BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Pengertian Bank Berdasarkan undang-undang Perbankan No.10 Tahun 1998 Pasal 1(2) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Menurut PSAK Nomor 31 dalam Standar Akuntansi Keuangan (2004, 31.1) pengertian Bank adalah suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan antara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dan pihak-pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran. Menurut Kasmir (1998:11) Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan mengeluarkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
11
2.1.2 Jenis Bank 1) Jenis Bank Berdasarkan Fungsinya a) Bank Sentral Bank sentral yang dimaksud adalah Bank Indonesia. Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini. Menurut UU Pokok Perbankan nomor 14 Tahun 1967 jenis perbankan menurut fungsinya terdiri atas: Bank Umum, Bank Pembangunan, Bank Tabungan, Bank Pasar, Bank Desa, Lumbung Desa, atau Bank Pegawai. Namun setelah keluar UU Pokok Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 dan ditegaskan lagi dengan keluarnya UU RI nomor 10 tahun 1998, jenis perbankan menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Pembangunan dan Bank Tabungan berubah fungsi menjadi Bank Umum, sedangkan Bank Desa, Bank Pasar, Lumbungan desa dan Bank Pegawai menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Tugas pokok Bank Sentral adalah: (1)
Mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai rupiah
(2)
Mendorong
kelancaran
produksi
dan
pembangunan
serta
memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
12
b) Bank Umum Pengertian bank umum menurut Peraturan Bank Indonesia No. 9/7/PBI/2007 adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Jasa yang diberikan oleh bank umum bersifat umum, artinya dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Bank umum sering disebut bank komersial (commercial bank).
c) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Perkreditan Rakyat atau yang biasa dikenal dengan sebutan BPR merupakan lembaga keuangan resmi yang diatur berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam kegiatan operasionalnya BPR memiliki jangkauan kegiatan operasional yang terbatas, maka dari itu BPR dikatakan tidak dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Hal ini yang membedakan antara BPR dengan bank umum, dimana bank umum dalam menjalankan kegiatannya dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Perbedaan yang mendasar antara bank umum dengan BPR terletak pada kegiatan operasional masing-masing. Kegiatan operasional yang dilakukan oleh bank umum lebih luas
13
cakupannya dibandingkan BPR. Artinya produk yang ditawarkan oleh bank umum lebih beragam jika dibandingkan dengan BPR, hal ini disebabkan oleh kebebasan yang dimiliki bank umum untuk menentukan produk dan jasa, sedangkan BPR mempunyai keterbatasan tertentu sehingga kegiatannya lebih sempit (Kasmir, 2012:38).
2) Jenis Bank Berdasarkan Kepemilikannya Apabila ditinjau dari segi kepemilikannya, jenis bank terdiri atas bank milik pemerintah, bank milik swasta nasional, dan bank milik swasta asing. a) Bank Milik Pemerintah Bank pemerintah adalah bank di mana baik akta pendirian maupun modalnya dimiliki oleh pemerintah, sehingga seluruh keuntungan bank dimiliki oleh pemerintah pula. Contohnya Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri. Selain itu ada juga bank milik pemerintah daerah yang terdapat di daerah tingkat I dan tingkat II masing-masing provinsi. Ditinjau dari segi kepemilikan adalah siapa pun yang turut andil dalam pendirian suatu bank. Kepemilikan bank dapat dilihat dari akte pendirian dan penguasaan saham yang dimilikinya. (1) Bank Negara Indonesia 46 (BNI) (2) Bank Rakyat Indonesia (BRI) (3) Bank Tabungan Negara (BTN) (4) Contoh Bank DKI (5) Bank Jateng,dan sebagainya.
14
Sedangkan bank milik pemerintah daerah (Pemda) terdapat di daerah tingkat I dan tingkat II. Contoh bank pemerintah daerah adalah BPD DKI Jakarta, BPD Jawa Barat, BPD Jawa Tengah, BPD Jawa Timur, BPD Sumatera Utara, BPD Sumatra Selatan, BPD Sulawesi Selatan, dan BPD lainnya
b) Bank milik swasta nasional Bank jenis ini, seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh swasta nasional. Akte pendiriannya menunjukkan kepemilikan swasta, begitu pula pembagian keuntungannya untuk pihak swasta. Contoh bank milik swasta nasional antara lain: Bank Muamalat, Bank Central Asia, Bank Bumi Putra, Bank Danamon, Bank Duta, Bank Nusa Internasional, Bank Niaga, Bank Universal, Bank Internasional Indonesia
c) Bank milik Koperasi Kepemilikan saham-saham bank ini dimiliki oleh badan hukum koperasi, contohnya adalah Bank Umum Koperasi Indonesia
d) Bank milik campuran Kepemilikan saham bank campuran dimiliki oleh pihak asing dan pihak swasta nasional. Saham bank campuran secara mayoritas dimiliki oleh warga negara Indonesia. Contoh bank campuran antara lain : Sumitono Niaga Bank, Bank Merincop, Bank Sakura Swadarma, Bank Finconesia,
15
Mitsubishi Buana Bank, Inter Pacifik Bank, Paribas BBD Indonesia, Ing Bank, Sanwa Indonesia Bank, dan Bank PDFCI.
