BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Pembelajaran PKn pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar a. Karakteristik Siswa Kelas V Sekolah Dasar Pada masa usia siswa SD (sekitar 6-12 tahun) merupakan tahapan perkembangan penting dan bahkan paling mendasar bagi kesuksesan perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu, guru tidak mungkin mengabaikan kehadiran dan kepentingan mereka. Guru akan selalu dituntut untuk memahami dengan betul karakteristik siswa Sekolah Dasar. Menurut Faw dan Belkin (Budiman, 2006: 5) menyatakan, “Anak usia ini berada pada masa anak (childhood)”. Menurut Erikson (Budiman, 2006: 5) menyatakan bahwa, anak usia 6-12 tahun sebagai usia sekolah, dalam hal ini Sekolah Dasar. Karakteristik siswa SD secara umum dikemukakan oleh Bassett, et al (Sumantri dan Permana, 2001: 11) sebagai berikut: 1) Secara alamiah mereka memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan tertarik akan dunia sekitar mereka; 2) Mereka senang bermain dan lebih suka bergembira; 3) Mereka suka mengatur dirinya untuk menangani berbagai hal, mengeksplorasi situasi dan mencoba usaha-usaha baru; 4) Perasaan mereka bergetar dan terdorong untuk berprestasi sebagaimana mereka tidak suka dengan ketidakpuasan dan menolak kegagalan-kegagalan; 5) Mereka belajar secara efektif ketika mereka merasa puas dengan situasi yang terjadi; 6) Mereka belajar dengan cara bekerja, mengobservasi, berinisiatif, dan mengajar anak-anak lainnya. Menurut Indriyani (2015), anak kelas V SD berkisar usia 9-11 tahun yang mempunyai ciri yaitu sudah mulai berpikir logis terhadap objek yang konkret, mengurangi sikap egonya. Siswa kelas V berada pada tahap operasional konkret, yang mana rasa ingin tahu mereka sangat tinggi sehingga anak lebih suka untuk menyelidiki, menjelajah dan bereksplorasi sendiri, timbul minat ke hal-hal tertentu dan mereka senang membentuk kelompok-
8
9 kelompok sebaya. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajar di sekolah. Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik siswa kelas V SD cenderung memiliki batasan usia antara 9-11 tahun dan dalam tahapan usia tersebut anak didik masih berada dalam tahapan perkembangan penting sebagai dasar perkembangan selanjutnya. Dalam fase tersebut siswa kelas V SD masih senang bermain dan bergembira, memiliki rasa ingin tahu yang kuat, senang mengajar anak-anak lainnya, bekerja, mengobservasi dan berinisiatif. Pada dasar tersebut peneliti akan menerapkan model pembelajaran Role Playing dengan media konkret untuk diterapkan pada siswa kelas V SDN Kedungwaru. Diharapkan penerapan model tersebut dapat sesuai dengan karateristik siswa kelas V dan meningkatkan pembelajaran PKn. b. Hakikat Pembelajaran 1) Pembelajaran Istilah pembelajaran setara dengan istilah teaching atau instruction. Artinya, tidak ada pertentangan secara diametral antara pengajaran (teacher centered) dan pembelajaran (student centered) karena keduanya berjalan secara sinergis. Sehingga dapat diartikan dalam pengajaran guru belajar dan siswa dalam belajar juga mengajar. Pembelajaran dikondisikan agar mampu mendorong kreativitas anak secara keseluruhan, membuat siswa aktif, mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan berlangsung dalam kondisi menyenangkan (Suyono dan Hariyanto, 2014: 183). Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.” Terkait dengan
hakikat
dari
pembelajaran
Wenger
menyatakan
bahwa
pembelajaran bukanlah aktivitas, sesuatu yang dilakukan oleh seseorang ketika tidak melakukan aktivitas yang lain. Pembelajaran juga bukan
10 sesuatu yang berhenti untuk dilakukan oleh seseorang. Lebih dari itu, pembelajaran bisa terjadi dimana saja dan pada level yang berbeda-beda, secara individual, kolektif, ataupun sosial (Huda, 2014: 2). Pembelajaran diharapkan adanya suatu proses interaksi yang saling membangun antara pendidik dan peserta didik sehingga pembelajaran yang berlangsung dapat berjalan dengan penuh makna. Pembelajaran yang bermakna akan tertanam pada diri siswa dan dari proses pembelajaran tersebut akan diperoleh hasil belajar yang memuaskan baik ditinjau dari penilaian proses maupun penilaian hasil. Pembelajaran yang berbobot seharusnya memiliki tujuan agar pendidik dan peserta didik dalam melaksanakan pembelajaran memiliki rumusan masalah yang harus diselesaikan. Tujuan pembelajaran yang ideal menurut Mitchell (Suyono dan Hariyanto, 2014: 209) menyatakan sebagai berikut: a) Siswa aktif dan perhatiannya terfokus kepada pembelajaran; b) Berupaya dan menyelesaikan tugas dengan benar; c) Siswa mampu menjelaskan hasil belajarnya; d) Siswa difasilitasi untuk berani menyatakan kepada guru tentang apa yang belum dipahami; e) Siswa berani menyatakan ketidaksetujuan; f) Siswa dimotivasi untuk berani meminta informasi yang relevan dengan topik bahasan lebih lanjut; g) Siswa terbiasa melakukan cek terhadap hasil kerja, jika menjumpai kesalahan segera memperbaiki kesalahannya; h) Siswa didorong untuk terbiasa mencari alasan mengapa hasil kerja menjadi salah; i) Menghubungkan masalah dengan pengalaman pribadi atau kehidupan nyata maupun anekdot; j) Siswa dibiasakan bertanya dengan pertanyaan yang mencerminkan
keingintahuan;
k)
Siswa dimotivasi
untuk
mengembangkan isu yang muncul di kelas; l) Siswa dibiasakan membentuk atau mengembangkan kaitan antara topik dan subjek yang berbeda, atau antara kehidupan nyata dengan tugas-tugas sekolah; m) Bila menghadapi jalan buntu, siswa difasilitasi untuk mengecek hasil kerja terdahulu sebelum meminta bantuan kepada orang lain (guru, siswa lain); n) Doronglah siswa agar mampu berinisiatif mewujudkan sejumlah
11 kegiatan yang relevan; o) Fasilitasi agar siswa terbentuk sebagai pribadi yang tabah tahan uji, tangguh, tidak mudah menyerah; p) Siswa diakomodasi untuk mampu bekerjasama (bukan dalam ujian); q) Tawarkan kepada siswa gagasan alternatif atau pemahaman baru; r) Pertimbangkan semua gagasan atau alternatif pemecahan masalah; s) Lihatlah kemungkinan untuk memperluas pemahaman. Menurut beberapa pendapat di atas mengenai pembelajaran dapat disimpulkan bahwa pembelajaran wajib melibatkan adanya pendidik dan peserta didik dalam melakukan proses transfer of knowledge atau proses interaksi dalam menyampaikan pengetahuan–pengetahuan yang mana kedua pelaku pembelajaran tersebut saling melengkapi kekurangankekurangan yang ada dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Apabila pendidik dan peserta didik melaksanakan perannya dengan tidak mengabaikan tujuan-tujuan dari pembelajaran maka pembelajaran akan berjalan dengan baik dan tujuan dari pembelajaran yang ingin dicapai akan terwujud baik dalam segi proses maupun hasil. 2) Belajar Menurut Suyono dan Hariyanto (2014: 9), belajar adalah suatu proses atau aktivitas untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperoleh sikap, dan mengokohkan kepribadian. Dalam konteks menjadi tahu atau memperoleh pengetahuan, menurut pemahaman sains konvensional, kontak manusia dengan alam diistilahkan dengan pengalaman (experience). Pengalaman yang terjadi berulang kali dilahirkan pengetahuan (knowledge). Pengetahuan dianggap suatu hal yang terserak di alam, dan siswa dituntut untuk mengeksplorasi atau menggali serta menemukan kemudian memungutnya untuk memperoleh pengetahuan. Pengertian mengenai belajar dari Hilgard (Suyono dan Hariyanto, 2014: 12) menjelaskan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan perilaku akibat respons suatu situasi. Menurut Gagne, belajar adalah
proses
perubahan
perilaku
dalam
diri
individu
seperti
kecenderungan manusia seperti sikap, minat, atau nilai, dan perubahan
12 kemampuannya, yaitu kemampuan untuk melakukan berbagai jenis kinerja (Suyono dan Hariyanto, 2014: 12). Berdasarkan beberapa penjelasan di atas mengenai belajar dapat disimpulkan bahwa belajar adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh individu dalam rangka merubah perilakunya untuk menjadi lebih baik dan perubahan perilaku tersebut tidak hanya bersifat sementara, melainkan tertanam secara permanen dalam diri individu tersebut. 3) Hasil Belajar Menurut
Sudjana
(2013:
22),
“…hasil
belajar
adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.” Bloom (Sudjana 2013: 22) menyampaikan tiga ranah klasifikasi hasil belajar yang meliputi ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Ketiga ranah tersebut dapat dijelaskan secara rinci, yaitu ranah kognitif berupa pengetahuan, ranah afektif atau pembelajaran yang dinilai dari sikap yang diperoleh untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat setelah pelaksanaan pembelajaran untuk mengetahui hasil belajarnya, ranah psikomotor berupa kemampuan gerak siswa. Ketiga ranah tersebut diperoleh dari dua macam penilaian yang meliputi penilaian proses dan penilaian hasil. Macam-macam hasil belajar menurut Kingsley terbagi tiga macam, yaitu: (a) keterampilan dan kebiasaan; (b) pengetahuan dan pengertian (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima kategori hasil belajar, yaitu: (a) informasi verbal; (b) keterampilan intelektual; (c) strategi kognitif; (d) sikap; dan (e) keterampilan motoris (Sudjana, 2013: 22). Berdasarkan pendapat-pendapat di atas mengenai hasil belajar dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan ability, attitude, and skill atau berbagai macam kemampuan, sikap, dan keterampilan yang harus dicapai dan dimiliki siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah dilaksanakan atau pengalaman belajarnya.
