BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Tunarungu a. Pengertian Anak Tunarungu Tunarungu merupakan peristilahan secara umum yang diberikan kepada anak yang mengalami kehilangan atau kekurangmampuan mendengar, sehingga ia mengalami gangguan dalam melaksanakan kehidupannya seharihari. Secara garis besar tunarungu dapat dibedakan menjadi dua yaitu tuli dan kurang dengar (Haenudin, 2013: 53) Haenudin (2013: 54) menyatakan bahwa, “Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak dalam kehidupan secara komplek”. Menurut Parwoto (2007: 42) bahwa, “Gangguan suara adalah gangguan pada proses produksi suara meliputi aktivitas pada saat bicara sehingga mempengaruhi unsur-unsur suara, yaitu nada, kerasnya suara, dan kualitas suara”. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Efendi (2008: 57) yang menyatakan bahwa seseorang dikatakan berkelainan pendengaran atau tunarungu jika dalam proses mendengar tersebut terdapat satu atau lebih organ telinga bagian luar, organ telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam mengalami gangguan atau kerusakan disebabkan penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak diketahui sehingga organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
7
8
Menurut RNID – The Royal National Institute for Deaf People (2009) dalam Thompson (2010: 105), definisi gangguan pendengaran yakni : 1)
2)
3)
4)
Gangguan pendengaran ringan – Gangguan pendengaran yang sifatnya ringan dapat menyebabkan seseorang kesulitan mengikuti pembicaraan, terutama jika keadaan di sekitar gaduh. Intensitas suara paling rendah yang bisa didengar berkisar antara 25 – 39 desibel. Gangguan pendengaran sedang – Orang- orang yang mengalami gangguan pendengaran dalam level sedang mungkin memiliki kesulitan mengikuti pembicaraan tanpa alat bantu dengar. Intensitas suara paling rendah yang bisa didengar berkisar antara 40-69 desibel. Gangguan pendengaran parah – Orang-orang dengan gangguan pendengaran parah sangat bergantung pada kemampuan membaca gerak bibir, bahkan bila orang tersebut memakai alat bantu dengar sekalipun. Intensitas suara paling rendah yang bisa didengar berkisar antara 70-94 desibel. Bahasa isyarat merupakan bahasa pertama atau bahasa yang lebih dipilih untuk digunakan. Gangguan pendengaran sangat parah – Intensitas suara paling rendah yang bisa didengar berkisar antara 95 desibel atau lebih. Bahasa isyarat merupakan bahasa pertama atau bahasa yang lebih dipilih untuk digunakan, tetapi beberapa orang lebih membaca gerak bibir.
Menurut beberapa pendapat di atas mengenai istilah anak tunarungu dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu ialah seseorang yang mengalami hambatan dalam kemampuan mendengar baik sebagian maupun seluruhnya atau tuli, sehingga mengakibatkan terhambatnya dalam komunikasi yang akan berdampak pula dalam pengembangan kemampuan lain anak tunarungu seperti kemampuan bahasa yang akan berdampak pada kemampuan sosial dan emosi. b. Klasifikasi Anak Tunarungu Klasifikasi sangat diperlukan untuk keperluan layanan pendidikan khusus. Hal ini untuk menentukan dalam pemilihan alat bantu mendengar
9
yang sesuai dengan sisa pendengarannya dan menunjang pembelajaran yang efektif. Menurut Efendi (2008: 59) bahwa : Seseorang dikategorikan tuli (tunarungu berat) jika ia kehilangan kemampuan mendengar 70 dB atau lebih menurut ISO sehingga ia akan mengalami kesulitan untuk mengerti atau memahami pembicaraan orang lain walaupun menggunakan alat bantu dengar atau tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aid). Sedangkan kategori lemah pendengaran, seseorang dikategorikan lemah pendengaran jika ia kehilangan kemampuan mendengar antara 35-69 dB menurut ISO sehingga mengalami kesulitan mendengar suara orang lain secara wajar, namun tidak terhalang untuk mengerti atau mencoba memahami bicara orang lain dengan menggunakan alat bantu dengar. Satuan yang digunakan untuk mengukur intensitas suara disebut decibel (dB). Muhammad (2008: 59) menyatakan bahwa tingkatan klasifikasi masalah keunarunguan dibagi menjadi sebagai berikut: 1) Ringan (mild) a) Tingkat kehilangan pendengaran antara 27 hingga 40 dB b) Memahami percakapan c) Mengalami kesulitan untuk mendengar bunyi-bunyi yang pelan dan jauh d) Memerlukan terapi penuturan 2) Sedang (moderate) a) Tingkat kehilangan pendengaran antara 41 hingga 55 dB b) Dapat mendengarkan bunyi pada jarak 1 hingga 1,5 meter darinya c) Memahami percakapan d) Sulit untuk ikut perbincangan dalam kelas e) Memerlukan alat bantu dengar f) Memerlukan terapi penuturan 3) Menengah serius (moderate-severe) a) Tahap kehilangan pendengaran antara 56 hingga 70 dB b) Memerlukan alat bantu dengar dan latihan pendengaran
10
c) Memerlukan latihan penuturan dan komunikasi d) Orang yang ingin berbicara dengan mereka harus berbicara dengan keras e) Penuturan mereka mungkin akan tidak sempurna karena pengalamannya dalam mendengarkan pembicaraan terbatas 4) Serius (severe) a) Tingkat hilangnya pendengaran antara 71 hingga 90 dB b) Dapat mendengarkan bunyi yang keras pada jarak antara 0 hingga 30, 5 cm darinya c) Mungkin hanya dapat membedakan sebagian dari bunyi saja d) Memiliki masalah dalam penuturan e) Membutuhkan pendidikan khusus, alat bantu dengar, latihan dan latihan penuturan dan komunikasi 5) Sangat serius (profound) a)
Tingkat kehilangan pendengaran lebih dari 90 dB
b)
Sulit untuk mendengar bunyi, walaupun keras
c)
Memerlukan alat bantu pendengaran dan terapi penuturan
d)
Usia ketika kehilangan pendengaran
Klasifikasi ketunarunguan sangat bervariasi menurut Boothroyd (1982: 8) dalam Winarsih (2010: 7) sebagai berikut : 1) Kelompok I : Kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau ketunarunguan ringan ; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal. 2) Kelompok II : Kehilangan 31-60 dB, moderate hearing losses atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara percakapan manusia hanya sebagian. 3) Kelompok III : Kehilangan 61-90 dB, severe hearing lossesatau ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada.
11
4) Kelompok IV : Kehilangan 91-120 dB, profound hearing losses atau ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara percakapan manusia tidak ada sama sekali. 5) Kelompok V : Kehilangan lebih dari 120 dB, total hearing losses atau ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali. Samuel
A.Kirk
dalam
Somad
dan
Hernawati
(1996:
29)
mengemukakan bahwa klasifikasi anak tunarungu sebagai berikut : 1) 0 dB : Menunjukkan pendengaran optimal 2) 0 – 28 dB : Menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal 3) 27 – 40 dB : Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya, dan memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan). 4) 41 – 45 dB : Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tergolong tunarungu sedang) 5) 56 – 70 dB : Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang-kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan khusus yang intensif, membutuhkan alat bantu mendengar dengan cara khusus (tergolong tunarungu agak berat) 6) 71 – 90 dB : Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang-kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan khusus yang intensif, membutuhkan alat dengar, dan latihan bicara secara khusus (tergolong tunarungu berat) 7) 91 dB ke atas : Mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara, dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan dari pada pendengaran untuk proses menerima informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli (tergolong tunarungu sangat berat) Dari kajian literatur di atas dapat disimpulkan bahwa klasifikasi anak tunarungu meliputi ketunarunguan ringan dengan kemampuan mendengar 2030 dB, ketunarunguan sedang dengan kemampuan mendengar 31-60 dB, ketunarunguan agak berat dengan kemampuan mendengar 61-70 dB, ketunarunguan
berat
dengan
kemampuan
mendengar
71-90
dB,
ketunarunguan sangat berat dengan kemampuan mendengar 91-120 dB, dan ketunarunguan total dengan kemampuan mendengar lebih dari 120 dB.
