BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Ada beberapa pengertian mengenai Lembaga Perkreditan Desa, antara lain : 1) Pengertian LPD berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 pasal 2, yaitu badan usaha keuangan milik desa yang melaksanakan kegiatan usaha di lingkungan desa dan untuk krama desa. LPD ini dapat didirikan pada desa dalam wilayah Kabupaten/Kota, dimana dalam tiap-tiap desa hanya dapat didirikan satu LPD. 2) Pengertian LPD berdasarkan keputusan Gubernur Bali Nomor 3 Tahun 2003 tanggal 20 Januari 2003 merupakan Lembaga Perkreditan Desa di Desa Pekraman dalam wilayah provinsi Bali. LPD berfungsi sebagai salah satu wadah kekayaan desa yang berupa uang atau surat-surat berharga lainnya, menjalankan fungsinya dalam bentuk usaha-usaha kearah peningkatan taraf hidup krama desa. Usaha-usaha LPD dilakukan dengan tujuan: 1) Untuk mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui tabungan yang terarah serta penyaluran modal yang efektif.
9
2) Memberantas praktek ijon, gadai gelap, dan lain-lain yang dapat dipersamakan dengan itu di pedesaan. 3) Menciptakan pemerataan dan kesempatan berusaha bagi warga desa
dan
tenaga kerja di pedesaan. 4) Meningkatkan daya beli, melancarkan lalu lintas pembayaran dan peredaran uang di pedesaan.
2.1.2
Badan Pengawas Dalam kegiatan operasionalnya LPD memerlukan pembinaan dan
pengawasan. Pengawasan LPD dilakukan oleh badan pengawas yang diangkat dan diberhentikan oleh krama desa melalui paruman dan ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagai kepala daerah. Badan pengawas ini mempunyai tanggung jawab penuh dalam melaksanakan tugas pengawasan terhadap pengelolaan LPD. Menurut Peraturan Gubernur Bali No. 16 Tahun 2008 tentang pengurus dan pengawas internal LPD pasal 9, menyebutkan bahwa: 1) Pengawas terdiri dari ketua dan sekurang-kurangnya dua orang anggota. 2) Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dijabat oleh Bendesa Pekraman 3) Anggota pengawas dipilih oleh krama desa 4) Ketua dan anggota pengawas tidak dapat merangkap sebagai pengurus LPD. Ada empat tanggung jawab fungsional yang harus dilaksanakan oleh seorang pengawas LPD yaitu:
10
1)
Fungsi Perencanaan Dalam fungsi perencanaan, pengawas harus terlibat dalam menetapkan rencana operasi terintegrasi, baik jangka panjang maupun jangka pendek, serta menganalisis dan mengkomunikasikan kepada semua pihak yang terlibat dalam manajemen LPD. Salah satunya yang disebut dengan program kerja.
2)
Fungsi Pengendalian
Dalam
fungsi
pengendalian,
pengawas
harus
mengembangkan
dan
menetapkan norma-norma sebagai ukuran pelaksanaan dan dijadikan pedoman kepada manajemen dalam menjamin adanya penyesuaian hasil pelaksanaan dengan rencana yang ditetapkan, yang selanjutnya perlu diadakan analisis perbandingan antara pedoman dengan realisasi secara menyeluruh. 3)
Fungsi Pelaporan
Dalam fungsi pelaporan, pengawas perlu menyusun, menganalisis
dan
menginterpretasikan hasil-hasil yang dicapai oleh manajemen untuk selanjutnya dilaporkan dalam rapat rutin yang dilakukan secara periodik dan terprogram. Pengawas dan manajemen dapat mengevaluasi kegiatan-kegiatan dan secara bersama pula dapat memikirkan jalan keluar yang harus dilakukan apabila ditemukan kendala operasional di lapangan. 4)
Fungsi Akuntansi
Dalam fungsi akuntansi, pengawas ikut merencanakan, menetapkan dan memelihara sistem akuntansi pada semua jenjang dan usaha LPD agar
11
terjamin kewajaran semua transaksi keuangan sesuai dengan syarat pengendalian intern yang baik. Fungsi ini meyakinkan pengawas bahwa semua transaksi yang terjadi di LPD telah dicatat tepat waktu, telah diotorisasi oleh orang yang berwenang dan dilaksanakan oleh orang yang tepat. Selain mempunyai tanggung jawab fungsional seperti yang telah disebutkan di atas, badan pengawas LPD juga mempunyai beberapa tugas, antara lain: 1) Mengawasi pengelolaan LPD. 2) Memberikan petunjuk kepada pengurus. 3) Memberikan saran, pertimbangan, dan ikut menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada LPD. 4) Mensosialisasikan keberadaan LPD. 5) Mengevaluasi kinerja pengurus secara berkala. 6) Menyusun dan menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada paruman desa.
