BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Keterampilan Bercerita Dongeng pada Siswa Kelas III SD a. Karakteristik Siswa Kelas III SD Pemahaman dan pengenalan terhadap karakteristik anak menjadi salah satu bagian penting dalam pembelajaran, karena banyak persoalan yang akan dihadapi dalam proses pembelajaran. Banyak teori dari ahli yang menjelaskan proses dan tahapan pertumbuhan serta perkembangan peserta didik mulai dari masa anak-anak sampai tumbuh dewasa. Piaget (Desmita, 2012: 46) berpendapat bahwa perkembangan kognitif peserta didik berlangsung dalam 4 tahap yaitu: (1) tahap sensorimotor (0-2 tahun) adalah tahap anak belum mengenal bahasa. Interaksi
dengan
lingkungan
bersifat
sensorimotor
dan
anak
menggunakan sistem penginderaan untuk mengenal lingkungannya, (2) tahap pra operasional (2-7 tahun)
yaitu tahap
anak mulai
mempresentasikan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar, (3) tahap operasional konkret (7-11 tahun) yaitu tahap anak dapat berpikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa yang konkret dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda, (4) tahap operasional formal (11-15 tahun) yaitu tahap anak remaja berpikir dengan cara yang lebih abstrak dan logis. Pembagian fase dan tugas perkembangan juga dikemukakan oleh Buhler (Sobur, 2011: 131) yaitu: (1) fase pertama (0-1 tahun) yaitu fase anak menghayati berbagai objek di luar diri sendiri serta melatih fungsifungsi, khususnya fungsi motorik, (2) fase kedua (2-4 tahun) yaitu tahap anak tidak mengenal dunia luar berdasarkan pengamatan yang objektif, melainkan memindahkan keadaan batinnya pada benda-benda di luar dirinya, (3) fase ketiga (5-8 tahun) yaitu tahap anak mulai memasuki masyarakat luas misalnya taman kanak-kanak, kawan sepermainan, dan
8
9 sekolah dasar, (4) fase keempat (9-11 tahun) yaitu tahap anak mencapai objektivitas tertinggi. Anak memasuki masa menyelidik, mencoba, dan bereksperimen, (5) fase kelima (14-19 tahun) yaitu tahap anak mulai belajar melepas diri dari persoalan tentang diri sendiri dan lebih mengarahkan minatnya pada lapangan hidup konkret dan anak memasuki masa kedewasaan. Jean Piaget (Zuchdi dan Budiasih, 2001: 2) menambahkan fasefase perkembangan kebahasaan anak menjadi beberapa fase yaitu: (1) fase fonologis, (2) fase sintaktik, dan (3) fase semantik. Penjelasan lebih lanjut ada pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perkembangan Intelektual Siswa Menurut Jean Piaget Perkiraan Umur
Fase-fase Perkembangan Kebahasaan
Fase Fonologis Anak bermain dengan bunyi-bunyi bahasa, mulai mengoceh sampai menyebutkan katakata sederhana. Fase Sintaktik 2-7 tahun Anak menunjukkan kesadaran gramatis, berbicara menggunakan kalimat. Fase Semantik 7-11 tahun Anak dapat membedakan kata sebagai simbol dan konsep yang terkandung dalam kata. (Sumber: Zuchdi dan Budiasih, 2001: 2) Lahir-2 tahun
Berdasarkan teori perkembangan dari beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik siswa kelas III SD umumnya berada pada usia 8-9 tahun. Anak dapat berpikir secara sistematis untuk menyelesaikan suatu permasalahan dan sudah bisa mengelompokkan benda-benda berdasarkan bentuknya. Dalam perkembangan bahasa, anak sudah mampu membedakan kata sebagai simbol dan konsep yang terkandung dalam kata. Berdasarkan karakteristik siswa kelas III SD yang telah dipaparkan di atas, diduga tepat jika dalam pembelajaran bercerita
10 diterapkan pendekatan SAVI dengan media boneka tangan, karena pendekatan dan media ini mengajak siswa untuk menggunakan kelima alat indranya, siswa akan berimajinasi melalui media boneka tangan sehingga siswa aktif, pembelajaran akan berlangsung dengan efektif dan menyenangkan, dan keterampilan bercerita dongeng siswa meningkat. b. Hakikat Bahasa Indonesia di SD 1) Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam berkomunikasi dengan orang lain. Sekolah dasar merupakan momentum awal bagi anak untuk meningkatkan kemampuan berbahasa. Salah satu kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh anak dari sekolah dasar yaitu keterampilan berbahasa, karena bahasa merupakan modal terpenting bagi manusia sebagai makhluk sosial. Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (Susanto, 2015: 245), standar isi Bahasa Indonesia yaitu, pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan. Pembelajaran
Bahasa
Indonesia
di
SD
merupakan
pembelajaran yang paling utama, khususnya di kelas rendah. Pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas rendah merupakan pembelajaran untuk pemula. Tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas rendah yaitu penguasaan keterampilan membaca dan menulis permulaan, menyimak, dan berbicara pada tingkat sederhana. Pada kelas rendah, proses pembelajarannya dilaksanakan secara tematik. Pembelajaran tematik merupakan suatu sistem pembelajaran dengan mengaitkan beberapa mata pelajaran dalam satu tema.
11 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di SD dirancang untuk meningkatkan kemampuan peserta didik berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tertulis, menumbuhkan sikap yang positif terhadap Bahasa Indonesia pada lingkup sekolah dasar. Pembelajaran Bahasa Indonesia yang akan diteliti pada penelitian ini yaitu aspek berkomunikasi secara lisan. 2) Tujuan Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD Berkaitan dengan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia, Susanto (2015: 245) mengatakan bahwa tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia di SD yaitu bertujuan agar siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Adapun tujuan khusus pengajaran Bahasa Indonesia, antara lain agar siswa memiliki kegemaran membaca,
meningkatkan
karya
sastra
untuk
meningkatkan
kepribadian, mempertajam kepekaan, perasaan, dan memperluas wawasan kehidupannya. Dalam Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 119) tujuan pembelajaran bahasa Indoesia antara lain: (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, (2) memahami Bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, (3) menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial, (4) menikmati dan memanfaatkan karya satra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia di SD antara lain.
12 a) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku baik secara lisan maupun tulis. b) Memiliki kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. c) Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. d) Mempertajam kepekaan, perasaan, dan memperluas wawasan kehidupan. e) Menghargai dan membanggakan Bahasa Indonesia. Berdasarkan
kesimpulan
tujuan
pembelajaran
Bahasa
Indonesia SD yang disebutkan di atas, peneliti menekankan salah satu tujuan dari penelitian ini yaitu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku baik secara lisan maupun tulis. 3) Ruang Lingkup Bahasa Indonesia Kelas III SD Dalam Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 121) ruang lingkup Bahasa Indonesia mencakup empat aspek, yaitu: (1) mendengarkan, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis. Keempat aspek tersebut saling berhubungan erat satu sama lain. Aspek mendengarkan antara lain seperti mendengarkan berita, petunjuk, pengumuman, perintah, bunyi atau suara, bunyi bahasa, lagu, kaset, pesan, penjelasan, laporan, ceramah, khotbah, pidato, dialog atau percakapan. Mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan mendengarkan hasil sastra berupa dongeng, cerita anak-anak, cerita rakyat, cerita binatang, puisi anak, syair, pantun dan menonoton drama. Aspek berbicara antara lain seperti mengungkapkan gagasan dan perasaan; menyampaikan sambutan, dialog, pesan, pengalaman, suatu proses, menceritakan diri sendiri, teman, keluarga, masyarakat, benda, tanaman, binatang, pengalaman, gambar seri, peristiwa, kegemaran, petunjuk dan laporan. Mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan melisankan hasil sastra berupa dongeng,
13 cerita anak, cerita rakyat, cerita binatang, puisi anak, syair lagu, pantun dan drama. Aspek membaca antara lain seperti membaca huruf, suku kata,
kalimat,
paragraf,
berbagai
teks
bacaan,
petunjuk,
pengumuman, kamus, ensiklopedia, mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan membaca hasil sastra berupa dongeng, cerita anak, cerita rakyat, cerita binatang, puisi, syair lagu, pantun dan drama
anak.