12
Klasifikasi ketunarunguan sangat diperlukan untuk menentukan program dan layanan pendidikan khusus bagi anak tunarungu, serta menentukan alat bantu dengar yang sesuai dengan tingkat gangguan pendengaran. Dengan menentukan tingkat kehilangan pendengaran dan pemilihan alat bantu dengar serta layanan khusus yang tepat, akan menghasilkan akselerasi secara optimal dalam mempersepsi bunyi bahasa dan wicara. c. Jenis-jenis Ketunarunguan Ketunarunguan secara anatio fisiologis dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis menurut Haenudin (2013: 60) yaitu : 1) Tunarungu hantaran (konduksi), yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya alat-alat penghantar getaran suara pada telinga bagian tengah. Ketunarunguan konduksi (a conductive hearing loss) terjadi karena pengurangan intensitas bunyi yang mencapai telinga bagian dalam, dimana syaraf pendengaran menuju ke gendang telinga, getaran diteruskan oleh suatu rangkaian struktur telinga tengah (malleus, incus, stapes), kemudian diteruskan sampai ke telinga bagian dalam. Kemungkinan yang bisa terjadi adalah gendang telinga pecah dan bocor, sehingga getaran tulang telinga tengah mungkin menjadi terhalang, atau keadaan lain yang mengganggu urutan getaran yang menghalangi getaran tersebut untuk mencapai syaraf pendengaran. Ketunarunguan konduksi jarang menyebabkan hingga kemampuan mendengar lebih dari 60 dB atau 70 dB. Tunarungu konduksi dapat diatasi atau dikurangi secara efektif melalui amplikasi atau penggunaan alat bantu mendengar. 2) Tunarungu syaraf (sensorineural), yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya alat-alat pendengaran bagian dalam syaraf pendengaran yang menyalurkan getaran ke pusat pendengaran pada Lobus Temporalis.
13
3) Tunarungu campuran, yaitu ketunarunguan yang disebabkan kerusakan pada penghantar suara dan kerusakan pada syaraf pendengaran. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Efendi (2008: 63), ditinjau dari lokasi
terjadinya
ketunarunguan,
klasifikasi
anak
tunarungu
dapat
dikelompokkan menjadi sebagai berikut : 1)
Tunarungu konduktif, ketunarunguan yang terjadi karena beberapa organ yang berfungsi sebagai penghantar suara di telinga bagian luar, seperti liang telinga, selaput gendang, serta ketiga tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes) yang terdapat di telinga bagian dalam dan dindingdinding labirin mengalami gangguan.
2)
Tunarungu perseptif, ketunarunguan yang disebabkan terganggunya organ-organ pendengaran yang terdapat di belahan telinga bagian dalam. Tunarungu tipe ini sering disebut juga tunarungu saraf (saraf yang berfungsi untuk mempersepsi bunyi atau suara)
3)
Tunarungu campuran, ketunarunguan yang terjadi karena pada telinga yang sama rangkaian organ-organ telinga yang berfungsi sebagai penghantar dan menerima rangsangan suara mengalami gangguan, sehingga yang tampak pada telinga tersebut telah terjadi campuran antara ketunarunguan konduktif dan ketunarunguan perspektif. Menurut Thompson (2010: 105), terdapat dua jenis gangguan
pendengaran : 1)
2)
Hilang pendengaran konduktif – disebabkan oleh sesuatu seperti lapisan lilin atau kotoran telinga yang menutup lubang telinga dan menyebabkan penumpukan cairan di telinga saat anak mengalami flu berat. Gangguan ini dapat ditangani dan pendengaran dapat kembali normal. Hilang pendengaran sensorineural – akibat adanya masalah pada telinga dalam, atau pada jalur dari telinga dalam ke otak. Hal ini sangat serius dan biasanya pendengaran tidak bisa kembali normal. Individu yang mengalami gangguan ini harus menggunakan alat bantu dengar yang dapat menghasilkan suara
14
yang lebih keras. Namun, suara yang terdengar terkadang mengalami distorsi. Menurut beberapa pendapat mengenai jenis ketunarunguan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis ketunarunguan meliputi tunarungu konduktif yakni ketunarunguan yang terjadi dikarenakan beberapa organ yang berfungsi sebagai alat penghantar (a conductive hearing loss), tunarungu sensorineural atau sering disebut tunarungu syaraf atau tunarungu perseptif yakni ketunarunguan yang disebabkan terganggunya alat-alat pendengaran bagian dalam syaraf pendengaran yang menyalurkan getaran ke pusat pendengaran Lobus Temporalis, dan tunarungu campuran yakni ketunarunguan yang terjadi karena kerusakan pada penghantar suara dan kerusakan
pada
syaraf
pendengaran
atau
karena
campuran
antara
ketunarunguan konduktif dan ketunarunguan sensorineural. d.
Penyebab Ketunarunguan Berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan dapat terjadi pada saat
sebelum lahir (prenatal), saat dilahirkan/kelahiran (natal), dan sesudah dilahirkan (post natal). Banyak juga para ahli yang mengungkap tentang penyebab ketunarunguan dengan sudut pandang yang berbeda. Menurut Haenudin (2013: 77) faktor-faktor penyebab ketunarunguan di kelompokkan sebagai berikut: 1)
Faktor dari dalam diri anak Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan ketunarunguan yang berasal dari dalam diri anak antara lain : a) Faktor keturunan dari salah satu atau kedua orang tua anak tersebut yang mengalami ketunarunguan. Banyak kondisi genetik yang berbeda yang dapat menyebabakan ketunarunguan. Transmisi yang disebabkan gen yang dominan resesif dan berhubungan dengan jenis kelamin. b) Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Campak Jerman (Rubella) pada masa kandungan tiga bulan pertama, akan berpengaruh buruk pada janin. Hardy (1968), dalam Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996: 33),
15
2)
melaporkan 199 anak yang ibunya terkena virus Rubella ketika mengandung anaknya selama masa tahun 1964 sampai 1965, 50 % dari anak-anak tersebut mengalami kelainan pendengaran. Rubella yang diderita ibu saat hamil merupakan factor penyebab yang paling umum dikenal sebagai penyebab ketunarunguan. c) Ibu yang sedang hamil mengalami keracunan darah (Toxaminia). Hal ini menyebabkan kerusakan pada plasenta yang mempengaruhi pertumbuhan janin. Jika hal tersebut menyerang syaraf atau alat-alat pendengaran, maka anak tersebut akan dilahirkan dalam keadaan tunarungu. Faktor dari luar diri anak a) Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan. Contoh dari anak yang terkena infeksi adalah anak yang terserang Herves Implex, jika infeksi ini menyerang alat kelamin ibu, dapat menular pada anak pada saat dilahirkan. Demikian juga dengan penyakit kelamin yang lain, dapat ditularkan melalui terusan jika virusnya masih dalam keadaan aktif. Penyakit-penyakit yag ditularkan oleh ibu kepada anaknya yang dilahirkan dapat menimbulkan infeksi yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat-alat atau syaraf pendengaran sehingga menimbulkan ketunarunguan. b) Meningitis atau Radang Selaput Otak. Hasil dari penelitian dari Vermon (1968), Ries (1973), Trybus (1985), Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996:34), melaporkan bahwa ketunarunguan yang disebabkan meningitis masing-masing Vermon sebanyak 8.1 %, Ries sebanyak 4.9 %, dan Trybus sebanyak 7.3 %. c) Otitis Media atau Radang Telinga Bagian Tengah. Otitis Media adalah radang pada telinga bagian tengah, sehingga menimbulkan nanah yang mengumpul dan mengganggu hantaran bunyi. Jika kondisi tersebut sudah kronis dan tidak segera diobati, dapat mengakibatkan kehilangan pendengaran yang tergolong ringan sampai sedang. d) Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alat-alat pendengaran bagian tengah dan dalam.
Menurut Efendi (2008: 65) bahwa, secara terinci determinan ketunarunguan yang terjadi sebelum, saat, dan sesudah anak dilahirkan sebagai berikut:
16
a) Ketunarunguan sebelum lahir (prenatal), yaitu ketunarunguan yang terjadi ketika anak masih berada dalam kandungan ibunya. Beberapa kondisi yang menyebabkan ketunarunguan yang terjadi pada saat anak dalam kandungan, antara lain: (1)
Hereditas atau keturunan, perpindahan sifat genetis cenderung pada gen-gen yang dominan, gen-gen represif, atau jenis kelamin yang berhubungan dengan gen-gen itu. Faktor itu erat kaitannya dengan anggota keluarga terutama ayah dan ibu. Anak yang mengalami ketunarunguan karena di antara anggota keluarganya ada yang mengalami ketunarunguan. Menurut estimasi Moores (1982) persentasi anak yang mengalami ketunarunguan jenis ini sekitar 30%-60%
(2)
Maternal rubella (cacar air Jerman), Hardy (1963) melaporkan dari 199 anak yang ibunya didiagnosa telah terjangkit virus rubella, yakni 0 % kerusakan berhubungan dengan factor pendengaran, 20 % kerusakan berhubungan dengan mata, dan 30% selebihnya berhubungan dengan penyakit jantung.
(3)
Pemakaian antibiotika over dosis, obat-obatan antibiotik lainnya yang besar pengaruhnya terhadap gangguan pendengaran atau tunarungu pada anak semasa dalam kandungan antara lain: dibydrostreptomycin, neomycin, kanamicin, dan streptomycin. Pengaruh buruk obat tersebut dapat menimbulkan tunarungu sensorineural (tunarungu saraf)
(4)
Toxoemia, keracunan pada darah (Toxoemia) pada saat ibu mengandung dapat berpengaruh pada rusaknya placenta atau janin yang dikandungnya, akibatnya ada kemungkinan sesudah bayi itu lahir akan menderita tunarungu.