2.1.3
Independensi Independen berarti bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak
lain, dan tidak tergantung kepada pihak lain (Abdul Halim, 2001:21). Kode etik akuntan publik tahun 1994 dalam artikel Sekar Mayangsari (2003), menyebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang auditor untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam pelaksanaan tugasnya yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektifitas. Setiap auditor harus memelihara integritas dan keobjektifitasan dalam tugas profesionalnya dan setiap
12
auditor harus independen dari semua kepentingan yang bertentangan atau pengaruh yang tidak layak. Integritas berhubungan dengan kejujuran intelektual, sedangkan objektifitas berhubungan dengan sikap netral dan tidak memihak dalam melaksanakan tugas pengawasan. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa independensi adalah suatu sikap yang tidak memihak, jujur, dan mengungkapkan fakta yang apa adanya sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Internal auditor harus mandiri dan terpisah dari berbagai kegiatan yang diperiksanya. Para internal auditor dianggap mandiri apabila dapat melaksanakan pekerjaannya secara bebas dan objektif. Kemandirian para internal auditor dapat dilihat dengan memberikan penilaian yang tidak memihak dan tanpa prasangka. Hal ini dapat diperoleh melalui status organisasi dan objektifitas internal auditor, yaitu: 1)
Status Organisasi
Status organisasi unit audit internal haruslah memberikan keleluasaan untuk memenuhi atau menyelesaikan tanggung jawab pemeriksaan yang diberikan. Melihat fungsi internal auditor yang tidak mempunyai wewenang eksekutif untuk mengambil keputusan atau kebijaksanaan yang menyangkut kegiatan perusahaan yang bersangkutan, maka kedudukan internal auditor dalam perusahaan merupakan suatu jalur yang terpisah dengan kegiatan perusahaan dan bertanggung jawab langsung kepada pimpinan perusahaan, sehingga internal auditor dapat bertindak objektif dan independen dalam menjalankan tugas-tugas yang dilaksanakannya.
13
Tujuan kewenangan, kedudukan dan tanggung jawab bagian internal auditor harus didefinisikan dalam dokumen tertulis. Internal auditor harus memberikan laporan tahunannya tentang hasil kegiatannya. Laporan tersebt mengemukakan
berbagai
temuan
penting
dalam
pemeriksaan
dan
rekomendasi-rekomendasi, serta informasi tentang berbagai penyimpangan yang terjadi. 2)
Ojektifitas
Para internal auditor haruslah melakukan pemeriksaan secara objektif. Objektif adalah sikap mental bebas yang harus dimiliki internal auditor dalam melaksanakan pemeriksaan, sehingga mereka akan sungguh-sungguh yakin atas hasil pekerjaannya dan tidak akan membuat penilaian yang kualitasnya merupakan hasil kesepakatan. Sikap objektif internal auditor tidak terpengaruh bila auditor mengajukan suatu standar pengawasan bagi sistem atau meninjau prosedur yang berlaku sebelum hal tersebut diterapkan. Menurut Abdul Halim (2001:21), ada tiga aspek dari indepensi, yaitu : 1) Independence in fact (independensi senyatanya)
Untuk menjadi independen, auditor harus mempunyai kejujuran yang tinggi. Ada keterkaitan antara independence in fact dengan objektifitas. Objektifitas merupakan sikap tidak memihak dalam mempertimbangkan fakta dan terlepas dari kepentingan pribadi yang berkaitan dengan fakta tersebut.
