BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Anak Gangguan Spektrum Autis a. Pengertian Anak Gangguan Spektrum Autis Menurut Yusuf (2009: 16) bahwa, “Autis dari kata auto, yang berarti sendiri, dengan demikian dapat diartikan seorang anak yang hidup dalam dunianya”. Pendapat tersebut sesuai dengan definisi autis dalam kamus kedokteran yaitu “ sebagai keadaan introversi mental dengan perhatian yang hanya tertuju pada ego sendiri (Fadhli, 2010: 18)”. Menurut Veskariyanti (2008: 17) bahwa, “Autis merupakan salah satu kelompok dari gangguan pada anak yang ditandai munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya”. Menurut Kanner (Handojo, 2003: 14), “Autis adalah gangguan perkembangan yang kompleks dan berat pada anak, yang sudah tampak sebelum usia 3 tahun dan membuat mereka tidak mampu berkomunikasi,
tidak
mampu
mengekspresikan
perasaan
dan
keinginannya, sehingga perilaku dan hubungannya dengan orang lain menjadi terganggu”. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Haryanto (2008: 56), “Autis adalah gangguan perkembangan yang secara umum tampak di tiga tahun pertama kehidupan anak, dan autis menyebabkan kemampuan bahasa, bermain, kesadaran diri, sosial dan penyesuaian diri anak tidak berfungsi dengan baik”. Menurut Winarno (2013), “Autis dipandang sebagai kelainan perkembangan sosial dan mental yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak akibat kerusakan selama pertumbuhan fetus, atau saat kelahiran, atau pada tahun pertama
kehidupannya”(hlm.
8
2).
9
DSM – V (2013: 54) (Diagnostic and stastitical Manual Of mental disorder V) bahwa, “Seorang dikatakan anak autistik atau asd (austistic spectrum disorder) adalah anak yang mengalami hambatan dalam komunikasi sosial (deficit in social comunication) serta minat yang tervikasi dan perilaku berulang (fixed interest and repetitive behavior), gejala ini muncul sejak masa kanak”. Pendapat tersebut lebih diperkuat dari pendapat Tim FPPI Jawa Tengah (2011: 3), “Autis adalah suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal, sehingga anak tersebut terisolasi dari manusia lain”. Menurut uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gangguan spektrum autis merupakan suatu gangguan yang terjadi pada awal kehidupan atau pada tiga tahun pertama kehidupan anak yang sebabkan karena adanya gangguan perkembangan otak yang mengakibatkan anak mengalami hambatan dalam komunikasi, perilaku serta interaksi sosialnya.
b. Gejala Gangguan Spektrum Autis Gejala yang terjadi pada anak gangguan spektrum autis dapat dideteksi sejak anak berumur 3 tahun bahkan dapat pula dideteksi sejak bayi. Menurut Kanner, gejala-gejala gangguan spektrum autisme yang utama adalah: 1) Ketidakmampuan anak untuk berhubungan secara normal dengan orang lain situasi sejak lahir. 2) Perkembangan minat dan perilaku repetitif yang rumit. 3) Keinginan yang kompulsif (memaksa) untuk mempertahankan kesamaan (Peeters, 2004: 120). Terdapat berbagai gejala yang menandai anak gangguan spektrum autis seperti yang dikemukakan oleh Yuniar dalam Mudjito; Praptono; Jiehad, A ( tth: 27) bahwa, gejala autis diantaranya 1) kurang mampu berbicara dan sulit berkomunikasi dengan orang lain;
10
2) sulit mengungkapkan keinginannya sehingga suka sekali menarik tangan orang lain, atau menunjuk–nunjuk keinginannya; 3) suka membeo (echolalid) atau sebaliknya jika ditanya tidak menjawab tetapi hanya menggeleng–gelengkan kepalanya; 4) suka menangis, marah, tertawa, tanpa diketahui sebabnya; 5) sulit bermain dengan teman sebayanya; 6) tidak reponsive bila diajak berbicara seakan tidak mendengar walaupun tidak tuli; 7) tidak responsive terhadap metode pembelajaran dari terapis/ guru; 8) tidak suka dipeluk atau memeluk orang lain; 9) suka menyendiri dan cuek terhadap lingkungan sekitarnya; 10) takut pada benda, suara atau suasana tertentu; 11) kontak mata sangat kurang; 12) tidak sensitif atau sebaliknya sangat sensitif terhadap rasa sakit; 13) tidak mengenal bahaya apapun; 14) kemampuan motorik yang kurang bisa berkembang; 15) suka mengulangi gerakan yang tanpa tujuan; misalnya jinjit–jinjit, memukuli kepala, tepuk–tepuk tanga, mata melirik dan berkedip, main jari tangan, memegang kemaluannya, dan memasukkan benda ke mulutnya; 16) suka mengamuk jika keinginanya tidak terpenuhi ; 17) lekat pada benda tertentu seperti bantal, guling, gambar pada majalah; 18) menutup telinga jika mendengar suara tertentu; 19) cara bermain tidak wajar seperti suka menumpuk, suka membuang–buang; 20) suka memutar–mutar benda; 21) mempertahankan rutinitas sehingga sulit menyesuaikan diri dengan perubahan dan 22) hiperaktif atau sebaliknya sangat pasif. Menurut Winarno (2013: 13) berpendapat bahwa tanda–tanda anak autis adalah sebagai berikut: 1) Tidak pernah menunjuk dengan jari (pointing) pada usia 1 tahun, 2) Tidak babbling (mengoceh) pada usia sekitar 1,5 tahun artinya, tak mengucapkan satu kata pun,3) Tidak pernah mengucapkan dua kata pada usia 2 tahun, 4) Setiap saat kemampuan berbahasa dapat hilang, 5) Tidak pernah bepura–pura bermain dan tidak bereaksi sama sekali bila dipanggil namanya, 6) Tak acuh dengan yang lain, kalaupun memberikan perhatian hanya sedikit sekali dan tanpa kontak
11
mata sama sekali, 7) Mengulang–ulang gerakan badan atau anggota tubuh, sering bertepuk tangan dan mengguncang– guncang tubuh, 8) Perhatian terfokus pada objek tertentu saja, misalnya pada kipas angin, 9) Biasanya menolak keras perubahan atas hal- hal yang bersifat rutin, 10) Sangat peka terhadap tekstur dan bau tertentu (hml. 13). Gejala–gejala gangguan spektrum autis pada anak dapat dideteksi sejak bayi yang terlihat pada hal - hal berikut: 1) Ekspresi, 2) Kepekaan, 3) Pengulangan Perilaku, 4) Kemunduran/Hilangnya kemampuan (Hani’ah, 2015: 22). Adapun penjelasan gejala–gejala gangguan spektrum autis sebagai berikut: 1) Ekspresi a) Umur 6 bulan pertama Gejala yang ditunjukan dengan bayi tidak tersenyum b) Umur 12 bulan pertama Gejala yang ditunjukan pada bayi tidak mengoceh ataupun tidak mengucapkan satu kata pun, serta tidak menunjuk ke arah orang–orang ataupun benda–benda yang dikenalinya. c) Umur 2 tahun pertama Pada umur 2 tahun pertama, gejala autisme ditunjukan dengan bayi tidak mengucapkan dua frase kata. Ekspresi wajahnya pun terbilang kurang. Timbul juga perilaku obsesif terhadap beberapa hal, sekaligus perubahan mendadak dalam ekspresi wajah dan kontak mata. 2) Kepekaan Gejala yang ditunjukan adalah bayi mengalami ketidakseimbangan dalam pancaindranya, sangat terganggu dengan suara yang berisik, sebagian bayi juga terganggu dengan mencium bau tertentu. Berhubungan dengan kepekaan, perlu dipahami bahwa tingkat kepekaan bayi bervariasi, yang dipengaruhi oleh tingkat gangguan autisme.