17
b) Ketunarunguan saat lahir (neonatal) , yaitu ketunarunguan yang terjadi saat
anak
dilahirkan.
Beberapa
kondisi
yang
menyebabakan
ketunarunguan yang terjadi pada saat anak dilahirkan antara lain: (1)
Lahir prematur, bayi yang lahir premature sebagai salah satu penyebab anak menjadi tunarungu. Hal ini dikarenakaan anak yang terlahir terlalu dini sehingga berat badannya atau panjang badannya relatif sering di bawah normal, dan jaringan-jaringan tubuhnya sangat lemah, akibatnya anak lebih mudah terkena anoxia (kekurangan oksigen) yang berpengaruh pada kerusakan inti (cochlea nucles)
(2)
Rhesus factors, ketunarungguan yang dialami oleh anak-anak yang dilahirkan bisa jadi karena ketidakcocokkan antara rhesus ibu dengan rhesus anak yang dikandungnya. Ketidakcocokan rhesus tersebut dapat terjadi kalau seorang perempuan yang mempunyai rhesus negatif kawin dengan laki-laki yang mempunyai rhesus positif maka ada kemungkinan anak yang dikandung mempunyai rhesus positif, seperti yang dimiliki oleh ayahnya, dan tidak sejenis dengan rhesus ibunya. Akhirnya sel-sel darah merah yang sebenarnya membentuk antibody , justru akan merusak sel-sel darah merah anak, dan anak mengalami kekurangan sel darah merah (anemia), menderita sakit kuning (jaundice). Ketika anak tersebut lahir akan menderita ketunarunguan.
(3)
Tang verlossing Lahir dengan menggunakan tang yang salah dapat menyebabakan kerusakan yang fatal pada susunan saraf pendengaran, akibatnya ada kemungkinan anak mengalami ketunarunguan.
c) Ketunarunguan setelah lahir (postnatal), yaitu ketunarunguan yang terjadi setelah anak dilahirkan oleh ibunya.
18
(1) Penyakit meningitis cerebralis, terjadinya ketunarunguan dikarenakan pada susunan saraf pendengaran mengalami kelainan akibat dari peradangan selaput otak. Jenis ketunarunguan akibat peradangan pada selaput otak biasanya jenis ketunarunguan perseptif. (2) Infeksi , keberadaan anak yang terkena infeksi akut akan meyebabkan anak mengalami tunarungu perspektif karena virus-virus akan menyerang bagian-bagian penting dalam rumah siput (cochlea) sehingga mengakibatkan peradangan. (3) Otitis media kronis, keadaan yang menunjukkan di mana cairan otitis media yang berwarna kekuning-kuningan tertimbun di dalam telinga bagian tengah. Kalau keadaannya sudah kronis atau tidak terobati dapat menimbulkan gangguan pendengaran, karena hantaran suara yang melaluui telinga bagian tengah terganggu. Penyebab ketunarunguan sangat beragam, ketunarunguan dapat terjadi diakibatkan beberapa faktor yakni faktor dari dalam diri anak seperti faktor keturunan, ibu yang menderita penyakit campak Jerman (rubella) dan mengalami keracunan darah (toxaminia) pada saat mengandung. Adapun faktor dari luar diri anak seperti anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan, meningitis (radang selaput otak), otitis media (radang telinga bagian tengah), dan penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alatalat pendengaran bagian tengah dan dalam. Selain faktor dari dalam maupun luar diri anak, ketunarunguan dapat disebabkan karena faktor yang dapat terjadi pada saat sebelum lahir (pre natal) seperti hereditas atau keturunan, maternal rubella (cacar air Jerman), pemakaian antibiotika over dosis, dan keracunan pada darah (toxemia). Saat lahir (neonatal) seperti lahir prematur, rhesus factors, dan tang verlossing. Setelah lahir (post natal) seperti meningitis cerebralis, infeksi, dan otitis media kronis.
19
e. Karakteristik Tunarungu Anak tunarungu apabila dilihat dari segi fisiknya tidak ada perbedaan dengan anak pada umumnya, tetapi sebagai dampak dari ketunarunguan mereka memiliki karakteristik yang khas. Berikut ini merupakan karakteristik anak tunarungu dilihat dari segi intelegensi, bahasa dan bicara, serta emosi dan sosial (Haenudin, 2013: 81) 1) Karakteristik dalam segi intelegensi Karakteristik dalam segi intelegensi secara potensial anak tunarungu tidak berbeda dengan intelegensi anak normal pada umumnya, ada yang pandai, sedang, dan ada yang bodoh. Namun demikian secara fungsional intelegensi mereka berada di bawah anak normal, hal ini disebakan oleh kesulitan anak tunarungu dalam memahami bahasa. Perkembangan intelegensi anak tunarungu tidak sama cepatnya dengan anak yang mendengar, karena anak yang mendengar belajar banyak dari apa yang mereka dengar, dan hal tersebut merupakan proses dari latihan berpikir. 2) Karakterstik dalam segi bahasa dan bicara Anak tunarungu dalam segi bicara dan bahasa mengalami hambatan, hal ini disebabkan adanya hubungan yang erat antara bahasa dan bicara dengan ketajaman pendengaran, mengingat bahasa dan bicara merupakan hasil proses peniruan sehingga para tunarungu dalam segi bahasa memiliki ciri yang khas, yaitu sangat terbatas dalam pemilihan kosakata, sulit mengartikan arti kiasan dan kata-kata yang bersifat abstrak. 3) Karakteristik dalam segi emosi dan sosial Keterbatasan yang terjadi dalam komunikasi pada anak tunarungu mengakibatkan perasaan terasing dari lingkungannya. Anak tunarungu mampu melihat semua kejadian, akan tetapi tidak mampu untuk memahami dan mengikutinya secara menyeluruh sehingga menimbulkan emosi yang tidak stabil, mudah curiga, dan kurang percaya diri. Selain itu perilaku anak tunarungu lainnya yakni :
20
a) Egosentrisme yang melebihi anak normal. b) Memiliki perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas c) Ketergantungan terhadap orang lain d) Perhatian mereka lebih sukar dialihkan e) Umumnya anak tunarungu memiliki sifat yang polos, sederhana, dan tidak banyak masalah f) Lebih mudah marah dan cepat tersinggung Menurut Van Uden dalam Efendi (2008: 84), beberapa sifat kepribadian anak tunarungu yang berbeda dengan anak normal, antara lain: a) Anak tunarungu lebih egosentris b) Anak tunarungu lebih tergantung pada orang lain dan apa-apa yang sudah dikenal c) Perhatian anak tunarungu lebih sukar dialihkan d) Anak tunarungu lebih memerhatikan yang konkret e) Anak tunarungu lebih miskin dalam fantasi f) Anak tunarungu umumnya mempunyai sifat polos, sederhana, tanpa banyak masalah g) Perasaan anak tunarungu cenderung dalam keadaan ekstrem tanpa banyak nuansa h) Anak tunarungu lebih mudah marah dan lekas tersinggung i) Anak tunarungu kurang mempunyai konsep tentang hubungan j) Anak tunarungu mempunyai perasaan takut akan hidup yang lebih besar Menurut Thompson (2010: 106), perilaku yang dapat menunjukkan bahwa seorang anak mengalami masalah pendengaran adalah sebagai berikut : a) Meminta agar informasi yang disampaikan diulang dan terlihat memiliki masalah ketika menyimak b) Merasa kesulitan mendengar di dalam ruangan kelas yang gaduh c) Berbicara dengan suara keras d) Tidak merespons saat diajak bicara e) Perkembangan kemampuan berbicara sangat lambat f) Tidak bisa berbicara dengan jelas g) Sering menekan telinga
21
Menurut beberapa pendapat ahli mengenai karakteristik yang menyatakan bahwa dilihat secara fisik anak tunarungu tidak memiliki perbedaan dengan anak normal pada umumnya. Kemampuan intelektual anak tunarungu juga tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya, ada yang di atas rata-rata, rata-rata dan di bawah rata-rata. Namun perkembangan intelegensi anak tunarungu tidak sama cepatnya dengan anak yang mendengar. Karakteristik yang dapat membedakan anak tunarungu dengan anak normal dapat dibedakan dari segi bahasa dan bicara, segi emosi dan sosial yaitu anak tunarungu memiliki hambatan dalam penguasaan kosakata sehingga mengakibatkan keterbatasan dalam kosakata, selain keterbatasan dalam kosakata karakteristik anak tunarungu dalam komunikasi seperti selalu meminta agar informasi yang disampaikan diulang dan terlihat memiliki masalah ketika menyimak, merasa kesulitan mendengar di dalam ruangan kelas yang gaduh, berbicara dengan suara keras, tidak merespons saat diajak berbicara, perkembangan kemampuan berbicara sangat lambat, tidak bisa berbicara dengan jelas, dan sering menekan telinga. Hambatan tersebut akan berpengaruh dalam komunikasinya. Keterbatasan yang terjadi dalam komunikasi pada anak tunarungu mengakibatkan perasaan terasing dari lingkungannya, egosentrisme yang melebihi anak normal, memiliki perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas, ketergantungan terhadap orang lain, perhatian mereka lebih sukar dialihkan, umumnya anak tunarungu memiliki sifat yang polos, sederhana, dan tidak banyak masalah, selain itu anak tunarungu cenderung lebih mudah marah, cepat tersinggung, . f. Kebutuhan Layanan Pendidikan Anak Tunarungu Pada dasarnya anak tunarungu mempunyai potensi yang dapat dikembangkan melalui berbagai sistem pendidikan. Sistem pendidikan formal
