9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Usaha akomodasi pariwisata adalah obyek yang cukup menarik untuk diteliti
dalam bidang pariwisata, hal ini dikarenakan usaha akomodasi pariwisata merupakan komponen utama dari keberadaan suatu daerah pariwisata.
Penelitian tentang
dampak pariwisata khususnya dampak pembangunan vila terhadap lingkungan fisik belum pernah dilaksanakan, baru hanya sebatas pendataan jumlah villa dan esensi pembangunan vila dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten Badung. Untuk dapat memperoleh jawaban sementara dari penelitian ini maka perlu dilakukan suatu kajian terhadap beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan vila dan dampak pariwisata akan dijadikan sebagai kajian pustaka bagi penelitian ini. Penelitian tentang vila pernah dilaksanakan oleh Tim Tourism Field Study (TFS) Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali (2006) dengan judul penelitian ”Eksistensi dan Esensi Vila dalam Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Badung”. Penelitian ini melihat perkembangan vila lebih disebabkan oleh terjadinya perubahan pola perjalanan wisatawan dari mass tourism ke arah yang lebih bersifat privat/individual dengan pelayanan yang bersifat pribadi serta alasan keamanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi vila di Kabupaten Badung, mengetahui karakteristik pasar dari vila dan untuk mengetahui esensi atau manfaat dari keberadaan vila, dilihat dari sisi pemerintah dan masyarakat di sekitar vila. Hasil
10 penelitian ini secara garis besar menyatakan bahwa keberadaan vila yang tersebar di setiap kecamatan merupakan bukti dari pentingnya sarana akomodasi yang layak dan mampu memberikan kenyamanan bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali. Esensi vila memberikan dampak yang positif bagi pembangunan pariwisata di Kabupaten Badung secara langsung ataupun tidak langsung khususnya untuk sektor perekonomian masyarakat serta PAD bagi pemerintah Kabupaten Badung. Penelitian yang dilakukan oleh Tim TFS Sekolah Tinggi Pariwisata Bali tersebut sangat relevan dengan penelitian yang akan dilakukan karena memiliki objek penelitian yang sama yaitu vila yang berada di wilayah Kabupaten Badung. Hasil penelitian ini akan dijadikan salah satu referensi data base keberadaan vila di Kabupaten Badung. Penelitian lain sehubungan dengan dampak pariwisata adalah penelitian tentang dampak perkembangan kepariwisataan di Nusa Lembongan dilakukan oleh Sumariadhi (2009). Penelitian ini menemukan bahwa perkembangan pariwisata di destinasi pariwisata Nusa Lembongan menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap lingkungan fisik, lingkungan sosial budaya, dan lingkungan ekonomi. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa perkembangan pariwisata di Nusa Lembongan memberikan dampak yang positif dan negatif terhadap lingkungan fisik. Dampak positif perkembangan pariwisata di Nusa Lembongan terhadap lingkungan fisik adalah kesadaran dalam pengolahan limbah, pelestarian pesisir pantai, penghijauan dan penataan lingkungan sekitar vila. Sedangkan dampak negatif perkembangan pariwisata terhadap lingkungan fisik adalah (1) ketimpangan dalam pemanfaatan energi listrik antara masyarakat lokal dengan usaha wisata (2) pengambilan air bawah tanah yang tidak terkendali (3) pemanfaatan lahan yang tidak optimal (4) kerusakan terumbu karang (5) penurunan hasil tangkapan nelayan (6) penurunan hasil budidaya
11 rumput laut dan (7) penurunan aktivitas pertanian lahan kering. Penelitian tersebut memberikan
pijakan
dalam
menganalisis
dampak
pariwisata
secara
lebih
komprehensif, yaitu meneliti dampak positif dan dampak negatif pariwisata khususnya ditinjau dari segi lingkungan fisik.
2.2
Konsep Untuk mengkaji dampak pembangunan vila di Kecamatan Kuta Utara
digunakan beberapa konsep yang dianggap sesuai dan terkait dengan penelitian ini, antara lain konsep pariwisata, vila, dampak pariwisata terhadap lingkungan, dan pembangunan pariwisata berkelanjutan. 2.2.1
Pariwisata Secara etimologis, Yoeti (2002) menyatakan bahwa kata pariwisata berasal
dari Bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu kata pari yang berarti banyak, berkali-kali, atau berputar-putar dan wisata yang berarti perjalanan, bepergian, atau dalam Bahasa Inggris disebut travel. Jadi, pariwisata dapat diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar dari satu tempat ke tempat lain. Oleh karena itu, pengertian pariwisata sesungguhnya dapat dipadankan dengan kata tour dalam Bahasa Inggris. Sedangkan bentuk jamak atau pembentukan kata benda untuk pariwisata adalah kepariwisataan atau dalam Bahasa Inggris disebut tourism, yaitu hal-hal yang menyangkut pariwisata. Orang yang melakukan kegiatan perjalanan (wisata) disebut wisatawan atau dalam Bahasa Inggrisnya disebut traveller. Sedangkan orang yang melakukan perjalanan berputar-putar atau berkalikali (berpariwisata) disebut pariwisatawan atau turis atau dalam Bahasa Inggrisnya
12 disebut tourist. Dari pengertian ini dapat dibedakan antara traveller dengan tourist, yang mana tourist merupakan bagian dari traveller. Namun demikian, dalam bahasa Indonesia, baik traveller maupun tourist keduanya disebut wisatawan karena pariwisatawan sangat tidak lazim digunakan. Undang-Undang
Nomor
10
tahun
2009
tentang
Kepariwisataan
mendefinisikan wisata sebagai kegiatan perjalanan dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Dari definisi wisata ini kemudian ditarik definisi pariwisata yaitu berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Akhirnya, kepariwisataan didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha. Dari sekian banyak definisi pariwisata, maka definisi yang diberikan oleh Burkat dan Medlik (1981) dipakai dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa: 1.
Pariwisata timbul dari pergerakan orang ke, dan tinggal di, berbagai destinasi.
2.
Ada dua elemen dalam pariwisata: perjalanan ke/dari destinasi dan tinggal di destinasi beserta aktivitas yang dilaksanakan di sana.
3.
Perjalanan dan tinggal di tempat di luar orang tersebut biasa tinggal dan bekerja.
13 4.
Pergerakan ke destinasi bersifat sementara, jangka pendek, dan kembali dalam beberapa hari, minggu, atau bulan.
5.
Di tujuan yang dikunjungi bertujuan selain untuk tinggal permanen dan mendapatkan gaji/upah.
