BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1.
Hakikat Keterampilan Bereksperimen pada Pembelajaran IPA Di Kelas V Sekolah Dasar a.
Pengertian Keterampilan Keterampilan sama artinya dengan kecakapan atau pun kecekatan. Hal ini senada dengan pendapat Soemarjadi, Ramanto, dan Zahri yang menyatakan, “Keterampilan sama artinya dengan kata cekatan. Terampil atau cekatan adalah kepandaian melakukan suatu pekerjaan dengan cepat dan benar” (2001: 2). Pekerjaan yang diselesaikan dengan cepat dan benar identik dengan keterampilan yang dikerjakan dengan aktivitas motorik. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Syah (2013: 117) yang mendefinisikan keterampilan sebagai suatu kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, seseorang dikatakan terampil jika dapat mengoordinasikan gerak dengan teliti dan secara sadar melakukan aktivitas tersebut. Pendapat lain disampaikan Ichsan (2013: 29) yang mendefinisikan keterampilan sebagai kegiatan mental dan atau fisik yang terorganisasi serta memiliki bagian-bagian kegiatan yang saling bergantung dari awal hingga akhir. Hal ini mengindikasikan bahwa keterampilan tidak hanya melibatkan aktivitas motorik semata, melainkan juga melibatkan kegiatan mental. Kegiatan mental berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan pengetahuannya. Sejalan dengan pendapat di atas, Gagne secara jelas membagi keterampilan
menjadi
dua,
yaitu 11
keterampilan
intelektual
dan
12 keterampilan motorik (Suprijono, 2015: 6). Keterampilan intelektual berkaitan dengan kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang, yang terdiri dari kemampuan mengategorisasi, kemampuan analisissintesis fakta-konsep dan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Sedangkan keterampilan motorik menurut Gagne adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani. Pendapat di atas menunjukkan bahwa sebagai hasil belajar, keterampilan tidak hanya berkaitan dengan aktivitas motorik semata melainkan kegiatan yang melibatkan aktivitas intelektual juga disebut sebagai keterampilan. Kemampuan seseorang yang berkaitan dalam proses analitis-sintesis untuk mengkaji sebuah fakta dan konsep pun disebut sebagai keterampilan karena aktivitas ini dilakukan dengan membutuhkan koordinasi kognitif yang baik yang sudah terbentuk di dalam diri seseorang. Oleh karenanya keterampilan intelektual akan dimiliki seseorang manakala dia memiliki pengetahuan yang baik dan dapat dikembangkan. Keterampilan yang berkaitan dengan aktivitas intelektual juga disampaikan oleh Sukmadinata dan Syaodih (2012: 184). Mereka berpendapat bahwa keterampilan merupakan kemampuan seseorang dalam menerapkan atau menggunakan pengetahuan yang dikuasainya dalam sesuatu bidang kehidupan. Ini menunjukkan bahwa keterampilan didapatkan setelah ia
menguasai
suatu pengetahuan,
kemudian
diaplikasikan dalam sebuah kegiatan yang menuntut seseorang untuk terampil atau cekatan dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Sanjaya (2008: 7) menambahkan bahwa keterampilan (skill) adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas yang dibebankan. Hal yang dimiliki tersebut berupa pengetahuan seseorang yang dapat diaplikasikan untuk melakukan suatu tugas. Misalnya seseorang dapat melakukan pengamatan tentang mikroorganisme
13 manakala ia memiliki keterampilan bagaimana cara menggunakan mikroskop dengan benar. Keterampilan dalam konteks mata pelajaran di sekolah adalah kemampuan siswa menghasilkan benda-benda kerajinan. Kualifikasi keterampilan yaitu memiliki kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya (DEPDIKNAS, 2006). Selanjutnya ruang lingkup keterampilan sendiri cukup luas, meliputi kegiatan berupa perbuatan, berpikir, berbicara, melihat, mendengar, dan sebagainya. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keterampilan adalah keahlian yang dimiliki seseorang dengan melibatkan aktivitas fisik dan mental yang terorganisasi untuk menyelesaikan tugas tertentu dari awal hingga akhir. b. Pengertian Keterampilan Bereksperimen Eksperimen atau mencoba didefinisikan Hosnan (2014: 58) sebagai suatu kegiatan terinci yang direncanakan untuk menghasilkan data untuk menjawab suatu masalah atau menguji suatu hipotesis. Pendapat senada disampaikan Trianto (2008: 76) bahwa melakukan eksperimen adalah pengujian hipotesis atau prediksi. Pengujian hipotesis dilakukan melalui kegiatan observasi sehingga seseorang dapat memperoleh data untuk kemudian disimpulkan sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat. Keterampilan bereksperimen merupakan salah satu keterampilan proses sains (Trianto, 2008: 72). Bundu (2006: 23) membagi keterampilan proses sains menjadi dua, yaitu keterampilan dasar dan keterampilan terintegrasi atau terpadu. Keterampilan bereksperimen termasuk ke dalam keterampilan terintegrasi sebagaimana diungkapkan Abruscato (1996: 49), “Experimenting is the process that encompasses all of the basic and integrated processes”, yaitu bereksperimen adalah proses yang mencakup semua proses dasar dan terintegrasi. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa
keterampilan
keterampilan proses sains yang lain.
bereksperimen
melibatkan
14 Pendapat di atas diperkuat dengan pendapat Barba (1998: 261-262) yang menyatakan “Experimenting is the last of the integrated science processes. It involves students in using all other processes. Experimenting involves children in formulating operational questions that they can answer by manipulating materials. Additionally, experimenting involves children in identifiying and controlling variables, designing an activity to test a hypothesis, formulating operational definitions, observating, gathering data and using numbers, making inferences, interpretating data, and drawing conclusions based on data.” Secara umum kutipan di atas memberikan pengertian bahwa kegiatan eksperimen adalah akhir dari proses sains yang terintegrasi. Kegiatannya melibatkan siswa dalam menggunakan semua proses lainnya. Kegiatan eksperimen melibatkan siswa dalam mengidentifikasi dan mengontrol variabel, merancang kegiatan untuk menguji sebuah hipotesis,
merumuskan
definisi
operasional,
mengobservasi,
mengumpulkan data dan menggunakan angka, membuat interferensi, menginterpretasikan data, dan menarik kesimpulan berdasarkan data. Kegiatan eksperimen melibatkan beberapa keterampilan sains yaitu keterampilan
menyusun
hipotesis,
keterampilan
mengobservasi,
keterampilan menginterpretasikan data, dan keterampilan menarik kesimpulan. Hal tersebut menyebabkan keterampilan bereksperimen disebut sebagai keterampilan proses sains yang terintegrasi Pendapat yang sama juga disampaikan Colvill dan Pattie dalam jurnalnya yang berjudul “Science Skills-The Bulding Blocks for Scientific Literacy. Investigating ”(Vol. 19, Issue 1) menyatakan “Experimenting is the formal process of investigation a problem and may encompass all of the basic and integrated skills. Experimenting often is the testing of an hypotheses and will involve identifying variables, constructing tests and collecting and interpretating data”. Secara umum kutipan di atas memberikan pengertian bahwa eksperimen adalah proses formal dari investigasi masalah yang mencakup semua proses dasar dan terintegrasi. Seringnya eksperimen
15 adalah
pengujian
sebuah
hipotesis
dan
akan
melibatkan
pengidentifikasian variabel, membangun pengujian, dan mengumpulkan serta menginterpretasi data. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa sebagai keterampilan proses sains yang terintegrasi, keterampilan bereksperimen diawali dengan pengujian sebuah hipotesis dan secara langsung melibatkan keterampilan menyusun hipotesis. Beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa keterampilan bereksperimen merupakan keterampilan proses yang mencakup beberapa keterampilan proses dasar dan terintegrasi. Saat melakukan kegiatan eksperimen, seseorang dituntut untuk menyusun hipotesis, menentukan variabel, melakukan observasi, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, dan menarik kesimpulan. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan bereksperimen merupakan bagian dari keterampilan proses sains yang paling kompleks karena melibatkan beberapa beberapa keterampilan proses lain yang harus diaplikasikan seseorang dalam satu waktu. Keterampilan bereksperimen menuntut seseorang untuk dapat merancang dan melakukan kegiatan eksperimen secara runtut. Menurut Semiawan, dkk (Bundu, 2006: 30), eksperimen hendaknya dirancang dan direncanakan dengan baik karena tanpa rencana yang baik akan mengakibatkan terjadinya pemborosan waktu, tenaga, dan biaya, sedangkan hasilnya jauh dari harapan. Bundu (2006: 31) menjelaskan bahwa guru perlu melakukan perencanaan yang matang sebelum mengajak siswa melakukan kegiatan eksperimen. Perencanaan tersebut berupa 1) menentukan alat dan bahan; 2) variabel kontrol dan variabel ubah; 3) apa yang diamati dan diukur; 4) menentukan langkah kegiatan; 5) menentukan bagaimana data diolah dan disimpulkan. Putra (2013: 134) mengungkapkan bahwa pembelajaran dengan cara eksperimen dapat membantu guru dalam menghubungkan mata pelajaran dengan dunia nyata, terutama dalam konsep IPA, serta bisa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari
melalui
eksperimen.