22
bagi anak tunarungu adalah sistem segregrasi dan pendidikan inklusif (Haenudin, 2013: 85) : 1) Sistem Pendidikan Segregasi Sistem Pendidikan Segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak tunarungu melalui sistem pendidikan segregasi maksudnya adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak mendengar atau anak normal. Menurut Haenudin (2013: 86) menjelaskan adanya beberapa keuntungan sistem pendidikan Segregasi yaitu : a) Dengan ditempatkannya anak tunarungu secara homogeny, ada rasa ketenangan pada anak tunarungu, karena ia berada di lingkungan yang senasib. b) Mudah berkomunikasi antar sesama teman, karena mereka mempunyai kesatuan bahasa yaitu bahasa isyarat. c) Anak memperoleh layanan pendidikan dengan metode yang khusus dan sesuai dengan kondisi dan kemampuannya, sehingga mempermudah anak tunarungu untuk menerimanya d) Anak tunarungu dididik oleh tenaga guru yang mempunyai latar belakang pendidikan luar biasa. e) Memudahkan kerjasama dengan tenaga ahli seperti dokter THT, psikolog, audiolog, dan sebagainya. f) Pada umumnyaa penyelenggaraan pendidikan melalui sistem segregasi ini dilengkapi dengan perlengkapan khusus yang bermanfaat bagi anak tunarungu dalam proses pendidikannya. Menurut Haenudin (2013: 87) bahwa selain mempunyai keuntungan, sistem layanan pendidikan segregasi mempunyai kelemahan antara lain :
23
a) Sosialisasi anak tunarungu tebatas pada teman yang senasib, terlebih lagi bagi anak tunarungu yang diasramakan, ia tidak terbiasa melihat pola belajar, pola bermain, dan sebagainya. b) Penyelenggaraan pendidikan melalui sistem segregasi ini masih dianggap sebagai penyelenggaraan pendidikan yang relatif mahal. Layanan pendidikan bagi anak tunarungu sangat diperlukan, mengingat kemampuan intelektual anak tunarungu yang hampir sama dengan anak normal. Hanya saja mereka memiliki hambatan dalam pemerolehan informasi, sehingga hal ini juga dapat menghambat dalam pengembangan kemampuan intelektual. Dengan adanya sistem layanan pendidikan segregasi , anak tunarungu dapat mengembangkan maupun mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya. 2) Sistem Pendidikan Inklusif Menurut (Salamanca, 1994) dalam Alimin, (tanpa tahun) mengartikan pendidikan inklusif sebagai berikut : Pendidikan inklusif mempunyai arti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa mempedulikan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termasuk anak-anak penyandang cacat, anak-anak berbakat (gifted children) pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas serta anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat. Pendidikan inklusi adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada umumnya untuk belajar. Menurut Permendiknas No. 70 tahun 2009 dalam Choiri dan Yusuf (2009: 70-71) bahwa, “Pendidikan inklusif didefinisikan sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam
24
lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”. Pendapat lain menurut Haenudin (2013: 96) menyatakan pendidikan inklusif sebagai : Pendidikan yang memberi kesempatan bagi peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, belajar bersama-sama dengan peserta didik pada satuan pendidikan umum atau satuan pendidikan kejuruan dengan menggunakan kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan khusus peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Menurut beberapa pendapat di atas mengenai sistem pendidikan inklusif dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada umumnya untuk belajar. Pendidikan anak tunarungu melalui sistem pendidikan inklusi maksudnya adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan secara bersama-sama dengan anak normal. Layanan pendidikan bagi anak tunarungu meliputi pendidikan dengan sistem segregasi dan sistem inklusif. Adanya layanan pendidikan bagi anak tunarungu, diharapkan anak tunarungu mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan hambatan maupun derajat ketunarunguannya, dan pada akhirnya dapat mengembangkan kemampuan akademik maupun non akademik. 2.
Kosakata Anak Tunarungu a. Pengertian Kosakata Menurut Poerwadarminta (2007: 524) dalam Hikmayana (2013: 39) disebutkan bahwa kosakata diartikan sebagai perbendaharaan kata, dalam Bahasa Inggris diistilahkan vocabulary. Pengertian secara lebih luas mengenai kosakata sebagai berikut : 1)
Semua kata yang terdapat dalam satu bahasa
25
2) 3) 4) 5)
Kosakata yang dipakai segolongan orang Kosakata yang digunakan dalam satu bidang ilmu Seluruh morfem yang ada dalam satu bahasa (linguistic) Daftar sejumlah kata dari suatu bahasa yang disusun secara urut berdasar huruf abjad disertai keterangan
Menurut Keraf (2004: 24) yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosakata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh seluruh bahasa. Menurut Soedjito (2009: 4), kosakata atau perbendaharaan kata dapat diartikan sebagai : 1) 2) 3) 4)
Semua kata yang terdapat dalam suatu bahasa Kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang pembicara atau penulis Kata yang dipakai dalam suatu bidang ilmu pengetahuan Daftar kata yang disusun seperti kamus serta penjelasan secara singkat dan praktis
Menurut beberapa pendapat ahli tersebut mengenai istilah kosakata dapat disimpulkan mengenai kosakata merupakan seluruh kata yang ada dalam bahasa. Setiap individu memiliki penguasaan kosakata yang berbedabeda sesuai dengan tingkat usia. b.
Perluasan Kosakata Sebelum memperluas kosakata perlu mengetahui berbagai jenis kosakata sesuai dengan kategorinya. Menurut Tarigan (1994: 447) jenis kosakata dapat dikategorikan sebagai berikut: 1) Kosakata dasar, yaitu kata-kata yang tidak mudah berubah atau sedikit sekali kemungkinannya dipungut dari bahasa lain. Diantaranya yang termasuk kosakata dasar adalah sebagai berikut : a)
Istilah kekerabatan yaitu: ayah, nenek, kakek, anak, paman, bibi mertua dan sebagainya
b)
Nama-nama bagian tubuh, yatu kepala, rambut, lidah, dan sebagainya
c)
Kata ganti diri petunjuk, yaitu saya, kamu, dia, kami, mereka, ini, itu, dan sebagainya
26
d)
Kata bilangan, yaitu satu, dua, sepuluh, seratus, seribu, sejuta, dan sebagainya
2)
e)
Kata kerja, makan, minum, lari, tidur, dan sebagainya
f)
Kata keadaan, suka, duka, lapar, haus dan sebagainya
g)
Kata benda, yaitu tanah, udara, bintang, matahari dan sebagainya
Kosakata aktif dan pasif yaitu aktif (sering dipakai dalam berbicara atau menulis, seperti hati, jiwa) dan pasif (jarang atau bahkan tidak pernah dipakai namun biasanya digunakan dalam istilah puitisasi, seperti kalbu, sukma) a)
Bentukan kosakata baru, muncul disebabkan adanya sumber dalam bahasa (kosakata swadaya bahasa Indonesia sendiri) dan sumber luar bahasa (pungutan dari bahasa daerah atau bahasa asing)
b)
Kosakata umum dan khusus adalah kosakata yang meluas ruang lingkup pemakaiannya dan dapat menaungi berbagai hal, sedangkan kosakata khusus adalah kata tertentu, sempit, dan terbatas dalam pemakaiannya.
c)
Makna denotasi (sebenarnya) dan konotasi (makna yang timbul dari pendengar atau pembaca dalam menstimuli atau meresponnya)
d)
Kata tugas, dapat bermakna jika dirangkaian dengan kata lain dan hanya memiliki anti gramatikal seperti ke, karena, dan, dari.
