BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra a. Pengertian Apresiasi Sastra Dari bahasa latin, istilah apresiasi berasal dari kata appreciation, yang berarti mengindahkan atau menghargai. Menurut Hornby (Sayuti, 2002: 195) apresiasi berasal dari kata appreciation yang artinya pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian. Dalam arti yang lebih luas dikatakan Gove (Aminuddin, 2013: 34) apresiasi mengandung makna pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin serta pemahaman dan pengakuan terhadap nilainilai keindahan yang diungkapkan oleh penyair. Sastra adalah suatu bentuk sistem tanda karya seni yang bermediakan bahasa. Sastra hadir untuk dibaca dan dinikmati serta dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Sayuti (2002: 3) menyatakan bahwa apresiasi sastra adalah upaya memahami karya sastra, yaitu upaya agar dapat mengerti sebuah karya sastra yang dibaca, baik fiksi maupun puisi, mengerti maknanya, baik yang internasional maupun yang aktual dan mengerti seluk beluk strukturnya. Sementara Waluyo (2002: 44) mendefinisikan apresiasi sastra sebagai penghargaan atas karya sastra hasil pengenalan, memahaman, penafsiran, penghayatan, penikmatan atas karya sastra tersebut yang didukung atas kepekaan batin terhadap nilai yang terkandung dalam karya tersebut.Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra adalah menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga timbul pengertian, penghargaan, kepekaan, pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.
8
9
b. Pembelajaran Apresiasi Sastra Pembelajaran apresiasi cerpen diarahkan pada proses perolehan dan pengenalan apresiasi cerpen agar siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Hal ini berdasarkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Bahasa Indonesia SMA khususnya pembelajaran apresiasi sastra. Cerpen diharapkan dapat memenuhi tuntutan kurikulum tersebut, serta siswa mampu mengapresiasi cerpen tersebut melalui unsur-unsur intrinsiknya. Memahami unsur intrinsik cerpen merupakan salah satu materi pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Oleh karena itu, untuk mencapai standar kompetensi yang diharapkan perlu disampaikan dengan metode dan media yang tepat. Pada dasarnya, pembelajaran bukan sekadar kegiatan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Dalam pembelajaran, konteks diciptakan secara nyata sehingga siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi pengalaman dan keterampilan. Hasibuan (Gino, dkk., 2002: 32) memberikan batasan pengetahuan, yaitu usaha sadar guru untuk membuat siswa belajar dengan mengaktifkan faktor intern dan ekstern dalam belajar. Faktor intern yang dimaksud di sini meliputi minat, perhatian, motivasi, dan lain-lain. Faktor ekstern yang berpengaruh meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat. Menurut Usman (Mulyaningsih 2007: 32), pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Brown (Mulyaningsih, 2007: 31) pembelajaran juga dapat diartikan pemerolehan pengetahuan tentang suatu hal atau keterampilan melalui belajar pengalaman. Mengacu pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran pada hakikatnya adalah suatu proses interaksi antara siswa dan lingkungannya. Interaksi tersebut difasilitasi oleh guru yang menyebabkan terjadinya perubahan perilaku ke arah yang lebih baik sehingga dapat mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan
10
sebelumnya. Perubahan yang terjadi karena proses pembelajaran. Interaksi antarkomponen merupakan faktor penting dalam keberhasilan suatu proses belajar mengajar. Oleh karena itu, kerjasama antara guru dan siswa sangat diperlukan demi kelancaran kegiatan belajar mengajar. Selain itu, kesesuaian metode dalam proses belajar mengajar juga sangat berpengaruh dalam menentukan tercapai atau tidaknya tujuan belajar pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas. Hakikat pembelajaran sastra haruslah memampukan siswa menemukan hubungan antara pengalaman dengan cipta sastra yang bersangkutan (Gani, 1988: 14). Dalam hal ini siswa diharapkan mampu menemukan hubungan antara pengalaman batinnya dengan esensi cipta sastra yang dipelajari. Oleh karena itu, siswa belajar sastra harus dihadapkan pada karya sastra yang bersangkutan agar siswa dapat berkomunikasi, bergaul langsung dengan karya sastra tersebut. Kegiatan yang demikian itu dinamakan kegiatan mengapresiasi
sastra.
Pendapat
lain
mengenai
pembelajaran
sastra
dikemukakan oleh Moody (Sriyono, 2007: 45) bahwa: Sastra harus dapat memberikan sumbangan untuk pendidikan secara utuh hal tersebut sesuai dengan tujuan karya sastra kepada pembaca. Sumbangan tersebut dapat secara utuh jika mencangkup empat manfaat, yaitu untuk menunjang keterampilan berbahasa (skill), meningkatkan pengetahuan sosial budaya (knowledge), mengembangkan rasa karsa (development), membentuk watak (character). Mengikutsertakan pembelajaran sastra dalam kurikulum berarti membekali siswa untuk berlatih menyimak, membaca, berbicara, maupun menulis. Dengan membaca maupun menyimak karya sastra dapat menambah pengetahuan sosial budaya karena di dalam karya sastra mengandung ajaran tentang berbagai ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan tugas pembelajaran sastra utama, yaitu memperkenalkan anak didik dengan sederetan kemajuan yang dicapai manusia di seluruh dunia tanpa merusak kebanggaan terhadap kebudayaannya sendiri.
11
2. Hakikat Kemampuan Memahami Unsur Intrinsik Cerpen a. Hakikat Kemampuan Memahami Cerpen Berkaitan dengan pengertian cerpen, Syathariah (2011: 17) berpendapat bahwa cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan. Pendapat tersebut dapat dikaitkan dengan pendapat dari Kurniawan dan Sutardi (2012: 59) bahwa cerpen adalah rangkaian peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik antartokoh atau dalam diri tokoh itu sendiri dalam latar dan alur. Peristiwa dalam cerita berwujud hubungan antartokoh, tempat, dan waktu yang membentuk satu kesatuan. Cerita pendek atau lebih populer dengan akronim cerpen merupakan bagian dari jenis prosa. Sebuah cerita tidak dilihat panjang pendeknya halaman atau pun kata-kata yang dikandungnya (Widjojoko dan Endang, 2007: 37). Cerpen adalah fiksi pendek yang selesai dibaca sekali duduk. Sementara itu, Sumardjo (2001: 184) berpendapat bahwa cerita pendek hanya memiliki satu arti, satu krisis atau satu efek untuk pembacaannya. Pengarang cerpen hanya ingin mengemukakan suatu hal secara tajam. Pandangan lain mengenai panjang suatu cerpen disampaikan oleh Suharianto (Setiawati, 2015) bahwa: Cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau sedikitnya tokoh yang terdapat dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra tersebut. Jadi sebuah cerita yang pendek belum tentu digolongkan ke dalam jenis cerita pendek. Berdasarkan
pendapat dari para tokoh tersebut, dapat disimpulkan
bahwa cerpen merupakan suatu cerita tentang kejadian kecil dalam kehidupan. Dengan demikian, cerita pendek adalah suatu cerita yang melukiskan suatu peristiwa atau kejadian apa saja yang menyangkut persoalan jiwa atau kehidupan manusia.
12
Cerpen sebagai bagian dari prosa jelas berbeda dengan novel. Keduanya mempunyai persamaan, yaitu dibangun oleh unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang sama. Nurgiyantoro (2002:12)
menjelaskan karakteristik
yang menonjol pada cerpen sehingga tidak dapat disamakan dengan novel. Cerpen merupakan cerita pendek yang dapat dibaca sekali duduk kira-kira setengah hingga dua jam. Cerita yang disampaikan dalam cerpen biasanya hanya menampilkan satu konflik saja, jadi tidak memerlukan waktu yang lama untuk membacanya. Cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas tidak sampai pada detail-detai khusus yang kurang penting yang lebih bersifat memperpanjang cerita (Nurgiyantoro, 2002: 13). Berbeda halnya dengan novel, penceritaan dalam cerpen cenderung ringkas. Plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan cerita yang diikuti sampai cerita berakhir. Karena berplot tunggal, konflik yang akan dibangun dan klimaks biasanya bersifat tunggal. Cerpen biasanya hanya berisi satu tema, hal ini berkaitan dengan plot yang juga tunggal dan pelaku yang terbatas (Nurgiyantoro, 2002: 15). Tokoh dalam cerpen sangat terbatas. Cerpen tidak memerlukan rincian khusus tentang keadaan latar, misalnya yang meyangkut keadaan tempat dan latar sosial. Cerpen hanya memerlukan pelukisan secara garis besar saja asal telah mampu memberikan suasana tertentu. Dunia fiksi yang ditampilkan cerpen hanya menyangkut salah satu sisi kecil pengalaman kehidupan saja. Dengan demikian, cerpen merupakan cerita yang ringkas, pendek baik dari segi unsur pembangunnya maupun dari segi penceritaanya. Hal-hal tersebutlah yang membedakan cerpen dengan karya sastra yang lain. Cerita pendek dilihat dari karakteristiknya memiliki keistimewaan yang lebih daripada karya yang lain. Hal tersebut menjadikan cerpen masih dipilih sebagai salah satu karya sastra yang wajib dipelajari di sekolah.
