BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Hotel 2.1.2 Pengertian Hotel Hotel adalah perusahaan atau badan usaha akomodasi yang menyediakan pelayanan jasa penginapan, penyedia makanan dan minuman serta fasilitas jasa lainnya dimana semua pelayanan itu diperuntukkan bagi masyarakat umum, baik mereka yang bermalam di hotel tersebut ataupun mereka yang hanya menggunakan fasilitas tertentu yang dimiliki hotel tersebut (Frederic Marimon, 2011). Salah satu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau keseluruhan bagian untuk jasa pelayanan penginapan, penyedia makanan dan minuman serta jasa lainnya bagi masyarakat umum yang dikelola secara komersil (Keputusan Menteri Parpostel no Km 94/HK103/MPPT 1987).
2.1.3 Jenis-jenis dan klasifikasi Hotel 2.1.4 Jenis-jenis Hotel 1) Hotel dilihat dari lokasi hotel (1) City Hotel : Hotel yang berlokasi di perkotaan, biasanya diperuntukkan bagi masyarakat yang bermaksud untuk tinggal sementara (dalam jangka waktu pendek). City Hotel disebut juga sebagai transit hotel karena biasanya dihuni oleh para pelaku bisnis
yang memanfaatkan fasilitas dan pelayanan bisnis yang disediakan oleh hotel tersebut. (2) Residential Hotel : Hotel yang berlokasi di daerah pinngiran kota besar yang jauh dari keramaian kota, tetapi mudah mencapai tempat-tempat kegiatan usaha. Hotel ini berlokasi di daerah-daerah tenang, terutama karena diperuntukkan bagi masyarakat yang ingin tinggal dalam jangka waktu lama. Hotel ini diperlengkapi dengan fasilitas tempat tinggal yang lengkap untuk seluruh anggota keluarga. (3) Resort Hotel : Hotel yang berlokasi di daerah pengunungan (mountain hotel) atau di tepi pantai (beach hotel), di tepi danau atau di tepi aliran sungai. Hotel seperti ini terutama diperuntukkan bagi keluarga yang ingin beristirahat pada hari-hari libur atau bagi mereka yang ingin berekreasi. (4) Motel (Motor Hotel) : Hotel yang berlokasi di pinggiran atau di sepanjang jalan raya yang menghubungkan satu kota dengan kota besar lainnya, atau di pinggiran jalan raya dekat dengan pintu gerbang atau batas kota besar. Hotel ini diperuntukkan sebagai tempat istirahat sementara bagi mereka yang melakukan perjalanan dengan menggunakan kendaraan umum atau mobil sendiri. Hotel ini menyediakan fasilitas garasi untuk mobil. (5) Mountain Hotel, yaitu hotel yang berlokasi di daerah pegunungan (6) Beach Hotel, yaitu hotel yang berlokasi di dekat pantai
(7) Bandara hotel : Hotel yang berada di dekat bandar udara utama, terutama bagi mereka ketika jauh dari pusat perkotaan untuk melayani. Para pelanggan utama penumpang transit masuk atau keluar tanpa waktu yang cukup untuk pindah ke kota dan maskapai penerbangan Crews. Biasanya waktu tinggal tamu sangat singkat. Menjadi populer karena kedekatannya dengan bandara dan menyesuaikan layanan mereka kepada pelanggan, khususnya eksekutif. 2) Berdasarkan Sistem penetapan tarif kamar (room rate) (1) Full American Plan (FAP), yaitu hotel yang menganut sistem dimana harga kamar sudah termasuk tiga kali makan (2) Modified American Plan (MAP), yaitu hotel yang menganut sistem dimana harga kamar sudah termasuk makan dua kali (3) Continental Plan, yaitu hotel yang menganut sistem dimana harga kamar sudah termasuk makan pagi (continental breakfast) (4) Bermuda Plan, hotel dengan sistem harga kamar sudah termasuk makan pagi (American Breakfast) (5) European Plan, yaitu hotel dengan sistem dimana harga kamar tidak termasuk makan (room rate only) 3) Berdasarkan ukuran dan jumlah kamar (1) Hotel kecil, jumlah kamar sampai dengan 25 kamar (2) Hotel menengah, memiliki jumlah kamar antara 25 sampai 100 (3) Hotel sedang, jumlah kamar antara 100 sampai 300
(4) Hotel besar, yaitu hotel yang mempunyai jumlah kamar diatas 300 4) Berdasarkan jenis atau tipe tamu (1) Family hotel, yaitu hotel yang sebagian besar tamunya terdiri dari keluarga (2) Business hotel, sebagian besar tamunya merupakan orang–orang yang sedang melakukan tugas/usaha (3) Tourist hotel, yaitu hotel yang sebagain besar tamunya adalah wisatawan (4) Transit hotel, yaitu hotel yang sebagian besar tamunya adalah mereka yang akan melanjutkan perjalanan (hotel hanya sebagai tempat persinggahan sementara saja) (5) Cure Hotel, yaitu hotel yang sebagian besar tamunya adalah dengan tujuan pengobatan 5) Segi Jumlah Kamar Hotel Menurut Tarmoezi (Tarmoezi,2000:3), dari banyaknya kamar yang disediakan, hotel dapat dibedakan menjadi : (1) Small Hotel : Jumlah kamar yang tersedia maksimal sebanyak 28 kamar. (2) Medium Hotel : Jumlah kamar yang disediakan antara 28- 299 kamar. (3) Large Hotel : Jumlah kamar yang disediakan sebanyak lebih dari 300 kamar.