e) Bank Milik Asing Bank jenis ini merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik milik swasta asing atau pemerintah asing. Kepemilikannya dimiliki oleh pihak luar negeri. Contohnya ABN AMRO bank, City Bank, dan lain-lain.
3) Dilihat dari segi status Dilihat dari segi kemampuannya dalam melayani masyarakat, bank umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua macam. Pengklasifikasian ini berdasarkan kedudukan atau status bank tersebut. Kedudukan atau status ini menunjukkan ukuran kemampuan bank dalam melayani masyarakat baik dari jumlah produk, modal, maupun kualitas pelayanannya. Oleh karena itu, untuk memperoleh status tersebut diperlukan penilaian-penilaian dengan kriteris tertentu. a) Bank Devisa Bank yang dapat melaksanakan transaksi ke luar negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan. Misalnya transfer keluar negeri, inkaso keluar negeri, traveller cheque, pembukaan dan pembayaran Letter of Credit dan transaksi lainnya. Persyaratan untuk menjadi bank devisa ini ditentukan oleh Bank Indonesia.
16
b) Bank Non-Devisa Bank yang belum mempunyai izin untuk melaksanakan transaksi sebagai bank devisa, sehingga tidak dapat melaksanakan kegiatan seperti halnya bank devisa. Jadi bank non-devisa hanya dapat melakukan transaksi dalam batas-batas negara.
4) Jenis Bank Berdasarkan Kegiatan Operasionalnya a) Bank Konvensional Pengertian kata “konvensional” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah “menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan”. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “berdasarkan kesepakatan umum” seperti adat, kebiasaan, kelaziman. Berdasarkan pengertian itu, bank konvensional adalah bank yang dalam operasionalnya menerapkan metode bunga, karena metode bunga sudah ada terlebih dahulu, menjadi kebiasaan dan telah dipakai secara meluas dibandingkan dengan metode bagi hasil. Bank konvensional pada umumnya beroperasi dengan mengeluarkan produk-produk untuk menyerap dana masyarakat antara lain tabungan, simpanan deposito, simpanan giro; menyalurkan dana yang telah dihimpun dengan cara mengeluarkan kredit antara lain kredit investasi, kredit modal kerja, kredit konsumtif, kredit jangka pendek; dan pelayanan jasa keuangan antara lain kliring, inkaso, kiriman uang, Letter of Credit, dan
17
jasa-jasa lainnya seperti jual beli surat berharga, bank draft, wali amanat, penjamin emisi, dan perdagangan efek. Bank konvensional dapat memperoleh dana dari pihak luar, misalnya dari nasabah berupa rekening giro, deposit on call, sertifikat deposito, dana transfer, saham, dan obligasi. Sumber ini merupakan pendapatan bank yang paling besar. Pendapatan bank tersebut, kemudian dialokasikan untuk cadangan primer, cadangan sekunder, penyaluran kredit, dan investasi. Bank konvensional contohnya bank umum dan BPR. Kedua jenis bank tersebut telah kalian pelajari pada subbab sebelumnya. b) Bank Syariah Bank syariah muncul di Indonesia pada awal tahun 1990-an. Pemrakarsa pendirian bank syariah di Indonesia dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990. Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, maksudnya adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuanketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Falsafah dasar beroperasinya bank syariah yang menjiwai seluruh hubungan transaksinya adalah efesiensi, keadilan, dan kebersamaan. Efisiensi mengacu pada prinsip saling membantu secara sinergis untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Keadilan mengacu pada hubungan yang tidak dicurangi, ikhlas, dengan persetujuan yang matang atas proporsi masukan dan keluarannya. Kebersamaan
18
mengacu pada prinsip saling menawarkan bantuan dan nasihat untuk saling meningkatkan produktivitas. Kegiatan bank syariah dalam hal penentuan harga produknya sangat berbeda dengan bank konvensional. Penentuan harga bagi bank syariah didasarkan pada kesepakatan antara bank dengan nasabah penyimpan dana sesuai dengan jenis simpanan dan jangka waktunya, yang akan menentukan besar kecilnya porsi bagi hasil yang akan diterima penyimpan. Berikut ini prinsip-prinsip yang berlaku pada bank syariah. (1) Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah). (2) Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah). (3) Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah). (4) Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah). (5) Pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Dalam rangka menjalankan kegiatannya, bank syariah harus berlandaskan pada Alquran dan hadis. Bank syariah mengharamkan penggunaan harga produknya dengan bunga tertentu. Bagi bank syariah, bunga bank adalah riba.