13
b. Unsur Intrinsik Cerpen Berkaitan dengan unsur intrinsik cerpen, Nurgiyantoro (2002: 19) berpendapat bahwa unsur intinsik adalah unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu sendiri (Nurgiyantoro 2002:19). Cerita pendek terdiri atas unsur-unsur intrinsik, antara lain: alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, tema serta amanat. Berikut ini pembahasan masing-masing unsur. 1) Alur atau Plot Pengertian alur dalam cerpen atau karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 2002: 83). Stanton (Nurgiyantoro, 2002: 113) menyatakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Alur berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh dalam cerita. Selanjutnya, Pujiharto (2012: 32) mengatakan bahwa setiap karya pasti menyajikan cerita. Cerita itu terdiri atas peristiwa-peristiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak semata-mata diajarkan begitu saja, tetapi memiliki hubungan kausalitas antara satu dengan yang lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alur atau plot yaitu rangkaian peristiwa yang disusun pengarang melalui tahapan-tahapan peristiwa sehingga terjalin suatu cerita yang masuk akal dan utuh yang dihadirkan oleh pelaku cerita dengan memperhatikan hubungan sebab akibat. Perbedaan plot berdasarkan kriteria urutan waktu, yaitu plot lurus atau progresif, plot sorot balik atau flash back, dan plot campuran (Nurgiyantoro, 2002: 153). Sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro, Waluyo (2011: 13) berpendapat bahwa pada prinsipnya ada tiga jenis plot, yaitu: (1) plot garis lurus atau progresif, atau konvensional, (2) plot
14
flashback atau sorot balik atau regresif, (3) plot campuran, yaitu pemakaian alur garis lurus dan flashback sekaligus dalam cerita. Pembagian plot menurut Nugiantoro (2003: 149) dibagi menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu yaitu: tahap situasi (situation), pemunculan konflik (generating circumstances), peningkatan konflik (rising action), klimaks (climax), dan penyelesaian (denouement). Sejalan dengan pendapat tersebut, Suharianto (Setiawati, 2015) membagi alur atau plot terdiri dari lima bagian, yaitu: pemaparan atau pendahuluan, penggawatan, penanjakan, puncak atau klimaks, dan peleraian. Dengan berdasar pada pendapat di atas, tahapan plot dapat dibedakan menjadi lima tahapan, kelima tahapan itu adalah sebagai berikut. a) Tahap penyituasian Tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokohtokoh cerita. Tahapan ini merupakan tahap pembukaan cerita, dan pemberian informasi awal sehingga akan mempermudah pembaca mengetahui jalinan cerita sesudahnya. b) Tahap pemunculan konflik Masalah-masalah
yang
menyulut
terjadinya
konflik
mulai
dimunculkan. Jadi, dalam tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik. Konflik itu sendiri akan berkembang dan dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. c) Tahap peningkatan konflik Konflik yang telah dimunculkan semakin berkembang. Peristiwaperistiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. d) Klimaks Puncak cerita atau penggawatan, puncak dari kejadian-kejadian dan merupakan jawaban dari semua problem atau konflik yang tidak mungkin dapat meningkat ataumenjadi lebih ruwet lagi.
15
e) Penyelesaian Konflik
yang telah
mencapai klimaks
diberi
penyelesaian,
ketegangan dikendorkan, konflik-konflik diberi jalan keluar, cerita diakhiri.Tahapan ini merupakan tahap akhir. Plot dalam sebuah karya fiksi pada umumnya mengandung tahapan di atas, namun tempatnya tidaklah harus linear, runtut, dan kronologis seperti pemaparan di atas. Dalam pengkajian plot dalam suatu karya fiksi, perincian mana yang yang diikuti semuanya terserah pada orang yang bersangkutan. 2) Latar Pengertian latar menurut Suharianto (Setiawati: 2015) adalah tempat terjadinya dan waktu terjadinya cerita itu. Abrams (Nurgiantoro, 2002: 206) latar atau setting yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar dalam pengertian sederhana yaitu gambaran tentang tempat dan waktu atau masa terjadinya cerita.Wardani (2009: 42) memberikan pengertian setting secara sederhana dapat dinyatakan sebagai tempat, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa dalam karya sastra. Setting meliputi penggambaran lokasi geografis, perlengkapan rumah, kesibukan sehari-hari, hari tertentu, bulan, tahun, lingkungan agama, moral intelektual, dan sosial para tokoh. Sementara itu, Pradopo (2008:178) berpendapat bahwa latar sebuah karya sastra dipengaruhi oleh adat istiadat, norma-norma serta pandangan hidup suatu masyarakat. Latar tidak hanya terbatas oleh tempat, tetapi juga waktu dan suasana atau keadaan masyarakat dalam cerita tersebut. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar tidak hanya berupa sesuatu yang menyangkut fisik, tetapi juga yang menyangkut nonfisik dan juga bukan bersifat materi.
16
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu: tempat, waktu, dan sosial-budaya. Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan berupa tempattempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas (Nurgiyantoro, 2002: 314). Latar tempat menunjukkan keterangan tempat peristiwa itu terjadi. Keterangan tempat tersebut, misalnya: di rumah, di halaman, di kamar, dan lain-lain. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Menurut Nurgiyantoro (2013: 318). Latar waktu dalam prosa dibedakan menjadi dua, yaitu waktu cerita dan waktu pencerita.Waktu cerita adalah waktu yang ada di dalam cerita atau lamanya cerita itu terjadi.Waktu pencerita adalah waktu untuk menceritakan pencerita (Rokhmansyah, 2014: 38). Sehingga dapat disimpulkan bahwa latar waktu pada dasarnya menunjukkan kapan terjadinya peristiwa itu terjadi. Keterangan waktu tersebut misalnya: pagi hari, siang hari, malam hari, dan lain-lain. Latar sosial menggambarkan kondisi atau situasi saat terjadinya adegan atau konflik. Latar sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam cerita (Rokhmansyah, 2014: 39). Situasi saat terjadinya konflik dapat berupa suasana gembira, sedih, tragis, tegang, dan lainnya. Sedangakan perilaku sosial masyarakat dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap. Latar sosial juga berkaitan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, dan atas. Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa latar bukan sekedar menunjukkan tempat kejadian dan kapan terjadinya saja, namun juga harus memuat latar sosial yang dijadikan latar belakang penceritaan oleh pengarang yang keberadaannya harus integral dengan unsur lainnya dalam membangun keutuhan makna cerita.