12
3) Pengulangan Perilaku Bayi dengan gejala autisme menunjukan adanya pengulangan perilaku (repettiveness). Di antaranya, bayi menggoyang–goyang tubuhnya selama berjam–jam ataupun mengepakkan lengannya. Anak autis sering kali melakukannya dengan hal–hal yang relatif sama dan menginginkan sesuatu dengan cara yang khas. Jika keinginannya tidak dipenuhi, maka ia menjadi amat rewel ataupun gelisah. 4) Kemunduran/hilangnya kemampuan Gejala yang perlu diwaspadai adalah kemunduran/hilangnya kemampuan artikulasi sekaligus hilangnya kemampuan memahami makna dari kata–kata tertentu, menarik diri sepenuhnya dari berbagai interaksi sosial. Gejala autis menurut Mudjito, dkk (2012: 152) yaitu: 1) Ia akan menghindari tatap mata dengan lawan bicara ketika diajak bicara 2) Jika akan dipeluk, anak akan menolak 3) Sulit berkata–kata dan memahami komunikasi secara verbal. Perbendaharaan kata sedikit dan kadangkala mengucapkan kata – kata yang tidak ada artinya. 4) Mereka lebih asyik bermain sendiri dan tidak suka bermain dengan anak lain. 5) Jika mereka sudah bisa bicara mereka akan cenderung bicara sendiri. 6) Pada sebagian kasus, anak penderita autis akan aktif bergerak tetapi gerakannya tidak bertujuan dan berulang–ulang misalnya berputar–putar. 7) Emosi tidak stabil, menangis atau marah tanpa sebab dan jika marah bisa mengamuk dan merusak barang–barang. Berbagai pendapat ahli tersebut teori mengenai gejala gangguan spektrum autis hampir sama, yang dapat ditarik kesimpulan bahwa gejala berupa sulit untuk diajak berkomunikasi, sulit mengungkapkan keinginan, minat yang terbatas, emosi tidak stabil, pengulangan perilaku, senang menyendiri atau kurang berinteraksi dengan orang
13
lain, kurangnya ekspresi, kepekaan terhadap suatu hal (suara, bau, tekstur). c. Penyebab Gangguan Spektrum Autis Penyebab autis bisa dikarenakan oleh virus (toxoplasmasis, cytomegalo, rubela dan herpes) atau jamur (candida) yang ditularkan oleh ibu ke janin; selama ibu hamil mengkonsumsi atau menghirup zat yang polutif yang meracuni janin, dan faktor genetik (Veskariyanti, 2008: 11). Menurut Pratiwi dan Murtiningsih (2013: 54) berpendapat bahwa: Gejala autisme dikatakan bisa terjadi karena berbagai faktor penyebab, yakni sebagai berikut: 1) Faktor genetis yang dibuktikan dengan adanya kecenderungan autis pada anak kembar dibandingkan dengan saudara kandung. 2) Faktor lingkungan yang dinyatakan autis disebabkan pemberian vaksinasi MMR pada bayi yang mengandung bahan pengawet thimerosal. Namun, hal ini perlu dipertanyakan kembali karena saat ini meskipun bahan pengawet tersebut telah dihapuskan dari vaksin, tingkat autisme pada anak–anak jumlahnya justru bertambah tinggi. Pendapat di atas sesuai dengan pendapat menurut Hani’ah (2015) bahwa, “penyebab keautisan adalah faktor genetik dan faktor lingkungan” (hlm. 20). Adapun penjelasan dari dua faktor tersebut sebagai berikut: 1) Faktor genetik Faktor genetik dipercaya mempunyai peran besar bagi munculnya autisme, meskipun tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya disebabkan oleh gen dari keluarga. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap anak–anak autis menunjukan bahwa kemungkinan dua anak kembar identik mengalami autisme ialah 60%-95 %, sedangkan kemungkinan bagi dua saudara kandung mengalami autisme hanyalah 2,5–8,5 %. Itulah yang diinterprestasikan sebagai peranan besar gen sebagai penyebab autisme. Sebab, anak kembar
14
identik mempunyai gen yang 100% sama, sedangkan saudara kandung hanya memilih gen yang sama 50 % sama. 2) Faktor lingkungan Ada pula dugaan bahwa autisme dikarenakan vaksin MMR yang rutin diberikan kepada anak–anak, yang menjadikan gejala–gejala autisme mulai tampak. Kekhawatiran tersebut
dikarenakan zat
kimia (thimerosal) yang digunakan untuk mengawetkan selama ini mengandung merkuri. Unsur merkuri itulah yang selama ini diyakini menyebabkan autisme. Meskipun begitu, tidak ada bukti kuat yang mendukung bahwa autisme dikarenakan pemberian vaksin kepada anak – anak. Penggunaan thimerosal dalam pengawetan vaksin telah diberhentikan, tetapi angka autisme pada anak – anak tetap meningkat. Dyah (2003: 3) berpendapat, “Faktor yang memberi andil besar penyebab autis adalah: virus, keracunan logam berat dan alergi”. Terdapat berbagai faktor–faktor yang diduga kuat mencetuskan autisme. Faktor – faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1) Genetik menurut National Institute of Health, keluarga yang memiliki satu anak autisme memiliki peluang 1–20 kali lebih besar untuk melahirkan anak yang juga autisme. Pada anak kembar, jika salah satu anak autis, kembaranya kemungkinan besar memiliki gangguan yang sama. Para ahli mengidentifikasi 20 gen yang menyebabkan gangguan spektrum autisme. Gen tersebut berperan penting dalam perkembangan otak, pertumbuhan otak, dan cara sel–sel otak berkomunikasi. 2) Pestisida Zat kimia dalam pestisida berdampak pada mereka yang punya bakat autisme. 3) Obat – obatan Bayi yang terpapar obat-sobatan tertentu ketika dalam kandungan memiliki resiko lebih besar mengalami autisme. 4) Usia Orang Tua Makin tua usia orang tua saat memiliki anak, semakin tinggi resiko si anak menderita autisme. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40 tahun memiliki resiko 50 persen memiliki anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20–29 tahun.
15
5) Perkembangan otak Area tertentu di otak termasuk serebal korteks dan cerebellum yang bertanggung jawab pada kosentrasi, pergerakan dan pengaturan mood berkaitan dengan autisme. 6) Flu Wanita hamil yang mengalami flu dan demam dalam jangka panjang beresiko untuk melahirkan anak autis. Selain itu, penggunaan antibiotik tertetu saat hamil juga berpotensi untuk meningkatkan resiko anak terlahir autis. 7) Mercuri 8) Plumbum (timah hitam) 9) CD (Kadmium) (Fadhli, 2010: 73-81). Berdasarkan pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab gangguan spektrum autis
dapat disebabkan oleh
faktor yang terjadi pada saat pre natal, natal, dan post natal. Pre natal (saat kehamilan) meliputi adanya usia orang tua, kelebihan nutrisi, genetik, keracunan logam berat (mercuri, Pb,CD), penyakiit (flu dan demam) dan virus. Natal (kelahiran) meliputi adanya penggunaan alat yang salah, kekurangan oksigen diotak, serta bayi lahir premature. Post natal (setelah kelahiran) dapat terjadi karena kekurangan gizi, pemberian vaksi MMR pada bayi yang mengandung bahan pengawet thimerosal, dan keracunan zat kimia.
d. Klasifikasi Gangguan Spektrum Autis Anak dengan gangguan spektrum autis diklasifikasikan menjadi berbagai macam sesuai dengan gejala dan hambatan yang terjadi. Menurut Veskariyanti (2008: 26) ada beberapa tipe autis yaitu: 1) A loof yaitu anak dengan autisme dari tipe ini senantiasa berusaha menarik diri dari kontak sosial, dan cenderung untuk menyendiri di pojokan, 2) Passive yaitu anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha mengadakan kontak sosial melainkan hanya menerima saja, 3) Active but odd sedangkan pada tipe ini, anak melakukan pendekatan namun hanya bersifat satu sisi yang bersifat repetitif dan aneh.