13 Berdasarkan berbagai macam pendapat di atas mengenai hakikat pembelajaran yang meliputi pembelajaran, belajar, dan hasil belajar dapat disimpulkan bahwa hakikat pembelajaran adalah proses interaksi dalam menyampaikan pengetahuan–pengetahuan yang mana kedua pelaku pembelajaran, yaitu guru dan siswa saling melengkapi kekurangankekurangan yang ada dalam proses pembelajaran yang berlangsung sehingga diperoleh hasil belajar yang berupa ability, attitude, and skill atau berbagai macam kemampuan, sikap, dan keterampilan yang harus dicapai dan dimiliki siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah dilaksanakan atau pengalaman belajarnya. c. Pembelajaran PKn di Sekolah Dasar 1) Pengertian Pembelajaran PKn di Sekolah Dasar Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) atau Civics memiliki banyak pengertian atau istilah. Somantri menyatakan bahwa, pengertian Civics sebagai ilmu kewarganegaraan membicarakan hubungan manusia dengan: a) manusia dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganisasi (organisasi sosial, ekonomi, dan politik); b) individuindividu dengan negara. Menurut Edmonson, makna civics selalu didefinisikan
sebagai
sebuah
studi
tentang
pemerintahan
dan
kewarganegaraan yang terkait dengan kewajiban, hak, dan hak-hak istimewa warga negara (Hidayat dan Azra, 2008: 5). Istilah yang sama maknanya dengan civics adalah citizenship. Dimon (Hidayat dan Azra, 2008: 5) menyatakan, “Citizenship as relates to school activities has two fold meanings. In a narrow-sense, citizenship includes only legal status in country and the activities closely related to the political functionvoting, governmental organization, holding of office, and legal right and responsibility….” Berdasarkan pengertian di atas bahwasanya citizenship dan civics memiliki kaitan erat dengan urusan warga negara dan negara. Menurut Somantri menjelaskan beberapa ciri dari Pendidikan Kewarganegaraan yaitu: (a) Civic Education yang artinya kegiatan meliputi seluruh program
14 sekolah; (b) Civic Education meliputi bermacam-macam kegiatan belajar mengajar yang dapat menumbuhkan hidup dan perilaku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis; (c) dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi, dan syarat-syarat objektif untuk hidup bernegara. Dengan kata lain Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) adalah suatu program pendidikan yang berusaha menghubungkan unsur-unsur substantif dari komponen Civic Education di atas melalui model pembelajaran yang demokratis, interaktif serta humanis dalam lingkungan yang demokratis (Hidayat dan Azra, 2008: 7). Berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa, kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi memuat adanya Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran yang wajib diadakan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang SNP) pada pasal 6 ayat 4 menyatakan bahwa, setiap kelompok mata pelajaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan secara holistic sehingga pembelajaran masing-masing kelompok mata pelajaran ikut mewarnai pemahaman dan atau penghayatan peserta didik. Sedangkan pada pasal 7 ayat 2 menyatakan bahwa, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian pada SD atau sederajat, SMP atau sederajat, SMA atau sederajat. Dalam konteks tersebut, khususnya pada jenjang
pendidikan
dasar
dan
menengah,
sekolah
seharusnya
dikembangkan sebagai pranata atau tatanan sosial-pedagogis yang kondusif atau memberi suasana bagi tumbuh kembangnya berbagai kualitas pribadi peserta didik. Pengertian dari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Sumarni (2014) menyatakan, “Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memiliki karakteristik spesifik dalam hal orientasinya untuk membentuk pribadi siswa agar menjadi warga negara yang
15 memiliki pemahaman, penghayatan, dan kesadaran yang tinggi akan hak-hak dan kewajiban serta mampu dan cakap melaksanakan kedalam kehidupan sehari disegala bidang kehidupan, oleh karena itu aktivitas pembelajaran mempunyai peran penting dalam proses pembelajaran.” Mata pelajaran PKn sebagai pembelajaran bagi peserta didik juga memiliki tujuan tersendiri untuk menciptakan warga negara yang mampu diharapkan sebagai generasi penerus bangsa. Pembelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan
menekankan
berbagai macam ranah tidak hanya ranah kognitif yang berupa pengetahuan-pengetahuan dasar untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa akan tetapi lebih mengutamakan tiga ranah seperti yang dijelaskan Bloom (Sudjana 2013: 22), menyampaikan tiga ranah klasifikasi hasil belajar yang meliputi ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Ketiga ranah tersebut dapat dijelaskan secara rinci, yaitu ranah kognitif berupa pengetahuan, ranah afektif atau pembelajaran yang dinilai dari sikap yang diperoleh untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat setelah pelaksanaan pembelajaran untuk mengetahui hasil belajarnya, ranah psikomotor berupa kemampuan gerak siswa. Ketiga ranah tersebut diperoleh dari dua macam penilaian yang meliputi penilaian proses dan penilaian hasil. Dalam beberapa ranah yang telah dijelaskan di atas dijelaskan secara rinci lagi menjadi beberapa jenjang untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan siswa dalam proses pembelajaran yang berlangsung, yaitu ranah kognitif yang terbagi menjadi pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi, ranah afektif yang berisikan kemampuan siswa
untuk
penerimaan,
partisipasi,
penilaian,
organisasi,
dan
karakterisasi, ranah psikomotor yang berisikan kemampuan siswa untuk imitasi, manipulasi, artikulasi, naturalisasi, dan kreativitas. Berdasarkan beberapa pendapat di atas mengenai pengertian pembelajaran PKn di SD dapat disimpulkan bahwa pengertian dari pembelajaran PKn adalah pembelajaran yang berhubungan erat dalam
16 mempelajari tentang kepribadian, sosial, dan tata cara hidup berwarga negara yang baik dengan pilar utama dasar negara yang mana di Indonesia menganut sistem Pancasila. Selain itu, Pendidikan Kewarganegaan merupakan mata pelajaran yang wajib dilaksanakan pada semua tingkat pendidikan di Indonesia untuk menciptakan warga negara yang cinta akan jati dirinya. 2) Tujuan Pembelajaran PKn di Sekolah Dasar Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk membangun karakter (character building) bangsa Indonesia yang antara lain: (a) membentuk kecakapan partisipatif warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (b) menjadikan warga negara Indonesia yang cerdas, aktif, kritis, dan demokratis, namun tetap memiliki komitmen menjaga persatuan dan integritas
bangsa;
(c)
mengembangkan
kultur
demokrasi
yang
berkeadaban, yaitu kebebasan, persamaan, toleransi, dan tanggung jawab (Hidayat dan Azra, 2008: 9). Menurut penjelasan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 ayat 1 menyatakan,
“Pendidikan
kewarganegaraan
dimaksudkan
untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.” Ruminiati (Barokah, 2013), memberi penjelasan bahwa pembelajaran PKn adalah pembelajaran bertujuan untuk membentuk watak atau karakteristik warga negara yang baik, yaitu warga negara yang tahu, mau, dan sadar akan hak dan kewajibannya. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat menjadi bangsa yang terampil, cerdas dan bersikap baik, serta mampu mengikuti kemajuan teknologi modern. Menurut Somantri (Mubarokah, dkk. 2012) tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warga negara agar menjadi warga negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan “Warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis, dan Pancasila sejati.” Tujuan pembelajaran PKn dalam Depdiknas (2006) menjelaskan beberapa kompetensi sebagai berikut:
17 a. Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan; b. Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain; d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas tujuan dari pembelajaran PKn di SD dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran PKn di SD bertujuan untuk membentuk warga negara yang cakap dalam kemampuan berpikir, kepribadian, jiwa sosial, dan tata cara melaksanakan kehidupan bernegara yang melingkupi hak dan kewajiban dalam bernegara, serta sikap cinta tanah air yang dimulai dari usia Sekolah Dasar. 3) Ruang Lingkup Pembelajaran PKn di Sekolah Dasar Ruang lingkup materi Pendidikan Kewarganegaraan terdiri dari tiga materi pokok yaitu, demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani (civil society). Ketiga materi tersebut dielaborasikan menjadi sembilan materi yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Kesembilan materi tersebut adalah: (1) Pendahuluan; (2) Identitas Nasional dan Globalisasi; (3) Demokrasi (Teori dan Praktik); (4) Konstitusi dan Tata Perundang-undagan Indonesia; (5) Negara (Agama dan Warga Negara); (6) Hak Asasi Manusia; (7) Otonomi Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; (8) Tata Kelola Kepemerintahan yang Bersih dan baik (Clean and Good Governance); dan (9) Masyarakat Madani (Civil Society) (Hidayat dan Azra, 2008: 9). Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tahun 2006 (KTSP 2006) tingkat Sekolah Dasar cangkupan Pendidikan Kewarganegaraan meliputi, kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajiban negara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Kesadaran wawasan
18 termasuk wawasan kebangsaan, jiwa, dan patriotisme bela Negara, penghargaan
terhadap
HAM,
kemajemukan
bangsa,
pelestarian
lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas mengenai ruang lingkup PKn di SD dapat disimpulkan bahwa PKn memiliki ruang lingkup yang cukup luas yang mana di dalamnya termuat tiga materi pokok, yaitu: demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani (civil society). Ketiga materi pokok tersebut dijabarkan menjadi berbagai macam konsep yang pada dasarnya selalu berhubungan dengan kepribadian, sosial, dan tata cara hidup berwarga negara yang baik dengan pilar utama dasar negara yang mana di Indonesia menganut sistem Pancasila. Peneliti dalam hal ini mengaitkan ketiga materi pokok tersebut ke dalam materi yang berjudul menghargai keputusan bersama. 4) Materi Menghargai Keputusan Bersama Kelas V Sekolah Dasar a) Silabus Peneliti dan guru kelas melaksanakan diskusi untuk menentukan indikator dalam silabus yang digunakan pada RPP siklus I, II, dan III. Indikator-indikator tersebut disesuaikan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang sudah ditetapkan oleh pihak sekolah. Standar isi mata pelajaran PKn SD/MI disesuaikan dengan kurikulum untuk kelas V semester II. Hasil diskusi peneliti dan guru kelas mengenai silabus adalah sebagai berikut:
19 Tabel 2.1. Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator Pelajaran PKn Kelas V SD Semester II Standar Kompetensi Indikator Kompetensi Dasar 4. Menghargai 4.1 Mengenal keputusan bentuk-bentuk bersama. keputusan bersama.