19
2.1.3 Rasio Keuangan Analisis laporan keuangan adalah suatu metode yang bertujuan untuk menyampaikan informasi yang terkandung dalam laporan keuangan, yang dilakukan dengan cara membandingkan antara satu pos dengan pos lainnya dalam laporan keuangan, membandingkan dengan laporan keuangan pada periode sebelumnya, atau membandingkan dengan laporan keuangan sejenisnya, lalu menginterprestasikan hasil perbandingan laporan keuangan tersebut. Analisis terhadap laporan keuangan perusahaan pada dasarnya untuk mengetahui tingkat profitabilitas dan tingkat risiko atau tingkat kesehatan suatu perusahaan (Mamduh, 2005:5). Menurut Muljono (1999:46) bentuk analisis laporan keuangan bank meliputi beberapa teknik yaitu: 1) Analisis komparatif yang meliputi Trend dan analisis common size. Tujuan dari trend adalah membandingkan kegiatan usaha suatu bank secara absolute maupun relatif terhadap kegiatan yang ada dengan kegiatan yang telah dicapai pada periode sebelumnya, sedangkan analisis common size bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan pos-pos yang dominan dalam pencapaian tujuan bank. 2) Analisis Bank Environment. Analisis yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan bersaing suatu bank atau kantor cabang atau dapat juga dalam rangka mengetahui market share suatu bank atau kantor cabang. 3) Analisis laporan keuangan pada masa inflasi. 4) Analisis break even point. Analisis ini berujuan untuk profit planning dan kontrol baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek, untuk menetapkan target minimal baik bagi unit bank secara keseluruhan maupun bagian yang ada, dan sebagai bahan pengukuran efisiensi
20
serta efektifitas kerja bank. 5) Analisis varians. Analisis yang bertujuan untuk mengetahui apakah target anggaran yang telah ditetapkan oleh manajamen bank dapat dicapai dan apakah terjadi selisih menguntungkan atau sebaliknya selisih yang merugikan. 6) Sustainable rate of growth. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan aktiva suatu bank dengan membandingkan kemampuan bank dalam memupuk permodalannya, hal ini disebabkan dalam prudential banking ekspansi aktiva suatu bank dibatasi oleh aturan adanya minimum capital adequacy ratio. 7) Analisis Capital Assets Management Earning Likuidity (CAMEL) . Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesehatan manajamen suatu bank berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Rasio keuangan adalah ukuran yang digunakan dalam interprestasi dana analysis laporan finansial suatu perusahaan. Rasio keuangan dapat dibagi kedalam tiga bentuk umum yang sering dipergunakan yaitu : Rasio Likuiditas, Rasio Solvabilitas ( Leverage ), dan Rasio Rentabilitas. Jenis rasio keuangan bank seperti berikut ini:
1) Ratio Likuiditas (Liquidity Ratio) Rasio likuiditas mengukur kemampuan likuiditas jangka pendek perusahaan dengan melihat aktiva lancar peruahaan relativ terhadap hutang lancarnya (hutang dalam hal ini merupakan kewajiban bank). Suatu bank dikatakan liquid apabila bank bersangkutan dapat memenuhi kewajiban utang-utangnya, dapat membayar
21