16
Menurut Autism Society of America dalam Hani’ah (2015: 21) anak autis diklasifikasikan dalam 5 jenis yaitu “Autistic Disorder, Sindrom Asperger,
Pervasive
Developmental
Disorder,
Childhood
Disintegrative Disorder, Rett Syndrome”. Adapun penjelasan dari klasifikasi tersebut sebagai berikut: 1) Autistic Disorder Autistic disorder disebut pula true autism atau childhood autism lantaran kebanyakan dialami oleh anak pada tiga tahun awal usianya. Anak yang mengalami autistic disorder tidak mampu berbicara, melainkan bergantung pada komunikasi nonverbal. Inilah yang menyebabkan anak menjauhkan diri secara ekstrem dari lingkungan sosialnya, bahkan bersikap acuh tak acuh. Ia tidak menampakkan keinginan untuk menjalin komunikasi dengan orang lain ataupun berbagi kasih sayang dengan orang lainnya. 2) Sindrom Asperger Sindrom Asperger dicirikan oleh defisiensi interaksi sosial dan sulit menerima perubahan terkait rutinitas sehari–hari. Kemampuan bahasa pada anak yang mengalami sindrom asperger tidak terlalu terganggu ketimbang anak dengan gangguan lainnya. Anak yang menderita sindrom asperger kurang sensitif terhadap rasa sakit. Ia juga tidak snaggup mengatasi paparan terhadap rasa sakit. Ia juga tidak sanggup mengatasi paparan sinar lampu yang tiba–tiba mengenainya ataupun suara yang keras. Meskipun demikian, kecerdasannya rata–rata atau di atas rata–rata. Anak dengan sindrom asperger secara akademik ia dikategorikan mampu dan tidak bermasalah dalam hal ini. 3) Pervasive Developmental Disorder Pada umunya, pervasive developmental disorder didiagnosis saat 5 tahun pertama usia anak. Autisme jenis ini meliputi beragam gangguan (tidak spesifik terhadap satu gangguan). Tingkat keparahannya pun bervariasi; ada yang ringan, dan ada pula yang
17
berat (sampai ketidakmampuan yang ekstrem). Anak yang mengalami gangguan ini, keterampilan verbal dan nonverbalnya terbatas. 4) Childhood Disintegrative Disorder Gejala–gejala childhood disintegrative disorder timbul saat anak berumur 3–4 tahun. Pada 2 tahun pertama anak terlihat normal. Namun, beberapa waktu kemudian, terjadilah regresi mendadak dalam aspek sosial, komunikasi dan bahasa, serta keterampilan motorik. Hal tersebut membuat seluruh keterampilan yang telah dimiliki olehnya seolah–olah menghilang ia pun menarik diri dari lingkungan sosialnya. 5) Rett Syndrome Sebenarnya, rett syndrome termasuk jenis gangguan yang jarang didapat dalam keseharian. Gangguan ini dialami oleh anak perempuan ataupun perempuan dewasa, yang dicirikan dengan peningkatan ukuran kepala yang abnormal. Menurut Subagya dalam Mudjito,dkk (tth: 55) klasifikasi anak autis dapat dibedakan menjadi: 1) Autisme Asperger. Pada penderita autis asperger dunia yang mereka alami masih seperti dunia orang normal dan IQ yang mereka alami masih seperti yang dimiliki orang normal bahkan di atas normal. 2) Autisme Infantil. Pada penderita autis infantile seolah–olah memiliki dunia lain diluar dunia orang normal, antara dunia orang normal dengan dunianya hanya memiliki interseksi sempit. Menurut Sosan (2003) dalam Semiawan dan Mangunsong (2010: 46) pengelompokan autisme adalah sebagai berikut: 1) Tipe Kanner, yaitu tipe klasik atau juga disebut autisme infantil, ditandai oleh ciri: menghindar kontak mata, lambat berbicara, perilaku mengulang–ulang, dan kemungkinan reardasi mental, 2) Sindrom Asperger (SA), perkembangan perilaku menentang (persuasive) yang spektrum cirinya adalah defisit sosial, namun perkembangan kognisi dan bahasa relatif normal, serta minta yang mendalam dan
18
idiosynkretis, 3) Perkembangan perilaku menentang tanpa tanda–tanda lain kecuali bahwa dalam perkembangannya anak ini tidak memenuhi gejala–gejala tersebut sebelum umur 3 tahun. Kadangkala klasifikasi ini digunakan apabila kondisi ini muncul meskipun tidak terlalu berat dan tidak konsisten, sehingga tipe ini kurang diperkirakan sebagai tipe Kanner, 4) Tipe regresif/epileptis. Tipe ini ditandai oleh ketidakmampuan memahami orang lain, input sensoris yang tidak menentu, bacaan EEG yang tidak normal, retardasi mental dan tingkat kecemasan tinggi. Pendapat tersebut serupa dengan pendapat Hasdianah (2013: 160) bahwa autisme terbagi menjadi dua yaitu: 1) Autisme klasik manakala kerusakan saraf sudah terdapat sejak lahir, karena sewaktu mengandung, ibu terinveksi virus, seperti rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti merkuri dan timbal yang berdampak mengancam proses pembentukan sel–sel saraf di otak janin. 2) Autisme regresif. Muncul saat anak berusia antara 12 sampai 24 bulan. Sebelumnya perkembangan anak relatif normal, namun tiba–tiba saat usia anak menginjak 2 tahun kemampuan anak merosot. Yang tadinya sudah bisa membuat kalimat 2 sampai 3 kata berubah diam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan tidak mau melakukan kontak mata. Menurut Gargulio (2012: 328) berpendapat bahwa, “regardless of the classification system used, autism spectrum disorder are generally described as mild, moderate, or severe depending on the cognitve, and fuctioning level of the individual”. Tanpa menghiraukan sistem klasifikasi yang telah digunakan, gangguan pektrum autis biasanya diuraikan menjadi ringan, sedang atau berat berdasarkan pada kognitif, dan tingkat fungsi diri. DSM – V (2013: 52) (Diagnostic And Stastistical Manual Of Mental Disorder V) menjelaskan bahwa klasifikasi GSA yaitu, 1)
Level 1 memerlukan bantuan a) Komunikasi sosial Tanpa bantuan di tempat, kekurangan pada komunikasi sosial karena kelemahan yang terlihat. Kesulitan memulai interaksi sosial, dan contoh pada ketidkanormalan atau tidak berhasil dalam merespons
19
usul sosial dari yang lainnya. Mungkin muncul karena perhatian yang kurang pada interaksi sosial. Contohnya, seseorang yang berbicara dengan kalimat utuh dan terlibat dalam komunikasi tetapi percakapannya kesana kemari dengan yang lain gagal, dan berusaha untuk membuat pertemanan aneh dan tidak berhasil. b) Perilaku yang terbatas dan berulang Kekakuan perilaku karena ganguan signifikan pada fungsi pada satu atau lebih kontek. Kesulitan dalam perubahan antar kegiatan. Permasalahan yang menghambat kebebasan mengatur dan merencanakan. 2) Level 2 memerlukan banyak bantuan a) Sosial komunikasi Menandai kekurangan pada kemampuan komunikasi sosial verbal dan nonverbal;kelemahan sosial yang terlihat bahkan dengan bantuan di tempat; keterbatasan memulai interaksi sosial; dan kurang atau ketidaknormalan respon pada usul sosial dari lainnya. Contohnya, seseorang yang berbicara kalimatan sederhana, yang memiliki interaksi yang terbatas pada perhatian khusus yang sempit, dan yang memiliki komunikasi nonverbal yang aneh. b) Perilaku terbatas dan berulang Kekakuan perilaku, kesulitan mniru perubahan/pergantian, atau perilaku terbatas dan berulang lainnya yang terlihat pada frekuensi yang cukup jelas oleh pengamat dan mengganggu fungsi pada keseragaman contek. Kesukaran dan/atau kesulitan berpindah fokus atau tindakan. 3) Level 3 memerlukan sangat banyak dukungan/ bantuan a) Komunikasi sosial Kekurangan yang berat pada kemampuan komunikasi sosial baik verbal dan nonverbal karena kelemahan yang berat pada fungsi, sangat terbatas memulai interaksi sosial, dan respon yang sedikit pada usul sosial dari yang lainnya. Contohnya, seseorang yang berbicara dengan beberapa kata yang dapat dimengerti yang jarang memulai interaksi dan, ketika dia melakukan, membuat pendekatan yang tidak biasa hanya untuk memenuhi kebutuhan dan merespon pada pendekatan sosial yang sangat langsung. b) Perilaku terbatas dan berulang Kekakuan perilaku, kesulitan yang extrem meniru perubahan, atau perilaku terbatas dan berulang lainnya yang menyolok pada gangguan fungsi pada semua
20
bidang. Sangat mengalami kesukaran/kesulitan pada berpindah fokus dan tindakan. Kesimpulan dari pendapat ahli di atas bahwa terdapat lima klasifikasi yaitu autistic disorder, sindrom asperger, rett’s disorder, Childhood
Disintegrative
Disorder,
PDD-NOS
(Pervasive
Developmental Disorder-Not Otherwise Specified). Autistic disorder ditandai dengan gangguan pada: interaksi sosial, komunikasi, perilaku, minat, dan aktivitas yang stereotipe; kebanyakan dialami anak pada tuga tahun awal usianya. Sindrom Asperger ditandai dengan gangguan pada: Interaksi sosial, Perilaku, minat, dan aktivitas yang stereotipe; tidak mengalami keterlambatan dalam perkembangan kemampuan bahasa; kecerdasannya berada rata–rata dan di atas rata–rata. Rett’s disorder ditandai dengan gangguan perilaku, dicirikan dengan peningkatan ukuran kepala yang abnormal, dialami oleh anak perempuan. Childhood Disintegrative Disorder ditandai dengan regresi tiba–tiba pada aspek sosial, komunikasi dan bahasa, serta motorik; timbul saat anak berumur 3–4 tahun. PDD-NOS (Pervasive Developmental Disorder-Not Otherwise Specified) ditandai dengan gangguan terjadi saat 5 tahun pertama usia anak, mengalami gangguan keterampilan verbal dan nonverbal terbatas .
e. Karakteristik Anak Gangguan Spektrum Autis Menurut Pratiwi & Murtiningsih (2013: 54) karakteristik penyandang autisme sebagai berikut: 1) Hambatan dalam komunikasi Anak–anak yang menyandang gejala autisme sering kali mengalami keterlambatan dibidang verbal. Berbicara di usia lebih dari dua atau tiga tahun, kosakata sedikit, dan kurang mampu berinteraksi dengan orang lain melalui pembicaraan. Pemahaman bahasa yang dimiliki oleh anak autis sangat kurang sehingga mempengaruhi pemahaman mereka terhadap orang–orang di sekitarnya.