4.1.1 Menjelaskan definisi keputusan bersama. 4.1.2 Menjelaskan bentuk-bentuk keputusan bersama. 4.1.3 Menganalisis bentuk-bentuk keputusan bersama. 4.1.4 Merumuskan bentuk-bentuk keputusan bersama 4.1.5 Menjelaskan prinsip-prinsip musyawarah dan mufakat. 4.1.6 Menganalisis nilai-nilai dasar bermusyawarah 4.2 Memahami 4.2.1 Menjelaskan ciri-ciri keputusan keputusan bersama, serta bersama. musyawarah dan mufakat. 4.2.2 Menjelaskan asas-asas keputusan bersama 4.2.3 Menjelaskan manfaat keputusaan bersama. 4.2.4 Menganalisis nilai-nilai sila keempat Pancasila dalam keputusan bersama. 4.2.5 Menentukan sikap yang tepat terhadap keputusan bersama. 4.2.6 Merumuskan tata cara menghargai keputusan bersama.
(Untuk lebih jelas silabus dapat dilihat pada lampiran 3 halaman 190-191)
b) Materi Menghargai Keputusan Bersama (1) Pengertian Keputusan Bersama Perbedaan pendapat yang terjadi dalam kehidupan berkeluarga maupun kehidupan bermasyarakat dapat diselesaikan dengan cara menetapkan keputusan bersama. Keputusan bersama adalah keputusan yang melibatkan semua orang yang memiliki suatu atau segala bentuk kepentingan yang menyangkut urusan
20 bersama. Keputusan bersama wajib melibatkan semua anggota organisasi. Keputusan bersama harus dilakukan karena dalam organisasi terdapat banyak orang yang memiliki pengaruh dalam keputusan yang diambil. Dalam organisasi, kita tidak bisa menyerahkan segala bentuk keputusan kepada satu orang. Keputusan juga tidak boleh diserahkan kepada ketua organisasi saja ataupun diserahkan kepada wakil ketua organisasinya. Semua warga organisasi harus terlibat dalam pengambilan segala bentuk keputusan. (2) Bentuk-Bentuk Keputusan Bersama Dalam sebuah organisasi, keputusan bersama dapat diambil melalui tiga cara yang baik dan tidak merugikan dan lebih penting adalah demi kesejahteraan bersama. Pertama, melalui kegiatan yang disebut dengan musyawarah untuk mufakat. Kedua, melalui pemungutan suara atau voting. Ketiga, melalui kegiatan aklamasi. (3) Penjelasan Mengenai Bentuk-Bentuk Keputusan Bersama (a) Musyawarah untuk mufakat Musyawarah
untuk
mufakat
adalah
bentuk
pengambilan keputusan bersama yang memiliki prinsip untuk mengedepankan kebersamaan. Musyawarah dilakukan dengan cara mempertemukan semua pendapat yang berbeda-beda. Setelah semua pendapat didengar dan ditampung, pendapat yang paling baik akan disepakati bersama. Dari berbagai pendapat, tentunya tidak mudah menentukan pendapat yang terbaik. perlu pemikiran yang sangat matang agar pendapat tersebut dapat dipertimbangankan dengan baik. Biasanya semua orang selalu akan mengatakan bahwa pendapatnya yang terbaik. Jika kalian mengajukan sebuah pendapat, pasti kalian akan menganggap pendapat kalianlah yang paling baik. Ketika seluruh pendapat sudah dikemukakan, pembicaraan
21 pun terjadi. Setelah dipertimbangkan akhirnya satu pendapat disepakati. Itulah yang kemudian disebut mufakat atau kesepakatan bersama. Dengan jalan mufakat, diharapkan keputusan bersama yang diambil mencerminkan semua pendapat. Dengan demikian, tidak ada lagi anggota yang merasa bahwa pendapatnya tidak diperhatikan. Musyawarah untuk mufakat biasanya dilakukan dalam organisasi yang jumlah anggotanya sedikit. Misalnya, keluarga, Rukun Tetangga (RT), atau Desa. Mereka berkumpul di suatu pertemuan atau majelis, semuanya duduk bersama membahas persoalan yang perlu mereka musyawarahkan. (b) Pemungutan Suara Cara musyawarah untuk mufakat tidak selalu membuahkan hasil. Hal ini terjadi bila ada perbedaan pendapat tidak dapat diselesaikan. Misalnya, beberapa pendapat dianggap sama baiknya atau karena beberapa pendapat dianggap tidak menguntungkan semua pihak. Jika demikian, ditempuhlah pemungutan suara atau voting. Tujuannya untuk mendapatkan keputusan bersama. Pemungutan suara biasanya disepakati oleh tiap-tiap pendukung pendapat yang berbeda. Sebelum dilakukan, diadakan kesepakatan. Yakni setiap anggota akan menerima pendapat yang didukung oleh suara terbanyak. Voting merupakan cara kedua jika cara musyawarah untuk mufakat gagal dilakukan. Sebelum voting dilaksanakan, perlu diperhatikan beberapa hal berikut: Voting ditempuh setelah musyawarah untuk mufakat sudah dilaksanakan. Voting dilakukan karena ketidakmungkinan menempuh musyawarah untuk mufakat lagi. Ketidakmungkinan ini disebabkan munculnya beragam pendapat yang bertentangan. Pertentangan inilah yang mencegah pencapaian kata mufakat.