kembali semua depositonya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang diajukan tanpa terjadi penangguhan. Berikut adalah suatu bank dapat dikatakan liquid apabila: a) Bank tersebut memiliki cash assets sebesar kebutuhan yang digunakan untuk memenuhi likuiditasnya, b) Bank tersebut memiliki cash assets yang lebih kecil dari kebutuhan likuiditasnya, tetapi mempunyai aset atau aktiva lainnya (misal surat berharga) yang dapat dicairkan sewaktu-waktu tanpa mengalami penurunan nilai pasarnya, c) Bank tersebut mempunyai kemampuan untuk menciptakan cash asset baru melalui berbagai bentuk hutang. Menurut Van Horne :”Sistem Pembelanjaan yang baik Current ratio harus berada pada batas 200% dan Quick Ratio berada pada 100%”. Adapun yang tergabung dalam rasio ini adalah : a. Current Ratio ( Rasio Lancar) Merupakan Rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva lancar yang dimiliki, Current Ratio dapat dihitung dengan rumus : Current Ratio = Aktiva Lancar
22
b. Quick Ratio ( Rasio Cepat ) Merupakan rasio yang digunaka untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva yang lebih likuid . Quick Ratio dapat dihitung dengan rumus yaitu : Quick Ratio = Aktiva Lancar – Persediaan c. Cash Ratio ( Rasio Lambat) Merupakan Rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek dengan kas yang tersedia dan yang disimpan diBank. Cash Ratio dapat dihitung dengan Rumus yaitu : Cash Ratio = Cash + Efek
2) Rasio Solvabilitas (Capital) Rasio ini disebut juga Ratio leverage yaitu mengukur perbandingan dana yang disediakan oleh pemiliknya dengan dana yang dipinjam dari kreditur perusahaan tersebut. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur sampai seberapa jauh aktiva perusahaan dibiayai oleh hutang rasio ini menunjukkan indikasi tingkat keamanan dari para pemberi pinjaman (Bank). Pada rasio leverage, dapat diukur antara lain: capital adequacy ratio. a) Capital Adequacy Ratio (CAR) Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan permodalan yang ada untuk menutup kemungkinan kerugian didalam kegiatan perkreditan dan perdagangan surat-surat berharga.
23
b) Capital to Debt Ratio Rasio ini digunakan untuk mengukur seberapa jauh dana disediakan oleh kreditor. Adapun Rasio yang tergabung dalam Rasio Leverage adalah : a. Total Debt to Equity Ratio (Rasio Hutang terhadap Ekuitas) Merupakan Perbandingan antara hutang – hutang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukkan kemampuan modal sendiri, perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajibanya . Rasio ini dapat dihitung denga rumus yaitu : Total Debt to equity Ratio = Total Hutang b. Total Debt to Total Asset Ratio ( Rasio Hutang terhadap Total Aktiva ) Rasio ini merupakan perbandingan antara hutang lancar dan hutang jangka panjang dan jumlah seluruh aktiva diketahui. Rasio ini menunjukkan berapa bagian dari keseluruhan aktiva yang dibelanjai oleh hutang. Rasio ini dapat dihitung dengan rumus yaitu : Total Debt to Total Asset Ratio = Total Hutang
3) Rasio Rentabilitas Rasio ini disebut juga sebagai Ratio Profitabilitas yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba atau keuntungan, profitabilitas suatu perusahaan mewujudkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut. Rasio rentabilitas bertujuan untuk mengetahui kemempuan bank dalam menghasilkan laba selama
24
periode tertentu, juga bertujuan untuk mengukur tingkat efektifitas manajemen dalam
menjalankan
operasional
perusahaannya.