6) Berdasarkan lama tamu menginap (1) Transient Hotel, hotel dimana para tamunya rata-rata menginap hanya untuk satu atau dua malam (2) Residential Hotel, yaitu hotel dima para tamunya menginap untuk jangka waktu lama, lebih dari satu minggu (3) Semi Residential Hotel, yaitu hotel dimana para tamunya menignap lebih dari dua malam sampai satu minggu 7) Berdasarkan Disain dan struktur hotel (1) Conventional Hotel, hotel yang bentuknya tinggi bertingkat menjulang ke langit (2) Bungalows, hotel yang bentuknya tidak bertingkat dan setiap bangunan berlokasi menyebar satu dengan yang lain (3) Motor Hotel, hotel yang mempunyai garasi di masing-masing kamar atau kelompok kamar 8) Berdasarkan lama buka hotel dalam setahun (1) Seasonal Hotel, yaitu hotel yang dibuka hanya untuk waktu-waktu tertentu dalam satu tahun (3 bulan, 6 bulan, 9 bulan) (2) Year Round Hotel, yaitu hotel yang dibuka sepanjang tahun 9) Berdasarkan tarif hotel (1) Economy Hotel, yaitu hotel dengan tarif yang relatif murah (2) First Class Hotel, yaitu hotel dengan tarif sedang (3) Deluxe Hotel, yaitu hotel dengan tarif mahal
10) Istilah-istilah hotel lainnya: (1) Guest House, sesuai namanya tempat ini menyerupai rumah dengan beberapa kamar. Beberapa kamar disewakan dengan penggunaan bersama untuk dapur, ruang tamu dan ruang-ruang lainnya. Pemilik rumah ada juga yang tinggal disini. (2) Villa atau Cottage. Secara fisik sebenarnya merupakan hotel dengan beberapa rumah dalam satu kawasan. Bangunan rumah terpisah dari unit lainnya. Lokasinya biasanya tidak berada di kawasan padat. Biasnya menawarkan suasana yang lebih tenang. Layanan kamar disediakan seperti halnya hotel, bahkan untuk villa mewah disediakan petugas tersendiri untuk tiap-tiap unit villa. (3) Homestay. Sebenarnya mirip dengan guest-house hanya biasanya pemilik rumah tinggak bersama tamu. Homestay biasanya dimiliki pribadi. (4) Inn/Lodge. Merupakan penginapan sederhana dan terletak dipinggir kota atau tempat transit. Tidak menyediakan banyak fasilitas. (5) Bed & Breakfast. Adalah hotel dengan fasilitas hanyalah untuk tidur dan sarapan saja. Istilah ini masih kurang populer di Indonesia tetapi di luar negeri sudah banyak digunakan. (6) Budget Hotel. Adalah hotel dengan fasilitas terbatas dan biasanya berada di tengah kota. (7) Hostel. Hotel sederhana yang biasanya digunakan tamu rombongan. Satu kamar bisa diisi 4 orang bahkan lebih. Fasilitasnya sederhana
dengan kamar mandi biasanya di luar kamar. Hostel ini yang biasanya digunakan untuk rombongan study-tour. 11) Jenis-Jenis Kamar Tamu Hotel Menurut Tempat Tidur Yang Ada (1) Single Room : Kamar yang tersedia untuk satu orang penghuni dengan kondisi berisi satu tempat tidur tunggal (single bed). Jenis room seperti ini sudah jarang dan hampir tidak ada di hotel berbintang. (2) Double Room : Kamar yang tersedia untuk dua orang penghuni dengan kondisi berisi satu tempat tidur besar (double bed). (3) Twin Room : Kamar yang tersedia untuk dua orang penghuni dengan kondisi, berisi dua tempat tidur double (twin bed) dan ditempatkan secara terpisah. (4) Standard Room : Kamar yang tersedia untuk dua orang penghuni dengan kondisi, beisi satu