2.2.2. Sarana Akomodasi Pariwisata Keberadaan sarana akomodasi pariwisata memiliki peran yang penting bagi suatu kawasan pariwisata. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sarana akomodasi pariwisata dimasukkan ke dalam salah satu usaha pariwisata yaitu usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan akan memberikan efek bertambahnya jumlah sarana akomodasi pariwisata, hal ini dikarenakan akomodasi pariwisata merupakan kebutuhan primer bagi wisatawan yang mengunjungi suatu tempat wisata sebagai tempat beristirahat. Sarana akomodasi pariwisata menurut Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No. : 98/HK.103/MPPT-87 (dikutip dari Gelgel, 2006 : 53) adalah sarana untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan, makan, minum serta jasa lainnya. Jenis-jenis usaha akomodasi pariwisata di Indonesia terdiri dari usaha hotel, hotel melati, dan pondok wisata. Namun sejak tahun 2006 di Kabupaten Badung dikenal pula jenis akomodasi parwisata yang disebut kondotel atau kondominium hotel. Pelaku usaha akomodasi pariwisata tersebut diselenggarakan oleh badan usaha berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, dikecualikan terhadap usaha pondok wisata yang hanya boleh diusahakan oleh koperasi dan pengusaha perorangan.
14 2.2.3 Villa Pesatnya pembangunan industri pariwisata telah membawa dampak bagi perubahan-perubahan jenis kegiatan dalam industri pariwisata. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan sebagian besar kegiatan industri pariwisata merupakan bidang jasa dan pelayanan, sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan wisatawan yang beraneka ragam maka diperlukan adanya inovasi-inovasi baru untuk dapat memenuhi setiap pola konsumsi wisatawan. Jasa dan pelayanan akomodasi adalah salah satu jenis kegiatan pariwisata yang mengalami perkembangan yang cukup pesat, dan salah satunya adalah akomodasi vila. Apabila mendengar kata vila, maka yang tergambar dalam benak kita adalah bangunan mewah yang dijadikan rumah peristirahatan bagi orang-oarang perkotaan sebagai tempat peristirahatan yang dipergunakan sewaktu-waktu. Vila merupakan salah satu bagian dari sarana akomodasi yang berada di wilayah pedesaan dan pemukiman yang menyewakan satu unit bangunan atau lebih. Menurut Marpaung (2001), vila adalah suatu usaha yang dikelola dengan menyediakan jasa pelayanan serta kamar untuk tidur bagi pejalan yang mampu membayar pantas sesuai dengan fasilitas yang ditawarkan dengan membuat perjanjian khusus. Sedangkan pengertian vila juga dikemukakan oleh Tim Tourism Field Study STP Nusa Dua Bali (2006), vila adalah rumah di luar kota yang merupakan sarana akomodasi yang dapat digunakan untuk pribadi maupun disewakan kepada wisatawan yang mampu membayar pantas sesuai dengan fasilitas yang ditawarkan. Menurut Peraturan Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata Tentang Standar Usaha Villa, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 disebutkan bahwa villa adalah jenis akomodasi yang terdiri dari satu atau lebih unit bangunan yang berdiri sendiri yang
15 menyediakan jasa penginapan dan jasa lainnya dengan mengutamakan privasi dan pelayanan yang dikelola secara profesional dengan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa vila yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah bangunan yang dipergunakan sebagai sarana akomodasi pariwisata yang pengusahaannya sesuai dengan jenis-jenis usaha akomodasi yang ada di Indonesia seperti hotel, hotel melati, pondok wisata dan kondotel. 2.2.4 Dampak Pembangunan Pariwisata Adhika (2004) dalam materi kuliah Perencanaan Pariwisata menyatakan, dampakdampak pengembangan pariwisata dapat dilihat dari beberapa sisi: 1. Dampak fisik, yaitu dampak pembangunan dan pengembangan pariwisata yang berhubungan dengan pembangunan fisik. Adapun dampak fisik pengembangan pariwisata meliputi: fisik alami, dan lingkungan fisik binaan (rekayasa menciptakan lingkungan yang menarik). Lebih lanjut dikatakan, berkembangnya fisik kawasan dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu: perubahan penyediaan fasilitas (resort dan transportasi), perubahan perilaku dan sikap wisatawan, perilaku pengambilan keputusan, antisipasi penduduk local. Sedangkan karakter dan perkembangan fisik, dipengaruhi oleh: •
Kondisi fisik alami ( topografi, vegetasi, flora fauna, lingkungan).
•
Struktur dan pengembangan ekonomi kawasan: (perkembangan ekonomi, ruang investasi).
•
Organisasi dan struktur sosial (budaya lokal, pendidikan, orsos, persepsi) organisasi politik ( Peraturan dan UU, insentif, organisasi pariwisata).
16 •
Tingkat pengembangan kawasan.
2. Dampak
sosial-budaya
pengembangan
pembangunan
pariwisata,
yaitu
dampak
pariwisata terhadap sosial budaya masyarakat. Dampak
sosial-budaya ini dapat bersifat positif dan negatif. Dampak positif pariwisata terhadap sosial budaya diantaranya: 1.Meningkatnya kualitas warisan budaya. 2.Meningkatnya usaha pelestarian bahasa tradisional. 3.Berkembangnya pasar kerajinan tradisional. 4.Berkembangnya bentuk dan disain kerajinan tradisional. 5.Meningkatnya pemahaman tentang gaya hidup bangsa-bangsa lain di dunia. 6.Adopsi nilai dan perilaku positif dari wisatawan. 7.Pengalaman bergaul dan bekerja dengan orang dari masyarakat luar. Sedangkan dampak negatif pariwisata terhadap sosial-budaya yaitu: 1.
Bangunan tidak lagi bergaya arsitektur tradisional.
2.
Adanya tekanan terhadap bahasa tradisional (banyaknya kosa kata
asing dalam bahasa tradisional. 3.
Produk produksi lokal digantikan oleh produk yang digemari
wisatawan. 4.
Berubahnya bentuk kerajinan tradisional sesuai selera wisatawan.
5.
Berubahnya gaya hidup masyarakat seperti mengkomsumsi fast food.
6.
Hilangnya kepercayaan sebab harus berperilaku sebagai pelayan
wisatawan.
17 7.
Meningkatnya kejahatan prostitusi, dll. (Suryawan, 2004. Materi
Kuliah Pariwisata Budaya) 3. Dampak Ekonomi pengembangan pariwisata Mill (2000) dalam bukunya The Tourism International Business menyatakan: ciri-ciri ekonomi pariwisata menjelaskan jenis-jenis pengaruh yang ditimbulkan oleh pariwisata terhadap sebuah komunitas dicirikan dalam lima hal yang berbeda, yaitu: 1. Produk pariwisata tidak dapat disimpan; 2. Permintaannya sangat tergantung pada musim. Ini berarti pada bulan-bulan tertentu ada aktivitas yang tinggi sementara pada bulan-bulan lainnya aktivitasnya secara bisnis rendah. Permintaan dipengaruhi oleh pengaruhpengaruh dari luar yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Perubahan mata uang, nilai mata uang, gejolak politik, bahkan perubahan cuaca atau iklim bisa mempengaruhi permintaan. 3. Permintaan adalah sebuah fungsi dari banyak motivasi yang kompleks. Wisatawan melakukan perjalanan berdasarkan lebih dari satu alasan saja. Artinya sebagian besar dari mereka ingin mengunjungi daerah yang berbeda setiap tahunnya daripada kembali ke tempat yang sama setiap musim liburan. 4. Pariwisata berhubungan erat dengan biaya dan pendapatan yang elastis. Permintaan akan sangat dipengaruhi oleh perubahan biaya dan pendapatan yang relatif kecil. Elastisitas harga merujuk ke hubungan antara biaya yang dikenakan dan jumlah permintaan.(Mill, 2000: 168). Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa keberhasilan Masyarakat dan Pemerintah Bali dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata tidak akan terlepas dari dampak-dampak yang timbul sebagai bias-bias pariwisata Bali. Sebagian dari dampak-dampak tersebut berkorelasi positif terhadap tatanan perikehidupan
18 masyarakat Bali, namun sebagian lainnya berkorelasi negatif. Berikut diuraikan mengenai dampak pariwisata Bali terhadap sektor Ekonomi, Pisik, dan Sosial. Cohen (1984) dalam Pitana dan Gayatri (2007) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu: 1.
dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;
2.
dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;
3.
dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;
4.
dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;
5.
dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat;
6.
dampak terhadap pola pembagian kerja;
7.
dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;
8.
dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;
9.
dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan
10.
dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.