21
2) Sulit menjalin hubugan sosial Berawal dari pemahaman bahasa dan verbal yang kurang berkembang, anak autis cenderung sulit menjalin hubungan dengan orang lain. Bahkan, senyum bukanlah senyum sosial yang menunjukan sapaan atau berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Senyum yang dilakukan oleh anak autis lebih kepada respons mereka terhadap satu hal yang dianggap menarik dan lucu. Anak–anak ini juga kesulitan melakukan kontak mata dengan orang lain sehingga sulit pula bagi mereka memahami bahasa tubuh dan bahasa non-verbal. 3) Melakukan pola bermain dengan tidak wajar Jika anak–anak pada umumnya menendang bola atau memasukannya kekranjang layaknya bermain basket, tidak demikian halnya dengan anak autis. Jika mereka menganggap bola yang berputar itu mengasyikkan, mereka akan terus menerus memutar bola serta ritme putarannya dengan pandanan lekat ke sana. Inilah mengapa anak autis biasanya suka menyusun balok sampai tinggi, tanpa model. Mereka juga suka memaju–mundurkan mobil–mobilan dan menikmati gerakan roda ke depan dan ke belakang tanpa bermaksud menjalankan mobil tersebut seperti umumnya anak lain. 4) Bersifat statis Anak autis sulit untuk dapat menerima perubahan terhadap diri dan lingkungan di sekitarnya. Jika ada perbedaan suara, warna dan kebiasaan, mereka akan melakukan respon penolakan. Anak autis cenderung sulit untuk mengembangkan diri karena ketakutan terhadap perubahan yang terjadi tersebut. 5) Gerakan dan perilaku impulsif Mengulang–ulang lambaian tangan, kepakan tangan seperti sayap burung, kata–kata lucu yang disenangi, dan perilaku lain seperti mencuci tangan, mandi atau menata sampai tinggi merupakan ciri khas anak autis, meskipun ada sebagian anak lain yang berperilaku demikian, biasanya hal tersebut tak melekat layaknya anak autis. 6) Memberikan respon tidak wajar pada suatu kejadian Pengindraan anak autis memang berbeda. Mereka lebih sensitif dan mengembangkan respon sendiri terhadap hal–hal yang dianggap biasa oleh anak lain. Banyak kasus anak autis cenderung mengeksplorasi lingkungan sekitar dengan indra peraba dan pencium. Mereka lebih suka mencium terlebih dahulu segala sesuatu yang dilihat sebelum dipakai atau dimakan.
22
7) Membeo, bernyanyi tak bernada, dan suka menggerak– gerakkan tangan orang dewasa Anak autis suka sekali menirukan kata–kata atau gerakan orang lain yang dianggap menarik. Selain itu, baginya tangan orang dewasa adalah satu permainan yang mengasyikkan sehingga sering digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan keinginan atau apa yang tengah dirasakannya. Jika bernyanyi, yang keluar adalah nada datar meskipun syair yang dilantunkannya sama persis dengan lagu aslinya. Daya ingat anak autis kebanyakan cukup tinggi. Menurut Semiawan dan Mangunsong (2010: 68) adapun ciri-ciri yang muncul pada anak autis adalah sebagai berikut: 1) tidak menunujukan perbedaan respon ketika berhadapan dengan orang tua, saudara kandung, atau guru dan orang asing, 2) enggan berinteraksi secara aktif dengan orang lain,3) menghindari kontak mata, 4) tidak memahami ucapan yang ditujukan pada mereka, 5) sulit memahami bahwa satu kata mungkin memiliki banyak arti, 6) seringkali mengulang –ulang pernyataan walaupun sudah mengetahui jawabannya, 7) gangguan dalam komunikasi nonverbal, 8) muncul gangguan tingkah laku repetitif (pengulangan) seperti tingkah laku motorik ritual seperti berputar–putar dengan cepat, memutar- mutar objek, mengepak–ngepakan tangan, bergerak maju mundur atau kiri kanan, 9) asyik sendiri dan memiliki rentang minat yang terbatas, 10) tidak suka dengan perubahan yang ada di lingkungan atau perubahan rutinitas. Hani’ah (2015: 19) dalam bukunya menjelaskan bahwa karakteristik anak autis ialah: mengalami kesulitan dalam membina hubungan sosial (berinteraksi sosial secara kualitatif), sulit berkomunikasi secara normal (kualitatif), sulit memahami emosi dan perasaan orang lain, menunjukan perilaku yang repetitif, mengalami gangguan perilaku agresif dan hiperaktifitas sekaligus gangguan sensoris, serta mengalami perkembangan yang terlambat, tidak normal atupun sering tidak seimbang. Handojo (2003: 13) menyatakan bahwa, “penyandang autism mempunyai karakteristik antara lain: selektif berlebihan terhadap rangsang, kurangnya motivasi untuk menjelajahi baru, respon stimulasi diri sehingga mengganggu integrasi sosial, respon unik
23
terhadap imbalan (reinforcement), khususnya imbalan dari stimulasi diri”. Berdasarkan pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa karateristik yang terlihat dari perilaku, interaksi sosialnya, komunikasi dan bahasa anak GSA. Gangguan perilaku terlihat dari adanya pola bermain anak yang tidak wajar, anak mengalami kesulitan menerima perubahan terhadap diri dan lingkungan, adanya gerakan serta perilaku impulsif, mengalami gangguan perilaku agresif dan hiperaktifitas. Gangguan interaksi terlihat adanya kesulitan menjalin hubungan sosial, kurang menunjukan respon ketika berhadapan dengan orang tua maupun orang lain, sulit memahami emosi dan perasaan orang lain. Komunikasi dan bahasa terlihat dari adanya mampu berbicara pada usia lebih dari dua atau tiga tahun, kosakata sedikit, serta sulit memahami ucapan.
f. Gaya Belajar Anak Gangguan Spektrum Autis Terdapat beberapa gaya belajar pada murid yaitu visual dan auditoris (Muhammad, 2008: 19). Adapun penjelasan dari gaya belajar tersebut sebagai berikut: 1) Gaya belajar auditoris: a) Beri arahan lisan dan tulis b) Pastikan tugas juga diberikan dalam bentuk kaset rekaman supaya murid dapat mendengarkannya dengan seksama c) Beri ujian lisan d) Pastikan
murid
menghafal
informasi
penting
dan
merekamnya. 2) Gaya belajar visual: a) Gunakan kartu penanda yang mengandung warna yang terang b) Biarkan murid memejamkan mata untuk membuat mereka dapat menggambarkan informasi atau perkataan
24
c) Sediakan bahan tambahan dalam bentuk visual untuk semua arahan lisan d) Dorong murid untuk mencatat nota dan memo untuk dirinya sendiri mengenai perkataan, konsep, atau ide penting. Kosasih (2012: 59) mengemukakan bahwa, “banyak anak autis belajar lebih baik dengan menggunakan penglihatannya”. Stokes (2001: 1) berpendapat bahwa, “Typically, children with autism prosess visual information easier than auditory information”. Ciri khas, anak autis memproses informasi secara visual lebih mudah dari pada informasi auditory. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Boer (2009: 15) bahwa, “many children with autism, PDD-NOS, and Asperger’s syndrome perform better when picture cues and symbols are added to their learning environment”. Banyak anak autis, PDDNOS, dan sindrom asperger memiliki prestasi yang lebih baik ketika berupa gambar dan simbol yang ditambahkan dalam lingkungan belajarnya. Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar anak dengan gangguan spektrum autis mengalami kelemahan dalam memahami kata atau makna yang bersifat abstrak, sehingga anak GSA lebih mudah memahami sesuatu dalam bentuk konkrit. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu alasan anak GSA lebih baik dalam memahami informasi dalam bentuk visual atau yang menggunakan penglihatannya, selain itu dalam bentuk visual anak GSA menjadi lebih fokus pada informasi atau pesan yang disampaikan.
g. Prinsip Pembelajaran Gangguan Spektrum Autis Pembelajaran bagi anak autis perlu memperhatikan beberapa hal yaitu: 1) Terstruktur, 2) Terpola, 3) Terprogram, 4) Konsisten, 5)
25
Kontinyu (Mudjito, dkk, tth: 132). Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1) Terstruktur Pendidikan dan pengajaran bagi anak autistik diterapkan prinsip terstruktur, artinya dalam pendidikan atau pemberian materi pengajaran dimulai dari bahan ajar/materi yang paling mudah dan dapat dilakukan anak. Setelah kemampuan tersebut dikuasai, ditingkatkan lagi ke bahan ajar yang setingkat diatasnya namun merupakan rangkaian yang tidak terpisah dari materi sebelumnya. Struktur pendidikan dan pengajaran bagi anak autistik meliputi: struktur waktu, struktur ruang, struktur kegiatan. 2) Terpola Kegiatan anak autistik biasanya terbentuk dari rutinitas yang terpola dan terjadwal, baik di sekolah maupun di rumah (lingkungannya), mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Oleh karena itu pendidikannya harus dikondisikan atau dibiasakan dengan pola yang teratur. Bagi anak dengan kemampuan kognitif yang berkembangan, dapat dilatih dengan memakai jadwal yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungannya, supaya anak dapat menerima perubahan dari rutinitas yang berlaku. Dengan begitu anak dapat menerima perubahan, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan (adaptif) dan dapat berperilaku secara wajar. 3) Terprogram Prinsip dasar terprogram berguna untuk memberi arahan dari tujuan yang ingin dicapai dan memudahkan dalam melakukan evaluasi. Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip terstruktur dan terpola. Sebab dalam program materi pendidikan harus dilakukan secara bertahap dan didasarkan pada kemampuan anak, sehingga apabila target program pertama tersebut menjadi dasar target program yang kedua, demikian selanjutnya.