17
3) Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah salah satu unsur yang penting dalam suatu cerpen. Sudjiman (Rokhmansyah, 2014: 34) tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlaku andil dalam berbagai peristiwa cerita.Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda mati. Selain itu, Brams (Nurgiyantoro, 2002: 165) berpendapat bahwa tokoh cerita merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama oleh pembaca kualitas moral
dan
kecenderungan-kecenderungan
tertentu
seperti
yang
diekspresikan dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan. Tokoh cerita adalah pelaku yang dikisahkan perjalanan hidupnya dalam cerita fiksi lewat alur, baik sebagai pelaku maupun penderita berbagai peristiwa yang diceritakan (Nuryatin, 2010: 7). Berdasarkan berbagai pendapat tersebut dikatakan bahwa tokoh cerita adalah individu rekaan yang mempunyai watak dan perilaku tertentu sebagai pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita. Penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2002: 166). Selanjutnya, Jones (Nurgiyantoro, 2002: 165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Sudjiman (Rokhmansyah, 2014: 34) watak adalah kualitas nalar dan jiwa tokoh yang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut penokohan. Sejalan dengan hal tersebut, Suharianto (Setiawati, 2015) penokohan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa, pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat-istiadatnya, dan sebagainya. Berdasarkan pengertian dari berbagai tokoh tersebut, dapat dikatakan bahwa perwatakan adalah pelukisan karakteristik tokoh melalui sifat, sikap, dan
18
tingkah laku yang lebih menunjukkan pada kualitas pribadi sesuai penafsiran pembaca. Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Penggambaran perwatakan dalam prosa fiksi ata dua cara, yaitu secara ekspositori dan secara dramatik (Nurgiyantoro, 2005: 194 ). Dapat dikatakan bahwa penokohan dapat diwujudkan dengan cara langsung dan tidak langsung. Secara langsung berarti pengarang secara langsung mengungkapkan watak tokoh dalam ceritanya. Sedangkan secara tidak langsung, pengarang hanya menampilkan pikiran-pikiran, ide-ide, pandangan hidup, perbuatan, keadaan fisik, dan ucapan-ucapan dalam sebuah cerita. Dengan demikian, penggambaran watak secara tidak langsung pembacalah yang menyimpulkan watak tokoh dalam cerita yang dibacakan. 4) Sudut Pandang Sudut pandang adalah cara pandang pengarang menampilkan para pelakudalam cerita yang dipaparkan (Aminuddin 2002:90). Selanjutnya, Stanton (Rokhmansyah, 2014: 39) sudut pandang adalah posisi yang menjadi pusat kesadaran tempat untuk memahami setiap peristiwa dalam cerita. Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang pada karya sastra merupakan cara pandang untuk menceritakan cerita dalam karyanya. Sudut pandang pada hakikatya merupakan strategi, teknik, dan siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untukmengemukakan gagasan ceritanya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Abrams (Nurgiyantoro, 2002: 245). Sudut pandang (point of fiew), menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Menurut Nurgiyantoro (2005: 256) perbedaan sudut pandang berdasarkan bentuk persona tokoh cerita, yaitu persona ketiga: “Dia” terdiri dari “Dia” mahatau dan “Dia” terbatas
19
“Dia” sebagai pengamat;
persona pertama “Aku” terdiri dari “Aku”
tokoh utama dan “Aku” tokoh sampingan: serta sudut pandang campuran. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk menyampaikan gagasan dalam ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap kehidupan. 5) Gaya Bahasa Gaya erat hubungannya dengan nada cerita. Gaya pemakaian bahasa yang spesifik dari seorang pengarang. Stanton (Rokhmansyah, 2014: 39) menyatakan bahwa gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Selanjutnya, Aminuddin (2002:72) menyatakan bahwa gaya adalah cara seorang pengarang mengungkapkan gagasannya dalam wacana ilmiah dengan cara pengarang dalam kreasi cipta sastra, dengan demikian akan menunjukkan adanya perbedaan meskipun dua pengarang itu berangkat dari satu ide yang sama. Menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2002: 276) gaya bahasa adalah cara ekspresi kebahasaan oleh pengarang. Gaya bahasa pada masingmasing pengarang berbeda sehingga gaya bahasa masing-masing karya sastra berbeda. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya adalah keterampilan pengarang dalam mengolah dan memilih bahasa secara tepat dan sesuai dengan watak pikiran dan perasaan. Setiap pengarang mempunyai gaya yang berbeda-beda dalam mengungkapkan hasil karyanya. 6) Tema Tema menurut Aminuddin (2002: 91) adalah ide atau gagasan atas permasalahan yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Hartoko dan Rahmanto (Nurgiyantoro, 2002: 68) mengatakan bahwa tema merupakan gagasan dasar di dalam teks sebagai
20
struktur semantik dan yang menyangkut pesamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tema berarti implikasi yang perlu dari cerita keseluruhan, bukan bagian yang terpisah dari cerita (Kenny dalam Pujiharto, 2012: 76). Selanjutnya, Suharianto (Setiawati, 2015).Tema adalah dasar cerita, yakni pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra. Ia terasa dan mewarnai karya sastra tersebut dari halaman pertama hingga halaman terakhir Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud tema adalah ide atau gagasan atau permasalahan yang mendasari suatu cerita yang merupakan titik tolak pengarang dalam menyusun cerita atau karya sastra. Tema memiliki generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak. Seorang pakar menyatakan bahwa tema hendaknya memenuhi kriteria yaitu: Tema hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai detai menonjol dalam sebuah cerita, interpretasi yang dilakukan hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita yang saling berkontradiksi, interpretasi yang dilakukan hendaknya tidak sepenuhnya tergantung bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit), dan interpretasi yang dilakukan hendaknya didasarkan pada ujaran yang secara jelas terdapat dalam cerita bersangkutan (Pujiharto, 2012: 78) Langkah-langkah di atas cenderung mirip proses mekanis. Oleh karena itu, harus segera diingat bahwa proses mencari tema sama saja dengan bertanya pada diri sendiri tentang alasan pengarang menulis cerita tersebut. Cara paling efektif untuk mengamati tema sebuah cerpen adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. 7) Amanat Pengertian amanat menurut Aminuddin (2002: 22) adalah unsur pendidikan, terutama pendidikan moral, yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca lewat karya sastra yang ditulisnya. Amanat dapat disampaikan dengan cara tersirat dan tersurat. Tersirat artinya
21
pengarang tidak menyampaikan langsung melalui kalimat-kalimat, tetapi melalui jalan nasib atau penghidupan pelakunya, sedangkan tersurat berarti pengarang menyampaikan langsung pada pembaca melalui kalimat, baik itu berbentuk keterangan pengarangnya atau dialog pelakunya. Sedangkan menurut Kosasih (2012: 41) amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karya itu. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan, Selanjutnya, Sudjiman (Rokhmansyah, 2014: 33) mengatakan bahwa amanat biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan secara praktis. Amanat dibuat oleh pengarang dapat disebut juga pesan terselubung yang disampaikan oleh pengarang Sejalan dengan Sudjiman, Suharianto (Setiawati, 1982: 70) menyatakan bahwa amanat adalah nilai-nilai yang ada dalam cerita karya sastra selain berfungsi sebagai hiburan juga berfungsi sebagai sarana pendidikan. Dengan kata lain, pengarang selain untuk menghibur pembaca (penikmat) juga ingin mengajari pembaca. Ajaran yang ingin disampaikan pengarang itu dinamakan amanat. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca lewat karya sastra yang ditulisnya.Seorang pengarang sadar atau tidak sadar pasti menyampaikan amanat. Pembaca diharapkan dapat teliti untuk mengungkapkan apa yang tersirat dari cerpen tersebut. c. Penilaian Pembelajaran Memahami Unsur Intrinsik Cerpen Penilaian menurut Brown (Nurgiyantoro (2013: 9) adalah sebuah cara pengukuran pengetahuan, kemampuan, dan kinerja seseorang dalam suatu ranah yang diberikan. Selanjutnya, menurut Groundlund (Jihad dan Abdul (2012: 54) penilaian sebagai proses sistematik pengumpulan, penganalisisan, dan penafsiran informasi untuk menentukan sejauh mana siswa mencapai
22
tujuan. Dengan demikian, inti dari penilaian adalah proses memberikan atau menentukan hasil belajar tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Penilaian pembelajaran apresiasi sastra itu hendaknya mengandung tiga komponen dasar, yaitu: kognisi, afeksi, dan keterampilan. Pada umumnya dikenal bentuk penilaian prosedur, yang meliputi penilaian proses belajar dan penilaian hasil belajar. 1) Penilaian Proses Penilaian kualitas proses pembelajaran dimaksudkan untuk menilai aktivitas siswa dalam pembelajaran memahami unsur intrinsik dari cerpen yang disimak. Untuk melakukan penilaian, terlebih dahulu harus ditentukan aspek-aspek yang dinilai. Aspek yang dinilai dalam penilian proses pembelajaran, yaitu aspek keaktifan siswa saat mengikuti pembelajaran memahami unsur intrinsik cerpen. Keaktifan adalah kegiatan atau aktivitas atau segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan yang terjadi baik fisik maupun nonfisik (Mulyono, 2001: 26). Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran tidak hanya keterlibatan dalam bentuk fisik seperti duduk melingkar, mengerjakan atau melakukan sesuatu, akan tetapi dapat juga dalam bentuk
proses
analisis,
analogi,
komparasi,
penghayatan,
yang
kesemuanya merupakan keterlibatan siswa dalam hal praktis dan emosi (Sugandi, 2007: 75). Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa aktif adalah siswa yang terlibat secara terus menerus baik secara fisik, psikis, intelektual, maupun emosional dalam proses pembelajaran. Penilaian keaktifan siswa terdiri dari enam indikator, yaitu: 1)mengajukan pertanyaan dan mengemukakan ide atau gagasan, 2)memperhatikan penjelasan guru, 3) menyimak pembacaan cerpen, 4)mencatat materi yang dijelaskan guru, 5) aktif saat berdiskusi dengan teman satu kelompok, dan 6) aktif dalam melaksanakan tunamen.