Sedangkan menurut Figuerola ada enam kategori dampak sosial budaya, yaitu : 1.
dampak terhadap struktur demografi,
2.
dampak terhadap bentuk dan tipe mata pencaharian
3.
dampak terhadap transformasi nilai
4.
dampak terhadap gaya hidup tradisional
5.
dampak terhadap pola konsumsi
6.
dampak terhadap pembangunan masyarakat yang merupakan manfaat sosial budaya pariwisata
19 Sementara itu Pizam and Milman (1984) dalam Pitana (2007) juga mengklasifikasikan dampak sosial budaya pariwisata atas enam, yaitu : 1.
dampak terhadap aspek demografis (junmlah penduduk, umur, perubahan piramida kependudukan)
2.
dampak terhadap mata pencaharian (perubahan pekerjaan, distribusi pekerjaan)
3.
dampak terhadap aspek budaya (tradisi, keagamaan, bahasa)
4.
dampak terhadap tansformasi norma (nilai, moral, peranan seks)
5.
dampak terhadap modifikasi pola konsumsi (infrastruktur, komunitas)
6.
Dampak terhadap lingkungan (polusi, kemacetan lalu lintas)
2.2.5 Pengembangan Ekonomi Pariwisata dan Lingkungan Pariwisata yang dikembangkan pada suatu daerah hendaknya mampu memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakatnya seperti mampu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat dan mampu memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat luas. Keuntungan secara ekonomi hendaknya juga dinikmati oleh komponen pariwisata lainnya seperti pihak swasta yang telah menanamkan modalnya serta pemerintah sebagai bagian dari komponen pariwisata yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Lingkungan sebagai salah satu komponen terpenting dalam pariwisata perlu mendapatkan perhatian yang serius. Untuk itu perlu diupayakan berbagai cara agar mampu mengembangkan serta melestarikan lingkungan baik secara fisik maupun non fisik. Secara fisik, eksploitasi alam secara besar-besaran misalnya mengalih fungsikan lahan pertanian produktif untuk tujuan pariwisata tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan merupakan tindakan yang keliru. Secara non fisik, kelestarian lingkungan juga perlu dijaga dari berbagai pencemaran yang merugikan.
20 Dalam menciptakan iklim usaha dan peluang ekonomi yang profesional dengan memanfaatkan kegiatan wisata alam, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan. Beberapa kebijakan pemerintah terkait dengan memanfaatkan kegiatan wisata alam antara lain ; a. Surat
Keputusan
Menteri
Kehutanan
No.
68/Kpts-II/1989
tentang
Pengusahaan Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Laut. b. Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konvensi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. c. Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. d. Kebudayaan, Kehutanan, Kelautan, Perikanan, Pertanahan, Tata Ruang, Lingkungan Hidup dan Otonomi daerah merupakan sebagaian sektor yang sangat terkait dengan pariwisata. Dilihat dari sisi kebudayaan, kebijakan Undang-Undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) beserta turunannya menjelaskan bahwa BCB tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. e. Kebijakan pengelolaan sumber daya laut dan pesisir yang dimuat Kepmen No. 41/2000 yang kurang terpadu dengan UU NO. 22/1999, belum sepenuhnya mengatur hak nelayan di bidang ekonomi, lingkungan sosial, budaya termasuk pengakuan hak adat oleh Negara.
21 f. Hal yang sangat menentukan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan peruntukannya adalah UU NO. 24/1992 tentang penataan ruang merupakan landasan ketentuan tentang segi-segi pemanfaatan ruang untuk berbagai kepentingan termasuk kepariwisataan. Disamping kebijakan pada tingkat nasional seperti tersebut di atas, kebijakan pada tingkat daerah juga dikeluarkan khususnya Provinsi Bali telah mengeluarkan pedoman tentang prinsip-prinsip pengembangan objek dan daya tarik wisata (1999: 11) yang isinya antara lain. a. Mempertahan ciri khas tiap daerah (kadang kala ciri khasnya hilang akibat renovasi). b. Direncanakan sesuai kepentingan lokal pariwisata. c. Memuaskan bagi wisatawan yang mengadakan perjalanan jauh/biaya mahal. d. Menghindari sekecil mungkin pencemaran lingkungan dan kebudayaan. e. Kemudahan pencapaian dan mempunyai hubungan yang mudah dengan akomodasi. f. Layak sesuai dengan lingkungan atau daerahnya. g. Penganekaragaman atraksi dikembangkan seseuai dengan lingkungan. h. Biaya pengembangan disesuaikan proyeksi kunjungan wisatawan seharihari. i. Jumlah kunjungan wisatawan harus sesuai dengan daya dukung objek dan daya tarik wisata. j. Perencanaan didasarkan kepada ciri-ciri yang spesific dan pengembangan disesuaikan dengan keautentikannya.