Kompetensi
membaca
juga
diarahkan
untuk
menumbuhkan budaya membaca pada anak. Aspek menulis antara lain seperti menulis karangan naratif dan nonnaratif dengan memperhatikan tujuan dan ragam pembaca, pemakaian ejaan dan tanda baca, menggunnakan kalimat tunggal dan kalimat majemuk, mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan menulis hasil sastra berupa cerita dan puisi. Kompetensi menulis juga diarahkan untuk menumbuhkan kebiasaan menulis. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa ruang lingkup Bahasa Indonesia kelas III SD tidak akan terlepas dari empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak/mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Ruang lingkup Bahasa Indonesia SD yang digunakan pada penelitian ini adalah aspek berbicara yaitu dikhususkan pada kegiatan mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan melisankan hasil sastra berupa dongeng, cerita anak, cerita rakyat, cerita binatang, puisi anak, syair lagu, pantun dan drama. 4) Materi Bercerita Dongeng Kelas III SD Materi bercerita dongeng kelas III SD tidak terlepas dari Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang tercantum dalam KTSP. Silabus pembelajaran pada penelitian ini lebih rinci lagi terdapat pada lampiran 3 halaman 167. Berikut ini merupakan penggalan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta indokator yang akan digunakan dalam penelitian.
14
Tabel 2.2. Standar Kompetensi, Kompetensi Berbicara Kelas III Semester II Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Berbicara 6. Mengungkap 6.1 Mencerita 6.1.1 kan pikiran, kan perasaan dan perisitwa pengalaman yang secara lisan pernah 6.1.2 dengan dialami, bertelepon dilihat, dan cerita atau didengar 6.1.3
Dasar, serta Indikator Indikator Menyebutkan nama dan sifat tokoh dari dongeng yang dibaca Menceritakan kembali isi dongeng dengan kata-kata sendiri Menyebutkan amanat dari cerita dongeng yang diceritakan
a) Sifat Tokoh Cerita Dongeng Dongeng merupakan salah satu cerita rakyat. Istilah dongeng dapat diartikan sebagai cerita yang tidak benar-benar terjadi dan dalam banyak hal sering tidak masuk akal (Musfiroh, 2008: 73). Jika dilihat dari segi penokohan, tokoh dalam cerita dongeng umumnya dibagi menjadi dua, yaitu tokoh berkarakter baik dan buruk, sehingga cerita dongeng mempunyai misi untuk memberikan pelajaran moral kepada anak. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa sifat tokoh dalam cerita dongeng umumnya dibagi menjadi dua yaitu tokoh berkarakter baik dan buruk. Dalam penelitian ini, siswa dapat menyebutkan nama dan sifat tokoh dari cerita yang sudah dibaca melalui kegiatan tanya jawab yang dibimbing oleh guru. b) Menceritakan Kembali Isi Dongeng Aarne & Thompson (Musfiroh, 2008: 74) mengklasifikasikan dongeng menjadi subbentuk yang lebih terinci meliputi dongeng binatang, dongeng biasa, anekdot, dan dongeng berumus. Dongeng binatang merupakan dongeng yang ditokohi
15 oleh binatang peliharaan atau binatang liar. Binatang tersebut dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia. Sifat yang dimiliki binatang tersebut biasanya cerdik, licik, dan jenaka. Sedangkan dongeng biasa merupakan dongeng yang ditokohi oleh manusia menceritakan kisah suka duka seseorang. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dongeng dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu dongeng binatang, dongeng biasa, anekdot, dan dongeng berumus. Dongeng yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dongeng binatang (fabel). Kegiatan menceritakan kembali cerita dongeng dilaksanakan melalui tes unjuk kerja. Siswa maju ke depan untuk menceritakan kembali cerita dongeng menggunakan media boneka tangan. Berikut ini salah satu contoh cerita dongeng yang akan digunakan dalam penelitian ini.
Anak Tikus Hendak Jadi Raja Di sebuah lubang besar, tinggalah keluarga besar tikus. Tikus-tikus mencicit tiada hentinya. Mereka saling bertengkar dan berkelahi, yang menjadi biang keladi biasanya si Curut. Curut adalah seekor tikus kecil yang sombong. Badannya kurus, bulunya hitam, dan ekornya panjang. Sikapnya seperti jagoan.Kalau berkelahi, Curut selalu memakai senjata. Pada suatu hari Curut berpikir,“Andaikan aku jadi tikus raksasa, tidak akan ada yang berani kepadaku. Semua tikus akan bertekuk lutut di hadapanku karena aku akan menjadi raja mereka, Ha, ha, ha! Mulai sekarang, aku akan makan sebanyakbanyaknya supaya tumbuh semakin besar.” Sejak saat itu, Curut selalu makan dengan porsi yang sangat banyak. Ibunya merasa herah melihat perubahan yang terjadi pada Curut. Pada saat makan, Curut minta tambah berkalikali. Baru saja menghabiskan masakan ibunya, ia sudah minta jajanan. Semua makanan dilahapnya dengan rakus. Ibunya berkata “ Jangan makan terlalu banyak, Curut, nanti kau bisa sakit perut.” Tapi curut tak sedikitpun menghiraukan perkataan ibunya. Curut makan semakin banyak dan terus menerus sampai perutnya benar-benar tidak mampu menampung makanan yang ia makan. Ia merasa seakan-akan perutnya akan meledak.
16 Sore harinya Curut sakit. Ia terbaring di tempat tidur dan merintih. Iamerasa kesakitan. “Aku tidak mau menjadi raja!” teriaknya berkali-kali. “Engkau hanya keturunan tikus BIASA, Curut,” kata ibunya. “Kalau makan jangan terlalu banyak dan berlebihan karena akan menyebabkanmu sakit seperti ini. Curut menangis tersedu-sedu. “ Sudahlah jangan menangis, ibu sudah memanggil dokter. Kau akan lekas sembuh.” Ibu Curut menenangkan. Dokter pun datang dan menyuntik si Curut. Ia menyarankan agar curut tidak lagi mengkonsumsi makanan secara berlebih. Setelah dokter pulang, Curut pun segera tidur dan beristirahat. Dalam tidurnya, Curut bermimpi. Ia bermimpi bahwa Ibu menasehatinya untuk bersikap baik dan meminta maaf kepada teman-teman atas kenakalannya selama ini. Keesokan harinya, Ibu tikus memberi Curut sebuah bola. ” Bermainlah sepak bola dengan teman-temanmu kalau kau sudah sembuh dan minta maaf lah kepada mereka. Tidak semua tikus harus menjadi raja. Engkau harus merasa bersyukur sengan apa yang kau miliki dan tidak boleh sombong.,” kata Ibu Tikus. Pada akhirnya, Curut pun telah sembuh lalu bermain bola bersama teman-temannya. Setiap hari mereka selalu berlarih sepak bola hingga pada akhirnya mereka membentuk kesebelasan sepak bola. Tidak ada lagi Curut yang sombong dan suka berkelahi. Curut dan teman-temannya telah bersatu dengan penuh suka cita (Sagami, 2012: 176). c) Amanat dalam Cerita Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca dalam cerita dongeng. Pesan tersebut biasanya berupa nasehat atau perbuatan baik yang seharusnya dilakukan. Dalam penelitian ini, penyampaian amanat dilakukan setelah siswa selesai bercerita dongeng menggunakan media boneka tangan. Siswa dan guru melakukan kegiatan tanya jawab tentang amanat atau pesan yang ada dalam cerita dongeng. c. Hakikat Keterampilan Bercerita 1) Pengertian Keterampilan Keterampilan berasal dari kata dasar terampil, menurut Pusat Bahasa
(2014:
1447)
terampil
berarti:
(1)
cakap
dalam
menyelesaikan tugas; (2) mampu dan cekatan. Keterampilan berarti
17 kecekatan, kecakapan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik dan cermat. Menurut Moelliono (Sukmaniar, 2013) “Keterampilan adalah kecakapan untuk menyelesaikan tugas.” Sejalan dengan itu, Alwi (Sukmaniar, 2013) menambahkan bahwa keterampilan yaitu cakap dalam menyelesaikan tugas, mampu dan cekatan. Setiap orang pasti mempunyai keterampilan. Keterampilan yang dimiliki setiap orang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Keterampilan yang dimiliki seseorang akan terus berkembang apabila orang tersebut sering melatih keterampilan yang dimilikinya. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktik dan sering melakukan latihan. Oleh sebab itu, semakin sering keterampilan seseorang tersebut dilatih, maka orang tersebut akan semakin terampil. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian keterampilan adalah kemampuan atau kecakapan yang dimiliki seseorang untuk melakukan sesuatu yang diperoleh melalui latihan secara terus menerus. 2) Pengertian Bercerita Berbicara merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Linguis (Tarigan, 2008: 3) mengatakan bahwa “speaking is language”. Berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh keterampilan menyimak. Berbicara dan menyimak merupakan kegiatan komunikasi dua arah serta merupakan komunikasi tatap muka atau face to face. Slamet