26
4) Konsisten Konsisten memiliki arti “tetap”, bila diartikan secara bebas konsisten mencakup tetap dalam berbagai hal, ruang, dan waktu. Konsisten bagi guru pembimbing berarti; tetap dalam bersikap, merespon dan memperlakukan anak sesuai dengan karakter dan kemampuan yang dimiliki masing – masing individu anak autistik. Sedangkan
arti
konsisten
bagi
anak
adalah
tetap
dalam
mempertahankan dan menguasai kemampuan sesuai dengan stimulus yang muncul dalam ruang dan waktu yang berbeda. Orang tua juga harus bersikap konsisten dalam pendidikan bagi anaknya, yakni dengan bersikap dan memberikan perlakukan terhadap anak sesuai dengan program pendidikan yang telah disusun bersama antara pembimbing dan orang tua sebagai wujud dari generalisasi pembelajaran di sekolah dan di rumah. 5) Kontinyu Prinsip
pembelajaran
dan
pendidikan
yang
berkesinambungan juga mutlak diperlukan bagi anak autistik. Kontinyu disini meliputi kesinambungan antara prinsip dasar pengajaran, program pendidikan dan pelaksanaanya. Kontinyu dalam pelaksaan pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga harus ditindaklanjuti untuk kegiatan di rumah dan lingkungan sekitar anak. Kesimpulannya, terapi perilaku dan pendidikan bagi anak autistik harus dilaksanakan secara berkesinambungan, simultan dan integral (menyeluruh dan terpadu). Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Yusuf, Choiri dan Subagya dalam Modul Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (2012: 43) bahwa, “pelaksanaan intervensi pembelajaran bagi anak autis mendasarkan pada prinsip-prinsip berikut: 1) Terstruktur, 2) Terpola, 3) Terprogram”. Adapun penjelasan dari prinsip–prinsip tersebut sebagai berikut: 1) Terstruktur
27
Pemberian materi dimulai dari yang mudah yang dapat dilakukan anak, dilanjutkan dengan materi
diatasnya
dalam
rangkaian yang tidak terpisahkan. Layanan intervensi bagi anak autis harus taat pada struktur waktu, ruang dan kegiatan. 2) Terpola Kegiatan intervensi anak autis diatur sedemikian rupa dengan kondisi dan kebiasaan dengan pola teratur. Bagi anak yang sudah memiliki kemampuan kognitif yang berkembang, keteraturan dapat dipolakan melalui jadwal yang disesuaikan dengan kondisi lingkungannya agar anak dapat menerima perubahan secara fleksibel dari rutinitas. 3) Terprogram Prinsip terprogram berarti pembelajaran dilakukan secara terencana dengan mendasarkan kemampuan anak. Prinsip ini diberlakukan pada penyiapan materi, penetapan tujuan dan target
yang
ingin
dicapai,
dan
penetapan
waktu
yang
dibutuhkan untuk mencapai target tersebut. Ketidakmampuan yang dialami anak autis baik dalam segi komunikasi, perilaku dan interaksi sosialnya dapat diatasi dengan mengadakan program pembelajaran yang berstruktur dan merangsang perkembangannya. Program pembelajaran untuk anak–anak lebih menuju ke arah analisis tingkah laku dan mendorong penuturan bahasa dan komunikasi (Muhammad, 2008: 21). Asmstrong (1996: 46) berpendapat bahwa, “ The classroom environment for autistic children should be structured so that the program is consistent and predictable”. Lingkungan kelas bagi anak autis sebaiknya terstruktur sehingga program dapat konsisten dan dapat diprediksi. Asmtrong (1996: 46)
juga berpendapat bahwa, “Educational program for
autistic children focus on improving communication and social, academik, behavioral, and daily living skills”. Program pembelajaran
28
bagi anak autis difocuskan pada pengembangan komunikasi dan sosial, akademik, perilaku dan keterampilan hidup sehari–hari (bina diri). Pembelajaran
yang
diberikan
kepada
anak
autis
harus
disesuaikan dengan karakteristik yang dimiliki anak dan hambatan yang dialami oleh anak. Berdasarkan berbagai pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bagi anak autis harus memperhatikan beberapa prinsip yaitu pertama, terstruktur dalam kaitanya dengan pemberian materi dimulai dari hal yang mudah kemudian baru naik ke atasnya. Layanan yng diberikan harus memperhatikan struktur waktu, ruang dan kegiatan. Kedua, terpola yang berkaitan dengan rutinitas yang di lakukan anak autis. Kebiasaan anak untuk melakukan rutinitas secara terpola baik di rumah maupun di sekolah. Pembelajaran yang diberikan haruslah terpola atau terjadwal sehingga membuat anak autis dapat lebih menerima perubahan waktu. Ketiga, terprogram, pembelajaran bagi anak autis haruslah terprogram agar dapat menentukan tujuan dan target sasaran dari kemampuan anak. Kempat, konsisten, dengan pembelajaran yang terstruktur diharapkan dapat membuat guru maupun anak menjadi lebih konsisten. Konsisten bagi guru dalam bentuk respon yang diberikan kepada anak, sikap dan perilaku. Sedangkan konsisten bagi anak dalam bentuk penguasaan dan mempertahankan kemampuan yang dimilikinya. Kelima, kontinyu dalam kaitannya dengan kesinambungan program pembelajaran yang diberikan kepada anak bagi di sekolah maupun di rumah.
h. Kebutuhan Pendidikan Bagi Anak Gangguan Spektrum Autis Sugiarmin (2004: 81) berpendapat, “ ada 2 kebutuhan dasar yang penting bagi autis yaitu optimalisasi tingkah laku positif dan kegiatan keautisannya”. Adapun penjelasan dari kebutuhan–kebutuhan tersebut antara lain:
29
1) Optimalisasi tingkah laku positif a) Mengurangi atau menghilangkan tingkah laku yang tidak dikehendaki. Tingkah laku seperti berjalan–jalan, mengepak– ngepakan, menggigit–gigit, menarik diri, tidak kontak mata, merupakan sebagian dari sejumlah tingkah laku yang tidak dikehendaki yang sering muncul pada anak autis. Tingkah laku tersebut tidak hanya mengganggu anak itu sendiri, tetapi juga orang lain. Oleh karena itu pengurangan sampai penghilangan tingkah laku yang tidak dikehendaki merupakan kebutuhan yang mendasar bagi anak, karena jika tingkah laku seperti itu tidak dihilangkan akan terus menerus mengganggu anak dalam mengembangkan kemampuannya. b) Mengembangkan
atau
meningkatkan
tingkah
laku
yang
dikehendaki. Tingkah laku seperti berespon terhadap panggilan, rangsangan atau berinteraksi dengan lingkunan atau orang lain, merupakan sebagian tingkah laku yang dikehendaki. Tingkah laku – tingkah laku seperti itu merupakan kebutuhan yang sangat membantu anak untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. 2) Kegiatan sehari–hari a) Menolong diri Sebagaimana anak berkebutuhan khusus lainnya, anak autis
dengan
berbagai
masalah
yang
menyertainya,
membutuhkan perhatian dalam memenuhi kebutuhan khususnya berkaitan dengan kegiatan hidup sehari–hari. Menolong diri yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kegiatan anak untuk memenuhi segala kebutuhan sehari–hari seperti berpakaian, menyimpan pakainan bekas dipakai atau sepatu, menyiapkan kebutuhan belajar seperti buku dan sebainya. Kebutuhan–kebutuhan seperti itu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan anak sehari–hari. Berbeda dengan anak
30
umumnya kegiatan ini merupakan suatu kegiatan yang perlu dipersiapkan, diajarkan agar anak bisa melakukannya sendiri. b) Merawat diri Merawat diri yang dimaksud adalah kegiatan anak khususnya yang berhubungan dengan kebersihan diri, seperti mandi, buang air kecil, buang air besar, cuci tangan atau gosok gigi dan sebagainya. Seperti halnya menolong diri, kebutuhan akan merawat diri bagi anak autis memerlukan upaya dan teknik–teknik yang tidak mudah untuk mengajarkannya kepada anak autis. Oleh karena itu penting juga informasi dan pengetahuan ini di miliki oleh orang tua atau pengasuh anak agar mereka menerapkannya di rumah. c) Keterampilan dasar belajar Pengembangan persepsi,
motorik,
kemampuan dan
bahasa.
pemusatan
perhatian,
Keterampilan
dasar ini
merupakan kebutuhan yang akan membantu anak terutama untuk mempelajari materi pelajaran yang diikutinya manakala mereka mengikuti kegiatan belajar mengajar. Keterampilan membaca, menulis, berhitung merupakan kebutuhan dasar untuk dapat mempelajari atau menguasai materi–materi pelajaran lainnya. Jika anak belum menguasai keterampilan ini, akan sulit bagi anak untuk dapat menyerap dan menambah pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Yusuf (2009: 22) berpendapat bahwa anak autis membutuhkan pembelajaran khusus antara lain terdiri dari: 1) Diperlukan adanya pengembangan strategi untuk belajar dalam seting kelompok. 2) Perlu menggunakan beberapa teknik di dalam menghilangkan perilaku–perilaku negatif yang muncul dan menggunakan kelangsungan proses belajar secara keseluruhan (stereotip).