22 Sementara itu, Suswantoro (1997:88-89) menjelaskan bahwa pengembangan objek dan daya tarik wisata secara rinci perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut. a. Fasilitas perdagangan dan fasilitas lainnya tidak diperkenankan dibangun terlalu dekat dengan objek dan daya tarik wisata sehingga mutu objek tidak tercemar. b. Fasilitas komersial dibangun diintegrasikan dengan tempat parkir. c. Perencanaan tempat komersial berorientasi pada orang-orang pejalan kaki, memperhatikan hal-hal yang terbaik dimana akan dibutuhkan banyak kios-kios (jalur melingkar). d. Tempat parkir minimal 50 meter dari objek dan daya tarik wisata dan ditutup dengan pepohonan (penghijauan). e. Menjual cindramata khas objek setempat anatara lain, kerajinan, lukisan, dan hasil pertanian. Menurut Sugiarta (1995 dalam Keraf, 2000: 7) lebih khusus menjelaskan persyaratan pengembangan wisata bahari agar bisa berkesinambungan adalah sebagai berikut. 1. Tersedianya keadaan musim (cuaca) yang baik (kondusif) sepanjang tahun. 2. Keadaan media lingkungan pesisir dan laut yang bersih dari bahanbahan pencemar serta higeinis. 3. Suasana pantai yang alami, dimana diosertai pula dengan penerapan peraturan
(norma-norma
pantai
lestari),
khususnya
dalam
23 pembangunan sarana dan prasarana fisik, ekonomi, dan sosial yang menyatu dengan lingkungan alam. 4. Habitat pendukung keindahan alam, seperti air laut yang bersih, jernih, dan ekosistem terumbu karang yang masih alami. 5. Gelombang dan laut yang memadai (tidak terlalu besar). 6. Kemungkinan aksesibilitas yang tinggi. 7. Tersedianya fasilitas penunjang seperti art shop, sarana kuliner, akomodasi dan hiburan. Kebijakan pariwisata nasional dapat ditinjau dari UUD 1945 dan UU No. 9 tahun 1990, hingga 1999 dengan apa yang dinamakan Kebijakan Nasioan (National Policy) tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pencantuman pariwisata dalam GBHN baru dilakukan pada PELITA II tahun 1978, yaitu dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang GBHN. Kedudukan UU No. 9/1990 dalam perundang-undangan nasional merupakan undang-undang non organik yang lahir dan timbul atas dasar pemenuhan kebutuhan kebijakan operasional di bidang pariwisata yang bersifat lintas sektoral. UU No. 10/2009 dapat dikaitkan dengan UUD 1945 yang diamandemen, khususnya berkaitan dengan pasal 32 dan 33, yaitu ; kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengemabngkan nilai-nilai budayanya, demokrasi ekonomi keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 2.2.6 Pola Pengembangan Kawasan Wisata Tahapan perkembangan pariwisata membawa implikasi serta dampak yang berbeda. Menurut Butler (dalam Sukarsa, 1998: 68) dijelaskan ada beberapa tahap yang dilaksanakan dalam perencanaan pengembangan kawasan wisata.
24 1. Tahap penemuan; pada tahap ini orang-orang melakukan perjalanan ke suatau wilayah ini biasanya dilakukan oleh pengembara, penjelajah, pelancong atau orang yang mencintai kegiatan perjalanan wisata (travel style). Pada dasarnya orang-orang ini menyalurkan hasrat kecintaan pada suatu tempat tujuan, dan para pengembara, penjelajah, dan pelancong ini tidak memiliki pengharapan untuk diperlakukan secara profesional. 2. Tahap keterlibatan; pada tahap ini, inisiatif masyarakat lokal menyediakan fasilitas wisatawan, kemudian promosi daerah wisata dimulai dibantu dengan keterlibatan pemerintah. Hasilnya, terjadi peningkatan jumlah wisatawaan. Tipe
wisatawan
yang
berkunjungpun
mulai
berubah,
fasilitas
kepariwisataanpun mulai bermunculan. Ini terjadi karena tipe wisatawan berbeda dan sudah menginginkan pelayanan yang profesional. Sementara itu kesadaran wisata dan gaya juga taraf hidup masyarakat stempat mulai mengalami peningkatan sehingga pemerintahpun mulai ikut campur dalam pembangunan prasarana dan sarana kepariwisataan. Namun demikian dalam pengelolaan berbagai fasilitas kepariwisataan tersebut semua itu dilakukan semata-mata sebagai tanggapan dan inisiatif lokal yang bersifat spontan, belum terkoordinasi dan memenuhi standar kepariwisataan. 3. Tahap pengembangan dan pembangunan ; pada tahap ini, jumlah wisatawan yang datang meningkat tajam. Pada musim puncak wisatawan bisa menyamai, bahkan melebihi jumlah penduduk lokal. Investor luar berdatangan memperbahurui fasilitas. Sejalan dengan meningkatnya jumlah dan popularitas daerah pariwisata, masalah-masalah rusaknya fasilitas mulai terjadi.
25 4. Tahap konsilidasi dan interelasi ; pada tahap ini, tingkat pertumbuhan sudah mulai menurun walaupun jumlah wisatawan masih relatif meningkat. Daerah pariwisata belum berpengalaman mengatasi masalah dan kecendrungan terjadinya monopoli sangat kuat. 5. Tahap kestabilan ; pada tahap ini, jumlah wisatawan yang datang pada musim ramai, tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan wisata. Ini disadari bahwa kunjungan ualangan wisatawan dan pemanfaatan bisnis dan komponen-komponen
lain
pendukungnya
sangat
dibutuhkan
untuk
mempertahankan jumlah wisatawan yang berkunjung. Daerah tujuan wisata mungkin mengalami lingkungan, sosial dan ekonomi. 6. Tahap penurunan kualitas (decline) atau kelahiran baru (rejuvenation) ; pengunjung kehilangan daerah tujuan wisata yang diketahui semula dan menjadi resort baru. Kepemilikan berpeluang kuat untuk berubah, dan fasilitas-fasilitas
pariwisata,
seperti
akomodasi
akan
berubah
pemanfaatannya. Akhirnya pengambil kebijakan mengakui tingkatan ini dan memutuskan untuk di kembangkan sebagai ”kelahiran baru”. Selanjutnya terjadi kebijakan baru dalam berbagai bidang seperti pemanfaatan, pemasaran, saluran distribusi, dan meninjau kembali posisi daerah tujuan wisata tersebut. Siklus hidup pariwisata yang mangacu pada pendapat Butler sebagai berikut:
26 Number of Tourism Discovery
Local
Institutionalism
Stagnation,
control
rejuvenation, or decline Stagnation
consolidation
Rejuvenation
Decline
Development involvement
Exploration Time Gambar 2.3. Siklus Hidup Area Wisata Butler (1992)
Mengacu pada siklus hidup area wisata di atas, dikaitkan dengan pembangunan dan perkembangan pariwisata dan penyediaan fasilitas akomodasi, wilayah Kuta Utara berada pada tatanan tahap pengembangan (developement). Ini dapat dilihat dari pembangunan sarana dan prasarana pariwisata yang terus dilakukan di wilayah Kuta Utara. Dari teori Tahapan Pengembangan Pariwisata (tourism life cycle) kemudian dikaitkan dengan
dampak social yang terjadi pada tahap
pengembangan daerah wisata, Doxey (Ryan, 1991:136) menyimpulkan bahwa terjadi perilaku spesifik pada masyarakat lokal atas pengaruh pariwisata dari waktu ke waktu. Tingkat iritasi masyarakat menurut Doxey dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut:
27 -
Visitor are welcome and there is little planning (masyarakat menerima kehadiran wisatawan, namun perencaan pariwisata masih kurang).
-
Visitors are taken for granted and contacts becomes more formal (wisatawan dianggap lebih mengetahui sehingga komunikasi menjadi lebih resmi).
Annoyance
-
Saturations is approached and local people have misgivings. Planning attempt to control via increasing infrastructure rather than limiting growth . (kejenuhan akibat kekwatiran masyarakat lokal. Perencanaan pariwisata dilakukan dengan cara melakukan control pembangunan infrastuktur dibandingkan dengan mambatasi pertumbuhan pariwisata).
Antagonism
-
Open expression of irritation and planning is remedial yet promotion is increased to offset the deteriorating of theresort (kejengkelan masyarakat sudah ditujukkan dalam bentuk gangguan kepada wisatawan).
