8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1.
Hakikat Kemampuan Pemecahan Masalah Soal Cerita Pecahan a.
Pengertian Kemampuan Kata kemampuan sama artinya dengan kecakapan, kesanggupan, dan juga daya. Hal ini sejalan dengan pendapat Kamsiyati (2012: 12) yang mengutip simpulan Robert M. Gagne yang menjelaskan bahwa kemampuan adalah kecakapan untuk melakukan suatu tugas dalam kondisi yang telah ditentukan. Seseorang dapat melakukan sesuatu karena adanya kemampuan yang dimilikinya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Susanto (2012: 97) yang mengutip simpulan Munandar bahwa kemampuan merupakan daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil pembawaan dan latihan. Menurutnya, kemampuan merupakan suatu potensi yang dimiliki sejak lahir dan dipermatang dengan adanya pembiasaan dan latihan, sehingga seseorang dapat melakukan sesuatu. Selanjutnya Susanto (2012: 97) juga mengutip simpulan Robin yang mengungkapkan hal senada, bahwa kemampuan merupakan suatu kapasitas berbagai tugas dalam suatu pekerjaan tertentu. Jadi banyaknya tugas yang dapat diselesaikan oleh seseorang berbanding lurus dengan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Menurut Mulyasa (2006: 39), kemampuan (skill) merupakan sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepada dirinya. Kemudian, Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2006: 85) menyatakan bahwa kemampuan adalah bakat seseorang untuk melakukan tugas fisik atau mental. Kemampuan dalam konteks mata pelajaran di sekolah adalah suatu kesanggupan yang dimiliki oleh peserta didik yang berasal dari dalam dirinya. Kesanggupan tersebut dihasilkan dari pembawaan dan
8
9 didukung dengan adanya latihan, sehingga peserta didik dapat menyelesaikan tugasnya. Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan adalah kesanggupan atau daya yang dimiliki oleh seseorang dalam melaksanakan sesuatu hal atau tugas-tugas yang harus diseselaikan dalam suatu pekerjaan tertentu.
b. Pengertian Pemecahan Masalah Pembelajaran matematika di Sekolah dasar bertujuan untuk melatih siswa memecahkan masalah. Melalui latihan pemecahan masalah diharapkan siswa dapat mengembangkan kemampuan memecahkan masalah-masalah yang mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari (Aisyah, dkk, 2007: 5-1). Pemecahan masalah secara sederhana dapat diartikan sebagai proses penerimaan masalah sebagai tantangan untuk memecahkannya (Hudojo, 1979: 160). Selanjutnya, Winarni dan Harmini (2011: 116) meyatakan bahwa “Pemecahan/ penyelesaian masalah merupakan suatu proses penerimaan tantangan dan kerja keras untuk menyelesaikan masalah tersebut”. Berdasarkan dua pendapat di atas dapat diartikan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memecahkan suatu masalah yang dimilikinya. Santrock (2014: 26) mengungkapkan bahwa pemecahan masalah adalah menemukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aisyah (2007: 5-3) yang mengutip simpulan Hudojo bahwa pemecahan masalah adalah proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sampai masalah itu tidak lagi dihadapinya. Selain itu, pemecahan masalah dapat dikatakan sebagai suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan suatu masalah dan memecahkannya berdasarkan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat (Hamalik, 1995: 151).
10 Pemecahan masalah merupakan bagian penting dalam kurikulum pendidikan matematika karena proses pembelajaran matematika maupun kegiatan
siswa
dalam
menyelesaikan
masalah
matematika
memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki untuk memecahkan masalah. Pemecahan masalah juga penting untuk diajarakan pada tingkat SD. Pemecahan masalah akan melatih peserta didik untuk mampu menggunakan berbagai konsep, prinsip, dan keterampilan matematikanya yang telah atau sedang dipelajari untuk memecahkan masalah matematika, bahkan memecahkan masalah yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari. Pemecahan masalah yang di ajarkan pada tingkat Sekolah Dasar ini akan menjadi dasar untuk pemecahan masalah pada tingkat pendidikan yang lain. Hal ini merujuk pada pendapat Memnun, dkk (2012) dalam jurnal internasional yang mengungkapkan bahwa: “Problem solving skills do not develop within few weeks or months and it is also not a topic that is thought in special class level. Development for the problem solving skill is slow and progressive. Problem solving should be expressed every day, in every lesson and should continue from the start of the preschool until high school, because learning of mathematics and problem solving are related to each other”. “Keterampilan pemecahan masalah tidak berkembang dalam beberapa minggu atau bulan dan juga bukan topik yang diperkirakan di tingkat kelas khusus. Pengembangan keterampilan memecahkan masalah lambat dan progresif. pemecahan masalah harus dilatih sehari-hari, di setiap pelajaran dan harus terus dilakukan dari awal prasekolah hingga SMA, karena pembelajaran matematika dan pemecahan masalah terkait satu sama lain”. Berdasarkan jurnal internasional tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan pemecahan masalah tidak berkembang secara cepat, akan tetapi lambat dan progresif. Pemecahan masalah harus dilatih sehari-hari agar siswa terbiasa memecahkan suatu masalah. Pembelajaran matematika dan pemecahan masalah terkait satu sama lain.
11 Kesumawati (2011) mengungkapkan indikator kemampuan pemecahan masalah matematika dalam International Seminar and the Fourth National Conference on Mathematics Education sebagai berikut: “The indicator that shows the ability of mathematical problem solving are as follows. 1) Demonstrate understanding of issues, including the ability to identify the elements that are known, asked, and adequacy of the required elements; 2) Able to create / develop mathematical models, involves the ability to formulate problems of everyday situations in mathematics; 3) Select and develop a solution strategy, involves the ability to bring various possibilities or alternative way of settlement, the formulas or knowledge which can be used in solving the problem; 4) Able to explain and verify the answers obtained, including the ability to identify calculation errors, errors using the formula, check the compatibility between that have been found with what was asked, and can explain the truth of the answer”. “Indikator yang menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematika adalah sebagai berikut. 1) Menunjukkan pemahaman tentang isu-isu, termasuk kemampuan untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, bertanya, dan kecukupan unsur yang diperlukan; 2) Mampu membuat / mengembangkan model matematika, melibatkan kemampuan untuk merumuskan masalah dari situasi sehari-hari dalam matematika; 3) Memilih dan mengembangkan strategi solusi, melibatkan kemampuan untuk membawa berbagai kemungkinan atau alternatif penyelesaian, rumus atau pengetahuan yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah; 4) Mampu menjelaskan dan memverifikasi jawaban yang diperoleh, termasuk kemampuan untuk mengidentifikasi kesalahan perhitungan, kesalahan menggunakan rumus, periksa kompatibilitas antara yang telah ditemukan dengan apa yang diminta, dan dapat menjelaskan kebenaran dari jawaban.” Dari pengertian pemecahan masalah di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah suatu proses yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya dengan cara membuat perencanaan yang baik dan dilaksanakan sesuai rencana serta diakhiri dengan pemeriksaan secara cermat dan kritis agar solusi-solusi yang diberikan benar.
12 c.