31
3) Guru perlu mengembangkan ekspresi dirinya secara verbal dengan berbagai bantuan. 4) Guru terampil mengubah lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan bagi anak, sehingga tingkah laku anak dapat dikendalikan pada hal yang diharapkan. Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa anak ganguan spektrum autis membutuhkan pembelajaran yang dapat mengoptimalkan potensinya dan menghilangkan perilaku-perilaku negatif berdasarkan pada aspek tingkah laku serta pemenuhan kebutuhan sehari–hari. 2. Bina Diri Pada Materi Kemampuan Merawat Diri a. Pengertian Bina Diri Sidi (2002: 6) berpendapat bahwa, “ Kemampuan bina diri yaitu merupakan suatu kelompok aktivitas yang dilakukan individu setiap hari dalam rangka individu memenuhi kebutuhan dan memanfaatkan keadaan lingkungan”. Astati (2010: 7) berpendapat bahwa, Jika ditinjau dari arti kata: Bina berarti membangun/proses penyempurnaan agar lebih baik (kamus Besar Bahasa Indonesia,1994:134); maka Bina diri adalah usaha membangun diri individu baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial melalui pendidikan di keluarga, sekolah dan di masyarakat sehingga terwujudnya kemandirian dengan keterlibatannya dalam kehidupan sehari–hari secara memadai. Menurut Sudrajat dan Rosida (2013) berpendapat, bina diri adalah suatu pembinaan dan pelatihan tentang kegiatan kehidupan sehari–hari yang diberikan pada anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) maupun di sekolah inklusif/sekolah reguler yang menyelenggarakan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus”(hlm. 53). Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa bina diri merupakan suatu usaha untuk mengembangkan kemampuan atau
32
keterampilan hidup sehari–hari
dengan tujuan dapat memenuhi
kebutuhan hidup baik bagi individu maupun kelompok. b. Tujuan Bina Diri Menurut Sudrajat & Rosida (2013: 57) tujuan bina diri adalah “agar anak berkebutuhan khusus mampu dan tidak bergantung pada bantuan orang lain, serta dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan mampu bersosialisasi dengan lingkungan serta menjadi bekal dalam kehidupannya dimasa yang akan datang”. Mudjito; Harizal; Eka & Adiningsih (2014: 83) tujuan dari kegiatan bina diri yang utama adalah, “ bahwa anak akan memperoleh kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk menjadi semandiri mungkin”. Tujuan khusus bimbingan bina diri menurut Dinas Pendidikan Bidang Pendidikan Luar Biasa dalam Sudrajat dan Rosida (2013: 61) bahwa, “ mengenal cara bina diri (mengurus diri, merawat diri, menolong diri, berkomunikasi dan beradaptasi), melakukan sendiri bina diri secara minimal dalam hal mengurus diri, merawat diri menolong diri, berkomunikasi dan beradaptasi”. Menurut uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tujuan dari bina diri adalah agar anak berkebutuhan khusus mampu untuk hidup mandiri (mengurus diri, menolong diri sendiri, merawat diri sendiri) dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bergantung pada orang lain.
c. Ruang Lingkup Pembelajaran Bina Diri Sudrajat dan Rosida (2013) berpendapat, “ruang lingkup bina diri menurut bahan ajar pembelajaran bina diri untuk peserta didik tingkat SDLB, sebagai berikut, merawat diri, mengurus diri, menolong diri, komunikasi, sosialisasi dan adaptasi, keterampilan hidup dan mengisi waktu luang”(hlm. 61). Sparrow (1984) dalam Sari (2014: 6) membagi daily living skills menjadi tiga subdomain yaitu:
33
1) Subdomain personal Subdomain personal ialah bagaimana seorang individu makan, berpakaian, dan mempraktekan kebersihan diri. Adapun keterampilan dalam subdomain ini yaitu makan, membuka baju, mandi dengan dibantu, latihan buang air, minum, sikat gigi, mencuci tangan dan muka, urusan kamar mandi, kebersihan hidung, kancing, memakai sepatu, mandi tanpa dibantu, mengunakan alat makan, menaruh pakainan, berpakaian sesuai cuaca, permulaan menjaga kesehatan, kerapian rambut, menjaga kuku, terampil menjaga kesehatan. 2) Subdoamian domestik Subdoamain domestik ini ialah tugas – tugas rumaha tangga yang harus individu lakukan. Keterampilan dalam subdomain ini adalah membersikan rumah, memindahkan sesuatu, mempersiapkan makan, menggunakan peralatan dan alat–alat kebersihan rumah tangga, membersihkan dan mengatur meja, menggunakan peralatan dapur, menggunakan alat pembersih, mengatur tempat tidur, terampil dalam kebersihan rumah, perbaikan peralatan dan perlengkapan rumah tangga, memaksak, pakaian dan menjahit. 3) Subdoamain komunitas masyarakat Subdoamin masyarakat adalah bagaimana seorang individu mengguakan waktu, uang, telepon dan keterampilan dalam pekerjaan. Ketrampilan dalam subdoamin ini adalah keamanan di dalam rumah, penggunaan telepon atau HP, keamaan di jalan, pengertian uang, orientasi kanan kiri, keterampilan di rumah makan, menyebut waktu: hari, tanggal, tahun, menyebut waktu: jam dan menit, memberi kembalian, terampil menggunakan telepon, menabung, membelanjankan uang, merencanakan pengeluaran, keterampilan kerja, mengatur uang. Kemampuan bina diri juga merupakan suatu keterampilan hidup sehari–hari, anak perlu untuk dibiasakan dan diajarkan mengenai keterampilan hidup sehari–hari yang menyangkut diri mereka pribadi. Untuk itu beberapa hal yang menjadi dasar dari keterampilan hidup sehari – hari adalah sebagai berikut: 1) Kebersihan diri “personal higiene” Mengajarkan semenjak dini bagaimana arti dan manfaat kebersihan individu. Sehingga anak–anak pada usia awal diperkenalkan tentang toiletting, diperkenalkan tentang bagaimana mencuci tangan dengan sabun, begitu juga mencuci tangan setelah menggunakan atau memegang benda
34
dan alat yang menyebabkan resiko jika dibiarkan tanpa dicuci. 2) Berpakaian “dressing” Berpakaian dalam konteks norma dan membiasakan untuk rapi adalah merupakan pembiasaan yang banyak artinya. 3) Perawatan Pakaian “clother care” Merawat pakainan mulai dari mencuci pakaiannya sendiri, melipat, dan membuat pakaian awet dan lebih tahan, termasuk mengajarkan tata warna dan estetika berpakaian. 4) Perawatan Rumah “housekeeping” Orang tua sebaiknya membiasakan anak–anak untuk bertanggungjawab terhadap lingkungan terdekatnya. Setelah bangun tidur dengan membiasakan diri merawat tempat tidur dan kebersihan. Membiasakan membersihkan lantai, kamar mandi, mencuci piring dan menjaga keindahan rumah dan seisinya. 5) Keterampilan Makan “eating skills” Hal ini menyangkut tentang mengajarkan tata cara makan yang baik, baik melalui tangan atau melalui peralatan yang diperlukan. Mengajarkan tentang komponen makanan yang sehat, kegunaan komponen tersebut, dan jenis makanan yang bergizi. 6) Memegang Uang “money management” Anak–anak juga perlu diperkenalkan uang dan bagaimana menggunakan uang sebaiknya, mulai dengan memperkenalkan menabung, sampai menghemat uang. 7) Komunikasi sosial “social comunication” Komunikasi sosial juga sangat penting, komunikasi dengan tetangga, sahabat, termasuk tentang mimik dan cara menjelaskan sehingga muncul kepercayaan diri anak-anak untuk tidak merasa tertinggal dibandingkan dengan saudara lainnya. 8) Menggunakan Telepon “telepon usage” Penggunaan telepon, cara menjawab, termasuk kata–kata yang baik dan cepat dibiasakan. 9) Persiapan Makan “food preparation” Persiapan makanan perlu dibiasakan juga ketika anak–anak suatu saat akan menghadapi kesulitan. Jika kekurangan uang mereka sanggup untuk menentukan bagaimana persoalan makan diatasi (Mudjito dkk, 2012: 22 ). Menurut Mudjito; Harizal; Eka & Adiningsih (2014: 84) ruang lingkup aktivitas keseharian dan bina diri yaitu: 1) Buang air besar/ buang air kecil,
35
2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16)
Kebersihan diri, Berpakaian, Makan, Membuat dan mengikuti jadwal, Melakukan rutinitas, Mempersiapkan alat bahan, Mengorganisasi, Menyelesaikan tugas, Bersih – bersih, Mandiri di sekolah, Mandiri di rumah, Keamanan, Perawatan kesehatan, Mandiri di lingkungan, Keterampilan terkait transportasi.