Euphoria
Apathy
Teori ini dapat digunakan untuk mengukur dampak social yang ditimbulan atas hubungan yang terjadi antara masyarakat local dan wisatawan, adapaun tahapan dari model Doxey, yaitu ; 1) Tingkat euphoria (persaan bangga rohani dan jasmani), dimana pada awal perkembangannya wisatawan disambut gembira dan pariwisata dianggap sebagai pembawa manfaat ekonomi bagi masyarakat local. 2) Tingkat apathy (sikap acuh tak acuh), volume kunjungan wisatawan bertambah, pariwisata dianggap bukan sesuatu yang baru. Wisatawan tidak lagi menggunakan bahasa masyarakat local dan hubungan yang terjadi lebih formal. Sikap masyarakat local lebih apatis terhadap pariwisata. 3) Tingkat annoyance (sikap terganggu/terusik), berbagai permasalahan muncul dalam pariwisata mulai dari kemacetan, bertambahnya
28 kepadatan penduduk pendatang. Masyarakat local merasa mereka mengalami marginalisasi dalam pariwisata. 4) Tingkat antagonism/xenophobia (rasa benci/pertentangan), pariwisata dengan berbagai fasilitasmya dianggap sebagai penyebab berbagai permasalahan yang menimpa masyarakat local, baik masalah social, maupun ekonomi. Pada tahapan ini kegiatan pariwisata mengalami kemandegan dan telah melampaui daya dukung (over capacity). Perencanaan, berkesinambungan
strategi dapat
pengelolaan,
dilaksanakan
dan
melalui
evaluasi
beberapa
yang
pendekatan
pariwisata. Pendekatan-pendekatan pariwisata tersebut menurut
Spilane
dalam Da Costa (2004: 21) adalah sebagai berikut. a. Pendekatan Advocacy Pendekatan ini mendukung pariwisata dan menekankan keuntungan ekonomis pariwisata. Potensi pariwisata bisa dipakai untuk mendukung macam-macam kegiatan ekonomis, menciptakan lapangan kerja baru, memperoleh
devisa
asing
yang
dibutuhkan
bagi
pembangunan.
Perkembangan pendekatan ini mencapai puncaknya pada tahun 1960-an dan mearik perhatian baru dunia pariwisata internasional dan nasional. b. Pendekatan Cautionary Karena pariwisata baru dipandang dari satu sisi saja, ada dorongan untuk memunculkan pendekatan lain yang kemudian dikenal sebagai pendekatan cautionary. Pendekatan ini muncul pada tahun 1970-an, baik yang mempertanyakan maupun menolak sama sekali pendekatan advocacy. Mereka yang berada pada sisi pendekatan cautionary menekankan bahwa
29 pariwisata dapat mengakibatkan banyak kerugian (disbenefits) dalam berbagai aspek sosio-ekonomi, seperti menimbulakan lapangan kerja musiman dan kasar/rendahan, mengakibatkan bocornya devisa asing, menyebabkan komersialisasi budaya, serta menyebabkan berbagai macam konflik. c. Pendekatan Adaptasi Pendekatan advocacy dan pendekatan cautionary saling bertentangan, sehingga muncul bentuk pendekatan baru yang menyadari bahwa pariwisata mempunyai unsur baik positif ataupun negatif. Pendekatan adaptacy menyebutkan bahwa pengaruh negatif pariwisata dapat dikontrol dangan mencari bentuk lain perkembangan pariwisata dari selama ini yang sudah dikenal secara umum, atau dengan menyesuaikan pariwisata dengan negara atau daerah tujuan wisata. Cara berpikir baru ini berdasarkan pandangan bahwa alam dan budaya dapat digabungkan dalam satu konteks. Oleh karena itu, pendekatan ini mengusulkan strategi seperti pembangunan berskala kecil, pariwisata yang terkontrrol, pariwisata yang dapat bertahan lam
(sustainable),
pariwisata
dengan
cara
menikmati
kehidupan
masyarakat setempat, dan pariwisata yang berkaitan dengan ekologi (ecotourism). Pendekatan ini membuat manusia sadar akan bahanyanya pariwisata massa (mass tourism). Oleh karena itu, pendektan ini mengusulkan beraneka ragam bentuk alternatif untuk mengembangkan pariwisata. Penganut ini juga mengusulkan bentuk pariwisata dengan pandangan selera tuan rumah maupun tamu. Contoh dari bentuk alternatif ini adalah pariwisata perkebunan (agricultural tourism), pariwisata yang
30 melibatkan seluruh masyarakat (community tourism), pariwisata dalam skala kecil (cottage tourism), pariwisata untuk menimkati keramahan (gentle tourism), pariwisata yang memiliki kekhasan tertentu (indigenous tourism), pariwisata untuk rekreasi (recreational tourism), pariwisata yang bertanggung jawab (responsible tourism), pariwisata desa (rural tourism), pariwisata olah raga (sport tourism), dan pariwisata lingkungan (ecotourism). Semua altrnatif di atas dikenal sebagai pendekatan development. Alternatif ini menganggap bahwa pariwisata dapat disusuaikan dengan keadaan masyarakat tuan rumah dan peka pada selera masyarakat tuan rumah. Dapat dipercaya bahwa perkembangan tersebut sebtulnya mempengaruhi pilihan wisatawan terhadap daerah tujuan wisata dan demikian juga cara kehidupan mereka di daerah wisata, dan bentuk pariwisata alternatif ini mengurangi jurang pemisah antara hak dan tanggung jawab dari tamu, tuan rumah dan perantaranya. d. Pendekatan Knowledge Based Pendekatan ini adalah pandangan yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Dengan memanfaatkan berbagai hal yang positif dan negatif dari semua pandangan tersebut. Pendekatan ini menggunakan pandangan yang sistematis terhadap pariwisata. Selain itu, pendekatan ini juga menganggap bahwa pariwisata adalah bidang penelitian yang multidisipliner dan cendrung menerapkan teori dan metode dari berbagai bidang yang berkaitan dengan pariwisata. Pendekatan knowlege based ini secara selektif menggabungkan ketiga pendekatan lain dengan masing-masing memberikan subangan sendiri.