(2008:
12)
mengungkapkan
bahwa
berbicara
merupakan kegiatan berbahasa lisan yang besifat produktif. Dalam peristiwa berbicara, pembicara merupakan faktor yang utama dalam menciptakan
kegiatan
kekomunikatifan
berbicara
pembicara
yang
ditentukan
komunikatif. oleh
Tingkat
pembicara
dan
18 penyimak. Pembicara berharap agar penyimak dapat memahami dan mengerti isi pesan yang telah disampaikannya. Apabila isi pesan dapat diterima dengan baik, maka akan terjadi komunikasi yang efektif antara pembicara dengan penyimak. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Tarigan (2008: 16) bahwa, “Berbicara adalah suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak”. Kegiatan berbicara dapat efektif apabila pembicara menguasai bahasa yang sama-sama dikuasai oleh penyimak. Dalam pembelajaran berbicara, ada beberapa metode yang bisa digunakan agar pembelajaran tidak monoton. Menurut Slamet (2008: 31), metode itu antara lain: (1) metode ulang-ucap, (2) metode lihat-ucap, (3) metode memerikan, (4) metode menjawab pertanyaan, (5) metode bertanya, (6) metode pertanyaan menggali, (7) metode melanjutkan, (8) metode menceritakan kembali, (9) metode percakapan, (10) metode parafrasa, (11) metode reka ceritagambar, (12) metode bercerita, (13) metode memberi petunjuk, (14) metode melaporkan, (15) metode wawancara, (16) metode bermain peran, (17) metode diskusi, (18) metode bertelepon, dan (19) metode dramatisasi. Bercerita berasal dari kata cerita, menurut Pusat Bahasa (2014: 263) cerita memiliki arti sebagai; (1) sebuah tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal, peristiwa, atau kejadian; (2) karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang kejadian dan sebagainya (baik yang sungguh terjadi maupun khayalan belaka); (3) lakon yang diwujudkan atau dipertunjukkan dalam gambar hidup (sandiwara, wayang, dan sebagainya). Jadi, bercerita berarti menuturkan cerita. Selanjutnya, Majid (Gustiningsih, 2012: 9) menyatakan bahwa “Bercerita merupakan seni yang alami sebelum menjadi sebuah keahlian”. Hal tersebut sama dengan pendapat Subyantoro
19 (Aliyah, 2013: 17) bahwa bercerita merupakan suatu seni yang alami sebelum menjadi sebuah keahllian/kemampuan, karena kemampuan bercerita yang terjadi secara alami akan lebih kuat jika dibandingkan dengan kemampuan bercerita yang diperoleh melalui sekolah/kursus bercerita. Sejalan dengan hal tersebut, Slamet (2008: 36) berpendapat bahwa bercerita menuntun siswa ke arah perkembangan yang baik. Lancar bercerita berarti lancar juga dalam berbicara. Dalam bercerita siswa dilatih berbicara jelas, intonasi tepat, urutan cerita sistematis, menguasai audien, serta berpenampilan menarik. Bahan cerita yang bisa digunakan untuk bercerita yaitu dapat berupa pengalaman, kenangan, peristiwa yang dilihat, dan sebagainya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian bercerita merupakan suatu proses penyampaian sebuah
cerita
secara
lisan
dari
si
pencerita
kepada
pendengar/penyimak yang bertujuan untuk menyampaikan cerita berdasarkan apa yang dialami, dirasakan, dilihat, serta ungkapan kemauan/keinginan. 3) Manfaat Bercerita Bercerita merupakan salah satu sumber pendidikan yang sangat dekat dengan anak-anak. Bercerita memberi manfaat khususnya bagi anak-anak. Adapun manfaat bercerita menurut Haque (2008: 33) adalah: (1) anak akan merasakan empati dari apa yang dialami tokoh cerita idolanya, sehingga hubungan anak dengan orangtua bisa terjalin lebih erat, (2) menumbuhkan daya imajinasi anak, (3) dongeng berisi tentang nilai-nilai kehidupan, (4) bertambahnya rasa ingin tahu anak, (5) menambah perbendaharaan kosa kata anak, (6) memperluas jelajah cakrawala pemikiran anak, (7) memahami hal mana yang perlu ditiru dan mana hal yang tidak boleh ditiru.
20 Di sisi lain, Musfiroh (Dewi, 2012: 34) berpendapat bahwa manfaat bercerita bagi anak yaitu: (1) membantu pembentukan pribadi dan moral, (2) menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi; (3) memacu kemampuan verbal, (4) merangsang minat menulis, (5) merangsang minat baca, dan (6) membuka cakrawala pengetahuan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa manfaat cerita bagi anak antara lain: (a) menumbuhkan daya imajinasi dan fantasi, (b) menambah perbendaharaan kosa kata, (c) membantu pembentukan pribadi dan moral, (d) memilih hal yang boleh ditiru dan yang tidak boleh ditiru, (e) membantu menambah keterampilan berbahasa siswa secara terorganisasi. 4) Evaluasi Pembelajaran Bercerita Berbicara merupakan aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan bahasa setelah mendengarkan atau menyimak. Nurgiyantoro (2014: 399) berpendapat bahwa, “Untuk dapat berbicara dalam suatu bahasa secara baik, pembicara harus menguasai lafal, sruktur, dan kosakata yang bersangkutan.” Berbicara
merupakan
keterampilan
berbahasa
yang
sulit
penilaiannya. Oleh karena itu, kemampuan berbicara seharusnya mendapatkan perhatian yang cukup dalam pembelajaran bahasa dan tes kemampuan berbahasa. Untuk dapat berbicara dengan baik, seseorang harus menguasai secara aktif struktur dan kosakata bahasa yang bersangkutan yang akan digunakan sebagai wadah untuk menampung pikiran yang akan dikemukakan, masalah ketepatan dan kelancaran bahasa serta kejelasan pikiran. Nurgiyantoro (2014: 400) berpendapat bahwa kejelasan pembicara tidak hanya ditentukan oleh ketepatan bahasa (verbal), melainkan dibantu oleh unsur-unsur paralinguistik seperti gerakan tertentu, ekspresi wajah dan nada suara. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Akhadiah (Gustiningsih, 2012: 12) bahwa beberapa aspek kebahasaan yang mempengaruhi keterampilan
21 berbicara penggunaan bahasa dan cara bercerita, sedangkan aspek non kebahasaan adalah gerak-gerik dan mimik muka. Ada banyak bentuk tugas yang dapat diberikan kepada peserta didik untuk mengukur kompetensi berbicara, yaitu berbicara berdasarkan gambar, berbicara berdasarkan rangsangan suara, berbicara berdasarkan rangsangan visual dan suara, bercerita, wawancara, berdiskusi dan berdebat, serta berpidato (Nurgiyantoro, 2014: 401-420). Tugas bercerita dalam jenis asesmen otentik berupa tugas menceritakan kembali teks atau cerita. Jadi, rangsang yang dijadikan bahan untuk bercerita bisa dari buku yang sudah dibaca, cerita fiksi, maupun pengalaman. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
dalam
penilaian
keterampilan
bercerita
dongeng
menggunakan tes kinerja atau unjuk kerja yang dilengkapi dengan rubrik keterampilan bercerita dongeng. Secara rinci penilaian bercerita yang akan digunakan dalam penelitian ini mencakup beberapa aspek yaitu penggunaan bahasa, cara bercerita, kelancaran bercerita, kejelasan pengucapan, dan pemahaman. Berdasarkan pembahasan tentang karakteristik siswa kelas III SD, hakikat pembelajaran Bahasa Indonesia SD, serta hakikat bercerita, maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan bercerita dongeng siswa kelas III SD merupakan suatu kemampuan atau kecakapan yang dimiliki siswa untuk menyampaikan
sebuah
cerita
dongeng
secara
lisan
kepada
pendengar/penyimak berdasarkan cerita yang didengar atau dibaca dengan memperhatikan penggunaan bahasa, cara bercerita, kelancaran bercerita, kejelasan pengucapan, dan pemahaman.