Prinsip Pemecahan Masalah Dalam memecahkan masalah harus memperhatikan banyak hal agar mendapatkan penyelesaian masalah yang baik. Hal tersebut sesuai dengan simpulan Sutawidjaja ( Winarni dan Harmini, 2011: 121) bahwa prinsip yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, khususnya masalah matematika adalah sebagai berikut: 1) Identifikasi masalah 2) Menerjemahkan masalah ke dalam kalimat matematika, kemudian menerjemahkan masalah ke dalam model permasalahan yang lebih sederhana, 3) Menentukan alur-alur pemecahan masalah, kemudian memilih alur pemecahan masalah yang lebih efisien. 4) Menentukan jawaban numerikal, kemudian menginterpretasikan jawab yang diperoleh. 5) Mengecek kebenaran hasil, selanjutnya memodifikasi jawab jika diberikan data baru. 6) Melatih memecahkan masalah dan melatih membuat masalah sendiri untuk dipecahkan sendiri.
d. Langkah-Langkah Pemecahan Masalah Pemecahan masalah memerlukan pemikiran dan kerja keras agar mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Pemecahan masalah membutuhkan perencanaan yang sistematis. Winarni dan Harmini (2011: 124) mengutip simpulan Polya menyatakan langkah-langkah yang harus diperhatikan untuk pemecahan masalah adalah sebagai berikut: 1) Pemahaman terhadap masalah Pemahan terhadap masalah yang dimaksud adalah mengerti masalah dan melihat apa yang dikehendaki. Cara memahami suatu masalah yaitu, (a) masalah dibaca secara berulang agar dapat dipahami kata demi kata maupun kalimat demi kalimat; (b)
13 menentukan/mengidentifikasi apa yang diketahui dari masalah; (c) menentukan/mengidentifikasi apa yang ditanyakan dan dikehendaki dari masalah; (d) mengabaikan hal yang tidak relevan dengan masalah; (e) tidak menambahkan hal-hal yang tidak ada agar menghindari
penyimpangan
terhadap
masalah
yang
harus
diselesaikan. 2) Perencanaan pemecahan masalah Perencanaan pemecahan ini adalah melihat bagaimana macam soal dihubungkan dan bagaimana ketidakjelasan dihubungkan dengan data agar memperoleh ide membuat suatu rencana penyelesaian masalah. Untuk menyusun perencanaan pemecahan masalah, dibutuhkan kreativitasndalam menyusun strategi pemecahan masalah. Aisyah, dkk (2007: 5.11) mengutip simpulan Reys mengemukakan strategi pemecahan masalah antara lain, (a) beraksi (act it out); (b) membuat gambar atau diagram; (c) mencari pola; (d) membuat tabel; (e) menghitung semua kemungkinan secara sistemtis; (f) menebak dan menguji; (g) bekerja mundur; (h) mengidentifikasi informasi yang diinginkan, diberikan, dan diperlukan; (i) menulis kalimat terbuka; (j) menyelesaikan masalah yang lebih sederhana atau serupa; dan (k) mengubah pandangan (1978). Menyempurnakan pendapat di atas, Winarni dan Harmini (2011: 124) yang mengutip simpulan Wheeler memaparkan strategi pemecahan masalah sebagai berikut: (a) membuat suatu tabel; (b) membuat suatu gambar; (c) menduga, mengetes, dan memperbaiki; (d) mencari
pola;
(e)
menyatakan
kembali
permasalahan;
(f)
menggunakan penalaran; (g) menggunakan variabel; (h) menggunakan permasalahan; (i) mencoba menyederhanakan permasalahan; (j) menghilangkan situasi yang tidak mungkin; (k) bekerja mundur; (l) menyusun model; (m) menggunakan algoritma; (n) menggunakan penalaran tidk langsung; (o) menggunakan sifat-sifat bilangan; (p) menggunakan kasus atau membagi masalah menjadi bagian-bagian;
14 (q) memvaliditasi semua kemungkinan; (r) menggunakan rumus; (s) menyelesaikan masalah ekuivalen; (t) menggunakan simetri; (u) menggunakan informasi yang diketahui untuk mengembangkan informasi baru. 3) Melaksanakan pemecahan masalah Pemecahan masalah tidak berhasil tanpa perencanaan yang baik. Pada perencanaan pemecahan masalah, siswa diarahkan untuk mengidentifikasi strategi pemecahan masalah yang sesuai untuk menyelesaikan masalah. Hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah apakah strategi yang digunakan dapat digunakan untuk memecahkan masalah, sesuaikah strategi tersebut. Strategi yang digunakan
harus
berkaitan
dengan
permasalahan
yang
akan
dipecahkan. 4) Melihat kembali kelengkapan pemecahan masalah. Langkah melihat kembali kelengkapan pemecahan masalah merupakan langkah terakhir dari pendekatan pemecahan masalah. Melihat kembali kelengkapan pemecahan masalah yang dimaksud adalah sebelum memecahkan masalah, perlu mereview apakah penyelesaian masalah sudah sesuai dengan melakukan kegiatan sebagai berikut: (a) mengecek hasil; (b) menginterpretasi jawaban yang diperoleh; (c) meninjau kembali apakah ada cara lain yang dapat digunakan untuk mendapatkan penyelesaia yang sama; (d) meninjau kembali apakah ada penyelesaian yang lain sehingga dalam memecahkan masalah dituntut untuk tidak cepat puas dari satu penyelesaian saja. Selanjutnya, dalam merencanakan strategi pemecahan masalah, USAID (2015: 23) yang mengutip simpulan Polya mengidentifikasi strategi umum (heuristic) yang dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah. Strategi tersebut antara lain: 1) mencari pola (look for pattern); 2) membuat tabel; 3) bekerja mundur; 4) mengidentifikasi
15 tujuan (subgoal); 5) menguji masalah yang berkaitan dan menentukan apakah cara yang sama dapat diterapkan; 6) membuat diagram.
e.
Hambatan Pemecahan Masalah Dalam setiap hal yang kita lakukan terkadang ditemukan berbagai kendala. Tidak terkecuali dalam pemecahan masalah. Santrock (2014: 29) mengungkapkan beberapa kendala umum untuk memecahkan masalah yaitu: 1) fiksasi; 2) kurangnya motivasi atau ketekunan; dan 3) pengendalian emosi yang tidak memadai. Fiksasi yang dimaksud disini adalah penggunaan satu cara atau strategi lama untuk memecahkan masalah, dimana cara atau strategi tersebut tidak dapat digunakan pada situasi yang berbeda, sehingga gagal untuk melihat masalah dari pandangan yang baru. Banyak peserta didik memilih untuk menghindari masalah atau menyerah terlalu mudah karena mereka tidak mampu untuk mencari solusi dalam pemecahan masalah. Kemampuan dalam memecahkan masalah sangat mempengaruhi motivasi dalam diri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Santrock (2014: 29) yang mengutip simpulan SantrockPerry, Turner, dan Meyer bahwa jika siswa telah memiliki kemampuan besar pemecahan masalah, hampir tidak penting jika mereka tidak termotivasi untuk menggunakannya. Santrock (2014: 29) juga menyimpulkan pendapat Kuhn bahwa selain kedua kendala di atas, emosi merupakan penghambat dalam pemecahan maslah. Pemecahan masalah yeng baik tidak hanya motivasi tinggi, tetapi juga mampu mengendalikan emosi mereka dan dengan demikian, berkonsentrasi pada solusi masalah. Kebanyakan peserta didik merasa takut atau cemas dalam memecahkan masalah. Hal ini berdampak pada kemampuan pemecahan masalah peserta didik itu sendiri. Biasanya, peserta didik yang berkompeten dalam pemecahan masalah adalah peserta didik yang berani mengambil resiko pada setiap langkah pemecahan masalah, tanpa merasa takut akan suatu kesalahan.