14
2)
Independence in appearance (independensi dalam penampilan)
Independensi dalam penampilan merupakan pandangan pihak lain terhadap diri auditor sehubungan dengan pelaksanaan audit. Auditor harus menjaga kedudukannya sedemikian rupa sehingga pihak lain akan mempercayai sikap independensi dan objektifitasnya. Meskipun auditor telah menjalankan audit dengan baik secara independen dan objektif, pendapatnya yang dinyatakan melalui laporan audit tidak akan dipercaya oleh para pemakai jasa auditor apabila ia tidak mampu mempertahankan independensi dalam penampilan. Oleh karena itu, independensi dalam penampilan sangat penting bagi perkembangan profesi auditor. 3)
Independence in competence (independensi dari sudut keahlian)
Independensi dari sudut kehalian berkaitan erat dengan kompetensi atau kemampuan auditor dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya. Independensi dari sudut pandang keahlian terkait erat dengan kecakapan profesional auditor. 2.1.4
Keahlian Profesional Sampai saat ini masih belum terdapat definisi operasional yang tepat
mengenai keahlian. Menurut Webster’s ninth New Collegiate dictionary (1983) dalam Murtanto & Gudono (1999), keahlian (expertise) adalah keterampilan dari seorang ahli. Ahli (experts) didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki tingkat keterampilan tertentu atau pengetahuan yang tinggi dalam subjek tertentu yang
15
diperoleh dari pengalaman atau pelatihan. Trotter (1986) mendefinisikan ahli adalah orang yang dengan keterampilannya mengerjakan pekerjaan secara mudah, cepat, intuisi, dan sangat jarang atau tidak pernah membuat kesalahan. Menurut Hayes-Roth, dkk (1983) mendefinisikan keahlian sebagai keberadaan dari pengetahuan tentang suatu lingkungan tertentu, pemahaman terhadap masalah yang timbul dari lingkungan tersebut dan keterampilan untuk memecahkan masalah tersebut. Auditor harus memiliki keahlian yang diperlukan dalam tugasnya. Keahlian ini meliputi keahlian mengenai audit yang mencakup antara lain: merencanakan program kerja pemeriksaan, menyusun program kerja pemeriksaan, melaksanakan program kerja pemeriksaan, menyusun kertas kerja pemeriksaan, menyusun berita pemeriksaan dan laporan hasil pemeriksaan. Keahlian merupakan unsur penting yang harus dimiliki oleh seorang auditor untuk bekerja sebagai tenaga profesional. Sifat-sifat profesional adalah kondisi-kondisi kesempurnaan teknik yang dimiliki seseorang melalui latihan dan belajar selama bertahun-tahun yang berguna untuk mengembangkan teknik-teknik tersebut, dan keinginan untuk mencapai kesempurnaan dan keunggulan dibandingkan rekan sejawatnya. Jadi, profesional sejati harus mempunyai sifat yang jelas dan pengalaman yang luas. Jasa yang diberikan klien harus diperoleh dengan cara-cara yang profesional yang diperoleh dengan belajar, latihan, pengalaman dan penyempurnaan keahlian auditing.
16
Komponen keahlian profesional berdasarkan model yang dikembangkan oleh Abdul Mohammadi, dkk (1992) yang dikutip dari artikel Murtanto & Gudono (1999) dapat dibagi menjadi: 1) Komponen pengetahuan (knowledge component) merupakan komponen penting dalam suatu keahlian. Komponen pengetahuan meliputi komponen seperti pengetahuan terhadap fakta-fakta, prosedur, dan pengalaman. Pengalaman akan memberikan hasil dalam menghimpun dan memberikan kemajuan bagi pengetahuan. 2) Ciri-ciri psikologis (pshycological traits) merupakan ciri seseorang yang ditunjukkan seperti kemampuan di dalam berkomunikasi, kepercayaan, kreativitas, dan kemampuan untuk bekerja dengan orang lain. 3) Kemampuan berpikir (cognative abilities) merupakan kemampuan untuk mengakumulasikan dan mengolah informasi. Beberapa karakteristik yang dapat dimasukkan sebagai kemampuan berpikir, misalnya kemampuan beradaptasi pada situasi baru, perhatian terhadap fakta-fakta yang ada serta mengabaikan fakta yang tidak relevan. 4) Strategi penentuan keputusan (decition strategys) baik formal maupun informal akan membantu dalam membuat keputusan yang sistematis dan membantu keahlian di dalam mengatasi keterbatasan manusia. Para profesional auditing sangat berkepentingan dalam mengembangkan dan menggunakan strategi penentuan keputusan dalam membuat keputusan secara umum.
17
5) Analisis tugas (task analysis) banyak dipengaruhi oleh pengalamanpengalaman audit dan analisis tugas ini akan mempunyai pengaruh terhadap penentuan keputusan. Kompleksitas tugas akan mempengaruhi pilihan terhadap bantuan keputusan auditor yang telah tinggi pengalamannya.