22 2. Penerapan Pendekatan SAVI dengan Media Boneka Tangan a. Pendekatan SAVI 1) Pengertian Pendekatan SAVI Guru mempunyai peran yang sangat penting dalam kegiatan pembelajaran. Guru dituntut untuk bisa mengkondisikan peserta didik dalam pembelajaran agar terlibat aktif dalam pembelajaran. Menurut Anitah (2009: 45) “Pendekatan adalah suatu cara pandang terhadap sesuatu.” Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran. Sedangkan menurut Dick dan Carrey (Wisudawati dan Sulistyowati, 2014: 47) pendekatan pembelajaran adalah muatanmuatan etis-pedagogis yang menyertai kegiatan proses pembelajaran yang religius atau spiritual, rasioal atau intelektual, emosional, fungsional, keteladanan, pembiasaan, dan pengalaman. Roy Kellen (Rusman, 2012: 380) mencatat bahwa terdapat dua pendekatan pembelajaran,yaitu pendekatan yang berpusat pada guru dan pendekatan yang berpusat pada siswa. SAVI merupakan salah satu wujud pendekatan yang berpusat pada siswa. Meier (2002: 90) mengungkapkan bahwa pendekatan SAVI merupakan pendekatan belajar yang bergerak secara aktif dengan memanfaatkan indra sebanyak mungkin. Pendekatan SAVI menekankan bahwa dalam proses pembelajaran tersebut melibatkan seluruh indra yang dimiliki peserta didik. Shoimin (2014; 177) menambahkan bahwa istilah SAVI merupakan kependekan dari: Somatis (S) yang menuntut siswa untuk belajar dengan mengalami dan melakukan. Auditori (A), menekankan proses belajar melalui mendengarkan, berbicara, presentasi, argumentasi. Visualization (V), bermakna
belajar
dengan
menggunakan
indra
mata
melalui
pengamatan, serta penggunaan media dan alat peraga. Intelectual (I), bermakna bahwa belajar menekankan pada kemampuan berpikir.
23 Tubuh dan pikiran merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam belajar (Meier, 2002: 93). Belajar akan menjadi terhambat apabila tubuh dan pikiran terpisah dan sebaliknya belajar akan meningkat apabila tubuh dan pikiran menyatu. Berdasarkan beberapa pendapat di atas di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian pendekatan SAVI merupakan suatu pendekatan yang mengaktifkan seluruh indra yang dimiliki siswa. Peserta didik tidak hanya duduk dan mendengarkan, namun mereka menggerakkan
seluruh
anggota
tubuh
mereka
dan
mencoba/melakukan demonstrasi. Pendekatan SAVI dianggap sebagai cara terbaik agar siswa belajar secara aktif dan terlibat langsung dalam proses pembelajaran. 2) Unsur-unsur Pendekatan SAVI Pendekatan
SAVI
merupakan
suatu
pendekatan
yang
melibatkan kelima indra yang di dalamnya terdapat unsur somatic, auditory, visualization, dan intelectually. a) Somatic, bermakna gerakan tubuh, yakni belajar dengan mengalami dan melakukan (Shoimin, 2014: 177). Meier (2002: 91) menambahkan bahwa belajar somatis berarti belajar dengan indra peraba kinestetis, praktis melibatkan fisik dan menggunakan serta menggerakkan tubuh ketika belajar. Siswa tidak hanya belajar dengan menulis dan membaca, tetapi juga disertai dengan aktivitas fisik, seperti bermain dan mempraktekkan. b) Auditory, bermakna bahwa belajar melalui berbicara dan mendengar (Shoimin, 2014: 177). Menurut DePorter (2005: 85) belajar dengan auditory berarti mengakses jenis bunyi dan kata yang diciptakan maupun diingat, misalnya melalui dialog yang tercipta antara siswa dengan siswa atau siswa denga guru. Siswa diajak untuk berbicara ketika mereka memecahkan masalah, mengumpulkan informasi, dan berargumentasi.
24 c) Visualization, menurut Shoimin (2014: 177) bermakna bahwa belajar menggunakan alat indra mata melalui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan menggunakan media dan alat peraga. Lebih lanjut lagi, Meier (2002: 98) mengungkapkan bahwa pembelajaran visual akan berlangsung dengan baik apabila siswa dapat melihat langsung contoh dari dunia nyata, diagram, peta gagasan, ikon, serta gambar. Media pembelajaran seperti gambar, grafik, bagan, dan bentuk visual lainnya sangat membantu siswa dalam mengembangakan informasi tertentu. d) Intelectually, bermakna bahwa belajar harus menggunakan kemampuan berpikir. Peserta didik harus berkonsentrasi, menalar, menyelidiki,
memecahkan
masalah,
serta
menyatukan
pengalaman (Shoimin, 2014: 178). Berdasarkan uraian di atas, unsur pendekatan SAVI ada empat, yaitu somatic, auditory, visualization, dan intelectually. Unsur somatic sangat menunjang pembelajaran bercerita dongeng, karena siswa tidak hanya membaca dan menulis, namun juga mepraktikkan bercerita ke depan dengan menggunakan boneka tangan yang digerakkan dengan tangan. Unsur auditory juga menunjang pembelajaran bercerita yang akan dilakukan peneliti, karena pada saat pembelajaran bercerita, peserta didik akan mendengarkan cerita dari guru terlebih dahulu, kemudian baru peserta didik yang akan mengalami bercerita di depan kelas. Unsur visualization yaitu belajar menggunakan indra mata melalui pengamatan dan menggunakan media, unsur ini sangat menunjang pembelajaran bercerita, karena peserta didik diajak untuk mengamati guru bercerita dengan menggunakan boneka tangan, kemudian
peserta
didik
mendemonstrasikan
bercerita
dengan
menggunakan boneka tangan. Unsur intelectually pun menunjang pembelajaran bercerita, karena setelah siswa mendengarkan cerita yang dicontohkan oleh guru, siswa akan berkonsentrasi, menalar cerita tersebut sebelum akhirnya mereka bercerita sendiri di depan kelas.
25 3) Langkah-langkah Penerapan Pendekatan SAVI Shoimin
(2014:
178-180)
dan
Meier
(2002:
106)
mengungkapkan bahwa dalam penerapan pendekatan SAVI ada beberapa langkah, yaitu: (1) tahap persiapan, (2) tahap penyampaian, (3) tahap pelatihan (kegiatan inti), dan (4) tahap penampilan hasil. a) Tahap persiapan Pada langkah ini guru menempatkan peserta didik dalam situasi optimal untuk belajar, secara spesifik meliputi: (1) memberikan sugesti positif; (2) memberikan pernyataan yang memberi manfaat kepada siswa, (3) memberikan tujuan yang jelas dan bermakna, (4) membangkitkan rasa ingin tahu, (5) menciptakan lingkungan fisik, emosional, dan sosial yang positif, (6) banyak bertanya dan mengemukakan berbagai masalah, (7) merangsang rasa ingin tahu siswa. b) Tahap Penyampaian (Kegiatan Inti) Pada langkah ini guru membantu siswa menemukan materi belajar dengan cara melibatkan pancaindra. Hal yang dilakukan guru antara lain: (1) pengamatan fenomena dunia nyata, (2) pelibatan seluruh otak, seluruh tubuh, (3) aneka macam cara untuk disesuaikan dengan seluruh gaya belajar, (4) latihan menemukan (sendiri, berpasangan, berkelompok), (5) pengalaman belajar
di
dunia
nyata
yang kontekstual,
(6)
pelatihan
memecahkan masalah. c) Tahap Pelatihan (Kegiatan Inti) Pada langkah ini guru membantu siswa mengintegrasikan dan menyerap pengetahuan dan keterampilan baru dengan cara: (1) simulasi dunia nyata, (2) permainan dalam belajar, (3) refleksi dan artikulasi individu, (4) dialog berpasangan atau berkelompok, (5) pengajaran dan tinjauan kolaboratif, (6) aktivitas praktis membangun keterampilan mengajar balik.