Putra
menambahkan,
kegiatan
16 eksperimen memberi kesempatan kepada siswa untuk mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan, dan menarik kesimpulan sendiri mengenai suatu objek keadaan atau proses tertentu (2013: 133). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan bereksperimen merupakan bagian dari keterampilan proses yang melibatkan aktivitas fisik dan mental yang bertujuan untuk menguji coba suatu teori dengan melibatkan berbagai keterampilan proses dasar seperti penyusunan hipotesis, pengamatan, pengumpulan data, interpretasi data, dan penarikan kesimpulan yang dilakukan dari awal hingga akhir. c.
Prosedur Bereksperimen Eksperimen harus dilakukan berdasarkan prosedur yang diterapkan. Hal ini bertujuan agar kegiatan eksperimen mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Roestiyah (Hosnan, 2014, 21-22) menjelaskan prosedur eksperimen sebagai berikut: 1) Menjelaskan tujuan eksperimen kepada siswa karena mereka harus memahami masalah yang akan dibuktikan melalui eksperimen. 2) Memberi penjelasan kepada siswa tentang alat-alat serta bahan-bahan yang akan dipergunakan dalam kegiatan eksperimen, hal-hal yang harus dikontrol dengan ketat, urutan eksperimen, serta hal-hal yang perlu dicatat. 3) Selama eksperimen berlangsung, guru harus mengawasi pekerjaan siswa. Bila perlu memberi saran atau pertanyaan yang menunang kesempurnaan jalannya eksperimen. 4) Setelah eksperimen selesai, guru harus mengumpulkan hasil penelitian siswa, mendiskusikan di kelas, dan mengevaluasi dengan tes atau tanya jawab. Senada dengan pendapat di atas, Putra (2013: 136-137) menjelaskan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam kegiatan bereksperimen meliputi persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. Persiapan eksperimen meliputi 1) menetapkan tujuan eksperimen; 2) mempersiapkan berbagai alat atau bahan yang diperlukan; 3) mempersiapkan tempat eksperimen; 4) mempertimbangkan jumlah siswa
17 dengan alat atau bahan yang ada serta daya tampung eksperimen; 5) mempertimbangkan apakah dilaksanakan sekaligus (serentak seluruh siswa) atau secara bergiliran; 6) perhatikan masalah keamanan dan kesehatan agar dapat memperkecil atau menghindari risiko yang merugikan dan berbahaya. Putra (2013: 135) menambahkan, pelaksanaan eksperimen meliputi 1) siswa memulai percobaan; 2) selama eksperimen berlangsung, guru hendaknya memperhatikan situasi secara keseluruhan. Sementara kegiatan tindak lanjut eksperimen meliputi 1) siswa mengumpulkan laporan eksperimen untuk diperiksa guru; 2) Mendiskusikan masalahmasalah yang ditemukan selama eksperimen, serta memeriksa dan menyimpan kembali segala bahan sekaligus peralatan yag digunakan. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prosedur eksperimen meliputi 1) mempersiapkan alat, bahan, dan tempat eksperimen; 2) menetapkan tujuan eksperimen; 3) menjelaskan penggunaan alat dan bahan kepada siswa; 4) mengawasi kegiatan eksperimen; 5) melakukan tindak lanjut dengan membahas hasil eksperimen dan kendala yang ditemukan selama melakukan kegiatan eksperimen. d. Manfaat Eksperimen Kegiatan eksperimen memiliki manfaat bagi siswa untuk dapat belajar langsung tentang fenomena atau permasalahan yang dihadapi sehingga apa yang dipelajari akan terekam cukup kuat dalam diri siswa dikarenakan mereka mengalaminya sendiri (Fadlilah, 2014). Putra (2013: 134) menambahkan, kegiatan eksperimen memberi manfaat kepada siswa berupa dorongan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, berpikir ilmiah dan rasional, serta pengalamannya tersebut bisa berkembang di masa yang akan datang. Melalui eksperimen, siswa dilatih untuk merekam semua data fakta yang diperoleh melalui hasil pengamatan dan bukan data opini hasil rekayasa pemikiran. Lebih lanjut, siswa mampu menemukan kebenaran
18 dari suatu teori yang sedang dipelajarinya serta dalam proses pembelajaran. Ini berarti kegiatan eksperimen merupakan cara yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan keterlibatan fisik, mental, serta emosional siswa. Keterlibatan fisik, mental, dan emosional siswa diharapkan dapat
diperkenalkan pada suatu cara atau kondisi
pembelajaran yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan juga perilaku yang inovatif dan kreatif (Hosnan, 2014: 61). Berdasarkan uraian pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa manfaat eksperimen yaitu guru mengembangkan keterlibatan fisik, mental,
serta
mengkonstruksi
emosional
siswa.
pengetahuannya
Siswa
sendiri
berkesempatan berdasarkan
untuk
pengalaman
langsung sehingga tertanam kuat dalam dirinya. Kegiatan eksperimen juga dapat mengembangkan rasa percaya diri dan perilaku inovatif serta kreatif. e.