2.1.5
Pedidikan dan Pelatihan (Diklat) Menurut Garda (2004:126) pendidikan dan pelatihan (diklat) adalah suatu
proses kegiatan dari suatu perusahaan yang bertujuan untuk memperbaiki dan mengembangkan sikap dan perilaku, keterampilan dan pengetahuan serta kecerdasan sumber daya manusia sesuai dengan keinginan dari perusahaan yang bersangkutan. Secara khusus arti dari pelatihan adalah lebih menitik beratkan pada kegiatan untuk memperbaiki dan mengembangkan keterampilan ketimbang pengetahuan dari sumber daya manusia yang dimiliki oleh perusahaan dalam kaitannya dengan tugas dan tanggung jawab sedangkan pendidikan adalah kegiatan untuk memperbaiki dan mengembangkan kemampuan sumber daya manusia dengan cara meningkatkan kemampuan dan pengertian tentang pengetahuan umum dan pengetahuan ekonomi, termasuk di dalamnya peningkatan penguasaan teori dan keterampilan pengambilan keputusan dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi oleh perusahaan. Peningkatan pengetahuan yang muncul dari penambahan latihan formal sama baiknya dengan yang didapat dari pengalaman khusus dalam rangka memenuhi persyaratan sebagai seorang profesional. Auditor harus menjalani
18
pelatihan yang cukup, pelatihan disini dapat berupa kegiatan-kegiatan seperti seminar, simposium, lokakarya, dan kegiatan penunjang lainnya. Selain kegiatankegiatan tersebut, pengarahan yang diberikan oleh auditor senior kepada auditor pemula juga bisa dianggap sebagai salah satu bentuk pelatihan karena kegiatan ini dapat meningkatkan kerja auditor. 2.1.6
Pengalaman Kerja Pengalaman
merupakan suatu proses pembelajaran dan pertambahan
perkembangan potensi bertingkah laku baik dari pendidikan formal maupun non formal atau bisa diartikan sebagai suatu proses yang membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi. Pengalaman kerja akan semakin bertambah seiring dengan semakin meningkatnya kompleksitas kerja (Knoers & Haditono, 1999 dalam Asih, 2006). Pengalaman akan berpengaruh signifikan ketika tugas yang dilakukan semakin kompleks, seseorang yang memiliki pengetahuan tentang kompleksitas tugas akan lebih ahli dalam melaksanakan tugas-tugas pemeriksaan, sehingga memperkecil tingkat kesalahan, kekeliruan, ketidakberesan, dan pelanggaran dalam pelaksanaan. Seorang karyawan yang memiliki pengalaman kerja yang tinggi akan memiliki keunggulan dalam beberapa hal diantaranya mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan, dan mencari penyebab munculnya kesalahan. Keunggulan tersebut bermanfaat bagi pengembangan keahlian. Berbagai macam pengalaman yang dimiliki individu akan mempengaruhi pelaksanaan suatu tugas. Seseorang yang berpengalaman memiliki cara berpikir yang lebih terperinci dan lengkap
19
dibandingkan seseorang yang belum berpengalaman (Taylor & Tood, 1995 dalam Asih, 2006). Pengalaman kerja dapat memperdalam dan
memperluas kemampuan
kerja. Semakin sering seseorang melakukan pekerjaan yang sama, semakin terampil dan semakin cepat dia menyelesaikan pekerjaan tersebut. Semakin banyak macam pekerjaan yang dilakukan seseorang, pengalaman
kerjanya
semakin kaya dan luas, dan memungkinkan peningkatan kinerja. 2.1.7
Struktur Pengendalian Intern Menurut Standar Profesional Akuntan Publik pada SA 319. par 06 yang
dikutip oleh Abdul Halim (2001:189), struktur pengendalian intern adalah kebijakan dan prosedur yang diterapkan untuk memberikan keyakinan (assurance) yang memadai bahwa tujuan tertentu satuan usaha akan tercapai. COSO (Commite of Sponsoring Organization) mendefinisikan pengendalian intern sebagai proses, dipengaruhi oleh dewan komisaris, manajemen, dan personel perusahaan yang dirancang untuk menyediakan jaminan yang dapat dipercaya untuk mencapai tujuan perusahaan, yang digolongkan menjadi: 1) Dapat dipercayainya laporan keuangan. 2) Kepatuhan dengan hukum dan aturan yang berlaku. 3) Efisiensi dan efektivitas operasi. Menurut Abdul Halim (2001:200) struktur pengendalian intern yang efektif dirancang dengan tujuan pokok sebagai berikut: 1)