26 d) Tahap Penampilan Hasil (Tahap Penutup) Pada langkah ini guru membantu siswa menerapkan dan memperluas pengetahuan atau keterampilan baru mereka. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah: (1) penerapan dunia nyata dalam waktu yang segera, (2) penciptaan dan pelaksanaan rencana aksi, (3) aktivitas penguatan penerapan, (4) materi penguatan persepsi, (5) pelatihan terus menerus, (6) umpan balik dan evaluasi kinerja, (7) aktivitas dukungan kawan, (8) perubahan organisasi dan lingkungan yang mendukung. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa langkahlangkah penerapan pendekatan SAVI adalah sebagai berikut: a) Persiapan/kegiatan pendahuluan (kemampuan membangkitkan minat siswa dan menempatkan siswa dalam situasi optimal untuk belajar). b) Penyampaian/kegiatan inti (kemampuan memberikan pengalaman belajar dengan cara yang menyenangkan yang di dalamnya terdapat unsur somatic, auditory, visualization, dan intelectually). c) Pelatihan/kegiatan inti (membantu siswa untuk mengintegrasikan dan menyerap pengetahuan serta keterampilan baru yang di dalamnya terdapat unsur somatic, auditory, visualization, dan intelectually). d) Penampilan hasil/kegiatan penutup (kemampuan guru untuk membantu siswa menerapkan dan memperluas pengetahuan melalui evaluasi dan refleksi). Berdasarkan
langkah-langkah
pendekatan
SAVI
yang
disebutkan di atas, peneliti akan menerapkan semua langkah-langkah tersebut dalam pembelajaran bercerita dongeng dengan media boneka tangan. 4) Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan SAVI Setiap pendekatan, model, atau metode yang digunakan dalam pembelajaran pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan, begitu juga
27 dengan pendekatan SAVI. Kelebihan pendekatan ini adalah: (1) SAVI membuat siswa tidak hanya duduk di kursi dan diam, tetapi membuat mereka beraktivitas dengan menggunakan seluruh indra dan pikiran, (2) pembelajaran tidak hanya terpusat oleh guru, (3) pembelajaran menjadi lebih menyenangkan karena banyak aktivitas yang dilakukan sehingga akan terhindar dari rasa bosan, (4) lebih leluasa dalam menggunakan berbagai macam media dan metode, (5) mampu membangkitkan kreatifitas dan psikomotor siswa (Shoimin, 2014: 182). Muttaqin (2013: 30) juga mengungkapkan kelebihan pendekatan SAVI yaitu: (1) membangkitkan kecerdasan siswa secara penuh, (2) memunculkan suasana belajar yang menarik dan efektif, (3) membangkitkan kreativitas dan psikomotor siswa. Sedangkan
kekurangan
pendekatan
ini
adalah:
(1)
pembelajaran yang melibatkan semua indra dan pikiran membutuhkan kemampuan yang lebih sehingga kemungkinan penerapan kedua pokok tersebut akan mengalami kesulitan, (2) sarana prasarana yang digunakan akan lebih banyak, (3) pembelajaran membutuhkan persiapan yang lebih matang di segala aspek, dan (4) membutuhkan pengaturan kelas yang lebih baik oleh guru agar siswa terlibat aktif dalam pembelajaran (Shoimin, 2014: 182). Muttaqin (2013: 30) juga mengungkapkan kekurangan pendekatan SAVI yaitu: (1) menuntut adanya guru yang sempurna agar bisa memadukan keempat komponen dalam SAVI secara utuh, (2) membutuhan kelengkapan sarana dan prasarana pembelajaran. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kelebihan pendekatan SAVI yaitu: (1) membangkitkan kecerdasan siswa secara penuh karena melibatkan kelima indra, (2) memunculkan susasan belajar yang menarik dan efektif, (3) lebih leluasa dalam menggunakan media dan metode pembelajaran, sedangkan kekurangan pendekatan SAVI yaitu: (1) menuntut adanya guru yang mampu memadukan empat komponen, (2) membutuhkan
28 kelengkapan sarana dan prasarana, dan (3) membutuhkan persiapan yang matang serta pengaturan kelas yang baik agar siswa terlibat aktif. Berdasarkan kelebihan dan kekurangan pendekatan SAVI yang sudah diuraikan di atas, maka peneliti akan memaksimalkan kelebihan pendekatan SAVI dalam pembelajaran bercerita dongeng dengan media boneka tangan dan meminimalkan kekurangan pendekatan SAVI. b. Media Pembelajaran Boneka Tangan 1) Pengertian Media Pembelajaran Media pembelajaran merupakan alat bantu belajar mengajar. Kata media merupakan
dalam proses
bentuk jamak dari kata
medium. Menurut Heinich (Daryanto, 2013: 4) bahwa istilah medium sebagai perantara yang mengantarkan informasi antar sumber dengan penerima. Mengutip
pendapat
Gagne
(Sadiman,
dkk.
2007:
6)
menyatakan bahwa, “Media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar.” Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Briggs bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat digunakan untuk menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar (Sadiman, dkk. 2007: 6). Asosiasi
Pendidikan
Nasional
(National
Education
Association/ NEA) menambahkan bahwa media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik visual maupun audiovisual serta peralatannya (Sadiman, dkk. 2007: 7). Media merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian media pembelajaran adalah suatu peralatan yang berfungsi untuk menyampaikan informasi dan pesan yang dapat merangsang
29 siswa untuk belajar, sehingga tujuan belajar dapat tercapai dengan baik. 2) Landasan Penggunaan Media Pembelajaran Media pembelajaran merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam membantu mencapai tujuan pembelajaran. Ada beberapa landasan penggunaan media pembelajaran yang antara lain sebagai berikut: a) Landasan Empiris Penggunaan dan pemanfaatan media pembelajaran sudah banyak dilakukan oleh para pendidik. Banyak alternatif jenis media yang dapat digunakan dalam pembelajaran, namun para pendidik harus selektif dalam memilih media pembelajaran agar tepat sasaran. Pemilihan dan penggunaan media hendaknya jangan didasarkan pada kesukaan atau kesenangan pengajar, tetapi dilandaskan pada kecocokan media itu dengan karakteristik peseta didik, disamping kriteria lain, seperti kepraktisan dan kemudahan memperolehnya, kualitas teknis penggunaan (Asyhar, 2012: 20). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Daryanto (2013: 16) bahwa siswa akan mendapatkan keuntungan apabila belajar dengan menggunakan media yang sesuai dengan karakteristik tipe atau gaya belajarnya. Pemilihan media pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan, dan materi pembelajaran, serta karakteristik peserta didik. Peserta didik akan mendapatkan keuntungan apabila belajar dengan menggunakan sumber dan media pembelajaran yang sesuai dengan karakteristiknya. b) Landasan Psikologis Dalam landasan psikologis ini, anak lebih mudah mempelajari hal yang konkret daripada yang abstrak. Berkaitan dengan
hubungan
konkret-abstrak
dan
kaitannya
dengan
penggunaan media pembelajaran, Bruner (Daryanto, 2013: 13)
30 menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran menggunakan urutan dari belajar dengan gambaran film (iconic representation of
experiment)
kemudian
belajar
dengan
simbol,
yaitu
menggunakan kata-kata (symbolic representation). Edgar Dale (Sadiman, dkk. 2007: 8) membuat jenjang konkret-abstrak dalam kerucut pengalaman pada gambar 2.1. berikut.
Gambar 2.1. Kerucut Pengalaman Dale
Jenjang konkret abstrak dimulai dari siswa yang berpartisipasi dalam pengalaman nyata, kemudian menuju siswa sebagai pengamat kejadian nyata, dilanjutkan ke siswa sebagai pengamat terhadap kejadian yang disajikan dengan media, dan terakhir siswa sebagai pengamat kejadian yang disajikan dengan simbol. c) Landasan Teknologis Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini sangat membantu para guru dan peserta didik dalam memperoleh informasi, khususnya dalam proses belajar
31 mengajar. Banyak media interaktif yang sudah diproduksi dan diaplikasikan oleh sekolah dan institusi pendidikan. Media internetpun menyediakan berbagai materi pelajaran yang tidak terbatas dan dapat diakses kapan saja dan dimana saja sesuai dengan keperluan guru maupun peserta didik, sehingga tidak ada lagi alasan kegiatan belajar mengajar tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan media pembelajaran dilandasi oleh aspek empiris, psikologis, dan teknologis. Pada aspek empiris, penggunaan media pembelajaran
harus
disesuaikan
dengan
kemampuan
atau
perkembangan peserta didik. Pada aspek psikologis, penggunaan media pembelajaran harus disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, sehingga siswa akan mendapatkan keuntungan dan memperoleh pengalaman belajar yang optimal. Pada aspek teknologis, penggunaan media pembelajaran menjadikan proses pendidikan menjadi lebih langsung dan akses pendidikan menjadi lebih sama bagi semua peserta didik. 3) Fungsi Media Pembelajaran Pada awalnya, media hanya dianggap sebagai alat bantu mengajar guru. Namun, setelah berkembang, media tidak hanya dijadikan sebagai alat bantu mengajar guru, namun mempunyai fungsi yang beragam. Rowntrie (Sumantri dan Permana, 2001: 154) meneybutkan bahwa fungsi media pendidikan atau pengajaran yaitu: a) engage the student’s motivation (membangkitkan motivasi belajar); b) recall earlier learning (mengulang apa yang telah dipelajari); c) provide new learning stimuli (menyediakan stimulus belajar); d) activate the student’s response (mengaktifkan respon peserta didik); e) give speedy feedback (memberikan balikan dengan cepat/segera)
32 f) encourage appropriate practice (menggalakkan latihan yang serasi).