23
Tabel 1. Tabel Penilaian Keaktifan Siswa No
Nama
Indikator 1
2
3
4
Nilai 5
Ket
6
1. 2. 3. Jumlah
Keterangan Indikator 1
: Mengajukan pertanyaan dan mengemukakan ide/gagasan
2.
: Memperhatikan penjelasan guru
3
: Menyimak pembacaan cerpen
4
: Mencatat materi yang dijelaskan guru
5
: Aktif saat berdiskusi dengan teman satu kelompok
6
: Aktif dalam melaksanakan tunamen
Kriteria Penilaian a) Mengajukan pertanyaan 5 = mengajukan pertanyaan dan mengemukakan ide/gagasan dengan luas dan mendalam sesuai data 4 = mengajukan pertanyaan dengan tidak terlalu luas namun sesuai data 3 = mengajukan pertanyaan dengan luas dan kurang sesuai dengan data 2 = mengajukan pertanyaan secara singkat dan tidak sesuai data 1 = tidak mengajukan pertanyaan maupun mengemukakan ide/ gagasan b) Memperhatikan penjelasan guru 5 = memperhatikan penjelasan guru dengan baik tanpa melakukan kegiatan lain. 4 = memperhatikan penjelasan guru dengan kurang fokus
24
3 = memperhatikan penjelasan guru dengan melakukan kegiatan lain 1 = lebih banyak melakukan kegiatan lain daripada memperhatikan penjelasan guru 1 = sama sekali tidak memperhatikan penjelasan guru c) Menyimak pembacaan cerpen 5 = menyimak pembacaan cerpen dengan baik tanpa melakukan kegiatan lain 4 = menyimak cerpen dengan kurang fokus 3 = menyimak penjelasan guru dengan melakukan kegiatan lain 2 = lebih banyak melakukan kegiatan lain daripada menyimak cerpen 1 = sama sekali tidak menyimak cerpen d) Mencatat materi yang dijelaskan guru 5 = mencatat seluruh materi yang diterangkan 4 = mencatat poin-poin penting dari seluruh materi 3 = mencatat setengah dari materi yang diterangkan 2 = mencatat kurang dari setengah materi 1 = tidak mencatat sama sekali e) Aktif dalam diskusi kelompok 5 = ikut aktif berdiskusi dan ikut menyalurkan ide yang dimiliki serta aktif dalam mencari unsur intrinsik cerpen 4 = ikut aktif berdiskusi dan ikut menyalurkan ide tetapi tidak aktif dalam mencari unsur intrinsik cerpen 3 = ikut aktif berdiskusi tetapi tidak memberikan ide 2 = tidak terlalu aktif dalam diskusi tidak memberikan ide dan mencari unsur intrinsik cerpen 1 = sama sekali tidak aktif dalam berdiskusi dan tidak turut menyalurkan ide mapun membantu mencari unsur intrinsik cerpen f) Aktif dalam menjelaskan hasil diskusi kelompok 5 = sangat aktif dalam turnamen dan menjawab soal turnamen
25
dengan mandiri dan tepat 4 = aktif dalam turnamen, menjawab soal dengan mandiri namun menjawab soal dengan kurang tepat 3 = aktif dalam turnamen tetapi tidak menjawab dengan mandiri dan tepat 2 = aktif dalam turnamen tidak menjawab soal dengan mandiri dan jawaban kurang tepat 1 = tidak aktif dalam turnamen tidak menjawab soal dengan mandiri dan kurang tepat Tiap aspek penilaian memiliki skor maksimal 5. Jumlah skor maksimal enam aspek penilaian adalah (5x6=30). Nilai diperoleh dengan cara: Nilai rata-rata =
(
)
Diadaptasi dari Suwandi (2008: 134-142)
Keterangan nilai rata-rata skor masing-masing aspek 0,01-1,49
: sangat kurang
1,50-2,49
: kurang
2,50-3,49
: sedang
3,50-4,49
: baik
4,50-5,00
: sangat baik
Keterangan jumlah skor 0-6
: sangat kurang
7-12
: kurang
13-18 : sedang 19-24 : baik 25-30 : sangat baik
26
2) Penilaian Hasil Selaian
penilian
proses,
penilian
yang
dilakukan
dalam
pembelajaran memahami unsur intrinsik dari cerpen yang disimak yaitu dengan penilaian hasil. Tes formatif dimaksudkan sebagai tes yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah terbentuk setelah mengikuti proses belajar mengajar. Menurut Purwanto (2009: 67-68) tes formatif diujikan untuk mengetahui sejauh mana proses belajar mengajar dalam satu program telah membentuk siswa dalam perilaku yang menjadi tujuan pembelajaran program tersebut. Tes formatif dalam praktik pembelajaran dikenal sebagai ulangan harian. Tes formatif tersebut adalah sebagai alat penilaian dalam memahami unsur intrinsik cerpen siswa. Tes formatif ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah terbentuk setelah mengikuti proses belajar mengajar mengenai materi mengidentifikasi unsur intrinsik cerpen. Prosedur penilaiannya adalah ketika proses pembelajaran menggunakan metode TGT (Teams Games Tornament) dengan media audio sudah selesai dilaksanakan, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing dan guru memberikan tes objektif bentuk soal jawab singkat berjumlah 10 soal untuk dikerjakan. Menurut Sudjana (2014: 44) bentuk soal jawab singkat merupakan soal yang menghendaki jawaban dalam bentuk kata, bilangan, kalimat, atau symbol, dan jawabannya hanya dapat dinilai benar atau salah. Penskoran bentuk jawab singkat, skor hanya dimungkinkan menggunakan dua kategori, yaitu benar dan salah.Untuk setiap kata kunci yang benar diberi skor satu (1) dan untuk kata kunci yang dijawan salah atau tidak benar diberi skol nol (0).Sehingga penilaian dapat dirumuskan sebagai berikut ini. Nilai =
× 100
27
Hasil
tes
kemampuam
memahami
unsur
intrinsik
cerpen
dinyatakan tuntas apabila siswa memperoleh nilai di atas KKM yaitu sebesar 75. Sebaliknya, siswa yang belum mencapai nilai 75 tergolong siswa yang belum mencapai KKM atau belum tuntas. d. Pembelajaran Memahami Unsur Intrinsik dari Cerpen di SMA Mengikutsertakan pembelajaran apresiasi sastra dalam kurikulum berarti membekali siswa untuk berlatih menyimak, membaca, berbicara, maupun menulis.Dengan membaca maupun menyimak karya sastra dapat menambah pengetahuan sosial budaya karena didalam karya sastra mengandung ajaran tentang berbagai ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan tugas pembelajaran sastra utama, yaitu memperkenalkan anak didik dengan sederetan kemajuan yang dicapai manusia di seluruh dunia tanpa merusak kebanggaan terhadap kebudayaannya sendiri. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XI terdapat pembelajaran apresiasi sastra. Salah satunya yaitu menganalisis unsur intrinik cerpen. Hal tersebut dapat dilihat dalam Standar Kompetensi (SK) memahami pembacaan cerpen dan Kompetensi Dasar (KD) mengidentifikasikan alur, penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan. Setidaknya ada beberapa fenomena yang dapat dijadikan alasan mengapa cerpen mempunyai beberapa kekhususan yang menguntungkan untuk dijadikan pengajaran sastra di sekolah sebagai berikut ini. a. Pada umumnya cerpen memiliki bentuk yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan bentuk novel dan drama. b. Sesuai dengan semangat zaman yang tidak memungkinkan lagi orang untuk berlama-lama menikmati suatu cerita, cerpen cocok dengan minat masyarakat dan juga para remaja karena cerpen dapat dibaca pada waktu yang singkat bahkan di sela-sela kesibukan. c. Cerpen
memiliki
keanekaragaman
keanekaragaman kehidupan.