Pada
rasio
rentabilitas
(keuntungan), rasio yang dapat diukur antara lain: return on assets, biaya operasi/pendapatan operasi, gross profit margin, dan net profit margin. a) Return On Assets (ROA) Rasio ini mengukur kemampuan bank didalam memperoleh laba dan efisiensi secara keseluruhan. b) Biaya Operasional/Pendapatan Operasional (BO/PO) Rasio ini digunakan untuk mengukur perbandingan biaya operasi/biaya intermediasi terhadap pendapatan operasi yang diperoleh bank. Semakin kecil angka rasio BO/PO, maka semakin baik kondisi bank tersebut. Rasio ini digunakan untuk mengukur perbandingan biaya operasi/biaya intermediasi terhadap pendapatan operasi yang diperoleh bank. Semakin kecil angka rasio BO/PO, maka semakin baik kondisi bank tersebut. c) Gross Profit Margin Rasio ini untuk mangetahui kemampuan bank dalam menghasilkan laba dari operasi usahanya yang murni. Semakin tinggi rasionya, semakin baik hasilnya. Dengan tingkat penjualan, rasio ini menggambarkan laba kotor yang dapat dicapai dari jumlah penjualan. Rasio ini dapat dihitung dengan rumus yaitu : Gross Profit Margin = Laba kotor
25
4) Net Profit Margin Rasio ini untuk mengukur kemampuan bank dalam menghasilkan laba bersih sebelum pajak (net income) ditinjau dari sudut pendapatan operasinya. Rasio ini dapat dihitung dengan Rumus yaitu : Net Profit Margin = Laba Setelah Pajak 5)
Rasio Resiko Usaha Bank
Setiap jenis usaha selalu dihadapkan pada berbagai resiko, begitu pula didalam bisnis perbankan, banyak pula resiko yang dihadapinya. Resiko-resiko ini dapat pula diukur secara kuantitatif antara lain dengan: deposit risk ratio, dan interest risk rate ratio. a) Deposit Risk Ratio Rasio ini memperlihatkan resiko yang menunjukkan kemungkinan kegagalan bank dalam memenuhi kewajiban kepada para nasabah yang menyimpan dananya diukur dengan jumlah permodalan yang dimiliki oleh bank yang bersangkutan. b) Interest Risk Rate Ratio Rasio ini memperlihatkan resiko yang mengukur kemungkinan bunga (interest) yang diterima oleh bank lebih kecil dibandingkan dengan bunga yang dibayarkan oleh bank.
6)
Rasio Efisiensi Usaha
Untuk mengukur kinerja manajemen suatu bank apakah telah menggunakan semua faktor produksinya dengan tepat guna dan hasil guna, maka melalui rasio-
26
rasio keuangan disini juga dapat diukur secara kuantitatif tingkat efisiensi yang telah dicapai oleh manajemen bank yang bersangkutan. Rasio-rasio yang digunakan antara lain: leverage multiplier ratio, assets utilazation ratio, dan operating ratio. a) Leverage Multiplier Ratio Rasio ini untuk mengukur kemampuan manajemen suatu bank didalam mengelola aktiva yang dikuasainya, mengingat atas pengunan aktiva tetap tersebut bank harus mengeluarkan sejumlah biaya yang tetap. Semakin banyak/cepat bank mengelola aktivanya semakin efisien. b) Assets Utilazation Ratio Rasio ini untuk mengukur kemampuan manajemen suatu bank didalam memanfaatkan aktiva yang dikuasainya untuk memperoleh total income. c) Operating Ratio. Rasio ini untuk mengukur rata-rata biaya operasional dan biaya non operasional yang dikeluarkan bank untuk memperoleh pendapatan.
2.1.4 Profitabilitas Menurut Grace (2011), rasio profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri. Profitabilitas memberikan gambaran seberapa efektif perusahaan beroperasi sehingga memberikan keuntungan bagi perusahaan (Ang, 1997). Profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. Profitabilitas perusahaan biasanya
27
diukur dengan menggunakan rasio keuangan yang diambil dari informasi akuntansi yang tedapat dalam laporan keuangan. Rasio profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dan juga untuk mengetahui efektifitas perusahaan dalam mengelola sumber-sumber daya yang dimiliki (Sartono,2001). Secara singkat, rasio profitabilitas mengukur sampai
seberapa jauh efektifitas manajemen
secara keseluruhan dengan mengetahui tingkat pengembalian (return) yang dihasilkan dari penjualan dan investasi. 1) Cara Menghitung Profitabilitas Riyadi (2006:155) menyatakan bahwa terdapat dua rasio yang digunakan untuk mengukur profitabilitas suatu perusahaan, rasio-rasio tersebut adalah sebagai berikut: a) Return on Asset (ROA) ROA merupakan rasio perbandingan antara laba sebelum pajak dengan total aset, rasio ini menunjukkan tingkat efisiensi pengelolaan aset yang dilakukan oleh bank. Semakin besar ROA berarti semakin besar tingkat keuntungan
yang diterima oleh perusahaan.
Secara umum
ROA
diformulasikan sebagai berikut.
…………………..…………..(1)
28
b) Return on Equity (ROE) ROE merupakan
rasio perbandingan antara laba setelah pajak dengan
modal inti, rasio ini menunjukkan tingkat persentase yang dapat dihasilkan oleh bank. Secara umum ROE diformulasikan sebagai berikut.
……………………....………(2)
2) Tujuan dan Manfaat Rasio Profitabilitas Rasio profitabilitas mempunyai tujuan serta manfaat baik bagi pihak yang memiliki usaha ataupun pihak dari luar, terutama pihak yang memiliki kepentingan
dengan
perusahaan
yang
bersangkutan.