Daryanto (2013: 10) juga berpendapat bahwa fungsi media dalam pembelajaran adalah sebagai berikut: (1) menyaksikan benda atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau, (2) mengamati benda/peristiwa yang sulit dikunjungi, (3) memperoleh gambaran yang jelas tentang benda yang sulit diamati secara langsung, (4) mendengar suara yang sulit ditangkap dengan telinga secara langsung, (5) dapat menjangkau audien yang besar jumlahnya, (6) dapat belajar sesuai dengan kemampuan, minat, dan temponya masing-masing. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pembelajaran. Fungsi media tersebut yaitu: (1) membangkitkan motivasi dan minat belajar, (2) menyaksikan benda atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau, (3) memperoleh gambaran yang jelas tentang benda yang sulit diamati secara langsung, (4) dapat menjangkau audien yang besar jumlahnya, (5) dapat memberikan pengalaman belajar yang konkret dan langsung kepada peserta didik, (6) meningkatkan efisiensi proses pembelajaran. 4) Kriteria Pemilihan dan Penggunaan Media Sebelum memilih media pembelajaran yang akan digunakan dalam proses belajar mengajar, ada
beberapa hal yang harus
dipehatikan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Sudjana dan Rivai (2013: 4) mengungkapkan bahwa dalam memilih media untuk kepentingan pengajaran harus memperhatikan kriteriakriteria sebagai berikut: (1) ketepatannya dengan tujuan pengajaran, (2) dukungan terhadap isi bahan pengajaran, (3) kemudahan memperoleh media, (4) keterampilan guru dalam menggunakannya, (5) tersedia waktu untuk menggunakannya, (6) sesuai dengan taraf berpikir siswa.
33 Asyhar (2011: 81) juga mengungkapkan bahwa ada beberapa kriteria dalam memilih media yang baik, yaitu: (1) jelas dan rapi, (2) bersih dan menarik, (3) cocok dengan sasaran, (4) relevan dengan topik yang diajarkan, (5) sesuai dengan tujuan pembelajaran, (6) praktis, luwes, dan tahan, (7) berkualitas baik, serta (8) ukurannya sesuai dengan lingkungan belajar. Dalam hal ini Dick dan Carey (Sadiman, dkk. 2007: 86) menambahkan bahwa ada empat faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan media: (1) ketersediaan sumber setempat, (2) apakah untuk membeli atau memproduksi sendiri tersebut ada dana, tenaga dan fasilitasnya, (3) faktor yang menyangkut keluwesan, kepraktisan dan ketahanan media yang bersangkutan untuk waktu yang lama, (4) efektivitas biayanya dalam jangka waktu yang panjang. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria pemilihan media yang baik yaitu: (1) sesuai dengan tujuan pembelajaran, (2) sesuai dengan karakteristik siswa, (3) kemudahan dalam memperoleh media, (4) keterampilan guru dalam menggunakan media, (5) bersih, rapi, dan menarik, (6) praktis, luwes, dan tahan lama. Dengan kriteria tersebut, guru dapat lebih mudah memilih media mana yang paling tepat untuk membantu menunjang proses belajar mengajar. Media pembelajaran bukan suatu keharusan, tetapi sebagai pelengkap jika dipandang perlu untuk mempertinggi kualitas belajar mengajar. 5) Kalsifikasi Media Pembelajaran Ada banyak jenis media pembelajaran, semua jenis tersebut disesuaiakan dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai serta memperhatikan karakteristik peserta didik. Asyhar (2011: 45) berpendapat bahwa media pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: (1) media visual, yaitu jenis media yang digunakan pembelajaran hanya mengandalkan indra penglihatan dari peserta didik, antara lain buku, modul, peta, gambar, globe bumi, dan media realita
34 alam sekitar; (2) media audio, yaitu jenis media yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran hanya mengandalkan indera pendengaran dari peserta didik, misalnya tape recorder, radio, dan CD player; (3) media audio-visual, yaitu jenis media yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dengan melibatkan indera penglihatan dan pendengaran sekaligus dalam satu kegiatan, misalnya film, video, program TV; (4) multimedia, yaitu jenis media yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran yang melibatkan beberapajenis media pembelajaran secara terintegrasi dalam suatu proses atau kegiatan pembelajaran. Pengelompokan media juga dikemukakan oleh Anderson yaitu sebagai berikut.
Tabel 2.3. Pengelompokan Media oleh Anderson No.
Kelompok Media
1.
Audio
2.
Cetak
3.
Audio-Cetak
4.
Proyek Visual Diam
5.
8.
Proyek Visual Diam dengan Audio Visual Gerak Visual Gerak dengan Audio Benda
9.
Komputer
6. 7.
Media Instruksional
pita audio (rol atau kaset) pringan audio radio (rekaman siaran) buku teks terprogram buku pegangan/manual buku tugas buku latihan dilengkapi kaset gambar/poster (dilengkapi audio) film bingkai (slide) film rangkai (berisi pesan verbal) film bingkai (slide) suara film rangkai suara film bisu dengan judul (caption) film suara video/vcd/dvd benda nyata model tiruan (mock-up) media berbasis komputer; CAI (Computer Assisted Instructional)& CMI (Computer Managed Instructional)
(Sumber: Sanjaya, 2009: 213)
Pengelompokan media juga dikemukakan oleh Setyosari dan Sihkabudden (Asyhar, 2011: 46-47), yaitu: (1) pengelompokan
35 berdasarkan ciri fisik, (2) berdasarkan jenis dan tingkat pengalaman yang diperoleh, (3) berdasarkan persepsi indra, (4) berdasarkan penggunaannya, dan (5) berdasarkan hirarki pemanfaatannya. Pengelompokan
media
berdasarkan
ciri
fisik,
dapat
dikelompokkan ke dalam empat macam, yaitu: (a) Media pembelajaran dua dimensi (2D), yaitu media yang tampilannya dapat diamati dari satu arah pandangan saja. Misalnya foto, grafik, peta, gambar, bagan, dan lain-lain. (b) Media
pembelajaran
tiga
dimensi
(3D),
yaitu
media
pembelajaran yang tampilannya dapat diamati dari arah mana saja dan mempunyai dimensi panjang, lebar, dan tinggi. Misalnya model, prototipe, boneka, meja, kursi, dan lain-lain. (c) Media pandang diam (still picture), yaitu media pembelajaraan yang menggunakan media proyeksi menampilkan gambar diam saja
pada
layar.
