BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Teori keagenan (agency theory) Hubungan keagenan (agency relationship) terjadi ketika satu atau lebih individu, yang disebut sebagai “prinsipal” menyewa individu atau organisasi lain, yang disebut sebagai “agen”, untuk melakukan sejumlah jasa dan mendelegasikan kewenangan untuk membuat keputusan kepada agen tersebut (Brigham dan Houston, 2009:26). Hubungan keagenan utama terjadi di antara (1) pemegang saham dan manajer, dan (2) manajer dan pemilik utang. Para manajer diberi kekuasaan oleh para pemilik perusahaan, yaitu pemegang saham, untuk membuat keputusan, dimana hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori keagenan (agency theory). Salah satu elemen kunci dari teori agensi adalah bahwa prinsipal dan agen memiliki preferensi dan tujuan yang berbeda (Anthony dan Govindarajan, 2005:269). Agency problem potensial untuk terjadi dalam perusahaan dimana manajer memiliki kurang dari seratus persen saham perusahaan, terutama di perusahaan besar, karena proporsi kepemilikan perusahaan oleh manajer relatif kecil. Konflik lain yang potensial terjadi dalam perusahaan adalah antara debtholder dan stockholder. Kreditor memiliki klaim atas sebagian dari arus laba perusahaan untuk pembayaran bunga dan pokok utang, dan mereka memiliki klaim atas aset perusahaan di waktu terjadi kebangkrutan (Brigham dan Houston, 2009:30).
Untuk meminimalisasi agency problem dibutuhkan pihak ketiga dan memiliki sikap independen, yaitu auditor.
2.1.2 Pengertian auditing A Statement of Basic Auditing Concepts (ASOBAC) dalam Halim (2003:1) mendefinisikan auditing sebagai suatu proses sistematis untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif mengenai asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan. Agoes (2000:1) menyatakan auditing adalah pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun manajemen beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Menurut Mulyadi (2002:9), secara umum auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi. Tujuannya adalah untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa auditing adalah suatu proses sistematik yang dilakukan oleh pihak yang independen untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti audit. Tujuannya adalah untuk membandingkan pernyataan-pernyataan kegiatan dan kejadian ekonomi yang
terjadi dengan kriteria yang telah ditentukan yang diakhiri dengan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
2.1.3 Pengertian dan jenis auditor Auditor merupakan orang atau tim yang melakukan tugas audit. Auditor dapat dibedakan menjadi tiga jenis (Jusup, 2001:17), yaitu: 1) Auditor Pemerintah Auditor pemerintah adalah auditor yang bertugas melaksanakan audit atas keuangan negara pada instansi-instansi pemerintah. Di Indonesia audit ini dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dibentuk sebagai perwujudan dari Pasal 23 ayat 5 Undang-undang Dasar 1945. 2) Auditor Intern Auditor intern adalah auditor yang bekerja pada suatu perusahaan dan oleh karenanya berstatus sebagai pegawai perusahaan tersebut. Tugas audit yang dilakukannya terutama ditujukan untuk membantu manajemen perusahaan tempat dimana ia bekerja. 3) Auditor Independen atau Akuntan Publik Tanggung jawab utama auditor independen atau lebih umum disebut akuntan publik adalah melakukan fungsi pengauditan atas laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan. Pengauditan ini dilakukan pada perusahaanperusahaan terbuka yaitu perusahaan yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal, perusahaan-perusahaan besar, dan juga pada perusahaan-perusahaan kecil, serta organisasi-organisasi yang tidak bertujuan mencari laba. Praktik sebagai akuntan publik harus dilakukan
melalui kantor akuntan publik (KAP) yang telah mendapat ijin dari Departemen Keuangan.