topik
yang
mencerminkan
28
d. Dalam
proses
belajar-mengajar
cerpen
lebih
memungkinkan
pengembangan pikiran kritis dan kreatif (Sarwadi: 97). Pembelajaran memahami unsur intrinsik dari cerpen yang disimak di Sekolah Menengah Atas masih banyak mengalami problematika. Menurut Toha (Sarumpaet, 2002: 16-18) permasalah tersebut yaitu, alokasi waktu dalam pengajaran sastra sebaiknya ditambah agar para pengajar dan siswa memiliki keleluasaan untuk mengembangkan pemahaman mengenai sastra lebih lanjut. Selain itu, sekolah harus menyediakan buku-buku sastra yang diperlukan di perpustakaan. Guru tidak memberikan tes kemampuan menyimak cerpen kepada siswa. Pelaksanaan pembelajaran bahasa di sekolah, khususnya bahasa Indonesia, pembelajaran tes menyimak tampak kurang mendapat perhatian sebagaimana halnya kompetensi berbahasa yang lain (Nurgiyantoro, 2013: 353). Belum tentu semua guru bahasa secara khusus membelajarkan dan sekaligus menguji kemampuan menyimak peserta didik dalam satu periode tertentu walaupun sebenarnya kemampuan itu sangat diperlukan untuk mengetahui pelajaran sebagai mata pelajaran. Hal tersebut mungkin disebabkan guru beranggapan bahasa lisan, atau karena menyusun dan mempersiapkan tes kompetensi menyimak memang tidak semudah dan sesederhana seperti halnya tes-tes kompetensi lain. Tegasnya, tes kempetensi menyimak memerlukan persiapan dan sarana yang telah khusus. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Setiawati tahun 2015 dengan judul “Peningkatan Motivasi dan Kemampuan
Mengidentifikasikan
Unsur
Intrinsik
Cerpen
dengan
Menggunakan Metode Pembelajaran Jigsaw pada Siswa Kelas VII SMP AlIrsyad Tawangmangu”. Dalam penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan saat ini, yaitu dalam variabel mengidentifikasi unsur intrinsik cerpen.Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik cerita pendekdengan metode Jigsaw pada siswa kelas VII SMP Al-Irsyad TawangmanguKaranganyar. Hasil penelitian dapat disimpulkan terdapat
29
peningkatan kualitas proses pembelajaran, yang meliputi: (1) Peningkatan kualitas tersebut ditandai dengan meningkatnya: jumlah siswa yang menyimak pembacaan cerpen dan jumlah siswa yang aktif ketikadiskusi kelompok serta (2) Peningkatan kualitas hasil pembelajaran ditandai dengan meningkatnya ketuntasan belajar siswa. Kesimpulannya adalah metode Jigsaw efektif diterapkan dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik cerpen. Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Nafisah dengan judul “Peningkatan Pemahaman Unsur Intrinsik pada Cerpen Melalui Metode Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Division (STAD)”. Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk; (1) mengetahui penerapan metode kooperatif tipe STAD dalam pemahaman unsur intrinsik dalam cerpen, (2) mengetahui tanggapan siswa terhadap penerapan metode kooperatif tipe STAD dalam pemahaman unsur intrinsik dalam cerpen. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemahaman awal siswa terhadap cerpen dan unsur intrinsiknya cukup baik, namun masih ada sebagian siswa yang mendapat nilai di bawah KKM, namun setelah guru menjelaskan materi unsur intrinsik cerpen melalui metode kooperatif tipe STAD terdapat peningkatan rata-rata nilai siswa. 3. Hakikat Media Audio a. Pengertian Media Pengertian Media menurut Miarso (Indriana, 2011: 14) adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa untuk belajar. Hamalik (Syukur, 2005: 125) mendefinisikan media sebagai teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi antara guru dan murid dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Sejalan dengan pendapat di atas, Musfiqon (2012: 28) berpendapat bahwa media pembelajaran dapat didefinisikan sebagai alat bantu berupa fisik maupun nonfisik yang sengaja digunakan sebagai perantara antara guru dan siswa dalam memahami materi pembelajaran agar lebih efektif dan
30
efisien. Sehingga materi pembelajaran lebih cepat diterima siswa dengan utuh dan menarik minat siswa untuk belajar lebih lanjut. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah sarana pendidikan yang dapat digunakan sebagai perantara dalam proses pembelajaran untuk mempertinggi efektifitas dan efisiensi serta minat dan motifasi dalam mencapai tujuan pembelajaran. b. Fungsi Media Pembelajaran Fungsi media pembelajaran menurut Sanaky (2009: 6) yaitu untuk: menghadirkan obyek sebenarnya dan obyek yang langka; membuat duplikasi dari obyek yang sebenarnya; mengatasi hambatan waktu, tempat, jumlah, dan jarak; menyajikan ulang informasi secara konsisten, dan memberi susasana belajar yang tidak tertekan, santai, dan menarik, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran. Selanjutnya, Agus (Syukur, 2005: 125) menyatakan bahwa media pembelajaran berfungsi untuk: membantu memudahkan belajar bagi siswa dan juga memudahkan proses pembelajaran bagi guru; memberikan pengalaman lebih nyata; menarik perhatian siswa lebih besar; semua indera siswa dapat diaktifkan; dan dapat membangkitkan dunia teori dengan realitanya. Sejalan dengan pendapat di atas, Hamalik (Arsyad, 2006: 15) menyatakan bahwa: Pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologi terhadap siswa. Penggunaan media pembelajaran pada tahap orientasi pembelajaran akan sangat membantu keaktifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran pada saat itu. Berbagai paparan di atas menunjukkan bahwa fungsi media pembelajaran cukup luas dan banyak. Namun, secara lebih rinci dan utuh media pembelajaran berfungsi untuk: 1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran; 2) meningkatkan gairah belajar siswa; 3) meningkatkan minat dan motivasi belajar;
31
4) menjadikan siswa berinteraksi langsung dengan kenyataan; 5) mengefektifkan proses komunikasi dalam pembelajaran; dan 6) meningkatkan kualitas pembelajaran. c. Pemilihan Media Pembelajaran Pemilihan media pembelajaran menurut Munadi (2010: 187) harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadi fokus pemilihan media, yaitu: karakteristik siswa, tujuan belajar, sifat bahan ajar, pengadaan media, dan sifat pemanfaatan media. Berdasar pada pendapat tersebut, yang menjadi fokus pemilihan media dapat dijabarkan sebagai berikut. 1) Karakteristik Siswa Karakteristik siswa adalah keseluruhan kemampuan yang ada pada siswa sebagai hasil dari pembawaan dan pengalamannya sehingga menentukan pola aktivitas siswa. Setidaknya ada tiga hal yang berkaitan dengan karakteristik siswa, yaitu: karakteristik atau keadaan yang berkenaan dengan kemampuan awal, latar belakang lingkungan hidup dan status sosial, serta perbedaan-perbedaan kepribadian. 2) Tujuan Belajar Tujuan belajar secara umum diusahakan untuk mencapai:perolehan pengetahuan, penanaman konsep dan keterampilan, serta pembentukan sikap. Baik hasil belajar dari segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. 3) Sifat Bahan Ajar Bahan ajar atau isi pelajaran memiliki keragaman dari sisi tugas yang ingin dilakukan siswa.Tugas-tugas tersebut biasanya menuntut adanya aktivitas yang dilakukan oleh para siswa.Setiap kategori pembelajaran itu menuntut aktivitas atau perilaku yang berbeda-beda. Dengan demilikan, akan mempengaruhi pemilihan media beserta teknik pemanfaatannya. 4) Pengadaan Media Dari segi pengadaannya media ada dua macan yaitu media jadi dan media rancangan. Media jadi adalah media yang sudah menjadi komoditi perdagangan. Sedangkan media rancangan adalah media yang
32
dirancang secara khusus untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran tertentu. 5) Sifat Pemanfaatan Media Dilihat dari sifat pemanfaatannya, media pembelajaran dibagi menjai dua, yaitu media primer dan sekunder. Media primer yakni media yang diperlukan atau hanya digunakan guru untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran. Sedangkan Media sekunder ini bertujuan untuk memberikan pengayaan materi.Kedua macam media tersebut, tentunya tidak cukup hanya memiliki kesesuaian dengan tujuan, materi, dan karakteristik saja, tetapi juga memerlukan sejumlah keahlian dan pengalaman profesionali guru. d. Pengertian Media Audio Berkaitan dengan pengertian media audio, Kustandi dan Sutjipto (2011: 57) menyatakan bahwa media audio berkaitan dengan indera pendengaran. Pesan yang disampaikan dituangkan ke dalam lambang-lambang auditif, baik verbal maupun nonverbal. Sejalan dengan pendapat Kustandi dan Sutjipto, Asyhar (2012: 130) berpendapat bahwa media audio adalah media yang penyampaian pesannya hanya dapat diterima oleh indera pendengaran. Pesan atau informasi yang akan disampaikan dituangkan ke dalam lambanglambang auditif, berupa kata-kata, musik, dan efek suara (sound effect). Dalam kaitannya audio sebagai media pembelajaran, maka suara-suara atau bunyi direkam dengan menggunakan alat perekam suara, kemudian diperdengarkan kembali kepada peserta didik dengan sebuah alat pemutar (Daryanto, 2013: 38). Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa media audio adalah media penyajian pengajaran atau pengetahuan melalui indera pendengaran melalui lambang-lambang auditif. e. Kelebihan dan Kekurangan Media Audio Kelebihan dari media audio menurut Anitah (2009: 40) yaitu tidak begitu mahal untuk kegiatan pembelajaran, dapat digunakan untuk pembelajaran kelompok maupun individual, media audio dapat membawakan pesan verbal yang lebih dramatis daripada media cetak, dengan sedikit