tempat tidur double (double bed) atau dua tempat tidur. (5) Superior Room : Kamar standard yang lebih luas atau lebih besar. (6) Deluxe Room : Kamar ini didesain untuk terlihat lebih berkelas dalam berbagai hal dimulai dari penampilan, ukuran dan lokasinya. Akan tetapi, dalam beberapa hotel terkadang kamar tipe Deluxe dikategorikan di bawah kamar tipe Superior. (7) Suite Room : Kamar yang tersedia untuk 2/3 atau lebih dengan kondisi berisi dua atau tiga kamar lebih dengan ukuran kamar lebih besar, lebih luas dan lebih lengkap yang dilengkapi dengan fasilitas
tambahan seperti ruang tamu, makan, keluarg dan dapur kecil (kitchenette) serta mini bar. Tempat tidurnya terdapat double bed, twin bed atau bahkan single bed. 12) Presidential. Inilah kamar terluas dibandingkan dengan jenis kamar lainnya. Pada dasarnya ini masuk kategori Suite Room dengan luas dan fasilitas paling lengkap. Kamar jenis ini hampir menyerupai rumah. Tidak semua hotel memiliki kamar jenis ini, hanya hotel-hotel mewah bintang 5 yang menyediakannya, itupun hanya beberapa unit saja. Beberapa hotel menempatkan Presidential Suitenya dekat dengan fasilitas pendaratan helikopter (helipad) dan memiliki pemenadangan terbaik yang dimiliki hotel (Tarmoezi, 2000). 2.1.5 Klasifikasi Hotel Menurut
keputusan
Direktorat
Jendral
Pariwisata,
Pos
dan
Telekomunikasi no 22/U/VI/1978 tanggal 12 Juni 1978, klasifikasi hotel dibedakan dengan menggunakan simbol bintang antara 1-5. Semakin banyak bintang yang dimiliki suatu hotel, semakin berkualitas hotel tersebut. Penilaian dilakukan selama 3 tahun sekali dengan tatacara serta penetapannya dilakukan oleh Direktorat Jendral Pariwisata. 2.1.6 Kepuasan Pelanggan Kepuasan pelanggan telah menjadi salah satu kunci keberhasilan suatu usaha. Hal ini dikarenakan dengan memuaskan konsumen, perusahaan dapat meningkatkan tingkat keuntungannya dan mendapatkan pangsa pasar yang lebih luas (Fredy Valenzuela et al., 2006). Rivai, Veithnzal (2006) mengemukakan
bahwa kepuasan adalah konsep yang jauh lebih luas dari hanya sekedar penilaian kualitas pelayanan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Kepuasan konsumen dipengaruhi oleh persepsi konsumen terhadap kualitas jasa, kualitas produk, harga, dan oleh faktor situasi dan personal konsumen. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Rivai, Veithnzal (2006) di atas, perusahaan yang bergerak di bidang jasa sangat tergantung pada kualitas jasa yang diberikan. Menurut Rivai, Veithnzal dalam (Rudyanto, 2010) bahwa terdapat lima dimensi yang digunakan oleh konsumen di dalam menilai suatu kualitas jasa. Kelima dimensi tersebut antara lain adalah: 1) Bukti fisik (tangibility) Bukti fisik merupakan suatu fasilitas fisik atau fasilitas nyata seperti peralatan, perlengkapan dan penampilan karyawan 2) Kehandalan (reliability) Kehandalan merupakan kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. 3) Ketanggapan (responsiveness) Daya tanggap merupakan keinginan untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat. 4) Jaminan (assurance) Jaminan merupakan pengetahuan dan kesopanan karyawan dan juga kemampuan mereka untuk menimbulkan keyakinan dan kepercayaan.