Pembelajaran IPA Di Sekolah Dasar IPA dikenal sebagai sains di lingkungan masyarakat. Cakupan yang terdapat di dalamnya meliputi alam semesta keseluruhan, benda-benda di permukaan bumi, di dalam perut bumi, dan di luar angkasa, baik yang dapat diamati oleh alat indera maupun yang tidak dapat diamati oleh alat indera. Oleh karenanya IPA secara umum dapat dipahami sebagai ilmu kealaman karena berisi tentang alam semesta, yang terdiri dari makhluk hidup dan benda mati (Trianto, 2008: 68). IPA merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Samatowa (2009: 3) mendefinisikan IPA sebagai ilmu pengetahuan yang mempunyai objek dan menggunakan metode ilmiah. Objek yang dimaksud di sini berupa segala sesuatu yang ada di alam sekitar. Metode Ilmiah digunakan untuk menyelidiki segala sesuatu yang terjadi pada objek (alam sekitar) tersebut. Berkaitan dengan penggunaan metode ilmiah, Paolo dan Marten mendefinisikan Ilmu Pengetahuan Alam sebagai 1) mengamati apa yang terjadi; 2) mencoba memahami apa yang diamati; 3) mempergunakan
19 pengetahuan baru untuk meramalkan apa yang akan terjadi; 4) menguji ramalan-ramalan di bawah kondisi-kondisi untuk melihat apakah ramalan tersebut benar (Iskandar, 2001: 16). Kedua pendapat di atas mengindikasikan bahwa IPA tidak bisa terlepas dari metode ilmiah. IPA sejatinya merupakan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses pengamatan, peramalan, penyelidikan terhadap kondisi lingkungan sekitar. Sejalan dengan pendapat di atas, Trianto (2008: 68-69) menjelaskan IPA adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari gejalagejala melalui proses yang dikenal dengan proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen terpenting berupa konsep, prinsip, dan teori yang berlaku secara universal. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan yang didapatkan dalam IPA diperoleh melalui proses yang cukup panjang, yaitu melalui proses ilmiah. Dalam memproses pengetahuan
tersebut,
didasarkan
pada
sikap
ilmiah
sehingga
pengetahuan yang diperoleh tidak serta merta diterima begitu saja karena sikap ilmiah dibangun atas dasar rasa ingin tahu yang tinggi pada diri seseorang. Dari sinilah didapatkan pengetahuan yang kemudian disebut sebagai produk ilmiah yang kemudian disebarluaskan untuk dipelajari. Pendapat di atas diperkuat dengan pendapat Abruscato (1996: 9) memandang IPA atau sains dari tiga segi yaitu : Science is the name we give to group of processes through which we can systematically gather information about the natural world. Science is also the knowledge gathered through the use of such process. Finally, science is characterized by those values and attitudes possessed by people who use scientific processes gathered knowledge. Secara umum petikan di atas memberikan pengertian 1) sains adalah sejumlah proses kegiatan mengumpulkan informasi secara sistematik tentang dunia sekitar; 2) sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses kegiatan tertentu; dan 3) sains dicirikan oleh
20 nilai-nilai dan sikap para ilmuwan menggunakan proses ilmiah dalam memperoleh pengetahuan. Atas pendapat ini, maka secara garis besar sains atau IPA memiliki tiga komponen yaitu 1) IPA sebagai proses ilmiah; 2) IPA sebagai produk ilmiah; dan 3) IPA sebagai sikap ilmiah. IPA
sebagai
proses
ilmiah
memberikan
penekanan
pada
kemampuan siswa untuk mengembangkan pengetahuan, gagasan, dan menerapkan konsep
yang diperolehnya untuk menjelaskan dan
memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ditinjau dari segi produk ilmiah, IPA menekankan pada kemampuan siswa untuk dapat memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan alam sekitar dan keterkaitannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika ditinjau dari segi sikap ilmiah, maka IPA menekankan pada nilai dan minat siswa untuk mempelajari benda-benda di lingkungan sekitarnya, bersikap ingin tahu, tekun, kritis, serta mengenal dan memupuk rasa cinta terhadap alam sekitar sehingga menyadari ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai alat pendidikan yang berguna untuk mencapai pendidikan, pendidikan IPA di sekolah memiliki tujuan-tujuan tertentu sebagaimana disampaikan Laksmi (Trianto: 2008: 69) sebagai berikut: 1) Memberikan pengetahuan kepada siswa tentang dunia tempat hidup dan bagaimana bersikap. 2) Menanamkan sikap hidup ilmiah. 3) Memberikan keterampilan untuk melakukan pengamatan. 4) Mendidik siswa untuk mengenal, mengetahuai cara kerja serta menghargai para ilmuwan penemunya. 5) Menggunakan dan menerapkan metode ilmiah dalam memecahkan permasalahan. Berdasarkan tujuan pendidikan IPA di atas, maka diharapkan pendidikan IPA dapat memberikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan terkait dengan ilmu pengetahuan alam sekitar yang didapatkannya melalui metode ilmiah. Tujuan pendidikan IPA tersebut berlaku untuk semua jenjang pendidikan. Secara lebih spesifik, tujuan mata pelajaran IPA di SD/ MI dirumuskan sebagai berikut.
21 1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Mahas Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya 2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsepkonsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari 3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat 4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan 5) Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam 6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan 7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep, dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/ MTs (BSNP, 2006). Berdasarkan tujuan mata pelajaran IPA di atas, tampak semakin jelas bahwa proses belajar mengajar IPA lebih ditekankan pada pendekatan keterampilan proses, hingga siswa dapat menemukan faktafakta, membangun konsep-konsep, teori-teori, dan sikap ilmiah siswa itu sendiri. Oleh karena itu, bahwa IPA di sekolah dasar menekankan pada tiga ranah yang harus dikuasai siswa, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Agar ketiga ranah tersebut dapat dikuasai siswa, maka pembelajaran IPA di SD/ MI menekankan pada pemberian pengalaman langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Pembelajaran IPA di sekolah dasar memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir kritis membangun pengetahuannya sendiri dengan menerapkan keterampilan proses IPA. Karena struktur kognitif anak tidak dapat dibandingkan dengan struktur kognitif ilmuwan, maka keterampilan proses IPA yang diajarkan dimodifikasi sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya (Samatowa, 2009: 5). Penelitian ini memfokuskan pada proses IPA di sekolah dasar. Variabel penelitian yang diukur adalah salah satu bagian dari
22 keterampilan proses IPA yaitu keterampilan bereksperimen. Dengan demikian diharapkan pada pembelajaran ini siswa dapat meningkatkan keterampilannya yakni dalam melakukan pengamatan, klasifikasi, interpretasi, eksperimen, dan menarik kesimpulan yang semuanya sudah terangkum dalam keterampilan bereksperimen. f.
Keterampilan Bereksperimen pada Pembelajaran IPA Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), IPA memiliki tujuan dan ruang lingkup yang harus dikuasai oleh siswa. Dengan hal ini, seorang guru harus dapat memetakan proses pembelajaran yang dilaksanakan selama satu semester. Adapun ruang lingkup materi IPA SD Kelas V semester II dalam penelitian ini sebagai berikut. Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran IPA SD Kelas V Semester II Semester II Alokasi Waktu Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 6. Menerapkan sifat-sifat 6.1 Mendeskripsikan sifat- 4 JP cahaya melalui kegiatan sifat cahaya membuat suatu karya/ 6.2 Membuat suatu karya/ 6 JP model model, misal periskop atau lensa dari bahan sederhana dengan menerapkan sifatsifat cahaya Berdasarkan Tabel 2.1 tentang pemetaan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran IPA SD Kelas V Semester II, materi di semester II tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja melainkan juga pada aspek psikomotorik atau keterampilan. Keterampilan bereksperimen dilakukan pada KD 6.1 Mendiskripsikan sifat-sifat cahaya. Materi sifat-sifat cahaya dapat digunakan untuk bermacammacam eksperimen mulai dari tingkat eksperimen yang paling mudah hingga yang sulit. Selain itu, dengan melakukan eksperimen pada materi ini siswa lebih memahami manfaat secara praktis karena sifat-sifat cahaya banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya cahaya
23 yang merambat lurus dimanfaatkan untuk lampu belajar, efek dari pemantulan cahaya dimanfaatkan untuk penerangan ruangan sehingga tidak gelap, dan sebagainya. Berdasarkan kompetensi dasar 6.1. Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya, ada enam kegiatan eksperimen yang telah dilakukan dalam penelitian ini meliputi 1) membuktikan bahwa cahaya merambat lurus; 2) membuktikan bahwa cahaya dapat menembus benda bening; 3) pemantulan cahaya; 4) pembiasan cahaya pada medium air; 5) pembiasan cahaya pada medium kaca prisma; 6) penguraian cahaya matahari. g.