2.1.4 Kantor akuntan pubik (KAP) Menurut SK. Menkeu Nomor 43/KMK.017/1997 tertanggal 27 Januari 1997 sebagaimana diubah dengan SK. Menkeu Nomor 470/KMK.017/1999 tertanggal 4 Oktober 1999, kantor akuntan publik (KAP) adalah lembaga yang memiliki ijin dari Menteri Keuangan sebagai wadah bagi Akuntan Publik dalam menjalankan pekerjaannya (Jusup, 2001:19). Standar Profesional Akuntan Publik (Ikatan Akuntan Indonesia, 2001) menyebutkan kantor akuntan publik (KAP) adalah suatu bentuk organisasi publik yang memperoleh ijin sesuai dengan peratuan perundang-undangan yang berusaha di bidang jasa profesional dalam praktik akuntan publik. Bentuk usaha KAP yang dikenal menurut hukum di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut. 1) KAP dalam bentuk usaha sendiri, yaitu menggunakan nama akuntan publik yang bersangkutan. 2) KAP dalam bentuk usaha kerja sama, yaitu menggunakan nama sebanyakbanyaknya tiga nama akuntan publik yang menjadi rekan atau partner dalam KAP yang bersangkutan. Hierarki staf organisasi kantor akuntan publik pada umumnya adalah sebagai berikut (Halim, 2003:15). 1) Partner, merupakan top legal client relationship, yang bertugas me-review (menelaah) pekerjaan audit, menandatangani laporan audit, menyetujui
masalah fee dan penagihannya, dan penanggung jawab atas segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan audit. 2) Manajer, merupakan staf yang banyak berhubungan dengan klien, mengawasi langsung pelaksanaan tugas-tugas audit, me-review lebih rinci terhadap pekerjaan audit, dan melakukan penagihan atas fee audit. 3) Akuntan Senior, merupakan staf yang bertanggung jawab langsung terhadap perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan audit, dan me-review pekerjaan akuntan junior yang dibawahinya. 4) Akuntan Junior, merupakan staf pelaksana langsung dan bertanggung jawab atas pekerjaan lapangan. Para junior ini penugasannya dapat berupa bagianbagian dari pekerjaan audit, dan bahkan memungkinkan memberikan pendapat atas bagian yang diperiksanya.
2.1.5 Prosedur audit Menurut Jusup (2001:136), prosedur audit adalah tindakan-tindakan yang dilakukan atau metode dan teknik yang digunakan oleh auditor untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti audit. Dalam hal ini ada sepuluh macam prosedur audit yang biasa dilakukan oleh auditor, yaitu: 1) Prosedur analitis (analytical procedures) Terdiri dari kegiatan mempelajari dan membandingkan data yang memiliki hubungan. Prosedur ini mencakup perhitungan dan penggunaan rasio-rasio sederhana, analisis vertikal atau laporan perbandingan, perbandingan antara jumlah sesungguhnya dengan data historis atau anggaran.
2) Menginspeksi (inspecting) Menginspeksi dokumen adalah cara untuk mengevaluasi dokumen, atau juga mungkin mendeteksi adanya pengubahan isi dokumen atau adanya halhal
yang
mengundang
pertanyaan.
Menginspeksi
dokumen
juga
memungkinkan dilakukannya penentuan ketepatan termin faktur, kontrak, dan sebagainya. 3) Mengkonfirmasi (confirming) Adalah suatu bentuk pengajuan pertanyaan yang memungkinkan auditor untuk mendapatkan informasi langsung dari sumber independen di luar organisasi klien. Permintaan tersebut berisi pula instruksi agar jawaban atas pertanyaan yang diajukan dikirimkan langsung kepada auditor. 4) Mengajukan pertanyaan (inquiry) Pengajuan pertanyaan bisa dilakukan kepada sumber-sumber intern dalam perusahaan klien seperti manajemen atau karyawan maupun kepada pihak luar. 5) Menghitung (counting) Tindakan prosedur menghitung yang paling umum dilakukan adalah melakukan perhitungan fisik atas barang-barang berwujud. 6) Menelusur (tracing) Dalam tindakan menelusur, arah pengujian dilakukan dari dokumen ke catatan akuntansi, atau dengan lain perkataan arah aliran data dalam sistem akuntansi.
7) Mencocokkan dokumen (vouching) Prosedur ini sangat penting untuk mendapatkan bukti yang berhubungan dengan asersi keberadaan atau keterjadian. Pencocokan ke dokumen berhubungan erat dengan bukti dokumen. 8) Mengamati (observing) Meliputi tindakan melihat atau menyaksikan sejumlah kegiatan atau proses. Aktivitasnya bisa merupakan proses rutin dari suatu tipe transaksi. 9) Melakukan ulang (reperforming) Bagian terbesar dari prosedur ini adalah melakukan ulang atau mengerjakan ulang perhitungan dan rekonsiliasi yang telah dilakukan oleh klien. Prosedur ini menghasilkan bukti perhitungan. 10) Teknik audit berbantuan komputer (computer-assisted audit technique) Apabila catatan akuntansi klien diselenggarakan pada media elektronik, maka auditor harus menggunakan teknik audit berbantuan komputer untuk membantu dalam melakukan prosedur-prosedur yang telah diterangkan di atas.