33
imaginasi guru program audio dapat bervariasi. Selanjutnya, Sanaky (2009: 93) berpendapat bahwa kelebihan dari media audio yaitu dapat memotivasi suasana belajar karena dapat dilengkapi dengan unsur musik serta praktis peggunaannya terutama sifatnya yang mudah digunakan dan dapat diputar secara berulang-ulang sesuai dengan kenginan. Kekurangan dari media audio menurut Anitah (2009: 40) yaitu: tanpa ada penyaji yang bertatap muka langsung dengan pebelajar, beberapa diantara pebelajar kurang memperhatikan penyajian itu, pengembangan program audio yang baik akan banyak menyita waktu, serta tidak dapat diperoleh balikan secara langsung karena hanya ada satu jalur penyampaian informasi. Selanjutnya, menurut Sanaky (2009: 93) kekurangan dari media audio yaitu kurang efektif untuk materi pelajaran yang mempunyai kadar kesukaran tinggi, seperti: matematika, kimia, dan fisika serta audio kaset lebih mudah menciptakan suasana jenuh dan membosankan. Berdasarkan pendapat tersebut, kelebihan dari media audio yaitu dapat memotivasi siswa karena dengan media audio dapat dilengkapi dengan unsur musik dan efek-efek suara pendukung lain sehingga dapat menimbulkan unsur-unsur dramatik. Dilihat dari segi guru, penggunaannya dapat diputar secara berulang-ulang sesuai dengan keinginan sehingga media audio ini tidak begitu mahal untuk kegiatan pembelajaran. Disisi lain, penggunaan media audio yang diputar secara berulang-ulang akan terdengar hal-hal yang sama. Hal ini dapat menimbulkan kebosanan. Untuk penyajian media audio yang baik pula dibutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Baik dari proses awal perekaman materi, proses perbaikan dan pemberian efek-efek pendukung, dan sebagainya. Sayangnya, penerapan media audio ini tidak cocok untuk mata pelajaran dengan kadar kesukaran tinggi, misalnya kimia, fisika, matematika, dan lain-lain. Media ini cocok untuk pembelajaran dengan unsur teks atau wacana. Misalnya mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jawa. Selain itu, penyajian dalam media audio hanya menggunakan satu jalur
34
informasi, sehingga beberapa diantara pebelajar kurang memperhatikan penyajian itu. f. Kriteria Media Pembelajaran Audio Media audio memiliki karakteristik yang cocok digunakan dalam pembelajaran materi yang memerlukan pendengaran dan daya imajinasi (Asyhar, 2012: 135). Sejalan dengan pendapat tersebut, Daryanto (2013: 39) menyatakan bahwa media ini sangat cocok untuk menyampaikan materimateri pembelajaran yang erat kaitannya dengan masalah cerita dan bunyi. Selain media ini juga sangat cocok untuk mengembangkan daya imaginasi peserta didik. Berdasarkan hasil penelitian dari Zhang (2006) terdapat kriteria dari media audio, yaitu sebagai berikut: Similar to the management of graphics, audio files should be used only when they are in relation to the instruction content, complementing the information displayed, and supporting the presentation. In addition, when used, audio should offer students the flexibility to pause, repeat, and continue the sound recording at any time so that they can reflect on important information or go over unclear instruction. Serupa dengan pengolahan grafis, file audio harus digunakan hanya ketika berkaitan dengan konten intruksi, melengkapi informasi yang ditampilkan, dan mendukung presentasi. Selain itu, ketika digunakan, audio yang disajikan kepada siswa-siswa harus fleksibel untuk penggunaan jeda, mengulang, dan melanjutkan rekaman suara setiap saat sehingga mereka dapat merefleksikan informasi penting atau memecahkan intruksi yang tidak jelas (Li Zhang, 2006). Media audio hanya mengandalkan suara dalam penyampaian pesan atau informasi, maka media audio harus dibuat semenarik mungkin.Pesan atau informasi lebih jelas, dan dapat meningkatkan daya imajinasi siswa. Keterampilan mengemas materi dalam media audio juga akan mampu menciptakan
suatu
pembelajaran
yang
lebih
efektif
dibandingkan
pembelajaran konvensional yang hanya menggunakan media papan tulis.
35
Untuk membuat sebuah media audio yang menarik, perlu dipahami bagian atau elemen-elemen yang dapat diolah dan dieksplorasi, yaitu unsur kata, unsur musik, unsur suara (Asyhar, 2012: 135).Unsur kata merupakan elemen utama dalam percakapan yang diucapkan oleh pemain secara teratur dan bermakna. Beberapa hal yang dapat dieksplorasi untuk memperindah sebuah media audio, penghayatan dalam pengucapan, intonasi, artikulasi, pilihan kata(diksi), dan lain-lain. Unsur musik dapat diarikan secara umum merupakan perpaduan bunyi yang membuat arti dan nilai artistik yang tinggi. Musik dapat membuat sebuah media lebih menarik. Dalam media audio, musik dapat dimanfaatkan untuk beberapa hal, yaitu: menciptakan suasana, misalnya suasana sedih, gembira, lucu, tegang, dan lain-lain; melatarbelakangi sebuah adegan; memberi tekanan sebuah adegan, misalnya terkejut, marah, dan lain-lain; danmenguatkan latar (setting), misalnya adegan dalam istana kerajaan Mataram digunakan musik gending jawa. Efek suara penting pada media audio karena media ini tidak dapat dilihat hanya bisa didengar. Melalui efek suara dapat menimbulkan imajinasi atau memberikan gambaran suasana atau latar, baik waktu, tempat, maupun suatu kegiatan atau peristiwa yang terjadi. Ketiga unsur tersebut saling terkait satu sama lain. Apabila ketiga unsur tersebut terpenuhi dengan baik maka akan membentuk media audio yang baik. g. Alat Penyimpanan Audio Alat penyimpanan audio dapat dibagai menjadi beberapa jenis alat penyimpanan file audio, yaitu: CD dan DVD, MP3, Audio digital (WAV), serta Radio atau Radio Streaming (Daryanto, 2013: 41). CD (Compact Disc) dan juga DVD (Digital Compact Disc) adalah sebuah media penyimpanan file audio yang dibuat untuk merangkap sistem penyimpanannnya. Selain ramping, keduanya memiliki kemampuan menyimpan file yang lebih banyak jika dibandingkan dengan kaset. MP3 merupakan salah satu bentuk atau format penyimpanan file audio digital yang paling populer. MP3 adalah format audio file yang banyak
36
diminati oleh para pengguna Komputer karena disamping kualitas yang dihasilkan baik, file ini juga tidak memerlukan tempat penyimpanan yang besar (Asyhar, 2012: 145). Disamping ukuran filenya yang lebih kecil, MP3 juga memberikan kualitas suara yang lebih bagus jika dibandingkan dengan CD audio. Alat untuk memutar MP3 adalah MP3 player. Audio digital
atau WAV(waveform) merupakan salah satu format
penyimpanan file audio yang dirancang dan dikembangkan oleh Microsoft dan IBM. Perangkat yang diperlukan untuk memutar WAV adalah iPod (Asyhar, 2012: 145). WAV merupakan dasar dari format audio file yang memiliki kualitas suara terbaik, hanya saja file ini membutuhkan tempat penyimpanan yang besar. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang berbasis radio, disamping siaran radio yang sifatnya konvensional seperti yang selama ini kita kenal dan dengarkan sehari-hari, kini berkembang radio maupun audio streaming. Kalau dalam radio konvensional materi pembelajaran dipancarkan melalui stasiun pemancar radio dan kita tangkap dengan menggunakan pesawat radio, maka dalam radio streaming materi pembelajaran ditembakkan ke dunia maya (internet). Dari berbagai macam alat penyimpanan media audio tersebut, pemilihan alat penyimpanan media audio juga harus dipilih dengan tepat. Pemilihan alat penyimpanan media audio disesuaikan dengan file audio yang digunakan berkaitan dengan ukuran audio maupun keefektifan dari alat penyimpanan tersebut. Penelitian lain yang relavan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono pada tahun 2007
dengan judul “Peningkatan
Kualitas Pembelajaran Apresiasi Cerita Pendek dengan Media Audio (Penelitian Tindakan Kelas Pada Siswa Kelas XI IA 2 SMA Batik 1 Surakarta Tahun Ajaran 2006/2007)”. Terdapat variabel yang sama dalam penelitian ini yaitu media audio. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan
kualitas
pembelajaran
baik
proses
dan
hasil
pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan media audio. Peningkatan
37