Berdasarkan ruang lingkup bina diri di atas, peneliti hanya mengambil kemampuan merawat diri dalam hal mencuci tangan. Kemampuan mencuci tangan mulai dari membuka kran sampai pada mengeringkan tangan.
d. Kemampuan Merawat Diri Sugirman ( 2004: 81) berpendapat bahwa, “Merawat diri yang dimaksud adalah kegiatan anak khususnya yang berhubungan dengan kebersihan diri, seperti mandi, buang air kecil, buang air besar, cuci tangan atau gosok gigi dan sebagainya”. Menurut Sudrajat dan Rosida (2013: 62) berpendapat bahwa, “merawat diri adalah keterampilan menggunakan alat–alat dan fungsinya seperti peralatan mandi dan makan”. Susanti (2013: 93) menjelaskan bahwa, “merawat diri yaitu kecakapan atau keterampilan yang perlu oleh anak agar dapat mengurus dirinya sendiri dalam kehidupan sehari–hari tanpa bantuan orang lain”. Menurut Cavkaytar dan Pollard (2009: 384), “An individual with autism who has esential self –care skills such as dressing, eating, and toileting skills i s considered as one who has taken important steps toward gaining an independet life”. Sudrajat
36
dan Rosida (2013: 62) menjelaskan bahwa merawat diri merupakan kegiatan sehari–hari yang sangat mendasar seperti: 1) Mengenal dan menggunakan alat – alat makan dan minum. 2) Melakukan kebersihan diri sendiri seperti: mandi, menggosok gigi, membersihkan setelah buang air kecil dan besar, dan merawat rambut tanpa bantuan orang lain. Menurut uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa merawat diri merupakan suatu
keterampilan dalam menjaga tubuh agar bersih
mulai dari angota tubuh sampai peralatan yang digunakan seperti baju, alat makan dan minum dll. Adapun langkah–langkah mencuci tangan yang telah di adaptasi dari pedoman mencuci tangan menurut WHO (2009) adalah sebagai berikut: 1. Buka kran 2. Basuk kedua tangan 3. Mengambil sabun (menekan bagian atas botol sampai sabun keluar) 4. Gosok kedua telapak tangan sampai berbusa 5. Gosok punggung tangan 6. Gosok telapak tangan 7. Gosok sela–sela kedua jari tangan 8. Gosok seluruh ujung jari 9. Bilas kedua tangan dengan air 10. Matikan kran 11. Keringkan kedua tangan dengan handuk
e. Bina Diri Anak Gangguan Spektrum Autis Pembelajaran bagi anak autis harus disesuaikan dengan asesmen sehingga dalam implementasi program dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efesien dalam mencapai tujuan. Program Bina diri bagi anak autis harus memperhatikan beberapa faktor. Faktor–faktor yang harus diperhatikan guru atau pelatih adalah sebagai berikut (Sudrajat dan Rosida, 2013: 80):
37
1) Perhatikan apakah sudah ada tanda–tanda bahwa anak sudah siap atau matang untuk menerima latihan-latihan. 2) Belajar dalam keadaan santai (relak). 3) Latihan–latihan hendaknya diberikan dengan singkat dan sederhana, tahap demi tahap. 4) Tunjukkan pada anak bagaimana cara melakukan sesuatu dengan benar. Hendaknya mengajarkan segala sesuatu melalui contoh–contoh yang mudah dimengerti. Satu macam latihan hendaknya diulang–ulang sampai anak mampu melakukannya sendiri dengan benar. 5) Pada melakukan sesuatu iringilah dengan percakapan. Gunakan kata–kata yang sederhana. Misalnya: “Heri, mari pakai sepatu”. 6) Terapkan disiplin dan jangan menyimpang dari ketetapan urutan, waktu maupun tempat. Contoh: cuci tangan sebelum makan, sesudah makan, sikat gigi dan sebagainya. 7) Berikan pujian dengan tulus, karena anak mungkin akan tahu mana pujian yang sungguh–sungguh atau pura–pura. Sebaliknya tolong anak agar untuk lain kali untuk berusaha lebih baik, misalnya: Heri, ini masih kurang baik, tetapi lain kali lebih baik lagi, ya”. 8) Kesalahan/kecelakaan adalah hal biasa dan mungkin saja terjadi anak jatuh karena memasukan kedua kakinya ke dalam satu lobang celana secara bersama–sama. Bila sudah berlatih namun masih gagal juga, hentikan latihan. Ini perlu agar anak tidak merasa frustasi atau kecewa. Juga agar guru/pelatih tidak merasa frustasi dan merasa gagal. 9) Flesibilatas pada metoda suatu latihan tetap tidak berhasil setelah jangka waktu latihan cukup lama, analisalah persoalan dnegan cermat. Jika demikian metoda perlu disusun kembali sesuai dengan batas kemampuan dan keadaan anak. 10) Sangatlah penting bahwa guru/pelatih menggunakan kata atau istilah yang sama, juga isyarat dan metoda mengajar yang sama. Berdasarkan
teori
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa
pembelajaran bina diri bagi anak autis perlu memperhatikan beberapa hal yaitu kesiapan anak, penggunaan kata–kata yang sederhana, adanya kekonsistenan serta pemberian contoh dalam pembelajaran, berikan penguatan. Pembelajaran bina diri yang di berikan harus memperhatikan beberapa hal tersebut sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dan potensi yang dimiliki anak dapat dioptimalkan.
38
3. Kajian Alat Bantu Visual a.
Definisi Alat Bantu Visual Menurut Kidd (2013: 13) istilah alat bantu visual atau visual supports digunakan, “untuk menggambarkan beragam benda yang membantu anak pengidap GSA agar lebih mudah berkomunikasi dan menjaga perilakunya”. Menurut Savner dan Myles (2000) dalam Nirahma, C & Yuniar, I (2012:3) menjelaskan bahwa,” visual supports adalah hal–hal yang kita lihat yang meningkatkan kemampuan anak dengan autisme untuk mendapatkan informasi dari indra
penglihatan.
Dimana
membantu
mengatur
keseharian,
komunikasi, memahami lingkungan, mendapatkan informasi dan memfasilitasi pembelajaran”. Menurut Kosasih (2012: 60): alat bantu visual membantu anak mengerti informasi tentang pilihan, jenis kegiatan yang telah dilakukan waktu lampau dan waktu yang akan datang, perasaan anak dan perasaan orang lain cara melakukan suatu aktifitas secara mandiri, dan membantu akan apa yang harus dilakukan bila terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Menurut Manitoba Education, Cirizenship and Yout (2005) menjelaskan bahwa, “Visual support is typically the most effective vehicle to communicate structure, routine, and predictability because it offers the students a permanent reminder of expectations”( hlm. 4). Visual support merupakan sarana yang paling efektif untuk mengkomunikasikan
struktur,
rutinitas
dan
prediksi
karena
memberikan kepada anak suatu pengingat yang diharapkan. Menurut pendapat ahli di atas maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa alat bantu visual merupakan berbagai macam benda yang dapat berbentuk benda nyata, ilustrasi warna, foto, gambar, tabel, dan lain–lain yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan anak autis, meningkatkan komunikasi anak, kemandirian
39
anak, dan dapat juga mengurangi kekhawatiran anak autis terhadap suatu kegiatan yang akan dilakukan.