2.1.6 Konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan Prosedur audit adalah instruksi rinci untuk mengumpulkan tipe bukti audit tertentu yang harus diperoleh pada saat tertentu dalam audit (Mulyadi, 2002:104). Prosedur audit meliputi langkah-langkah yang harus dilakukan oleh auditor dalam melakukan audit. Prosedur audit ini sangat diperlukan bagi asisten agar tidak melakukan penyimpangan dan dapat bekerja secara efisien dan efektif (Malone dan Roberts, 1996 dalam Weningtyas, dkk., 2007). Konsistensi atas prosedur
audit dalam penelitian ini diartikan sebagai kepatuhan terhadap rangkaian prosedur audit yang telah ditetapkan pada tahap awal proses audit suatu entitas, tanpa adanya tindakan mengurangi ataupun menghilangkan suatu atau beberapa prosedur audit untuk mempercepat pemberian opini oleh auditor. Kualitas kerja dari auditor dapat diketahui dari seberapa jauh auditor menjalankan prosedurprosedur audit yang tercantum dalam program audit. Serangkaian prosedur audit yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu beberapa prosedur audit yang ditetapkan dalam Standar Profesional Akuntan Publik yang menurut Herningsih (2001) dalam Weningtyas, dkk., (2007) mudah untuk diabaikan oleh auditor. Prosedur tersebut adalah pemahaman bisnis dan industri klien (PSA No.5 2001), pertimbangan pengendalian internal (PSA No.69 2001), internal auditor klien (PSA No.33 2001), informasi asersi manajemen (PSA No.7 2001), prosedur analitik (PSA No.22 2001), konfirmasi (PSA No.7 2001), representasi manajemen (PSA No.17 2001), pengujian pengendalian teknik berbantuan komputer (PSA No.59 2001), sampling audit (PSA No.26 2001), dan perhitungan fisik (PSA No.7 2001).
2.1.7 Time pressure Auditor dituntut untuk melakukan efisiensi biaya dan waktu dalam melaksanakan audit. Akhir-akhir ini tuntutan tersebut semakin besar dan menimbulkan time pressure/tekanan waktu. Time pressure memiliki dua dimensi yaitu time budget pressure, merupakan keadaan dimana auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah disusun, atau terdapat pembatasan waktu dalam anggaran yang sangat ketat; dan time deadline pressure,
merupakan kondisi dimana auditor dituntut untuk menyelesaikan tugas audit tepat pada waktunya (Herningsih, 2001 dalam Weningtyas, dkk., 2007).
2.1.8 Risiko audit Risiko audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadarinya, tidak memodifikasi sebagaimana mestinya pendapatnya atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material (Halim, 2001:126). Komponen risiko audit, pada umumnya terdiri atas tiga, yaitu: risiko bawaan (inherent risk), risiko pengendalian (control risk), dan risiko deteksi (detection risk). Risiko bawaan adalah kerentanan suatu asersi terhadap salah saji material dengan asumsi tidak ada kebijakan dan prosedur struktur pengendalian intern yang terkait; risiko pengendalian adalah risiko bahwa suatu salah saji material yang dapat terjadi dalam suatu asersi, tidak dapat dideteksi ataupun dicegah secara tepat pada waktunya oleh berbagai kebijakan dan prosedur pengendalian intern perusahaan; sedangkan risiko deteksi merupakan risiko bahwa auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi. Risiko audit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah risiko deteksi. Risiko deteksi merupakan risiko yang dapat dikendalikan oleh auditor, dan besarnya tergantung pada pertimbangan terhadap tingkat risiko audit, risiko bawaan, dan risiko pengendalian.
2.1.9 Materialitas Dalam menentukan sifat, saat dan luas prosedur audit yang akan diterapkan, auditor harus merancang suatu prosedur audit yang dapat memberikan keyakinan memadai untuk dapat mendeteksi adanya salah saji yang material (Arens dan
Loebbecke, 2000 dalam Weningtyas, dkk., 2007). Ikatan Akuntan Indonesia (2001)
dalam
Standar
Profesional
Akuntan
Publik-nya
mendefinisikan
meterialitas sebagai besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, dilihat dari keadaan yang melingkupinya, yang mungkin dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan atas informasi tersebut karena adanya penghilangan atau salah saji tersebut. Financial Accounting Standart Board (FASB) melalui Statement of Financial Statement Concept No.2, mendefinisikan materialitas sebagai besarnya kealpaaan atau salah saji informasi akuntansi, yang di dalam lingkungan tersebut membuat kepercayaan seseorang berubah atau terpengaruh oleh adanya kealpaan dan salah saji tersebut. Menurut Halim (2001:122) materialitas adalah besarnya salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi. Pertimbangan auditor mengenai materialitas merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi dari auditor sendiri.