Menurut
Kasmir
(2010:197), tujuan dari pengguaan rasio profitabilitas adalah sebagai berikut. a) Untuk mengukur atau menghitung laba yang diperoleh oleh perusahaan dalam satu periode tertentu. b) Untuk menilai posisi laba tahun sebelumnya dengan tahun sekarang. c) Untuk menilai perkembangan laba dari waktu ke waktu. d) Untuk menilai besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. e) Untuk mengukur produktivitas seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal pinjaman ataupun modal sendiri. f) Untuk mengukur produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal pinjaman maupun modal sendiri. Manfaat dari penggunaan rasio profitabilitas adalah sebagai berikut (Kasmir, 2010:198).
29
a) Mengetahui besarnya tingkat laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode. b) Megetahui posisi laba tahun sebelumnya dengan tahun sekarang. c) Mengetahui perkembangan laba dari waktu ke waktu. d) Mengetahui besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. Mengetahui produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang digunkan baik modal pinjaman maupun modal sendiri.
2.1.5 Risiko Perbankan Risiko yang dihadapi oleh bank sangatlah banyak, diantaranya adalah risiko tingkat bunga. Dana yang digunakan untuk pemberian kredit mempunyai tingkat bunga yangrelatif konstan sedangkan tingkat bunga simpanan nasabah bersifat fluktuatif. Tingkat bunga fluktuatif ini adalah salah satu beban yang harus dihadapi perbankan dimana dapat mengurangi laba yang sebelumnya telah diprediksi, selain itu manajamen bank, khususnya bagian kredit, dihadapkan semakin tingginya non perfoming loan. Untuk mengurangi angka NPL, bank diwajibkan lebih berhati-hati dalam memilih calon debitur dan juga melakukan pengawasan terhadap kelancaran usaha debitur tersebut. Menurut Glen Glenardi, Dirut Bank Bukopin (Info Bank No 327 edisi Juni 2006) manajamen bank harus jeli memilih bidang-bidang usaha yang bisa dibiayai. Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 menjelaskan “risiko adalah potensi terjadinya suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian Bank”. Berdasarkan PBI No.5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003
30
menguraikan jenis risiko bank, yaitu: (1) Risiko Kredit, risiko akibat kegagalan pihak debitur dalam memenuhikewajibannya. (2) Risiko Pasar, risiko yang timbul karena adanya pergerakan variable pasar (nilai tukar dan harga option) dari portofolio yang dimiliki bank. (3) Risiko Likuiditas, risiko yang disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo. (4) Risiko Operasional,
risiko
yang
disebabkan
ketidakcukupan
dan
tidak
berfungsinyaproses internal, kesalahan manusia, kegagalan manusia, kegagalan sistem, atau problem eksternal yang menggangu operasional bank. (5) Risiko Reputasi, risiko yang berkaitan dengan kegiatan bank yang dinilai negatif dengan adanya publikasi. (6) Risiko Hukum, risiko yang disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung, kelemahan perikatan. (7) Risiko Strategik, risiko yang timbul akibat pelaksanaan strategi bank dan pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsif. (8) Risiko Kepatuhan, risiko yang timbul akibat bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku, terutama peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia. 1) Risiko Kredit Risiko kredit (Credit Risk) sering disebut juga risiko gagal tagih (default risk) yaitu risiko yang dihadapi karena ketidakmampuan nasabah membayar bunga kredit dan mencicil pokok pinjaman, sedangkan menurut Ayuningrum (2011), credit risk adalah risiko yang diahadapibank karena menyalurkan dananyadalam bentuk pinjaman terhadap masyarakat. Risiko ini semakin besar bila bank umum tidak mampu meningkatkan atau memperbaiki
31
kualitas kredit yang disalurkan.Rasio keuangan yang digunakan sebagai proksi terhadap nilai suatu risiko kredit adalah Non Performing Loan (NPL). Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam menangani risiko kegagalan pengembalian kredit oleh debitur. Menurut Surat Edaran BI No. 3/30 DPNP tanggal 14 Desember 2001 Lampiran 14, NPL diukur dari rasio perbandingan antara kredit bermasalah terhadap total kredit yang diberikan. Bobot risiko NPL menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, BPR dikatakan sehat apabila memiliki rasio NPL lebih kecil atau sama dengan 5 persen dan tidak sehat apabila lebih besar dari 5 persen. NPL yang tinggi akan memperbesar biaya, sehingga berpotensi terhadap kerugian bank. Semakin tinggi rasio ini maka akan semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar dan oleh karena itu bank harus menanggung kerugian dalam kegiatan operasionalnya sehingga berpengaruh terhadap penurunan laba (ROA) yang diperoleh bank (Kasmir, 2004) kredit dalam hal ini adalah kredit yang diberikan kepada pihak ketiga tidak termasuk kredit kepada bank lain.