kualitas proses terefleksi dari meningkatnya keaktifan siswa selama apersepsi dan selama mengikuti pembelajaran serta meningkatnya keberanian siswa untuk mengemukakan hasil pekerjaannya dalam forum diskusi. Peningkatan kualitas hasil dapat dilihat dari nilai siswa dalam mengerjakan tugas dari guru yang terus-menerus mengalami peningkatan pada tiap siklus. 4. Hakikat Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Teams Game Tournament ) a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Berkaitan dengan pengertian pembelajaran kooperatif, Sural dan Hans (Isjoni, 2007: 12) menyakatan bahwa pembelajaran kooperatif (Cooperative learning) merupakan suatu cara pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus dirancang untuk memberi dorongan kepada peserta didik agar bekerja sama selama proses pembelajaran.Selain itu, Slavin (Isjoni, 2007: 12). Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen. Menurut hasil penelitian dari Wichadee dan Wiwad (2012) bahwa model pembelajaran Cooperative Learning adalah, sebagai berikut: Cooperation is not assigning a job to a group of students where one student does all the work and the others put their names on the paper. It is not having students sit side by side at the same table to talk with each other as they do their individual assignments as well. It is not having students do a task individually with instructions that the ones who finish first are to help the slower students. On the contrary, cooperative learning is a teaching strategy in which small teams, each with students of different levels of ability, use a variety of learning activities to improve their understanding of asubject. Each member of a team is responsible not only for learning what is taught but also for helping teammates learn, thus creating an atmosphere of achievement. Pembelajaran kooperatif adalah strategi pengajaran di mana tim kecil, masing-masing
dengan
siswa
dari
berbagai
tingkat
kemampuan,
menggunakan berbagai aktivitas belajar untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang sebuah subyek. Setiap anggota tim bertanggung jawab tidak
38
hanya untuk belajar apa yang diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan belajar, sehingga menciptakan suasana prestasi (Wichadee dan Wiwad, 2012). Pendapat tersebut susuai dengan pendapat dari Nurulhayati (Majid, 2013: 175) bahwa pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam suatu kelompok kecil untuk saling berinteraksi. Dalam sistem belajar kooperatif, siswa belajar kerjasama dengan anggota lainnya. Selanjutnya,
Paker (Huda, 2011: 29) mendefinisikan
kelompok kecil kooperatif sebagai sarana pembelajaran di mana siswa saling berinteraksi dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengerjakan tugas akademik
demi
mencapai
tujuan
bersama.
Dari
beberapa
metode
pembelajaran yang banyak diteliti dan paling sering digunakan Slavin (Huda, 2011: 114) membagi metode-metode tersebut dalam tiga kategori yaitu: Pertama, metode-metode Student Teams Learning, yang terdiri dari: Student Team-Achievement Division (STAD), Teams Games Tournaments (TGT),dan Jigsaw II (JIG II). Kedua, metode-metode Supported Cooperative Learning, terdiri dari: Learning Together (LT)Circle of Learning (CL), Jigsaw (JIG), Jigsaw III (JIG III), Cooperative Learning Structures (CLS), Group Investigation (GI), Complex Instruction (CI), Team Accelerated Instruction (TAI), Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC), Stryctured Dyadic Methods (SDM). Ketiga, Metode-metode Informal yang terdiri dari: Spontaneous Group Discussion (SGD), Numbered Heads Together (NHT), Team Product (TP), Cooperative Review (CR),Think Pair Share (TPS),dan Discussion Group (DG)- Group Project (GP). Dari
beberapa
pendapat
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
pembelajaran kooperatif adalah salah satu strategi pembelajaran dalam kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang untuk saling berinteraksi dan bekerja sama selama proses pembelajaran untuk mencapai tujuan bersama. b. Metode Pembelajaran Koopratif Tipe TGT (Teams Games Tournament) TGT (Teams Game Tournament) pada mulanya dikembangkan oleh David De Vries dan Keith Edwards. Metode ini menggunakan pelajaran yang sama yang disampaikan guru dan tim kerja yang sama seperti dalam metode STAD, tetapi mengganti kuis dengan turnamen, di mana siswa memainkan
39
game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya (Slavin, 2005: 13). Sejalan dengan pendapat slavin, Huda (2011: 117) menyatakan bahwa dengan TGT (Teams Game Tournament), siswa akan menikmati bagaimana suasana turnamen itu, dan karena mereka berkompetisi dengan kelompokkelompok yang memiliki komposisi kemampuan yang setara, maka kompetisi dalam TGT terasa lebih fair dibandingkan kompetisi dalam pembelajaranpembelajaran tradisional pada umumnya. Pembelajaran kooperatif model TGT (Teams Game Tournament) adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur-unsur permainan dan reinforcement didalamnya. Aktivitas belajar dirancang dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT (Teams Game Tournament) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerja sama, persaingan sehat, dan keterlibatan belajar (A’la, 2012: 105) Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode TGT (Teams Game Tournament) merupakan salah satu metode yang terdapat dalam strategi pembelajaran kooperatif sehingga sistem pembelajaran dalam bentuk kelompok kecil. Pembelajaran dengan metode TGT (Teams Game Tournament) menggunakan turnamen akademik dalam pengerjan kuis-kuis dimana siswa berlomba dengan siswa dalam tim lain yang memiliki kemampuan akademik yang sama. Terdapat lima komponen utama dalam metode TGT, yaitu penyajian kelas, kelompok (team), game, turnamen, dan penghargaan kelompok (team recognize) (A’la, 2012: 105). Dalam penyajian kelas, pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas. Biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena akan menentukan skor kelompok.
40
Kelompok (team) biasanya terdiri dari 4-5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik.Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game. Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kabanyakan game terdiri dari pertanyaanpertanyaan sederhana bernomor. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapatkan skor. Dalam turnamen, biasanya dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja.Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen.Siswa akan berturnamen dengan siswa yang memiliki kemampuan akademik yang sama, sehingga turnamen akan terkesan adil. Guru kemudian memberikan penghargaan kelompok (Team tecognize) dengan mengumumkan kelompok yang menang. Masing-masing kelompok akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan. Team mendapatkan julukan “Super Team” bagi yang memperoleh skor tertinggi ,“Gold Team”untuk kelompok yang memperoleh peringkat kedua dan “Good Team” untuk kelompok yang memperoleh peringkat ketiga. c. Kelebihan dan Kekurangan Metode TGT (Teams Game Tournament) Kelebihan dari metode TGT (Teams Game Tournament) yaitu dengan bermain dalam belajar dapat menciptakan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa karena secara tidak sadar siswa dapat memahami materi juga bisa mengurangi rasa ketegangan terhadap materi (Pratiwi, 2015). Kelebihan dari metode TGT (Teams Game Tournament) yaitu: dengan diadakannya turnamen diharapkan siswa dapat membangkitkan motivasi siswa untuk berusaha lebih baik bagi diri maupun kelompoknya, menumbuhkan betapa pentingnya kerjasama dalam pencapaian tujuan belajar baik untuk dirinya maupun seluruh anggota kelompok, dan kegiatan belajar mengajar berpusat pada siswa sehingga dapat menumbuhkan keaktifan siswa (Hotimah dan Motlan, 2012)
41
Kelebihan lain yang dapat diperoleh dari penerapan metode TGT (Teams Game Tournament) melalui interaksi dengan anggota kelompok yaitu semua kesempatan untuk belajar mengemukakan pendapat untuk memperoleh pengetahuan dari hasil diskusi dengan anggota kelompok. Selain itu pengelompokan siswa secara homogen dalam tingkat kemampuan diharapkan dapat membentuk rasa saling menghargai antarsiswa. Kelemahan metode TGT (Teams Game Tournament) yaitu memerlukan waktu yang lama, memerlukan persiapan yang matang, dan dapat menimbulkan suasana gaduh di kelas. Kekurangan dari metode TGT (Teams Game Tournament), yaitu: Penggunaan waktu yang relatif lama dan biayanya besar, jika kemampuan guru sebagai motivator dan fasilitator kurang memadai atau sarana tidak cukup tersedia maka pembelajaran dengan ini sulit dilaksanakan, dan apabila sportifitas siswa kurang, maka keterampilan berkompetisi siswa yang terbentuk bukanlah yang diharapkan (Hotimah dan Motlan, 2012). Dalam pembelajaran TGT (Teams Game Tournament), meskipun proses belajar mengajar dilakukan secara kelompok, akan tetapi prestasi belajar yang diukur adalah prestasi belajar individu. Dengan metode ini diharapkan siswa dapat belajar dengan sungguh-sungguh karena terpacu untuk lebih siap belajar. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Widyawati (2011) yang berjudul “Pengaruh Metode Student Teams Achievement Division (STAD) dan Team Games Tournamen (TGT) dilengkapi dengan Laboratum Virtual terhadap Prestasi Belajar Ditinjau dari Motivasi Berprestasi pada Materi Pokok Koloid”. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode pembelajaran TGT memberikan prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode STAD.Hal ini ditunjukkan dari rata-rata prestasi belajar kognitif dan afektif siswa pada pembelajaran TGT yaitu 85,14 dan 81,28 lebih tinggi dibandingkan rata-rata pembelajaran kognitif dan afektif pada pembelajaran STAD yaitu 80,59 dan 77,29.