2.1.10 Prosedur review dan kontrol kualitas Kantor akuntan publik perlu melakukan prosedur review (prosedur pemeriksaan) untuk mengontrol kemungkinan terjadinya penghentian prematur atas prosedur audit yang dilakukan oleh auditornya (Waggoner dan Cashell, 1991 dalam Weningtyas, dkk., 2007). Prosedur review merupakan proses memeriksa atau meninjau ulang hal atau pekerjaan untuk mengatasi terjadinya indikasi ketika staf auditor telah menyelesaikan tugasnya, padahal tugas yang disyaratkan tersebut gagal dilakukan. Prosedur ini berperan dalam memastikan bahwa bukti pendukung telah lengkap dan juga melibatkan pertimbangan ketika terdapat
sugesti bahwa penghentian prematur telah terjadi. Sugesti bisa muncul, misalnya jika ada auditor yang selalu memenuhi target (baik waktu maupun anggaran) dan tampak memiliki banyak waktu luang. Heriyanto (2002) dalam Weningtyas, dkk. (2007) mendefinisikan prosedur review sebagai “pemeriksaan terhadap kertas kerja yang dilakukan oleh auditor pada level tertentu”. Kontrol kualitas lebih berfokus pada pelaksanaan prosedur audit sesuai standar auditing. Menurut Messier (2000) dalam Weningtyas, dkk. (2007) kantor akuntan publik harus memiliki kebijakan yang dapat memonitor praktik yang berjalan di KAP itu sendiri. Keberadaan suatu sistem kontrol kualitas akan membantu sebuah KAP untuk memastikan bahwa standar profesional telah dijalankan dengan semestinya di dalam praktik. Terdapat lima elemen dari kontrol kualitas yaitu independensi, integritas dan obyektivitas, manajemen personalia, penerimaan dan keberlanjutan serta perjanjian dengan klien, performa yang menjanjikan serta monitoring (Messier, 2000 dalam Weningtyas, dkk., 2007).
2.1.11 Status klien Bagi suatu Kantor Akuntan Publik, klien bisa merupakan klien lama (yang sudah ada) yang diharapkan akan kembali memberikan penugasan audit pada tahun berjalan atau tahun-tahun berikutnya. Klien baru bisa merupakan perusahaan yang baru pertama kali diaudit oleh akuntan publik atau perusahaan yang pernah diaudit oleh kantor akuntan publik lain (Jusup, 2001:171). Audit pada klien baru cenderung membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan audit pada klien lama karena auditor perlu memahami terlebih dahulu karakteristik perusahaan dan pengendalian internalnya (Asthon, 1987).
Semakin lama suatu perusahaan menjadi klien suatu KAP, auditor akan semakin memahami dengan baik bisnis dan industri klien tersebut. Hal ini dapat menjadikan kuantitas prosedur audit yang dilakukan pada klien lama akan berkurang dibandingkan dengan klien yang baru pertama kali diaudit.