Menjaga kekayaan dan catatan organisasi
20
2)
Mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi
3)
Mendorong efisiensi
4)
Mendorong dipatuhinya kebijakan manajemen Struktur pengendalian intern sangat penting bagi perusahaan karena
beberapa hal sebagai berikut: 1) Lingkup dan ukuran entitas suatu bisnis semakin komplek. Hal ini mengakibatkan manajemen harus mengandalkan laporan dan analisis yang banyak jumlahnya agar peranan pengendalian dapat berjalan efektif. 2) Pemeriksaan dan penelaahan bawaan dalam sistem yang baik memberikan perlindungan terhadap kelemahan manusia dan mengurangi kemungkinan kekeliruan dan ketidakberesan yang terjadi. 3) Pengendalian intern yang baik akan mengurangi beban pelaksaan audit sehingga dapat mengurangi biaya ataupun fee audit. Bagi perusahaan, struktur pengendalian intern dapat digunakan secara efektif untuk mencegah penggelapan maupun penyingkapan. Dengan kata lain, struktur pengendalian memberikan kepastian bahwa penggelapan laporan keuangan dapat dideteksi lebih dini. Menurut Abdul Halim (2001:193) unsur-unsur struktur pengendalian intern ada tiga, yaitu: 1) Lingkungan Pengendalian
Lingkungan
pengendalian merupakan pengaruh gabungan dari berbagai
faktor dalam membentuk, memperkuat, atau memperlemah efektivitas
21
kebijakan dan prosedur tententu. Lingkungan pengendalian menggambarkan keseluruhan sikap, kesadaran, dan tindakan dewan komisaris, manajemen perusahaan, pemilik, dan pihak
lain mengenai betapa pentingnya
pengendalian bagi satuan usaha dan tekanannya pada satuan usaha yang bersangkutan. Faktor-faktor yang terkandung dalam lingkungan pengendalian tersebut adalah: (1) Filosofi dan gaya kepemimpinan manajemen. (2) Struktur organisasi satuan usaha. (3) Berfungsinya dewan komisaris dan komite-komite yang dibentuk seperti komite audit. (4) Metode pelimpahan wewenang dan tanggung jawab. (5) Metode pengendalian manajemen dalam memantau dan menindak lanjuti kinerja. (6) Kebijakan dan praktek personalia (7) Berbagai faktor ekstern yang mempengaruhi operasi dan praktik satuan usaha. 2) Sistem Akuntansi
Sistem akuntansi terdiri dari metode dan catatan-catatan yang diciptakan untuk menghimpun, melaporkan
transaksi
menganalisis, mengelompokkan, mencatat, dan satuan
usaha,
serta
menyelenggarakan
pertanggungjawaban aktiva dan hutang yang bersangkutan dengan transaksi tersebut. Sistem akuntansi yang efektif mempertimbangkan penyusunan metode dan catatan yang dapat:
22
(1) Mengidentifikasikan dan mencatat semua transaksi atau kejadian yang sah. (2) Menggambarkan transaksi secara tepat waktu dan terperinci agar dapat diklasifikasikan dengan tepat untuk pelaporan keuangan. (3) Mengukur nilai transaksi secara layak. (4) Menentukan periode terjadinya transaksi sehingga cut off pencatatan transaksi dapat dilakukan secara tepat. (5) Menyajikan transaksi atau kejadian ekonomi dan pengungkapannya dalam laporan keuangan dengan semestinya. 3) Prosedur Pengendalian Prosedur pengendalian adalah kebijakan dan prosedur sebagai tambahan terhadap lingkungan pengendalian dan sistem akuntansi yang telah diciptakan manajemen untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa tujuan tertentu suatu satuan usaha akan tercapai. Pada umumnya prosedur pengendalian dapat diklasifikasikan ke dalam prosedur yang bersangkutan dengan: (1) Otorisasi yang semestinya atas transaksi dan kegiatan. (2) Pemisahan tugas dan tanggung jawab yang memadai. (3) Perancangan dan penggunaan dokumen serta catatan yang memadai. (4) Perlindungan memadai atas akses dan penggunaan aktiva perusahaan dan catatan. (5) Pengecekan secara independen atas pelaksanaan dan penilaian yang semestinya terhadap jumlah yang dicatat.