42
d. Penerapan metode TGT (Teams Game Tournament) dengan Media Audio dalam Pembelajaran Memahami Unsur Intrinsik Cerpen Sebelum turnamen siswa dibagi menjadi beberapa kelompok. Prosedur penentuan kelompok dilakukan secara heterogen dengan langkah-langkah berikut: 1) membuat daftar rangking akademik siswa; 2) membatasi jumlah maksimal anggota setiap tim; 3) menomori siswa-siswa mulai dari yang paling atas; dan 4) membuat setiap tim heterogen dan setara secara akademis (Huda, 2014: 198). 1) Penyajian kelas Guru menyampaikan materi berkaitan dengan unsur intrinsik cerpen. Dalam penyajian kelas ini dapat dilakukan dengan pengajaran langsung atau ceramah maupun diskusi. 2) Kelompok Setelah guru menyampaikan materi, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 4-5 siswa yang anggotanya heterogen.Siswa berkelompok sesuai dengan kelompoknya. 3) Game Dalam tahap ini guru memutarkan audio rekaman pembacaan cerpen.Siswa mendengarkan rekaman pembacaan cerpen.Setelah selesai, siswa berdiskusi mengenai materi dan audio pembacaan cerpen yang telah didengar. Selanjutnya, kelompok yang memiliki kemampuan akademik yang sama berkumpul dan menempatkan diri di meja yang telah disediakan oleh guru. Sebelum turnamen dimulai, pengambilan soal dilakukan dengan permainan kartu-kartu soal atau jenis permainan lain. 4) Turnamen Dalam tahap ini, siswa akan melakukan turnamen dengan menjawab pertanyaan berkaitan dengan unsur intrinsik cerpen yang telah disimak. Setiap kelompok akan memilih orang pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya untuk bergantian menjawab pertanyaan dalam turnamen. Oleh karena itu, setiap siswa memiliki kesempatan untuk menjawab soal.
43
Setiap siswa yang menjawab pertanyaan akan menyumbangkan skor untuk kelompoknya. 5) Penghargaan Kelompok Guru mengumumkan kelompok yang menang. Team yang menang akan mendapatkan julukan “Super Team”,“Gold Team”, dan “Good Team”. B. Kerangka Berpikir Memahami unsur intrinsik cerpen adalah upaya menyerap, menangkap informasi (pesan-pesan) yang terkandung dalam cerpen. Upaya memahami unsur intrinsik cerpen dikatakan berhasil apabila siswa mampu menentukan alur, penokohan, dan latar. Memahami unsur intrinsik cerpen tidaklah mudah, diperlukan persyaratan, yaitu mampu membedakan antarunsur intrinsik agar tidak terjadi
kekeliruan
dalam
menentukan
unsur
intrinsik
cerpen.
Dengan
diterapkannya metode pembelajaran TGT (Team Game Tournament), akan terjalin suasana belajar yang mengutamakan kerjasama, menyenangkan, tidak membosankan, belajar dengan bergairah, pembelajaran dengan terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, saling bertukar pendapat dengan teman, dan siswa kritis guruaktif. Dalam pembelajaran memahami unsur intrinsik cerpen terhadap siswa kelas kelas XI IPA 3 SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar dijumpai suatu permasalah. Kenyataan yang terjadi, dari 40 siswa dengan 14 siswa laki-laki dan 26 siswa siswa perempuan yang mencapai nilai di atas KKM hanya 9 siswa dengan persentase 22,5%. Hal ini membuktikan bahwa ketuntasan belajar siswa di kelas XI IPA 3 SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar dikatakan belum ideal. Selain itu, siswa terlihat pasif saat mengikuti pembelajaran memahami unsur intrinsik cerpen. Metode pembelajaran memahami unsur intrinsik cerpen yang diterapkan guru selama ini pun belum mampu mengoptimalkan kemampuan memahami unsur intrinsik cerpen siswa, sehingga prestasi kemampuan memahami unsur intrinsi cerpen siswa rendah. Metode yang digunakan yaitu (1) guru meminta siswa menyimak pembacaan cerpen yang dibacakan oleh guru (2) siswa mengerjakan soal latihan yang berkaitan dengan cerpen yang telah dibacakan, dan
44
(3) jawaban siswa dikoreksi dengan cara guru memberikan jawaban yang benar. Selain penggunaan metode yang kurang tepat, materi yang digunakan guru kurang menarik. Guru kurang mengaplikasi materi dan hanya terpaku pada buku LKS saja. Selain metode yang kurang tepat, dalam pembelajaran menganalisis unsur intrinsik cerpen guru belum menggunakan media yang dapat menarik minat siswa untuk menganalisis kemampuan memahami unsur intrinsik cerpen. Hal tersebut dikarenakan kurangnya sarana dan prasarana pendukung proses kegiatan belajar mengajar. Releven dengan masalah tersebut, untuk mengatasinya peneliti akan menggunakan metode TGT (Teams Game Tournament) dengan media audio. Dalam menumbuhkan suatu minat siswa membutuhkan suatu metode yang dapat membuatnya tertarik. Dengan metode TGT (Teams Game Tournament) dengan media audio siswa dapat dengan mudah menganalisis unsur intrinsik cerpen karena dalam metode dan media ini siswa akan belajar sambil bermain. Permainan akedemik dalam bentuk turnamen kelompok dengan menggunakan media audio. Media audio tersebut berupa rekaman pembacaan cerpen. Pembelajaran dengan metode TGT (Teams Game Tournament ) dengan media audio dapat menambah keaktifan siswa, dapat melatih keberanian untuk berpendapat, bentuk permainan lebih menarik, melatih untuk berpikir cepat, tepat, dan kreatif. Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian tersebut adalah dengan menerapkan metode TGT (Teams Game Tournament) dengan media audio kemampuan serta keaktifan dalam memahami unsur intrinsik cerpen siswa kelas XI IPA 3 SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar dapat meningkat. Selain itu, dapat membantu guru untuk menemukan alternatif metode, media, dan materi yang menarik untuk pembelajaran memahami unsur intrinsik cerpen.
45
Kondisi Awal Sebelum Tindakan
SISWA
Siswa cenderung kurang aktif Kemampuan memahami unsur intrinsik cerpen rendah
GURU Hanya menggunakan metode ceramah Penguasaan kelas masih kurang Pembelajaran terpusat pada guru
Pembelajaran Memahami Unsur Intrinsik Cerpen dengan Metode TGT (Teams Game Tournament) dengan Media Audio
LINGKUNGAN Suasana sekolah yang kurang kondusif Media pembelajaran yang kurang memadai
Siswa aktif dalam pembelajaran memahami unsur intrinsik cerpen yang ditandai dengan 6 indikator, yaitu: Mengajukan pertanyaan dan mengemukakan ide Memperhatikan penjelasan guru Menyimak pembecaan cerpen Mencatat materi yang dijelaskan guru Aktif saat berdiskusi Aktif dalam melakukan turnamen
Kondisi Akhir Setelah Tindakan Kemampuan memahami unsur intrinsik cerpen siswa meningkat Keaktifan siswa dalam pembelajaran memahami unsur intrinsik cerpen meningkat Gambar 1. Kerangka Berpikir
46
C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Penerapan metode TGT (Teams Game Tournament) dengan media audio dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam memahami unsur intrinsik cerpen pada siswa kelas XI IPA 3 SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. 2. Penerapan metode TGT (Teams Game Tournament) dengan media audio dapat meningkatkan kemampuan memahami unsur intrinsik cerpen pada siswa kelas XI IPA 3 SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.