2.2
Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan belum
pernah dilakukan sebelumnya, namun ada beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya praktik penghentian prematur atas prosedur audit, atau dalam penelitian ini merupakan ketidakkonsistenan atas prosedur audit yang ditetapkan. Weningtyas, dkk. (2007) menguji pengaruh faktor time pressure, risiko audit, materialitas, prosedur review dan kontrol kualitas terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Penelitian ini dilakukan pada kantor akuntan publik di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menggunakan 79 auditor sebagai responden. Hasil penelitian dengan menggunakan teknik analisis regresi logistik (Logistic Regression Analysis) dan Uji Friedman menunjukkan bahwa semua variabel independen tersebut berpengaruh terhadap praktik penghentisn prematur atas prosedur audit dan diketahui 13 persen dari jumlah sampel melakukan penghentian prematur atas prosedur audit. Dalam penelitian tersebut juga diketahui bahwa prosedur audit yang sering untuk ditinggalkan saat time pressure adalah pemahaman terhadap bisnis klien sedangkan prosedur audit yang jarang untuk ditinggalkan adalah pemeriksaan fisik. Solusi terbaik untuk mengatasi masalah penghentian prematur atas prosedur audit menurut responden adalah
supervisi yang ketat terhadap semua auditor, sedangkan menurut responden yang dikategorikan telah melakukan penghentian prematur atas prosedur audit, solusi yang terbaik adalah meningkatkan komunikasi di dalam tim audit. Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah pada variabel bebas yang digunakan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah pada variabel terikatnya, teknik analisis data yang digunakan, objek penelitian, dan lokasi penelitian. Purnamawati (2007) juga meneliti faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penghentian prematur atas prosedur audit pada kantor akuntan publik di Bali. Variabel dalam penelitian tersebut adalah time pressure, risiko audit, materialitas, prosedur review dan kontrol kualitas terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Responden dalam penelitian ini adalah 115 auditor yang bekerja pada KAP di Bali yang terdaftar pada Institut Akuntan Publik Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa time pressure dan prosedur review dan kontrol kualitas berpengaruh signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit, sedangkan risiko audit dan materialitas tidak berpengaruh secara signifikan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah pada variabel bebas yang digunakan, teknik analisis data, objek penelitian, dan lokasi penelitian. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah pada variabel terikatnya. Apriyani (2008) melakukan penelitian mengenai pengaruh time pressure, risiko audit, materialitas, dan prosedur review terhadap penghentian prematur atas
prosedur audit. Penelitian dilakukan pada auditor yang bekerja pada kantor akuntan publik di Bali yang terdaftar pada Institut Akuntan Publik Indonesia. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi logistik. Responden dalam penelitian ini adalah 88 auditor yang bekerja pada KAP di Bali yang terdaftar pada Institut Akuntan Publik Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa time pressure dan prosedur review berpengaruh signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit, sedangkan risiko audit dan materialitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah pada variabel bebas yang digunakan, objek, dan lokasi penelitian. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah pada variabel terikatnya, dan teknik analisis data yang digunakan.
2.3
Rumusan Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara dari pokok permasalahan
penelitian yang akan diuji kebenarannya (Sugiyono, 2008:93). Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan kajian teori yang relevan maupun hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
2.3.1 Pengaruh time pressure terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan Auditor dituntut untuk melakukan efisiensi biaya dan waktu dalam melaksanakan audit. Akhir-akhir ini tuntutan tersebut semakin besar dan
menimbulkan time pressure/tekanan waktu (Herningsih, 2001 dalam Weningtyas, dkk., 2007). Keberadaan time pressure ini memaksa auditor untuk menyelesaikan tugas secepatnya atau sesuai dengan anggaran waktu yang telah ditetapkan. Adanya time pressure memungkinkan auditor untuk mengabaikan atau tidak konsisten pada prosedur audit yang telah ditetapkan. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Weningtyas, dkk. (2007) menunjukkan bahwa time pressure berpengaruh signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Hubungan antara time pressure dan penghentian prematur bersifat positif, yaitu semakin besar tekanan waktu yang dirasakan auditor, maka semakin besar pula kecenderungan untuk mengabaikan beberapa prosedur audit yang telah ditetapkan, artinya semakin rendah konsistensi auditor atas prosedur audit yang telah ditetapkan. Hasil yang sama juga diperoleh dalam penelitian Purnamawati (2007) dan Apriyani (2008) yang dilakukan terhadap auditor yang bekerja pada KAP di Bali. Penelitian ini akan menguji apakah time pressure berpengaruh negatif terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut. H1 : Time pressure berpengaruh negatif terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan
2.3.2 Pengaruh risiko audit terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan Ketika auditor menginginkan risiko audit yang rendah, maka auditor ingin semua bahan bukti yang terkumpul dapat mendeteksi adanya salah saji yang
material. Untuk mencapai hal tersebut, maka jumlah bukti yang diperlukan juga semakin banyak dan prosedur audit yang dilakukan juga akan menjadi lebih intensif diterapkan untuk mendapatkan bukti kompeten yang cukup. Dengan demikian, kemungkinan auditor untuk mengabaikan satu atau beberapa prosedur audit akan menjadi semakin rendah. Hasil penelitian Weningtyas, dkk. (2007) menyebutkan bahwa risiko audit berpengaruh positif dan signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Ketika risiko audit rendah, maka auditor cenderung melakukan prosedur yang lebih banyak untuk mendapatkan bukti yang memadai sehingga kemungkinan melakukan penghentian prematur juga akan semakin rendah, yang berarti konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan akan meningkat. Berbeda dengan hasil penelitian Purnamawati (2007) dan Apriyani (2008) yang menunjukkan bahwa risiko audit tidak berpengaruh signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Penelitian ini akan mencoba mengetahui pengaruh dan arah hubungan risiko audit terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut. H2 : Risiko audit berpengaruh negatif terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan
2.3.3 Pengaruh materialitas terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan Saat auditor menetapkan bahwa materialitas yang melekat pada suatu prosedur audit rendah, maka terdapat kecenderungan bagi auditor untuk
mengabaikan prosedur audit tersebut (Weningtyas, dkk., 2007). Pengabaian ini dilakukan karena auditor beranggapan jika ditemukan salah saji dari pelaksanaan suatu prosedur audit, nilainya tidaklah material sehingga tidak berpengaruh apapun pada opini audit. Pengabaian inilah yang merupakan praktik dari kurangnya konsistensi auditor atas prosedur audit yang ditetapkan. Penelitian oleh Weningtyas, dkk. (2007) menunjukkan bahwa materialitas berpengaruh signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Hubungan antara materialitas dan penghentian prematur memiliki arah negatif, artinya ketika auditor menetapkan tingkat materialitas yang rendah, maka auditor cenderung untuk mengabaikan prosedur tersebut, sehingga konsistensinya atas prosedur audit yang ditetapkan juga semakin rendah. Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan penelitian Purnamawati (2007) dan Apriyani (2008) yang menyebutkan bahwa
materialitas tidak berpengaruh signifikan terhadap
penghentian prematur atas prosedur audit. Penelitian ini akan menguji pengaruh dan arah hubungan materialitas terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut. H3 : Materialitas berpengaruh positif terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan
2.3.4 Pengaruh prosedur review dan kontrol kualitas terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan Pelaksanaan prosedur review dan kontrol kualitas yang ketat pada suatu kantor akuntan publik akan meningkatkan kemungkinan terdeteksinya perilaku
auditor yang menyimpang. Adanya pengawasan dan kontrol yang ketat akan membuat auditor berpikir dua kali ketika akan melakukan tindakan penyimpangan seperti pengabaian atau tidak melakukan prosedur audit yang telah ditetapkan. Hasil penelitian Weningtyas, dkk. (2007) menunjukkan bahwa prosedur review dan kontrol kualitas berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan negatif terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Hasil yang sama juga ditunjukkan dalam penelitian Purnamawati (2007) dan Apriyani (2008). Semakin efektif penerapan prosedur review dan kontrol kualitas dalam suatu KAP, maka semakin kecil kemungkinan auditor untuk melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan audit, yang berarti semakin konsisten auditor pada prosedur audit yang telah ditetapkan. Penelitian ini akan menguji pengaruh dan arah hubungan prosedur review dan kontrol kualitas terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan sebagai berikut. H4 : Prosedur review dan kontrol kualitas berpengaruh positif terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan
2.3.5 Pengaruh status klien terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan Status klien mengacu pada pernah tidaknya suatu perusahaan diaudit oleh KAP yang sama pada periode sebelumnya. Hasil penelitian dari Asthon (1987) menyebutkan bahwa semakin lama suatu perusahaan menjadi klien yang dalam hal ini diartikan perusahaan merupakan klien lama, maka semakin pendek rentang waktu penyelesaian audit, dan sebaliknya. Auditor yang melakukan audit pada
klien lama cenderung untuk mengabaikan beberapa prosedur yang dianggap tidak diperlukan lagi untuk audit tahun yang bersangkutan seperti pemahaman bisnis dan industri klien, meskipun hal tersebut masih sangat perlu dilakukan, terutama bila kondisi dan lingkungan bisnis klien mulai berubah. Berbeda dengan pelaksanaan audit pada klien baru yang mengharuskan auditor untuk terlebih dahulu memahami karakteristik perusahaan dan pengendalian internalnya, sehingga auditor akan melakukan prosedur yang lebih lengkap dan intensif. Dengan demikian, semakin lama suatu perusahaan menjadi klien suatu KAP, maka auditor cenderung kurang konsisten terhadap prosedur audit yang telah ditetapkan. Penelitian ini akan menguji pengaruh dan arah hubungan perbedaan status klien terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut. H5 : Status klien berpengaruh negatif terhadap konsistensi atas prosedur audit yang ditetapkan