16 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah suatu kesanggupan atau daya yang dimiliki oleh siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam penelitian ini konteks masalahnya adalah masalah matematika.
f.
Pengertian Matematika Matematika merupakan suatu ilmu yang berkaitan dengan ilmu-ilmu yang lain. Matematika juga sangat penting bagi aktivitas sehari-hari, seperti halnya penggunaan operasi hitung dan logika. Mengingat pentingnya matematika, maka sudah sewajarnya matematika dijadikan mata pelajaran wajib pada setiap jenjang pendidikan. Matematika dimulai dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan berkembang ke unsur-unsur yang tidak didefinisikan berkembang ke unsur-unsur pendidikan terus ke aksioma atau postulat sampai ke dalildalil (Karso, dkk, 1993: 3). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Heruman (2008: 1) yang mengutip simpulan Ruseffendi bahwa mateatika adalah: “Bahasa simbol, ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif, ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke unsur yang didefinisikan ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil”(1991). Menurut Karso, dkk (2011: 1.40) yang mengutip simpulan Reys menyatakan bahwa matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat. Lebih lanjut Karso, dkk (2011: 1.40) menyatakan bahwa “Matematika merupakan suatu ilmu yang berhubungan dengan penelaahan bentuk-bentuk atau struktur-struktur yang abstrak dan hubungan di antara hal-hal itu”. Untuk dapat memahami struktur dan hubungan-hubungannya diperlukan penguasaan konsep-konsep yang terdapat dalam matematika.
17 Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa matematikah adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang telaahan mengenai pola, hubungan, serta bentuk-bentuk yang memiliki keteraturan dan struktur yang terorganisasi.
g.
Pembelajaran Matematika di SD Pembelajaran matematika merupakan proses belajar mengajar matematika yang diharapkan mampu membawa siswa untuk berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan bekerja sama. Karso, dkk (2011: 1.5) menyatakan bahwa “Matematika bagi siswa SD berguna untuk kepentingan hidup pada lingkungannya, untuk mengembangkan pola pikirnya, dan untuk mempelajari ilmu-ilmu yang kemudian”. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Maharani, dkk (2015) dalam jurnal internasional yang menyatakan bahwa: “Mathematics need to be given to all learners from the primary school to equip learners with a logical thinking ability, analytical, systematic, critical, and creative, as well as the ability in cooperation. Therefore, the learning of mathematics in school need to develop a learning model that directly or indirectly can improve the creative thinking ability. In addition, the creative thinking ability is required to solve problems in everyday life”. “Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik dari SD untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Oleh karena itu, pembelajaran matematika di sekolah perlu mengembangkan model pembelajaran yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif. Selain itu, kemampuan berpikir kreatif diperlukan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.” Berdasarkan jurnal internasional di atas dapat diketahui bahwa pembelajaran matematika akan membekali siswa dalam berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan dalam kerja sama. Dalam memecahkan suatu masalah maka diperlukan kemampuan
18 berpikir kreatif, untuk itu perlu adanya pengembangan model pembelajaran yang dapat mendukung adanya kretivitas siswa. Anak usia SD pada umumnya berada pada tahap berpikir operasional konkret. Siswa yang berada pada tahap operasional konkret memahami hukum kekekalan, namun siswa belum bisa berpikir secara deduktif. Tingkat pemahaman dan kemampuan siswa SD tentunya berbeda dengan orang dewasa. Maka dari itu, untuk menyampaikan pembelajaran matematika kepada siswa SD harus melihat tentang kesiapan untuk belajar dan bagaimana mereka berpikir. Tingkat kesiapan dalam berpikir siswa akan berubah seiring dengan perkembangan usianya. Hal ini berarti bahwa strategi pembelajaran matematika yang digunakan
harus
sesuai
dengan
perkembangan
intelektual
atau
perkembangan tingkat berpikir siswa sehingga diharapkan pembelajaran matematika di SD lebih efektif dan lebih hidup.
h. Materi Pecahan 1) Pengertian Pecahan Pecahan merupakan materi yang sulit diajarkan kepada siswa. Beberapa guru menyatakan bahwa mereka merasa bingung untuk memberikan pembelajaran yang bermakna mengenai pecahan. Kesulitan juga muncul karena minimnya pengadaan media oleh guru. Hal ini sesuai dengan pernyataan Heruman (2007: 43) yang mengutip simpulan Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan bahwa: Pecahan merupakan salah satu topik yang sulit untuk diajarkan. Kesulitan itu terlihat dari kurang bermaknanya kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru, dan sulitnya pengadaan media pembelajaran. Akibatnya, guru biasa langsung mengajarkan pengenalan angka, seperti pada pecahan , 1 disebut pembilang dan 2 disebut penyebut.
19 Karso, dkk (2011) menyatakan bahwa “Bilangan pecahan adalah bilangan yang dapat dilambangkan , a dinamakan pembilang dan b dinamakan penyebut, dimana a dan b bilangan bulat dan b ≠ 0. Selanjutnya, Wahyudi (2008: 127) mengungkapkan bahwa pecahan adalah bilangan yang dapat ditulis melalui pasangan terurut dari bilangan cacah , dimana b ≠ 0 dan a disebut pembilang sedangkan b disebut penyebut pecahan tersebut. Kamsiyati (2012: 117) dan Purwoto & Marwiyanto (2002: 43) mendefinisikan Bilangan pecahan adalah bilangan yang menyatakan sebagai bilangan pecahan dari suatu keseluruhan. Pendapat ini senada dengan Heruman (2007: 43) yang berpendapat bahwa “Pecahan dapat diartikan sebagai bagian dari sesuatu yang utuh”. Bagian yang dimaksud bila diilustrasikan dalam bentuk gambar akan ditandai dengan sebuah arsiran atau pun daerah yang diberi bayang-bayang. Maka bagian yang diarsir atau daerah bayang-bayang tersebut merupakan pembilang, sedangkan satuan yang utuh yang disebut dengan penyebut. Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai pengertian bilangan pecahan di atas, dapat disimpulkan bahwa pecahan adalah bilangan yang menunjukkan suatu bagian dari sesuatu yang utuh yang dilambangkan dengan , dengan a sebagai pembilang dan b sebagai penyebut, dimana b ≠ 0. 2) Macam-Macam Pecahan Karso, dkk (2011: 7.7) membagi macam-macam menjadi dua, yaitu pecahan murni atau sejati dan pecahan campuran. a)
Pecahan murni atau sejati adalah pecahan yang pembilangnya lebih kecil dari penyebut dan pecahan itu tidak dapat disederhanakan lagi.
b) Pecahan campuran, yaitu pecahan yang terdiri dari cempuran bilangan bulat dengan bilangan pecahan murni atau sejati.