31 Selain itu dalam perencanaan dan pembangunan pariwisata konsep pembangunan berkelanjutn (sustainable development), yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Konsep ini sangat tepat untuk dijadikan landasan sebagai grand teori, tidak saja bagi kajian pengembangan pariwisata, tapi juga untuk keseluruhan sektor pembangunan. Konsep ini tidak semata-mata menekankan kesejahteraan materiil yang ditumpukan pada manfaat ekonomi, tetapi juga menekankan pentingnya pariwisata bagi peningkatan hubungan mansusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya secara selaras, serasi yang di istilah bali disebut dengan Tri hita Karana. Selain aspek-aspek tersebut, ada beberapa aspek lain yang perlu diketahui di dalam merencanakan dan mengembangkan kawasan wisata. Menurut Yoeti (1997: 24) Aspek lain yang tak kalah pentingnya untuk dikaji dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata adalah : 1. Wisatawan Pengembangan pariwisata harus didahului dengan penelitian tentang karakteristik wisatawan yang diharpkan datang. Dari negara mana saja mereka datang, anak muda, orang tua, pengusaha, pegawai, apa kesukaannya dan pada musim apa mereka melakukan perjalanan. 2. Pengangkutan Penelitian selanjutnya adalah bagaimana fasilitas transportasi yang tersadia atau jenis kendaraan yang digunakan, baik untuk membawa wisatawan dari negara ke dareah tujuan wisata yang dituju. Selain itu, bagaimana pula dengan
32 transportasi lokal kalau melakukan perjalanan wisata di daerah tujuan yang dikunjungi. 3. Atraksi dan objek wisata yang akan dijual, apakah memenuhi tiga syarat seperti a. Apa yang dapat dilihat (something to see) b. Apa yang dapat dilakukan (something to do) c. Apa yang dapat dibeli (something to buy) 4. Pasilitas Pelayanan Fasilitas apa saja yang tersedia di daerah tujuan wisata tersebut seperti ; akomodasi, perhotelan, restaurant, pelayanan umum (bank, money changers, kantor pos, telepon/teleks/faksimili/internet) di daerah tujuan wisata yang akan dikunjungi. 5. Informasi dan Promosi Calon wisatawan perlu memperoleh informasi tentang daerah tujuan wisata yang akan dikunjunginya. Untuk itu diperlukan cara-cara promosi/publikasi yang akan dilakukan seperti ; kapan waktunya pasang iklan lewat media cetak atau elektronik (TV& Radio), dimana tempat yang cocok untuk memasang spanduk/balihoo,
kemana leaflets/brochures harus disebarkan, sehingga calon
wisatawan mengetahui tiap paket wisata yang ada dan memudahkan calon wisatawan dalam mengambil keputusan. Maka dengan demikian prinsip keseluruhan pengembangan pariwisata haruslah merupakan suatu kesatuan dengan pembangunan regional atau nasional dari pembangunan perekonomian negara. Oleh karena itu perencanaan pengembangan dan pembangunan kepariwisataan hendaknya termasuk dalam kerangka kerja dari
33 pembangunan
ekonomi,
sosial-budaya,
dan
lingkungan
yang
menghendaki
pendekatan terpadu (integrated-approach) dengan sektor lainnya. 2.2.7
Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan
oleh komisi dunia untuk lingkungan hidup dan pembangunan PBB tahun 1987. Konsep ini diperkenalkan sebagai usaha mengantisipasi eksploitasi sumber daya secara berlebihan. Dengan konsep ini diharapkan pembangunan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini tanpa menghambat atau mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.(Schouten, 1992 dalam Sumariadhi, 2009). Konsep pembangunan berkelanjutan kemudian masuk pada sektor pariwisata sehingga
dalam
beberapa
tulisan
mengenai
pariwisata
ditemukan
istilah
pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development). Dalam kaitannya dengan pariwisata, pembangunan berkelanjutan mesti mempertimbangkan kualitas pengalaman wisatawan, kualitas sumberdaya (budaya dan alam), dan kualitas kehidupan masyarakat. Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan akan digunakan untuk membantu menganalisis dampak pariwisata yang terjadi. Pesatnya pembangunan usaha akomodasi villa di Kecamatan Kuta Utara berdampak pada kualitas pengalaman wisatawan, kualitas sumberdaya yang ada, serta kualitas kehidupan masyarakat. Kualitas yang baik akan membantu mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan di Kecamatan Kuta Utara.
34 2.3
Landasan Teori Ada beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori
permintaan dan penawaran, teori konflik, dan teori dampak.
Adapun teori tersebut
dijelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut: 2.3.1
Teori Permintaan dan Penawaran Paska peristiwa Bom Bali I tahun 2002 dan Bom Bali II pada tahun 2005
silam, animo wisatawan baik domestik maupun mancanegara tidak surut untuk berkunjung ke Bali. Dari tingginya kunjungan ini ada trend pergeseran keinginan wisatwan untuk menginap di tempat yang lebih nyaman, aman dan jauh dari hingar bingar kehidupan pariwsata. Dari kondisi lapangan yang di apreisiasi oleh investor maka terjadi pengembangan pembangunan tempat akomodasi dari Kuta Selatan ke arah Kuta Utara. Ternyata terobosan ini mendpat sambutan dari wisatawan yang berkunjung ke Bali. Menurut Pitana, et al. (2005:66) yang dikutip dari Richardson dan Fluker (2004), keputusan seseorang untuk melakukan perjalanan wisata dipengeruhi oleh kuatnya faktor-faktor pendorong (push factors) dan faktor-faktor penarik (pull factors). Faktor pendorong dan penarik ini merupakan faktor internal dan eksternal yang memotivasi wisatawan untuk melakukan perjalanan. Faktor pendorong umumnya bersifat sosial-psikologis (person-specific motivation), sedangkan faktor penarik merupakan destination-specific attributes. Sedangkan menurut Damanik dan Weber (2006:2-14), dari sisi ekonomi, pariwisata muncul dari unsur permintaan dan penawaran antara wisatawan dan daerah tujuan wisata. Kedua unsur ini ibarat mata uang yang memiliki dua sisi yang tidak
35 bisa dipisahkan. Tanpa permintaan wisatawan, segala macam daya tarik wisata yang ada tidak akan ada gunanya, dan sebaliknya tanpa daya tarik wisata, wisatawan tidak akan ada tempat untuk melakukan perjalanan wisata. Awalnya permintaan wisatawan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketersediaan waktu luang dan peningkatan pendapatan. Dengan semakin banyaknya waktu luang dan pendapatan akan meningkatkan keinginan wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata. Diikuti dengan kemajuan teknologi tranportasi darat, laut dan udara yang semakin aman, nyaman dan murah dapat meningkatkan kemampuan masyarakat kelas bawah dan menengah masuk ke dalam pasar transportasi udara. Hal ini sangat sesuai dengan teori permintaan dan penawaran yang menyatakan bahwa semakin rendah harga suatu produk maka semakin banyak produk yang dibeli oleh konsumen (Tasman dan Aima, 2005:12). Sebagai dampaknya, saat ini pariwisata bukan hanya konsumsi eksklusif para pengusaha, petinggi negara dan daerah, kalangan elit dan selebritis, tetapi juga konsumsi orang-orang desa yang memiliki distribusi pekerjaan dan pendapatan yang semakin baik. Permintaan wisatawan tanpa ada penawaran dan pelayanan dari daerah tujuan wisata belum cukup menjamin perjalanan wisata. Penawaran wisata adalah menyangkut semua produk yang ditawarkan kepada wisatawan, sedangkan jasa adalah layanan yang diterima wisatawan ketika mereka memanfaatkan atau menkonsumsi produk tersebut. Pelayanan pariwisata biasanya tidak tampak (intangible), bahkan seringkali tidak dirasakan. Mulai dari pembersihan kamar hotel yang dilakukan oleh staf room service, aneka hidangan dan cara penyajiannya yang dilakukan oleh staf food and beverage sampai penyediaan informasi di Tourist