2) Risiko Operasional Risiko operasional dalam hal ini merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan keuntungan lebih kecil daripada keuntungan yang diperoleh dari penggunaan aktiva tersebut. Dalam penelitian ini Efisiensi operasional diindikasikan dengan menggunakan rasio BOPO. Menurut Dendawijaya,
32
(2003), BOPO merupakan rasio antara biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil BOPO maka semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan perusahaan yang besangkutan (Almilia dan Herdiningtyas, 2005). Setiap peningkatan biaya operasional akan berakibat pada berkurangnya laba sebelum pajak yang pada akhirnya akan menurunkan laba atau profitabilitas (ROA) perusahaan yang bersangkutan. Bank yang sehat ketentuan dari BI harus memiliki BOPO ≤ 93,52 persen (Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004). Jika sebuah bank memiliki BOPO lebih dari ketentuan BI maka bank tersebut kategori tidak sehat dan tidak efisien. Secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut (Veithzal,dkk, 2007): BOPO = Biaya Operasional/Pendapatan Operasional x100%
3) Risiko Likuiditas Risiko likuiditas terjadi bila bank tidak mampu menyediakan dana tunai untuk memenuhi kebutuhan transaksi para nasabah dan memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dilunasi dalam tempo lebih kecil dari satu tahun. Martono mendefenifikan resiko likuiditas (liquidity risk) adalah resiko yang mungkin dihadapi oleh bank untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnyadalam rangka memenuhi permintaan kredit dan semua penarikan dana oleh penabung pada suatu waktu. Faktor yang menyebabkan bank mengalami resiko likuiditas ialah bank tidak dapat memaksimumkan pendapatan karena adanya desakan kebutuhan likuiditas. Resiko likuiditas
33
pada umumnya berasal dari dana pihak ketiga, aset-aset dan kewajiban pada counter-parties. LDR adalah rasio antara seluruh kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank (Dendawijaya.2009:116). Semakin besar penyaluran dana dalam bentuk kredit relatif dibandingkan dengan deposit atau simpanan masyarakat pada suatu bank membawa konsekuensi semakin besar risiko yang ditanggung oleh bank yang bersangkutan. Apabila kredit yang disalurkan mengalami kegagalan atau bermasalah, maka bank akan mengalami kesulitan untuk mengembalikan dana yang dititipkan oleh masyarakat. Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, BPR dikatakan sehat apabila memiliki rasio LDR antara 50 persen sampai 100 persen dan tidak sehat apabila memiliki rasio lebih besar dari 100 persen.
2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh risiko kredit terhadap profitabilitas Risiko kredit merupakan suatu risiko akibat kegagalan atau ketidak mampuan nasabah dalam mengembalikan jumlah pinjaman yang diterima beserta bunganya, sesuai jangka waktu yang telah ditentukan. Risiko kredit terjadi ketika bank memberikan pinjaman kepada nasabah sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati, kemudian nasabah tersebut tidak mampu untuk mengembalikan pinjaman yang telah diterimanya pada saat jatuh tempo beserta bunganya, hal itu bisa disebabkan karena kesengajaan maupun tanpa disengaja, seperti nasabah mengalami bencana alam atau bangkrut, jadi bank terpaksa harus menanggung
34
resikonya. Dengan adanya risiko kredit yang harus ditanggung oleh bank tersebut maka akan menyebabkan hilangnya kesempatan oleh bank untuk memproleh pendapatan dari kredit yang diberikan sehingga berpengaruh buruk terhadap profitabilitas perbankan itu sendiri. Resiko kredit pada penelitian ini diwakili oleh Non Performing Loan (NPL). Menurut Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001 lampiran 14, NPL diukur dari rasio perbandingan antara kredit bermasalah terhadap total kredit yang diberikan. Bobot risiko NPL menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, BPR dikatakan sehat apabila memiliki rasio NPL lebih kecil atau sama dengan 5 persen dan tidak sehat apabila lebih besar dari 5 persen. NPL yang tinggi akan memperbesar biaya, sehingga berpotensi terhadap kerugian bank. Semakin tinggi rasio ini maka akan semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar dan oleh karena itu bank harus menanggung kerugian dalam kegiatan operasionlanya sehingga berpengaruh terhadap penurunan laba (ROA) yang diperoleh bank (Kasmir, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Chang (2006) dengan judul “ Role of Non Performing Loans (NPLs) and Capital Adequacy in Banking Structure and Competition”, menemukan hasil bahwa NPL berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA. Hasil penelitian tersebut berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Joseph et al. (2012) yang berjudul “Non Performing Loan in Commercial Bank: A Case of CBZ Bank Limited in Zimbabwe”, yang menemukan bahwa NPL berpengaruh negatif dan signifikan terhadap profitabilitas. Artinya semakin besar kredit bermasalah yang terdapat pada bank, akan mengakibatkan turunnya profitabilitas yang dihasilkan