22 Voting dilakukan karena sempitnya waktu, sementara keputusan harus segera diambil. Voting dilakukan setelah semua peserta musyawarah mempelajari setiap pendapat yang ada Voting dilakukan jika peserta musyawarah hadir mencapai kuorom Voting dianggap sah sebagai keputusan jika separuh lebih peserta yang hadir menyetujuinya. Dalam Voting, pendapat yang memperoleh suara terbanyak menjadi keputusan bersama. Dengan demikian, pendapat lain yang mendapat suara lebih sedikit terpaksa diabaikan. Selanjutnya, anggota yang pendapatnya kalah harus menyepakati pendapat yang menang. Voting tidak hanya dilaksanakan jika kata mufakat tidak dapat digunakan tetapi juga jika musyawarah tidak dapat dilaksanakan. Misalnya, pilkada, pilpres, dan pilkades. (c) Aklamasi Ada kalanya keputusan bersama tidak diambil dengan mufakat atau voting, tetapi dengan cara aklamasi. Aklamasi adalah pernyataan setuju secara lisan dari seluruh anggota kelompok. Pernyataan setuju ini dilakukan untuk melahirkan keputusan bersama. Pernyataan setuju dilakukan tanpa melalui pemungutan suara. Aklamasi terjadi karena adanya pendapat yang dikehendaki oleh semua anggota kelompok. Keputusan bersama yang disetujui dengan cara aklamasi ini harus dilaksanakan oleh seluruh anggota. (4) Prinsip-Prinsip Musyawarah dan Mufakat Dalam pelaksanaan muyawarah untuk mencapai mufakat kita
harus
berpedoman
pada
prinsip-prinsip
dan
musyawarah antara lain: (a) Dilandasi akal sehat dan hati nurani yang luhur. (b) Dilandasi semangat kekeluargaan dan gotong royong. (c) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
aturan
23 (d) Menghargai pendapat oranglain dan tidak memaksakan kehendak. (e) Dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat, serta nilai-nilai kebenaran. (f) Melaksanakan keputusan bersama dengan dilandasi itikad baik dan penuh rasa tanggung jawab. (5) Nilai-Nilai Dasar Bermusyawarah Ada beberapa nilai dasar yang harus duperhatikan dalam melakukan musyawarah. Beberapa nilai dasar tersebut antara lain: (a) Kebersamaan; (b) Persamaan hak; (c) Kebebasan mengemukakakn pendapat; (d) Penghargaan terhadap pendapat orang lain; dan (e) Pelaksanaan hasil keputusan secara bertanggung jawab. Kebersamaan dan tujuan bersama merupakan asal-usul organisasi. Tanpa adanya kebersamaan dan tujuan bersama, mustahil ada sebuah organisasi ketika mengadakan musyawarah, nilai-nilai dasar tersebut tidak boleh ditinggalkan. Persamaan hak adalah tidak adanya perbedaan pada setiap anggota musyawarah sehingga semua suara dianggap setara. Kebebasan mengemukakan pendapat adalah tidak adanya batasan dalam berpendapat, semua memiliki hak sebebas-bebasnya dalam mengemukakan pendapat dengan benar. Penghargaan pendapat orang lain adalah suatu bentuk tingkah laku yang wajib dilakukan semua anggota suapaya menghindari perselisihan. Pelaksanaan hasil keputusan secara bertanggung jawab adalah melaksanakan segala bentuk keputusan yang telah disepakati dengan baik tanpa adanya pengecualian.
24 (6) Ciri-Ciri Keputusan Bersama Keputusan bersama terutama pelaksanaan musyawarah dan mufakat mempunyai ciri-ciri yang mana ciri-ciri tersebut antara lain: (a) Sesuai dengan kepentingan bersama; (b) Pembicara harus dapat diterima dengan akal sehat sesuai hati nurani; (c) Usul atau pendapat yang disampaikan mudah dipahami dan tidak memberatkan; (d) Dalam proses mengambil keputusan bersama moral lebih dipertimbangkan dan bersumber dari hati nurani yang luhur dan sebagainya; (7) Asas-Asas Keputusan Bersama Dalam melaksanakan keputusan bersama, ada asas-asas yang harus dijunjung tinggi. Asas-asas tersebut yaitu, asas kekeluargaan dan asas gotong royong. Dalam melaksanakan keputusan bersama, asas kekeluargaan tentu lebih diutamakan. Asas kekeluargaan memandang setiap anggota kelompok sebagai keluarga sendiri. Semua anggota diperlakukan sama. Semua anggota kelompok juga harus melaksanakan keputusan bersama. Tidak pandang bulu termasuk diantaranya ketua dan pengurus lain. Kelompok ibarat sebuah keluarga. Setiap anggota wajib membantu yang lain. Dalam melaksanakan keputusan bersama semua anggota juga harus memperhatikan asas gotong royong yang artinya, dengan gotong royong semua urusan akan jauh lebih mudah dilaksanakan. Tidak ada perbedaan antara anggota dan pengurus, semua harus bergotong royong untuk mencapai tujuan bersama. Dengan begitu, keadilan ditegakkan. Tidak ada anggota yang merasa dirugikan. Semua melaksanakan kewajiban yang sama. Semua juga mendapatkan hak yang seimbang.
25 (8) Manfaat Keputusan Bersama Melaksanakan keputusan bersama secara kekeluargaaan mempunyai beberapa manfaat. Beberapa manfaat tersebut antara lain sebagai berikut: Semua anggota merasa memiliki kedudukan yang sama; Terciptanya keadilan antar anggota; Setiap anggota melaksanakan keputusan bersama dilandasi rasa tanggung jawab. (9) Nilai-Nilai ke Empat Pancasila dalam Keputusan Bersama Dengan menerima dan menaati keputusan bersama, kita telah mengamalkan Pancasila. Tepatnya, kita telah mengamalkan isi dari Pancasila, yiatu sila pertama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, sila kedua menganai kemanusiaan yang adil dan beradab, sila ketiga persatuan Indonesia, sila keempat tersebut berbunyi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Setiap sila memiliki esensi tentang hal yang dibahas tiap poin masing-masing. Sesuai dengan yang telah diungkapkan dengan bunyi setiap sila dalam sila-sila tersebut juga memiliki nilai yang luhur. Sila yang berhubungan dengan keputusan bersama adalah sila ke empat dalam Pancasila, nilai-nilai sila keempat Pancasila tersebut adalah: (a) Setiap warga Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama; (b) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain; (c) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. (d) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan; (e) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah; (f) Menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah dengan penuh
tanggung
jawab;
(g)
Musyawarah
mengutamakan
kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan; (h)
26 Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur; (i) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa; (j) Keputusan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia; (k) Keputusan tersebut mencakup nilai-nilai kebenaran dan keadilan; (l) Keputusan bersama mengutamakan persatuan dan kesatuan
demi
kepercayaan
kepentingan
kepada
bersama.
wakil-wakil
yang
(m)
Memberikan
dipercayai
untuk
melaksanakan musyawarah. (10) Menentukan Sikap yang Tepat Terhadap Keputusan Bersama Dalam bermusyawarah, seluruh peserta musyawarah diberi hak yang sama untuk mengemukakan pendapat/ Mereka bebas mengungkapkan ide. Maksud bebas adalah tidak ada paksaan dari orang lain. Dia bebas mengutarakan pendapatnya. Dalam berpendapat, seseorang tidak boleh dipaksa oleh orang lain. Oleh karena itu, seluruh peserta musyawarah harus mendegarkan setiap orang yang sedang berpendapat. Setiap pendapat yang muncul harus dihargai. Keputusan suatu organisasi disebut keputusan bersama. Keputusan tersebut mewadahi semua pendapat yang muncul. Keputusan bersama haruslah mewakili kepentingan seluruh anggota organisasi. Dala musyawarah tidak boleh ada pemaksaan kehendak dalm musyawarah tidak boleh pula menindas dan ada yang ditindas. Hasil keputusan musyawarah tidak boleh menguntungkan satu pihak saja dan merugikan pihak yang lain. Keputusan bersama haruslah menguntungkan semua pihak. Keputusan bersama harus memunculkan rasa keadilan. Keputusan bersama tidak bisa diputuskan oleh satu atau dua orang saja. Semua anggota yang memiliki kepentingan haruslah dilibatkan. Jika keputusan telah ditetapkan baik melalui cara musyawarah, voting, maupun aklamasi sebagai anggota harus
27 wajib menerima dan mematuhi keputusan tersebut. Tentu dalam menerima dan mematuhi suatu keputusan jika tidak memiliki pendapat yang sama akan merasa kesulitan. Namun, sekali keputusan sudah diambil maka keputusan tersebut bersifat mutlak. d. Penilaian PKn Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang SNP) pada pasal 1 ayat 17 menyatakan bahwa, “Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.” Menurut Sudjana (2013: 22), “Penilaian adalah upaya atau tindakan untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai atau tidak.” Sumarni (2014) menyatakan bahwa pentingnya hasil pembelajaran dalam Pendidikan Kewarganegaraan harus mencakup 3 ranah dari ketiga ranah inilah penilaian didapatkan, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam hasil pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, ketiga ranah tersebut harus dinilai secara merata agar pembelajaran mendapat hasil yang maksimal. Ketiga ranah tersebut terbagi lagi menjadi beberapa jenjang dalam setiap bagian, yaitu ranah kognitif (pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi), ranah afektif (penerimaan, partisipasi, penilaian, organisasi, dan karakterisasi), ranah psikomotor (imitasi, manipulasi, artikulasi, naturalisasi, dan kreativitas). Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa penilaian PKn adalah proses pengumpulan dan pengolahan data yang meliputi 3 ranah yaitu, kognitif, afektif, dan psikomotor untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran itu tercapai atau tidak. Peneliti dalam hal ini menggunakan ketiga ranah tersebut yaitu, kognitif, afektif, dan psikomotor untuk penelitian tindakan kelas yang akan dilaksanakan dan untuk menilai pembelajaran dalam mata pelajaran PKn di Sekolah Dasar.