20 3) Konsep Pecahan di SD Konsep pecahan sedarhana sebenarnya sudah di ajarkan pada kelas III, akan tetapi operasi hitung pecahan diterima siswa pada saat siswa berada di kelas IV. Bilangan pecahan tersebut meliputi konsep bilangan, urutan dan operasinya, serta penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari dimulai dari masalah yang sederhana hingga masalah yang lebih kompleks. Pembelajaran pemecahan masalah pecahan SD diajarkan pada di kelas IV semester II, Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), dan indikator dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator
6. Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah 6.5 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan. Kognitif Memahami masalah yang terdapat dalam soal cerita pecahan dalam operasi
hitung
penjumlahan
dan
pengurangan. Menyusun
rencana
penyelesaian
masalah pada soal cerita pecahan dalam operasi hitung penjumlahan dan pengurangan. Menghitung operasi pecahan dari masalah soal cerita pecahan. Menyimpulkan
hasil
penyelesaian
masalah soal cerita pecahan. Afektif Menunjukkan sikap perhatian dan aktif dalam pembelajaran.
21 Menunjukkan sikap kerjasama dan tanggung jawab dalam diskusi. Psikomotor Membangun kemampuan pemecahan masalah dalam soal cerita pecahan berpenyebut sama.
4) Soal Cerita Pecahan Dalam pembelajaran matematika terdapat soal pemecahan masalah dan ada juga soal bukan pemecahan masalah. Soal cerita matematika umumnya berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari. Soal tersebut penting sekali diajarkan untuk siswa yang duduk di bangku Sekolah Dasar, karena pada umumnya soal cerita dapat digunakan untuk malatih siswa dalam menyelesaikan masalah. Story problems can be defined as verbal descriptions of problem situations, typically presented in a school context, in which one or more questions are raised, the answer to which can be obtained by the application of mathematical operations to numerical data available in the problem statement (Dindyal: 2009). “Masalah cerita dapat didefinisikan sebagai deskripsi verbal dari situasi masalah, biasanya disajikan dalam konteks sekolah, di mana satu atau lebih pertanyaan diajukan, jawaban yang dapat diperoleh dengan penerapan operasi matematis data numerik yang tersedia dalam laporan masalah” (Dindyal: 2009). Dalam soal cerita masalah disajikan dalam bentuk narasi yang berisikan mengenai apa yang diketahui dalam cerita dan apa yang ditanyakan dalam cerita. Berdasarkan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan tersebut dijadikan pedoman untuk menyelesaikan masalah dengan menerapkan operasi numerik dan matematis. Menurut Harmini dan Winarni (2011: 122), soal cerita adalah soal matematika yang diungkapkan atau dinyatakan dengan kata-kata
22 atau kalimat-kalimat dalam bentuk cerita yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, Raharjo dan Waliyati (2011: 8) berpendapat bahwa soal cerita matematika adalah soal yang terkait dengan kehidupan sehari-hari untuk dicari penyelesaiannya menggunakan kalimat matematika yang memuat bilangan, operasi hitung ( +, -, x, : ) dan relasi ( =, >, <, ≥, ≤ ). Senada dengan pendapat di atas, Raharjo, Ekawati, dan Rudianto (2009: 2) yang mengutip simpulan Abidia mengungkapkan bahwa soal cerita merupakan soal yang disajikan dalam bentuk cerita pendek dan cerita yang diungkapkan merupakan masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Raharjo dan Wahyanti (2011: 9) yang mengutip simpulan Syafri Ahmad mengungkapkan bahwa jenis-jenis soal cerita dalam matematika dilihat dari segi macam operasi hitung yang terkandung dalam soal cerita dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) soal cerita satu langkah (one-step word problems) yaitu soal matematika yang di dalamnya mengandung kalimat matematika dengan satu jenis operasi hitung
(penjumlahan
atau
pengurangan
atau
perkalian
atau
pembagian); (2) soal cerita dua langkah (two-step word problems) yaitu
soal matematika yang di dalamnya mengandung kalimat
matematika dengan dua jenis operasi hitung; (3) soal cerita lebih dari dua langkah (multi-step word problems) yaitu soal matematika yang di dalamnya mengandung kalimat matematika dengan lebih dari dua jenis operasi hitung. Berdasarkan jenis-jenis soal cerita tersebut, masing-masing jenis soal memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Soal cerita lebih dari dua langkah (multi-step word problems) tentunya memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan soal cerita satu langkah (one-step word problems) dan soal cerita dua langkah (two-step word problems).
23 Berdasarkan analisis semantik, soal cerita terbagi menjadi tiga kategori, yaitu perubahan (change), gabungan (combine), dan perbandingan (compare) (USAID, 2014: 43). Soal cerita dengan kategori perubahan (change) memiliki 3 komponen, yaitu himpunan asal, himpinan pengubah, dan himpunan hasil. Soal cerita dengan kategori gabungan (combine) memiliki 3 komponen, yaitu 2 himpunan bagian dan 1 himpunan keseluruhan. Soal cerita
dengan kategori perbandingan
(compare) adalah
membandingkan 2 himpunan sehingga memiliki 3 komponen, yaitu himpunan pembanding dan himpunan perbedaan. Bentuk soal yang digunakan dalam penelitian ini merupakan permasalahan matematika khususnya pecahan yang berkaitan dengan kehidupan nyata yang dituangkan dalam soal-soal berbentuk cerita (verbal). Bobot masalah yang diungkapkan akan mempengaruhi panjang pendeknya cerita tersebut. Semakin besar bobot masalah yang diungkapkan, memungkinkan semakin panjang cerita yang disajikan (Raharjo, Ekawati, dan Rudianto, 2009: 2). Contoh soal cerita dalam materi pecahan adalah sebagai berikut: Toni membantu ayah mengecat kayu yang dengan warna hijau dan kuning. Sepanjang
meter dicat warna hijau dan
warna kuning.
Berapa meter panjang kayu yang dicat oleh Toni? Tahap I
Memahami Masalah Diketahui: Cat hijau sepanjang Cat kuning sepanjang
meter. meter.
Ditanya: Berapa meter panjang kayu yang dicat oleh Toni?
24 Tahap 2 Merencanakan Penyelesaian Cat hijau
=
Cat Kuning
=
Panjang kayu yang dicat = Maka dapat dibuat model Matematika sebagai berikut: + = Tahap 3 Melaksanakan Rencana Penyelesaian Jawab: Berdasarkan rencana dan model mtemtika di atas dapat diselesaikan sebagai berikut: + = +
=
Tahap 4 Memeriksa Kembali Model Matematika: + = Bukti/koreksi: = =
-
Jadi, kayu yang dicat oleh Toni adalah
meter.
25 5) Penilaian Pemecahan Masalah Penilaian merupakan salah satu bagian penting dalam kegiatan pembelajaran. Penilaian pemecahan masalah bersifat tidak pasti. Siswa satu dengan siswa yang lainnya akan memberikan jawaban yang berbeda-beda dengan langkah penyelesaian yang berbeda pula, sesuai dengan kemampuan pemecahan masalah mereka. Penilaian tidak sebatas pengumpulan data siswa, tetapi juga pengolahannya untuk memperoleh gambaran proses dan hasil belajar siswa. Penilaian tidak sekedar memberi soal siswa kemudian selesai, tetapi guru harus menindak lanjuti untuk kepentingan pembelajaran. Untuk mendapatkan penilaian yang adil dan akurat maka harus menggunakan pedoman penilaian. Acuan untuk memperoleh hasil kemampuan pemecahan masalah pecahan siswa mengacu pada langkah-langkah pemecahan masalah Polya yang meliputi 1) memahami masalah; 2) merencanakan penyelesaian; 3) menyelesaikan rencana penyelesaian; 4) memeriksa kembali.