23
2.1.8 Hubungan Independensi, Keahlian Professional, Pendidikan dan Pelatihan (diklat) dan Pengalaman Kerja Internal Auditor dengan Efektivitas Penerapan SPI Mautz dan Sharaf (1999) dalam artikel Rizmah Nurchasanah (2006) menyatakan bahwa untuk dapat menjalankan kewajibannya, ada tiga komponen yang harus dimiliki oleh auditor, yaitu kompetensi, independensi, dan due professional care. Kualitas audit diartikan sebagai probabilitas seorang auditor menemukan dan melaporkan adanya penyelewengan tergantung pada kemampuan teknikal auditor, kemudian untuk melaporkannya tergantung pada independensi auditor. Libby (2000) dalam artikel Koroy (2008) menyatakan bahwa pekerjaan auditor adalah pekerjaan yang melibatkan keahlian. Semakin berpengalaman seorang internal auditor, maka semakin mampu dia menghasilkan kinerja yang baik dalam tugas-tugas yang semakin kompleks, termasuk dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap penerapan struktur pengendalian intern. 2.2
Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian yang dilakukan oleh Ni Putu Eka Desyanti dan Ni Made Dwi
Ratnadi (2008) meneliti pengaruh independensi, keahlian profesional, dan pengalaman kerja pengawas intern terhadap efektivitas penerapan struktur pengendalian intern pada BPR di kabupaten Badung. Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah struktur pengendalian intern sebagai variabel terikat dan independensi, keahlian profesional, dan pengalaman kerja
24
pengawas intern sebagai variabel bebas. Metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling dimana dari 60 populasi, yang memenuhi kriteria sampel adalah sebanyak 42 BPR di kabupaten Badung. Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah kepala bagian-kepala bagian yang ada pada BPR di kabupaten Badung. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linear berganda, uji F-test, dan uji t-test. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa baik secara simultan maupun parsial independesi, keahlian profesional, dan pengalaman kerja pengawas intern berpengaruh signifikan terhadap efektivitas penerapan struktur pengendalian intern pada BPR di kabupaten Badung. Selain itu, A.A Mas Risna Dewi (2006) juga melakukan penelitian tentang pengaruh independensi, kehalian profesional, dan pengalaman kerja badan pengawas terhadap efektivitas penerapan struktur pengendalian intern pada LPD di Kota Denpasar. Variabel yang digunakan adalah struktur pengendalian intern sebagai variabel terikat dan variabel bebasnya adalah independensi, keahlian profesional, dan pengalaman kerja badan pengawas. Metode penentuan sampel dalam penentuan ini adalah metode sensus dimana semua anggota populasi dijadikan sampel. Jadi, jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 32 LPD yang ada di kota Denpasar. Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengurus LPD (kepala LPD, tata usaha, dan kasir) serta salah seorang badan pengawas LPD. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linear berganda, uji F-test, dan uji t-test. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa baik secara simultan maupun parsial independensi, keahlian profesional, dan
25
pengalaman kerja badan pengawas berpengaruh secara signifikan terhadap efektivitas penerapan struktur pengendalian intern pada LPD di Kota Denpasar. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terletak pada metode penentuan sampel, responden penelitian, dan lokasi penelitian, dimana penelitian ini lokasinya adalah pada LPD di kabupaten Gianyar serta penambahan variabel pendidikan dan pelatihan (diklat) sebagai variabel bebas. Persamaannya yaitu, menggunakan tiga variabel bebas, yaitu independensi, keahlian profesional, dan pengalaman kerja badan pengawas, serta variabel terikatnya struktur pengendalian intern. Selain itu, teknik analisis datanya juga sama yaitu menggunakan teknik analisis regresi linear berganda, uji F-test, dan uji t-test. 2.3
Rumusan Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara atas pokok permasalahan yang
akan diuji kebenarannya. Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, teoriteori yang mendukung, dan hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H1 :
Independensi, keahlian profesional, pendidikan dan pelatihan (diklat) dan pengalaman kerja badan pengawas secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan pada efektvitas penerapan struktur pengendalian intern (SPI) LPD di Kabupaten Gianyar.
26
H2 :
Independensi, keahlian profesional, pendidikan dan pelatihan (diklat) dan pengalaman kerja badan pengawas secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan pada efektivitas penerapan struktur pengendalian intern (SPI) LPD di Kabupaten Gianyar.
27