5) Empati (empathy) Empati merupaka suatu sikap yang menunjukkan kepedulian dan memberikan perhatian yang bersifat individu dari seorang karyawan terhadap seorang pelanggan. Kotler (2007:36), mendefinisikan kepuasan sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang kemudian didapatnya dengan harapan. Jadi tingkat kepuasan adalah suatu fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dan harapan, semakin sesuai antara kinerja atau hasil yang diperoleh dengan harapan, maka akan semakin tinggi kepuasan yang akan didapat. Menurut Stauss (2002) dalam Varela-Neira et al. (2010), kepuasan pasca penanganan keluhan adalah kepuasan yang dirasakan pelanggan yang mengajukan keluhan terhadap respon penyedia layanan untuk pengaduan mereka. Tingkat kepuasan pelanggan pasca penanganan keluhan secara signifikan dipengaruhi oleh keadilan yang dirasakan (Kau dan Loh, 2006). Hasil perilaku dari pelanggan yang mengeluh dalam hal kepercayaan, rekomendasi dari mulut ke mulut, dan loyalitas ditemukan dipengaruhi oleh kepuasan mereka pasca penanganan keluhan. Menurut Davidov (2003), penanganan keluhan yang baik tidak hanya membawa pelanggan kepada peningkatan keinginan untuk melakukan pembelian berulang, tetapi juga menurunkan rekomendasi dari mulut ke mulut yang negatif dan meningkatkan rekomendasi dari mulut ke mulut yang positif sehingga dapat memberi keuntungan bagi perusahaan. Maxham dan Netemeyer (2002) menemukan keterkaitan antara penanganan keluhan terhadap keinginan konsumen untuk menggunakan produk tersebut kembali (repurchase intension). Pelanggan
yang merasa puas akan penanganan keluhan yang mereka rasakan dapat melakukan pembelian kembali dan bahkan dapat memberikan rekomendasi dari mulut ke mulut yang yang positif.
2.1.7 Kegagalan Jasa Kegagalan jasa didefinisikan sebagai kinerja jasa yang tidak dapat memenuhi harapan pelanggan (Hoffman&Bateson, 1997). Banyak peneliti percaya bahwa jika kegagalan jasa ini tidak segera ditangani dengan cepat akan menimbulkan biaya yang besar dalam recovery-nya dan menyebabkan perpindahan konsumen (Kotler, 2000; Maxham, 2001). Bitner et al. (1990) mengelompokkan kegagalan jasa menjadi empat kategori, yaitu: (1) kegagalan sistim penyampaian jasa, (2) gap antara kebutuhan dan keinginan, (3) kelambanan tindakan karyawan, (4) masalah pelanggan. Lewis&Spyrakopoulos (2001) mengklasifikasikan kegagalan jasa menjadi lima kategori, yaitu: (1) prosedur, (2) kesalahan, (3) perilaku karyawan, (4) kegagalan teknis, (5) tindakan organisasi. Peneliti yang lain mengungkapkan bahwa kegagalan jasa dapat terjadi karena perilaku konsumen dalam proses penyampaian jasa (Denham, 1998; Johnson, 1994). Heung dan Lam (2003) melaporkan bahwa di Cina, banyak konsumen yang tidak puas akan menceritakannya kepada teman-teman mereka atau diam, tidak melakukan apa-apa untuk menjaga keharmonisan hubungannya dengan masyarakat dan menghindari konfrontasi. Di Negara individualistik seperti Amerika, Australia, Jerman, Perancis, Turki dan Inggris, konsumen lebih suka komplain ke perusahaan atau menggunakan pihak ketiga (Huang, Huang&Wu,
1996). Menurut Singh (1988), ada empat kemungkinan respon konsumen dalam menghadapi kegagalan jasa, yaitu: konsumen tidak melakukan apa-apa, namun langsung berpindah ke pesaing; konsumen berhenti menggunakan jasa dan berpindah ke pesaing dan juga melakukan negative word-of-mouth; langsung melakukan komplain ke perusahaan untuk mendapatkan ganti rugi; konsumen memberitakannya ke media. Hunt (1991) menyatakan bahwa pembalasan merupakan kemungkinan kelima dalam perilaku komplain. Konsumen yang tidak puas akan merusak fasilitas perusahaan jasa. Menciptakan kepuasan konsumen pada layanan awal yang baik di bidang jasa dirasa masih sulit untuk dilakukan, hal ini yang menyebabkan munculnya komplain. Menurut Suprapti (2010:289), perilaku pengaduan konsumen (consumer complaint behavior) adalah segala perilaku yang dilakukan oleh pelanggan sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap pembelian yang dia lakukan. Mousavi dan Esfidani (2013) menyatakan bahwa, perilaku keluhan pelanggan dikonseptualkan sebagai satu set dari beberapa atau semua tanggapan yang diakibatkan oleh ketidakpuasan yang dirasakan dari suatu pembelian. Secara umum, tujuan dari penyampaian komplain itu sendiri adalah untuk memberikan masukan kepada perusahaan (Yuliati dan Anzola, 2009). Pengaruh kegagalan layanan sangat beragam tergantung faktor individual dan situasional, serta pemahaman kegagalan layanan sebagai strategi faktor penting dalam penentuan strategi pemulihan layanan yang tepat (Hart, et al. dalam Rudyanto 2010).