Lembar
penilaian
kemampuan
pemecahan
masalah
digunakan untuk memperoleh data tentang kemampuan pemecahan masalah matematika siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran Treffinger. Lembar penilaian kemampuan pemecahan masalah ini diadaptasi dari Suci dan Rosyidi (2013) dalam jurnal ilmiahnya, lemabar penilain tersebut mengacu pada empat langkah pemecahan masalah Polya. Adapun lembar penilaian kemampuan pemecahan masalah pecahan siswa yang dibuat peneliti adalah sebagai berikut.
26 Tabel 2.2 Penilaian Kemampuan Pemecahan Masalah Soal Cerita Pecahan Aspek yang Reaksi Terhadap Soal (Masalah) Dinilai Tidak menuliskan, tidak menyebutkan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal. Hanya menuliskan atau menyebutkan apa yang diketahui. Memahami Masalah
Hanya menuliskan atau menyebutkan apa yang ditanyakan.
Menuliskan atau menyebutkan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal dengan kurang tepat. Menuliskan atau menyebutkan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal dengan tepat . Tidak menyajikan urutan langkah penyelesaian Menyajikan setengah jalan urutan langkah penyelesaian. Menyajikan urutan langkah penyelesaian, tetapi urutan urutan Merencanakan penyelesaian yang disajikan kurang Penyelesaian tepat Menyajikan urutan langkah penyelesaian yang benar, tetapi mengarah pada jawaban yang salah. Menyajikan urutan langkah penyelesaian yang benar dan mengarah pada jawaban yang benar Tidak ada penyelesaian sama sekali. Ada penyelesaian, tetapi prosedur tidak jelas. Menyelesaikan Menggunakan prosedur tertentu yang benar tetapi jawaban salah. Rencana Menggunakan prosedur tertentu yeng Penyelesaian benar tetapi jawaban kurang tepat. Menggunakan prosedur tertentu yang benar dan hasil benar.
27 Tidak melakukan pengecekan terhadap proses, jawaban dan tidak memberikan kesimpulan. Tidak melakukan pengecekan terhadap proses dan jawaban serta memberikan kesimpulan yang salah. Melakukan pengecekan terhadap proses Memeriksa dan jawaban dengan kurang tepat serta memberikan kesimpulan yang kurang Kembali tepat. Melakukan pengecekan terhadap proses dan jawaban dengan kurang tepat serta memberikan kesimpulan yang benar. Melakukan pengecekan terhadap proses dan jawaban dengan tepat serta membuat kesimpulan dengan benar. Total Diadaptasi dari jurnal ilmiah Suci dan Rosyidi (2013)
Penilaian pemecahan masalah pecahan menggunakan kriteria penilaian di atas. Setiap pertemuan dalam setiap siklus akan diberikan 5 soal. Satu soal akan mendapatkan nilai 20. Nilai akhir yang didapat siswa maksimal 100.
2.
Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger a. Pengertian Model Anitah (2009: 45) model dapat diartikan sebagai suatu kerangka berpikir yang dipakai sebagai panduan untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut Majid (2013: 13) model adalah kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Senada
dengan
pendapat
di
atas
Hosnan
(2014:
337)
mengungkapkan bahwa model adalah prosedur yang sistematis tentang pola belajar untuk mencapai tujuan belajar serta sebagai pedoman bagi pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Selanjutnya Suprijono (2013: 45) yang mengutip simpulan Mills
28 mengungkapkan bahwa model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model adalah tiruan dari benda sesungguhnya yang digunakan sebagai pedoman kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
b. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam ruang lingkup tertentu untuk mentransfer pengetahuan. Agar materi dapat tersampaikan kepada siswa, maka proses pembelajaran harus dirancang dengan baik dengan memilih model pembelajaran yang sesuai. Proses pembelajaran harus harus dirancang secara sistematik dan sistemik (Pribadi, 2009: 11). Sutikno (2014: 12) pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses belajar pada diri peserta didik. Menurut
Hosnan
(2014:
18)
menyatakan
pembelajaran
merupakan suatu proses menciptakan kondisi yang kondusif agar terjadi interaksi komunikasi belajar mengajar antara guru, peserta didik, dan komponen pembelajaran lainnya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Lebih lanjut Sagala (2007: 61) menyatakan bahwa pembelajaran adalah suatu proses komunikasi dua arah, yaitu terdiri dari mengajar yang dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses interaksi antara pendidik, peserta didik, dan komponen pembelajaran lainnya untuk mencapai tujuan pembelajaran.
29 c. Pengertian Model Pembelajaran Pelaksanaan proses pembelajaran harus terarah agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Agar pembelajaran dapat terarah dan menarik perhatian peserta didik, maka dibutuhkan suatu model. Melalui penggunaan model pembelajaran diharapkan peserta didik menjadi
lebih
aktif
dalam
mengikuti
proses
pembelajaran
dan
pembelajaran menjadi lebih bermakna untuk peserta didik. Selain itu, dengan adanya model pembelajaran akan mempermudah peserta didik untuk memahami konsep yang diajarkan oleh guru. Menurut Trianto (2010: 51) model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Selain itu, Suwarto (2014: 136) menjelaskan bahwa model pembelajaran adalah
pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran, termasuk menentukan komponen pembelajaran. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hosnan (2014: 234) yang mengutip simpulan Enggen dan Khauchak bahwa model pembelajaran adalah pedoman berupa program atau petunjuk strategi mengajar yang dirancang untuk mencapai suatu pembelajaran. Model pembelajaran memiliki makna yang lebih luas daripada pendekatan strategi, metode atau prosedur. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Suprijono (2009: 46) yang mengutip simpulan Arends bahwa model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk
di
dalamnya
tujuan
pembelajaran,
tahapan
kegiatan
pembelajaran, lingkungan, dan pengelolaan kelas. Dari beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis yang dijadikan pedoman bagi guru untuk melaksanakan pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
30 d. Model Pembelajaran Kooperatif Model pembelajaran Kooperatif merupakan model pembelajaran yang memiliki beragam tipe atau pendekatan. Model pembelajaran ini mengajak siswa untuk belajar secara berkelompok dalam kegiatan pembelajaran. Menurut
Rusman
(2012:
209)
menyatakan
bahwa
model
pembelajaran Kooperatif adalah suatu model pengajaran dimana siswa belajar
dalam
kemampuan
kelompok-kelompok
yang
berbeda.
Lebih
kecil lanjut
yang
memiliki
Hamdani
tingkat
(2011:
30)
mengemukakan pendapatnya bahwa model pembelajaran Kooperatif merupakan rangkaian kegiatan belajar siswa secara berkelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dirumuskan. Model pembelajaran Kooperatif adalah model pembelajaran yang dapat meningkatkan pencapaian akademik dan sikap sosial melalui kerjasama antar siswa (Wisudawati & Sulistyawati, 2014:53). Dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif, selain meningkatkan kemampuan akademik, siswa dapat meningkatkan rasa toleransi dan menghargai perbedaan, serta dapat membangun keterampilan sosialnya. Hosnan (2014: 234) menyatakan bahwa “Model pembelajaran Kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya
kelompok-kelompok.”
Sedangkan
Sugiyanto
(2009:
37)
menjelaskan bahwa model pembelajaran Kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada kelompok kecil yang bekerjasama untuk mencapai tujuan belajar. Dari pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa saling membentuk kelompok kecil yang heterogen, baik dari tingkat kemampuan yang saling bekerjasama untuk meningkatkan pemahaman mereka demi tercapainya tujuan pembelajaran.