e)
Kata benda, diklasifikasikan dalam tiga segi, yaitu semantic (mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian), sintaksis (diikuti oleh kata sifat dan dapat diikuti kata “bukan”) , morfologi (terdiri atas bentuk dasar dan turunan) Pendapat di atas sejalan mengenai jenis-jenis kosakata juga
dikemukakan Hurlock (1978: 187), “Anak mempelajari dua jenis kosakata yakni kosakata umum dan kosakata khusus. Kosakata umum terdiri atas kata yang dapat digunakan dalam berbagai situasi yang berbeda”. Kosakata khusus
27
terdiri atas kata arti spesifik yang hanya digunakan pada situasi tertentu. Hurlock (1978: 188) mengemukakan jenis-jenis kosakata, yaitu: 1)
Kosakata umum terdiri dari : a)
Kata benda; kata yang pertama digunakan oleh anak adalah kata benda, umumnya yang bersuku kata satu yang diambil dari bunyi celoteh yang disenangi.
b)
Kata kerja; setelah anak mempelajari kata benda yang cukup untuk menyebutkan nama dan benda disekitarnya, mereka
mulai
mempelajari kata-kata baru khususnya yang melukiskan tindakan. c)
Kata sifat; kata sifat muncul dalam kosakata anak yang berumur 1,5 tahun. Pada mulanya kata sifat yang paling umum digunakan adalah “baik”, “buruk”, “bagus”, “nakal”, “panas” dan “dingin”. Pada prinsipnya kata-kata tersebut digunakan pada orang, makanan dan minuman.
d)
Kata keterangan; kata keterangan digunakan pada umur yang sama untuk kata sifat. Kata keterangan yang muncul paling awal dalam kosakata anak, umumnya adalah ”disini” dan ”dimana”.
2)
Kosakata khusus terdiri dari : a)
Kosakata warna; sebagian besar anak mengetahui nama warna dasar pada usia 4 tahun. Seberapa mereka akan mempelajari nama warna lainnya bergantung pada kesempatan belajar dan minat mereka tentang warna.
b)
Kosakata jumlah; dalam skala inteligensi Stanford-Binet, anak yang berusia 5 tahun diharapkan dapat menghitung tiga objek dan diharapkan dapat menghitung 3 objek dan pada usia 6 tahun diharapkan cukup baik memahami kata “tiga”, “sembilan”, “lima” untuk menghitung biji.
c)
Kosakata waktu; biasanya anak yang berusia 6 atau 7 tahun mengetahui arti pagi, siang, musim panas dan musim hujan.
28
d)
Kosakata uang; anak yang berumur 4 atau 5 tahun mulai menamai mata uang logam sesuai dengan ukuran dan warnanya.
e)
Kosakata ucapan popular; kebanyakan anak yang berusia 4 sampai 8 tahun khusunya anak lelaki menggunakan ucapan populer untuk mengungkapkan emosi dan kebersamaan dengan kelompok sebaya.
f)
Kosakata sumpah; sumpah, terutama oleh anak digunakan mulai pada usia sekolah untuk menyatakan bahwa ia sudah besar, menyadari perasan rendah dirinya. Jenis-jenis kosakata dibedakan menjadi kosakata dasar meliputi
istilah kekerabatan, nama-nama bagian tubuh, kata ganti diri petunjuk, kata bilangan, kata kerja, kata keadaan, dan kata benda. Kosakata aktif dan pasif meliputi bentukan kosakata baru, kosakata umum (kosakata benda, kosakata kerja, kosakata sifat, kosakata keterangan) dan kosakata khusus (kosakata warna, kosakata jumlah, kosakata waktu, kosakata uang, kosakata ucapan popular, kosakata sumpah). Jenis-jenis kosakata harus terus menerus diperluas seiring bertambahnya tingkat usia seseorang. Menurut Keraf (2004: 67), menyatakan bahwa cara memperluas kosakata seseorang antara lain : 1)
2)
3)
Proses Belajar Perluasan kosakata melalui proses belajar dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan. Para pendidik, melalui pelajaran bahasa dan mata pelajaran lainnya memperkenalkan bermacammacam istilah yang baru. Konteks Konteks dapat membuat perbedaan pengertian yang sangat menyolok. Bahkan kombinasi yang sama dari kata-kata dapat menghasilkan makna yang sangat berbeda dalam lingkungan kontekstual yang berlainan. Kamus, Kamus Sinonim, dan Tesaurus Kamus menyuguhkan sebuah daftar kata, masing-masing dengan batasan pengetian yang sedang berlaku atau yang tidak berlaku lagi, pengetian yang umum dan khusus, bentuk turunannya, memberi sugesti bagaimana hubungannya dengan sebuah kalimat, dan sering pula mencantumkan konotasinya.
29
Kamus Sinonim bermanfaat sebagai sebuah pelengkap bagi kamus biasa. Nilainya terletak dalam usahanya untuk membedakan konotasi-konotasi, yaitu sugesti-sugesti yang ditimbulkan oleh kata-kata yang tampaknya mempunyai arti yang sama, tetapi tidak dapat saling melengkapi. Tesaurus adalah sebuah khasanah kata untuk keperluan sendiri yang disusun menurut sebuah sistem tertentu, terdiri dari gagasan-gagasan yang mempunyai pertalian timbalbalik, sehingga setiap pemakai dapat memilih istilah atau kata yang ada di dalamnya. Jumlah kosakata sangat banyak dan luas, oleh karena itu seseorang perlu memperluas penguasaan kosakatanya. Adapun cara memperluas kosakata meliputi proses belajar, konteks , kamus, kamus sinonim, dan tesaurus. c.
Tingkat Perluasan Kosakata Kemampuan penguasaan kosakata setiap individu berbeda berdasarkan usia. Untuk itu sangat perlu mengetahui tingkat perluasan kosa kosakata setiap individu berdasarkan usianya (Keraf, 2010: 65-67) 1) Masa Kanak-kanak Perluasan kosakata pada anak-anak lebih ditekankan kepada kosakata, khususnya kesanggupan untuk nominasi gagasan-gagasan yang konkret. Semakin dewasa, ia ingin mengetahui sebanyakbanyaknya nama barang-barang yang berada disekitarnya.
Lebih
singkatnya ia ingin mengetahui tentang semua yang dilihat, dirasakannya atau didengarnya setiap hari. Peran orang tua, atau orang terdekat sangat berperan dalam perluasan kosakata dasarnya. 2) Masa Remaja Pada waktu anak menginjak bangku sekolah, proses tadi masih berjalan terus ditambah dengan proses yang sengaja diadakan untuk menguasai bahasanya dan memperluas kosakatanya. Proses belajar dilaksanakan melalui pelajaran bahasa maupun melalui mata
30
pelajaran lainnya. Dalam mata pelajaran non bahasa diberikan juga bermacam-macam pengertian dan istilah, meskipun lambat namun tetap melangkah maju. Proses ini berlangsung mulai dari Sekolah Dasar (SD) terus ke sekolah lanjutan. 3) Masa Dewasa Pada seseorang yang meningkat dewasa, kedua proses tadi berjalan terus. Proses perluasan berjalan lebih intensif karena sebagai seseoang yang
dianggap
matang
dalam
masyarakat,
ia
harus mengetahui berbagai hal, berbagai keahlian dan keterampilan, dan harus pula berkomunikasi dengan anggota masyarakat dengan semua hal itu. Proses perluasan kosakata melalui belajar dilanjutkan dengan pendidikan di dunia perguruan tinggi, yang mengintensifkan pengetahuan
seseorang
dalam
bidang
pengeahuan
tertentu.
Pengetahuan teoritis di bangku kuliah kemudian dimatangkan lagi melalui melalui pengalaman-pengalaman dengan bertukar pikiran dan berkomunikasi dengan anggota masyarakat lainnya. Menurut Manzo V Anthony (2004: 330) dalam Diaz (2012: 44) menjelaskan bahwa new vocabulary words are initially acquired in four ways. 1) Incidentally, through reading and conversation. 2) Through direct instruction, as when a teacher or autoinstructional material is used to intentionally build vocabulary power 3) Through self instruction, as when words are looked up in dictionary, or their meanings are sought from others in a conscious manner 4) Through mental manipulation of words and concepts they represent while thinking, speaking, and writing Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kosakata baru pada awalnya diperoleh dalam empat cara sebagai berikut : 1)
Kebetulan, melalui membaca dan percakapan
31
2)
Melalui instruksi langsung, sepeti ketika bahan dari guru atau materi instruksional digunakan dengan sengaja untuk membangun kekuatan kosakata
3)
Melalui instruksi diri, seperti kata-kata yang tampak di kamus, atau maknanya yang dicari orang lain secara sadar
4)
Melalui manipulasi mental dari kata-kata yang mereka wakili sambil berfikir, berbicara, dan menulis. Kosakata
harus terus menerus diperbanyak dan diperluas,
seiring berjalan dengan tuntutan usia yang semakin dewasa yang ingin mengetahui semua hal. Kemudian sesuai dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat yang selalu menciptakan kata-kata baru. Kita dapat menambah kosakata secara sistematis dengan cara mencatat setiap kata baru yang kita jumpai, dan membuat menjadi sebuah kalimat yang dapat dikomunikasikan dengan anggota masyarakat lain. Untuk mempermudah komunikasi dengan anggota masyarakat, setiap orang perlu memperluas kosakatanya. d.