36 Information Centre, semuanya merupakan bentuk jasa penawaran pariwisata (Damanik dan Weber, 2006:11). 2.3.2
Teori Konflik Pariwisata melibatkan berbagai komponen di dalamnya dalam rangka
menyediakan jasa bagi wisatawan. Dalam interaksi komponen-komponen pariwisata ini tidak selamanya berjalan harmonis. Lebih jauh, konflik dapat timbul dari interaksi atau hubungan antara satu komponen pariwisata dengan komponen pariwisata lainnya. Hal ini
mendorong adanya analisis terhadap perilaku manusia dalam
perspektif teori konflik dalam rangka memenuhi kebutuhan laten berupa status, kekuasaan serta sumber kekayaan, dan persediaan sumber daya pariwisata yang terbatas. Teori konflik yang dikembangkan Dahrendorf bersifat multifaset, artinya bahwa konflik dapat terjadi antar pribadi, antar kelompok, dan dapat berfungsi positif atau negatif. Marx menggunakan strategi perjuangan kelas yang antagonistik antara proletar dengan borjuis, menjadikan konflik sebagai strategi perjuangan, tidak multifaset seperti Dahrendorf, melainkan diangkat menjadi strategi mengkonflikkan secara sistemik. Menurut Coser dalam Suprayogo (2001), konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kekuasaan dan sumber-sumber kekayaan dan persediaan yang tidak mencukupi, dan pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya berusaha memperoleh barang yang diinginkan, tetapi juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka. Teori konflik ini akan diaplikasikan untuk mengkaji dampak pariwisata, terutama berkaitan dengan konflik yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan dan
37 sumber daya di Kecamatan Kuta Utara. Selain itu, teori konflik juga akan dipakai untuk mengkaji konflik lainnya yang berkaitan dengan pariwisata, misalnya konflik sumberdaya manusia. Solusi atas konflik dapat dijadikan dasar dalam penyusunan strategi meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif. 2.3.3
Teori Dampak Teori
dampak
dinamika
sosial
(Dynamics
Sosial
Impact
Theori)
dikembangkan oleh Bibb Latane yaitu mengibaratkan masyarakat sebagai komunikasi raksasa yang terdiri atas sejumlah subsistem budaya, termasuk interaksi individu dengan yang lainnya. Aksioma individu berbeda dalam berbagai cara, berbeda ide, kepercayaan, kebiasaan, dan perilaku.
Mereka berinteraksi dengan yang lainnya
dalam ruang sosial. Seseorang akan mudah dipengaruhi oleh orang terdekat dari pada orang yang tidak dikenal dan akan menimbulkan perubahan-perubahan sistem komunikasi (Widiastuti, 2008). Menurut Soemarwoto (2005), dampak adalah suatu perubahan yang terjadi akibat adanya suatu aktivitas. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan struktur ekonomi, struktur sosial, fisik wilayah, pola konsumsi, pola perilaku, alam dan lingkungan hidup, teknologi, dan perubahan sistem nilai budaya. Perubahan yang terjadi akibat suatu aktivitas/proyek (Wardi, 2005) adalah 1. sering disadari, diduga, dan diharapkan (perubahan kentara/manifest). 2. tidak disadari, tidak diduga, tidak diharapkan (porse laten) 3. disadari, menduga dan mengharapkan namun semua dugaan atau prakiraan itu ternyata keliru sama sekali (kontraproduktif). Dampak suatu kegiatan yang direncanakan oleh manusia secara umum dapat dikatagorikan sebagai dampak primer dan dampak sekunder. Dampak primer adalah
38 dampak langsung yang dihasilkan oleh suatu kegiatan, sedangkan dampak sekunder adalah dampak lanjutan dari dampak primer.
Tingkat proses perubahan dapat
berlangsung dalam skala mikro, mezo dan makro yang berlangsung dalam skala waktu yang pendek dan sangat cepat, atau lambat yang memerlukan waktu berpuluhpuluh tahun.
Perubahan mikro terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dalam
kelompok kecil seperti keluarga. Perubahan mezo terjadi dalam kelompok besar seperti birokrasi, komunitas desa.
Sedangkan perubahan makro merupakan
perubahan paling luas seperti di tingkat regional, kawasan dan sebagainya. Dampak lingkungan, ekonomi dan social budaya merupakan dampak yang timbul sehubungan dengan kegiatan pariwisata. Dampak-dampak tersebut dapat berupa dampak positif dan negative. Batasan pengertian tentang dampak positif dan negative dijelaskan sebagai berikut. 1. Dampak Positif Dampak positif dari perkembangan pariwisata baik dari segi mikro maupun makro menimbulkan peningkatan perolehan devisa suatu Negara, peningkatan APBN dan PAD suatu daerah, peningkatan pendapatan perkapita penduduk suatu daerah yang secara tidak langsung berdampak pada kesejahteraan masyarakat setempat. Berkembangnya kebudayaan masyarakat sekaligus juga sebagai upaya dalam pelestarian budaya yang bisa dijadikan konsumsi wisatwan. 2. Dampak Negatif Dampak
negative
social-budaya
pengembangan
pariwisata
meliputi:
komodifikasi, peniruan, profanisasi, perselisihan antara masyarakat local
39 dengan pengelola kawasan atau daya tarik wisata, dan penolakan terhadap keberadaan kawasan atau daya tarik wisata. Menurut Pitana dan Gayatri (2005:109-115), pariwisata membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorphose dalam berbagai aspeknya, sehingga untuk melihat secara langsung dampak social budaya masyarakat tidak begitu mudah. Meskipun industry pariwisata yang sangat ramah dengan lingkungan tetapi tetap saja menimbulkan dampak positif dan negative terhadap kehidupan masyarakat secara menyeluruh seperti social budaya masyarakat. Dampak positif yang ditimbulkan seperti meningkatkan pendapatan masyarakat dan pemerintah, membuka lapangan kerja, memotivasi bangkitnya budaya local untuk kepentingan pariwisata. Sedangkan dampak negatifnya seperti: modifikasi budaya, komersialisasi budaya, dan gaya hidup yang konsumtif. Hal ini yang membuat tidak harmonisnya hubungan antara anggota masysrakat. Secara umum dampak yang ditimbulkan adalah dampak positif dan dampak negative. Dampak positif dari pengembangan pariwisata meliputi: (1) memperluas lapangan kerja; (2) bertambahnya kesempatan berusaha; (3) meningkatkan pendapatan; (4) terpeliharanya kebudayaan setempat; (5) dikenalnya kebudayaan setempat oleh wisatawan. Sedangkan dampak negative dari pariwisata tersebut meliputi: (1) terjadinya pertambahan penduduk akibat pendatang baru dari luar daerah; (2) terjadinya komersialisasi budaya; (3) berkembangnya pola hidup konsumtif; (4) terganggunya lingkungan; (5) semakin terbatasnya lahan pertanian; (6) terdesaknya masyarakat setempat (Spillane, 1989:47).