Penilaian Keterampilan Bereksperimen pada Pembelajaran IPA Penilaian menurut Purwanto (2010: 3) adalah pengambilan keputusan berdasarkan hasil pengukuran dan kriteria tertentu. Senada dengan pendapat tersebut, Sudjana (2009: 3) mendefinisikan penilaian sebagai suatu proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Adapun Suwandi (2009: 7) menyatakan bahwa penilaian adalah suatu proses untuk mengetahui apakah proses dan hasil dari suatu program kegiatan telah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang telah ditetapkan. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penilaian adalah proses untuk menentukan nilai terhadap suatu kegiatan telah sesuai dengan tujuan dan kriteria yang ditetapkan atau belum. Kegiatan yang dinilai dalam penelitian ini merupakan kegiatan eksperimen yang di dalamnya menuntut siswa untuk melakukan kegiatan eksperimen dengan prosedur yang benar sehingga siswa tersebut terampil bereksperimen. Penilaian pada penelitian tindakan kelas ini menggunakan penilaian proses belajar. Penilaian proses belajar adalah upaya memberi nilai terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru dalam mencapai tujuan-tujuan pengajaran (Sudjana, 2009: 3). Cara menilai proses belajar dalam penelitian yang akan dilakukan ini dengan menggunakan Penilaian Berbasis Kelas (PBK). Suwandi (2009: 12) menjelaskan Penilaian Berbasis Kelas adalah:
24 Penilaian berbasis kelas merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik. Penilaian berbasis kelas dilaksanakan melalui berbagai teknik/ cara, seperti penilaian unjuk kerja (performance), penilaian sikap, penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil kerja nyata/ karya siswa (portofolio), dan penilaian diri. Suwandi (2009: 14) menambahkan bahwa PBK memiliki tujuan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar siswa, mendiagnosis kesulitan
belajar,
memberikan
umpan
balik/
perbaikan
proses
pembelajaran, penentuan kenaikan kelas, dan memotivasi siswa. Adapun pada penelitian ini menggunakan tiga jenis penilaian meliputi penilaian sikap, penilaian tertulis, dan penilaian portofolio. Penilaian sikap bertujuan untuk untuk menilai siswa ditinjau dari aspek afektif berupa sikap kritis, rasa ingin tahu, dan kerja sama dalam kegiatan eksperimen. Penilaian tertulis bertujuan untuk menilai aspek kognitif siswa setelah melakukan kegiatan eksperimen. Penilaian portofolio dilakukan untuk menilai kegiatan eksperimen siswa mulai dari merencanakan hingga melaksanakan kegiatan eksperimen. Penilaian dalam penelitian tindakan kelas ini juga ditujukan terhadap guru dengan melakukan penilaian proses selama guru mengajar. Penilaian dilakukan menggunakan pedoman observasi kinerja guru. Semiawan, dkk (Bundu, 2006: 30) menjelaskan bahwa dalam kegiatan eksperimen guru dan siswa perlu menentukan alat dan bahan yang diperlukan, objek yang akan diteliti, variabel yang perlu diperhatikan, cara/ langkah kerja, cara pencatatan, dan kriteria keberhasilan yang mungkin dicapai. Sementara Hadiat menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan bereskperimen terdapat beberapa indikator penilaian yang perlu diperhatikan, yaitu siswa mampu menentukan alat dan bahan yang akan digunakan, variabel, apa yang
25 diamati/ diukur, langkah kegiatan, dan bagaimana data diolah dan disimpulkan (Bundu: 2006: 31). Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan modifikasi kriteria penilaian keterampilan bereksperimen yang diukur dalam pembelajaran IPA kelas V SD, meliputi menuliskan alat dan bahan, merumuskan langkah kerja, melakukan kegiatan eksperimen, menuliskan hasil eksperimen, dan merumuskan kesimpulan. Adapun indikator penilaian keterampilan bereksperimen pada pembelajaran IPA secara jelas dijabarkan pada tabel berikut.
26 Tabel 2.2 Indikator Penilaian Keterampilan Bereksperimen pada Mata Pelajaran IPA Kelas V Semester II No 1.
Indikator
Deskriptor
Skor
Total Skor 4
Menuliskan a. Menuliskan alat eksperimen 1 alat dan sesuai jenis yang dibutuhkan. bahan b. Menuliskan bahan eksperimen 1 sesuai jenis yang dibutuhkan. c. Menuliskan alat eksperimen 1 sesuai jumlah yang dibutuhkan. d. Menuliskan bahan eksperimen 1 sesuai jenis yang dibutuhkan. 2. Merumuskan a. Merumuskan langkah kerja 1 4 langkah secara runtut. kerja b. Menuliskan langkah kerja dengan 1 jelas. c. Menggunakan bahasa yang 1 mudah dipahami. d. Menuliskan langkah kerja sesuai 1 dengan kegiatan eksperimen. 3. Melakukan a. Menyiapkan alat dan bahan. 1 4 kegiatan b. Menyiapkan Lembar Kegiatan 1 eksperimen Eksperimen. c. Melakukan eksperimen sesuai 1 langkah kerja. d. Membersihkan dan merapikan 1 kembali tempat, alat, dan bahan ke tempat semula. 4. Menuliskan a. Menuliskan hasil eksperimen 1 4 hasil sesuai kegiatan yang dilakukan. eksperimen b. Menuliskan hasil eksperimen 1 secara urut. c. Menuliskan hasil eksperimen 1 secara sistematis. d. Menggunakan bahasa yang 1 mudah dipahami. 5. Merumuskan a. Berisi data hasil eksperimen. 1 4 kesimpulan b. Berdasarkan rumusan masalah. 1 c. Alur pemikiran yang runtut 1 (sistematis). d. Menggunakan bahasa yang 1 mudah dipahami. Dimodifikasi dari : Semiawan, dkk (1992) dalam Bundu (2006: 30) dan Hadiat dalam Bundu (2006: 31)
27 Keterangan : 1) Skor 4, jika 4 deskriptor terpenuhi (kategori terampil) Skor 3, jika 3 deskriptor terpenuhi (kategori cukup terampil) Skor 2, jika 2 deskriptor terpenuhi (kategori kurang terampil) Skor 1, jika hanya 1 deskriptor yang terpenuhi (kategori tidak terampil) 2) Jumlah skor maksimal = 20 3) Nilai akhir = jumlah skor x 5, nilai maksimal = 100 Ketuntasan belajar tercapai jika siswa mendapat nilai ≥85 4) Kategori keterampilan bereksperimen: <50 = Tidak Terampil 50 – 74 = Kurang Terampil 75 – 84 = Cukup Terampil 85 – 89 = Terampil 90 – 100 = Sangat Terampil 2.
Hakikat Strategi Pembelajaran REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) a.
Pengertian Strategi Pembelajaran Istilah strategi banyak digunakan dalam berbagai bidang kegiatan yang bertujuan memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan. Strategi dapat diartikan sebagai garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditentukan (Kosasih dan Sumarna, 2013: 44). Dalam konteks pembelajaran, Kosasih dan Sumarna mendefinisikan strategi pembelajaran sebagai pola-pola umum kegiatan guru dan murid dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (2013: 44). Pendapat
senada
disampaikan
Sanjaya
(2011:
124)
yang
mendefinisikan strategi pembelajaran sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sejalan dengan pendapat tersebut, Gulo (2005: 2) menyatakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu seni dan ilmu untuk membawakan pengajaran di kelas sedemikian rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dari tiga pengertian di atas mengandung makna bahwa strategi pembelajaran
28 menekankan pada pencapaian tujuan tertentu dalam proses belajar mengajar. Strategi pembelajaran memuat berbagai alternatif yang harus dipertimbangkan untuk dipilih dalam merencanakan pembelajaran. Seorang guru harus dapat memikirkan strategi pembelajaran terlebih dahulu
sebelum
menyusun
perencanaan
pembelajaran.
Setelah
menemukan strategi alternatif, barulah seorang guru menyusun rencana pembelajaran atau desain instruksional. Desain instruksional inilah yang nantinya mengandung tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa. Strategi pembelajaran tidak hanya berfokus pada pencapaian tujuan pembelajaran pelaksanaannya.
semata, Majid
melainkan (2015:
juga
3-4)
pada
meyatakan
cakupan
dalam
bahwa
strategi
pembelajaran mencakup tujuan kegiatan, siapa yang terlibat dalam kegiatan, isi kegiatan, proses kegiatan, dan sarana penunjang kegiatan. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Suyono dan Hariyanto (2014: 20) yang menyatakan bahwa “Strategi pembelajaran adalah kegiatan dalam proses pembelajaran yang terkait dengan pengelolaan siswa, pengelolaan guru, pengelolaan kegiatan pembelajaran, pengelolaan lingkungan belajar, pengelolaan sumber belajar dan penilaian (asesmen) agar pembelajaran lebih efektif dan efisien sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan.” Pendapat di atas mengindikasikan bahwa strategi pembelajaran dilakukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga penilaian yang didalamnya mencakup berbagai komponen pembelajaran. Hal terebut bermakna bahwa tujuan pembelajaran tidak akan dicapai apabila komponen pembelajaran yang dibutuhkan tidak lengkap. Ini artinya bahwa dalam menjalankan strategi pembelajaran, seorang guru harus melakukan persiapan yang matang dengan memastikan semua komponen pembelajaran dapat terlibat secara efektif dan efisien sehingga tujuan pembelajaran yang ditetapkan dapat tercapai.