Penguasaan Kosakata Anak Tunarungu Penguasaan kosakata sangat penting dalam berbahasa, semakin kaya kosakata yang dimiliki oleh seseorang semakin besar pula keterampilan seseorang dalam berbahasa. Menurut Tarigan (1994: 2), mengemukakan bahwa kemampuan penguasaan kosakata dibagi kedalam dua kelompok yaitu penguasaan kosakata reseptif dan produktif. 1)
2)
Penguasaan reseptif adalah proses mamahami apa-apa yang dituturkan oleh orang lain, reseptif diartikan sebagai penguasaan pasif. Penguasaan produktif adalah proses mengkomunikasikan ide, pikiran, perasaan melalui bentuk kebahasaan.
32
Penguasaan kosakata dalam aktivitas dan kehidupan sehari-hari mempunyai peranan yang sangat besar, karena buah pikiran seseorang hanya dapat dimengerti dengan jelas oleh orang lain jika diungkapkan dengan menggunakan kosakata. Menurut Tarmansyah (1994: 3) dalam Filina (2013: 14) kemampuan bahasa pada sejumlah anak normal sebagai berikut : usia 2 tahun memiliki 300 kata, usia 3 tahun memiliki 900 kata, usia 3 tahun akan berkembang lebih cepat lagi : 1)
usia 2 tahun memiliki + 300-400 kata.
2)
usia 2,5 tahun memiliki + 400 kata
3)
usia 3 tahun + 800 kata
4)
usia 4 tahun + 1500 kata
5)
usia 5 tahun + 2500 kata.
6)
usia 6 tahun memiliki 2800 kata. Pendapat lain yang sejalan dengan pendapat di atas juga
dikemukakan Buhler (1980) dalam Sadja’ah (1995: 16-19) mengenai perkembangan bahasa anak normal adalah sebagai berikut: 1) Sejak usia s.d 4 minggu Vokalisasi: tangisan reflex bayi yang murni sebagai respons terhadap rangsangan (stimulasi) yang tak menyenangkan, di samping reflex moro yang mengejutkan. Lambat laun tangisan makin menjadi jelas sampai si ibu dapat membedakan penyebabnya, misalnya lapar, rasa nyeri, dan sebagainya. 2) Usia 4-11 minggu Vokalisasi: Bayi meraban, kebanyakkan dengan vocal terbuka mulai berlangsung dan si bayi merasa akan suaranya, mulai memvokalisasi untuk kesenangannya. 3) Usia 12-18 minggu Vokalisasi: Bayi mulai mempergunakan kata-kata yang baik dan jelas, sektar benda-benda yang sudah ia kenal. Ia mulai senang
33
bermain, mulai memperlihatkan keperluannya, misalnya teko kecil, minuman, dan sebagainya. Ia mencoba ikut bernyanyi sambil meniru kata-kata ungkapan akhir (Echolalia) 4) Usia 11-20 minggu Vokalisasi: merengek kegembiraan karena ingin bermain, senang membuat suara-suara vocal, merespons bicara kalau diajak berbicara, ia mampu tertawa nyaring. 5) Usia 18-24 minggu Vokalisasi: menggunakan kata secara bersamaan, yakni satu perkataan untuk banyak hal, yang sebenarnya hanya satu keadaan saja, misalnya “teh atau minum” sesuatu yang ada di dalam cangkir, untuk dimakan atau diminum. Perbendaharaan katanya makin lama makin menjadi kaya. 6) Usia 20-28 minggu Vokalisasi: mulai mengenal lebih banyak bunyi dan suku kata terutama labial misalnya, pa – ba – ma. 7) Usia 28-40 minggu Vokalisasi: mulai mengkombinasikan suku kata dalam rangkaian Ba-ba-ba. 8) Usia 40 bulan s.d 1 tahun Vokalisasi: senang mengulangi suara yang diucapkan orang tua terutama yang terdiri dari 2 suku kata, mama, dada, dan sebagainya. Senang mengulangi sesuatu bila dipuji dan bisa tertawa. Senang menggunakan 2-3 kata secara terus menerus yang berlanjut sampai usia 12 bulan. Senang menggelengkan kepala untuk hal-hal yang tidak ia setujui. 9) Usia 1 s.d 2 tahun Vokalisasi: mulai mempergunakan “aku” lebih daripada saya, dan secara lambat laun menjadi dirinya. Senang menggunakan kata sifat,
34
kata tambahan, dan kata sandang. Ia senang memberi nama untuk 5 macam barang. 10) Usia 2 s.d 2,5 tahun Vokalisasi: pembentukan kalimat mungkin sempurna, ia mampu menggunakan 2-5 kata bersama-sama, mulai senang bertanya; misalnya apa itu? Apa ini? Dan mungkin masih bertanya untuk halhal yang sudah diketahui, perbendaharaan kata yang dimiliki sekitar 300 kata. 11) Usia 2,5 s.d 3,5 tahun Vokalisasi: artikulasi belum jelas, tetapi lambat laun menjadi lebih jelas. Ia dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dan menceritakan kegiatan-kegiatan (sudah dikenal) dan menaruh perhatian dalam percakapan dengan orang dewasa secara terus-menerus. Senang bertanya misalnya: sedang apa? Siapa namamu? Dapatkah saya melakukannya? Senang mempergunakan 3-9 kata sandang dan kata sambung,
dan
pemakaian
kata
ganti
menjadi
secara
tepat
lebih
baik.
Perbendaharaan kata sekitar 900 kata. 12) Usia 3,4 s.d 4,5 tahun Terjadinya
aspek-aspek
bahasa
dan
kontinu,
perkembangan tanggapan dan perbendaharaan kata semakin banyak melebihi kemampuan ekspresi dan artikulasinya. 13) Usia 4,5 s.d 6,5 tahun Perbendaharaan kata sementara tidak berkembang sampai usia 6 tahun, berbicara sudah mirip seperti tingkatan anak dewasa, walaupun artikulasinya belum matang sampai usianya kurang lebih 8 tahun. Berdasarkan beberapa literatur di atas mengenai penguasaan kosakata dapat disimpulkan bahwa kemampuan penguasaan kosakata
35
dibagi menjadi dua kelompok yaitu penguasaaan kosakata reseptif dan produktif. Penguasaan kosakata berhubungan dengan kemampuan bahasa pada sejumlah
anak tidak terkecuali
anak tunarungu.
Kemampuan bahasa pada sejumlah anak normal dengan anak tunarungu berbeda. Hal ini dapat dilihat pada urutan fase-fase perkembangan bicara dimulai fase meraban sampai kepada fase menyesuaikan diri. Pada fase penyesuaian diri, si anak melatih diri dalam bidang bicara yang ia dengar dan bunyi-bunyi yang mengandung arti, adanya peniruan sebagai hasil pendengaran. Anak yang mengalami gangguan pendengaran atau tunarungu, pengindraan pendengarannya tidak selalu menghasilkan persepsi pendengaran yang baik. Hal ini dapat terjadi apabila ada gangguan-gangguan pada alat pendengaran itu sendiri. Pada akhirnya anak tunarungu tidak akan dapat meniru kata dan anak akan mengalami gangguan bicara dan perkembangan bahasa. Adapun kemampuan bahasa anak normal sebagai berikut : usia 2 s.d 2,5 tahun memiliki sekitar 300 kata , usia 2,5 s.d 3,5 tahun memiliki sekitar 900 kata, usia 4 tahun memiliki sekitar 1500 kata, usia 5 tahun memiliki sekitar 2500 kata, dan usia 6 tahun memiliki sekitar 2800 kata. Perbendaharaan kata sementara tidak berkembang sampai usia 6 tahun, berbicara sudah mirip seperti tingkatan anak dewasa, walaupun artikulasinya belum matang sampai usianya kurang lebih 8 tahun. 3.
Kajian Tentang Metode Mind Mapping a.