31 e. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger Model pembelajaran Kooperatif tipe Treffinger merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kreativitas. Dengan adanya
kreativitas,
diharapkan
dapat
membantu
meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah siswa. Model Treffinger merupakan suatu model pembelajaran yang berorientasi terhadap proses pembelajaran. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Shoimin (2014: 219) yang mengutip simpulan Sunata bahwa model Treffinger adalah suatu strategi pembelajaran yang dikembangkan dari model belajar kreatif yang bersifat develop mental dan mengutamakan segi proses. Menurut Ngalimun (2012: 179) mengatakan bahwa model Treffinger merupakan suatu strategi pembelajaran yang mengutamakan pembelajaran kreatif dengan basis kematangan dan pengetahuan siap. Lebih lanjut, Lestari & Yudhanegara (2015: 64) mengungkapkan bahwa model pembelajaran Treffinger merupakan model pembelajaran kreatif berbasis kematangan dan pengetahuan yang memberikan saran-saran praktis untuk mencapai keterpaduan dengan melibatkan keterampilan kognitif maupun afektif. Sintaks: keterbukaan-urutan ide-penguatan, penggunaan ide kreatif- knflik internal - skill, proses rasa- pikir kreatif dalam pemecahan masalah secara mandiri melalui pemanasan-minatkuriositi-tanya, kelompok-kerjasama,kebebasan-terbuka, reward. Model Treffinger ini juga dikenal dengan Creative Problem Solving. Keduanya sama-sama berupaya untuk mengajak peserta didik berpikir kreatif dalam memecahkan masalah (Huda, 2014: 317).
32
Gambar 2.1 Tingkat Berpikir pada Model Treffinger (Sumber: Nisa, 2011)
Berdasarkan bagan pada gambar 2.6 di atas, model Treffinger untuk mendorong belajar kreatif menggambarkan susunan tiga tingkat mulai dari unsur-unsur dasar dan menanjak ke fungsi-fungsi berpikir yang lebih majemuk. Siswa terlibat dalam kegiatan membangun keterampilan
33 pada dua tingkat pertama untuk kemudian menangani masalah kehidupan nyata pada tingkat ketiga. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran
Kooperatif
tipe
Treffinger
adalah
strategi
pembelajaran secara berkelompok dengan menekankan kreativitas siswa dengan melibatkan keteranpilan kognitif dan afektif pada setiap tahap pembelajaran.
f. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger Menurut Huda (2014: 320) mengutip simpulan Sarson berpendapat bahwa karakteristik yang paling dominan dari model pembelajaran Treffinger ini adalah langkah yang digunakan dalam mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif peserta didik untuk mencari arah penyelesaian yang harus ditempuh untuk memecahkan masalah. Pendapat tersebut mengandung arti bahwa peserta didik diberikan keleluasaan untuk berkreativitas menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan cara yang ia kehendaki. Tugas guru disini adalah sebagai pembimbing apabilah arah penyelesaian yang ditempuh oleh peserta didik keluar dari permasalahan. Treffinger menyebutkan bahwa “Model pembelajaran ini terdiri atas 3 komponen penting, yaitu understanding challenge, generating ideas, dan preparing for action (Huda, 2014: 318). Komponen understanding challenge atau memahami tantangan ini meliputi: 1) Menentukan tujuan, guru menginformasikan kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik dalam pembelajaran. 2) Menggali data, guru mendemonstrasikan/ menyajikan data atau fenomena alam yang dapat memunculkan rasa ingin tahu pada diri peserta didik. 3) Merumuskan masalah, guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
mengidentifikasi
permasalahannya
sesuai
pemikiran, sudut pandang, dan kreativitasnya masing-masing.
dengan
34 Komponen selanjutnya yaitu generating ideas atau membangkitkan gagasan. Guru memberikan waktu kepada peserta didik untuk berpikir dan mengungkapkan gagasannya. Guru juga membimbing peserta didik untuk menyepakati alternatif pemecahan yang akan diuji. Komponen yang terakhir yaitu preparing of action atau mempersiapkan tindakan, meliputi: 1) Mengembangkan solusi, guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dengan masalahnya, peserta didik melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan kejelasan dan pemecahan masalah. 2) Membangun penerimaan, guru melihat dan menilai solusi yang telah diperoleh oleh peserta didik kemudian memberikan permasalah baru yang lebih kompleks agar peserta didik dapat menerapkan solusi yang telah diperoleh adari hasil pemikirannya sendiri untuk dikembangkan lagi.
g. Manfaat Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger Menurut Huda (2014: 320) manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan model ini antara lain: 1) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami konsepkonsep dengan cara menyelesaikan suatu permasalahan. 2) Membuat siswa aktif dalam pembelajaran. 3) Mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik karena disajikan masalah pada awal pembelajaran dan memberi keleluasaan kepada siswa untuk mencari arah-arah penyelesaiannya sendiri. 4) Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mendefinisikan masalah, mengumpulkan data, menganalisis data, membangun hipotesis, dan percobaan untuk memecahkan suatu permasalahan. 5) Membuat siswa dapat menerapkan pengetahuan yang sudah dimiliki ke dalam situasi baru.
35 h. Tahap-Tahap Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger Model pembelajaran Treffinger menurut Munandar terdiri dari langkah-langkah, yaitu basic tools, practice with process, dan working with real problems. 1) Basic Tools Basic Tools (teknik kreativitas) merupakan tahap awal pada model pembelajaran kooperatif tipe Treffinger. Tahap I merupakan landasan atau dasar belajar kreatif berkembang, atau dapat dikatakan bahwa pada tahap ini merupakan dsar dari belajar kreatif. Tahap ini meliputi keterampilan berpikir divergen dan teknikteknik kreatif. Fungsi-fungsi divergen merupakan perkembangan dari kelancaran (fluency), kelenturan (flexibility), keaslian (originality), dan keterincian (elaboration) dalam berpikir. Pada segi afektif, tahap ini meliputi kesediaan untuk menjawab, keterbukaan terhadap pengalaman, kesediaan menerima kesamaan (ambiguity), kepekaan terhadap masalah dan tantangan, rasa ingin tahu, keberanian mengambil resiko, kesadaran, dan kepercayaan terhadap diri sendiri. Kegiatan pembelajaran pada tahap I, yaitu: (a) guru memberikan masalah terbuka dengan jawaban lebih dari satu penyelesaian, (b) siswa melakukan diskusi untuk menyampaikan gagasan, pemikiran, atau idenya serta memberikan penilaian pada masing-masing kelompok dengan bimbingan guru. 2) Practice with process Practice with process memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan keterampilan yang sudah dipelajari pada tahap sebelumnya dalam situasi praktis. Tahap ini meliputi, penerapan, analisis, sintesis, dan penilaian. Selain itu, termasuk juga transformasi dari beraneka produk dan isi, keterampilan metodologis atau penelitian, pemikiran yang melibatkan analogi dan kiasan. Segi afektif dari tahap ini mencakup keterbukaan terhadap perasaan-perasaan dan konflik yang majemuk, mengarahkan perhatian pada masalah,
36 menggunakan khayalan dan tamsil, meditasi dan kesantaian (relaxation), serta pengembangan keselamatan psikologis dalam berkreasi. Tahap II ini merupakan satu tahap dalam proses gerak ke arah belajar kreatif dan bukan merupakan tujuan akhir. Kegiatan pembelajaran pada tahap Practice with process, yaitu (a) guru memberikan contoh analog
kemudian membimbing dan
mengarahkan siswa untuk berdiskusi, (b) siswa membuat contoh dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan msalah yang diberikan oleh guru. 3) Working with real problems Tahap ini merupakan tahap akhir dalam penerapan model pembelajaran Treffinger, yaitu menerapkan keterampilan yang dipelajari pada dua tahap sebelumnya terhadap tantangan dunia nyata. Siswa menggunakan kemampuannya dengan cara-cara bermakna bagi kehidupannya. Siswa tidak hanya belajar keterampilan berpikir kreatif, namun siswa jua belajar menggunakan informasi dalam kehidupannya (Shoimin, 2014: 219).
i. Aplikasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger pada Pembelajaran Matematika Pembelajaran matematika dengan setting model Treffinger adalah pembelajaran yang menggunakan tiga langkah model Treffinger untuk mengembangkan kreativitas sehingga dapat miningkatkan pemecahan masalah siswa. Siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil agar dapat saling membantu memahami materi pelajaran dan menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Menurut Nisa (2011) dalam jurnalnya berpendapat bahwa pembelajaran dengan mengimplementasikan model Treffinger dapat menumbuhkan kreativitas siswa dalam menyelesaikan masalah, dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Lancar dalam menyelesaikan masalah
37 2) Mempunyai ide jawaban lebih dari satu 3) Berani mempunyai jawaban "baru" 4) Menerapkan ide yang dibuatnya melalui diskusi dan bermain peran 5) Membuat cerita dan menuliskan ide penyelesaian masalah 6) Mengajukan pertanyaan sesuai dengan konteks yang dibahas 7) Menyesuaikan diri terhadap masalah dengan mengidentifikasi masalah 8) Percaya diri, dengan bersedia menjawab pertanyaan 9) Mempunyai rasa ingin tahu dengan bertanya 10) Memberikan masukan dan terbuka terhadap pengalaman dengan bercerita 11) Kesadaran dan tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah 12) Santai dalam menyelesaikan masalah 13) Aman dalam menuangkan pikiran 14) Mengimplementasikan soal cerita dalam kehidupannya, dan mencari sendiri sumber untuk menyelesaikan masalah Tabel 2.3 Kegiatan Pembelajaran Matematika Model Treffinger Langkah
Kegiatan Guru
Kegiatan Siswa
Guru menyampaikan atau menjelaskan tujuan yang akan dicapai setelah pembelajaran. Guru menjelaskan secara garis besar materi yang akan dipelajari hari itu dan membagi siswa dalam beberapa kelompok.
Siswa mendengarkan penjelasan guru.
(1) guru memberikan suatu masalah terbuka dengan jawaban lebih dari satu penyelesaian. (2) guru membimbing siswa melakukan diskusi untuk menyampaikan gagasan atau idenya sekaligus memberikan penilaian pada masing-masing kelompok.
Siswa membaca dan memahami masalah terbuka. siswa melakukan diskusi untuk menyampaikan gagasan atau idenya dan menuliskannya.
Pendahuluan
Siswa mendengarkan penjelasan guru, lalu mengatur tempat duduk sesuai dengan kelompoknya.
Kegiatan Inti
Basic tools
38 (1) guru membimbing dan mengarahkan siswa untuk Practice with berdiskusi dengan memberikan contoh analog. process (2) guru meminta siswa membuat contoh dalam kehidupan seharihari (1) guru memberikan suatu masalah dalam kehidupan seharihari. Working with (2) guru membimbing siswa membuat pertanyaan serta real penyelesaian secara mandiri.
problems
Siswa berdiskusi dan menganalisis contoh analog yang diberikan. Siswa membuat contoh yang diminta guru. Siswa membaca dan memahami masalah.
Siswa membuat pertanyaan serta penyelesaian secara mandiri. (3) guru membimbing siswa siswa menyebutkan menyebutkan langkah-langkah langkah-langkah dalam dalam menyelesaikan suatu menyelesaikan suatu masalah masalah (4) Guru memberikan reward. Siswa yang skornya tinggi menerima reward, siswa yang lain memberikan tepuk tangan.
Penutup Guru membimbing siswa untuk Siswa mencatat membuat kesimpulan materi yang kesimpulan. telah dipelajari
Berdasarkan jurnal ilmiah Nisa (2011), aplikasi model Treffinger dalam pembelajaran matematika khususnya materi pecahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Guru menjelaskan secara garis besar materi pecahan dan membagi siswa dalam beberapa kelompok Guru memberikan suatu masalah terbuka mengenai pecahan dengan jawaban lebih dari satu penyelesaian Basic Tools guru membimbing siswa melakukan diskusi untuk menyampaikan gagasan atau idenya sekaligus memberikan penilaian pada masingmasing kelompok
39 guru membimbing dan mengarahkan siswa untuk berdiskusi dengan memberikan contoh analog mengenai pecahan
Practice with Process
guru meminta siswa membuat contoh penggunaan pecahan dalam kehidupan seharihari guru memberikan suatu masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan pecahan
Working with Real Problems
guru membimbing siswa membuat pertanyaan serta penyelesaian secara mandiri, guru membimbing siswa menyebutkan langkahlangkah dalam menyelesaikan suatu masalah yeng berkaitan dengan pecahan
Gambar 2.2 Aplikasi Model Treffinger pada Pembelajaran Matematika Materi Pecahan
j. Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger Kelebihan model Treffinger menurut Shoimin (2014: 221) adalah sebagai berikut: 1) Mengasumsikan bahwa kreativitas adalah proses dan hasil belajar. 2) Dilaksanakan kepada semua siswa dalam berbagai latar belakang dan tingkat kemampuan. 3) Mengintegrasikan
dimensi
kognitif
dan
afektif
dalam
pengembangannya. 4) Melibatkan secara bertahap kemampuan berpikir konvergen dan divergen dalam proses pemecahan masalah. 5) Memiliki tahapan pengembangan yang sistematik dengan beragam metode dan teknik untuk setiap tahap yang dapat diterapkan secara fleksibel.
40 k. Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger Dalam penggunaan model Treffinger jarang sekali ditemui kendala yang berarti. Kekurangan dari model ini adalah butuh banyak waktu yang harus digunakan. Untuk itu, jika menggunakan model Treffinger ini guru harus pandai dalam mengatur waktu agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik dan tujuan pembelajaran dapat tercapai (Shoimin, 2014: 222). Menambahkan pendapat di atas, Huda (2014: 320) mengungkapkan beberapa tantangan penting yang harus dihadapi oleh guru jika menggunakan model ini, yaitu: 1) Perbedaan level pemahaman dan kecerdasan peserta didik dalam menghadapi masalah. 2) Ketidaksiapan peserta didik untuk menjumpai masalah baru yang ada di lapangan. 3) Model ini tidak terlalu cocok untuk diterapkan pada peserta didik yang masik duduk di bangku taman kanak-kanak atau peserta didik SD kelas rendah. 4) Membutuhkan waktu yang lama untuk melaksanakan semua tahapan model Treffinger ini.
3.
Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian ini tidak terlepas dari penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah: Penelitian Imas Teti Rohaeti (2013) yang berjudul “Penerapan Model Treffinger pada Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMP.” Persamaan dengan penelitian ini terdapat variabel bebas yaitu model pembelajaran Treffinger. Sedangkan perbedaannya terdapat pada variabel terikatnya. Penelitian yang dilakukan oleh Imas Teti Rohaeti (2013) meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, sedangkan penelitian ini tentang kemampuan pemecahan masalah.
41 Hasil penelitian ini secara umum menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa yang memperoleh pembelajaran Treffinger lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Hal ini ditunjukkan dengan hasil uji perbedaan dua rata-ata terhadap data gain ternormalisasi siswa kels eksperimen dan siswa kelas kontrol yang menunjukkan nilai sig.(2 tailed) dengan syarat equal variances assumed = 0,007 < α = 0,05. Selain itu, berdasarkan
adalah 0,014, sehingga nilai
hasil uji one sample t-test terhadap data angket skala sikap siswa kelas eksperimen diperoleh nilai sig = 0,000, maka nilai
= 0,000 < α = 0,05. Hal
ini menunjukkan peningkatan kemampuan berpikir kreatif dan siswa memberikan sikap positif terhadap penerapan model Treffinger. Penelitian Fimatesa Windari, Itriani Dwina, dan Suherman (2014) yang berjudul “ Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VIII SMP N 8 Padang Tahun Pelajaran 2013/2014 dengan Menggunakan Strategi Pembelajaran Inkuiri” Persamaan dengan penelitian ini terdapat variabel terikat yaitu peningkatan kemampuan pemecahan masalah. Sedangkan perbedaannya terdapat pada variabel bebasnya. Penelitian yang dilakukan oleh Fimatesa Windari, Itriani Dwina, dan Suherman (2014) menggunakan strategi pembelajaran inkuiri, sedangkan penelitian ini menggunakan model pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger. Selain itu, penelitian Fimatesa Windari, itriani Dwina, dan Suherman (2014) adalah penelitian kuantitatif, sedangkan penelitian ini adalah PTK. Hasil
penelitian
ini
menunjukkan
peningkatan
kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa dengan penerapan strategi Inkuiri lebih baik dari pada kemampuan pemecahan masalah matematika matematika dengan pembelajaran konvensional. Peningkatan tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian yaitu Berdasarkan uji normalitas untuk kelas eksperimen adalah 0,056 dan 0,513 untuk kelas kontrol. Karena nilai P-value yang diperoleh untuk kedua kelas sampel lebih besar dari taraf nyata yang
42 digunakan yaitu α = 0,05 berarti
di terima maka dapat disimpulkan bahwa
hasil belajar matematika siswa berdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji homogenitas diperoleh PValue= 0,113. Karena P-Value yang diperoleh dari kelas sampel lebih dari α = 0,05,
diterima. Berarti, data sampel mempunyai
variansi homogen. Berdasarkan hasil uji normalitas dan uji homogenitas diketahui bahwa kelas sampel berdistribusi normal dan mempunyai variansi yang homogen. Untuk menguji hipotesis digunakan uji t. Berdasarkan hasil perhitungan terlihat bahwa pada taraf kepercayaan 95% (α =0,05) diperoleh Pvalue = 0,019 lebih kecil dari α, maka tolak
.
Penelitian Selvia Ermy Wijayanti (2014) yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Treffinger Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa”. Persamaan dari penelitian Selvia Ermy Wijayanti (2014) dan penelitian ini terdapat variabel terikat dan variabel bebasnya yaitu peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan penggunaan model Treffinger. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan oleh Selvia Ermy Wijayanti (2014) merupakan penelitian kuantitatif dan dilaksanakan pada jenjang SMP (MTS), sedangkan penelitian ini merupakan PTK dan dilaksanakan pada tingkat Sekolah Dasar (SD). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang diajar dengan model Treffinger lebih tinggi dari kelas yang diajar dengan model konvensional. Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis dengan uji-t pada taraf signifikasi 5% diperoleh = 3,73 >
= 1,99, berarti
berada di daerah penolakan
.
Hal ini berarti bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Treffinger lebih tinggi dari pada rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematik siswa
yang
diajarkan
dengan
menggunakan
model
pembelajaran
konvensional. Nilai rata-rata kemampuan pemecahan masalah matemtik siswa yang diajar menggunakan model Treffingger lebih tinggi 14,06 angka dari
43 nilai
rata-rata
kemampuan
pemecahan
masalah
siswa
yang
diajar
menggunakan model konvensional.
B. Kerangka berpikir Kondisi awal yang dihadapi kelas IV SD Bumi I No. 67 Surakarta tahun ajaran 2015/2016 adalah dalam melaksanakan pembelajaran matematika masih menggunakan model pembelajaran yang cenderung konvensional dan kurang inovatif, sehingga siswa merasa bosan saat pembelajaran dan mengakibatkan kemampuan pemecahan masalah soal cerita pecahan pada siswa kelas IV SD Negeri Bumi I No. 67 Surakarta tahun ajaran 2015/2016 tergolong rendah, terbukti dengan 67,74% atau 21 siswa mempunyai nilai di bawah KKM. Berdasarkan kondisi awal tersebut, akan dilakukan tindakan dalam pembelajaran matematika kelas IV pada materi pecahan di SD Negeri Bumi I Surakarta tahun ajaran 2015/2016 dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Treffinger. Model pemelajaran Treffinger berorientasi pada kreativitas siswa. Siswa dibimbing untuk memiliki ide-ide kreatif untuk memecahkan masalah dengan melihat kemungkinan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dengan melibatkan keterampilan kognitif dan afektif pada setiap tingkat dari model ini, Treffinger menunjukkan saling berhubungan dan ketergantungan antara keduanya dalam mendorong belajar kreatif. Penelitian ini menggunakan dua siklus, setiap siklus dua kali pertemuan terdiri atas perencanan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Peneliti menetapkan indikator kinerja yaitu ketuntasan klasikal mencapai 80% dengan Kriteri Ketuntasan Minimal (KKM) 65. Pada kondisi akhir dalam penelitian ini dapat diperoleh bahwa dengan model pembelajaran kooperatif tipe Treffinger kelas IV SD Negeri Bumi I No. 67 Surakarta tahun ajaran 2015/2016 kemampuan pemecahan masalah siswa dalam materi pecahan meningkat, maka dapat dilihat pada gambar 2.8:
44
Kondisi awal
Tindakan
Kondisi Akhir
Pembelajaran cenderung konvensional
Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger dalam pelaksanaan pembelajaran materi pecahan
Kemampuan pemecahan masalah soal cerita pecahan siswa kelas IV SD Negeri Bumi I Surakarta rendah
Siklus I Pemecahan masalah soal cerita pecahan (penjumlahan dan pengurangan pecahan)
Siklus II Pemecahan masalah soal cerita pecahan (operasi hitung campur pecahan)
Kemampuan pemecahan masalah soal cerita pecahan siswa kelas IV SD Negeri Bumi I No. 67 Surakarta tahun ajaran 2015/2016 meningkat. Gambar 2.3 Bagan Kerangka Berpikir
C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah: Model pembelajaran Kooperatif tipe Treffinger dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah soal cerita pecahan pada siswa kelas IV SD Negeri Bumi I No. 67 Surakarta tahun ajaran 2015/2016.