b. Kelebihan Alat Bantu Visual Menurut Peeters (2004), “Visul Support dapat membebaskan para penyandang autisme dari beberapa masalah dasar mereka: abstraksi dan mengikuti sekuensi/tahapan waktu”(hlm. 103). Dengan menggunakan alat bantu visual mengajarkan kepada para penyandang autisme untuk menghadapi perubahan, membuat mereka berpikir secara lebih fleksible. Lebih mudah untuk menerima perubahan jika anda dapat mengantisipasinya secara visual. Alat bantu visual meningkatkan tingkat kemadirian. Semakin sedikit pola perilaku stereotip, berkat keterlibatan aktif mereka yang lebih besar (Peeters, 2004: 109).” Berdasarkan The National Autistic Society (2003: 1) menjelaskan bahwa, “visual supports can be used to help people with an autism spectrum disorder (ASD). They are adaptable, portable and can be used in most situations”. Visual support dapat digunakan untuk membantu anak gangguan spektrum autis. Ini sangat mudah diadaptasikan, mudah dibawa, dan dapat digunakan dalam berbagai situasi. Kosasih (2012: 62) juga berpendapat bahwa,
“alat bantu
visual dapat membantu anak mengungkapkan keinginannya”. Kosasih (2012: 60) berpendapat bahwa: Alat bantu visual dapat membantu anak mengerti tentang sesuatu yang akan terjadi, jenis kegiatan yang telah dilakukan waktu lampau dan waktu yang akan datang, perasaan anak dan perasaan orang lain, cara melakukan sesatu secara mandiri dan membantu anak, apa yang harus dilakukan bila terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Kesimpulan dari pendapat ahli tersebut adalah alat bantu visual membantu anak dengan gangguan spektrum autis yang mengalami kesulitan dalam memahami makna abstrak untuk membuat makna menjadi konkrit. Alat bantu visual membantu anak GSA menjadi lebih
40
tenang dan tidak gelisah ketika mengahadapi perubahan, mereka juga dapat lebih mandiri dalam melakukan kegiatan.
c. Jenis – Jenis Alat Bantu Visual Menurut Hodgon, L.A (1995) dalam Nirahma, C dan Yuniar, I (2012: 3) dukungan visual meliputi: “Body Language, Natural Environmental Cues, Traditional Tools For Organization And Giving Information”. Adapun penjelasan dari dukungan visual tersebut yaitu: 1) Body Language Bahasa tubuh meliputi ekspresi muka, orientasi tubuh dan jarak, sikap tubuh, pergerakan badan, menggapai, menunjuk, menyentuh, kontak mata, dan pergerakan mata. Kemampuan dalam mengerti dan menggunakan bahasa tubuh yang alami berpengaruh terhadap efektivitas menyampaikan pesan dalam berkomunikasi. 2) Natural Environmental Cues Lingkungan yang secara alami berisikan banyak dukungan visual, meliputi: penataan funitur, lokasi dan pergerakan manusia, benda, materi yang dicetak seperti tanda, sinyal, logo, label harga, pesan tertulis, intruksi, pilihan menu. Sangat penting untuk komunikasi, mengetahui dan memahami lingkungan sekitar mereka. 3) Traditional Tools For Organization And Giving Information Banyak orang menggunakan dan mengembangkan dukugan visual untuk membantu mengatur hidup mereka. Media ini meliputi: kalender, perencanaan harian, jadwal visual, daftar belanja, catataan, menu peta, checkbooks, buku telepon, tanda dan label. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Mudjito, dkk (tth: 137) bahwa, “visual support digunakan untuk meningkatkan komunikasi, mentransfer informasi, perilaku dan mengembangkan kemandirian. Ini termasuk daftar (jadwal) visual, urutan suatu pekerjaan, ekspresi
41
wajah, gesture dan bahasa tubuh. Manitoba Education, Cirizenship and Youth (2005: 5) berpendapat bahwa, “Visual Support can include pictures, books, checklist, schedules visual, social strories, written instructions, and so on”. Visual support dapat mencakup gambar, buku – buku, checklist, jadwal visual, sosial story (cerita sosial), perintah tulisan dan seterusnya. Kesimpulan dari pendapat ahli di atas adalah alat bantu visual atau visual support memiliki berbagai jenis bentuk dalam penyajian dapat berupa benda kongkrit, kalender, checkbook, jadwal visual, sosial story serta bahasa tubuh. Penelitian ini menggunakan alat bantu visual dalam bentuk jadwal visual untuk meningkatkan kemampuan merawat diri bagi anak autis.
d. Jadwal Visual Alat bantu visual yang digunakan pada penelitian ini dalam bentuk jadwal visual. Menurut Nugrahesti dkk (2013: 55), “jadwal visual
adalah
kumpulan
gambar
untuk
mengkomunikasikan
serangkaian aktivitas atau langkah dari sebuah aktivitas yang spesifik”. Kamp dan McErlean (2002) berpendapat bahwa, Jadwal visual adalah suatu cara yang mudah memberikan siswa tanda yang konsisten tentang jadwal kegiatan mereka. Memberikan kepada mereka struktur yang memungkinkan siswa untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi selanjutnya, mengurangi kekawatiran dengan menyediakan kepada siswa. Sesuai dengan penelitian Waters; Lerman & Honetz (2009: 313) dengan judul penelitian “Separate and combined effects of visual schedule and extinction plus differential reinforncement on problem behavior occasioned by transitions.”, bahwa dengan penggunaan jadwal visual dapat lebih memperkuat efektivitas dari penghapusan dan DRO pada penuruan permasalah perilaku saat pergantian kegiatan pada anak autis.
42
Alat bantu visual dalam bentuk jadwal visual sangat membantu anak autis dalam berkomunikasi. Seperti yang diungkapkan oleh Kosasih (2012: 61) bahwa,” alat bantu visual membuat anak mengerti tentang sesuatu yang terjadi, yaitu dengan memakai urutan gambar (picture schedule/visual schedule) yang berisi benda, gambar, orang, atau tempat yang menggambarkan apa yang akan dikerjakan anak”. Thompson (2010: 94) berpendapat bahwa, “jadwal harian juga berguna sebagai sarana untuk mengaitkan dengan pengalaman nyata”. McCorkle (2012: 5) berpendapat bahwa, “visuals schedules should tell what events are going to occur, when they occur, the order of activies and any changes that are going to happen in daily routines”. Jadwal visual menjelaskan apa yang akan terjadi, saat terjadi, urutan dari kegiatan dan berbagai perubahan yang akan terjadi dalam rutinitas sehari – hari. Visual schedules yaitu suatu rangkaian gambar yang menunjukan sebuah rangakaian aktivitas
dan proses dari suatu
aktivitas tertentu, bantuan visual seperti ini digunakan untuk membantu anak autis meningkatkan kemampuan mereka dalam memproses informasi, menggunakan bahasa, serta berinteraksi dengan lingkungan sosial mereka (Mudjito; Harizal; Karyanto & Adiningsih, 2014: 32). Yapko (2003: 117) berpendapat bahwa: One of the most common methods taken from the TEACCH program is the use of visual schedules. These are essentially a visual way to organize the child’s world for him or her by listing with pictures, symbols or words what the sequential steps are for the child to follow throughout the day or for a given period of time. This organization and sequencingof behaviors helps provide a structur for child who might otherwise be stressed or highly agitated by not knowing what to espect or to do next. Salah satu metode yang paling umum dipakai dari program TEACCH yaitu jadwal visual. Itu merupakan sebuah cara visual untuk mengatur dunia anak melalui mendengar dengan gambar, simbol atau kata–kata dengan sequen langkah–langkah bagi anak untuk diikuti sepanjang hari atau dalam suatu periode. Pengorganisasi dan sequen dari perilaku yang memberikan bantuan urutan/struktur bagi anak yang mengalami stres atau
43
kegelisahan yang berlebihan karena ketidaktauan dalam apa yang harus dilakukan selanjutnya. Sesuai dengan pedapat diatas, menurut Nugrahesti, Widyorini dan Roswita (2013: 56) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, “kecemasan anak Attention Deficit Hyperactivity Disorder berkurang (ADHD) menjalani pemeriksaan medis ke dokter gigi setelah penerapan jadwal visual”. Berdasarkan dari pendapat ahli di atas dapat simpulkan bahwa jadwal visual merupakan suatu urutan gambar–gambar dari langkah suatu kegiatan yang dapat membantu anak GSA dalam melakukan suatu kegiatan baik di sekolah maupun di rumah. Jadwal visual dapat dibuat dari benda nyata, gambar, dan potho dari suatu benda. Jadwal visual yang digunakan dalam penelitian berupan jadwal visual kegiatan mencuci tangan.
Adapun contoh bentuk jadwal visual
mencuci tangan adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1. Jadwal Visual Mencuci Tangan
B. Kerangka Berpikir Kerangka berfikir dalam penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti adalah berkaitan dengan penerapan alat bantu visual untuk meningkatkan kemampuan merawat diri anak gangguan spektrum autis (GSA). Kerangka bepikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
44
Pembelajaran bina diri materi kemampuan merawat diri siswa GSA kelas II SLB Negeri Surakarta
Pembelajaran sebelum menggunakan alat bantu visual
Kemampuan dasar anak GSA dalam merawat diri rendah
Pembelajaran menggunakan alat bantu visual
Kemampuan anak GSA dalam merawat diri meningkat Gambar 2.2. Kerangka Berpikir
C. Hipotesis Sugiyono (2013: 96) menjelaskan bahwa “hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan”. Menurut Sudjana (2005: 219) “hipotesis adalah asumsi atau dugaan mengenai suatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal itu yang sering dituntut untuk melakukan pengecekan”. Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: Alat bantu visual efektif untuk meningkatkan kemampuan merawat diri anak gangguan spektrum autis kelas II SLB Negeri Surakarta Tahun ajaran 2015/2016.