28 e. Peningkatan Pembelajaran PKn di Sekolah Dasar Peningkatan pembelajaran PKn di Sekolah Dasar tidak hanya berfokus kepada hasil belajarnya saja melainkan harus memperhatikan prosesnya yang berarti, tentang bagaimana siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran dan bagaimana siswa mengasah kemampuan-kemampuan yang dimilikinya setelah ia mendapatkan pengalaman belajarnya selama proses pembelajaran untuk menciptakan peserta didik yang berkualitas dan cakap dalam pembelajaran PKn. Dalam peningkatan pembelajaran PKn tersebut juga wajib memuat 3 ranah meliputi, kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagai dasar untuk mencapai peningkatan pembelajaran yang maksimal. 2. Model Pembelajaran Role Playing dengan Media Konkret a. Hakikat Model Pembelajaran 1) Pengertian Model Pembelajaran Mengenai definisi model pembelajaran menurut Anitah (Wiranto, 2013), “Model adalah suatu kerangka berpikir yang dipakai sebagai panduan untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka mencapai tujuan tertentu.” Menurut Suprijono (Wiranto, 2013), “Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagi kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.” Menurut Wiranto (2013), model pembelajaran adalah kerangka atau rencana sebagai prosedur membentuk, mengorganisasikan, melaksanakan kegiatan pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan beberapa pendapat di atas mengenai model pembelajaran dapat disimpulkan bahwa pengertian model pembelajaran adalah panduan prosedur sistematis yang berbentuk suatu kerangka berpikir untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. 2) Macam-Macam Model Pembelajaran Menurut Huda (2014: 109) model model pembelajaran digolongkan menjadi beberapa macam salah satunya adalah model-model pembelajaran Interaksi Sosial yang mana di dalamnya termuat beberapa
29 model antara lain: (1) model kooperatif; (2) model bermain peran; dan (3) model penelitian yuridis. Uno (2007: 25) menjelaskan model-model pembelajaran dikategorikan berdasarkan pendekatan yang digunakan yang mana salah satunya adalah model pembelajaran sosial yang menekankan hubungan antara individu dengan masyarakat. Model tersebut digolongkan menjadi tiga jenis antara lain: (1) model pembelajaran bermain peran; (2) model pembelajaran simulasi sosial; dan (3) model pembelajaraan telaah atau kajian yurisprudensi. Dari berbagai macam pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ada berbagai macam model pembelajaran yang berkembang dalam pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan suatu pembelajaran yang mana meliputi proses dari pembelajaran dan hasil belajar yang berlangsung. Model-model tersebut dikembangkan atas dasar perbedaan karakteristik maupun kelebihan dan kekurangan yang terkandung pada model tersebut. Peneliti dalam hal ini akan menerapkan model Role Playing dalam penelitian tindakan kelas yang akan dilaksanakan untuk meningkatkan pembelajaran PKn pada kelas V SD. 3) Model Pembelajaran Role Playing a) Pengertian Model Pembelajaran Role Playing Model Role Playing (bermain peran) merupakan sebuah model pengajaran yang berasal dari dimensi pendidikan individu maupun sosial. Model ini membantu siswa untuk menemukan makna pribadi dalam dunia sosial mereka dan membantu memecahkan dilema pribadi dengan bantuan kelompok. Dalam dimensi sosial, model ini memudahkan individu untuk bekerjasama dalam menganalisis kondisi sosial, khususnya masalah kemanusiaan. Model ini juga menyokong beberapa cara dalam proses pengembangan sikap sopan dan demokratis dalam menghadapi masalah. Esensi Role Playing adalah keterlibatan partisipan dan peneliti dalam situasi permasalahan dan adanya keinginan untuk memunculkan resolusi damai serta memahami apa yang dihasilkan dari keterlibatan langsung ini. Role Playing berfungsi
30 untuk (1) mengeksplorasi perasaan siswa, (2) menransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan persepsi siswa, (3) mengembangkan skill pemecahan masalah dan tingkah laku, dan (4) mengeksplorasi materi pelajaran dengan cara yang berbeda (Huda, 2014: 115-116). Pembelajaran Role Playing sebagai model pembelajaran memiliki tujuan untuk membantu siswa menemukan makna diri (jati diri) di dunia sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan kelompok. Artinya, melalui bermain peran siswa belajar menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran yang berbeda dan memikirkan perilaku dirinya dan perilaku orang lain. Proses bermain peran ini dapat memberikan contoh kehidupan perilaku manusia yang berguna sebagai sarana bagi siswa untuk: (l) menggali perasaannya, (2) memperoleh inspirasi dan pemahaman yang berpengaruh terhadap sikap, nilai, dan persepsinya, (3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah, dan (4) mendalami mata pelajaran dengan berbagai macam cara. Apabila memahami keempat hal tersebut maka manfaat bagi siswa pada saat terjun ke masyarakat ia akan mendapatkan diri dalam suatu situasi di mana begitu banyak peran terjadi, seperti dalam lingkungan keluarga, bertetangga, lingkungan kerja, dan lainlain (Uno, 2007: 26). Berdasarkan penjelasan di atas pengertian model pembelajaran Role Playing adalah model yang dinilai cukup tepat jika diterapkan kepada anak-anak usia Sekolah Dasar. Model ini memiliki keistimewaan yang mana dapat membantu siswa mengetahui pola-pola kehidupan yang berkembang dalam masyarakat dan siswa belajar untuk ikut larut dalam pola-pola tersebut. Selain itu model ini mampu membawa siswa menemukan jati dirinya di dunia sosial melalui proses pemecahan masalah-masalah yang dapat diselesaikan melalui proses kerjasama melalui peran yang dilakukannya.
31 b) Langkah-Langkah Model Pembelajaran Role Playing Prosedur pelaksanaan model pembelajaran bermain peran terdiri atas sembilan langkah yaitu, (l) pemanasan (warming up), (2) memilih partisipan, (3) menata panggung atau pengaturan setting, (4) menyiapkan pengamat (observer), (5) memainkan peran (manggung), (6) diskusi dan evaluasi, (7) memainkan peran ulang (manggung ulang), (8) diskusi dan evaluasi kedua, dan (9) sharing dan generalisasi pengalaman. Menurut Uno (2007: 26-28), secara rinci langkah-langkah model pembelajaran bermain peran sebagai berikut: (1) Pemanasan (warming up). Guru berupaya memperkenalkan siswa pada permasalahan yang mereka sadari sebagai suatu hal yang bagi semua orang perlu mempelajari dan menguasainya. Bagian berikutnya dari proses pemanasan adalah menggambarkan permasalahan dengan jelas disertai contoh. Hal ini bisa muncul dari imajinasi siswa atau sengaja disiapkan oleh guru. Sebagai contoh, guru menyediakan suatu cerita untuk dibaca di depan kelas. Pembacaan cerita berhenti jika dilema dalam cerita menjadi jelas. Kemudian dilanjutkan dengan pengajuan pertanyaan oleh guru yang membuat siswa berpikir tentang hal tersebut dan memprediksi akhir dari cerita; (2) Memilih pemain (partisipan). Siswa dan guru membahas karakter dari
setiap
pemain
dan
menentukan
siswa
yang
akan
memainkannya. Dalam pemilihan pemain ini, guru dapat memilih siswa yang sesuai untuk memainkannya atau siswa sendiri yang mengusulkan akan memainkan siapa dan mendeskripsikan peranperannya; (3) Menata panggung. Dalam hal ini guru mendiskusikan dengan siswa di mana dan bagaimana peran itu akan dimainkan. Apa saja kebutuhan yang diperlukan. Penataan panggung ini dapat sederhana atau secara kompleks. Kesederhanaan yang dimaksud
32 adalah hanya membahas skenario (tanpa dialog lengkap) yang menggambarkan urutan permainan peran; (4) Guru menunjuk beberapa siswa sebagai pengamat. Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa pengamat di sini harus juga terlibat aktif dalam permainan peran; (5) Permainan peran dimulai. Permainan peran dilaksanakan secara spontan. Pada awalnya akan banyak siswa yang masih bingung memainkan perannya atau bahkan tidak sesuai dengan peran yang seharusnya ia lakukan. Bahkan, mungkin ada yang memainkan peran yang bukan perannya; (6) Guru bersama siswa mendiskusikan permainan tadi dan melakukan evaluasi terhadap peran-peran yang dilakukan. Usulan perbaikan akan muncul; (7) Permainan peran ulang. Seharusnya, pada permainan peran kedua ini akan berjalan lebih baik. Siswa dapat memainkan perannya lebih sesuai dengan skenario; (8) Diskusi dan evaluasi. Pembahasan diskusi dan evaluasi lebih diarahkan pada realitas; (9) Siswa diajak untuk berbagi pengalaman tentang tema permainan peran yang telah dilakukan dan dilanjutkan dengan membuat kesimpulan. Menurut Huda (2014: 116-117), model pembelajaran Role Playing memiliki sembilan langkah yang dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) tahapan pertama, dimulai dengan pemanasan suasana kelompok, (2) tahap kedua, seleksi partisipan, (3) pengaturan setting, (4) persiapan pemilihan siswa sebagai pengamat, (5) pemeranan, (6) diskusi dan evaluasi, (7) pemeranan kembali, (8) diskusi dan evaluasi, (9) sharing dan generalisasi pengalaman. Berdasarkan
pendapat-pendapat
di
atas
maka
dapat
disimpulkan bahwa langkah-langkah menerapkan model Role Playing dapat dilakukan dengan runtutan sebagai berikut: (l) pemanasan
33 (warming up), (2) guru memilih partisipan, (3) menata panggung atau pengaturan setting, (4) guru menyiapkan pengamat (observer), (5) memainkan peran (manggung), (6) diskusi dan evaluasi, (7) memainkan peran ulang (manggung ulang), (8) diskusi dan evaluasi kedua, dan (9) sharing dan generalisasi pengalaman. Dari kesembilan langkah tersebut peneliti akan melaksanakan semua langkah secara runtut dalam penelitian tindakan kelas yang akan dilaksanakan untuk meningkatkan pembelajaran PKn tentang menghargai keputusan bersama pada kelas V Sekolah Dasar. c) Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Role Playing Setiap model pembelajaran yang akan diterapkan memiliki berbagai macam kelebihan dan kekurangan yang menjadikan penerapan beberapa model pembelajaran hanya dapat terlaksana dengan baik apabila peneliti sudah memahami secara betul karakterisktik siswa yang akan dilakukan uji model pembelajaran. Sama halnya dengan model pembelajaran bermain peran yang memiliki kekurangan dan kelebihan. Menurut Uno (2007: 28), kelebihan dari model Role Playing bahwa permainan peran siswa dapat meningkatkan kemampuan untuk mengenal perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Mereka memperoleh cara berperilaku baru untuk mengatasi masalah seperti dalam permainan perannya dan dapat meningkatkan keterampilan memecahkan masalah. Kekurangan yang dimiliki oleh model pembelajaran bermain peran yaitu terlihat pada proses pelaksanaan model ini dilakukan dengan waktu yang kurang efisien dan guru harus sungguh-sungguh dalam mempersiapkan berbagai macam kemungkinan yang akan terjadi apabila ada beberapa siswa yang kurang mampu memerankan peran yang sudah ditentukan. Melalui kelebihan dan kekurangan yang telah dijelaskan, model pembelajaran Role Playing memang masih jauh dari kata sempurna sama halnya dengan model-model pembelajaran yang lain.