Pengertian Metode Mind Mapping Mind Map (sistem peta pikiran) adalah cara paling efektif dan efisien untuk memasukkan, menyimpan dan mengeluarkan data dari/ke otak. Sistem ini bekerja sesuai dengan cara kerja alami otak kita, sehingga dapat mengoptimalkan seluruh potensi dan kapasitas otak manusia. (Caroline, 2009: 64). Mind Map ditemukan dan dipopulerkan
36
oleh Dr. Tony Buzan dari Inggris, seorang pakar pengembangan otak, kreativitas dan revolusi pendidikan sejak awal tahun 1970-an. Mind Map adalah hak merek dan hak cipta dari The Buzan Organisation, Ltd.Menurut Tony Buzan dan Buzan World Organisation, UK, lebih dari 300.000.000 sudah pernah membuat, menggunakan, melihat, dan membaca buku tentang Mind Map. Mind Map telah digunakan tidak saja di dunia pendidikan, tetapi juga di perusahaan-perusahaan kelas dunia seperti General Motor, general Electric, Boeing, IBM, Microsoft, Oracle, Disney, Fluor Daniels, HP dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, Mind Map telah masuk sejak tahun 1980-an dan mencapai puncaknya di dunia pendidikan sejak berdirinya Buzan Centre Indonesia di tahun 2009. Mind Map merupakan sistem terbaru yang didisain sesuai dengan kerja alami otak manusia. Gambar-gambar yang bebas dilukiskan sesuai dengan selera anak dan bentuknya yang unik akan menyeimbangkan kerja kedua otak anak (Caroline, 2009: 66) Menurut Windura (2013: 12) Mind Map sebagai : 1) Sistem belajar dan berpikir yang menggunakan kedua belah otak 2) Sistem belajar dan berpikir yang menggunakan otak sesuai dengan cara kerja alaminya 3) Sistem belajar dan berpikir yang mengeluarkan seluruh potensi dan kapasitas otak penggunanya yang masih tersembunyi 4) Sistem belajar dan berpikir yang mencerminkan apa yang terjadi secara internal di dalam otak kita saat belajar dan berpikir 5) Sistem belajar dan berpikir yang mencerminkan secara visual apa yang terjadi pada otak Anda saat belajar dan berpikir. Cara kerja pikiran manusia (secara alami) adalah memancar dari satu titik pikiran ke berbagai asosiasi pemikiran yang lain, dan selalu
37
menyebar kembali dengan tidak terbatas, atau diistilahkan dengan Radiant Thinking. Dengan teknik Mind Map, maka anak akan mencatat/meringkas menggunakan kata kunci (keyword) dan gambar. Perpaduan dua hal tadi akan membentuk sebuah asosiasi di kepala anak dan ketika si anak melihat gambar tersebut maka akan terjelaskan ribuan kata yang diwakili oleh kata kunci dan gambar tadi. Mind Map menjadi cara mencatat/meringkas yang mengkomodir cara kerja otak secara natural. Berbeda dengan catatan konvensional yang ditulis dalam bentuk daftar panjang ke bawah, maka pada konsep mind map akan mengajak pikiran untuk membayangkan suatu subjek sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan. Jika menggunakan catatan konvensional, anak harus menghafal daftar panjang yang sudah anak buat dan sering kali ada yang terlewati. Sebaliknya dengan konsep Mind Map, secara mental anak membangun sebuah gambar yang dapat dibayangkan. Ketika gambar tersebut muncul dalam benak anak, terkandung maka seluruh penjelasan yang terkandung di dalamnya akan terjelaskan. Pakar otak berpendapat bahwa kreativitas dapat diartikan seberapa banyak pancaran pikiran yang ditimbulkan dari pusat pikiran dalam pembuatan Mind Map. Menurut beberapa pendapat di atas mengenai definisi Mind Mapping dapat disimpulkan bahwa Mind Mapping merupakan cara maupun metode yang efektif dan efisien untuk memasukkan, menyimpan, mengeluarkan, dan menempatkan informasi dari atau ke otak dengan mencatat secara kreatif, efektif, dan sederhana. b.
Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pembuatan Mind Map Menurut Caroline (2009: 67) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan Mind Map untuk anak belajar sebagai berikut :
38
1) Sediakan kertas folio/A4 (kuarto) putih polos dan pensil warna (minimal 3, semakin bervariasi, semakin bagus) 2) Pilih posisi kertas mendatar (landscape), agar tata ruangnya lebih luas dan panjang 3) Mintalah anak untuk menentukan pusat pikiran (dan diletakkan ditengah-tengah). Sebaiknya pusat pikiran berupa gambar agar lebih menarik. Pusat pikiran biasanya diambil dari judul bab atau tema pokok dari bab tersebut. Prinsipnya, pusat pikiran adalah sebuah kata (bukan kalimat) yang mewakili isi dari semua materi (gambaran umum) yang hendak dibuat mind map. Dari pusat pikiran tersebut, mintalah anak untuk menentukan dan membuat cabang utama (Basic Ordering Ideas). BOI adalah cabang utama mind map yang bertugas mengumpulkan informasi yang sejenis atau satu tema. BOI biasanya berupa sub bab dari materi yang dipelajari anak. Dalam membuat cabang, hendaknnya pilih yang meliuk (tidak lurus), dengan pangkal tebal, lalu menipis di bagian ujungnya. Bentuk cabang yang meliuk (sering diistilahkan dengan organic line) sangat disukai otak kita. Panjang cabang hendaknya disesuaikan dengan luas kertas yang disediakan. Menurut pendapat Windura (2013: 59)
bahwa permasalahan
yang sering dialami anak saat membuat Mind Mapping adalah sebagai berikut : 1) Kertas , kertas harus dalam posisi mendatar (landscape) dan bukan tegak (portrait). Hal ini disebabkan karena kita menulis dari kiri ke kanan sehingga akan membantu tata ruang Mind Map menjadi lebih efisien dan memusat lebih banyak informasi dalam selembar kertas. Jenis kertas yang sebaiknya digunakan adalah kertas polos dan tidak bergaris-garis. Garis-garis pada kertas dapat menganggu keleluasaan pancaran pikiran anak. 2) Pusat Mind Map besarnya harus proposional, jangan terlalu besar atau terlalu kecil. Pusat Mind Map yang terlalu besar akan menyebabkan informasi lain menjadi tidak diperhatikan atau dianggap tidak penting. Sedangkan jika terlalu kecil, maka
39
meyebabkan Mind Map tersebut tidak dapat menjaga konsentrasi mata dan otak kita saat menggunakan atau mengkaji ulangnya 3) Cabang utama pada Mind Map harus melengkung atau meliuk, bukan garis lurus. Garis yang lurus akan membosankan otak kita, sehingga membuat aliran ide anak akan terganggu. 4) Cabang-cabang Mind Map dibuat tebal lalu menipis dan semakin menipis begitu menjauh dari pusat Mind Map. 5) Kata atau informasi pada Mind Map harus dituliskan dari besar dan semakin mengecil sesuai hierarkinya. Semakin dekat Pusat Mind Map, maka informasi itu semakin penting dan besar ukuran hurufnya. Semakin jauh dari pusat Mind Map semakin kurang penting/detil sehingga ukurannya menjadi lebih kecil. 6) Gambar, banyak anak yang mengeluh tidak bisa menggambar. Pada akhirnya Mind Map dianggap susah dalam pembuatannya. Jika menggambar merupakan salah satu bagian dari Mind Mapping , dan anak tidak dapat menggambar dengan baik maka solusinya adalah WIMAGE (Word dan Image). Caranya mudah yakni dengan mengganti satu huruf pada kata/informasi tesebut. Misalnya kata “TRANSPORTASI” , huruf “O” diganti dengan sketsa roda. 7) Warna, alasan Mind Map menggunakan warna adalah karena warna itu bukan sekedar untuk membuat Mind Map indah berwarna-warni, tapi warna itu punya kode dan emosi. 8) Tata ruang, tata ruang Mind Map pada kertas sangat penting. Di samping agar Mind Map
tersebut mampu menampung banyak
informasi , hal ini juga dimaksudkan agar Mind Map terlihat nyaman saat digunakan atau dikaji ulang (review). 9) Hierarki informasi, dalam penulisan kata/informasi di Mind Map, hierarki informasi sangat penting dilakukan. Tujuannya adalah agar otak selalu dijamin untuk mampu berasosiasi atau memancarkan
40
informasi-informasi baru setiap saat. Setiap informasi pada Mind Map harus berupa kata kunci atau keyword yaitu kata yang paling kuat nilai formasinya dan mampu mewakili kata-kata pengisi atau filler words dalam sebuah kalimat. Menurut beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam membuat Mind Mapping ada beberapa hal atau permasalahan yang perlu diperhatikan seperti ukuran dan jenis kertas yang akan digunakan, posisi kertas pada saat membuat Mind Mapping, menentukan cabang utama (BOI), cabang-cabang yang dibuat harus tebal ke tipis, kata atau informasi harus dari besar ke kecil, gambar harus disesuaikan dengan kata, penyesuaian warna, tata ruang dan hierarki informasi. c.
