama, persaingan, dan keamanan. Setelah variabel teridentifikasi, selanjutnya dilakukan pembobotan dan penilaian masingmasing variabel oleh responden. Hasil pembobotan dan penilaian tersebut kemudian akan dianalisis menggunakan teknik analisis matriks IFAS dan EFAS. Analisis matriks IFAS-EFAS akan menghasilkan faktor internal berupa faktor-faktor kekuatan dan kelemahan dikombinasikan dengan faktor eksternal berupa faktor-faktor peluang dan ancaman, kombinasi ini akan menghasilkan strategi umum (grand strategi). Kemudian melalui analisis SWOT akan dirumuskan beberapa
strategi
alternatif
(alternatif
strategy)
serta
program-program
pengembangan Desa Wisata Pangsan yang sekaligus menjawab rumusan masalah ketiga dalam penelitian ini. Kedua analisis tersebut, didukung dengan identifikasi potensi serta daya tarik pariwisata Desa Pangsan serta mengacu pada konsep dan teori yang ada. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka dapat digambarkan sebuah model penelitian tantang Strategi Pengembangan Desa Pangsan sebagai Desa Wisata di Kecamatan Petang Kabupaten Badung, sebagai berikut :
40
Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Badung
Peraturan Bupati Badung no. 47 tahun 2010 Desa Wisata Pangsan
Desa Wisata Permintaan dan Penawaran dalam Kepariwisataan
Potensi Daya Tarik Pariwisata Desa Pangsan
Lingkungan Internal Lingkungan Eksternal
Matrik IFAS-EFAS
Matrik SWOT Strategi Pengembangan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan
Gambar 2.2 Model Penelitian
Strategi & Program Pengembangan Desa Wisata Pangsan
4A: Attraction Accessibility Amenities Ancillary service Ekonomi Sosial budaya Kebijakan pemerintah Kemajuan teknologi Kerjasama Persaingan Keamanan
Teori Perencanaan Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata Teori Manajemen Sumber Daya Berbasis Komunitas