29 Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran adalah perencanaan yang didesain guru untuk membawakan pengajarannya sehingga dapat melibatkan siswa secara aktif memanfaatkan lingkungan belajarnya dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Guru harus secara jelas menentukan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai selama proses belajar-mengajar sehingga dapat tercapai secara efektif dan efisien dan dapat melakukan penilaian baik dalam proses maupun hasilnya terhadap siswa. b. Strategi Pembelajaran REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) Strategi pembelajaran merupakan perencanaan yang didesain guru di kelas dengan melibatkan siswa dan memanfaatkan lingkungan belajar. Dengan menerapkan strategi pembelajaran, proses pembelajaran menjadi terarah karena memiliki tujuan yang harus dicapai. Dalam lingkup pembelajaran di sekolah dasar, banyak strategi yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar. Penerapan strategi pembelajaran harus dapat melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Keaktifan siswa dapat diwujudkan melalui pemberian kesempatan kepada mereka untuk menerapkan langsung pengetahuan mereka dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi bermakna. Dalam kegiatan eksperimen yang menekankan partisipasi siswa secara aktif, guru dapat menerapkan
strategi
REACT
(Relating,
Experiencing,
Applying,
Cooperating, Transferring). Strategi pembelajaran
REACT
merupakan
kontekstual.
strategi
Pembelajaran
yang
ada
kontekstual
di
dalam
(Contextual
Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Crawford (2001: 2) dalam jurnalnya yang berjudul “Teaching Contextually (Research, Rationale, and Techniques for Improving
30 Student Motivation and Achievement in Mathematics and Science)” menyatakan bahwa REACT merupakan strategi pembelajaran yang didasarkan
pada
bagaimana
siswa
belajar
untuk
mendapatkan
pemahaman dan bagaimana guru mengajarkan untuk memberikan pemahaman. Pemahaman tidak semata-mata diberikan melalui ceramah tetapi melalui kegiatan yang sifatnya melibatkan siswa dan guru dalam pembelajaran. Keterlibatan siswa justru lebih dominan karena diharapkan siswa dapat menemukan pengetahuannya secara mandiri melalui kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Oleh karena itulah guru bertugas sebagai fasilitator untuk mengarahkan siswa dalam memproses pengetahuannya tersebut. Pendapat di atas diperkuat dengan pendapat Ozbay dan Kayaoglu (2015: 104-105) dalam jurnalnya yang berjudul “The Use of EACT Strategy for The Incoorporation of The Context of Physics into The Teaching English to The Physics English Prep Students” menyatakan bahwa
strategi
REACT
memungkinkan
siswa
mengembangkan
kompetensinya secara individual dalam pembelajaran kaitannya dengan pengalaman nyata. Siswa dapat mencapai pengetahuannya ketika mereka menemukan pengetahuan sesuai dengan kapasitas kognitif mereka. Dari dua pendapat di atas mengindikasikan bahwa strategi REACT memberikan
kesempatan
kepada
siswa
untuk
menemukan
pengetahuannya sendiri sesuai dengan kemampuan mereka. Pengetahuan tersebut diperoleh manakala dikaitkan dengan pengalaman nyata siswa. Pendapat senada disampaikan Ultay dan Calik (2011: 200) dalam jurnalnya yang berjudul “Distinguishing 5E Model from REACT Strategy: An Example of 'Acids and Bases' Topic” berpendapat bahwa pembelajaran dengan strategi REACT guru hanya berperan sebagai fasilitator dan siswa aktif berperan dalam pembelajaran, yakni dalam mengkonstruksi pengetahuan, menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk menyelesaikan permasalahan, menyampaikan pendapat, dan mengaplikasikan konsep untuk menyelesaikan permasalahan yang lebih
31 kompleks. Hal ini mengindikasikan bahwa strategi REACT didominasi oleh peran serta siswa dalam memperoleh pengetahuannya untuk kemudian dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ozbay dan Kayaoglu (2015: 104) menambahkan bahwa “Activities based on REACT strategy increase student’s interest and affect their learning positively”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa aktivitas berdasarkan strategi REACT meningkatkan ketertarikan siswa dan mempengaruhi kegiatan pembelajarannya secara positif. Hal ini disebabkan karena pembelajaran melalui strategi REACT memberikan kebebasan kepada siswa untuk menemukan pengetahuannya sendiri melalui lingkungan di sekitarnya. Strategi REACT merupakan bagian dari pembelajaran kontekstual yang berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa, sebagaimana model pembelajaran konvensional atau metode ceramah (Putra, 2013: 242). Dengan lima tahap dalam strategi pembelajaran kontekstual ini, yaitu relating, experiencing, applying, cooperating, transferring, diharapkan siswa mampu mencapai kompetensi secara maksimal. Berlandaskan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) adalah strategi pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif dalam mendapatkan pemahaman melalui
pengalaman
pengetahuan
dan
secara
langsung
mengaplikasikan
dengan
konsep
yang
mengkonstruksi dimiliki
untuk
menyelesaikan permasalahan yang lebih kompleks. Dalam strategi REACT, guru berperan sebagai fasilitator, yaitu mengarahkan siswa untuk memperoleh pemahaman melalui cara mereka sendiri. Strategi REACT merupakan strategi
yang ada di dalam
pembelajaran kontekstual. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus mengandung tujuh komponen dalam pembelajaran kontekstual yang meliputi konstruktivisme (constructivism), inkuiri (inquiry), bertanya
32 (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assesment). Masing-masing komponen pembelajaran kontekstual terkait dengan penerapan strategi REACT dijelaskan sebagai berikut. 1) Konstruktivisme (Constructivism) Komponen ini pada dasarnya menekankan pada pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar yang baik berbasis pada aktivitas siswa. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir dalam pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (Sagala, 2014: 88). Siswa harus dapat mengkonstruksi pengetahuan tersebut dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Sagala (2014: 88) menambahkan bahwa esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan menstranformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi tersebut menjadi milik mereka sendiri. Esensi ini sejalan dengan tahap Relating dan Experiencing yang ada dalam strategi pembelajaran REACT di mana kedua tahapan tersebut menekankan agar siswa dapat membuat keterkaitan antara pengetahuan yang ada dengan pengalaman yang dimilikinya agar menjadi lebih bermakna. Dalam proses pembelajaran, guru hanya bertugas sebagai fasilitator untuk membantu siswa dalam mengaitkan pengetahuannya. Pengetahuan siswa dibangun sendiri melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. 2) Inkuiri (Inquiry) Inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta, melainkan hasil menemukan sendiri (Rusman, 2012: 194).
33 Komponen tersebut sejalan dengan salah satu strategi REACT yaitu Applying
yang
memberi
kesempatan
kepada
siswa
untuk
menerapkan pengetahuan yang dimilikinya sehingga tak sebatas ingatan saja. Siklus inkuiri yang terdiri dari observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan sesuai dengan strategi Applying karena bertujuan untuk menerapkan pengetahuan yang sudah tertanam dalam otak siswa sehingga siswa dapat
menemukan
sendiri
kebenaran
teori
yang
ada
dan
membuktikan keabsahan dari teori tersebut. 3) Bertanya (Questioning) Menurut Trianto (2008: 81), questioning merupakan strategi utama yang berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Aktivitas bertanya ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemukan kesulitan, ketika mengamati, dan sebagainya. Kegiatan yang menumbuhkan dorongan untuk bertanya tersebut dapat dimunculkan saat menerapkan Cooperating dalam strategi REACT. Tujuan utama adanya kerjasama tak terlepas dari aktivitas berdiskusi, merespon, dan saling memberi masukan jika ada kesulitan selama proses belajar mengajar. 4) Masyarakat Belajar (Learning Community) Sagala (2014: 89) menjelaskan bahwa konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Konsep tersebut muncul pada tahap Cooperating dalam strategi REACT yang menekankan pentingnya kerja sama dalam proses belajar mengajar. Siswa yang merupakan makhluk sosial dapat menjalin komunikasi yang baik dengan siswa lain melalui kerja sama. Kerja sama dibentuk dalam kelompok kecil yang sifatnya heterogen agar antar siswa dapat saling berkolaborasi dalam memberi gagasan terhadap kegiatan yang mereka kerjakan.