Misalnya
gambar
binatang,
gambar
pemandangan alam. (d) Media pandang gerak (motion picture), yaitu media yang menggunakan media proyeksi yang menampilkan gambar bergerak pada layar. Misalnya televisi, film atau video. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa klasifikasi media pembelajaran, antara lain: (1) medai visual, (2) audio, (3) audio visual, (4) multimedia, (5) media dua dimensi, (6) media tiga dimensi, (7) media pandang diam, dan (8) media pandang gerak. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan media boneka tangan yang termasuk ke dalam media tiga dimensi. 6) Karakteristik Media Pembelajaran Tiga Dimensi (3D) Anderson mengungkapakan karakteristik media pembelajara tiga
dimensi,
yaitu:
(1)
mencakup
rupa
benda-benda
yang
sesungguhnya, specimen (manikin), dan model, (2) menggunakan saluran penerimaan semua indra manusia yaitu visual, dengar, taktil, penciuman, dan pengecapan, (3) memiliki ukuran panjang, lebar, dan
36 tinggi (volume), (4) pesan yang terkandung dituangkan di dalam bentuk fisiknya (Lastri, 2015). Media pembelajaran tiga dimensi (3D) adalah suatu media pembelajaran yang tampilannya dapat diamati dari arah mana saja serta mempunyai dimensi panjang, lebar, dan tinggi. Media ini dapat berwujud sebagai benda asli baik hidup maupun mati, dan dapat pula berwujud sebagai tiruan yang mewakili aslinya. Daryanto (2013) juga mengemukakan karakteristik media pembelajaran tiga dimensi antara lain: (1) belajar benda sebenarnya melalui widya wisata, (2) belajar benda sebenarnya melalui specimen, (3) belajar melalui media tiruan, (4) peta timbul, dan (5) boneka. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik media pembelajaran tiga dimensi yaitu mempunyai dimensi panjang, lebar, dan tinggi. Media tersebut dapat berwujud benda asli maupun benda tiruan yang mewakili wujuad asli. Media yang digunakan dalam penelitian ini yaitu media boneka tangan. Media tersebut mempunyai dimensi panjang, lebar, dan tinggi sehingga dikelompokkan ke dalam media tiga dimensi (3D). 7) Hakikat Media Boneka Tangan a) Pengertian Boneka Tangan Boneka merupakan salah satu bentuk media tiga dimensi (3D). Daryanto (2013: 33) mengungkapkan bahwa boneka adalah benda tiruan dari bentuk manusia dan binatang. Sejalan dengan pendapat Daryanto, Musfiroh (2008: 128) menyatakan bahwa, “Boneka menjadi sesuatu yang hidup dalam imajinasi anak dan menjadi peraga yang dianggap mendekati naturalitas bercerita. Melalui boneka, anak tahu tokoh mana yang sedang berbicara, apa isi pembicaraannya, dan bagaimana perilakunya.” Macama-macam boneka menrut Daryanto (2013: 33) dibedakan menjadi boneka jari (dimainkan dengan jari tangan), boneka tangan (satu tangan memegang satu boneka), dan boneka tongkat
seperti
wayang-wayangan.
Padmono
(2011:
38)
37 berpendapat bahwa boneka ada dua yaitu: (1) tubuh yang dihubungkan dengan lengan, kaki, dan badannya, digerakkan dari atas dengan tali, dan (2) boneka yang digerakkan dari bawah oleh seseorang dengan tangannya masukke bawah pakaian boneka (wayang golek/sunda). Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh Sudjana dan Rivai (2013: 188) yang mengatakan bahwa boneka tangan adalah boneka yang digerakkan oleh tangan. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian boneka tangan adalah benda tiruan bentuk manusia atau binatang yang dimainkan dengan tangan, yaitu satu tangan memainkan satu boneka untuk menirukan tokoh manusia atau hewan yang hidup dalam
imajinasi anak dan menjadi peraga yang dianggap
mendekati naturalitas bercerita. b) Karakteristik Boneka Tangan Boneka tangan mempunyai karakteristik khusus jika dibandingkan dengan
boneka-boneka
yang lain.
Menurut
penjelasan Ocieta (2010) dijelaskan bahwa boneka tangan hanya terdiri dari kepala dan dua tangan, bagian badan dan kaki hanya merupakan
baju
yang
menutup
lengan
orang
yang
memainkannya. Cara memainkannya yaitu satu tangan hanya dapat memainkan satu boneka. Jari telunjuk digunakan untuk memainkan/menggerakkan kepala, ibu jari dan jari tangan untuk menggerakkan tangan. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa karakteristik boneka tangan antara lain: (1) terdiri dari berbagai karakter, (2) hanya terdiri dari kepala dan tangan saja, (3) memakai baju sesuai watak atau karakter boneka, (4) menggerakan boneka tangan dengan jari-jari tangan.
38 c) Manfaat Media Boneka Tangan Penggunaan media boneka tangan mempunyai beberapa manfaat dalam dunia pendidikan. Menurut Daryanto (2013: 33) penggunaan boneka mempunyai beberapa manfaat, antara lain: (1) waktu, tempat, biaya, dan persiapan cukup efisien, (2) tidak menuntut keterampilan yang rumit bagi pemakainya, (3) dapat mengembangkan imanjinasi anak, (4) mempertinggi keaktifan anak; dan (5) menambah susasana gembira. Ismail (Dewi, 2012: 39) juga mengemukakan bahwa “untuk melatih fantasi kreativitas dapat berupa boneka tangan”. Media boneka tangan dapat meningkatkan daya fantasi anak, karena anak akan melihat tokoh atau karakter dalam bentuk konkret sehingga imajinasi anak akan berjalan. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa manfaat media boneka tangan dalam dunia pendidikan adalah untuk meningkatkan fantasi atau daya imajinasi anak serta kreativitas
anak
dalam
bercerita.
Boneka
tangan
juga
menghidupkan isi dari cerita yang diperankan oleh boneka tangan, karena boneka tangan merupakan tiruan dari manusia atau hewan. Boneka tangan sangat sesuai jika digunakan sebagai media yang edukatif dalam pembelajaran bercerita dongeng. d) Langkah Penggunaan Media Boneka Tangan Daryanto
(2013:
33)
mengungkapkan
bahwa agar
penggunan media boneka tangan menjadi efektif, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan media boneka, yaitu: (1) merumuskan tujuan pengajaran secara jelas, (2) didahului
dengan
pembuatan
naskah,
(3)
lebih
banyak
mementingkan gerak daripada verbal, (4) dimainkan sekitar 10-15 menit, (5) diselingi dengan nyanyian, (6) cerita disesuaikan dengan umur anak, (7) diikuti dengan tanya jawab, (8) siswa diberi peluang untuk memainkannya.
39 Musfiroh (2008: 129-130) juga menambahkan teknik dalam bercerita dengan media boneka tangan, antara lain: (1) jarak boneka tidak terlalu dekat dengan mulut pencerita, (2) kedua tangan harus lentur memainkan boneka, ada kalanya melakukan gerakan secara bersama-sama tetapi ada kalanya diam, (3) antara gerakan boneka dengan suara tokoh harus sinkron, (4) menyelipkan nyanyian dalam cerita melalui perilaku tokoh, ajak anak-anak menyanyikan lagu tersebut bersama tokoh cerita, (5) selipkan beberapa pernyataan non-cerita sebagai pengisi cerita, sekaligus strategi pelibatan anak, seperti: “Boleh tidak, kita bermain curang, anak-anak?”, (6) tutup cerita dengan membuat simpulan dan ajukan pertanyaan cerita yang berfungsi sebagai latihan bagi siswa. Dari uraian di atas, dapat simpulkan bahwa langkah penggunaan media boneka tangan yang akan digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1) guru mempersiapkan teks cerita yang akan dibaca siswa dan media boneka tangan yang akan digunakan sebagai media dalam bercerita, 2) guru memberikan contoh bercerita dengan menggunakan media boneka tangan, 3) siswa maju bercerita menggunakan media boneka tangan dengan memperhatikan jarak boneka dengan mulut pencerita, 4) sambil memainkan boneka, lafal dan intonasi harus jelas ketika siswa bercerita, 5) boneka dimainkan sesuai dengan teks cerita, 6) tangan harus lentur dan gerakan harus sinkron dengan suara ketika bercerita menggunakan boneka tangan.