2.1.8 Pemulihan Pelayanan Menurut James (2011), Pemulihan layanan memiliki tiga tahap dalam pemulihan layanan, mulai dari tahap terjadinya kegagalan pelayanan hingga dilakukan pemulihan pelayanan. Tahap pertama ialah tahap sebelum pemulihan pelayanan dilakukan dengan terjadinya kegagalan pelayanan dan kualitas jasa yang diharapkan oleh pelanggan, termasuk adanya jaminan kepada pelanggan bila terjadi kegagalan dalam pelayanan. Pada tahap kedua, pemulihan pelayanan secara cepat, yang perlu ditunjang dari sisi psikologis seperti sikap empati dan permintaan maaf dari perusahaan maupun aspek tangibel seperti melakukan perbaikan yang permanen maupun memberikan nilai tambah. Kemudian dilanjutkan pada tahap pemulihan yang juga memasukan unsur psikologis maupun tangibel. Hasil akhir diharapkan tentu saja loyalitas, kepuasan dan retensi pelanggan tetap terjaga (Kotler, 2007:126). Peranan pemulihan jasa pada pemasaran jasa sangat krusial. Kepuasan pelanggan terhadap pemulihan jasa berkontribusi pada minat pembelian ulang (repeat purchased), loyalitas dan komitmen, komunikasi getok tular (word of mouth) positif, dan persepsi pelanggan terhadap keadilan atau fairness (Tjiptono, 2007: 465). Penanganan komplain berarti merupakan perwujudan strategi dan taktik perusahaan (hotel) dalam menghadapi keungggulan strategi dan taktik pesaing. Penanganan komplain dapat dijadikan instrument penting dalam mengendalikan konflik antara perusahaan dengan pelanggan akan ketidakpuasan (Muhammad et al., 2013).
M. C. Lai and F. S. Chou (2014) menyebutkan bahwa upaya pemulihan layanan merupakan suatu hasil pemikiran, rencana, dan proses untuk menebus kekecewaan pelanggan menjadi puas terhadap organisasi setelah pelayanan yang diberikan mengalami masalah kegagalan. Dapat diambil garis besar pengertian upaya pemulihan layanan diatas bahwa upaya pemulihan layanan itu adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan atau cacat layanan yang telah diberikan kepada pelanggan sehingga diharapkan dapat mengobati kekecewaan pelanggan dengan layanan yang lebih baik (Nurhayati dan Maria, 2010). Walaupun tujuannya ialah membuat pelanggan menjadi sangat puas dengan zero defects, namun seperti yang diungkapkan (Tjiptono,2007) bahwa zero defect dalam dunia jasa merupakan suatu tujuan yang tidak realistis. Karena tidak dapat diukur dengan sama rata standar kepuasan terhadap layanan orang yang satu, dengan orang lain. Tjiptono (2007) menjelaskan bahwa ada yang membedakan penyedia jasa yang unggul dengan yang biasa saja atau buruk, yaitu kemampuan untuk menangani setiap masalah dan belajar dari kegagalan jasa, serta melakukan perbaikan demi penyempurnaan layanan organisasi. Setiap penyedia jasa pun berusaha untuk memberikan layanan yang terbaik pada pertama kalinya. Hal ini dilakukan untuk keuntungan yang signifikan bagi perusahaan dalam hal pemberian layanan yang baik bagi pelanggan, dan untuk rnendapatkan hasil evaluasi yang baik bagi perusahaan (Rashid et al., 2013). (Ervina, 2010) menyebutkan emosi pelanggan memainkan peran penting dalam upaya pemulihan layanan setidaknya untuk dua alasan. Yang pertama adalah output dari upaya
pemulihan layanan itu sendiri yaitu kepuasan dari pelanggan. Yang kedua adalah perasaan emosional yang kuat dari pelanggan itu sendiri dalam merespon upaya pemulihan layanan dan memutuskan apakah menularkan keputusan mereka untuk tetap bertahan dengan penyedia jasa tersebut ataukah berarih ke yang lain. Penanganan keluhan dan mengatasi masalah menjadi suatu kegiatan yang penting dalam rangka mempertahankan pelanggan, mencapai kepuasan pelanggan atau pelanggan, yang pada tujuan akhirnya ialah mencegah pelanggan untuk melakukan word-of- mouth yang bersifat negatif, yang dapat mencemarkan nama baik perusahaan, dan menyebabkan pelanggan beralih ke penyedia jasa lain dan membatalkan niat pelanggan baru untuk menggunakan jasa kita (peelen et. aI.,2005). (Boshof dan Alren 2000) berkeyakinan bahwa kesuksesan suatu program upaya pemulihan layanan bergantung pada efektifitas petugas frontline pada saat menerima keluhan dari pelanggan. Mereka menganggap bahwa mereka adalah komponen