35
oleh bank dan begitu pula sebaliknya. Hasil ini sesuai dengan teori yang ada yang menyatakan bahwa pengaruh antara NPL terhadap ROA adalah negatif dan signifikan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa resiko kredit berpengaruh signifikan negatif terhadap profitabilitas. H1 : Risiko kredit berpengaruh negatif signifikan terhadap profitabilitas
2.2.2 Pengaruh risiko operasional terhadap profitabilitas Risiko operasional dalam hal ini merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan keuntungan lebih kecil daripada keuntungan yang diperoleh dari penggunaan aktiva tersebut. Dalam penelitian ini Efisiensi operasional diindikasikan dengan menggunakan rasio BOPO. Menurut Dendawijaya, (2003), BOPO merupakan rasio antara biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil BOPO maka semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan perusahaan yang besangkutan (Almilia dan Herdiningtyas, 2005). Setiap peningkatan biaya operasional akan berakibat pada berkurangnya laba sebelum pajak yang pada akhirnya akan menurunkan laba atau profitabilitas (ROA) perusahaan yang bersangkutan. Bank yang sehat ketentuan dari BI harus memiliki BOPO ≤ 93,52 persen (Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004). Jika sebuah bank memiliki BOPO lebih dari ketentuan BI maka bank tersebut kategori tidak sehat dan tidak efisien. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Defri (2012) yang meneliti mengenai “Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR), Likuiditas, dan Efisiensi Operasional Terhadap Profitabilitas Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di
36
BEI”, memperoleh hasil bahwa BOPO berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ROA. Hal tersebut berarti apabila BOPO meningkat, maka profitabilitas pada bank akan menurun dan begitu sebaliknya. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Ngandlan dan Riadi (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh CAMEL Terhadap Size Pada Bank yang Listing Pada Bursa Efek Indonesia” berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Defri (2012). Penelitian ini memperoleh bahwa BOPO berpengaruh positif terhadap ROA. Hasil tersebut tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pengaruh antara BOPO terhadap ROA adalah negatif dan signifikan. H2 : Risiko operasional berpengaruh negatif signifikan terhadap profitabilitas
2.2.3 Pengaruh risiko likuiditas terhadap profitabilitas Risiko likuiditas merupakan risiko yang muncul akibat bank mengalami kesulitan atau tidak mampu memenuhi kewajiban jangka pendeknya (Hanafi, 2009:241). Dalam penelitian ini risiko likuiditas diproksikan oleh rasio LDR yang membandingkan antara total kredit yang disalurkan dengan total Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dihimpun oleh bank (Riyadi, 2006:165). Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, BPR dikatakan sehat apabila memiliki rasio LDR antara 50 persen sampai 100 persen dan tidak sehat apabila memiliki rasio lebih besar dari 100 persen. Apabila jumlah kredit yang disalurkan oleh bank meningkat, maka profitabilitas yang dihasilkan oleh bank juga akan semakin meningkat.
37
Penelitian yang dilakukan oleh Ngandlan dan Riadi (2010) menemukan hasil bahwa LDR berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap ROA. Hasil tersebut berlawan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sastrosuwito dan Yasushi (2011). Penelitian ini memperoleh hasil bahwa LDR berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pengaruh antara LDR terhadap ROA adalah positif dan signifikan. H3 : Risiko likuiditas berpengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas Berdasarkan hipotesis yang telah dijabarkan,
maka dapat disusun suatu
kerangka konseptual pada gambar 2.1 sebagai berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Pemikiran H1 (-)
H2 (-) Profitabilitas (Y)
H3 (+)
38