40 c. Langkah Penerapan Pendekatan SAVI dengan Media Boneka Tangan Langkah-langkah penerapan pendekatan SAVI yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) Persiapan/kegiatan pendahuluan (kemampuan membangkitkan minat siswa dan menempatkan siswa dalam situasi optimal untuk belajar). 2) Penyampaian/kegiatan
inti
dengan
media
boneka
tangan
(kemampuan memberikan pengalaman belajar dengan cara yang menyenangkan meliputi unsur Somatic, Auditory, Visualization dan Intelectually dengan media boneka tangan). 3) Pelatihan/kegiatan inti dengan media boneka tangan (kemampuan guru untuk membantu siswa mengintegrasikan dan menyerap pengetahuan serta keterampilan baru dengan media boneka tangan). 4) Penampilan hasil/kegiatan penutup (kemampuan guru untuk membantu siswa menerapkan dan memperluas pengetahuan melalui evaluasi dan refleksi). Berdasarkan pembahasan tentang pendekatan SAVI dan media boneka tangan, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan pendekatan SAVI dengan media boneka tangan adalah proses pembelajaran yang melibatkan seluruh indra yang dimiliki peserta didik di dalamnya terdapat empat unsur yaitu somatic, auditory, visualization, dan intelectually melalui langkah-langkah yaitu persiapan/kegiatan pendahuluan, penyampaian/kegiatan inti dengan media boneka tangan, pelatihan/kegiatan inti dengan media boneka tangan, dan penampilan hasil/kegiatan penutup. 3. Penelitian yang Relevan Temuan penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Juniarta, Arini, dan Wibawa (2014: 1-10) yang berjudul “Pengaruh Pendekatan SAVI Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V SD Gugus 5 Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan”. Hasil dari penelitian tersebut adalah hasil belajar kelompok siswa yang menggunakan
41 pendekatan tersebutberada pada kualifikasi baik, sedangkan hasil belajar kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model konvensional berada pada kualifikasi cukup. Persamaannya terletak pada variabel bebasnya yaitu sama-sama menggunakan pendekatan SAVI, sedangkan perbedaannya terletak pada variabel terikatnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Juniarta variabel terikatnya adalah hasil belajar IPA, sedangkan variabel terikat pada penelitian ini adalah keterampilan bercerita. Selain itu perbedaan juga terlihat dari subjek penelitian dan lokasi penelitian yang digunakan serta tahun pelajaran pada penelitian tersebut. Penelitian relevan kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Budiastuti, Poerwanti, dan Rintayati (2013: 1-8) dengan judul “Upaya Meningkatkan Keterampilan Bercerita Melalui Pendekatan Pragmatik”. Hasil dari penelitian tersebut adalah penerapan pendekatan pragmatik dapat meningkatkan keterampilan bercerita pada siswa kelas III SD Negeri 01 Karangduren. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari meningkatnya nilai keterampilan bercerita mulai dari prasiklus, siklus I dan siklus II. Pada tindakan prasiklus sebanyak 7 siswa (43,75%) sudah mencapai ketuntasan. Pada siklus I tingkat ketuntasan klasikal sebanyak 10 siswa (62,5%) dan pada siklus II tingkat ketuntasan klasikal meningkat menjadi 14 siswa (87,5%). Persamaannya
terletak
pada
variabel
terikatnya
yaitu
sama-sama
meningkatkan keterampilan bercerita. Selain itu, persamaan juga terlihat pada subyek penelitian, yaitu sama-ssama melakukan penelitian di kelas III, sedangkan perbedaannya terletak pada variabel bebasnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Budiastuti, Poerwanti, dan Rintayati variabel bebasnya menggunakan pendekatan pragmatik, sedangkan variabel bebas pada penelitian ini adalah pendekatan SAVI. Selain itu, perbedaan juga terlihat dari lokasi yang digunakan sebagai penelitian dan tahun pelajaran pada penelitian tersebut. Penelitian relevan ketiga yaitu penelitian yang dilakukan oleh Dunst (2012: 451-457) dengan judul“Effects of Puppetry on Elementary Students’ Knowledge of and Attitudes Toward Individuals with Disabilities”. Hasil dari
42 penelitian tersebut adalah pertunjukan boneka memiliki efek positif terhadap pengetahuan dan sikap siswa kelas dua, tiga dan empat. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa dengan boneka, peserta didik memiliki sikap yang lebih positif serta pengetahuan faktual yang lebih akurat.Penelitian tersebut relevan dengan penelitian ini. Persamaannya terletak pada variabel bebasnya yaitu sama-sama menggunakan media boneka. Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel terikatnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Dunst variabel terikatnya yaitu pengetahuan dan sikap individu, sedangkan variabel terikat pada penelitian ini adalah keterampilan bercerita. Selain itu, perbedaan juga terlihat pada subjek dan lokasi penelitian, pada penelitian Dunst subyek penelitiannya adalah individu penyandang cacat, sedangkan subyek penelitian ini adalah kelas III SD. Penelitian relevan keempat yaitu penelitian yang dilakukan oleh Remer dan Tzuriel (2015: 356-365) dengan judul“I Teach Better with The Puppet-Use of Puppet as a Mediating Tool in Kindergarten Education-an Evaluation”. Hasil dari penelitian tersebut adalah meningkatknya tingkat kerjasama anak-anak. Persamaanya terletak pada variabel bebasnya yaitu sama-sama
meningkatkan
menggunakan
media
boneka,
sedangkan
peerbedaannya terletak pada variabel terikat dan subjek penelitian. Pada penelitian yang dilakukan oleh Remer dan Tzurielsubjek penelitiannyapada siswa TK, sedangkan subjek pada penelitian yaitu siswa SD kelas III. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka peneliti akan menjadikan penelitian tersebut sebagai referensi dalam penelitian ini.
B. Kerangka Berpikir Pada kondisi awal pembelajaran bercerita di kelas III SD Negeri Tanjungrejo belum berjalan efektif dan menyenangkan. Guru belum menerapkan model atau pendekatan yang mengaktifkan siswa. Dalam penyampaian pembelajaran bercerita guru hanya menggunakan media gambar. Media tersebut dirasa belum merangsang imajinasi siswa secara penuh.
43 Hal tersebut menyebabkan keterampilan bercerita siswa kelas III SD Negeri Tanjungrejo rendah. Pembiasaan keterampilan bercerita di depan kelas masih kurang, karena pembelajaran bercerita masih didominasi oleh guru sehingga banyak siswa yang merasa takut, grogi dan kurang percaya diri ketika ditunjuk untuk bercerita di depan kelas. Dengan kondisi tersebut, maka diperlukan sebuah solusi serta kreativitas guru untuk menciptakan suatu pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, sehingga siswa akan termotivasi untuk bercerita dan terlibat aktif dalam pembelajaran bercerita. Salah satunya dengan melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) melalui penerapan pendekatan SAVI dengan media boneka tangan. Pendekatan SAVI menuntut siswa menggunakan kelima indranya. Pendekatan SAVI terdiri dari empat unsur yaitu somatic, auditory, visualization dan intelectually. Unsur-unsur tersebut sangat menunjang jika digunakan dalam pembelajaran bercerita. Siswa tidak hanya duduk, mendengarkan dan menulis tapi siswa
dituntut
untuk
aktif
bergerak,
mendemonstarsikan
pembelajaran.
Pembelajaran dengan pendekatan SAVI akan lebih menarik lagi apabila menggunakan media boneka tangan. Boneka tangan merupakan suatu bentuk tiruan manusia atau hewan. Boneka tangan dibuat semirip mungkin dengan karakter tokoh dalam cerita, sehingga daya fantasi dan imajinasi siswa akan meningkat. Perpaduan antara pendekatan SAVI dengan media boneka tangan dilaksanakan melalui penelitian tindakan kelas yang direncanakan dalam tiga siklus. Penelitian ini diharapkan bisa meningkatkan motivasi bercerita siswa, percaya diri ketika bercerita di depan kelas, meningkatkan daya fantasi dan imajinasi anak, serta keaktifan siswa dalam pembelajaran. Selain itu, pembelajaran akan menjadi efektif dan menyenangkan, sehingga keterampialn bercerita dongeng siswa kelas III
SD Negeri Tanjungrejo meningkat.
Berdasarkan uraian diatas, kerangka berpikir penelitan ini adalah sebagai berikut.
44
KONDISI AWAL
TINDAKAN
KONDISI AKHIR
GURU:
SISWA:
Belum menerapkan model atau pendekatan yang mengaktifkan siswa. dan media yang digunakan belum merangsang imajinasi siswa secara penuh.
Keterampilan bercerita dongeng kelas III masih rendah.
Dalam pembelajran guru menerapkan pendekatan SAVI dengan media boneka tangan.
Keterampilan bercerita dongeng siswa kelas III SD Negeri Tanjungrejo meningkat.
Melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK) selama 3 siklus Siswa aktif dalam pembelajaran bercerita. Siswa percaya diri ketika ditunjuk maju ke depan untuk bercerita. Daya fantasi dan imanjinasi anak meningkat.
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir Penerapan Pendekatan SAVI dengan Media Boneka Tangan.
C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori dan kerangka berfikir yang telah diuraikan, dapat dirumuskan hipotesis tindakan dalam penelitian ini yaitu jika penerapan pendekatan SAVI dengan media boneka tangan dilaksanakan dengan langkahlangkah yang tepat, maka dapat meningkatkan keterampilan bercerita dongeng pada siswa kelas III SD Negeri Tanjungrejo tahun ajaran 2015/2016.