34 5) Pemodelan (Modeling) Dalam suatu pembelajaran pengetahuan maupun keterampilan dibutuhkan sebuah model yang ditiru oleh siswa. Model tersebut dapat berupa demosntrasi yang dilakukan guru dalam menunjukkan langkah-langkah suatu kegiatan. Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Tujuannya agar siswa mendapat contoh konkret dari konsep yang belum ia pahami. Dengan demikian siswa memiliki gambaran tentang konsep yang hendak ia pelajari dan tidak sekedar hal-hal yang sifatnya abstrak semata. Selain kegiatan demonstrasi, pemodelan juga dapat dilakukan guru dengan menunjukkan suatu media pembelajaran yang sifatnya konkrit untuk membantu siswa memahami materi yang akan diajarkan guru. 6) Refleksi (Reflection) Rusman (2012: 197) menyatakan bahwa refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Realisasi kegiatan refleksi dapat berupa diskusi, membuat catatan kecil, hasil karya, kesan dan kesan siswa, dan sebagainya. Komponen ini penting dilakukan karena dilaksanakan dalam tahap Applying dan Transferring pada strategi REACT. Tujuannya agar siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang abru dipelajarinya. 7) Penilaian Autentik (Authentic Assesment) Al-Tabany (2014: 151) menjelaskan bahwa penilaian autentik diberikan untuk menilai pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa selama mengikuti proses belajar mengajar. Asesmen memberikan gambaran tentang berkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar dapat memastikan bahwa siswanya mengikuti proses pembelajaran
35 dengan benar. Selain itu, asesmen juga membantu guru memetakan sejauh mana tujuan pembelajaran yang ditentukan sudah tercapai. Penilaian autentik dilakukan tidak hanya setelah pembelajaran tetapi selama proses pembelajaran. Pada dasarnya penilaian autentik lebih menekankan pada proses pembelajaran sehingga data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Misalnya, selama siswa
melakukan
kegiatan
eksperimen
maka
siswa
wajib
mengumpulkan laporan dari kegiatan eksperimen tersebut. Laporan tersebut merupakan data autentik yang dapat digunakan guru untuk melakukan penilaian. c.
Tahap-tahap Strategi Pembelajaran REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) Crawford (2001) menjabarkan 5 (lima) tahap yang harus diterapkan dalam strategi REACT, meliputi relating (mengaitkan), experiencing (mengalami), applying (menerapkan), cooperating (bekerja sama), dan transferring (mentransfer). Kelima strategi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Relating (mengaitkan) Crawford (2001: 3) menyatakan “Relating is learning in the context of one’s life experiences or preexisting knowledge”. Pendapat di atas mengandung arti bahwa relating (mengaitkan) adalah belajar dengan menghubungkan pada konteks kehidupan sehari-hari atau dengan pengetahuan sebelumnya yang dimiliki. Pendapat senada disampaikan Tural (2013: 155) dalam jurnalnya yang berjudul “Evaluating The REACT Strategy Activities ofPhisics Teacher Candidates” menyatakan, “Relating is learning in the context of life experience and linking the concept or subject with everyday sights, events, and conditions.” Pendapat di atas mengandung arti bahwa relating adalah belajar pada konteks kehidupan dan menghubungkannya pada konsep atau subyek dengan
36 pemandangan, peristiwa, dan keadaan sehari-hari. Dua pendapat di atas memiliki kesamaan bahwa dalam tahap relating (mengaitkan) siswa belajar menghubungkan pengetahuannya dengan konteks kehidupan sehari-hari yang pernah dialaminya. Pendapat di atas diperkuat oleh Al-Tabany (2014: 142) yang menyatakan bahwa Relating adalah belajar dalam suatu konteks pengalaman hidup yang nyata atau awal sebelum pengetahuan itu diperoleh siswa. Konteks merupakan kerangka kerja yang dirancang guru untuk membantu siswa agar yang dipelajari bermakna (Suprijono, 2014: 84). Sejalan dengan pendapat tersebut, Putra (2013: 254) menyatakan bahwa mengaitkan sebagai sesuatu yang telah diketahui oleh siswa dengan informasi yang baru. Ketika siswa dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran akademik dengan pengalamannya sendiri, berarti ia menemukan makna, dan makna memberinya alasan untuk belajar. Crawford menambahkan bahwa strategi Relating merupakan strategi pembelajaran kontekstual yang paling kuat sekaligus merupakan inti dari kontruktivis (2001: 3). Pada tahap inilah siswa berkesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya berkaitan dengan permasalahan yang dihadapinya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa relating adalah tahap belajar dengan mengaitkan pengetahuan awal siswa dengan pengalaman yang telah dilakukannya. Tujuannya untuk mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya berkaitan dengan permasalahan yang dihadapinya. 2) Experiencing (mengalami) Crawford (2001: 5) mengemukakan, “This strategy is called experiencing. It is learning by doing–through exploration, discovery, and invention”. Pendapat Crawford tersebut mengandung makna bahwa experiencing adalah belajar melalui kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Senada dengan pendapat tersebut, Tural
37 (2013: 155) menyatakan,“Experiencing is learning in the context of exploration, discovery, and invention via laboratory activities, project or problem solving”. Pendapat tersebut mengandung arti bahwa experiencing (mengalami) adalah pembelajaran dalam konteks eksplorasi, penemuan, dan penciptaan lewat kegiatan laboratorium, proyek, dan pemecahan masalah. Dua pendapat di atas memiliki kesamaan yaitu penekanannya pada kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Keduanya mengandung makna bahwa Experiencing (mengalami) dilakukan oleh manakala siswa dapat melakukan tiga kegiatan tersebut dalam rangka menemukan pengetahuan barunya sesuai dengan konsep yang telah dimilikinya ataupun sedang dipelajarinya. Pada Experiencing siswa dapat menemukan pengetahuan melalui pengalaman langsung berkenaan konsep yang dipelajarinya. Di sisi lain, guru harus dapat memberikan kegiatan yang hands-on kepada siswa, sehingga dari kegiatan yang dilakukan siswa tersebut dapat membangun pengetahuannya (Al- Tabany, 2014: 142). Sejalan dengan pendapat tersebut, Suprijono (2014: 84) mendefinisikan Experiencing sebagai kegiatan mengalami, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berproses secara aktif dengan hal yang dipelajari dan berupaya melakukan eksplorasi terhadap hal yang dikaji, berusaha menemukan dan menciptakan hal baru dari apa yang dipelajarinya. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Experiencing adalah belajar dengan membangun pengetahuannya melalui kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Pada tahap ini siswa dapat langsung melakukan eksperimen dalam rangka menemukan dipelajarinya.
pengetahuan
baru
sesuai
konsep
yang sedang
38 3) Applying (menerapkan) Crawford (2001: 8) menyatakan, “The applying strategy is learning by putting the concepts to use”. Strategi applying adalah kegiatan belajar dengan menerapkan konsep untuk digunakan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Al-Tabany (2014: 142-143) menyatakan bahwa strategi Applying sebagai belajar dengan menerapkan konsep-konsep. Pendapat di atas diperkuat dengan pendapat Putra (2013: 255) yang mendefinisikan Applying sebagai penerapan konsep-konsep dan informasi dalam konteks yang bermanfaat bagi diri siswa. Siswa mengaplikasikan konsep-konsep ketika mereka berhubungan dengan aktivitas penyelesaian masalah. Dalam strategi ini guru dapat memberikan tugas yang menantang tetapi masuk akal dan relevan terhadap kemampuan siswa. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Applying merupakan penerapan konsep-konsep yang sudah dimiliki siswa melalui tugas proyek yang berkaitan dengan aktivitas penyelesaian
masalah.