40 Menurut Shaw and Williams dalam Ardika, (2003:25) dampak positif dari kegiatan pariwisata terhadap budaya masyarakat lokal antara lain: munculnya kreativitas dan inovasi budaya, akulturasi budaya, dan revitalisasi budaya. Sedangkan dampak negative yang sering dikawatirkan terhadap budaya masyarakat local antara lain proses komodifikasi, peniruan dan profanisasi. Teori dampak ini akan dipergunakan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang ditimbulkan dari maraknya pembangunan vila di Kecamatan Kuta Utara terhadap ekonomi dan social budaya masyarakat serta lingkungan fisik Kecamatan Kuta Utara. 2.3.4 Teori Perubahan Budaya Perkembangan teori perubahan budaya, sangat dipengaruhi oleh teori Darwin yang dikenal dengan teori evolusi, dimana proses evolusi dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam. Teori Perubahan Budaya bersumber dari teori Sosiologi Pariwisata dan Antropologi Pariwisata. Menurut teori perubahan, yang kuat akan dapat bertahan hidup sementara yang lemah akan dikuasai oleh yang kuat ataupun tersingkir dari persaingan. Bahwa segala sesuatu pasti akan mengalami perubahan. Steward dan Harsojo (dalam Kaplan dan Manner, 2000: 63-64) adalah tokoh yang mengembangkan teori darwin. Selanjutnya Steward yang terkenal dengan teori evolusionisme multilinear mengemukakan bahwa proses perkembangan berbagai kebudayaan itu memperlihatkan adanya beberapa proses perkembangan yang sejajar. Kesejajaran terutama nampak pada unsur yang primer, sedangkan unsur kebudayaan yang sekunder tidak nampak perkembangan yang sejajar dan hanya tampak perkembangan yang khas. Proses perkembangan yang sejajar mengenai beberapa
41 unsur kebudayaan primer disebabkan karena lingkungan tertentu memaksa terjadi perkembangan ke arah itu. Stark
(1987:440)
salah
satu
pendukung
teori
perubahan
budaya,
mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi dalam lingkungan fisik sering diikuti dengan perubahan sosial budaya masyarakat. Kaplan (2000:84) mensinyalir bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan budaya akan dapat mengalami transformasi secara drastis. Pengembangan pariwisata tentu diikuti dengan pembangunan prasarana dan sarana penunjang seperti, pembangunan jalan raya, jaringan listrik, air; pembangunan hotel, restoran, toko sounier dan lain-lain, akan jelas mengakibatkan perubahan pada lingkungan fisik.
Sisi lain dari pengaruh
pengembangan pariwisata dapat berimplikasi pada pergeseran pola hidup dari bertani ke industri pariwisata. Untuk meminimalisir kecenderungan terjadi perubahan drastis baik fisik maupun non fisik sebagai akibat dari pembangunan kepariwisataan, maka ditawarkan Teori Brikade dan Teori Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Komunitas.
2.4
Model Penelitian Penelitian ini didasari oleh adanya perkembangan yang bersifat kuantitatif,
terjadi pula perkembangan yang sifatnya kualitatif yang terjadi pada sisi wisatawan seperti perubahan tuntutan dan selera wisatawan, perkembangan trend produk wisata, diversifikasi produk dan layanan, berkembangnya minat-minat khusus dengan relungrelung pasar yang baru, dan sebagainya (Mahadewi dan Pitana, 2008). Selain itu juga perubahan pola perjalanan wisatawan yang terjadi sejak dekade 90-an dari mass
42 tourism ke arah yang bersifat individual pada akhirnya membawa konsekuensi pada perubahan pola pemilihan berbagai jenis produk wisata termasuk akomodasi. Adanya berbagai peristiwa pengeboman dan serangan teroris telah menimbulkan ketakutan bagi sebagian wisatawan mengakibatkan mereka cenderung untuk menghindari tempat-tempat terkonsentrasinya wisatawan asing. Hal tersebut juga tercermin dari pemilihan jenis akomodasi yang cenderung mengarah pada jenis akomodasi yang lebih tenang, aman dan private. Dari dua kecenderungan tersebut, yakni perubahan pola perjalanan dan pelayanan yang lebih bersifat pribadi serta alasan keamanan inilah memicu wisatawan untuk interes terhadap
akomodasi vila
yang juga mempengaruhi permintaan terhadap usaha akomodasi ini. Pembangunan usaha akomodasi vila menjadi suatu fenomena yang hangat dibicarakan oleh masyarakat dan insan pariwisata karena para pengusaha pariwisata dan investor berlomba-lomba membangun vila untuk memenuhi tuntutan trend pariwisata. Perkembangan bangunan vila sebagai sarana akomodasi pariwisata di Kabupaten Badung sepertinya dapat dijadikan sebagai salah satu contoh dari perkembangan industri pariwisata yang tidak direncanakan sebelumnya, hal tersebut dapat dilihat dari perkembangannya yang begitu cepat dan seperti tanpa kendali. Keberadaan vila memiliki beberapa potensi yang mendapat perhatian cukup luas dari berbagai kalangan baik itu potensi bersifat positif ataupun negatif, seperti : pertumbuhan fisik, peruntukan, pelanggaran, perijinan, dan sebagainya. Fenomena yang terjadi di Kecamatan Kuta Utara saat ini ditandai dengan menjamurnya pembangunan akomodasi vila, ditengarai dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan adanya respon masyarakat terhadap dampak pembangunan
43 vila ini. Dengan bantuan beberapa teori, yaitu teori konflik dan teori dampak serta konsep-konsep, seperti: konsep pariwisata, konsep vila, konsep dampak pariwisata terhadap lingkungan, konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan dan akhirnya dianalisa dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif, maka akan dapat diketahui dampak positif dan negatif perkembangan pariwisata terhadap lingkungan. Model penelitian ini sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1 di bawah ini :
44
Pembangunan Villa di Kabupaten Badung
1. 2. 3.
Isu Global/Eksternal Perkembangan pariwisata yang bersifat kuantitatif Perubahan pola perjalanan wisatawan Perubahan pola pemilihan berbagai produk wisata
1. 2.
Isu Lokal/Internal Ketertarikan pada akomodasi yang tenang, aman dan privat Munculnya akomodasi vila sebagai akomodasi alternatif
Maraknya Pembangunan Akomodasi Vila di Kab.Badung
1. 2. 3.
Rumusan Masalah Dampak pembangunan vila terhadap lingkungan Kecamatan Kuta Utara Dampak pembangunan vila terhadap sosial budaya masyarakat Kecamatan Kuta Utara. Dampak pembangunan vila terhadap ekonomi masyarakat Kecamatan Kuta Utara
Konsep-Konsep 1. Pariwisata 2. Sarana Akomodasi Pariwisata 3. Villa 4. Dampak Pembangunan Pariwisata 5. Pengembangan Pariwisata 6. Pengembangan Kawasan 7. Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan
Landasan Teori 1. Teori Permintaan dan Penawaran 2. Teori Konflik 3. Teori Dampak 4. Teori Perubahan Budaya
Pembangunan Villa di Kecamatan Kuta Utara
Rekomendasi