Langkah-langkah Membuat Mind Mapping Menurut Windura (2013: 31), “Bahan dan peralatan untuk membuat Mind Map tidak serumit untuk membuat kue. Bahan dan peralatan membuat Mind Map sangat sederhana dan mudah, yaitu kertas sebaiknya minimum kuarto/A4/folio, atau menggunakan bahan yang lebih tebal seperti buku gambar ukuran A4 atau A3, bolpen/spidol/pensil wana-warni”. Windura (2013: 32) cara membuat Mind Map “Setelah bahan dan peralatan membuat Mind Map sudah disiapkan, maka berikut ini adalah langkah-langkah cara membuat Mind Map : 1) 2)
3)
4)
Kertas diletakkan dan diposisikan dalam keadaan mendatar (landscape) Tentukan topik apa yang ingin Anda Mind Map. Biasanya itu adalah topic utama yang Anda pikirkan atau topic bab pelajaran dalam kegiatan meringkas misalnya. Buatlah Pusat Mind Map di tengah-tengah kertas berupa Gambar Pusat Mind Map ini sering disebut dengan Central Image, karena letaknya di tepat di tengah-tengah kertas dan harus berupa gambar. Beri judul juga jika perlu diperjelas. Buatlah Cabang Utama yang merupakan cabang yang memancar langsung dari Pusat Mind Map. Cabang Utama ini tugasnya untuk menyatukan dan mengelompokkan
41
5) 6)
7) 8)
informasi-informasi yang sejenis atau sama kepentingannya. Gunakan warna yang berbeda untuk setiap cabang yang berbeda. Informasi yang ditulis di atas cabang dan jumlah 1 buah kata saja, yaitu berupa kata kunci. Kembangkan Cabang Utama dengan cabang-cabang lain berikutnya yang berisi informasi-informasi yang berkaitan dengan cabang induknya. Gunakan warna yang sama dengan warna Cabang Utamanya. Gambar harus selalu ditambahkan untuk memperkuat informasi atau membantu kreativitas berpikir Anda. Selesai.
Menurut Buzan (2010: 15) dalam Ginting (2013: 8) bahwa langkah-langkah dalam membuat Mind Map adalah sebagai berikut : 1) 2) 3) 4)
5) 6) 7)
Mulailah dari tengah kertas kosong yang sisi panjangnya diletakkan mendatar Gunakan gambar atau foto untuk ide sentral Gunakan berbagai warna Hubungkan cabang-cabang utama ke gambar pusat dan hubungkan cabang-cabang tingkat dua dan tiga ke tingkat satu dan dua, dan seterusnya Buatlah garis hubung yang melengkung Gunakan satu kata kunci untuk setiap garis Gunakan gambar
Menurut beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bahan-bahan dalam membuat Mind Mapping terdiri dari kertas ukuran A4/kuarto/folio atau menggunakan kertas lain yang lebih tebal dan bolpen/spidol/pensil yang berwarna. Setelah bahan-bahan disiapkan, selanjutnya membuat Mind Mapping yang dimulai dari tengah kertas kosong yang sisi panjangnya diletakkan mendatar, penentuan topik yang diinginkan dapat menggunakan gambar atau foto, membuat pusat Mind Mapping, kemudian membuat cabang utama, menghubungkan cabangcabang utama ke gambar pusat dan
juga menghubungkan cabang-
cabang tingkat dua dan tiga ke tingkat satu dan dua, dan seterusnya,
42
menuliskan kata kunci (keywords), serta menambah gambar untuk membantu dalam berkreativitas. d.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Mind Map Menurut Caroline (2009: 64-65) menjelaskan sistem Mind Map mempunyai banyak keunggulan, diantaranya : 1) Proses pembuatannya menyenangkan, karena tidak semata-mata hanya mengandalkan otak kiri saja. Gambar dan warna yang digunakan dalam pembuatan Mind Map merupakan “penyeimbang” kerja otak manusia, sehingga anak tidak akan mudah bosan. 2) Sifatnya unik (tidak monoton seperti sistem pendidikan yang kebanyakan digunakan dalam dunia pendidikan sekarang ini), sehingga mudah diingat serta menarik perhatian mata dan otak. 3) Topik utama materi pelajaran ditentukan secara jelas, begitu juga dengan hubungan antar informasi yang satu dengan yang lainnya. Kelebihan Mind Map bagi anak tunarungu menurut Ahadini (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Peningkatan Kemampuan Membaca Pemahaman Bagi Anak Tunarungu Kelas VI di SLB – Karnamanohara Melalui Penerapan Teknik Peta Pikir yaitu, lebih terfokus pada pokok bahasan dan memudahkan penambahan informasi baru. Pokok bahasan yang konkret sangat penting bagi anak tunarungu dalam memahami kalimat yang dibuat dengan menggunakan Mind Map. Kelemahan metode Mind Map menurut (Ahadini, 2010: 10) yaitu: 1) Hanya siswa yang aktif terlibat, 2) Tidak sepenuhnya murid yang belajar, dan 3) Mind map siswa bervariasi sehingga guru akan kewalahan memeriksa mind map siswa
43
Kelebihan Mind Mapping bagi tunarungu menurut beberapa pendapat dapat disimpulkan yakni proses pembuatannya menyenangkan, sifatnya unik dan menarik, topic utama materi ditentukan secara jelas, dan lebih terfokus pada pokok bahasan sehingga memudahkan penambahan informasi baru. Namun, Mind Mapping juga memiliki kelemahan seperti hanya siswa yang aktif terlibat, tidak sepenuhnya murid yang belajar, dan guru akan mengalami kesulitan dalam memeriksa mind mapping yang dibuat siswa karena bervariasi. e.
Mind Mapping dalam Meningkatkan Kosakata Anak Tunarungu Usia 6-12 tahun (Caroline, 2009: 75) metode belajar yang diterapkan pada anak usia sekolah tentu sangat berbeda dengan usia batita.
Perbanyak
melatih
kemampuan
anak
bercerita
dan
mempresentasikan apa yang mereka ketahui. Metode belajar ditekankan pada bagaimana anak berpikir kreatif, misalnya ketika menjelaskan suatu hal atau benda. Salah satunya dengan metode mind mapping. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa tunarungu kelas 5 yang usianya rata-rata 11-15 tahun sehingga mind mapping merupakan metode yang tepat untuk pembelajaran. Sehingga dapat meningkatkan hasil prestasi belajar anak. Hal ini di sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2012)
mengenai
Penggunaan
metode
Mind
Mapping
Dalam
Meningkatkan Kosakata Buah-Buahan Pada Anak Tunarungu Kelas D2 Di SLB Budi Bakti 1 Kawali, hasil penelitian diperoleh bahwa metode Mind Mapping dapat meningkatkan penguasaan kosakata buah-buahan anak tunarungu kelas D2. Perbendaharaan kata buah-buahan pada anak tunarungu (DM) pada kondisi awal sebelum di berikan intervensi penggunaan metode Mind Mapping yaitu terbilang rendah.Selanjutnya setelah diberikan intervensi dengan menggunakan metode Mind
44
Mapping mengalami peningkatan. Dalam penelitian yang dilakukan kosakata hanya terbatas pada buah-buahan yang berduri misalnya sirsak, durian, nangka dan buah-buahan yang berbentuk bulat seperti melon, semangka dan labu. Mengingat subyek penelitian berjumlah 1 siswa kelas 2 SD, dengan desain penelitian eksperimen SSR (Single Subject Research). B.
Kerangka Pikir
Anak tunarungu memiliki hambatan dalam pemahaman kosakata sehingga hal ini mengakibatkan anak tunarungu keterbatasan dalam penguasaan kosakata. Penggunaan metode Mind Mapping diharapkan dapat membuat anak tunarungu lebih memahami kosakata yang disampaikan. Melalui metode Mind Mapping anak tunarungu diajarkan untuk membuat Mind Mapping dengan materi berbagai jenis hewan.
Melalui pembuatan
Mind Mapping anak tunarungu dapat mengembangkan kreativitas sendiri sehingga akan lebih mudah untuk meningkatkan daya ingatnya.
45
Kerangka berpikir mengenai penerapan metode Mind Mapping Dalam Meningkatkan Penguasaan Kosakata kelas V B di SLB B YRTRW Surakarta tahun 2016 sebagai berikut: Pembelajaran dengan tema Hewan Peliharaanku dengan materi kosakata berbagai jenis hewan berdasarkan tempat hidup pada anak tunarungu kelas V B SLB B YRTRW
Guru belum menggunakan mind mapping dalam pembelajaran
Saat pembelajaran tidak sedikit anak tunarungu mampu mengisyaratkan namun tidak paham kosakata yang di isyaratkan sehingga penguasaan kosakata rendah
Penggunaan mind mapping dalam pembelajaran
Penguasaan kosakata meningkat Gambar 2.1 Kerangka Berpikir C. Hipotesis Dalam sebuah penelitian haruslah terdapat suatu hipotesis. Sugiyono (2013 : 96) menjelaskan bahwa “ Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan”. Jenis hipotesis dalam penelitian adalah hipotesis assosiatif. Berdasarkan dari beberapa teori yang relevan hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa Mind Mapping efektif dalam
meningkatkan penguasaan kosakata berbagai macam hewan
berdasarkan tempat hidup pada anak tunarungu kelas V B di SLB B YRTRW Surakarta tahun 2015/2016.