penting dari kualitas layanan pelanggan, dan nama baik perusahaan bergantung pada mereka. Para petugas frontline perlu mendapatkan perhatian khusus demi menjaga performa kerja mereka. Performa kerja dari staf bagian ini menentukan efektifitas penanganan keluhan pelanggan. Kepuasan kerja yang maksimum, akan menghasilkan efektifitas bagian ini, dan berimplikasi terhadap kepuaasan pelanggan. Ada sebuah paradoks mengenai upaya pemulihan layanan yang dikemukakan oleh (Frederic, 2011) yang mengatakan bahwa paradoks upaya pemulihan layanan ialah situasi dimana kepuasan pasca pemulihan setelah kegagalan jasa dirasakan lebih besar daripada layanan dengan kinerja baik yang
diberikan sebelumnya, dalam konteks tersebut, upaya pemulihan layanan yang efektif akan membawa kepuasan yang lebih tinggi bagi konsumen, dibandingkan dengan layanan yang diberikan dengan semestinya pada kesempatan yang pertama kalinya dan juga dapat berarti sebuah kesempatan bagi penyedia jasa untuk meningkatkan retensi konsumen (Robert Kristaung, 2005). Farida (2009) menjelaskan lebih lanjut mengenai paradoks upaya pemulihan layanan bahwa dengan upaya pemulihan layanan yang sangat efektif, kegagalan produk atau jasa memberikan kesempatan untuk meraih tingkat kepuasan yang lebih tinggi dari konsumen daripada jika tidak pernah terjadi suatu kegagalan. Yang berarti recovery yang baik dapat merubah kemarahan atau frustrasi konsumen menjadi sebuah loyalitas. Faktanya sebuah kegagalan yang terjadi dapat mendatangkan lebih banyak kebaikan daripada tidak pernah terjadi suatu kegagalan sama sekali. Sehinga dapat dimengerti bahwa dengan melakukan strategi upaya pemulihan layanan sebenarnya sebuah perusahaan telah dalam tahap perbaikan secara terus-menerus untuk mencapai kepuasan pelanggan. Secara garis besar, aktivitas yang dapat dilakukan dalam rangka memulihkan layanan pelanggan dapat meliputi (Bowen dan Johnson, 1999, dalam Tjiptono, 2007): -
Respons : Pengakuan bahwa telah terjadi masalah atau kegagalan jasa, permohonan
maaf,
empati,respons
yang
cepat,
dan
keterlibatan
manajemen. -
Informasi
: Penjelasan atas kegagalan yang terjadi, mendengarkan
pandangan pelanggan terhadap solusi yang diharapkan, menyepakati
solusi, menjamin bahwa masalah yang sama tidak akan terulang lagi, dan permohonan maaf tertulis. -
Tindakan : Koreksi atas kegagalan atau kesalahan, mengambil langkahlangkah
perbaikan,
seperti
mengubah
prosedur
untuk
mencegah
terulangnya masalah di kemudian hari, melakukan tindak lanjut untuk memeriksa dampak setelah pemulihan jasa. -
Kompensasi
:
Token
compensation,
kompensasi
ekuivalen
atau
pengembalian uang atau "big gesture" compensation. Penelitian yang dilakukan oleh Jin Qin et al, (2012) menunjukkan bahwa upaya pemulihan layanan memegang peranan penting dalam tujuan untuk meraih kepuasan dalam keadaan pelayanan yang kurang baik di mata konsumen yang membuktikan secara empirik dalam penelitiannya menghubungkan upaya pemulihan layanan dengan tingkat kepuasan yang lebih baik. Bahkan lebih jauh lagi upaya pemulihan layanan dapat dihubungkan dengan word-of-mouth dengan kepuasan menjadi mediatornya. Atau seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Dominique (2007) yang menyatakan bahwa upaya pemulihan layanan berhubungan dengan keputusan pembelian ulang dan perilaku WOM. Service recovery (pemulihan pelayanan) secara umum dapat diwujudkan dengan tiga cara pokok (Kau & Loh, 2006): 1) Distributive Justice (keadilan distributif), merupakan atribut yang memfokuskan pada hasil dari penyelesaian service recovery, misalnya usaha apa yang dilakukan perusahaan untuk menangani keluhan konsumen ketika perusahaan melakukan kesalahan,
meskipun perusahaan harus mengeluarkan biaya yang besar sebagai pengganti kerugian. Distributive justice dapat diwujudkan dengan: Kompensasi meliputi ganti rugi atas kekecewaan konsumen yang dapat bersifat finansial dan non finansial, misalnya dengan memberi discount, coupon, refunds, free gift, upgrade kamar dan sebagainya. 2)