34 Namun, dengan penyesuaian karakteristik peserta didik dan persiapan yang matang maka penerapan model Role Playing ini akan sedikit mendekati kata sempurna untuk diterapkan di SDN Kedungwaru. Kesempurnaan tersebut akan dicapai dengan cara meminimalisir kekurangan yang ada dalam model Role Playing dan memaksimalkan kelebihannya. b. Media Pembelajaran 1) Pengertian Media Pembelajaran Kata media berasal dari bahasa Latin medius dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Menurut Sudjana dan Rivai (2010: 2), “Media pembelajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa dalam pengajaran yang pada gilirannya diharapakan dapat mempertinggi hasil belajar ….” Menurut Sardiman (Agulina, 2013), “Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan”. Sedangkan menurut Winataputra (Agulina, 2013), “Media pembelajaran merupakan wahana dari pesan/informasi yang oleh sumber pesan(guru) ingin diteruskan kepada penerima pesan (siswa).” Menurut Arsyad (2010: 4-5), “Media adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar.” Gerlach dan Ely (Arsyad, 2010: 3) menyatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Berdasarkan pendapat-pendapat tentang media pembelajaran di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian media pembelajaran adalah suatu sarana atau alat yang dapat berupa manusia, materi atau kejadian yang digunakan untuk menyampaikan pesan/informasi pada proses pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyerap pengetahuan-pengetahuan yang diajarkan, meningkatkan keterampilan dan mempengaruhi perubahan sikap untuk menjadi lebih baik. Media
35 digunakan untuk mempertinggi proses belajar-mengajar yang pada dasarnya sangat mempengaruhi hasil belajar peserta didik. 2) Prinsip-Prinsip Pemilihan Media Pembelajaran Setiap media pembelajaran memiliki keunggulan masing-masing, dari
beberapa
keunggulan
itulah
pendidik dapat
menyesuaikan
penggunaan media dengan karakteristik siswa yang ada untuk mempercepat dan mempermudah mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Sudjana dan Rivai (2010: 4), menyatakan bahwa dalam pemilihan media pembelajaran tidak dinilai dari segi kecanggihan medianya, melainkan lebih penting adalah fungsi dan peranannya dalam membantu mempertinggi proses pengajaran. Umar (2015) menyatakan bahwa ada beberapa prinsip yang wajib diketahui oleh pendidik dalam memilih media pembelajaran, yaitu: a) Perlu adanya kejelasan tentang maksud dan tujuan pemilihan media pembelajaran. b) Memperhatikan karakteristik media pembelajaran. c) Alternatif pilihan maksudnya ada sejumlah media pembelajaran yang dapat dibandingkan atau dikompetisikan. Selain itu dalam memilih media tidak lupa pula memperhatikan prinsip pemilihan media yaitu: tujuan, keterpaduan, keadaan peserta didik, ketersedian, mutu teknis, dan biaya. Menurut Rumapuk (Umar 2015), prinsip-prinsip pemilihan media adalah: a) Perlu tujuan yang jelas media itu dipilih untuk tujuan apa. b) Pemilihan media itu perlu secara objektif bukan semata-mata didasarkan atas kesenangan pembelajar atau sekedar sebagi selingan atau hiburan. Pemilihan media itu benar-benar didasarkan atas pertimbangan untuk meningkatkan efektivitas belajar peserta didik. c) Tidak ada satupun media dipakai untuk mencapai semua tujuan. Setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk menggunakan media dalam kegiatan belajar-mengajar hendaknya dipilih secara tepat dengan melihat kelebihan media untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu.
36 d) Pemilihan media hendaknya disesuaikan dengan metode mangajar dan materi pengajaran mengingat media merupakan bagian yang integral dalam proses belajar mengajar. e) Untuk dapat memilih media dengan tepat, pembelajaran hendaknya mengenal ciri-ciri dan masing-masing media. f) Pemilihan media hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik lingkungan. Dalam memilih media menurut Umar (2015), hendaknya memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut: a) Sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. b) Ketersediaan bahan media. c) Biaya pengadaan. d) Kualitas atau mutu teknik, pengunaan berbagai macam media pembelajaran. Menurut beberapa pandangan di atas mengenai prinsip-prinsip pemilihan media dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pemilihan media hendaknya wajib memperhatikan berbagai macam hal yang berasal dari pendidik baik itu yang bersifat ekonomis ataupun hal-hal yang bersifat personal, peserta didik sebagai responden dan reflektor dalam proses pembelajaran, maupun dari sektor lingkungan sevagai pendukung proses pembelajaran. Semua hal tersebut menjadi pilar utama dalam prinsipprinsip pemilihan media pembelajaran. 3) Macam-Macam Media Pembelajaran Ada berbagai macam media-media pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Menurut Sudjana dan Rivai (2010: 3-4), menjelaskan beberapa macam media pembelajaran yang disesuaikan dengan bentuk dan kegunaannya. Pertama media grafis, seperti gambar, foto, grafik, bagan, atau diagram, poster, kartun, komik, dan lain-lain. Media grafis dapat juga disebut media dua dimensi atau media yang hanya mempunyai ukuran panjang dan lebar. Kedua, media tiga dimensi atau media yang memiliki ukuran panjang, lebar, dan tinggi. Bisanya media tiga
37 dimensi ini berbentuk seperti model padat, model penampang, model susun, model kerja, mock up, diorama, serta media-media nyata atau konkret. Ketiga, media proyeksi seperti slide, film strips, film, penerapan OHP dan lain-lain. Keempat, penggunaan lingkungan sebagai media pengajaran. Sedangkan Arsyad (2010: 29) menyatakan bahwa, media pembelajaran dikelompokan berdasarkan perkembangan teknologi menjadi empat kelompok, yaitu: (1) media hasil teknologi cetak, (2) media hasil teknologi audio-visual, (3) media teknologi hasil yang berdasarkan computer, dan (4) media hasil gabungan teknologi cetak dan computer. Menurut Anitah dalam Rizqina (2014) menyatakan bahwa, media pembelajaran dikelompokan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) media visual contohnya gambar, sketsa, bagan, diagram, grafik, karikatur, poster, peta, papan, dan lain-lain, (2) media audio contohnya, audio kaset, telepon, radio, dan audio internet, (3) media audio-visual contohnya yaitu, slide bersuara, televisi dan multimedia. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dari macam-macam media pembelajaran yang sangat beragam, tergantung dari sudut pandang dari masing-masing tokoh yang mana membagi media berdasarkan jenis dan bentuknya, membedakan media berdasarkan perkembangan teknologi, mengelompokan media berdasarkan gunanya. Namun, dari berbagai macam pandangan tersebut tidak luput dalam pemilihan media harus benar-benar disesuaikan dengan berbagai macam ranah yang wajib diperhatikan oleh pendidik. Peneliti dalam hal ini menggunakan media nyata atau konkret untuk dipadukan dengan model pembelajaran Role Playing untuk penelitian tindakan kelas yang akan dilaksanakan. 4) Media Konkret a) Pengertian Media Konkret Media pembelajaran memiliki bebagai macam jenis salah satunya adalah media konkret. Pengertian dari istilah konkret dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konkret bermakna nyata, benar-benar
38 ada, (berwujud, dapat dilihat, diraba, dan sebagainya dengan kata lain pengertian media konkret dapat pula disebut juga dengan media nyata. Menurut Djamarah dan Zain (Agulina, 2013), “Benda konkret (nyata) atau benda sesungguhnya merupakan suatu obyek yang dapat memberikan rangsangan yang amat penting bagi siswa dalam mempelajari berbagai hal terutama yang menyangkut keterampilan tertentu.” Menurut Anitah (Rizqina, 2014), “Media nyata adalah media yang menggunakan benda nyata atau makhluk hidup.” Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian media konkret dapat disebut juga dengan media nyata yang berarti memiliki wujud, dapat dilihat, diraba, dan media tersebut ada dan mudah ditemukan disekitar kita dimanapun kita berada. b) Macam-Macam Media Konkret Menurut Rinoto (2013), media konkret merupakan alat bantu visual dalam pembelajaran yang berfungsi memberikan pengalaman langsung kepada para siswa, yaitu merupakan model dan objek nyata dari suatu benda, seperti meja, kursi, mata uang, tumbuhan, binatang, dan sebagainya. Menurut Sudjana dan Rivai (2010: 196), benda nyata atau konkret memiliki banyak macam mulai dari benda, makhluk hidup, dan tumbuhan, juga termasuk benda benda mati yaitu, batuan air, tanah, dan lain-lain Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa macam-macam media benda nyata atau media konkret ada berbagai macam mulai dari benda hidup seperti manusia, tumbuhan, dan hewan ataupun juga benda mati, seperti meja, kursi, mata uang, tumbuhan, binatang, dan sebagainya yang memberikan pengalaman langsung kepada para siswa. Dari berbagai media tersebut peneliti menggunakan media konkret yang berupa: kotak suara, kertas pemungutan suara, meja diskusi, papan perhitungan, alat tulis untuk menghitung jumlah suara.