Tujuannya
agar
pengetahuan
yang
didapatkannya melalui tahap Experiencing dapat ditanamkan langsung melalui tugas yang diberikan guru. 4) Cooperating (bekerja sama) Crawford (2001: 11) menyatakan bahwa tahap Cooperating adalah belajar dalam konteks saling berbagi (sharing), saling menanggapi (responding), dan berkomunikasi dengan siswa lain (communicating with other learners). Pengalaman dalam bekerja sama tidak hanya menolong untuk mempelajari suatu bahan pelajaran, hal
ini juga secara konsisten berkaitan dengan
penitikberatan
pada
kehidupan
nyata
dalam
pembelajaran
kontesktual (Al- Tabany, 2014: 143). Sejalan dengan pendapat di atas, Ozbay dan Kayaoglu (2015: 105) menyatakan, “Studying in group activities increased the student’s motivation because they
39 could discuss the knowledge with each other.” Pendapat tersebut dapat
diartikan
bahwa
belajar
dalam
kegiatan
kelompok
meningkatkan motivasi siswa kerena mereka dapat mendiskusikan pengetahuan satu sama lain. Selain itu, tahap Cooperating juga sejalan dengan salah satu komponen pembelajaran kontekstual yaitu masyarakat belajar (learning community). Siswa yang merupakan makhluk sosial dapat menjalin komunikasi yang baik dengan siswa lain melalui kerja sama. Kerja sama dibentuk dalam kelompok kecil yang sifatnya heterogen agar antar siswa dapat saling berkolaborasi dalam memberi gagasan terhadap kegiatan yang mereka kerjakan. Putra (2013: 255–256) menambahkan bahwa siswa yang bekerja secara individu sering kali tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering kali dapat mengatasi masalah yang kompleks dengan sedikit bantuan. Ini disebabkan Cooperating menuntut satu kelompok untuk dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam kelompok tersebut secara bersama-sama. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Cooperating
adalah
mengkomunikasikan
tahap
saling
pengetahuan
berbagi, untuk
merespon,
memecahkan
dan suatu
permasalahan dalam suatu komunitas belajar. Pada pembelajaran IPA, Cooperating dilakukan melalui kerja sama dalam melakukan eksperimen untuk membuktikan suatu teori atau pun memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi. 5) Transferring (mentransfer) Crawford (2001: 14) menyatakan, “Transferring is a teaching strategy that we define as using knowledge in a new context or novel situation”. Transferring (mentransfer) adalah strategi pengajaran yang didefinisikan sebagai menggunakan pengetahuan dalam konteks baru atau situasi baru. Sejalan dengan pendapat tersebut, Putra (2013: 256) menjelaskan bahwa mentransfer adalah belajar
40 dalam
konteks
pengetahuan
yang
ada,
atau
mentransfer,
menggunakan, dan membangun sesuatu yang telah dipelajari oleh siswa. Dalam hal ini, peran guru membuat bermacam-macam pengalaman belajar dengan berfokus pada pemahaman, bukan hafalan. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Transferring adalah kegiatan mentransfer ilmu pengetahuan yang sudah didapatkannya. Kegiatannya dapat berupa pembuatan resume maupun pemberian soal evaluasi kepada siswa. d. Kelebihan dan Kekurangan Strategi Pembelajaran REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) Kelebihan pembelajaran dengan menerapkan strategi REACT menurut Abdussakir dan Nur (2009) serta Sujarwo (2011) yang peneliti sarikan sebagai berikut. 1) Dapat
memperdalam
pemahaman
siswa.
Pengetahuan
dan
keterampilan yang diperoleh merupakan hasil kerja keras mandiri siswa berdasarkan konsep yang dikaitkan dengan kondisi tempat tinggalnya. Selanjutnya siswa bertugas mengkonstruksi informasiinformasi yang diperoleh untuk diformulasikan menjadi konsep dan keterampilan yang dimiliki. Inilah yang menyebabkan pemahaman siswa menjadi mendalam karena pemerolehannya dilakukan sendiri. 2) Mengembangkan sikap positif siswa. Sikap positif siswa yang muncul dalam penerapan strategi REACT berupa peningkatan motivasi penalaran dan berpikir secara bebas, terbuka, dan merangsang berpikir kreatif sehingga dirinya secara sadar dan senang hati berusaha mengembangkan pengetahuannya secara mandiri. 3) Mengembangkan sikap menghargai diri sendiri dan orang lain. Sikap ini muncul saat strategi Cooperating diterapkan dalam strategi REACT. Adanya kerjasama dalam strategi ini memunculkan sikap saling menghargai dan mau merespon terhadap pendapat sendiri dan
41 orang lain. Hal ini tidak terlepas dari komponen pembelajaran kontekstual
yaitu
masyarakat
belajar
(learning
community).
Pengetahuan dan pengalaman yang didapat dari orang lain memunculkan sikap saling menghargai antar sesama. 4) Mengembangkan keterampilan untuk masa depan. Keterampilan yang didapatkan muncul manakala siswa diberi kesempatan untuk mengaplikasikan konsep yang dimilikinya dalam sebuah tugas proyek. Semakin sering siswa
mengaplikasikan ilmu
yang
dimilikinya, semakin meningkat pula keterampilannya. 5) Mengembangkan sikap menyukai lingkungan. Strategi REACT sebagai
suatu
strategi
dalam
pembelajaran
kontekstual
mengedepankan pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran akan bermakna jika yang dipelajari berdasarkan segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Siswa berkesempatan untuk mengeksplorasi segala sesuatu yang ada di lingkungannya untuk dijadikan sumber belajar. 6) Menjelaskan pentingnya materi dan aplikasinya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Strategi REACT tidak hanya menitik beratkan pada salah satu penguasaan saja. Siswa tidak hanya membutuhkan penguasaan konsep semata melainkan juga dapat mengaplikasikan konsep yang dimilikinya. Tiada gading yang tak retak, begitu juga dengan strategi REACT walaupun memiliki banyak kelebihan tetapi juga memiliki kekurangan. Kekurangan dari strategi ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan strategi ini cukup lama karena memiliki 5 (lima) tahap yang
harus
dilaksanakan
secara
berkesinambungan
dalam
pelaksanaannya. Guru harus dapat mengatur waktu sebaik mungkin agar strategi ini dapat dilaksanakan dengan baik dan mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Alternatif yang dapat digunakan guru untuk mengatasi kelemahan dari strategi REACT ini yaitu dengan mengatur waktu pada setiap
42 tahapan agar dalam satu kali pembelajaran semua tahapan dalam strategi REACT dapat terlaksana semua. Oleh karena itu, guru perlu memahami betul tahapan mana dalam strategi REACT yang membutuhkan waktu paling lama. Dalam penelitian tindakan kelas ini, tahapan yang membutuhkan waktu paling lama adalah Experiencing dan Applying. Denganmanajemen waktu yang baik inilah diharapkan dapat mengatasi kekurangan dari strategi REACT yang membutuhkan banyak waktu. Strategi REACT menuntut guru untuk menyiapkan penunjang lain seperti media atau pun sumber belajar lain untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya pada tahap relating dan experiencing. Tanpa media atau sumber belajar, siswa kesulitan dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Guru dapat memanfaatkan lingkungan sekitar untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran. e.
Langkah-langkah Penerapan Strategi REACT dalam Pembelajaran IPA Sesuai dengan singkatannya, langkah-langkah penerapan strategi REACT terdiri dari relating, experiencing, applying, cooperating¸ dan transferring. Di bawah ini dijelaskan langkah-langkah penerapan strategi REACT menurut Al- Tabany (2014) dan Crawford (2001) yang disarikan oleh peneliti sebagai berikut. 1) Siswa dikondisikan untuk siap belajar. 2) Siswa mendapatkan umpan lewat media yang dibawa guru dan mengaitkannya dalam kehidupan sehari-hari atau terhadap hal-hal yang pernah dialami siswa. Pada tahap ini, guru harus dapat mengaitkan pengetahuan siswa dan tidak sampai meluas melebihi tujuan pembelajaran yang akan dicapai (Relating). 3) Guru menjelaskan kegiatan eksperimen yang akan dilakukan. Siswa melakukan kegiatan eksperimen sesuai petunjuk guru. Siswa berkesempatan untuk menerapkan pengetahuan yang mereka miliki untuk membuktikan sebuah teori atau memecahkan sebuah
43 permasalahan yang sedang mereka hadapi. Guru membimbing siswa selama kegiatan eksperimen (Experiencing). 4) Siswa melakukan kegiatan eksperimen secara berkelompok. Siswa berkesempatan untuk saling bertukar pikiran, merespon, dan memberi masukan terhadap tugas proyek yang sedang mereka kerjakan.
Guru
memastikan
kegiatan
eksperimen
secara
berkelompok ini berjalan secara kondusif (Cooperating). 5) Setelah kegiatan eksperimen selesai, siswa diberi tugas untuk menyusun laporan kegiatan eksperimen pada lembar kegiatan eksperimen yang sudah disediakan guru. Meskipun kegiatan eksperimen dilaksanakan secara berkelompok tetapi laporan kegiatannya disusun secara individu (Applying). 6) Siswa memaparkan hasil eksperimennya sementara siswa lain memberikan tanggapan. Guru menyatukan pendapat-pendapat siswa untuk kemudian membuat kesimpulan bersama (Cooperating). 7) Siswa mentransfer pengetahuan yang telah diprosesnya tadi dengan mengerjakan soal evaluasi. Tujuannya untuk mengetahui sejauh mana siswa memahami pengetahuan yang ia dapatkan melalui kegiatan eksperimen (Transferring). 8) Guru menutup pembelajaran. 3.