Procedural justice (keadilan prosedural) merupakan atribut yang memfokuskan pada keadilan yang seharusnya diterima oleh konsumen ketika mengajukan keluhan sesuai dengan aturan dan kebijakan yang telah ditetapkan perusahaan. Procedural justice meliputi: (1) Process control: Proses penanganan keluhan mulai dari keluhan yang sederhana hingga keluhan yang kompleks. (2) Decission control: Memberikan keputusan kepada setiap keluhan dengan tepat (3) Accesibility:
Mempermudah
akses
dalam
menyampaikan
keluhan dan saran. (4) Timing/speed:
Menangani
keluhan
yang
diberikan
oleh
konsumen dengan cepat. (5) Flexibility:
Bersikap
flexibel
terhadap
prosedur
dalam
menangani keluhan. 3)
Interactional justice (keadilan interaksional), merupakan atribut yang memfokuskan pada kelakuan atau respon yang ditujukan oleh
perusahaan ketika berhadapan dengan konsumen yang mengajukan komplain. Interactional justice meliputi: (1) Explanation: Menjelaskan tentang permasalahan yang membuat konsumen merasa tidak puas terhadap layanan yang diberikan dengan jelas. (2) Honesty: Jujur mengakui kesalahan yang dialami konsumen dan meyakinkan konsumen bahwa kesalahan yang terjadi bukan hal yang disengaja. (3) Politeness: Sopan dan menghargai konsumen dalam menangani keluhan. (4) Effort: Berusaha maksimal dalam menemukan solusi untuk memecahkan penyelesaian keluhan konsumen agar kekecewaan yang telah dialami dapat tergantikan. (5) Emphaty: Memberikan perhatian dan rasa peduli terhadap konsumen serta memahami apa yang diinginkan dari konsumen tersebut. Dalam melakukan Service recovery perusahaan harus memahami dengan seksama harapan serta kebutuhan konsumen terlebih dahulu. Jadi perusahaan dapat meningkatkan kepuasaan konsumen dengan cara memaksimalkan pengalaman
konsumen
yang
menyenangkan
dan
meminimumkan
atau
meniadakan pengalaman konsumen yang kurang menyenangkan (Tjiptono, 2000, p.54)
Tiga cara pokok pemulihan layanan di atas (Kau & Loh, 2006) memiliki kesamaan dengan teori Perceived Justice yakni tiga dimensi justice (keadilan) yang dipersepsikan oleh customer (Gilliland, 1993).
2.1.9 Teori Perceived Justice. Theory of justice (teori keadilan) dapat membantu dalam menjelaskan reaksi buyer-supplier (provider) dalam suatu konflik. Terdapat tiga dimensi justice (keadilan) yang dipersepsikan oleh customer (Gilliland, 1993). 1) Distributive Justice, merupakan justice/fairness yang dipersepsikan oleh customer sebagai kompensasi. Bentuk justice ini dapat berupa kompensasi dalam bentuk diskon, kupon atau voucher, pengembalian dana, free gift, penggantian produk, permintaan maaf, dll. (Blodgett et al., 1997; Goodwin dan Ross, 1992; Hoffman dan Kelley, 2000; Tax et al., 1998). Ukuran ataupun penilaian apakah kompensasi yang diberikan tersebut fair (adil) atau tidak, dapat dipengaruhi oleh pengalaman customer dengan perusahaan tersebut, pengetahuan mengenai bagaimana customer lain diperlakukan pada situasi yang sama dan persepsi besarnya kerugian yang dialami oleh customer tersebut (Tax et al., 1998). Selanjutnya, Blodgett et al. (1997) menemukan bahwa dalam sistem retail, distributive justice mempunyai pengaruh yang signifikan pada customers’ repatronage dan negative word-of-mouth intentions. 2) Procedural Justice, merupakan justice/fairness yang dipersepsikan oleh customer pada proses penanganan complain, termasuk pengendalian
proses dan waktu penyelesaian komplain tersebut (Tax et al., 1998). Terdapat 5 elemen procedural justice, yaitu: pengendalian proses, pengendalian keputusan, kemudahan akses,
waktu/kecepatan, dan
fleksibilitas. Laventhal et al. (1980) menyimpulkan bahwa prosedur tersebut haruslah konsisten, tidak bias dan objektif, menyeluruh, mewakili semua bagian yang terkait dan berdasarkan pada informasi yang sebenarnya serta berdasarkan pada standar yang etis. Selanjutnya, Kelley et al. (1993) juga menemukan bahwa procedural justice penting dalam service recovery saat pelanggan yang mungkin puas dengan jenis strategi recovery yang ditawarkan tetapi masih tidak senang jika proses recovery yang diterima oleh customer tersebut tidak memuaskannya. Akan tetapi, Blodgett et al. (1997) menemukan bahwa dalam sistem retail, faktor timelines (waktu/kecepatan) tidak mempunyai pengaruh signifikan pada customers’ repatronage intention juga pada negative word-of-mouth intention. 3) Interactional Justice, merupakan justice/fairness yang dipersepsikan oleh customer akan perilaku karyawan yang memberikan pelayanan pada customer yang complain (Tax et al., 1998, p. 62). Terdapat 5 elemen interactional justice, yaitu: explanation/causal account (penjelasan), honesty (kejujuran/keterbukaan), politeness (kesopanan), usaha dan empati. Pembedaan justice jenis ini penting ketika Bies dan Shapiro (1987) menemukan bahwa customer mungkin memandang procedure dan hasil recovery adalah fair tetapi tidak diperlakukan dengan fair oleh