39 c) Langkah-Langkah Penggunaan Media Konkret di Sekolah Dasar Penggunaan media konkret di Sekolah Dasar wajib melibatkan siswa untuk menggunakan petunjuk penggunaan atau manual book yang diberikan secara terperinci. Melalui petunjuk tersebut siswa tidak akan merasa kesulitan dan mengganggu selama proses pembelajaran berlangsung. Menurut Sudjana dan Rivai (2010: 197-205), langkahlangkah penggunaan media konkret atau media nyata, yaitu: (1) memperkenalkan unit baru atau media yang digunakan, (2) menjelaskan proses, (3) menjawab pertanyaan-pertanyaan, (4) melengkapi perbandingan, (5) unit akhir atau puncak, sebagai tindak lanjut yang merupakan puncak kegiatan atau merangkum seluruh materi yang pernah dipelajari siswa. Menurut Padmono (2011: 43), langkah-langkah pembelajaran menggunakan media konkret/nyata, yaitu: (1) memperkenalkan unit baru perlu metode khusus yang memberi perhatian anak, (2) menjelaskan proses, benda nyata tepat untuk pengajaran yang menunjukan proses dan tidak sekedar benda, (3) menjawab pertanyaan (perlu diuji sejauh mana keterlibatan siswa dalam berinteraksi dengan benda nyata), (4) melengkapi perbandingan, (5) unit akhir atau puncak merupakan tahap merangkum materi dari awal sampai akhir yang sudah dipelajari siswa. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah penggunaan media pembelajaran yang berbentuk media konkret/nyata, yaitu: (1) merumuskan metode dalam memperkenalkan unit baru, (2) menjelaskan media pembelajaran yang difokuskan pada proses pembelajaran, (3) menjawab pertanyaan siswa mengenai pembelajaran yang berlangsung, (4) melengkapi perbandingan dengan materi yang diajarkan, (5) merancang unit kegiatan akhir untuk pelaksanaan tindak lanjut. Dari kelima langkah tersebut peneliti akan melaksanakannya secara runtut dan dipadukan dengan model Role Playing dalam penelitian tindakan kelas yang akan dilaksanakan.
40 d) Kelebihan dan Kekurangan Media Konkret Setiap
media
pembelajaran
ada
kelebihan
maupun
kekurangannya tergantung dari cara guru itu sendiri bagaimana memanfaatkan
media
tersebut
menerapkannya
pada
proses
pembelajaran. Kelebihan media konkret menurut Udin (Agulina, 2013) adalah: (1) media ini dapat menerjemahkan ide/gagasan yang bersifat nyata; (2) banyak tersedia dalam kehidupan sehari-hari. (3) mudah menggunakannya; (4) tidak begitu mahal; (5) dapat digunakan pada setiap tahap pembelajaran. Menurut Padmono (2011: 43), penggunaan media nyata dalam pembelajaran paling baik karena siswa akan memperoleh pengalaman nyata, sehingga pembelajaran bersifat lebih konkret. Kekurangan dari media konkret, yaitu: (1) media cukup sulit untuk dibawa jika media tersebut memiliki ukuran yang besar; (2) kurang tepat untuk semua materi pelajaran; (3) tidak semua media konkret bersifat tahan lama atau awet jika disimpan. Menurut Sanaky (Rizqina, 2014), belajar menggunakan media konkret membutuhkan biaya yang besar, dalam artian media tersebut berhubungan dengan materi-materi yang membutuhkan media yang tidak dapat ditemukan disekitar kita. Menurut pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa media konkret atau nyata memiliki banyak kelebihan dan kekurangan. Namun, dibalik segala kekurangan dan kelebihannya wajib diketahui terlebih dahulu sejauh mana penggunaan media tersebut akan berpengaruh terhadap pembelajaran. Apabila dalam penggunaan media nyata lebih banyak memuat kelebihan dikarenakan karakteristik siswa yang sesuai, materi yang tepat, dan lingkungan yang cukup mendukung maka perlu dipertimbangkan dalam memilih media nyata sebagai sarana penyampai informasi pembelajaran. Peneliti dalam hal ini akan meminimalisir segala bentuk kekurangan yang ada dalam penggunaan
41 media konkret dan memaksimalkan kelebihannya untuk mencapai peningkatan dalam pembelajaran. c. Penerapan Model Role Playing dengan Media Konkret Penerapan model Role Playing dengan media konkret adalah tata cara penerapan langkah-langkah model Role Playing dengan alat bantu pembelajaran berupa media konkret dalam proses pembelajaran. Adanya penerapan model Role Playing dengan media konkret diharapkan dapat meningkatkan pembelajaran sehingga lebih menarik, menyenangkan dan siswa akan aktif dalam menuangkan ide-ide, skill, dan sikap yang ada pada dirinya. Dengan demikian, penerapan model Role Playing dengan media konkret yang dilaksanakan dengan langkah-langkah yang tepat dapat meningkatkan pembelajaran PKn tentang menghargai keputusan bersama pada siswa kelas V SDN Kedungwaru tahun ajaran 2015/2016. Langkah-langkah yang digunakan dalam penerapan model Role Playing dengan media konkret/nyata, yaitu: (l) pemanasan (warming up) dengan memperkenalkan dan menjelaskan penggunaan media konkret, (2) memilih partisipan, (3) menata panggung dan menentukan penggunaan media konkret, (4) menyiapkan pengamat, (5) memainkan peran dengan media konkret, (6) diskusi dan tanya jawab disertai evaluasi, (7) memainkan peran ulang, (8) diskusi dan evaluasi disertai melengkapi perbandingan materi, (9) sharing, generalisasi pengalaman, dan merangkum materi disertai tindak lanjut. 3. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan adalah uraian yang sistematis tentang hasilhasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya sesuai dengan substansi yang diteliti . Berikut disajikan contoh judul beserta hasil penelitian yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan: a. Penelitian relevan pertama yang ditulis oleh Anik Barokah berjudul “Peningkatan Pemahaman Kebebasan Berorganisasi Mata Pelajaran PKn Melalui Metode Role Playing” dipaparkan sebagai berikut: Metode Role Playing sangat cocok diterapkan pada mata pelajaran PKn khususnya materi
42 kebebasan berorganisasi. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya nilai siswa pada setiap siklusnya. Pada siklus I siswa mendapatkan nilai di atas KKM sebanyak 8 siswa atau 67%. Nilai rata- rata siswa adalah 70,83. Pada siklus II siswa yang mendapat nilai di atas KKM sebanyak 11 siswa atau 92%. Nilai rata-rata siswa 79. Persamaan dari penelitian yang akan dilaksanakan dengan penelitian di atas memiliki variabel X yang sama dengan variable X1 pada judul peneliti yaitu, menerapkan model pembelajaran Role Playing, metode, penyajian data, dan teknik pengumpulan data yang digunakan memiliki beberapa kesamaan. Selain ditinjau dari variabel yang sama dengan judul yang diajukan oleh peneliti, penelitian di atas juga meneliti pada mata pelajaran, materi dan kelas yang sama. Perbedaan dari penelitian di atas ditinjau dari variabel Y yaitu peneliti di atas menggunakan pemahaman sebagai tinjauan keberhasilan siklus sebagai variabel Y sedangkan untuk variabel Y yang peneliti ajukan berfokus kepada pembelajaran yang berisi tentang proses dan hasil belajar peserta didik. b. Penelitian relevan ke dua yang ditulis oleh Agulina berjudul “Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Pembelajaran IPA dengan Menggunakan Media Konkret di Kelas II” sebagai berikut: Masalah umum dalam penelitian ini adalah apakah dengan menggunakan media konkret pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dapat meningkatkan hasil belajar siswa di kelas II Sekolah Dasar Negeri 07 Anjongan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang peningkatan hasil belajar siswa pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan menggunakan media konkret di kelas II Sekolah Dasar Negeri 07 Anjongan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Melalui penggunaan media konkret ternyata dapat meningkatkan perolehan hasil belajar siswa kelas II Sekolah Dasar Negeri 07 Anjongan yaitu pada siklus I dengan rata-rata 65,77 sedangkan pada siklus II dengan rata-rata 91,54, terdapat selisih 25,77. Dengan peningkatan dari siklus I ke siklus II sebesar 24,22. Dari data yang diperoleh
menunjukkan
bahwa
penggunaan
media