Penelitian yang Relevan Penelitian ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Desi Rachmawati (2015) yang menyimpulkan bahwa penerapan strategi REACT dalam model pembelajaran Think Pair Share (TPS) di kelas VIII E SMP Negeri 14 Surakarta mengalami peningkatan dan mencapai target yaitu terjadi peningkatan keaktifan siswa untuk masing-masing jenis aktivitas sesuai dengan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan yaitu untuk visual activities sebesar 75% dan motor activities sebesar 65%. Peningkatan keaktifan siswa sesuai target telah terlaksana pada siklus II dengan indikator keberhasilan yang tercapai untuk masing-masing jenis aktivitas adalah untuk visual activities sebesar 77,45%, oral activities sebesar 70,22%, writing
44 activities sebesar 76,47% dan motor activities sebesar 82,35%. Persamaan penelitian ini yaitu pada variabel X yang sama-sama menggunakan strategi REACT sedangkan perbedaannya terletak pada waktu dan tempat penelitian, subjek penelitian, serta materi pelajaran. Penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Siti Mukaromah (2012) yang menyimpulkan bahwa kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa kelas VII SMP N 1 Mlarak mengalami peningkatan setelah melaksanakan pembelajaran melalui strategi REACT. Berdasarkan hasil jawaban tes setiap siswa, kemampuan penalaran matematis siswa meningkat dari 55,22% pada siklus I menjadi 76,53% pada siklus II. Sedangkan kemampuan komunikasi matematis siswa meningkat dari 59,88% pada siklus I menjadi 71,33% pada siklus II. Sementara berdasarkan hasil observasi pelaksanaan pembelajaran oleh guru matematika kelas VII SMP N Mlarak Kecamatan Mlarak, pelaksanaan pembelajaran matematika melalui strategi REACT juga mengalami peningkatan dari 75,71% pada siklus I menjadi 83,33% pada siklus II. Persamaan penelitian ini yaitu pada variabel X karena sama-sama menggunakan strategi REACT sedangkan perbedaannya terletak pada waktu dan tempat penelitian, subjek penelitian, serta materi pelajaran yang diteliti. Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian Ana Fauziah (2010) yang menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman matematika siswa yang pembelajarannya melalui strategi REACT lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya secara konvensional. Selain itu, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang pembelajarannya melalui strategi REACT lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang pembelajarannya secara konvensional. Berdasarkan perolehan nilai siswa sebelum dan sesudah pembelajaran dengan strategi REACT, diketahui terdapat peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa sebesar 56,5%. Sedangkan pada kemampuan pemecahan masalah, diketahui terdapat peningkatan kemampuan
45 pemecahan masalah matematik siswa sebesar 30,1%. Persamaan penelitian ini pada variabel X yaitu sama-sama menggunakan strategi REACT sedangkan perbedaannya pada waktu dan tempat penelitian. Selain waktu dan tempat penelitian, materi pelajaran, subjek penelitian, dan jenis penelitiannya juga berbeda. Jenis penelitian yang akan dilaksanakan peneliti ini adalah PTK sedangkan penelitian tersebut adalah penelitian eksperimen. Selain ketiga penelitian di atas, penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Susi Fitriani (2015) yang menyimpulkan bahwa terjadi peningkatan keterampilan bereksperimen melalui penggunaan model pembelajaran SETS (Science, Environment, Technology, And Society). Hal tersebut dibuktikan dengan meningkatnya nilai keterampilan bereksperimen siswa pada setiap siklus yaitu nilai rata-rata keterampilan bereksperimen siswa sebelum tindakan (prasiklus) hanya sebesar 65,8. Pada siklus I nilai rata-rata keterampilan bereksperimen siswa menjadi 69,7, pada siklus II meningkat menjadi 77,8, dan pada siklus II meningkat lagi menjadi 86,4. Sebelum dilaksanakan tindakan, siswa yang memperoleh nilai di atas KKM (≥75) hanya sebanyak 10 siswa (40%), pada siklus I meningkat menjadi 15 siswa (60%), pada siklus II meningkat lagi menjadi 19 siswa (76%), dan pada siklus III meningkat lagi menjadi 24 siswa (96%). Persamaan penelitian ini yaitu pada variabel Y karena sama-sama meningkatkan keterampilan bereskperimen sedangkan perbedaannya terletak pada waktu dan tempat penelitian serta subjek penelitian. Berdasarkan penelitian yang telah dikemukakan di atas dapat dijadikan tolak ukur dan pembanding dengan penelitian yang dilakukan, yaitu dengan penerapan strategi REACT (Relating, Experiencing, Appliying, Cooperating, Transferring) mampu meningkatkan keterampilan bereksperimen pada mata pelajaran IPA terhadap siswa kelas V-3 SD N Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta.
46 B. Kerangka Berpikir Pada kondisi awal pembelajaran IPA, guru belum menerapkan strategi pembelajaran yang inovatif secara tepat dan optimal sehingga menjadikan proses pembelajaran lebih berpusat kepada guru. Selain itu, kegiatan eksperimen jarang sekali dilakukan karena guru belum mengoptimalkan penggunaan media dan alat peraga yang menunjang kegiatan eksperimen. Kegiatan pembelajaran masih berfokus pada peningkatan aspek kognitif sehingga aspek keterampilan kurang mendapat
perhatian.
bereksperimen
Hal
ini
mengakibatkan
rendahnya
keterampilan
siswa kelas V-3 SD N Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta
khususnya pada mata pelajaran IPA. Berdasarkan
hal
tersebut,
maka
dilakukan
suatu
tindakan
untuk
meningkatkan keterampilan bereksperimen pada pembelajaran IPA terhadap siswa kelas V-3 SD N Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta. Penelitian ini dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dan guru kelas dengan menerapkan strategi REACT (Relating, Experiencing, Appliying, Cooperating, Transferring) dalam pembelajaran IPA khususnya pada materi sifat-sifat cahaya. Penerapan strategi REACT ini dilaksanakan dalam tiga siklus di mana masing-masing siklus terdiri dari perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Siklus II dilaksanakan berdasarkan refleksi dari siklus I. Selanjutnya siklus III dilaksanakan berdasarkan refleksi dari siklus II. Dalam penelitian ini ditetapkan indikator kinerja berupa persentase ketuntasan klasikal mencapai 90 % (31 dari 34 siswa) dengan kategori siswa terampil jika mendapatkan nilai ≥85. Kondisi akhir dalam penelitian ini dapat diperoleh bahwa melalui penerapan strategi REACT (Relating, Experiencing, Appliying, Cooperating, Transferring) dapat meningkatkan keterampilan keterampilan bereksperimen pada mata pelajaran IPA terhadap siswa kelas V-3 SD N Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta. Secara skematis kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan seperti berikut.
47
Kondisi Awal
Tindakan
Kondisi Akhir
Pembelajaran IPA di SD N Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta jarang melakukan kegiatan eksperimen, berfokus pada kognitif, belum mengoptimalkan media dan alat peraga
Pemberian tindakan dengan menerapkan strategi REACT (Relating, Experiencing, Appliying, Cooperating, Transferring) Keterampilan bereksperimen siswa kelas V-3 N Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta meningkat
Keterampilan bereksperimen siswa kelas V-3 N Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta rendah
1. 2. 3. 4.
Siklus I Perencanaan Tindakan Observasi Refleksi
1. 2. 3. 4.
Siklus II Perencanaan Tindakan Observasi Refleksi
1. 2. 3. 4.
Siklus III Perencanaan Tindakan Observasi Refleksi
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan landasan teori, penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas sebagai berikut: Penerapan strategi REACT (Relating, Experiencing, Appliying, Cooperating, Transferring) dapat meningkatkan keterampilan keterampilan bereksperimen pada pembelajaran IPA terhadap siswa kelas V-3 SD N Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta Tahun Ajaran 2015/ 2016.