manajer dan karyawan. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa perilaku manajer dan karyawan dalam berkomunikasi dengan customer (Clemmer, 1988; Goodwin dan Ross, 1992) dan usaha yang diambil untuk menyelesaikan konflik (Mohr dan Bitner, 1995) mempengaruhi kepuasan konsumen. Sebagai contoh, ketika pegawai meminta maaf atas kesalahan mereka, customer yang awalnya kecewa, akhirnya sering merasa lebih puas (satisfied). Haskett et al. (1997) juga mengkonfirmasikan bahwa dengan menunjukkan empati, menjadi sopan dan mau mendengar customer, merupakan elemen-elemen yang sangat penting dalam melakukan pelayanan. Selanjutnya Blodgett et al. (1997) juga menemukan bahwa interactional justice mempunyai pengaruh yang paling kuat terhadap subjects repatronage dan negative word-of-mouth intention dalam studi experimental yang mereka lakukan.
2.2
Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah pendugaan yang bersifat sementara yang dibuat sebelum
data diolah dengan menggunakan suatu analisis sehingga membuahkan suatu hasil yang harus dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berikut merupakan hasil penelitian sebelumnya yang dapat menunjang hipotesis dalam penelitian ini : 2.2.1 Pengaruh Keadilan prosedural terhadap Kepuasan Pelanggan. Hasil penelitian Frederic Marimon (2011) membuktikan bahwa aspek dari procedural justice mempunyai pengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan.
Ini pun diungkapkan oleh Farida (2009) procedural justice dimata pelanggan menjadi hal yang utama bagi pelanggan. Dominique et al., (2007) mengungkapkan procedural justice yang menentukan kepuasan pelanggan memberikan nilai positif di mata konsumen. Atas dasar uraian diatas, maka dapat disajikan hipotesis sebagai berikut. H1 : Keadilan prosedural berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan. Berpengaruh positif artinya semakin tinggi tingkat Procedural Justice maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan pelanggan. 2.2.2 Pengaruh Keadilan interaksional terhadap Kepuasan Pelanggan. Hasil penelitian Alvi et al., (2009) membuktikan bahwa aspek dari interactional justice mempunyai pengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan. Abou et al, (2013) mengungkapkan interactional justice mampu memberikan kepuasan dimata pelanggan. Ini pun di dukung oleh penelitian Fredy et al. (2006) menyatakan interactional justice mampu memberikan rasa puas terhadap pelanggan. Atas dasar uraian diatas, maka dapat disajikan hipotesis sebagai berikut. H2 : Keadilan interaksional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan. Berpengaruh positif artinya semakin tinggi tingkat Interactional Justice maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan pelanggan. 2.2.3 Pengaruh Keadilan distrbutif terhadap Kepuasan Pelanggan. Hasil penelitian Tonny (2010) membuktikan bahwa aspek dari distributive justice mempunyai pengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan. Samsudin
dan Nor (2012) menemukan dalam penelitiannya bahwa distributive justice berpengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan. Ini pun di dukung oleh penelitian Ervina et al., (2010) menyatakan distributive justice mampu memberikan rasa puas terhadap pelanggan. Atas dasar uraian diatas, maka dapat disajikan hipotesisi sebagai berikut. H3 : Keadilan distributif berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan. Berpengaruh positif artinya semakin tinggi tingkat Distributive Justice maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan pelanggan.