konkret
dapat
meningkatkan hasil belajar siswa kelas II pada pembelajaran IPA. Persamaan
43 dari penelitian yang akan dilaksanakan dengan penelitian di atas memiliki variabel X yang sama dengan variable X2 pada judul peneliti yaitu, menggunakan media konkret, metode, penyajian data, dan teknik pengumpulan data yang digunakan memiliki beberapa kesamaan. Perbedaan dari penelitian di atas ditinjau dari variabel Y yaitu peneliti di atas menggunakan hasil belajar sebagai tinjauan keberhasilan siklus sebagai variabel Y sedangkan untuk variabel Y yang peneliti ajukan berfokus kepada pembelajaran yang berisi tentang proses dan hasil belajar peserta didik. Penelitian di atas juga meneliti pada mata pelajaran, materi dan kelas yang berbeda. c. Penelitian relevan ke tiga yang ditulis oleh Mohammadreza Yousefzadeh dan Maryamshojae Hoshmandi berjudul “A Study Of Educational Effect of Applying Role – Playing Teaching Method in History Classroom” dipaparkan sebagai berikut: Pengaruh pembelajaran Role Playing dalam pembelajaran di kelas yang dilaksanakan pada siswi di Asadabad tahun ajaran 2012-2013. Dalam pelaksanaannya diambil sampel sejumlah 60 siswa dari 254 sampel yang dipilih secara acak. Metode yang digunakan melalui semi eksperimental dengan cara pre-test dan post test melalui model diskusi. Pengumpulan instrumen data diperoleh melalui kuisioner. Uji validitas data di dapatkan melalui expertsant dan reliabilitasnya diperoleh menggunakan cronbach alpha coefficient yang terhitung dengan rerata 0.870. Semua data yang telah terkumpul dianalisis dengan descriptive static undices termasuk mean, standard deviation dan independentt-test. Melalui analisis tersebut didapatkan bahwa Role Playing berpengaruh terhadap peningkatan skill belajar-mengajar dalam etika, praktik, emosi, dan kemampuan bersosialisasi pada sampel yang telah dipilih. Persamaan dari penelitian yang akan dilaksanakan dengan penelitian di atas memiliki variabel X yang sama dengan variabel X1 pada judul peneliti yaitu, menerapkan model pembelajaran Role Playing. Perbedaan dari penelitian di atas ditinjau dari variabel Y yaitu peneliti di atas menggunakan pengaruh penerapan model pada peningkatan skill dalam etika, praktik, emosi, dan kemampuan bersosialisasi sebagai
44 tinjauan peneliti, sedangkan untuk variabel Y yang peneliti ajukan berfokus kepada pembelajaran yang berisi tentang proses dan hasil belajar peserta didik. Selain ditinjau dari variabel yang sama dengan judul yang diajukan oleh peneliti, penelitian di atas meneliti pada tingkatan kelas yang berbeda. d. Penelitian relevan ke empat yang ditulis oleh Andrew Chan berjudul “Learner Receptivity Toward Role Play Simulation in Teaching H.R.M. to University Students In Hong Kong” dengan pemaparan sebagai berikut: penggunaan model pembelajaran Role Playing digunakan pada tingkat universitas dengan mempertimbangkan kemampuan belajar mengajar ditinjau dari skill bisnis mahasiswa yang baru lulus. Tujuan dari penggunaan model ini untuk mengajari siswa menjadi pencari kerja yang berkompeten sesuai dengan konteks dunia nyata. Persamaan dari penelitian yang akan dilaksanakan dengan penelitian di atas memiliki variabel X yang sama dengan variabel X1 pada judul peneliti yaitu, menerapkan model pembelajaran Role Playing. Perbedaan dari penelitian di atas ditinjau dari variabel Y yaitu peneliti di atas menggunakan pengaruh penerapan model sebagai tinjauan peneliti, sedangkan untuk variabel Y yang peneliti ajukan berfokus kepada peserta didik tingkat universitas yang memiliki tujuan untuk menyimulasikan kemampuan dalam kehidupan nyata terutama dalam mencari pekerjaan. Selain ditinjau dari variabel yang sama dengan judul yang diajukan oleh peneliti, penelitian di atas meneliti pada tingkatan kelas yang berbeda.
B. Kerangka Berpikir Berdasarkan hasil pengamatan awal pada siswa kelas V SDN Kedungwaru antara lain: siswa masih terlalu pasif dalam menerima materi yang telah disampaikan atau siswa kurang berinteraksi dalam proses pembelajaran, kurangnya perhatian siswa dalam menerima pembelajaran karena sebelum pembelajaran disampaikan belum adanya dorongan psikis kepada siswa sebelum proses pembelajaran berlangsung, mayoritas siswa kurang memahami materi yang disampaikan karena kurangnya contoh-contoh konkret yang diberikan dalam pembelajaran melalui media, proses pembelajaran belum memiliki inovasi dalam
45 pengembangan materi ajar dengan menerapkan model yang tepat, pembelajaran masih terlalu didominasi metode ceramah, kegiatan pembelajaran seperti penerapan metode yang monoton tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi kemampuan diskusi dan kemampuan berpikir yang dimiliki dengan teman sebayanya, serta penekanan dalam pembelajaran yang masih berfokus kepada ranah kognitif sehingga siswa kurang ditekankan terhadap penilaian sikap yang seharusnya sesuai dengan pembelajaran PKn. Karakteristik siswa SD yang telah dijelaskan dalam kajian teori bahwa siswa kelas V SD yang akan diteliti masih berusia sekitar 9-11 tahun dan pada usia tersebut mereka suka mengatur dirinya untuk menangani berbagai hal, mengeksplorasi situasi dan mencoba usaha-usaha baru, rasa ingin tahu yang sangat kuat, tertarik dengan lingkungan sekitar, dan mereka belajar dengan cara bekerja, mengobservasi, berinisiatif, dan mengajar anak-anak lainnya. Model pembelajaran Role Playing yang dengan media konkret yang merupakan model pembelajaran yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa, melibatkan kemampuan siswa dalam bekerjasama memecahkan masalah nyata dalam kehidupan, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, meningkatkan rasa empati kepada orang lain, serta memberikan kemampuan bertanggung jawab kepada siswa pemegang peran masing-masing diharapkan model tersebut dapat meningkatkan pembelajaran. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat dibuat suatu alur kerangka berpikir bahwa model Role Playing dengan media konkret dianggap cukup baik diterapkan untuk meningkatkan pembelajaran PKn tentang menghargai keputusan bersama pada siswa kelas V SDN Kedungwaru tahun ajaran 2015/2016. Pembelajaran PKn tentang menghargai keputusan bersama pada siswa kelas V menerapkan model pembelajaran Role Playing dilaksanakan dalam 3 siklus. Pada siklus I, siswa akan mempelajari memahami keputusan bersama dan bentukbentuknya. Pada siklus II siswa akan menganalisis bentuk-bentuk keputusan bersama. Sedangkan di siklus III siswa akan mempelajari tata cara menerima dan mematuhi keputusan bersama.
46 Penerapan model pembelajaran Role Playing dengan media konkret dalam peningkatan pembelajaran PKn tentang menghargai keputusan bersama pada siswa kelas V. Berdasarkan penjelasan mengenai penerapan model Role Playing dengan media konkret dapat diuraikan melalui gambar 2.1 berikut: \
KONDISI AWAL
TINDAKAN
KONDISI AKHIR
Guru belum melaksanakan pembelajaran dengan menerapkan model dan menggunakan media pembelajaran yang tepat.
Penerapan model Role Playing dengan media konkret dalam pembelajaran PKn tentang menghargai keputusan bersama dalam siklus I, siklus II, dan siklus III.
Pembelajaran setelah diterapkan model Role Playing dengan media konkret dalam pembelajaran PKn tentang menghargai keputusan bersama.
Siswa pasif dalam pembelajaran, siswa kurang perhatian, siswa kurang bereksplorasi, hasil belajar rendah
Siswa mampu berpartisipasi aktif, bekerjasama, berpikir kritis, berempati, dan bertanggung jawab. Hasil belajar siswa meningkat dengan mencapai KKM nilai ≥75.
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir dapat ditarik suatu hipotesis tindakan yaitu, jika penerapan model Role Playing dengan media konkret dilaksanakan dengan tepat, maka dapat meningkatkan pembelajaran PKn tentang menghargai keputusan bersama kelas V SD Negeri Kedungwaru tahun ajaran 2015/2016.